Inter CAFE LPPM IPB Konferensi Pers : Tempat : Café Bebek Bali – Senayan, 29 Agustus 2005 Stabilisasi Nilai Tukar : Suatu Pendekatan Non-Konvensional Iman Sugema, Nur Azam Achsani, Reza Y. Siregar, Hermanto Siregar, Rina Oktaviani 1. Pendahuluan Nilai tukar rupiah terhadap dolar telah melampaui ambang psikologis Rp 10 ribu per dolar Amerika Serikat. Angka 10 ribu bukanlah hal yang baru kali ini terjadi. Akan tetapi kali ini angka tersebut tercapai berbarengan dengan krisis energi, krisis anggaran, dan krisis kepercayaan. Pemerintah seakan tidak memiliki daya menghadapi kesulitan yang datang begitu bertubi-tubi. Ada yang mengusulkan agar dilakukan reshufle kabinet. Ada pula yang menumpahkan amarah dengan cara berdemo. Itu semua mencerminkan kekecewaan dan ketidakberdayaan. Masyarakat menjadi bertanya-tanya mengapa semua ini harus terjadi. Bisakah pemerintah melindungi kami? Dalam brief kali ini, Inter-CAFE membahas tentang pentingnya langkah-langkah kebijakan yang tidak konvensional. Hal ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa kebijakan moneter yang konvensional dirasa tidak cukup efektif dalam menahan laju depresiasi yang semakin lebar. Diperlukan kreatifitas yang tinggi untuk mengendalikan situasi dan mencegah terjadinya kepanikan diantara pelaku pasar. Ada tiga langkah yang kami usulkan, yakni: • Melakukan pengetatan likuiditas untuk mengurangi dana-dana likuid di sektor perbankan. Langkah ini bisa dicapai dengan penerapan GWM tambahan yang dikaitkan dengan kondisi likuiditas perbankan. Bank-bank yang memiliki likuiditas yang lebih besar (LDR kecil) harus dikenakan penalti secara progresif dalam bentuk GWM yang lebih tinggi. Bank-bank yang sudah mencapai LDR yang optimum tidak diwajibkan menyerahkan GWM tambahan. • Perlu diambil langkah administratif untuk memperlambat arus modal keluar, terutama yang bersifat spekulatif. Langkah ini meliputi inspeksi mendadak (sidak), audit dan verifikasi transaksi, kewajiban pelaporan transaksi dengan volume Page | 1 Inter CAFE LPPM IPB tertentu, menambah volume administrasi (paper work), dan kewajiban untuk meminta izin jika transaksi melebihi limit transaksi tertentu. • Pembatasan transaksi mungkin harus dilakukan terutama untuk berbagai jenis transaksi yang dicurigai tidak memiliki underlying atau bersifat spekulatif. Batas maximum transaksi mungkin harus diturunkan menjadi hanya 500 ribu dolar saja. Selain itu, bilamana terjadi depresiasi yang berlebihan dalam satu hari (misalkan 3 persen), penghentian transaksi sementara mungkin harus dilakukan. Penghentian ini dapat dilakukan secara terbatas yaitu terhadap pihak-pihak yang paling aktif melakukan transaksi. Namun demikian, langkah-langkah konvensional masih harus dilakukan yang bertujuan sebagai langkah smooth-pasting. Harus dijaga persepsi bahwa suku bunga tetap fleksibel, atau dapat dinaikan. Demikian juga, BI harus tetap terlihat melakukan intervensi untuk memasok valas dalam jumlah yang cukup. Jadi yang dilakukan adalah perubahan orientasi kebijakan konvensional – dari sebagai satu-satunya kebijakan menjadi syarat perlu. Syarat kecukupannya adalah tiga langkah non-konvensional. Selain itu, untuk memperbaiki kredibilitas diperlakukan langkah-langkah perbaikan yang mengarah pada good governance di tubuh BI dan Kabinet Indonesia Bersatu. Perumusan kebijakan dan komunikasi kebijakan harus lebih diefektifkan. Harus ada kesan bahwa BI dan Kabinet dapat menguasai keadaan. 