Laporan Nusantara November 2016.

advertisement
IV
Daftar isi
Kata Pengantar
Bagian I
v
vii
1
Ringkasan Perkembangan Terkini dan Prospek Ekonomi Daerah
Bagian II
9
Perekonomian Sumatera
Boks 1
19
Mentransformasi Industri Kelapa Sawit dan Karet Menjadi Penggerak
Perekonomian Sumatera
Bagian III
23
Perekonomian Jawa
Boks 2
41
Transformasi Industri Manufaktur Jawa Melalui Pengembangan Rantai Integrasi
Produksi dan Nilai (Kondisi, Tantangan dan Strategi Pengembangan)
Bagian IV
47
Perekonomian Kawasan Timur Indonesia
Boks 3
59
Mencapai Transformasi Industri yang Berkesinambungan di Kawasan Timur
Indonesia (KTI)
Bagian V
63
Isu Strategis : Mempercepat Transformasi Industri Manufaktur untuk Mewujudkan
Industrialisasi Indonesia yang Berdaya Saing Global
Lampiran
V
75
D
alam proses perumusan kebijakan, selain asesmen menyeluruh terkait
perekonomian global dan nasional, Bank Indonesia juga selalu
mempertimbangkan berbagai dinamika perekonomian dan isu terkini
dalam perspektif kewilayahan. Secara periodik, pembahasan menyeluruh
terkait perkembangan perekonomian terkini dan berbagai isu strategis
yang mengemuka di daerah dilakukan antara Dewan Gubernur dengan
Kepala Departemen Regional yang mewakili 3 (tiga) wilayah di seluruh
1
Indonesia . Pembahasan tersebut memberikan pemahaman mendalam terkait kondisi
makroekonomi disertai berbagai aspek risiko spasial yang berkembang dan menjadi bagian
penting dalam proses perumusan kebijakan.
Perekonomian nasional pada triwulan III 2016 masih menunjukkan kinerja yang positif, yaitu
tumbuh 5,02%, meskipun sedikit lebih rendah dibandingkan dengan triwulan II 2016 yang
tumbuh 5,19%. Pertumbuhan tersebut ditopang oleh masih relatif kuatnya perekonomian di
berbagai wilayah. Jawa dan Sumatera, yang memiliki pangsa besar pada perekonomian
nasional, masih tumbuh cukup kuat ditopang konsumsi rumah tangga, investasi, serta
ekspor antar daerah. Provinsi di kedua wilayah tersebut yang mencatatkan percepatan
pertumbuhan adalah Jambi, Lampung, Kepulauan Bangka Belitung, serta Banten. Sementara
itu, perekonomian Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang mencakup Kalimantan, Bali-Nusa
Tenggara (Balinusra) dan Sulawesi-Maluku-Papua (Sulampua) secara agregat tumbuh
meningkat, terutama ditopang membaiknya kinerja ekspor, baik luar negeri maupun antar
daerah. Peningkatan pertumbuhan KTI terjadi di hampir seluruh provinsi di Kalimantan,
kecuali Kalimantan Selatan, dan sebagian provinsi di Sulampua, yaitu Gorontalo, Sulawesi
Barat, Papua, dan Papua Barat.
Indikator ekonomi terkini di berbagai daerah mengindikasikan bahwa secara agregat,
perekonomian pada triwulan IV 2016 akan tumbuh lebih baik, meskipun dengan level yang
masih terbatas. Perbaikan tersebut diprakirakan bersumber dari akselerasi konsumsi rumah
tangga dan investasi, serta membaiknya kinerja konsumsi pemerintah dan ekspor. Lebih
tingginya pertumbuhan konsumsi rumah tangga didukung masih kuatnya optimisme
konsumen dan prakiraan berlanjutnya kenaikan harga komoditas yang mendorong
penguatan daya beli. Adapun akselerasi investasi ditopang meningkatnya realisasi belanja
fisik, perkembangan pembangunan infrastruktur pemerintah, serta investasi non-bangunan
oleh swasta. Di sisi lain, konsumsi pemerintah diperkirakan membaik meski masih terbatas.
Perbaikan tersebut dipengaruhi kecenderungan peningkatan pembayaran oleh pemerintah
di akhir tahun, meski masih dibayangi dampak dari penundaan DAU terhadap 169 daerah
yang mulai berlaku sejak September lalu sampai dengan akhir tahun 2016. Sementara itu,
kinerja ekspor mengalami peningkatan, khususnya di Sumatera dan Jawa, terutama
didorong kenaikan ekspor antar daerah di tengah tertahannya ekspor luar negeri. Secara
keseluruhan tahun 2016, perekonomian secara nasional diperkirakan tumbuh 5,0%;
meningkat dibandingkan 2015 yang tumbuh 4,79%.
Perkembangan inflasi di berbagai daerah pada triwulan III 2016 (September 2016) terjaga
dalam level yang rendah, yakni sebesar 3,07% (yoy). Realisasi inflasi pada periode ini jauh
1
Sesuai SE No.18/86/Intern tentang Departemen Regional I, II, dan III, tanggal 30 September 2016, maka terhitung
sejak terbitan kali ini, bahasan ekonomi dan keuangan daerah dibagi menjadi 3 (tiga) wilayah yaitu Sumatera, Jawa,
dan Kawasan Timur Indonesia (mencakup Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Bali, Nusa Tenggara Barat dan
Nusa Tenggara Timur).
lebih rendah dibandingkan rata-rata 5 tahun terakhir yang mencapai 5,74%. Realisasi inflasi
(yoy) pada akhir triwulan III 2016 yang menurun terjadi di Jawa (2,58%) dan KTI (3,47%).
Sementara inflasi di Sumatera tercatat sedikit naik, meski masih dalam kisaran target 4±1%,
yaitu sebesar 4,28%. Terkendalinya inflasi di sepanjang periode triwulan III 2016 dipengaruhi
oleh kembali normalnya harga komoditas utama seperti daging ayam ras, telur ayam, dan
berbagai sayuran pasca Lebaran. Tarif angkutan darat dan udara juga kembali normal di
berbagai daerah pasca mencapai puncaknya pada Lebaran. Selain itu, masih terjaganya nilai
tukar Rupiah meminimalkan dampak imported inflation. Hingga akhir tahun 2016, inflasi
berbagai daerah di Jawa, Sumatera, dan KTI, secara agregat akan berada pada kisaran 4±1%.
Perekonomian daerah secara agregat pada tahun 2017 diperkirakan tumbuh di kisaran
5,0%-5,4%, lebih tinggi dibanding 2016. Lebih tingginya pertumbuhan ekonomi 2017
tersebut didukung peningkatan pertumbuhan ekonomi di semua wilayah. Cukup kuatnya
optimisme konsumen diperkirakan mampu menopang pertumbuhan konsumsi rumah
tangga serta perdagangan antar daerah. Selain itu, pembangunan infrastruktur pemerintah
di berbagai daerah diperkirakan akan mendorong investasi fisik di berbagai daerah. Di sisi
lain, inflasi pada 2017 diperkirakan tetap berada dalam kisaran sasaran inflasi nasional
4±1%. Hal tersebut didukung terkendalinya inflasi inti seiring stabilnya nilai tukar rupiah
serta berkurangnya potensi risiko cuaca yang dapat mengganggu produksi tanaman pangan
dan hortikultura, yang tidak setinggi tahun 2016.
Pada edisi kali ini, Laporan Nusantara mengangkat isu khusus mengenai “Mempercepat
Transformasi Industri Manufaktur untuk Mewujudkan Industrialisasi Indonesia yang Berdaya
Saing Global”. Isu tersebut penting diangkat karena di tengah gejala deindustrialisasi selama
satu dekade terakhir, Indonesia perlu segera kembali menata dan membangun industri
manufakturnya melalui upaya transformasi industri. Pengalaman negara-negara maju,
membuktikan bahwa industri manufaktur mampu menjadi sumber pertumbuhan ekonomi
yang kuat dan sustainable. Oleh karena itu strategi transformasi industri yang komprehensif,
terkoordinasi dan terencana sangat dibutuhkan guna mendorong pertumbuhan ekonomi
Indonesia serta untuk menjaga agar Indonesia bebas dari Middle Income Trap. Dalam kaitan
dengan hal tersebut, transformasi industri perlu dilakukan dengan berfokus pada mengatasi
tantangan baik yang bersifat jangka pendek maupun jangka menengah panjang atau
struktural yang selama ini dihadapi industri manufaktur di Indonesia.
Penyusunan buku Laporan Nusantara ini dilakukan secara bersama antara Departemen
Kebijakan Ekonomi dan Moneter (DKEM) serta Departemen Regional I, II, dan III yang
masing-masing membawahi regional Sumatera, Jawa, dan Kawasan Timur Indonesia. Akhir
kata, kami berharap buku Laporan Nusantara ini dapat bermanfaat dan menjadi acuan bagi
para pemangku kepentingan dan pemerhati ekonomi daerah, serta menjadi salah satu
kontribusi Bank Indonesia dalam pembangunan ekonomi daerah.
Jakarta, 23 November 2016
Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter
Juda Agung
Direktur Eksekutif
Perkembangan Terkini Perekonomian
Daerah
Perekonomian nasional pada triwulan III 2016
masih menunjukkan kinerja yang positif, yaitu
tumbuh 5,02%. Pertumbuhan yang lebih rendah
dibandingkan dengan pertumbuhan triwulan II
2016 sebesar 5,19% tersebut ditopang oleh
masih relatif kuatnya perekonomian di berbagai
wilayah. Perekonomian Jawa dan Sumatera, yang
memiliki pangsa besar pada perekonomian
nasional, masih tumbuh cukup kuat. Provinsiprovinsi yang mencatat percepatan pertumbuhan
adalah Jambi, Lampung, Kepulauan Bangka
Belitung serta Banten. Khusus Banten,
pertumbuhannya ditopang oleh peningkatan
ekspor antar provinsi dan peningkatan kinerja
industri pengolahan, terutama terkait subindustri
petrokimia. Perekonomian Kawasan Timur
Indonesia (KTI) yang mencakup Kalimantan, BaliNusa Tenggara (Balinusra) dan Sulawesi-MalukuPapua (Sulampua) secara agregat tumbuh
meningkat. Peningkatan pertumbuhan KTI terjadi
di hampir seluruh provinsi di Kalimantan, kecuali
Kalimantan Selatan, dan sebagian provinsi di
Sulampua, yaitu Gorontalo, Sulawesi Barat,
Papua, dan Papua Barat.
Perekonomian Sumatera tumbuh sebesar 3,88%
pada triwulan III 2016 didukung oleh
membaiknya net ekspor serta masih terjaganya
konsumsi. Tingkat pertumbuhan triwulan
laporan, meski lebih rendah dibandingkan
pertumbuhan triwulan sebelumnya yaitu 4,44%,
didorong oleh perbaikan ekspor terutama dari
membaiknya ekspor CPO antar daerah akibat
permintaan domestik yang terus menguat. Meski
demikian, perbaikan harga komoditas ekspor
utama
Sumatera
yang
masih
terbatas
menyebabkan ekspor luar negeri tumbuh di level
yang rendah. Di sisi lain, pertumbuhan konsumsi
1
rumah tangga yang lebih kuat terhambat oleh
terbatasnya perbaikan daya beli yang tercermin
dari Nilai Tukar Petani dan keyakinan konsumen.
Sementara itu, konsumsi pemerintah mengalami
kontraksi pada triwulan laporan dan terjadi di
hampir seluruh provinsi di Sumatera, kecuali
Kepulauan Riau dan Kepulauan Bangka Belitung.
Hal tersebut dipengaruhi oleh kebijakan
pemerintah pusat dalam menjaga ketahanan
fiskal berupa kebijakan pengurangan dan
penundaan transfer ke daerah serta pemotongan
belanja Kementerian/Lembaga. Sementara itu,
perlambatan investasi dipengaruhi menurunnya
kinerja investasi bangunan terkait perkembangan
proyek pemerintah yang terhambat pada
masalah pembebasan lahan. Investasi sektor
swasta masih tertahan akibat perbaikan kondisi
perekonomian yang cenderung terbatas.
Ekonomi Jawa tumbuh cukup kuat mencapai
5,57%, meskipun melambat dibandingkan
triwulan sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi
Jawa pada triwulan laporan ditopang investasi,
khususnya non-bangunan, serta ekspor antar
daerah yang tercatat tumbuh lebih tinggi.
Pergeseran puncak konsumsi Ramadhan ke
triwulan II pada 2016, menyebabkan terbatasnya
pertumbuhan
konsumsi
rumah
tangga.
Pertumbuhan konsumsi yang terbatas khususnya
terjadi pada konsumsi makanan dan minuman
serta sandang. Konsumsi pemerintah tercatat
mengalami kontraksi meski tidak sedalam
Sumatera. Upaya rasionalisasi anggaran seiring
kebijakan penundaan DAU, serta pergeseran
penyaluran gaji ke-13 dan ke-14 menjadi di
triwulan II 2016, turut memengaruhi turunnya
pertumbuhan konsumsi pemerintah.
Di sisi lain, perekonomian Kawasan Timur
Indonesia (KTI) tercatat tumbuh meningkat.
Pada triwulan III 2016, perekonomian berbagai
daerah di KTI secara agregat tumbuh 5,32%, lebih
tinggi dibanding triwulan II yang tumbuh 3,88%.
Meningkatnya pertumbuhan ekonomi KTI
ditopang oleh membaiknya kinerja ekspor, baik
luar negeri maupun antar daerah, terutama di
Kalimantan
dan
Sulampua.
Selain
itu,
peningkatan pertumbuhan juga didorong oleh
membaiknya investasi, khususnya investasi
bangunan di Kalimantan dan Balinusra seiring
masih
berjalannya
proyek
infrastruktur
pemerintah. Di sisi lain, sejalan dengan kondisi di
Sumatera dan Jawa, konsumsi pemerintah di KTI
juga tumbuh negatif; yang terutama terjadi di
seluruh provinsi di Kalimantan, sebagian
Sulawesi, serta di NTT dan Maluku Utara. Secara
wilayah,
perekonomian
Kalimantan
dan
Sulampua tercatat tumbuh lebih tinggi dibanding
triwulan lalu yang didorong oleh ekspor. Hal
tersebut didukung beroperasinya smelter bauksit
baru untuk memproduksi alumina di Kalimantan
Barat serta peningkatan produksi untuk mencapai
target pasca perbaikan mesin produksi tembaga
di Papua. Sementara perekonomian Balinusra
mencatatkan pertumbuhan yang lebih rendah
seiring kontraksi penjualan konsentrat mineral di
NTB, penurunan investasi di Bali, serta dalamnya
kontraksi konsumsi pemerintah di NTT.
Gambar I.1. Peta Pertumbuhan Ekonomi Daerah Triwulan III 2016
Indikator ekonomi terkini di berbagai daerah
mengindikasikan perekonomian pada triwulan
IV 2016 secara agregat tumbuh membaik, meski
masih terbatas. Perbaikan tersebut ditopang oleh
akselerasi konsumsi rumah tangga dan investasi,
serta membaiknya kinerja konsumsi pemerintah
dan ekspor. Lebih tingginya pertumbuhan
konsumsi rumah tangga didukung masih kuatnya
optimisme konsumen dan prakiraan kenaikan
harga komoditas yang mendorong penguatan
daya beli. Adapun akselerasi investasi ditopang
meningkatnya
realisasi
belanja
fisik,
perkembangan
pembangunan
infrastruktur
pemerintah, serta investasi non-bangunan oleh
swasta. Di sisi lain, konsumsi pemerintah
diperkirakan membaik meski masih terbatas.
Perbaikan tersebut dipengaruhi kecenderungan
2
pembayaran pemerintah di akhir tahun, meski
masih dibayangi dampak dari penundaan DAU
terhadap 169 daerah yang mulai berlaku sejak
September lalu sampai dengan akhir tahun 2016.
Sementara itu, kinerja ekspor membaik,
khususnya di Sumatera dan Jawa, terutama
didorong ekspor antar daerah di tengah
tertahannya ekspor luar negeri. Di Sumatera,
perbaikan ekspor antar daerah didorong
membaiknya permintaan CPO domestik di tengah
masih terbatasnya permintaan ekspor luar
negeri. Di Jawa, peningkatan ekspor lebih
didorong ekspor antar daerah terutama untuk
komoditas pertanian, produk makanan-minuman,
dan tekstil seiring dengan masih kuatnya
permintaan domestik. Disamping itu, sebagai
bagian dari upaya perbaikan kinerja ekspor,
pelaku usaha di Jawa mulai melakukan perluasan
atau diversifikasi negara tujuan ekspor guna
meningkatkan pertumbuhan ekspor luar negeri.
Di sisi lain, kinerja ekspor di KTI justru tumbuh
melambat yang berkontribusi dalam perlambatan
pertumbuhan KTI secara keseluruhan pada
triwulan IV 2016. Hal tersebut terutama
dipengaruhi melambatnya ekspor CPO, LNG, dan
kayu karena terbatasnya perbaikan harga.
Tabel I.1. Tendensi Arah Perekonomian Daerah Triwulan IV 2016*
Komponen
PDRB
AGREGASI
SUMATERA
Tendensi
Asesmen
JAWA
Tendensi
Asesmen
KAWASAN TIMUR INDONESIA
Tendensi
Asesmen
Pertumbuhan
Ekonomi
Didorong akselerasi Konsumsi,
Investasi, serta Ekspor.
Pertanian, Pertambangan, dan
Industri Pengolahan
diperkirakan tumbuh
meningkat.
Konsumsi RT
Kenaikan harga komoditas
diperkirakan akan mendorong
daya beli masyarakat.
Konsumsi
Pemerintah
Peningkatan realisasi belanja
barang & jasa pemerintah.
Investasi
(PMTB)
Peningkatan realisasi belanja
fisik pemerintah.
Ekspor
Membaiknya permintaan CPO
domestik di tengah tertahannya
ekspor LN.
Pelaku usaha mulai melakukan
perluasan negara tujuan ekspor
guna meningkatkan pertumbuhan
ekspor.
Perlambatan ekspor CPO, LNG,
dan kayu karena terbatasnya
perbaikan harga.
Impor
Meningkatnya impor bahan
baku & barang modal.
Sejalan dengan kinerja industri
manufaktur, terutama impor bahan
baku dan barang modal.
Terutama disumbang kenaikan
impor barang konsumsi & barang
modal.
Didorong akselerasi Konsumsi,
Investasi, dan Ekspor; serta
akselerasi Industri Pengolahan,
Konstruksi, dan Perdagangan.
Kenaikan optimisme konsumen
yang didukung faktor musiman dan
Pilkada, serta terjaganya inflasi
mendorong tingkat konsumsi
masyarakat.
Kecenderungan pola realisasi serta
penagihan & pembayaran belanja
Pemerintah akhir tahun.
Pelonggaran kebijakan LTV/FTV
mendorong pembangunan properti;
meski dapat tertahan oleh
pemotongan belanja modal
pemerintah pasca penundaan DBH.
Dipengaruhi menurunnya kinerja
ekspor dan melambatnya
pertumbuhan sektor utama selain
Pertanian & Akomodasi.
Ekspektasi masyarakat terhadap
ekonomi ke depan meningkat dan
berada di level optimis.
Meningkatnya belanja pemerintah
sesuai pola akhir tahun.
Masih berlanjutnya proyek
infrastruktur pemerintah serta
investasi swasta a.l.
Pembangunan pabrik gula di NTB.
* Tendensi arah kondisi ekonomi secara tahunan (year-on-year)
Keterangan : merah (berkontribusi negatif terhadap PDRB), hijau (berkontribusi positif terhadap PDRB)
Secara keseluruhan tahun 2016, perekonomian
daerah secara agregat diprakirakan tumbuh
lebih baik dibandingkan tahun 2015, meski
sedikit lebih rendah dari prakiraan sebelumnya.
Perbaikan perekonomian terutama ditopang oleh
meningkatnya kinerja pertumbuhan ekonomi
Jawa dan Sumatera. Meski demikian, perbaikan
perekonomian masih dibayangi risiko belum
optimalnya penyerapan belanja daerah di tengah
kebijakan konsolidasi fiskal pemerintah. Selain
itu, masih terbatasnya perbaikan ekonomi global
yang berimbas pada terbatasnya ekspor daerah
diperkirakan turut menahan peningkatan yang
lebih tinggi pada kinerja perekonomian daerah
secara
keseluruhan.
Melihat
berbagai
perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi
keseluruhan tahun 2016 diperkirakan berada di
kisaran 4,9%-5,3% (yoy), sedikit lebih rendah dari
perkiraan sebelumnya.
3
Pertumbuhan ekonomi Jawa diprakirakan
ditopang oleh konsumsi & investasi seiring
mulai
membaiknya
kondisi
ekonomi,
pendapatan masyarakat, dan persepsi pelaku
usaha. Hal tersebut tercermin dari indeks
keyakinan konsumen yang membaik secara
gradual sejak pertengahan tahun. Selain itu,
berlanjutnya
pembangunan
infrastruktur
berskala besar di berbagai daerah di Jawa turut
mendorong perbaikan ekonomi Jawa secara
keseluruhan. Meski demikian, masih terbatasnya
perbaikan ekonomi negara tujuan ekspor utama
di tengah menurunnya volume perdagangan
dunia diprakirakan menekan pertumbuhan
ekspor luar negeri dan kinerja industri
pengolahan.
Pertumbuhan ekonomi Sumatera diprakirakan
bersumber dari meningkatnya realisasi proyek
infrastruktur pemerintah disertai masih kuatnya
konsumsi
rumah
tangga.
Pembangunan
beberapa proyek infrastruktur berskala besar di
Sumatera seperti pembangunan jalan trans
Sumatera,
pembangkit listrik, dan sarana
penunjang kegiatan Asian Games 2018
diperkirakan dapat mendorong investasi dan
kinerja perekonomian secara keseluruhan. Selain
itu, masih kuatnya konsumsi domestik
mendorong ekspor antar daerah serta kinerja
industri pengolahan CPO.
Di sisi lain, perekonomian KTI diprakirakan
tumbuh lebih rendah dibanding tahun lalu,
meski sedikit lebih tinggi dibanding perkiraan
sebelumnya. Prakiraan melambatnya ekonomi
KTI
dipengaruhi
turunnya
produksi
pertambangan utama seperti minyak bumi di
Kalimantan, nikel di Sulawesi, dan tembaga di
Nusa Tenggara. Kondisi ini mengakibatkan
kontraksi ekspor yang lebih dalam. Selain itu,
kinerja investasi dan konsumsi pemerintah
tumbuh tidak setinggi perkiraan seiring realisasi
target pembangunan proyek infrastruktur
pemerintah yang belum optimal serta tantangan
kebijakan penghematan fiskal. Meski demikian,
pertumbuhan ekonomi KTI masih akan berada di
level yang cukup tinggi karena ditopang oleh
konsumsi yang masih kuat seiring prospek
peningkatan pendapatan pada usaha jasa dan
perdagangan.
Stabilitas Keuangan Daerah
Sejalan dengan kondisi ekonomi, kinerja
keuangan sektor korporasi pada triwulan III
2016 menunjukkan perlambatan. Hal ini
tercermin dari penyaluran kredit ke sektor
korporasi yang tumbuh sebesar 13,9% (yoy), lebih
rendah dibanding triwulan lalu 17,4% (yoy).
Angka pertumbuhan tersebut juga lebih rendah
dibanding rata-rata pertumbuhan 3 tahun
terakhir yang mencapai 16,5%. Perlambatan
penyaluran kredit korporasi terdalam terjadi di
Sumatera, yakni dari 18,0% menjadi 12,8%,
terutama dipengaruhi perlambatan kredit ke
Pertanian dan Perdagangan. Kredit korporasi di
Jawa juga melambat dari 18,2% menjadi 14,5%.
4
Sementara pertumbuhan penyaluran kredit
korporasi di KTI justru sedikit membaik, dari
10,8% menjadi 11,2% terutama ditopang
membaiknya kredit ke Pertanian. Kondisi
perlambatan pertumbuhan kredit ini perlu
diwaspadai seiring cenderung meningkatnya
risiko non performing loans (NPL) di berbagai
lapangan usaha utama daerah, terutama di
Perdagangan dan Pertanian.
Kinerja keuangan sektor rumah tangga juga
mengalami tekanan. Hal ini tercermin dari
penyaluran kredit ke sektor rumah tangga yang
tumbuh 6,4%, lebih rendah dibanding triwulan
lalu yang mencapai 7,6%. Perlambatan tersebut
terjadi di semua wilayah, pada berbagai jenis
kredit termasuk kredit kendaraan bermotor,
kredit pemilikan rumah, serta kredit multiguna.
Perlambatan kredit ke sektor rumah tangga
tersebut perlu diwaspadai karena diiringi
kenaikan NPL, meski masih di bawah batas aman
5%.
Sistem Pembayaran dan Pengelolaan
Uang Rupiah
Aktivitas transaksi keuangan selama periode
triwulan III 2016 menurun signifikan sejalan
dengan perlambatan ekonomi. Nilai transaksi
keuangan melalui sistem Real Time Gross
Settlement (RTGS) sepanjang triwulan III 2016
tumbuh negatif 6,34% (yoy) atau senilai Rp26.274
triliun, lebih rendah dibanding periode triwulan
sebelumnya yang tumbuh
negatif 3,64%.
Demikian halnya dari sisi volume yang
menunjukkan penurunan transaksi pada sistem
RTGS, yakni tumbuh dari -47,77% menjadi 53,25% atau sekitar 1,37 juta transaksi.
Penurunan aktivitas transaksi keuangan juga
terlihat pada kliring. Perputaran kliring melalui
Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI)
pada triwulan III 2016 secara nominal tumbuh
15,70% atau senilai Rp848 triliun, turun signifikan
dibanding triwulan lalu yang tumbuh 56,22%.
Secara volume, transaksi perputaran kliring juga
melambat signifikan dari 50,75% menjadi 19,70%.
Gambar I.2. Peta Inflasi Daerah, Oktober 2016 (yoy)
Peredaran uang kartal menunjukkan penurunan
seiring perlambatan pertumbuhan konsumsi
rumah tangga. Hal tersebut tercermin dari
kontraksi outflow uang kartal dari Bank Indonesia
sepanjang triwulan III 2016, yaitu negatif 32,4%
(yoy), jauh lebih rendah dibandingkan triwulan
sebelumnya yang tumbuh 62,2% (yoy).
Perkembangan Inflasi
Perkembangan inflasi di berbagai daerah
sepanjang triwulan III 2016 terjaga dalam level
yang cukup rendah. Realisasi inflasi pada akhir
triwulan III 2016 (September 2016), secara
agregat tercatat sebesar 3,07% (yoy). Realisasi
inflasi pada periode ini jauh lebih rendah
dibandingkan rata-rata historisnya dalam 5 tahun
terakhir yang mencapai 5,74%. Secara umum,
terkendalinya inflasi di sepanjang periode
triwulan III 2016 dipengaruhi oleh kembali
normalnya harga komoditas utama seperti daging
ayam ras, telur ayam, dan berbagai sayuran pasca
Lebaran. Tarif angkutan darat dan udara juga
kembali normal di berbagai daerah pasca
mencapai puncaknya pada Lebaran. Selain itu,
masih
terjaganya
nilai
tukar
Rupiah
meminimalisasi dampak imported inflation.
Realisasi inflasi (yoy) pada akhir triwulan III 2016
tercatat menurun di Jawa (2,58%) dan KTI
(3,47%). Namun, inflasi Sumatera tercatat sedikit
naik meski masih dalam kisaran target 4±1%,
yaitu menjadi sebesar 4,28%. Realisasi inflasi
Sumatera yang lebih tinggi didorong inflasi pada
5
komoditas cabai merah di berbagai daerah di
Sumatera.
Memasuki awal triwulan IV 2016, tekanan inflasi
masih terjaga di berbagai daerah di Jawa dan
KTI. Per Oktober 2016, berbagai daerah di Jawa
mencatatkan inflasi sebesar 2,79%, sedangkan
inflasi KTI tercatat sebesar 3,47%. Kondisi
tersebut ditopang stabilnya harga pangan seiring
dengan pasokan yang cukup memadai serta
intensifnya
upaya
pemerintah
untuk
mengendalikan harga-harga komoditas pangan.
Di sisi lain, inflasi Sumatera justru naik cukup
tinggi diatas kisaran, yakni mencapai 5,03%..
Provinsi yang mencatatkan inflasi tinggi di
Sumatera per Oktober 2016 adalah Sumatera
Utara (7,38%), Sumatera Barat (6,13%), Bengkulu
(5,72%), dan Bangka Belitung (5,04%). Penyebab
utamanya adalah kenaikan harga komoditas
cabai merah akibat serangan virus kuning, yang
merusak ribuan hektar areal tanam. Meski
demikian, penangan kuratif dan preventif telah
dilakukan oleh Pemda berbagai daerah di
Sumatera.
Tekanan inflasi pada Oktober 2016 lebih
bersumber dari kenaikan harga cabai merah, tarif
listrik, bahan bakar rumah tangga, rokok kretek
filter, serta ikan dencis. Meski demikian, tekanan
inflasi mampu ditahan oleh penurunan harga
komoditas pangan seperti bawang merah, daging
ayam ras, kentang, dan telur ayam ras, seiring
terjaganya pasokan.
Hingga akhir triwulan IV 2016, inflasi berbagai
daerah di Jawa, Sumatera, dan KTI secara
agregat akan berada pada kisaran 4±1%.
Beberapa risiko inflasi hingga akhir tahun 2016
antara lain faktor musiman naiknya permintaan
menjelang natal & tahun baru yang turut
mendorong naiknya harga tiket pesawat, serta La
Nina
yang
berdampak
pada
tanaman
hortikultura, meski dampaknya tidak setinggi
perkiraan sebelumnya.
Prospek dan Tantangan Ekonomi
Daerah
Prospek Ekonomi Daerah
Perekonomian daerah secara agregat pada
tahun 2017 diperkirakan tumbuh di kisaran
5,0%-5,4%, lebih tinggi dibanding 2016. Lebih
tingginya pertumbuhan ekonomi 2017 tersebut
didukung peningkatan pertumbuhan ekonomi di
semua wilayah. Cukup kuatnya optimisme
konsumen diperkirakan mampu menopang
pertumbuhan konsumsi rumah tangga serta
perdagangan antar daerah. Selain itu,
pembangunan infrastruktur pemerintah di
berbagai daerah diprakirakan masih akan
mendorong investasi fisik di berbagai daerah.
Beberapa paket kebijakan terkait deregulasi
perijinan dan berbagai insentif investasi
diharapkan mampu menarik investasi swasta
yang lebih tinggi di sepanjang tahun 2017.
Adanya Pilkada serentak di berbagai daerah pada
2017 di tengah capaian positif tax amnesty,
diharapkan mampu memperkuat kondisi fiskal
pemerintah dan meningkatkan kinerja konsumsi
pemerintah. Sementara itu, perekonomian dunia
dan
volume
perdagangan
dunia
yang
diproyeksikan tumbuh lebih tinggi, serta
perbaikan harga komoditas seperti minyak, gas
alam, CPO, karet, aluminium, timah, dan nikel
diprakirakan akan mendorong peningkatan
ekspor di berbagai daerah.
Di sisi lain, inflasi pada 2017 diperkirakan masih
berada dalam kisaran sasaran inflasi nasional
4±1%. Hal tersebut didukung terkendalinya inflasi
inti seiring stabilnya nilai tukar rupiah serta
6
ancaman cuaca yang dapat mengganggu produksi
tanaman pangan dan hortikultura tidak setinggi
pada 2016. Meski demikian, masih terdapat
beberapa risiko yang masih membayangi
kedepan, antara lain (i) kenaikan harga minyak
dunia yang berpotensi mengerek harga BBM; (ii)
kenaikan Tarif Tenaga Listrik (TTL) sebanyak tiga
kali (Januari, Maret, dan Mei 2017) untuk
pelanggan 900 VA; (iii) kemungkinan kenaikan
TTL bertahap untuk pelanggan 450 VA pada Juli,
Agustus, September dan Oktober 2017; (iv)
kebijakan distribusi tertutup terhadap LPG 3
kilogram dengan menaikkan harganya sesuai
harga keekonomiaannya; serta (v) kenaikan cukai
rokok.
Kedepan, Pemerintah Daerah perlu memberi
perhatian khusus yang berimbang baik pada
pencapaian pertumbuhan ekonomi maupun
pengendalian inflasi. Hal tersebut sesuai dengan
arahan Presiden pada Rakornas TPID VII 2017.
Dalam konteks pengendalian inflasi kedepan,
Pemerintah Daerah perlu (i) segera membentuk
TPID bagi daerah yang belum memilikinya; (ii)
merumuskan dukungan intervensi atau program
pengendalian harga yang diperlukan dengan
alokasi APBD yang memadai; (iii) bersama-sama
dengan penegak hukum untuk melakukan
pengawasan kewajaran stok pangan di gudanggudang daerah secara berkala; (iv) melakukan
monitoring kondisi infrastruktur distribusi pangan
daerah dan segera melakukan perbaikan yang
diperlukan; serta (v) mencermati kondisi
distribusi pasokan pangan dan mengidentifikasi
faktor-faktor yang memicu disparitas harga.
Tantangan Ke Depan
Kedepan, perekonomian di berbagai daerah
akan dihadapkan pada berbagai tantangan, baik
tantangan global maupun domestik. Tantangan
global yang membayangi adalah proyeksi
tertahannya perbaikan ekonomi negara mitra
dagang, khususnya Eropa dan sebagian Asia.
Selain itu, kebijakan AS yang diperkirakan akan
cenderung berpandangan ke dalam (inwardlooking) dan protektif berpotensi menurunkan
volume perdagangan dunia. Meski dampak
langsung terhadap kinerja investasi dan ekspor
Indonesia tidak terlalu besar, mengingat eksposur
ekspor yang relatif kecil, namun dampak tidak
langsungnya perlu dicermati. Kebijakan trade
protectionism AS berpotensi menekan PDB
Tiongkok sebagai pengekspor terbesar ke AS. Hal
tersebut kemudian dapat berdampak pada
kinerja
ekspor
berbagai
daerah
yang
menempatkan Tiongkok sebagai salah satu tujuan
utama ekspor.
