Valuasi ekonomi sumberdaya alam sub DAS

advertisement
9
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Nilai Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Nilai merupakan persepsi terhadap suatu objek pada tempat dan waktu
tertentu. Sedangkan persepsi merupakan pandangan individu atau kelompok
terhadap suatu objek sesuai dengan tingkat pengetahuan, pemahaman, harapan
dan norma. Oleh karena itu, nilai sumberdaya alam sangat beragam, tergantung
dari persepsi masing-masing individu atau masyarakat.
Ilmu ekonomi secara konvensional sering didefinisikan sebagai ilmu yang
mempelajari bagaimana manusia mengalokasikan sumberdaya yang langka.
Dengan demikian, ilmu ekonomi sumberdaya alam dapat didefinisikan sebagai
ilmu yang mempelajari pengalokasian sumberdaya alam seperti air, lahan, ikan
dan hutan. Secara eksplisit ilmu tersebut mencari jawaban seberapa besar
sumberdaya harus diekstraksi, sehingga menghasilkan manfaat yang sebesarbesarnya bagi masyarakat.
Menurut Fauzi (2006), sumberdaya didefinisikan sebagai suatu yang
dipandang memiliki nilai ekonomi. Dapat juga dikatakan bahwa sumberdaya
adalah komponen dari ekosistem yang menyediakan barang dan jasa yang
bermanfaat bagi kebutuhan manusia. Grima dan Berkes (1989) mendefinisikan
sumberdaya sebagai aset untuk pemenuhan kepuasan dan utilitas manusia. Agar
sesuatu dapat dikatakan sebagai sumberdaya, maka harus memiliki dua kriteria
yaitu harus ada pengetahuan teknologi atau keterampilan (skill) untuk
memanfaatkannya dan harus ada permintaan (demand) terhadap sumberdaya
tersebut (Rees, 1990). Apabila kedua kriteria tersebut tidak dimiliki, maka sesuatu
itu dapat disebut sebagai barang netral.
Sumberdaya alam selain menghasilkan barang dan jasa yang dapat
dikonsumsi baik secara langsung (direct) maupun tidak langsung (indirect) juga
dapat menghasilkan jasa-jasa lingkungan yang memberikan manfaat dalam bentuk
lain, seperti manfaat amenity yaitu keindahan dan ketenangan, manfaat tersebut
sering
disebut
sebagai
manfaat
fungsi
ekologis
yang
sering
tidak
terkuantifikasikan dalam perhitungan menyeluruh terhadap nilai sumberdaya.
Nilai tersebut tidak saja merupakan nilai pasar barang yang dihasilkan dari suatu
10
sumberdaya melainkan juga nilai jasa lingkungan yang ditimbulkan oleh
sumberdaya tersebut (Fauzi, 2006).
Menurut Fauzi (2006), penggunaan metode analisis biaya dan manfaat
(cost-benefit analysis) yang konvensional sering tidak mampu menjawab
permasalahan dalam menentukan nilai ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan
karena konsep biaya dan manfaat tersebut sering tidak memasukkan manfaat
ekologis didalam analisisnya. Oleh karena itu lahirlah konsep analisis valuasi
ekonomi, khususnya valuasi non-pasar (non market valuation).
Pengukuran valuasi ekonomi dari DAS dapat menggunakan model
pengukuran dari nilai ekonomi sumberdaya, dimana secara tradisional nilai terjadi
didasarkan pada interaksi antara manusia sebagai subjek dan objek (Pearce dan
Moran, 1994; Turner, Pearce dan Bateman,1994). Setiap individu memiliki
sejumlah nilai yang dikatakan sebagai nilai penguasaan yang merupakan basis
preferensi individu. Pada akhirnya nilai objek ditentukan oleh bermacam-macam
nilai yang dinyatakan (assigned value) oleh individu. Model nilai ekonomi total
(total economic value) dapat dilihat pada Gambar 1.
