2.1 Penelitian Sebelumnya (State of the Art) Dalam

advertisement
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA
2.1
Penelitian Sebelumnya (State of the Art)
Dalam menyusun penelitian ini menggunakan beberapa penelitian sebelumnya
yang dalam bentuk jurnal nasional dan internasional sebagai pemahaman tambahan
dalam melakukan penelitian. Jurnal-jurnal yang dipilih tentunya berkaitan dengan
penelitian ini, serta digunakan sebagai perbandingan dengan penelitian yang
dilakukan dengan penelitian sebelumnya. Berikut merupakan 5 (lima) penelitian
sebelumnya berupa jurnal terkait penelitian ini yang telah diringkas:
Tabel 2.1 State of Art
Penulis
Judul
Tahun
2013
Kesimpulan
Allison Blake, Kathy
Effective
Jurnal ini menjelaskan bahwa
Bonk, Daniel
Communications
betapa pentingnya peran media
Heimpel dan Cathy
Strategies: Engaging
dalam kehidupan masyarakat
Wright S.
the Media, Policy
sehingga banyak media dijadikan
Makers and the
sebagai suatu alat untuk
Public
membangun suatu opini dari publik
tentang perusahaan.
Hubungan dengan penelitian:
Jurnal ini menggunakan komunikasi
yang efektif untuk membangun
hubungan yang baik dengan media
sehingga dapat membangun opini
publik yang positif tentang
perusahaan. Saya menggunakan
jurnal ini sebagai pedoman karena
perlu adanya komuniksi yang efektif
untuk melaksanakan strategi
komunikasi interpersonal dalam
meningkatkan kinerja karyawan di
perusahaan yang saya teliti.
Nicholas Megan, Kate Interpersonal
Mine
2011
Jurnal ini menjelaskan bahwa pada
Communication in
dasarnya semua organisasi
Global Workplace
membutuhkan komunikasi di
dalamnya baik antara atasan
bawahan maupun yang sejajar
(internal) sedangkan untuk pihak
eksternal salah satu komunikasi
yang penting adalah komunikasi
dengan media sehingga dalam hal
ini hubungan dengan pihak media
harus dijaga demi keberlangsungan
organisasi agar terciptanya suatu
kepengertian antara organisasi dan
masyarakat.
Hubungan dengan penelitian :
Jurnal ini membahas komunikasi
interpersonal dalam bekerja di
sebuah perusahaan. Saya
menggunakan jurnal ini sebagai
pedoman karena membahas
komunikasi interpesonal yang perlu
diberlakukan dalam dunia kerja
untuk memaksimalkan kinerja
karyawannya.
Olivia Sinarta, Dyah
Penerapan Etika
Harjanti
Bisnis Pada PT. X
2014
Jurnal ini menjelaskan bahwa PT. X
memiliki kewajiban moral, dimana
perusahaan mengimplementasikan
etika bisnis sesuai prinsip prisip
yang ada. Tujuan PT. X adalah
melayani semua stakeholder dan
berkomitmen pada semua
stakeholder. PT. X membentuk
sebuah kebudayaan yang
mengandung intergritas moral.
Hubungan dengan penelitian :
Jurnal ini membahas tentang etika
dalam berbisnis dan bekerja sesuai
dengan prinsip perusahaan tersebut.
Saya menggunakan jurnal ini
sebagai pedoman karena setiap
karyawan memiliki kewajiban moral
dalam bekerja agar dapat bekerja
dengan hasil yang maksimal dengan
menggunakan nilai-nilai yang dianut
oleh perusahaan.
Fendi Tahjudin Nor
Hubungan Kepuasan
2013
Jurnal ini menjelaskan bahwa
Komunikasi
terdapat hubungan antara kepuasan
Organisasi dengan
komunikasi organisasi dengan
Motivasi Kerja
motivasi kerja karyawan pada PT.
Karyawan di PT.
Srikandi Plastik. Hubungan antara
Srikandi Plastik
kepuasan komunikasi organisasi
Sidoarjo
dengan motivasi kerja bernilai
positif dan menunjukkan keterikatan
yang sangat kuat, hal ini
menunjukkan adanya hubungan
positif antara kepuasan komunikasi
organisasi dengan motivasi kerja.
Hubungan dengan penelitian :
Jurnal ini membahas adanya
hubungan kepuasan komunikasi
dengan motivasi kerja karyawan di
sebuah perusahaan. Saya
menggunakan jurnal ini sebagai
pedoman karena setiap hubungan
kepuasan komunikasi dengan
motivasi kerja dapat mempengaruhi
kinerja dari setiap karyawan.
Puji Isyanto,
Pengaruh
2013
Jurnal ini menjelaskan bahwa ada
Sungkono, Cynthia
Pengembangan Karir
pengaruh yang signifikan antara
Desriani
Terhadap Motivasi
pengembangan karir dengan
Kerja Karyawan
motivasi kerja karyawan PT. Excel
pada PT. Excel
Utama Indonesia Karawang.
Utama Indonesia
Pengembangan karir karyawan
Karawang
berpengaruh secara positif dan
signifikan.
Hubungan dengan penelitian :
Jurnal ini membahas tentang
pengaruh pengembangan karir
terhadap motivasi kerja karyawan di
sebuah perusahaan. Saya
menggunakan jurnal ini sebagai di
pedoman karena motivasi kerja
dapat meningkatkan untuk
menghasilkan kinerja terbaik jika
diiringi dengan pengembangan karir
yang sesuai. Jika karyawan tidak
mengalami pengembangan karir
tentunya mereka tidak merasaa
termotivasi untuk bekerja untuk
menghasilkan yang terbaik.
2.2
Landasan Konseptual
Beberapa konsep yang bersinggungan erat dengan bidang kajian dengan
skripsi yang dibuat :
2.2.1 Bidang Kajian Komunikasi
2.2.1.1 Strategi
Kasali (dalam Soemirat dan Ardianto, 2012, hal.90) menjelaskan
bahwa strategi adalah cara dimana ketika suatu organisasi atau lembaga akan
mencapai tujuannya, tetapi dengan melihat peluang-peluang dan ancamanancaman lingkungan eksternal yang dihadapi, juga bagaimana sumber daya
dan kemampuan internal.
Istilah strategi sering pula disebut rencana strategis atau rencana
jangka panjang perusahaan. Suatu rencana strategis perusahaan menetapkan
garis-garis besar tindakan strategis yang akan diambil dalam kurun waktu
tertentu ke depan. Berapa lama waktu yang akan dicakup tentu amat
bervariasi. Di masa lalu para ahli menyebut sekitar 25 tahun, tetapi dewasa ini
jarang sekali perusahaan yang berani menetapkan arahnya untuk 25 tahun ke
depan. Sebagian besar membuatnya lima sampai sepuluh tahun. Alasannya
perubahan yang terjadi belakangan ini sangat sulit diterka arahnya. Setiap
perubahan itu saling kait mengait, sehingga perkiraan terjauh yang dapat
diduga menjadi amat terbatas. (Kasali, dalam Soemirat dan Ardianto, 2012,
hal.90).
