Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional LAPORAN KAJIAN BIDANG KERJA SAMA PEMBANGUNAN INTERNASIONAL DALAM RANGKA PENYUSUNAN DRAF RPJMN TAHUN 2015-2019 DIREKTORAT KERJA SAMA PEMBANGUNAN INTERNASIONAL KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/BAPPENAS TAHUN 2014 Laporan Kajian Bidang Kerja Sama Pembangunan Internasional Dalam Rangka Penyusunan Draf Rpjmn Tahun 2015-2019 Tahun 2014 Direktorat Kerja Sama Pembangunan Internasional Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Jalan Taman Suropati No. 2, Jakarta Pusat 10310 Telp: (021) 3905650 Fax: (021) 31934659 Website: www.bappenas.go.id Penanggung Jawab Tubagus Achmad Choesni Penyusun Fithra Faisal Hastiadi Rus’an Nasrudin Editor Priyanto Rohmatullah Teni Widuriyanti Dara Ayu Lestari Harritz Dermawan Desain Wildan Abdurrahman ii Abstrak “Kerja sama pembangunan internasional” adalah terminologi baru dalam kebijakan ekonomi, luar negeri, dan perdagangan bagi Indonesia khususnya sejak dibentuknya Direktorat Kerja Sama Pembangunan Internasional di Bappenas pada tahun 2012. Kebaruan terminologi ini terletak pada munculnya kata pembangunan dari dalam frase “kerja sama internasional”. Makna kerja sama internasional sebelumnya didominasi oleh kerja sama yang dimotori oleh negara maju dengan pola pemberian bantuan dari negara maju ke negara berkembang atau dalam literatur ekonomi lebih dikenal sebagai Northern-led growth. Dua dekade terakhir mencatat bahwa pola ini mengalami perubahan mendasar dengan lebih berartinya peran negara-negara berkembang dalam berbagai fora kerja sama internasional yang menggeser pola Northern-led growth menjadi multipolar-growth. Indonesia dengan beberapa peran, baik sebagai penerima bantuan sekaligus mitra pembangunan, maupun pemain aktif pada berbagai fora internasional baik regional maupun global harus beradaptasi dan menempatkan kebijakan kerja sama internasionalnya dengan baik dan tepat. Studi ini bertujuan untuk memetakan isu berupa tantangan yang dihadapi Indonesia dalam menjalankan kebijakan kerja sama pembangunan interasionalnya khususnya sejak periode RPJMN (Rencana Pembangunan Jangkan Menengah Nasional) II. Beberapa rekomendasi kebijakan yang menjadi rekomendasi studi ini meliputi penguataan sekaligus sinergi keterlibatan aktif dalam berbagai fora di tingkat global dan regional dengan peran kerja sama di tingkat selatan-selatan dan triangular, serta penguatan peran Indonesia dalam membentu Country Led Knowledge Hub (CLKH). iii DAFTAR ISI ABSTRAK ................................................................................................................ iii DAFTAR ISI ............................................................................................................ iv DAFTAR TABEL .................................................................................................... vi DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... vii BAB I BAB II PENDAHULUAN ................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1 1.2 Maksud dan Tujuan............................................................................. 2 1.3 Ruang Lingkup .................................................................................... 3 1.4 Output ................................................................................................. 3 1.5 Metode dan Pendekatan ...................................................................... 3 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 4 2.1 Kerja Sama Pembangunan Global ....................................................... 6 2.1.1 GPEDC ...................................................................................... 6 2.1.2 G20 DWG .................................................................................. 9 2.1.3 GGGI.......................................................................................... 12 2.1.4 ICE-SDF .................................................................................... 13 2.1.5 ASEAN ...................................................................................... 16 2.2 Kerja Sama Pembangunan Selatan-Selatan dan Triangular ................. 20 2.3 Knowledge Sharing Hub ...................................................................... 23 iv BAB III METODOLOGI DAN PENDEKATAN.................................................... 28 3.1 Metode .................................................................................................. 28 3.2 Jenis Sumber Data ................................................................................ 28 BAB IV HASIL DAN ANALISIS ............................................................................ 30 4.1 Menggali Kesempatan dalam Forum Kerja sama Global dan Kawasan .............................................................................................. 30 4.2 Pilot Project dari program Knowledge Sharing ................................... 39 4.2.1 BNPB ........................................................................................ 39 4.2..2 PNPM ...................................................................................... 40 4.2.3 PKH ......................................................................................... 45 4.2.4 BaKTI ...................................................................................... 47 4.2.5 UCLG ....................................................................................... 49 4.3 Tantangan Kerja Sama Selatan-selatan dan Triangular ........................ 50 BAB V PENUTUP ..................................................................................................... 55 5.1 Kesimpulan ........................................................................................... 55 5.2 Rekomendasi ........................................................................................ 57 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 60 LAMPIRAN ............................................................................................................... 63 v DAFTAR TABEL Tabel 1. Program Prioritas KSST .............................................................................. 22 Tabel 2. Keunggulan Komparatif Indonesia dalam KSST ........................................ 22 vi DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Kerangka Kerja: Kerja Sama Pembangunan Internasional ...................... 23 Gambar 2. Knowledge Sharing in International Development Agenda Frame Work .............................................................................................. 36 Gambar 3. Knowledge Sharing Capacity ................................................................... 38 vii viii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Paradigma kerja sama antarbangsa telah mengalami perubahan mendasar sejak dua dekade terakhir ditandai dengan munculnya kekuatan baru dari negaranegara berkembang dalam kancah pemberian bantuan internasional maupun kerja sama dalam berbagai fora global dan kerja sama kawasan. Salah satu bentuk prkatis pemahaman dari perubahan paradigma ini adalah munculnya terminologi “kerja sama pembangunan internasional” bagi Indonesia dan berbagai bangsa di dunia. Frase kunci berupa “beyond aid” dan “development cooperation” menjadi konsep yang niscaya diikuti semua bangsa termasuk Indonesia. Perubahan paradigma ini menuntut para pemain baru tersebut termasuk Indonesia untuk beradaptasi dan mereposisi peran dan kontribusinya dalam berbagai level kerja sama internasional tersebut. Salah satu dari bentuk adaptasi bangsa Indonesia atas perubahan tersebut adalah dibentuknya direktorat baru di BAPPENAS (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) yang bernama Direktorat Kerja Sama Pembangunan Internasional dengan 3 subdirektorat: Subdirektorat Kerja Sama Pembangunan Global, Subdirektorat Kerja Sama Pembangunan Kawasan, dan Subdirektorat Kerja Sama Pembangunan Selatan-Selatan dan Triangular pada tahun 2012. Lebih awal, dalam rangka pengembangan dan implementasi program kerja sama pembangunan selatan-selatan dan triangular dibentuklah Tim Koordinasi Nasional untuk Kerja Sama Selatan-selatan dan Traingular pada tahun 2010. Dua hal ini mengisyaratkan bahwa kerja sama pembangunan internasional telah menjadi isu penting bagi pemerintah Indonesia. Perkembangan kerja sama pembangunan internasional Indonesia telah memasuki babak baru dengan berakhirnya periode Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) II periode 2010-2014 dan memasuki periode RPJMN III periode 2015-2019. Dinamika baik kawasan maupun global dalam hal 1 konstelasi kerja sama pembangunan internasional berpengaruh kuat terhadap perkembangan dan arah kebijakan kerja sama pembagunan internasional yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia. Salah satu dari bentuk dinamika global dan kawasan tersebut adalah mulai menguatnya pengakuan komunitas internasional atas peran negara-negara berkembang dalam diplomasi ekonomi internasional. Dalam berbagai literatur fenomena tersebut dikenal sebagai terbentuknya arsitektur baru kerja sama internasional khususnya di bidang pembangunan dari pola yang disebut sebagai Northern-led menjadi multipolar-led. Hadirnya periode atau babak baru tersebut sekaligus menuntut adanya review dan evaluasi untuk memperbaiki pelaksanaan kebijakan kerja sama pembangunan internasional yang selama ini telah berjalan. Berbagai living document yang memuat landasan hukum kerja sama pembangunan internasional di Indonesia memberikan ruang atas review dan evaluasi tersebut mengingat perkembangan dinamis konstelasi global yang cukup berpengaruh terhadap perkembangan kerja sama pembangunan internasional maupun kesiapan dan perkembangan lokal pelaksanaannya. 1.2 Maksud dan Tujuan Untuk itu, studi ini dilaksanakan sebagai salah satu upaya untuk memberikan masukan konstruktif dalam perspektif review dan evaluasi atas pelaksanaan kerja sama pembangunan internasional di Indonesia sekaligus sebagai kontributor rumusan isu strategis dan arah kebijakan bidang kerja sama pembangunan internasional. Studi ini berangkat dari perspektif institusional kerja sama pembangunan internasional di mana Indonesia yang memotret capaian tujuan kerja sama pembangunan internasional berdasarkan pengamatan terhadap subyek pelaksana kerja sama pembangunan internasional. Hal ini dilakukan mengingat institusionalisasi pelaksanaan kerja sama pembangunan internasional di Indonesia termasuk baru dan berada di tahap awal perkembangannya. Adanya tuntutan peran yang serius dan di sisi lain kemajuan pelaksanaan kerja sama pembangunan internasional yang perlu terus ditingkatkan menjadi 2 landasan urgensi studi evaluasi sekaligus perumusan arah kebijakannya. Untuk itu, secara spesifik studi ini bertujuan untuk: 1. Melakukan telaah perkembangan kerja sama pembangunan internasional di Indonesia periode 2009-2014; 2. Melakukan identifikasi isu strategis kebijakan di bidang kerja sama pembangunan internasional; 3. Merumuskan arah kebijakan bidang kerja sama pembangunan internasional. 1.3 Ruang Lingkup Adapun ruang lingkup dari sub bidang kerja sama pembangunan internasional yang dikaji dalam studi ini adalah: 1. Sub Bidang Kerja Sama Pembangunan Global dan Kawasan. 2. Sub Bidang Kerja Sama Selatan-Selatan dan Triangular (KSST). 