i KEKUATAN AKTA PERDAMAIAN ATAS PEMBAGIAN HARTA BERSAMA DALAM GUGATAN REKONVENSI PERKARA PERCERAIAN (STUDI PUTUSAN PERKARA NOMOR: 03/Pdt.G/2007/PN.Pml) SKRIPSI Oleh : FEBRI RIZQI UTAMI E1A008044 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2012 ii KEKUATAN AKTA PERDAMAIAN ATAS PEMBAGIAN HARTA BERSAMA DALAM GUGATAN REKONVENSI PERKARA PERCERAIAN (STUDI PUTUSAN PERKARA NOMOR: 03/Pdt.G/2007/PN.Pml) SKRIPSI Oleh : FEBRI RIZQI UTAMI E1A008044 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2012 iii KEKUATAN AKTA PERDAMAIAN ATAS PEMBAGIAN HARTA BERSAMA DALAM GUGATAN REKONVENSI PERKARA PERCERAIAN (STUDI PUTUSAN PERKARA NOMOR: 03/Pdt.G/2007/PN.Pml) SKRIPSI Oleh : FEBRI RIZQI UTAMI E1A008044 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2012 iv PENGESAHAN ISI DAN FORMAT SKRIPSI KEKUATAN AKTA PERDAMAIAN ATAS PEMBAGIAN HARTA BERSAMA DALAM GUGATAN REKONVENSI PERKARA PERCERAIAN (STUDI PUTUSAN PERKARA NOMOR: 03/Pdt.G/2007/PN.Pml) Oleh : FEBRI RIZQI UTAMI E1A008044 Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan Memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Diterima dan disahkan Pada tanggal....................... Pembimbing I/ Pembimbing II/ Penguji I Penguji III Penguji II Drs.Antonius S.M.,S.H.,M.S. Sanyoto,S.H.,M.Hum Rahadi W.B.,S.H.M.H. NIP.19580905 198601 1 001 NIP.19610123 198601 1 001 NIP.19800812 200501 1 002 Mengetahui, Dekan Fakultas Hukum Hj. Rochani Urip Salami,S.H.,M.S. NIP. 19520603 198003 2 001 v SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul : KEKUATAN AKTA PERDAMAIAN ATAS PEMBAGIAN HARTA BERSAMA DALAM GUGATAN REKONVENSI PERKARA PERCERAIAN (STUDI PUTUSAN PERKARA NOMOR: 03/Pdt.G/2007/PN.Pml). Adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan semua sumber data serta informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenaranya. Apabila pernyatan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi termasuk pencabutan gelar kesarjanaan yang telah saya peroleh. Purwokerto, Agustus 2012 Febri Rizqi Utami E1A008044 vi KATA PENGANTAR Bismillahirrohmanirrohim Alhamdulillahirobil’alamin. Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesabaran, rahmat dan hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan Judul “ Kekuatan Akta Perdamaian Atas Pembagian Harta Bersama dalam Gugatan Rekonvensi Perkara Perceraian (Studi Putusan Perkara Nomor: 03/Pdt.G/2007/PN.Pml). Skripsi ini diajukan guna memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini mengalami kesulitan dan hambatan. Namun berkat bimbingan, petunjuk dan bantuan dari berbagai pihak sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setulus-tulusnya kepada: 1. Ibu Hj. Rochani Urip Salami, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. 2. Bpk. Drs.Antonius Sidik M.,S.H.,M.S. selaku Pembimbing Skripsi I, dengan kesabarannya telah membimbing, memberi saran dan arahan kepada Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 3. Bpk. Sanyoto,S.H.,M.Hum. selaku Pembimbing Skripsi II, dengan kesabarannya telah membimbing, memberi saran dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. vii 4. Bpk. Rahadi Wasi B., S.H., M.H., selaku penguji skripsi yang telah memberikan masukan yang sangat berarti dalam penyusunan skripsi ini. 5. Bpk. Alm. Joko Susanto,S.H.,S.U. selaku Pembimbing Akademik. 6. Seluruh Dosen Pengajar dan segenap staf serta civitas akademika Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. 7. Bapa, Mama, Dwi Mulyo Ardli, Ahmad Arief Fauzan untuk cinta yang selalu bersinar seperti bintang dilangit,yang selalu menemaniku meraih cita-citaku. 8. Bayu Aji Pamungkas terima kasih atas dukungan dan kebersamaannya. 9. Abdillah Farkhan,SKM. , Rizki Arief Setiawan, Yoga, Iis Annisa,Amd.Keb., Ayu Rachmawati, S.E., Christina Natalia,S.E., Lusiana Tamimatus Zahroh,S.H. terima kasih buat canda tawanya. 10. Keluarga Besar HMPA Yudhistira terima kasih buat pendewasaan dirinya. 11. Terima kasih kepada para pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan dan terdapat banyak kekurangan karena keterbatasan Penulis. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya. Purwokerto, Agustus 2012 Febri Rizqi Utami E1A008044 viii ABSTRAK Skripsi ini penulis ingin menguraikan tentang kekuatan akta perdamaian atas pembagian harta bersama dalam kasus perceraian. Judul skripsi ini yaitu kekuatan akta perdamaian atas pembagian harta bersama dalam gugatan rekonvensi perkara perceraian (studi putusan perkara nomor: 03/Pdt.G/2007/PN.Pml). skripsi ini membahas mengenai penilaian kekuatan akta perdamaian atas pembagian harta bersama yang dikabulkan dalam gugatan rekonvensi perkara perceraian (studi putusan perkara nomor: 03/Pdt.G/2007/PN.Pml) bertentangan atau tidak dengan yurisprudensi keputusan mahkamah agung republik indonesia nomor: 913K/Sip/1983 tanggal 21 mei 1983 dan akibat hukum apa yang timbul dengan dikabulkannya gugatan rekonvensi dalam perkara tersebut. Tujuan perkawinan yang dirumuskan dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 yaitu membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa adakalanya tidak sedikit keluarga yang tidak berhasil mewujudkan harapan seperti tujuan perkawinan tersebut. Salah satu penyebab putusnya perkawinan adalah perceraian. Dimana hukum acara yang digunakan dalam memeriksa dan mengadili perkara perceraian yang diajukan dalam peradilan umum diatur dalam HIR , R.Bg., KUHPerdata. Salah satu upaya sebelum perceraian adalah mediasi, namun dalam kasus ini mediasi tidaklah tercapai. Atas gugatan dari suaminya pihak istri mengajukan gugatan balik (gugatan rekonvensi) kepada suaminya tentang pembagian harta bersama. Hak untuk mengajukan gugatan rekonvensi didasarkan pada pasal 132 a dan 132 b HIR serta pasal 157 dan Pasal 158 R.Bg. Atas gugatan rekonvensi dari tergugat (isteri) tentang pembagian harta bersama, maka diantara kedua belah pihak terjadi kesepakatan mengenai pembagian harta bersama yang dituangkan dalam surat perdamaian tertanggal 21 Maret 2007. Kata kunci : Kekuatan Akta Perdamaian ix ABSTRACT In this thesis is writer about strength of reconcilement certificate above distribution of together property in separated case. Title of my thesis is strength of reconcilement above distribution of together property in reconvention accustion separated case (vertict studies case number:03/Pdt.G/2007/PN.Pml). in this thesis talking about assessment strength of reconcilement certificate above distribution of together property which answered in reconvention accustion separated case (vertict studies case number:03/Pdt.G/2007/PN.Pml) be in contradiction or not with jurisdiction decision supreme court Indonesia Republic number: 913K/Sip/1983 date may 31 1983 and law consecuence of what is appear with answered reconvention accustion in that case. Purpose of marriage which formulation in codification number 1, 1974 is form family (house family) happy and everlasting building on divinity of God sometimes not a few family failed give shape to expectation as purpose of marriage. One of them cause of family failed is separated. Where is procedure of civil law used to investigate and administer justice separated case brought to general court arrange of HIR, R.Bg, and KUHPerdata. One of ways before separated is mediation, but in this case mediation failed. Above accsution from the husband site of wife bring accustion again (reconvention) to husband about distribution of together property. The rights of reconvention accustion so heavily relies at 132a article and 132b HIR as well as 157 article and 158 R.Bg. Above reconvention accustion befendent (wife) about distribution of together property, so each other occur agreement reached about distribution of togheter property poured forth reconcilement letter dated March 21, 2007. Key : Strength Of Reconcilement Certificate x DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL DEPAN.............................................................................i HALAMAN JUDUL..............................................................................................ii HALAMAN PENGESAHAN...............................................................................iii PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI..............................................................iv KATA PENGANTAR............................................................................................v ABSTRAK............................................................................................................vii ABSTRACT.........................................................................................................viii DAFTAR ISI..........................................................................................................ix BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.....................................................................1 B. Perumusan Masalah............................................................................7 C. Tujuan Penelitian................................................................................8 D. Kegunaan Penelitian...........................................................................8 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perkawinan.......................................................................................9 1. Pengertian dan Tujuan Perkawinan............................................9 2. Akibat-Akibat Perkawinan.......................................................17 B. Putusnya Perkawinan.....................................................................23 1. Sebab-Sebab Putusnya Perkawinan.........................................23 2. Alasan-Alasan Perceraian........................................................25 3. Akibat Perceraian.....................................................................28 C. Harta Benda Dalam Perkawinan....................................................35 1. Dasar Hukum Harta Benda Dalam Perkawinan.......................35 2. Macam-Macam Harta Benda Dalam Perkawinan....................37 3. Hukum Acara Perdata..............................................................41 4. Sumber Hukum Acara Perdata.................................................43 xi 5. Asas-asas Hukum Acara Perdata ............................................43 D. Gugatan..........................................................................................46 1. Pengertian Gugatan.................................................................46 2. Gugatan Rekonvensi................................................................47 3. Formulasi Surat Gugatan..........................................................51 E. Alat Bukti Surat...............................................................................61 1. Alat-alat Bukti .........................................................................61 2. Macam-Macam Surat...............................................................64 3. Kekuatan Pembuktian Surat.....................................................65 F. Akta Perdamaian............................................................................66 1. Pengertian Perdamaian.............................................................66 2. Syarat-syarat Perdamaian.........................................................66 3. Pengertian Akta Perdamaian....................................................68 4. Kekuatan Akta Perdamaian......................................................68 BAB III. METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan...........................................................................70 B. Spesifikasi Penelitian........................................................................70 C. Lokasi Penelitian...............................................................................70 D. Sumber Bahan Hukum......................................................................70 E. Metode Pengumpulan Bahan Hukum..............................................71 F. Metode Penyajian Bahan Hukum.....................................................71 G. Metode Analisis Bahan Hukum........................................................72 BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian.................................................................................73 B. Pembahasan.......................................................................................91 BAB V. PENUTUP A. Simpulan.........................................................................................113 B. Saran...............................................................................................114 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai mahluk yang hidup bermasyarakat mempunyai kebutuhan hidup yang beraneka ragam. Keutuhan hidup itu hanya dapat dipenuhi secara wajar apabila manusia itu mengadakan hubungan satu sama lain. Dalam hubungan tersebut lalu timbullah hak dan kewajiban timbak balik, hak dan kewajiban mana harus dipenuhi oleh masing – masing pihak. Hubungan yang menimbulkan hak dan kewajiban semacam ini telah diatur dalam peraturan hukum. Karena itu hubungan semacam ini disebut “hubungan hukum”. Salah satu hubungan hukum tersebut adalah perkawinan. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan selanjutnya disebut undang-undang perkawinan, dalam Pasal 1 yang merumuskan bahwa : “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Tujuan perkawinan yang dirumuskan dalam pengertian perkawinan tersebut yaitu membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal tersebut dapat diartikan bahwa perkawinan itu harus berlangsung seumur hidup, tetapi adakalanya 2 tidak sedikit keluarga yang tidak berhasil mewujudkan harapan seperti tujuan perkawinan tersebut. Suami-isteri dalam menjalani kehidupan rumah tangga sering terjadi perselisihan yang tidak dapat diselesaikan secara damai, atau adanya tindakan kekerasan yang dilakukan suami atau isteri terhadap isteri atau suaminya sehingga menyebabkan penderitaan baik secara jasmani maupun rohani sehingga salah satu pihak atau kedua belah pihak menginginkan adanya jalan terbaik untuk mengakhiri hubungan yaitu dengan cara perceraian. Menurut Hilman Hadi Kusuma, perceraian tidak hanya dipengaruhi oleh Hukum Agama dan perundang-undangan tetapi juga akibat sejauh mana pengaruh budaya, malu dan kontrol dari masyarakat. Pada masyarakat yang ikatan kekerabatannya kuat perceraian sulit terjadi dibandingkan pada masyarakat yang ikatan kekerabatannya lemah.1 Perkawinan dapat putus karena tiga hal, yaitu: kematian, perceraian dan atas keputusan pengadilan. Putusnya perkawinan karena perceraian dapat dikarenakan adanya gugatan cerai, ataupun cerai talak dan hal tersebut akan berakibat terhadap hubungan suami isteri, terhadap harta benda perkawinan, terhadap hubungan antara orang tua dan anaknya, serta terhadap pihak ketiga. Perceraian harus dengan keputusan Pengadilan, berarti harus melalui proses pemeriksaan melalui persidangan di Pengadilan. Seperti 1 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Cetakan 1, Bandung:Mandar Maju, 1990,halaman 162. 3 yang tercantum dalam Pasal 39 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa:2 “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”. Pengadilan yang dimaksudkan adalah merujuk pada Pasal 63 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi: Yang dimaksud dengan Pengadilan dalam Undang-undang ini ialah: a. Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam b.Pengadilan Umum bagi lainnya, yang dimaksud dengan Pengadilan Umum disini adalah Pengadilan Negeri. Hukum acara yang digunakan dalam memeriksa dan mengadili perkara perceraian yang diajukan di Peradilan Umum diatur dalam Herziene Indonesisch Reglement (HIR), Rechtstreglement Buitengewesten (Rbg) dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) diantaranya adalah hukum pembuktian dengan asas yang terdapat dalam Pasal 163 HIR/283 Rbg/ 1865 KUH Perdata, yang menyatakan sebagai berikut: “Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau, guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut”. 2 Trusto Subekti, Hukum Keluarga Dan Perkawinan,Purwokerto,Unsoed, 2010, halaman 108. 4 Membuktikan ialah menyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.3 Dengan demikian nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam persengketaan atau perkara dimuka hakim atau Pengadilan. Membuktikan suatu peristiwa dimuka persidangan dilakukan dengan menggunakan alatalat bukti. Dengan alat-alat bukti yang diajukan itu memberikan dasar kepada hakim akan kebenaran peristiwa yang didalilkan. Dalam Hukum Acara Perdata telah diatur alat-alat bukti yang dipergunakan dipersidangan. Dengan demikian hakim sangat terikat oleh alat-alat bukti yang diajukan para pihak yang berperkara, sehingga dalam menjatuhkan putusannya, hakim wajib memberikan pertimbangan berdasarkan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-undang. Alat-alat bukti yang diatur pada Pasal 164 HIR/ Pasal 284 Rbg atau Pasal 1866 KUH Perdata, yaitu : 1. Alat Bukti Tertulis 2. Alat Bukti Saksi 3. Alat Bukti Persangkaan 4. Alat Bukti Pengakuan 5. Alat Bukti Sumpah Putusan Nomor 03/Pdt.G/2007/PN.Pml didalamnya berkaitan dengan gugat cerai dan adanya gugat rekonvensi terhadap harta bersama, 3 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Jakarta: Pradya Paramita, 1987, halaman 7. 