Kebenaran yang berbeda Ada dua pendekatan berbeda yang selama beberapa dekade menguasai wilayah studi komunikasi massa. Keduanya berseberangan karena perbedaan landasan filosofi dan cara pandang keilmuan dalam memberi batasan kriteria tentang “kebenaran”. Cara pandang yang berbeda-beda ini juga dilatarbelakangi oleh cara manusia “mengada” dalam realitas dunia. Roger (1982) menyebut kedua pendekatan tersebut yaitu empirical (pendekatan empiris) dan critical (pendekatan kritis).1 Pendekatan pertama yakni empiris dicirikan dalam penelitian kuantitatif dan bersifat empiris (basic risetnya adalah observasi dan eksperimen). Studi pendekatan empiris terletak pada efek-efek komunikasi dan tidak begitu tertarik untuk menyelami konteks budaya di mana komunikasi massa berlangsung. Berbeda dengan pendekatan kritis yang lebih filosofis dengan penekanan pada struktur sosial yang lebih luas pada konteks komunikasi massa berlangsung. Artinya, pendekatan ini tidak melepaskan diri dari konteks budayanya dan fokus pada persoalan siapa yang mengendalikan sistem komunikasi dan berkuasa atasnya. Pendekatan yang kedua ini tumbuh dari perspektif Marxis yang mengkaji masyarakat secara umum. Pada perjalanannya dia meletakkan titik tekannya dari kajian konflik antarkelas menuju pemeran dominan yang menguasai masyarakat. Theodor W. Adorno disebut sebagai penggagas kajian ini pada tahun 1940-an melalui studi tentang musik dalam radio siaran. Sebagai letak perbedaan, para teoritisi kritis mengkritisi penelitian empiris, sebagai pendekatan science yang dianggap tidak cocok digunakan untuk menelaah manusia dan kemasyarakatan. Mereka melihat para ilmuwan empiris menempatkan kajiannya terlalu sempit dan mengabaikan arti penting kepemilikan dan kontrol media. Kesimpulannya, mereka menganggap pendekatan empiris sebagai pendekatan yang tidak mempedulikan konteks dan situasinya. Sebaliknya, para peneliti empiris cenderung mengkritik teoritisi kritis. Mereka menganggap para ilmuwan kritis menyajikan kesimpulan tanpa disertai bukti, 1 Paul F. Lazarsfeld (1941) menggunakan istilah untuk kedua pendekatan itu sebagai administrative research dan critical research. Penelitian administratif dimaksudkan sebagai penelitian yang hasilnya memenuhi kepentingan institusi media. Lazarfeld wilayah risetnya berada dalam studi administrative. mendasarkan risetnya hanya dari argumentasi, dan senantiasa mengemukakan sedikit gagasan mendasar secara berulang-ulang tanpa diikuti dengan penemuan yang lebih lanjut. Riset Cultural Studies Cultural Studies (CS) muncul pertama kali di Inggris. Dipelopori Richard Hoggart dengan tulisannya The Use of Literacy (1957). Para penganjur CS sama halnya dengan ilmuwan perspektif kritis menghindari penggunaan pendekatan ilmiah. Mereka menempatkan konteks sebagai elan penting bagi tujuan riset. Konteks yang dimaksud antara lain budaya dimana proses komunikasi massa menemukan tempatnya. CS tidak melihat budaya sebagai proses estetika, intelektual dan pembangunan spiritual, melainkan sebagai sebuah teks dan praktik dalam sebuah kehidupan sehari harihari. Terdapat dua poin penting dalam pendekatan ini, pertama bahwa CS mengkaji lingkungan simbolik yang dihasilkan oleh media massa. Lingkungan di mana media eksis menjadi ruang lebar bagi pembacaan ilmuwan CS. Kedua, CS meneliti media massa dan peranannya dalam kebudayaan dan masyarakat. Dia kerapkali digunakan untuk mengkaji proses komunikasi massa yang difokuskan pada media. Prinsip dasarnya adalah bahwa setiap budaya termasuk media merupakan hasil dari proses intervensi kepentingan manusia yang didalamnya memiliki makna. Pengungkapan makna itulah yang menjadi core penting dalam kajian ini. CS mendasarkan pada teori marxisme diantaranya adalah: pertama, memahami makna sebagai sebuah teks dan praktik budaya. Artinya, memahami media sebagai praktik produksi dan konsumsi yang memiliki target dan tujuan tertentu. Maka mengkaji media, harus melibatkan konteks bagaimana media dibentuk. Kedua, mengakui bahwa media merupakan bagian dari praktik industri kapitalis yang menekankan pada aspek kapital dan komodifikasi. Maka memaknai media sebagai institusi yang dikuasai oleh kelompok dominan yakni pemilik modal dan mewakili