2. Kebijakan moneter konvensional tidak cukup Minggu-minggu terakhir ini kita dibuat cemas setelah nilai tukar rupiah menembus batas kritis Rp 10.000,- per US dollar. Sebenarnya angka 10.000 bukanlah hal yang baru, karena angka tersebut sudah pernah terjadi sebelumnya (lihat Gambar 1). Pada masa-masa krisis tahun 1997-1998, nilai rupiah bahkan pernah menembus diatas Rp 17.000,- per US dollar. Akan tetapi, justru karena sudah pernah terjadi krisis itulah, maka kita terbayang akan terjadi krisis lanjutan sebagaimana yang pernah terjadi tahun 1997-1998 lalu. Oleh karena itu, kredibilitas dan kebijakan yang diambil oleh policy makers (dalam hal ini Bank Indonesia selaku pemegang otoritas moneter serta pemerintah Indonesia) akan sangat crucial dan berpengaruh. Sejak Januari 2004, mata uang rupiah cenderung bergerak “terpisah” dibandingkan mata uang dunia lainnya. Gambar 2 menunjukkan pergerakan mata uang Rp, SGD, EUR, JPY, TBH dan KRW. Jika kita amati dengan seksama, terlihat jelas bahwa mata uang rupiah terpencil dari mata uang lainnya dan melemah secara konsisten. Sebaliknya KRW merupakan pencilan pada sisi lainnya, dan mengalami pekguatan secara konsisten. Sementara itu, mata uang lainnya (SGD, TBH, JPY maupun EUR) bergerak mengikuti pola pergerakan yang sama. Lebih dari itu, ternyata pelemahan Rp tidak hanya terhadap USD, Page | 2 Inter CAFE LPPM IPB tetapi juga terhadap dua mata uang terbesar dunia lainnya EUR dan JPY dengan pola pelemahan yang sama. Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa pelemahan nilai rupiah bukanlah semata-mata karena tekanan dari luar, tetapi lebih ditentukan oleh factor internal. Bahkan diyakini ada something wrong dari fundamental ekonomi dalam negeri, sehingga Rp bergerak “di luar” pola pergerakan mata uang dunia. Tekanan terhadap rupiah sendiri (yang diindikasikan oleh tingginya exchange market pressure EMP) dimulai sejak Juni 2004 dan menjadi sangat kuat dalam 6 bulan terakhir ini (lihat Gambar EMP). Dari penelusuran lebih jauh didapati bahwa EMP meningkat sejalan dengan kebijakan The Fed menaikkan suku bunga pada Juni 2004, dan sejak saat itu The Fed telah menaikkan suku bunga sebanyak 11 kali. Dalam kurun waktu Juni 2004 – Maret 2005, The Fed menaikkan suku bunga sebanyak 7 kali. Sebaliknya, Bank Indonesia sama sekali tidak menaikkan suku bunga dalam negeri, sehingga perbedaan suku bunga dalam dan luar negeri menjadi semakin menipis. Kondisi demikian membuat investasi dalam bentuk rupiah menjadi tidak atraktif dan investor cenderung memindahkan dananya ke luar negeri dengan melepaskan rupiah. BI selaku pemegang otoritas moneter sangat terlambat dalam mengambil kebijakan dan baru menaikkan suku bunga dalam negeri pada bulan Maret-April 2005 pada saat tekanan terhadap rupiah sudah sangat besar. Alih-alih menyesuaikan suku bunga dengan perubahan di luar negeri, BI justru sangat rajin melakukan operasi pasar yang tentunya menguras cadangan devisa. Data terkini menunjukkan bahwa cadangan devisa menurun dari 37 Milyar US Dollar pada Oktober 2004 menjadi hanya 33 Milyar Dollar pada Juni 2005. Tekanan terhadap rupiah sempat melemah yang diikuti dengan penguatan nilai tukar rupiah