34 PARTISIPASI POLITIK MASYRAKAT

advertisement
INTEGRALISTIK
No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011
PARTISIPASI POLITIK MASYRAKAT SUMATERA BARAT
PADA PEMILU DAN PILKADA
Junaidi
Abstrak: Ada dua hal yang menarik untuk dicermati dari pemilukada di Sumatera
Barat, pertama menyangkut tingkat partisipasi warga dalam memilih, dan kedua dasar
pertimbangan warga pemilih dalam memutuskan calon kepala daerah. Partisipasi
mereka kian menurun, dan dalam memilih calon kepala daerah lebih dominan dengan
mempertimbangkan unsur famili dan kesamaan daerah asal.
PENDAHULUAN
Setahun sudah Pemilukada yang
memilih gubernur dan wakil gubernur
beserta beberapa bupati dan wakil
bupati, serta wali kota dan wakil wali
kota se Sumatera Barat, telah berlalu
dari hadapan kita. Berbagai fenomena
menarik dapat diingat kembali seperti
menyangkut pemilihan dan penetapan
pasangan calon kepala daerah, kegiatan
kampanye,
proses
pemilihan,
penghitungan suara, dan sebagainya.
Dalam kegiatan penetapan calon
pasangan kepala daerah terjadi hal
antara lain banyaknya spekulasi
terhadap seorang calon dalam memilih
siapa yang akan menjadi pasangannya,
pro dan kontra terhadap pasangan yang
telah terbentuk, dan sebagainya. Dalam
kegiatan kampanye terjadi fenomena
berupa curi star, pemanfaatan fasilitas
negara oleh incumbent, penetapan
waktu dan lokasi kampanye yang tidak
proposional, dan sebaginya. Dalam
proses pemilihan ditemui fenomena
berupa adanya warga yang tidak
mendapat surat panggilan untuk
memilih, dan sebaliknya ada sinyalir
sebagian warga ada yang memilih lebih
dari satu kali. Seterusnya pada waktu
penghitungan suara berembus isu
maraknya upaya penggelembungan
suara di berbagai lokasi pemilihan, dan
berbagai fenomena lainnya.
Di antara fenomena tersebut
masalah partisipasi masayarakat dalam
pemilu merupakan topik yang pantas
untuk diperbincangkan karena data dan
fakta tentang partisipasi tersebut cukup
banyak dan relatif lebih akurat.
Sebaliknya fenomena lain mungkin
sangat menarik untuk dicermati tetapi
sangat riskan untuk diperbincangkan
karena
datanya
lebih
bersifat
commonsense atau pendapat pribadi
seseorang (tetapi hal ini sebetulnya
masih terbuka untuk diperdebatkan
secara ilmiah).
Tulisan ini berusaha membahas
tentang fenomena partisipasi politik
masyarakat dalam pemilu di Sumataera
Barat dengan tujuan barangkali saja kita
bisa mendapatkan suatu refleksi yang
bermakna bagi lembaga terkait untuk
menata sistem pemilukada untuk masamasa selanjutnya. Bahasan yang
disajikan mencakup tingkat partisipasi
dan pertimbangan pemilih dalam
menentukan pilihannya.
34
INTEGRALISTIK
No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011
sekelompok orang yang yang tidak ikut
menggunakan hak pilihnya ketika
Pemilu atau Pemilukada. Di Indonesia
golput telah ada semenjak masa Orde
Baru. Pada Pemilu 1971 angka golput
6,67%, Pemilu 1977 angka golput
8,40%, Pemilu 1982 mencapai 9,61%,
Pemilu 1987 angka golput 8,39%,
Pemilu 1992 angka golput 9,05%, dan
pada Pemilu 1997 angka golput
10,07%. Dengan demikian tampak
bahwa penurunan tingkat partisipasi
politik masyarakat sudah terjadi sejak
masa Orde Baru. Walaupun sempat naik
kembali pada Pemilu 1987, tetapi angka
itu kembali mengalami penurunan
hingga menembus angka 89,93% pada
Pemilu 1997.
