Pengaruh Kondisi Fisik dan Budidaya Terhadap Kualitas Kopi di

advertisement
Pengaruh Kondisi Fisik dan Budidaya Terhadap Kualitas Kopi di
Kintamani dan Gayo
Asfirmanto W. A., Triarko Nurlambang, Tarsoen Waryono
Abstrak
Kopi Arabika merupakan tanaman yang menjadi komoditas pada Dataran Tinggi Kintamani dan
Gayo. Tanaman tersebut memiliki kondisi fisik wilayah tertentu dan budidaya petani yang tepat untuk
dapat tumbuh secara optimal dan menghasilkan buah kopi yang berkualitas. Kondisi fisik wilayah
yang berpengaruh adalah ketinggian, lereng, curah hujan, dan jenis tanah, sedangkan budidaya yang
berpengaruh adalah jenis pupuk, waktu panen, dan jenis pengolahan pasca panen. Karakteristik
kondisi fisik wilayah dan budidaya yang berbeda akan memengaruhi kualitas kopi yang dihasilkan.
Penelitian ini akan melihat perbedaan dari kondisi fisik wilayah dan budidaya dalam menghasilkan
kopi di Kintamani dan Gayo, yang selanjutnya akan dilihat pengaruhnya terhadap kopi. Penelitian ini
menggunakan pendekatan keruangan (spasial) untuk menganalisis perbedaan kondisi fisik dan
budidaya pada dua tempat yang sama-sama menghasilkan kopi dengan kualitas tingkat 1. Hasil
penelitian ini menunjukkan terdapat perbedaan pada kondisi fisik dan budidaya di dua tempat
sehingga berpengaruh terhadap kopi yang dihasilkan, yaitu curah hujan pengolahan masa panen.
Kata Kunci: Kopi Arabika, kondisi fisik, budidaya, Gayo, Kintamani, kualitas grade 1
Abstract
Arabica coffee is one of the plants that become commodities in Kintamani and Gayo Highlands. The
plant has a certain physical condition and farmer’s cultivation to be able to grow optimally and
produce good quality of coffee. The physical condition that influence is altitude, slope, rainfall, and soil
type, while influence in cultivation is the type of fertilizer, harvest, post-harvest and processing types.
Characteristics of the physical conditions and different aquaculture will affect the quality of the coffee
produced. This study will look at the difference of physical conditions and cultivation of the coffee
produced in Kintamani and Gayo, who will next be seen influenceon the coffee. This study uses a
spatial approach to analyze the differences in the physical conditions and cultivation in two places
where equally produce coffee with quality level 1. Results of this study indicate there are differences
in physical condition and cultivation in two places so that resulting effect on the coffee, the rainfall and
harvest processing.
Keywords: arabica coffee, physical condition, cultivation, Gayo, Kintamani, grade 1 quality
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara keempat terbesar penghasil kopi, setelah Brazil,
Vietnam, dan Kolombia (ICO, 2012). Jenis kopi yang dihasilkan oleh Indonesia
adalah Kopi Arabika dan robusta, dengan total produksinya mencapai 650.000 ton
per tahun, yang terdiri dari 81,2% kopi robusta dan 18,8% Kopi Arabika (AEKI,
2011). Beberapa kopi Indonesia telah dikenal secara internasional, antara lain Aceh
(Gayo), Sumatera Utara (Mandailing), Sulawesi Selatan (Toraja), dan Bali
(Kintamani) (Mawardi, 2009). Kopi-kopi tersebut memiliki ciri khas tersendiri, yang
tidak dapat ditemukan di tempat lain.
Pengaruh kondisi..., Asfirmanto W A, FMIPA UI, 2013
Kondisi pada tempat tumbuh dan budidaya cukup berpengaruh terhadap hasil
kopi tersebut. Kualitas tersebut dipengaruhi oleh variabel fisik tempat produksi
seperti ketinggian, curah hujan, lereng, vegetasi di sekitar tanaman kopi, serta
budaya dalam penanaman kopi, dan teknologi pengolahan kopi tersebut (Decazy et
al., 2003). Maka dari itu, ciri atau karakteristik fisik yang berpengaruh pada tanaman
kopi adalah ketinggian, curah hujan, lereng, suhu, dan jenis tanah. Kondisi fisik
tersebut pada suatu wilayah tentu tidak dapat ditemukan yang sama persis di
wilayah lain.
Faktor lain yang turut mempengaruhi kualitas kopi selain faktor fisik adalah
faktor budidaya dalam perkebunan kopi. Faktor budidaya ini merupakan faktor yang
dipengaruhi oleh manusia, berbeda dengan faktor fisik yang dipengaruhi oleh kondisi
alam. Faktor budidaya tanaman kopi antara lain teknik penyediaan sarana produksi,
proses produksi, teknik penanganan pasca panen dan pengolahan, serta sistem
pemasaran (BPTP, 2008). Selain itu, varietas tanaman kopi yang digunakan turut
berpengaruh terhadap kopi yang dihasilkan, karena tiap varietas akan menghasilkan
biji kopi yang berbeda.
Faktor-faktor yang telah disebutkan di atas tersebut mempengaruhi kualitas
tanaman kopi dan hasilnya, yaitu biji kopi. Biji kopi tersebut yang nantinya akan
diolah menjadi minuman kopi, yang dinikmati oleh konsumen akhir. Tanaman kopi
yang tumbuh di dua wilayah yang berbeda tentunya akan menghasilkan biji kopi
yang berbeda pula, yang dikarenakan faktor yang mempengaruhinya tersebut.