5 dengan kasus penggugat (suami) menggugat cerai terhadap tergugat (isteri) dengan alasan bahwa antara penggugat dan tergugat sangat sulit untuk meneruskan kehidupan rumah tangganya sebagaimana layaknya rumah tangga yang harmonis yang disebabkan oleh: 1. Rumah tangga Penggugat dan Tergugat tidak harmonis percekcokan dan perselisihan terus menerus disebabkan selalu perbedaan pendapat yang tajam yang masing-masing mempertahankan pendapatnya sehingga tidak ada jalan penyelesaiannya. 2. Puncak perselisihan tersebut setelah kelahiran anak kedua sehingga tidak lagi saling berkomunikasi sama sekali atau tidak saling sapa dan akhirnya mengakibatkan pisah ranjang ± 2 tahun. Berdasarkan PERMA Nomor: 02 Tahun 2003 tentang mediasi diganti dengan PERMA Nomor: 01 Tahun 2008, Hakim akan berusaha untuk mendamaikan suami-isteri yang hendak bercerai, sehingga Majelis Hakim menunjuk seorang mediator guna mendamaikan kedua belah pihak, akan tetapi perdamaian tersebut tidaklah tercapai dan penggugat tetap pada gugatannya sehingga persidangan dilanjutkan dengan pemeriksaan gugatan perceraian yang dilakukan dalam sidang tertutup. Menurut Pasal 33 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, pemeriksaan dalam sidang tertutup tersebut berlaku juga bagi pemeriksaan saksi-saksi, 6 dan apabila berdasarkan hasil pemeriksaan terdapat alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar perceraian, Hakim mengabulkan kehendak suami atau isteri untuk melakukan perceraian. Berdasarkan gugatan dari suaminya pihak isteri sebagai pihak Tergugat mengajukan gugatan balik (gugat rekonvensi) kepada suaminya (Penggugat konvensi) tentang pembagian harta bersama. Hak untuk mengajukan gugatan rekonvensi dalam hukum acara perdata diperbolehkan oleh undang-undang berdasarkan Pasal 132 a dan Pasal 132 b HIR serta Pasal 157 dan Pasal 158 R.Bg. Hak untuk mengajukan gugatan rekonvensi disamping telah memberikan kesempatan bagi pihak tergugat untuk menuntut dan membela kepentingannya atas pembagian harta bersama pada saat yang bersamaan dalam mempermudah pemeriksaan prosedur perkara pemeriksaannya, perceraian, juga memudahkan dapat acara pembuktiannya, menghindarkan putusan yang saling bertentangan satu sama lain, menetralisir tuntutan konvensi dan menghemat biaya. Berdasarkan gugatan rekonvensi dari tergugat (isteri) tentang pembagian harta bersama, maka diantara kedua belah pihak terjadi kesepakatan mengenai pembagian harta bersama yang dituangkan dalam surat perdamaian tanggal 21 Maret 2007. Menurut Yurisprudensi keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 913 K/Sip/1982 tanggal 21 Mei 1983 menyebutkan bahwa suatu gugatan yang petitumnya menuntut agar perkawinannya 7 antara Penggugat dengan Tergugat diputuskan dengan jalan perceraian, maka tuntutan ini tidak dapat ditambah atau digabungkan tentang Pembagian Harta Bersama Perkawinannya. Gugatan tentang pembagian harta perkawinan ini harus diajukan sebagai gugatan tersendiri atau terpisah setelah putusan tentang perceraiannya mempunyai kekuatan hukum tetap. Masalah inilah yang menjadikan penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul : KEKUATAN AKTA PERDAMAIAN ATAS PEMBAGIAN HARTA BERSAMA DALAM PERCERAIAN GUGATAN (STUDI REKONVENSI PUTUSAN PERKARA PERKARA NOMOR: 03/Pdt.G/2007/PN.Pml). B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas dapat dirumuskan suatu permasalahan : 1. Apakah penilaian kekuatan Akta Perdamaian atas pembagian harta bersama yang dikabulkan dalam gugatan rekonvensi perkara perceraian pada putusan Nomor : 03/Pdt.G/2007/PN.Pml, bertentangan dengan Yurisprudensi keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 913 K/Sip/1982 tanggal 21 Mei 1983 ? 2. Bagaimana akibat hukumnya dengan dikabulkan gugatan rekonvensi dalam perkara tersebut ? 8 C. Tujuan Penelitian Dilaksanakan penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui dan menjelaskan kekuatan akta perdamaian atas pembagian harta bersama yang dikabulkan dalam gugatan rekonvensi perkara percaraian pada putusan nomor : 03/Pdt.G/2007/PN.Pml bertentangan dengan Yurisprudensi keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 913 K/Sip/1982 tanggal 21 Mei 1983. 2.Mengetahui dan menjelaskan akibat hukum yang timbul dengan dikabulkannya gugatan rekonvensi dalam perkara tersebut. D. Kegunaan Penelitian Adapun yang menjadi kegunaan penelitian dalam karya tulis ini adalah : 1. Kegunaan Teoritis Memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum yang berkaitan dengan hukum acara perdata khususnya mengenai kekuatan akta perdamaian atas pembagian harta bersama yang dikabulkan dalam gugatan rekonvensi perkara perceraian. 2. Kegunaan Praktis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan terhadap kajian – kajian dibidang hukum acara perdata serta dapat menjadi sumber informasi ilmiah. 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perkawinan 1. Pengertian dan Tujuan Perkawinan a. Menurut Hukum Adat Menurut hukum adat pada umumnya di Indonesia perkawinan itu bukan saja berarti sebagai suatu perikatan perdata tetapi juga merupakan perikatan kekerabatan dan ketetanggaan. Jadi terjadinya suatu ikatan perkawinan bukan semata-mata membawa akibat terhadap hubungan-hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami-isteri, harta bersama, kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua, tetapi juga menyangkut hubungan adat istiadat kewarisan, kekeluargaan, kekerabatan dan ketetanggaan serta menyangkut upacara-upacara adat keagamaan. Begitu juga menyangkut kewajiban mentaati perintah dan larangan keagamaan, baik dalam hubungan manusia dengan tuhannya (ibadah) maupun hubungan manusia semua (mu’amalah) dalam pergaulan hidup agar selamat di dunia dan di akhirat.4 Perkawinan menurut hukum adat merupakan urusan kerabat, keluarga, pribadi yang melakukan perkawinan dan juga 4 Hilman Hadikusuma, Op Cit,halaman 8. 10 urusan masyarakat. Seperti dijelaskan oleh Hilman Hadikusuma, bahwa pengertian perkawinan menurut Hukum adalah : “ Suatu ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri untuk maksud mendapat keturunan dan membangun serta membina kehidupan keluarga rumah tangga, dan juga merupakan suatu hubungan hukum yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak isteri dan dari pihak suami.”5 Tujuan perkawinan bagi masyarakat hukum adat yang bersifat kekerabatan, adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis kebapaan atau keibuan atau keibu-bapaan untuk kebahagiaan rumah tangga keluarga/kerabat, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian, dan untuk mempertahankan kewarisan, oleh karenanya perkawinan itu bukan semata-mata urusan dan kepentingan orang tua dan kerabat. b. Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 Undang – Undang Perkawinan menentukan bahwa: “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Perjanjian perkawinan ini mempunyai tiga karaktar khusus, yaitu : 1. Perkawinan tidak dapat dilakukan tanpa unsur sukarela dari kedua belah pihak. 2. Kedua belah pihak (laki – laki dan perempuan) yang mengikat 5 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat,Bandung : Alumni,1983,halaman 70. 11 persetujuan perkawinan itu saling mempunyai hak untuk memutuskan perjanjian tersebut berdasarkan ketentuan yang sudah ada hukum-hukumnya. 3. Persetujuan perkawinan itu mengatur batas-batas hukum mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak.6 Menurut K.Wantjik Saleh, dari ketentuan Pasal 1 Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut, yang merupakan arti perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri. Selanjutnya beliau mengemukakan sebagai berikut: “Dengan Ikatan lahir-bathin dimaksudkan perkawinan itu tidak hanya cukup dengan adanya “ikatan lahir” atau “ikatan bathin” saja, tapi harus kedua-duanya. Suatu “ikatan lahir” adalah ikatan yang dapat dilihat mengungkapkan adanya suatu hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama, sebagai suami isteri, dengan kata lain dapat disebut hubungan formil. Hubungan fomil ini nyata, baik bagi yang mengikatkan dirinya, maupun bagi orang lain atau masyarakat. Sebaliknya suatu ikatan bathin adalah merupakan hubungan yang tidak formil, suatu ikatan yang tidak dapat dilihat, walau tidak nyata, tapi harus ada karena tanpa adanya ikatan bathin, ikatan lahir akan menjadi rapuh.”7 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 menentukan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. c. Menurut Hukum Islam 6 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang – Undang Perkawinan, Cetakan Kedua,Yogyakarta: Liberty, 1986, halaman 10. 7 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Ghalia, 1976,halaman 14. 12 Dalam Al- qur’an surat An-nisa ayat (1), Allah SWT berfirman mengenai perkawinan yang menyatakan bahwa: “Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (dirinya); dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” Kemudian surat Ar-Rum Ayat (21) menyatakan bahwa: “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan diantaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.” Di dalam hadist riwayat Al-Baihaqi disebutkan pula bahwa apabila orang telah melakukan perkawinan berarti telah menyempurnakan separoh agamanya (karena telah sanggup menjaga kehormatannya), maka bertaqwalah kepada Allah dalam mencapai kesempurnaan pada separoh yang masih tertinggal.8 Dari ayat Al-qur’an dan Hadist Nabi tersebut, dapat ditarik suatu pengertian bahwa perkawinan adalah tuntutan kodrat hidup manusia untuk mewujudkan kedamaian dan ketentraman hidup serta menumbuhkan rasa kasih sayang antara suami-isteri bersangkutan khususnya, demikian dikalangan keluarga yang 8 Ahmad azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam,Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, 1980, halaman 10. 13 lebih luas, bahkan juga dalam kehidupan umat manusia pada umumnya.9 Menurut Sajuti Thalib, pengertian perkawinan ialah perjanjian suci membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan.10 Tujuan perkawinan dalam Islam menurut Soemiyati adalah: “Untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan kasih sayang, untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuanketentuan yang telah diatur oleh syari’ah”. Selanjutnya Soemiyati merumuskan bahwa tujuan perkawinan diatas, dapat diperinci sebagai berikut : 1. Menghalalkan hubungan kelamin untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan. 2. Mewujudkan suatu keluarga dengan dasar cinta kasih. 3. Memperoleh keturunan yang sah. Menurut Ahmad Azhar Basyir, tujuan perkawinan dalam Islam adalah: “Untuk memenuhi tuntutan naluriah hidup manusia, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan keluarga sesuai ajaran Allah dan rasul-Nya”. 9 Ibid, halaman 12. Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Yayasan UI, halaman 47. 10 14 Dari kedua pendapat sarjana tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan pokok perkawinan menurut hukum Islam pada dasarnya ada tiga yaitu: 1. Menghalalkan hubungan kelamin ; 2. Membentuk keluarga bahagia; 3. Mempunyai keturunan yang sah. Dalam bukunya “outlines of Muhammadan Law” (pokokpokok Hukum Islam), Asaf A.A Fyzee dalam Nadimah Tanjung (1977:28) menerangkan bahwa perkawinan menurut pandangan Islam mengandung tiga aspek yaitu:11 1. Aspek Hukum Perkawinan merupakan suatu perjanjian. Perjanjian dalam perkawinan ini mengandung tiga karaktar khusus yaitu: 1). Perkawinan tidak dapat dilakukan tanpa unsur sukarela. 2). Kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) yang mengikat persetujuan perkawinan itu saling mempunyai hak untuk memutuskan perjanjian tersebut berdasarkan ketentuan yang sudah ada hukum-hukumnya. 3). Persetujuan perkawinan itu mengatur batas-batas hukum mengenai hak dan kewajiban masing-masing. 2. Aspek Sosial Perkawinan mempunyai arti penting yaitu sebagai berikut : 11 Trusto Subekti, Op Cit, halaman 16. 15 1). Pada umumnya orang yang melakukan perkawinan atau pernah melakukan perkawinan mempunyai kedudukan yang lebih dihargai daripada mereka yang belum kawin. Khusus bagi kaum wanita dengan perkawinan akan memberikan kedudukan sosial yang tinggi, karena ia sebagai isteri dan wanita mendapat hak-hak tertentu dan dapat melakukan tindakan hukum dengan berbagai lapangan mu’amalat. Ketika masih gadis tindakantindakannya masih terbatas, harus dengan persetujuan dan pengawasan orang tuanya. 2). Sebelum adanya peraturan tentang perkawinan, dahulu wanita bisa dimadu tanpa batas dan tanpa bisa berbuat apa-apa, tetapi menurut ajaran Islam dalam perkawinan mengenai kawin poligami ini hanya dibatasi paling banyak empat orang, itupun dengan syarat-syarat yang tertentu pula. 3. Aspek Agama Islam memandang dan menjadikan perkawinan itu sebagai basis suatu masyarakat yang baik dan teratur, sebab perkawinan tidak hanya dipertalikan oleh ikatan lahir saja, tetapi diikat juga dengan ikatan bathin dan jiwa. Menurut ajaran Islam, perkawinan itu tidaklah hanya sebagai suatu persetujuan bisa melainkan merupakan suatu persetujuan suci, 16 dimana kedua belah pihak dihubungkan menjadi pasangan suami-isteri atau saling meminta menjadi pasangan hidupnya dengan mempergunakan nama Allah. d. Menurut Agama Budha Perkawinan adalah perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami isteri. Seorang laki-laki yang beragama Budha di dalam hidupnya dapat memilih antara hidup berkeluarga dan tidak berkeluarga. Sebagai orang yang hidup berkeluarga seorang lakilaki dapat kawin dengan seorang perempuan dan membentuk keluarga, lalu mempunyai keturunan. Namun juga dapat tidak kawin dan tidak membentuk keluarga dengan berbagai alasan. Jika memilih hidup tidak berkeluarga maka dapat tinggal di vihara sebagai bhikkhu, begitu pula sebaliknya dengan seorang perempuan.12 Mengenai perkawinan dalam Agama Budha menganut asas monogami, yaitu dalam suatu perkawinan seorang laki-laki hanya boleh mempunyai seorang isteri dan seorang perempuan hanya boleh mempunyai seorang suami. Sebelum melakukan perkawinan maka harus melakukan persiapan yang masak, persiapan yang masak tersebut antara lain penilaian diantara kedua belah pihak. 12 http//www.samaggi-phala.co.id., diakses tanggal 10 Mei 2012 17 Penilaian yang harus dinilai dari pihak perempuan, apabila tidak ada masalah dengan penampilan, umur, faktor keturunan dan status sosial antara lain: 1. Keyakinan pada agama 2. Etika/moral 3. Pendidikan 4. Ketrampilan wanita 5. Kematangan emosional 6. Kebijaksanaan Penilaian yang harus dinilai dari pihak laki-laki, apabila tidak ada masalah dengan penampilan, umur, faktor keturunan dan status sosial antara lain: 1. Keyakinan kepada agama 2. Etika/moral 3. Pendidikan 4. Pekerjaan 5. Tanggung jawab 6. Kebijaksanaan 2. Akibat-akibat Perkawinan a. Hak dan Kewajiban Suami-Isteri Hak dan kewajiban suami isteri dalam Undang-undang Nomor : 1 Tahun 1974 diatur dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 34 yang menentukan secara garis besar sebagai berikut: 18 1. Suami-isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. 2. Hak dan kedudukan isteri seimbang dengan hak dan kewajiban suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. 3. Suami-isteri sama-sama berhak untuk melakukan perbuatan hukum. 4. Suami-isteri harus mempunyai tempat kediaman tetap, yang ditentukan secara bersama. 5. Suami-isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain. 6. Suami adalah kepala rumah tangga dan isteri ibu rumah tangga. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, dan isteri wajib mengurus rumah tangga dengan sebaik-baiknya. uami atau isteri apabila melalaikan kewajibannya, maka masing – masing dapat menuntutnya terhadap pihak lain dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan. b. Harta Benda Dalam Perkawinan Harta benda dalam perkawinan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 diatur pada Pasal 35 sampai dengan Pasal 19 37. Dalam Pasal 35 Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 menyebutkan: (1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama (2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Sedangkan mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya (Pasal 36 UU No.1 Tahun 1974). Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 35 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan apabila perkawinan putus, maka harta bersama tersebut diatur menurut hukumnya masing-masing. c. Kedudukan Anak Disebutkan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah (Pasal 42 UU Nomor 1 Tahun 1974). Hal ini berarti bahwa anak yang lahir di luar perkawinan yang sah bukanlah anak yang sah. Ini membawa konsekuensi dalam bidang pewarisan, sebab anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan 20 perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 43 UU Nomor 1 Tahun 1974). Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berbuat zina dan anak itu akibat dari pada perzinahan tersebut. Pengadilan memberikan keputusan tentang sah atau tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan (Pasal 44 UU Nomor 1 Tahun 1974). Pembuktian mengenai asal-usul anak Pasal 55 Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 menentukan : (1) Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang. (2) Bila akta kelahiran tersebut dalam ayat (1) Pasal ini tidak ada, maka Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang ana setelah diadakan pemeriksaan yang diteliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat. (3) Atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) Pasal ini maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan. d. Hak dan Kewajiban antara Orang Tua dan Anak 21 Suatu perkawinan apabila memperoleh keturunan (anak), maka perkawinan itu tidak hanya menimbulkan hak dan kewajiban antara suami dan isteri, akan tetapi juga menimbulkan hak dan kewajiban antara suami dan isteri yang bersangkutan sebagai orang tua dan anak-anaknya. Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak-anaknya ini dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 diatur dalam Pasal 45 sampai Pasal 49. Pasal 45 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menentukan bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak mereka dengan sebaik-baiknya, sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban ini berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua itu putus. Selain Pasal 47 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menentukan bahwa kewajiban untuk memelihara dan mendidik tersebut, orang tua juga mengusai anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Kekuasaan orang tua ini juga meliputi juga untuk mewakili anak yang belum dewasa itu dalam melakukan perbuatan hukum di dalam dan diluar Pengadilan. Meskipun demikian kekuasaan orang tua ada batasnya yaitu tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali 22 apabila kepantingan anak itu menghendaki (Pasal 48 Undangundang Nomor 1 Tahun 1974). Kekuasaan salah seorang atau kedua orang tua terhadap anaknya dapat dicabut untuk waktu tertentu, apabila ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya atau berkelakuan buruk sekali. Pencabutan kekuasaan orang tua terhadap anaknya ini dilakukan dengan Keputusan Pengadilan atas permintaan orang tua yang lain, keluarga dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang. Kekuasaan orang tua yang dicabut ini tidak termasuk kekuasaan sebagai “wali nikah”. Orang tua yang dicabut kekuasaannya namun mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan anaknya tersebut (Pasal 49 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974). Sebaliknya, anak tidak hanya mempunyai hak terhadap orang tuanya, akan tetapi juga mempunyai kewajiban. Kewajiban anak yang utama terhadap orang tuanya adalah menghormati dan mentaati kehendak yang baik dari orang tuanya. Anak yang telah dewasa, ia wajib memelihara orang tuanya dengan sebaik-baiknya menurut kemampuannya, bahkan anak juga berkewajiban untuk memelihara keluarga dalam garis lurus keatas, bila mereka ini memerlukan bantuannya (Pasal 46 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974). 23 B. Putusnya Perkawinan Pemutusan perkawinan menurut hukum adat hampir selalu terjadi dengan campur tangan aturan keagamaan. Terhadap pengaruhnya tersebut, agama islam dan agama kristen menunjukan persamaan dalam dua hal: 1. Perceraian itu sangat tercela 2. Yang dicampuri bukanlah lembaga perkawinannya selaku urusan masyarakat, melainkan segi pribadi dari pemutusan perkawinan tersebut. Oleh karena itu, maka norma-norma agama itu menghapuskan kekuatan mengatur dan mempertahankan yang dimiliki oleh kerabat dan kepala desa, meskipun kedua-duanya mensyaratkan keteguhan pribadi pada suami maupun isteri.13 Pemikiran hukum barat yang diilhami oleh pemikiran Kristen semula tidak mengenal putusnya perkawinan melalui lembaga perceraian. Pemikiran revolusi pada satu sisi menyingkirkan atau menggeser supremasi gereja dan mempertuankan “ratio” yang bertumpu atas prinsip kebebasan individu.14 1. Sebab-sebab Putusnya Perkawinan Sebab-sebab putusnya perkawinan disebutkan dalam Pasal 38 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat terjadi karena : a. Kematian 13 R.Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan Di Indonesia,Surabaya: Universitas Airlangga, 1988, halaman 122. 14 Ibid, halaman 7. 24 Putusnya perkawinan karena kematian adalah putusnya perkawinan karena matinya salah satu pihak (suami atau isteri). Sejak saat matinya salah satu pihak itulah putusnya perkawinan terjadi yakni dengam sendirinya.15 b. Perceraian Putusnya perkawinan karena perceraian adalah putusnya perkawinan karena dinyatakannya talak oleh seorang suami terhadap isterinya yang perkawinannya dilakukan menurut agama Islam. Putusnya perkawinan karena perceraian ini dapat disebut juga “cerai talak”.16 Menurut subekti pengertian perceraian ialah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu. c. Atas keputusan pengadilan Putusnya perkawinan atas putusan Pengadilan adalah putusnya perkawinan karena gugatan perceraian isteri terhadap suaminya yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam atau karena gugatan perceraian suami atau isteri yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaan bukan Islam, gugatan perceraian mana dikabulkan Pengadilan dengan suatu keputusan.17 15 Riduan Syahrani, Seluk-Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata,Cetakan Ketiga, Bandung: Alumni, 1992, halaman 106. 16 Ibid, halaman 107. 17 Ibid, halaman 110. 25 2. Alasan-alasan Perceraian a. Menurut Hukum Adat Menurut hukum adat yang merupakan sebab-sebab terjadinya perceraian dari suatu perkawinan adalah : 1). Perzinahan Perzinahan menurut ajaran Islam, ialah bercampurnya pria dengan wanita yang bersetubuh tidak dalam ikatan perkawinan yang sah, baik hal yang dilakukan antara pria dan wanita yang sudah atau yang sedang dalam ikatan perkawinan, maupun antara pria dan wanita yang tidak/belum ada ikatan perkawinan, ataupun diantara yang sudah kawin dan yang belum kawin. 2). Tidak memberi nafkah Suami yang tidak memberi nafkah lahir bathin kepada isteri dalam waktu yang lama, artinya suami tidak memberi biaya hidup dan tidak menggauli isterinya sebagai isteri. Isteri sudah cukup sabar menanti-nanti, maka keadaan demikian dapat dijadikan alasan bagi isteri untuk meminta cerai suaminya. 3). Penganiayaan Tindakan suami membahayakan bagi yang melampaui kehidupan isteri, batas, maka sehingga dengan kemufakatan bersama diantara anggota kerabat, isteri harus 26 berpisah tempat dari suami dan kerabat berkewajiban mendamaikan dan menurunkan kembali rumah tangga yang berselisih itu. Kerabat yang sudah tidak berhasil merukunkan mereka kembali, maka terpaksa diluluskan untuk terjadinya perceraian. Demikian pula sebaliknya jika si suami yang merasa terancam kehidupannya terhadap isteri dan kerabatnya. 4). Cacat Tubuh/Kesehatan Termasuk pengertian cacat tubuh atau terganggunya kesehatan suami isteri ialah, isteri mandul, suami lemah syahwat (impoten), berpenyakit berat yang sulit disembuhkan, kurang akal (otak tidak waras,gila), cacat tubuh (bisu, buta, tuli), dan penyakit yang menyebabkan tidak mendapat keturunan, sehingga kehidupan rumah tangga menjadi terganggu, maka kesemuanya itu dapat merupakan alasan untuk terjadinya perceraian. 5.) Perselisihan Perselisihan antara suami isteri atau antara kerabat yang bersangkutan dengan perkawinan, jika tidak mungkin perselisihan itu didamaikan lagi oleh kerabat dan pemukapemuka adat, dapat menjadi sebab terjadinya perceraian. b. Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 27 Penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 telah ditentukan alasan-alasan peceraian sebagai berikut: a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut – turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya. c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain. e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami / isteri f. Antara suami dan isteri terus – menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. c. Menurut Hukum Islam Perceraian bagi orang Islam di Indonesia secara khusus, seperti yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 116 yang menyatakan bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan: a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok,pemandat, 28 penjudi dan lain sebgainya yang sukar disembuhkan. b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain yang di luar kemampuannya. c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan yang membahayakan pihak lain. e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri. f. Antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. g. Suami melanggar taklik talak h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga. 3. Akibat Perceraian a. Terhadap hubungan antara suami – isteri 1). Bekas suami wajib menjamin kelangsungan hidup bekas isteri dan anak-anaknya. Hukum Islam tidak menentukan besarnya jumlah jaminan yang wajib diberikan, tetapi kewajiban memberi jaminan itu mutlak. Bagi laki-laki yang tidak 29 bertanggung jawab dan menelantarkan janda dan anak-anaknya akan mendapat dosa besar. Janda itu berhak menuntut jaminan hidup melalui Pengadilan agama sesuai kemampuan bekas suaminya. Jika laki-laki itu tidak mampu sama sekali, maka keluarga pihak laki-laki secara bersama-sama wajib membiayai janda dan anak-anaknya atau anak yang dipungut oleh saudara kandung bekas suaminya. Jalan yang ditempuh ini termasuk wajib “kifayah”, yaitu secara bersama-sama dari keluarga bekas suaminya menanggung biaya. 2).Selama bekas isteri menjalankan iddah, maka bekas suami wajib memberikan sandang, pangan dan papan kepada jandajanda. Selain itu juga memberikan “mut’ah” yaitu pemberian sejumlah uang atau harta benda sebagai tanda bakti isteri selama perkawinan berlangsung. Mut’ah ini jumlahnya disesuaikan dengan kemampuan bekas suami, kedudukan bekas isteri dan lamanya mereka hidup sebagai suami isteri. Tetapi bagi anak-anak tetap menjadi tanggungan bekas bapak sampai dewasa atau dapat mandiri. 3).Suatu perceraian yang terjadi sebagai akibat ketidaktaatan isteri kepada suami, seperti penyelewengan terlalu bebas bergaul dengan laki-laki lain, pemabuk, penjudi dan lainnya, maka 30 bekas suaminya tidak berkewajiban memberi jaminan kecuali bantuan selama iddah dan mut’ah.18 b. Terhadap Harta Perkawinan Pasal 37 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menentukan bahwa apabila perkawinan putus maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Yang dimaksud dengan “hukumnya” masing-masing itu adalah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya. Jadi dalam Undang-undang perkawinan tidak memberikan pengaturan tersendiri, melainkan menunjuk pada hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lain yang berlaku bagi suamiisteri yang bersangkutan. Sehingga dengan demikian pengaturannya seperti dalam keadaan semula sebelum Undangundang Perkawinan. Hukum Adat pada umumnya mengenai harta bersama yang merupakan hak milik bersama, maka hak dan bagian diantara suami-isteri apabila terjadi perceraian adalah masing-masing mendapatkan separoh bagian dari harta bersama, sedangkan menurut ketentuan dalam Hukum Islam yang dituangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), mengenai penentuan hak dan bagian janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak 18 Abdul Djamali, Hukum Islam ,Cetakan Ketiga, Bandung: Mandar Maju, 2002, halaman 110. 31 seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Menurut Hilman Hadikusuma akibat putusnya perkawinan karena perceraian terhadap harta perkawinan antara lain:19 1). Harta bawaan suami atau isteri kembali kepada pihak yang membawanya ke dalam perkawinan. 2). Harta penghasilan sendiri suami atau isteri kembali kepada yang menghasilkan. 3). Harta pencaharian dan barang hadiah ketika upacara perkawinan dibagi antara suami dan isteri menurut rasa keadilan masyarakat adat setempat. c. Terhadap Hubungan Orang Tua Dengan Anak Pasal 41 huruf a dan huruf b Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, akibat putusnya perkawinan karena perceraian terhadap hubungan orang tua dengan anak-anaknya, berbunyi: a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anakanak Pengadilan memberi keputusannya. b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut. 19 Hilman Hadikusuma, Op Cit, halaman 191. 32 Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. Menurut Hukum Islam akibat putusnya perkawinan karena perceraian terhadap anak-anaknya diatur dalam Pasal 156 KHI sebagai berikut: a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh: 1. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu 2. Ayah 3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah 4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan 5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping ayah. b. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya c. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula. d. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya 33 sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun) e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c) dan (d). f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat keampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya. d. Terhadap Pihak Ketiga Akibat putusnya perkawinan karena perceraian terhadap dalam hubungannya dengan pihak ketiga, yaitu piutang atau tagihan pihak ketiga kepada suami-isteri dapat dikontruksikan sebagai berikut:20 1). Setelah perceraian terjadi Piutang atau tagihan dari pihak ketiga yang perikatannya disepakati setelah perceraian terjadi, berarti setelah ikatan perkawinan putus; maka status masing-masing secara yuridis sudah menjadi bekas suami atau bekas isteri, maka dengan sendirinya perikatan tersebut hanya mengikat masing-masing bekas suami atau bekas isteri yang membuat perikatan tersebut. 20 Trusto Subekti, Op Cit, halaman 123. 34 Piutang atau tagihan tersebut di atas menjadi hutang pribadi masing-masing bekas suami atau bekas isteri, dan dengan sendirinya dibebankan atas harta pribadi masing-masing atau penyelesaiannya atas tanggung jawab masing-masing bekas suami atau bekas isteri tersebut. 2). Sebelum perceraian terjadi Piutang atau tagihan dari pihak ketiga yang perikatannya dibuat atau disepakati sebelum pekawinannya putus (bercerai), maka piutang atau tagihan tersebut tetap merupakan piutang atau tagihan pihak ketiga seperti sebelum perkawinan putus. a). Hutang pribadi suami atau isteri Hutang pribadi suami atau isteri merupakan tanggung jawab masing-masing suami-isteri yang membuat perikatan, hal ini bisa terjadi karena masing-masing suamiisteri cakap melakukan perbuatan hukum dan terhadap harta pribadi masing-masing suami-isteri mengenai pengelolaan dan penguasaan ada pada pemilik harta tersebut. Apabila harta pribadi masing-masing tidak cukup, maka sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa mereka diwajibkan saling membantu diantara suami-isteri, maka dapat dilunasi atas harta bersama. b). Hutang bersama 35 Hutang bersama merupakan hutang yang dibuat oleh suami atau isteri secara sendiri-sendiri atau bersama-sama selama perkawinan dan terjadi dalam rangka memenuhi kebutuhan atau kepentingan bersama untuk kehidupan rumah tangganya, maka sudah sepantasnya apabila dibebankan atas harta bersama. Apabila ternyata dari harta bersama tidak cukup untuk melunasinya, maka dapat diambilkan dari harta pribadi suami atau isteri. C. Harta Benda Dalam Perkawinan 1. Dasar Hukum Harta Benda Dalam Perkawinan Mengenai harta benda dalam perkawinan dalam Pasal 119 KUHPerdata dan Pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 secara jelas mengatur mengenai harta benda dalam perkawinan yang berbunyi: “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”. Dalam ayat (2) yang berbunyi : “Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain”. Ketentuan Pasal 35 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memakai istilah “harta benda”. Pengertian harta benda bisa menimbulkan salah pengertian, karena harta benda dalam kata sehari-hari menunjuk kepada segi aktiva saja. 36 Menurut pendapat J.Satrio, pengertian harta benda dapat dijelaskan sebagai berikut: Kata “harta benda” ini ditafsirkan sebagai vermogen atau harta kekayaan, karena didalam kata harta kekayaan termasuk pula semua passiva atau hutang-hutangnya. Penafsiran yang demikian itu lebih sesuai dengan prinsip tanggung jawab extern suami-isteri. Konsekuansinya: semua harta yang ada, termasuk semua hutang-hutang yang sudah ada, pada waktu perkawinan dilangsungkan, pada asasnya adalah hak (milik) dan kewajiban suami atau isteri yang mempunyai harta atau hutang tersebut.21 Dari pendapat J. Satrio dapat disimpulkan bahwa yang termasuk harta benda tidak hanya mencakup aktiva saja tetapi passiva juga. Harta benda perkawinan merupakan harta yang ada dan yang akan ada sebagai penopang kehidupan rumah tangga. Prinsip yang ada pada harta benda perkawinan (harta kekayaan keluarga) ada beberapa macam, yaitu: 1. Prinsip persatuan bulat harta 2. Prinsip pemisahan harta antara suami-isteri. 3. Prinsip persatuan harta terbatas, yaitu pada harta bersama disamping adanya harta pribadi suami atau isteri. Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 diatur mengenai wewenang suami-isteri atas harta bersama dan harta bawaan masing-masing. Pasal 37 Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 diatur mengenai pengaturan harta bersama apabila perkawinan putus. 21 J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, Cetakan Pertama, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, halaman 191. 