1 PERMASALAHAN HUKUM ACARAPERDATA

advertisement
PERMASALAHAN HUKUM ACARAPERDATA
SECARA HOLISTIK
OLEH : H. DJAFNI DJAMAL, SH., MH.
HAKIM AGUNG REPUBLIK INDONESIA
Mewakili Ketua Kamar Perdata Mahkamah Agung Republik Indonesia,
perkenankan kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada Pimpinan Komisi
Yudisial Republik Indonesia atas diselenggarakannya “Pelatihan Tematik Hukum
Acara Perdata bagi Hukum dilingkungan Peradilan Umum”, yang bertujuan antara
lain :
1. Untuk meningkatkan pengetahuan para Hakim dilingkungan Peradilan Umum
terhadap hukum acara perdata.
2. untuk menjadi wadah saling tukar pengalaman bagi para Hakim dilingkungan
Peradilan Umum mengenai hukum acara perdata dan permasalahanpermasalahan yang dihadapi dalam praktek sehari-hari.
3. Agar tercapainya kesamaan persepsi terkait dalam penerapan hukum acara
perdata.
Penguasaan hukum acara perdata yang baik bagi seorang Hakim
dilingkungan Peradilan Umum adalah merupakan suatu keharusan demi
terciptanya FAIR TRIAL, yaitu cita-cita proses peradilan yang jujur sejak awal
sampai akhir serta terwujudnya prinsip DUE PROSES RICHTS yang memberi hak
kepada setiap orang untuk diperlakukan secara adil dalam proses pemeriksaan
dalam hal ini pada pemeriksaan perkara perdata untuk itu diperlukan pemahaman
dan pengertian yang luas secara aktual dan kontekstual mengenai ruang lingkup
hukum acara perdata, baik dari segi teori maupun politik.
Kepada Ketua Kamar Perdata diminta untuk menyampaikan bahasan
antara lain :
-
Tentang penerapan ketentuan sebagaimana yang termuat dalam Pasal 118
HIR - Pasal 142 R.Bg yaitu tentang Kompetensi relatif Pengadilan Negeri.
1
-
Tentang penerapan ketentuan sebagaimana yang termuat dalam Pasal 178
HIR yaitu tentang Ultra Petita.
-
Tentang Advokat, apakah Advokat yang belum mengucapkan sumpah
dihadapan Ketua Pengadilan Tinggi dapat beracara didepan persidangan
pengadilan.
Penerapan ketentuan Pasal 118 HIR - Pasal 142 R.Bg, harus dipahami dan
dikuasai dengan baik oleh para Hakim terutama yang bertugas di lingkungan
Peradilan Umum, karena aturan yang termuat dalam Pasal 118 HIR - Pasal 142
R.Bg adalah aturan yang essensialia atau yang penting dalam hukum acara
perdata oleh karenanya, marilah kita teliti dengan saksama hal-hal apa saja yang
diatur dalam ketentuan Pasal 118 HIR tersebut.
Adapun Pasal 118 HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement), berbunyi
sebagai berikut :
Ayat 1 :
Tuntutan (gugatan) perdata yang pada tingkat pertama termasuk
lingkup wewenang pengadilan negeri, harus diajukan dengan surat
permintaan (surat gugatan) yang ditandatangani oleh penggugat, atau
oleh wakilnya menurut Pasal 123. kepada ketua pengadilan negeri di
tempat diam si Tergugat, atau jika tempat diamnya tidak diketahui,
kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggalnya yang sebenarnya.
Ayat 2 : Jika yang digugat lebih dari seorang, sedang mereka tidak tinggal di
daerah hukum pengadilan negeri yang sama, maka tuntutan itu diajukan
kepada ketua gadilan negeri di tempat tinggal salah seorang Tergugat
yang dipilih oleh penggugat JiKa yang digugat itu adalah seorang
debitur utama dan seorang penanggungnya, maka tanpa mengurangi
ketentuan pasal 6 ayat (2) ,,Reglemen susunan kehakiman dan
kebijaksanaan mengadili di Indonesia", tuntutan itu diajukan kepada
ketua pengadilan negeri di tempat tinggal debitur utama atau salah
seorang debitur utama.
Ayat 3 :
Jika tidak diketahui tempat diam si Tergugat dan tempat tinggalnya yang
sebenarnya, atau jika tidak dikenal orangnya, maka tuntutan itu diajukan
kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggal penggugat atau salah
2
seorang penggugat, atau kalau tuntutan itu tentang barang tetap, maka
tuntutan itu diajukan kepada ketua pengadilan negeri yang dalam
daerah hukumnya terletak barang itu.
