kementerian pendidikan dan kebudayaan universitas jenderal

advertisement
i
KEKUATAN AKTA PERDAMAIAN ATAS PEMBAGIAN HARTA
BERSAMA DALAM GUGATAN REKONVENSI PERKARA
PERCERAIAN
(STUDI PUTUSAN PERKARA NOMOR: 03/Pdt.G/2007/PN.Pml)
SKRIPSI
Oleh :
FEBRI RIZQI UTAMI
E1A008044
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2012
ii
KEKUATAN AKTA PERDAMAIAN ATAS PEMBAGIAN HARTA
BERSAMA DALAM GUGATAN REKONVENSI PERKARA
PERCERAIAN
(STUDI PUTUSAN PERKARA NOMOR: 03/Pdt.G/2007/PN.Pml)
SKRIPSI
Oleh :
FEBRI RIZQI UTAMI
E1A008044
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2012
iii
KEKUATAN AKTA PERDAMAIAN ATAS PEMBAGIAN HARTA
BERSAMA DALAM GUGATAN REKONVENSI PERKARA
PERCERAIAN
(STUDI PUTUSAN PERKARA NOMOR: 03/Pdt.G/2007/PN.Pml)
SKRIPSI
Oleh :
FEBRI RIZQI UTAMI
E1A008044
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2012
iv
PENGESAHAN ISI DAN FORMAT SKRIPSI
KEKUATAN AKTA PERDAMAIAN ATAS PEMBAGIAN HARTA
BERSAMA DALAM GUGATAN REKONVENSI PERKARA
PERCERAIAN
(STUDI PUTUSAN PERKARA NOMOR: 03/Pdt.G/2007/PN.Pml)
Oleh :
FEBRI RIZQI UTAMI
E1A008044
Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan
Memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
Diterima dan disahkan
Pada tanggal.......................
Pembimbing I/
Pembimbing II/
Penguji I
Penguji III
Penguji II
Drs.Antonius S.M.,S.H.,M.S.
Sanyoto,S.H.,M.Hum
Rahadi W.B.,S.H.M.H.
NIP.19580905 198601 1 001 NIP.19610123 198601 1 001 NIP.19800812 200501 1 002
Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum
Hj. Rochani Urip Salami,S.H.,M.S.
NIP. 19520603 198003 2 001
v
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :
KEKUATAN AKTA PERDAMAIAN ATAS PEMBAGIAN HARTA
BERSAMA DALAM GUGATAN REKONVENSI PERKARA
PERCERAIAN
(STUDI PUTUSAN PERKARA NOMOR: 03/Pdt.G/2007/PN.Pml).
Adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan semua sumber data serta
informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa
kebenaranya.
Apabila pernyatan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi termasuk
pencabutan gelar kesarjanaan yang telah saya peroleh.
Purwokerto,
Agustus 2012
Febri Rizqi Utami
E1A008044
vi
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim
Alhamdulillahirobil’alamin. Segala puji dan syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesabaran, rahmat dan hidayahNya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan Judul “ Kekuatan Akta
Perdamaian Atas Pembagian Harta Bersama dalam Gugatan Rekonvensi Perkara
Perceraian (Studi Putusan Perkara Nomor: 03/Pdt.G/2007/PN.Pml).
Skripsi ini diajukan guna memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar
Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Penulis
menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini mengalami kesulitan dan hambatan.
Namun berkat bimbingan, petunjuk dan bantuan dari berbagai pihak sehingga
skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima
kasih dan penghargaan yang setulus-tulusnya kepada:
1. Ibu Hj. Rochani Urip Salami, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman.
2. Bpk. Drs.Antonius Sidik M.,S.H.,M.S. selaku Pembimbing Skripsi I, dengan
kesabarannya telah membimbing, memberi saran dan arahan kepada Penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. Bpk.
Sanyoto,S.H.,M.Hum.
selaku
Pembimbing
Skripsi
II,
dengan
kesabarannya telah membimbing, memberi saran dan arahan kepada penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.
vii
4. Bpk. Rahadi Wasi B., S.H., M.H., selaku penguji skripsi yang telah
memberikan masukan yang sangat berarti dalam penyusunan skripsi ini.
5. Bpk. Alm. Joko Susanto,S.H.,S.U. selaku Pembimbing Akademik.
6. Seluruh Dosen Pengajar dan segenap staf serta civitas akademika Fakultas
Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
7. Bapa, Mama, Dwi Mulyo Ardli, Ahmad Arief Fauzan untuk cinta yang selalu
bersinar seperti bintang dilangit,yang selalu menemaniku meraih cita-citaku.
8. Bayu Aji Pamungkas terima kasih atas dukungan dan kebersamaannya.
9. Abdillah Farkhan,SKM. , Rizki Arief Setiawan, Yoga, Iis Annisa,Amd.Keb.,
Ayu
Rachmawati,
S.E.,
Christina
Natalia,S.E.,
Lusiana
Tamimatus
Zahroh,S.H. terima kasih buat canda tawanya.
10. Keluarga Besar HMPA Yudhistira terima kasih buat pendewasaan dirinya.
11. Terima kasih kepada para pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan dan
terdapat banyak kekurangan karena keterbatasan Penulis. Penulis berharap
semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya.
Purwokerto,
Agustus 2012
Febri Rizqi Utami
E1A008044
viii
ABSTRAK
Skripsi ini penulis ingin menguraikan tentang kekuatan akta perdamaian
atas pembagian harta bersama dalam kasus perceraian. Judul skripsi ini yaitu
kekuatan akta perdamaian atas pembagian harta bersama dalam gugatan
rekonvensi
perkara
perceraian
(studi
putusan
perkara
nomor:
03/Pdt.G/2007/PN.Pml). skripsi ini membahas mengenai penilaian kekuatan akta
perdamaian atas pembagian harta bersama yang dikabulkan dalam gugatan
rekonvensi
perkara
perceraian
(studi
putusan
perkara
nomor:
03/Pdt.G/2007/PN.Pml) bertentangan atau tidak dengan yurisprudensi keputusan
mahkamah agung republik indonesia nomor: 913K/Sip/1983 tanggal 21 mei 1983
dan akibat hukum apa yang timbul dengan dikabulkannya gugatan rekonvensi
dalam perkara tersebut.
Tujuan perkawinan yang dirumuskan dalam undang-undang nomor 1
tahun 1974 yaitu membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan ketuhanan yang maha esa adakalanya tidak sedikit keluarga yang
tidak berhasil mewujudkan harapan seperti tujuan perkawinan tersebut. Salah satu
penyebab putusnya perkawinan adalah perceraian. Dimana hukum acara yang
digunakan dalam memeriksa dan mengadili perkara perceraian yang diajukan
dalam peradilan umum diatur dalam HIR , R.Bg., KUHPerdata.
Salah satu upaya sebelum perceraian adalah mediasi, namun dalam kasus
ini mediasi tidaklah tercapai. Atas gugatan dari suaminya pihak istri mengajukan
gugatan balik (gugatan rekonvensi) kepada suaminya tentang pembagian harta
bersama. Hak untuk mengajukan gugatan rekonvensi didasarkan pada pasal 132 a
dan 132 b HIR serta pasal 157 dan Pasal 158 R.Bg. Atas gugatan rekonvensi dari
tergugat (isteri) tentang pembagian harta bersama, maka diantara kedua belah
pihak terjadi kesepakatan mengenai pembagian harta bersama yang dituangkan
dalam surat perdamaian tertanggal 21 Maret 2007.
Kata kunci : Kekuatan Akta Perdamaian
ix
ABSTRACT
In this thesis is writer about strength of reconcilement certificate above
distribution of together property in separated case. Title of my thesis is strength of
reconcilement above distribution of together property in reconvention accustion
separated case (vertict studies case number:03/Pdt.G/2007/PN.Pml). in this thesis
talking about assessment strength of reconcilement certificate above distribution
of together property which answered in reconvention accustion separated case
(vertict studies case number:03/Pdt.G/2007/PN.Pml) be in contradiction or not
with jurisdiction decision supreme
court
Indonesia
Republic number:
913K/Sip/1983 date may 31 1983 and law consecuence of what is appear with
answered reconvention accustion in that case.
Purpose of marriage which formulation in codification number 1, 1974 is
form family (house family) happy and everlasting building on divinity of God
sometimes not a few family failed give
shape to expectation as purpose of
marriage. One of them cause of family failed is separated. Where is procedure of
civil law used to investigate and administer justice separated case brought to
general court arrange of HIR, R.Bg, and KUHPerdata.
One of ways before separated is mediation, but in this case mediation
failed. Above accsution from the husband site of wife bring accustion again
(reconvention) to husband about distribution of together property. The rights of
reconvention accustion so heavily relies at 132a article and 132b HIR as well as
157 article and 158 R.Bg. Above reconvention accustion befendent (wife) about
distribution of together property, so each other occur agreement reached about
distribution of togheter property poured forth reconcilement letter dated March
21, 2007.
Key : Strength Of Reconcilement Certificate
x
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DEPAN.............................................................................i
HALAMAN JUDUL..............................................................................................ii
HALAMAN PENGESAHAN...............................................................................iii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI..............................................................iv
KATA PENGANTAR............................................................................................v
ABSTRAK............................................................................................................vii
ABSTRACT.........................................................................................................viii
DAFTAR ISI..........................................................................................................ix
BAB I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.....................................................................1
B. Perumusan Masalah............................................................................7
C. Tujuan Penelitian................................................................................8
D. Kegunaan Penelitian...........................................................................8
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Perkawinan.......................................................................................9
1. Pengertian dan Tujuan Perkawinan............................................9
2. Akibat-Akibat Perkawinan.......................................................17
B. Putusnya Perkawinan.....................................................................23
1. Sebab-Sebab Putusnya Perkawinan.........................................23
2. Alasan-Alasan Perceraian........................................................25
3. Akibat Perceraian.....................................................................28
C. Harta Benda Dalam Perkawinan....................................................35
1. Dasar Hukum Harta Benda Dalam Perkawinan.......................35
2. Macam-Macam Harta Benda Dalam Perkawinan....................37
3. Hukum Acara Perdata..............................................................41
4. Sumber Hukum Acara Perdata.................................................43
xi
5. Asas-asas Hukum Acara Perdata ............................................43
D. Gugatan..........................................................................................46
1. Pengertian Gugatan.................................................................46
2. Gugatan Rekonvensi................................................................47
3. Formulasi Surat Gugatan..........................................................51
E. Alat Bukti Surat...............................................................................61
1. Alat-alat Bukti .........................................................................61
2. Macam-Macam Surat...............................................................64
3. Kekuatan Pembuktian Surat.....................................................65
F.
Akta Perdamaian............................................................................66
1. Pengertian Perdamaian.............................................................66
2. Syarat-syarat Perdamaian.........................................................66
3. Pengertian Akta Perdamaian....................................................68
4. Kekuatan Akta Perdamaian......................................................68
BAB III. METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan...........................................................................70
B. Spesifikasi Penelitian........................................................................70
C. Lokasi Penelitian...............................................................................70
D. Sumber Bahan Hukum......................................................................70
E. Metode Pengumpulan Bahan Hukum..............................................71
F. Metode Penyajian Bahan Hukum.....................................................71
G. Metode Analisis Bahan Hukum........................................................72
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian.................................................................................73
B. Pembahasan.......................................................................................91
BAB V. PENUTUP
A. Simpulan.........................................................................................113
B. Saran...............................................................................................114
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia sebagai mahluk yang hidup bermasyarakat mempunyai
kebutuhan hidup yang beraneka ragam. Keutuhan hidup itu hanya dapat
dipenuhi secara wajar apabila manusia itu mengadakan hubungan satu
sama lain. Dalam hubungan tersebut lalu timbullah hak dan kewajiban
timbak balik, hak dan kewajiban mana harus dipenuhi oleh masing –
masing pihak. Hubungan yang menimbulkan hak dan kewajiban semacam
ini telah diatur dalam peraturan hukum. Karena itu hubungan semacam ini
disebut “hubungan hukum”. Salah satu hubungan hukum tersebut adalah
perkawinan.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
selanjutnya disebut undang-undang perkawinan, dalam Pasal 1 yang
merumuskan bahwa :
“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Tujuan perkawinan yang dirumuskan dalam pengertian perkawinan
tersebut yaitu membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal tersebut dapat diartikan
bahwa perkawinan itu harus berlangsung seumur hidup, tetapi adakalanya
2
tidak sedikit keluarga yang tidak berhasil mewujudkan harapan seperti
tujuan perkawinan tersebut.
Suami-isteri dalam menjalani kehidupan rumah tangga sering
terjadi perselisihan yang tidak dapat diselesaikan secara damai, atau
adanya tindakan kekerasan yang dilakukan suami atau isteri terhadap isteri
atau suaminya sehingga menyebabkan penderitaan baik secara jasmani
maupun rohani sehingga salah satu pihak atau kedua belah pihak
menginginkan adanya jalan terbaik untuk mengakhiri hubungan yaitu
dengan cara perceraian.
Menurut Hilman Hadi Kusuma, perceraian tidak hanya dipengaruhi
oleh Hukum Agama dan perundang-undangan tetapi juga akibat
sejauh mana pengaruh budaya, malu dan kontrol dari masyarakat.
Pada masyarakat yang ikatan kekerabatannya kuat perceraian sulit
terjadi dibandingkan pada masyarakat yang ikatan kekerabatannya
lemah.1
Perkawinan dapat putus karena tiga hal, yaitu: kematian, perceraian
dan atas keputusan pengadilan. Putusnya perkawinan karena perceraian
dapat dikarenakan adanya gugatan cerai, ataupun cerai talak dan hal
tersebut akan berakibat terhadap hubungan suami isteri, terhadap harta
benda perkawinan, terhadap hubungan antara orang tua dan anaknya, serta
terhadap pihak ketiga.
Perceraian harus dengan keputusan Pengadilan, berarti harus
melalui proses pemeriksaan melalui persidangan di Pengadilan. Seperti
1
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Cetakan 1, Bandung:Mandar Maju,
1990,halaman 162.
3
yang tercantum dalam Pasal 39 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 disebutkan bahwa:2
“Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan
setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak”.
Pengadilan yang dimaksudkan adalah merujuk pada Pasal 63 ayat
(1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi:
Yang dimaksud dengan Pengadilan dalam Undang-undang ini
ialah:
a. Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam
b.Pengadilan Umum bagi lainnya, yang dimaksud dengan
Pengadilan Umum disini adalah Pengadilan Negeri.
Hukum acara yang digunakan dalam memeriksa dan mengadili
perkara perceraian yang diajukan di Peradilan Umum
diatur dalam
Herziene Indonesisch Reglement (HIR), Rechtstreglement Buitengewesten
(Rbg) dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
diantaranya adalah hukum pembuktian dengan asas yang terdapat dalam
Pasal 163 HIR/283 Rbg/ 1865 KUH Perdata, yang menyatakan sebagai
berikut:
“Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak,
atau, guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu
hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan
membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut”.
2
Trusto Subekti, Hukum Keluarga Dan Perkawinan,Purwokerto,Unsoed, 2010, halaman 108.
4
Membuktikan ialah menyakinkan hakim tentang kebenaran dalil
atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.3 Dengan
demikian nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam
persengketaan atau perkara dimuka hakim atau Pengadilan. Membuktikan
suatu peristiwa dimuka persidangan dilakukan dengan menggunakan alatalat bukti. Dengan alat-alat bukti yang diajukan itu memberikan dasar
kepada hakim akan kebenaran peristiwa yang didalilkan. Dalam Hukum
Acara
Perdata
telah
diatur
alat-alat
bukti
yang
dipergunakan
dipersidangan. Dengan demikian hakim sangat terikat oleh alat-alat bukti
yang diajukan para pihak yang berperkara, sehingga dalam menjatuhkan
putusannya, hakim wajib memberikan pertimbangan berdasarkan alat-alat
bukti yang sah menurut Undang-undang.
Alat-alat bukti yang diatur pada Pasal 164 HIR/ Pasal 284 Rbg atau
Pasal 1866 KUH Perdata, yaitu :
1. Alat Bukti Tertulis
2. Alat Bukti Saksi
3. Alat Bukti Persangkaan
4. Alat Bukti Pengakuan
5. Alat Bukti Sumpah
Putusan Nomor 03/Pdt.G/2007/PN.Pml didalamnya berkaitan
dengan gugat cerai dan adanya gugat rekonvensi terhadap harta bersama,
3
R. Subekti, Hukum Pembuktian, Jakarta: Pradya Paramita, 1987, halaman 7.
5
dengan kasus penggugat (suami)
menggugat cerai terhadap tergugat
(isteri) dengan alasan bahwa antara penggugat dan tergugat sangat sulit
untuk meneruskan kehidupan rumah tangganya sebagaimana layaknya
rumah tangga yang harmonis yang disebabkan oleh:
1. Rumah tangga Penggugat dan Tergugat tidak harmonis
percekcokan dan perselisihan terus menerus disebabkan selalu
perbedaan
pendapat
yang
tajam
yang
masing-masing
mempertahankan pendapatnya sehingga tidak ada jalan
penyelesaiannya.
2. Puncak perselisihan tersebut setelah kelahiran anak kedua
sehingga tidak lagi saling berkomunikasi sama sekali atau
tidak saling sapa dan akhirnya mengakibatkan pisah ranjang ±
2 tahun.
Berdasarkan PERMA Nomor: 02 Tahun 2003 tentang mediasi
diganti dengan PERMA Nomor: 01 Tahun 2008, Hakim akan berusaha
untuk mendamaikan suami-isteri yang hendak bercerai, sehingga Majelis
Hakim menunjuk seorang mediator guna mendamaikan kedua belah pihak,
akan tetapi perdamaian tersebut tidaklah tercapai dan penggugat tetap pada
gugatannya sehingga persidangan dilanjutkan dengan pemeriksaan
gugatan perceraian yang dilakukan dalam sidang tertutup.
Menurut Pasal 33 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, pemeriksaan
dalam sidang tertutup tersebut berlaku juga bagi pemeriksaan saksi-saksi,
6
dan apabila berdasarkan hasil pemeriksaan terdapat alasan-alasan yang
dapat dijadikan dasar perceraian, Hakim mengabulkan kehendak suami
atau isteri untuk melakukan perceraian.
Berdasarkan gugatan dari suaminya pihak isteri sebagai pihak
Tergugat mengajukan gugatan balik (gugat rekonvensi) kepada suaminya
(Penggugat konvensi) tentang pembagian harta bersama. Hak untuk
mengajukan
gugatan
rekonvensi
dalam
hukum
acara
perdata
diperbolehkan oleh undang-undang berdasarkan Pasal 132 a dan Pasal 132
b HIR serta Pasal 157 dan Pasal 158 R.Bg.
Hak untuk mengajukan gugatan rekonvensi disamping telah
memberikan kesempatan bagi pihak tergugat untuk menuntut dan
membela kepentingannya atas pembagian harta bersama pada saat yang
bersamaan
dalam
mempermudah
pemeriksaan
prosedur
perkara
pemeriksaannya,
perceraian,
juga
memudahkan
dapat
acara
pembuktiannya, menghindarkan putusan yang saling bertentangan satu
sama lain, menetralisir tuntutan konvensi dan menghemat biaya.
Berdasarkan gugatan rekonvensi dari tergugat (isteri) tentang pembagian
harta bersama, maka diantara kedua belah pihak terjadi kesepakatan
mengenai pembagian harta bersama yang dituangkan dalam surat
perdamaian tanggal 21 Maret 2007.
