Orientasi ke dalam Profesi Keguruan

advertisement
BAB I
PENGERTIAN GURU BESERTA
KARAKTERISTIK GURU
1.1 Pengertian Guru
Salah satu fenomena abad ini adalah munculnya pendidikan sebagai
daya utama (major force) dalam perkembangan manusia. Pendidikan
membedakan orang yang berpartisipasi aktif dalam ekonomi nasional,
memiliki kehidupan menarik dan kaya nuansa keterlibatan intelektual dan
sosial, membedakan yang cakap dengan yang kurang cakap. Pada wawasan
internasional, berbedaan dasar bangsa miskin dan bangsa baru naik-daun
(emergence) serta macet (stagnant) terletak pada taraf tingginya dedikasi
bangsa pada pembangunan dan perluasan program pendidikan. Bangsa yang
lebih makmur-sejahtera (affluent), perkembangan ekonomi dan layanan sosial
nasionalnya menumbuhkan permintaan besar lulusan sekolah yang terdidik
dan terlatih. Semakin besar jumlah permintaan akan pasokan lulusan sekolah
dalam masa tigapuluh tahun terakhir.
Dampak ekspansi cepat program pendidikan dan meningkatnya
permintaan pasokan manusia terdidik menjadikan guru makin dipentingkan
dibanding masa di mana pendidikan dianggap kurang esensial. Guru
mendapati masa emas dan menyenangkan ini dalam berbagai ragam reaksi
positif, terutama dengan meningkatnya status ekonomi guru. Namun status
dan kesejahteraan yang membaik ini menuntut guru lebih efektif. Siswa dan
orangtua makin terbuka menyampaikan kekesalan atas kesibukan dan susahpayah karena tugas siswa tidak masuk-akal. Mereka menuntut pengalaman
belajar berbuahkan-hasil berupa kesiapan optimal siswa menempuh tingkat
pendidikan berikutnya atau untuk memperoleh pekerjaan, paling tidak
membuahkan-hasil berupa minat dan keterhubungan isi pendidikan dengan
masalah dan kehidupan sehari-hari.
1
Salah satu dampak iringan ledakan pendidikan adalah guru dipaksa
menjadi makin pakar dan profesional. Ada anggapan tiap orang dapat
mengajar. Tetapi guru makin sukses menunjukkan yang telah bekerja sebagai
guru semestinya mengetahui seluk-beluk mengajar maupun bidang studi yang
diajarkan. Pemahaman guru tentang pembelajaran efektif sangat bernuansa
psikologi. Belajar dan pembelajaran adalah proses psikologis dan guru yang
memahaminya berposisi lebih baik untuk mengembangkan prosedur dan
teknik belajar lebih efektif. Dengan pemahaman itu, ia mengembangkan
kepakaran dan kompetensi menangani masalah kependidikan dalam pola
yang profesional. Apapun pengakuan atas pekerjaan mengajar sebagai profesi
di masa kini sebagian besar andil Psikologi Pendidikan. Makin kurang
profesional dan makin amatiran guru, maka makin besar kecondongannya
mengabaikan prinsip-prinsip psikologi. Makin profesional dan kompeten guru,
makin besar kecondongan memiliki pemahaman berkelas pakar atas prinsip
psikologi. Sesungguhnya guru efektif adalah psikolog pendidikan paroh-waktu.
Merujuk pada takrif (pengertian) yang telah dirumuskan oleh
Konferensi Antar Pemerintah yang diselenggarakan oleh UNESCO & ILO di
Paris tahun 1966, yang merupakan takrif yang bersifat internasional dalam
sejarah kependidikan, perkataan “guru” meliputi “semua orang di sekolah yang
bertanggung jawab dalam pendidikan para siswa”. Jika ditelaah khususnya
dari situasi pendidikan di Tanah Air, takrif tersebut mengandung beberapa
kelemahan, yaitu:
1. Tidak semua orang di sekolah walaupun bertanggung jawab dalam
pendidikan siswa, disebut sebagai “guru”, misalnya para penjaga
sekolah.
2. Tanggungjawab terhadap pendidikan siswa tidak semata-mata
berlangsung di sekolah, bahkan di luar sekolahpun oleh orang-orang
yang juga berwenang dalam hal itu.
Dalam sistem sekolah di Indonesia, penyelenggaraan kurikulum sekolah
“melampaui” batas-batas areal sekolah, bahkan kegiatan-kegiatan
ekstrakurikuler telah lama diselenggarakan di luar jam dan areal sekolah.
2
3.
4.
Tanggungjawab mendidik siswa mengeksplisitkan sistem pembelajaran
klasikal para siswa yang dihadapi guru. Bagaimana dengan sistem
pembelajaran individual?
Dalam pendidikan modern yang juga dikembangkan di Indonesia,
justru ditekankan pada “self study” siswa secara lebih efektif melalui
pembelajaran yang disusun secara berprograma (programmed
instruction) di bawah supervisi guru.
Kriteria yang terpenting dan sangat menentukan dalam tiap takrif tentang
guru, ialah “kewenangan” sebagai guru. Sebab tidak semua orang yang
bertanggung jawab dalam pendidikan memiliki wewenang kependidikan,
wewenang itu hanya diperoleh melalui pendidikan/latihan kependidikan.
Setelah mengemukakan beberapa kelemahan dari takrif hasil
Konferensi Internasional tentang guru itu, dapat dirumuskan bahwa guru ialah
semua orang yang berwewenang dan bertanggung jawab terhadap pendidikan
siswa, individual maupun klasikal, baik di sekolah maupun di luar sekolah.
Guru yang dimaksudkan di sini mencakup semua guru dari tingkat pra sekolah
(Taman Kanak-kanak) sampai pada Guru Besar (Profesor) di Pendidikan
Tinggi, yang berstatus sebagai Pegawai Negeri dan Pegawai Swasta.