3. Knowledge Sharing Hub. 1.4 Output Kajian ini diharapkan menghasilkan output berupa tulisan ilmiah (discussion paper) yang dapat memberikan masukan dan penyempurnaan dalam penyusunan kebijakan perencanaan pembangunan di bidang kerja sama pembangunan internasional Indonesia. 1.5 Metode dan Pendekatan Studi ini mempergunakan metode kualitatif deskriptif dan pendekatan studi literatur dan telaah dokumen kebijakan, landasan hukum dan berbagai studi yang terkait dengan kerja sama pembangunan internasional di Indonesia. Kontribusi dari staf Direktorat Kerja Sama Pembangunan Internasional (KPI) Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) merupakan sumber informasi primer yang menjadi bahan baku penulisan laporan studi ini. Di samping itu berbagai forum diskusi fokus terarah mengenai kerja sama pembangunan internasional secara umum maupun subtemanya dan kesimpulan yang didapatkan di dalamnya adalah sumber informasi komplementer yang berharga dalam studi ini. 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Topik tentang kerja sama pembangunan internasional sebagai sebuah paradgima baru dapat dikatakan masih relatif baru dalam dokumentasi literatur kerja sama internasional. Martinussen dan Pedersen (2005) mememperkenalkan prediksi atas perubahan pola baru atas kerja sama internasional dalam konteks pembangunan (aid) pada abad 21. Sebuah pola baru yang berasal dari evaluasi kritis atas hasil dari pola kerja sama aid dari negara maju ke ke negara berkembang selama satu abad sebelumnya, yaitu tanpa hasil yang efektif dan menggembirakan. Evaluasi kritis tersebut kemudian bermuara pada munculnya arah kebijakan baru baik dari donor dan penerima dalam membentuk kerja sama pembangunan antarbangsa. Dua argumen mendasar yang sering dikemukakan sebagai arah baru kerja sama pembangunan adalah tidak tercapainya tujuan-tujuan pembangunan seperti penurunan tingkat kemiskinan di negara berkembang sebagai hasil dari aid. Argumen berikutnya adalah diakui atau tidak, dari sisi motif, alasan negara maju dalam memberi bantuan bukanlah mencapai kemajuan pembangunan negara berkembang dan penurunan angka kemiskinan; sedangkan di sisi perencanaan dan implementasi masih sangat sering dijumpai ketidakcocokan program dengan kebutuhan negara berkembang itu sendiri. Evolusi pemikiran terhadap kerja sama pembangunan kemudian tidak mengarah kepada bahwa aid harus dihapuskan sama sekali, namun belajar dari kesalahan dan pengalaman dan lebih lanjut mengerucut pada ide knowledge sharing. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang cukup diperhitungkan potensi perannya di masa depan berada dalam arus perubahan tersebut dan secara natural terlibat secara aktif dalam transformasi pemikiran dan praktik kerja sama pembangunan internasional yang baru tersebut. Dokumentasi literatur tentang studi yang terkatit dengan arah dan kebijakan kerja sama pembangunan dengan paradgima baru sebagaimana disebutkan di atas 4 di lingkup Indonesia masih sangat terbatas. Muhibat et al. (2014) adalah salah satu literatur terkini yang mencoba memetakan implementasi kerja sama pembangunan internasional Indonesia dalam kerangka Kerja Sama Selatan-selatan dan Triangular (KSST). Studi ini dengan cukup komprehensif mengurai aspek kelembagaan KSST di Indonesia. Namun studi ini masih terbatas berfokus pada implementasi kerja sama pembangunan internasional dalam lingkup KSST. Bappenas (2014) memiliki pandangan yang sejalan dengan Martinussen dan Pedersen (2005) bahwa kerja sama pembangunan internasional dapat berdimensi multilateral dan bilateral. Dengan pemahaman ini, kerja sama pembangunan internasional dapat meliputi kerja sama di tingkat global, regional maupun KSST. Kebijakan dan praktik kerja sama internasional bangsa Indonesia secara mendasar termaktub pada pembukaan UUD 1945 yang jelas menyatakan bahwa arah kebijakan politik luar negeri Indonesia adalah bebas aktif dan berorientasi pada kepentingan nasional. Kebijakan ini menitikberatkan pada solidaritas antar negera berkembang, mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa, menolak penjajahan dalam segala bentuk serta meningkatakan kemandirian bangsa dan kerja sama untuk kesehjateraan rakyat. Secara historis, pada dua sampai tiga dekade setalah merdeka kebijakan ini kemudian diterjemahkan dalam bentuk keterlibatan aktif dalam fora internasional dan lebih spesifik mewakili negara berkembang. Beberapa keterlibatan aktif tersebut tercatat dalam berbagai fora penting seperti menjadi tuan rumah KAA pada 1955, pendiri Gerakan NonBlok pada 1961 dan pendiri ASEAN pada 1967. Dalam perkembangannya, dominasi pola kerja sama dalam spirit ini tenggelam dalam dominasi pola kerja sama yang dimotori oleh negara maju yang disebut sebagai Developmennt Assistance Committe (DAC)-OECD selama bertahun-tahun pada suatu pola yang disebut sebagai Northern-led growth, sampai tahun 2010. Tahun tersebut adalah saat bangsa-bangsa melakukan konferensi Busan sebagai lanjutan dari deklarasi Paris dan menyepakati paradigma baru dalam kerja sama pembangunan internasional. 5 Dalam hal ini, Mawdsley (2012) menekankan pentingnya para pemain baru (emerging’ or ‘New’ donors) Non-DAC donors. Mawdsley mengkritik pendekatan tradisional dalam kerja sama pembangunan yang hanya menekankan pada bantuan (aid), dan memberikan sebuah bentuk kontribusi baru dari para pemain baru tersebut yang akan bertolak jauh dari sekedar bantuan. Berikut adalah kutipan pemikiran Mawdsley dalam bukunya “From Recipients to Donors: Emerging Powers” and the Changing Development Landscape: “… the rising powers are increasingly important drivers of development theory and practice, leading to alternative conceptualizations of development cooperation or, as some experts describe it, to a “post-aid world”. This means that dichotomies like North/South or donor/recipient are becoming outdated and being questioned by diverse actors and processes that go well beyond aid ..” (Mawdsley, 2012). Dengan landscape baru kerja sama pembangunan internasional tersebut, peran dan kontribusi Indonesia dalam berbagai fora, kerja sama triangular dan kawasan seperti halnya negara-negara berkembang lainnya menjadi semakin strategis dan memiliki ruang atau legitimasi internasional yang semakin kuat. 2.1 Kerja Sama Pembangunan Global 2.1.1 GPEDC Salah satu keterlibatan penting Indonesia dalam lingkup global adalah dalam forum GPEDC (Global Partnership for Effective Development Cooperation). GPEC dibentuk sebagai tindak lanjut dari kesepakatan Busan Outcome Document yang merupakan hasil dari the 4th High Level Forum (HLF4) on Aid Effectiveness di Busan, Korea Selatan pada tahun 2011. Forum GPEDC merupakan forum inklusif baru yang menyatukan berbagai pemangku kepentingan pembangunan (development stakeholder) yang berkomitmen untuk mendorong efektifitas kerja sama pembangunan dan berorientasikan pada pencapaian hasil. Sebagai tindaklanjut dari Busan Outcome Document, pembentukan forum GPEDC mendapatkan dukungan yang luas dari berbagai pemangku kepentingan pembangunan, yaitu: 160 negara dan 45 organisasi internasional, termasuk donor, pihak swasta, Civil Society Organization (CSO), parlemen, dan organisasi philantropy. Steering Committee GPEDC dipimpin oleh 3 co-chairs di mana 6 Indonesia terlibat langsung, yaitu: Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Indonesia (Ibu Armida S. Alisjahbana), Menteri Koordinator Ekonomi dan Keuangan Nigeria (Mrs. Ngozi Iweala), dan Menteri Kerja sama Pembangunan Inggris (Mrs. Justine Greening). Berdasarkan Busan Outcome Document, GPEDC mempunyai empat (4) mandat, yaitu: (i) mempertahankan dan memperkuat momentum politik untuk kerja sama pembangunan yang lebih efektif, (ii) memastikan akuntabilitas untuk melaksanakan Komitmen Busan, (iii) memfasilitasi knowledge and sharing of lesson learned, dan (iv) mendukung pelaksanaan Busan Commitment pada tingkat negara (country level). Dalam memenuhi mandatnya, GPEDC diharapkan dapat menjadi mekanisme untuk menjaga momentum politik melanjutkan agenda pembangunan post-2015. Dalam memenuhi mandat tersebut, terdapat tiga (3) peran utama yang dimainkan oleh forum GPEDC, yaitu: (i) meningkatkan kerja sama antar development stakeholders untuk meningkatkan dampak positif dari kerja sama pembangunan; (ii) GPEDC merupakan instrumen “How” untuk membantu pencapaian Millenium Development Goals dan Post 2015 Development Agenda sebagai “What”; dan (iii) Melalui partnership akan dapat membantu perbaikan dari pendanaan kerja sama pembangunan baik, yang melalui pendanaan dari donor tradisional, maupun pembiayaan pembangunan yang inovatif. Untuk itu GPEDC diharapkan dapat bekerja dengan memanfaatkan platform kerja sama pembangunan yang telah ada seperti Forum Kerja sama Pembangunan (UN-DCF), dan proses yang berjalan di PBB lainnya, misalnya Open Working Group on Sustainable Development, serta G20 Development Working Group (DWG). Beberapa fokus utama GPEDC yang didiskusikan, yaitu : (i) Progress Busan (ii) Tax and Domestic Resources Mobilization/DRM (termasuk penguatan kebijakan pajak yang lebih efisien, dan mengurangi pengiriman uang ilegal/ilicit transfer of money); (iii) keterlibatan sektor swasta dalam pembangunan (business in development); (iv) pengembangan Knowledge Sharing, dan Kerja sama 7 Selatan-Selatan dan Triangular; serta (v) peran Middle Income Countries(MIC) dalam pembangunan. Peranan Indonesia Salah satu mandat yang diberikan kepada GPEDC adalah memfasilitasi pengembangan Knowledge Sharing dan lessons learned untuk membantu pemecahan masalah pembangunan terutama dalam membantu pencapaian Development Goals (baik MDGs, maupun Post-2015). Isu Knowledge Sharing telah lama menjadi bahan pembahasan dalam berbagai forum internasional seperti G20, UNDCF, dan GPEDC, namun belum dapat dihasilkan suatu mekanisme yang terstruktur dan dapat digunakan dengan mudah pada tingkat negara (country level) untuk peningkatan kapasitas dalam mengatasi persoalan pembangunan. Dalam forum GPEDC, Indonesia secara khusus mengangkat inisiatif Knowledge Sharing sebagai aktualisasi konsep Beyond Aid. Indonesia berpendapat bahwa Knowledge Sharing merupakan elemen penting untuk peningkatan efektivitas pembangunan, melalui pembelajaran best practice on development, baik yang bersifat internasional, yaitu dari negara maju kepada negara berkembang atau antar sesama negara berkembang, serta dalam kerangka peningkatan kapasitas di dalam negeri, yaitu dari tingkat pusat kepada tingkat daerah, ataupun pertukaran pembelajaran dari sesama tingkat daerah. Indonesia berpendapat bahwa diperlukan adanya mekanisme knowledge sharing yang lebih terstruktur dengan baik yang dapat mempertemukan kebutuhan dan penyediaan dari best practices (supply-demand), yang memadai untuk dipakai oleh suatu negara (best fit) sesuai karakteristik yang terdapat pada masing-masing negara. Selain itu, mekanisme terstruktur dapat digunakan untuk membantu perkuatan kapasitas pemerintah daerah yang luas (dalam konteks kebutuhan Indonesia yang mempunyai banyak pemerintah daerah). Untuk menyiapkan mekanisme Knowledge Sharing yang lebih terstruktur Indonesia menyiapkan pengembangan Country Led Knowledge Hub (CLKH), dengan beberapa komponen utama, yaitu: (i) mengacu pada thematic area 8 pembangunan paska 2015; (ii) menyiapkan mekanisme brokering supply dan demand; (iii) infrastruktur CLKH, dan (iv) optimalisasi skema pendanaan. 