PDF/E-book

advertisement
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
LAPORAN KAJIAN BIDANG KERJA SAMA
PEMBANGUNAN INTERNASIONAL
DALAM RANGKA PENYUSUNAN DRAF RPJMN TAHUN 2015-2019
DIREKTORAT KERJA SAMA PEMBANGUNAN INTERNASIONAL
KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/BAPPENAS
TAHUN 2014
Laporan Kajian Bidang Kerja Sama Pembangunan Internasional
Dalam Rangka Penyusunan Draf Rpjmn Tahun 2015-2019
Tahun 2014
Direktorat Kerja Sama Pembangunan Internasional
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
Jalan Taman Suropati No. 2, Jakarta Pusat 10310
Telp: (021) 3905650 Fax: (021) 31934659 Website: www.bappenas.go.id
Penanggung Jawab
Tubagus Achmad Choesni
Penyusun
Fithra Faisal Hastiadi
Rus’an Nasrudin
Editor
Priyanto Rohmatullah
Teni Widuriyanti
Dara Ayu Lestari
Harritz Dermawan
Desain
Wildan Abdurrahman
ii
Abstrak
“Kerja sama pembangunan internasional” adalah terminologi baru dalam
kebijakan ekonomi, luar negeri, dan perdagangan bagi Indonesia khususnya sejak
dibentuknya Direktorat Kerja Sama Pembangunan Internasional di Bappenas pada
tahun 2012. Kebaruan terminologi ini terletak pada munculnya kata pembangunan
dari dalam frase “kerja sama internasional”. Makna kerja sama internasional
sebelumnya didominasi oleh kerja sama yang dimotori oleh negara maju dengan
pola pemberian bantuan dari negara maju ke negara berkembang atau dalam
literatur ekonomi lebih dikenal sebagai Northern-led growth. Dua dekade terakhir
mencatat bahwa pola ini mengalami perubahan mendasar dengan lebih berartinya
peran negara-negara berkembang dalam berbagai fora kerja sama internasional
yang menggeser pola Northern-led growth menjadi multipolar-growth. Indonesia
dengan beberapa peran, baik sebagai penerima bantuan sekaligus mitra
pembangunan, maupun pemain aktif pada berbagai fora internasional baik
regional maupun global harus beradaptasi dan menempatkan kebijakan kerja sama
internasionalnya dengan baik dan tepat. Studi ini bertujuan untuk memetakan isu
berupa tantangan yang dihadapi Indonesia dalam menjalankan kebijakan kerja
sama pembangunan interasionalnya khususnya sejak periode RPJMN (Rencana
Pembangunan Jangkan Menengah Nasional) II. Beberapa rekomendasi kebijakan
yang menjadi rekomendasi studi ini meliputi penguataan sekaligus sinergi
keterlibatan aktif dalam berbagai fora di tingkat global dan regional dengan peran
kerja sama di tingkat selatan-selatan dan triangular, serta penguatan peran
Indonesia dalam membentu Country Led Knowledge Hub (CLKH).
iii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ................................................................................................................ iii
DAFTAR ISI ............................................................................................................
iv
DAFTAR TABEL ....................................................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... vii
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN ...................................................................................
1
1.1 Latar Belakang ....................................................................................
1
1.2 Maksud dan Tujuan.............................................................................
2
1.3 Ruang Lingkup ....................................................................................
3
1.4 Output .................................................................................................
3
1.5 Metode dan Pendekatan ......................................................................
3
TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................
4
2.1 Kerja Sama Pembangunan Global .......................................................
6
2.1.1 GPEDC ......................................................................................
6
2.1.2 G20 DWG ..................................................................................
9
2.1.3 GGGI.......................................................................................... 12
2.1.4 ICE-SDF .................................................................................... 13
2.1.5 ASEAN ...................................................................................... 16
2.2 Kerja Sama Pembangunan Selatan-Selatan dan Triangular ................. 20
2.3 Knowledge Sharing Hub ...................................................................... 23
iv
BAB III METODOLOGI DAN PENDEKATAN.................................................... 28
3.1 Metode .................................................................................................. 28
3.2 Jenis Sumber Data ................................................................................ 28
BAB IV HASIL DAN ANALISIS ............................................................................ 30
4.1 Menggali
Kesempatan dalam Forum Kerja sama Global dan
Kawasan .............................................................................................. 30
4.2 Pilot Project dari program Knowledge Sharing ................................... 39
4.2.1 BNPB ........................................................................................ 39
4.2..2 PNPM ...................................................................................... 40
4.2.3 PKH ......................................................................................... 45
4.2.4 BaKTI ...................................................................................... 47
4.2.5 UCLG ....................................................................................... 49
4.3 Tantangan Kerja Sama Selatan-selatan dan Triangular ........................ 50
BAB V PENUTUP ..................................................................................................... 55
5.1 Kesimpulan ........................................................................................... 55
5.2 Rekomendasi ........................................................................................ 57
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 60
LAMPIRAN ............................................................................................................... 63
v
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Program Prioritas KSST .............................................................................. 22
Tabel 2. Keunggulan Komparatif Indonesia dalam KSST ........................................ 22
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka Kerja: Kerja Sama Pembangunan Internasional ...................... 23
Gambar 2. Knowledge Sharing in International Development Agenda
Frame Work .............................................................................................. 36
Gambar 3. Knowledge Sharing Capacity ................................................................... 38
vii
viii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Paradigma kerja sama antarbangsa telah mengalami perubahan mendasar
sejak dua dekade terakhir ditandai dengan munculnya kekuatan baru dari negaranegara berkembang dalam kancah pemberian bantuan internasional maupun kerja
sama dalam berbagai fora global dan kerja sama kawasan. Salah satu bentuk
prkatis pemahaman dari perubahan paradigma ini adalah munculnya terminologi
“kerja sama pembangunan internasional” bagi Indonesia dan berbagai bangsa di
dunia. Frase kunci berupa “beyond aid” dan “development cooperation” menjadi
konsep yang niscaya diikuti semua bangsa termasuk Indonesia. Perubahan
paradigma ini menuntut para pemain baru tersebut termasuk Indonesia untuk
beradaptasi dan mereposisi peran dan kontribusinya dalam berbagai level kerja
sama internasional tersebut.
Salah satu dari bentuk adaptasi bangsa Indonesia atas perubahan tersebut
adalah
dibentuknya direktorat baru di BAPPENAS (Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional) yang bernama Direktorat Kerja Sama Pembangunan
Internasional dengan 3 subdirektorat: Subdirektorat Kerja Sama Pembangunan
Global, Subdirektorat Kerja Sama Pembangunan Kawasan, dan Subdirektorat
Kerja Sama Pembangunan Selatan-Selatan dan Triangular pada tahun 2012. Lebih
awal, dalam rangka pengembangan dan implementasi program kerja sama
pembangunan selatan-selatan dan triangular dibentuklah Tim Koordinasi Nasional
untuk Kerja Sama Selatan-selatan dan Traingular pada tahun 2010. Dua hal ini
mengisyaratkan bahwa kerja sama pembangunan internasional telah menjadi isu
penting bagi pemerintah Indonesia.
Perkembangan kerja sama pembangunan internasional Indonesia telah
memasuki babak baru dengan berakhirnya periode Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) II periode 2010-2014 dan memasuki periode
RPJMN III periode 2015-2019. Dinamika baik kawasan maupun global dalam hal
1
konstelasi kerja sama pembangunan internasional berpengaruh kuat terhadap
perkembangan dan arah kebijakan kerja sama pembagunan internasional yang
dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia.
Salah satu dari bentuk dinamika global dan kawasan tersebut adalah mulai
menguatnya pengakuan komunitas internasional atas peran negara-negara
berkembang dalam diplomasi ekonomi internasional. Dalam berbagai literatur
fenomena tersebut dikenal sebagai terbentuknya arsitektur baru kerja sama
internasional khususnya di bidang pembangunan dari pola yang disebut sebagai
Northern-led menjadi multipolar-led.
Hadirnya periode atau babak baru tersebut sekaligus menuntut adanya
review dan evaluasi untuk memperbaiki pelaksanaan kebijakan kerja sama
pembangunan internasional yang selama ini telah berjalan. Berbagai living
document yang memuat landasan hukum kerja sama pembangunan internasional
di Indonesia memberikan ruang atas review dan evaluasi tersebut mengingat
perkembangan dinamis konstelasi global yang cukup berpengaruh terhadap
perkembangan kerja sama pembangunan internasional maupun kesiapan dan
perkembangan lokal pelaksanaannya.
1.2 Maksud dan Tujuan
Untuk itu, studi ini dilaksanakan sebagai salah satu upaya untuk
memberikan masukan konstruktif dalam perspektif review dan evaluasi atas
pelaksanaan kerja sama pembangunan internasional di Indonesia sekaligus
sebagai kontributor rumusan isu strategis dan arah kebijakan bidang kerja sama
pembangunan internasional. Studi ini berangkat dari perspektif institusional kerja
sama pembangunan internasional di mana Indonesia yang memotret capaian
tujuan kerja sama pembangunan internasional berdasarkan pengamatan terhadap
subyek pelaksana kerja sama pembangunan internasional. Hal ini dilakukan
mengingat institusionalisasi pelaksanaan kerja sama pembangunan internasional
di Indonesia termasuk baru dan berada di tahap awal perkembangannya.
Adanya tuntutan peran yang serius dan di sisi lain kemajuan pelaksanaan
kerja sama pembangunan internasional yang perlu terus ditingkatkan menjadi
2
landasan urgensi studi evaluasi sekaligus perumusan arah kebijakannya. Untuk
itu, secara spesifik studi ini bertujuan untuk:
1. Melakukan telaah perkembangan kerja sama pembangunan internasional
di Indonesia periode 2009-2014;
2. Melakukan identifikasi isu strategis kebijakan di bidang kerja sama
pembangunan internasional;
3. Merumuskan
arah
kebijakan
bidang
kerja
sama
pembangunan
internasional.
1.3 Ruang Lingkup
Adapun ruang lingkup dari sub bidang kerja sama pembangunan
internasional yang dikaji dalam studi ini adalah:
1. Sub Bidang Kerja Sama Pembangunan Global dan Kawasan.
2. Sub Bidang Kerja Sama Selatan-Selatan dan Triangular (KSST).
3. Knowledge Sharing Hub.
1.4 Output
Kajian ini diharapkan menghasilkan output berupa tulisan ilmiah
(discussion paper) yang dapat memberikan masukan dan penyempurnaan dalam
penyusunan kebijakan perencanaan pembangunan di bidang kerja sama
pembangunan internasional Indonesia.
1.5 Metode dan Pendekatan
Studi ini mempergunakan metode kualitatif deskriptif dan pendekatan studi
literatur dan telaah dokumen kebijakan, landasan hukum dan berbagai studi yang
terkait dengan kerja sama pembangunan internasional di Indonesia. Kontribusi
dari staf Direktorat Kerja Sama Pembangunan Internasional (KPI) Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) merupakan sumber informasi
primer yang menjadi bahan baku penulisan laporan studi ini. Di samping itu
berbagai forum diskusi fokus terarah mengenai kerja sama pembangunan
internasional secara umum maupun subtemanya dan kesimpulan yang didapatkan
di dalamnya adalah sumber informasi komplementer yang berharga dalam studi
ini.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Topik tentang kerja sama pembangunan internasional sebagai sebuah
paradgima baru dapat dikatakan masih relatif baru dalam dokumentasi literatur
kerja sama internasional. Martinussen dan Pedersen (2005) mememperkenalkan
prediksi atas perubahan pola baru atas kerja sama internasional dalam konteks
pembangunan (aid) pada abad 21. Sebuah pola baru yang berasal dari evaluasi
kritis atas hasil dari pola kerja sama aid dari negara maju ke ke negara
berkembang selama satu abad sebelumnya, yaitu tanpa hasil yang efektif dan
menggembirakan.
Evaluasi kritis tersebut kemudian bermuara pada munculnya arah kebijakan
baru baik dari donor dan penerima dalam membentuk kerja sama pembangunan
antarbangsa. Dua argumen mendasar yang sering dikemukakan sebagai arah baru
kerja sama pembangunan adalah tidak tercapainya tujuan-tujuan pembangunan
seperti penurunan tingkat kemiskinan di negara berkembang sebagai hasil dari
aid. Argumen berikutnya adalah diakui atau tidak, dari sisi motif, alasan negara
maju dalam memberi bantuan bukanlah mencapai kemajuan pembangunan negara
berkembang dan penurunan angka kemiskinan; sedangkan di sisi perencanaan dan
implementasi masih sangat sering dijumpai ketidakcocokan program dengan
kebutuhan negara berkembang itu sendiri.
Evolusi pemikiran terhadap kerja sama pembangunan kemudian tidak
mengarah kepada bahwa aid harus dihapuskan sama sekali, namun belajar dari
kesalahan dan pengalaman dan lebih lanjut mengerucut pada ide knowledge
sharing. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang cukup
diperhitungkan potensi perannya di masa depan berada dalam arus perubahan
tersebut dan secara natural terlibat secara aktif dalam transformasi pemikiran dan
praktik kerja sama pembangunan internasional yang baru tersebut.
Dokumentasi literatur tentang studi yang terkatit dengan arah dan kebijakan
kerja sama pembangunan dengan paradgima baru sebagaimana disebutkan di atas
4
di lingkup Indonesia masih sangat terbatas. Muhibat et al. (2014) adalah salah
satu literatur terkini yang mencoba memetakan implementasi kerja sama
pembangunan internasional Indonesia dalam kerangka Kerja Sama Selatan-selatan
dan Triangular (KSST). Studi ini dengan cukup komprehensif mengurai aspek
kelembagaan KSST di Indonesia. Namun studi ini masih terbatas berfokus pada
implementasi kerja sama pembangunan internasional dalam lingkup KSST.
Bappenas (2014) memiliki pandangan yang sejalan dengan Martinussen dan
Pedersen (2005) bahwa kerja sama pembangunan internasional dapat berdimensi
multilateral dan bilateral. Dengan pemahaman ini, kerja sama pembangunan
internasional dapat meliputi kerja sama di tingkat global, regional maupun KSST.
Kebijakan dan praktik kerja sama internasional bangsa Indonesia secara
mendasar termaktub pada pembukaan UUD 1945 yang jelas menyatakan bahwa
arah kebijakan politik luar negeri Indonesia adalah bebas aktif dan berorientasi
pada kepentingan nasional. Kebijakan ini menitikberatkan pada solidaritas antar
negera berkembang, mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa,
menolak penjajahan dalam segala bentuk serta meningkatakan kemandirian
bangsa dan kerja sama untuk kesehjateraan rakyat. Secara historis, pada dua
sampai tiga dekade setalah merdeka kebijakan ini kemudian diterjemahkan dalam
bentuk keterlibatan aktif dalam fora internasional dan lebih spesifik mewakili
negara berkembang. Beberapa keterlibatan aktif tersebut tercatat dalam berbagai
fora penting seperti menjadi tuan rumah KAA pada 1955, pendiri Gerakan NonBlok pada 1961 dan pendiri ASEAN pada 1967.
Dalam perkembangannya, dominasi pola kerja sama dalam spirit ini
tenggelam dalam dominasi pola kerja sama yang dimotori oleh negara maju yang
disebut sebagai Developmennt Assistance Committe (DAC)-OECD selama
bertahun-tahun pada suatu pola yang disebut sebagai Northern-led growth, sampai
tahun 2010. Tahun tersebut adalah saat bangsa-bangsa melakukan konferensi
Busan sebagai lanjutan dari deklarasi Paris dan menyepakati paradigma baru
dalam kerja sama pembangunan internasional.
5
Dalam hal ini, Mawdsley (2012) menekankan pentingnya para pemain baru
(emerging’ or ‘New’ donors) Non-DAC donors. Mawdsley mengkritik pendekatan
tradisional dalam kerja sama pembangunan yang hanya menekankan pada bantuan
(aid), dan memberikan sebuah bentuk kontribusi baru dari para pemain baru
tersebut yang akan bertolak jauh dari sekedar bantuan. Berikut adalah kutipan
pemikiran Mawdsley dalam bukunya “From Recipients to Donors: Emerging
Powers” and the Changing Development Landscape:
“… the rising powers are increasingly important drivers of development
theory and practice, leading to alternative conceptualizations of
development cooperation or, as some experts describe it, to a “post-aid
world”. This means that dichotomies like North/South or donor/recipient
are becoming outdated and being questioned by diverse actors and
processes that go well beyond aid ..” (Mawdsley, 2012).
Dengan landscape baru kerja sama pembangunan internasional tersebut,
peran dan kontribusi Indonesia dalam berbagai fora, kerja sama triangular dan
kawasan seperti halnya negara-negara berkembang lainnya menjadi semakin
strategis dan memiliki ruang atau legitimasi internasional yang semakin kuat.
2.1 Kerja Sama Pembangunan Global
2.1.1 GPEDC
Salah satu keterlibatan penting Indonesia dalam lingkup global adalah
dalam
forum
GPEDC
(Global
Partnership
for
Effective
Development
Cooperation). GPEC dibentuk sebagai tindak lanjut dari kesepakatan Busan
Outcome Document yang merupakan hasil dari the 4th High Level Forum (HLF4) on Aid Effectiveness di Busan, Korea Selatan pada tahun 2011. Forum GPEDC
merupakan forum inklusif baru yang menyatukan berbagai pemangku kepentingan
pembangunan (development stakeholder) yang berkomitmen untuk mendorong
efektifitas kerja sama pembangunan dan berorientasikan pada pencapaian hasil.
Sebagai tindaklanjut dari Busan Outcome Document, pembentukan forum
GPEDC mendapatkan dukungan yang luas dari berbagai pemangku kepentingan
pembangunan, yaitu: 160 negara dan 45 organisasi internasional, termasuk donor,
pihak swasta, Civil Society Organization (CSO), parlemen, dan organisasi
philantropy. Steering Committee GPEDC dipimpin oleh 3 co-chairs di mana
6
Indonesia terlibat langsung, yaitu: Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional
Indonesia (Ibu Armida S. Alisjahbana), Menteri Koordinator Ekonomi dan
Keuangan Nigeria (Mrs. Ngozi Iweala), dan Menteri Kerja sama Pembangunan
Inggris (Mrs. Justine Greening).
Berdasarkan Busan Outcome Document, GPEDC mempunyai empat (4)
mandat, yaitu: (i) mempertahankan dan memperkuat momentum politik untuk
kerja sama pembangunan yang lebih efektif, (ii) memastikan akuntabilitas untuk
melaksanakan Komitmen Busan, (iii) memfasilitasi knowledge and sharing of
lesson learned, dan (iv) mendukung pelaksanaan Busan Commitment pada tingkat
negara (country level).
Dalam
memenuhi
mandatnya,
GPEDC
diharapkan
dapat
menjadi
mekanisme untuk menjaga momentum politik melanjutkan agenda pembangunan
post-2015. Dalam memenuhi mandat tersebut, terdapat tiga (3) peran utama yang
dimainkan oleh forum GPEDC, yaitu: (i) meningkatkan kerja sama antar
development stakeholders untuk meningkatkan dampak positif dari kerja sama
pembangunan; (ii) GPEDC merupakan instrumen “How” untuk membantu
pencapaian Millenium Development Goals dan Post 2015 Development Agenda
sebagai “What”; dan (iii) Melalui partnership akan dapat membantu perbaikan
dari pendanaan kerja sama pembangunan baik, yang melalui pendanaan dari
donor tradisional, maupun pembiayaan pembangunan yang inovatif.
Untuk itu GPEDC diharapkan dapat bekerja dengan memanfaatkan platform
kerja sama pembangunan yang telah ada seperti Forum Kerja sama Pembangunan
(UN-DCF), dan proses yang berjalan di PBB lainnya, misalnya Open Working
Group on Sustainable Development, serta G20 Development Working Group
(DWG).
Beberapa fokus utama GPEDC yang didiskusikan, yaitu : (i) Progress
Busan (ii) Tax and Domestic Resources Mobilization/DRM (termasuk penguatan
kebijakan pajak yang lebih efisien, dan mengurangi pengiriman uang ilegal/ilicit
transfer of money); (iii) keterlibatan sektor swasta dalam pembangunan (business
in development); (iv) pengembangan Knowledge Sharing, dan Kerja sama
7
Selatan-Selatan dan Triangular; serta (v) peran Middle Income Countries(MIC)
dalam pembangunan.
Peranan Indonesia
Salah satu mandat yang diberikan kepada GPEDC adalah memfasilitasi
pengembangan Knowledge Sharing dan lessons learned untuk membantu
pemecahan masalah pembangunan terutama dalam membantu pencapaian
Development Goals (baik MDGs, maupun Post-2015). Isu Knowledge Sharing
telah lama menjadi bahan pembahasan dalam berbagai forum internasional seperti
G20, UNDCF, dan GPEDC, namun belum dapat dihasilkan suatu mekanisme
yang terstruktur dan dapat digunakan dengan mudah pada tingkat negara (country
level) untuk peningkatan kapasitas dalam mengatasi persoalan pembangunan.
Dalam forum GPEDC, Indonesia secara khusus mengangkat inisiatif
Knowledge Sharing sebagai aktualisasi konsep Beyond Aid. Indonesia
berpendapat bahwa Knowledge Sharing merupakan elemen penting untuk
peningkatan efektivitas pembangunan, melalui pembelajaran best practice on
development, baik yang bersifat internasional, yaitu dari negara maju kepada
negara berkembang atau antar sesama negara berkembang, serta dalam kerangka
peningkatan kapasitas di dalam negeri, yaitu dari tingkat pusat kepada tingkat
daerah, ataupun pertukaran pembelajaran dari sesama tingkat daerah.
Indonesia berpendapat bahwa diperlukan adanya mekanisme knowledge
sharing yang lebih terstruktur dengan baik yang dapat mempertemukan kebutuhan
dan penyediaan dari best practices (supply-demand), yang memadai untuk dipakai
oleh suatu negara (best fit) sesuai karakteristik yang terdapat pada masing-masing
negara. Selain itu, mekanisme terstruktur dapat digunakan untuk membantu
perkuatan kapasitas pemerintah daerah yang luas
(dalam konteks kebutuhan
Indonesia yang mempunyai banyak pemerintah daerah).
Untuk menyiapkan mekanisme Knowledge Sharing yang lebih terstruktur
Indonesia menyiapkan pengembangan Country Led Knowledge Hub (CLKH),
dengan beberapa komponen utama, yaitu: (i) mengacu pada thematic area
8
pembangunan paska 2015; (ii) menyiapkan mekanisme brokering supply dan
demand; (iii) infrastruktur CLKH, dan (iv) optimalisasi skema pendanaan.
2.1.2 G20 DWG
G-20 merupakan forum kerja sama internasional yang dibentuk untuk
membahas isu-isu ekonomi global dan agenda finansial. Forum ini dimulai pada
bulan November 2008 dengan tujuan untuk memberikan dukungan dalam
menstabilkan perekonomian dunia.
Pada pertengahan tahun 2010 dibawah
Presidensi Korea, Forum G20 membentuk Kelompok Kerja Pembangunan atau
DWG (Development Working Group) dengan mandat untuk mencapai
pertumbuhan yang kuat, seimbang dan berkelanjutan (strong, sustainable, and
balance
growth)
sekaligus
mengurangi
kesenjangan
pembangunan
dan
mengentaskan kemiskinan.
G20 DWG berlandaskan pada 3 prinsip yaitu: 1) Berorientasi pada
pertumbuhan ekonomi yang konsisten dan berkelanjutan; 2) Tidak terlalu lama
dalam pembentukannya, yakni dalam dua (2) tahun; 3) Pengakuan terhadap
negara-negara berkembang dan LICs sebagai mitra integral dalam seluruh inisiatif
yang dilakukan oleh G20. BAPPENAS merupakan focal point (ketua working
group) mewakili Pemerintah Indonesia untuk pertemuan-pertemuan Development
Working Group dan lebih mempunyai kesempatan untuk berperan aktif dalam
menyampaikan ide, saran, dan pemikiran mengenai isu-isu pembangunan yang
akan dijadikan rencana aksi pada forum G20.
Beberapa capaian yang telah dihasilkan dari forum kerja sama tersebut
dalam kurun waktu yang cukup singkat adalah sebagai berikut.
1. Deklarasi para pemimpin pada The G-20 Summit di Seoul pada tanggal 1112 November 2010, yang secara garis besarnya adalah menghasilkan
komitmen dan beberapa peraturan dari para anggota dalam mengusahakan
ketahanan ekonomi global, mempercepat pengadaan lapangan kerja,
9
menciptakan kondisi pasar yang stabil, mempersempit kesenjangan dan
mengenalkan solusi bertumbuh dalam krisis;
2. A Development Agenda atau yang dikenal dengan The Seoul Consensus on
Development yang menghasilkan kerangka kerja dalam memperkuat,
memberi kelanjutan dan keseimbangan dalam pertumbuhan dan kerja sama
dalam mengumpulkan dampak dan risiko dari kebijakan nasional pada
perekonomian dan pertumbuhan global. Dari forum tersebut, diidentifikasi 9
(sembilan) pilar utama yang dinilai penting dalam mewujudkan kondisi
negara-negara berkembang dan iklim dunia yang stabil, yaitu melalui
pembangunan infrastruktur, sumber daya manusia, perdagangan, swasta dan
penciptaan lapangan kerja, jaminan terhadap pangan, ketahanan, keuangan
inklusif, mobilisasi sumber daya domestik dan berbagi pengetahuan.
3. The Multiyears Action Plan (MYAP), yakni rencana rinci dalam
mendetailkan beberapa tindakan pada tiap pilar yang dijabarkan dalam The
Seoul Consensus on Development. Dalam rencana aksi tersebut, Indonesia
mempunyai peranan penting yakni: 1) Sebagai co-Facilitator dalam
mempertahankan pertumbuhan pilar, melalui komitmen yang serius untuk
mendukung dan memperkuat program perlindungan sosial di negara-negara
berkembang dan mengurangi angka kemiskinan; 2) Berperan aktif dalam
pilar infrastruktur, pengembangan sumber daya manusia, perdagangan dan
inklusi finansial; serta termasuk sebagai anggota aktif dalam South-South
Cooperation dan Triangular Cooperation dalam pilar Knowledge Sharing.
Peranan Indonesia
Peran Indonesia dalam forum kerja sama tersebut sangat penting mengingat
posisi strategis Indonesia untuk turut memberikan kontribusi dan sumbangan
pemikiran dalam penentuan tata kelola global (global governance) dan
pemecahan permasalahan global yang lebih sesuai dengan kondisi negara-negara
berkembang. Oleh karena itu, Indonesia perlu mengambil beberapa tindakan dan
aktif pada kegiatan-kegiatan yang akan diadakan oleh Working Group sebagai
langkah agar dapat memberikan kontribusi untuk dunia secara nyata dan secara
khusus sebagai langkah untuk menciptakan iklim yang stabil bagi negara.
10
Dalam rangka mendukung peran aktif Pemerintah Indonesia pada forum G20 Development Working Group, BAPPENAS sebagai Ketua Working Group
mewakili Indonesia, telah menginisiasi Kegiatan Koordinasi Strategis Working
Group on Development. Kegiatan ini dimaksudkan untuk menyediakan fasilitas
yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas-tugas yang menjadi porsi Pemerintah
Indonesia dalam G-20 Development Working Group ataupun memfasilitasi
inisiatif-inisiatif pemerintah yang diperlukan dalam forum kerja sama tersebut.
Melalui Kegiatan Koordinasi Strategis ini diharapkan peran Indonesia dalam
forum-forum internasional (khususnya G-20 DWG) dapat ditingkatkan sehingga
dapat dihasilkan kebijakan ataupun produk-produk kebijakan global yang lebih
berpihak pada kepentingan negara-negara berkembang (Developing Countries)
atau negara-negara berpendapatan menengah (Middle Income Countries),
khususnya Indonesia.
Kegiatan Koordinasi Strategis Working Group on Development oleh
BAPPENAS telah dimulai sejak tahun 2011. Fokus Kegiatan Koordinasi pada
tahun 2011 tersebut adalah pada pencapaian target tahun pertama pelaksanaan
Multi Years Action Plan yang terdiri dari 9 pilar dan satu pilar yang disepakati
pada presidensi Mexico yaitu:
1.
Pilar Infrastructure.
2.
Pilar Human Resources Development.
3.
Pilar Trade.
4.
Pilar Private Investment and Job Creation.
5.
Pilar Food Security.
6.
Pilar Growth with Resilience.
7.
Pilar Financial Inclusion.
8.
Pilar Domestic Resource Mobilization.
9.
Pilar Knowledge Sharing.
10. Pilar Inclusive Green Growth.
Tahun 2013 di bawah Presidensi Rusia dilaksanakan proses penajaman isu
dari 10 pilar menjadi 5 (lima) isu prioritas yaituInfrastruktur, Financial Inclusion
and Remittances, Domestic Resources Mobilization, Food Security, dan Human
11
Resource Development. Selain itu, pada tahun 2014 juga dilakukan penilaian
akuntabilitas negara anggota G20 terhadap pelaksanaan komitmen pembangunan
yang telah disepakati dalam 2010 Seoul Multi Years Action Plan. Pada tahun ini
DWG menghasilkan dua dokumen kesepakatan yaitu: (i) St. Petersburg
Development Outlook, dan; (ii) Saint Petersburg Accountability Report of G20
Development Commitments.
Pada tahun 2014 implementasi Kegiatan Koordinasi yang dilakukan
BAPPENAS yaitu telah melaksanakan pertemuan internasional G20 DWG yang
diselenggarakan di Australia, yang terdiri dari:
a. G20 DWG Meeting I pada tanggal 16-17 Desember 2013
b. G20 DWG Informal Meeting pada tanggal 14 April 2014
c. Post 2015 Development Agenda Discussion Forum pada tanggal 7 Mei 2014
d. G20 DWG Meeting II pada tanggal 8-9 Mei 2014
e. G20 DWG Meeting III pada tanggal 3-5 September 2014
Secara keseluruhan, pertemuan-pertemuan yang diadakan diarahkan untuk
mendiskusikan pelaksanaan dan tindak lanjut rencana aksi pembangunan baru
yang telah disepakati dalam St. Petersburg Development Outlook. Selain itu,
dilaksanakan pula proses akuntabilitas MYAP, melanjutkan proses yang
sebelumnya dilakukan pada Presidensi Rusia tahun 2013. Proses akuntabilitas ini
dilaksanakan oleh Accountability Steering Committee (ASC) dimana Indonesia
menjadi salah satu co-facilitator bersama dengan Meksiko, Kanada, Australia,
dan Rusia.
2.1.3 GGGI (Global Green Growth Institute)
GGGI merupakan suatu organisasi internasional yang fokus terhadap
kebutuhan negara berkembang, yaitu meningkatkan pembangunan ekonomi yang
selaras dengan keberlangsungan lingkungan hidup. GGGI memiliki visi bahwa
pembangunan ekonomi dan keberlangsungan lingkungan bukanlah dua hal yang
bertolak belakang. Sedangkan misi yang diusung GGGI yang bertujuan untuk
mempromosikan dan mengembangkan konsep green growth yang diyakini dapat
12
memperkuat pertumbuhan ekonomi, menanggulangi kemiskinan, menciptakan
kesempatan kerja dan menjaga kelestarian lingkungan.
GGGI memiliki dua governing bodies, yaitu Council dan Assembly. Council
merupakan badan eksekutif GGGI yang terdiri dari tidak lebih dari 17 anggota,
yaitu 5 participating members dan 5 contributing members yang dipilih oleh
Assembly, 5 experts dan aktor non negara yang dipilih oleh Council, host country
yang memiliki kursi permanen di Council dan Direktur Jenderal yang tidak
memiliki hak memilih. Anggota council menjabat selama 2 tahun. Council
bertanggung jawab dalam mengarahkan aktivitas GGGI dibawah pengawasan
Assembly, yang antara lain memilih Direktur Jendral, menyetujui strategi GGGI,
serta menyetujui dan melakukan review program kerja dan anggaran tahunan.
Assembly merupakan badan tertinggi dari GGGI yang mencakup seluruh anggota
dari GGGI. Tugas assembly antara lain adalah memilih anggota council dan
direktur jenderal, mempertimbangkan dan mengadopsi amandemen persetujuan
GGGI, serta mengarahkan program–program GGGI.
Peranan Indonesia
Indonesia menandatangani Establishment Agreement dengan GGGI pada
tanggal 17 September 2012 dan saat ini sedang dalam proses ratifikasi untuk
mengesahkan kerja sama antara Indonesia dan GGGI.
Posisi Indonesia di
keanggotaan GGGI saat ini adalah menjadi participating member yang berarti
tidak mempunyai kewajiban untuk mengeluarkan dana bagi GGGI. Indonesia
bahkan juga menempati posisi sebagai Chair participating member di Council
GGGI. Keanggotaan Indonesia pada GGGI, sejalan dengan visi Pemerintah RI
yang memandang penting green growth sebagai strategi pengembangan ekonomi
yang bertumpu pada pemanfaatan sumber daya alam secara berkesinambungan.
Tujuan GGGI ini sangat sejalan dengan salah misi pembangunan nasional yang
tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 20052025, yaitu Indonesia yang asri dan lestari.
2.1.4 ICE-SDF
ICE-SDF (Intergovemental Comitte of Experts on Sustainable Development
Financing) merupakan komite yang dibentuk sebagai tindak lanjut kesepakatan
13
KTT Rio+20, yang tertuang pada pasal 255 Rio+20 outcome document. KTT
Rio+20 merupakan konferensi pertemuan tingkat tinggi antarpemerintah yang
dilaksanakan di Rio de Janeiro, Brazil pada 20-22 Juni 2012, membahas mengenai
upaya-upaya
implementasi
pembangunan
berkelanjutan
(sustainable
development). Pada pertemuan tersebut, negara anggota memutuskan untuk
mengembangkan
tujuan-tujuan
pembangunan
berkelanjutan
(sustainable
development goals/SDGs) yang dibangun di atas tujuan pembangunan milenium
(Milennium Development Goals/ MDGs) yang akan berakhir pelaksanaannya pada
tahun 2015, juga sebagai upaya dalam mengembangkan agenda pembangunan
pasca 2015.
ICESDF
merupakan
salah
satu
proses
dalam
menyusun
agenda
pembangunan paska 2015 yang mengarah kepada pembangunan berkelanjutan,
terutama terkait dengan strategi pendanaan pembangunan berkelanjutan. Proses
lainnya adalah grup kerja terbuka untuk tujuan pembangunan berkelanjutan (Open
Working Group On Sustainable Development Goals/OWG SDGs) dan Forum
Politik Tingkat Tinggi mengenai Pembangunan Berkelanjutan (High Level
Political Forum on Sustainable Development). Hasil pertemuan ICESDF
diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi mengenai strategi pendanaan
pembangunan berkelanjutan yang efektif, untuk disampaikan kepada anggota
PBB pada Sidang Majelis Umum PBB ke-68 (September 2014)
Pada pertemuan Rio+20 diketahui adanya kebutuhan yang signifikan
terhadap mobilisasi sumberdaya dan kefektifan akan penggunaan pendanaan,
sehingga dapat mendukung negara berkembang dalam upayanya mencapai tujuan
pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals). Kepala negara dan
pemerintahan sepakat untuk mendirikan suatu proses antar pemerintah dibawah
naungan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan dukungan
teknis dari sistem PBB
Mandat yang tertuang dari pasal 255 Rio+20 adalah sebagai berikut (i)
mendirikan suatu proses antar pemerintah dibawah naungan Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan dukungan teknis dari sistem PBB, (ii)
proses tersebut akan dijalankan dalam bentuk konsultasi yang luas dan terbuka
14
dengan institusi keuangan regional dan internasional, serta berbagai pemangku
kepentingan yang relevan, (iii) proses tersebut akan melakukan penilaian
kebutuhan pendanaan, memperhatikan keefektifan, konsistensi, dan sinergi
berbagai existing instruments and frameworks serta mengevaluasi berbagai
initiatif, dengan maksud untuk menyiapkan laporan yang mengusulkan opsi
mengenai strategi pendanaan pembangunan berkelanjutan yang efektif untuk
memfasilitasi mobilisasi sumberdaya dan penggunaan yang efektif dalam
mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Komite terdiri dari 30 experts yang
mewakili kelompok regional dan sembilan experts yang bertugas sebagai
observer. Komite ini mulai efektif pada 21 Juni 2013.
Peranan Indonesia
Pada Forum ICE-SDF, Indonesia telah ditunjuk sebagai wakil dari negara
berkembang dan dari kawasan Asia Pasifik dalam merumuskan upaya-upaya
pendanaan untuk Agenda Pembangunan Paska 2015 yaitu Pembangunan
berkelanjutan. Indonesia melalui expert yang ditunjuk yaitu Bapak Lukita
Dinarsyah, Wakil Menteri Kementerian PPN/Waka. Bappenas, telah berkontribusi
dalam penyusunan laporan akhir ICE-SDF dan kontribusi tersebut telah didukung
dan dimuat dalam laporan akhir, yaitu:
 Menekankan pentingnya forum GPEDC disebutkan sebagai forum kerja
sama pembangunan yang melibatkan banyak pemangku kepentingan
pembangunan sebagai anggota aktif yang berkedudukan setara, misalnya
developing dan developed countries, lembaga keuangan dan pembagunan
bilateral dan multilateral, parlemen, otoritas lokal, entitas sektor swasta,
organisasi masyarakat sipil dan pilantropi, dan pemangku kepentingan
lainnya.
Forum
GPEDC
dianggap
sebagai
contoh
faktual
untuk
mempromosikan kerja sama pembangunan bagi pencapaian agenda
pembangunan pasca 2015.
 Menekankan aspek adaptasi dan resiliensi, serta dampak dalam penanganan
isu perubahan iklim, guna mendorong keseimbangan antara berbagai
dimensi dampak perubahan iklim bagi pembangunan.
15
 Mempertimbangkan secara seksama isu efektifitas kerja sama pembangunan
dalam
menunjang
kemiskinan.
pembangunan
Pentingnya
knowledge
berkelanjutan
sharing
dan
dalam
pengentasan
kerja
sama
pembangunan, baik kerja sama utara-selatan maupun selatan-selatan, yang
dapat meningkatkan efektivitas kerja sama pembangunan.
 Menekankan perlunya peningkatan capacity building kepada negara-negara
berkembang, termasuk LDCs, dalam upaya meningkatkan domestic
resources mobilization (perpajakan, illicit flows), blended finance dan
penerapan kondisi sosial dan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan
berkelanjutan. Pendanaan ODA untuk peningkatan kapasitas negara
berkembang perlu untuk ditingkatkan.
 Blended finance merupakan salah satu sumber pendanaan penting bagi
pembangunan negara-negara berkembang, mengingat terbatasnya sumber
dana publik. Telah diusulkan agar dituangkan dalam laporan adanya
kebutuhan pengembangan environment condition yang kondusif bagi
pengembangan blended finance. Pengembangan blended finance seperti
Public Private Partnership (PPPs) juga memerluka dukungan adanya
Project Preparation Funds (PPF). Bank Pembangunan multilateral dan
regional dapat berperan penting bagi pembentukan PPF di negara-negara
berkembang.

