konstruksi model pemberdayaan keluarga berbasis jaringan

advertisement
RUANG UTAMA
KONSTRUKSI MODEL PEMBERDAYAAN KELUARGA
BERBASIS JARINGAN
M. Harun Alrasyid
Abstrak
Pengaruh globalisasi bukan saja telah menembus batas-batas wilayah
geografis, tetapi juga telah merambah ke berbagai kelas sosial masyarakat.
Pengaruh ini pun mulai merasuk dalam tubuh keluarga. Pertanyaan dalam studi
ini: Apa yang mesti dilakukan oleh pemerintah daerah dalam program
pemberdayaan keluarga di era otonomi daerah? Konsep pemberdayaan
menekankan adanya otonomi komunitas dalam pengambilan keputusan,
kemandirian dan keswadayaan lokal, dan demokrasi. Esensinya ada pada
partisipasi masyarakat dalam setiap tahapan proses pengambilan keputusan.
Pengimplementasian kebijakan dan program pemberdayaan keluarga dalam
konteks ini harus dilakukan secara koordinatif antara semua instansi terkait
Kata Kunci:
Koordinasi
Pemberdayaan Keluarga, Otonomi Komunitas, Partisipasi,
Pendahuluan
Suatu hal yang sangat umum
terjadi di negara-negara yang sedang
berkembang dewasa ini adalah
masalah kemiskinan dan keterbelakangan. Dua hal ini dalam proses
pembangunan menjadi tantangan
yang tentu saja akhirnya berdampak
negatif bagi proses pembangunan
yang berkelanjutan karena faktor ini
dapat menyebabkan kelemahan fisik
dan mental manusia. Oleh karena itu
sasaran atau tujuan dari pembangunan bukan sekedar untuk meningkatkan produksi barang dan jasa
akan tetapi juga adalah untuk membangun manusia dari sisi jasmaniah,
rohaniah dan mengubah nasib ma-
nusia untuk keluar dari perangkap
kemiskinan dan keterbelakangan.
Akibat adanya arus globalisasi
juga akan menyebabkan terjadinya
kemiskinan, yaitu munculnya Orang
Miskin Baru (OMB). Proses pemiskinan tersebut akan terjadi diantara kelompok penduduk yang
selama ini telah miskin dan kelompok
masyarakat
yang
berpendidikan
tinggi. Terjadinya kemiskinan di
antara kelompok terdidik tersebut
disebabkan oleh makin ketatnya
persaingan tenaga terdidik di dalam
negeri dengan mereka yang berasal
dari luar negeri. Pemiskinan yang
terjadi antar penduduk diakibatkan
oleh makin melebarnya jarak antara
nilai tukar penghasilan penduduk
miskin dengan kenaikan standar
minimum per kapita. Ketidakmampuan untuk bersaing akan memberikan
dampak sosial terhadap keluarga.
Dampak ini akan semakin besar, tatkala keluarga tidak punya pilihan
untuk menerima berbagai perubahan
yang datang dari luar.
Seorang sosiolog terkemuka,
Anthony Giddens (2000), mengemukakan bahwa keluarga di berbagai
belahan dunia mau tidak mau harus
siap menerima perubahan nilai yang
radikal akibat modernisasi dan
industrialisasi. Giddens mengistilahkan perubahan itu sebagai sebuah
“jugernaut”. Sebuah truk besar yang
melaju kencang tanpa terkendali,
yang akhirnya menerjang apa saja
tanpa ada yang mampu untuk
menghentikannya.
Globalisasi semakin memudahkan proses transformasi nilai-nilai dari
luar. Ketidaksiapan dalam menghadapi nilai-nilai baru telah melahirkan culture shock di sebagian
masyarakat.
Pengaruh globalisasi bukan saja
telah menembus batas-batas wilayah
geografis, tetapi juga telah merambah
ke berbagai kelas sosial masyarakat.