Di sisi domestik, kondisi fiskal masih cukup
terbatas seiring potensi pajak yang belum
terserap secara optimal. Disamping itu, proses
transisi kepemimpinan daerah hasil Pilkada 2017
berisiko dapat menghambat pengambilan
kebijakan strategis terkait pembangunan
infrastruktur. Momen Pilkada juga berpotensi
mendorong
investor
untuk
cenderung
berperilaku wait and see. Di sisi lain, kebijakan
peningkatan Domestic Market Obligation (DMO)
mineral dan batubara di tengah belum kuatnya
serapan
domestik, berpotensi menahan
peningkatan produksi. Lebih jauh, larangan
ekspor mineral mentah yang efektif berlaku sejak
awal tahun 2017 juga berpotensi menekan
kinerja ekspor pertambangan.
Sementara itu, langkah pengendalian inflasi
masih dihadapkan pada berbagai risiko dan
tantangan struktural. Masih terbatasnya
kapasitas produksi pangan, struktur pasar yang
belum efisien, dan infrastruktur logistik yang
belum memadai merupakan tantangan terbesar
bagi stabilitas harga pangan dalam jangka
panjang. Kondisi ini menyebabkan tingginya
ketergantungan produksi pangan terhadap faktor
iklim dan cuaca, serta besarnya disparitas harga
antara produsen-konsumen maupun antarwilayah. Di samping itu, masih terbatasnya
kapasitas dan akses transportasi di beberapa
daerah juga sering kali mendorong kenaikan
inflasi yang bersumber dari angkutan, terutama
pada periode peak seasons.
7
Untuk mengatasi berbagai risiko tersebut,
strategi kebijakan yang terintegrasi dan
koordinasi yang intensif antara pusat-daerah
perlu secara konsisten dilakukan dan diperkuat.
Langkah koordinasi diarahkan pada upaya untuk
mengakselerasi
pembangunan
berbagai
infrastruktur utama, memperkuat kebijakan yang
ramah bagi iklim usaha dan investasi, serta
mendorong transformasi industri yang berdaya
saing tinggi. Berbagai hal tersebut diperlukan
dalam kerangka mencapai pertumbuhan ekonomi
Indonesia yang kuat, berkelanjutan, dan inklusif.
Strategi transformasi industri penting dilakukan
untuk mendorong Indonesia keluar dari Middle
Income Trap. Untuk mendekati level High Income
Group, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada
2017-2030 perlu tumbuh rata-rata minimal 7,1%
per tahun. Angka pertumbuhan setinggi itu tidak
mungkin tercapai jika kita tidak segera melakukan
reformasi ekonomi dengan mengoptimalkan
sumber pertumbuhan ekonomi baru (new engine
of growth). Pertumbuhan industri manufaktur
terbukti mampu menjadi motor penggerak
pertumbuhan ekonomi di berbagai negara maju.
Oleh karena itu, di tengah gejala deindustrialisasi
selama satu dekade terakhir, Indonesia perlu
kembali menata dan membangun industri
manufakturnya melalui transformasi industri
yang komprehensif, terkoordinasi dan terencana.
Dalam kaitan dengan hal tersebut, transformasi
industri perlu dilakukan dengan memfokuskan
pada mengatasi tantangan baik yang bersifat
jangka pendek maupun yang bersifat jangka
menengah atau struktural (Lihat Isu Khusus
“Mempercepat Transformasi Industri Manufaktur
Untuk Mewujudkan Industrialisasi Indonesia yang
Berdaya Saing Global”).
“halaman ini sengaja dikosongkan”
8
Perekonomian Sumatera pada triwulan III 2016 tumbuh 3,9% (yoy), atau melambat dibandingkan
pertumbuhan triwulan sebelumnya 4,5% (yoy). Perlambatan tersebut disebabkan oleh melemahnya
pertumbuhan konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, dan investasi swasta. Dari sisi
sektoral, belum kuatnya permintaan eksternal, harga komoditas, serta dampak gagal panen di
sektor pertanian mempengaruhi kinerja pertambangan, pertanian dan industri pengolahan. Inflasi
selama triwulan laporan meningkat dari 3,71% (yoy) menjadi 4,28% (yoy) disebabkan oleh inflasi
komoditas volatile food, khususnya cabai merah akibat wabah virus kuning di sejumlah sentra
produksi. Sementara itu, kondisi stabilitas keuangan daerah masih terjaga dengan rasio NPL yang
relatif terkendali dan mampu mendukung akselerasi ekonomi Sumatera ditengah perlambatan
pertumbuhan kredit dan simpanan Dana Pihak Ketiga.
Pada triwulan IV 2016, aktivitas ekonomi diperkirakan kembali meningkat ditopang oleh perbaikan
konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah serta realisasi investasi. Dengan perkembangan
tersebut, ekonomi Sumatera 2016 diperkirakan lebih baik dari capaian tahun 2015 yaitu di kisaran
3,9%– 4,4%. Secara umum, motor penggerak pertumbuhan ekonomi masih bertumpu pada konsumsi
rumah tangga, investasi, serta ekspor. Sementara itu, inflasi 2016 diprakirakan masih dalam kisaran
targetnya 4±1% meskipun terdapat tekanan inflasi volatile food. Proses perbaikan ekonomi dan
kestabilan inflasi diperkirakan akan terus berlanjut pada 2017 walaupun terdapat beberapa risiko
kenaikan harga kelompok administered prices. Peningkatan perekonomian diharapkan bersumber
dari perbaikan konsumsi dan ekspor. Sementara laju inflasi akan tetap terkendali dalam kisaran
target, sejalan dengan terkendalinya pasokan pangan seiring dengan perbaikan jalur distribusi, pola
tanam, dan koordinasi yang erat antar lembaga dan instansi terkait.
Pertumbuhan Ekonomi
Perekonomian Sumatera pada triwulan III 2016
masih tumbuh cukup kuat sebesar 3,9% (yoy),
meski lebih rendah dari pertumbuhan triwulan
sebelumnya sebesar 4,5%. Kondisi ini didorong
oleh melambatnya pertumbuhan konsumsi
rumah tangga dan konsumsi pemerintah serta
investasi. Laju pertumbuhan yang lebih rendah
tersebut terjadi pada sebagian besar provinsi di
Sumatera, kecuali Lampung, Jambi, dan Bangka
Belitung (Tabel II.1).
Tertahannya pertumbuhan konsumsi rumah
tangga di Sumatera dipengaruhi oleh penurunan
daya beli masyarakat. Pada periode laporan,
konsumsi rumah tangga tercatat tumbuh 4,9%
(yoy), lebih rendah dibandingkan pertumbuhan
triwulan II 2016 sebesar 5,5% (yoy). Kondisi ini
tercermin dari penurunan Indeks Keyakinan
Konsumen (IKK) dari 118,37 pada triwulan II 2016
9
menjadi 108,87 pada triwulan III 2016 (Grafik
II.1). Selain itu, Nilai Tukar Petani (NTP) juga
menurun dari 98,81 menjadi 97,79 pada triwulan
laporan.
Tabel II.1 . Pertumbuhan Ekonomi Daerah di Sumatera
2015
Indikator
Makroekonomi Daerah
III
IV
PDRB (% YoY)
3.1
4.6
Aceh
-0.3
Sumut
5.1
Sumbar
2015
2016
I
II
II
3.5
4.2
4.5
3.9
1.4
-0.7
3.7
3.5
2.2
5.3
5.1
5.0
5.7
5.3
4.9
5.7
5.4
5.5
5.8
4.8
Riau
-1.4
4.5
0.2
2.3
2.4
1.1
Jambi
4.4
3.2
4.2
3.4
3.6
4.0
Kep. Riau
5.4
5.2
6.0
4.6
5.4
4.6
Sumsel
4.8
3.9
4.4
4.9
5.1
4.8
Bengkulu
5.2
4.9
5.1
5.0
5.4
5.2
Lampung
5.2
5.3
5.1
5.1
5.2
5.3
Kep. Babel
4.0
4.3
4.1
3.3
3.7
3.8
Sumber: BPS
Penurunan konsumsi pemerintah akibat
kebijakan konsolidasi fiskal oleh Pemerintah.
Konsumsi pemerintah yang sebelumnya tumbuh
positif 7,5% (yoy) pada triwulan II 2016 menjadi
terkontraksi atau tumbuh negatif 5,8% (yoy) pada
triwulan
laporan.
Penurunan
konsumsi
pemerintah yang terjadi di seluruh provinsi
tersebut, sebagian besar merupakan dampak dari
kebijakan konsolidasi anggaran pemerintah
melalui penyesuaian anggaran pemerintah
daerah, penundaan DAU, dan pengurangan DBH.
Grafik II.1. Perkembangan Indeks Keyakinan Konsumen
Realisasi investasi pada triwulan III 2016
tercatat tumbuh sebesar 4,5% (yoy), lebih
rendah daripada triwulan sebelumnya sebesar
6,0% (yoy). Menurunnya investasi tersebut
terutama
disebabkan
oleh
realisasi
pembangunan infrastruktur pemerintah berskala
besar yang masih terkendala, terutama karena
masalah pembebasan lahan dan perilaku wait
and see sektor swasta dalam berinvestasi.
Investasi yang dilakukan pada triwulan III 2016
lebih bersifat pemeliharaan rutin. Penurunan
investasi sejalan dengan penurunan laju
pertumbuhan kredit investasi dari sebelumnya
8,95% menjadi 6,50%. Selain itu, berdasarkan
hasil liaison, angka likert scale dari investasi
menunjukkan penurunan pada triwulan III 2016
menjadi 0,66 (Grafik II.2).
Kinerja ekspor luar negeri terkontraksi makin
dalam karena belum pulihnya pasar global.
Ekspor Sumatera berhasil tumbuh sebesar 1,8%
(yoy), masih lebih rendah dibandingkan triwulan
II 2016 yang tumbuh 2,4% (yoy). Perlambatan
ekspor terutama disebabkan oleh komponen
ekspor luar negeri yang kontraksinya semakin
dalam dari -9,8% (yoy) pada triwulan II 2016
10
menjadi -10,8% (yoy). Hal ini disebabkan oleh
belum pulihnya permintaan global dan harga
komoditas ekspor unggulan yang masih belum
membaik (Grafik II.3). Sementara, Kinerja ekspor
antar daerah yang cukup tinggi (16,8%) mampu
menahan perlambatan lebih dalam pada kinerja
ekspor Sumatera. Penurunan kinerja ekspor
terutama terjadi di Provinsi Aceh dan Riau yang
mencatatkan kontraksi ekspor sebesar 4,2% (yoy)
dan 2,7% (yoy).
Grafik II.2. Perkembangan Likert Scale Kapasitas Produksi
dan Investasi
Sumber: Bloomberg
Grafik II.3. Perkembangan Harga CPO dan Karet
Pekonomian Sumatera triwulan IV 2016
diprakirakan akan lebih baik dibandingkan
triwulan III 2016. Pertumbuhan ekonomi
triwulan IV 2016 diprakirakan akan mencapai
4,3% (yoy) didukung oleh pertumbuhan hampir
seluruh komponen pengeluaran seperti konsumsi
rumah tangga dan pemerintah, serta investasi.
Peningkatan tersebut juga didukung oleh faktor
musiman akhir tahun yang diprakirakan akan
mendorong peningkatan konsumsi masyarakat
serta realisasi belanja modal pemerintah terkait
proyek infrastruktur. Indikasi adanya peningkatan
kinerja proyek-proyek infrastruktur tercermin
dari kecenderungani peningkatan impor besi dan
baja Sumatera (Grafik II.4).
penurunan produksi tanaman bahan makanan
(tabama) dan perkebunan di beberapa sentra
produksi menjadi faktor penyebab utama
penurunan kinerja lapangan usaha pertanian.
Penurunan produksi antara lain terjadi pada
komoditas cabai merah akibat faktor tingginya
intensitas hujan dan wabah virus kuning dan
keriting. Penurunan kinerja sektor pertanian juga
terindikasi dari penurunan pertumbuhan kredit
sektor pertanian di berbagai daerah di Sumatera.
(Grafik II.5).
Grafik II.4. Perkembangan Impor Besi dan Baja
2
Sementara itu, peningkatan ekspor diprakirakan
akan ditopang oleh prospek peningkatan harga
komoditas. Harga komoditas yang meningkat
tersebut selanjutnya akan menjadi stimulus bagi
peningkatan produksi perkebunan, kinerja
industri pengolahan, dan kinerja sektor
pertambangan, khususnya batubara. Peningkatan
kinerja pertambangan batubara terjadi seiring
dengan penambahan permintaan batubara untuk
menopang operasional sejumlah PLTU baru dan
infrastruktur pendukungnya.
Peningkatan konsumsi rumah tangga yang terjadi
seiring perbaikan daya beli masyarakat dan
dukungan belanja pemerintah serta investasi
yang berlangsung sepanjang 2016, akan mampu
mengangkat
mengakselerasi
perekonomian
Sumatera pada keseluruhan 2016 lebih tinggi
dibanding 2015.
Kinerja Lapangan Usaha
Pertanian
Kinerja sektor pertanian di Sumatera pada
triwulan III 2016 mengalami perlambatan
dibandingkan triwulan sebelumnya. Kinerja
lapangan usaha pertanian pada triwulan laporan
tumbuh 4,0% (yoy), lebih rendah dibandingkan
triwulan sebelumnya sebesar 4,2% (yoy). Adanya
kegagalan panen yang berdampak pada
Grafik II.5. Pertumbuhan Kredit Pertanian
Pada triwulan IV 2016, kinerja lapangan usaha
pertanian diprakirakan akan kembali meningkat.
Walaupun masih dengan kenaikan yang terbatas,
program ketahanan pangan yang dilaksanakan
pemerintah telah mampu meningkatkan produksi
pertanian. Selain itu, peningkatan terbatas harga
internasional beberapa komoditas perkebunan,
khususnya komoditas kelapa sawit, diprakirakan
mampu mendorong optimisme perbaikan kinerja
lapangan usaha pertanian. Selain itu, penerapan
3
kebijakan B20 untuk perkebunan kelapa sawit
relatif mampu secara efektif menjaga permintaan
produk kelapan sawit di dalam negeri.
Pertambangan
Kinerja lapangan usaha pertambangan pada
triwulan III 2016 masih terkontraksi. Sektor
pertambangan mengalami kontraksi yang lebih
dalam
dibandingkan
periode
triwulan
sebelumnya, yakni dari -2,4% (yoy) menjadi
2
Akibat masih tingginya ketergantungan impor dalam produk
ekspor Sumatera, makan net ek pada triwulan IV 2016
diperkirakan akan mengalami pertumbuhan negatif sebesar
6,4% (yoy).
11
3
kewajiban pencampuran bahan bakar nabati (BBN) dalam
solar sebesar 20 persen
-2,6% (yoy). Semakin terkontraksinya kinerja
lapangan usaha pertambangan dipengaruhi oleh
terus menurunnya produksi minyak di Riau.
Lifting minyak terus menurun semakin dalam
akibat natural declining dan minimnya investasi
baru. Selain itu, perbaikan harga komoditas
pertambangan yang masih terbatas, khususnya
batu bara, menjadi disinsentif untuk kembalinya
kegiatan produksi secara nyata.
Kontraksi pertambangan diprakirakan masih
akan berlanjut di triwulan IV 2016. Namun,
sedikit membaik seiring dengan potensi
meningkatnya kebutuhan batubara untuk
kebutuhan energi domestik dan adanya potensi
peningkatan produksi gas di Jambi.
pengolahan di triwulan IV 2016 yang menunjukan
adanya prospek perbaikan penjualan hasil
industri.
Perdagangan
Kinerja lapangan usaha perdagangan pada
triwulan III 2016 membaik. Sektor perdagangan
tumbuh dari 6,2% (yoy) menjadi 6,4% (yoy) pada
akhir triwulan laporan. Membaiknya ekspor luar
negeri telah memberi dampak positif pada sektor
perdagangan. Peningkatan aktivitas perdagangan
dimaksud, dari pendekatan likert scale liaison,
menunjukan prospek perbaikan penjualan pada
triwulan III akan berlanjut pada triwulan IV 2016.
Industri Pengolahan
Lapangan usaha industri pengolahan tumbuh
terbatas sejalan dengan masih lemahnya
permintaan ekspor mitra dagang utama dan
harga komoditas. Industri pengolahan pada
triwulan III 2016 tumbuh meningkat dari 3,5%
(yoy) menjadi 3,7% (yoy). Pertumbuhan kinerja
industri pengolahan juga tercermin dari hasil
liaison, yang menunjukkan tren pertumbuhan
penjualan ekspor yang meningkat (Grafik II.6)
seiring masih terbatasnya peningkatan harga
komoditas ekspor utama yang berbasis SDA.
Grafik II.7. Likert Scale Proyeksi Penjualan
Pada triwulan IV 2016, lapangan usaha
perdagangan diprakirakan akan tumbuh lebih
tinggi. Peningkatan konsumsi rumah tangga yang
sejalan dengan pola musiman akhir tahun,
menjadi pendorong utama perbaikan kinerja
lapangan usaha perdagangan di triwulan IV 2016.
Hal ini juga sesuai dengan hasil Survei Kegiatan
Dunia Usaha (SKDU) yang memproyeksikan
terjadinya
peningkatan
kegiatan
usaha
perdagangan di triwulan IV 2016 (Grafik II.8).
Grafik II.6. Likert Scale Penjualan Domestik dan Ekspor
Pada triwulan IV 2016, kinerja lapangan usaha
industri pengolahan diprakirakan mengalami
perbaikan, terutama ditopang oleh membaiknya
permintaan
CPO.
Hasil
liason
juga
mengkonfirmasi optimisme pengusaha terhadap
prospek peningkatan kinerja sektor industri
12
Sumber: Survei Kegiatan Dunia Usaha
Grafik II.8. Perkiraan Volume Perdagangan
Konstruksi
Penurunan aktivitas lapangan usaha konstruksi
pada triwulan III 2016 dipengaruhi oleh
minimnya investasi bangunan swasta ditengah
tertahannya realisasi proyek infrastruktur
pemerintah akibat lambannya kemajuan proses
pembebasan lahan. Pada triwulan laporan,
lapangan usaha konstruksi tercatat tumbuh 5,8%
(yoy), lebih rendah daripada triwulan sebelumnya
sebesar 6,7% (yoy). Hal itu sejalan dengan
penurunan realisasi kegiatan usaha sektor
bangunan pada hasil SKDU triwulan laporan
(Grafik II. 9).
(yoy) pada triwulan II 2016 menjadi -30,73% (yoy)
pada triwulan III 2016. Serapan keuangan daerah
dihadapkan pada kendala klasik antara lain
terbatasnya realisasi pembebasan dan/atau
pengadaan lahan akibat Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) yang belum disahkan.
Pada triwulan IV 2016, kinerja lapangan usaha
konstruksi tumbuh cukup tinggi, namun dengan Grafik II.10. Pertumbuhan Simpanan Pemda di Perbankan
besaran yang lebih rendah dibanding triwulan III
2016. Adanya faktor base effect pada triwulan IV Perkembangan Inflasi
2015 saat terjadi realisasi proyek insfrastruktur Inflasi wilayah Sumatera pada triwulan III 2016
yang tinggi, menjadi salah satu penyebab tercatat lebih tinggi akibat tekanan inflasi
perkiraan realisasi triwulan IV 2016 yang tidak volatile food. Pada triwulan III 2016, inflasi
setinggi sebelumnya.
wilayah Sumatera tercatat sebesar 4,28% (yoy)
meningkat dari triwulan sebelumnya sebesar
3,71% (yoy). Peningkatan laju inflasi tersebut
terutama dipengaruhi oleh peningkatan harga
komoditas cabai merah. Kondisi ini merupakan
kombinasi dari dampak serangan virus kuning
dan keriting di sentra produksi cabai merah di
Sumatera Utara, pengaruh bencana alam Gunung
Sinabung dan terbatasnya pasokan cabai merah
dari wilayah Jawa. Bencana virus kuning
Sumber: Survei Kegiatan Dunia Usaha
berdampak pada kerusakan sekitar 1.200 ha
Grafik II.9. Realisasi Kegiatan Usaha Bangunan
lahan cabai merah, sementara letusan Gunung
Sinabung mengakibatkan gagal panen sejumlah
Fiskal Daerah
komoditas pertanian lainnya. Gangguan pasokan
Serapan belanja daerah di Sumatera pada pada cabai merah yang memiliki bobot inflasi
triwulan III 2016 menunjukkan peningkatan, tinggi (±0,81%), mendorong terjadinya inflasi
terutama pada serapan belanja rutin. Seiring yang cukup tinggi di Provinsi Aceh, Sumatera
dengan perkembangan realisasi belanja APBD Utara, Sumatera Barat, Jambi dan Riau.
dan pengurangan alokasi anggaran dari Sementara, inflasi administered prices juga
Pemerintah Pusat, simpanan pemerintah pada cenderung meningkat, dipicu oleh kenaikan tarif
perbankan di Sumatera mengalami penurunan. transportasi. Di sisi lain, inflasi inti masih relatif
Pada September 2016, perlambatan simpanan stabil (Grafik II.13). Dua provinsi yaitu Sumatera
dana Pemda pada perbankan Sumatera pada Utara dan Sumatera Barat mencatatkan Laju
triwulan laporan semakin dalam dari
13
-25,05%
inflasi tahunan di atas 5,0% yaitu masing-masing
6,02% dan 5,10%.
Pada akhir triwulan IV 2016, perkembangan
inflasi di Sumatera diprakirakan tetap terkendali
dalam kisaran target. Dengan perkembangan
inflasi Oktober 2016 sebesar 3,37% (ytd) dan
disertai intensitas upaya pengendalian inflasi
yang
dilakukan
oleh
TPID
di
setiap
provinsi/kabupaten/kota yang tinggi, dampak
kenaikan inflasi volatile food diprakirakan dapat
diatasi. Sementara itu, inflasi komoditas inti dan
administered prices diprakirakan tetap akan
stabil. Sejumlah upaya pengendalian inflasi telah
dilakukan di Sumatera untuk mengendalikan
beberapa harga komoditas antara lain operasi
pasar, monitoring harga pangan, dan koordinasi
antar daerah.
perusahaan mulai menunjukkan peningkatan
kinerja. Pada triwulan III 2016, profitabilitas
perusahaan mulai menunjukkan peningkatan
seiring membaiknya harga komoditas setelah
sebelumnya sempat mengalami perlambatan
(Grafik II.12). Perbaikan yang terbatas pada
sektor korporasi, tercermin pula dari beberapa
indikator keuangan jangka panjang (solvabilitas)
meskipun dari sisi likuditas masih terdapat
tekanan (Grafik II.13).
Sumber: Bloomberg & Laporan Keuangan BEI, diolah
Grafik II.12. Indikator Profitabilitas Korporasi
Grafik II.11. Perkembangan Inflasi
Stabilitas Keuangan Daerah
Ketahanan Sektor Korporasi
Kinerja Korporasi dan Penilaian Risiko
Grafik II.13. Indikator Solvabilitas Korporasi
Secara umum, kondisi sistem keuangan di
Sumatera masih relatif stabil. Hal ini tercermin
dari kondisi risiko kredit (NPL) yang masih terjaga
ditengah penurunan pertumbuhan kredit. Pada
triwulan III 2016, pertumbuhan kredit total
tercatat sebesar 6,50% (yoy), lebih lambat dari
triwulan sebelumnya 8,07% (yoy). Di sisi lain, NPL
berada pada level yang terjaga, yaitu 3,07% atau
lebih rendah dari triwulan sebelumnya (3,12%).
Membaiknya kondisi keuangan korporasi di
Sumatera meningkatkan kemampuan korporasi
dalam membayar utang. Rasio beban utang
korporasi (debt service ratio) menunjukkan
penurunan, dari 22,03% menjadi 19,20%. Hal ini
sejalan dengan membaiknya kinerja sektor
perkebunan. Perbaikan terutama ditunjukkan
oleh perusahaan yang bergerak di bidang
agroindustri.
Ketahanan sistem keuangan daerah Sumatera
selama triwulan III 2016 relatif terjaga. Hal ini
sejalan dengan hasil liaison dan SKDU Bank
Indonesia
yang
mengindikasikan
bahwa
Eksposur Perbankan pada Sektor Korporasi
14
Penyaluran kredit perbankan kepada sektor
korporasi melambat dari 10,64% (yoy) menjadi
5,98% (yoy) pada triwulan III 2016. Perlambatan
terutama terjadi pada penyaluran kredit industri
pengolahan dan kredit sektor pertanian yang
masing-masing melambat menjadi 6,98% (yoy)
dan 2,49% (yoy) dari sebelumnya 34,79% (yoy)
dan 20,75% (yoy). Sementara kredit untuk sektor
perdagangan justru mengalami peningkatan dari
2,86% (yoy) menjadi 3,09% (yoy). (Grafik II. 14).
pertambangan, dan perdagangan. Namun
demikian, rasio NPL secara keseluruhan masih
terjaga di bawah 5%.
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
Pertumbuhan DPK perseorangan Sumatera pada
triwulan III 2016 mencatatkan laju pertumbuhan
yang lebih rendah. DPK perseorangan melambat
dari 11,87% (yoy) di triwulan II 2016 menjadi
9,19% (yoy) pada triwulan III 2016. Penurunan ini
terjadi pada jenis simpanan tabungan dan
deposito,
sementara
giro
mengalami
pertumbuhan yang lebih tinggi (Grafik II.16).
Sumber: Bank Indonesia
Grafik II.14. Perkembangan Kredit Korporasi
Perkembangan DPK korporasi di perbankan
melanjutkan
kecenderungan
penurunan.
Magnitude perlambatan DPK tercatat lebih besar
yaitu dari -4,76% (yoy) menjadi -5,09%, terutama
pada jenis simpanan giro dan deposito. Hal ini
sejalan dengan masih terbatasnya pertumbuhan
korporasi (Grafik II.15).
Sumber: Bank Indonesia
Grafik II.16. Perkembangan DPK Perseorangan
Sumber: Bank Indonesia
Grafik II.17. Perkembangan Kredit Perorangan
Grafik II.15. Perkembangan DPK Korporasi
Di tengah perlambatan kredit korporasi, rasio
non-performing loans (NPL) sektor korporasi
masih terjaga dalam batas aman, walaupun
mengalami sedikit peningkatan. NPL pada
triwulan III 2016 mengalami sedikit peningkatan
menjadi 2,51% dari 2,49% pada triwulan II 2016.
Secara sektoral, peningkatan NPL ini terjadi pada
sektor-sektor
utama
seperti
pertanian,
15
Daya beli yang masih lemah berdampak pada
menurunnya kinerja kredit rumah tangga. Kredit
sektor rumah tangga (RT) di triwulan III 2016
tumbuh 5,11% (yoy), lebih rendah dibanding
triwulan sebelumnya sebesar 6,40%. Dilihat dari
komponennya, Kredit Pemilikan Rumah (KPR)
tumbuh melambat, dari semula 5,69% menjadi
5,52%. Sementara Kredit Kendaraan Bermotor
(KKB) dan kredit multiguna juga turut melambat
yaitu masing-masing dari -12,79% (yoy) dan
10,15% (yoy) menjadi -14,37% (yoy) dan 6,35%
(yoy).
Kredit UMKM pada sektor perdagangan
melambat dari 11,77% (yoy) ke 10,61% (yoy),
sementara kredit UMKM pada sektor pertanian
dan pengolahan juga turut melambat, masingmasing menjadi 3,26% (yoy) dan -16,02% (yoy).
Dari sisi risiko, rasio NPL kredit UMKM mengalami
penurunan meski tetap perlu diwaspadai.
Sistem Pembayaran dan Pengelolaan
Uang Rupiah
Sistem Pembayaran Non Tunai
Sumber : Bank Indonesia
Grafik II.18. Perkembangan NPL
Kondisi risiko di sektor rumah tangga masih
terjaga. Hal ini telihat dari penurunan rasio NPL
sektor rumah tangga menjadi 3,51% pada
triwulan III 2016, dari sebelumnya sebesar 3,66%
(Grafik II.18). Walaupun masih dalam batas
aman, risiko NPL sektor rumah tangga perlu
diwaspadai seiring belum pulihnya daya beli
masyarakat ditengah kinerja korporasi yang
masih dalam tahap konsolidasi.
Transaksi kliring di kawasan Sumatera pada
triwulan III 2016 menunjukkan perlambatan.
Pada periode laporan, transaksi kliring tercatat
tumbuh sebesar 28,99% atau sebesar Rp113
triliun (Grafik II.19). Berdasarkan provinsinya,
beberapa provinsi yang memiliki aktivitas
transaksi terbesar adalah Sumatera Utara, Riau,
Sumatera Selatan, dan Lampung. Sementara,
Bengkulu dan Aceh memiliki aktivitas transaksi
kliring yang terendah.
Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah (UMKM)
Tabel II.2. Perkembangan Kredit UMKM
Prov
gKredit UMKM
I-16
Aceh
10.22
Sumut
5.59
Sumbar 3.20
Jambi
8.28
Kepri
5.20
Riau
(2.77)
Sumsel
4.42
Lampung 11.20
Babel 15.47
Bengkulu 14.65
II-16
14.42
5.09
3.53
8.94
7.67
(1.59)
5.78
17.20
15.05
10.04
NPL UMKM
III-16 I-16
15.73 10.00
3.06 6.51
4.37 7.20
6.99 5.35
9.02 3.59
-2.51 7.15
8.32 5.68
12.54 4.06
29.09 5.94
15.86 4.76
II-16
9.44
6.57
7.17
5.23
3.63
7.44
5.77
4.17
4.99
4.53
III-16
8.88
6.25
7.08
4.63
4.84
7.01
5.90
4.31
4.80
4.52
Suku Bunga UMKM
I-16
13.78
13.47
13.72
14.34
12.16
14.12
14.42
14.66
14.21
15.26
II-16
13.41
12.88
13.3
13.93
11.96
13.71
14.01
14.35
13.81
14.75
III-16
13.07
12.67
13.04
13.54
11.78
13.41
13.71
14.11
13.40
14.33
Pada triwulan III 2016, laju pertumbuhan kredit
UMKM di Sumatera menunjukkan perlambatan.
Secara tahunan, penyaluran kredit UMKM pada
triwulan III 2016 tercatat sebesar 6,15%, lebih
rendah dibandingkan triwulan sebelumnya
sebesar 6,40%. Perlambatan kredit UMKM pada
sektor perdagangan, pertanian, dan pengolahan,
yang memiliki pangsa besar, terjadi lebih dalam
daripada peningkatan kredit pada sektor lainnya.
16
Sumber: Bank Indonesia
Grafik II.19. Aliran Uang Kartal
Pengelolaan Uang Rupiah
Sesuai dengan pola musimannya, arus uang
kartal pada triwulan III 2016 mengalami net
inflow yang lebih tinggi. Berakhirnya momen
puasa dan Idul Fitri menyebabkan arus net inflow
uang kartal sebesar Rp10,13 triliun. Arus masuk
pada triwulan III 2016 tercatat sebesar Rp34,59
triliun, lebih tinggi dibandingkan arus masuk pada
triwulan sebelumnya yang hanya Rp17,08 triliun.
Di sisi outflow, arus keluar turun menjadi Rp24,46
triliun lebih rendah daripada sebelumnya
Rp48,32 triliun (Grafik II.20). Kondisi net inflow
terjadi di Sumatera Utara, Sumatera Barat,
Sumatera Selatan, dan Lampung. Sementara,
kondisi net outflow terjadi di Aceh, Riau, Kepri,
Jambi, Kep. Babel, dan Bengkulu.
Grafik II.20 Aliran Uang Masuk dan Keluar
Pengembangan Layanan Keuangan Digital
Upaya peningkatan inklusi keuangan terlihat
dari
peningkatan
ketersediaan
layanan
keuangan digital (LKD) bagi penduduk Sumatera.
Hingga Agustus 2016, jumlah agen LKD di
Sumatera telah mencapai 21.204 agen,
meningkat dibandingkan jumlah agen LKD pada
bulan Juni 2016 yang sebesar 20.438 agen.
Provinsi dengan jumlah agen LKD terbesar adalah
Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Riau.
Seluruh provinsi telah berhasil melampaui
kebutuhan LKD optimalnya, kecuali provinsi
Bengkulu.
Prospek Perekonomian
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Sumber : Bank Indonesia
Grafik II. 21. Temuan Uang Palsu (UPAL)
Upaya perluasan distribusi Uang Layak Edar dan
pecahan yang sesuai serta pengendalian uang
palsu terus dilakukan. Hingga triwulan III 2016,
berbagai upaya telah dilakukan, seperti
operasionalisasi kas keliling, pembukaan kas
titipan, dan sosialisasi Ciri-Ciri Keaslian Uang
Rupiah (Cikur) kepada kalangan penegak hukum
dan masyarakat di kawasan a.l Pematangsiantar,
Aceh, Sibolga, Sumatera Selatan, dan Lampung.
Dalam hal penanganan uang palsu, temuan uang
palsu (Upal) di wilayah Sumatera pada triwulan III
2016 mengalami penurunan. Hal ini tercermin
dari rasio temuan Upal yang kurang dari 1%
inflow. Dari setiap Rp1 miliar inflow terdapat 54
lembar uang palsu, lebih rendah dari triwulan
sebelumnya yaitu 186 lembar.
17
Perekonomian
Sumatera
pada
2017
diperkirakan tumbuh lebih tinggi daripada tahun
2016. Secara keseluruhan tahun 2017,
perekonomian Sumatera diperkirakan akan
tumbuh pada kisaran 4,6%-5,1% (yoy).
Peningkatan pertumbuhan ekonomi tersebut
diperkirakan terjadi di seluruh wilayah Sumatera.
Konsumsi rumah tangga, investasi, dan aktivitas
perdagangan internasional diperkirakan menjadi
penopang pertumbuhan ekonomi tahun 2017.
Tabel II.3. Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Sumatera
2016
Indikator
Makroekonomi 2015
2016 f
2017 f
Daerah
PDRB (% YoY)
3.5
3.9 - 4.4
4.6 - 5.1
Aceh
-0.7
2.7 - 3.2
2.8 - 3.3
Sumut
5.1
5.0 - 5.5
5.1 - 5.6
Sumbar
5.4
5.2 - 5.7
5.2 - 5.7
Riau
0.2
1.7 - 2.2
3.7 - 4.2
Jambi
4.2
3.6 - 4.1
3.9 - 4.4
Kep. Riau
6.0
4.7 - 5.2
4.8 - 5.3
Sumsel
4.5
4.7 - 5.2
5.7 - 6.2
Bengkulu
5.1
5.0 - 5.5
5.0 - 5.5
Lampung
5.1
5.0 - 5.5
5.0 - 5.5
Kep. Babel
4.1
3.5 - 4.0
3.9 - 4.4
Kontributor utama pertumbuhan ekonomi pada
2017 tetap berasal dari lapangan usaha utama
Sumatera yaitu pertanian, dan industri
pengolahan.
