LAPORAN PENELITIAN ABORTUS PROVOCATUS PADA KORBAN PERKOSAAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA (Suatu Kajian Normatif) Oleh: Subaidah Ratna Juita, S.H., M.H. B. Rini Heryanti, S.H., M.H Proyek Penelitian ini Dibiayai oleh Universitas Semarang dengan Surat Perjanjian Nomor: 89/ USM. H8/L/ 2010 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG SEMARANG Agustus, 2010 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Abortus provocatus yang dikenal di Indonesia dengan istilah aborsi berasal dari bahasa latin yang berarti pengguguran kandungan karena kesengajaan. Abortus Provocatus merupakan salah satu dari berbagai macam jenis abortus. Dalam kamus Latin - Indonesia sendiri, abortus diartikan sebagai wiladah sebelum waktunya atau keguguran. Pengertian aborsi atau Abortus Provocatus adalah penghentian atau pengeluaran hasil kehamilan dari rahim sebelum waktunya.1 Dengan kata lain “pengeluaran” itu dimaksudkan bahwa keluarnya janin disengaja dengan campur tangan manusia, baik melalui cara mekanik, obat atau cara lainnya. Abortus provokatus atau yang lebih popular di Indonesia disebut aborsi adalah suatu kejahatan dengan fenomena gunung es. Kasus-kasus pengguguran kandungan banyak ditemukan di masyarakat, namun yang diproses di tingkat Pengadilan hanya sedikit sekali, antara lain disebabkan sulitnya para penegak hukum dalam mengumpulkan bukti-bukti yang dapat menyeret pelaku abortus provokatus ke meja hijau.2 Realitas seperti ini dapat 1 Kusmaryanto, SCJ., Kontroversi Aborsi. (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. 2002), halaman 203. 2 Suryono Ekotama, dkk., Abortus Provokatus Bagi Korban Perkosaan Perspektif Viktimologi, Kriminologi dan Hukum Pidana, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2001), halaman 18. 2 dipahami, karena aborsi tidak memberikan dampak yang nyata sebagaimana tindak pidana pembunuhan yang secara riil dapat diketahui akibatnya. Aborsi baik proses dan hasilnya lebih bersifat pribadi, sehingga sulit dideteksi. Dampak kasus Kehamilan Tidak Dikehendaki (KTD) khususnya korban perkosaan, pada dasarnya membawa akibat buruk, selain korban mengalami trauma yang panjang bahkan seumur hidup, dia tidak dapat melanjutkan pendidikan, tidak dapat bersosialisasi dengan lingkungannya. Begitu juga jika anaknya lahir, masyarakat tidak siap menerima kehadirannya bahkan mendapat stigma sebagai anak haram yang tidak boleh bergaul dengan anak-anak lain di lingkungannya serta menerima perlakuan negatif lainnya. Sementara jika digugurkan (aborsi), selain tidak ada tempat pelayanan yang aman dan secara hukum dianggap sebagai tindakan kriminal, pelanggaran norma agama, susila dan sosial. Kasus Kehamilan Tidak Dikehendaki (KTD) yang berakhir dengan aborsi tidak aman, hanyalah salah satu kasus yang terjadi di Indonesia. Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia menemukan, pertahun rata-rata terjadi sekitar 2 juta kasus aborsi tidak aman. 3 Sementara WHO memperkirakan 10-50% dari kasus aborsi tidak aman berakhir dengan kematian ibu.4 Angka aborsi tak aman (unsafe abortion) memang tergolong tinggi, diperkirakan setiap tahun di dunia terjadi sekitar 20 juta aborsi tak 3 Budi utomo dkk., Angka Aborsi dan Aspek Psiko-sosial di Indonesia: Studi di 10 kota Besar dan 6 kabupaten. (Jakarta: Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia, 2002), halaman 7. 4 WHO dalam Gulardi Wignyosastro. Masalah Kesehatan Perempuan Akibat Reproduksi. Makalah Seminar Penguatan Hak Reproduksi Perempuan, diselenggarakan PP Fatayat NU, pada 1 September 2001. 3 aman, 26% dari jumlah tersebut tergolong legal dan lebih 70.000 aborsi tak aman di negara berkembang berakhir dengan kematian ibu.5 Muhajir Darwin dari Pusat Penelitian Kependudukan UGM dalam Round Table Discussion, tentang Aborsi, Usia Kawin dan Pengaruhnya terhadap Fertilisasi yang diadakan BKKBN, mengatakan: “... ketika hukum tidak memberi tempat bagi pelayanan aborsi yang aman, maka para perempuan yang mengalami kehamilan tanpa dikehendaki terpaksa pergi ke bidan atau dukun aborsi yang tak kompeten. Akibatnya, komplikasi kesehatan atau bahkan kematian mengancamnya. 6 Selanjutnya menurut Muhajir Darwin, bahwa angka kematian maternal di Indoonesia adalah tertinggi di Asia yaitu sekitar 11% di antaranya karena pertolongan aborsi yang tidak aman.7 Membahas persoalan aborsi sudah bukan merupakan rahasia umum dan hal yang tabu untuk dibicarakan. Hal ini dikarenakan aborsi yang terjadi dewasa ini sudah menjadi hal yang aktual dan peristiwanya dapat terjadi dimana-mana dan bisa saja dilakukan oleh berbagai kalangan, baik itu dilakukan secara legal ataupun ilegal. Dalam memandang bagaimana kedudukan hukum aborsi di Indonesia sangat perlu dilihat kembali apa yang 5 A.Widanti S., “Aborsi dan Perlindungan Hak Reproduksi Perempuan”, Makalah, disampaikan dalam Diskusi Publik “Aborsi dan Perlindungan Hak Reproduksi Perempuan”, diselenggarakan atas Kerjasama antara Magister Hukum Kesehatan dan PKBI Wilayah Jawa Tengan, Semarang, 30 Januari 2010, halaman 4. 6 Titik Triwulan Tutik, “Analisis Hukum Islam terhadap Praktik Aborsi bagi Kehamilan Tidak Diharapkan (KTD) Akibat Perkosaan menurut UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan”, (http:// www. legalitas.org), diakses 8 Juni 2010. 7 Data tahun 1995 menunjukkan dari 600.000 perempuan meninggal karena kehamilan dan persalinan. Dari angka itu 66.000 perempuan meninggal karena aborsi. Sementara Zarfel Tafal dari FKM UI dan aktif di PKBI mencatat dari pengalaman praktiknya di sebuah klinik di Jakarta ada kecenderungan permintaan aborsi semakin meningkat. Tahun 1999 sekitar 100.000 perempuan, namun tahun 2000-an sudah menjadi 200.000-an lebih di 8 klinik. Ibid. 4 menjadi tujuan dari perbuatan aborsi tersebut. Sejauh ini, persoalan aborsi pada umumnya dianggap oleh sebagian besar masyarakat sebagai tindak pidana. Namun, dalam hukum positif di Indonesia, tindakan aborsi pada sejumlah kasus tertentu dapat dibenarkan apabila merupakan aborsi provokatus medikalis. Sedangkan aborsi yang digeneralisasi menjadi suatu tindak pidana lebih dikenal sebagai aborsi provokatus criminalis. Selama puluhan tahun aborsi telah menjadi permasalahan bagi perempuan karena menyangkut berbagai aspek kehidupan baik itu moral, hukum, politik, dan agama. Kemungkinan terbesar timbulnya permasalahan tersebut berakar dari konflik keyakinan bahwa fetus memiliki hak untuk hidup dan para perempuan memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri, dalam hal ini melakukan pengguguran kandungan. Perkembangan konflik yang tidak kunjung mendapatkan titik temu mengakibatkan munculnya penganut paham pro-life yang berupaya mempertahankan kehidupan dan pro-choice yang mendukung supaya perempuan mempunyai pilihan untuk menentukan sikap atas tubuhnya dalam hal ini aborsi.8 Mencuatnya permasalahan aborsi di Indonesia, agaknya perlu mendapatkan perhatian dari berbagai pihak yang memberikan alternatif solusi yang tepat. Pertentangan moral dan agama merupakan masalah terbesar yang sampai sekarang masih mempersulit adanya kesepakatan tentang kebijakan penanggulangan masalah aborsi. Oleh karena itu, aborsi yang ilegal dan tidak sesuai dengan cara-cara medis masih tetap berjalan dan tetap merupakan masalah besar yang masih mengancam. Adanya 8 Loebby Loqman, Jurnal Obsetri dan Ginekologi Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2003), halaman 232. 5 pertentangan baik secara moral dan kemasyarakatan dengan secara agama dan hukum membuat aborsi menjadi suatu permasalahan yang mengandung kontoroversi. Dari sisi moral dan kemasyarakatan, sulit untuk membiarkan seorang ibu yang harus merawat kehamilan yang tidak diinginkan terutama karena hasil perkosaan, hasil hubungan seks komersial (dengan pekerja seks komersial) maupun ibu yang mengetahui bahwa janin yang dikandungnya mempunyai cacat fisik yang berat. Di samping itu, banyak perempuan merasa mempunyai hak atas mengontrol tubuhnya sendiri. Di sisi lain, dari segi ajaran agama, agama manapun tidak akan memperbolehkan manusia melakukan tindakan penghentian kehamilan dengan alasan apapun. Istilah aborsi dalam hukum pidana di Indonesia dikenal dengan tindak pidana “Pengguguran Kandungan”. Dan secara umum pengaturan mengenai aborsi tersebut terdapat dalam Pasal 299, 346, 347, 348, dan 349 KUHP. Pasalpasal ini secara jelas dan tegas mengatur larangan melakukan aborsi dengan alasan apapun, termasuk aborsi karena alasan darurat (terpaksa) yaitu sebagai akibat perkosaan, baik bagi pelaku ataupun yang membantu melakukan aborsi. Bahkan dengan hukuman yang dilipatgandakan, yang membantu melakukan adalah ahli medis. Ketentuan ini terasa memberatkan terutama bagi tim medis yang melaksanakan aborsi dengan alasan medis. Sebelum dilakukan revisi terhadap undang-undang kesehatan masih banyak perdebatan mengenai aborsi yang dilakukan oleh korban perkosaan termasuk tenaga medis yang membantu melakukan aborsi tersebut. Hal itu dikarenakan tidak terdapat pasal yang secara jelas mengatur mengenai aborsi 6 terhadap korban perkosaan. Selama ini banyak pandangan yang menafsirkan bahwa aborsi terhadap korban perkosaan disamakan dengan indikasi medis sehingga dapat dilakukan karena gangguan psikis terhadap ibu juga dapat mengancam nyawa sang ibu. Namum dipihak lain ada juga yang memandang bahwa aborsi terhadap korban perkosaan adalah aborsi kriminalis karena memang tidak membahayakan nyawa sang ibu, dan dalam undang-undang kesehatan yang lama, yaitu UU No. 23 Tahun 1992 tidak termuat secara jelas di dalam pasalnya. Keberadaan praktik aborsi kembali mendapat perhatian dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, dan sebagai pengganti UU No. 23 Tahun 1992. Dengan dikeluarkannya revisi undang-undang kesehatan maka mengenai legalisasi aborsi terhadap korban perkosaan telah termuat dengan jelas di dalam Pasal 75 ayat 2 UU No.36 Tahun 2009 tentang kesehatan. Meski demikian UU ini menimbulkan kontroversi diberbagai lapisan masyarakat karena adanya pasal-pasal yang mengatur mengenai aborsi dalam praktek medis mengandung berbagai reaksi. Pasal 75 dan 76 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009, kembali menegaskan bahwa pada dasarnya undang-undang melarang adanya praktik aborsi (Pasal 75 ayat 1). Meski demikian larangan tersebut dikecualikan apabila ada: a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau 7 b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan (Pasal 75 ayat 2). Terlepas dari hukum formal yang mengatur, aborsi merupakan fenomena yang terkait erat dengan nilai-nilai sosial budaya agama yang hidup dalam masyarakat. Dalam konteks Indonesia aborsi lebih condong sebagai aib sosial daripada manifestasi kehendak bebas tiap individu. Aborsi merupakan masalah yang sarat dengan nilai-nilai sosial, budaya, agama, dan politik. Aturan normatif legal formal menolak aborsi meski masih ada ruang untuk hal-hal khusus. Aturan normatif sosial-hudaya-agama yang "informal" pada umumnya juga menolak aborsi, meski terdapat variasi dan kelonggaran di sana-sini. Persoalan aborsi penting untuk dibahas karena fenomena ini berkaitan erat dengan persoalan kesehatan reproduksi perempuan. Untuk kasus Indonesia, seperti diketahui, salah satu penyebab tingginya angka kematian ibu (MMR) adalah karena praktek aborsi terutama bagi ibu pada usia belia sebagai akibat salah pergaulan ataupun belum siap memiliki anak, selain persoalan pelayanan kesehatan yang tidak memadai dan faktor struktural lain yang lebih luas. Selain keterkaitan dengan nilai-nilai sosial, politik, budaya, dan agama, secara lebih spesifik fenomena aborsi tersebut terkait erat dengan isu gender. Berdasar latar belakang penelitian sebagaimana tersebut di atas, satu persoalan yang perlu pengaturan mendapat jawaban dan penjelasan dan perlindungan hukum terhadap tindakan yaitu tentang aborsi (abortus provocatus) khususnya yang dilakukan oleh korban perkosaan menurut Hukum 8 Pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. B. Perumusan Masalah Permasalahan merupakan suatu pernyataan yang menunjukkan adanya jarak antara harapan dengan kenyataan, antara rencana dengan pelaksanaan dan antara das sollen dengan das sein. Untuk memudahkan pembahasan, maka permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaturan Hukum Pidana tentang abortus provocatus yang dilakukan oleh korban perkosaan? 2. Bagaimana perlindungan hukum pidana terhadap korban perkosaan yang melakukan abortus provocatus? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui perumusan, dan pengaturan hukum pidana tentang abortus provocatus yang dilakukan oleh korban perkosaan. 2. Untuk mengetahui bagaimana hukum pidana melalui peraturan perundang- undangan yang ada memberikan perlindungan terhadap korban perkosaan yang melakukan abortus provocatus 9 D. Kontribusi Penelitian Kontribusi yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Secara Teoritis: Secara teoritis dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan hukum pidana materiil, khususnya yang terkait dengan abortus provocatus pada korban perkosaan. 2. Secara Praktis: Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan tidak hanya kepada para praktisi hukum yang memiliki kewenangan dalam penegakkan hukum, tetapi juga kepada para tenaga medis yang memiliki kewenangan bertindak sesuai dengan sumpah jabatan dan etika profesi yang diembannya khususnya yang berkaitan dengan masalah abortus provocatus, dan bagi pihak-pihak yang berkepentingan lainnya yang ingin mengetahui lebih dalam mengenai pokok permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, sehingga perempuan sebagai korban perkosaan tidak lagi menjadi korban secara terstruktur (second victimization). E. Sistematika Penulisan Sistimatika ini dimaksudkan agar tidak terjadi penyimpangan dari judul dan lebih mudah dalam menelaah uraian yang disajikan secara keseluruhan. Penulisan laporan penelitian disusun dengan sistimatika sebagai berikut : 10 BAB I : PENDAHULUAN Dalam Bab I sebagai Pendahuluan, terdiri dari lima sub bab yang membahas mengenai latar belakang penelitian, perumusan masalah sebagai batasan masalah dalam melakukan penelitian. Selanjutnya akan diuraikan tujuan penelitian, kontribusi penelitian dan diakhiri dengan sistimatika penulisan. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan pustaka menguraikan landasan teori untuk menganalisa permasalahan yang akan diteliti. Tinjauan pustaka ini berisi kerangka pemikiran atau teori-teori dan asas-asas hukum yang berkaitan dengan pokok permasalahan. Uraian pertama pada bab ini berupa tinjauan umum tentang aborsi. Uraian berikutnya akan menjelaskan tinjauan tentang regulasi aborsi dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia. Dan uraian ketiga sebagai akhir dari tinjauan pustaka akan diuraikan mengenai tinjauan tentang perkosaan sebagai tindak pidana yang menjadikan perempuan sebagai korban. BAB III : METODE PENELITIAN Metode penelitian menjelaskan mengenai metode yang diuraikan dalam penelitian ini yaitu metode pendekatan, spesifikasi penelitian, metode pengumpulan data dan analisa data. 11 BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Sebagai bagian dari penyajian data dan analisis terhadap data yang diperoleh dari hasil penelitian, yakni data mengenai “Abortus Provocatus pada Korban Perkosaan dalam Perspektif Hukum Pidana”. Adapun dalam menganalisa data tersebut, penulis melakukan suatu kajian yang bersifat normatif berdasarkan ketentuan hukum pidana positif yang berlaku di Indonesia, yakni Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku sebagai hukum pidana umum (lex generale), dan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang berlaku sebagi hukum pidana khusus (lex speciale) terkait dengan Abortus Provocatus yang dilakukan oleh korban perkosaan . Adapun dalam Bab ini data-data hasil penelitian yang akan disajikan dan dianalisis menyangkut datadata mengenai : 1. Pengaturan Hukum Pidana tentang Abortus Provocatus yang dilakukan oleh korban perkosaan. 2. Perlindungan hukum pidana terhadap korban perkosaan yang melakukan abortus provocatus. Data yang disajikan berupa data sekunder. Dengan demikian, gambaran mengenai permasalahan dalam penelitian ini diharapkan telah menjadi jelas. 12 Bab V : PENUTUP Berdasarkan proses pembahasan dan penganalisaan permasalahan yang diuraikan dalam Bab IV mengenai Abortus Provocatus pada Korban Perkosaan dalam Perspektif Hukum Pidana , maka Bab V ini menjadi bagian akhir dari penyusunan laporan penelitian ini, sehingga pada bagian ini dapat ditegaskan beberapa simpulan dan saran sebagai penutup. 13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Aborsi 1. Pengertian Aborsi Dalam pengertian awam istilah aborsi adalah pengguguran kandungan, keluarnya hasil konsepsi atau pembuahan sebelum waktunya. Abortion dalam kamus Inggris Indonesia diterjemahkan dengan pengguguran kandungan.9 Dalam Blaks’s Law Dictionary, kata abortion yang diterjemahkan menjadi aborsi dalam bahasa Indonesia mengandung arti: “The spontaneous or articially induced expulsion of an embrio or featus. As used in illegal context refers to induced abortion. 