Kasali lebih jauh menyebutkan rencana jangka panjang inilah yang
menjadi pegangan bagi para praktisi Public Relations untuk menyusun
berbagai rencana teknis, dan langkah komunikasi yang akan diambil seharihari. Untuk dapat bertindak secara strategis, kegiatan Public Relations harus
menyatu dengan visi dan misi perusahaannya. Selain memiliki arti sebagai
“jangka panjang” strategi juga menyandang persamaan sebagai “strategi”.
Kata strategi itu sendiri mempunyai pengertian yang terkait dengan hal-hal
seperti kemenangan, kehidupan, atau daya juang. Artinya menyangkut dengan
hal-hal yang berkaitan dengan mampu atau tidaknya perusahaan dalam
menghadapi tekanan yang muncul dari dalam atau dari luar.
James E. Grunig dan Fred Repper, dalam Soemirat dan Ardianto
(2012, hal.93) mengemukakan model strategic management dalam kegiatan
Public Relations melalui tujuh tahapan, dimana tiga tahapan pertama
mempunyai cakupan luas sehingga lebih bersifat analisis, yakni :
1. Tahap stakeholders, sebuah organisasi atau perusahaan mempunyai
hubungan dengan publiknya apabila perilaku perusahaan tersebut
mempunyai pengaruh terhadap stakeholder-nya atau sebaliknya. Humas
harus
melakukan
survey
untuk
terus
membaca
perkembangan
lingkungannya, dan membaca perilaku organisasinya serta menganalisis
konsekuensi yang akan timbul. Komunikasi yang dilakukan secara
kontinyu dengan stakeholders ini membantu perusahaan untuk tetap stabil.
2. Tahap publik, publik terbentuk ketika organisasi atau perusahaan
menyadari adanya masalah tertentu. Berdasarkan hasil penelitian Grunig
dan Hunt (dalam Soemirat dan Ardianto, 2012, hal. 94), yang
menyimpulkan bahwa publik muncul sebagai akibat adanya masalah dan
bukan sebaliknya. Dengan kata lain publik selalu eksis apabila ada masalah
yang mempunyai potensi akibat terhadap mereka. Publik bukanlah
kumpulan suatu massa umum biasa, mereka sangat efektif dan spesifik
terhadap suatu kepentingan tertentu dan masalah tertentu. Oleh karena itu
humas harus terus menerus mengidentifikasi publik yang muncul terhadap
berbagai macam masalah. Biasanya dilakukan melalui wawancara
mendalam pada suatu focus group.
3. Tahap isu, publik muncul sebagai konsekuensi dari adanya masalah selalu
mengorganisasi dan menciptakan isu. Yang dimaksud dengan isu disini
bukanlah isu dalam arti kabar burung atau kabar resmi yang berkonotasi
negatif, melainkan suatu tema yang dipersoalkan. Mulanya pokok
persoalan demikian luas dan mempunyai banyak pokok, tetapi kemudian
akan terjadi kristalisasi sehingga pokoknya akan menjadi lebih jelas karena
pihak-pihak yang terkait saling melakukan diskusi.
2.2.1.2 Strategi Komunikasi
Strategi komunikasi pada hakikatnya adalah perencanaan (planning)
dan manajemen (management) untuk mencapai satu tujuan. Strategi
komunikasi merupakan paduan dari perencanaan komunikasi dan manajemen
komunikasi
untuk
mencapai
suatu
tujuan
(Effendy,2003:301).
Strategi komunikasi harus didukung oleh teori karena teori merupakan
pengetahuan
berdasarkan
pengalaman
(empiris)
yang
sudah
diuji
kebenarannya.
Untuk mantapnya strategi komuniksi, maka segala sesuatunya harus
dipertautkan dengan komponen-komponen yang merupakan jawaban terhadap
pertanyaan dalam rurmus Laswall tersebut ;
1. Who? (Siapakah komunikatornya)
2. Says what? (pesan apa yang dinyatakannya)
3. In which channel? (media apa yang digunakannya)
4. To whom? (siapa komunikannya)
5. With what effect? (efek apa yang diharapkan)
Suatu strategi dapat efektif dilaksanakan dalam sebuah program jika
mencakup beberapa hal sebagai berikut :
1. Objektif yang jelas dan menentukan semua ikhtiar diarahkan untuk mencapai
pemahaman yang jelas, menentukan dan bisa mencapai keseluruhan tujuan.
Tujuan tersebut tidak perlu dibuat secara tertulis namun yang penting bisa
dipahami dan menentukan.
2. Memelihara inisiatif.strategi inisiatif menjaga kebebasan bertindak dan
memperkaya omitmen. Strategi mesti menentukan langkah dan menetapkan
tindakan terhadap peristiwa, bukannya bereaksi terhadap satu peristiwa.
3. Konsentrasi, dengan memusatkan kekuatan yang besar untuk waktu dan
tempat yang menentukan.
4. Fleksibilitas, strategi hendaknya diniatkan untuk dilengkapi penyanggad an
dimensi untuk fleksibilitas dan maneuver.
5. Kepemimpinan yang memilki komitmen dan terkoordinasi. Strategi hendaknya
memberikan kepemimpinan yang memiliki komitmen dan tanggung jawab
terhadap pencapaian tujuan pokok.
6. Kejujuran. Strategi itu hendaknya dipersiapkan untuk memanfaatkan
kerahasiaan dan kecerdasan untuk menyerang lawan pada saat yang tidak
terduga.
7. Keamanan. Strategi itu mesti mengamankan seluruh organisasi dan semua
operasi penting organisasi.
Menyusun strategi komunikasi harus memperhitungkan faktor-faktor
pendukung dan penghambat. Berikut ini sebagian komponen komunikasi dan
faktor pendukung serta penghambat pada setiap komponen tersebut
(Effendy,2009).
1. Mengenali sasaran komunikasi
2. Faktor situasi dan kondisi
3. Pemilihan media komunikasi
4. Pengkajian tujuan pesan komunikasi
5. Peranan komunikator dalam komunikasi
6. Daya tarik sumber
7. Kredibilitas sumber
Empat faktor penting yang harus diperhatikan menyusun strategi komunikasi:
1. Mengenal khalayak. Khalayak itu aktif sehingga antara komunikator dengan
komunikan
bukan
saja
tejadi
saling
hubungan,
tetapi juga
saling
mempengaruhi.
