LAPORAN KASUS Abses Otak Otogenik Berulang W. Sucipta, W. Suardana Bagian THT Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / RS Sanglah Denpasar, Bali ABSTRAK Abses otak - salah satu komplikasi intrakranial otitis media supuratif kronis - merupakan kegawat-daruratan di bidang THT, yang berpotensi menjadi serius dan mengancam jiwa. Kejadiannya 25% dari seluruh komplikasi intrakranial. Angka kekambuhan 5-10%. Dilaporkan satu kasus abses otak otogenik berulang, setelah menjalani 2 kali mastoidektomi dan 2 kali operasi terhadap abses, pasien sembuh dengan baik. PENDAHULUAN Abses otak - salah satu komplikasi intrakranial dari otitis media supuratif kronis, merupakan kegawat-daruratan di bidang THT, yang berpotensi menjadi serius dan mengancam jiwa.1 Kejadiannya 25% dari seluruh komplikasi intrakranial2, terutama di negara berkembang. Keadaan ini dihubungkan dengan pengobatan otitis media tidak adekuat terutama di kalangan sosial ekonomi rendah.3,4,5 Walaupun angka kesakitan dan kematian komplikasi intrakranial turun dari 35% menjadi 5% sejak pemakaian antibiotika, teknik diagnosis dan metoda operasi yang canggih dan maju, abses otak masih merupakan kasus fatal.3,4 Di Walton Hospital sekitar 0,5% otitis media akut dan 3% OMSK berkembang menjadi abses otak, dengan angka kematian sebesar 47,2%, kebanyakan karena terlambat mendapatkan pengobatan.4 Tulisan ini melaporkan satu kasus abses otak otogenik yang semula didiagnosis sebagai meningoensefalitis, berlanjut menjadi abses otak berulang; pasien menjalani 2 kali mastoidektomi dan 2 kali operasi terhadap abses; bertujuan agar diagnosis dini dan penanganan yang cepat dan tepat dapat segera dilaksanakan pada kasus serupa. PATOGENESIS Penyebaran infeksi otitis media supuratif ke intrakranial dapat terjadi melalui berbagai cara, yaitu: 1. Melalui tulang yang sudah erosi akibat resorbsi oleh kolesteatom. 2. Penyebaran tromboflebitis melalui vena-vena kecil dan kanal Haversian, menuju dura yang dapat menyebar ke serebelum melalui sinus lateral dan ke lobus temporal melalui sinus petrosus superior. 3. Melalui jalan anatomi yang normal dari oval window atau round window, akuaduktus vestibular dan di antara sutura tulang temporal. 4. Melalui defek tulang akibat trauma, iatrogenik C DK 1 8 5 / Vo l. 38 no. 4/M ei -Juni 2011 atau tindakan bedah atau erosi oleh tumor. 5. Melalui defek akibat pembedahan pada kavum timpani.2,6 Tromboflebitis atau perluasan infeksi ke ruang Virhcow-Robin berakhir di daerah vaskuler subkorteks. Kemudian terjadi nekrosis lokal dan pencairan jaringan otak, dibatasi oleh suatu daerah reaksi berupa edema dan ensefalitis. Dalam beberapa hari akan terbentuk kapsul. Setelah kapsul terbentuk, edema dan ensefalitis mereda; masuk ke periode istirahat. Perjalanan penyakit selanjutnya dapat bevariasi. Kapsul abses dapat mengalami pengapuran diikuti penyembuhan. Kapsul dapat pecah dan menyebabkan abses satelit, terjadi kekambuhan. Dapat juga terjadi ruptur abses ke sistem ventrikel. Drainase intermiten yang tidak adekuat melalui jejak radang ke ruang subarakhnoid atau rongga mastoid dapat menyebabkan gejala yang intermiten.6 GEJALA DAN TANDA KLINIS Gejala umum abses otak adalah gejala proses desak ruang ditambah gejala infeksi. Stadium awal abses otak berupa ensefalitis, yang menimbulkan edema otak dan peningkatan tekanan intrakranial, menyebabkan gejala mual, nyeri kepala dan muntah, somnolen dan rasa bingung kadang-kadang disertai delusi dan halusinasi. Bila penyakit bertambah berat dapat terjadi stupor dan koma. Edema papil mulai timbul 10-14 hari setelah onset. Pada kasus progresif dapat terjadi herniasi tentoria atau herniasi tonsil serebelum ditandai dengan fiksasi dan dilatasi pupil dan akhirnya paralisis pernafasan.6 Kapsul mulai terbentuk dalam 10-14 hari. Kapsul fibrosis terbentuk dalam 5-6 minggu. Pembentukan kapsul tersebut diikuti menurunnya gejala karena berkurangnya ensefalitis dan edema di sekitar abses. Kekambuhan terjadi jika abses berkapsul pecah dan menyebabkan abses satelit; hal tersebut masih dapat terjadi walaupun telah terbentuk dinding abses fibrosis yang kuat.6 Sekitar 5-10% abses otak dapat kambuh.7 Berdasarkan patogenesisnya, gejala dan tanda klinis dapat dibagi menjadi empat stadia yaitu : 1. Stadium inisial, demam tidak terlalu tinggi, rasa mengantuk, kehilangan konsentrasi, kehilangan nafsu makan, nyeri kepala serta malaise, kadang-kadang mual dan muntah non proyektil. 