Pengaruh ini pun mulai merasuk
dalam tubuh keluarga, tidak peduli
dari mana asal dan status sosialnya,
berbagai kejadian yang mengiris
nurani
dengan
gamblang
kita
saksikan setiap hari melalui berbagai
media
maupun
media.
Mitos
kesantunan, keramah-tamahan, dan
keberadaban yang menjadi norma
keluarga yang dulu sering digembargemborkan, tampaknya harus ditinjau
ulang. Bahkan akhir-akhir ini banyak
keluarga yang cenderung mengidap
"karakter destruktif" (character of
destructiveness) yang parah, yang
tidak sekadar berupa fakta individual
bahkan telah menjadi fakta sosial.
Sebagai contoh, kita dihadapkan
pada tiga peristiwa tindak kekerasan
di awal tahun ini. Pertama, adalah
munculnya kembali konflik berdarah
di Maluku yang telah menelan korban
yang cukup besar dan meninggalkan
traumatik yang sulit untuk disembuhkan. Kedua, adalah peristiwa bentrokan antara aparat kepolisian
dengan para pendukung Ustadz
Ba’asyir di Jakarta. Terakhir, penyerbuan aparat kepolisian ke kampus
UMI Makasar yang kemudian menjadi
gelombang protes di mana-mana.
Ketiga peristiwa tersebut telah
menjungkirbalikkan mitos bangsa
yang ramah, santun, akrab dan saling
asih satu sama lainnya. Para pakar
meyakini bahwa persoalan kekerasan
yang kerap terjadi adalah akumulasi
dari berbagai masalah yang dihadapi
masyarakat Indonesia sekarang ini.
Hal ini juga mengisyaratkan
bahwa penanganan masalah penyakit
sosial yang berkembang di masyarakat sangatlah kompleks dan
membutuhkan sinergi antar berbagai
pihak. Di sinilah letak pentingnya
bagaimana sebuah program pemberdayaan diformulasikan dan dilaksanakan melalui berbagai lini.
Karena masalah kemasyarakatan dan
keluarga dewasa ini sangat kompleks
sehingga membutuhkan peran dari
berbagai instansi dan kelompokkelompok masyarakat untuk senantiasa bersatu padu menyebarkan
benih nilai-nilai keluarga yang ideal.
Tentunya ini bukan pekerjaan yang
gampang untuk dilaksanakan, apalagi
kalau mengingat penyakit menahun
yang
hinggap
pada
sosok
pemerintahan kita adalah lemahnya
koordinasi antar instansi. Namun, ini
2
Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2007
pun bukan berarti sulit untuk diwujudkan, tergantung sejauhmana
kuatnya political will dari semua
pihak, terutama para pejabat di
tingkat pusat dan daerah.
Konsep
Pemberdayaan
Community Worker
apakah pemberdayaan itu sebagai
suatu program atau sebagai suatu
proses? Memang, pemberdayaan
dapat dilihat dari kedua sisi tersebut.
Pemberdayaan
sebagai
suatu
program dapat dilihat dari tahapantahapan kegiatan yang biasanya
sudah ditentukan jangka waktunya
yang
disertai
dengan
besaran
anggaran. Konsekuensi dari pendekatan ini adalah bila program itu
selesai maka pemberdayaan pun
dianggap sudah selesai dilakukan.
Pendekatan seperti ini banyak dianut
oleh lembaga pemerintah dengan
sistem pembangunan berdasarkan
proyek, di mana satu proyek dengan
proyek lainnya kadangkala tidak
berhubungan.
Bahkan
seringkali
ditemukan adanya proyek yang over
laping
dengan bagian lainnya,
meskipun itu dalam lembaga yang
sama.
