IV Daftar isi Kata Pengantar Bagian I v vii 1 Ringkasan Perkembangan Terkini dan Prospek Ekonomi Daerah Bagian II 9 Perekonomian Sumatera Boks 1 19 Mentransformasi Industri Kelapa Sawit dan Karet Menjadi Penggerak Perekonomian Sumatera Bagian III 23 Perekonomian Jawa Boks 2 41 Transformasi Industri Manufaktur Jawa Melalui Pengembangan Rantai Integrasi Produksi dan Nilai (Kondisi, Tantangan dan Strategi Pengembangan) Bagian IV 47 Perekonomian Kawasan Timur Indonesia Boks 3 59 Mencapai Transformasi Industri yang Berkesinambungan di Kawasan Timur Indonesia (KTI) Bagian V 63 Isu Strategis : Mempercepat Transformasi Industri Manufaktur untuk Mewujudkan Industrialisasi Indonesia yang Berdaya Saing Global Lampiran V 75 D alam proses perumusan kebijakan, selain asesmen menyeluruh terkait perekonomian global dan nasional, Bank Indonesia juga selalu mempertimbangkan berbagai dinamika perekonomian dan isu terkini dalam perspektif kewilayahan. Secara periodik, pembahasan menyeluruh terkait perkembangan perekonomian terkini dan berbagai isu strategis yang mengemuka di daerah dilakukan antara Dewan Gubernur dengan Kepala Departemen Regional yang mewakili 3 (tiga) wilayah di seluruh 1 Indonesia . Pembahasan tersebut memberikan pemahaman mendalam terkait kondisi makroekonomi disertai berbagai aspek risiko spasial yang berkembang dan menjadi bagian penting dalam proses perumusan kebijakan. Perekonomian nasional pada triwulan III 2016 masih menunjukkan kinerja yang positif, yaitu tumbuh 5,02%, meskipun sedikit lebih rendah dibandingkan dengan triwulan II 2016 yang tumbuh 5,19%. Pertumbuhan tersebut ditopang oleh masih relatif kuatnya perekonomian di berbagai wilayah. Jawa dan Sumatera, yang memiliki pangsa besar pada perekonomian nasional, masih tumbuh cukup kuat ditopang konsumsi rumah tangga, investasi, serta ekspor antar daerah. Provinsi di kedua wilayah tersebut yang mencatatkan percepatan pertumbuhan adalah Jambi, Lampung, Kepulauan Bangka Belitung, serta Banten. Sementara itu, perekonomian Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang mencakup Kalimantan, Bali-Nusa Tenggara (Balinusra) dan Sulawesi-Maluku-Papua (Sulampua) secara agregat tumbuh meningkat, terutama ditopang membaiknya kinerja ekspor, baik luar negeri maupun antar daerah. Peningkatan pertumbuhan KTI terjadi di hampir seluruh provinsi di Kalimantan, kecuali Kalimantan Selatan, dan sebagian provinsi di Sulampua, yaitu Gorontalo, Sulawesi Barat, Papua, dan Papua Barat. Indikator ekonomi terkini di berbagai daerah mengindikasikan bahwa secara agregat, perekonomian pada triwulan IV 2016 akan tumbuh lebih baik, meskipun dengan level yang masih terbatas. Perbaikan tersebut diprakirakan bersumber dari akselerasi konsumsi rumah tangga dan investasi, serta membaiknya kinerja konsumsi pemerintah dan ekspor. Lebih tingginya pertumbuhan konsumsi rumah tangga didukung masih kuatnya optimisme konsumen dan prakiraan berlanjutnya kenaikan harga komoditas yang mendorong penguatan daya beli. Adapun akselerasi investasi ditopang meningkatnya realisasi belanja fisik, perkembangan pembangunan infrastruktur pemerintah, serta investasi non-bangunan oleh swasta. Di sisi lain, konsumsi pemerintah diperkirakan membaik meski masih terbatas. Perbaikan tersebut dipengaruhi kecenderungan peningkatan pembayaran oleh pemerintah di akhir tahun, meski masih dibayangi dampak dari penundaan DAU terhadap 169 daerah yang mulai berlaku sejak September lalu sampai dengan akhir tahun 2016. Sementara itu, kinerja ekspor mengalami peningkatan, khususnya di Sumatera dan Jawa, terutama didorong kenaikan ekspor antar daerah di tengah tertahannya ekspor luar negeri. Secara keseluruhan tahun 2016, perekonomian secara nasional diperkirakan tumbuh 5,0%; meningkat dibandingkan 2015 yang tumbuh 4,79%. Perkembangan inflasi di berbagai daerah pada triwulan III 2016 (September 2016) terjaga dalam level yang rendah, yakni sebesar 3,07% (yoy). Realisasi inflasi pada periode ini jauh 1 Sesuai SE No.18/86/Intern tentang Departemen Regional I, II, dan III, tanggal 30 September 2016, maka terhitung sejak terbitan kali ini, bahasan ekonomi dan keuangan daerah dibagi menjadi 3 (tiga) wilayah yaitu Sumatera, Jawa, dan Kawasan Timur Indonesia (mencakup Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur). lebih rendah dibandingkan rata-rata 5 tahun terakhir yang mencapai 5,74%. Realisasi inflasi (yoy) pada akhir triwulan III 2016 yang menurun terjadi di Jawa (2,58%) dan KTI (3,47%). Sementara inflasi di Sumatera tercatat sedikit naik, meski masih dalam kisaran target 4±1%, yaitu sebesar 4,28%. Terkendalinya inflasi di sepanjang periode triwulan III 2016 dipengaruhi oleh kembali normalnya harga komoditas utama seperti daging ayam ras, telur ayam, dan berbagai sayuran pasca Lebaran. Tarif angkutan darat dan udara juga kembali normal di berbagai daerah pasca mencapai puncaknya pada Lebaran. Selain itu, masih terjaganya nilai tukar Rupiah meminimalkan dampak imported inflation. Hingga akhir tahun 2016, inflasi berbagai daerah di Jawa, Sumatera, dan KTI, secara agregat akan berada pada kisaran 4±1%. Perekonomian daerah secara agregat pada tahun 2017 diperkirakan tumbuh di kisaran 5,0%-5,4%, lebih tinggi dibanding 2016. Lebih tingginya pertumbuhan ekonomi 2017 tersebut didukung peningkatan pertumbuhan ekonomi di semua wilayah. Cukup kuatnya optimisme konsumen diperkirakan mampu menopang pertumbuhan konsumsi rumah tangga serta perdagangan antar daerah. Selain itu, pembangunan infrastruktur pemerintah di berbagai daerah diperkirakan akan mendorong investasi fisik di berbagai daerah. Di sisi lain, inflasi pada 2017 diperkirakan tetap berada dalam kisaran sasaran inflasi nasional 4±1%. Hal tersebut didukung terkendalinya inflasi inti seiring stabilnya nilai tukar rupiah serta berkurangnya potensi risiko cuaca yang dapat mengganggu produksi tanaman pangan dan hortikultura, yang tidak setinggi tahun 2016. Pada edisi kali ini, Laporan Nusantara mengangkat isu khusus mengenai “Mempercepat Transformasi Industri Manufaktur untuk Mewujudkan Industrialisasi Indonesia yang Berdaya Saing Global”. Isu tersebut penting diangkat karena di tengah gejala deindustrialisasi selama satu dekade terakhir, Indonesia perlu segera kembali menata dan membangun industri manufakturnya melalui upaya transformasi industri. Pengalaman negara-negara maju, membuktikan bahwa industri manufaktur mampu menjadi sumber pertumbuhan ekonomi yang kuat dan sustainable. Oleh karena itu strategi transformasi industri yang komprehensif, terkoordinasi dan terencana sangat dibutuhkan guna mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia serta untuk menjaga agar Indonesia bebas dari Middle Income Trap. Dalam kaitan dengan hal tersebut, transformasi industri perlu dilakukan dengan berfokus pada mengatasi tantangan baik yang bersifat jangka pendek maupun jangka menengah panjang atau struktural yang selama ini dihadapi industri manufaktur di Indonesia. Penyusunan buku Laporan Nusantara ini dilakukan secara bersama antara Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter (DKEM) serta Departemen Regional I, II, dan III yang masing-masing membawahi regional Sumatera, Jawa, dan Kawasan Timur Indonesia. Akhir kata, kami berharap buku Laporan Nusantara ini dapat bermanfaat dan menjadi acuan bagi para pemangku kepentingan dan pemerhati ekonomi daerah, serta menjadi salah satu kontribusi Bank Indonesia dalam pembangunan ekonomi daerah. Jakarta, 23 November 2016 Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Juda Agung Direktur Eksekutif Perkembangan Terkini Perekonomian Daerah Perekonomian nasional pada triwulan III 2016 masih menunjukkan kinerja yang positif, yaitu tumbuh 5,02%. Pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan triwulan II 2016 sebesar 5,19% tersebut ditopang oleh masih relatif kuatnya perekonomian di berbagai wilayah. Perekonomian Jawa dan Sumatera, yang memiliki pangsa besar pada perekonomian nasional, masih tumbuh cukup kuat. Provinsiprovinsi yang mencatat percepatan pertumbuhan adalah Jambi, Lampung, Kepulauan Bangka Belitung serta Banten. Khusus Banten, pertumbuhannya ditopang oleh peningkatan ekspor antar provinsi dan peningkatan kinerja industri pengolahan, terutama terkait subindustri petrokimia. Perekonomian Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang mencakup Kalimantan, BaliNusa Tenggara (Balinusra) dan Sulawesi-MalukuPapua (Sulampua) secara agregat tumbuh meningkat. Peningkatan pertumbuhan KTI terjadi di hampir seluruh provinsi di Kalimantan, kecuali Kalimantan Selatan, dan sebagian provinsi di Sulampua, yaitu Gorontalo, Sulawesi Barat, Papua, dan Papua Barat. Perekonomian Sumatera tumbuh sebesar 3,88% pada triwulan III 2016 didukung oleh membaiknya net ekspor serta masih terjaganya konsumsi. Tingkat pertumbuhan triwulan laporan, meski lebih rendah dibandingkan pertumbuhan triwulan sebelumnya yaitu 4,44%, didorong oleh perbaikan ekspor terutama dari membaiknya ekspor CPO antar daerah akibat permintaan domestik yang terus menguat. Meski demikian, perbaikan harga komoditas ekspor utama Sumatera yang masih terbatas menyebabkan ekspor luar negeri tumbuh di level yang rendah. Di sisi lain, pertumbuhan konsumsi 1 rumah tangga yang lebih kuat terhambat oleh terbatasnya perbaikan daya beli yang tercermin dari Nilai Tukar Petani dan keyakinan konsumen. Sementara itu, konsumsi pemerintah mengalami kontraksi pada triwulan laporan dan terjadi di hampir seluruh provinsi di Sumatera, kecuali Kepulauan Riau dan Kepulauan Bangka Belitung. Hal tersebut dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah pusat dalam menjaga ketahanan fiskal berupa kebijakan pengurangan dan penundaan transfer ke daerah serta pemotongan belanja Kementerian/Lembaga. Sementara itu, perlambatan investasi dipengaruhi menurunnya kinerja investasi bangunan terkait perkembangan proyek pemerintah yang terhambat pada masalah pembebasan lahan. Investasi sektor swasta masih tertahan akibat perbaikan kondisi perekonomian yang cenderung terbatas. Ekonomi Jawa tumbuh cukup kuat mencapai 5,57%, meskipun melambat dibandingkan triwulan sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi Jawa pada triwulan laporan ditopang investasi, khususnya non-bangunan, serta ekspor antar daerah yang tercatat tumbuh lebih tinggi. Pergeseran puncak konsumsi Ramadhan ke triwulan II pada 2016, menyebabkan terbatasnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Pertumbuhan konsumsi yang terbatas khususnya terjadi pada konsumsi makanan dan minuman serta sandang. Konsumsi pemerintah tercatat mengalami kontraksi meski tidak sedalam Sumatera. Upaya rasionalisasi anggaran seiring kebijakan penundaan DAU, serta pergeseran penyaluran gaji ke-13 dan ke-14 menjadi di triwulan II 2016, turut memengaruhi turunnya pertumbuhan konsumsi pemerintah. Di sisi lain, perekonomian Kawasan Timur Indonesia (KTI) tercatat tumbuh meningkat. Pada triwulan III 2016, perekonomian berbagai daerah di KTI secara agregat tumbuh 5,32%, lebih tinggi dibanding triwulan II yang tumbuh 3,88%. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi KTI ditopang oleh membaiknya kinerja ekspor, baik luar negeri maupun antar daerah, terutama di Kalimantan dan Sulampua. Selain itu, peningkatan pertumbuhan juga didorong oleh membaiknya investasi, khususnya investasi bangunan di Kalimantan dan Balinusra seiring masih berjalannya proyek infrastruktur pemerintah. Di sisi lain, sejalan dengan kondisi di Sumatera dan Jawa, konsumsi pemerintah di KTI juga tumbuh negatif; yang terutama terjadi di seluruh provinsi di Kalimantan, sebagian Sulawesi, serta di NTT dan Maluku Utara. Secara wilayah, perekonomian Kalimantan dan Sulampua tercatat tumbuh lebih tinggi dibanding triwulan lalu yang didorong oleh ekspor. Hal tersebut didukung beroperasinya smelter bauksit baru untuk memproduksi alumina di Kalimantan Barat serta peningkatan produksi untuk mencapai target pasca perbaikan mesin produksi tembaga di Papua. Sementara perekonomian Balinusra mencatatkan pertumbuhan yang lebih rendah seiring kontraksi penjualan konsentrat mineral di NTB, penurunan investasi di Bali, serta dalamnya kontraksi konsumsi pemerintah di NTT. Gambar I.1. Peta Pertumbuhan Ekonomi Daerah Triwulan III 2016 Indikator ekonomi terkini di berbagai daerah mengindikasikan perekonomian pada triwulan IV 2016 secara agregat tumbuh membaik, meski masih terbatas. Perbaikan tersebut ditopang oleh akselerasi konsumsi rumah tangga dan investasi, serta membaiknya kinerja konsumsi pemerintah dan ekspor. Lebih tingginya pertumbuhan konsumsi rumah tangga didukung masih kuatnya optimisme konsumen dan prakiraan kenaikan harga komoditas yang mendorong penguatan daya beli. Adapun akselerasi investasi ditopang meningkatnya realisasi belanja fisik, perkembangan pembangunan infrastruktur pemerintah, serta investasi non-bangunan oleh swasta. Di sisi lain, konsumsi pemerintah diperkirakan membaik meski masih terbatas. Perbaikan tersebut dipengaruhi kecenderungan 2 pembayaran pemerintah di akhir tahun, meski masih dibayangi dampak dari penundaan DAU terhadap 169 daerah yang mulai berlaku sejak September lalu sampai dengan akhir tahun 2016. Sementara itu, kinerja ekspor membaik, khususnya di Sumatera dan Jawa, terutama didorong ekspor antar daerah di tengah tertahannya ekspor luar negeri. Di Sumatera, perbaikan ekspor antar daerah didorong membaiknya permintaan CPO domestik di tengah masih terbatasnya permintaan ekspor luar negeri. Di Jawa, peningkatan ekspor lebih didorong ekspor antar daerah terutama untuk komoditas pertanian, produk makanan-minuman, dan tekstil seiring dengan masih kuatnya permintaan domestik. Disamping itu, sebagai bagian dari upaya perbaikan kinerja ekspor, pelaku usaha di Jawa mulai melakukan perluasan atau diversifikasi negara tujuan ekspor guna meningkatkan pertumbuhan ekspor luar negeri. Di sisi lain, kinerja ekspor di KTI justru tumbuh melambat yang berkontribusi dalam perlambatan pertumbuhan KTI secara keseluruhan pada triwulan IV 2016. Hal tersebut terutama dipengaruhi melambatnya ekspor CPO, LNG, dan kayu karena terbatasnya perbaikan harga. Tabel I.1. Tendensi Arah Perekonomian Daerah Triwulan IV 2016* Komponen PDRB AGREGASI SUMATERA Tendensi Asesmen JAWA Tendensi Asesmen KAWASAN TIMUR INDONESIA Tendensi Asesmen Pertumbuhan Ekonomi Didorong akselerasi Konsumsi, Investasi, serta Ekspor. Pertanian, Pertambangan, dan Industri Pengolahan diperkirakan tumbuh meningkat. Konsumsi RT Kenaikan harga komoditas diperkirakan akan mendorong daya beli masyarakat. Konsumsi Pemerintah Peningkatan realisasi belanja barang & jasa pemerintah. Investasi (PMTB) Peningkatan realisasi belanja fisik pemerintah. Ekspor Membaiknya permintaan CPO domestik di tengah tertahannya ekspor LN. Pelaku usaha mulai melakukan perluasan negara tujuan ekspor guna meningkatkan pertumbuhan ekspor. Perlambatan ekspor CPO, LNG, dan kayu karena terbatasnya perbaikan harga. Impor Meningkatnya impor bahan baku & barang modal. Sejalan dengan kinerja industri manufaktur, terutama impor bahan baku dan barang modal. Terutama disumbang kenaikan impor barang konsumsi & barang modal. Didorong akselerasi Konsumsi, Investasi, dan Ekspor; serta akselerasi Industri Pengolahan, Konstruksi, dan Perdagangan. Kenaikan optimisme konsumen yang didukung faktor musiman dan Pilkada, serta terjaganya inflasi mendorong tingkat konsumsi masyarakat. Kecenderungan pola realisasi serta penagihan & pembayaran belanja Pemerintah akhir tahun. Pelonggaran kebijakan LTV/FTV mendorong pembangunan properti; meski dapat tertahan oleh pemotongan belanja modal pemerintah pasca penundaan DBH. Dipengaruhi menurunnya kinerja ekspor dan melambatnya pertumbuhan sektor utama selain Pertanian & Akomodasi. Ekspektasi masyarakat terhadap ekonomi ke depan meningkat dan berada di level optimis. Meningkatnya belanja pemerintah sesuai pola akhir tahun. Masih berlanjutnya proyek infrastruktur pemerintah serta investasi swasta a.l. Pembangunan pabrik gula di NTB. * Tendensi arah kondisi ekonomi secara tahunan (year-on-year) Keterangan : merah (berkontribusi negatif terhadap PDRB), hijau (berkontribusi positif terhadap PDRB) Secara keseluruhan tahun 2016, perekonomian daerah secara agregat diprakirakan tumbuh lebih baik dibandingkan tahun 2015, meski sedikit lebih rendah dari prakiraan sebelumnya. Perbaikan perekonomian terutama ditopang oleh meningkatnya kinerja pertumbuhan ekonomi Jawa dan Sumatera. Meski demikian, perbaikan perekonomian masih dibayangi risiko belum optimalnya penyerapan belanja daerah di tengah kebijakan konsolidasi fiskal pemerintah. Selain itu, masih terbatasnya perbaikan ekonomi global yang berimbas pada terbatasnya ekspor daerah diperkirakan turut menahan peningkatan yang lebih tinggi pada kinerja perekonomian daerah secara keseluruhan. Melihat berbagai perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi keseluruhan tahun 2016 diperkirakan berada di kisaran 4,9%-5,3% (yoy), sedikit lebih rendah dari perkiraan sebelumnya. 3 Pertumbuhan ekonomi Jawa diprakirakan ditopang oleh konsumsi & investasi seiring mulai membaiknya kondisi ekonomi, pendapatan masyarakat, dan persepsi pelaku usaha. Hal tersebut tercermin dari indeks keyakinan konsumen yang membaik secara gradual sejak pertengahan tahun. Selain itu, berlanjutnya pembangunan infrastruktur berskala besar di berbagai daerah di Jawa turut mendorong perbaikan ekonomi Jawa secara keseluruhan. Meski demikian, masih terbatasnya perbaikan ekonomi negara tujuan ekspor utama di tengah menurunnya volume perdagangan dunia diprakirakan menekan pertumbuhan ekspor luar negeri dan kinerja industri pengolahan. Pertumbuhan ekonomi Sumatera diprakirakan bersumber dari meningkatnya realisasi proyek infrastruktur pemerintah disertai masih kuatnya konsumsi rumah tangga. Pembangunan beberapa proyek infrastruktur berskala besar di Sumatera seperti pembangunan jalan trans Sumatera, pembangkit listrik, dan sarana penunjang kegiatan Asian Games 2018 diperkirakan dapat mendorong investasi dan kinerja perekonomian secara keseluruhan. Selain itu, masih kuatnya konsumsi domestik mendorong ekspor antar daerah serta kinerja industri pengolahan CPO. Di sisi lain, perekonomian KTI diprakirakan tumbuh lebih rendah dibanding tahun lalu, meski sedikit lebih tinggi dibanding perkiraan sebelumnya. Prakiraan melambatnya ekonomi KTI dipengaruhi turunnya produksi pertambangan utama seperti minyak bumi di Kalimantan, nikel di Sulawesi, dan tembaga di Nusa Tenggara. Kondisi ini mengakibatkan kontraksi ekspor yang lebih dalam. Selain itu, kinerja investasi dan konsumsi pemerintah tumbuh tidak setinggi perkiraan seiring realisasi target pembangunan proyek infrastruktur pemerintah yang belum optimal serta tantangan kebijakan penghematan fiskal. Meski demikian, pertumbuhan ekonomi KTI masih akan berada di level yang cukup tinggi karena ditopang oleh konsumsi yang masih kuat seiring prospek peningkatan pendapatan pada usaha jasa dan perdagangan. Stabilitas Keuangan Daerah Sejalan dengan kondisi ekonomi, kinerja keuangan sektor korporasi pada triwulan III 2016 menunjukkan perlambatan. Hal ini tercermin dari penyaluran kredit ke sektor korporasi yang tumbuh sebesar 13,9% (yoy), lebih rendah dibanding triwulan lalu 17,4% (yoy). Angka pertumbuhan tersebut juga lebih rendah dibanding rata-rata pertumbuhan 3 tahun terakhir yang mencapai 16,5%. Perlambatan penyaluran kredit korporasi terdalam terjadi di Sumatera, yakni dari 18,0% menjadi 12,8%, terutama dipengaruhi perlambatan kredit ke Pertanian dan Perdagangan. Kredit korporasi di Jawa juga melambat dari 18,2% menjadi 14,5%. 4 Sementara pertumbuhan penyaluran kredit korporasi di KTI justru sedikit membaik, dari 10,8% menjadi 11,2% terutama ditopang membaiknya kredit ke Pertanian. Kondisi perlambatan pertumbuhan kredit ini perlu diwaspadai seiring cenderung meningkatnya risiko non performing loans (NPL) di berbagai lapangan usaha utama daerah, terutama di Perdagangan dan Pertanian. Kinerja keuangan sektor rumah tangga juga mengalami tekanan. Hal ini tercermin dari penyaluran kredit ke sektor rumah tangga yang tumbuh 6,4%, lebih rendah dibanding triwulan lalu yang mencapai 7,6%. Perlambatan tersebut terjadi di semua wilayah, pada berbagai jenis kredit termasuk kredit kendaraan bermotor, kredit pemilikan rumah, serta kredit multiguna. Perlambatan kredit ke sektor rumah tangga tersebut perlu diwaspadai karena diiringi kenaikan NPL, meski masih di bawah batas aman 5%. Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah Aktivitas transaksi keuangan selama periode triwulan III 2016 menurun signifikan sejalan dengan perlambatan ekonomi. Nilai transaksi keuangan melalui sistem Real Time Gross Settlement (RTGS) sepanjang triwulan III 2016 tumbuh negatif 6,34% (yoy) atau senilai Rp26.274 triliun, lebih rendah dibanding periode triwulan sebelumnya yang tumbuh negatif 3,64%. Demikian halnya dari sisi volume yang menunjukkan penurunan transaksi pada sistem RTGS, yakni tumbuh dari -47,77% menjadi 53,25% atau sekitar 1,37 juta transaksi. Penurunan aktivitas transaksi keuangan juga terlihat pada kliring. Perputaran kliring melalui Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) pada triwulan III 2016 secara nominal tumbuh 15,70% atau senilai Rp848 triliun, turun signifikan dibanding triwulan lalu yang tumbuh 56,22%. Secara volume, transaksi perputaran kliring juga melambat signifikan dari 50,75% menjadi 19,70%. Gambar I.2. Peta Inflasi Daerah, Oktober 2016 (yoy) Peredaran uang kartal menunjukkan penurunan seiring perlambatan pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Hal tersebut tercermin dari kontraksi outflow uang kartal dari Bank Indonesia sepanjang triwulan III 2016, yaitu negatif 32,4% (yoy), jauh lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh 62,2% (yoy). Perkembangan Inflasi Perkembangan inflasi di berbagai daerah sepanjang triwulan III 2016 terjaga dalam level yang cukup rendah. Realisasi inflasi pada akhir triwulan III 2016 (September 2016), secara agregat tercatat sebesar 3,07% (yoy). Realisasi inflasi pada periode ini jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata historisnya dalam 5 tahun terakhir yang mencapai 5,74%. Secara umum, terkendalinya inflasi di sepanjang periode triwulan III 2016 dipengaruhi oleh kembali normalnya harga komoditas utama seperti daging ayam ras, telur ayam, dan berbagai sayuran pasca Lebaran. Tarif angkutan darat dan udara juga kembali normal di berbagai daerah pasca mencapai puncaknya pada Lebaran. Selain itu, masih terjaganya nilai tukar Rupiah meminimalisasi dampak imported inflation. Realisasi inflasi (yoy) pada akhir triwulan III 2016 tercatat menurun di Jawa (2,58%) dan KTI (3,47%). Namun, inflasi Sumatera tercatat sedikit naik meski masih dalam kisaran target 4±1%, yaitu menjadi sebesar 4,28%. Realisasi inflasi Sumatera yang lebih tinggi didorong inflasi pada 5 komoditas cabai merah di berbagai daerah di Sumatera. Memasuki awal triwulan IV 2016, tekanan inflasi masih terjaga di berbagai daerah di Jawa dan KTI. Per Oktober 2016, berbagai daerah di Jawa mencatatkan inflasi sebesar 2,79%, sedangkan inflasi KTI tercatat sebesar 3,47%. Kondisi tersebut ditopang stabilnya harga pangan seiring dengan pasokan yang cukup memadai serta intensifnya upaya pemerintah untuk mengendalikan harga-harga komoditas pangan. Di sisi lain, inflasi Sumatera justru naik cukup tinggi diatas kisaran, yakni mencapai 5,03%.. Provinsi yang mencatatkan inflasi tinggi di Sumatera per Oktober 2016 adalah Sumatera Utara (7,38%), Sumatera Barat (6,13%), Bengkulu (5,72%), dan Bangka Belitung (5,04%). Penyebab utamanya adalah kenaikan harga komoditas cabai merah akibat serangan virus kuning, yang merusak ribuan hektar areal tanam. Meski demikian, penangan kuratif dan preventif telah dilakukan oleh Pemda berbagai daerah di Sumatera. Tekanan inflasi pada Oktober 2016 lebih bersumber dari kenaikan harga cabai merah, tarif listrik, bahan bakar rumah tangga, rokok kretek filter, serta ikan dencis. Meski demikian, tekanan inflasi mampu ditahan oleh penurunan harga komoditas pangan seperti bawang merah, daging ayam ras, kentang, dan telur ayam ras, seiring terjaganya pasokan. Hingga akhir triwulan IV 2016, inflasi berbagai daerah di Jawa, Sumatera, dan KTI secara agregat akan berada pada kisaran 4±1%. Beberapa risiko inflasi hingga akhir tahun 2016 antara lain faktor musiman naiknya permintaan menjelang natal & tahun baru yang turut mendorong naiknya harga tiket pesawat, serta La Nina yang berdampak pada tanaman hortikultura, meski dampaknya tidak setinggi perkiraan sebelumnya. Prospek dan Tantangan Ekonomi Daerah Prospek Ekonomi Daerah Perekonomian daerah secara agregat pada tahun 2017 diperkirakan tumbuh di kisaran 5,0%-5,4%, lebih tinggi dibanding 2016. Lebih tingginya pertumbuhan ekonomi 2017 tersebut didukung peningkatan pertumbuhan ekonomi di semua wilayah. Cukup kuatnya optimisme konsumen diperkirakan mampu menopang pertumbuhan konsumsi rumah tangga serta perdagangan antar daerah. Selain itu, pembangunan infrastruktur pemerintah di berbagai daerah diprakirakan masih akan mendorong investasi fisik di berbagai daerah. Beberapa paket kebijakan terkait deregulasi perijinan dan berbagai insentif investasi diharapkan mampu menarik investasi swasta yang lebih tinggi di sepanjang tahun 2017. Adanya Pilkada serentak di berbagai daerah pada 2017 di tengah capaian positif tax amnesty, diharapkan mampu memperkuat kondisi fiskal pemerintah dan meningkatkan kinerja konsumsi pemerintah. Sementara itu, perekonomian dunia dan volume perdagangan dunia yang diproyeksikan tumbuh lebih tinggi, serta perbaikan harga komoditas seperti minyak, gas alam, CPO, karet, aluminium, timah, dan nikel diprakirakan akan mendorong peningkatan ekspor di berbagai daerah. Di sisi lain, inflasi pada 2017 diperkirakan masih berada dalam kisaran sasaran inflasi nasional 4±1%. Hal tersebut didukung terkendalinya inflasi inti seiring stabilnya nilai tukar rupiah serta 6 ancaman cuaca yang dapat mengganggu produksi tanaman pangan dan hortikultura tidak setinggi pada 2016. Meski demikian, masih terdapat beberapa risiko yang masih membayangi kedepan, antara lain (i) kenaikan harga minyak dunia yang berpotensi mengerek harga BBM; (ii) kenaikan Tarif Tenaga Listrik (TTL) sebanyak tiga kali (Januari, Maret, dan Mei 2017) untuk pelanggan 900 VA; (iii) kemungkinan kenaikan TTL bertahap untuk pelanggan 450 VA pada Juli, Agustus, September dan Oktober 2017; (iv) kebijakan distribusi tertutup terhadap LPG 3 kilogram dengan menaikkan harganya sesuai harga keekonomiaannya; serta (v) kenaikan cukai rokok. Kedepan, Pemerintah Daerah perlu memberi perhatian khusus yang berimbang baik pada pencapaian pertumbuhan ekonomi maupun pengendalian inflasi. Hal tersebut sesuai dengan arahan Presiden pada Rakornas TPID VII 2017. Dalam konteks pengendalian inflasi kedepan, Pemerintah Daerah perlu (i) segera membentuk TPID bagi daerah yang belum memilikinya; (ii) merumuskan dukungan intervensi atau program pengendalian harga yang diperlukan dengan alokasi APBD yang memadai; (iii) bersama-sama dengan penegak hukum untuk melakukan pengawasan kewajaran stok pangan di gudanggudang daerah secara berkala; (iv) melakukan monitoring kondisi infrastruktur distribusi pangan daerah dan segera melakukan perbaikan yang diperlukan; serta (v) mencermati kondisi distribusi pasokan pangan dan mengidentifikasi faktor-faktor yang memicu disparitas harga. Tantangan Ke Depan Kedepan, perekonomian di berbagai daerah akan dihadapkan pada berbagai tantangan, baik tantangan global maupun domestik. Tantangan global yang membayangi adalah proyeksi tertahannya perbaikan ekonomi negara mitra dagang, khususnya Eropa dan sebagian Asia. Selain itu, kebijakan AS yang diperkirakan akan cenderung berpandangan ke dalam (inwardlooking) dan protektif berpotensi menurunkan volume perdagangan dunia. Meski dampak langsung terhadap kinerja investasi dan ekspor Indonesia tidak terlalu besar, mengingat eksposur ekspor yang relatif kecil, namun dampak tidak langsungnya perlu dicermati. Kebijakan trade protectionism AS berpotensi menekan PDB Tiongkok sebagai pengekspor terbesar ke AS. Hal tersebut kemudian dapat berdampak pada kinerja ekspor berbagai daerah yang menempatkan Tiongkok sebagai salah satu tujuan utama ekspor. Di sisi domestik, kondisi fiskal masih cukup terbatas seiring potensi pajak yang belum terserap secara optimal. Disamping itu, proses transisi kepemimpinan daerah hasil Pilkada 2017 berisiko dapat menghambat pengambilan kebijakan strategis terkait pembangunan infrastruktur. Momen Pilkada juga berpotensi mendorong investor untuk cenderung berperilaku wait and see. Di sisi lain, kebijakan peningkatan Domestic Market Obligation (DMO) mineral dan batubara di tengah belum kuatnya serapan domestik, berpotensi menahan peningkatan produksi. Lebih jauh, larangan ekspor mineral mentah yang efektif berlaku sejak awal tahun 2017 juga berpotensi menekan kinerja ekspor pertambangan. Sementara itu, langkah pengendalian inflasi masih dihadapkan pada berbagai risiko dan tantangan struktural. Masih terbatasnya kapasitas produksi pangan, struktur pasar yang belum efisien, dan infrastruktur logistik yang belum memadai merupakan tantangan terbesar bagi stabilitas harga pangan dalam jangka panjang. Kondisi ini menyebabkan tingginya ketergantungan produksi pangan terhadap faktor iklim dan cuaca, serta besarnya disparitas harga antara produsen-konsumen maupun antarwilayah. Di samping itu, masih terbatasnya kapasitas dan akses transportasi di beberapa daerah juga sering kali mendorong kenaikan inflasi yang bersumber dari angkutan, terutama pada periode peak seasons. 