analisis komparasi kinerja capital asset pricing model, three factors

advertisement
ANALISIS KOMPARASI KINERJA
CAPITAL ASSET PRICING MODEL, THREE FACTORS PRICING MODEL,
DAN FOUR FACTORS PRICING MODEL
(STUDI PADA SAHAM PERUSAHAAN NON KEUANGAN
YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA)
Disusun Oleh:
Skripsi
Disusun guna memenuhi syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh:
NISITA PRABAWANTI
F0206090
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2010
ABSTRAK
Nisita Prabawanti
F0206090
ANALISIS KOMPARASI KINERJA
CAPITAL ASSET PRICING MODEL, THREE FACTORS PRICING MODEL,
DAN FOUR FACTORS PRICING MODEL
(STUDI PADA SAHAM PERUSAHAAN NON KEUANGAN
DI BURSA EFEK INDONESIA)
Penelitian ini menguji faktor-faktor yang berpengaruh dalam estimasi return
saham serta membandingkan tiga model asset pricing, yaitu Capital Asset Pricing
Model, Three Factors Pricing Model, dan Four Factors Pricing Model. Tujuan
penelitian ini adalah memperoleh model asset pricing yang dapat memberikan
estimasi return saham dengan lebih baik di antara tiga jenis model tersebut.
Sampel penelitian adalah saham-saham perusahaan non- keuangan yang terdaftar
di Bursa Efek Indonesia pada periode tahun 2003 - 2008. Analisis regresi
dilakukan atas variabel excess market return, ukuran perusahaan, book to market,
dan momentum terhadap return bulanan saham sesuai masing-masing model
untuk mengetahui pengaruh variabel dan kelayakan model dengan adjusted R
square. Uji beda dengan ANOVA dilakukan untuk memperoleh standar deviasi
tiap model dan signifikansi perbedaan antara ketiga model.
Hasil penelitian menunjukkan: (1) faktor excess market return, size premium,
value premium, dan faktor momentum berpengaruh terhadap return saham, (2)
berdasarkan pengaruh variabel independen penyusunnya, baik CAPM, Three
Factors Pricing Model, maupun Four Factors Pricing Model dapat menangkap
perilaku pembentukan harga saham non-keuangan pada pasar saham Indonesia,
(3) Meskipun berdasar nilai adjusted R Square dan besarnya standar deviasi Three
Factors Pricing Model lebih baik CAPM dan Four Factors Pricing Model lebih
baik dibanding Three Factors Pricing Model, namun ketiganya memiliki kekuatan
penjelas yang lemah serta hasil signifikansi uji beda yang tidak signifikan
sehingga manfaat dari model-model tersebut dalam mengestimasi return
ekspektasi saham di Indonesia masih dipertanyakan.
Kata kunci: market excess return, size, book to market, momentum, CAPM, Three
Factors Pricing Model, Four Factors Pricing Model
ii
ABSTRACT
Nisita Prabawanti
F0206090
ANALISIS KOMPARASI KINERJA
CAPITAL ASSET PRICING MODEL, THREE FACTORS PRICING MODEL,
DAN FOUR FACTORS PRICING MODEL
(STUDI PADA SAHAM PERUSAHAAN NON KEUANGAN
DI BURSA EFEK INDONESIA)
This article tests and compares three alternative models for the prediction of
the expected return of non financial stocks in the Indonesia Stocks Exchange:
Capital Asset Pricing Model, Three Factors Pricing Model, and Four Factors
Pricing Model. The goal of this study is to find the best estimation model by
camparing the three models. The sample consist of actively traded nonfinancial
stocks that listed in the Indonesia Stock Exchange and the sample period is 20032008. Multiple regressions are used to test the hypotheses in order to know the
influence of market excess return, size premium, book to market value premium,
and the premium of momentum investment strategy on the expected return of each
model. The statistics goodness of fit, adjusted R square tells about how well
expected return explained by the model. ANOVA is used to know are the CAPM,
Three factors, and Four Factors Pricing Model significantly different.
The results indicate that: (1) market factor, size premium, book to market
value premium, and momentum strategy are significantly related to the expected
return (2) the three models; CAPM, Three Factors Pricing Model, and Four
Factors Pricing Model Capture the asset prcing (3) however, although the
adjusted R square and standard deviation of the Three Factors Model are better
than CAPM, and the adjusted R square and standard deviation of the Four
Factors Model are better than Three Factors Model, the difference between the
three models is not significant. It means that the accuration of the models are still
doubted.
Keywords: market excess return, size, book to market, momentum, CAPM, Three
Factors Pricing Model, Four Factors Pricing Model
iii
iv
v
vi
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini peneliti persembahkan untuk:
1. My Lord, my Saviour, Jesus Christ who always gives me strength I need.
2. Bapakku tercinta, Nurwanta Triwibawa di Surga. Akhirnya selesai, Pak,
skripsi yang aku kerjakan sambil menemani Bapak. Terima kasih telah
menginspirasiku menjadi Nisita yang kuat dan selalu bersemangat. Imiss
you J
3. Ibuku yang luar biasa, Titik Wahyuni. Terima kasih atas kasih sayang dan
kesabaran yang luar biasa dalam menemani, mendukung, dan
mendoakanku.
4. Adikku tersayang, Niken. Terima kasih atas keceriaan yang membuat harihariku jadi lebih santai dan selalu menyenangkan. Yang smangat yaaa
kuliahnya ^_^
5. Yosafat Tri Hanggoro, my sweet heart. Terima kasih selalu setia dan sabar
menemani dalam tangis dan tawaku, di saat susah ataupun senang,
terbukti!
6. Sahabatku, Destryna Amanda dan Dara Narendra. Terima kasih telah
menaruh kasih setiap waktu dan menjadi saudara dalam kesukaranku.
7. Teman-teman yang telah banyak membantu dan mendukungku, Mbak
Rini, Novia, Eka, Adis, Raras, Siska, Mawar, Ira, dan Ghea.
I love you all, God Bless Us
vii
MOTTO
“If you fail to prepare…you prepare to fail”
(Benjamin Franklin)
“So don’t get tired of doing what is good. Don’t get discouraged and give up, for
we will reap a harvest of blessing at the appropriate time.”
(Galatians 6:9)
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas karunia, penyertaan, dan
hikmat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Penulisan
skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai
gelar Sarjana Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis menyadari
bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan
sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis menghaturkan terima kasih
yang tulus kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Bambang Sutopo, M. Com, Ak. Selaku Dekan Fakultas
Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Ibu Dra. Endang Suhari, M.Si., selaku Ketua Jurusan Manajemen Fakultas
Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta, sekaligus sebagai Pembimbing
Akademik penulis atas bimbingan selama menuntut ilmu di Fakultas
Ekonomi.
3. Bapak Reza rahardian, S.E., M.Si., selaku Sekretaris Jurusan Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta.
4. Bapak Heru Agustanto, S.E., M.E., selaku pembimbing skripsi yang telah
bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran dengan penuh ketelitian dan
kesabaran dalam membimbing dan mengarahkan penyusunan skripsi ini
sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik.
ix
5. Bapak M. Juan Suamtoro, S.E., M.M., yang telah bersedia meluangkan waktu
untuk berdiskusi dan membagi ilmu sehingga memperlancar penulisan skripsi
ini.
6. Segenap dosen dan karyawan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
7.
Semua pihak yang telah membantu, yang tidak dapat penulis sebutkan satu
per satu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna. Untuk itu, peneliti
mengharap kritik dan saran pembaca dan kiranya skripsi ini dapat memberi
manfaat bagi banyak pihak.
Surakarta, Juli 2010
Nisita Prabawanti
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................... i
ABSTRAK .......................................................................................................... ii
ABSTRACT........................................................................................................ iii
HALAMAN PERSETUJUAN............................................................................ iv
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................. v
HALAMAN PERSEMBAHAN ......................................................................... vi
MOTTO .............................................................................................................. vii
KATA PENGANTAR ...................................................................................
vii
DAFTAR ISI..................................................................................................
x
DAFTAR TABEL..........................................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR ..........................................................................................xv
DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................................xvi
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG………………………………………… 1
B. RUMUSAN MASALAH………………………………………10
C. TUJUAN PENELITIAN……………………………………….11
D. MANFAAT PENELITIAN…………………………………….12
BAB II
LANDASAN TEORI
A. TINJAUAN TEORITIS………………………………………..13
1. Return Dan Risiko ………………………………………….13
xi
a. Pengertian Return............................................................ 13
b. Pengertian Risiko............................................................. 15
c. Korelasi, Diversifikasi, Return, dan Risiko..................... 17
2.
Capital Asset Pricing Model (CAPM) ................................. 18
a. Pengertian dan Asumsi dalam CAPM ............................. 18
b. Beta Pasar ........................................................................ 20
c. Persamaan CAPM............................................................ 21
3.
Three Factors Pricing Model (TFPM)................................. 23
a. Pengertian dan Persamaan TFPM ................................. 23
b. Size Premium................................................................. 24
c. Book to Market Premium .............................................. 26
4. Four Factors Pricing Model (FFPM)..................................... 27
a. Pengetian Strategi Investasi Momentum....................... 27
b. Perbedaan Strategi Momentum dan Kontrarian ............ 28
c. Persamaan FFPM .......................................................... 29
B. KAJIAN PENELITIAN TERDAHULU DAN
PENGEMBANGAN HIPOTESIS .............................................. 31
C. RERANGKA PENELITIAN ...................................................... 38
BAB III METODE PENELITIAN
A. DESAIN PENELITIAN .............................................................. 40
B. POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN ............................... 40
C. SUMBER DATA ........................................................................ 41
xii
D. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL .................................. 41
E. PROSEDUR PEMBENTUKAN PORTOFOLIO ....................... 46
F. PEMBENTUKAN ASSET PRICING MODEL ........................... 51
G. METODE ANALISIS DATA ..................................................... 53
1. Analisis Deskriptif .................................................................. 53
2. Uji Asumsi Klasik .................................................................. 54
a. Uji Heterokedastisitas...................................................... 54
b. Uji Autorelasi .................................................................. 55
c. Uji Multikolinearitas........................................................ 55
d. Uji Normalitas ................................................................. 55
3. Analisis Regresi ...................................................................... 56
a. Uji F ................................................................................... 56
b. Koefisien Determinasi ....................................................... 57
c. Uji Signifikansi Parameter Individual (Uji Statistik t) ...... 58
4. Uji Beda Dengan Anova......................................................... 58
a. Analisis deskriptif hasil uji beda........................................ 59
b. Test Homogenity of Variance............................................. 59
c. Hasil uji ANOVA .............................................................. 59
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. DISTRIBUSI SAMPEL PENELITIAN...................................... 60
B. HASIL PEMBENTUKAN PORTOFOLIO ................................ 61
C. ANALISIS DESKRIPTIF ........................................................... 63
xiii
D. ANALISIS DATA....................................................................... 64
1. Uji Asumsi Klasik .................................................................. 65
2. Uji Hipotesis ........................................................................... 72
E. PEMBAHASAN ......................................................................... 77
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN................................................................................. 90
B. KETERBATASAN PENELITIAN ............................................. 91
C. SARAN ....................................................................................... 92
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 93
LAMPIRAN………………………………………………………………….. 96
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1. Seleksi Sampel Penelitian ............................................................. 60
Tabel 4.2. Hasil Perhitungan Retun Rm-Rf, SMB, HML, dan HML ............. 62
Tabel 4.3. Statistik Deskriptif ........................................................................ 64
Tabel 4.4. Hasil Uji Multikolinearitas pada Persamaan Regresi CAPM ....... 65
Tabel 4.5. Hasil Uji Autokorelasi Model Regresi CAPM dengan Run Test . 66
Tabel 4.6. Hasil Uji Multikolinearitas Persamaan Regresi
Three Factors Pricing Model......................................................................... 68
Tabel 4.7. Hasil Uji Autokorelasi dengan Run Test
Persamaan Regresi Three Factors Pricing Model ......................................... 68
Tabel 4.8. Hasil Uji Multikolinearitas Persamaan Regresi
Four Factors Pricing Model .......................................................................... 70
Tabel 4.9. Hasil Uji Autokorelasi Persamaan Regresi
Four Factors Pricing Model dengan Run Test .............................................. 71
Tabel 4.10. Hasil Uji T dan Uji F Model Regresi CAPM ............................. 72
Tabel 4.11. Hasil Uji T dan Uji F Model Regresi
Three Factors Pricing Model......................................................................... 73
Tabel 4.12. Hasil Uji T dan Uji F Model Regresi
Four Factors Pricing Model .......................................................................... 75
Tabel 4.13. Perbandingan R-square dan
Standar Deviasi Uji Beda Anova ................................................................... 75
Tabel 4.14. Test of Homogeneity of Variances ............................................. 76
Tabel 4.15. Hasil Uji Beda Residual dengan ANOVA.................................. 77
xv
DAFTAR GAMBAR
2.1.
Gambar Risiko dalam Investasi ……………………………………….. 17
2.2.
Gambar Garis Pasar Sekuritas ……………………………………….. 22
2.3.
Gambar Rerangka Pemikiran …………………………………………38
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Daftar Perusahaan Sampel Penelitian........................................ 96
Lampiran 2. Contoh Proses Pembentukan Portofolio.................................... 100
Lampiran 3. Pengujian Asumsi Klasik CAPM .............................................. 117
Lampiran 4. Pengujian Asumsi Klasik Three Factors Pricing Model .......... 120
Lampiran 5. Pengujian Asumsi Klasik Four Factors Pricing Model............ 123
Lampiran 6.Hasil uji F dan Uji t CAPM........................................................ 124
Lampiran 7. Hasil Uji F dan uji t Three Factors Pricing Model ................... 127
Lampiran 8. Hasil Uji F dan uji t Four Factors Pricing Model..................... 128
Lampiran 9. Hasil uji Goodness of Fit........................................................... 129
Lampiran 10. Hasil Uji Beda dengan ANOVA ............................................. 130
xvii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Dalam
dunia
investasi,
semua
investor
mengharapkan
tingkat
pengembalian (return) yang optimal. Namun tingkat pengembalian yang
diterima oleh investor (actual return) tidak selalu sesuai dengan tingkat
pengembalian yang diharapkan (expected return), dengan kata lain investor
tidak mengetahui dengan pasti hasil yang akan diperoleh dari investasi.
Keadaan ini menunjukkan bahwa investor menghadapi risiko investasi.
Dalam membuat keputusan investasi, ada dua faktor yang paling penting
dipertimbangkan, yaitu pengembalian yang diharapkan (expected return) dan
risiko yang harus ditanggung (risk). Risiko investasi merupakan konsekuensi
yang harus ditanggung oleh investor karena pengembalian di masa yang akan
datang dari investasi dalam kondisi ketidakpastian (uncertainty). Besarnya
premi risiko yang dituntut tiap investor tidak sama. Hal ini tergantung pada
preferensinya dalam menghadapi risiko. Sebagian besar investor berperilaku
sebagai risk averter sehingga cenderung menuntut premi risiko yang lebih
tinggi untuk setiap unit kenaikan risiko.
Suad Husnan (1990) dalam Sumekar (2003) menyatakan bahwa salah
satu masalah yang sering dihadapi oleh para analis investasi adalah
penaksiran risiko yang dihadapi pemodal. Teori keuangan menyatakan bahwa
apabila risiko suatu investasi meningkat, maka pemodal mensyaratkan tingkat
xviii
keuntungan yang semakin besar, dengan demikian risiko merupakan faktor
penting dalam keputusan investasi.
Kemampuan untuk mengestimasi return suatu sekuritas merupakan hal
yang sangat diperlukan oleh investor untuk banyak keputusan keuangan
seperti prediksi biaya ekuitas keputusan investasi, manajemen portofolio,
penganggaran modal, dan evaluasi kinerja. Oleh karena itu, para peneliti terus
mengembangkan asset pricing model untuk menemukan teknik terbaik dalam
melakukan seleksi portofolio yang mampu memberikan pengembalian
optimal. Studi mengenai asset pricing terus berkembang dan semakin menarik
untuk diteliti karena selalu menyisakan pro dan kontra berkaitan dengan
model yang dapat menjelaskan perilaku variabel-variabel dalam investasi
dengan lebih baik.
Lebih dari empat dekade sejak 1964, CAPM (Capital Asset Pricing
Model) menjadi model estimasi yang paling populer. Model asset pricing
diteliti secara terpisah oleh Sharpe (1964), Lintner (1965), dan Black (1972)
ini merupakan pengembangan dari seleksi portofolio model Markowitz
(1952). Markowitz berasumsi bahwa preferensi investor hanya didasarkan
pada return ekspektasi yang diinginkan dan besarnya risiko portofolio yang
dapat ditoleransi oleh investor tanpa mempertimbangkan aktiva bebas risiko
(risk free asset) sehingga model ini disebut juga dengan mean variance model.
Risiko yang ada pada
saham individu bisa dikurangi dengan menambah
jumlah aset saham dengan membentuk sebuah portofolio. Semakin banyak
jumlah saham yang ditambahkan dalam portofolio, maka risiko individu akan
xix
lebih kecil. Asumsi bahwa preferensi investor hanya didasarkan pada return
ekspektasi dan risiko portofolio secara implisit menganggap bahwa investor
memiliki fungsi utiliti yang sama. Model Markowitz ini menyisakan
ketidakpuasan karena pada kenyataannya tiap investor memiliki fungsi utiliti
yang berbeda sehingga portofolio yang optimal bagi masing-masing investor
dapat berbeda-beda. Demikian juga ada atau tidaknya simpanan dan pinjaman
bebas risiko mempengaruhi optimal portofolio investor.
Menjawab keraguan atas kemampuan estimasi model Markowitz, CAPM
(Capital Asset Pricing Model) selain mempertimbangkan return ekspektasi
dan risiko portofolio juga turut memperhitungkan aktiva bebas risiko. Model
ini memprediksikan bahwa expected return terdiri dari pure time value of
money (return asset bebas risiko) ditambah premi risiko. CAPM mendasarkan
diri pada risiko sistematis dalam mengestimasikan tingkat pengembalian yang
diharapkan dan satu-satunya risiko yang dihadapi investor adalah risiko yang
berkaitan dengan portofolio pasar. Persamaan CAPM menyatakan bahwa
expected return atas aset berisiko merupakan fungsi linear dari beta (β) yang
mengukur besarnya kecenderungan asset berisiko tersebut untuk co-vary
dengan portofolio pasar. Dengan kata lain, CAPM ini menunjukkan bahwa
variasi lintas sektor dalam tingkat pengembalian yang diharapkan dapat
dijelaskan hanya dengan beta pasar.