2. Menyusun pesan, yaitu menentukan tema dan materi. Syarat utama dalam
mempengaruhi kalayak dari pesan tersebut ialah mampu membangkitkan
perhatian. Awal efektivitas dalam komunikasi ialah bangkitnya perhatian dari
khalayak terhadap pesan-pesan yang disampaikan.
3. Menetapkan metode, dalam hal ini metode penyampaian, yang dapat dilihat
dari dua aspek: menurut cara pelaksanaannya dan menurut bentuk isinya.
Menurut cara pelaksanaannya, dapat diwujudkan dalam dua bentuk yaitu,
metode redundancy
(repetition) dan canalizing.
Sedangkan
yang
kedua
menurut bentuk isinya dikenal metode-metode : informatif, persuasif , edukatif
, kursif. Metode redundancy adalah cara mempengaruhi khalayak dengan jalan
mengulang-ulang
pesan
pada
khalayak.
Metodecanalizing yaitu
mempengaruhi khalayak untuk menerima pesan yang disampaikan, kemudian
secara perlahan-lahan merubah sikap dan pola pemikirannya ke arah yang kita
kehendaki. Metode informatif, lebih ditujukan pada penggunaan akal pikiran
khalayak, dan dilakukan dalam bentuk pernyataan berupa: keterangan,
penerangan, berita, dan sebagai nya. Metode persuasif yaitu mempengaruhi
khalayak dengan jalan membujuk. Dalam hal ini khalayak digugah baik piki
ran maupun perasaannya. Metode edukatif, memberikan sesuatu idea kepada
khalayak berdasarkan fakta-fakta, pendapat dan pengalaman yang dapat
dipertanggungjawabkan dari segi kebenarannya dengan disengaja, teratur dan
berencana, dengan tujuan mengubah tingkah laku manusia ke arah yang di
inginkan. Metode kursif, mempengaruhi khalayak dengan jalan memaksa
tanpa memberi kesempatan berpikir untuk meneri ma gagasan-gagasan yang
dilontarkan, dimanifestasikan dalam bentuk peraturan-peraturan, intimidasi
dan biasanya di belakangnya berdiri kekuatan tangguh.
4. Pemilihan media komunikasi. Kita dapat memilih salah satu atau gabungan
dari beberapa media, bergantung pada tujuan yang akan dicapai, pesan yang
disampaikan dan teknik yang dipergunakan, karena masing-masing medium
mempunyai kelemahan-kelemahannya tersendiri sebagai alat.
2.2.1.3 Etika
a) Pengertian Etika
Secara etimologi “etika” berasal dari kata bahasa Yunani ethos. Dalam
bentuk tunggal, “ethos” berarti tempat tinggal yang biasa. Padang rumput,
kandang, kebiasaan, adat, akhlak, perasaan, cara berfikir. Dalam bentuk jamak, ta
etha berarti adat kebiasaan. Dalam istilah filsafat, etika berarti ilmu tentang apa
yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, etika dalah ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak. Etika
dibedakan dalam tiga pengertian pokok, yaitu ilmu tentang apa yang baik dan
kewajiban moral, kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, dan
nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Dengan ini maka etika dapat diartikan sebagai nilai-nilai atau norma yang
menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah
lakunya. (dalam Mufid, 2012, hal.173)
Mufid, dalam bukunya (2012, hal.174) juga menjelaskan bahwa tindakan
manusia ditentukan oleh macam-macam norma. Etika menolong manusia untuk
mengambil sikap terhadap semua norma dari luar dan dari dalam, supaya manusia
mencapai kesadaran moral yang otonom. Etika menyelidiki dasar semua norma
moral. Dalam etika biasanya dibedakan antara “etika deskriptif” dan “etika
normatif”, Etika deskriptif memberi gambaran dari gejala kesadaran moral, dari
norma dan konsep-konsep etis. Etika normatif tidak berbicara lagi tentang gejala,
melainkan tentang apa yang sebenarnya harus merupakan tindakan manusia.
Dalam etika normatif, norma dinilai dan setiap manusia ditentukan.
Pendapat Endersen, yang disitir Effendy (dalam Soemirat dan Ardianto,
2012, hal. 170) mendefinisikan etika sebagai suatu studi tentang nilai-nilai dan
landasan bagi penerapannya. Ia bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan
mengenai apa itu kebaikan dan keburukan dan bagaimana seharusnya. Disebutkan
pula istilah-istilah etika, etis, moralitas, dan moral acapkali dipergunakan secara
tertukar sehingga membingungkan. Tetapi etika hanya berkaitan dengan tingkah
laku
atau perbuatan, suatu tindakan yang dilakukan secara sengaja dalam
keadaan sadar, sehingga patut dihukum. Bagaimana jenis hukuman dan berat
tidaknya hukuman yang dikenakan bergantung pada tindakan yang dilakukan.
b) Etika Komunikasi
Dalam berbagai kesempatan, komunikasi diperlihatkan sebagai ilmu
yang berhubungan dengan berbagai macam ilmu pengetahuan yang lain. Ini
menandakan bahwa komunikasi menyentuh berbagai macam bidang kehidupan
manusia. Komunikasi juga menyentuh aspek ilmu dalam bidang komunikasi.
Apa yang terjadi apabila nilai, gagasan, dan ide komunikasi justru tidak
dikomunikasikan. Etika komunikasi mencoba untuk mengelaborasi standar etis
yang digunakan oleh komunikator dan komunikan. Setidaknya ada tujuh
perspektif etika komunikasi yang bisa dilihat dalam perspektif yang
bersangkutan. (dalam Mufid, 2012, hal.185-186)
1. Perspektif politik. Dalam perspektif ini, etika untuk mengembangkan
kebiasaan ilmiah dalam praktek berkomunikasi, menumbuhkan bersikap
adil dengan memilih atas dasar kebebasan, pengutamaan motivasi, dan
menanamkan penghargaan atas perbedaan.
2. Perspektif sifat manusia. Sifat manusia yang paling mendasar adalah
kemampuan berfikir dan kemampuan menggunakan simbol. Ini berarti
bahwa tindakan manusia yang benar-benar manusiawi adalah berasal dari
rasionalitas yang sadar atas apa yang dilakukan dan dengan bebas untuk
memilih melakukannya.
3. Perspektif dialogis. Komunikasi adalah proses transaksi dialogal dua arah.
Sikap dialogal adalah sikap setiap partisipan komunikasi yang ditandai
oleh kualitas keutamaan, seperti keterbukaan, kejujuran, kerukunan,
intensitas dan lain-lainnya.