2. Stadium laten, secara klinis tidak jelas karena gejala berkurang, terdapat malaise, kurang nafsu makan dan nyeri kepala yang hilang timbul. 3. Stadium manifes : kejang fokal atau afasia pada abses lobus temporal, pada abses serebelum terjadi ataksia atau tremor. Nyeri kepala hebat disertai mual dan muntah proyektil dianggap khas untuk penyakit intrakranial. 4. Stadium akhir berupa kesadaran menurun dari sopor sampai koma dan akhirnya meninggal, karena ruptur abses ke dalam sistem ventrikel dan rongga sub arakhnoid.8 DIAGNOSIS Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik terutama gejala dan tanda infeksi telinga tengah, disertai pemeriksaan neurologik. Kecurigaan abses otak pada pasien OMSK adalah adanya nyeri kepala hemikranial atau seluruh kepala, kesadaran menurun, edema papil. Kelainan neurologik fokal tidak selalu dijumpai; jika ada, memperkuat kecurigaan terhadap abses otak.9,10,11 Pemeriksaan penunjang berupa : pemeriksaan darah dan cairan serebrospinal, Rő foto kepala atau mastoid, EEG, dan CT scan. Pada pemeriksaan darah umumnya ditemukan jumlah leukosit normal atau sedikit meningkat, biasanya < 15000/ mm3, LED meningkat antara 45-55 mm/jam. Pungsi lumbal harus dilakukan kecuali jika ada 275 LAPORAN KASUS tanda peninggian tekanan intrakranial6 meskipun beberapa ahli mengatakan bahwa pungsi lumbal pada penderita abses otak harus dihindari.7,8,12 Biasanya pungsi lumbal menunjukkan peninggian tekanan, protein dan hitung sel, tetapi mungkin didapatkan nilai normal.3,6,10 Pemeriksaan EEG umumnya mendapatkan gelombang abnormal dan sering terdapat lateralisasi berupa gelombang delta di sisi abses. EEG normal tidak menyingkirkan adanya abses otak.3,10 Pemeriksaan CT scan dengan kontras sangat penting untuk menegakkan diagnosis abses otak; akan tampak sebagai daerah hipodens dikelilingi oleh lingkaran yang disebut tanda cincin atau ring sign.3,5,10,11 Diagnosis pasti ditegakkan jika ditemukan pus dari tempat abses.11,12 PENATALAKSANAAN Prinsipnya adalah melokalisasi infeksi dengan antibiotika, menghilangkan sumber infeksi di telinga dengan mastoidektomi dan evakuasi abses otak .9,10 Terapi antibiotika diberikan jika : 1. Keadaan pasien akan memburuk bila dilakukan tindakan bedah, 2. Terdapat abses multipel, terutama jika lokasinya saling berjauhan, 3. Letak abses di sebelah dalam atau di daerah yang vital, 4. Bersamaan dengan meningitis, 5. Bersamaan dengan hidrosefalus yang memerlukan pirau yang menyebabkan infeksi pada tindakan bedah, 6. Setelah pemberian antibiotika pada 2 minggu pertama, ukuran abses mengecil.9,10 Ukuran abses sangat penting untuk menentukan terapi dan evaluasi selanjutnya; jika ≥ 2,5 cm dan tidak berrespon terhadap antibiotika, atau > 3 cm, dianjurkan eksisi abses.4,9,10 CT scan dikerjakan setiap minggu atau jika timbul gejala baru. Jika keadaan klinis menetap atau membaik, antibiotika intravena dapat dilanjutkan sampai 4-6 minggu.4,9,10,11 Jika abses mengecil maka antibiotika oral diteruskan 2-6 bulan dan CT scan dikerjakan setiap 2-4 bulan selama 1 tahun untuk menghindari kekambuhan.9,10 Pemberian antibiotika menurut protokol pengobatan OMSK dengan kecurigaan komplikasi intrakranial di bagian THT FKUI/RSUP Cipto Mangunkusumo dimulai dengan ampicilin 4 x 200-400mg/kgbb/hari, dikombinasikan 276 kloramfenikol 4 x 0,5-1g/hari atau 60- 100mg/ kgbb/hari pada anak selama 7-15 hari; pada pasien yang diduga lebih mengarah ke infeksi anaerob ditambahkan metronidazol 3x 400600mg/hari selama 5-7 hari untuk dewasa dan anak di atas 15 tahun. Pasien alergi terhadap penisilin dapat diberi kotrimoxazol atau sefalosporin generasi ke 3. Bila dalam 5-7 hari tidak terlihat perbaikan maka antibiotika diganti sesuai hasil tes resistensi. Pada pasien yang dicurigai atau terbukti terinfeksi Pseudomonas, diberi gentamisin 3-5mg/kgbb/hari iv./im. dibagi 3 dosis.10 Obat-obat lain seperti kortikosteroid, manitol, anti kejang diberikan atas anjuran neurologi. Untuk mencegah kekambuhan antibiotika diberikan selama 1,5-2 bulan.9 Sedangkan pada abses multipel antibiotika diberikan selama 3 bulan.10 Tindakan mastoidektomi dilakukan 3-4 hari sesudah kraniotomi atau dapat lebih cepat tergantung keadaan klinis pasien; sebelumnya diberi