1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Stuard & Sudeen (1998) mengatakan bahwa gangguan jiwa merupakan suatu penyimpangan proses pikir, alam perasaan, dan perilaku seseorang. Gangguan jiwa adalah sebuah penyakit dengan manifestasi dan atau ketidakmampuan psikologis atau perilaku yang disebabkan oleh gangguan pada fungsi sosial, psikologis, genetik, fisik/kimia, atau biologis. Mereka yang menderita gangguan jiwa mengalami distress, yaitu suatu perasaan tidak nyaman, tidak tentram, rasa nyeri dan disabilitas atau ketidakmampuan bahwa ketidakmampuan mengerjakan pekerjaan sehari-hari. Townsend (1998) mengatakan individu untuk beradaptasi terhadap lingkungan sosialnya dapat mempengaruhi gangguan jiwa seseorang sehingga ia akan cenderung untuk menarik diri. Isolasi sosial menarik diri adalah kondisi kesendirian yang dialami oleh individu dan diterima sebagai ketentuan oleh orang lain dan sebagai suatu keadaan yang negatif atau mengancam. Kelainan interaksi sosial adalah suatu keadaan dimana seorang individu berpartisipasi dalam suatu kuantitas yang tidak 2 cukup atau berlebih atau kualitas interaksi sosial yang tidak efektif (Townsend,1998). Data terbaru dari WHO dalam Jurnas (2014), mengungkapkan bahwa pasien skizofrenia di Indonesia sebesar satu persen atau diperkirakan ada sekitar 2.6 juta orang. Namun, angka ini bisa bertambah mengingat kebanyakan mereka yang mengalami skizofrenia adalah usia produktif. Saat ini lebih dari 450 juta penduduk dunia hidup dengan gangguan jiwa. Di Indonesia, Data Riskesdas tahun 2013, menunjukkan prevalensi gangguan jiwa berat pada penduduk Indonesia 1.7 per mil atau 1-2 orang dari 1.000 warga di Indonesia mengalami gangguan jiwa berat. Gangguan jiwa berat terbanyak di D.I. Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Selatan, Bali, dan Jawa Tengah. Prevalensi gangguan emosional pada penduduk Indonesia 6.0 persen. Provinsi dengan prevalensi gangguan mental emosional tertinggi adalah Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, D.I. Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Timur. Penelitian Wihastuti, dkk (2013), di RSJ dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang, diperoleh data pasien menarik diri pada tahun 2009 sebanyak 43 jiwa, sedangkan pada tahun 2012 meningkat menjadi 208 jiwa. Penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan Jakarta pada tahun 2013, jumlah pasien menarik diri sebanyak 50.2% dari seluruh jumlah klien yang 3 dirawat. Penelitian yang dilakukan di RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang, pasien menarik diri pada tahun 2011 sebanyak 524 jiwa sedangkan pada tahun 2012 meningkat menjadi 823 jiwa. Berdasarkan data dari Dinkes Provinsi Sulawesi Tengah tahun 2011, jumlah kunjungan gangguan jiwa tahun 2011 di kota Palu mencapai 312 kunjungan, mengalami penurunan dibanding tahun 2010 yang mencapai 945 kunjungan. Di Rumah Sakit Daerah Madani Palu pada tahun 2011 sebanyak 111 kunjungan. Penelitian Hatfield dalam Pasaribu (2010) menunjukkan bahwa sekitar 72% pasien gangguan jiwa yang mengalami isolasi sosial dan 64% tidak mampu memelihara diri sendiri. Umumnya keterampilan sosial pasien buruk, yang disebabkan onset dini penyakitnya. Untuk meningkatkan keterampilan sosial, penderita perlu mendapatkan pelatihan (seperti terapi aktivitas kelompok) atau memberi respon terhadap suatu masalah atau situasi tertentu melalui komunikasi teraupetik. Agar pasien menarik diri dapat bersosialisasi kembali, diperlukan kemampuan dasar yang dibutuhkan dalam bersosialisasi yaitu kemampuan berkomunikasi secara verbal. Padahal di sisi lain, dampak