Ukuran risiko yang digunakan dalam CAPM adalah beta. Beta adalah
ukuran risiko sistematis suatu sekuritas yang tidak terhindarkan melalui
diversifikasi. Beta merupakan pengukur volatilitas suatu sekuritas atau return
xx
portofolio terhadap return pasar (Jones, 2000:358). Volatilitas dapat
didefinisikan sebagai fluktuasi dari return-return suatu sekuritas atau
portofolio dalam periode waktu tertentu. Jika fluktuasi return sekuritas secara
statistik mengikuti fluktuasi dari return pasar, maka beta sekuritas tersebut
dikatakan bernilai 1. Dengan kata lain, beta sama dengan 1 menunjukkan
bahwa risiko sistematik suatu sekuritas dama dengan risiko pasar.
Proses penghitungan yang sederhana dan kemudahan memperoleh data
yang diperlukan menjadi nilai tambah tersendiri bagi CAPM. Dalam survei
yang dilakukan oleh Graham dan Harvey (2001), 73,5% dari 392 CFO di
Amerika Serikat menggunakan CAPM untuk mengestimasi return. Namun
demikian, sebagai suatu model yang dianggap merupakan penemuan
spektakuler, CAPM tidak terlepas dari berbagai kritik tajam, terutama karena
asumsi-asumsi yang digunakan dalam CAPM kurang realistis. Selain itu,
model CPAM juga menyisakan keraguan atas kemampuan beta dalam
menjelaskan semua variasi dalam memperkirakan expected return dan
menjelaskan hubungan ekuilibrium dalam pasar financial. Fama dan French
(1992) meragukan model CAPM karena berbagai variabel kinerja saham yang
sejak lama digunakan untuk memprediksi expected return seperti size (Banz,
1981), earnings per Price (Basu, 1983), book-to-market (Stattman, 1980),
leverage (Bhandari, 1988), dan sebagainya menjadi dimentahkan oleh model
CAPM ini.
CAPM merupakan ceteris paribus model yang valid di bawah
serangkaian asumsi tertentu. Investor diasumsikan merupakan risk averter,
xxi
memiliki ekspektasi yang homogen yaitu memaksimalkan expected utility
pada akhir period sehingga semua investor memiliki opportunity set yang
identik. Selain itu, diasumsikan investor dapat meminjamkan sujumlah
dananya (lending) atau meminjam (borrowing) sejumlah dana dengan jumlah
yang tidak terbatas pada tingkat suku bunga bebas risiko. Semua aset dapat
dipecah-pecah menjadi bagian terkecil dengan tidak terbatas sehingga
investor dapat melakukan investasi dan transaksi jual beli aset setiap saat
dengan harga yang berlaku. Pasar merupakan pasar kompetitif sempurna
sehingga investor merupakan price taker. Penjualan dan pembelian aktiva
tidak dikenai biaya transaksi serta tidak ada pajak pendapatan pribadi. CAPM
mensyaratkan
kondisi
pasar
modal
yang
efisien,
sedangkan
pada
kenyataannya syarat ini sulit untuk dipenuhi.
Keraguan lain atas keakuratan CAPM adalah mengenai keakuratan beta
sebagai variabel penjelas. Menurut Tandelilin (2003), terdapat kemungkinan
eror yang berasal dari (1) beta berubah sesuai lamanya periode observasi yang
digunakan dalam analisis regresi (2) indeks pasar yang digunakan sebagai
proksi dari portofolio pasar belum merepresentasikan keseluruhan marketable
asset dalam perekonomian (3) perubahan variabel fundamental perusahaan
seperti earning, arus kas, dan leverage akan merubah nilai dari beta. Melihat
kondisi riil pasar, validitas CAPM seringkali dipertanyakan.
Pada tahun 1992, Fama dan French membuat sebuah penelitian yang
sangat berpengaruh hingga sekarang dengan mengkombinasikan variabel size,
leverage, E/P, book-to-market, dan beta dalam sebuah penelitian single cross-
xxii
sectional. Berbeda dengan penelitiannya pada tahun 1973 yang sependapat
dengan adanya hubungan linear positif expected return dengan beta portofolio
pasar, penelitian tahun 1992 menghasilkan hubungan negatif antara ukuran
perusahaan (firm size) dan beta, sedangkan korelasi beta dan return justru
tidak tampak. Hasil tersebut kontradiktif dengan CPAM. Mengetahui bahwa
beta bukan variabel yang baik untuk menjelaskan return rata-rata, maka
tujuan penelitian Fama dan French selanjutnya adalah mendapatkan variabel
yang lebih baik dari beta. Fama dan French membandingkan kekuatan dari
size, leverage, E/P, book to market equity, dan beta dalam cross-sectional
regressions selama periode 1963-1990. Hasil penelitian tersebut adalah
bahwa book- to-market equity dan size memiliki hubungan paling kuat
dengan return.
Fama dan French (1993) memperluas model satu faktor menjadi model
tiga
faktor,
dengan
menambahkan
rata-rata
sensititivitas
tingkat
pengembalian
saham
ke ukuran perusahaan dan rasio book-to-market.
Return bulanan saham diregres terhadap market premium, size premium, dan
book to market premium. Size premium merupakan selisih return portofolio
saham berkapitalisasi pasar kecil dan saham berkapitalisasi pasar besar, yang
dinotasikan sebagai SMB (small minus big). Fama dan French (1992) selaras
dengan Banz (1981) menemukan hubungan negatif antara return dengan size,
saham berkapitalisasi pasar kecil memiliki return lebih tinggi dibanding
saham berkapitalisasi besar. Book to market premium merupakan selisih
return portofolio saham dengan book to market tinggi dan portofolio saham
xxiii
dengan book to market rendah yang dinotasikan sebagai HML (high minus
low). Sepakat dengan penelitian Stattman (1980) dalam Fama dan French
(1992) diperoleh hubungan positif antara average return dan book to market,
artinya bahwa saham dengan rasio book to market tinggi cenderung memiliki
rata-rata pengembalian yang lebih tinggi dibanding perusahaan dengan rasio
book to market rendah. Fama dan French (1993) memperluas CAPM menjadi
three factors pricing model dengan menambahkan variabel size premium
yang disebut SMB (Small Minus Big) dan value premium yang disebut HML
(high minus low). Penelitian menunjukkan bahwa model penetapan harga
tiga faktor atau three factor pricing model dapat menangkap anomali pasar
lebih besar dibanding CAPM kecuali anomali momen, seperti yang diungkap
oleh Fama dan French (1996), Tandelilin (2003) .
Peare dan Bartholdy (2004) menemukan bahwa three factors pricing
model tidak jauh lebih baik dibanding CAPM dengan angka R2 hanya berkisar
5%. Baik model tiga faktor maupun CAPM memiliki kekuatan penjelasan
yang lemah sehingga tidak satupun model yang cukup bermanfaat dalam
estimasi return. Roger dan Securato dengan sampel penelitian di Brazil juga
sepakat bahwa three factors pricing model lebih baik menjelaskan return
dibanding CAPM, meskipun secara parsial book to market memiliki pengaruh
yang tidak signifikan. Pandangan lain dikemukakan oleh Porras (1998) bahwa
anomali size dan book to market tidak berpengaruh terhadap variasi return.
Sebaliknya, CAPM masih terbukti memiliki peranan dalam estimasi return.
xxiv
Di samping beta pasar, tingkat pengembalian rata-rata saham
berhubungan dengan ukuran perusahaan, rasio earning/price, dan rasio bookto-market equity, masih terdapat berbagai variabel yang telah diteliti
berkaitan dengan expected return seperti pertumbuhan penjualan masa lalu,
karakter pembalikan jangka panjang dan momentum jangka pendek
(Jegadeesh dan Titman, 1993). Atas anomali ini, para akademisi telah
menguji kinerja model alternatif yang dapat menjelaskan lebih baik mengenai
tingkat pengembalian saham.
Carhart (1997) memperluas model three factors pricing model Fama dan
French (1993) menjadi four factors pricing model dengan memperkenalkan
faktor harga momentum sebagi faktor keempat. Faktor momentum
merupakan faktor yang merepresentasikan kecenderungan perusahaan dengan
past return negatif akan menghasilkan future return negatif, sedangkan
perusahaan dengan
past return positif akan menghasilkan future return
positif.
Berbeda
dengan
strategi
investasi
kontrarian,
strategi
investasi
momentum memanfaatkan pergerakan saham atau pasar dengan harapan
pergerakan tersebut terus berlanjut. Penganut strategi investasi momentum
akan membeli saham pada saat harga sedang bergerak naik dengan harapan
momentum gerak naik itu akan terus berlanjut di masa depan. Mereka akan
menjual kembali saham-saham tersebut bila dirasa momentum pergerakan
naik telah melemah atau malah telah berhenti dan berbalik arah. Berdasarkan
karakteristik strategi ini, para pengamat sering menjuluki strategi investasi
xxv
momentum dengan buy high sell higher (beli mahal, jual lebih mahal lagi).
Strategi momentum dalam memprediksi return ekspektasi saham diukur
dengan menghitung selisih antara value weighted return portofolio saham
winners dengan
value weighted return
portofolio saham losers, yang
dinotasikan sebagai WML (Winners Minus Losers).
Jegadeesh dan Titman (2001) berpendapat bahwa terdapat bukti-bukti
substansial yang menunjukkan bahwa kinerja saham yang baik atau buruk
selama 3 sampai 12 bulan cenderung tidak mengalami perubahan berarti
(tetap baik atau buruk) atas periode berikutnya. Hal ini juga didukung positif
oleh L’Her, J.F., Masmoudi, T. dan Suret, J.M. (2004) pada pasar saham di
Kanada.
Bello (2008) membandingkan CAPM, three factors pricing model, dan
four factors pricing model dan menemukan bahwa berdasar hasil uji
kelayakan three factors pricing model lebih baik dalam memprediksi return
dibandingkan CAPM dan four factors pricing model lebih baik dalam
memprediksi return dibandingkan bahwa three factors pricing model. Namun
demikian, perbedaan di antara ketiga model tersebut tidak signifikan. Di
Indonesia sendiri, penggunaan faktor momentum dalam model asset pricing
masih belum banyak dilakukan, karenanya penelitian ini juga berupaya untuk
mengeksplorasi faktor momentum sebagai model asset pricing yang belum
banyak diteliti pada pasar saham Indonesia.
Dengan demikian, maka tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui
faktor-faktor yang masih diperdebatkan yang mempengaruhi return dan harga
xxvi
saham serta memilih model asset pricing yang terbaik dalam hal kemampuan
proksi premi resiko menjelaskan estimasi tingkat pengembalian saham yang
diharapkan dengan menguji kinerja tiga model asset pricing, yaitu CAPM,
three factors pricing model, dan four factors pricing model.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian
dengan judul “Analisis Komparasi Kinerja CAPM, Three Factors Pricing
Model, dan Four Factors Pricing Model”.
B. PERUMUSAN MASALAH
Bagi investor informasi mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
return sangat bermanfaat untuk memprediksi hasil dari aktivitas investasinya.
Sementara itu, penelitian mengenai asset pricing model yang dapat
memprediksikan return dengan lebih baik masih menunjukkan hasil yang
berbeda-beda.
Dengan pertimbangan yang telah dikemukakan di awal, maka rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah dalam Capital Asset Pricing Model, faktor market excess
return berpengaruh terhadap expected return?
2. Apakah dalam Three Factors Pricing Model, faktor market excess
return, size premium (SMB), dan value premium (HML) berpengaruh
terhadap expected return?
xxvii
3. Apakah dalam Four Factors Pricing Model, faktor market excess
return, size premium (SMB), value premium (HML), dan momentum
(WML) berpengaruh terhadap expected return?
4. Model asset pricing manakah yang terbaik dalam hal kemampuan
menjelaskan estimasi tingkat pengembalian saham yang diharapkan?
C. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini membandingkan
Capital
Asset Pricing Model, Three
Factors Pricing Model, dan Four Factors Pricing Model. Tujuan penelitian
ini adalah:
1. Untuk menguji bahwa dalam Capital Asset Pricing Model, faktor market
excess return berpengaruh terhadap expected return.
2. Untuk menguji bahwa dalam Three Factors Pricing Model, faktor market
excess return, size premium (SMB), dan value premium (HML)
berpengaruh terhadap expected return.
3. Untuk menguji bahwa dalam Four Factors Pricing Model, faktor market
excess return, size premium (SMB), value premium (HML), dan
momentum (WML) berpengaruh terhadap expected return.
4. Penelitian ini merupakan uji kelayakan model yang bertujuan untuk
menentukan model asset pricing terbaik dalam hal kemampuan
menjelaskan estimasi tingkat pengembalian saham yang diharapkan.
xxviii
D. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi investor dan pengambil keputusan investasi
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pandangan secara
menyeluruh bagi para investor maupun manajer investasi dalam memilih
model asset pricing yang paling sesuai dengan kebutuhan invetasi.
Terutama agar investor dalam aktivitas investasinya tidak terjebak pada
satu variabel tertentu saja, namun juga memandang dari berbagai variabel
yang memiliki karakter sesuai dengan jenis investasinya.
2. Bagi masyarakat ilmiah
Penelitian ini menyediakan sebuah overview atas kinerja model asset
pricing
yang merupakan area studi penting dalam penelitian pasar
finansial. Hasil studi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap
penelitian manajemen keuangan di Indonesia dalam hal komparasi model
asset pricing untuk mengestimasi tingkat pengembalian saham yang
diharapkan.
xxix
BAB II
LANDASAN TEORI
A. TINJAUAN TEORITIS
1. RETURN DAN RISIKO
Untuk memaksimalkan harga saham, manajer finansial harus
memahami konsep risiko dan return. Setiap keputusan finansial
merepresentasikan karakteristik risiko dan return tertentu. Setiap
kombinasi risiko dan return tersebut berpengaruh terhadap harga saham.
a.
Pengertian Return
Return merupakan hasil yang diperoleh dari investasi. Return
dapat berupa return realisasi yang sudah terjadi atau return ekspektasi
yang belum terjadi tetapi yang diharapkan terjadi di masa mendatang.
Menurut Hartono (2008, p. 195), return realisasi (realized return)
merupakan return yang telah terjadi. Return realisasi dihitung
menggunakan data historis. Return realisasi penting sebagai salah satu
pengukur kinerja perusahaan serta dasar penentuan return ekspektasi
(expected return) dan risiko di masa datang.
Gitman (2009, p. 228) menyatakan “The return is the total gain
or loss experienced on an investment over a given period of time;
calculated by dividing the asset’s cash distributions during the period,
plus change in value by its beginning of period investment value.”
Pada intinya adalah bahwa return merupakan keseluruhan keuntungan
xxx
atau kerugian dari investasi dalam suatu periode tertentu yang
dikalkulasikan dengan menjumlahkan capital gain (loss) dan yield.
Capital gain (loss) merupakan selisih dari harga investasi sekarang
relatif dengan harga periode lalu. Sedangkan yield merupakan
persentase penerimaan kas periodik terhadap harga investasi periode
tertentu dari suatu investasi. Definisi return investasi individual dapat
dijabarkan dengan rumus sebagai berikut:
………………………………………... (1)
di mana
merupakan yield penerimaan kas (cash flow) periodik,
merupakan harga investasi pada periode t, dan
merupakan
harga investasi pada periode t-1.
Dalam konteks portofolio, return realisasi (Rp) merupakan ratarata tertimbang dari return realisasi (Ri) masing-masing sekuritas
tunggal berdasar porsi sekuritas i terhadap seluruh sekuritas dalam
portofolio tersebut (wi). Secara matematis ditulis sebagai berikut:
…………………………………………... (2)
Sedangkan return ekspektasi (expected return) sendiri merupakan
return yang diharapkan akan diperoleh investor di masa mendatang.
Return ekspektasi dapat dihitung berdasarkan nilai ekspektasi masa
depan, berrdasarkan nilai-nilai return histori, maupun berdasarkan
model return ekspektasi yang ada. Pada penelitian ini, return
ekspektasi diestimasi dengan
xxxi
model return ekspektasi yang diuji,
yaitu CAPM, Three Factors Pricing Model, dan Four Factors Pricing
Model.
Dalam suatu portofolio, return ekpektasi portofolio atau E(Rp)
merupakan rata-rata tertimbang dari return ekspektasi atau E(Ri) tiap
sekuritas tunggal dalam portofolio dengan perhitungan matematis
sebagai berikut:
………………………………………. (3)
b. Pengertian Risiko
Fama dan French (1995, p.131) mengatakan, “If stocks are priced
rationally, systematic differences in average returns are due to
differences in risk.” Van Horne dan Wachosics, Jr (1992) dalam
Hartono (2008, p.214) mendefinisikan risiko sebagai variabilitas
return terhadap return yang diharapkan. Damodaran (2002, p. 61)
mengatakan, “Investor who buy asset expect to earn returns over the
time horizon that they hold the assets. Their actual returns over this
holding period may be very different from the expected returns that is
source of risk.” Sedangkan Gitman (2009, p. 228) berpendapat, “Risk
is used interchangeably with uncertainty to refer to the variability of
returns associated with a given asset.” Dari beberapa definisi
tersebut, dapat disimpulkan bahwa risiko merupakan kemungkinan
kerugian finansial karena ketidakpastian variabilitas actual return
terhadap expected return.
xxxii
Untuk menghitung risiko, metode yang banyak digunakan adalah
standar deviasi (s) yang mengukur absolut penyimpangan nilai-nilai
yang sudah terjadi dengan nilai ekspektasinya.
Masing-masing investor memiliki preferensi masing-masing
terhadap risiko tergantung pada besarnya risiko yang dapat diterima.
Secara umum, terdapat tiga jenis preferensi dasar investor terhadap
risiko, yaitu risk indifereence, risk averse, maupun risk seeking.
Sebagian besar investor merupakan risk averter. Investor yang
berperilaku sebagai risk averter akan cenderung menuntut premi
risiko yang lebih tinggi untuk setiap unit kenaikan risiko sebagai
kompensasi karena harus menghadapi risiko yang lebih besar
(Gitman, 2009).
