hubungan asupan protein dan yodium dengan kejadian gondok

advertisement
HUBUNGAN ASUPAN PROTEIN DAN YODIUM DENGAN
KEJADIAN GONDOK PADA ANAK SD PRINGAPUS DAN SD KATAAN
KECAMATAN NGADIREJO KABUPATEN TEMANGGUNG
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi (S.Gz)
Oleh :
ALPIA PEBRIANA
NIM. 060112a002
PROGRAM STUDI ILMU GIZI
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN NGUDI WALUYO
UNGARAN
AGUSTUS, 2016
HUBUNGAN ASUPAN PROTEIN DAN YODIUM DENGAN
KEJADIAN GONDOK PADA ANAK SD PRINGAPUS DAN SD KATAAN
KECAMATAN NGADIREJO KABUPATEN TEMANGGUNG
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi (S.Gz)
Oleh :
ALPIA PEBRIANA
NIM. 060112a002
PROGRAM STUDI ILMU GIZI
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN NGUDI WALUYO
UNGARAN
AGUSTUS, 2016
i
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Ngudi Waluyo
Program Studi Ilmu Gizi
Skripsi, Agustus 2016
Alpia Pebriana
060112a002
HUBUNGAN ASUPAN PROTEIN DAN YODIUM DENGAN KEJADIAN
GONDOK PADA ANAK SD PRINGAPUS DAN SD KATAAN
KECAMATAN NGADIREJO KABUPATEN TEMANGGUNG
(xv + 72 halaman + 12 tabel + 2 bagan + 13 lampiran)
ABSTRAK
Latar Belakang: Anak usia sekolah merupakan kelompok yang rentan
mengalami gondok. Berdasarkan survei nasional GAKY tahun 2003 oleh
Departemen Kesehatan menunjukkan bahwa angka total goiter rate (TGR) di
Indonesia mencapai 11,3% . Faktor yang mempengaruhi kejadian gondok antara
lain asupan protein dan yodium. Penelitian ini untuk Mengetahui hubungan
asupan protein dan yodium dengan kejadian gondok pada anak SD Pringapus dan
SD Kataan Kecamatan Ngadirejo Kabupaten Temanggung
Metode: Jenis penelitian adalah korelasional menggunakan pendekatan cross
sectional populasi adalah seluruh siswa SD Pringapus dan SD Kataan Kecamatan
Ngadirejo Kabupaten Temanggung dengan sampel sebanyak 102 responden yang
diambil dengan metode Purposive sampling. Identitas, asupan protein, asupan
yodium diukur menggunakan FFQ semi kuantitatif. Gondok diukur menggunkan
metode palpasi. Analisis bivariat menggunakan uji korelasi Kendall Tau (α=
0,05).
Hasil: Asupan protein paling banyak adalah kategori baik yaitu sejumlah 60 siswa
(58,8%), dan yang paling sedikit kategori defisit yaitu sejumlah 4 siswa (3,9%).
Asupan yodium paling banyak adalah kategori sedang yaitu sejumlah 39 siswa
(38,2%), sedangkan asupan yodium kategori defsit sebanyak 19 siswa (18,6%).
Responden yang mengalami gondok sebanyak 25 siswa (24,5%), dan sebagian
besar responden tidak mengalami gondok yaitu sebesar 77 siswa (75,5%). Ada
hubungan asupan protein dan yodium dengan kejadian gondok pada anak SD
Pringapus dan SD Kataan Kecamatan Ngadirejo Kabupaten Temanggung (p = 0,
026, = 0,214 dan p = 0,0001,
0,594)
Simpulan: ada hubungan asupan protein dan yodium dengan kejadian gondok
pada anak SD Pringapus dan SD Kataan Kecamatan Ngadirejo Kabupaten
Temanggung
Kata kunci : asupan yodium, protein, kejadian gondok
Kepustakaan : 50 (1999-2013)
ii
Ngudi Waluyo School of Health
Nutrition Science Study Program
Final Assignment, August 2014
Alpia Pebriana
060112a002
THE CORRELATION BETWEEN PROTEIN AND IODINE INTAKE
WITH GOITER INCIDENCES IN CHILDREN AT PRINGAPUS
ELEMENTARY SCHOOL AND KATAAN ELEMENTARY SCHOOL
NGADIREJO DISTRICT TEMANGGUNG REGENCY
(xiv + 72 pages + 12 tables + 2 pictures +13 appendices )
ABSTRACT
Background: School-age children is a vulnerable group in experiencing goiter.
The national survey of Iodium Deficiency Disorders (IDD) in 2003 by the
Ministry of Health showed that the total goiter rate (TGR) in Indonesia research
11.3%. the factors affecting the incidence of goiter are iodine and protein intake.
This research is to determine the the correlation between protein and iodine intake
with goiter incidences in children at Pringapus Elementary School and Kataan
Elementary School Ngadirejo District Temanggung Regency
Method: This type of research was correlation using cross sectional approach the
entire population of students at the Elementary Schools with the samples of 102
respondents taken with Purposive sampling method. Identity, protein intake,
iodine intake were measured by using the semi quantitative FFQ. Goiter was
measured by using palpation method. Bivariat analysis used the Kendall Tau
correlation test (α = 0.05).
Results: Protein intake was mostly in good category as many as 60 students
(58,8%), and the least category is deficit as many as 4 students (3.9%). The
intake of iodine was mostly in moderate category as many as 39 students (38,2%),
whereas the intake of iodine in deficit category was in 19 students (18.6%). The
respondents who experienced goiter were 25 students (24.5%), and most of the
respondents did not experience goiter as many as 77 students (75.5%). There was
a correlation between protein and iodine intake with goiter incidences in children
at Pringapus Elementary School and Kataan Elementary School Ngadirejo District
Temanggung Regency
(p = 0, 026, τ = 0.214 and p = 0.0001, τ = 0.594)
Conclusion: There correlation between protein and iodine intake with goiter
incidences in children at Pringapus Elementary School and Kataan Elementary
School Ngadirejo District Temanggung Regency
Keywords
References
: iodine intake, protein, incidences of goiter
: 50 (1999-2013)
iii
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi berjudul :
HUBUNGAN ASUPAN PROTEIN DAN YODIUM DENGAN
KEJADIAN GONDOK PADA ANAK SD PRINGAPUS DAN SD KATAAN
KECAMATAN NGADIREJO KABUPATEN TEMANGGUNG
Disusun oleh:
ALPIA PEBRIANA
NIM. 060112a002
Telah dipertahankan di depan Tim Penguji Skripsi Program Studi Ilmu Gizi
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Ngudi Waluyo, pada :
Hari
: Senin
Tanggal
: 22 Agustus 2016
Tim Penguji :
Ketua/Pembimbing Utama
Dr. Sugeng Maryanto, M.Kes
NIDN. 0025116210
Anggota / Penguji
Anggota / Pembimbing Pendamping
Galeh Septiar Pontang, S.Gz., M.Gizi.
NIDN. 0618098601
Indri Mulyasari, S.Gz., M.Gizi
NIDN. 0603058501
Ketua Program Studi Ilmu Gizi
Indri Mulyasari, S.Gz., M.Gizi
NIDN. 0603058501
iv
RIWAYAT HIDUP PENELITI
Nama
: Alpia Pebriana
Tempat, Tanggal lahir
: Sukamulia, 10 Februari 1993
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Warga negara
: Indonesia
Alamat
: Dusun Padasuka, Kec. Lunyuk, Kab. Sumbawa
Provinsi Nusa Tenggara Barat
Riwayat Pendidikan
:
1. SD N 1 Sukamulia
: Tahun 1999 – 2005
2. SMP N 1 Sukamulia
: Tahun 2005 – 2008
3. SMA N 1 Lunyuk
: Tahun 2008 – 2011
4. STIKes Ngudi Waluyo
: Tahun 2012 – sekarang
v
PERNYATAAN ORISINILITAS
Yang bertanda tangan di bawah ini saya,
Nama
: Alpia Pebriana
Nim
: 060112a002
Mahasiswa
: Program Studi Ilmu Gizi
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Ngudi Waluyo
Dengan ini menyatakan bahwa
:
1. Skripsi berjudul” Hubungan Asupan Protein dan Yodium Dengan
Kejadian Gondok Pada Anak SD Pringapus dan SD Kataan
Kecamatan Ngadirejo Kabupaten Temanggung” adalah karya ilmiah
asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik
apapun di Perguruan Tinggi manapun
2. Skripsi ini merupakan ide dan hasil karya murni saya yang dibimbing dan
dibantu oleh tim pembimbing dan narasumber
3. Skripsi ini tidak memuat karya atau pendapat orang lain yang telah
dipublikasikan kecuali secara tertulis dicantumkan dalam naskah sebagai
acuan dengan menyebut nama pengarang dan judul aslinya serta
dicantumkan dalam daftar pustaka
4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian
hari terdapat penyimpangan dan ketidak benaran di dalam pernyataan ini,
saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang
telah saya peroleh dan sanksi lain sesuai dengan norma yang berlaku di
STIKes Ngudi Waluyo.
Semarang, Agustus 2016
Yang membuat pernyataan,
Alpia Pebriana
vi
KATA PENGANTAR
Segala Puji kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya, dan
partisipasi dari berbagai pihak yang telah banyak membantu, sehingga skripsi
dengan judul “Hubungan Asupan Protein dan Yodium dengan kejadian Gondok
Pada Anak SD Pringapus dan SD Kataan Kecamatan Ngadirejo Kabupaten
Temanggung” dapat diselesaikan.
Berkat dukungan dari berbagai pihak, maka skripsi ini dapat terselesaikan
dengan baik, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Dr.Sugeng Maryanto, M.Kes ketua STIKes Ngudi Waluyo dan sebagai
pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktu dalam memberikan
arahan, bimbingan, kritik dan saran dalam penyusunan skripsi ini
2. Ibu Indri Mulyasari S.Gz., M. Gizi ketua Program Studi Ilmu Gizi STIKes
Ngudi Waluyo dan sebagai pembimbing II yang telah banyak meluangkan
waktu dalam memberikan arahan, bimbingan, kritik dan saran dalam
penyusunan skripsi ini
3. Bapak, ibu dosen dan Staf STIKes Ngudi Waluyo yang telah banyak membatu
dalam kelancaran skripsi ini.
4. Kepala Sekolah SD Pringapus dan SD Kataan Kecamatan Nagdirejo
Kabupaten Temanggung yang telah memberikan izin dalam penelitiannya
5. Siswa dan siswi SD Pringapus dan SD Kataan Kecamatan Nagdirejo
Kabupaten Temanggung atas bantuannya.
vii
6. Kedua orang tua penulis, Bapak Ahmad, Ibu Helmiah, Yanti, Opik dan semua
keluarga tercinta yang merupakan motivator terhebat dan orang yang berjasa
dalam hidup penulis serta unutk kasih sayang, dukungan dan do’a yang selalu
mengalir tiada henti
7. Terimakasih untuk, Kholik khurdi, Dwi mone hermawan, adik adik kos yang
sudah memberikan semangat dan motivasi dalam pengerjaan skripsi ini
8. Terimakasih untuk sahabat saya Candra, Erma, Silvi, Fika, Ovyka, Nita yang
telah memberikan motivasi
9. Seluruh teman-teman program Studi Ilmu Gizi angkatan 2012 yang telah
memberikan dukungan dan motivasi dalam penyelesaian skripsi ini dan semua
pihak yang tidak dapat saya disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi penelitian ini masih
jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun guna kesempurnaan skripsi ini. Besar harapan penulis Semoga
skripsi ini dapat memberikan sumbangan dan manfaat bagi semua pihak. Amin
Ungaran,
Agustus 2016
Penulis
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i
ABSTRAK .......................................................................................................... ii
ABSTRACT ....................................................................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ........................................................................... v
PERNYATAAN ORISINALITAS ..................................................................... vi
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xii
DAFTAR GAMBAR .........................................................................................xiii
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................xiv
BAB I
PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A. Latar Belakang .................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................... 4
C. Tujuan Penelitian ................................................................................ 4
D. Manfaat Penelitian .............................................................................. 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 6
A. Tinjauan Teori ..................................................................................... 6
1. Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) ........................... 6
2. Kejadian Gondok ............................................................................. 7
a.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian gondok ...... 8
b.
Pemeriksaan gondok ................................................................ 11
ix
3. Asupan protein ................................................................................ 15
a.
Pengertian protein ....................................................................15
b.
Fungsi Protein ........................................................................... 16
c.
Sumber protein ...........................................................................18
d.
Kebutuhan protein .....................................................................19
e.
Metabolisme protein..................................................................20
f.
Akibat kekurangan dan kelebihan protein.................................21
g.
Faktor-faktor yang mempengaruhi asupan protein ...................22
4. Asupan Yodium................................................................................26
a.
Pengertian yodium ...................................................................26
b.
Fungsi yodium ...........................................................................26
c.
Sumber yodium .........................................................................27
d.
Kebutuhan yodium ....................................................................28
e.
Metabolisme yodium .................................................................29
f.
Akibat kekurangan dan kelebihan yodium ................................30
g.
Faktor-faktor yang mempengaruhi asupan yodium ..................31
5. Cara pengukuran Asupan Protein dan Yodium ..............................35
B. Kerangka Teori ....................................................................................39
C. Kerangka Konsep .................................................................................39
D. Hipotesis Penelitian .............................................................................40
x
BAB III METODE PENELITIAN .....................................................................41
A. Desain Penelitian ..................................................................................41
B. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian ...............................................41
C. Populasi dan Sampel .............................................................................41
D. Definisi Operasional ............................................................................42
E. Prosedur Penelitian ...............................................................................43
F. Etika penelitian .....................................................................................46
G. Pengolahan data ...................................................................................47
H. Analisis Data .........................................................................................49
BAB IV HASIL PENELITIAN .........................................................................51
A. Karakteristik Responden .......................................................................51
B. Analisis Univariat .................................................................................52
C. Analisis Bivariat....................................................................................53
BAB V PEMBAHASAN ...................................................................................55
A. Analisis Univariat .................................................................................55
B. Analisis Bivariat....................................................................................58
C. Keterbatasan penelitian .........................................................................65
BAB IV PENUTUP ...........................................................................................67
A. Simpulan ...............................................................................................67
B. Saran .....................................................................................................68
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................69
LAMPIRAN
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Speaktrum GAKY ............................................................................