Ayat 4 : Jika ada suatu tempat tinggal yang dipilih dengan surat akta, maka penggugat, kalau mau, boleh mengajukan tuntutannya kepada ketua
pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya terletak tempat tinggal
yang dipilih itu. (Dikutip dari Buku Himpunan Peraturan PerundangUndangan Republik Indonesia, Cetakan Pertama 1989).
Ketentuan Pasal 118 HIR - Pasal 142 R.Bg ini mengatur tentang
kompetensi atau kewenangan relatif dari suatu Pengadilan Negeri.
Berdasarkan ketentuan Pasal 118 HIR - Pasal 142 R.Bg ini maka
kompetensi atau kewenangan relatif dari suatu Pengadilan Negeri hanya terbatas
pada daerah atau wilayah yang menjadi daerah atau wilayah hukumnya.
Biasanya dan sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat 1 UU No.2 Tahun
1986 yang menentukan bahwa : Pengadilan Negeri yang berkedudukan di
Kotamadya atau diIbukota Kabupaten daerah hukumnya meliputi wilayah
Kotamadya atau Kabupaten yang bersangkutan. Tetapi ada Pengadilan Negeri
yang daerah atau wilayah hukumnya melebihi wilayah Kotamadya atau Kabupaten
dimana Pengadilan Negeri tersebut berkedudukan sebagai contoh yaitu
Pengadilan Negeri Sawahlunto, yang daerah hukumnya meliputi daerah atau
wilayah Kotamadya Sawahlunto ditambah dengan 4 (empat) Kecamatan yang
berada diwilayah Kabupaten Sijunjung.
Adapun patokan dari kompetensi atau kewenangan relatif dari suatu
Pengadilan Negeri dalam mengadili suatu perkara perdata adalah berdasarkan
tempat tinggal Tergugat (Actor Sequitor Forum Rei), sebagaimana yang ditentukan
Pasal 118 ayat 1 HIR – Pasal 142 ayat 1 R.Bg.
Berbeda dengan mengadili perkara pidana, patokan kompetensi atau
kewenangan relatif dalam mengadili perkara pidana adalah dimana tempat
terjadinya peristiwa pidana (Locus delicti) jadi bukan tempat tinggal Terdakwa, hal
ini diatur dalam Pasal 84 ayat 1 KUHP.
3
Dalam hal seorang Tergugat ternyata memiliki dua atau lebih tempat tinggal
yang jelas, maka gugatan dapat diajukan Penggugat kepada salah satu Pengdilan
Negeri dari daerah hukum tempat tinggal Tergugat tersebut. Penerapan
kompetensi relatif, dalam hal Tergugat memiliki dua atau lebih tempat tinggal atau
kediaman yang jelas, telah ada putusan Mahkamah Agung tanggal 28 Septembe
1985 No. 604 K/PDT/1984, yang dalam pertimbangannya mengatakan : bahwa
berdasarkan bukti yang diajukan Penggugat atau Tergugat, ditemukan fakta yang
membuktikan Tegrugat mempunyai dua tempat tinggal atau kediaman yang jelas,
maka tidak ada larangan bagi Penggugat untuk memilih mengajukan gugatan
kepada Pengadilan Negeri dari salah satu tempat tinggal Tergugat, yang paling
menguntungkan baginya. Oleh karenanya gugatan yang diajukan Penggugat
kepada salahsatu Pengadilan Negeri tersebut, tidak melanggar azaz Actor
Sequitor Forum Rei, sebagaimana ditentukan Pasal 118 ayat 1 HIR - Pasal 142
ayat 1 R.Bg.
Apabila orang yang digugat lebih dari seorang dan mereka tinggal tidak
dalam suatu daerah hukum Pengadilan Negeri, maka gugatan dapat diajukan
kepada Pengadilan Negeri tempat tinggal salah satu dari pada orang yang
digugat, yang dipilih oleh Penggugat, dan apabila orang yang digugat itu terdiri
dari orang-orang yang berhutang dan orang yang menanggung, maka dalam hal
ini, gugatan harus diajukan kepada Pengadilan Negeri, tempat tinggal orang yang
benar berhutang atau salah satu dari orang yang berhutang (principal).