Menekankan peran penting intermediaries dalam arus pendanaan.
2.1.5 ASEAN
Dengan disepakatinya Piagam ASEAN pada 15 Desember 2008, ASEAN
menjadi suatu organisasi kawasan yang sama sekali baru, dengan aturan hukum
yang jelas dan memiliki legal personality. Dilengkapi moto one vision, one
identity, one community, ASEAN terus melangkah menuju terbentuknya suatu
Komunitas ASEAN 2015. Pembukaan Piagam ASEAN secara tegas menyebutkan
komitmen masyarakat (We, the Peoples) negara anggota ASEAN untuk
mempercepat pembentukan Komunitas ASEAN yang didasarkan pada tiga pilar,
yaitu kerja sama politik dan keamanan, kerja sama ekonomi, dan kerja sama sosial
budaya.
16
Melalui tiga pilar kerja sama yang disebutkan dalam Bali Concord II dan
ditegaskan kembali dalam Pembukaan Piagam ASEAN, jelaslah bahwa komunitas
ASEAN mendatang akan terdiri dari tiga komunitas, yaitu Komunitas Keamanan
ASEAN (ASEAN Security Community/ASC), Komunitas Ekonomi ASEAN
(ASEAN Economic Community/AEC), dan Komunitas Sosial Budaya ASEAN
(ASEAN Socio Cultural Community/ASCC).
Peran Indonesia
Keberhasilan ASEAN menandatangani suatu piagam bersama merupakan
dasar yang kuat bagi terbentuknya suatu komunitas ASEAN dan memperkuat
peran ASEAN dalam menghadapi berbagai perubahan arsitektur kerja sama
global
Pandangan bahwa dengan terwujudnya Komunitas ASEAN maka Indonesia
akan dirugikan karena lemahnya daya tawar politik dan ekonomi yang disebabkan
lemahnya posisi ekonomi nasional di mata negara tetangganya adalah tidak kuat.
Dalam Making East Asian Regionalism Work, Hastiadi (2012) menunjukkan
berbagai potensi yang bisa diraih oleh Indonesia dalam kerangka kerja sama
ekonomi regional terutama dalam skema ASEAN ditambah dengan Tiongkok,
Jepang dan Korea
Di bidang ekonomi, secara pasti Indonesia mulai memperlihatkan kestabilan
dalam pertumbuhan ekonomi. Hal ini dapat terlihat dari kemampuan Indonesia
untuk bertahan dari krisis ekonomi yang lebih besar di tahun 2008. Jika krisis
ekonomi 1997 hanya berdampak ke negara-negara Asia, krisis ekonomi 2008
menerjang hampir seluruh negara di dunia.
Sejak dibentuknya ASEAN sebagai organisasi regional pada tahun 1967,
negara-negara anggota telah meletakkan kerja sama ekonomi sebagai salah satu
agenda utama yang perlu dikembangkan. Pada awalnya kerja sama ekonomi
difokuskan pada program pemberian preferensi perdagangan, usaha patungan, dan
skema saling melengkapi antar pemerintah negara-negara anggota maupun pihak
17
swasta di kawasan ASEAN. Dalam perkembangannya bahkan ASEAN juga
memiliki posisi tawar yang semakin meningkat dalam forum global semisal G-20
(Hermawan et al., 2011)
Ada isu yang dipandang perlu untuk menjadi prioritas Indonesia adalah
pembenahan ASEAN Secretariat, baik dari segi manajemennya yang perlu
dibedakan antara menjalankan peran administratif dengan fungsi seperti
commissioner layaknya di Eropa yang memiliki kewenangan dalam batas tertentu
sebagai organ tertinggi di ASEAN, maupun dari segi peningkatan anggaran.
Kerja sama Ekonomi Sub-Regional ASEAN
Pelaksanaan Kerja sama Ekonomi Sub-Regional (KESR) dilakukan untuk
mengambil manfaat dan saling melengkapi dalam mempercepat pembangunan
ekonomi melalui peningkatan arus investasi, pengembangan infrastruktur,
pengembangan sumber daya alam dan manusia, serta pengembangan industri.
Tujuan utama pembentukan sub-wilayah pertumbuhan adalah untuk memadukan
kekuatan dan potensi-potensi tiap-tiap wilayah yang berbatasan sehingga menjadi
wilayah pertumbuhan yang dinamis. Kerja sama ekonomi sub-regional, sering
juga disebut sebagai segitiga pertumbuhan (growth triangle) atau wilayah
pertumbuhan (growth area), merupakan salah satu bentuk keterkaitan (linkage)
ekonomi antar daerah dengan memiliki unsur internasional. Daerah anggota kerja
sama tersebut lebih dari satu negara
Dalam konteks ASEAN, sesuai dengan Agenda for Greater Economic
Integration, pembentukan KESR didasarkan pada prinsip keterbukaan dalam
pembangunan wilayah (open regionalism) dan bukan pada pembentukan blok
kawasan yang tertutup (building block). Berbagai kendala yang muncul dalam
perkembangan kerja sama growth areas ini menjadi feed back bagi kemajuan
skema pertumbuhan wilayah ini dan ASEAN terus mengupayakan inisiatifinisiatif baru dalam kerangka pengembangan kerja sama tersebut seperti
pembentukan ASEAN Mekong Basin Development Cooperation.
Kawasan Pertumbuhan ASEAN Bagian Timur: Brunei, Indonesia, Malaysia, dan
Filipina (BIMP-EAGA)
18
Ide pembentukan Wilayah Pertumbuhan ASEAN Timur (BIMP-EAGA)
pertama kali disampaikan oleh Presiden Filipina, Fidel Ramos pada bulan Oktober
1992 untuk menghubungkan daerah Filipina Selatan dengan Wilayah Timur
Indonesia dan Wilayah Timur Malaysia. Ide tersebut kemudian disampaikan
kepada PM Malaysia Mahathir Muhamad dan Presiden Soeharto. Kerja sama
BIMP-EAGA secara resmi dibentuk melalui penandatanganan Agreed Minutes
pada pertemuan tingkat menteri di Davao City, Filipina, 26 Maret 1994. BIMP
EAGA tersebut diikuti oleh empat negara di kawasan timur ASEAN yaitu Brunei
Darussalam, Indonesia (Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, dan Sulawesi
Utara), Malaysia (Sabah, Serawak, dan Labuan), dan Filipina (Mindanao dan
Palawan)
Kerja sama BIMP-EAGA dibentuk untuk menarik minat para investor lokal
dan asing untuk melakukan investasi dan meningkatkan perdagangan di kawasan
timur ASEAN. Tujuan pembentukan BIMP-EAGA adalah mengembangkan kerja
sama sub-regional antara negara-negara anggota dalam rangka meningkatkan
pertumbuhan ekonomi di sub-kawasan tersebut. Sektor kerja sama yang
diprioritaskan adalah transportasi udara dan laut, perikanan, pariwisata, energi,
kehutanan, pengembangan sumber daya manusia dan mobilitas tenaga kerja.
Untuk melibatkan pihak swasta secara aktif telah dibentuk forum khusus East
ASEAN Business Council (EABC) di Davao City 15-19 Nopember 1994.
Pembagian area kerja BIMP-EAGA digolongkan dalam beberapa cluster,
yaitu: cluster bidang transportasi dan pembangunan infrastruktur yang
membawahi air linkages, sea linkages,telekomunikasi dan konstruksi dengan
Brunei Darussalam sebagai koordinator; Cluster bidang sumber daya alam yang
terdiri atas agro-industry, perikanan, kehutanan dan lingkungan hidup serta
energi, dengan Indonesia sebagai koordinator; cluster pariwisata, dengan
Malaysia sebagai koordinator; dan cluster UKM dan finansial dengan Filipina
sebagai koordinator.
Pertemuan BIMP-EAGA Summit ke-3 di Cebu pada tanggal 12 Januari
2007 menghasilkan sebuah Joint Statement for 3rd BIMP-EAGA Summit yang
intinya antara lain menyepakati BIMP-EAGA Roadmap to Development yang
19
meliputi
percepatan
penerapan
flagship
projects,
pembuatan
database
perdagangan, investasi & pariwisata. Hal tersebut akan selaras dengan inisiatif
AEC dan bertujuan untuk memajukan proses integrasi ASEAN; menyepakati
peningkatan keterlibatan pihak swasta untuk berpartisipasi pada BIMP-EAGA
Business Council; menggerakkan sektor UKM bekerja sama dengan ADB serta
meningkatkan peran pemuda dalam kerja sama sosial budaya, riset, olahraga, dan
pendidikan.
Segitiga Pertumbuhan: Indonesia, Malaysia dan Thailand (IMT-GT)
Pembentukan Segitiga Pertumbuhan (Growth Triangle) IMT-GT dimulai
dengan pertemuan bilateral tingkat menteri dan pejabat tinggi di Pulau Langkawi,
Malaysia, 20 Juli 1993. Kerja sama segi tiga pertumbuhan tersebut melibatkan
tiga provinsi Indonesia yakni Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat; empat
negara bagian Malaysia yaitu Perak, Penang, Kedah, Perlis dan empat belas
provinsi Thailand Selatan.
Kerja
sama
pertumbuhan
tersebut
diharapkan
akan
mempercepat
pertumbuhan ekonomi dan memperlancar arus perdagangan, investasi, pariwisata,
dan jasa, serta membuka peluang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber
daya manusia secara optimal. Secara struktural mekanisme kerja sama IMT-GT
terbagi atas dua tingkatan, yaitu Sidang Pejabat Tinggi (Senior Officials MeetingSOM) dan Business Council Meeting (BCM). SOM terdiri dari pejabat-pejabat
tinggi pemerintah dari Departemen Perdagangan dan Perindustrian dan beberapa
anggota teras BCM. Sedangkan BCM terdiri dari pengusaha-pengusaha yang
terlibat dalam kegiatan IMT-GT. SOM melakukan pertemuan setahun sekali
dengan didahului pertemuan BCM. Hasil pertemuan BCM kemudian diajukan ke
SOM.
Pada KTT ke-12 ASEAN di Cebu telah diadakan pula KTT ke-2 IMT-GT
yang menyepakati sebuah Joint Statement of the 2nd IMT-GT Summit yang
intinya antara lain penetapan IMT-GT Roadmap for Development 2007-2011 dan
penetapan empat IMT-GT Economic Corridors (extended Songkhla-Penang-
20
Medan, Straits of Malacca, Banda Aceh-Palembang, Dumai-Melaka); mendorong
penguatan peran Swasta dan Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan kerja sama
IMT-GT; dukungan penguatan institusional IMT-GT; dan dukungan peran ADB
dalam IMT-GT.
2.2 Kerja Sama Pembangunan Selatan-Selatan dan Triangular
Kerja Sama Selatan-selatan dan Triangular (KSST) adalah salah satu aspek
penting dalam mendukung dan menguatkan kerja sama pembangunan, khususnya
antar negara berkembang. Secara umum, KSST telah menjadi kerangka penting
bagi negara berkembang dalam berbagi informasi, pengalaman dan pengetahuan
dalam pembangunan. Selama periode 2010-2014 dan sebelumnya, Indonesia
tercatat telah berperan aktif dalam kerja sama pembangunan dalam kerangka
KSST dengan kontribusi dana tidak kurang dari 49,8 juta USD. Kontribusi
tersebut mencakup 3 sektor: (1) Pembangunan; (2) Tata Kelola Pemerintahan dan
Perdamaian; (3) Ekonomi.
Evaluasi atas capaian dan hadirnya momentum untuk semakin menguatkan
peran Indonesia dalam kerja sama pembangunan melalui KSST adalah landasan
bagi proyeksi kebijakan sub bidang ini dalam periode 5 tahun ke depan (RPJMN
III 2015-2019) dengan penitikberatan pada tema pemantapan kelembagaan dan
koordinasi, kerangka regulasi dan perluasan peran pemangku kepentingan.
Dalam RPJMN II 2010-2014 disebutkan tiga permasalahan yang dihadapi
oleh KSS Indonesia: (1) belum adanya desain nasional yang komprehensif untuk
menjamin sinergi antara berbagai instansi terkait dalam pelaksanaan KSS; (2)
belum adanya entitas yang kuat untuk menangani KSS yang mampu
melaksanakan koordinasi secara terpadu; (3) perlunya identifikasi potensi
keunggulan yang dimiliki oleh Indonesia serta menetapkan prioritas bidangbidang yang dapat dikerja samakan dalam kerangka KSS. Selama periode 20102014 tiap aspek permasalahan tersebut telah mengalami kemajuan dan perbaikan.
Beberapa kemajuan berarti telah dicapai dalam periode 2010-2014 sebagai
berikut. Sebagai jawaban atas persoalan desain nasional, pemerintah telah
menyusun Rencana Induk KSST 2011-2025 dan Cetak Biru KSST 2011-2014.
21
Selanjutnya, sebagai jawaban atas persoalan belum adanya entitas yang kuat
untuk menangani KSST, pemerintah telah membentuk Tim Koordinasi
Pengembangan
KSST
(Tim
Koordinasi)
sebagai
satu-satunya
kerangka
institusional koordinasi penyelenggaraan KSST oleh pemangku kepentingan
terkait.
Terkait dengan permasalahan ketiga, dalam hal indentifikasi potensi
keunggulan yang dimiliki oleh Indonesia serta indentifikasi bidang-bidang yang
dapat dikerja samakan dalam kerangka KSST, dalam rencana induk dinyatakan 7
program prioritas dan dalam draf Cetak Biru 11 sektor dengan keunggulan
komparatif.
Tabel 1. Program Prioritas KSST
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Peningkatan kapasitas dalam demokrasi dan penanganan konflik
Peningkatan kapasitas dalam bidang perdagangan dan ekspor
Infrastruktur dan konstruksi
Keluarga berencana dan kesehatan reproduksi
Beasiswa negara berkembang
Peningkatan kapasitas dalam pengelolaan makroekonomi, keuangan publik
dan keuangan mikro
Peningkatan kapasitas dan pemberdayaan masyarakat
Tabel 2. Keunggulan Komparatif Indonesia dalam KSST
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
22
Pengentasan kemiskinan
Pertanian dan ketahanan pangan
Infrastruktur
Manajemen bencana dan perubahan iklim
Peningkatan kualitas sumber daya manusia
Tata kelola pemerintahan yang baik dan stabilitas keamanan
Pengembangan IPTEK
Pengembangan sosio-budaya
Manajemen makroekonomi dan keuangan publik
Keuangan mikro
Perdagangan, jasa dan investasi
2.3 Knowledge Sharing Hub
Gambar 1. Kerangka Kerja: Kerja Sama Pembangunan Internasional
Sumber: BAPPENAS
Dalam pelaksanaan Kebijakan Kerja sama Pembangunan, Indonesia
berpatokan kepada suatu Kerangka Kerja Kerja sama Pembangunan. Kebijakan
tersebut tersusun atas tiga pilar utama, yakni (a) Transfer Teknologi, (b) Perluasan
Investasi pada Sektor Swasta, serta (c) Kerja sama Internasional termasuk
didalamnya Kerja sama Selatan-Selatan dan Triangular. Ketiga pilar tersebut
bersifat saling menunjang satu samalain terutama dalam konteks meningkatnya
status Indonesia sebagai Middle Income Country (MIC).
Selama ini terdapat paradigma yang kuat terkait kerja sama pembangunan,
yakni selalu mengenai transfer uang, teknologi, dan solusi dari negara maju ke
negara berkembang.
Hal tersebut telah mulai mengalami pergeseran dengan
mulai bangkitnya paradigma bahwa solusi pembangunan dapat datang dari mana
saja –Utara, Selatan, Timur, dan Barat– dan semakin sering datang dari negaranegara berkembang melalui skema Kerja sama Selatan-Selatan dan Triangular
(KSST). Berbagai solusi tersebut datang dari negara-negara dan kawasan-kawasan
yang pernah dihadapkan dengan masalah tersebut dan mampu menyelesaikannya.
Banyak di antara negara-negara tersebut yang telah mencapai pertumbuhan
23
ekonomi dan kemajuan sosial. Terdapat keinginan untuk berbagi pengalaman dan
pengetahuan (knowledge sharing) dalam pembangunan.
Knowledge sharing merupakan inisiatif Indonesia yang merupakan platform
untuk menjembatani negara-negara berkembang saling belajar dan memfasilitasi
proses pembelajaran dari pengalaman negara lainnya dalam menyelesaikan
berbagai isu pembangunan. KSST merupakan instrumen penting untuk
mengimplementasikan knowledge sharing. Mekanisme ini dikembangkan dengan
melibatkan sektor swasta dan organisasi masyarakat sipil sehingga mekanisme
kerja sama ini dapat mendukung pencapaian sasaran-sasaran pembangunan
dengan lebih efektif. Dalam hal ini Knowledge Sharing merupakan elemen
penting untuk peningkatan efektivitas pembangunan, melalui pembelajaran best
practice on development, baik yang bersifat internasional, yaitu dari negara maju
kepada negara berkembang atau antar sesama negara berkembang, serta dalam
kerangka peningkatan kapasitas di dalam negeri, yaitu dari tingkat pusat kepada
tingkat daerah, ataupun pertukaran pembelajaran dari sesama tingkat daerah.
Dinamika pembangunan internasional telah berubah drastis termasuk
munculnya kekuatan – kekuatan ekonomi baru dari wilayah Selatan. The 4th High
Level Forum on Aid Effectiveness di Busa pada tahun 2011 berkontribusi terhadap
konstruksi kerja sama pembangunan yang komprehensif dengan menggabungkan
berbagai macam aktor baik aktor negara maupun non negara. Tren penting lainnya
adalah meningkatnya kepentingan akan skema kerja sama triangular, melalui
donor tradisional dan partner institusional, seperti organisasi internasional dan
berdampingan dengan negara – negara selatan untuk keuntungan dari negara
ketiga.
Adapun beberapa hasil yang diharapkan untuk tercapai dengan adanya
wadah knowledge sharing tersebut antara lain:
 Aktor baru dalam dapat belajar dari pengalaman aktor – aktor yang telah
lebih dahulu aktif.
 Memperlihatkan contoh – contoh sukses KSST termasuk refleksi dari
tantangan yang dihadapi.
 Memperlihatkan aksi sukarela dari partner selatan – selatan untuk mencapai
tujuan dan prinsip pertemuan Busan.
24
 Mengidentifikasi jumlah isu tematik dalam kerangka kerja post-2015,
dimana KSST dapat memberikan nilai tambahan.
Salah satu mekanisme penting untuk mendukung efektivitas pembangunan
adalah Knowledge Sharing (KS) antar negara berkembang. Indonesia memiliki
beberapa keuntungan komparatif yang dapat memungkinkan inisiatif Knowledge
Sharing untuk ditingkatkan. Beberapa tujuan konkret dengan adanya pelaksanaan
inisatif Knowledge Sharing tersebut antaralain:
 Pemahaman yang lebih baik dalam level politik mengenai pentingnya KS
sebagai salah satu pilar krusial dari kerja sama pembangunan dan
bagaimana hal tersebut dapat berkontribusi dalam pencapaian tujuan MDGs
dan Post 2015 Development Agenda.
 Memperlihatkan contoh relevan negara yang terjalin dalam KSST dalam
topik-topik yang sesuai dengan Agenda Post 2015, termasuk presentasi dari
negara-negara emerging economies dan diskusi mengenai kesuksesan dan
tantangannya.
 Membantu perkembangan pemahaman mengenai syarat politik dan
institusional yang dibutuhkan untuk KS yang sukses dalam di tingkat
negara.
 Mengumumkan peningkatan KS dalam 3–5 area topik pilihan dalam
Agenda post 2015.
 Peningkatan kontribusi dari sektor swasta dan organisasi filantropi untuk
mendukung pembangunan melalui KS.
Adapun beberapa hasil yang hendak dicapai dengan dilaksanakannya
inisiatif Knowledeg Sharing tersebut antaralain:
 Identifikasi bagaimana KS dapat ditingkatkan di beberapa area tematik
dalam Agenda Post 2015.
 Mendiskusikan mengenai peran dan memperlihatkan contoh sukses dari
kebijakan KS dan kerangka kordinasi institusional: kebijakan pembangunan
nasional dan pentingnya untuk meningkatkan country led knowledge hub
dalam KSST dan KS yang masih menjadi agenda penting bagi banyak
25
negara, terutama MICs, dalam wilayah seperti perlindungan sosial,
manajemen bencana, perubahan iklim, dan agrikultur tropis, dan kesehatan
publik.
 Mengidentifikasi dan menunjukkan praktik inovatif dalam KS.
Di samping bantuan teknis yang disalurkan oleh Indonesia melalui KSST,
pemerintah Indonesia juga berkontribusi pada pengembangan The South-south
Experience Exchange Facility Bank Dunia. Fasilitas Selatan Selatan adalah suatu
multi-donor trust fund yang dibentuk sejak Oktober 2008 untuk memfasilitasi
sharing pengalaman di antara negara-negara klien Bank Dunia. Pertukaran
pengalaman diselenggarakan atas dasar permintaan negara penerima bantuan
(recipient) dan dirancang khusus dengan target tertentu yang hasilnya kemudian
dimasukan dalam suatu online knowledge library. Fasilitas Selatan-selatan ini
terdiri dari partner-partner unik termasuk dari middle income countries seperti
China, Denmark, Meksiko, Belanda, Spanyol, Inggris, India, Rusia dan Kolumbia.
Indonesia direncanakan bergabung dalam multi-donor trust fund ini pada tahun
2013.
Dalam laporan World Bank Institute, Indonesia tercatat telah aktif dalam
South-south Facility Exchanges, sejumlah lima kali sebagai provider dan dua kali
sebagai receiver. Sebagai contoh, Indonesia tercatat aktif bersama-sama dengan
Brazil dan Meksiko dalam program pengentasan kemiskinan ekstrim (Tackling
Extreme Poverty) di Bolivia dengan total pendanaan sebesar 77.200 USD dalam
kurun waktu 3 April 2009 hingga 31 Oktober 2010.
Program ini telah memberikan bekal pengetahuan dan skill kepada para
perencana pembangunan di Bolivia untuk merancang dan mengimplementasikan
program-program sosial yang vital dan paling diperlukan masyarakat yang paling
membutuhkan. Indonesia bersama-sama dengan China terlibat dalam program
Empowering local governments and reducing regional disparity: learning from
China and Indonesia atas permintaan India pada periode 2 Agustus 2011 hingga
30 Juni 2012 dengan hibah sebesar USD 18.559. Indonesia juga terlibat aktif
bersama-sama dengan Afrika Selatan, Rwanda dan Macedonia dalam kegiatan
resolusi konflik di Nepal (Nepal: Understanding Experiences in post Conflict
26
State building from South Africa, Rwanda and Indonesia) dengan hibah sebesar
116.015 USD pada periode 22 Mei 2009 hingga 31 Maret 2010.
Indonesia menjadi providing country dalam kegiatan Haiti Community
Driven Development Housing Reconstruction Knowledge Exchange di Haiti
dengan dana hibah sebesar USD 39.691 di tahun 2011. Melalui kegiatan ini,
delegasi dari Kementerian Perencanaan Haiti mengunjungi tiga propinsi di
Indonesia untuk melihat sendiri projek-projek rekonstruksi pasca bencana. Dalam
kegiatan ini delegasi mempelajari konsep gotong royong swadaya (community
self-help) yang telah menjadi prinsip dalam pembangunan berbasis masyarakat;
pentingnya kepemimpinan nasional dan lokal yang kuat untuk menyusun rencana
bagi proses pembangunan kembali pasca bencana; pentingnya sense of ownership;
kemampuan koordinasi dan monitoring bantuan global, pencegahan korupsi
dalam projek-projek rekonstruksi. Delegasi juga belajar bagaimana mereka dapat
melakukan upgrade infrastruktur dan pelayanan masyarakat di Haiti.
Indonesia menjadi providing country bagi South-South Facility Grants
untuk beberapa kegiatan yang diselenggarakan di beberapa negara berkembang.
Indonesia menyediakan hibah untuk kegiatan “Knowledge and Experience
Exchange between Indonesia and Vietnam on Output and Results based Approach
for Local Government Programs” atas permintaan Vietnam, yang disetujui pada
21 Agustus 2012 dan berakhir pada 28 Februari 2013 dengan jumlah hibah
sebesar USD 30.000.
Sebagai bukti komitmen Indonesia sebagai middle-income country,
Indonesia berkomitmen untuk menjadi partner dalam multidonor trust fund ini.
Pada tahun 2012, Indonesia menyepakati untuk memberi kontribusi sebesar USD
1,5 juta ke Bank Dunia melalui South-south Exchange Facility. Janji ini telah
disampaikan dalam High Level Meeting di Bali pada bulan Juli 2012 dan telah
tercatat dalam laporan tahunan Bank Dunia: “Indonesia has also expressed
interest in becoming a Partner in 2013 with a contribution of $1.5 million in
2014.”
27
BAB III
METODOLOGI DAN PENDEKATAN
3.1 Metode
Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah metode kualitatif deskriptif.
Hal ini didasarkan pada tujuan kajian untuk memetakan arah dan tantangan kerja
sama pembangunan internasional Indonesia. Penelitian deskriptif menurut
Zulganef (2008) adalah “penelitian yang bertujuan menggambarkan suatu kondisi
atau fenomena tertentu, tidak memilah-milah atau mencari faktor-faktor atau
variabel tertentu.” Adapun studi yang mencoba melihat dan memetakan faktorfaktor tertentu dalam tema kerja sama pembangunan internasional Indonesia
diantaranya adalah Hastiadi dan Nasrudin (2013) dan Muhibat et al. (2014).
“Riset yang bersifat paparan ini ditujukan untuk mendeskripsikan hal-hal
yang ditanyakan dalam riset, seperti: siapa, yang mana, kapan, di mana dan
mengapa” (Umar, 2002:40). Dengan definisi tersebut, tujuan dari kajian ini akan
dapat dicapai dengan baik. Desain penelitian deskriptif ini umumnya dapat
menggunakan metode studi kasus, tindak lanjut, analisis isi, kecenderungan atau
korelasional (Umar, 2002). Untuk itu, dalam studi ini akan dipergunakan analisis
isi dan studi kasus. Merujuk pada Hastiadi dan Nasrudin (2013) dan Muhibat et
al. (2014) studi kasus tentang KSST dan implementasi kerja sama pembangunan
internasional di tingkat kawasan adalah hal yang dianggap tepat dalam studi ini.
3.2 Jenis Sumber Data
Terdapat dua jenis data yang digunakan dalam kajian ini, yaitu:
1.
Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung oleh peneliti. Dalam
kajian ini data primer diperoleh melalui wawancara dan diskusi langsung
dengan narasumber di beberapa institusi yang ditetapkan sebagai lingkup
sampel yaitu: Bappenas, Kementerian Keuangan, Kementerian Luar Negeri
dan pakar (Universitas).
28
2.
Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari hasil penelitian orang
lain maupun literatur. Studi kepustakaan dilakukan guna memperoleh data
sekunder yang mendukung penelitian.
Teknik wawancara dan diskusi langsung dipergunakan dalam studi ini
karena menurut Hasan (2002) paling tidak terdapat 3 hal yang menjadi kekuatan
metode wawancara. Pertama, mampu mendeteksi kadar pengertian subjek
terhadap pertanyaan yang diajukan. Jika responden tidak mengerti bisa
diantisipasi oleh interviewer dengan memberikan penjelasan. Kedua, bersifat
fleksibel, pelaksanaanya dapat disesuaikan dengan kondisi masing-masing
responden. Ketiga, menjadi stu-satunya hal yang dapat dilakukan disaat tehnik
lain sudah tidak dapat dilakukan. Dalam hal ini, dokumentasi literatur ilmiah
tentang kerja sama internasional yang berasal dari sumber utama masih sangat
terbatas, dan untuk itu teknik wawancara dan diskusi terarah menjadi pilihan
metodologi yang tepat.
29
BAB IV
HASIL DAN ANALISIS
4.1 Menggali kesempatan dalam forum kerja sama global dan Kawasan
Peran konstruktif dan kepemimpian Indonesia semakin diakui di kancah
internasional. Saat ini, Indonesia merupakan kekuatan ekonomi yang semakin
meningkat, demokrasi yang dinamis, negara terkemuka dalam Perhimpunan
negara-negaradi Asia Tenggara (ASEAN), Kerja sama Ekonomi Asia Pasifik
(APEC) dan anggota dari G20. Pertumbuhan ekonomi Indonesia berkontribusi
pada penurunan angka kemiskinan tahunan sebesar hampir 6 persen dalam lima
tahun terakhir (SEADI, 2013).
Bagi Indonesia keterlibatan ini merupakan sebuah wadah yang jika
dioptimalisasi
maka
Indonesia
dapat
mencapai
kepentingan-kepentingan
nasionalnya. Namun Indonesia juga memahami posisi unik dan tanggung jawab
vitalnya untuk mewakili negara-negara berkembang. Pertama, Indonesia
merupakan salah satu negara berkembang yang karena pertumbuhan ekonominya
tercatat cukup tinggi di antara negara-negara berkembang lainnya dimasukkan
dalam kategori emerging economy. Tentu saja bisa ditambahkan bahwa Indonesia
adalah salah satu negara berkembang yang di masa lalu pernah terpuruk oleh
krisis ekonomi dan kini telah berhasil mengatasinya dengan relatif baik.
Indonesia berupaya mengatasi tantangan dalam negeri dan pada saat yang
sama memainkan peran penting di panggung pembangunan dunia. Selain menjadi
anggota G20, Indonesia adalah ketua Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC)
tahun 2013, ketua Dana Global untuk Memerangi AIDS, Tuberkulosis,dan
Malaria (GF), dan salah satu ketua panel tingkat tinggi untuk Agenda
Pembangunan Pasca 2015. Negara berpenghasilan menengah seperti Indonesia,
yang merupakan donor dan penerima bantuan, memperlihatkan perspektif yang
unik tentang pengalaman pembangunan, dan memainkan peran yang semakin
penting dalam kampanye global untuk mencapai Tujuan Pembangunan Milenium.
Delapan Tujuan Pembangunan Milenium yaitu menurunkan kemiskinan ekstrim
30
hingga separuhnya sampai dengan menghentikan penyebaran HIV/AIDS,
penanganan berbagai permasalahan lingkungan, dan menyediakan pendidikan
dasar untuk semua telah menjadi tonggak penting dalam upaya pembangunan
global dan nasional Indonesia. Kemitraan global dalam pembangunan semakin
berfokus pada solidaritas dan kerja sama antar negara. Dengan semakin dekatnya
tenggat waktu pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium yang akan berakhir
pada tahun 2015, Indonesia turut membantu upaya internasional menentukan
tonggak kemajuan melalui kepemimpinannya dalam proses penyusunan agenda
pembangunan pasca 2015.
Pada ketiga forum tersebut maupun forum internasional lainnya, Indonesia
berhasil mengembangkan diri sebagai negara terkemuka dalam mengatasi
tantangan pembangunan global yang mempengaruhi kemakmuran dalam negeri.
Bahkan, Indonesia saat ini sudah mulai meningkatkan bantuan kepada negara lain.
Selain itu, Indonesia ingin mencapai "daya saing ekonomi dari sumber daya alam
terus meningkat, sumber daya manusia yang lebih baik, dan peningkatan
kemampuan untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi" pada tahun 2020
(Bappenas, 2007, hal. 33).
Berkenaan dengan hal tersebut, tantangan terbesar bagi Indonesia adalah
memanfaatkan keberadaannya di forum-forum global tersebut sebesar-besarnya
untuk kepentingan bangsa.
Pemerintah Republik Indonesia saat ini telah
melakukan kerja sama pembangunan internasional, dimana kerja sama tersebut
merupakan salah satu bagian dari pelaksanaan pembangunan nasional.
Pembangunan nasional Indonesia sampai dengan tahun 2025 telah direncanakan
melalui Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025
yang dibagi ke dalam empat periode Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN), yaitu RPJMN 2005-2009, RPJMN 2010-2014, RPJMN 20152019 dan RPJMN 2020-2025.
Melihat dampak komitmen yang diambil indonesia dalam forum kerja sama
Global
Dalam Global Partnership for Effective Development Cooperation
(GPEDC),
seiring dengan semakin besarnya peranan dari negara-negara
31
berpendapatan menengah dalam hal kerja sama pembangunan internasional,
GPEDC memberikan ruang diskusi yang cukup terbuka. Namun permasalahannya
adalah negara-negara berpendapatan menengah tersebut memiliki agenda dan
kepentingan yang berbeda yang pada gilirannya menghambat pekembangan dari
GPEDC itu sendiri. Berangkat dari masalah ini, maka Indonesia perlu
mendefinisikan lagi kepentingan domestiknya dan bagaimana bisa membawa
kepentingan tersebut ke ruang diskusi yang lebih luas pada GPEDC sementara
pada sisi yang lain juga mengakomodasi kepentingan dari negara-negara lainnya
yang tergabung dalam GPEDC.
Berdasarkan Busan Outcome Document, GPEDC memiliki empat (4)
mandat, yaitu: (i) mempertahankan dan memperkuat momentum politik untuk
kerja sama pembangunan yang lebih efektif, (ii) memastikan akuntabilitas untuk
melaksanakan Komitmen Busan, (iii) memfasilitasi knowledge and sharing of
lesson learned, dan (iv) mendukung pelaksanaan Busan Commitment pada tingkat
negara (country level).
Dalam
memenuhi
mandatnya,
GPEDC
diharapkan
dapat
menjadi
mekanisme untuk menjaga momentum politik melanjutkan agenda pembangunan
post-2015. Dalam memnuhi mandat tersebut, terdapat tiga (3) peran utama yang
dimainkan oleh forum GPEDC, yaitu: (i) meningkatkan kerja sama antar
development stakeholders untuk meningkatkan dampak positif dari kerja sama
pembangunan; (ii) GPEDC merupakan instrumen “How” untuk membantu
pencapaian Millenium Development Goals dan Post 2015 Development Agenda
sebagai “What”; dan (iii) Melalui partnership akan dapat membantu perbaikan
dari pendanaan kerja sama pembangunan baik, yang melalui pendanaan dari
donor tradisional, maupun pembiayaan pembangunan yang inovatif.
Untuk itu GPEDC diharapkan dapat bekerja dengan memanfaatkan platform
kerja sama pembangunan yang telah ada seperti Forum Kerja sama Pembangunan
(UN-DCF), dan proses yang berjalan di PBB lainnya, misalnya Open Working
Group on Sustainable Development, serta G20 Development Working Group
(DWG).
32
Selain daripada itu Berdasarkan Busan Outcome Document, beberapa
prinsip yang telah disepakati yang sejalan dengan berbagai komitmen
internasional yang diantaranya tentang tentang hak asasi manusia, pekerjaan yang
layak, kesetaraan gender, kelestarian lingkungan yang menjadi fondasi kerja sama
pembangunan antara lain:
 Kepemilikan oleh negara-negara berkembang
Kemitraan untuk pembangunan hanya dapat berhasil jika dipimpin oleh
negara-negara berkembang, menerapkan pendekatan yang disesuaikan
dengan situasi dan kebutuhan khusus masing-masing negara.
 Fokus pada hasil
Tiap upaya Global Partnership harus memiliki dampak nyata dalam
memberantas kemiskinan dan mengurangi kesenjangan dan meningkatkan
pengembangan kapasitas negara yang sejalan dengan prioritas dan kebijakan
yang ditetapkan oleh negara-negara berkembang sendiri.
 Kemitraan pembangunan yang inklusif
Keterbukaan, kepercayaan, dan saling menghormati dan belajar merupakan
inti dari kemitraan yang efektif dalam mendukung tujuan pembangunan
serta mengakui peran masing-masing aktor yang berbeda dan saling
melengkapi
 Transparansi dan akuntabilitas satu sama lain
Akuntabilitas dan pertanggungjawaban kepada penerima bantuan. Praktik
transparansi membentuk dasar untuk peningkatan akuntabilitas.
Adapun koridor-koridor area kerja GPEDC yang telah disepakati antaralain:
 Fokus pada mandat Global Partnership.
Global Partnership fokus terhadap mandat: 1) mempertahankan dan
memperkuat momentum politik untuk kerja sama pembangunan yang lebih
efektif, 2) memastikan akuntabilitas untuk melaksanakan Komitmen Busan,
3) memfasilitasi knowledge and sharing of lesson learned, 4) mendukung
pelaksanaan komitmen di Busan pada tingkatan negara.
 Mendukung agenda pembangunan global.
Aspek substansial Global Partnership akan sejalan dengan pembahasan
dalam Panel Tingkat Tinggi (High Level Panel) pasca MDGs 2015 dan
33
Kelompok Kerja Antar Pemerintah SDG. Oleh karena itu, diskusi harus
memberikan kontribusi dan dukungan untuk diskusi substansial dalam
forum yang ada dan alat-alat untuk mencapai agenda pembangunan global.
 Melengkapi forum pembangunan global lainnya.
Global Partnership diharapkan dapat melengkapi forum pembangunan yang
ada seperti HLP dan G-20. Global Partnership akan digunakan sebagai
mekanisme untuk mendukung tujuan pembangunan yang dibahas dalam
forum pembangunan global.
Peran Indonesia dalam forum Global Partnership relatif penting mengingat
Indonesia yang diwakili oleh Menteri Armida Alisjahbana adalah salah satu dari
tiga Co-Chairs GPEDC selain Menteri Justine Greening dari Inggris dan Menteri
Ngozi Okonjo-Iweala dari Nigeria. Oleh karena itu posisi Indonesia sangat
strategis untuk memberikan arahan dan kontribusi dalam menentukan arah
program forum GPEDC guna memecahkan permasalahan efektifitas bantuan.
Selain itu karakteristik unik Indonesia yang merupakan negara donor sekaligus
penerima bantuan dapat dijadikan modal untuk memberikan previlige yang lebih
besar dalam memperkuat pengaruh di forum tingkat global ini yang pada akhirnya
dapat memberikan keuntungan dalam menjalankan kepentingan nasional.
Indonesia selalu menekankan pentingnya Kebersamaan serta Kemitraan.
Indonesia memiliki pandangan bahwa tantangan-tantangan pembangunan yang
kian kompleks tidak akan dapat diatasi oleh sekelompok negara saja, atau oleh
sekelompok
organisasi
internasional/regional
saja.
Sehingga
diperlukan
komitmen, kesepakatan, dan proses interaksi seluruh unsur pembangunan yang
dapat memperkuat sinergi dan kerja sama untuk meningkatkan efektivitas
pembangunan (development effectiveness). Prinsip ini telah tercermin dalam
elemen-elemen concept notes yang telah disusun, sebagai contoh: peran swasta
dalam
pembangunan,
yang
merupakan
bentuk
kebersamaan
antara
pemerintah/publik dan sektor swasta dalam mendukung pembangunan, DRM
untuk meningkatkan sumber pendanaan dalam negeri, kerja sama selatan-selatan
dan triangular yang merupakan interaksi negara-negara berkembang dalam upaya
saling memperbaiki sistem pembangunan, serta Knowledge Sharing melalui
34
pembelajaran international best practice on development baik antara negara maju
kepada negara berkembang maupun antar sesama negara berkembang.
HLM-1 GPEDC telah mempertegas prinsip insklusivitas dalam mendukung
agenda pembangunan pasca-2015, dan perlunya aksi nyata untuk mendukung
pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. Pertemuan tersebut memiliki arti
penting karena akan menjadi forum persiapan dipertemukannya upaya perumusan
Post MDG 2015 sebagai “the what” oleh the Open Working Group of the UN dan
GPEDC sebagai lembaga “the how” dari SDG (Sustainable Development Goals)
pasca 2015.
Sekjen Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) Ban Ki-moon sangat mendukung
pelaksanaan pertemuan tingkat tinggi ini karena GPEDC merupakan enabler bagi
pencapaian agenda pembangunan pasca 2015.
GPEDC merupakan complementary bagi pencapaian sasaran pembangunan
pasca-2015 sehingga ke depan akan lebih bersinergi dengan forum kerja sama
pembangunan seperti UNDCF dan UNDESA. Lebih jauh, HLM-1-GPEDC ini
akan menjadi masukan bagi sidang umum PBB pada tahun 2014 terutama terkait
“means of implementation” dalam konteks proses intergovernmental penentuan
agenda pembangunan global pasca-2015, terutama dengan adanya peran aktif
Indonesia.
Terkait dengan green growth, Indonesia memiliki isu besar dalam hal
eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan. Hal ini tentu akan mencederai
prinsip-prinsip yang ada dalam Global Green Growth Institute (GGGI) dalam hal
mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Hal ini juga terait dengan
pencapaian target-target Indonesia dalam kerangka post MDGs. Permasalahan lain
yang juga masih harus dicari solusi praktisnya adalah dalam hal inovasi
pembiayaan
untuk
mencapai
target-target
tersebut
dan
pembentukan
intergovernmental expert untuk memberikan professional assessment sebagai
sarana monitoring dan evaluasi dari target-target tersebut. Target eksplisit yang
harus dipenuhi sebagaimana diamanahkan oleh High Level Panel on the Post2015 Development Agenda Pada tanggal 30 Mei 2013 adalah sebagai berikut:
35
i. Mengakhiri kondisi kemiskinan ekstrim (extreme poverty);
ii. Fokus pada pembangunan berkelanjutan dengan mengintegrasikan aspek
sosial, ekonomi dan lingungan dalam membangun dimensi holistik dari
keberlanjutan;
iii. Mencapai pertumbuhan ekonomi yang inklusif;
iv. Membangun institusi yang efektif dan terbuka aksesnya bagi semua orang;
v. Menciptakan
kemitraan
global
yang
berlandaskan
prinsip-prinsip
pembaharuan yaitu pembaharuan solidaritas, kerja sama dan akuntabilitas
bersama.
Knowledge Sharing sebagai agenda global
Gambar 2. Knowledge Sharing in Internasional Development Agenda
Framework
Sumber: BAPPENAS
Dalam forum GPEDC secara khusus Indonesia mengangkat pentingnya
perkuatan Knowledge Sharing sebagai unsur vital bagi peningkatan efektivitas
pembangunan. Dalam konteks ini Knowledge Sharing diarahkan sebagai
aktualisasi dari konsep Beyond Aid. Selama ini pembangunan pada negara-negara
berkembang lebih berupa Aid Driven dimana mereka lebih bertindak sebagai
resipien pasif. Konsep Beyond Aid mendorong negara-negara berkembang untuk
36
menjadi pelaku aktif pembangunan dengan pembekalan peningkatan kapasitas
yang diberikan sebelumnya.
Knowledge Sharing merupakan elemen penting untuk peningkatan
efektivitas pembangunan, melalui pembelajaran best practice on development,
baik yang bersifat internasional, yaitu dari negara maju kepada negara
berkembang atau antar sesama negara berkembang, serta dalam kerangka
peningkatan kapasitas di dalam negeri, yaitu dari tingkat pusat kepada tingkat
daerah, ataupun pertukaran pembelajaran dari sesama tingkat daerah.
Untuk itu Indonesia mendorong pembentukan mekanisme Knowledge
Sharing
yang
lebih
terstruktur
dan
institutionalized
untuk
dapat
diimplementasikan pada tingkat nasional di masing-masing negara melalui contoh
pengembangan Country Led Knowledge Hub (CLKH), sebagai tindak lanjut dari
1st High Level Meeting “Towards CLKH” pertama yang diselenggarakan di Bali,
10-12 Juli 2012, dan dibuka oleh Bapak Wakil Presiden RI.
Dalam pertemuan Meksiko, Indonesia telah mendapatkan dukungan dan
pengertian akan pentingnya Knowledge Sharing dalam meningkatkan efektivitas
pembangunan (development effectiveness), yang tidak hanya mencakup sumber
informasi dari negara maju (North-South) saja, tapi juga sumber informasi dari
negara berkembang (South-South dan South-North). Indonesia juga mendukung
pengembangan knowledge sharing pada tingkat negara melalui pengembangan
CLKH, sesuai dengan pertemuan tingkat tinggi (HLM) “Toward Country Led
Knowledge Hub” pertama yang diadakan di Bali pada tahun 2012, dan pertemuan
kedua di Korea Selatan pada tahun 2014 ini. Dengan peran unik dalam knowledge
sharing dan khususnya pengembangan CLKH ini, Indonesia diharapkan dapat
meningkatkan perannya dalam kerja sama selatan-selatan, yang pada gilirannya
akan meningkatkan peran Indonesia dalam kerja sama pembangunan internasional
37
Gambar 3. Knowledge Sharing Capacity
Sumber: BAPPENAS
Dalam pengembangan kapasitas Knowledge Sharing, terdapat dua dimensi
yang perlu diperhatikan, yakni dimensi institusional serta dimensi teknis yang
dijabarkan sebagai berikut:
Dimensi Institusional (Enabling Environment)
1.
Kepemimpinan dan Budaya:
 Kepemimpinan yang dapat mendorong pelaksanaan seluruh program dan
kegiatan yang mendukung kultur knowledge sharing.
 Insentif untuk para pelaku knowledge sharing.
 Proses manajemen perubahan yang berorientasikan knowledge sharing.
2.
Tata Kelola, Keahlian, dan Sistem
 Pengorganisasian dalam mengadopsi knowledge sharing.
 Peranan dan perangkat keahlian yang dibutuhkan.
 Tugas, funsi dan tanggung jawab yang berorientasikan knowledge sharing.
3.
Pendanaan
 Pengaturan budget untuk pelaksanaan proses knowledge sharing.
 Model bisnis yang dapat menunjang pemasukan dana.
38
4.
Kemitraan
 Upaya-upaya untuk mengembangkan jejaring (network) serta partner
dalam knowledge sharing pada tataran wilayah Timur Indonesia.
Dimensi Teknis (Keahlian Teknis)
1.
Identifikasi dan Penangkapan
 Insitusi/organisasi memahami pengetahuan yang layak untuk di-share.
 Mekanisme dalam mengidentifikasi, menangkap dan melakukan validasi
pembelajaran (lessons learned) dan pengalaman operasionalisasi.
2.
Produk Pengetahuan dan Pembelajaran
 Pemanfaatan pengalaman dan pembelajaran (lesons learned) sebagai dasar
bagi evidence based learning materials dan komunikasi yang efektif.
3.
Knowledge Sharing
 Mekanisme yang dianggap efektif untuk knowledge sharing pada tataran
internal maupun eksternal.
 Sistem, alat, dan proses yang digunakan untuk mendorong knowledge
sharing.
4.
Pemantauan dan Evaluasi
 Mekanisme pemantauan (monitoring) dan evaluasi secara sistematis upaya
knowledge sharing / replikasi praktik cerdas yang telah dilakukan.
 Feedback chanels apa saja yang dapat memastikan adopsi dari pengalaman
operasional.
4.2
Pilot Project dari program Knowledge Sharing
4.2.1 Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
BNPB melaksanakan knowledge sharing pilot project bidang kebencanaan
dengan dilatarbelakangi oleh HLM-1 CLKH yang dilaksanakan di Bali pada
tahun 2012. Selanjutnya Tim Kornas KSST mengusulkan supaya tema
penanggulangan bencana BNPB dipresentasikan dalam HLM-2 CLKH di Seoul
pada tahun 2014 sebagai tindak lanjut pertemuan HLM-1 CLKH di Bali.
Sehubungkan dengan hal tersebut, BNPB mencanangkan visi sebagai center of
39
excellence dan institusi knowledge sharing yang menyediakan solusi manajemen
bencana yang inovatif dan efektif dalam bidang manajemen bencana pada tingkat
nasional, regional, maupun global.
Dalam proses mencapai visi tersebut, secara jangka panjang BNPB saat ini
lebih berfokus kepada penguatan knowledge hub tingkat nasional (CLKH) dengan
BPBD yang berjumlah lebih dari 400 serta mitra lokal sebagai ujung tombak
dalam menangani mitigasi bencana. Dalam mendorong upaya tersebut, berbagai
progam untuk menudukung BPBD telah dilakukan dengan pengembangan
program distance learning dari Pusdiklat BNPB di Sentul sebagai salah satu
contoh. Selain itu BNPB berpandangan bahwa riset adalah inti dari knowledge
sharing sehingga dalam pelaksanaan knowledge project road map, BNPB telah
menjalin kerja sama dengan 12 universitas lokal dalam melakukan riset-riset
bidang kebencanaan dengan tujuan utama pembentukan Pusat Pengetahuan
Bencana pada tahun 2015-2019.
4.2.2 Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)
PNPM Mandiri adalah program nasional penanggulangan kemiskinan
terutama yang berbasis pemberdayaan masyarakat. PNPM Mandiri adalah
program nasional dalam wujud kerangka kebijakan sebagai dasar dan acuan
pelaksanaan
program-program
penanggulangan
kemiskinan
berbasis
pemberdayaan masyarakat. PNPM Mandiri dilaksanakan melalui harmonisasi dan
pengembangan sistem serta mekanisme dan prosedur program, penyediaan
pendampingan dan pendanaan stimulan untuk mendorong prakarsa dan inovasi
masyarakat dalam upaya penanggulangan kemiskinan yang berkelanjutan.
Pelaksanaan PNPM Mandiri berawal tahun 2007 dimulai dengan Program
Pengembangan Kecamatan (PPK) sebagai dasar pengembangan pemberdayaan
masyarakat di perdesaan beserta program pendukungnya seperti PNPM Generasi,
Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) sebagai dasar bagi
pengembangan pemberdayaan masyarakat di perkotaan, dan Percepatan
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK) untuk pengembangan
daerah tertinggal, pasca bencana, dan konflik.
40
Mulai tahun 2008 PNPM Mandiri diperluas dengan melibatkan Program
Pengembangan
Infrastruktur
Sosial
Ekonomi
Wilayah
(PISEW)
untuk
mengintegrasikan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dengan daerah sekitarnya.
PNPM Mandiri diperkuat dengan berbagai program pemberdayaan masyarakat
yang dilaksanakan oleh berbagai departemen/sektor dan pemerintah daerah.
Adapun salah satu komponen terbesar dari PNPM tersebut adalah PNPM
Mandiri Pedesaan yang merupakan salah satu mekanisme program pemberdayaan
masyarakat yang digunakan PNPM Mandiri dalam upaya mempercepat
penanggulangan kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja di wilayah
perdesaan. Program pemberdayaan masyarakat ini dapat dikatakan sebagai
program pemberdayaan masyarakat terbesar di tanah air. Dalam pelaksanaannya,
program ini memusatkan kegiatan bagi masyarakat Indonesia paling miskin di
wilayah perdesaan. Program ini menyediakan fasilitasi pemberdayaan masyarakat/
kelembagaan lokal, pendampingan, pelatihan, serta dana Bantuan Langsung untuk
Masyarakat (BLM) kepada masyarakat secara langsung. Besaran dana BLM yang
dialokasikan sebesar Rp750 juta sampai Rp3 miliar per kecamatan, tergantung
jumlah penduduk.
Dalam PNPM Mandiri Perdesaan, seluruh anggota masyarakat diajak
terlibat dalam setiap tahapan kegiatan secara partisipatif, mulai dari proses
perencanaan, pengambilan keputusan dalam penggunaan dan pengelolaan dana
sesuai kebutuhan paling prioritas di desanya, sampai pada pelaksanaan kegiatan
dan pelestariannya.
Pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan berada di bawah binaan Direktorat
Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD), Kementerian Dalam
Negeri. Program ini didukung dengan pembiayaan yang berasal dari alokasi
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), alokasi Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD), dana pinjaman/hibah luar negeri dari sejumlah
lembaga pemberi bantuan dibawah koordinasi Bank Dunia.
Selama pelaksanaan PPK (PPK I, PPK II, PPK III dan PNPM PPK) sejak
1998-2007, program pemberdayaan masyarakat terbesar ini telah menjangkau
41
lebih dari separuh desa termiskin di tanah air. Pada 2007 saja, pelaksanaan PNPM
Mandiri Perdesaan (PNPM-PPK) menjangkau 26.724 desa dari 1.837 kecamatan
di 32 provinsi. Pada 2008, PNPM Mandiri Perdesaan dinikmati di 34.031 desa
dari 2.230 kecamatan di 32 provinsi di tanah air. Sedangkan pada 2009,
jumlahnya mencapai 50.201 desa dari 3.908 kecamatan di tanah air. Jumlah
tersebut belum termasuk desa yang memperoleh pendanaan dari program-program
lain yang melekat pada PNPM Mandiri Perdesaan, seperti PNPM Generasi Sehat
dan Cerdas (PNPM-Generasi), PNPM Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pulau Nias
(PNPM-R2PN), PNPM Rencana Strategis Pembangunan Kampung (PNPMRespek), PNPM Program Pengembangan Sistem Pembangunan Partisipatif
(PNPM-P2SPP), dan lain-lain.
Pada 2010, berdasarkan ancar-ancar Lokasi dan Alokasi BLM PNPM
Mandiri yang dikeluarkan per Agustus 2009, pelaksanaan PNPM Mandiri
Perdesaan akan meliputi 4.805 kecamatan di 32 provinsi atau mencapai 75,9%
dari total lokasi PNPM Mandiri.
Adapun beberapa capaian dari pelaksanaan PNPM Mandiri Pedesaan
tersebut antaralain:
a. Memperluas kesempatan usaha dan membuka lapangan kerja baru