Penurunan partisipasi politik
yang drastis justru terjadi setelah
belenggu politik masyarakat telah
terbuka pada masa Orde Reformasi.
Pada Pemilu 1999 angka golput 10,40%
atau
mengalami sedikit kenaikan
(0,33%) dari Pemilu 1997. Selanjutnya
Pemilu 2004 angka golput 10,40%, dan
Pemilu 2009 angka golput mencapai
29,10% atau melonjak tajam sebesar
18,70%.
Kenaikan angka golput atau
penurunan partisipasi politki ini
berimbas ke daerah. Hal ini dapat
dilihat
pada
tingkat
partisipasi
masyarakat dalam pemilihan gubernur
atau kepala daeah. Di DKI Jakarta
jumlah golput 36,32%, Banten 39,17%,
Jambi 34,18%, dan Kepulauan Riau
46,34%. Di Sumatera Barat sendiri
golput berjumlah diperkirakan sebanyak
60%. Pengamat politik Unand, Prof. Dr.
Saldi Isra juga mengakui akan hal ini.
TINGKAT PARTISIPASI
MASYARAKAT
Partisipasi politik dalam arti luas
menurut Michael Rush dan Phillip
Althoff ( 1983:117) adalah keterlibatan
individu di dalam aktivitas politik pada
sebuah sistem politik, sedangkan secara
sempit menurut Herbert McClosky
(dalam Damsar, 2010: 180) partisipasi
politik merupakan kegiatan-kegiatan
sukarela dari warga masyarakat melalui
mana mereka mengambil bagian dalam
proses pemilihan penguasa. Intinya di
sini adalah keikutsertaan warga negara
atau penduduk dalam berbagai kegiatan
politik dengan acuan utama dan
universal adalah pada pemilu. Jika
mengacu pada pendapat McClosky
maka tidaklah berlebihan timbul
berbagai hal yang menarik dan
sekaligus memiriskan dalam kegiatan
Pemilu maupun Pemilukada.
Berdasarkan
data,
tingkat
partisipasi politik masyarakat pada Orde
Reformasi
relatif
lebih
rendah
dibanding masa Orde Baru. Pada masa
Orde Baru partisipasi politik rakyat
relatif tinggi. Kecuali pada Pemilu
1997, angka partisipasi politik pada
setiap pemilu selalu berada di atas 90%.
Pada Orde Reformasi, kecuali Pemilu
1999, tingkat partisipasi politik
masyarakat berada di bawah angka
80%. Meskipun demikian,
jika
dicermati ternyata ada paradoksial pada
saat Orde Baru, yakni di satu sisi
partisipasi rakyat dibelenggu dan
dikontrol dengan ketat tetapi tingkat
partisipasinya relatif tinggi.
Partisipasi politik erat kaitannya
dengan golongan putih (golput), yakni
35
INTEGRALISTIK
No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011
Menurutnya
partisipasi
politik
masyarakat Sumbar pada Pemikukada
2010 di bawah 50%. Dari 3.319.459
penduduk yang berhak memilih dengan
10.856 TPS ternyata kurang dari
separoh yang menggunakan hak
pilihnya.
Kenyataan
ini
mengindikasikan semakin banyaknya
orang yang menganggap bahwa Pemilu
bukan sebuah peristiwa penting dan
khidmat bagi dirinya.
Kenyataan di atas mutlak
disikapi secara bijaksana. Di negaranegara yang mapan demokrasinya,
partisipasi
politk
dalam
pemilu
tampaknya tidak menjadi persoalan.
