BAB I PENGERTIAN GURU BESERTA KARAKTERISTIK GURU 1.1 Pengertian Guru Salah satu fenomena abad ini adalah munculnya pendidikan sebagai daya utama (major force) dalam perkembangan manusia. Pendidikan membedakan orang yang berpartisipasi aktif dalam ekonomi nasional, memiliki kehidupan menarik dan kaya nuansa keterlibatan intelektual dan sosial, membedakan yang cakap dengan yang kurang cakap. Pada wawasan internasional, berbedaan dasar bangsa miskin dan bangsa baru naik-daun (emergence) serta macet (stagnant) terletak pada taraf tingginya dedikasi bangsa pada pembangunan dan perluasan program pendidikan. Bangsa yang lebih makmur-sejahtera (affluent), perkembangan ekonomi dan layanan sosial nasionalnya menumbuhkan permintaan besar lulusan sekolah yang terdidik dan terlatih. Semakin besar jumlah permintaan akan pasokan lulusan sekolah dalam masa tigapuluh tahun terakhir. Dampak ekspansi cepat program pendidikan dan meningkatnya permintaan pasokan manusia terdidik menjadikan guru makin dipentingkan dibanding masa di mana pendidikan dianggap kurang esensial. Guru mendapati masa emas dan menyenangkan ini dalam berbagai ragam reaksi positif, terutama dengan meningkatnya status ekonomi guru. Namun status dan kesejahteraan yang membaik ini menuntut guru lebih efektif. Siswa dan orangtua makin terbuka menyampaikan kekesalan atas kesibukan dan susahpayah karena tugas siswa tidak masuk-akal. Mereka menuntut pengalaman belajar berbuahkan-hasil berupa kesiapan optimal siswa menempuh tingkat pendidikan berikutnya atau untuk memperoleh pekerjaan, paling tidak membuahkan-hasil berupa minat dan keterhubungan isi pendidikan dengan masalah dan kehidupan sehari-hari. 1 Salah satu dampak iringan ledakan pendidikan adalah guru dipaksa menjadi makin pakar dan profesional. Ada anggapan tiap orang dapat mengajar. Tetapi guru makin sukses menunjukkan yang telah bekerja sebagai guru semestinya mengetahui seluk-beluk mengajar maupun bidang studi yang diajarkan. Pemahaman guru tentang pembelajaran efektif sangat bernuansa psikologi. Belajar dan pembelajaran adalah proses psikologis dan guru yang memahaminya berposisi lebih baik untuk mengembangkan prosedur dan teknik belajar lebih efektif. Dengan pemahaman itu, ia mengembangkan kepakaran dan kompetensi menangani masalah kependidikan dalam pola yang profesional. Apapun pengakuan atas pekerjaan mengajar sebagai profesi di masa kini sebagian besar andil Psikologi Pendidikan. Makin kurang profesional dan makin amatiran guru, maka makin besar kecondongannya mengabaikan prinsip-prinsip psikologi. Makin profesional dan kompeten guru, makin besar kecondongan memiliki pemahaman berkelas pakar atas prinsip psikologi. Sesungguhnya guru efektif adalah psikolog pendidikan paroh-waktu. Merujuk pada takrif (pengertian) yang telah dirumuskan oleh Konferensi Antar Pemerintah yang diselenggarakan oleh UNESCO & ILO di Paris tahun 1966, yang merupakan takrif yang bersifat internasional dalam sejarah kependidikan, perkataan “guru” meliputi “semua orang di sekolah yang bertanggung jawab dalam pendidikan para siswa”. Jika ditelaah khususnya dari situasi pendidikan di Tanah Air, takrif tersebut mengandung beberapa kelemahan, yaitu: 1. Tidak semua orang di sekolah walaupun bertanggung jawab dalam pendidikan siswa, disebut sebagai “guru”, misalnya para penjaga sekolah. 2. Tanggungjawab terhadap pendidikan siswa tidak semata-mata berlangsung di sekolah, bahkan di luar sekolahpun oleh orang-orang yang juga berwenang dalam hal itu. Dalam sistem sekolah di Indonesia, penyelenggaraan kurikulum sekolah “melampaui” batas-batas areal sekolah, bahkan kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler telah lama diselenggarakan di luar jam dan areal sekolah. 2 3. 4. Tanggungjawab mendidik siswa mengeksplisitkan sistem pembelajaran klasikal para siswa yang dihadapi guru. Bagaimana dengan sistem pembelajaran individual? Dalam pendidikan modern yang juga dikembangkan di Indonesia, justru ditekankan pada “self study” siswa secara lebih efektif melalui pembelajaran yang disusun secara berprograma (programmed instruction) di bawah supervisi guru. Kriteria yang terpenting dan sangat menentukan dalam tiap takrif tentang guru, ialah “kewenangan” sebagai guru. Sebab tidak semua orang yang bertanggung jawab dalam pendidikan memiliki wewenang kependidikan, wewenang itu hanya diperoleh melalui pendidikan/latihan kependidikan. Setelah mengemukakan beberapa kelemahan dari takrif hasil Konferensi Internasional tentang guru itu, dapat dirumuskan bahwa guru ialah semua orang yang berwewenang dan bertanggung jawab terhadap pendidikan siswa, individual maupun klasikal, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Guru yang dimaksudkan di sini mencakup semua guru dari tingkat pra sekolah (Taman Kanak-kanak) sampai pada Guru Besar (Profesor) di Pendidikan Tinggi, yang berstatus