6
Tabel 2.2 Angka kecukupan protein yang dianjurkan (per orang per hari)
berdasarkan golongan umur ............................................................. 19
Tabel 2.3 Kandungan yodium dalam bahan makanan ..................................... 27
Tabel 2.4 Angka kecukupan yodium (µg/hari) berdasarkan golongan umur ... 28
Tabel 3.1 Definisi Operasional ......................................................................... 42
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Umur Responden ....................... 51
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Berdasrkan Jenis Kelamin Responden ............ 51
Tabel 4.3 Distribusi frekuensi asupan protein responden ................................ 52
Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Asupan Yodium Responden ........................... 52
Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Kejadian Gondok Pada Responden ................ 52
Tabel 4.6 Hubungan Asupan Protein Dengan Kejadian Gondok ..................... 53
Tabel 4.7 Hubungan Asupan Yodium Dengan Kejadian Gondok ................... 54
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Kerangka Teori ................................................................................ 39
Gambar 2.2 Kerangka Konsep ............................................................................ 39
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Data Penelitian
Lampiran 2
Tabulasi SPSS
Lampiran 3
Jadwal Penelitian
Lampiran 4
Rincian Anggaran Penelitian
Lampiran 5
Pernyataan Kepada Responden
Lampiran 6
Lembar Persetujuan menjadi Responden
Lampiran 7
Form Frekuensi Pangan Semikuantitatif
Lampiran 8
Langkah-langkah Pemeriksaan Kelenjar Gondok
Lampiran 9
Surat Izin Studi Pendahuluan
Lampiran 10 Balasan Surat Izin Studi Pendahuluan
Lampiran 11 Surat Izin Penelitian
Lampiran 12 Surat Balasan Penelitian
Lampiran 13 Gambar Penelitian
xiv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) merupakan salah satu
masalah kesehatan yang serius serta mempunyai dampak secara langsung pada
kelangsungan hidup dan kualitas sumber daya manusia. Kelompok masyarakat
yang sangat rawan terhadap masalah dampak defisiensi yodium adalah wanita
usia subur (WUS), ibu hamil, anak balita dan anak usia sekolah (Santoso, et
al.,2006)
Berdasarkan hasil Riskesdas pada tahun 2013 prevalensi GAKY di
Indonesia mencapai 11,1% (Riskesdas, 2013). Survei GAKY yang dilakukan
oleh Universitas Diponegoro bekerjasama dengan Direktorat Gizi Masyarakat
Depkes RI tahun 2004 memberikan gambaran adanya kenaikan kembali
endmisitas GAKY di Jawa Tengah, angka TGR naik dari 4,5% menjadi 6,56%
(Depkes RI, 2004). Pemetaan GAKY pada anak sekolah yang dilakukan
melalui survei nasional GAKY tahun 2003 oleh Departemen Kesehatan
menunjukkan bahwa angka total goiter rate (TGR) di Indonesia mencapai
11,3% (Depkes RI, 2004).
Anak usia sekolah dasar rentan terhadap terjadinya GAKY, karena
pada masa ini anak dalam masa pertumbuhan dan perkembangan. GAKY pada
anak sekolah dasar menyebabkan terjadinya pembesaran kelenjar gondok,
gangguan pertumbuhan fisik dan gangguan fungsi mental yang dapat
1
berakibat pada rendahnya prestasi belajar anak usia sekolah dan mempertinggi
persentase anak tinggal kelas dan putus sekolah (Arisman, 2009). Hasil
penelitian yang dilakukan Rusdiana (2013) tentang prestasi belajar anak
sekolah dasar penderita GAKY dan Non GAKY di SD Negeri Ngargoyoso 2
Kabupaten Karanganyar menunjukkan sebagian besar subjek yang menderita
GAKY memiliki prestasi belajar yang kurang baik.
Faktor yang berperan terhadap kejadian GAKY, antara lain pola
konsumsi rendahnya protein, kekurangan yodium baik dari makanan dan
minuman, tingginya konsumsi zat goitrogenik, genetika, stataus gizi, penyakit
infeksi seperti diare dan infeksi saluran pernafasan akut, kandungan yodium
dalam garam, letak geografis, pendidikan orang tua, pendapatan, ketersediaan
pangan, sosial budaya (Adriani, dkk, 2012).
Asupan protein yang rendah dalam makanan menyebabkan gangguan
pengambilan yodium oleh kelenjar tiroid (Andriani, dkk, 2012). Protein
merupakan salah satu faktor yang berperan dalam transportasi hormon tiroid.
Jika asupan protein rendah maka dimungkinkan dapat menghambat
transportasi hormon tiroid yang dibutuhkan untuk merangsang produksi TSH
(Djokomoeljanto,1994) dan dibutuhkan dalam pembentukan triglobulin, jadi
jika protein tidak terpenuhi maka hormon tiroid tidak akan mampu
membentuk triglobulin (Greenspan, 2000).
Berdasarkan hasil penelitian Salim 2006 menemukan bahwa ada
hubungan yang signifikan antara asupan protein dengan kejadian gondok pada
anak sekolah dasar (p=0,002), hal ini menunjukkan bahwa subjek yang
2
memiliki pola makan sumber protein kategori kurang mempunyai peluang
menderita gondok dibandingkan dengan subjek yang tidak menderita gondok.
Selain kekurangan protein, yodium juga sangat berpengaruh terhadap
kejadian gondok, kekurangan yodium dalam makanan sehari-hari yang
berlangsung lama akan mengganggu fungsi kelenjar tiroid, bila sintesis
hormon tiroid berkurang kadar tiroksin (T4)dan T3 di dalam darah memicu
sekresi Thyroid Stimulating Hormone (TSH) merangsang kelenjar tiroid untuk
menyerap lebih banyak yodium. Hal ini menyebabkan kelenjar tiroid bekerja
lebih giat, sehingga secara perlahan kelenjar inimembesar (hyperplasia) dan
disebut gondok (Hetzel, 1999).
Panjaitan (2007) menemukan bahwa konsumsi sumber yodium
berpengaruh terhadap kejadian gondok pada anak SD (p=0,046) hal ini
menunjukkan bahwa anak SD yang sering mengkonsumsi bahan makanan
yang sarat akan yodium mempunyai kemungkinan yang lebih kecil terkena
gondok dibandingkan anak yang tidak mengkonsumsi pangan sumber yodium.
Hasil palpasi yang dilakukan petugas Kesehatan di Kecamatan
Ngadirejo pada anak usia sekolah dasar pada tahun 2015 dari 2634 sampel
yang periksa, penderita gondok sebanyak 460 orang anak (17,46%),
Sedangkan di SD Kataan 76 sampel yang diperiksa jumlah penderita gondok
sebanyak 20 orang anak ( 26,32%) dan SD Pringapus dari 76 sampel yang
diperiksa jumlah penderita gondok sebanyak 20 orang anak ( 26,32%).
Persentase gondok tertinggi di SD Kataan dan SD Pringapus dari 31 SD di
Kecamatan Ngadirejo.
3
Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan kepada 10 siswa
di SD Pringapus dan SD Kataan, dari hasil pemeriksaan palpasi terdapat 4
siswa (40%) teridentifikasi gondok grade I. Dari hasil wawancara
menggunakan food frequency questionner (FFQ) dari 4 siswa terdapat 50%(2
siswa) mempunyai asupan protein dalam kategori defisit, dan 50% (2 siswa)
dalam kategori normal, sedangkan untuk asupan yodium dari 4 siswa terdapat
(75%), 3 siswa mempunyai asupan iodium dalam kategori defisit, dan 25% (1
siswa)
mempunyai asupan dengan kategori normal. Berdasarkan uraian
tersebut, maka penulis tertarik untuk meneliti tentang “Hubungan asupan
protein dan yodium dengan kejadian gondok pada anak SD Pringapus dan SD
Kataan Kecamatan Ngadirejo Kabupaten Temanggung.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut : “Apakah ada hubungan asupan protein dan yodium dengan
kejadian gondok pada anak SD Pringapus dan SD Kataan Kecamatan
Ngadirejo Kabupaten Temanggung”.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan asupan
protein dan yodium dengan kejadian gondok pada anak SD Pringapus dan
SD Kataan Kecamatan Ngadirejo Kabupaten Temanggung.
4
2. Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan asupan protein pada anak SD Pringapus dan SD
Kataan Kecamatan Ngadirejo Kabupaten Temanggung
b. Mendeskripsikan asupan yodium pada anak SD Pringapus dan SD
Kataan Kecamatan Ngadirejo Kabupaten Temanggung
c. Mendeskripsikan kejadian gondok pada anak SD Pringapus dan SD
Kataan Kecamatan Ngadirejo Kabupaten Temanggung
d. Menganalisis hubungan asupan protein dengan kejadian gondok pada
anak SD Pringapus dan SD Kataan Kecamatan Ngadirejo Kabupaten
Temanggung
e. Menganalisis hubungan asupan yodium dengan kejadian gondok pada
anak SD Pringapus dan SD Kataan Kecamatan Ngadirejo Kabupaten
Temanggung
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Penelitian selanjutnya
Sebagai bahan refrensi mengenai hubungan asupan protein dan yodium
dengan kejadian gondok pada anak sekolah dasar.
2. Bagi Institusi Kesehatan
Sebagai data dan informasi yang berguna dalam kegiatan perencanaan di
bidang kesehatan.
3. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan sebagai informasi
tentang masalah gizi masyarakat khusunya masalah gondok.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjuan Teori
1. Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY)
Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) menurut Depkes
RI tahun 1997 adalah sekumpulan gejala atau kelainan yang ditimbulkan
karena tubuh menderita kekurangan yodium secara terus menerus dalam
waktu lama yang berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan
mahluk hidup (manusia dan hewan). GAKY atau iodine Deficiency
Disordes (IDD) merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan
berbagai akibat dari kekurangan yodium pada suatu penduduk dan
gangguan ini bisa dicegah dengan mengatasi kekurangan yodium
(Djokomoeljanto, 2002)
Rangkaian gangguan speaktrum kekurangan yodium baik secara
fisik maupun mental sejak dalam kandungan sampai dewasa sangat
bervariasi sesuai dengan tingkat tumbuh kembang manusia. Speaktrum
GAKY menurut WHO dapat dilihat pada tabel 2.1
Tabel 2.1 Speaktrum GAKY
Tahap Perkembangan
Fetus
Bentuk Gangguan
Aborsi, lahir mati, gangguan
kongenital,
kretin
neurologik,
defisiensi mental, bisu, tuli, diplegia
(paralisis bilateral) spastika, mata
juling,
kretin
hipitiroidisme:
defisiensi
mental,
kerdil,
hipotiroidsm, defek psikomotorik
6
Tahap Perkembangan
Neonatus
Anak dan remaja
Dewasa
Semua umur
Bentuk Gangguan
Kenaikan
mortalitas
perinatal,
hipotiroidi
neonatus,
retardasi
mental dan perkembangan fisik
Gondok , hipotiroidisme juvenil,
fungsi mental, perkembangan fisik
terhambat, gondok,
Goiterdengan komplikasi “IodineInduced Hyperthyroidism”
Goiter,
hipotiroidisme,
fungsi
mental terganggu. Suseptibilitas
meningkat akibat radiasi nuklir
Sumber: WHO, 2001
2. Kejadian Gondok
Gondok merupakan pembesaran kelenjar tiroid yang terdapat di
bagian depan leher yang merupakan reaksi atas kekurangan unsur yodium
(Suharyo dkk, 2001).
Mekanisme timbulnya goiter sebgai berikut ;
kekurangan yodium mencegah produksi hormon tiroksin dan triodotironin
tetapi tidak tersedia hormon yang dapat dipakai untuk menghambat
produksi TSH oleh hipofise anterior, sehingga kelenjar hipofise menskresi
banyak sekali TSH, selanjutnya TSH akan menyebabkan sel-sel tiroid
menskresi triglobulin (koloid) dalam jumlah yang banyak, sehingga
kelenjar tumbuh semakin membesar dengan ukuran 10 samapi 30 kali
ukuran normal. Pembesaran kelenjar tiroid (hipertropi atau hyperplasia
epitel folikular) sebagai suatu respon terhadap terjadinya akumulasi
defisiensi yodium(Guyton, et al, 1997).
7
a. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian gondok
1) Konsumsi rendah protein
Gangguan akibat kekurangan yodium secara tidak langsung
dapat disebabkan oleh asupan protein yang rendah. Protein
(albumin, globulin, prealbumin) merupakan alat transport hormon
tiroid. Protein transport berfungsi mencegah hormon tiroid keluar
dari sirkulasi dan sebagai cadangan hormon (Rachmawati B dan
Tjahjati DM 2006). Berdasarkan hasil penelitian Salim 2006
menemukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara asupan
protein dengan kejadian gondok pada anak sekolah dasar
(p=0,002).
2) Kekurangan yodium
Kekurangan yodium merupakan sebab utama terjadinya
gondok endemis. Kekurangan yodium timbul ketika konsumsi
yodium jauh dibawah standar yang direkomendasikan. Konsumsi
yodium jauh dibawah standar yang mencukupi, kelenjar tiroid
tidak akan mampu mensekresikan hormon tiroid yang cukup
sehingga menyebabkan gondok (Arifah, 2007). Berdasarkan hasil
penelitian Retno (1999) menemukan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara asupan yodium dengan kejadian gondok (p<
0,05).
8
3) Zat goitrogenik
Zat goitrogenik adalah senyawa yang dapat mengganggu
struktur dan fungsi hormon tiroid secara langsung dan tidak
langsung. Secara langsung zat goitrogenik menghambat up take
yodida anorganik oleh kelenjar tiroid. Seperti tiosianat dan
isotiosianat menghambat proses tersebut karena berkompetisi
dengan yodium. Menghambat oksidasi yodida anorganik dan
inkorporasi yodium yang sudah teroksidasi dengan asam amino
tirosin
untuk
membentuk
monoiodotyrosine
(MIT)
dan
diodotyrosine (DIT) serta menghambat proses coupling yang
dimediasi oleh enzim thyroid peroxidase (TPO). Menghambat
pelepasan hormon tiroid (T3 dan T4) ke dalam sirkulasi darah.
Secara tidak langsung hormon thyrotropin dapat menurunkan
sintesis dan pelepasan T4 dan T3 serta involusi kelenjat tiroid
(Kartasurya, 2006)
Beberapa
kelompok
bahan
goitrogenik
berdasarkan
mekanisme kerjanya, atau mekanisme yang dipengaruhi di dalam
proses sintesis hormon dari kelenjar tiroid, bahan-bahan tersebut
adalah : (a). Kelompok tiosianat (cyanogenicglycosides), bekerja
dengan menghambat mekanisme trasportasi aktif yodium ke dalam
kelanjar tiroid, misalnya: singkong, rebung, dan ubi jalar; (b).
Kelompok
tioglikosid,
mekanisme
kerjanya
mempengaruhi
oksidasi, organifikasi dan coupling, misalnya : bawang merah,
9
proteolisis, pelepasan dan halogenasi, misalnya : ganggang laut,
asupan yodium yang lebih besar dari 2 g sehari akan menghambat
sintesis,
dan
pelepasan
hormon
(Djokomoeljanto,1994).
Berdasarkan penelitian Salim 2006 menemukan bahwa ada
hubungan zat goitrogenik dengan pembesaran kelenjar gondok
anak SD (p<0,01)
4) Genetika
Kelainan
genetik
yang
menyebabkan
gangguan
pembentukan enzim yang berperan dalam proses sintesa hormon
tiroid, mulai dari iodide transport sampai dengan proses kopleng
dari iodotirosin. Kelainan genetik ini diturunkan secara auotosomal
represif. Telah dilaporkan terjadinya gondok akibat gangguan
transport tyroglobulin yang memungkinkan disebabkan oleh mutasi
gen yang mengatur pembentukan tyroglobulin. Tetapi faktor
genetik masih belum jelas apakah berperan sendiri atau bersamasama faktor lain dalam menyebabkan terjadinya gondok. Tetapi
Sirotkin dan Chuprun ( 1979), melaporkan bahwa seseorang yang
di dalam sebuah keluarga memiliki satu penderita gondok memiliki
resiko dua kali lebih besar dari pada mereka yang berasal dari
keluarga non gondok. Resiko ini meningkat menjadi empat kali
pada mereka yang memiliki dua atau lebih anggota keluarga yang
menderita gondok (Dachroni, 2007)
10
b. Pemeriksaan gondok
Dalam rangka penentuan pembesaran gondok, maka metode
yang digunakan adalah inspeksi (pengamatan) dan palpasi (perabaan).
