9 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nilai Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Nilai merupakan persepsi terhadap suatu objek pada tempat dan waktu tertentu. Sedangkan persepsi merupakan pandangan individu atau kelompok terhadap suatu objek sesuai dengan tingkat pengetahuan, pemahaman, harapan dan norma. Oleh karena itu, nilai sumberdaya alam sangat beragam, tergantung dari persepsi masing-masing individu atau masyarakat. Ilmu ekonomi secara konvensional sering didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana manusia mengalokasikan sumberdaya yang langka. Dengan demikian, ilmu ekonomi sumberdaya alam dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari pengalokasian sumberdaya alam seperti air, lahan, ikan dan hutan. Secara eksplisit ilmu tersebut mencari jawaban seberapa besar sumberdaya harus diekstraksi, sehingga menghasilkan manfaat yang sebesarbesarnya bagi masyarakat. Menurut Fauzi (2006), sumberdaya didefinisikan sebagai suatu yang dipandang memiliki nilai ekonomi. Dapat juga dikatakan bahwa sumberdaya adalah komponen dari ekosistem yang menyediakan barang dan jasa yang bermanfaat bagi kebutuhan manusia. Grima dan Berkes (1989) mendefinisikan sumberdaya sebagai aset untuk pemenuhan kepuasan dan utilitas manusia. Agar sesuatu dapat dikatakan sebagai sumberdaya, maka harus memiliki dua kriteria yaitu harus ada pengetahuan teknologi atau keterampilan (skill) untuk memanfaatkannya dan harus ada permintaan (demand) terhadap sumberdaya tersebut (Rees, 1990). Apabila kedua kriteria tersebut tidak dimiliki, maka sesuatu itu dapat disebut sebagai barang netral. Sumberdaya alam selain menghasilkan barang dan jasa yang dapat dikonsumsi baik secara langsung (direct) maupun tidak langsung (indirect) juga dapat menghasilkan jasa-jasa lingkungan yang memberikan manfaat dalam bentuk lain, seperti manfaat amenity yaitu keindahan dan ketenangan, manfaat tersebut sering disebut sebagai manfaat fungsi ekologis yang sering tidak terkuantifikasikan dalam perhitungan menyeluruh terhadap nilai sumberdaya. Nilai tersebut tidak saja merupakan nilai pasar barang yang dihasilkan dari suatu 10 sumberdaya melainkan juga nilai jasa lingkungan yang ditimbulkan oleh sumberdaya tersebut (Fauzi, 2006). Menurut Fauzi (2006), penggunaan metode analisis biaya dan manfaat (cost-benefit analysis) yang konvensional sering tidak mampu menjawab permasalahan dalam menentukan nilai ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan karena konsep biaya dan manfaat tersebut sering tidak memasukkan manfaat ekologis didalam analisisnya. Oleh karena itu lahirlah konsep analisis valuasi ekonomi, khususnya valuasi non-pasar (non market valuation). Pengukuran valuasi ekonomi dari DAS dapat menggunakan model pengukuran dari nilai ekonomi sumberdaya, dimana secara tradisional nilai terjadi didasarkan pada interaksi antara manusia sebagai subjek dan objek (Pearce dan Moran, 1994; Turner, Pearce dan Bateman,1994). Setiap individu memiliki sejumlah nilai yang dikatakan sebagai nilai penguasaan yang merupakan basis preferensi individu. Pada akhirnya nilai objek ditentukan oleh bermacam-macam nilai yang dinyatakan (assigned value) oleh individu. Model nilai ekonomi total (total economic value) dapat dilihat pada Gambar 1. Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value) Nilai Guna (Use Value) Nilai Guna Langsung (Direct Use Value) Nilai Guna Tak Langsung (Indirect Use Value) Nilai Non-Guna (Non-Use Value) Nilai Pilihan (Option Value) Nilai Keberadaan (Existence Value) Nilai Warisan (Bequest Value) Sumber: Pearce dan Moran (1994) Gambar 1. Model Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value) 11 Nilai ekonomi total (total economic value) suatu sumberdaya secara garis besar dikelompokan menjadi nilai guna (use value) dan nilai non-guna/intrinsik (non-use value), (Pearce dan Turner, 1990; Pearce dan Moran, 1994; Turner, Pearce dan Bateman, 1994). Nilai guna (use value) dibagi menjadi nilai guna langsung (direct use value), nilai guna tak langsung (indirect use value) dan nilai pilihan (option value). Nilai guna diperoleh dari pemanfaatan aktual lingkungan (Turner, Pearce dan Bateman, 1994). Nilai non-guna dibagi menjadi nilai keberadaan (existence value), nilai warisan (bequest value) dan nilai pilihan (option value). Nilai guna langsung (direct use value) adalah nilai yang ditentukan oleh kontribusi lingkungan pada aliran produksi dan konsumsi (Munasinghe, 1993). Nilai guna langsung berkaitan dengan output yang langsung dapat dikonsumsi, misalnya makanan, biomassa, rekreasi dan kesehatan. Nilai guna tak langsung (indirect use value) ditentukan oleh manfaat yang berasal dari jasa-jasa lingkungan dalam mendukung aliran produksi dan konsumsi. Nilai pilihan (option value) berkaitan dengan pilihan pemanfaatan lingkungan pada masa yang akan datang. Pernyataan preferensi (kesediaan membayar) untuk konservasi sistem lingkungan atau komponen sistem berhadapan dengan beberapa kemungkinan pemanfaatan oleh individu dikemudian hari. Ketidakpastian penggunaan dimasa yang akan datang berhubungan dengan ketidakpastian penawaran lingkungan, teori ekonomi mengindikasikan bahwa nilai pilihan adalah kemungkinan positif (Turner et. Al, 1994). Nilai intrinsik dibagi menjadi dua bagian yaitu nilai keberadaan (existence value) dan nilai warisan (bequest value). Nilai intrinsik berhubungan dengan kesediaan membayar positif, jika responden tidak bermaksud memanfaatkannya dan tidak ada keinginan untuk memanfaatkannya (Pearce dan Moran, 1994). Nilai warisan berhubungan dengan kesediaan membayar untuk melindungi manfaat lingkungan bagi generasi mendatang. Nilai warisan bukan merupakan nilai penggunaan untuk individu petani, tetapi merupakan potensi penggunaan atau bukan penggunaan dimasa yang akan datang (Turner et. Al, 1994). Nilai keberadaan muncul karena adanya kepuasan atas keberadaan sumberdaya 12 meskipun yang melakukan penilaian tidak memiliki keinginan untuk memanfaatkannya. 2.2 Daerah Aliran Sungai (DAS) Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu daerah yang dibatasi oleh topografi alami, dimana semua air hujan yang jatuh didalamnya akan mengalir melalui suatu sungai dan keluar melalui suatu outlet pada sungai tersebut. DAS juga merupakan satuan hidrologi yang menggambarkan dan menggunakan satuan fisik-biologi dan satuan kegiatan sosial ekonomi untuk perencanaan dan pengelolaan sumberdaya alam (Gautama, 2008). Pendekatan DAS menggunakan pengelolaan DAS untuk perencanaan dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan pembangunan sumberdaya alam. Adapun yang ditanamkan dalam pendekatan ini adalah pengakuan adanya hubungan erat antara lahan dan air, antara daerah hulu dan hilir, serta pelaksanaan praktek yang tepat sesuai dengan sasaran. Pengelolaan DAS merupakan suatu kegiatan menggunakan semua sumberdaya alam atau biofisik yang ada, serta sosial ekonomi secara rasional untuk menghasilkan produksi yang optimum dalam waktu yang tidak terbatas (sustainable), menekan bahaya kerusakan seminimal mungkin dengan hasil akhir kuantitas dan kualitas air yang memenuhi persyaratan (Sinukaban, 2001). Tujuan dari pengelolaan DAS yaitu Sustainable Watershed Development dengan memanfaatkan sumberdaya alam di dalam DAS secara berkelanjutan