Pengaruh Kondisi Fisik dan Budidaya Terhadap Kualitas Kopi di Kintamani dan Gayo Asfirmanto W. A., Triarko Nurlambang, Tarsoen Waryono Abstrak Kopi Arabika merupakan tanaman yang menjadi komoditas pada Dataran Tinggi Kintamani dan Gayo. Tanaman tersebut memiliki kondisi fisik wilayah tertentu dan budidaya petani yang tepat untuk dapat tumbuh secara optimal dan menghasilkan buah kopi yang berkualitas. Kondisi fisik wilayah yang berpengaruh adalah ketinggian, lereng, curah hujan, dan jenis tanah, sedangkan budidaya yang berpengaruh adalah jenis pupuk, waktu panen, dan jenis pengolahan pasca panen. Karakteristik kondisi fisik wilayah dan budidaya yang berbeda akan memengaruhi kualitas kopi yang dihasilkan. Penelitian ini akan melihat perbedaan dari kondisi fisik wilayah dan budidaya dalam menghasilkan kopi di Kintamani dan Gayo, yang selanjutnya akan dilihat pengaruhnya terhadap kopi. Penelitian ini menggunakan pendekatan keruangan (spasial) untuk menganalisis perbedaan kondisi fisik dan budidaya pada dua tempat yang sama-sama menghasilkan kopi dengan kualitas tingkat 1. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat perbedaan pada kondisi fisik dan budidaya di dua tempat sehingga berpengaruh terhadap kopi yang dihasilkan, yaitu curah hujan pengolahan masa panen. Kata Kunci: Kopi Arabika, kondisi fisik, budidaya, Gayo, Kintamani, kualitas grade 1 Abstract Arabica coffee is one of the plants that become commodities in Kintamani and Gayo Highlands. The plant has a certain physical condition and farmer’s cultivation to be able to grow optimally and produce good quality of coffee. The physical condition that influence is altitude, slope, rainfall, and soil type, while influence in cultivation is the type of fertilizer, harvest, post-harvest and processing types. Characteristics of the physical conditions and different aquaculture will affect the quality of the coffee produced. This study will look at the difference of physical conditions and cultivation of the coffee produced in Kintamani and Gayo, who will next be seen influenceon the coffee. This study uses a spatial approach to analyze the differences in the physical conditions and cultivation in two places where equally produce coffee with quality level 1. Results of this study indicate there are differences in physical condition and cultivation in two places so that resulting effect on the coffee, the rainfall and harvest processing. Keywords: arabica coffee, physical condition, cultivation, Gayo, Kintamani, grade 1 quality 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara keempat terbesar penghasil kopi, setelah Brazil, Vietnam, dan Kolombia (ICO, 2012). Jenis kopi yang dihasilkan oleh Indonesia adalah Kopi Arabika dan robusta, dengan total produksinya mencapai 650.000 ton per tahun, yang terdiri dari 81,2% kopi robusta dan 18,8% Kopi Arabika (AEKI, 2011). Beberapa kopi Indonesia telah dikenal secara internasional, antara lain Aceh (Gayo), Sumatera Utara (Mandailing), Sulawesi Selatan (Toraja), dan Bali (Kintamani) (Mawardi, 2009). Kopi-kopi tersebut memiliki ciri khas tersendiri, yang tidak dapat ditemukan di tempat lain. Pengaruh kondisi..., Asfirmanto W A, FMIPA UI, 2013 Kondisi pada tempat tumbuh dan budidaya cukup berpengaruh terhadap hasil kopi tersebut. Kualitas tersebut dipengaruhi oleh variabel fisik tempat produksi seperti ketinggian, curah hujan, lereng, vegetasi di sekitar tanaman kopi, serta budaya dalam penanaman kopi, dan teknologi pengolahan kopi tersebut (Decazy et al., 2003). Maka dari itu, ciri atau karakteristik fisik yang berpengaruh pada tanaman kopi adalah ketinggian, curah hujan, lereng, suhu, dan jenis tanah. Kondisi fisik tersebut pada suatu wilayah tentu tidak dapat ditemukan yang sama persis di wilayah lain. Faktor lain yang turut mempengaruhi kualitas kopi selain faktor fisik adalah faktor budidaya dalam perkebunan kopi. Faktor budidaya ini merupakan faktor yang dipengaruhi oleh manusia, berbeda dengan faktor fisik yang dipengaruhi oleh kondisi alam. Faktor budidaya tanaman kopi antara lain teknik penyediaan sarana produksi, proses produksi, teknik penanganan pasca panen dan pengolahan, serta sistem pemasaran (BPTP, 2008). Selain itu, varietas tanaman kopi yang digunakan turut berpengaruh terhadap kopi yang dihasilkan, karena tiap varietas akan menghasilkan biji kopi yang berbeda. Faktor-faktor yang telah disebutkan di atas tersebut mempengaruhi kualitas tanaman kopi dan