pada kurun waktu Oktober-November 2004 seiring dengan terpilihnya SBYJK sebagai presiden dan wakil presiden, yang mencerminkan tingginya kepercayaan serta ekspektasi pasar terhadap perubahan kepemimpinan di tanah air. Akan tetapi karena kurang konkretnya arah kebijakan pemerintah dalam memperkuat fundamental ekonomi, maka kepercayaan pasar kembali melemah yang diikuti oleh kembali jatuhnya nilai tukar rupiah. Pelemahan nilai tukar rupiah sendiri secara teori seharusnya akan diikuti dengan peningkatan ekspor karena barang-barang ekspor kita di luar negeri menjadi lebih murah. Akan tetapi kondisi demikian tidak terjadi di Indonesia. Nilai ekspor kita memang ada peningkatan, akan tetapi nilai impor pun juga meningkat, sehingga net ekspor tidak mengalami peningkatan. Hal ini bisa terjadi karena tingginya komponen impor dalam barang-barang ekspor Indonesia. Alih-alih meningkatkan net ekspor, penurunan nilai rupiah justru membebani anggaran karena tingginya hutang luar negeri Indonesia. Page | 3 Inter CAFE LPPM IPB Dari pemaparan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kebijakan moneter konvensional yang diambil oleh Bank Indonesia, baik melalui suku bunga maupun reserve, telah terbukti tidak efektif untuk menjaga kestabilan nilai tukar rupiah. 3. Langkah-langkah non-konvensional Sebagaimana diungkapkan di atas, terdapat indikasi yang kuat bahwa kebijakan moneter yang diambil selama ini tidak mampu menahan laju depresiasi. Kebijakan yang diambil terlalu konvensional. Masalahnya adalah depresiasi rupiah terjadi bersamaan dengan memuncaknya keraguan terhadap kemampuan tim ekonomi pemerintah dalam mengatasi berbagai permasalahan yang datang bertubi-tubi. Krisis nilai tukar hanyalah symptom dari lemahnya fundamental ekonomi dan ketidakberdayaan tim ekonomi. Dengan demikian, kebijakan yang disandarkan pada lankah konvensional harus diperkuat dengan langkah-langkah non-konvesional. Langkah ini diperlukan untuk mencegah terlalu drastisnya penyesuaian dalam suku bunga dan cadangan devisa. Peningkatan suku bunga yang tajam dapat berpengaruh secara negatif terhadap sektor ril, perbankan dan kesehatan fiskal pemerintah. Penurunan cadangan devisa yang terlalu drastis akan mengakibatkan penurunan confidence dalam melakukan stabilisasi. Ada tiga langkah yang harus diambil yakni penyerapan likuiditas, langkah administratif dan pembatasan transaksi. Berikut adalah uraian singkat mengenai ketiga hal tersebut. Penyerapan Likuiditas Kelebihan likuiditas merupakan pangkal dari lemahnya pengendalian dari nilai tukar. Likuiditas adalah aset finansial yang sementara menganggur sehingga dapat digunakan untuk kepentingan apapun termasuk untuk memfasilitasi transaksi valuta asing. Aset likuid dalam rupiah dapat setiap saat dikonversi menjadi aset dalam valuta asing. Dengan atau tanpa spekulasi, kelebihan likuiditas dapat menyebabkan terjadinya depresiasi nilai tukar rupiah. Untuk menyerap likuiditas biasanya BI menggunakan SBI sebagai instrumen. Agar pembelian SBI meningkat, maka suku bunga SBI harus mengalami kenaikan. Kenaikan suku bunga akan meningkatkan biaya operasi pasar sehingga menciptakan defisit otoritas moneter. Lebih jauh lagi, karena sebagian besar suku bunga obligasi pemerintah bersifat floating rate dan terkait dengan suku bunga SBI maka pembayaran