Lapangan
usaha
pertanian
diperkirakan dapat tumbuh lebih tinggi sejalan
dengan membaiknya permintaan bahan baku
untuk mendukung kebutuhan ekspor dan upaya
peningkatan produksi pertanian yang telah
dilakukan sebelumnya. Selain itu, perkembangan
harga komoditas yang terus membaik ikut
menopang perbaikan lapangan usaha pertanian,
pengolahan, dan pertambangan. Lapangan usaha
konstruksi diprediksi tetap tumbuh lebih tinggi
seiring dengan realisasi proyek infrastruktur
pemerintah seperti jalan tol, bendungan, dan
proyek-proyek persiapan Asian Games 2018.
Prospek Inflasi
Inflasi Sumatera tahun 2017 masih akan berada
dalam rentang target inflasi nasional 4±1%.
Tekanan inflasi harga pangan diperkirakan akan
berkurang di tahun 2017, terutama ditopang oleh
membaiknya iklim dan aksi pengendalian inflasi
baik dari sisi koordinasi kelembagaan, kerja sama
antar daerah, maupun operasi pasar. Meski
demikian, potensi risiko tekanan harga dari
administered price diperkirakan akan meningkat
seiring dengan pengurangan subsidi listrik
kelompok 900VA, kebijakan pembatasan LPG 3
Kg dan kenaikan cukai rokok.
18
Boks 1
Pengantar
Perekonomian Sumatera sangat dipengaruhi oleh
perkembangan lapangan usaha pertanian
(pangsa 23%) yang terhampar di hampir semua
provinsi dan industri pengolahan (pangsa 20%)
yang lokasinya terkonsentrasi di Sumatera Utara,
Kepulauan Riau, Riau, dan Bangka Belitung.
Ekspor Sumatera didominasi oleh hasil pertanian
yaitu CPO (38%) dan karet (9%), disusul hasil
industri elektronik (7%). Lapangan usaha industri
pengolahan Sumatera mencatat pertumbuhan
rata-rata per tahun sebesar 4,27% dengan pangsa
terhadap PDRB sebesar 19,38%. Pada triwulan III2016, industri pengolahan berhasil tumbuh 3,71%
(yoy), meningkat dibandingkan triwulan II 2016
sebesar 3,44% (yoy). Pangsa industri pengolahan
Sumatera terhadap nasional menunjukkan
penurunan yaitu dari 22% (2001-2005) menjadi
18,8% (2010-2015). Secara provinsi, kontributor
sektor Industri pengolahan terbesar adalah
Provinsi Kepulauan Riau yakni sebesar 39%.
Sementara itu, pangsa industri pengolahan di
Indonesia terkonsentrasi di Jawa yaitu mencapai
71%, Sumatera 19%, dan sisanya 10% berada di
kawasan lainnya.
Industri pengolahan di Sumatera dapat
dikelompokan menjadi industri yang berbasis
pertanian atau perkebunan seperti kelapa sawit
(CPO dan turunannya) dan karet (crump rubber
dan turunannya), dan industri non Sumber Daya
Alam (SDA) seperti industri elektronik, galangan
kapal (shipyard), dan animasi film, yang hampir
semuanya berlokasi di Batam, Kepulauan Riau.
Berdasarkan struktur kelas industrinya, industri
Sumatera didominasi industri mikro 86%, diikuti
industri kecil 13,5%, dan industri sedang-besar
0,50%. Adapun Output industri sebagian besar
(94%) barasal dari kelompok industri sedangbesar, dengan serapan jumlah tenaga kerja
mencapai 30% dari total tenaga kerja Sumatera.
19
Hampir 80% ekspor Sumatera berupa produk
ekspor (2015) masih berbasis SDA yaitu CPO dan
olahannya, batubara, Kopi, bubur kertas, Timah,
dan produk pertanian lainnya. Industri Sumatera
masih berbasis pada pengolahan ekstratif yang
memberikan nilai tambah ekspor yang relatif
rendah.
Sementara, ekspor produk medium tech dan high
technology yang mencapai 17% dari total ekspor,
juga relatif memberikan nilai tambah terbatas.
Hal tersebut disebabkan produk ekspor dimaksud
banyak berupa maklon saja yaitu sebutan bagi
produk hasil jasa perakitan/assembly. Industri
jenis ini banyak berkembang di Kepulauan Riau,
khususnya Pulau Batam yang didukung oleh Free
Trade Zone (FTZ).
Dengan tingkat hilirisasi yang masih terbatas,
perekonomian Sumatera, memiliki potensi yang
besar untuk meningkatkan proses nilai tambah
produksi untuk sektor pertanian khususnya
tanaman kelapa sawit dan karet melalui
peningkatan level hilirisasi. Sehingga kondisi yang
relatif rentan terhadap fluktuasi harga komoditas
dapat ditekan.
Industri Kelapa Sawit: Perkembangan
dan Tantangan
Dengan pangsa mencapai 53,4% produksi dunia,
Indonesia menjadi penghasil CPO terbesar di
dunia, diikuti oleh Malaysia di tempat kedua
dengan pangsa 32,1%. Kedua negara tersebut
menguasai produksi CPO dunia dengan pangsa
mencapai 85,5% dari produksi dunia.
Mayoritas produksi kelapa sawit (CPO) Indonesia
berasal dari Sumatera, dengan pangsa mencapai
68%. Kondisi ini didukung oleh relatif lebih
tingginya produktivitas Sumatera dibandingkan
provinsi lain (Tabel 1). Mayoritas produksi CPO
Sumatera berasal dari Riau (34,32%), Sumatera
Utara (23,87%), Sumatera Selatan (14,20%), dan
Jambi (9,11%). Walaupun produksi CPO Sumatera
sangat besar, namun produktivitasnya masih
lebih rendah dari produktivitas CPO Malaysia.
Hilirisasi industri kelapa sawit telah berjalan
cukup baik. Hal ini terlihat dari ekspor produk
turunan CPO Sumatera yang terus menunjukkan
peningkatan. Pada tahun 2015, komposisi ekspor
produk turunan CPO telah mencapai 69,27%,
sementara sisanya masih CPO murni. Produk
turunan CPO terutama dalam bentuk refinery
yaitu berupa minyak goreng, produk biodiesel,
dan oleokimia dengan pangsa pasar di Indonesia
masing-masing sebesar 55%, 61%, dan 65%.
Lokasi hilirisasi CPO sebagian besar terletak di
Sumatera Utara dan Riau yang juga merupakan
penghasil utama CPO Sumatera.
Tabel II.4. Perkembangan Industri Sawit dan Karet 2015
Sawit
Lahan
Wilayah
Luas Share Pertumbuhan Jumlah
(Juta ha) (%) (Rerata 3 th) (Juta Ton)
Sumatera
7.1
63%
5,19%
21.37
Luar Sumatera
4.2
37%
6,74%
9.92
Indonesia Total
11.3
100%
31.28
Konsumsi Karet Dunia - 2015
Produksi Karet Dunia - 2015
12.4
12.3
-0.04
Karet
Produksi
Lahan
Share Pertumbuhan Pangsa
Luas Share Pertumbuhan
(%) (Rerata 3 th) Dunia (%) (Juta ha) (%) (Rerata 3 th)
68%
4,79%
53,44%
2.6 71%
2.94%
32%
10,42%
1 29%
-2.52%
100%
3.6 100%
Konsumsi Karet Dunia - 2024
Produksi Karet Dunia - 2024
Gap Defisit Produksi
Jumlah
(Ton)
2.4
0.7
3.1
16.6
16.9
0.3
Produksi
Share Pertumbuhan Pangsa
(%) (Rerata 3 th) Dunia (%)
77%
3.2%
26%
23%
-4.4%
100%
Gap Surplus Produksi
Sumber : GAPKI, The World Rubber Outlook (June 2015 & 2016), diolah
Berkembangnya industri pengolahan kelapa sawit
didukung oleh peningkatan permintaan global
terhadap produk kelapa sawit dan turunannya
yang terus mengalami peningkatan. Pada tahun
2015 permintaan minyak nabati di dunia
mencapai 182,4 juta ton dan diproyeksikan terus
meningkat menjadi 226,7 juta ton pada tahun
2025. Dengan tingkat pertumbuhan rata-rata
permintaan mencapai sebesar 12,4% per tahun,
Indonesia hanya mampu menambah produksi
kelapa sawitnya rata-rata sebesar 6,51%. Bahkan,
di Sumatera, pertumbuhan produksinya hanya
mencapai 4,79% per tahun (Tabel 1).
Peningkatan produksi Sumatera lebih didukung
oleh luasnya lahan kelapa sawit, yang mampu
mencapai skala ekonomis untuk menghasilkan
harga
terendah.
Adapun
pertumbuhan
permintaan lokal produk CPO dan turunannya
didukung oleh adanya peraturan pemerintah
mengenai BBN 20 yaitu kewajiban pemanfaatan
biodiesel kelapa sawit (tahun 2016 – 2019).
Tantangan Transformasi Industri Kelapa Sawit
Berdasarkan hasil survei Bank Indonesia tahun
2016 terhadap 52 perusahaan eksportir di 10
provinsi Sumatera, terdapat beberapa tantangan
20
dalam pengembangan industri kelapa sawit dan
turunannya. Pertama, kualitas bahan baku kelapa
sawit masih relatif rendah; Kedua, regulasi yang
kurang mendukung; Ketiga, infrastruktur yang
masih perlu ditingkatkan; serta keempat, terkait
ketersediaan pembiayaan. Hal-hal tersebut
menjadi faktor penghambat investor untuk
melakukan investasi perluasan atau pembukaan
lahan baru kelapa sawit.
Rendahnya kualitas bahan baku tidak terlepas
dari kompetensi dan kemampuan budidaya
petani yang terbatas. Sementara, regulasi dan
kebijakan pemerintah yang belum optimal dalam
mendukung berkembangnya industri kelapa
sawit terlihat dari tumpang tindihnya aturan
pusat dan daerah. Aturan yang tumpang tindih
tersebut meliputi penetapan Rencana Tata Ruang
dan Wilayah (RTRW) yang belum terintegrasi
antar sektor, serta prosedur pengurusan
perijinan yang rumit. Delegasi kewenangan
perijinan bagi PTSP di daerah juga masih terbatas,
misalnya di Provinsi Sumatera Selatan, PTSP
hanya memiliki kewenangan perijinan 60% dari
107 proses perizinan yang seharusnya. Selain itu,
izin pembukaan lahan di Aceh masih
mengharuskan
surat
rekomendasi
dari
Bupati/Walikota,
dimana
seharusnya tidak diperlukan.
izin
tersebut
Selain itu, ketersediaan infrastruktur dasar juga
masih minim, seperti pelabuhan, jalan, dan
listrik. Indeks kinerja pelabuhan di Sumatera
masih tergolong rendah. Pelabuhan Belawan
sebagai pelabuhan utama di Sumatera hanya
memiliki kapasitas sebesar 1 juta Teus, jauh di
bawah Tanjung perak yang memiliki kapasitas 3-4
juta Teus.
Terbatasnya upaya re-planting menjadi penyebab
rendahnya kualitas dan belum optimalnya
produktivitas kelapa sawit di Sumatera. Hal itu
antara lain disebabkan oleh keterbatasan
pembiayaan, khususnya terkait pembiayaan
replanting kebun kelapa sawit. Adapun dana CPO
fund belum dimanfaatkan untuk kebutuhan re4
planting kebun kelapa sawit .
Industri Karet: Perkembangan dan
Tantangan
Mayoritas produksi karet Indonesia bersumber
dari Sumatera, dengan pangsa mencapai 77%
dari total produksi nasional atau sekitar 2,4 juta
ton. Pada tahun 2015, produksi karet Sumatera
mencapai 26% produksi dunia. Pelemahan
permintaan
global
mengakibatkan
tren
penurunan pertumbuhan industri karet dalam
tiga tahun terakhir bahkan hingga terkontraksi
dalam dua tahun terakhir.
Sebagian besar produksi karet Sumatera (82%)
ditujukan bagi pasar ekspor dengan mayoritas
berbentuk Standar Indonesian Rubber (SIR) 20
yang memiliki nilai jual lebih rendah
dibandingkan dengan Ribbed Smoked Sheet (RSS)
ataupun lateks yang memiliki nilai jual tertinggi.
Pangsa ekspor SIR 20 mencapai 96,5% dari nilai
ekspor karet Indonesia, sedangkan RSS sebesar
3,1% dan lateks hanya sebesar 0,2%. Minimnya
4
Alokasi pengunaan CPO Fund berdasarkan PP No. 61/2015
meliputi (i) pengembangan sumber daya manusia Perkebunan
Kelapa Sawit; (ii) penelitian dan pengembangan Perkebunan
Kelapa Sawit; (iii) promosi Perkebunan Kelapa Sawit; (iv)
peremajaan Perkebunan Kelapa Sawit; dan (v) sarana dan
prasarana Perkebunan Kelapa Sawit.
21
produksi karet jenis RSS dan lateks disebabkan
antara lain belum memadainya infrastruktur
pendistribusian karet dalam bentuk tersebut.
Kompetitor utama karet Indonesia adalah
Thailand dan Vietnam, dengan tingkat
produktivitas sekitar 1,5 kali lebih tinggi
dibandingkan Indonesia. Baik Pemerintah
Thailand dan Vietnam, memberikan insentif
besar untuk mendukung perkembangan industri
karetnya. Pemerintah Thailand memberikan
dukungan pengembangan industri hulu dalam
bentuk soft loans bagi peremajaan kebun karet.
Sementara dukungan Pemerintah Vietnam bagi
pengembangan industry hilirnya berupa insentif
keringanan pajak berupa penetapan tarif pajak
10% selama 15 tahun pertama dan pembebasan
PPh badan selam 4 tahun.
Tantangan Transformsi Industri Karet
Dalam upaya transformasi industri karet,
terdapat sejumlah tantangan yang perlu
dihadapi. Pertama, rendahnya produktivitas serta
penurunan luas lahan perkebunan karet; Kedua,
lokasi industri yang tidak terintegrasi antara
bahan baku dengan produksi; serta ketiga,
panjangnya rantai produksi dan distribusi karet.
Strategi
Pengembangan
Kelapa Sawit dan Karet
Industri
Dalam rangka meningkatkan daya saing industri
kelapa sawit dan karet, terdapat beberapa
langkah strategis perlu dilakukan. Pertama,
perbaikan infrastruktur dasar seperti pelabuhan
dan jalan untuk meningkatkan efisiensi biaya
logistik; Kedua, ketersediaan sumber energi
yang mencukupi dengan harga yang kompetitif;
Ketiga,
pemberian kemudahan pelayanan
perizinan melalui realisasi penegakan birokrasi
dan layanan perijinan satu pintu. Keempat, perlu
dilakukan upaya peningkatan kualitas bahan baku
yang disertai dengan pemanfaatan teknologi dan
perbaikan kompetensi SDM petani. Selain itu,
upaya peningkatan produktifitas merupakan
suatu hal yang harus segera dilakukan. Di
samping semua hal itu, penciptaan demand
dalam negeri sangat diperlukan untuk dapat
mengurangi
ketergantungan
terhadap
permintaan pasar internasional.
Percepatan transformasi industri Sumatera
membutuhkan dukungan dan sinergitas para
pemangku kebijakan yaitu berbagai kementerian
dan lembaga terkait termasuk Bank Indonesia.
Bank Indonesia akan terus mengupayakan
peningkatan akses keuangan bagi berbagai
kalangan, pendalaman pasar keuangan untuk
diversifikasi sumber pembiayaan dan bersama
Pemerintah Pusat dan Daerah, bersinergi
melakukan kebijakan mendukung pengembangan
ekonomi regional.
22
Perekonomian Jawa pada triwulan laporan masih tumbuh cukup kuat meski tercatat melambat
menjadi 5,6% (yoy) dibandingkan capaian triwulan sebelumnya yang sebesar 5,8% (yoy).
Perlambatan ekonomi utamanya disumbang oleh terkontraksinya konsumsi Pemerintah dan ekspor
luar negeri Jawa. Secara spasial, pertumbuhan hampir seluruh provinsi di Jawa tumbuh melambat,
kecuali Provinsi Banten yang masih mencatat kenaikan pertumbuhan. Sementara itu, laju inflasi
tahunan Jawa masih relatif terkendali dan tercatat pada level 2,58% (yoy) atau lebih rendah dari
rata-rata historisnya dalam 5 tahun terakhir.
Ekonomi Jawa diprakirakan akan membaik pada triwulan IV tahun 2016 yang didorong oleh kembali
meningkatnya konsumsi rumah tangga, ekspor luar negeri, serta konsumsi Pemerintah yang sempat
menurun cukup dalam pada triwulan III. Di sisi lain, tingkat inflasi Jawa pada triwulan IV 2016
diprakirakan akan lebih rendah dibandingkan tahun 2015 dan berada dalam rentang sasaran inflasi
tahun 2016. Tekanan dari komoditas pangan diprakirakan relatif rendah, meski tetap perlu
diwaspadai potensi tekanan inflasi dari komoditas hortikultura karena curah hujan yang tinggi.
Adapun tekanan dari kelompok administered prices diprakirakan akan terbatas.
Secara keseluruhan tahun 2016, perekonomian Jawa diprakirakan akan membaik ditopang oleh
konsumsi rumah tangga yang lebih baik, realisasi investasi yang lebih tinggi seiring peningkatan
permintaan domestik, serta ekspor luar negeriyang diprakirakan juga akan meningkat. Secara
sektoral, perbaikan ekonomi Jawa pada tahun 2016 lebih banyak didorong oleh kinerja lapangan
usaha konstruksi sejalan dengan pembangunan proyek infrastruktur pemerintah.
Pertumbuhan Ekonomi
Perekonomian Jawa masih menunjukkan kinerja
yang positif meski mengalami perlambatan pada
triwulan laporan. Pada triwulan III 2016,
perekonomian Jawa tumbuh sebesar 5,6% (yoy)
atau melambat dibanding triwulan sebelumnya
yang mencapai 5,8% (yoy). Secara spasial,
perekonomian hampir seluruh provinsi di Jawa
tumbuh melambat kecuali Banten yang mampu
tumbuh 5,4% (yoy), lebih tinggi daripada triwulan
sebelumnya sebesar yang 5,2% (yoy). Sementara
itu, tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi terjadi
di provinsi Jawa Barat (5,8%, yoy), sedangkan
pertumbuhan ekonomi terendah terjadi di
provinsi DI Yogyakarta (4,7%, yoy).
Melambatnya ekonomi Jawa disumbang oleh
perlambatan konsumsi Pemerintah dan ekspor
luar negeri. Perekonomian di Jawa pada triwulan
laporan yang tumbuh lebih rendah merupakan
dampak dari melambatnya realisasi konsumsi
23
pemerintah, yang secara signifikan terjadi pada
seluruh provinsi, khususnya untuk belanja
operasional. Selain itu, kontraksi ekspor luar
negeri turut menahan laju pertumbuhan ekonomi
Jawa, meski ekspor antar provinsi masih tercatat
tumbuh positif.
Tabel III.1. Pertumbuhan Ekonomi Daerah di Jawa
Provinsi
2014
DKI Jakarta
Jawa Barat
Banten
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Jawa
5.9
5.1
5.5
5.3
5.2
5.9
5.6
I
5.5
4.9
5.5
5.6
4.3
5.0
5.3
II
5.3
4.9
5.2
5.1
4.6
5.2
5.2
2015
III
6.1
5.0
5.9
5.0
5.3
5.5
5.5
IV
6.5
5.2
4.9
6.1
5.5
5.9
5.9
Total
5.9
5.0
5.4
5.4
4.9
5.4
5.5
I
5.6
5.2
5.1
4.9
4.8
5.5
5.3
2016
II
5.9
6.0
5.2
5.7
5.5
5.6
5.8
III
5.8
5.8
5.4
5.1
4.7
5.6
5.6
Sumber: BPS (diolah)
Konsumsi rumah tangga yang memiliki porsi
terbesar dalam ekonomi Jawa tumbuh melambat
dan menahan laju pertumbuhan yang lebih
tinggi. Konsumsi rumah tangga pada triwulan
laporan memperlihatkan pertumbuhan yang
melambat dan lebih disebabkan oleh pola
konsumsi masyarakat yang kembali normal
setelah bulan Ramadhan dan Idul fitri pada bulan
Juli (triwulan II).
Beberapa indikator yang
memperkuat kondisi perlambatan konsumsi
antara lain dari Indeks Perdagangan Ritel (IPR)
yang menurun, serta melambatnya penyaluran
kredit konsumsi oleh perbankan menjadi 8,65%
(yoy) dari 9,17% (yoy) pada triwulan sebelumnya.
Melambatnya kredit konsumsi terkait dengan
kontraksi penyaluran Kredit Kendaraan Bermotor
(KKB) dan melambatnya pemberian Kredit
Kepemilikan Rumah (KPR) serta Kredit Multiguna.
DKI Jakarta seiring dengan pemotongan anggaran
belanja pemerintah (K/L) yang relatif besar, yang
secara statistik tercatat sebagai pengeluaran di
DKI Jakarta. Selain itu, sebagai dampak dari
pergeseran periode Idul Fitri, maka realisasi
pencairan gaji ke-13 dan ke-14 bagi pegawai
pemerintah turut bergeser ke triwulan II 2016. Hal
tersebut menyebabkan realisasi konsumsi
pemerintah lebih tinggi pada triwulan II 2016.
Kondisi ini menyebabkan pertumbuhan belanja
operasional provinsi triwulan III hanya tumbuh
36,09% (yoy), lebih rendah dari triwulan II sebesar
56,72% (yoy).
Sumber: BPS (diolah)
Grafik III.1. Pertumbuhan Ekonomi Menurut Penggunaan
Sumber: Biro Ekonomi dan TEPRA (diolah)
Grafik III.3. Pertumbuhan Realisasi Belanja Operasional
Provinsi
Realisasi pertumbuhan investasi di Jawa yang
meningkat
dapat
menahan
perlambatan
ekonomi lebih dalam. Kinerja investasi pada
triwulan III 2016 yang meningkat didorong oleh
realisasi investasi nonbangunan yang tercermin
pada membaiknya tingkat impor barang modal,
Sumber: Bank Indonesia
meski masih mengalami kontraksi. Masih kuatnya
Grafik III.2. Perkembangan KPR, KKB dan Indeks Keyakinan investasi dari pihak swasta juga dikonfirmasi oleh
5
Konsumen (IKK)
likert scale (LS) hasil liason beberapa perusahaan
di kawasan Jawa yang mengindikasikan
Perlambatan konsumsi Pemerintah menjadi
peningkatan investasi, terutama pada investasi
salah satu penahan utama pertumbuhan
mesin. Sementara itu, realisasi investasi oleh pihak
ekonomi. Melambatnya konsumsi pemerintah
asing atau Penanaman Modal Asing (PMA) masih
pada triwulan laporan disebabkan oleh kebijakan
mengalami kenaikan yang relatif tinggi, dari
pemerintah pusat untuk melakukan penundaan
16,10% (yoy) pada triwulan II 2016 menjadi
penyaluran Dana Alokasi Umum (DAU) ke
47,02% (yoy) atau mencapai USD 3,86 miliar. Di
sejumlah daerah termasuk di Jawa akibat
prakiraan shortfall penerimaan pajak yang lebih 5
Likert scale (LS) merupakan salah satu tools dalam statistik
besar dari prakiraan sebelumnya. Penurunan yang digunakan untuk menilai beberapa variabel/indikator.
konsumsi pemerintah terbesar terjadi di Provinsi Skala LS adalah -5 untuk penurunan signifikan dan 5 untuk
peningkatan signifikan.
24
sisi lain, realisasi investasi dalam negeri (PMDN)
mengalami perlambatan, meski masih tumbuh
cukup tinggi pada level 28,80% (yoy) atau
mencapai 35,46 triliun rupiah.
barang yang dimuat di 2 pelabuhan utama di
Jawa, yaitu Tanjung Priok dan Tanjung Perak.
Sumber: Bea Cukai
Grafik III.5. Perkembangan Ekspor dan Impor Luar Negeri
Sumber: BPS (diolah)
Grafik III.4. Perkembangan Investasi
Kinerja ekspor wilayah Jawa kembali melambat
dan mengalami kontraksi seiring permintaan
global yang masih terbatas. Neraca perdagangan
Jawa pada triwulan III masih mengalami defisit,
dan lebih dalam dibandingkan triwulan
sebelumnya. Perlambatan pertumbuhan antara
lain berasal dari menurunnya ekspor produk
manufaktur seperti tekstil dan produk tekstil
(TPT), serta alat angkut (otomotif). Sementara itu,
permintaan ekspor luar negeri atas produk
makanan dan minuman, kimia dan kertas masih
dapat tumbuh positif. Berdasarkan negara
tujuannya, pertumbuhan ekspor ke Amerika
Serikat dan Eropa yang memiliki porsi ekspor
terbesar turut mengalami perlambatan, meski
ekspor ke Jepang dan Tiongkok masih mengalami
peningkatan. Di sisi lain, kinerja impor mengalami
peningkatan di seluruh kelompok impor, dengan
impor tertinggi pada impor barang modal. Hal
tersebut dapat menjadi indikasi optimisme pelaku
usaha dalam melihat prospek ekonomi ke depan.
Ekspor dalam negeri yang tumbuh meningkat
membuat ekspor Jawa secara keseluruhan
tumbuh membaik. Kinerja ekspor antar provinsi
tumbuh meningkat menjadi 16,1% (yoy) dari
sebelumnya hanya tumbuh 6,5% (yoy) pada
triwulan sebelumnya. Membaiknya ekspor antar
daerah terkonfirmasi dari meningkatnya total
25
Sumber: BPS (diolah)
Grafik III.6. Data Muat Barang di Tanjung Priok dan
Tanjung Perak
Ekonomi Jawa diprakirakan akan membaik pada
triwulan IV tahun 2016 yang didorong
peningkatan konsumsi rumah tangga dan
perbaikan ekspor. Konsumsi rumah tangga
diprakirakan akan meningkat setelah melambat
pada triwulan sebelumnya. Konsumsi pemerintah
juga diprakirakan membaik meski masih
mengalami kontraksi. Sementara itu, realisasi
investasi diprakirakan membaik meski masih
dalam level yang terbatas. Perbaikan ekonomi
Jawa pada triwulan IV turut disumbang oleh
perbaikan ekspor luar negeri terutama produk
manufaktur.
Keyakinan
konsumen
yang
meningkat
diprakirakan akan mendorong konsumsi rumah
tangga di triwulan IV. Indeks Keyakinan
Konsumen (IKK) menunjukkan adanya optimisme
masyarakat terkait penghasilan dan ketersediaan
lapangan kerja. Selain itu faktor musiman, yaitu
Natal dan Tahun baru diprakirakan juga dapat
mendorong konsumsi rumah tangga di akhir
tahun. Relaksasi kebijakan yang dikeluarkan Bank
Indonesia terkait Loan to Value (LTV) juga dapat
menjadi
stimulus
dalam
meningkatkan
pertumbuhan KPR dan KKB.
Konsumsi Pemerintah diprakirakan membaik
pada triwulan mendatang meski masih tercatat
kontraksi. Pada triwulan akhir tahun 2016,
realisasi konsumsi pemerintah diprakirakan akan
kembali meningkat sesuai dengan pola
realisasinya. Peningkatan realisasi bersumber dari
penagihan dan pembayaran atas belanja
operasional Pemerintah yang biasanya akan
meningkat sesuai target akhir tahun.
Pemerintah
berpotensi
menahan
pertumbuhan ekonomi Jawa di tahun 2016.
laju
Kinerja Lapangan Usaha
Pertumbuhan ekonomi Jawa pada triwulan
laporan yang terbatas, disebabkan oleh
melambatnya hampir seluruh lapangan usaha
utama di Jawa, kecuali pertanian. Melambatnya
perekonomian Jawa pada triwulan III 2016
terutama diakibatkan oleh tekanan perlambatan
kinerja lapangan usaha utama seperti industri
pengolahan, perdagangan, dan konstruksi. Namun
demikian, peningkatan kinerja pertanian seiring
dengan berlangsungnya masa panen raya
beberapa komoditas pangan dapat memberikan
sumbangan positif terhadap perekonomian Jawa.
Membaiknya laju pertumbuhan investasi Jawa
diprakirakan masih akan berlanjut pada triwulan
IV 2016. Proyek infrastruktur Pemerintah
diprakirakan akan terakselerasi untuk mengejar
target waktu penyelesaian. Meskipun demikian
masih terdapat risiko dari dampak penundaan
DBH terhadap realisasi belanja modal.
Diversifikasi negara tujuan ekspor diprakirakan
akan mampu meningkatkan penjualan ekspor
manufaktur di triwulan IV 2016. Pertumbuhan
ekspor Jawa diprakirakan membaik meski masih
mengalami kontraksi. Hal tersebut tidak terlepas
dari kinerja para pelaku usaha yang akan
melakukan diversifikasi negara tujuan ekspor
kepada negara-negara di Asia di tengah
perkembangan ekonomi negara maju yang
diprakirakan masih akan lamban pemulihannya.
Perekonomian Jawa untuk keseluruhan tahun
2016
diproyeksikan
akan
lebih
tinggi
dibandingkan
tahun
2015.
Membaiknya
perekonomian Jawa untuk tahun 2016 ditopang
oleh konsumsi rumah tangga yang lebih baik serta
realisasi investasi yang lebih tinggi seiring
permintaan domestik yang meningkat. Kinerja
ekspor Jawa juga tercatat membaik secara year to
date dan diprakirakan secara keseluruhan tahun
akan lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Meski
demikian, sejalan dengan penghematan anggaran
oleh Pemerintah, maka perlambatan konsumsi
26
Sumber: BPS (diolah)
Grafik III.7. Pertumbuhan Lapangan Usaha Utama
Industri Pengolahan
Kinerja industri pengolahan yang merupakan
kontributor utama ekonomi Jawa mengalami
perlambatan pada triwulan laporan. Lapangan
usaha industri pengolahan tercatat hanya tumbuh
4,4% (yoy), lebih rendah dibandingkan triwulan
sebelumnya yang tumbuh sebesar 4,6% (yoy).
Kinerja manufaktur yang melambat terkonfirmasi
dari beberapa indikator pendukung seperti hasil
liaison Bank Indonesia yang menunjukkan likert
scale (LS) penjualan domestik dan ekspor luar
negeri tercatat lebih rendah dibandingkan
triwulan sebelumnya. Prompt Manufacturing
Index (PMI) dari Survei Kegiatan Dunia Usaha
(SKDU) turut mengkonfirmasi perlambatan kinerja
industri pengolahan meski masih dalam area
ekspansi atau berada di atas level 50.
Melambatnya kinerja industri pengolahan
terutama terjadi pada sub lapangan usaha alat
angkutan, tekstil serta logam. Industri alat angkut
dan tekstil sebagian besar berlokasi di wilayah
Jawa Barat dan Jawa Tengah, sehingga
perlambatan pertumbuhan manufaktur terbesar
disumbang oleh kedua provinsi tersebut.
Pertumbuhan industri alat angkutan yang tercatat
melambat, sejalan dengan menurunnya produksi
kendaraan bermotor roda empat yang
terkontraksi sebesar 35% (yoy) setelah periode
sebelumnya mencatatkan pertumbuhan 13%
(yoy). Menurunnya jumlah produksi tersebut
sejalan dengan penjualan kendaraan bermotor
roda empat yang juga mengalami perlambatan.
Kinerja industri tekstil yang tumbuh melambat
terlihat dari ekspor tekstil yang kembali
terkontraksi sebesar 5,27% (yoy) pada triwulan
laporan. Perlambatan ekspor produk tekstil
terbesar terjadi di negara tujuan Amerika Serikat
dan Eropa yang memiliki pangsa terbesar dalam
ekspor tekstil Jawa. Sementara itu, melambatnya
industri logam sejalan dengan melambatnya
pertumbuhan investasi bangunan di Jawa pada
triwulan laporan, terutama pada proyek
infrastruktur Pemerintah.
angkutan. Selain itu faktor musiman akhir tahun
juga akan memberikan dorongan positif dengan
konsumsi domestik yang meningkat menjelang
Natal dan Tahun baru serta strategi promosi akhir
tahun yang akan mendorong penjualan kendaraan
bermotor. Sementara itu, pada sub lapangan
usaha logam, akselerasi proyek infrastruktur
Pemerintah dan realisasi investasi swasta akan
membuat permintaan baja domestik meningkat.
Industri pengolahan tumbuh terbatas untuk
tahun 2016 yang terindikasi dari utlisasi
kapasitas yang stabil. Lapangan usaha industri
pengolahan yang merupakan sektor utama Jawa
hanya tumbuh terbatas dengan pertumbuhan
kinerja sub lapangan usaha makanan dan
minuman, otomotif dan logam sebagai penopang
ekonomi Jawa. Khusus untuk sub lapangan usaha
otomotif, peningkatan kinerja tercermin dari
produksi kendaraan bermotor roda empat yang
secara kumulatif hingga September 2016 dapat
tumbuh lebih baik dari tahun sebelumnya.
Sumber: Bank Indonesia
Grafik III.9. Perkembangan Kapasitas Utilisasi (Survei
Kegiatan Dunia Usaha)
Konstruksi
Sumber: Bank Indonesia
Grafik III.8. Perkembangan Industri Pengolahan (Likert
Scale & PMI)
Kinerja industri pengolahan diprakirakan
membaik pada triwukan IV 2016 yang didorong
oleh sub lapangan usaha makanan dan minuman,
alat angkutan dan logam. Konsumsi rumah tangga
yang diprakirakan membaik akan mendukung
kinerja industri makanan dan minuman serta alat
27
Lapangan
usaha
konstruksi
mengalami
perlambatan, terutama di Jawa Barat dan Jawa
Timur. Lapangan usaha konstruksi mengalami
perlambatan dari 4,0% (yoy) menjadi 3,4% (yoy)
pada triwulan III 2016. Melambatnya kinerja
lapangan usaha konstruksi juga terkonfirmasi dari
realiasi investasi bangunan yang tercatat
melambat serta realisasi investasi PMTB yang
turut
melambat.
Perlambatan
utamanya
disumbang oleh Jawa Barat seiring dengan telah
berakhirnya
pembangunan
venue
dan
infrastruktur pendukung kegiatan Pekan Olahraga
Nasional (PON) XIX yang telah berakhir September
lalu. Penundaan Dana Bagi Hasil (DBH) juga
memberikan dampak terhadap terlambatnya
progress
penyelesaian
beberapa
proyek
infrastruktur Pemerintah.