hasilnya, yaitu biji kopi. Biji kopi tersebut yang nantinya akan diolah menjadi minuman kopi, yang dinikmati oleh konsumen akhir. Tanaman kopi yang tumbuh di dua wilayah yang berbeda tentunya akan menghasilkan biji kopi yang berbeda pula, yang dikarenakan faktor yang mempengaruhinya tersebut. Perbedaan faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas biji kopi yang dihasilkan di dua wilayah yang berbeda tersebut yang ingin dilihat dalam penulisan ini. Lalu bagaimana faktor-faktor tersebut, di tiap-tiap wilayah, mempengaruhi tanaman kopi dalam menghasilkan biji kopi dengan kualitas yang sama. Kualitas yang dihasilkan pada perkebunan kopi yang menjadi tempat penelitian haruslah memiliki kualitas yang sama, yaitu kualitas dengan tingkat atau grade 1. Maka dari itu dipilih wilayah penelitian berupa perkebunan kopi yang terdapat di Gayo dan Kintamani. Pemilihan kedua wilayah tersebut didasarkan atas telah terdaftarnya kopi yang ditanam di kedua wilayah tersebut ke dalam sertifikasi indikasi geografis. Melalui indikasi geografis tersebut, kualitas kopi yang dihasilkan di Gayo dan Kintamani berupa kualitas grade 1, sehingga kedua wilayah tersebut dapat dibandingkan kondisi fisik dan budidaya dalam perkebunan kopi. Pengaruh kondisi..., Asfirmanto W A, FMIPA UI, 2013 1.2 Rumusan Masalah Apa perbedaan karakteristik perkebunan kopi di Kintamani dan Gayo serta pengaruhnya terhadap kualitas kopi grade 1? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui perbedaan karakteristik perkebunan kopi di Kintamani dan Gayo serta pengaruhnya terhadap kualitas kopi grade 1. 1.4 Batasan Penelitian a. Kopi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Kopi Arabika (Cofea arabica). b. Kualitas kopi yang dimaksud adalah kualitas kopi berdasarkan kondisi fisik biji dan citarasa kopi. c. Grade 1 adalah tingkat mutu yang baik berdasarkan SNI 01-2907-2008 dan memiliki cupping score di atas 83. d. Cupping score adalah standar yang digunakan untuk menentukan kualitas kopi berdasarkan organoleptik. e. Pengaruh yang ada dalam penelitian ini adalah pengaruh kondisi fisik dan budidaya dalam menghasilkan kopi dengan kualitas grade 1. f. Variabel fisik dalam penelitian ini adalah faktor alam yang berperan dalam mempengaruhi kualitas kopi. g. Variabel fisik yang digunakan pada penelitian ini adalah ketinggian, curah hujan, lereng, dan jenis tanah. h. Variabel budidaya dalam penelitian ini adalah usaha manusia dalam menghasilkan kopi. i. Variabel budidaya yang digunakan pada penelitian ini adalah pupuk, waktu panen, dan penanganan pasca panen. j. Penanganan pasca panen adalah perlakuan yang diberikan terhadap buah kopi yang telah dipanen. Perlakuan yang diberikan dibagi menjadi dua jenis, yaitu pengolahan cara kering dan cara basah. Pengaruh kondisi..., Asfirmanto W A, FMIPA UI, 2013 2. METODE PENELIITAN 2.1 Variabel Penelitian Parameter yang digunakan dalam penelitian ini adalah ketinggian, curah hujan, lereng, dan jenis tanah sebagai bagian dari variabel fisik. Kemudian variabel budidaya dibagi menjadi pupuk, waktu panen, dan penanganan pasca panen. 2.2 Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua, yaitu data primer dan sekunder. Data primer didapatkan langsung dari survey lapang dan wawancara untuk mengetahui variabel budidaya yang berpengaruh terhadap kualitas kopi di tiap wilayah penelitian. Data yang diambil berupa sampel menggunakan metode purposive sampling. Jumlah sampel yang diambil adalah dua, dengan masingmasing satu sampel pada wilayah penelitian. sampel tersebut cukup untuk menggambarkan kondisi fisik wilayah dan budidaya pada wilayah penelitian. Kemudian data sekunder diperoleh dari literatur dan pengolahan peta jenis tanah, ketinggian, curah hujan, dan lereng. Kemudian data tabular mengenai kualitas, dan mutu biji kopi pada masing-masing wilayah penelitian. Data sekunder yang akan diolah menjadi peta diperoleh dari Badan Informasi Geospasial, Badan Pertanahan Nasional, Pusat Penelitian Tanah Bogor, dan Badan Meteorologi Klimatologi Geofisik, yaitu peta administrasi, topografi, jenis tanah, dan curah hujan. 2.3 Pengolahan Data 1. Peta Wilayah Ketinggian: diolah dari DEM yang berasal dari data kontur dengan interval 12,5 meter. 2. Peta Kelerengan: diolah dari DEM yang berasal daridata kontur dengan interval 12,5 meter. 3. Rata-rata CH Bulanan: diolah dari data curah hujan bulanan selama tiga tahun. 4. Peta Jenis Tanah: diolah berdasarkan klasifikasi jenis tanah. 