Sedangkan kelompok lainnya
ada yang melihat pemberdayaan
sebagai suatu proses. Sebagai
suatu proses, pemberdayaan merupakan
proses
yang
berkesinambungan sepenjang hidup seseorang (on-going process). Proses
pemberdayaan individu sebagai suatu
proses yang relatif terus berjalan
sepanjang usia manusia yang
diperoleh dari pengalaman individu
tersebut (“empowerment is not an end
state, but a process that all human
beings experience”).
Siapa yang dapat mengambil
peran dalam pemberdayaan masyarakat? Tentu saja semua orang yang
merasa terpanggil dapat berperan
aktif dalam pemberdayaan masyarakat, sekecil apapun peran yang
diambilnya. Dalam pandangan Ife,
peran yang terkait dengan pemberdayaan masyarakat adalah peran
dan
Pembangunan
kesejahteraan
sosial dalam arti luas adalah suatu
upaya pemberdayaan masyarakat,
baik di level mikro (individu, keluarga
dan kelompok kecil); level mezzo
(organisasi dan komunitas), level
makro (kota, regional dan nasional)
maupun level global (internasional).
Dalam
kaitan
dengan
konsep
pemberdayaan, Payne (1997) mengemukakan bahwa suatu pemberdayaan (empowerment) ditujukan
guna: “to help clients gain power of
decision and action over their own
lives by reducing the effect of social
or personal blocks to exercising
existing power”. Pemberdayaan terkait dengan kemampuan seseorang
untuk mengambil keputusan dan
tindakannya sesuai dengan kehendaknya sendiri, tanpa ada kontrol
dari pihak lain.
Shardlow (1998) melihat bahwa
berbagai pengertian yang ada
mengenai pemberdayaan pada intinya membahas bagaimana individu,
kelompok atau komunitas berusaha
mengontrol kehidupan mereka sendiri
dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan
keinginan mereka. Gagasannya tidak
berbeda jauh dengan gagasan
Biestek (1961) yang dikenal di bidang
pendidikan
kesejahteraan
sosial
dengan nama Self Determination.
Dari definisi yang singkat
seperti di atas, timbul pertanyaan
3
Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2007
sebagai community worker atau
dikenal juga dengan istilah enabler
dalam diskursus komunitas (istilah ini
juga sering dipadupadankan dengan
istilah Social Worker atau dalam
bahasa Indonesia Pekerja Sosial).
Ada 4 peran besar yang dapat
dijalankan oleh seorang community
worker. Pertama adalah peran
fasilitatif (facilitative roles), yaitu
dengan
memfasilitasi
komunitas
sasaran. Kedua adalah peranan
mendidik masyarakat, atau peran
edukasional
(educational
roles).
Peran
ketiga
adalah
sebagai
perwakilan masyarakat (representative roles). Terakhir adalah peran
yang
bersifat
teknis,
seperti
keterampilan mengumpulkan dan
menganalisis data, menggunakan
komputer, melakukan presentasi dan
lain-lain.
Isu Penting
luarga
Pemberdayaan
4.
5.
6.
Ke7.
Dalam kerangka membangun
model pemberdayaan keluarga
terdapat beberapa isu penting yang
harus segera direspon. Isu-isu
tersebut diantaranya ialah:
1. Instrumen-instrumen apa yang
dapat digunakan oleh pemerintah pusat dalam pemberdayaan keluarga dan bagaimana instansi pusat bekerja
sama;
2. Program-program apa saja yang
telah dan akan dilakukan
pemerintah
pusat
dalam
pemberdayaan keluarga dan
apa peranan pemerintah daerah
kabupaten/kota dalam programprogram tersebut;
3. Apa
peranan
pemerintah
provinsi selama ini dalam
8.