bunga obligasi menjadi meningkat. Sebagai konsekuensinya defisit fiskal menjadi meningkat. Berdasarkan perhitungan Siregar dan Chowdury (2005) setiap peningkatan suku bunga sebesar satu persen, defisit fiskal akan membengkak sebesar 0,15 persen dari PDB. Dalam kasus Page | 4 Inter CAFE LPPM IPB dimana kredibilitas otoritas fiskal sangat rendah, kenaikan suku bunga akan tidak credible. Karena itu, kenaikan suku bunga – walaupun bisa menyerap likuiditas – justru dapat mengakibatkan persepsi negatif terhadap kemampuan pemerintah dalam menangani konsekuensi negatif yang ditimbulkannya. Karena itu, kenaikan suku bunga hanya bisa credible jika hal tersebut masih dalam ambang fiskal yang aman. Kenaikan suku bunga tidak bisa dilakukan secara drastis. Karena itu penyerapan likuiditas harus dilakukan melalui non-interest bearing instrument. Salah satu alternatifnya adalah meningkatkan giro wajib minimum (GWM). Penggunaan GWM dapat menghindarkan terjadinya kenaikan suku bunga SBI dan obligasi pemerintah. Pembengkakan defisit otoritas moneter dan otoritas fiskal dapat dihindari. Akan tetapi, peningkatan GWM dapat menyebabkan hilangnya potensi pendapatan yang seharusnya diterima oleh perbankan dari penempatan di SBI. GWM juga akan meningkatkan cost of fund (COF) sehingga pada gilarannya akan menurunkan net interest margin. Untuk menghindari itu bank dapat menurunkan suku bunga tabungan maupun meningkatkan suku bunga kredit. Harap dicatat bahwa pengaruh GWM terhadap cost of fund tidaklah signifikan. Setiap peningkatan GWM sebesar satu persen hanya akan meningkatkan COF sebesar kurang lebih 0,07 persen saja. Jadi, dampaknya terhadap suku bunga bank akan sangat marjinal. Agar mengurangi dampak buruk terhadap keungan bank, GWM dapat dirancang menjadi suatu sistem insentif. Bank-bank yang telah melakukan fungsi intermediasi dengan baik, dan karenanya tidak memiliki likuiditas yang berlebihan sebaiknya tidak dikenai GWM tambahan. Tarif GWM – bila dikenakan secara progresif terhadap tingkat likuiditas – justru dapat mendorong bank untuk melakukan ekspansi kredit. Tarif GWM tambahan sebaiknya merupakan fungsi kebalikan dari LDR. Langkah administratif Salah satu masalah yang dihadapi saat ini adalah panic selling – dimana para pelaku pasar mencoba melepas aset dalam rupiah dan kemudian mengkorvesikannya ke dalam aset dalam valuta asing. Dengan cara ini, mereka berharap dapat menghindari kerugian lebih besar akibat adanya risiko terjadinya depresiasi lebih lanjut. Karena itu tekanan terhadap rupiah semakin besar sehingga justru memicu semakin besarnya laju depresiasi. Dalam situasi seperti ini, terjadi self –fulfilling prophecy: karena pelaku pasar memperkirakan akan terjadi depresiasi yang cukup besar, maka untuk menghindari itu mereka melakukan cut loss dan karena langkah ini dilakukan secara bersama-sama maka justru perkiraan tersebut menjadi kenyataan. Besarnya EMP selama enam bulan terakhir menunjukan hal tersebut. Besarnya tekanan pasar telah mengakibatkan sulitnya pengendalian nilai tukar. Page | 5 Inter CAFE LPPM IPB Mengingat hal tersebut, perlu dilakukan langkah-langkah yang dapat menghambat pelaku pasar melakukan konversi aset. Langkah administratif pada prinsipnya adalah untuk memperlambat proses konversi, walaupun tidak bisa menghilangkan terjadinya