Secara garis besar, risiko total dalam dunia investasi merupakan
kombinasi dari risiko sistematis dan risiko tidak sistematis seperti
tampak pada Gambar 2.1. Risiko sistematis merupakan risiko yang
berkaitan dengan faktor pasar yang mempengaruhi keseluruhan
perusahaan tanpa kecuali sehingga risiko ini tidak dapat dieliminasi
melalui diversifikasi. Risiko sistematis terjadi karena kejadiankejadian di luar perusahaan, seperti perubahan kondisi perekonomian,
perubahan kondisi politik, inflasi, resesi, dan sebagainya sehingga
disebut juga sebagai nondiversifiable risk, market risk, atau general
risk. Ukuran dari risiko sistematis disebut juga dengan koefisien beta
(b), yaitu ukuran kepekaan tingkat keuntung individual suatu saham
xxxiii
terhadap perubahan tingkat keuntungan pasar. Sebaliknya, risiko tidak
sistematis merupakan risiko yang berkaitan dengan faktor spesifik dan
unik dari perusahaan, yaitu hal buruk yang terjadi di suatu perusahaan
dapat diimbangi dengan hal baik yang terjadi pada perusahaan lain
sehingga risiko ini dapat dieliminasi melalui diversifikasi.
Gambar 2.1. Risiko dalam Investasi
Sumber: Reilly, p. 245
c. Korelasi, Diversifikasi, Return, dan Risiko
Koefisien korelasi menunjukkan besarnya hubungan pergerakan
antara dua variabel relatif terhadap masing-masing deviasinya. Nilai
dari koefisien korelasi berkisar dari +1 sampai dengan -1. Nilai
koefisien korelasi +1 menunjukkan korelasi positif sempurna, nilai
koefisien korelasi 0 menunjukkan tidak adanya korelasi, dan nilai
koefisien korelasi -1 menunjukkan korelasi negatif sempurna. Jika dua
buah aktiva mempunyai return dengan koefisien korelasi +1 (positif
sempurna), maka semua risikonya tidak dapat didiversifikasi atau
xxxiv
risiko portofolio tidak akan berubah sama dengan risiko aktiva
individualnya. Jika dua buah aktiva mempunyai return dengan
koefisien korelasi -1 (negatif sempurna), maka semua risikonya dapat
didiversifikasi atau risiko portofolio sama dengan nol. Jika koefisien
korelasinya diantara +1 dan -1, maka terjadi penurunan risiko
portofolio tetapi tidak menghilangkan semua risikonya.
Konsep korelasi merupakan bagian esensial dalam pembentukan
portofolio optimal. Oleh karena itu, perlu adanya diversifikasi dengan
mengkombinasikan atau menambah aktiva yang memiliki korelasi
negatif atau korelasi lemah ke dalam portofolio sehingga dapat
menurunkan standar deviasi portofolio.
Namun demikian, seperti telah dijelaskan di awal bahwa meskipun
investor
melakukan
diversifikasi
melalui
penambahan
atau
pengkombinasian aktiva dengan korelasi negatif atau lemah tetapi
investor tidak dapat mengeliminasi variasi dan ketidakpastian faktor
makroekonomi yang mempengaruhi seluruh aktiva berisiko.
2. Capital Asset Pricing Model (CAPM)
a. Pengertian dan Asumsi dalam CAPM
Capital
Asset
nondiversifiable
Pricing
risk
Model
dengan
(CAPM)
return
suatu
menghubungkan
aset
dengan
mengikutsertakan pertimbangan aktiva bebas risiko. Model ini diteliti
secara terpisah oleh Sharpe (1964), Lintner (1965), dan Black (1972)
xxxv
dan merupakan pengembangan dari model Markowitz (1952). Esensi
dari model ini adalah return ekspektasi sekuritas merupakan fungsi
linear positif dari beta pasar, yaitu slope regresi dari return sekuritas
terhadap return pasar. Dengan kata lain, CAPM ini menunjukkan
bahwa variasi lintas sektor dalam tingkat pengembalian yang
diharapkan dapat dijelaskan hanya dengan beta pasar.
Asumsi-asumsi dalam CAPM adalah sebagai berikut:
1) Investor memaksimumkan kekayaannya dengan memaksimumkan
utility harapan dalam satu periode waktu yang sama.
2) Investor melakukan pengambilan keputusan investasi berdasar
pertimbangan return ekspektasi dan deviasi standar return dari
portofolionya.
3) Semua investor memiliki harapan yang seragam (homogeneous
expectation) terhadap return ekspektasi , varian, dan kovarian
return sekuritas.
4) Semua investor dapat meminjamkan sejumlah dananya (lending)
atau meminjam (borrowing) sejumlah dana dengan jumlah yang
tidak terbatas pada tingkat suku bunga bebas risiko.
5) Investor individual dapat melakukan short sale berapapun yang
dikehendaki. Semua aktiva dapat dipecah-pecah menjadi bagian
lebih kecil dengan tidak terbatas.
6) Semua aktiva dapat dipasarkan dengan likuid sempurna, Tidak
terjadi inflasi.
xxxvi
7) Tidak ada biaya transaksi dan tidak ada pajak pendapatan pribadi.
8) nvestor berperan sebagai price taker.
9) Pasar modal dalam kondisi ekuilibrium.
b. Beta Pasar
Beta merupakan pengukur volatilitas (volatility) return suatu
sekuritas terhadap atau return portofolio terhadap return pasar. Dengan
demikian beta merupakan pengukur risiko sitematik dari suatu
sekuritas atau portofolio terhadap risiko pasar.
Volatilitas dapat didefinisikan sebagai fluktuasi dari return-return
suatu sekuritas atau portofolio dalam suatu periode waktu tertentu.
Jika fluktuasi return-return sekuritas atau portofolio secara statistik
mengikuti fluktuasi dari return-return pasar, maka beta dari sekuritas
atau portofolio tersebut dikatakan bernilai 1.
Beta untuk portofolio pasar adalah bernilai 1. Suatu sekuritas
yang mempunyai beta lebih kecil dari 1 dikatakan berisiko lebih
kecil dari risiko portofolio pasar. Sebaliknya, suatu sekuritas yang
mempunyai nilai beta lebih besar dari 1 dikatakan mempunyai risiko
sistematik yang lebih besar dari risiko pasar. Jika suatu sekuritas
mempunyai beta sama dengan beta portofolio pasar, maka
diharapkan sekuritas ini mempunyai return ekspektasi yang sama
dengan return ekspektasi portofolio pasar atau E(Rm). Untuk
sekuritas individual yang mempunyai beta beta lebih kecil, maka
diharapkan akan mendapat return ekspektasi lebih kecil dari
xxxvii
ekspektasi portofolio pasar. Sebaliknya, sekuritas individual yang
mempunyai beta beta lebih besar, maka diharapkan akan mendapat
return ekspektasi lebih besar dari ekspektasi portofolio pasar.
Pada penelitian ini, beta pasar dihitung menggunakan teknik
regresi, dengan return realisasi sekuritas sebagai variabel dependen
dan return pasar (return IHSG) sebagai variabel independen.
c. Persamaan CAPM
Trade off antara risiko dan return ekspektasi untuk sekuritas
individual ditunjukkan oleh garis yang disebut garis pasar sekuritas
atau security market line (SML). Garis pasar sekuritas merupakan
penggambaran secara grafis dari model CAPM.
Untuk sekuritas individual, tambahan return ekspektasi sebagai
akibat dari tambahan risiko sekuritas yang diukur dengan beta. Beta
menentukan tambahan besarnya tambahan return ekspektasi untuk
sekuritas individual dengan argumentasi bahwa untuk portofolio yang
didiversifikasikan dengan sempurna, risiko tidak sistematik cenderung
menjadi hilang dan risiko yang relevan hanya risiko sistematis yang
diukur dengan beta. Argumentasi ini didasarkan pada asumsi bahwa
untuk ekspektasi yang homogen, semua investor akan membentuk
portofolio pasar yang didiversifikasi sempurna, sehingga risiko yang
relevan untuk tiap sekuritas di dalam portofolio adalah beta.
Hubungan return ekspektasi dan beta dapat digambarkan pada
garis pasar sekuritas berikut ini.
xxxviii
E(Ri)
garis pasar sekuritas
E(Rm
Rf
0
Beta
Gambar 2.2.
Garis Pasar Sekuritas
Untuk beta bernilai nol, atau untuk aktiva yang tidak mempunyai
risiko sistematik, yaitu beta untuk aktiva bebas risiko, aktiva ini
memiliki return ekspektasi sebesar Rf yang merupakan intercept dari
garis pasar sekuritas. Dengan mengasumsikan garis pasar sekuritas
adalah garis linier, maka persamaan garis linier ini dapat dibentuk
dengan intercept sebesar Rf dan slope sebesar (E(Rm) - Rf) / bm.
Karena bm sebesar 1, maka slope garis pasar sekuritas sebesar (E(Rm)
- Rf). Dengan demikian, persamaan garis pasar sekuritas dapat
dituliskan:
E(Ri) = Rf + bi [E(Rm) - Rf]…………………………………… (4)
Keterangan:
E(Ri)
= expected return saham i
Rf
= risk free rate asset
E(Rm)
= rate of return on market
bi
= slope regresi Ri – Rf = α + bi[Rm-Rf] + ei
xxxix
3. Three Factors Pricing Model
a. Pengertian dan Persamaan Three Factors Pricing Model
Three Factors Pricing Model diperkenalkan oleh Fama dan French
(1993)
menjadi alternatif model dalam mengestimasi return
ekspektasi. Keraguan serta pro kontra atas akurasi beta pasar sebagai
variabel penjelas satu-satunya CAPM dalam mengestimasi return
ekspektasi membawa Three Factors Pricing Model sebagai multifactor
model yang sangat berpengaruh. Jika dalam CAPM perilaku return dan
risiko hanya ditentukan oleh pasar, Fama dan French menambahkan
faktor fundamental perusahaan yaitu ukuran perusahaan (firm size)
dan book to market. Dengan demikian, tiga variabel penjelas dalam
estimasi return ekspektasi meliputi market premium, size premium, dan
book to market premium.
Return bulanan diregres terhadap market premium, size premium,
dan book to market premium yang diformulasikan dalam persamaan
berikut:
E(Ri) = Rf + bi [E(Rm) - Rf] + siE(SMB) + h iE(HML)…………. (5)
Keterangan:
E(Ri)
= expected return saham i
Rf
= risk free rate asset
E(Rm)
= rate of return on market
SMB
= selisih value weighted return portofolio saham
kecil dan value weighted return portofolio saham
xl
kapitalisasi besar.
HML
= selisih value weighted return portofolio saham dengan
book to market tinggi dan value weighted return
portofolio saham book to market rendah.
bi,si,,h i
= slope regresi
Ri – Rf = α + bi[Rm-Rf] + siE(SMB) + h iE(HML) + ei
Fama dan French menambahkan faktor size dan book to market
untuk melengkapi peran koefisien beta pasar dalam CAPM yang telah
dijelaskan pada bagian sebelumnya.
b. Size Premium
Ukuran perusahaan (size) menggambarkan besar kecilnya suatu
perusahaan yang ditunjukkan oleh total aktiva, total penjualan, atau
total kapitalisasi pasar. Dalam penelitian asset pricing model ini
ukuran perusahaan diukur berdasar kapitalisasi pasar (market
capitalization).
Kapitalisasi pasar = jumlah saham beredar x harga saham penutupan
…… (6)
Fama (1992) sepakat dengan Banz (1981) menemukan bahwa
perusahaan-perusahaan kecil yang tercatat pada NYSE dan AMEX
memberikan return lebih besar dibandingkan return perusahaan besar.
Penelitian tersebut menjadi pioner diskusi mengenai gejala yang
disebut small firm size effect, yaitu ketika rata-rata return berhubungan
negatif dengan ukuran kapitalisasi pasar. Investor memiliki persepsi
bahwa perusahaan dengan kapitalisasi kecil cenderung tidak stabil dan
xli
lebih sensitif terhadap berbagai risiko dibanding perusahaan dengan
kapitalisasi besar. Ketidakpastian dan risiko yang lebih besar ini
mendorong investor untuk mensyaratkan tambahan return yang lebih
besar juga dibanding perusahaan dengan kapitalisasi besar yang jauh
lebih stabil dan lebih tidak berisiko.
Untuk menyertakan faktor size dalam mengestimasi return
ekspektasi, Fama dan French (1993) membentuk portofolio yang
merepresentasikan pengaruh faktor risiko size yang disebut sebagai
portofolio SMB (small minus big). SMB adalah return atas strategi
portofolio yang mengambil posisi long terhadap saham dengan
kapitalisasi pasar kecil dan mengambil posisi short atas saham dengan
kapitalisasi besar dengan faktor lain (dalam penelitian ini yaitu faktor
book to market dan momentum) konstan. Portofolio SMB didesain
untuk mengukur tambahan return yang diterima investor dengan
melakukan investasi pada saham berkapitalisasi kecil. Tambahan
return ini sering disebut sebagai “size premium”. SMB dihitung
dengan mengurangkan return saham berkapitalisasi kecil dan return
saham berkapital besar dengan rata-rata tertimbang book to market
dan momentum yang sama sehingga terbebas dari pengaruh faktor lain
tersebut. Hasil perhitungan SMB yang positif menunjukkan bahwa
saham berkapitalisasi kecil lebih baik daripada saham berkapitalisasi
kecil.
xlii
c. Book to market premium
Rasio book to market merupakan perbandingan antara current
book value of equity per lembar saham dengan market value per
lembar saham.
Rasio ini menunjukkan seberapa jauh suatu perusahaan mampu
menciptakan nilai perusahaan relatif terhadap jumlah modal yang
diinvestasikan. Rasio book to market dapat menjadi indikator bahwa
perusahaan tersebut undervalue atau overvalue. Apabila book value
suatu sekuritas lebih kecil dibanding market value (rasio book to
market < 1), maka saham perusahaan tersebut overvalued. Sebaliknya,
bila book value sekuritas lebih lebih besar dibanding market value
(rasio book to market > 1), maka saham perusahaan tersebut
undervalued.
Seperti halnya Stattman (1980), Fama (1992) memperkuat bukti
bahwa book to market berkorelasi positif dengan return sekuritas.
Pasar memandang perusahaan dengan rasio book to market tinggi
sebagai saham yang undervalued
yang lebih berisiko dibanding
perusahaan dengan rasio book to market rendah sehingga investor
mengharap return yang lebih tinggi sebagai kompensasi risiko yang
lebih besar.
Untuk menyertakan faktor book to market dalam mengestimasi
return ekspektasi, Fama dan French (1993) membentuk portofolio
yang merepresentasikan pengaruh faktor risiko book to market yang
xliii
disebut sebagai portofolio HML (high minus low). HML adalah return
atas strategi portofolio yang mengambil posisi long terhadap saham
dengan book to market tinggi dan mengambil posisi short atas saham
dengan book to market rendah dengan faktor lain (dalam penelitian ini
yaitu faktor size dan momentum) konstan. Portofolio HML didesain
untuk mengukur tambahan return yang diterima investor dengan
melakukan investasi pada saham perusahaan dengan nilai book to
market tinggi. Tambahan return ini sering disebut sebagai “value
premium”. HML dihitung dengan mengurangkan return saham yang
memiliki book to market tinggi dan return saham yang memiliki book
to market rendah dengan rata-rata tertimbang faktor size dan
momentum yang sama sehingga terbebas dari pengaruh faktor lain
tersebut. Hasil perhitungan HML yang positif menunjukkan bahwa
saham dengan book to market tinggi menghasilkan return lebih baik
daripada saham dengan book to market rendah.
4. Four Factors Pricing Model
a. Pengertian strategi investasi momentum
Momentum investment strategy merupakan salah satu strategi
investasi yang melakukan pembelian saham dengan performa baik di
masa lalu (saham winners) dan melakukan penjualan atas saham
dengan performa buruk di masa lalu (saham losers). Jegadeesh dan
Titman (1993), mendokumentasikan bahwa selama medium term
xliv
horizon (tiga hingga dua belas bulan), perusahaan yang memiliki
return tinggi di masa lalu akan berkesinambungan mempertahankan
return tinggi tersebut selama periode waktu yang sama.
Strategi investasi momentum memanfaatkan pergerakan saham
atau pasar dengan harapan pergerakan tersebut terus berlanjut.
Penganut strategi investasi momentum akan membeli saham pada saat
harga sedang bergerak naik dengan harapan momentum gerak naik itu
akan terus berlanjut di masa depan. Mereka akan menjual kembali
saham-saham tersebut bila dirasa momentum pergerakan naik telah
melemah atau malah telah berhenti dan berbalik arah. Berdasarkan
karakteristik strategi ini, para pengamat sering menjuluki strategi
investasi momentum dengan buy high sell higher (beli mahal, jual
lebih mahal lagi).
b. Perbedaan Strategi Momentum dan Strategi Kontrarian
Strategi investasi momentum berdasar pada perilaku keuangan
bahwa investor bersifat under-react dalam menanggapi informasi atau
isu yang beredar di pasar saham. Underreaction terjadi karena
keterbatasan kemampuan investor dalam mengakses dan memproses
informasi sehingga dengan keyakinan yang tinggi para investor
memilih untuk mempertahankan pandangan keputusan investasi
sebelumnya daripada menyerap informasi baru di hadapannya.
Sebaliknya, profitabilitas strategi investasi kontrarian sebagian
besar disebabkan oleh kenyataan bahwa investor bereaksi secara
xlv
berlebihan (overreaction) terhadap informasi. Dalam kondisi ini, para
pelaku pasar modal cenderung menetapkan harga saham terlalu tinggi
sebagai reaksi terhadap berita yang dinilai baik. Sebaliknya, mereka
akan memberikan harga terlalu rendah sebagai reaksi terhadap berita
buruk. Kemudian, fenomena ini berbalik ketika pasar menyadari telah
bereaksi berlebihan. Pembalikan ini ditunjukkan oleh turunnya secara
drastis harga saham yang sebelumnya berpredikat winner dan naiknya
harga saham yang sebelumnya berpredikat loser.
Dalam konteks investasi saham, strategi investasi momentum
lebih sesuai dengan horison investasi investor. Kebanyakan investor
memiliki horison investasi yang lebih pendek daripada yang
diperlukan bagi penerapan strategi investasi kontrarian
untuk
menghasilkan return yang dapat diterima (De Long, et al., 1990;
Shleifer dan Vishny, 1990 dalam Wiksuana, 2009). Dalam strategi ini,
investor akan membeli saham yang sebelumnya memiliki kinerja baik
(winner stock) dan menjual saham yang sebelumnya memiliki kinerja
buruk (loser stock).
c. Persamaan Four Factors Pricing Model
Carhart (1997) mengembangkan model asset pricing tiga faktor
dengan menambahkan faktor keempat yaitu anomali momentum (one
year momentum anomaly). Pengaruh penggunaan strategi momentum
dalam memprediksi return ekspektasi saham dapat diukur dengan
menghitung selisih antara value weighted return portofolio saham
xlvi
winners dengan value weighted return portofolio saham losers, yang
dinotasikan sebagai WML (Winners Minus Losers).