7 Untuk mengatasi berbagai risiko tersebut, strategi kebijakan yang terintegrasi dan koordinasi yang intensif antara pusat-daerah perlu secara konsisten dilakukan dan diperkuat. Langkah koordinasi diarahkan pada upaya untuk mengakselerasi pembangunan berbagai infrastruktur utama, memperkuat kebijakan yang ramah bagi iklim usaha dan investasi, serta mendorong transformasi industri yang berdaya saing tinggi. Berbagai hal tersebut diperlukan dalam kerangka mencapai pertumbuhan ekonomi Indonesia yang kuat, berkelanjutan, dan inklusif. Strategi transformasi industri penting dilakukan untuk mendorong Indonesia keluar dari Middle Income Trap. Untuk mendekati level High Income Group, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2017-2030 perlu tumbuh rata-rata minimal 7,1% per tahun. Angka pertumbuhan setinggi itu tidak mungkin tercapai jika kita tidak segera melakukan reformasi ekonomi dengan mengoptimalkan sumber pertumbuhan ekonomi baru (new engine of growth). Pertumbuhan industri manufaktur terbukti mampu menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi di berbagai negara maju. Oleh karena itu, di tengah gejala deindustrialisasi selama satu dekade terakhir, Indonesia perlu kembali menata dan membangun industri manufakturnya melalui transformasi industri yang komprehensif, terkoordinasi dan terencana. Dalam kaitan dengan hal tersebut, transformasi industri perlu dilakukan dengan memfokuskan pada mengatasi tantangan baik yang bersifat jangka pendek maupun yang bersifat jangka menengah atau struktural (Lihat Isu Khusus “Mempercepat Transformasi Industri Manufaktur Untuk Mewujudkan Industrialisasi Indonesia yang Berdaya Saing Global”). “halaman ini sengaja dikosongkan” 8 Perekonomian Sumatera pada triwulan III 2016 tumbuh 3,9% (yoy), atau melambat dibandingkan pertumbuhan triwulan sebelumnya 4,5% (yoy). Perlambatan tersebut disebabkan oleh melemahnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, dan investasi swasta. Dari sisi sektoral, belum kuatnya permintaan eksternal, harga komoditas, serta dampak gagal panen di sektor pertanian mempengaruhi kinerja pertambangan, pertanian dan industri pengolahan. Inflasi selama triwulan laporan meningkat dari 3,71% (yoy) menjadi 4,28% (yoy) disebabkan oleh inflasi komoditas volatile food, khususnya cabai merah akibat wabah virus kuning di sejumlah sentra produksi. Sementara itu, kondisi stabilitas keuangan daerah masih terjaga dengan rasio NPL yang relatif terkendali dan mampu mendukung akselerasi ekonomi Sumatera ditengah perlambatan pertumbuhan kredit dan simpanan Dana Pihak Ketiga. Pada triwulan IV 2016, aktivitas ekonomi diperkirakan kembali meningkat ditopang oleh perbaikan konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah serta realisasi investasi. Dengan perkembangan tersebut, ekonomi Sumatera 2016 diperkirakan lebih baik dari capaian tahun 2015 yaitu di kisaran 3,9%– 4,4%. Secara umum, motor penggerak pertumbuhan ekonomi masih bertumpu pada konsumsi rumah tangga, investasi, serta ekspor. Sementara itu, inflasi 2016 diprakirakan masih dalam kisaran targetnya 4±1% meskipun terdapat tekanan inflasi volatile food. Proses perbaikan ekonomi dan kestabilan inflasi diperkirakan akan terus berlanjut pada 2017 walaupun terdapat beberapa risiko kenaikan harga kelompok administered prices. Peningkatan perekonomian diharapkan bersumber dari perbaikan konsumsi dan ekspor. Sementara laju inflasi akan tetap terkendali dalam kisaran target, sejalan dengan terkendalinya pasokan pangan seiring dengan perbaikan jalur distribusi, pola tanam, dan koordinasi yang erat antar lembaga dan instansi terkait. Pertumbuhan Ekonomi Perekonomian Sumatera pada triwulan III 2016 masih tumbuh cukup kuat sebesar 3,9% (yoy), meski lebih rendah dari pertumbuhan triwulan sebelumnya sebesar 4,5%. Kondisi ini didorong oleh melambatnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga dan konsumsi pemerintah serta investasi. Laju pertumbuhan yang lebih rendah tersebut terjadi pada sebagian besar provinsi di Sumatera, kecuali Lampung, Jambi, dan Bangka Belitung (Tabel II.1). Tertahannya pertumbuhan konsumsi rumah tangga di Sumatera dipengaruhi oleh penurunan daya beli masyarakat. Pada periode laporan, konsumsi rumah tangga tercatat tumbuh 4,9% (yoy), lebih rendah dibandingkan pertumbuhan triwulan II 2016 sebesar 5,5% (yoy). Kondisi ini tercermin dari penurunan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) dari 118,37 pada triwulan II 2016 9 menjadi 108,87 pada triwulan III 2016 (Grafik II.1). Selain itu, Nilai Tukar Petani (NTP) juga menurun dari 98,81 menjadi 97,79 pada triwulan laporan. Tabel II.1 . Pertumbuhan Ekonomi Daerah di Sumatera 2015 Indikator Makroekonomi Daerah III IV PDRB (% YoY) 3.1 4.6 Aceh -0.3 Sumut 5.1 Sumbar 2015 2016 I II II 3.5 4.2 4.5 3.9 1.4 -0.7 3.7 3.5 2.2 5.3 5.1 5.0 5.7 5.3 4.9 5.7 5.4 5.5 5.8 4.8 Riau -1.4 4.5 0.2 2.3 2.4 1.1 Jambi 4.4 3.2 4.2 3.4 3.6 4.0 Kep. Riau 5.4 5.2 6.0 4.6 5.4 4.6 Sumsel 4.8 3.9 4.4 4.9 5.1 4.8 Bengkulu 5.2 4.9 5.1 5.0 5.4 5.2 Lampung 5.2 5.3 5.1 5.1 5.2 5.3 Kep. Babel 4.0 4.3 4.1 3.3 3.7 3.8 Sumber: BPS Penurunan konsumsi pemerintah akibat kebijakan konsolidasi fiskal oleh Pemerintah. Konsumsi pemerintah yang sebelumnya tumbuh positif 7,5% (yoy) pada triwulan II 2016 menjadi terkontraksi atau tumbuh negatif 5,8% (yoy) pada triwulan laporan. Penurunan konsumsi pemerintah yang terjadi di seluruh provinsi tersebut, sebagian besar merupakan dampak dari kebijakan konsolidasi anggaran pemerintah melalui penyesuaian anggaran pemerintah daerah, penundaan DAU, dan pengurangan DBH. Grafik II.1. Perkembangan Indeks Keyakinan Konsumen Realisasi investasi pada triwulan III 2016 tercatat tumbuh sebesar 4,5% (yoy), lebih rendah daripada triwulan sebelumnya sebesar 6,0% (yoy). Menurunnya investasi tersebut terutama disebabkan oleh realisasi pembangunan infrastruktur pemerintah berskala besar yang masih terkendala, terutama karena masalah pembebasan lahan dan perilaku wait and see sektor swasta dalam berinvestasi. Investasi yang dilakukan pada triwulan III 2016 lebih bersifat pemeliharaan rutin. Penurunan investasi sejalan dengan penurunan laju pertumbuhan kredit investasi dari sebelumnya 8,95% menjadi 6,50%. Selain itu, berdasarkan hasil liaison, angka likert scale dari investasi menunjukkan penurunan pada triwulan III 2016 menjadi 0,66 (Grafik II.2). Kinerja ekspor luar negeri terkontraksi makin dalam karena belum pulihnya pasar global. Ekspor Sumatera berhasil tumbuh sebesar 1,8% (yoy), masih lebih rendah dibandingkan triwulan II 2016 yang tumbuh 2,4% (yoy). Perlambatan ekspor terutama disebabkan oleh komponen ekspor luar negeri yang kontraksinya semakin dalam dari -9,8% (yoy) pada triwulan II 2016 10 menjadi -10,8% (yoy). Hal ini disebabkan oleh belum pulihnya permintaan global dan harga komoditas ekspor unggulan yang masih belum membaik (Grafik II.3). Sementara, Kinerja ekspor antar daerah yang cukup tinggi (16,8%) mampu menahan perlambatan lebih dalam pada kinerja ekspor Sumatera. Penurunan kinerja ekspor terutama terjadi di Provinsi Aceh dan Riau yang mencatatkan kontraksi ekspor sebesar 4,2% (yoy) dan 2,7% (yoy). Grafik II.2. Perkembangan Likert Scale Kapasitas Produksi dan Investasi Sumber: Bloomberg Grafik II.3. Perkembangan Harga CPO dan Karet Pekonomian Sumatera triwulan IV 2016 diprakirakan akan lebih baik dibandingkan triwulan III 2016. Pertumbuhan ekonomi triwulan IV 2016 diprakirakan akan mencapai 4,3% (yoy) didukung oleh pertumbuhan hampir seluruh komponen pengeluaran seperti konsumsi rumah tangga dan pemerintah, serta investasi. Peningkatan tersebut juga didukung oleh faktor musiman akhir tahun yang diprakirakan akan mendorong peningkatan konsumsi masyarakat serta realisasi belanja modal pemerintah terkait proyek infrastruktur. Indikasi adanya peningkatan kinerja proyek-proyek infrastruktur tercermin dari kecenderungani peningkatan impor besi dan baja Sumatera (Grafik II.4). penurunan produksi tanaman bahan makanan (tabama) dan perkebunan di beberapa sentra produksi menjadi faktor penyebab utama penurunan kinerja lapangan usaha pertanian. Penurunan produksi antara lain terjadi pada komoditas cabai merah akibat faktor tingginya intensitas hujan dan wabah virus kuning dan keriting. Penurunan kinerja sektor pertanian juga terindikasi dari penurunan pertumbuhan kredit sektor pertanian di berbagai daerah di Sumatera. (Grafik II.5). Grafik II.4. Perkembangan Impor Besi dan Baja 2 Sementara itu, peningkatan ekspor diprakirakan akan ditopang oleh prospek peningkatan harga komoditas. Harga komoditas yang meningkat tersebut selanjutnya akan menjadi stimulus bagi peningkatan produksi perkebunan, kinerja industri pengolahan, dan kinerja sektor pertambangan, khususnya batubara. Peningkatan kinerja pertambangan batubara terjadi seiring dengan penambahan permintaan batubara untuk menopang operasional sejumlah PLTU baru dan infrastruktur pendukungnya. Peningkatan konsumsi rumah tangga yang terjadi seiring perbaikan daya beli masyarakat dan dukungan belanja pemerintah serta investasi yang berlangsung sepanjang 2016, akan mampu mengangkat mengakselerasi perekonomian Sumatera pada keseluruhan 2016 lebih tinggi dibanding 2015. Kinerja Lapangan Usaha Pertanian Kinerja sektor pertanian di Sumatera pada triwulan III 2016 mengalami perlambatan dibandingkan triwulan sebelumnya. Kinerja lapangan usaha pertanian pada triwulan laporan tumbuh 4,0% (yoy), lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 4,2% (yoy). Adanya kegagalan panen yang berdampak pada Grafik II.5. Pertumbuhan Kredit Pertanian Pada triwulan IV 2016, kinerja lapangan usaha pertanian diprakirakan akan kembali meningkat. Walaupun masih dengan kenaikan yang terbatas, program ketahanan pangan yang dilaksanakan pemerintah telah mampu meningkatkan produksi pertanian. Selain itu, peningkatan terbatas harga internasional beberapa komoditas perkebunan, khususnya komoditas kelapa sawit, diprakirakan mampu mendorong optimisme perbaikan kinerja lapangan usaha pertanian. Selain itu, penerapan 3 kebijakan B20 untuk perkebunan kelapa sawit relatif mampu secara efektif menjaga permintaan produk kelapan sawit di dalam negeri. Pertambangan Kinerja lapangan usaha pertambangan pada triwulan III 2016 masih terkontraksi. Sektor pertambangan mengalami kontraksi yang lebih dalam dibandingkan periode triwulan sebelumnya, yakni dari -2,4% (yoy) menjadi 2 Akibat masih tingginya ketergantungan impor dalam produk ekspor Sumatera, makan net ek pada triwulan IV 2016 diperkirakan akan mengalami pertumbuhan negatif sebesar 6,4% (yoy). 11 3 kewajiban pencampuran bahan bakar nabati (BBN) dalam solar sebesar 20 persen -2,6% (yoy). Semakin terkontraksinya kinerja lapangan usaha pertambangan dipengaruhi oleh terus menurunnya produksi minyak di Riau. Lifting minyak terus menurun semakin dalam akibat natural declining dan minimnya investasi baru. Selain itu, perbaikan harga komoditas pertambangan yang masih terbatas, khususnya batu bara, menjadi disinsentif untuk kembalinya kegiatan produksi secara nyata. Kontraksi pertambangan diprakirakan masih akan berlanjut di triwulan IV 2016. Namun, sedikit membaik seiring dengan potensi meningkatnya kebutuhan batubara untuk kebutuhan energi domestik dan adanya potensi peningkatan produksi gas di Jambi. pengolahan di triwulan IV 2016 yang menunjukan adanya prospek perbaikan penjualan hasil industri. Perdagangan Kinerja lapangan usaha perdagangan pada triwulan III 2016 membaik. Sektor perdagangan tumbuh dari 6,2% (yoy) menjadi 6,4% (yoy) pada akhir triwulan laporan. Membaiknya ekspor luar negeri telah memberi dampak positif pada sektor perdagangan. Peningkatan aktivitas perdagangan dimaksud, dari pendekatan likert scale liaison, menunjukan prospek perbaikan penjualan pada triwulan III akan berlanjut pada triwulan IV 2016. Industri Pengolahan Lapangan usaha industri pengolahan tumbuh terbatas sejalan dengan masih lemahnya permintaan ekspor mitra dagang utama dan harga komoditas. Industri pengolahan pada triwulan III 2016 tumbuh meningkat dari 3,5% (yoy) menjadi 3,7% (yoy). Pertumbuhan kinerja industri pengolahan juga tercermin dari hasil liaison, yang menunjukkan tren pertumbuhan penjualan ekspor yang meningkat (Grafik II.6) seiring masih terbatasnya peningkatan harga komoditas ekspor utama yang berbasis SDA. Grafik II.7. Likert Scale Proyeksi Penjualan Pada triwulan IV 2016, lapangan usaha perdagangan diprakirakan akan tumbuh lebih tinggi. Peningkatan konsumsi rumah tangga yang sejalan dengan pola musiman akhir tahun, menjadi pendorong utama perbaikan kinerja lapangan usaha perdagangan di triwulan IV 2016. Hal ini juga sesuai dengan hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) yang memproyeksikan terjadinya peningkatan kegiatan usaha perdagangan di triwulan IV 2016 (Grafik II.8). Grafik II.6. Likert Scale Penjualan Domestik dan Ekspor Pada triwulan IV 2016, kinerja lapangan usaha industri pengolahan diprakirakan mengalami perbaikan, terutama ditopang oleh membaiknya permintaan CPO. Hasil liason juga mengkonfirmasi optimisme pengusaha terhadap prospek peningkatan kinerja sektor industri 12 Sumber: Survei Kegiatan Dunia Usaha Grafik II.8. Perkiraan Volume Perdagangan Konstruksi Penurunan aktivitas lapangan usaha konstruksi pada triwulan III 2016 dipengaruhi oleh minimnya investasi bangunan swasta ditengah tertahannya realisasi proyek infrastruktur pemerintah akibat lambannya kemajuan proses pembebasan lahan. Pada triwulan laporan, lapangan usaha konstruksi tercatat tumbuh 5,8% (yoy), lebih rendah daripada triwulan sebelumnya sebesar 6,7% (yoy). Hal itu sejalan dengan penurunan realisasi kegiatan usaha sektor bangunan pada hasil SKDU triwulan laporan (Grafik II. 9). (yoy) pada triwulan II 2016 menjadi -30,73% (yoy) pada triwulan III 2016. Serapan keuangan daerah dihadapkan pada kendala klasik antara lain terbatasnya realisasi pembebasan dan/atau pengadaan lahan akibat Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang belum disahkan. Pada triwulan IV 2016, kinerja lapangan usaha konstruksi tumbuh cukup tinggi, namun dengan Grafik II.10. Pertumbuhan Simpanan Pemda di Perbankan besaran yang lebih rendah dibanding triwulan III 2016. Adanya faktor base effect pada triwulan IV Perkembangan Inflasi 2015 saat terjadi realisasi proyek insfrastruktur Inflasi wilayah Sumatera pada triwulan III 2016 yang tinggi, menjadi salah satu penyebab tercatat lebih tinggi akibat tekanan inflasi perkiraan realisasi triwulan IV 2016 yang tidak volatile food. Pada triwulan III 2016, inflasi setinggi sebelumnya. wilayah Sumatera tercatat sebesar 4,28% (yoy) meningkat dari triwulan sebelumnya sebesar 3,71% (yoy). Peningkatan laju inflasi tersebut terutama dipengaruhi oleh peningkatan harga komoditas cabai merah. Kondisi ini merupakan kombinasi dari dampak serangan virus kuning dan keriting di sentra produksi cabai merah di Sumatera Utara, pengaruh bencana alam Gunung Sinabung dan terbatasnya pasokan cabai merah dari wilayah Jawa. Bencana virus kuning Sumber: Survei Kegiatan Dunia Usaha berdampak pada kerusakan sekitar 1.200 ha Grafik II.9. Realisasi Kegiatan Usaha Bangunan lahan cabai merah, sementara letusan Gunung Sinabung mengakibatkan gagal panen sejumlah Fiskal Daerah komoditas pertanian lainnya. Gangguan pasokan Serapan belanja daerah di Sumatera pada pada cabai merah yang memiliki bobot inflasi triwulan III 2016 menunjukkan peningkatan, tinggi (±0,81%), mendorong terjadinya inflasi terutama pada serapan belanja rutin. Seiring yang cukup tinggi di Provinsi Aceh, Sumatera dengan perkembangan realisasi belanja APBD Utara, Sumatera Barat, Jambi dan Riau. dan pengurangan alokasi anggaran dari Sementara, inflasi administered prices juga Pemerintah Pusat, simpanan pemerintah pada cenderung meningkat, dipicu oleh kenaikan tarif perbankan di Sumatera mengalami penurunan. transportasi. Di sisi lain, inflasi inti masih relatif Pada September 2016, perlambatan simpanan stabil (Grafik II.13). Dua provinsi yaitu Sumatera dana Pemda pada perbankan Sumatera pada Utara dan Sumatera Barat mencatatkan Laju triwulan laporan semakin dalam dari 13 -25,05% inflasi tahunan di atas 5,0% yaitu masing-masing 6,02% dan 5,10%. Pada akhir triwulan IV 2016, perkembangan inflasi di Sumatera diprakirakan tetap terkendali dalam kisaran target. Dengan perkembangan inflasi Oktober 2016 sebesar 3,37% (ytd) dan disertai intensitas upaya pengendalian inflasi yang dilakukan oleh TPID di setiap provinsi/kabupaten/kota yang tinggi, dampak kenaikan inflasi volatile food diprakirakan dapat diatasi. Sementara itu, inflasi komoditas inti dan administered prices diprakirakan tetap akan stabil. Sejumlah upaya pengendalian inflasi telah dilakukan di Sumatera untuk mengendalikan beberapa harga komoditas antara lain operasi pasar, monitoring harga pangan, dan koordinasi antar daerah. perusahaan mulai menunjukkan peningkatan kinerja. Pada triwulan III 2016, profitabilitas perusahaan mulai menunjukkan peningkatan seiring membaiknya harga komoditas setelah sebelumnya sempat mengalami perlambatan (Grafik II.12). Perbaikan yang terbatas pada sektor korporasi, tercermin pula dari beberapa indikator keuangan jangka panjang (solvabilitas) meskipun dari sisi likuditas masih terdapat tekanan (Grafik II.13). Sumber: Bloomberg & Laporan Keuangan BEI, diolah Grafik II.12. Indikator Profitabilitas Korporasi Grafik II.11. Perkembangan Inflasi Stabilitas Keuangan Daerah Ketahanan Sektor Korporasi Kinerja Korporasi dan Penilaian Risiko Grafik II.13. Indikator Solvabilitas Korporasi Secara umum, kondisi sistem keuangan di Sumatera masih relatif stabil. Hal ini tercermin dari kondisi risiko kredit (NPL) yang masih terjaga ditengah penurunan pertumbuhan kredit. Pada triwulan III 2016, pertumbuhan kredit total tercatat sebesar 6,50% (yoy), lebih lambat dari triwulan sebelumnya 8,07% (yoy). Di sisi lain, NPL berada pada level yang terjaga, yaitu 3,07% atau lebih rendah dari triwulan sebelumnya (3,12%). Membaiknya kondisi keuangan korporasi di Sumatera meningkatkan kemampuan korporasi dalam membayar utang. Rasio beban utang korporasi (debt service ratio) menunjukkan penurunan, dari 22,03% menjadi 19,20%. Hal ini sejalan dengan membaiknya kinerja sektor perkebunan. Perbaikan terutama ditunjukkan oleh perusahaan yang bergerak di bidang agroindustri. Ketahanan sistem keuangan daerah Sumatera selama triwulan III 2016 relatif terjaga. Hal ini sejalan dengan hasil liaison dan SKDU Bank Indonesia yang mengindikasikan bahwa Eksposur Perbankan pada Sektor Korporasi 14 Penyaluran kredit perbankan kepada sektor korporasi melambat dari 10,64% (yoy) menjadi 5,98% (yoy) pada triwulan III 2016. Perlambatan terutama terjadi pada penyaluran kredit industri pengolahan dan kredit sektor pertanian yang masing-masing melambat menjadi 6,98% (yoy) dan 2,49% (yoy) dari sebelumnya 34,79% (yoy) dan 20,75% (yoy). Sementara kredit untuk sektor perdagangan justru mengalami peningkatan dari 2,86% (yoy) menjadi 3,09% (yoy). (Grafik II. 14). pertambangan, dan perdagangan. Namun demikian, rasio NPL secara keseluruhan masih terjaga di bawah 5%. Ketahanan Sektor Rumah Tangga Pertumbuhan DPK perseorangan Sumatera pada triwulan III 2016 mencatatkan laju pertumbuhan yang lebih rendah. DPK perseorangan melambat dari 11,87% (yoy) di triwulan II 2016 menjadi 9,19% (yoy) pada triwulan III 2016. Penurunan ini terjadi pada jenis simpanan tabungan dan deposito, sementara giro mengalami pertumbuhan yang lebih tinggi (Grafik II.16). Sumber: Bank Indonesia Grafik II.14. Perkembangan Kredit Korporasi Perkembangan DPK korporasi di perbankan melanjutkan kecenderungan penurunan. Magnitude perlambatan DPK tercatat lebih besar yaitu dari -4,76% (yoy) menjadi -5,09%, terutama pada jenis simpanan giro dan deposito. Hal ini sejalan dengan masih terbatasnya pertumbuhan korporasi (Grafik II.15). Sumber: Bank Indonesia Grafik II.16. Perkembangan DPK Perseorangan Sumber: Bank Indonesia Grafik II.17. Perkembangan Kredit Perorangan Grafik II.15. Perkembangan DPK Korporasi Di tengah perlambatan kredit korporasi, rasio non-performing loans (NPL) sektor korporasi masih terjaga dalam batas aman, walaupun mengalami sedikit peningkatan. NPL pada triwulan III 2016 mengalami sedikit peningkatan menjadi 2,51% dari 2,49% pada triwulan II 2016. Secara sektoral, peningkatan NPL ini terjadi pada sektor-sektor utama seperti pertanian, 15 Daya beli yang masih lemah berdampak pada menurunnya kinerja kredit rumah tangga. Kredit sektor rumah tangga (RT) di triwulan III 2016 tumbuh 5,11% (yoy), lebih rendah dibanding triwulan sebelumnya sebesar 6,40%. Dilihat dari komponennya, Kredit Pemilikan Rumah (KPR) tumbuh melambat, dari semula 5,69% menjadi 5,52%. Sementara Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) dan kredit multiguna juga turut melambat yaitu masing-masing dari -12,79% (yoy) dan 10,15% (yoy) menjadi -14,37% (yoy) dan 6,35% (yoy). Kredit UMKM pada sektor perdagangan melambat dari 11,77% (yoy) ke 10,61% (yoy), sementara kredit UMKM pada sektor pertanian dan pengolahan juga turut melambat, masingmasing menjadi 3,26% (yoy) dan -16,02% (yoy). Dari sisi risiko, rasio NPL kredit UMKM mengalami penurunan meski tetap perlu diwaspadai. Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah Sistem Pembayaran Non Tunai Sumber : Bank Indonesia Grafik II.18. Perkembangan NPL Kondisi risiko di sektor rumah tangga masih terjaga. Hal ini telihat dari penurunan rasio NPL sektor rumah tangga menjadi 3,51% pada triwulan III 2016, dari sebelumnya sebesar 3,66% (Grafik II.18). Walaupun masih dalam batas aman, risiko NPL sektor rumah tangga perlu diwaspadai seiring belum pulihnya daya beli masyarakat ditengah kinerja korporasi yang masih dalam tahap konsolidasi. Transaksi kliring di kawasan Sumatera pada triwulan III 2016 menunjukkan perlambatan. Pada periode laporan, transaksi kliring tercatat tumbuh sebesar 28,99% atau sebesar Rp113 triliun (Grafik II.19). Berdasarkan provinsinya, beberapa provinsi yang memiliki aktivitas transaksi terbesar adalah Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, dan Lampung. Sementara, Bengkulu dan Aceh memiliki aktivitas transaksi kliring yang terendah. Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Tabel II.2. Perkembangan Kredit UMKM Prov gKredit UMKM I-16 Aceh 10.22 Sumut 5.59 Sumbar 3.20 Jambi 8.28 Kepri 5.20 Riau (2.77) Sumsel 4.42 Lampung 11.20 Babel 15.47 Bengkulu 14.65 II-16 14.42 5.09 3.53 8.94 7.67 (1.59) 5.78 17.20 15.05 10.04 NPL UMKM III-16 I-16 15.73 10.00 3.06 6.51 4.37 7.20 6.99 5.35 9.02 3.59 -2.51 7.15 8.32 5.68 12.54 4.06 29.09 5.94 15.86 4.76 II-16 9.44 6.57 7.17 5.23 3.63 7.44 5.77 4.17 4.99 4.53 III-16 8.88 6.25 7.08 4.63 4.84 7.01 5.90 4.31 4.80 4.52 Suku Bunga UMKM I-16 13.78 13.47 13.72 14.34 12.16 14.12 14.42 14.66 14.21 15.26 II-16 13.41 12.88 13.3 13.93 11.96 13.71 14.01 14.35 13.81 14.75 III-16 13.07 12.67 13.04 13.54 11.78 13.41 13.71 14.11 13.40 14.33 Pada triwulan III 2016, laju pertumbuhan kredit UMKM di Sumatera menunjukkan perlambatan. Secara tahunan, penyaluran kredit UMKM pada triwulan III 2016 tercatat sebesar 6,15%, lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 6,40%. Perlambatan kredit UMKM pada sektor perdagangan, pertanian, dan pengolahan, yang memiliki pangsa besar, terjadi lebih dalam daripada peningkatan kredit pada sektor lainnya. 16 Sumber: Bank Indonesia Grafik II.19. Aliran Uang Kartal Pengelolaan Uang Rupiah Sesuai dengan pola musimannya, arus uang kartal pada triwulan III 2016 mengalami net inflow yang lebih tinggi. Berakhirnya momen puasa dan Idul Fitri menyebabkan arus net inflow uang kartal sebesar Rp10,13 triliun. Arus masuk pada triwulan III 2016 tercatat sebesar Rp34,59 triliun, lebih tinggi dibandingkan arus masuk pada triwulan sebelumnya yang hanya Rp17,08 triliun. Di sisi outflow, arus keluar turun menjadi Rp24,46 triliun lebih rendah daripada sebelumnya Rp48,32 triliun (Grafik II.20). Kondisi net inflow terjadi di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, dan Lampung. Sementara, kondisi net outflow terjadi di Aceh, Riau, Kepri, Jambi, Kep. Babel, dan Bengkulu. Grafik II.20 Aliran Uang Masuk dan Keluar Pengembangan Layanan Keuangan Digital Upaya peningkatan inklusi keuangan terlihat dari peningkatan ketersediaan layanan keuangan digital (LKD) bagi penduduk Sumatera. Hingga Agustus 2016, jumlah agen LKD di Sumatera telah mencapai 21.204 agen, meningkat dibandingkan jumlah agen LKD pada bulan Juni 2016 yang sebesar 20.438 agen. Provinsi dengan jumlah agen LKD terbesar adalah Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Riau. Seluruh provinsi telah berhasil melampaui kebutuhan LKD optimalnya, kecuali provinsi Bengkulu. Prospek Perekonomian Prospek Pertumbuhan Ekonomi Sumber : Bank Indonesia Grafik II. 21. Temuan Uang Palsu (UPAL) Upaya perluasan distribusi Uang Layak Edar dan pecahan yang sesuai serta pengendalian uang palsu terus dilakukan. Hingga triwulan III 2016, berbagai upaya telah dilakukan, seperti operasionalisasi kas keliling, pembukaan kas titipan, dan sosialisasi Ciri-Ciri Keaslian Uang Rupiah (Cikur) kepada kalangan penegak hukum dan masyarakat di kawasan a.l Pematangsiantar, Aceh, Sibolga, Sumatera Selatan, dan Lampung. Dalam hal penanganan uang palsu, temuan uang palsu (Upal) di wilayah Sumatera pada triwulan III 2016 mengalami penurunan. Hal ini tercermin dari rasio temuan Upal yang kurang dari 1% inflow. Dari setiap Rp1 miliar inflow terdapat 54 lembar uang palsu, lebih rendah dari triwulan sebelumnya yaitu 186 lembar. 