Metode inspeksi digunakan sebagai alat untuk menduga apakah ada
pembesaran atau tidak, sedangkan untuk mengkonfirmasi apakah ada
pembesaran betul-betul pembesaran kelenjar gondok, maka perlu
dilakukan palpasi, sehingga palpasi disebut juga sebagai alat
konfirmasi (Supariasa, 2002)
1) Palpasi
Pengukuran dengan palpasi telah menjadi standar untuk
mengukur gondok. Pada anak usia sekolah masih sangat mudah
dan cepat bereaksi terhadap asupan yodium dari luar. Kasus
gondok pada anak sekolah yang berusia 6-12 tahun dapat dijadikan
sebagai petunjuk dalam perkiraan besaran GAKY di masyarakat
pada suatu daerah (Arisman, 2010).
Pemeriksaan dengan palpasi difokuskan pada anak sekolah
dengan usia 10 sampai 12 tahun, terdapat alasan untuk tidak
melakukan palpasi pada kelompok usia lebih muda, semakin muda
usia seorang anak akan lebih kecil ukuran tiroid, sehingga tidak
sensitiv untuk pemeriksaan dengan metode palpasi (WHO,
UNICEF, ICCIDD, 2001).
Beberapa kelebihan palpasi adalah tidak membutuhkan
biaya mahal dan pralatan, menjangkau objek yang banyak dalam
11
waktu pendek, tidak infansif, tidak butuh keterampilan tinggi,
khususnya grade 0 dan 1, bahkan dibuktikan dengan penelitian bisa
mencapai 40% (Rachmawati B dan Tjahjati DM 2006).
2) Teknik Palpasi
Cara melakukan pemeriksaan palpasi/ kelenjar tiroid adalah
sebagai berikut :
a) Responden berdiri tegak atau duduk menghadap pemeriksa
b) Pemeriksa melakukan pengamatan di daerah leher depan
bagain bawah terutama pada lokasi kelenjar gondoknya.
c) Pemeriksa mengamati apakah ada pembesaran kelenjar gondok
(termasuk tingkat II atau III)
d) Kalau bukan, responden diminta untuk menengadah dan
menelan ludah. Hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah
yang ditemukan adalah kelenjar gondok atau bukan. Pada
gerakan menelan, kelenjar gondok akan ikut terangkat ke atas.
e) Pemeriksa berdiri di belakang responden dan melakukan
palpasi. Pemeriksa meletakkan dua jari telunjuk dan dua jari
tengahnya pada masing-masing lobus kelenjar gondok.
Kemudian lakukan palpasi dengan meraba dengan kedua
f) Menentukan (mendiagnosis) apakah responden menderita
gondok atau tidak. Apabila salah satu atau kedua lobus kelenjar
lebih kecil dari ruas terakhir ibu jari responden, berarti orang
tersebut normal. Apabila salah satu atau kedua lobus ternyata
12
lebih besar dari ruas terakhir ibu jari responden maka
responden menderita gondok
Dalam
melakukan
palpasi
gondok,
pemeriksa
harus
memeperhatikan kondisi sebagai berikut:
a) Cahaya hendaknya cukup menerangi bagaian leher responden
b) Pada saat mengamati kelenjar gondok, posisi mata pemeriksaan
harus sejajar dengan leher respnden
c) Palpasi (perabaan) jangan dilakukan dengan tekanan terlalu
keras atau terlalu lemah. Tekanan yang terlalu keras akan
mengakibatkan kelenjar masak atau pindah ke bagian belakang
leher, sehingga pembesaran tidak teraba (Supariasa, 2002).
3) Klasifikasi gondok berdasarkan pemeriksaan palpasi
Menurut WHO, UNICEF, ICCIDD, 2001 ukuran kelenjar
tiroid dapat dibedakan menjadi beberapa derajat (grade) :
a)
Grade 0 : normal/tidak ada gondok (tidak tampak negative)
b) Grade I : ada massa pada bagian leher yang konsisten dengan
kelenjar tiroid yang membesar, dan massa tersebut dapat
dipalpasi kendati tidak dapat dilihat ketika leher berada dalam
posisi normal serta bergerak ketika orang yang diperiksa
melakukan gerakan menelan.
c)
Grade II : pembesaran pada bagian leher yang terlihat ketika
berada dalam posisi normal dan konsisten dengan kelenjar
tiroidyang membesar ketika leher dipalpasi.
13
4) Pengukuran Prevalensi Gondok
TGR dilakukan dengan pemeriksaan kelenjar tiroid gondok
dengan metode palpasi. Mengukur tingkat endemisitas gondok
(masalah GAKY) di suatu wilayah dipakai Angka Prevalensi
Gondok. Ukuran angka prevalensi gondok terdapat dua macam,
yaitu Prevalensi Gondok Total (Total Goitre Rate = TGR) dan
Prevalensi Gondok Tampak (Visible Goitre Rate = VGR). Angka
prevalensi gondok total (TGR) dihitung berdasarkan stadium
pembesaran baik yang teraba (palpable) maupun yang terlihat
(visible). Sedangkan angka prevalensi gondok tampak (VGR)
dihitung berdasarkan stadium pembesaran yang hanya terlihat
(visible) (Suapriasa, 2002).
Cara menghitung TGR dan VGR seperti terdapat pada
rumus di bawah ini :
TGR =
VGR =
x 100%
x 100%
Khusus mengenai pembesaran kelenjar gondok, kriteria
yang dipakai saat ini adalah TGR yaitu pembesaran kelenjar
gondok drajat I dan II. Bila di suatu daerah TGR lebih besar dari
pada 5% maka daerah itu dapat dikatakan endemik gondok atau
daerah yang harus mendapat perhatian, karena sudah menjadi
masalah kesehatan masyarakat khususnya masalah GAKY.
14
Untuk kegawatannya menurut WHO 1994 dalam Supariasa
2002 dapat dibagi menjadi :
a)
Endemik berat, bila TGR > 30%
b) Endemik sedang, bila TGR 20 – 29,9%
c)
Endemik ringan, bila TGR 5 – 19,9%
d) Non endemik, bila TGR < 5%
3. Asupan Protein
a.
Pengertian Protein
Istilah perotein berasal dari kata Yunani proteos, yang berarti
yang utama atau yang didahulukan. Protein adalah bagian dari semua
sel hidup dan merupakan bagian terbesar tubuh sesudah air. Seperlima
bagian tubuh adalah protein, setengahnya ada di dalam otot, seperlima
di dalam tulang dan tulang rawan, sepersepuluh di dalam kulit, dan
selebihnya di dalam jaringan lain dan cairan tubuh. Semua enzim,
berbagai hormon, pengangkut zat-zat gizi dan darah, matriks
intraseluler dan sebagainya adalah protein (Almatsier, 2009).
Protein merupakan suatu zat makanan yang sangat penting
bagi tubuh karena zat ini disamping berfungsi sebagai bahan bakar
dalam tubuh juga berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur.
Protein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung unsurunsur C, H, O dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat
(Winarno, 2003).
15
Protein dalam bahan makanan yang dikonsumsi manusia akan
diserap oleh usus dalam bentuk asam amino, kadang-kadang beberapa
asam amino yang merupakan peptida dan molekul-molekul protein
kecil dapat juga diserap melalui dinding usus, masuk ke dalam
pembuluh darah (Winarno, 2003). Rendahnya konsumsi protein dapat
berpengaruh terhadap pembentukan hormone tiroid, defisiensi protein
dapat menyebabkan tingginya T3 dan T4 dalam bentuk triglobulin.
b.
Fungsi Protein
Protein mempunyai fungsi khas yang tidak dapat digantikan
oleh zat gizi lain, yaitu membangun serta memelihara sel-sel jaringan
tubuh (Almatsier, 2009).
Fungsi utama protein bagi tubuh adalah sebagai berikut (Muchtadi,
2010) :
1) Protein menggantikan protein yang hilang selama proses
metabolisme
yang
normal.
Protein
akan
hilang
dalam
pembentukan rambut serta kuku dan sebagai sel-sel mati yang
lepas dari permukaan kulit dan dalam sekresi pencernaan.
2) Protein untuk pembentukan ikatan-ikatan esensial, hormonhormon, seperti tiroid, insulin, dan epinefrin berikatan dengan
protein, demikian pula berbagai enzim. Hormon tiroid terikat
dengan globulin pengikat-protein (TBG; tiroid-binding globulin).
Hormon tiroid yang lain berada dalam keadaan terikat dengan
albumin dan prealbumin pengikat tiroid. Bila seluruh hormon
16
tiroid dalam keadaan tidak terikat atau dalam keadaan bebas,
hormon tiroid bebas itu akan habis digunakan oleh tubuh hanya
dalam waktu beberapa jam saja, dengan adanya plasma protein
yang mengikat hormon tiroid dan dilepaskan sesuai dengan
kebutuhan.
3) Protein untuk regulasi keseimbangan air, mengatur keseimbangan
air, cairan-cairan tubuh terdapat dalam tiga kompartemen:
intraseluler (di dalam sel), ekstraseluler atau interselular (di luar
sel), intravaskular (di dalam pembuluh darah).
4) Untuk mempertahankan netralitas tubuh, memelihara netralitas
tubuh, protein tubuh bertindak sebagai buffer, yaitu bereaksi
dengan asam basa untuk pH pada taraf konstan.
5) Untuk
pembentukan
memerangi
infeksi
antibodi,
bergantung
kemampuan
pada
tubuh
untuk
kemampuan
tubuh
memproduksi anti bodi.
6) Untuk transport zat gizi, mengangkut zat-zat gizi dari saluran
cerna ke dalam darah, dari darah ke jaringan-jaringan, dan melalui
membran sel ke dalam sel-sel.
Protein dibutuhkan oleh tubuh sebagai bahan pengganti sel-sel
yang rusak, bahan tumbuh kembang. Bila tubuh kekurangan protein,
maka tubuh tidak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik
sehingga akan mempengaruhi status gizi (Almatsier, 2009).
17
c.
Sumber Protein
Sumber protein bagi manusia dapat digolongkan menjadi dua
macam, yaitu sumber protein konvensional dan non-konvensional.
Sumber protein konvensional adalah yang berupa hasil-hasil pertanian
pangan serta produk-produk hasil olahannya. Berdasarkan sifatnya,
sumber protein konvensional dibagi lagi menjadi dua golongan yaitu
sumber protein nabati dan sumber protein hewani (Muchtadi, 2010).
Berdasarkan sifatnya sumber protein konvensional dibagi
menjadi dua yaitu (Muchtadi, 2010) :
(1) Sumber protein hewani
Hasil-hasil hewan yang umum digunakan sebagai sumber
protein adalah daging (sapi, kerbau, kambing dan ayam), telur
(ayam dan bebek), susu (terutama susu sapi), dan hasil-hasil
perikanan (ikan, udang, kerang, dll). Protein hewani disebut
sebagai protein yang lengkap dan bermutu tinggi, karena
mempunyai kandungan asam-asam amino esensial yang lengkap
yang susunannya mendekati apa yang diperlukan oleh tubuh, serta
daya cernanya tinggi sehingga jumlah yang dapat diserap (dapat
digunakan oleh tubuh) juga tinggi.
(2) Sumber protein nabati
Hampir 70% penyediaan protein di dunia berasal dari
bahan nabati (hasil tanaman), terutama berasal dari biji-bijian
18
(serealia) dan kacang-kacangan. Serealia terutama tersusun dari
zat pati (sekitar 90%) dan hanya mengandung sedikit protein.
d.
Kebutuhan protein
Kebutuhan
protein
menurut
FAO/WHO/UNU
adalah
konsumsi yang diperlukan untuk mencegah kehilangan protein tubuh
dan memungkinkan produksi protein yang diperlukan dalam massa
pertumbuhan, kehamilan atau menyusui (Almatsier, 2009). Angka
kecukupan kebutuhan protein yang dianjurkan (per orang per hari)
berdasarkan berat dan tinggi badan orang Indonesia yang di
cantumkan dalam Angka Kecukupan Gizi (AKG) (Kemenkes RI,
2013) dapat dilihat pada tabel 2.2
Tabel 2.2 Angka kecukupan protein yang dianjurkan (per orang per
hari) berdasarkan golongan umur
Berat
Tinggi
Protein
Umur
Badan
Badan (cm)
(g)
(kg)
10-12 tahun (Pria)
34
142
56
10-12 tahun (Wanita)
36
145
60
Sumber : Kemenkes RI, 2013
Menurut Yuniastuti (2008), perhitungan kebutuhan zat gizi
yang dianjurkan berdasarkan rata-rata patokan berat badan untuk
masing-masing kelompok umur dan jenis kelamin. Penyesuaian
perbedaan berat badan ideal dalam Angka kecukupan gizi (AKG)
dengan berat badan aktual, dilakukan dengan rumus :
Kebutuhan AKG =
x protein AKG
Kemudian dihitung kecukupan protein dengan rumus :
Kecukupan Protein =
x 100%
19
Berdasarkan Depkes RI (1990) dalam Supariasa (2002),
klasifikasi tingkatkonsumsi dibagi menjadi empat dengan cut of points
masing-masing sebagai berikut :
e.
1) Baik
: > 100 % AKG
2) Sedang
: 80-99 % AKG
3) Kurang
: 70-80 % AKG
4) Defisit
: < 70 % AKG
Metabolisme protein
Menurut Djokomoeljanto 1994, faktor gizi yang penting
adalah kadar protein dalam serum. Pengeluaran hormon dari kelenjar
tiroid karena pengaruh TSH melalui membran basal, penetrasi sel
kapiler, kemudian ditangkap oleh Thyroid Binding Protein, pada
keadaan protein menurun, akan menyebabkan kadar hormon total
menurun;
penurunan
hormon
dari
kelenjar
tiroid
terutama
menyebabkan hambatan umpan-balik pada kelenjar hipophise dalam
memproduksi
TSH
sehingga
memacu
kelenjar
tiroid
untuk
meningkatkan fungsinya dalam upaya mencukupi kebutuhan hormon
dari kelenjar tiroid. Apabila keadaan ini berlangsung secara terusmenerus
pada
akhirnya
akan
terjadi
pembesaran
kelenjar
tiroid(kelenjar gondok).
Hormon tiroid yang beredar dalam peredaran darah sebagian
besar berikatan dengan protein dalam plasma, hanya sekitar 0,05 %
T4 dan 0,5 % T3 yang berada sebagai hormon bebas (tanpa ikatan
dengan molekul lainnya) dan beredar dalam darah. Hormon yang
20
bebas inilah yang berada dalam keadaan siap pakai yang kemudian
ditransport ke luar pembuluh darah untuk dipergunakan oleh sel-sel
lainnya di dalam organ tubuh. Plasma protein yang mampu untuk
mengikat hormon tiroid mempunyai peranan penting untuk bertindak
sebagai penjaga atau penyangga (buffer) terhadap hormon tiroid yang
bebas di dalam plasma. Plasma protein ini dengan jalan demikian juga
merupakan tempat cadangan bagi hormon tiroid. Bila pada saat-saat
tertentu kebutuhan hormon tiroid meningkat maka hormon tiroid akan
dibebaskan dari ikatannya. Mekanisme ini merupakan upaya tubuh
untuk menjaga kesinambungan pemasukan hormon tiroid untuk selsel tubuh yang membutuhkannya. Bila seluruh hormon tiroid dalam
keadaan tidak terikat atau dalam keadaan bebas, maka bila terjadi
suatu keadaan dimana produksi hotmon tiroid terhenti, hormon tiroid
bebas itu akan habis digunakan oleh tubuh hanya dalam waktu
beberapa jam saja. Dengan adanya plasma protein yang mengikat
hormon tiroid dan dilepaskan sesuai dengan kebutuhan, maka
kesinambungan pemasukan hormon tiroid dapat dipertahankan.