dan tidak membahayakan lingkungan disekitarnya. Praktek pengelolaan DAS adalah suatu kegiatan perubahan atau upaya pengelolaan dalam penggunaan lahan seperti penutup tanaman dan kegiatan non-struktur lainnya serta kegiatan struktur yang dilakukan di dalam DAS untuk mencapai suatu tujuan. Konsep pengelolaan DAS menjelaskan bahwa keberhasilan pengelolaan akan terwujud bila seluruh pengambil kebijakan seperti pemerintah, badan pemerintahan negara dan internasional, lembaga keuangan dan masyarakat sendiri ikut berperanan secara aktif mengelola DAS untuk memperbaiki kesejahteraan dan sosial ekonomi negara dan manusia. Setiap kegiatan pengelolaan dilakukan berdasarkan pendekatan secara komprehensif oleh semua pihak terkait dengan menggali semua kemampuan potensialnya, seperti pendistribusian makanan yang 13 merata, luas lahan, produksi kayu dan bahan bakar, sistem hidrologi, penyediaan air irigasi, mengurangi kemungkinan banjir, kekeringan dan bahaya alam lainnya seperti erosi, penggaraman dan penggurunan. Begitu juga dengan kebutuhan akan infrastruktur (sarana dan prasarana), pemasaran dan proses perbaikan kondisi masyarakat dan lingkungan sosial-ekonomi seperti fasilitas kredit, koperasi, pelayanan kesehatan dan pendidikan yang terjangkau. Ciri-ciri pengelolaan DAS yang baik yaitu menghasilkan produktivitas yang tinggi dengan meningkatnya pendapatan, jumlah dan distribusi kualitas serta kuantitas yang baik serta mempunyai sifat lentur (flexible) dan azaz pemerataan. Adapun indikator pengelolaan DAS yang baik adalah produksi yang berkelanjutan, kesuburan lahan dan air minimum, distribusi hasil air yang berkualitas dan berkuantitas baik, teknologi yang dipakai dapat diterima dan mensejahterakan seluruh masyarakat yang terkait. Untuk menghasilkan tujuan tersebut diperlukan teknologi pengelolaan DAS untuk mengurangi bahaya banjir dan erosi dimusin hujan dan menaikan debit air sungai pada waktu musim kering. Model-model simulasi hidrologi digunakan untuk mendapatkan perubahan tersebut berdasarkan teknologi konservasi tanah berupa cara agronomi, vegetatif, mekanis dan manajemen. Keberhasilan pengelolaan DAS bukan hanya semata dari tujuan, namun yang paling penting adalah bagaimana cara mencapai tujuan tersebut. Untuk itu diperlukan suatu usaha atau strategi pengelolaan DAS secara berkelanjutan. Menurut hasil identifikasi Black (1970), prinsip umum pengelolaan DAS ada tiga, yaitu ekologi alami DAS merupakan suatu sistem dan keseimbangan yang dinamis, mempunyai faktor-faktor yang mempengaruhi runoff dan distribusi air tidak merata dalam siklus hidrologi, sehubungan dengan praktek pengelolaan DAS. 2.3 Kebijakan Pengelolaan DAS Menurut laporan kajian Tim Narasumber Kemenkoperekonomian RI (2010), kebijakan umum bidang sumberdaya air dan irigasi meliputi peningkatan dan pemantapan pasokan air irigasi dengan konservasi ekosistem hidrologis daerah tangkapan air, maka ditempuh strategi produktivitas air tanaman untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi penggunaan air dan konservasi sumberdaya 14 air. Kebijakan peningkatan dan pemantapan penyediaan air dengan konservasi ekosistem hidrologis DAS yaitu berupa: 1. Konservasi ekosistem hidrologis DAS dengan rehabilitasi lahan kritis dan pemantapan daya dukung lingkungan. a. Mempertahankan fungsi hidrologis daerah tangkapan air dengan mencegah penggundulan hutan dan illegal logging. b. Melaksanakan program penghijauan (GNRHL dan GNKPA) untuk meningkatkan resapan air dan mencegah erosi. c. Memperbaiki daya dukung lingkungan dengan program pengelolaan DAS terkoordinasi. 