17 Perekonomian Sumatera pada 2017 diperkirakan tumbuh lebih tinggi daripada tahun 2016. Secara keseluruhan tahun 2017, perekonomian Sumatera diperkirakan akan tumbuh pada kisaran 4,6%-5,1% (yoy). Peningkatan pertumbuhan ekonomi tersebut diperkirakan terjadi di seluruh wilayah Sumatera. Konsumsi rumah tangga, investasi, dan aktivitas perdagangan internasional diperkirakan menjadi penopang pertumbuhan ekonomi tahun 2017. Tabel II.3. Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Sumatera 2016 Indikator Makroekonomi 2015 2016 f 2017 f Daerah PDRB (% YoY) 3.5 3.9 - 4.4 4.6 - 5.1 Aceh -0.7 2.7 - 3.2 2.8 - 3.3 Sumut 5.1 5.0 - 5.5 5.1 - 5.6 Sumbar 5.4 5.2 - 5.7 5.2 - 5.7 Riau 0.2 1.7 - 2.2 3.7 - 4.2 Jambi 4.2 3.6 - 4.1 3.9 - 4.4 Kep. Riau 6.0 4.7 - 5.2 4.8 - 5.3 Sumsel 4.5 4.7 - 5.2 5.7 - 6.2 Bengkulu 5.1 5.0 - 5.5 5.0 - 5.5 Lampung 5.1 5.0 - 5.5 5.0 - 5.5 Kep. Babel 4.1 3.5 - 4.0 3.9 - 4.4 Kontributor utama pertumbuhan ekonomi pada 2017 tetap berasal dari lapangan usaha utama Sumatera yaitu pertanian, dan industri pengolahan. Lapangan usaha pertanian diperkirakan dapat tumbuh lebih tinggi sejalan dengan membaiknya permintaan bahan baku untuk mendukung kebutuhan ekspor dan upaya peningkatan produksi pertanian yang telah dilakukan sebelumnya. Selain itu, perkembangan harga komoditas yang terus membaik ikut menopang perbaikan lapangan usaha pertanian, pengolahan, dan pertambangan. Lapangan usaha konstruksi diprediksi tetap tumbuh lebih tinggi seiring dengan realisasi proyek infrastruktur pemerintah seperti jalan tol, bendungan, dan proyek-proyek persiapan Asian Games 2018. Prospek Inflasi Inflasi Sumatera tahun 2017 masih akan berada dalam rentang target inflasi nasional 4±1%. Tekanan inflasi harga pangan diperkirakan akan berkurang di tahun 2017, terutama ditopang oleh membaiknya iklim dan aksi pengendalian inflasi baik dari sisi koordinasi kelembagaan, kerja sama antar daerah, maupun operasi pasar. Meski demikian, potensi risiko tekanan harga dari administered price diperkirakan akan meningkat seiring dengan pengurangan subsidi listrik kelompok 900VA, kebijakan pembatasan LPG 3 Kg dan kenaikan cukai rokok. 18 Boks 1 Pengantar Perekonomian Sumatera sangat dipengaruhi oleh perkembangan lapangan usaha pertanian (pangsa 23%) yang terhampar di hampir semua provinsi dan industri pengolahan (pangsa 20%) yang lokasinya terkonsentrasi di Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Riau, dan Bangka Belitung. Ekspor Sumatera didominasi oleh hasil pertanian yaitu CPO (38%) dan karet (9%), disusul hasil industri elektronik (7%). Lapangan usaha industri pengolahan Sumatera mencatat pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 4,27% dengan pangsa terhadap PDRB sebesar 19,38%. Pada triwulan III2016, industri pengolahan berhasil tumbuh 3,71% (yoy), meningkat dibandingkan triwulan II 2016 sebesar 3,44% (yoy). Pangsa industri pengolahan Sumatera terhadap nasional menunjukkan penurunan yaitu dari 22% (2001-2005) menjadi 18,8% (2010-2015). Secara provinsi, kontributor sektor Industri pengolahan terbesar adalah Provinsi Kepulauan Riau yakni sebesar 39%. Sementara itu, pangsa industri pengolahan di Indonesia terkonsentrasi di Jawa yaitu mencapai 71%, Sumatera 19%, dan sisanya 10% berada di kawasan lainnya. Industri pengolahan di Sumatera dapat dikelompokan menjadi industri yang berbasis pertanian atau perkebunan seperti kelapa sawit (CPO dan turunannya) dan karet (crump rubber dan turunannya), dan industri non Sumber Daya Alam (SDA) seperti industri elektronik, galangan kapal (shipyard), dan animasi film, yang hampir semuanya berlokasi di Batam, Kepulauan Riau. Berdasarkan struktur kelas industrinya, industri Sumatera didominasi industri mikro 86%, diikuti industri kecil 13,5%, dan industri sedang-besar 0,50%. Adapun Output industri sebagian besar (94%) barasal dari kelompok industri sedangbesar, dengan serapan jumlah tenaga kerja mencapai 30% dari total tenaga kerja Sumatera. 19 Hampir 80% ekspor Sumatera berupa produk ekspor (2015) masih berbasis SDA yaitu CPO dan olahannya, batubara, Kopi, bubur kertas, Timah, dan produk pertanian lainnya. Industri Sumatera masih berbasis pada pengolahan ekstratif yang memberikan nilai tambah ekspor yang relatif rendah. Sementara, ekspor produk medium tech dan high technology yang mencapai 17% dari total ekspor, juga relatif memberikan nilai tambah terbatas. Hal tersebut disebabkan produk ekspor dimaksud banyak berupa maklon saja yaitu sebutan bagi produk hasil jasa perakitan/assembly. Industri jenis ini banyak berkembang di Kepulauan Riau, khususnya Pulau Batam yang didukung oleh Free Trade Zone (FTZ). Dengan tingkat hilirisasi yang masih terbatas, perekonomian Sumatera, memiliki potensi yang besar untuk meningkatkan proses nilai tambah produksi untuk sektor pertanian khususnya tanaman kelapa sawit dan karet melalui peningkatan level hilirisasi. Sehingga kondisi yang relatif rentan terhadap fluktuasi harga komoditas dapat ditekan. Industri Kelapa Sawit: Perkembangan dan Tantangan Dengan pangsa mencapai 53,4% produksi dunia, Indonesia menjadi penghasil CPO terbesar di dunia, diikuti oleh Malaysia di tempat kedua dengan pangsa 32,1%. Kedua negara tersebut menguasai produksi CPO dunia dengan pangsa mencapai 85,5% dari produksi dunia. Mayoritas produksi kelapa sawit (CPO) Indonesia berasal dari Sumatera, dengan pangsa mencapai 68%. Kondisi ini didukung oleh relatif lebih tingginya produktivitas Sumatera dibandingkan provinsi lain (Tabel 1). Mayoritas produksi CPO Sumatera berasal dari Riau (34,32%), Sumatera Utara (23,87%), Sumatera Selatan (14,20%), dan Jambi (9,11%). Walaupun produksi CPO Sumatera sangat besar, namun produktivitasnya masih lebih rendah dari produktivitas CPO Malaysia. Hilirisasi industri kelapa sawit telah berjalan cukup baik. Hal ini terlihat dari ekspor produk turunan CPO Sumatera yang terus menunjukkan peningkatan. Pada tahun 2015, komposisi ekspor produk turunan CPO telah mencapai 69,27%, sementara sisanya masih CPO murni. Produk turunan CPO terutama dalam bentuk refinery yaitu berupa minyak goreng, produk biodiesel, dan oleokimia dengan pangsa pasar di Indonesia masing-masing sebesar 55%, 61%, dan 65%. Lokasi hilirisasi CPO sebagian besar terletak di Sumatera Utara dan Riau yang juga merupakan penghasil utama CPO Sumatera. Tabel II.4. Perkembangan Industri Sawit dan Karet 2015 Sawit Lahan Wilayah Luas Share Pertumbuhan Jumlah (Juta ha) (%) (Rerata 3 th) (Juta Ton) Sumatera 7.1 63% 5,19% 21.37 Luar Sumatera 4.2 37% 6,74% 9.92 Indonesia Total 11.3 100% 31.28 Konsumsi Karet Dunia - 2015 Produksi Karet Dunia - 2015 12.4 12.3 -0.04 Karet Produksi Lahan Share Pertumbuhan Pangsa Luas Share Pertumbuhan (%) (Rerata 3 th) Dunia (%) (Juta ha) (%) (Rerata 3 th) 68% 4,79% 53,44% 2.6 71% 2.94% 32% 10,42% 1 29% -2.52% 100% 3.6 100% Konsumsi Karet Dunia - 2024 Produksi Karet Dunia - 2024 Gap Defisit Produksi Jumlah (Ton) 2.4 0.7 3.1 16.6 16.9 0.3 Produksi Share Pertumbuhan Pangsa (%) (Rerata 3 th) Dunia (%) 77% 3.2% 26% 23% -4.4% 100% Gap Surplus Produksi Sumber : GAPKI, The World Rubber Outlook (June 2015 & 2016), diolah Berkembangnya industri pengolahan kelapa sawit didukung oleh peningkatan permintaan global terhadap produk kelapa sawit dan turunannya yang terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2015 permintaan minyak nabati di dunia mencapai 182,4 juta ton dan diproyeksikan terus meningkat menjadi 226,7 juta ton pada tahun 2025. Dengan tingkat pertumbuhan rata-rata permintaan mencapai sebesar 12,4% per tahun, Indonesia hanya mampu menambah produksi kelapa sawitnya rata-rata sebesar 6,51%. Bahkan, di Sumatera, pertumbuhan produksinya hanya mencapai 4,79% per tahun (Tabel 1). Peningkatan produksi Sumatera lebih didukung oleh luasnya lahan kelapa sawit, yang mampu mencapai skala ekonomis untuk menghasilkan harga terendah. Adapun pertumbuhan permintaan lokal produk CPO dan turunannya didukung oleh adanya peraturan pemerintah mengenai BBN 20 yaitu kewajiban pemanfaatan biodiesel kelapa sawit (tahun 2016 – 2019). Tantangan Transformasi Industri Kelapa Sawit Berdasarkan hasil survei Bank Indonesia tahun 2016 terhadap 52 perusahaan eksportir di 10 provinsi Sumatera, terdapat beberapa tantangan 20 dalam pengembangan industri kelapa sawit dan turunannya. Pertama, kualitas bahan baku kelapa sawit masih relatif rendah; Kedua, regulasi yang kurang mendukung; Ketiga, infrastruktur yang masih perlu ditingkatkan; serta keempat, terkait ketersediaan pembiayaan. Hal-hal tersebut menjadi faktor penghambat investor untuk melakukan investasi perluasan atau pembukaan lahan baru kelapa sawit. Rendahnya kualitas bahan baku tidak terlepas dari kompetensi dan kemampuan budidaya petani yang terbatas. Sementara, regulasi dan kebijakan pemerintah yang belum optimal dalam mendukung berkembangnya industri kelapa sawit terlihat dari tumpang tindihnya aturan pusat dan daerah. Aturan yang tumpang tindih tersebut meliputi penetapan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) yang belum terintegrasi antar sektor, serta prosedur pengurusan perijinan yang rumit. Delegasi kewenangan perijinan bagi PTSP di daerah juga masih terbatas, misalnya di Provinsi Sumatera Selatan, PTSP hanya memiliki kewenangan perijinan 60% dari 107 proses perizinan yang seharusnya. Selain itu, izin pembukaan lahan di Aceh masih mengharuskan surat rekomendasi dari Bupati/Walikota, dimana seharusnya tidak diperlukan. izin tersebut Selain itu, ketersediaan infrastruktur dasar juga masih minim, seperti pelabuhan, jalan, dan listrik. Indeks kinerja pelabuhan di Sumatera masih tergolong rendah. Pelabuhan Belawan sebagai pelabuhan utama di Sumatera hanya memiliki kapasitas sebesar 1 juta Teus, jauh di bawah Tanjung perak yang memiliki kapasitas 3-4 juta Teus. Terbatasnya upaya re-planting menjadi penyebab rendahnya kualitas dan belum optimalnya produktivitas kelapa sawit di Sumatera. Hal itu antara lain disebabkan oleh keterbatasan pembiayaan, khususnya terkait pembiayaan replanting kebun kelapa sawit. Adapun dana CPO fund belum dimanfaatkan untuk kebutuhan re4 planting kebun kelapa sawit . Industri Karet: Perkembangan dan Tantangan Mayoritas produksi karet Indonesia bersumber dari Sumatera, dengan pangsa mencapai 77% dari total produksi nasional atau sekitar 2,4 juta ton. Pada tahun 2015, produksi karet Sumatera mencapai 26% produksi dunia. Pelemahan permintaan global mengakibatkan tren penurunan pertumbuhan industri karet dalam tiga tahun terakhir bahkan hingga terkontraksi dalam dua tahun terakhir. Sebagian besar produksi karet Sumatera (82%) ditujukan bagi pasar ekspor dengan mayoritas berbentuk Standar Indonesian Rubber (SIR) 20 yang memiliki nilai jual lebih rendah dibandingkan dengan Ribbed Smoked Sheet (RSS) ataupun lateks yang memiliki nilai jual tertinggi. Pangsa ekspor SIR 20 mencapai 96,5% dari nilai ekspor karet Indonesia, sedangkan RSS sebesar 3,1% dan lateks hanya sebesar 0,2%. Minimnya 4 Alokasi pengunaan CPO Fund berdasarkan PP No. 61/2015 meliputi (i) pengembangan sumber daya manusia Perkebunan Kelapa Sawit; (ii) penelitian dan pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit; (iii) promosi Perkebunan Kelapa Sawit; (iv) peremajaan Perkebunan Kelapa Sawit; dan (v) sarana dan prasarana Perkebunan Kelapa Sawit. 21 produksi karet jenis RSS dan lateks disebabkan antara lain belum memadainya infrastruktur pendistribusian karet dalam bentuk tersebut. Kompetitor utama karet Indonesia adalah Thailand dan Vietnam, dengan tingkat produktivitas sekitar 1,5 kali lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Baik Pemerintah Thailand dan Vietnam, memberikan insentif besar untuk mendukung perkembangan industri karetnya. Pemerintah Thailand memberikan dukungan pengembangan industri hulu dalam bentuk soft loans bagi peremajaan kebun karet. Sementara dukungan Pemerintah Vietnam bagi pengembangan industry hilirnya berupa insentif keringanan pajak berupa penetapan tarif pajak 10% selama 15 tahun pertama dan pembebasan PPh badan selam 4 tahun. Tantangan Transformsi Industri Karet Dalam upaya transformasi industri karet, terdapat sejumlah tantangan yang perlu dihadapi. Pertama, rendahnya produktivitas serta penurunan luas lahan perkebunan karet; Kedua, lokasi industri yang tidak terintegrasi antara bahan baku dengan produksi; serta ketiga, panjangnya rantai produksi dan distribusi karet. Strategi Pengembangan Kelapa Sawit dan Karet Industri Dalam rangka meningkatkan daya saing industri kelapa sawit dan karet, terdapat beberapa langkah strategis perlu dilakukan. Pertama, perbaikan infrastruktur dasar seperti pelabuhan dan jalan untuk meningkatkan efisiensi biaya logistik; Kedua, ketersediaan sumber energi yang mencukupi dengan harga yang kompetitif; Ketiga, pemberian kemudahan pelayanan perizinan melalui realisasi penegakan birokrasi dan layanan perijinan satu pintu. Keempat, perlu dilakukan upaya peningkatan kualitas bahan baku yang disertai dengan pemanfaatan teknologi dan perbaikan kompetensi SDM petani. Selain itu, upaya peningkatan produktifitas merupakan suatu hal yang harus segera dilakukan. Di samping semua hal itu, penciptaan demand dalam negeri sangat diperlukan untuk dapat mengurangi ketergantungan terhadap permintaan pasar internasional. Percepatan transformasi industri Sumatera membutuhkan dukungan dan sinergitas para pemangku kebijakan yaitu berbagai kementerian dan lembaga terkait termasuk Bank Indonesia. Bank Indonesia akan terus mengupayakan peningkatan akses keuangan bagi berbagai kalangan, pendalaman pasar keuangan untuk diversifikasi sumber pembiayaan dan bersama Pemerintah Pusat dan Daerah, bersinergi melakukan kebijakan mendukung pengembangan ekonomi regional. 22 Perekonomian Jawa pada triwulan laporan masih tumbuh cukup kuat meski tercatat melambat menjadi 5,6% (yoy) dibandingkan capaian triwulan sebelumnya yang sebesar 5,8% (yoy). Perlambatan ekonomi utamanya disumbang oleh terkontraksinya konsumsi Pemerintah dan ekspor luar negeri Jawa. Secara spasial, pertumbuhan hampir seluruh provinsi di Jawa tumbuh melambat, kecuali Provinsi Banten yang masih mencatat kenaikan pertumbuhan. Sementara itu, laju inflasi tahunan Jawa masih relatif terkendali dan tercatat pada level 2,58% (yoy) atau lebih rendah dari rata-rata historisnya dalam 5 tahun terakhir. Ekonomi Jawa diprakirakan akan membaik pada triwulan IV tahun 2016 yang didorong oleh kembali meningkatnya konsumsi rumah tangga, ekspor luar negeri, serta konsumsi Pemerintah yang sempat menurun cukup dalam pada triwulan III. Di sisi lain, tingkat inflasi Jawa pada triwulan IV 2016 diprakirakan akan lebih rendah dibandingkan tahun 2015 dan berada dalam rentang sasaran inflasi tahun 2016. Tekanan dari komoditas pangan diprakirakan relatif rendah, meski tetap perlu diwaspadai potensi tekanan inflasi dari komoditas hortikultura karena curah hujan yang tinggi. Adapun tekanan dari kelompok administered prices diprakirakan akan terbatas. Secara keseluruhan tahun 2016, perekonomian Jawa diprakirakan akan membaik ditopang oleh konsumsi rumah tangga yang lebih baik, realisasi investasi yang lebih tinggi seiring peningkatan permintaan domestik, serta ekspor luar negeriyang diprakirakan juga akan meningkat. Secara sektoral, perbaikan ekonomi Jawa pada tahun 2016 lebih banyak didorong oleh kinerja lapangan usaha konstruksi sejalan dengan pembangunan proyek infrastruktur pemerintah. Pertumbuhan Ekonomi Perekonomian Jawa masih menunjukkan kinerja yang positif meski mengalami perlambatan pada triwulan laporan. Pada triwulan III 2016, perekonomian Jawa tumbuh sebesar 5,6% (yoy) atau melambat dibanding triwulan sebelumnya yang mencapai 5,8% (yoy). Secara spasial, perekonomian hampir seluruh provinsi di Jawa tumbuh melambat kecuali Banten yang mampu tumbuh 5,4% (yoy), lebih tinggi daripada triwulan sebelumnya sebesar yang 5,2% (yoy). Sementara itu, tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi terjadi di provinsi Jawa Barat (5,8%, yoy), sedangkan pertumbuhan ekonomi terendah terjadi di provinsi DI Yogyakarta (4,7%, yoy). Melambatnya ekonomi Jawa disumbang oleh perlambatan konsumsi Pemerintah dan ekspor luar negeri. Perekonomian di Jawa pada triwulan laporan yang tumbuh lebih rendah merupakan dampak dari melambatnya realisasi konsumsi 23 pemerintah, yang secara signifikan terjadi pada seluruh provinsi, khususnya untuk belanja operasional. Selain itu, kontraksi ekspor luar negeri turut menahan laju pertumbuhan ekonomi Jawa, meski ekspor antar provinsi masih tercatat tumbuh positif. Tabel III.1. Pertumbuhan Ekonomi Daerah di Jawa Provinsi 2014 DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Jawa 5.9 5.1 5.5 5.3 5.2 5.9 5.6 I 5.5 4.9 5.5 5.6 4.3 5.0 5.3 II 5.3 4.9 5.2 5.1 4.6 5.2 5.2 2015 III 6.1 5.0 5.9 5.0 5.3 5.5 5.5 IV 6.5 5.2 4.9 6.1 5.5 5.9 5.9 Total 5.9 5.0 5.4 5.4 4.9 5.4 5.5 I 5.6 5.2 5.1 4.9 4.8 5.5 5.3 2016 II 5.9 6.0 5.2 5.7 5.5 5.6 5.8 III 5.8 5.8 5.4 5.1 4.7 5.6 5.6 Sumber: BPS (diolah) Konsumsi rumah tangga yang memiliki porsi terbesar dalam ekonomi Jawa tumbuh melambat dan menahan laju pertumbuhan yang lebih tinggi. Konsumsi rumah tangga pada triwulan laporan memperlihatkan pertumbuhan yang melambat dan lebih disebabkan oleh pola konsumsi masyarakat yang kembali normal setelah bulan Ramadhan dan Idul fitri pada bulan Juli (triwulan II). Beberapa indikator yang memperkuat kondisi perlambatan konsumsi antara lain dari Indeks Perdagangan Ritel (IPR) yang menurun, serta melambatnya penyaluran kredit konsumsi oleh perbankan menjadi 8,65% (yoy) dari 9,17% (yoy) pada triwulan sebelumnya. Melambatnya kredit konsumsi terkait dengan kontraksi penyaluran Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) dan melambatnya pemberian Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) serta Kredit Multiguna. DKI Jakarta seiring dengan pemotongan anggaran belanja pemerintah (K/L) yang relatif besar, yang secara statistik tercatat sebagai pengeluaran di DKI Jakarta. Selain itu, sebagai dampak dari pergeseran periode Idul Fitri, maka realisasi pencairan gaji ke-13 dan ke-14 bagi pegawai pemerintah turut bergeser ke triwulan II 2016. Hal tersebut menyebabkan realisasi konsumsi pemerintah lebih tinggi pada triwulan II 2016. Kondisi ini menyebabkan pertumbuhan belanja operasional provinsi triwulan III hanya tumbuh 36,09% (yoy), lebih rendah dari triwulan II sebesar 56,72% (yoy). Sumber: BPS (diolah) Grafik III.1. Pertumbuhan Ekonomi Menurut Penggunaan Sumber: Biro Ekonomi dan TEPRA (diolah) Grafik III.3. Pertumbuhan Realisasi Belanja Operasional Provinsi Realisasi pertumbuhan investasi di Jawa yang meningkat dapat menahan perlambatan ekonomi lebih dalam. Kinerja investasi pada triwulan III 2016 yang meningkat didorong oleh realisasi investasi nonbangunan yang tercermin pada membaiknya tingkat impor barang modal, Sumber: Bank Indonesia meski masih mengalami kontraksi. Masih kuatnya Grafik III.2. Perkembangan KPR, KKB dan Indeks Keyakinan investasi dari pihak swasta juga dikonfirmasi oleh 5 Konsumen (IKK) likert scale (LS) hasil liason beberapa perusahaan di kawasan Jawa yang mengindikasikan Perlambatan konsumsi Pemerintah menjadi peningkatan investasi, terutama pada investasi salah satu penahan utama pertumbuhan mesin. Sementara itu, realisasi investasi oleh pihak ekonomi. Melambatnya konsumsi pemerintah asing atau Penanaman Modal Asing (PMA) masih pada triwulan laporan disebabkan oleh kebijakan mengalami kenaikan yang relatif tinggi, dari pemerintah pusat untuk melakukan penundaan 16,10% (yoy) pada triwulan II 2016 menjadi penyaluran Dana Alokasi Umum (DAU) ke 47,02% (yoy) atau mencapai USD 3,86 miliar. Di sejumlah daerah termasuk di Jawa akibat prakiraan shortfall penerimaan pajak yang lebih 5 Likert scale (LS) merupakan salah satu tools dalam statistik besar dari prakiraan sebelumnya. Penurunan yang digunakan untuk menilai beberapa variabel/indikator. konsumsi pemerintah terbesar terjadi di Provinsi Skala LS adalah -5 untuk penurunan signifikan dan 5 untuk peningkatan signifikan. 24 sisi lain, realisasi investasi dalam negeri (PMDN) mengalami perlambatan, meski masih tumbuh cukup tinggi pada level 28,80% (yoy) atau mencapai 35,46 triliun rupiah. barang yang dimuat di 2 pelabuhan utama di Jawa, yaitu Tanjung Priok dan Tanjung Perak. Sumber: Bea Cukai Grafik III.5. Perkembangan Ekspor dan Impor Luar Negeri Sumber: BPS (diolah) Grafik III.4. Perkembangan Investasi Kinerja ekspor wilayah Jawa kembali melambat dan mengalami kontraksi seiring permintaan global yang masih terbatas. Neraca perdagangan Jawa pada triwulan III masih mengalami defisit, dan lebih dalam dibandingkan triwulan sebelumnya. Perlambatan pertumbuhan antara lain berasal dari menurunnya ekspor produk manufaktur seperti tekstil dan produk tekstil (TPT), serta alat angkut (otomotif). Sementara itu, permintaan ekspor luar negeri atas produk makanan dan minuman, kimia dan kertas masih dapat tumbuh positif. Berdasarkan negara tujuannya, pertumbuhan ekspor ke Amerika Serikat dan Eropa yang memiliki porsi ekspor terbesar turut mengalami perlambatan, meski ekspor ke Jepang dan Tiongkok masih mengalami peningkatan. Di sisi lain, kinerja impor mengalami peningkatan di seluruh kelompok impor, dengan impor tertinggi pada impor barang modal. Hal tersebut dapat menjadi indikasi optimisme pelaku usaha dalam melihat prospek ekonomi ke depan. Ekspor dalam negeri yang tumbuh meningkat membuat ekspor Jawa secara keseluruhan tumbuh membaik. Kinerja ekspor antar provinsi tumbuh meningkat menjadi 16,1% (yoy) dari sebelumnya hanya tumbuh 6,5% (yoy) pada triwulan sebelumnya. Membaiknya ekspor antar daerah terkonfirmasi dari meningkatnya total 25 Sumber: BPS (diolah) Grafik III.6. Data Muat Barang di Tanjung Priok dan Tanjung Perak Ekonomi Jawa diprakirakan akan membaik pada triwulan IV tahun 2016 yang didorong peningkatan konsumsi rumah tangga dan perbaikan ekspor. Konsumsi rumah tangga diprakirakan akan meningkat setelah melambat pada triwulan sebelumnya. Konsumsi pemerintah juga diprakirakan membaik meski masih mengalami kontraksi. Sementara itu, realisasi investasi diprakirakan membaik meski masih dalam level yang terbatas. Perbaikan ekonomi Jawa pada triwulan IV turut disumbang oleh perbaikan ekspor luar negeri terutama produk manufaktur. Keyakinan konsumen yang meningkat diprakirakan akan mendorong konsumsi rumah tangga di triwulan IV. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) menunjukkan adanya optimisme masyarakat terkait penghasilan dan ketersediaan lapangan kerja. Selain itu faktor musiman, yaitu Natal dan Tahun baru diprakirakan juga dapat mendorong konsumsi rumah tangga di akhir tahun. Relaksasi kebijakan yang dikeluarkan Bank Indonesia terkait Loan to Value (LTV) juga dapat menjadi stimulus dalam meningkatkan pertumbuhan KPR dan KKB. Konsumsi Pemerintah diprakirakan membaik pada triwulan mendatang meski masih tercatat kontraksi. Pada triwulan akhir tahun 2016, realisasi konsumsi pemerintah diprakirakan akan kembali meningkat sesuai dengan pola realisasinya. Peningkatan realisasi bersumber dari penagihan dan pembayaran atas belanja operasional Pemerintah yang biasanya akan meningkat sesuai target akhir tahun. Pemerintah berpotensi menahan pertumbuhan ekonomi Jawa di tahun 2016. laju Kinerja Lapangan Usaha Pertumbuhan ekonomi Jawa pada triwulan laporan yang terbatas, disebabkan oleh melambatnya hampir seluruh lapangan usaha utama di Jawa, kecuali pertanian. Melambatnya perekonomian Jawa pada triwulan III 2016 terutama diakibatkan oleh tekanan perlambatan kinerja lapangan usaha utama seperti industri pengolahan, perdagangan, dan konstruksi. Namun demikian, peningkatan kinerja pertanian seiring dengan berlangsungnya masa panen raya beberapa komoditas pangan dapat memberikan sumbangan positif terhadap perekonomian Jawa. Membaiknya laju pertumbuhan investasi Jawa diprakirakan masih akan berlanjut pada triwulan IV 2016. Proyek infrastruktur Pemerintah diprakirakan akan terakselerasi untuk mengejar target waktu penyelesaian. Meskipun demikian masih terdapat risiko dari dampak penundaan DBH terhadap realisasi belanja modal. Diversifikasi negara tujuan ekspor diprakirakan akan mampu meningkatkan penjualan ekspor manufaktur di triwulan IV 2016. Pertumbuhan ekspor Jawa diprakirakan membaik meski masih mengalami kontraksi. Hal tersebut tidak terlepas dari kinerja para pelaku usaha yang akan melakukan diversifikasi negara tujuan ekspor kepada negara-negara di Asia di tengah perkembangan ekonomi negara maju yang diprakirakan masih akan lamban pemulihannya. Perekonomian Jawa untuk keseluruhan tahun 2016 diproyeksikan akan lebih tinggi dibandingkan tahun 2015. Membaiknya perekonomian Jawa untuk tahun 2016 ditopang oleh konsumsi rumah tangga yang lebih baik serta realisasi investasi yang lebih tinggi seiring permintaan domestik yang meningkat. Kinerja ekspor Jawa juga tercatat membaik secara year to date dan diprakirakan secara keseluruhan tahun akan lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Meski demikian, sejalan dengan penghematan anggaran oleh Pemerintah, maka perlambatan konsumsi 26 Sumber: BPS (diolah) Grafik III.7. Pertumbuhan Lapangan Usaha Utama Industri Pengolahan Kinerja industri pengolahan yang merupakan kontributor utama ekonomi Jawa mengalami perlambatan pada triwulan laporan. Lapangan usaha industri pengolahan tercatat hanya tumbuh 4,4% (yoy), lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 4,6% (yoy). Kinerja manufaktur yang melambat terkonfirmasi dari beberapa indikator pendukung seperti hasil liaison Bank Indonesia yang menunjukkan likert scale (LS) penjualan domestik dan ekspor luar negeri tercatat lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya. Prompt Manufacturing Index (PMI) dari Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) turut mengkonfirmasi perlambatan kinerja industri pengolahan meski masih dalam area ekspansi atau berada di atas level 50. Melambatnya kinerja industri pengolahan terutama terjadi pada sub lapangan usaha alat angkutan, tekstil serta logam. Industri alat angkut dan tekstil sebagian besar berlokasi di wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah, sehingga perlambatan pertumbuhan manufaktur terbesar disumbang oleh kedua provinsi tersebut. Pertumbuhan industri alat angkutan yang tercatat melambat, sejalan dengan menurunnya produksi kendaraan bermotor roda empat yang terkontraksi sebesar 35% (yoy) setelah periode sebelumnya mencatatkan pertumbuhan 13% (yoy). Menurunnya jumlah produksi tersebut sejalan dengan penjualan kendaraan bermotor roda empat yang juga mengalami perlambatan. Kinerja industri tekstil yang tumbuh melambat terlihat dari ekspor tekstil yang kembali terkontraksi sebesar 5,27% (yoy) pada triwulan laporan. Perlambatan ekspor produk tekstil terbesar terjadi di negara tujuan Amerika Serikat dan Eropa yang memiliki pangsa terbesar dalam ekspor tekstil Jawa. Sementara itu, melambatnya industri logam sejalan dengan melambatnya pertumbuhan investasi bangunan di Jawa pada triwulan laporan, terutama pada proyek infrastruktur Pemerintah. angkutan. Selain itu faktor musiman akhir tahun juga akan memberikan dorongan positif dengan konsumsi domestik yang meningkat menjelang Natal dan Tahun baru serta strategi promosi akhir tahun yang akan mendorong penjualan kendaraan bermotor. Sementara itu, pada sub lapangan usaha logam, akselerasi proyek infrastruktur Pemerintah dan realisasi investasi swasta akan membuat permintaan baja domestik meningkat. Industri pengolahan tumbuh terbatas untuk tahun 2016 yang terindikasi dari utlisasi kapasitas yang stabil. Lapangan usaha industri pengolahan yang merupakan sektor utama Jawa hanya tumbuh terbatas dengan pertumbuhan kinerja sub lapangan usaha makanan dan minuman, otomotif dan logam sebagai penopang ekonomi Jawa. Khusus untuk sub lapangan usaha otomotif, peningkatan kinerja tercermin dari produksi kendaraan bermotor roda empat yang secara kumulatif hingga September 2016 dapat tumbuh lebih baik dari tahun sebelumnya. Sumber: Bank Indonesia Grafik III.9. Perkembangan Kapasitas Utilisasi (Survei Kegiatan Dunia Usaha) Konstruksi Sumber: Bank Indonesia Grafik III.8. Perkembangan Industri Pengolahan (Likert Scale & PMI) Kinerja industri pengolahan diprakirakan membaik pada triwukan IV 2016 yang didorong oleh sub lapangan usaha makanan dan minuman, alat angkutan dan logam. Konsumsi rumah tangga yang diprakirakan membaik akan mendukung kinerja industri makanan dan minuman serta alat 27 Lapangan usaha konstruksi mengalami perlambatan, terutama di Jawa Barat dan Jawa Timur. Lapangan usaha konstruksi mengalami perlambatan dari 4,0% (yoy) menjadi 3,4% (yoy) pada triwulan III 2016. Melambatnya kinerja lapangan usaha konstruksi juga terkonfirmasi dari realiasi investasi bangunan yang tercatat melambat serta realisasi investasi PMTB yang turut melambat. Perlambatan utamanya disumbang oleh Jawa Barat seiring dengan telah berakhirnya pembangunan venue dan infrastruktur pendukung kegiatan Pekan Olahraga Nasional (PON) XIX yang telah berakhir September lalu. Penundaan Dana Bagi Hasil (DBH) juga memberikan dampak terhadap terlambatnya progress penyelesaian beberapa proyek infrastruktur Pemerintah. Pada triwulan IV 2016, akselerasi proyek-proyek infrastruktur pemerintah dalam mengejar target pembangunan akan mendorong kinerja lapangan usaha konstruksi. Beberapa proyek yang sedang berjalan di antaranya adalah pembangunan jalan tol Trans Jawa, New Priok, MRT, LRT, bandara Kulon Progo dan proyek infrastruktur lainnya. Di samping pembangunan infrastruktur pemerintah, realisasi investasi swasta diprakirakan juga akan meningkat yang terlihat pada optimisme pelaku usaha dalam liaison Bank Indonesia. Kinerja lapangan usaha pertanian menunjukkan adanya kenaikan dari 2,6% (yoy) menjadi 4,5% (yoy), terutama didukung dari oleh peningkatan produksi tanaman pangan di daerah sentra di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Indikator dari hasil liaison Bank Indonesia juga menunjukkan perbaikan, baik dari sisi penjualan domestik maupun kapasitas utilisasi yang meningkat. Faktor pendorong dari membaiknya kinerja lapangan usaha pertanian juga terlihat dari adanya program Peningkatan Luas Tambah Tanam dan Serap Gabah yang dicanangkan oleh Pemerintah Jawa Tengah dengan memanfaatkan La Nina untuk meningkatkan produksi padi. Luas Tambah Tanam (LTT) padi meningkat 128 ribu hektar menjadi 845 ribu hektar di triwulan laporan. Inflasi bahan pangan yang terkendali pada triwulan laporan juga memberikan indikasi adanya peningkatan produksi bahan pangan di kawasan Jawa. Sumber: BPS dan BKPM (diolah) Grafik III.10. Investasi Bangunan dan Realisasi PMDN Percepatan pembangunan infrastruktur oleh Pemerintah pada tahun 2016 mendorong pertumbuhan lapangan usaha konstruksi. Pertumbuhan lapangan usaha konstruksi ditopang oleh realisasi proyek infrastruktur Pemerintah yang juga tercermin dari peningkatan konsumsi semen Jawa hingga triwulan III 2016. Selain itu, investasi PMA maupun PMDN yang diprakirakan lebih tinggi pada tahun 2016 dapat mendorong pembangunan di wilayah Jawa. Pertanian Pertumbuhan lapangan usaha pertanian mengalami peningkatan seiring produksi bahan pangan yang meningkat pada triwulan laporan. 