2.1.2 G20 DWG G-20 merupakan forum kerja sama internasional yang dibentuk untuk membahas isu-isu ekonomi global dan agenda finansial. Forum ini dimulai pada bulan November 2008 dengan tujuan untuk memberikan dukungan dalam menstabilkan perekonomian dunia. Pada pertengahan tahun 2010 dibawah Presidensi Korea, Forum G20 membentuk Kelompok Kerja Pembangunan atau DWG (Development Working Group) dengan mandat untuk mencapai pertumbuhan yang kuat, seimbang dan berkelanjutan (strong, sustainable, and balance growth) sekaligus mengurangi kesenjangan pembangunan dan mengentaskan kemiskinan. G20 DWG berlandaskan pada 3 prinsip yaitu: 1) Berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang konsisten dan berkelanjutan; 2) Tidak terlalu lama dalam pembentukannya, yakni dalam dua (2) tahun; 3) Pengakuan terhadap negara-negara berkembang dan LICs sebagai mitra integral dalam seluruh inisiatif yang dilakukan oleh G20. BAPPENAS merupakan focal point (ketua working group) mewakili Pemerintah Indonesia untuk pertemuan-pertemuan Development Working Group dan lebih mempunyai kesempatan untuk berperan aktif dalam menyampaikan ide, saran, dan pemikiran mengenai isu-isu pembangunan yang akan dijadikan rencana aksi pada forum G20. Beberapa capaian yang telah dihasilkan dari forum kerja sama tersebut dalam kurun waktu yang cukup singkat adalah sebagai berikut. 1. Deklarasi para pemimpin pada The G-20 Summit di Seoul pada tanggal 1112 November 2010, yang secara garis besarnya adalah menghasilkan komitmen dan beberapa peraturan dari para anggota dalam mengusahakan ketahanan ekonomi global, mempercepat pengadaan lapangan kerja, 9 menciptakan kondisi pasar yang stabil, mempersempit kesenjangan dan mengenalkan solusi bertumbuh dalam krisis; 2. A Development Agenda atau yang dikenal dengan The Seoul Consensus on Development yang menghasilkan kerangka kerja dalam memperkuat, memberi kelanjutan dan keseimbangan dalam pertumbuhan dan kerja sama dalam mengumpulkan dampak dan risiko dari kebijakan nasional pada perekonomian dan pertumbuhan global. Dari forum tersebut, diidentifikasi 9 (sembilan) pilar utama yang dinilai penting dalam mewujudkan kondisi negara-negara berkembang dan iklim dunia yang stabil, yaitu melalui pembangunan infrastruktur, sumber daya manusia, perdagangan, swasta dan penciptaan lapangan kerja, jaminan terhadap pangan, ketahanan, keuangan inklusif, mobilisasi sumber daya domestik dan berbagi pengetahuan. 3. The Multiyears Action Plan (MYAP), yakni rencana rinci dalam mendetailkan beberapa tindakan pada tiap pilar yang dijabarkan dalam The Seoul Consensus on Development. Dalam rencana aksi tersebut, Indonesia mempunyai peranan penting yakni: 1) Sebagai co-Facilitator dalam mempertahankan pertumbuhan pilar, melalui komitmen yang serius untuk mendukung dan memperkuat program perlindungan sosial di negara-negara berkembang dan mengurangi angka kemiskinan; 2) Berperan aktif dalam pilar infrastruktur, pengembangan sumber daya manusia, perdagangan dan inklusi finansial; serta termasuk sebagai anggota aktif dalam South-South Cooperation dan Triangular Cooperation dalam pilar Knowledge Sharing. Peranan Indonesia Peran Indonesia dalam forum kerja sama tersebut sangat penting mengingat posisi strategis Indonesia untuk turut memberikan kontribusi dan sumbangan pemikiran dalam penentuan tata kelola global (global governance) dan pemecahan permasalahan global yang lebih sesuai dengan kondisi negara-negara berkembang. Oleh karena itu, Indonesia perlu mengambil beberapa tindakan dan aktif pada kegiatan-kegiatan yang akan diadakan oleh Working Group sebagai langkah agar dapat memberikan kontribusi untuk dunia secara nyata dan secara khusus sebagai langkah untuk menciptakan iklim yang stabil bagi negara. 10 Dalam rangka mendukung peran aktif Pemerintah Indonesia pada forum G20 Development Working Group, BAPPENAS sebagai Ketua Working Group mewakili Indonesia, telah menginisiasi Kegiatan Koordinasi Strategis Working Group on Development. Kegiatan ini dimaksudkan untuk menyediakan fasilitas yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas-tugas yang menjadi porsi Pemerintah Indonesia dalam G-20 Development Working Group ataupun memfasilitasi inisiatif-inisiatif pemerintah yang diperlukan dalam forum kerja sama tersebut. Melalui Kegiatan Koordinasi Strategis ini diharapkan peran Indonesia dalam forum-forum internasional (khususnya G-20 DWG) dapat ditingkatkan sehingga dapat dihasilkan kebijakan ataupun produk-produk kebijakan global yang lebih berpihak pada kepentingan negara-negara berkembang (Developing Countries) atau negara-negara berpendapatan menengah (Middle Income Countries), khususnya Indonesia. Kegiatan Koordinasi Strategis Working Group on Development oleh BAPPENAS telah dimulai sejak tahun 2011. Fokus Kegiatan Koordinasi pada tahun 2011 tersebut adalah pada pencapaian target tahun pertama pelaksanaan Multi Years Action Plan yang terdiri dari 9 pilar dan satu pilar yang disepakati pada presidensi Mexico yaitu: 1. Pilar Infrastructure. 2. Pilar Human Resources Development. 3. Pilar Trade. 4. Pilar Private Investment and Job Creation. 5. Pilar Food Security. 6. Pilar Growth with Resilience. 7. Pilar Financial Inclusion. 8. Pilar Domestic Resource Mobilization. 9. Pilar Knowledge Sharing. 10. Pilar Inclusive Green Growth. Tahun 2013 di bawah Presidensi Rusia dilaksanakan proses penajaman isu dari 10 pilar menjadi 5 (lima) isu prioritas yaituInfrastruktur, Financial Inclusion and Remittances, Domestic Resources Mobilization, Food Security, dan Human 11 Resource Development. Selain itu, pada tahun 2014 juga dilakukan penilaian akuntabilitas negara anggota G20 terhadap pelaksanaan komitmen pembangunan yang telah disepakati dalam 2010 Seoul Multi Years Action Plan. Pada tahun ini DWG menghasilkan dua dokumen kesepakatan yaitu: (i) St. Petersburg Development Outlook, dan; (ii) Saint Petersburg Accountability Report of G20 Development Commitments. Pada tahun 2014 implementasi Kegiatan Koordinasi yang dilakukan BAPPENAS yaitu telah melaksanakan pertemuan internasional G20 DWG yang diselenggarakan di Australia, yang terdiri dari: a. G20 DWG Meeting I pada tanggal 16-17 Desember 2013 b. G20 DWG Informal Meeting pada tanggal 14 April 2014 c. Post 2015 Development Agenda Discussion Forum pada tanggal 7 Mei 2014 d. G20 DWG Meeting II pada tanggal 8-9 Mei 2014 e. G20 DWG Meeting III pada tanggal 3-5 September 2014 Secara keseluruhan, pertemuan-pertemuan yang diadakan diarahkan untuk mendiskusikan pelaksanaan dan tindak lanjut rencana aksi pembangunan baru yang telah disepakati dalam St. Petersburg Development Outlook. Selain itu, dilaksanakan pula proses akuntabilitas MYAP, melanjutkan proses yang sebelumnya dilakukan pada Presidensi Rusia tahun 2013. Proses akuntabilitas ini dilaksanakan oleh Accountability Steering Committee (ASC) dimana Indonesia menjadi salah satu co-facilitator bersama dengan Meksiko, Kanada, Australia, dan Rusia. 2.1.3 GGGI (Global Green Growth Institute) GGGI merupakan suatu organisasi internasional yang fokus terhadap kebutuhan negara berkembang, yaitu meningkatkan pembangunan ekonomi yang selaras dengan keberlangsungan lingkungan hidup. GGGI memiliki visi bahwa pembangunan ekonomi dan keberlangsungan lingkungan bukanlah dua hal yang bertolak belakang. Sedangkan misi yang diusung GGGI yang bertujuan untuk mempromosikan dan mengembangkan konsep green growth yang diyakini dapat 12 memperkuat pertumbuhan ekonomi, menanggulangi kemiskinan, menciptakan kesempatan kerja dan menjaga kelestarian lingkungan. GGGI memiliki dua governing bodies, yaitu Council dan Assembly. Council merupakan badan eksekutif GGGI yang terdiri dari tidak lebih dari 17 anggota, yaitu 5 participating members dan 5 contributing members yang dipilih oleh Assembly, 5 experts dan aktor non negara yang dipilih oleh Council, host country yang memiliki kursi permanen di Council dan Direktur Jenderal yang tidak memiliki hak memilih. Anggota council menjabat selama 2 tahun. Council bertanggung jawab dalam mengarahkan aktivitas GGGI dibawah pengawasan Assembly, yang antara lain memilih Direktur Jendral, menyetujui strategi GGGI, serta menyetujui dan melakukan review program kerja dan anggaran tahunan. Assembly merupakan badan tertinggi dari GGGI yang mencakup seluruh anggota dari GGGI. Tugas assembly antara lain adalah memilih anggota council dan direktur jenderal, mempertimbangkan dan mengadopsi amandemen persetujuan GGGI, serta mengarahkan program–program GGGI. Peranan Indonesia Indonesia menandatangani Establishment Agreement dengan GGGI pada tanggal 17 September 2012 dan saat ini sedang dalam proses ratifikasi untuk mengesahkan kerja sama antara Indonesia dan GGGI. Posisi Indonesia di keanggotaan GGGI saat ini adalah menjadi participating member yang berarti tidak mempunyai kewajiban untuk mengeluarkan dana bagi GGGI. Indonesia bahkan juga menempati posisi sebagai Chair participating member di Council GGGI. Keanggotaan Indonesia pada GGGI, sejalan dengan visi Pemerintah RI yang memandang penting green growth sebagai strategi pengembangan ekonomi yang bertumpu pada pemanfaatan sumber daya alam secara berkesinambungan. Tujuan GGGI ini sangat sejalan dengan salah misi pembangunan nasional yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 20052025, yaitu Indonesia yang asri dan lestari. 2.1.4 ICE-SDF ICE-SDF (Intergovemental Comitte of Experts on Sustainable Development Financing) merupakan komite yang dibentuk sebagai tindak lanjut kesepakatan 13 KTT Rio+20, yang tertuang pada pasal 255 Rio+20 outcome document. KTT Rio+20 merupakan konferensi pertemuan tingkat tinggi antarpemerintah yang dilaksanakan di Rio de Janeiro, Brazil pada 20-22 Juni 2012, membahas mengenai upaya-upaya implementasi pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Pada pertemuan tersebut, negara anggota memutuskan untuk mengembangkan tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals/SDGs) yang dibangun di atas tujuan pembangunan milenium (Milennium Development Goals/ MDGs) yang akan berakhir pelaksanaannya pada tahun 2015, juga sebagai upaya dalam mengembangkan agenda pembangunan pasca 2015. ICESDF merupakan salah satu proses dalam menyusun agenda pembangunan paska 2015 yang mengarah kepada pembangunan berkelanjutan, terutama terkait dengan strategi pendanaan pembangunan berkelanjutan. Proses lainnya adalah grup kerja terbuka untuk tujuan pembangunan berkelanjutan (Open Working Group On Sustainable Development Goals/OWG SDGs) dan Forum Politik Tingkat Tinggi mengenai Pembangunan Berkelanjutan (High Level Political Forum on Sustainable Development). Hasil pertemuan ICESDF diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi mengenai strategi pendanaan pembangunan berkelanjutan yang efektif, untuk disampaikan kepada anggota PBB pada Sidang Majelis Umum PBB ke-68 (September 2014) Pada pertemuan Rio+20 diketahui adanya kebutuhan yang signifikan terhadap mobilisasi sumberdaya dan kefektifan akan penggunaan pendanaan, sehingga dapat mendukung negara berkembang dalam upayanya mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals). Kepala negara dan pemerintahan sepakat untuk mendirikan suatu proses antar pemerintah dibawah naungan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan dukungan teknis dari sistem PBB Mandat yang