INTEGRALISTIK No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011 PARTISIPASI POLITIK MASYRAKAT SUMATERA BARAT PADA PEMILU DAN PILKADA Junaidi Abstrak: Ada dua hal yang menarik untuk dicermati dari pemilukada di Sumatera Barat, pertama menyangkut tingkat partisipasi warga dalam memilih, dan kedua dasar pertimbangan warga pemilih dalam memutuskan calon kepala daerah. Partisipasi mereka kian menurun, dan dalam memilih calon kepala daerah lebih dominan dengan mempertimbangkan unsur famili dan kesamaan daerah asal. PENDAHULUAN Setahun sudah Pemilukada yang memilih gubernur dan wakil gubernur beserta beberapa bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota se Sumatera Barat, telah berlalu dari hadapan kita. Berbagai fenomena menarik dapat diingat kembali seperti menyangkut pemilihan dan penetapan pasangan calon kepala daerah, kegiatan kampanye, proses pemilihan, penghitungan suara, dan sebagainya. Dalam kegiatan penetapan calon pasangan kepala daerah terjadi hal antara lain banyaknya spekulasi terhadap seorang calon dalam memilih siapa yang akan menjadi pasangannya, pro dan kontra terhadap pasangan yang telah terbentuk, dan sebagainya. Dalam kegiatan kampanye terjadi fenomena berupa curi star, pemanfaatan fasilitas negara oleh incumbent, penetapan waktu dan lokasi kampanye yang tidak proposional, dan sebaginya. Dalam proses pemilihan ditemui fenomena berupa adanya warga yang tidak mendapat surat panggilan untuk memilih, dan sebaliknya ada sinyalir sebagian warga ada yang memilih lebih dari satu kali. Seterusnya pada waktu penghitungan suara berembus isu maraknya upaya penggelembungan suara di berbagai lokasi pemilihan, dan berbagai fenomena lainnya. Di antara fenomena tersebut masalah partisipasi masayarakat dalam pemilu merupakan topik yang pantas untuk diperbincangkan karena data dan fakta tentang partisipasi tersebut cukup banyak dan relatif lebih akurat. Sebaliknya fenomena lain mungkin sangat menarik untuk dicermati tetapi sangat riskan untuk diperbincangkan karena datanya lebih bersifat commonsense atau pendapat pribadi seseorang (tetapi hal ini sebetulnya masih terbuka untuk diperdebatkan secara ilmiah). Tulisan ini berusaha membahas tentang fenomena partisipasi politik masyarakat dalam pemilu di Sumataera Barat dengan tujuan barangkali saja kita bisa mendapatkan suatu refleksi yang bermakna bagi lembaga terkait untuk menata sistem pemilukada untuk masamasa selanjutnya. Bahasan yang disajikan mencakup tingkat partisipasi dan pertimbangan pemilih dalam menentukan pilihannya. 34 INTEGRALISTIK No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011 sekelompok orang yang yang tidak ikut menggunakan hak pilihnya ketika Pemilu atau Pemilukada. Di Indonesia golput telah ada semenjak masa Orde Baru. Pada Pemilu 1971 angka golput 6,67%, Pemilu 1977 angka golput 8,40%, Pemilu 1982 mencapai 9,61%, Pemilu 1987 angka golput 8,39%, Pemilu 1992 angka golput 9,05%, dan pada Pemilu 1997 angka golput 10,07%. Dengan demikian tampak bahwa penurunan tingkat partisipasi politik masyarakat sudah terjadi sejak masa Orde Baru. Walaupun sempat naik kembali pada Pemilu 1987, tetapi angka itu kembali mengalami penurunan hingga menembus angka 89,93% pada Pemilu 1997. Penurunan partisipasi politik yang drastis justru terjadi setelah belenggu politik masyarakat telah terbuka pada masa Orde Reformasi. Pada Pemilu 1999 angka golput 10,40% atau mengalami sedikit kenaikan (0,33%) dari Pemilu 1997. Selanjutnya Pemilu 2004 angka golput 10,40%, dan Pemilu 2009 angka golput mencapai 29,10% atau melonjak tajam sebesar 18,70%. Kenaikan angka golput atau penurunan partisipasi politki ini berimbas ke daerah. Hal ini dapat dilihat pada tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilihan gubernur atau kepala daeah. Di DKI Jakarta jumlah golput 36,32%, Banten 39,17%, Jambi 34,18%, dan Kepulauan Riau 46,34%. Di Sumatera Barat sendiri golput berjumlah diperkirakan sebanyak 60%. Pengamat politik Unand, Prof. Dr. Saldi Isra juga mengakui akan hal ini. TINGKAT PARTISIPASI MASYARAKAT Partisipasi politik dalam arti luas menurut Michael Rush dan Phillip Althoff ( 1983:117) adalah keterlibatan individu di dalam aktivitas politik pada sebuah sistem politik, sedangkan secara sempit menurut Herbert McClosky (dalam Damsar, 2010: 180) partisipasi politik merupakan kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa. Intinya di sini adalah keikutsertaan warga negara atau penduduk dalam berbagai kegiatan politik dengan acuan utama dan universal adalah pada pemilu. Jika mengacu pada pendapat McClosky maka tidaklah berlebihan timbul berbagai hal yang menarik dan sekaligus memiriskan dalam kegiatan Pemilu maupun Pemilukada. Berdasarkan data, tingkat partisipasi politik masyarakat pada Orde Reformasi relatif lebih rendah dibanding masa Orde Baru. Pada masa Orde Baru partisipasi politik rakyat relatif tinggi. Kecuali pada Pemilu 1997, angka partisipasi politik pada setiap pemilu selalu berada di atas 90%. Pada Orde Reformasi, kecuali Pemilu 1999, tingkat partisipasi politik masyarakat berada di bawah angka 80%. Meskipun demikian, jika dicermati ternyata ada paradoksial pada saat Orde Baru, yakni di satu sisi partisipasi rakyat dibelenggu dan dikontrol dengan ketat tetapi tingkat partisipasinya relatif tinggi. Partisipasi politik erat kaitannya dengan golongan putih (golput), yakni 35 INTEGRALISTIK No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011 Menurutnya partisipasi politik masyarakat Sumbar pada Pemikukada 2010 di bawah 50%. Dari 3.319.459 penduduk yang berhak memilih dengan 10.856 TPS ternyata kurang dari separoh yang menggunakan hak pilihnya. Kenyataan ini mengindikasikan semakin banyaknya orang yang menganggap bahwa Pemilu bukan sebuah peristiwa penting dan khidmat bagi dirinya. Kenyataan di atas mutlak disikapi secara bijaksana. Di negaranegara yang mapan demokrasinya, partisipasi politk dalam pemilu tampaknya tidak menjadi persoalan. Rendahnya tingkat partisipasi politik tersebut tidak berpengaruh bagi legitimasi dan demokrasi. Hal ini tidak berlaku untuk negara yang baru menerapkan demokrasi seperti Indonesia. Realitas tersebut akan menjadi titik krusial bagi legitimasi pemerintahan terpilih. Salah satu titik krusial dalam partisipasi politik adalah pemberian suara dalam pemilu. Apakah yang menyebabkan semakin rendahnya tingkat partisipasi politik masyarakat tersebut, khusususnya di Sumbar? Secara ilmiah ada beberapa penjelasan yang dapat menjawab pertanyaan tersebut. Penyebab pertama dikarenakan hal-hal teknis seperti adanya pemilih yang tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan minimnya sosialisasi oleh pemerintah atau Komisi Pemilihan Umum (KPU) sehingga warga masyarakat banyak yang tidak mengetahui tentang pemilu. Lembaga ini kurang masif dan intensif dalam melakukan sosialisasi. Penyebab kedua disebabkan oleh faktor sosiologis dari pemilih. Faktor ini merupakan penyebab dominan pada masyarakat Indonesia. Milbrath (dalam Rush dan Althoff, 1983: 160) menyatakan bahwa partisipasi politik itu dipengaruhi oleh empat faktor utama pada diri orang atau masyarakat, yaitu (a) Sejauh mana orang menerima perangsang politik. Semakin cuek dan tertutup seseorang terhadap perangsang politik lewat kontak pribadi, organisasi dan media massa maka berimbas pada ketiadaan pengetahuan atas informasi mengenai politik (pemilu) sehingga semakin besar pula kemungkinan bagi dia untuk