5. Jenis Pupuk: diolah berdasarkan hasil wawancara. 6. Periode Masa Panen: diolah berdasarkan hasil wawancara 7. Penanganan Pasca Panen: diolah berdasarkan hasil wawancara Pengaruh kondisi..., Asfirmanto W A, FMIPA UI, 2013 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Faktor Fisik 3.1.1 Topografi Faktor topografi menjadi faktor pembatas pada tanaman kopi untuk tumbuh secara optimal. Faktor ini dibagi menjadi dua, yaitu ketinggian dan lereng. Tanaman Kopi Arabika hanya dapat tumbuh secara optimal pada ketinggian di atas 1000 meter di atas permukaan laut. Hal tersebut dikarenakan tanaman Kopi Arabika rentan terhadap serangan hama dan parasit. Ketinggian juga berpengaruh pada jumlah curah hujan yang turun serta suhu udara. Terdapat korelasi positif antara curah hujan dengan ketinggian, dan korelasi negatif antara suhu dan ketinggian, sehingga semakin tinggi suatu perkebunan kopi, maka perkebunan tersebut memiliki curah hujan yang semakin banyak dan suhu yang semakin dingin. Lereng sendiri memiliki pengaruh terhadap kandungan 28 air pada tanah, tingkat erosi, jumlah penyinaran matahari dan transportasi buah kopi. a. Kintamani Gambar 3.1 Wilayah ketinggian Kintamani Ketinggian di Dataran Tinggi Kintamani berkisar antara 900 mdpl hingga 1.700 mdpl seperti yang dapat terlihat pada gambar 3.1. Batas tersebut sesuai dengan batas ketinggian yang dapat menopang kehidupan tanaman Kopi Arabika yang ada di Dataran Tinggi Kintamani. Perkebunan kopi banyak terdapat pada ketinggian 1.100 mdpl hingga 1.400 mdpl, karena merupakan kondisi paling ideal bagi Kopi Arabika Kintamani dalam Pengaruh kondisi..., Asfirmanto W A, FMIPA UI, 2013 menghasilkan biji kopi . Terdapat pula perkebunan kopi antara 900 mdpl hingga 1.000 mdpl dan di atas 1.550 mdpl hingga 1.600 mdpl, meskipun jumlahnya tidak terlalu banyak, karena kualitasya tidak sebaik yang ada pada ketinggian 1.100 – 1.400 mdpl. Lereng pada Dataran Tinggi Kintamani didominasi oleh lereng 2-15%, yaitu sebesar 39,5% dari keseluruhan luas yang ada. Berikut ini adalah luas dan presentase lereng yang ada di Kintamani. Tabel 3.1 Luas dan Presentase Lereng di Kintamani No. 1 2 3 4 5 Lereng 0-2% 2 - 15% 15 - 25 % 25 - 40 % > 40 % Total Luas (km2) 19,89 208,53 132,31 103,85 62,14 526,73 % 3,77 39,59 25,12 19,71 11,79 100 [Sumber: Pengolahan Data, 2013] Berdasarkan data tersebut, lereng di Kintamani cocok untuk pertumbuhan tanaman kopi, dengan luas total yang cocok untuk pertumbuhan kopi mencapai 360,75 km2. Gambar 3.2 Lereng Kintamani Pengaruh kondisi..., Asfirmanto W A, FMIPA UI, 2013 b. Gayo Ketinggian di Dataran Tinggi Gayo berkisar antara 900 mdpl sampai dengan 3.400 mdpl. Kopi Arabika terdapat pada ketinggian antara 900 – 1.600 mdpl. Namun perkebunan kopi sendiri banyak terdapat di ketinggian 1.200 – 1.600 mdpl. Hal ini sesuai dengan curah hujan yang turun dan lereng yang relatif masih dapat ditanami oleh tanaman kopi. Tanaman kopi yang terdapat di ketinggian 900 – 1.200 mdpl dan 1.600 – 1.700 memiliki hasil buah kopi yang tidak sebaik buah kopi yang ditanam pada ketinggian 1.200 – 1.600 mdpl, dikarenakan jumlah curah hujan yang berbeda, dapat lebih kecil atau lebih besar, dan lereng yang cenderung lebih curam, yang terdapat pada ketinggian di atas 1.600 mdpl. Berikut adalah gambar wilayah ketinggian di Gayo. Gambar 3.3 Wilayah ketinggian Gayo Lereng yang terdapat pada Dataran Tinggi Gayo (gambar 3.4) didominasi oleh lereng dengan kemiringan di atas 40%, yaitu sebesar 36,79% dari total luas keseluruhan yang terdapat pada dataran tinggi tersebut. Berikut ini adalah luas, persentase, dan peta lereng yang ada di Dataran Tinggi Gayo. Tabel 3.2 Luas dan Presentase Lereng di Gayo No. 1 2 Lereng 0-2% 2 - 15% Luas 16,31 1119,85 % 0,26 17,89 Pengaruh kondisi..., Asfirmanto W A, FMIPA UI, 2013 3 4 5 15 - 25 % 25 - 40 % > 40 % Total 888,87 1930,64 2302,82 6258,51 14,21 30,84 36,79 100 [Sumber: Pengolahan Data, 2013] Gambar 3.4 Lereng Gayo 3.1.2 Curah Hujan a. Kintamani Curah hujan di Dataran Tinggi Kintamani cukup besar, yaitu antara 2.000 hingga 2.900 mm per tahun. Tiap tahun, jumlah curah hujan yang turun tidak selalu sama, tergantung ada atau tidaknya pengaruh iklim di sekitar Kintamani. Rata-rata dari tahun 2008 hingga 2010, jumlah curah hujan yang turun pada wilayah ini adalah 2.269 mm yang tersebar tidak merata di tiap bulannya. Berikut ini adalah grafik rata-rata curah hujan selama 2008 hingga 2010. Berdasarkan Gambar 3.5, dapat terlihat bahwa