antibiotika spektrum luas selama 2 minggu.9 Kelainan neurologi yang timbul merupakan tanda gagalnya pengobatan yang dapat dilihat dengan CT scan; keadaan ini merupakan indikasi bedah, jika keadaan memungkinkan.10 Pada pasien yang absesnya sudah membentuk kapsul dengan defisit neurologik atau abses membesar harus dilakukan tindakan bedah sesegera mungkin.4 PROGNOSIS Tergantung kecepatan diagnosis serta pengobatan yang diberikan. Prognosis makin buruk, jika abses berukuran besar, abses ruptur ke dalam sistem ventrikel, abses disertai meningitis, empiema, dan hidrosefalus serta abses multipel.3,9,12 Sekitar 72% penderita dapat mengalami epilepsi setelah 5 tahun.3 KOMPLIKASI Dua hal yang paling ditakuti dari abses otak adalah terjadinya herniasi sekunder dan ruptur abses ke dalam ruang subaraknoid. Hal ini dapat dihindari dengan memantau pasien secara ketat.1,3,9,10 LAPORAN KASUS Laki-laki, 24 tahun, tanggal 23 Agustus 2005 dirujuk dari sebuah RSU ke UGD RS Sanglah Denpasar dengan kesadaran menurun dan OMA. Perjalanan penyakit Tanggal 23 Agustus 2005. Penderita gelisah dan bicara kacau 1 hari sebelum dirujuk ke UGD RS Sanglah Denpasar. Demam tidak pernah turun sejak 4 hari. Keluar cairan kental merah kekuningan dan berbau dari telinga kiri sejak 7 hari. Riwayat keluar cairan dari telinga kiri sejak kecil, berobat tidak teratur karena tidak ada biaya. Dirawat selama 4 hari di RSU; dirujuk ke RS Sanglah Denpasar karena penderita kejang dan tidak sadar. Pemeriksaan fisik menunjukkan keadaan umum tampak lemah, kesadaran menurun dengan GCS E4 V3M2, suhu 38ºC. Pemeriksaan THT: pada liang telinga kiri tampak cairan mukopurulen dan berbau, tampak pendorongan pada dinding posterior sehingga membran timpani sulit dievaluasi. Liang telinga kanan lapang dengan membran timpani perforasi sentral, tidak ada cairan. Dilakukan kultur cairan telinga kiri. Laboratorium: leukosit 17,700/ul. Diagnosis: observasi kesadaran menurun + OMSK sinistra tipe berbahaya + OMSK dekstra tipe tenang. Pada pemeriksaan neurologi terdapat kaku kuduk dan tanda Kernig. Pungsi lumbal: likuor santokrom, tekanan kesan normal, glukosa 1mg/dl, M-TP 454mg/dl, Nonne +++, Pandy +++, sel 12150/mm3, mononuklear 20%, polinuklear 80%. Diagnosis bagian saraf suspek meningoensefalitis. Terapi: sefotaksim 4x2g. iv., deksametason bolus 40mg dilanjutkan 4x10mg iv., ranitidin 2x1ampul dan fenitoin 3x10 mg. Dipasang NGT dan kateter. Tanggal 24 Agustus 2005. Pasien masih gelisah GCS E4V3M5, CT scan: mastoiditis bilateral, infark temporal kiri + edema serebri (gb. 1). Diberi tambahan asetazolamid 4x 200mg dan CPZ 3x250mg. Tanggal 27 Agustus 2005. GCS E4V5M6 mengeluh nyeri kepala. Ro foto Schuller: mastoiditis kronis tipe sklerotik kanan dan kiri dengan kolesteatoma pada partial triangle kiri. Tanggal 29 Agustus 2005. Hasil kultur cairan telinga: Staphylococcus aureus yang sensitif terhadap sefotaksim. Tanggal 6 September 2005. Keadaan umum penderita baik, pada CT scan ulang dengan kontras, tampak abses serebri temporal sinistra (gb. 2), saran Bedah Saraf operasi bersama mastoidektomi dan drainase abses. Bedah Saraf melakukan burr hole aspirasi karena keluarga menolak kraniotomi. C D K 1 8 5 / V o l . 3 8 n o . 4 / Me i- J u n i 2 0 1 1 LAPORAN KASUS Abses Otak Otogenik Berulang W. Sucipta, W. Suardana Bagian THT Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / RS Sanglah Denpasar, Bali ABSTRAK Abses otak - salah satu komplikasi intrakranial otitis media supuratif kronis - merupakan kegawat-daruratan di bidang THT, yang berpotensi menjadi serius dan mengancam jiwa. Kejadiannya 25% dari seluruh komplikasi intrakranial. Angka kekambuhan 5-10%. Dilaporkan satu kasus abses otak otogenik berulang, setelah menjalani 2 kali mastoidektomi dan 2 kali operasi terhadap abses, pasien sembuh dengan baik. PENDAHULUAN Abses otak - salah satu komplikasi intrakranial dari otitis media supuratif kronis, merupakan kegawat-daruratan di bidang THT, yang berpotensi menjadi serius dan mengancam jiwa.1 Kejadiannya 25% dari seluruh komplikasi intrakranial2, terutama di negara berkembang. Keadaan ini dihubungkan dengan pengobatan otitis media tidak adekuat terutama di kalangan sosial ekonomi rendah.3,4,5 Walaupun angka kesakitan dan kematian komplikasi intrakranial turun dari 35% menjadi 5% sejak pemakaian antibiotika, teknik diagnosis