Rendahnya tingkat partisipasi politik
tersebut tidak berpengaruh bagi
legitimasi dan demokrasi. Hal ini tidak
berlaku untuk negara yang baru
menerapkan
demokrasi
seperti
Indonesia. Realitas tersebut akan
menjadi titik krusial bagi legitimasi
pemerintahan terpilih. Salah satu titik
krusial dalam partisipasi politik adalah
pemberian suara dalam pemilu.
Apakah yang menyebabkan
semakin rendahnya tingkat partisipasi
politik
masyarakat
tersebut,
khusususnya di Sumbar? Secara ilmiah
ada beberapa penjelasan yang dapat
menjawab
pertanyaan
tersebut.
Penyebab pertama dikarenakan hal-hal
teknis seperti adanya pemilih yang tidak
terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap
(DPT) dan minimnya sosialisasi oleh
pemerintah atau Komisi Pemilihan
Umum
(KPU)
sehingga
warga
masyarakat
banyak
yang
tidak
mengetahui tentang pemilu. Lembaga
ini kurang masif dan intensif dalam
melakukan sosialisasi.
Penyebab kedua disebabkan
oleh faktor sosiologis dari pemilih.
Faktor ini merupakan penyebab
dominan pada masyarakat Indonesia.
Milbrath (dalam Rush dan Althoff,
1983:
160)
menyatakan
bahwa
partisipasi politik itu dipengaruhi oleh
empat faktor utama pada diri orang atau
masyarakat, yaitu (a) Sejauh mana
orang menerima perangsang politik.
Semakin cuek dan tertutup seseorang
terhadap perangsang politik lewat
kontak pribadi, organisasi dan media
massa maka berimbas pada ketiadaan
pengetahuan atas informasi mengenai
politik (pemilu) sehingga semakin besar
pula kemungkinan bagi dia untuk
golput; (b) Karakteristik pribadi
seseorang. Orang-orang yang berwatak
sosial rendah, yang kurang peduli
problem sosial, politik, ekonomi, dan
lain-lain, biasanya tidak banyak terlibat
dalam kegiatan politik; (c) Karakteristik
sosial seperti sosio-ekonomi yang
rendah menyebabkan seseorang lebih
mementingkan bekerja daripada ikut
berpolitik; dan (d) Keadaan atau
lingkungan politik
dalam
mana
seseorang dapat menemukan dirinya
sendiri. Lingkungan politik yang tidak
kodusif menjadikan orang antipati
terhadap politik.
Golputnya penduduk bisa juga
disebabkan oleh kekecewaan terhadap
desain format pemilu yang tidak
menghargai hak politik warga negara
yang dijamin oleh konstitusi. Termasuk
kedalam penyebab ini adalah golput
36
INTEGRALISTIK
No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011
sebagai ungkapan protes terhadap
kondisi yang ada. Akibatnya mereka
tidak percaya kepada pemerintah.
Penyebab sosiologis ini oleh Michael
Rush dan Phillip Althoff (1983:137)
disebutnya dengan istilah apatisme,
sinisme, alienasi, dan anomi.
Apatisme politik adalah sikap
yang dimiliki orang yang tidak berminat
atau tidak punya perhatian terhadap
orang lain, situasi atau gejala-gejala
umum atau khusus yang ada dalam
masyarakatnya. Orang yang apatif
adalah orang yang pasif, yang
mengandalkan
perasaan
dalam
menghadapi permasalahan. Ia tidak
mampu
melaksanakan
tanggung
jawabnya baik sebagai pribadi maupun
sebagai warga masyarakat, dan selalu
merasa terncam.
Sinisme politik merupakan sikap
politik yang dimiliki orang yang
menghayati tindakan dan motif orang
lain dengan perasaan curiga. Bagi
orang-orang yang sinis bersikap
pesisimi lebih realistis ketimbang
optimis. Orang-orang yang sinis
beranggapan bahwa politik merupakan
urusan yang kotor, politisi tidak dapat
dipercaya, kekuasaan dijalankan oleh
orang-orang yang tidak dapat dipercaya,
dan individu menjadi korban dari
kelompok yang melakukan manipulasi.