4. Perspektif situasional. Faktor situasional adalah relevansi bagi setiap
penilaian moral. Ini berarti bahwa etika memperhatikan peran dan fungsi
komunikator, standar khalayak, derajat kesadaran, tingkat urgensi
pelaksanaan komunikator, tujuan dan nilai khalayak, standar khalayak
untuk komunikasi etis.
5. Perspektif religius. Kitab suci atau habit religius dapat dipakai sebagai
standar mengevaluasi etika komunikasi. Pendekatan alkitabiah dalam
agama membantu manusia untuk menemukan pedoman yang kurang lebih
pasti dalam setiap tindakan manusia.
6. Perspektif utilitarian. Standar utilitarian untuk mengevaluasi cara dan
tujuan komunikasi dapat dilihat dari adanya kegunaan, kesenangan, dan
kegembiraan.
7. Perspektif legal. Perilaku komunikasi yang legal, sangat disesuaikan
dengan peraturan yang berlaku dan dianggap sebagai perilaku yang etis.
Pentingnya pemahaman etika bagi pejabat humas karena menyangkut
penampilan (profile) dalam rangka menciptakan dan membina citra
perusahaan yang diwakilinya. Dua konsep penting dari humas tersebut
diidentifikasi oleh G. Sachs dalam Soemirat dan Ardianto (2012, hal.171)
sebagai berikut :
“Citra (image) adalah pengetahuan mengenai kita dan sikap-sikap
terhadap kita yang mempunya kelompok-kelompok kepentingan yang berbeda.
Penampilan adalah pengetahuan mengenai suatu sikap terhadap kita yang kita
inginkan mempunyai ragam kelompok kepentingan.”
Penjelasan G. Sachs, dapat disimak bahwa citra adalah dunia sekeliling
kita yang memandang kita. Penampilan adalah definisi kita sendiri dari titik
pandang mengenai kita.
Dalam hubungannya dengan kegiatan manajemen perusahaan sikap
etislah yang harus ditunjukkan seorang humas dalam profesinya sehari-hari.
Seorang humas harus menguasai etika-etika umum dan tidak umum (dalam
Soemirat dan Ardianto, 2012, hal.175) antara lain:
1) Good communicator for internal and external public.
2) Tidak terlepas dari faktor kejujuran sebagai landasan utamanya.
3) Memberikan kepada bawahan atau karyawan adanya sense of belonging
dan sense of wanted pada perusahaanya, agar para karyawan merasa
diakui dan dibutuhkan.
4) Etika sehari-hari dalam berinteraksi dan berkomunikasi harus tetap
dijaga.
5) Menyampaikan informasi-informasi penting kepada anggota dan
kelompok yang berkepentingan.
6) Menghormati prinsip-prinsip rasa hormat terhadap nilai-nilai manusia.
7) Menguasai teknik dan cara penanggulangan kasus-kasus, sehingga dapat
memberikan keputusan, dan pertimbangan secara bijaksana.
8) Mengenal batas-batas yang berdasarkan pada moralitas dalam profesinya.
9) Penuh dedikasi dalam profesinya.
10) Menaati kode etik humas.
2.2.2 Komunikasi Interpersonal
Theodorson (dalam Rohim, 2009, hal.69) mengemukakan bahwa
komunikasi adalah proses pengalihan informasi dari satu orang atau
sekelompok orang dengan menggunakan simbol-simbol tertentu kepada satu
orang atau sekelompok lain. Proses pengalihan informasi tersebut selalu
mengandung pengaruh tertentu. Komunikasi yang efektif ditandai dengan
hubungan interpersonal yang baik. Kegagalan komunikasi sekunder terjadi,
bila isi pesan kita pahami tetapi hubungan di antara komunikasi menjadi rusak.
Setiap kali kita melakukan komunikasi, kita tidak saja sekadar menyampaikan
isi pesan tetapi kita juga menentukan kadar hubungan interpersonal, bukan
saja menentukan “centent” tetapi juga “relationship”.
Adapun bentuk khusus dari komunikasi antarpribadi dapat dibedakan
atas dua bagian, pertama komunikasi diadik (dyadic communication), yakni
komunikasi yang berlangsung antar dua orang. Orang pertama adalah
komunikator yang menyampaikan pesan dan seorang lagi adalah komunikan
yang menerima pesan tersebut. Dalam komunikasi ini komunikator selalu
memusatkan perhatiannya hanya pada diri komunikan seorang tersebut,
sehingga ketika dialog terjadi antara keduanya selalu berlangsung serius dan
intensif. Bentuk komunikasi lainnya adalah komunikasi triadik (triadic
communication), yakni komunikasi antarpribadi yang pelakunya terdiri dari
tiga orang, yakni seorang komunikator dan dua orang komunikan. Jika
misalnya A yang menjadi komunikator, maka ia pertama-tama yang akan
menyampaikan komunikasi kepada B, kemudian kalau ditanggapi beralih
kepada komunikan C secara berdialogis. (dalam Rohim, 2009, hal.70)
Rohim juga menjelaskan apabila dibandingkan dengan komunikasi
triadik, maka komunikasi diadik lebih efektif, karena komunikator
memusatkan perhatiannya kepada seorang komunikan, sehingga seorang
komunikator dapat menguasai frame of reference komunikan sepenuhnya.
Selain itu umpan balik yang berlangsung juga terjadi, hal ini disebabkan
karena proses komunikasi yang berlangsung efektif, seperti yang telah
dijelaskan di atas.
Pada dasarnya komunikasi interpersonal adalah bentuk komunikasi
tatap muka langsung, dialogis yang terjadi antara individu dengan individu,
individu dengan kelompok maupun kelompok dengan kelompok. Berikut
adalah definisi lain yang telah dibuat oleh beberapa ahli tentang komunikasi
interpersonal. Joseph A. Devito (dalam Suharsono dan Lukas, 2013, hal.86)
mendefinisikan komunikasi interpersonal sebagai berikut:
“Interpersonal communication is the communication that takes place
between two persons who have an established relationship, the people are in
some way ‘connected’.”
Jika dicermati definisi DeVito di atas menunjukkan bahwa komunikasi
interpersonal itu dilihat dari tingkat keintimannya atau kedekatan proses
komunikasi itu. Definisinya terutama menekankan pada jumlah orang yang
terlibat dalam komunikasi interpersonal itu yang hanya dibatasi sebanyak dua
orang dan sudah memiliki hubungan pribadi yang sangat dekat. Oleh karena
itu komunikasi interpersonal terutama terjadi dalam hubungan sebagai berikut:
“Interpersonal communication would thus include what take place
between a son and his father, an employer and an employee, two sisters, a
teacher and a student, two lovers, two friends, and so on.”