Perbedaan faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas biji kopi yang dihasilkan di dua
wilayah yang berbeda tersebut yang ingin dilihat dalam penulisan ini. Lalu
bagaimana faktor-faktor tersebut, di tiap-tiap wilayah, mempengaruhi tanaman kopi
dalam menghasilkan biji kopi dengan kualitas yang sama. Kualitas yang dihasilkan
pada perkebunan kopi yang menjadi tempat penelitian haruslah memiliki kualitas
yang sama, yaitu kualitas dengan tingkat atau grade 1. Maka dari itu dipilih wilayah
penelitian berupa perkebunan kopi yang terdapat di Gayo dan Kintamani. Pemilihan
kedua wilayah tersebut didasarkan atas telah terdaftarnya kopi yang ditanam di
kedua wilayah tersebut ke dalam sertifikasi indikasi geografis. Melalui indikasi
geografis tersebut, kualitas kopi yang dihasilkan di Gayo dan Kintamani berupa
kualitas grade 1, sehingga kedua wilayah tersebut dapat dibandingkan kondisi fisik
dan budidaya dalam perkebunan kopi.
Pengaruh kondisi..., Asfirmanto W A, FMIPA UI, 2013
1.2 Rumusan Masalah
Apa perbedaan karakteristik perkebunan kopi di Kintamani dan Gayo serta
pengaruhnya terhadap kualitas kopi grade 1?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui perbedaan karakteristik
perkebunan kopi di Kintamani dan Gayo serta pengaruhnya terhadap kualitas kopi
grade 1.
1.4
Batasan Penelitian
a.
Kopi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Kopi Arabika (Cofea
arabica).
b.
Kualitas kopi yang dimaksud adalah kualitas kopi berdasarkan kondisi
fisik biji dan citarasa kopi.
c.
Grade 1 adalah tingkat mutu yang baik berdasarkan SNI 01-2907-2008
dan memiliki cupping score di atas 83.
d.
Cupping score adalah standar yang digunakan untuk menentukan
kualitas kopi berdasarkan organoleptik.
e.
Pengaruh yang ada dalam penelitian ini adalah pengaruh kondisi fisik
dan budidaya dalam menghasilkan kopi dengan kualitas grade 1.
f.
Variabel fisik dalam penelitian ini adalah faktor alam yang berperan
dalam mempengaruhi kualitas kopi.
g.
Variabel fisik yang digunakan pada penelitian ini adalah ketinggian,
curah hujan, lereng, dan jenis tanah.
h.
Variabel budidaya dalam penelitian ini adalah usaha manusia dalam
menghasilkan kopi.
i.
Variabel budidaya yang digunakan pada penelitian ini adalah pupuk,
waktu panen, dan penanganan pasca panen.
j.
Penanganan pasca panen adalah perlakuan yang diberikan terhadap
buah kopi yang telah dipanen. Perlakuan yang diberikan dibagi menjadi
dua jenis, yaitu pengolahan cara kering dan cara basah.
Pengaruh kondisi..., Asfirmanto W A, FMIPA UI, 2013
2. METODE PENELIITAN
2.1 Variabel Penelitian
Parameter yang digunakan dalam penelitian ini adalah ketinggian, curah
hujan, lereng, dan jenis tanah sebagai bagian dari variabel fisik. Kemudian variabel
budidaya dibagi menjadi pupuk, waktu panen, dan penanganan pasca panen.
2.2 Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua, yaitu data primer
dan sekunder. Data primer didapatkan langsung dari survey lapang dan wawancara
untuk mengetahui variabel budidaya yang berpengaruh terhadap kualitas kopi di tiap
wilayah penelitian. Data yang diambil berupa sampel menggunakan metode
purposive sampling. Jumlah sampel yang diambil adalah dua, dengan masingmasing satu sampel pada wilayah penelitian. sampel tersebut cukup untuk
menggambarkan kondisi fisik wilayah dan budidaya pada wilayah penelitian.
Kemudian data sekunder diperoleh dari literatur dan pengolahan peta jenis
tanah, ketinggian, curah hujan, dan lereng. Kemudian data tabular mengenai
kualitas, dan mutu biji kopi pada masing-masing wilayah penelitian. Data sekunder
yang akan diolah menjadi peta diperoleh dari Badan Informasi Geospasial, Badan
Pertanahan Nasional, Pusat Penelitian Tanah Bogor, dan Badan Meteorologi
Klimatologi Geofisik, yaitu peta administrasi, topografi, jenis tanah, dan curah hujan.
2.3 Pengolahan Data
1. Peta Wilayah Ketinggian: diolah dari DEM yang berasal dari data kontur
dengan interval 12,5 meter.
2. Peta Kelerengan: diolah dari DEM yang berasal daridata kontur dengan
interval 12,5 meter.
3. Rata-rata CH Bulanan: diolah dari data curah hujan bulanan selama tiga
tahun.