Menurut Yurisprudensi keputusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor : 913 K/Sip/1982 tanggal 21 Mei 1983 menyebutkan
bahwa suatu gugatan yang petitumnya menuntut agar perkawinannya
7
antara Penggugat dengan Tergugat diputuskan dengan jalan perceraian,
maka tuntutan ini tidak dapat ditambah atau digabungkan tentang
Pembagian Harta Bersama Perkawinannya. Gugatan tentang pembagian
harta perkawinan ini harus diajukan sebagai gugatan tersendiri atau
terpisah setelah putusan tentang perceraiannya mempunyai kekuatan
hukum tetap.
Masalah inilah yang menjadikan penulis tertarik untuk mengadakan
penelitian dengan judul :
KEKUATAN AKTA PERDAMAIAN ATAS PEMBAGIAN HARTA
BERSAMA
DALAM
PERCERAIAN
GUGATAN
(STUDI
REKONVENSI
PUTUSAN
PERKARA
PERKARA
NOMOR:
03/Pdt.G/2007/PN.Pml).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas dapat
dirumuskan suatu permasalahan :
1. Apakah penilaian kekuatan Akta Perdamaian atas pembagian harta
bersama yang dikabulkan dalam gugatan rekonvensi perkara perceraian
pada putusan Nomor : 03/Pdt.G/2007/PN.Pml, bertentangan dengan
Yurisprudensi keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
: 913 K/Sip/1982 tanggal 21 Mei 1983 ?
2. Bagaimana akibat hukumnya dengan dikabulkan gugatan rekonvensi
dalam perkara tersebut ?
8
C. Tujuan Penelitian
Dilaksanakan penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui dan menjelaskan kekuatan akta perdamaian atas pembagian
harta bersama yang dikabulkan dalam gugatan rekonvensi perkara
percaraian pada putusan nomor : 03/Pdt.G/2007/PN.Pml bertentangan
dengan Yurisprudensi keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor : 913 K/Sip/1982 tanggal 21 Mei 1983.
2.Mengetahui dan menjelaskan akibat hukum yang timbul dengan
dikabulkannya gugatan rekonvensi dalam perkara tersebut.
D. Kegunaan Penelitian
Adapun yang menjadi kegunaan penelitian dalam karya tulis ini
adalah :
1. Kegunaan Teoritis
Memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu
hukum yang berkaitan dengan hukum acara perdata khususnya
mengenai kekuatan akta perdamaian atas pembagian harta bersama
yang dikabulkan dalam gugatan rekonvensi perkara perceraian.
2. Kegunaan Praktis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan
perbandingan terhadap kajian – kajian dibidang hukum acara perdata
serta dapat menjadi sumber informasi ilmiah.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perkawinan
1. Pengertian dan Tujuan Perkawinan
a. Menurut Hukum Adat
Menurut hukum adat pada umumnya di Indonesia
perkawinan itu bukan saja berarti sebagai suatu perikatan perdata
tetapi juga merupakan perikatan kekerabatan dan ketetanggaan.
Jadi terjadinya suatu ikatan perkawinan bukan semata-mata
membawa akibat terhadap hubungan-hubungan keperdataan,
seperti hak dan kewajiban suami-isteri, harta bersama, kedudukan
anak, hak dan kewajiban orang tua, tetapi juga menyangkut
hubungan adat istiadat kewarisan, kekeluargaan, kekerabatan dan
ketetanggaan serta menyangkut upacara-upacara adat keagamaan.
Begitu juga menyangkut kewajiban mentaati perintah dan
larangan keagamaan, baik dalam hubungan manusia dengan
tuhannya
(ibadah)
maupun
hubungan
manusia
semua
(mu’amalah) dalam pergaulan hidup agar selamat di dunia dan di
akhirat.4
Perkawinan menurut hukum adat merupakan urusan
kerabat, keluarga, pribadi yang melakukan perkawinan dan juga
4
Hilman Hadikusuma, Op Cit,halaman 8.
10
urusan masyarakat. Seperti dijelaskan oleh Hilman Hadikusuma,
bahwa pengertian perkawinan menurut Hukum adalah :
“ Suatu ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri untuk maksud mendapat keturunan dan membangun
serta membina kehidupan keluarga rumah tangga, dan juga
merupakan suatu hubungan hukum yang menyangkut para
anggota kerabat dari pihak isteri dan dari pihak suami.”5
Tujuan perkawinan bagi masyarakat hukum adat yang
bersifat
kekerabatan,
adalah
untuk
mempertahankan
dan
meneruskan keturunan menurut garis kebapaan atau keibuan atau
keibu-bapaan untuk kebahagiaan rumah tangga keluarga/kerabat,
untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian, dan
untuk mempertahankan kewarisan, oleh karenanya perkawinan itu
bukan semata-mata urusan dan kepentingan orang tua dan
kerabat.
b. Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Pasal 1 Undang – Undang Perkawinan menentukan bahwa:
“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Perjanjian perkawinan ini mempunyai tiga karaktar khusus,
yaitu :
1. Perkawinan tidak dapat dilakukan tanpa unsur sukarela dari
kedua belah pihak.
2. Kedua belah pihak (laki – laki dan perempuan) yang mengikat
5
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat,Bandung : Alumni,1983,halaman 70.
11
persetujuan perkawinan itu saling mempunyai hak untuk
memutuskan perjanjian tersebut berdasarkan ketentuan yang
sudah ada hukum-hukumnya.
3. Persetujuan perkawinan itu mengatur batas-batas hukum
mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak.6
Menurut K.Wantjik Saleh, dari ketentuan Pasal 1 Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut, yang merupakan arti
perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai
suami
isteri. Selanjutnya beliau
mengemukakan sebagai berikut:
“Dengan Ikatan lahir-bathin dimaksudkan perkawinan itu tidak
hanya cukup dengan adanya “ikatan lahir” atau “ikatan bathin”
saja, tapi harus kedua-duanya. Suatu “ikatan lahir” adalah ikatan
yang dapat dilihat mengungkapkan adanya suatu hubungan
hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup
bersama, sebagai suami isteri, dengan kata lain dapat disebut
hubungan formil. Hubungan fomil ini nyata, baik bagi yang
mengikatkan dirinya, maupun bagi orang lain atau masyarakat.
Sebaliknya suatu ikatan bathin adalah merupakan hubungan yang
tidak formil, suatu ikatan yang tidak dapat dilihat, walau tidak
nyata, tapi harus ada karena tanpa adanya ikatan bathin, ikatan
lahir akan menjadi rapuh.”7
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 menentukan
bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang
Maha Esa.
c. Menurut Hukum Islam
6
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang – Undang Perkawinan, Cetakan
Kedua,Yogyakarta: Liberty, 1986, halaman 10.
7
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Ghalia, 1976,halaman 14.
12
Dalam Al- qur’an surat An-nisa ayat (1), Allah SWT
berfirman mengenai perkawinan yang menyatakan bahwa:
“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah
menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah)
menciptakan pasangannya (Hawa) dari (dirinya); dan dari
keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan
nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan
kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasimu.”
Kemudian surat Ar-Rum Ayat (21) menyatakan bahwa:
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia
menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri,
agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia
menjadikan diantaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran
Allah) bagi kaum yang berfikir.”
Di dalam hadist riwayat Al-Baihaqi disebutkan pula bahwa
apabila orang telah melakukan perkawinan berarti telah
menyempurnakan separoh agamanya (karena telah sanggup
menjaga kehormatannya), maka bertaqwalah kepada Allah dalam
mencapai kesempurnaan pada separoh yang masih tertinggal.8
Dari ayat Al-qur’an dan Hadist Nabi tersebut, dapat ditarik
suatu pengertian bahwa perkawinan adalah tuntutan kodrat hidup
manusia untuk mewujudkan kedamaian dan ketentraman hidup
serta menumbuhkan rasa kasih sayang antara suami-isteri
bersangkutan khususnya, demikian dikalangan keluarga yang
8
Ahmad azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam,Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia,
1980, halaman 10.
13
lebih luas, bahkan juga dalam kehidupan umat manusia pada
umumnya.9
Menurut Sajuti Thalib, pengertian perkawinan ialah
perjanjian suci membentuk keluarga antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan.10
Tujuan perkawinan dalam Islam menurut Soemiyati adalah:
“Untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan,
berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka
mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar
cinta dan kasih sayang, untuk memperoleh keturunan yang
sah dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuanketentuan yang telah diatur oleh syari’ah”.
Selanjutnya
Soemiyati
merumuskan
bahwa
tujuan
perkawinan diatas, dapat diperinci sebagai berikut :
1. Menghalalkan hubungan kelamin untuk memenuhi
tuntutan hajat tabiat kemanusiaan.
2. Mewujudkan suatu keluarga dengan dasar cinta
kasih.
3. Memperoleh keturunan yang sah.
Menurut Ahmad Azhar Basyir, tujuan perkawinan dalam
Islam adalah:
“Untuk memenuhi tuntutan naluriah hidup manusia,
berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka
mewujudkan kebahagiaan keluarga sesuai ajaran Allah dan
rasul-Nya”.
9
Ibid, halaman 12.
Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Yayasan UI, halaman 47.
10
14
Dari kedua pendapat sarjana tersebut di atas, dapat
disimpulkan bahwa tujuan pokok perkawinan menurut hukum
Islam pada dasarnya ada tiga yaitu:
1. Menghalalkan hubungan kelamin ;
2. Membentuk keluarga bahagia;
3. Mempunyai keturunan yang sah.
Dalam bukunya “outlines of Muhammadan Law” (pokokpokok Hukum Islam), Asaf A.A Fyzee dalam Nadimah Tanjung
(1977:28) menerangkan bahwa perkawinan menurut pandangan
Islam mengandung tiga aspek yaitu:11
1. Aspek Hukum
Perkawinan merupakan suatu perjanjian. Perjanjian dalam
perkawinan ini mengandung tiga karaktar khusus yaitu:
1). Perkawinan tidak dapat dilakukan tanpa unsur sukarela.
2). Kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) yang
mengikat persetujuan perkawinan itu saling mempunyai
hak untuk memutuskan perjanjian tersebut berdasarkan
ketentuan yang sudah ada hukum-hukumnya.
3). Persetujuan perkawinan itu mengatur batas-batas hukum
mengenai hak dan kewajiban masing-masing.
2. Aspek Sosial
Perkawinan mempunyai arti penting yaitu sebagai berikut :
11
Trusto Subekti, Op Cit, halaman 16.
15
1). Pada umumnya orang yang melakukan perkawinan atau
pernah melakukan perkawinan mempunyai kedudukan
yang lebih dihargai daripada mereka yang belum
kawin. Khusus bagi kaum wanita dengan perkawinan
akan memberikan kedudukan sosial yang tinggi, karena
ia sebagai isteri dan wanita mendapat hak-hak tertentu
dan dapat melakukan tindakan hukum dengan berbagai
lapangan mu’amalat. Ketika masih gadis tindakantindakannya masih terbatas, harus dengan persetujuan
dan pengawasan orang tuanya.
2). Sebelum adanya peraturan tentang perkawinan, dahulu
wanita bisa dimadu tanpa batas dan tanpa bisa berbuat
apa-apa, tetapi menurut ajaran Islam dalam perkawinan
mengenai kawin poligami ini hanya dibatasi paling
banyak empat orang, itupun dengan syarat-syarat yang
tertentu pula.
3. Aspek Agama
Islam memandang dan menjadikan perkawinan itu sebagai
basis suatu masyarakat yang baik dan teratur, sebab
perkawinan tidak hanya dipertalikan oleh ikatan lahir saja,
tetapi diikat juga dengan ikatan bathin dan jiwa. Menurut
ajaran Islam, perkawinan itu tidaklah hanya sebagai suatu
persetujuan bisa melainkan merupakan suatu persetujuan suci,
16
dimana kedua belah pihak dihubungkan menjadi pasangan
suami-isteri atau saling meminta menjadi pasangan hidupnya
dengan mempergunakan nama Allah.
d. Menurut Agama Budha
Perkawinan adalah perjodohan laki-laki dan perempuan
menjadi suami isteri. Seorang laki-laki yang beragama Budha di
dalam hidupnya dapat memilih antara hidup berkeluarga dan tidak
berkeluarga. Sebagai orang yang hidup berkeluarga seorang lakilaki dapat kawin dengan seorang perempuan dan membentuk
keluarga, lalu mempunyai keturunan. Namun juga dapat tidak
kawin dan tidak membentuk keluarga dengan berbagai alasan.
Jika memilih hidup tidak berkeluarga maka dapat tinggal di
vihara sebagai bhikkhu, begitu pula sebaliknya dengan seorang
perempuan.12
Mengenai perkawinan dalam Agama Budha menganut asas
monogami, yaitu dalam suatu perkawinan seorang laki-laki hanya
boleh mempunyai seorang isteri dan seorang perempuan hanya
boleh
mempunyai
seorang
suami.
Sebelum
melakukan
perkawinan maka harus melakukan persiapan yang masak,
persiapan yang masak tersebut antara lain penilaian diantara
kedua belah pihak.
12
http//www.samaggi-phala.co.id., diakses tanggal 10 Mei 2012
17
Penilaian yang harus dinilai dari pihak perempuan, apabila
tidak ada masalah dengan penampilan, umur, faktor keturunan
dan status sosial antara lain:
1. Keyakinan pada agama
2. Etika/moral
3. Pendidikan
4. Ketrampilan wanita
5. Kematangan emosional
6. Kebijaksanaan
Penilaian yang harus dinilai dari pihak laki-laki, apabila tidak ada
masalah dengan penampilan, umur, faktor keturunan dan status
sosial antara lain:
1. Keyakinan kepada agama
2. Etika/moral
3. Pendidikan
4. Pekerjaan
5. Tanggung jawab
6. Kebijaksanaan
2. Akibat-akibat Perkawinan
a. Hak dan Kewajiban Suami-Isteri
Hak dan kewajiban suami isteri dalam Undang-undang
Nomor : 1 Tahun 1974 diatur dalam Pasal 30 sampai dengan
Pasal 34 yang menentukan secara garis besar sebagai berikut:
18
1. Suami-isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan
rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan
masyarakat.
2. Hak dan kedudukan isteri seimbang dengan hak dan kewajiban
suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup
bersama dalam masyarakat.
3. Suami-isteri sama-sama berhak untuk melakukan perbuatan
hukum.
4. Suami-isteri harus mempunyai tempat kediaman tetap, yang
ditentukan secara bersama.
5. Suami-isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati,
setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang
lain.
6. Suami adalah kepala rumah tangga dan isteri ibu rumah tangga.
Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala
sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan
kemampuannya, dan isteri wajib mengurus rumah tangga
dengan sebaik-baiknya. uami atau isteri apabila melalaikan
kewajibannya, maka masing – masing dapat menuntutnya
terhadap pihak lain dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan.
b. Harta Benda Dalam Perkawinan
Harta benda dalam perkawinan dalam Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 diatur pada Pasal 35 sampai dengan Pasal
19
37. Dalam Pasal 35 Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974
menyebutkan:
(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta
bersama
(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta
benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau
warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing
sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak
atas persetujuan kedua belah pihak. Sedangkan mengenai harta
bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta
bendanya (Pasal 36 UU No.1 Tahun 1974). Selanjutnya dalam
penjelasan Pasal 35 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
disebutkan apabila perkawinan putus, maka harta bersama
tersebut diatur menurut hukumnya masing-masing.
c. Kedudukan Anak
Disebutkan bahwa anak yang sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah (Pasal
42 UU Nomor 1 Tahun 1974). Hal ini berarti bahwa anak yang
lahir di luar perkawinan yang sah bukanlah anak yang sah. Ini
membawa konsekuensi dalam bidang pewarisan, sebab anak yang
dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
20
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 43 UU Nomor
1 Tahun 1974).
Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang
dilahirkan isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa
isterinya telah berbuat zina dan anak itu akibat dari pada
perzinahan tersebut. Pengadilan memberikan keputusan tentang
sah
atau
tidaknya
anak
atas
permintaan
pihak
yang
berkepentingan (Pasal 44 UU Nomor 1 Tahun 1974).
Pembuktian mengenai asal-usul anak Pasal 55 Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 menentukan :
(1)
Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta
kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh Pejabat yang
berwenang.
(2)
Bila akta kelahiran tersebut dalam ayat (1) Pasal ini tidak
ada, maka Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan
tentang asal-usul seorang ana setelah diadakan pemeriksaan
yang diteliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.
(3)
Atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) Pasal ini
maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah
hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akta
kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
d. Hak dan Kewajiban antara Orang Tua dan Anak
21
Suatu perkawinan apabila memperoleh keturunan (anak),
maka perkawinan itu tidak hanya menimbulkan hak dan
kewajiban antara suami dan isteri, akan tetapi juga menimbulkan
hak dan kewajiban antara suami dan isteri yang bersangkutan
sebagai orang tua dan anak-anaknya. Hak dan kewajiban antara
orang tua dan anak-anaknya ini dalam Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 diatur dalam Pasal 45 sampai Pasal 49.
Pasal 45 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menentukan
bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak
mereka dengan sebaik-baiknya, sampai anak itu kawin atau dapat
berdiri sendiri. Kewajiban ini berlaku terus meskipun perkawinan
antara kedua orang tua itu putus.
Selain Pasal 47 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
menentukan bahwa kewajiban untuk memelihara dan mendidik
tersebut, orang tua juga mengusai anaknya yang belum berumur
18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
Kekuasaan orang tua ini juga meliputi juga untuk mewakili anak
yang belum dewasa itu dalam melakukan perbuatan hukum di
dalam dan diluar Pengadilan. Meskipun demikian kekuasaan
orang tua ada batasnya yaitu tidak boleh memindahkan hak atau
menggadaikan barang-barang anaknya yang belum berumur 18
tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali
22
apabila kepantingan anak itu menghendaki (Pasal 48 Undangundang Nomor 1 Tahun 1974).
Kekuasaan salah seorang atau kedua orang tua terhadap
anaknya dapat dicabut untuk waktu tertentu, apabila ia sangat
melalaikan kewajibannya terhadap anaknya atau berkelakuan
buruk sekali. Pencabutan kekuasaan orang tua terhadap anaknya
ini dilakukan dengan Keputusan Pengadilan atas permintaan
orang tua yang lain, keluarga dalam garis lurus keatas dan saudara
kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang.
Kekuasaan orang tua yang dicabut ini tidak termasuk kekuasaan
sebagai “wali nikah”. Orang tua yang dicabut kekuasaannya
namun mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya
pemeliharaan anaknya tersebut (Pasal 49 Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974). Sebaliknya, anak tidak hanya mempunyai hak
terhadap orang tuanya, akan tetapi juga mempunyai kewajiban.
Kewajiban anak yang
utama terhadap orang tuanya adalah
menghormati dan mentaati kehendak yang baik dari orang tuanya.
Anak yang telah dewasa, ia wajib memelihara orang tuanya
dengan sebaik-baiknya menurut kemampuannya, bahkan anak
juga berkewajiban untuk memelihara keluarga dalam garis lurus
keatas, bila mereka ini memerlukan bantuannya (Pasal 46
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974).
23
B. Putusnya Perkawinan
Pemutusan perkawinan menurut hukum adat hampir selalu terjadi
dengan campur tangan aturan keagamaan. Terhadap pengaruhnya
tersebut, agama islam dan agama kristen menunjukan persamaan dalam
dua hal:
1. Perceraian itu sangat tercela
2. Yang dicampuri bukanlah lembaga perkawinannya selaku urusan
masyarakat, melainkan segi pribadi dari pemutusan perkawinan
tersebut.