62,5 juta Hari Orang Kerja (HOK) dihimpun melalui pekerjaan jangka
pendek, yang melibatkan lebih dari 5,5 juta pekerja yang berasal dari
masyarakat perdesaan dengan imbalan sesuai dengan harga setempat.

Dibukanya usaha dan jasa transportasi oleh masyarakat maupun pihak
lain menyusul terbangunnya jalan, jembatan dan dermaga baru yang
dikerjakan masyarakat dengan dana PNPM Mandiri Perdesaan.

Lebih dari 1,57 juta warga desa, pedagang dan pengusaha kecil/
rumahtangga lokal, turut mendapatkan pinjaman dan berpartisipasi dalam
kegiatan simpan pinjam PNPM Mandiri Perdesaan.
b. Meningkatkan kapasitas, kinerja lokal dan kelembagaan–Pembentukan
model perencanaan dan pembiayaan partisipatif

Masyarakat Indonesia di lebih dari 34.100 desa telah turut berpartisipasi
dalam proses demokrasi, berpartisipasi dalam perencanaan dan
42
pengambilan keputusan menyangkut alokasi dana bagi pembangunan
publik di desa masing-masing.

Sekitar 62% dari peserta yang hadir dalam musyawarah perencanaan
PNPM Mandiri Perdesaan merupakan kelompok masyarakat yang paling
miskin di desanya, dan sekitar 70% tenaga kerja untuk kegiatan
pembangunan sarana/ prasarana PNPM Mandiri Perdesaan berasal dari
kelompok paling miskin.

Partisipasi perempuan dalam berbagai pertemuan dan kegiatan PNPM
Mandiri Perdesaan terus meningkat, berkisar antara 31-46%.

Rata–rata swadaya masyarakat secara keseluruhan adalah 17% dan
bervariasi di tiap provinsi.

Sebanyak 82% masyarakat lokal di lokasi PPK (kini bernama: PNPM
MPd) kini menyatakan telah memiliki kemampuan berorganisasi dan
kapasitas diri berkat peningkatan kapasitas yang menyertai pelaksanan.
Sebanyak 72% Unit Pengelola Kegiatan (UPK) di kecamatan lokasi
PNPM MPd memiliki kinerja yang baik dan memadai, serta berpotensi
untuk berkembang.

Tingginya komitmen pemerintah dan kontribusi mencapai 40% dari
kabupaten-kabupaten pada PPK II, PPK III, serta PNPM-PPK yang
menyediakan dana bersama (matching grants) dan cost sharing untuk
pelaksanaan program. Semua kabupaten di PPK III dan PNPM-PPK
menyediakan dana dari anggaran daerah untuk pelaksanaan program.

Akuntabilitas pemerintah dan peranan masyarakat madani lebih kuat.
Konsultan dan jurnalis di provinsi PNPM MPd bertindak sebagai
pengawas untuk memantau pelaksanaan PNPM MPd secara independen.