Nilai Ekonomi Total
(Total Economic Value)
Nilai Guna
(Use Value)
Nilai Guna
Langsung
(Direct
Use Value)
Nilai Guna
Tak Langsung
(Indirect
Use Value)
Nilai Non-Guna
(Non-Use Value)
Nilai Pilihan
(Option Value)
Nilai Keberadaan
(Existence Value)
Nilai Warisan
(Bequest Value)
Sumber: Pearce dan Moran (1994)
Gambar 1. Model Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value)
11
Nilai ekonomi total (total economic value) suatu sumberdaya secara garis
besar dikelompokan menjadi nilai guna (use value) dan nilai non-guna/intrinsik
(non-use value), (Pearce dan Turner, 1990; Pearce dan Moran, 1994; Turner,
Pearce dan Bateman, 1994). Nilai guna (use value) dibagi menjadi nilai guna
langsung (direct use value), nilai guna tak langsung (indirect use value) dan nilai
pilihan (option value). Nilai guna diperoleh dari pemanfaatan aktual lingkungan
(Turner, Pearce dan Bateman, 1994). Nilai non-guna dibagi menjadi nilai
keberadaan (existence value), nilai warisan (bequest value) dan nilai pilihan
(option value).
Nilai guna langsung (direct use value) adalah nilai yang ditentukan oleh
kontribusi lingkungan pada aliran produksi dan konsumsi (Munasinghe, 1993).
Nilai guna langsung berkaitan dengan output yang langsung dapat dikonsumsi,
misalnya makanan, biomassa, rekreasi dan kesehatan. Nilai guna tak langsung
(indirect use value) ditentukan oleh manfaat yang berasal dari jasa-jasa
lingkungan dalam mendukung aliran produksi dan konsumsi. Nilai pilihan (option
value) berkaitan dengan pilihan pemanfaatan lingkungan pada masa yang akan
datang. Pernyataan preferensi (kesediaan membayar) untuk konservasi sistem
lingkungan atau komponen sistem berhadapan dengan beberapa kemungkinan
pemanfaatan oleh individu dikemudian hari. Ketidakpastian penggunaan dimasa
yang akan datang berhubungan dengan ketidakpastian penawaran lingkungan,
teori ekonomi mengindikasikan bahwa nilai pilihan adalah kemungkinan positif
(Turner et. Al, 1994).
Nilai intrinsik dibagi menjadi dua bagian yaitu nilai keberadaan (existence
value) dan nilai warisan (bequest value). Nilai intrinsik berhubungan dengan
kesediaan membayar positif, jika responden tidak bermaksud memanfaatkannya
dan tidak ada keinginan untuk memanfaatkannya (Pearce dan Moran, 1994). Nilai
warisan berhubungan dengan kesediaan membayar untuk melindungi manfaat
lingkungan bagi generasi mendatang. Nilai warisan bukan merupakan nilai
penggunaan untuk individu petani, tetapi merupakan potensi penggunaan atau
bukan penggunaan dimasa yang akan datang (Turner et. Al, 1994). Nilai
keberadaan muncul karena adanya kepuasan atas keberadaan sumberdaya
12
meskipun
yang
melakukan
penilaian
tidak
memiliki
keinginan
untuk
memanfaatkannya.
2.2 Daerah Aliran Sungai (DAS)
Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu daerah yang dibatasi oleh
topografi alami, dimana semua air hujan yang jatuh didalamnya akan mengalir
melalui suatu sungai dan keluar melalui suatu outlet pada sungai tersebut. DAS
juga merupakan satuan hidrologi yang menggambarkan dan menggunakan satuan
fisik-biologi dan satuan kegiatan sosial ekonomi untuk perencanaan dan
pengelolaan sumberdaya alam (Gautama, 2008). Pendekatan DAS menggunakan
pengelolaan DAS untuk perencanaan dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan
pembangunan sumberdaya alam. Adapun yang ditanamkan dalam pendekatan ini
adalah pengakuan adanya hubungan erat antara lahan dan air, antara daerah hulu
dan hilir, serta pelaksanaan praktek yang tepat sesuai dengan sasaran.
Pengelolaan DAS merupakan suatu kegiatan menggunakan semua
sumberdaya alam atau biofisik yang ada, serta sosial ekonomi secara rasional
untuk menghasilkan produksi yang optimum dalam waktu yang tidak terbatas
(sustainable), menekan bahaya kerusakan seminimal mungkin dengan hasil akhir
kuantitas dan kualitas air yang memenuhi persyaratan (Sinukaban, 2001). Tujuan
dari pengelolaan DAS yaitu Sustainable Watershed Development dengan
memanfaatkan sumberdaya alam di dalam DAS secara berkelanjutan dan tidak
membahayakan lingkungan disekitarnya. Praktek pengelolaan DAS adalah suatu
kegiatan perubahan atau upaya pengelolaan dalam penggunaan lahan seperti
penutup tanaman dan kegiatan non-struktur lainnya serta kegiatan struktur yang
dilakukan di dalam DAS untuk mencapai suatu tujuan.