Oleh
karena
itu,
maka
norma-norma
agama
itu
menghapuskan kekuatan mengatur dan mempertahankan yang
dimiliki oleh kerabat dan kepala desa, meskipun kedua-duanya
mensyaratkan keteguhan pribadi pada suami maupun isteri.13
Pemikiran hukum barat yang diilhami oleh pemikiran Kristen
semula tidak mengenal putusnya perkawinan melalui lembaga
perceraian. Pemikiran revolusi pada satu sisi menyingkirkan atau
menggeser supremasi gereja dan mempertuankan “ratio” yang
bertumpu atas prinsip kebebasan individu.14
1. Sebab-sebab Putusnya Perkawinan
Sebab-sebab putusnya perkawinan disebutkan dalam Pasal
38 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat terjadi karena :
a. Kematian
13
R.Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan Di
Indonesia,Surabaya: Universitas Airlangga, 1988, halaman 122.
14
Ibid, halaman 7.
24
Putusnya perkawinan karena kematian adalah putusnya
perkawinan karena matinya salah satu pihak (suami atau isteri).
Sejak saat matinya salah satu pihak itulah putusnya perkawinan
terjadi yakni dengam sendirinya.15
b. Perceraian
Putusnya perkawinan karena perceraian adalah putusnya
perkawinan karena dinyatakannya talak oleh seorang suami
terhadap isterinya yang perkawinannya dilakukan menurut agama
Islam. Putusnya perkawinan karena perceraian ini dapat disebut
juga “cerai talak”.16 Menurut subekti pengertian perceraian ialah
penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau tuntutan
salah satu pihak dalam perkawinan itu.
c. Atas keputusan pengadilan
Putusnya perkawinan atas putusan Pengadilan adalah
putusnya perkawinan karena gugatan perceraian isteri terhadap
suaminya yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam
atau karena gugatan perceraian suami atau isteri yang
melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaan
bukan Islam, gugatan perceraian mana dikabulkan Pengadilan
dengan suatu keputusan.17
15
Riduan Syahrani, Seluk-Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata,Cetakan Ketiga, Bandung:
Alumni, 1992, halaman 106.
16
Ibid, halaman 107.
17
Ibid, halaman 110.
25
2. Alasan-alasan Perceraian
a. Menurut Hukum Adat
Menurut hukum adat
yang merupakan sebab-sebab
terjadinya perceraian dari suatu perkawinan adalah :
1). Perzinahan
Perzinahan menurut ajaran Islam, ialah bercampurnya pria
dengan wanita yang bersetubuh tidak dalam ikatan perkawinan
yang sah, baik hal yang dilakukan antara pria dan wanita yang
sudah atau yang sedang dalam ikatan perkawinan, maupun
antara pria dan wanita yang tidak/belum ada ikatan
perkawinan, ataupun diantara yang sudah kawin dan yang
belum kawin.
2). Tidak memberi nafkah
Suami yang tidak memberi nafkah lahir bathin kepada isteri
dalam waktu yang lama, artinya suami tidak memberi biaya
hidup dan tidak menggauli isterinya sebagai isteri. Isteri sudah
cukup sabar menanti-nanti, maka keadaan demikian dapat
dijadikan alasan bagi isteri untuk meminta cerai suaminya.
3). Penganiayaan
Tindakan
suami
membahayakan
bagi
yang
melampaui
kehidupan
isteri,
batas,
maka
sehingga
dengan
kemufakatan bersama diantara anggota kerabat, isteri harus
26
berpisah tempat dari suami dan kerabat berkewajiban
mendamaikan dan menurunkan kembali rumah tangga yang
berselisih itu. Kerabat yang sudah tidak berhasil merukunkan
mereka kembali, maka terpaksa diluluskan untuk terjadinya
perceraian. Demikian pula sebaliknya jika si suami yang
merasa terancam kehidupannya terhadap isteri dan kerabatnya.
4). Cacat Tubuh/Kesehatan
Termasuk pengertian cacat tubuh atau terganggunya
kesehatan suami isteri ialah, isteri mandul, suami lemah
syahwat (impoten), berpenyakit berat yang sulit disembuhkan,
kurang akal (otak tidak waras,gila), cacat tubuh (bisu, buta,
tuli), dan penyakit yang menyebabkan tidak mendapat
keturunan, sehingga
kehidupan rumah tangga menjadi
terganggu, maka kesemuanya itu dapat merupakan alasan
untuk terjadinya perceraian.
5.) Perselisihan
Perselisihan antara suami isteri atau antara kerabat yang
bersangkutan
dengan
perkawinan,
jika
tidak
mungkin
perselisihan itu didamaikan lagi oleh kerabat dan pemukapemuka adat, dapat menjadi sebab terjadinya perceraian.
b. Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
27
Penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan dan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 telah ditentukan alasan-alasan peceraian sebagai berikut:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat,
penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut – turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah
atau karena hal lain diluar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
yang membahayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan
akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami /
isteri
f.
Antara suami dan isteri terus – menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
c. Menurut Hukum Islam
Perceraian bagi orang Islam di Indonesia secara khusus, seperti
yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 116 yang
menyatakan bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok,pemandat,
28
penjudi dan lain sebgainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah
atau karena hal lain yang di luar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan yang
membahayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan
akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami
atau isteri.
f. Antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
g. Suami melanggar taklik talak
h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga.
3. Akibat Perceraian
a. Terhadap hubungan antara suami – isteri
1). Bekas suami wajib menjamin kelangsungan hidup bekas isteri
dan anak-anaknya. Hukum Islam tidak menentukan besarnya
jumlah jaminan yang wajib diberikan, tetapi kewajiban
memberi jaminan itu mutlak. Bagi laki-laki yang tidak
29
bertanggung jawab dan menelantarkan janda dan anak-anaknya
akan mendapat dosa besar. Janda itu berhak menuntut jaminan
hidup melalui Pengadilan agama sesuai kemampuan bekas
suaminya. Jika laki-laki itu tidak mampu sama sekali, maka
keluarga pihak laki-laki secara bersama-sama wajib membiayai
janda dan anak-anaknya atau anak yang dipungut oleh saudara
kandung bekas suaminya. Jalan yang ditempuh ini termasuk
wajib “kifayah”, yaitu secara bersama-sama dari keluarga
bekas suaminya menanggung biaya.
2).Selama bekas isteri menjalankan iddah, maka bekas suami
wajib memberikan sandang, pangan dan papan kepada jandajanda. Selain itu juga memberikan “mut’ah” yaitu pemberian
sejumlah uang atau harta benda sebagai tanda bakti isteri
selama perkawinan berlangsung. Mut’ah ini jumlahnya
disesuaikan dengan kemampuan bekas suami, kedudukan
bekas isteri dan lamanya mereka hidup sebagai suami isteri.
Tetapi bagi anak-anak tetap menjadi tanggungan bekas bapak
sampai dewasa atau dapat mandiri.
3).Suatu perceraian yang terjadi sebagai akibat ketidaktaatan isteri
kepada suami, seperti penyelewengan terlalu bebas bergaul
dengan laki-laki lain, pemabuk, penjudi dan lainnya, maka
30
bekas suaminya tidak berkewajiban memberi jaminan kecuali
bantuan selama iddah dan mut’ah.18
b. Terhadap Harta Perkawinan
Pasal
37
Undang-undang
Nomor
1
Tahun
1974
menentukan bahwa apabila perkawinan putus maka harta bersama
diatur menurut hukumnya masing-masing.
Yang dimaksud dengan “hukumnya” masing-masing itu
adalah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya.
Jadi dalam Undang-undang perkawinan tidak memberikan
pengaturan tersendiri, melainkan menunjuk pada hukum agama,
hukum adat dan hukum-hukum lain yang berlaku bagi suamiisteri
yang
bersangkutan.
Sehingga
dengan
demikian
pengaturannya seperti dalam keadaan semula sebelum Undangundang Perkawinan.
Hukum Adat pada umumnya mengenai harta bersama yang
merupakan hak milik bersama, maka hak dan bagian diantara
suami-isteri apabila terjadi perceraian adalah masing-masing
mendapatkan separoh bagian dari harta bersama, sedangkan
menurut ketentuan dalam Hukum Islam yang dituangkan dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI), mengenai penentuan hak dan
bagian janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak
18
Abdul Djamali, Hukum Islam ,Cetakan Ketiga, Bandung: Mandar Maju, 2002, halaman 110.
31
seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain
dalam perjanjian perkawinan.
Menurut Hilman Hadikusuma akibat putusnya perkawinan
karena perceraian terhadap harta perkawinan antara lain:19
1). Harta bawaan suami atau isteri kembali kepada pihak yang
membawanya ke dalam perkawinan.
2). Harta penghasilan sendiri suami atau isteri kembali kepada
yang menghasilkan.
3). Harta pencaharian dan barang hadiah ketika upacara
perkawinan dibagi antara suami dan isteri menurut rasa
keadilan masyarakat adat setempat.
c. Terhadap Hubungan Orang Tua Dengan Anak
Pasal 41 huruf a dan huruf b Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974, akibat putusnya perkawinan karena perceraian
terhadap hubungan orang tua dengan anak-anaknya, berbunyi:
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan
mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan
anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anakanak Pengadilan memberi keputusannya.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan
dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak
dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut.
19
Hilman Hadikusuma, Op Cit, halaman 191.
32
Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya
tersebut.
Menurut Hukum Islam akibat putusnya perkawinan karena
perceraian terhadap anak-anaknya diatur dalam Pasal 156 KHI
sebagai berikut:
a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah
dari ibunya, kecuali ibunya telah meninggal dunia, maka
kedudukannya digantikan oleh:
1. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu
2. Ayah
3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah
4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan
5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping ayah.
b. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih mendapatkan
hadhanah dari ayah atau ibunya
c. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin
keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah
dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat
yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak
hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah
pula.
d. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung
jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya
33
sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri
(21 tahun)
e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah
anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan
huruf (a), (b), (c) dan (d).
f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat keampuan ayahnya
menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan
anak-anak yang tidak turut padanya.
d. Terhadap Pihak Ketiga
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian terhadap
dalam hubungannya dengan pihak ketiga, yaitu piutang atau
tagihan pihak ketiga kepada suami-isteri dapat dikontruksikan
sebagai berikut:20
1). Setelah perceraian terjadi
Piutang atau tagihan dari pihak ketiga yang perikatannya
disepakati setelah perceraian terjadi, berarti setelah ikatan
perkawinan putus; maka status masing-masing secara yuridis
sudah menjadi bekas suami atau bekas isteri, maka dengan
sendirinya perikatan tersebut hanya mengikat masing-masing
bekas suami atau bekas isteri yang membuat perikatan
tersebut.
20
Trusto Subekti, Op Cit, halaman 123.
34
Piutang atau tagihan tersebut di atas menjadi hutang pribadi
masing-masing bekas suami atau bekas isteri, dan dengan
sendirinya dibebankan atas harta pribadi masing-masing atau
penyelesaiannya atas tanggung jawab masing-masing bekas
suami atau bekas isteri tersebut.
2). Sebelum perceraian terjadi
Piutang atau tagihan dari pihak ketiga yang perikatannya
dibuat atau disepakati sebelum pekawinannya putus (bercerai),
maka piutang atau tagihan tersebut tetap merupakan piutang
atau tagihan pihak ketiga seperti sebelum perkawinan putus.
a). Hutang pribadi suami atau isteri
Hutang pribadi suami atau isteri merupakan tanggung
jawab
masing-masing
suami-isteri
yang
membuat
perikatan, hal ini bisa terjadi karena masing-masing suamiisteri cakap melakukan perbuatan hukum dan terhadap
harta
pribadi
masing-masing
suami-isteri
mengenai
pengelolaan dan penguasaan ada pada pemilik harta
tersebut.
Apabila harta pribadi masing-masing tidak cukup, maka
sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 bahwa mereka diwajibkan saling membantu diantara
suami-isteri, maka dapat dilunasi atas harta bersama.
b). Hutang bersama
35
Hutang bersama merupakan hutang yang dibuat oleh
suami atau isteri secara sendiri-sendiri atau bersama-sama
selama perkawinan dan terjadi dalam rangka memenuhi
kebutuhan atau kepentingan bersama untuk kehidupan
rumah tangganya, maka sudah sepantasnya apabila
dibebankan atas harta bersama. Apabila ternyata dari harta
bersama tidak cukup untuk melunasinya, maka dapat
diambilkan dari harta pribadi suami atau isteri.
C. Harta Benda Dalam Perkawinan
1. Dasar Hukum Harta Benda Dalam Perkawinan
Mengenai harta benda dalam perkawinan dalam Pasal 119
KUHPerdata dan Pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 secara jelas mengatur mengenai harta benda dalam
perkawinan yang berbunyi:
“Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi
harta bersama”.
Dalam ayat (2) yang berbunyi :
“Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan
harta benda yang diperoleh masing-masing sepanjang para
pihak tidak menentukan lain”.
Ketentuan Pasal 35 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan memakai istilah “harta benda”. Pengertian
harta benda bisa menimbulkan salah pengertian, karena harta
benda dalam kata sehari-hari menunjuk kepada segi aktiva saja.
36
Menurut pendapat J.Satrio, pengertian harta benda dapat
dijelaskan sebagai berikut:
Kata “harta benda” ini ditafsirkan sebagai vermogen atau
harta kekayaan, karena didalam kata harta kekayaan
termasuk pula semua passiva atau hutang-hutangnya.
Penafsiran yang demikian itu lebih sesuai dengan prinsip
tanggung jawab extern suami-isteri. Konsekuansinya:
semua harta yang ada, termasuk semua hutang-hutang yang
sudah ada, pada waktu perkawinan dilangsungkan, pada
asasnya adalah hak (milik) dan kewajiban suami atau isteri
yang mempunyai harta atau hutang tersebut.21
Dari pendapat J. Satrio dapat disimpulkan bahwa yang
termasuk harta benda tidak hanya mencakup aktiva saja tetapi
passiva juga. Harta benda perkawinan merupakan harta yang ada
dan yang akan ada sebagai penopang kehidupan rumah tangga.
Prinsip yang ada pada harta benda perkawinan (harta kekayaan
keluarga) ada beberapa macam, yaitu:
1. Prinsip persatuan bulat harta
2. Prinsip pemisahan harta antara suami-isteri.
3. Prinsip persatuan harta terbatas, yaitu pada harta bersama
disamping adanya harta pribadi suami atau isteri.
Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 diatur mengenai wewenang suami-isteri atas harta
bersama dan harta bawaan masing-masing. Pasal 37 Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 diatur mengenai pengaturan harta
bersama apabila perkawinan putus.
21
J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, Cetakan Pertama, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti,
halaman 191.
37
2. Macam-macam Harta Benda Dalam Perkawinan
Berdasarkan pada dua ketentuan dasar hukum tersebut,
adanya harta benda dalam perkawinan setidak-tidaknya dapat dibagi
kedalam tiga macam yaitu:22
Harta Bersama : harta yang dimiliki atau diperoleh setelah
dilangsungkannya perkawinan yang menjadi hak bersama pasangan
suami-isteri, yang meliputi baik itu benda bergerak maupun tidak
bergerak, benda berwujud dan tidak berwujud dan segala macam
kekayaan lainnya yang dapat dinilai dengan uang.
Harta Bawaan masing-masing : harta yang memang sudah
dimiliki oleh salah satu pihak baik suami maupun isteri sebelum
dilangsungkannya perkawinan, baik hasil usahanya sendiri maupun
diperoleh dari hibah atau hadiah.
Harta Hibah atau Hadiah : harta yang bersal dari hibah atau
hadiah yang didapat oleh salah satu pihak baik suami maupun isteri
setelah dilangsungkannya perkawinan.
1). Harta Bersama
Menurut Pasal 35 ayat (1) hanya dirumuskan definisi
konsepsionalnya dengan kalimat “harta benda yang diperoleh
selama perkawinan menjadi harta bersama”. Secara operasional
dapat dikonkritkan lagi indikatornya, yaitu pada kalimat
“.......diperoleh selama perkawinan......”, dari kalimat tersebut
22
Solahudin Pugung, Mendapatkan Hak Asuh Anak dan Harta Bersama, Cetakan Pertama,
Jakarta: CV. Karya Gemilang, halaman 21.
38
dapat ditentukan dua indikator, yaitu “diperoleh” dan “selama
perkawinan”.23
Indikator “diperoleh” , berangkat dari pengertian harta benda
yang diperoleh suami-isteri dengan cara atau dari apapun untuk
memperolehnya atau berasal dari mana harta tersebut diperoleh,
baik diperoleh oleh suami- isteri secara bersama-sama atau secara
sendiri-sendiri. Indikator “selama perkawinan”, menunjuk pada
waktu atau masa perkawinan yang dimulai sejak saat perkawinan
selesai dilangsungkan sampai perkawinan itu putus.24 Indikator
tambahan untuk lebih mengoperasionalkan pengertian harta
bersama adalah “tidak termasuk dalam harta bawaan dan harta
hadiah atau warisan suami-isteri”. Indikator ini sebagai ukuran
yang tegas untuk membedakan antara harta bersama dengan harta
pribadi suami atau isteri.
Menurut J. Satrio (1991:189) bahwa yang termasuk harta
bersama adalah:
a. Hasil dan pendapatan suami.
b. Hasil dan pendapatan isteri
c. Hasil dan pendapatan dari harta pribadi suami maupun isteri,
sekalipun harta pokoknya tidak termasuk dalam harta bersama,
asal kesemuanya itu diperoleh sepanjang perkawinan.
2). Harta Pribadi
23
24
Trusto Subekti, Op Cit, halaman 80.
Ibid, halaman 81.
39
Harta pribadi yang disebutkan dalam Pasal 35 ayat (2)
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah “Harta bawaan
masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau warisan....”. terdapat tiga
istilah yang disebutkan dalam kalimat diatas, yaitu: Harta
“bawaan”, harta benda dari “hadiah” dan harta benda dari
“warisan”.25
a). Harta bawaan
Harta bawaan merupakan harta yang dibawa masuk ke
dalam perkawinan, harta bawaan menunjuk pada pengertian
sebagai harta yang sudah ada pada (dimiliki) oleh suami atau
isteri sebelum perkawinan. Dalam hukum Adat sering disebut
sebagai “harta pembujangan”, artinya harta yang ada dan
dimiliki calon suami-isteri semasa “bujang” (masih berstatus
gadis atau berstatus perjaka sebelum dilangsungkannya
perkawinan).
b). Harta hadiah
Dalam bahasa hukum suatu hadiah atau pemberian
merupakan hasil atau perolehan yang didasarkan atas tindakan
hukum sepihak, artinya dari tindakan hukum tersebut terdapat
prestasi tetapi tidak ada contra prestasi. Tindakan hukum
25
Loc.,Cit.
40
semacam ini dalam istilah hukum disebut dengan istilah
“hibah” atau “hibahan”.
Menurut J. Satrio (1991:194) mengenai harta hibahan
(termasuk warisan) terdapat asas yang berbeda antara Pasal 35
ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dengan Pasal
120 KUH Perdata yang dijelaskan sebagai berikut:
Menurut Pasal 35 ayat (2) Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974, semua harta hibahan (dan harta warisan)
yang diterima suami/isteri secara otomatis/demi hukum
artinya tanpa yang bersangkutan harus memperjanjikannya
menjadi harta pribadi suami/isteri yang bersangkutan.
Penyimpangan baru hanya terjadi, kalau “para pihak”
menentukan lain.