tertuang dari pasal 255 Rio+20 adalah sebagai berikut (i) mendirikan suatu proses antar pemerintah dibawah naungan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan dukungan teknis dari sistem PBB, (ii) proses tersebut akan dijalankan dalam bentuk konsultasi yang luas dan terbuka 14 dengan institusi keuangan regional dan internasional, serta berbagai pemangku kepentingan yang relevan, (iii) proses tersebut akan melakukan penilaian kebutuhan pendanaan, memperhatikan keefektifan, konsistensi, dan sinergi berbagai existing instruments and frameworks serta mengevaluasi berbagai initiatif, dengan maksud untuk menyiapkan laporan yang mengusulkan opsi mengenai strategi pendanaan pembangunan berkelanjutan yang efektif untuk memfasilitasi mobilisasi sumberdaya dan penggunaan yang efektif dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Komite terdiri dari 30 experts yang mewakili kelompok regional dan sembilan experts yang bertugas sebagai observer. Komite ini mulai efektif pada 21 Juni 2013. Peranan Indonesia Pada Forum ICE-SDF, Indonesia telah ditunjuk sebagai wakil dari negara berkembang dan dari kawasan Asia Pasifik dalam merumuskan upaya-upaya pendanaan untuk Agenda Pembangunan Paska 2015 yaitu Pembangunan berkelanjutan. Indonesia melalui expert yang ditunjuk yaitu Bapak Lukita Dinarsyah, Wakil Menteri Kementerian PPN/Waka. Bappenas, telah berkontribusi dalam penyusunan laporan akhir ICE-SDF dan kontribusi tersebut telah didukung dan dimuat dalam laporan akhir, yaitu: Menekankan pentingnya forum GPEDC disebutkan sebagai forum kerja sama pembangunan yang melibatkan banyak pemangku kepentingan pembangunan sebagai anggota aktif yang berkedudukan setara, misalnya developing dan developed countries, lembaga keuangan dan pembagunan bilateral dan multilateral, parlemen, otoritas lokal, entitas sektor swasta, organisasi masyarakat sipil dan pilantropi, dan pemangku kepentingan lainnya. Forum GPEDC dianggap sebagai contoh faktual untuk mempromosikan kerja sama pembangunan bagi pencapaian agenda pembangunan pasca 2015. Menekankan aspek adaptasi dan resiliensi, serta dampak dalam penanganan isu perubahan iklim, guna mendorong keseimbangan antara berbagai dimensi dampak perubahan iklim bagi pembangunan. 15 Mempertimbangkan secara seksama isu efektifitas kerja sama pembangunan dalam menunjang kemiskinan. pembangunan Pentingnya knowledge berkelanjutan sharing dan dalam pengentasan kerja sama pembangunan, baik kerja sama utara-selatan maupun selatan-selatan, yang dapat meningkatkan efektivitas kerja sama pembangunan. Menekankan perlunya peningkatan capacity building kepada negara-negara berkembang, termasuk LDCs, dalam upaya meningkatkan domestic resources mobilization (perpajakan, illicit flows), blended finance dan penerapan kondisi sosial dan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan berkelanjutan. Pendanaan ODA untuk peningkatan kapasitas negara berkembang perlu untuk ditingkatkan. Blended finance merupakan salah satu sumber pendanaan penting bagi pembangunan negara-negara berkembang, mengingat terbatasnya sumber dana publik. Telah diusulkan agar dituangkan dalam laporan adanya kebutuhan pengembangan environment condition yang kondusif bagi pengembangan blended finance. Pengembangan blended finance seperti Public Private Partnership (PPPs) juga memerluka dukungan adanya Project Preparation Funds (PPF). Bank Pembangunan multilateral dan regional dapat berperan penting bagi pembentukan PPF di negara-negara berkembang. Menekankan peran penting intermediaries dalam arus pendanaan. 2.1.5 ASEAN Dengan disepakatinya Piagam ASEAN pada 15 Desember 2008, ASEAN menjadi suatu organisasi kawasan yang sama sekali baru, dengan aturan hukum yang jelas dan memiliki legal personality. Dilengkapi moto one vision, one identity, one community, ASEAN terus melangkah menuju terbentuknya suatu Komunitas ASEAN 2015. Pembukaan Piagam ASEAN secara tegas menyebutkan komitmen masyarakat (We, the Peoples) negara anggota ASEAN untuk mempercepat pembentukan Komunitas ASEAN yang didasarkan pada tiga pilar, yaitu kerja sama politik dan keamanan, kerja sama ekonomi, dan kerja sama sosial budaya. 16 Melalui tiga pilar kerja sama yang disebutkan dalam Bali Concord II dan ditegaskan kembali dalam Pembukaan Piagam ASEAN, jelaslah bahwa komunitas ASEAN mendatang akan terdiri dari tiga komunitas, yaitu Komunitas Keamanan ASEAN (ASEAN Security Community/ASC), Komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community/AEC), dan Komunitas Sosial Budaya ASEAN (ASEAN Socio Cultural Community/ASCC). Peran Indonesia Keberhasilan ASEAN menandatangani suatu piagam bersama merupakan dasar yang kuat bagi terbentuknya suatu komunitas ASEAN dan memperkuat peran ASEAN dalam menghadapi berbagai perubahan arsitektur kerja sama global Pandangan bahwa dengan terwujudnya Komunitas ASEAN maka Indonesia akan dirugikan karena lemahnya daya tawar politik dan ekonomi yang disebabkan lemahnya posisi ekonomi nasional di mata negara tetangganya adalah tidak kuat. Dalam Making East Asian Regionalism Work, Hastiadi (2012) menunjukkan berbagai potensi yang bisa diraih oleh Indonesia dalam kerangka kerja sama ekonomi regional terutama dalam skema ASEAN ditambah dengan Tiongkok, Jepang dan Korea Di bidang ekonomi, secara pasti Indonesia mulai memperlihatkan kestabilan dalam pertumbuhan ekonomi. Hal ini dapat terlihat dari kemampuan Indonesia untuk bertahan dari krisis ekonomi yang lebih besar di tahun 2008. Jika krisis ekonomi 1997 hanya berdampak ke negara-negara Asia, krisis ekonomi 2008 menerjang hampir seluruh negara di dunia. Sejak dibentuknya ASEAN sebagai organisasi regional pada tahun 1967, negara-negara anggota telah meletakkan kerja sama ekonomi sebagai salah satu agenda utama yang perlu dikembangkan. Pada awalnya kerja sama ekonomi difokuskan pada program pemberian preferensi perdagangan, usaha patungan, dan skema saling melengkapi antar pemerintah negara-negara anggota maupun pihak 17 swasta di kawasan ASEAN. Dalam perkembangannya bahkan ASEAN juga memiliki posisi tawar yang semakin meningkat dalam forum global semisal G-20 (Hermawan et al., 2011) Ada isu yang dipandang perlu untuk menjadi prioritas Indonesia adalah pembenahan ASEAN Secretariat, baik dari segi manajemennya yang perlu dibedakan antara menjalankan peran administratif dengan fungsi seperti commissioner layaknya di Eropa yang memiliki kewenangan dalam batas tertentu sebagai organ tertinggi di ASEAN, maupun dari segi peningkatan anggaran. Kerja sama Ekonomi Sub-Regional ASEAN Pelaksanaan Kerja sama Ekonomi Sub-Regional (KESR) dilakukan untuk mengambil manfaat dan saling melengkapi dalam mempercepat pembangunan ekonomi melalui peningkatan arus investasi, pengembangan infrastruktur, pengembangan sumber daya alam dan manusia, serta pengembangan industri. Tujuan utama pembentukan sub-wilayah pertumbuhan adalah untuk memadukan kekuatan dan potensi-potensi tiap-tiap wilayah yang berbatasan sehingga menjadi wilayah pertumbuhan yang dinamis. Kerja sama ekonomi sub-regional, sering juga disebut sebagai segitiga pertumbuhan (growth triangle) atau wilayah pertumbuhan (growth area), merupakan salah satu bentuk keterkaitan (linkage) ekonomi antar daerah dengan memiliki unsur internasional. Daerah anggota kerja sama tersebut lebih dari satu negara Dalam konteks ASEAN, sesuai dengan Agenda for Greater Economic Integration, pembentukan KESR didasarkan pada prinsip keterbukaan dalam pembangunan wilayah (open regionalism) dan bukan pada pembentukan blok kawasan yang tertutup (building block). Berbagai kendala yang muncul dalam perkembangan kerja sama growth areas ini menjadi feed back bagi kemajuan skema pertumbuhan wilayah ini dan ASEAN terus mengupayakan inisiatifinisiatif baru dalam kerangka pengembangan kerja sama tersebut seperti pembentukan ASEAN Mekong Basin Development Cooperation. Kawasan Pertumbuhan ASEAN Bagian Timur: Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Filipina (BIMP-EAGA) 18 Ide pembentukan Wilayah Pertumbuhan ASEAN Timur (BIMP-EAGA) pertama kali disampaikan oleh Presiden Filipina, Fidel Ramos pada bulan Oktober 1992 untuk menghubungkan daerah Filipina Selatan dengan Wilayah Timur Indonesia dan Wilayah Timur Malaysia. Ide tersebut kemudian disampaikan kepada PM Malaysia Mahathir Muhamad dan Presiden Soeharto. Kerja sama BIMP-EAGA secara resmi dibentuk melalui penandatanganan Agreed Minutes pada pertemuan tingkat menteri di Davao City, Filipina, 26 Maret 1994. BIMP EAGA tersebut diikuti oleh empat negara di kawasan timur ASEAN yaitu Brunei Darussalam, Indonesia (Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Utara), Malaysia (Sabah, Serawak, dan Labuan), dan Filipina (Mindanao dan Palawan) Kerja sama BIMP-EAGA dibentuk untuk menarik minat para investor lokal dan asing untuk melakukan investasi dan meningkatkan perdagangan di kawasan timur ASEAN. Tujuan pembentukan BIMP-EAGA adalah mengembangkan kerja sama sub-regional antara negara-negara anggota dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi di sub-kawasan tersebut. Sektor kerja sama yang diprioritaskan adalah transportasi udara dan laut, perikanan, pariwisata, energi, kehutanan, pengembangan sumber daya manusia dan mobilitas tenaga kerja. Untuk melibatkan pihak swasta secara aktif telah dibentuk forum khusus East ASEAN Business Council (EABC) di Davao City 15-19 Nopember 1994. Pembagian area kerja BIMP-EAGA digolongkan dalam beberapa cluster, yaitu: cluster bidang transportasi dan pembangunan infrastruktur yang membawahi air linkages, sea linkages,telekomunikasi dan konstruksi dengan Brunei Darussalam sebagai koordinator; Cluster bidang sumber daya alam yang terdiri atas agro-industry, perikanan, kehutanan dan lingkungan hidup serta energi, dengan Indonesia sebagai koordinator; cluster pariwisata, dengan Malaysia sebagai koordinator; dan cluster UKM dan finansial dengan Filipina sebagai koordinator. Pertemuan BIMP-EAGA Summit ke-3 di Cebu pada tanggal 12 Januari 2007 menghasilkan sebuah Joint Statement for 3rd BIMP-EAGA Summit yang intinya antara lain menyepakati BIMP-EAGA Roadmap to Development yang 19 meliputi percepatan penerapan flagship projects, pembuatan database perdagangan, investasi & pariwisata. Hal tersebut akan selaras dengan inisiatif AEC dan bertujuan untuk memajukan proses integrasi ASEAN; menyepakati peningkatan keterlibatan pihak swasta untuk berpartisipasi pada BIMP-EAGA Business Council; menggerakkan sektor UKM bekerja sama dengan ADB serta meningkatkan peran pemuda dalam kerja sama sosial budaya, riset, olahraga, dan pendidikan. Segitiga Pertumbuhan: Indonesia, Malaysia dan Thailand (IMT-GT) Pembentukan Segitiga Pertumbuhan (Growth Triangle) IMT-GT dimulai dengan pertemuan bilateral tingkat menteri dan pejabat tinggi di Pulau Langkawi, Malaysia, 20 Juli 1993. Kerja sama segi tiga pertumbuhan tersebut melibatkan tiga provinsi Indonesia yakni Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat; empat negara bagian Malaysia yaitu Perak, Penang, Kedah, Perlis dan empat belas provinsi Thailand Selatan. Kerja sama pertumbuhan tersebut diharapkan akan mempercepat pertumbuhan ekonomi dan memperlancar arus perdagangan, investasi, pariwisata, dan jasa, serta membuka peluang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya manusia secara optimal. Secara struktural mekanisme kerja sama IMT-GT terbagi