Pada triwulan IV 2016, akselerasi proyek-proyek
infrastruktur pemerintah dalam mengejar target
pembangunan akan mendorong kinerja lapangan
usaha konstruksi. Beberapa proyek yang sedang
berjalan di antaranya adalah pembangunan jalan
tol Trans Jawa, New Priok, MRT, LRT, bandara
Kulon Progo dan proyek infrastruktur lainnya. Di
samping pembangunan infrastruktur pemerintah,
realisasi investasi swasta diprakirakan juga akan
meningkat yang terlihat pada optimisme pelaku
usaha dalam liaison Bank Indonesia.
Kinerja lapangan usaha pertanian menunjukkan
adanya kenaikan dari 2,6% (yoy) menjadi 4,5%
(yoy), terutama didukung dari oleh peningkatan
produksi tanaman pangan di daerah sentra di
Jawa Barat dan Jawa Tengah. Indikator dari hasil
liaison Bank Indonesia juga menunjukkan
perbaikan, baik dari sisi penjualan domestik
maupun kapasitas utilisasi yang meningkat. Faktor
pendorong dari membaiknya kinerja lapangan
usaha pertanian juga terlihat dari adanya program
Peningkatan Luas Tambah Tanam dan Serap
Gabah yang dicanangkan oleh Pemerintah Jawa
Tengah dengan memanfaatkan La Nina untuk
meningkatkan produksi padi. Luas Tambah Tanam
(LTT) padi meningkat 128 ribu hektar menjadi 845
ribu hektar di triwulan laporan. Inflasi bahan
pangan yang terkendali pada triwulan laporan
juga memberikan indikasi adanya peningkatan
produksi bahan pangan di kawasan Jawa.
Sumber: BPS dan BKPM (diolah)
Grafik III.10. Investasi Bangunan dan Realisasi PMDN
Percepatan pembangunan infrastruktur oleh
Pemerintah pada tahun 2016 mendorong
pertumbuhan lapangan usaha konstruksi.
Pertumbuhan lapangan usaha konstruksi ditopang
oleh realisasi proyek infrastruktur Pemerintah
yang juga tercermin dari peningkatan konsumsi
semen Jawa hingga triwulan III 2016. Selain itu,
investasi PMA maupun PMDN yang diprakirakan
lebih tinggi pada tahun 2016 dapat mendorong
pembangunan di wilayah Jawa.
Pertanian
Pertumbuhan
lapangan
usaha
pertanian
mengalami peningkatan seiring produksi bahan
pangan yang meningkat pada triwulan laporan.
28
Sumber: Bank Indonesia
Grafik III.11. Perkembangan Lapangan Usaha Pertanian
(Liaison)
Meningkatnya kinerja lapangan usaha pertanian
diprakirakan tidak akan berlanjut pada triwulan
IV 2016. Hal ini terjadi seiring dengan telah
berlalunya masa panen raya untuk komoditas
utama tabama dan hortikultura. Meski demikian,
masa panen bawang merah di Jawa Tengah pada
akhir tahun diprakirakan dapat menahan
perlambatan yang lebih dalam.
Kondisi cuaca yang tidak normal sepanjang tahun
2016 membuat jumlah produksi pertanian
mengalami perlambatan. Kondisi cuaca yang tidak
normal dengan adanya El Nino di awal tahun dan
La Nina pada akhir tahun membuat produktivitas
pertanian maupun perikanan di Jawa mengalami
penurunan. Serangan hama penyakit yang
menyerang beberapa daerah turut memperparah
kondisi lahan pertanian di Jawa.
Perdagangan
Kinerja lapangan usaha perdagangan mengalami
perlambatan setelah meningkat cukup tinggi
pada triwulan sebelumnya. Hal ini dipengaruhi
oleh pergeseran periode Ramadhan menjadi akhir
triwulan II 2016. Perlambatan ini juga didukung
oleh hasil SKDU dari lapangan usaha perdagangan
yang mengalami perlambatan cukup dalam.
Penjualan kendaraan bermotor, baik itu roda
empat maupun roda dua juga mengalami
penurunan, terutama pada roda dua yang kembali
mengalami kontraksi. Perlambatan perdagangan
juga terlihat dari hasil penjualan ritel yang
melambat tercermin dari Indeks Penjualan Ritel
(IPR) turut mengalami perlambatan dari 17,64%
(yoy) pada triwulan II 2016 menjadi 12,30% (yoy)
pada triwulan laporan. Perlambatan kinerja terjadi
di seluruh provinsi di Pulau Jawa, kecuali Jawa
Barat.
yang terkendali dan diprakirakan akan berada
dalam rentang sasaran inflasi tahun 2016.
Membaiknya daya beli masyrakat membuat
kinerja lapangan usaha perdagangan meningkat
untuk keseluruhan tahun 2016. Penjualan ritel
diprakirakan membaik yang terlihat dari lebih
tingginya Indeks Penjualan Riil (IPR) dibandingkan
periode yang sama pada tahun 2015. Penjualan
kendaraan bermotor, baik itu roda dua maupun
roda empat juga tercatat membaik, terutama
pada penjualan mobil, yang secara year to date
triwulan III 2016 telah tumbuh positif.
Jasa Keuangan
Lapangan usaha jasa keuangan mengalami
perlambatan pada triwulan laporan seiring masih
rendahnya permintaan kredit. Lapangan usaha
Jasa keuangan hanya mampu tumbuh sebesar
9,4% (yoy), lebih rendah dari pencapaian periode
sebelumnya yang mencapai 13,9% (yoy). Di
samping itu, rasio NPL perbankan di Jawa juga
mengindikasikan adanya peningkatan sehingga
sektor perbankan cenderung lebih berhati-hati
dan selektif dalam memberikan pinjaman baru.
Pendapatan hasil intermediasi perbankan pada
triwulan III 2016 yang dihitung dengan metode
FISIM (Financial Intermediation Services Indirectly
Measured) tercatat melambat dibandingkan
triwulan sebelumnya. Namun perlambatan pada
kinerja jasa keuangan dapat tertahan oleh
pertumbuhan provisi atau komisi perbankan yang
mengalami peningkatan pada triwulan laporan.
Sumber: Bank Indonesia
Grafik III.12. Pertumbuhan Indeks Penjualan Riil
Menjelang akhir tahun, kinerja lapangan usaha
perdagangan diprakirakan akan membaik
menjelang natal dan tahun baru. Selain itu, daya
beli masyarakat yang relatif terjaga akan mampu
meningkatkan konsumsi rumah tangga seperti
yang terindikasi dari Indeks Keyakinan Konsumen
(IKK) yang meningkat hingga bulan Oktober 2016.
Daya beli masyarakat yang diprakirakan
meningkat juga didukung oleh laju inflasi Jawa
29
Sumber: Bank Indonesia
Grafik III.13. Perkembangan FISIM
Kinerja lapangan usaha jasa keuangan
diprakirakan akan tumbuh melambat pada
triwulan IV 2016. Pertumbuhan penyaluran kredit
yang masih rendah dan terbatas di seluruh
provinsi Jawa merupakan salah satu faktor
penghambatnya. Dengan demikian pendapatan
perbankan dari jasa bunga, provisi dan komisi
diprakirakan juga akan tumbuh lebih rendah
dibandingkan triwulan sebelumnya.
Fiskal Daerah
Pertumbuhan realisasi belanja provinsi di Jawa
secara year-on-year mengalami perlambatan
pada triwulan III 2016. Belanja provinsi kawasan
Jawa pada triwulan III 2016 tumbuh sebesar
26,35% (yoy) lebih rendah dibandingkan triwulan
sebelumnya yang sebesar 42,73% (yoy).
Pertumbuhan tertinggi berlangsung di provinsi
Banten sebesar 49,90% (yoy) yang didorong
percepatan penyaluran hibah BOS Sekolah Dasar
meski masih di bawah capaian triwulan
sebelumnya. Di sisi lain, pertumbuhan realisasi
belanja Jawa Timur yang merupakan terendah di
kawasan Jawa mengalami peningkatan menjadi
3,48% (yoy), lebih tinggi dari sebelumnya yang
terkontraksi 0,03% (yoy) pada triwulan II 2016.
lebih tinggi bila dibandingkan dengan realisasi
belanja kabupaten/kota sebesar 47,83% atau
senilai Rp133,60 triliun. Dengan demikian, secara
keseluruhan realisasi belanja daerah telah
mencapai 48,92%, atau lebih tinggi dari capaian
periode yang sama pada tahun 2015. Membaiknya
realisasi hingga triwulan III ini didorong oleh
peningkatan realisasi dari seluruh provinsi.
Secara umum kecepatan realisasi belanja APBD
hingga triwulan III 2016 lebih baik dibandingkan
tahun 2015 (tabel III.2). Penyaluran dana transfer
daerah yang dikaitkan dengan mekanisme reward
dan punishment dan dengan mempertimbangkan
kedisplinan administrasi pelaporan dan kinerja
realisasi belanja berhasil mendorong pengelolaan
keuangan pemerintah daerah menjadi lebih baik.
Selain itu, kecepatan realisasi belanja juga
dididorong penerapan PMK No.235/PMK.07/2015
Tentang Konversi Penyaluran Dana Bagi Hasil
Dan/Atau Dana Alokasi Umum Dalam Bentuk Non
Tunai.
Tabel III.2. Realisasi Belanja Daerah
Provinsi
Tw III 2015
DKI Jakarta
Jawa Barat
Banten
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Jawa
29.7%
43.3%
27.9%
31.3%
53.8%
40.1%
37.0%
2016
Tw II
27.3%
29.8%
32.8%
28.4%
34.5%
33.3%
30.5%
Tw III
43.3%
48.7%
52.7%
47.1%
54.9%
53.9%
48.9%
Sumber: Biro Ekonomi dan TEPRA (diolah)
Realisasi belanja pemerintah daerah di 6 provinsi
6
kawasan Jawa hingga triwulan III 2016 tercatat
membaik dibandingkan periode yang sama pada
tahun sebelumnya. Peningkatan belanja daerah
didorong oleh realisasi belanja provinsi yang
mencapai 50,98% atau senilai Rp75,82 triliun,
6
Data tahun 2015 mencakup 6 provinsi dan 81 kab/kota
sementara data 2016 mencakup 6 provinsi dan 113 kab/kota
30
Sumber: Bank Indonesia
Grafik III.14. Porsi Dana Pemda di BPD
Perkembangan kondisi APBD juga dapat
dicermati dari persentase DPK Pemda terhadap
total DPK di BPD yang mengalami penurunan
(Grafik III.14). Pada triwulan III 2016 dana Pemda
di BPD memiliki porsi sebesar 53,05% atau senilai
Rp104,52 triliun Porsi dana Pemda di BPD
memang lebih rendah dari triwulan sebelumnya
yang sebesar 53,53%, meski secara nilai tercatat
lebih tinggi dari triwulan sebelumnya sebesar
Rp99,97 triliun. Posisi dana Pemda di BPD juga
mengalami penurunan bila dibandingkan periode
yang sama tahun sebelumnya sebesar 63,75%
atau Rp130,15 triliun. Penurunan ini disebabkan
peningkatan kecepatan realisasi belanja daerah
tahun 2016.
Realisasi pendapatan daerah relatif stabil pada
level 65,80% hingga triwulan III 2016. Capaian
tersebut tercatat stagnan bila dibandingkan
dengan periode yang sama tahun sebelumnya
sebesar 65,74%. Realisasi pendapatan pada tahun
2016 disumbang oleh perolehan Pendapatan Asli
Daerah (PAD) dan peningkatan transfer daerah.
kembali normalnya harga daging dan telur ayam
ras paska lebaran. Sementara itu, tekanan pada
kelompok inti masih relatif stabil dengan tekanan
terbesar berasal dari kenaikan biaya pendidikan
dan akademi/perguruan tinggi. Di sisi lain, tekanan
pada kelompok administered prices mengalami
peningkatan secara quarter to quarter yang
didorong kenaikan tarif angkutan dan penyesuaian
tarif listrik.
Sumber: BPS (diolah)
Sumber: Biro Ekonomi dan TEPRA (diolah)
Grafik III.15. Realisasi Pendapatan Daerah
Perkembangan Inflasi
Tingkat inflasi Jawa pada triwulan laporan masih
terkendali yang tercermin dari laju inflasi
tahunan yang berada di bawah sasaran inflasi
tahun 2016. Tingkat inflasi pada triwulan ini
tercatat sebesar 2,58% (yoy), lebih rendah
dibandingkan realisasi triwulan sebelumnya
sebesar 3,14% (yoy). Pencapaian inflasi tersebut
juga lebih rendah dibandingkan laju inflasi
tahunan nasional sebesar 3,07% (yoy). Hingga
bulan September 2016, laju inflasi kalendar di
kawasan Jawa tercatat sebesar 1,70% (ytd), jauh
dibawah angka historis rata-rata lima tahun
terakhir sebesar 3,75% (ytd). Dengan capaian
tersebut, maka tingkat inflasi di akhir tahun akan
berada di bawah rentang sasaran inflasi tahun
2016 sebesar 4% ± 1%.
Rendahnya capaian inflasi hingga triwulan III
2016 disumbang oleh tekanan volatile food yang
relatif rendah serta inflasi inti yang stabil.
Perkembangan inflasi kelompok volatile food tidak
setinggi triwulan sebelumnya, disebabkan telah
31
Grafik III.16. Disagregasi Kelompok Inflasi
Laju Inflasi tahunan kelompok volatile food pada
triwulan laporan tercatat lebih rendah yang
didorong kembali normalnya harga pangan
strategis. Inflasi volatile food pada triwulan III
2016 berada pada level 5,92% (yoy), jauh lebih
rendah
dibandingkan
realisasi
periode
sebelumnya yang mencapai 8,48% (yoy) yang
disebabkan tingginya permintaan saat bulan puasa
dan Idul Fitri. Beberapa komoditas pangan
strategis
mengalami
deflasi
sehingga
menyumbang penurunan tekanan pada triwulan
laporan. Deflasi terutama dialami oleh komoditas
daging ayam ras dan telur ayam ras karena
pasokan yang kembali normal dibarengi
penurunan permintaan setelah berakhirnya bulan
Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri. Sementara itu
harga beras juga terpantau stabil dan tidak
memberikan tekanan inflasi. Namun, produk
holtikulutra seperti bawang merah dan aneka
cabai memberikan tekanan inflasi pada triwulan
laporan, meski relatif menurun pada akhir
triwulan karena masa panen untuk komoditas
bawang merah.
(yoy) dipengaruhi oleh sumbangan deflasi yang
cukup besar dari komoditas administered prices,
yang berada di atas rata-rata provinsi di kawasan
Jawa.
Tabel III.3. Komoditas Penyumbang Inflasi
Komoditas
Bobot
qtq
Andil qtq
Sumber: BPS (diolah)
Grafik III.17. Disagregasi Kelompok Inflasi
Tekanan harga pada triwulan laporan disumbang
oleh kelompok administered prices yaitu
kenaikan tarif angkutan udara dan angkutan kota
menjelang libur panjang. Sesuai dengan polanya,
tarif angkutan darat maupun udara mengalami
kenaikan menjelang periode mudik, walaupun
pada bulan berikutnya mengalami koreksi.
Tekanan inflasi turut disumbang oleh penyesuaian
tarif listrik di bulan Juli bagi 12 (dua belas)
golongan pelanggan dan menjadi penyumbang
inflasi terbesar pada triwulan laporan. Harga
rokok yang masih terus mengalami kenaikan
secara
bertahap
secara
konsisten
menyumbangkan inflasi meski masih dalam level
yang terkendali. Sementara itu, tekanan inflasi
pada kelompok inti masih relatif stabil dengan
tekanan terbesar lebih dipengaruhi oleh adanya
kenaikan biaya pendidikan sehubungan dengan
tahun ajaran baru, baik itu untuk sekolah dasar
hingga
sekolah
menengah
atas
serta
akademi/perguruan tinggi pada bulan Juli-Agustus
2016.
Secara spasial, inflasi seluruh provinsi masih
berada di dalam rentang sasaran inflasi tahun
2016. Laju inflasi tahunan tertinggi berada di
provinsi Banten yang tercatat 3,01% (yoy) pada
triwulan laporan, disebabkan oleh kenaikan
komoditas pangan seperti bawang merah dan
daging ayam ras serta komoditas administered
prices, yaitu rokok kretek yang merupakan
komoditas penyumbang inflasi terbesar. Di sisi
lain, Provinsi DKI Jakarta memiliki tingkat inflasi
tahunan terendah atau berada pada angka 2,40%
32
Volatile Food
Cabai Merah
Kentang
Bawang Merah
Administered Prices
Tarif Listrik
Angkutan Udara
Rokok Kreket Filter
Core Inflation
Akademi/Perguruan Tinggi
Sekolah Menengah Atas
Kontrak Rumah
0.2%
0.2%
0.2%
29.3%
15.2%
9.2%
0.7%
0.3%
0.2%
2.3%
0.3%
1.3%
3.8%
9.7%
2.0%
0.9%
0.3%
0.2%
1.3%
0.8%
3.7%
3.0%
4.2%
0.8%
0.4%
0.3%
0.3%
Sumber: BPS (diolah)
Tabel III.4. Perkembangan Inflasi Spasial
Provinsi
2014
I
DKI Jakarta
8.95 7.10
Jawa Barat
7.60 5.46
Banten
10.20 7.46
Jawa Tengah 8.21 5.68
DI Yogyakarta 6.59 5.13
Jawa Timur
7.77 6.08
Jawa
8.35 6.28
2015
II
7.59
6.51
8.91
6.15
5.68
6.77
7.07
III
7.24
6.11
8.14
5.78
5.23
6.69
6.71
2016
IV
3.30
2.74
4.29
2.73
3.09
3.08
3.12
I
3.62
3.78
5.70
4.21
3.69
3.71
3.93
II
3.08
3.22
3.78
2.96
2.94
2.93
3.14
III
2.40
2.54
3.01
2.71
2.68
2.69
2.58
Sumber: BPS (diolah)
Tingkat inflasi pada tahun 2016 diprakirakan
akan lebih rendah dibandingkan dari tahun 2015
dan masih berada dalam rentang sasaran inflasi
tahun 2016. Pada bulan Oktober, laju inflasi
bulanan tercatat 0,09% (mtm) atau jauh lebih
rendah dari rata-rata historisnya. Harga bawang
merah mengalami koreksi seiring mulai
berlangsungnya masa panen di beberapa daerah
di Jawa Tengah. Hingga bulan Oktober, laju inflasi
kalendar Jawa tercatat pada level 1,80% (ytd).
Dengan demikian, tingkat inflasi tahun 2016 yang
hanya menyisakan waktu dua bulan akan berada
di bawah rentang sasaran inflasi tahun 2016.
Tekanan dari komoditas pangan diprakirakan
relatif rendah dan hanya akan berasal dari
komoditas hortikultura seperti cabai merah yang
mengalami gangguan produksi akibat curah hujan
yang tinggi. Berdasarkan analisa yang dilakukan
oleh Bank Indonesia, La Nina berpotensi
mendorong inflasi Jawa sebesar 0,13% (yoy)
akibat menurunnya produksi aneka cabai dan
bawang merah. Sementara itu, dari kelompok
administered prices juga diprakirakan masih akan
terjaga seiring harga minyak dunia yang masih
relatif rendah, meski masih perlu diwaspadai
tekanan yang berasal dari penyesuaian tarif listrik
pada bulan September dan Oktober. Pada
kelompok inti, komoditas emas perhiasan
diprakirakan akan memberikan tekanan inflasi
seiring ketidakpastian pada kondisi global yang
membuat emas sebagai investasi yang safe haven.
Dalam rangka upaya pengendalian inflasi di
daerah, Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID)
melakukan berbagai program di setiap daerah.
Strategi
roadmap
inflasi
Jawa
telah
diimplementasikan dengan baik dalam hal strategi
penguatan fungsi kelembagaan dan regulasi,
penyusunan
riset
dan
informasi
serta
pembentukan ekspektasi masyarakat. Kebijakan
penetapan harga acuan konsumen merupakan
langkah awal pemerintah dalam pengendalian
inflasi harga daerah melalui peningkatan peran
Bulog dan BUMN Pangan bekerjasama dengan
BUMN, BUMD, Koperasi dan/atau swasta.
Penetapan harga acuan menjadi penting dalam
rangka menekan disparitas harga antar daerah.
Setiap daerah telah menjalankan program dalam
menjaga kelangsungan produksi, distribusi dan
konektivitas pangan. Sebagai contoh di Jawa
Tengah sedang digalakkan Kampung Cabai Inovatif
dalam rangka pengendalian harga cabai yang
sering menjadi penyumbang inflasi di Jawa. Di
Yogyakarta juga tengah mengoptimalkan Price
Reference Store sebagai salah satu upaya
memberikan referensi harga kepada konsumen.
Sementara di Jawa Barat terus dilaksanakan
sosialisasi sistem resi gudang dalam upaya
meningkatkan modal petani dan pengendalian
stok pangan di daerah.
Stabilitas Keuangan Daerah
Ketahanan Sektor Korporasi
7
Kinerja korporasi di kawasan Jawa mulai
menunjukkan perbaikan pada triwulan laporan.
Membaiknya kinerja dimaksud tercermin dari
rasio rentabilitas korporasi yang meningkat
setelah relatif stagnan pada pada triwulan
sebelumnya. Rasio solvabilitas dan likuiditas juga
tercatat relatif kuat yang menandakan ketahanan
korporasi hingga triwulan II 2016.
Rasio rentabilitas korporasi meningkat setelah
terus mengalami penurunan hingga akhir 2015.
Peningkatan kinerja korproasi yang tercermin dari
indikator Return on Assets (ROA) yang naik dari
5,40% menjadi 5,71% pada triwulan laporan.
Indikator lainnya yaitu Return on Equity (ROE) juga
membaik dari 11,14% menjadi 11,54%. Hampir di
seluruh
sektor
manufaktur
menunjukkan
perbaikan profitabilitas kecuali pada industri
kertas serta tekstil dan produk turuannya.
Sumber: Bloomberg
Grafik III.18. Perkembangan ROA dan ROE Korporasi
Sumber: Bloomberg
Grafik III.19. Perkembangan DER dan Solvability Ratio
Korporasi
7
Korporasi di Jawa diwakilkan oleh 40 (empat puluh)
perusahaan manufaktur terbesar di Jawa dan tercatat dalam
Bursa Efek Indonesia
33
Kemampuan perusahaan dalam memenuhi
kewajiban jangka panjang yang terlihat dari rasio
solvabilitas relatif stabil. Namun rasio solvabilitas
yang masih kuat tidak diikuti dengan kemampuan
membayar bunga yang meningkat atau terlihat
dari rasio Interest Coverage Ratio (ICR). ICR pada
triwulan laporan tercatat menurun tipis dari 3,40
menjadi 3,30, namun masih berada dalam level
yang aman. Rasio ICR yang masih berada pada
level aman dimaksud menunjukkan ketahanan
korporasi yang relatif baik di tengah tekanan
global yang masih belum menunjukkan tandatanda perbaikan.
Sumber: Bloomberg
Grafik III.20. Perkembangan ICR dan Current Ratio
Korporasi
Secara sektoral, rasio solvabilitas dan ICR di
seluruh sektor masih tergolong aman meski pada
beberapa sektor perlu mendapatkan perhatian
lebih. Secara umum seluruh sektor memiliki rasio
solvabilitas di atas 1 kali, yang menandakan
tingkat kemampuan perusahaan untuk membayar
semua kewajibannya masih berada dalam batas
aman. Meski demikian terdapat sektor
manufaktur yang mengalami penurunan rasio
solvabilitas seperti sektor semen serta logam dan
produknya. Dari sisi ICR, seluruh sektor masih
berada pada level yang baik, kecuali pada industri
logam
dan
produknya
yang
membaik
dibandingkan triwulan sebelumnya namun masih
memiliki ICR di bawah satu.
Sementara itu, salah satu indikator rasio
likuiditas yaitu current ratio mengalami sedikit
penurunan. Rasio likuiditas korporasi Jawa pada
triwulan laporan tercatat sebesar 1,51 atau sedikit
lebih rendah dari triwulan sebelumnya yang
sebesar 1,58. Menurunnya rasio likuiditas sejalan
dengan peningkatan kinerja korporasi yang
membaik sehingga membuat aset likuid sedikit
menurun.
Eksposur Perbankan pada Sektor Korporasi
Tabel III.5. Indikator Kinerja Korporasi
ROA
Tw II Tw III
Automotive & Components 4.93 4.98
Food & Beverage
6.31 6.59
Pulp& Paper
1.93 1.74
Tobacco Manufacturers
14.50 14.78
Cement
10.62 10.68
Metal & Allied Products
-8.30 -6.27
Chemicals
2.91 6.21
Pharmaceuticals
15.21 15.23
Textile, Garment
1.16 0.95
Ceramics, Glass, Porcelain 1.60 2.09
Plastics & Packaging
1.39 2.12
Total
5.40 5.70
Solvability
Sektor
Tw II Tw III
Automotive & Components 2.09 2.06
Food & Beverage
2.05 2.01
Pulp& Paper
1.60 1.60
Tobacco Manufacturers
2.39 2.70
Cement
3.34 3.29
Metal & Allied Products
1.92 1.84
Chemicals
1.97 2.11
Pharmaceuticals
5.53 5.26
Textile, Garment
1.18 1.17
Ceramics, Glass, Porcelain 1.68 1.67
Plastics & Packaging
2.00 2.03
Total
2.03 2.02
Sektor
Sumber: Bloomberg
34
ROE
Tw II Tw III
9.74 9.80
12.83 13.18
5.24 4.68
28.06 26.54
14.97 15.13
-18.47 -13.21
5.90 12.40
18.61 18.66
7.63 6.14
4.06 5.27
2.86 4.31
11.14 11.52
ICR
Tw II Tw III
6.22 6.62
7.66 7.90
2.54 2.51
17.70 19.01
10.47 9.71
0.41 0.71
1.58 1.55
2.00 2.89
3.40 3.30
DER
Tw II Tw III
0.91 0.94
0.96 0.99
1.67 1.67
0.72 0.59
0.43 0.44
1.09 1.20
1.03 0.90
0.22 0.23
5.51 5.80
1.48 1.49
1.00 0.97
0.97 0.98
Current Ratio
Tw II Tw III
1.40 1.37
1.97 1.79
1.49 1.42
2.45 2.07
1.86 1.76
0.73 0.83
1.27 1.52
4.08 3.75
0.80 0.86
1.67 1.41
1.01 1.04
1.58 1.51
Sejalan dengan perlambatan pertumbuhan
8
ekonomi Jawa, penyaluran kredit
oleh
perbankan mengalami perlambatan. Penyaluran
kredit di kawasan Jawa secara keseluruhan hanya
tumbuh sebesar 5,92% (yoy), melambat
dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 8,52%
(yoy). Realisasi tersebut juga tercatat lebih rendah
jika dibandingkan dengan pertumbuhan kredit
nasional yang mencapai 6,34% (yoy). Berdasarkan
golongannya, baik sektor korporasi maupun
perseorangan mengalami perlambatan, dengan
sektor korporasi menjadi penyumbang utama
perlambatan penyaluran kredit.
Sejalan dengan ekonomi Jawa yang melambat,
penyaluran kredit kepada korporasi turut
mengalami perlambatan. Penyaluran kredit
kepada korporasi tumbuh sebesar 6,87% (yoy),
8
Berdasarkan lokasi proyek
melambat dibanding triwulan sebelumnya yang
sebesar 10,91% (yoy). Perlambatan penyaluran
kredit terjadi baik pada kredit modal kerja
maupun investasi. Perlambatan kredit ini
terutama didorong oleh melemahnya permintaan
dari industri pengolahan, yang memiliki pangsa
kredit korporasi terbesar (31,4% dari total kredit
korporasi), sejalan dengan perlambatan kinerja
industri pengolahan pada triwulan laporan.
Pemberian kredit ke lapangan usaha industri
pengolahan tercatat stagnan atau tidak
mengalami pertumbuhan, setelah pada triwulan
sebelumnya masih mampu tumbuh 6,81%.
Sementara itu, pada lapangan usaha perdagangan
besar dan eceran yang merupakan debitur
terbesar kedua pada kredit korporasi juga
melambat. Penurunan lebih jauh pada kredit
korporasi dapat tertahan oleh penyaluran kredit
ke lapangan usaha konstruksi yang meningkat dan
tercatat masih dapat tumbuh 28,71% (yoy).
DER yang relatif stabil. Tingkat utang terhadap
9
ekuitas korporasi pada akhir triwulan II 2016
relatif stabil pada level 0,97%. Ketidakpastian
kontinuitas pertumbuhan permintaan ekonomi
global ditengarai menjadi penyebab penurunan
preferensi korporasi dalam menerima pinjaman di
tengah perbaikan kinerja korporasi.
Risiko kredit mengalami peningkatan meski
masih berada dalam kategori aman. Peningkatan
risiko kredit bermasalah tersebut ditengarai
menjadi salah satu penyebab bank lebih selektif
dalam menyalurkan kredit yang berdampak pada
perlambatan pertumbuhan kredit. Pada triwulan
III 2016, rasio Non Performing Loan (NPL)
korporasi sedikit meningkat dari 3,16% menjadi
3,18%. Rasio NPL korporasi juga lebih tinggi dari
rasio NPL kredit secara keseluruhan yang sebesar
2,94%. Menurunnya kualitas kredit korporasi
terutama terjadi pada kredit modal kredit
investasi. Sementara itu, secara sektoral kualitas
kredit yang memburuk terutama dialami oleh
lapangan usaha perdagangan besar dan eceran
yang mencapai 4,75%, meningkat cukup tinggi
dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar
3,96%.
Sumber: Bank Indonesia
Grafik III.21. Pangsa Kredit Sektor Korporasi
Sumber: Bank Indonesia
Grafik III.23. Rasio NPL Kredit Sektoral Korporasi
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
Dana Pihak Ketiga Perseorangan di Perbankan
Sumber: Bank Indonesia
Grafik III.22. Penyaluran Kredit Sektoral Korporasi
Melambatnya pemberian kredit korporasi
industri pengolahan juga terindikasi dari rasio
35
Dana Pihak
perseorangan
9
Ketiga (DPK) dari
tercatat meningkat,
golongan
terutama
Korporasi di Jawa diwakilkan oleh 40 (empat puluh)
perusahaan manufaktur terbesar di Jawa dan tercatat dalam
Bursa Efek Indonesia
bersumber dari peningkatan giro dan deposito.
Secara keseluruhan, DPK perseorangan tumbuh
10,30% (yoy), di atas capaian triwulan sebelumnya
yang hanya sebesar 5,24%. Deposito, yang
memiliki pangsa mencapai 44,5% dari total DPK,
dapat tumbuh 6,2% (yoy) setelah pada triwulan
sebelumnya mengalami kontraksi. Hal tersebut
ditengarai akibat adanya peningkatan suku bunga
deposito sebanyak 67 basis poin sejak awal tahun
2016. Sementara itu, giro juga tercatat mengalami
pertumbuhan cukup signifikan menjadi 35,2%
(yoy). Namun di sisi lain, tabungan hanya mampu
tumbuh 11,25% (yoy).
itu, penyaluran kredit kepemilikan sepeda
bermotor tercatat lebih buruk dan mengalami
kontraksi sebesar 13,96% pada triwulan laporan.
Sumber: Bank Indonesia
Grafik III.25. Pertumbuhan Kredit Rumah Tangga
Sumber: Bank Indonesia
Grafik III.24. Pertumbuhan DPK Perseorangan
Kredit Perseorangan di Perbankan
Kredit rumah tangga tumbuh melambat untuk
semua jenis pada triwulan laporan. Penyaluran
kredit rumah tangga melambat dari 9,81% (yoy)
menjadi 8,99% (yoy) pada triwulan III 2016.
Perlambatan penyaluran kredit rumah tangga
utamanya disumbang oleh melambatnya kredit
multiguna yang tumbuh melambat dari 16,15%
(yoy) menjadi ke 11,68% (yoy), serta penyaluran
KKB yang terkontraksi pada triwulan laporan.
Perlambatan kredit rumah tangga turut
disumbang oleh perlambatan Kredit kepemilikan
rumah (KPR) dan terjadi pada seluruh tipe rumah.
Penurunan KKB utamanya disumbang oleh
adanya perlambatan kredit kepemilikan mobil
serta penurunan penyaluran kredit kepemilikan
sepeda bermotor. Kredit kepemilikan mobil
tercatat melambat cukup dalam dari 4,97%
menjadi 0,93% pada triwulan III 2016. Sementara
36
Perlambatan penyaluran KPR terjadi pada
penyaluran KPR seluruh tipe rumah. Perlambatan
terendah untuk penyaluran KPR bersumber dari
KPR tipe <21 yang masih tercatat kontraksi,
melanjutkan pertumbuhan negatif dalam 3
triwulan terakhir. Sementara itu pemberian kredit
tipe 22 s.d. 70 serta tipe >70 juga mengalami
perlambatan meski masih tumbuh positif.
Perlambatan permintaan kredit terkait properti
sejalan dengan hasil Survei Harga Properti
Residensial (SHPR) yang menunjukkan adanya
perlambatan pertumbuhan indeks harga properti
di kota-kota besar di Jawa. Menurunnya
permintaan akan harta tetap juga tercermin dari
penurunan indeks konsumsi barang tahan lama
saat ini dibandingkan 3 bulan sebelumnya, yang
ditunjukkan oleh hasil Survei Konsumen (SK).
Sumber: Bank Indonesia
Grafik III.26. Perkembangan KPR
Risiko kredit rumah tangga sedikit meningkat
yang tercermin dari rasio NPL yang naik. Rasio
NPL untuk kredit rumah tangga tercatat
meningkat ke level 1,68%, sedikit lebih tinggi dari
triwulan sebelumnya yang sebesar 1,63%.
Memburuknya kualitas kredit rumah tangga
bersumber dari kenaikan rasio NPL KPR/KPA.
Meningkatnya risiko KPR/KPA terjadi pada seluruh
tipe rumah, namun KPR dengan tipe di atas 70
memberikan kenaikan risiko kredit tertinggi
dengan peningkatan rasio NPL menjadi 2,66%,
lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya
yang sebesar 2,33%. Namun demikian,
membaiknya kualitas kredit dari KKB dan kredit
multiguna dapat menekan risiko dari kredit rumah
tangga.
menurun dari Rp10,7 triliun menjadi Rp7,8 triliun
per harinya.