konversi. Peluang konversi masih harus dijaga agar tidak terlalu menghambat arus masuk modal jangka panjang. Selain itu, perlu ditegaskan kepada publik bahwa langkah administratif ini hanya diberlakukan secara sementara sampai keadaan menjadi normal kembali. Langkah administratif tersebut adalah sebagai berikut. Scrutiny atau inspeksi mendadak. Inspeksi mendadak dapat dilakukan terhadap bank-bank ditengarai melakukan transaksi valas secara besar-besaran dan menyimpang dari kebiasaannya atau ireguler. Inspektur dari BI sebaiknya mendatangi dealing room dari bank yang bersangkutan untuk meneliti setiap transaksi yang dilakukan. Cara ini akan dapat memisahkan secara jeli antara transaksi yang memiliki dan tidak memiliki underlying. Audit dan verifikasi transaksi. Inspeksi mendadak kalau dirasa tidak cukup dapat ditindaklanjuti dengan audit dan verifikasi setiap transaksi “yang mencurigakan”. Dengan verifikasi ini, terutama untuk transaksi yang besar, laju permintaan valas akan tersumbat oleh proses administrasi. Kewajiban pelaporan rencana transaksi sehari sebelumnya. Bank-bank yang menjadi perantara transasksi dapat dikenakan wajib lapor sehari sebelumnya untuk kategori transaksi dalam jumlah besar atau transaksi tersebut ditengarai tidak mempunyai underlying. Dengan cara ini, BI dapat memperkirakan kebutuhan penyediaan valas pada hari berikutnya sehingga memiliki waktu untuk melakukan langkah-langkah stabilisasi dan mengawasi bank yang melakukan transaksi besar. Pelaporan dari bank harus dalam bentuk tertulis yang mespesifikasi jumlah dan jenis valas, dan pemesan. Kewajiban meminta izin. Untuk transaksi besar, mungkin harus dikenakan peraturan permintaan izin melakukan transaksi. BI akan menganalisa apakah transaksi tersebut sesuai dengan kebutuhan atau memiliki underlying (misalkan untuk membayar impor). Jika BI yakin bahwa transaksi tersebut tidak terkait dengan spekulasi dan pencucian uang, sebaiknya transaksi tersebut tidak dihambat. Pembatasan transaksi Pembatasan transaksi mungkin harus dilakukan terutama untuk membatasi ruang gerak pelaku transaksi yang dicurigai tidak memiliki underlying atau bersifat spekulatif. Pembatasan transaksi meliputi tiga hal: limit transaksi, pengaturan waktu transaksi, dan penghentian sementara. Limit transaksi valuta asing. Batas maximum transaksi mungkin harus diturunkan menjadi hanya 100 ribu dolar saja. Pembatasan ini bila dilakukan bersamaan dengan langkah administratif akan meningkatkan volume paper work yang harus dilakukan Page | 6 Inter CAFE LPPM IPB oleh pegawai bank. Pada gilirannya hal ini akan memperlambat laju permintaan valuta asing. Pengaturan waktu transaksi. Agar BI dapat mengatur strategi intervensi secara lebih leluasa, perlu adanya pengaturan waktu transaksi. Transaksi “besar” sebaiknya hanya dibatasi dalam sesi tengah hari saja. Transaksi kecil bisa dilakukan sepanjang hari. Dengan cara ini, BI bisa menyesuaikan ritme intervensi berdasarkan tekanan pasar pada setiap sesi. Penghentian sementara (suspend). Bilamana terjadi depresiasi yang berlebihan dalam satu hari (misalkan 3 persen), penghentian transaksi sementara mungkin harus dilakukan. Cara seperti ini pernah secara efektif dilaksanakan oleh bank sentral Filipina pada krisis 1997-98. Penghentian transaksi akan mengurangi tekanan terhadap rupiah dan memberi kesempatan pada pelaku pasar dan otoritas moneter untuk mengevaluasi mengapa tekanan permintaan mendadak begitu besar. Penghentian ini dapat juga dilakukan secara terbatas yaitu terhadap pihak-pihak yang paling aktif melakukan transaksi. 