curah hujan di Kintamani jatuh pada bulan Januari hingga Mei dan kemudian meningkat kembali pada bulan Oktober hingga Desember. Pada bulan Juni hingga bulan September, curah hujan per bulan yang turun kurang dari 60 mm, sehingga bulan-bulan tersebut masuk ke dalam bulan kering. Waktu dan lama bulan kering yang terdapat di Kintamani berpengaruh pada waktu Pengaruh kondisi..., Asfirmanto W A, FMIPA UI, 2013 panen dan jenis pengolahan biji kopi yang dilakukan pada wilayah tersebut. Rata-rata Curah Hujan di Kintamani (2008-2010) curah hujan (mm) 600 500 400 300 200 Rata-rata CH 100 0 Gambar 3.5 Rata-rata Curah Hujan Kintamani [Sumber: BMKG, 2011] b. Gayo Curah hujan selama setahun di Dataran Tinggi Gayo berkisar antara 1.800 hingga 2.000 mm. Hujan yang turun hampir merata sepanjang tahun. Rata-rata curah hujan selama 3 tahun di Dataran Tinggi Gayo adalah 2028 mm per tahun. Berikut ini adalah grafik rata-rata curah hujan Dataran Tinggi Gayo selama 3 tahun. G Rata-rata Curah Hujan di Gayo (2008 2010) a m a r 3 . Curah Hujan (mm) b 300 250 200 150 100 50 0 6 Rata-rata Curah Hujan di Gayo [Sumber: NOAA, 2013] Pengaruh kondisi..., Asfirmanto W A, FMIPA UI, 2013 Berdasarkan grafik rata-rata curah hujan di atas, dapat terlihat bahwa curah hujan yang turun hampir semuanya di atas 100 mm per bulan, kecuali curah hujan yang turun pada bulan Januari dan Februari. Jumlah curah hujan mulai mulai naik pada bulan Maret, yang kemudian turun secara perlahan hingga bulan Juli dan akan kembali meningkat hingga puncak curah hujan tertinggi pada bulan November. Selanjutnya, curah hujan akan turun hingga titik terendah pada bulan Februari pada tahun berikutnya. Pada dataran tinggi ini, hanya terdapat 1 bulan lembab dan tidak ditemukan bulan kering, sehingga hal tersebut akan berpengaruh pada waktu panen dan budidaya tanaman kopi yang berupa pengolahan biji kopi agar tetap menghasilkan kualitas kopi grade 1. 3.1.3 Jenis Tanah a. Kintamani Jenis tanah pada Dataran Tinggi Kintamani dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu andisol, regosol, dan inseptisol. Persebaran jenis tanah tersebut dapat terlihat pada gambar 3.7. Gambar 3.7 Jenis tanah Kintamani Dapat terlihat pada gambar bahwa jenis tanah yang mendominasi di Kintamani adalah jenis tanah inseptisol. Kemudian jenis tanah andisol dan Pengaruh kondisi..., Asfirmanto W A, FMIPA UI, 2013 regosol hanya terdapat di beberapa tempat, seperti pada Gunung Batur dan Gunung Sangiyang, serta bagian utara wilayah penelitian. Tabel 3.3 Luas dan Persentase Jenis Tanah di Kintamani No. 1 2 3 Jenis Tanah Andisol Inseptisol Regosol Total Luas (km2) % 22,29 456,07 48,37 526,73 4,23 86,58 9,18 100 [Sumber: Pengolahan Data, 2013] Tanah di Kintamani sebagian besar memiliki keasaman tanah (pH) sedang. Umumnya pada wilayah penelitian, kandungan C yang terdapat pada tanah tergolong cukup tinggi. Hal tersebut dikarenakan petani menggunakan pupuk organik yang terbuat dari kulit kopi dan kotoran sapi. Penggunaan pupuk tersebut terkait juga dengan kandungan N pada tanah yang tidak terlalu tinggi. Lalu nilai KTK (kapasitas tukar Kation) tanah umumnya rendah dan tingkat KB (kejenuhan basa) tanah di Kintamani tergolong tinggi. b. Gayo Jenis tanah di Dataran Tinggi Gayo dapat dibedakan menjadi lima jenis, yaitu andisol, inseptisol, histosol, molisol, dan ultisol. Persebaran jenis tanah dan luas jenis tanah tersebut dapat terlihat pada gambar berikut. Gambar 3.8 Jenis tanah Gayo Pengaruh kondisi..., Asfirmanto W A, FMIPA UI, 2013 Tabel 3.4 Luas dan Persentase Jenis Tanah di Gayo No. 1 2 3 4 5 Jenis Tanah Andisol Histosol Inseptisol Molisol Ultisol Total Luas (km2) % 1044,61 16,97 2848,94 1446,06 902,43 6259,01 16,68 0,27 45,51 23,11 14,41 100 [Sumber: Pengolahan Data, 2013] Tanah di Gayo sebagian besar memiliki keasaman tanah (pH) sedang. Umumnya pada wilayah penelitian, kandungan C yang terdapat pada tanah tergolong sedang hingga tinggi. Hal tersebut dikarenakan petani menggunakan pupuk organik yang terbuat dari kulit kopi dan pangkasan lamtoro, serta pupuk kandang. Penggunaan pupuk tersebut terkait juga dengan kandungan N pada tanah yang tidak terlalu tinggi. Lalu nilai KTK (kapasitas tukar Kation) tanah umumnya rendah dan tingkat KB (kejenuhan basa) tanah di Gayo tergolong tinggi. 