kepentingan mereka. Proses dominasi inilah yang membentuk dan melahirkan ideologi. Prinsip ideologis inilah yang menjadi konsep utama kajian CS. Untuk mengungkap ideologi tersebut, CS banyak menggunakan konsep-konsep marxis sebagai perangkat analisis. Misalnya, konsep hegemoni milik Antonio Gramsci. Konsep ini digunakan oleh Stuart Hall dalam membangun konsep ”articulation” yang asumsi dasarnya adalah bahwa media merupakan praktik artikulasi yang memiliki ”double meaning” antara proses produksi dan konsumsi. Artinya CS merupakan sebuah teori yang memandang media sebagai sebuah teks dan praktik atau produksi dan konsumsi. Asumsinya bahwa di dalam media terdapat ideologi yang harus dibongkar dan diketahui. Dengan kata lain, posisi CS merupakan varian teori kritis dalam kajian media untuk mengetahui relasi kuasa yang menentukan konstruksi media. Guna lebih memahami wujud penerapan CS terhadap fenomena budaya media, tulisan ini akan mencoba membaca new media dari dimensi budaya. Dimensi ini bersentuhan dengan konsep tekhnologi budaya yang tidak lagi melihat sebuah benda sebagai dampak dari budaya melainkan melihatnya sebagai bentuk budaya itu sendiri. Maka melihat new media sebagai sebuah budaya yang lahir dari pencipta tekhnologi tersebut. Dalam konteks ini, new media tidak lagi dipahami sebagai objek yang lahir dari kejiwaan manusia, juga tidak dipahami sebagai sebuah artefak budaya saja melainkan dipahami sebagai sebuah isi yang melewati produksi dan distribusi sistem pengetahuan dan makna sosial yang dicipta dan dibangun oleh perusahaan. Singkatnya memaknai konsep new media sebagai produk modernitas. Untuk mengawal jalannya analisis, beberapa konsep pemikiran postmodern, khususnya pemikir budaya dan komunikasi dapat dihadirkan disini. Diantara pemikir tersebut adalah Marshal Mcluhan dengan Media is Massage. Jean Baudrillard dengan konsep Simulacra. Mark Poster dengan teori Second Media Age dan Jay David Bolter dengan teori Remediation. Corak pemikiran para pemikir diatas, tidak lagi melihat komunikasi sebagai sebuah proses pengiriman dan penerimaan pesan, melainkan melihat komunikasi sebagai sebuah proses realitas simbolik yang diproduksi, dipelihara, dan ditransformasikan kepada khalayak, Sistem pengetahuan tersebut lahir dari dari produksi dan distribusi yang keduanya saling membentuk sebuah sistem yang melekat dalam produk tekhnologi yang diproduksinya. Dari Analisis diatas, tampak jelas bahwa artikel tersebut ingin melihat hubungan media dengan modernitas yang kerap dengan perayaan tekhnologi, dan kemudian dilanjutkan dengn usaha membaca kembali atau memaknai konsep new media sebagai produk modernitas dari teori postmodern,yang memiliki corak critical prejudice. Oleh karena itu, untuk mengawal jalannya analisis, artikel tersebut mennyajikan beberapa konsep pemikiran postmodern,khususnya pemikir budaya dan komunikasi. Diantara pemikir tersebut adalah Marshal Mcluhan dengan konsep media is massage, Jean Baudrillard dengan konsep simulacra,mark poster dengan teori second media age,dan jay david bolter dengan teori remediation. Corak pemikiran para pemikir diatas, tidak lagi melihat komunikasi sebagai sebuah proses pengiriman dan penerimaan pesan, melainkan melihat komunikasi sebagai sebuah proses realitas simbolik yang diproduksi, dipelihara,dan ditransformasikan kepada khalayak, sebgaimana konsep komunikasi Carey. Konsep tekhnologi budaya Tekhnologi budaya yang dimaksud dalam artikel tersebut,sangat beraneka ragam sesuai dengan konsep atau teori yang digunakan. Pertama,Tekhnologi budaya bisa dipahami sebagai konsep untuk melihat kepentingan atraktif dalam media, komunikasi dan cultural studies(Tom Oregan). Kedua, menurut Collin Marcer, tekhnologi budaya sebagaimana tampak pada televisi dan Koran, mampu mewujud sebagai sebuah pemikiran, dan alat mental yang bercorak baru dalam melihat, menatap,dan mengkaji realitas. Ketiga, secara filosofis, tekhnologi oleh Martin Heideger di pahami sebagai sesuatu yang mampu menyingkap cara berada dunia” Artinya, tekhnologi merupakan cara pandang,yang membentuk cara bertindak kita, cara bagaimana menggunakan alat,dan bagaimana berinterkasi dengan dunia. Berdasar ketiga konsep tekhnologi yang disajikan