atas dua tingkatan, yaitu Sidang Pejabat Tinggi (Senior Officials MeetingSOM) dan Business Council Meeting (BCM). SOM terdiri dari pejabat-pejabat tinggi pemerintah dari Departemen Perdagangan dan Perindustrian dan beberapa anggota teras BCM. Sedangkan BCM terdiri dari pengusaha-pengusaha yang terlibat dalam kegiatan IMT-GT. SOM melakukan pertemuan setahun sekali dengan didahului pertemuan BCM. Hasil pertemuan BCM kemudian diajukan ke SOM. Pada KTT ke-12 ASEAN di Cebu telah diadakan pula KTT ke-2 IMT-GT yang menyepakati sebuah Joint Statement of the 2nd IMT-GT Summit yang intinya antara lain penetapan IMT-GT Roadmap for Development 2007-2011 dan penetapan empat IMT-GT Economic Corridors (extended Songkhla-Penang- 20 Medan, Straits of Malacca, Banda Aceh-Palembang, Dumai-Melaka); mendorong penguatan peran Swasta dan Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan kerja sama IMT-GT; dukungan penguatan institusional IMT-GT; dan dukungan peran ADB dalam IMT-GT. 2.2 Kerja Sama Pembangunan Selatan-Selatan dan Triangular Kerja Sama Selatan-selatan dan Triangular (KSST) adalah salah satu aspek penting dalam mendukung dan menguatkan kerja sama pembangunan, khususnya antar negara berkembang. Secara umum, KSST telah menjadi kerangka penting bagi negara berkembang dalam berbagi informasi, pengalaman dan pengetahuan dalam pembangunan. Selama periode 2010-2014 dan sebelumnya, Indonesia tercatat telah berperan aktif dalam kerja sama pembangunan dalam kerangka KSST dengan kontribusi dana tidak kurang dari 49,8 juta USD. Kontribusi tersebut mencakup 3 sektor: (1) Pembangunan; (2) Tata Kelola Pemerintahan dan Perdamaian; (3) Ekonomi. Evaluasi atas capaian dan hadirnya momentum untuk semakin menguatkan peran Indonesia dalam kerja sama pembangunan melalui KSST adalah landasan bagi proyeksi kebijakan sub bidang ini dalam periode 5 tahun ke depan (RPJMN III 2015-2019) dengan penitikberatan pada tema pemantapan kelembagaan dan koordinasi, kerangka regulasi dan perluasan peran pemangku kepentingan. Dalam RPJMN II 2010-2014 disebutkan tiga permasalahan yang dihadapi oleh KSS Indonesia: (1) belum adanya desain nasional yang komprehensif untuk menjamin sinergi antara berbagai instansi terkait dalam pelaksanaan KSS; (2) belum adanya entitas yang kuat untuk menangani KSS yang mampu melaksanakan koordinasi secara terpadu; (3) perlunya identifikasi potensi keunggulan yang dimiliki oleh Indonesia serta menetapkan prioritas bidangbidang yang dapat dikerja samakan dalam kerangka KSS. Selama periode 20102014 tiap aspek permasalahan tersebut telah mengalami kemajuan dan perbaikan. Beberapa kemajuan berarti telah dicapai dalam periode 2010-2014 sebagai berikut. Sebagai jawaban atas persoalan desain nasional, pemerintah telah menyusun Rencana Induk KSST 2011-2025 dan Cetak Biru KSST 2011-2014. 21 Selanjutnya, sebagai jawaban atas persoalan belum adanya entitas yang kuat untuk menangani KSST, pemerintah telah membentuk Tim Koordinasi Pengembangan KSST (Tim Koordinasi) sebagai satu-satunya kerangka institusional koordinasi penyelenggaraan KSST oleh pemangku kepentingan terkait. Terkait dengan permasalahan ketiga, dalam hal indentifikasi potensi keunggulan yang dimiliki oleh Indonesia serta indentifikasi bidang-bidang yang dapat dikerja samakan dalam kerangka KSST, dalam rencana induk dinyatakan 7 program prioritas dan dalam draf Cetak Biru 11 sektor dengan keunggulan komparatif. Tabel 1. Program Prioritas KSST 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Peningkatan kapasitas dalam demokrasi dan penanganan konflik Peningkatan kapasitas dalam bidang perdagangan dan ekspor Infrastruktur dan konstruksi Keluarga berencana dan kesehatan reproduksi Beasiswa negara berkembang Peningkatan kapasitas dalam pengelolaan makroekonomi, keuangan publik dan keuangan mikro Peningkatan kapasitas dan pemberdayaan masyarakat Tabel 2. Keunggulan Komparatif Indonesia dalam KSST 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 22 Pengentasan kemiskinan Pertanian dan ketahanan pangan Infrastruktur Manajemen bencana dan perubahan iklim Peningkatan kualitas sumber daya manusia Tata kelola pemerintahan yang baik dan stabilitas keamanan Pengembangan IPTEK Pengembangan sosio-budaya Manajemen makroekonomi dan keuangan publik Keuangan mikro Perdagangan, jasa dan investasi 2.3 Knowledge Sharing Hub Gambar 1. Kerangka Kerja: Kerja Sama Pembangunan Internasional Sumber: BAPPENAS Dalam pelaksanaan Kebijakan Kerja sama Pembangunan, Indonesia berpatokan kepada suatu Kerangka Kerja Kerja sama Pembangunan. Kebijakan tersebut tersusun atas tiga pilar utama, yakni (a) Transfer Teknologi, (b) Perluasan Investasi pada Sektor Swasta, serta (c) Kerja sama Internasional termasuk didalamnya Kerja sama Selatan-Selatan dan Triangular. Ketiga pilar tersebut bersifat saling menunjang satu samalain terutama dalam konteks meningkatnya status Indonesia sebagai Middle Income Country (MIC). Selama ini terdapat paradigma yang kuat terkait kerja sama pembangunan, yakni selalu mengenai transfer uang, teknologi, dan solusi dari negara maju ke negara berkembang. Hal tersebut telah mulai mengalami pergeseran dengan mulai bangkitnya paradigma bahwa solusi pembangunan dapat datang dari mana saja –Utara, Selatan, Timur, dan Barat– dan semakin sering datang dari negaranegara berkembang melalui skema Kerja sama Selatan-Selatan dan Triangular (KSST). Berbagai solusi tersebut datang dari negara-negara dan kawasan-kawasan yang pernah dihadapkan dengan masalah tersebut dan mampu menyelesaikannya. Banyak di antara negara-negara tersebut yang telah mencapai pertumbuhan 23 ekonomi dan kemajuan sosial. Terdapat keinginan untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan (knowledge sharing) dalam pembangunan. Knowledge sharing merupakan inisiatif Indonesia yang merupakan platform untuk menjembatani negara-negara berkembang saling belajar dan memfasilitasi proses pembelajaran dari pengalaman negara lainnya dalam menyelesaikan berbagai isu pembangunan. KSST merupakan instrumen penting untuk mengimplementasikan knowledge sharing. Mekanisme ini dikembangkan dengan melibatkan sektor swasta dan organisasi masyarakat sipil sehingga mekanisme kerja sama ini dapat mendukung pencapaian sasaran-sasaran pembangunan dengan lebih efektif. Dalam hal ini Knowledge Sharing merupakan elemen penting untuk peningkatan efektivitas pembangunan, melalui pembelajaran best practice on development, baik yang bersifat internasional, yaitu dari negara maju kepada negara berkembang atau antar sesama negara berkembang, serta dalam kerangka peningkatan kapasitas di dalam negeri, yaitu dari tingkat pusat kepada tingkat daerah, ataupun pertukaran pembelajaran dari sesama tingkat daerah. Dinamika pembangunan internasional telah berubah drastis termasuk munculnya kekuatan – kekuatan ekonomi baru dari wilayah Selatan. The 4th High Level Forum on Aid Effectiveness di Busa pada tahun 2011 berkontribusi terhadap konstruksi kerja sama pembangunan yang komprehensif dengan menggabungkan berbagai macam aktor baik aktor negara maupun non negara. Tren penting lainnya adalah meningkatnya kepentingan akan skema kerja sama triangular, melalui donor tradisional dan partner institusional, seperti organisasi internasional dan berdampingan dengan negara – negara selatan untuk keuntungan dari negara ketiga. Adapun beberapa hasil yang diharapkan untuk tercapai dengan adanya wadah knowledge sharing tersebut antara lain: Aktor baru dalam dapat belajar dari pengalaman aktor – aktor yang telah lebih dahulu aktif. Memperlihatkan contoh – contoh sukses KSST termasuk refleksi dari tantangan yang dihadapi. Memperlihatkan aksi sukarela dari partner selatan – selatan untuk mencapai tujuan dan prinsip pertemuan Busan. 24 Mengidentifikasi jumlah isu tematik dalam kerangka kerja post-2015, dimana KSST dapat memberikan nilai tambahan. Salah satu mekanisme penting untuk mendukung efektivitas pembangunan adalah Knowledge Sharing (KS) antar negara berkembang. Indonesia memiliki beberapa keuntungan komparatif yang dapat memungkinkan inisiatif Knowledge Sharing untuk ditingkatkan. Beberapa tujuan konkret dengan adanya pelaksanaan inisatif Knowledge Sharing tersebut antaralain: Pemahaman yang lebih baik dalam level politik mengenai pentingnya KS sebagai salah satu pilar krusial dari kerja sama pembangunan dan bagaimana hal tersebut dapat berkontribusi dalam pencapaian tujuan MDGs dan Post 2015 Development Agenda. Memperlihatkan contoh relevan negara yang terjalin dalam KSST dalam topik-topik yang sesuai dengan Agenda Post 2015, termasuk presentasi dari negara-negara emerging economies dan diskusi mengenai kesuksesan dan tantangannya. Membantu perkembangan pemahaman mengenai syarat politik dan institusional yang dibutuhkan untuk KS yang sukses dalam di tingkat negara. Mengumumkan peningkatan KS dalam 3–5 area topik pilihan dalam Agenda post 2015. Peningkatan kontribusi dari sektor swasta dan organisasi filantropi untuk mendukung pembangunan melalui KS. Adapun beberapa hasil yang hendak dicapai dengan dilaksanakannya inisiatif Knowledeg Sharing tersebut antaralain: Identifikasi bagaimana KS dapat ditingkatkan di beberapa area tematik dalam Agenda Post 2015. Mendiskusikan mengenai peran dan memperlihatkan contoh sukses dari kebijakan KS dan kerangka kordinasi institusional: kebijakan pembangunan nasional dan pentingnya untuk meningkatkan country led knowledge hub dalam KSST dan KS yang masih menjadi agenda penting bagi banyak 25 negara, terutama MICs, dalam wilayah seperti perlindungan sosial, manajemen bencana, perubahan iklim, dan agrikultur tropis, dan kesehatan publik. Mengidentifikasi dan menunjukkan praktik inovatif dalam KS. Di samping bantuan teknis yang disalurkan oleh Indonesia melalui KSST, pemerintah Indonesia juga berkontribusi pada pengembangan The South-south Experience Exchange Facility Bank Dunia. Fasilitas Selatan Selatan adalah suatu multi-donor trust fund yang dibentuk sejak Oktober 2008 untuk memfasilitasi sharing pengalaman di antara negara-negara klien Bank Dunia. Pertukaran pengalaman diselenggarakan atas dasar permintaan negara penerima bantuan (recipient) dan dirancang khusus dengan target tertentu yang hasilnya kemudian dimasukan dalam suatu online knowledge library. Fasilitas Selatan-selatan ini terdiri dari partner-partner unik termasuk dari middle income countries seperti China, Denmark, Meksiko, Belanda, Spanyol, Inggris, India, Rusia dan Kolumbia. Indonesia direncanakan bergabung dalam multi-donor trust fund ini pada tahun 2013. Dalam laporan World Bank Institute, Indonesia tercatat telah aktif dalam South-south Facility Exchanges, sejumlah lima kali sebagai provider dan dua kali sebagai receiver. Sebagai contoh, Indonesia tercatat aktif bersama-sama dengan Brazil dan Meksiko dalam program pengentasan kemiskinan ekstrim (Tackling Extreme Poverty) di Bolivia dengan total pendanaan sebesar 77.200 USD dalam kurun waktu 3 April 2009 hingga 31 Oktober 2010. Program ini telah memberikan bekal pengetahuan dan skill kepada para perencana pembangunan di Bolivia untuk merancang dan mengimplementasikan program-program sosial yang vital dan paling diperlukan masyarakat yang paling membutuhkan. Indonesia bersama-sama dengan China terlibat dalam program Empowering local governments and reducing regional disparity: learning from China and Indonesia atas