3.2 Budidaya a. Kintamani Panen kopi di Kintamani umumnya jatuh pada bulan Juni hingga Agustus. Pada masa panen tersebut, kegiatan pengolahan kopi mulai berjalan. Perkebunan kopi di Kintamani sebagian besar menggunakan proses pengolahan basah atau wet processing dengan cara gerbus kering atau dry hulling. Pada proses ini penjemuran hanya dilakukan satu kali. Penjemuran tersebut dilakukan untuk mengurangi kadar air dalam kandungan biji kopi. b. Gayo Panen kopi di Gayo umumnya jatuh pada bulan Oktober hingga Februari. Pada masa panen tersebut, kegiatan pengolahan kopi mulai berjalan. Perkebunan kopi di Dataran Tinggi Gayo mayoritas menggunakan proses pengolahan basah dengan cara gerbus basah atau wet hulling. Cara ini juga dikenal dengan semi wash process. Penjemuran pada proses ini Pengaruh kondisi..., Asfirmanto W A, FMIPA UI, 2013 dilakukan dua kali untuk mengurangi kadar air yang terdapat pada biji kopi. 3.3 Pengaruh Kondisi Fisik Terhadap Budidaya a. Kintamani Kondisi fisik wilayah perkebunan, seperti topografi, jenis tanah, dan iklim sangat mempengaruhi budidaya masyarakat dalam menanam kopi. Pada topografi yang terjal, masyarakat akan membuat terasering dan luas lahan perkebunan kopi yang dibatasi. Hal tersebut dilakukan untuk mengurangi dampak erosi. Jenis tanah yang terdapat pada Dataran Tinggi Kintamani memiliki kesuburan yang cukup, namun unsur-unsur yang ada, seperti C, N, dan KTK tidak terlalu tinggi, sehingga membutuhkan tambahan pupuk. Pupuk yang digunakan adalaha pupuk organik yang terbuat dari ampas kulit biji kopi dan pupuk kandang. Penggunaan pupuk kimia dilarang dalam perkebunan, karena tidak sesuai dengan standar budidaya kopi yang diterapkan. Pengaruh iklim pada perkebunan kopi adalah masa panen dan teknik pengolahan biji kopi. Kintamani memiliki bulan basah dan kering secara berbeda secara tegas. Panen buah kopi biasanya jatuh pada bulan kering, yaitu pada bulan Juni hingga Agustus. Pada bulan-bulan tersebut, buah kopi mulai matang dan siap dipetik. Kemudian, pada teknik pengolahan, bulan kering yang tegas diperlukan dalam proses pengeringan biji kopi. Biji kopi perlu mencapai kadar air 12% sebelum akhirnya dipisahkan dengan kulit tanduk. Proses pengeringan tersebut menggunakan tenaga matahari, sehingga bulan kering, yang curah hujannya sangat rendah, sangat dibutuhkan. b. Gayo Topografi di Dataran Tinggi Gayo sangat beragam. Pada topografi yang relatif landai, petani dapat memiliki lahan perkebunan hingga dua hektar. Namun pada lereng yang relatif terjal, masyarakat akan membuat terasering dan luas lahan perkebunan kopi yang dibatasi hanya mencapai satu hektar. Hal tersebut dilakukan untuk mengurangi dampak erosi yang mungkin terjadi. Pengaruh kondisi..., Asfirmanto W A, FMIPA UI, 2013 Jenis tanah yang terdapat pada Dataran Tinggi Gayo memiliki kesuburan yang cukup, namun unsur-unsur yang ada, seperti C, N, dan KTK tidak terlalu tinggi, sehingga membutuhkan tambahan pupuk. Pupuk yang digunakan adalaha pupuk organik yang terbuat dari ampas kulit biji kopi, pangkasan lamtoro, dan pupuk kandang. Penggunaan pupuk kimia dilarang dalam perkebunan, karena tidak sesuai dengan standar budidaya kopi yang diterapkan. Pengaruh iklim pada perkebunan kopi adalah masa panen dan teknik pengolahan biji kopi. Bulan basah dan bulan kering di Gayo tidak terlalu berbeda secara signifikan. Panen buah kopi biasanya jatuh pada bulan Oktober hingga Februari. Pada bulan-bulan tersebut, buah kopi mulai matang dan siap dipetik. Kemudian, pada teknik pengolahan, bulan kering yang tegas diperlukan dalam proses pengeringan biji kopi, namun dikarenakan tidak terdapat bulan kering yang tegas, maka pengolahan biji kopi di Gayo adalah dengan menggunakan wet process wet hulled, atau semi wash process. Biji kopi yang telah difermentasi akan dicuci dan dijemur. Penjemuran tersebut menggunakan tenaga matahari, tetapi masih terdapat curah hujan yang turun pada bulan-bulan tersebut, sehingga penjemuran kurang maksimal. Maka dari itu, penjemuran dilakukan dua kali, yaitu sebelum dan sesudah biji kopi dipisahkan dari kulit tanduk. Hal tersebut dilakukan agar kadar air mencapai 12% sebelum akhirnya diolah menjadi minuman kopi. 3.4 Kualitas Kopi 3.4.1 Kondisi Fisik Biji Kopi Kondisi fisik biji kopi atau mutu fisik kopi telah diatur dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor 01-2907-2008 mengenai biji kopi. Biji kopi yang memiliki kualitas atau mutu 1 memiliki nilai cacat maksimum sebesar 11 poin. Nilai cacat tersebut diambil dalam sampel seberat 300 gram yang diamati oleh penguji kopi. Pada saat proses pengolahan biji kopi, terdapat dua kali proses sortir. Proses sortir tersebut memastikan bahwa biji kopi yang dihasilkan sesuai dengan SNI. Penyortiran yang pertama adalah memisahkan ukuran biji yang berbeda dengan menggunakan mesin sortir atau ayakan manual. Lalu penyortiran yang kedua adalah Pengaruh kondisi..., Asfirmanto W A, FMIPA UI, 2013 memisahkan biji kopi dengan biji kopi yang cacat (defect) atau kotoran yang masih terbawa di dalam biji kopi. Hal ini biasanya dilakukan secara manual dengan menggunakan tangan. Baik Kintamani ataupun Gayo sama-sama memiliki standar mutu fisik yang sama, sehingga pengolahan dalam menentukan ukuran biji dan nilai cacat sama baiknya. 