4. Peta Jenis Tanah: diolah berdasarkan klasifikasi jenis tanah.
5. Jenis Pupuk: diolah berdasarkan hasil wawancara.
6. Periode Masa Panen: diolah berdasarkan hasil wawancara
7. Penanganan Pasca Panen: diolah berdasarkan hasil wawancara
Pengaruh kondisi..., Asfirmanto W A, FMIPA UI, 2013
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1
Faktor Fisik
3.1.1 Topografi
Faktor topografi menjadi faktor pembatas pada tanaman kopi untuk tumbuh
secara optimal. Faktor ini dibagi menjadi dua, yaitu ketinggian dan lereng. Tanaman
Kopi Arabika hanya dapat tumbuh secara optimal pada ketinggian di atas 1000
meter di atas permukaan laut. Hal tersebut dikarenakan tanaman Kopi Arabika
rentan terhadap serangan hama dan parasit. Ketinggian juga berpengaruh pada
jumlah curah hujan yang turun serta suhu udara. Terdapat korelasi positif antara
curah hujan dengan ketinggian, dan korelasi negatif antara suhu dan ketinggian,
sehingga semakin tinggi suatu perkebunan kopi, maka perkebunan tersebut memiliki
curah hujan yang semakin banyak dan suhu yang semakin dingin. Lereng sendiri
memiliki pengaruh terhadap kandungan
28 air pada tanah, tingkat erosi, jumlah
penyinaran matahari dan transportasi buah kopi.
a. Kintamani
Gambar 3.1 Wilayah ketinggian Kintamani
Ketinggian di Dataran Tinggi Kintamani berkisar antara 900 mdpl hingga
1.700 mdpl seperti yang dapat terlihat pada gambar 3.1. Batas tersebut
sesuai dengan batas ketinggian yang dapat menopang kehidupan
tanaman Kopi Arabika yang ada di Dataran Tinggi Kintamani. Perkebunan
kopi banyak terdapat pada ketinggian 1.100 mdpl hingga 1.400 mdpl,
karena merupakan kondisi paling ideal bagi Kopi Arabika Kintamani dalam
Pengaruh kondisi..., Asfirmanto W A, FMIPA UI, 2013
menghasilkan biji kopi . Terdapat pula perkebunan kopi antara 900 mdpl
hingga 1.000 mdpl dan di atas 1.550 mdpl hingga 1.600 mdpl, meskipun
jumlahnya tidak terlalu banyak, karena kualitasya tidak sebaik yang ada
pada ketinggian 1.100 – 1.400 mdpl.
Lereng pada Dataran Tinggi Kintamani didominasi oleh lereng 2-15%,
yaitu sebesar 39,5% dari keseluruhan luas yang ada. Berikut ini adalah
luas dan presentase lereng yang ada di Kintamani.
Tabel 3.1 Luas dan Presentase Lereng di Kintamani
No.
1
2
3
4
5
Lereng
0-2%
2 - 15%
15 - 25 %
25 - 40 %
> 40 %
Total
Luas (km2)
19,89
208,53
132,31
103,85
62,14
526,73
%
3,77
39,59
25,12
19,71
11,79
100
[Sumber: Pengolahan Data, 2013]
Berdasarkan data tersebut, lereng di Kintamani cocok untuk pertumbuhan
tanaman kopi, dengan luas total yang cocok untuk pertumbuhan kopi
mencapai 360,75 km2.
Gambar 3.2 Lereng Kintamani
Pengaruh kondisi..., Asfirmanto W A, FMIPA UI, 2013
b. Gayo
Ketinggian di Dataran Tinggi Gayo berkisar antara 900 mdpl sampai
dengan 3.400 mdpl. Kopi Arabika terdapat pada ketinggian antara 900 –
1.600 mdpl. Namun perkebunan kopi sendiri banyak terdapat di ketinggian
1.200 – 1.600 mdpl. Hal ini sesuai dengan curah hujan yang turun dan
lereng yang relatif masih dapat ditanami oleh tanaman kopi. Tanaman kopi
yang terdapat di ketinggian 900 – 1.200 mdpl dan 1.600 – 1.700 memiliki
hasil buah kopi yang tidak sebaik buah kopi yang ditanam pada ketinggian
1.200 – 1.600 mdpl, dikarenakan jumlah curah hujan yang berbeda, dapat
lebih kecil atau lebih besar, dan lereng yang cenderung lebih curam, yang
terdapat pada ketinggian di atas 1.600 mdpl. Berikut adalah gambar
wilayah ketinggian di Gayo.
Gambar 3.3 Wilayah ketinggian Gayo
Lereng yang terdapat pada Dataran Tinggi Gayo (gambar 3.4) didominasi
oleh lereng dengan kemiringan di atas 40%, yaitu sebesar 36,79% dari
total luas keseluruhan yang terdapat pada dataran tinggi tersebut. Berikut
ini adalah luas, persentase, dan peta lereng yang ada di Dataran Tinggi
Gayo.
Tabel 3.2 Luas dan Presentase Lereng di Gayo
No.
1
2
Lereng
0-2%
2 - 15%
Luas
16,31
1119,85
%
0,26
17,89
Pengaruh kondisi..., Asfirmanto W A, FMIPA UI, 2013
3
4
5
15 - 25 %
25 - 40 %
> 40 %
Total
888,87
1930,64
2302,82
6258,51
14,21
30,84
36,79
100
[Sumber: Pengolahan Data, 2013]
Gambar 3.4 Lereng Gayo
3.1.2 Curah Hujan
a. Kintamani
Curah hujan di Dataran Tinggi Kintamani cukup besar, yaitu antara 2.000
hingga 2.900 mm per tahun. Tiap tahun, jumlah curah hujan yang turun
tidak selalu sama, tergantung ada atau tidaknya pengaruh iklim di sekitar
Kintamani. Rata-rata dari tahun 2008 hingga 2010, jumlah curah hujan
yang turun pada wilayah ini adalah 2.269 mm yang tersebar tidak merata
di tiap bulannya. Berikut ini adalah grafik rata-rata curah hujan selama
2008 hingga 2010.