10 Dengan demikian, menurut Blaks’s Law Dictionary, keguguran dengan keluarnya embrio atau fetus tidak semata-mata karena terjadi secara alamiah, akan tetapi juga disengaja atau terjadi karena adanya campur tangan (provokasi) manusia.11 9 Echols, dan Hassan Shaddily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia,1992), halaman 2. 10 Henry Campbell Black’s, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, St. Paul Min West Publising Co, halaman 1. 11 Terjemahan abortion menurut Black’s Law Dictionary, diambil dari Suryono Ekototama, dkk., Abortus Prookatus bagi Korban Perkosaan Perspektif iktimologi, Kriminologi dan Hukum Pidana, (Yogyakarta: Uniersitas Admajaya, 2001), halaman 31. 14 Ensiklopedi Indonesia memberikan penjelasan bahwa abortus diartikan sebagai pengakhiran kehamilan sebelum masa gestasi 28 minggu atau sebelum janin mencapai berat 1.000 gram.12 Untuk lebih memperjelas maka berikut ini akan penulis kemukakan defenisi para ahli tentang aborsi, yaitu:13 a. Eastman: Aborsi adalah keadaan terputusnya suatu kehamilan dimana fetus belum sanggup berdiri sendiri di luar uterus. Belum sanggup diartikan apabila fetus itu beratnya terletak antara 400 – 1000 gr atau kehamilan kurang dari 28 minggu; b. Jeffcoat: Aborsi yaitu pengeluaran dari hasil konsepsi sebelum 28 minggu, yaitu fetus belum viable by llaous; c. Holmer: Aborsi yaitu terputusnya kehamilan sebelum minggu ke-16 dimana plasentasi belum selesai. Dalam pengertian medis, aborsi adalah terhentinya kehamilan dengan kematian dan pengeluaran janin pada usia kurang dari 20 minggu dengan berat janin kurang dari 500 gram, yaitu sebelum janin dapat hidup di luar kandungan secara mandiri. 14 Menggugurkan kandungan atau dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah ”aborsi”, berarti pengeluaran hasil konsepsi (pertemuan sel telur dan sel sperma) sebelum janin dapat hidup 12 Ensiklopedi Indonesia, Abortus (Jakarta: Ikhtiar Baru an Hoeve, 1998), I : 22. Rustam Mochtar, Sinopsis Obsetetri, (Jakarta: EGC, 1998), halaman 209. 14 Lilien Eka Chandra, “Tanpa Indikasi Medis Ibu, Aborsi sama dengan Kriminal”, Lifestyle, Mei 2006, halaman 10. 13 15 diluar kandungan. Dalam kaitanya dengan hal ini, Suryono Ekotama, dkk mengemukakan pendapat sebagai berikut: Dari segi medis, tidak ada batasan pasti kapan kandungan bisa digugurkan. Kandungan perempuan bisa digugurkan kapan saja sepanjang ada indikasi medis untuk menggugurkn kandungan itu. Misalnya jika diketahui anak yang akan lahir mengalami cacat berat atau si ibu menderita penyakit jantung yang akan sangat berbahaya sekali untuk keselamatan jiwanya pada saat melahirkan nanti. Sekalipun janin itu sudah berusia lima bulan atau enam bulan, pertimbangan medis masih membolehkan dilakukan abortus provocatus.15 Abortus provocatus yang dikenal di Indonesia dengan istilah aborsi berasal dari bahasa latin yang berarti pengguguran kandungan karena kesengajaan. Abortus Provocatus merupakan salah satu dari berbagai macam jenis abortus. Dalam kamus Latin - Indonesia sendiri, abortus diartikan sebagai wiladah sebelum waktunya atau keguguran. Pengertian aborsi atau Abortus Provocatus adalah penghentian atau pengeluaran hasil kehamilan dari rahim sebelum waktunya.16 Dengan kata lain “pengeluaran” itu dimaksudkan bahwa keluarnya janin disengaja dengan campur tangan manusia, baik melalui cara mekanik, obat atau cara lainnya. Demikian antara lain pengertian aborsi atau pengguguran kandungan, baik pengertian menurut ilmu kedokteran, pengertian umum, maupun pengertian menurut ilmu hukum, bahwa pengguguran kandungan 15 Suryono Ekototama, dkk.,Op.Cit., halaman 35. Kusmaryanto, SCJ., Kontroversi Aborsi. (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. 2002), halaman 203. 16 16 itu adalah suatu perbuatan yang sengaja dilakukan atau dilakukan sebelum waktunya. 2. Jenis-jenis Aborsi Proses abortus dapat berlangsung dengan cara: 1. Spontan/alamiah (terjadi secara alami, tanpa tindakan apapun); 2. Buatan/sengaja (aborsi yang dilakukan secara sengaja); 3. Terapeutik/medis (aborsi yang dilakukan atas indikasi medis karena terdapatnya suatu permasalahan/komplikasi).17 Abortus Abortus spontaneus Abortus provokatus Abortus provocatus medicinalis Abortus provocatus criminalis Gbr. 1. Kategorisasi Abortus Abortus secara medis dapat dibagi menjadi dua macam: 17 Lilien Eka Chandra, Loc.Cit. 17 1. Abortus spontaneous, adalah aborsi yang terjadi dengan tidak didahului faktor-faktor mekanis ataupun medicinalis semata-mata disebabkan oleh faktor alamiah. Rustam Mochtar dalam Muhdiono menyebutkan macam-macam aborsi spontan: 18 a. Abortus completes, (keguguran lengkap) artinya seluruh hasil konsepsi dikeluarkan sehingga rongga rahim kosong. b. Abortus inkopletus, (keguguran bersisa) artinya hanya ada sebagian dari hasil konsepsi yang dikeluarkan yang tertinggal adalah deci dua dan plasenta c. Abortus iminen, yaitu keguguran yang membakat dan akan terjadi dalam hal ini keluarnya fetus masih dapat dicegah dengan memberikan obat-obat hormonal dan anti pasmodica d. Missed abortion, keadan di mana janin sudah mati tetapi tetap berada dalam rahim dan tidak dikeluarkan selama dua bulan atau lebih. e. Abortus habitulis atau keguguran berulang adalah keadaan dimana penderita mengalami keguguran berturut-turut 3 kali atau lebih. f. Abortus infeksious dan abortus septic, adalah abortus yang disertai infeksi genital. 18 Rustam Muchtar dalam Muhdiono, “Aborsi Menurut Hukum Islam (Perbandingan Madzab Syafi’i dan Hanafi)”, Skripsi, (Yogyakarta: UIN, 2002), halaman 211. 18 Abortus completes Abortus infeksious dan abortus septic Abortus inkopletus Abortus Spontaneus Abortus habitulis Abortus iminen Missed abortion Gbr.2. Macam-macam abortus spontaneus Kehilangan janin tidak disengaja biasanya terjadi pada kehamilan usia muda (satu sampai dengan tiga bulan). Ini dapat terjadi karena penyakit antara lain: demam; panas tinggi; ginjal TBC, Sipilis atau karena kesalahan genetik. Pada aborsi sepontan tidak jarang janin keluar dalam keadaan utuh.19 Kadangkala kehamilan seorang wanita dapat gugur dengan sendirinya tanpa adanya suatu tindakan ataupun perbuatan yang disengaja. Hal ini sering disebut dengan “keguguran” atau aborsi spontan. Ini sering terjadi pada ibu-ibu yang masih hamil muda, dikarenakan suatu akibat yang tidak disengaja dan diinginkan atupun karena suatu penyakit yang dideritanya. Dalam usia yang sangat muda keguguran dapatsaja terjadi, misalnya karena aktivitas ibu yang mengandung terlalu berlebihan, 19 Yayasan Pengembangan Pedesaan, Kesehatan Reproduksi, cet. 1 (Malang: Danar Wijaya, 1997), halaman 141. 19 stress berat, berolahraga yang membahayakan keselamatan janin seperti bersepeda dan sebagainya. 2. Abortus provokatus, adalah aborsi yang disengaja baik dengan memakai obat-obatan maupun alat-alat. Aborsi provocatus merupakan istilah lain yang secara resmi dipakai dalam kalangan kedokteran dan hukum. Ini adalah suatu proses pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi kesempatan untuk bertumbuh. Menurut Fact Abortion, Info Kit on Women’s Health oleh Institute For Social, Studies anda Action, Maret 1991, dalam istilah kesehatan” aborsi didefenisikan sebagai penghentian kehamilan setelah tertanamnya telur (ovum) yang telah dibuahi rahim (uterus), sebelum janin (fetus) mencapai 20 minggu.”20 Di Indonesia belum ada batasan resmi mengenai pengguguran kandungan (aborsi). ”aborsi didefenisikan sebagai terjadinya keguguran janin; melakukan aborsi sebagai melakukan pengguguran (dengan sengaja karena tidak mengiginkan bakal bayi yang dikandung itu)”21 Ada beberapa istilah untuk menyebut keluarnya konsepsi atau pembuahan sebelum usia kehamilan 20 minggu yang biasa disebut aborsi (abortion), di antaranya: Abortion criminalis, yaitu pengguguran kandungan secara bertentangan dengan hukum; Abortion 20 http//:www.lbh-apik.or.id/fact-32.htm, Aborsi Dan Hak Atas Pelayanan Kesehatan, diakses Tanggal 22 April 2010. 21 Js, Badudu, dan Sultan Mohamad Zair, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), halaman 15. 20 Eugenic, yaitu pengguguran kandungan untuk mendapat keturunan yang baik; Abortion induced/ provoked/ provocatus, yaitu pengguguran kandungan karena disengaja; Abortion Natural, yaitu pengguguran kandungan secara alamiah; Abortion Spontaneous, yaitu pengguguran kandungan secara tidak disengaja; dan Abortion Therapeutic, yaitu pengguguran kandungan dengan tujuan untuk menjaga kesehatan sang ibu.22 Aborsi yang dilakukan secara sengaja (abortus provocatus) ini terbagi menjadi dua: a. Abortus provocatus medicinalis, adalah aborsi yang dilakukan oleh dokter atas dasar indikasi medis, yaitu apabila tindakan aborsi tidak diambil akan membahayakan jiwa ibu. Abortus provokatus medisinalis/artificialis/therapeuticus adalah aborsi yang dilakukan dengan disertai indikasi medis. Di Indonesia yang dimaksud dengan indikasi medis adalah demi menyelamatkan nyawa ibu. Adapun syarat-syarat yang ditentukan sebagai indikasi medis adalah: 1. Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukannya (yaitu seorang dokter ahli kebidanan dan penyakit kandungan) sesuai dengan tanggung jawab profesi. 2. Harus meminta pertimbangan tim ahli (ahli medis lain, agama, hukum, psikologi). 22 Lukman Hakim Nainggolan, “Aspek Hukum terhadap Abortus Provocatus dalam Perundang-undangan di Indonesia”, Jurnal Equality, Vol.11 No. 2, Agustus 2006,halaman 96-97. 21 3. Harus ada persetujuan tertulis dari penderita atau suaminya atau keluarga terdekat. 4. Dilakukan di sarana kesehatan yang memiliki tenaga/peralatan yang memadai, yang ditunjuk oleh pemerintah. 5. Prosedur tidak dirahasiakan. 6. Dokumen medik harus lengkap.23 Dalam praktek di dunia kedokteran, abortus provocatus medicinalis juga dapat dilakukan jika anak yang akan lahir diperkirakan mengalami cacat berat dan harapan hidupnya tipis, misalnya janin menderita kelainan ectopia kordis (janin akan dilahirkan tanpa dinding dada, sehingga terlihat jantungnya), rakiskisis (janin akan dilahirkan dengan tulang punggung terbuka tanpa ditutupi kulit kulit maupun anensefalus (janin akan dilahirkan tanpa otak besar). 24 b. Abortus provocatus criminalis, adalah aborsi yang terjadi oleh karena tindakan-tindakan yang tidak legal atau tidak berdasarkan indikasi medis, sebagai contoh aborsi yang dilakukan dalam rangka melenyapkan janin sebagai akibat hubungan seksual di luar perkawinan. Secara umum pengertian abortus provokatus kriminalis adalah suatu kelahiran dini sebelum bayi itu pada waktunya dapat 23 Aspek Hukum dan Medikolegal Abortus Povocatus Criminalis, http://situs.kerespro.info, diakses tanggal 12 Apil 2010. 24 Njowito Hamdani, Ilmu Kedokteran Kehakiman, Edisi Kedua, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama: 1992), halaman 215. 22 hidup sendiri di luar kandungan. Pada umumnya janin yang keluar itu sudah tidak bernyawa lagi. 25 Sedangkan secara yuridis abortus provokatus kriminalis adalah setiap penghentian kehamilan sebelum hasil konsepsi dilahirkan, tanpa memperhitungkan umur bayi dalam kandungan dan janin dilahirkan dalam keadaan mati atau hidup. Bertolak pada pengertian di atas, dapatlah diketahui bahwa pada abortus provocatus ini ada unsur kesengajaan. Artinya, suatu perbuatan atau tindakan yang dilakukan agar kandungan lahir sebelum tiba waktunya. Menurut kebiasaan maka bayi dalam kandungan seorang wanita akan lahir setelah jangka waktu 9 bulan 10 hari. Hanya dalam hal tertentu saja seorang bayi dalam kandungan dapat lahir pada saat usia kandungan baru mencapai 7 bulan atupun 8 bulan. Dalam hal ini perbuatan aborsi ini biasanya dilakukan sebelum kandungan berusia 7 bulan. Menurut pengertian kedokteran yang dikemukakan oleh Lilien Eka Chandra, aborsi (baik keguguran maupun pengguguran kandungan) berarti terhentinya kehamilan yang terjadi di antara saat tertanamnya sel telur yang sudah (blastosit) dirahim sampai kehamilan 28 minggu. Batas 28 minggu dihitung sejak haid terakhir itu diambil karena 25 Sri Setyowati, Masalah Abortus Kriminalis di Indonesia dan Hubungannya dengan Keluarga Berencana Ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta: TP, 2002), halaman 99 dan 22. 23 sebelum 28 minggu, janin belum dapat hidup (viable di luar rahim).26 Frekuensi terjadinya aborsi di Indonesia sangat sulit dihitung secara akurat karena banyaknya kasus aborsi buatan/sengaja yang tidak dilaporkan. Berdasarkan perkiraan dari BKBN, ada sekitar 2 juta kasus aborsi yang terjadi setiap tahunnya. Pada penelitian di Amerika Serikat terdapat 1,2 – 1,6 juta aborsi yang disengaja dalam 10 tahun terakhir dan merupakan pilihan wanita Amerika untuk kehamilan yang tidak diinginkan. Secara keseluruhan, di seluruh dunia, aborsi adalah penyebab kematian yang paling utama dibandingkan kanker maupun penyakit jantung.27 3. Metode Aborsi Tindakan aborsi mengandung risiko yang cukup tinggi, apabila dilakukan tidak sesuai standar profesi medis. Berikut ini berbagai cara melakukan aborsi yang sering dilakukan: (1) Manipulasi fisik, yaitu dengan cara melakukan pijatan pada rahim agar janin terlepas dari rahim. Biasanya akan terasa sakit sekali karena pijatan yang dilakukan dipaksakan dan berbahaya bagi oragan dalam tubuh; 26 27 Lilien Eka Chandra, Loc.Cit. http://www.rajawana.com/artikel.html/227-aborsi.pdf.htm, diakses 1 Maret 2010. 24 (2) Menggunakan berbagai ramuan dengan tujuan panas pada rahim. Ramuan tersebut seperti nanas muda yang dicampur dengan merica atau obatobatan keras lainnya; (3) Menggunakan alat bantu tradisional yang tidak steril yang dapat mengakibatkan infeksi. Tindakan ini juga membahayakan organ dalam tubuh.28 Gbr. 2 Beberapa metode aborsi (Sumber: Utomo, B., 2000) Adapun alasan mereka melakukan tindakan aborsi tanpa rekomendasi medis adalah: (1) Ingin terus melanjutkan sekolah atau kuliah. Perlu dipikirkan oleh pihak sekolah bagaimana supaya tetap dipertahankan sekolah meski sedang hamil kalau terlanjur;(2) Belum siap menghadapi orang tua atau memalukan orang tua dan keluarga. Hal ini juga perlu legawa orang tua karena psikologis anak sangat besar; (3) Malu pada lingkungan sosial dan sekitarnya; (4) Belum siap baik mental maupun ekonomi untuk menikah dan mempunyai anak; (5) Adanya aturan dari kantor bahwa tidak boleh hamil atau menikah sebelum waktu tertentu karena terikat kontrak; dan 28 Ibid. 25 (6) Tidak senang pasangannya karena korban perkosaan. 29 Aborsi yang dilakukan secara sembarangan sangat membahayakan kesehatan dan keselamatan ibu hamil bahkan sampai berakibat pada kematian. Perdarahan yang terus menerus serta infeksi yang terjadi setelah tindakan aborsi merupakan sebab utama kematian wanita yang melakukan aborsi. Selain itu aborsi berdampak pada kondisi psikologis dan mental seseorang dengan adanya perasaan bersalah yang menghantui mereka. Perasaan berdosa dan ketakutan merupakan tanda gangguan psikologis. Beberapa akibat yang dapat timbul akibat perbuatan aborsi, yaitu: (1) Pendarahan sampai menimbulkan shock dan gangguan neurologis/syaraf di kemudian hari, akibat lanjut perdarahan adalah kematian; (2) Infeksi alat reproduksi yang dilakukan secara tidak steril. Akibat dari tindakan ini adalah kemungkinan remaja mengalami kemandulan di kemudian hari setelah menikah; (3) Risiko terjadinya ruptur uterus (robek rahim) besar dan penipisan dinding rahim akibat kuretasi. Akibatnya dapat juga kemandulan karena rahim yang robek harus diangkat seluruhnya; (4) Terjadinya fistula genital traumatis, yaitu timbulnya suatu saluran yang secara normal tidak ada yaitu saluran antara genital dan saluran kencing atau saluran pencernaan.30 29 30 Ibid. Ibid. 26 Resiko komplikasi atau kematian setelah aborsi legal sangat kecil dibandingkan dengan aborsi ilegal yang dilakukan oleh tenaga yang tak terlatih. Beberapa penyebab utama resiko tersebut antara lain: Pertama, sepsis yang disebabkan oleh aborsi yang tidak lengkap, sebagain atau seluruh produk pembuahan masih tertahan dalam rahim. Jika infeksi ini tidak segera ditangani akan terjadi infeksi yang menyeluruh sehingga menimbulkan aborsi septik, yang merupakan komplikasi aborsi ilegal yang fatal. Kedua, perdarahan. Hal ini sebebakan oleh aborsi yang tidak lengkap, atau cedera organ panggul atau usus. Ketiga, efek samping telur) yang menyebabkan kemandulan.31 Gbr. 3. Bebarapa faktor penyebab kematian Ibu (sbr., Out Look, 1999) Menurut Sofwan Dahwan dalam Muhdiono, ada beberapa metode abortus provokatus kriminalis yang dapat dilakukan sendiri atau dilakukan oleh orang lain, dengan cara sebagai berikut: 31 Erica Royston dan Sue Arnstrong (Eds), Preventing Maternal Deaths, Terj. RF Maulany, 1994, Pencegahan Kematian Ibu Hamil, (Jakarta: Binaputra Aksara), halaman 122-123. 27 1. Menggunakan kekerasan umum (general violence). yaitu dengan melakukan keggiatan fisik yang berlebihan , misalnya lari-lari. 2. Menggunakan kekerasan lokal (local violence), yaitu dilakukan tanpa menggunakan alat, misalnya memijat perut bagian bawah; dengan menggunakan alat medis , misalnya tang kuret; menggunakan alat-alat non medis, misalnya kawat; menggunakan zat-zat kimia, misalnya larutan zink chloride. 