37 2. Macam-macam Harta Benda Dalam Perkawinan Berdasarkan pada dua ketentuan dasar hukum tersebut, adanya harta benda dalam perkawinan setidak-tidaknya dapat dibagi kedalam tiga macam yaitu:22 Harta Bersama : harta yang dimiliki atau diperoleh setelah dilangsungkannya perkawinan yang menjadi hak bersama pasangan suami-isteri, yang meliputi baik itu benda bergerak maupun tidak bergerak, benda berwujud dan tidak berwujud dan segala macam kekayaan lainnya yang dapat dinilai dengan uang. Harta Bawaan masing-masing : harta yang memang sudah dimiliki oleh salah satu pihak baik suami maupun isteri sebelum dilangsungkannya perkawinan, baik hasil usahanya sendiri maupun diperoleh dari hibah atau hadiah. Harta Hibah atau Hadiah : harta yang bersal dari hibah atau hadiah yang didapat oleh salah satu pihak baik suami maupun isteri setelah dilangsungkannya perkawinan. 1). Harta Bersama Menurut Pasal 35 ayat (1) hanya dirumuskan definisi konsepsionalnya dengan kalimat “harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”. Secara operasional dapat dikonkritkan lagi indikatornya, yaitu pada kalimat “.......diperoleh selama perkawinan......”, dari kalimat tersebut 22 Solahudin Pugung, Mendapatkan Hak Asuh Anak dan Harta Bersama, Cetakan Pertama, Jakarta: CV. Karya Gemilang, halaman 21. 38 dapat ditentukan dua indikator, yaitu “diperoleh” dan “selama perkawinan”.23 Indikator “diperoleh” , berangkat dari pengertian harta benda yang diperoleh suami-isteri dengan cara atau dari apapun untuk memperolehnya atau berasal dari mana harta tersebut diperoleh, baik diperoleh oleh suami- isteri secara bersama-sama atau secara sendiri-sendiri. Indikator “selama perkawinan”, menunjuk pada waktu atau masa perkawinan yang dimulai sejak saat perkawinan selesai dilangsungkan sampai perkawinan itu putus.24 Indikator tambahan untuk lebih mengoperasionalkan pengertian harta bersama adalah “tidak termasuk dalam harta bawaan dan harta hadiah atau warisan suami-isteri”. Indikator ini sebagai ukuran yang tegas untuk membedakan antara harta bersama dengan harta pribadi suami atau isteri. Menurut J. Satrio (1991:189) bahwa yang termasuk harta bersama adalah: a. Hasil dan pendapatan suami. b. Hasil dan pendapatan isteri c. Hasil dan pendapatan dari harta pribadi suami maupun isteri, sekalipun harta pokoknya tidak termasuk dalam harta bersama, asal kesemuanya itu diperoleh sepanjang perkawinan. 2). Harta Pribadi 23 24 Trusto Subekti, Op Cit, halaman 80. Ibid, halaman 81. 39 Harta pribadi yang disebutkan dalam Pasal 35 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah “Harta bawaan masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan....”. terdapat tiga istilah yang disebutkan dalam kalimat diatas, yaitu: Harta “bawaan”, harta benda dari “hadiah” dan harta benda dari “warisan”.25 a). Harta bawaan Harta bawaan merupakan harta yang dibawa masuk ke dalam perkawinan, harta bawaan menunjuk pada pengertian sebagai harta yang sudah ada pada (dimiliki) oleh suami atau isteri sebelum perkawinan. Dalam hukum Adat sering disebut sebagai “harta pembujangan”, artinya harta yang ada dan dimiliki calon suami-isteri semasa “bujang” (masih berstatus gadis atau berstatus perjaka sebelum dilangsungkannya perkawinan). b). Harta hadiah Dalam bahasa hukum suatu hadiah atau pemberian merupakan hasil atau perolehan yang didasarkan atas tindakan hukum sepihak, artinya dari tindakan hukum tersebut terdapat prestasi tetapi tidak ada contra prestasi. Tindakan hukum 25 Loc.,Cit. 40 semacam ini dalam istilah hukum disebut dengan istilah “hibah” atau “hibahan”. Menurut J. Satrio (1991:194) mengenai harta hibahan (termasuk warisan) terdapat asas yang berbeda antara Pasal 35 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dengan Pasal 120 KUH Perdata yang dijelaskan sebagai berikut: Menurut Pasal 35 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, semua harta hibahan (dan harta warisan) yang diterima suami/isteri secara otomatis/demi hukum artinya tanpa yang bersangkutan harus memperjanjikannya menjadi harta pribadi suami/isteri yang bersangkutan. Penyimpangan baru hanya terjadi, kalau “para pihak” menentukan lain. Pasal 120 KUH Perdata, disebutkan bahwa yang suami dan/atau isteri peroleh sepanjang perkawinan dengan Cuma-Cuma, baik sebagai hibahan atau warisan otomatis masuk ke dalam harta persatuan, kecuali si pemberi hibah( atau warisan) menentukan sebaliknya. c). Harta warisan Harta warisan adalah harta yang diperoleh dari warisan si suami atau si isteri. Harta warisan ini di dalam hukum Adat dikategorikan sebagai harta asal, yaitu harta yang asal-usulnya 41 berasal dari warisan, atau berasal dari leluhurnya atau kesatuan masyarakat genealogisnya. Harta bawaan, harta hadiah dan harta warisan diatas berdasar atas Pasal 35 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah merupakan harta pribadi. Kemudian terhadap harta pribadi tersebut penguasaannya di bawah masing-masing suami atau isteri. 3. Hukum Acara Perdata Hukum materiil yang bersifat tidak tertulis, merupakan pedoman bagi warga masyarakat tentang bagaimana orang selayaknya berbuat atau tidak berbuat di dalam masyarakat. Semuanya itu merupakan pedoman atau kaidah yang pada hakekatnya bertujuan untuk melindungi kepentingan orang. Pelaksanaan dari hukum materiil, khususnya hukum materiil perdata, dapat berlangsung secara diam-diam di antara para pihak yang bersangkutan tanpa melalui pejabat atau instans resmi. Hukum materiil sering sekali dilanggar, sehingga ada pihak yang dirugikan dan terjadilah gangguan keseimbangan kepentingan di dalam masyarakat. Pelaksanakan hukum materiil perdata tersebut terutama dalam hal ada pelanggaran atau mempertahankan berlangsungnya hukum materiil perdata dalam hal ada tuntutan hak yang diperlukan rangkaian peraturan-peraturan hukum lain di samping 42 hukum materiil hukum perdata itu sendiri. Peraturan hukum inilah yang disebut hukum formil atau hukum acara perdata. Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantara hakim. Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil. Lebih konkrit lagi dapat dikatakan, bahwa hukum acara perdata mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutuskan dan pelaksanaan dari pada putusannya. Tuntutan hak ini tidak lain adalah tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan hukum yang diberikan oleh peradilan untuk mencegah “eigenrichting” atau tindakan menghakimi sendiri.26 Hukum acara perdata meliputi tiga tahap tindakan, yaitu tahap pendahuluan yang merupakan persiapan menuju kepada penentuan atau pelaksanaan, tahap penentuan merupakan tahapan dimana diadakan pemeriksaan peristiwa dan pembuktian sekaligus sampai kepada keputusan, sedangkan tahap pelaksanaan merupakan pelaksanaan dari pada putusan. Hukum acara perdata bukan hanya sekedar pelengkap saja, tetapi mempunyai kedudukan yang penting dalam melaksanakan atau menegakkan hukum perdata materiil. 26 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1977, halaman 2. 43 4. Sumber Hukum Acara Perdata Hukum acara perdata pada Pengadilan Negeri dilakukan dengan memperhatikan beberapa ketentuan- ketentuan atau sumber-sumber hukum, sumber hukum acara perdata antara lain: 1. Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) yang digunakan untuk daerah Jawa dan Madura. 2. Rechtsreglement Buitengewesten (Rbg) yang digunakan untuk daerah luar jawa dan Madura 3. Reglement op de Burgerlijke rechtsvordering (Rv) yang digunakan untuk golongan Eropa. 4. Reglement op de Rechterlijke Organisatie in het beleid der Justitie in Indonesie (RO atau Reglement tentang Organisasi Kehakiman) 5. Burgerlijk Wetboek (BW) 6. Wvk 7. Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Ketentuanketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. 8. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947 9. Yurisprudensi 10.Perjanjian Internasional 11. Doktrin 5. Asas- asas Hukum Acara Perdata Asas-asas dalam hukum acara perdata, antara lain: 1. Hakim bersifat menunggu 44 Yaitu inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak diserahkan sepenuhnya kepada yang berkepentingan. Sehingga tuntutan hak yang mengajukan adalah pihak yang berkepentingan, sedang hakim bersikap menunggu datangnya tuntutan hak diajukan kepadanya. 2. Hakim pasif Bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa pada asasnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim. Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan untuk tercapainya peradilan. Arti pasif disini berarti hakim tidak menentukan luas dari pada pokok sengketa. Hakim tidak boleh menambah atau menguranginya. 3. Sifat terbukanya persidangan Bahwa setiap orang diperbolehkan hadir mendengarkan pemeriksaan di persidangan. Tujuan dari pada asas ini untuk memberi perlindungan hak-hak asasi manusia dalam bidang peradilan serta untuk lebih menjamin obyektifitas peradilan dengan mempertanggung jawabkan pemeriksaan yang adil. 4. Mendengar kedua belah pihak Mengandung arti bahwa kedua belah pihak haruslah diperlakukan sama. Tidak memihak dan didengar bersama-sama. 45 Hal ini berarti bahwa hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai saja. 5. Putusan disertai alasan-alasan Alasan-alasan ini dimaksudkan sebagai pertanggung jawaban hakim dari pada putusannya terhadap masyarakat sehingga oleh karenanya mempunyai nilai objektif. Untuk lebih dapat mempertanggung jawabkan putusan sering juga dacari dukungan pada yurisprudensi dan ilmu pengetahuan. Namun, tidak berarti hakim terikat pada atau harus mengikuti putusan mengenai perkara yang sejenis yang pernah dijatuhkan. 6. Beracara dikenai biaya Biaya perkara ini meliputi biaya kepaniteraan dan biaya untuk panggilan, pemberitahuan para pihak serta biaya materai. Bagi mereka yang tidak mampu untuk membayar biaya perkara, dapat mengajukan perkara secara cuma-cuma dengan mendapatkan izin untuk dibebaskan dari pembayaran biaya perkara, dengan mengajukan surat keterangan tidak mampu yang dibuat oleh kepala polisi. 7. Tidak ada keharusan mewakilkan HIR tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan kepada orang lain, sehingga pemeriksaan di persidangan terjadi secara langsung terhadap para pihak yang langsung 46 berkepentingan. Akan tetapi para pihak dapat dibantu atau diwakilkan oleh kuasanya apabila menghendakinya. D. Gugatan 1. Pengertian Gugatan Pengertian gugatan itu sendiri adalah mengajukan perkara kepada Pengadilan adalah satu pihak saja dimana didalam perkaranya terdapat perselisihan.27 Bentuk gugatan perdata yang dibenarkan Undang-undang dapat dilakukan dengan cara: 1). Gugatan Berbentuk Lisan Bentuk gugatan lisan, diatur dalam Pasal 120 HIR (Pasal 144 RBG) yang menegaskan : Bilamana penggugat buta huruf maka surat gugatannya dapat dimasukan dengan lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri, yang mencatat gugatan itu atau menyuruh mencatatnya. 2). Gugatan Berbentuk Tertulis Gugatan yang paling diutamakan adalah gugatan dalam bentuk tertulis. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 118 ayat (1) HIR (Pasal 142 RBG). Menurut Pasal ini, gugatan perdata harus dimasukkan kepada Pengadilan Negeri dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau kuasanya.28 27 Umar Mansyur Syah, Hukum Acara Peradilan Agama Menurut Teori dan Praktak, Garut: Yayasan Al-Umaro, halaman 67. 28 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Cetakan Pertama, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, halaman 49. 47 2. Gugatan Rekonvensi 1). Pengertian Gugatan Rekonvensi Untuk memahami apa gugatan rekonvensi itu, maka dibawah ini diberikan beberapa definisi gugatan rekonvensi menurut Sarjana : a. Abdulkadir Muhammad Gugatan rekonvensi (rekonventie, rekonvention) adalah gugatan yang diajukan oleh tergugat, berhubung penggugat juga melakukan wanprestasi terhadap tergugat. b. M. Yahya Harahap Gugatan rekonvensi adalah gugatan balik yang diajukan tergugat terhadap penggugat dalam suatu proses perkara yang sedang berjalan. c. Umar Mansyur Syah Gugatan rekonvensi adalah gugatan yang diajukan oleh tergugat terhadap penggugat dalam sengketa yang sedang berjalan. 2). Tujuan Gugatan Rekonvensi Tujuan yang terkandung dalam sistim rekonvensi bukan hanya sekedar untuk memenuhi kepantingan pihak tergugat saja, tetapi meliputi kepentingan penggugat maupun penegakan kepastian hukum, adapun tujuan dari gugatan rekonvensi antara lain: 48 a. Menegakkan Asas Peradilan Sederhana Sesuai dengan Pasal 132 b ayat (3) HIR, gugatan konvensi dan rekonvensi diperiksa dan diputus secara serentak dan bersamaan dalam satu proses, dan dituangkan dalam satu putusan. Sistim yang menyatukan pemeriksaan dan putusan dalam satu proses, sangat menyederhanakan penyelesaian perkara. Menggunakan sistim ini, penyelesaian perkara yang semestinya harus dilakukan dalam dua proses yang terpisah dan berdiri sendiri, dibenarkan hukum diselesaikan secara bersama dalam satu proses. b. Menghemat Biaya dan Waktu 1) Menghemat Biaya Pemeriksaan gugatan rekonvensi yang dilakukan secara terpisah dengan konvensi, biaya yang mesti dikeluarkan untuk memanggil para pihak maupun biaya lain menjadi dua kali lipat. Biaya yang semestinya harus ditetapkan dan dianggarkan untuk masing-masing gugatan konvensi dan rekonvensi, oleh Undang-undang hanya dibukukan menjadi pembayaran tunggal sebagai beban gugatan konvensi. 2) Menghemat Waktu Proses pemeriksaan yang dilakukan secara berdiri sendiri, diperlukan jatah waktu yang berbeda dan terpisah 49 untuk masing-masing gugatan. Konvensi memerlukan jatah waktu tersendiri, demikian juga rekonvensi. Akan tetapi melalui sistim pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 132 b ayat (2) HIR mengenai penggabungan pemeriksaan keduanya dalam satu proses dan dalam satu putusan, penyelesaian kedua perkara menjadi lebih singkat. 3) Menghindari Putusan yang saling Bertentangan Pemeriksaan antara keduanya terpisah dan berdiri sendiri, besar kemungkinan putusan yang dijatuhkan saling bertentangan, antara putusan gugatan konvensi dengan gugatan rekonvensi. Pertentangan itu semakin potensial terjadi, apabila yang menyelesaikan pemeriksaan adalah majelis hakim yang berbeda. 3). Aturan Mengajukan Gugatan Rekonvensi Aturan mengajukan gugat in rekonvensi ini tercantum pada Pasal 132 a dan 132 b HIR Pasal 132 a. Menyatakan : (1) Tergugat berhak dalam tiap – tiap perkara memasukkan gugatan melawan kecuali. 1. Penggugat memajukan gugatan karena suatu sifat, sedang gugatan melawan itu akan mengenai dirinya sendiri dan sebaliknya; 50 2. Pengadilan negeri memeriksa surat gugat penggugat tidak berhak memeriksa gugatan melawan itu berhubung dengan pokok perselisihan. 3. Dalam perkara perselisihan tentang menjalankan keputusan (2) Pemeriksaan tingkat pertama dimajukan gugat melawan, maka dalam bandingan tidak dapat memajukan gugatan itu. Pasal 132 b menyatakan : (1) tergugat wajib memajukan gugatan melawan bersama – sama dengan jawabannya, baik dengan surat maupun dengan lisan. (2) buat gugatan melawan itu berlaku peraturan dari bagian ini (3) kedua perkara itu diselesaikan sekaligus dan diputuskan dalam satu keputusan, kecuali kalau sekiranya pengadilan negeri berpendapat, bahwa perkara yang pertama dapat lebih dahulu diselesaikan daripada yang kedua, dalam hal mana demikian dapat dilakukan, tetapi gugatan mula – mula dan gugatan melawan yang belum diputuskan itu masih tetap diperiksa oleh hakim itu juga, sampai dijatuhkan keputusan terakhir. (4) bandingan diperbolehkan, jika banyaknya uang dalam gugatan tingkat pertama ditambah dengan uang dalam gugtan melawan lebih daripada jumlah uang yang sebanyak-banyaknya yang dapat diputuskan oleh pengadilan negeri sebagai hakim yang tertinggi (5) bila kedua perkara itu dibagi – bagi dan keputusan dijatuhkan 51 berasing – asing, maka haruslah dituruti aturan biasa tentang hak bandingan. 3. Formulasi Surat Gugatan Formulasi surat gugatan adalah perumusan surat gugatan yang dianggap memenuhi syarat formil menurut ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berhubungan dengan ketentuan formil yang harus ada dalam surat gugatan antara lain: 1). Ditujukan kepada PN Sesuai dengan Kompetensi Relatif Secara formil dialamatkan kepada surat gugatan Pengadilan harus Negeri ditujukan sesuai dan dengan kompetensi relatif. Hal ini sesuai dengan dalam Pasal 118 HIR. Apabila surat gugatan tidak sesuai dengan kompetensi relatif maka : a. Mengakibatkan gugatan mengandung cacat formil, karena gugatan disampaikan dan dialamatkan kepada Pengadilan Negeri yang berada diluar wilayah hukum yang berwenang untuk memeriksa dan mengadilinya. b. Gugatan dinyatakan tidak dapat diterima atas alasan hakim tidak berwenang mengadili. 2). Diberi Tanggal Dalam Undang-undang tidak menyebutkan bahwa surat gugatan harus mencantumkan tanggal. Namun pencantuman 52 tanggal sebaiknya dilakukan hal ini guna menjamin kepastian hukum atas pembuatan dan penandatanganan surat gugatan, sehingga apabila timbul suatu masalah penandatanganan surat gugatan berhadapan penandatanganan surat dengan tanggal kuasa,segara pembuatan dapat dan diselesaikan. Sehingga dapat disimpulkan pencatuman tanggal dilihat dari segi hukum antara lain: a. Pencatuman tanggal, tidak imperatif dan bahkan tidak merupakan syarat formil surat gugatan. b. Kelalaian atas pencantuman tanggal, tidak mengakibatkan surat gugatan mengandung cacat formil. c. Surat gugatan tidak mencantumkan tanggal, sah menurut hukum, sehingga tidak dapat dijadikan dasar untuk menyatakan gugatan tidak dapat diterima. 