Program telah membangun mekanisme yang memungkinkan ketegangan
yang diredakan. Hal ini terbukti dari keberhasilan pelaksanaan program
di lokasi konflik dan bencana.
c. Rendahnya tingkat korupsi – Audit independen terhadap PPK yang
dilaksanakan oleh Moores Rowland menemukan penyimpangan proyek
desa ini kurang dari 1% dari total dana yang telah disalurkan. Pada
kenyataannya, sejak digulirkan pada 1998 hingga saat ini, penyimpangan
43
dana dalam program yang menjunjung semangat transparansi dan
akuntabilitas ini sangat rendah, hanya sekitar 0,18% dari total dana yang
telah disalurkan.
d. Meningkatkan akses ke pasar, pusat kota, fasilitas pendidikan dan
kesehatan, dan sumber air bersih di lebih dari 56% desa termiskin di seluruh
Indonesia. PNPM Mandiri Perdesaan (melalui PPK dan PNPm-PPK) telah
mendanai lebih dari 171.466 kegiatan sarana/ prasarana perdesaan di lokasi
program di seluruh Indonesia. Berikut ini adalah daftar investasi PNPM
Mandiri Perdesaan melalui PPK dan PNPM-PPK(2003):

32.572 jalan dibangun atau ditingkatkan

8.755 jembatan dibangun atau direkonstruksi

10.510 sistem irigasi dibangun

9.940 unit sarana air bersih dan 4.589 unit Mandi Cuci Kakus (MCK)
dibangun

Untuk pendidikan, telah dibangun dan direnovasi sebanyak 6.411
sekolah; penyediaan alat dan materi penunjang belajar mengajar;
diberikan lebih dari 117.270 beasiswa pendidikan untuk perorangan; dan
mendanai 3.336 jenis kegiatan di bidang pendidikan lainnya

Untuk kesehatan, telah dibangun dan direnovasi sejumlah 3.611 unit
sarana dan pos kesehatan; serta mendanai 968 jenis kegiatan di bidang
kesehatan lainnya
e. Tingginya tingkat pengembalian investasi --Menurut evaluasi ekonomi
independen, bobot pengembalian investasi PNPM Mandiri Perdesaan
berkisar antara 39-68%. Evaluasi lainnya menyebutkan, rata-rata EIRR
untuk total kegiatan adalah 60,1%. Keuntungan yang paling dirasakan
adalah terbentuknya kegiatan ekonomi baru melalui prasarana yang
dibangun oleh PNPM Mandiri Perdesaan atau kapasitas produksi yang
terbatas akhirnya dapat disalurkan ke pasar lokal.
f. Penghematan biaya dalam jumlah signifikan --Prasarana desa yang telah
dibangun melalui metode PNPM Mandiri Perdesaan sangat hemat dalam
pembiayaan. Rata – rata 56% lebih murah dari pekerjaan sejenis yang
44
dibangun oleh pemerintah maupun kontraktor. Berdasarkan studi konsultan
independen diketahui, 94% prasarana yang dibangun dinilai berkualitas baik
dan sangat baik secara teknis.
4.2.3 Program Keluarga Harapan (PKH)
Salah satu bentuk intervensi untuk memutus rantai kemiskinan adalah
melalui Bantuan Tunai Bersyarat (Conditional Cash Transfer/CCT) yang
merupakan bantuan sosial yang bersifat inovatif dan semakin populer. Pendekatan
ini memberikan uang kepada keluarga miskin yang diberikan berdasarkan
perilaku tertentu dan dimaksudkan sebagai investasi sumber daya manusia (SDM)
dan diorientasikan sebagai bagian dari strategi pemberantasan kemiskinan.
Contohnya untuk menjaga anak-anak untuk tetap sekolah atau secara rutin
memeriksakan ibu hamil dan balita pada pusat layanan kesehatan. Pendekatan ini
sangat berbeda dengan bantuan tunai tak bersyarat yakni bantuan bagi orangorang/kelompok yang berbasis pada kriteria penerima yang sebelumnya sudah
ditentukan (pre-determined eligibility). Transfer sosial semisal pensiun bagi
warga yang sudah tua, hambatan fisik, anak-anak, dll., merupakan bantuan tunai
tanpa syarat yang biasa dijalankan pemerintah di berbagai negara di dunia.
Program CCT pertama kali diimplementasikan di sejumlah Negara Amerika
Latin dan Karibia. Meksiko meluncurkan the Programa de Educación, Saludy
Alimentación (PROGRESA) pada tahun 1997. Brazil memiliki Programa
Nacional de Bolsa Escola dan Programa de Erradicaçao do Trabalho Infantil,
(PETI). Kolumbia meluncurkan the Familias en Acción program (FA), Honduras
the Programa de Asignación Familiar (PRAF), Jamaica mengintroduksi the
Program of Advancement through Health and Education (PATH), dan Nikaragua
memperkenalkan the Red de Protección Social (RPS). Selanjutnya Program CCT
semakin banyak direplikasi di penjuru dunia termasuk Indonesia dengan Program
Keluarga Harapan (PKH) yang merupakan satu upaya pemerintah dalam
mengembangkan sistem perlindungan sosial di Indonesia.
Sasaran PKH di Indonesia adalah Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM)
yang sesuai kriteria PKH yakni: memiliki ibu hamil, ibu menyusui, memiliki anak
balita dan anak usia sekolah setingkat SD-SMP. Di satu sisi, PKH merupakan
45
bantuan sosial yang dimaksudkan demi mempertahankan kehidupan (life survival)
dalam kebutuhan dasar terutama pendidikan dan kesehatan. Di sisi lain, PKH
bernuansa pemberdayaan yakni menguatkan rumah tangga miskin agar mampu
keluar dari kemiskinannya melalui promosi kesehatan dan mendorong anak
bersekolah. Dana yang diberikan kepada RTSM secara tunai melalui Kantor Pos
dimaksudkan agar penerima dapat mengakses fasilitas pendidikan dan kesehatan
yakni anak-anak harus bersekolah hingga sekolah menengah pertama, anak balita
harus mendapatkan imunisasi, dan ibu hamil harus memeriksakan kandungan
secara rutin (berkala).
PKH memang salah satu saja dari upaya pemerintah untuk meningkatkan
kualitas manusia Indonesia dengan mengkampanyekan pembangunan manusia
Indonesia untuk meningkatkan pelayanan dasar kepada masyarakat melalui
program pemberian subsidi bersyarat, namun program ini dipandang sebagai
penggerak perubahan pola pikir, sesuai dengan kondisi persyaratan yang
diinginkan, yaitu memberikan kesempatan untuk memperoleh pelayanan
pendidikan dan kesehatan untuk anak-anak RTSM. Tujuan utamanya adalah
untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia
terutama pada kelompok masyarakat miskin. Tujuan tersebut sekaligus sebagai
upaya mempercepat pencapaian target Millennium Development Goals (MDGs)
tahun 2015 yakni pengentasan kemiskinan, perolehan pendidikan dasar seluruh
dunia, mendorong kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan, pengurangan
angka kematian anak-anak, meningkatkan kesehatan ibu, pemberantasan penyakit
malaria, HIV/AIDS dan penyakit lainnya, memastikan keberlangsungan
lingkungan hidup, dan membangun kemitraan global untuk pembangunan). Dari 8
item MDGs, PKH mencakup 5 item yakni: (1) pengurangan penduduk miskin
ekstrim dan kelaparan, (2) pencapaian pendidikan dasar, (3) kesetaraan gender,
(4) pengurangan angka kematian bayi dan balita, dan (5) pengurangan kematian
ibu melahirkan.
PKH mulai dilaksanakan pemerintah di Indonesia pada bulan Maret tahun
2007 dengan uji coba di tujuh provinsi (Sumatra Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat,
Jawa Timur, NTT, Sulawesi Utara, dan Gorontalo). Program ini akan terus
46
berjalan hingga tahun 2015 sesuai target pencapaian Millennium Development
Goals (MDGs) sertamerupakan cikal bakalpengembangan sistem perlindungan
sosial, khususnya bagi keluarga sangat miskin. Pertama kali diluncurkan tahun
2007, PKH mencakup ketujuh propinsi yang disebutkan di atas yang didasarkan
atas sejumlah kriteria yakni kondisi kemiskinan, gizi buruk, angka putus sekolah
dan kesiapan dalam pelayanan kesehatan dan pendidikan. Tahun berikutnya
mencakup Aceh, Sumatera Utara, Banten, D.I. Yogyakarta, Kalimantan Selatan,
dan Nusa Tenggara Barat.
Kementerian Sosial Republik Indonesia menargetkan jumlah Rumah
Tangga Sangat Miskin (RTSM) yang menjadi sasaran PKH pada 2013 menjadi
2,4 juta dengan perkiraan anggaran sebesar Rp. 3 triliun lebih besar dari saat ini
yang sebesar Rp. 1,8 triliun. Sementara, menurut Tim Percepatan Penanggulangan
Kemiskinan (TNP2K) menilai sejumlah program penanggulangan kemiskinan
sudah memiliki dampak positif namun harus dilakukan sejumlah perbaikan
termasuk PKH.
4.2.4 Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI)
BakTI didirikan dengan fungsi sebagai pusat pertukaran pengetahuan dan
informasi terkait pembangunan kawasan timur Indonesia yakni di 12 provinsi,
antaralain Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua. Dalam melakukan
seleksi pengetahuan-pengetahuan yang sekiranya layak untuk dimanfaatkan dalam
skema knowledge sharing, BaKTI telah menetapkan 6 kriteria yang disebut
sebagai Praktik Cerdas yakni inisatif-inisiatif lokal dari masyarakat baik tingkat
pedesaan
maupun
kabupaten
yang
dapat
mengatasi
masalah-masalah
pembangunan. Dalam menyeleksi inisiatif-inisiatif berdasar 6 kriteria tersebut
tersebut, BaKTI memanfaatkan Forum Kawasan Timur Indonesia sebagai
sukarelawan. Adapun 6 kriteria Praktik cerdas tersebut antara lain:
i. Inovatif, yakni merupakan inisiatif yang baru maupun replikasi dari daerah
lain yang telah disesuaikan dengan kondisi setempat;
ii. Partisipatif, yakni insiatif tersebut setidaknya melibatkan dua pemangku
kepentingan lokal dan/atau merupakan upaya kolektif;
47
iii. Berlanjut, yakni kegiatan telah dilakukan setidaknya selama dua tahun dan
masih berlangsung serta terdapat rencana ke depan untuk dilanjutkan
dengan pendanaan mandiri maupun dari masyarakat;
iv. Akuntabel, yakni kegiatan dapat dipertanggung jawabkan bagi semua
pihak serta masyarakat;
v. Berpihak kepada masyarakat miskin serta kesetaraan gender, yakni
kegiatan dilaksanakan demi kepentingan masyarakat miskin dan
dialksnakan dengan prinsip-prinsip kesetaraan gender;
vi. Berdampak nyata, yakni kegiatan terbukti memberikan manfaat serta
dampak positif nyata yang dialami oleh masyarakat.
Adapun untuk perihal insentif, Praktik Cerdas tersebut kemudian difasilitasi
oleh BaKTI dengan cara mengundang media mainstream untuk meliput sehingga
pengusung inisiatif tersebut dapat terdorong untuk berbagi pengetahuan karena
telah mendapat credit dan apresiasi. Adapun dalam menjalankan fungsinya
tersebut BaKTI telah melakukan beberapa upaya, antaralain:
a. penyediaan layanan helpdesk bagi para pelaku pembangunan untuk
mengajukan pertanyaan tentang hal-hal terkait pembangunan.
b. pengumpulan database dari individu-individu maupun organisasiorgansasi pelaku pembangunan di kawasan timur Indonesia yang hingga
sekarang telah mencapai lebih dari 6.000 serta 3.000 organisasi.
Database tersebut digunakan untuk menghubungkan para pelaku
pembangunan sekiranya membutuhkan tindak lanjut lebih jauh dalam
menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait pembangunan.
c. pembuatan katalog perpustakaan online serta pencetakan tabloid BaKTI
News yang berisi informasi-informasi aktual terkait pembangunan
kawasan timur Indonesia. Selain daripada itu terdapat pula mailing list
dari BakTI News online yang hinnga sekarang telah mencapai 2.000
orang
d. pengembangan bursa pengetahuan online tentang kawasan timur
Indonesia dengan alamat situs batukarinfo.com yang hingga sekarang
telah memiliki membership mencapai 1.941 anggota serta isi/konten
48
sekitar 12.000 dokumen yang bersifat user generated, yakni konten
tersebut berasal dari para pengguna itu sendiri.
e. pemanfaatan media sosial yang tengah populer seperti Facebook (7.100
members), Twitter (1.163 followers), serta Youtube (50 video dan sekitar
24.500 viewers).
f. pelaksanaan diskusi “Inspirasi BaKTI”, yakni diskusi-diskusi seputar
kebijakan serta praktik-praktik cerdas bidang pembangunan yang
diselenggarakan tiap bulan di sekretarait BaKTI dan tiap 2 bulan di
ibukota-ibukota provinsi kawasan timur Indonesia serta pelaksanaan
training knowledge sharing yang telah diselenggarakan sebanyak 6 kali
serta dihadiri oleh rata-rata 20 orang
g. pembentukan Forum Kawasan Timur Indonesia yang beranggotakan
pihak-pihak yang melakukan inovasi-inovasi dalam pembangunan baik
dari Pemda, LSM, maupun swasta. Selain daripada itu, terdapat pula
Forum Kepala Bappeda yang telah diselenggarakan sebanyak 10 kali
serta Forum Jaringan Peneliti Kawasan Timur Indonesia (JiKTI) yang
telah memiliki lebih dari 700 anggota.
4.2.5 United Cities and Local Governments (UCLG)
UCLG merupakan sebuah organiasai asosiasi pemerintah lokal tingkat
internasional bertujuan untuk menyatukan antar anggotanya yang terdiri dari
berbagai pemerintah lokal dari berbagai negara dan menghubungkannya dengan
komunitas internasional demi mendorong efektivitas pembangunan di mana divisi
wilayah Asia-Pasifik adalah yang terbesar dengan beranggotakan 144 anggota
yang mewakili 3,76 milyar penduduk. Salah satu fungsi utama UCLG sebagai key
knowledge management hub serta pembangunan kapasitas dalam bidang tata
kelola pemerintahan. Dalam menjalankan fungsinya tersebut, UCLG berupaya
untuk mengumpulkan dan menghimpun pengetahuan serta best practices di
kalangan local governments dalam suatu data base hub.
Dalam menjalankan proses tersebut, insentif utama dalam mendorong
keberlanjutan knowledge exchange antar anggota adalah political will serta
kepemimpinan pemerintahan lokal dalam upayanya dalam bidang pembangunan
49
guna melayani konstituen masing-masing
Adapun salah satu
program
pembangunan kapasitas unggulan UCLG adalah Decentrelized Local Government
(Delgosea) yang merupakan knowledge hub yang betujuan untuk mendorong
upaya replikasi serta transfer best practices dalam bidang tata kelola pemerintahan
yang baik (good governance), peer to peer learning, networking, serta kerja sama
di antara anggotanya. Dalam program Delgosea tersebut, terdapat empat tema
utama dalam memfasilitasi pertukaran dan pengembangan best practices di
kawasan Asia-Pasifik: (i) participation of planning and decision making, (ii)
institutional governance, (iii) inclusive public-urban services , serta (iv) fiscal
management and investment planning.
4.3 Tantangan Kerja Sama Selatan-selatan dan Triangular
Peraturan Perundangan yang Menaungi KSST
Perubahan arsitektur kerja sama pembangunan menghasilkan berbagai
landasan dan regulasi internasional yang dinamis. Diantara landasan legal
pelaksanaan KSST berdasarkan berbagai kesepakatan internasional dan menjadi
faktor pendorong utama adalah ditandantanganinya Komitmen Jakarta pada awal
tahun 2009. Kontras dengan perkembangan tersebut, dalam pelaksanaan KSST,
peraturan perundangan yang dapat menjadi rujukan saat ini adalah:
a. UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri;
b. UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional;
c. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
d. UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
e. UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional;
f. Keputusan Presidium Kabinet No 81/U/KEP/4/1967 tentang koordinasi
bantuan teknik luar negeri;
g. Keputusan Presiden No. 60 Tahun 1981 tentang susunan keanggotaan
panitia koordinasi bantuan teknik luar negeri;
Perkembangan peran aktif Indonesia dalam pelaksanaan KSST menuntut
adanya kerangka regulasi yang mengatur legitimasi pelaksanaan KSST dan
50
selanjutnya diharapkan mampu meningkatkan kualitas koordinasi, kejelasan visi,
tujuan, dan mandat, transparansi, efektivitas dan meningkatnya dukungan
pemangku kepentingan domestik.
Revisi Undang-undang terkait dan penyusunan peraturan pemerintah yang
mengatur secara rinci tentang peran Indonesia sebagai pemberi bantuan
pembangunan/hibah ke luar negeri adalah hal mendasar agar legitimasi
pelaksanaan KSST menjadi lebih kuat. Agar dapat menjadi pedoman, acuan
sekaligus landasan filosofis pelaksanaan KSST, peraturan perundangan yang
dimaksud perlu mencantumkan visi dan landasan normatif pelaksanaan KSST.
Berbeda dengan pola pemberian bantuan tradisional oleh negara maju,
KSST berdasarkan prinsip solidaritas negara berkembang, pengakuan kedaulatan,
inklusif dan tidak bersyarat, keungguluan komparatif, berkelanjutan dan
dilaksanakan dalam rangka berbagi pengetahuan dan pengalaman.Seharunya nilainilai dalam prinsip tersebut menjadi nilai bersama yang dijadikan landasan
pelaksanaan KSST oleh semua pemangku kepentingan. Pemuatan nilai-nilai
tersebut pada peraturan perundangan akan mampu menjawab pertanyaan
mendasar yang masih mengemuka oleh pemangku kepentingan domestik tentang
mengapa melaksanakan KSST.
Di sisi lain, kebijakan pemberian bantuan selalu memiliki landasan
pragmatis ideologis tentang manfaat dalam sudut pandang kepentingan nasional.
Secara normatif terdapat tiga alasan mengapa melaksanakan KKST dari sudut
pandang ini. Pertama adalah keterlibatan aktif dalam arus baru kerja sama
pembangunan internasional sebagai perangkat diplomasi. Kedua, berbagi
pengalaman sekaligus belajar dan menjadikan bantuan ke sesama negara
berkembang sebagai sarana evaluatif kebijakan serupa di dalam negeri. Ketiga,
mendapatkan manfaat ekonomi secara luas dalam bentuk dampak lanjut terhadap
penciptaan perdagangan internasional dan pertumbuhan ekonomi secara luas.
Hadirnya norma ini di dalam peraturan perundangan akan memperkuat legitimasi
mengapa melakukan dan mengembangkan KKST.
51
Selanjutnya dalam rangka mendukung tercapainya efektivitas, transparansi
dan integrasi KSST, peraturan perundangan dimaksud juga mengakomodir
kejelasan tugas dan mandat pelaksana KSST. Studi evaluasi tentang pelaksanaan
KSST periode 1 menunjukkan tingkat tindak lanjut dari berbagai agenda
pengembangan KSST yang rendah. Salah satu faktor yang menyebabkan hal ini
adalah belum jelasnya tugas dan mandat pelaksana KSST khususnya sinergi
antara Tim Koordinasi dan Kementerian Teknis pelaksana KSST.
Kesiapan Menghadapi Periode 2 2015-2019
Pada periode 1 pelaksanaannya (2011-2014), kebijakan pengembangan
KSST difokuskan pada pengembangan kelembagaan, penguatan mekanisme
pendanaan, penguatan kerangka program kerja sama, pengembangan Knowledge
Management dan sistem informasi, penguatan promosi dan publikasi, serta
penguatan pemantauan dan evaluasi. Selanjutnya,
pada periode 2 kebijakan
pengembangan KSST akan difokuskan kepada peningkatan dan perluasan kerja
sama, pengembangan program baru, peningkatan keterlibatan lembaga nonpemerintah, dan evaluasi. Terkait dengan capaian pada periode 1, terdapat
beberapa isu strategis yang perlu diperhatikan dalam merumuskan arah kebijakan
dalam periode 2 berdasarkan rumusan fakta kebijakan pengembangan KSST pada
periode 1.
Prinsip Demand Driven vs. One Gate Policy
Salah satu prinsip pelaksanaan KSST di luar negeri adalah demand driven
yang berarti berdasarkan potensi, prioritas kebutuhan, dan permintaan dari negara
penerima. Fakta kebijakan penerapan prinsip ini pada periode 1 mengindikasikan
bahwa permintaan dari negara penerima langsung ditujukan secara ad hoc dan
terfragmentasi pada kementerian teknis pelaksana KSST. Hal ini berimplikasi
pada belum terintegrasinya program dan sinergi dengan kebijakan penting dan
terkait KSST lain misalnya kebijakan diplomasi luar negeri kementerian luar
negeri. Untuk itu diperlukan reorientasi one gate policy dengan Tim Koordinasi
sebagai sentral permohonan, penilaian dan penetapan bentuk program KSST atas
pemintaan dari negara penerima. Penguatan wewenang Tim Koordinasi melalui
52
arah kebijakan dalam isu strategis pertama (kerangka regulasi) dapat menjadi
landasan arah kebijakan terkait isu strategis ini.
Integrasi Penggunaan dan Sumber Keuangan
Studi tentang evaluasi KSST periode 1 mengindikasikan belum adanya
mekanisme utama untuk memvalidasi nilai moneter dari kontribusi Indonesia
dalam KSST. Berbagai sumber menyebutkan sejak dimulai sampai akhir periode
1, jumlah tersebut diindikasikan mencapai USD 49,8 juta. Namun demikian tidak
dapat dilakukan verifikasi secara formal mengenai kepastian nilai tersebut. Fakta
kebijakan berikutnya yang sejalan dengan kondisi ini adalah tidak/belum adanya
kewajiban pelaporan keuangan oleh masing-masing kementerian teknis pelaksana
KSST dan selanjutnya tidak adanya data yang memadai tentang hal ini. Di sisi
sumber pembiayaan, KSST sejauh ini dapat mempergunakan APBN, Kemitraan
Pemerintah dan Swasta, Pendanaan Swasta, Kerja Sama Bilateral dan Multilateral
dan Dana Perwalian. Untuk itu arah kebijakan menuju pemusatan keuangan
menjadi hal penting berdasarkan isu strategis ini.
Kepedulian tentang Keberlanjutan Program
Salah satu capaian penting dalam periode 1 pelaksanaan KSST adalah
dirumuskannya Prosedur Operasional Standar atas 17 program KKST oleh Tim
Koordinasi. Di sisi lain, terdapat tuntutan lebih lanjut untuk dapat merumuskan
instrumen
yang
mendukung
terlaksananya
prinsip
berkelanjutan
dalam
pelaksanaan KSST. Studi evaluasi periode 1 mengindikasikan belum adanya
instrumen kebijakan di lingkup Tim Koordinasi untuk memetakan kebutuhan,
kesesuaian dengan kapasitas dan keunggulan komparatif Indonesia menuju
penyediaan program yang memiliki indikator sukses kuat dan berjamin
keberlanjutannya.
Isu Kapasitas untuk Menjadi Key Player
Mitra multilateral dan triangular dalam pelaksanaan KSST pernah
melibatkan Indonesia dalam program-program peningkatan kapasitas/training
untuk meningkatkan kapasitas pengelolaan pelaksanaan KSST. Di sisi lain
terdapat fakta bahwa dalam struktur Tim Koordinasi, Tim Pelaksana dan Tenaga
Pendukung menjalankan tugasnya bersamaan dengan tugas utama mereka di
53
institusi masing-masing. Dalam hal ini upaya peningkatan kapasitas saja tidak
cukup. Pada saat yang sama, terkait dengan semakin besarnya dorongan eksternal
dan hadirnya momentum bagi Indonesia untuk berperan sebagai Key Player
KSST di tingkat kawasan, diperlukan arah kebijakan untuk meningkatkan
kapasitas pelaksanaan KSST.
Penciptaan Proses Umpan Balik Melalui Monitoring dan Evaluasi yang Kuat
Studi evaluasi pelaksanaan KSST menunjukkan bahwa pemangku
kepentingan domestik mengakui belum mendapatkan umpan balik yang memadai
baik dalam konteks langsung maupun tidak langsung dari negara penerima
program KSST, kecuali pemangku kepentingan di bidang pendidikan. Untuk itu,
perumusan proses umpan balik melalui monitoring dan evaluasi yang kuat
menjadi kebutuhan dalam rangka menuju periode 2 pelaksanaan KSST yang
memiliki fokus peningkatan dan perluasan kerja sama, pengembangan program
baru, peningkatan keterlibatan lembaga non-pemerintah.
54
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Kerja sama global, regional dan selatan-selatan merupakan tiga sub-bidang
hal yang memiliki interkoneksi yang kuat sehingga pembahasannya merupakan
satu bagian yang tidak terpisahkan. Tentu dapat kita pahami bahwa terbentuknya
kerja sama kawasan didorong adanya globalisasi begitu juga sebaliknya, kerja
sama kawasan dapat mempengaruhi peta kerja sama global. Globalisasi sendiri
membuat dunia semakin terintegrasi dan mempersempit jarak dan waktu. Kerja
sama yang menjadi trend berkembang luas di Asia Tenggara pun menjadi salah
satu contoh kawasan yang mengadakan kerja sama kawasan yang mendorong dan
didorong secara global. Globalisasi juga membuat negara-negara saling
ketergantungan. Ketika negara-negara maju mencoba untuk mempromosikan
perdagangan bebas guna meminimalisasi atau menghapuskan hambatan-hambatan
perdagangan yang ada, kerja sama kawasan menjadi salah satu instrumen batu
loncatan (stepping stone) untuk perdagangan bebas yang tingkatnya lebih luas
atau tidak memandang negara tersebut merupakan anggota negara kawasannya
atau bukan. Dengan kerja sama kawasan, negara-negara yang tergabung dalam
anggotanya tersebut terdorong untuk meminimalisasi atau menghapuskan
hambatan perdagangan dengan anggota kerja sama kawasan tersebut. Dengan
demikian, adanya kerja sama kawasan yang pada awalnya implikasinya bersifat
hanya dalam kawasan tersebut, implikasi juga dapat dirasakan secara mengglobal.
Kemajuan demokrasi dan ekonomi selama 15 tahun terakhir telah
menjadikan Indonesia muncul sebagai pemimpin terkemuka di tingkat regional
dan menyuarakan kepentingan global.
Keinginan ASEAN berperan dalam
perundingan G-20 sebagaimana yang telah disepakati pada Konferensi Tingkat
Tinggi Ke-15 ASEAN di Thailand merupakan focal point interdependensi
pembangunan regional yang terefleksi di ranah global. Terbukanya akses dan
peluang kerja sama dengan 20 negara ekonomi terbesar di dunia itu menunjukkan
semakin diakuinya peran regional ASEAN dalam penentuan kebijakan ekonomi
55
global. Dalam proses ini, Indonesia memainkan peranan penting karena
merupakan satu-satunya negara ASEAN di G-20 dan memiliki posisi strategis
sebagai ”penyambung” kepentingan ASEAN dan G-20.
Melihat lebih dalam, tantangan pembangunan Indonesia melampaui batasbatas nusantara dan berdampak di tingkat regional dan global, dengan demikian,
Indonesia dalam kancah regional, global dan juga antara negara-negara di selatan,
kini memiliki peran yang sangat sentral. Dengan pola yang multipolar-led, Kerja
Sama Selatan-selatan dan Triangular (KSST) memiliki peran mendukung dan
menguatkan kerja sama pembangunan, khususnya antar negara berkembang.
Bangunan solid yang terbentuk dalam KSST merupakan dasar bagi pembangunan
kawasan, dimana
ikatan yang lebih kuat yang dijalin secara triangular dan
bilateral antara negara-negara yang berada dalam satu kawasan, akan mampu
membawa kawasan tersebut berkembang secara berkesinambungan serta
berpotensi untuk mendorong negara-negara yang tergabung dalam kawasan
tersebut menjadi lebih sejahtera secara ekonomi dan stabil secara politik.
Dalam konteks kerja sama global, Indonesia saat ini sedang berupaya
mengatasi tantangan dalam negeri dan kawasan dan pada saat yang sama
memainkan peran penting di panggung pembangunan dunia. Saat ini, Indonesia
merupakan kekuatan ekonomi yang semakin meningkat, demokrasi yang dinamis,
negara terkemuka dalam berbagai organisasi internasional. Meskipun demikian,
jumlah kelompok miskin dan paling rentan -mencakup hampir setengah dari
jumlah penduduk- masih berpenghasilan kurang dari
USD 2 per hari.
Desentralisasi pemerintahan, yang secara umum menunjukkan perkembangan
demokrasi yang positif, belum meningkatkan pemerataan akses terhadap
pelayanan dasar untuk seluruh masyarakat di wilayah nusantara. Indonesia terus
berjuang memperkuat lembaga pemerintahan yang masih rapuh, memerangi
korupsi endemik, dan rendahnya toleransi dimana semua hal tersebut merupakan
prioritas untuk kemitraan kedua negara.
Posisi Indonesia semakin diakui di
tingkat dunia dan pengaruhnya semakin meningkat, tetapi manfaat demokratisasi
dan pertumbuhan ekonomi belum sepenuhnya terwujud di Indonesia.
56
Dengan keterlibatan Indonesia di organisasi-organisasi internasional,
Indonesia memiliki kesempatan untuk mendapatkan sharing pengalaman dari
negara-negara lain, khususnya negara-negara maju, terkait dengan upaya-upaya
efektif mereka dalam menghadapi pelbagai permasalahan mereka sehingga
Indonesia dapat mengambil manfaat dari pengalaman tersebut. Keterlibatan ini
diharapkan juga mampu membawa pesan-pesan positif bagi pembangunan
kawasan dan mampu diberdayakan Indonesia untuk menyuarakan kepentingan
regional di ranah global. Dengan demikian interdependensi antara KSST, regional
serta global menjadi lebih nyata.
5.2 Rekomendasi: Interaksi kerja sama Global, Kawasan dan KSST
terhadap Penguatan Knowledge Sharing Hub
Isu Knowledge Sharing telah lama menjadi bahan pembahasan dalam
berbagai forum internasional, regional dan juga selatan-selatan namun belum
dapat dihasilkan suatu mekanisme yang terstruktur dan dapat digunakan dengan
mudah pada tingkat negara (country level) untuk peningkatan kapasitas dalam
mengatasi persoalan pembangunan. Diperlukan adanya mekanisme knowledge
sharing yang lebih terstruktur dengan baik yang dapat mempertemukan kebutuhan
dan penyediaan dari best practices (supply-demand), yang memadai untuk dipakai
oleh suatu negara (best fit) sesuai karakteristik yang terdapat pada masing-masing
negara. Selain itu, mekanisme terstruktur dapat digunakan untuk membantu
perkuatan kapasitas pemerintah daerah yang luas
(dalam konteks kebutuhan
Indonesia yang mempunyai banyak pemerintah daerah).
Salah satu isu krusial dalam pengembangan Country Led Knowledge Hub
(CLKH) adalah mekanisme untuk mendorong semua pihak (supplier dan
demander) untuk menjalankan creation dan sharing pengetahuan. Beberapa
strategi dan mekanisme yang dapat dikembangkan adalah sebagai berikut:
a. Insentif berupa pemberian porsi anggaran yang lebih besar bagi Bappeda
yang berhasil mendorong knowledge sharing.
b. Membuat suatu mekanisme yang mengharuskan pelaku pembangunan
untuk membuat laporan eksplisit yang memuat lessons learned sehingga
bisa dijadikan best practices.
57
c. Penguatan leadership di daerah sehingga mekanisme tersebut dapat
dipastikan berjalan dengan baik.
d. Membuat mekanisme yang “mewajibkan” Bappeda di daerah untuk
mereplikasi suatu best practices yang sesuai. Disamping itu, dibutuhkan
pula adanya sosialisasi ke Bappeda sehingga muncul kesadaran untuk
mengembangkan knowledge sharing di daerahnya.
Dari uraian di atas, studi ini merumuskan beberapa isu strategis yang dapat
menjadi dasar arah kebijakan kerja sama pembangunan internasional:
 Pertama, kerja sama pembangunan internasional dalam konteks
praktisnya
penyelenggaraan
kerja
sama
selatan-selatan
menjadi
keniscayaan kebijakan nasional atas tiga alasan: (1) amanat konstitusi (2)
peran hitoris Indonesia yang cukup panjang dan strategis dalam pola
kerja sama tersebut (2) dukungan legitimasi ekonomi sebagai negara
dengan status baru yaitu Newly Middle Income Country. Kerja sama
global dan kawasan adalah complementarity kebijakan ini dalam konteks
diplomasi ekonomi.
 Kedua, secara potensial, pemangku kepentingan KPI memandang bahwa
manfaat secara langsung dalam konteks diplomasi ekonomi dan tidak
langsung terhadap perekonomian domestik cukup besar. Hal ini yang
mendasari dukungan untuk menyelenggarakan KPI secara lebih intesif.
Pengalaman negara maju maupun negara termasuk Newly Middle Income
Country yang secara efektif memanfaatkan dampak tidak langsung dari
adanya KPI menunjukkan efek positif terhadap perekonomian domestik
mereka. Untuk itu diperlukan desain nasional yang memuat secara jelas
visi dan misi KPI, indikator keberhasilan dan format kelembagaan di
tingkat nasional.
 Ketiga,
kesamaan
sejarah
dan
kondisi
pembangunan
ekonomi
(development proximity) sangat memungkinkan Indonesia untuk dapat
menjadi mitra yang efektif dengan negara berkembang lain khususnya
yang memiliki tingkat kemajuan pembangunan (sektor) yang sama atau
lebih rendah dalam kerangka Knowldge sharing hub.
58
 Keempat,
peraturan
perundangan
yang
mengatur
tentang
penyelenggaraan KPI masih sangat terbatas. Untuk dapat memberikan
ruang gerak yang lebih leluasa termasuk efektivitas koordinasi dan
kejelasan visi dan misi KPI diperlukan pengaturan yang lebih lanjut
dalam konteks peraturan perundangan atas penyelenggaraan KPI.
 Kelima, dari kajian ini juga dapat direkomendasikan pentingnya
koordinasi yang lebih efektif diantara kementerian dan lembaga yang
selama ini mengambil bagian dalam kerja sama global, regional dan
KSST baik dalam hal program dan aktivitas, maupun pendanaan.
Pelaporan tentang aktivitas dan pendanaan menjadi penting untuk
menunjukkan
tingkat
keseriusan
Indonesia
dalam
memenuhi
komitmennya dalam forum-forum internasional.
59
DAFTAR PUSTAKA
[Bappenas] (2007), Rencana Pembangunan Jangka Panjang
2005–2025,
Jakarta:
Kementerian
Nasional Tahun
Perencanaan
Pembangunan
Perencanaan
Pembangunan
Nasional/Bappenas.
----------------,
(2012),
Peraturan
Menteri
Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 7
tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perencanaan
Pembangunan
Nasional/Kepala
Badan
Perencanaan
Pembangunan
Nasional Nomor PER. 005/M.PPN/10/2007 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional.
----------------, (2014) (tidak dipublikasikan), ‘Profil Kerja sama Global’,
Direktorat Kerja sama Pembangunan Internasional.
Hasan, Iqbal (2002) Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya,
Jakarta: Ghalia Indonesi.
Hastiadi, Fithra Faisal (2012) 'Making East Asian Regionalism Work: From
Regionalization to Regionalism'. Lambert Academic Publishing
Hastiadi, Fithra dan Rus’an Nasrudin, (2013), Kajian Kebijakan Perencanaan
Pembangunan
Nasional
di
Bidang
Kerja
Sama
Pembangunan
Internasional, Direktorat Kerja Sama Pembangunan Internasional, Report.
Hermawan, Yulius P, Wulani Sriyuliani, Getruida H Hardjowijono, Sylvie Tanaga
(2011), Peran Indonesia dalam G-20: Latarbelakang, Peran dan Tujuan
Keanggotaan Indonesia, Friedrich Ebert Stiftung.
Martinussen, John Degnbol dan Engberg Pedersen (2005), Aid: Understanding
International Development Cooperation London: Zed Books
60
Mawdsley, Emma (2012), ‘From Recipients to Donors: Emerging Powers and the
Changing Development Landscape’ London: Zed Books.
Muhibat, Shafiah M, Rizal Sukma dan Medelina K. Hendytio, (2014) Studi
tentang Implementasi Kebijakan dan Strategi Kemitraan Pendanaan Kerja
Sama Selatan-Selatan dan Triangular, Center for Strategic And
International Studies, Report.
[SEADI] (2013). USAID Democracy, Governance, and Human Rights Assessment
of Indonesia, Support for Economic Analysis Development in Indonesia
(SEADI)
Stiglitz, Joseph (2006), ‘Making Globalisation Work’ New York: W.W Norton
and Company inc.
Umar, Husein (2002), Metode Riset Bisnis, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
[World Bank]. (1992) ‘Effective Implementation: Key to University Press.
Development Impact." Report of the World Bank's Management Task
Force. Washington, D.C.
---------------. (1998) ‘Assessing Aid: What Works, What Doesn't, and Why.’ A
World Bank Policy Research Report. Oxford University PressU.N.
document, A/RES/60/1 (2005) World Summit Outcome, adopted September
16, 2005, p. 36.
Zulganef, (2008) Metode Penelitian Sosial dan Bisnis. Edisi Pertama.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
61
62
LAMPIRAN
63
64
Risalah Konsinyering
Pembahasan Laporan Pendahuluan Kajian Dit. KPI TA 2014
Hari/tanggal
Waktu
Tempat
Pimpinan Rapat
Lampiran
: Jumat, 16 Mei 2014
: 09.30 – 12.00 WIB
: Hotel Royal Kuningan, Jakarta
: Kasubdit KSST
: 1. Daftar hadir
2. Laporan Pendahuluan Kajian Dit. KPI
Agenda
1. Membahas laporan pendahuluan yang disusun oleh tim konsultan (LPEM UI).
2. Mendapat masukan untuk melakukan analisis kajian.
Tanggapan dan Diskusi
 Rapat dibuka oleh Pak Priyanto selaku Kasubdit KSST yang menjelaskan bahwa
kajian yang dilakukan merupakan kelanjutan dari background study TA 2012 dalam
rangka merumuskan rancangan kebijakan Kerja Sama Pembangunan Internasional
(KPI) sehubungan dengan penyusunan rancangan teknokratik RPJMN 2015-2019.