Jadi Pasal 118 ayat 2 HIR - Pasal ayat 2 R.Bg memberikan hak opsi atau
hak memilih kepada Penggugat dalam hal gugatan diajukan terhadap beberapa
Tergugat yang tidak berada dalam suatu daerah hukum Pengadilan Negeri yang
sama.
Selanjutnya marilah kita teliti dengan saksama tentang ketentuan Pasal 118
ayat 3 HIR - Pasal 142 ayat 3 R.Bg. Pasal 118 ayat 3 HIR - Pasal 142 R.Bg ini
memberi hak kepada Penggugat untuk mengajukan gugatan kepada Pengadilan
Negeri ditempat tinggal Penggugat atau salah seorang Penggugat, apabila orang
yang digugat tidak diketahui tempat tinggal.
4
Dalam penerapan ketentuan Pasal 118 ayat 3 HIR ini harus diwaspadai
tentang kemungkinan penerapannya dimanipulasi oleh pihak Penggugat oleh
karena itu gugatan harus disertai dengan Surat Keterangan dari pejabat yang
berwenang yang menyatakan tempat tinggal Tergugat tidak diketahui.
Selain dari pada itu Pasal 118 ayat 3 HIR juga mengatur bahwa apabila
gugatan itu diajukan terhadap barang tetap atau barang tidak bergerak, maka
gugatan harus diajukan kepada Pengadilan Negeri yang dalam hukumnya terletak
barang tetap atau benda tidak bergerak tersebut.
Jadi terhadap barang tetap atau benda tidak bergerak maka patokan untuk
menentukan kompetensi relatif dari suatu Pengadilan Negeri adalah berdasarkan
letak dari barang tetap atau benda tidak bergerak tersebut berada.
Mengenai ketentuan yang termuat dalam Pasal 118 ayat 4 HIR - Pasal142
R.Bg perlu dibaca dan dipahami dengan saksama. Pasal 118 ayat 4 memuat
ketentuan bahwa para pihak dapat membuat suatu perjanjian (akta) untuk
menyepakati suatu domisi pilihan tetapi domisi pilihan yang telah disepakati
tersebut tidak bersifat mutlak. Adapun yang dimaksud tidak bersifat mutlak adalah
bahwa Penggugat bila mau atau menghendaki dapat mengajukan gugatan kepada
Pengadilan Negeri yang telah menjadi domisi pilihan tersebut, tetapi hal ini tidak
menutupi apabila Penggugat mau atau menghendaki dapat juga mengajukan
gugatan kepada Pengadilan Negeri domisili Tergugat atau salah satu Tergugat
bertempat tinggal.
Tentang Penerapan ketentuan sebagaimana yang termuat dalam Pasal 178
HIR.
Pasal 178 HIR berbunyi sebagai berikut:
Ayat (1) :
Pada waktu musyawarah, hakim karena jabatannya, wajib melengkapi
segala alasan hukum yang tidak dikemukakan oleh kedua belah pihak;
Ayat (2) :
Hakim wajib mengadili semua bagian tuntutan;
Ayat (3) :
Ia (Hakim) dilarang menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak
dituntut atau memberikan lebih dari yang dituntut;
5
Pasal 178 HIR ini juga adalah merupakan pasal yang harus dipahami dan
dilaksanakan oleh para Hakim, karena ketentuan dari Pasal 178 HIR adalah
bersifat memaksakan (dwingen rechts) karena dimuat adanya kata wajib dan
adanya kata dilarang.
Ketentuan Pasal 178 ayat 3 HIR ini melarang Hakim untuk menjatuhkan
putusan atas hak-hak yang tidak dituntut atau memberikan lebih dari pada yang
dituntut. Dalam ilmu hukum, ketentuan yang termuat dalam Pasal 178 ayat 3 HIR
ini, yang bersamaan bunyinya dengan Pasal 50 ayat 3 RV disebut dengan azas
ULTRA PETITA.
Apakah azas Ultra Petita ini dapat dikesampingkan, pada dasarnya azas
ultra petita ini tidak dapat dikesampingkan, tetapi dalam praktek, apabila dalam
suatu gugatan dimana dalam petitum dimuat adanya petitum yang menyatakan :
Penggugat mohon keputusan yang dipandang seadil-adilnya atau patut (et aquo et
bono) maka Hakim dapat memberikan lebih dari pada yang di tuntut, asal masih
termasuk dalam ruang lingkup petitum yang telah dimohonkan Penggugat,
Misalnya tidak dimuatnya petitum menghukum Tergugat untuk menyerahkan objek
perkara.