E(Ri) = Rf + bi [E(Rm) - Rf] + siE(SMB) + h iE(HML)+ wiE(WML)………..(7)
Keterangan:
E(Ri)
= expected return saham i
Rf
= risk free rate asset
E(Rm)
= rate of return on market
SMB
= selisih value weighted return portofolio saham
kapitalisasi kecil dan value weighted return portofolio
saham kapitalisasi besar.
HML
= selisih value weighted return portofolio saham dengan
book to market tinggi dan value weighted return
portofolio saham book to market rendah.
WML
= selisih value weighted return portofolio saham dengan
winner dan value weighted return portofolio saham loser.
bi,si,,h i, wi= slope regresi
Ri–Rf = α+ bi[Rm-Rf] + siE(SMB) + h iE(HML) + wiE(WML ) + ei
Apabila strategi momentum berlaku, maka seharusnya WML
berpengaruh positif terhadap return. Hal ini berarti kinerja saham
winner
konsisten baik sedangkan saham loser tetap belum dapat
meningkatkan kinerjanya sehingga return saham winner lebih besar dari
return saham loser.
xlvii
B. KAJIAN
PENELITIAN
TERDAHULU
DAN
PENGEMBANGAN
HIPOTESIS
Lebih dari empat dekade sejak 1964, CAPM (Capital Asset Pricing
Model) menjadi model estimasi yang paling populer. Model asset pricing
diteliti secara terpisah oleh Sharpe (1964)1, Lintner (1965), dan Black (1972)
ini merupakan pengembangan dari seleksi portofolio model Markowitz
(1952). Markowitz berasumsi bahwa preferensi investor hanya didasarkan
pada return ekspektasi yang diinginkan dan besarnya risiko portofolio yang
dapat ditoleransi oleh investor tanpa mempertimbangkan aktiva bebas risiko
(risk free asset) sehingga model ini disebut juga dengan mean variance model.
Risiko yang ada pada
saham individu bisa dikurangi dengan menambah
jumlah aset saham dengan membentuk sebuah portofolio (Markowitz, 1952).
Semakin banyak jumlah saham yang ditambahkan dalam portofolio, maka
risiko individu akan semakin kecil. Asumsi bahwa preferensi investor hanya
didasarkan pada return ekspektasi dan risiko portofolio secara implisit
menganggap bahwa investor memiliki fungsi utiliti yang sama. Model
Markowitz ini menyisakan ketidakpuasan karena pada kenyataannya tiap
investor memiliki fungsi utiliti yang berbeda sehingga portofolio yang optimal
bagi masing-masing investor dapat berbeda-beda. Demikian juga ada atau
tidaknya simpanan dan pinjaman bebas risiko mempengaruhi optimal
portofolio investor.
Menjawab keraguan atas kemampuan estimasi model Markowitz, CAPM
(Capital Asset Pricing Model) selain mempertimbangkan return ekspektasi
xlviii
dan risiko portofolio juga turut memperhitungkan aktiva bebas risiko. Model
ini memprediksikan bahwa expected return terdiri dari pure time value of
money (return asset bebas risiko) ditambah premi risiko. CAPM mendasarkan
diri pada risiko sistematis dalam mengestimasikan tingkat pengembalian yang
diharapkan dan satu-satunya risiko yang dihadapi investor adalah risiko yang
berkaitan dengan portofolio pasar. Persamaan CAPM menyatakan bahwa
expected return atas aset berisiko merupakan fungsi linear dari beta (β) yang
mengukur besarnya kecenderungan
asset berisiko tersebut untuk co-vary
dengan portofolio pasar. Dengan kata lain, CAPM ini menunjukkan bahwa
variasi lintas sektor dalam tingkat pengembalian yang diharapkan dapat
dijelaskan hanya dengan beta pasar. Market atau beta pasar merupakan ukuran
dari risiko sistematis, yaitu risiko yang tidak dapat dikurangi melalui
diversifikasi. Semakin stabil return saham maka semakin tinggi pula return
yang diharapkan investor. Sejumlah hasil empiris termasuk Black et.al
(1972) serta Fama danMacBeth (1973) mendukung CAPM.
Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis pertama penelitian ini adalah
sebagai berikut:
H1 :
Dalam Capital Asset Pricing Model, faktor excess market
return berpengaruh signifikan positif terhadap return saham.
Penelitian empiris di masa lalu telah menyajikan bukti-bukti yang
membantah prediksi model CAPM Sharpe (1964), Lintner (1965) dan Black
(1972) bahwa tingkat pengembalian yang diharapkan secara lintassektor
cukup dijelaskan oleh beta. Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa
xlix
penyimpangan dari resiko trade-off dan tingkat pengembalian CAPM
memiliki
hubungan terhadap variabel-variabel
lainnya seperti ukuran
perusahaan (Banz, 1981), earnings per Price (Basu, 1983), leverage
(Bhandari, 1988) dan rasio nilai buku perusahaan terhadap nilai pasarnya (Stattman, 1980). Secara umum, telah ditemukan suatu hubungan positif
antara tingkat pengembalian saham dan earning yield, arus kas yield dan rasio
book to market serta hubungan negatif antara tingkat pengembalian saham
dan ukuran perusahaan.
Pada tahun 1992, Fama dan French membuat sebuah penelitian yang
sangat berpengaruh hingga sekarang dengan mengkombinasikan variabel size,
leverage, E/P, book-to-market, dan beta dalam sebuah penelitian single crosssectional. Berbeda dengan penelitiannya pada tahun 1973 yang sependapat
dengan adanya hubungan linear positif expected return dengan beta portofolio
pasar, penelitian tahun 1992 menghasilkan hubungan negatif antara ukuran
perusahaan (firm size) dan beta, sedangkan korelasi beta dan return justru
tidak tampak. Hasil tersebut kontradiktif dengan CPAM. Mengetahui bahwa
beta bukan variabel yang baik untuk menjelaskan return rata-rata, maka
tujuan penelitian fama dan French selanjutnya adalah mendapatkan variabel
yang lebih baik dari beta. Fama dan French membandingkan kekuatan dari
size, leverage, E/P, book to market equity, dan beta dalam cross-sectional
regressions selama periode 1963-1990. Hasil penelitian tersebut adalah
bahwa book- to-market equity dan size memiliki hubungan paling kuat
dengan return.
l
Menjawab keraguan atas beta pasar sebagai satu-satunya variabel
penjelas dalam estimasi return, maka Fama dan French (1993) memperluas
model satu faktor menjadi model tiga faktor, dengan menambahkan rata-rata
sensititivitas tingkat pengembalian saham ke ukuran perusahaan dan rasio
book-to-market. Return bulanan saham diregres terhadap market premium,
size premium, dan book to market premium. Size premium merupakan selisih
return portofolio saham berkapitalisasi pasar kecil dan saham berkapitalisasi
pasar besar, yang dinotasikan sebagai SMB (small minus big). Fama dan
French (1992) selaras dengan Banz (1981) menemukan hubungan negatif
antara return dengan size, saham berkapitalisasi pasar kecil memiliki return
lebih tinggi dibanding saham berkapitalisasi besar. Book to market premium
merupakan selisih return portofolio saham dengan book to market tinggi dan
portofolio saham dengan book to market rendah yang dinotasikan sebagai
HML (high minus low). Sepakat dengan penelitian Stattman (1980), Fama
dan French (1992) memperoleh hubungan positif antara average return dan
book to market, artinya bahwa saham dengan rasio book to market tinggi
cenderung memiliki rata-rata pengembalian yang lebih tinggi dibanding
perusahaan dengan rasio book to market rendah. Penelitian menunjukkan
bahwa model penetapan harga tiga faktor atau three factor pricing model
dapat menangkap anomali pasar lebih besar dibanding CAPM kecuali
anomali momen, seperti yang diungkap oleh Fama dan French (1996),
Tandelilin (2003) .
li
Berdasar uraian di atas, maka hipotesis kedua penelitian ini adalah
sebagai berikut:
H2
:
Dalam Three Factors Asset Pricing Model, faktor excess
market
return, SMB, dan HML berpengaruh signifikan
positif terhadap return saham.
Fama dan French (1996) menemukan bahwa Three Factors Pricing
Model superior dibanding CAPM, namun belum dapat menangkap anomali
momentum. Maka, Carhart (1997) mengembangkan model asset pricing tiga
faktor dengan menambahkan faktor keempat yaitu anomali momentum (one
year momentum anomaly) yang telah dikembangkan oleh Jegadeesh dan
Titman
(1993).
Pengaruh
penggunaan
strategi
momentum
dalam
memprediksi return ekspektasi saham dapat diukur dengan menghitung
selisih antara value weighted return portofolio saham winners dengan value
weighted return portofolio saham losers, yang dinotasikan sebagai WML
(Winners Minus Losers).
Jika strategi investasi momentum bekerja dengan baik, maka portofolio
saham pemenang (winner) seharusnya menghasilkan rata-rata
abnormal
return yang positif dan portofolio saham pecundang (loser) memiliki rata-rata
abnormal return yang negatif. Perbedaan antara abnormal return portofolio
tersebut seharusnya positif secara signifikan. Momentum yang memberikan
return positif mengimplikasikan bahwa saham yang memiliki kinerja di atas
lii
rata-rata saham pada periode sebelumnya akan melebihi kinerja rata-rata
saham pada periode berikutnya.
Carhart (1997) sepakat dengan Jegadeesh dan Titman 1993), bahwa
investor sebaiknya menghindari sekuritas dengan kinerja buruk di masa
lampau. Aset dengan kinerja baik di masa lalu berlanjut memberikan kinerja
yang baik di masa mendatang pada jangka waktu periode yang sama.
Berdasar uraian di atas, maka hipotesis ketiga penelitian ini adalah sebagai
berikut:
H3
:
Dalam Four Factors Asset Pricing Model, faktor excess
market
return, SMB, HML, dan WML berpengaruh
signifikan positif terhadap return saham.
Penelitian mengenai model asset pricing yang dapat menjadi pedoman
keputusan investasi masih menjadi diskusi yang belum menemukan satu
kesimpulan yang konsisten.
Lebih dari 40 tahun, CAPM masih menjadi model yang paling popular
dan banyak digunakan oleh investor. Namun, hal ini cenderung karena
metode estimasinya yang paling sederana. Sedangkan validitas model ini
masih menjadi perdebatan. Beberapa hal yang mendasari keraguan terhadap
CAPM antara lain karena model ini bekerja dalam asumsi kondisi pasar
saham ideal yang tidak terjadi dalam kenyataan. Selain itu keraguan lain atas
keakuratan CAPM adalah mengenai keakuratan beta sebagai variabel
penjelas. Menurut Tandelilin (2003), terdapat kemungkinan eror yang berasal
liii
dari (1) beta berubah sesuai lamanya periode observasi yang digunakan dalam
analisis regresi (2) indeks pasar yang digunakan sebagai proksi dari portofolio
pasar belum merepresentasikan keseluruhan marketable asset dalam
perekonomian (3) perubahan variabel fundamental perusahaan seperti
earning, arus kas, dan leverage akan merubah nilai dari beta. Melihat kondisi
riil pasar, validitas CAPM seringkali dipertanyakan.
Kritikan terhadap CAPM juga dinyatakan dengan tegas oleh Fama (1996)
dalam penelitian berjudul “CAPM is wanted, dead, or alive” yang sekaligus
menyatakan bahwa model asset pricing tiga faktor lebih kuat dalam
menjelaskan return saham. Penelitian serupa juga ditemukan di Indonesia
seperti dikemukakan oleh Tandelilin (2003).
Berdasar uraian di atas maka hipotesis keempat penelitian ini adalah
sebagai berikut:
H4
:
Three Factors Pricing Model lebih baik dalam menjelaskan
return ekspektasi saham dibandingkan Capital Asset Pricing
Model.
Populernya strategi investor yang mempertimbangkan posisi winnerloser saham menjadikan Four Factors Pricing Model juga dipertimbangkan.
Carhart (1997) menemukan bahwa model empat faktor lebih baik dalam
menjelaskan return mutual fund. . Hal ini juga didukung positif oleh L’Her,
J.F., Masmoudi, T. dan Suret, J.M. (2004) pada pasar saham di Kanada. Bello
(2008) membandingkan CAPM, three factors pricing model, dan four factors
liv
pricing model dan menemukan bahwa berdasar hasil uji kelayakan three
factors pricing model lebih baik dalam memprediksi return dibandingkan
CAPM dan four factors pricing model lebih baik dalam memprediksi return
dibandingkan bahwa three factors pricing model meskipun perbedaan di
antara ketiga model tersebut tidak signifikan.
Berdasar uraian di atas maka hipotesis kelima penelitian ini adalah
sebagai berikut:
H5
:
Four Factors Pricing Model lebih baik dalam menjelaskan
return ekspektasi saham dibandingkan Four Factors Pricing
Model.
C. RERANGKA PENELITIAN
Estimasi Return Saham
Three Factors
Pricing Model
CAPM
Abnormal
Retun
H4
Abnormal
Retun
Four Factors
Pricing Model
H5
Abnormal
Retun
Gambar 2.3
Rerangka Pemikiran
Rerangka pemikiran pada Gambar 2.3. dapat dijelaskan sebagai berikut.
Penelitian ini membandingkan kinerja Capital Asset Pricing Model, Three
lv
Factors Pricing Model, dan Four Factors Pricing Model dalam mengestimati
return ekspektasi. Sebelum membandingkan ketiga model tersebut, penelitian
ini terlebih dahulu menguji kinerja masing-masing model yang dijabarkan
melalui hipotesis 1 sampai hipotesis 3.
Tujuan utama penelitian ini adalah menentukan model yang dapat
mengestimasi
return
dengan
lebih
akurat,
maka
penelitian
ini
membandingkan ketiga model yang dijabarkan melalui hipotesis 4 dan 5.
Yang dibandingkan antara ketiga model adalah abnormal return yaitu selisih
antara return actual dan return ekpektasi yang merupakan hasil estimasi dari
masing-masing model. Semakin baik model, maka semakin tepat pula
estimasinya, ditandai dengan hasil return estimasi yang mendekati return
actual. Makin tepat estimasinya, berarti makin kecil penyimpangannya atau
dengan kata lain makin kecil abnormal return.
lvi
BAB III
METODE PENELITIAN
A. DESAIN PENELITIAN
Desain penelitian ini adalah hypothesis testing dan uji kelayakan model.
Uji hipotesis merupakan penelitian yang menjelaskan fenomena dalam bentuk
hubungan antar variabel, dalam penelitian ini ingin diketahui pengaruh faktor
market excess return, firm size premium, book to market premium, serta
momentum terhadap kelayakan kinerja model asset pricing. Uji kelayakan
model dilakukan untuk melihat apakah model yang dianalisis memiliki tingkat
kelayakan model yang tinggi yaitu variabel-variabel yang digunakan model
mampu menjelaskan fenomena yang dianalisis (Ferdinant, 2006). Sedangkan
uji beda dengan ANOVA bertujuan untuk menguji apakah antar model
terdapat perbedaan yang signifikan atau tidak. Penelitian ini menguji pengaruh
variabel-variabel dalam asset pricing model serta melakukan komparasi
kemampuan model-model asset pricing dalam menjelaskan return ekspektasi.
B. POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN
Populasi penelitian ini adalah perusahaan sektor nonkeuangan yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada periode 2003-2008.
Pengambilan sampel menggunakan metode purposive sampling, yaitu
pemilihan sampel berdasar pada kesesuaian karakteristik dan kriteria sampel
lvii
yang ditentukan peneliti agar diperoleh sampel yang representatif (Ferdinand,
2006). Sampel dipilih berdasarkan kriteria sebagai berikut:
1. Tercatat sebagai perusahaan listing selama tahun 2003-2008 secara
berurutan dari bulan Januari 2003 sampai dengan Desember 2008.
Meskipun periode penelitian ini adalah tahun 2004 hingga 2008,
namun data yang dipergunakan adalah data tahun 2003 hingga
2008 karena penghitungan variabel momentum berdasar pada
return bulan t-12.
2. Berdasarkan frekuensi perdagangan, termasuk sebagai saham yang
aktif diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia.
3. Mempunyai data kapitalisasi pasar (market capitalization) di akhir
bulan.
4. Mengeluarkan laporan keuangan triwulan lengkap serta memiliki
data book value pada akhir bulan.
5. Tidak memiliki rasio book to market equity negatif selama periode
penelitian.
6. Memiliki data return saham lengkap dari tahun 2003 hingga 2008.
C. SUMBER DATA
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder. Jenis
data sekunder adalah jenis data penelitian yang diperoleh peneliti secara tidak
langsung melalui media perantara.
lviii
Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini meliputi:
1. Monthly closing price dan Indeks Harga Saham Gabungan
bulanan diperoleh dari Indonesian Capital Market Directory
(ICMD) dan website Bursa Efek Indonesia.
2. Tingkat suku bunga bulanan Sertifikat Bank Indonesia diperoleh
dari Pojok BEI Fakultas Ekonomi UNS.
3. Data monthly market capitalization dan monthly book value
diperoleh dari JSX Monthly Statistics.
D. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL
1. Variabel Dependen
Variabel dependen penelitian ini adalah return ekspektasi dari
saham tunggal E(Ri), yaitu tingkat pengembalian yang diharapkan
oleh investor atas saham i. Dalam model regresi penelitian asset
pricing model (Sharpe, 1964 dan Fama, 1996), nilai variabel dependen
diestimasi sebagai excess returns dari sekuritas tunggal, yaitu selisih
antara return saham
i
(Ri ) dan tingkat suku bunga bebas risiko atau
risk free rate asset (Rf). Return saham perusahaan i pada bulan t
dihitung sebagai berikut:
….…….. (8)
lix
Risk free rate of return (Rf,t) adalah tingkat pengembalian yang
diinginkan oleh investor dari sebuah investasi bebas risiko. Proksi
investasi bebas risiko yang digunakan di Amerika Serikat adalah T-bill
(Jones, 1996). T-bill adalah sekuritas pemerintah yang paling likuid, di
mana investor akan memperoleh return dari pemerintah sebesar face
value ditambah dengan bunga, sehingga dapat dikatakan bahwa return
yang diterima investor tidak mengandung risiko. Di Indonesia risk free
rate yang digunakan adalah suku bunga Sertifikat Bank Indonesia.