Suharsono dan Lukas, (2012, hal.87) menyebutkan beberapa definisi
yang dibuat oleh para ahli Indonesia yang mencoba mengkaji pengertian
komunikasi interpersonal dari pendekatan yang lebih luas lagi. Tidak hanya
memfokuskan pada jumlah peserta yang hanya dua orang, tetapi dapat juga
diakukan oleh lebih dari dua orang, seperti dalam komunikasi kelompok
besaar atau kecil. Menurut Agus M. Hardjana komunikasi interpersonal adalah
interaksi tatap muka antar dua atau beberapa orang, di mana pengirim dapat
mengirimkan pesan secara langsung, dan penerima pesan dapat menerima dan
menanggapi
secara
langsung
pula.
Sedangkan
Yuyun
Wirasasmita
menyatakan bahwa komunikasi antarpersonal terjadi terutama di antara dua
orang atau beberapa orang (kuantitatif) yang bersifat alamiah dan dapat
menghasilkan suatu hubungan produktif secara terus-menerus (kualitatif).
Menurut Agus M. Hardjana (dalam Suharsono dan Lukas, 2013, hal.
90) komunikasi interpersonal memiliki beberapa ciri antara lain :
1) Verbal dan nonverbal, pada dasarnya semua bentuk komunikasi dapat
dilakukan dengan bahasa verbal dan nonverbal. Bahasa verbal merupakan
bahasa lisan maupun tulisan (tertulis), bahasa nonverbal merupakan
isyarat, lambang-lambang dan sebagainya. Penggunaan bahasa verbal
lisan dan bahasa isyarat memang lebih efektif digunakan dalam
komunikasi interpersonal, tetapi dengan kemajuan teknologi komunikasi,
bahasa lisan juga sering digunakan komunikasi massa, misalnya melalui
berbagai bentuk rekaman (kaset, CD, dan lainnya).
2) Mencangkup perilaku tertentu, yakni perilaku spontan, menurut
kebiasaan, dan perilaku sadar. Perilaku spontan dapat terjadi sewaktuwaktu dan kadang-kadang tanpa disadari sepenuhnya oleh pelaku.
Menurut kebiasaan, adalah komunikasi interpersonal yang dilakukan
menurut kebiasaan tertentu sesuai dengan latar belakang budaya mereka
yang sedang berkomunikasi. Perilaku sadar, menggambarkan bahwa
ketika melakukan komunikasi orang dengan kesadaran penuh akan
memilih dan menyesuaikan tindakannya, pilihan itu mencakup misalnya,
dengan siapa, kapan, di mana akan melakukan komunikasi itu.
3) Berproses pengembangan, komunikasi interpersonal diharapkan ada
kelanjutannya, yakni bagaimana sebuah hubungan yang semula terbentuk
memunculkan harapan dengan pertemuan tersebut akan menyambung
kembali tali persaudaraan atau pertemanan yang selama ini sudah terjalin
baik.
4) Mengandung umpan balik, interaksi, dan koherensi, pada dasarnya setiap
komunikasi itu terjadi umpan balik atau respons. Namun dalam
komunikasi interpersonal, umpan baliknya itu dapat terjadi seketika,
langsung dan lebih cepat karena biasanya komunikasinya berlangsung
secara tatap muka. Dengan begitu maka terjadi interaksi atau hubungan
langsung antara komunikator dan komunikan. Di samping itu, biasanya
karena bersifat langsung tatap muka maka koherensi atau keakraban atau
kedekatan dapat dijaga dengan baik dan lebih mudah karena masingmasing dapat dengan langsung mengamati bagaimana proses komunikasi
itu berjalan.
5) Berjalan menurut aturan tertentu, Komunikasi interpersonal itu
berlangsung menurut aturan yang berlaku pada masyarakat itu. Terutama
ini terjadi pada komunikasi kelompok, misalnya ketika melakukan
presentasi atau kunjungan atau penelitian ke tempat masyarakat yang
lain, harus dapat menyesuaikan dengan berbagai aturan dan kebiasaan
yang berlaku pada masyarakat itu.
6) Kegiatan aktif, komunikasi interpersonal merupakan suatu kegiatan aktif.
Aktif dalam artian bahwa antara komunikator dan komunikan langsung
bertemu, oleh karena itu berbagai respon dapat terjadi pada saat itu juga.
Dalam proses komunikasi ini pada dasarnya terjadi proses dialogis atau
proses saling memberi informasi bagi kedua belah pihak.
7) Saling mengubah, komunikasi pada dasarnya tidak hanya menyampaikan
pesan atau informasi saja, tetapi juga perubahan perilaku sesuai dengan
pesan yang disampaikan itu. Jelasnya bahwa komunikassi itu dikatakan
berhasil atau efektif apabila membawa dampak perubahan seperti
pemikiran, perasaan, sikap, dan perilaku.
Menurut Aw (2011, hal.30) beberapa faktor yang mempengaruhi kadar
hubungan interpersonal adalah sebagai berikut :
a. Toleransi, toleransi menghendaki adanya kemauan masing-masing
pihak untuk menghargai dan menghormati perasaan pihak lain.
b. Kesempatan-kesempatan yang seimbang, rasa memperoleh keadilan
dari interaksi akan menentukan kadar hubungan interpersonal.
c. Sikap menghargai orang lain, sikap menghendaki adanya pemahaman
bahwa setiap orang itu memiliki martabat.
d. Sikap mendukung bukan sikap bertahan, sikap mendukung berarti sikap
memberikan persetujuan terhadap orang lain.
e. Sikap terbuka, sikap untuk membuka diri, mengatakan tentang keadaan
dirinya secara terbuka dan apa adanya.
f. Pemilik bersama atas informasi.
g. Kepercayaan, kepercayaan adalah perasaan bahwa tidak ada bahaya dari
orang lain dalam suatu hubungan.
h. Keakraban, merupakan pemenuhan kebutuhan akan kasih sayang,
kedekatan dan kehangatan.
i. Kesejajaran, posisi yang sama antara kedua belah pihak.
j. Kontrol atau pengawasan.
k. Respon, ketepatan dalam memberikan tanggapan.
l. Suasana emosional, ketika komunikasi berlangsung tunjukkan dengan
ekspresi yang relevan.
Dari ke dua belas faktor tersebut, masing-masing dapat memberikan
pengaruh terhadap kadar hubungan interpersonal secara positif, artinya
semakin baik kualitas faktor tersebut maka semakin baik pula kadar hubungan
interpersonal.
2.2.2.1 Etika Komunikasi Interpersonal
Etika menurut Aw (2011, hal.135) merupakan suatu istilah yang
mempunyai pengertian tersendiri, yakni norma, nilai, atau ukuran tingkah laku
yang baik dalam kegiatan komunikasi di suatu masyarakat. Pada dasarnya
komunikasi internal dapat berlangsung secara lisan maupun tertulis. Secara
lisan dapat terjadi secara langsung atau tatap muka, maupun dengan
menggunakan media seperti telepon, SMS, facebook, e-mail, dan sebagainya.