2. Meningkatkan kapasitas cadangan air permukaan dan air bawah permukaan dengan pembangunan sistem simpanan air skala kecil dan menengah. a. Membangun sarana penyimpanan air bawah permukaan seperti sumur resapan, jebakan air (water trap), waduk bawah tanah dan sebagainya. b. Membangun sarana penyimpanan air permukaan seperti waduk, embung, situ dan long storage. c. Meningkatkan intensitas penanaman (IP), antara lain dengan meminimalkan “lahan tidur”. Pengelolaan DAS merupakan proses alokasi sumberdaya untuk mencapai suatu tujuan bersama. Di Indonesia telah dikenal prinsip yang sangat bagus, yaitu koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi. Namun dalam implementasinya sering dijumpai hambatan pelaksanaan program dan kegiatan, karena prinsip tersebut tidak berjalan dengan baik. Sistem koordinasi tidak dipahami oleh para stakeholder sehingga menyebabkan adanya pihak yang merasa hak dan kewenangannya diambil ataupun dikurangi, serta kegiatan yang berjalan hanya dikomando oleh ketersediaan dana dari pihak tertentu. Tujuan bersama tidak didasari atas pemahaman bersama untuk tetap berpegang pada hak dan kewajiban masing-masing, sehingga dengan demikian koordinasi dapat berjalan tanpa ada pihak yang merasa hak dan kewenangannya diambil atau dikurangi, sehingga sinergisitas dapat terjadi. 15 2.4 Penelitian Terdahulu yang Relevan Penelitian terdahulu yang relevan mengenai valuasi ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan sudah banyak dilakukan, namun khusus mengenai valuasi ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan di kawasan DAS Limboto dan Sub DAS Biyonga belum pernah dilakukan. Penelitian ini merujuk dari beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya secara umum tentang DAS Limboto dan Sub DAS Biyonga, serta valuasi ekonomi DAS pada beberapa kawasan DAS di daerah lain. Hal tersebut bertujuan untuk memberikan pedoman dalam melakukan penelitian mengenai: “valuasi ekonomi sumberdaya alam Sub DAS Biyonga dalam kawasan DAS Limboto di Kabupaten Gorontalo”. 2.4.1 DAS Limboto dan Sub DAS Biyonga Berikut adalah hasil penelitian terdahulu secara umum tentang DAS Limboto dan Sub DAS Biyonga yang menjadi salah satu bahan rujukan dalam penelitian ini: 1. Kajian Evaluasi Daerah Aliran Sungai (DAS) di Propinsi Gorontalo. (Balitbangpedalda Propinsi Gorontalo bekerjasama dengan Pusat Survei Sumberdaya Alam Darat Bakosurtanal, 2005). Adapun hasil penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut: Pemetaan Ekosistem DAS Limboto Propinsi Gorontalo yang merupakan aplikasi model inventarisasi ekosistem yang bertujuan untuk menyediakan data kondisi ekosistem. Data yang digunakan sebagai bahan analisis adalah data inderaja, hasil survei lapangan berupa faktor biotik, abiotik dan sosial ekonomi masyarakat didukung dengan data sekunder baik dari instansi terkait di pusat dan daerah. Berdasarkan data yang tersedia tersebut, maka diperoleh dua kelas ekosistem pada DAS Limboto yang merupakan hasil analisis spasial dari liputan lahan, analisis vegetasi dan bentuk lahan yaitu kelas ekosistem alami dan kelas ekosistem binaan. Pengelolaan DAS Limboto harus memperhatikan aspek fungsi pada masingmasing wilayah daerah aliran sungai hulu, tengah dan hilir dimana bagian hulu DAS Limboto harus tetap dipertahankan sesuai dengan fungsinya sebagai kawasan lindung untuk tetap menjaga keberadaan ekosistem daerah 16 aliran sungai bagian tengah dan hilir. DAS Limboto bagian tengah merupakan zona penyangga atau zona antara dimana pada zona ini pengelolaan terhadap ekosistem binaan harus memiliki intensitas keterkaitan antara bagian hulu dan hilir karena bagian tengah daerah aliran sungai merupakan penyaring dampak yang