4. ASEAN currency sebagai alternatif jangka panjang Ide mata uang bersama ASEAN telah banyak dilontarkan --salah satunya oleh mantan PM Mahathir Mohamad-- menyusul terjadinya krisis keuangan yang menyebabkan krisis ekonomi berkepanjangan sejak Juli 1997. Sebagaimana telah kita ketahui bersama, mata uang negara-negara ASEAN --juga Korea Selatan dan Hongkong-- mengalami goncangan hebat menyusul diberlakukannya kurs mata uang mengambang terhadap Bath Thailand mulai 2 Juli 1997, yang menyeret negara-negara tersebut ke dalam krisis ekonomi sampai saat ini. Tulisan ini secara singkat akan mencoba mengulas tentang kemungkinan pembentukan mata uang bersama ASEAN beserta hal-hal yang terkait dengannya. Apa itu Mata Uang Bersama ? Secara umum dunia mengenal dua (kutub) sistem mata uang, yaitu sistem mata uang mengambang (floating exchange rates) dan sistem mata uang tetap (fixed exchange rates), beserta varian-variannya. Sistem floating exchange rates membiarkan nilai kurs mata uang bergerak berdasarkan keinginan „pasar“. Di dalam sistem seperti ini, ada kecenderungan nilai mata uang akan bergerak bebas (volatile) yang seringkali berada di luar koridor fundamental ekonomi negara yang bersangkutan (lihat misalnya Rose, 1994). Disamping itu, sistem ini cenderung menjadi sumber terjadinya goncangan ekonomi (shocks), dan bukan menjadi instrumen untuk menghilangkan goncangan. Tidak heran jika sistem ini sering dituding „rawan“ Page | 7 Inter CAFE LPPM IPB terhadap serangan para spekulan valas, khususnya jika diterapkan pada negara-negara yang masuk ke dalam kategori small-open economy sebagaimana negara-negara ASEAN. Sebaliknya dalam sistem fixed exchange rates nilai kurs mata uang dipatok pada ukuran tertentu. Sistem ini setidaknya memiliki tiga varian, yaitu : 1) Currency board system (CBS), yang mematok kurs mata uang terhadap valuta asing tertentu --misalnya terhadap dollar Amerika (USD)-- dengan nilai yang tetap. Argentina merupakan contoh negara yang menerapkan system ini dan mengalami kegagalan dengan ditandai oleh krisis ekonomi berkepanjangan serta krisis politik di penghujung tahun 2001. 2) Dollarization, yaitu menggunakan mata uang negara lain sebagai pengganti mata uang lokal sebagaimana dilakukan oleh beberapa negara bekas Yugoslavia (yang menggunakan mata uang Deutschmark) atau juga Kosovo dan Montenegro yang menggunakan Euro. 3) Kesatuan Moneter, yaitu pembentukan mata uang bersama oleh sekelompok negara sebagaimana Euro bagi negara-negara EU. Jadi mata uang bersama (selanjutnya MUB) tidak lain adalah salah satu varian dari penggunaan sistem mata uang tetap atau fixed exchange rates. Penggunaan MUB memiliki beberapa keuntungan diantaranya adalah terjaminnya stabilitas ekonomi makro serta pertumbuhan ekonomi, sebagaimana dikemukakan oleh Romano Prodi pada upacara peluncuran Euro 1 Januari 2002 lalu. Mata uang adalah ibarat bahasa dalam ekonomi. Penggunaan bahasa yang sama akan mempermudah proses komunikasi. Penggunaan MUB secara teoritis akan mening-katkan volume perdagangan dan investasi