sebagai Pegawai Negeri dan Pegawai Swasta. Seberapa jauh kewenangan seseorang sebagai guru tercermin dalam persyaratan-persyaratan sebagai guru yang akan diuraikan di bawah ini. 1.2 Syarat-Syarat Menjadi Guru Tidaklah cukup pengangkatan guru dengan SK (Surat Keputusan) dari instansi yang berwewenang menjadikan sifat “formal”, seseorang dianggap sebagai guru. Sebab secara “material” orang tersebut mungkin tidak atau belum memiliki wewenang sebagai guru. Jabatan guru sebagai suatu “profession” yaitu jabatan atau pekerjaan yang membutuhkan keahlian (pendidikan atau latihan) khusus di bidang kependidikan, perlu memiliki syarat-syarat tertentu. Hal ini justru untuk menjunjung martabat guru dan menjamin mutu pendidikan dan pembelajaran yang diselenggarakan oleh guru. Jika kita hendak meningkatkan mutu pendidikan, pembelajaran dan 3 martabat guru, maka profesi guru perlu dijaga agar tidak “diperkosa” oleh orang-orang yang tidak berwewenang di bidang pendidikan. Oleh karena itu maka seorang guru perlu memenuhi syarat-syarat yang mutlak perlu, yaitu: 1.2.1 Syarat Profesional Seorang guru perlu memiliki keahlian di bidang kependidikan yang meliputi: 1) Pengetahuan (knowledge) di bidang kependidikan dan keguruan yang bersifat umum (general education) maupun yang bersifat khusus (special education). Sekurang-kurangnya guru perlu mempunyai pengetahuan tentang Ilmu Mendidik (Pedagogi), Ilmu Jiwa (Psikologi), Ilmu Mengajar dan cara-cara Mengajar (Didaktik dan Metodik) serta tentang Kepemimpinan yang menyangkut segi-segi Administrasi dan Supervisi di bidang pendidikan atau persekolahan. Selain daripada itu ia pun perlu memiliki pengetahuan khusus yang dipilihnya sebagai spesialisasi, yang menyangkut mata-mata pelajaran tertentu (subject matter) yang akan diajarkan dan cara membelajarkannya (Metodik Khusus Pelajaran). 2) Keterampilan (skills) di bidang kependidikan Seorang guru yang profesional perlu memiliki keterampilan dalam mengajar pada khususnya, dan kemampuan dalam mendidik pada umumnya, yang pada hakekatnya adalah memiliki kesanggupan dalam memimpin kelasnya. Keterampilan mengajar, mengandung penguasaan akan metodemetode khusus tentang mata-mata pelajaran spesialisasi yang dibelajarkannya. Ia pun perlu memiliki kemampuan dalam mendidik atau membimbing siswanya, dalam arti bahwa ia perlu menguasai teknik-teknik bimbingan dan konseling serta perlu menguasai teknik-teknik kepemimpinan, terutama dalam managemen kelas. Darimana guru memperoleh pengetahuan (knowledge) dan melatih keterampilan (skills) yang dibutuhkan? Hanyalah Lembaga Pendidikan dan Latihan Kependidikan yang berkompeten dalam hal ini. Individu yang 4 mempunyai latarbelakang pendidikan bukan guru dan ingin menjadi guru terlebih dahulu harus menempuh pelatihan guna memperoleh sertifikasi pendidik/ Akta Mengajar pada Lembaga Pendidikan atau Latihan Kependidikan sebelum diangkat menjadi guru. Justru kini guru dituntut memiliki sertifikat pendidik yang diperoleh melalui PLPG dan Program Profesi Guru di LPTK. 1.2.2 Syarat “Personal” Yang dimaksudkan dengan syarat-syarat “personal” di sini adalah syarat-syarat yang menyangkut diri pribadi orang yang menjadi guru, yang meliputi: 1) Kesehatan Fisik, guru sehat fisik atau jasmaninya, tidak sakit-sakitan, apalagi mengidap penyakit menular, seperti TBC dan sebagainya. Mengenai jasmani yang “cacat” seperti buta, dewasa ini bukanlah merupakan hambatan utama (handicap) bagi orang yang merasa “dipanggil” menjadi guru. Indonesia kini telah mempunyai beberapa Sarjana Pendidikan lulusan FKIP/IKIP/STKIP yang tuna netra. 2) Kesehatan Psikis; guru hendaklah sehat jiwanya, sehat mental atau rohaninya. Orang yang menderita penyakit jiwa atau gangguangangguan syaraf, janganlah diangkat menjadi guru. 3) Kesehatan Psikosomatis; guru secara ideal, haruslah sehat jasmani dan rohaninya. Pribadi seseorang memang tidak dapat dibagi-bagi, ia merupakan suatu individualitas, suatu kesatuan “psychosomatis” (psyche = jiwa, soma = tubuh). Kedua aspek dari satu kesatuan itu saling mempengaruhi. Bahwa gangguan-gangguan pada tubuh dapat mempengaruhi fungsi–fungsi tertentu, dan sebaliknya. Maka sangatlah ideal, bila guru bukan hanya sehat jasmani dan rohaninya, tetapi haruslah memiliki kesehatan “psikofisis” atau “psikosomatis” yang baik. 4) Integritas Pribadi; syarat “personal” ini menyangkut kepribadian (personality) guru sebagai suatu totalitas. Kita membutuhkan guru-guru yang telah terintegrasi kepribadiannya yang “dewasa” dalam arti pedagogis, yaitu sudah “matang baik secara jasmani, jiwani, emosi dan 5 sosial”, yang sudah sanggup “mengambil keputusan sendiri atas tanggung jawab sendiri”. 