Alienasi politik adalah perasaan
keterasingan seseorang dari kehidupan
politik dan pemerintahan. Orang-orang
tipe ini cenderung melihat peraturanperaturan yang ada sebagai sesuatu
yang
tidak
adil
dan
hanya
menguntungkan para penguasa.
Anomie politik merupakan
perasaan kehilangan nilai dan arah
politik sehingga tidak memiliki
motivasi untuk mengambil tindakantindaklan yang berarti dalam kehidupan
politiknya. Orang yang berperasaan
demikian
menganggap
penguasa
bersikap tidak peduli terhadap tujuantujuan hidupnya.
Morris Rosenberg (dalam Rafael
Raga Maran, 1999: 156) menyatakan
bahwa orang menghindari dari aktivitas
politik disebabkan oleh tiga alasan.
Pertama, karena ketakutan akan
kosekuensi negatif dari aktivitas politik.
Orang beranggapan aktivitas politik
merupakan
ancaman
bagi
kehidupannya. Kedua, karena orang
beranggapan
bahwa
berpartisipasi
dalam kehidupan politik merupakan
kesia-siaan. Orang merasa tak ada
gunanya berpartisipasi karena tidak
akan mempengaruhi proses politik.
Ketiga, karena tidak adanya rangsangan
untuk berpartisipasi dalam kegiatan
politik. Politik bukanlah sesuatu yang
penting untuk ditekuni. Politik tidaklah
lebih penting daripada menyelesaikan
pekerjaan atau rutinitas.
Di antara faktor-faktor di atas,
sinisme adalah gejala yang paling
banyak dijumpai dalam masyarakat.
Secara langsung atau tidak langsung
warga masyarakat sering berucap:
“…Urang-urang tu tau jo awak katiko
ado paralu sarupo kini sajonyo, kalau
lah duduaknyo maa lo tau jo awak lai.
Alah dapek kandaknyo awak dilupoan”
(Para calon tersebut berusaha kenal dan
mendekati kita ketika saat pemilu saja.
37
INTEGRALISTIK
No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011
Mereka meminta kita untuk memilihdia,
namun setelah duduk di kursi
jabatannya mereka lupa dengan kita.
Pendapat dan keinginan kita tidak lagi
mereka dengar). Ucapan tersebut bisa
didengar di mana saja, baik pada
masyarakat urban maupun masyarakat
rural di Sumatera Barat.
Pada taraf apatisme dan sinisme
kita mungkin masih bisa tidak terlalu
merasa khawatir, sebab gejala itu tidak
akan memberi dampak lanjut yang
dapat mengancam stabilitas sosial dan
politik. Sikap yang mesti diwaspadai
adalah jika sudah sampai pada taraf
alienasi dan anomi. Sikap dan perilaku
yang sudah sampai pada alienasi dan
anomi dapat memicu meletusnya
kekerasan politik.
putran. Suara yang diperolehnya
mendominasi hampir pada semua
kabupaten dan kota di Sumatera Barat,
terutama di daerah Kabupaten Solok
dan Solok Selatan (Solsel).
Kemenangan Gamawan Fauzi
karena masyarakat Sumatera Barat
memilih dia berdasarkan penilaian
masyarakat akan kemampuan dia ketika
menjabat sebagai Bupati Solok dengan
berbagai
kebijaksanaan
dan
pembangunan
yang
progresif.
Keberhasilan tersebut berimbas pada
citra dirinya sebagai calon leader yang
layak untuk dipilih bagi mayoritas
masyarakat Sumatera Barat.