Pasal 120 KUH Perdata, disebutkan bahwa yang suami
dan/atau isteri peroleh sepanjang perkawinan dengan
Cuma-Cuma, baik sebagai hibahan atau warisan otomatis
masuk ke dalam harta persatuan, kecuali si pemberi hibah(
atau warisan) menentukan sebaliknya.
c). Harta warisan
Harta warisan adalah harta yang diperoleh dari warisan si
suami atau si isteri. Harta warisan ini di dalam hukum Adat
dikategorikan sebagai harta asal, yaitu harta yang asal-usulnya
41
berasal dari warisan, atau berasal dari leluhurnya atau kesatuan
masyarakat genealogisnya.
Harta bawaan, harta hadiah dan harta warisan diatas
berdasar atas Pasal 35 ayat (2) Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 adalah merupakan harta pribadi. Kemudian
terhadap harta pribadi tersebut penguasaannya di bawah
masing-masing suami atau isteri.
3. Hukum Acara Perdata
Hukum materiil yang bersifat tidak tertulis, merupakan
pedoman bagi warga masyarakat tentang bagaimana orang
selayaknya berbuat atau tidak berbuat di dalam masyarakat.
Semuanya itu merupakan pedoman atau kaidah yang pada
hakekatnya bertujuan untuk melindungi kepentingan orang.
Pelaksanaan dari hukum materiil, khususnya hukum
materiil perdata, dapat berlangsung secara diam-diam di antara
para pihak yang bersangkutan tanpa melalui pejabat atau instans
resmi. Hukum materiil sering sekali dilanggar, sehingga ada pihak
yang dirugikan dan terjadilah gangguan keseimbangan kepentingan
di dalam masyarakat.
Pelaksanakan hukum materiil perdata tersebut terutama
dalam hal ada pelanggaran atau mempertahankan berlangsungnya
hukum materiil perdata dalam hal ada tuntutan hak yang
diperlukan rangkaian peraturan-peraturan hukum lain di samping
42
hukum materiil hukum perdata itu sendiri. Peraturan hukum inilah
yang disebut hukum formil atau hukum acara perdata.
Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang
mengatur bagaimana cara menjamin ditaatinya hukum perdata
materiil dengan perantara hakim. Hukum acara perdata adalah
peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin
pelaksanaan hukum perdata materiil. Lebih konkrit lagi dapat
dikatakan, bahwa hukum acara perdata mengatur tentang
bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta
memutuskan dan pelaksanaan dari pada putusannya. Tuntutan hak
ini tidak lain adalah tindakan yang bertujuan memperoleh
perlindungan hukum yang diberikan oleh peradilan untuk
mencegah “eigenrichting” atau tindakan menghakimi sendiri.26
Hukum acara perdata meliputi tiga tahap tindakan, yaitu
tahap pendahuluan yang merupakan persiapan menuju kepada
penentuan atau pelaksanaan, tahap penentuan merupakan tahapan
dimana diadakan pemeriksaan peristiwa dan pembuktian sekaligus
sampai
kepada
keputusan,
sedangkan
tahap
pelaksanaan
merupakan pelaksanaan dari pada putusan. Hukum acara perdata
bukan hanya sekedar pelengkap saja, tetapi mempunyai kedudukan
yang penting dalam melaksanakan atau menegakkan hukum
perdata materiil.
26
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1977,
halaman 2.
43
4. Sumber Hukum Acara Perdata
Hukum acara perdata pada Pengadilan Negeri dilakukan
dengan memperhatikan beberapa ketentuan- ketentuan atau
sumber-sumber hukum, sumber hukum acara perdata antara lain:
1. Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) yang digunakan untuk
daerah Jawa dan Madura.
2. Rechtsreglement Buitengewesten (Rbg) yang digunakan untuk
daerah luar jawa dan Madura
3. Reglement op de Burgerlijke rechtsvordering (Rv) yang
digunakan untuk golongan Eropa.
4. Reglement op de Rechterlijke Organisatie in het beleid der Justitie
in Indonesie (RO atau Reglement tentang Organisasi Kehakiman)
5. Burgerlijk Wetboek (BW)
6. Wvk
7. Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Ketentuanketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
8. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947
9. Yurisprudensi
10.Perjanjian Internasional
11. Doktrin
5. Asas- asas Hukum Acara Perdata
Asas-asas dalam hukum acara perdata, antara lain:
1. Hakim bersifat menunggu
44
Yaitu inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak diserahkan
sepenuhnya kepada yang berkepentingan. Sehingga tuntutan hak
yang mengajukan adalah pihak yang berkepentingan, sedang
hakim bersikap menunggu datangnya tuntutan hak diajukan
kepadanya.
2. Hakim pasif
Bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang
diajukan kepada hakim untuk diperiksa pada asasnya ditentukan
oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim. Hakim
hanya membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi
segala hambatan untuk tercapainya peradilan.
Arti pasif disini berarti hakim tidak menentukan luas dari pada
pokok
sengketa.
Hakim
tidak
boleh
menambah
atau
menguranginya.
3. Sifat terbukanya persidangan
Bahwa setiap orang diperbolehkan hadir mendengarkan
pemeriksaan di persidangan. Tujuan dari pada asas ini untuk
memberi perlindungan hak-hak asasi manusia dalam bidang
peradilan serta untuk lebih menjamin obyektifitas peradilan
dengan mempertanggung jawabkan pemeriksaan yang adil.
4. Mendengar kedua belah pihak
Mengandung arti bahwa kedua belah pihak haruslah
diperlakukan sama. Tidak memihak dan didengar bersama-sama.
45
Hal ini berarti bahwa hakim tidak boleh menerima keterangan
dari salah satu pihak sebagai saja.
5. Putusan disertai alasan-alasan
Alasan-alasan
ini
dimaksudkan
sebagai
pertanggung
jawaban hakim dari pada putusannya terhadap masyarakat
sehingga oleh karenanya mempunyai nilai objektif. Untuk lebih
dapat mempertanggung jawabkan putusan sering juga dacari
dukungan pada yurisprudensi dan ilmu pengetahuan. Namun,
tidak berarti hakim terikat pada atau harus mengikuti putusan
mengenai perkara yang sejenis yang pernah dijatuhkan.
6. Beracara dikenai biaya
Biaya perkara ini meliputi biaya kepaniteraan dan biaya
untuk panggilan, pemberitahuan para pihak serta biaya materai.
Bagi mereka yang tidak mampu untuk membayar biaya perkara,
dapat
mengajukan
perkara
secara
cuma-cuma
dengan
mendapatkan izin untuk dibebaskan dari pembayaran biaya
perkara, dengan mengajukan surat keterangan tidak mampu yang
dibuat oleh kepala polisi.
7. Tidak ada keharusan mewakilkan
HIR tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan
kepada orang lain, sehingga pemeriksaan di persidangan terjadi
secara
langsung
terhadap
para
pihak
yang
langsung
46
berkepentingan. Akan tetapi para pihak dapat dibantu atau
diwakilkan oleh kuasanya apabila menghendakinya.
D. Gugatan
1. Pengertian Gugatan
Pengertian gugatan itu sendiri adalah mengajukan perkara
kepada Pengadilan adalah satu pihak saja dimana didalam
perkaranya terdapat perselisihan.27 Bentuk gugatan perdata yang
dibenarkan Undang-undang dapat dilakukan dengan cara:
1). Gugatan Berbentuk Lisan
Bentuk gugatan lisan, diatur dalam Pasal 120 HIR (Pasal
144 RBG)
yang menegaskan :
Bilamana penggugat buta huruf maka surat gugatannya dapat
dimasukan dengan lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri, yang
mencatat gugatan itu atau menyuruh mencatatnya.
2). Gugatan Berbentuk Tertulis
Gugatan yang paling diutamakan adalah gugatan dalam
bentuk tertulis. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 118 ayat (1) HIR
(Pasal 142 RBG). Menurut Pasal ini, gugatan perdata harus
dimasukkan kepada Pengadilan Negeri dengan surat permintaan
yang ditandatangani oleh penggugat atau kuasanya.28
27
Umar Mansyur Syah, Hukum Acara Peradilan Agama Menurut Teori dan Praktak, Garut:
Yayasan Al-Umaro, halaman 67.
28
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Cetakan Pertama, Jakarta: Sinar Grafika, 2005,
halaman 49.
47
2. Gugatan Rekonvensi
1). Pengertian Gugatan Rekonvensi
Untuk memahami apa gugatan rekonvensi itu, maka
dibawah ini diberikan beberapa definisi gugatan rekonvensi
menurut Sarjana :
a. Abdulkadir Muhammad
Gugatan
rekonvensi
(rekonventie,
rekonvention)
adalah
gugatan yang diajukan oleh tergugat, berhubung penggugat
juga melakukan wanprestasi terhadap tergugat.
b. M. Yahya Harahap
Gugatan rekonvensi adalah gugatan balik yang diajukan
tergugat terhadap penggugat dalam suatu proses perkara yang
sedang berjalan.
c. Umar Mansyur Syah
Gugatan rekonvensi adalah gugatan yang diajukan oleh
tergugat terhadap penggugat dalam sengketa yang sedang
berjalan.
2). Tujuan Gugatan Rekonvensi
Tujuan yang terkandung dalam sistim rekonvensi bukan
hanya sekedar untuk memenuhi kepantingan pihak tergugat saja,
tetapi meliputi kepentingan penggugat maupun penegakan
kepastian hukum, adapun tujuan dari gugatan rekonvensi antara
lain:
48
a. Menegakkan Asas Peradilan Sederhana
Sesuai dengan Pasal 132 b ayat (3) HIR, gugatan konvensi
dan rekonvensi diperiksa dan diputus secara serentak dan
bersamaan dalam satu proses, dan dituangkan dalam satu
putusan. Sistim yang menyatukan pemeriksaan dan putusan
dalam satu proses, sangat menyederhanakan penyelesaian
perkara. Menggunakan sistim ini, penyelesaian perkara yang
semestinya harus dilakukan dalam dua proses yang terpisah
dan berdiri sendiri, dibenarkan hukum diselesaikan secara
bersama dalam satu proses.
b. Menghemat Biaya dan Waktu
1) Menghemat Biaya
Pemeriksaan gugatan rekonvensi yang dilakukan
secara terpisah dengan konvensi, biaya yang mesti
dikeluarkan untuk memanggil para pihak maupun biaya
lain menjadi dua kali lipat.
Biaya yang semestinya harus ditetapkan dan
dianggarkan untuk masing-masing gugatan konvensi dan
rekonvensi, oleh Undang-undang hanya dibukukan menjadi
pembayaran tunggal sebagai beban gugatan konvensi.
2) Menghemat Waktu
Proses pemeriksaan yang dilakukan secara berdiri
sendiri, diperlukan jatah waktu yang berbeda dan terpisah
49
untuk masing-masing gugatan. Konvensi memerlukan jatah
waktu tersendiri, demikian juga rekonvensi. Akan tetapi
melalui sistim pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Pasal
132 b ayat (2) HIR mengenai penggabungan pemeriksaan
keduanya dalam satu proses dan dalam satu putusan,
penyelesaian kedua perkara menjadi lebih singkat.
3) Menghindari Putusan yang saling Bertentangan
Pemeriksaan antara keduanya terpisah dan berdiri
sendiri, besar kemungkinan putusan yang dijatuhkan saling
bertentangan, antara putusan gugatan konvensi dengan
gugatan rekonvensi. Pertentangan itu semakin potensial
terjadi, apabila yang menyelesaikan pemeriksaan adalah
majelis hakim yang berbeda.
3). Aturan Mengajukan Gugatan Rekonvensi
Aturan mengajukan gugat in rekonvensi ini tercantum pada
Pasal 132 a dan 132 b HIR
Pasal 132 a. Menyatakan :
(1) Tergugat berhak dalam tiap – tiap perkara memasukkan
gugatan melawan kecuali.
1. Penggugat memajukan gugatan karena suatu sifat, sedang
gugatan melawan itu akan mengenai dirinya sendiri dan
sebaliknya;
50
2. Pengadilan negeri memeriksa surat gugat penggugat tidak
berhak memeriksa gugatan melawan itu berhubung dengan
pokok perselisihan.
3. Dalam perkara perselisihan tentang menjalankan keputusan
(2) Pemeriksaan tingkat pertama dimajukan gugat melawan, maka
dalam bandingan tidak dapat memajukan gugatan itu.
Pasal 132 b menyatakan :
(1) tergugat wajib memajukan gugatan melawan bersama – sama
dengan jawabannya, baik dengan surat maupun dengan lisan.
(2) buat gugatan melawan itu berlaku peraturan dari bagian ini
(3) kedua perkara itu diselesaikan sekaligus dan diputuskan dalam
satu keputusan, kecuali kalau sekiranya pengadilan negeri
berpendapat, bahwa perkara yang pertama dapat lebih dahulu
diselesaikan daripada yang kedua, dalam hal mana demikian
dapat dilakukan, tetapi gugatan mula – mula dan gugatan
melawan yang belum diputuskan itu masih tetap diperiksa oleh
hakim itu juga, sampai dijatuhkan keputusan terakhir.
(4) bandingan diperbolehkan, jika banyaknya uang dalam gugatan
tingkat pertama ditambah dengan uang dalam gugtan melawan
lebih daripada jumlah uang yang sebanyak-banyaknya yang
dapat diputuskan oleh pengadilan negeri sebagai hakim yang
tertinggi
(5) bila kedua perkara itu dibagi – bagi dan keputusan dijatuhkan
51
berasing – asing, maka haruslah dituruti aturan biasa tentang
hak bandingan.
3. Formulasi Surat Gugatan
Formulasi surat gugatan adalah perumusan surat gugatan
yang dianggap memenuhi syarat formil menurut ketentuan hukum
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berhubungan
dengan ketentuan formil yang harus ada dalam surat gugatan antara
lain:
1). Ditujukan kepada PN Sesuai dengan Kompetensi Relatif
Secara
formil
dialamatkan
kepada
surat
gugatan
Pengadilan
harus
Negeri
ditujukan
sesuai
dan
dengan
kompetensi relatif. Hal ini sesuai dengan dalam Pasal 118 HIR.
Apabila surat gugatan tidak sesuai dengan kompetensi relatif
maka :
a. Mengakibatkan gugatan mengandung cacat formil, karena
gugatan disampaikan dan dialamatkan kepada Pengadilan
Negeri yang berada diluar wilayah hukum yang berwenang
untuk memeriksa dan mengadilinya.
b. Gugatan dinyatakan tidak dapat diterima atas alasan hakim
tidak berwenang mengadili.
2). Diberi Tanggal
Dalam
Undang-undang tidak menyebutkan bahwa surat
gugatan harus mencantumkan tanggal. Namun pencantuman
52
tanggal sebaiknya dilakukan hal ini guna menjamin kepastian
hukum atas pembuatan dan penandatanganan surat gugatan,
sehingga apabila timbul suatu masalah penandatanganan surat
gugatan
berhadapan
penandatanganan
surat
dengan
tanggal
kuasa,segara
pembuatan
dapat
dan
diselesaikan.
Sehingga dapat disimpulkan pencatuman tanggal dilihat dari
segi hukum antara lain:
a. Pencatuman tanggal, tidak imperatif dan bahkan tidak
merupakan syarat formil surat gugatan.
b. Kelalaian atas pencantuman tanggal, tidak mengakibatkan
surat gugatan mengandung cacat formil.
c. Surat gugatan tidak mencantumkan tanggal, sah menurut
hukum, sehingga tidak dapat dijadikan dasar untuk
menyatakan gugatan tidak dapat diterima.
3). Ditandatangani Penggugat atau Kuasa
Tanda tangan tegas disebut sebagai syarat formil surat
gugatan. Pasal 118 ayat (1) HIR menyatakan:
a. Gugatan perdata harus dimasukkan ke Pengadilan Negeri
sesuai dengan kompetensi relatif, dan
b. Dibuat dalam bentuk surat permohonan (surat permintaan)
yang
ditandatangani
oleh
penggugat
atau
(kuasanya)
a). Tanda Tangan Ditulis dengan Tangan Sendiri
wakilnya
53
Tanda tangan yang dimaksud disini, pada umumnya
merupakan tanda atau inisial nama yang dituliskan dengan
tangan sendiri oleh penanda tangan. Penandatanganan
dapat dilakukan oleh penggugat sendiri atau kuasanya,
asal pada saat kuasa ditandatangani, terlebih dahulu dibuat
dan diberikan surat kuasa khusus.
b). Cap Jempol Disamakan dengan Tanda Tangan
Cap jempol digunakan apabila Penggugat tidak
dapat menulis yang dibubuhkan di atas surat gugatan
sebagai pengganti tanda tangan. Hakim menemukan cap
jempol yang belum dilegalisir dalam gugatan maka :
1. Tidak layak hakim langsung menyatakan gugatan cacat
formil, atas alasan cap jempol tidak dilegalisir.
2. Tetap hakim menyuruh atau memerintahkan kepada
yang bersangkutan untuk melegalisirnya.
4). Identitas Para Pihak
Penyebutan identitas dalam surat gugatan, merupakan
syarat formil keabsahan gugatan. Surat gugatan yang tidak
menyebut identitas para pihak, apalagi tidak menyebut identitas
tergugat, menyebabkan gugatan tidak sah dan dianggap tidak
ada.
Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 118 ayat (1) HIR,
identitas yang harus dicantumkan, cukup memadai sebagai dasar
54
untuk
menyampaikan
panggilan
atau
menyampaikan
pemberitahuan. Tujuan utama pencantuman identitas agar dapat
disampaikan panggilan dan pemberitahuan, identitas yang wajib
disebut, cukup meliputi:
a. Nama Lengkap
1). Nama Terang dan Lengkap, Termasuk Gelar atau Alias
Bertujuan
untuk
membedakan
orang
yang
dimaksudkan dengan orang lain yang kebetulan namanya
sama pada lingkungan tempat tinggal.
2). Kekeliruan Penyebutan Nama yang Serius
Kekeliruan penyebutan nama yang serius akan
berakibat surat gugatan cacat formil, timbul ketidakpastian
mengenai orang atau pihak yang berkara sehingga cukup
dasar alasan untuk menyatakan gugatan error in persona/
kabur oleh karena itu gugatan dinyatakan tidak dapat
diterima.
3). Penulisan Nama Tidak Boleh Didekati secara Sempit atau
Kaku tetapi Harus dengan Lentur
Kekeliruan dapat terjadi namun apabila kekelituan
itu sangat kecil dan tidak berarti dapat atau harus ditolerir
sehingga
kesalahan tersebut
dapat
diperbaiki
oleh
Penggugat dalam persidangan melalui surat perbaikan atau
perbaikan dilakukan dalam replik. Bahkan hakim sendiri
55
dapat memperbaiki dalam berita acara persidangan
maupun dalam putusan.
4). Penulisan Nama Perseroan Harus Lengkap dan Jelas
Penulisan nama perseroan harus lengkap dan jelas
didasarkan pada: Nama yang disebut dalam anggaran
dasar atau yang tercantum pada papan nama maupun yang
tertulis pada surat-surat resmi perusahaan, selain ditulis
nama
lengkap
perseroan
tapi
juga
ditulis
nama
singkatannya.
b. Alamat atau Tempat Tinggal
1. Alamat
Menurut hukum yang dimaksud dengan alamat,
meliputi: alamat kediaman pokok, kediaman tambahan,
tempat tinggal rill.
2. Sumber keabsahan alamat
Bagi perorangan dapat diambil dari KTP,NPWP dan
KK. Perseroan dapat diambil dari NPWP,Anggaran Dasar,
Izin Usaha atau dari Papan Nama.
3. Perubahan alamat Tergugat sesudah gugatan diajukan
Perubahan
alamat
Tergugat
sesudah
gugatan
diajukan penggugat, sehingga alamat yang disebut dalam
gugatan berbeda dengan tempat tinggal riil tergugat maka
mengakibatkan gugatan cacat formil, tergugat tidak dapat
56
menjadikan hal tersebut sebagai dasar bantahan atau
alasan menyatakan gugatan tidak dapat diterima.