dan metoda operasi yang canggih dan maju, abses otak masih merupakan kasus fatal.3,4 Di Walton Hospital sekitar 0,5% otitis media akut dan 3% OMSK berkembang menjadi abses otak, dengan angka kematian sebesar 47,2%, kebanyakan karena terlambat mendapatkan pengobatan.4 Tulisan ini melaporkan satu kasus abses otak otogenik yang semula didiagnosis sebagai meningoensefalitis, berlanjut menjadi abses otak berulang; pasien menjalani 2 kali mastoidektomi dan 2 kali operasi terhadap abses; bertujuan agar diagnosis dini dan penanganan yang cepat dan tepat dapat segera dilaksanakan pada kasus serupa. PATOGENESIS Penyebaran infeksi otitis media supuratif ke intrakranial dapat terjadi melalui berbagai cara, yaitu: 1. Melalui tulang yang sudah erosi akibat resorbsi oleh kolesteatom. 2. Penyebaran tromboflebitis melalui vena-vena kecil dan kanal Haversian, menuju dura yang dapat menyebar ke serebelum melalui sinus lateral dan ke lobus temporal melalui sinus petrosus superior. 3. Melalui jalan anatomi yang normal dari oval window atau round window, akuaduktus vestibular dan di antara sutura tulang temporal. 4. Melalui defek tulang akibat trauma, iatrogenik C DK 1 8 5 / Vo l. 38 no. 4/M ei -Juni 2011 atau tindakan bedah atau erosi oleh tumor. 5. Melalui defek akibat pembedahan pada kavum timpani.2,6 Tromboflebitis atau perluasan infeksi ke ruang Virhcow-Robin berakhir di daerah vaskuler subkorteks. Kemudian terjadi nekrosis lokal dan pencairan jaringan otak, dibatasi oleh suatu daerah reaksi berupa edema dan ensefalitis. Dalam beberapa hari akan terbentuk kapsul. Setelah kapsul terbentuk, edema dan ensefalitis mereda; masuk ke periode istirahat. Perjalanan penyakit selanjutnya dapat bevariasi. Kapsul abses dapat mengalami pengapuran diikuti penyembuhan. Kapsul dapat pecah dan menyebabkan abses satelit, terjadi kekambuhan. Dapat juga terjadi ruptur abses ke sistem ventrikel. Drainase intermiten yang tidak adekuat melalui jejak radang ke ruang subarakhnoid atau rongga mastoid dapat menyebabkan gejala yang intermiten.6 GEJALA DAN TANDA KLINIS Gejala umum abses otak adalah gejala proses desak ruang ditambah gejala infeksi. Stadium awal abses otak berupa ensefalitis, yang menimbulkan edema otak dan peningkatan tekanan intrakranial, menyebabkan gejala mual, nyeri kepala dan muntah, somnolen dan rasa bingung kadang-kadang disertai delusi dan halusinasi. Bila penyakit bertambah berat dapat terjadi stupor dan koma. Edema papil mulai timbul 10-14 hari setelah onset. Pada kasus progresif dapat terjadi herniasi tentoria atau herniasi tonsil serebelum ditandai dengan fiksasi dan dilatasi pupil dan akhirnya paralisis pernafasan.6 Kapsul mulai terbentuk dalam 10-14 hari. Kapsul fibrosis terbentuk dalam 5-6 minggu. Pembentukan kapsul tersebut diikuti menurunnya gejala karena berkurangnya ensefalitis dan edema di sekitar abses. Kekambuhan terjadi jika abses berkapsul pecah dan menyebabkan abses satelit; hal tersebut masih dapat terjadi walaupun telah terbentuk dinding abses fibrosis yang kuat.6 Sekitar 5-10% abses otak dapat kambuh.7 Berdasarkan patogenesisnya, gejala dan tanda klinis dapat dibagi menjadi empat stadia yaitu : 1. Stadium inisial, demam tidak terlalu tinggi, rasa mengantuk, kehilangan konsentrasi, kehilangan nafsu makan, nyeri kepala serta malaise, kadang-kadang mual dan muntah non proyektil. 2. Stadium laten, secara klinis tidak jelas karena gejala berkurang, terdapat malaise, kurang nafsu makan dan nyeri kepala yang hilang timbul. 3. Stadium manifes : kejang fokal atau afasia pada abses lobus temporal, pada abses serebelum terjadi ataksia atau tremor. Nyeri kepala hebat disertai mual dan muntah proyektil dianggap khas untuk penyakit intrakranial. 