Seberapa jauh kewenangan seseorang sebagai guru tercermin dalam
persyaratan-persyaratan sebagai guru yang akan diuraikan di bawah ini.
1.2 Syarat-Syarat Menjadi Guru
Tidaklah cukup pengangkatan guru dengan SK (Surat Keputusan)
dari instansi yang berwewenang menjadikan sifat “formal”, seseorang
dianggap sebagai guru. Sebab secara “material” orang tersebut mungkin tidak
atau belum memiliki wewenang sebagai guru. Jabatan guru sebagai suatu
“profession” yaitu jabatan atau pekerjaan yang membutuhkan keahlian
(pendidikan atau latihan) khusus di bidang kependidikan, perlu memiliki
syarat-syarat tertentu. Hal ini justru untuk menjunjung martabat guru dan
menjamin mutu pendidikan dan pembelajaran yang diselenggarakan oleh
guru. Jika kita hendak meningkatkan mutu pendidikan, pembelajaran dan
3
martabat guru, maka profesi guru perlu dijaga agar tidak “diperkosa” oleh
orang-orang yang tidak berwewenang di bidang pendidikan. Oleh karena itu
maka seorang guru perlu memenuhi syarat-syarat yang mutlak perlu, yaitu:
1.2.1 Syarat Profesional
Seorang guru perlu memiliki keahlian di bidang kependidikan yang
meliputi:
1) Pengetahuan (knowledge) di bidang kependidikan dan keguruan yang
bersifat umum (general education) maupun yang bersifat khusus (special
education).
Sekurang-kurangnya guru perlu mempunyai pengetahuan tentang
Ilmu Mendidik (Pedagogi), Ilmu Jiwa (Psikologi), Ilmu Mengajar dan cara-cara
Mengajar (Didaktik dan Metodik) serta tentang Kepemimpinan yang
menyangkut segi-segi Administrasi dan Supervisi di bidang pendidikan atau
persekolahan. Selain daripada itu ia pun perlu memiliki pengetahuan khusus
yang dipilihnya sebagai spesialisasi, yang menyangkut mata-mata pelajaran
tertentu (subject matter) yang akan diajarkan dan cara membelajarkannya
(Metodik Khusus Pelajaran).
2) Keterampilan (skills) di bidang kependidikan
Seorang guru yang profesional perlu memiliki keterampilan dalam
mengajar pada khususnya, dan kemampuan dalam mendidik pada umumnya,
yang pada hakekatnya adalah memiliki kesanggupan dalam memimpin
kelasnya. Keterampilan mengajar, mengandung penguasaan akan metodemetode khusus tentang mata-mata pelajaran spesialisasi yang
dibelajarkannya. Ia pun perlu memiliki kemampuan dalam mendidik atau
membimbing siswanya, dalam arti bahwa ia perlu menguasai teknik-teknik
bimbingan dan konseling serta perlu menguasai teknik-teknik kepemimpinan,
terutama dalam managemen kelas.
Darimana guru memperoleh pengetahuan (knowledge) dan melatih
keterampilan (skills) yang dibutuhkan? Hanyalah Lembaga Pendidikan dan
Latihan Kependidikan yang berkompeten dalam hal ini. Individu yang
4
mempunyai latarbelakang pendidikan bukan guru dan ingin menjadi guru
terlebih dahulu harus menempuh pelatihan guna memperoleh sertifikasi
pendidik/ Akta Mengajar pada Lembaga Pendidikan atau Latihan
Kependidikan sebelum diangkat menjadi guru. Justru kini guru dituntut
memiliki sertifikat pendidik yang diperoleh melalui PLPG dan Program Profesi
Guru di LPTK.
1.2.2 Syarat “Personal”
Yang dimaksudkan dengan syarat-syarat “personal” di sini adalah
syarat-syarat yang menyangkut diri pribadi orang yang menjadi guru, yang
meliputi:
1) Kesehatan Fisik, guru sehat fisik atau jasmaninya, tidak sakit-sakitan,
apalagi mengidap penyakit menular, seperti TBC dan sebagainya.
Mengenai jasmani yang “cacat” seperti buta, dewasa ini bukanlah
merupakan hambatan utama (handicap) bagi orang yang merasa
“dipanggil” menjadi guru. Indonesia kini telah mempunyai beberapa
Sarjana Pendidikan lulusan FKIP/IKIP/STKIP yang tuna netra.
2) Kesehatan Psikis; guru hendaklah sehat jiwanya, sehat mental atau
rohaninya. Orang yang menderita penyakit jiwa atau gangguangangguan syaraf, janganlah diangkat menjadi guru.
3) Kesehatan Psikosomatis; guru secara ideal, haruslah sehat jasmani dan
rohaninya. Pribadi seseorang memang tidak dapat dibagi-bagi, ia
merupakan suatu individualitas, suatu kesatuan “psychosomatis” (psyche
= jiwa, soma = tubuh). Kedua aspek dari satu kesatuan itu saling
mempengaruhi. Bahwa gangguan-gangguan pada tubuh dapat
mempengaruhi fungsi–fungsi tertentu, dan sebaliknya. Maka sangatlah
ideal, bila guru bukan hanya sehat jasmani dan rohaninya, tetapi
haruslah memiliki kesehatan “psikofisis” atau “psikosomatis” yang baik.
4) Integritas Pribadi; syarat “personal” ini menyangkut kepribadian
(personality) guru sebagai suatu totalitas. Kita membutuhkan guru-guru
yang telah terintegrasi kepribadiannya yang “dewasa” dalam arti
pedagogis, yaitu sudah “matang baik secara jasmani, jiwani, emosi dan
5
sosial”, yang sudah sanggup “mengambil keputusan sendiri atas
tanggung jawab sendiri”.