4. Tidak diketahui alamat tempat tinggal Tergugat
Pasal 390 ayat (3) HIR telah mengantisipasi apabila
alamat tergugat tidak diketahui. Antisipasi tersebut
dilakukan dengan cara melakukan pemanggilan umum
oleh wali kota atau bupati.
c. Penyebutan Identitas Lain, Tidak Imperatif
Tidak ada larangan mengenai pencantuman identitas
Tergugat. Lebih lengkap dalam pencantuman identitas justru
semakin baik dan lebih pasti.
5). Fundamentum Petendi
Fundamentum Petendi yaitu dasar tuntutan atau dasar
gugatan. Mengenai perumusan Fundamentum Petendi atau Dalil
Gugat terdapat dua teori yaitu :
a)
Substantierings theorie yaitu bahwa dalam dalil gugatan
tidak cukup hanya merumuskan peristiwa hukum yang
menjadi dasar tuntutan, tetapi juga harus menjelaskan faktafakta yang mendahului peristiwa hukum yang menjadi
penyebab timbulnya peristiwa hukum tersebut.
b)
Individualisering theorie yang menjelaskan peristiwa atau
kejadian hukum yang dikemukakan dalam gugatan, harus
57
dengan jelas memperlihatkan hubungan hukum yang
menjadi dasar tuntutan.
Sehubungan dengan teori tersebut, fundamentum petendi
yang dianggap lengkap memenuhi syarat, memuat dua unsur:
1. Dasar Hukum
Memuat penegasan atau penjelasan mengenai hubungan
hukum antara :
a.
Penggugat
dengan
materi
dan
atau
objek
yang
disengketakan, dan
b. Antara Penggugat dengan Tergugat berkaitan dengan
materi atau objek sengketa.
2. Dasar Fakta
Memuat penjelasan pernyataan mengenai:
a. Fakta atau peristiwa yang berkaitan langsung dengan atau
disekitar hubungan hukum yang terjadi antara Penggugat
dengan materi atau objek perkara maupun dengan pihak
Tergugat.
b. Penjelasan fakta-fakta yang langsung berkaitan dengan
dasar hukum atau hubungan hukum yang didalilkan
Penggugat.
Dari uraian diatas maka bagi dalil gugat yang dianggap
tidak mempunyai dasar hukum maka :
58
1. Pembebasan pemidanaan atas laporan tergugat, tidak dapat
dijadikan dasar hukum menuntut ganti rugi.
2. Dalil gugatan berdasarkan perjanjian tidak halal
3. Gugatan tuntutan ganti rugi atas perbuatan melawan hukum
berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata mengenai kesalahan
hakim dalam melaksanakan fungsi peradilan, dianggap tidak
mempunyai dasar hukum.
4. Dalil gugatan yang tidak berdasarkan sengketa, dianggap
tidak mempunyai dasar hukum.
5. Tuntutan ganti rugi atas sesuatu hasil yang tidak dirinci
berdasarkan fakta, dianggap gugatan yang tidak mempunyai
dasar hukum.
6. dalil gugatan yang mengandung pertentangan antara dalil
yang satu dengan dalil yang lain,dinyatakan sebagai gugatan
yang tidak mempunyai landasan hukum yang jelas.
6). Petitum Gugatan
Syarat formulasi gugatan yang lain, adalah petitum
gugatan. Supaya gugatan sah, dalam arti tidak mengandung
cacat formil, harus mencantumkan gugatan yang berisi pokok
tututan Penggugat, berupa deskripsi yang jelas menyebut satu
per satu dalam akhir gugatan tentang hal-hal apa saja yang
menjadi pokok tuntutan Penggugat yang harus dinyatakan dan
dibebankan pada Tergugat.
59
Untuk memperoleh pengertian yang memadai tentang ruang
lingkup petitum gugatan, perlu dijelaskan hal-hal berikut.
a.
Bentuk Petitum
Macam-macam bentuk petitum :
1) Bentuk tunggal
Petitum disebut berbentuk tunggal, apabila deskripsi
yang menyebut satu per satu pokok tuntutan, tidak
diikuti dengan susunan deskripsi petitum lain yang
bersifat alternatif atau subsidair.
2) Bentuk alternatif
Petitum yang berbentuk alternatif dapat diklasifikasikan:
a)
Petitum primair dan subsidair sama-sama dirinci.
Baik petitum primair maupun petitum subsidair,
sama-sama dirinci satu per satu dengan rincian
yang saling berbeda.
Penerapan yang ditegakan mengahadapi petitum
primer dan sekunder yang masing-masing dirinci
satu per satu:
(1) Mutlak diterapkan secara limitatif;
(2) Oleh karena itu, hakim dalam mengambil
dan menjatuhkan putusan, harus memilih
apakah petitum primair atau subsidair yang
hendak dikabulkan;
60
(3) Dengan demikian, hakim dalam menghadapi
gugatan yang mengandung petitum primer
dan
subsider,
tidak
boleh
mencampuradukan dengan cara mengambil
sebagian dari petitum primer dan sebagian
lagi dari petitum subsider.
b) Petitum primair dirinci, diikuti dengan petitum
subsidair berbentuk compositur atau ex-aequo et
bono (mohon keadilan) :
(1) Dalam hal ini, sifat alternatifnya tidak mutlak
(tidak absolut)
(2) Hakim bebas untuk mengambi seluruh dan
sebagian petitum primer dan mengesampingkan
petitum ex aequo et bono
(3) Bahkan
hakim
bebas
dan
berwenang
menetapkan lain berdasarkan petitum ex aequo
et bono dengan syarat. Syaratnya yaitu harus
berdasarkan
kelayakan
atau
kepatutan.
Kelayakan atau kepatutan yang ditetapkan atau
dikabulkan itu, masih berada dalam kerangka
jiwa petitum primer dan dalil gugatan.
b.
Berbagai petitum yang tidak memenuhi syarat
61
1. Tidak menyebutkan secara tegas apa yang diminta atau
petitum bersifat umum. Petitum yang memenuhi syarat,
mesti bersifat tegas dan spesifik menyebut apa yang
diminta Penggugat.
2. Petitum tuntutan ganti rugi tetapi tidak dirinci dalam
gugatan tidak memenuhi syarat.
3. Petitum yang bersifat Negatif, tidak dapat dikabulkan.
Petitum yang meminta agar peradilan menghukum
Tergugat supaya tidak mengambil tindakan yang bersifat
merusak bangunan adalah petitum adalah yang berfiat
negatif, oleh karena itu tidak dapat dikabulkan.
4. Petitum tidak sejalan dengan dalil gugatan. Masalah lain
yang harus diperhatikan, petitum gugatan harus sejalan
dengan dalil gugatan. Dengan demikian, petitum mesti
bersesuaian atau konsisten dengan dasar hukum dan
fakta-fakta yang dikemukakan dalam posita.
E. Alat Bukti Surat
1. Alat-alat Bukti
Menurut sistim HIR dan R.Bg., hakim terikat dengan alatalat bukti yang sah, yang diatur oleh Undang-undang. Ini berarti
hakim hanya boleh mengambil putusan berdasarkan alat-alat bukti
yang telah diatur oleh Undang-undang. Menurut ketentuan Pasal 164
HIR/Pasal 284 R.Bg., ada lima macam alat bukti yaitu:
62
1. Alat Bukti Tertulis
Alat bukti tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang
memuat tanda – tanda bacaan yang dimaksudkan untuk
mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran
seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.29
2. Alat Bukti Saksi
Alat bukti saksi diatur dalam Pasal 168-172 HIR atau Pasal
306-309 R.Bg. Dalam pembuktian dengan saksi pada umumnya
dibolehkan dalam segala hal, kecuali jika undang-undang
menentukan lain.
Hukum adat mengenal 2 macam saksi, yaitu saksi-saksi
yang secara kebetulan melihat, mendengar sendiri peristiwaperistiwa yang menjadi persoalan. Saksi-saksi yang pada waktu
perbuatan hukum itu dilakukan, sengaja telah diminta untuk
menyaksikan perbuatan hukum tersebut.30
Dapat diterangkan oleh saksi hanyalah apa yang ia lihat,
dengar atau rasakan sendiri, lagi pula tiap-tiap kesaksian harus
disertai alasan-alasan apa sebabnya, dan bagaimana sampai ia
mengetahui hal-hal yang diterangkan olehnya. Perasaan atau
sangka yang istimewa, yang terjadi karena akal, tidak dipandang
sebagai penyaksian.
3. Alat Bukti Persangkaan
29
Sudikno Mertokusumo, Op Cit, halaman 116.
Retno Wulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori
dan Praktek, Cetakan 11,Bandung: Mandar Maju,2009,halaman 70.
30
63
Menurut Pasal 1915 KUH Perdata yang dimaksud dengan
persangkaan ialah kesimpulan-kesimpulan yang oleh undangundang atau oleh Hakim ditariknya dari suatu peristiwa yang
terkenal kearah suatu peristiwa yang tidak terkenal. Ada dua
macam persangkaan, yaitu: persangkaan menurut Undang-undang
dan persangkaan yang tidak berdasarkan Undang-undang.
4. Alat Bukti Pengakuan
Menurut ketentuan Pasal 174-176 HIR, pengakuan yang
diucapkan dimuka sidang pengadilan mempunyai kekuatan bukti
yang sempurna bagi orang yang memberikan pengakuan, baik
diucapkan sendiri maupun dengan perantaraan orang lain yang
dikuasakan untuk itu.31
5. Alat Bukti Sumpah
Pengertian sumpah sebagai alat bukti, adalah suatu
keterangan atau pernyataan yang dikuatkan atas nama Tuhan,
dengan tujuan:32
1). Agar orang yang disumpah dalam memberi keterangan atau
pernyataan itu, takut atas murka Tuhan, apabila dia
berbohong.
2). Takut kepada murka atau hukuman Tuhan, dianggap sebagai
daya pendorong bagi yang bersumpah untuk menerangkan
yang sebenarnya.
31
Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia,Cetakan Kelima,Bandung: Citra
Aditya Bakti,1992, Halaman 147.
32
M.Yahya Harahap, Op Cit, halaman 745.
64
2. Macam-macam Surat
Surat sebagai alat bukti tertulis dibagi menjadi dua yaitu
surat yang merupakan akta dan surat – surat lainnya yang bukan
akta, sedangkan akta sendiri dibagi lebih lanjut menjadi akta otentik
dan akta di bawah tangan.
Bukan Akta adalah suatu surat yang tidak ada tanda
tangannya. Sedangkan Akta adalah surat yang diberi tanda tangan,
yang memuat peristiwa – peristiwa yang menjadi dasar dari pada
suatu, hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja
untuk pembuktian.
1). Akta Otentik
Akta otentik ialah suatu akta yang dibuat menurut posedur
dan bentuk sebagaimana ditentukan menurut prosedur dan bentuk
sebagaimana ditentukan undang-undang, oleh atau dihadapan
pejabat umum yang berwenang untuk itu, dengan maksud untuk
dipergunakan sebagai alat bukti.
2). Akta Di bawah Tangan
Akta di bawah tangan ialah suatu akta yang dibuat oleh
para pihak tanpa bantuan pejabat umum, dengan maksud untuk
dipergunakan sebagai alat bukti. Akta di bawah tangan berisi
pernyataan maksud para pihak guna mewujudkan suatu perbuatan
hukum yang oleh mereka dilukiskan dengan tulisan sebagai
penganti atau lanjutan pernyataan lisan mereka.
65
3. Kekuatan Pembuktian Surat
1). Akta Otentik
Pada tiap-tiap akta otentik dikenal tiga macam kekuatan
bukti, yaitu:
a. Kekuatan Bukti Lahir
Kekuatan bukti lahir, di sini syarat-syarat formil bagi
suatu akta otentik itu dipenuhi atau tidak. Jika syarat itu
dipenuhi, maka syarat yang tampaknya dari luar, secara
lahiriah sebagai akta otentik, dianggap akta otentik sepanjang
tidak terbukti sebaliknya.
b. Kekuatan Bukti Formil
Kekuatan bukti formil, mengenai kebenaran dari
peristiwa yang disebutkan dalam akta otentik tersebut.
c. Kekuatan Bukti Materiil
Kekuatan bukti materiil, mengenai kebenaran isi akta
otentik tersebut. Artinya apakah benar bahwa yang tercantum
dalam akta otentik tersebut seperti kenyataannya.
2). Akta Di bawah Tangan
Kekuatan pembuktian akta dibawah tangan, tidak seluas
akta otentik. Kekuatan pembuktian akta di bawah tangan yaitu:33
a. Kekuatan Pembuktian Formil
33
Ibid, halaman 591.
66
1. Orang yang bertanda tangan dianggap benar menerangkan
hal yang tercantum dalam akta.
2. Tidak mutlak untuk keuntungan pihak lain.
b. Kekuatan Pembuktian Materiil
1. Isi keterangan yang tercantum harus dianggap benar
2. Memiliki daya mengikat pada ahli waris dan orang yang
mendapat hak dari padanya.
F. Akta Perdamaian
1. Pengertian Perdamaian
Pasal
1851
Kitab
Undang-undang
Hukum
Perdata
menjelaskan yang dimaksud Perdamaian adalah suatu persetujuan
dengan
mana
kedua
belah
pihak,
dengan
menyerahkan,
menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara,
dimana persetujuan itu harus tertulis.
2. Syarat-syarat Perdamaian
Berdasarkan Pasal 1851 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata dan Pasal 130 HIR, maka syarat formal dari putusan
perdamaian yakni:34
a. Persetujuan kedua belah pihak
Kedua
belah
pihak
yang
bersangkutan
sama-sama
“menyetujui” dengan sukarela mengakhiri persengketaan. Dengan
34
Victor M.Situmorang, Perdamaian Dan Perwasiatan Dalam Hukum Acara Perdata, Cetakan
1,Jakarta: PT.Rineka Cipta, 1993,halaman 6.
67
demikian
berlaku
sepenuhnya
unsur-unsur
persetujuan
sebagaimana dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
b. Mengakhiri suatu sengketa
Putusan
perdamaian
harus
benar-benar
mengakhiri
sengketa yang terjadi antara kedua belah pihak. Suatu putusan
perdamaian yang tidak secara tuntas mengakhiri sengketa yang
sedang terjadi antara kedua belah pihak dianggap tidak memenuhi
syarat formal.
c. Perdamaian atas sengketa yang telah ada
Perdamaian harus didasarkan atas persengketaan yang telah
ada. Menurut Pasal 1851 KUH Perdata persengketaan itu:
1. Sudah berwujud sengketa perkara di Pengadilan
2. Sudah nyata terwujud sengketa perdata yang akan diajukan ke
Pengadilan, sehingga perdamaian yang dibuat oleh para pihak
mencegah terjadinya perkara di sidang Pengadilan.
d. Berbentuk tertulis
Suatu persetujuan perdamaian dikatakan tidak sah apabila
dibuat secara lisan. Sedangkan sahnya suatu persetujuan
perdamaian apabila dibuat secara tertulis.
68
3. Pengertian Akta Perdamaian
Akta perdamaian yakni suatu persetujuan perdamaian yang
dibuat para pihak dan terdapat dalam persetujuan itu para pihak
minta pengukuhan dari pengadilan.35
4. Kekuatan Akta Perdamaian
Sebagaimana diatur dalam Pasal 1858 KUH Perdata dan
Pasal 130 ayat (2) dan (3) HIR. Maka akta perdamaian mempunyai
fungsi:36
a. Disamakan Kekuatannya Dengan Putusan Yang Berkekuatan
Hukum Tetap.
Menurut Pasal 1858 ayat (1) KUH Perdata, perdamaian di
antara pihak, sama kekuatannya seperti putusan hakim yang
penghabisan.
b. Mempunyai Kekuatan Eksekutorial
Sesaat setelah putusan dijatuhkan langsung melekat
kekuatan eksekutorial padanya. Apabila salah satu pihak tidak
menaati atau melaksanakn pemenuhan yang ditentukan dalam
perjanjian secara sukarela:
1) Dapat diminta eksekusi kepada PN,
2) Atas permintaan itu Ketua PN menjalankan eksekusi sesuai
dengan ketentuan Pasal 195 HIR
35
36
Ibid ,halaman 11.
M. Yahya Harahap, Op Cit, halaman 279.
69
c. Putusan Akta Perdamaian Tidak Dapat Banding
Ditegaskan dalam Pasal 130 ayat (3) HIR putusan akta
perdamaian tidak dapat banding. Dengan kata lain, tehadap
putusan tersebut tertutup upaya hukum (banding dan kasasi).
Larangan itu sejalan dengan ketentuan yang mempersamakan
kekuatannya sebagai putusan yang telah berkekuatan hukum
tetap.
70
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan oleh peneliti adalah pendekatan
kasus (case aprroach). Pendekatan kasus dilakukan dengan cara
melakukan telaah terhadap kasus – kasus yang berkaitan dengan isu
yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.37
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi dalam penelitian ini adalah penelitian yang bersifat
preskriptif dan terapan dengan mempelajari tujuan hukum dalam hal
demikian apa yang senyatanya ada berhadapan dengan apa yang
seharusnya.
C. Lokasi
Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Negeri Pemalang.
D. Sumber Bahan Hukum
1. Bahan Sekunder
Data yang bersumber dari bahan hukum, meliputi :
a. Bahan hukum primer
37
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cetakan Keenam, Jakarta: Kencana, 2010,
halaman 94.
71
Bahan-bahan yang bersumber dari peraturan perundangundangan serta dokumen-dokumen resmi yang berkaitan
dengan pokok permasalahan.
b. Bahan hukum sekunder
Bahan-bahan yang bersumber dari keputusan-keputusan,
literatur-literatur, artikel, makalah seminar, dan hasil
penelitian yang ada hubungannya dengan permasalahan
yang diteliti guna mendukung penelitian.
E. Metode Pengumpulan Bahan Hukum
Metode Pengumpulan Bahan Hukum
yang digunakan dalam
penelitian ini adalah :
a. Bahan Hukum Sekunder
Bahan Hukum sekunder diperoleh dari Putusan Pengadilan
Nomor :
03/Pdt.G/2007/PN.Pml.
b. Bahan Hukum Primer
Bahan Hukum diperoleh dengan menginventarisasi peraturan
perundang-undangan, mempelajari keputusan, buku literatur,
artikel, makalah, seminar, maupun surat-surat resmi yang ada
hubungannya dengan penelitian tersebut.
F. Metode Penyajian Bahan Hukum
Metode penyajian bahan hukum dalam penelitian ini akan disajikan
dalam bentuk uraian yang disusun secara sistematis. Keseluruhan data
72
yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya dan
disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti, sehingga menjadi
satu kesatuan utuh.
G. Metode Analisis Bahan Hukum
Bahan hukum yang diperoleh dan diinventarisir akan dianalisis secara
kualitatif, yaitu analisis yang dilakukan dengan memahami dan
merangkai bahan hukum yang telah dikumpulkan dan disusun secara
sistematis yang akhirnya akan ditarik kesimpulan pada karya tulis ini.
73
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini didasarkan pada dokumen-dokumen maupun arsiparsip yang ada relevansinya dengan permasalahan yang diteliti.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan terhadap Putusan
Pengadilan Negeri Nomor: 03/Pdt.G/2007/PN.Pml, maka dapat disajikan datadata sebagai berikut:
a) Para Pihak Yang Berperkara
Penggugat Konvensi / Tergugat rekonvensi
1. Nama
: Feri
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur
: 40 Tahun
Agama
: Budha
Alamat
: Dusun Posongan RT.03 RW.03, Desa Purwoharjo
Kecamatan Comal, Kabupaten Pemalang.