1.2.3 Syarat “Morality” Dalam usaha meningkatkan martabat guru dewasa ini, moralitas (kesusilaan) merupakan faktor yang terpenting. Faktor ini lebih menyangkut watak pribadi seseorang, suatu pertanda kemampuan seseorang bertindak susila. Dibutuhkan guru yang bukan hanya dapat mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk, akan tetapi yang sanggup berbuat menurut norma-norma kesusilaan. Oleh karena itu janganlah diangkat menjadi guru orang-orang tidak bermoral atau tidak berkesusilaan baik wanita maupun pria. Akan tetapi bila ternyata “salah angkat”, supaya segera pengangkatannya ditinjau kembali daripada menodai profesi kependidikan. 1.2.4 Syarat “Religiousity” Syarat berkeagamaan (religiousity) ini haruslah menjadi syarat mutlak bagi orang-orang yang hendak menjadi guru di bumi Indonesia ini sebagai perwujudan falsafah Pancasila secara konsekwen. Bila dianalisis, perbuatan orang yang tidak bermoral atau tidak berkesusilaan itu adalah perbuatan orang yang bukan hanya tidak mengindahkan norma kesusilaan, akan tetapi pada hakekatnya adalah tidak mengindahkan norma keagamaan atau keTuhanan. Oleh karena itu janganlah diangkat menjadi guru orang yang tidak beragama yang tidak mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa, sumber segala norma hidup. 1.2.5 Syarat “Formality” Keempat syarat di atas (professional, personal, morality, religiousity) merupakan prasyarat-prasyarat yang sine qua non (mutlak perlu dipenuhi), sebelum seseorang secara formal (resmi) diangkat menjadi guru (dengan Surat Keputusan) dari instansi yang berwewenang. Sebab Surat Keputusan Pengangkatan (SP) ini hanyalah syarat formal yang memperkuat wewenang 6 seseorang menjadi guru. Bahkan SP ini ditinjau kembali bila ternyata ada kekeliruan dalam penetapannya. Demikianlah syarat-syarat vital yang mutlak perlu dipenuhi seseorang bila menjadi guru. Jika kita hendak menjunjung tinggi profesi guru yang akan meningkatkan mutu pendidikan dan pembelajaran di Sekolah, maka syaratsyarat vital tersebut mutlak diperhatikan dan diperhitungkan dalam proses “seleksi” terhadap individu yang ingin menjadi guru. 1.3 Pengembangan Sumberdaya Guru Sumberdaya kependidikan yang sering disebut tenaga kependidikan, merupakan komponen yang amat penting dalam penyelenggaraan pendidikan. Law & Glover (2000) menyatakan bahwa sumberdaya tenaga kependidikan merupakan komponen determinan dalam menyelenggarakan manajemen sumberdaya manusia serta menempati posisi kunci dalam sistem pendidikan. Dampak kualitas profesional dan kinerjanya bukan hanya akan dikontribusi terhadap kualitas lulusan yang dihasilkan, melainkan juga berlanjut pada kualitas kinerja para lulusan (outcomes) yang pada gilirannya tentu saja berpengaruh juga pada peradaban dan martabat hidup masyarakat, bangsa serta umat manusia pada umumnya. Organisasi pendidikan merupakan lembaga pendidikan yang memiliki potensi sumberdaya manusia, salah satu diantaranya adalah tenaga guru. Guru memiliki peran multidimensional karena bermanfaat sebagai penentuan strategi yang tepat untuk membina hubungan baik dan sesuai dengan keinginan siswa. Guna mengkaji peran multidimensional sumberdaya manusia pada organisasi pendidikan, diperlukan upaya pengembangan sumberdaya terutama bagi guru agar pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan yang dimilikinya selalu berkembang seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang terjadi begitu cepat. Pengembangan sumberdaya guru perlu direncanakan dengan seksama, karena pengembangan ini akan berdampak pada peningkatan kinerja guru yang akan meningkatkan mutu pendidikan. 7 Menurut Hoyle dalam Sofiah (2004) pengembangan guru mencakup pengembangan mengajar sebagai suatu profesi (the development of teaching as a profession) dan pengembangan profesional pengajar sebagai individu (the profesional development of teachers as individuals). Selanjutnya tujuan pengembangan ini menurut Kusumastuti (2001) diarahkan pada pemenuhan tiga tuntutan kebutuhan, yaitu: 1) Kebutuhan sosial akan sistem pendidikan yang dapat mengadaptasi perkembangan kebutuhan lingkungan, maka pengembangan guru ditujukan agar yang bersangkutan mampu mengadaptasikan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni sesuai kebutuhan dan tuntutan masyarakat. 2) Kebutuhan untuk mencari bentuk atau cara yang dapat membantu guru memperbaiki serta menyempurnakan potensi akademik, personal dan sosial. Pengembangan guru diarahkan pada kriteria kinerja yang diharapkan. 