permintaan India pada periode 2 Agustus 2011 hingga 30 Juni 2012 dengan hibah sebesar USD 18.559. Indonesia juga terlibat aktif bersama-sama dengan Afrika Selatan, Rwanda dan Macedonia dalam kegiatan resolusi konflik di Nepal (Nepal: Understanding Experiences in post Conflict 26 State building from South Africa, Rwanda and Indonesia) dengan hibah sebesar 116.015 USD pada periode 22 Mei 2009 hingga 31 Maret 2010. Indonesia menjadi providing country dalam kegiatan Haiti Community Driven Development Housing Reconstruction Knowledge Exchange di Haiti dengan dana hibah sebesar USD 39.691 di tahun 2011. Melalui kegiatan ini, delegasi dari Kementerian Perencanaan Haiti mengunjungi tiga propinsi di Indonesia untuk melihat sendiri projek-projek rekonstruksi pasca bencana. Dalam kegiatan ini delegasi mempelajari konsep gotong royong swadaya (community self-help) yang telah menjadi prinsip dalam pembangunan berbasis masyarakat; pentingnya kepemimpinan nasional dan lokal yang kuat untuk menyusun rencana bagi proses pembangunan kembali pasca bencana; pentingnya sense of ownership; kemampuan koordinasi dan monitoring bantuan global, pencegahan korupsi dalam projek-projek rekonstruksi. Delegasi juga belajar bagaimana mereka dapat melakukan upgrade infrastruktur dan pelayanan masyarakat di Haiti. Indonesia menjadi providing country bagi South-South Facility Grants untuk beberapa kegiatan yang diselenggarakan di beberapa negara berkembang. Indonesia menyediakan hibah untuk kegiatan “Knowledge and Experience Exchange between Indonesia and Vietnam on Output and Results based Approach for Local Government Programs” atas permintaan Vietnam, yang disetujui pada 21 Agustus 2012 dan berakhir pada 28 Februari 2013 dengan jumlah hibah sebesar USD 30.000. Sebagai bukti komitmen Indonesia sebagai middle-income country, Indonesia berkomitmen untuk menjadi partner dalam multidonor trust fund ini. Pada tahun 2012, Indonesia menyepakati untuk memberi kontribusi sebesar USD 1,5 juta ke Bank Dunia melalui South-south Exchange Facility. Janji ini telah disampaikan dalam High Level Meeting di Bali pada bulan Juli 2012 dan telah tercatat dalam laporan tahunan Bank Dunia: “Indonesia has also expressed interest in becoming a Partner in 2013 with a contribution of $1.5 million in 2014.” 27 BAB III METODOLOGI DAN PENDEKATAN 3.1 Metode Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah metode kualitatif deskriptif. Hal ini didasarkan pada tujuan kajian untuk memetakan arah dan tantangan kerja sama pembangunan internasional Indonesia. Penelitian deskriptif menurut Zulganef (2008) adalah “penelitian yang bertujuan menggambarkan suatu kondisi atau fenomena tertentu, tidak memilah-milah atau mencari faktor-faktor atau variabel tertentu.” Adapun studi yang mencoba melihat dan memetakan faktorfaktor tertentu dalam tema kerja sama pembangunan internasional Indonesia diantaranya adalah Hastiadi dan Nasrudin (2013) dan Muhibat et al. (2014). “Riset yang bersifat paparan ini ditujukan untuk mendeskripsikan hal-hal yang ditanyakan dalam riset, seperti: siapa, yang mana, kapan, di mana dan mengapa” (Umar, 2002:40). Dengan definisi tersebut, tujuan dari kajian ini akan dapat dicapai dengan baik. Desain penelitian deskriptif ini umumnya dapat menggunakan metode studi kasus, tindak lanjut, analisis isi, kecenderungan atau korelasional (Umar, 2002). Untuk itu, dalam studi ini akan dipergunakan analisis isi dan studi kasus. Merujuk pada Hastiadi dan Nasrudin (2013) dan Muhibat et al. (2014) studi kasus tentang KSST dan implementasi kerja sama pembangunan internasional di tingkat kawasan adalah hal yang dianggap tepat dalam studi ini. 3.2 Jenis Sumber Data Terdapat dua jenis data yang digunakan dalam kajian ini, yaitu: 1. Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh langsung oleh peneliti. Dalam kajian ini data primer diperoleh melalui wawancara dan diskusi langsung dengan narasumber di beberapa institusi yang ditetapkan sebagai lingkup sampel yaitu: Bappenas, Kementerian Keuangan, Kementerian Luar Negeri dan pakar (Universitas). 28 2. Data Sekunder Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari hasil penelitian orang lain maupun literatur. Studi kepustakaan dilakukan guna memperoleh data sekunder yang mendukung penelitian. Teknik wawancara dan diskusi langsung dipergunakan dalam studi ini karena menurut Hasan (2002) paling tidak terdapat 3 hal yang menjadi kekuatan metode wawancara. Pertama, mampu mendeteksi kadar pengertian subjek terhadap pertanyaan yang diajukan. Jika responden tidak mengerti bisa diantisipasi oleh interviewer dengan memberikan penjelasan. Kedua, bersifat fleksibel, pelaksanaanya dapat disesuaikan dengan kondisi masing-masing responden. Ketiga, menjadi stu-satunya hal yang dapat dilakukan disaat tehnik lain sudah tidak dapat dilakukan. Dalam hal ini, dokumentasi literatur ilmiah tentang kerja sama internasional yang berasal dari sumber utama masih sangat terbatas, dan untuk itu teknik wawancara dan diskusi terarah menjadi pilihan metodologi yang tepat. 29 BAB IV HASIL DAN ANALISIS 4.1 Menggali kesempatan dalam forum kerja sama global dan Kawasan Peran konstruktif dan kepemimpian Indonesia semakin diakui di kancah internasional. Saat ini, Indonesia merupakan kekuatan ekonomi yang semakin meningkat, demokrasi yang dinamis, negara terkemuka dalam Perhimpunan negara-negaradi Asia Tenggara (ASEAN), Kerja sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) dan anggota dari G20. Pertumbuhan ekonomi Indonesia berkontribusi pada penurunan angka kemiskinan tahunan sebesar hampir 6 persen dalam lima tahun terakhir (SEADI, 2013). Bagi Indonesia keterlibatan ini merupakan sebuah wadah yang jika dioptimalisasi maka Indonesia dapat mencapai kepentingan-kepentingan nasionalnya. Namun Indonesia juga memahami posisi unik dan tanggung jawab vitalnya untuk mewakili negara-negara berkembang. Pertama, Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang karena pertumbuhan ekonominya tercatat cukup tinggi di antara negara-negara berkembang lainnya dimasukkan dalam kategori emerging economy. Tentu saja bisa ditambahkan bahwa Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang di masa lalu pernah terpuruk oleh krisis ekonomi dan kini telah berhasil mengatasinya dengan relatif baik. Indonesia berupaya mengatasi tantangan dalam negeri dan pada saat yang sama memainkan peran penting di panggung pembangunan dunia. Selain menjadi anggota G20, Indonesia adalah ketua Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) tahun 2013, ketua Dana Global untuk Memerangi AIDS, Tuberkulosis,dan Malaria (GF), dan salah satu ketua panel tingkat tinggi untuk Agenda Pembangunan Pasca 2015. Negara berpenghasilan menengah seperti Indonesia, yang merupakan donor dan penerima bantuan, memperlihatkan perspektif yang unik tentang pengalaman pembangunan, dan memainkan peran yang semakin penting dalam kampanye global untuk mencapai Tujuan Pembangunan Milenium. Delapan Tujuan Pembangunan Milenium yaitu menurunkan kemiskinan ekstrim 30 hingga separuhnya sampai dengan menghentikan penyebaran HIV/AIDS, penanganan berbagai permasalahan lingkungan, dan menyediakan pendidikan dasar untuk semua telah menjadi tonggak penting dalam upaya pembangunan global dan nasional Indonesia. Kemitraan global dalam pembangunan semakin berfokus pada solidaritas dan kerja sama antar negara. Dengan semakin dekatnya tenggat waktu pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium yang akan berakhir pada tahun 2015, Indonesia turut membantu upaya internasional menentukan tonggak kemajuan melalui kepemimpinannya dalam proses penyusunan agenda pembangunan pasca 2015. Pada ketiga forum tersebut maupun forum internasional lainnya, Indonesia berhasil mengembangkan diri sebagai negara terkemuka dalam mengatasi tantangan pembangunan global yang mempengaruhi kemakmuran dalam negeri. Bahkan, Indonesia saat ini sudah mulai meningkatkan bantuan kepada negara lain. Selain itu, Indonesia ingin mencapai "daya saing ekonomi dari sumber daya alam terus meningkat, sumber daya manusia yang lebih baik, dan peningkatan kemampuan untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi" pada tahun 2020 (Bappenas, 2007, hal. 33). Berkenaan dengan hal tersebut, tantangan terbesar bagi Indonesia adalah memanfaatkan keberadaannya di forum-forum global tersebut sebesar-besarnya untuk kepentingan bangsa. Pemerintah Republik Indonesia saat ini telah melakukan kerja sama pembangunan internasional, dimana kerja sama tersebut merupakan salah satu bagian dari pelaksanaan pembangunan nasional. Pembangunan nasional Indonesia sampai dengan tahun 2025 telah direncanakan melalui Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 yang dibagi ke dalam empat periode Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), yaitu RPJMN 2005-2009, RPJMN 2010-2014, RPJMN 20152019 dan RPJMN 2020-2025. Melihat dampak komitmen yang diambil indonesia dalam forum kerja sama Global Dalam Global Partnership for Effective Development Cooperation (GPEDC), seiring dengan semakin besarnya peranan dari negara-negara 31 berpendapatan menengah dalam hal kerja sama pembangunan internasional, GPEDC memberikan ruang diskusi yang cukup terbuka. Namun permasalahannya adalah negara-negara berpendapatan menengah tersebut memiliki agenda dan kepentingan yang berbeda yang pada gilirannya menghambat pekembangan dari GPEDC itu sendiri. Berangkat dari masalah ini, maka Indonesia perlu mendefinisikan lagi kepentingan domestiknya dan bagaimana bisa membawa kepentingan tersebut ke ruang diskusi yang lebih luas pada GPEDC sementara pada sisi yang lain juga mengakomodasi kepentingan dari negara-negara lainnya yang tergabung dalam GPEDC. Berdasarkan Busan Outcome Document, GPEDC memiliki empat (4) mandat, yaitu: (i) mempertahankan dan memperkuat momentum politik untuk kerja sama pembangunan yang lebih efektif, (ii) memastikan akuntabilitas untuk melaksanakan Komitmen Busan, (iii) memfasilitasi knowledge and sharing of lesson learned, dan (iv) mendukung pelaksanaan Busan Commitment pada tingkat negara (country level). Dalam memenuhi mandatnya, GPEDC diharapkan dapat menjadi mekanisme untuk menjaga momentum politik melanjutkan agenda pembangunan post-2015. Dalam memnuhi mandat tersebut, terdapat tiga (3) peran utama yang dimainkan oleh forum GPEDC, yaitu: (i) meningkatkan kerja sama antar development stakeholders untuk meningkatkan dampak positif dari kerja sama pembangunan; (ii) GPEDC merupakan instrumen “How” untuk membantu pencapaian Millenium Development Goals dan Post 2015 Development Agenda sebagai “What”; dan (iii) Melalui partnership akan dapat membantu perbaikan dari pendanaan kerja sama pembangunan baik, yang melalui pendanaan dari donor tradisional, maupun pembiayaan pembangunan yang inovatif. Untuk itu GPEDC diharapkan dapat bekerja dengan memanfaatkan platform kerja sama pembangunan yang telah ada seperti Forum Kerja sama Pembangunan (UN-DCF), dan proses yang berjalan di PBB lainnya, misalnya Open Working Group on Sustainable Development, serta G20 Development Working Group (DWG). 