BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dengan menggunakan kombinasi antara studi dokumen dan pengamatan partispatif atas kasus handling commission pada PT ”X” yang telah dipaparkan dalam bab-bab sebelumnya, maka Peneliti menyampaikan kesimpulan sebagai berikut: 1. Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-145/PJ/2010 yang diterbitkan pada tanggal 22 Desember 2010 tidak dapat diberlakukan retroaktif (berlaku surut) sejak 1 April 2010. Peraturan yang memiliki daya berlaku surut digunakan sebagai cara mencegah Wajib Pajak melakukan tindakan penghindaran pajak akibat mengetahui beberapa celah-celah hukum suatu peraturan perpajakan, namun pemberlakuan tersebut akan menimbulkan dampak berupa sanksi adminstrasi dalam pemenuhan kewajiban perpajakan yang berhubungan dengan jangka waktu pembayaran dan pelaporan kewajiban perpajakan sehingga tidak memenuhi asas keadilan apabila peraturan retoraktif tersebut diberlakukan. Dalam Putusan Pengadilan Pajak No. PUT-aaaaa/PP/ M.VI./16/2013 yang diucapkan pada tanggal 21 Nopember 2013 juga menolak pelaksanaan Surat Edaran Dirjen Pajak No. 145/PJ/2010 yang diterbitkan pada tanggal 22 Desember 2010 untuk dapat yang diberlakukan secara retroaktif (berlaku surut) sejak tanggal 1 April 2010. 139 Disamping itu, Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-145/PJ/2010 yang menerapkan prinsip tempat asal (origin/purchase destination) bertentangan dengan definisi PPN sebagaimana dijabarkan dalam penjelasan umum dari Undang-Undang PPN No.42 Tahun 2009 bahwa PPN adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean yang dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi, dimana dalam hal ini menganut prinsip tempat tujuan (destination principle). 2. Sebaliknya Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-08/PJ.52/1996 yang diterbitkan pada tanggal 29 Maret 1996 tentang PPN atas Jasa Perdagangan menganut prinsip tempat tujuan (destination principle) dimana PPN dipungut ditempat barang atau jasa tersebut dikonsumsi. Dengan demikian, Surat Edaran Dirjen Pajak SE-08/PJ.52/1996 tidak bertentangan dengan Penjelasan Umum UU PPN No. 42 Tahun 2009 sampai Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-145/PJ/2010 diterbitkan pada tanggal 22 Desember 2010 dan menyatakan bahwa Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-08/PJ.52/1996 tidak berlaku lagi. Berdasarkan tinjauan pustaka dan putusan Pengadilan Pajak, Peneliti berkesimpulan bahwa untuk periode transisi yaitu April sampai dengan Desember 2010, dengan tidak dapat diberlakukan secara retroaktif Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-145/PJ/2010 sebagaimana dijelaskan di atas dan belum dicabutnya Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-08/PJ.52/1996, maka Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-08/PJ.52/1996 masih tetap berlaku. Disamping itu, argumentasi yang menguatkan kesimpulan Peneliti adalah bahwa dalam Pasal 4 ayat (1) huruf h UU PPN No. 42 Tahun 2009 mengatur 140 ketentuan mengenai pengenaan PPN atas ekspor jasa dengan tarif 10% (origin/purchase principle), sedangkan dalam Pasal 7 ayat (2) huruf c UU PPN No. 42 Tahun 2009 mengatur pengenaan PPN atas ekspor jasa dengan tarif 0% (destination principle). Dengan demikian, peraturan-peraturan yang mengatur mengenai PPN tidak dikenakan/dibebaskan (destination principle) atas jasa perdagangan adalah Penjelasan Umum dari UU PPN No. 42 Tahun 2009 beserta petunjuk teknisnya yaitu Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-08/PJ.52/1996, sebelum dicabut dan digantikan dengan Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-145/PJ/2010 pada tanggal 22 Desember 2010. 