3.4.2 Organoleptik Organoleptik merupakan uji rasa yang dilakukan oleh panelis yang telah memiliki kualifikasi tersendiri. Uji ini penting untuk menentukan grade atau mutu kopi yang ditentukan oleh score berdasarkan karakteristik kopi tersebut. Elemen-elemen kondisi fisik wilayah dan budidaya tentu akan mempengaruhi besarnya score yang terdapat pada kopi. Maka dari itu, perbedaan tempat tentu saja akan memberikan karakteristik citarasa yang berbeda. Organoleptik dibagi menjadi 10 komponen penilaian yang berbeda, yaitu dry fragrance, wet aroma, brightness, flavor, body, finish, sweetness, clean cup, complexity, dan uniformity. Setiap komponen memiliki nilai yang nantinya akan dijumlah dan menghasilkan nilai akhir yang menjadi acuan tingkat kualitas kopi tersebut. Klasifikasi penilaian kualitas kopi terdapat pada tabel 5.6. Tabel 3.5 Total Score Quality Classification 90-100 Outstanding 85-89,9 Excellent 80-84,9 Very Good <80 Below Specialty Quality Specialty Not Specialty [Sumber: http://www.scaa.org/?page=resources&d=cupping-protocols, 2009] Komponen-komponen penilaian cupping score dipengaruhi oleh kondisi fisik wilayah dan budidaya, yang nantinya akan berpengaruh pada kualitas kopi yang dihasilkan. a. Kintamani Kopi yang berasal dari Kintamani memiliki ciri khas berupa tingkat keasaman yang cukup tinggi, mutu dan intensitas aroma yang kuat dengan aroma berupa buah jeruk, dan memiliki kekentalan sedang. Kopi Arabika Pengaruh kondisi..., Asfirmanto W A, FMIPA UI, 2013 Kintamani juga tidak terlalu pahit dan sepat. Penilaian dari tiap-tiap komponen dapat terlihat dari gambar 5.10. Gambar 3.9 Grafik Cupping Score Kopi Arabika Kintamani [Sumber:www.sweetmarias.com/coffee.archife.new.php?country=Bali, 2011] Terlihat pada grafik bahwa kopi yang berasal dari Kintamani memiliki brightness atau tingkat keasaman, flavor atau rasa, wet aroma, dan dry fragrance yang cukup tinggi. Nilai tersebut dapat tercapai karena elemenelemen fisik wilayah dan budidaya. Elemen fisik wilayah, seperti jenis tanah akan berpengaruh pada keasaman dan kualitas aroma. Meningkatnya unsur C, N, dan KTK akibat diberikan pupuk organik, akan memberikan rasa asam dan kualitas aroma yang lebih baik pada kopi Kintamani. Kemudian, curah hujan yang turun turut mempengaruhi cupping score yang ada, yaitu dengan adanya bulan basah dan bulan kering yang tegas sehingga jenis pengolahan kopi yang digunakan adalah wet process dan dry hulling. Pengolahan jenis ini menjadikan kopi Kintamani memiliki body atau kekentalan yang sedang karena hanya mengalami satu kali proses pengeringan. b. Gayo Kopi yang berasal dari Gayo memiliki ciri khas berupa tingkat keasaman yang sedang, mutu dan intensitas aroma yang kuat dengan aroma berupa buah jeruk, dan memiliki kekentalan yang kuat. Kopi Arabika Kintamani Pengaruh kondisi..., Asfirmanto W A, FMIPA UI, 2013 juga tidak terlalu pahit dan sepat. Penilaian dari tiap-tiap komponen dapat terlihat dari grafik 5.11. Gambar 3.10 Grafik Cupping Score Kopi Arabika Gayo [Sumber: www.sweetmarias.com/coffee.archive.new.php?country=Sumatra, 2011] Terlihat pada grafik bahwa kopi yang berasal dari Gayo memiliki brightness atau tingkat keasaman dan dry fragrance yang sedang. Kemudian body atau kekentalan yang tinggi. Nilai tersebut dapat tercapai karena elemenelemen fisik wilayah dan budidaya. Elemen fisik wilayah, seperti jenis tanah akan berpengaruh pada keasaman dan kualitas aroma. Meningkatnya unsur C, N, dan KTK akibat diberikan pupuk organik, akan memberikan rasa asam dan kualitas aroma yang lebih baik pada kopi Gayo. Kemudian, curah hujan yang turun turut mempengaruhi cupping score yang ada, yaitu curah hujan yang terus turun sepanjang tahun, sehingga jenis pengolahan kopi yang digunakan adalah wet process dan wet hulling. Pengolahan jenis ini menjadikan kopi Kintamani