3) Kebutuhan untuk mengembangkan serta mendorong semangat hidup guru. Castetter (1996) menjelaskan pengembangan guru berkaitan dengan istilah inservice education, staff development, professional development, continuing education, dan advanced degree work, yang dijelaskan staff development dilakukan tenaga edukatif dalam rangka peningkatan diri yang berorientasi pada perkembangan. Sedang in service education diasumsikan ada kekurangan pada tenaga edukatif yang mensyaratkan perlu peningkatan seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan metode yang memadai. Staff development tidak mengasumsikan adanya kekurangan pada tenaga edukatif tetapi diasumsikan perlunya personil menumbuh-kembangkan kemampuannya. Selanjutnya dijelaskan bahwa pengembangan staff dalam meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia meliputi program jangka pendek dan jangka panjang yang memiliki tujuan masing-masing seperti termuat dalam gambar berikut ini. 8 Development Needs - objectives Position Effectiveness Position Transition Profesional Development Personal Development Position Security Unit Improvement System Improvement Development Groups Individuals Groups Intergroups Organization Development Process Formal and Informal Approaches on the job Sumber: Castetter, 1996 Gambar 1. Tipe Pengembangan Staf Gambar 1. di atas menjelaskan pengembangan staf pada dasarnya merupakan tindak lanjut yang berkesinambungan dari kegiatan rekrutmen, seleksi, pengangkatan dan penempatan. Pengembangan disesuaikan dengan kebutuhan, pengembangan individu, pengembangan profesional, pengembangan sistem dan pengembangan yang lain. Kemudian cara pengembangannya apakah secara individu, kelompok, antar kelompok, maupun organisasi, dan cara proses pengembangan staf itu sendiri, apakah secara formal, atau secara non formal. Dalam dunia pendidikan, rekrutmen diartikan sebagai kegiatan menarik sejumlah personil yang dibutuhkan dalam sistem pendidikan, yang memenuhi kualitas tertentu (Castetter, 1996). Tujuannya adalah pemenuhan kebutuhan personil baik jangka pendek maupun jangka panjang. Jangka pendeknya berarti memenuhi kebutuhan akan personil sesuai dengan tuntutan saat ini, sedangkan jangka panjangnya adalah memenuhi penyediaan personil secara berkelanjutan baik personil pelayanan maupun personil profesional (Uwes, 2003). Sebagian bagian dari kegiatan “the hiring function” kegiatan rekrutmen ditindaklanjuti dengan kegiatan seleksi atau keputusan tentang identifikasi personil yang cocok dengan kebutuhan (Gibson et al, 1988). 9 Berkaitan dengan itu Kaufman (1972) mengemukakan adanya kesatuan antara identifikasi kebutuhan, penentuan persyaratan personil untuk memenuhi kebutuhan, strategi seleksi, evaluasi efektivitas penampilan sesuai dengan kebutuhan dan kesiapan merubah beberapa langkah yang diperlukan untuk mencapai sistem pendidikan yang responsif, efektif dan efisien. Castetter (1996) memberi beberapa rambu untuk mencapai efektifitas rekrutmen tersebut seperti berikut: 1) Kegiatan dalam proses rekrutmen dibimbing dan dikoordinasikan dengan ketetapan sebelumnya tentang sumberdaya manusia. Perencanaan sumberdaya manusia menetapkan beberapa posisi yang harus dipenuhi melalui rekrutmen. 2) Proses rekrutmen merupakan hal yang esensial, namun bukan merupakan aspek yang terpisahkan dari keseluruhan fungsi personalia. 3) Proses rekrutmen merupakan perencanaan yang penuh kehati-hatian, terorganisasi, langsung, terkendali, terus menerus tanpa henti. 3) Dilanjutkan adanya partisipasi staf dalam formulasi dan perencanaan pelaksanaan rekrutmen. 4) Terdapat suatu badan yang bertanggungjawab untuk menggerakkan dan mendelegasikan pada kegiatan pelaksanaan. 5) Penetapan jumlah dan mutu kebutuhan personil, standar kualifikasi perencanaan tempat dan kegiatan serta penilaian efektivitas perencanaan rekrutmen. 6) Penelitian personil yang memenuhi syarat sesuai dengan kebutuhan lapangan. Berkaitan dengan perencanaan sumberdaya manusia, kegiatan rekrutmen seperti yang terlihat dilihat di gambar berikut: 10 Proyeksi Profil Tenaga Struktur Organisasi Yang Diharapkan Personil yang Ada Persyaratan Personil Masa Depan Sumber Ekternal Sumber Internal Perencanaan Rekrutmen Yang Specifik Perencanaan yang Spesifik tentang tranfer, promosi, pengembangan, dan pemanfaatan Sumber : Castetter, 1996 Gambar 2. Perpaduan Perencanaan SDM dengan Rekrutmen Melalui rambu-rambu tersebut, dapat dikatakan kegiatan rekrutmen guru sangat penting. Menurut Trauss dan Sayles dalam Sudarmayanti (2001) kegiatan pertama dan utama dalam organisasi pendidikan adalah mendapatkan guru bermutu. Suplai orang yang cakap sama pentingnya dengan suplai uang, bahan atau kurikulum, bahkan dikatakan sebagai sentra kegiatan dalam pendidikan. Proses pengembangan sumberdaya guru merupakan kegiatan yang vital dalam organisasi pendidikan baik secara mikro maupun makro, disamping itu pengembangan sumberdaya guru merupakan salah satu bentuk investasi. Pengembangan sumberdaya guru secara makro terarah dan terencana disertai pengelolaan yang baik dalam organisasi pendidikan sangat penting dalam pencapaian mutu secara optimal. 