3). Ditandatangani Penggugat atau Kuasa Tanda tangan tegas disebut sebagai syarat formil surat gugatan. Pasal 118 ayat (1) HIR menyatakan: a. Gugatan perdata harus dimasukkan ke Pengadilan Negeri sesuai dengan kompetensi relatif, dan b. Dibuat dalam bentuk surat permohonan (surat permintaan) yang ditandatangani oleh penggugat atau (kuasanya) a). Tanda Tangan Ditulis dengan Tangan Sendiri wakilnya 53 Tanda tangan yang dimaksud disini, pada umumnya merupakan tanda atau inisial nama yang dituliskan dengan tangan sendiri oleh penanda tangan. Penandatanganan dapat dilakukan oleh penggugat sendiri atau kuasanya, asal pada saat kuasa ditandatangani, terlebih dahulu dibuat dan diberikan surat kuasa khusus. b). Cap Jempol Disamakan dengan Tanda Tangan Cap jempol digunakan apabila Penggugat tidak dapat menulis yang dibubuhkan di atas surat gugatan sebagai pengganti tanda tangan. Hakim menemukan cap jempol yang belum dilegalisir dalam gugatan maka : 1. Tidak layak hakim langsung menyatakan gugatan cacat formil, atas alasan cap jempol tidak dilegalisir. 2. Tetap hakim menyuruh atau memerintahkan kepada yang bersangkutan untuk melegalisirnya. 4). Identitas Para Pihak Penyebutan identitas dalam surat gugatan, merupakan syarat formil keabsahan gugatan. Surat gugatan yang tidak menyebut identitas para pihak, apalagi tidak menyebut identitas tergugat, menyebabkan gugatan tidak sah dan dianggap tidak ada. Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 118 ayat (1) HIR, identitas yang harus dicantumkan, cukup memadai sebagai dasar 54 untuk menyampaikan panggilan atau menyampaikan pemberitahuan. Tujuan utama pencantuman identitas agar dapat disampaikan panggilan dan pemberitahuan, identitas yang wajib disebut, cukup meliputi: a. Nama Lengkap 1). Nama Terang dan Lengkap, Termasuk Gelar atau Alias Bertujuan untuk membedakan orang yang dimaksudkan dengan orang lain yang kebetulan namanya sama pada lingkungan tempat tinggal. 2). Kekeliruan Penyebutan Nama yang Serius Kekeliruan penyebutan nama yang serius akan berakibat surat gugatan cacat formil, timbul ketidakpastian mengenai orang atau pihak yang berkara sehingga cukup dasar alasan untuk menyatakan gugatan error in persona/ kabur oleh karena itu gugatan dinyatakan tidak dapat diterima. 3). Penulisan Nama Tidak Boleh Didekati secara Sempit atau Kaku tetapi Harus dengan Lentur Kekeliruan dapat terjadi namun apabila kekelituan itu sangat kecil dan tidak berarti dapat atau harus ditolerir sehingga kesalahan tersebut dapat diperbaiki oleh Penggugat dalam persidangan melalui surat perbaikan atau perbaikan dilakukan dalam replik. Bahkan hakim sendiri 55 dapat memperbaiki dalam berita acara persidangan maupun dalam putusan. 4). Penulisan Nama Perseroan Harus Lengkap dan Jelas Penulisan nama perseroan harus lengkap dan jelas didasarkan pada: Nama yang disebut dalam anggaran dasar atau yang tercantum pada papan nama maupun yang tertulis pada surat-surat resmi perusahaan, selain ditulis nama lengkap perseroan tapi juga ditulis nama singkatannya. b. Alamat atau Tempat Tinggal 1. Alamat Menurut hukum yang dimaksud dengan alamat, meliputi: alamat kediaman pokok, kediaman tambahan, tempat tinggal rill. 2. Sumber keabsahan alamat Bagi perorangan dapat diambil dari KTP,NPWP dan KK. Perseroan dapat diambil dari NPWP,Anggaran Dasar, Izin Usaha atau dari Papan Nama. 3. Perubahan alamat Tergugat sesudah gugatan diajukan Perubahan alamat Tergugat sesudah gugatan diajukan penggugat, sehingga alamat yang disebut dalam gugatan berbeda dengan tempat tinggal riil tergugat maka mengakibatkan gugatan cacat formil, tergugat tidak dapat 56 menjadikan hal tersebut sebagai dasar bantahan atau alasan menyatakan gugatan tidak dapat diterima. 4. Tidak diketahui alamat tempat tinggal Tergugat Pasal 390 ayat (3) HIR telah mengantisipasi apabila alamat tergugat tidak diketahui. Antisipasi tersebut dilakukan dengan cara melakukan pemanggilan umum oleh wali kota atau bupati. c. Penyebutan Identitas Lain, Tidak Imperatif Tidak ada larangan mengenai pencantuman identitas Tergugat. Lebih lengkap dalam pencantuman identitas justru semakin baik dan lebih pasti. 5). Fundamentum Petendi Fundamentum Petendi yaitu dasar tuntutan atau dasar gugatan. Mengenai perumusan Fundamentum Petendi atau Dalil Gugat terdapat dua teori yaitu : a) Substantierings theorie yaitu bahwa dalam dalil gugatan tidak cukup hanya merumuskan peristiwa hukum yang menjadi dasar tuntutan, tetapi juga harus menjelaskan faktafakta yang mendahului peristiwa hukum yang menjadi penyebab timbulnya peristiwa hukum tersebut. b) Individualisering theorie yang menjelaskan peristiwa atau kejadian hukum yang dikemukakan dalam gugatan, harus 57 dengan jelas memperlihatkan hubungan hukum yang menjadi dasar tuntutan. Sehubungan dengan teori tersebut, fundamentum petendi yang dianggap lengkap memenuhi syarat, memuat dua unsur: 1. Dasar Hukum Memuat penegasan atau penjelasan mengenai hubungan hukum antara : a. Penggugat dengan materi dan atau objek yang disengketakan, dan b. Antara Penggugat dengan Tergugat berkaitan dengan materi atau objek sengketa. 2. Dasar Fakta Memuat penjelasan pernyataan mengenai: a. Fakta atau peristiwa yang berkaitan langsung dengan atau disekitar hubungan hukum yang terjadi antara Penggugat dengan materi atau objek perkara maupun dengan pihak Tergugat. b. Penjelasan fakta-fakta yang langsung berkaitan dengan dasar hukum atau hubungan hukum yang didalilkan Penggugat. Dari uraian diatas maka bagi dalil gugat yang dianggap tidak mempunyai dasar hukum maka : 58 1. Pembebasan pemidanaan atas laporan tergugat, tidak dapat dijadikan dasar hukum menuntut ganti rugi. 2. Dalil gugatan berdasarkan perjanjian tidak halal 3. Gugatan tuntutan ganti rugi atas perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata mengenai kesalahan hakim dalam melaksanakan fungsi peradilan, dianggap tidak mempunyai dasar hukum. 4. Dalil gugatan yang tidak berdasarkan sengketa, dianggap tidak mempunyai dasar hukum. 5. Tuntutan ganti rugi atas sesuatu hasil yang tidak dirinci berdasarkan fakta, dianggap gugatan yang tidak mempunyai dasar hukum. 6. dalil gugatan yang mengandung pertentangan antara dalil yang satu dengan dalil yang lain,dinyatakan sebagai gugatan yang tidak mempunyai landasan hukum yang jelas. 6). Petitum Gugatan Syarat formulasi gugatan yang lain, adalah petitum gugatan. Supaya gugatan sah, dalam arti tidak mengandung cacat formil, harus mencantumkan gugatan yang berisi pokok tututan Penggugat, berupa deskripsi yang jelas menyebut satu per satu dalam akhir gugatan tentang hal-hal apa saja yang menjadi pokok tuntutan Penggugat yang harus dinyatakan dan dibebankan pada Tergugat. 59 Untuk memperoleh pengertian yang memadai tentang ruang lingkup petitum gugatan, perlu dijelaskan hal-hal berikut. a. Bentuk Petitum Macam-macam bentuk petitum : 1) Bentuk tunggal Petitum disebut berbentuk tunggal, apabila deskripsi yang menyebut satu per satu pokok tuntutan, tidak diikuti dengan susunan deskripsi petitum lain yang bersifat alternatif atau subsidair. 2) Bentuk alternatif Petitum yang berbentuk alternatif dapat diklasifikasikan: a) Petitum primair dan subsidair sama-sama dirinci. Baik petitum primair maupun petitum subsidair, sama-sama dirinci satu per satu dengan rincian yang saling berbeda. Penerapan yang ditegakan mengahadapi petitum primer dan sekunder yang masing-masing dirinci satu per satu: (1) Mutlak diterapkan secara limitatif; (2) Oleh karena itu, hakim dalam mengambil dan menjatuhkan putusan, harus memilih apakah petitum primair atau subsidair yang hendak dikabulkan; 60 (3) Dengan demikian, hakim dalam menghadapi gugatan yang mengandung petitum primer dan subsider, tidak boleh mencampuradukan dengan cara mengambil sebagian dari petitum primer dan sebagian lagi dari petitum subsider. b) Petitum primair dirinci, diikuti dengan petitum subsidair berbentuk compositur atau ex-aequo et bono (mohon keadilan) : (1) Dalam hal ini, sifat alternatifnya tidak mutlak (tidak absolut) (2) Hakim bebas untuk mengambi seluruh dan sebagian petitum primer dan mengesampingkan petitum ex aequo et bono (3) Bahkan hakim bebas dan berwenang menetapkan lain berdasarkan petitum ex aequo et bono dengan syarat. Syaratnya yaitu harus berdasarkan kelayakan atau kepatutan. Kelayakan atau kepatutan yang ditetapkan atau dikabulkan itu, masih berada dalam kerangka jiwa petitum primer dan dalil gugatan. b. Berbagai petitum yang tidak memenuhi syarat 61 1. Tidak menyebutkan secara tegas apa yang diminta atau petitum bersifat umum. Petitum yang memenuhi syarat, mesti bersifat tegas dan spesifik menyebut apa yang diminta Penggugat. 2. Petitum tuntutan ganti rugi tetapi tidak dirinci dalam gugatan tidak memenuhi syarat. 3. Petitum yang bersifat Negatif, tidak dapat dikabulkan. Petitum yang meminta agar peradilan menghukum Tergugat supaya tidak mengambil tindakan yang bersifat merusak bangunan adalah petitum adalah yang berfiat negatif, oleh karena itu tidak dapat dikabulkan. 4. Petitum tidak sejalan dengan dalil gugatan. Masalah lain yang harus diperhatikan, petitum gugatan harus sejalan dengan dalil gugatan. Dengan demikian, petitum mesti bersesuaian atau konsisten dengan dasar hukum dan fakta-fakta yang dikemukakan dalam posita. E. Alat Bukti Surat 1. Alat-alat Bukti Menurut sistim HIR dan R.Bg., hakim terikat dengan alatalat bukti yang sah, yang diatur oleh Undang-undang. Ini berarti hakim hanya boleh mengambil putusan berdasarkan alat-alat bukti yang telah diatur oleh Undang-undang. Menurut ketentuan Pasal 164 HIR/Pasal 284 R.Bg., ada lima macam alat bukti yaitu: 62 1. Alat Bukti Tertulis Alat bukti tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda – tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.29 2. Alat Bukti Saksi Alat bukti saksi diatur dalam Pasal 168-172 HIR atau Pasal 306-309 R.Bg. Dalam pembuktian dengan saksi pada umumnya dibolehkan dalam segala hal, kecuali jika undang-undang menentukan lain. Hukum adat mengenal 2 macam saksi, yaitu saksi-saksi yang secara kebetulan melihat, mendengar sendiri peristiwaperistiwa yang menjadi persoalan. Saksi-saksi yang pada waktu perbuatan hukum itu dilakukan, sengaja telah diminta untuk menyaksikan perbuatan hukum tersebut.30 Dapat diterangkan oleh saksi hanyalah apa yang ia lihat, dengar atau rasakan sendiri, lagi pula tiap-tiap kesaksian harus disertai alasan-alasan apa sebabnya, dan bagaimana sampai ia mengetahui hal-hal yang diterangkan olehnya. Perasaan atau sangka yang istimewa, yang terjadi karena akal, tidak dipandang sebagai penyaksian. 3. Alat Bukti Persangkaan 29 Sudikno Mertokusumo, Op Cit, halaman 116. Retno Wulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Cetakan 11,Bandung: Mandar Maju,2009,halaman 70. 30 63 Menurut Pasal 1915 KUH Perdata yang dimaksud dengan persangkaan ialah kesimpulan-kesimpulan yang oleh undangundang atau oleh Hakim ditariknya dari suatu peristiwa yang terkenal kearah suatu peristiwa yang tidak terkenal. Ada dua macam persangkaan, yaitu: persangkaan menurut Undang-undang dan persangkaan yang tidak berdasarkan Undang-undang. 4. Alat Bukti Pengakuan Menurut ketentuan Pasal 174-176 HIR, pengakuan yang diucapkan dimuka sidang pengadilan mempunyai kekuatan bukti yang sempurna bagi orang yang memberikan pengakuan, baik diucapkan sendiri maupun dengan perantaraan orang lain yang dikuasakan untuk itu.31 5. Alat Bukti Sumpah Pengertian sumpah sebagai alat bukti, adalah suatu keterangan atau pernyataan yang dikuatkan atas nama Tuhan, dengan tujuan:32 1). Agar orang yang disumpah dalam memberi keterangan atau pernyataan itu, takut atas murka Tuhan, apabila dia berbohong. 2). Takut kepada murka atau hukuman Tuhan, dianggap sebagai daya pendorong bagi yang bersumpah untuk menerangkan yang sebenarnya. 31 Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia,Cetakan Kelima,Bandung: Citra Aditya Bakti,1992, Halaman 147. 32 M.Yahya Harahap, Op Cit, halaman 745. 64 2. Macam-macam Surat Surat sebagai alat bukti tertulis dibagi menjadi dua yaitu surat yang merupakan akta dan surat – surat lainnya yang bukan akta, sedangkan akta sendiri dibagi lebih lanjut menjadi akta otentik dan akta di bawah tangan. Bukan Akta adalah suatu surat yang tidak ada tanda tangannya. Sedangkan Akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa – peristiwa yang menjadi dasar dari pada suatu, hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. 1). Akta Otentik Akta otentik ialah suatu akta yang dibuat menurut posedur dan bentuk sebagaimana ditentukan menurut prosedur dan bentuk sebagaimana ditentukan undang-undang, oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu, dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti. 2). Akta Di bawah Tangan Akta di bawah tangan ialah suatu akta yang dibuat oleh para pihak tanpa bantuan pejabat umum, dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti. Akta di bawah tangan berisi pernyataan maksud para pihak guna mewujudkan suatu perbuatan hukum yang oleh mereka dilukiskan dengan tulisan sebagai penganti atau lanjutan pernyataan lisan mereka. 65 3. Kekuatan Pembuktian Surat 1). Akta Otentik Pada tiap-tiap akta otentik dikenal tiga macam kekuatan bukti, yaitu: a. Kekuatan Bukti Lahir Kekuatan bukti lahir, di sini syarat-syarat formil bagi suatu akta otentik itu dipenuhi atau tidak. Jika syarat itu dipenuhi, maka syarat yang tampaknya dari luar, secara lahiriah sebagai akta otentik, dianggap akta otentik sepanjang tidak terbukti sebaliknya. b. Kekuatan Bukti Formil Kekuatan bukti formil, mengenai kebenaran dari peristiwa yang disebutkan dalam akta otentik tersebut. c. Kekuatan Bukti Materiil Kekuatan bukti materiil, mengenai kebenaran isi akta otentik tersebut. Artinya apakah benar bahwa yang tercantum dalam akta otentik tersebut seperti kenyataannya. 2). Akta Di bawah Tangan Kekuatan pembuktian akta dibawah tangan, tidak seluas akta otentik. Kekuatan pembuktian akta di bawah tangan yaitu:33 a. Kekuatan Pembuktian Formil 33 Ibid, halaman 591. 66 1. Orang yang bertanda tangan dianggap benar menerangkan hal yang tercantum dalam akta. 2. Tidak mutlak untuk keuntungan pihak lain. b. Kekuatan Pembuktian Materiil 1. Isi keterangan yang tercantum harus dianggap benar 2. Memiliki daya mengikat pada ahli waris dan orang yang mendapat hak dari padanya. F. Akta Perdamaian 1. Pengertian Perdamaian Pasal 1851 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menjelaskan yang dimaksud Perdamaian adalah suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara, dimana persetujuan itu harus tertulis. 2. Syarat-syarat Perdamaian Berdasarkan Pasal 1851 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Pasal 130 HIR, maka syarat formal dari putusan perdamaian yakni:34 a. Persetujuan kedua belah pihak Kedua belah pihak yang bersangkutan sama-sama “menyetujui” dengan sukarela mengakhiri persengketaan. Dengan 34 Victor M.Situmorang, Perdamaian Dan Perwasiatan Dalam Hukum Acara Perdata, Cetakan 1,Jakarta: PT.Rineka Cipta, 1993,halaman 6. 67 demikian berlaku sepenuhnya unsur-unsur persetujuan sebagaimana dalam Pasal 1320 KUH Perdata. b. Mengakhiri suatu sengketa Putusan perdamaian harus benar-benar mengakhiri sengketa yang terjadi antara kedua belah pihak. Suatu putusan perdamaian yang tidak secara tuntas mengakhiri sengketa yang sedang terjadi antara kedua belah pihak dianggap tidak memenuhi syarat formal. c. Perdamaian atas sengketa yang telah ada Perdamaian harus didasarkan atas persengketaan yang telah ada. Menurut Pasal 1851 KUH Perdata persengketaan itu: 1. Sudah berwujud sengketa perkara di Pengadilan 2. Sudah nyata terwujud sengketa perdata yang akan diajukan ke Pengadilan, sehingga perdamaian yang dibuat oleh para pihak mencegah terjadinya perkara di sidang Pengadilan. d. Berbentuk tertulis Suatu persetujuan perdamaian dikatakan tidak sah apabila dibuat secara lisan. Sedangkan sahnya suatu persetujuan perdamaian apabila dibuat secara tertulis. 68 3. Pengertian Akta Perdamaian Akta perdamaian yakni suatu persetujuan perdamaian yang dibuat para pihak dan terdapat dalam persetujuan itu para pihak minta pengukuhan dari pengadilan.35 4. Kekuatan Akta Perdamaian Sebagaimana diatur dalam Pasal 1858 KUH Perdata dan Pasal 130 ayat (2) dan (3) HIR. Maka akta perdamaian mempunyai fungsi:36 a. Disamakan Kekuatannya Dengan Putusan Yang Berkekuatan Hukum Tetap. Menurut Pasal 1858 ayat (1) KUH Perdata, perdamaian di antara pihak, sama kekuatannya seperti putusan hakim yang penghabisan. b. Mempunyai Kekuatan Eksekutorial Sesaat setelah putusan dijatuhkan langsung melekat kekuatan eksekutorial padanya. Apabila salah satu pihak tidak menaati atau melaksanakn pemenuhan yang ditentukan dalam perjanjian secara sukarela: 1) Dapat diminta eksekusi kepada PN, 2) Atas permintaan itu Ketua PN menjalankan eksekusi sesuai dengan ketentuan Pasal 195 HIR 35 36 Ibid ,halaman 11. M. Yahya Harahap, Op Cit, halaman 279. 69 c. Putusan Akta Perdamaian Tidak Dapat Banding Ditegaskan dalam Pasal 130 ayat (3) HIR putusan akta perdamaian tidak dapat banding. Dengan kata lain, tehadap putusan tersebut tertutup upaya hukum (banding dan kasasi). Larangan itu sejalan dengan ketentuan yang mempersamakan kekuatannya sebagai putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. 