28 Sumber: Bank Indonesia Grafik III.11. Perkembangan Lapangan Usaha Pertanian (Liaison) Meningkatnya kinerja lapangan usaha pertanian diprakirakan tidak akan berlanjut pada triwulan IV 2016. Hal ini terjadi seiring dengan telah berlalunya masa panen raya untuk komoditas utama tabama dan hortikultura. Meski demikian, masa panen bawang merah di Jawa Tengah pada akhir tahun diprakirakan dapat menahan perlambatan yang lebih dalam. Kondisi cuaca yang tidak normal sepanjang tahun 2016 membuat jumlah produksi pertanian mengalami perlambatan. Kondisi cuaca yang tidak normal dengan adanya El Nino di awal tahun dan La Nina pada akhir tahun membuat produktivitas pertanian maupun perikanan di Jawa mengalami penurunan. Serangan hama penyakit yang menyerang beberapa daerah turut memperparah kondisi lahan pertanian di Jawa. Perdagangan Kinerja lapangan usaha perdagangan mengalami perlambatan setelah meningkat cukup tinggi pada triwulan sebelumnya. Hal ini dipengaruhi oleh pergeseran periode Ramadhan menjadi akhir triwulan II 2016. Perlambatan ini juga didukung oleh hasil SKDU dari lapangan usaha perdagangan yang mengalami perlambatan cukup dalam. Penjualan kendaraan bermotor, baik itu roda empat maupun roda dua juga mengalami penurunan, terutama pada roda dua yang kembali mengalami kontraksi. Perlambatan perdagangan juga terlihat dari hasil penjualan ritel yang melambat tercermin dari Indeks Penjualan Ritel (IPR) turut mengalami perlambatan dari 17,64% (yoy) pada triwulan II 2016 menjadi 12,30% (yoy) pada triwulan laporan. Perlambatan kinerja terjadi di seluruh provinsi di Pulau Jawa, kecuali Jawa Barat. yang terkendali dan diprakirakan akan berada dalam rentang sasaran inflasi tahun 2016. Membaiknya daya beli masyrakat membuat kinerja lapangan usaha perdagangan meningkat untuk keseluruhan tahun 2016. Penjualan ritel diprakirakan membaik yang terlihat dari lebih tingginya Indeks Penjualan Riil (IPR) dibandingkan periode yang sama pada tahun 2015. Penjualan kendaraan bermotor, baik itu roda dua maupun roda empat juga tercatat membaik, terutama pada penjualan mobil, yang secara year to date triwulan III 2016 telah tumbuh positif. Jasa Keuangan Lapangan usaha jasa keuangan mengalami perlambatan pada triwulan laporan seiring masih rendahnya permintaan kredit. Lapangan usaha Jasa keuangan hanya mampu tumbuh sebesar 9,4% (yoy), lebih rendah dari pencapaian periode sebelumnya yang mencapai 13,9% (yoy). Di samping itu, rasio NPL perbankan di Jawa juga mengindikasikan adanya peningkatan sehingga sektor perbankan cenderung lebih berhati-hati dan selektif dalam memberikan pinjaman baru. Pendapatan hasil intermediasi perbankan pada triwulan III 2016 yang dihitung dengan metode FISIM (Financial Intermediation Services Indirectly Measured) tercatat melambat dibandingkan triwulan sebelumnya. Namun perlambatan pada kinerja jasa keuangan dapat tertahan oleh pertumbuhan provisi atau komisi perbankan yang mengalami peningkatan pada triwulan laporan. Sumber: Bank Indonesia Grafik III.12. Pertumbuhan Indeks Penjualan Riil Menjelang akhir tahun, kinerja lapangan usaha perdagangan diprakirakan akan membaik menjelang natal dan tahun baru. Selain itu, daya beli masyarakat yang relatif terjaga akan mampu meningkatkan konsumsi rumah tangga seperti yang terindikasi dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang meningkat hingga bulan Oktober 2016. Daya beli masyarakat yang diprakirakan meningkat juga didukung oleh laju inflasi Jawa 29 Sumber: Bank Indonesia Grafik III.13. Perkembangan FISIM Kinerja lapangan usaha jasa keuangan diprakirakan akan tumbuh melambat pada triwulan IV 2016. Pertumbuhan penyaluran kredit yang masih rendah dan terbatas di seluruh provinsi Jawa merupakan salah satu faktor penghambatnya. Dengan demikian pendapatan perbankan dari jasa bunga, provisi dan komisi diprakirakan juga akan tumbuh lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya. Fiskal Daerah Pertumbuhan realisasi belanja provinsi di Jawa secara year-on-year mengalami perlambatan pada triwulan III 2016. Belanja provinsi kawasan Jawa pada triwulan III 2016 tumbuh sebesar 26,35% (yoy) lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar 42,73% (yoy). Pertumbuhan tertinggi berlangsung di provinsi Banten sebesar 49,90% (yoy) yang didorong percepatan penyaluran hibah BOS Sekolah Dasar meski masih di bawah capaian triwulan sebelumnya. Di sisi lain, pertumbuhan realisasi belanja Jawa Timur yang merupakan terendah di kawasan Jawa mengalami peningkatan menjadi 3,48% (yoy), lebih tinggi dari sebelumnya yang terkontraksi 0,03% (yoy) pada triwulan II 2016. lebih tinggi bila dibandingkan dengan realisasi belanja kabupaten/kota sebesar 47,83% atau senilai Rp133,60 triliun. Dengan demikian, secara keseluruhan realisasi belanja daerah telah mencapai 48,92%, atau lebih tinggi dari capaian periode yang sama pada tahun 2015. Membaiknya realisasi hingga triwulan III ini didorong oleh peningkatan realisasi dari seluruh provinsi. Secara umum kecepatan realisasi belanja APBD hingga triwulan III 2016 lebih baik dibandingkan tahun 2015 (tabel III.2). Penyaluran dana transfer daerah yang dikaitkan dengan mekanisme reward dan punishment dan dengan mempertimbangkan kedisplinan administrasi pelaporan dan kinerja realisasi belanja berhasil mendorong pengelolaan keuangan pemerintah daerah menjadi lebih baik. Selain itu, kecepatan realisasi belanja juga dididorong penerapan PMK No.235/PMK.07/2015 Tentang Konversi Penyaluran Dana Bagi Hasil Dan/Atau Dana Alokasi Umum Dalam Bentuk Non Tunai. Tabel III.2. Realisasi Belanja Daerah Provinsi Tw III 2015 DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Jawa 29.7% 43.3% 27.9% 31.3% 53.8% 40.1% 37.0% 2016 Tw II 27.3% 29.8% 32.8% 28.4% 34.5% 33.3% 30.5% Tw III 43.3% 48.7% 52.7% 47.1% 54.9% 53.9% 48.9% Sumber: Biro Ekonomi dan TEPRA (diolah) Realisasi belanja pemerintah daerah di 6 provinsi 6 kawasan Jawa hingga triwulan III 2016 tercatat membaik dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Peningkatan belanja daerah didorong oleh realisasi belanja provinsi yang mencapai 50,98% atau senilai Rp75,82 triliun, 6 Data tahun 2015 mencakup 6 provinsi dan 81 kab/kota sementara data 2016 mencakup 6 provinsi dan 113 kab/kota 30 Sumber: Bank Indonesia Grafik III.14. Porsi Dana Pemda di BPD Perkembangan kondisi APBD juga dapat dicermati dari persentase DPK Pemda terhadap total DPK di BPD yang mengalami penurunan (Grafik III.14). Pada triwulan III 2016 dana Pemda di BPD memiliki porsi sebesar 53,05% atau senilai Rp104,52 triliun Porsi dana Pemda di BPD memang lebih rendah dari triwulan sebelumnya yang sebesar 53,53%, meski secara nilai tercatat lebih tinggi dari triwulan sebelumnya sebesar Rp99,97 triliun. Posisi dana Pemda di BPD juga mengalami penurunan bila dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 63,75% atau Rp130,15 triliun. Penurunan ini disebabkan peningkatan kecepatan realisasi belanja daerah tahun 2016. Realisasi pendapatan daerah relatif stabil pada level 65,80% hingga triwulan III 2016. Capaian tersebut tercatat stagnan bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 65,74%. Realisasi pendapatan pada tahun 2016 disumbang oleh perolehan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan peningkatan transfer daerah. kembali normalnya harga daging dan telur ayam ras paska lebaran. Sementara itu, tekanan pada kelompok inti masih relatif stabil dengan tekanan terbesar berasal dari kenaikan biaya pendidikan dan akademi/perguruan tinggi. Di sisi lain, tekanan pada kelompok administered prices mengalami peningkatan secara quarter to quarter yang didorong kenaikan tarif angkutan dan penyesuaian tarif listrik. Sumber: BPS (diolah) Sumber: Biro Ekonomi dan TEPRA (diolah) Grafik III.15. Realisasi Pendapatan Daerah Perkembangan Inflasi Tingkat inflasi Jawa pada triwulan laporan masih terkendali yang tercermin dari laju inflasi tahunan yang berada di bawah sasaran inflasi tahun 2016. Tingkat inflasi pada triwulan ini tercatat sebesar 2,58% (yoy), lebih rendah dibandingkan realisasi triwulan sebelumnya sebesar 3,14% (yoy). Pencapaian inflasi tersebut juga lebih rendah dibandingkan laju inflasi tahunan nasional sebesar 3,07% (yoy). Hingga bulan September 2016, laju inflasi kalendar di kawasan Jawa tercatat sebesar 1,70% (ytd), jauh dibawah angka historis rata-rata lima tahun terakhir sebesar 3,75% (ytd). Dengan capaian tersebut, maka tingkat inflasi di akhir tahun akan berada di bawah rentang sasaran inflasi tahun 2016 sebesar 4% ± 1%. Rendahnya capaian inflasi hingga triwulan III 2016 disumbang oleh tekanan volatile food yang relatif rendah serta inflasi inti yang stabil. Perkembangan inflasi kelompok volatile food tidak setinggi triwulan sebelumnya, disebabkan telah 31 Grafik III.16. Disagregasi Kelompok Inflasi Laju Inflasi tahunan kelompok volatile food pada triwulan laporan tercatat lebih rendah yang didorong kembali normalnya harga pangan strategis. Inflasi volatile food pada triwulan III 2016 berada pada level 5,92% (yoy), jauh lebih rendah dibandingkan realisasi periode sebelumnya yang mencapai 8,48% (yoy) yang disebabkan tingginya permintaan saat bulan puasa dan Idul Fitri. Beberapa komoditas pangan strategis mengalami deflasi sehingga menyumbang penurunan tekanan pada triwulan laporan. Deflasi terutama dialami oleh komoditas daging ayam ras dan telur ayam ras karena pasokan yang kembali normal dibarengi penurunan permintaan setelah berakhirnya bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri. Sementara itu harga beras juga terpantau stabil dan tidak memberikan tekanan inflasi. Namun, produk holtikulutra seperti bawang merah dan aneka cabai memberikan tekanan inflasi pada triwulan laporan, meski relatif menurun pada akhir triwulan karena masa panen untuk komoditas bawang merah. (yoy) dipengaruhi oleh sumbangan deflasi yang cukup besar dari komoditas administered prices, yang berada di atas rata-rata provinsi di kawasan Jawa. Tabel III.3. Komoditas Penyumbang Inflasi Komoditas Bobot qtq Andil qtq Sumber: BPS (diolah) Grafik III.17. Disagregasi Kelompok Inflasi Tekanan harga pada triwulan laporan disumbang oleh kelompok administered prices yaitu kenaikan tarif angkutan udara dan angkutan kota menjelang libur panjang. Sesuai dengan polanya, tarif angkutan darat maupun udara mengalami kenaikan menjelang periode mudik, walaupun pada bulan berikutnya mengalami koreksi. Tekanan inflasi turut disumbang oleh penyesuaian tarif listrik di bulan Juli bagi 12 (dua belas) golongan pelanggan dan menjadi penyumbang inflasi terbesar pada triwulan laporan. Harga rokok yang masih terus mengalami kenaikan secara bertahap secara konsisten menyumbangkan inflasi meski masih dalam level yang terkendali. Sementara itu, tekanan inflasi pada kelompok inti masih relatif stabil dengan tekanan terbesar lebih dipengaruhi oleh adanya kenaikan biaya pendidikan sehubungan dengan tahun ajaran baru, baik itu untuk sekolah dasar hingga sekolah menengah atas serta akademi/perguruan tinggi pada bulan Juli-Agustus 2016. Secara spasial, inflasi seluruh provinsi masih berada di dalam rentang sasaran inflasi tahun 2016. Laju inflasi tahunan tertinggi berada di provinsi Banten yang tercatat 3,01% (yoy) pada triwulan laporan, disebabkan oleh kenaikan komoditas pangan seperti bawang merah dan daging ayam ras serta komoditas administered prices, yaitu rokok kretek yang merupakan komoditas penyumbang inflasi terbesar. Di sisi lain, Provinsi DKI Jakarta memiliki tingkat inflasi tahunan terendah atau berada pada angka 2,40% 32 Volatile Food Cabai Merah Kentang Bawang Merah Administered Prices Tarif Listrik Angkutan Udara Rokok Kreket Filter Core Inflation Akademi/Perguruan Tinggi Sekolah Menengah Atas Kontrak Rumah 0.2% 0.2% 0.2% 29.3% 15.2% 9.2% 0.7% 0.3% 0.2% 2.3% 0.3% 1.3% 3.8% 9.7% 2.0% 0.9% 0.3% 0.2% 1.3% 0.8% 3.7% 3.0% 4.2% 0.8% 0.4% 0.3% 0.3% Sumber: BPS (diolah) Tabel III.4. Perkembangan Inflasi Spasial Provinsi 2014 I DKI Jakarta 8.95 7.10 Jawa Barat 7.60 5.46 Banten 10.20 7.46 Jawa Tengah 8.21 5.68 DI Yogyakarta 6.59 5.13 Jawa Timur 7.77 6.08 Jawa 8.35 6.28 2015 II 7.59 6.51 8.91 6.15 5.68 6.77 7.07 III 7.24 6.11 8.14 5.78 5.23 6.69 6.71 2016 IV 3.30 2.74 4.29 2.73 3.09 3.08 3.12 I 3.62 3.78 5.70 4.21 3.69 3.71 3.93 II 3.08 3.22 3.78 2.96 2.94 2.93 3.14 III 2.40 2.54 3.01 2.71 2.68 2.69 2.58 Sumber: BPS (diolah) Tingkat inflasi pada tahun 2016 diprakirakan akan lebih rendah dibandingkan dari tahun 2015 dan masih berada dalam rentang sasaran inflasi tahun 2016. Pada bulan Oktober, laju inflasi bulanan tercatat 0,09% (mtm) atau jauh lebih rendah dari rata-rata historisnya. Harga bawang merah mengalami koreksi seiring mulai berlangsungnya masa panen di beberapa daerah di Jawa Tengah. Hingga bulan Oktober, laju inflasi kalendar Jawa tercatat pada level 1,80% (ytd). Dengan demikian, tingkat inflasi tahun 2016 yang hanya menyisakan waktu dua bulan akan berada di bawah rentang sasaran inflasi tahun 2016. Tekanan dari komoditas pangan diprakirakan relatif rendah dan hanya akan berasal dari komoditas hortikultura seperti cabai merah yang mengalami gangguan produksi akibat curah hujan yang tinggi. Berdasarkan analisa yang dilakukan oleh Bank Indonesia, La Nina berpotensi mendorong inflasi Jawa sebesar 0,13% (yoy) akibat menurunnya produksi aneka cabai dan bawang merah. Sementara itu, dari kelompok administered prices juga diprakirakan masih akan terjaga seiring harga minyak dunia yang masih relatif rendah, meski masih perlu diwaspadai tekanan yang berasal dari penyesuaian tarif listrik pada bulan September dan Oktober. Pada kelompok inti, komoditas emas perhiasan diprakirakan akan memberikan tekanan inflasi seiring ketidakpastian pada kondisi global yang membuat emas sebagai investasi yang safe haven. Dalam rangka upaya pengendalian inflasi di daerah, Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) melakukan berbagai program di setiap daerah. Strategi roadmap inflasi Jawa telah diimplementasikan dengan baik dalam hal strategi penguatan fungsi kelembagaan dan regulasi, penyusunan riset dan informasi serta pembentukan ekspektasi masyarakat. Kebijakan penetapan harga acuan konsumen merupakan langkah awal pemerintah dalam pengendalian inflasi harga daerah melalui peningkatan peran Bulog dan BUMN Pangan bekerjasama dengan BUMN, BUMD, Koperasi dan/atau swasta. Penetapan harga acuan menjadi penting dalam rangka menekan disparitas harga antar daerah. Setiap daerah telah menjalankan program dalam menjaga kelangsungan produksi, distribusi dan konektivitas pangan. Sebagai contoh di Jawa Tengah sedang digalakkan Kampung Cabai Inovatif dalam rangka pengendalian harga cabai yang sering menjadi penyumbang inflasi di Jawa. Di Yogyakarta juga tengah mengoptimalkan Price Reference Store sebagai salah satu upaya memberikan referensi harga kepada konsumen. Sementara di Jawa Barat terus dilaksanakan sosialisasi sistem resi gudang dalam upaya meningkatkan modal petani dan pengendalian stok pangan di daerah. Stabilitas Keuangan Daerah Ketahanan Sektor Korporasi 7 Kinerja korporasi di kawasan Jawa mulai menunjukkan perbaikan pada triwulan laporan. Membaiknya kinerja dimaksud tercermin dari rasio rentabilitas korporasi yang meningkat setelah relatif stagnan pada pada triwulan sebelumnya. Rasio solvabilitas dan likuiditas juga tercatat relatif kuat yang menandakan ketahanan korporasi hingga triwulan II 2016. Rasio rentabilitas korporasi meningkat setelah terus mengalami penurunan hingga akhir 2015. Peningkatan kinerja korproasi yang tercermin dari indikator Return on Assets (ROA) yang naik dari 5,40% menjadi 5,71% pada triwulan laporan. Indikator lainnya yaitu Return on Equity (ROE) juga membaik dari 11,14% menjadi 11,54%. Hampir di seluruh sektor manufaktur menunjukkan perbaikan profitabilitas kecuali pada industri kertas serta tekstil dan produk turuannya. Sumber: Bloomberg Grafik III.18. Perkembangan ROA dan ROE Korporasi Sumber: Bloomberg Grafik III.19. Perkembangan DER dan Solvability Ratio Korporasi 7 Korporasi di Jawa diwakilkan oleh 40 (empat puluh) perusahaan manufaktur terbesar di Jawa dan tercatat dalam Bursa Efek Indonesia 33 Kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka panjang yang terlihat dari rasio solvabilitas relatif stabil. Namun rasio solvabilitas yang masih kuat tidak diikuti dengan kemampuan membayar bunga yang meningkat atau terlihat dari rasio Interest Coverage Ratio (ICR). ICR pada triwulan laporan tercatat menurun tipis dari 3,40 menjadi 3,30, namun masih berada dalam level yang aman. Rasio ICR yang masih berada pada level aman dimaksud menunjukkan ketahanan korporasi yang relatif baik di tengah tekanan global yang masih belum menunjukkan tandatanda perbaikan. Sumber: Bloomberg Grafik III.20. Perkembangan ICR dan Current Ratio Korporasi Secara sektoral, rasio solvabilitas dan ICR di seluruh sektor masih tergolong aman meski pada beberapa sektor perlu mendapatkan perhatian lebih. Secara umum seluruh sektor memiliki rasio solvabilitas di atas 1 kali, yang menandakan tingkat kemampuan perusahaan untuk membayar semua kewajibannya masih berada dalam batas aman. Meski demikian terdapat sektor manufaktur yang mengalami penurunan rasio solvabilitas seperti sektor semen serta logam dan produknya. Dari sisi ICR, seluruh sektor masih berada pada level yang baik, kecuali pada industri logam dan produknya yang membaik dibandingkan triwulan sebelumnya namun masih memiliki ICR di bawah satu. Sementara itu, salah satu indikator rasio likuiditas yaitu current ratio mengalami sedikit penurunan. Rasio likuiditas korporasi Jawa pada triwulan laporan tercatat sebesar 1,51 atau sedikit lebih rendah dari triwulan sebelumnya yang sebesar 1,58. Menurunnya rasio likuiditas sejalan dengan peningkatan kinerja korporasi yang membaik sehingga membuat aset likuid sedikit menurun. Eksposur Perbankan pada Sektor Korporasi Tabel III.5. Indikator Kinerja Korporasi ROA Tw II Tw III Automotive & Components 4.93 4.98 Food & Beverage 6.31 6.59 Pulp& Paper 1.93 1.74 Tobacco Manufacturers 14.50 14.78 Cement 10.62 10.68 Metal & Allied Products -8.30 -6.27 Chemicals 2.91 6.21 Pharmaceuticals 15.21 15.23 Textile, Garment 1.16 0.95 Ceramics, Glass, Porcelain 1.60 2.09 Plastics & Packaging 1.39 2.12 Total 5.40 5.70 Solvability Sektor Tw II Tw III Automotive & Components 2.09 2.06 Food & Beverage 2.05 2.01 Pulp& Paper 1.60 1.60 Tobacco Manufacturers 2.39 2.70 Cement 3.34 3.29 Metal & Allied Products 1.92 1.84 Chemicals 1.97 2.11 Pharmaceuticals 5.53 5.26 Textile, Garment 1.18 1.17 Ceramics, Glass, Porcelain 1.68 1.67 Plastics & Packaging 2.00 2.03 Total 2.03 2.02 Sektor Sumber: Bloomberg 34 ROE Tw II Tw III 9.74 9.80 12.83 13.18 5.24 4.68 28.06 26.54 14.97 15.13 -18.47 -13.21 5.90 12.40 18.61 18.66 7.63 6.14 4.06 5.27 2.86 4.31 11.14 11.52 ICR Tw II Tw III 6.22 6.62 7.66 7.90 2.54 2.51 17.70 19.01 10.47 9.71 0.41 0.71 1.58 1.55 2.00 2.89 3.40 3.30 DER Tw II Tw III 0.91 0.94 0.96 0.99 1.67 1.67 0.72 0.59 0.43 0.44 1.09 1.20 1.03 0.90 0.22 0.23 5.51 5.80 1.48 1.49 1.00 0.97 0.97 0.98 Current Ratio Tw II Tw III 1.40 1.37 1.97 1.79 1.49 1.42 2.45 2.07 1.86 1.76 0.73 0.83 1.27 1.52 4.08 3.75 0.80 0.86 1.67 1.41 1.01 1.04 1.58 1.51 Sejalan dengan perlambatan pertumbuhan 8 ekonomi Jawa, penyaluran kredit oleh perbankan mengalami perlambatan. Penyaluran kredit di kawasan Jawa secara keseluruhan hanya tumbuh sebesar 5,92% (yoy), melambat dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 8,52% (yoy). Realisasi tersebut juga tercatat lebih rendah jika dibandingkan dengan pertumbuhan kredit nasional yang mencapai 6,34% (yoy). Berdasarkan golongannya, baik sektor korporasi maupun perseorangan mengalami perlambatan, dengan sektor korporasi menjadi penyumbang utama perlambatan penyaluran kredit. Sejalan dengan ekonomi Jawa yang melambat, penyaluran kredit kepada korporasi turut mengalami perlambatan. Penyaluran kredit kepada korporasi tumbuh sebesar 6,87% (yoy), 8 Berdasarkan lokasi proyek melambat dibanding triwulan sebelumnya yang sebesar 10,91% (yoy). Perlambatan penyaluran kredit terjadi baik pada kredit modal kerja maupun investasi. Perlambatan kredit ini terutama didorong oleh melemahnya permintaan dari industri pengolahan, yang memiliki pangsa kredit korporasi terbesar (31,4% dari total kredit korporasi), sejalan dengan perlambatan kinerja industri pengolahan pada triwulan laporan. Pemberian kredit ke lapangan usaha industri pengolahan tercatat stagnan atau tidak mengalami pertumbuhan, setelah pada triwulan sebelumnya masih mampu tumbuh 6,81%. Sementara itu, pada lapangan usaha perdagangan besar dan eceran yang merupakan debitur terbesar kedua pada kredit korporasi juga melambat. Penurunan lebih jauh pada kredit korporasi dapat tertahan oleh penyaluran kredit ke lapangan usaha konstruksi yang meningkat dan tercatat masih dapat tumbuh 28,71% (yoy). DER yang relatif stabil. Tingkat utang terhadap 9 ekuitas korporasi pada akhir triwulan II 2016 relatif stabil pada level 0,97%. Ketidakpastian kontinuitas pertumbuhan permintaan ekonomi global ditengarai menjadi penyebab penurunan preferensi korporasi dalam menerima pinjaman di tengah perbaikan kinerja korporasi. Risiko kredit mengalami peningkatan meski masih berada dalam kategori aman. Peningkatan risiko kredit bermasalah tersebut ditengarai menjadi salah satu penyebab bank lebih selektif dalam menyalurkan kredit yang berdampak pada perlambatan pertumbuhan kredit. Pada triwulan III 2016, rasio Non Performing Loan (NPL) korporasi sedikit meningkat dari 3,16% menjadi 3,18%. Rasio NPL korporasi juga lebih tinggi dari rasio NPL kredit secara keseluruhan yang sebesar 2,94%. Menurunnya kualitas kredit korporasi terutama terjadi pada kredit modal kredit investasi. Sementara itu, secara sektoral kualitas kredit yang memburuk terutama dialami oleh lapangan usaha perdagangan besar dan eceran yang mencapai 4,75%, meningkat cukup tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar 3,96%. Sumber: Bank Indonesia Grafik III.21. Pangsa Kredit Sektor Korporasi Sumber: Bank Indonesia Grafik III.23. Rasio NPL Kredit Sektoral Korporasi Ketahanan Sektor Rumah Tangga Dana Pihak Ketiga Perseorangan di Perbankan Sumber: Bank Indonesia Grafik III.22. Penyaluran Kredit Sektoral Korporasi Melambatnya pemberian kredit korporasi industri pengolahan juga terindikasi dari rasio 35 Dana Pihak perseorangan 9 Ketiga (DPK) dari tercatat meningkat, golongan terutama Korporasi di Jawa diwakilkan oleh 40 (empat puluh) perusahaan manufaktur terbesar di Jawa dan tercatat dalam Bursa Efek Indonesia bersumber dari peningkatan giro dan deposito. Secara keseluruhan, DPK perseorangan tumbuh 10,30% (yoy), di atas capaian triwulan sebelumnya yang hanya sebesar 5,24%. Deposito, yang memiliki pangsa mencapai 44,5% dari total DPK, dapat tumbuh 6,2% (yoy) setelah pada triwulan sebelumnya mengalami kontraksi. Hal tersebut ditengarai akibat adanya peningkatan suku bunga deposito sebanyak 67 basis poin sejak awal tahun 2016. Sementara itu, giro juga tercatat mengalami pertumbuhan cukup signifikan menjadi 35,2% (yoy). Namun di sisi lain, tabungan hanya mampu tumbuh 11,25% (yoy). itu, penyaluran kredit kepemilikan sepeda bermotor tercatat lebih buruk dan mengalami kontraksi sebesar 13,96% pada triwulan laporan. Sumber: Bank Indonesia Grafik III.25. Pertumbuhan Kredit Rumah Tangga Sumber: Bank Indonesia Grafik III.24. Pertumbuhan DPK Perseorangan Kredit Perseorangan di Perbankan Kredit rumah tangga tumbuh melambat untuk semua jenis pada triwulan laporan. Penyaluran kredit rumah tangga melambat dari 9,81% (yoy) menjadi 8,99% (yoy) pada triwulan III 2016. Perlambatan penyaluran kredit rumah tangga utamanya disumbang oleh melambatnya kredit multiguna yang tumbuh melambat dari 16,15% (yoy) menjadi ke 11,68% (yoy), serta penyaluran KKB yang terkontraksi pada triwulan laporan. Perlambatan kredit rumah tangga turut disumbang oleh perlambatan Kredit kepemilikan rumah (KPR) dan terjadi pada seluruh tipe rumah. Penurunan KKB utamanya disumbang oleh adanya perlambatan kredit kepemilikan mobil serta penurunan penyaluran kredit kepemilikan sepeda bermotor. Kredit kepemilikan mobil tercatat melambat cukup dalam dari 4,97% menjadi 0,93% pada triwulan III 2016. Sementara 36 Perlambatan penyaluran KPR terjadi pada