4. Stadium akhir berupa kesadaran menurun dari sopor sampai koma dan akhirnya meninggal, karena ruptur abses ke dalam sistem ventrikel dan rongga sub arakhnoid.8 DIAGNOSIS Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik terutama gejala dan tanda infeksi telinga tengah, disertai pemeriksaan neurologik. Kecurigaan abses otak pada pasien OMSK adalah adanya nyeri kepala hemikranial atau seluruh kepala, kesadaran menurun, edema papil. Kelainan neurologik fokal tidak selalu dijumpai; jika ada, memperkuat kecurigaan terhadap abses otak.9,10,11 Pemeriksaan penunjang berupa : pemeriksaan darah dan cairan serebrospinal, Rő foto kepala atau mastoid, EEG, dan CT scan. Pada pemeriksaan darah umumnya ditemukan jumlah leukosit normal atau sedikit meningkat, biasanya < 15000/ mm3, LED meningkat antara 45-55 mm/jam. Pungsi lumbal harus dilakukan kecuali jika ada 275 LAPORAN KASUS tanda peninggian tekanan intrakranial6 meskipun beberapa ahli mengatakan bahwa pungsi lumbal pada penderita abses otak harus dihindari.7,8,12 Biasanya pungsi lumbal menunjukkan peninggian tekanan, protein dan hitung sel, tetapi mungkin didapatkan nilai normal.3,6,10 Pemeriksaan EEG umumnya mendapatkan gelombang abnormal dan sering terdapat lateralisasi berupa gelombang delta di sisi abses. EEG normal tidak menyingkirkan adanya abses otak.3,10 Pemeriksaan CT scan dengan kontras sangat penting untuk menegakkan diagnosis abses otak; akan tampak sebagai daerah hipodens dikelilingi oleh lingkaran yang disebut tanda cincin atau ring sign.3,5,10,11 Diagnosis pasti ditegakkan jika ditemukan pus dari tempat abses.11,12 PENATALAKSANAAN Prinsipnya adalah melokalisasi infeksi dengan antibiotika, menghilangkan sumber infeksi di telinga dengan mastoidektomi dan evakuasi abses otak .9,10 Terapi antibiotika diberikan jika : 1. Keadaan pasien akan memburuk bila dilakukan tindakan bedah, 2. Terdapat abses multipel, terutama jika lokasinya saling berjauhan, 3. Letak abses di sebelah dalam atau di daerah yang vital, 4. Bersamaan dengan meningitis, 5. Bersamaan dengan hidrosefalus yang memerlukan pirau yang menyebabkan infeksi pada tindakan bedah, 6. Setelah pemberian antibiotika pada 2 minggu pertama, ukuran abses mengecil.9,10 Ukuran abses sangat penting untuk menentukan terapi dan evaluasi selanjutnya; jika ≥ 2,5 cm dan tidak berrespon terhadap antibiotika, atau > 3 cm, dianjurkan eksisi abses.4,9,10 CT scan dikerjakan setiap minggu atau jika timbul gejala baru. Jika keadaan klinis menetap atau membaik, antibiotika intravena dapat dilanjutkan sampai 4-6 minggu.4,9,10,11 Jika abses mengecil maka antibiotika oral diteruskan 2-6 bulan dan CT scan dikerjakan setiap 2-4 bulan selama 1 tahun untuk menghindari kekambuhan.9,10 Pemberian antibiotika menurut protokol pengobatan OMSK dengan kecurigaan komplikasi intrakranial di bagian THT FKUI/RSUP Cipto Mangunkusumo dimulai dengan ampicilin 4 x 200-400mg/kgbb/hari, dikombinasikan 276 kloramfenikol 4 x 0,5-1g/hari atau 60- 100mg/ kgbb/hari pada anak selama 7-15 hari; pada pasien yang diduga lebih mengarah ke infeksi anaerob ditambahkan metronidazol 3x 400600mg/hari selama 5-7 hari untuk dewasa dan anak di atas 15 tahun. Pasien alergi terhadap penisilin dapat diberi kotrimoxazol atau sefalosporin generasi ke 3. Bila dalam 5-7 hari tidak terlihat perbaikan maka antibiotika diganti sesuai hasil tes resistensi. Pada pasien yang dicurigai atau terbukti terinfeksi Pseudomonas, diberi gentamisin 3-5mg/kgbb/hari iv./im. dibagi 3 dosis.10 Obat-obat lain seperti kortikosteroid, manitol, anti kejang diberikan atas anjuran neurologi. Untuk mencegah kekambuhan antibiotika diberikan selama 1,5-2 bulan.9 Sedangkan pada abses multipel antibiotika diberikan selama 3 bulan.10 Tindakan mastoidektomi dilakukan 3-4 hari sesudah kraniotomi atau dapat lebih cepat tergantung keadaan klinis pasien; sebelumnya diberi antibiotika spektrum luas selama 2 minggu.9 Kelainan neurologi yang timbul merupakan tanda gagalnya pengobatan yang dapat dilihat dengan CT scan; keadaan ini merupakan indikasi bedah, jika keadaan memungkinkan.10 Pada pasien yang absesnya sudah membentuk kapsul dengan defisit neurologik atau abses membesar harus dilakukan tindakan bedah sesegera mungkin.4 PROGNOSIS Tergantung kecepatan diagnosis serta pengobatan yang diberikan. Prognosis makin buruk, jika abses berukuran besar, abses ruptur ke dalam sistem ventrikel, abses disertai meningitis, empiema, dan hidrosefalus serta abses multipel.3,9,12 Sekitar 72% penderita dapat mengalami epilepsi setelah 5 tahun.3 KOMPLIKASI Dua hal yang paling ditakuti dari abses otak adalah terjadinya herniasi sekunder dan ruptur abses ke dalam ruang subaraknoid. Hal ini dapat dihindari dengan memantau pasien secara ketat.1,3,9,10 LAPORAN KASUS Laki-laki, 24 tahun, tanggal 23 Agustus 2005 dirujuk dari sebuah RSU ke UGD RS Sanglah Denpasar dengan kesadaran menurun dan OMA. Perjalanan penyakit Tanggal 23 Agustus 2005. Penderita gelisah dan bicara kacau 1 hari