golput; (b) Karakteristik pribadi seseorang. Orang-orang yang berwatak sosial rendah, yang kurang peduli problem sosial, politik, ekonomi, dan lain-lain, biasanya tidak banyak terlibat dalam kegiatan politik; (c) Karakteristik sosial seperti sosio-ekonomi yang rendah menyebabkan seseorang lebih mementingkan bekerja daripada ikut berpolitik; dan (d) Keadaan atau lingkungan politik dalam mana seseorang dapat menemukan dirinya sendiri. Lingkungan politik yang tidak kodusif menjadikan orang antipati terhadap politik. Golputnya penduduk bisa juga disebabkan oleh kekecewaan terhadap desain format pemilu yang tidak menghargai hak politik warga negara yang dijamin oleh konstitusi. Termasuk kedalam penyebab ini adalah golput 36 INTEGRALISTIK No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011 sebagai ungkapan protes terhadap kondisi yang ada. Akibatnya mereka tidak percaya kepada pemerintah. Penyebab sosiologis ini oleh Michael Rush dan Phillip Althoff (1983:137) disebutnya dengan istilah apatisme, sinisme, alienasi, dan anomi. Apatisme politik adalah sikap yang dimiliki orang yang tidak berminat atau tidak punya perhatian terhadap orang lain, situasi atau gejala-gejala umum atau khusus yang ada dalam masyarakatnya. Orang yang apatif adalah orang yang pasif, yang mengandalkan perasaan dalam menghadapi permasalahan. Ia tidak mampu melaksanakan tanggung jawabnya baik sebagai pribadi maupun sebagai warga masyarakat, dan selalu merasa terncam. Sinisme politik merupakan sikap politik yang dimiliki orang yang menghayati tindakan dan motif orang lain dengan perasaan curiga. Bagi orang-orang yang sinis bersikap pesisimi lebih realistis ketimbang optimis. Orang-orang yang sinis beranggapan bahwa politik merupakan urusan yang kotor, politisi tidak dapat dipercaya, kekuasaan dijalankan oleh orang-orang yang tidak dapat dipercaya, dan individu menjadi korban dari kelompok yang melakukan manipulasi. Alienasi politik adalah perasaan keterasingan seseorang dari kehidupan politik dan pemerintahan. Orang-orang tipe ini cenderung melihat peraturanperaturan yang ada sebagai sesuatu yang tidak adil dan hanya menguntungkan para penguasa. Anomie politik merupakan perasaan kehilangan nilai dan arah politik sehingga tidak memiliki motivasi untuk mengambil tindakantindaklan yang berarti dalam kehidupan politiknya. Orang yang berperasaan demikian menganggap penguasa bersikap tidak peduli terhadap tujuantujuan hidupnya. Morris Rosenberg (dalam Rafael Raga Maran, 1999: 156) menyatakan bahwa orang menghindari dari aktivitas politik disebabkan oleh tiga alasan. Pertama, karena ketakutan akan kosekuensi negatif dari aktivitas politik. Orang beranggapan aktivitas politik merupakan ancaman bagi kehidupannya. Kedua, karena orang beranggapan bahwa berpartisipasi dalam kehidupan politik merupakan kesia-siaan. Orang merasa tak ada gunanya berpartisipasi karena tidak akan mempengaruhi proses politik. Ketiga, karena tidak adanya rangsangan untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik. Politik bukanlah sesuatu yang penting untuk ditekuni. Politik tidaklah lebih penting daripada menyelesaikan pekerjaan atau rutinitas. Di antara faktor-faktor di atas, sinisme adalah gejala yang paling banyak dijumpai dalam masyarakat. Secara langsung atau tidak langsung warga masyarakat sering berucap: “…Urang-urang tu tau jo awak katiko ado paralu sarupo kini sajonyo, kalau lah duduaknyo maa lo tau jo awak lai. Alah dapek kandaknyo awak dilupoan” (Para calon tersebut berusaha kenal dan mendekati kita ketika saat pemilu saja. 37 INTEGRALISTIK No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011 Mereka meminta kita untuk memilihdia, namun setelah duduk di kursi jabatannya mereka lupa dengan