3. Penerapan destination principle dan origin/purchase principle secara simultan oleh suatu negara tidak direkomendasikan oleh OECD, karena akan terjadi distorsi (tidak netral) atas kegiatan ekspor dan impor dalam bentuk terjadinya pajak berganda (double taxation) atau tidak terjadinya/terhindar pajak sama sekali (no taxation at all/absence of tax). Semakin banyak jurisdiksi/negara mengadopsi pendekatan yang sama (dengan menggunakan destination principles yang diadopsi oleh banyak negara), semakin besar pengurangan kompleksitas, ketidakpastian, risiko pajak berganda dan tidak terjadinya pajak sama sekali. Akan tetapi, untuk menerapkan prinsip tempat tujuan (destination principle) bagi perdagangan internasional di bidang jasa (services) dan barang tidak berwujud (intangible goods) lebih sulit dibandingkan dengan perdagangan internasional untuk barang (tangible goods). Sifat jasa dan barang tidak berwujud adalah sedemikian rupa sehingga mereka tidak dapat 141 dikenakan kontrol perbatasan (border control/border adjustments) dengan cara yang sama seperti halnya diterapkan untuk barang. Oleh karena jasa dan barang tidak berwujud bersifat abstrak, maka sulit untuk menentukan tempat penyerahan/tempat dimana jasa dan barang tidak berwujud tersebut dikonsumsi dan kebenaran akan terjadinya ekspor jasa dan barang tidak berwujud sulit dipastikan (invisible) karena tidak adanya dokumen ekspor yang dapat mengklarifikasikan bahwa jasa dan barang tiak berwujud tersebut benar-benar diekspor sebagaimana halnya dengan barang yang dapat dibuktikan dengan dokumen ekspor seperti Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB), Bill of Lading (dokumen pengiriman barang bahwa barang tersebut benar-benar diekspor ke luar Daerah Pabean), Commercial Invoice dan Letter of Credit (bahwa penerimaan uang berasal dari pelanggan dari luar Daerah Pabean yang mengkonsumsi barang tersebut), dan sebagainya. 4. Preseden yang dapat diambil dari Putusan Pengadilan Pajak atas perlakuan PPN atas ekspor jasa pada umumnya dan perlakuan PPN atas kasus handling commission pada PT ”X” pada khususnya, jelas-jelas menunjukkan ketidakpastian mengenai bagaimana suatu hukum harus ditegakkan, khususnya dalam menjawab kasus handling commission pada PT ”X” tersebut yang berakhir kepada: 1. Atas 3 (tiga) putusan Pengadilan Pajak mengabulkan permohonan Banding Wajib Pajak (PT ”X”) terhadap kasus sengketa pajak atas Banding PPN untuk masa pajak Agustus, Oktober dan Desember 2010, akan tetapi; 142 2. Atas 6 (enam) putusan Pengadilan Pajak terjadi dissenting opinion dan menolak permohonan Banding Wajib Pajak. (PT ”X”) terhadap kasus sengketa pajak atas Banding PPN untuk masa pajak April sampai dengan Juli, September dan Nopember 2010. Sedangkan Preseden yang dapat diambil dalam Putusan Mahkamah Agung atas kasus ekspor jasa terutama dalam era Undang-Undang PPN Lama No. 18 Tahun 2000, cenderung menyatakan bahwa PPN tidak dikenakan atas ekspor jasa pada umumnya dan jasa perdagangan pada khususnya, karena pengenaan PPN atas ekspor jasa dalam era UU PPN lama No. 18 Tahun 2000 tersebut masih bersifat restriktif dan limitatif, dimana tidak ada ketentuan yang jelas yang mengatur pengenaan PPN atas ekspor jasa dalam UU PPN lama No. 18 Tahun 2000. Oleh karena kasus handling commission pada PT ”X” merupakan kasus yang pertama kali disidangkan dalam Pengadilan Pajak pada saat UU PPN baru No. 42 Tahun 2009 diberlakukan dan belum adanya aturan yang mencabut Surat Edaran