dalam artikel tersebut, dapat dikatakan bahwa didalam tekhnologi tersimpan beberapa kekuatan yang dapat menyebabkan para konsumen tekhnologi tertarik,terhipnotis untuk segera memiliki dan menikmati tekhnologi yang dianggap sebagai pelayan kebutuhan. Untuk memenuhi hajat diatas dalam melihat hubungan media dengan modernitas dan memotretnya dari perspektif posmodernisme, maka artikel tersebut juga menyajikan konsep pemikiran postmodern diantaranya adalah: pertama, Michel Foucault, seorang filosof prancis yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang ada didunia merupakan hasil hubungan atau interaksi dengan power, termasuk juga tekhnologi. Foucault membagi empat unsure penting dalam mengkaji tekhnologi, yang terdir dari: tipe tekhnologi yang berkaitan dengan produksi tekhnologi,signifikasi kekuasaan, dan diri. Dengan kata lain untuk melihat new media, paling tidak memulainya dengan melihat tipologi new media, apakah berbetuk internet, mobile, dsb. Hal ini dilakukan karena berkaitan dengan aspek produksi. Artinya bagaimana new media tersebut diproduksi,dan untuk apa dan siapa new media itu di buat. Dari aspek produksi inilah, proses pemaknaan akan tampak, dan kekuasaan apa yang bersemayam juga akan tersingkap.Kedua, Marshal Mcluhan yang mengatakan bahwa dunia tekhnologi saat ini merupakan global village(perkampungan global). Konsep atau asumsi dasar dari teorinya adalah untuk mengetahui sebuah makna, kita bukan hanya melihat apa yang dia pikirkan melainkan bagaiman mereka berpikir. Untuk mengetahui tekhnologi atau new media, tidak cukup hanya melihat apa yang ada dalam media , melainkan juga harus melihat bagaimana new media dipikirkan dirancang.dan dimaknai Konsep ini menurut asumsi saya, hampir mirip dengan konsep Foucault yang sama sama menekankan pada aspek produksi makna. Melalui asumsi inilah Mcluhan mengatakan bahwa medium is massage. Artinya didalam media tersimpan pelbagai macam pesan yang ingin disampaikan. Pesan itu merupakan tafsir atau rsepsi atas realitas yang ditangkapnya. Ketiga, Jean Baudrillard mengatakan bahwa saat ini dunia tidak lagi dibentuk oleh kekuatan produksi sebagaimana kaum marxis, melainkan dunia telah ditentukan oleh aspek konsumsi. Maraknya tindakan konsumsi, menurutnya disebabkan oleh adanya proses simulasi yang dimainkan didalam produk tekhnologi modern. Masyarakat diajak pada bayangan realitas,yang kerapkali dipenuhi oleh godaan citra citra. Mereka mengkonsumsi tekhnologi hanya untuk menikmati citra citra yang itu dapat menghipnotis kesadaran para konsumen. Melalui alam bawah sadaranya, masyarakat meyakini bahwa apa yang tampak dalam new media itulah realitas, padahal menurt baudrillard itu hanyalah simulacrum, yaitu tipuan atas realitas.dengan kata lain, tekhnologi modern atau new media adalah “nothing” yaitu berisi kehampaan. Keempat, Mark Poster melalui teori second media age, memahami bahwa new media merupakan komunikasi dua arah dengan desentralisasi jaringan computer,sebagaimana tampak pada internet. Poster melihat komunikasi dua arah ini sebagai tanda transisi modernitas menuju posmodernitas. Menurutnya,desentralisasi komunikasi jaringan, menyulitkan sender-reciver, producerconsmer, rulers-ruled dalam memahami logika berpiki media pertama(the firs media age). Dengan demikian menggugah masyarkat untuk menikmati second media age yang dianggap mudah digunakan, dimanapun dan kapanpun tanpa ada batasan. Kelima, david bolter dan Richard Grusin melalui konsep remediation menggambarkan bahwa new media, mampu menciptakan hasrat akan kemapanan bagi siapa yang menikmati. Dikatakan demikian karena, dalam media baru, tekhnologi memiliki peran penting untuk memediasikan kepentingan dan kekuasaan para produsen terhadap konsumen. Berdasar pembacaan diatas, saya berasumsi bahwa new media, merupakan bagian dari tekhnologi modern yang memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk menghipnotis para penikmat media dalam mengkonsumsi citra citra, yang merupakan bentuk simulasi dari realitas. Usaha ini sengaja dibuat oleh kaum modernis untuk menggiring manusia modern kedalam dunia satu dimensi(one dimensional men), atau kedunia ekstasi komunikasi yang penuh dengan kehampaan dan ketidaksadaran.