32 Selain daripada itu Berdasarkan Busan Outcome Document, beberapa prinsip yang telah disepakati yang sejalan dengan berbagai komitmen internasional yang diantaranya tentang tentang hak asasi manusia, pekerjaan yang layak, kesetaraan gender, kelestarian lingkungan yang menjadi fondasi kerja sama pembangunan antara lain: Kepemilikan oleh negara-negara berkembang Kemitraan untuk pembangunan hanya dapat berhasil jika dipimpin oleh negara-negara berkembang, menerapkan pendekatan yang disesuaikan dengan situasi dan kebutuhan khusus masing-masing negara. Fokus pada hasil Tiap upaya Global Partnership harus memiliki dampak nyata dalam memberantas kemiskinan dan mengurangi kesenjangan dan meningkatkan pengembangan kapasitas negara yang sejalan dengan prioritas dan kebijakan yang ditetapkan oleh negara-negara berkembang sendiri. Kemitraan pembangunan yang inklusif Keterbukaan, kepercayaan, dan saling menghormati dan belajar merupakan inti dari kemitraan yang efektif dalam mendukung tujuan pembangunan serta mengakui peran masing-masing aktor yang berbeda dan saling melengkapi Transparansi dan akuntabilitas satu sama lain Akuntabilitas dan pertanggungjawaban kepada penerima bantuan. Praktik transparansi membentuk dasar untuk peningkatan akuntabilitas. Adapun koridor-koridor area kerja GPEDC yang telah disepakati antaralain: Fokus pada mandat Global Partnership. Global Partnership fokus terhadap mandat: 1) mempertahankan dan memperkuat momentum politik untuk kerja sama pembangunan yang lebih efektif, 2) memastikan akuntabilitas untuk melaksanakan Komitmen Busan, 3) memfasilitasi knowledge and sharing of lesson learned, 4) mendukung pelaksanaan komitmen di Busan pada tingkatan negara. Mendukung agenda pembangunan global. Aspek substansial Global Partnership akan sejalan dengan pembahasan dalam Panel Tingkat Tinggi (High Level Panel) pasca MDGs 2015 dan 33 Kelompok Kerja Antar Pemerintah SDG. Oleh karena itu, diskusi harus memberikan kontribusi dan dukungan untuk diskusi substansial dalam forum yang ada dan alat-alat untuk mencapai agenda pembangunan global. Melengkapi forum pembangunan global lainnya. Global Partnership diharapkan dapat melengkapi forum pembangunan yang ada seperti HLP dan G-20. Global Partnership akan digunakan sebagai mekanisme untuk mendukung tujuan pembangunan yang dibahas dalam forum pembangunan global. Peran Indonesia dalam forum Global Partnership relatif penting mengingat Indonesia yang diwakili oleh Menteri Armida Alisjahbana adalah salah satu dari tiga Co-Chairs GPEDC selain Menteri Justine Greening dari Inggris dan Menteri Ngozi Okonjo-Iweala dari Nigeria. Oleh karena itu posisi Indonesia sangat strategis untuk memberikan arahan dan kontribusi dalam menentukan arah program forum GPEDC guna memecahkan permasalahan efektifitas bantuan. Selain itu karakteristik unik Indonesia yang merupakan negara donor sekaligus penerima bantuan dapat dijadikan modal untuk memberikan previlige yang lebih besar dalam memperkuat pengaruh di forum tingkat global ini yang pada akhirnya dapat memberikan keuntungan dalam menjalankan kepentingan nasional. Indonesia selalu menekankan pentingnya Kebersamaan serta Kemitraan. Indonesia memiliki pandangan bahwa tantangan-tantangan pembangunan yang kian kompleks tidak akan dapat diatasi oleh sekelompok negara saja, atau oleh sekelompok organisasi internasional/regional saja. Sehingga diperlukan komitmen, kesepakatan, dan proses interaksi seluruh unsur pembangunan yang dapat memperkuat sinergi dan kerja sama untuk meningkatkan efektivitas pembangunan (development effectiveness). Prinsip ini telah tercermin dalam elemen-elemen concept notes yang telah disusun, sebagai contoh: peran swasta dalam pembangunan, yang merupakan bentuk kebersamaan antara pemerintah/publik dan sektor swasta dalam mendukung pembangunan, DRM untuk meningkatkan sumber pendanaan dalam negeri, kerja sama selatan-selatan dan triangular yang merupakan interaksi negara-negara berkembang dalam upaya saling memperbaiki sistem pembangunan, serta Knowledge Sharing melalui 34 pembelajaran international best practice on development baik antara negara maju kepada negara berkembang maupun antar sesama negara berkembang. HLM-1 GPEDC telah mempertegas prinsip insklusivitas dalam mendukung agenda pembangunan pasca-2015, dan perlunya aksi nyata untuk mendukung pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. Pertemuan tersebut memiliki arti penting karena akan menjadi forum persiapan dipertemukannya upaya perumusan Post MDG 2015 sebagai “the what” oleh the Open Working Group of the UN dan GPEDC sebagai lembaga “the how” dari SDG (Sustainable Development Goals) pasca 2015. Sekjen Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) Ban Ki-moon sangat mendukung pelaksanaan pertemuan tingkat tinggi ini karena GPEDC merupakan enabler bagi pencapaian agenda pembangunan pasca 2015. GPEDC merupakan complementary bagi pencapaian sasaran pembangunan pasca-2015 sehingga ke depan akan lebih bersinergi dengan forum kerja sama pembangunan seperti UNDCF dan UNDESA. Lebih jauh, HLM-1-GPEDC ini akan menjadi masukan bagi sidang umum PBB pada tahun 2014 terutama terkait “means of implementation” dalam konteks proses intergovernmental penentuan agenda pembangunan global pasca-2015, terutama dengan adanya peran aktif Indonesia. Terkait dengan green growth, Indonesia memiliki isu besar dalam hal eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan. Hal ini tentu akan mencederai prinsip-prinsip yang ada dalam Global Green Growth Institute (GGGI) dalam hal mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Hal ini juga terait dengan pencapaian target-target Indonesia dalam kerangka post MDGs. Permasalahan lain yang juga masih harus dicari solusi praktisnya adalah dalam hal inovasi pembiayaan untuk mencapai target-target tersebut dan pembentukan intergovernmental expert untuk memberikan professional assessment sebagai sarana monitoring dan evaluasi dari target-target tersebut. Target eksplisit yang harus dipenuhi sebagaimana diamanahkan oleh High Level Panel on the Post2015 Development Agenda Pada tanggal 30 Mei 2013 adalah sebagai berikut: 35 i. Mengakhiri kondisi kemiskinan ekstrim (extreme poverty); ii. Fokus pada pembangunan berkelanjutan dengan mengintegrasikan aspek sosial, ekonomi dan lingungan dalam membangun dimensi holistik dari keberlanjutan; iii. Mencapai pertumbuhan ekonomi yang inklusif; iv. Membangun institusi yang efektif dan terbuka aksesnya bagi semua orang; v. Menciptakan kemitraan global yang berlandaskan prinsip-prinsip pembaharuan yaitu pembaharuan solidaritas, kerja sama dan akuntabilitas bersama. Knowledge Sharing sebagai agenda global Gambar 2. Knowledge Sharing in Internasional Development Agenda Framework Sumber: BAPPENAS Dalam forum GPEDC secara khusus Indonesia mengangkat pentingnya perkuatan Knowledge Sharing sebagai unsur vital bagi peningkatan efektivitas pembangunan. Dalam konteks ini Knowledge Sharing diarahkan sebagai aktualisasi dari konsep Beyond Aid. Selama ini pembangunan pada negara-negara berkembang lebih berupa Aid Driven dimana mereka lebih bertindak sebagai resipien pasif. Konsep Beyond Aid mendorong negara-negara berkembang untuk 36 menjadi pelaku aktif pembangunan dengan pembekalan peningkatan kapasitas yang diberikan sebelumnya. Knowledge Sharing merupakan elemen penting untuk peningkatan efektivitas pembangunan, melalui pembelajaran best practice on development, baik yang bersifat internasional, yaitu dari negara maju kepada negara berkembang atau antar sesama negara berkembang, serta dalam kerangka peningkatan kapasitas di dalam negeri, yaitu dari tingkat pusat kepada tingkat daerah, ataupun pertukaran pembelajaran dari sesama tingkat daerah. Untuk itu Indonesia mendorong pembentukan mekanisme Knowledge Sharing yang lebih terstruktur dan institutionalized untuk dapat diimplementasikan pada tingkat nasional di masing-masing negara melalui contoh pengembangan Country Led Knowledge Hub (CLKH), sebagai tindak lanjut dari 1st High Level Meeting “Towards CLKH” pertama yang diselenggarakan di Bali, 10-12 Juli 2012, dan dibuka oleh Bapak Wakil Presiden RI. Dalam pertemuan Meksiko, Indonesia telah mendapatkan dukungan dan pengertian akan pentingnya Knowledge Sharing dalam meningkatkan efektivitas pembangunan (development effectiveness), yang tidak hanya mencakup sumber informasi dari negara maju (North-South) saja, tapi juga sumber informasi dari negara berkembang (South-South dan South-North). Indonesia juga mendukung pengembangan knowledge sharing pada tingkat negara melalui pengembangan CLKH, sesuai dengan pertemuan tingkat tinggi (HLM) “Toward Country Led Knowledge Hub” pertama yang diadakan di Bali pada tahun 2012, dan pertemuan kedua di Korea Selatan pada tahun 2014 ini. Dengan peran unik dalam knowledge sharing dan khususnya pengembangan CLKH ini, Indonesia diharapkan dapat meningkatkan perannya dalam kerja sama selatan-selatan, yang pada gilirannya akan meningkatkan peran Indonesia dalam kerja sama pembangunan internasional 37 Gambar 3. Knowledge Sharing Capacity Sumber: BAPPENAS Dalam pengembangan kapasitas Knowledge Sharing, terdapat dua dimensi yang perlu diperhatikan, yakni dimensi institusional serta dimensi teknis yang dijabarkan sebagai berikut: Dimensi Institusional (Enabling Environment) 1. Kepemimpinan dan Budaya: Kepemimpinan yang dapat mendorong pelaksanaan seluruh program dan kegiatan yang mendukung kultur knowledge sharing. Insentif untuk para pelaku knowledge sharing. Proses manajemen perubahan yang berorientasikan knowledge sharing. 2. Tata Kelola, Keahlian, dan Sistem Pengorganisasian dalam mengadopsi knowledge sharing. Peranan dan perangkat keahlian yang dibutuhkan. Tugas, funsi dan tanggung jawab yang berorientasikan knowledge sharing. 3. Pendanaan Pengaturan budget untuk pelaksanaan proses knowledge sharing. Model bisnis yang dapat menunjang pemasukan dana. 38 4. Kemitraan Upaya-upaya untuk mengembangkan jejaring (network) serta partner dalam knowledge sharing pada tataran wilayah Timur Indonesia. Dimensi Teknis (Keahlian Teknis) 1. Identifikasi dan Penangkapan Insitusi/organisasi memahami pengetahuan yang layak untuk di-share. Mekanisme dalam mengidentifikasi, menangkap dan melakukan validasi pembelajaran (lessons learned) dan pengalaman operasionalisasi. 2. Produk Pengetahuan dan Pembelajaran Pemanfaatan pengalaman dan pembelajaran (lesons learned) sebagai dasar bagi evidence based learning materials dan komunikasi yang efektif. 3. Knowledge Sharing Mekanisme yang dianggap efektif untuk knowledge sharing pada tataran internal maupun eksternal. Sistem, alat, dan proses yang digunakan untuk mendorong knowledge sharing. 4. Pemantauan dan Evaluasi Mekanisme pemantauan (monitoring) dan evaluasi secara sistematis upaya knowledge sharing / replikasi praktik cerdas yang telah dilakukan. Feedback chanels apa saja yang dapat memastikan adopsi dari pengalaman operasional. 