sesama negara anggota, karena adanya penurunan biaya transaksi (transaction cost) serta hilangnya fluktuasi (volatility) nilai tukar diantara sesama anggota. Hilangnya fluktuasi nilai tukar juga akan mengurangi tingkat ketidakpastian (uncertainty) yang pada gilirannya akan meningkatkan investasi serta pertumbuhan ekonomi secara umum (lihat misalnya Barro (2001) dan Kenen and Rodrick (1986)). Namun demikian sistem ini juga memiliki kelemahan, diantaranya adalah hilangnya identitas nasional serta berkurangnya „kebebasan“ masing-masing anggota dalam menerapkan kebijakan moneternya. Dengan diberlakukannya MUB, maka mata uang masing-masing anggota tidak lagi berlaku sebagaimana dialami oleh Deutschmark, Gulden, Franc, Lira serta mata uang eropa lainnya. Disamping itu sistem ini juga mensyaratkan penerapan kebijakan moneter secara bersama-sama, yang berarti menghilangkan kebebasan masing-masing anggota. Page | 8 Inter CAFE LPPM IPB Prospek Mata Uang Bersama ASEAN Sisi positif penggunaan MUB sebagaimana diuraikan di atas akan bisa dicapai jika beberapa prasyarat sebagaimana diungkapkan oleh Masson dan Taylor (1993) berikut terpenuhi, yaitu: 1. Tingginya mobilitas factor produksi (tenaga kerja dan kapital). Dalam kondisi mobilitas factor produksi yang tinggi, maka pergeseran fungsi permintaan dalam satu negara tidak akan banyak berpengaruh ke kurs mata uang. Negara-negara dengan penciri demikian layak (cocok) menerapkan mata uang bersama. 2. Tingginya fleksibilitas upah dan harga (wage/price flexibility) di dalam masing-masing negara (anggota). Fleksibilitas upah dan harga dalam hal ini bisa dipandang sebagai cerminan dari fleksibilitas nilai tukar. 3. Tingginya keterbukaan dan ketergantungan ekonomi sesama negara anggota. Penurunan biaya transaksi hanya akan terjadi jika volume perdagangan diantara sesama negara anggota cukup tinggi. Dengan demikian keterbukaan dan saling ketergantungan merupakan faktor yang sangat krusial. 4. Tingginya diversifikasi indusitri dan portfolio. Derajad diversifikasi industri dan portfolio --yang biasanya bisa dilihat dari struktur produksi suatu negara-- akan menjadi faktor kunci dalam meredan guncangan ekonomi. Semakin tinggi derajad diversifikasi suatu negara atau kawasan, makan daya tahan terhadap guncangan juga akan semakin kuat. Dari keempat prasyarat diatas, setidaknya negara-negara ASEAN memiliki beberapa point positif yang bisa dikemukakan. Pertama, beberapa studi mencatat tingginya tingkat mobilitas kapital dan tenaga kerja jika dibandingkan dengan EU pada saat perjanjian Maastricht (lihat misalnya Moon, Rhee dan Yoon (2000)). Kedua, volume perdagangan sesama negara anggota ASEAN juga cukup tinggi (sekitar 25% dari total perdagangan), meskipun masih lebih kecil dari EU (40%) (lihat Bayoumi dan Mauro, 1999). Faktor-faktor positif merupakan daya dorong bagi terbentuknya MUB bagi negara-negara ASEAN. Disamping sisi positif tersebut, masih banyak pula sisi negatif yang bisa menghambat proses terbentuknya mata uang bersama ASEAN, diantaranya (i) tingginya kesenjangan ekonomi sesama anggota ASEAN, (ii) masih lemahnya sektor keuangan dan perbankan di banyak negara anggota, (iii) serta kurangnya political precondition bagi terbentuknya suatu mata uang bersama. Tingginya kesenjangan antar anggota ASEAN setidaknya bisa dilihat