Ibu Teni selaku Kasubdit Global menyampaikan bahwa draft RPJMN bidang politik
yang sudah disusun oleh Deputi Bidang Polhukhankam sudah cukup komprehensif
dimana sudah terdapat aspek politik dan ekonomi yang diharapkan kedepannya
dapat menjadi seimbang. Selanjutnya, penjelasan detail dari kedua aspek tersebut
perlu dimasukkan dalam kajian Dit. KPI dan diselaraskan dengan sasaran kerja sama
pembangunan internasional.

Beberapa isu utama terkait kerja sama pembangunan global dan KSST dari laporan
pendahuluan yang dipaparkan oleh tim Konsultan (LPEM UI) adalah sebagai berikut:
-
Sub Bidang Kerja Sama Global dan Regional:
1
Kondisi Umum

Bagaimana Indonesia di satu sisi
berupaya mengatasi masalah dalam
negeri dan di sisi lain berperan di ranah
global, dan bagaimana peran tersebut
sejalan dengan kepentingan domestik.
2
Isu Strategis

Peningkatan daya saing nasional di
pasar global.

Keterlibatan spesifik Indonesia dalam
organisasi dan forum global dan
regional: Busan Partnership, GPEDC,
GGGI.
3
4
1
2
Sasaran
Arah Kebijakan dan Strategi

Menguatkan kerangka regulasi yang
diperkuat secara domestik untuk
menopang kegiatan kerja sama global
dan regional.

Menguatkan peran monev untuk
mengukur pencapaian Indonesia di
ranah global dan regional.

Arah Kebijakan: Menuju Indonesia yang
lebih kokoh dalam memajukan
pembangunan nasional dan global.

Strategi: Pemerintah Indonesia harus
bekerja sama dengan negara lain yang
merupakan
stakeholders
dalam
kerangka kerja sama pembangunan
internasional, serta perlu membuat
sistem yang terintegrasi dan memiliki
keterhubungan dengan negara-negara
berpendapatan
lainnya
dalam
memenuhi kebutuhan spesifik negaranegara tersebut tanpa mengorbankan
satu dengan lainnya.
Sub Bidang Kerja Sama Selatan-Selatan dan Triangular:
Kondisi Umum
Isu Strategis

Peralihan pola kerja sama dari Northleddevelopment kepada multipolargrowth led.

Pengakuan internasional atas status
ekonomi Indonesia sebagai newlymiddle income country.

Perlunya KR untuk memayungi KSST
secara lebih jelas dan komprehensif.

Kesiapan menghadapi periode ke II
(2015-2019) dari KSST: isu one gate
policy; penggunaan dan sumber
keuangan; keberlanjutan program;
kapasitas menjadi key player; dan
proses umpan balik melalui monev
yang kuat.
3
4
Sasaran
Arah
Kebijakan
Strategi
dan

Menguatkan Kerangka Regulasi (KR)
pelaksanaan KSST.

Memantapkan
periode II.

Arah Kebijakan: melakukan revisi
terhadap UU dan adanya PP yang
melegitimasi adanya cetak biru dan
grand design KSST; memperjelas
kapasitas timkornas dalam hal peran
dan mandat; memperkuat integrasi
program dan keuangan KSST; dan
merumuskan indikator keberhasilan
dan efektivitas pelaksanaan KSST.

Strategi:
revisi atas UU cth. UU
17/2003 dan membuat PP yang
memayungi KSST; promosi dan
internalisasi KSST terhadap pemangku
kepentingan
domestik;
integrasi
perencanaan program dan kegiatan
KSST dengan perencanaan anggaran;
penguatan kelembagaan pelaksana
KSST; penguatan peran Indonesia
sebgai pusat knowledge sharing.
kesiapan
menuju

Ibu Wiwik dari Dit. Polkom, menyampaikan bahwa rekomendasi pada laporan
pendahuluan kajian Dit. KPI untuk sub bidang KSST sudah sangat detail dan
komprehensif. Terkait sub bidang kerja sama pembangunan global, sudah sejalan
dengan draft RPJM dan RKP yang disusun oleh Dit. Polkom khususnya bagian
diplomasi ekonomi yang ditulis berdasarkan in depth interview terutama dengan
Dirjen Multilateral (Pak Toferi) dan Direktur Pembangunan Ekonomi dan
Lingkungan Hidup (Pak Hasan) di Kemlu. Adapun kendala yang dihadapi pada saat
menyusun draft RPJM dan RKP adalah dalam perumusan grand strategy diplomasi
ekonomi dan grand strategy peran Indonesia di G-20.

Ibu Astri dari Dit. Polkom mengusulkan untuk melibatkan Dirjen Kerja Sama ASEAN
dan Dit. Intra Kawasan ASPASAF Kemlu dalam pembahasan kerja sama
pembangunan regional. Terkait isu strategis terutama kerangka regulasi baik di KSST
maupun global, agar dapat dibuat realistis dan dapat di breakdown target per tahun
serta menuliskan focal point. Untuk kajian yang saat ini dilakukan Dit. KPI dapat
memasukkan kajian kebutuhan pembentukan regulasi atau kebijakan khususnya
untuk KSST yang diperlukan untuk penyusunan KR RKP 2015.

Pak Rolly dari Dit. PIKEI menyampaikan bahwa untuk perdagangan luar negeri
terdapat 4 fokus utama, yaitu: market maintenance, market creation, product
creation, dan import management. Arah kebijakan KSST 5 tahun kedepannya akan
lebih baik jika dapat disinergikan dengan 4 fokus utama tersebut dan dapat
merumuskan strategi timbal balik yang saling menguntungkan. Disamping itu, KPPU
juga dianggap berpotensi untuk dijadikan sebagai pintu masuk untuk KSST.
Kesimpulan dan Tindak Lanjut
 Arahan besar untuk penulisan laporan pendahuluan kajian Dit. KPI tetap mengarah
kepada draft RPJMN dan RKP yang sedang disusun oleh Deputi Bidang
Polhukhankam.
 Belum seimbangnya konten sub bidang kerja sama global dan regional dengan
konten sub bidang KSST pada laporan pendahuluan yang disusun oleh tim konsultan
sehingga perlu adanya brainstorming dengan pihak-pihak di luar Bappenas untuk
mendapatkan lebih banyak bahan.
 Dit. Polkom dan Dit. KPI perlu sering bertemu untuk mendiskusikan substansi terkait
sub bidang global dan regional serta KSST.
 Dit. Polkom akan men-share hasil in depth interview dengan Dirjen Multilateral dan
Direktur Pembangunan Ekonomi dan Lingkungan Hidup Kemlu kepada tim
konsultan.
 Minggu depan Ibu Teni akan bertemu dengan tim konsultan.
 Tim konsultan akan menjelaskan lebih spesifik sub bidang global dan sub bidang
regional secara terpisah pada laporan kajian Dit. KPI.
 Pertemuan dengan tim konsultan berikutnya akan melibatkan Dit. Polkom dan Dit.
PIKEI Bappenas serta Dit. Pak Pungki di Kemenko Perekonomian.
Risalah Rapat
Kajian Background Study Penyusunan RPJMN 2015-2019 Bidang Kerja
Sama Pembangunan Internasional
Hari /Tanggal
Waktu
Tempat
Pimpinan Rapat
: Rabu, 10 September 2014
: 16.00 – 18.40 WIB
: Ruang Staf Direktorat KPI, Lt 6 Bappenas
: Kasubdit KSST, Direktorat KPI Bappenas
A. Umum
1. Rapat dibuka dan dipimpin oleh Kasubdit. KSST, Direktorat KPI Bappenas.
Rapat membahas tentang hasil kajian studi latar belakang penyusunan
RPJMN 2015-2019 Bidang Kerja Sama Pembangunan Internasional (draf
laporan terlampir).
2. Pertemuan ini bermaksud untuk meminta masukan dan tanggapan dari
Kasubdit. KSST dan Kasubdit. Global, Direktorat KPI sebagai bahan dalam
penyempurnaan draf laporan akhir dari kajian yang dilakukan, dan
perencanaan timeline finalisasi output kajian.
3. Diundang Peneliti dari LPEM-UI sebagai narasumber, yaitu Bapak Rus’an
Nasrudin dan Bapak Fithra Faisal. Rapat dihadiri oleh Staf Direktorat Kerja
Sama Pembangunan Internasional.
B. Hasil Diskusi

Beberapa hal yang disampaikan oleh narasumber (Pak Rus’an dan Pak
Fithra - Peneliti LPEM-UI)
1. Pada peyusunan RPJMN 2015-2019, program-program Dit. KPI masih
berada di bawah lingkup bidang politik, hukum, pertahanan dan keamanan,
dan sebagian di bidang ekonomi.
2. Pengamatan perkembangan KPI ditinjau dari track record dan kegiatankegiatan yang telah dilakukan di tahun-tahun sebelumnya. Kemudian
didukung pula dengan beberapa metode lain seperti studi literatur, wawancara
dan FGD dengan pihak terkait, khususnya Kementerian.
3. Salah satu arah kebijakan pada RPJMN III (2015-2019) untuk Sub Bidang
KSST maupun Sub Bidang Regional dan Global adalah kerangka regulasi dan
peraturan perundangan yang menaunginya.
4. Terdapat integrasi yang kuat antara kegiatan KSST dengan kegiatan Regional
dan Global, dimana tujuan akhirnya ialah peningkatan daya saing nasional di
segala bidang, dan menciptakan well-governed di Indonesia.

Beberapa hal yang disampaikan oleh Kasubdit KSST (Pak Priyanto R.)
1
5. Output dari kajian diharapkan tidak terbatas oleh judul yang ada. Perlu pula
6.
7.
8.
9.

dimasukan beberapa isu yang menjadi interest dari Dit. KPI kedepan. Studi
ini diharapkan pula dapat menjadi guide/reminder untuk kinerja Dit. KPI.
Blue print diharapkan dapat menjadi kerangka RPJMN, dan saat ini Dit. KPI
masih membuka untuk masukan untuk blue print yang ada.
Pola kegiatan KSST di kementerian-kementerian perlu ditinjau kembali.
Misalnya di Kementerian Luar Negeri, masih terdapat perbedaan perspektif
tentang kegiatan KSST. Sebagian merujuk kegiatan KSST sebagai langkah
awal menjalin kemitraan atau bagian dari foot printing, sementara sebagian
lainnya mengutamakan aid effectiveness, mengedepankan national interest
dan economic benefit dari kegiatan KSST.
Pada identifikasi keunggulan Indonesia diperlukan indikator kinerja,
penjelasan aplikasi dan pengembangan strategi yang dibuat, sehingga dapat
menentukan center of excellent. Dibutuhkan pula strategi untuk melibatkan
CSO dan sektor swasta pada kegiatan KSST yang akan datang.
Terkait program KSST di tahun 2015, dibutuhkan elaborasi dan rujukan dari
program pemerintah yang akan datang.
Beberapa hal yang disampaikan oleh Kasubdit Global (Bu Teni W.)
10. Kajian sebagai input untuk bahan review dan policy paper, dapat dibuat
11.
12.
13.
14.
15.
16.
dalam bentuk outline report.
Diperlukan pengelompokan terpisah sesuai dengan profil masing-masing sub
bidang regional dan sub bidang global.
Ruang lingkup sub bidang regional adalah hal-hal yang bersangkutan dengan
integrasi kawasan dan perdagangan internasional.
Untuk sub bidang global, kajian dapat dilakukan dengan melakukan break
down berdasarkan forum internasional. Forum-forum internasional yang
menjadi lingkup sub bidang global saat ini adalah G20, GGGI, GPEDC, dan
ICE-SDF.
Terdapat masukan untuk menganalisis positioning Indonesia di forum-forum
global yang telah diikuti, seperti analisis benefit yang dapat diperoleh
Indonesia. Hal ini diperlukan dikarenakan banyaknya forum-forum global
yang telah diikuti oleh Indonesia, dimana posisi dan kekuatan Indonesia pada
forum-forum tersebut, cukup bervariasi sehingga dapat dihasilkan sebuah
strategi dan prioritas keterlibatan Indonesia di dalam forum-forum
Internasional.
Dibutuhkan penajaman pembahasan mengenai kebijakan politik luar negeri
Indonesia, terkait agenda pembangunan, post-MDGs dan post-SDGs yang
tujuan akhirnya adalah keterlibatan Indonesia di forum regional dan global.
Perlu adanya analisis konsolidasi kebijakan-kebijakan yang ada di tingkat
nasional sehingga dapat sejalan dengan posisi dan hasil dari forum-forum
Internasional yang diikuti oleh Indonesia.
2
C. Tindak Lanjut
1. Judul kajian memerlukan perubahan secara substantif. Sesuai masukan, perlu
dibuat outline report dengan susunan baru yang telah diarahkan.
2. Pada bagian peraturan perundangan, pembahasan akan dibuat lebih eksplisit
dengan pemaparan yang lebih detil.
3. Untuk bahan kajian, terdapat beberapa technical issue yang perlu
diperbaharui. Bahan-bahan pendukung seperti arahan pimpinan, dan bahan
tambahan lainnya akan diberikan ke Pak Rus’an dan Pak Fithra via email.
Dapat pula dimasukan informasi lain yang dapat memperkaya kajian.
4. Penyusunan tentative timeline untuk kajian RPJMN 2015-2014 Bidang Kerja
Sama Pembangunan Internasional, sebagai berikut:
Tabel Timeline (tentative) Kajian Penyusunan RPJMN 2015-2019
Bidang Kerja Sama Pembangunan Internasional
No
Kegiatan
Time Frame
1
Penyelesaian Outline
24 September
2
Penyampaian Draft Final
15 Oktober
3
FGD (Narasumber: 1. Madarremeng 2. Makmur
Keliat ) @All Seasons
22 Oktober
4
Konsinyering Persiapan Seminar Kajian (@Hotel
Santika Depok)
31 Oktober-1 November
5
Seminar
12 November
3
Risalah Focus Group Discussion Kajian Kerjasama Pembangunan Internasional
“Telaah Isu Strategis Bidang Kerjasama Pembangunan Internasional”
HARI, TANGGAL
Jumat, 24 Oktober 2014
WAKTU
14.00 – 21.00 WIB
TEMPAT
Ruang Kirana, Hotel Le Grandeur Mangga Dua, Jakarta
PESERTA
Direktur Pendanaan Luar Negeri Multilateral, Bappenas; Perwakilan
Direktorat Perdagangan, Investasi dan Kerja Sama Ekonomi
Internasional, Bappenas; Perwakilan Direktorat Politik dan
Komunikasi, Bappenas; Perwakilan Direktorat Pengembangan Kerja
Sama Pemerintah dan Swasta, Bappenas; Perwakilan Direktorat Jasa
Keuangan dan BUMN, Bappenas; Perwakilan Direktorat Tenaga
Kerja dan Pengembangan Kesempatan Kerja, Bappenas; Staf Pejabat
Pembuat Komitmen Kedeputian Pendanaan Pembangunan,
Bappenas; Staf Direktorat Kerja Sama Pembangunan Internasional,
Bappenas; Tim Sekretariat KSST
AGENDA
Penyampaian:
1. Paparan hasil Kajian Dit. KPI, “Manajemen Kerja Sama
Pembangunan Internasional Indonesia: Tantangan dan
Rekomendasi”.
2. Paparan narasumber 1 (Makmur Keliat), “Catatan tentang
Kerja Sama Pembangunan Internasional”.
3. Paparan narasumber 2 (Kiky Verico), “Masukan terhadap
Kinerja Kerja Sama Pembangunan Internasional”.
SESI PAPARAN KAJIAN
1. Sesi paparan kajian disampaikan oleh dua peneliti LPEM UI yaitu Bapak Fithra Faisal
Hastiadi yang memaparkan kajian kerjasama pembangunan global dan regional; dan
Bapak Rus’an Nasrudin yang memaparkan kajian kerjasama pembangunan SelatanSelatan dan Triangular.

Pada paparannya, Bapak Fithra Faisal menyampaikan hal-hal terkait perkembangan
terkini dari pelaksanaan forum yang diikuti oleh Dit KPI di antaranya:
(i) Dalam forum GPEDC, Indonesia secara khusus mengangkat inisiatif Knowledge
Sharing sebagai aktualisasi konsep beyond aid.
(ii) Dalam G20 DWG, Bappenas menjadi focal point mewakili Pemri untuk
pertemuan DWG
(iii) Keanggotaan Indonesia pada GGGI, sejalan dengan visi Pemerintah RI yang
memandang penting green growth sebagai strategi pengembangan ekonomi
yang bertumpu pada pemanfaatan sumber daya alam secara
berkesinambungan.
(iv) Dalam ICE-SDF, Expert Indonesia telah menyampaikan usulan terkait strategi
pendanaan pembangunan berkelanjutan.
2. Pada paparannya, Bapak Rus’an Nasrudin menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
 Selama periode 2010-2014 dan sebelumnya, Indonesia tercatat telah berperan
aktif dalam kerja sama pembangunan dalam kerangka KSST dengan kontribusi
dana tidak kurang dari 49,8 juta USD. Kontribusi tersebut mencakup 3 sektor: (1)
Pembangunan; (2) Tata Kelola Pemerintahan dan Perdamaian; (3) Ekonomi.

Beberapa kemajuan berarti telah dicapai dalam periode 2010-2014 adalah:
Halaman | 1
(i)
Sebagai jawaban atas persoalan desain nasional, pemerintah telah menyusun
Rencana Induk KSST 2011-2025 dan Cetak Biru KSST 2011-2014.;
(ii) sebagai jawaban atas persoalan belum adanya entitas yang kuat untuk
menangani KSST, pemerintah telah membentuk Tim Koordinasi
Pengembangan KSST (Tim Koordinasi) sebagai satu-satunya kerangka
institusional koordinasi penyelenggaraan KSST oleh pemangku kepentingan
terkait;
(iii) dalam rencana induk dinyatakan 7 program prioritas dan dalam draf Cetak
Biru 11 sektor dengan keunggulan komparatif untuk identifikasi potensi
keunggulan yang dimiliki Indonesia.
3. Isu strategis dan tantangan ke depan dalam kerjasama global dan Selatan-Selatan dan
Triangular:
 Menggali kesempatan dalam forum kerjasama global
 Melihat dampak komitmen yang diambil indonesia dalam forum kerjasama
Global
 Keunggulan komparatif Indonesia
 Tantangan Kerja Sama Selatan-selatan dan Triangular
 Peraturan Perundangan yang Menaungi KSST
 Kesiapan Menghadapi Periode 2 2015-2019
 Prinsip Demand Driven vs. One Gate Policy
 Integrasi Penggunaan dan Sumber Keuangan
 Kepedulian tentang Keberlanjutan Program
 Isu Kapasitas untuk Menjadi Key Player
 Arah kebijakan Kerja Sama Pembangunan Selatan-Selatan dan Triangular:
 Menguatkan kerangka regulasi pelaksanaan KSST
 Memperjelas peran dan mandat pelaksana KSST
 Memperjelas integrasi program dan keuangan KSST
 Merumuskan indikator keberhasilan dan efektivitas pelaksanaan KSST
SESI PAPARAN NARASUMBER
4. Pada sesi ini terdapat paparan berisikan pembahasan dari dua orang narasumber yang
merupakan akademisi Universitas Indonesia yaitu Bapak Makmur Keliat dan Bapak Kiky
Verico.
5. Dalam paparannya, Bapak Makmur Keliat menyampaikan hal sebagai berikut:

Kerjasama pembangunan internasional bila dijelaskan dengan pendekatan teoritik
berasal dari paham Internasionalisme Liberal (paham konvensional). Paham ini
memiliki visi, prinsip dan efek yang mendorong kerjasama internasional. Adanya
pelaksanaan demokrasi, institusi dan aturan negara memudahkan dari kerjasama
tersebut.

Dalam kerjasama pembangunan di tingkat internasional, penting untuk dapat
mengatasi persoalan yang ada di tingkat nasional yaitu keterbatasan fiskal dan
tingginya kebutuhan infrastruktur.

Terkait dengan keikutsertaan dalam forum G20, hal itu merupakan hal sangat baik,
dimana forum tersebut tidak hanya semata membahas isu finance namun juga
pembangunan (infrastruktur).

Hasil penelitian bersama Infid, dalam forum G20 diketahui hanya ada beberapa
negara yang memiliki potensi dapat mendukung pembangunan (infrastruktur) di
Indonesia dan perlu untuk didekati yaitu (i) China, dengan dukungan cadangan
devisanya yang besar; (ii) Korea Selatan, dengan dukungan indikator makro yang
sangat baik, dan (iii) Rusia, dengan kemampuan pendanaan infrastruktur yang
sangat baik. Untuk negara Eropa, tidak disarankan karena tidak memiliki indikator
makro yang baik.
Halaman | 2

Tantangan yang dihadapi saat ini adalah ada pada visi misi pemerintahan baru
yaitu menjadikan Indonesia kompetitif tingkat internasional. Hal tersebut menjadi
tugas dari Bappenas yang merencanakan program pembangunan. Namun yang
perlu diingat adalah perlunya keselarasan antara perencanaan dengan
penganggaran (fiskal dan politis). Perlu mempertimbangkan persoalan tingkat
domestik, dan tidak menambah persoalan tersebut.

Masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan pembangunan terutama pada level
birokrasi adalah (i) tidak memiliki sistem informasi/komunikasi yang sama, dan (ii)
tidak memiliki pemahaman yang terhadap kriteria berbasis performance.
6. Paparan selanjutnya oleh Bapak Kiky Verico. Bapak Kiky Verico menyampaikan hal
sebagai berikut:
 Dalam kerjasama internasional ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu:
 Terkait konteks, sebaiknya perlu diketahui empat hingga lima konteks
kerjasama
 Bentuk organsisasi. Sebaiknya fora atau community memiliki sekretariat. Bila
tidak ada maka hanya akan sekedar pertemuan dan akan sulit untuk certainity
dan sustainability.
 Framework. Konteks kerjasama harus disesuaikan agenda pembangunan
internasional.
TINDAK LANJUT
Adapun tindak lanjut yang diperlukan dari pembahasan dengan narasumber terhadap draft
kajian adalah:
 Dalam kajian, sebaiknya perlu dibuat indikator outcome yang lebih jelas.
Halaman | 3
Risalah Focus Group Discussion Kajian Kerjasama Pembangunan Internasional
“Telaah Isu Strategis Bidang Kerjasama Pembangunan Internasional”
HARI, TANGGAL
Sabtu, 25 Oktober 2014
WAKTU
08.00 – 11.00 WIB
TEMPAT
Ruang Kirana, Hotel Le Grandeur Mangga Dua, Jakarta
PESERTA
Direktur Pendanaan Luar Negeri Multilateral, Bappenas; Perwakilan
Direktorat Perdagangan, Investasi dan Kerja Sama Ekonomi
Internasional, Bappenas; Perwakilan Direktorat Politik dan
Komunikasi, Bappenas; Perwakilan Direktorat Pengembangan Kerja
Sama Pemerintah dan Swasta, Bappenas; Perwakilan Direktorat Jasa
Keuangan dan BUMN, Bappenas; Perwakilan Direktorat Tenaga
Kerja dan Pengembangan Kesempatan Kerja, Bappenas; Staf Pejabat
Pembuat Komitmen Kedeputian Pendanaan Pembangunan,
Bappenas; Staf Direktorat Kerja Sama Pembangunan Internasional,
Bappenas; Tim Sekretariat KSST
AGENDA
FGD Kajian Kerjasama Pembangunan Internasional
“Telaah Isu Strategis Bidang Kerjasama Pembangunan
Internasional”
SESI FOCUS GROUP DISCUSSION
1. Sesi ini merupakan kelanjutan dari sesi hari sebelumnya mengenai Focus Group
Discussion Kajian Kerjasama Pembangunan Internasional “Telaah Isu Strategis Bidang
Kerjasama Pembangunan Internasional”. Sesi ini merupakan sesi FGD dengan peserta.
Terdapat beberapa peserta yang aktif memberikan masukan dan tanggapan.
2. Bapak Dewo Broto Joko, Direktur Pendanaan Pembangunan Luar Negeri Multilateral
menyampaikan beberapa hal berikut:

Ada baiknya bila di dalam kajian terdapat bagaimana kerjasama pembangunan
internasional pada tahun mendatang, tantangan dan kebijakan.

Terkait dengan Tupoksi Subdit Kerjasama Global, beberapa hal yang perlu
diketahui adalah:
 Subdit Kerjasama Global dibentuk terutama untuk keterlibatan dalam forum
internasional, tidak hanya G20 namun juga untuk forum lainnya. G20
merupakan latar belakang atau dasar pembentukan, dimana Bappenas
ditunjuk menjadi focal point pada awal berdirinya forum tersebut. Namun
forum lain juga penting, mengingat dinamika kerjasama global yang terbentuk.
 G20 merupakan forum diskusi, tidak ada sekretariat. Pada keketuaan Prancis,
Indonesia sempat mengusulkan untuk membentuk permanen sekretariat,
namun usul tersebut tidak mencapai kesepakatan. Mengingat forum tersebut
tidak ada konsensus, bilamana satu usul tidak diterima, maka usul tersebut
akan dikeluarkan dari pembahasan.
 Pembahasan G20 saat ini cenderung melemah dalam hal pelaksanaan
Halaman | 1
komitmen. Misalnya untuk pembangunan infrastruktur, setiap negara sepakat
untuk mendorong pembangunan infrastruktur, namun ketika membicarakan
pendanaan, tidak ada satupun yang berkomitmen kuat.
 Dit. KPI diharapkan dapat banyak memberikan kontribusi dalam forum
tersebut.