Sumber: Bank Indonesia
Grafik III.28. Nominal Transaksi SKNBI
Pemberlakuan ketentuan baru terkait caping
transaksi kliring melalui SKNBI juga berdampak
kepada melambatnya pertumbuhan volume
transaksi. Volume transaksi SKNBI tercatat
melambat dari 13,07% (yoy) menjadi 5,99% (yoy)
pada triwulan laporan atau mencapai 24,67
transaksi. dari 24,3 juta transaksi menjadi 26,8
juta transaksi. Selain sebagai dampak dari adanya
caping transaksi terbaru, telah berlalunya periode
Idul Fitri yang jatuh pada triwulan II 2016
membuat volume transaksi juga menurun.
Sumber: Bank Indonesia
Grafik III.27. Rasio NPL Kredit Rumah Tangga
Sistem Pembayaran dan Pengelolaan
Uang Rupiah
Sistem Pembayaran Non Tunai
Transaksi kliring melalui Sistem Kliring Nasional
Bank Indonesia (SKNBI) mengalami perlambatan,
baik secara nominal maupun volume. Transaksi
SKNBI di Jawa yang secara total mencapai 699
triliun tumbuh melambat menjadi 20,73% (yoy),
jauh lebih rendah dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya yang dapat tumbuh 58,44% (yoy).
Salah satu faktor utama yang menyebabkan
perlambatan
tersebut
adalah
adanya
pemberlakuan ketentuan baru atas caping
transaksi kliring dari sebelumnya Rp500 juta
menjadi Rp100 juta sejak 1 Juli 2016. Dengan
demikian transkasi harian melalui SKNBI turut
37
Sumber: Bank Indonesia
Grafik III.29. Volume Transaksi SKNBI
Pengelolaan Uang Rupiah
Wilayah Jawa mengalami net-inflow pada
triwulan laporan dan merupakan yang terbesar
dalam 5 tahun terakhir. Pada triwulan III 2016,
wilayah Jawa mengalami net-inflow sebesar
Rp62,6 triliun, berbalik arah dari triwulan
sebelumnya yang mencatatkan net-outflow
Rp76,64 triliun. Hal tersebut sejalan dengan pola
musiman, dimana pada periode lebaran akan
terjadi net-outflow karena penggunaan uang
kartal yang relatif besar oleh masyarakat dan akan
diikuti dengan net-inflow. Seluruh provinsi di Jawa
mengalami net-inflow dengan yang terbesar
berasa dari Jawa Barat yang mencapai Rp20,9
triliun.
koordinasi dengan perbankan dan pihak berwajib
mengenai penanganan laporan masyarakat terkait
uang yang diragukan keasliannya. Sementara itu,
rasio pemunsahan UTLE terhadap inflow relatif
lebih rendah seiring tingginya aliran uang masuk
ke Bank Indonesia pada triwulan laporan.
Sumber: Bank Indonesia
Sumber: Bank Indonesia
Grafik III.32. Perkembangan Pemusnahan UTLE
Grafik III.30. Perkembangan Inflow dan Outflow
Prospek Perekonomian
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Sumber: Bank Indonesia
Grafik III.31. Perkembangan Temuan Uang Palsu
Sejalan dengan intensifikasi edukasi CIKUR (Ciriciri Keaslian Uang Rupiah) dan koordinasi dengan
pihak yang berwenang, maka penemuan uang
yang diragukan keasliannya mengalami kenaikan.
Jumlah uang yang diragukan keasliannya yang
dilaporkan kepada Bank Indonesia pada triwulan
laporan 66.397 lembar, atau lebih tinggi dari
temuan triwulan sebelumnya yang sebesar 54.554
lembar. Penemuan terbesar berasal dari Jakarta
yang merupakan pusat transaksi bisnis di
Indonesia. Meningkatnya temuan uang yang
diragukan keasliannya tidak terlepas dari edukasi
kepada masyarakat terkait ciri-ciri keaslian uang
rupiah dan juga didukung oleh penguatan
38
Perekonomian Jawa diperkirakan akan membaik
pada tahun 2017 dan tumbuh lebih tinggi
dibandingkan dengan tahun laporan. Ekonomi
Jawa diperkirakan akan berada dalam rentang
5,5% - 5,9% (yoy) yang didorong oleh membaiknya
seluruh komponen PDRB, terutama pada
konsumsi rumah tangga. Sementara itu,
membaiknya permintaan domestik dan luar negeri
dapat meningkatkan kinerja lapangan usaha
industri pengolahan yang merupakan sektor
utama di kawasan Jawa. Secara spasial, perbaikan
ekonomi Jawa akan didorong dari seluruh provinsi
di Jawa yang diperkirakan akan tumbuh lebih
tinggi dibandingkan tahun 2016.
Dari sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi
Jawa masih akan ditopang oleh membaiknya
konsumsi rumah tangga. Optimisme keyakinan
konsumen yang masih relatif tinggi hingga kuartal
akhir 2016, mengindikasikan daya beli masyarakat
yang masih kuat dan akan berlanjut hingga tahun
2017. Dengan adanya penyesuaian UMK dan
pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA)
serentak di tahun depan dapat mendorong
konsumsi rumah tangga dan Lembaga Non Profit
yang Melayani Rumah Tangga (LNPRT). Sementara
itu, realisasi investasi baik dari PMA maupun
PMDN diperkirakan akan meningkat yang sudah
terlihat membaiknya realisasi investasi pada tahun
2016 (year to date September) yang telah
meningkat 25,28% (yoy) untuk PMDN dan 27,48%
(yoy) untuk PMA.
Perkembangan ekonomi global yang diperkirakan
akan mulai pulih pada tahun 2017 diharapkan
dapat mendorong penjualan ekspor Jawa.
Membaiknya ekonomi Jawa juga didorong
peningkatan ekspor dari Jawa dengan optimisme
terkait pertumbuhan ekonomi global serta dengan
adanya rencana dari pelaku usaha untuk
melakukan diversifikasi negara tujuan ekspor.
Negara tujuan ekspor terbesar saat ini adalah
Amerika Serikat dan Eropa, dengan adanya
rencana diversifikasi, maka pangsa pasar akan
diperluas ke negara-negara di Asia. Dari sisi impor,
seiring dengan kinerja industri pengolahan yang
membaik maka impor bahan baku juga meningkat
seiring dengan peningkatan kapasitas produksi.
Dari sisi penawaran, seluruh lapangan usaha
utama mulai terakselerasi, terutama ditopang
oleh membaiknya kinerja industri pengolahan.
Keyakinan pelaku usaha terkait prospek ekonomi
dunia di tahun 2017 yang disertai peningkatan
permintaan domestik diperkirakan dapat mampu
meningkatkan kinerja lapangan usaha industri
pengolahan. Sub lapangan usaha makanan dan
minuman serta otomotif diperkirakan tumbuh
membaik seiring peningkatan daya beli
masyarakat. Permintaan akan baja domestik
diperkirakan meningkat terutama terkait dengan
pemenuhan proyek infrastruktur Pemerintah yang
akan mampu mendorong penjualan dari sub
lapangan usaha logam. Sejalan dengan perkiraan
peningkatan daya beli masyarakat pada tahun
mendatang, maka kinerja lapangan usaha
perdagangan akan membaik. Hal itu semakin
diperkuat dengan adanya pelaksanaan PILKADA
serentak yang akan menjadi salah satu pendorong
juga untuk peningkatan lapangan usaha
perdagangan.
39
Akselerasi proyek Pemerintah yang sempat
tertunda mendorong kinerja lapangan usaha
konstruksi.
Perkiraan
realisasi
investasi
pemerintah yang lebih tinggi, mampu mendorong
kinerja konstruksi, terutama berasal dari
akselerasi proyek-proyek infrastruktur seperti
pembangunan jalan Trans Jawa, Bandara di Jawa
Barat dan DIY, pelabuhan di Jakarta dan Patimban
serta sarana pendukung untuk penyelenggaraan
ASEAN Games di jakarta. Selain itu, konstruksi dari
pihak swasta diperkirakan juga akan cukup tinggi
terutama dari sub lapangan usaha otomotif serta
tekstil dan produk turunannya. Sementara itu,
produksi pertanian akan mengalami peningkatan
seiring perkiraan berakhirnya dampak La Nina
pada triwulan I 2017. Peningkatan lapangan usaha
pertanian juga didukung oleh adanya perbaikan
infrastruktur irigasi serta pengaturan pola tanam.
Optimisme membaiknya perekonomian Jawa
masih dibayangi risiko internal maupun eksternal
yang dapat menahan laju pertumbuhan. Meski
secara umum ekonomi global diperkirakan dapat
tumbuh lebih tinggi, namun perekonomian Eropa
dan Tiongkok yang merupakan mitra dagang
utama Jawa diperkirakan masih akan melambat.
Dampak Brexit serta pemilihan presiden di
Amerika Serikat juga masih memberikan potensi
risiko terhadap perkembangan negera-negara
maju. Sementara itu, risiko sisi internal masih
dibayangi oleh penyaluran kredit yang masih
terbatas serta laju inflasi yang diperkirakan akan
lebih tinggi. Ruang fiskal juga diperkirakan masih
terbatas seiring dengan risiko realisasi pendapatan
pajak yang belum optimal.
Prospek Inflasi
Tingkat inflasi Jawa pada tahun 2017
diperkirakan akan lebih tinggi dibandingkan
tahun 2016, meski masih berada dalam rentang
sasaran inflasi tahun 2017. Tekanan pada tahun
2017 akan lebih banyak didorong oleh komoditas
administered prices. Sementara secara spasial,
tingkat inflasi di tahun 2017 untuk seluruh provinsi
di Jawa juga diperkirakan akan mengalami
peningkatan. Dengan demikian, inflasi pada tahun
2017 diperkirakan akan berada pada rentang 3,6 4,0% (yoy) dan masih berada dalam rentang target
inflasi tahun 2017 sebesar 4% ± 1%. Perkiraan
realisasi inflasi dimaksud akan lebih tinggi dari
perkiraan tingkat inflasi tahun 2016 yang berada
pada level 2,6 - 4,0% (yoy).
La Nina masih berpotensi memberikan tekanan
inflasi terhadap produk hortikultura hingga
triwulan I 2017. Curah hujan yang tinggi akibat La
Nina telah memberikan tekanan inflasi sejak
semester II 2016 yang akan berlanjut hingga
triwulan I 2017, terutama untuk komoditas aneka
cabai dan bawang merah. Curah hujan yang tinggi
juga berisiko untuk merendam lahan penanaman
beras dan jagung yang dapat mengganggu
pasokan komoditas dimaksud. Terbatasnya
pasokan untuk komoditas beras berpotensi
memberikan tekanan inflasi yang relatif besar
dengan bobot komoditas beras merupakan yang
terbesar. Sementara itu, berkurangnya pasokan
jagung dapat dapat berdampak kepada kenaikan
harga daging ayam ras, dimana jagung merupakan
bahan baku utama makanan ternak ayam.
40
Tekanan pada kelompok administered prices
bersumber dari penerapan cukai rokok 2017 dan
penyesuaian tarif listrik oleh Pemerintah. Cukai
rokok 2017 diperkirakan akan mengalami
kenaikan sekitar 10 – 13%, dan akan berdampak
kepada komoditas rokok kretek dan rokok kretek
filter secara bertahap sepanjang tahun. Tekanan
inflasi juga ditambah dengan adanya rencana
penyesuaian tarif listrik untuk 450 Volt Ampere
(va) dan 900 va pada tahun 2017.
Meski tekanan pada kelompok volatile food
relatif tinggi di awal tahun, namun produksi
pangan di tahun 2017 diperkirakan akan lebih
baik dari tahun 2016. Dengan kondisi cuaca yang
kembali
normal
dan
disertai
dengan
pembangunan infrastruktur pertanian serta
peningkatan kerja sama antar daerah, maka laju
inflasi volatile food diharapkan masih akan terjaga
hingga akhir tahun 2017.
Boks 2
Kondisi Industri Manufaktur
Industri pengolahan memegang peranan penting
bagi pertumbuhan ekonomi di Jawa, dengan
memiliki pangsa terhadap PDRB yang terbesar
dibandingkan lapangan usaha lainnya yaitu
mencapai 29%. Tenaga kerja yang berhasil
diserap oleh industri pengolahan juga tergolong
tinggi, dengan tingkat penyerapan mencapai
18,2% dari total angkatan kerja. Dari sisi
penanaman modal, realisasi investasi langsung
yang masuk ke Jawa sebagian besar ditujukan
untuk industri pengolahan atau manufaktur, dan
mencapai 45% dari total investasi langsung.
Selain itu, ekspor non-migas Jawa mayoritas
merupakan produk industri manufaktur. Sejak
global financial crisis pada tahun 2008, pangsa
industri pengolahan di Jawa memang terus
mengalami penurunan hingga levelnya saat ini,
dan belum menunjukkan indikasi untuk kembali
kepada level sebelumnya. Disisi lain, pangsa
sektor jasa-jasa justru terus mengalami
peningkatan. Dari fenomena tersebut, terdapat
tiga tantangan utama industri pengolahan yang
berhasil diidentifikasi, yaitu:
kerja sektor industri yang tidak mengalami
banyak perubahan sejak tahun 2001 hingga 2015.
Namun di saat yang sama, sektor perdagangan
dan jasa-jasa tumbuh lebih tinggi di atas industri
pengolahan.
Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah)
Grafik III.33. Pangsa PDRB Jawa Sektoral
a. Deindustrialisasi
Global financial crisis pada tahun 2008 telah
menyebabkan permintaan global menurun dan
kemudian berdampak kepada melambatnya
pertumbuhan industri pengolahan di Jawa
sebagai salah satu pemasok rantai global.
Penurunan tersebut juga terindikasi dari pangsa
industri manufaktur dalam PDRB yang terus
menurun dari 32% pada tahun 2000 hingga
mencapai 28% pada tahun 2015. Terhadap
industri pengolahan nasional, pangsa industri
pengolahan di Jawa tetap paling dominan yaitu
sebesar 71%.
Melambatnya
pertumbuhan
industri
manufakturberimplikasi pada penyerapan tenaga
41
Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah)
Grafik III.34. Pangsa Tenaga Kerja Jawa Sektoral
Dari sisi penanaman modal, realisasi investasi
masih tumbuh cukup kuat dan untuk periode
2011-2015 tercatat lebih tinggi dibandingkan
periode 2001-2010. Investasi industri pengolahan
masih didominasi dalam bentuk Penanaman
Modal Asing (PMA), dan secara spasial masih
terkonsentrasi di Jawa Barat. Investasi yang
bersumber dari PMA lebih banyak ke industri
padat modal dengan teknologi menengah tinggi.
Sementara itu, investasi PMDN lebih banyak ke
sektor padat karya dan sektor berbasis bahan
tambang.
negara-negara middle income. Sementara itu,
pada periode 1995-2001, Indonesia lebih
11
meningkatkan forward participation , terutama
pada produk bahan baku mentah pertambangan,
12
sementara peningkatan backward participation
masih terbatas.
Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah)
Grafik III.35. Perkembangan PMA dan PMDN Industri dan
Pangsa Investasi per Subsektor Industri
b. Kondisi Local & Global Chain
Menurut pendekatan local chain, kegiatan
industri manufaktur di Jawa belum memiliki
keterkaitan yang kuat dengan wilayah di luar
Jawa. Hal tersebut ditunjukkan oleh masih
rendahnya porsi bahan baku yang berasal dari
luar Jawa. Berdasarkan data IRIO 2005, hanya sub
lapangan usaha semen, besi baja dan petrokimia
yang sudah mendatangkan bahan baku dari luar
Jawa dengan pangsa di atas 10%.
Tabel III.6. Komposisi Input Antara Berdasarkan
Subsektor
Industri
Jawa
Kertas
Alat Angkut
Mamin
Alas Kaki
TPT
Petrokimia
Besi Baja
Semen
89%
65%
93%
89%
90%
63%
67%
73%
Luar Jawa Impor
3%
3%
4%
5%
8%
10%
12%
24%
8%
32%
3%
6%
2%
27%
21%
3%
Sumber: IRIO, diolah (2005)
Di sisi lain, perkembangan internasional
menunjukkan bahwa negara lain di dunia telah
meningkatkan integrasinya dengan rantai nilai
global yang terindikasi dari indikator total
10
integration . Peningkatan integrasi tersebut
berkorelasi
positif
dengan
peningkatan
pertumbuhan manufaktur, terutama untuk
10
Total Integration : Contribution of a country’s exports which
are part of GVC
42
Sumber: OECD (2016)
Grafik III.36. Integrasi Global Value Chain (GVC)
c. Kesiapan pada Era Industri 4.0
Dalam
beberapa
waktu
terakhir
telah
berkembang revolusi industri 4.0 yang bertumpu
pada teknologi informasi, digitalisasi, dan tingkat
pengetahuan dan keterampilan tinggi. Bagi
negara berkembang seperti Indonesia, revolusi
industri 4.0 merupakan suatu tantangan yang
harus dihadapi. Oleh karena itu, percepatan
perbaikan infrastruktur dan SDM perlu terus
dilakukan.
Indikator kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM)
dan kesiapan teknologi juga menunjukkan bahwa
Indonesia masih kalah bila dibandingkan dengan
negara peers seperti China, Malaysia, Thailand,
dan Filipina.
11
Forward Participation : domestic value added embodied in
foreign exports as share of gross exports
12
Backward Participation : foreign value added share of gross
exports
kompetitif jika dibandingkan dengan NegaraNegara Asean
lainnya. Sementara itu,
infrastruktur penunjang lainnya di Kawasan
Industri juga masih banyak yang perlu
ditingkatkan, terutama pada aspek pusat
Research & Development, pusat pelatihan,
perumahan Karyawan dan kantor bank.
Sumber: McKinsey (2015)
Grafik III.37. Revolusi Industri 4.0
Tabel III.7. Indeks Higher Education and Training &
Technological Readiness
Negara
Higher Education and Training
Technological Readiness
Rank
Value
Rank
Value
Singapura
1
6.3
9
6.1
AS
8
5.9
14
6
Swedia
15
5.6
4
6.3
Jepang
23
5.4
19
5.8
Korsel
25
5.3
28
5.5
Malaysia
41
5
43
4.8
Tiongkok
54
4.6
74
4
Filipina
58
4.6
83
3.6
Thailand
62
4.5
63
4.3
Indonesia
63
4.5
91
3.5
India
81
4.1
110
3
Sumber: Global Competitiveness Index (2016)
Tantangan
Perbaikan daya saing industri manufaktur
menghadapi
beberapa
tantangan
dalam
pemenuhan kapasitas dasar, baik itu secara fisik
maupun non-fisik.
a. Infrastruktur Fisik
Dari sisi infrastruktur fisik, kualitas jalan di Jawa
masih belum maksimal terutama terkait dengan
kondisi kerusakan jalan di Jalur Selatan.
Infrastruktur jalan merupakan salah satu
infrastruktur penting mengingat pengiriman
barang manufaktur masih banyak yang
menggunakan angkutan truk. Sementara itu,
berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh
Bank Indonesia kepada pengelola Kawasan
Industri di Jawa, didapatkan hasil bahwa
infrastruktur jaringan gas yang masih rendah.
Harga gas industri Indonesia relatif kurang
43
Sumber: Survei Pengelola Kawasan Industri – Bank Indonesia
Grafik III.38. Kualitas Infrastruktur Pengelola KI
Terkait dengan ketersediaan pasokan listrik di
Jawa yang saat ini telah tercukupi, namun dalam
rangka
mendorong
dan
mangantisipasi
kebutuhan seiring pertumbuhan ekonomi,
pembangunan pembangkit listrik tetap harus
terus dilakukan. Berdasarkan survei yang
dilakukan Bank Indonesia kepada perusahaan
manufaktur,
didapatkan
hasil
bahwa
ketersediaan dan kemudahan akses energi listrik
di Jawa sudah cukup baik, namun frekuensi dan
lamanya listrik padam, untuk perusahaan yang
berada di luar kawasan industri dilaporkan masih
relatif tinggi.
b. Infrastruktur Non-fisik
Pemenuhan kapasitas dasar untuk non fisik,
utamanya bersumber pada kualitas SDM. Tenaga
kerja industri manufaktur di kawasan Jawa
didominasi oleh pekerja dengan tingkat
pendidikan SMA, diikuti oleh tingkat pendidikan
SD dan SMP, sehingga diperlukan adanya
peningkatan kualitas tenaga kerja dalam hal years
of schooling maupun kompetensi pendukung
lainnya. Mayoritas perusahaan manufaktur di
Jawa belum bekerjasama dengan lembaga
pendidikan vokasional meski saat ini telah berdiri
beberapa lembaga pendidikan vokasional di
Jawa.
13
Sumber: Sakernas, BPS 2016 (diolah)
conversion cycle (CCC) Indonesia merupakan
yang terendah di kawasan, atau termasuk efisien.
Namun rendahnya CCC tersebut tidak diikuti
dengan efisiensi dalam faktor produksi, dimana
14
COGS to Sales Indonesia merupakan yang
tertinggi di kawasan dengan return yang rendah.
Adapun dari sisi pendanaan, Weighted Average
15
Cost of Capital (WACC) di Indonesia merupakan
salah satu yang tertinggi di kawasan. Namun suku
bunga kredit korporasi masih lebih rendah dari
WACC meski hingga triwulan III 2016
pertumbuhan kredit industri pengolahan terus
mengalami perlambatan.
Grafik III.39. Pangsa Tenaga Kerja Industri Manufaktur
Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun 2016
Strategi Pengembangan
Tantangan pada SDM juga terkait dengan
mismatch kualifikasi dan skill tenaga kerja dengan
jenis pekerjaannya. Secara umum tenaga kerja
sektor garmen dan rokok di Jawa >50%
merupakan under qualified.
Sumber: Sakernas, BPS 2016 (diolah)
Grafik III.40. Labor Mismatch Subsektor Industri Jawa
Dari sisi kesiapan teknologi, Indonesia masih
tertinggal dibandingkan negara lain di kawasan.
Hal tersebut tercermin dari ketersediaan
teknologi terbaru dan internet bandwith yang
relatif di bawah negara peers. Sementara itu, dari
sisi kelembagaan, meski survei Ease of Doing
Busniness memberikan peringkat yang lebih baik
untuk Indonesia, masih terdapat tantangan
terkait adanya gap antara kebijakan pusat
dengan daerah.
Selanjutnya, dari sisi efisiensi terkait supply chain,
salah satu indikator yang tersedia yaitu cash
44
Dalam mempercepat transformasi industri
manufaktur untuk mewujudkan industrialisasi
Indonesia yang berdaya saing global, terdapat
tujuh strategi yang dapat dilakukan bagi industri
pengolahan di Jawa.
Pertama, integrasi industri dengan Global Value
Chain (GVC). Untuk mendorong pertumbuhan
industri manufaktur perlu dilakukan upaya
meningkatkan daya saing industri dengan tingkat
backward participation tinggi, seperti elektronika,
otomotif, produk besi dan baja, kimia, TPT dan
alas kaki, serta kertas & produk kertas.
Kedua, optimalisasi local chain yang efisien. Local
chain yang kompetitif dan efisien perlu
dioptimalkan untuk mendorong pertumbuhan
key industry di Jawa, seperti alat angkut,
petrokimia, kertas dan produk kertas, TPT dan
alas kaki, serta makanan dan minuman.
Ketiga, untuk mendorong integrasi GVC dan
ekspor, diplomasi perdagangan luar negeri perlu
dioptimalkan. Dalam kasus IJEPA, meskipun
secara bilateral neraca perdagangan Indonesia
13
CCC merupakan lama hari untuk mengkonversi resources
input menjadi kas, dimana semakin rendah mengindikasikan
semakin efisiennya perusahaan
14
COGS atau cost of good sold adalah beban pokok
perusahaan dalam memproduksi suatu unit
15
WACC adalah total cost of capital yang ditanggung
perusahaan dan terdiri dari rata-rata tertimbang dari suku
bunga utang dan return of equity.
defisit terhadap Jepang, namun neraca
perdagangan Indonesia untuk produk otomotif
tercatat surplus dengan total seluruh dunia.
Keempat, potensi BUMN industri strategis di
Jawa perlu dioptimalkan melalui pembentukan
holding untuk meningkatkan economies of scale,
kemampuan kinerja keuangan, dan spesialisasi
keahlian.
Kelima, dari sisi korporasi, strategi diversifikasi
perlu dilakukan untuk bersaing dalam era
kompetisi global dengan mempertimbangkan
karakteristik korporasi. Sebagai contoh, integrasi
vertical dapat dilakukan, yaitu memiliki lini bisnis
dari hulu ke hilir.
Keenam, peningkatan akses modal perbankan
Industri Kecil Menengah (IKM) perlu ditingkatkan
sesuai dengan karakteristik IKM.
Ketujuh, penguatan rantai pasok IKM, melalui
kemitraan dan pemanfaatan e-commerce untuk
meningkatkan efisiensi dalam proses distribusi
dan mendorong daya saing nasional.
45
“halaman ini sengaja dikosongkan”
46
Pada triwulan III 2016, pertumbuhan ekonomi Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang mencakup
wilayah Kalimantan, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan Papua mengalami peningkatan
menjadi 5,3% (yoy) dari triwulan sebelumnya sebesar 3,9%. Peningkatan tersebut terutama
didorong oleh membaiknya ekspor luar negeri komoditas pertambangan, industri dan pertanian
serta kenaikan realisasi investasi. Di sisi perkembangan harga, laju inflasi KTI menurun dari 4,26%,
(yoy) pada triwulan II menjadi 3,47% (yoy) terutama akibat kestabilan pasokan pangan yang
mampu merespon kenaikan permintaan di saat hari raya dan musim liburan.
Memasuki triwulan IV 2016, laju pertumbuhan ekonomi KTI diperkirakan melambat, akibat
penurunan net eskpor di sektor utama. Tren penurunan laju inflasi kembali berlanjut pada awal
triwulan IV 2016 yang ditandai dengan deflasi 0,19% pada Oktober 2016. Hingga akhir triwulan IV,
inflasi diprakirakan relatif terkendali pada kisaran 4,2-4,5% (yoy), meski masih terdapat risiko
naiknya permintaan menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru, dampak lanjutan fenomena La
Nina, serta rencana pemerintah melakukan penyesuaian beberapa harga komoditas strategis.
Untuk keseluruhan tahun 2016, ekonomi KTI diproyeksikan tumbuh melambat dibandingkan 2015
dikisaran 4,4-4,9%. Perlambatan pertumbuhan ekonomi disebabkan oleh penurunan kinerja ekspor,
investasi swasta dan konsumsi pemerintah. Namun, perlambatan lebih dalam ekspor tertahan oleh
perbaikan ekspor produksi sektor pertanian seperti ikan, kakao dan kelapa, serta alumina di wilayah
Kalimantan. Perekonomian KTI pada 2017 diprakirakan tumbuh meningkat pada range 4,6%-5,1%
(yoy). Perbaikan ekonomi KTI didukung oleh peningkatan ekspor pertambangan dan industri
pengolahan. Selain itu, diperkirakan terdapat perbaikan konsumsi pemerintah dan adanya
akselerasi investasi. Tekanan inflasi KTI di awal tahun 2017 diperkirakan meningkat dibandingkan
dengan tahun 2016. Tekanan terutama berasal dari komoditas administered prices, seiring
penyesuaian tarif listrik dan cukai rokok serta potensi kenaikan harga minyak dunia. Fenomena La
Nina yang diperkirakan masih akan berlanjut hingga awal tahun 2017 diperkirakan akan
berpengaruh pada produksi tabama, perkebunan dan perikanan serta gangguan distribusi barang
antar daerah.
Pertumbuhan Ekonomi
Perekonomian KTI pada triwulan III 2016 secara
agregat tumbuh 5,3% (yoy), lebih tinggi
dibandingkan triwulan sebelumnya. Peningkatan
pertumbuhan perekonomian KTI dipengaruhi
oleh meningkatnya ekspor luar negeri dan
investasi. Membaiknya ekspor luar negeri
terutama disebabkan oleh peningkatan ekspor
batubara dan tembaga ke Tiongkok. Selain itu,
perbaikan kinerja ekspor KTI juga didorong oleh
meningkatnya produksi pasca perbaikan mesin di
Papua. Perusahaan pertambangan tembaga di
47
provinsi tersebut berhasil mengoptimalkan
produksi untuk memenuhi kuota ekspor dan
target produksi di tahun 2016. Selain itu,
peningkatan harga komoditas selain tambang
juga mendorong perbaikan ekspor, antara lain,
kakao di Provinsi Sulawesi Tenggara, rumput laut
di Sulawesi Selatan dan produk perikanan di
wilayah Sulawesi, Maluku dan Papua Barat.
Sementara dari sisi investasi, kenaikan investasi
wilayah antara lain karena meningkatnya
investasi di Provinsi Sulawesi Barat dan
Kalimantan Barat. Peningkatan pertumbuhan
investasi Provinsi Sulawesi Barat disebabkan oleh
meningkatnya investasi Penanaman Modal Asing
(PMA). Berdasarkan data Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM), investasi PMA di
Sulawesi Barat mengalami lonjakan sangat tinggi
(15 kali lipat) yaitu dari USD0,75 juta pada
triwuan III 2015 menjadi USD12 juta.
Pertumbuhan tersebut jauh lebih tinggi
dibandingkan triwulan II 2016 yang meningkat
10,98 kali. Peningkatan tersebut didorong oleh
pembangunan PLTU Kalukku dengan kapasitas
2X25 MW yang ditujukan untuk kawasan industri.
Tabel IV.1. Pertumbuhan Ekonomi Daerah di KTI
Provinsi
Q3'15
Q2'16
Q3'16
Q4'16p
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Selatan
Sulawesi Barat
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Tengah
Gorontalo
Sulawesi Utara
Maluku
Maluku Utara
Papua
Papua Barat
Bali
NTB
NTT
4,55
6,87
3,92
-2,25
7,59
6,33
6,99
15,63
5,86
6,31
5,60
6,78
2,54
6,55
6,30
34,22
5,15
4,41
5,72
3,97
-0,91
8,04
4,80
6,83
15,51
5,40
6,14
6,32
5,67
-5,45
3,61
6,54
9,67
5,36
5,71
6,02
3,46
0,23
6,82
5,97
5,95
7,58
6,98
6,01
5,68
5,56
20,65
3,88
6,17
3,47
5,14
5,56
5,91
3,56
-0,87
7,15
7,60
6,46
9,49
5,94
6,42
6,00
5,72
22,31
4,72
6,26
-1,06
5,21
3,88
5,32
5,20
KTI
5,10
Sumber: BPS
p) Prakiraan Bank Indonesia
Di sisi lain, pertumbuhan konsumsi justru
melambat pada triwulan III. Hal ini disebabkan
oleh kembali normalnya kegiatan perdagangan
pasca Ramadhan-Lebaran. Perlambatan konsumsi
dikonfirmasi oleh hasil Survei Kegiatan Dunia
Usaha (SKDU) sektor perdagangan yang dilakukan
oleh Bank Indonesia (Grafik IV.1). Selain konsumsi
rumah tangga, konsumsi pemerintah juga
mengalami perlambatan akibat kebijakan
penghematan belanja, baik belanja Pemerintah
Pusat di daerah maupun belanja Pemerintah
Daerah secara mandiri.
Perekonomian KTI pada triwulan IV 2016, sesuai
dengan perkembangan berbagai indikator dan
hasil liaison mengindikasikan adanya sedikit
48
perlambatan. Ekonomi KTI diprakirakan tumbuh
5,2% (yoy), sedikit lebih rendah dibandingkan
triwulan III 2016 sebesar 5,3%(yoy). Secara
spasial, prakiraan melambatnya pertumbuhan
ekonomi terjadi hampir di seluruh provinsi di
wilayah KTI. Perlambatan kinerja ekonomi
dipengaruhi oleh kinerja ekspor, khususnya
ekspor komoditas sektor primer. Selain itu,
pertumbuhan investasi pemerintah diprakirakan
melambat akibat kebijakan penundaan transfer
DAU. Namun, pertumbuhan konsumsi rumah
tangga diprakirakan dapat menahan perlambatan
ekonomi lebih dalam.
Grafik IV.1. Realisasi SKDU Sektor Perdagangan
Ekspor KTI diperkirakan melambat pada
triwulan IV 2016. Beberapa harga komoditas
utama, seperti CPO, LNG dan produk kayu
diperkirakan akan mengalami pelemahan. Secara
spasial, Provinsi Kalimantan Timur, sebagai salah
satu produsen utama komoditas-komoditas
tersebut, ekspornya diperkirakan kembali
mengalami kontraksi. Selain itu, berdasarkan
hasil liaison, ekspor tembaga dari Provinsi Nusa
Tenggara Barat diperkirakan juga menurun.
Kebijakan Pemerintah terkait penundaan
transfer ke daerah berpotensi menjadi
penyebab turunnya kinerja investasi fisik
Pemerintah. Kebijakan untuk melakukan
penundaan DAU yang dilakukan pada triwulan III
2016 menyebabkan melemahnya kinerja
investasi Pemerintah, baik belanja Pemerintah
Daerah maupun belanja Pemerintah Pusat di
daerah. Peningkatan investasi swasta, khususnya
PMA di Sulawesi Selatan akan menahan
perlambatan investasi secara keseluruhan di KTI.
Di sisi pengeluaran, konsumsi rumah tangga
diperkirakan meningkat pada triwulan IV.
Peningkatan akitivitas konsumsi rumah tangga
terutama dipengaruhi oleh peningkatan aktivitas
pariwisata karena libur panjang akhir tahun.
Peningkatan kinerja pariwisata, khususnya akan
terjadi di Bali, baik oleh wisawatan domestik
maupun mancanegara. Optimisme tersebut
tercermin dari keyakinan konsumen yang masih
tinggi dan cenderung sedikit meningkat (Grafik
IV.2).
komoditas tidak hanya menjadi disinsentif bagi
kinerja ekspor KTI, namun juga memberikan
dampak pada penurunan Dana Bagi Hasil (DBH)
yang diterima Pemerintah Daerah sehingga
aktivitas
konsumsi
pemerintah
daerah
diprakirakan
cenderung
tertahan.
Selain
penurunan DBH, kebijakan Pemerintah untuk
melakukan penundaan DAU juga memberikan
dampak pada perlambatan konsumsi pemerintah.