(Smeltzer dan Bare, 2002).
f.
Akibat kekurangan dan kelebihan protein
Asupan protein yang rendah menyebabkan terganggunya
pertumbuhan, meningkatnya risiko terkena penyakit, dan menurunkan
performa di sekolah selain itu asupan protein yang rendah dapat
menggangu fungsinya sebagai alat transport hormon tiroid. Apabila
21
hal ini terjadi terus menerus akan mengakibtkan pembesaran kelenjar
tiroid sehingga menurunkan produktivitas tenaga kerja setelah dewasa
(Almatsier, 2009).
Protein secara berlebihan tidak menguntungkan tubuh.
Makanan yang tinggi protein biasanya tinggi lemak sehingga dapat
menyebabkan obesitas. Kelebihan protein dapat menimbulkan
masalah lain. Kelebihan asam amino memberatkan kerja ginjal dan
hati yang harus mematabolisme dan mengeluarkan kelebihan nitrogen.
Kelebihan protein akan menimbulkan asidosis, diare, dehidrasi,
kenaikan amoniak darah, kenikan ureum darah, dan demam.
(Almatsier, 2009)
g.
Faktor-faktor yang mempengaruhi asupan protein
1) Pendidikan orang tua
Perubahan
sikap
dan
perilaku
hidup
sehat
sangat
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan yang
lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk
menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku
dan gaya hidup sehari-hari dalam hal kesehatan dan gizi, dan
semakin tinggi pendidikan seseorang makin tinggi pula kebutuhan
yang ingin dipenuhinya. Selain itu pendidikan orang tua akan
mempengaruhi pola konsumsi makanan melalui pola pemilihan
bahan makanan. Pendidikian orang tua akan mempengaruhi status
ekonomi dalam sebuah keluarga, dimana orang tua dengan
22
berpendidikan tinggi akan berpeluang memiliki pendapatan yang
tinggi dalam keluarga
dibanding dengan oarang tua dengan
pendidikan rendah. Orang tua dengan pendidikan tinggi cenderung
memilih bahan makanan yang lebih baik dalam kulaitas dan
kuantitas dibanding dengan yang memiliki pendidikan rendah
(Rasipin, 2011)
2) Sosial ekonomi
Pendapatan secara tidak langsung dapat mempengaruhi
perubahan konsumsi pangan kelauarga. Meningkatnya pendapatan
berarti memperbesar peluang untuk membeli makanan denngan
kualitas dan kuantitas yang baik. Sebaliknya penurunan pendapatan
akan menyebabkan penuruanan dalam hal kualitas dan kuantitas
pangan yang dibeli (Suhardjo, 1989). Pendapatan merupakan
faktor penting dalam menetukan jumlah dan macam barang atau
bahan makanan yang tersedia di rumah tangga. Ketidakmampuan
daya beli keluarga yang berarti tidak mampu membeli bahan
makan yang berkualitas baik, maka pemenuhan gizi terutama
protein dan yodium pada anak juga akan terganggu, masyarakat
yang berpendapatan rendah konsumsi protein hewani dan yodium
terutama telur, ikan dan daging akan menurun, mereka yang
berpendapatan rendah cenderung akan mengkonsumsi tahu dan
tempe sebagai pengganti daging (Suharyo dkk, 2001)
23
3) Ketersedian makanan
Ketersediaan dan distribusi pangan serta konsumsi pangan
merupakan subsistem dari ketahanan pangan. Ketersediaan dan
distribusi pangan memfasilitasi pasokan pangan yang stabil dan
merata
ke
seluruh
wilayah.
Subsistem
konsumsi
pangan
memungkinkan setiap rumah tangga memperoleh pangan yang
cukup dan memanfaatkannya untuk memenuhi kebutuhan gizi
keluarga (Madanijah, dkk, 2007)
Ketersediaan pangan terkait dengan usaha produksi,
distribusi dan perdagangan pangan. Ketahanan pangan di tingkat
mikro dinilai dari ketersediaan dan konsumsi pangan dalam bentuk
energi dan protein perkapita perhari (Rusnelly, 2006). Ketersediaan
pangan adalah suatu kondisi dalam penyediaan pangan yang
mencakup makanan dan minuman tersebut berasal apakah dari
tanaman, ternak atau ikan bagi keluarga dalam suatu kurun waktu
tertentu. Ketersediaan pangan dalam keluarga dipengaruhi antara
lain oleh tingkat pendapatan (Rusnelly, 2006).
4) Faktor sosial budaya
Pola pangan merupakan hasil budaya masyarakat yang
bersangkutan
dan
mengalami
perubahan
terus
menerus
menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan dan tingkat
kemajuan budaya masyarakat tersebut. Pendapat masyarakat
tentang konsepsi kesehatan dan gizi sangat berpengaruh terhadap
24
pemilihan bahan makanan. Salah satu pengaruh yang dominan
terhadap pola konsumsi ialah pantangan dan tabu. Terdapat jenisjenis makanan yang tidak boleh dimakan oleh kelompok umur
tertentu. Larangan ini sering tidak jelas dasarnya, tetapi
mempunyai kesan larangan dari penguasa supranatural, yang akan
memberikan hukuman bila larangan tersebut dilanggar (Djaeni,
1999). Larangan yang bersangkutan dengan makanan sangat erat
berhubungan dengan emosi, sehingga tidak mengherankan bahwa
pantangan pangan ini diberlakukan oleh para wanita kepada anakanak (Djaeni, 1999).
Jenis makanan dengan kandungan protein dan yodium
tinggi biasanya merupakan makanan yang dianggap mewah dan
mahal oleh masyarakat. Terdapat penilaian masyarakat terhadap
jenis makanan tertentu. Biasanya didalam masyarakat terdapat
aturan yang menentukan kuantitas, kualitas dan jenis-jenis
makanan yang seharusnya dan tidak seharusnya dikonsumsi oleh
anggota keluarga sesuai dengan kedudukan, jenis kelamin dan
kondisi khusus. Anak dalam masa penyembuhan selesai dikhitan
diberlakukan terhadap pantangan makanan yang sukar diterangkan
secara ilmiah, anak harus menghindari makanan seperti ikan, dan
telur. Apabila dimakan makanan tersebut akan menyebabkan luka
semakin parah, makanan yang dilarang tersebut merupakan
makanan yang tinggi protein dan yodium (Suharyo dkk, 2001)
25
4. Asupan Yodium
a.
Pengertian Yodium
Yodium adalah suatu unsur elemen nonmetal, diperlukan oleh
manusia untuk sinteis hormon tiroid, sebagai unsur penting dalam
proses tumbuh kembang manusia (Depkes RI, 2001). Yodium
merupakan bagian integral dari kedua macam hormon tiroksin
triiodotironin (T3) dan tetraiodotironin (T4) (Almatsier, 2009).
Kekurangan
yodium
dalam
makanan
sehari-hari
dan
berlangsung lama akan mengganggu fungsi kelenjar thyroid, bila
sintesis hormon tiroid berkurang maka kadar tiroksin (T4) dan T3 di
dalam darah memicu sekresi Thyroid Stimulating Hormone (TSH),
merangsang kelenjar tiroid untuk menyerap lebih banyak yodium. Hal
ini dapat menyebabkan kelenjar tiroid bekerja lebih giat, sehingga
secara perlahan kelenjar ini membesar (hyperplasia) dan disebut
gondok (Patuti, 2010).
b.
Fungsi yodium
Fungsi utama hormon T3 dan T4 yang terkandung dalam
yodium adalah mengatur pertumbuhan dan perkembangan. Hormon
tiroid mengatur kecepatan tiap sel menggunakan oksigen. Yodium
juga berperan dalam perubahan karoten menjadi bentuk aktif vitamin
A, sintesis protein dari saluran cerna (Almatsier, 2009).
Fungsi yodium adalah sebagai komponen esensial tiroksin dan
kelenjar tiroid. Peranan tiroksin adalah meningkatkan laju oksidasi
26
dalam sel-sel tubuh sehingga meningkatkan BMR (Basal Metabolic
Rate) (Winarno, 2003).
c.
Sumber Yodium
Laut merupakan sumber utama yodium. Oleh karena itu
makanan laut berupa ikan, udang, dan kerang serta ganggang laut
merupakan sumber yodium yang baik. Daerah yang dekat dengan
pantai mengandung yodium yang cukupa banyak, beberapa daerah
yang jauh dari pantai terutama daerah berkapur dan daerah yang
mengalami erosi yang mempunyai sedikit atau tidak mengandung
yodium. Daerah yang jauh dari pantai mempunyai kandungan yodium
sedikit, sehingga tanaman yang tumbuh mempunyai sedikit atau tidak
sama sekali mengandung yodium. Salah satu penanggulangan
kekurangan yodium ialah melalui fortifikasi garam dapur dengan
yodium (Almatsier, 2009). Berikut adalah sumber yodium dalam
bahan makanan dapat dilihat pada tabel 2.3
Tabel 2.3 Kandungan yodium dalam bahan makanan
Segar
Kering
Jenis
Rata-rata
Range
RataRange
makanan
g)
rata g)
g)
( g)
Ikan air tawar
17-40
30
68-194
116
Ikan air laut
163-3180
832
471-4591
3715
Kerang
308-1300
798
1292-4987
3866
Daging hewan
29-97
Susu
35-56
Telur
93
Serealia biji
22-72
34-92
65
Buah
19-29
62-277
156
Tumbuhan
23-36
223-245
234
Polong
Sayuran
12-201
29
204-1636
385
Sumber : WHO (1996) ; Arisman (2010)
27
d.
Kebutuhan yodium
Angka kecukupan kebutuhan yodium yang dianjurkan (per
orang per hari) berdasarkan golongan umur yang dicantumkan dalam
Angka Kecukupan Gizi (AKG) (Kemenkes RI, 2013) dapat dilihat
pada tabel 2.4
Tabel 2.4 Angka kecukupan yodium (µg/hari) berdasarkan golongan
umur
Angka kecukupan
Kelompok umur
Berat badan
yodium (µg/hari)
10 - 12 tahun (Pria)
36
120
10 - 12 tahun (wanita)
36
120
Sumber : Kemenkes RI, 2013
Menurut Yuniastuti (2008), perhitungan kebutuhan zat gizi
yang dianjurkan berdasarkan rata-rata patokan berat badan untuk
masing-masing kelompok umur dan jenis kelamin. Penyesuaian
perbedaan berat badan ideal dalam Angka kecukupan gizi (AKG)
dengan berat badan aktual, dilakukan dengan rumus :
Kebutuhan AKG =
x yodium AKG
Kemudian dihitung kecukupan yodium dengan rumus :
Kecukupan yodium =
x 100%
Berdasarkan Depkes RI (1990) dalam Supariasa (2002),
klasifikasi tingkat konsumsi dibagi menjadi empat dengan cut of
points masing-masing sebagai berikut :
1) Baik
: > 100 % AKG
2) Sedang
: 80-99 % AKG
3) Kurang
: 70-80 % AKG
4) Defisit
: < 70 % AKG
28
e.
Metabolisme Yodium
Yodium diabsorpsi dengan cepat dari dalam usus dan
kemudian diedarkan melalui sirkulasi darah dalam bentuk senyawa
iodida anorganik plasma. Dari sirkulasi ini, sel-sel kelenjar tiroid
mengambil senyawa iodide tersebut melalui pompa yodium di bawah
pengendalian TSH yang dilepas oleh kelenjar hipofisis. Mekanisme
ini merupakan mekanisme transportasi aktif (Pandav, 2004).
Setelah diambil oleh sel-sel kelenjar tiroid, yodium dilepaskan
ke dalam koloid kelenjar tiroid dan di tempat ini, yodium dioksidasi
oleh hydrogen peroksida yang berasal dari sistem peroksidase tiroid.
Kemudian senyawa iodide disatukan ke dalam molekul tirosin dari
tiroglobulin
untuk
membentuk
monoiodotirosin
(MIT)
dan
diiodotironin (DIT). Jika sebuah molekul DIT terangkai dengan
molekul DIT yang lain, terbentuklah tetraiodotironin atau tiroksin
(T4), dan jika yang dirangkaikan itu adalah MIT dengan DIT,
terbentuklah triiodotironin (T3). Tiroglobulin kemudian diambil oleh
sel-sel kelenjar tiroid melalui sebuah proses yang dikenal sebagai
pinositosis. Dalam sel-sel kelenjar tiroid, hormon T3 dan T4 dilepas
dari kelenjar tiroid tersebut melalui proses proteolisis. Sekresi T3 dan
T4 dari kelenjar tiroid berlangsung dibawah pengaruh TSH, yang
sekresinya distimulasi oleh thyrotropin-releasing hormon (TRH) dari
hipotalamus. Ada suatu mekanisme umpan balik ketika kadar T4 yang
29
meningkat akan menghambat secara langsung sekresi TSH dan
melawan kerja TRH. Jadi, ketika kadar T4 dalam darah menurun,
sekresi TSH akan meningkat. Pada defisiensi yodium yang berat,
hormon T4 tetap rendah dan TSH meninggi, gambaran T4 yang
rendah dan TSH meninggi mengindikasikan hipothyroidisme.
Kenaikkan TSH dapat disebabkan oleh defisiensi yodium (Pandav,
2004).
Peningkatan kadar TSH pada keadaan defisiensi yodium
menstimulasi aktivitas sel-sel kelenjar tiroid, sehingga terjadi
hipertrofi dan hyperplasia sel-sel tiroid dan menghasilkan pembesaran
kelenjar tiroid. Pembesaran kelenjar tiroid ini dinamakan goiter atau
penyakit gondok. Jika pasokan yodium ke dalam kelenjar tiroid sangat
terbatas, kelenjar tersebut akan memproduksi lebih banyak T3 (yang
bekerja lebih aktif dari pada T4) sementara produksi T4 menjadi lebih
sedikit (Pandav, 2004).
f.
Akibat Kekurangan dan Kelebihan Yodium
Pada saat kekurangan yodium, konsentrasi hormone tiroid
menurun dan
hormone perangsang tiroid/TSH meningkat agar
kelenjar tiroid mampu menyerap lebih banyak yodium. Apabila
kekurangan yodium terus menerus maka akan terjadi pembesaran
kelenjar tiroid yang diakibatkan usaha yang pengambilan yodium
yang semakin meningkat. Gondok dapat menampakkan diri dalam
bentuk gejala yang sangat luas, yaitu dalam bentuk kretinisme (cebol)
30
di satu sisi dan pembesaran kelenjar tiroid pada sisi lain. Gejala
kekurangan yodium adalah malas dan lamban, kelenjar tiroid
membesar, pada ibu hamil dapat mengganggu pertumbuhan dan
perkembangan janin, dan dalam keadaan berat bayi lahir dalam
keadaan cacat mental yang permanen serta hambatan pertumbuhan
yang dikenal sebagai kretinisme yaitu bentuk tubuh yang abnormal
dan IQ dibawah 20. Hal ini dapat mengganggu proses belajar dari
anak-anak. (Almatsier,2009).