memiliki body atau kekentalan yang tinggi karena mengalami dua kali proses pengeringan. Selama proses pengeringan tersebut, getah yang masih tersisa akan menyerap ke dalam biji kopi, sehingga menghasilkan kekentalan yang tinggi. Pengaruh kondisi..., Asfirmanto W A, FMIPA UI, 2013 3.5 Pengaruh Kondisi Fisik dan Budidaya Terhadap Kualitas Kopi Kondisi fisik wilayah perkebunan kopi dan budidaya masyarakat dalam menanam dan mengolah kopi pasti memberikan pengaruh terhadap kualitas kopi yang dihasilkan. Besarnya pengaruh tersebut berbeda jika tanaman kopi ditanam pada dua tempat yang berbeda. Kualitas kopi sendiri dibagi menjadi dua bagian, yaitu kondisi fisik biji kopi dan organoleptik atau uji citarasa. 3.5.1 Kondisi Fisik Biji Kopi Peran budidaya pada tanamam kopi, terutama budidaya pasca panen, sangat berperan penting pada proses penyortiran. Kopi Arabika Kintamani dan Gayo telah memiliki sertifikasi indikasi geografis, sehingga kedua tempat tersebut memiliki pengolahan pasca panen, terutama pada proses penyortiran biji kopi, yang baik dan telah mengikuti standar dari SNI. Maka dari itu ukuran dan kondisi fisik biji kopi yang dihasilkan kedua wilayah penelitian memiliki mutu atau masuk ke dalam grade 1. 3.5.2 Organoleptik Kondisi fisik wilayah akan berpengaruh pada komponen seperti brightness atau tingkat keasaman kopi, flavor atau rasa yang dimiliki oleh kopi, dan finish atau rasa yang terdapat pada mulut setelah minum kopi. Budidaya sendiri berpengaruh pada komponen dry fragrance dan wet aroma atau aroma sebelum dan sesudah kopi disebuh, body atau tingkat kekentalan kopi, sweetness atau rasa manis yang terdapat pada kopi, clean cup atau tidak adanya rasa negatif pada kopi, complexity atau kombinasi rasa yang terdapat pada kopi, dan uniformity atau konsistensi kopi pada beberapa cangkir. Gambar 5.9 menunjukkan perbedaan cupping score kopi Arabika asal Kintamani dan Gayo. Pengaruh kondisi..., Asfirmanto W A, FMIPA UI, 2013 Gambar 3.11 Grafik Cupping Score Kopi Arabika Kintamani dan Gayo a. Kintamani Total nilai yang diberikan untuk kopi Arabika Kintamani adalah 85,7 dengan jumlah nilai komponen yang dipengaruhi budidaya adalah 52,4 dan jumlah nilai komponen yang dipengaruhi kondisi fisik wilayah adalah 25,3, dengan koreksi dari panelis sebsar 8,0. Hal tersebut menunjukkan budidaya memberikan dampak sebesar 61,1% pada jumlah total cupping score, sedangkan kondisi fisik wilayah memberikan dampak sebesar 29,5%. Jika dilihat berdasarkan setiap komponen, baik dari kondisi fisik wilayah dan budidaya, maka kondisi fisik wilayah memiliki peran sebesar 8,4 %, sedangkan budidaya memiliki peran 8,7% setiap komponennya. Maka dari itu, komponen budidaya memiliki peran yang lebih besar daripada kondisi fisik wilayah, meskipun tidak signifikan, terhadap kualitas kopi. b. Gayo Total nilai yang diberikan untuk kopi Arabika Gayo adalah 85,4 dengan jumlah nilai komponen yang dipengaruhi budidaya adalah 54,3 dan jumlah nilai komponen yang dipengaruhi kondisi fisik wilayah adalah 24,1 dengan koreksi dari panelis sebsar 7,0. Hal tersebut menunjukkan budidaya memberikan dampak sebesar 63,5% pada jumlah total cupping score, sedangkan kondisi fisik wilayah memberikan dampak sebesar 28,2%. Jika dilihat berdasarkan setiap komponen, baik dari kondisi fisik wilayah dan budidaya, maka kondisi fisik wilayah memiliki peran sebesar 9,4 %, sedangkan budidaya memiliki peran 9,1% setiap komponennya. Maka dari Pengaruh kondisi..., Asfirmanto W A, FMIPA UI, 2013 itu, komponen kondisi fisik wilayah memiliki peran yang lebih besar daripada budidaya, meskipun tidak signifikan, terhadap kualitas kopi. Berdasarkan perhitungan setiap komponen organoleptik, terdapat perbedaan antara kopi Arabika Kintamani dan Gayo pada kondisi fisik wilayah dan budidaya. Namun perbedaan tersebut hanya mencapai 0,3% sehingga sangat kecil dan tidak mencolok. 