Konsep pengelolaan DAS menjelaskan bahwa keberhasilan pengelolaan
akan terwujud bila seluruh pengambil kebijakan seperti pemerintah, badan
pemerintahan negara dan internasional, lembaga keuangan dan masyarakat sendiri
ikut berperanan secara aktif mengelola DAS untuk memperbaiki kesejahteraan
dan sosial ekonomi negara dan manusia. Setiap kegiatan pengelolaan dilakukan
berdasarkan pendekatan secara komprehensif oleh semua pihak terkait dengan
menggali semua kemampuan potensialnya, seperti pendistribusian makanan yang
13
merata, luas lahan, produksi kayu dan bahan bakar, sistem hidrologi, penyediaan
air irigasi, mengurangi kemungkinan banjir, kekeringan dan bahaya alam lainnya
seperti erosi, penggaraman dan penggurunan. Begitu juga dengan kebutuhan akan
infrastruktur (sarana dan prasarana), pemasaran dan proses perbaikan kondisi
masyarakat dan lingkungan sosial-ekonomi seperti fasilitas kredit, koperasi,
pelayanan kesehatan dan pendidikan yang terjangkau.
Ciri-ciri pengelolaan DAS yang baik yaitu menghasilkan produktivitas
yang tinggi dengan meningkatnya pendapatan, jumlah dan distribusi kualitas serta
kuantitas yang baik serta mempunyai sifat lentur (flexible) dan azaz pemerataan.
Adapun indikator pengelolaan DAS yang baik adalah produksi yang
berkelanjutan, kesuburan lahan dan air minimum, distribusi hasil air yang
berkualitas dan berkuantitas baik, teknologi yang dipakai dapat diterima dan
mensejahterakan seluruh masyarakat yang terkait. Untuk menghasilkan tujuan
tersebut diperlukan teknologi pengelolaan DAS untuk mengurangi bahaya banjir
dan erosi dimusin hujan dan menaikan debit air sungai pada waktu musim kering.
Model-model simulasi hidrologi digunakan untuk mendapatkan perubahan
tersebut berdasarkan teknologi konservasi tanah berupa cara agronomi, vegetatif,
mekanis dan manajemen. Keberhasilan pengelolaan DAS bukan hanya semata
dari tujuan, namun yang paling penting adalah bagaimana cara mencapai tujuan
tersebut. Untuk itu diperlukan suatu usaha atau strategi pengelolaan DAS secara
berkelanjutan. Menurut hasil identifikasi Black (1970), prinsip umum pengelolaan
DAS ada tiga, yaitu ekologi alami DAS merupakan suatu sistem dan
keseimbangan yang dinamis, mempunyai faktor-faktor yang mempengaruhi runoff dan distribusi air tidak merata dalam siklus hidrologi, sehubungan dengan
praktek pengelolaan DAS.
2.3 Kebijakan Pengelolaan DAS
Menurut laporan kajian Tim Narasumber Kemenkoperekonomian RI
(2010), kebijakan umum bidang sumberdaya air dan irigasi meliputi peningkatan
dan pemantapan pasokan air irigasi dengan konservasi ekosistem hidrologis
daerah tangkapan air, maka ditempuh strategi produktivitas air tanaman untuk
meningkatkan efektivitas dan efisiensi penggunaan air dan konservasi sumberdaya
14
air. Kebijakan peningkatan dan pemantapan penyediaan air dengan konservasi
ekosistem hidrologis DAS yaitu berupa:
1. Konservasi ekosistem hidrologis DAS dengan rehabilitasi lahan kritis dan
pemantapan daya dukung lingkungan.
a. Mempertahankan fungsi hidrologis daerah tangkapan air dengan mencegah
penggundulan hutan dan illegal logging.
b. Melaksanakan program penghijauan (GNRHL dan GNKPA) untuk
meningkatkan resapan air dan mencegah erosi.
c. Memperbaiki daya dukung lingkungan dengan program pengelolaan DAS
terkoordinasi.