ditimbulkan akibat perubahan ekosistem yang mungkin terjadi pada bagian hulu DAS Limboto. Bagian hilir DAS Limboto merupakan kawasan budidaya yang dipergunakan sepenuhnya sebagai ekosistem binaan yang dapat berupa ekosistem perkotaan, ekosistem pertanian, ekosistem pertambangan dan ekosistem hutan tanaman dan perkebunan dengan tetap memperhatikan asas kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Untuk pengelolaan lebih terarah pada skala detail perlu dibangun suatu sistem pengelolaan terpadu dengan pemantapan zonasi kawasan sehingga pengelolaan ekosistem akan bermuara pada pengelolaan secara unik dan terintegrasi pada zonasi ekosistemnya yaitu zona hulu, zona tengah dan zona hilir. 2. Kajian Ekohidrologi Sebagai Dasar Penetapan Pola Pengelolaan Danau Limboto Secara Terpadu (Pusat Penelitian Limnologi LIPI bekerjasama dengan SKNVT PBPP Gorontalo, 2006). Adapun hasil penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut: Upaya pengelolaan lingkungan perairan Danau Limboto perlu didasarkan pada cara pandang bahwa lingkungan perairan tersebut merupakan sumberdaya alam yang perlu dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat, dimana kaidah-kaidah lingkungan merupakan bagian integral sebagai landasan optimasi untuk keberlanjutan pemanfaatan tersebut. Mengingat lingkungan perairan danau tersebut merupakan bagian integral dari ekosistem daerah tangkap airnya yang terdiri dari 13 DAS, maka sistem pengelolaannya harus merupakan bagian dari sistem pengelolaan lingkungan daerah-daerah aliran sungai tersebut secara terpadu. Untuk itu perlu didorong pengembangan sistem pengelolaan lingkungan daerah tangkapan 17 air Danau Limboto dimana sistem pengelolaan lingkungan perairan Danau Limboto merupakan satu sub-sistem didalamnya. Untuk memelihara azas keberlanjutan pengelolaan lingkungan perairan Danau Limboto sebaiknya dilakukan secara partisipatif seperti telah diamantkan dalam UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air. Perlu dilakukan upaya pemulihan kerusakan lingkungan perairan Danau Limboto, khususnya masalah pendangkalan dan penyusutan luas genangan air danau berdampak luas terhadap ekosistem perairan danau secara keseluruhan. Untuk optimasi pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya perairan Danau Limboto juga perlu dikembangkan teknik-teknik manipulasi lingkungan yang dapat secara langsung diaplikasikan di lingkungan perairan danau tersebut. Pengembangan sistem informasi serta kegiatan monitoring dan evaluasi lingkungan perairan Danau Limboto perlu dilakukan sebagai landasan penting dari upaya pengelolaan perairan danau secara berkelanjutan. Pelaksanaan rekomendasi-rekomendasi diatas harus didasarkan pada azas prioritas dan kepentingan yang disusun dalam suatu kerangka pembangunan jangka pendek, menengah dan panjang kawasan perairan Danau Limboto beserta kawasan daerah tangkapan air secara terpadu. 2.4.2 Valuasi Ekonomi DAS Berikut adalah hasil penelitian terdahulu tentang valuasi ekonomi DAS yang menjadi salah satu bahan rujukan dalam penelitian ini: 1. Laporan Studi PES untuk mengembangkan skema PES di DAS Deli, Sumatra Utara dan DAS Progo, Jawa Tengah (USAID, 2007). Adapun hasil penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut: Pelaksanaan PES di Indonesia secara keseluruhan masih dalam tahap awal dan masih menunjukkan adanya keberagaman, hal ini sangat dimungkinkan karena skema PES sendiri dikembangkan dengan dasar sukarela (voluntary basis). Beberapa indikasi yang dapat digunakan sebagai landasan strategi dan kebijakan yang diperlukan, antara lain: a) air sebagai komoditas utama yang 18 ditransaksikan pada umumnya