70 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan oleh peneliti adalah pendekatan kasus (case aprroach). Pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus – kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.37 B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi dalam penelitian ini adalah penelitian yang bersifat preskriptif dan terapan dengan mempelajari tujuan hukum dalam hal demikian apa yang senyatanya ada berhadapan dengan apa yang seharusnya. C. Lokasi Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Negeri Pemalang. D. Sumber Bahan Hukum 1. Bahan Sekunder Data yang bersumber dari bahan hukum, meliputi : a. Bahan hukum primer 37 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cetakan Keenam, Jakarta: Kencana, 2010, halaman 94. 71 Bahan-bahan yang bersumber dari peraturan perundangundangan serta dokumen-dokumen resmi yang berkaitan dengan pokok permasalahan. b. Bahan hukum sekunder Bahan-bahan yang bersumber dari keputusan-keputusan, literatur-literatur, artikel, makalah seminar, dan hasil penelitian yang ada hubungannya dengan permasalahan yang diteliti guna mendukung penelitian. E. Metode Pengumpulan Bahan Hukum Metode Pengumpulan Bahan Hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a. Bahan Hukum Sekunder Bahan Hukum sekunder diperoleh dari Putusan Pengadilan Nomor : 03/Pdt.G/2007/PN.Pml. b. Bahan Hukum Primer Bahan Hukum diperoleh dengan menginventarisasi peraturan perundang-undangan, mempelajari keputusan, buku literatur, artikel, makalah, seminar, maupun surat-surat resmi yang ada hubungannya dengan penelitian tersebut. F. Metode Penyajian Bahan Hukum Metode penyajian bahan hukum dalam penelitian ini akan disajikan dalam bentuk uraian yang disusun secara sistematis. Keseluruhan data 72 yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya dan disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti, sehingga menjadi satu kesatuan utuh. G. Metode Analisis Bahan Hukum Bahan hukum yang diperoleh dan diinventarisir akan dianalisis secara kualitatif, yaitu analisis yang dilakukan dengan memahami dan merangkai bahan hukum yang telah dikumpulkan dan disusun secara sistematis yang akhirnya akan ditarik kesimpulan pada karya tulis ini. 73 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil penelitian ini didasarkan pada dokumen-dokumen maupun arsiparsip yang ada relevansinya dengan permasalahan yang diteliti. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan terhadap Putusan Pengadilan Negeri Nomor: 03/Pdt.G/2007/PN.Pml, maka dapat disajikan datadata sebagai berikut: a) Para Pihak Yang Berperkara Penggugat Konvensi / Tergugat rekonvensi 1. Nama : Feri Jenis Kelamin : Laki-laki Umur : 40 Tahun Agama : Budha Alamat : Dusun Posongan RT.03 RW.03, Desa Purwoharjo Kecamatan Comal, Kabupaten Pemalang. Tergugat Konvensi / Penggugat Rekonvensi 2. Nama : Adji Wibowo Huni Sulistiyowati Jenis Kelamin : Perempuan Umur : 39 Tahun Agama : Budha Alamat : Dusun Posongan RT.03 RW.03, Desa Purwoharjo 74 Kecamatan Comal, Kabupaten Pemalang. b) Duduk Perkara Penggugat dengan surat gugatannya tertanggal 26 Februari 2007 yang telah didaftar di Kepaniteraan Negeri Pemalang tanggal 27 Februari 2007 mengajukan gugatan perceraian terhadap Tergugat dengan alasan bahwa kehidupan rumah tangga antara Penggugat dan Tergugat seringkali diwarnai ketidak harmonisan yaitu cek-cok / bertengkar mulut sehingga sangat sulit untuk meneruskan kehidupan rumah tangganya sebagaimana layaknya rumah tangga yang harmonis, mengenai anak yang masih kecil dan masih membutuhkan kasih sayang ibu maka agar tetap diasuh oleh Tergugat. c) Petitum Penggugat Berhubung alasan tersebut diatas, maka Penggugat agar Pengadilan Negeri Pemalang memeriksa dan mengadili serta menjatuhkan putusannya sebagai berikut: 1.Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya 2. Menyatakan putus karena perceraian perkawinan antara Penggugat dan Tergugat yang dilangsungkan di Kantor Catatan Sipil Kabupaten Pemalang pada tanggal 04 Februari 1993 yang tercatat dalam Akta Perkawinan Nomor : 474.2/3/1993 tanggal 09 Februari 1993 dengan segala akibat hukumnya. 75 3. Memerintahkan kepada Panitera Pengadilan Negeri Pemalang untuk mengirimkan salinan putusan ini yang telah berkekuatan hukum tetap kepada Kantor Catatan Sipil Kabupaten Pemalang. 4. Memerintahkan kepada Kantor Catatan Sipil Kabupaten Pemalang untuk mencatat perceraian Penggugat dan Tergugat dalam daftar perceraian pada tahun yang sedang berjalan, segara setelah diterimanya salinan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. 5. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara. d) Jawaban Tergugat Atas gugatan Penggugat, Tergugat memberikan jawaban secara tertulis yang pada pokoknya mengemukakan sebagai berikut: 1. Bahwa benar apa yang disebutkan Penggugat pada butir 1,3,4,5,7 posita gugatan Penggugat, rumah tangga Penggugat dan Tergugat tidak harmonis percekcokan dan perselisihan terus menerus disebabkan selalu perbedaan pendapat yang tajam yang masing-masing mempertahankan pendapatnya sehingga tidak ada jalan penyelesaiannya. 2. Bahwa benar setelah kawin Penggugat dan Tergugat tinggal dirumah kontrakan di Jalan Achmad Yani Comal selam 6 tahun dan selanjutnya sampai sekarang tinggal di sebagaimana disebutkan pada gugatn Penggugat. 3. Bahwa Tergugat tidak setuju hanya diminta sebagai pengasuh anak-anak Penggugat dan Tergugat sebagaimana disebutkan pada butir 6 posita 76 gugatan Penggugat, tetapi mohon ditunjuk sebagai wali ibu dari anakanak tersebut. e) Gugatan Rekonvensi Tergugat melalui jawabannya kecuali menanggapi tentang pokok perkara, juga mengajukan gugat balik/gugatan rekonvensi dengan dalil sebagai berikut: 1.Bahwa karena kedua anak Penggugat Rekonvensi dan Tergugat Rekonvensi yakni Reynaldi Julian Pratama dan Nadia Tiara Devi masih dibawah umur masih membutuhkan kasih sayang dari ibu, maka Penggugat Rekonvensi mohon ditunjuk sebagai waki ibu dari kedua anak tersebut. 2.Bahwa sebagai akibat diajukannya gugatan cerai dari Tergugat Rekonvensi kepada Penggugat Rekonvensi, maka pada tanggal 21 Maret 2007 Tergugat Rekonvensi dan Penggugat Rekonvensi mengadakan kesepakatan perdamaian tentang harta bersama dan hak serta kewajiban yang lain dimana redaksi dan ketentuan surat perdamaian tersebut berbunyi sebagai berikut: Yang bertanda tangan dibawah ini : 1. Nama : Feri Jenis Kelamin : Laki-laki Umur : 40 Tahun Agama : Budha Alamat : Dusun Posongan RT.03 RW.03, Desa Purwoharjo 77 Kecamatan Comal, Kabupaten Pemalang. Selanjutnya disebut sebagai Pihak Pertama (1) 2. Nama : Adji Wibowo Huni Sulistiyowati Jenis Kelamin : Perempuan Umur : 39 Tahun Agama : Budha Alamat : Dusun Posongan RT.03 RW.03, Desa Purwoharjo Kecamatan Comal, Kabupaten Pemalang. Selanjutnya disebut sebagai Pihak Kedua (2) Sehubungan diajukannya gugatan cerai oleh FERI/ pihak pertama terhadap ADJI WIBOWO HUNI SULISTIJOWATI / pihak kedua dan untuk menjamin dikemudian hari tidak akan terjadi sengketa mengenai harta bersama, maka sebelum perceraian diputus di Pengadilan pihak pertama dan pihak kedua mengadakan perdamaian dengan kesepakatan sebagai berikut: Pasal 1 Harta bersama dalam ikatan perkawinan antara pihak pertama dengan pihak kedua baik harta bergerak maupun tidak bergerak terdiri dari: 1. Tanah darat luas ± 661 m² Sertifikat Hak Milik No.152 Tahun 1984 atas nama Feri bin arifin terletak di Desa Purwosari, Kecamatan Comal, Kabupaten Pemalang. 2. Tanah darat luas ± 160 m² Sertifikat Hak Milik No.179 Tahun 1986 atas nama Feri bin arifin terletak di Desa Purwosari, Kecamatan Comal, Kabupaten Pemalang. 78 3. Tanah darat luas ± 255 m² Sertifikat Hak Milik No.191 Tahun 1987 atas nama Feri bin arifin terletak di Desa Purwosari, Kecamatan Comal, Kabupaten Pemalang. 4. Tanah darat luas ± 225 m² Sertifikat Hak Milik No.261 Tahun 1988 atas nama Feri bin arifin terletak di Desa Purwosari, Kecamatan Comal, Kabupaten Pemalang. 5. Tanah darat luas ± 145 m² Sertifikat Hak Milik No.1450 Tahun 1987 atas nama Huni Sulistiyowati terletak di Desa Petarukan, Kecamatan dan Kabupaten Pemalang. 6. Tanah darat luas ± 120 m² beserta bangunan rumah yang berdiri diatasnya Sertifikat Hak Milik No.1500 Tahun 1997 atas nama Feri terletak di Kelurahan Pegadungan Komplek Perumahan Citra 3 Extension Blok A.1 Kavling No.22 Kecamatan Kalideres, Kotamadia Jakarta Barat, Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Raya. 7. Hak milik Satuan Rumah Susun luas/ type 9,75 m² Sertifikat No.4677/III Tahun 2002 atas nama Feri terletak di Kelurahan Sumur Batu, kecamatan Kemayoran, Kotamadia Kalirandu, Kecamatan Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. 8. Tanah sawah luas ± 1815 m² Sertifikat Hak Milik No.202 atas nama Feri terletak di Desa Kalirandu, Kecamatan Petarukan, Kabupaten Pemalang. 9. Tanah sawah luas ± 168 m² Sertifikat Hak Milik No.938 atas nama Huni Sulistiowati, terletak di Desa Purwosari, Kecamatan Comal, Kabupaten Pemalang. 79 10.Tanah sawah luas ± 1.735 m² Sertifikat Hak Milik No.1051 atas nama Feri, terletak di Desa Iser, Kecamatan Petarukan, Kabupaten Pemalang. 11.Tanah sawah luas ± 4430 m² Sertifikat Hak Milik No.1052 atas nama Feri terletak di Desa Iser, Kecamatan Petarukan, Kabupaten Pemalang. 12.Penguasaan Hak Sewa Kios/Petak Toko No.12,12A,13,13A,14 terletak di Komplek Pasar Petarukan Pemalang. 13.Mobil Honda Stream No.Pol.: B-8347-GB tahun 2002 BPKB C No.2320712 G warna abu-abu metalik BPKB atas nama Ferry alamat Citra Garden 2 C II/3B RT.03/03 Kalideres Jakarta Barat. 14. Mobil Toyota Kijang No.Pol.: B-1300-GG tahun 1994 BPKB A No.216760 warna abu-abu metalik atas nama Ferry alamat Citra Garden SC II/3B RT.03/03 Jakarta Barat Seluruhnya diserahkan kepada pihak kedua. Pasal 2 Bahwa dengan kesepakatan tersebut maka seluruh barang-barang sebagaimana tersebut pada Pasal 1 diatas menjadi milik pihak kedua dan pihak kedua dapat/berhak melakukan peralihan hak atas tanah-tanah dan barangbarang tersebut tanpa harus ada persetujuan pihak pertama. Pasal 3 Bahwa karena seluruh harta bersama diserahkan kepada pihak kedua, maka hutang bersama pada Bank Rakyat Indonesia (BRI) Cabang pembantu Wuradesa sebesar Rp.1.500.000.000,- (Satu milyard lima ratus juta rupiah) dengan Hak Tanggungan Sertifikat Hak Milik No. 152, 179, 191, 261 80 kesemuanya atas nama Ferry bin Arifin merupakan beban tanggung jawab pihak kedua untuk membayarnya. Demikian surat perdamaian ini dibuat rangkap dua dengan bunyi yang sama ditandatangani atas kesepakatan bersama tanpa paksaan pihak manapun dan mengikat kepada kedua belah pihak. f) Petitum Penggugat Rekonvensi Berdasarkan atas dalil jawaban tersebut diatas, Penggugat Rekonvensi memohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pemalang, agar dalil tersebut dipergunakan sebagai bahan pertimbangan dan kemudian memberikan putusan yang berbunyi sebagai berikut: 1). Dalam Konvensi Tergugat konvensi menyerahkan kepada Majelis Hakim pemeriksa perkara ini. 2). Dalam Rekonvensi a. Mengabulkan gugatan Penggugat Rekonvensi seluruhnya b. Menyatakan Penggugat Rekonvensi adalah sebagai wali ibu dari dua orang anak yang masih dibawah umur masing-masing bernama Reynaldi Julian Pratama dan Nadia Tiara Devi c. Menyatakan surat perdamaian tertanggal 21 Maret 2007 yang dibuat dan ditandatangani atas kesepakatan Penggugat Rekonvensi dan Tergugat Rekonvensi adalah sah serta mengikat kedua belah pihak. g) Bukti-Bukti 81 1). Penggugat, dalam upaya menguatkan dalil-dalilnya/ gugatannya, Penggugat mengajukan bukti surat dan saksi sebagai berikut: Alat Bukti Surat : a. Foto copy Kutipan Akta Perkawinan Nomor: 474.2/3/1993, tertanggal 9 Februari 1993, yang dibuat dan ditanda tangani oleh Kepala Kantor Catatan Sipil Kabupaten Dati II Pemalang, yang menerangkan bahwa pada tanggal 9 Februari 1993 telah dilangsungkan perkawinan antara Fery dan Adjiwibowo Huni Sulistiyowati. b. Foto copy Kutipan Akta Kelahiran Nomor 5464/2001, tertanggal Semarang 29 November 2001, yang dibuat dan ditanda tangani oleh Kepala Dinas Pendaftaran Penduduk dan Catatan Sipil Kota Semarang, yang menerangkan bahwa di Semarang pada tanggal 1 November 2001 jam 14.10 telah lahir seorang anak laki-laki bernama REYNALDI JULIAN PRATAMA anak kesatu dari suami isteri FERY dan ADJI WIBOWO HUNI SULISTIYOWATI c. Foto copy Kutipan Akta Kelahiran Nomor 2911/2005, tertanggal 18 Mei 2005, yang dibuat dan ditanda tangani oleh Kepala Kantor Pendaftaran Penduduk dan Catatan Sipil Kota Semarang pada tanggal 15 Mei 2005 jam 07.01 telah lahir seorang anak perempuan bernama NADIA TIARA DEVI anak kedua dari suami isteri FERY dan ADJI WIBOWO HUNI SULISTIYOWATI . Alat Bukti Saksi : 82 (1) CASWANI, memberikan kesaksian yang pada pokoknya sebagai berikut: (a). Saksi Kenal dengan Penggugat dan tegugat karena saksi bekerja pada kakak Tergugat (b). Saksi mengerti antara Penggugat dan Tergugat kawin secara sah dan dicatat di Kantor Catatan Sipil Pemalang namun tepatnya kapan saksi tidak mengerti (c). Dari perkawinan mereka dikaruniai anak 2 (dua) orang nak, masing-masing bernama REYNALDI JULIAN PRATAMA dan NADIA TIARA DEVI (d). Saksi mengetahui dalam rumah tangga Penggugat dan Tergugat bermasalah (sering terjadi percekcokan) yang disebabkan maslah ekonomi yaitu mengenai sepi toko yang mereka kelola (e). Antara Penggugat dan Tergugat sudah tidak hidup bersama lagi, Penggugat dan Tergugat tidak ada komunikasi lagi dan tidak pernah berjalan bersama (f). Setahu saksi antara Penggugat dan tergugat tidak bertegur spa suah sejak 2 (dua) tahun yang lalu. (g). Saksi mengetahui bahwa anak-anak Tergugat dan Penggugat yang bernama REYNALDI JULIAN PRATAMA dan NADIA TIARA DEVI sekarang ini lebih dekat dengan ibunya (Tergugat) dari pada dengan bapaknya (Penggugat). 83 (h). Saksi juga mendengar dan mengetahui kalau antara Penggugat dan Tergugat telah ada kesepakatan mengenai harta bersama maupun hutang bersama, yaitu harta bersama seluruhnya diserahkan kepada Tergugat begitu juga masalah hutang-hutang juga menjadi tanggungan Tergugat (2) KUSNITI, memberikan kesaksian yang pada pokoknya sebagai berikut: (a). Saksi Kenal dengan Penggugat dan tegugat karena saksi bekerja pada kakak Tergugat (b). Antara Penggugat dan Tergugat kawin secra sah dan dicatat di Kantor Catatan Sipil Kabupaten Pemalang, tepatnya kapan saksi tidak mengerti sekitar tahun 1993 (c). Dari perkawinan mereka dikarunia anak 2 (dua) orang anak, masing-masing bernama REYNALDI JULIAN PRATAMA dan NADIA TIARA DEVI (d). Saksi mengetahui dalam kehidupan rumah tanggaTergugat dan Penggugat sering trjadi percekcokan yang diseabkan masalah sepinya toko (e). Sepengetahuan saksi dari pihak keluarga sudah sering berusaha mendamaikan namun tidak lama kemudian masih juga bertengkar lagi (f). Antara Penggugat dan Tergugat tidak bertegur sapa pisah ranjang sudah sekitar dua tahunan 84 (g). Sepengetahuan saksi kedua anak mereka yaitu Reynaldi dan Nadia sering bersama ibunya (Tergugat) (h). Saksi mendengar sudah ada kesepakatan mengenai harta bersama yaitu katanya semua harta diserahkan kepada Tergugat dan selebihnya saksi tidak mengerti. 2). Tergugat, untuk menguatkan dalil-dalil jawabannya Tergugat mengajukan bukti surat, yaitu : (a) Foto copy Surat Perdamaian antara Penggugat (Pihak kesatu) dengan Tergugat (Pihak kedua), tertanggal 21 Maret 2007 h) Tentang Pertimbangan Hukum 1. Dalam Konvensi (a). Bahwa maksud dan tujuan gugatan Penggugat adalah sebagaimana yang telah tersebut di atas. (b). Bahwa berdasarkan surat gugatan yang diajukan ke Pengadilan Negeri Pemalang tertanggal 26 Februari 2007, maka Pengadilan Negeri Pemalang berwenag untuk memeriksa dan mengadili perkara gugatan ini. (c). Bahwa yang menjadi permasalahan/ persoalan pokok dalam perkara ini adalah apakah benar rumah tangga Penggugat dan Tergugat sudah tidak mungkin dapat dipertahankan lagi. (d).Bahwa berdasarkan bukti-bukti yang Penggugat ajukan dipersidangan berupa surat-surat dan keterangan saksi-saksi tersebut, ternyata bahwa: 85 1). Penggugat telah melangsungkan perkawinan dengan Tergugat di Kantor Catatan Sipil Kabupaten Dati II Pemalang pada tanggal 9 Februari 1993 dengan bukti Akta Perkawinan No: 474.2/3/1993 2). Semula kehidupan rumah tangga Penggugat dan Tergugat rukun dan harmonis, sehingga lahirlah 2 (dua) orang anak, yang pertama diberi nama REYNALDI JULIAN PRATAMA dan anak kedua yang putri diberi nama NADIA TIARA DEVI. 3). Sejak kelahiran anak pertama sekitar November 2001 rumah tangga Penggugat dan Tergugat mulai diwarnai ketidak harmonisan yakni sering terjadi cek-cok/ pertengkaran mulut, namun hal tersebut dapat diselesaikan secara kekeluargaan sehingga dapat akur kembali walaupun sudah jarang berkomunikasi diantara keduanya. 4). Keretakan yang terjadi sejak kelahiran anak pertama sekitar Mei 2005 ternyata terus terjadi, yang pada puncaknya setelah kelahiran anaka kedua diantara Penggugat dan Tergugat sudah tidak lagi saling berkomunikasi sama sekali, bahkan untuk tegur sapapun tidak lagi terjadi diantara keduanya dan akhirnya Penggugat dan Tergugat pisah ranjang hingga sekarang ini sudah 2 (dua) tahunan. 86 5). Oleh karena anak Penggugat masih kecil dan membutuhkan kasih sayang ibu, maka Penggugat menyerahkan kedua anak hasil perkawinan mereka tetap dalam asuhan ibunya. 