Di balik perolehan suara pada
Pilkada Gubernur Sumbar 2005 tersebut
terdapat data bahwa Gamawan menang
unggul jauh dari kompetitor lainnya di
Kabupaten Solok dan Solok Selatan
yang merupakan kampung halaman atau
daerah asalnya. Hal serupa juga terjadi
pada calon yang lain. Sebagain besar
mereka unggul di daerah asal atau di
kampung masing-masing, misal Irwan
Prayitno yang berasal dari Kecamatan
Kuranji Padang unggul mencolok atas
saingannya di daerah tersebut.
Pada Pemilukada 2010 Irwan
Prayitno muncul sebagai pemenang. Dia
memperoleh suara terbanyak di
sebagian
daerah.
Fenomena
kemenangan secara mencolok seperti
pada Pilkada 2005 kembali terlihat pada
Pemilukada 2010. Bahkan hal tersebut
tampak semakin jelas. Fenomena itu
juga terjadi pada Pilkada Bupati dan
Walikota di daerah ini. Semua kepala
dearah yang terpilih jadi bupati dan
PERTIMBANGAN MENENTUKAN
PILIHAN CALON
Maksud
pertimbangan
menentukan pilihan adalah faktor-faktor
yang
dijadikan
sebagai
bahan
pertimbangan bagi pemilih dalam
menentukan siapa calon yang dipilih
ketika pemilu. Jika diamati pilihan
seorang pemilih terhadap siapa calon
yang dipilihnya ternyata sebagian ada
yang sama dengan pilihan kelompok
atau komunitasnya seperti keluarga,
organisasi, dan kelompok lainnya. Hal
ini dapat dilihat pada pemilukada
Sumbar tahun 2005 dan 2010.
Pada Pemilu Gubernur Sumbar
tahun 2005 terpilih Gamawa Fauzi
sebagai Gubernur Sumbar untuk
periode 2005-2010. Gamawan Fauzi
meraup suara mutlak, sehingga pemilu
atau pilkada hanya berlangsung satu
38
INTEGRALISTIK
No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011
walikota memperoleh suara mayoritas
di daerah kampung halamannya.
Berdasarkan
dua
pemilu
gubernur di atas dapat dikatakan bahwa
masyarakat memilih lebih banyak
didasarkan pada pertimbangan asal-usul
daerah si calon. Hal itu semakian lama
menjukkan indikasi yang semakin kuat.
Menurut
Clifford Geerrtz, ternyata
pada Pemilu 1955 sudah ada gejala
demikian. Geertz menyatakan bahwa
pada Pemilu 1955 sudah ada kelompok
pemilih primordial. Lalu William
Liddle mengamati pemilu 1999. Liddle
juga menemukan hal yang sama.
Bedanya hanya suku dan kedaerahan
yang agak berkurang, namun identitas
agama tetap menjadi pertimbangan
dominan bagi pemilih.
Berdasarkan
pengamatannya,
Alfian (1980: 134-136) menyatakan
bahwa pola sikap dan tingkah laku
politik masyarakat banyak bernuansa
emosional-primordial
berdasarkan
ikatan suku, agama, daerah, aliran, dan
kebudayaan sehingga berakibat lahirnya
pemimpin
bermental
otoriter.
Selanjutnya,
Damsar
(2010)
menyatakan bahwa pada pemilu
terdapat pemilih rasional dan pemilih
non-rasional. Pemilih rasional memilih
dengan pertimbangan visi, misi,
program kerja serta track reccord
kandididat.
Pemilih
non-rasional
memilihdidasarkan pada pertimbangan
etnisistas, kedaerahan, emosional, dan
hal-hal pragmatis.
Huntington dan Nelson (1994)
menyebut hal ini dengan basis
partisipasi.
Menurutnya
basis
partisipasi
politik
dapat
berupa
individual maupun kolektif. Penelitian
di negara barat membuktikan pada
umumnya masyarakatnya menganut
basis individual, yang menekakkan pada
kegiatan politik individu warga negara.