1.2.3 Syarat “Morality”
Dalam usaha meningkatkan martabat guru dewasa ini, moralitas
(kesusilaan) merupakan faktor yang terpenting. Faktor ini lebih menyangkut
watak pribadi seseorang, suatu pertanda kemampuan seseorang bertindak
susila. Dibutuhkan guru yang bukan hanya dapat mengetahui apa yang baik
dan apa yang buruk, akan tetapi yang sanggup berbuat menurut norma-norma
kesusilaan. Oleh karena itu janganlah diangkat menjadi guru orang-orang
tidak bermoral atau tidak berkesusilaan baik wanita maupun pria. Akan tetapi
bila ternyata “salah angkat”, supaya segera pengangkatannya ditinjau kembali
daripada menodai profesi kependidikan.
1.2.4 Syarat “Religiousity”
Syarat berkeagamaan (religiousity) ini haruslah menjadi syarat
mutlak bagi orang-orang yang hendak menjadi guru di bumi Indonesia ini
sebagai perwujudan falsafah Pancasila secara konsekwen. Bila dianalisis,
perbuatan orang yang tidak bermoral atau tidak berkesusilaan itu adalah
perbuatan orang yang bukan hanya tidak mengindahkan norma kesusilaan,
akan tetapi pada hakekatnya adalah tidak mengindahkan norma keagamaan
atau keTuhanan. Oleh karena itu janganlah diangkat menjadi guru orang yang
tidak beragama yang tidak mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa, sumber
segala norma hidup.
1.2.5 Syarat “Formality”
Keempat syarat di atas (professional, personal, morality, religiousity)
merupakan prasyarat-prasyarat yang sine qua non (mutlak perlu dipenuhi),
sebelum seseorang secara formal (resmi) diangkat menjadi guru (dengan
Surat Keputusan) dari instansi yang berwewenang. Sebab Surat Keputusan
Pengangkatan (SP) ini hanyalah syarat formal yang memperkuat wewenang
6
seseorang menjadi guru. Bahkan SP ini ditinjau kembali bila ternyata ada
kekeliruan dalam penetapannya.
Demikianlah syarat-syarat vital yang mutlak perlu dipenuhi seseorang
bila menjadi guru. Jika kita hendak menjunjung tinggi profesi guru yang akan
meningkatkan mutu pendidikan dan pembelajaran di Sekolah, maka syaratsyarat vital tersebut mutlak diperhatikan dan diperhitungkan dalam proses
“seleksi” terhadap individu yang ingin menjadi guru.
1.3 Pengembangan Sumberdaya Guru
Sumberdaya kependidikan yang sering disebut tenaga kependidikan,
merupakan komponen yang amat penting dalam penyelenggaraan pendidikan.
Law & Glover (2000) menyatakan bahwa sumberdaya tenaga kependidikan
merupakan komponen determinan dalam menyelenggarakan manajemen
sumberdaya manusia serta menempati posisi kunci dalam sistem pendidikan.
Dampak kualitas profesional dan kinerjanya bukan hanya akan
dikontribusi terhadap kualitas lulusan yang dihasilkan, melainkan juga
berlanjut pada kualitas kinerja para lulusan (outcomes) yang pada gilirannya
tentu saja berpengaruh juga pada peradaban dan martabat hidup masyarakat,
bangsa serta umat manusia pada umumnya.
Organisasi pendidikan merupakan lembaga pendidikan yang memiliki
potensi sumberdaya manusia, salah satu diantaranya adalah tenaga guru.
Guru memiliki peran multidimensional karena bermanfaat sebagai penentuan
strategi yang tepat untuk membina hubungan baik dan sesuai dengan
keinginan siswa. Guna mengkaji peran multidimensional sumberdaya manusia
pada organisasi pendidikan, diperlukan upaya pengembangan sumberdaya
terutama bagi guru agar pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan yang
dimilikinya selalu berkembang seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni yang terjadi begitu cepat. Pengembangan
sumberdaya guru perlu direncanakan dengan seksama, karena
pengembangan ini akan berdampak pada peningkatan kinerja guru yang akan
meningkatkan mutu pendidikan.
7
Menurut Hoyle dalam Sofiah (2004) pengembangan guru mencakup
pengembangan mengajar sebagai suatu profesi (the development of teaching
as a profession) dan pengembangan profesional pengajar sebagai individu
(the profesional development of teachers as individuals). Selanjutnya tujuan
pengembangan ini menurut Kusumastuti (2001) diarahkan pada pemenuhan
tiga tuntutan kebutuhan, yaitu: 1) Kebutuhan sosial akan sistem pendidikan
yang dapat mengadaptasi perkembangan kebutuhan lingkungan, maka
pengembangan guru ditujukan agar yang bersangkutan mampu
mengadaptasikan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni sesuai
kebutuhan dan tuntutan masyarakat. 2) Kebutuhan untuk mencari bentuk atau
cara yang dapat membantu guru memperbaiki serta menyempurnakan potensi
akademik, personal dan sosial. Pengembangan guru diarahkan pada kriteria
kinerja yang diharapkan. 3) Kebutuhan untuk mengembangkan serta
mendorong semangat hidup guru.
Castetter (1996) menjelaskan pengembangan guru berkaitan dengan
istilah inservice education, staff development, professional development,
continuing education, dan advanced degree work, yang dijelaskan staff
development dilakukan tenaga edukatif dalam rangka peningkatan diri yang
berorientasi pada perkembangan. Sedang in service education diasumsikan
ada kekurangan pada tenaga edukatif yang mensyaratkan perlu peningkatan
seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan metode yang memadai.