2. Variabel Independen
a. Rate of Return on Market
Rate
of
return
on
market
(Rm)
merupakan
tingkat
pengembalian atas keseluruhan saham baik saham biasa maupun
saham preferen yang ada di pasar secara tertimbang (value
weighted) berdasarkan nilai kapitalisasi pasar. Di Indonesia
digunakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Return pasar (Rm) bulan t dihitung dengan rumus sebagai
berikut:
………………………………………. (9)
Sekali lagi karena di dalam pasar terdapat return bebas risiko,
maka dalam model yang akan diuji, return pasar dalam regresi
dihitung sebagai excess dari return pasar terhadap return bebas
risiko yang dinotasikan sebagai Rm-Rf,t.
lx
b. Size Premium (SMB)
Seperti pada penelitian Fama dan French (1996), Liew dan
Vassalou (2000), serta L’Her (2004), firm size atau ukuran
perusahaan dalam penelitian ini diukur berdasar kapitalisasi pasar
atau market capitalization. Kapitalisasi pasar merupakan hasil
perkalian antara jumlah agregat lembar saham terhadap harga
penutupan pada pasar reguler.
Berdasar kapitalisasi pasar diperoleh return portofolio SMB
(Small Minus Big), yaitu selisih antara value weighted return
portofolio saham kapitalisasi
kecil dan value weighted return
portofolio saham berkapitalisasi besar.
c. Book to Market Value Premium (HML)
Book to Market Value merupakan rasio antara nilai buku
terhadap nilai pasar dari saham. Book to Market dihitung dengan
rumus sebagai berikut:
………... (10)
Berdasarkan rasio book to market diperoleh return portofolio
HML (High Minus Low), yaitu selisih antara value weighted return
portofolio saham yang memiliki book to market tinggi dan value
weighted return portofolio saham yang memiliki book to market
rendah.
lxi
d. Momentum (WML)
Momentum merupakan strategi investasi portofolio saham
yang melakukan pembelian saham dengan performa baik pada
masa lalu (winners) dan melakukan penjualan saham dengan
performa buruk di masa lalu (losers). Pengaruh penggunaan
strategi momentum dalam memprediksi return ekspektasi saham
dapat diukur dengan menghitung selisih antara value weighted
return portofolio saham winners dengan value weighted return
portofolio saham losers, yang dinotasikan sebagai WML (Winners
Minus Losers).
Jegadesh dan Titman (1993) mendokumentasikan bahwa
selama medium term horizon (tiga hingga dua belas bulan)
perusahaan yang memiliki higher return di masa lalu cenderung
menghasilkan abnormal return yang positif selama rentang waktu
yang sama. Liew dan Vassalou (2000) menggunakan strategi
momentum bulan t-12 untuk menguji pengaruh momentum dalam
memprediksi return. Harsono (2008) menemukan bahwa pada
ranking period t-12 dan holding period 3 bulan menghasilkan
abnormal return momentum investment strategy sebesar 1,039.
Berdasarkan penelitian terdahulu, maka dalam penelitian ini
strategi momentum diukur berdasar actual return 12 bulan yang
lalu.
lxii
E. PROSEDUR PEMBENTUKAN PORTOFOLIO
Prosedur pembentukan portofolio dalam penelitian ini menggunakan
metode yang digunakan oleh Liew dan Vassalou (2000), yang disebut sebagai
metode three sequential sort. Penelitian ini tidak menggunakan metode
pembentukan portofolio dengan independent sort model Fama dan French
(1996) karena jumlah saham yang menjadi sampel kecil, yaitu hanya 126
perusahaan. Penggunaan independent sort pada jumlah sampel yang kecil
akan berakibat pada kurang akuratnya penggolongan saham-saham ke dalam
kategori portofolio. Adapun prosedur pembentukan portofolio meliputi proses
yang dijelaskan secara terperinci di bawah ini.
1. Mengurutkan saham-saham yang lolos sesuai kriteria sampel
berdasarkan besarnya book to market value tiap bulan pada setiap
tahun dalam periode penelitian mulai 2004
hingga 2008. Urutan
saham berdasar book to market value mulai nilai terendah hingga
tertinggi dibagi berdasar tritile, sehingga pada setiap bulan pada setiap
tahun diperoleh tiga portofolio book to market sebagai berikut:.
a. High, yaitu saham-saham yang termasuk dalam kategori 1/3 saham
dengan book to market tertinggi.
b. Medium, yaitu saham yang termasuk 1/3 saham dengan nilai book
to market sedang, yaitu berada diantara kategori saham high dan
low.
c. Low, yaitu saham-saham yang termasuk dalam kategori 1/3 saham
dengan book to market terendah.
lxiii
2. Setelah diperoleh tiga portofolio saham berdasar book to market, yaitu
high, medium, dan low, kemudian dilakukan re-sort atau pengurutan
ulang berdasarkan kapitalisasi pasar pada tiap porotofolio book to
market tersebut. Dengan demikian, masing-masing kategori book to
market dibagi kembali berdasar urutan kapitalisasi pasar ke dalam tiga
sub kategori size sebagai berikut:
a. Small, yaitu saham-saham yang termasuk dalam kategori 1/3
saham dengan kapitalisasi pasar terkecil.
b. Medium, yaitu saham yang termasuk 1/3 saham dengan nilai
kapitalisasi pasar sedang, yaitu berada diantara kategori saham
small dan big.
c. Big, yaitu saham-saham yang termasuk dalam kategori 1/3 saham
dengan kapitalisasi pasar terbesar.
Dengan demikian, setelah dilakukan sorting berdasar kapitalisasi
pasar untuk tiap kategori book to market telah terbentuk 9 portofolio
book to market – size setiap bulan pada tiap tahunnya.
3. Tiap portofolio book to market-size diurutkan kembali dengan strategi
momentum berdasar urutan return pada bulan t-12. Return strategi
momentum dihitung dengan rumus sebagai berikut:
…..(11)
lxiv
Dengan pengurutan ulang berdasar past year’s return di atas, maka
tiap portofolio book to market - size dibagi lagi menjadi tiga kategori
berdasar past year’s return sebagai berikut:
a. Losers, yaitu saham-saham yang termasuk dalam kategori 1/3
saham dengan past year’s return terendah .
b. Medium, yaitu saham yang termasuk 1/3 saham dengan past year’s
return sedang, yaitu berada diantara kategori saham winners dan
losers.
c. Winners, yaitu saham-saham yang termasuk dalam kategori 1/3
saham dengan past year’s return tertertinggi.
4. Setelah proses three sequential sort ini lengkap, maka telah terbentuk
27 portofolio (P1 sampai P27) berdasar book to market, size, dan
momentum
setiap bulan seperti tampak pada Tabel 3.1. Langkah
selanjutnya adalah menghitung value weighted return untuk masingmasing portofolio dengan rumus sebagai berikut:
Valueweighted return portofolion=
x actual return sahami….……… (12)
Penghitungan return portofolio dengan valueweighted penting artinya
karena dapat mengurangi variasi serta dapat merepresentasikan
perbedaan perilaku portofolio berkaitan dengan perbedaan size (Fama,
1993). Dengan demikian telah diperoleh 27 return per bulan pada
setiap tahun.
lxv
Tabel 3.1. Prosedur Pembentukan Portofolio
Book to
Market
High
Market
Capitalization
Small
Medium
Big
Medium
Small
Medium
Big
Low
Small
Medium
Big
lxvi
Momentum
(Returnt-12)
Portofolio
Losers
Medium
Winners
Losers
Medium
Winners
Losers
Medium
Winners
P1
P2
P3
P4
P5
P6
P7
P8
P9
Losers
Medium
Winners
Losers
Medium
Winners
Losers
Medium
Winners
P10
P11
P12
P13
P14
P15
P16
P17
P18
Losers
Medium
Winners
Losers
Medium
Winners
Losers
Medium
Winners
P19
P20
P21
P22
P23
P24
P25
P26
P27
Portofolio yang telah terbentuk dipergunakan untuk menghitung nilai
factor SMB, HML, dan WML bulanan dengan prosedur sebagai berikut:
1. Penghitungan nilai faktor HML (High Minus Low)
HML adalah perbedaan antara rata-rata tingkat pengembalian portfolio
saham dengan rasio book to market yang dan rata-rata tingkat
pengembalian portfolio saham dengan rasio book to market yang
rendah. Berdasar portofolio yang telah dibentuk pada Tabel 3.1, HML
dihitung dengan rumus sebagai berikut:
HML = 1/9 ((P1-P19) + (P2-P20) + (P3-P21) + (P4-P22) + (P5-P23)
+ (P6-P24) + (P7-P25) + (P8-P26) + (P9-P27))................(13)
2. Penghitungan nilai faktor SMB (small minus big)
SMB adalah selisish nilai rata-rata tertimbang portofolio saham
berkapitalisasi pasar kecil dan rata-rata tingkat pengembalian portfolio
saham berkapitalisasi pasar besar. Berdasar portofolio yang telah
dibentuk pada Tabel 3.1, SMB dihitung dengan rumus sebagai berikut:
SMB = 1/9 ((P1-P7)+ (P2-P8) + (P3-P9) + (P10-P16) + (P11-P17)
+ (P12-P18) + (P19-P25) + (P20-P26) + (P21-P27))........(14)
lxvii
3. Penghitungan Nilai Faktor WML (Winner minus Looser)
WML adalah perbedaan rata-rata pengembalian portofolio saham
winner dikurangi pengembalian portofolio saham loser. . Berdasar
portofolio yang telah dibentuk pada Tabel 3.1, SMB dihitung dengan
rumus sebagai berikut:
WML = 1/9((P3-P1) + (P6-P4) + (P9-P7) + (P12-P10) + (P15-P13)+
(P18-P16) + (P21-P19) + (P24-P22) + (P27-P25))……. (15)
F. PEMBENTUKAN ASSET PRICING MODELS
Penelitian ini berupaya mengetahui pengaruh variabel Rm, SMB, HML,
dan WML terhadap expected return berdasar tiga tipe asset pricing models,
yaitu CAPM, Three Factors Pricing Model, dan Four Factors Pricing Model,
sekaligus mengetahui apakah model yang dianalisis memiliki tingkat
kelayakan model yang tinggi yaitu variabel-variabel yang digunakan model
mampu menjelaskan fenomena yang dianalisis. Dengan demikian, variabel
independen
yang telah dipersiapkan diaplikasikan ke dalami persamaan
regresi dengan tiga jenis model asset pricing sebagai berikut:
1. Capital Asset Pricing Model (CAPM)
Model persamaan:
E(Ri) = Rf + bi [E(Rm) - Rf]…………………………………….. (16)
lxviii
Keterangan:
E(Ri)
= expected return saham i
Rf
= risk free rate asset
E(Rm)
= rate of return on market
bi
= slope regresi Ri – Rf = α + bi[Rm-Rf] + ei
2. Three Factors Pricing Model
Model persamaan:
E(Ri) = Rf + bi [E(Rm) - Rf] + siE(SMB) + h iE(HML)................(17)
Keterangan:
E(Ri)
= expected return saham i
Rf
= risk free rate asset
E(Rm)
= rate of return on market
SMB
= selisih value weighted return portofolio saham
kecil dan value weighted return portofolio saham
kapitalisasi besar.
HML
= selisih value weighted return portofolio saham dengan
book to market tinggi dan value weighted return
portofolio saham book to market rendah.
bi,si,,h i
= slope regresi
Ri – Rf = α + bi[Rm-Rf] + siE(SMB) + h iE(HML) + ei
lxix
3. Four Factors Pricing Model
Model persamaan:
E(Ri) = Rf +bi [E(Rm) - Rf] + siE(SMB) + h iE(HML)+ wiE(WML)…………(18)
Keterangan:
E(Ri)
= expected return saham i
Rf
= risk free rate asset
E(Rm)
= rate of return on market
SMB
= selisih value weighted return portofolio saham
kapitalisasi kecil dan value weighted return portofolio
saham kapitalisasi besar.
HML
= selisih value weighted return portofolio saham dengan
book to market tinggi dan value weighted return
portofolio saham book to market rendah.
WML
= selisih value weighted return portofolio saham dengan
winner dan value weighted return portofolio saham loser.
bi,si,,h i, wi= slope regresi
Ri–Rf = α+ bi[Rm-Rf] + siE(SMB) + h iE(HML) + wiE(WML ) + ei
G. METODE ANALISIS DATA
1. Analisis Deskriptif
Berisi pembahasan secara deskriptif data sekumder yang telah
dikumpulkan. Tujuannya adalah untuk mengetahui karakteristik variabel
yang diteliti, seperti mean, median, standar deviasi, nilai maksimum, dan
lxx
nilai minimum. Statistik deskriptif tidak menyertakan pengambilan
keputusan atau pembuatan kesimpulan.
2. Uji Asumsi Klasik
Sebagai syarat pendahuluan sebelum menggunakan persamaan
regresi, diperlukan dilakukan uji asumsi klasik terlebih dahulu. Penelitian
ini menggunakan empat uji asumsi klasik meliputi uji heterokedastisitas,
autokorelasi, multikolinearitas, dan normalitas. Penjelasan masingmasing pengujian asumsi klasik akan diuraikan seperti di bawah ini.
a. Uji Heterokedastisitas
Uji heterokedastisitas bertujuan menguji apakah dalam model
regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan
ke pengamatan lain. Jika variance dari residual satu pengamatan ke
pengamatan lain tetap, maka terdapat homokedastisitas dan jika
berbeda disebut heterokedastisitas. Model regresi yang baik adalah
terdapat homokedastisitas atau tidak terjadi heterokedastisitas.
Metode yang digunakan untuk menguji ada atau tidaknya
heterokedastisitas yaitu dengan Grafik Scatterplots (Ghozali, 2006).
Dasar analisisnya adalah:
1) Jika ada pola tertentu, seperti titik-titik membentuk pola tertentu
yang teratur (gelombang, melebar kemudian menyempit), maka
terdapat indikasi bahwa telah terjadi heterokedastisitas.
lxxi
2) Jika tidak ada pola yang jelas, serta titik menyebar di atas dan di
bawah
angka
0
pada
sumbu
Y,
maka
tidak
terjadi
heterokedastisitas.
b. Uji Autokorelasi
Autokorelasi merupakan korelasi pada tempat berdekatan dan
menimbulkan konsekuensi, yaitu interval keyakinan menjadi lebar
serta varians dan kesalahan standar akan ditaksir terlalu rendah. Jika
kesalahan pengganggu dalam observasi saling berkorelasi satu sama
lain atau terjadi saling ketergantungan, maka terjadi autokorelasi.
Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah dalam suatu
model regresi linear terdapat korelasi antara kesalahan pengganggu
pada periode t dengan kesalahan pada periode t-1. Jika terjadi
korelasi, maka terdapat masalah autokorelasi. Run test dapat
digunakan untuk menguji apakah antar residual terdapat korelasi
yang tinggi (Ghozali, 2006). Jika antarresidual tidak terdapat
hubungan korelasi maka dikatakan bahwa residual adalah acak atau
random. Run test digunakan untuk melihat pakah data residual terjadi
secara random atau tidak. Apabila hasil run tes signifikan berarti
terjadi masalah autokorelasi.
c. Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah pada
model regresi ditemukan adanya korelasi di antara variabel
independen. Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi
lxxii
multikolinearitas. Pendekatan yang digunakan untuk mendeteksi ada
tidaknya multikolinearitas dalam penelitian ini adalah dengan VIF
(variance inflation factor). Indikasi adanya multikolinearitas adalah
apabila nilai VIF > 10.
d. Uji Normalitas
Uji normalitas digunakan untuk menguji apakah variabel
independen dan variabel dependen dalam model regresi berdistribusi
normal atau tidak. Pendekatan yang digunakan dalam uji normalitas
penelitian ini adalah melalui Grafik normal curve.
3. Analisis Regresi
Penelitian ini merupakan hypothesis testing dan uji kelayakan model,
dengan demikian analisis regresi berganda merupakan alat uji yang mampu
memenuhi desain penelitian ini. Analisis regresi berganda ini meliputi uji
uji simultan, koefisien determinasi, dan uji parsial,.
a. Uji Simultan (Uji F)
Uji statistik F menunjukkan apakah semua variabel independen
yang dimasukkan ke dalam model mempunya pengaruh secara
bersama-sama terhadap variabel dependen. Hasil uji F tampak pada
table ANOVA. Dalam penelitian ini digunakan derajat kepercayaan
sebesar 1%, 5%, dan 10%, Kriteria pengujian berdasarkan probabilitas,
model signifikan apabila probabilitas (kolom sig.) ≤ a = 0.01 untuk
derajat kepercayaan 1%, apabila probabilitas (kolom sig.) ≤ a = 0.05
lxxiii
untuk derajat kepercayaan 5%, apabila probabilitas (kolom sig.) ≤ a =
0.10 untuk derajat kepercayaan 10%. Hasil Uji F simultan berarti
variabel independen secara bersama-sama berpengaruh terhadap
variabel dependen.
b. Koefisien Determinasi (R2)
Penentuan model terbaik dari tiga model asset pricing dalam
penelitian ini mengikuti kriteria dari penelitian yang dilakukan Porras
(1998) dan Bartholdy (2004) yaitu dengan menggunakan koefisien
determinasi (Adjusted R2) dalam melakukan komparasi kinerja model
yang terbentuk.
Inti dari penelitian ini adalah uji goodness of fit dari model yang
dikembangkan dengan mengamati koefisien determinasi. Koefisien ini
digunakan untuk menggambarkan kemampuan model menjelaskan
variasi yang terjadi. Koefisien determinasi ditunjukkan oleh angka RSquare dalam model summary yang dihasilkan oleh program, dalam
hal ini digunakan software SPSS.
Nilai R-Square adalah antara nol dan satu. Model estimasi terbaik
adalah yang memiliki koefisien tertinggi, karena semakin besar
koefisien determinasi berarti semakin besar model dapat menjelaskan
berbagai variasi yang ada. Kelemahan dari penggunaan koefisien
determinasi ini adalah tambahan variabel akan meningkatkan R2
walaupun variabel itu tidak signifikan, maka dalam penelitian ini
digunakan Adjusted R2.
lxxiv
c. Uji Signifikansi Parameter Individual (Uji Statistik-t)
Uji-t bertujuan untuk melihat besarnya pengaruh masing-masinng
variabel independen secara individual terhadap variabel dependen.