Asupan yodium dalam jumlah yang banyak, akibatnya sama
seperti dalam hal kekurangan yodium, yaitu terjadi pembesaran
kelenjar tiroid, sehingga dapat menimbulkan sesak napas yang
diakibatkan oleh pembesaran tersebut menutupi jalan pernapasan.
g.
Faktor-faktor yang mempengaruhi asupan yodium
Asupan yodium manusia berasal dari makanan dan minuman
yang berasal dari alam sekitarnya. Kebutuhan rata-rata manusia
terhadap iodium adalah 150 mikrogram perhari. Kalau lahan di alam
kurang tersedia iodium di permukaan tanah maka semua tumbuhan
dan air yang berada di daerah tersebut kandungan yodiumnya
kurang.Asupan iodium dipengaruhi beberapa faktor-faktor antara lain:
1) Kadar yodium dalam Garam
Kadar yodium dalam garam yang tersedia dan dikonsumsi
pada tingkat rumah tangga dipengaruhi karena kualitas garam
beryodium yang dijual di pasar atau di warung sangat bervariasi,
31
banyak garam beryodium yang beredar dengan label “Garam
Beryodium” dan “30-80 ppm” tetapi kadar yodiumnya rendah.
Ada beberapa merk garam yang di jual dan digunakan di desa
Ngadirejo yaitu garam halus dengan merek gajah duduk dan ibu
bijak serta merk bata dengan merk pesawat terbang. Selain karena
kualitas garam yang dijual pasar atau di warung faktor lain yang
mempengaruhi rendahnya kadar yodium dalam garam adalah
penyimpanan yang salah baik selama di warung atau pasar
maupun di rumah tangga (Ritanto, 2002).
Upaya
dilakukan
pemerintah
dalam
pencegahan
kekurangan unsur yodium sudah lama dilakukan, tetapi belum
memberikan hasil yang memuaskan, walaupun jumlah daerah
endemis sudah sangat menurun. Salah satu upaya yang telah
dilakukan mulai tahun 1974 sampai dengan tahun 1991 adalah
penyuntikan larutan yodium dalam minyak (suntikan lipiodol)
pada penduduk berisiko tinggi di daerah gondok endemik sedang
dan berat. Suntikan lipiodol ini dapat diberikan setiap 4 tahun
sekali. Wanita usia reproduktif dan anak sekolah merupakan
kelompok sasaran suntikan lipiodol. Pemberian suntikan lipiodol
sebenarnya sudah memberikan hasil yang cukup baik dan terbukti
sangat efektif untuk penanggulangan kekurangan yodium. Hal ini
terlihat
dari
menurunnya
angka
prevalensi
gondok
dan
tercegahnya kretin endemik (Djokomoeljanto, 1993).
32
Upaya lain dalam mencegah dan menanggulangi masalah
GAKY di masyarakat, selain melalui suplementasi langsung yaitu
larutan minyak beryodium (baik melalui suntikan maupun secara
oral), dilakukan juga upaya secara tidak langsung, yaitu melalui
fortifikasi garam konsumsi dengan yodium, yang dikenal dengan
garam beryodium (Depkes, 1993). Pada tahun 1985, dikeluarkan
Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 menteri, yaitu Menteri
Perindustrian, Menteri Kesehatan, Menteri Perdagangan dan
Menteri Dalam Negeri tentang Garam beryodium, yang berlaku di
seluruh Indonesia, maka sejak saat itu program iodisasi garam
diberlakukan secara nasional. Dengan dikeluarkannya SKB 4
menteri tersebut, semua garam konsumsi yang beredar di seluruh
wilayah Indonesia harus dalam bentuk garam beryodium dengan
kadar yodium yang telah ditetapkan. Dengan demikian diharapkan
seluruh masyarakat Indonesia dapat terhindar dari GAKY
(Depkes, 1993).
Fortifikasi garam konsumsi dengan yodium ini sudah
diwajibkan di Indonesia, karena dianggap sebagai cara yang paling
dapat diterima masyarakat, dengan asumsi semua orang setiap hari
mengkonsumsi garam. Untuk memenuhi kecukupan yodium,
masyarakat dianjurkan mengkonsumsi garam beryodium 6-10
gram per hari (Almatsier, 2003). Namun pada kenyataannya,
masih banyak ditemukan berbagai masalah dalam pelaksanaan
33
program garam beryodium ini, antara lain yaitu garam non yodium
masih beredar di pasaran, kesadaran masyarakat tentang manfaat
garam beryodium masih belum baik, masih rendahnya kualitas
garam beryodium, kesadaran sebagian produsen garam masih
belum baik, pengawasan mutu belum dilaksanakan secara
menyeluruh dan terus menerus serta belum diberlakukan sanksi
yang tegas (Depkes, 1993).
Untuk
mengetahui
kadar
iodium
dalam
garam
yangdikonsumsi keluarga yang diukur dengan “iodina test” karena
metode ini relatif lebih praktis dan sederhana untukdigunakan
dalam surveidisuatu wilayah. Garam mengandung yodium: Jika
kandungan iodium > atau = dengan 30 ppm (garam berubah warna
menjadi birukeunguan). Tidak mengandung yodium: jika kandungan
iodium 0 ppm (garam tetap berwarna putih)
2) Letak geografis
Kekurangan
yodium
terutama
dipengaruhi
faktor
lingkungan yang keadaan tanah dan airnya sangat miskin unsur
yodium, akibatnya penduduk yang tinggal di derah tersebut akan
selalu kekurangan yodium. Penderita GAKY umumnya banyak
ditemukan di daerah pegunungan dimana makanan yang
dikonsumsi sangat tergantung dari produksi makanan dari
tanaman setempat yang tumbuh pada kadar yodium yang rendah
di dalam tanah (Triyono dan Inong, 2004). Apabila yodium di
34
tanah kurang, maka semua tumbuhan dan air yang berada di
daerah tersebut, kandungan yodiumnya kurang (Suharyo dkk,
2001).
5. Cara Pengukuran Asupan Protein dan Yodium
Secara umum tujuan konsumsi makanan dimaksudkan untuk
mengetahui kebiasaan makan dan gambaran bahan makanan dan zat gizi
pada tingkat rumah tangga dan perorangan serta faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap konsumsi makanan tersebut (Supariasa, 2002).
Cara pengukuran konsumsi dengan survei konsumsi melalui
metode kualitatif, kuantitatif, serta kulaitatif dan kuantitatif.
Secara
kualitatif akan diketahui frekuensi makan maupun cara memperoleh
makanan. Metode pengumpulan data yang dapat digunakan adalah metode
frekuensi makan (food frequency) dan dietary history, metode telepon, dan
metode pendaftaran makanan (food list). Secara kuantitatif akan
menghasilkan data jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi. Metode
pengumpulan data yang dapat digunakan adalah metode recall 24 jam,
perkiraan makan (Estimate food records), dan penimbangan makan (food
weighing), metode food account, metode inventaris (inventory method),
dan metode pencatatan (household food record).Metode kualitatif dan
kuantitatif dengan metode riwayat makan (dietary history) dan metode
recall 24 jam (Suapriasa, 2002).
Masing-masing metode mempunyai keunggulan dan kelemahan
sehingga tidak ada satu metode yang paling sempurna untuk satu tujuan
35
survei. Akan tetapi, untuk setiap tujuan tentunya memiliki salah satu
metode yang paling mendekati. Salah satu metode yang dapat digunakan
untuk mengetahui konsumsi makanan dengan metode food frequency
questionnaires (FFQ) semi kuantitatif.
FFQ semi kuantitatif adalah metode untuk memperoleh data
frekuensi konsumsi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama
periode tertentu seperti hari, minggu, bulan atau tahun. Metode ini
bertujuan untuk memperoleh data konsumsi makanan secara kuantitatif
dan informasi deskriptif tentang kebiasaan konsumsi makanan (Supariasa,
2002).
Kuesioner frekuensi konsumsi makanan terdiri dari daftar jenis
makanan dan minuman. Untuk memperoleh asupanzat gizi, FFQ semi
kuantitatif sering dilengkapi dengan ukuran setiap porsi (standar, sedang,
dan besar) dan jenis makanan. Menggunakan ukuran ukuran rumah tangga
(URT) seperti piring, sendok makan, centong, mangkuk, dan gelas dapat
membantu responden dalam memberikan perkiraan banyaknya asupan
makanan yang dikonsumsi (Supariasa, 2002).
Beberapa kelebihan dari penggunaan metode frekuensi makanan
antara lain murah dan sederhana, tidak membutuhkan latihan khusus,
dapat dilakukan sendiri oleh responden, dan dapat membantu untuk
menjelaskan hubungan antara penyakit dan kebiasaan makan. Metode ini
memudahkan untuk mendapatkan variasi, frekuensi, dan kuantitas pangan
sehingga zat gizi dapat dikorelasikan dengan indeks masa tubuh, status
36
penyakit, sosial ekonomi, kondisi atau kesehatan lingkungan dan perilaku
seseorang atau masyarakat (Widajanti, 2009).
Kekurangan metode frekuensi makanan yaitu bergantung pada
memori, cukup menjemukkan bagi pewawancara, perlu membuat
percobaan pendahuluan untuk menentukan jenis bahan makanan yang
akan masuk ke dalam daftar kuesioner, responden harus jujur dan
mempunyai motivasi tinggi, kemungkinan terjadi bias, dan dibutuhkan
kemampuan lebih terutama pada responden yang tidak bisa membaca dan
menulis serta berusia lanjut (Supariasa, 2002).
Prosedur FFQ semi kuantitatif menurut Fahmida dan Dillon (2007)
yaitu:
a. Responden diwawancarai mengenai frekuensi mengonsumsi jenis
makanan sumber zat gizi yang ingin diketahui dalam satu bulan
b. Responden diwawancarai mengenai URT dan porsinya. Untuk
memudahkan responden menjawab, pewawancara dapat menggunakan
alat bantu tangan
c. Mengestimasi ukuran porsi yang dikonsumsi responden ke dalam
ukuran berat (gram)
d. Mengkonversi semua frekuensi daftar bahan makanan untuk perhari
e. Mengalikan frekuensi perhari dengan ukuran porsi (gram) untuk
mendapatkan berat yang dikonsumsi dalam gram/hari
f. Menghitung semua daftar bahan makanan yang dikonsumsi responden
sesuai dengan yang terisi di dalam kuesioner, diolah menggunakan
37
Nutrisurvey sehingga diperoleh total asupan zat gizi dari responden
baik makanan jajanan maupun makanan sehari
g. Cek dan teliti kembali untuk memastikan semua bahan makanan sudah
dihitung dan hasil penjumlahan berat (gram) bahan makanan tidak
terjadi kesalahan
Tingkat kecukupan gizi berdasarkan AKG yang tersedia bukan
menggambarkan AKG individu, tetapi untuk kelompok umur, jenis
kelamin, tinggi badan dan berat badan standar. Untuk menentukan AKG
individu dapat dilakukan dengan melakukan koreksi terhadap berat badan
nyata individu atau perorangan tersebut dengan berat badan standar yang
ada pada tabel AKG (Supariasa, 2002).
38
B. Kerangka Teori
Pendidikan
Orang Tua
Sosial Ekonomi
Ketersediaan
Pangan
Sosial Budaya
Kadar Yodium
dalam Garam
Asupan Zat Gizi
1. Asupan
Protein
2. Asupan
Yodium
Asupan Zat
Goitrogenik
Kejadian
Gondok
Genetika
Letak
Geografi
s
Kandungan
Yodium dalam
Tanah
Gamabar 2.1 Kerangka Teori
C. Kerangka Konsep
Asupan Protein
Kejadian Gondok
Asupan Yodium
Variabel Independen
Variabel Dependen
Gambar 2.2 Kerangka Konsep
39
D. Hipotesis Penelitian
1.
Ada hubungan asupan protein dengan kejadian gondok pada anak SD
Pringapus dan SD Kataan Kecamatan Ngadirejo Kabupaten Temanggung
2.
Ada hubungan asupan yodium dengan kejadian gondok pada anak SD
Pringapus dan SD Kataan Kecamatan Ngadirejo Kabupaten Temanggung
40
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif korelatif yaitu
penelitian antara dua variabel pada situasi atau kelompok subjek untuk dilihat
apakah ada hubungan antara variabel bebas dan terikat. Pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional yaitu mengukur
variabel-variabel dalam penelitian dalam satu pengukuran (Notoatmodjo,
2010).
B. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di SD Pringapus dan SD Kataan Kecamatan
Ngadirejo Kabupaten Temanggung pada 18-19 Juli 2016
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SD Pringapus
dan SD kataan dengan jumlah 326 siswa
2. Sampel
Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik
Purposive sampling, yang didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu
yang dibuat oleh peneliti, berdasarkan sifat-sifat, karakteristik, ciri-ciri dan
41
kriteria sampel tertentu (Notoadmodjo, 2010). Sampel dalam penelitian ini
yaitu siswa SD Pringapus dan SD Kataan usia 10-12 tahun dengan jumlah
102 siswa. Sebelum pengambilan sampel perlu ditentukan kriteria inklusi
dan eksklusi. Kriteria inklusi dan eksklusi adalah sebagai berikut :
a. Kriteria Inklusi
Berusia 10-12 tahun
b. Kriteria Eklusi
Siswa yang tidak masuk sekolah saat pengambilan data
D. Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional
No
Variabel
Definisi Operasional
1
Asupan
Protein
Kategori tingkat
kecukupan protein
yang diperoleh dari
asupan protein dan
dibandingkan dengan
kebutuhan dalam
AKG 2013 dikalikan
100%
Cara & Alat
Ukur
Pengukuran
langsung dengan
cara wawancara
menggunakan
formulir semi
quantitaive FFQ
dalam satu bulan
oleh peneliti
Asupan
1.
Yodium
Kategori tingkat
kecukupan yodium
yang diperoleh dari
asupan yodium dan
dibandingkan dengan
kebutuhan dalam
AKG 2013 dikalikan
100%
Pengukuran
langsung dengan
cara wawancara
menggunkan
formulir semi
quantitaive FFQ
dalam satu bulan
oleh peneliti
2.
Hasil ukur
Tingkat kecukupan
Protein, dikategorikan
sebagai berikut :
a. Baik: > 100 %
AKG
b. Sedang
: 8099 % AKG
c. Kurang
: 7080 % AKG
d. Defisit
:<
70 % AKG
(Depkes RI 1990)
Tingkat kecukupan
Protein, dikategorikan
sebagai berikut :
a. Baik: > 100 %
AKG
b. Sedang
: 8099 % AKG
c. Kurang
: 7080 % AKG
d. Defisit
:<
70 % AKG
(Depkes RI 1990)
Skala
Ukur
Ordinal
Ordinal
42
No
Variabel
Definisi Operasional
3.
Gondok
Pembesaran kelenjar
tiroid yang terdapat
di bagian depan leher
yang merupakan
reaksi atas
kekurangan unsur
yodium (Suharyo
dkk, 2001)
Cara & Alat
Ukur
Palpasi
dilakukan oleh
petugas palpasi
(palpator) dari
puskesmas
Hasil ukur
Klasifikasi gondok:
a. Grade 0 : tidak
ada gondok
b. Grade 1 : status
massa di leher
konsisten dengan
pembesaran tiroid
yang teraba
c. Grade 2 :
pembengkakan
leher yang terlihat
jika leher pada
posisi normal
(WHO/UNICEF/I
CCIDD, 2001)
Skala
Ukur
Ordinal
E. Prosedur Penelitian
1. Tahapan penelitian
a. Langkah – langkah penelitian
1) Melakukan koordinasi dengan pihak Kepala Sekolah SD Pringapus
dan Kataan berkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan.