penyaluran KPR seluruh tipe rumah. Perlambatan terendah untuk penyaluran KPR bersumber dari KPR tipe <21 yang masih tercatat kontraksi, melanjutkan pertumbuhan negatif dalam 3 triwulan terakhir. Sementara itu pemberian kredit tipe 22 s.d. 70 serta tipe >70 juga mengalami perlambatan meski masih tumbuh positif. Perlambatan permintaan kredit terkait properti sejalan dengan hasil Survei Harga Properti Residensial (SHPR) yang menunjukkan adanya perlambatan pertumbuhan indeks harga properti di kota-kota besar di Jawa. Menurunnya permintaan akan harta tetap juga tercermin dari penurunan indeks konsumsi barang tahan lama saat ini dibandingkan 3 bulan sebelumnya, yang ditunjukkan oleh hasil Survei Konsumen (SK). Sumber: Bank Indonesia Grafik III.26. Perkembangan KPR Risiko kredit rumah tangga sedikit meningkat yang tercermin dari rasio NPL yang naik. Rasio NPL untuk kredit rumah tangga tercatat meningkat ke level 1,68%, sedikit lebih tinggi dari triwulan sebelumnya yang sebesar 1,63%. Memburuknya kualitas kredit rumah tangga bersumber dari kenaikan rasio NPL KPR/KPA. Meningkatnya risiko KPR/KPA terjadi pada seluruh tipe rumah, namun KPR dengan tipe di atas 70 memberikan kenaikan risiko kredit tertinggi dengan peningkatan rasio NPL menjadi 2,66%, lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar 2,33%. Namun demikian, membaiknya kualitas kredit dari KKB dan kredit multiguna dapat menekan risiko dari kredit rumah tangga. menurun dari Rp10,7 triliun menjadi Rp7,8 triliun per harinya. Sumber: Bank Indonesia Grafik III.28. Nominal Transaksi SKNBI Pemberlakuan ketentuan baru terkait caping transaksi kliring melalui SKNBI juga berdampak kepada melambatnya pertumbuhan volume transaksi. Volume transaksi SKNBI tercatat melambat dari 13,07% (yoy) menjadi 5,99% (yoy) pada triwulan laporan atau mencapai 24,67 transaksi. dari 24,3 juta transaksi menjadi 26,8 juta transaksi. Selain sebagai dampak dari adanya caping transaksi terbaru, telah berlalunya periode Idul Fitri yang jatuh pada triwulan II 2016 membuat volume transaksi juga menurun. Sumber: Bank Indonesia Grafik III.27. Rasio NPL Kredit Rumah Tangga Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah Sistem Pembayaran Non Tunai Transaksi kliring melalui Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) mengalami perlambatan, baik secara nominal maupun volume. Transaksi SKNBI di Jawa yang secara total mencapai 699 triliun tumbuh melambat menjadi 20,73% (yoy), jauh lebih rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang dapat tumbuh 58,44% (yoy). Salah satu faktor utama yang menyebabkan perlambatan tersebut adalah adanya pemberlakuan ketentuan baru atas caping transaksi kliring dari sebelumnya Rp500 juta menjadi Rp100 juta sejak 1 Juli 2016. Dengan demikian transkasi harian melalui SKNBI turut 37 Sumber: Bank Indonesia Grafik III.29. Volume Transaksi SKNBI Pengelolaan Uang Rupiah Wilayah Jawa mengalami net-inflow pada triwulan laporan dan merupakan yang terbesar dalam 5 tahun terakhir. Pada triwulan III 2016, wilayah Jawa mengalami net-inflow sebesar Rp62,6 triliun, berbalik arah dari triwulan sebelumnya yang mencatatkan net-outflow Rp76,64 triliun. Hal tersebut sejalan dengan pola musiman, dimana pada periode lebaran akan terjadi net-outflow karena penggunaan uang kartal yang relatif besar oleh masyarakat dan akan diikuti dengan net-inflow. Seluruh provinsi di Jawa mengalami net-inflow dengan yang terbesar berasa dari Jawa Barat yang mencapai Rp20,9 triliun. koordinasi dengan perbankan dan pihak berwajib mengenai penanganan laporan masyarakat terkait uang yang diragukan keasliannya. Sementara itu, rasio pemunsahan UTLE terhadap inflow relatif lebih rendah seiring tingginya aliran uang masuk ke Bank Indonesia pada triwulan laporan. Sumber: Bank Indonesia Sumber: Bank Indonesia Grafik III.32. Perkembangan Pemusnahan UTLE Grafik III.30. Perkembangan Inflow dan Outflow Prospek Perekonomian Prospek Pertumbuhan Ekonomi Sumber: Bank Indonesia Grafik III.31. Perkembangan Temuan Uang Palsu Sejalan dengan intensifikasi edukasi CIKUR (Ciriciri Keaslian Uang Rupiah) dan koordinasi dengan pihak yang berwenang, maka penemuan uang yang diragukan keasliannya mengalami kenaikan. Jumlah uang yang diragukan keasliannya yang dilaporkan kepada Bank Indonesia pada triwulan laporan 66.397 lembar, atau lebih tinggi dari temuan triwulan sebelumnya yang sebesar 54.554 lembar. Penemuan terbesar berasal dari Jakarta yang merupakan pusat transaksi bisnis di Indonesia. Meningkatnya temuan uang yang diragukan keasliannya tidak terlepas dari edukasi kepada masyarakat terkait ciri-ciri keaslian uang rupiah dan juga didukung oleh penguatan 38 Perekonomian Jawa diperkirakan akan membaik pada tahun 2017 dan tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan tahun laporan. Ekonomi Jawa diperkirakan akan berada dalam rentang 5,5% - 5,9% (yoy) yang didorong oleh membaiknya seluruh komponen PDRB, terutama pada konsumsi rumah tangga. Sementara itu, membaiknya permintaan domestik dan luar negeri dapat meningkatkan kinerja lapangan usaha industri pengolahan yang merupakan sektor utama di kawasan Jawa. Secara spasial, perbaikan ekonomi Jawa akan didorong dari seluruh provinsi di Jawa yang diperkirakan akan tumbuh lebih tinggi dibandingkan tahun 2016. Dari sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi Jawa masih akan ditopang oleh membaiknya konsumsi rumah tangga. Optimisme keyakinan konsumen yang masih relatif tinggi hingga kuartal akhir 2016, mengindikasikan daya beli masyarakat yang masih kuat dan akan berlanjut hingga tahun 2017. Dengan adanya penyesuaian UMK dan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) serentak di tahun depan dapat mendorong konsumsi rumah tangga dan Lembaga Non Profit yang Melayani Rumah Tangga (LNPRT). Sementara itu, realisasi investasi baik dari PMA maupun PMDN diperkirakan akan meningkat yang sudah terlihat membaiknya realisasi investasi pada tahun 2016 (year to date September) yang telah meningkat 25,28% (yoy) untuk PMDN dan 27,48% (yoy) untuk PMA. Perkembangan ekonomi global yang diperkirakan akan mulai pulih pada tahun 2017 diharapkan dapat mendorong penjualan ekspor Jawa. Membaiknya ekonomi Jawa juga didorong peningkatan ekspor dari Jawa dengan optimisme terkait pertumbuhan ekonomi global serta dengan adanya rencana dari pelaku usaha untuk melakukan diversifikasi negara tujuan ekspor. Negara tujuan ekspor terbesar saat ini adalah Amerika Serikat dan Eropa, dengan adanya rencana diversifikasi, maka pangsa pasar akan diperluas ke negara-negara di Asia. Dari sisi impor, seiring dengan kinerja industri pengolahan yang membaik maka impor bahan baku juga meningkat seiring dengan peningkatan kapasitas produksi. Dari sisi penawaran, seluruh lapangan usaha utama mulai terakselerasi, terutama ditopang oleh membaiknya kinerja industri pengolahan. Keyakinan pelaku usaha terkait prospek ekonomi dunia di tahun 2017 yang disertai peningkatan permintaan domestik diperkirakan dapat mampu meningkatkan kinerja lapangan usaha industri pengolahan. Sub lapangan usaha makanan dan minuman serta otomotif diperkirakan tumbuh membaik seiring peningkatan daya beli masyarakat. Permintaan akan baja domestik diperkirakan meningkat terutama terkait dengan pemenuhan proyek infrastruktur Pemerintah yang akan mampu mendorong penjualan dari sub lapangan usaha logam. Sejalan dengan perkiraan peningkatan daya beli masyarakat pada tahun mendatang, maka kinerja lapangan usaha perdagangan akan membaik. Hal itu semakin diperkuat dengan adanya pelaksanaan PILKADA serentak yang akan menjadi salah satu pendorong juga untuk peningkatan lapangan usaha perdagangan. 39 Akselerasi proyek Pemerintah yang sempat tertunda mendorong kinerja lapangan usaha konstruksi. Perkiraan realisasi investasi pemerintah yang lebih tinggi, mampu mendorong kinerja konstruksi, terutama berasal dari akselerasi proyek-proyek infrastruktur seperti pembangunan jalan Trans Jawa, Bandara di Jawa Barat dan DIY, pelabuhan di Jakarta dan Patimban serta sarana pendukung untuk penyelenggaraan ASEAN Games di jakarta. Selain itu, konstruksi dari pihak swasta diperkirakan juga akan cukup tinggi terutama dari sub lapangan usaha otomotif serta tekstil dan produk turunannya. Sementara itu, produksi pertanian akan mengalami peningkatan seiring perkiraan berakhirnya dampak La Nina pada triwulan I 2017. Peningkatan lapangan usaha pertanian juga didukung oleh adanya perbaikan infrastruktur irigasi serta pengaturan pola tanam. Optimisme membaiknya perekonomian Jawa masih dibayangi risiko internal maupun eksternal yang dapat menahan laju pertumbuhan. Meski secara umum ekonomi global diperkirakan dapat tumbuh lebih tinggi, namun perekonomian Eropa dan Tiongkok yang merupakan mitra dagang utama Jawa diperkirakan masih akan melambat. Dampak Brexit serta pemilihan presiden di Amerika Serikat juga masih memberikan potensi risiko terhadap perkembangan negera-negara maju. Sementara itu, risiko sisi internal masih dibayangi oleh penyaluran kredit yang masih terbatas serta laju inflasi yang diperkirakan akan lebih tinggi. Ruang fiskal juga diperkirakan masih terbatas seiring dengan risiko realisasi pendapatan pajak yang belum optimal. Prospek Inflasi Tingkat inflasi Jawa pada tahun 2017 diperkirakan akan lebih tinggi dibandingkan tahun 2016, meski masih berada dalam rentang sasaran inflasi tahun 2017. Tekanan pada tahun 2017 akan lebih banyak didorong oleh komoditas administered prices. Sementara secara spasial, tingkat inflasi di tahun 2017 untuk seluruh provinsi di Jawa juga diperkirakan akan mengalami peningkatan. Dengan demikian, inflasi pada tahun 2017 diperkirakan akan berada pada rentang 3,6 4,0% (yoy) dan masih berada dalam rentang target inflasi tahun 2017 sebesar 4% ± 1%. Perkiraan realisasi inflasi dimaksud akan lebih tinggi dari perkiraan tingkat inflasi tahun 2016 yang berada pada level 2,6 - 4,0% (yoy). La Nina masih berpotensi memberikan tekanan inflasi terhadap produk hortikultura hingga triwulan I 2017. Curah hujan yang tinggi akibat La Nina telah memberikan tekanan inflasi sejak semester II 2016 yang akan berlanjut hingga triwulan I 2017, terutama untuk komoditas aneka cabai dan bawang merah. Curah hujan yang tinggi juga berisiko untuk merendam lahan penanaman beras dan jagung yang dapat mengganggu pasokan komoditas dimaksud. Terbatasnya pasokan untuk komoditas beras berpotensi memberikan tekanan inflasi yang relatif besar dengan bobot komoditas beras merupakan yang terbesar. Sementara itu, berkurangnya pasokan jagung dapat dapat berdampak kepada kenaikan harga daging ayam ras, dimana jagung merupakan bahan baku utama makanan ternak ayam. 40 Tekanan pada kelompok administered prices bersumber dari penerapan cukai rokok 2017 dan penyesuaian tarif listrik oleh Pemerintah. Cukai rokok 2017 diperkirakan akan mengalami kenaikan sekitar 10 – 13%, dan akan berdampak kepada komoditas rokok kretek dan rokok kretek filter secara bertahap sepanjang tahun. Tekanan inflasi juga ditambah dengan adanya rencana penyesuaian tarif listrik untuk 450 Volt Ampere (va) dan 900 va pada tahun 2017. Meski tekanan pada kelompok volatile food relatif tinggi di awal tahun, namun produksi pangan di tahun 2017 diperkirakan akan lebih baik dari tahun 2016. Dengan kondisi cuaca yang kembali normal dan disertai dengan pembangunan infrastruktur pertanian serta peningkatan kerja sama antar daerah, maka laju inflasi volatile food diharapkan masih akan terjaga hingga akhir tahun 2017. Boks 2 Kondisi Industri Manufaktur Industri pengolahan memegang peranan penting bagi pertumbuhan ekonomi di Jawa, dengan memiliki pangsa terhadap PDRB yang terbesar dibandingkan lapangan usaha lainnya yaitu mencapai 29%. Tenaga kerja yang berhasil diserap oleh industri pengolahan juga tergolong tinggi, dengan tingkat penyerapan mencapai 18,2% dari total angkatan kerja. Dari sisi penanaman modal, realisasi investasi langsung yang masuk ke Jawa sebagian besar ditujukan untuk industri pengolahan atau manufaktur, dan mencapai 45% dari total investasi langsung. Selain itu, ekspor non-migas Jawa mayoritas merupakan produk industri manufaktur. Sejak global financial crisis pada tahun 2008, pangsa industri pengolahan di Jawa memang terus mengalami penurunan hingga levelnya saat ini, dan belum menunjukkan indikasi untuk kembali kepada level sebelumnya. Disisi lain, pangsa sektor jasa-jasa justru terus mengalami peningkatan. Dari fenomena tersebut, terdapat tiga tantangan utama industri pengolahan yang berhasil diidentifikasi, yaitu: kerja sektor industri yang tidak mengalami banyak perubahan sejak tahun 2001 hingga 2015. Namun di saat yang sama, sektor perdagangan dan jasa-jasa tumbuh lebih tinggi di atas industri pengolahan. Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah) Grafik III.33. Pangsa PDRB Jawa Sektoral a. Deindustrialisasi Global financial crisis pada tahun 2008 telah menyebabkan permintaan global menurun dan kemudian berdampak kepada melambatnya pertumbuhan industri pengolahan di Jawa sebagai salah satu pemasok rantai global. Penurunan tersebut juga terindikasi dari pangsa industri manufaktur dalam PDRB yang terus menurun dari 32% pada tahun 2000 hingga mencapai 28% pada tahun 2015. Terhadap industri pengolahan nasional, pangsa industri pengolahan di Jawa tetap paling dominan yaitu sebesar 71%. Melambatnya pertumbuhan industri manufakturberimplikasi pada penyerapan tenaga 41 Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah) Grafik III.34. Pangsa Tenaga Kerja Jawa Sektoral Dari sisi penanaman modal, realisasi investasi masih tumbuh cukup kuat dan untuk periode 2011-2015 tercatat lebih tinggi dibandingkan periode 2001-2010. Investasi industri pengolahan masih didominasi dalam bentuk Penanaman Modal Asing (PMA), dan secara spasial masih terkonsentrasi di Jawa Barat. Investasi yang bersumber dari PMA lebih banyak ke industri padat modal dengan teknologi menengah tinggi. Sementara itu, investasi PMDN lebih banyak ke sektor padat karya dan sektor berbasis bahan tambang. negara-negara middle income. Sementara itu, pada periode 1995-2001, Indonesia lebih 11 meningkatkan forward participation , terutama pada produk bahan baku mentah pertambangan, 12 sementara peningkatan backward participation masih terbatas. Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah) Grafik III.35. Perkembangan PMA dan PMDN Industri dan Pangsa Investasi per Subsektor Industri b. Kondisi Local & Global Chain Menurut pendekatan local chain, kegiatan industri manufaktur di Jawa belum memiliki keterkaitan yang kuat dengan wilayah di luar Jawa. Hal tersebut ditunjukkan oleh masih rendahnya porsi bahan baku yang berasal dari luar Jawa. Berdasarkan data IRIO 2005, hanya sub lapangan usaha semen, besi baja dan petrokimia yang sudah mendatangkan bahan baku dari luar Jawa dengan pangsa di atas 10%. Tabel III.6. Komposisi Input Antara Berdasarkan Subsektor Industri Jawa Kertas Alat Angkut Mamin Alas Kaki TPT Petrokimia Besi Baja Semen 89% 65% 93% 89% 90% 63% 67% 73% Luar Jawa Impor 3% 3% 4% 5% 8% 10% 12% 24% 8% 32% 3% 6% 2% 27% 21% 3% Sumber: IRIO, diolah (2005) Di sisi lain, perkembangan internasional menunjukkan bahwa negara lain di dunia telah meningkatkan integrasinya dengan rantai nilai global yang terindikasi dari indikator total 10 integration . Peningkatan integrasi tersebut berkorelasi positif dengan peningkatan pertumbuhan manufaktur, terutama untuk 10 Total Integration : Contribution of a country’s exports which are part of GVC 42 Sumber: OECD (2016) Grafik III.36. Integrasi Global Value Chain (GVC) c. Kesiapan pada Era Industri 4.0 Dalam beberapa waktu terakhir telah berkembang revolusi industri 4.0 yang bertumpu pada teknologi informasi, digitalisasi, dan tingkat pengetahuan dan keterampilan tinggi. Bagi negara berkembang seperti Indonesia, revolusi industri 4.0 merupakan suatu tantangan yang harus dihadapi. Oleh karena itu, percepatan perbaikan infrastruktur dan SDM perlu terus dilakukan. Indikator kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM) dan kesiapan teknologi juga menunjukkan bahwa Indonesia masih kalah bila dibandingkan dengan negara peers seperti China, Malaysia, Thailand, dan Filipina. 11 Forward Participation : domestic value added embodied in foreign exports as share of gross exports 12 Backward Participation : foreign value added share of gross exports kompetitif jika dibandingkan dengan NegaraNegara Asean lainnya. Sementara itu, infrastruktur penunjang lainnya di Kawasan Industri juga masih banyak yang perlu ditingkatkan, terutama pada aspek pusat Research & Development, pusat pelatihan, perumahan Karyawan dan kantor bank. Sumber: McKinsey (2015) Grafik III.37. Revolusi Industri 4.0 Tabel III.7. Indeks Higher Education and Training & Technological Readiness Negara Higher Education and Training Technological Readiness Rank Value Rank Value Singapura 1 6.3 9 6.1 AS 8 5.9 14 6 Swedia 15 5.6 4 6.3 Jepang 23 5.4 19 5.8 Korsel 25 5.3 28 5.5 Malaysia 41 5 43 4.8 Tiongkok 54 4.6 74 4 Filipina 58 4.6 83 3.6 Thailand 62 4.5 63 4.3 Indonesia 63 4.5 91 3.5 India 81 4.1 110 3 Sumber: Global Competitiveness Index (2016) Tantangan Perbaikan daya saing industri manufaktur menghadapi beberapa tantangan dalam pemenuhan kapasitas dasar, baik itu secara fisik maupun non-fisik. a. Infrastruktur Fisik Dari sisi infrastruktur fisik, kualitas jalan di Jawa masih belum maksimal terutama terkait dengan kondisi kerusakan jalan di Jalur Selatan. Infrastruktur jalan merupakan salah satu infrastruktur penting mengingat pengiriman barang manufaktur masih banyak yang menggunakan angkutan truk. Sementara itu, berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Bank Indonesia kepada pengelola Kawasan Industri di Jawa, didapatkan hasil bahwa infrastruktur jaringan gas yang masih rendah. Harga gas industri Indonesia relatif kurang 43 Sumber: Survei Pengelola Kawasan Industri – Bank Indonesia Grafik III.38. Kualitas Infrastruktur Pengelola KI Terkait dengan ketersediaan pasokan listrik di Jawa yang saat ini telah tercukupi, namun dalam rangka mendorong dan mangantisipasi kebutuhan seiring pertumbuhan ekonomi, pembangunan pembangkit listrik tetap harus terus dilakukan. Berdasarkan survei yang dilakukan Bank Indonesia kepada perusahaan manufaktur, didapatkan hasil bahwa ketersediaan dan kemudahan akses energi listrik di Jawa sudah cukup baik, namun frekuensi dan lamanya listrik padam, untuk perusahaan yang berada di luar kawasan industri dilaporkan masih relatif tinggi. b. Infrastruktur Non-fisik Pemenuhan kapasitas dasar untuk non fisik, utamanya bersumber pada kualitas SDM. Tenaga kerja industri manufaktur di kawasan Jawa didominasi oleh pekerja dengan tingkat pendidikan SMA, diikuti oleh tingkat pendidikan SD dan SMP, sehingga diperlukan adanya peningkatan kualitas tenaga kerja dalam hal years of schooling maupun kompetensi pendukung lainnya. Mayoritas perusahaan manufaktur di Jawa belum bekerjasama dengan lembaga pendidikan vokasional meski saat ini telah berdiri beberapa lembaga pendidikan vokasional di Jawa. 13 Sumber: Sakernas, BPS 2016 (diolah) conversion cycle (CCC) Indonesia merupakan yang terendah di kawasan, atau termasuk efisien. Namun rendahnya CCC tersebut tidak diikuti dengan efisiensi dalam faktor produksi, dimana 14 COGS to Sales Indonesia merupakan yang tertinggi di kawasan dengan return yang rendah. Adapun dari sisi pendanaan, Weighted Average 15 Cost of Capital (WACC) di Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi di kawasan. Namun suku bunga kredit korporasi masih lebih rendah dari WACC meski hingga triwulan III 2016 pertumbuhan kredit industri pengolahan terus mengalami perlambatan. Grafik III.39. Pangsa Tenaga Kerja Industri Manufaktur Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun 2016 Strategi Pengembangan Tantangan pada SDM juga terkait dengan mismatch kualifikasi dan skill tenaga kerja dengan jenis pekerjaannya. Secara umum tenaga kerja sektor garmen dan rokok di Jawa >50% merupakan under qualified. Sumber: Sakernas, BPS 2016 (diolah) Grafik III.40. Labor Mismatch Subsektor Industri Jawa Dari sisi kesiapan teknologi, Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara lain di kawasan. Hal tersebut tercermin dari ketersediaan teknologi terbaru dan internet bandwith yang relatif di bawah negara peers. Sementara itu, dari sisi kelembagaan, meski survei Ease of Doing Busniness memberikan peringkat yang lebih baik untuk Indonesia, masih terdapat tantangan terkait adanya gap antara kebijakan pusat dengan daerah. Selanjutnya, dari sisi efisiensi terkait supply chain, salah satu indikator yang tersedia yaitu cash 44 Dalam mempercepat transformasi industri manufaktur untuk mewujudkan industrialisasi Indonesia yang berdaya saing global, terdapat tujuh strategi yang dapat dilakukan bagi industri pengolahan di Jawa. Pertama, integrasi industri dengan Global Value Chain (GVC). Untuk mendorong pertumbuhan industri manufaktur perlu dilakukan upaya meningkatkan daya saing industri dengan tingkat backward participation tinggi, seperti elektronika, otomotif, produk besi dan baja, kimia, TPT dan alas kaki, serta kertas & produk kertas. Kedua, optimalisasi local chain yang efisien. Local chain yang kompetitif dan efisien perlu dioptimalkan untuk mendorong pertumbuhan key industry di Jawa, seperti alat angkut, petrokimia, kertas dan produk kertas, TPT dan alas kaki, serta makanan dan minuman. Ketiga, untuk mendorong integrasi GVC dan ekspor, diplomasi perdagangan luar negeri perlu dioptimalkan. Dalam kasus IJEPA, meskipun secara bilateral neraca perdagangan Indonesia 13 CCC merupakan lama hari untuk mengkonversi resources input menjadi kas, dimana semakin rendah mengindikasikan semakin efisiennya perusahaan 14 COGS atau cost of good sold adalah beban pokok perusahaan dalam memproduksi suatu unit 15 WACC adalah total cost of capital yang ditanggung perusahaan dan terdiri dari rata-rata tertimbang dari suku bunga utang dan return of equity. defisit terhadap Jepang, namun neraca perdagangan Indonesia untuk produk otomotif tercatat surplus dengan total seluruh dunia. Keempat, potensi BUMN industri strategis di Jawa perlu dioptimalkan melalui pembentukan holding untuk meningkatkan economies of scale, kemampuan kinerja keuangan, dan spesialisasi keahlian. Kelima, dari sisi korporasi, strategi diversifikasi perlu dilakukan untuk bersaing dalam era kompetisi global dengan mempertimbangkan karakteristik korporasi. Sebagai contoh, integrasi vertical dapat dilakukan, yaitu memiliki lini bisnis dari hulu ke hilir. Keenam, peningkatan akses modal perbankan Industri Kecil Menengah (IKM) perlu ditingkatkan sesuai dengan karakteristik IKM. Ketujuh, penguatan rantai pasok IKM, melalui kemitraan dan pemanfaatan e-commerce untuk meningkatkan efisiensi dalam proses distribusi dan mendorong daya saing nasional. 45 “halaman ini sengaja dikosongkan” 46 Pada triwulan III 2016, pertumbuhan ekonomi Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang mencakup wilayah Kalimantan, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan Papua mengalami peningkatan menjadi 5,3% (yoy) dari triwulan sebelumnya sebesar 3,9%. Peningkatan tersebut terutama didorong oleh membaiknya ekspor luar negeri komoditas pertambangan, industri dan pertanian serta kenaikan realisasi investasi. Di sisi perkembangan harga, laju inflasi KTI menurun dari 4,26%, (yoy) pada triwulan II menjadi 3,47% (yoy) terutama akibat kestabilan pasokan pangan yang mampu merespon kenaikan permintaan di saat hari raya dan musim liburan. Memasuki triwulan IV 2016, laju pertumbuhan ekonomi KTI diperkirakan melambat, akibat penurunan net eskpor di sektor utama. Tren penurunan laju inflasi kembali berlanjut pada awal triwulan IV 2016 yang ditandai dengan deflasi 0,19% pada Oktober 2016. Hingga akhir triwulan IV, inflasi diprakirakan relatif terkendali pada kisaran 4,2-4,5% (yoy), meski masih terdapat risiko naiknya permintaan menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru, dampak lanjutan fenomena La Nina, serta rencana pemerintah melakukan penyesuaian beberapa harga komoditas strategis. Untuk keseluruhan tahun 2016, ekonomi KTI diproyeksikan tumbuh melambat dibandingkan 2015 dikisaran 4,4-4,9%. Perlambatan pertumbuhan ekonomi disebabkan oleh penurunan kinerja ekspor, investasi swasta dan konsumsi pemerintah. Namun, perlambatan lebih dalam ekspor tertahan oleh perbaikan ekspor produksi sektor pertanian seperti ikan, kakao dan kelapa, serta alumina di wilayah Kalimantan. Perekonomian KTI pada 2017 diprakirakan tumbuh meningkat pada range 4,6%-5,1% (yoy). Perbaikan ekonomi KTI didukung oleh peningkatan ekspor pertambangan dan industri pengolahan. Selain itu, diperkirakan terdapat perbaikan konsumsi pemerintah dan adanya akselerasi investasi. Tekanan inflasi KTI di awal tahun 2017 diperkirakan meningkat dibandingkan dengan tahun 2016. Tekanan terutama berasal dari komoditas administered prices, seiring penyesuaian tarif listrik dan cukai rokok serta potensi kenaikan harga minyak dunia. Fenomena La Nina yang diperkirakan masih akan berlanjut hingga awal tahun 2017 diperkirakan akan berpengaruh pada produksi tabama, perkebunan dan perikanan serta gangguan distribusi barang antar daerah. Pertumbuhan Ekonomi Perekonomian KTI pada triwulan III 2016 secara agregat tumbuh 5,3% (yoy), lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya. Peningkatan pertumbuhan perekonomian KTI dipengaruhi oleh meningkatnya ekspor luar negeri dan investasi. Membaiknya ekspor luar negeri terutama disebabkan oleh peningkatan ekspor batubara dan tembaga ke Tiongkok. Selain itu, perbaikan kinerja ekspor KTI juga didorong oleh meningkatnya produksi pasca perbaikan mesin di Papua. Perusahaan pertambangan tembaga di 47 provinsi tersebut berhasil mengoptimalkan produksi untuk memenuhi kuota ekspor dan target produksi di tahun 2016. Selain itu, peningkatan harga komoditas selain tambang juga mendorong perbaikan ekspor, antara lain, kakao di Provinsi Sulawesi Tenggara, rumput laut di Sulawesi Selatan dan produk perikanan di wilayah Sulawesi, Maluku dan Papua Barat. Sementara dari sisi investasi, kenaikan investasi wilayah antara lain karena meningkatnya investasi di Provinsi Sulawesi Barat dan Kalimantan Barat. Peningkatan pertumbuhan investasi Provinsi Sulawesi Barat disebabkan oleh meningkatnya investasi Penanaman Modal Asing (PMA). Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), investasi PMA di Sulawesi Barat mengalami lonjakan sangat tinggi (15 kali lipat) yaitu dari USD0,75 juta pada triwuan III 2015 menjadi USD12 juta. Pertumbuhan tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan triwulan II 2016 yang meningkat 10,98 kali. Peningkatan tersebut didorong oleh pembangunan PLTU Kalukku dengan kapasitas 2X25 MW yang ditujukan untuk kawasan industri. Tabel IV.1. Pertumbuhan Ekonomi Daerah di KTI Provinsi Q3'15 Q2'16 Q3'16 Q4'16p Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara Sulawesi Tengah Gorontalo Sulawesi Utara Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat Bali NTB NTT 4,55 6,87 3,92 -2,25 7,59 6,33 6,99 15,63 5,86 6,31 5,60 6,78 2,54 6,55 6,30 34,22 5,15 4,41 5,72 3,97 -0,91 8,04 4,80 6,83 15,51 5,40 6,14 6,32 5,67 -5,45 3,61 6,54 9,67 5,36 5,71 6,02 3,46 0,23 6,82 5,97 5,95 7,58 6,98 6,01 5,68 5,56 20,65 3,88 6,17 3,47 5,14 5,56 5,91 3,56 -0,87 7,15 7,60 6,46 9,49 5,94 6,42 6,00 5,72 22,31 4,72 6,26 -1,06 5,21 3,88 5,32 5,20 KTI 5,10 Sumber: BPS p) Prakiraan Bank Indonesia Di sisi lain, pertumbuhan konsumsi justru melambat pada triwulan III. Hal ini disebabkan oleh kembali normalnya kegiatan perdagangan pasca Ramadhan-Lebaran. Perlambatan konsumsi dikonfirmasi oleh hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) sektor perdagangan yang dilakukan oleh Bank Indonesia (Grafik IV.1). Selain konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah juga mengalami perlambatan akibat kebijakan penghematan belanja, baik belanja Pemerintah Pusat di daerah maupun belanja Pemerintah Daerah secara mandiri. Perekonomian KTI pada triwulan IV 2016, sesuai dengan perkembangan berbagai indikator dan hasil liaison mengindikasikan adanya sedikit 48 perlambatan. Ekonomi KTI diprakirakan tumbuh 5,2% (yoy), sedikit lebih rendah dibandingkan triwulan III 2016 sebesar 5,3%(yoy). Secara spasial, prakiraan melambatnya pertumbuhan ekonomi terjadi hampir di seluruh provinsi di wilayah KTI. Perlambatan kinerja ekonomi dipengaruhi oleh kinerja ekspor, khususnya ekspor komoditas sektor primer. Selain itu, pertumbuhan investasi pemerintah diprakirakan melambat akibat kebijakan penundaan transfer DAU. Namun, pertumbuhan konsumsi rumah tangga diprakirakan dapat menahan perlambatan ekonomi lebih dalam. Grafik IV.1. Realisasi SKDU Sektor Perdagangan Ekspor KTI diperkirakan melambat pada triwulan IV 2016. Beberapa harga komoditas utama, seperti CPO, LNG dan produk kayu diperkirakan akan mengalami pelemahan. Secara spasial, Provinsi Kalimantan Timur, sebagai salah satu produsen utama komoditas-komoditas tersebut, ekspornya diperkirakan kembali mengalami kontraksi. Selain itu, berdasarkan hasil liaison, ekspor tembaga dari Provinsi Nusa Tenggara Barat diperkirakan juga menurun. Kebijakan Pemerintah terkait penundaan transfer ke daerah berpotensi menjadi penyebab turunnya kinerja investasi fisik Pemerintah. Kebijakan untuk melakukan penundaan DAU yang dilakukan pada triwulan III 2016 menyebabkan melemahnya kinerja investasi Pemerintah, baik belanja Pemerintah Daerah maupun belanja Pemerintah Pusat di daerah. Peningkatan investasi swasta, khususnya PMA di Sulawesi Selatan akan menahan perlambatan investasi secara keseluruhan di KTI. Di sisi pengeluaran, konsumsi rumah tangga diperkirakan meningkat pada triwulan IV. Peningkatan akitivitas konsumsi rumah tangga terutama dipengaruhi oleh peningkatan aktivitas pariwisata karena libur panjang akhir tahun. Peningkatan kinerja pariwisata, khususnya akan terjadi di Bali, baik oleh wisawatan domestik maupun mancanegara. Optimisme tersebut tercermin dari keyakinan konsumen yang masih tinggi dan cenderung sedikit meningkat (Grafik IV.2). komoditas tidak hanya menjadi disinsentif bagi kinerja ekspor KTI, namun juga memberikan dampak pada penurunan Dana Bagi Hasil (DBH) yang diterima Pemerintah Daerah sehingga aktivitas konsumsi pemerintah daerah diprakirakan cenderung tertahan. Selain penurunan DBH, kebijakan Pemerintah untuk melakukan penundaan DAU juga memberikan dampak pada perlambatan konsumsi pemerintah. Kinerja Lapangan Usaha Pertanian Grafik IV.2. Indeks Keyakinan Konsumen Secara keseluruhan, pada tahun 2016 perekonomian KTI diprakirakan melambat dari 5,2% (yoy) di 2015, menjadi dikisaran 4,4-4,9%. Secara spasial, perlambatan ekonomi terjadi di wilayah Sulampua dan Balinusra. Sementara wilayah Kalimantan diperkirakan cenderung membaik. Perlambatan pertumbuhan ekonomi disebabkan oleh penurunan kinerja ekspor, sejalan dengan rendahnya harga komoditas pertambangan. Hal ini juga mengakibatkan produksi pertambangan utama seperti minyak bumi, nikel dan tembaga tercatat mengalami penurunan. Namun penurunan kinerja ekspor lebih lanjut, tertahan oleh perbaikan ekspor dari hasil produksi sektor pertanian seperti ikan, kakao dan kelapa, serta alumina di wilayah Kalimantan. Selain ekspor, melambatnya pertumbuhan ekonomi di 2016, juga dipengaruhi oleh investasi swasta dan konsumsi pemerintah. Hasil liaison menunjukan bahwa pelaku usaha cenderung menahan investasi karena permintaan masih mengalami penurunan. Rendahnya harga 49 Pada triwulan III 2016, pertumbuhan lapangan usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan mengalami akselerasi dari 2,3% (yoy) menjadi 4,0% (yoy). Secara spasial, perbaikan terjadi di semua wilayah di KTI, antara lain peningkatan ekspor kakao di Sulawesi Tenggara, perikanan tangkap di Sulawesi, Maluku dan Papua Barat dan rumput laut di Sulawesi Selatan, serta meningkatnya produksi CPO pasca berkurangnya dampak El Nino yang terjadi di tahun 2015 di Kalimantan. Memasuki triwulan IV 2016, kinerja lapangan usaha pertanian diprakirakan melambat. Perlambatan lapangan usaha Pertanian diprakirakan akan melanda wilayah Kalimantan dan Sulampua. Fenomena La Nina menjadi penghambat utama pertumbuhan di lapangan usaha pertanian, baik untuk komoditi tabama khususnya di Sulawesi Selatan, maupun komoditi perkebunan di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Indikasi perlambatan terkonfirmasi dari menurunnya realisasi dan proyeksi penjualan yang tercermin pada likert scale triwulan IV 2016 (Grafik IV.3). Secara keseluruhan, sektor pertanian diprakirakan masih mengalami perlambatan pada 2016. Perlambatan tersebut terjadi karena dampak dari El Nino yang membuat produksi tabama dan perkebunan tidak optimal. Secara spasial, perlambatan terjadi di semua wilayah KTI, baik Kalimantan, Balinusra maupun Sulampua. Selain itu, rendahnya harga komoditas internasional juga memberikan tekanan bagi produksi di sektor pertanian selama 2016. ekspor tembaga dari NTB dan belum keluarnya izin ekspor di bulan November (Grafik IV.5). Sumber: Bank Indonesia Sumber: Produsen, diolah Grafik IV.3. Likert Scale Realisasi dan Proyeksi Penjualan Grafik IV.4. Produksi Mineral Papua Pertambangan Pertumbuhan lapangan usaha pertambangan kembali mengalami peningkatan pada triwulan III 2016. Sektor pertambangan di KTI kembali tumbuh positif sebesar 4,5% (yoy) setelah sempat mencatat pertumbuhan negatif 3,3% (yoy) pada triwulan sebelumnya. Secara spasial, membaiknya kinerja pertambangan terutama terjadi di Kalimantan dan Papua akibat peningkatan permintaan global terhadap batubara. Peningkatan itu dipicu berkurangnya pasokan dalam negeri di Tiongkok sebagai dampak pengurangan jam kerja. Hal ini menyebabkan perbaikan harga sepanjang triwulan III 2016 serta mendorong peningkatan ekspor batubara dari Kalimantan. Selain itu, kinerja pertambangan mineral tembaga di Papua meningkat pasca perbaikan mesin produksi, sehingga produsen mengoptimalkan produksi untuk mengejar target dan kuota ekspornya (Grafik IV.4). Pada triwulan IV 2016, pertumbuhan pertambangan diprakirakan akan menurun. Peningkatan ekspor batubara dari Kalimantan pada triwulan III diperkirakan bersifat temporer dan akan mulai tertahan akibat membaiknya pasokan domestik batubara di Tiongkok setelah kembali normalnya jam kerja. Selain itu, perbaikan kinerja pertambangan mineral di Papua relatif bersifat sementara, mempertimbangkan terbatasnya sisa kuota 50 Sumber: World Bank Grafik IV.5. Harga Komoditas Mineral Pertumbuhan sektor pertambangan sepanjang tahun 2016 diperkirakan melambat dibandingkan dengan tahun 2015. Perlambatan tersebut antara lain disebabkan oleh penurunan produktivitas lifting migas 2016, produksi pertambangan utama lainnya seperti nikel di Sulawesi dan tembaga di Nusa Tenggara juga mengalami penurunan. Industri Pertumbuhan lapangan usaha industri pengolahan mengalami perlambatan pada triwulan III 2016, dari 6,3% (yoy) pada triwulan sebelumnya, menjadi 6,0% (yoy). Hal ini antara lain disebabkan oleh perlambatan kinerja industri makanan olahan di Sulawesi dan Nusa Tenggara pasca periode Lebaran akibat kembali normalnya permintaan, kinerja industri kayu dan nikel olahan yang juga masih tertahan, serta kontraksi industri pengolahan ikan maupun kelapa sawit di Sulawesi Barat akibat keterbatasan bahan baku untuk produksi. Namun kedepan, terdapat potensi perbaikan sektor industri yang ditandai oleh mulai beroperasinya hilirisasi tambang di Kalimantan, khususnya peningkatan produksi smelter alumina dan penambahan kapasitas industri semen. Pada triwulan IV 2016, pertumbuhan industri pengolahan diprakirakan meningkat. Prakiraan membaiknya kinerja lapangan usaha Industri tersebut bersumber dari rencana akan mulai berproduksinya pabrik gula (Dompu, NTB), perbaikan kinerja industri makanan olahan dan industri feronikel (Sulawesi) serta peningkatan produksi LNG (Sulawesi Tengah) yang diprakirakan akan mencapai kapasitas utilisasi maksimal sejalan dengan upaya pemenuhan kuota ekspor. Hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) juga mengindikasikan terjadinya kenaikan kegiatan/realisasi usaha dan investasi pada triwulan IV 2016. Potensi risiko adalah tingkat harga komoditas yang masih belum stabil (LNG dan CPO). dan tetap pada level ekspansif hingga Oktober 2016. Konstruksi Pada triwulan III 2016, lapangan usaha konstruksi tumbuh meningkat dibandingkan dengan triwulan II 2016, dari 4,5% (yoy) menjadi 5,2% (yoy). Hal ini didorong oleh realisasi berbagai proyek strategis Pemerintah di Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Papua yang terus membaik, seperti peningkatan kapasitas jalan, jembatan, perbaikan irigasi, perbaikan jalan akses antara kota ke bandara, serta pembangunan fasilitas umum seperti rumah sakit dan rel kereta api. Namun memasuki triwulan IV 2016, kinerja konstruksi diprakirakan melambat, terkait dengan berkurangnya sumber pendanaan proyek-proyek pemerintah yang dibiayai anggaran Provinsi dan Kab/Kota. Sumber : Liaision, Bank Indonesia Grafik IV.7. Likert Scale Harga Jual Sektor Bangunan Sumber : SKDU, Bank Indonesia Grafik IV.6. Kondisi Usaha Industri Pengolahan Secara keseluruhan tahun 2016, lapangan usaha industri pengolahan diprakirakan akan tumbuh meningkat. Secara spasial, penguatan tersebut terjadi di Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan, khsusnya seiring dengan mulai beroperasinya smelter alumina baru dan beroperasinya pabrik pupuk urea. Potensi perbaikan juga didukung dengan masih kuatnya permintaan eksternal untuk komoditas hasil industri yang tercermin dari Purchasing Managers’ Index (PMI) di AS, Tiongkok, dan Eropa yang masih terus meningkat 51 Kinerja lapangan usaha konstruksi sepanjang tahun 2016 tumbuh lebih lambat dibandingkan tahun 2015. Secara spasial, keterbatasan kapasitas fiskal daerah akibat berkurangnya alokasi dana bagi hasil (DBH) seiring melemahnya harga komoditas, mendorong perlambatan pertumbuhan lapangan usaha konstruksi di semua wilayah KTI. Selain itu, langkah efisiensi Pemerintah melalui penundaan dana alokasi umum (DAU) juga semakin membatasi ruang fiskal di daerah. Namun demikian, kinerja kontruksi secara umum tetap tumbuh positif karena masih berjalannya proyek-proyek strategis multiyears. Perdagangan Pada triwulan III 2016, pertumbuhan lapangan usaha perdagangan di KTI mengalami perlambatan, dari 7,3% (yoy) pada triwulan sebelumnya menjadi 6,9% (yoy). Secara spasial, perlambatan terjadi di wilayah Kalimantan terutama di Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat serta Balinusra. Perlambatan sektor perdagangan dipengaruhi oleh lesunya perdagangan komoditas, yang terindikasi dari kenaikan stok pertanian dan pertambangan. Selain itu, perlambatan sektor perdagangan juga dipengaruhi oleh aktivitas konsumsi pemerintah yang turun cukup signifikan. Sumber : Liaison Bank Indonesia Grafik IV.8. Likert Scale Investasi Pada triwulan IV 2016, lapangan usaha perdagangan diprakirakan masih dalam tren perlambatan. Secara spasial, perlambatan diperkirakan terjadi di wilayah Sulampua akibat masih lesunya perdagangan komoditas. Sementara di wilayah Balinusra, pertumbuhan sektor perdagangan cenderung stabil pada level tinggi yang didukung oleh peningkatan kinerja pariwisata. Berbagai kebijakan pro-tourism menjadi pendorong tingginya pertumbuhan sektor perdagangan Balinusra. Secara keseluruhan, kinerja lapangan usaha perdagangan 2016 mengalami peningkatan. Peningkatan sektor perdagangan diprakirakan terjadi di wilayah Sulampua dan Balinusra, sementara di wilayah Kalimantan cenderung stabil. Peningkatan pada sektor perdagangan sejalan dengan akselerasi konsumsi rumah tangga yang terkonfirmasi oleh hasil liaison dan 52 SKDU Bank Indonesia yang meningkat dibanding tahun 2015. Perkembangan Inflasi Laju inflasi KTI triwulan III 2016, menurun dibandingkan triwulan sebelumnya, dari 4,26% (yoy) menjadi 3,47% (yoy). Hal ini disebabkan oleh terkendalinya inflasi volatile foods dan inflasi inti (core inflation). Bertambahnya supply komoditas pangan akibat panen beras dan komoditi hortikultura di sejumlah daerah mampu menahan tekanan inflasi volatile foods meski di tengah tekanan permintaan di hari raya dan musim liburan. Sementara inflasi inti relatif stabil di dukung oleh minimalnya tekanan imported inflation seiring dengan nilai tukar yang terkendali. Sementara itu, komponen administered prices mencatat peningkatan sepanjang triwulan III 2016 terutama untuk komoditas angkutan udara. Tingginya permintaan pada periode hari besar keagamaan dan liburan menjadi salah satu penyebab naiknya inflasi angkutan udara di KTI. Secara spasial, inflasi triwulan III 2016 di sebagian besar provinsi di KTI masih tetap terjaga pada kisaran sasaran inflasi nasional. Inflasi tahunan terendah terjadi di Sulawesi Utara (2,28% yoy), Gorontalo (2,77% yoy) dan Maluku (2,90% yoy). Rendahnya inflasi di daerah tersebut terutama disebabkan oleh kecukupan pasokan pangan di tengah permintaan yang cukup moderat pada periode hari raya dan musim liburan. Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Grafik IV.9. Perkembangan Inflasi Spasial KTI Mengawali triwulan IV 2016, pada Oktober 2016 KTI mencatat deflasi 0,12% (mtm). Deflasi pada periode lebaran dan musim liburan ini berbeda dengan pola historis dalam 3 tahun terakhir yang selalu mengalami inflasi dengan rata-rata 0,53% (mtm). Penyumbang utama deflasi Oktober 2016 adalah beberapa komoditas pangan seperti bawang merah, daging ayam ras dan cabai rawit serta tarif ponsel dan emas perhiasan. kebutuhan pokok dan tarif angkutan yang disebabkan oleh meningkatnya permintaan menjelang Natal dan Tahun Baru. Di samping itu, risiko dari nilai tukar Rupiah yang kembali mengalami depresiasi berpotensi mempengaruhi harga imported inflation meski dampaknya relatif minim. Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia Grafik IV.12. Ekspektasi Harga Konsumen Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Grafik IV.10. Perkembangan Disagregasi Inflasi KTI Sumber: Survei Pemantauan Harga Bank Indonesia Grafik IV.11. Perkembangan Harga Beberapa Komoditas Secara kumulatif, inflasi di hampir seluruh provinsi di KTI masih berada di bawah 2% (ytd) sehingga di akhir tahun diprakirakan berada dalam rentang sasaran 4%±1% (yoy). Kondisi tersebut sejalan dengan perkembangan harga terkini yang menunjukkan inflasi masih relatif terkendali. Namun masih terdapat risiko yang perlu diwaspadai, khususnya dari gangguan pasokan dan distribusi komoditas pertanian dan perikanan tangkap sebagai dampak fenomena La Nina pada periode pertengahan triwulan. Di akhir triwulan, tekanan inflasi diprakirakan akan kembali meningkat khususnya pada barang 53 Mempertimbangkan berbagai risiko tersebut, secara tahunan inflasi KTI pada triwulan IV 2016 diperkirakan sebesar 3,22% (yoy), lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya maupun tahun 2015. Prakiraan tingkat inflasi yang rendah tersebut juga tidak terlepas dari berbagai upaya pengendalian inflasi yang telah dilaksanakan sebagaimana arahan Presiden pada Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) VII Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) dan kesepakatan bersama, yang di antaranya mencakup: (i) program perluasan dan terobosan stabilisasi harga yang didukung oleh alokasi anggaran yang memadai melalui perumusan program stabilisasi harga yang mengacu pada roadmap pengendalian inflasi sebagai salah satu sasaran pembangunan dalam Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD); (ii) percepatan pembangunan infrastruktur daerah yang dapat mendukung kelancaran distribusi pangan yang ditindaklanjuti melalui dukungan Pemda berupa pembangunan fasilitas infrastruktur untuk mendukung program tol udara; (iii) memperkuat kerjasama antar daerah serta perluasan kelembagaan TPID; serta (iv) penguatan koordinasi dan kebijakan untuk memastikan ketersediaan dan keterjangkauan pangan bagi masyarakat dengan memperkuat peran Bulog dan BUMD pangan sebagai stabilator harga di daerah. Stabilitas Keuangan Daerah sumber kerentanan tersebut, kemampuan bayar rumah tangga dinilai masih cukup baik yang didukung oleh penurunan level DSR rumah tangga. Identifikasi & Pengukuran Sumber Kerentanan Secara keseluruhan, sumber kerentanan dari sisi eksternal tetap perlu mendapatkan perhatian karena tingginya pangsa ekspor KTI yang berbasis komoditas SDA. Belum pulihnya perekonomian dunia di tengah persaingan pasar yang semakin ketat, membuat permintaan ekspor melemah. Dari sisi domestik, adanya penundaan DAU berpotensi memberi tekanan tersendiri bagi sistem keuangan di daerah. Namun demikian, perkembangan kurs, suku bunga dan inflasi dinilai masih dalam kondisi yang baik. Sejalan dengan masih rendahnya harga dan permintaan, kinerja keuangan korporasi terbuka di KTI yang berbasis komoditas turut melemah. Pelemahan terutama terjadi pada korporasi dengan komoditas migas, batubara, dan produk logam di Kalimantan dan Sulampua. Meski demikian, kemampuan bayar di semua industri KTI dinilai masih berada dalam level yang baik, kecuali pada korporasi produk logam. Sumber: Survei Konsumen, Bank Indonesia Grafik IV.13. Indeks Penghasilan Saat Ini Ketahanan Sektor Korporasi Seiring tertekannya kinerja keuangan korporasi terbuka, khususnya tambang, intermediasi serta kualitas kredit perbankan kepada sektor korporasi turut menunjukkan perlambatan pada triwulan III 2016. Dengan kondisi korporasi terbuka yang belum membaik secara signifikan, perbankan dinilai tetap berhati-hati dalam melakukan penyaluran kredit, khususnya ke sektor pertambangan. Tabel IV.2. Kinerja Keuangan Korporasi Terbuka ROA (%) DER (%) CR (%) ICR DSR Wilayah Q1 Q2 Q1 Q2 Q1 Q2 Q1 Q2 Q1 Q2 Kalimantan -4.7 -4.1 2.0 2.0 0.7 0.7 1.6 1.4 305.3 300.3 Balinusra 3.8 3.8 0.5 0.6 1.5 1.2 9.9 8.7 Sulampua -2.1 -2.2 1.0 1.0 1.4 1.3 0.1 -0.3 352.9 399.8 51.9 49.2 Sumber: Bloomberg (diolah) Penurunan aktivitas korporasi berbasis komoditas tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja keuangan rumah tangga di KTI, yang tercermin dari masih cukup baiknya indeks penghasilan dan kemampuan bayar saat ini. Indeks penghasilan KTI saat ini tercatat masih cukup baik, yaitu di atas 100 poin. Adapun terdapat sumber kerentanan yang didorong pesimisme konsumen terhadap kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan serta adanya perkiraan peningkatan posisi pinjaman. Di tengah 54 Sumber: Bank Indonesia Grafik IV.14. Pertumbuhan Kredit Sektor Korporasi Pertumbuhan kredit korporasi pada triwulan III 2016 tumbuh melambat dari 7,12% (yoy) menjadi 4,18% (yoy). Fenomena perlambatan yang dialami, terjadi baik pada kredit modal kerja maupun kredit investasi. Secara spasial, perlambatan terjadi baik di Sulampua, Balinustra maupun Kalimantan. Bahkan, kredit di Kalimantan pada periode laporan tercatat -0,92% (yoy). Perlambatan terjadi hampir di seluruh sektor penerima kredit. Masih lemahnya aktivitas di korporasi tercermin dari melambatnya permintaan kredit di sektor primer. Bahkan, kredit sektor pertambangan mengalami pertumbuhan negatif hingga mencapai -17,01% (yoy). Demikian pula di sektor tersier dan sekunder permintaan kredit masih lemah. Perlambatan juga diikuti dengan kenaikan risiko. Selain permintaan kredit yang lemah, kualitas kredit juga mengalami penurunan di tengah rendahnya permintaan komoditas global. NPL tercatat meningkat dari 5,96% menjadi 6,16%. Secara sektoral, peningkatan NPL disebabkan oleh sektor pertambangan, industri dan perdagangan. Tingkat NPL korporasi yang sudah berada di atas batas indikatif 5% didorong oleh NPL sektor tambang (14,32%), industri (10,11%), konstruksi (8,06%) dan perdagangan (5,45%). Secara spasial, beberapa provinsi yang tercatat memiliki angka NPL di atas 5% adalah Bali (5,85%), Sulsel (5,53%), Papua (12,51%), Kalbar (7,45%), dan Kaltim (9,13%). Tabel IV.3. Pertumbuhan dan NPL Kredit Sektoral Korporasi Sektor Total Pertanian Perikanan Tambang Industri Konstruksi Perdagangan Akmamin 2015 7.23 7.40 7.44 -11.62 28.56 14.09 10.56 19.12 Growth % yoy 2016 I II 7.06 7.12 10.00 7.31 5.09 6.56 -10.82 -6.23 21.41 18.41 8.87 8.33 9.19 11.59 23.90 19.51 III 4.18 10.02 -10.20 -17.01 15.93 7.58 3.17 17.67 2015 4.98 1.02 1.66 7.67 6.78 7.58 4.74 2.62 % NPL 2016 I II III 5.10 5.96 6.16 0.63 0.62 0.59 1.65 0.24 0.37 8.39 12.58 14.32 7.12 9.31 10.11 8.35 8.19 8.06 4.71 4.60 5.45 4.40 4.72 4.67 Sumber: Bank Indonesia Lesunya aktivitas juga membuat DPK sektor korporasi melambat dari 10,91% (yoy) menjadi 7,25% (yoy). Perlambatan penghimpunan dana disebabkan oleh perlambatan tabungan dan kontraksi giro. Di sisi lain, pertumbuhan deposito mengalami percepatan dari 5,06% (yoy) menjadi 15,19% (yoy). Secara spasial, perlambatan penghimpunan DPK terjadi baik di Sulampua, Balinusra maupun Kalimantan. 55 Sumber: Bank Indonesia Grafik IV.15. Pertumbuhan DPK Sektor Korporasi Ketahanan Sektor Rumah Tangga Di tengah kondisi korporasi yang tertekan, kinerja kredit rumah tangga masih dapat terjaga dengan adanya peningkatan pertumbuhan dan tingkat NPL yang masih rendah. Meski demikian, perubahan stance kebijakan moneter melalui pelonggaran LTV dan FTV serta adanya kecenderungan penurunan suku bunga belum secara signifikan mendorong pertumbuhan kredit akibat daya beli yang masih belum kuat. Secara spasial, perlambatan terjadi di Kalimantan dan Balinusra, sementara kredit rumah tangga di Sulampua tumbuh tinggi dengan tren meningkat. Kredit rumah tangga meningkat dari 9,74% pada triwulan II 2016 menjadi 9,83% pada triwulan III 2016. Akselerasi penyaluran kredit rumah tangga utamanya disumbang oleh kredit multiguna yang meningkat dari 14,03% menjadi 17,19%. Namun, pertumbuhan yang lebih tinggi tertahan oleh perlambatan kredit perumahan dan kredit kendaraan bermotor (KKB) yang tumbuh melambat. Penyaluran KPR melambat di semua tipe rumah. Rumah tipe ≤21 turun dari 1,88% (yoy) menjadi 3,31% (yoy). Demikian pula rumah tipe >70 turun dari 3,31% (yoy) menjadi -2,41% (yoy). Di sisi lain, kredit rumah tipe menengah, yakni 22 s.d 70 masih tetap tumbuh tinggi walaupun melambat dari 12,23% (yoy) menjadi 10,98% (yoy). Risiko kredit rumah tangga masih terjaga meski sedikit meningkat. Rasio NPL untuk kredit rumah tangga tercatat meningkat ke level 1,73% atau sedikit lebih tinggi dari triwulan sebelumnya senilai 1,65%. Kenaikan risiko kredit didorong oleh kredit perumahan, sedangkan KKB dan multiguna tercatat tidak setinggi sebelumnya. Kenaikan NPL perumahan tidak lepas dari situasi makroekonomi di KTI yang belum sepenuhnya pulih. Secara spasial, kenaikan NPL terjadi di semua wilayah dengan tingkat NPL tertinggi berada di Kalimantan sebesar 2,27% yang diikuti oleh Sulampua sebesar 1,73% dan Balinusra sebesar 1,08%. Tabel IV.4. Pertumbuhan dan NPL Kredit RT Jenis & Pulau Total Kredit RT Pertumbuhan (% yoy) NPL (%) Q1'15 Q3'15 Q2'16 Q3'16 Q3'15 Q2'16 Q3'16 13.08 11.42 9.74 9.83 1.68 1.65 1.73 Jenis Kredit Rumah Tangga KPR+KPA 11.05 8.71 7.95 5.16 3.10 3.24 3.69 Tipe ≤ 21 2.44 2.38 1.88 -3.31 1.96 1.84 2.18 Tipe 22 sd 70 13.58 11.25 12.23 10.98 3.25 3.20 3.57 Tipe > 70 14.01 8.23 3.31 -2.41 3.29 3.85 4.33 27.72 4.73 -15.81 -15.90 1.80 1.99 1.76 Roda 4 31.99 9.92 -15.36 -19.11 1.28 1.19 1.52 Roda 2 21.16 11.07 -9.98 -13.73 4.60 6.03 2.33 Multiguna 46.13 33.64 14.03 17.19 1.07 1.00 0.97 KKB Spasial Kredit Rumah Tangga Kalimantan 31.99 9.61 6.49 5.27 2.02 2.06 2.27 Sulampua 21.16 11.75 10.97 12.58 1.84 1.69 1.73 Balinusra 46.13 13.10 11.36 9.87 0.90 1.05 1.08 Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah Sistem Pembayaran Non Tunai Jumlah transaksi kliring melalui Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) pada triwulan III 2016 tetap tumbuh tinggi. Volume transaksi SKNBI tercatat mencapai 2,3 juta transaksi dengan nominal Rp86 triliun. Sekalipun melambat dibanding triwulan sebelumnya yang mencapai 102,27% (yoy), nominal transaksi tersebut masih mencatatkan pertumbuhan yang tinggi yaitu sebesar 49,98% (yoy). Fenomena perlambatan terjadi di semua wilayah akibat adanya perubahan preferensi masyarakat setelah turunnya minimum transaksi RTGS dari Rp500 juta menjadi Rp100 juta mulai 1 Juli 2016. Berdasarkan wilayahnya, nominal transaksi RTGS cenderung berimbang di ketiga wilayah, yakni Sulampua 38,62%, Kalimantan 32,58% dan Balinusra 28,79%. Sumber: Bank Indonesia Sumber: Bank Indonesia Grafik IV.17. Nominal Transaksi SKNBI Sumber: Bank Indonesia Grafik IV.16. Pertumbuhan DPK Perseorangan Pada sisi DPK, penghimpunan DPK perseorangan melambat dari 13,04% (yoy) menjadi 9,88% (yoy) sejalan dengan melambatnya DPK sektor korporasi dan terbatasnya kenaikan pendapatan rumah tangga. Perlambatan penghimpunan DPK disebabkan oleh perlambatan tabungan. Di sisi lain, giro dan deposito mengalami percepatan pertumbuhan. Secara spasial, perlambatan terjadi baik di Sulampua, Balinusra maupun Kalimantan. 