Kebijakan Pemberdayaan Keluarga Dalam Kerangka Desentralisasi
Pertanyaannya, apa yang mesti
dilakukan oleh pemerintah daerah
dalam program pemberdayaan ke4
Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2007
pemberdayaan keluarga, serta
fungsi -fungsi dan sumber daya
yang diperlukan oleh provinsi
guna mendukung kegiatan tersebut;
Bagaimanakah pemerintah daerah mencari jalan keluar agar
pajak-pajak dan retribusi daerah
tidak
membebani
keluarga
miskin, dan ada sistem intensif
bagi keluarga -keluarga miskin;
Bagaimana mengimplementasikan inisiatif capacity building di
daerah yang dapat meningkatkan kemampuan dan kapasitas
mereka dalam menanggulangi
masalah keluarga;
Bagaimana
memberdayakan
lembaga-lembaga
kemasyarakatan dan membangun mekanisme interaksi antara lembagalembaga tersebut dalam upaya
penanggulangan masalah keluarga;
Bagaimana
mengembangkan
mekanisme
monitoring
dan
evaluasi (monev) yang dapat
memberikan informasi yang
dapat dipercaya tentang pelaksanaan program pemberdayaan keluarga; dan
Bagaimana melibatkan pemerintah daerah dalam setiap
proses perumusan kebijakan
nasional tentang pemberdayaan
keluarga untuk mencapai dan
memelihara komitmen yang
sudah dibangun.
luarga di era otonomi daerah? Jika
disepakati bahwa konsep pemberdayaan didasarkan pada nilai-nilai
tertentu yang memihak pada subyek,
yaitu masyarakat akar rumput,
komunitas paling kecil atau masyarakat yang terorganisasi secara
teritorial, maka pemberdayaan tidak
bisa hanya dikonsepkan dari atas
(sentralistis). Pemberdayaan menekankan adanya otonomi komunitas
dalam
pengambilan
keputusan,
kemandirian dan keswadayaan lokal,
dan demokrasi. Esensinya ada pada
partisipasi masyarakat dalam setiap
tahapan proses pengambilan keputusan.
Partisipasi mampu terwujud jika
terdapat pranata sosial di tingkat
komunitas yang mampu menampung
aspirasi masyarakat dalam pembangunan.
Untuk
mewujudkan
keluarga yang berdaya, pertamatama
harus
dilakukan
adalah
memfasilitasi terbentuknya pranata
sosial yang memungkinkan keluarga
ikut serta dalam proses implementasi
program pemberdayaan. Apabila ada
pranata sosial yang memungkinkan
keluarga untuk merumuskan kebutuhan mereka dan memetakan
potensi serta hambatan yang mereka
hadapi, dengan sendirinya akan mulai
tercipta keluarga yang berdaya.
Dalam penanggulangan masalah pemberdayaan keluarga, instrumen-instrumen yang akan digunakan oleh pemerintah pusat
adalah regulasi berupa pedoman
teknis tentang standar pelayanan
minimal; bantuan-bantuan yang
sesuai dengan kebutuhan keluarga
sasaran (matching grant), seperti
Dana Alokasi Khusus (DAK) bagi
penanggulangan keluarga miskin,
serta
penghargaan-penghargaan
yang diberikan dalam rangka
meningkatkan motivasi dan prestasi
keluarga.
Sejalan dengan kebijakan desentralisasi, maka upaya pemberdayaan
keluarga
sebaiknya
difokuskan pada empat agenda:
1. Menetapkan kebijakan pemberdayaan
keluarga
sebagai
“Gerakan
Nasional”
agar
semua pihak, yakni Pemerintah,
Pemerintah
Daerah,
dunia
usaha, lembaga swadaya masyarakat, dan perguruan tinggi
memiliki komitmen yang sama
dan berperan aktif dalam upaya
pemberdayaan keluarga. Dalam
konteks ini, peran media massa
sangat penting agar pesan yang
diinginkan dapat tersebar ke
masyarakat. Seiring dengan itu,
pemanfaatkan teknologi informasi perlu dibangun secara
optimal, misalnya melalui internet.