2. Meningkatkan kapasitas cadangan air permukaan dan air bawah permukaan
dengan pembangunan sistem simpanan air skala kecil dan menengah.
a. Membangun sarana penyimpanan air bawah permukaan seperti sumur
resapan, jebakan air (water trap), waduk bawah tanah dan sebagainya.
b. Membangun sarana penyimpanan air permukaan seperti waduk, embung,
situ dan long storage.
c. Meningkatkan intensitas penanaman (IP), antara lain dengan meminimalkan
“lahan tidur”.
Pengelolaan DAS merupakan proses alokasi sumberdaya untuk mencapai
suatu tujuan bersama. Di Indonesia telah dikenal prinsip yang sangat bagus, yaitu
koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi. Namun dalam implementasinya
sering dijumpai hambatan pelaksanaan program dan kegiatan, karena prinsip
tersebut tidak berjalan dengan baik. Sistem koordinasi tidak dipahami oleh para
stakeholder sehingga menyebabkan adanya pihak yang merasa hak dan
kewenangannya diambil ataupun dikurangi, serta kegiatan yang berjalan hanya
dikomando oleh ketersediaan dana dari pihak tertentu. Tujuan bersama tidak
didasari atas pemahaman bersama untuk tetap berpegang pada hak dan kewajiban
masing-masing, sehingga dengan demikian koordinasi dapat berjalan tanpa ada
pihak yang merasa hak dan kewenangannya diambil atau dikurangi, sehingga
sinergisitas dapat terjadi.
15
2.4 Penelitian Terdahulu yang Relevan
Penelitian terdahulu yang relevan mengenai valuasi ekonomi sumberdaya
alam dan lingkungan sudah banyak dilakukan, namun khusus mengenai valuasi
ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan di kawasan DAS Limboto dan Sub
DAS Biyonga belum pernah dilakukan. Penelitian ini merujuk dari beberapa hasil
penelitian yang telah dilakukan sebelumnya secara umum tentang DAS Limboto
dan Sub DAS Biyonga, serta valuasi ekonomi DAS pada beberapa kawasan DAS
di daerah lain. Hal tersebut bertujuan untuk memberikan pedoman dalam
melakukan penelitian mengenai: “valuasi ekonomi sumberdaya alam Sub DAS
Biyonga dalam kawasan DAS Limboto di Kabupaten Gorontalo”.
2.4.1 DAS Limboto dan Sub DAS Biyonga
Berikut adalah hasil penelitian terdahulu secara umum tentang DAS
Limboto dan Sub DAS Biyonga yang menjadi salah satu bahan rujukan dalam
penelitian ini:
1. Kajian Evaluasi Daerah Aliran Sungai (DAS) di Propinsi Gorontalo.
(Balitbangpedalda Propinsi Gorontalo bekerjasama dengan Pusat Survei
Sumberdaya Alam Darat Bakosurtanal, 2005). Adapun hasil penelitian yang
dilakukan adalah sebagai berikut:
 Pemetaan Ekosistem DAS Limboto Propinsi Gorontalo yang merupakan
aplikasi model inventarisasi ekosistem yang bertujuan untuk menyediakan
data kondisi ekosistem.
 Data yang digunakan sebagai bahan analisis adalah data inderaja, hasil
survei lapangan berupa faktor biotik, abiotik dan sosial ekonomi masyarakat
didukung dengan data sekunder baik dari instansi terkait di pusat dan
daerah. Berdasarkan data yang tersedia tersebut, maka diperoleh dua kelas
ekosistem pada DAS Limboto yang merupakan hasil analisis spasial dari
liputan lahan, analisis vegetasi dan bentuk lahan yaitu kelas ekosistem alami
dan kelas ekosistem binaan.
 Pengelolaan DAS Limboto harus memperhatikan aspek fungsi pada masingmasing wilayah daerah aliran sungai hulu, tengah dan hilir dimana bagian
hulu DAS Limboto harus tetap dipertahankan sesuai dengan fungsinya
sebagai kawasan lindung untuk tetap menjaga keberadaan ekosistem daerah
16
aliran sungai bagian tengah dan hilir. DAS Limboto bagian tengah
merupakan zona penyangga atau zona antara dimana pada zona ini
pengelolaan terhadap ekosistem binaan harus memiliki intensitas keterkaitan
antara bagian hulu dan hilir karena bagian tengah daerah aliran sungai
merupakan penyaring dampak yang ditimbulkan akibat perubahan ekosistem
yang mungkin terjadi pada bagian hulu DAS Limboto. Bagian hilir DAS
Limboto merupakan kawasan budidaya yang dipergunakan sepenuhnya
sebagai ekosistem binaan yang dapat berupa ekosistem perkotaan, ekosistem
pertanian, ekosistem pertambangan dan ekosistem hutan tanaman dan
perkebunan dengan tetap memperhatikan asas kelestarian dan keberlanjutan
sumberdaya alam dan lingkungan hidup.