Staff development tidak mengasumsikan adanya kekurangan pada
tenaga edukatif tetapi diasumsikan perlunya personil menumbuh-kembangkan
kemampuannya. Selanjutnya dijelaskan bahwa pengembangan staff dalam
meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia meliputi program jangka
pendek dan jangka panjang yang memiliki tujuan masing-masing seperti
termuat dalam gambar berikut ini.
8
Development
Needs - objectives
Position Effectiveness
Position Transition
Profesional
Development
Personal
Development
Position Security
Unit Improvement
System Improvement
Development
Groups
Individuals
Groups
Intergroups
Organization
Development
Process
Formal and Informal
Approaches on the
job
Sumber: Castetter, 1996
Gambar 1. Tipe Pengembangan Staf
Gambar 1. di atas menjelaskan pengembangan staf pada dasarnya
merupakan tindak lanjut yang berkesinambungan dari kegiatan rekrutmen,
seleksi, pengangkatan dan penempatan. Pengembangan disesuaikan dengan
kebutuhan, pengembangan individu, pengembangan profesional,
pengembangan sistem dan pengembangan yang lain. Kemudian cara
pengembangannya apakah secara individu, kelompok, antar kelompok,
maupun organisasi, dan cara proses pengembangan staf itu sendiri, apakah
secara formal, atau secara non formal.
Dalam dunia pendidikan, rekrutmen diartikan sebagai kegiatan
menarik sejumlah personil yang dibutuhkan dalam sistem pendidikan, yang
memenuhi kualitas tertentu (Castetter, 1996). Tujuannya adalah pemenuhan
kebutuhan personil baik jangka pendek maupun jangka panjang. Jangka
pendeknya berarti memenuhi kebutuhan akan personil sesuai dengan tuntutan
saat ini, sedangkan jangka panjangnya adalah memenuhi penyediaan personil
secara berkelanjutan baik personil pelayanan maupun personil profesional
(Uwes, 2003).
Sebagian bagian dari kegiatan “the hiring function” kegiatan
rekrutmen ditindaklanjuti dengan kegiatan seleksi atau keputusan tentang
identifikasi personil yang cocok dengan kebutuhan (Gibson et al, 1988).
9
Berkaitan dengan itu Kaufman (1972) mengemukakan adanya kesatuan
antara identifikasi kebutuhan, penentuan persyaratan personil untuk
memenuhi kebutuhan, strategi seleksi, evaluasi efektivitas penampilan sesuai
dengan kebutuhan dan kesiapan merubah beberapa langkah yang diperlukan
untuk mencapai sistem pendidikan yang responsif, efektif dan efisien.
Castetter (1996) memberi beberapa rambu untuk mencapai efektifitas
rekrutmen tersebut seperti berikut: 1) Kegiatan dalam proses rekrutmen
dibimbing dan dikoordinasikan dengan ketetapan sebelumnya tentang
sumberdaya manusia. Perencanaan sumberdaya manusia menetapkan
beberapa posisi yang harus dipenuhi melalui rekrutmen. 2) Proses rekrutmen
merupakan hal yang esensial, namun bukan merupakan aspek yang
terpisahkan dari keseluruhan fungsi personalia. 3) Proses rekrutmen
merupakan perencanaan yang penuh kehati-hatian, terorganisasi, langsung,
terkendali, terus menerus tanpa henti. 3) Dilanjutkan adanya partisipasi staf
dalam formulasi dan perencanaan pelaksanaan rekrutmen. 4) Terdapat suatu
badan yang bertanggungjawab untuk menggerakkan dan mendelegasikan
pada kegiatan pelaksanaan. 5) Penetapan jumlah dan mutu kebutuhan
personil, standar kualifikasi perencanaan tempat dan kegiatan serta penilaian
efektivitas perencanaan rekrutmen. 6) Penelitian personil yang memenuhi
syarat sesuai dengan kebutuhan lapangan.
Berkaitan dengan perencanaan sumberdaya manusia, kegiatan
rekrutmen seperti yang terlihat dilihat di gambar berikut:
10
Proyeksi Profil Tenaga
Struktur Organisasi
Yang Diharapkan
Personil yang Ada
Persyaratan Personil
Masa Depan
Sumber Ekternal
Sumber Internal
Perencanaan Rekrutmen
Yang Specifik
Perencanaan yang Spesifik
tentang tranfer, promosi,
pengembangan, dan pemanfaatan
Sumber : Castetter, 1996
Gambar 2. Perpaduan Perencanaan SDM dengan Rekrutmen
Melalui rambu-rambu tersebut, dapat dikatakan kegiatan rekrutmen
guru sangat penting. Menurut Trauss dan Sayles dalam Sudarmayanti (2001)
kegiatan pertama dan utama dalam organisasi pendidikan adalah
mendapatkan guru bermutu. Suplai orang yang cakap sama pentingnya
dengan suplai uang, bahan atau kurikulum, bahkan dikatakan sebagai sentra
kegiatan dalam pendidikan. Proses pengembangan sumberdaya guru
merupakan kegiatan yang vital dalam organisasi pendidikan baik secara mikro
maupun makro, disamping itu pengembangan sumberdaya guru merupakan
salah satu bentuk investasi. Pengembangan sumberdaya guru secara makro
terarah dan terencana disertai pengelolaan yang baik dalam organisasi
pendidikan sangat penting dalam pencapaian mutu secara optimal.
1.4 Riset dan Program Pengembangan Calon Guru
Salah satu alasan penyelenggaraan riset
dan
program
pengembangan kepribadian maupun kompetensi mahasiswa kependidikan di
Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan/LPTK adalah untuk memperoleh
11
landasan berpijak guna mengembangkan dan memperbaiki program yang
ditawarkan. Pendidikan calon guru menghendaki agar program pembelajaran
perlu diselenggarakan untuk lebih menjamin keterbentukannya guru-guru yang
efektif dalam mempengaruhi proses penyiapan SDM bangsa. Efektifitas
penyelenggaraan program pendidikan calon guru perlu didasarkan pada riset
dan kajian lainnya terutama tentang input, proses dan output peserta
program.