Tergugat Konvensi / Penggugat Rekonvensi
2. Nama
: Adji Wibowo Huni Sulistiyowati
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur
: 39 Tahun
Agama
: Budha
Alamat
: Dusun Posongan RT.03 RW.03, Desa Purwoharjo
74
Kecamatan Comal, Kabupaten Pemalang.
b) Duduk Perkara
Penggugat dengan surat gugatannya tertanggal 26 Februari 2007
yang telah didaftar di Kepaniteraan Negeri Pemalang tanggal 27 Februari
2007 mengajukan gugatan perceraian terhadap Tergugat dengan alasan
bahwa kehidupan rumah tangga antara Penggugat dan Tergugat seringkali
diwarnai ketidak harmonisan yaitu cek-cok / bertengkar mulut sehingga
sangat sulit untuk meneruskan kehidupan rumah tangganya sebagaimana
layaknya rumah tangga yang harmonis, mengenai anak yang masih kecil
dan masih membutuhkan kasih sayang ibu maka agar tetap diasuh oleh
Tergugat.
c) Petitum Penggugat
Berhubung alasan tersebut diatas, maka Penggugat agar Pengadilan
Negeri Pemalang memeriksa dan mengadili serta menjatuhkan putusannya
sebagai berikut:
1.Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya
2. Menyatakan putus karena perceraian perkawinan antara Penggugat dan
Tergugat yang dilangsungkan di Kantor Catatan Sipil Kabupaten
Pemalang pada tanggal 04 Februari 1993 yang tercatat dalam Akta
Perkawinan Nomor : 474.2/3/1993 tanggal 09 Februari 1993 dengan
segala akibat hukumnya.
75
3. Memerintahkan kepada Panitera Pengadilan Negeri Pemalang untuk
mengirimkan salinan putusan ini yang telah berkekuatan hukum tetap
kepada Kantor Catatan Sipil Kabupaten Pemalang.
4. Memerintahkan kepada Kantor Catatan Sipil Kabupaten Pemalang
untuk mencatat perceraian Penggugat dan Tergugat dalam daftar
perceraian pada tahun yang sedang berjalan, segara setelah diterimanya
salinan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
5. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara.
d) Jawaban Tergugat
Atas gugatan Penggugat, Tergugat memberikan jawaban secara
tertulis yang pada pokoknya mengemukakan sebagai berikut:
1. Bahwa benar apa yang disebutkan Penggugat pada butir 1,3,4,5,7 posita
gugatan Penggugat, rumah tangga Penggugat dan Tergugat tidak
harmonis percekcokan dan perselisihan terus menerus disebabkan selalu
perbedaan pendapat yang tajam yang masing-masing mempertahankan
pendapatnya sehingga tidak ada jalan penyelesaiannya.
2. Bahwa benar setelah kawin Penggugat dan Tergugat tinggal dirumah
kontrakan di Jalan Achmad Yani Comal selam 6 tahun dan selanjutnya
sampai sekarang tinggal di sebagaimana disebutkan pada gugatn
Penggugat.
3. Bahwa Tergugat tidak setuju hanya diminta sebagai pengasuh anak-anak
Penggugat dan Tergugat sebagaimana disebutkan pada butir 6 posita
76
gugatan Penggugat, tetapi mohon ditunjuk sebagai wali ibu dari anakanak tersebut.
e) Gugatan Rekonvensi
Tergugat melalui jawabannya kecuali menanggapi tentang pokok
perkara, juga mengajukan gugat balik/gugatan rekonvensi dengan dalil
sebagai berikut:
1.Bahwa karena kedua anak Penggugat Rekonvensi dan Tergugat
Rekonvensi yakni Reynaldi Julian Pratama dan Nadia Tiara Devi masih
dibawah umur masih membutuhkan kasih sayang dari ibu, maka
Penggugat Rekonvensi mohon ditunjuk sebagai waki ibu dari kedua
anak tersebut.
2.Bahwa sebagai akibat diajukannya gugatan cerai dari Tergugat
Rekonvensi kepada Penggugat Rekonvensi, maka pada tanggal 21
Maret 2007 Tergugat Rekonvensi dan Penggugat Rekonvensi
mengadakan kesepakatan perdamaian tentang harta bersama dan hak
serta kewajiban yang lain dimana redaksi dan ketentuan surat
perdamaian tersebut berbunyi sebagai berikut:
Yang bertanda tangan dibawah ini :
1. Nama
: Feri
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur
: 40 Tahun
Agama
: Budha
Alamat
: Dusun Posongan RT.03 RW.03, Desa Purwoharjo
77
Kecamatan Comal, Kabupaten Pemalang.
Selanjutnya disebut sebagai Pihak Pertama (1)
2. Nama
: Adji Wibowo Huni Sulistiyowati
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur
: 39 Tahun
Agama
: Budha
Alamat
: Dusun Posongan RT.03 RW.03, Desa Purwoharjo
Kecamatan Comal, Kabupaten Pemalang.
Selanjutnya disebut sebagai Pihak Kedua (2)
Sehubungan diajukannya gugatan cerai oleh FERI/ pihak pertama
terhadap ADJI WIBOWO HUNI SULISTIJOWATI / pihak kedua dan untuk
menjamin dikemudian hari tidak akan terjadi sengketa mengenai harta
bersama, maka sebelum perceraian diputus di Pengadilan pihak pertama dan
pihak kedua mengadakan perdamaian dengan kesepakatan sebagai berikut:
Pasal 1
Harta bersama dalam ikatan perkawinan antara pihak pertama dengan
pihak kedua baik harta bergerak maupun tidak bergerak terdiri dari:
1. Tanah darat luas ± 661 m² Sertifikat Hak Milik No.152 Tahun 1984 atas
nama Feri bin arifin terletak di Desa Purwosari, Kecamatan Comal,
Kabupaten Pemalang.
2. Tanah darat luas ± 160 m² Sertifikat Hak Milik No.179 Tahun 1986 atas
nama Feri bin arifin terletak di Desa Purwosari, Kecamatan Comal,
Kabupaten Pemalang.
78
3. Tanah darat luas ± 255 m² Sertifikat Hak Milik No.191 Tahun 1987 atas
nama Feri bin arifin terletak di Desa Purwosari, Kecamatan Comal,
Kabupaten Pemalang.
4. Tanah darat luas ± 225 m² Sertifikat Hak Milik No.261 Tahun 1988 atas
nama Feri bin arifin terletak di Desa Purwosari, Kecamatan Comal,
Kabupaten Pemalang.
5. Tanah darat luas ± 145 m² Sertifikat Hak Milik No.1450 Tahun 1987 atas
nama Huni Sulistiyowati terletak di Desa Petarukan, Kecamatan dan
Kabupaten Pemalang.
6. Tanah darat luas ± 120 m² beserta bangunan rumah yang berdiri diatasnya
Sertifikat Hak Milik No.1500 Tahun 1997 atas nama Feri terletak di
Kelurahan Pegadungan Komplek Perumahan Citra 3 Extension Blok A.1
Kavling No.22 Kecamatan Kalideres, Kotamadia Jakarta Barat, Daerah
Khusus Ibu Kota Jakarta Raya.
7. Hak milik Satuan Rumah Susun luas/ type 9,75 m² Sertifikat No.4677/III
Tahun 2002 atas nama Feri terletak di Kelurahan Sumur Batu, kecamatan
Kemayoran, Kotamadia Kalirandu, Kecamatan Jakarta Pusat, Daerah
Khusus Ibu Kota Jakarta.
8. Tanah sawah luas ± 1815 m² Sertifikat Hak Milik No.202 atas nama Feri
terletak di Desa Kalirandu, Kecamatan Petarukan, Kabupaten Pemalang.
9. Tanah sawah luas ± 168 m² Sertifikat Hak Milik No.938 atas nama Huni
Sulistiowati, terletak di Desa Purwosari, Kecamatan Comal, Kabupaten
Pemalang.
79
10.Tanah sawah luas ± 1.735 m² Sertifikat Hak Milik No.1051 atas nama Feri,
terletak di Desa Iser, Kecamatan Petarukan, Kabupaten Pemalang.
11.Tanah sawah luas ± 4430 m² Sertifikat Hak Milik No.1052 atas nama Feri
terletak di Desa Iser, Kecamatan Petarukan, Kabupaten Pemalang.
12.Penguasaan Hak Sewa Kios/Petak Toko No.12,12A,13,13A,14 terletak di
Komplek Pasar Petarukan Pemalang.
13.Mobil Honda Stream No.Pol.: B-8347-GB tahun 2002 BPKB C
No.2320712 G warna abu-abu metalik BPKB atas nama Ferry alamat Citra
Garden 2 C II/3B RT.03/03 Kalideres Jakarta Barat.
14. Mobil Toyota Kijang No.Pol.: B-1300-GG tahun 1994 BPKB A
No.216760 warna abu-abu metalik atas nama Ferry alamat Citra Garden SC
II/3B RT.03/03 Jakarta Barat
Seluruhnya diserahkan kepada pihak kedua.
Pasal 2
Bahwa dengan kesepakatan tersebut maka seluruh barang-barang
sebagaimana tersebut pada Pasal 1 diatas menjadi milik pihak kedua dan pihak
kedua dapat/berhak melakukan peralihan hak atas tanah-tanah dan barangbarang tersebut tanpa harus ada persetujuan pihak pertama.
Pasal 3
Bahwa karena seluruh harta bersama diserahkan kepada pihak kedua,
maka hutang bersama pada Bank Rakyat Indonesia (BRI) Cabang pembantu
Wuradesa sebesar Rp.1.500.000.000,- (Satu milyard lima ratus juta rupiah)
dengan Hak Tanggungan Sertifikat Hak Milik No. 152, 179, 191, 261
80
kesemuanya atas nama Ferry bin Arifin merupakan beban tanggung jawab
pihak kedua untuk membayarnya.
Demikian surat perdamaian ini dibuat rangkap dua dengan bunyi yang sama
ditandatangani atas kesepakatan bersama tanpa paksaan pihak manapun dan
mengikat kepada kedua belah pihak.
f) Petitum Penggugat Rekonvensi
Berdasarkan atas dalil jawaban tersebut diatas, Penggugat Rekonvensi
memohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pemalang, agar dalil
tersebut dipergunakan sebagai bahan pertimbangan dan kemudian
memberikan putusan yang berbunyi sebagai berikut:
1). Dalam Konvensi
Tergugat konvensi menyerahkan kepada Majelis Hakim pemeriksa
perkara ini.
2). Dalam Rekonvensi
a. Mengabulkan gugatan Penggugat Rekonvensi seluruhnya
b. Menyatakan Penggugat Rekonvensi adalah sebagai wali ibu dari dua
orang anak yang masih dibawah umur masing-masing bernama
Reynaldi Julian Pratama dan Nadia Tiara Devi
c. Menyatakan surat perdamaian tertanggal 21 Maret 2007 yang dibuat
dan ditandatangani atas kesepakatan Penggugat Rekonvensi dan
Tergugat Rekonvensi adalah sah serta mengikat kedua belah pihak.
g) Bukti-Bukti
81
1). Penggugat, dalam upaya menguatkan dalil-dalilnya/ gugatannya,
Penggugat mengajukan bukti surat dan saksi sebagai berikut:
Alat Bukti Surat :
a. Foto copy Kutipan Akta Perkawinan Nomor: 474.2/3/1993,
tertanggal 9 Februari 1993, yang dibuat dan ditanda tangani oleh
Kepala Kantor Catatan Sipil Kabupaten Dati II Pemalang, yang
menerangkan bahwa pada tanggal 9 Februari 1993 telah
dilangsungkan perkawinan antara Fery dan Adjiwibowo Huni
Sulistiyowati.
b. Foto copy Kutipan Akta Kelahiran Nomor 5464/2001, tertanggal
Semarang 29 November 2001, yang dibuat dan ditanda tangani
oleh Kepala Dinas Pendaftaran Penduduk dan Catatan Sipil Kota
Semarang, yang menerangkan bahwa di Semarang pada tanggal 1
November 2001 jam 14.10 telah lahir seorang anak laki-laki
bernama REYNALDI JULIAN PRATAMA anak kesatu dari suami
isteri FERY dan ADJI WIBOWO HUNI SULISTIYOWATI
c. Foto copy Kutipan Akta Kelahiran Nomor 2911/2005, tertanggal
18 Mei 2005, yang dibuat dan ditanda tangani oleh Kepala Kantor
Pendaftaran Penduduk dan Catatan Sipil Kota Semarang pada
tanggal 15 Mei 2005 jam 07.01 telah lahir seorang anak perempuan
bernama NADIA TIARA DEVI anak kedua dari suami isteri FERY
dan ADJI WIBOWO HUNI SULISTIYOWATI .
Alat Bukti Saksi :
82
(1) CASWANI, memberikan kesaksian yang pada pokoknya sebagai
berikut:
(a). Saksi Kenal dengan Penggugat dan tegugat karena saksi bekerja
pada kakak Tergugat
(b). Saksi mengerti antara Penggugat dan Tergugat kawin secara sah
dan dicatat di Kantor Catatan Sipil Pemalang namun tepatnya
kapan saksi tidak mengerti
(c). Dari perkawinan mereka dikaruniai anak 2 (dua) orang nak,
masing-masing bernama REYNALDI JULIAN PRATAMA dan
NADIA TIARA DEVI
(d). Saksi mengetahui dalam rumah tangga Penggugat dan Tergugat
bermasalah (sering terjadi percekcokan) yang disebabkan maslah
ekonomi yaitu mengenai sepi toko yang mereka kelola
(e). Antara Penggugat dan Tergugat sudah tidak hidup bersama lagi,
Penggugat dan Tergugat tidak ada komunikasi lagi dan tidak
pernah berjalan bersama
(f). Setahu saksi antara Penggugat dan tergugat tidak bertegur spa
suah sejak 2 (dua) tahun yang lalu.
(g). Saksi mengetahui bahwa anak-anak Tergugat dan Penggugat yang
bernama REYNALDI JULIAN PRATAMA dan NADIA TIARA
DEVI sekarang ini lebih dekat dengan ibunya (Tergugat) dari
pada dengan bapaknya (Penggugat).
83
(h). Saksi juga mendengar dan mengetahui kalau antara Penggugat
dan Tergugat telah ada kesepakatan mengenai harta bersama
maupun hutang bersama, yaitu harta bersama seluruhnya
diserahkan kepada Tergugat begitu juga masalah hutang-hutang
juga menjadi tanggungan Tergugat
(2) KUSNITI, memberikan kesaksian yang pada pokoknya sebagai
berikut:
(a). Saksi Kenal dengan Penggugat dan tegugat karena saksi bekerja
pada kakak Tergugat
(b). Antara Penggugat dan Tergugat kawin secra sah dan dicatat di
Kantor Catatan Sipil Kabupaten Pemalang, tepatnya kapan saksi
tidak mengerti sekitar tahun 1993
(c). Dari perkawinan mereka dikarunia anak 2 (dua) orang anak,
masing-masing bernama REYNALDI JULIAN PRATAMA dan
NADIA TIARA DEVI
(d). Saksi mengetahui dalam kehidupan rumah tanggaTergugat dan
Penggugat sering trjadi percekcokan yang diseabkan masalah
sepinya toko
(e). Sepengetahuan saksi dari pihak keluarga sudah sering berusaha
mendamaikan namun tidak lama kemudian masih juga bertengkar
lagi
(f). Antara Penggugat dan Tergugat tidak bertegur sapa pisah ranjang
sudah sekitar dua tahunan
84
(g). Sepengetahuan saksi kedua anak mereka yaitu Reynaldi dan
Nadia sering bersama ibunya (Tergugat)
(h). Saksi mendengar sudah ada kesepakatan mengenai harta bersama
yaitu katanya semua harta diserahkan kepada Tergugat dan
selebihnya saksi tidak mengerti.
2). Tergugat, untuk menguatkan dalil-dalil jawabannya Tergugat
mengajukan bukti surat, yaitu :
(a) Foto copy Surat Perdamaian antara Penggugat (Pihak kesatu)
dengan Tergugat (Pihak kedua), tertanggal 21 Maret 2007
h) Tentang Pertimbangan Hukum
1. Dalam Konvensi
(a). Bahwa maksud dan tujuan gugatan Penggugat adalah sebagaimana
yang telah tersebut di atas.
(b). Bahwa berdasarkan surat gugatan yang diajukan ke Pengadilan
Negeri Pemalang tertanggal 26 Februari 2007, maka Pengadilan
Negeri Pemalang berwenag untuk memeriksa dan mengadili
perkara gugatan ini.
(c). Bahwa yang menjadi permasalahan/ persoalan pokok dalam perkara
ini adalah apakah benar rumah tangga Penggugat dan Tergugat
sudah tidak mungkin dapat dipertahankan lagi.
(d).Bahwa
berdasarkan
bukti-bukti
yang
Penggugat
ajukan
dipersidangan berupa surat-surat dan keterangan saksi-saksi
tersebut, ternyata bahwa:
85
1). Penggugat telah melangsungkan perkawinan dengan Tergugat
di Kantor Catatan Sipil Kabupaten Dati II Pemalang pada
tanggal 9 Februari 1993 dengan bukti Akta Perkawinan No:
474.2/3/1993
2). Semula kehidupan rumah tangga Penggugat dan Tergugat rukun
dan harmonis, sehingga lahirlah 2 (dua) orang anak, yang
pertama diberi nama REYNALDI JULIAN PRATAMA dan
anak kedua yang putri diberi nama NADIA TIARA DEVI.
3). Sejak kelahiran anak pertama sekitar November 2001 rumah
tangga Penggugat dan Tergugat mulai diwarnai ketidak
harmonisan yakni sering terjadi cek-cok/ pertengkaran mulut,
namun hal tersebut dapat diselesaikan secara kekeluargaan
sehingga dapat akur kembali walaupun
sudah jarang
berkomunikasi diantara keduanya.
4). Keretakan yang terjadi sejak kelahiran anak pertama sekitar Mei
2005 ternyata terus terjadi, yang pada puncaknya setelah
kelahiran anaka kedua diantara Penggugat dan Tergugat sudah
tidak lagi saling berkomunikasi sama sekali, bahkan untuk
tegur sapapun tidak lagi terjadi diantara keduanya dan akhirnya
Penggugat dan Tergugat pisah ranjang hingga sekarang ini
sudah 2 (dua) tahunan.
86
5). Oleh karena anak Penggugat masih kecil dan membutuhkan
kasih sayang ibu, maka Penggugat menyerahkan kedua anak
hasil perkawinan mereka tetap dalam asuhan ibunya.
6). Oleh karena rumah tangga antara Penggugat dan Tergugat
sangat sulit dan tidak dapat dipertahankan lagi, maka
Penggugat mohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Pemalang
untuk menyatakan bahwa perkawinan antara Penggugat dan
Tergugat yang telah dilangsungkan pada tanggal 9 Februari
1993 di Kantor Catatan Sipil Kabupaten Dati II Pemalang
putus karena perceraian dengan segala akibat hukumnya.
(e). Berdasarkan pengakuan Penggugat dipersidangan dan berdasarkan
keterangan dari 2 (dua) orang saksi yang didengar keterangannya
dipersidangan yaitu CASWATI dan saksi KASNITI, ternyata
bahwa perkawinan Penggugat dan Tergugat sejak kelahiran anak
pertama sekitar November 2001 sampai sekarang tidak ada lagi
suatu keharmonisan dalam kehidupan rumah tangga Penggugat
karena selalu terjadi percekcokan, sehingga antara Penggugat dan
Tergugat tidak pernah lagi mendapat kebahagiaan lahir dan bathin,
yang mana hal tersebut mutlak diperlukan dalam mewujudkan
suatu rumah tangga yang bahagia dan kekal. Hal percekcokan dan
ketidak harmonisan rumah tangga keduanya juga diakui oleh
Tergugat baik dlam jawabn atas gugatan Penggugat maupun disaat
mediasi dalam usaha perdamaian.