56 Pengelolaan Uang Rupiah Pada triwulan III 2016, wilayah KTI mengalami net-inflow sebesar Rp5,84 triliun. Net-inflow di triwulan III berbeda dengan pola historisnya, yang disebabkan pergeseran Idul Fitri ke triwulan II 2016. Fenomena ini terjadi di semua wilayah KTI, yakni Kalimantan, Balinusra dan Sulampua. Pada triwulan III 2016, pemusnahan uang yang dilakukan Bank Indonesia dalam rangka menjaga ketersediaan uang layak edar mencapai Rp8,62 triliun. Angka tersebut setara dengan 25,14% terhadap inflow uang kartal. Tingginya rasio tersebut dibandingkan historisnya menunjukkan komitmen Bank Indonesia untuk menjaga kualitas uang yang beredar di masyarakat terus meningkat. Sumber: Bank Indonesia Grafik IV.18. Perkembangan Aliran Uang Kartal didukung oleh penguatan koordinasi dengan perbankan dan pihak berwajib mengenai penanganan laporan masyarakat terkait uang yang diragukan keasliannya. Sumber: Bank Indonesia Grafik IV.21. Perkembangan Temuan Uang Palsu Prospek Perekonomian Prospek Pertumbuhan Ekonomi Sumber: Bank Indonesia Grafik IV.19. Posisi Aliran Uang Kartal Per Provinsi Sumber: Bank Indonesia Grafik IV.20. Perkembangan Aliran Uang Kartal Jumlah uang palsu (atau yang diragukan keasliannya) yang dilaporkan kepada Bank Indonesia pada triwulan ketiga tahun 2016 tercatat sebanyak 2.325 lembar, turun dibandingkan triwulan sebelumnya yang mencapai 3.284 lembar. Upaya mengantisipasi peningkatan uang palsu melalui edukasi kepada masyarakat terkait ciri-ciri keaslian uang Rupiah akan senantiasa ditingkatkan guna menekan peredaran uang palsu. Hal tersebut juga akan 57 Dibandingkan pada 2016, perekonomian KTI pada 2017 diprakirakan tumbuh meningkat pada range 4,6%-5,1% (yoy). Secara spasial, kenaikan pertumbuhan didorong oleh Kalimantan dan Balinusra, sementara Sulampua cenderung melambat. Secara umum, peningkatan tersebut didorong oleh peningkatan di sektor utama yang mendorong ekspor serta diiringi oleh perbaikan kapasitas fiskal. Dari sisi permintaan, perbaikan ekonomi KTI didukung oleh peningkatan semua komponen permintaan. Perbaikan utamanya didorong oleh komoditas pertambangan seperti batubara, dan komoditi industri seperti CPO dan olahan mineral sehingga ekspor meningkat. Selain itu, kenaikan ekspor juga didorong oleh pembebasan visa yang mendorong sektor pariwisata. Kenaikan sektor utama tambang memberikan implikasi pada peningkatan Dana Bagi Hasil (DBH) dan pada akhirnya konsumsi Pemerintah. Konsumsi Pemerintah juga didorong oleh momen Pilkada serentak. Sejalan dengan perbaikan permintaan swasta dan perbaikan ruang fiskal, investasi juga diperkirakan terakselerasi. Fenomena tersebut terkonfirmasi oleh likert scale investasi yang menunjukkan adanya perbaikan pada tahun 2017. Perbaikan di ekspor dan konsumsi serta investasi berujung pada kenaikan daya beli masyarakat KTI. Selain itu, turunnya suku bunga juga akan mendorong peningkatan konsumsi masyarakat yang terkonfirmasi dari kenaikan likert scale penjualan sektor perdagangan di tahun 2017. Akselerasi di sisi sektoral terutama di dorong oleh membaiknya produksi pada sektor perkebunan, pertambangan, industri pengolahan serta sektor pariwisata. Beroperasinya pembangkit listrik di di beberapa negara ASEAN seperti di Malaysia dan Vietnam menjadi pendorong permintaan terhadap komoditas batubara di Kalimantan. Produksi mineral juga diperkirakan meningkat sejalan dengan beroperasinya smelter alumina dan kenaikan harga komoditas internasional. Kinerja industri pengolahan meningkat sejalan dengan operasionalisasi smelter nikel dan pengolahan produksi ammonia di Sulawesi Tengah. Sementara, sektor pendukung pariwisata tumbuh sejalan dengan optimisme perbaikan pertumbuhan ekonomi global. Di tengah proyeksi perekonomian KTI yang tumbuh moderat pada tahun 2017, beberapa faktor risiko baik dari sisi eksternal maupun internal masih perlu mendapat perhatian. Dari sisi eksternal, kondisi pemulihan ekonomi global yang berjalan tidak sesuai ekspektasi sebelumnya sehingga berisiko menurunkan harga beberapa komoditas ekspor terutama energi serta memberi pengaruh negatif pada kinerja ekspor dan investasi di KTI. Sementara itu, dari sisi internal, dampak lanjutan La Nina yang diperkirakan berlangsung hingga awal triwulan II 2017 berpotensi mengganggu produksi pada lapangan usaha pertanian, perkebunan dan perikanan. Selain itu, terdapat risiko kebijakan peningkatan alokasi DMO, sementara serapan domestik masih belum kuat, demikian pula ekspor komoditas mentah yang akan dihentikan sepenuhnya pada Januari 2017 diperkirakan akan berimbas pada pelemahan ekspor. Di sisi lain, kondisi fiskal pemerintah yang masih terbatas serta adanya 58 pengeluaran untuk Pilkada 2017 berpotensi menahan investasi swasta dan menggeser jadwal realisasi pembangunan infrastruktur. Prospek Inflasi Tekanan inflasi KTI di awal tahun 2017 diperkirakan mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 2016. Proyeksi laju inflasi tahunan KTI untuk tahun 2017 berada pada kisaran 4,2%-4,5% (yoy). Tren peningkatan terutama disebabkan oleh inflasi volatile food dan inflasi inti. Terkait inflasi volatile food, fenomena La Nina diperkirakan masih akan berlanjut hingga awal tahun 2017 yang berpengaruh pada produksi tabama, perkebunan dan perikanan serta gangguan distribusi barang antar daerah. Sementara itu, inflasi inti akan meningkat seiring dengan perbaikan ekonomi dan infrastruktur yang terus dilakukan. Selain itu, perlu diwaspadai juga dampak risiko lanjutan menguatnya nilai tukar USD terhadap barangbarang konsumsi, khususnya barang impor serta tren peningkatan harga emas di pasar global. Pada sisi administered prices, penyesuaian pada harga beberapa komoditas yang diatur oleh pemerintah seperti tarif listrik dan cukai rokok serta kenaikan harga minyak dunia juga berpotensi memberikan sumbangan terhadap inflasi KTI. Meski demikian, fokus pemerintah pusat untuk mengurangi disparitas harga di KTI diperkirakan dapat menekan inflasi khususnya pada kelompok volatile foods. Kebijakan yang direncanakan akan diimplementasikan pada awal tahun 2017 adalah gagasan kebijakan tol udara dan single price BBM. Dengan karakteristik geografis KTI yang sebagian besar adalah wilayah kepulauan dan pegunungan, program tol udara sebagai bentuk subsidi angkutan logistik dan kebijakan single price BBM diharapkan dapat menurunkan dan menjaga kestabilan harga barang khususnya harga pangan. Boks 3 Perekonomian KTI dan Peran Industri Wilayah KTI yang secara geografis luasnya hampir mencapai 70% dari total wilayah Indonesia serta memiliki kekayaan sumber daya alam yang sangat melimpah, jika ditinjau dari aspek ekonomi masih sangat jauh dari seimbang. Pangsa ekonomi KTI terhadap PDB cenderung tidak bergerak pada angka 19%, sementara pangsa industri pengolahan KTI terhadap industri pengolahan nasional hanya 4%. nilai tambah yang terbatas. Hanya terdapat tiga provinsi di wilayah KTI yang memiliki daya saing cukup baik yaitu Kalbar, Sulut, dan Bali. Ketiga provinsi tersebut didukung oleh diversifikasi pada industri non-tambang yang cukup baik. Oleh karena itu, diversifikasi sumber pertumbuhan ekonomi pada industri non-tambang atau industri yang lebih terbaharukan (renewable), perlu menjadi satu hal yang mendesak dilakukan seperti misalnya kakao, sawit, dan perikanan. Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Grafik IV.22. Historis Ekonomi KTI Perekonomian KTI hingga saat ini memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap komoditas tambang, seperti nikel, alumina, batubara, dan migas. Fokus kegiatan industri pengolahan juga masih pada pertambangan. Investasi berbasis pertambangan pangsanya mencapai 50% dari total investasi. Ditinjau dari aspek tenaga kerja, industri tambang penyerapan tenaga kerjanya juga relatif terbatas. Selain itu, sebagai komoditas yang tidak terbaharukan, cadangan kandungan bumi komoditas tambang tercatat terus semakin berkurang dengan harga komoditas yang juga sangat berfluktuasi. Perkembangan industri non-tambang relatif tertinggal jauh karena minimnya minat investasi karena lemahnya daya dukung infrastruktur. Indsutri yang berkembang adalah yang skala usahanya kecil dengan tingkat teknologi yang rendah (low technology). Daya saing industri KTI yang diukur dari “Competitiveness Industrial Performance (CIP)” masih relatif rendah, dengan 59 Sumber: NWSi, BKPM, diolah Grafik IV.23. Pangsa Investasi Tambang dan NonTambang Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Grafik IV.24. Pemetaan CIP Provinsi di KTI Strategi Transformasi Industri KTI Pemerintah Pusat telah menyusun Rancangan Pengembangan Industri Nasional (RIPIN) 20152035. Pada tahap pertama, pengembangan industri akan difokuskan pada peningkatan nilai tambah sumber daya alam migas dan non migas. Adapun target yang ingin dicapai pada tahap pertama ini adalah pertumbuhan industri nonmigas mencapai 8,5%, dan pangsa tenaga kerja sektor industri mencapai 15,7%. Kondisi KTI saat ini, pertumbuhan industri sebesar 7,7% dengan pangsa tenaga kerja yang relatif rendah, hanya 6,2%, sehingga masih dibutuhkan usaha ekstra untuk mencapai target yang ditetapkan tersebut. Tabel IV.5. Rencana & Realisasi Pengembangan Industri KTI Komponen Eksisting* Pertumbuhan industri nonmigas 7.7 (%) Tenaga kerja sektor 6.2 industri (%) 2020 2025 2035 8.5 9.1 10.5 Tabel IV.6. Industri Potensial di KTI Provinsi Sulawesi Selatan Maluku 15.7 17.6 22.0 * Rata-rata 3 tahun terakhir (2013-2015) Sumber: RIPIN 2013-1015 Potensi Pengembangan Renewable Industry: Alternatif Sumber Pertumbuhan KTI Berdasarkan pengolahan Inter-Regional Input Output (IRIO), didapati bahwa masing-masing provinsi di KTI memiliki potensi pengembangan industri masih cukup besar dengan multiplier effect yang besar. Adapun jenis industri yang memberikan multiplier effect terbesar di KTI yaitu industri petrokimia, pengolahan laut, dan makanan dan minuman. Hasil asesmen Bank Indonesia, beberapa provinsi di KTI yang memiliki kesiapan untuk menjadi pusat pengembangan industri KTI berdasarkan dampak multiplier effect terbesar yaitu provinsi Kaltim, Maluku, Sulut, dan Bali. Masing-masing provinsi tersebut juga tercatat memiliki modal sumber daya alam yang melimpah, dan didukung oleh ketersediaan soft dan hard infrastructure yang cukup memadai. Komoditas renewable industry yang sangat potensial untuk dikembangkan lebih lanjut antara lain kakao, kelapa sawit, dan perikanan. Pada sektor hulu, Indonesia menempati peringkat 10 besar dunia untuk produksi ketiga komoditas tersebut. Meski demikian, dalam pengembangannya tidak lepas dari tantangan untuk meningkatkan competitiveness industri di KTI pada Global Value Chain (GVC). Beberapa tantangan umum pengembangan renewable 60 industry yakni pemenuhan standarisasi dan sertifikasi internasional, investasi pada penelitian dan pengembangan yang sangat minim, pengurusan perizinan yang masih berbelit, dan infrastruktur pendukung industri yang masih minim tersedia. Bali Sulawesi Tenggara Jenis Industri Multiplier Effect (kali) Industri Makan-Minum 12.2 Industri Alat Angkut 10.5 Industri Pengolahan Ikan 13.3 Nusa Tenggara Timur Industri Kayu, Rotan, Bambu 9.7 Nusa Tenggara Barat Industri Besi dan Baja 9.7 Industri Kelapa Sawit 10.6 Industri Petrokimia 37.7 Sulawesi Utara Kalimantan Selatan Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Timur Sumber: Bank Indonesia, diolah Pengembangan Industri Kakao Indonesia memiliki posisi yang relatif terbatas dalam GVC industri kakao. Indonesia saat ini merupakan pengekspor produk Cocoa Butter yang bernilai tambah rendah dengan pangsa hanya sebesar 10% dari total perdagangan sebesar $9,19 miliar. Indonesia merupakan negara ketiga terbesar pengekspor Cocoa Butter di dunia setelah Belanda dan Pantai Gading yang masing-masing memiliki pangsa 23% dan 16%. KTI memiliki potensi pengembangan produk hilirisasi mainstream kakao menuju produk dengan nilai tambah yang lebih tinggi, seperti Unsweetened Coconut Powder, atau Malt Extract. Saat ini KTI menyumbang 54% dari total ekspor bijih kakao Indonesia yang mencapai USD197 juta pada 2014. Oleh karena itu, KTI memiliki modal penting berupa bahan baku. Diharapkan pengembangan tersebut dapat meningkatkan sumbangan KTI dalam ekspor produk hilirisasi kakao Indonesia seperti Cocoa Butter yang saat ini hanya mencapai 16,11%. Saat ini industri Cocoa Butter di KTI terpusat di Sulawesi Selatan. Beberapa tantangan eksternal yang dihadapi dalam pengembangan industri kakao adalah: (1) regulasi tarif cukai; (2) risiko automatic detention di Amerika yaitu diskon harga sehingga harganya lebih rendah daripada kakao dari negara lain akibat mutu yang dipersyaratkan tidak dapat dipenuhi padahal Amerika merupakan salah satu konsumen coklat terbesar dunia; (3) proteksi tarif seperti yang dilakukan Jepang dan Malaysia berdasarkan nilai tambah produk; dan (4) diskriminasi pasar yang sering terjadi di benua Eropa terhadap produk kakao Indonesia yang diragukan kualitasnya. Sedangkan tantangan internal yang dihadapi adalah: (1) revitalisasi yang kurang optimal yang meski sudah berlangsung selama hampir 5 tahun namun belum memberikan dampak peningkatan produksi yang signifikan; (2) belum terdapat BUMN yang secara khusus mengelola perkebunan kakao sehingga pengelolaannya dilakukan seluruhnya oleh rakyat yang skala ekonominya masih kecil dengan rata-rata produktivitas yang masih rendah yaitu 660 Kg/Ha; serta (3) terbatasnya Research & Development (R&D). Pengembangan Industri Kelapa Sawit Berbeda dengan kakao, Indonesia memiliki posisi yang kuat dalam GVC pada produk kelapa sawit di sisi hulu. Berdasarkan data Center for International Development Harvard University (CID Harvard), Indonesia merupakan eksportir terbesar Crude Palm Oil (CPO) dengan pangsa sebesar 57% dari total ekspor dunia yang mencapai $31,3 miliar. Selain itu, Indonesia juga merupakan eksportir terbesar Crude Palm Kernel Oil (CPKO) dengan pangsa sebesar 63% dari total ekspor dunia yang mencapai $2,9 miliar. Sedangkan posisi Indonesia dalam GVC hilirisasi kelapa sawit masih sebatas hilirisasi mainstream, khususnya Biodiesel dan Fatty Alcohol. Berdasarkan data ekspor impor Bank Indonesia, KTI merupakan penghasil bahan baku dalam rantai produksi olahan sawit Indonesia. Namun, KTI hanya menyumbang 12,43% dari total ekspor CPO Indonesia dan hanya 9,09% dari total ekspor CPKO Indonesia. 61 Beberapa tantangan eksternal yang dihadapi dalam pengembangan industri kelapa sawit adalah negative campaign yang membawa isu lingkungan hidup terhadap produk CPO Indonesia seperti yang terjadi di Eropa dan regulasi UU di Australia yang semula mengkategorikan semua minyak nabati sebagai vegetable oil, namun khusus CPO akan dikategorikan “palm oil” pada label produk dan harus bersertifikat sustainable (berkelanjutan) sehingga berimplikasi pada penguatan persepsi CPO menjadi produk yang tidak ramah lingkungan. Sedangkan tantangan internal yang dihadapi adalah minimnya R&D, adanya moratorium lahan, ancaman kepada keberlangsungan lingkungan, biaya logistik yang tinggi, serta banyaknya peraturan daerah terkait penarikan retribusi yang menghambat industri seperti retribusi limbah dan retribusi pengurusan izin gangguan/Hinder Ordonantie (HO). Pengembangan Industri Ikan Khusus komoditas ikan, Indonesia adalah salah satu pemain terbesar untuk ikan segar. Berdasarkan data CID Harvard, Indonesia memiliki pangsa 6% terhadap total ekspor ikan segar dunia yang mencapai USD16,5 miliar, dimana KTI hanya menyumbang 29,54% dari total ekspor Indonesia. Namun hilirisasi produk ikan segar masih terbatas sehingga belum mempunyai posisi yang kuat pada GVC. Data CID Harvard menunjukkan untuk komoditas ikan fillet, Indonesia hanya memiliki pangsa produk hilirisasi 2,1% dari total ekspor. Adapun pangsa KTI terhadap ekspor komoditas ikan fillet tersebut masih sebesar 26,99%. Pengembangan industri perikanan menghadapi beberapa tantangan yaitu terbatasnya infrastruktur, SDM perikanan, dan modal, serta minimnya unit pengelolaan ikan bersertifikasi. Namun, pengembangan industri perikanan KTI berpotensi ditingkatkan melalui penguatan R&D serta subsidi perkapalan dan perikanan sebagaimana dilakukan oleh Tiongkok dan Norwegia yang merupakan produsen perikanan terbesar. Transformasi Kebijakan, Infrastruktur Mendukung Transformasi Industri Transformasi pada komoditas kakao dapat dilakukan dengan penerapan revitalisasi perkebunan kakao secara intensif yang bersifat massal. Pengelolaan massal dilakukan dalam proses intensifikasi dan peremajaan/rehabilitasi tanaman yang ditopang pengawasan terkait implementasinya. Untuk pemasarannya, perlu dikembangkan pola kemitraan dengan melibatkan perusahaan di bidang perkebunan sebagai mitra pengembangan dalam pembangunan produksi dan pemasaran hasil. Lebih jauh lagi, pemerintah perlu mempertimbangkan pembentukan BUMN yang khusus mengelola kakao untuk dapat menjadi pemain besar dalam industri kakao dunia. Perlunya menghilangkan persepsi negatif terhadap perkebunan kelapa sawit yang sering dianggap penyebab kerusakan alam. Pemerintah perlu bekerja sama dengan pelaku usaha serta lembaga internasional untuk memperbaiki persepsi tersebut sekaligus mengemukakan solusi untuk menjamin minimnya dampak kerusakan alam dengan produksi kelapa sawit. Selanjutnya, untuk kontinuitas produksi kelapa sawit, beberapa hal perlu dilakukan yaitu: (i) intensifikasi; (ii) kejelasan lahan melalui penerapan one map policy; (iii) penguatan data peta, emisi gas rumah kaca, dan degradasi; (iv) penentuan tingkat kekritisan lahan; serta (v) pemanfaatan jalur hukum untuk memberantas perkebunan ilegal. Selanjutnya, transformasi pada komoditas perikanan perlu difokuskan untuk menjaga kontinuitas produksi perikanan yang terkendala oleh adanya illegal fishing. Hal ini memerlukan konsistensi pemerintah untuk mendukung terciptanya Sustainable Fishery System yaitu sistem perikanan yang memperhatikan ekosistem dan masyarakat sehingga tidak hanya fokus pada ouput fisik hasil perolehan ikan yang 62 berkelanjutan (Sustainable Yield). Langkah utama untuk mendukung hal tersebut yaitu konsistensi dalam penanggulangan IUU (Illegal, Unreported, and Unregulated) Fishing. Selanjutnya, penerapan Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan terhadap Unit Pengolahan Ikan (UPI) dengan sertifikasi Analisa Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis atau Hazard Analysis Critical Control Point (HACPP) oleh para pelaku usaha dapat menjadi jaminan untuk memenuhi persyaratan agar produk perikanan diterima pasar nasional dan internasional. Tantangan: Pasokan Listrik dan kondisi SDM di KTI. Daya dukung infrastruktur dasar seperti energi listrik dan SDM yang berkaulitas masih menjadi tantangan besar di KTI. Gap pemenuhan listrik oleh PLN dibandingkan dengan pemenuhan listrik sendiri oleh pelaku usaha cukup besar. Rata-rata hanya 1% industri di KTI yang memperoleh pasokan listrik dari PLN, sementara sisanya harus mengusahakan sendiri pemenuhan listriknya. Hal ini menimbulkan tambahan biaya yang cukup tinggi bagi pengusaha. Selain itu, kuantitas maupun kualitas tenaga kerja pada sektor industri di KTI relatif rendah. Kendala tersebut bersumber dari tingginya biaya upah tenaga kerja dan masih rendahnya perpindahan tenaga kerja terdidik ke wilayah KTI. Lebih jauh lagi, proses up-skilling dan re-skilling tenaga kerja di KTI juga masih menghadapi kendala minimnya fasilitas pendidikan dan kualitas tenaga pengajar untuk dapat memenuhi permintaan tenaga kerja di industri yang berorientasi ekspor. Tantangan lainnya yang masih mengemuka yaitu kontinuitas bahan baku, infrastruktur jalan dan air bersih. Untuk menuju negara dengan tingkat pendapatan dan kesejahteraan yang lebih tinggi serta untuk menghindari middle income trap, Indonesia membutuhkan rata-rata tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi dari yang dicapai selama ini. Berkaca dari kisah sukses negara maju, pengembangan sektor industri manufaktur yang kuat adalah sangat perlu untuk menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berkelanjutan. Disisi lain, sektor Industri manufaktur Indonesia dalam dekade terakhir dihadapkan pada sejumlah permasalahan yang berujung pada gejala deindustrialisasi, terindikasi dari terus menurunnya pangsa sektor industri manufaktur terhadap PDB. Untuk meningkatkan kembali produktivitas dan daya saing sektor Industri, dibutuhkan percepatan transformasi industri manufaktur nasional. Sejumlah tantangan utama telah teridentifikasi yaitu diantaranya terkait dengan kualitas SDM, produktivitas tenaga kerja yang rendah, kertersediaan dan harga energi yang kurang mendukung daya saing industri, infrastruktur dasar pendukung yang masih terbatas, regulasi yang belum terintegrasi antar kementerian dan lembaga, struktur industri yang kurang seimbang, peran IKM yangmasih rendah, serta sumber pembiayaan yang belum terdiversifikasi. Langkah transformasi Industri Manufaktur dapat dilakukan dalam perspektif jangka pendek dan jangka menengah untuk masing-masing tantangan. Strategi jangka pendek difokuskan pada upaya de-bottenecking ekonomi dari berbagai sisi baik operasional maupun prosedural. Sementara, strategi jangka menengah difokuskan pada hal-hal yang bersifat lebih struktural, khususnya terkait perbaikan dan penguatan struktur industri nasional. Untuk menuju negara berpendapatan lebih tinggi sekaligus menghindari middle income trap (MIT), diperlukan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan berkesinambungan. Secara rata-rata, tingkat pertumbuhan minimal yang diperlukan untuk mencapai pendapatan per kapita sebesar USD 8.000 atau kelompok upper middle income adalah sekitar 7,1% per tahun. Sementara untuk menjadi negara high income, Indonesia membutuhkan pertumbuhan ekonomi sedikitnya sekitar 10% per tahun. Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut hanya dapat dicapai apabila didukung oleh peningkatan produktivitas ekonomi dan optimalisasi pengembangan pasar domestik. 63 Pertumbuhan ekonomi yang berkualitas memerlukan dukungan sektor Industri yang kuat. Beberapa negara maju seperti Jepang, Korea Selatan, Jerman dan Amerika Serikat secara konsisten membangun sektor industri manufakturnya untuk menjadi motor penggerak perekonomian. Langkah tersebut mengantarkan mereka lepas dari MIT dan menjadi bagian dari negara maju dunia. Di negara tersebut, pangsa sektor industri dalam perekonomian lebih tinggi dibandingkan sektor lainnya. Selain itu, pertumbuhan industri manufaktur juga terjaga lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan PDB. Grafik V.1. Skenario Menuju Negara High Income Dalam struktur perekonomian Indonesia, sektor industri juga memiliki peran yang besar meskipun pangsanya terus mengalami penurunan. Dalam satu dasawarsa terakhir, pangsa sektor industri turun dari 28% menjadi sekitar 24% dan kemudian relatif stagnan. Selain itu, tingkat pertumbuhan sektor industri cenderung melambat dan sejak 2011 sektor industri tumbuh di bawah tingkat pertumbuhan ekonomi. Perlambatan sektor industri terjadi di tengah menguatnya peran sektor jasa, keuangan dan pedagangan di dalam struktur perekonomian yang sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk kelas menengah. Grafik V.2. Pertumbuhan Industri & Pertumbuhan PDB Jawa, yang merupakan konsentrasi industri dengan pangsa 71% dari total PDB Industri, terus mengalami penurunan pangsa industri. Sementara, di Sumatera sektor industri relatif stagnan meskipun ada kecenderungan peningkatan. Di KTI, sektor industri mengalami peningkatan walaupun belum signifikan. Karakteristik industri di Sumatera dan KTI 64 sebagian besar masih berbasis Sumber Daya Alam (SDA) dengan tingkat hilirisasi industri yang terbatas. Komoditas utama industri di Sumatera dan KTI antara lain karet, kelapa sawit dan komoditas pertambangan. Perkembangan sektor industri di wilayah Jawa tersebut selama ini didominasi oleh investasi modal asing, khususnya di Jawa Barat. Investasi modal asing itu lebih ditujukan pada sektor padat modal dan berteknologi menengah tinggi (mis. otomotif). Sementara, investasi modal dari dalam negeri banyak ditujukan pada sektor industri padat karya. Booming harga komoditas pada awal dekade tahun 2000-an, mendorong pertumbuhan ekspor komoditas SDA dan berkontribusi pada penurunan pangsa ekspor komoditas manufaktur Indonesia. Pada periode 1990 hingga 2000, ekspor komoditas manufaktur mencapai 65% dari total ekspor. Namun, kini pangsa ekspor komoditas manufaktur hanya 51,47% dan selebihnya berupa ekspor berbasis SDA. Bila dilihat dari sisi trade balance, perubahan struktur ekspor berdampak pada penurunan surplus trade balance sejak 2011, antara lain terjadi pada industri barang dari logam, logam dasar, dan industri kimia. Trade balance industri-industri tersebut mengalami penurunan yang signifikan dalam 15 tahun terakhir. Hanya industri makanan dan minuman saja yang masih menunjukkan peningkatan trade balance. Penurunan ekspor manufaktur juga disebabkan oleh relatif rendahnya daya saing produk manufaktur dibandingkan negara 16 peers . Bahkan, sejak 2009 daya saing industri Vietnam mulai melampaui Indonesia. Lemahnya daya saing juga terlihat dari pangsa mayoritas komoditas ekspor Indonesia yang memperlihatkan kecenderungan menurun, dimana pertumbuhan ekspor beberapa komoditas relatif lebih rendah dibandingkan pertumbuhan permintaan dunia. penurunan tingkat kemiskinan dan pengangguran. Akses yang lebih luas terhadap pekerjaan formal, khususnya dari perkembangan industri padat karya, selain mampu menurunkan tingkat kemiskinan secara signifikan dari 60% (1970) menjadi 11,3% (1996) juga mampu meningkatkan pendapatan per kapita. Sektor industri menjadi penyerap tenaga kerja tertinggi setelah sektor pertanian dan perdagangan, walaupun dalam beberapa tahun terakhir serapan tenaga kerja sektor industri relatif stagnan, yaitu berkisar 12%-13% dari jumlah tenaga kerja. Di sisi lain, dalam beberapa waktu terakhir, tingkat Total Factor Productivity (TFP) pekerja Indonesia cenderung lebih rendah dibanding negara peers. Sumber : Analisis Daya Saing dan Strategi Industri Nasional di Era MEA dan Perdagangan Bebas (DKEM, 2015) Grafik V.3. Pertumbuhan Ekspor Indonesia Vs Pertumbuhan Ekspor Dunia Salah satu penyebab rendahnya daya saing produk ekspor manufaktur Indonesia terkait dengan relatif tingginya Real Effective Exchange Rate (REER) dibanding beberapa negara peers. Commodity boom price yang terjadi pada tahun 2000-an menopang apresiasi Rupiah, tetapi menurunkan daya saing produk ekspor sektor tradeable dari sisi harga jual, khususnya produk manufaktur. Namun, ketika masa commodity boom berakhir dan Rupiah mengalami depresiasi, penurunan REER Indonesia ternyata tidak sedalam depresiasi Rupiah yang terjadi. REER Indonesia bahkan cenderung lebih tinggi dibandingkan negara peers. Hal ini antara lain terkait dengan tingkat inflasi Indonesia yang 17 relatif masih tinggi, khususnya inflasi pangan . Sumber : Bank Indonesia, BPS Grafik V.4. REER Indonesia & Pangsa Industri Terhadap PDB Sumber : BPS Dari sisi kesejahteraan, sektor memegang peranan penting 16 industri dalam Berdasarkan Trade Specialist Index (ADB Economic Working Paper No.411, 2014) 17 World Bank (2016) 65 Grafik V.5. Pertumbuhan Manufaktur dan Tingkat Kemiskinan Daerah dengan tingkat pengembangan manufaktur yang lebih baik cenderung memiliki angka kemiskinan dan pengangguran yang lebih rendah. Hasil pemetaan tingkat kemiskinan dan perubahan tingkat pengangguran pada periode 2000 s.d 2016 menunjukkan bahwa daerah yang memiliki tingkat kemiskinan dan/atau penggangguran lebih tinggi merupakan daerah yang lebih mengandalkan sumber pertumbuhan perekonomiannya pada komoditas SDA. Daerah tersebut juga terindikasi memiliki tingkat pengembangan manufaktur yang relatif lebih rendah. Berdasarkan kajian Bank Dunia, manufaktur berorientasi ekspor mendukung penciptaan lapangan kerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan komoditas ekspor lainnya. Penciptaan nilai tambah tenaga kerja ekspor manufaktur tertinggi berasal dari industri kimia, industri makanan olahan dan industri permesinan. Sumber : BPS Grafik V.7. Tingkat Kemiskinan & Delta Tingkat Pengangguran Daya Saing Industri Daya saing industri Indonesia dalam beberapa tahun terakhir terus mengalami perbaikan setelah sempat mengalami penurunan. Berdasarkan Global Competitiveness Index dan Ease Of Doing Bussiness, perbaikan daya saing terutama berasal dari perbaikan infrastruktur dan kemudahan memulai usaha. Dengan adanya upaya perbaikan yang dilakukan secara kontinu dan faktor labor cost yang rendah serta market size yang besar, Global 18 Manufacturing Competitiveness Index memperkirakan Indonesia akan masuk dalam top 15 lokasi manufaktur yang kompetitif dalam 5 tahun ke depan, bersama dengan Malaysia, Thailand, India dan Vietnam. Sumber : BPS Grafik V.6. Tingkat Kemiskinan & Perubahan Tingkat Pengangguran Namun, seiring dengan makin majunya suatu negara, maka perkembangan beberapa sektor lainnya (non-industri manufaktur) yang lebih bersifat capital intensive antara lain sektor pertambangan, telekomunikasi dan jasa finansial, telah mengakibatkan peran industri sebagai pencipta lapangan pekerjaan mengalami penurunan secara alamiah. Kondisi ini berdampak pada peningkatan ketimpangan kesejahteraan di dalam masyarakat, terindikasi dari peningkatan Rasio Gini ditengah pertumbuhan manufaktur nasional yang relatif stagnan. 