2) Peneliti mengajukan surat permohonan ijin studi peneliti dari pihak
STIKes Ngudi Waluyo kepada Kepala Kesbang Pol. Adapun
tembusan yang bersangkutan yaitu Bupati Temanggung (sebagai
laporan), Kepala BAPPEDA Kab. Temanggung, Dinas Kesehatan,
Puskesmas Ngadirejo, Kepala Sekolah SD pringapus, Dan Kepala
sekolah SD Kataan.
3) Melakukan koordinasi dengan pihak puskesmas (perawat) untuk
melakukan palpasi
4) Meminta data siswa kepada pihak sekolah untuk kemudian
ditentukan sampel
43
5) Meminta surat persetujuan kepada siswa untuk bersedia menjadi
responden
b. Tahap pelaksanaan
1) Melakukan diskusi dengan 12 teman yang membantu dalam
penelitian dan menyamakan persepsi tentang URT makanan dalam
melakukan wawancara FFQ.
2) Mengumpulkan
siswa
kelas
diruang masing-masing untuk
melakukan pengambilan data.
3) Menjelaskan surat persetujuan kepada siswa.
4) Meminta surat persetujuan kepada siswa dengan informed consent
(lembar persetujuan responden) untuk bersedia menjadi responden
penelitian.
5) Melakukan pengukuran berat
badan dengan menggunakan
timbangan injak digital pada responden untuk mengetahui berat
badan aktual individu. Data ini akan digunakan untuk menetukan
kebutuhan AKG individu dan kecukupan yodium
6) Melakukan pemeriksaan kelenjar tiroid dengan menggunakan
metode palapasi yang di lakukan oleh petugas palpasi (palpator)
puskesmas Ngadirejo
7) Melakukan wawancara dengan pengisian lembar food frequency
questionnaires (FFQ) semi kuantitatif pada di SD Pringapus dan
SD Kataan Kecamatan Ngadirejo Kabupaten Temanggung untuk
mengetahui asupan proteindan yodium.
44
8) Setelah mendapatkan data yang telah diperlukan dari responden,
maka peneliti melakukan pengolahan data-data tersebut
9) Menganalisis asupan protein dan yodium dengan kejadian gondok
10) Membuat laporan dan dikonsultasikan
c. Instrumen penelitian
1) Kuesioner untuk mengetahui identitas responden.
2) Lembar food frequency questionnaires (FFQ)
Metode FFQsemi quantitaive dibuat sesuai dengan subjek yang
akan diwawancarai yaitu siswa yang berusia 10-12 tahun. Metode
ini digunakan untuk mengetahui asupan protein dan yodium.
Dalam metode ini subjek akan ditekankan pada pertanyaan
makanan sumber proteindan yodium. Kemudian hasil kuesioner
akan dikonversikan kedalam URT (Ukuran Rumah Tangga) dan
diolah dengan bantuan nutrisurvey
2. Sumber data :
Sumber data yang digunakan untuk penelitian ini berasal dari
a. Data Primer
1) Data hasil palapasi yang diperoleh dari pemeriksaan palpasi
2) Aspan protein dan yodium yang diperoleh dari hasil FFQ semi
kuantitatif
b. Data Skunder
Data sekunder berupa data jumlah dan identitas responden diperoleh
dari guru di sekolah
45
F. Etika Penelitian
Etika penelitian yang digunakan adalah bahwa peneliti tidak boleh
bertentangan dengan etika. Tujuan penelitian harus etis dalam arti hak
responden harus dilindungi. Peneliti mendapat rekomendasi dari STIKes
Ngudi Waluyo Ungaran dan permohonan izin dari Kepala Sekolah SD
Pringapus dan SD Kataan Kecamatan Ngadirejo Kabupaten Temanggung
untukmendapat persetujuan, kemudian peneliti menemui responden untuk
melakukan wawancara langsung, menyampaikan dan menjelaskan etika
penelitian kepada responden dengan menggunakan etika yang meliputi,
sebagai berikut :
1. Voluntary(Sukarela)
Partisipasi responden sebagai subjek di dalam penelitian ini harus
sukarela atau tidak terdapat paksaan, tekanan secara langsung maupun tidak
langsung atau pelaksaan
secara halus atau adanya unsur ingin
menyenangkan dan sejenisnya untuk menjamin kesukarelaan responden
menjadi subjek penelitian ini maka dilakukan pengisian Informed conset.
2. Informed consent (lembar persetujuan manjadi responden)
Subyek yang bersedia menjadi responden diberi lembar persetujuan
responden yang berisi informasi tujuan penelitian yang akan dilaksanakan,
peneliti menjamin kerahasiaan penelitian, serta data yang diperoleh hanya
digunakan untuk pengembangan ilmu. Responden diberi kesempatan
membaca isi lembar tersebut, selanjutnya harus mencantumkan tanda
tangan sebagai bukti kesediaan subyek penelitian. Jika subyek menolak
46
untuk diteliti, maka responden tidak akan memaksa dan tetap menghormati
hak-hak responden.
3. Anonimity (tanpa nama)
Untuk menjaga kerahasiaan identitas subyek, maka subyek tidak
perlu menyebutkan namanya dan diganti dengan inisial atau nomor
responden.
4. Confidentiality (kerahasiaan)
Kerahasiaan informasi yang diberikan oleh subjek dijamin oleh
peneliti dan tidak akan disampaikan kepada pihak lain yang tidak berkaitan
dengan penelitian.
G. Pengolahan Data
Untuk mendapatkan data lengkap yang dianalisis dan dapat digunakan
untuk memecahkan masalah, maka dalam penelitian ini digunakan metode
pengolahan data sebagai berikut :
1. Editing
Editing data dilakukan untuk meneliti setiap hasil data yang sudah
ada dengan menilai apakah data yang telah dikumpulkan tersebut cukup
baik atau relevan untuk diproses atau diolah lebih lanjut (Tika, 2006).
Editing berfunsi untuk meneliti kembali apakah isisan dalam lembar
kuesioner sudah lengkap. Editing dilakukan ditempat pengumpulan data,
sehingga jika ada kekurangan data dapat segera dilengkapi. Data tersebut
47
berupa data identitas responden, FFQ semi kuantitatif dan data hasil
palpasi.
2. Coding
Memberikode dan mengklasifikasi data untuk mempermudah
pengolahan data. Adapun pengkodean yang dilakukan adalah sebagai
berikut:
a. Asupan Protein
Defisit
: < 70 % AKG diberi kode 1
Kurang
: 70 – 80 % AKG diberi kode 2
Sedang
: 80 – 99 % AKG diberi kode 3
Baik
: ≥ 100 % AKG diberi kode 4
b. Asupan Yodium
Defisit
: < 70 % AKG diberi kode 1
Kurang
: 70 – 80 % AKG diberi kode 2
Sedang
: 80 – 99 % AKG diberi kode 3
Baik
: ≥ 100 % AKG diberi kode 4
c. Gondok
Grade 2 diberi kode 1
Grade 1 diberik kode 2
Grade 0 diberi kode 3
48
3. Tabulating
Tabulasi ini merupakan kelanjutan langkah dari coding untuk
mengelompokkan data ke dalam suatu data tertentu menurut sifat yang
dimiliki sesuai dengan tujuan penelitian.
4. Entry data
Data entri adalah kegiatan memasukkan data yang telah
dikumpulkan ke dalam program aplikasi statistik SPSS (Statistical Product
Service Solution).
H. Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan menggunakan komputer program SPSS.
Analisa data yang dilakukan meliputi analisis univariat dan bivariat.
1.
Analisis Univariat
Analisis
univariat
bertujuan
untuk
menjelaskan
atau
mendiskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian. Variabel bentuk
analisis univariat ini yaitu data katagorik yang menghasilkan presentase
dari tiap variabel (Notoatmodjo, 2010). Data asupan protein, asupan
yodium, dan kejadian gondok disajikan dengan menggunakan tabel
distribusi frekuensi kemudian dianalisa secara deskriptif.
2.
Analisis Bivariat
Analisis bivariat untuk mengetahui hubungan atau koefisien
korelasi antar variabel penelitian, yaitu variabel bebas dan terikat. Pada
penelitian ini variabel bebas mempunyai skala ordinal dan variabel terikat
mempunyai skala ordinal maka uji analisis data yang digunakan uji
49
Kendall Tau.Untuk mengetahui koefisien suatu hubungan dan seberapa
besar tingkat suatu hubungan, dengan tingkat signifikansi 5%. Pengujian
dilakukan dengan bantuan program SPSS (Statistical Product Service
Solutions) (Riwidikdo, 2008).
Untuk menganalisis data mengunakan rumus sebagai berikut:
τ=
A
B
N N 2
2
Di mana:
τ = koefisiensi korelasi kendall tau besarnya(-1<τ<1)
A = jumlah rangking atas
B = jumlah rangking bawah
N = jumlah anggota sampel (Arikunto, 2010)
Setelah itu dihitung semua korelasi masing-masing dapat dilihat
apakah nilai korelasi signifikan atau tidak. Koefisien korelasi Kendall Tau
dengan nilai kemaknaan p< 0,05 maka berarti ada hubungan antara
asupan protein, dan yodium, dengan kejadian gondok (Arikunto, 2010).
Selanjutnya akan dilihat keeratan hubungan antara kedua variabel.
Untuk mengetahui keeratan hubungan antar variabel dengan melihat
kriteria τ keeratan hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat,
yaitu jika hitung sebagai berikut:
a. 0,00-0,199 : Hubungan sangat lemah
b. 0,20-0,399 : Hubungan lemah
c. 0,40-0,599 : Hubungan sedang
d. 0,60-0,799 : Hubungan kuat
e. 0,80-1,000 : Hubungan sangat kuat (Sugiyono, 2007).
50
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Karakteristik Responden
1.
Umur
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Umur Responden
Umur
Frekuensi
Persentase (%)
10
29
28,4
11
28
27,5
12
45
44,1
Jumlah
102
100
Berdasrkan tabel 4.1 umur responden berkisar antara 10-12 tahun
dengan persentase terbanyak pada umur 12 tahun yaitu sejumlah 45 siswa
(44,1%) dan persentase terkecil pada umur 11 tahun yaitu sejumlah 28
siswa (27,5%).
2.
Jenis Kelamin
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Berdasrkan Jenis Kelamin Responden
Jenis Kelamin
Frekuensi
Persentase (%)
Laki-Laki
48
47,1
Perempuan
54
52,9
Jumlah
102
100
Berdasarkan tabel 4.2 diketahui bahwa dari 102 responden paling
banyak berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 54 siswa (52,9%),
dan sisanya berjenis kelamin laki-laki sebanyak 48 siswa (47,1%).
51
B. Analisis Univariat
1.
Asupan Protein Responden
Tabel 4.3 Distribusi frekuensi asupan protein responden
Asupan Protein
Frekuensi
Persentase (%)
Defisit (<70% AKG)
4
3,9
Kurang (70-79% AKG)
6
5,9
Sedang (80-99% AKG)
32
31,4
Baik (>100% AKG)
60
58,8
Jumlah
102
100
Berdasarkan tabel 4.3 menunjukkan bahwa asupan protein
paling banyak adalah kategori baik yaitu sejumlah 60 siswa (58,8%),
dan yang paling sedikit kategori defisit yaitu sejumlah 4 siswa (3,9%).
2.
Asupan Yodium Responden
Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Asupan Yodium Responden
Asupan Yodium
Frekuensi
Persentase (%)
Defisit (<70% AKG)
19
18,6
Kurang (70-79% AKG)
31
30,5
Sedang (80-99% AKG)
39
38,2
Baik (>100% AKG)
13
12,7
Jumlah
102
100
Berdasarkan tabel 4.3 menunjukkan bahwa asupan yodium
paling banyak adalah kategori sedang yaitu sejumlah 39 siswa
(38,2%), dan paling sedikit kategori baik yaitu sejumlah 13 siswa
(12,7%) sedangkan asupan yodium kategori yodium defisit sebanyak
19 siswa (18,6%)
3.
Kejadian Gondok
Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Kejadian Gondok Pada Responden
KejadianGondok
Frekuensi
Persentase (%)
Grade 1
25
24,5
Grade 0
77
75,5
Jumlah
102
100
52
Berdasarkan tabel 4.5 menunjukkan bahwa responden yang
mengalami gondok sebanyak 25 siswa (24,5%), dan sebagian besar
responden tidak mengalami gondok yaitu sebesar 77 siswa (75,5%).
C. Analisis Bivariat
1.
Hubungan Asupan Protein Dengan Kejadian Gondok
Tabel 4.6 Hubungan Asupan Protein Dengan Kejadian Gondok
Asupan Protein
Defisit (<70%AKG)
Kurang (70-79%AKG)
Sedang (80-99% AKG)
Baik (>100% AKG)
Jumlah
Kejadian Gondok
Grade 1
Grade 0
n
%
n
%
2
50
2
50
2
33,3 4
66,7
11
34,4 21
65,6
10
16,7 50
83,3
25
24,5 77
75,5
Total
n
4
6
32
60
102
%
100
100
100
100
100
0,214
pvalue
0,026
Berdasarkan tabel 4.6 diketahui bahwa responden yang asupan
protein kategori defisit yang mengalami gondok sebanyak 2 siswa
(50%) dan yang tidak mengalami gondok 2 siswa (50%). Responden
yang asupan protein kategori kurang yang mengalami gondok
sebanyak 2 siswa (33,3%) dan tidak mengalami gondok sebanyak 4
siswa (66,7%). Responden yang asupan protein sedang yang
mengalami gondok sebanyak 11 siswa (16,7%) dan yang tidak
mengalami gondok sebanyak 21 siswa (65,6%). Sedangkan asupan
protein kategori baik yang mengalami gondok sebanyak 10 siswa
(16,75), dan yang tidak mengalami gondok sebanyak 50 siswa (83,3%)
Hasil uji statistik menggunakan uji kendal tau ( =0,05)
didapatkan nilai p value = 0,026 (p< ) ada hubungan bermakna antara
asupan protein dengan kejadian gondok. Berdasarkan nilai koefisien
53
korelasi diperoleh nilai
= 0,214 yang menunjukkan bahwa kekuatan
korelasi lemah.
2.
Hubungan Asupan Yodium Dengan Kejadian Gondok
Tabel 4.7 Hubungan Asupan Yodium Dengan Kejadian Gondok
Asupan Yodium
Defisit (<70% AKG)
Kurang (70-79% AKG)
Sedang (80-99% AKG)
Baik (>100% AKG)
Jumlah
Kejadian Gondok
Grade 1
Grade 0
n
%
n
%
18
94,7 1
5,3
5
16,1 26
83,9
2
5,1 37
94,9
0
0
13
100
25
24,5 77
75,5
Total
N
19
31
39
13
102
%
100
100
100
100
100
p-value
0,594
0,0001
Berdasarkan tabel 4.7 diketahui bahwa responden yang asupan
yodium kategori defisit yang mengalami gondok sebanyak 18 siswa
(94,7%), sedangkan responden yang tidak mengalami gondok
sebanyak 1 siswa (5,3%). Responden yang asupan yodium kurang
yang mengalami gondok sebanyak 5 siswa (16,1%) dan yang tidak
mengalami gondok sebanyak 26 (83,9%). Responden yang asupan
yodium kategori sedang yang mengalami gondok sebanyak 2 siswa
(5,1%) sedangkan yang tidak mengalami 37 siswa (94,9%). Responden
yang asupan kategori baik yang mengalami gondok (0%) dan yang
tidak mengalami gondok sebanyak 13 siswa (100%)
Hasil uji statistik menggunakan uji kendal tau ( =0,05)
didapatkan nilai p value = 0,0001 (p< ) ada hubungan bermakna
antara asupan yodium dengan kejadian gondok. Berdasarkan nilai
koefisien korelasi diperoleh nilai
= 0,594 yang menunjukkan bahwa
kekuatan korelasi sedang.