2. Menempatkan Pemerintah Daerah sebagai penanggung jawab
utama
dalam
pengelolaan
pr ogram pemberdayaan keluarga, agar tercipta proses belajar
dan proses internalisasi tanggung jawab kepada Pemerintah
Daerah, sehingga mengurangi
pola sentralistik.
3. Meningkatkan kemampuan Pemerintah Daerah dalam menyediakan fasilitas pelayanan
umum yang paling mendasar
melalui pengembangan Stan-dar
Pelayanan Minimal.
4. Meningkatkan efektivitas pendayagunaan dan bantuan luar
negeri
dalam
membiayai
program penanggulangan kemiskinan. Implikasi utama dari
kebijakan yang bersifat de5
Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2007
sentralistik
tersebut
adalah
adanya kemungkinan terjadi
resistensi dari beberapa instansi
pemerintah pusat. Untuk itu,
pelaksanaan program-program
tertentu masih perlu dilaksanakan oleh pemerintah pusat,
seperti
program
pelayanan
dasar dalam bidang pendidikan
dan kesehatan.
2. Koordinasi dalam pengimplementasian program pemberdayaan keluarga.
3. Koordinasi dalam pemantauan
dan evaluasi pelaksanaan serta
dampak yang ditimbulkan, termasuk koordinasi dalam mengatasi setiap masalah pengaduan
masyarakat.
4. Pelibatan berbagai kelompokkelompok sosial kemasyarakatan, terutama kalangan media
massa dalam program pemberdayaan keluarga agar senantiasa menyebarluaskan ide
atau nilai -nilai yang diinginkan.
Penutup
Pengimplementasian kebijakan
dan program pemberdayaan keluarga, dengan melihat kompleksitas
permasalahan yang dihadapi oleh
masyarakat, mau tidak mau program
pemberdayaan
harus
dilakukan
secara koordinatif antara semua
instansi terkait. Hal ini perlu dilakukan
agar Usaha Kesejahteraan Sosial
dapat berjalan secara optimal dan
mencapai sasaran yang mengandung
ciri-ciri khas, seperti: (a). Relevan:
pelayanan
atau
bantuan
yang
disediakan sesuai dengan kebutuhan
warga masyarakat yang menjadi
sasaran/penyandang masalah. (b).
Konsisten: dilaksanakan secara
terus menerus sampai terpecahkan
masalah yang dialami oleh sasaran.
(c). Aksesibel: pelayanan atau
bantuan yang disediakan dapat
dijangkau dan digunakan oleh
sasaran. (d). Partisipasif: ketertiban
semua terkait, termasuk sasaran,
dalam pelaksanaan pelayanan atau
bantuan.
Karena itu, keterlibatan semua
pihak perlu mendapat perhatian.
Keterlibatnnya
dapat
dilakukan
melalui kegiatan, yakni:
1. Koordinasi dalam perumusan
kebijakan dan strategi pemberdayaan keluarga.
Bahan Bacaan
Abercrombie, Nicholas et.al. 1986.
Dictionary
of
Sociology,
Harmondswarth: The Penguin.
Berger and Berger. 1984. The War
Over The Family. New York:
Anchor Books.
Giddens, Anthony, 2000, Jalan
Ketiga Pembaruan Demokrasi
Sosial,
Gramedia
Utama,
Jakarta.
Payne, Malcolm. (1997). Social Work
Theory.
Second
Edition.
London: MacMillan Press Ltd.
Rohner, R., 1986. Parental Acceptance-Rejection.
Handbook.
New York
Sharrdlow, Steven, 1998, Value, Ethic
and Social Worker dalam
Adams Robert, Lena Donneli
dan Malcolm Payne (eds).
Social Work Themes, Issues
6
Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2007
and Critical Debates. London:
MacMillan Press Ltd.
Knopf.
Zulkifli., 1995. Psikologi Perkembangan. Bandung: Rosdakarya.
Zanden, J., 1986. Sociology The
Core. New York: Alfred A.
7
Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2007
Download