Dirjen Pajak No 08/PJ.52/1996, tentunya preseden putusan dari Mahkamah Agung atas kasus handling commission pada PT ”X” sangat ditunggu-tunggu dan diharapkan dapat menjawab bagaimana putusan seharusnya atas kasus tersebut dapat diterapkan guna memenuhi rasa keadilan bagi Wajib Pajak dan kepastian hukum bagi pelaksana keputusan, dalam hal ini pihak fiskus (DJP) sendiri dalam hal menerapkan suatu aturan yang tepat di masa yang akan datang. Berdasarkan penjelasan dan hasil penelitian di atas, Peneliti menyimpulkan bahwa perlakuan PPN atas ekspor jasa di Indonesia bersifat tidak 143 konsisten dan terjadi kesimpang-siuran dan ketidak-pastian hukum dalam penerapan prinsip destinasi sekaligus prinsip asal atas PPN untuk ekspor jasa termasuk jasa perdagangan. Pengecualian 3 (tiga) ekspor jasa sebagaimana tercantum dalam daftar positif (yaitu jasa maklon, jasa konstruksi serta jasa perbaikan dan perawatan) yang dikenakan PPN dengan tarif 0% dengan alasan bahwa ketiga jasa tersebut dapat diukur kebenarannya dikonsumsi di luar negeri karena terkait dengan transaksi induk/pokok atas barang yang diekspor ke luar Daerah Pabean memberikan dampak diskriminasi bagi kegiatan Jasa Perdagangan yang jelas-jelas secara administrasi dapat dibuktikan bahwa komisi yang diterima melekat atau terkait dengan induk/pokok transaksi perdagangan barang yang terjadi. Dalam hal ini, apabila tidak terjadi transaksi perdagangan barang dengan pihak konsumen (penerima manfaat) di luar negeri, maka komisi tidak akan dibayarkan oleh wajib pajak luar negeri penerima manfaat (service user) tersebut. Perlakuan atas ekspor jasa yang sebenarnya berdasarkan teori dapat digunakan prinsip destinasi, dalam prakteknya tidak digunakan. Hal ini dipengaruhi oleh kurang yakinnya pihak DJP dalam memastikan tempat penyerahan serta kebenaran terjadinya ekspor jasa dan juga alasan pengamanan penerimaan Negara. Sebaliknya, negara-negara tetangga (Malaysia, Filipina, Thailand, Taiwan, Tiongkok (dahulu RRC), Vietnam, Australia, New Zealand dan negara-negara lainnya) memberi perlakuan berdasarkan teori dan menerapkan prinsip destinasi. Dalam praktik perpajakan di Eropa yang merujuk pada EEC Eight Directive dan di Australia yang merujuk pada Sec 38-190 GST Act 1999, 144 dan sesuai dengan kelaziman internasional, terdapat banyak negara juga telah memberlakukan tarif 0% atas ekspor jasa (prinsip destinasi) dan terdapat pengkreditan pajak masukannya agar ekspor jasa lebih kompetitif dan terdapat pula kewajiban memungut PPN bagi pengimpor jasa. Untuk dokumentasinya dapat meniru Australia, misalnya untuk jasa arsitek, eksportir JKP harus menyerahkan rancangan arsiteknya, untuk legal advisor harus menyerahkan legal opinion yang bersangkutan. Dapat pula meniru Tiongkok, dimana eksportir baik barang maupun jasa hanya bisa mengklaim restitusi apabila dapat membuktikan adanya transfer dana dari luar negeri atas transaksi ekspornya. Meskipun invoice ataupun bill of lading tujuannya ke luar negeri namun bila pembayaran kontan (dalam mata uang apapun) terjadi di Tiongkok maka fasilitas restitusi tidak dapat dinikmati eksportir. Masalah yang timbul dalam ekspor Jasa adalah masalah administrasi dan pengawasan. Jasa yang invisible (tidak melekat pada suatu barang atau fisik) sulit diadministrasikan dalam PEB atau dokumen pemberitahuan ekspor lainnya sehingga membuka peluang besar bagi eksportir jasa untuk melakukan ekspor fiktif dimana JKP sebenarnya dijual untuk pasar dalam negeri sehingga penjual sama sekali tidak terkena PPN bahkan berhak mendapat restitusi pajak (yang berarti pula kerugian bagi Negara). Kesulitan administrasi ekspor JKP juga menyebabkan kompleksnya pemeriksaan dan peningkatan biaya pengawasan pajak. 