kita. Pendapat dan keinginan kita tidak lagi mereka dengar). Ucapan tersebut bisa didengar di mana saja, baik pada masyarakat urban maupun masyarakat rural di Sumatera Barat. Pada taraf apatisme dan sinisme kita mungkin masih bisa tidak terlalu merasa khawatir, sebab gejala itu tidak akan memberi dampak lanjut yang dapat mengancam stabilitas sosial dan politik. Sikap yang mesti diwaspadai adalah jika sudah sampai pada taraf alienasi dan anomi. Sikap dan perilaku yang sudah sampai pada alienasi dan anomi dapat memicu meletusnya kekerasan politik. putran. Suara yang diperolehnya mendominasi hampir pada semua kabupaten dan kota di Sumatera Barat, terutama di daerah Kabupaten Solok dan Solok Selatan (Solsel). Kemenangan Gamawan Fauzi karena masyarakat Sumatera Barat memilih dia berdasarkan penilaian masyarakat akan kemampuan dia ketika menjabat sebagai Bupati Solok dengan berbagai kebijaksanaan dan pembangunan yang progresif. Keberhasilan tersebut berimbas pada citra dirinya sebagai calon leader yang layak untuk dipilih bagi mayoritas masyarakat Sumatera Barat. Di balik perolehan suara pada Pilkada Gubernur Sumbar 2005 tersebut terdapat data bahwa Gamawan menang unggul jauh dari kompetitor lainnya di Kabupaten Solok dan Solok Selatan yang merupakan kampung halaman atau daerah asalnya. Hal serupa juga terjadi pada calon yang lain. Sebagain besar mereka unggul di daerah asal atau di kampung masing-masing, misal Irwan Prayitno yang berasal dari Kecamatan Kuranji Padang unggul mencolok atas saingannya di daerah tersebut. Pada Pemilukada 2010 Irwan Prayitno muncul sebagai pemenang. Dia memperoleh suara terbanyak di sebagian daerah. Fenomena kemenangan secara mencolok seperti pada Pilkada 2005 kembali terlihat pada Pemilukada 2010. Bahkan hal tersebut tampak semakin jelas. Fenomena itu juga terjadi pada Pilkada Bupati dan Walikota di daerah ini. Semua kepala dearah yang terpilih jadi bupati dan PERTIMBANGAN MENENTUKAN PILIHAN CALON Maksud pertimbangan menentukan pilihan adalah faktor-faktor yang dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi pemilih dalam menentukan siapa calon yang dipilih ketika pemilu. Jika diamati pilihan seorang pemilih terhadap siapa calon yang dipilihnya ternyata sebagian ada yang sama dengan pilihan kelompok atau komunitasnya seperti keluarga, organisasi, dan kelompok lainnya. Hal ini dapat dilihat pada pemilukada Sumbar tahun 2005 dan 2010. Pada Pemilu Gubernur Sumbar tahun 2005 terpilih Gamawa Fauzi sebagai Gubernur Sumbar untuk periode 2005-2010. Gamawan Fauzi meraup suara mutlak, sehingga pemilu atau pilkada hanya berlangsung satu 38 INTEGRALISTIK No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011 walikota memperoleh suara mayoritas di daerah kampung halamannya. Berdasarkan dua pemilu gubernur di atas dapat dikatakan bahwa masyarakat memilih lebih banyak didasarkan pada pertimbangan asal-usul daerah si calon. Hal itu semakian lama menjukkan indikasi yang semakin kuat. Menurut Clifford Geerrtz, ternyata pada Pemilu 1955 sudah ada gejala demikian. Geertz menyatakan bahwa pada Pemilu 1955 sudah ada kelompok pemilih primordial. Lalu William Liddle mengamati pemilu 1999. Liddle juga menemukan hal yang sama. Bedanya hanya suku dan kedaerahan yang agak berkurang, namun identitas agama tetap menjadi pertimbangan dominan bagi pemilih. Berdasarkan pengamatannya, Alfian (1980: 134-136) menyatakan bahwa pola sikap dan tingkah laku politik masyarakat banyak bernuansa emosional-primordial berdasarkan ikatan suku, agama, daerah, aliran, dan kebudayaan sehingga berakibat lahirnya pemimpin bermental otoriter. Selanjutnya, Damsar (2010) menyatakan bahwa pada pemilu terdapat pemilih rasional dan pemilih non-rasional. Pemilih