Pengembangan kepribadian mahasiswa di LPTK diperlukan untuk
lebih menjamin kwalitas kompetensi kepribadian lulusannya. Pendidikan guru
menghendaki agar kurikulum dirancang sedemikian rupa untuk lebih menjamin
keterbentukannya guru yang efektif dalam mempengaruhi penyiapan Sumber
Daya Manusia/ SDM bangsa Indonesia yang berkwalitas. Namun
penyelenggaraan program pendidikan guru perlu didasarkan pada landasan
hukum yang berlaku serta pada riset tentang input, process dan output
program.
Siapakah guru itu? Di dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, di Pasal 1 dinyatakan yang
dimaksudkan dengan guru “… adalah pendidik profesional dengan tugas
utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan
mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini, jalur pendidikan
formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah.” Berkenaan dengan
kompetensi guru dinyatakan pula bahwa kompetensi adalah seperangkat
pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati dan
dikuasai oleh guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.
Selanjutnya, di Pasal 7 Ayat 1 dalam UU Guru dan Dosen tersebut
dinyatakan bahwa profesi guru merupakan bidang pekerjaan khusus yang
dilaksanakan berdasarkan prinsip berikut: 1) Memiliki bakat, minat, panggilan
jiwa dan idealisme. 2) Memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu
pendidikan, keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia. 3) Memiliki kualifikasi
akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas. 4)
Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas. 5) Memiliki
tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan. 6) Memperoleh
12
penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja. 7) Memiliki
kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan
dengan belajar sepanjang hayat. 8) Memiliki jaminan perlindungan hukum
dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. 9) Memiliki organisasi profesi
yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas
keprofesionalan guru. Ditambahkan pada Pasal 7 Ayat 2 bahwa
pemberdayaan profesi guru diselenggarakan melalui pengembangan diri yang
dilakukan secara demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif dan berkelanjutan
dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural,
kemajemukan bangsa dan kode etik profesi.
Dengan mengacu pada Pasal 1 dan Pasal 7 UU Guru dan Dosen,
LPTK perlu mengupayakan agar sosok guru yang dikehendaki oleh undangundang dan masyarakat sebagai stakeholders pendidikan perlu menjadi
rambu-rambu dalam proses kependidikan calon-calon guru dan pendidik.
Padahal masyarakat modern menuntut hadirnya “Guru yang terdidik baik”.
Meningkatnya kebutuhan pasokan guru yang memenuhi kriteria “Guru Baik”
menuntut LPTK cermat mengevaluasi kembali sistem dan program pendidikan
yang diselenggarakan. Untuk memenuhi keperluan ini, LPTK perlu mengkaji
variabel mahasiswa yaitu latar belakang sosial budaya, pilihan karir,
kecakapan intelektual, karakteristik kepribadian, sikap dan motivasi
mahasiswa.
Guru adalah figur sentral dalam proses pendidikan dan pembelajaran
sehingga guru diharapkan memiliki karakteristik kepribadian yang khas dan
ideal sesuai dengan persyaratan menjadi guru yang berlandaskan pada
kaidah psikologi-pedagogi. Mempengaruhi dan melancarkan proses
pendidikan agar berlangsung pembentukan kepribadian sehingga mahasiswa
kependidikan menjadi guru profesional adalah salah satu cara yang tepat
untuk meningkatkan kwalitas pendidikan.
Sanford et al (Lomax, 1972) mengungkapan temuan penelitian pada
97 mahasiswa sain, sejumlah 37 mahasiswa (38%) memperoleh dorongan
aktif dari orangtuanya agar berprestasi dalam studi, sekitar 5% responden
pilihan karir kependidikannya ditentang orangtua. Latar belakang pekerjaan
13
orang tua mahasiswa adalah pekerja terampil dan sedikit sekali diantaranya
yang menempuh studi universiter. Berarti kekurangmampuan orangtua
membimbing anak secara edukasional dan vokasional diduga berhubungan
dengan kurang mantapnya pilihan studi dan karir mahasiswa itu.
Smelser & Steward (Lomax, 1972) menemukan dominasi populasi
mahasiswa kependidikan yang berkedudukan sebagai anak pertama dalam
keluarga. Bahkan pada keluarga yang beranak sedikit, urutan kelahiran dan
jenis kelamin anak secara berarti mempengaruhi kesempatan belajar yang
diberikan kepada anak oleh orangtua untuk menempuh perguruan tinggi
kependidikan. Ditambahkannya, guru berpendidikan universiter yang semula
berasal dari kelas sosial menengah bawah, sedikit sekali yang mengalami
hambatan dalam studi dan perjalanan karirnya.
Pengalaman belajar di sekolah menengah diduga ikut membentuk
minat yang menentukan pilihan karir siswa. Butcher & Pont (Lomax, 1972)
meminta 1.100 siswa sekolah menengah memilih 15 macam karir. Meskipun
siswa laki-laki dan perempuan menunjukkan minat dan aspirasi karir yang
berbeda nyata, namun seluruh kategori siswa bersepakat akan manfaat dan
prestise berbagai jabatan. Siswa perempuan menempatkan jabatan guru pada
prioritas pertama pada preferensi jabatannya. Siswa laki-laki yang
memprioritaskan preferensi karir pertamanya di bidang teknik menempatkan
jabatan guru pada preferensi jabatan urutan ke lima.
Evans (Lomax, 1972) menemukan siswa yang menyatakan amat
suka belajar di sekolah adalah siswa yang paling tertarik dengan karir guru.