4.KESIMPULAN Karakteristik fisik dan budidaya kopi Arabika di Kintamani dan Gayo mempengaruhi kualitas kopi grade 1. Faktor karakteristik fisik lebih berpengaruh terhadap organoleptik atau citarasa kopi, sedangkan faktor budidaya berpengaruh terhadap citarasa dan mutu fisik biji kopi. Pada kopi Arabika Kintamani, budidaya berperan 0,3% lebih tinggi daripada kondisi fisik wilayah, sedangkan pada kopi Arabika Gayo, kondisi fisik wilayah berperan 0,3 persen lebih tinggi daripada budidaya. Kondisi fisik wilayah pada dua wilayah penelitian memiliki perbedaan pada salah satu aspek, yaitu curah hujan. Perbedaan periode dan intensitas curah hujan berpengaruh terhadap tanaman kopi dalam hal budidaya dalam pengolahan biji kopi, yaitu full wash atau semi wash. Perbedaan tersebut menghasilkan profil rasa kopi yang berbeda, tetapi masih memiliki kualitas grade 1. Daftar Rujukan AEKI. 2011. Statistik luas areal dan produksi kopi Indonesia. http://www.aekiaice.org/index.php?option=com_content&view=article&id=45&Itemid=45&lang=in (diakses pada 16 Februari 2013). Avelino, Jacques, et al. 2005. Effect of slope exposure, altitude, and yield on coffee quality in two altitude terroirs of Costa Rica, Orosi and Santa Maria de Dote. Journal of the Science of Food and Agriculture. Sci Food Agric 85:1869–1876 (2005) DOI: 10.1002/jsfa.2188 Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2008. Teknologi Budidaya Kopi Poliklonal. Lampung: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung. Pengaruh kondisi..., Asfirmanto W A, FMIPA UI, 2013 Bote, Adugna dan Paul, Struik. 2011. Effects of shade on grown, production, and quality of coffee (Coffea arabica) in Ethiopia. Journal of Holticulture and Forestry Vol. 3(11), pp. 336-341, 27 October, 2011 Ciptadi, W dan MZ, Nasution. 1985. Pengolahan kopi. Bogor: Jurusan Teknologi Industri Pertanian IPB. DaMatta, Fabio, et al. 2007. Ecophysiology of coffe growth and production. Brazilian Journal of Plant Physiology. Braz. J. Plant Physiol. Vol. 19 no. 4 Londriana Oct./Dec. 2007 Decazy F, Avelino J, Guyot B, Perriot JJ, Pineda C, Cilas C. 2003. Quality of different Honduran coffees in relation to several environments. Journal of Food Science 68 (7), 2356–61. Dinas Perkebunan Bali. 2007. Subak Abian. http://www.disbunbali.info/sa.php (diakses pada tanggal 14 Mei 2013). Heuman J. 1994. Coffee Quality, a search for definition. Tea and Coffee Trade Journal. http://www.albusiness.com/manufacturing/food-manufacturing-food-coffee-tea/431070 -1.html. (diakses pada 15 Februari 2013). ICO. 2012. Exports by exporting countries to all destinations. ICO (International Coffee Organisation),.URL http://www.ico.org/prices/m1.htm (diakses pada 15 Februari 2013). 50 ICRRI. 2008. Panduan Budidaya dan Pengolahan Kopi Arabika Gayo. Jember: Pusat Penelitian Kopi dan Kakako. Leroy T, Ribeyre F, Bertrand B, Charmetant P, Dufour M, Montagnon C, Marraccini P, Pot D. 2006. Genetics of coffee quality. Mini Review. Brazilian J. Plant. Physiol. 18(1) : 219-342. Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis. 2007. Buku Persyaratan Indikasi Geografis Kopi Arabika Kintamani. Jakarta: Ditjen HKI. Masyarakat Perlindungan Kopi Gayo. 2009. Buku Persyaratan Indikasi Geografis. Jakarta: Ditjen HKI. Pengaruh kondisi..., Asfirmanto W A, FMIPA UI, 2013 Mawardi, Surip, dll. 2008. Evaluation of Variety Cupping Profile of Arabica Coffee Grown at Different Altitudes and Processing Methods in Gayo Highland of Aceh (Sumatra). Proc. 22nd Int. Conf. on Coffee Science, Ass. Sci. and Inf. on Coffee (ASIC), Campinas, Brazil. Mawardi, Surip. 2009. Establishment of geographical indication protection system in Indonesia, case in coffee. Di dalam Worldwide Symposium On Geographical Indications, Sofia, Bulgaria. Najiyati, S dan Danarti. 2001. Kopi budidaya dan penanganan lepas panen. Jakarta: Penebar Swadaya. Neilson, Jeff. 2007. 2007. Institutions, the governance of quality and on-farm value retention for Indonesian specialty coffee. Singapore Journal of Tropical Geography 28, 188-204. Nunez, P. A., et al. 2011. Soil fertility evaluation of coffee (Coffea spp.) production system and management recommendation for The Barahona Province, Domonican Republic. Journal of soil science and plant nutrition. J. Soil Sci. Plant Nutr. 11 (1): 127-140 (2011). Pohlan, Hermann dan Marc, Janssens. Growth and production of coffee. www.eolss.net/Sample-Chapters/C10/E1-05A-43-00.pdf. (diakses pada tanggal 20 Februari 2013). Salla MH. 2009. Influence of genotype, location and processing methods on the quality of coffee (Coffea arabica L.). Hawassa, Ethiopia: School of Graduate Studies Hawassa University. SCIA. 2011. Produksi dan Pemrosesan. http://www.sca-indo.org/id/keragaman-kopiindonesia/ (diakses pada tanggal 5 Maret 2013) SNI. 2008. Biji Kopi. SNI 01-2907-2008 Siswoputranto, PS. 1993. Kopi Internasional dan Indonesia. Yogyakarta: Kanisius Yunus, Hadi. 2010. Metodologi Penelitian Wilayah Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Pengaruh kondisi..., Asfirmanto W A, FMIPA UI, 2013