3. Menggunakan obet-obatan obortifisien, seperti obat emetika dan obat omenagoga atau obat pelancar haid. 4. Menggunakan obat-obat echolica atau perangsang otot-otot rahim, seperti kinina.32 Ditinjau dari segi usia kehamilan, abortus provocatus medicinalis dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu:33 1. Aborsi pada triwulan pertama sampai dengan 12 minggu. Pada kehamilan sampai batas 7 minggu pengeluaran isi rahim dilakukan dengan kuret tajam, agar ovum kecil tidak tertinggal, maka ovum uteri dikerok seluruhnya. Apabila kehamilan melebihi 6 sampai 7 minggu digunakan kuret tumpul sebesar yang dapat dimasukkan. Setelah hasil konsepsi sebagian besar lepas dari dinding uterus maka hasil tersebut dapat dikeluarkan dengan cunam abortuis dan kemudian dilakukan kerokan hati-hati dengan kuret tajam yang cukup besar, apabila diperlukan dimasukkan tampon kedalam uteri dan vagina yang akan dikeluarkan esok harinya. 32 Muhdiono, “Aborsi Menurut Hukum Islam (Perbandingan Madzab Syafi’i dan Hanafi)”, Skripsi, Yogyakarta, 2002, halaman 23. 33 Yayasan Pengembangan Pedesaan, Kesehatan…, Op. Cit., halaman 142-143. 28 2. Abortus pada kehamilan 12 sampai 16 minggu. Aborsi dilakukan dengan menggunakan perpaduan antara dilatasi, kuret dan pengisapan. Bahaya dari cara ini adalah terbentuknya luka-luka yang menimbulkan pendarahan. 3. Abortus pada triwulan kedua (Kehamilan sampai 16 minggu), dilakukan dengan menimbulkan kontraksi-kontraksi uterus supaya janin dan plasenta dapat dilahirkan secara spontan. Cara yang dilakukan adalah dengan melakukan esantasi (pembiusan lokal). 4. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Abortus Provocatus Meski demikian, secara kritis bisa ditarik generalisasai bahwa aborsi dilakukan tidak hanya dikarenakan kehamilan di luar perkawinan (kehamilan pranikah, dilakukan gadis), tetapi juga terjadi di dalam perkawinan, oleh perempuan yang berstatus istri. Baik abortus dikarenakan kehamilan di luar perkawinan ataupun dalam perkawinan keduanya memiliki beberapa alasan yang berbeda, dan keduanya merupakan fenomena terselubung yang cenderung ditutupi oleh pelakunya. Tabel 1 berikut memberikan gambaran beberapa alasan aborsi.34 Tabel. Jenis/Alasan Aborsi 34 Survei Demografi Kesehatan Indonesia 2003, Hartono Hadisaputro, “Aborsi dan Perlindungan Hak Reproduksi Perempuan”, Makalah, disampaikan dalam Diskusi Publik “Aborsi dan Perlindungan Hak Reproduksi Perempuan”, diselenggarakan atas Kerjasama antara Magister Hukum Kesehatan dan PKBI Wilayah Jawa Tengah, (Semarang, 30 Januari 2010), halaman 2. 29 Jenis/Alasan Melakukan Abortus Abortus Spontaneous % 25 Abortus Provokatus Terapikus Abortus Spontaneous Kriminalis Malu, takut Sudah memiliki anak, tidak ingin hamil lagi Belum ingin memiliki anak Disuruh suami 10 15 40 5 1 Abortus provocatus berkembang sangat pesat dalam masyarakat Indonesia, hal ini disebabkan banyaknya factor yang memaksa pelaku dalam masyarakat untuk melakukan hal tersebut. Pelaku merasa tidak mempunyai pilihan lain yang lebih baik selain melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan hukum dan moral yaitu melakukan aborsi. Berikut ini disebutkan beberapa faktor yang mendorong pelaku dalam melakukan tindakan abortus provocatus menurut Ekotama, yaitu: a) Kehamilan sebagai akibat hubungan kelamin di luar perkawinan. Pergaulan bebas dikalangan anak muda menyisakan satu problem yang cukup besar. Angka kehamilan di luar nikah meningakat tajam. Hal ini disebabkan karena anak muda Indonesia belum begitu mengenal arti pergaulan bebas yang aman, kesadaran yang amat rendah tentang kesehatan. Minimnya pengetahuan tentang reproduksi dan kontrasepsi maupun hilangnya jati diri akibat terlalu berhaluan bebas seperti negara-negara barat tanpa dasar yang kuat (sekedar tiru-tiru saja). Hamil di luar nikah jelas merupakan suatu aib bagi wanita yang bersangkutan, keluarganya maupun masyarakat pada umumnya. 30 Masyarakat tidak menghendaki kehadiran anak haram seperti itu di dunia. Akibat adanya tekanan psikis yang diderita wanita hamil maupun keluarganya, membuat mereka mengambil jalan pintas untuk menghilangkan sumber/penyebab aib tadi, yakni dengan cara menggugurkan kandungan. b) Alasan-alasan sosio ekonomis. Kondisi masyarakat yang miskin (jasmani maupun rohani) biasanya menimbulkan permasalahan yang cukup kompleks. Karena terhimpit kemiskinan itulah mereka tidak sempat memperhatikan hal-hal lain dalam kehidupan mereka yang bersifat sekunder, kecuali kebutuhan utamanya mencari nafkah. Banyak pasangan usia subur miskin kurang memperhatikan masalah-masalah reproduksi. Mereka tidak menyadari kalau usia subur juga menimbulkan problem lain tanpa alat-alat bukti kontrasepsi. Kehamilan yang terjadi kemudian tidak diinginkan oleh pasangan yang bersangkutan dan diusahakan untuk digugurkan dengan alasan mereka sudah tidak mampu lagi membiayai seandainya anggota mereka bertambah banyak. c) Alasan anak sudah cukup banyak. Alasan ini sebenarnya berkaitan juga dengan sosio-ekonomi di atas. Terlalu banyak anak sering kali memusingkan orang tua. Apalagi jika kondisi ekonomi keluarga mereka pas-pasan. Ada kalanya jika terlanjur hamil mereka sepakat untuk menggugurkan kandungannya dengan alasan sudah tidak mampu mengurusi anak yang sedemikian banyaknya. Dari pada si anak yang 31 akan dilahirkan nanti terlantar dan hanya menyusahkan keluarga maupun orang lain, lebih baik digugurkan saja. d) Alasan belum mampu punya anak. Banyak pasangan-pasangan muda yang tergesa-gesa menikah tanpa persiapan terlebih dahulu. Akibatnya, hidup mereka pas-pasan, hidip menumpang mertua, dsb. Padahal salah satu konsekuensi dari perkawinan adalah lahirnya anak. Lahirnya anak tentu saja akan memperberat tanggung jawab orang tua yang masih kerepotan mengurusinya hidupnya sendiri. Oleh karena itu, mereka biasanya mengadakan kesepakatan untuk tidak mempunyai anak terlebih dahulu dalam jangka waktu tertentu. Jika terlanjur hamil dan betul-betul tidak ada persiapan untuk menyambut kelahiran sang anak, mereka dapat menempuh jalan pintas dengan cara menggugurkan kandungannya. Harapannya, dengan hilangnya embrio/janin tersebut, dimasa-masa mendatang mereka tak akan terbebani oleh kehadiran anak yang tentu saja membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk merawatnya sampai besar dan menjadi orang. e) Kehamilan akibat perkosaan. Perkosaan adalah pemaksaan hubungan kelamin (persetubuhan) seorang pria kepada seorang wanita. Konsekuensi logis dari adanya perkosaan adalah terjadinya kehamilan. Kehamilan pada korban ini oleh seorang wanita korban perkosaan yang bersangkutan maupun keluarganya jelas tidak diinginkan. Pada kasus seperti ini, selain trauma pada perkosaan itu sendiri, korban perkosaan juga mengalami trauma terhadap kehamilan yang tidak diinginkan.hal 32 inilah yang menyebabkan si korban menolak keberadaan janin yang tumbuh di rahimnya. Janin dianggap sebagai objek mati, yang pantas dibuang karena membawa sial saja. Janin tidak diangap sebagai bakal manusia yang mempunyai hak-hak hidup. (Ekotama, 2001). Pengguguran kandungan yang terjadi dewasa ini lebih banyak didasarkan pada alasan sosiologis dibandingkan dengan alasan-alasan medis. Alasan-alasan sosiologis ini dilarang pidana dan termasuk perbuatan yaitu abortus provokatus kriminalis yang diancam hukuman pidana. Apabila dijabarkan, ada beberapa alasan yang digunakan oleh wanita dalam menggugurkan kandungannya baik legal maupun illegal yang disebabkan karena tidak menginginkan untuk meneruskan kehamilan sampai melahirkan. Alasan-alasan tersebut sebagaimana tulisan Dewi Novita dalam bukunya Aborsi menurut Petugas Kesehatan dan tulisan Yayah Chisbiyah, dkk, dalam bukunya Kehamilan yang tidak dikehendaki, sebagai berikut: 35 1. Alasan kesehatan, yaitu apabila ada indikasi vital yang terjadi pada masa kehamilan, apabila diteruskan akan mengancam dan membahayakan jiwa si Ibu dan indikasi medis non vital yang terjadi pada masa kehamilan dan berdasar perkiraan dokter, apabila diteruskan akan memperburuk kesehatan fisik dan psikologis ibu. Selain itu juga 35 Dewi Novita, Aborsi menurut Petugas Kesehatan (Yogyakarta: PPPK-UGM, 1997), halaman 16-20. Lihat juga dalam Yayah Chisbiyah, dkk, Kehamilan Yang Tidak Dikehendaki, (Yogyakarta: PPPK-UGM, 1997), halaman 47. 33 didasarkan pada alasan kesehatan janin uyaitu untuk menghindari kemungkina melahirkan bayi cacat fisik maupun mental, walaupun alasan ini belum bisa diterima sebagai dasar pertimbangan medis. 2. Alasan sosial, tidak seluruhnya kehamilan perempuan kehamilan yang dikehendaki, dikehendaki merupakan artinya ada kehamilan yang tidak dengan alasan anak sudah banyak, hamil diluar nikah sebagai akibat pergaulan bebas, hamil akibat perkosaan atau incest, perselingkuhan dan sebagainya. Perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak dikehendaki berusaha agar kehamilannya gugur baik melalui perantara medis (dokter) maupun abortir gelap meskipun dengan resiko tinggi. Hasil penelitian tentang kehamilan yang tidak dikehendaki didasarkan pada alasan-alasan melakukan aborsi dari alasan yang terkuat sampai terlemah yaitu: ingin terus melanjutkan sekolah atau kuliah, takut pada kemarahan orang tua, belum siap secara mental dan ekonomi untuk menikah dan mempunyai anak , malu pada lingkungan sosial bila ketahuan hamil sebelum menikah, tidak mencintai pacar yang menghamili, hubungan seks terjadi karena iseng, tidak tahu status anak nantinya karena kehamilan terjadi akibat perkosaan apalagi apabila pemerkosa tidak dikenal. 3. Alasan ekonomi, peningkatan kesempatan kereja terutama bagi kaum perempuan juga dianggap faktor yang akan mempengaruhi peningkatan aborsi, perkembangan ekonomi menuju ekonomi industri melalui ekonomi manufacur akan secara cepat meningkatkan jumlah 34 perempuan muda diserap sebagai tenaga kerja, juga mengikuti pendidikan lebih tinggi. Konsekuensinya penundaan perkawinan terjadi, padahal secara biologis mereka sudah beranjak pada masa seksual aktif. Hubungan seks di luar nikah akan meningkat, terutama karena dipicu oleh sarana hioburan, media film yang menawarkan kehidupan seks secara vulgar. Aborsi juga dianggap sebagai pilihan yang tepat karena adanya kontrak kerja untuk tidak hamil selama dua tahun pertama kerja dan apabila tidak aborsi resikonya adalah dipecat dari pekerjaan. Alasan ketidaksiapan ekonomi juga seringkali menjadi pertimbangan bagi perempuan berkeluarga yang tidak menghendaki kehamilannya untuk melakukan aborsi, seperti kegagalan KB, pendapatan rendah yang tidak mencukupi untuk menanggung biaya hidup. 4. Alasan keadaan darurat (memaksa), kehamilan akibat perkosaan. Kehamilan yang terjadi sebagai akibat pemaksaan (perkosaan) hubungan kelamin (persetubuhan) seorang laki-laki terhadap perempuan. Adapun alasan yang terakhir ini, yaitu alasan keadaan darurat (memaksa) berupa kehamilan akibat perkosaan sebagai alasan untuk melakukan aborsi adalah merupakan fokus dan objek dalam penelitian ini, dan akan dianalisa lebih lanjut dalam bab hasil penelitian dan pembahasan. 35 B. Regulasi Abortus Provocatus dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia Pengaturan tentang abortus provocatus terdapat dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku sebagai hukum pidana umum (Lex Generale), dan juga dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menggantikan Undang-Undang No. 23 Tahun 1992, dan berlaku sebagai hukum pidana khusus (Lex Speciale). Berikut ini adalah pengaturan tentang abortus provocatus yang terdapat dalam kedua peraturan perundang-undangan tersebut. 1. Regulasi Abortus Provocatus dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) tindakan pengguguran kandungan yang disengaja (abortus provocatus) diatur dalam Buku kedua Bab XIV tentang Kejahatan Kesusilaan khususnya Pasal 299, dan Bab XIX Pasal 346 sampai dengan Pasal 349, dan digolongkan ke dalam kejahatan terhadap nyawa. Berikut ini adalah uraian tentang pengaturan abortus provocatus yang terdapat dalam pasal-pasal tersebut: 36 − Bab XIV KUHP: 36 Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1990), halaman 148-149. 36 Pasal 229 (1). Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruhnya supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan, bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda palig banyak tiga ribu rupiah. (2). Jika yang bersalah, berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia seorang dokter, bidan atau juru obat, pidananya dapat ditambah sepertiga. (3). Jika yang bersalah, melakukan kejahatan tersebut, dalam menjalankan pencarian, maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencarian itu. Dari rumusan Pasal 299 KUHP tersebut, dapat diuraikan unsurunsur tindak pidana adalah sebagai berikut : 1. Setiap orang yang sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruhnya supaya diobati dengan harapan dari pengobatan tersebut kehamilannya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak tiga ribu rupiah. 37 2. Seseorang yang sengaja menjadikan perbuatan mengobati seorang wanita atau menyuruhnya supaya diobati dengan harapan dari pengobatan tersebut kehamilannya dapat digugurkan dengan mencari keuntungan dari perbuatan tersebut atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, maka pidananya dapat ditambah sepertiga. 3. Jika perbuatan mengobati seorang wanita atau menyuruhnya supaya diobati dengan harapan dari pengobatan tersebut kehamilannya dapat digugurkan itu dilakukan oleh seorang dokter, bidan atau juru obat maka hak untuk berpraktek dapat dicabut. − Bab XIV KUHP: a. Pasal 346 KUHP : “Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun”. b. Pasal 347 KUHP : (1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. 38 (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. c. Pasal 348 KUHP: (1) Barang siapa dengan sengaja menggunakan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. d. Pasal 349 KUHP : “Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun membantu melakukan salah satu kejahatan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat dditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan”. Dari rumusan pasal-pasal tersebut di atas dapat diuraikan unsurunsur tindak pidana adalah sebagai berikut : 1. Seorang wanita hamil yang sengaja melakukan abortus atau ia menyuruh orang lain, diancam hukuman empat tahun penjara. 39 2. Seseorang yang sengaja melakukan abortus terhadap ibu hamil, dengan tanpa persetujuan ibu hamil tersebut, diancam hukuman penjara 12 tahun, dan jika ibu hamil tersebut mati, diancam 15 tahun penjara. 3. Jika dengan persetujuan ibu hamil, maka diancam hukuman 5,5 tahun penjara dan bila ibu hamilnya mati diancam hukuman 7 tahun penjara. 4. Jika yang melakukan dan atau membantu melakukan abortus tersebut seorang dokter, bidan atau juru obat (tenaga kesehatan) ancaman hukumannya ditambah sepertiganya dan hak untuk berpraktek dapat dicabut. P.A.F. Lamintang memberi penjelasan terhadap pasal-pasal tersebut sebagai berikut:37 a. Pengguguran anak dari kandungan hanyalah dapat dihukum, jika anak yang berada dalam kandungan itu selama dilakukan usaha pengguguran berada dalam keadaan hidup. Undang-undang tidak mengenal anggapan hukum yang dapat memberi kesimpulan bahwa anak yang berada di dalam kandungan itu berada dalam keadaan hidup ataupun mempunyai kemungkinan tetap hidup. (H.R. 1 Nopember 1897. W.7038). b. Untuk pengguguran yang dapat dihukum, disyaratkan bahwa anak yang berada dalam kandungan itu selama dilakukan usaha pengguguran kandungan berada dalam keadaan hidup. Tidak perlu bahwa anak itu menjadi mati karena usaha pengguguran tersebut. Kenyataan bahwa anak itu dilahirkan dalam keadaan selamat, tidaklah menghapus bahwa kejahatan itu selesai dilakukan. Undang-undang tidak membedakan 37 P.A.F. Lamintang, Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, 1990), halaman 206. 40 antara berkurang atau lebih lancarnya pertumbuhan anak yang hidup didalam kandungan melainkan menetapkan pemisahan dari tubuh si ibu yang tidak pada waktunya sebagai perbuatan yang dapat dihukum. (H.R. 12 April 1898. W. 7113). c. Disyaratkan bahwa anak yang berada di dalam kandungan itu hidup dan si pelaku mempunyai kesengajaan untuk menggugurkan anak yang berada di dalam keadaan hidup itu. Dianggap bahwa kesengajaan itu ada, apabila selama proses kelahiran anak itu berada dalam keadaan hidup dan si pelaku diliputi oleh anggapan bahwa demikianlah halnya. (H.R. 29 Juli 1907. W. 8580). d. Alat-alat pembuktian yang disebutkan oleh hakim didalam putusannya haruslah dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa wanita itu hamil dan mengandung anak yang hidup dan bahwa tertuduh mempunyai maksud untuk dengan sengaja menyebabkan gugur atau meninggalnya anak tersebut. (H.R. 20 Desember 1943, 1994 No. 232). Dari ketentuan Pasal 346-349 KUHP dapat diketahui, bahwa aborsi menurut konstruksi yuridis peraturan perundang-undangan di Indonesia yang terdapat dalam KUHP adalah tindakan menggugurkan atau mematikan kandungan yang dilakukan oleh seorang wanita atau orang yang disuruh melakukan itu. Wanita dalam hal ini adalah wanita hamil yang atas kehendaknya ingin menggugurkan kandungannya, sedangkan tindakan yang menurut KUHP dapat disuruh lakukan untuk itu adalah dokter, bidan atau juru obat. 2. Regulasi Abortus Provocatus dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan 41 Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menggantikan undang-undang kesehatan sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992, maka permasalahan aborsi memperoleh legitimasi dan penegasan. Secara eksplisit, dalam undang-undang ini terdapat pasal-pasal yang mengatur mengenai aborsi, meskipun dalam praktek medis mengandung berbagai reaksi dan menimbulkan kontroversi diberbagai lapisan masyarakat. Meskipun, undang-undang melarang praktik aborsi, tetapi dalam keadaan tertentu terdapat kebolehan. Ketentuan pengaturan aborsi dalam UndangUndang Nomor 36 Tahun 2009 dituangkan dalam Pasal 75, 76 , 77, dan Pasal 194 . Berikut ini adalah uraian lengkap mengenai pengaturan aborsi yang terdapat dalam pasal-pasal tersebut: − Pasal 75: (1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi. (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan: a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. (3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang. 42 (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis kedaruratan medis dan perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. − Pasal 76: Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan: a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu; b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri; c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan; d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri. − Pasal 77: “Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan”. − Pasal 194 “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”. 