Didapat korelasi tinggi antara skor survai minat dengan skor Praktik
Pengalaman Lapangan/PPL Mengajar mahasiswa kependidikan. Morris
(Lomax, 1972) menemukan pula mahasiswa yang mengakui “Prospek Jenis
Pekerjaan yang Menarik” yang mendasari alasan mahasiswa kependidikan
akhirnya memilih jabatan sebagai guru. Segi-segi yang serba menantang pada
profesi guru adalah daya tarik utama bagi banyak mahasiswa yang pada
akhirnya berketetapan hati (committed) memilih profesi guru.
14
Penelitian di Inggris (Lomax, 1972) menemukan 3 kelompok peran
kependidikan yang diminati dan akhirnya menjadi dasar utama keputusan karir.
Peran kependidikan itu adalah: 1) Guru sebagai pendidik. 2) Guru sebagai
pekerja/pegawai. 3) Guru sebagai pribadi/perorangan. Disarankan LPTK lebih
memprioritaskan derajad kekuatan hasrat menjadi guru dalam penerimaan
mahasiswa baru daripada aspek lainnya. Justru pada golongan mahasiswa
kependidikan yang sedemikian besar hasrat kependidikannya dapat
berketetapan hati pada pilihan profesi guru (Aspin, dalam Lomax, 1972).
Kecakapan intelektual mahasiswa kependidikan perlu menjadi bahan
pertimbangan dalam seleksi mahasiswa baru. Lomax (1972) menemukan
mahasiswa kependidikan di Inggris mendapat skor tes inteligensi dan
pemahaman verbal lebih tinggi daripada mahasiswa kependidikan AS.
Mahasiswa calon guru sekolah menengah berskor tes inteligensi lebih tinggi
daripada mahasiswa pendidikan guru sekolah dasar yang sebenarnya
menunjukkan minat yang tinggi dan suka mengajar anak.
Tanlain (2005) meneliti alasan-alasan menempuh pendidikan guru
pada mahasiswa D-II PGSD di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Hasil
penelitian menunjukkan: 1) Jawaban dua alasan menampilkan enam kategori
orientasi relasi nilai-nilai yaitu kategori gengsi sosial-menolong anak nomor
urut 1 (31%); kategori dapat uang menolong anak nomor urut 2 (25%);
kategori kerjasama-menolong anak nomor urut 3 (17%); kategori kembangkan
bakat menolong anak nomor urut 4 (11%); kategori dapat uang-gengsi sosial
nomor urut 5,5 (8%); kategori kerjasama-dapat uang nomor urut 5,5 (8%). 2)
Jawaban tiga alasan menampilkan empat kategori orientasi relasi nilai-nilai
yaitu kategori dapat uang-gengsi sosial-menolong anak nomor urut 1 (37%);
kategori kerjasama-gengsi sosial-menolong anak nomor urut 2,5 (26%);
kategori kerjasama-dapat uang-menolong anak nomor urut 2,5 (26%); kategori
dapat uang-kembangkan bakat-menolong anak nomor urut 4 (11%); keadaan
ini menandakan bahwa para mahasiswa sudah memiliki seperangkat nilai
(individu, sosial, ekonomi) yang mendasari pilihan mereka menempuh
pendidikan guru. Kategori-kategori orientasi relasi nilai-nilai di atas berbeda
dengan tiga kategori yang dikemukakan Rosenberg (kerjasama-menolong;
15
gengsi sosial-dapat uang; kembangkan kreativitas-bakat). Berdasarkan hasil
penelitian tersebut dianjurkan bahwa sebaiknya para lulusan sekolah
menengah yang bercita-cita menjadi guru khususnya guru sekolah dasar,
langsung menempuh program pendidikan guru.
Sampai kini sedikit sekali diketahui besaran korelasi antara karakteristik
kepribadian guru dengan efektifitas kinerja guru. Ditemukan bahwa selama
tahun pertama masa kuliahnya, mahasiswa kependidikan tidak mengalami
perubahan nyata dalam skor sikap-sikap kependidikannya. Padalah sikap
kependidikan yang sesuai menunjuk pada disposisi/ kecenderungan untuk
memberi tanggapan pada masalah kependidikan yang sesuai pula. Setahun
masa kuliah memang menghasilkan penguasaan informasi, memperoleh
tilikan (insight) dan keterampilan tertentu tetapi mahasiswa masih mempertahankan pendapat dan kecenderungan keyakinan yang belum tentu selaras
dengan karakteristik kependidikan guru yang dikehendaki.
Klausmeier & Ripple (1971) merinci karakteristik guru berikut: 1)
Karakteristik guru yang efektif. 2) Pemilahan pola peran guru yang
mensyaratkan jenis dan jumlah pendidikan, pengalaman dan kepemimpinan
yang bervariasi. 3) Peran organisasi guru dalam mengupayakan meningkatnya
kwalitas pendidikan. Berarti pemikiran tidak hanya menyangkut guru sebagai
perorangan saja tetapi memperkirakan pula kemungkinan perubahan pola
jabatan serta karakteristik organisasi yang menghimpun guru. Sebagai
ancangan penyiapan guru, ditelaah karakteristik dan perilaku guru.
Karakteristik dan perilaku guru, dikerangkai sebagai kriteria efektifitas
guru, yaitu:
1) Penilaian bertolok-ukur produk/hasil; kompetensi guru dalam wujud
seberapa tinggi prestasi yang dicapai siswa dalam ranah kognitif, afektif
dan psikomotor. Penilaian langsung melalui tes/ skala penilaian atas
kinerja guru sebelum, selama dan seusai pembelajaran.
2) Penilaian bertolok-ukur proses; penilaian atas efektifitas guru ditempuh
dalam kerangka perilaku guru, perilaku siswa dan interaksi guru dengan
siswa namun bukan bertolak dari prestasi siswa. Penilaian langsung
16
3)
melalui observasi terhadap perilaku guru dan siswa serta interaksi di
antara kedua belah pihak tersebut.