6). Oleh karena rumah tangga antara Penggugat dan Tergugat sangat sulit dan tidak dapat dipertahankan lagi, maka Penggugat mohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Pemalang untuk menyatakan bahwa perkawinan antara Penggugat dan Tergugat yang telah dilangsungkan pada tanggal 9 Februari 1993 di Kantor Catatan Sipil Kabupaten Dati II Pemalang putus karena perceraian dengan segala akibat hukumnya. (e). Berdasarkan pengakuan Penggugat dipersidangan dan berdasarkan keterangan dari 2 (dua) orang saksi yang didengar keterangannya dipersidangan yaitu CASWATI dan saksi KASNITI, ternyata bahwa perkawinan Penggugat dan Tergugat sejak kelahiran anak pertama sekitar November 2001 sampai sekarang tidak ada lagi suatu keharmonisan dalam kehidupan rumah tangga Penggugat karena selalu terjadi percekcokan, sehingga antara Penggugat dan Tergugat tidak pernah lagi mendapat kebahagiaan lahir dan bathin, yang mana hal tersebut mutlak diperlukan dalam mewujudkan suatu rumah tangga yang bahagia dan kekal. Hal percekcokan dan ketidak harmonisan rumah tangga keduanya juga diakui oleh Tergugat baik dlam jawabn atas gugatan Penggugat maupun disaat mediasi dalam usaha perdamaian. 87 (f). Kehidupan rumah tangga mereka sudah tidak terdapat keharmonisan lagi, tidak ada cinta lagi karena selalu terjadi percekcokan dan keributan terus menerus yang tidak mungkin untuk didamaikan lagi, sehingga perkawinan antara Penggugat dan Tergugat tidak dapat dipertahankan untuk tetap hidup rukun sebagaimana layaknya tujuan suatu perkawinan menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, sehingga tidak ada jalan lain lagi yang dapat ditempuh untuk keduanya kecuali putusnya ikatan perkawinan diantara mereka (g). Untuk dapat suatu perkawinan dinyatakan putus karena perceraian, maka haruslah dipenuhi ketentuan-ketentuan dalam Pasal 38 dan Pasal 39 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dimana harus cukup alasan untuk melakukan perceraian, yang mana ditegaskan lagi oleh Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 (h). Ternyata penggugat sudah pisah meja dan pisah ranjang dengan Tergugat sejak sekitar bulan Mei 2005 hingga sekarang ± 2 (dua) tahun. (i). Mengenai kedua anak hasil perkawinan mereka karena masih kecilkecil dan lebih membutuhkan kasih sayang dari seorang ibu, maka penggugat menyerahkan kedua anak hasil perkawinan mereka tetap berada dalam pengasuhan Tergugat. 88 (j). Dikarenakan gugatan Penggugat dikabulkan, maka seluruh biaya yang timbul harus dibebankan kepada Tergugat, sesuai dengan Ketentuan Pasal 180 ayat (3) HIR. 2. Dalam Rekonvensi (a). Dalam gugatan rekonvensinya Penggugat Rekonvensi, kedua anak hasil perkawinan dari Penggugat Rekonvensi dengan Tergugat Rekonvensi pengurusannya dan pengasuhannya diserahkan kepada Penggugat Rekonvensi. (b). Bahwa mengenai surat perdamaian tertanggal 21 Maret 2007 yang dibuat dan ditanda tangani oleh kedua belah pihak, untuk dinyatakan sah, serta mengikat kedua belah pihak, oleh karena dibuat atas kesepakatan bersama dan dilakukan penandatanganan surat tersebut dihadapan dan disaksikan oleh dua orang saksi, tanpa paksaan (c). Dikarenakan gugatan Penggugat Konvensi dan Penggugat Rekonvensi dikabulkan seluruhnya, maka seluruh biaya yang timbul dalam perkara ini dibebankan kepada masing-masing Tergugat Konvensi dan Tergugat Rekonvensi. Mengingat akan Ketentuan dari Pasal-Pasal Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Undang-undang yang bersangkutan khususnya Pasal 19 ayat f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Pasal 125 ayat (1) HIR serta Peraturan lain yang bersangkutan. 89 i) Putusan PN.Pemalang 1. Dalam Konvensi (1). Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya (2). Menyatakan perkawinan antara Penggugat dan Tergugat yang telah dilangsungkan di Kantor Catatan Sipil Kabupaten Dati II Pemalang tanggal 4 Februari 1993 yang tercatat dalam Akta Nomor 474.2/3/1993 putus karena perceraian dengan segala akibat hukumnya. (3). Memerintahkan kepada Panitera atau Pejabat yang ditunjuk menggantikannya, supaya mengirimkan salinan resmi dari putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap kepada Kantor Catatan Sipil Pemalang yang mencatat perkawinan antara Penggugat dan Tergugat (4) Memerintahkan kepada Kantor Catatan Sipil di Pemalang untuk mencatat/ mendaftarkan putusan perceraian ini dalam register yang disediakan untuk itu dan memberikan Akta Perceraian kepada Penggugat dan Tergugat. 2. Dalam Rekonvensi (1). Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya (2). Menetapkan Penggugat sebagai wali pengurus dari dua orang anak yang masih dibawah umur / belum dewasa bernama REYNALDI 90 JULIAN PRATAMA lahir di Semarang tanggal 1 November 2001 dan NADIA TIARA DEVI lahir di Semarang tanggal 18 Mei 2005 (3). Menyatakan sah dan mengikat kedua belah pihak Surat Perdamaian tertanggal 21 Maret 2007 yang dibuat dan ditanda tangani oleh Penggugat Rekonvensi dengan Tergugat Rekonvensi. 3. Dalam Konvensi dan Rekonvensi Membebankan biaya perkara yang timbul akibat dari perkara ini kepada Tergugat Konvensi dan Tergugat Rekonvensi secara tanggung renteng sebesar Rp.194.000,- (Seratus sembilan puluh empat ribu rupiah). 91 B. Pembahasan 1. Penilaian kekuatan Akta Perdamaian atas pembagian harta bersama yang dikabulkan dalam gugatan rekonvensi perkara perceraian pada putusan Nomor: 03/Pdt.G/2007/PN.Pml. Perkawinan merupakan suatu peristiwa hukum dilapangan hukum keluarga, yang terjadi melalui persetujuan antara calon mempelai untuk membentuk suatu keluarga (rumah tangga). Perkawinan sebagai suatu peristiwa hukum memiliki akibat hukum, yaitu meliputi: hak dan kewajiban suami isteri. Kedudukan anak hak dan kewajiban antara orang tua dengan anak dan harta benda perkawinan. Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 menentukan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal ini menganut asas perkawinan yang langgeng dan abadi sampai suami-isteri dipisahkan oleh kematian. Pasal ini seolah-olah menutup kemungkinan adanya pintu perceraian dalam keadaan apapun dan dengan alasan apapun. Baik atau buruk, sengsara atau tidak, kekekalan yang dicita-citakan adakalanya tidak bisa dipertahankan. Dalam kondisi yang sangat khusus dan berdasarkan alasan perceraian yang dibenarkan Undang-undang, perceraian dimungkinkan sebagai jalan terakhir. 92 Putusnya perkawinan karena perceraian yang terjadi karena adanya cerai talak maupun cerai gugat, akan berakibat terhadap hubungan suami isteri, terhadap hubungan orang tua dan anak, terhadap pihak ketiga dan terhadap harta benda perkawinan. Mengenai akibat perceraian terhadap harta benda perkawinan persoalannya lebih tampak pada harta bersama karena mengenai harta pribadi sudah ada dalam penguasaan dan pengurusan masing-masing suami-isteri. Penggugat secara sengaja tidak menggabungkan gugatan perceraian dengan harta bersama karena harta bersama tersebut seluruhnya atau sebagian masih dikuasainya, ini sangat merugikan sekali bagi pihak tergugat. Apabila hal ini terjadi, apabila penggugat tidak menggabungkan gugatannya dengan pembagian harta bersama, maka tergugat dapat mengajukan haknya untuk mengajukan gugat rekonvensi atas pembagian harta bersama. Hasil penelitian terhadap Putusan Pengadilan Negeri Nomor: 03/Pdt.G/2007/PN.Pml dapat dijelaskan bahwa sengketa antara Feri dan Adji Wibowo Huni Sulistiyowati adalah sengketa perceraian dalam hal ini gugat cerai. Dalam perkara ini, Penggugat tidak menggabungkan gugatannya dengan pembagian harta bersama, kemudian Tergugat melalui kuasa hukumnya mengajukan gugatan rekonvensi atas pembagian harta bersama. Atas gugatan rekonvensi tersebut antara Penggugat dan Tergugat mengadakan kesepakatan 93 mengenai pembagian harta bersama yang kemudian kesepakatan tersebut dituangkan dalam akta perdamaian tertanggal 21 Maret 2007. Pasal 163 HIR/283 R.Bg./ 1865 KUH Perdata, yang menerangkan : “Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau, guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut”. Pasal ini mempunyai tujuan agar orang-orang yang berperkara di Pengadilan, selalu harus membuktikan apa yang mereka ajukan guna memperkuat dalil-dalil mereka. Menurut Mr.R.Tresna didalam perkara perdata sesungguhnya tidak demikian halnya, yang harus dibuktikan kebenarannya, hanyalah apa yang disangkal saja oleh yang digugat.38 Penggugat mengajukan gugatan perceraian terhadap Tergugat dengan mengemukakan dalil-dalil gugatannya antara lain: penggugat dan tergugat adalah suami isteri yang kawin secara sah setelah perkawinan tersebut antara penggugat dan tergugat sepakat untuk belajar hidup mandiri dengan cara mengontrak rumah di daerah comal. Kehidupan rumah tangga antara Penggugat dan Tergugat penuh kebahagiaan sampai dikarunia 2 orang anak, namun setelah kelahiran anak pertama kehidupan rumah tangga Penggugat dan Tergugat mulai diwarnai ketidakharmonisan namun masih dapat akur kembali. Namun ketidakharmonisan menncapai puncaknya setelah kelahiran anak kedua, sehingga sangat sulit untuk meneruskan 38 Mr.R.Tresna, Komentar HIR,Cetakan kedelapan belas, Jakarta: PT.Pradnya Paramita, 2005, halaman 139. 94 kehidupan rumah tangganya selayaknya rumah tangga yang harmonis maka bagi Penggugat tidak ada jalan lain selain mengajukan gugatan perceraian. Mengenai anak yang masih kecil dan masih membutuhkan kasih sayang tergugat maka anak-anak tersebut agar tetap diasuh oleh tergugat. Dalam petitum gugatannya tersebut Penggugat menuntut agar Majelis Hakim memberi putusan : 1. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya 2. Menyatakan putus karena cerai perkawinan antara Penggugat dan Tergugat Berdasarkan gugatan yang diajukan oleh suaminya, pihak isteri mengajukan jawaban dimana Tergugat membenarkan gugatan yang disebutkan Penggugat dan tidak setuju jika hanya diminta sebagai pengasuh anak-anak Penggugat tetapi mohon ditunjuk sebagai wali ibu dari anak-anak tersebut. Tergugat juga mengajukan gugatan rekonvensi untuk pembagian harta bersama, yang didalam petitum gugatan rekonvensinya Penggugat rekonvensi mohon agar Pengadilan Negeri Pemalang menjatuhkan putusan: Dalam Konvensi: Tergugat konpensi menyerahkan kepada majelis hakim pemeriksa perkara ini Dalam Rekonvensi: 1. Mengabulkan gugatan Penggugat Rekonvensi seluruhnya 95 2. Menyatakan Penggugat Rekonvensi adalah sebagai wali ibu dari dua orang anak yang masih dibawah umur masing-masing bernama Reynaldi Julian Pratama dan Nadya Tiara Devi. 3. Menyatakan surat perdamaian tertanggal 21 Maret 2007 yang dibuat dan ditandatangani atas kesepakatan Penggugat Rekonvensi dan Tergugat Rekonvensi adalah sah serta mengikat kedua belah pihak. Setelah mendengar jawaban Tergugat tersebut pihak Penggugat tidak mengajukan Replik dan pihak Tergugat tidak mengajukan duplik, maka persidangan dilanjutkan dengan pemeriksaan alat-alat bukti. Karena itu untuk menguatkan dalil-dalil gugatannya, Penggugat mengajukan beberapa alat bukti surat dan saksi-saksi. Alat bukti surat yang diajukan antara lain: 1. Foto copy Kutipan Akta Perkawinan Nomor : 474.2/3/1993, yang menerangkan tertanggal 9 Februari 1993 telah dilangsungkan perkawinan antara FERY dan ADJIWIBOWO HUNI SULISTIYOWATI. 2. Foto copy Akta Kelahiran Nomor 5464/2001, tertanggal Semarang 29 November 2001 atas nama REYNALDI JULIAN PRATAMA. 3. Foto copy Akta Kelahiran Nomor 2911/2005, tertanggal Semarang 18 Mei 2005 atas nama NADYA TIARA DEVI. Alat bukti Foto copy surat tersebut cocok dan sesuai dengan surat aslinya sehingga memenuhi sebagai alat bukti yang sah, selain surat 96 Penggugat juga mengajukan 2 orang saksi, memberikan keterangan sebagai berikut: Saksi Caswani dan Kusniti, mengaku mengenal dengan Penggugat dan Tergugat karena saksi bekerja pada kakak Tergugat, meraka menganal kedua anak Penggugat dan Tergugat serta mengatahui dalam rumah tangga Penggugat dan Tergugat bermaslah yang disebabkan masalah ekonomi yaitu mengenai sepinya toko, bahwa saksi juga mendengar dan mengetahui kalau antara Penggugat dan Tergugat telah ada kesepakatan mengenai harta bersama maupun hutang bersama, yaitu harta bersama seluruhnya diserahkan kepada Tergugat begitu juga hutang-hutang menjadi tanggungan Tergugat. Tergugat untuk menguatkan dalil jawabannya juga mengajukan alat bukti surat, berupa Foto copy Surat Perdamaian antara Penggugat (Pihak ke satu) dengan Tergugat (Pihak Ke dua), tertanggal 21 Maret 2007. Penggugat telah dapat membuktikan seluruh dalil-dalil gugatannya dan demikian pula Tergugat/Penggugat Rekonvensi dapat membuktikan dalil-dalil gugatan rekonvensinya maka Pengadilan Negeri Pemalang memberikan pertimbangan hukum antara lain: Dalam Konvensi : 1. Berdasarkan surat gugatan yang diajukan ke Pengadilan Negeri Pemalang tertanggal 26 Februari 2007, maka Pengadilan Negeri 97 Pemalang berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara gugatan tersebut. 2. Sesuai dengan hakikat dari pada perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dalam Pasal 1 maka perkawinan antara Penggugat dan Tergugat sudah selaras dengan tujuan perkawinan. 3. dalil – dalil gugatan Penggugat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat f dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 telah terpenuhi. Dalam Rekonvensi : 1. dalam gugatan rekonvensinya Tergugat meminta agar pengurusan dan pengasuhan kedua anaknya diserahkan kepada Penggugat Rekonvensi 2. mengabulkan surat perdamaian tertanggal 21 Maret 2007 yang dibuat dan ditanda tangani oleh kedua belah pihak, yang dimohonkan untuk dinyatakan sah, serta mengikat kedua belah pihak. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut maka Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pemalang, Mengadili : Dalam Konpensi : (1). Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya (2). Menyatakan perkawinan antara Penggugat dan Tergugat yang telah dilangsungkan di Kantor Catatan Sipil Kabupaten Dati II 98 Pemalang tanggal 4 Februari 1993 yang tercatat dalam Akta Nomor 474.2/3/1993 putus karena perceraian dengan segala akibat hukumnya. (3). Memerintahkan kepada Panitera atau Pejabat yang ditunjuk menggantikannya, supaya mengirimkan salinan resmi dari putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap kepada Kantor Catatan Sipil Pemalang yang mencatat perkawinan antara Penggugat dan Tergugat (4) Memerintahkan kepada Kantor Catatan Sipil di Pemalang untuk mencatat/ mendaftarkan putusan perceraian ini dalam register yang disediakan untuk itu dan memberikan Akta Perceraian kepada Penggugat dan Tergugat. Dalam Rekonvensi (1). Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya (2). Menetapkan Penggugat sebagai wali pengurus dari dua orang anak yang masih dibawah umur / belum dewasa bernama REYNALDI JULIAN PRATAMA lahir di Semarang tanggal 1 November 2001 dan NADIA TIARA DEVI lahir di Semarang tanggal 18 Mei 2005 (3). Menyatakan sah dan mengikat kedua belah pihak Surat Perdamaian tertanggal 21 Maret 2007 yang dibuat dan ditanda tangani oleh Rekonvensi. Penggugat Rekonvensi dengan Tergugat 99 Dalam Konvensi dan Rekonvensi Membebankan biaya perkara yang timbul akibat dari perkara ini kepada Tergugat Konvensi dan Tergugat Rekonvensi secara tanggung renteng sebesar Rp.194.000,- (Seratus sembilan puluh empat ribu rupiah). Dasar majelis hakim pemeriksa perkara tersebut mengabulkan gugatan Penggugat karena Tergugat telah mengakui gugatan Penggugat tersebut. Bahwa dalam kehidupan rumah tangga antara penggugat dan Tergugat sudah tidak harmonis lagi, setelah anak pertama lahir terjadi perselisihan secara terus menerus yang tidak mungkin dapat dirukunkan kembali. Hal tersebut yang menjadi salah satu syarat terjadinya perceraiansebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 34 ayat (2) dan PP Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf f. Demikian juga yang menjadi dasar dikabulkannya gugatan rekonvensi karena adanya surat perdamaian tertanggal 21 Maret 2007 antara Penggugat dan Tergugat tentang pembagian harta bersama dan penetapan Tergugat sebagai wali ibu. Surat tersebut menjadi dasar pertimbangan karena surat perdamaian yang ditanda tangani kedua belah pihak mempunyai kekuatan hukum formil dan materiil. 100 Proses berakhir apabila perdamaian dicapai. Perdamaian tidak bersifat putusan yang diambil atas pertanggungjawaban hakim, melainkan bersifat persetujuan antara kedua belah pihak atas pertanggungan mereka sendiri. Itulah sebabnya pasal 130 ayat 3 Reglemen Indonesia tidak mengizinkan permohonan banding terhadap perdamaian yang dicapai di sidang Pengadilan.39 Setelah Perdamaian tersebut maka dibuat sebuah akta, sehingga kedua belah pihak diwajibkan memenuhi persetujuannya. Akta perdamaian ini mempunyai kekuatan seperti putusan hakim dan dijalankan pula seperti putusan hakim. Asasnya dalam perkara perdata, alat bukti yang berbentuk tulisan itu merupakan alat bukti yang diutamakan atau merupakan alat bukti yang nomor satu jika dibandingkan dengan alat-alat bukti lainnya. Menurut Sudikno Mertokusumo, Alat bukti tertulis atau surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.40 Akta menurut Sudikno Mertokusumo adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar dari pada suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. 39 R. Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Cetakan Ketujuh, Jakarta: PT.Pradnya Paramita, 1982, Halaman 56. 40 Sudikno Mertokusumo, Op Cit, halaman 116. 