43 Penjelasan Pasal 75 ayat (3) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, menyatakan: Yang dimaksud dengan “konselor” dalam ketentuan ini adalah setiap orang yang telah memiliki sertifikat sebagai konselor melalui pendidikan dan pelatihan. Yang dapat menjadi konselor adalah dokter, psikolog, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan setiap orang yang mempunyai minat dan memiliki keterampilan untuk itu.38 Selanjutnya penjelasan Pasal 77 memberikan penjelasan sebagai berikut: Yang dimaksud dengan praktik aborsi yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab adalah aborsi yang dilakukan dengan paksaan dan tanpa persetujuan perempuan yang bersangkutan, yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang tidak profesional, tanpa mengikuti standar profesi dan pelayanan yang berlaku, diskriminatif, atau lebih mengutamakan imbalan materi dari pada indikasi medis.39 Pengguguran kandungan yang disengaja dengan melanggar berbagai ketentuan hukum (abortus provocatus criminalis) yang terdapat dalam KUHP menganut prinsip “illegal tanpa kecuali” dinilai sangat memberatkan paramedis dalam melakukan tugasnya. Pasal tentang aborsi yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juga bertentangan dengan Pasal 75 ayat (2) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, di mana pada prinsipnya tindakan pengguguran kandungan atau aborsi dilarang (Pasal 75 ayat (1)), namun Larangan tersebut dapat dikecualikan berdasarkan: 38 39 Penjelasan Pasal 75 ayat (3) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Penjelasan Pasal 77 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 44 a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. Menurut Kusumo yang dikutip dalam buku Ekotama, menyatakan disini berlaku asas lex posteriori derogate legi priori. Asas ini beranggapan bahwa jika diundangkan peraturan baru dengan tidak mencabut peraturan lama yang mengatur materi yang sama dan keduanya saling bertentangan satu sama lain, maka peraturan yang baru ini mengalahkan atau melumpuhkan peraturan yang lama.40 Dengan demikian, Pasal 75 ayat (2) Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang mengatur tentang abortus provocatus medicinalis tetap dapat berlaku di Indonesia meskipun sebenarnya aturan itu bertentangan dengan rumusan abortus provocatus criminalis menurut KUHP. C. Tinjauan tentang Tindak Pidana Perkosaan 1. Perumusan dan Pengaturan Tindak Pidana Perkosaan 40 Suryono Ekotama, dkk., Op.Cit., halaman 77. 45 Salah satu kejahatan terhadap kesusilaan yang ada pada akhirakhir ini, banyak mendapat sorotan, adalah tindak pidana perkosaan. Masalah perkosaan telah menjadi bahan pembicaraan, baik dikalangan para ahli hukum, maupun di dalam masyarakat, atau di lingkungan para wanita. Perhatian masyarakat mungkin, disebabkan karena tindak kejahatan tersebut dilakukan dengan cara-cara yang keji, di luar perikemanusiaan dan tidak berdiri sendiri. Tindak pidana perkosaan tersebut, tidak hanya ditujukan pada remaja atau wanita dewasa saja, melainkan juga ditujukan terhadap anak-anak. Tindak pidana perkosaan walaupun sudah sejak lama ada, namun hingga sekarang ini masih menimbulkan pro dan kontra atas pengertiannya, serta cara penanggulangannya, terutama di negara-negara maju. Sementara itu, kasus-kasus perkosaan akhir-akhir ini telah menimbulkan reaksi sebagian masyarakat bahkan ketidakpuasan terhadap sanksi pidana yang dijatuhkan. Dalam kata “perkosaan” tentu terbayang kengerian, dan begitu kata perkosaan didengar, seketika itu pula timbul rasa jijik dan benci disamping kasihan. Benci kepada ulah pelaku dan kasihan kepada nasib derita korban. Ada beberapa aspek yang menyebabkan perkosaan itu memiliki arti yang mengerikan. Aspek-aspek tersebut bisa ditinjau dari segi yuridis formal, segi teologis maupun dari segi sosiologis. Ketiga aspek tersebut 46 sangat mempengaruhi persepsi (pandangan) masyarakat terhadap perbuatan yang dinamakan “perkosaan” itu. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat) dan bukan negara yang berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Demikian bunyi butir pertama dari tuju sistem pemerintahan negara yang terdapat dalam penjelasan umum UUD 1945. Konsekuensi logis dari adanya prinsip di atas adalah segala sesuatu di muka bumi Indonesia harus di atur oleh seperangkat peraturan perundang-undangan. Tujuannya sebenarnya baik, yakni demi terwujudnya ketertiban umum untuk menuju masyarakat yang sejahtera lahir dan batin. Peraturan perundang-undangan mengatur mengenai hak dan kewajiban individu sebagai warga negara. Kewajiban adalah segala sesuatu yang harus dilakukan oleh setiap individu dalam kehidupan seharihari dan kedudukannya sebagai warga negara. Adapun kewajiban utama warga negara di sini adalah mentaati peraturan perundang-undangan yang ada, tidak melakukan pelanggaran atas larangan-larangan yang ditetapkan oleh negara. Dalam kaitannya dengan hak warga negara, peraturan perundang-undangan memberikan berbagai batasan atau pelaksanaan hakhak pribadi warga negara agar tidak melanggar hak-hak pribadi orang lain. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan biasanya berisi aturanaturan yang bersifat umum. larangan-larangan maupun aturan-aturan yang bersifat anjuran, yang harus ditaati oleh setiap penduduk Indonesia. 47 Kitab Undang-Undang Hukum pidana (KUHP) termasuk salah satu peraturan perundang-undangan yang bersifat imperatif, yaitu isinya berupa larangan-larangan yang bersifat umum dan siapapun yang melanggar aturan-aturan tersebut diancam dengan sanksi pidana yang tegas dan nyata. Yakni berupa pidana badan (pidana penjara) dan dalam hal ini adalah pelaku perbuatan pidana perkosaan. Rumusan perbuatan pidana perkosaan terdapat dalam Buku ke II Bab XIV KUHP tentang kejahatan terhadap kesusilaan, khususnya pasal 285. Adapun rumusan selengkapnya pasal 285 KUHP adalah sebagai berikut : “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.41 Menurut Arif Gosita yang seringkali menjadi korban perkosaan adalah wanita-wanita lemah mental, fisik, dan sosial dalam arti luassud . 42 Yang dimaksud dengan lemah mental adalah kurang mampu berpikir, membuat penilaian, pemilihan secara tepat dalam menghadapi persoalan tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan lemah fisik adalah kurang mampu melawan karena keadaan tubuhnya, tidak mempunyai keterampilan membela diri, tidak punya sarana melindungi diri, dan mempenyai kecenderungan tertentu yang dapat menyebabkan perkosaan. 41 42 Moeljatno, Kitab…., Op.Cit., halaman 105. Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1993), halaman 13. 48 Selanjutnya masih menurut Arif Gosita, korban perkosaan dapat dibagi dalam tiga bagian, yaitu: 1. Korban murni : a. Korban pekosaan yang belum pernah berhubungan (kenal) dengan para pelaku. b. Korban perkosaan yang berhubungan dengan pelaku. pernah 2. Korban ganda, yaitu korban perkosaan yang mengalami penderitaan selama perkosaan, penderitaan mental, fisik, dan sosial. 3. Korban semu, yaitu korban perkosaan yang secara materil menghendaki perbuatan itu dilakukan terhadap dirinya, baik karena keinginannya sendiri maupun karena suruhan orang lain.43 2. Unsur-unsur Tindak Pidana Perkosaan Berdasarkan rumusan Pasal 285 KUHP tentang tindak pidana perkosaan seperti tersebut di atas, Abdul Wahid membagi secara rinci mengenai unsur-unsur obyektif dari perbuatan pidana perkosaan sebagai berikut : 1). 2). 3). 4). 5). 6). Barang siapa ; Dengan kekerasan ; Dengan ancaman kekerasan ; Memaksa ; Seorang wanita (di luar perkawinan) ; dan Bersetubuh.44 Berikut ini adalah uraian tentang unsur-unsur tindak pidana perkosaan: Ad. 1. Barang siapa 43 Ibid. Abdul Wahid, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan), (Bandung : Refika Aditama,2001), halaman 109. 44 49 Menurut Abdul wahid, “Yang dimaksud dengan barang siapa atau subjek di sini adalah orang atau manusia”.45 Jadi, unsur ini merupakan unsur utama perbuatan pidana perkosaan yang menunjuk pada subyek kejahatan atau pelaku kejahatan perkosaan. perkosaan umumnya adalah pria. Namun tidak setiap pria dapat dituduh melakukan perbuatan pidana perkosaan terhadap seorang wanita. Oleh karena itu pengertian barang siapa di sini adalah pria yang melakukan perbuatan yang memenuhi unsur-unsur pasal 285 KUHP, yakni dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan. Hanya pria dengan kualifikasi seperti tersebut di atas, dapat dituduh sebagai pemerkosa. Ad. 2. Dengan Kekerasan Menurut Abdul Wahid, “Yang dimaksud dengan kekerasan adalah kekuatan fisik atau perbuatan fisik yang menyebabkan orang lain secara fisik tidak berdaya, tidak mampu melakukan perlawanan atau pembelaan”.46 Undang-undang dalam hal ini KUHP tidak memberikan pengertian secara terperinci mengenai apa yang dimaksud dengan “kekerasan”. Para hakim dalam prakteknya untuk memberikan pengertian tentang kekerasan merujuk pada pengertian yang tercantum dalam pasal 89 45 46 Ibid., halaman 15. Ibid., halaman 110. 50 KUHP. Di dalam pasal 89 KUHP, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kekerasan adalah “membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan”.47 Meskipun demikian, kekerasan bisa dilakukan dengan cara menganiaya korban dengan tangan kosong, seperti membenturkan kepala korban ke lantai atau tembok, menampar pipi korban atau meninju (memukul) bagian tubuh korban yang lain untuk meniadakan pemberontakan dari korban. Bisa juga dengan mengikat kaki korban sebelum diperkosa atau melukai korban dengan senjata tajam. Ad. 3. Dengan Ancaman Kekerasan Abdul Wahid berpendapat bahwa, “Ancaman kekerasan adalah serangan psikis yang menyebabkan orang menjadi ketakutan sehingga tidak mampu melakukan pembelaan atau perlawanan atau kekerasan yang belum diwujudkan, tapi yang menyebabkan orang yang terkena tidak mempunyai pilihan selain mengikuti kehendak orang yang mengancam dengan kekerasan”.48 Mengenai unsur ini disyaratkan : a). Bahwa ancaman itu harus diungkapkan dalam suatu keadaan sedemikian rupa, sehingga dapat menimbulkan kesan pada orang yang 47 48 Moeljatno, Kitab…., Op. Cit., halaman 36. Abdul Wahid, Op.Cit., halaman 111. 51 diancam bahwa yang diancamkan itu benar-benar akan dapat merugikan kebebasan pribadinya. b). Bahwa maksud pelaku memang sengaja ditujukan untuk ancaman itu. Ancaman kekerasan biasanya ditujukan lewat kata-kata atau bahasa tubuh pelaku pemerkosaan. Misalnya pemerkosa mengeluarkan katakata “Diam Kamu”!, atau kalau melawan akan saya bunuh !” sambil melotot dan mengeluarlan sebilah pisau untuk menakut-nakuti korban. Ancaman seperti itu biasanya gampang meruntuhkan mental korban, sekalipun mungkin pelaku perkosaan hanya main gertak saja. Ad. 4. Memaksa Menurut Abdul Wahid, “Memaksa dalam perkosaan menunjukkan adanya pertentangan kehendak antara pelaku dengan korban. Pelaku mau atau ingin bersetubuh sementara korban tidak mau atau tidak ingin”.49 Unsur terpenting terjadinya perbuatan pidana perkosaan adalah terjadinya pemaksaan hubungan kelamin (persetubuhan) antara seorang laki-laki (pelaku) dengan seorang perempuan (korban perkosaan). Tindakan memaksa itu dapat diwujudkan dengan perbuatan maupun ucapan. Perbuatan membuat perempuan menjadi terpaksa bersedia mengadakan hubungan kelamin. keterpaksaan seorang perempuan untuk berhubungan kelamin dengan laki-laki yang bukan suaminya (pemerkosa) 49 Ibid., hlm. 112. 52 ini erat hubungannya dengan perbuatan kekerasan atau ancaman dari pelaku. Sebab jika tidak ada kekerasan atau ancaman kekerasan, mustahil seorang wanita mau berhungan kelamin dengan sembarang laki-laki yang tidak dikehendakinya. Tetapi karena ia menerima perlakuan kasar dari pelaku maupun ancaman yang bertubi-tubi, mau tidak mau, dengan terpaksa ia harus menuruti kehendak pemerkosa. Unsur “memaksa” ini dapat dipakai untuk membuktikan oleh jaksa dan hakim yang memeriksa bahwa dalam suatu perbuatan pidana perkosaan, pelaku melakukan perbuatan tersebut dengan “kesengajan”, yaitu membuktikan adanya : a). Kehendak atau maksud pelaku memakai kekerasan; b). Kehendak atau maksud pelaku untuk mengancam dengan kekerasan; dan c). Kehendak atau maksud pelaku untuk memaksa dengan kekerasan. Jika dalam pembuktian tersebut tidak terbukti adanya salah satu maksud pelaku seperti tersebut di atas, maka tidak ada alasan untuk menyatakan bahwa terdakwa terbukti mempunyai “kesengajaan” dalam melakukan perbuatan pidana yang didakwakan kepadanya. Perlu ditekankan di sini bahwa tiadanya unsur terpaksa bagi seorang perempuan untuk berhubungan kelamin dengan seorang laki-laki, dapat menggugurkan tuduhan telah terjadi perbuatan pidana perkosaan. “Tiadanya unsur keterpaksaan tersebut dapat dianggap sebagai perbuatan 53 suka sama suka atau kerelaan dari perempuan yang tidak dilarang oleh undang-undang”. 50 Ad. 5. Seorang Wanita (di luar perkawinan ) Mengenai hal ini Abdul Wahid berpendapat bahwa: Unsur utama yang dipaksa bersetubuh adalah wanita di luar perkawinan dengan pelaku. Dari adanya unsur ini dapat disimpulkan bahwa: a) Perkosaan hanya terjadi oleh laki-laki terhadap wanita; b) Tidak ada perkosaan untuk bersetubuh oleh wanita terhadap laki-laki atau wanita terhadap wanita; c) Tidak ada perkosaan untuk bersetubuh bila dilakukan oleh laki-laki yang terikat perkawinan dengan wanita yang menjadi korban. Atau tidak ada perkosaan untuk bersetubuh oleh suami terhadap isteri.51 Istilah perkosaan hanya berlaku bagi wanita. Hal ini berkaitan erat dengan pengertian persetubuhan. Persetubuhan berarti hubungan kelamin yang terjadi antara seorang laki-laki dan wanita, dimana alat kelamin laki-laki tadi dimasukkan ke dalam vagina wanita yang bersangkutan dan terjadi ejakulasi di dalam vagina wanita tersebut. Pengertian seorang wanita menurut hemat penulis dalam hal ini adalah orang yang memiliki ciri-ciri kelamin perempuan, diantaranya 50 Suryono Ekotama, Abortus Provokatus Bagi Korban Perkosaan, (Yogyakarta : UAJ, 2001), halaman 155. 51 Abdul Wahid, Loc.Cit. 54 memiliki vagina dan payudara. Pasal 285 KUHP tidak menyebutkan pengertian seorang wanita ataupun kategori usia tertentu. Oleh karena itu tindak pidana perkosaan bisa berlaku bagi siapapun yang berkelamin perempuan tanpa memandang usianya. Artinya perkosaan bisa saja menimpa seorang perempuan yang berusia balita, belasan tahun, perempuan separuh baya atau bahkan manula (manusia usia lanjut). Ad.6. Bersetubuh “Untuk selesainya tindak pidana perkosaan untuk bersetubuh, maka harus terjadi persetubuhan antara pelaku dengan korban, dalam arti tidak ada perbuatan untuk bersetubuh manakala tidak terjadi persetubuhan”.52 Dari pendapat tersebut dapat dijelaskan bahwa unsur terpenting perkosaan selain pemaksaan adalah persetubuhan antara pelaku perkosaan dengan wanita yang menjadi korbannya. Persetubuhan atau mengadakan hubungan kelamin disini diartikan sebagai masuknya penis pelaku perkosaan ke dalam vagina wanita yang menjadi korbannya dan terjadi ejakulasi di dalam vagina tersebut. Namun demikia, perlu dicatat bahwa Van Bemmelen Van Hattum berpendapat: Met Noyon-Langemeijer ben ik van oordeel dat ejaculatio seminis niet vereist is voor vleselijke gemeenschap. Het brengen van het mannelijk, geslachtsdeel in het vrouwelijke is voldoende. Artinya saya berpendapat dengan NoyonLangemeijer bahwa bagi adanya suatu perbuatan mengadakan 52 Ibid. 55 hubungan kelamin itu tidak disyaratkan telah terjadinya suatu “ejaculatio seminis” melainkan cukup jika orang telah memasukkan penisnya ke dalam vagina.53 Suatu persetubuhan dikatakan sempurna jika si pemerkosa sudah mencapai ejakulasi (mengeluarkan cairan sperma) di dalam vagina seorang wanita. Masuknya penis ke dalam vagina saja belum cukup sebab pemerkosaan bukanlah persetubuhan biasa. Menurut Suryono Ekotama, mungkin pada hubungan suami isteri, ketika penis suami sudah masuk ke vagina isteri sudah dapat dikatakan mereka melakukan persetubuhan. Sebab bisa saja si isteri sudah mencapai orgasme dulu dan suami tidak melakukan aksinya lebih lanjut, atau bisa saja pasangan suami isteri tersebut melakukan coitus interuptus (senggama terputus), dimana suami mengeluarkan cairan mani di luar kemaluan si isteri.54 Lain halnya dengan perkosaan. Perkosaan adalah suatu kejahatan. Kejahatan itu sendiri dilakukan atas dasar niat pelaku untuk melakukan perbuatan yang dilarang undang-undang. Dan pemerkosa memiliki niat untuk menyetubuhi seorang wanita serta mencapai kepuasan dari persetubuhan itu (ejakulasi). Jika penis baru masuk dan ejakulasi belum terjadi berarti , itu berarti niat pelaku semula belum sepenuhnya tercapai. Sebab yang diharapkan adalah kepuasan dari persetubuhan itu. Sehingga perkosaan dikatakan telah terjadi jika seorang pria memasukkan penisnya secara paksa ke dalam vagina seorang wanita dan mencapai ejakulasi dalam vagina tersebut. 