54
BAB V
PEMBAHASAN
A. Analisis Univariat
1. Asupan Protein
Berdasarkan hasil penelitian, dari 102 responden asupan protein
paling banyak adalah kategori baik yaitu sejumlah 60 siswa (58,8%),
sedangkan menurut studi diet total (SDT) Jawa Tengah asupan kategori
baik hanya 15,8%, dilihat dari banyaknya jumlah responden yang
memiliki asupan protein kategori baik, hasil penelitian ini persentasenya
lebih banyak dibandingkan dengan SDT Jawa Tengah. Sedangkan ratarata asupan protein yaitu 115,79%, Berdasarkan Kemenkes RI Jawa
Tengah 2014 asupan protein pada anak usia 5-12 tahun rata-rata 119,2 %.
Rata-rata asupan protein responden lebih rendah dari Kemenkes RI Jawa
Tengah tetapi masih dalam kategori baik.
Berdasarkan hasil wawancara FFQ terhadap siswa, makanan
sumber protein yang sering dikonsumsi mulai dari konsumsi tahu, tempe,
ikan asin, susu kental manis, telur, daging ayam. Konsumsi tahu 56x/minggu, tempe 4-5x/minggu, ikan asin 3-4x/minggu, susu 34x/minggu,
telur 3-4x/minggu,
sedangkan makanan
yang jarang
dikonsumsi yaitu daging ayam 1-2x/minggu, ikan lele 1-2x/minggu.
Responden yang mempuanyai asupan protein
dibawah 100%,
yaitu asupan protein sedang sebanyak 32 siswa (31,4%), kategori asupan
protein kurang sebanyak 6 siswa (5,9%), kategori asupan defisit sebanyak
55
4 siswa (3,9%). Hasil FFQ makanan yang paling sering dikonsumsi mulai
tempe, tahu, ikan asin, telur. Konsumsi tempe 5-6x/minggu, konsumsi tahu
4-5x/minggu, ikan asin 2-3x/minggu, telur 1-2x/minggu. Berdasarkan
laporan kinerja instasi pemerintah (LAKIP) Kabupaten Temanggung tahun
2013 tingkat kecukupan protein masyarakat Temanggung lebih banyak
diperoleh dari konsumsi protein nabati dari pada protein hewani, Hal ini
dapat dilihat dari analisa pola konsumsi masyarakat, dimana konsumsi
pangan hewani masyarakat baru berada pada skor 15.2 dari skor PPH
maksimal untuk konsumsi pangan hewani sebesar 24, sedangkan untuk
protein yang bersumber kacang-kacangan telah mencapai angka maksimal
skor PPH, masing-masing sebesar 10,0. (LAKIP Kabupaten Temanggung,
2013)
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian bahwa sebagian besar
responden konsumsi paling banyak yaitu sumber protein nabati. Hal ini
disebabkan oleh tingkat ekonomi masyarakat, dimana tidak seluruh lapisan
masyarakat mampu menjangkau sumber protein hewani yang harganya
jauh diatas harga sumber protein nabati, sehingga dikonsumsi dalam
frekuensi dan jumlah yang lebih sedikit. Selain itu asupan protein defisit
dipengaruhi oleh akses pasar jauh untuk membeli protein hewani, apabila
ke pasar harus jalan kaki terlebih dahulu sejauh 4 km. walaupun ada
penjual keliling tetapi yang dijual hanya sayuran, protein nabati seperti
tahu, tempe sedangkan untuk protein hewani biasanya hanya ikan asin.
ketersediaan pangan keluraga juga berpengaruh biasanya yang banyak
56
tersedia sayuran seperti kol, sawi, buncis, singkong karena mereka
biasanya menanam dihalaman depan rumah.
2. Asupan Yodium
Berdasarkan hasil penelitian dari 102 responden asupan yodium
paling banyak adalah kategori sedang yaitu sejumlah 39 siswa (38,2%),
Berdasarkan
hasil
penelitian
rata-rata
asupan
yodium
79,85%
dibandingkan dengan hasil penelitian Panjaitan (2010) rata-rata asupan
yodium 73,7%. Rata-rata asupan yodium responden lebih tinggi di
bandingkan penelitian Panjaitan tetapi masih dalam kategori sedang
Berdasarkan hasil wawancara makanan yang paling sering
dikonsumsi mulai dari, tahu, tempe, ikan asin, telur, daging ayam, susu
kental manis. Konsumsi yang sering dikonsumsi yaitu tahu dan tempe 56x/minggu ikan asin dengan frekuensi 3-4x/minggu, konsumsi telur 34x/minggu, sedangkan maknan yang jarang dikonsumsi yaitu daging ayam
hanya 2-3x/minggu, konsumsi susu 2-3x/minggu.
Responden yang mempunyai tingkat asupan yodium dibawah
100%, yaitu kategori asupan kurang sebanyak 31 siswa (30,5%), dan
kategori defisit sebanyak 19 siswa (18,6%), responden yang asupan
protein kurang dan
defisit
frekuensi
konsumsinya lebih jarang
dibandingkan dengan asupan protein yang baik dan sedang Konsumsi ang
makanan sumber protein yang sering yaitu tahu 4-5xminggu, tempe 45x/minggu, sedangkan untuk konsumsi ikan, susu dan telur jarang
dikonsumsi yaitu ikan asin 2-3x/minggu, susu 2-3x/minggu , telur 2-
57
3x/minggu, hal ini disebabkan karena kurang mengkonsumsi makanan
sumber yodium, menurut pengakuan responden makanan sumber yodium
seperti, ikan laut, kerang dan udang jarang mereka konsumsi karena harga
yang relatif mahal karena mereka bertempat tinggal jauh dari laut sehingga
mereka jarang mengkonsumsi makanan sumber laut, mereka lebih
cenderung memilih mengkonsumsi, tahu, tempe, ikan asin sebagai sumber
yodium yang diolah dengan berbagai cara pengolahan.
3. Kejadian Gondok
Berdasarkan hasil palpasi menunjukkan bahwa responden yang
mengalami gondok yaitu sejumlah 25 siswa (24,5%), dan sebagaian besar
yang tidak mengalami gondok yaitu sejumlah 77 siswa (75,5%). Di
bandingkan dengan hasil evaluasi GAKY yang dilakukan oleh Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Tengah bekerjasama dengan Balai Litbang
GAKY Borobudur Magelang pada daerah endemis GAKY pada tahun
2004 dengan jumlah sampel yang dikembangkan hingga di tingkat
kecamatan menunjukkan angka prevelensi GAKY Jawa Tengah adalah
9,68%. Hasil penelitian lebih tinggi angka TGRnya dibandingkan dengan
hasil prevalensi GAKY Jawa Tengah. GAKY masih menjadi masalah gizi
di Indonesia yang perlu mendapat perhatian mengingat dampaknya yang
secara langsung mempengaruhi kelangsungan hidup dan kualitas manusia.
Dampak GAKY tidak hanya menyebabkan pembesaran kelenjar
gondok tetapi juga berbagai macam gangguan lain. Kekurangan yodium
pada wanita hamil dapat menimbulkan risiko abortus, lahir mati, berat
58
badan lahir rendah, sampai cacat bawaan bagi bayi yang akan dilahirkan.
Pada anak, kekurangan
yodium
dapat
mengakibatkan terjadinya
pembesaran kelenjar tiroid, hipotiroid juvenil, gangguan fungsi mental dan
gangguan pertumbuhan. Pada orang dewasa kekurangan yodium
menyebabkan pembesaran kelenjar tiroid dengan segala dampaknya,
hipotiroid dan gangguan fungsi mental (WHO, 2001).
B. Analisi Bivariat
1. Hubungan asupan protein dengan kejadian gondok pada anak SD
Pringapus dan SD Kataan Kecamatan Ngadirejo Kabupaten
Temanggung
Hasil uji statistik menggunakan uji kendal tau ( =0,05) didapatkan
nilai p value = 0,026 (p< ) ada hubungan bermakna antara asupan protein
dengan kejadian gondok. Berdasarkan nilai koefisien korelasi diperoleh
nilai = 0,214 yang menunjukkan bahwa kekuatan korelasi lemah
Berdaraskan teori faktor gizi yang penting adalah kadar protein
dalam serum. Pengeluaran hormon dari kelenjar tiroid karena pengaruh
TSH melalui membran basal, penetrasi sel kapiler, kemudian ditangkap
oleh Thyroid Binding Protein, pada keadaan protein menurun, akan
menyebabkan kadar hormon total menurun; penurunan hormon dari
kelenjar tiroid terutama menyebabkan hambatan umpan-balik pada
kelenjar hipophise dalam memproduksi TSH sehingga memacu kelenjar
tiroid untuk meningkatkan fungsinya dalam upaya mencukupi kebutuhan
59
hormon dari kelenjar tiroid. Apabila keadaan ini berlangsung secara terusmenerus pada akhirnya akan terjadi pembesaran kelenjar tiroid (kelenjar
gondok).
Hormon tiroid yang beredar dalam peredaran darah sebagian besar
berikatan dengan protein dalam plasma, hanya sekitar 0,05% T4 dan 0,5%
T3 yang berada sebagai hormon bebas (tanpa ikatan dengan molekul
lainnya) dan beredar dalam darah. Hormon yang bebas inilah yang berada
dalam keadaan siap pakai yang kemudian ditransport ke luar pembuluh
darah untuk dipergunakan oleh sel-sel lainnya di dalam organ tubuh.
Plasma protein yang mampu untuk mengikat hormon tiroid mempunyai
peranan penting untuk bertindak sebagai penjaga atau penyangga (buffer)
terhadap hormon tiroid yang bebas di dalam plasma. Plasma protein ini
dengan jalan demikian juga merupakan tempat cadangan bagi hormon
tiroid. Bila pada saat-saat tertentu kebutuhan hormon tiroid meningkat
maka hormon tiroid akan dibebaskan dari ikatannya. Mekanisme ini
merupakan upaya tubuh untuk menjaga kesinambungan pemasukan
hormon tiroid untuk sel-sel tubuh yang membutuhkannya. Bila seluruh
hormon tiroid dalam keadaan tidak terikat atau dalam keadaan bebas,
maka bila terjadi suatu keadaan dimana produksi hotmon tiroid terhenti,
hormon tiroid bebas itu akan habis digunakan oleh tubuh hanya dalam
waktu beberapa jam saja. Dengan adanya plasma protein yang mengikat
hormon
tiroid
dan
dilepaskan
sesuai
dengan
kebutuhan,
maka
60
kesinambungan pemasukan hormon tiroid dapat dipertahankan (Smeltzer
dan Bare, 2002).
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Patuti dkk (2010) terdapat
hubungan konsumsi protein dengan kejadian gondok pada anak SD
(p=0,000) nilai OR untuk konsumsi protein dengan kejadian gondok
sebesar 30,628, hal ini menunjukkan bahwa subjek yang memiliki pola
makan sumber protein kategori kurang mempunyai peluang menderita
gondok 30,6 kali dibandingkan dengan subjek yang tidak menderita
gondok.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa yang memiliki asupan
protein dalam kategori sedang yang mengalami gondok paling banyak
yaitu sebanyak 11 siswa (34,4%) dan asupan protein baik tetapi
mengalami gondok sebanyak 10 siswa (16,7%), walaupun ada hubungan
asupan protein dengan kejadian gondok tetapi koefisien korelasi
menunjukkan kekuatan korelasi lemah, hal ini berarti ada faktor lain yang
menyebabkan terjadinya gondok, salah satunya adalah faktor genetik,
selain itu yang mempengaruhi terjadinya gondok pada responden
yaitu konsumsi protein nabati lebih sering dibandingkan dengan protein
hewani, seperti tahu dan tempe. Kandungan Asam amino yang terdapat
pada protein nabati tidak lengkap seperti pada protein hewani, protein
nabati seringkali kekurangan lisin, metionin, dan triptofan bila asam amino
esensial kurang, tubuh tidak dapat melakukan pembuatan protein yang
dibutuhkan sehingga akan menghambat fungsi protein untuk mengikat
61
hormon tiroid akibatnya hormon tiroid yang dikat oleh protein menurun
hal ini menyebabkan hambatan umpan-balik pada kelenjar hipophise
dalam memproduksi TSH sehingga memacu kelenjar thyroid untuk
meningkatkan fungsinya dalam upaya mencukupi kebutuhan hormon dari
kelenjar thyroid. Apabila keadaan ini berlangsung secara terus-menerus
pada akhirnya akan terjadi pembesaran kelenjar thyroid (kelenjar gondok).
Hasil penelitian kategori asupan defisit tetapi tidak mengalami
gondok sebanyak 2 siswa (50%), dan kategori asupan kurang yang tidak
mengalami gondok seabnyak 4 siswa (66,7%). Hal ini kemungkinan
disebabkan karena responden sudah menggunakan dan mengkonsumsi
garam beryodium, dalam penelitian Triyono (2004) yang menyatakan
bahwa garam beryodium merupakan alternatif dari sumber yodium yang
tinggi. Hasil Riskesdas tahun 2013 menunjukkan persentase cakupan
garam cukup yodium di Jawa Tengah sebanyak 80,1%, angka ini belum
mencapai target yang telah ditentukan universal salt iodization (USI) yaitu
90% tetapi pada penelitian ini semua responden sudah menggunakan
garam beryodium. Tingginya penggunaan garam beryodium di daerah
Kecamatan Ngadirejo karena masyarakat Ngadirejo sering mendapat
penyuluhan dan pengawasan secara periodik terhadap garam yang beredar
di pasar atau masyarakat, dalam penggunaannya sebagai kebutuhan pokok
yang dibeli dan dikonsumsi secara teratur oleh masyarakat. Penyediaan
asupan unsur yodium lewat garam yang dikonsumsi sehari-hari merupakan
metode
yang
paling
umum
digunakan
karena
sudah
terbukti
62
keberhasilannya sehingga direkomendasikan oleh badan dunia seperti
WHO, UNICEF konsumsi garam berkisar > 30 ppm
2. Hubungan asupan yodium dengan kejadian gondok pada anak SD
pringapus dan SD Kataan Kecamatan Ngadirejo Kabupaten
Temanggung
Hasil uji statistik menggunakan uji kendal tau ( =0,05) didapatkan
nilai p value = 0,0001 (p< ) ada hubungan bermakna antara asupan
yodium dengan kejadian gondok. Berdasarkan nilai koefisien korelasi
diperoleh nilai
= 0,594 yang menunjukkan bahwa kekuatan korelasi
sedang.