145 2. Saran Peneliti menyarankan agar alasan perumusan kebijakan PPN terutama yang berkaitan dengan transaksi perdagangan internasional dan lintas batas yuridiksi agar lebih didasarkan kepada ketentuan konsep PPN yang berlaku sesuai dengan kelaziman internasional dan best practice yang berlaku dan tidak didasarkan alasan pengamanan penerimaan Negara semata-mata. Dalam hal ini, Peneliti menyarankan kepada pihak-pihak terkait, yaitu kepada: a. Direktorat Jenderal Pajak Dalam hal ini, DJP dapat merubah paradigma untuk tidak semata-mata berorientasi kepada penerimaan negara saja tetapi dapat menerapkan prinsipprinsip praktek perpajakan yang sesuai dengan kelaziman internasional. DJP dapat mencari alternatif lain terkait dengan instrumen pengawasan atas ekspor jasa dengan tidak membatasi hanya untuk 3 (tiga) jenis ekspor jasa sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 dari Peraturan Menteri Keuangan No. 70/PMK.03/2010, karena banyak sekali ekspor jasa yang tidak bersifat abstrak, salah satunya adalah jasa perdagangan. Salah satunya dapat mengikuti contoh negara lain yang sudah benar-benar menetapkan tarif PPN atas ekspor jasa sebesar 0% (prinsip destinasi), dimana untuk pembuktiannya, pihak pemberi jasa (service provider) di Dalam Pabean harus dapat membuktikan beberapa dokumen diantaranya: 1. Surat Keterangan Domisili (Certificate of Domicille or Residence) dari Penerima Jasa (Service User); 2. Kontrak atau Perjanjian atas transaksi Jasa yang ditanda-tangani dengan service user dari luar negeri (non-Indonesian resident); 146 3. Bank Order atau bukti pembayaran lainnya dalam bentuk transfer dana (bukan dana tunai) yang mengkonfirmasikan pembayaran yang dilakukan oleh pihak service user di luar Daerah Pabean melalui bank atau media pembayaran lainnya; 4. Khusus untuk Jasa Perdagangan, dimana Jasa tersebut sudah melekat dengan Barang yang diekspor dan dapat dibuktikan dengan kontrak transaksi perdagangan barang (kontrak induk/pokok) dan bukti dokumen ekspor barang seperti PEB, Bill of Lading dan sebagainya disertai dengan kontrak jasa dan perhitungan komisi dikaitkan dengan transaksi perdagangan barang tersebut. Dalam hal ini, Jasa Perdagangan sudah sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) huruf (c) UU PPN No. 42 Tahun 2009 dan seharusnya dikenakan tarif PPN 0%, sehingga PPN masukannya dapat dikreditkan dan bukan berdasarkan PPN dibebaskan lagi seperti penerapan sebelumnya, sehingga PPN Masukan tidak dapat dikreditkan. Pengenaan PPN atas Jasa Perdagangan dengan tarif 10% merupakan salah satu bentuk diskriminasi, dimana alasan yang disampaikan oleh DJP atas ketiga jenis ekspor jasa yang dikecualikan dari pengenaan PPN dengan tarif 10 % justru terdapat dalam kriteria jasa perdagangan sehingga menjadi tidak konsisten. Surat Edaran DJP No. 145/PJ/2010 perlu dilakukan telaah ulang oleh pihak DJP, karena tidak sesuai dengan Penjelasan Umum PPN yang menerapkan PPN atas barang dan jasa di Daerah Pabean atau dikenal dengan prinsip konsumsi dalam negeri (prinsip destinasi), Pasal 16B ayat (3) dan Pasal 7 ayat (2) huruf (c) dari UU PPN No. 42 Tahun 2009. Surat Edaran DJP No. 145/PJ/2010 juga tidak 147 termasuk dalam jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011, dengan demikian Surat Edaran tersebut termasuk dalam peraturan kebijakan (beleidsregel). Pihak DJP perlu melakukan konsolidasi peraturan agar peraturan di tingkat atas sampai