53 54 Suryono Ekotama, Op.Cit., halaman 114-115. Ibid., halaman 157. 56 Selanjutnya masih menurut Suryono Ekotama, adapun jika seorang pria sudah memasukkan penisnya ke dalam vagina namun belum sempat ejakulasi, perbuatan tersebut terhenti karena diketahui orang lain, maka perbuatan itu dianggap sebagai suatu percobaan perkosaan yang melanggar Pasal 53 ayat (1) jo. Pasal 285 KUHP. Adapun Pasal 53 ayat (1) KUHP menyatakan: “Mencoba melakukan kejahatan dipidana jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu bukan semata-mata dikarenakan kehendaknya sendiri.”55 Jika mengacu pada rumusan Pasal 53 ayat (1) KUHP tersebut di atas, maka perbuatan pria yang memasukkan penisnya secara paksa ke dalam vagina seorang wanita adalah suatu permulaan pelaksanaan dari tindak pidana perkosaan. Namun karena tidak selesainya pelaksanaan perkosaan itu (pelaku belum mencapai ejakulasi) semata-mata bukan karena kehendaknya sendiri, maka perbuatan itu dianggap sebagai percobaan perkosaan. Meskipun akibat percobaan perkosaan tersebut, alat kelamin korban mengalami luka misalnya lecet-lecet atau pecahnya selaput dara. 55 Moeljatno, Kitab..., Op.Cit., halaman 24-25. 57 BAB III METODE PENELITIAN Perkembangan dan pengembangan ilmu pengetahuan, mensyaratkan dan memutlakkan adanya suatu kegiatan penelitian. Tanpa penelitian itu ilmu pengetahuan tidak dapat hidup dan tidak dapat diyakini kebenarannya. Tetapi lebih dinamis lagi penelitian juga berfungsi dan bertujuan inventif, yakni secara terus-menerus memperbaharui lagi kesimpulan dari teori yang telah diterima berdasarkan fakta-fakta. Tanpa penelitian ilmu pengetahuan akan berhenti, bahkan akan surut kebelakang.56 Oleh karena itu di dalam setiap penelitian diperlukan suatu tata cara yang nantinya akan digunakan untuk meneliti objek penelitian. Proses yang demikian inilah yang disebut dengan Metodologi Penelitian. Dengan demikian, metodologi merupakan perencanaan penelitian terhadap objek yang diteliti. Biasanya objek tersebut adalah berupa fakta empiris yang terjadi dalam masyarakat, yang kemudian akan dikaji secara metodis dan disusun secara sistematis kemudian diuraikan secara logis dan analitis. Dari semua penelitian ini akan mendapatkan suatu pemecahan masalah atau mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tertentu, sehingga hasil yang diharapkan 56 Anton Bakker dan Ahmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1990), halaman 11. 58 dapat benar-benar terwujud dalam suatu penyusunan karya ilmiah atas dasar hasil penelitian. Adapun metode-metode yang digunakan oleh peneliti dalam melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Metode Pendekatan Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis-normatif, yaitu metode pengkajian yang didasarkan pada data sekunder yang berupa bahan-bahan hukum, terutama bahan hukum primer (dalam hal ini peraturan-perundangan hukum pidana positif yang relevan dengan permasalahan yang ada) dan bahan hukum sekunder (rancangan undang-undang hukum pidana atau Konsep KUHP), serta pendapat para sarjana, para ahli dari berbagai literatur yang terdapat dalam buku-buku, majalah, surat kabar, dokumentasi data, dan keterangan lainnya yang mendukung dan melengkapi obyek kajian penulis. Pendekatan tersebut dipilih karena objek penelitian ini berpijak pada norma-norma hukum yaitu untuk mengetahui pengaturan Hukum Pidana tentang abortus provocatus yang dilakukan oleh korban perkosaan. 2. Spesifikasi Penelitian Bertitik-tolak dari judul dan permasalahan yang mendasari penelitian ini, maka penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif- analitis, yaitu menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku / hukum positif dikaitkan dengan teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif dalam 59 masyarakat. Penelitian deskriptif merupakan penelitian untuk memecahkan masalah yang ada pada masa sekarang (masalah aktual) dengan mengumpulkan data, menyusun, mengklasifikasikan, menganalisis dan mengintepretasikannya.57 Dengan demikian, dari penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai pengaturan abortus provocatus, khususnya pada korban perkosaan dalam hukum pidana. 3. Metode Penentuan Sampel Oleh karena penelitian ini lebih menitik-beratkan pada pendekatan yuridis-normatif, maka penentuan populasi, sample dan teknik sampling bukan merupakan suatu keharusan.58 Penelitian ini lebih difokuskan pada peraturan perundangan yang mengatur tentang abortus provocatus, yang lebih spesifik lagi tentang pengaturan abortus provocatus yang dilakukan oleh korban perkosaan, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku sebagai hukum pidana umum (Lex Generale) dan UndangUndang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang berlaku sebagai hukum pidana khusus (Lex Speciale). 4. Metode Pengumpulan Data Berdasarkan pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka metode pengumpulan data 57 yang dipergunakan adalah studi Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), halaman 36. 58 Philipus M. Hadjon, “Pengkajian Ilmu Hukum”, Makalah, ‘Penataran dan Lokakarya Sehari Menggagas Usulan dan Laporan Penelitian Hukum Normatif’, Fakultas Hukum Brawijaya, Malang, 22 Februari, 1997, halaman 2-3. 60 kepustakaan. Data yang dikumpulkan dalam hal ini adalah data sekunder. Data sekunder merupakan data yang diperoleh secara tidak langsung berdasarkan pengalaman yang mendalam dari pihak lain sebagai sumber data atau diperoleh berdasarkan studi pustaka, penelitian pihak lain atau studi dokumen. Adapun data sekunder yang diperoleh dari bahan-bahan tertulis terdiri dari bahan-bahan hukum primer dan sekunder serta tersier. Disamping itu juga dipergunakan dokumen-dokumen (berkas perkara, kertas kerja dll), monografi dan artikel media massa. 5. Metode Analisa Data Analisa data dilakukan secara kualitatif, kemudian diidentifikasi serta dilakukan kategorisasi. Analisis kualitatif yaitu metode analisis yang pada dasarnya mempergunakan pemikiran logis, analisis dengan logika, dengan induksi, deduksi, analogi/intepretasi, komparasi dan sejenis itu. 59 Data kuantitatif akan disajikan dalam bentuk tabel untuk mendukung analisis kualitatif. Metode berpikir yang dipergunakan adalah metode deduktif, yaitu dengan berdasarkan pada dasar-dasar pengetahuan yang bersifat umum untuk mengkaji persoalan-persoalan yang bersifat khusus. Dari hasil analisis tersebut kemudian akan ditarik permasalahan yang ada. 59 Ibid, halaman 38. 61 kesimpulan sebagai jawaban atas BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pengaturan tentang Abortus Provocatus pada Korban Perkosaan dalam Perspektif Hukum Pidana Pengaturan tentang abortus provocatus dalam perspektif hukum pidana Indonesia (ius constitutum) terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku sebagai hukum pidana umum (Lex Generale), dan juga dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menggantikan Undang-Undang No. 23 Tahun 1992, dan berlaku sebagai hukum pidana khusus (Lex Speciale). Dari hasil penelitian yang dilakukan, berikut ini penulis menguraikan hasil analisa data terkait dengan bagaimana pengaturan hukum pidana, dalam hal ini adalah hukum pidana yang berlaku di Indonesia (ius constitutum) baik yang terdapat dalam KUHP maupun dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dalam kaitannya dengan abortus provocatus yang dilakukan oleh korban perkosaan sebagai obyek permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini. Adapun analisa yang dilakukan terkait dengan permasalahan tersebut dimulai dari pengaturan hukum pidana umum (KUHP) dan kemudian dilanjutkan dengan analisa berdasarkan pengaturan yang 62 terdapat dalam hukum pidana khusus (UU No. 36 Tahun 2009 tetang Kesehatan). 1. Pengaturan Abortus Provocatus pada Korban Perkosaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Dalam bab sebelumya sudah diuraikan tentang regulasi tindakan pengguguran kandungan yang disengaja (abortus provocatus) dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) diatur dalam Buku kedua Bab XIV tentang Kejahatan Kesusilaan khususnya Pasal 299, dan Bab XIX Pasal 346 sampai dengan Pasal 349, dan digolongkan ke dalam kejahatan terhadap nyawa. Berdasarkan ketentuan tersebut, berikut ini adalah uraian analisa tentang pengaturan abortus provocatus pada korban perkosaan yang terdapat dalam masing-masing pasal tersebut: Dalam Bab XIV KUHP khususnya Pasal 229, mengatur tentang: (1). Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruhnya supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan, bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak tiga ribu rupiah. (2). Jika yang bersalah, berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau 63 jika dia seorang dokter, bidan atau juru obat, pidananya dapat ditambah sepertiga. (3). Jika yang bersalah, melakukan kejahatan tersebut, dalam menjalankan pencarian, maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencarian itu. Dari rumusan Pasal 299 KUHP tersebut, dapat diuraikan unsurunsur tindak pidana adalah sebagai berikut : 1. Setiap orang yang sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruhnya supaya diobati dengan harapan dari pengobatan tersebut kehamilannya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak tiga ribu rupiah. 2. Seseorang yang sengaja menjadikan perbuatan mengobati seorang wanita atau menyuruhnya supaya diobati dengan harapan dari pengobatan tersebut kehamilannya dapat digugurkan dengan mencari keuntungan dari perbuatan tersebut atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, maka pidananya dapat ditambah sepertiga. 3. Jika perbuatan mengobati seorang wanita atau menyuruhnya supaya diobati dengan harapan dari pengobatan tersebut kehamilannya dapat digugurkan itu dilakukan oleh seorang dokter, bidan atau juru obat maka hak untuk berpraktek dapat dicabut. 64 Pasal 299 KUHP dimasukkan dalam titel XIV KUHP, adapun semua titel XIV KUHP adalah dikualifikasikan sebagai kejahatan kesusilaan. Dan semua kejahatan kesusilaan jika ditinjau dari sudut perumusan delik, dikualifikasikan sebagai delik aduan. Artinya barang siapa yang melakukan pelanggaran terhadap pasal-pasal delik kesusilaan maka terhadap pelakunya hanya dapat dituntut melalui proses peradilan pidana apabila ada aduan (pengaduan) dari pihak korban (orang yang dirugikan) dari perbuatan tersebut. Dengan demikian, perbuatan mengobati seorang wanita yang sedang hamil atau menyuruhnya supaya diobati dengan harapan dari pengobatan tersebut kehamilannya dapat digugurkan, seperti yang dirumuskan dalam Pasal 299 KUHP juga merupakan delik aduan. Yang dimaksud dengan pelaku seperti yang dirumuskan dalam Pasal 299 KUHP hanya ditujukan terhadap siapa saja dalam hal ini adalah setiap orang yang melakukan perbuatan mengobati seorang wanita yang sedang hamil atau menyuruhnya supaya diobati dengan harapan dari pengobatan tersebut kehamilan dari wanita tersebut dapat digugurkan. Dengan demikian, menurut ketentuan yang terdapat dalam Pasal 299 KUHP tersebut sepanjang menyangkut pelaku, maka seorang wanita yang sedang hamil, dan kehamilan tersebut adalah sebagai akibat tindakan perkosaan yang dialami sebelumnya, dan kemudian menerima penawaran dari seseorang yang mengobati dirinya atau menyuruhnya supaya diobati dengan harapan dari pengobatan tersebut kehamilannya dapat digugurkan, 65 tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Terhadap wanita yang sedang hamil, dimana kehamilannya disebabkan karena tindakan perkosaan yang pernah dialaminya berdasarkan pengaturan Pasal 299 KUHP hanyalah sebagai korban dari perbuatan pengobatan yang dilakukan oleh pelaku, yakni setiap orang yang melakukan perbuatan mengobati seorang wanita yang sedang hamil atau menyuruhnya supaya diobati dengan harapan dari pengobatan tersebut kehamilan dari wanita tersebut dapat digugurkan. Adapun setiap orang menurut Pasal 299 KUHP termasuk dokter, bidan, atau juru obat. Dengan demikian, berdasarkan perumusan dan pengaturan yang terdapat dalam ketentuan Pasal 299 KUHP, perbuatan yang diatur sebagai tindak pidana yang memiliki korelasi dengan perbuatan pengguguran kandungan adalah lebih menitikberatkan pada perbuatan mengobati seorang wanita yang sedang hamil atau perbuatan menyuruh wanita tersebut supaya diobati dengan harapan dari pengobatan tersebut kehamilannya dapat digugurkan. Sedangkan pelaku dalam hal ini adalah setiap orang yang melakukan perbuatan mengobati seorang wanita yang sedang hamil atau menyuruhnya supaya diobati dengan harapan dari pengobatan tersebut kehamilan dari wanita tersebut dapat digugurkan. Sementara sanksi pidana terhadap pelaku yang terbukti melakukan perbuatan mengobati seorang wanita yang sedang hamil atau menyuruhnya supaya diobati dengan harapan dari pengobatan tersebut kehamilannya dapat digugurkan adalah berupa sanksi pidana penjara paling lama empat 66 tahun atau denda paling banyak tiga ribu rupiah. Adapun jika pelaku adalah tenaga medis (dokter, bidan, atau juru obat), maka sanksi pidananya ditambah sepertiga dari sanksi pidana maksimal dan dicabut haknya untuk melakukan praktek. Selanjutnya adalah analisa tentang abortus provocatus pada korban perkosaan berdasarkan Bab XIV KUHP, khususnya yang terdapat dalam Pasal 346, 347, 348, dan 349 KUHP. a. Pasal 346 KUHP : “Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun”. Dari pengertian yang dimaksud dalam Pasal 346 KUHP tersebut, maka yang diancam pidana adalah: 1) Wanita yang dengan sengaja menyebabkan kandungannya menjadi gugur atau mati; atau 2) Wanita yang dengan sengaja menyuruh orang lain menyebabkan kandungannya menjadi gugur atau mati; atau 3) Orang lain yang disuruh untuk melakukan itu. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka dalam Pasal 346 KUHP dapat ditemukan beberapa unsur antara lain: 1) wanita hamil atau orang yang disuruh untuk lakukan itu, 2) dengan sengaja, 67 3) menyebabkan gugur atau matinya kandungan. Seseorang dikatakan telah melakukan kejahatan aborsi, apabila orang tersebut telah memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 346 KUHP tersebut. Meskipun demikian dalam Pasal 347 ayat (1) KUHP yang menyebutkan “Barang siapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau matinya kandungan seorang wanita tidak dengan izin wanita tersebut, dipidana dengan penjara maksimal dua belas tahun. Jadi dari bunyi pasal tersebut di atas ditambahkan pelaku aborsi tidak hanya wanita hamil atau orang yang disuruh lakukan itu, tetapi juga oleh orang yang tanpa izin wanita hamil tersebut telah melakukan tindak pidana aborsi. Berikut ini adalah uraian analisa berdasarkan unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 346 KUHP. Unsur pertama tindak pidana aborsi yang diatur dalam Pasal 346 KUHP ialah unsur “wanita atau orang lain yang disuruh lakukan untuk itu” (subjek tindak pidana). Dalam KUHP memang tidak ada penjelasan yang jelas tentang hal ini, namun wanita hamil dapat diartikan yang sel telurnya telah dibuahi oleh sel sperma sehingga tidak mengalami menstruasi hingga melahirkan kandungannya atau dengan kata lain wanita hamil adalah wanita yang dikandungannya terdapat janin dari hari pertama setelah pembuahan sampai melahirkan. Sedangkan orang yang disuruh lakukan untuk itu adalah orang yang dengan persetujuan wanita hamil tersebut melakukan 68 tindak pidana aborsi, misalnya: dokter, bidan, juru obat, dukun, atau orang yang mempunyai kemampuan untuk itu. Unsur kedua dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 346 adalah unsur “dengan sengaja”. Yang dimaksud dengan “sengaja” adalah mempunyai niat atau keinginan untuk melakukan sesuatu. Wujud dengan sengaja dalam tindak pidana aborsi bisa berupa meminum obat peluruh haid degan dosis yang tinggi, memasukkan benda tajam kedalam alat kelaminnya untuk menggugurkan kandungan. Unsur ketiga yang diatur dalam Pasal 346 KUHP adalah unsur “menyebabkan gugur atau matinya kandungan” maksudnya janin yang berada di dalam kandungan wanita tersebut keluar sebelum waktunya tiba akibat paksaan atau tindakan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga janin tersebut gugur atau mati. Aborsi yang diatur dalam Pasal 346 KUHP berbeda diatur dalam Pasal 341 KUHP yang berbunyi “Seorang ibu yang, karena takut akan ketahuan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian, dengan sengaja merampas nyawa anaknya, diancam karena membunuh anak sendiri, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”. Menurut penjelasan Pasal tersebut, yang diancam hukuman dalam Pasal ini adalah seorang ibu yang membunuh anaknya sendiri, ketika anak itu dilahirkan atau beberapa saat kemudian setelah anak itu dilahirkan, kerana takut akan ketahuan oleh orang lain. 69 b. Pasal 347 KUHP : (1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. c. Pasal 348 KUHP: (1) Barang siapa dengan sengaja menggunakan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. d. Pasal 349 KUHP : “Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun membantu melakukan salah satu kejahatan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang 70 ditentukan dalam pasal itu dapat dditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan”. Dari rumusan pasal-pasal tersebut di atas dapat diuraikan unsurunsur tindak pidana adalah sebagai berikut : 1. Seorang wanita hamil yang sengaja melakukan abortus atau ia menyuruh orang lain, diancam hukuman empat tahun penjara. 