Baik komunikasi secara langsung maupun tidak langsung, norma etika perlu
diperhatikan.
Aw menjelaskan bahwa komunikasi interpersonal merupakan proses
komunikasi antarpribadi atau antarindividu. Untuk menjaga proses komunikasi
tersebut berjalan baik, agar tujuan komunikasi dapat tercapai tanpa
menimbulkan kerenggangan hubungan antar individu, maka diperlukan etika
berkomunikasi. Cara paling mudah dalam menerapkan etika komunikasi
interpersonal ialah, pihak-pihak yang terlibat dalam proses komunikasi,
bahkan kita semuanya sebagai anggota masyarakat, perlu memerhatikan
beberapa hal berikut:
1. Nilai-nilai dan norma-norma sosial budaya setempat
2. Segala aturan, ketentuan, tata-tertib yang sudah disepakati
3. Adat-istiadat, kebiasaan yang dijaga kelestariannya
4. Tata krama pergaulan yang baik
5. Norma kesusilaan dan budi pekerti
6. Norma sopan-santun dalam segala tindakan
Dalam pergaulan dan kehidupan bermasyarakat, antara etika dan
komunikasi merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Dimanapun
orang berkomunikasi, selalu memerlukan pertimbangan etis, agar lawan bicara
dapat menerima dengan baik. Berkomunikasi tidak selamanya mudah, apalagi
kalau kita tidak mengetahui jati diri mereka yang kita hadapi, tentu kita akan
menebak-nebak dan merancang persiapan komunikasi yang sesuai dengan
tuntutan etis kedua belah pihak. Ketika kita paham tentang karakter orang
yang kita hadapi kita akan lebih mudah berusaha menampilkan diri sebaikbaiknya dalam berkomunikasi. (dalam Aw, 2011, hal. 136)
Aw lebih lanjut menjelaskan etika yang tergambar dalam tata krama
berkomunikasi adalah kebiasaan dan mungkin merupakan kesepakatan dalam
hubungan antarwarga di masyarakat. Ukuran etika itu berlangsung secara
selingkung, dan kadang-kadang sulit dimengerti akal sehat. Pemakaian etika
dalam konteks komunikasi antar pribadi memiliki paradoks tersendiri. Di lain
pihak, hal ini dapat menjadi hal yang positif namun terkadang sesuatu yang
negatif dan cenderung merusak dan memperburuk keadaan juga dapat terjadi.
Berbagai hal dinilai bertanggung jawab atas hal ini. Dimulai dari cara kita
berkomunikasi antar sesama hingga pada saat kita menggunakan etika dalam
berinteraksi.
Persoalan etika yang potensial selalu melekat dalam setiap bentuk
komunikasi antar pribadi sehingga komunikasi dapat dinilai dalam dimensi
benar-salah, melibatkan pengaruh yang berarti terhadap manusia lain,
sehingga komunikator secara sadar memilih tujuan-tujuan tertentu yang ingin
dicapai dan cara-cara komunikasi guna mencapai tujuan tersebut. Apakah
seorang komunikator bertujuan menyampaikan informasi, meningkatkan
pemahaman seseorang, memudahkan keputusan yang bebas pada orang lain,
menawarkan nilai-nilai yang penting, memperlihatkan eksistensi dan relevansi
suatu persoalan sosial, memberikan sebuah jawaban atau program aksi atau
memicu pertikaian—persoalan etika yang potensial terpadu dalam upayaupaya simbolik sang komunikator. Demikianlah keadaanya pada sebagian
besar komunikasi pribadi, baik komunikasi antara dua orang, dalam kelompok
kecil,
dalam
retorika
gerakan
sosial
maupun
dalam
hubungan
masyarakat.(dalam Aw, 2011, hal.136)
Juga dengan munculnya ungkapan bahwa manusia adalah satu-satunya
hewan “yang secara harfiah dapat disebut memiliki nilai”. Atau apabila lebih
dikhususkan lagi, bahwa esensi manusia paling tinggi adalah homo ethicus,
yakni manusia adalah pembuat penilaian etika. Tetapi kemudian muncul
pertanyaan, mengapa mempersoalkan etika dalam komunikasi antar pribadi?
Tentu, dengan menghindari pembicaraan mengenai etika dalam komunikasi,
orang akan bersandar pada berbagai macam pembenaran: (1) setiap orang tau
bahwa teknik komunikasi tertentuadalah tidak etis jadi tidak perlu dibahas; (2)
karena yang penting dalam komunikasi hanyalah masalah kesuksesan maka
masalah etika tidak relevan; (3) penilaian etika hanyalah masalah penilaian
individu secara pribadi sehingga tak ada jawaban pasti; dan (4) menilai etika
orang lain itu menunjukkan keangkuhan atau bahkan tidak sopan. (dalam Aw,
2011, hal.137)
Aw lebih lanjut menjelaskan secara potensial timbul ketegangan antara
“kenyataan” dan “keharusan”, antara yang aktual dan yang ideal. Mungkin
terdapat ketegangan antara apa yang dilakukan oleh setiap orang dengan apa
yang menurut kita harus dilakukan orang tersebut. Mungkin terdapat konflik
antara komunikasi yang kita pandang berhasil dan penilaian teknik tersebut
tidak boleh digunakan karena cacat menurut etika. Kita mungkin terlalu
menekankan pemahaman tentang sifat dan efektivitas teknik, proses dan
metode komunikasi dengan mengorbankan perhatian pada masalah etika
tentang penggunaan teknik-teknik seperti itu. Kita harus menguji bukan hanya
bagaimana, melainkan juga apakah kita secara etis harus, memakai bermacam
metode dan pendekatan. Masalah “apakah”, jelas bukan hanya penyesuaian
khalayak, melainkan masalah etika. Kita boleh merasa bahwa tujuan-tujuan
etika itu tidak dapat dicapai secara nyata sehingga tidak banyak manfaatnya.
Bagaimana para pelaku dalam sebuah transaksi komunikasi pribadi
menilai etika dari komunikasi itu, atau bagaimana para pengamat luar menilai
etikanya, akan berbeda-beda tergantung pada standar etika yang mereka
gunakan. Sebagian diantaranya bahkan mungkin akan memilih untuk tidak
mempertimbangkan etika, Namun, masalah potensial etika tetap ada meskipun
tidak terpecahkan atau tidak terjawab. Komunikan umumnya akan menilai,
secara resmi ataupun tidak resmi, upaya komunikator berdasarkan standar
etika yang relevan menurut mereka. Jika bukan karena alasan lain, selain
alasan pragmatik, yakni untuk kesempatan meningkatkan kesuksesan,
komunikator perlu mempertimbangkan kriteria etis para khalayaknya.