Hal ini berkaitan dengan sistem nilai
yang menekankan individualisme atau
kesadaran politik yang tinggi. Pada
masyarakat Indonesia yang umumnya
menekankan
komunalisme
(kebersamaan atau gotong royong) dari
pada individualisme. Basis partisipasi
kolektif mungkin lebih tepat.
Dari kacamata tipologi tindakan,
Max
Weber
(1988:
119-222)
membedakan empat jenis tipe tindakan
sosial: (1) rasional instrumental yaitu
tindakan dengan pertimbnagan pilihan
yang sadar yang melihat kesesuaian
antara tujuan dengan alat yang
digunakan untuk mencapainya; (2)
rasional yaitu tindakan yang berorintasi
pada nilai. Tujuan
dari tindakan
dinyatakan secara jelas, sedangkan alat
hanya sebagai objek pertimbangan saja;
(3) tradisional yaitu tindakan yang nonrasional. Tindakan tipe ini muncul atas
dasar kebiasaan; dan (4) afektif yaitu
tindakan yang didominasi oleh emosi
tanpa pertimbangan.
Partisipasi dan pertimbangan
masyarakat Sumatera Barat dalam
memilih calon gubernur termasuk ke
dalam tipologi tindakan tradisional.
Mereka memilih atas dasar penerimaan
norma tingkah laku individu atau tradisi
tertentu dari suatu kelompok. Mereka
menjunjung tradisi urang awak atau
dunsanak awak dalam menentukan
bakal pimpinannya. Norma dan tradisi
mereka menentukan bahwa yang boleh
39
INTEGRALISTIK
No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011
menjadi pemimpin hanyalah dari jalur
keluarganya saja. Memilih pemimpin
yang berasal dari keluarga atau
komunitas yang dimiliki memberikan
kebanggan bagi. Masyarakat
juga
beranggapan pemimpin tersebut pasti
tidak akan menyia-nyia mereka dan
daerah tumpah darahnya.
DAFTAR RUJUKAN
Alfian. 1980. Politik, Kebudayaan dan
Manusia Indonesia. Jakarta:
LP3ES.
Balandier, Georges. 1996. Antropologi
Politik.
Penerjemah
Y
Budisantoso. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Damsar. 2010. Pengantar Sosiologi
Politik. Jakarta: Kencana.
SIMPULAN
Partisipasi politik masyarakat
Sumatera Barat pada pemilu dan
pemilukada menujukkan tren penurunan
dari waktu ke waktu, baik di zaman
Orde Baru maupun Orde Reformasi.
Penurunan yang sangat drastis terjadi
pada pemilu terakhir tahun 2009 dan
Pemilukada 2010 yang disebabkan oleh
berbagai faktor. Salah satu faktor
berpengaruh kuat adalah terbentuknya
sikap sinisme masyarakat sebagai akibat
kekecewaan mereka terhadap perilaku
pemimpin yang mereka pilih melalui
pemilu-pemilu sebelumnya.
Jika mereka memilih, maka
pertimbangan untuk menentukan calon
yang dipilih lebih banyak didasarkan
pada hal-hal yang non-rasional.
Tindakan mereka tergolong tradisional.
Kepentingan
keluarga
dan
primordialisme kedaerahan
sangat
penting bagi mereka.
Geertz,
Clifford.
1992.
Politik
Kebudayaan.
Yogyakarta:
Kanisius.
Huntington, Samuel & Nelson, Yoan.
1994. Partisipasi Politik di
Negara Berkembang. Jakarta:
Rineka Cipta.
Johnson, Doyle Paul. 1988. Teori
Sosiologi Klasik dan Modern.
Terjemahan Robert M.Z.
Lawang. Jakarta: Gramedia.
Rafel Raga Maran. 2001. Pengantar
Sosiologi Politik. Jakarta:
Rineka Cipta.
Rush, Michael & Althoff, Phllip. 1983.
Pengantar Sosiologi Politik.
Alih Bahasa Kartini Kartono.
Jakarta: Rajawali.
40
Download