Penilaian bertolok-ukur presage/faktor daya ramal; penilaian efektifitas
guru di masa kini dan peluang efektifitas guru di kemudian hari
didasarkan pada kecakapan intelektual, indeks prestasi dan tampilan
pribadi. Penilaian secara langsung menghubungkan variabel proses yang
secara eksplisit telah dijabarkan dengan variabel perilaku guru, yang di
dalamnya mencakup indeks prestasi, hasil tes dan skala penilaian
perilaku di luar kelas.
Bagaimana penggambaran guru yang efektif? Awam
menggambarkan “Guru yang baik” adalah “Orang yang baik”. Pernyataan ini
menunjukkan adanya Model Peran Guru, yaitu model yang memenuhi gagasan
ideal masyarakat bahwa guru adalah warga negara yang baik, orangtua yang
baik dan pegawai yang baik. Di masa lalu guru diapresiasi pertama-tama
berdasarkan kebaikannya sebagai perorangan, baru kemudian pada
perilakunya di hadapan siswa. Guru diharapkan tampil sebagai sosok pribadi
yang jujur, pekerja keras, tulus, bersahabat, ramah dan peduli. Selanjutnya
guru perlu mengkinerjakan kwalitas pribadinya dalam kelas pembelajaran
sebagai figur yang berwibawa, tertib, disiplin, penuh gagasan dan berdedikasi.
Singkatnya, dalam model peran ini guru yang efektif dituntut memiliki kearifan
seperti Nabi Sulaiman, kaya gagasan seperti Sigmund Freud, berpengetahuan
seperti Albert Einstein dan berdedikasi seperti Florence Nightingale.
Jika diperhatikan seksama, penggambaran “Guru yang Ideal”
tersebut kurang dapat digunakan sebagai baku mutu yang jernih dan objektif
yang secara konsisten diterapkan kepada guru sehingga tidak dapat pula
dipakai sebagai dasar penyiapan pendidikan dan pengembangan kompetensi
kepribadian guru.
Guna mengatasi masalah tersebut, diupayakan untuk mengidentifikasi
Karakteristik Psikologik Guru yang Baik, yaitu dengan memilahnya sebagai
berikut (Klausmeier & Ripple, 1971):
17
1)
2)
3)
4)
Karakteristik kepribadian seperti motivasi berprestasi, kecakapan
mengarahkan diri dan keluwesan. Tes kepribadian berguna untuk
mengukur dalam lapangan kesehatan jiwa yang kemudian dipakai dalam
meramalkan perilaku guru di dalam kelas pembelajaran.
Karakteristik sikap, motivasi mengajar, empati terhadap siswa dan
komitmen pada tugas. Pengukuran sikap dilakukan dengan asumsi sikap
positif terhadap mengajar berhubungan dengan perilaku yang terpuji
dalam proses pembelajaran seperti menyusun dengan cermat Rencana
Persiapan Pembelajaran/RPP dan pelaksanaan pembelajaran yang
prima.
Karakteristik pengalaman berupa jumlah tahun/lama mengajar,
pengalaman mengajarkan bidang studi, pengalaman mengajar di kelas
tertentu di SD/SMP/ SMA/SMK dalam kurikulum yang spesifik untuk siswa
yang berlatar belakang tertentu, kiranya bermanfaat untuk meramalkan
kinerja guru.
Karakteristik prestasi studi dan bakat berupa Indeks Prestasi Studi
selama dalam pendidikan dan Penilaian Praktik Mengajar. Kedua jenis
informasi ini mengindikasikan sikap positif terhadap dunia pendidikan dan
diperkirakan dapat menjanjikan kinerja pembelajaran yang positif pula.
Tolok ukur kepribadian ini kurang mengindahkan unsur terpenting
dalam menetapkan pembelajaran yang sukses, yaitu kinerja belajar siswa
yang dibelajarkan guru. Pengukuran keefektifan pembelajaran guru perlu
mengindahkan pola-pola interaksi guru  siswa dalam pembelajaran yang
berpengaruh pada kinerja kognitif dan afektif siswa.
Di lain pihak dalam membahas guru yang ideal dan efektif,
Hadiyanto (2004) mewawancara guru-guru sekolah dasar, sekolah menengah
dan dosen di Padang, Padang Panjang, Agam, Bukittinggi. Hasil penelitian
menunjukkan guru di Indonesia sebaiknya mampu memainkan banyak peran
berikut: 1) Berkwalifikasi pendidikan sesuai jenjang pendidikan jenjang sekolah
guru itu mengajar. 2) Mempunyai visi dan misi sebagai guru. 3) Mampu
mentransfer ilmunya kepada siswa. 4) Mampu merubah sikap, mempengaruhi/
18
memotivasi siswa. 5) Sesuai dengan bidang/kompetensi. 6) Mampu menguasai
kelas. 7) Menguasai materi pelajaran. 8) Menggunakan metode pembelajaran
bervariasi. 9) Berwawasan luas. 10) Berkomunikasi dengan baik (bahasa
baku, suara, logat dan ekspresi tepat). 11) Human relation yang tepat/supel.
12) Sehat jasmani dan rohani. 13) Bermoral. 14) Berbudi pekerti luhur. 15)
Bertanggung jawab. 16) Disiplin. 17) Berdedikasi tinggi. 18) Berwibawa. 19)
Berjiwa besar. 20) Berjiwa sosial. 21) Jujur. 22) Adil. 23) Arif. 24)
Terpercaya. 25) Percaya diri. 26) Tegas. 27) Sabar. 28) Ramah. 29) Kreatif.