Kinerja Lapangan Usaha
Pertanian
Grafik IV.2. Indeks Keyakinan Konsumen
Secara keseluruhan, pada tahun 2016
perekonomian KTI diprakirakan melambat dari
5,2% (yoy) di 2015, menjadi dikisaran 4,4-4,9%.
Secara spasial, perlambatan ekonomi terjadi di
wilayah Sulampua dan Balinusra. Sementara
wilayah Kalimantan diperkirakan cenderung
membaik. Perlambatan pertumbuhan ekonomi
disebabkan oleh penurunan kinerja ekspor,
sejalan dengan rendahnya harga komoditas
pertambangan. Hal ini juga mengakibatkan
produksi pertambangan utama seperti minyak
bumi, nikel dan tembaga tercatat mengalami
penurunan. Namun penurunan kinerja ekspor
lebih lanjut, tertahan oleh perbaikan ekspor dari
hasil produksi sektor pertanian seperti ikan,
kakao dan kelapa, serta alumina di wilayah
Kalimantan.
Selain ekspor, melambatnya pertumbuhan
ekonomi di 2016, juga dipengaruhi oleh
investasi swasta dan konsumsi pemerintah. Hasil
liaison menunjukan bahwa pelaku usaha
cenderung menahan investasi karena permintaan
masih mengalami penurunan. Rendahnya harga
49
Pada triwulan III 2016, pertumbuhan lapangan
usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan
mengalami akselerasi dari 2,3% (yoy) menjadi
4,0% (yoy). Secara spasial, perbaikan terjadi di
semua wilayah di KTI, antara lain peningkatan
ekspor kakao di Sulawesi Tenggara, perikanan
tangkap di Sulawesi, Maluku dan Papua Barat dan
rumput laut di Sulawesi Selatan, serta
meningkatnya produksi CPO pasca berkurangnya
dampak El Nino yang terjadi di tahun 2015 di
Kalimantan.
Memasuki triwulan IV 2016, kinerja lapangan
usaha pertanian diprakirakan melambat.
Perlambatan
lapangan
usaha
Pertanian
diprakirakan akan melanda wilayah Kalimantan
dan Sulampua. Fenomena La Nina menjadi
penghambat utama pertumbuhan di lapangan
usaha pertanian, baik untuk komoditi tabama
khususnya di Sulawesi Selatan, maupun komoditi
perkebunan di Kalimantan Barat dan Kalimantan
Tengah. Indikasi perlambatan terkonfirmasi dari
menurunnya realisasi dan proyeksi penjualan
yang tercermin pada likert scale triwulan IV 2016
(Grafik IV.3).
Secara
keseluruhan,
sektor
pertanian
diprakirakan masih mengalami perlambatan
pada 2016. Perlambatan tersebut terjadi karena
dampak dari El Nino yang membuat produksi
tabama dan perkebunan tidak optimal. Secara
spasial, perlambatan terjadi di semua wilayah
KTI, baik Kalimantan, Balinusra maupun
Sulampua. Selain itu, rendahnya harga komoditas
internasional juga memberikan tekanan bagi
produksi di sektor pertanian selama 2016.
ekspor tembaga dari NTB dan belum keluarnya
izin ekspor di bulan November (Grafik IV.5).
Sumber: Bank Indonesia
Sumber: Produsen, diolah
Grafik IV.3. Likert Scale Realisasi dan Proyeksi Penjualan
Grafik IV.4. Produksi Mineral Papua
Pertambangan
Pertumbuhan lapangan usaha pertambangan
kembali mengalami peningkatan pada triwulan
III 2016. Sektor pertambangan di KTI kembali
tumbuh positif sebesar 4,5% (yoy) setelah sempat
mencatat pertumbuhan negatif 3,3% (yoy) pada
triwulan
sebelumnya.
Secara
spasial,
membaiknya kinerja pertambangan terutama
terjadi di Kalimantan dan Papua akibat
peningkatan permintaan global terhadap
batubara. Peningkatan itu dipicu berkurangnya
pasokan dalam negeri di Tiongkok sebagai
dampak pengurangan jam kerja. Hal ini
menyebabkan perbaikan harga sepanjang
triwulan III 2016 serta mendorong peningkatan
ekspor batubara dari Kalimantan. Selain itu,
kinerja pertambangan mineral tembaga di Papua
meningkat pasca perbaikan mesin produksi,
sehingga produsen mengoptimalkan produksi
untuk mengejar target dan kuota ekspornya
(Grafik IV.4).
Pada triwulan IV 2016, pertumbuhan
pertambangan diprakirakan akan menurun.
Peningkatan ekspor batubara dari Kalimantan
pada triwulan III diperkirakan bersifat temporer
dan akan mulai tertahan akibat membaiknya
pasokan domestik batubara di Tiongkok setelah
kembali normalnya jam kerja. Selain itu,
perbaikan kinerja pertambangan mineral di
Papua
relatif
bersifat
sementara,
mempertimbangkan terbatasnya sisa kuota
50
Sumber: World Bank
Grafik IV.5. Harga Komoditas Mineral
Pertumbuhan sektor pertambangan sepanjang
tahun
2016
diperkirakan
melambat
dibandingkan dengan tahun 2015. Perlambatan
tersebut antara lain disebabkan oleh penurunan
produktivitas lifting migas 2016, produksi
pertambangan utama lainnya seperti nikel di
Sulawesi dan tembaga di Nusa Tenggara juga
mengalami penurunan.
Industri
Pertumbuhan
lapangan
usaha
industri
pengolahan mengalami perlambatan pada
triwulan III 2016, dari 6,3% (yoy) pada triwulan
sebelumnya, menjadi 6,0% (yoy). Hal ini antara
lain disebabkan oleh perlambatan kinerja industri
makanan olahan di Sulawesi dan Nusa Tenggara
pasca periode Lebaran akibat kembali normalnya
permintaan, kinerja industri kayu dan nikel
olahan yang juga masih tertahan, serta kontraksi
industri pengolahan ikan maupun kelapa sawit di
Sulawesi Barat akibat keterbatasan bahan baku
untuk produksi. Namun kedepan, terdapat
potensi perbaikan sektor industri yang ditandai
oleh mulai beroperasinya hilirisasi tambang di
Kalimantan, khususnya peningkatan produksi
smelter alumina dan penambahan kapasitas
industri semen.
Pada triwulan IV 2016, pertumbuhan industri
pengolahan diprakirakan meningkat. Prakiraan
membaiknya kinerja lapangan usaha Industri
tersebut bersumber dari rencana akan mulai
berproduksinya pabrik gula (Dompu, NTB),
perbaikan kinerja industri makanan olahan dan
industri feronikel (Sulawesi) serta peningkatan
produksi
LNG
(Sulawesi
Tengah)
yang
diprakirakan akan mencapai kapasitas utilisasi
maksimal sejalan dengan upaya pemenuhan
kuota ekspor. Hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha
(SKDU) juga mengindikasikan terjadinya kenaikan
kegiatan/realisasi usaha dan investasi pada
triwulan IV 2016. Potensi risiko adalah tingkat
harga komoditas yang masih belum stabil (LNG
dan CPO).
dan tetap pada level ekspansif hingga Oktober
2016.
Konstruksi
Pada triwulan III 2016, lapangan usaha
konstruksi tumbuh meningkat dibandingkan
dengan triwulan II 2016, dari 4,5% (yoy) menjadi
5,2% (yoy). Hal ini didorong oleh realisasi
berbagai proyek strategis Pemerintah di
Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Papua
yang terus membaik, seperti peningkatan
kapasitas jalan, jembatan, perbaikan irigasi,
perbaikan jalan akses antara kota ke bandara,
serta pembangunan fasilitas umum seperti
rumah sakit dan rel kereta api. Namun memasuki
triwulan IV 2016, kinerja konstruksi diprakirakan
melambat, terkait dengan berkurangnya sumber
pendanaan proyek-proyek pemerintah yang
dibiayai anggaran Provinsi dan Kab/Kota.
Sumber : Liaision, Bank Indonesia
Grafik IV.7. Likert Scale Harga Jual Sektor Bangunan
Sumber : SKDU, Bank Indonesia
Grafik IV.6. Kondisi Usaha Industri Pengolahan
Secara keseluruhan tahun 2016, lapangan usaha
industri pengolahan diprakirakan akan tumbuh
meningkat. Secara spasial, penguatan tersebut
terjadi di Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan,
khsusnya seiring dengan mulai beroperasinya
smelter alumina baru dan beroperasinya pabrik
pupuk urea. Potensi perbaikan juga didukung
dengan masih kuatnya permintaan eksternal
untuk komoditas hasil industri yang tercermin
dari Purchasing Managers’ Index (PMI) di AS,
Tiongkok, dan Eropa yang masih terus meningkat
51
Kinerja lapangan usaha konstruksi sepanjang
tahun 2016 tumbuh lebih lambat dibandingkan
tahun 2015. Secara spasial, keterbatasan
kapasitas fiskal daerah akibat berkurangnya
alokasi dana bagi hasil (DBH) seiring melemahnya
harga komoditas, mendorong perlambatan
pertumbuhan lapangan usaha konstruksi di
semua wilayah KTI. Selain itu, langkah efisiensi
Pemerintah melalui penundaan dana alokasi
umum (DAU) juga semakin membatasi ruang
fiskal di daerah. Namun demikian, kinerja
kontruksi secara umum tetap tumbuh positif
karena masih berjalannya proyek-proyek
strategis multiyears.
Perdagangan
Pada triwulan III 2016, pertumbuhan lapangan
usaha perdagangan di KTI mengalami
perlambatan, dari 7,3% (yoy) pada triwulan
sebelumnya menjadi 6,9% (yoy). Secara spasial,
perlambatan terjadi di wilayah Kalimantan
terutama di Kalimantan Timur dan Kalimantan
Barat serta Balinusra. Perlambatan sektor
perdagangan
dipengaruhi
oleh
lesunya
perdagangan komoditas, yang terindikasi dari
kenaikan stok pertanian dan pertambangan.
Selain itu, perlambatan sektor perdagangan juga
dipengaruhi oleh aktivitas konsumsi pemerintah
yang turun cukup signifikan.
Sumber : Liaison Bank Indonesia
Grafik IV.8. Likert Scale Investasi
Pada triwulan IV 2016, lapangan usaha
perdagangan diprakirakan masih dalam tren
perlambatan. Secara spasial, perlambatan
diperkirakan terjadi di wilayah Sulampua akibat
masih
lesunya
perdagangan
komoditas.
Sementara di wilayah Balinusra, pertumbuhan
sektor perdagangan cenderung stabil pada level
tinggi yang didukung oleh peningkatan kinerja
pariwisata. Berbagai kebijakan pro-tourism
menjadi pendorong tingginya pertumbuhan
sektor perdagangan Balinusra.
Secara keseluruhan, kinerja lapangan usaha
perdagangan 2016 mengalami peningkatan.
Peningkatan sektor perdagangan diprakirakan
terjadi di wilayah Sulampua dan Balinusra,
sementara di wilayah Kalimantan cenderung
stabil. Peningkatan pada sektor perdagangan
sejalan dengan akselerasi konsumsi rumah
tangga yang terkonfirmasi oleh hasil liaison dan
52
SKDU Bank Indonesia yang meningkat dibanding
tahun 2015.
Perkembangan Inflasi
Laju inflasi KTI triwulan III 2016, menurun
dibandingkan triwulan sebelumnya, dari 4,26%
(yoy) menjadi 3,47% (yoy). Hal ini disebabkan
oleh terkendalinya inflasi volatile foods dan inflasi
inti (core inflation). Bertambahnya supply
komoditas pangan akibat panen beras dan
komoditi hortikultura di sejumlah daerah mampu
menahan tekanan inflasi volatile foods meski di
tengah tekanan permintaan di hari raya dan
musim liburan. Sementara inflasi inti relatif stabil
di dukung oleh minimalnya tekanan imported
inflation seiring dengan nilai tukar yang
terkendali.
Sementara
itu,
komponen
administered prices mencatat peningkatan
sepanjang triwulan III 2016 terutama untuk
komoditas angkutan udara. Tingginya permintaan
pada periode hari besar keagamaan dan liburan
menjadi salah satu penyebab naiknya inflasi
angkutan udara di KTI.
Secara spasial, inflasi triwulan III 2016 di
sebagian besar provinsi di KTI masih tetap
terjaga pada kisaran sasaran inflasi nasional.
Inflasi tahunan terendah terjadi di Sulawesi Utara
(2,28% yoy), Gorontalo (2,77% yoy) dan Maluku
(2,90% yoy). Rendahnya inflasi di daerah tersebut
terutama disebabkan oleh kecukupan pasokan
pangan di tengah permintaan yang cukup
moderat pada periode hari raya dan musim
liburan.
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik IV.9. Perkembangan Inflasi Spasial KTI
Mengawali triwulan IV 2016, pada Oktober 2016
KTI mencatat deflasi 0,12% (mtm). Deflasi pada
periode lebaran dan musim liburan ini berbeda
dengan pola historis dalam 3 tahun terakhir yang
selalu mengalami inflasi dengan rata-rata 0,53%
(mtm). Penyumbang utama deflasi Oktober 2016
adalah beberapa komoditas pangan seperti
bawang merah, daging ayam ras dan cabai rawit
serta tarif ponsel dan emas perhiasan.
kebutuhan pokok dan tarif angkutan yang
disebabkan oleh meningkatnya permintaan
menjelang Natal dan Tahun Baru. Di samping itu,
risiko dari nilai tukar Rupiah yang kembali
mengalami depresiasi berpotensi mempengaruhi
harga imported inflation meski dampaknya relatif
minim.
Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia
Grafik IV.12. Ekspektasi Harga Konsumen
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik IV.10. Perkembangan Disagregasi Inflasi KTI
Sumber: Survei Pemantauan Harga Bank Indonesia
Grafik IV.11. Perkembangan Harga Beberapa Komoditas
Secara kumulatif, inflasi di hampir seluruh
provinsi di KTI masih berada di bawah 2% (ytd)
sehingga di akhir tahun diprakirakan berada
dalam rentang sasaran 4%±1% (yoy). Kondisi
tersebut sejalan dengan perkembangan harga
terkini yang menunjukkan inflasi masih relatif
terkendali. Namun masih terdapat risiko yang
perlu diwaspadai, khususnya dari gangguan
pasokan dan distribusi komoditas pertanian dan
perikanan tangkap sebagai dampak fenomena La
Nina pada periode pertengahan triwulan. Di akhir
triwulan, tekanan inflasi diprakirakan akan
kembali meningkat khususnya pada barang
53
Mempertimbangkan berbagai risiko tersebut,
secara tahunan inflasi KTI pada triwulan IV 2016
diperkirakan sebesar 3,22% (yoy), lebih rendah
dibandingkan periode sebelumnya maupun
tahun 2015. Prakiraan tingkat inflasi yang rendah
tersebut juga tidak terlepas dari berbagai upaya
pengendalian inflasi yang telah dilaksanakan
sebagaimana arahan Presiden pada Rapat
Koordinasi Nasional (Rakornas) VII Tim
Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) dan
kesepakatan bersama, yang di antaranya
mencakup: (i) program perluasan dan terobosan
stabilisasi harga yang didukung oleh alokasi
anggaran yang memadai melalui perumusan
program stabilisasi harga yang mengacu pada
roadmap pengendalian inflasi sebagai salah satu
sasaran pembangunan dalam Rencana Kerja
Pembangunan Daerah (RKPD); (ii) percepatan
pembangunan infrastruktur daerah yang dapat
mendukung kelancaran distribusi pangan yang
ditindaklanjuti melalui dukungan Pemda berupa
pembangunan fasilitas infrastruktur untuk
mendukung program tol udara; (iii) memperkuat
kerjasama antar daerah serta perluasan
kelembagaan TPID; serta (iv) penguatan
koordinasi dan kebijakan untuk memastikan
ketersediaan dan keterjangkauan pangan bagi
masyarakat dengan memperkuat peran Bulog
dan BUMD pangan sebagai stabilator harga di
daerah.
Stabilitas Keuangan Daerah
sumber kerentanan tersebut, kemampuan bayar
rumah tangga dinilai masih cukup baik yang
didukung oleh penurunan level DSR rumah
tangga.
Identifikasi & Pengukuran Sumber Kerentanan
Secara keseluruhan, sumber kerentanan dari sisi
eksternal tetap perlu mendapatkan perhatian
karena tingginya pangsa ekspor KTI yang
berbasis komoditas SDA. Belum pulihnya
perekonomian dunia di tengah persaingan pasar
yang semakin ketat, membuat permintaan ekspor
melemah. Dari sisi domestik, adanya penundaan
DAU berpotensi memberi tekanan tersendiri bagi
sistem keuangan di daerah. Namun demikian,
perkembangan kurs, suku bunga dan inflasi dinilai
masih dalam kondisi yang baik.
Sejalan dengan masih rendahnya harga dan
permintaan, kinerja keuangan korporasi terbuka
di KTI yang berbasis komoditas turut melemah.
Pelemahan terutama terjadi pada korporasi
dengan komoditas migas, batubara, dan produk
logam di Kalimantan dan Sulampua. Meski
demikian, kemampuan bayar di semua industri
KTI dinilai masih berada dalam level yang baik,
kecuali pada korporasi produk logam.
Sumber: Survei Konsumen, Bank Indonesia
Grafik IV.13. Indeks Penghasilan Saat Ini
Ketahanan Sektor Korporasi
Seiring tertekannya kinerja keuangan korporasi
terbuka, khususnya tambang, intermediasi serta
kualitas kredit perbankan kepada sektor
korporasi turut menunjukkan perlambatan pada
triwulan III 2016. Dengan kondisi korporasi
terbuka yang belum membaik secara signifikan,
perbankan dinilai tetap berhati-hati dalam
melakukan penyaluran kredit, khususnya ke
sektor pertambangan.
Tabel IV.2. Kinerja Keuangan Korporasi Terbuka
ROA (%)
DER (%)
CR (%)
ICR
DSR
Wilayah
Q1
Q2
Q1
Q2
Q1
Q2
Q1
Q2
Q1
Q2
Kalimantan -4.7
-4.1
2.0
2.0
0.7
0.7
1.6
1.4 305.3 300.3
Balinusra
3.8
3.8
0.5
0.6
1.5
1.2
9.9
8.7
Sulampua
-2.1
-2.2
1.0
1.0
1.4
1.3
0.1
-0.3 352.9 399.8
51.9 49.2
Sumber: Bloomberg (diolah)
Penurunan
aktivitas
korporasi
berbasis
komoditas tidak berpengaruh
signifikan
terhadap kinerja keuangan rumah tangga di KTI,
yang tercermin dari masih cukup baiknya indeks
penghasilan dan kemampuan bayar saat ini.
Indeks penghasilan KTI saat ini tercatat masih
cukup baik, yaitu di atas 100 poin. Adapun
terdapat sumber kerentanan yang didorong
pesimisme konsumen terhadap kemampuannya
untuk memenuhi kebutuhan serta adanya
perkiraan peningkatan posisi pinjaman. Di tengah
54
Sumber: Bank Indonesia
Grafik IV.14. Pertumbuhan Kredit Sektor Korporasi
Pertumbuhan kredit korporasi pada triwulan III
2016 tumbuh melambat dari 7,12% (yoy)
menjadi 4,18% (yoy). Fenomena perlambatan
yang dialami, terjadi baik pada kredit modal kerja
maupun kredit investasi. Secara spasial,
perlambatan terjadi baik di Sulampua, Balinustra
maupun Kalimantan. Bahkan, kredit di
Kalimantan pada periode laporan tercatat -0,92%
(yoy).
Perlambatan terjadi hampir di seluruh sektor
penerima kredit. Masih lemahnya aktivitas di
korporasi
tercermin
dari
melambatnya
permintaan kredit di sektor primer. Bahkan,
kredit
sektor
pertambangan
mengalami
pertumbuhan negatif hingga mencapai -17,01%
(yoy). Demikian pula di sektor tersier dan
sekunder permintaan kredit masih lemah.
Perlambatan juga diikuti dengan kenaikan risiko.
Selain permintaan kredit yang lemah, kualitas
kredit juga mengalami penurunan di tengah
rendahnya permintaan komoditas global. NPL
tercatat meningkat dari 5,96% menjadi 6,16%.
Secara sektoral, peningkatan NPL disebabkan
oleh sektor pertambangan, industri dan
perdagangan. Tingkat NPL korporasi yang sudah
berada di atas batas indikatif 5% didorong oleh
NPL sektor tambang (14,32%), industri (10,11%),
konstruksi (8,06%) dan perdagangan (5,45%).
Secara spasial, beberapa provinsi yang tercatat
memiliki angka NPL di atas 5% adalah Bali
(5,85%), Sulsel (5,53%), Papua (12,51%), Kalbar
(7,45%), dan Kaltim (9,13%).
Tabel IV.3. Pertumbuhan dan NPL Kredit Sektoral
Korporasi
Sektor
Total
Pertanian
Perikanan
Tambang
Industri
Konstruksi
Perdagangan
Akmamin
2015
7.23
7.40
7.44
-11.62
28.56
14.09
10.56
19.12
Growth % yoy
2016
I
II
7.06 7.12
10.00 7.31
5.09 6.56
-10.82 -6.23
21.41 18.41
8.87 8.33
9.19 11.59
23.90 19.51
III
4.18
10.02
-10.20
-17.01
15.93
7.58
3.17
17.67
2015
4.98
1.02
1.66
7.67
6.78
7.58
4.74
2.62
% NPL
2016
I
II
III
5.10 5.96 6.16
0.63 0.62 0.59
1.65 0.24 0.37
8.39 12.58 14.32
7.12 9.31 10.11
8.35 8.19 8.06
4.71 4.60 5.45
4.40 4.72 4.67
Sumber: Bank Indonesia
Lesunya aktivitas juga membuat DPK sektor
korporasi melambat dari 10,91% (yoy) menjadi
7,25% (yoy). Perlambatan penghimpunan dana
disebabkan oleh perlambatan tabungan dan
kontraksi giro. Di sisi lain, pertumbuhan deposito
mengalami percepatan dari 5,06% (yoy) menjadi
15,19% (yoy). Secara spasial, perlambatan
penghimpunan DPK terjadi baik di Sulampua,
Balinusra maupun Kalimantan.
55
Sumber: Bank Indonesia
Grafik IV.15. Pertumbuhan DPK Sektor Korporasi
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
Di tengah kondisi korporasi yang tertekan,
kinerja kredit rumah tangga masih dapat terjaga
dengan adanya peningkatan pertumbuhan dan
tingkat NPL yang masih rendah. Meski demikian,
perubahan stance kebijakan moneter melalui
pelonggaran LTV dan FTV serta adanya
kecenderungan penurunan suku bunga belum
secara signifikan mendorong pertumbuhan kredit
akibat daya beli yang masih belum kuat. Secara
spasial, perlambatan terjadi di Kalimantan dan
Balinusra, sementara kredit rumah tangga di
Sulampua tumbuh tinggi dengan tren meningkat.
Kredit rumah tangga meningkat dari 9,74% pada
triwulan II 2016 menjadi 9,83% pada triwulan III
2016. Akselerasi penyaluran kredit rumah tangga
utamanya disumbang oleh kredit multiguna yang
meningkat dari 14,03% menjadi 17,19%. Namun,
pertumbuhan yang lebih tinggi tertahan oleh
perlambatan kredit perumahan dan kredit
kendaraan bermotor (KKB) yang tumbuh
melambat.
Penyaluran KPR melambat di semua tipe rumah.
Rumah tipe ≤21 turun dari 1,88% (yoy) menjadi 3,31% (yoy). Demikian pula rumah tipe >70 turun
dari 3,31% (yoy) menjadi -2,41% (yoy). Di sisi lain,
kredit rumah tipe menengah, yakni 22 s.d 70
masih tetap tumbuh tinggi walaupun melambat
dari 12,23% (yoy) menjadi 10,98% (yoy).
Risiko kredit rumah tangga masih terjaga meski
sedikit meningkat. Rasio NPL untuk kredit rumah
tangga tercatat meningkat ke level 1,73% atau
sedikit lebih tinggi dari triwulan sebelumnya
senilai 1,65%. Kenaikan risiko kredit didorong
oleh kredit perumahan, sedangkan KKB dan
multiguna tercatat tidak setinggi sebelumnya.
Kenaikan NPL perumahan tidak lepas dari situasi
makroekonomi di KTI yang belum sepenuhnya
pulih. Secara spasial, kenaikan NPL terjadi di
semua wilayah dengan tingkat NPL tertinggi
berada di Kalimantan sebesar 2,27% yang diikuti
oleh Sulampua sebesar 1,73% dan Balinusra
sebesar 1,08%.
Tabel IV.4. Pertumbuhan dan NPL Kredit RT
Jenis & Pulau
Total Kredit RT
Pertumbuhan (% yoy)
NPL (%)
Q1'15 Q3'15 Q2'16 Q3'16 Q3'15 Q2'16 Q3'16
13.08
11.42
9.74
9.83
1.68
1.65
1.73
Jenis Kredit Rumah Tangga
KPR+KPA
11.05
8.71
7.95
5.16
3.10
3.24
3.69
Tipe ≤ 21
2.44
2.38
1.88
-3.31
1.96
1.84
2.18
Tipe 22 sd 70
13.58
11.25
12.23
10.98
3.25
3.20
3.57
Tipe > 70
14.01
8.23
3.31
-2.41
3.29
3.85
4.33
27.72
4.73
-15.81 -15.90
1.80
1.99
1.76
Roda 4
31.99
9.92
-15.36 -19.11
1.28
1.19
1.52
Roda 2
21.16
11.07
-9.98
-13.73
4.60
6.03
2.33
Multiguna
46.13
33.64
14.03
17.19
1.07
1.00
0.97
KKB
Spasial Kredit Rumah Tangga
Kalimantan
31.99
9.61
6.49
5.27
2.02
2.06
2.27
Sulampua
21.16
11.75
10.97
12.58
1.84
1.69
1.73
Balinusra
46.13
13.10
11.36
9.87
0.90
1.05
1.08
Sistem Pembayaran dan Pengelolaan
Uang Rupiah
Sistem Pembayaran Non Tunai
Jumlah transaksi kliring melalui Sistem Kliring
Nasional Bank Indonesia (SKNBI) pada triwulan
III 2016 tetap tumbuh tinggi. Volume transaksi
SKNBI tercatat mencapai 2,3 juta transaksi
dengan nominal Rp86 triliun. Sekalipun
melambat dibanding triwulan sebelumnya yang
mencapai 102,27% (yoy), nominal transaksi
tersebut masih mencatatkan pertumbuhan yang
tinggi yaitu sebesar 49,98% (yoy). Fenomena
perlambatan terjadi di semua wilayah akibat
adanya perubahan preferensi masyarakat setelah
turunnya minimum transaksi RTGS dari Rp500
juta menjadi Rp100 juta mulai 1 Juli 2016.
Berdasarkan wilayahnya, nominal transaksi RTGS
cenderung berimbang di ketiga wilayah, yakni
Sulampua 38,62%, Kalimantan 32,58% dan
Balinusra 28,79%.
Sumber: Bank Indonesia
Sumber: Bank Indonesia
Grafik IV.17. Nominal Transaksi SKNBI
Sumber: Bank Indonesia
Grafik IV.16. Pertumbuhan DPK Perseorangan
Pada sisi DPK, penghimpunan DPK perseorangan
melambat dari 13,04% (yoy) menjadi 9,88%
(yoy) sejalan dengan melambatnya DPK sektor
korporasi dan terbatasnya kenaikan pendapatan
rumah tangga. Perlambatan penghimpunan DPK
disebabkan oleh perlambatan tabungan. Di sisi
lain, giro dan deposito mengalami percepatan
pertumbuhan. Secara spasial, perlambatan
terjadi baik di Sulampua, Balinusra maupun
Kalimantan.
56
Pengelolaan Uang Rupiah
Pada triwulan III 2016, wilayah KTI mengalami
net-inflow sebesar Rp5,84 triliun. Net-inflow di
triwulan III berbeda dengan pola historisnya,
yang disebabkan pergeseran Idul Fitri ke triwulan
II 2016. Fenomena ini terjadi di semua wilayah
KTI, yakni Kalimantan, Balinusra dan Sulampua.
Pada triwulan III 2016, pemusnahan uang yang
dilakukan Bank Indonesia dalam rangka
menjaga ketersediaan uang layak edar mencapai
Rp8,62 triliun. Angka tersebut setara dengan
25,14% terhadap inflow uang kartal. Tingginya
rasio
tersebut
dibandingkan
historisnya
menunjukkan komitmen Bank Indonesia untuk
menjaga kualitas uang yang beredar di
masyarakat terus meningkat.
Sumber: Bank Indonesia
Grafik IV.18. Perkembangan Aliran Uang Kartal
didukung oleh penguatan koordinasi dengan
perbankan dan pihak berwajib mengenai
penanganan laporan masyarakat terkait uang
yang diragukan keasliannya.
Sumber: Bank Indonesia
Grafik IV.21. Perkembangan Temuan Uang Palsu
Prospek Perekonomian
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Sumber: Bank Indonesia
Grafik IV.19. Posisi Aliran Uang Kartal Per Provinsi
Sumber: Bank Indonesia
Grafik IV.20. Perkembangan Aliran Uang Kartal
Jumlah uang palsu (atau yang diragukan
keasliannya) yang dilaporkan kepada Bank
Indonesia pada triwulan ketiga tahun 2016
tercatat sebanyak 2.325 lembar, turun
dibandingkan triwulan sebelumnya yang
mencapai 3.284 lembar. Upaya mengantisipasi
peningkatan uang palsu melalui edukasi kepada
masyarakat terkait ciri-ciri keaslian uang Rupiah
akan senantiasa ditingkatkan guna menekan
peredaran uang palsu. Hal tersebut juga akan
57
Dibandingkan pada 2016, perekonomian KTI
pada 2017 diprakirakan tumbuh meningkat
pada range 4,6%-5,1% (yoy). Secara spasial,
kenaikan pertumbuhan didorong oleh Kalimantan
dan Balinusra, sementara Sulampua cenderung
melambat. Secara umum, peningkatan tersebut
didorong oleh peningkatan di sektor utama yang
mendorong ekspor serta diiringi oleh perbaikan
kapasitas fiskal.
Dari sisi permintaan, perbaikan ekonomi KTI
didukung oleh peningkatan semua komponen
permintaan. Perbaikan utamanya didorong oleh
komoditas pertambangan seperti batubara, dan
komoditi industri seperti CPO dan olahan mineral
sehingga ekspor meningkat. Selain itu, kenaikan
ekspor juga didorong oleh pembebasan visa yang
mendorong sektor pariwisata. Kenaikan sektor
utama tambang memberikan implikasi pada
peningkatan Dana Bagi Hasil (DBH) dan pada
akhirnya konsumsi Pemerintah. Konsumsi
Pemerintah juga didorong oleh momen Pilkada
serentak. Sejalan dengan perbaikan permintaan
swasta dan perbaikan ruang fiskal, investasi juga
diperkirakan terakselerasi. Fenomena tersebut
terkonfirmasi oleh likert scale investasi yang
menunjukkan adanya perbaikan pada tahun
2017. Perbaikan di ekspor dan konsumsi serta
investasi berujung pada kenaikan daya beli
masyarakat KTI. Selain itu, turunnya suku bunga
juga akan mendorong peningkatan konsumsi
masyarakat yang terkonfirmasi dari kenaikan
likert scale penjualan sektor perdagangan di
tahun 2017.
Akselerasi di sisi sektoral terutama di dorong
oleh membaiknya produksi pada sektor
perkebunan,
pertambangan,
industri
pengolahan
serta
sektor
pariwisata.
Beroperasinya pembangkit listrik di di beberapa
negara ASEAN seperti di Malaysia dan Vietnam
menjadi pendorong permintaan terhadap
komoditas batubara di Kalimantan. Produksi
mineral juga diperkirakan meningkat sejalan
dengan beroperasinya smelter alumina dan
kenaikan harga komoditas internasional. Kinerja
industri pengolahan meningkat sejalan dengan
operasionalisasi smelter nikel dan pengolahan
produksi ammonia di Sulawesi Tengah.
Sementara, sektor pendukung pariwisata tumbuh
sejalan
dengan
optimisme
perbaikan
pertumbuhan ekonomi global.
Di tengah proyeksi perekonomian KTI yang
tumbuh moderat pada tahun 2017, beberapa
faktor risiko baik dari sisi eksternal maupun
internal masih perlu mendapat perhatian. Dari
sisi eksternal, kondisi pemulihan ekonomi global
yang berjalan tidak sesuai ekspektasi sebelumnya
sehingga berisiko menurunkan harga beberapa
komoditas ekspor terutama energi serta memberi
pengaruh negatif pada kinerja ekspor dan
investasi di KTI. Sementara itu, dari sisi internal,
dampak lanjutan La Nina yang diperkirakan
berlangsung hingga awal triwulan II 2017
berpotensi mengganggu produksi pada lapangan
usaha pertanian, perkebunan dan perikanan.
Selain itu, terdapat risiko kebijakan peningkatan
alokasi DMO, sementara serapan domestik masih
belum kuat, demikian pula ekspor komoditas
mentah yang akan dihentikan sepenuhnya pada
Januari 2017 diperkirakan akan berimbas pada
pelemahan ekspor. Di sisi lain, kondisi fiskal
pemerintah yang masih terbatas serta adanya
58
pengeluaran untuk Pilkada 2017 berpotensi
menahan investasi swasta dan menggeser jadwal
realisasi pembangunan infrastruktur.
Prospek Inflasi
Tekanan inflasi KTI di awal tahun 2017
diperkirakan
mengalami
peningkatan
dibandingkan dengan tahun 2016. Proyeksi laju
inflasi tahunan KTI untuk tahun 2017 berada
pada kisaran 4,2%-4,5% (yoy). Tren peningkatan
terutama disebabkan oleh inflasi volatile food
dan inflasi inti. Terkait inflasi volatile food,
fenomena La Nina diperkirakan masih akan
berlanjut hingga awal tahun 2017 yang
berpengaruh pada produksi tabama, perkebunan
dan perikanan serta gangguan distribusi barang
antar daerah. Sementara itu, inflasi inti akan
meningkat seiring dengan perbaikan ekonomi
dan infrastruktur yang terus dilakukan. Selain itu,
perlu diwaspadai juga dampak risiko lanjutan
menguatnya nilai tukar USD terhadap barangbarang konsumsi, khususnya barang impor serta
tren peningkatan harga emas di pasar global.