2. Seseorang yang sengaja melakukan abortus terhadap ibu hamil, dengan tanpa persetujuan ibu hamil tersebut, diancam hukuman penjara 12 tahun, dan jika ibu hamil tersebut mati, diancam 15 tahun penjara. 3. Jika dengan persetujuan ibu hamil, maka diancam hukuman 5,5 tahun penjara dan bila ibu hamilnya mati diancam hukuman 7 tahun penjara. 4. Jika yang melakukan dan atau membantu melakukan abortus tersebut seorang dokter, bidan atau juru obat (tenaga kesehatan) ancaman hukumannya ditambah sepertiganya dan hak untuk berpraktek dapat dicabut. Secara keseluruhan, dari hasil analisa yang dilakukan terhadap ketentuan Pasal 346-349 KUHP dapat diketahui, bahwa aborsi menurut konstruksi yuridis peraturan perundang-undangan di Indonesia yang 71 terdapat dalam KUHP adalah tindakan menggugurkan atau mematikan kandungan yang dilakukan oleh seorang wanita atau orang yang disuruh melakukan itu. Wanita dalam hal ini adalah wanita hamil yang atas kehendaknya ingin menggugurkan kandungannya, sedangkan tindakan yang menurut KUHP dapat disuruh lakukan untuk itu adalah dokter, bidan atau juru obat. Penguguran kandungan yang terjadi secara alamiah tanpa ada usaha dari luar atau campur tangan manusia menurut Kitab UndangUndang Hukum Pidana tidak dapat dipidana karena tidak mengandung unsur kesengajaan. Dalam usia yang sangat muda keguguran dapat saja terjadi, misalnya karena aktivitas ibu yang mengandung terlalu berlebihan, stress berat, berolahraga yang membahayakan keselamatan janin seperti bersepeda dan sebagainya. Walaupun keguguran menimbulkan korban dalam hal ini disebut janin tetapi tidak dapat dipidana karena tidak ada unsur kesengajaan. Dengan demikian, aborsi yang dimaksud dalam Pasal 346 KUHP hanya mencakup mengguguran kandungan karena kesengajaan saja (abortus provocatus), sedangkan pengguguran kandungan secara alamiah atau keguguran tidak dapat dimaksud sebagai salah satu tindak pidana karena tidak mencakup unsur yang terdapat dalam KUHP yaitu unsur kesengajaan. 72 Berdasarkan perumusan dan pengaturan tentang abortus provokatus seperti yang terdapat dalam Pasal 346 sampai dengan 349 KUHP, maka kualifikasi aborsi dalam KUHP termasuk dalam jenis abortus provokatus criminalis. Pasal-pasal tentang abortus provocatus tersebut di atas, mengancam siapapun yang dengan senjaga menyebabkan aborsi (pengguguran kandungan) baik bagi si pelaku maupun bagi penolong aborsi seperti dokter, bidan, ahli obat, dukun dan ahli medis lainnya dengan hukuman dilipatgandakan, alasan apapun. tanpa pengecualian dengan Adapun unsur-unsur perbuatan abortus provokatus criminalis adalah: 1. Adanya embrio (janin) atau ibu yang mengandung. Ibu yang mengandung janin merupakan obyek yang harus ada dalam perbuatan pidana, karena tidak akan ada perbuatan pidana tanpa ada obyeknya. Hal ini penting dalam rangka penjatuhan pidana.60 2. Adanya unsur kesengajaan dari pelaku. Sengaja menurut Memorie van Toelichting dalam bukunya Moelyatno berarti melakukan perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui artinya si pelaku perbuatan pidana mengetahui dengan betul bahwa perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan yang dilarang oleh undang-undang. 3. Keguguran itu terjadi sebelum waktunya artinya sebelum masa kelahiran alami tiba.61 Hal ini berarti perbuatan pengguguran harus 60 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), halaman 40-43. Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), halaman 115. 61 73 dapat dibuktikan bahwa keguguran itu terjadi ketika anak yang ada dalam kandungan itu hidup dan belum masanya untuk dilahirkan. Untuk kepentingan unsur yang ketiga ini bisa dilakukan oleh dokter melalui ilmu kedokteran agar bisa memberi keterangan mengenai janin yang ada dalam kandungan seorang wanita tersebut berada dalam keadaan hidup atau mati. Karena dala hukum anak yang belum lahir kedunia bila dapat dibuktikan dalam kandungan bahwa bayi tersebut mati belum mempunyai hak dan kewajiban di depan hukum. 62 4. Adanya jalan untuk melakukan perbuatan tersebut. Jalan yang dimaksud adalah adanya alat-alat yang digunakan unuk melakukan aborsi. Misalnya dengan bantuan dokter, dukun atau bidan yang memberi bantuan supaya aborsi dapat terjadi dengan suntik atau diberi obat yang dapat membunuh janin yang ada dalam tubuh si ibu, bisa juga dengan memasukkan alat-alat tertentu ke anggota tubuh.63 Pada saat ini, aturan tersebut sudah tidak relevan untuk diterapkan karena bertentangan dengan politik hukum Indonesia yang melindungi dan mensejahterakan segenap bangsa Indonesia. Sebagaimana diketahui, latar belakang pemikiran dari pasal-pasal tentang pengguguran kandungan berasal dari Negara Belanda pada pertengahan abad ke- 19 yang berasal dari Code Penal Perancis abad ke-18, sudah barang tentu hal ini kurang sesuai dengan perkembangan masyarakat Indonesia saat ini, yang 62 63 menyangkut kepentingan-kepentingan darurat (pengguguran P.A.F. Lamintang, Op.Cit. halaman 206. Chuzaimah T. Yanggo dan H.A. Hafiz Anshary AZ, Op. Cit., halaman116. 74 terutama kandungan yang bersifat memaksa karena adanya perkosaan), tapi pasalpasal ini sampai saat ini tetap diterapkan. Pasal 349 KUHP merupakan salah satu pasal yang dilematis apabila diterapkan secara mutlak. Para dokter, bidan dan perawat serta tenaga medis lainnya dapat diancam pidanan penjara. Padahal alasan melakukan abortus adalah demi melindungi jiwa si ibu. Jika kita menelaah pasal-pasal dalam KUHP tersebut, tampaklah KUHP tidak membolehkan suatu abortus provocatus di Indonesia. KUHP tidak melegalkan abortus provocatus tanpa kecuali. Bahkan abortus provocatus medicalis atau abortus provocatus therapeuticus pun dilarang, termasuk di dalamnya adalah abortus provocatus yang dilakukan oleh perempuan korban perkosaan. Oleh karena sudah dirumuskan demikian, maka dalam kasus abortus provocatus yang dilakukan oleh korban perkosaan, minimal ada dua orang yang terkena ancaman sanksi pidana sesuai dengan ketentuan yang terdpat dalam KUHP, yakni si perempuan sendiri yang hamil karena perkosaan serta barangsiapa yang sengaja membantu si perempuan tersebut menggugurkan kandungannya. Seorang perempuan yang hamil karena perkosaan dapat terkena ancaman sanksi pidana kalau ia sengaja menggugurkan kandungan tanpa bantuan orang lain. Ia juga dapat terkena ancaman sanksi pidana kalau ia meminta orang lain dengan cara menyuruh orang itu untuk menggugurkan kandungannya. Khususnya untuk orang lain yang disuruh untuk menggugurkan kandungan dan ia benar-benar melakukannya, maka baginya berlaku rumusan pasal 75 347 dan 348 KUHP sebagai berikut : “…barangsiapa dengan sengaja menggugurkan…”Jika terbukti bersalah di muka pengadilan, ia turut dipidana sebagaimana si perempuan hamil yang melakukan abortus provocatus tersebut. 2. Pengaturan Abortus Provocatus pada Korban Perkosaan dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Ketentuan tentang abortus provocatus di dalam hukum pidana positif Indonesia diatur di dalam KUHP (Lex Generalis) dan UndangUndang Kesehatan (Lex Spesialis). Menurut Supriyadi64, KUHP tidak membolehkan aborsi dengan alasan apa pun juga dan oleh siapapun juga. 65 Ketentuan ini sejalan dengan diundangkannya di zaman pemerintahan Hindia Belanda sampai dengan sekarang ini tidak pernah berubah, dan ketentuan ini berlaku umum bagi siapa pun yang melakukan, bahkan bagi dokter dan tenaga medis lainnya yang melakukan aborsi akan dikenakan pemberatan pidana. Namun berdasarkan ketentuan yang terdapat UndangUndang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, apabila terdapat indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga 64 Supriyadi, ”Politik Hukum Kesehatan terhadap Pengguguran Kandungan”, Makalah disampaikan dalam Diskusi Ilmiah, 2001,”Aborsi Dari kajian Ilmu Politik Hukum” (Hukum Kesehatan dan Hukum Pidana), (Yogyakarta, 2 Juli 2002), halaman 12. 65 Lihat Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 283, 299, 346, 348, 349, 535. 76 menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.66 Walaupun secara jelas dan tegas aborsi dilarang oleh undangundang, dalam realita kehidupan sehari-hari, hal tersebut banyak sekali terjadi atau dilakukan karena berbagai alasan sebagaimana dikemukakan oleh Ekotama, dkk.67 dan Tafal, dkk.68 Bahkan Dewi69 mengatakan, bahwa jumlah aborsi di dalam kehidupan masyarakat cenderung meningkat karena berbagai faktor sehingga dia menyimpulkan bahwa motivasi perempuan melakukan aborsi berkaitan erat dengan akseptor KB dan kehamilan di luar nikah. Berbeda dengan pendapat di atas, menurut Indraswari, kasus aborsi tidak menunjukkan karakteristik khusus terutama bila dilihat dari segi pendidikan dan status pernikahan. Ada kecenderungan, aborsi adalah suatu fenomena yang menimpa masyarakat lintas strata sosial ekonomi, pendidikan, budaya, dan agama.70 Selanjutnya Indraswati mengatakan: “... terdapat kecenderungan peningkatan praktik aborsi yang dilakukan oleh pelajar SMP dan SMA, alumnus SMA (pekerja), dan mahasiswa. Hal ini sejalan dengan perubahan 66 Lihat Pasal 75 ayat (2) a dan b Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Suryono Ekotama, dkk., Op.Cit., halaman 26. 68 Tafal, dkk., eds., Keguguran, (Jakarta: ITF Netherlands, IPPF, dan PKBI, 1999), halaman 67 34. 69 Dewi, Aborsi: Pro dan Kontra di Kalangan Petugas Kesehatan, (Yogyakarta: Pusat penelitian Kependudukan UGM dan Ford Foundation,1997), halaman 40. 70 Indraswati, Fenomena Kawin Muda dan Aborsi: Gambaran Kasus, dalam Hasyim, S., Menakar ’Harga’ Perempuan”, (Jakarta: Mizan, 1999) halaman 150. 77 pola interaksi dan pola gaya hidup yang melanda kalangan remaja dan dewasa muda.71 Apa yang dikemukan tersebut cukup beralasan, di wilayah perkotaan dan semi perkotaan hubungan antar individu secara pelan namun pasti bertransformasi dari hubungan berpola paguyuban (gemeinschaft) ke hubungan berpola patembayan (gesselschaft).72 Pola hubungan paguyuban yang berciri kebersamaan dan saling peduli pada masalah sesama anggota komunitas mulai digeser oleh pola patembayan yang berciri hubungan transaksional. Dalam derajat tertentu, pola patembayan diikuti dengan lemahnya kontrol sosial masyarakat terhadap sesama. Dengan pola interaksi seperti ini yang diikuti perubahan pola gaya hidup yang cenderung "serba permisif" mengakibatkan meningkatnya kasus kehamilan pranikah. Di satu sisi, pola "serba permisif" banyak pula dipengaruhi oleh stimulasi seksual dari lingkungan berupa tayangan media rnassa dan hiburan komersial dengan beragam bentuk dan intensitas. Secara umum budaya pop dan komersialisasi hiburan secara gencar lebih mengkampanyekan aspek kenikmatan seks daripada aspek tanggung jawabnya.73 Dalam kondisi ini dalam derajat tertentu dapat dipahami "runtuhnya" daya tahan remaja dalam menghadapi kebanjiran stimulasi seksual yang mengakibatkan kehamilan pranikah dan selanjutnya diikuti oleh tindakan aborsi. 71 Ibid. Ibid. 73 Ibid., halama 34. 72 78 Dengan disyahkannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan menggantikan undang-undang kesehatan sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992. Dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, permasalahan aborsi memperoleh legitimasi dan penegasan. Secara eksplisit, dalam undang-undang ini terdapat pasal-pasal yang mengatur mengenai aborsi, meskipun dalam praktek medis mengandung berbagai reaksi dan menimbulkan kontroversi diberbagai lapisan masyarakat. Meskipun, undang-undang melarang praktik aborsi, tetapi dalam keadaan tertentu terdapat kebolehan. Ketentuan pengaturan aborsi dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 dituangkan dalam Pasal 75, Pasal 76 dan Pasal 77. Berikut ini adalah uraian lengkap mengenai pengaturan aborsi yang terdapat dalam pasalpasal tersebut: Pasal 75: (1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi. (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan: a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. (3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis kedaruratan medis 79 dan perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 76: Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan: a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu; b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri; c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan; d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri. Pasal 77: Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengguguran kandungan yang disengaja dengan melanggar berbagai ketentuan hukum (abortus provocatus criminalis) yang terdapat dalam KUHP menganut prinsip “illegal tanpa kecuali” dinilai sangat memberatkan paramedis dalam melakukan tugasnya. Pasal tentang aborsi yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juga bertentangan dengan Pasal 75 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, di mana dalam satu sisi melarang dilakukannya aborsi dalam segala alasan dan di sisi lain memperbolehkan tetapi atas indikasi medis untuk menyelamatkan ibu hamil dan atau janin. Menurut Kusumo yang dikutip 80 dalam buku Ekotama, menyatakan disini berlaku asas lex posteriori derogate legi priori. Asas ini beranggapan bahwa jika diundangkan peraturan baru dengan tidak mencabut peraturan lama yang mengatur materi yang sama dan keduanya saling bertentangan satu sama lain, maka peraturan yang baru ini mengalahkan atau melumpuhkan peraturan yang lama.74 Dengan demikian, Pasal 75 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang mengatur tentang abortus provocatus medicinalis tetap dapat berlaku di Indonesia meskipun sebenarnya aturan itu bertentangan dengan rumusan abortus provocatus criminalis menurut KUHP. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 36 Tahun tersebut jika kita kaitkan dengan aborsi karena kehamilan tidak dikehendaki (KTD) akibat perkosaan, maka dapat disimpulkan: Pertama, secara umum paraktik aborsi dilarang; Kedua, larangan terhadap praktik dikecualikan pada beberapa keadaan, kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. Selain itu tindakan medis terhadap aborsi KTD akibat perkosaan hanya dapat dilakukan apabila: (1) setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang; 74 Suryono Ekotama, dkk., Op.Cit., halaman 77. 81 (2) dilakukan sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis; (3) oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri; (4) dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan; dan (5) penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri. Hukum pidana dengan jelas menyebutkan sanksi pidana bagi pelaku dan orang yang turut serta melakukan aborsi. Pengecualian diberikan apabila ada alasan-alasan pembenar yang terdapat dalam undang-undang (Pasal 44, 48, 50 dan 51) KUHP dan alasan medis (kesehatan) yang terdapat dalam Pasal 75 Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dengan demikian alasan ekonomis, alasan sosial dan alasan darurat (pemaksa) tidak dapat dijadikan sebagai legalisasi dari perbuatan abortus provocatus. Apabila dihubungkan dengan aborsi karena kehamilan tidak dikehendaki (KTD) akibat perkosaan , dimana kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan dapat dijadikan sebagai alasan darurat (pemaksa) untuk melakukan aborsi sebenarnya perlu menjadi pertimbangan dalam menerapkan sanksi pidana, khususnya bagi para penegak hukum (Hakim). Karena janin yang 82 diaborsi adalah sebagai akibat pemaksaan hubungan (perkosaan) dengan ancaman kekerasan. Perkosaan sendiri merupakan tindak pidana yang pelakunya harus dijatuhi sanksi pidana penjara maksimal 12 (dua belas) tahun sesuai Pasal 285 KUHP. Sedangkan korbannya harus mendapat perlindungan hukum yang salah satu caranya adalah mengembalikan kondisi jiwanya akibat tekanan daya paksa dari pihak lain (tekanan psikologis). Alasan tekanan psikologis akibat perkosaan inilah yang seharusnya dapat dijadikan pertimbangan untuk menentukan bahwa aborsi akibat perkosaan sebagai suatu pengecualian, sehingga seharusnya legal dilakukan. Arif Gosita dalam bukunya Masalah Korban Kejahatan Kumpulan Karangan mengatakan bahwa: Dalam kasus abortus, janin ditolak sebagai makhluk hidup dan dianggap sebagai obyek mati. Oleh karena diformulasikan seperti itu maka penghancurannya saat itu tidak dianggap sebagai sutu pembunuhan dan tidak menimbulkan kemarahan moral atau pertentangan moral seperti pada kasus pembunuhan lain.75 Sudah menjadi opini publik bahwa salah satu latar belakang abortus dilarang undang-undang adalah karena bertentangan dengan moral masyarakat dan atau moral agama. Apabila dihubungkan dengan pendapat tersebut, sebenarnya yang menentang moral adalah pemerkosannya bukan orang yang melakukan aborsi. Aborsi hanyalah merupakan akibat 75 Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Karangan), (Jakarta: Akademika Presindo, 1985), halaman 88. 