sebelum dirujuk ke UGD RS Sanglah Denpasar. Demam tidak pernah turun sejak 4 hari. Keluar cairan kental merah kekuningan dan berbau dari telinga kiri sejak 7 hari. Riwayat keluar cairan dari telinga kiri sejak kecil, berobat tidak teratur karena tidak ada biaya. Dirawat selama 4 hari di RSU; dirujuk ke RS Sanglah Denpasar karena penderita kejang dan tidak sadar. Pemeriksaan fisik menunjukkan keadaan umum tampak lemah, kesadaran menurun dengan GCS E4 V3M2, suhu 38ºC. Pemeriksaan THT: pada liang telinga kiri tampak cairan mukopurulen dan berbau, tampak pendorongan pada dinding posterior sehingga membran timpani sulit dievaluasi. Liang telinga kanan lapang dengan membran timpani perforasi sentral, tidak ada cairan. Dilakukan kultur cairan telinga kiri. Laboratorium: leukosit 17,700/ul. Diagnosis: observasi kesadaran menurun + OMSK sinistra tipe berbahaya + OMSK dekstra tipe tenang. Pada pemeriksaan neurologi terdapat kaku kuduk dan tanda Kernig. Pungsi lumbal: likuor santokrom, tekanan kesan normal, glukosa 1mg/dl, M-TP 454mg/dl, Nonne +++, Pandy +++, sel 12150/mm3, mononuklear 20%, polinuklear 80%. Diagnosis bagian saraf suspek meningoensefalitis. Terapi: sefotaksim 4x2g. iv., deksametason bolus 40mg dilanjutkan 4x10mg iv., ranitidin 2x1ampul dan fenitoin 3x10 mg. Dipasang NGT dan kateter. Tanggal 24 Agustus 2005. Pasien masih gelisah GCS E4V3M5, CT scan: mastoiditis bilateral, infark temporal kiri + edema serebri (gb. 1). Diberi tambahan asetazolamid 4x 200mg dan CPZ 3x250mg. Tanggal 27 Agustus 2005. GCS E4V5M6 mengeluh nyeri kepala. Ro foto Schuller: mastoiditis kronis tipe sklerotik kanan dan kiri dengan kolesteatoma pada partial triangle kiri. Tanggal 29 Agustus 2005. Hasil kultur cairan telinga: Staphylococcus aureus yang sensitif terhadap sefotaksim. Tanggal 6 September 2005. Keadaan umum penderita baik, pada CT scan ulang dengan kontras, tampak abses serebri temporal sinistra (gb. 2), saran Bedah Saraf operasi bersama mastoidektomi dan drainase abses. Bedah Saraf melakukan burr hole aspirasi karena keluarga menolak kraniotomi. C D K 1 8 5 / V o l . 3 8 n o . 4 / Me i- J u n i 2 0 1 1 LAPORAN KASUS Gambar 1 Gambar 2 Tanggal 13 September 2005. Dilakukan burr hole aspirasi: didapatkan pus 8 ml. yang kemudian dikultur. Pada mastoidektomi radikal didapatkan patologi : dinding posterior kanal sudah runtuh, kavum timpani dan kavum mastoid penuh kolesteatoma dan jaringan granulasi; tulang pendengaran tidak ada, erosi dinding mastoid pada korteks, tegmen mastoid erosi tinggal duramater, nervus fasialis terekspos oleh jaringan granulasi. Tanggal 21 September 2005. Penderita pulang tanpa keluhan, tidak ada komplikasi operasi dan gejala sisa. Hasil kultur dan sensitivitas pus Staphylococcus aureus, sensitif terhadap siprofloksasin. Disarankan periksa rutin setiap minggu. Terapi antibiotika diteruskan selama 2 bulan kemudian akan dilakukan CT scan ulang untuk evaluasi. Tanggal 21 November 2005. Penderita mengeluh sakit kepala dan keluar cairan dari telinga kiri. Penderita tidak minum obat lebih dari 1 minggu. Pemeriksaan telinga kiri tampak cairan mukoid, mukosa kavum timpani hiperemi. Tanggal 6 Desember 2005. Dilakukan CT scan, hasilnya : abses multipel di lobus temporal sinistra (gb. 3). Bedah Saraf menyatakan pasien dengan abses otak berulang, akan dilakukan eksisi abses. Setelah selama 3 minggu dari pemeriksaan terakhir penderita tidak datang, dilakukan kunjungan rumah; penderita bersedia dioperasi. Tanggal 12 Januari 2006, Dilakukan mastoidektomi revisi dengan patologi jaringan granulasi di daerah mastoid dan kavum timpani; dilanjutkan dengan kraniotomi dan eksisi abses, berhasil dikeluarkan abses berukuran 3,5x2,5x 2cm. Selama perawatan selanjutnya tidak ada keluhan nyeri kepala dan cairan dari telinga, tidak terdapat lesi nervus fasialis serta kelainan neurologi yang lain. C DK 1 8 5 / Vo l. 38 no. 4/M ei -Juni 2011 Gambar 3 PEMBAHASAN Deteksi dini abses otak tidak mudah karena gejala klinisnya umumnya baru diketahui setelah lanjut. Diagnosis dini sangat penting karena mempengaruhi prognosis.4 Pasien datang dengan kesadaran menurun dalam stadium lanjut dan prognosisnya buruk. Penderita mengalami OMSK dengan komplikasi abses otak; karena sosial ekonomi yang rendah, terapi sebelumnya tidak adekuat. Diagnosis awal adalah meningoensefalitis kemudian