2.2.2.2 Komunikasi Verbal dan Nonverbal
a) Komunikasi Verbal
Komunikasi verbal atau sering disebut pesan verbal pada dasarnya
merupakan pesan yang berupa kata atau kata-kata yang bermakna bagi
individu atau kelompok (masyarakat). Kata-kata itu sering disebut dengan
bahasa verbal. Menurut Dedi Mulyana (dalam Suharsono dan Lukas, 2013,
hal.70), bahasa verbal merupakan sarana utama bagi individu untuk
menyatakan pikiran, perasaan, dan maksud kita. Dapat ditegaskan bahwa
komunikasi verbal merupakan komunikasi yang menggunakan kata-kata
dalam penyampaian pesan, baik berkenaan dengan gagasan, perasaan, ataupun
maksud tertentu dari komunikator kepada komunikan. Komunikasi verbal
tidak semudah yang kita bayangkan. Simbol atau pesan verbal adalah semua
jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Hampir semua
rangsangan bicara yang kita sadari termasuk ke dalam kategori pesan verbal
disengaja, yaitu usaha-usaha yang dilakukan secara sadar untuk berhubungan
dengan orang lain secara lisan.
Hal yang sangat penting dalam komunikasi verbal adalah memahami
makna kata. Memahami makna kata tidak sesimpel kata-kata itu sendiri. Kata
atau ujaran yang sama tetapi diucapkan oleh orang yang berbeda, situasi, nada
atau tekanan yang berbeda memiliki makna yang berbeda. Suatu sistem kode
verbal disebut bahasa. Bahasa dapat didefinisikan sebagai seperangkat simbol,
dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang
digunakan dan dipahami oleh suatu komunitas. Bahasa verbal adalah sarana
utama untuk menyatakan pikiran, perasaan, dan maksud kita. Bahasa verbal
menggunakan kata-kata yang merepresentasikan berbagai aspek realitas
individual kita. Konsekuensinya, kata-kata adalah abstraksi realitas kita yang
tidak mampu menimbulkan reaksi yang merupakan totalitas objek atau konsep
yang diwakili kata-kata itu. (dalam Mulyana, 2012, hal.265)
Menurut Larry L. Barker, bahasa memiliki tiga fungsi, penamaan
(naming atau labeling), interaksi, dan tranmisi informasi. Penamaan atau
penjulukan merupakan suatu usaha mngidentifikasi objek, tindakan, atau
orang dengan menyebut namanya sehingga dapat dimasukan ke dalam
komunikasi. Fungsi interaksi, menekankan berbagi gagasan dan emosi, yang
dapat mengundang simpati dan pengertian atau kemarahan dan kebingungan.
Melalui bahasa, informasi dapat disampaikan kepada orang lain. Barker
berpandangan, keistimewaan dari bahasa transmisi informasi yang lintaswaktu, dengan menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan,
memungkinkan kesinambungan budaya dan tradisi. Tanpa bahasa, manusia
tidak dapat bertukar informasi, juga tidak dapat menghadirkan semua objek
dan tempat untuk dimasukan ke dalam proses komunikasi. (dalam Mulyana,
2012, hal.266)
b) Komunikasi Nonverbal
Menurut Deddy Mulyana (dalam Suharsono, 2013, hal.74) Secara
sederhana, komunikasi nonverbal dapat diartikan sebagai bentuk komunikasi
atau penyampaian pesan yang berupa semua bentuk isyarat yang bukan katakata. Pesan nonverbal memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam komunikasi.
Menurut Larry A. Samovar dan Richard E. Porter, komunikasi nonverbal
mencangkup semua rangsangan (kecuali rangsangan verbal) dalam suatu
setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan
oleh individu, yang memiliki nilai potensial bagi pengirim atau penerima, jadi
definisi ini mencangkup perilaku yang disengaja juga tidak disengaja sebagai
bagian dari peristiwa komunikasi secara keseluruhan. Kita mengirim banyak
pesan nonverbal tanpa menyadari bahwa pesan-pesan tersebut bermakna bagi
orang lain. (dalam Rohim, 2012, hal. 343)
Ada sebuah dugaan bahwa bahasa nonverbal sebangun dengan bahasa
verbalnya. Artinya, pada dasarnya suatu kelompok yang punya bahasa verbal
khas juga dilengkapi dengan bahasa nonverbal khas yang sejajar dengan
bahasa verbal tersebut.
Pesan nonverbal sama dengan pesan verbal, yaitu tidak memiliki nilai
universal, terikat oleh suatu budaya masyarakat di mana pesan verbal dan
nonverbal itu berkembang dan digunakan oleh masyarakat itu. Menurut
Mulyana, bahwa perilaku pesan verbal bersifat eksplisit dan pesan nonverbal
bersifat spontan dan kadang-kadang berlangsung begitu cepat dan tidak
disadari. Dikatakan oleh T.Hall (dalam Suharsono, 2013, hal.76) bahwa
bahasa nonverbal itu merupakan “bahasa diam” dan tersembunyi (silent
language). Yang dimaksud diam dan tersembunyi aadalah bahwa pesan
nonverbal itu maknanya tergantung pada dimensi situasi dan konteks
komunikasi.
Perbedaan pokok antara komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal.
Pertama, sementara perilaku verbal adalah saluran tunggal, perilaku nonverbal
bersifat multisaluran. Kata-kata datang dari satu sumber, misalnya yang
diucapkan orang, yang kita baca dalam media cetak, tetapi isyarat nonverbal
dapat dilihat, didengar, dirasakan, dibaui, atau dicicipi, dan beberapa isyarat
boleh jadi berlangsung secara simultan (Verderber, dalam Rohim, 2012, hal.
348).
Kedua, pesan verbal terpisah-pisah, sedangkan pesan nonverbal saling
bersinambung. Artinya, orang dapat mengawali dan mengakhiri pesan verbal
kapan pun ia menghendakinya, sedangkan pesan nonverbal akan terus
berlanjut atau mengalir, selama ada orang yang hadir di dekatnya. Ini
mengingatkan pada satu prinsip komunikasi bahwa kita tidak dapat tidak
berkomunikasi, setiap perilaku punya potensi untuk ditafsirkan. Jadi meskipun
mungkin untuk menutup saluran linguistik ketika berkomunikasi dengan
menolak berbicara atau menulis, tetapi tidak dimungkinkan untuk menolak
berperilaku nonverbal.
Perbedaan ketiga, Verderber juga menjelaskan komunikasi nonverbal
mengandung lebih banyak muatan emosional daripada komunikasi verbal.