87
(f). Kehidupan
rumah
tangga
mereka
sudah
tidak
terdapat
keharmonisan lagi, tidak ada cinta lagi karena selalu terjadi
percekcokan dan keributan terus menerus yang tidak mungkin
untuk didamaikan lagi, sehingga perkawinan antara Penggugat dan
Tergugat tidak dapat dipertahankan untuk tetap hidup rukun
sebagaimana layaknya tujuan suatu perkawinan menurut Pasal 1
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, sehingga tidak ada jalan
lain lagi yang dapat ditempuh untuk keduanya kecuali putusnya
ikatan perkawinan diantara mereka
(g). Untuk dapat suatu perkawinan dinyatakan putus karena perceraian,
maka haruslah dipenuhi ketentuan-ketentuan dalam Pasal 38 dan
Pasal 39 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dimana harus
cukup alasan untuk melakukan perceraian, yang mana ditegaskan
lagi oleh Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
(h). Ternyata penggugat sudah pisah meja dan pisah ranjang dengan
Tergugat sejak sekitar bulan Mei 2005 hingga sekarang ± 2 (dua)
tahun.
(i). Mengenai kedua anak hasil perkawinan mereka karena masih kecilkecil dan lebih membutuhkan kasih sayang dari seorang ibu, maka
penggugat menyerahkan kedua anak hasil perkawinan mereka tetap
berada dalam pengasuhan Tergugat.
88
(j). Dikarenakan gugatan Penggugat dikabulkan, maka seluruh biaya
yang timbul harus dibebankan kepada Tergugat, sesuai dengan
Ketentuan Pasal 180 ayat (3) HIR.
2. Dalam Rekonvensi
(a). Dalam gugatan rekonvensinya Penggugat Rekonvensi, kedua anak
hasil perkawinan dari Penggugat Rekonvensi dengan Tergugat
Rekonvensi pengurusannya dan pengasuhannya diserahkan kepada
Penggugat Rekonvensi.
(b). Bahwa mengenai surat perdamaian tertanggal 21 Maret 2007 yang
dibuat dan ditanda tangani oleh kedua belah pihak, untuk
dinyatakan sah, serta mengikat kedua belah pihak, oleh karena
dibuat atas kesepakatan bersama dan dilakukan penandatanganan
surat tersebut dihadapan dan disaksikan oleh dua orang saksi, tanpa
paksaan
(c). Dikarenakan gugatan Penggugat Konvensi dan Penggugat
Rekonvensi dikabulkan seluruhnya, maka seluruh biaya yang
timbul dalam perkara ini dibebankan kepada masing-masing
Tergugat Konvensi dan Tergugat Rekonvensi. Mengingat akan
Ketentuan dari Pasal-Pasal Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
dan Undang-undang yang bersangkutan khususnya Pasal 19 ayat f
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Pasal 125 ayat (1)
HIR serta Peraturan lain yang bersangkutan.
89
i) Putusan PN.Pemalang
1. Dalam Konvensi
(1). Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya
(2). Menyatakan perkawinan antara Penggugat dan Tergugat yang telah
dilangsungkan di Kantor Catatan Sipil Kabupaten Dati II Pemalang
tanggal 4 Februari 1993 yang tercatat dalam Akta Nomor
474.2/3/1993 putus karena perceraian dengan segala akibat
hukumnya.
(3). Memerintahkan kepada Panitera atau Pejabat yang ditunjuk
menggantikannya, supaya mengirimkan salinan resmi dari putusan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap kepada Kantor
Catatan Sipil Pemalang yang mencatat perkawinan antara
Penggugat dan Tergugat
(4) Memerintahkan kepada Kantor Catatan Sipil di Pemalang untuk
mencatat/ mendaftarkan putusan perceraian ini dalam register yang
disediakan untuk itu dan memberikan Akta Perceraian kepada
Penggugat dan Tergugat.
2. Dalam Rekonvensi
(1). Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya
(2). Menetapkan Penggugat sebagai wali pengurus dari dua orang anak
yang masih dibawah umur / belum dewasa bernama REYNALDI
90
JULIAN PRATAMA lahir di Semarang tanggal 1 November 2001
dan NADIA TIARA DEVI lahir di Semarang tanggal 18 Mei 2005
(3). Menyatakan sah dan mengikat kedua belah pihak Surat Perdamaian
tertanggal 21 Maret 2007 yang dibuat dan ditanda tangani oleh
Penggugat Rekonvensi dengan Tergugat Rekonvensi.
3. Dalam Konvensi dan Rekonvensi
Membebankan biaya perkara yang timbul akibat dari perkara ini
kepada Tergugat Konvensi dan Tergugat Rekonvensi secara tanggung
renteng sebesar Rp.194.000,- (Seratus sembilan puluh empat ribu
rupiah).
91
B. Pembahasan
1. Penilaian kekuatan Akta Perdamaian atas pembagian harta
bersama yang dikabulkan dalam gugatan rekonvensi perkara
perceraian pada putusan Nomor: 03/Pdt.G/2007/PN.Pml.
Perkawinan merupakan suatu peristiwa hukum dilapangan hukum
keluarga, yang terjadi melalui persetujuan antara calon mempelai
untuk membentuk suatu keluarga (rumah tangga). Perkawinan sebagai
suatu peristiwa hukum memiliki akibat hukum, yaitu meliputi: hak
dan kewajiban suami isteri. Kedudukan anak hak dan kewajiban
antara orang tua dengan anak dan harta benda perkawinan.
Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 menentukan bahwa
perkawinan adalah ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal ini menganut asas perkawinan yang
langgeng dan abadi sampai suami-isteri dipisahkan oleh kematian.
Pasal ini seolah-olah menutup kemungkinan adanya pintu perceraian
dalam keadaan apapun dan dengan alasan apapun. Baik atau buruk,
sengsara atau tidak, kekekalan yang dicita-citakan adakalanya tidak
bisa dipertahankan. Dalam kondisi yang sangat khusus dan
berdasarkan alasan perceraian yang dibenarkan Undang-undang,
perceraian dimungkinkan sebagai jalan terakhir.
92
Putusnya perkawinan karena perceraian yang terjadi karena
adanya cerai talak maupun cerai gugat, akan berakibat terhadap
hubungan suami isteri, terhadap hubungan orang tua dan anak,
terhadap pihak ketiga dan terhadap harta benda perkawinan. Mengenai
akibat perceraian terhadap harta benda perkawinan persoalannya lebih
tampak pada harta bersama karena mengenai harta pribadi sudah ada
dalam penguasaan dan pengurusan masing-masing suami-isteri.
Penggugat
secara
sengaja
tidak
menggabungkan
gugatan
perceraian dengan harta bersama karena harta bersama tersebut
seluruhnya atau sebagian masih dikuasainya, ini sangat merugikan
sekali bagi pihak tergugat. Apabila hal ini terjadi, apabila penggugat
tidak menggabungkan gugatannya dengan pembagian harta bersama,
maka tergugat dapat mengajukan haknya untuk mengajukan gugat
rekonvensi atas pembagian harta bersama.
Hasil penelitian terhadap Putusan Pengadilan Negeri Nomor:
03/Pdt.G/2007/PN.Pml dapat dijelaskan bahwa sengketa antara Feri
dan Adji Wibowo Huni Sulistiyowati adalah sengketa perceraian
dalam hal ini gugat cerai. Dalam perkara ini, Penggugat tidak
menggabungkan gugatannya dengan pembagian harta bersama,
kemudian Tergugat melalui kuasa hukumnya mengajukan gugatan
rekonvensi atas pembagian harta bersama. Atas gugatan rekonvensi
tersebut antara Penggugat dan Tergugat mengadakan kesepakatan
93
mengenai pembagian harta bersama yang kemudian kesepakatan
tersebut dituangkan dalam akta perdamaian tertanggal 21 Maret 2007.
Pasal 163 HIR/283 R.Bg./ 1865 KUH Perdata, yang menerangkan :
“Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu
hak, atau, guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah
suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan
membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut”.
Pasal ini mempunyai tujuan agar orang-orang yang berperkara di
Pengadilan, selalu harus membuktikan apa yang mereka ajukan guna
memperkuat dalil-dalil mereka.
Menurut Mr.R.Tresna didalam perkara perdata sesungguhnya
tidak demikian halnya, yang harus dibuktikan kebenarannya,
hanyalah apa yang disangkal saja oleh yang digugat.38
Penggugat mengajukan gugatan perceraian terhadap Tergugat
dengan mengemukakan dalil-dalil gugatannya antara lain:
penggugat dan tergugat adalah suami isteri yang kawin secara sah
setelah perkawinan tersebut antara penggugat dan tergugat sepakat
untuk belajar hidup mandiri dengan cara mengontrak rumah di daerah
comal. Kehidupan rumah tangga antara Penggugat dan Tergugat
penuh kebahagiaan sampai dikarunia 2 orang anak, namun setelah
kelahiran anak pertama kehidupan rumah tangga Penggugat dan
Tergugat mulai diwarnai ketidakharmonisan namun masih dapat akur
kembali. Namun ketidakharmonisan menncapai puncaknya setelah
kelahiran anak kedua, sehingga sangat sulit untuk meneruskan
38
Mr.R.Tresna, Komentar HIR,Cetakan kedelapan belas, Jakarta: PT.Pradnya Paramita, 2005,
halaman 139.
94
kehidupan rumah tangganya selayaknya rumah tangga yang harmonis
maka bagi Penggugat tidak ada jalan lain selain mengajukan gugatan
perceraian. Mengenai anak yang masih kecil dan masih membutuhkan
kasih sayang tergugat maka anak-anak tersebut agar tetap diasuh oleh
tergugat. Dalam petitum gugatannya tersebut Penggugat menuntut
agar Majelis Hakim memberi putusan :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya
2. Menyatakan putus karena cerai perkawinan antara Penggugat dan
Tergugat
Berdasarkan gugatan yang diajukan oleh suaminya, pihak isteri
mengajukan jawaban dimana Tergugat membenarkan gugatan yang
disebutkan Penggugat dan tidak setuju jika hanya diminta sebagai
pengasuh anak-anak Penggugat tetapi mohon ditunjuk sebagai wali
ibu dari anak-anak tersebut.
Tergugat juga mengajukan gugatan rekonvensi untuk pembagian
harta bersama, yang didalam petitum gugatan rekonvensinya
Penggugat rekonvensi mohon agar Pengadilan Negeri Pemalang
menjatuhkan putusan:
Dalam Konvensi:
Tergugat konpensi menyerahkan kepada majelis hakim pemeriksa
perkara ini
Dalam Rekonvensi:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat Rekonvensi seluruhnya
95
2. Menyatakan Penggugat Rekonvensi adalah sebagai wali ibu dari
dua orang anak yang masih dibawah umur masing-masing bernama
Reynaldi Julian Pratama dan Nadya Tiara Devi.
3. Menyatakan surat perdamaian tertanggal 21 Maret 2007 yang
dibuat dan ditandatangani atas kesepakatan Penggugat Rekonvensi
dan Tergugat Rekonvensi adalah sah serta mengikat kedua belah
pihak.
Setelah mendengar jawaban Tergugat tersebut pihak Penggugat
tidak mengajukan Replik dan pihak Tergugat tidak mengajukan
duplik, maka persidangan dilanjutkan dengan pemeriksaan alat-alat
bukti. Karena itu untuk menguatkan dalil-dalil gugatannya, Penggugat
mengajukan beberapa alat bukti surat dan saksi-saksi. Alat bukti surat
yang diajukan antara lain:
1. Foto copy Kutipan Akta Perkawinan Nomor : 474.2/3/1993, yang
menerangkan tertanggal 9 Februari 1993 telah dilangsungkan
perkawinan
antara
FERY
dan
ADJIWIBOWO
HUNI
SULISTIYOWATI.
2. Foto copy Akta Kelahiran Nomor 5464/2001, tertanggal Semarang
29 November 2001 atas nama REYNALDI JULIAN PRATAMA.
3. Foto copy Akta Kelahiran Nomor 2911/2005, tertanggal Semarang
18 Mei 2005 atas nama NADYA TIARA DEVI.
Alat bukti Foto copy surat tersebut cocok dan sesuai dengan surat
aslinya sehingga memenuhi sebagai alat bukti yang sah, selain surat
96
Penggugat juga mengajukan 2 orang saksi, memberikan keterangan
sebagai berikut:
Saksi Caswani dan Kusniti, mengaku mengenal dengan
Penggugat dan Tergugat karena saksi bekerja pada kakak Tergugat,
meraka menganal kedua anak Penggugat dan Tergugat serta
mengatahui dalam rumah tangga Penggugat dan Tergugat bermaslah
yang disebabkan masalah ekonomi yaitu mengenai sepinya toko,
bahwa saksi juga mendengar dan mengetahui kalau antara Penggugat
dan Tergugat telah ada kesepakatan mengenai harta bersama maupun
hutang bersama, yaitu harta bersama seluruhnya diserahkan kepada
Tergugat begitu juga hutang-hutang menjadi tanggungan Tergugat.
Tergugat untuk menguatkan dalil jawabannya juga mengajukan
alat bukti surat, berupa Foto copy Surat Perdamaian antara Penggugat
(Pihak ke satu) dengan Tergugat (Pihak Ke dua), tertanggal 21 Maret
2007.
Penggugat
telah
dapat
membuktikan
seluruh
dalil-dalil
gugatannya dan demikian pula Tergugat/Penggugat Rekonvensi dapat
membuktikan dalil-dalil gugatan rekonvensinya maka Pengadilan
Negeri Pemalang memberikan pertimbangan hukum antara lain:
Dalam Konvensi :
1. Berdasarkan surat gugatan yang diajukan ke Pengadilan Negeri
Pemalang tertanggal 26 Februari 2007, maka Pengadilan Negeri
97
Pemalang berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara
gugatan tersebut.
2. Sesuai dengan hakikat dari pada perkawinan sebagaimana
ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dalam
Pasal 1 maka perkawinan antara Penggugat dan Tergugat sudah
selaras dengan tujuan perkawinan.
3. dalil – dalil gugatan Penggugat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 ayat f dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 telah
terpenuhi.
Dalam Rekonvensi :
1. dalam gugatan rekonvensinya Tergugat meminta agar pengurusan
dan pengasuhan kedua anaknya diserahkan kepada Penggugat
Rekonvensi
2. mengabulkan surat perdamaian tertanggal 21 Maret 2007 yang
dibuat dan ditanda tangani oleh kedua belah pihak, yang
dimohonkan untuk dinyatakan sah, serta mengikat kedua belah
pihak.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut maka Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Pemalang, Mengadili :
Dalam Konpensi :
(1). Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya
(2). Menyatakan perkawinan antara Penggugat dan Tergugat yang
telah dilangsungkan di Kantor Catatan Sipil Kabupaten Dati II
98
Pemalang tanggal 4 Februari 1993 yang tercatat dalam Akta
Nomor 474.2/3/1993 putus karena perceraian dengan segala
akibat hukumnya.
(3). Memerintahkan kepada Panitera atau Pejabat yang ditunjuk
menggantikannya, supaya mengirimkan salinan resmi dari
putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap kepada
Kantor Catatan Sipil Pemalang yang mencatat perkawinan antara
Penggugat dan Tergugat
(4) Memerintahkan kepada Kantor Catatan Sipil di Pemalang untuk
mencatat/ mendaftarkan putusan perceraian ini dalam register
yang disediakan untuk itu dan memberikan Akta Perceraian
kepada Penggugat dan Tergugat.
Dalam Rekonvensi
(1). Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya
(2). Menetapkan Penggugat sebagai wali pengurus dari dua orang
anak yang masih dibawah umur / belum dewasa bernama
REYNALDI JULIAN PRATAMA lahir di Semarang tanggal 1
November 2001 dan NADIA TIARA DEVI lahir di Semarang
tanggal 18 Mei 2005
(3). Menyatakan sah dan mengikat kedua belah pihak Surat
Perdamaian tertanggal 21 Maret 2007 yang dibuat dan ditanda
tangani
oleh
Rekonvensi.
Penggugat
Rekonvensi
dengan
Tergugat
99
Dalam Konvensi dan Rekonvensi
Membebankan biaya perkara yang timbul akibat dari perkara ini
kepada Tergugat Konvensi dan Tergugat Rekonvensi secara tanggung
renteng sebesar Rp.194.000,- (Seratus sembilan puluh empat ribu
rupiah).
Dasar majelis hakim pemeriksa perkara tersebut mengabulkan
gugatan Penggugat karena Tergugat telah mengakui gugatan
Penggugat tersebut. Bahwa dalam kehidupan rumah tangga antara
penggugat dan Tergugat sudah tidak harmonis lagi, setelah anak
pertama lahir terjadi perselisihan secara terus menerus yang tidak
mungkin dapat dirukunkan kembali. Hal tersebut yang menjadi salah
satu syarat terjadinya perceraiansebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 34 ayat (2) dan PP Nomor 9
Tahun 1975 Pasal 19 huruf f.
Demikian juga yang menjadi dasar dikabulkannya gugatan
rekonvensi karena adanya surat perdamaian tertanggal 21 Maret 2007
antara Penggugat dan Tergugat tentang pembagian harta bersama dan
penetapan Tergugat sebagai wali ibu. Surat tersebut menjadi dasar
pertimbangan karena surat perdamaian yang ditanda tangani kedua
belah pihak mempunyai kekuatan hukum formil dan materiil.
100
Proses berakhir apabila perdamaian dicapai. Perdamaian tidak
bersifat putusan yang diambil atas pertanggungjawaban hakim,
melainkan bersifat persetujuan antara kedua belah pihak atas
pertanggungan mereka sendiri. Itulah sebabnya pasal 130 ayat 3
Reglemen Indonesia tidak mengizinkan permohonan banding terhadap
perdamaian yang dicapai di sidang Pengadilan.39
Setelah Perdamaian tersebut maka dibuat sebuah akta, sehingga
kedua belah pihak diwajibkan memenuhi persetujuannya. Akta
perdamaian ini mempunyai kekuatan seperti putusan hakim dan
dijalankan pula seperti putusan hakim.
Asasnya dalam perkara perdata, alat bukti yang berbentuk tulisan
itu merupakan alat bukti yang diutamakan atau merupakan alat bukti
yang nomor satu jika dibandingkan dengan alat-alat bukti lainnya.
Menurut Sudikno Mertokusumo, Alat bukti tertulis atau surat adalah
segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan
untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran
seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.40
Akta menurut Sudikno Mertokusumo adalah surat yang diberi
tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar dari pada
suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja
untuk pembuktian.
39
R. Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Cetakan Ketujuh, Jakarta:
PT.Pradnya Paramita, 1982, Halaman 56.
40
Sudikno Mertokusumo, Op Cit, halaman 116.
101
Akta itu sendiri dibagi dua yaitu akta otentik dan akta bawah
tangan. Akta Otentik ialah suatu akta yang dibuat menurut prosedur
dan bentuk sebagaimana ditentukan Undang-undang, oleh atau
dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu, dengan maksud
untuk dipergunakan sebagai alat bukti. Akta dibawah tangan ialah
suatu akta yang dibuat para pihak tanpa bantuan pejabat umum,
dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti. Akta dibawah
ini berisi pernyataan maksud para pihak guna mewujudkan suatu
perbuatan hukum yang oleh mereka dilukiskan dengan tulisan sebagai
pengganti atau lanjutan pernyataan lisan mereka.