menjadi abses otak. Pada kasus ini abses otak ditemukan belakangan karena saat meningoensefalitis, abses otak tersebut masih dalam proses perjalanan lanjut. Lokasi abses otak otogenik paling sering di lobus temporal ipsilateral.1-4 Pada pasien ini ditemukan di daerah lobus temporal kiri sesuai dengan lokasi OMSK tipe berbahaya di telinga kiri. Penatalaksanaan abses otak otogenik adalah pemberian antibiotika dosis tinggi, evakuasi pus dari jaringan otak dan eleminasi sumber infeksi dari telinga.9,10 Kasus ini diberi sefotaksim 4 x 2 g secara empiris; kultur menghasilkan kuman Staphylococcus aureus dengan tes sensitivitas yang sesuai. Setelah pasien membaik dan stabil dilakukan evakuasi abses oleh Bedah Saraf dan mastoidektomi radikal untuk eliminasi sumber infeksi oleh THT secara bersamaan. Bedah Saraf hanya melakukan aspirasi karena keluarga tidak setuju kraniektomi, walaupun diameter abses lebih dari 3 cm.9,10,12 Abses otak otogenik terbentuk melalui tromboflebitis atau perluasan langsung dari infeksi telinga.9 Pada pasien ini segmen mastoid tererosi sehingga hanya tinggal duramater, abses otogenik mungkin timbul melalui tromboflebitis dan perluasan langsung akibat resorbsi seluruh korteks mastoid oleh kolesteatom dan infeksi telinga kronis. Setelah 2 bulan pengobatan tempak abses berulang multipel di lobus BERITA TERKINI temporal saat evaluasi CT Scan. Eksaserbasi dapat terjadi jika abses berkapsul tersebut pecah dan menyebabkan abses satelit. Drainase intermiten yang tidak adekuat melalui jejak radang ke ruang subarakhnoid atau rongga mastoid dapat menyebabkan gejala yang intermiten.6 Pada kasus ini abses multipel tersebut dapat disebabkan oleh pecahnya abses berkapsul akibat mangkirnya penderita sehingga pengobatan antibiotika tidak adekuat, dapat juga karena infeksi telinga yang meluas ke otak karena drainase yang tidak adekuat. Untuk mencegah komplikasi lebih lanjut segera dilakukan operasi eksisi abses bersamaan dengan mastoidektomi revisi. Pada operasi ke dua, berhasil dikeluarkan abses berukuran 3,5x2,5x2cm utuh bersama kapsulnya, dilakukan pembersihan jaringan granulasi di kavum timpani dan kavum mastoid. Sampai saat ini penderita sembuh tanpa gejala sisa. KESIMPULAN Telah dilaporkan seorang penderita OMSK dengan komplikasi intrakranial abses otak berulang, sembuh tanpa gejala sisa. Diperlukan pengetahuan mengenali gejala dini setiap komplikasi. Perhatian besar juga harus diberikan selama terapi sehingga penyesuaian pengobatan dapat dilakukan secepatnya. Diagnosis dini dan penanganan yang cepat dan tepat dapat mengurangi angka kematian. DAFTAR PUSTAKA 1. Neely J. Intratemporal and Intracranial Complications of Otitis Media. In: Bailey BJ, ed. Head and Neck SurgeryOtolaryngology. 3th ed. Philadelphia: W.W Lippincot, 2001. p. 1759-72. 2. Ludman H. Complications of Suppurative Otitis Media. In: Bootth J, ed. Scottʼs Brown’s Otolaryngology Otology. 5th ed. London : Butterworth & Co, 1987. p. 264 - 83. 3. Singh D, Gupta V, Singh AK, Sinha S. Evolution of Otogenic Brain Abscess and Management Protocol. J Indian Pediatr. 2001; 38: 169-73. 4. Bradley J, Manning P, Shaw M. Brain Abscess Secondary to Otitis Media. J Laryngol otol 1984; 98 : 1885-91. 5. Mayfield F, Tew J. Neurosurgery. In: Paparella M, Shumrick D, ed. Otolaryngology. 1st ed. Philadelphia: W.B Saunders Co., 1973. p. 849-56. 6. Austin D. Complication of Acute and Chronic Otitis Media. In: Ballenger JJ, ed. Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. 15th ed. Philadelphia: William & Wilkins, 1996. p. 1037-53. 7. Sharma BS, Gupta SK, Khosia VK. Current Concepts in the Management of Pyogenic Brain Abscess. J Neurol. India 2000; 48:105-11. 8. Walter B, Naumann HH, Pfaltz CR. Otogenic Infective Complication. In: Richard A, ed. Ear, Nose and Throat Diseases A Pocket Reference. 3rd ed. New York : Thieme Med. Publ. Inc. 1989. pp. 106-13. 9. Djaafar ZA, Widodo W. Terapi Medikamentosa dan Terapi Bedah pada Abses Otak Otogenik. ORLI 2001; 31: 5-10. 10. Djaafar ZA. Diagnosis dan Penatalaksanaan Abses Otak Otogenik. Kumpulan Naskah Ilmiah PIT. Malang 1996; 4-13. 11. Ernoehazy W. Brain Abscess. Last modified March 16, 2006; Available at: http://www.emedicine.com/emerg/topic 67. htm. Accessed June 7, 2006. 12. Eaton D. Complication of Otitis Media. Last modified May 2, 2005 ; Available at : http://www.emedicine.com/ent/topic 426.htm. Accessed June 7,200. 