1.4 Riset dan Program Pengembangan Calon Guru Salah satu alasan penyelenggaraan riset dan program pengembangan kepribadian maupun kompetensi mahasiswa kependidikan di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan/LPTK adalah untuk memperoleh 11 landasan berpijak guna mengembangkan dan memperbaiki program yang ditawarkan. Pendidikan calon guru menghendaki agar program pembelajaran perlu diselenggarakan untuk lebih menjamin keterbentukannya guru-guru yang efektif dalam mempengaruhi proses penyiapan SDM bangsa. Efektifitas penyelenggaraan program pendidikan calon guru perlu didasarkan pada riset dan kajian lainnya terutama tentang input, proses dan output peserta program. Pengembangan kepribadian mahasiswa di LPTK diperlukan untuk lebih menjamin kwalitas kompetensi kepribadian lulusannya. Pendidikan guru menghendaki agar kurikulum dirancang sedemikian rupa untuk lebih menjamin keterbentukannya guru yang efektif dalam mempengaruhi penyiapan Sumber Daya Manusia/ SDM bangsa Indonesia yang berkwalitas. Namun penyelenggaraan program pendidikan guru perlu didasarkan pada landasan hukum yang berlaku serta pada riset tentang input, process dan output program. Siapakah guru itu? Di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, di Pasal 1 dinyatakan yang dimaksudkan dengan guru “… adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini, jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah.” Berkenaan dengan kompetensi guru dinyatakan pula bahwa kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati dan dikuasai oleh guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Selanjutnya, di Pasal 7 Ayat 1 dalam UU Guru dan Dosen tersebut dinyatakan bahwa profesi guru merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip berikut: 1) Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme. 2) Memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia. 3) Memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas. 4) Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas. 5) Memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan. 6) Memperoleh 12 penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja. 7) Memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat. 8) Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. 9) Memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru. Ditambahkan pada Pasal 7 Ayat 2 bahwa pemberdayaan profesi guru diselenggarakan melalui pengembangan diri yang dilakukan secara demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif dan berkelanjutan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, kemajemukan bangsa dan kode etik profesi. Dengan mengacu pada Pasal 1 dan Pasal 7 UU Guru dan Dosen, LPTK perlu mengupayakan agar sosok guru yang dikehendaki oleh undangundang dan masyarakat sebagai stakeholders pendidikan perlu menjadi rambu-rambu dalam proses kependidikan calon-calon guru dan pendidik. Padahal masyarakat modern menuntut hadirnya “Guru yang terdidik baik”. Meningkatnya kebutuhan pasokan guru yang memenuhi kriteria “Guru Baik” menuntut LPTK cermat mengevaluasi kembali sistem dan program pendidikan yang diselenggarakan. Untuk memenuhi keperluan ini, LPTK perlu mengkaji variabel mahasiswa yaitu latar belakang sosial budaya, pilihan karir, kecakapan intelektual, karakteristik kepribadian, sikap dan motivasi mahasiswa. Guru adalah figur sentral dalam proses pendidikan dan pembelajaran sehingga guru diharapkan memiliki karakteristik kepribadian yang khas dan ideal sesuai dengan persyaratan menjadi guru yang berlandaskan pada kaidah psikologi-pedagogi. Mempengaruhi dan melancarkan proses pendidikan agar berlangsung pembentukan kepribadian sehingga mahasiswa kependidikan menjadi guru profesional adalah salah satu cara yang tepat untuk meningkatkan kwalitas pendidikan. Sanford et al (Lomax, 1972) mengungkapan temuan penelitian pada 97 mahasiswa sain, sejumlah 37 mahasiswa (38%) memperoleh dorongan aktif dari orangtuanya agar berprestasi dalam studi, sekitar 5% responden pilihan karir kependidikannya ditentang orangtua. Latar belakang pekerjaan 13 orang tua mahasiswa adalah pekerja terampil dan sedikit sekali diantaranya yang menempuh studi universiter. Berarti kekurangmampuan orangtua membimbing anak secara edukasional dan vokasional diduga berhubungan dengan kurang mantapnya pilihan studi dan karir mahasiswa itu. Smelser & Steward (Lomax, 1972) menemukan dominasi populasi mahasiswa kependidikan yang berkedudukan sebagai anak pertama dalam keluarga. Bahkan pada keluarga yang beranak sedikit, urutan kelahiran dan jenis kelamin anak secara berarti mempengaruhi kesempatan belajar yang diberikan kepada anak oleh orangtua untuk menempuh perguruan tinggi kependidikan. Ditambahkannya, guru berpendidikan universiter yang semula berasal dari kelas sosial menengah bawah, sedikit sekali yang mengalami hambatan dalam studi dan perjalanan karirnya. Pengalaman belajar di sekolah menengah diduga ikut membentuk minat yang menentukan pilihan karir siswa. Butcher & Pont (Lomax, 1972) meminta 1.100 siswa sekolah menengah memilih 15 macam karir. Meskipun siswa laki-laki dan perempuan menunjukkan minat dan aspirasi karir yang berbeda