Hasil uji pada SPSS dapat dilihat pada table coefficient. Dalam
penelitian ini digunakan derajat kepercayaan sebesar 1%, 5%, dan
10%, hal ini bertujuan untuk menghindari p-value sangat mendekati
signifikan namun hasil pengujian dinyatakan tidak signifikan sama
sekali. Variabel independen berpengaruh terhadap variabel dependen
apabila apabila p-value (kolom sig.) masing-masing variabel
independen ≤ a = 0.01 untuk derajat kepercayaan 1%, p-value (kolom
sig.) masing-masing variabel independen ≤ a = 0.05 untuk derajat
kepercayaan 5%, p-value (kolom sig.) masing-masing variabel
independen ≤ a = 0.10 untuk derajat kepercayaan 10%.
4. Uji Beda dengan ANOVA
Uji beda dengan ANOVA dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat
perbedaan yang signifikan antara ketiga model asset pricing. Dalam
penelitian ini, dilakukan uji beda antara hasil estimasi return saham
dengan menggunakan CAPM, Three Factors Pricing Model, dan Four
Factors Pricing Model. Seberapa besar ketepatan estimasi ditunjukkan
oleh besarnya abnormal return, yaitu selisih antara return ekspektasi yang
diestimasikan oleh model dengan return aktual yang diperoleh dari
unstandardized residual hasil regresi. Analisis uji beda ini meliputi:
lxxv
a.) Analisis deskriptif hasil uji beda
Dari deskriptif uji beda, akan tampak besarnya standar deviasi residual
dari masing-masing model. Semakin kecil standar deviasi model,
berarti penyimpangan return yang diestimasikan terhadap return
aktual makin kecil maka makin baik model tersebut dalam
mengestimasikan return ekspektasi.
b.) Test of Homogeneity of variance
Homogenitas varians menjadi syarat dalam uji ANOVA. Apabila
probabilitas lebih besar dari alpha atau tidak signifikan, maka asumsi
homogenitas terpenuhi.
c.) Hasil uji ANOVA
Dari table ANOVA akan tampak besarnya nilai F dan signifikansi. Uji
beda ini menggunakan a = 5%. Hipotesis analisis ini adalah:
H0 : Rata-rata hasil estimasi return ketiga model sama.
H1 : Rata-rata hasil estimasi return ketiga model sama.
Apabila probabilitas atau signifikansi lebih besar dari alpha, maka H0
diterima.
lxxvi
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. DISTRIBUSI SAMPEL PENELITIAN
Melalui proses penyaringan yang dilakukan dengan metode purposive
sampling, diperoleh sampel yang digunakan dalam penelitian sejumlah 126
perusahaan, dengan perincian pada Tabel 4.1 di bawah ini.
Tabel 4.1. Seleksi Sampel Penelitian
Jumlah
Keterangan
Perusahaan
Perusahaan non keuangan listing terus-menerus selama
periode tahun 2003-2008
267
Dikurangi:
1. Perusahaan dengan saham tidak aktif diperdagangkan
2. Memiliki rasio book to market negatif
3. Perusahaan dengan data tidak layak
Jumlah sampel setelah seleksi
107
29
5
126
Berdasar IDX Statistics 2008, perusahaan sektor nonkeuangan yang
listing terus-menerus padapada tahun 2003-2008 berjumlah 267 perusahaan.
Pengertian listing terus-menerus dalam penelitian ini adalah tidak pernah
mengalami delisting selama Januari 2003 sampai dengan Desember 2008,
serta perusahaan telah tercatat di BEI sebelum 1 Januari 2003. Dengan
demikian, dapat diperoleh data lengkap berurutan mulai Januari 2003 sampai
dengan Desember 2008. Perusahaan dengan saham tidak aktif sebanyak 107
perusahaan, perusahaan dengan book to market negative sebanyak 29, dan
lxxvii
perusahaan dengan data tidak layak (data tidak lengkap, dikeluarkan dalam
perhitungan) sebanyak 5 sehingga diperoleh sampel yang dimasukkan dalam
penelitian ini sebanyak 126 perusahaan. Rincian nama perusahaan sampel
dapat dilihat pada lampiran.
B. HASIL PEMBENTUKAN PORTOFOLIO
Dari sampel yang telah dipilih, dibentuk portofolio bulanan dengan
metode three sequential sort berdasar book to market, kapitalisasi pasar, dan
return strategi momentum sehingga diperoleh 27 portofolio setiap bulan
(dapat dilihat pada lampiran). Pembentukan portofolio dengan metode ini
menyebabkan anggota dari setiap portofolio bisa berbeda-beda pada bulan
satu dengan bulan berikutnya. Namun, hasil pengelompokan pada penelitian
ini tampak bahwa ternyata persebaran saham dalam portofolio cenderung
serupa. Artinya, portofolio pada bulan satu dengan bulan berikutnya
cenderung memiliki anggota yang sama.
Penghitungan return menggunakan metode value weighted seperti
metode yang digunakan Fama (1996), Liew dan Vassalou (2000), dan L’Her
(2004) sehingga dapat meminimalisir return variance. Lebih dari itu,
penggunaan value weighted return dapat menggambarkan perilaku return
berdasar besar-kecil saham dengan lebih baik (Fama, 1993).
lxxviii
Hasil perhitungan return portofolio menghasilkan nilai SMB, HML, dan
WML seperti tampak pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2. Hasil Perhitungan Rm-Rf, Return Portofolio SMB, HML, dan HML
Rm-Rf
2008
Desember
November
Oktober
September
Agustus
Juli
Juni
Mei
April
Maret
Februari
Januari
2007
Desember
November
Oktober
September
Agustus
Juli
Juni
Mei
April
Maret
Februari
Januari
2006
Desember
November
Oktober
September
Agustus
Juli
Juni
Mei
April
Maret
Februari
Januari
-0.017
-0.124
-0.424
-0.251
-0.153
-0.111
-0.126
-0.022
-0.138
-0.180
-0.043
-0.123
-0.059
-0.066
0.038
-0.007
-0.148
0.015
-0.059
-0.045
0.002
-0.038
-0.102
-0.122
-0.047
-0.016
-0.076
-0.040
-0.059
-0.091
-0.140
-0.217
-0.020
-0.052
-0.129
-0.068
HML
SMB
WML
0.032
0.016
-0.009
-0.108
0.040
0.043
-0.092
0.163
0.027
-0.044
0.057
-0.029
-0.047
0.043
-0.044
0.043
-0.008
0.057
-0.013
0.032
-0.054
0.051
0.130
0.038
0.021
0.013
0.015
-0.037
0.000
-0.041
-0.103
0.063
0.026
0.024
0.056
-0.002
0.011
-0.043
0.021
-0.023
-0.015
0.103
-0.124
-0.092
0.104
0.017
0.151
0.198
-0.053
0.016
0.053
0.299
0.193
0.198
0.031
-0.029
0.085
-0.016
0.044
0.184
0.020
0.134
0.237
-0.013
0.021
0.121
0.002
0.057
0.228
-0.150
-0.013
0.052
-0.046
0.047
0.177
-0.024
-0.008
0.050
0.012
-0.035
0.075
0.040
-0.022
0.052
-0.005
-0.046
0.048
0.028
0.004
0.140
-0.040
0.008
0.084
-0.059
0.012
0.082
-0.012
0.062
0.125
-0.020
-0.026
0.074
-0.052
0.029
0.038
-0.031
-0.080
0.105
lxxix
Tabel 4.2.
Hasil Perhitungan Rm-Rf, Return Portofolio SMB, HML, dan HML
(Sambungan)
2005
Desember
November
Oktober
September
Agustus
Juli
Juni
Mei
April
Maret
Februari
Januari
2004
Desember
November
Oktober
September
Agustus
Juli
Juni
Mei
April
Maret
Februari
Januari
-0.067
-0.094
-0.122
-0.072
-0.207
-0.032
-0.051
-0.023
-0.124
-0.068
-0.047
-0.029
-0.051
0.062
-0.025
0.013
-0.077
-0.040
-0.074
-0.138
-0.008
-0.108
-0.064
0.010
0.011
0.043
-0.026
0.015
-0.009
0.037
-0.047
-0.013
0.024
-0.022
0.003
0.019
-0.156
0.049
0.060
-0.034
-0.037
0.015
-0.076
0.016
0.028
-0.046
-0.035
0.093
-0.114
0.041
0.038
-0.026
-0.076
0.017
-0.035
-0.007
0.104
-0.076
-0.016
0.095
0.013
-0.025
0.040
-0.067
-0.045
0.077
0.102
0.172
0.105
0.017
0.026
0.032
0.007
0.021
0.123
0.014
-0.021
0.068
-0.035
-0.011
0.032
-0.029
0.077
0.071
-0.085
-0.040
0.014
0.034
0.078
0.081
-0.086
-0.030
0.082
0.061
0.068
0.182
Sumber: Hasil Pengolahan Data
C. ANALISIS DESKRIPTIF
Dari data-data yang telah ada, diperoleh statistik deskriptif untuk variablevariabel yang digunakan dalam penelitian. Analisis deskriptif ditunjukkan
oleh Tabel 4.3.
lxxx
Tabel 4.3. Analisis Deskriptif
N
7560
7560
7560
7560
7560
7560
RI_RF
RM_RF
SMB
HML
WML
Valid N (listwise)
Minimum
-1.063
-.424
-.092
-.156
-.054
Maximum
9.926
.062
.193
.299
.237
Mean
Std. Deviation
-.07058
.290985
-.07823
.076026
.02005
.060053
-.01902
.066188
.06787
.064576
Sumber: Data Sekunder yang Diolah
Analisis deskriptif menunjukkan total 7560 data penelitian valid. Ratarata return portofolio bernilai negatif untuk variabel dependen Ri-Rf sebesar 0.07058 , variabel independen Rm-Rf sebesar -0.7823 dan HML sebesar 0.1902. Sedangkan variabel SMB dan WML memiliki rata-rata return positif
berturut-turut sebesar 0.02005 dan 0.06787. Penyimpangan variabel
independen terkecil dimiliki oleh variabel SMB ditunjukkan oleh standar
deviasi sebesar 0.060053, sedangkan yang terbesar dimiliki oleh variabel
return pasar sebesar 0.076026.
D. ANALISIS DATA
Penelitian ini berupaya mengetahui pengaruh serta kemampuan variabel
dependen, yaitu Rm-Rf, SMB, HML, dan WML dalam
memprediksi
expected return suatu saham berdasar pada tiga jenis model asset pricing,
yaitu CAPM, three factors pricing model, dan four factors pricing model.
Hasil akhir dari penelitian ini adalah mengetahui model asset pricing yang
dapat memprediksi expected return yang memiliki kelayakan terbaik.
Untuk mencapai tujuan dari penelitian ini, maka peneliti melakukan
pengujian terhadap masing-masing model terlebih dahulu.
lxxxi
1. Pengujian Asumsi Klasik
a. Capital Asset Pricing Model (CAPM)
1) Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas bertujuan untuk mengetahui apakah
terdapat interkorelasi yang sempurna di antara beberapa variabel
bebas yang digunakan dalam model. Terjadinya multikolinearitas
mengakibatkan nilai koefisien regresi kurang dapat dipercaya
serta kesulitan dalam memisahkan pengaruh masing-masing
variabel independen terhadap variabel independen.
Uji
multikolinearitas
dilakukan
dengan
menggunakan
tolerance value dan Variance Inflation Factors (VIF). JIka nilai
tolerance value di bawah 0,10 atau nilai VIF di atas 10 maka
terjadi multikolinearitas. Hasil uji multikolinearitas untuk
persamaan regresi model CAPM tampak pada Tabel 4.4. berikut
ini.
Tabel 4.4.
Hasil Uji Multikolinearitas pada Persamaan Regresi CAPM
Variabel
Rm
Collinearity Statistics
Keterangan
Tolerance
VIF
1.000
1.000
Tidak Multikol
Sumber: Data Sekunder yang Diolah
Dari Tabel 4.4. di atas dapat dilihat bahwa nilai tolerance
value variabel Rm sebesar 1,000 (lebih dari 0,1) dan Variance
Inflation Factors (VIF) sebesar 1,000 (kurang dari 10). Dengan
lxxxii
demikian dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi multikolinearitas
dalam model regresi CAPM.
2) Uji Autokorelasi
Run test dapat digunakan untuk menguji apakah antar
residual terdapat korelasi yang tinggi (Ghozali, 2006). Jika
antarresidual tidak terdapat hubungan korelasi maka dikatakan
bahwa residual adalah acak atau random. Tun test digunakan
untuk melihat pakah data residual terjadi secara random atau
tidak. Hasil uji autokorelaso tampak pada Tabel 4.5.berikut ini
Tabel 4.5.
Hasil Uji Autokorelasi
Model Regresi CAPM dengan Run Test
Unstandardized
Residual
Test Value(a)
-.02996
Cases < Test Value
3769
Cases >= Test Value
3791
Total Cases
7560
Number of Runs
3808
Z
.622
Asymp. Sig. (2-tailed)
.534
Sumber: Data Sekunder yang Diolah
Hasil output SPSS pada Tabel 4.5. menunjukkan bahwa nilai
tes adalah -0,2996 dengan probabilitas 0,534 atau tidak signifikan
yang berarti bahwa residual random atau tidak terjadi autokorelasi
antarnilai residual pada model CAPM.
lxxxiii
3) Uji Heterokedastisitas
Heteroskedastisitas berarti varians variabel dalam tidak sama.
Konsekuensi adanya heteroskedastisitas dalam model regresi
adalah estimator yang diperoleh menjadi tidak efisien.
Dalam penelitian ini pengujian heteroskedastisitas dilakukan
dengan grafik scatterplots. Dari grafik scatterplots 4.1. terlihat
titik-titik menyebar secara acak (random) baik di atas maupun di
bawah angka nol sumbu Y serta tidak membentuk pola tertentu
yang teratur. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak
terjadi heterokedastisitas pada model regresi CAPM.
4) Uji Normalitas Residual
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam
variabel pengganggu atau residual dalam model regresi memiliki
distribusi normal. Jika distribusi tidak normal, maka uji statistik
tidak valid untuk jumlah sampel kecil.
Untuk mendeteksi normalitas residual, digunakan analisis
grafik. Dari grafik normalitas 4.4. dapat dilihat bahwa residual
regresi model CAPM berdistribusi normal.
lxxxiv
b. Three Factors Pricing Model (TFPM)
1) Uji Multikolinearitas
Tabel 4.6.
Hasil Uji Multikolinearitas
Persamaan Regresi Three Factors Pricing Model
Variabel
Rm
SMB
HML
Collinearity Statistics
Keterangan
Tolerance
VIF
0.768
1.301
Tidak Multikol
0.721
1.387
Tidak Multikol
0.668
1.496
Tidak Multikol
Sumber: Data Sekunder yang Diolah
Berdasar Tabel 4.6. di atas dapat dilihat bahwa ketiga
variabel independen memiliki nilai tolerance value lebih dari 0,1
dan Variance Inflation Factors (VIF) kurang dari 10. Dengan
demikian tidak terjadi masalah multikolinearitas antarvariabel
independen dalam model regresi Three Factors Pricing Model.
2) Uji Autokorelasi
Tabel 4.7. Hasil Uji Autokorelasi dengan Run Test
Persamaan Regresi Three Factors Pricing Model
Unstandardized
Residual
Test Value(a)
-.02717
Cases < Test Value
3780
Cases >= Test Value
3780
Total Cases
7560
Number of Runs
3860
Z
1.817
Asymp. Sig. (2-tailed)
.069
Sumber: Data Sekunder yang Diolah
lxxxv
Hasil output SPSS pada Tabel 4.7. menunjukkan bahwa nilai
tes adalah
-0,2717 dengan probabilitas 0,069 atau tidak
signifikan yang berarti bahwa residual random atau tidak terjadi
autokorelasi antarnilai residual pada model Three Factors Pricing
Model.
3) Uji Heterokedastisitas
Dalam penelitian ini pengujian heteroskedastisitas dilakukan
dengan grafik scatterplots. Dari grafik scatterplots 4.2. terlihat
titik-titik menyebar secara acak (random) baik di atas maupun di
bawah angka nol sumbu Y serta tidak membentuk pola tertentu
yang teratur. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak
terjadi heterokedastisitas pada model regresi Three Factors
Pricing Model.
4) Uji Normalitas Residual
Untuk mendeteksi normalitas residual, digunakan analisis
grafik. Dari grafik normalitas 4.5. dapat dilihat bahwa residual
regresi model Three Factors Pricing Model tidak mengalami
masalah normalitas.
lxxxvi
c. Four Factors Pricing Model (FFPM)
1) Uji Multikolinearitas
Tabel 4.8.
Hasil Uji Multikolinearitas
Persamaan Regresi Four Factors Pricing Model
Variabel
Rm
SMB
HML
WML
Collinearity Statistics
Keterangan
Tolerance
VIF
0.632
1.582
Tidak Multikol
0.627
1.595
Tidak Multikol
0.668
1.496
Tidak Multikol
0.718
1.393
Tidak Multikol
Sumber: Data Sekunder yang Diolah
Berdasar Tabel 4.8. di atas dapat dilihat bahwa keempat
variabel independen memiliki nilai tolerance value lebih dari 0,1
dan Variance Inflation Factors (VIF) kurang dari 10. Dengan
demikian tidak terjadi masalah multikolinearitas antarvariabel
independen dalam model regresi Four Factors Pricing Model.
2) Uji Autokorelasi
Hasil output SPSS pada Tabel 4.9. menunjukkan bahwa nilai
tes adalah -0,2996 dengan probabilitas 0,534 atau tidak signifikan
yang berarti bahwa residual random atau tidak terjadi autokorelasi
antarnilai residual.
lxxxvii
Tabel 4.9.
Hasil Uji Autokorelasi Persamaan Regresi Four Factors
Pricing Model dengan Run Test
Unstandardized
Residual
Test Value(a)
-0.02787
Cases < Test Value
3780
Cases >= Test Value
3780
Total Cases
7560
Number of Runs
3850
Z
1.587
Asymp. Sig. (2-tailed)
0.112
Sumber: Data Sekunder yang Diolah
3) Uji Heterokedastisitas
Dalam penelitian ini pengujian heteroskedastisitas dilakukan
dengan grafik scatterplots. Dari grafik scatterplots 4.3. terlihat
titik-titik menyebar secara acak (random) baik di atas maupun di
bawah angka nol sumbu Y serta tidak membentuk pola tertentu
yang teratur. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak
terjadi heterokedastisitas pada model regresi Four Factors
Pricing Model.