Pada sisi administered prices, penyesuaian pada
harga beberapa komoditas yang diatur oleh
pemerintah seperti tarif listrik dan cukai rokok
serta kenaikan harga minyak dunia juga
berpotensi memberikan sumbangan terhadap
inflasi KTI.
Meski demikian, fokus pemerintah pusat untuk
mengurangi disparitas harga di KTI diperkirakan
dapat menekan inflasi khususnya pada
kelompok volatile foods. Kebijakan yang
direncanakan akan diimplementasikan pada awal
tahun 2017 adalah gagasan kebijakan tol udara
dan single price BBM. Dengan karakteristik
geografis KTI yang sebagian besar adalah wilayah
kepulauan dan pegunungan, program tol udara
sebagai bentuk subsidi angkutan logistik dan
kebijakan single price BBM diharapkan dapat
menurunkan dan menjaga kestabilan harga
barang khususnya harga pangan.
Boks 3
Perekonomian KTI dan Peran Industri
Wilayah KTI yang secara geografis luasnya hampir
mencapai 70% dari total wilayah Indonesia serta
memiliki kekayaan sumber daya alam yang
sangat melimpah, jika ditinjau dari aspek
ekonomi masih sangat jauh dari seimbang.
Pangsa ekonomi KTI terhadap PDB cenderung
tidak bergerak pada angka 19%, sementara
pangsa industri pengolahan KTI terhadap industri
pengolahan nasional hanya 4%.
nilai tambah yang terbatas. Hanya terdapat tiga
provinsi di wilayah KTI yang memiliki daya saing
cukup baik yaitu Kalbar, Sulut, dan Bali. Ketiga
provinsi tersebut didukung oleh diversifikasi pada
industri non-tambang yang cukup baik. Oleh
karena itu, diversifikasi sumber pertumbuhan
ekonomi pada industri non-tambang atau industri
yang lebih terbaharukan (renewable), perlu
menjadi satu hal yang mendesak dilakukan
seperti misalnya kakao, sawit, dan perikanan.
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik IV.22. Historis Ekonomi KTI
Perekonomian KTI hingga saat ini memiliki
ketergantungan yang tinggi terhadap komoditas
tambang, seperti nikel, alumina, batubara, dan
migas. Fokus kegiatan industri pengolahan juga
masih pada pertambangan. Investasi berbasis
pertambangan pangsanya mencapai 50% dari
total investasi. Ditinjau dari aspek tenaga kerja,
industri tambang penyerapan tenaga kerjanya
juga relatif terbatas. Selain itu, sebagai komoditas
yang tidak terbaharukan, cadangan kandungan
bumi komoditas tambang tercatat terus semakin
berkurang dengan harga komoditas yang juga
sangat berfluktuasi.
Perkembangan industri non-tambang relatif
tertinggal jauh karena minimnya minat investasi
karena lemahnya daya dukung infrastruktur.
Indsutri yang berkembang adalah yang skala
usahanya kecil dengan tingkat teknologi yang
rendah (low technology). Daya saing industri KTI
yang diukur dari “Competitiveness Industrial
Performance (CIP)” masih relatif rendah, dengan
59
Sumber: NWSi, BKPM, diolah
Grafik IV.23. Pangsa Investasi Tambang dan NonTambang
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik IV.24. Pemetaan CIP Provinsi di KTI
Strategi Transformasi Industri KTI
Pemerintah Pusat telah menyusun Rancangan
Pengembangan Industri Nasional (RIPIN) 20152035. Pada tahap pertama, pengembangan
industri akan difokuskan pada peningkatan nilai
tambah sumber daya alam migas dan non migas.
Adapun target yang ingin dicapai pada tahap
pertama ini adalah pertumbuhan industri
nonmigas mencapai 8,5%, dan pangsa tenaga
kerja sektor industri mencapai 15,7%.
Kondisi KTI saat ini, pertumbuhan industri
sebesar 7,7% dengan pangsa tenaga kerja yang
relatif rendah, hanya 6,2%, sehingga masih
dibutuhkan usaha ekstra untuk mencapai target
yang ditetapkan tersebut.
Tabel IV.5. Rencana & Realisasi Pengembangan
Industri KTI
Komponen
Eksisting*
Pertumbuhan
industri nonmigas
7.7
(%)
Tenaga kerja sektor
6.2
industri (%)
2020
2025
2035
8.5
9.1
10.5
Tabel IV.6. Industri Potensial di KTI
Provinsi
Sulawesi Selatan
Maluku
15.7
17.6
22.0
* Rata-rata 3 tahun terakhir (2013-2015)
Sumber: RIPIN 2013-1015
Potensi Pengembangan Renewable
Industry: Alternatif Sumber
Pertumbuhan KTI
Berdasarkan pengolahan Inter-Regional Input
Output (IRIO), didapati bahwa masing-masing
provinsi di KTI memiliki potensi pengembangan
industri masih cukup besar dengan multiplier
effect yang besar. Adapun jenis industri yang
memberikan multiplier effect terbesar di KTI yaitu
industri petrokimia, pengolahan laut, dan
makanan dan minuman.
Hasil asesmen Bank Indonesia, beberapa provinsi
di KTI yang memiliki kesiapan untuk menjadi
pusat pengembangan industri KTI berdasarkan
dampak multiplier effect terbesar yaitu provinsi
Kaltim, Maluku, Sulut, dan Bali. Masing-masing
provinsi tersebut juga tercatat memiliki modal
sumber daya alam yang melimpah, dan didukung
oleh ketersediaan soft dan hard infrastructure
yang cukup memadai.
Komoditas renewable industry yang sangat
potensial untuk dikembangkan lebih lanjut
antara lain kakao, kelapa sawit, dan perikanan.
Pada sektor hulu, Indonesia menempati peringkat
10 besar dunia untuk produksi ketiga komoditas
tersebut.
Meski
demikian,
dalam
pengembangannya tidak lepas dari tantangan
untuk meningkatkan competitiveness industri di
KTI pada Global Value Chain (GVC). Beberapa
tantangan umum pengembangan renewable
60
industry yakni pemenuhan standarisasi dan
sertifikasi internasional, investasi pada penelitian
dan pengembangan yang sangat minim,
pengurusan perizinan yang masih berbelit, dan
infrastruktur pendukung industri yang masih
minim tersedia.
Bali
Sulawesi Tenggara
Jenis Industri
Multiplier Effect
(kali)
Industri
Makan-Minum
12.2
Industri Alat Angkut
10.5
Industri Pengolahan Ikan
13.3
Nusa Tenggara Timur
Industri Kayu, Rotan, Bambu
9.7
Nusa Tenggara Barat
Industri Besi dan Baja
9.7
Industri Kelapa Sawit
10.6
Industri Petrokimia
37.7
Sulawesi Utara
Kalimantan Selatan
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Timur
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Pengembangan Industri Kakao
Indonesia memiliki posisi yang relatif terbatas
dalam GVC industri kakao. Indonesia saat ini
merupakan pengekspor produk Cocoa Butter
yang bernilai tambah rendah dengan pangsa
hanya sebesar 10% dari total perdagangan
sebesar $9,19 miliar. Indonesia merupakan
negara ketiga terbesar pengekspor Cocoa Butter
di dunia setelah Belanda dan Pantai Gading yang
masing-masing memiliki pangsa 23% dan 16%.
KTI memiliki potensi pengembangan produk
hilirisasi mainstream kakao menuju produk
dengan nilai tambah yang lebih tinggi, seperti
Unsweetened Coconut Powder, atau Malt Extract.
Saat ini KTI menyumbang 54% dari total ekspor
bijih kakao Indonesia yang mencapai USD197 juta
pada 2014. Oleh karena itu, KTI memiliki modal
penting berupa bahan baku. Diharapkan
pengembangan tersebut dapat meningkatkan
sumbangan KTI dalam ekspor produk hilirisasi
kakao Indonesia seperti Cocoa Butter yang saat
ini hanya mencapai 16,11%. Saat ini industri
Cocoa Butter di KTI terpusat di Sulawesi Selatan.
Beberapa tantangan eksternal yang dihadapi
dalam pengembangan industri kakao adalah: (1)
regulasi tarif cukai; (2) risiko automatic detention
di Amerika yaitu diskon harga sehingga harganya
lebih rendah daripada kakao dari negara lain
akibat mutu yang dipersyaratkan tidak dapat
dipenuhi padahal Amerika merupakan salah satu
konsumen coklat terbesar dunia; (3) proteksi tarif
seperti yang dilakukan Jepang dan Malaysia
berdasarkan nilai tambah produk; dan (4)
diskriminasi pasar yang sering terjadi di benua
Eropa terhadap produk kakao Indonesia yang
diragukan kualitasnya.
Sedangkan tantangan internal yang dihadapi
adalah: (1) revitalisasi yang kurang optimal yang
meski sudah berlangsung selama hampir 5 tahun
namun belum memberikan dampak peningkatan
produksi yang signifikan; (2) belum terdapat
BUMN yang secara khusus mengelola
perkebunan kakao sehingga pengelolaannya
dilakukan seluruhnya oleh rakyat yang skala
ekonominya masih kecil dengan rata-rata
produktivitas yang masih rendah yaitu 660 Kg/Ha;
serta (3) terbatasnya Research & Development
(R&D).
Pengembangan Industri Kelapa Sawit
Berbeda dengan kakao, Indonesia memiliki
posisi yang kuat dalam GVC pada produk kelapa
sawit di sisi hulu. Berdasarkan data Center for
International Development Harvard University
(CID Harvard), Indonesia merupakan eksportir
terbesar Crude Palm Oil (CPO) dengan pangsa
sebesar 57% dari total ekspor dunia yang
mencapai $31,3 miliar. Selain itu, Indonesia juga
merupakan eksportir terbesar Crude Palm Kernel
Oil (CPKO) dengan pangsa sebesar 63% dari total
ekspor dunia yang mencapai $2,9 miliar.
Sedangkan posisi Indonesia dalam GVC hilirisasi
kelapa sawit masih sebatas hilirisasi mainstream,
khususnya Biodiesel dan Fatty Alcohol.
Berdasarkan data ekspor impor Bank Indonesia,
KTI merupakan penghasil bahan baku dalam
rantai produksi olahan sawit Indonesia. Namun,
KTI hanya menyumbang 12,43% dari total ekspor
CPO Indonesia dan hanya 9,09% dari total ekspor
CPKO Indonesia.
61
Beberapa tantangan eksternal yang dihadapi
dalam pengembangan industri kelapa sawit
adalah negative campaign yang membawa isu
lingkungan hidup terhadap produk CPO Indonesia
seperti yang terjadi di Eropa dan regulasi UU di
Australia yang semula mengkategorikan semua
minyak nabati sebagai vegetable oil, namun
khusus CPO akan dikategorikan “palm oil” pada
label produk dan harus bersertifikat sustainable
(berkelanjutan) sehingga berimplikasi pada
penguatan persepsi CPO menjadi produk yang
tidak ramah lingkungan.
Sedangkan tantangan internal yang dihadapi
adalah minimnya R&D, adanya moratorium
lahan, ancaman kepada keberlangsungan
lingkungan, biaya logistik yang tinggi, serta
banyaknya peraturan daerah terkait penarikan
retribusi yang menghambat industri seperti
retribusi limbah dan retribusi pengurusan izin
gangguan/Hinder Ordonantie (HO).
Pengembangan Industri Ikan
Khusus komoditas ikan, Indonesia adalah salah
satu pemain terbesar untuk ikan segar.
Berdasarkan data CID Harvard, Indonesia
memiliki pangsa 6% terhadap total ekspor ikan
segar dunia yang mencapai USD16,5 miliar,
dimana KTI hanya menyumbang 29,54% dari total
ekspor Indonesia.
Namun hilirisasi produk ikan segar masih terbatas
sehingga belum mempunyai posisi yang kuat
pada GVC. Data CID Harvard menunjukkan untuk
komoditas ikan fillet, Indonesia hanya memiliki
pangsa produk hilirisasi 2,1% dari total ekspor.
Adapun pangsa KTI terhadap ekspor komoditas
ikan fillet tersebut masih sebesar 26,99%.
Pengembangan industri perikanan menghadapi
beberapa
tantangan
yaitu
terbatasnya
infrastruktur, SDM perikanan, dan modal, serta
minimnya unit pengelolaan ikan bersertifikasi.
Namun, pengembangan industri perikanan KTI
berpotensi ditingkatkan melalui penguatan R&D
serta subsidi perkapalan dan perikanan
sebagaimana dilakukan oleh Tiongkok dan
Norwegia yang merupakan produsen perikanan
terbesar.
Transformasi Kebijakan, Infrastruktur
Mendukung Transformasi Industri
Transformasi pada komoditas kakao dapat
dilakukan dengan penerapan revitalisasi
perkebunan kakao secara intensif yang bersifat
massal. Pengelolaan massal dilakukan dalam
proses intensifikasi dan peremajaan/rehabilitasi
tanaman yang ditopang pengawasan terkait
implementasinya. Untuk pemasarannya, perlu
dikembangkan pola
kemitraan dengan
melibatkan perusahaan di bidang perkebunan
sebagai
mitra
pengembangan
dalam
pembangunan produksi dan pemasaran hasil.
Lebih
jauh
lagi,
pemerintah
perlu
mempertimbangkan pembentukan BUMN yang
khusus mengelola kakao untuk dapat menjadi
pemain besar dalam industri kakao dunia.
Perlunya menghilangkan persepsi negatif
terhadap perkebunan kelapa sawit yang sering
dianggap penyebab kerusakan alam. Pemerintah
perlu bekerja sama dengan pelaku usaha serta
lembaga internasional untuk memperbaiki
persepsi tersebut sekaligus mengemukakan solusi
untuk menjamin minimnya dampak kerusakan
alam dengan produksi kelapa sawit. Selanjutnya,
untuk kontinuitas produksi kelapa sawit,
beberapa hal perlu dilakukan yaitu: (i)
intensifikasi; (ii) kejelasan lahan melalui
penerapan one map policy; (iii) penguatan data
peta, emisi gas rumah kaca, dan degradasi; (iv)
penentuan tingkat kekritisan lahan; serta (v)
pemanfaatan jalur hukum untuk memberantas
perkebunan ilegal.
Selanjutnya, transformasi pada komoditas
perikanan perlu difokuskan untuk menjaga
kontinuitas produksi perikanan yang terkendala
oleh adanya illegal fishing. Hal ini memerlukan
konsistensi pemerintah untuk mendukung
terciptanya Sustainable Fishery System yaitu
sistem perikanan yang memperhatikan ekosistem
dan masyarakat sehingga tidak hanya fokus pada
ouput fisik hasil perolehan ikan yang
62
berkelanjutan (Sustainable Yield). Langkah utama
untuk mendukung hal tersebut yaitu konsistensi
dalam penanggulangan IUU (Illegal, Unreported,
and Unregulated) Fishing.
Selanjutnya, penerapan Sistem Jaminan Mutu
dan Keamanan Hasil Perikanan terhadap Unit
Pengolahan Ikan (UPI) dengan sertifikasi Analisa
Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis atau Hazard
Analysis Critical Control Point (HACPP) oleh para
pelaku usaha dapat menjadi jaminan untuk
memenuhi persyaratan agar produk perikanan
diterima pasar nasional dan internasional.
Tantangan: Pasokan Listrik dan kondisi
SDM di KTI.
Daya dukung infrastruktur dasar seperti energi
listrik dan SDM yang berkaulitas masih menjadi
tantangan besar di KTI. Gap pemenuhan listrik
oleh PLN dibandingkan dengan pemenuhan listrik
sendiri oleh pelaku usaha cukup besar. Rata-rata
hanya 1% industri di KTI yang memperoleh
pasokan listrik dari PLN, sementara sisanya harus
mengusahakan sendiri pemenuhan listriknya. Hal
ini menimbulkan tambahan biaya yang cukup
tinggi bagi pengusaha.
Selain itu, kuantitas maupun kualitas tenaga
kerja pada sektor industri di KTI relatif rendah.
Kendala tersebut bersumber dari tingginya biaya
upah tenaga kerja dan masih rendahnya
perpindahan tenaga kerja terdidik ke wilayah KTI.
Lebih jauh lagi, proses up-skilling dan re-skilling
tenaga kerja di KTI juga masih menghadapi
kendala minimnya fasilitas pendidikan dan
kualitas tenaga pengajar untuk dapat memenuhi
permintaan tenaga kerja di industri yang
berorientasi ekspor. Tantangan lainnya yang
masih mengemuka yaitu kontinuitas bahan baku,
infrastruktur jalan dan air bersih.
Untuk menuju negara dengan tingkat pendapatan dan kesejahteraan yang lebih tinggi serta untuk
menghindari middle income trap, Indonesia membutuhkan rata-rata tingkat pertumbuhan yang
lebih tinggi dari yang dicapai selama ini. Berkaca dari kisah sukses negara maju, pengembangan
sektor industri manufaktur yang kuat adalah sangat perlu untuk menjadi tulang punggung
pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berkelanjutan. Disisi lain, sektor Industri manufaktur
Indonesia dalam dekade terakhir dihadapkan pada sejumlah permasalahan yang berujung pada
gejala deindustrialisasi, terindikasi dari terus menurunnya pangsa sektor industri manufaktur
terhadap PDB. Untuk meningkatkan kembali produktivitas dan daya saing sektor Industri,
dibutuhkan percepatan transformasi industri manufaktur nasional. Sejumlah tantangan utama telah
teridentifikasi yaitu diantaranya terkait dengan kualitas SDM, produktivitas tenaga kerja yang
rendah, kertersediaan dan harga energi yang kurang mendukung daya saing industri, infrastruktur
dasar pendukung yang masih terbatas, regulasi yang belum terintegrasi antar kementerian dan
lembaga, struktur industri yang kurang seimbang, peran IKM yangmasih rendah, serta sumber
pembiayaan yang belum terdiversifikasi.
Langkah transformasi Industri Manufaktur dapat dilakukan dalam perspektif jangka pendek dan
jangka menengah untuk masing-masing tantangan. Strategi jangka pendek difokuskan pada upaya
de-bottenecking ekonomi dari berbagai sisi baik operasional maupun prosedural. Sementara,
strategi jangka menengah difokuskan pada hal-hal yang bersifat lebih struktural, khususnya terkait
perbaikan dan penguatan struktur industri nasional.
Untuk menuju negara berpendapatan lebih
tinggi sekaligus menghindari middle income
trap (MIT), diperlukan pertumbuhan ekonomi
yang lebih tinggi dan berkesinambungan.
Secara rata-rata, tingkat pertumbuhan minimal
yang diperlukan untuk mencapai pendapatan
per kapita sebesar USD 8.000 atau kelompok
upper middle income adalah sekitar 7,1% per
tahun. Sementara untuk menjadi negara high
income,
Indonesia
membutuhkan
pertumbuhan ekonomi sedikitnya sekitar 10%
per tahun. Tingkat pertumbuhan ekonomi
yang tinggi tersebut hanya dapat dicapai
apabila
didukung
oleh
peningkatan
produktivitas ekonomi dan optimalisasi
pengembangan pasar domestik.
63
Pertumbuhan ekonomi yang berkualitas
memerlukan dukungan sektor Industri yang
kuat. Beberapa negara maju seperti Jepang,
Korea Selatan, Jerman dan Amerika Serikat
secara konsisten membangun sektor industri
manufakturnya
untuk
menjadi
motor
penggerak perekonomian. Langkah tersebut
mengantarkan mereka lepas dari MIT dan
menjadi bagian dari negara maju dunia. Di
negara tersebut, pangsa sektor industri dalam
perekonomian lebih tinggi dibandingkan sektor
lainnya. Selain itu, pertumbuhan industri
manufaktur juga terjaga lebih tinggi
dibandingkan pertumbuhan PDB.
Grafik V.1. Skenario Menuju Negara High Income
Dalam struktur perekonomian Indonesia,
sektor industri juga memiliki peran yang
besar meskipun pangsanya terus mengalami
penurunan. Dalam satu dasawarsa terakhir,
pangsa sektor industri turun dari 28% menjadi
sekitar 24% dan kemudian relatif stagnan.
Selain itu, tingkat pertumbuhan sektor industri
cenderung melambat dan sejak 2011 sektor
industri
tumbuh
di
bawah
tingkat
pertumbuhan ekonomi. Perlambatan sektor
industri terjadi di tengah menguatnya peran
sektor jasa, keuangan dan pedagangan di
dalam struktur perekonomian yang sejalan
dengan peningkatan jumlah penduduk kelas
menengah.
Grafik V.2. Pertumbuhan Industri & Pertumbuhan PDB
Jawa, yang merupakan konsentrasi industri
dengan pangsa 71% dari total PDB Industri,
terus mengalami penurunan pangsa industri.
Sementara, di Sumatera sektor industri relatif
stagnan meskipun ada kecenderungan
peningkatan. Di KTI, sektor industri mengalami
peningkatan walaupun belum signifikan.
Karakteristik industri di Sumatera dan KTI
64
sebagian besar masih berbasis Sumber Daya
Alam (SDA) dengan tingkat hilirisasi industri
yang terbatas. Komoditas utama industri di
Sumatera dan KTI antara lain karet, kelapa
sawit dan komoditas pertambangan.
Perkembangan sektor industri di wilayah
Jawa tersebut selama ini didominasi oleh
investasi modal asing, khususnya di Jawa
Barat. Investasi modal asing itu lebih ditujukan
pada sektor padat modal dan berteknologi
menengah tinggi (mis. otomotif). Sementara,
investasi modal dari dalam negeri banyak
ditujukan pada sektor industri padat karya.
Booming harga komoditas pada awal dekade
tahun 2000-an, mendorong pertumbuhan
ekspor komoditas SDA dan berkontribusi
pada penurunan pangsa ekspor komoditas
manufaktur Indonesia. Pada periode 1990
hingga 2000, ekspor komoditas manufaktur
mencapai 65% dari total ekspor. Namun, kini
pangsa ekspor komoditas manufaktur hanya
51,47% dan selebihnya berupa ekspor berbasis
SDA. Bila dilihat dari sisi trade balance,
perubahan struktur ekspor berdampak pada
penurunan surplus trade balance sejak 2011,
antara lain terjadi pada industri barang dari
logam, logam dasar, dan industri kimia. Trade
balance industri-industri tersebut mengalami
penurunan yang signifikan dalam 15 tahun
terakhir. Hanya industri makanan dan
minuman saja yang masih menunjukkan
peningkatan trade balance.
Penurunan
ekspor
manufaktur
juga
disebabkan oleh relatif rendahnya daya saing
produk manufaktur dibandingkan negara
16
peers . Bahkan, sejak 2009 daya saing industri
Vietnam
mulai
melampaui
Indonesia.
Lemahnya daya saing juga terlihat dari pangsa
mayoritas komoditas ekspor Indonesia yang
memperlihatkan kecenderungan menurun,
dimana pertumbuhan ekspor beberapa
komoditas relatif lebih rendah dibandingkan
pertumbuhan permintaan dunia.
penurunan
tingkat
kemiskinan
dan
pengangguran. Akses yang lebih luas terhadap
pekerjaan
formal,
khususnya
dari
perkembangan industri padat karya, selain
mampu menurunkan tingkat kemiskinan
secara signifikan dari 60% (1970) menjadi
11,3% (1996) juga mampu meningkatkan
pendapatan per kapita. Sektor industri
menjadi penyerap tenaga kerja tertinggi
setelah sektor pertanian dan perdagangan,
walaupun dalam beberapa tahun terakhir
serapan tenaga kerja sektor industri relatif
stagnan, yaitu berkisar 12%-13% dari jumlah
tenaga kerja. Di sisi lain, dalam beberapa
waktu terakhir, tingkat Total Factor
Productivity (TFP) pekerja Indonesia cenderung
lebih rendah dibanding negara peers.
Sumber : Analisis Daya Saing dan Strategi Industri Nasional
di Era MEA dan Perdagangan Bebas (DKEM, 2015)
Grafik V.3. Pertumbuhan Ekspor Indonesia Vs
Pertumbuhan Ekspor Dunia
Salah satu penyebab rendahnya daya saing
produk ekspor manufaktur Indonesia terkait
dengan relatif tingginya Real Effective
Exchange Rate (REER) dibanding beberapa
negara peers. Commodity boom price yang
terjadi pada tahun 2000-an menopang
apresiasi Rupiah, tetapi menurunkan daya
saing produk ekspor sektor tradeable dari sisi
harga jual, khususnya produk manufaktur.
Namun, ketika masa commodity boom
berakhir dan Rupiah mengalami depresiasi,
penurunan REER Indonesia ternyata tidak
sedalam depresiasi Rupiah yang terjadi. REER
Indonesia bahkan cenderung lebih tinggi
dibandingkan negara peers. Hal ini antara lain
terkait dengan tingkat inflasi Indonesia yang
17
relatif masih tinggi, khususnya inflasi pangan .
Sumber : Bank Indonesia, BPS
Grafik V.4. REER Indonesia & Pangsa Industri Terhadap
PDB
Sumber : BPS
Dari sisi kesejahteraan, sektor
memegang
peranan
penting
16
industri
dalam
Berdasarkan Trade Specialist Index (ADB Economic
Working Paper No.411, 2014)
17
World Bank (2016)
65
Grafik V.5. Pertumbuhan Manufaktur dan Tingkat
Kemiskinan
Daerah dengan tingkat pengembangan
manufaktur yang lebih baik cenderung
memiliki
angka
kemiskinan
dan
pengangguran yang lebih rendah. Hasil
pemetaan tingkat kemiskinan dan perubahan
tingkat pengangguran pada periode 2000 s.d
2016 menunjukkan bahwa daerah yang
memiliki
tingkat
kemiskinan
dan/atau
penggangguran lebih tinggi merupakan daerah
yang
lebih
mengandalkan
sumber
pertumbuhan
perekonomiannya
pada
komoditas SDA. Daerah tersebut juga
terindikasi memiliki tingkat pengembangan
manufaktur yang relatif lebih rendah.
Berdasarkan kajian Bank Dunia, manufaktur
berorientasi ekspor mendukung penciptaan
lapangan kerja yang lebih tinggi dibandingkan
dengan komoditas ekspor lainnya. Penciptaan
nilai tambah tenaga kerja ekspor manufaktur
tertinggi berasal dari industri kimia, industri
makanan olahan dan industri permesinan.
Sumber : BPS
Grafik V.7. Tingkat Kemiskinan & Delta Tingkat
Pengangguran
Daya Saing Industri
Daya saing industri Indonesia dalam beberapa
tahun terakhir terus mengalami perbaikan
setelah sempat mengalami penurunan.
Berdasarkan Global Competitiveness Index dan
Ease Of Doing Bussiness, perbaikan daya saing
terutama berasal dari perbaikan infrastruktur
dan kemudahan memulai usaha. Dengan
adanya upaya perbaikan yang dilakukan secara
kontinu dan faktor labor cost yang rendah
serta market size yang besar, Global
18
Manufacturing Competitiveness Index
memperkirakan Indonesia akan masuk dalam
top 15 lokasi manufaktur yang kompetitif
dalam 5 tahun ke depan, bersama dengan
Malaysia, Thailand, India dan Vietnam.
Sumber : BPS
Grafik V.6. Tingkat Kemiskinan & Perubahan Tingkat
Pengangguran
Namun, seiring dengan makin majunya suatu
negara, maka perkembangan beberapa sektor
lainnya (non-industri manufaktur) yang lebih
bersifat capital intensive antara lain sektor
pertambangan, telekomunikasi dan jasa
finansial, telah mengakibatkan peran industri
sebagai
pencipta
lapangan
pekerjaan
mengalami penurunan secara alamiah. Kondisi
ini berdampak pada peningkatan ketimpangan
kesejahteraan di dalam masyarakat, terindikasi
dari peningkatan Rasio Gini ditengah
pertumbuhan manufaktur nasional yang relatif
stagnan.
66
Sumber : World Economic Forum (2016)
Grafik V.8. Ranking Global Competitiveness Index
Namun demikian, agar industri Indonesia
lebih kompetitif, maka upaya perbaikan daya
saing perlu terus dilakukan. Peningkatan daya
18
Global
Manufacturing
(Deloitte,2016)
Competitivess
Index
saing industri ditujukan untuk meningkatkan
efisiensi biaya, kualitas dan kapasitas produksi
yang didukung kemudahan berinvestasi,
dengan memanfaatkan berlimpahnya pekerja
usia produktif yang menjadi bonus demografi
Indonesia.
Sumber : World Bank (2016)
dapat dilakukan dengan mudah. Terdapat gap
cukup besar antara spesifikasi tenaga kerja
yang dibutuhkan oleh industri dengan skill
yang dimiliki oleh angkatan kerja. Sekitar 70%
tenaga kerja sektor industri saat ini merupakan
pekerja dengan latar belakang pendidikan
umum (sekolah dasar hingga SMU) sehingga
belum memiliki keahlian khusus yang
dibutuhkan industri. Selain itu, kualitas tenaga
kerja yang belum merata diberbagai daerah
telah
menciptakan
ketergantungan
pemenuhan tenaga kerja dari daerah tertentu
yang memiliki kualitas pendidikan yang lebih
baik. Lebih jauh, produktivitas tenaga kerja
Indonesia masih tergolong rendah bila
dibandingkan dengan Malaysia, Thailand dan
Vietnam.
Grafik V.9. Ranking Ease Of Doing Bussiness
Terdapat beberapa area yang perlu dicermati
yaitu yang relatif tertinggal dibandingkan
negara peers seperti terkait efisiensi pasar
tenaga kerja, kesehatan dan pendidikan, serta
kesiapan teknologi. Bahkan, jika dibandingkan
dengan peer terdekat yaitu Vietnam, faktor
kemudahan memulai usaha, pendaftaran
properti, akses pembiayaan dan kepastian
hukum (terkait kontrak) Indonesia masih relatif
lebih lemah. Masih lebarnya perbedaan tingkat
daya saing antar wilayah terutama disebabkan
oleh belum meratanya dukungan infrastruktur
maupun upaya deregulasi dan debirokratisasi
untuk memperbaiki iklim berusaha di daerah.
Output per tenaker (PDB KOnstan 2005 USD)
Sumber : ILO
Grafik V.10. Produktivitas Tenaga Kerja
Tantangan Industri
Untuk mencapai transformasi industri nasional
yang dapat mempercepat peningkatan daya
saing industri, terdapat sejumlah tantangan
yang perlu ditangani terlebih dahulu.
Tantangan tersebut adalah sebagai berikut.
Sumber Daya Manusia (SDM), produktivitas
tenaga kerja dan rigiditas pasar tenaga
kerja.
Tingginya jumlah angkatan kerja di Indonesia,
bukan berarti pemenuhan kebutuhan industri
67
Sumber : ILO, BPS
Grafik V.11. Pertumbuhan PDB dan Produktivitas
Tenaga Kerja
Industri nasional juga dihadapkan pada pasar
tenaga kerja yang rigid yaitu terkait dengan
biaya pemutusan hubungan kerja yang tinggi,
khususnya biaya kompensasi dan gratuity
(diluar severance payment atau uang
pesangon). Selain itu, peningkatan tingkat
upah yang cenderung signifikan ternyata tidak
sejalan dengan peningkatan produktivitas.
Faktor-faktor tersebut menjadi penyebab
utama rigid-nya pasar tenaga kerja Indonesia.
Ketersediaan
kompetitif
dan
harga
energi
yang
Dukungan energi bagi pengembangan industri
masih terbatas. Meskipun tarif listik Indonesia
tergolong kompetitif di bandingkan negara
peers, namun kualitas pasokan listrik masih
perlu
ditingkatkan
baik
dari
segi
kontinuitas/stabilitas maupun keterjangkauan
pasokan. Permasalahan pasokan listrik
terutama terjadi pada industri yang terletak di
luar Jawa. Dari 52 perusahaan industri
pengolahan yang disurvei di wilayah Sumatera,
hampir dua per tiganya (67%) harus memenuhi
kebutuhan
listriknya
secara
mandiri.
Sementara itu, kebutuhan akan pasokan gas
industri dihadapkan pada tantangan harga gas
industri yang belum kompetitif dibandingkan
negara lain di kawasan. Kondisi ini antara lain
disebabkan oleh adanya gap supply-demand
yang cukup besar. Padahal, kebutuhan energi
gas untuk industri diperkirakan meningkat
hingga 26-28% dari total kebutuhan energi di
2050.
Efisiensi logistik dan infrastruktur
Efisiensi logistik yang masih rendah dan
kualitas infrastruktur logistik yang belum
merata menyebabkan biaya transportasi dan
distribusi yang tinggi, yang pada gilirannya
meningkatkan biaya produksi. Biaya logistik di
pelabuhan Indonesia masih tergolong tinggi.
Sebagai contoh, biaya terkait Terminal
Handling Charges (THC) Indonesia merupakan
yang tertinggi kedua setelah Singapura,
padahal produktivitas pelabuhannya masih
rendah. Rendahnya produktivitas pelabuhan
terindikasi dari lamanya waktu dwelling time
yang cukup panjang di beberapa pelabuhan
utama. Selain itu, sistem moda transportasi
68
barang juga masih belum terintegrasi,
sehingga pergerakan arus barang menjadi
kurang efisien.
Adapun biaya logistik khususnya terkait
dengan biaya transportasi dan handling
kontainer memiliki kontribusi sekitar 45% dari
total biaya logistik.
Tabel V.1. Tarif THC Pelabuhan
(USD/Container)
Negara
20 Feet
40 Feet
Bangkok, Thailand
60
95
Laem ChaBang, Thailand
53
85
Port Klang, Malaysia
76
113
North Port, Malaysia
64
97
Ho Chi Minh, Vietnam
46
69
Haipong, Vietnam
87
135
Manila, Philippines
82
115
Chitagong, Bangladesh
49
75
Tanjung Priok, Indonesia
95
145
Port of Singapore
155
235
Sumber : KADIN
Pada transportasi darat, Indonesia juga
tergolong sebagai negara yang memiliki
ketidakefisienan traffic ketiga tertinggi di
dunia. Padahal, sebagian besar transportasi
barang (95%) dilakukan melalui jalur darat.
Moda ini dihadapkan pada tingkat kualitas
jalan yang sangat variatif di berbagai daerah.