nyata, namun seluruh kategori siswa bersepakat akan manfaat dan prestise berbagai jabatan. Siswa perempuan menempatkan jabatan guru pada prioritas pertama pada preferensi jabatannya. Siswa laki-laki yang memprioritaskan preferensi karir pertamanya di bidang teknik menempatkan jabatan guru pada preferensi jabatan urutan ke lima. Evans (Lomax, 1972) menemukan siswa yang menyatakan amat suka belajar di sekolah adalah siswa yang paling tertarik dengan karir guru. Didapat korelasi tinggi antara skor survai minat dengan skor Praktik Pengalaman Lapangan/PPL Mengajar mahasiswa kependidikan. Morris (Lomax, 1972) menemukan pula mahasiswa yang mengakui “Prospek Jenis Pekerjaan yang Menarik” yang mendasari alasan mahasiswa kependidikan akhirnya memilih jabatan sebagai guru. Segi-segi yang serba menantang pada profesi guru adalah daya tarik utama bagi banyak mahasiswa yang pada akhirnya berketetapan hati (committed) memilih profesi guru. 14 Penelitian di Inggris (Lomax, 1972) menemukan 3 kelompok peran kependidikan yang diminati dan akhirnya menjadi dasar utama keputusan karir. Peran kependidikan itu adalah: 1) Guru sebagai pendidik. 2) Guru sebagai pekerja/pegawai. 3) Guru sebagai pribadi/perorangan. Disarankan LPTK lebih memprioritaskan derajad kekuatan hasrat menjadi guru dalam penerimaan mahasiswa baru daripada aspek lainnya. Justru pada golongan mahasiswa kependidikan yang sedemikian besar hasrat kependidikannya dapat berketetapan hati pada pilihan profesi guru (Aspin, dalam Lomax, 1972). Kecakapan intelektual mahasiswa kependidikan perlu menjadi bahan pertimbangan dalam seleksi mahasiswa baru. Lomax (1972) menemukan mahasiswa kependidikan di Inggris mendapat skor tes inteligensi dan pemahaman verbal lebih tinggi daripada mahasiswa kependidikan AS. Mahasiswa calon guru sekolah menengah berskor tes inteligensi lebih tinggi daripada mahasiswa pendidikan guru sekolah dasar yang sebenarnya menunjukkan minat yang tinggi dan suka mengajar anak. Tanlain (2005) meneliti alasan-alasan menempuh pendidikan guru pada mahasiswa D-II PGSD di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Hasil penelitian menunjukkan: 1) Jawaban dua alasan menampilkan enam kategori orientasi relasi nilai-nilai yaitu kategori gengsi sosial-menolong anak nomor urut 1 (31%); kategori dapat uang menolong anak nomor urut 2 (25%); kategori kerjasama-menolong anak nomor urut 3 (17%); kategori kembangkan bakat menolong anak nomor urut 4 (11%); kategori dapat uang-gengsi sosial nomor urut 5,5 (8%); kategori kerjasama-dapat uang nomor urut 5,5 (8%). 2) Jawaban tiga alasan menampilkan empat kategori orientasi relasi nilai-nilai yaitu kategori dapat uang-gengsi sosial-menolong anak nomor urut 1 (37%); kategori kerjasama-gengsi sosial-menolong anak nomor urut 2,5 (26%); kategori kerjasama-dapat uang-menolong anak nomor urut 2,5 (26%); kategori dapat uang-kembangkan bakat-menolong anak nomor urut 4 (11%); keadaan ini menandakan bahwa para mahasiswa sudah memiliki seperangkat nilai (individu, sosial, ekonomi) yang mendasari pilihan mereka menempuh pendidikan guru. Kategori-kategori orientasi relasi nilai-nilai di atas berbeda dengan tiga kategori yang dikemukakan Rosenberg (kerjasama-menolong; 15 gengsi sosial-dapat uang; kembangkan kreativitas-bakat). Berdasarkan hasil penelitian tersebut dianjurkan bahwa sebaiknya para lulusan sekolah menengah yang bercita-cita menjadi guru khususnya guru sekolah dasar, langsung menempuh program pendidikan guru. Sampai kini sedikit sekali diketahui besaran korelasi antara karakteristik kepribadian guru dengan efektifitas kinerja guru. Ditemukan bahwa selama tahun pertama masa kuliahnya, mahasiswa kependidikan tidak mengalami perubahan nyata dalam skor sikap-sikap kependidikannya. Padalah sikap kependidikan yang sesuai menunjuk pada disposisi/ kecenderungan untuk memberi tanggapan pada masalah kependidikan yang sesuai pula. Setahun masa kuliah memang menghasilkan penguasaan informasi, memperoleh tilikan (insight) dan keterampilan tertentu tetapi mahasiswa masih mempertahankan pendapat dan kecenderungan keyakinan yang belum tentu selaras dengan karakteristik kependidikan guru yang dikehendaki. Klausmeier & Ripple (1971) merinci karakteristik guru berikut: 1) Karakteristik guru yang efektif. 2) Pemilahan pola peran guru yang mensyaratkan jenis dan jumlah pendidikan, pengalaman dan kepemimpinan yang bervariasi. 3) Peran organisasi guru dalam mengupayakan meningkatnya kwalitas pendidikan. Berarti pemikiran tidak hanya menyangkut guru sebagai perorangan saja tetapi memperkirakan pula kemungkinan perubahan pola jabatan serta karakteristik organisasi yang menghimpun guru. Sebagai ancangan penyiapan guru, ditelaah karakteristik dan perilaku guru. Karakteristik dan perilaku guru, dikerangkai sebagai kriteria efektifitas guru, yaitu: 1) Penilaian bertolok-ukur produk/hasil; kompetensi guru dalam wujud seberapa tinggi prestasi yang dicapai siswa dalam ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Penilaian langsung melalui tes/ skala penilaian atas kinerja guru sebelum, selama dan seusai pembelajaran. 