Tentang Advokat untuk memahami hal-hal yang berhubungan dengan
Advokat, perlu kita meneliti dengan saksama UU No.18 Tahun 2003 tentang
Advokat yang telah disahkan dan diundangkan pada tanggal 5 April 2003 yang
dimuat dalam LN.1983 – 73 TLN.3316.
Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik didalam
maupun diluar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan
undang ini.
Sehubungan dengan adanya pertanyaan tentang : apakah seorang Advokat
yang belum mengucapkan sumpah dihadapan Ketua Pengadilan Tinggi dapat
beracara didepan Pengadilan untuk itu, perlu kita ketahui terlebih dahulu
ketentuan Pasal 4 dan Pasal 30 UU No.18 Tahun 2003.
Pasal 4 ayat 1 UU No.18 Tahun 2003 menentukan bahwa : “sebelum
menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau
6
berjanji dengan sungguh disidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisi
hukumnya.”.
Selanjutnya Pasal 30 UU No.18 Tahun 2003 menentukan bahwa :
Ayat 1 :
Advokat yang dapat menjalankan profesi Advokat adalah yang diangkat
sesuai dengan ketentuan UU ini.
Ayat 2 :
Setiap Advokat yang diangkat berdasarkan UU ini, wajib menjadi
organisasi Advokat.
Jadi menjawab pertanyaan tersebut diatas, maka Advokat yang belum
mengucapkan sumpah atau berjanji didepan sidang terbuka Pengadilan Tinggi
tidak dapat beracara didalam persidangan pengadilan (vide Pasal 4 Jo. Pasal 30
UU. No.8 Tahun 2003).
Adapun tentang pertanyaan apakah boleh sumpah Advokat tersebut
diucapkan dihadapan Ketua Pengadilan Tinggi Agama atau Ketua Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara maka jawaban adalah tidak dapat, karena ketentuan
Pasal 4 tersebut diatas menyebutkan dengan tegas dihadapan sidang terbuka
Pengadilan Tinggi.
Jakarta, 12 Juni 2013
7
BIO DATA H. DJAFNI DJAMAL, SH., MH.
1. Nama
: H. DJAFNI DJAMAL, SH., MH.
2. Tempat /Tanggal Lahir : PADANG, 3 NOVEMBER 1945.
3. Pendidikan
1.
2.
3.
4.
5.
:
SEKOLAH RAKYAT ADABIAH I PADANG TH. 1957.
SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI I PADANG TH. 1960.
SEKOLAH HAKIM DJAKSA NEGARA JURS HAKIM TH. 1964.
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS PADANG TH.1974.
FASCA SARJANA UNIVERSITAS JAYABAYA JAKARTA TH.2010.
4. Riwayat Pekerjaan
:
1. PENGATUR HUKUM CALON HAKIM MUDA PN. MEDAN TH. 1964.
2. PENGATUR HUKUM CALON HAKIM MUDA PN. PADANG TH.1965.
3. HAKIM PADA PN. PADANG 9 JANUARI TH.1969.
4. HAKIM PADA PN. TUBAN JAWA TIMUR TH.1977.
5. WAKIL KETUA PN. BULUKUMBA SULAWESI SELATAN TH.1986.
6. KETUA PN. SAWAHLUNTO SUMATERA BARAT TH.1991.
7. WAKIL KETUA PN. SUMBER, KAB. CIREBON TH. 1995.
8. KETUA PENGADILAN NEGERI SUMBER KAB. CIREBON TH. 1996.
9. HAKIM PENGADILAN NEGERI JAKARTA PUSAT TH. 1997.
10. KETUA PN.PONTIANAK, KALIMANTAN BARAT TH. 2000.
11. HAKIM TINGGI PADA PENGADILAN TINGGI JAMBI TH.2003.
12. HAKIM TINGGI PADA PT. DKI JAKARTA TH.2005.
13. WAKIL KETUA PT. SUMATERA BARAT TH.2007.
14. KETUA PT. MATARAM NUSA TENGGARA BARAT TH.2008.
15. HAKIM AGUNG MAHKAMAH AGUNG RI. 30 DESEMBER 2008.
5. Pekerjaan Lain
:
1. DOSEN AKADEMI AKOUNTING INDONESIA (A.A.I) PADANG TH.19751977.
2. DEKAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUNAN BONANG TUBAN
JAWA TIMUR TAHUN 1981-1986.
8
Download