Berdasarkan Gambar 3.5, dapat terlihat bahwa curah hujan di Kintamani
jatuh pada bulan Januari hingga Mei dan kemudian meningkat kembali
pada bulan Oktober hingga Desember. Pada bulan Juni hingga bulan
September, curah hujan per bulan yang turun kurang dari 60 mm,
sehingga bulan-bulan tersebut masuk ke dalam bulan kering. Waktu dan
lama bulan kering yang terdapat di Kintamani berpengaruh pada waktu
Pengaruh kondisi..., Asfirmanto W A, FMIPA UI, 2013
panen dan jenis pengolahan biji kopi yang dilakukan pada wilayah
tersebut.
Rata-rata Curah Hujan di Kintamani
(2008-2010)
curah hujan (mm)
600
500
400
300
200
Rata-rata CH
100
0
Gambar 3.5 Rata-rata Curah Hujan Kintamani
[Sumber: BMKG, 2011]
b. Gayo
Curah hujan selama setahun di Dataran Tinggi Gayo berkisar antara 1.800
hingga 2.000 mm. Hujan yang turun hampir merata sepanjang tahun.
Rata-rata curah hujan selama 3 tahun di Dataran Tinggi Gayo adalah
2028 mm per tahun. Berikut ini adalah grafik rata-rata curah hujan Dataran
Tinggi Gayo selama 3 tahun.
G
Rata-rata Curah Hujan di Gayo (2008 2010)
a
m
a
r
3
.
Curah Hujan (mm)
b
300
250
200
150
100
50
0
6
Rata-rata Curah Hujan di Gayo
[Sumber: NOAA, 2013]
Pengaruh kondisi..., Asfirmanto W A, FMIPA UI, 2013
Berdasarkan grafik rata-rata curah hujan di atas, dapat terlihat bahwa
curah hujan yang turun hampir semuanya di atas 100 mm per bulan,
kecuali curah hujan yang turun pada bulan Januari dan Februari. Jumlah
curah hujan mulai mulai naik pada bulan Maret, yang kemudian turun
secara perlahan hingga bulan Juli dan akan kembali meningkat hingga
puncak curah hujan tertinggi pada bulan November. Selanjutnya, curah
hujan akan turun hingga titik terendah pada bulan Februari pada tahun
berikutnya. Pada dataran tinggi ini, hanya terdapat 1 bulan lembab dan
tidak ditemukan bulan kering, sehingga hal tersebut akan berpengaruh
pada waktu panen dan budidaya tanaman kopi yang berupa pengolahan
biji kopi agar tetap menghasilkan kualitas kopi grade 1.
3.1.3 Jenis Tanah
a. Kintamani
Jenis tanah pada Dataran Tinggi Kintamani dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu
andisol, regosol, dan inseptisol. Persebaran jenis tanah tersebut dapat terlihat
pada gambar 3.7.
Gambar 3.7 Jenis tanah Kintamani
Dapat terlihat pada gambar bahwa jenis tanah yang mendominasi di
Kintamani adalah jenis tanah inseptisol. Kemudian jenis tanah andisol dan
Pengaruh kondisi..., Asfirmanto W A, FMIPA UI, 2013
regosol hanya terdapat di beberapa tempat, seperti pada Gunung Batur dan
Gunung Sangiyang, serta bagian utara wilayah penelitian.
Tabel 3.3 Luas dan Persentase Jenis Tanah di Kintamani
No.
1
2
3
Jenis Tanah
Andisol
Inseptisol
Regosol
Total
Luas (km2)
%
22,29
456,07
48,37
526,73
4,23
86,58
9,18
100
[Sumber: Pengolahan Data, 2013]
Tanah di Kintamani sebagian besar memiliki keasaman tanah (pH) sedang.
Umumnya pada wilayah penelitian, kandungan C yang terdapat pada tanah
tergolong cukup tinggi. Hal tersebut dikarenakan petani menggunakan pupuk
organik yang terbuat dari kulit kopi dan kotoran sapi. Penggunaan pupuk
tersebut terkait juga dengan kandungan N pada tanah yang tidak terlalu
tinggi. Lalu nilai KTK (kapasitas tukar Kation) tanah umumnya rendah dan
tingkat KB (kejenuhan basa) tanah di Kintamani tergolong tinggi.
b. Gayo
Jenis tanah di Dataran Tinggi Gayo dapat dibedakan menjadi lima jenis, yaitu
andisol, inseptisol, histosol, molisol, dan ultisol. Persebaran jenis tanah dan
luas jenis tanah tersebut dapat terlihat pada gambar berikut.
Gambar 3.8 Jenis tanah Gayo
Pengaruh kondisi..., Asfirmanto W A, FMIPA UI, 2013
Tabel 3.4 Luas dan Persentase Jenis Tanah di Gayo
No.
1
2
3
4
5
Jenis Tanah
Andisol
Histosol
Inseptisol
Molisol
Ultisol
Total
Luas (km2)
%
1044,61
16,97
2848,94
1446,06
902,43
6259,01
16,68
0,27
45,51
23,11
14,41
100
[Sumber: Pengolahan Data, 2013]
Tanah di Gayo sebagian besar memiliki keasaman tanah (pH) sedang.
Umumnya pada wilayah penelitian, kandungan C yang terdapat pada tanah
tergolong
sedang
hingga
tinggi.
Hal
tersebut
dikarenakan
petani
menggunakan pupuk organik yang terbuat dari kulit kopi dan pangkasan
lamtoro, serta pupuk kandang. Penggunaan pupuk tersebut terkait juga
dengan kandungan N pada tanah yang tidak terlalu tinggi. Lalu nilai KTK
(kapasitas tukar Kation) tanah umumnya rendah dan tingkat KB (kejenuhan
basa) tanah di Gayo tergolong tinggi.
3.2
Budidaya
a. Kintamani
Panen kopi di Kintamani umumnya jatuh pada bulan Juni hingga Agustus.