dari pendapatan perkapita masing-masing anggota. Singapura sebagai negara yang paling maju, memiliki pendapatan per kapita sekitar 40 kali lipat dibanding Indonesia serta 250 kali lipat Page | 9 Inter CAFE LPPM IPB dibandingkan Myanmar. Dilihat dari kesiapan sektor keuangan dan perbankan, barangkali hanya Singapura yang paling siap. Berkaca dari kasus Euro sebagaimana tercermin dalam perjanjian Maastricht, negara-negara EU disyaratkan agar mencapai kekonvergenan dalam prosentase utang terhadap PDB, prosentase defisit terhadap PDB, tingkat inflasi serta suku bunga jangka panjang. Jika dilihat dari indikator-indikator tersebut, keragaman diantara negara-negara ASEAN masih cukup besar. Sebagai contoh misalnya, rasio hutang terhadap PDB untuk Indonesia sekitar 90%, Philippine sekitar 70%, sedangkan Malaysia dan Thailand berkisar antara 30 - 35% (lihat Sabhasri dan Manakit (2001)). Laju inflasi serta tingkat suku bunga juga cukup beragam, khususnya pasca Krisis Asia Juli 1997. Suku bunga perbankan di Indonesia dan Philippine berada pada tingkat sekitar 15%, sementara Malaysia dan Thailand sekitar 3-3,5 %. Tingkat suku bunga di Saingapura dan Brunei lebih rendah lagi, sekitar 1,3 – 1,7% per tahun. Laju inflasi di Indonesia pada tahun 1998, 1999 dan 2000 masing-masing sebesar 57,6%, 20,5% dan 3,8%. Pada saat yang sama laju inflasi di Malaysia dan Philippine berkisar sekitar 5 – 6%. Laju di Singapura dan Thailand bahkan hanya berkisar 1%. Berkaca pada banyaknya persoalan yang ada saat ini, nampaknya harapan bagi terbentuknya mata uang bersama ASEAN belum akan terwujud dalam waktu dekat. Meskipun demikian, gagasan pembentukan mata uang bersama sangat layak dikemukakan.Disamping terpenuhinya prasyarat sebagaimana dikemukakan oleh Masson dan Taylor (1993), kecenderungan global memang mendorong kerjasama regional yang lebih erat agar bisa bersaing dengan kawasan lainnya. Untuk itu, diperlukan kajian-kajian khusus serta diskusi-diskusi yang lebih mendalam dalam bidang-bidang yang terkait. Jika EU memerlukan waktu lebih dari 30 tahun untuk merealisasikan Euro, mampukah ASEAN merealisasikan mata uang bersama dalam kurun waktu yang sama, atau bahkan lebih cepat? Hal ini tentunya menjadi PR bagi pemimpin-pemimpin ASEAN. 5. Penutup Berdasarkan analisis di atas bisa kita simpulkan bahwa kebijakan moneter yang selama ini diterapkan untuk mengatasi gejolak nilai tukar tidaklah efektif. Intervensi valas dan peningkatan suku bunga tidak berhasil mengatasi keadaan. Hal ini diperparah oleh kenyataan bahwa kita menghadapi krisis kepercayaan. Oleh karena itu, perlu dilakukan langkah-langkah non-konvensional terutama dengan tujuan untuk memperlambat dan menghambat tekanan rupiah, mengurangi panik, dan meningkatkan efektifitas instrumen konvensional. Langkah-langkah tersebut meliputi: (1) penyerapan likuiditas, (2) langkah administratif dan (3) pembatasan transaksi. Page | 10 Inter CAFE LPPM IPB Karena masalah depresiasi sangat terkait dengan kondisi fundamental dan kredibilitas pemerintah, maka harus ada perbaikan-perbaikan yang bersifat jangka panjang. Perbaikan terutama meliputi good governance di lingkungan kabinet dan BI, perbaikan iklim investasi dan pengembangan ekspor. Selain itu, di masa yang akan datang, mungkin ASEAN currency bisa menjadi alternatif. Page | 11