rasional memilih dengan pertimbangan visi, misi, program kerja serta track reccord kandididat. Pemilih non-rasional memilihdidasarkan pada pertimbangan etnisistas, kedaerahan, emosional, dan hal-hal pragmatis. Huntington dan Nelson (1994) menyebut hal ini dengan basis partisipasi. Menurutnya basis partisipasi politik dapat berupa individual maupun kolektif. Penelitian di negara barat membuktikan pada umumnya masyarakatnya menganut basis individual, yang menekakkan pada kegiatan politik individu warga negara. Hal ini berkaitan dengan sistem nilai yang menekankan individualisme atau kesadaran politik yang tinggi. Pada masyarakat Indonesia yang umumnya menekankan komunalisme (kebersamaan atau gotong royong) dari pada individualisme. Basis partisipasi kolektif mungkin lebih tepat. Dari kacamata tipologi tindakan, Max Weber (1988: 119-222) membedakan empat jenis tipe tindakan sosial: (1) rasional instrumental yaitu tindakan dengan pertimbnagan pilihan yang sadar yang melihat kesesuaian antara tujuan dengan alat yang digunakan untuk mencapainya; (2) rasional yaitu tindakan yang berorintasi pada nilai. Tujuan dari tindakan dinyatakan secara jelas, sedangkan alat hanya sebagai objek pertimbangan saja; (3) tradisional yaitu tindakan yang nonrasional. Tindakan tipe ini muncul atas dasar kebiasaan; dan (4) afektif yaitu tindakan yang didominasi oleh emosi tanpa pertimbangan. Partisipasi dan pertimbangan masyarakat Sumatera Barat dalam memilih calon gubernur termasuk ke dalam tipologi tindakan tradisional. Mereka memilih atas dasar penerimaan norma tingkah laku individu atau tradisi tertentu dari suatu kelompok. Mereka menjunjung tradisi urang awak atau dunsanak awak dalam menentukan bakal pimpinannya. Norma dan tradisi mereka menentukan bahwa yang boleh 39 INTEGRALISTIK No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011 menjadi pemimpin hanyalah dari jalur keluarganya saja. Memilih pemimpin yang berasal dari keluarga atau komunitas yang dimiliki memberikan kebanggan bagi. Masyarakat juga beranggapan pemimpin tersebut pasti tidak akan menyia-nyia mereka dan daerah tumpah darahnya. DAFTAR RUJUKAN Alfian. 1980. Politik, Kebudayaan dan Manusia Indonesia. Jakarta: LP3ES. Balandier, Georges. 1996. Antropologi Politik. Penerjemah Y Budisantoso. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Damsar. 2010. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Kencana. SIMPULAN Partisipasi politik masyarakat Sumatera Barat pada pemilu dan pemilukada menujukkan tren penurunan dari waktu ke waktu, baik di zaman Orde Baru maupun Orde Reformasi. Penurunan yang sangat drastis terjadi pada pemilu terakhir tahun 2009 dan Pemilukada 2010 yang disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satu faktor berpengaruh kuat adalah terbentuknya sikap sinisme masyarakat sebagai akibat kekecewaan mereka terhadap perilaku pemimpin yang mereka pilih melalui pemilu-pemilu sebelumnya. Jika mereka memilih, maka pertimbangan untuk menentukan calon yang dipilih lebih banyak didasarkan pada hal-hal yang non-rasional. Tindakan mereka tergolong tradisional. Kepentingan keluarga dan primordialisme kedaerahan sangat penting bagi mereka. Geertz, Clifford. 1992. Politik Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. Huntington, Samuel & Nelson, Yoan. 1994. Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Jakarta: Rineka Cipta. Johnson, Doyle Paul. 1988. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Terjemahan Robert M.Z. Lawang. Jakarta: Gramedia. Rafel Raga Maran. 2001. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Rineka Cipta. Rush, Michael & Althoff, Phllip. 1983. Pengantar Sosiologi Politik. Alih Bahasa Kartini Kartono. Jakarta: Rajawali. 40