Sementara kata-kata umumnya digunakan untuk mencapai fakta, pengetahuan
atau keadaan, pesan nonverbal lebih potensial untuk menyatakan perasaan
seseorang, yang terdalam sekalipun, seperti rasa sayang atau sedih (dalam
Rohim, 2012, hal.349).
2.2.2.3 Komunikasi Organisasi
a) Definisi Komunikasi Organisasi
Redding dan Sanborn mengatakan bahwa komunikasi organisasi adalah
pengiriman dan penerimaan informasi dalam organisasi yang kompleks. Katz
dan Khan mengatakan bahwa komunikasi organisasi merupakan arus
informasi, pertukaran informasi dan pemindahan arti dalam suatu organisasi.
Zelko dan Dance mendefinisikan komunikasi organisasi dengan suatu sistem
yang saling tergantung yang mencangkup komunikasi internal dan komunikasi
eksternal. Sedangkan Thayer menggunakan pendekatan sistem secara umum
dalam
memandang
komunikasi
organisasi.
Menurutnya,
komunikasi
organisasi merupakan arus data yang akan melayani komunikasi organisasi
dan proses interkomunikasi dalam beberapa cara. Thayer menyebutkan
minimal ada tiga sistem komunikasi dalam organisasi, yaitu pertama,
berkenaan dengan kerja organisasi seperti data mengenai tugas-tugas atau
beroperasinya organisasi; kedua, berkenaan dengan pengaturan organisasi
seperti perintah, aturan dan petunjuk; ketiga, berkenaan dengan pemeliharaan
dan pengembangan organisasi seperti hubungan dengan personal dan
masyarakat dan pihak eksternal lainnnya. (dalam Rohim, 2009, hal.110)
R, Wayne Pace dan Don F. Faules (dalam Rohim, 2009, hal.110)
mengemukakan definisi komunikasi organisasi dari dua perspektif yang
berbeda.
Pertama,
perspektif
tradisional
(fungsional
dan
objektif),
mendefinisikan komunikasi organisasi sebagai pertunjukan dan penafsiran
pesan di antara unit-unit komunikasi yang merupakan bagian dari suatu
organisasi tertentu. Kedua, perspektif interpretif (subjektif) memaknai
komunikasi organisasi sebagai proses penciptaan makna atas interaksi yang
merupakan organisasi. Atau dengan kata lain bahwa komunikasi organisasi
menurut perspektif ini adalah “perilaku pengorganisasian” yang terjadi dan
bagaimana mereka yang terlibat dalam proses itu berinteraksi dan memberi
makna atas apa yang sedang terjadi.
b) Definisi Fungsional Komunikasi Organisasi
Komunikasi organisasi menurut Pace dan Faules (2010, hal.31) dapat
didefinisikan sebagai pertunjukan dan penafsiran pesan di antara unit-unit
komunikasi yang merupakan bagian dari suatu organisasi tertentu. Suatu
organisasi terdiri dari unit-unit komunikasi dalam hubungan-hubungan
hirearkis antara yang satu dengan lainnya dan berfungsi dalam suatu
lingkungan.
Dalam bukunya, Pace dan Faules juga menjelaskan bahwa komunikasi
organisasi terjadi kapanpun setidak-tidaknya satu orang yang menduduki suatu
jabatan dalam suatu organisasi menafsirkan suatu pertunjukan. Karena
fokusnya adalah komunikasi di antara anggota-anggota suatu organisasi,
analisis komunikasi organisasi menyangkut penelaahan atas banyak transaksi
yang terjadi secara simultan. Sistem tersebut menyangkut pertunjukan dan
penafsiran pesan di antara lusinan atau bahkan ratusan individu pada saat yang
sama yang memiliki jenis-jenis hubungan berlainan yang menghubungkan
mereka; yang pikiran, keputusan, dan perilakunya diatur oleh kebijakankebijakan, regulasi, dan “aturan-aturan”; yang mempunyai gaya berlainan
dalam berkomunikasi, mengelola, dan memimpin; yang dimotivasi oleh
kemungkinan-kemungkinan
yang
berbeda;
yang
berada
pada
tahap
perkembangan berlainan dalam berbagai kelompok; yang mempunyai tingkat
ketelitian pesan yang berlainan; dan yang membutuhkan penggunaan tingkat
materi dan energi yang berbeda untuk berkomunikasi efektif. Interaksi di
antara semua faktor tersebut, disebut dengan sistem komunikasi organisasi.
c) Definisi Interpretif Komunikasi Organisasi
Komunikasi organisasi, dipandang dari suatu perspektif interpretif
(subjektif) adalah proses penciptaan makna atas interaksi yang merupakan
organisasi. Proses interaksi tersebut tidak mencerminkan organisasi; proses
interaksi tersebut adalah organisasi. Komunikasi organisasi adalah “perilaku
pengorganisasian” yang terjadi dan bagaimana mereka yang terlibat dalam
proses itu bertransaksi dan memberi makna atas apa yang sedang terjadi.
Realitas organisasi adalah suatu konstruksi subjektif “yang mampu lenyap saat
anggotanya tidak lagi menganggapnya demikian.” Lebih jelasnya, komunikasi
organisasi adalah proses penciptaan makna atas interaksi yang menciptakan,
memelihara, dan mengubah organisasi. Berdasarkan pembahasan kita
terdahulu, pandangan “objektif” atas organisasi menekankan “struktur”,
sementara organisasi berdasarkan pandangan “subjektif” menekankan
“proses”. Komunikasi lebih dari sekadar alat, komunikasi adalah cara berfikir.
(dalam Pace dan Faules, 2010, hal.33).
2.3
Kerangka Konseptual
Gambar 2.1
Kerangka Konseptual
Strategi Optimalisasi Komunikasi
Interpersonal Untuk Meningkatkan
Kinerja Karyawan (Studi Pada
Human Resources Selection PT.
Chevron Indonesia)
Strategi Komunikasi
Komunikasi Interpersonal
•
•
•
Menghasilkan Kinerja Karyawan
Terbaik
Menghasilkan Etika Komunikasi
Interpersonal yang Baik
Mendapatkan Hasil Kerja
Terbaik
Etika Komunikasi
Interpesonal
Kerangka konseptual dibentuk berdasarkan beberapa konsep yang dipilih sesuai
dengan bagaimana konsep tersebut akan menjawab pertanyaan penelitian. Konsep tersebut
antara lain adalah strategi komunikasi, komunikas interpersonal dan etika komunikasi
interpersonal. Konsep ini diharapkan dapat menghasilkan kinerja karyawan yang baik serta
hasil kerja yang memuaskan dengan memberlakukan beberapa strategi yang diterapkan oleh
divisi Human Resources Selection PT. Chevron Indonesia.
Download