277 Aktivitas SOD pada Pasien Kusta Pertahanan utama terhadap infeksi mikroba adalah sistem makrofag. Pembunuhan mikroba oleh makrofag dikaitkan dengan dihasilkannya radikal bebas yang disebut ROS (reactive oxygen species), seperti anion superoksida, hidrogen peroksida, dan hidroksil. ROS ini dapat merusak lipid, protein, dan asam nukleat. Target utama peroksidasi adalah PUFA (polyunsaturated fatty acid) dalam lipid membran dan PUFA didegradasi oleh radikal bebas membentuk MDA (malondialdehyde) yang dapat bertindak sebagai petanda kerusakan seluler. WHO membagi penyakit kusta menjadi 2 jenis, yaitu pausibasiler (PB) dan multibasiler (MB). Disebut kusta pausibasiler jika BTA negatif, sedangkan kusta multibasiler jika BTA positif. Suatu studi telah dilakukan untuk meneliti indeks stres oksidatif pada kusta/lepra pausibasiler dan multibasiler dalam jaringan dan darah. Studi dilakukan pada 14 pasien PB yang tidak diterapi, 18 pasien MB yang tidak diterapi, dan 20 sukarelawan normal. Dalam studi tersebut diukur aktivitas SOD, kadar MDA, dan rasio MDA/SOD baik di dalam darah maupun di dalam jaringan. Sel mempunyai mekanisme untuk menangkal radikal bebas dan meminimalkan cedera jaringan. Antioksidan seperti SOD (superoxide dismutase), katalase, dan antioksidan nutrisional dapat memerangkap radikal bebas dan bertindak sebagai sistem scavenging radikal bebas. Jika terjadi ketidakseimbangan antara pembentukan radikal bebas dengan penangkalnya, dapat terjadin kondisi yang disebut stres oksidatif yang dapat menyebabkan kelainan metabolik dan kematian sel. Rasio MDA/SOD dapat dipertimbangkan sebagai indeks stres oksidatif. Hasilnya menunjukkan bahwa dibandingkan dengan kontrol, aktivitas SOD dalam jaringan menurun secara bermakna pada pasien PB dan MB, sedangkan aktivitas SOD dalam eritrosit hanya menurun secara bermakna pada pasien MB. Sebagai tambahan, kadar MDA dalam jaringan meningkat secara bermakna, baik pada pasien PB maupun pasien MB. Lebih lanjut, kadar MDA dalam plasma rata-rata pada pasien MB secara bermakna lebih tinggi, sedangkan pada pasien PB, tidak terdapat perbedaan yang bermakna. Kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang menyerang sistem saraf perifer, kulit dan jaringan tertentu lainnya. Penyakit ini dapat menyebabkan deformitas yang luas dan permanen pada kulit dan saraf perifer, sehingga dapat timbul kecacatan yang berat dan irreversible. Studi tersebut menunjukkan peningkatan indeks stres oksidatif (rasio MDA/SOD) yang bermakna pada jaringan pasien PB dan MB, serta dalam darah pasien MB. Sedangkan indeks stres oksidatif dalam darah pasien PB tidak berbeda bermakna dibanding dengan kontrol. Studi sebelumnya juga telah menilai stres oksidatif pada pasien kusta dengan mengukur kadar enzim antioksidan (SOD), produk peroksidasi lipid (MDA), dan rasio MDA/SOD pada pasien kusta PB dan MB pada 58 pasien kusta yang tidak diterapi (23 kasus PB dan 35 kasus MB) yang dibandingkan dengan 58 kontrol sehat. Hasilnya menunjukkan bahwa kadar SOD menurun pada pasien kusta, khususnya pada kusta MB, kadar MDA meningkat pada pasien PB dan MB, dan rasio MDA/SOD meningkat secara bermakna pada pasien MB. Dari hasil studi tersebut disimpulkan bahwa stres oksidatif ditemukan pada jaringan dan darah pasien MB dan pada jaringan pasien PB. Hal ini menunjukkan keterlibatan yang penting dari stres oksidatif dalam patogenesis kusta, dan dapat menjadi alat penting dalam prognosis, pengobatan, dan pengendalian kusta. Jadi, disimpulkan bahwa terdapat peran yang bermakna dari stres oksidatif pada pasien kusta, khususnya kusta MB. Hal ini mendukung penggunaan antioksidan untuk mencegah kerusakan jaringan dan deformitas pada pasien kusta. (EKM) REFERENSI: 278 1. Abdel-Hafez HZ, Mohamed EE, Abd-Elghany AA. Tissue and blood superoxide dismutase activity and malondialdehyde level in leprosy. Eur Acad Dermatol Venereol. 2010;24(6):704-8. 2. Jyothi P, Riyaz N, Nandakumar G, Binitha MP. A study of oxidative stress in paucibacillary and multibacillary leprosy. J Dermatol Venereol Leprol 2008;74:80-80. 3. Reddy YN, Murthy SV, Krishna DR, Prabhakar MC. Oxidative stress and anti-oxidant status in leprosy patients. Indian J Lepr. 2003;75(4):307-16. C D K 1 8 5 / V o l . 3 8 n o . 4 / Me i- J u n i 2 0 1 1