Pada masa panen tersebut, kegiatan pengolahan kopi mulai berjalan.
Perkebunan kopi di Kintamani sebagian besar menggunakan proses
pengolahan basah atau wet processing dengan cara gerbus kering atau
dry hulling. Pada proses ini penjemuran hanya dilakukan satu kali.
Penjemuran tersebut dilakukan untuk mengurangi kadar air dalam
kandungan biji kopi.
b. Gayo
Panen kopi di Gayo umumnya jatuh pada bulan Oktober hingga Februari.
Pada masa panen tersebut, kegiatan pengolahan kopi mulai berjalan.
Perkebunan kopi di Dataran Tinggi Gayo mayoritas menggunakan proses
pengolahan basah dengan cara gerbus basah atau wet hulling. Cara ini
juga dikenal dengan semi wash process. Penjemuran pada proses ini
Pengaruh kondisi..., Asfirmanto W A, FMIPA UI, 2013
dilakukan dua kali untuk mengurangi kadar air yang terdapat pada biji
kopi.
3.3
Pengaruh Kondisi Fisik Terhadap Budidaya
a. Kintamani
Kondisi fisik wilayah perkebunan, seperti topografi, jenis tanah, dan iklim
sangat mempengaruhi budidaya masyarakat dalam menanam kopi. Pada
topografi yang terjal, masyarakat akan membuat terasering dan luas lahan
perkebunan kopi yang dibatasi. Hal tersebut dilakukan untuk mengurangi
dampak erosi.
Jenis tanah yang terdapat pada Dataran Tinggi Kintamani memiliki
kesuburan yang cukup, namun unsur-unsur yang ada, seperti C, N, dan
KTK tidak terlalu tinggi, sehingga membutuhkan tambahan pupuk. Pupuk
yang digunakan adalaha pupuk organik yang terbuat dari ampas kulit biji
kopi dan pupuk kandang. Penggunaan pupuk kimia dilarang dalam
perkebunan, karena tidak sesuai dengan standar budidaya kopi yang
diterapkan.
Pengaruh iklim pada perkebunan kopi adalah masa panen dan teknik
pengolahan biji kopi. Kintamani memiliki bulan basah dan kering secara
berbeda secara tegas. Panen buah kopi biasanya jatuh pada bulan kering,
yaitu pada bulan Juni hingga Agustus. Pada bulan-bulan tersebut, buah
kopi mulai matang dan siap dipetik. Kemudian, pada teknik pengolahan,
bulan kering yang tegas diperlukan dalam proses pengeringan biji kopi.
Biji kopi perlu mencapai kadar air 12% sebelum akhirnya dipisahkan
dengan kulit tanduk. Proses pengeringan tersebut menggunakan tenaga
matahari, sehingga bulan kering, yang curah hujannya sangat rendah,
sangat dibutuhkan.
b. Gayo
Topografi di Dataran Tinggi Gayo sangat beragam. Pada topografi yang
relatif landai, petani dapat memiliki lahan perkebunan hingga dua hektar.
Namun pada lereng yang relatif terjal, masyarakat akan membuat
terasering dan luas lahan perkebunan kopi yang dibatasi hanya mencapai
satu hektar. Hal tersebut dilakukan untuk mengurangi dampak erosi yang
mungkin terjadi.
Pengaruh kondisi..., Asfirmanto W A, FMIPA UI, 2013
Jenis tanah yang terdapat pada Dataran Tinggi Gayo memiliki kesuburan
yang cukup, namun unsur-unsur yang ada, seperti C, N, dan KTK tidak
terlalu tinggi, sehingga membutuhkan tambahan pupuk. Pupuk yang
digunakan adalaha pupuk organik yang terbuat dari ampas kulit biji kopi,
pangkasan lamtoro, dan pupuk kandang. Penggunaan pupuk kimia
dilarang dalam perkebunan, karena tidak sesuai dengan standar budidaya
kopi yang diterapkan.
Pengaruh iklim pada perkebunan kopi adalah masa panen dan teknik
pengolahan biji kopi. Bulan basah dan bulan kering di Gayo tidak terlalu
berbeda secara signifikan. Panen buah kopi biasanya jatuh pada bulan
Oktober hingga Februari. Pada bulan-bulan tersebut, buah kopi mulai
matang dan siap dipetik. Kemudian, pada teknik pengolahan, bulan kering
yang tegas diperlukan dalam proses pengeringan biji kopi, namun
dikarenakan tidak terdapat bulan kering yang tegas, maka pengolahan biji
kopi di Gayo adalah dengan menggunakan wet process wet hulled, atau
semi wash process. Biji kopi yang telah difermentasi akan dicuci dan
dijemur. Penjemuran tersebut menggunakan tenaga matahari, tetapi
masih terdapat curah hujan yang turun pada bulan-bulan tersebut,
sehingga penjemuran kurang maksimal. Maka dari itu, penjemuran
dilakukan dua kali, yaitu sebelum dan sesudah biji kopi dipisahkan dari
kulit tanduk. Hal tersebut dilakukan agar kadar air mencapai 12% sebelum
akhirnya diolah menjadi minuman kopi.
3.4
Kualitas Kopi
3.4.1 Kondisi Fisik Biji Kopi
Kondisi fisik biji kopi atau mutu fisik kopi telah diatur dalam Standar Nasional
Indonesia (SNI) Nomor 01-2907-2008 mengenai biji kopi. Biji kopi yang memiliki
kualitas atau mutu 1 memiliki nilai cacat maksimum sebesar 11 poin. Nilai cacat
tersebut diambil dalam sampel seberat 300 gram yang diamati oleh penguji kopi.