dianggap penting oleh pembeli jasa karena diketahui telah mengalami kelangkaan atau diantisipasi akan terjadi kelangkaan dikemudian hari, b) pihak penyedia pada umumnya individu dan kelompok tani yang mempunyai hutan tanaman dengan lokasi yang diindikasikan mempunyai pengaruh terhadap kerusakan sumber air, c) mekanisme penetapan harga jasa lingkungan dalam hal ini untuk setiap meter kubik air yang tersedia pada umumnya belum diketahui, d) pembeli jasa lingkungan khususnya air dari kasus-kasus yang dipelajari meliputi swasta, PDAM, PLTA dan Pemerintah Kota sedangkan penyedia jasa yaitu petani yang melakukan rehabilitasi hutan dan lahan, e) dalam pembelajaran ini tidak ditemukan adanya lembaga khusus yang menggerakkan berkembangnya skema PES, melainkan sangat tergantung pada berbagai proses atau inisiatif yang sebelumnya telah dilakukan, f) LSM maupun pemerintah daerah sama-sama mempunyai peran dalam kasus-kasus yang diamati, peran perguruan tinggi yang membantu menyusun skema kerjasama maupun landasan akademis pelaksanaan PES juga menentukan bergeraknya inisiatif ini, g) adanya individu yang mempunyai wawasan serta kewenangan dan kemauan yang bekerja di pemerintah daerah menjadi penentu yang tidak dapat diabaikan, namun kondisi demikian ini sekaligus menjadi kelemahan manakala individu-individu tersebut kemudian dipindahkan lokasi bekerjanya. 2. Analisis Willingness To Pay Masyarakat Terhadap Pembayaran Jasa Lingkungan Mata Air Cirahab Desa Curug Goong, Kecamatan Padarincang, Kabupaten Serang, Banten (Merryna, 2009). Adapun hasil penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut: Persentase responden yang bersedia untuk melakukan pembayaran jasa lingkungan sebesar 52 responden (63%). Faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan atau ketidaksediaan responden terhadap pembayaran jasa lingkungan sebagai upaya konservasi mata air Cirahab adalah penilaian terhadap kualitas air, jarak rumah ke sumber air dan jumlah kebutuhan air. 19 Nilai rataan WTP responden adalah Rp.101/KK/liter, untuk setiap kepala keluarga (KK) yang membayar pembayaran jasa lingkungan sebagai upaya konservasi mata air Cirahab dan total nilai WTP adalah Rp.83.835/liter. Nilai WTP tersebut dipengaruhi oleh penilaian kualitas air, jumlah kebutuhan air, jarak rumah ke sumber air dan rata-rata pendapatan rumah tangga. Pemanfaatan jasa lingkungan mata air Cirahab adalah 142.157 liter/hari atau sebanyak 51.887.305 liter/tahun yang dapat dihasilkan oleh 4,94 hektar lahan yang ditanami pohon penyerap air sehingga kualitas dan kuantitas mata air Cirahab dapat lestari. Nilai potensial pemanfaatan jasa lingkungan mata air Cirahab adalah Rp.5.240.617.805/tahun lebih besar dibandingkan dengan biaya pemulihan sebesar Rp.544.758.500. Jika nilai potensial pemanfaatan jasa lingkungan mata air Cirahab lebih besar dari pada biaya pemulihannya maka hal ini dapat mengurangi tingkat degradasi terhadap mata air Cirahab. Matriks hasil penelitian terdahulu tentang DAS Limboto dan Sub DAS Biyonga serta valuasi ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan dapat dilihat pada Tabel 3. Adapun yang membedakan antara penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah pada penelitian terdahulu mengenai DAS Limboto dan Sub DAS Biyonga hanya merupakan kajian ekologis, biofisik maupun kelembagaan masyarakat DAS. Penelitian mengenai valuasi ekonomi DAS Limboto dan Sub DAS Biyonga sama sekali belum pernah dilakukan. Sementara pada penelitian ini, akan dilakukan valuasi ekonomi sumberdaya alam yang ada di Sub DAS Biyonga dalam kawasan DAS Limboto, sehingga nilai ekonomi total sumberdaya alam dapat diketahui. 20