101 Akta itu sendiri dibagi dua yaitu akta otentik dan akta bawah tangan. Akta Otentik ialah suatu akta yang dibuat menurut prosedur dan bentuk sebagaimana ditentukan Undang-undang, oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu, dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti. Akta dibawah tangan ialah suatu akta yang dibuat para pihak tanpa bantuan pejabat umum, dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti. Akta dibawah ini berisi pernyataan maksud para pihak guna mewujudkan suatu perbuatan hukum yang oleh mereka dilukiskan dengan tulisan sebagai pengganti atau lanjutan pernyataan lisan mereka. Dikaitkan dengan hasil penelitian dalam gugatan rekonvensi point (2) bahwa alat bukti surat yang diajukan oleh Tergugat termasuk akta dibawah tangan. Akta perdamaian yang dibuat oleh para pihak telah memenuhi rumusan Pasal 1851 KUH Perdata. Pasal tersebut menjelaskan yang dimaksud dengan perdamaian adalah suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara, dimana persetujuan itu harus tertulis. Akta Perdamaian tersebut telah memenuhi syarat formil dari putusan perdamaian sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1851 KUH Perdata, yakni: a. Persetujuan kedua belah pihak 102 Kedua belah pihak yang bersangkutan sama-sama “menyetujui” dengan sukarela mengakhiri persengketaan. Dengan demikian berlaku sepenuhnya unsur-unsur persetujuan sebagimana dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya Antara Penggugat dan Tergugat telah terjadi kesepakatan untuk mengadakan perdamaian sebelum perceraian diputus agar menjamin tidak akan terjadinya sengketa dikemudian hari. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan Kedua belah pihak telah dianggap dewasa sehingga cakap untuk membuat suatu perikatan. Sebagaimana yang diatur dalam an contrario Pasal 330 KUH Perdata. 3. Suatu hal tertentu Hal yang menjadi perdamaian tersebut ialah mengenai harta bersama sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 1 – Pasal 3 surat perdamaian yang dibuat oleh para pihak. 4. Suatu sebab yang halal Subtansi surat perdamaian tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang dan norma-norma kesusilaan. b. Mengakhiri suatu sengketa Putusan perdamaian tersebut telah mengakhiri sengketa mengenai pembagian harta bersama. c. Perdamaian atas sengketa yang telah ada 103 Perdamaian tersebut didasarkan atas persengketaan mengenai perceraian yang telah diajukan di Pengadilan. d. Berbentuk tertulis Persetujuan perdamaian tertanggal 21 Maret 2007 tersebut dibuat secara tertulis dalam bentuk akta dibawah tangan. Hal tersebut dikuatkan oleh pertimbangan hakim yang menyatakan mengenai surat perdamaian tertanggal 21 Maret 2007 yang dibuat dan ditanda tangani oleh kedua belah pihak, yang dimohonkan untuk dinyatakan sah, serta mengikat kedua belah pihak, oleh karena dibuat atas kesepakatan bersama dan dilakukan penandatanganan surat tersebut dihadapan dan disaksikan oleh dua orang saksi, tanpa paksaan. Oleh karena itu, akta dibawah tangan tersebut mempunyai kekuatan hukum yang sama seperti akta otentik dikarenakan para pihak mengakui tanda tangan mereka. Fungsi terpenting dari pada akta adalah sebagai alat bukti. Sampai seberapa jauhkah akta mempunyai kekuatan pembuktian. Kekuatan dari pada akta dapat dibedakan menjadi: a. Kekuatan pembuktian Lahir Kekuatan pembuktian lahir ialah kekuatan pembuktian yang didasarkan atas keadaan lahir, apa yang tampak pada lahirnya, yaitu bahwa surat yang tampaknya (dari lahir) seperti akta, dianggap (mempunyai kekuatan) seperti akta sepanjang tidak terbukti sebaliknya. 104 b. Kekuatan Pembuktian Formil Kekuatan pembuktian formil didasarkan atas benar tidaknya ada pernyataan oleh yang bertanda tangan di bawah akta itu. Kekuatan pembuktian formil ini memberi kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat dan para pihak menyatakan dan melakukan apa yang dimuat dalam akta. c. Kekuatan Pembuktian Materiil Kekuatan pembuktian materiil ini memberi kepastian tentang materi suatu akta. Memberi kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat atau para pihak menyatakan dan melakukan seperti yang dimuat dalam akta. Pada tiap-tiap akta dikenal tiga macam kekuatan bukti, yaitu: 1) Akta Otentik a. Kekuatan Bukti Lahir Kekuatan bukti lahir, di sini syarat-syarat formil bagi suatu akta otentik itu dipenuhi atau tidak. Syarat formil itu dipenuhi, maka syarat yang tampaknya dari luar, secara lahiriah sebagai akta otentik, dianggap akta otentik sepanjang tidak terbukti sebaliknya. b. Kekuatan Bukti Formil Kekuatan bukti formil, mengenai kebenaran dari peristiwa yang disebutkan dalam akta otentik tersebut. c. Kekuatan Bukti Materiil 105 Kekuatan bukti materiil, mengenai kebenaran isi akta otentik tersebut. Artinya apakah benar bahwa yang tercantum dalam akta otentik tersebut seperti kenyataannya. 2). Akta Di bawah Tangan Kekuatan pembuktian akta dibawah tangan, tidak seluas akta otentik. Kekuatan pembuktian akta di bawah tangan yaitu: a. Kekuatan Pembuktian Lahir Terhadap siapa akta di bawah tangan itu digunakan diwajibkan membenarkan atau memungkiri tanda tangannya, barulah kalau tanda tangan diakui oleh yang bersangkutan, maka akta di bawah tangan itu mempunyai kekuatan dan menjadi bukti sempurna. Tanda tangan pada akta di bawah tangan kemungkinan masih dapat dipungkiri, maka akta dibawah tangan itu tidak mempunyai kekuatan pembuktian lahir. b. Kekuatan Pembuktian Formil Kekuatan pembuktian formil apabila tanda tangan akta di bawah tangan telah diakui. Sehingga keterangan atau pernyataan di atas tanda tangan itu adalah keterangan atau pernyataan dari pada yang menandatanganinya. c. Kekuatan Pembuktian Materiil 106 Akta dibawah tangan yang diakui oleh orang terhadap siapa akta itu digunakan atau yang dapat dianggap diakui. Menurut undang-undang, bagi yang menanda tangani, ahli warisnya serta orang-orang yang mendapat hak dari mereka, merupakan bukti sempurna. Berdasarkan uraian maka dapat dijelaskan bahwa akta dibawah tangan tersebut telah mempunyai kekuatan formil dan materiil dimana para pihak telah mengakui tanda tangan mereka sehingga menjadi bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dari padanya tentang segala hal yang disebut dalam akta itu dan juga tentang yang ada dalam akta itu sebagai pemberitahuan sahnya dan tidak bertentangan dengan Yurisprudensi keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 913 K/Sip/1982 tanggal 21 Mei 1983 menyebutkan bahwa suatu gugatan yang petitumnya menuntut agar perkawinannya antara Penggugat dengan Tergugat diputuskan dengan jalan perceraian, maka tuntutan ini tidak dapat ditambah atau digabungkan tentang Pembagian Harta Bersama Perkawinannya. Gugatan tentang pembagian harta perkawinan ini harus diajukan sebagai gugatan tersendiri atau terpisah setelah putusan tentang perceraiannya mempunyai kekuatan hukum tetap. Petitum Penggugat, Penggugat tidak menggabungkan pembagian harta bersama. Adanya gugatan rekonvensi dan terbentuknya akta perdamaian yang dibuat oleh para pihak maka proses perkara berjalan lebih cepat 107 dikarenakan pada hakekatnya tujuan yang terkandung dalam sistim rekonvensi bukan hanya sekedar untuk memenuhi kepantingan pihak tergugat saja, tetapi meliputi kepentingan penggugat maupun penegakan kepastian hukum, adapun tujuan dari gugatan rekonvensi antara lain:41 a. Menegakkan Asas Peradilan Sederhana Sesuai dengan Pasal 132 b ayat (3) HIR, gugatan konvensi dan rekonvensi diperiksa dan diputus secara serentak dan bersamaan dalam satu proses, dan dituangkan dalam satu putusan. Sistim yang menyatukan pemeriksaan dan putusan dalam satu proses, sangat menyederhanakan penyelesaian perkara. Dengan sistim ini, penyelesaian perkara yang semestinya harus dilakukan dalam dua proses yang terpisah dan berdiri sendiri , dibenarkan hukum diselesaikan secara bersama dalam satu proses. b. Menghemat Biaya dan Waktu 1) Menghemat Biaya Apabila pemeriksaan gugatan rekonvensi dilakukan secara terpisah dengan konvensi, biaya yang mesti dikeluarkan untuk memanggil para pihak maupun biaya lain menjadi dua kali lipat. Biaya yang semestinya harus ditetapkan dan dianggarkan untuk masing-masing gugatan konvensi dan rekonvensi, oleh Undang- 41 Yahya Harahap, Op Cit, halaman 472. 108 undang hanya dibukukan menjadi pembayaran tunggal sebagai beban gugatan konvensi. 2) Menghemat Waktu Proses pemeriksaan berdiri sendiri, diperlukan jatah waktu yang berbeda dan terpisah untuk masing-masing gugatan. Konvensi memerlukan jatah waktu tersendiri, demikian juga rekonvensi. Akan tetapi melalui sistim pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 132 b ayat (2) HIR mengenai penggabungan pemeriksaan keduanya dalam satu proses dan dalam satu putusan, penyelesaian kedua perkara menjadi lebih singkat. 3) Menghindari Putusan yang saling Bertentangan Pemeriksaan antara keduanya terpisah dan berdiri sendiri, besar kemungkinan putusan yang dijatuhkan saling bertentangan, antara putusan gugatan konvensi dengan gugatan rekonvensi. Pertentangan itu semakin potensial terjadi, apabila yang menyelesaikan pemeriksaan adalah majelis hakim yang berbeda. 109 2. Akibat hukum dengan dikabulkannya gugatan rekonvensi dalam perkara perceraian pada putusan Nomor: 03/Pdt.G/2007/PN.Pml. Gugatan rekonvensi yang diajukan oleh Tergugat/Penggugat Rekonvensi yang pada pokoknya,antara lain : 1. Kedua anak Penggugat Rekonvensi dan Tergugat Rekonvensi yakni Reynaldi Julian Pratama dan Nadia Tiara Devi masih dibawah umur masih membutuhkan kasih sayang dari ibu, maka Penggugat Rekonvensi mohon ditunjuk sebagai wali ibu dari kedua anak tersebut. 2. Sebagai akibat diajukannya gugatan cerai dari Tergugat Rekonvensi kepada Penggugat Rekonvensi, maka pada tanggal 21 Maret 2007 Tergugat Rekonvensi dan Penggugat Rekonvensi mengadakan kesepakatan perdamaian tentang harta bersama dan hak serta kewajiban yang lain. Berdasarkan gugatan rekonvensi tersebut, maka Majelis Hakim Memutuskan: 1. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya 2. Menetapkan Penggugat sebagai wali pengurus dari dua orang anaknya yang masih dibawah umur/ belum dewasa bernama Reynaldi Julian Pratama dan Nadia Tiara Devi . 110 3. Menyatakan sah dan mengikat kedua belah pihak Surat Perdamaian tertanggal 21 Maret 2007 yang dibuat dan ditanda tangani oleh Penggugat Rekonvensi dengan Tergugat Rekonvensi. Penggugat kovensi / Tergugat rekonvensi dalam perkara ini tidak mengajukan upaya hukum, maka putusan nomor : 03/Pdt.G/2007/PN.Pml telah mempunyai kekutan hukum yang pasti. Menurut Sudikno Mertokusumo, putusan mempunyai 3 macam kekuatan yaitu:42 1. Kekuatan Mengikat Maksud dari kekuatan mengikat ialah mengikat kedua belah pihak dimana dijelaskan dalam Pasal 1917 KUH Perdata yaitu kekuatan sesuatu putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak tidaklah lebih luas dari pada sekedar mengenai soalnya putusan. Agar dapat memajukan kekuatan itu, perlulah bahwa soal yang dituntut adalah sama, bahwa tuntutan didasarkan atas alasan yang sama, lagi pula dimajukan oleh adan terhadap pihak-pihak yang sama didalam hubungan yang sama pula. 2. Kekuatan Pembuktian Arti putusan itu sendiri dalam hukum pembuktian ialah bahwa dengan putusan itu telah diperoleh suatu kepastian tentang sesuatu. Sekalipun putusan tidak mempunyai kekuatan mengikat 42 171. Sudikno,Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia,Yogyakarta:Liberty:1988,halaman 111 terhadap pihak ketiga, namun mempunyai kekuatan hukum pembuktian terhadap pihak ketiga. 3. Kekuatan Eksekutorial Kekuatan mengikat saja dari suatu putusan Pengadilan belumlah cukup dan tidak berarti apabila putusan itu tidak dapat direalisir atau dilaksanakan. Oleh karena putusan itu menetapkan dengan tegas hak atau hukumnya untuk kemudian direalisir, maka putusan hakim mempunyai kekuatan eksekutorial yaitu kekuatan untuk dilaksanakannya apa yang ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat negara. Akibatnya Putusan Nomor: 03/Pdt.G/2007/PN.Pml mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi kedua belah pihak,kekuatan pembuktian terhadap pihak ketiga dan kekuatan eksekutorial apabila tidak dilaksanakan secara sukarela serta proses perceraian yang terjadi menjadi lebih cepat dan biaya yang mesti yang dikeluarkan pun menjadi lebih ringan karena tidak terdapat lagi proses mengenai pembagian harta bersama. Selain akibat hukum tersebut, putusan Nomor : 03/Pdt.G/2007/PN.Pml juga mempunyai akibat terhadap : 1. Wali Ibu Menetapkan Penggugat Rekonvensi sebagai wali pengurus dari dua orang anak yang masih dibawah umur 2. Surat Perdamaian 112 Menyatakan sah dan mengikat kedua belah pihak surat perdamaian tertanggal 21 Maret 2007 tanpa mesti terlebih dahulu dengan putusan hakim. Menurut Lilik Mulyadi di dalam praktik baik gugatan dalam rekonvensi maupun gugatan dalam rekonvensi harus diperiksa bersama-sama dan diputus dalam satu putusan.43 Tuntutan rekonvensi pada hakekatnya merupakan kumulasi atau gabungan dua tuntutan, yang bertujuan untuk menghemat biaya, mempermudah prosedur dan menghindarkan putusan-putusan bertentangan satu sama lain. Terutama bagi Tergugat Rekonvensi ini berarti menghemat biaya, karena tidak diwajibkan untuk membayar biaya perkara.44 43 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Perdata menurut Teori dan Praktik Peradilan Indonesia,Jakarta: Djambatan,1999,halaman 146. 44 Sudikno,Mertokusumo,Hukum Acara Perdata Indonesia, Cetakan Keempat,Yogyakarta:Liberty:1982,halaman 91. 113 BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai kekuatan akta perdamaian atas pembagian harta bersama dalam gugatan rekonvensi perkara perceraian (studi putusan nomor: 03/Pdt.G/2007/PN.Pml) seperti tersebut diatas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Pertimbangan hakim yang mengabulkan gugatan rekonvensi pembagian harta bersama dalam perkara perceraian atas dasar alat bukti surat perdamain dan saksi-saksi tidaklah bertentangan dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 913 K/Sip/1982 tertanggal 21 Mei 1983, karena memang dari sejak awal dalam Petitumnya Penggugat tidak menggabungkan mengenai pembagian harta bersama. 2. Akibat hukum dengan dikabulkannya gugatan rekonvensi dalam perkara perceraian pada Putusan Nomor: 03/Pdt.G/2007/PN., maka Putusan Nomor :03/Pdt.G/2007 mempunyai kekuatan hukum mengikat bagi kedua belah pihak, kekuatan pembuktian terhadap pihak ketiga dan kekuatan eksekutorial apabila tidak dilaksanakan secara sukarela serta proses menghemat waktu, dan biaya. penyelesaian sengketa lebih 114 B. Saran Melaksanakan asas beracara perdata cepat, sederhana, biaya ringan maka hendaknya hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara perdata tentang gugatan harta bersama harus mengacu pada sumber hukum yang utama yaitu peraturan perundang-undangan disamping yurisprudensi dan doktrin. Penggunaan Yurisprudensi apabila undangundang tidak mengatur sama sekali atau tidak jelas mengatur, sehingga hakim dalam memutuskan suatu perkara dapat menyimpangi atau tidak sesuai dengan Yurisprudensi. Diharapkan adanya suatu peraturan hukum yang mengatur mengenai eksekusi terhadap anak yang masih dibawah umur apabila tidak terjadi kesesuaian dengan putusan Pengadilan. DAFTAR PUSTAKA A. Literatur Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, 1980. Djamali, Abdul, Hukum Islam , Bandung: Mandar Maju, 2002. Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Adat, Bandung: Alumni, 1983. --------------------------,Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung: Mandar Maju.1990. Harahap, M.Yahya, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2005. Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2010. Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty,1977. -----------------------------, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1982. -----------------------------, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1988. Muhammad, Abdulkadir, Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992. Mulyadi, Titik, Hukum Acara Perdata menurut Teori dan Praktik Peradilan Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1999. Prawirohamidjojo, R. Soetojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan Di Indonesia,Surabaya: Universitas Airlangga, 1988. Pugung, Solahudin, Mendapatkan Hak Asuh Anak dan Harta Bersama, Jakarta: CV. Karya Gemilang, 2011. Saleh, K.Wantjik, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Ghalia, 1976. Situmorang,Victor M.,Perdamaian Dan Perwasitan Dalam Hukum Acara Perdata, Jakarta: PT.Rineka Cipta, 1993. Satrio, J., Hukum Harta Perkawinan, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1991. Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang – Undang Perkawinan, Yogyakarta: Liberty, 1986. Subekti,R., Hukum Pembuktian,Bandung: Pradya Paramita, 1987 Subekti, Trusto, Hukum Keluarga Dan Perkawinan,Purwokerto, 2010. Supomo, R., Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Jakarta: PT.Pradnya Paramita, 1982. Sutantio,Retno Wulan dan Oeripkartawinata, Iskandar, Hukum Acara Perdata Dalam teori dan Praktek, Bandung: Mandar Maju, 2009. Syahrani, Riduan, Seluk-Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung: Alumni, 1992. Syah, Umar Mansyur, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Menurut teori dan Praktek, Garut: Yayasan Al-Umaro. Thalib, Sajuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Yayasan UI, 1974. B. Peraturan Perundang – undangan Subekti, Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, Jakarta: PT.Pradya Paramita, 1989. Undang – Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Herzien Inlandsch Reglement (H.I.R) C. Sumber Lain Putusan Pengadilan Negeri Pemalang Nomor: 03/Pdt.G/2007/PN.Pemalang. http//www.samaggi-phala.co.id., diakses tanggal 10 Mei 2012