Pada saat proses pengolahan biji kopi, terdapat dua kali proses sortir. Proses sortir
tersebut memastikan bahwa biji kopi yang dihasilkan sesuai dengan SNI.
Penyortiran yang pertama adalah memisahkan ukuran biji yang berbeda dengan
menggunakan mesin sortir atau ayakan manual. Lalu penyortiran yang kedua adalah
Pengaruh kondisi..., Asfirmanto W A, FMIPA UI, 2013
memisahkan biji kopi dengan biji kopi yang cacat (defect) atau kotoran yang masih
terbawa di dalam biji kopi. Hal ini biasanya dilakukan secara manual dengan
menggunakan tangan. Baik Kintamani ataupun Gayo sama-sama memiliki standar
mutu fisik yang sama, sehingga pengolahan dalam menentukan ukuran biji dan nilai
cacat sama baiknya.
3.4.2 Organoleptik
Organoleptik merupakan uji rasa yang dilakukan oleh panelis yang telah
memiliki kualifikasi tersendiri. Uji ini penting untuk menentukan grade atau mutu kopi
yang ditentukan oleh score berdasarkan karakteristik kopi tersebut. Elemen-elemen
kondisi fisik wilayah dan budidaya tentu akan mempengaruhi besarnya score yang
terdapat pada kopi. Maka dari itu, perbedaan tempat tentu saja akan memberikan
karakteristik citarasa yang berbeda.
Organoleptik dibagi menjadi 10 komponen penilaian yang berbeda, yaitu dry
fragrance, wet aroma, brightness, flavor, body, finish, sweetness, clean cup,
complexity, dan uniformity. Setiap komponen memiliki nilai yang nantinya akan
dijumlah dan menghasilkan nilai akhir yang menjadi acuan tingkat kualitas kopi
tersebut. Klasifikasi penilaian kualitas kopi terdapat pada tabel 5.6.
Tabel 3.5 Total Score Quality Classification
90-100
Outstanding
85-89,9
Excellent
80-84,9
Very Good
<80
Below Specialty Quality
Specialty
Not Specialty
[Sumber: http://www.scaa.org/?page=resources&d=cupping-protocols, 2009]
Komponen-komponen penilaian cupping score dipengaruhi oleh kondisi fisik
wilayah dan budidaya, yang nantinya akan berpengaruh pada kualitas kopi yang
dihasilkan.
a. Kintamani
Kopi yang berasal dari Kintamani memiliki ciri khas berupa tingkat
keasaman yang cukup tinggi, mutu dan intensitas aroma yang kuat dengan
aroma berupa buah jeruk, dan memiliki kekentalan sedang. Kopi Arabika
Pengaruh kondisi..., Asfirmanto W A, FMIPA UI, 2013
Kintamani juga tidak terlalu pahit dan sepat. Penilaian dari tiap-tiap
komponen dapat terlihat dari gambar 5.10.
Gambar 3.9 Grafik Cupping Score Kopi Arabika Kintamani
[Sumber:www.sweetmarias.com/coffee.archife.new.php?country=Bali, 2011]
Terlihat pada grafik bahwa kopi yang berasal dari Kintamani memiliki
brightness atau tingkat keasaman, flavor atau rasa, wet aroma, dan dry
fragrance yang cukup tinggi. Nilai tersebut dapat tercapai karena elemenelemen fisik wilayah dan budidaya. Elemen fisik wilayah, seperti jenis tanah
akan berpengaruh pada keasaman dan kualitas aroma. Meningkatnya
unsur C, N, dan KTK akibat diberikan pupuk organik, akan memberikan
rasa asam dan kualitas aroma yang lebih baik pada kopi Kintamani.
Kemudian, curah hujan yang turun turut mempengaruhi cupping score yang
ada, yaitu dengan adanya bulan basah dan bulan kering yang tegas
sehingga jenis pengolahan kopi yang digunakan adalah wet process dan
dry hulling. Pengolahan jenis ini menjadikan kopi Kintamani memiliki body
atau kekentalan yang sedang karena hanya mengalami satu kali proses
pengeringan.
b. Gayo
Kopi yang berasal dari Gayo memiliki ciri khas berupa tingkat keasaman
yang sedang, mutu dan intensitas aroma yang kuat dengan aroma berupa
buah jeruk, dan memiliki kekentalan yang kuat. Kopi Arabika Kintamani
Pengaruh kondisi..., Asfirmanto W A, FMIPA UI, 2013
juga tidak terlalu pahit dan sepat. Penilaian dari tiap-tiap komponen dapat
terlihat dari grafik 5.11.
Gambar 3.10 Grafik Cupping Score Kopi Arabika Gayo
[Sumber: www.sweetmarias.com/coffee.archive.new.php?country=Sumatra, 2011]
Terlihat pada grafik bahwa kopi yang berasal dari Gayo memiliki brightness
atau tingkat keasaman dan dry fragrance yang sedang. Kemudian body
atau kekentalan yang tinggi. Nilai tersebut dapat tercapai karena elemenelemen fisik wilayah dan budidaya. Elemen fisik wilayah, seperti jenis tanah
akan berpengaruh pada keasaman dan kualitas aroma. Meningkatnya
unsur C, N, dan KTK akibat diberikan pupuk organik, akan memberikan
rasa asam dan kualitas aroma yang lebih baik pada kopi Gayo. Kemudian,
curah hujan yang turun turut mempengaruhi cupping score yang ada, yaitu
curah hujan yang terus turun sepanjang tahun, sehingga jenis pengolahan
kopi yang digunakan adalah wet process dan wet hulling. Pengolahan jenis
ini menjadikan kopi Kintamani memiliki body atau kekentalan yang tinggi
karena
mengalami
dua
kali
proses
pengeringan.