4) Uji Normalitas Residual
Untuk mendeteksi normalitas residual, digunakan analisis
grafik. Dari grafik normalitas 4.6. dapat dilihat bahwa residual
regresi model Three Factors Pricing Model tidak mengalami
masalah normalitas.
lxxxviii
2. Pengujian Hipotesis
a) Pengujian Hipotesis 1
Hipotesis 1: Dalam model CAPM, variabel excess return pasar
berpengaruh terhadap return saham.
Pengujian hipotesis pertama dilakukan dengan meregres variabel
dependen dalam model CAPM yaitu faktor excess return pasar
terhadap variabel dependen yaitu return saham. Pengaruh variabel
independen terhadap variabel independen ditunjukkan Tabel 4.9.
berikut ini.
Tabel 4.10.
Hasil Uji T dan Uji F Model Regresi CAPM
Model Persamaan
Variabel Independen
Ri – Rf = α + bi[Rm-Rf] + ei
Unstandardized
t
Coefficients
0.974
Rm-Rf
F statistics : 523.696
Sig-F
: 0.000
22.884
Sig.
0.000*
Sumber: Data Sekunder yang Diolah
*
signifikan a 1%
** signifikan a 5%
*** signifikan a 10%
Dari Tabel 4.10. tampak nilai probabilitas signifikansi return
pasar sebesar 0.000 yang berada dibawah nilai 0.01 (tingkat
signifikansi a 1%) dengan koefisien regresi sebesar 0.974. Hasil
tersebut menunjukkan hipotesis 1 terdukung, bahwa terdapat
pengaruh positif yang signifikan market premium sebagai satu-
lxxxix
satunya variabel independen model CAPM terhadap return saham.
Hal ini sesuai dengan teori bahwa faktor pasar (risiko sistematis)
berpengaruh positif terhadap return.
b) Pengujian Hipotesis 2
Hipotesis 2: Dalam model Three Factors Pricing Model, variabel
beta pasar, SMB, dan HML berpengaruh terhadap return saham.
Tabel 4.11.
Hasil Uji T dan Uji F
Model Regresi Three Factors Pricing Model
Model Persamaan
Variabel
Independen
Ri – Rf = α + bi[Rm-Rf] + siE(SMB) + h iE(HML) + εi
Unstandardized
t
Coefficients
Rm
0.992
20.496
SMB
0.322
5.085
HML
0.108
1.815
F statistics : 192.810
Sig-F
: 0.000
Sumber: Data Sekunder yang Diolah
Sig.
0.000*
0.000*
0.070***
*
signifikan a 1%
** signifikan a 5%
*** signifikan a 10%
Tabel 4.11. menunjukkan nilai probabilitas signifikansi variabel
return pasar dan SMB sebesar 0.000 yang berada dibawah nilai 0.01
(tingkat signifikansi a 1%) dengan koefisien regresi berturut-turut
sebesar 0.992 dan 0.322.
Faktor HML juga menunjukkan nilai
probablitas signifikansi bernilai 0.070 yang berada di bawah nilai
0.10 (tingkat signifikansi a 10%). Secara simultan, variabel-variabel
xc
independen juga berpengaruh secara signifikan dengan probabilitas
signifikansi sebesar 0.000 yang bernilai di bawah 0,01 sehingga
model regresi Three Factors Pricing Model dapat digunakan untuk
memprediksikan harga saham. Dengan demikian, hipotesis 2
terdukung, bahwa dalam Three Factors Pricing Model, faktor market
premium, SMB, dan HML berpengaruh terhadap return saham.
c) Pengujian Hipotesis 3
Hipotesis 3: Dalam model Four Factors Pricing Model, variabel
beta pasar, SMB, HML, dan WML berpengaruh terhadap return
saham.
Tabel 4.12. menunjukkan nilai probabilitas signifikansi variabel
return pasar dan SMB sebesar 0.000 yang berada dibawah nilai 0.01
(tingkat signifikansi a 1%) dengan koefisien regresi berturut-turut
sebesar 0.932 dan 0.256.
Faktor HML juga menunjukkan nilai
probablitas signifikansi bernilai 0.068 yang berada di bawah nilai
0.10 (tingkat signifikansi a 10%) dengan koefisien regresi sebesar
0.109. Variabel independen ke-empat yaitu WML memiliki
probabilitas signifikansi sebesar 0.007 yang bernilai dibawah 0.05
(signifikansi a 5%) dengan koefisien regresi 0.158. Secara simultan,
variabel-variabel independen juga berpengaruh secara signifikan
dengan probabilitas signifikansi sebesar 0.000 yang bernilai di bawah
0,01 sehingga model regresi Four Factors Pricing Model dapat
xci
digunakan untuk memprediksikan harga saham. Dengan demikian,
hipotesis 3 terdukung, bahwa dalam Four Factors Pricing Model,
faktor market premium, SMB, HML, dan WML berpengaruh secara
positif signifikan terhadap return saham.
Tabel 4.12.
Hasil Uji T dan Uji F
Model Regresi Four Factors Pricing Model
Model Persamaan
Variabel
Independen
Ri–Rf = α+ bi[Rm-Rf] + siE(SMB) + h iE(HML) + wiE(WML ) +εi
Unstandardized
t
Sig.
Coefficients
Rm
0.932
17.462
0.000*
SMB
0.256
3.775
0.000*
HML
0.109
1.827
0.068***
WML
0.158
2.684
0.007**
F statistics : 146.527
Sig-F
: 0.000
Sumber: Data Sekunder yang Diolah
*
signifikan a 1%
** signifikan a 5%
*** signifikan a 10%
d) Pengujian Hipotesis 4 dan Hipotesis 5
Tabel 4.13.
Perbandingan R-square dan Standar Deviasi Uji Beda Anova
Adjusted R
Standar
Square
Deviasi
CAPM
0.065
0.065
.281399
TFPM
0.071
0.071
.280448
FFPM
0.072
0.072
.280315
Sumber: Data Sekunder yang Diolah
R Square
xcii
Berdasar hasil goodness of fit uji regresi, diperoleh hasil bahwa
Three Factors Pricing Model memiliki adjusted R Square lebih
tinggi dibanding CAPM. Standar deviasi dari uji beda dengan
ANOVA Three Factors Pricing Model juga lebih kecil dibanding
CAPM. Dengan demikian Hipotesis 4 diterima, Three Factors
Pricing Model lebih baik dalam menjelaskan return ekspektasi
saham dibanding CAPM.
Selanjutnya, masih berdasar Tabel 4.13. di atas, diperoleh hasil
bahwa Four Factors Pricing Model memiliki adjusted R Square
lebih tinggi dibanding Three Factors Pricing Model. Standar deviasi
dari uji beda dengan ANOVA Four Factors Pricing Model juga
lebih kecil dibanding Three Factors Pricing Model. Dengan
demikian Hipotesis 4 diterima, Four Factors Pricing Model lebih
baik dalam menjelaskan return ekspektasi saham dibanding Three
Factors Pricing Model.
Tabel 4.14
Test of Homogeneity of Variances
RESIDUAL
Levene
df1
df2
Sig.
Statistic
.001
2
22677
.999
Sumber: Data Sekunder yang Diolah
Asumsi Homogeneity of variances terpenuhi, ditandai dengan
nilai signifikansi > 0.05 atau lebih besar dari alpha. Sehingga uji
beda dapat dilanjutkan.
xciii
Tabel 4.15
Hasil Uji Beda Residual dengan ANOVA
Sum of
Mean
Squares
df
Square
Between Groups
.000
2
.000
Within Groups
1787.046
22677
.079
Total
1787.046
22679
Sumber: Data Sekunder yang Diolah
F
.000
Sig.
1.000
Hasil uji beda dengan ANOVA pada Tabel 4.15. menunjukkan
nilai p value sebesar 1.000 lebih besar dari alpha yang digunakan,
yaitu 5%. Dengan demikian, tidak terdapat perbedaan signifikan
antara ketiga model.
E. PEMBAHASAN
Kemampuan untuk mengestimasi return suatu sekuritas merupakan hal
yang sangat diperlukan oleh investor untuk banyak keputusan investasi. Oleh
karena itu, para peneliti terus mengembangkan asset pricing model untuk
menemukan teknik terbaik dalam melakukan seleksi portofolio yang mampu
memberikan pengembalian optimal. Studi mengenai asset pricing terus
berkembang dan semakin menarik untuk diteliti karena selalu menyisakan pro
dan kontra berkaitan dengan faktor apa saja yang mempengaruhi pembentukan
harga saham serta model apa yang dapat memberikan estimasi harga saham
dengan lebih baik. Maka dalam penelitian ini, peneniliti terlebih dahulu
menelaah hubungan variabel-variabel dalam tiap model untuk menemukan
faktor apa saja yang menggerakkan pembentukan saham di Indonesia dan
xciv
kemudian membandingkan kemampuan tiap model dalam menjelaskan
pembentukan harga saham.
Penelitian ini membuktikan pengaruh positif faktor beta pasar terhadap
return dengan taraf signifikansi 1%. Beta mengukur risiko sistematis yaitu
risiko yang tidak dapat dikurangi melalui diversifikasi dan dihadapi oleh pasar
secara keseluruhan. Nilai koefisien beta pasar pada ketiga model dalam
penelitian ini bernilai positif mendekati satu menunjukkan adanya korelasi
yang cukup tinggi antara pergerakan harga saham individu dengan pergerakan
harga pasar secara searah. Dengan kata lain, harga saham individual di
Indonesia sangat responsif terhadap harga pasar. Peranan IHSG mendominasi
dalam pembentukan harga suatu saham di Indonesia.
Hipotesis satu terdukung yaitu bahwa dalam CAPM, faktor pasar sebagai
satu-satunya variabel penjelas berpengaruh positif terhadap return saham.
Penemuan ini mendukung penelitian Sharpe (1964), Lintner (1965), Bello
(2008), dan Bismark (2009) bahwa perilaku risk averse investor sehingga
kenaikan beta pasar sebagai proksi dari risiko sistematis mendorong investor
meningkatkan besarnya risiko yang disyaratkan sebagai kompensasi atas
kenaikan derajat risiko yang dihadapi. Namun, hal ini tidak sepakat dengan
Fama (1992) dan Tandelilin (2003) yang menemukan bahwa baik ketika
digunakan sendiri atau ketika dikombinasikan dengan variabel lain, beta pasar
tidak memiliki daya penjelas yang signifikan terhadap return ekspektasi
saham.
xcv
Keraguan Fama atas keakuratan beta pasar sebagai satu-satunya
penggerak pembentukan harga mendorongnya untuk menambahkan variabel
ukuran perusahaan dan book to market (1993). Berbeda dengan penelitiannya
pada tahun 1992 yang langsung meregresikan variabel independen (beta, size,
book to market), untuk mengetahui kontribusi faktor size dalam pembentukan
harga
suatu
saham
Fama
(1993)
membentuk
portofolio
yang
merepresentasikan (mimicking) pengaruh size yang disebut portofolio SMB
(small minus big) dan HML (high minus looser) sebagai variabel independen
persamaan regresi. Tujuannya adalah untuk menguji pengaruh perbedaan
perilaku saham
dengan ukuran kecil terhadap saham ukuran besar (size
premium) serta pengaruh perbedaan perilaku saham dengan book to market
tinggi terhadap saham dengan book to market rendah (value premium)
terhadap pembentukan harga saham. Hipotesis kedua berupaya menguji
kontribusi faktor SMB dan HML selain market excess return dalam
pembentukan harga saham.
Sepakat dengan Banz (1981) dan Fama (1992), penelitian ini menemukan
hubungan negatif antara ukuran perusahaan (size firm) dengan return saham.
Banz mengemukakan bahwa perusahaan dengan kapitalisasi pasar yang kecil
cenderung lebih sensitif terhadap r isiko dan memiliki harga saham yang lebih
fluktuatif sehingga return yang diisyaratkan investor lebih tinggi. Sebaliknya,
perusahaan dengan kapitalisasi pasar yang besar pada umumnya merupakan
saham perusahaan besar yang kokoh, relatif lebih kuat terhadap risiko dan
cenderung memiliki harga saham yang relatif stabil sehingga return yang
xcvi
diharapkan pun lebih rendah. Penemuan hubungan negatif size dengan return
ini ditunjukkan dengan koefisien SMB yang positif.
Seperti halnya Fama (1993, 1995, dan 1996), penelitian ini menghasilkan
koefisien SMB yang positif. Portofolio SMB diperoleh dari return portofolio
saham perusahaan dengan kapitalisasi kecil yang memiliki harga saham
fluktuatif dikurangi return portofolio saham dengan kapitalisasi besar yang
memiliki harga saham relatif stabil. Jika baik saham berukuran besar atau
kecil tidak ada yang dominan maka tidak menghasilkan size premium dengan
kata lain tidak berpengaruh dalam pembentukan harga saham. Penemuan
koefisien SMB yang positif berarti return saham berkapitalisasi kecil (small)
lebih besar dibanding return perusahaan berkapitalisasi besar sehingga
menghasilkan size premium positif. Dengan kata lain, pembentukan harga
saham sektor nonkeuangan di Indonesia didominasi oleh pergerakan saham
perusahaan
berkapitalisasi
pasar
kecil.
Semakin
dominan
saham
berkapitalisasi kecil maka nilai SMB akan semakin besar sehingga akan
menggerakkan harga saham menjadi naik. Sebaliknya jika pergerakan harga
saham besar lebih dominan maka nilai SMB akan semakin kecil sehingga
harga saham akan turun. Hal sesuai penemuan Banz (1981) mengenai
hubungan negatif antara return dan ukuran perusahaan.
Berkaitan dengan faktor book to market ratio, penelitian ini juga
konsisten dengan Fama (1992) dan Stattman (1980) yang menemukan
hubungan positif book to market dengan return saham. Rasio book to market
menunjukkan seberapa jauh suatu perusahaan mampu menciptakan nilai
xcvii
perusahaan relatif terhadap jumlah modal yang diinvestasikan. Rasio book to
market dapat menjadi indikator bahwa perusahaan tersebut undervalue atau
overvalue. Apabila book value suatu sekuritas lebih kecil dibanding market
value (rasio book to market rendah < 1), maka saham perusahaan tersebut
overvalued. Sebaliknya, bila book value sekuritas lebih lebih besar dibanding
market value (rasio book to market tinngi > 1), maka saham perusahaan
tersebut undervalued.
Penelitian ini memperkuat bukti bahwa book to market berkorelasi positif
dengan return sekuritas. Fama dan French (1995) menjelaskan bahwa book to
market sebagai proksi dari kondisi distress perusahaan. Perusahaan yang
lemah dengan earning yang rendah cenderung memiliki book to market
rendah. Pasar memandang perusahaan dengan rasio book to market tinggi
sebagai saham undervalued
yang lebih berisiko dibanding perusahaan
dengan rasio book to market rendah sehingga investor mengharap return yang
lebih tinggi sebagai kompensasi risiko yang lebih besar.
Hal ini ditandai dengan nilai koefisien HML yang positif dan signifikan
dengan a sebesar 10% seperti yang dikemukakan Fama (1993, 1995, dan
1996) meskipun dalam penelitian ini pengaruh HML tidak lebih kuat dari
SMB. Portofolio HML diperoleh dari return portofolio saham perusahaan
dengan book to market tinggi yang merupakan saham undervalue dikurangi
return portofolio saham dengan book
to market rendah yang merupakan
saham overvalue. Jika baik saham dengan book to market tinggi maupun
saham dengan book to market rendah tidak ada yang lebih dominan maka
xcviii
tidak menghasilkan value premium dengan kata lain tidak berpengaruh juga
dalam pembentukan harga saham. Koefisien HML yang positif berarti return
dengan book to market tinggi (high) lebih besar dibanding return perusahaan
dengan book to market rendah (low) sehingga menghasilkan value premium
positif. Dengan kata lain, pembentukan harga saham sektor nonkeuangan di
Indonesia didominasi oleh saham perusahaan dengan book to market tinggi.
Semakin dominan saham dengan book to market tinggi (undervalue) maka
nilai HML akan semakin besar sehingga akan menggerakkan harga saham
menjadi naik. Sebaliknya jika pergerakan harga saham dengan book to market
rendah (overvalue) lebih dominan maka nilai HML akan semakin kecil
sehingga harga saham akan cenderung turun. Dengan demikian, book to
market berhubungan positif dengan return.
Dengan ditemukannya pengaruh yang signifikan positif variabel market
excess return, SMB dan HML, maka hipotesis kedua yang menyatakan
bahwa dalam three Factors Pricing Model, faktor market excess return,
SMB, dan HML berpengaruh secara positif signifikan terhadap return
terdukung. Uji F model regresi Three Factors Pricing model juga signifikan
pada a = 1%. Dengan demikian Three Factor Pricing Model dapat menjadi
model alternatif dalam estimasi return saham di Indonesia.
Fama (1996) menunjukkan bahwa model penetapan harga tiga faktor
atau three factor pricing model meskipun lebih baik dari CAPM, namun
belum dapat menangkap anomali momentum. Carhart (1997) memperluas
model three factors pricing model Fama dan French (1993) menjadi four
xcix
factors pricing model dengan menambahkan faktor harga momentum
(Jegadeesh dan Titman, 1993) sebagai faktor risiko yang keempat. Maka,
hipotesis ketiga berupaya membuktikan kontribusi momentum sebagai
pelengkap faktor market excess return, SMB, dan HML dalam mengestimasi
pembentukan harga saham.
Faktor
momentum
merupakan
faktor
yang
merepresentasikan
kecenderungan perusahaan dengan past return negatif akan menghasilkan
future return negatif, sedangkan perusahaan dengan past return positif akan
menghasilkan future return positif. Penganut strategi investasi momentum
akan membeli saham pada saat harga sedang bergerak naik dengan harapan
momentum gerak naik itu akan terus berlanjut di masa depan. Mereka akan
menjual kembali saham-saham tersebut bila dirasa momentum pergerakan
naik telah melemah atau malah telah berhenti dan berbalik arah. Berdasarkan
karakteristik strategi ini, para pengamat sering menjuluki strategi investasi
momentum dengan buy high sell higher (beli mahal, jual lebih mahal lagi).