83 tindakan orang perempuan tersebut biadab yang memperkosa perempuan, sehingga menjadi hamil. Perempuan dalam hal ini adalah sebagai korban dari rentetan tindak pidana perkosaan, sehingga apabila tindak pidana perkosaan yang dilakukan terhadapnya berakibat hamil maka janin yang dikandungnya adalah dianggap sebagai obyek yang mati/tidak hidup. Oleh karena dianggap sebagai obyek yang mati maka penggugurannya, dianggap legal untuk dilakukan. Apabila dihubungkan dengan Pasal 48 KUHP tentang daya paksa (overmacht), sebenarnya Pasal 75 ayat (2) huruf b UU No. 36 Tahun 2009 yang mengatur tentang pengecualian melakukan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan, mengakui adanya daya paksa bagi barang siapa yang melakukan aborsi. Ketentuan tentang overmacht atau daya paksa yang terdapat dalam pasal 48 KUHP, yaitu : “Barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana”.76Dari ketentuan pasal 48 KUHP tersebut dapat disimpulkan, bahwa yang dimaksud dengan daya paksa adalah suatu paksaan atau tekanan yang tidak dapat dihindarkan. Adapun paksaan itu dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain dengan suatu ancaman yang membahayakan diri dan jiwanya. Tentu saja dalam hal ini, orang yang diancam tersebut mempunyai dugaan kuat bahwa ancama itu benar-benar akan dilaksanakan apabila ia menolak mengerjakan sesuatu yang dikehendaki pemaksa (pengancam). 76 Ibid., hlm. 23. 84 Daya paksa (overmacht) ini merupakan alasan pemaaf. Dalam alasan pemaaf ini, seseorang yang melakukan perbuatan pidana tidak dapat dijatuhi pidana karena tidak adanya kesalahan. Artinya perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum, jadi tetap merupakan perbuatan pidana. Tetapi ia tidak dipidana, karena tidak adanya kesalahan. Dengan demikian, alasan pemaaf adalah alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Karena overmacht sebagaimana yang tercantum dalam pasal 48 KUHP hanya memuat alasan pemaaf, artinya perbuatan yang dilakukan tetap bersifat melawan hukum, tetapi kesalahannya bisa dimaafkan karena pengaruh daya paksa tadi. Seseorang yang melakukan perbuatan pidana, sedangkan ia berada di bawah pengaruh daya paksa sehingga ia terpaksa melakukan perbuatan tersebut tidak dapat dijatuhi pidana. Hal ini merupakan hal yang tepat dan mencerminkan rasa keadilan, sebab orang tersebut melakukan perbuatan pidana karena dorongan yang tidak mampu dilawannya, misalnya karena mengancam keselamatan jiwanya. Dalam teori hukum pidana, Moejatno membagi daya paksa menjadi 2 (dua),yaitu daya paksa dalam arti sempit atau overmacht dan daya paksa karena keadaan darurat atau noodtoestand yang terdiri dari 3 kemungkinan yaitu: a. Orang terjepit antara dua kepentingan dalam hal adanya konflik diantara dua kepentingan, b. Orang terjepit antara kepentingan dan kewajiban, 85 Orang terjepit antara dua kewajiban. 77 c. Dihubungkan dengan teori tersebut, dalam kasus abortus provokatus pada korban perkosaan terjadi konflik antara 2 (dua) hak, yakni hak perempuan yang hamil bertentangan dengan hak janin. Dengan demikian untuk menentukan apakah perempuan yang melakukan abortus provokatus atas kandungannya dapat dipidana atau tidak dapat dinilai dari kepentingan manakah yang lebih utama.78 Hak janin untuk tetap hidup atau hak perempuan untuk tetap menjalankan hidupnya tanpa tekanan psikologis dan sosial. Mencermati ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 khususnya Pasal 75 ayat (2) huruf b yang mengatur tentang aborsi karena alasan darurat (pemaksa) dalam hal ini adalah adanya trauma psikologis yang dialami oleh wanita hamil sebagai akibat tindak pidana perkosaan yang dialaminya. Pada akhirnya penyelesaian kasus tersebut sangat tergantung pada para penegak hukum untuk menegakkan keadilan terutama bagi perempuan yang jelas-jelas berkedudukan sebagai korban perkosaan. Pendapat ahli hukum masa kini, sudah seharusnya menjadi pertimbangan dalam rangka menjatuhkan pidana, jadi tidak semata-mata didasarkan pada bunyi undang-undang, akan tetapi juga memperhatikan latar belakang perbuatan dilakukan. Hal inipun dalam proses pembuktiannya juga tidak mudah, karena harus dibuktikan lebih dahulu perkosaannya. 77 78 Moljatno, Op. Cit, halaman140. Suryono Ekotama, dkk, Op. Cit, halaman 194. 86 Dengan demikian alasan psikologis tidak cukup dijadikan alasan aborsi apabila tindakan perkosaannya tidak dapat dibuktikan atau tidak terbukti. Mengingat dewasa ini perkosaan tidak hanya murni dilakukan oleh orang yang benar-benar belum pernah dikenal oleh korban, tapi juga telah dikenal sebelumnya bahkan memiliki hubungan dekat dengan korban (sebagai pacar pisalnya). Apabila aborsi karena perkosaan dijadikan pengecualian sebagaimana alasan medis, maka kriteria yang dijadikan pengecualian harus benar-benar jelas dan tegas, sehingga tidak disalahgunakan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab, akibatnya aborsi marak dilakukan. Dengan demikian. Undang-Undang Nomor 36 Tahun memperbolehkan praktik aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan dengan persyaratan dilakukan oleh tenaga yang kompeten, dan memenuhi ketentuan agama dan perundang-undangan yang berlaku. Sebagai bagian akhir dari analisa mengenai pengaturan hukum pidana tentang abortus provocatus khususnya pada korban perkosaan, berikut ini penulis akan menguraikan tentang pengaturan mengenai sanksi pidana terhadap pelaku abortus provocatus, yang secara spesifik lebih ditekankan terhadap korban perkosaan berdasarkan pengaturan yang terdapat baik dalam KUHP maupun dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan. 87 Suatu aturan hukum diadakan pasti diikuti dengan sanksi hukumnya, sehingga peraturan hukum tidak hanya mengatur akan tetapi juga bersifat memaksa bagi anggota masyarakat yang melanggar peraturan tersebut. Hukum pidana diadakan pada prinsipnya adalah dalam rangka memberikan ketertiban dan kepastian hukum agar hak-hak manusia terlindungi. Oleh karena itu barangsiapa yang melanggar ketentuan yang ada dalam hukum pidana dalam hal ini Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan memenuhi unsur-unsur yang ditetapkan dalam ketentuan tersebut maka dikenakan sanksi pidana. Dalam hukum pidana terdapat berbagai jenis sanksi pidana mulai yang terberat yaitu sanksi pidana mati sampai teringan yaitu sanksi pidana denda. Kecuali ada alasan pembenar yang dapat dijadikan legalisasi dari perbuatan pidana yang dilakukan, sebagaimana tertuang dalam Pasal 44 (karena jiwanya cacat), Pasal 48 (adanya pengaruh daya paksa), Pasal 50 (melaksanakan ketentuan UU) dan Pasal 51 KUHP (melaksanakan perintah jabatan). Menanggapi alasan pembenar yang terdapat dalam Pasal 44, 48, 50 dan 51 KUHP, Oemar Seno Adji mengatakan, bahwa ada alasan-alasan yang dapat dibenarkan yang bukan didasarkan pada alasan-alasan pembenar yang terdapat dalam undang-undang yaitu yang berada di luar undang-undang yang dikembangkan oleh ilmu hukum dan Yurisprudensi.79 Dengan demikian, dari hasil analisa yang dilakukan terhadap Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dalam kaitannya 79 Oemar Seno Adji, Hukum Pidana, (Jakarta, Erlangga, 1980), halaman 194. 88 dengan abortus provocatus pada korban perkosaan, dapat penulis simpulkan, bahwa pada prinsipnya UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang berlaku sebagai lex speciale melarang tindakan aborsi (Pasal 75 ayat (1)), kecuali abortus provocatus terhadap kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan (Pasal 75 ayat (2) huruf b), disamping tindakan abortus provocatus medicinalis/therapeuticus, yakni aborsi yang dilakukan secara sengaja karena terdapat indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin (Pasal 75 ayat (2) huruf a). Pengecualian yang diberikan oleh UU No.36 Tahun 2009 sebagai legalisasi terhadap abortus provocatus pada korban perkosaan dapat dilakukan dengan beberapa persyaratan sebagai berikut: (1) setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang (Psl.75 ayat (3)); (2) dilakukan sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis; (3) oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri; (4) dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan; dan 89 (5) penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.(Psl.76). Sanksi pidana bagi pelaku abortus provokatus baru dapat diberikan apabila memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana yaitu unsur-unsur perbuatan abortus provocatus kriminalis, seperti halnya yang tertuang dalam Pasal 299, 346, 347, 348 dan 349 KUHP. Sanksi pidana berupa pidana pidana penjara maksimal, yaitu: a. Paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak tiga ribu rupiah bagi setiap orang yang melakukan perbuatan mengobati seorang wanita yang sedang hamil atau menyuruhnya supaya diobati dengan harapan dari pengobatan tersebut kehamilan dari wanita tersebut dapat digugurkan . b. 4 (empat tahun) bagi wanita yang dengan sengaja mematikan janinnya (Pasal 346 KUHP); c. 12 (dua belas tahun) bagi seseorang yang menggugurkan kandungan wanita tanpa persetujuan (Pasal 347 ayat (1) KUHP); d. Maksimal 15 (lima belas tahun) bagi pengguguran kandungan tanpa persetujuan wanita yang berakibat matinya wanita tersebut, dan juga yang dengan persetujuan (Pasal 347 ayat (2) KUHP); e. 5 (lima tahun) 6 (enam bulan) bagi pengguguran yang disengaja dengan kesepakatan wanita (Pasal 348 ayat (1)); f. 7 (tujuh tahun) pengguguran disengaja dengan kesepakatan yang berakibat mati (Pasal 348 ayat (2); 90 g. Ditambah 1/3 (sepertiga) lebih tinggi bagi ahli medis dibanding selain ahli medis. Bahkan ditambah dengan pencabutan izin praktek yang digunakan untuk melakukan perbuatan pidana (Pasal 299 jo. Pasal 349 KUHP). Sedangkan dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, menerapkan sanksi pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun, dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) terhadap setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) undangundang tersebut. Terhadap orang lain yang ikut melakukan perbuatan abortus baik melakukan atau membantu melakukan, dapat digolongkan pada turut serta terhadap perbuatan pidana. Dalam hukum pidana, turut serta digolongkan menjadi lima macam sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 55 dan 56 KUHP, yaitu:80 a. Orang yang melakukan (Pleger), b. Orang yang menyuruh melakukan (Doen Plegen), c. Orang yang turut melakukan (Medepleger), d. Orang yang membujuk untuk melakukan (Uitlokker) e. Orang yang membantu melakukan (Medeplichtige). 80 Utrecht, Hukum Pidana (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1987), II, halaman 8. Bandingan dengan R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1991), halaman 72-74. 91 B. Perlindungan Hukum Pidana terhadap Korban Perkosaan yang Melakukan Abortus Provocatus Perlindungan hukum berarti melindungi hak setiap orang untuk mendapatkan perlakuan dan perlindungan yang sama oleh hukum dan undang-undang, maka oleh karena itu untuk setiap pelanggaran hukum yang dituduhkan padanya serta dampak yang diderita olehnya ia berhak pula untuk mendapat perlindungan dari hukum yang diperlukan sesuai dengan asas hukum. Tetapi perlu kita ketahui bahwa dalam kasus perkosaan pihak korban telah terabaikan dari jangkauan hukum. Ini terbukti dari banyaknya kasus dengan korban perempuan yang tidak mampu terselesaikan secara adil dan memuaskan.81 Persoalan yang menyangkut korban kejahatan ternyata kurang begitu menarik perhatian orang, sehingga jarang sekali ada kegiatan-kegiatan keilmuan yang bertujuan untuk membahasnya. Padahal dalam kejahatan pada umumnya kita tidak dapat memikirkan suatu kejahatan tanpa adanya korban. Jadi, korban merupakan komponen penting dari kejahatan pada umumnya yang sering dilupakan orang. Apabila dikaji, dilupakannya persoalan korban tersebut disebabkan antara lain : − Masalah kejahatan tidak dilihat, dipahami menurut proporsi yang sebenarnya secara multidimensional; 81 Erwin Yuliatiningsih, “Kebutuhan Perlindungan Hukum bagi Perempuan Korban Tindak Pidana Perkosaan di Indonesia”, http://www.google.com, diakses 12 Februari 2010. 92 − Kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) yang tidak didasarkan pada konsep yang integral dengan etiologi kriminal; − Kurangnya pemahan bahwa masalah kejahatan merupakan masalah kemanusiaan, demikian pula masalah korban. Terjadinya korban pada umumnya tidak dapat dilepaskan dari terjadinya kejahatan itu sendiri. Dengan kata lain, korban selalu mempunyai kedudukan fungsional dalam terjadinya kejahatan. Khusus mengenai peranan pihak korban, seringkali dikatakan bahwa korban dan pelaku mempunyai hubungan fungsional. Bahkan dalam kondisi-kondisi tertentu, korban termasuk yang bertanggung jawab. Artinya, dalam kejahatan-kejahatan tertentu keberadaan korban merupakan syarat mutlak agar kejahatan tersebut terjadi. Peranan korban dalam terjadinya kejahatan tersebut dapat disadari atau tidak disadari. Perkosaan yang dialami oleh seorang wanita akan menimbulkan derita fisik, psikis dan sosial pada dirinya. Penderitaan tersebut akan terus berlanjut apabila korban ternyata mengalami kehamilan. Berbeda dengan kehamilan yang tidak dikehendaki lainnya, misalnya karena kegagalan dalam pemakaian alat kontrasepsi dalam keluarga berencana (KB) atau karena dalam hubungan seks pranikah. Kehamilan karena perkosaan lebih sulit dan berat diterima oleh perempuan atau keluarganya. Sebenarnya korban perkosaan yang hamil dapat memilih satu dari dua alternatif untuk menyikapi kondisinya tersebut, meneruskan kehamilan yang tidak dikehendaki atau melakukan abortus provocatus, tentu dengan 93 masing-masing resiko. Apabila memilih untuk meneruskan kehamilannya, ia harus siap menjadi orang tua tunggal tanpa suami, disamping itu secara sosiologis hal tersebut merupakan pilihan yang berat mengingat kondisi sosiokultural masyarakat kita yang masih memandang rendah, bahkan menabukan seorang perempuan yang hamil tanpa suami sah. Sedangkan jika alternatif kedua yang dipilih, resiko keselamatan jiwa bisa mengancam. Kalaupun abortus provocatus dapat dilakukan dengan selamat, ancaman sanksi pidana sudah menghadang, apabila terbukti abortus provocatus yang dilakukan tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditentukan dalam undang-undang. Mengenai ancaman sanksi pidana bagi pelaku abortus provocatus, dalam hukum pidana (KUHP) dirumuskan adanya ancaman pidana bagi mereka yang melakukan pengguguran kandungan. KUHP tidak memperdulikan latar belakang atau alasan dilakukannya pengguguran kandungan itu. Dengan demikian, apabila abortus provocatus adalah pilihan yang harus diambil dan dilakukan oleh perempuan korban perkosaan, baik atas permintaan diri sendiri maupun melalui bantuan orang lain atas persetujuan ataupun tanpa persetujuan perempuan korban perkosaan, maka dengan menggunakan ketentuan KUHP, perempuan korban perkosaan tidak dapat lepas dari jeratan hukum, sehingga KUHP tidak memberikan perlindungan hukum terhadap perempuan korban perkosaan yang melakukan abortus provocatus. 