perilaku menarik diri akan menghambat kemampuan komunikasi verbal dari individu karena individu tidak mampu untuk memulai suatu pembicaraan. Oleh karena itu, perilaku menarik diri memerlukan penanganan yang tepat, agar perilaku tersebut tidak 4 berdampak pada penurunan atau bahkan hilangnya kemampuan komunikasi verbal pasien menarik diri (Keliat, 2005). Keliat, 2005 mengungkapkan bahwa TAKS merupakan salah satu terapi modalitas yang dilakukan perawat kepada sekelompok pasien yang mempunyai masalah hubungan sosial dengan berupaya memfasilitasi kemampuan sosialisasi yang bertujuan untuk meningkat hubungan sosial dalam kelompok secara bertahap. Aktivitas digunakan sebagai terapi dan kelompok digunakan target asuhan. Di dalam kelompok tersebut akan terjadi dinamika interaksi yang saling bergantung, saling membutuhkan dan menjadi laboratorium tempat klien berlatih perilaku baru yang adaptif untuk memperbaiki perilaku yang maladaptif. Dari hasil studi pendahuluan pada bulan April berdasarkan informasi dari salah seorang perawat tentang Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi (TAKS) di Rumah Sakit Daerah Madani Palu, ditemukan bahwa meskipun klien menarik diri telah diberikan aktivitas kelompok sosialisasi namun klien masih mengalami kesulitan berkomunikasi secara verbal dengan teman-temannya. Selain itu, di Rumah Sakit Daerah Madani TAKS dilakukan pada semua klien gangguan jiwa tidak spesifik pada masing-masing diagnosa klien dan dilaksanakan 2 kali dalam seminggu. Berdasarkan fenomena yang telah diuraikan di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh terapi 5 aktivitas kelompok sosialisasi terhadap kemampuan komunikasi verbal klien menarik diri di Rumah Sakit Daerah Madani, Palu, Sulawesi Tengah. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas dapat dirumuskan permasalahan yang akan diteliti adalah adakah pengaruh terapi aktivitas kelompok sosialisasi terhadap kemampuan komunikasi verbal klien menarik diri di Rumah Sakit Daerah Madani Palu? 1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Mengetahui pengaruh terapi aktivitas kelompok sosialisasi terhadap kemampuan komunikasi verbal klien menarik diri di Rumah Sakit Daerah Madani Palu. 1.3.2. Tujuan Khusus 1.3.2.1. Mengkaji kemampuan komunikasi verbal sebelum dilakukan terapi aktivitas kelompok sosialisasi. 1.3.2.2. Mengkaji kemampuan komunikasi verbal setelah dilakukan terapi aktivitas kelompok sosialisasi. 1.3.2.3. Menganalisa pengaruh terapi aktivitas kelompok sosialisasi terhadap verbal klien menarik diri. kemampuan komunikasi 6 1.3.2.4. Menganalisa korelasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kemampuan komunikasi verbal klien menarik diri. 1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Bagi peneliti sendiri Dapat tentang menambah keperawatan mempersiapkan, pengetahuan jiwa serta melaksanakan dan wawasan pengalaman proses dalam penelitian dan penulisan skripsi. Dapat mengaplikasikan pengetahuan keperawatan jiwa yang didapatkan selama proses pembelajaran. 1.4.2. Institusi pendidikan keperawatan Sebagai bahan masukan yang bermanfaat untuk pengembangan ilmu keperawatan jiwa, sehingga dapat meningkatkan mutu asuhan keperawatan jiwa selanjutnya. 1.4.3. Pelayanan kesehatan Sebagai informasi tambahan bagi perawat atau petugas kesehatan aktivitas kelompok lainnya tentang sosialisasi pentingnya terhadap terapi kemampuan komunikasi verbal klien menarik diri di Rumah Sakit Jiwa. 7 1.4.4. Peneliti selanjutnya Sebagai bahan informasi dan data tambahan bagi mahasiswa yang berminat untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan ruang lingkup yang sama.