Berdasarkan teori yodium diabsorpsi dengan cepat dari dalam usus
dan kemudian diedarkan melalui sirkulasi darah dalam bentuk senyawa
iodida anorganik plasma. Dari sirkulasi ini, sel-sel kelenjar tiroid
mengambil senyawa iodide tersebut melalui pompa yodium di bawah
pengendalian TSH yang dilepas oleh kelenjar hipofisis. Mekanisme ini
merupakan mekanisme transportasi aktif (Pandav, 2004).
Setelah diambil oleh sel-sel kelenjar tiroid, yodium dilepaskan ke
dalam koloid kelenjar tiroid dan di tempat ini, yodium dioksidasi oleh
hydrogen peroksida yang berasal dari sistem peroksidase tiroid. Kemudian
senyawa iodide disatukan ke dalam molekul tirosin dari tiroglobulin untuk
membentuk monoiodotirosin (MIT) dan diiodotironin (DIT). Jika sebuah
molekul DIT terangkai dengan molekul DIT yang lain, terbentuklah
tetraiodotironin atau tiroksin (T4), dan jika yang dirangkaikan itu adalah
63
MIT dengan DIT, terbentuklah triiodotironin (T3). Tiroglobulin kemudian
diambil oleh sel-sel kelenjar tiroid melalui sebuah proses yang dikenal
sebagai pinositosis. Dalam sel-sel kelenjar tiroid, hormon T3 dan T4
dilepas dari kelenjar tiroid tersebut melalui proses proteolisis. Sekresi T3
dan T4 dari kelenjar tiroid berlangsung dibawah pengaruh TSH, yang
sekresinya distimulasi oleh thyrotropin-releasing hormon (TRH) dari
hipotalamus. Ada suatu mekanisme umpan balik ketika kadar T4 yang
meningkat akan menghambat secara langsung sekresi TSH dan melawan
kerja TRH. Jadi, ketika kadar T4 dalam darah menurun, sekresi TSH akan
meningkat. Pada defisiensi yodium yang berat, hormon T4 tetap rendah
dan TSH meninggi, gambaran T4 yang rendah dan TSH meninggi
mengindikasikan hipothyroidisme. Kenaikkan TSH dapat disebabkan oleh
defisiensi yodium (Pandav, 2004).
Peningkatan
kadar TSH pada keadaan defisiensi
yodium
menstimulasi aktivitas sel-sel kelenjar tiroid, sehingga terjadi hipertrofi
dan hyperplasia sel-sel tiroid dan menghasilkan pembesaran kelenjar
tiroid. Pembesaran kelenjar tiroid ini dinamakan goiter atau penyakit
gondok. Jika pasokan yodium ke dalam kelenjar tiroid sangat terbatas,
kelenjar tersebut akan memproduksi lebih banyak T3 (yang bekerja lebih
aktif dari pada T4) sementara produksi T4 menjadi lebih sedikit (Pandav,
2004).
Berdasarkan hasil penelitian Djayusmantoko dkk (2005), yang
menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara asupan yodium
64
dengan kejadian gondok pada anak sekolah dasar di Kecamatan tabir Uli,
Kabupaten Maringin, Provinsi Jambi (p=0,000) dengan nilai OR= 25,4 hal
ini menunjukkan bahwa subjek mempunyai peluang menderita gondok
25,4 kali dibanding dengan subjek yang tidak menderita gondok.
Berdasarkan hasil penelitian asupan yodium sedang tetapi
mengalami gondok sebanyak 11 siswa (34,4%). Kemungkinan hal ini
terjadi karena konsumsi zat goitrogenik, zat goitrogenik dapat menggangu
hormogeneisis
sehingga
dapat
membesarkan
kelenjar
thyroid
(Djokomoeljanto, 1974). Sebagian besar dari penduduk Ngadirejo
bermata pencaharian sebagai petani. Mereka menanam padi, tembakau,
dan sayur sayuran. Sayur-sayuran yang ditanam berupa kol, buncis,
kangkung, sawi, daun singkong, kacang panjang, daun pepaya selain itu
ubi dan singkong yang termasuk dalam kelompok bahan makanan yang
mengandung zat goitrogenik. Sedangkan sebagian besar dari mereka
mengkonsumsi hasil tanaman kebun sendiri, jadi makanan yang mereka
konsumsi sehari-hari banyak yang mengandung zat goitrogenik. Bahan
makanan yang paling sering dikonsumsi responden seperti kol, sawi,
buncis, daun pepaya, daun singkong, responden mengkonsumsi bahan
makanan tersebut 6-7x/minggu.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa asupan yodium kategorit
defisit tidak mengalami gondok sebanyak 1 siswa (5,3%), asupan yodium
kategori kurang tidak mengalami gondok sebanyak 26 siswa (83,9%).
Berdasarkan pemeriksaan, palapator mengungkapkan bahwa ada beberapa
65
responden yang memiliki kelenjar tiroid yang kecil, meskipun umur
responden telah sesuai dengan anjuran WHO, namun sebagian dari mereka
memiliki ukuran kelenjar tiroid yang kecil. Semakin kecil kelenjar tiroid
maka semakin sulit untuk di palapasi (di tentukan ada atau tidaknya
gondok) (WHO, 2001).
C. Keterbatasan Penelitian
Peneliti hanya meneliti asupan protein, dan yodium saja, faktor-faktor
lain yang mempengaruhi kejadian gondok tidak diteliti seperti, zat
goitrogenik, genetik, penggunaan garam, ketersediaan pangan di rumah
66
BAB VI
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang hubungan asupan protein dan
yodium dengan kejadian gondok pada anak SD Pringapus dan SD Kataan
Kecamatan Ngadirejo Kabupaten Temanggung dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Asupan protein paling banyak adalah kategori baik yaitu sejumlah 60
siswa (58,8%), dan yang paling sedikit kategori defisit yaitu sejumlah 4
siswa (3,9%).
2. Asupan yodium paling banyak adalah kategori sedang yaitu sejumlah 39
siswa (38,2%), dan paling sedikit kategori baik yaitu sejumlah 13 siswa
(12,7%) sedangkan asupan yodium kategori yodium defisit sebanyak 19
siswa (18,6%)
3. Responden yang mengalami gondok sebanyak 25 siswa (24,5%), dan
sebagian besar responden tidak mengalami gondok yaitu sebesar 77 siswa
(75,5%)
4. Ada hubungan asupan protein dengan kejadian gondok pada anak SD
Pringapus dan SD Kataan Kecamatan Ngadirejo Kabupaten Temanggung
5. Ada hubungan asupan yodium dengan kejadian gondok pada anak SD
Pringapus dan SD Kataan Kecamatan Ngadirejo Kabupaten Temanggung
67
B. Saran
1. Bagi Penelitian Selanjutnya
Penelitian ini hanya meneliti hubungan asupan protein dan yodium dengan
kejadian gondok pada anak SD, sehingga perlu disarankan adanya
penelitian lebih lanjut mengenai faktor lain yang dapat menyebabkan
gondok. Faktor lain tersebut adalah, zat goitrogenik, genetik, penggunaan
garam, ketersediaan pangan di rumah
2. Bagi Masyarakat
Untuk meningkatkan konsumsi protein hewani masyarakat bisa menggati
kosumsi makanan sumber protein yang lebih murah dan terjangkau seperti
telur dan ikan asin.
3. Institusi Kesehatan
a. Dengan adanya penelitian ini diharapkan puskesmas dapat melakukan
kerjasama dengan Dinas Kesehatan dalam meningkatkan konsumsi
protein terutama protein hewani.
b. Melakukan pemeriksaan kelenjar gondok pada anak SD secara rutin
guna memantau tingkat kejadian gondok.
68
DAFTAR PUSTAKA
Adriani M dan Wirjatmadi B. 2012. Peranan Gizi dalam Siklus Kehidupan.
Kencana Prenada Media Grup, Jakarta.
Almatsier S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Penerbit PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Arifah S. 2007. Gangguan Akibat Kurang Yodium. Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Arikunto S. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Rineka Cipta,
Jakarta.
Arisman. 2009. Buku Ajar Ilmu Gizi Keracunan Makanan. EGC, Jakarta.
Arisman. 2010. Gizi Dalam Daur Kehidupan. Buku Ajar Ilmu Gizi. Buku
Kedokteran EGC, Jakarta
Aritonang E; Evinaria. 2004. Pola Konsumsi Pangan, Hubungannya dengan Status
Gizi dan Prestasi Belajar pada SD di Daerah Endemik GAKY Desa Kuta
Dame Kecamatan Kerajaan Kabupaten Dairi Propinsi Sumatera Utara
Dachroni. 2007. Gangguan Akibat Kekurangan Yodium diambil
http://[email protected] (Diakses 12 Mei 2016).
dari
Depkes RI. 2001. Penanggulangan Gangguan Akibat Kurang Yodium (GAKY) Di
Indonesia. Kerjasama Depkes dan Kesejahteraan Sosial, Deperindag dan
Depdagri, Direktorat Gizi Masyarakat, Depkes RI
Depkes RI. 2004. Bantuan Teknis untuk Studi Evaluasi Proyek Intensifikasi
Penanggulangan Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (IP-GAKY).
Dana Bantuan IBRD N0. 4125-IND, Jakarta.
Depkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian dan pengembangan
Kesehatan Kementrian Kesehatan RI, Jakarta.
Djaeni A. 1999. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa Profesi Di Indonesia. Dian Rakyat,
Jakarta
Djojosoebagjo S. 1996. Fisiologi kelenjar endokrin. UI Press, Jakarta (Indonesia)
Djokomoeljanto. 1994. Gangguan Akibat Defisiensi dan Gondok Endemik dalam
Ilmu Penyakit Dalam. Editor: dr Soedirman. Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta.Hal1833-1840
Fahmida U dan Dillon. 2007. Hand book Nutritional Assessment. SEAMEOTROPMED RCCN UI, Jakarta.
69
Greenspan FS; John DB. 2000. Endokrinologi Dasar dan Klinik. Edisi 4
Guyton AC; John EH. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran 9th ed. EGC,
Jakarta. Hal 281-296, 1116
Hetzel SB; Clugston AG. 1999. Iodine in undernnutrition in healthand disease, 9th
ed, Baltimore: Lippincott William & Willkins, pp 253-264
Kartasurya MI. 2006. Peningkatan Pengetahuan, Ketersediaan Dan Konsumsi
Makanan Kaya Yodium pada Tingkat Keluarga. Jurnal GAKY (Indonesia
Journal Of IDD) Vol. 5, No. 1
Kemenkes Ri. 2014. Studi Diet Total: Konsumsi Makanan Individu Jawa Tengah.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Jakarta
LAKIP Kabupaten Temanggung. 2013. Survei Kosumsi Temanggung. Kantor
Ketahanan Pangan Kabupaten Temanggung.
Madanijah S. dan Agung BH. 2007. Faktor- Faktor Ekonomi Keluarga yang
Berhubungan dengan Kejadian Gondok pada Murid SD. Jurnal Gizi dan
Pangan. 2(1): 47-55
Muchtadi. 2010. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Alfabeta CV, Bogor.
Notoatmodjo S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta, Jakarta.
Pandav CS; Jooste PL; West CE. 2004. Gizi Kesehatan Masyarakat. EGC,
Jakarta.
Panjaitan R. 2008. Pengaruh Karakteristik Ibu dan Pola Konsumsi Pangan
Keluarga terhadap Status GAKY Anak SD di Kabupaten Dairi. [Tesis].
Universitas Sumatera Utara
Patuti N; Toto S; Deddy NW 2010. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Kejadian gondok pada Anak Sekolah Dasar di Pinggiran Pantai Kota Palu
Provinsi Sulawesi Tengah. Jurnal Gizi Klinik Indonesia.
Rachmawati B. dan Tjahjati DM. 2006. Pemeriksaan laboratorium yang
diperlukan Pada Studi Defisiensi Yodium. Jurnal GAKY Indonesia
(Indonesia Journal of IDD) Vol. 5, No. 1-2.
Rasipin. 2011. Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Goiter Pada
Siswa Sisw SD Di Wilayah Pertanian. [Tesis]. Universitas Diponegoro
Semarang
Retno. 1999. Pola Konsumsi Pangan Kaitannya dengan Kejadian Gondok pada
Anak Sekolah Dasar di Daerah Pantai. Desertasi tidak diterbitkan Program
Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
70
Ritanto JM. 2002. Faktor Resiko Kekurangan Iodium Pada Anak Sekolah Dasar
Di Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali. Jurnal GAKI Indonesia, Volume
4, No2, 2003
Riwidikdo H. 2008. Statistik Kesehatan. Penerbit Mitra Cendekia, Yogyakarta
Rusdiana L. 2013. Perbedaan Aktivitas Fisik dan Prestasi Belajar Antara Anak SD
Penderita Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (Gaky) dan Non Gaky
Di SD Negeri 02 Ngargoyoso Karanganyar. [Disertasi]: Universitas
Muhammadiyah Surakarta
Rusnelly. 2006. Determinan Kejadian GAKY pada Anak Sekolah Dasar Di
Dataran Rendah dan Dataran Tinggi Kota Pagar Alam Provinsi Sumatera
Selatan. [Tesis]. Universitas Diponegoro Semarang
Salim A. 2006. Hubungan Pola Konsumsi Pangan dengan Kejadian Gondok Pada
Anak Sekolah Dasar di daerah Pantai. [Tesis] : Universitas Hasanuddin
Makassar
Santoso EB; Hadi H; Sudargo T. 2006. Hubungan Antara Konsumsi Makanan
Goitrogenik dan Status Yodium pada Ibu Hamil di Kecamatan Endemis
Gangguan Akibat Kekurangan Yodium. Berita Kedokteran Masyarakat hal
93-99
Smeltzer SC dan Bare BG. 2002. Keperawatan Medikal Bedah. ECG
Sugiyono. 2007. Statistik Untuk Penelitian. CV Alfabet, Bandung.
Suhardjo. 1989. Pangan, Gizi dan Pertanian. Universitas Indonesia (UI), Jakarta
Suharyo H; Margawati A; Setyawan H; Djoko M. 2001. Aspek Sosio Kultural
pada Program Penanggulangan GAKI. Jurnal GAKY Indonesia :
Semarang. Hal 1.
Sulistyoningsih H. 2011. Gizi Untuk Kesehatan Ibu dan Anak. Graha Ilmu,
Yogyakarta
Supariasa IDN; Bakrie B; Fajar I. 2002. Penilaian Status Gizi. Penerbit Buku
Kedokteran. EGC, Jakarta
Thaha AR. 2002. Analisis Faktor Risiko Coastal Goiter. Jurnal GAKY Indonesia
(Indonesia Journal of IDD)Vol.1, No. 1 April 2002
Tika P. 2006. Budaya Organisasi Dan Peningkatan Kinerja Perusahaan. PT Bumi
Aksara, Jakarta
Triyono dan Inong RG. 2004. Identifikasi Faktor yang Berhubungan dengan
Kejadian Gondok pada Anak Sekolah Dasar di Daerah Dataran Rendah.
Semarang : Jurnal GAKY Indonesia (Indonesian Journal of IDD). Volume
3. No 1-3 April, Agustus, dan Desember (1-18)
71
WHO. 2001. Assessment of Iodine Deficiency Disorders and Monitoring of Their
Elimination : a guide for programme managers Second edition.
Widajanti L. 2009. Survei Konsumsi Gizi. BP Undip, Semarang
Winarno FG. 2003. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia, Jakarta
Yuniastuti A. 2008. Gizi dan Kesehatan. Graha Ilmu, Yogyakarta
72
Download