Selama
proses
pengeringan tersebut, getah yang masih tersisa akan menyerap ke dalam
biji kopi, sehingga menghasilkan kekentalan yang tinggi.
Pengaruh kondisi..., Asfirmanto W A, FMIPA UI, 2013
3.5
Pengaruh Kondisi Fisik dan Budidaya Terhadap Kualitas Kopi
Kondisi fisik wilayah perkebunan kopi dan budidaya masyarakat dalam
menanam dan mengolah kopi pasti memberikan pengaruh terhadap kualitas kopi
yang dihasilkan. Besarnya pengaruh tersebut berbeda jika tanaman kopi ditanam
pada dua tempat yang berbeda. Kualitas kopi sendiri dibagi menjadi dua bagian,
yaitu kondisi fisik biji kopi dan organoleptik atau uji citarasa.
3.5.1 Kondisi Fisik Biji Kopi
Peran budidaya pada tanamam kopi, terutama budidaya pasca panen, sangat
berperan penting pada proses penyortiran. Kopi Arabika Kintamani dan Gayo telah
memiliki sertifikasi indikasi geografis, sehingga kedua tempat tersebut memiliki
pengolahan pasca panen, terutama pada proses penyortiran biji kopi, yang baik dan
telah mengikuti standar dari SNI. Maka dari itu ukuran dan kondisi fisik biji kopi yang
dihasilkan kedua wilayah penelitian memiliki mutu atau masuk ke dalam grade 1.
3.5.2 Organoleptik
Kondisi fisik wilayah akan berpengaruh pada komponen seperti brightness
atau tingkat keasaman kopi, flavor atau rasa yang dimiliki oleh kopi, dan finish atau
rasa yang terdapat pada mulut setelah minum kopi. Budidaya sendiri berpengaruh
pada komponen dry fragrance dan wet aroma atau aroma sebelum dan sesudah
kopi disebuh, body atau tingkat kekentalan kopi, sweetness atau rasa manis yang
terdapat pada kopi, clean cup atau tidak adanya rasa negatif pada kopi, complexity
atau kombinasi rasa yang terdapat pada kopi, dan uniformity atau konsistensi kopi
pada beberapa cangkir. Gambar 5.9 menunjukkan perbedaan cupping score kopi
Arabika asal Kintamani dan Gayo.
Pengaruh kondisi..., Asfirmanto W A, FMIPA UI, 2013
Gambar 3.11 Grafik Cupping Score Kopi Arabika Kintamani dan Gayo
a. Kintamani
Total nilai yang diberikan untuk kopi Arabika Kintamani adalah 85,7 dengan
jumlah nilai komponen yang dipengaruhi budidaya adalah 52,4 dan jumlah
nilai komponen yang dipengaruhi kondisi fisik wilayah adalah 25,3, dengan
koreksi dari panelis sebsar 8,0. Hal tersebut menunjukkan budidaya
memberikan dampak sebesar 61,1% pada jumlah total cupping score,
sedangkan kondisi fisik wilayah memberikan dampak sebesar 29,5%. Jika
dilihat berdasarkan setiap komponen, baik dari kondisi fisik wilayah dan
budidaya, maka kondisi fisik wilayah memiliki peran sebesar 8,4 %,
sedangkan budidaya memiliki peran 8,7% setiap komponennya. Maka dari
itu, komponen budidaya memiliki peran yang lebih besar daripada kondisi
fisik wilayah, meskipun tidak signifikan, terhadap kualitas kopi.
b. Gayo
Total nilai yang diberikan untuk kopi Arabika Gayo adalah 85,4 dengan
jumlah nilai komponen yang dipengaruhi budidaya adalah 54,3 dan jumlah
nilai komponen yang dipengaruhi kondisi fisik wilayah adalah 24,1 dengan
koreksi dari panelis sebsar 7,0. Hal tersebut menunjukkan budidaya
memberikan dampak sebesar 63,5% pada jumlah total cupping score,
sedangkan kondisi fisik wilayah memberikan dampak sebesar 28,2%. Jika
dilihat berdasarkan setiap komponen, baik dari kondisi fisik wilayah dan
budidaya, maka kondisi fisik wilayah memiliki peran sebesar 9,4 %,
sedangkan budidaya memiliki peran 9,1% setiap komponennya. Maka dari
Pengaruh kondisi..., Asfirmanto W A, FMIPA UI, 2013
itu, komponen kondisi fisik wilayah memiliki peran yang lebih besar
daripada budidaya, meskipun tidak signifikan, terhadap kualitas kopi.
Berdasarkan perhitungan setiap komponen organoleptik, terdapat perbedaan antara
kopi Arabika Kintamani dan Gayo pada kondisi fisik wilayah dan budidaya. Namun
perbedaan tersebut hanya mencapai 0,3% sehingga sangat kecil dan tidak
mencolok.
4.KESIMPULAN
Karakteristik fisik dan budidaya kopi Arabika di Kintamani dan Gayo
mempengaruhi kualitas kopi grade 1. Faktor karakteristik fisik lebih berpengaruh
terhadap organoleptik atau citarasa kopi, sedangkan faktor budidaya berpengaruh
terhadap citarasa dan mutu fisik biji kopi. Pada kopi Arabika Kintamani, budidaya
berperan 0,3% lebih tinggi daripada kondisi fisik wilayah, sedangkan pada kopi
Arabika Gayo, kondisi fisik wilayah berperan 0,3 persen lebih tinggi daripada
budidaya. Kondisi fisik wilayah pada dua wilayah penelitian memiliki perbedaan pada
salah satu aspek, yaitu curah hujan. Perbedaan periode dan intensitas curah hujan
berpengaruh terhadap tanaman kopi dalam hal budidaya dalam pengolahan biji kopi,
yaitu full wash atau semi wash. Perbedaan tersebut menghasilkan profil rasa kopi
yang berbeda, tetapi masih memiliki kualitas grade 1.