30) Inovatif. 31) Optimistik. 32) Mandiri. 33) Demokratik. 34) Humoris. 35)
Disenangi siswa. 36) Berperikemanusiaan. 37) Mampu bekerja sama dengan
baik. 38) Mempunyai prakarsa. 39) Berpenampilan menarik (pakaian, rambut,
make up dan gerak gerik). 40) Suri teladan bagi siswa.
Dekade 1950-an guru yang patut diteladani memiliki kecakapan
intelektual lebih tinggi serta memperoleh Indeks Prestasi Studi/IPK di atas
rerata. IPK dan nilai PPL Mengajar berkorelasi secara positif dan nyata meski
pada tingkat korelasi yang rendah dengan penilaian kepala sekolah atas guru
dalam dua tolok-ukur: penguasaan bidang studi dan disiplin guru. Penilaian
dosen pembimbing atas tampilan guru berkorelasi nyata pula dengan
penilaian kepala sekolah mengenai penguasaan bidang studi, disiplin guru dan
sikap tegas guru pada siswa (Klausmeier & Ripple, 1971). Sejumlah karakteristik
guru semisal ikhtiar, kecakapan akademik, ketepatan waktu dan terpercaya
yang memberi urunan pada IPK yang lebih tinggi di LPTK maupun nilai PPL
Mengajar berhubungan dengan sukses karir guru.
Eksperimen Hoyt (Klausmeier & Ripple, 1971) menunjukkan makin
guru memahami dan memiliki pengetahuan tentang siswa menghasilkan
membaiknya sikap siswa terhadap guru meskipun hal itu tidak berdampak
pada membaiknya prestasi siswa. Di lain pihak, eksperimen Ojemann &
Wilkinson (Klausmeier & Ripple, 1971) menunjukkan pengetahuan guru atas
siswa membuahkan bimbingan yang lebih efektif pada belajar akademik dan
pada perkembangan yang membaik pada kepribadian siswa.
19
Turner (Klausmeier & Ripple, 1971) menyatakan ada kaitan antara
karakteristik pribadi-sosial dengan kinerja guru dalam pemecahan masalah
pembelajaran serta dengan sukses pembelajaran. Minat guru terhadap
kesenian, kepribadian yang ramah, kecerdasan emosi dan antusiasme
mengajar dilaporkan sebagai karakteristik guru efektif. Namun hal ini
dipengaruhi oleh adanya perbedaan antar lokasi sekolah. Disadari adanya
kondisi yang tak dapat dikendalikan selaras dengan bervariasinya lokasi
sekolah sehingga ada guru yang sukses di satu sekolah tetapi gagal di
sekolah lainnya. Namun ada pendapat lain yang menyatakan sukses nyata
dalam pembelajaran berkorelasi rendah dengan kecakapan dan karakteristik
kognitif guru. Disamping itu penilaian pada kecakapan kognitif hanya
bermanfaat meramalkan efektivitas guru secara kelompok, bukan peramalan
atas perorangan guru.
Lingkup perbedaan di kalangan para guru dalam segi minat, sikap,
nilai-anutan dan integrasi kepribadian lebih tajam dibanding perbedaan
kecakapan intelektual umum maupun variabel lainnya karena LPTK lebih
selektif dalam variabel kognitif daripada afektif. Nampaknya perbedaan dalam
karakteristik afektif lebih penting dalam menetapkan sukses guru daripada
karakteristik kognitifnya.
Ryans (Klausmeier & Ripple, 1971) meneliti 6000 guru Sekolah
Dasar dan Sekolah Menengah selama periode 6 tahun dengan hasil “Guru
Berkwalitas Pribadi Lebih Tinggi” dengan karakteristik berikut: 1) Tulus menilai
perilaku dan motif orang lain serta mengekspresikan sikap ramah pada
sesama. 2) Bersikap sosial dan mudah bergaul; suka bergaul dengan siswa,
lebih memilih prosedur nondirektif dalam pembelajaran. 3) Mau
mendengarkan siswa, menerima sumbang saran siswa, bersedia memakai
gagasan siswa; mempercayai siswa. 4) Bersikap hangat, bersahabat, meminta
siswa mengemukakan pandangan pribadi, tidak suka menghukum siswa. 5)
Gemar membaca, suka sastra, musik, melukis dan seni. 6) Guru
menunjukkan minat lebih tinggi pada segi intelektual dan sosial. 7) Menilai diri
sangat berambisi dan berinisiatif, fasih/cerdas berbahasa serta penyesuaian
emosional memuaskan. 8) Menunjukkan organisasi kepribadian bertaraf
20
tinggi, arif dan bernalar, cakap bergaul dan rendah sikap agresivitasnya.
Karakteristik guru lainnya yang berkorelasi dengan efektifitas
pembelajaran adalah jender guru. Jender guru menunjukkan perbedaan minat,
sikap dan nilai anutan selaras dengan jenjang pendidikan guru. Guru TK dan
SD Kelas Rendah didominasi guru perempuan, bagian terbesar Kepala
Sekolah adalah guru laki-laki. Bidang studi Ilmu Alam dan Matematika lebih
dipilih oleh kaum laki-laki, sedangkan bidang studi Ilmu Sosial Budaya/
Bahasa diminati kaum perempuan. Nampak faktor biologik yang lekat dengan
perbedaan jender dipadu dengan faktor budaya yang mengarahkan pilihan guru
pada jenjang pendidikan dan pilihan bidang studi. Latar belakang pekerjaan
orang tua guru ikut mewarnai pilihan karir pendaftar LPTK. Pengamatan
sekilas wawancara penerimaan calon mahasiswa kependidikan di UKSW
menunjukkan sebagian besar orang tua, baik ayah, ibu dan justru ayah dan
ibu calon mahasiswa bekerja sebagai Guru SD atau SMP, sebagian lagi
menyatakan kakaknya menjadi guru SD.
21
Download