Regulasi yang belum terintegrasi dengan
baik
Hambatan terhadap proses perizinan &
ketidakpastian hukum dalam berinvestasi di
berbagai daerah masih terjadi, meskipun telah
dilakukan upaya debirokratisasi & deregulasi
yang intensif oleh Pemerintah. Hal ini
disebabkan antara lain oleh tidak selarasnya
percepatan upaya perbaikan regulasi ditingkat
pusat dan daerah. Disinyalir, masih terdapat (i)
banyak Peraturan Daerah (Perda) yang
menghambat investasi; dan (ii) masih terbatas
dan beragamnya tingkat pendelegasian
kewenangan pemberian izin investasi melalui
Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) sebagai
akibat masih tingginya ego sektoral. Selain itu,
aplikasi sistem online yang masih terbatas dan
belum adanya standarisasi biaya layanan PTSP
turut meningkatkan risiko ketidakpastian
perizinan investasi. Di tingkat pusat,
pemberian insentif bagi investasi juga masih
belum optimal. Hal ini terlihat dari minimnya
sektor yang menerima tax allowance yang
hanya berjumlah 9 sektor industri dari 143
sektor
yang
berhak
mendapatkannya
(berdasarkan PP No. 18/2015).
Struktur industri yang kurang berimbang
Industri nasional di dominasi oleh jenis industri
kecil, sementara jumlah industri menengah
yang berpotensi menjadi industri besar sangat
minim (fenomena missing middle).
Porsi
industri kecil dan menengah di Indonesia
merupakan yang terbesar dibandingkan
Vietnam, Filipina dan Brazil. Kondisi ini
mengindikasikan terjadinya hambatan dan
keengganan industri kecil dan menengah
untuk bertransformasi ke kelas industri yang
lebih tinggi. Fenomena missing middle,
berimplikasi pada dukungan industri antara
dalam memasok kebutuhan industri hilir yang
terbatas, seperti yang terjadi pada industri
tekstil.
Selain tantangan keterkaitan antar industri,
juga terdapat tantangan spasial terkait
keterkaitan industri antar daerah. Industri di
Jawa belum memiliki hubungan yang baik
optimal dengan wilayah diluar Jawa. Hal ini
tercermin dari rendahnya porsi pasokan bahan
baku yang berasal dari luar Jawa untuk industri
utama seperti makanan minuman, industri alat
angkut dan TPT. Hubungan yang belum
optimal itu dapat diakibatkan baik oleh belum
berkembangnya sektor industri di luar Jawa
yang mampu mendukung industri di Jawa
maupun oleh transportasi yang belum
memadai.
Permasalahan keterbatasan keterkaitan antar
sektor industri maupun antar wilayah perlu
segera ditangani. Hal ini agar industri nasional
dapat berkembang secara lebih menyeluruh
dengan meminimalisir ketergantungan pada
bahan baku maupun bahan antara dari impor.
Peningkatan peran swasta yang lebih besar
sebagaimana dilakukan di beberapa negara,
dapat dipertimbangkan menjadi salah satu
solusi mendorong perkembangan industri.
Sumber : BPS, diolah
Grafik V.12. Missing Middle
19
Sumber : Input Output (Jethro), diolah
19
LARGE (>100 Employees), asset > Rp 1 miliar Highgrowth Enterprises; MEDIUM (20-100 Employees), aseet
Rp 100 jt – Rp 500 jt (Early stage support of Innovative
Entrepreneurs), Rp 500 jt – Rp 1 miliar (Venture Capital to
scalable social enterprises); SMALL (5- 19 Employees),
asset < Rp 100 jt (A lower tier of subsistence enterprises
69
Grafik V.13. Tinjauan Linkages Industri Mesin & Logam
Dasar
that struggle to stay afloat and have very poor survival
rate)
Grafik V.14. Keterbatasan Linkage : Kasus Industri Tekstil
Tabel V.2. Pembagian Peran Pemerintah - Swasta
Industri Sekunder
Negara
Ind. Hulu
Ind. Antara
Ind. Hilir
China
100% Pemerintah 50-100% Pemerintah 100% swasta
Saudi Arabia
100% Pemerintah 50% Pemerintah
Malaysia
> 70% Pemerintah 30-60% Pemerintah 100% swasta
Korea Selatan 100% Pemerintah* 100% Swasta
100% swasta
100% swasta
*setelah 30 tahun saham pemerintah minoritas
Sumber : KADIN
Penguatan peran dan kemampuan IKM
dalam sektor industri
UMKM memiliki peran besar dalam
perekonomian Indonesia, khususnya peran
Industri Kecil Menengah (IKM) dalam
mendukung
pengembangan
industri
manufaktur. Dalam hal penyerapan tenaga
kerja, IKM memiliki peran yang cukup tinggi.
Namun dibandingkan dengan negara peer,
peran dan keterkaitan IKM dalam industri
manufaktur masih relatif minim. Peningkatan
kapabilitas IKM
sangat diperlukan untuk
meningkatkan nilai tambah dan kualitas
produk yang dihasilkan. Namun demikian,
sebagaimana di banyak negara, penguatan
tersebut
dihadapkan
pada
tantangan
keterbatasan modal, bahan baku dan akses
pasar.
Sumber : BPS
Grafik V.15. Pangsa Tenaga Kerja IKM
Sumber : BPS
Grafik V.16. Konsentrasi IKM
70
Sumber pembiayaan industri yang lebih
beragam
Perkembangan industri nasional belum
memanfaatkan dukungan perbankan secara
optimal. Hal ini terlihat dari pemanfaatan
pembiayaan industri melalui perbankan yang
masih relatif rendah. Kondisi ini dicerminkan
oleh pangsa kredit manufaktur yang hanya
17,5% dari total kredit, lebih rendah dari kredit
sektor PHR (19,6%). Selain itu, berdasarkan
hasil liaison Bank Indonesia dengan pelaku
usaha, diketahui bahwa pelaku industri
cenderung
memanfaatkan
sumber
pembiayaan di luar perbankan, khususnya
yang menjadi modal kerja. Pembiayaan berasal
dari internal perusahaan maupun perusahaan
induk menjadi pilihan banyak pelaku industri.
Kurang beragamnya sumber pembiayaan dan
“less favourable”-nya iklim investasi pasca
krisis 1998 telah menyebabkan terjadinya
penurunan jumlah plant entry ke sektor
Industri. Kondisi tersebut telah mengakibatkan
perkembangan industri yang terbatas sehingga
perkembangan industri selama ini masih
banyak didominasi oleh para pemain lama.
kementerian dan lembaga terkait, termasuk
menjadi acuan prioritas dalam pentahapan
implementasinya.
Strategi pengembangan industri manufaktur
diarahkan pada hasil yang dapat dicapai dalam
jangka
pendek
(short
term)
dan
pengembangan yang bersifat struktural
(medium term). Strategi pengembangan
industri dalam jangka pendek difokuskan pada
upaya de-bottlenecking yang meliputi :
1. Kerjasama Pemerintah, akademisi &
industri dalam menciptakan Sumber Daya
Manusia (SDM) yang handal dan
berkualitas antara lain melalui pendidikan
vokasional (Quick Win Strategy).
Pemerintah dipandang perlu untuk
memfasilitasi
dan
mendorong
berkembangnya
penyelenggaraan
pendidikan vokasi baik oleh pemerintah
maupun swasta. Pendidikan vokasi harus
berbasis pada kebutuhan industri lokal
daerah (link and match). Dengan demikian,
pemenuhan kebutuhan tenaga kerja
sedapat mungkin diperoleh dari angkatan
kerja lokal. Selain itu, upaya up grading
kapabilitas
industri
dalam
rangka
minimalisir gap inovasi teknologi dapat
dilakukan melalui kerjasama riset antara
pihak universitas dengan kalangan industri.
2. Penetapan sistem pengupahan
yang
mengakomodir faktor produktifitas.
Sumber : BPS
Grafik V.17. Pangsa & Pertumbuhan Kredit
Manufaktur
Strategi Pengembangan Industri
Dengan kompleksitas tantangan yang dihadapi
dalam pengembangan industri nasional, maka
diperlukan strategi kebijakan pengembangan
industri yang fokus dan terintegrasi. Strategi
tersebut hendaknya dapat ditetapkan sebagai
acuan dalam pelaksanaan program berbagai
71
Gap antara pertumbuhan Upah Minimum
Provinsi (UMP) dan tingkat produktivitas
yang semakin lebar dapat diatasi dengan
mempertimbangkan produktivitas sebagai
salah satu komponen perhitungan upah
minimum. Peningkatan upah yang dapat
mendorong
produktivitas
dipandang
mampu untuk menjamin sustainabilitas
industri ke depan. Adapun penghitungan
upah minimum dengan menyertakan
komponen produktivitas telah di adopsi
oleh negara seperti Tiongkok dan Kamboja.
Lebih jauh, kebijakan tenaga kerja secara
umum perlu diarahkan untuk dapat
menyerap tenaga kerja lebih banyak,
mengurangi kemiskinan dan ketimpangan
antar daerah.
Tabel V.3. Pangsa & Pertumbuhan Kredit Manufaktur
satu komponen utama daya saing industri
sangat perlu segera dibenahi (quick win).
Biaya tenaga kerja yang masih relatif lebih
rendah dari peer menjadi faktor penarik
investasi asing yang perlu dioptimalkan. Di
sisi lain, berlimpahnya tenaga kerja usia
produktif sebagai bonus demografi juga
perlu dimanfaatkan dengan baik, sebelum
berakhirnya bonus demografi tersebut
pada tahun 2030-an.
Sementara itu, strategi pengembangan dalam
jangka menengah (medium term) dapat
ditempuh dengan mencakup beberapa upaya
berikut :
Sumber : Wageindicator.org
3. Penyediaan energi bagi industri yang
berkualitas dan dengan harga yang
kompetetitif (Gas, Tarif Tenaga Listrik,
Batubara, BBM)
4. Peningkatan efisiensi logistik antara lain (i)
perbaikan sistem logistik khususnya terkait
ketersediaan moda transportasi yang
mendukung efisiensi supply chain; serta (ii)
eliminasi biaya tinggi di pelabuhan (a.l tarif
handling container, tarif TKBM pelabuhan)
dan perbaikan durasi dwelling time.
5. Penyederhanaan birokrasi antara lain
melalui (i) aplikasi berbasis IT; dan (ii)
upaya perbaikan iklim investasi di daerah
melalui penghapusan Perda bermasalah
yang berpotensi menghambat investasi.
Selain itu, juga diperlukan (iii) upaya
menghilangkan ekonomi biaya tinggi akibat
berbagai punggutan liar yang terjadi baik
pada saat pengajuan perizinan maupun
saat perusahaan telah beroperasi.
Upaya short term tersebut perlu didukung
oleh
koordinasi
antar
Kementerian/Lembaga, Pemerintah PusatDaerah, akses pembiayaan yang memadai
dan dukungan aplikasi teknologi. Dari
sejumlah tantangan tersebut, tantangan
terkait ketenagakerjaan yang menjadi salah
72
1. Reformasi pasar tenaker
Pasar tenaga kerja yang terlalu kaku (rigid)
perlu menjadi lebih fleksibel dengan
mereformasi
beberapa
ketentuan
ketenagakerjaan antara lain terkait
ketentuan pengupahan, pesangon, dan
outsourcing dengan tetap memperhatikan
prinsip yang mengutamakan win-win
solution bagi pelaku usaha maupun tenaga
kerja.
2. Penguatan Akses Pasar
a) Penguatan
pasar
domestik
dan
interdependensi industri antar wilayah,
melalui :
 Penindakan
terhadap
masuknya
produk impor ilegal dan pengawasan
ketat terhadap produk luar yang
dibatasi impornya.
 Pengembangan zona industri yang
sesuai di tiap provinsi
 Mendorong penguatan UMKM/IKM
agar semakin terintegrasi dengan
sektor industri
 Memperlancar
pulau
Perdagangan
antar
b) Memperkuat akses pasar global melalui
(i) peningkatan keterlibatan dalam Global
Value Chain dan Global Production
Network;
serta
(iii)
mendorong
keikutsertaan
dalam
berbagai
kesepakatan perdagangan dan negoisasi
ulang kesepakatan perdagangan yang
merugikan posisi Indonesia.
c) Reformasi Pasar untuk mewujudkan tata
niaga yang efisien dan adil
3. Penetapan strategi kebijakan industri yang
integratif terkait perbaikan struktur
industri nasional.
a) Upaya mengatasi isu missing middle,
yaitu
dengan
mendorong
dan
memfasilitasi berkembangnya industri
kecil menengah agar dapat “naik kelas”
menjadi industri yang lebih besar. Hal itu
dapat dicapai melalui pemberian insentif
dan bantuan/fasilitasi dari sisi finansial,
riset dan pengambangan, serta akses
pasar kepada mereka.
b) Pengembangan industri unggulan, baik
yang bersifat strategis maupun berbasis
komoditas unggulan. Industri unggulan
tersebut mencakup industri berbasis
agro, industri maritim, industri dasar,
industri dengan tenaga kerja intensif dan
industri kreatif.
4. Penguatan faktor enabler agar dapat
memberikan dukungan optimal bagi
pengembangan industri.
a) Pembiayaan berupa upaya diversifikasi
sumber pembiayaan melalui financial
deepening dan peningkatan akses
keuangan bagi industri.
b) Land Reform berupa (i) penegakan
kepastian hukum terkait pemanfaatan
lahan melalui penetapan rencana tata
ruang wilayah (RTRW) dan Rencana Detil
Tata Ruang (RDTR) yang menyeluruh di
daerah; dan (ii) implementasi one map
policy sebagai dasar pengambilan
kebijakan optimasi pemanfaatan lahan.
73
c) Infrastruktur dan Konektivitas berupa
perbaikan infrastruktur berkelanjutan
khususnya terkait penyediaan energi dan
konektivitas dalam rangka mendukung
pengembangan
Kawasan
Ekonomi
Khusus dan Kawasan Industri prioritas
serta kelancaran transportasi barang
antar wilayah.
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
74
75
Tahun Dasar 2010
Indikator Makroekonomi Daerah
PDRB (%,yoy)
Sisi Permintaan
Konsumsi Rumah Tangga
Konsumsi LNPRT
Konsumsi Pemerintah
Pembentukan Modal Tetap Bruto
Ekspor
Impor
Net Ekspor Antar Daerah
Sisi Produksi
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan
Pertambangan dan Penggalian
Industri Pengolahan
Pengadaan Listrik dan Gas
Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah,
Limbah dan Daur Ulang
Konstruksi
Perdagangan Besar, Eceran, dan Reparasi
Mobil dan Sepeda Motor
Transportasi dan Pergudangan
Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum
Informasi dan Komunikasi
Jasa Keuangan dan Asuransi
Real Estate
Jasa Perusahaan
Administrasi Pemerintahan, Pertahanan
dan Jaminan Sosial Wajib
Jasa Pendidikan
Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial
Jasa lainnya
PDRB (%,yoy)
Provinsi Aceh
Provinsi Sumatera Utara
Provinsi Sumatera Barat
Provinsi Riau
Provinsi Jambi
Provinsi Kepulauan Riau
Provinsi Sumatera Selatan
Provinsi Bengkulu
Provinsi Lampung
Provinsi Kep. Bangka Belitung
Inflasi IHK (%,yoy)
Provinsi Aceh
Provinsi Sumatera Utara
Provinsi Sumatera Barat
Provinsi Riau
Provinsi Kepulauan Riau
Provinsi Jambi
Provinsi Sumatera Selatan
Provinsi Bengkulu
Provinsi Lampung
Provinsi Kep. Bangka Belitung
76
2014
2015
4.6
2016
II
4.5
III
3.9
IVp
4.6
2016p
2017p
3.5
I
4.2
3.9 - 4.4
4.6 - 5.1
5.4
10.9
2.2
4.0
-1.4
-2.1
2.0
5.0
2.0
4.9
3.1
-3.0
-5.7
2.7
5.2
6.4
1.7
4.9
-16.1
-25.4
0.0
5.5
5.2
7.5
6.0
-19.3
-31.2
-8.4
4.9
5.0
-5.8
4.5
-10.8
-9.4
3.1
5.6
5.8
1.4
5.2
3.2
4.6
-6.8
5.1 - 5.6
5.3 - 5.8
0.6 - 1.1
4.9 - 5.4
1.4 - 1.8
1.7 - 2.2
(0.1) - (0.6)
5.3 - 5.7
5.0 - 5.4
3.6 - 4.0
5.5 - 5.9
10.8 - 11.3
12.2 - 12.7
4.6 - 5.1
5.1
-1.5
4.6
7.6
3.6
-2.8
3.8
3.3
3.7
-0.8
4.7
8.3
4.2
-1.9
3.5
11.9
3.6
-2.8
3.7
10.8
4.3
-0.8
4.1
7.1
3.7 - 4.2
(1.9) - (1.4)
3.7 - 4.2
9.4 - 9.9
4.4 - 4.9
(0.5) - 0.0
4.6 - 5.1
8.0 - 8.5
5.0
4.9
3.3
3.3
5.3
5.6
4.1 - 4.6
4.6 - 5.1
7.0
4.2
5.8
6.4
5.8
4.9
5.5 - 6.0
6.1 - 6.6
5.9
4.4
5.0
6.2
6.4
4.9
5.9 - 5.9
5.9 - 6.4
6.5
7.7
7.5
3.7
6.6
6.7
7.2
7.7
8.5
4.3
5.8
5.8
6.2
7.6
8.0
6.1
4.9
5.3
7.8
8.2
8.7
9.0
5.5
4.9
6.5
8.0
8.8
6.1
6.3
5.5
7.3
8.4
8.0
4.7
8.1
5.9
6.3 - 6.8
7.9 - 8.4
8.0 - 8.5
6.2 - 6.7
6.0 - 6.5
5.2 - 5.7
6.6 - 7.1
6.8 - 7.3
6.4 - 6.9
6.3 - 6.8
5.5 - 6.0
6.1 - 6.6
6.1
7.2
5.4
9.5
3.8
6.9
6.4 - 6.9
6.2 - 6.7
8.1
7.4
6.7
4.6
1.5
5.2
5.9
2.7
7.4
6.6
4.7
5.5
5.1
4.7
8.62
8.08
8.17
11.57
8.64
7.59
8.75
8.48
10.85
8.09
9.04
7.0
7.5
7.5
3.5
-0.7
5.1
5.4
0.2
4.2
6.0
4.5
5.1
5.1
4.1
3.05
1.53
3.24
1.08
2.65
4.40
1.37
3.10
3.25
4.34
3.27
6.2
6.7
6.0
4.2
3.6
5.0
5.5
2.3
3.4
4.5
5.0
5.0
5.1
3.3
5.71
3.55
7.16
6.62
4.42
5.59
4.95
5.05
5.93
5.29
5.50
7.6
6.0
5.7
4.5
3.5
5.7
5.8
2.4
3.6
5.4
5.1
5.4
5.2
3.7
3.71
2.34
4.32
3.23
1.92
3.85
3.38
4.37
5.47
3.16
6.21
5.3
3.8
6.3
3.9
2.2
5.3
4.8
1.1
4.0
4.6
4.8
5.2
5.3
3.8
5.06
3.65
7.38
6.13
4.07
3.87
4.99
4.22
5.72
2.89
5.04
5.4
6.6
8.1
4.6
3.5
5.3
5.8
2.7
4.1
5.8
5.5
5.2
5.4
4.0
3.89
3.46
6.41
5.11
4.09
3.86
4.89
3.88
5.49
2.19
4.98
6.0 - 6.5
5.8 - 6.3
6.2 - 6.7
3.9 - 4.4
2.7 - 3.2
5.0 - 5.5
5.2 - 5.7
1.7 - 2.2
3.6 - 4.1
4.7 - 5.2
4.7 - 5.2
5.0 - 5.5
5.0 - 5.5
3.5 - 4.0
3.89
3.46
6.41
5.11
4.09
3.86
4.89
3.88
5.49
2.19
4.98
6.0 - 6.5
6.8 - 7.3
5.7 - 6.2
4.6 - 5.1
2.8 - 3.3
5.1 - 5.6
5.2 - 5.7
3.7 - 4.2
3.9 - 4.4
4.8 - 5.3
5.7 - 6.2
5.0 - 5.5
5.0 - 5.5
3.9 - 4.4
3.91 - 4.41
3.56 - 4.06
3.82 - 4.32
4.23 - 4.73
4.25 - 4.75
3.78 - 4.28
3.89 - 4.39
3.65 - 4.15
4.25 - 4.75
3.89 - 4.39
4.51 - 5.01
Tahun Dasar 2010
Indikator Makroekonomi Daerah
PDRB (%,yoy)
Sisi Permintaan
Konsumsi Rumah Tangga
Konsumsi LNPRT
Konsumsi Pemerintah
Pembentukan Modal Tetap Bruto
Ekspor
Impor
Net Ekspor Antar Daerah
Sisi Produksi
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan
Pertambangan dan Penggalian
Industri Pengolahan
Pengadaan Listrik dan Gas
Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah,
Limbah dan Daur Ulang
Konstruksi
Perdagangan Besar, Eceran, dan Reparasi
Mobil dan Sepeda Motor
Transportasi dan Pergudangan
Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum
Informasi dan Komunikasi
Jasa Keuangan dan Asuransi
Real Estate
Jasa Perusahaan
Administrasi Pemerintahan, Pertahanan
dan Jaminan Sosial Wajib
Jasa Pendidikan
Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial
Jasa lainnya
PDRB (%,yoy)
DKI Jakarta
Jawa Barat
Banten
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Inflasi IHK (%,yoy)
DKI Jakarta
Jawa Barat
Banten
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
77
2014
2015
5.6
2016
II
5.8
III
5.6
Ivp
5.7
2016p
2017p
5.5
I
5.3
5.4 - 5.8
5.5 - 5.9
5.1
12.7
2.7
4.8
3.0
1.2
-4.1
4.5
-4.0
4.2
4.3
-1.7
-9.0
-10.7
4.9
6.0
8.0
4.1
0.9
-5.8
-7.4
5.2
6.2
13.0
4.7
5.3
-4.8
-16.9
5.1
9.7
-2.9
4.9
-3.3
-4.1
7.2
5.2
9.8
-0.9
5.0
-0.5
-1.5
22.7
4.9 - 5.3
7.8 - 8.2
3.0 - 3.4
4.5 - 4.9
0.4 - 0.8
(4.3) - (3.9)
(1.7) - (1.3)
5.2 - 5.6
6.0 - 6.4
4.3 - 4.7
5.3 - 5.7
1.3 - 1.7
(0.1) - 0.3
(6.9) - (6.5)
1.3
3.1
5.8
4.3
3.4
5.1
4.6
-3.9
-0.7
8.8
4.5
1.9
2.6
6.3
4.6
-0.4
4.5
12.4
4.4
-1.6
3.6
4.2
4.9
-4.1
2.3 - 2.7
7.7 - 8.1
4.4 - 4.8
(1.3) - (0.9)
3.0 - 3.4
1.6 - 2.0
5.2 - 5.6
1.7 - 2.1
3.3
4.2
3.1
4.7
5.9
5.3
4.6 - 5.0
4.1 - 4.5
5.5
4.8
3.8
4.0
3.4
4.4
3.7 - 4.1
4.8 - 5.2
4.5
4.2
4.9
5.1
4.4
4.8
4.6 - 5.0
5.0 - 5.4
8.7
7.2
11.0
4.5
6.1
8.8
8.1
6.9
9.8
9.5
5.2
7.6
7.9
7.8
9.9
10.2
5.6
7.3
7.3
6.7
9.9
13.9
5.6
7.4
9.5
7.4
10.0
9.4
5.6
8.0
9.3
6.8
9.6
7.9
6.0
8.1
8.3 - 8.7
7.0 - 7.4
9.7 - 10.1
10.1 - 10.5
5.5 - 5.9
7.5 - 7.9
7.3 - 7.7
6.1 - 6.5
8.6 - 9.0
8.0 - 8.4
5.9 - 6.3
7.8 - 8.2
1.3
3.7
3.5
6.5
1.4
2.8
3.3 - 3.7
2.8 - 3.2
7.3
8.9
7.8
5.6
5.9
5.1
5.5
5.3
5.2
5.9
8.35
8.95
7.60
10.20
8.21
6.59
7.77
7.3
8.2
7.1
5.5
5.9
5.0
5.4
5.4
4.9
5.4
3.12
3.30
2.73
4.29
2.73
3.09
3.08
7.5
8.0
7.5
5.3
5.6
5.2
5.1
4.9
4.8
5.5
3.93
3.62
3.78
5.70
4.21
3.69
3.71
7.7
7.5
7.7
5.8
5.9
6.0
5.2
5.7
5.5
5.6
3.14
3.08
3.22
3.78
2.96
2.94
2.93
6.3
7.4
8.3
5.6
5.8
5.8
5.4
5.1
4.7
5.6
2.58
2.40
2.54
3.01
2.72
2.68
2.69
6.6
7.0
11.0
5.7
5.6
5.8
5.5
5.5
5.1
5.7
2.85
2.73
2.96
2.90
2.53
2.87
3.03
6.8 - 7.2
7.2 - 7.6
8.5 - 8.9
5.4 - 5.8
5.5 - 5.9
5.5 - 5.9
5.1 - 5.5
5.1 - 5.5
4.8 - 5.2
5.4 - 5.8
2.85
2.73
2.96
2.90
2.53
2.87
3.03
6.1 - 6.5
6.2 - 6.6
11.4 - 11.8
5.5 - 5.9
5.7 - 6.1
5.5 - 5.9
5.2 - 5.6
5.2 - 5.6
5.1 - 5.5
5.7 - 6.1
3.64 - 4.04
3.46 - 3.86
3.84 - 4.24
4.46 - 4.86
3.00 - 3.40
3.01 - 3.41
3.67 - 4.07
Tahun Dasar 2010
Indikator Makroekonomi Daerah
PDRB (%,yoy)
Sisi Permintaan
Konsumsi Rumah Tangga
Konsumsi Lembaga Nonprofit Rumah Tangga
Konsumsi Pemerintah
Pembentukan Modal Tetap Bruto
Ekspor Luar Negeri
Impor Luar Negeri
Sisi Produksi
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan
Pertambangan dan Penggalian
Industri Pengolahan
Listrik
dan Gas Sampah, Limbah
Pengadaan Air,
Pengelolaan
dan Daur Ulang
Konstruksi Besar, Eceran, dan Reparasi
Perdagangan
Mobil dan Sepeda Motor
Transportasi dan Pergudangan
Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum
Informasi dan Komunikasi
Jasa Keuangan dan Asuransi
Real Estate
Jasa Perusahaan
Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan
Jaminan Sosial Wajib
Jasa Pendidikan
Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial
Jasa lainnya
PDRB (%,yoy)
Provinsi Kalimantan Barat
Provinsi Kalimantan Tengah
Provinsi Kalimantan Selatan
Provinsi Kalimantan Timur
Provinsi Sulawesi Selatan
Provinsi Sulawesi Barat
Provinsi Sulawesi Tenggara
Provinsi Sulawesi Tengah
Provinsi Gorontalo
Provinsi Sulawesi Utara
Provinsi Maluku
Provinsi Maluku Utara
Provinsi Papua
Provinsi Papua Barat
Provinsi Bali
Provinsi Nusa Tenggara Barat
Provinsi Nusa Tenggara Timur
78
2014
2015
4.8
2016
II
3.9
III
5.3
IVp
5.2
2016p
2017p
5.2
I
4.2
4.4 - 4.9
4.6 - 5.1
5.2
8.1
3.7
7.6
(9.6)
1.4
5.0
3.9
5.2
6.3
(4.1)
(2.3)
5.2
6.8
5.0
4.2
(9.1)
(10.3)
5.5
5.4
6.1
2.4
(7.3)
(3.1)
4.7
4.0
(5.9)
3.9
(6.0)
(11.6)
5.3
3.2
0.2
6.2
2.2
2.7
4.9 - 5.4
4.5 - 5.0
0.7 - 1.2
4.0 - 4.5
(5.4) - (4.9)
(5.8) - (5.3)
5.5 - 6
5.9 - 6.4
8.0 - 8.5
6.0 - 6.5
6.6 - 7.1
9.7 - 10.2
6.1
(0.6)
4.3
12.8
6.0
8.0
6.8
6.6
7.0
8.1
5.8
7.5
7.6
4.3
2.4
5.6
6.6
3.3
7.1
6.1
6.5
5.9
8.4
5.6
5.9
4.4
2.1
(2.4)
9.5
6.6
6.0
4.5
6.9
7.2
7.0
8.9
7.6
5.5
5.8
2.3
(3.3)
6.3
14.2
5.8
4.5
7.3
7.1
7.2
8.3
13.1
4.9
4.3
4.0
4.5
6.0
13.2
6.8
5.2
6.9
7.3
7.5
7.8
7.9
4.0
4.5
3.5
3.3
6.2
12.5
6.4
4.9
6.3
7.7
7.6
8.2
8.0
5.2
5.6
2.7 - 3.2
0.3 - 0.8
6.7 - 7.2
11.4 - 11.9
6.0 - 6.5
4.5 - 5.0
6.6 - 7.1
7.1 - 7.6
7.1 - 7.6
8.0 - 8.5
8.8 - 9.3
4.7 - 5.2
4.8 - 5.3
4.5 - 5.0
0.8 - 1.3
5.0 - 5.5
10.4 - 10.9
5.4 - 5.9
5.5 - 6.0
6.1 - 6.6
6.6 - 7.1
7.4 - 7.9
7.8 - 8.3
6.9 - 7.4
6.5 - 7.0
5.6 - 6.1
8.2
8.2
8.2
10.5
2.3
5.7
6.3 - 6.8
6.1 - 6.6
8.1
8.5
7.5
4.8
5.0
6.2
4.9
2.2
7.5
8.9
6.3
5.1
7.3
6.3
6.6
5.5
3.8
5.4
6.7
5.1
5.1
7.7
8.2
7.2
5.2
4.8
7.0
3.8
(0.9)
7.1
7.4
6.9
15.6
6.2
6.1
5.4
6.1
8.0
4.1
6.0
21.2
5.0
7.9
8.0
7.8
4.2
6.0
5.2
4.0
(0.7)
7.4
6.3
5.5
13.2
6.7
6.0
5.8
5.2
(0.5)
5.4
6.1
9.9
5.1
8.4
8.2
7.8
3.9
4.4
5.7
4.0
(0.9)
8.0
4.8
6.8
15.5
5.4
6.1
6.3
5.7
(5.5)
3.6
6.5
9.7
5.4
6.6
7.4
6.8
5.3
5.7
6.0
3.5
0.2
6.8
6.0
6.0
7.6
7.0
6.0
5.7
5.6
20.6
3.9
6.2
3.5
5.1
6.2
7.3
7.1
5.2
5.6
5.9
3.6
(0.9)
7.2
7.6
6.5
9.5
5.9
6.4
6.0
5.7
22.3
4.7
6.3
(1.1)
5.2
7.0 - 7.5
7.5 - 8.0
7.1 - 7.6
4.4 - 4.9
5.2 - 5.7
5.5 - 6.0
3.5 - 4.0
(0.8) - (0.3)
7.1 - 7.6
5.9 - 6.4
5.9 - 6.4
11.1 - 11.6
6.0 - 6.5
5.9 - 6.4
5.7 - 6.2
5.3 - 5.8
9.2 - 9.7
4.2 - 4.7
6.0 - 6.5
5.1 - 5.6
4.9 - 5.4
6.1 - 6.6
7.3 - 7.8
7.0 - 7.5
4.6 - 5.1
5.4 - 5.9
6.3 - 6.8
3.5 - 40
(0.4) - 0.1
7.5 - 8.0
6.8 - 7.3
6.6 - 7.1
11.7 - 12.2
5.8 - 6.3
6.3 - 6.8
6.0 - 6.5
5.8 - 6.3
6.0 - 6.5
4.9 - 5.4
6.2 - 6.7
5.2 - 5.7
5.1 - 5.6
Tahun Dasar 2010
Indikator Makroekonomi Daerah
Inflasi IHK (%,yoy)
Provinsi Kalimantan Barat
Provinsi Kalimantan Tengah
Provinsi Kalimantan Selatan
Provinsi Kalimantan Timur
Provinsi Sulawesi Selatan
Provinsi Sulawesi Barat
Provinsi Sulawesi Tenggara
Provinsi Sulawesi Tengah
Provinsi Gorontalo
Provinsi Sulawesi Utara
Provinsi Maluku
Provinsi Maluku Utara
Provinsi Papua
Provinsi Papua Barat
Provinsi Bali
Provinsi Nusa Tenggara Barat
Provinsi Nusa Tenggara Timur
79
2014
2015
8.15
9.43
7.07
7.28
7.67
8.61
7.89
8.45
8.84
6.14
9.67
7.19
9.35
9.11
6.56
8.43
7.22
7.76
4.43
5.79
4.74
5.15
4.89
4.48
5.07
2.27
4.17
4.30
5.56
6.15
4.52
3.59
5.34
2.75
3.43
4.92
I
4.84
4.62
4.56
6.04
4.91
5.70
5.19
4.75
6.03
5.74
4.90
2.22
5.45
3.76
5.53
3.59
4.34
5.04
II
4.26
5.25
3.13
5.88
4.61
4.30
4.29
4.12
4.21
4.89
3.67
1.82
3.87
5.22
3.95
2.96
4.39
5.02
2016
III
3.47
3.82
3.18
4.73
3.81
3.07
3.42
3.28
4.08
2.77
2.28
2.90
4.05
4.72
3.99
3.18
2.94
3.07
Okt
3.19
3.58
2.24
4.18
3.30
3.15
3.12
4.05
2.29
2.28
0.78
2.64
2.89
4.40
3.19
3.63
2.87
2.93
IVp
3.22
4.16
2.41
4.19
3.58
2.92
2.58
3.54
2.82
1.98
0.84
3.93
2.95
3.52
4.32
3.14
3.33
2.66
2016p
2017p
3.22
4.16
2.41
4.19
3.58
2.92
2.58
3.54
2.82
1.98
0.84
3.93
2.95
3.52
4.32
3.14
3.33
2.66
4.03 - 4.53
4.39 - 4.89
4.31 - 4.81
4.63 - 5.13
3.77 - 4.27
4.53 - 5.03
4.35 - 4.85
3.00 - 3.50
5.24 - 5.74
2.48 - 2.98
2.75 - 3.25
3.95 - 4.45
5.79 - 6.29
4.07 - 4.57
4.49 - 4.99
3.35 - 3.85
3.67 - 4.17
4.61 - 5.11
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
80
Yoga Affandi
Noor Yudanto
Gunawan Wicaksono
Maximilian T. Tutuarima
Neva Andina
Ragil Misas Fuadi
Agung Budilaksono
Rikie Fasha
Warsono
Rizki Fitrama
Erwin Syafi’i
Frida Yunita Sinurat
Ratu Miana Ulfani
Bernad Hasiholan
Download