2) Penilaian bertolok-ukur proses; penilaian atas efektifitas guru ditempuh dalam kerangka perilaku guru, perilaku siswa dan interaksi guru dengan siswa namun bukan bertolak dari prestasi siswa. Penilaian langsung 16 3) melalui observasi terhadap perilaku guru dan siswa serta interaksi di antara kedua belah pihak tersebut. Penilaian bertolok-ukur presage/faktor daya ramal; penilaian efektifitas guru di masa kini dan peluang efektifitas guru di kemudian hari didasarkan pada kecakapan intelektual, indeks prestasi dan tampilan pribadi. Penilaian secara langsung menghubungkan variabel proses yang secara eksplisit telah dijabarkan dengan variabel perilaku guru, yang di dalamnya mencakup indeks prestasi, hasil tes dan skala penilaian perilaku di luar kelas. Bagaimana penggambaran guru yang efektif? Awam menggambarkan “Guru yang baik” adalah “Orang yang baik”. Pernyataan ini menunjukkan adanya Model Peran Guru, yaitu model yang memenuhi gagasan ideal masyarakat bahwa guru adalah warga negara yang baik, orangtua yang baik dan pegawai yang baik. Di masa lalu guru diapresiasi pertama-tama berdasarkan kebaikannya sebagai perorangan, baru kemudian pada perilakunya di hadapan siswa. Guru diharapkan tampil sebagai sosok pribadi yang jujur, pekerja keras, tulus, bersahabat, ramah dan peduli. Selanjutnya guru perlu mengkinerjakan kwalitas pribadinya dalam kelas pembelajaran sebagai figur yang berwibawa, tertib, disiplin, penuh gagasan dan berdedikasi. Singkatnya, dalam model peran ini guru yang efektif dituntut memiliki kearifan seperti Nabi Sulaiman, kaya gagasan seperti Sigmund Freud, berpengetahuan seperti Albert Einstein dan berdedikasi seperti Florence Nightingale. Jika diperhatikan seksama, penggambaran “Guru yang Ideal” tersebut kurang dapat digunakan sebagai baku mutu yang jernih dan objektif yang secara konsisten diterapkan kepada guru sehingga tidak dapat pula dipakai sebagai dasar penyiapan pendidikan dan pengembangan kompetensi kepribadian guru. Guna mengatasi masalah tersebut, diupayakan untuk mengidentifikasi Karakteristik Psikologik Guru yang Baik, yaitu dengan memilahnya sebagai berikut (Klausmeier & Ripple, 1971): 17 1) 2) 3) 4) Karakteristik kepribadian seperti motivasi berprestasi, kecakapan mengarahkan diri dan keluwesan. Tes kepribadian berguna untuk mengukur dalam lapangan kesehatan jiwa yang kemudian dipakai dalam meramalkan perilaku guru di dalam kelas pembelajaran. Karakteristik sikap, motivasi mengajar, empati terhadap siswa dan komitmen pada tugas. Pengukuran sikap dilakukan dengan asumsi sikap positif terhadap mengajar berhubungan dengan perilaku yang terpuji dalam proses pembelajaran seperti menyusun dengan cermat Rencana Persiapan Pembelajaran/RPP dan pelaksanaan pembelajaran yang prima. Karakteristik pengalaman berupa jumlah tahun/lama mengajar, pengalaman mengajarkan bidang studi, pengalaman mengajar di kelas tertentu di SD/SMP/ SMA/SMK dalam kurikulum yang spesifik untuk siswa yang berlatar belakang tertentu, kiranya bermanfaat untuk meramalkan kinerja guru. Karakteristik prestasi studi dan bakat berupa Indeks Prestasi Studi selama dalam pendidikan dan Penilaian Praktik Mengajar. Kedua jenis informasi ini mengindikasikan sikap positif terhadap dunia pendidikan dan diperkirakan dapat menjanjikan kinerja pembelajaran yang positif pula. Tolok ukur kepribadian ini kurang mengindahkan unsur terpenting dalam menetapkan pembelajaran yang sukses, yaitu kinerja belajar siswa yang dibelajarkan guru. Pengukuran keefektifan pembelajaran guru perlu mengindahkan pola-pola interaksi guru siswa dalam pembelajaran yang berpengaruh pada kinerja kognitif dan afektif siswa. Di lain pihak dalam membahas guru yang ideal dan efektif, Hadiyanto (2004) mewawancara guru-guru sekolah dasar, sekolah menengah dan dosen di Padang, Padang Panjang, Agam, Bukittinggi. Hasil penelitian menunjukkan guru di Indonesia sebaiknya mampu memainkan banyak peran berikut: 1) Berkwalifikasi pendidikan sesuai jenjang pendidikan jenjang sekolah guru itu mengajar. 2) Mempunyai visi dan misi sebagai guru. 3) Mampu mentransfer ilmunya kepada siswa. 4) Mampu merubah sikap, mempengaruhi/ 18 memotivasi siswa. 5) Sesuai dengan bidang/kompetensi. 6) Mampu menguasai kelas. 7) Menguasai materi pelajaran. 8) Menggunakan metode pembelajaran bervariasi. 9) Berwawasan luas. 10) Berkomunikasi dengan baik (bahasa baku, suara, logat dan ekspresi tepat). 11) Human relation yang tepat/supel. 12) Sehat jasmani dan rohani. 13) Bermoral. 14) Berbudi pekerti luhur. 15) Bertanggung jawab. 16) Disiplin. 17) Berdedikasi tinggi. 18) Berwibawa. 19) Berjiwa besar. 20) Berjiwa sosial. 