66 Sumber : World Economic Forum (2016) Grafik V.8. Ranking Global Competitiveness Index Namun demikian, agar industri Indonesia lebih kompetitif, maka upaya perbaikan daya saing perlu terus dilakukan. Peningkatan daya 18 Global Manufacturing (Deloitte,2016) Competitivess Index saing industri ditujukan untuk meningkatkan efisiensi biaya, kualitas dan kapasitas produksi yang didukung kemudahan berinvestasi, dengan memanfaatkan berlimpahnya pekerja usia produktif yang menjadi bonus demografi Indonesia. Sumber : World Bank (2016) dapat dilakukan dengan mudah. Terdapat gap cukup besar antara spesifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan oleh industri dengan skill yang dimiliki oleh angkatan kerja. Sekitar 70% tenaga kerja sektor industri saat ini merupakan pekerja dengan latar belakang pendidikan umum (sekolah dasar hingga SMU) sehingga belum memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan industri. Selain itu, kualitas tenaga kerja yang belum merata diberbagai daerah telah menciptakan ketergantungan pemenuhan tenaga kerja dari daerah tertentu yang memiliki kualitas pendidikan yang lebih baik. Lebih jauh, produktivitas tenaga kerja Indonesia masih tergolong rendah bila dibandingkan dengan Malaysia, Thailand dan Vietnam. Grafik V.9. Ranking Ease Of Doing Bussiness Terdapat beberapa area yang perlu dicermati yaitu yang relatif tertinggal dibandingkan negara peers seperti terkait efisiensi pasar tenaga kerja, kesehatan dan pendidikan, serta kesiapan teknologi. Bahkan, jika dibandingkan dengan peer terdekat yaitu Vietnam, faktor kemudahan memulai usaha, pendaftaran properti, akses pembiayaan dan kepastian hukum (terkait kontrak) Indonesia masih relatif lebih lemah. Masih lebarnya perbedaan tingkat daya saing antar wilayah terutama disebabkan oleh belum meratanya dukungan infrastruktur maupun upaya deregulasi dan debirokratisasi untuk memperbaiki iklim berusaha di daerah. Output per tenaker (PDB KOnstan 2005 USD) Sumber : ILO Grafik V.10. Produktivitas Tenaga Kerja Tantangan Industri Untuk mencapai transformasi industri nasional yang dapat mempercepat peningkatan daya saing industri, terdapat sejumlah tantangan yang perlu ditangani terlebih dahulu. Tantangan tersebut adalah sebagai berikut. Sumber Daya Manusia (SDM), produktivitas tenaga kerja dan rigiditas pasar tenaga kerja. Tingginya jumlah angkatan kerja di Indonesia, bukan berarti pemenuhan kebutuhan industri 67 Sumber : ILO, BPS Grafik V.11. Pertumbuhan PDB dan Produktivitas Tenaga Kerja Industri nasional juga dihadapkan pada pasar tenaga kerja yang rigid yaitu terkait dengan biaya pemutusan hubungan kerja yang tinggi, khususnya biaya kompensasi dan gratuity (diluar severance payment atau uang pesangon). Selain itu, peningkatan tingkat upah yang cenderung signifikan ternyata tidak sejalan dengan peningkatan produktivitas. Faktor-faktor tersebut menjadi penyebab utama rigid-nya pasar tenaga kerja Indonesia. Ketersediaan kompetitif dan harga energi yang Dukungan energi bagi pengembangan industri masih terbatas. Meskipun tarif listik Indonesia tergolong kompetitif di bandingkan negara peers, namun kualitas pasokan listrik masih perlu ditingkatkan baik dari segi kontinuitas/stabilitas maupun keterjangkauan pasokan. Permasalahan pasokan listrik terutama terjadi pada industri yang terletak di luar Jawa. Dari 52 perusahaan industri pengolahan yang disurvei di wilayah Sumatera, hampir dua per tiganya (67%) harus memenuhi kebutuhan listriknya secara mandiri. Sementara itu, kebutuhan akan pasokan gas industri dihadapkan pada tantangan harga gas industri yang belum kompetitif dibandingkan negara lain di kawasan. Kondisi ini antara lain disebabkan oleh adanya gap supply-demand yang cukup besar. Padahal, kebutuhan energi gas untuk industri diperkirakan meningkat hingga 26-28% dari total kebutuhan energi di 2050. Efisiensi logistik dan infrastruktur Efisiensi logistik yang masih rendah dan kualitas infrastruktur logistik yang belum merata menyebabkan biaya transportasi dan distribusi yang tinggi, yang pada gilirannya meningkatkan biaya produksi. Biaya logistik di pelabuhan Indonesia masih tergolong tinggi. Sebagai contoh, biaya terkait Terminal Handling Charges (THC) Indonesia merupakan yang tertinggi kedua setelah Singapura, padahal produktivitas pelabuhannya masih rendah. Rendahnya produktivitas pelabuhan terindikasi dari lamanya waktu dwelling time yang cukup panjang di beberapa pelabuhan utama. Selain itu, sistem moda transportasi 68 barang juga masih belum terintegrasi, sehingga pergerakan arus barang menjadi kurang efisien. Adapun biaya logistik khususnya terkait dengan biaya transportasi dan handling kontainer memiliki kontribusi sekitar 45% dari total biaya logistik. Tabel V.1. Tarif THC Pelabuhan (USD/Container) Negara 20 Feet 40 Feet Bangkok, Thailand 60 95 Laem ChaBang, Thailand 53 85 Port Klang, Malaysia 76 113 North Port, Malaysia 64 97 Ho Chi Minh, Vietnam 46 69 Haipong, Vietnam 87 135 Manila, Philippines 82 115 Chitagong, Bangladesh 49 75 Tanjung Priok, Indonesia 95 145 Port of Singapore 155 235 Sumber : KADIN Pada transportasi darat, Indonesia juga tergolong sebagai negara yang memiliki ketidakefisienan traffic ketiga tertinggi di dunia. Padahal, sebagian besar transportasi barang (95%) dilakukan melalui jalur darat. Moda ini dihadapkan pada tingkat kualitas jalan yang sangat variatif di berbagai daerah. Regulasi yang belum terintegrasi dengan baik Hambatan terhadap proses perizinan & ketidakpastian hukum dalam berinvestasi di berbagai daerah masih terjadi, meskipun telah dilakukan upaya debirokratisasi & deregulasi yang intensif oleh Pemerintah. Hal ini disebabkan antara lain oleh tidak selarasnya percepatan upaya perbaikan regulasi ditingkat pusat dan daerah. Disinyalir, masih terdapat (i) banyak Peraturan Daerah (Perda) yang menghambat investasi; dan (ii) masih terbatas dan beragamnya tingkat pendelegasian kewenangan pemberian izin investasi melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) sebagai akibat masih tingginya ego sektoral. Selain itu, aplikasi sistem online yang masih terbatas dan belum adanya standarisasi biaya layanan PTSP turut meningkatkan risiko ketidakpastian perizinan investasi. Di tingkat pusat, pemberian insentif bagi investasi juga masih belum optimal. Hal ini terlihat dari minimnya sektor yang menerima tax allowance yang hanya berjumlah 9 sektor industri dari 143 sektor yang berhak mendapatkannya (berdasarkan PP No. 18/2015). Struktur industri yang kurang berimbang Industri nasional di dominasi oleh jenis industri kecil, sementara jumlah industri menengah yang berpotensi menjadi industri besar sangat minim (fenomena missing middle). Porsi industri kecil dan menengah di Indonesia merupakan yang terbesar dibandingkan Vietnam, Filipina dan Brazil. Kondisi ini mengindikasikan terjadinya hambatan dan keengganan industri kecil dan menengah untuk bertransformasi ke kelas industri yang lebih tinggi. Fenomena missing middle, berimplikasi pada dukungan industri antara dalam memasok kebutuhan industri hilir yang terbatas, seperti yang terjadi pada industri tekstil. Selain tantangan keterkaitan antar industri, juga terdapat tantangan spasial terkait keterkaitan industri antar daerah. Industri di Jawa belum memiliki hubungan yang baik optimal dengan wilayah diluar Jawa. Hal ini tercermin dari rendahnya porsi pasokan bahan baku yang berasal dari luar Jawa untuk industri utama seperti makanan minuman, industri alat angkut dan TPT. Hubungan yang belum optimal itu dapat diakibatkan baik oleh belum berkembangnya sektor industri di luar Jawa yang mampu mendukung industri di Jawa maupun oleh transportasi yang belum memadai. Permasalahan keterbatasan keterkaitan antar sektor industri maupun antar wilayah perlu segera ditangani. Hal ini agar industri nasional dapat berkembang secara lebih menyeluruh dengan meminimalisir ketergantungan pada bahan baku maupun bahan antara dari impor. Peningkatan peran swasta yang lebih besar sebagaimana dilakukan di beberapa negara, dapat dipertimbangkan menjadi salah satu solusi mendorong perkembangan industri. Sumber : BPS, diolah Grafik V.12. Missing Middle 19 Sumber : Input Output (Jethro), diolah 19 LARGE (>100 Employees), asset > Rp 1 miliar Highgrowth Enterprises; MEDIUM (20-100 Employees), aseet Rp 100 jt – Rp 500 jt (Early stage support of Innovative Entrepreneurs), Rp 500 jt – Rp 1 miliar (Venture Capital to scalable social enterprises); SMALL (5- 19 Employees), asset < Rp 100 jt (A lower tier of subsistence enterprises 69 Grafik V.13. Tinjauan Linkages Industri Mesin & Logam Dasar that struggle to stay afloat and have very poor survival rate) Grafik V.14. Keterbatasan Linkage : Kasus Industri Tekstil Tabel V.2. Pembagian Peran Pemerintah - Swasta Industri Sekunder Negara Ind. Hulu Ind. Antara Ind. Hilir China 100% Pemerintah 50-100% Pemerintah 100% swasta Saudi Arabia 100% Pemerintah 50% Pemerintah Malaysia > 70% Pemerintah 30-60% Pemerintah 100% swasta Korea Selatan 100% Pemerintah* 100% Swasta 100% swasta 100% swasta *setelah 30 tahun saham pemerintah minoritas Sumber : KADIN Penguatan peran dan kemampuan IKM dalam sektor industri UMKM memiliki peran besar dalam perekonomian Indonesia, khususnya peran Industri Kecil Menengah (IKM) dalam mendukung pengembangan industri manufaktur. Dalam hal penyerapan tenaga kerja, IKM memiliki peran yang cukup tinggi. Namun dibandingkan dengan negara peer, peran dan keterkaitan IKM dalam industri manufaktur masih relatif minim. Peningkatan kapabilitas IKM sangat diperlukan untuk meningkatkan nilai tambah dan kualitas produk yang dihasilkan. Namun demikian, sebagaimana di banyak negara, penguatan tersebut dihadapkan pada tantangan keterbatasan modal, bahan baku dan akses pasar. Sumber : BPS Grafik V.15. Pangsa Tenaga Kerja IKM Sumber : BPS Grafik V.16. Konsentrasi IKM 70 Sumber pembiayaan industri yang lebih beragam Perkembangan industri nasional belum memanfaatkan dukungan perbankan secara optimal. Hal ini terlihat dari pemanfaatan pembiayaan industri melalui perbankan yang masih relatif rendah. Kondisi ini dicerminkan oleh pangsa kredit manufaktur yang hanya 17,5% dari total kredit, lebih rendah dari kredit sektor PHR (19,6%). Selain itu, berdasarkan hasil liaison Bank Indonesia dengan pelaku usaha, diketahui bahwa pelaku industri cenderung memanfaatkan sumber pembiayaan di luar perbankan, khususnya yang menjadi modal kerja. Pembiayaan berasal dari internal perusahaan maupun perusahaan induk menjadi pilihan banyak pelaku industri. Kurang beragamnya sumber pembiayaan dan “less favourable”-nya iklim investasi pasca krisis 1998 telah menyebabkan terjadinya penurunan jumlah plant entry ke sektor Industri. Kondisi tersebut telah mengakibatkan perkembangan industri yang terbatas sehingga perkembangan industri selama ini masih banyak didominasi oleh para pemain lama. kementerian dan lembaga terkait, termasuk menjadi acuan prioritas dalam pentahapan implementasinya. Strategi pengembangan industri manufaktur diarahkan pada hasil yang dapat dicapai dalam jangka pendek (short term) dan pengembangan yang bersifat struktural (medium term). Strategi pengembangan industri dalam jangka pendek difokuskan pada upaya de-bottlenecking yang meliputi : 1. Kerjasama Pemerintah, akademisi & industri dalam menciptakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal dan berkualitas antara lain melalui pendidikan vokasional (Quick Win Strategy). Pemerintah dipandang perlu untuk memfasilitasi dan mendorong berkembangnya penyelenggaraan pendidikan vokasi baik oleh pemerintah maupun swasta. Pendidikan vokasi harus berbasis pada kebutuhan industri lokal daerah (link and match). Dengan demikian, pemenuhan kebutuhan tenaga kerja sedapat mungkin diperoleh dari angkatan kerja lokal. Selain itu, upaya up grading kapabilitas industri dalam rangka minimalisir gap inovasi teknologi dapat dilakukan melalui kerjasama riset antara pihak universitas dengan kalangan industri. 2. Penetapan sistem pengupahan yang mengakomodir faktor produktifitas. Sumber : BPS Grafik V.17. Pangsa & Pertumbuhan Kredit Manufaktur Strategi Pengembangan Industri Dengan kompleksitas tantangan yang dihadapi dalam pengembangan industri nasional, maka diperlukan strategi kebijakan pengembangan industri yang fokus dan terintegrasi. Strategi tersebut hendaknya dapat ditetapkan sebagai acuan dalam pelaksanaan program berbagai 71 Gap antara pertumbuhan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan tingkat produktivitas yang semakin lebar dapat diatasi dengan mempertimbangkan produktivitas sebagai salah satu komponen perhitungan upah minimum. Peningkatan upah yang dapat mendorong produktivitas dipandang mampu untuk menjamin sustainabilitas industri ke depan. Adapun penghitungan upah minimum dengan menyertakan komponen produktivitas telah di adopsi oleh negara seperti Tiongkok dan Kamboja. Lebih jauh, kebijakan tenaga kerja secara umum perlu diarahkan untuk dapat menyerap tenaga kerja lebih banyak, mengurangi kemiskinan dan ketimpangan antar daerah. Tabel V.3. Pangsa & Pertumbuhan Kredit Manufaktur satu komponen utama daya saing industri sangat perlu segera dibenahi (quick win). Biaya tenaga kerja yang masih relatif lebih rendah dari peer menjadi faktor penarik investasi asing yang perlu dioptimalkan. Di sisi lain, berlimpahnya tenaga kerja usia produktif sebagai bonus demografi juga perlu dimanfaatkan dengan baik, sebelum berakhirnya bonus demografi tersebut pada tahun 2030-an. Sementara itu, strategi pengembangan dalam jangka menengah (medium term) dapat ditempuh dengan mencakup beberapa upaya berikut : Sumber : Wageindicator.org 3. Penyediaan energi bagi industri yang berkualitas dan dengan harga yang kompetetitif (Gas, Tarif Tenaga Listrik, Batubara, BBM) 4. Peningkatan efisiensi logistik antara lain (i) perbaikan sistem logistik khususnya terkait ketersediaan moda transportasi yang mendukung efisiensi supply chain; serta (ii) eliminasi biaya tinggi di pelabuhan (a.l tarif handling container, tarif TKBM pelabuhan) dan perbaikan durasi dwelling time. 5. Penyederhanaan birokrasi antara lain melalui (i) aplikasi berbasis IT; dan (ii) upaya perbaikan iklim investasi di daerah melalui penghapusan Perda bermasalah yang berpotensi menghambat investasi. Selain itu, juga diperlukan (iii) upaya menghilangkan ekonomi biaya tinggi akibat berbagai punggutan liar yang terjadi baik pada saat pengajuan perizinan maupun saat perusahaan telah beroperasi. Upaya short term tersebut perlu didukung oleh koordinasi antar Kementerian/Lembaga, Pemerintah PusatDaerah, akses pembiayaan yang memadai dan dukungan aplikasi teknologi. Dari sejumlah tantangan tersebut, tantangan terkait ketenagakerjaan yang menjadi salah 72 1. Reformasi pasar tenaker Pasar tenaga kerja yang terlalu kaku (rigid) perlu menjadi lebih fleksibel dengan mereformasi beberapa ketentuan ketenagakerjaan antara lain terkait ketentuan pengupahan, pesangon, dan outsourcing dengan tetap memperhatikan prinsip yang mengutamakan win-win solution bagi pelaku usaha maupun tenaga kerja. 2. Penguatan Akses Pasar a) Penguatan pasar domestik dan interdependensi industri antar wilayah, melalui : Penindakan terhadap masuknya produk impor ilegal dan pengawasan ketat terhadap produk luar yang dibatasi impornya. Pengembangan zona industri yang sesuai di tiap provinsi Mendorong penguatan UMKM/IKM agar semakin terintegrasi dengan sektor industri Memperlancar pulau Perdagangan antar b) Memperkuat akses pasar global melalui (i) peningkatan keterlibatan dalam Global Value Chain dan Global Production Network; serta (iii) mendorong keikutsertaan dalam berbagai kesepakatan perdagangan dan negoisasi ulang kesepakatan perdagangan yang merugikan posisi Indonesia. c) Reformasi Pasar untuk mewujudkan tata niaga yang efisien dan adil 3. Penetapan strategi kebijakan industri yang integratif terkait perbaikan struktur industri nasional. a) Upaya mengatasi isu missing middle, yaitu dengan mendorong dan memfasilitasi berkembangnya industri kecil menengah agar dapat “naik kelas” menjadi industri yang lebih besar. Hal itu dapat dicapai melalui pemberian insentif dan bantuan/fasilitasi dari sisi finansial, riset dan pengambangan, serta akses pasar kepada mereka. b) Pengembangan industri unggulan, baik yang bersifat strategis maupun berbasis komoditas unggulan. Industri unggulan tersebut mencakup industri berbasis agro, industri maritim, industri dasar, industri dengan tenaga kerja intensif dan industri kreatif. 4. Penguatan faktor enabler agar dapat memberikan dukungan optimal bagi pengembangan industri. a) Pembiayaan berupa upaya diversifikasi sumber pembiayaan melalui financial deepening dan peningkatan akses keuangan bagi industri. b) Land Reform berupa (i) penegakan kepastian hukum terkait pemanfaatan lahan melalui penetapan rencana tata ruang wilayah (RTRW) dan Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) yang menyeluruh di daerah; dan (ii) implementasi one map policy sebagai dasar pengambilan kebijakan optimasi pemanfaatan lahan. 73 c) Infrastruktur dan Konektivitas berupa perbaikan infrastruktur berkelanjutan khususnya terkait penyediaan energi dan konektivitas dalam rangka mendukung pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus dan Kawasan Industri prioritas serta kelancaran transportasi barang antar wilayah. “Halaman ini sengaja dikosongkan” 74 75 Tahun Dasar 2010 Indikator Makroekonomi Daerah PDRB (%,yoy) Sisi Permintaan Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi LNPRT Konsumsi Pemerintah Pembentukan Modal Tetap Bruto Ekspor Impor Net Ekspor Antar Daerah Sisi Produksi Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Pengadaan Listrik dan Gas Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang Konstruksi Perdagangan Besar, Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor Transportasi dan Pergudangan Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum Informasi dan Komunikasi Jasa Keuangan dan Asuransi Real Estate Jasa Perusahaan Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib Jasa Pendidikan Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial Jasa lainnya PDRB (%,yoy) Provinsi Aceh Provinsi Sumatera Utara Provinsi Sumatera Barat Provinsi Riau Provinsi Jambi Provinsi Kepulauan Riau Provinsi Sumatera Selatan Provinsi Bengkulu Provinsi Lampung Provinsi Kep. Bangka Belitung Inflasi IHK (%,yoy) Provinsi Aceh Provinsi Sumatera Utara Provinsi Sumatera Barat Provinsi Riau Provinsi Kepulauan Riau Provinsi Jambi Provinsi Sumatera Selatan Provinsi Bengkulu Provinsi Lampung Provinsi Kep. Bangka Belitung 76 2014 2015 4.6 2016 II 4.5 III 3.9 IVp 4.6 2016p 2017p 3.5 I 4.2 3.9 - 4.4 4.6 - 5.1 5.4 10.9 2.2 4.0 -1.4 -2.1 2.0 5.0 2.0 4.9 3.1 -3.0 -5.7 2.7 5.2 6.4 1.7 4.9 -16.1 -25.4 0.0 5.5 5.2 7.5 6.0 -19.3 -31.2 -8.4 4.9 5.0 -5.8 4.5 -10.8 -9.4 3.1 5.6 5.8 1.4 5.2 3.2 4.6 -6.8 5.1 - 5.6 5.3 - 5.8 0.6 - 1.1 4.9 - 5.4 1.4 - 1.8 1.7 - 2.2 (0.1) - (0.6) 5.3 - 5.7 5.0 - 5.4 3.6 - 4.0 5.5 - 5.9 10.8 - 11.3 12.2 - 12.7 4.6 - 5.1 5.1 -1.5 4.6 7.6 3.6 -2.8 3.8 3.3 3.7 -0.8 4.7 8.3 4.2 -1.9 3.5 11.9 3.6 -2.8 3.7 10.8 4.3 -0.8 4.1 7.1 3.7 - 4.2 (1.9) - (1.4) 3.7 - 4.2 9.4 - 9.9 4.4 - 4.9 (0.5) - 0.0 4.6 - 5.1 8.0 - 8.5 5.0 4.9 3.3 3.3 5.3 5.6 4.1 - 4.6 4.6 - 5.1 7.0 4.2 5.8 6.4 5.8 4.9 5.5 - 6.0 6.1 - 6.6 5.9 4.4 5.0 6.2 6.4 4.9 5.9 - 5.9 5.9 - 6.4 6.5 7.7 7.5 3.7 6.6 6.7 7.2 7.7 8.5 4.3 5.8 5.8 6.2 7.6 8.0 6.1 4.9 5.3 7.8 8.2 8.7 9.0 5.5 4.9 6.5 8.0 8.8 6.1 6.3 5.5 7.3 8.4 8.0 4.7 8.1 5.9 6.3 - 6.8 7.9 - 8.4 8.0 - 8.5 6.2 - 6.7 6.0 - 6.5 5.2 - 5.7 6.6 - 7.1 6.8 - 7.3 6.4 - 6.9 6.3 - 6.8 5.5 - 6.0 6.1 - 6.6 6.1 7.2 5.4 9.5 3.8 6.9 6.4 - 6.9 6.2 - 6.7 8.1 7.4 6.7 4.6 1.5 5.2 5.9 2.7 7.4 6.6 4.7 5.5 5.1 4.7 8.62 8.08 8.17 11.57 8.64 7.59 8.75 8.48 10.85 8.09 9.04 7.0 7.5 7.5 3.5 -0.7 5.1 5.4 0.2 4.2 6.0 4.5 5.1 5.1 4.1 3.05 1.53 3.24 1.08 2.65 4.40 1.37 3.10 3.25 4.34 3.27 6.2 6.7 6.0 4.2 3.6 5.0 5.5 2.3 3.4 4.5 5.0 5.0 5.1 3.3 5.71 3.55 7.16 6.62 4.42 5.59 4.95 5.05 5.93 5.29 5.50 7.6 6.0 5.7 4.5 3.5 5.7 5.8 2.4 3.6 5.4 5.1 5.4 5.2 3.7 3.71 2.34 4.32 3.23 1.92 3.85 3.38 4.37 5.47 3.16 6.21 5.3 3.8 6.3 3.9 2.2 5.3 4.8 1.1 4.0 4.6 4.8 5.2 5.3 3.8 5.06 3.65 7.38 6.13 4.07 3.87 4.99 4.22 5.72 2.89 5.04 5.4 6.6 8.1 4.6 3.5 5.3 5.8 2.7 4.1 5.8 5.5 5.2 5.4 4.0 3.89 3.46 6.41 5.11 4.09 3.86 4.89 3.88 5.49 2.19 4.98 6.0 - 6.5 5.8 - 6.3 6.2 - 6.7 3.9 - 4.4 2.7 - 3.2 5.0 - 5.5 5.2 - 5.7 1.7 - 2.2 3.6 - 4.1 4.7 - 5.2 4.7 - 5.2 5.0 - 5.5 5.0 - 5.5 3.5 - 4.0 3.89 3.46 6.41 5.11 4.09 3.86 4.89 3.88 5.49 2.19 4.98 6.0 - 6.5 6.8 - 7.3 5.7 - 6.2 4.6 - 5.1 2.8 - 3.3 5.1 - 5.6 5.2 - 5.7 3.7 - 4.2 3.9 - 4.4 4.8 - 5.3 5.7 - 6.2 5.0 - 5.5 5.0 - 5.5 3.9 - 4.4 3.91 - 4.41 3.56 - 4.06 3.82 - 4.32 4.23 - 4.73 4.25 - 4.75 3.78 - 4.28 3.89 - 4.39 3.65 - 4.15 4.25 - 4.75 3.89 - 4.39 4.51 - 5.01 Tahun Dasar 2010 Indikator Makroekonomi Daerah PDRB (%,yoy) Sisi Permintaan Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi LNPRT Konsumsi Pemerintah Pembentukan Modal Tetap Bruto Ekspor Impor Net Ekspor Antar Daerah Sisi Produksi Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Pengadaan Listrik dan Gas Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang Konstruksi Perdagangan Besar, Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor Transportasi dan Pergudangan Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum Informasi dan Komunikasi Jasa Keuangan dan Asuransi Real Estate Jasa Perusahaan Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib Jasa Pendidikan Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial Jasa lainnya PDRB (%,yoy) DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Inflasi IHK (%,yoy) DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur 77 2014 2015 5.6 2016 II 5.8 III 5.6 Ivp 5.7 2016p 2017p 5.5 I 5.3 5.4 - 5.8 5.5 - 5.9 5.1 12.7 2.7 4.8 3.0 1.2 -4.1 4.5 -4.0 4.2 4.3 -1.7 -9.0 -10.7 4.9 6.0 8.0 4.1 0.9 -5.8 -7.4 5.2 6.2 13.0 4.7 5.3 -4.8 -16.9 5.1 9.7 -2.9 4.9 -3.3 -4.1 7.2 5.2 9.8 -0.9 5.0 -0.5 -1.5 22.7 4.9 - 5.3 7.8 - 8.2 3.0 - 3.4 4.5 - 4.9 0.4 - 0.8 (4.3) - (3.9) (1.7) - (1.3) 5.2 - 5.6 6.0 - 6.4 4.3 - 4.7 5.3 - 5.7 1.3 - 1.7 (0.1) - 0.3 (6.9) - (6.5) 1.3 3.1 5.8 4.3 3.4 5.1 4.6 -3.9 -0.7 8.8 4.5 1.9 2.6 6.3 4.6 -0.4 4.5 12.4 4.4 -1.6 3.6 4.2 4.9 -4.1 2.3 - 2.7 7.7 - 8.1 4.4 - 4.8 (1.3) - (0.9) 3.0 - 3.4 1.6 - 2.0 5.2 - 5.6 1.7 - 2.1 3.3 4.2 3.1 4.7 5.9 5.3 4.6 - 5.0 4.1 - 4.5 5.5 4.8 3.8 4.0 3.4 4.4 3.7 - 4.1 4.8 - 5.2 4.5 4.2 4.9 5.1 4.4 4.8 4.6 - 5.0 5.0 - 5.4 8.7 7.2 11.0 4.5 6.1 8.8 8.1 6.9 9.8 9.5 5.2 7.6 7.9 7.8 9.9 10.2 5.6 7.3 7.3 6.7 9.9 13.9 5.6 7.4 9.5 7.4 10.0 9.4 5.6 8.0 9.3 6.8 9.6 7.9 6.0 8.1 8.3 - 8.7 7.0 - 7.4 9.7 - 10.1 10.1 - 10.5 5.5 - 5.9 7.5 - 7.9 7.3 - 7.7 6.1 - 6.5 8.6 - 9.0 8.0 - 8.4 5.9 - 6.3 7.8 - 8.2 1.3 3.7 3.5 6.5 1.4 2.8 3.3 - 3.7 2.8 - 3.2 7.3 8.9 7.8 5.6 5.9 5.1 5.5 5.3 5.2 5.9 8.35 8.95 7.60 10.20 8.21 6.59 7.77 7.3 8.2 7.1 5.5 5.9 5.0 5.4 5.4 4.9 5.4 3.12 3.30 2.73 4.29 2.73 3.09 3.08 7.5 8.0 7.5 5.3 5.6 5.2 5.1 4.9 4.8 5.5 3.93 3.62 3.78 5.70 4.21 3.69 3.71 7.7 7.5 7.7 5.8 5.9 6.0 5.2 5.7 5.5 5.6 3.14 3.08 3.22 3.78 2.96 2.94 2.93 6.3 7.4 8.3 5.6 5.8 5.8 5.4 5.1 4.7 5.6 2.58 2.40 2.54 3.01 2.72 2.68 2.69 6.6 7.0 11.0 5.7 5.6 5.8 5.5 5.5 5.1 5.7 2.85 2.73 2.96 2.90 2.53 2.87 3.03 6.8 - 7.2 7.2 - 7.6 8.5 - 8.9 5.4 - 5.8 5.5 - 5.9 5.5 - 5.9 5.1 - 5.5 5.1 - 5.5 4.8 - 5.2 5.4 - 5.8 2.85 2.73 2.96 2.90 2.53 2.87 3.03 6.1 - 6.5 6.2 - 6.6 11.4 - 11.8 5.5 - 5.9 5.7 - 6.1 5.5 - 5.9 5.2 - 5.6 5.2 - 5.6 5.1 - 5.5 5.7 - 6.1 3.64 - 4.04 3.46 - 3.86 3.84 - 4.24 4.46 - 4.86 3.00 - 3.40 3.01 - 3.41 3.67 - 4.07 Tahun Dasar 2010 Indikator Makroekonomi Daerah PDRB (%,yoy) Sisi Permintaan Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi Lembaga Nonprofit Rumah Tangga Konsumsi Pemerintah Pembentukan Modal Tetap Bruto Ekspor Luar Negeri Impor Luar Negeri Sisi Produksi Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik dan Gas Sampah, Limbah Pengadaan Air, Pengelolaan dan Daur Ulang Konstruksi Besar, Eceran, dan Reparasi Perdagangan Mobil dan Sepeda Motor Transportasi dan Pergudangan Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum Informasi dan Komunikasi Jasa Keuangan dan Asuransi Real Estate Jasa Perusahaan Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib Jasa Pendidikan Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial Jasa lainnya PDRB (%,yoy) Provinsi Kalimantan Barat Provinsi Kalimantan Tengah Provinsi Kalimantan Selatan Provinsi Kalimantan Timur Provinsi Sulawesi Selatan Provinsi Sulawesi Barat Provinsi Sulawesi Tenggara Provinsi Sulawesi Tengah Provinsi Gorontalo Provinsi Sulawesi Utara Provinsi Maluku Provinsi Maluku Utara Provinsi Papua Provinsi Papua Barat Provinsi Bali Provinsi Nusa Tenggara Barat Provinsi Nusa Tenggara Timur 78 2014 2015 4.8 2016 II 3.9 III 5.3 IVp 5.2 2016p 2017p 5.2 I 4.2 4.4 - 4.9 4.6 - 5.1 5.2 8.1 3.7 7.6 (9.6) 1.4 5.0 3.9 5.2 6.3 (4.1) (2.3) 5.2 6.8 5.0 4.2 (9.1) (10.3) 5.5 5.4 6.1 2.4 (7.3) (3.1) 4.7 4.0 (5.9) 3.9 (6.0) (11.6) 5.3 3.2 0.2 6.2 2.2 2.7 4.9 - 5.4 4.5 - 5.0 0.7 - 1.2 4.0 - 4.5 (5.4) - (4.9) (5.8) - (5.3) 5.5 - 6 5.9 - 6.4 8.0 - 8.5 6.0 - 6.5 6.6 - 7.1 9.7 - 10.2 6.1 (0.6) 4.3 12.8 6.0 8.0 6.8 6.6 7.0 8.1 5.8 7.5 7.6 4.3 2.4 5.6 6.6 3.3 7.1 6.1 6.5 5.9 8.4 5.6 5.9 4.4 2.1 (2.4) 9.5 6.6 6.0 4.5 6.9 7.2 7.0 8.9 7.6 5.5 5.8 2.3 (3.3) 6.3 14.2 5.8 4.5 7.3 7.1 7.2 8.3 13.1 4.9 4.3 4.0 4.5 6.0 13.2 6.8 5.2 6.9 7.3 7.5 7.8 7.9 4.0 4.5 3.5 3.3 6.2 12.5 6.4 4.9 6.3 7.7 7.6 8.2 8.0 5.2 5.6 2.7 - 3.2 0.3 - 0.8 6.7 - 7.2 11.4 - 11.9 6.0 - 6.5 4.5 - 5.0 6.6 - 7.1 7.1 - 7.6 7.1 - 7.6 8.0 - 8.5 8.8 - 9.3 4.7 - 5.2 4.8 - 5.3 4.5 - 5.0 0.8 - 1.3 5.0 - 5.5 10.4 - 10.9 5.4 - 5.9 5.5 - 6.0 6.1 - 6.6 6.6 - 7.1 7.4 - 7.9 7.8 - 8.3 6.9 - 7.4 6.5 - 7.0 5.6 - 6.1 8.2 8.2 8.2 10.5 2.3 5.7 6.3 - 6.8 6.1 - 6.6 8.1 8.5 7.5 4.8 5.0 6.2 4.9 2.2 7.5 8.9 6.3 5.1 7.3 6.3 6.6 5.5 3.8 5.4 6.7 5.1 5.1 7.7 8.2 7.2 5.2 4.8 7.0 3.8 (0.9) 7.1 7.4 6.9 15.6 6.2 6.1 5.4 6.1 8.0 4.1 6.0 21.2 5.0 7.9 8.0 7.8 4.2 6.0 5.2 4.0 (0.7) 7.4 6.3 5.5 13.2 6.7 6.0 5.8 5.2 (0.5) 5.4 6.1 9.9 5.1 8.4 8.2 7.8 3.9 4.4 5.7 4.0 (0.9) 8.0 4.8 6.8 15.5 5.4 6.1 6.3 5.7 (5.5) 3.6 6.5 9.7 5.4 6.6 7.4 6.8 5.3 5.7 6.0 3.5 0.2 6.8 6.0 6.0 7.6 7.0 6.0 5.7 5.6 20.6 3.9 6.2 3.5 5.1 6.2 7.3 7.1 5.2 5.6 5.9 3.6 (0.9) 7.2 7.6 6.5 9.5 5.9 6.4 6.0 5.7 22.3 4.7 6.3 (1.1) 5.2 7.0 - 7.5 7.5 - 8.0 7.1 - 7.6 4.4 - 4.9 5.2 - 5.7 5.5 - 6.0 3.5 - 4.0 (0.8) - (0.3) 7.1 - 7.6 5.9 - 6.4 5.9 - 6.4 11.1 - 11.6 6.0 - 6.5 5.9 - 6.4 5.7 - 6.2 5.3 - 5.8 9.2 - 9.7 4.2 - 4.7 6.0 - 6.5 5.1 - 5.6 4.9 - 5.4 6.1 - 6.6 7.3 - 7.8 7.0 - 7.5 4.6 - 5.1 5.4 - 5.9 6.3 - 6.8 3.5 - 40 (0.4) - 0.1 7.5 - 8.0 6.8 - 7.3 6.6 - 7.1 11.7 - 12.2 5.8 - 6.3 6.3 - 6.8 6.0 - 6.5 5.8 - 6.3 6.0 - 6.5 4.9 - 5.4 6.2 - 6.7 5.2 - 5.7 5.1 - 5.6 Tahun Dasar 2010 Indikator Makroekonomi Daerah Inflasi IHK (%,yoy) Provinsi Kalimantan Barat Provinsi Kalimantan Tengah Provinsi Kalimantan Selatan Provinsi Kalimantan Timur Provinsi Sulawesi Selatan Provinsi Sulawesi Barat Provinsi Sulawesi Tenggara Provinsi Sulawesi Tengah Provinsi Gorontalo Provinsi Sulawesi Utara Provinsi Maluku Provinsi Maluku Utara Provinsi Papua Provinsi Papua Barat Provinsi Bali Provinsi Nusa Tenggara Barat Provinsi Nusa Tenggara Timur 79 2014 2015 8.15 9.43 7.07 7.28 7.67 8.61 7.89 8.45 8.84 6.14 9.67 7.19 9.35 9.11 6.56 8.43 7.22 7.76 4.43 5.79 4.74 5.15 4.89 4.48 5.07 2.27 4.17 4.30 5.56 6.15 4.52 3.59 5.34 2.75 3.43 4.92 I 4.84 4.62 4.56 6.04 4.91 5.70 5.19 4.75 6.03 5.74 4.90 2.22 5.45 3.76 5.53 3.59 4.34 5.04 II 4.26 5.25 3.13 5.88 4.61 4.30 4.29 4.12 4.21 4.89 3.67 1.82 3.87 5.22 3.95 2.96 4.39 5.02 2016 III 3.47 3.82 3.18 4.73 3.81 3.07 3.42 3.28 4.08 2.77 2.28 2.90 4.05 4.72 3.99 3.18 2.94 3.07 Okt 3.19 3.58 2.24 4.18 3.30 3.15 3.12 4.05 2.29 2.28 0.78 2.64 2.89 4.40 3.19 3.63 2.87 2.93 IVp 3.22 4.16 2.41 4.19 3.58 2.92 2.58 3.54 2.82 1.98 0.84 3.93 2.95 3.52 4.32 3.14 3.33 2.66 2016p 2017p 3.22 4.16 2.41 4.19 3.58 2.92 2.58 3.54 2.82 1.98 0.84 3.93 2.95 3.52 4.32 3.14 3.33 2.66 4.03 - 4.53 4.39 - 4.89 4.31 - 4.81 4.63 - 5.13 3.77 - 4.27 4.53 - 5.03 4.35 - 4.85 3.00 - 3.50 5.24 - 5.74 2.48 - 2.98 2.75 - 3.25 3.95 - 4.45 5.79 - 6.29 4.07 - 4.57 4.49 - 4.99 3.35 - 3.85 3.67 - 4.17 4.61 - 5.11 “Halaman ini sengaja dikosongkan” 80 Yoga Affandi Noor Yudanto Gunawan Wicaksono Maximilian T. Tutuarima Neva Andina Ragil Misas Fuadi Agung Budilaksono Rikie Fasha Warsono Rizki Fitrama Erwin Syafi’i Frida Yunita Sinurat Ratu Miana Ulfani Bernad Hasiholan