3.
4.
5.
6.
Saat ini program kerja Subdit Kerjasama Regional belum terlihat. Kerjasama
regional sangat diperlukan, dan penting untuk dikembangkan dan dimaksimalkan.
Seperti BIMP EAGA, IMTGT ASEAN+3 dan ASEAN+6.
 Terkait dengan tupoksi Subdit Kerjasama Selatan-Selatan dan Triangular (KSST)
beberapa hal yang perlu diketahui adalah:
 KSST merupakan kendaraan Indonesia dalam kerjasama pembangunan, tidak
hanya charity, tapi untuk meningkatkan economic deviden, penetrasi pasar,
dan meningkatkan kerjasama serta investasi.
 Tim KSST tidak hanya pemerintah, namun juga terdiri dari KADIN, dan swasta.
Bentuknya adalam Tim Kornas.
 Saat ini pelaksanaan Tim Kornas tidak efektif, dikarenakan fungsinya terbatas
pada koordinasi, tidak dapat membuat keputusan, sedangkan tupoksi ada di
masing-masing kementerian. Kemungkinn bentuk yang paling efektif adalah
membentuk lembaga baru.
 Perlu dibuat indikator yang lebih jelas untuk menentukan arah kerjasama
pembangunan internasional.
 Perlu dipisahkan antara pembahasan kerjasama ekonomi dengan kerjasama
pembangunan. Sebaiknya fokus pada pembahasan kerjasama pembangunan.
Bapak Otho Hernowo Hadi, Kasubdit Politik Luar Negeri menyampaikan perihal
pelaksanaan KSST yang masih jalan di tempat dan perlu untuk dibenahi. Dalam kajian
diharapkan untuk diketahui kerangka regulasi seperti apa yang dapat dijalankan.
Bapak Florentinus Kristiartono, Kasubdit Kerjasama Politik Luar Negeri menyampaikan
hal sebagai berikut:
 Dalam kajian tidak terdapat pembahasan mengenai isu kawasan.
 Dalam kajian belum terlihat jelas isu strategis dan tantangan yang dihadapi .
 Terkait pembahasan isu perdagangan (FTA, hambatan non tarif, dsb) bukan
merupakan pembahasan dari kerjasama pembangunan namun lebih kepada
kerjasama ekonomi.
Bapak Rachmat Mardiana, kasubdit Analisis Tarif dan Risiko, menyampaikan beberApa
hal sebagai berikut:
 perlunya mengkaitkan pembahasan kajian dengan RPJMN dengan mencantumkan
pencapaian yang telah dan harus diperoleh
 perlunya mengidentifikasi Keunggulan komparatif, absolute, pengalaman dan
modal dasar dari kerjasama pembangunan internasional
Ibu Mahatmi Saronto, Perwakilan dari Dit. Tenaga Kerja dan Pengembangan
Kesempatan Kerja menyampaikan bahwa diperlukan kerja sama pembangunan di
bidang ketenagakerjaan, yang dilakukan dalam bentuk kerja sama bilateral dengan
negara-negara yang mau diajak bekerja sama. Selain itu, diperlukan pula upaya kerja
sama dalam rangka perlindungan tenaga kerja di luar negeri, dan knowledge sharing
dengan negara-negara berkembang.
PENUTUP
7. FGD ditutup dengan tanggapan dan kesimpulan yang diberikan oleh Pak Priyanto,
Halaman | 2
Kasubdit KKST yang menyampaikan beberapa hal, di antaranya:
 Tantangan yang dipaparkan dalam kajian belum dapat terlihat dengan jelas,
sebaiknya dilakukan penajaman kembali.
 Knowledge Sharing di bidang tenaga kerja perlu dikembangkan, hal tersebut sesuai
dengan arahan dari Pak deputi yang sangat ingin mengembangkan CLKH .
Kedepannya dapat dikoordinasikan rencana kerja sama dengan Direktorat
Ketenagakerjaan.
 Terkait dengan Global:
 Keketuaan Indonesia pada GPEDC sudah berakhir, diganti dengan Philipina.
Diperlukan roadmap kedepan mengenai keberlanjutan forum tersebut.
 Untuk GGGI: SBY sudah akan menjadi president of council. GGGI memiliki
sekretariat. tantangannya adalah agar GGGi tidak hanya labeling negara maju
namun juga agar negara berkembang dapat bertumbuh
 Untuk ICE-SDF, keterlibatan KPI, sangat personal. Penunjukan Bapak Wakil
Menteri tidak 100 persen mewakili institusi. Namun ada beberapa isu yang
mewakili seperti DRM
 Terkait KSST, saat ini belum ada arahan alam lingkup Polugri untuk
mengedepankan ekonimi deviden. Di dalam draft yang disusun Bapak Otho sudah
dicantumkan. Sehingga dimanapun pencantumannya sudah mewakili economic
deviden.
 Di dalam kajian perlu dijabarkan visi misi Presiden yang terdapat di dalam
nawacita terkait kerjasama pembangunan global, regional dan Selatan-selatan dan
Triangular.
 Di kajian perlu ada pengayaan pengalaman (kasus) seperti contoh di Brazil,
Kolombia, dan Meksiko (international best practices).
TINDAK LANJUT
Dari pembahasan FGD dengan peserta, diperoleh tindak lanjut yang diperlukan untuk
penyempurnaan kajian yaitu:

perlunya pembahasan isu kawasan.
 pemisahan isu kerjsama pembangunan ekonomi dengan kerjasama pembangunan.
 diperlukan indikator outcome kebijakan yang lebih jelas.
Halaman | 3
19.01.2015
"Institutional frameworks of development
cooperation in emerging powers"
Synthesis of findings by think tanks from ten countries
(based on a forthcoming edited volume)
Dr. Guido Ashoff
German Development Institute (DIE), Bonn
Global Dialogue of Agencies and Ministries for International
Cooperation and Development, Jakarta, 4 – 5 December 2013
Structure of the presentation
1.
The book project
2.
Institutional frameworks of emerging powers' development cooperation: Overview
3.
Driving forces for emerging powers to create special institutional
frameworks of development cooperation or reform previous ones
4.
Main features of emerging powers' current institutional frameworks of development cooperation
5.
Challenges and areas for reform in emerging powers' institutional
frameworks of development cooperation
6.
Background information: Institutional frameworks of OECD donors (DAC members): Types and lessons learned
© German Development Institute / Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (DIE)
2
1
19.01.2015
1. The book project (1)
Working title:
"Development cooperation agencies in emerging powers"
Editors:
Jorge Pérez (Instituto Mora, Mexico City)
Elizabeth Sidiropoulos (South African Institute of International
Affairs, SAIIA, Johannesburg)
Sachin Chaturvedi (Research and Information System for Developing Countries, RIS, New Delhi)
Thomas Fues (German Development Institute, DIE, Bonn)
Publication date: Summer 2014
© German Development Institute / Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (DIE)
3
1. The book project (2)
Contributions
Authors
Institutional affiliations
1. The context of Southern development cooperation agencies
New dynamics in international development
cooperation
Elizabeth
Sidiropoulos
South African Institute of International Affairs (SAIIA), Johannesburg
Institutional frameworks Guido Ashoff German Development Institute
of OECD donors: Types
(DIE), Bonn
and lessons learned
© German Development Institute / Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (DIE)
4
2
19.01.2015
1. The book project (3)
Contributions
Authors
Institutional affiliations
2. Case studies
Brazil
André de Mello e
Souza
Institute for Applied Economic Research
(IPEA), Brasilia / Rio de Janeiro
China
Meibo Huang
China Institute for International Development, Xiamen University
Xiaohui Wei
Department of International Economics,
Xiamen University
Colombia
Carlo Tassara
Cooperation and Development Studies
Dept., University of Rome Sapienza
India
Sachin Chaturvedi Research and Information System for
Developing Countries (RIS), New Delhi
© German Development Institute / Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (DIE)
5
1. The book project (4)
Contributions
Authors
Institutional affiliations
2. Case studies (cont.)
Indonesia
Shafiah F. Muhibat
Center for Strategic and International
Studies, Jakarta
Mexico
Jorge Pérez
Instituto Mora, Mexico City
Gerardo Bracho
AMEXCID, Mexico City
South
Africa
Neissan Alessandro University of Witwatersrand, JohannesBesharati
burg
Thailand
Siriporn Wajjwalku
Thamassat University, Bangkok
Turkey
Mehmet Arda /
Julide Oğuz
Center for Economics and Foreign Policy
Studies, Istanbul
© German Development Institute / Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (DIE)
6
3
19.01.2015
1. The book project (5)
Contributions
Authors
Institutional affiliations
3. Concluding contributions
Converging practices and
Thomas Fues
institutional diversity among
Southern and traditional
providers
Synthesis of country studies, conclusions and policy
recommendations
German Development Institute
(DIE), Bonn
Sachin
Chaturvedi
Research and Information System
for Developing Countries (RIS),
New Delhi
Elizabeth
Sidiropoulos
South African Institute of International Affairs (SAIIA), Johannesburg
© German Development Institute / Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (DIE)
7
2. Institutional frameworks of emerging powers'
development cooperation: Overview (1)
Country
Lead ministries
Managing entity or agency
(year of creation)
Status of managing entity
Brazil
Foreign Affairs (MFA)
Agência Brasileira de Cooperação Affiliated to MFA
(ABC; 1987)
China
Commerce
(MOFCOM)
Department of Aid to Foreign
Countries (DAFC; 2003)
Part of MOFCOM
Executive agencies under DAFC
Supervised by DAFC
Aid units of line ministries
Part of line ministries
CEXIM Bank
Colombia
Presidency
Agencia Presidencial de Coopera- Assigned to the
ción Internacional (APC ColomPresidency
bia; 2011)
India
Foreign Affairs (MFA)
Development Partnership Administration (DPA; 2012)
Division under MFA
EXIM Bank
© German Development Institute / Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (DIE)
8
4
19.01.2015
2. Institutional frameworks of emerging powers
development cooperation: Overview (2)
Country
Lead ministries
Managing entity or
agency
(year of creation)
Indonesia
National Coordination
Team on SSTC
Technical Committee +
Secretariat (2010)
Steering Committee
(chaired by Planning,
co-chaired by MFA)
Status of managing entity
Under the National
Coordination
Team
Mexico
Foreign Affairs (MFA)
Agencia Mexicana de Coo- Decentralized
peración Internacional para body of MFA
el Desarrollo (AMEXCID;
2012)
South
Africa
Planned: International Planned: South African De- Planned: SemiRelations and Coope- velopment Partnership
autonomous govration (DIRCO)
Agency (SADPA)
ernment entity
© German Development Institute / Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (DIE)
9
2. Institutional frameworks of emerging powers'
development cooperation: Overview (3)
Country
Lead ministries
Managing entity or agency
(year of creation)
Thailand
Foreign Affairs
(MFA)
Thailand International Cooperation Agency (TICA; 2004)
Focal agency
under the MFA
Finance
Neighbouring Countries Economic Development Cooperation Agency (NEDA; 2005)
Public organisation under supervision by the Ministry of Finance
Prime Ministry
(since 1999; before: Foreign
Affairs)
Turkish Cooperation and CoLegal entity of its
ordination Agency (TIKA; 1992; own
until 2011: Turkish Cooperation
and Development Agency)
Turkey
© German Development Institute / Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (DIE)
Status of managing entity
10
5
19.01.2015
3. Driving forces for emerging powers to create special institutional
frameworks of development cooperation or reform previous ones
Driving forces
Countries
1. Increasing provision of development cooperation All countries
(South-South cooperation, triangular cooperation)
2. Transformation of agencies managing incoming
aid into agencies (also) managing outgoing aid
Brazil, Colombia,
Mexico
3. Reforms of the institutional frameworks due to
- changes in the political motives of cooperation
- changes in the cooperation provided
- inadequate performance of former frameworks
Brazil, China, Colombia, India, Mexico,
South Africa,
Thailand, Turkey
4. Need to professionalise development cooperation Brazil, India, Indoneprovided and improve its efficiency/effectiveness sia, South Africa,
Thailand
5. Coordination of the multitude of government insti- China, Colombia, Intutions involved in South-South cooperation
dia, Indonesia, Thailand, S. Africa, Turkey
© German Development Institute / Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (DIE)
11
4. Main features of emerging powers' current institutional
frameworks of development cooperation (1)
Feature
Type
Countries
1. Lead ministry
Foreign Affairs
Brazil, India, Mexico, South
Africa (planned), Thailand
Presidency/Prime Ministry
Colombia, Turkey
Planning + Foreign Affairs
Indonesia
Commerce
China
Entities within or under the
lead ministry
Brazil, China, Colombia,
India, Indonesia
Decentralised, semi-autonomous, autonomous entities
Mexico, South Africa (planned), Thailand, Turkey
2. Managing
entities
© German Development Institute / Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (DIE)
12
6
19.01.2015
4. Characteristics of emerging powers' current institutional
frameworks of development cooperation (2)
Feature
Type
Countries
3. Focus
Beyond dev. cooperation
Mexico
Incoming + outgoing aid
Brazil, Colombia, Mexico
Outgoing aid only
China, India, Indonesia,
South Africa (planned),
Thailand, Turkey
Separated between lead
ministry and managing entity
Brazil, Colombia, India,
Turkey
Policy form. + management
integrated into lead ministry
China, Indonesia
Managing entity with some
policy formulation competence
Mexico, South Africa
(planned), Thailand
(TICA)
4. Relationship
between policy
formulation
and management
© German Development Institute / Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (DIE)
13
4. Characteristics of emerging powers' current institutional
frameworks of development cooperation (3)
Feature
Type
Countries
5. Mandate of
managing
entity
(Co-)formulation of
dev. coop. strategy
China, Indonesia, Mexico, South
Africa (planned), Thailand (TICA)
Management of dev.
coop. projects +
programmes
Brazil, China, Colombia, India,
Mexico, South Africa (planned),
Thailand, Turkey
Coordination of other Brazil, China, Colombia, India,
government institu- Indonesia, Mexico, South Africa
tions providing aid
(planned)
6. Own budget /
financial authority of managing entity
Yes
Colombia, India, Mexico (planned), South Africa (planned),
Thailand, Turkey
No
Brazil, China, Indonesia
© German Development Institute / Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (DIE)
14
7
19.01.2015
4. Characteristics of emerging powers' current institutional
frameworks of development cooperation (4)
Feature
Type
Countries
7. Current
system
created
Recently (since 2010)
Colombia, India, Indonesia, Mexico, South Africa (planned),
Before 2010
Brazil, China, Thailand, Turkey
8. Legal basis Special law
Other (e.g. decree)
9. Overseas
Yes
offices of
the managNo
ing entity
Mexico, South Africa (planned)
Brazil, China, Colombia, India,
Indonesia, Thailand, Turkey
Thailand (TICA; from 2013), Turkey
Brazil, Colombia, Colombia, India,
Indonesia, Mexico, South Africa
© German Development Institute / Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (DIE)
15
4. Characteristics of emerging powers' current institutional
frameworks of development cooperation (5)
Feature
Type
Countries
10. Major reforms announced or
under way
Extending the mandate beyond aid + new lead ministry (Development, Industry and Commerce)
Brazil: ABC → ABCD
Agency still to be created
South Africa (SADPA)
Consolidation of agency
Mexico (AMEXCID)
Agency in transition
Thailand (TICA)
© German Development Institute / Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (DIE)
16
8
19.01.2015
5. Challenges and areas for reform in emerging powers'
institutional frameworks of development cooperation (1)
Challenge / area for reform
Countries
Systemic level (aid system as a whole)
1. Fragmentation of the aid system (many govern- Brazil, Indonesia,
ment entities involved in development coopeSouth Africa, Thailand,
ration without sufficient coordination
Turkey
2. Need to reconsider the appropriateness of the
current (planned) institutional framework of policy formulation and management of development cooperation (different options discussed)
China, Indonesia,
South Africa
3. Need to clarify which ministry takes the lead
Indonesia, South Africa
4. Need to clarify the relationship between the
agency and the lead ministry; call for greater
autonomy of the agency (e.g. budget)
Brazil, Mexico
© German Development Institute / Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (DIE)
17
5. Challenges and areas for reform in emerging powers'
institutional frameworks of development cooperation (2)
Challenge / area for reform
Countries
5. Need for an integrated dev. assistance strategy to be
complemented by country assistance strategies
Thailand, Turkey
6. Need for general guidelines for development coopera- Brazil
tion of all government institutions
Management (agency) level
7. Mandate of agency too broad (going beyond dev.
coop.); need to keep focus on dev. coop.
Brazil (ABCD),
Mexico
8. Need to better coordinate incoming and outgoing aid
South Africa
9. Need to better coordinate different agencies operating Thailand
in development cooperation
© German Development Institute / Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (DIE)
18
9
19.01.2015
5. Challenges and areas for reform in emerging powers'
institutional frameworks of development cooperation (3)
Challenge / area for reform
Countries
Management (agency) level
10. More and better qualified staff required (agency and lead ministry); align human resources
with mandate
Brazil, South Africa,
Thailand
11. Inadequate internal organisation (geographic
rather than sectoral focus)
Brazil
12. Need for strengthened and sound monitoring
and evaluation systems (for the sake of efficiency, effectiveness and transparency)
Brazil, Colombia, India,
South Africa, Turkey
13. Need to improve aid effectiveness
India, South Africa,
Turkey
© German Development Institute / Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (DIE)
19
5. Challenges and areas for reform in emerging powers'
institutional frameworks of development cooperation (4)
Challenge / area for reform
Countries
Relationship with partner countries
14. Need for better alignment with partner countries' strategies and plans
Thailand
15. Need for better assessment of demand for
South-South and triangular cooperation
Indonesia
16. No institutional presence of agency at partner
country level (with very few exceptions)
Brazil
© German Development Institute / Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (DIE)
20
10
19.01.2015
6. Background information: Institutional frameworks of OECD donors
(DAC members): Types and lessons learned (1)
Institutional frameworks
Countries
1. Legal basis of ODA
a) Special legislation (16)
Austria, Belgium, Canada, Denmark, Greece, Iceland, Italy, Korea, Luxembourg, Poland, Portugal
Slovak Republic, Spain, Switzerland, United Kingdom, United States
b) No special legislation (11)
Australia, Czech Republic, Finland, France, Germany, Ireland, Japan, Netherlands, New Zealand,
Norway, Sweden
2. Overall policy statements
Virtually all DAC members in different forms such as:
Overarching documents, White Papers, multi-year or
medium-term plans, strategic guidelines, statements
on core issues (e.g. poverty reduction, aid effectiveness, global development)
© German Development Institute / Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (DIE)
21
6. Background information: Institutional frameworks of OECD donors
(DAC members): Types and lessons learned (2)
Institutional frameworks
Countries
3. Lead ministry (ministries) for ODA
a) Ministry of Foreign Affairs (21)
Australia, Austria, Belgium, Canada,
Czech Republic, Denmark, Finland,
Greece, Iceland, Ireland, Italy, Japan,
Luxembourg, Netherlands, New Zealand, Norway, Poland, Slovak Republic,
Spain, Sweden, United States
b) Foreign Affairs + Treasury (2)
France, Portugal
c) Prime Minister + Foreign Affairs +
Treasury (1)
Korea
d) Foreign Affairs + Economic Affairs (1)
Switzerland
e) Separate development cooperation
ministries (2)
Germany, United Kingdom
© German Development Institute / Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (DIE)
22
11
19.01.2015
6. Background information: Institutional frameworks of OECD donors
(DAC members): Types and lessons learned (3)
Institutional frameworks
Countries
4. Organisational structure
a) Lead ministry + separated
implementing agencies
(15)
Austria, Belgium, Czech Republic, France, Germany, Iceland, Japan, Korea, Luxembourg, Norway,
Portugal, Slovak Republic, Spain, Sweden, USA
b) Management integrated
into lead ministry (12)
Australia, Canada, Denmark, Finland, Ireland,
Greece, Italy, Netherlands, New Zealand, Poland,
Switzerland, United Kingdom
5. Other government institutions involved in ODA
All DAC members (except Denmark, Finland)
6. Permanent interministerial cordination
committees on ODA
Yes (18): Australia, Austria, Belgium, Czech Republic, Greece, France, Germany, Ireland, Italy,
Iceland, Japan, Korea, Luxembourg, Portugal,
Slovak Republic, Spain, Switzerland, USA
No (9): Canada, Denmark, Finland, Norway,
Netherlands, New Zealand, Poland, Sweden, UK
© German Development Institute / Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (DIE)
23
6. Background information: Institutional frameworks of OECD donors
(DAC members): Types and lessons learned (4)
DAC recommendations to emerging OECD donors (before DAC accession)
Special DAC Peer Reviews: Czech Republic (2007), Korea (2008), Poland (2010),
Slovak Republic (2010/11), Slovenia (2011)
Main recommendations (based on lessons learned) stressing the need for:
•
Sound political backing of ODA (by legislation and/or an overall government statement and by creating public support)
•
An explicit strategy (outlining the objectives to be achieved and the comparative
advantage to be used)
•
Clearly defined responsibilities of the government entities involved in ODA with a
strong lead function and appropriate coordination mechanisms
•
A more focused approach in terms of fewer countries, sectors and activities to
achieve better results and increase both the impact and visibility of ODA
•
Results-based management including monitoring and independent evaluation
•
Consistent human resource development in the ministries and managing agencies involved in ODA to professionalise policy formulation and implementation
© German Development Institute / Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (DIE)
24
12
19.01.2015
Thank you for your attention!
German Development Institute /
Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (DIE)
Tulpenfeld 6
D-53113 Bonn
Telephone: +49 (0)228-949 27-0
E-Mail: [email protected]
www.die-gdi.de
www.facebook.com/DIE.Bonn
© German Development Institute / Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (DIE)
25
13
1/19/2015
Finalisasi Background Study
Penyusunan RPJMN 2015-2019 – POLUGRI
23 Oktober 2014
Polugri
1
1/19/2015
1. Polugri
Polugri Bebas Aktif
Demokrasi & Tata
Kelola
5. Infokom
1
NAWA CITA
2
Revolusi Karakter
Bangsa
BERDAULAT
POLITIK
Kebhinekaan & Restorasi
Sosial
10. Pemberdayaan
Perempuani
TRISAKTI
8
BERDAULAT
EKONOMI
9
BERKEPRIBADIAN
DALAM BIDANG
KEBUDAYAAN
Mengedepankan identitas
Indonesia sebagai Negara
kepulauan dalam
pelaksanaan diplomasi
dan membangun
kerjasama internasional
Melindungi segenap bangsa
& memberikan rasa aman
pada seluruh warga negara :
• pelaks polugri bebas aktif;
• bangun wibawa polugri;
• mereposisi peran
Indonesia dalam isu
global
Penataan Infrastruktur
Diplomasi
6. Kelembagaan
Demokrasii
1. Pendidikan
pembentuk
Karakter
Bangsa
2. Memperteguh
Kebhinekaan &
Restorasi Sosial
Meningkatkan peran
Indonesia di
keterlibatan global
melalui diplomasi
Middle Power
Memperluas mandala
keterlibatan regional di
kawasan indo pasifik
2
1/19/2015
Perundingan
perbatasan darat
(3 negara))
Pengiriman
4000 pasukan
perdamaian
dunia
Akses info
Perundingan
perbatasan
maritim (7
negara)
Perundingan
perbatasan
efektif
Diplomasi Maritim
penyelesaian
permasalahan
perbatasan
Intensifkan
diplomasi
pertahanan
Mengedepankan identitas
Indonesia sebagai Negara
kepulauan dalam
pelaksanaan diplomasi
dan membangun
kerjasama internasional
Mendorong
penerapan South
East Asia Nuclear
Weapon Free Zone
Keamanan dan
kesejahteraan
pulau –pulau
terdepan
Meredam rivalitas
maritim di antara negara
besar dan mendorong
penyelesaian sengketa
territorial di kawasan
penerapan CoC oleh
negara-negara
bersengketa di LCS
Mengamankan
SDA dan ZEE
Meningkatkan peran
Indonesia dalam
menjaga stabilitas
kawasan ASEAN
kerjasama kesetaraan
negara anggota ASEAN
dengan negara-negara
mitra wicara
terbentuknya
traktat
persahabatan
di kawasan
Asia Pasifik
Kerjasama
Bilateral - MCN
Mendorong
Comprehensive
Nuclear Test
Ban Treaty
Peran Indonesia
dalam
pemeliharaan
perdamaian dunia
diplomasi
penanganan
konflik di Timur
Tengah
Shelter
Bantuan Hukum
Diplomasi
penanganan
people smuggling/
irregular migration
Akses info
Meningkatkan
kualitas
perlindungan
WNI di LN
Peran Indonesia
dalam
pemeliharaan
perdamaian dunia
Aktif dalam
OKI
Dialog HAM dan
interfaith
Meningkatkan peran
Indonesia di keterlibatan
global melalui diplomasi
Middle Power
Pelaksanaan
Indonesian Chair
Mendorong penempatan putra
putri terbaik Indonesia di dalam
organisasi internasional dan
regional khususnya di PBB, OKI,
dan Setnas ASEAN
Penyiapan dan promosi
putra putri Indonesia untuk
mampu menempati posisi
strategis di organisasi
internasional dan regional
Penguatan BDF &
knowledge hub
demok & resolusi
konflik
Mendorong
reformasi PBB
Aktif mendorong
kerjasama
multilateralisme
Melindungi hak
dan keselamatan
WNI di luar negeri
Repatriasi
Penanganan
TOC
Pemajuan HAM
& Demokrasi
Kerjasama global &
regional membangun
demokrasi & toleransi
antar kelompok
Peningkatan
KSST
Penyusunan dan
penyampaian model
komunikasi untuk
penegakan HAM dan
demokrasi
Kkoordinasi kebijakan lebih
erat antara negara anggota
G-20 menuju pemulihan
ekonomi global
Memperjuangkan
kerjasama berimbang
dan relevan di G-20
Memajukan kepentingan
negara berkembang dan
menjaga terciptanya sistem
perekonomian global yang
inklusif dan berkelanjutan
Sharing success
story Indonesia
mengatasi krisis
ekonomi
Pembentukan
global expenditur
e support fund
konsensus
selaku bridge
builder
3
1/19/2015
Diplomasi perbasis
intellectual resources
Penguatan
kapasitas
domestik
Penanganan konflik kawasan
melalui mekanisme ASEAN
termasuk sengketa LCS
Penguatan
kelembagaan
Kesiapan publik
domestik dan
kepemimpinan
Indonesia di ASEAN
kemitraan dgn
pemangku
kepentingan
Konsolidasi kepemimpinan di
ASEAN ; Memperkuat arsitektur
regional; Mengelola dampak
integrasi ekonomi reg dan
perdagangan bebas terhadap
kepentingan ek nasional
Memperluas mandala
keterlibatan regional di
kawasan indo pasifik
Mendorong
kerjasama maritim
komprehensif
Memperkuat dan
mengembangkan
kemitraan strategis
bilateral
Pemantapan
Kerjasama
IORA
Perdagangan
Diklat tematik dan
fokus isu
Reorganisasi
Kemenlu
diplomasi politik
seiring target
diplomasi ekonomi
Indeks Diplomasi
Penguatan peran
representasi, perlindungan,
komunikasi , informasi dan
kerja asma
Penguatan instrumen
diplomasi ekonomi
Pengembangan keahlian
khusus (asset recovery,
hukum laut internasional,
dan riset strategis dan
teknologi
peran di APEC
dan G-20
kontribusi terbentuknya
norma/rezim internasional
yang mengatur energy &
food security sbg public
goods
Perhubungan
laut
Anggaran
Menguatkan
diplomasi ekonomi
Indonesia
Peran aktif RCEP
Pariwisata
Perindustrian
Penguatan
diplomasi perluasan
pasar prospektif
Penataan Infrastruktur
Diplomasi
Kerja sama Media
Kerja sama Univ
dan pusat riset
Perluasan partisipasi
publik dalam proses
kebijakan dan
diplomasi
Epistemic
Community
Koordinasi strategis antarK/L
maupun dengan dalam politik
Luar negeri
Kementerian
DPR
Pemda
4
1/19/2015
Kerangka Regulasi
Penguatan Pelaksanaan Kerja Sama Selatan Selatan dan Triagular
(KSST) Indonesia
• Latar Belakang
:
– Indonesia sebagai Middle Income Country
– peran aktif dalam kerja sama pembangunan (KSST)
– Koordinasi lebih terstruktur dan efektif efisien antar K/L.
• Tujuan :
– Mempercepat kesiapan
– Menjamin efektivitas pelaksanaan KSST Indonesia
• Kebutuhan Regulasi :
– Revisi Undang Undang 17/2013 tentang Keuangan Negara, dan
pembuatan Peraturan Pemerintah tentang Kerja Sama Selatan-Selatan
dan Triangular Indonesia (sebagai basis legal)
5
1/19/2015
6
1/19/2015
Kiki Verico, Ph.D
1
LPEM FEUI
2
1
1/19/2015
% of Export
sum by row
North
America
Latin
America
Western
Europe
Africa
Middle
East
Asia
North America
39.5
16.5
19
1.3
2.1
20.9
Latin America
60.8
17
12.1
1.2
1.2
6.3
Western
Europe
10.3
2.3
67.5
2.5
2.6
7.8
Africa
17.7
3.5
51.8
7.8
2.1
14.9
Middle East
16.5
1.3
16.5
3.8
7.6
47.3
Asia
25.1
2.7
16.8
1.6
3
48.2
3
118, 721
 BFTA  MTA
Global
i 1
(MFN)
Jagdish Bhagwati,1995
(RTAs are not effective while
BFTAs are Stumbling Block)
Pascal Lamy, 2007
(The ‘pepper in the multilateral ‘curry’)
2
5 ADB
Sub-Regional
ECSC;
IMT, BIMP, SIJORI;
ITRO
Regional
Richard E Baldwin,1997
(BFTAs are Building Block)
1
Close
(CU/EC)
Anne Krueger, 1970
Open
regionalism
Ensuring
WTO accession
success
Bilateral
4
6 ADBI
ASEAN+
(AFTA+)
(First mover advantage &
Snowballing effect &
Triggered action)
3
• Unilateral
• Multilateral Variance
Sumber: Verico, Kiki, 2012
4
2
1/19/2015
REGIONAL ECONOMIC INTEGRATION
THEORY
FTA
CU
Free Trade Area
(1957-1967)
Free flows of goods
(output market),
Treaty of Rome
Treaty of Paris, 1951:
ECSC,EURATOM, EPU
CM
Custom Union
(1967-1987)
Trade Diversion to
Investment Creation
(transition output &
input market)
Economic Community
SMU
SC
Common Market
(1987-1993)
Free flows of capital
people
(input market)
Single Monetary Union Single Currency
(1999-2002)
(1993-1999)
Single Currency
Monetary policy union
preparation and exist until
now)
Single Market
(Real Sector
Convergence)
Treaty of Maastricht,1992 Monetary, Single Currency
(OCA, ERM)
(SGP, EMS to ECB)
5
CONCLUSION AND RECOMMENDATION
FOR THE ASEAN ECONOMIC COMMUNITY
FTA
ASEAN Free Trade Area
(1986:CU
failed;1992:AFTA
agreed,1999:full
commitment,CEPT10/5/
0: 2002,2010,2015)
FTA+
AJFTA, ACFTA,
AKFTA, RCEP,
Others
(2008-……)
Regional Trade Arrangement
(1976)
Treaty of Amity & Cooperation/TAC
EC
ASEAN Economic
Community
without CU
(2015)
CM
If follows EU’s
time line then
achieve ASEAN
Single Market
(ASM) in 2035
until 2040
SMU
If follows EU’s
time line then
achieve SM in
2045.
2035-2040:ASM
2040-2045:
SMU Preparation
SC
If follows EU’s time line
then achieve SC in 2050.
2045-2050:
ASC preparation
Source: http://asiapacific.anu.edu.au/blogs/indonesiaproject/2013/05/03/asean-economic-integration-challenges-and-strategies/
6
3
1/19/2015
Proporsi Sektor
60%
53.0%
50.0%
49%
50%
49.0%
47.0%
46.0%
42.0%
40%
33.0%
30%
27.0%
25%
20%
[VALUE]
23.0%
16.0%
15%
11%
10%
30.0%
29.0%
14.0%
12.0%
12.0%
10.0%
10.0%
2005-2010
2010-2015
14.0%
13.0%
11.0%
10.0%
15.0%
10.0%
0%
2005
PERTANIAN
2015-2020
PERTAMBANGAN
2020-2025
2025-2030
INDUSTRI
2030
JASA
Sumber: BPS, diolah LPEM, 2007
7
GDP/KAPITA (US$)
20,000
Lower
Income
Country
<US$ 756
16,000
14,000
18,000
Upper Middle
Income
Country
US$ 2996-US$ 9,266
Lower Middle
Income
Country
US$ 756-US$ 2,996
12,000
SUSTAIN
(>2023)
BUILD
(2016-2023)
FIX
(2005-2015)
18,000
High
Income
Country
>
US$ 9,266
9,903
10,000
8,000
6,715
6,000
4,132
4,000
2,000
1,660
638
1,025
2,448
1,191
802
1990
1992
2000
2004
2006
2010
2015
2020
2023
2030
GDP/KAPITA (US$)
Sumber: BPS, diolah LPEM, 2007
8
4
1/19/2015
Pertumbuhan Ekonomi Menurut Sektor
14.0%
11.6%
12.0%
10.2%
10.0%
8.6%
8.8%
9.2%
9.0%
7.5%
8.0%
8.6%
8.4%
7.6%
7.3%
6.0%
11.9%
10.6%
6.1%
6.2%
4.0%
5.7%
5.2%
4.5%
6.3%
5.8%
2.0%
0.0%
2005-2010
2010-2015
PERTANIAN
2015-2020
INDUSTRI
2020-2025
JASA
2025-2030
PDB
9
Sumber: Diolah LPEM FEUI, 2007
Dilemma EC
Open
Regionalism
(FTA, FTA+)
Close
Regionalism
(CU, EC)
Trade Creation > Trade
Diversion
C:
LessCompetitive
Local Firms of
Member
B:
Intra
Investment
Creation
Trade Diversion > Trade
Creation
Indonesia
o
o
Model
Graph
Paradox
Sumber: Verico, Kiki, 2013
C:
MostCompetitive
Firms of
Non-Member
B:
Extra
Investment
Creation
EU
History of
Anti-AFTA,
ACFTA, spirit
of
Trade Law
Success story
of CU or EC
No Paradox
Changing
strategy from
non-members
10
5
1/19/2015
HIGHLIGHTS:
CRITICAL CHALLENGE IN RI
 Bab XII Kerjasama Perdagangan Internasional
 Pasal 83: Pemerintah dapat berkoordinasi dengan DPR untuk melakukan perjanjian
perdagangan.
 Pasal 84 ayat 1: Setiap perjanjian perdagangan internasional disampaikan kepada DPR paling
lama 90 hari kerja setelah penandatanganan perjanjian.
 Pasal 84 ayat 5: Dalam hal perjanjian internasional yang dapat membahayakan kepentingan
nasional, DPR bisa menolak penjanjian perdagangan internasional.
 Note: Sebelumnya, Pemerintah dapat melakukan perjanjian perdagangan internasional tanpa
perlu ‘melapor dan izin’ dari DPR.
 # Principle - Agent risk: principle (DPR) & agent (government)  asymmetric in nature
 # Different Interest risk: government vs DPR  potentially distorts the market
 # Time-Frame risk: long-run negotiation vs short-run elected DPR members  back to the
case of ACFTA
11
12
6
19/01/2015
Kerjasama Pembangunan
Internasional
Makmur Keliat
Struktur Paparan
• I Pendekatan Teoritik
• II. Realitas
• III. Tantangan
1
19/01/2015
I. Pendekatan Teoritik
Kerjasama Internasional
• Pendekatan Konvensional (Mainstream)
• Produk dari Liberal Institutionalism
• Apakah Institusionalisme Liberal itu?
Liberal Internationalism: Visi, Prinsip
dan Mekanisme
Vision: Open, Rules Based System
Trade, cooperate for mutual gain
Common interest establishment of
cooperative world order
Principles: restraint, reciprocity and sovereign equality
Solving security dilemma, pursuing
collective action
Powerful states act with restraint
Trade and exchange have civilizing and modernizing effect on states
Undercutting Illiberal tendencies
Strengthening fabric of international
community
2
19/01/2015
Liberal Internationalist
Institutions and rules
between states facilitate
and reinforce
cooperation
Democracy operates
within rules-based
international system
Tipe-Tipe liberal order
Liberal
Internationalism
1.0
Liberal
Internationalism
2.0
Liberal
internationalism
3.0
3
19/01/2015
Versi 1.0
1. Scope → the size of liberal order
Universal membership
2. Sovereign-independence → degree of legal-political
restrictions on state sovereignty within liberal order;
Westphalian sovereignty
3. Sovereign-equality→ degree of hierarchy within liberal
order.
Flat political hierarchy
4. Rule of law→ nature of operational rules of liberal order.
International law through moral suassion and global public opinion
5. Policy domain→ focus/concern
Restricted to open trade and collective security.
Version 2.0
1. Scope → the size of liberal order
Western-oriented security and economic system
2. Sovereign-independence → degree of legal-political
restrictions on state sovereignty within liberal order;
Compromise legal independence to gain greater state capacity
3. Sovereign-equality→ degree of hierarchy within liberal
order.
Hierarchical order, US hegemonic
4. Rule of law→ nature of operational rules of liberal order.
Rules and institutions through reciprocity and bargaining
5. Policy domain→ focus/concern
Expanded policy domains, including economic regulations and human
rights
4
19/01/2015
Version 3.0
1. Scope → the size of liberal order
Universal scope, expanding membership , not limited to western world
2. Sovereign-independence → degree of legal-political
restrictions on state sovereignty within liberal order;
Post-westphalian, intrusive, interdependent economic and security regimes
3. Sovereign-equality→ degree of hierarchy within liberal
order.
post-hegemonic hierarchy, various groupings of leading states occupy
governing institutions
4. Rule of law→ nature of operational rules of liberal order.
Expanded rules based system, with network based cooperation
5. Policy domain→ focus/concern
Further expansion of policy domains
Sebab-Sebab Versi 3,0?
• 1.New geo-economic realities (munculnya
kekuatan baru misalnya BRICs)
• 2. New strategic concerns (misalnya energy
security)
5
19/01/2015
New Economic Realities
BRICS
Jejaring Keamanan Energi
Petro
American
South
American
Energy
Council
Petro
Andina
PetroSur
Petro
Caribe
6
19/01/2015
Persoalan Pembangunan Infrastuktur
di Indonesia
• Kondisi makroekonomi Indonesia :
– Tingkat pertumbuhan ekonomi dalam lima tahun
terakhir rata-rata sebesar 6%.
– Cadangan devisa lebih dari US$ 100 miliar.
– Defisit anggaran tidak pernah melebihi angka 3
persen.
• Namun, pembangunan infrastruktur di
Indonesia cukup memprihatinkan.
II. Realitas
• A. Persoalan Pembangunan Infrastruktur
(jangka menengah dan panjang)
• B. Persoalan Konsolidasi Fiskal (jangka
pendek)
• Catatan: Kerjasama Internasional harus
mengatasi dua realitas ini
7
19/01/2015
A. Kondisi Pembangunan
Infrastuktur Indonesia
• Laporan Standard Chartered Bank (2011) :
– Daratan (land infrastructure)  Indonesia
memiliki rasio jarak jalan per km dengan luas
wilayah yang paling rendah di kawasan.
– Pelabuhan udara (airports)  Permasalahan :
sarat beban, hambatan pendanaan, pembebasan
tanah.
– Pelabuhan laut (seaports)  Pelabuhan laut di
Indonesia tertinggal dibandingkan dengan
pelabuhan laut di Asia Tenggara.
– Listrik (electricity)  rumah tangga yang memiliki
fasilitas listrik di Indonesia hanyalah sekitar 63%
dari seluruh rumah tangga yang ada.
Ketidakseimbangan Pembangunan
Infrastuktur
• Adanya kecenderungan ketidakseimbanganketidakseimbangan (imbalances) dalam
pembangunan infrastruktur di Indonesia.
– Ketidakseimbangan dalam pengertian dimensi
geografis.
– Ketidakseimbangan antara pertumbuhan ekonomi
dengan pertumbuhan pembangunan infastruktur.
– Ketidakseimbangan dalam pengertian makna
infrastruktur.
– Ketidakseimbangan dalam pengertian dimensi
anggaran.
– Ketidakseimbangan antara tataran kebijakan dengan
8
19/01/2015
B. Masalah Konsolidasi Fiskal
Nota Keuangan RAPBN 2015
BELANJA NEGARA : 2.019.868,3
PENDAPATAN NEGARA : 1.762.296,0
DEFISIT : 257.572,3
1 . Pengeluaran: Subsidi Enerji yang terlalu besar
2. Pendapatan; Rasio Pajak Yang Rendah
Untuk pertama kali APBN menembus angka 2000 triliun rupiah.
9
19/01/2015
“Ketidaknormalan” Fiskal
• Besaran subsidi energi dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (RAPBN) 2015, dinilai fantastis, yakni mencapai Rp
363,5 triliun. ( Ini berarti 3,27 persen dari GDP atau sama dengan
18 persen dari APBN)
• Jika pemerintah baru bisa menghemat subsidi energi sebesar Rp
100 triliun saja, anggaran tersebut bisa dialokasikan untuk
pembangunan infrastruktur.
• PDB Indonesia sebesar 11.102,156 triliun rupiah. Sementara
Penerimaan Negara dari Pajak sebesar 1.370.827,2 triliun. Maka,
rasio pajak terhadap PDB hanya berkisar 12,34% (rendah).
• Penambahan 1% dari PDB akan menambah sekitar 110ribu triliun.
• Penerimaan Negara bukan pajak sebesar 388,037 triliun yang paling
besar berasal dari Pendapatan SDA (3,5% dari PDB).
Tantangan
• 1. Bagaimana menyikapi BRICS?
• 2. Bagaimana menyikapi G20?
• 3. Bagaimana menyikapi dan menerjemahkan
visi misi Jokowi-JK khususnya mewujudkan
bangsa yang berdaya saing?
10
Risalah Rapat Pembahasan Draft Final Kajian RPJMN 2015-2016 Bidang Kerja Sama
Pembangunan Internasional
TANGGAL:
18 NOVEMBER 2014
PIMPINAN RAPAT
WAKTU:
16.00 – 20.00 WIB
TEMPAT:
RUANG SS-4, LT.2 GEDUNG
BAPPENAS
Ibu Teni Widuriyanti, Kasubdit Global Direktorat Kerja Sama
Pembangunan Internasional Bappenas
DISKUSI
Agenda pada pertemuan ini adalah pembahasan perkembangan draft final kajian sebagai tindak
lanjut dari FGD yang telah dilaksanakan sebelumnya pada tanggal 24 Oktober 2014, dan untuk
persiapan seminar yang direncanakan akan dilaksanakan pada bulan Desember 2014 mendatang.
I. Pembahasan Draft Final Kajian
A. Sub-Bidang Global
1. Saat ini laporan masih berbentuk review sehingga pada beberapa bagian masih harus
dielaborasi lebih lanjut.
2. Mempertimbangkan ketersediaan waktu maka penyempurnaan laporan akan difokuskan
pada perusumusan tantangan dan rekomendasi (guidance) keterlibatan Indonesia dalam
kerjasama pembangunan internasional.
3. Rekomendasi yang dirumuskan dalam laporan meliputi
B. Sub-Bidang KSST
4. Baian legal base sebaiknya diletakkan pada awal pembahasan.
5. Pembahasan kerja sama diarahkan agar dapat menunjukkan potensi benefit yang dapat
diperoleh Indonesia dan bagaimana cara mendapatkannya. Sementara ini, benefit yang
maksud meliputi tiga bidang yakni ekonomi, politik, serta sosaial dan budaya.
6. Pada bagian tinjauan pustaka, terdapat usulan untuk memasukan case study KSST yang
telah dilakukan oleh Indonesia. Project quick wins dengan Myanmar yang saat ini sedang
berlangsung dapat dijadikan salah satu case study.
7. Perlu tinjauan ulang untuk topik prioritas KSST dan keunggulan komparatif yang dimiliki
oleh Indonesia terkait dengan realitas. Pembahasan dapat berupa kritik dari bluebook
yang ada.
C. Sub-Bidang Regional
8. Diarahkan agar pembahasan di sub bidang regional lebih menuju pada development,
bukan ekonomi atau perdagangannya.
9. Untuk saat ini, referensi sumber sub bidang regional dapat merujuk pada website yang
tersedia www.*****
10. Untuk penggalian lebih dalam substansi sub bidang regional, akan dilaksanakan pertemuan
sekaligus indepth interview dengan beberapa pihak terkait yaitu: Dit. PIKEI Bappenas; Dit.
Transportasi Bappenas; Dit. Pengembangan Wilayah Bappenas; dan Ditjen ASEAN Kemenlu
+ menko perekonomian, Pak Raldi Kustur.
II. Persiapan Seminar
o Pematangan bahan seminar secara substansi.
o Perlu diputuskan format yang akan digunakan dalam seminar.
Halaman | 1
o
o
o
o
Disepakati bersama bahwa seminar akan diselenggarakan pada hari Kamis tanggal 18
Desember 2014 di Gedung Bappenas (Tentatif).
Narasumber yang diundang sebaiknya memiliki perspektif yang luas sehingga dapat
memberikan banyak masukan untuk kajian, terutama dalam fokus pendalaman tantangan
dan strategi kerja sama pembangunan internasional Indonesia di masa yang akan datang.
Kandidat-kandidat narasumber seminar kajian:
− Yulius Hermawan - Dosen Universitas Parahyangan
− Maddaremmeng A Panennungi – Dosen Universitas Indonesia
− Noer Azam Achsani - Dosen Institut Pertanian Bogor
− Enny Sri Hartati – Direktur Institute for Development of Economics and Finance
(Indef)
Akan dipersiapkan seminar kit untuk peserta seminar.
RENCANA TINDAK LANJUT
o
o
o
o
Dit. KPI akan mengirimkan template laporan, dan akan dikirimkan pula bahan-bahan
terutama untuk memperkaya dan mempercepat pengerjaan laporan bagian kerjasama
global.
− GPEDC: Dion
− GGGI: Muti
− G20: Fitra dan Vincent
Pertemuan untuk membahas sub bidang regional sekaligus indepth interview dijadwalkan
akan dilaksanakan pada hari Selasa, 25 November 2014.
Akan dihubungi pihak-pihak yang akan diajak berdiskusi untuk pendalaman sub bidang
regional.
Narasumber akan dikonfirmasi kesediannya.
Halaman | 2
Risalah Rapat
Koordinasi Persiapan Pertemuan Tim Pengarah Tim Kornas KSST
Hari/tanggal
Waktu
Tempat
Agenda
:
:
:
:
Kamis, 4 Desember 2014
13.00-16.30 WIB
Ruang SG 5, Bappenas
1) Melihat perkembangan Laporan Kajian Penyusunan
Draft RPJMN 2015-2019 Bidang Kerjasama
Pembangunan Internasional.
2) Memasukkan pembahasan Knowledge Sharing/Country
Level Knowledge Hub ke dalam laporan kajian sebagai
input pengembangan
3) Membahas persiapan Seminar Kajian Dit. KPI TA 2014
Pimpinan Rapat
Peserta
: Direktur Kerjasama Pembangunan Internasional
: Tim Arkadia Solusi, LPEM UI, dan Direktorat Kerjasama
Pembangunan Internasional
Umum
1. Rapat dibuka oleh Direktur Kerja Sama Pembangunan Internasional dan dihadiri
oleh Tim Arkadia Solusi sebagai narasumber, LPEM UI, dan jajaran staf Dit.
KPI. Pimpinan rapat menyampaikan bahwa rapat ini dilaksanakan untuk
membahas peran Knowledge Sharing/Country Led Knowledge Hub (CLKH)
sebagai pendekatan Kerjasama Pembangunan Internasional di masa yang akan
datang. Sesuai arahan dari Deputi Pendanaan Pembangunan, maka isu knowledge
sharing perlu dimasukan ke dalam pembahasan kajian bidang kerja sama
internasional yang sedang disusun. Disamping itu, isu ini diangkat karena
mendukung visi pemerintahan baru untuk meningkatkan kapasitas Bappeda dan
koordinasinya dengan pemerintah pusat. Pembahasan mengenai knowledge
sharing dan CLKH ini diharapkan dapat memberikan masukan positif terhadap
upaya pengembangan CLKH oleh Bappenas yang bertujuan untuk meningkatkan
kapasitas Bappeda di daerah. Capacity building ke arah knowledge sharing untuk
mewujudkan evidence based policy, merupakan pendekatan berbeda selain
melihat capacity building dari segi efektivitasnya.
2. Saat ini Bappenas sedang mengumpulkan informasi tentang knowledge hubs
yang dapat dijadikan best practices dalam rangka pengembangan CLKH. Hal
yang perlu digarisbawahi dalam diseminasi best practices pembangunan untuk
direplikasi adalah perlu disadari bahwa setiap daerah memiliki resources,
permasalahan, tantangan dan hambatan yang berbeda (unik) sehingga diperlukan
pendekatan-pendekatan yang sesuai (prinsip adopt and adapt).
3. Terkait hal tersebut maka dalam proses pengumpulan informasi mengenai
knowledge hub, fokus utamanya adalah minimum/standard informations apa saja
yang harus ada pada penyebaran informasi best practices sehingga dapat di
replikasi walaupun daerah lain memiliki situasi dan kondisi yang berbeda.
4. Dalam paparannya, Tim Arkadia menyampaikan beberapa hal sebagai berikut
(paparan terlampir):
a. Terdapat dua jenis Knowledge Hubs, yaitu:
- National Knowledge Hubs: menjalankan fungsi koordinasi pusat yang
meliputi keseluruhan atau beberapa sektor dan tema-tema pembangunan
- Thematic Knowledge Hubs: berfokus pada tema-tema atau area tertentu
seperti pertanian, perubahan iklim, kesehatan masyarakat dan
perlindungan sosial
b. Beberapa contoh knowledge hubs yang bisa dilihat sebagai referensi
pengembangan CLKH:
- Knowledge for Development (World Bank)
- Collaboration for Development (World Bank)
- UNESCO Knowledge Hubs
- Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI)
c. Materi mengenai manajemen pengetahuan yang meliputi:
- Mekanisme dalam mengidentifikasi, menangkap dan proses validasi
pembelajaran (lessons learned)
- Pengkoleksian dan pengorganisasian secara sistematis pembelajaran
(lessons learned)
- Mekanisme dalam mendistribusikan knowledge products
d. Faktor-faktor yang menjadi penopang kesuskesan implementasi manajemen
pengetahuan:
- Kultur organisasi/pelaku pengetahuan
- Struktur Organisasi
- Infrastruktur Teknologi Informasi
- Lingkungan
Hasil Diskusi
1. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan BaKTI sebagai
knowledge hubs yang menjadi model best practices dalam pengembangan CLKH
oleh Bappenas didasari oleh beberapa pertimbangan sebagai berikut:
a. BaKTI merupakan satu-satunya organisasi di kawasan timur Indonesia yang
berfokus pada pertukaran pengetahuan dan memiliki pengalaman lebih dari
sembilan tahun. Bappenas ingin mempelajari operasionalisasi BaKTI sebagai
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
sebuah knowledge hubs agar dapat memberi masukan bagi pengembangan
CLKH.
b. BNPB mempunyai mekanisme yang mapan sebagai knowledge hubs dari segi
koordinasi organisasi ke daerah dimana terdapat BPBD yang menjadi focal
point untuk menjalankan fungsi creation dan sharing.
Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI) sebagai salah satu contoh
knowledge hubs sampai saat ini hanya menjalankan fungsi sebagai broker.
Domain kerja BaKTI sebagai knowledge hubs meliputi:
- Distribusi best practices yang dinamakan Praktik Cerdas
- Memfasilitasi supply dan demand best practices untuk Kawasan Timur
Indonesia
Apa yang saat ini dikerjakan oleh BaKTI memiliki perbedaan dengan
pengembangan CLKH yang sedang dikerjakan Bappenas. Bappenas ingin
memastikan bahwa best practices tersebut dapat direplikasi atau dilokalisasi di
daerah yang berbeda.
Kunjungan Dit. KPI ke BaKTI adalah untuk melihat minimum requirements
(sistem, alat, SDM dan pendanaan) yang dibutuhkan untuk mengembangkan
sebuah Knowledge Hubs.
Salah satu keunggulan BaKTI adalah dalam proses penyajian (packaging) best
practices yang melibatkan proses-proses kreatif sebagai bentuk promosi dan
publikasi.
Substansi terkait knowledge sharing yang akan dimuat dalam laporan kajian
paling tidak meliputi:
a. Prinsip-prinsip urgensi CLKH bagi Indonesia
b. Proses pembentukan CLKH hingga saat ini oleh Bappenas
c. Arah pengembangan CLKH di masa yang akan datang
Gambaran sistematika proses knowledge sharing dapat dijelaskan sebagai
berikut. Bappeda bertugas menyusun dan merencanakan program, lalu
mengevaluasinya. Hasil evaluasi dikemas dalam bentuk laporan yang kemudian
disampaikan ke Bappenas sebagai prasyarat untuk kegiatan selanjutnya.
Bappenas bertugas merangkum informasi dan menyebarluaskannya sehingga
dapat direplikasi oleh daerah lain. Untuk mendukung tugas tersebut, dibutuhkan
mekanisme informasi yang transparan.
Salah satu isu krusial dalam pengembangan CLKH adalah mekanisme untuk
mendorong semua pihak (supplier dan demander)untuk menjalankan creation
dan sharing pengetahuan. Beberapa strategi dan mekanisme yang dapat
dikembangkan adalah sebagai berikut:
a. Insentif berupa pemberian porsi anggaran yang lebih besar bagi Bappeda
yang berhasil mendorong knowledge sharing.
8.
b. Membuat suatu mekanisme yang mengharuskan pelaku pembangunan untuk
membuat laporan eksplisit yang memuat lessons learned sehingga bisa
dijadikan best practices.
c. Penguatan leadership di daerah sehingga mekanisme tersebut dapat
dipastikan berjalan dengan baik.
d. Membuat mekanisme yang “mewajibkan” Bappeda di daerah untuk
mereplikasi suatu best practices yang sesuai. Disamping itu, dibutuhkan pula
adanya sosialisasi ke Bappeda sehingga muncul kesadaran untuk
mengembangkan knowledge sharing di daerahnya.
Fungsi knowledge hubs yang diharapkan yaitu dapat membawa informasi yang
bersifat tacit (personal dan spesifik) menjadi eksplisit melalui media-media yang
dikelola oleh knowledge hubs.
Tindak Lanjut
1. Seminar kajian akan dilaksanakan pada tanggal 23 Desember 2014 di Wisma
Bakrie. Terkait hal tersebut maka akan dilakukan pengaturan ruang untuk
menyesuaikan jumlah peserta dan kapasitas ruang rapat.
1/19/2015
Manajemen Pengetahuan
Country Led Knowledge Hubs - Indonesia
Jakarta
4 Desember 2014
Outline
•
•
•
•
•
•
Knowledge Hubs
Contoh Knowledge Hubs
Country Led Knowledge Hubs di Indonesia
Manajemen Pengetahuan
Pondasi Manajemen Pengetahuan
Solusi Manajemen Pengetahuan
• Infrastruktur Manajemen Pengetahuan
• Mekanisme Manajemen Pengetahuan
• Sistem Manajemen Pengetahuan
• Strategi Manajemen Pengetahuan
• Strategi Implementasi
• Manajemen Perubahan
1/19/2015
2
1
1/19/2015
Knowledge Hubs
Definisi Knowledge Hubs
Contoh Knowledge Hubs
3
1/19/2015
Knowledge Hubs
“Knowledge Hubs are institutions or networks that enable countries to
learn systematically by sharing and exchanging development experiences
with domestic and international partners in order to accelerate
development (World Bank)”
Dua jenis Knowledge Hubs:
1. National Knowledge Hubs
• Act as central coordination agencies
• Cover a certain range of, if not all, sectors and themes on which solutions can
be exchanged and involve mostly governmental institutions of a country, such
as line ministries, sector institutions or thematic centers of excellence
2. Thematic Knowledge Hubs
• Focus on specific solutions in distinct sectors and areas, such as agriculture,
climate change, public health or social protection
1/19/2015
4
2
1/19/2015
Contoh Knowledge Hubs
Knowledge for Development (World Bank)
Collaboration for Development (World Bank)
UNESCO Knowledge Hubs
Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia
5
1/19/2015
Knowledge for Development (World Bank)
1/19/2015
6
3
1/19/2015
Collaboration for Development (World Bank)
1/19/2015
7
UNESCO Knowledge Hubs
1/19/2015
8
4
1/19/2015
Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia
1/19/2015
9
Manajemen Pengetahuan
Teori Manajemen Pengetahuan
Proses Manajemen Pengetahuan
1/19/2015
10
5
1/19/2015
Manajemen Pengetahuan
“Proses melakukan aktivitas yang berkaitan dengan menemukan
(discovering), menangkap (capturing), membagikan (sharing), dan
mengaplikasikan (applying) pengetahuan (knowledge) untuk
meningkatkan implikasi dari knowledge bagi suatu pencapaian
tujuan dari suatu organisasi”
1. Menemukan
2. Menangkap
3. Membagikan
Manajemen Pengetahuan
4. Mengaplikasikan
1/19/2015
11
Proses Manajemen Pengetahuan
1/19/2015
12
6
1/19/2015
Implementasi Manajemen
Pengetahuan
1/19/2015
Implementasi Manajemen Pengetahuan
• Discovery: Proses pengembangan tacit/explicit knowledge
yang baru dengan memanfaatkan kumpulan pengetahuan
yang dimiliki sebelumnya
• Capture: Mengambil explicit/tacit knowledge yang
tersimpan dalam suatu lokasi penyimpanan pengetahuan
• Sharing: Proses untuk mengkomunikasikan tacit /explicit
knowledge dari suatu entitas kepada entitas lainnya
• Application: Memanfaatkan pengetahuan yang didapat
dari discovery maupun capture yang kemudian telah
dibagikan kepada entitas yang membutuhkan
1/19/2015
14
7
1/19/2015
CLKH di Indonesia
Analisis Kesenjangan
Solusi Mengatasi Kesenjangan
1/19/2015
15
Kondisi Saat Ini – Kondisi yang Diharapkan
1/19/2015
16
8
1/19/2015
Kondisi Saat Ini – Kondisi yang Diharapkan
1/19/2015
17
Solusi Manajemen
Pengetahuan
Pondasi Manajemen Pengetahuan
Infrastruktur Manajemen Pengetahuan
Mekanisme Manajemen Pengetahuan
Sistem Manajemen Pengetahuan
1/19/2015
18
9
1/19/2015
Pondasi Manajemen Pengetahuan
1/19/2015
19
Infrastruktur Manajemen Pengetahuan
Faktor-faktor yang menjadi penopang kesuskesan
implementasi manajemen pengetahuan:
• Kultur organisasi/pelaku pengetahuan
• Struktur Organisasi
• Infrastruktur Teknologi
Informasi
• Lingkungan
1/19/2015
20
10
1/19/2015
Kultur Organisasi
• Apakah semua pihak mengerti bahwa KM memberikan nilai bagi
instansi mereka pada khususnya dan Indonesia pada umumnya?
• Seberapa kuat dukungan dari manajemen (Baik di level
BAPPENAS, KH lain, K/L/D/I, BAPPEDA, dll)?
• Bagaimana mekanisme insentif yang akan dilakukan?
• Bagaimana strategi agar semua pihak mau melakukan creation
dan sharing pengetahuan?
1/19/2015
21
Struktur Organisasi
• Struktur organisasi CLKH nantinya akan seperti apa?
desentralisasi? lebih fokus pada leadership atau management?
• Bagaimana cara membangun komunitas yang mau melakukan
praktik Manajemen Pengetahuan?
• Apakah nanti akan ada Chief Knowledge Officer (CKO)?
Knowledge Management Departement?
• Seberapa luas cakupan pengguna CLKH? Indonesia?
Internasional?
1/19/2015
22
11
1/19/2015
Infrastruktur Teknologi
• Seberapa besar jumlah data/informasi yang akan ditampung oleh
sistem?
• Seberapa detail dan beragam informasi yang ada?
• Teknologi apa yang digunakan untuk mengumpulkan data saat
ini?
1/19/2015
23
Common Knowledge
• Apakah ada kesepakatan bahasa yang akan digunakan?
• Apakah ada klasifikasi domain pengetahuan?
• Apakah ada norma umum yang berlaku dalam proses berbagi
pengetahuan?
1/19/2015
24
12
1/19/2015
Mekanisme Manajemen Pengetahuan
• Bagaimana strategi mempromosikan manajemen pengetahuan di
Indonesia?
• Teknologi apa yang digunakan untuk mempromosikan
pengetahuan? Majalah? Video?
25
1/19/2015
Sistem Manajemen Pengetahuan
• Sistem Manajemen Pengetahuan terdiri
dari:
• Knowledge Management Discovery System
Sistem untuk menemukan Pengetahuan
• Knowledge Management Capture System
Sistem untuk menangkap pengetahuan
• Knowledge Management Sharing System
Modular
Pengembangan
Sistem untuk berbagi pengetahuan
• Knowledge Application System
Sistem untuk mengaplikasikan pengetahuan
(Termasuk Monitoring dan Evaluasi)
1/19/2015
26
13
1/19/2015
Strategi Manajemen
Pengetahuan
Strategi Implementasi
Strategi Manajemen Perubahan
1/19/2015
27
Strategi Implementasi
• Strategi Implementasi
diwujudkan dalam bentuk
Program dan Aktivitas
• Menjadi landasan
pelaksanaan proses Majamen
Pengetahuan CLKH Indonesia
• SOP
1/19/2015
28
14
1/19/2015
Strategi Manajemen Perubahan
• Implementasi Manajemen
Pengetahuan dapat
mempengaruhi cara pelaku
pengetahuan dalam berinteraksi
• Dibutuhkan manajemen
perubahan agar proses adaptasi
dan adobsi manajemen
pengetahuan dapat berjalan
dengan baik
• Perlu adanya mekanisme insentif
agar semua pihak mau untuk
berbagi pengetahuan
1/19/2015
29
Terima Kasih
1/19/2015
30
15
RISALAH SEMINAR KAJIAN MENGENAI
“KERJASAMA PEMBANGUNAN INTERNASIONAL”
Hari/Tanggal
Ruang Seminar
Waktu
Peserta
:
:
:
:
Rabu, 23 Desember 2014
Ruang Rapat R.2, Wisma Bakrie 2 Lt. 6, Jakarta
08.30 – selesai WIB
(Terlampir)
Pembukaan Seminar Kajian
a) Acara Dibuka oleh MC, dilanjutkan dengan pembacaan rundown dan
perkenalan para pembicara dan pembahas seminar. Kemudian disambung
sambutan sekaligus pembukaan acara oleh Direktur Kerja Sama
Pembangunan Internasional, Bappenas. Selanjutnya acara diserahkan ke
moderator.
b) Pada sambutannya, Dir. KPI menyampaikan bahwa seminar ini diharapkan
dapat membantu dalam melaksanakan pekerjaan, dan dapat akan
menghasilkan pemikiran yang baru untuk pemerintahan. Kajian ini
dilaksanakan bekerja sama dengan tenaga ahli yang merupakan staf
pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia sekaligus peneliti dari
LPEM UI, Bapak Rus’an Nasrudin dan Bapak Fithra Faisal Hastiadi. Hadir
sebagai pembahas, Prof. Noer Azzam Achsani, IPB dan Dr. Enny Sri Hartati,
INDEF. Hal yang akan dibahas dalam seminar ini adalah Kerjasama
Pembangunan Internasional Indonesia yang sudah berjalan dari tahun 20092014.
c) Dir KPI menambahkan salah satu pokok bahasan pada kajian ini adalah
knowledge sharing. Knowledge sharing dapat meningkatkan kerjasama
tanpa membutuhkan dana yang besar. Karena tujuan utama pemerintah
pusat adalah meningkatkan kapasitas pemerintah daerah, khususnya
Bappenas melalui Bappeda. Sehingga bisa diadakan kebijakan-kebijakan
yang dapat direplikasi tanpa mengeluarkan pembiayaan besar.
Beberapa hal yang disampaikan dalam paparan oleh tenaga ahli
d) Topik kerjasama pembangunan internasional merupakan topik baru, bahkan
bagi akademisi. Pada pertemuan dengan World Bank (WB) terkait KSST,
perwakilan WB juga mengakui bahwa topik ini merupakan topik baru.
e) Indonesia berada dalam masa transisi kerja sama pembangunan
internasional, tergambar dari kondisi di satu sisi berperan sebagai traditional
recipient, tapi di sisi lain adalah development partner. Pemberian donor dari
negara maju ke negara berkembang berisiko tidak efektif dikarenakan
development gap. Sehingga tidak hanya aid kapasitas yang dibutuhkan
Page 1 of 7
f)
g)
h)
i)
j)
namun juga kualitas pembangunan. Latar belakang tersebut diharapkan
dapat memberikan kontribusi dengan menelaah KPI, identifikasi isu strategis
dan merumuskan arah kebijakan.
Posisi negara berkembang menjadi semakin diperhitungkan, termasuk
negara berkembang yg berperan mewakili negara-negara berkembang yg
lain. Berdasarkan hasil analisis, perubahan paradigma dalam KPI mengerucut
pada dua isu utama yang melibatkan interaksi antar bangsa:
1. Munculnya concern reorientasi development.
2. Menajamnya isu pembangunan ke dalam agenda spesifik sustainable
development
Knowledge menjadi hal yang vital. Beberapa kosakata kunci yang mucul
adalah:
o Kepemilikian oleh negara berkembang
Development bukan hanya hubungan, tetapi juga outcome. 2015 adalah
fase puncak pembangunan, dan kemitraan yang inklusif perubahan
skema yang dahulu donor-resipient, sekarang menjadi development
partner.
o Transparansi dan akuntabilitas
Pada level subregional sudah terlibat walaupun belum seaktif regional.
Peran konstruktif dan kepemimpinan Indonesia semakin diakui pada
periode 2009-2014. Hal tersebut ditopang oleh posisi strategis
Indonesia. Status keanggotaan Indonesia di G20, transfer of knowledge
demokrasi, peran di ASEAN yang cukup intens.
Isu-isu strategis Global dan regional:
1. Pertanyaan ekonomi dengan motif untuk apa terlibat dalam KPI harus
kembali pada logika insentif. Pada common goal konteks KPI, isu utama
adalah optimalisasi untuk wadah kepentingan-kepentingan nasional.
2. Perlu pengelolaan dalam optimalisasi, dari sisi tanggung jawab.
Khususnya apabila kepemimpinan Indonesia menjadi poin.
3. Time frame adalah memontum critical point evaluasi kembali capaian
pembangunan, tahun 2015 sebagai agenda pembangunan dunia.
Dengan cara diantaranya mendefinisikan kepentingan domestik secara
lebih lugas.
Pada periode 2010-2014, ditemukan permasalahan kunci yang terkait KSST
yakni Progress National Coordination Team (NCT), blueprint, dan identifikasi
keunggulan komparatif indonesia dalam KSST.
Kesimpulannya, secara umum arah kebijakan KPI akan meliputi:
1. Dalam lingkup global dan kawasan, momentum Indonesia dalam
capaian kepentingan pembangunan nasional.
Page 2 of 7
2. Sebagai derived , arah kebijakan ini perlu monitoring dan evaluasi
capaian untuk kepentingan nasional. Kembali kepada tujuan akhir
pembangunan KPI.
3. Dalam KSST ada beberapa agenda teknis yang bisa dilaksanakan (i)
penguatan kerangka regulasi, sehingga regulasi menjadi agenda utama
penyempurnaan (ii) integrasi program dan penyelenggaraan termasuk
indikator keberhasilan, PPP juga sangat mungkin dilaksanakan dalam
KSST.
k) (untuk penjelasan lebih lanjut, dapat dilihat pada bahan paparan terlampir)
Sesi Pembahasan dan Diskusi
 Dr. Yulius Puwardi Hermawan (Universitas Parahiyangan)
l) Terkait legitimasi dan efektivitas kerjasama pembangunan internasional
dalam tata kelola ekonomi global, legitimasi bukan sekedar ada atau tidak
adanya hukum, TIDAK. Kalau berbicara forum KPI adalah sisi yang normatif,
dan lebih banyak kepada kesepakatan masyarakat internasional. Perlu
diperhatikan benefit bagi seluruh multi-stakeholders dalam sistm ekonomi
gobal.
m) Semua kegiatan memiliki legitimasinya masing-masing, termasuk G20.
Pemimpin-pemimpin G20 mengetahui ada mekanisme outreach, yang
melibatkan negara-negara anggota. Anggota hanya 20 tetapi partisipasi
juga dibuka untuk non-anggota.
n) Hal lain yang menjadi pusat perhatian dalam pelaksanaan kerja sama
pembangunan global adalah efektivitas. Kemampuan forum kerjasama
untuk mencapai tujuan organisasi dapat dinilai melalui indikator berikut:
1. Dihasilkannya kesepakatan kesepakatan
2. Implementasi kesepakatan - compliance
3. Monitoring dan evaluasi
o) Pembelajaran penting yang dapat diambil diantaranya adalah tanggung
jawab dalam melaksanakan implementasi, karena dapat mendukung
efektivitas yang sekaligus memberikan dukungan atas legitimasi.
p) Indonesia sebagai new emerging donor, memiliki kewajiban untuk
membantu LICs. Tujuan dari memberikan bantuan luar negeri kepada
negara berkembang, utamanya adalah tujuan politik. Misalnya Indonesia
membantu negara-negara di pasifik selatan yang masuk ke kategori upper
middle income, karena agar Papua tetap diakui sebagai wilayah NKRI.
Pertanyaannya adalah dengan sumber dana yang terbatas, apakah harus
membantu sebanyak-banyaknya negara, atau harus selektif dan fokus pada
pemberian bantuan di beberapa negara saja. Hal ini bersangkutan dengan
permasalahan dalam sustainabilitas.
Page 3 of 7
 Prof. Dr. Noer Azzam Achsani (Institut Pertanian Bogor)
q) Menurut laporan Bank Dunia pada Mei 2014, Indonesia sudah menduduki
peringkat ke-10 ekonomi terbesar dunia. Posisi strategis Indonesia, salah
satunya tercermin dari sisi negara dengan penduduk Islam terbesar di
dunia tetapi damai, tidak seperti di timur tengah di mana Islam
mendapatkan citra yang bertentangan dengan demokrasi. Dengan
demikian secara politis harusnya dapat diangkat.
r) Beberapa Koreksi terhadap draft laporan akhir kajian:
 Isi kajian sudah memenuhi tujuan No. 1, namun untuk tujuan No. 2 dan
3 perlu dielaborasi lebih lanjut.
 Aspek tinjauan pustaka perlu ditambahkan–perhatikan kutipan-kutipan
yang diambil, untuk mencegah plagiarism. Hasil-hasil kajian negara maju
juga dapat dijadikan referensi.
 Harus diperhatikan aspek memberi dan apa yang bisa diambil dari kerja
sama yang dilakukan.
 Rumusan data dan metodologi sebaiknya dijabarkan dengan jelas,
sesuai dengan standar penelitian.
 Terkait dengan tema KPI, saat ini isu Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
menjadi yang paling besar dan perlu mendapat perhatian. Integrasi
ekonomi atau kerjasama pembangunan antar asean tidak terlalui
banyak disentuh.
 Pada Hal. 20 terdapat statement yang terlalu berani, “pandangan
Indonesia adalah Indonesia dalam ASEAN tidak akan berhasil adalah
tidak berdasar”. Indonesia harus berhati-hati dalam penyatuan, meski
Indonesia bukan yang negara yang berada di paling bawah, namun
memiliki potensi terkena dampak krisis yang lebih besar, contohnya
yaitu Spanyol dan Itali (kelompok negara-negara bawah di Uni Eropa).
 Pada Hal. 27 statement di bagian paragraf akhir mengingatkan bahwa
menurut Prof Azzam, muara hubungan antar bangsa terbagi menjadi
dua:
1. Penjajahan (penjajahan fisik sudah tidak ada ya semenjak adanya
piagam Chata)
2. Penguasaan aset- change management in globalize world yang
merupakan bentuk lain penjajahan terhadap suatu negara.
 Dengan kemajuan ICT, teknologi merupakan sarana paling cepat untuk
menyebarkan informasi.
 Dr. Enny Sri Hartati (INDEF)
s) What Next belum terjawab, bagaimana proyeksi positioning Indonesia.
Page 4 of 7
t) Isu Utama negara berkembang adalah Ketimpangan dan kemiskinan.
Disarankan memasukkan post-2015, dan agenda-agenda sebagai bahan
proyeksi. Perlu diambil pembelajaran dari pergeseran pertumbuhan
ekonomi global, negara maju membutuhkan bantuan/aid for disaster relief,
perubahan negara-negara pemberi bantuan.
u) Perlu diperhatikan format kebijakan BI terkait dengan kebijakan
internasional. Indonesia tidak lagi membutuhkan bantuan, apabila donor
tidak mempunyai skema yang lebih cerdas dalam bidang kerjasama
pembangunan, makan tidak perlu digunakan kembali.
v) Knowledge sharing adalah terobosan yang luar biasa saat membicarakan
persoalan dasar sebagai pencegahan asimetric information. Agenda
pembangunan inklusif inilah yang menjadi agenda utama. Pembangunan
yang inklusif diperlukan dalam agenda kerjasama internasional. Contoh
yang sudah dilakukan adalah Layanan Keuangan Digital (LKD) dengan
pendampingan dan pelatihan. Perencanaan aktivitas hal seperti ini yang
harus dibawa kepada forum-forum internasional. Harapannya sudah ada
pemetaan dimana posisi dan peluang Indonesia untuk mendapatkan
kemanfaatan bersama.
w) Secara institusi ada dampak positif dan dampak negatif. Apa yang
diinginkan dan apa yang harus dilakukan untuk melaksanakan programprogram pengentasan kemiskinan. Keuangan inklusif menjadi terobosan,
yaitu dengan meningkatkan akselerasi aktifitas ekonomi UMKM, melalui
pinjaman-pinjaman dan penambahan modal melalui pendampingan atau
pelatihan.
x) Agenda setting untuk kerjasama pembangunan internasional: kemiskinan
dan ketimpangan. Indeks Pembangunan Manusia  profuktivitas 
penyerapan tenaga kerja.
 Pak Kris Dit. PIKEI, Bappenas
o Beberapa persiapan Indonesia menyambut MEA: pembentukan
Sekretariat Nasional, Pusat Studi ASEAN, ASC Senter (Kemendag);
o Ketika Indonesia menjadi tuan rumah, sosialisasi yang cukup gencar
terkait dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN. MEA seharusnya sudah ada
pada tahap implementasi.
 Ibu Agi, Biro KTLN Kemensetneg
o Dalam isu strategis terdapat penguatan aspek legal dan penajaman one
gate policy, tetapi di rekomendasi tidak ada terkait dengan isu strategis
tersebut. Bagaimana pendapat dari pembahas untuk Indonesian Aid?
Seberapa siap untuk kelembagaan terhadap pembentukan Indonesian
Aid, terutama dari sisi akademis?
Page 5 of 7
 Pak Tor Tobing, Dit-PH DJPU Kemenkeu
o Akademis mempunyai poin tetapi tidak memiliki power/kekuasaan untuk
melakukan implementasi.
o Kondisi utang dipertimbangkan dalam kerjasama yang pastinya memiliki
konsekuensi pengeluaran uang, saat ini sedang ada pembahasan hibah
Indonesia keluar. Apakah kita harus lunas dulu utangnya baru
memberikan hibah kepada negara lain? Ada regulasi yang belum
akomodatif terhadap kerjasama ini, di UU Keuangan Negara, sudah ada
konsep awalnya, kendalanya adalah regulasi dibawahnya.
 Tanggapan Pak Noer Azzam