21) Jujur. 22) Adil. 23) Arif. 24) Terpercaya. 25) Percaya diri. 26) Tegas. 27) Sabar. 28) Ramah. 29) Kreatif. 30) Inovatif. 31) Optimistik. 32) Mandiri. 33) Demokratik. 34) Humoris. 35) Disenangi siswa. 36) Berperikemanusiaan. 37) Mampu bekerja sama dengan baik. 38) Mempunyai prakarsa. 39) Berpenampilan menarik (pakaian, rambut, make up dan gerak gerik). 40) Suri teladan bagi siswa. Dekade 1950-an guru yang patut diteladani memiliki kecakapan intelektual lebih tinggi serta memperoleh Indeks Prestasi Studi/IPK di atas rerata. IPK dan nilai PPL Mengajar berkorelasi secara positif dan nyata meski pada tingkat korelasi yang rendah dengan penilaian kepala sekolah atas guru dalam dua tolok-ukur: penguasaan bidang studi dan disiplin guru. Penilaian dosen pembimbing atas tampilan guru berkorelasi nyata pula dengan penilaian kepala sekolah mengenai penguasaan bidang studi, disiplin guru dan sikap tegas guru pada siswa (Klausmeier & Ripple, 1971). Sejumlah karakteristik guru semisal ikhtiar, kecakapan akademik, ketepatan waktu dan terpercaya yang memberi urunan pada IPK yang lebih tinggi di LPTK maupun nilai PPL Mengajar berhubungan dengan sukses karir guru. Eksperimen Hoyt (Klausmeier & Ripple, 1971) menunjukkan makin guru memahami dan memiliki pengetahuan tentang siswa menghasilkan membaiknya sikap siswa terhadap guru meskipun hal itu tidak berdampak pada membaiknya prestasi siswa. Di lain pihak, eksperimen Ojemann & Wilkinson (Klausmeier & Ripple, 1971) menunjukkan pengetahuan guru atas siswa membuahkan bimbingan yang lebih efektif pada belajar akademik dan pada perkembangan yang membaik pada kepribadian siswa. 19 Turner (Klausmeier & Ripple, 1971) menyatakan ada kaitan antara karakteristik pribadi-sosial dengan kinerja guru dalam pemecahan masalah pembelajaran serta dengan sukses pembelajaran. Minat guru terhadap kesenian, kepribadian yang ramah, kecerdasan emosi dan antusiasme mengajar dilaporkan sebagai karakteristik guru efektif. Namun hal ini dipengaruhi oleh adanya perbedaan antar lokasi sekolah. Disadari adanya kondisi yang tak dapat dikendalikan selaras dengan bervariasinya lokasi sekolah sehingga ada guru yang sukses di satu sekolah tetapi gagal di sekolah lainnya. Namun ada pendapat lain yang menyatakan sukses nyata dalam pembelajaran berkorelasi rendah dengan kecakapan dan karakteristik kognitif guru. Disamping itu penilaian pada kecakapan kognitif hanya bermanfaat meramalkan efektivitas guru secara kelompok, bukan peramalan atas perorangan guru. Lingkup perbedaan di kalangan para guru dalam segi minat, sikap, nilai-anutan dan integrasi kepribadian lebih tajam dibanding perbedaan kecakapan intelektual umum maupun variabel lainnya karena LPTK lebih selektif dalam variabel kognitif daripada afektif. Nampaknya perbedaan dalam karakteristik afektif lebih penting dalam menetapkan sukses guru daripada karakteristik kognitifnya. Ryans (Klausmeier & Ripple, 1971) meneliti 6000 guru Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah selama periode 6 tahun dengan hasil “Guru Berkwalitas Pribadi Lebih Tinggi” dengan karakteristik berikut: 1) Tulus menilai perilaku dan motif orang lain serta mengekspresikan sikap ramah pada sesama. 2) Bersikap sosial dan mudah bergaul; suka bergaul dengan siswa, lebih memilih prosedur nondirektif dalam pembelajaran. 3) Mau mendengarkan siswa, menerima sumbang saran siswa, bersedia memakai gagasan siswa; mempercayai siswa. 4) Bersikap hangat, bersahabat, meminta siswa mengemukakan pandangan pribadi, tidak suka menghukum siswa. 5) Gemar membaca, suka sastra, musik, melukis dan seni. 6) Guru menunjukkan minat lebih tinggi pada segi intelektual dan sosial. 7) Menilai diri sangat berambisi dan berinisiatif, fasih/cerdas berbahasa serta penyesuaian emosional memuaskan. 8) Menunjukkan organisasi kepribadian bertaraf 20 tinggi, arif dan bernalar, cakap bergaul dan rendah sikap agresivitasnya. Karakteristik guru lainnya yang berkorelasi dengan efektifitas pembelajaran adalah jender guru. Jender guru menunjukkan perbedaan minat, sikap dan nilai anutan selaras dengan jenjang pendidikan guru. Guru TK dan SD Kelas Rendah didominasi guru perempuan, bagian terbesar Kepala Sekolah adalah guru laki-laki. Bidang studi Ilmu Alam dan Matematika lebih dipilih oleh kaum laki-laki, sedangkan bidang studi Ilmu Sosial Budaya/ Bahasa diminati kaum perempuan. Nampak faktor biologik yang lekat dengan perbedaan jender dipadu dengan faktor budaya yang mengarahkan pilihan guru pada jenjang pendidikan dan pilihan bidang studi. Latar belakang pekerjaan orang tua guru ikut mewarnai pilihan karir pendaftar LPTK. Pengamatan sekilas wawancara penerimaan calon mahasiswa kependidikan di UKSW menunjukkan sebagian besar orang tua, baik ayah, ibu dan justru ayah dan ibu calon mahasiswa bekerja sebagai Guru SD atau SMP, sebagian lagi menyatakan kakaknya menjadi guru SD. 21