Strategi momentum dalam memprediksi return ekspektasi saham diukur
dengan menghitung selisih antara value weighted return portofolio saham
winners dengan
value weighted return
portofolio saham losers, yang
dinotasikan sebagai WML (Winners Minus Losers).
Jegadeesh dan Titman (1993) berpendapat bahwa terdapat bukti-bukti
substansial yang menunjukkan bahwa kinerja saham yang baik atau buruk
selama 3 sampai 12 bulan cenderung tidak mengalami perubahan berarti
(tetap baik atau buruk) atas periode berikutnya. Hal ini juga didukung positif
c
oleh L’Her, J.F., Masmoudi, T. dan Suret, J.M. (2004) pada pasar saham di
Kanada.
Konsisten dengan Jegadeesh dan Titman (1993) serta L’Her (2004),
penelitian ini menemukan hubungan positif strategi momentum dengan return
saham. Jika strategi momentum bekerja dengan baik, maka portofolio saham
winner seharusnya menghasilkan return yang lebih besar dibanding saham
loser. Portofolio WML diperoleh dengan menghitung selisih antara value
weighted return portofolio saham winners dengan value weighted return
portofolio saham losers. Jika return saham winner maupun saham loser tidak
ada yang dominan, maka strategi momentum tidak berpengaruh terhadap
pembentukan harga saham. Dalam penelitian ini WML memiliki koefisien
positif dan signifikan pada a 5% sebesar 0.007. Hal ini berarti sesuai dengan
konsep momentum bahwa saham yang memiliki kinerja masa lalu di atas
rata-rata (saham winner) akan berlanjut memiliki kinerja yang baik pada
periode berikutnya sehingga memiliki return lebih besar dibanding saham
loser sehingga harga saham akan terus naik.
Daniel dan Subramanyan (1998) mengatakan bahwa terdapat informasi
yang disediakan untuk para investor atau disebut dengan informasi publik,
dan juga ada informasi yang tidak disediakan untuk para investor atau
informasi privat. Disini dinyatakan bahwa harga saham dipengaruhi oleh
informasi yang disediakan untuk investor. Berdasarkan kedua informasi ini
menjadikan
dua
bias
psikologi
investor
yang
menyebabkan
pasar
overreaction atau underreaction. Bias tersebut yaitu investor terlalu percaya
ci
diri terhadap kebenaran dari informasi prifat (over confidence) dan bias self
attribution yaitu sifat dasar dari pribadi para investor.
Berlakunya momentum pada saham perusahaan sektor nonkeuangan di
Indonesia ini disebabkan oleh adanya reaksi investor yang tidak terlalu
responsif terhadap informasi. Momentum menunjukkan bias overconfidence
yaitu pasar terlalu percaya diri, dan hal ini menyebabkan para investor
tersebut cenderung terlalu melebih-lebihkan penilaian pribadinya dalam
menilai saham dibanding memperhatikan informasi publik.
Dengan ditemukannya pengaruh yang signifikan positif variabel market
excess return, SMB, HML, dan WML maka hipotesis ketiga yang
menyatakan bahwa dalam Four Factors Pricing Model, faktor market excess
return, SMB, HML, dan WML berpengaruh secara positif signifikan terhadap
return terdukung. Uji F model regresi Four Factors Pricing model juga
signifikan pada a = 1%. Dengan demikian Four Factor Pricing Model dapat
menjadi model alternatif dalam estimasi return saham di Indonesia hal ini
konsisten dengan penelitian Carhart (1997), L’Her (2004), serta Liew dan
Vassalou (2000).
Dengan diterimanya hipotesis satu, dua, dan tiga, maka diperoleh dua
implikasi penting. Pertama, penelitian ini menemukan bahwa selain
dipengaruhi pasar, faktor size, book to market, dan momentum memberikan
kontribusi dalam pembentukan harga saham di Indonesia. Kedua, penelitian
ini
menemukan
bahwa
dilihat
dari
kontribusi
variabel-variabel
pembentuknya, Capital Asset Pricing Model, Three Factors Pricing Model,
cii
dan Four Factors Pricing Model dapat menjadi alternatif model estimasi
harga dan return saham di Indonesia.
Pertanyaan selanjutnya yang harus dijawab adalah dari ketiga alternatif
model tersebut, model manakah yang dapat memberikan estimasi return
dengan lebih baik. Maka hipotesis selanjutnya bertujuan untuk menentukan
model yang secara statistik lebih baik dalam melakukan estimasi return.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah semakin besar nilai
adjusted R-Square dan semakin rendah nilai standar deviasinya, maka model
tersebut lebih baik dibanding model lainnya (Pierre dan Bartholdy, 2004).
Hasil uji Goodness of Fit menunjukkan adjusted R Square CAPM
sebesar 6,5% dengan standar deviasi 0,281399. Sedangkan Three Factor
Pricing Model memiliki adjusted R Square sebesar 7,1% dengan standar
deviasi 0,280448. Three Factors Pricing Model menghasilkan adjusted R
Square lebih tinggi dan standar deviasi lebih rendah dibanding CAPM.
Dengan demikian, hipotesis empat diterima, bahwa Three Factors Pricing
Model lebih baik dalam mengestimasi expected return dibanding Capital
Asset Pricing Model.
Untuk menguji hipotesis ke-lima dibanding hasil uji kelayakan dan
standar deviasi Three Factors Pricing Model dan Four Factors Pricing
Model. Hasil uji Goodness of Fit menunjukkan adjusted R Square Three
Factor Pricing Model memiliki adjusted R Square sebesar 7,1% dengan
standar deviasi 0,280448. Sedangkan Four Factor Pricing Model memiliki
adjusted R Square sebesar 7,2% dengan standar deviasi 0,280315. Four
ciii
Factors Pricing Model menghasilkan adjusted R Square lebih tinggi dan
standar deviasi lebih rendah dibanding Three Factors Pricing Model. Dengan
demikian, hipotesis lima diterima, bahwa Four Factors Pricing Model lebih
baik dalam mengestimasi expected return dibanding Three Factors Pricing
Model.
Meskipun nilai adjusted R Square dan standar deviasi menunjukkan
perbaikan dari model CAPM yang paling sederhana hingga model empat
factor, namun penelitian ini hanya memperoleh nilai adjusted R Square yang
kecil hanya berkisar 6,5%, 7,1%, dan 7,2%. Artinya ketiga model ini
meskipun semua variabel independennya berpengaruh secara signifikan,
namun hanya mampu menjelaskan kurang dari 10% variasi variabel
dependennya, sedangkan sekitar 90% dijelaskan oleh variabel-variabel yang
tidak terwakilkan dalam penelitian ini.
Selain nilai adjusted R Square yang rendah, perbedaan persentase
adjusted R Square antarmodel juga sangat tipis, hanya sekitar 1% saja. Secara
sederhana telah tampak bahwa tidak ditemukan perbedaan yang signifikan
antara ketiga model. Hal ini diperkuat dengan hasil uji beda residual antara
ketiga
model
dengan
ANOVA.
Residual
dari
persamaan
regresi
merepresentasikan penyimpangan return aktual dengan return ekspektasi yang
ditentukan model. Uji beda menghasilkan standar deviasi yang meskipun
makin kecil untuk model CAPM hingga empat factor, namun selisihnya tidak
ada 1%. Tabel ANOVA juga menunjukkan F hitung sebesar 0,000 lebih kecil
civ
dari F table, dan nilai signifikansi sebesar 1,000 (lebih besar dari α). Dapat
disimpulkan bahwa perbedaan antara ketiga model tidak signifikan.
Hasil penelitian ini sepakat dengan Bello (2008) dalam membandingkan
CAPM, three factors pricing model, dan four factors pricing model dan
menemukan bahwa berdasar hasil uji kelayakan three factors pricing model
lebih baik dalam memprediksi return dibandingkan CAPM dan four factors
pricing model lebih baik dalam memprediksi return dibandingkan bahwa
three factors pricing model. Namun demikian, perbedaan di antara ketiga
model tersebut tidak signifikan.
Roger dan Securato dengan sampel penelitian di Brazil juga sepakat
bahwa three factors pricing model lebih baik menjelaskan return dibanding
CAPM, meskipun secara parsial book to market memiliki pengaruh yang
tidak signifikan dan perbedaan antara model-model tersebut juga tidak
signifikan. Peare dan Bartholdy (2004) senada dengan penelitian ini juga
menemukan bahwa three factors pricing model tidak jauh lebih baik
dibanding CAPM dengan angka R2 hanya berkisar 5%.
Hasil dari penelitian ini menemukan bahwa selain ditentukan oleh return
dan risiko pasar, harga saham di Indonesia juga dipengaruhi oleh faktor size
premium dan value premium, serta faktor momentum. Berdasarkan kontribusi
variabel independen penyusunnya, secara statistik CAPM, Three Factors
Pricing Model, maupun Four Factors Pricing Model dapat menjadi alternatif
model dalam melakukan estimasi harga saham maupun estimasi return.
Meskipun berdasar uji kelayakan model
cv
Three Factors Pricing Model
memiliki adjusted R Square lebih besar dibanding CAPM dan Four Factors
Pricing Model memiliki adjusted R Square lebih besar dibanding Three
Factors Pricing Model, namun ketiganya memiliki kekuatan penjelas yang
lemah serta perbedaan yang tidak signifikan.
cvi
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN
Penelitian bertujuan menguji faktor-faktor yang masih diperdebatkan
yang mempengaruhi return dan harga saham serta
memilih model asset
pricing yang terbaik dalam hal kemampuan menjelaskan estimasi tingkat
pengembalian saham yang diharapkan dengan menguji kinerja tiga model
asset pricing, yaitu CAPM, three factors pricing model, dan four factors
pricing model.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Hasil dari penelitian ini menemukan bahwa selain ditentukan oleh
return dan risiko pasar, harga saham di Indonesia juga dipengaruhi
oleh faktor size premium dan value premium, serta faktor momentum.
Sesuai dengan hipotesis yang dikemukakan penelitian ini ditemukan
bahwa faktor pasar berpengaruh signifikan positif terhadap return. Size
berpengaruh signifikan negatif terhadap return, ditandai dengan SMB
yang bernilai koefisien positif, saham dengan kapitalisasi pasar kecil
cenderung
memiliki
return
lebih
tinggi
dibanding
saham
berkapitalisasi besar. Book to market berpengaruh positif terhadap
return ditandai HML memiliki koefisien positif dan signifikan
sehingga saham undervalue cenderung menghasilkan return lebih
tinggi
dibanding
saham
overvalue.
cvii
Strategi
momentum
juga
berpengaruh positif signifikan terhadap return ditandai WML yang
positif dan signifikan.
2. Berdasarkan kontribusi variabel independen penyusunnya, secara
statistik CAPM, Three Factors Pricing Model, maupun Four Factors
Pricing Model dapat menangkap perilaku return ekspektasi saham
nonkeuangan pada pasar saham Indonesia.
3. Meskipun berdasar nilai adjusted R Square dan standar deviasi model
Three Factors Pricing Model terbukti lebih baik dibanding CAPM dan
Four Factors Pricing Model terbukti lebih baik dibanding dibanding
Three Factors Pricing Model, namun ketiganya memiliki kekuatan
penjelas yang lemah yaitu kurang dari 10% serta perbedaan yang tidak
signifikan (kurang dari 1%) sehingga manfaat dari model-model
tersebut dalam mengestimasi return ekspektasi saham di Indonesia
masih dipertanyakan.
B. KETERBATASAN PENELITIAN
Penelitian ini masih memiliki keterbatasan yang mungkin dapat
mempengaruhi hasil penelitian dan karenanya masih perlu dikembangkan lagi
pada penelitian berikutnya. Penelitian ini melakukan sorting dengan metode
Three Sequential Sorting Liew dan Vassalouw (2004). Kelemahan sorting
dengan metode ini adalah faktor momentum tidak dapat merekam pengaruh
holding period saham seperti model momentum yang dikemukakan Jegadeesh
dan Titman (1993).
cviii
C. SARAN
Penelitian ini menemukan bahwa meskipun berdasar uji kelayakan model
Three Factors Pricing Model memiliki adjusted R Square lebih besar
dibanding CAPM dan Four Factors Pricing Model memiliki adjusted R
Square lebih besar dibanding Three Factors Pricing Model, namun ketiganya
memiliki kekuatan penjelas yang lemah serta perbedaan yang tidak signifikan.
Hal ini berarti baik CAPM, three factors pricing model, maupun four factors
pricing model masih lemah kemampuannya dalam memprediksi return.
Berdasar hasil penelitian ini, secara statistik Four Factors Pricing Model
paling baik dalam
mengestimasi return dibanding CAPM maupun Three
Factors Pricing Model. Dengan demikian, saran bagi investor adalah diantara
ketiga model, investor dapat menggunakan Four Factors Pricing Model
sebagai panduan dalam mengestimasi return.
Sedangkan saran untuk penelitian selanjutnya adalah masih perlu
ditemukan metode lain yang lebih baik dalam membantu investor
mengestimasi return dan membuat keputusan investasi. Selain itu, perlu untuk
memperhitungkan holding period strategi momentum sehingga hasil dari
analisis pengaruh faktor momentum terhadap return ekspektasi lebih
mendalam.
cix
DAFTAR PUSTAKA
Banz, Rolf W., 1981. “The relationship between return and market value of
common stocks”. Journal of Financial Economics 9, 3-18.
Bartholdy, J. dan Peare, P. 2005. “Estimation of expected return: CAPM vs Fama
and French”. International Review of Financial Analysis, 14, 407-427.
Bello, Zakrie. 2008. “A Statistical Comparison Of The Capm To The FamaFrench Three Factor Model And The Cahart’s Model”. Global Journal Of
Finance And Banking 2 (2), 14-24.
Black, Fisher. 1972. “Capital Market Equilibrium with Restricted Borrowing”.
Journal of Business 45, 444-455.
Carhart, M.M. 1997. “On persistence on mutual fund performance”. Journal of
Finance 52, 57-82.
Chan, K. C., Nai-fu Chen and David Hsieh, 1985. “An exploratory investigation
of the firm size effect”. Journal of Financial Economics 14, 451-471.
Fama, E.F. dan French, R.F. 1992. “The Cross-Section Of Expected Stock
Returns”. Journal of Finance 47, 427-465.
Fama, E.F. dan French, R.F. 1993. “Common Risk Factors In The Returns On
Stocks And Bonds”. Journal of financial Economics 33, 3-56.
Fama, E.F. dan French, R.F. 1995. “Size and Book to Market Factors in earning
and Return”. Journal of Finance 50 (1), 131-155.
Fama, E.F. dan French, R.F. 1996. “Multifactors Explanations of Asset Pricing
Anomalies”. Journal of Finance 51(1), 55-83.
Fama, E.F., French, K.R., 1996. “The CAPM is wanted, dead or alive”. The
Journal of Finance 51, 1947-1958.
Fama, E.F. dan French, R.F. 2004. “The Capital Asset Pricing Model: Theory
And Evidence”. Working Paper, University of Chicago.
Ferdinand, Augusty. 2006. “Metode Penelitian Manajemen”. Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.
Gitman, J. 2009. “Principles of Managerial Finance Fifth Edition”. Prentice Hall.
cx
Graham, J.R dan Harvey, C.R. 2001. “The theory and practice of corporate
finance: evidence from the field”. Journal of Financial Economic 60, 18724.
Hartono, J. 2008. “Teori Portofolio dan Analisis Investasi”. Edisi Kelima,
Yogyakarta: BPFE.
Jegadeesh, N. dan Titman, S. 1993. “Returns To Buying Winners And Selling
Losers: Implications For Stock Market Efficiency”. Journal of Finance,
48, 65-91.
Jegadeesh, N., Titman, S., 2001. “Profitability of momentum strategies: an
evaluation of alternative explanations”. The Journal of Finance 56, 699720.
Jones, C.P., 1996. “Investment Analysis and Management”. Newyork. John
Willey and Sons.
L’Her, J.F., Masmoudi, T. dan Suret, J.M. 2004. “Evidence To Support The FourFactor Pricing Model From The Canadian Stock Market”. Journal of
International Financial Markets, Institutions and Money 14, 313-328.
Liew, J. dan Vassalou, M. 2000. “Can Book-To-Market Size And Momentum Be
Risk Factors That Predict Economic Growth?” Journal of Financial
Economic 57, 221-245.
Lintner, John. 1965. “Security Prices, Risk, and Maximal Gains from
Diversification”. Journal of Finance 4, 587-615.
Mardiyah. 2002. “The Effects of Profitability of Momentum Strategies and
Volume on Future Returns: An Empirical Evidence From Jakarta Stock
Exchange and Kualalumpur Stock Exchange”. Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Indonesia 17 (4), 440-459.
Markowitz, Harry. 1952. “Portfolio Selection”. The Journal of Finance 1, 77-91.
Merton, Robert C. 1973. “An Intertemporal Capital Asset Pricing Model”.
Journal of Econometrica, 41:5, pp. 867-887
Mossin, Jan. 1969. “Security Pricing and Investment Criteria in Competitive
Markets”. The American Economics Review 5, 748-756.
Porras, David. 1998. “The CAPM vs. The Fama and French Three Factors Pricing
Model: A Comparison Using Value Line Investment Survey”. SRRN
Working Paper.
cxi
Reilly, F. dan Brown, K. 2002. “Investment Analysis and Portfolio Management.
7th Edition”. Southwestern College.
Sharpe, W.F. 1964. “Capital Asset Prices: A Theory Of Market Equilibrium
Under Conditions Of Risk”. Journal of Finance 19, 425-442.
Securato, R. dan Rogers, P. “Comparative Study of CAPM, Fama and French
Model, and Reward Beta Approach in The Brazilian Market”. Working
Paper. University of Sao Paulo, 1-18.
Sumekar, Kertati. 2003. “Analisis Pengaruh Size, Beta, dan Price to Book Value
Terhadap return Saham (Studi Pada Saham-Saham LQ45 di Bursa Efek
Jakarta)”. http://eprints.undip.ac.id
Tandelilin dan Karambe. 2003. “Validitas CAPM di Bursa Efek Indonesia”.
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, 261-268.
Wiksuana. 2009. “Kinerja Portofolio Saham Berdasarkan Strategi Investasi
Momentum Di Pasar Modal Indonesia”. Jurnal Manajemen Dan
Kewirausahaan 11( 1), 73-84
cxii
Download