 Untuk pengelolaan lebih terarah pada skala detail perlu dibangun suatu
sistem pengelolaan terpadu dengan pemantapan zonasi kawasan sehingga
pengelolaan ekosistem akan bermuara pada pengelolaan secara unik dan
terintegrasi pada zonasi ekosistemnya yaitu zona hulu, zona tengah dan zona
hilir.
2. Kajian Ekohidrologi Sebagai Dasar Penetapan Pola Pengelolaan Danau
Limboto Secara Terpadu (Pusat Penelitian Limnologi LIPI bekerjasama dengan
SKNVT PBPP Gorontalo, 2006). Adapun hasil penelitian yang dilakukan
adalah sebagai berikut:
 Upaya pengelolaan lingkungan perairan Danau Limboto perlu didasarkan
pada cara pandang bahwa lingkungan perairan tersebut merupakan
sumberdaya alam yang perlu dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk
kesejahteraan masyarakat, dimana kaidah-kaidah lingkungan merupakan
bagian integral sebagai landasan optimasi untuk keberlanjutan pemanfaatan
tersebut.
 Mengingat lingkungan perairan danau tersebut merupakan bagian integral
dari ekosistem daerah tangkap airnya yang terdiri dari 13 DAS, maka sistem
pengelolaannya harus merupakan bagian dari sistem pengelolaan lingkungan
daerah-daerah aliran sungai tersebut secara terpadu. Untuk itu perlu
didorong pengembangan sistem pengelolaan lingkungan daerah tangkapan
17
air Danau Limboto dimana sistem pengelolaan lingkungan perairan Danau
Limboto merupakan satu sub-sistem didalamnya.
 Untuk memelihara azas keberlanjutan pengelolaan lingkungan perairan
Danau Limboto sebaiknya dilakukan secara partisipatif seperti telah
diamantkan dalam UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air.
 Perlu dilakukan upaya pemulihan kerusakan lingkungan perairan Danau
Limboto, khususnya masalah pendangkalan dan penyusutan luas genangan
air danau berdampak luas terhadap ekosistem perairan danau secara
keseluruhan.
 Untuk optimasi pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya perairan Danau
Limboto juga perlu dikembangkan teknik-teknik manipulasi lingkungan
yang dapat secara langsung diaplikasikan di lingkungan perairan danau
tersebut.
 Pengembangan sistem informasi serta kegiatan monitoring dan evaluasi
lingkungan perairan Danau Limboto perlu dilakukan sebagai landasan
penting dari upaya pengelolaan perairan danau secara berkelanjutan.
 Pelaksanaan rekomendasi-rekomendasi diatas harus didasarkan pada azas
prioritas dan kepentingan yang disusun dalam suatu kerangka pembangunan
jangka pendek, menengah dan panjang kawasan perairan Danau Limboto
beserta kawasan daerah tangkapan air secara terpadu.
2.4.2 Valuasi Ekonomi DAS
Berikut adalah hasil penelitian terdahulu tentang valuasi ekonomi DAS
yang menjadi salah satu bahan rujukan dalam penelitian ini:
1. Laporan Studi PES untuk mengembangkan skema PES di DAS Deli, Sumatra
Utara dan DAS Progo, Jawa Tengah (USAID, 2007). Adapun hasil penelitian
yang dilakukan adalah sebagai berikut:
 Pelaksanaan PES di Indonesia secara keseluruhan masih dalam tahap awal
dan masih menunjukkan adanya keberagaman, hal ini sangat dimungkinkan
karena skema PES sendiri dikembangkan dengan dasar sukarela (voluntary
basis).