Daftar Rujukan
AEKI. 2011. Statistik luas areal dan produksi kopi Indonesia. http://www.aekiaice.org/index.php?option=com_content&view=article&id=45&Itemid=45&lang=in
(diakses pada 16 Februari 2013).
Avelino, Jacques, et al. 2005. Effect of slope exposure, altitude, and yield on coffee quality in
two altitude terroirs of Costa Rica, Orosi and Santa Maria de Dote. Journal of the
Science of Food and Agriculture. Sci Food Agric 85:1869–1876 (2005) DOI:
10.1002/jsfa.2188
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2008. Teknologi Budidaya Kopi Poliklonal.
Lampung: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung.
Pengaruh kondisi..., Asfirmanto W A, FMIPA UI, 2013
Bote, Adugna dan Paul, Struik. 2011. Effects of shade on grown, production, and quality of
coffee (Coffea arabica) in Ethiopia. Journal of Holticulture and Forestry Vol. 3(11), pp.
336-341, 27 October, 2011
Ciptadi, W dan MZ, Nasution. 1985. Pengolahan kopi. Bogor: Jurusan Teknologi Industri
Pertanian IPB.
DaMatta, Fabio, et al. 2007. Ecophysiology of coffe growth and production. Brazilian Journal
of Plant Physiology. Braz. J. Plant Physiol. Vol. 19 no. 4 Londriana Oct./Dec. 2007
Decazy F, Avelino J, Guyot B, Perriot JJ, Pineda C, Cilas C. 2003. Quality of different
Honduran coffees in relation to several environments. Journal of Food Science 68 (7),
2356–61.
Dinas Perkebunan Bali. 2007. Subak Abian. http://www.disbunbali.info/sa.php (diakses pada
tanggal 14 Mei 2013).
Heuman J. 1994. Coffee Quality, a search for definition. Tea and Coffee Trade Journal.
http://www.albusiness.com/manufacturing/food-manufacturing-food-coffee-tea/431070
-1.html. (diakses pada 15 Februari 2013).
ICO. 2012. Exports by exporting countries to all destinations. ICO (International Coffee
Organisation),.URL http://www.ico.org/prices/m1.htm (diakses pada 15 Februari
2013).
50
ICRRI. 2008. Panduan Budidaya dan Pengolahan Kopi Arabika Gayo. Jember: Pusat
Penelitian Kopi dan Kakako.
Leroy T, Ribeyre F, Bertrand B, Charmetant P, Dufour M, Montagnon C, Marraccini P, Pot
D. 2006. Genetics of coffee quality. Mini Review. Brazilian J. Plant. Physiol. 18(1) :
219-342.
Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis. 2007. Buku Persyaratan Indikasi Geografis
Kopi Arabika Kintamani. Jakarta: Ditjen HKI.
Masyarakat Perlindungan Kopi Gayo. 2009. Buku Persyaratan Indikasi Geografis. Jakarta:
Ditjen HKI.
Pengaruh kondisi..., Asfirmanto W A, FMIPA UI, 2013
Mawardi, Surip, dll. 2008. Evaluation of Variety Cupping Profile of Arabica Coffee Grown at
Different Altitudes and Processing Methods in Gayo Highland of Aceh (Sumatra). Proc.
22nd Int. Conf. on Coffee Science, Ass. Sci. and Inf. on Coffee (ASIC), Campinas,
Brazil.
Mawardi, Surip. 2009. Establishment of geographical indication protection system in
Indonesia, case in coffee. Di dalam Worldwide Symposium On Geographical
Indications, Sofia, Bulgaria.
Najiyati, S dan Danarti. 2001. Kopi budidaya dan penanganan lepas panen. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Neilson, Jeff. 2007. 2007. Institutions, the governance of quality and on-farm value retention
for Indonesian specialty coffee. Singapore Journal of Tropical Geography 28, 188-204.
Nunez, P. A., et al. 2011. Soil fertility evaluation of coffee (Coffea spp.) production system
and management recommendation for The Barahona Province, Domonican Republic.
Journal of soil science and plant nutrition. J. Soil Sci. Plant Nutr. 11 (1): 127-140
(2011).
Pohlan,
Hermann
dan
Marc,
Janssens.
Growth
and
production
of
coffee.
www.eolss.net/Sample-Chapters/C10/E1-05A-43-00.pdf. (diakses pada tanggal 20
Februari 2013).
Salla MH. 2009. Influence of genotype, location and processing methods on the quality of
coffee (Coffea arabica L.). Hawassa, Ethiopia: School of Graduate Studies Hawassa
University.
SCIA. 2011. Produksi dan Pemrosesan. http://www.sca-indo.org/id/keragaman-kopiindonesia/ (diakses pada tanggal 5 Maret 2013)
SNI. 2008. Biji Kopi. SNI 01-2907-2008
Siswoputranto, PS. 1993. Kopi Internasional dan Indonesia. Yogyakarta: Kanisius
Yunus, Hadi. 2010. Metodologi Penelitian Wilayah Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Pengaruh kondisi..., Asfirmanto W A, FMIPA UI, 2013
Download