Dikaitkan dengan hasil penelitian dalam gugatan rekonvensi point
(2) bahwa alat bukti surat yang diajukan oleh Tergugat termasuk akta
dibawah tangan. Akta perdamaian yang dibuat oleh para pihak telah
memenuhi rumusan Pasal 1851 KUH Perdata. Pasal tersebut
menjelaskan yang dimaksud dengan perdamaian adalah suatu
persetujuan dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan,
menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara,
dimana persetujuan itu harus tertulis.
Akta Perdamaian tersebut telah memenuhi syarat formil dari
putusan perdamaian sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1851
KUH Perdata, yakni:
a. Persetujuan kedua belah pihak
102
Kedua
belah
pihak
yang
bersangkutan
sama-sama
“menyetujui” dengan sukarela mengakhiri persengketaan. Dengan
demikian berlaku sepenuhnya unsur-unsur persetujuan sebagimana
dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Antara Penggugat dan Tergugat telah terjadi kesepakatan
untuk mengadakan perdamaian sebelum perceraian diputus agar
menjamin tidak akan terjadinya sengketa dikemudian hari.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Kedua belah pihak telah dianggap dewasa sehingga cakap
untuk membuat suatu perikatan. Sebagaimana yang diatur
dalam an contrario Pasal 330 KUH Perdata.
3. Suatu hal tertentu
Hal yang menjadi perdamaian tersebut ialah mengenai harta
bersama sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 1 – Pasal 3
surat perdamaian yang dibuat oleh para pihak.
4. Suatu sebab yang halal
Subtansi surat perdamaian tersebut tidak bertentangan
dengan undang-undang dan norma-norma kesusilaan.
b. Mengakhiri suatu sengketa
Putusan perdamaian tersebut telah mengakhiri sengketa
mengenai pembagian harta bersama.
c. Perdamaian atas sengketa yang telah ada
103
Perdamaian tersebut didasarkan atas persengketaan mengenai
perceraian yang telah diajukan di Pengadilan.
d. Berbentuk tertulis
Persetujuan perdamaian tertanggal 21 Maret 2007 tersebut
dibuat secara tertulis dalam bentuk akta dibawah tangan. Hal
tersebut dikuatkan oleh pertimbangan hakim yang menyatakan
mengenai surat perdamaian tertanggal 21 Maret 2007 yang dibuat
dan ditanda tangani oleh kedua belah pihak, yang dimohonkan
untuk dinyatakan sah, serta mengikat kedua belah pihak, oleh
karena
dibuat
atas
kesepakatan
bersama
dan
dilakukan
penandatanganan surat tersebut dihadapan dan disaksikan oleh dua
orang saksi, tanpa paksaan. Oleh karena itu, akta dibawah tangan
tersebut mempunyai kekuatan hukum yang sama seperti akta
otentik dikarenakan para pihak mengakui tanda tangan mereka.
Fungsi terpenting dari pada akta adalah sebagai alat bukti.
Sampai seberapa jauhkah akta mempunyai kekuatan pembuktian.
Kekuatan dari pada akta dapat dibedakan menjadi:
a. Kekuatan pembuktian Lahir
Kekuatan pembuktian lahir ialah kekuatan pembuktian
yang didasarkan atas keadaan lahir, apa yang tampak pada
lahirnya, yaitu bahwa surat yang tampaknya (dari lahir) seperti
akta, dianggap (mempunyai kekuatan) seperti akta sepanjang
tidak terbukti sebaliknya.
104
b. Kekuatan Pembuktian Formil
Kekuatan pembuktian formil didasarkan atas benar
tidaknya ada pernyataan oleh yang bertanda tangan di bawah
akta itu. Kekuatan pembuktian formil ini memberi kepastian
tentang peristiwa bahwa pejabat dan para pihak menyatakan dan
melakukan apa yang dimuat dalam akta.
c. Kekuatan Pembuktian Materiil
Kekuatan pembuktian materiil ini memberi kepastian
tentang materi suatu akta. Memberi kepastian tentang peristiwa
bahwa pejabat atau para pihak menyatakan dan melakukan
seperti yang dimuat dalam akta.
Pada tiap-tiap akta dikenal tiga macam kekuatan bukti, yaitu:
1) Akta Otentik
a. Kekuatan Bukti Lahir
Kekuatan bukti lahir, di sini syarat-syarat formil
bagi suatu akta otentik itu dipenuhi atau tidak. Syarat
formil itu dipenuhi, maka syarat yang tampaknya dari luar,
secara lahiriah sebagai akta otentik, dianggap akta otentik
sepanjang tidak terbukti sebaliknya.
b. Kekuatan Bukti Formil
Kekuatan bukti formil, mengenai kebenaran dari
peristiwa yang disebutkan dalam akta otentik tersebut.
c. Kekuatan Bukti Materiil
105
Kekuatan bukti materiil, mengenai kebenaran isi
akta otentik tersebut. Artinya apakah benar bahwa yang
tercantum
dalam
akta
otentik
tersebut
seperti
kenyataannya.
2). Akta Di bawah Tangan
Kekuatan pembuktian akta dibawah tangan, tidak seluas
akta otentik. Kekuatan pembuktian akta di bawah tangan
yaitu:
a. Kekuatan Pembuktian Lahir
Terhadap siapa akta di bawah tangan itu digunakan
diwajibkan
membenarkan
atau
memungkiri
tanda
tangannya, barulah kalau tanda tangan diakui oleh yang
bersangkutan, maka akta di bawah tangan itu mempunyai
kekuatan dan menjadi bukti sempurna. Tanda tangan pada
akta di bawah tangan kemungkinan masih dapat
dipungkiri,
maka
akta
dibawah
tangan
itu
tidak
mempunyai kekuatan pembuktian lahir.
b. Kekuatan Pembuktian Formil
Kekuatan pembuktian formil apabila tanda tangan
akta di bawah tangan telah diakui. Sehingga keterangan
atau pernyataan di atas tanda tangan itu adalah keterangan
atau pernyataan dari pada yang menandatanganinya.
c. Kekuatan Pembuktian Materiil
106
Akta dibawah tangan yang diakui oleh orang
terhadap siapa akta itu digunakan atau yang dapat
dianggap
diakui. Menurut undang-undang, bagi yang
menanda tangani, ahli warisnya serta orang-orang yang
mendapat hak dari mereka, merupakan bukti sempurna.
Berdasarkan uraian maka dapat dijelaskan bahwa akta dibawah
tangan tersebut telah mempunyai kekuatan formil dan materiil dimana
para pihak telah mengakui tanda tangan mereka sehingga menjadi
bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dari padanya tentang segala
hal yang disebut dalam akta itu dan juga tentang yang ada dalam akta
itu sebagai pemberitahuan sahnya dan tidak bertentangan dengan
Yurisprudensi keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor : 913 K/Sip/1982 tanggal 21 Mei 1983 menyebutkan bahwa
suatu gugatan yang petitumnya menuntut agar perkawinannya antara
Penggugat dengan Tergugat diputuskan dengan jalan perceraian, maka
tuntutan ini tidak dapat ditambah atau digabungkan tentang
Pembagian
Harta
Bersama
Perkawinannya.
Gugatan
tentang
pembagian harta perkawinan ini harus diajukan sebagai gugatan
tersendiri atau terpisah setelah putusan tentang perceraiannya
mempunyai kekuatan hukum tetap. Petitum Penggugat, Penggugat
tidak menggabungkan pembagian harta bersama.
Adanya gugatan rekonvensi dan terbentuknya akta perdamaian
yang dibuat oleh para pihak maka proses perkara berjalan lebih cepat
107
dikarenakan pada hakekatnya tujuan yang terkandung dalam sistim
rekonvensi bukan hanya sekedar untuk memenuhi kepantingan pihak
tergugat saja, tetapi meliputi kepentingan penggugat maupun
penegakan kepastian hukum, adapun tujuan dari gugatan rekonvensi
antara lain:41
a. Menegakkan Asas Peradilan Sederhana
Sesuai dengan Pasal 132 b ayat (3) HIR, gugatan konvensi
dan rekonvensi diperiksa dan diputus secara serentak dan
bersamaan dalam satu proses, dan dituangkan dalam satu putusan.
Sistim yang menyatukan pemeriksaan dan putusan dalam satu
proses, sangat menyederhanakan penyelesaian perkara. Dengan
sistim ini, penyelesaian perkara yang semestinya harus dilakukan
dalam dua proses yang terpisah dan berdiri sendiri , dibenarkan
hukum diselesaikan secara bersama dalam satu proses.
b. Menghemat Biaya dan Waktu
1) Menghemat Biaya
Apabila pemeriksaan gugatan rekonvensi dilakukan secara
terpisah dengan konvensi, biaya yang mesti dikeluarkan untuk
memanggil para pihak maupun biaya lain menjadi dua kali lipat.
Biaya yang semestinya harus ditetapkan dan dianggarkan untuk
masing-masing gugatan konvensi dan rekonvensi, oleh Undang-
41
Yahya Harahap, Op Cit, halaman 472.
108
undang hanya dibukukan menjadi pembayaran tunggal sebagai
beban gugatan konvensi.
2) Menghemat Waktu
Proses pemeriksaan berdiri sendiri, diperlukan jatah waktu
yang berbeda dan terpisah untuk masing-masing gugatan.
Konvensi memerlukan jatah waktu tersendiri, demikian juga
rekonvensi. Akan tetapi melalui sistim pemeriksaan sebagaimana
diatur dalam Pasal 132 b ayat (2) HIR mengenai penggabungan
pemeriksaan keduanya dalam satu proses dan dalam satu putusan,
penyelesaian kedua perkara menjadi lebih singkat.
3) Menghindari Putusan yang saling Bertentangan
Pemeriksaan antara keduanya terpisah dan berdiri sendiri,
besar kemungkinan putusan yang dijatuhkan saling bertentangan,
antara putusan gugatan konvensi dengan gugatan rekonvensi.
Pertentangan itu semakin potensial terjadi, apabila yang
menyelesaikan pemeriksaan adalah majelis hakim yang berbeda.
109
2. Akibat hukum dengan dikabulkannya gugatan rekonvensi dalam
perkara perceraian pada putusan Nomor: 03/Pdt.G/2007/PN.Pml.
Gugatan rekonvensi yang diajukan oleh Tergugat/Penggugat
Rekonvensi yang pada pokoknya,antara lain :
1. Kedua anak Penggugat Rekonvensi dan Tergugat Rekonvensi yakni
Reynaldi Julian Pratama dan Nadia Tiara Devi masih dibawah umur
masih membutuhkan kasih sayang dari ibu, maka Penggugat
Rekonvensi mohon ditunjuk sebagai wali ibu dari kedua anak
tersebut.
2. Sebagai akibat diajukannya gugatan cerai dari Tergugat Rekonvensi
kepada Penggugat Rekonvensi, maka pada tanggal 21 Maret 2007
Tergugat Rekonvensi dan Penggugat Rekonvensi mengadakan
kesepakatan perdamaian tentang harta bersama dan hak serta
kewajiban yang lain.
Berdasarkan gugatan rekonvensi tersebut, maka Majelis Hakim
Memutuskan:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya
2. Menetapkan Penggugat sebagai wali pengurus dari dua orang
anaknya yang masih dibawah umur/ belum dewasa bernama
Reynaldi Julian Pratama dan Nadia Tiara Devi .
110
3. Menyatakan sah dan mengikat kedua belah pihak Surat Perdamaian
tertanggal 21 Maret 2007 yang dibuat dan ditanda tangani oleh
Penggugat Rekonvensi dengan Tergugat Rekonvensi.
Penggugat kovensi / Tergugat rekonvensi dalam perkara ini
tidak
mengajukan
upaya
hukum,
maka
putusan
nomor
:
03/Pdt.G/2007/PN.Pml telah mempunyai kekutan hukum yang pasti.
Menurut Sudikno Mertokusumo, putusan mempunyai 3 macam
kekuatan yaitu:42
1. Kekuatan Mengikat
Maksud dari kekuatan mengikat ialah mengikat kedua belah
pihak dimana dijelaskan dalam Pasal 1917 KUH Perdata yaitu
kekuatan sesuatu putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan
mutlak tidaklah lebih luas dari pada sekedar mengenai soalnya
putusan. Agar dapat memajukan kekuatan itu, perlulah bahwa soal
yang dituntut adalah sama, bahwa tuntutan didasarkan atas alasan
yang sama, lagi pula dimajukan oleh adan terhadap pihak-pihak yang
sama didalam hubungan yang sama pula.
2. Kekuatan Pembuktian
Arti putusan itu sendiri dalam hukum pembuktian ialah
bahwa dengan putusan itu telah diperoleh suatu kepastian tentang
sesuatu. Sekalipun putusan tidak mempunyai kekuatan mengikat
42
171.
Sudikno,Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia,Yogyakarta:Liberty:1988,halaman
111
terhadap pihak ketiga, namun mempunyai kekuatan hukum
pembuktian terhadap pihak ketiga.
3. Kekuatan Eksekutorial
Kekuatan mengikat saja dari suatu putusan Pengadilan
belumlah cukup dan tidak berarti apabila putusan itu tidak dapat
direalisir atau dilaksanakan. Oleh karena putusan itu menetapkan
dengan tegas hak atau hukumnya untuk kemudian direalisir, maka
putusan hakim mempunyai kekuatan eksekutorial yaitu kekuatan
untuk dilaksanakannya apa yang ditetapkan dalam putusan itu secara
paksa oleh alat-alat negara.
Akibatnya Putusan Nomor: 03/Pdt.G/2007/PN.Pml mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat bagi kedua belah pihak,kekuatan
pembuktian terhadap pihak ketiga dan kekuatan eksekutorial apabila
tidak dilaksanakan secara sukarela serta proses perceraian yang terjadi
menjadi lebih cepat dan biaya yang mesti yang dikeluarkan pun
menjadi lebih ringan karena tidak terdapat lagi proses mengenai
pembagian harta bersama.
Selain
akibat
hukum
tersebut,
putusan
Nomor
:
03/Pdt.G/2007/PN.Pml juga mempunyai akibat terhadap :
1. Wali Ibu
Menetapkan Penggugat Rekonvensi sebagai wali pengurus dari dua
orang anak yang masih dibawah umur
2. Surat Perdamaian
112
Menyatakan sah dan mengikat kedua belah pihak surat perdamaian
tertanggal 21 Maret 2007 tanpa mesti terlebih dahulu dengan putusan
hakim.
Menurut Lilik Mulyadi di dalam praktik baik gugatan dalam
rekonvensi maupun gugatan dalam rekonvensi harus diperiksa
bersama-sama dan diputus dalam satu putusan.43
Tuntutan rekonvensi pada hakekatnya merupakan kumulasi atau
gabungan dua tuntutan, yang bertujuan untuk menghemat biaya,
mempermudah
prosedur
dan
menghindarkan
putusan-putusan
bertentangan satu sama lain. Terutama bagi Tergugat Rekonvensi ini
berarti menghemat biaya, karena tidak diwajibkan untuk membayar
biaya perkara.44
43
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Perdata menurut Teori dan Praktik Peradilan
Indonesia,Jakarta: Djambatan,1999,halaman 146.
44
Sudikno,Mertokusumo,Hukum
Acara
Perdata
Indonesia,
Cetakan
Keempat,Yogyakarta:Liberty:1982,halaman 91.
113
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai kekuatan
akta perdamaian atas pembagian harta bersama dalam gugatan
rekonvensi
perkara
perceraian
(studi
putusan
nomor:
03/Pdt.G/2007/PN.Pml) seperti tersebut diatas, maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Pertimbangan hakim yang mengabulkan gugatan rekonvensi
pembagian harta bersama dalam perkara perceraian atas dasar alat
bukti surat perdamain dan saksi-saksi tidaklah bertentangan dengan
Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 913
K/Sip/1982 tertanggal 21 Mei 1983, karena memang dari sejak
awal dalam Petitumnya Penggugat tidak menggabungkan mengenai
pembagian harta bersama.
2. Akibat hukum dengan dikabulkannya gugatan rekonvensi dalam
perkara perceraian pada Putusan Nomor: 03/Pdt.G/2007/PN., maka
Putusan Nomor :03/Pdt.G/2007 mempunyai kekuatan hukum
mengikat bagi kedua belah pihak, kekuatan pembuktian terhadap
pihak ketiga dan kekuatan eksekutorial apabila tidak dilaksanakan
secara
sukarela
serta
proses
menghemat waktu, dan biaya.
penyelesaian
sengketa
lebih
114
B. Saran
Melaksanakan asas beracara perdata cepat, sederhana, biaya ringan
maka hendaknya hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara
perdata tentang gugatan harta bersama harus mengacu pada sumber
hukum yang utama yaitu peraturan perundang-undangan disamping
yurisprudensi dan doktrin. Penggunaan Yurisprudensi apabila undangundang tidak mengatur sama sekali atau tidak jelas mengatur, sehingga
hakim dalam memutuskan suatu perkara dapat menyimpangi atau tidak
sesuai dengan Yurisprudensi. Diharapkan adanya suatu peraturan
hukum yang mengatur mengenai eksekusi terhadap anak yang masih
dibawah umur apabila tidak terjadi kesesuaian dengan putusan
Pengadilan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Literatur
Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: Universitas
Islam Indonesia, 1980.
Djamali, Abdul, Hukum Islam , Bandung: Mandar Maju, 2002.
Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Adat, Bandung: Alumni, 1983.
--------------------------,Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung: Mandar
Maju.1990.
Harahap, M.Yahya, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2010.
Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta:
Liberty,1977.
-----------------------------, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta:
Liberty, 1982.
-----------------------------, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta:
Liberty, 1988.
Muhammad, Abdulkadir, Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1992.
Mulyadi, Titik, Hukum Acara Perdata menurut Teori dan Praktik Peradilan
Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1999.
Prawirohamidjojo, R. Soetojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan
Perkawinan Di Indonesia,Surabaya: Universitas Airlangga, 1988.
Pugung, Solahudin, Mendapatkan Hak Asuh Anak dan Harta Bersama,
Jakarta: CV. Karya Gemilang, 2011.
Saleh, K.Wantjik, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Ghalia, 1976.
Situmorang,Victor M.,Perdamaian Dan Perwasitan Dalam Hukum Acara
Perdata, Jakarta: PT.Rineka Cipta, 1993.
Satrio, J., Hukum Harta Perkawinan, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1991.
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang – Undang Perkawinan,
Yogyakarta: Liberty, 1986.
Subekti,R., Hukum Pembuktian,Bandung: Pradya Paramita, 1987
Subekti, Trusto, Hukum Keluarga Dan Perkawinan,Purwokerto, 2010.
Supomo, R., Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Jakarta: PT.Pradnya
Paramita, 1982.
Sutantio,Retno Wulan dan Oeripkartawinata, Iskandar, Hukum Acara Perdata
Dalam teori dan Praktek, Bandung: Mandar Maju, 2009.
Syahrani, Riduan, Seluk-Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung:
Alumni, 1992.
Syah, Umar Mansyur, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Menurut
teori dan Praktek, Garut: Yayasan Al-Umaro.
Thalib, Sajuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Yayasan UI, 1974.
B. Peraturan Perundang – undangan
Subekti, Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, Jakarta: PT.Pradya
Paramita, 1989.
Undang – Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
Herzien Inlandsch Reglement (H.I.R)
C. Sumber Lain
Putusan Pengadilan Negeri Pemalang Nomor: 03/Pdt.G/2007/PN.Pemalang.
http//www.samaggi-phala.co.id., diakses tanggal 10 Mei 2012
Download