 Beberapa indikasi yang dapat digunakan sebagai landasan strategi dan
kebijakan yang diperlukan, antara lain: a) air sebagai komoditas utama yang
18
ditransaksikan pada umumnya dianggap penting oleh pembeli jasa karena
diketahui telah mengalami kelangkaan atau diantisipasi akan terjadi
kelangkaan dikemudian hari, b) pihak penyedia pada umumnya individu dan
kelompok tani yang mempunyai hutan tanaman dengan lokasi yang
diindikasikan mempunyai pengaruh terhadap kerusakan sumber air, c)
mekanisme penetapan harga jasa lingkungan dalam hal ini untuk setiap
meter kubik air yang tersedia pada umumnya belum diketahui, d) pembeli
jasa lingkungan khususnya air dari kasus-kasus yang dipelajari meliputi
swasta, PDAM, PLTA dan Pemerintah Kota sedangkan penyedia jasa yaitu
petani yang melakukan rehabilitasi hutan dan lahan, e) dalam pembelajaran
ini tidak ditemukan adanya lembaga khusus yang menggerakkan
berkembangnya skema PES, melainkan sangat tergantung pada berbagai
proses atau inisiatif yang sebelumnya telah dilakukan, f) LSM maupun
pemerintah daerah sama-sama mempunyai peran dalam kasus-kasus yang
diamati, peran perguruan tinggi yang membantu menyusun skema kerjasama
maupun landasan akademis pelaksanaan PES juga menentukan bergeraknya
inisiatif ini, g) adanya individu yang mempunyai wawasan serta
kewenangan dan kemauan yang bekerja di pemerintah daerah menjadi
penentu yang tidak dapat diabaikan, namun kondisi demikian ini sekaligus
menjadi
kelemahan
manakala
individu-individu
tersebut
kemudian
dipindahkan lokasi bekerjanya.
2. Analisis Willingness To Pay Masyarakat Terhadap Pembayaran Jasa
Lingkungan Mata Air Cirahab Desa Curug Goong, Kecamatan Padarincang,
Kabupaten Serang, Banten (Merryna, 2009). Adapun hasil penelitian yang
dilakukan adalah sebagai berikut:
 Persentase responden yang bersedia untuk melakukan pembayaran jasa
lingkungan sebesar 52 responden (63%). Faktor-faktor yang mempengaruhi
kesediaan atau ketidaksediaan responden terhadap pembayaran jasa
lingkungan sebagai upaya konservasi mata air Cirahab adalah penilaian
terhadap kualitas air, jarak rumah ke sumber air dan jumlah kebutuhan air.
19
 Nilai rataan WTP responden adalah Rp.101/KK/liter, untuk setiap kepala
keluarga (KK) yang membayar pembayaran jasa lingkungan sebagai upaya
konservasi mata air Cirahab dan total nilai WTP adalah Rp.83.835/liter.
 Nilai WTP tersebut dipengaruhi oleh penilaian kualitas air, jumlah
kebutuhan air, jarak rumah ke sumber air dan rata-rata pendapatan rumah
tangga.
 Pemanfaatan jasa lingkungan mata air Cirahab adalah 142.157 liter/hari atau
sebanyak 51.887.305 liter/tahun yang dapat dihasilkan oleh 4,94 hektar
lahan yang ditanami pohon penyerap air sehingga kualitas dan kuantitas
mata air Cirahab dapat lestari.
 Nilai potensial pemanfaatan jasa lingkungan mata air Cirahab adalah
Rp.5.240.617.805/tahun lebih besar dibandingkan dengan biaya pemulihan
sebesar Rp.544.758.500. Jika nilai potensial pemanfaatan jasa lingkungan
mata air Cirahab lebih besar dari pada biaya pemulihannya maka hal ini
dapat mengurangi tingkat degradasi terhadap mata air Cirahab.
Matriks hasil penelitian terdahulu tentang DAS Limboto dan Sub DAS
Biyonga serta valuasi ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan dapat dilihat
pada Tabel 3. Adapun yang membedakan antara penelitian terdahulu dengan
penelitian ini adalah pada penelitian terdahulu mengenai DAS Limboto dan Sub
DAS Biyonga hanya merupakan kajian ekologis, biofisik maupun kelembagaan
masyarakat DAS. Penelitian mengenai valuasi ekonomi DAS Limboto dan Sub
DAS Biyonga sama sekali belum pernah dilakukan. Sementara pada penelitian ini,
akan dilakukan valuasi ekonomi sumberdaya alam yang ada di Sub DAS Biyonga
dalam kawasan DAS Limboto, sehingga nilai ekonomi total sumberdaya alam
dapat diketahui.
20
Download