dengan peraturan di tingkat bawah dapat berjalan secara konsisten dan tidak tumpang tindih. Selain ketiga jenis jasa yang dikenakan PPN dengan tarif 0%, Peneliti juga menyarankan pengenaan tarif PPN 0% juga dapat dikenakan pada ekspor jasa yang melekat pada barang atau bangunan fisik saja (sesuai dengan teori A. Tait) yaitu: a) Jasa yang berkaitan dengan bumi dan bangunan mancanegara b) Penyewaan alat transport untuk dipakai di mancanegara c) Jasa yang berkaitan dengan barang dan kegiatan mancanegara d) Pekerjaan atau impor temporer untuk dire-ekspor e) Jasa pemrosesan barang untuk diekspor Namun bisa pula jasa lain seperti pengalihan hak kepada WPLN (seperti penjualan hak cipta dan royalti) atau jasa yang dinikmati di luar negeri dapat dikenakan tarif PPN 0% seperti yang dilakukan Australia (Sec 38-190 GST Act 1999). Berdasarkan teori di atas, jasa perdagangan dapat dikatagorikan ke dalam jasa yang berkaitan dengan barang dan kegiatan mancanegara, sehingga seyogyanya pengenaan PPN diterapkan dengan menggunakan prinsip destinasi, baik dengan menggunakan konsep ”free of tax” (PPN dibebaskan dan Pajak masukan tidak dapat dikreditkan sebagaimana diterapkan dalam Penjelasan 148 Umum dan Pasal 16B ayat (3) UU PPN No. 42 Tahun 2009 dan petunjuk teknis sebagaimana dimuat dalam Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-08/PJ.52/1996) atau ”zero-rated” (PPN dipungut dengan tarif 0% tetapi PPN Masukan tetap dapat dikreditkan) sebagaimana diterapkan dalam Pasal 7 ayat (2) huruf c dari UU PPN No. 42 Tahun 2009. b. Pengadilan Pajak Pengadilan Pajak perlu melakukan konsolidasi peraturan dan keputusan agar putusan yang diterbitkan justru tidak membingungkan (dengan adanya putusan yang kontradiktif) dan merugikan Wajib Pajak. Putusan Pengadilan Pajak seyogyanya dapat memberikan keputusan yang seadil-adilnya dan diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, berdasarkan peraturan perundangundangan perpajakan yang berlaku, dan berdasarkan keyakinan Hakim sebagaimana tertuang dalam Pasal 78 Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. c. Mahkamah Agung Peneliti juga menyarankan sekiranya Hakim Mahkamah Agung yang menangani kasus ini dapat melakukan judicial review (peninjauan kembali) terhadap penerbitan Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-145/PJ/2010 yang diterbitkan pada tanggal 22 Desember 2010, karena bertentangan dengan prinsip tempat tujuan (destination principle) sebagaimana tertuang dalam Penjelasan Umum, butir Pasal 16B ayat (3) dan butir Pasal 7 ayat (2) huruf (c) UU PPN No. 42 Tahun 2009. Negara Indonesia apabila tidak melakukan harmonisasi dengan 149 kebijakan yang berlaku sesuai dengan kelaziman praktik bisnis di dunia internasional saat ini maka akan merugi dan dikucilkan dari pergaulan dan perdagangan internasional terutama dalam hal ekspor jasa karena dirasakan tidak kompetitif dalam harga dan maupun dalam kualitas pelayanan. Bila negara Indonesia PPN tetap mengadopsi kedua prinsip pemungutan yaitu purchase/origin principle dan destination principle secara simultan, maka akan terjadi pajak berganda, dimana ekspor jasa akan dikenakan pajak di dalam negeri dan juga di luar negeri, sehingga membuat ekspor jasa Indonesia tidak kompetitif. Oleh karena itu pilihan menerapkan prinsip destinasi secara utuh (atas impor dan ekspor) sesuai dengan rekomendasi OECD dan kelaziman internasional dengan memberlakukan PPN dengan tarif 0% atas ekspor jasa seperti yang dilakukan oleh negara-negara tetangga yang menganut prinsip tempat tujuan adalah pilihan yang disarankan. 150