94 Sedangkan dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, perlindungan hukum yang diberikan terhadap perempuan korban perkosaan yang melakukan pengguguran kandungan (abortus provocatus) menjadi hak dari perempuan tersebut. Artinya pengguguran kandungan (abortus provocatus) yang dilakukan oleh perempuan korban perkosaan diperbolehkan. Seperti yang disebutkan dalam Pasal 75 ayat (2) UndangUndang No. 36 Tahun 2009, salah satu pengecualian terhadap perempuan untuk melakukan aborsi adalah kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan tersebut. Tekanan psikologis yang dialami oleh perempuan yang mengandung karena perkosaan, dapat dimasukkan sebagai indikasi medis untuk melakukan pengguguran kandungan asalkan memenuhi syarat-sayarat sebagaimana yang ditentukan oleh Undang-Undang No. 36 Tahun 2009, sebagai dasar hukum untuk melegalkan tindakan pengguguran kandungan yang dilakukan oleh korban perkosaan, termasuk mereka dalam hal ini adalah tenaga kesehatan yang berkompeten dan memiliki kewenangan yang diberikan oleh undang-undang untuk melakukan pengguguran kandungan. Syarat-syarat tersebut adalah: − melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang (Pasal 75 ayat (3)); − Aborsi tersebut dilakukan: a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu; 95 b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri; c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan. (Pasal 76) Karena tekanan psikologis yang dialami oleh perempuan yang mengandung akibat perkosaan dapat dimasukkan sebagai indikasi medis untuk melakukan pengguguran kandungan, maka perempuan yang menjadi korban perkosaan yang kemudian melakukan aborsi dengan memperhatikan beberapa syarat seperti yang sudah disebutkan di atas mendapatkan perlindungan hukum, dan tidak dapat dituntut secara pidana karena telah melakukan abortus provocatus. Dengan demikian, alasan psikologis yang dialami oleh perempuan korban perkosaan yang melakukan aborsi adalah merupakan alasan penghapus pidana, oleh karenanya pula menjadi pertimbangan dalam hukum pidana khususnya melalui Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap perempuan korban perkosaan yang kemudian hamil, dan memilih abortus provocatus sebagai cara untuk mengakhiri kehamilannya. Dalam KUHP juga diakui adanya alasan-alasan tekanan psikologis tertentu sebagai alasan penghapus pidana. Apabila hal tersebut dikaitkan dengan korban perkosaan, pertanyaannya adalah apakah tekanan psikologis yang dialami korban perkosaan (yang hamil) dapat juga dinilai sebagi suatu alasan pnghapus pidana? Hal itu perlu dipertimbangkan dengan landasan 96 berfikir ilmiah mengingat kenyatannya hampir semua korban perkosaan juga mengalami tekanan psikologis. Pasal 48 KUHP mengakui adanya daya paksa yang dapat menghapuskan pemidanaan bagi barangsiapa yang melakukan tindak pidana. Korban perkosaan dihadapkan pada dua pilihan antara menggugurkan kandungan atau meneruskan kehamilannya. Dalam teori hukum pidana, Moeljatno membagi daya paksa menjadi dua yaitu daya paksa dalam arti sempit atau overmacht dan keadaan darurat atau noodtoestand. Sedangkan noodtoestand sendiri ada 3 kemungkinan, yakni : 1. Orang terjepit antara 2 (dua) kepentingan, dalam hal ini ada konflik antara dua kepentingan; 2. Orang terjepit antara kepentingan dan kewajiban; 3. Orang terjepit antara 2 (dua) kepentingan.82 Dengan mendasarkan pada perkembangan keadaan di masyarakat, pasal ini harus ditafsirkan secara luas. Makna “pengaruh daya paksa” disini termasuk pula opini publik yang mengancam kesehatan psikis korban perkosaan yang hamil. Niat korban perkosaan untuk menggugurkan kandungannya belum tentu hanya berasal dari nuraninya saja, karena ia sadar bahwa embrio/janin tersebut tidak berdosa. Namun ketakutan akan persepsi masyarakat bahwa anak yang ia lahirkan adalah anak di luar nikah, melahirkan anak tanpa suami, anaknya nanti akan dicap sebagai anak haram dan pandangan-pandangan yang bersifat minor lainnya cenderung memicu niat korban perkosaan untuk menggugurkan kandungannya. 82 Moeljatno, Asas....,Op.Cit.,halaman 54. 97 Opini masyarakat tersebut dapat dikategorikan sebagai “daya paksa” (overmacht) yang berasal dari luar diri korban perkosaan dan secara sosiologis memaksa korban perkosaan untuk menggugurkan kandungannya agar dapat terhindar dari stigma-stigma buruk di masyarakat. Aspek ini harus diperhatikan dalam proses pemidanaan oleh hakim. Apabila hal ini diabaikan ada kemungkinan korban perkosaan akan mengalami tekanan psikis bertubitubi tanpa ada kepedulian sama sekali dari masyarakat, aparat penegak hukum maupun pemerintah. Dengan demikian, seorang hakim dalam proses peradilan pidana khususnya dalam kasus abortus provocatus pada korban perkosaan tidak hanya berkedudukan sebagai pelaksana undang-undang saja. Namun lebih dari itu, hakim harus mampu menafsirkan hukum agar pemberlakuannya sesuai dengan situasi dan kondisi saat ini. Lebih jauh lagi, hakim harus mampu menemukan hukum (rechtsvinding) dalam menangani kasus-kasus yang spesifikasinya ada di luar undang-undang. Dengan demikian, hakim sebagai praktisi hukum juga harus berperan serta dalam mengembangkan hukum yang mengandung aspek-aspek keadilan dan kemanfaatan hukum sebagaimana ditegaskan dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tidak hanya bagi para pihak yang bersangkutan namun juga bagi masyarakat luas. Perumusan delik abortus provocatus tidak terlepas dari proses dan konteks sosial pada waktu KUHP itu dibuat. Seperti diketahui, KUHP yang merupakan induk dari hukum pidana (tertulis) di Indonesia itu merupakan 98 hasil konkordansi dari WvS Belanda. Dari perumusan delik yang berkitan dengan perempuan sebagai korbannya dapat disimpulkan, bahwa eksistensi perempuan sebagai manusia utuh belum diakui. Hal ini secara gamblang dapat dilihat dari pereduksian hakekat perempuan sebagai manusia hanya terbatas pada alat kelaminnya, seperti yang dapat dilihat pada pasal tentang perkosaan. Menurut KUHP dikatakan ada perkosaan apabila seorang laki-laki dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksakan persetubuhan dengan perempuan di luar perkawinan. Sedangkan menurut batasan medis, dikatakan ada persetubuhan jika ada penetrasi penis ke dalam vagina. Dengan demikian seorang laki-laki yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksakan oral seks atau anal seks, atau bahkan memasukkan benda-benda lain ke dalam vagina seorang perempuan tidak dapat dijerat dengan pasal perkosaan ini. Demikian juga jika yang melakukan pemaksaan persetubuhan adalah suami dari perempuan tersebut. Aborsi memang mengundang banyak kontroversi, misalnya mengenai hak janin dan hak ibu hamil, atau mengenai konsep awal kehidupan, apakah sejak terjadinya konsepsi atau beberapa minggu/bulan setelah itu. Perbedaaan pandangan inilah yang menyebabkan timbulnya dua aliran yang memperdebatkan masalah aborsi. Menurut K. Bertens dalam Lukman Hakim Nainggolan, Gerakan Pro Life menekankan hak janin untuk hidup. Bagi mereka mengaborsi janin sama dengan pembunuhan (murder) gerakan Pro Choice mengedepankan pilihan si perempuan mau melanjutkan kehamilannya atau mengakhirinya dengan aborsi. Bagi mereka perempuan 99 mempunyai hak untuk memilih antara dua kemungkinan itu, orang lain dalam masalah ini tidak dapat ikut campur.83 Pereduksian eksistensi perempuan sebagai manusia utuh tersebut sekaligus menunjukkan kurang diakuinya atau tidak adanya perlindungan terhadap hak-hak perempuan atas tubuh dan jiwanya. Dalam kasus abortus provocatus ada hak dari perempuan atas tubuh dan jiwanya (karena abortus provocatus seringkali juga mengancam jiwa perempuan yang mengandung ). Soal apakah ada hak dari janin atas tubuh dan jiwanya amat tergantung pada batasan kapan janin dikatakn mempunyai bentuk tubuh seorang manusia serta kapan janin dikatakan mempunai jiwa/nyawa. Apabila janin dianggap mempunyai hak, tanpa mempersoalkan kapan hak itu muncul atau diakui, maka sebenarnya pada kasus abortus provocatus terjadi konflik antara dua hak, yaitu hak perempuan yang hamil bertentangan dengan hak janin. Dengan demikian untuk menentukan apakah perempuan (korban perkosaan) yang melakukan abortus provocatus atas kandungannya dapat dipidana atau tidak dapat dinilai dari kepentingan manakah yang lebih utama. Pertentangan antara kedua pandangan tersebut memang masih dirasakan sampai sekarang. Oleh karena itu melalui legalisasi abortus provocatus pada korban perkosaan dengan memenuhi beberapa syarat seperti yang diatur melalui Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, diharapkan selain memberikan perlindungan hukum terhadap perempuan korban perkosaan yang kemudian hamil dan memilih abortus provocatus 83 Lukman Hakim Nainggolan, “Aspek Hukum.....”, Op.Cit., halaman 98. 100 sebagai cara untuk mengakhiri kehamilannya, juga menjadi alternatif pemecahan masalah yang objektif yang dipilih oleh masyarakat khususnya bagi mereka yang mengalami kehamilan yang tidak dikehendaki sebagai akiat dari tindak pidana perkosaan. Sebenarnya, beberapa Negara yang telah melegalkan aborsi memberi pilihan yang layak bagi ibu-ibu yang memiliki anak di luar nikah. Selain tersedianya klinik aborsi di mana-mana, jika perempuan memutuskan menyimpan janin yang dia kandung, biasanya tersedia dua alternatif: sebagai single mother, atau pengaturan adopsi untuk bayi tersebut. Sebagai single mother dia beserta bayinya akan mendapatkan dukungan material, seperti tunjangan makanan, kesehatan, biaya hidup bahkan sekolah bagi anak dari pemerintah. Tetapi pemerintah Indonesia tidak akan mampu melakukan hal tersebut melihat perekonomian Negara yang sedang mengalami krisis, jangankan mengharapkan tunjangan, perlakuan manusiawi pun sulit di dapat bagi perempuan yang bernasib seperti ini. Perdebatan antara pandangan pro life dan pro choice memang tidak akan pernah selesai dan merupakan pilihan sulit bagi masyarakat yang mengalami kehamilan yang tidak dikehendaki. Pokok dari permasalahan abortus provocatus ini adalah karena adanya kehamilan yang tidak dikehendaki, dan untuk mencegah kehamilan yang tidak dikehendaki tersebut harus ada upaya-upaya dari pemerintah dan masyarakat dalam mencegah permasalahan ini. Dan salah satu upaya yang sudah dilakukan adalah melakukan perubahan yang lebih progresif melalui legalisasi Undang-Undang 101 No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan terhadap abortus provocatus pada korban perkosaan. Oleh karena itu, perlu segera disosialisasikan kepada masyarakat bahwa korban perkosaan adalah tetap manusia yang mempunyai hak sama dengan manusia lainnya. Mereka patut mendapat perlakuan sama dengan manusia lainnya, termasuk penghargaan dan penghormatan serta perlindungan atas haknya untuk melakukan abortus provocatus. Keputusan untuk melakukan abortus provocatus oleh korban perkosaan yang hamil tidak menimbulkan kerugian bagi orang lain. Satu-satunya akibat yang dirasa mengganjal adalah karena keputusan itu menimbulkan gesekan-gesekan dengan norma-norma masyarakat. Tapi sepenjang tidak merugikan orang lain, keputusan untuk melakukan abortus provocatus tetap harus dihormati. Hal ini juga demi kebaikan si korban sendiri daripada meneruskan kehamilannya tetapi menimbulkan banyak dampak buruk jangka panjang baik bagi dirinya sendiri, anak hasil perkosaan tersebut maupun masyarakat luas. Berdasarkan uraian hasil penelitian di atas, berikut ini melalui ilustrasi bagan yang disajikan, penulis mengharapkan dapat memudahkan di dalam memahami objek permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini: 102 Hasil Penelitian Perlindungan Hukum Pidana terhadap Korban Perkosaan yang Melakukan Abortus Provocatus Pengaturan Abortus Provocatus pada Korban Perkosaan dalam Perspektif Hukum Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) KUHP tidak melegalkan abortus provocatus tanpa kecuali, maka abortus provocatus yang dilakukan korban perkosaan, dan mereka yang turut melakukan pengguguran kandungan berdasarkan pengaturan KUHP dapat dikenakan sanksi pidana. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Aborsi karena perkosaan adalah merupakan pengecualian, dan tidak merupakan tindak pidana apabila dilakukan berdasarkan beberapa persyaratan sebagai alasan medis seperti yang diatur dalam Pasal 75 ayat (3) dan Pasal 76 BAB V PENUTUP A. Simpulan 103 KUHP tidak memberikan perlindungan hukum terhadap perempuan korban perkosaan yang melakukan abortus provocatus. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan memberikan perlindungan hukum terhadap abortus provocatus pada korban perkosaan dengan beberapa persyaratan sebagai alasan medis seperti yang diatur dalam Pasal 75 ayat (3) dan Pasal 76 UU No. 36 Tahun 2009. 1. Pengaturan Hukum Pidana tentang pengguguran kandungan (abortus provocatus) terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku sebagai hukum pidana umum (Lex Generale), dan juga dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menggantikan Undang-Undang No. 23 Tahun 1992, dan berlaku sebagai hukum pidana khusus (Lex Speciale). KUHP memberikan status hukum ilegal terhadap aborsi karena tidak membolehkan aborsi tanpa pengecualian dengan alasan apapun juga dan oleh siapapun juga. Dengan kata lain, KUHP tidak membedakan antara abortus provocatus medicinalis/therapeuticus dan abortus provocatus crimnalis Ketentuan ini sejak diundangkannya di zaman pemerintahan Hindia Belanda sampai dengan sekarang ini tidak pernah berubah, dan ketentuan ini berlaku umum bagi siapapun yang melakukan, bahkan bagi dokter yang melakukan dapat dikenakan pemberatan pidana. Sedangkan dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, permasalahan aborsi memperoleh legitimasi dan penegasan. Secara eksplisit, dalam undang-undang ini terdapat pasal-pasal yang mengatur mengenai aborsi, meskipun dalam praktek medis mengandung berbagai reaksi dan menimbulkan kontroversi diberbagai lapisan masyarakat. Meskipun, undang-undang melarang praktik aborsi, tetapi dalam keadaan tertentu terdapat kebolehan, yakni membolehkan aborsi berdasarkan indikasi medis untuk menyeamatkan jiwa ibu dalam keadaan darurat. 104 2. Perempuan sebagai korban perkosaan yang kemudian diketahui mengandung janin sebagai akibat perkosaan yang pernah dialaminya, yang pada akhirnya memilih untuk melakukan aborsi (abortus provocatus), dalam ketentuan hukum pidana khususnya melalui Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tetap mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana yang diatur dalam undang-undang tersebut. Dalam pengertian lain, hukum pidana melalui ketentuan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan memberikan perlindungan hukum terhadap tindakan abortus provocatus pada korban perkosaan dengan beberapa persyaratan sebagai alasan medis seperti yang diatur dalam Pasal 75 ayat (3) dan Pasal 76 UU No. 36 Tahun 2009. B. Saran 1. Seyogjanya “pedoman atau prinsip-prinsip pelaksanaan aborsi terhadap janin hasil perkosaan” perlu dirumuskan secara eksplisit di dalam Peraturan Pemerintah. Untuk itu perlu segera diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) sebagai peraturan pelaksana dari UU No. 36 Tahun 2009 yang mengatur tentang tata cara pelaksanaan aborsi bagi korban perkosaan. Yang menjadi pertimbangan penting sehingga penulis menganggap perlu untuk segera diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) tersebut yaitu, bahwa Peraturan Pemerintah tentang tata cara pelaksanaan aborsi terhadap janin hasil perkosaan, tidak sembarangan bisa dilakukan sebagai jalan keluar bagi pelaku aborsi akibat perkosaan. Selain itu agar 105 Pasal 75 ayat (2) sebagai aturan pengecualian terhadap aborsi tidak dijadikan justifikasi sebagaian orang untuk mempermudah terjadinya aborsi. Dengan demikian sebagai pelaksana lapangan dari UU No. 36 Tahun 2009 ini benar-benar mengetahui kebutuhan nyata masyarakat. Sehingga, UU No. 36 Tahun 2009 menjadi undang-undang yang lahir karena respon kebutuhan sebagai jawaban atas persoalan dan bukan menambah persoalan yang baru. Keberadaan aturan yang dimaksud harus betul memperhatikan segi positif dan negatifnya, karena berkaitan dengan pembentukan moral bangsa secara keseluruhan. 2. Perlu melakukan revisi terhadap UU No. 36 Tahun 2009, khususnya beberapa pasal yang terkait dengan penentuan usia maksimal janin sebagai akibat perkosaan yang boleh diaborsi. Menurut Pasal 76 huruf a UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, seorang perempuan korban pemerkosaan hanya boleh mengakses aborsi yang sah jika kehamilannya kurang dari enam minggu. Kerangka waktu yang pendek ini akan membuat tidak mungkin bagi sebagian besar perempuan yang memerlukan layanan aborsi untuk mengakses layanan semacam itu secara legal. Banyak perempuan tidak menyadari bahwa mereka hamil dalam waktu sesingkat itu, dan korban pemerkosaan karena trauma yang mereka derita mungkin baru mengetahui atau dapat mengakui kehamilan mereka setelah periode enam minggu berakhir. Menurut penulis, pembatasan kehamilan enam minggu yang bersifat mutlak merupakan pembatasan atas akses perempuan 106 terhadap layanan aborsi. Di samping itu, UU Kesehatan mensyaratkan para korban pemerkosaan untuk mendapat konseling sebelum dan sesudah tindakan aborsi oleh konselor guna mengakses layanan aborsi yang sah (Pasal 75 ayat (3)), tapi tidak merinci prosedur bagi seorang perempuan yang hamil karena tindakan pemerkosaan untuk bisa membahas hal ini dengan konselor dengan tujuan mendapatkan aborsi. Kegagalan memperjelas proses ini mendudukkan baik perempuan maupun konselor dalam posisi di mana hak mereka masing-masing untuk mengakses layanan medis, dan tanggung jawab untuk menyediakan akses ke layanan aborsi, tidaklah jelas. Karena ketidakjelasan ini perempuan mungkin mengalami trauma lagi karena harus menceritakan perincian pemerkosaan, atau karena tidak memperoleh akses ke aborsi yang berhak mereka dapatkan, karena konselor tidak tahu kapan boleh secara sah memberikan aborsi dengan alasan pemerkosaan. Keadaan ini khususnya sulit bagi kelompok tertentu yang rentan seperti para perempuan dan gadis yang menjadi pekerja rumah tangga. 3. Perlu kerjasama dari berbagai pihak yang terkait dalam hal memastikan, bahwa proses pelaksanaan aborsi secara sah tidak memberikan trauma kedua kalinya kepada para korban perkosaan, dan tidak membebankan sehingga mungkin mencegah sebagian besar korban, terutama mereka yang tinggal di komunitas miskin, termarginalisasi dan terpencil, untuk mengakses pelaksanaan layanan-layanan aborsi yang aman. Disamping 107 itu, juga memastikan bahwa program-program khusus dengan konselor, penyedia layanan dan pemangku kepentingan lainnya diadakan sehingga para korban perkosaan memiliki akses terhadap layanan-layanan untuk melakukan aborsi yang aman, dan diizinkan menurut undang-undang. 108