Pendataan Indonesia sudah lumayan bagus, kendalanya adalah
sinkronisasi data dengan policy makers.
Indonesian Aid: untuk kebutuhan dalam jangka panjang harus dilakukan.
Tujuan utamanya adalah national interest, tidak ada salahnya memberi
sekarang kalau in return kedepan lebih besar. Apa yang terjadi didunai
(international best practices), Amerika dan Jepang utang yang cukup
besar tetapi memberikan hibah yang cukup besar, jadi harus ada strategi
take and give. National production system harus dikembangkan terlebih
dahulu, lalu kemudian pengaturan proses pengelolahan dan supply chain
management.
 Tanggapan Pak Yulius

Pada Inisiasi ASEAN-G20, hubungan informal antara ASEAN dan G20 lebih
kepada outreach, namun sampai saat ini belum diformalkan.

Kajian KSST tahun ini fokus kepada apa yang sudah dilakukan Indonesia.
Harus ada satu pintu, tiga kementerian dalam pilar KSST, untuk
mengusulkan Indonesian Aid Agency. Dari mitra pembangunan/donor,
sepertinya Indonesia perlu dan koordinasi tim nasional yang ada masih
belum optimal. Menimbang perspektif Presiden Joko Widodo atas Middle
Income Power, inilah saatnya untuk pembentukan KSST. Apabila bisa
diselesaikan dengan mekanisme koordinasi strategis tidak perlu membuat
single agency. Namun apabila didirikan single agency, pejabat yang
mengelola tidak rangkap jabatan.
Page 6 of 7
 Tanggapan Pak Fithra Faisal dan Pak Rus’an



Apabila ingin mendirikan entitas, sebaiknya dilihat aspek ekonomi secara
luar. Menurut UU Keuangan Negara pasal 23, yang harus dipersiapkan
adalah peraturan dibawah undang-undang.
Ada yang belum dicantumkan di daftar pustaka, segera setelah ini akan
dicantumkan. Referensi dari internasional masih belum banyak, akan
ditelaah lebih lanjut terutama yang terkait dengan political economy.
Untuk ASEAN Economic Community tidak dibahas dikarenakan ada di
tugas pokok dan fungsi dari Direktorat PIKEI.
Wrap Up Oleh Pak Choesni, Direktur KPI Bappenas
1. Capital flow dari luar negeri kurang dari APBN, yang besar adalah domestic
debt.
2. What benefits for us, what we needs for us, dan hal apa yang kita harapkan
yang merupakan keuntungan tidak hanya dari aid, yang diperlukaan saat ini
adalah koordinasi.
3. Pada manajemen database, monitoring serta evaluasi, incentive system perlu
dibuat dalam penataan database.
==========
Page 7 of 7
19/01/2015
Legitimasi dan Efektivitas Kerjasama Pembangunan Internasional dalam Tata
Kelola Ekonomi Global
Yulius P. Hermawan
Bappenas, 23 Desember 2014
Struktur Presentasi
Komentar Umum Hasil Kajian
Legitimasi dan Efektivitas
Catatan
1
19/01/2015
Legitimasi
• Dari Bahasa Latin legitimare = “lawful”.
• Legitimacy  “something that is legal
because it meets the specific requirements of
the law”
• “Conformity to the law or to rules”
http://www.vocabulary.com/dictionary/legitimacy
http://www.oxforddictionaries.com/definition/english/legitimacy
Legitimasi dalam Tata Kelola Ekonomi Global
• Nilai dan norma masyarakat internasional
• Legitimasi 
= DUKUNGAN
= Keanggotaan dalam organisasi int’l
= Partisipasi dalam proses tata kelola
ekonomi global
= benefit bagi seluruh multi-stakeholders
dalam sistem ekonomi global
2
19/01/2015
Legitimasi dalam Tata Kelola Ekonomi Global
• Apakah semua bangsa
harus terlibat dalam
pembentukan tata
kelola ekonomi global?
• Atau cukup segelintir
bangsa terlibat dalam
proses
pembentukannya?
• All economies
get involved
• All interests
Universalisme
are granted
Teori Klub
• Major systemic
Economies
• Deliver
benefits for all
nations
Tingkat Legitimasi
Forum Kerjasama
Internasional
Keanggotaan
(jumlah anggota
di wilayah
sistemik)
Partisipasi
(tingkat
keterlibatan
seluruh anggota
dan pembagian
tanggung jawab)
Struktur
(Tingkat
egalitarianisme)
Benefit
(asas
kemanfaatan
dan
penerimanya)
Inklusif/
Eksklusivitas
(pemangku
kepentingan – negara
dan private)
Global:
GPEDC
V (159)
G20
-
ICE-SDF*
(20)
Inklusif
+
Eksklusif - inklusif
V (30 ekspert)
-
V
V
Inklusif
V
V
V
V
Inklusif
V (10)
V
V
V
Semi inklusif
GGGI
+
Regional:
ASEAN
BIMP-EAGA
IMT-GT
-
(Indonesia,
Malaysia
Thailand)
3
19/01/2015
Efektivitas
Kemampuan organisasi (forum kerjasama) mencapai
tujuan organisasi
Dihasilkannya kesepakatan-kesepakatan
Implementasi kesepakatan -- Compliance
Monitoring dan Evaluasi
Tingkat efektivitas
Forum Kerjasama
Internasional
Global:
Hasilkan kesepakatan
(prinsip, agenda, dll)
V
GPEDC
G20
ICE-SDF
V
V
V
GGGI
V
Regional:
ASEAN
BIMP-EAGA
IMT-GT
Efektivitias
Implementasi
Monitoring dan
evaluasi
V
V
V
4
19/01/2015
Posisi Indonesia dalam forum
kerjasama internasional
Forum Kerjasama
Internasional
Global:
GPEDC
G20
ICE-SDF
GGGI
Regional:
ASEAN
Posisi Indonesia
Supporting country
Co-facilitator – Accountability Steering Committee (2014)
Satu dari 7 anggota dari Asia Pacific Group (Maret 2014);
total anggota kelompok ekspert 30.
Anggota Council – Vice Chair participating member (2012)
(executive organ responsible for approving strategy, budget,
admission of new members and criteria for green growth planning
and implementation program)
Initial works as partner countries (2010- 2011)
Founding member, Inisiator Asean community (khususnya pilar
politik keamanan dan pilar sosial budaya)
BIMP-EAGA
IMT-GT
Program KSST
5
19/01/2015
Bentuk-bentuk bantuan Pertanian
Indonesia
BEASISWA KNB - 2014
6
19/01/2015
Rekapitulasi Beasiswa KNB
Penerima bantuan pertanian Indonesia
7
19/01/2015
Klasifikasi negara asal penerima beasiswa KNB
8
19/01/2015
9
19/01/2015
Kondisi pendidikan
10
19/01/2015
Komparasi
Komparasi
11
19/01/2015
Simpulan
• Implementasi sangat penting bagi efektivitas
kerjasama internasional; implementasi yang berhasil
dapat memperkuat legitimasi
• Indonesia telah terbukti aktif dalam kerjasama
internasional. Komitmen untuk implementasi
menjadi keharusan normatif.
• Dalam kondisi terbatas anggaran, apakah Indonesia
akan membantu sebanyak mungkin negara? Atau
selektif dalam membantu sejumlah negeri supaya
capaiannya maksimal.
Nuhun
12
1/19/2015
KERJASAMA PEMBANGUNAN INTERNASIONAL
DALAM PERSPEKTIF NON-GOVERNMENT
Enny Sri Hartati
INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF)
Tanggapan Singkat (1)
• Secara umum, kajian Bidang Kerjasama Pembangunan
Internasional menunjukkan langkah optimisme peran
Indonesia di kancah global.
• Beberapa catatan, kurang mendalamnya kajian ini dalam
memaparkan secara jelas mengenai bagaimana kondisi paling
riil posisi Indonesia dalam KSST (Berdasarkan draft pertama)
• Selain itu, kajian ini juga kurang menampakkan kondisi riil
Indonesia dimana banyak aspek-aspek pembangunan yang
masih menunjukkan perkembangan yang kurang terlalu bagus
(misal: gini ratio, dll). Hal ini seharusnya menjadi evaluasi dan
pijakan bagaimana seharusnya Indonesia mengambil langkah
baik kedalam maupun keluar.
INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF)
1
1/19/2015
Tanggapan... (2)
• Tujuan pertama sudah tercapai dimana sudah dijelaskan secara
detail perkembangan kerjasama pembangunan tahun 2009-2014.
• Literature review mengenai peran Indonesia bisa dipindahkan ke
bagian pembahasan
• Studi pustaka bisa fokus kepada perdebatan akademis mengenai
perkembangan kerjasama internasional di dunia sehingga studi ini
memiliki relevansi secara akademik maupun praktis
• Tujuan kedua masih perlu dielaborasi dengan fokus pada isu yang
menjadi concern masyarakat internasional seperti ketimpangan dan
pembangunan yang berkelanjutan
• Tujuan ketiga belum terlihat. Seharusnya dokumen ini memberikan
rekomendasi arah kebijakan pembangunan ke depan seperti isu
yang akan lebih difokuskan maupun bentuk dan model kerjasama
yang akan digalang
• Rekomendasi berdasarkan evaluasi kerjasama selama ini, isu yang
lebih dibahas di forum internasional, maupun kebutuhan Indonesia
INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF)
Kerangka Kerja Pembangunan
Internasional
• Marshall Plan (1948-1951)
• Bretton Wood (Washington Consensus, World Bank,
International Monetary Fund (IMF)
• Millennium Declaration + Millennium Development Goals
(MDGs) (2000)
• Post MDGs (2015)
INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF)
2
1/19/2015
Pergeseran Global
8
4
Middle
income
2
0
1979
1980
1981
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Persen
6
High
income
-2
-4
• Negara-negara “kaya” yang dulunya menjadi sumber pertumbuhan
ekonomi mengalami stagnasi
• Negara-negara pendapatan menengah justru menjadi penyelamat
ekonomi global
INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF)
Pergeseran Global
Negara-negara miskin yang dulunya diragukan memiliki masa depan,
sekarang mampu mencatat pertumbuhan ekonomi tinggi
INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF)
3
1/19/2015
Pergeseran Global
Amerika Serikat dan Jepang yang menjadi motor bantuan (aid) luar negeri, kini
juga memerlukan bantuan luar negeri
INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF)
Non DAC Countries
INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF)
4
1/19/2015
Potensi Skema Kerjasama Baru
• Kerjasama Selatan-Selatan Tringular
• Model kerjasama baru yang bersifat horizontal partnership antar negara
berkembang berdasarkan: ‘mewujudkan kesetaraan, saling menghormati
kedaulatan nasional dalam konteks tanggung jawab bersama, berbagi
pengalaman dan empati, serta berorientasi untuk peningkatan kemandirian
negara berkembang
• Kerjasama KSST mendorong munculnya reformasi pada aktor
pembangunan internasional
• Meningkatnya suara negara berkembang dalam Bank Dunia dan IMF
• Integrasi pandangan negara berkembang dalam OECD Strategy on
Development Strategy
• Reformasi sistem bantuaan Internasional di PBB
INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF)
Potensi Skema Kerjasama
Baru
• Studi di Nikaragua dimana semakin beragamnya donor di
Nicaragua membuat adanya kompetisi diantara para donor
sehingga memunculkan ide-ide baru yang justru cocok dengan
kondisi di Nicaragua (Roussel, 2013)
• Keunggulan dari Kerjasama Selatan-Selatan dan Triangular
(KSST) adalah knowledge negara-negara berkembang bukan
pada modal keuangan yang dimiliki
• Oleh sebab itu, sharing knowledge adalah kunci dari KSST
INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF)
5
1/19/2015
Tantangan Dalam Kolaborasi
Pembangunan Internasional
• Setiap aktor memiliki tujuan yang berbeda-beda sehingga sulit
untuk mencapai satu tujuan bersama
• Terutama dalam south-south cooperation karena belum
terdapat standar baku kerjasama meski memiliki spirit yang
sama. Berbeda dengan DAC yang memiliki standar yang sama.
satu sisi hambatan namun sisi lain ada peluang besar yang
dapat diambil oleh Indonesia
INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF)
Peran Indonesia Dalam
Pembangunan Internasional
• Seperti halnya negara-negara berkembang lainnya, peran
Indonesia dalam pembangunan internasional bukan terletak
pada nilai bantuan yang diberikan tetapi dalam hal
memberikan ide dan pengetahuan langsung dari negara
berkembang
• Salah satu peran yang dapat dimainkan oleh Indonesia adalah
agenda setting dalam kerjasama pembangunan internasional
• Peran Indonesia krusial dalam agenda setting karena
Indonesia adalah negara G20 dan sejarahnya Indonesia
merupakan pelopor kerjasama negara-negara berkembang
• Pertanyaannya, agenda apa yang mau dibawa oleh Indonesia?
INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF)
6
1/19/2015
Contoh Agenda Setting
Korea Selatan
• Gerakan pembangunan pedeasaan di Korea yang dikenal sebagai
Saemaul Undong adalah program yang sukses membangun
pedesaan di Korea Selatan sekaligus mengurangi kemiskinan
• Sejak tahun 1970an, program ini sudah direplikasi oleh PBB untuk
diterapkan di negara berkembang dalam pembangunan pedesaan
INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF)
Peran Indonesia dalam KSST
Pendanaan Kegiatan KSS Indonesia Periode 2000 2010
Sumber: Bappenas dalam Studi PKPPIM BKF oleh Hermawan dan Kasim (diakses, 2014)
INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF)
7
1/19/2015
Peran Indonesia dalam KSST
Rekapitulasi Anggaran Kegiatan KSST (dalam Rupiah kecuali diindikasikan
dalam US$)
Sumber: Bappenas dalam Studi PKPPIM BKF oleh Hermawan dan Kasim (diakses, 2014)
INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF)
Tanggapan Kerjasama SouthSouth Triangular (KSST)
• Belum adanya payung hukum teknis yang secara rinci
mengatur ketentuan pemberian hibah oleh pemerintah
Indonesia kepada pihak asing maupun sebaliknya
• Transparansi dan akuntabilitas program kerjasama dan
anggaran yang digunakan dalam skema KSST harus
ditingkatkan mengingat publikasi data yang presisi terkait dana
hibah belum banyak dapat diakses publik
• Penguatan kelembagaan Tim Koordinasi Nasional KSST
khususnya dalam pembentukan SOP dan penataan tata kerja,
peningkatan peran pemerintah daerah dan swasta, serta
penguatan kapasitas SDM
INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF)
8
1/19/2015
AGENDA PEMBANGUNAN INKLUSIF
DUNIA (POSISI INDONESIA)
INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF)
AGENDA SETTING
PEMBANGUNAN INTERNASIONAL
• Masalah yang dihadapi oleh Indonesia tidak jauh berbeda
dengan masalah yang dihadapi oleh negara-negara
berkembang yaitu:
• Kemiskinan
• Ketimpangan
INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF)
9
1/19/2015
Garis Kemiskinan Indonesia Vs Standar Garis Kemiskinan
Internasional
Sumber: Badan Pusat Statistik, dan Bank Indonesia, 2014, diolah
Penurunan jumlah dan angka kemiskinan di Indonesia memunculkan berbagai perdebatan utamanya
mengenai ukuran kemiskinan. Pada standar Internasional, garis kemiskinan ditetapkan USD2 per
hari. Jika perhitungan tersebut diaplikasikan pada garis kemiskinan nasional, maka tidak satu tahun
pun sepanjang 2004-2013 yang memenuhi garis kemiskinan USD2
INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF)
1919
Komparasi Anggaran Kemiskinan dan Penurunan Persentase
Kemiskinan Indonesia 2004-2014
Sumber: Nota Keuangan, BAPPENAS, dan BPS berbagai tahun, diolah
Selama 2005-2014, angka anggaran kemiskinan semakin tinggi. Namun, peningkatan
anggaran tersebut tidak berpengaruh signifikan terhadap penurunan persentase penduduk
miskin Indonesia. Fakta ini menjelaskan program-program pengentasan kemiskinan belum
berjalan efektif, seperti PNPM, BSM, dan PKH
INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF)
2020
10
1/19/2015
Perkembangan Tenaga Kerja dan Pengangguran
Indikator Tenaga Kerja dan
2005
Pengangguran
ILOR
-16,91
TPT
11,24
Penyerapan Tenaga Kerja
Sektoral
a. Tradeable
58,16
b. Nontradeable
41,84
Jenis Usaha
a. Formal
29,78
c. Informal
70,22
Pendidikan
a. SD ke Bawah
56,23
b. SMP
19,55
c. SMA ke Atas
24,22
Pengangguran Berdasarkan Ketrampilan
a. Memiliki Ketrampilan
n.a
b. Tidak Memilki Ketrampilan
n.a
2006
2008
2009
2011
2012
2013
27,64
10,28
23,61
8,39
25,18
7,87
-9,49
6,56
31,39
6,14
-1,65
6,25
55,59
44,41
53,88
46,12
53,47
46,53
50,98
49,02
50,57
49,43
49,31
50,69
30,20
69,80
29,92
70,08
30,04
69,96
37,77
62,23
39,68
60,32
39,90
60,10
54,48
19,25
26,28
53,96
32,60
13,44
52,64
32,40
14,96
49,40
34,47
16,13
48,62
33,82
17,56
47,23
18,05
34,72
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
87,69
12,31
97,54
2,46
99,70
0,30
Sumber: BPS dan Kemenakertrans, 2004-2013, diolah
Tidak dapat dipungkiri bahwa angka pengangguran dalam sepuluh tahun terakhir mengalami
penurunan. Meski begitu, pasar tenaga kerja rentan karena masih didominasi SDM dengan
tingkat pendidikan SD dan SMP., serta pergeseran struktural ekonomi tradable ke non tradable
INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF)
2121
Indeks Pembangunan Manusia
Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah
Meski dapat dikatakan berhasil dalam membangun kualitas manusia, namun tren peningkatan
IPM mengalami perlambatan. Perlambatan ini lebih disebabkan faktor bencana, konflik, krisis,
maupun cuaca yang dapat menyebabkan infrastruktur dalam peningkatan kualitas manusia
menjadi kurang optimal.
INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF)
2222
11
1/19/2015
Ketimpangan Penduduk Kian Melebar
Indikator Ketimpangan
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Gini Ratio (%)
Pertumbuhan Ekonomi
(%,yoy)
0,36
0,33
0,36
0,35
0,37
0,38
0,39
0,41
0,41
5,7
5,5
6,3
6,0
4,6
6,2
6,5
6,2
5,8
Distribusi pendapatan penduduk
- 40 % terendah
18,81
19,75 19,10
19,56 21,22
18,05
17,67
16,8
17,25
- 40 % menengah
36,40
38,10 36,11
35,67 37,54
36,48
35,89
34,18
34,25
- 20 % tertinggi
44,78
42,15 44,79
44,77 41,24
45,47
46,45
48,94
48,50
Percepatan pertumbuhan ekonomi yang dialami Indonesia selama satu dekade
ternyata tidak serta merta memperbaiki ketimpangan antar penduduk. Pada saat
pertumbuhan ekonomi mampu tumbuh dengan cepat, ketimpangan justru kian
melebar.
INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF)
2323
Komparasi Indikator Daya Saing 2014
Brazil
China
Thailand
Malaysia
Indonesia
0.00
Education
Health
Quality of Infrastructure
1.00
2.00
3.00
4.00
Indonesia Malaysia Thailand
4.65
5.25
4.01
6.11
6.61
6.49
4.17
5.63
4.07
5.00
China
4.39
6.57
4.36
6.00
7.00
Brazil
3.38
6.53
3.11
Sumber: World Economic Forum,2014
INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF)
12
1/19/2015
Indonesia masih menjadi negara
resipien terbesar
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Top Ten Recipients ODA 2013
Afghanistan
Myanmar
Viet Nam
India
Indonesia
Kenya
Tanzania
Côte d'Ivoire
Ethiopia
Pakistan
(US Million)
5,030
3,417
3,005
2,846
2,063
2,059
1,959
1,920
1,874
1,750
Indonesia Top Ten Donors ODA (2011-12
average)
1 Japan
2 Australia
3 United States
4 Germany
5 EU Institutions
6 AsDB Special Funds
7 Global Fund
8 Netherlands
9 Korea
10 United Kingdom
(USD m)
918
527
229
170
133
83
70
62
38
33
Indonesia Bilateral ODA by Sector (2011-12)
0%
10%
20%
30%
Education
Economic Infrastructure & Services
Programme Assistance
40%
50%
Health and population
Production
Action relating to Debt
60%
70%
80%
Other social sectors
Multisector
Humanitarian Aid
90%
100%
Sumber: OECD (2014)
INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF)
Kemiskinan dan ODA
160000
140000
120000
100000
80000
60000
40000
20000
0
1996 1999 2002 2005 2008 2010 2011
ODA
56399.7 53002.1 62035.8 108652 127919 131670 141052
Poverty Line 30.4
29.1
26.1
21.1
18.6
16.3
14.5
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
Meningkatnya bantuan ODA yang begitu pesat belum mampu mereduksi tingkat
kemiskinan secara signifikan dalam 15 tahun terakhit. Situasi ini mirip dengan
kondisi APBN vs tingka kemiskinan di Indonesia
13
1/19/2015
Ketimpangan Ekonomi Dunia
Jurang ketimpangan dunia semakin kecil namun lebih banyak diakibatkan
oleh faktor China
INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF)
Ketimpangan Ekonomi Dunia
• Hanya 9 negara (4% dari
populasi dunia) yang mampu
menurunkan
ketimpangan
ekonomi, sedangkan 80% sisanya
justru mengalami peningkatan
jurang antara yang kaya dan
miskin.
• Lebih dari itu, 40% populasi
dunia hanya mendapatkan 5%
dari
pendapatan
global,
sedangkan 54% pendaptan
global menjadi milik segelintir
orang (10% dari total populasi
dunia).
INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF)
14
1/19/2015
Agenda Pembangunan Inklusif
• Pembangunan inklusif menjadi agenda utama dunia
• Pada 2005, terdapat dua laporan dari World Bank dan UNDP yang
menghasilkan kesimpulan bahwa penanggulangan ketimpangan
merupakan masalah penting yang menjadi perhatian utama
Dunia (Green, 2012: 5).
• UN Secretary-General’s High-Level Panel of Eminent Persons on
the Post-2015 Development Agenda menyebutkan bahwa
pembangunan inclusive harus menyentuh seluruh lapisan
masyarakat
dunia
tanpa
melihat
etnik,
gender,
geografis,disabilitas, rasis dan hal lainnya, untuk mendapatkan
hak kemanusian dan kesempatan ekonomi (United Nations, 2013:
executive summary).
INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF)
Institusi dan Pembangunan
Inklusif
• Institusi merupakan aturan/norma formal dan informal yang
mengorganisir hubungan sosial, politik, dan ekonomi (North,
1990)
• Beberapa fitur penting dari institusi:
• Institusi dapat formal maupun informal
• Berasal dari masyarakat dan organisasi (North, 1990; Leftwich &
Sen, 2010).
• Institusi akan membentuk insentif masyarakat serta kalkulasi atas
apa yang akan mereka dapatkan (Leftwich & Sen, 2010: 9).
• Institusi terus direformasi mengikuti perkembangan tindakan
masyarakat Institutions are constantly being reformed through
people’s actions (Giddens, 1984).
• Institusi dapat berdampak positif atau negatif terhadap
pembangunan. (Leftwich & Sen, 2010).
INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF)
15
1/19/2015
Peran Institusi
• Struktur dari institusi formal dan informal menentukan
distribusi dari kesempatan, aset, dan sumber daya dalam
masyarakat
• Tiga aspek dalam institusi
• Institusi Masyarakat: peraturan dan norma mengatur distribusi
kekuasaan, aset, dan hubungan kerja dalam sebuah komunitas
dan keluarga
• Institusi Ekonomi: peraturan dan norma yang menentukan sejauh
mana keberadaan perburuan rente dan korupsi dalam hubungan
ekonomi sehingga menentukan akses masyarakat terhadap aset,
properti, properti, dan kredit
• Institusi Politik: peraturan dan norma yang membentuk akses dan
partisipasi masyarakat dalam proses politik
INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF)
Institusi dan Pembangunan
Inklusif
• Institusi yang inklusif:
• Menghargai persamaan hak dan kesempatan setiap masyarakat
dalam mengakses segala sumber daya
• Institusi yang eksklusif
• Tidak diakuinya hak dan kesempatan bagi seluruh masyarakat
dalam mengakses sumber daya
INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF)
16
1/19/2015
Institusi dan Pembangunan
Inklusif
• Dampak Institusi yang Inklusif
• Studi dari Rodrik et al. (2004) menemukan bahwa kualitas
institusi menentukan level pendapatan
• Acemoglu and Johnson (2005) menemukan property right yang
inklusif memberikan dampak terhadap pertumbuhan ekonomi
dan investasi
• Institusi politik yang demokratis dan inklusif memberikan dampak
terhadap pertumbuhan ekonomi
• Pemerintahan yang inklusif, memberikan dampak terhadap
pengentasan kemiskinan serta meningkatkan kualitas manusia
seperti pendidikan dan kesehatan (Halperin et al., 2010;
Kaufmann et al., 1999; evidence identified by Evans & Ferguson,
2013).
INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF)
Institusi dan Pembangunan
Inklusif
• Dampak Institusi yang Eksklusif:
• Kemiskinan: institusi yang eksklusif membuat masyakat tidak
mampu mengakses berbagai modal seperti kredit, pendidikan,
dan kesehatan (Sen, 1992; Jolly et al., 2012: 36).
• Memperkaya sekelompok masyarakat: institusi yang eksklusif
membuat kelompok berkuasa memiliki akses terhadap berbagai
modal yang memperkaya kelompoknya sendiri dan membuat
masyarakat secara umum tetap miskin (World Bank, 2013a: 4)
INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF)
17
\
Download