4.2 Pilot Project dari program Knowledge Sharing 4.2.1 Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) BNPB melaksanakan knowledge sharing pilot project bidang kebencanaan dengan dilatarbelakangi oleh HLM-1 CLKH yang dilaksanakan di Bali pada tahun 2012. Selanjutnya Tim Kornas KSST mengusulkan supaya tema penanggulangan bencana BNPB dipresentasikan dalam HLM-2 CLKH di Seoul pada tahun 2014 sebagai tindak lanjut pertemuan HLM-1 CLKH di Bali. Sehubungkan dengan hal tersebut, BNPB mencanangkan visi sebagai center of 39 excellence dan institusi knowledge sharing yang menyediakan solusi manajemen bencana yang inovatif dan efektif dalam bidang manajemen bencana pada tingkat nasional, regional, maupun global. Dalam proses mencapai visi tersebut, secara jangka panjang BNPB saat ini lebih berfokus kepada penguatan knowledge hub tingkat nasional (CLKH) dengan BPBD yang berjumlah lebih dari 400 serta mitra lokal sebagai ujung tombak dalam menangani mitigasi bencana. Dalam mendorong upaya tersebut, berbagai progam untuk menudukung BPBD telah dilakukan dengan pengembangan program distance learning dari Pusdiklat BNPB di Sentul sebagai salah satu contoh. Selain itu BNPB berpandangan bahwa riset adalah inti dari knowledge sharing sehingga dalam pelaksanaan knowledge project road map, BNPB telah menjalin kerja sama dengan 12 universitas lokal dalam melakukan riset-riset bidang kebencanaan dengan tujuan utama pembentukan Pusat Pengetahuan Bencana pada tahun 2015-2019. 4.2.2 Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) PNPM Mandiri adalah program nasional penanggulangan kemiskinan terutama yang berbasis pemberdayaan masyarakat. PNPM Mandiri adalah program nasional dalam wujud kerangka kebijakan sebagai dasar dan acuan pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat. PNPM Mandiri dilaksanakan melalui harmonisasi dan pengembangan sistem serta mekanisme dan prosedur program, penyediaan pendampingan dan pendanaan stimulan untuk mendorong prakarsa dan inovasi masyarakat dalam upaya penanggulangan kemiskinan yang berkelanjutan. Pelaksanaan PNPM Mandiri berawal tahun 2007 dimulai dengan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) sebagai dasar pengembangan pemberdayaan masyarakat di perdesaan beserta program pendukungnya seperti PNPM Generasi, Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) sebagai dasar bagi pengembangan pemberdayaan masyarakat di perkotaan, dan Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK) untuk pengembangan daerah tertinggal, pasca bencana, dan konflik. 40 Mulai tahun 2008 PNPM Mandiri diperluas dengan melibatkan Program Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah (PISEW) untuk mengintegrasikan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dengan daerah sekitarnya. PNPM Mandiri diperkuat dengan berbagai program pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan oleh berbagai departemen/sektor dan pemerintah daerah. Adapun salah satu komponen terbesar dari PNPM tersebut adalah PNPM Mandiri Pedesaan yang merupakan salah satu mekanisme program pemberdayaan masyarakat yang digunakan PNPM Mandiri dalam upaya mempercepat penanggulangan kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja di wilayah perdesaan. Program pemberdayaan masyarakat ini dapat dikatakan sebagai program pemberdayaan masyarakat terbesar di tanah air. Dalam pelaksanaannya, program ini memusatkan kegiatan bagi masyarakat Indonesia paling miskin di wilayah perdesaan. Program ini menyediakan fasilitasi pemberdayaan masyarakat/ kelembagaan lokal, pendampingan, pelatihan, serta dana Bantuan Langsung untuk Masyarakat (BLM) kepada masyarakat secara langsung. Besaran dana BLM yang dialokasikan sebesar Rp750 juta sampai Rp3 miliar per kecamatan, tergantung jumlah penduduk. Dalam PNPM Mandiri Perdesaan, seluruh anggota masyarakat diajak terlibat dalam setiap tahapan kegiatan secara partisipatif, mulai dari proses perencanaan, pengambilan keputusan dalam penggunaan dan pengelolaan dana sesuai kebutuhan paling prioritas di desanya, sampai pada pelaksanaan kegiatan dan pelestariannya. Pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan berada di bawah binaan Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD), Kementerian Dalam Negeri. Program ini didukung dengan pembiayaan yang berasal dari alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dana pinjaman/hibah luar negeri dari sejumlah lembaga pemberi bantuan dibawah koordinasi Bank Dunia. Selama pelaksanaan PPK (PPK I, PPK II, PPK III dan PNPM PPK) sejak 1998-2007, program pemberdayaan masyarakat terbesar ini telah menjangkau 41 lebih dari separuh desa termiskin di tanah air. Pada 2007 saja, pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan (PNPM-PPK) menjangkau 26.724 desa dari 1.837 kecamatan di 32 provinsi. Pada 2008, PNPM Mandiri Perdesaan dinikmati di 34.031 desa dari 2.230 kecamatan di 32 provinsi di tanah air. Sedangkan pada 2009, jumlahnya mencapai 50.201 desa dari 3.908 kecamatan di tanah air. Jumlah tersebut belum termasuk desa yang memperoleh pendanaan dari program-program lain yang melekat pada PNPM Mandiri Perdesaan, seperti PNPM Generasi Sehat dan Cerdas (PNPM-Generasi), PNPM Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pulau Nias (PNPM-R2PN), PNPM Rencana Strategis Pembangunan Kampung (PNPMRespek), PNPM Program Pengembangan Sistem Pembangunan Partisipatif (PNPM-P2SPP), dan lain-lain. Pada 2010, berdasarkan ancar-ancar Lokasi dan Alokasi BLM PNPM Mandiri yang dikeluarkan per Agustus 2009, pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan akan meliputi 4.805 kecamatan di 32 provinsi atau mencapai 75,9% dari total lokasi PNPM Mandiri. Adapun beberapa capaian dari pelaksanaan PNPM Mandiri Pedesaan tersebut antaralain: a. Memperluas kesempatan usaha dan membuka lapangan kerja baru 62,5 juta Hari Orang Kerja (HOK) dihimpun melalui pekerjaan jangka pendek, yang melibatkan lebih dari 5,5 juta pekerja yang berasal dari masyarakat perdesaan dengan imbalan sesuai dengan harga setempat. Dibukanya usaha dan jasa transportasi oleh masyarakat maupun pihak lain menyusul terbangunnya jalan, jembatan dan dermaga baru yang dikerjakan masyarakat dengan dana PNPM Mandiri Perdesaan. Lebih dari 1,57 juta warga desa, pedagang dan pengusaha kecil/ rumahtangga lokal, turut mendapatkan pinjaman dan berpartisipasi dalam kegiatan simpan pinjam PNPM Mandiri Perdesaan. b. Meningkatkan kapasitas, kinerja lokal dan kelembagaan–Pembentukan model perencanaan dan pembiayaan partisipatif Masyarakat Indonesia di lebih dari 34.100 desa telah turut berpartisipasi dalam proses demokrasi, berpartisipasi dalam perencanaan dan 42 pengambilan keputusan menyangkut alokasi dana bagi pembangunan publik di desa masing-masing. Sekitar 62% dari peserta yang hadir dalam musyawarah perencanaan PNPM Mandiri Perdesaan merupakan kelompok masyarakat yang paling miskin di desanya, dan sekitar 70% tenaga kerja untuk kegiatan pembangunan sarana/ prasarana PNPM Mandiri Perdesaan berasal dari kelompok paling miskin. Partisipasi perempuan dalam berbagai pertemuan dan kegiatan PNPM Mandiri Perdesaan terus meningkat, berkisar antara 31-46%. Rata–rata swadaya masyarakat secara keseluruhan adalah 17% dan bervariasi di tiap provinsi. Sebanyak 82% masyarakat lokal di lokasi PPK (kini bernama: PNPM MPd) kini menyatakan telah memiliki kemampuan berorganisasi dan kapasitas diri berkat peningkatan kapasitas yang menyertai pelaksanan. Sebanyak 72% Unit Pengelola Kegiatan (UPK) di kecamatan lokasi PNPM MPd memiliki kinerja yang baik dan memadai, serta berpotensi untuk berkembang. Tingginya komitmen pemerintah dan kontribusi mencapai 40% dari kabupaten-kabupaten pada PPK II, PPK III, serta PNPM-PPK yang menyediakan dana bersama (matching grants) dan cost sharing untuk pelaksanaan program. Semua kabupaten di PPK III dan PNPM-PPK menyediakan dana dari anggaran daerah untuk pelaksanaan program. Akuntabilitas pemerintah dan peranan masyarakat madani lebih kuat. Konsultan dan jurnalis di provinsi PNPM MPd bertindak sebagai pengawas untuk memantau pelaksanaan PNPM MPd secara independen. Program telah membangun mekanisme yang memungkinkan ketegangan yang diredakan. Hal ini terbukti dari keberhasilan pelaksanaan program di lokasi konflik dan bencana. c. Rendahnya tingkat korupsi – Audit independen terhadap PPK yang dilaksanakan oleh Moores Rowland menemukan penyimpangan proyek desa ini kurang dari 1% dari total dana yang telah disalurkan. Pada kenyataannya, sejak digulirkan pada 1998 hingga saat ini, penyimpangan 43 dana dalam program yang menjunjung semangat transparansi dan akuntabilitas ini sangat rendah, hanya sekitar 0,18% dari total dana yang telah disalurkan. d. Meningkatkan akses ke pasar, pusat kota, fasilitas pendidikan dan kesehatan, dan sumber air bersih di lebih dari 56% desa termiskin di seluruh Indonesia. PNPM Mandiri Perdesaan (melalui PPK dan PNPm-PPK) telah mendanai lebih dari 171.466 kegiatan sarana/ prasarana perdesaan di lokasi program di seluruh Indonesia. Berikut ini adalah daftar investasi PNPM Mandiri Perdesaan melalui PPK dan PNPM-PPK(2003): 32.572 jalan dibangun atau ditingkatkan 8.755 jembatan dibangun atau direkonstruksi 10.510 sistem irigasi dibangun 9.940 unit sarana air bersih dan 4.589 unit Mandi Cuci Kakus (MCK) dibangun Untuk pendidikan, telah dibangun dan direnovasi sebanyak 6.411 sekolah; penyediaan alat dan materi penunjang belajar mengajar; diberikan lebih dari 117.270 beasiswa pendidikan untuk perorangan; dan mendanai 3.336 jenis kegiatan di bidang pendidikan lainnya Untuk kesehatan, telah dibangun dan direnovasi sejumlah 3.611 unit sarana dan pos kesehatan; serta mendanai 968 jenis kegiatan di bidang kesehatan lainnya e. Tingginya tingkat pengembalian investasi --Menurut evaluasi ekonomi independen, bobot pengembalian investasi PNPM Mandiri Perdesaan berkisar antara 39-68%. Evaluasi lainnya menyebutkan, rata-rata EIRR untuk total kegiatan adalah 60,1%. Keuntungan yang paling dirasakan adalah terbentuknya kegiatan ekonomi baru melalui prasarana yang dibangun oleh PNPM Mandiri Perdesaan atau kapasitas produksi yang terbatas akhirnya dapat disalurkan ke pasar lokal. f. Penghematan biaya dalam jumlah signifikan --Prasarana desa yang telah dibangun melalui metode PNPM Mandiri Perdesaan sangat hemat dalam pembiayaan. Rata – rata 56% lebih murah dari pekerjaan sejenis yang 44 dibangun oleh pemerintah maupun kontraktor. Berdasarkan studi konsultan independen diketahui, 94% prasarana yang dibangun dinilai berkualitas baik dan sangat baik secara teknis. 4.2.3 Program Keluarga Harapan (PKH) Salah satu bentuk intervensi untuk memutus rantai kemiskinan adalah melalui Bantuan Tunai Bersyarat (Conditional Cash Transfer/CCT) yang merupakan bantuan sosial yang bersifat inovatif dan semakin populer. Pendekatan ini memberikan uang kepada keluarga miskin yang diberikan berdasarkan perilaku tertentu dan dimaksudkan sebagai investasi sumber daya manusia (SDM) dan diorientasikan sebagai bagian dari strategi pemberantasan kemiskinan. Contohnya untuk menjaga anak-anak untuk tetap sekolah atau secara rutin memeriksakan ibu hamil dan balita pada pusat layanan kesehatan. Pendekatan ini sangat berbeda dengan bantuan tunai tak bersyarat yakni bantuan bagi orangorang/kelompok yang berbasis pada kriteria penerima yang sebelumnya sudah ditentukan (pre-determined eligibility). Transfer sosial semisal pensiun bagi warga yang sudah tua, hambatan fisik, anak-anak, dll., merupakan bantuan tunai tanpa syarat yang biasa dijalankan pemerintah di berbagai negara di dunia. Program CCT pertama kali diimplementasikan di sejumlah Negara Amerika Latin dan Karibia. Meksiko meluncurkan the Programa de Educación, Saludy Alimentación (PROGRESA) pada tahun 1997. Brazil memiliki Programa Nacional de Bolsa Escola dan Programa de Erradicaçao do Trabalho Infantil, (PETI). Kolumbia meluncurkan the Familias en Acción program (FA), Honduras the Programa de Asignación Familiar (PRAF), Jamaica mengintroduksi the Program of Advancement through Health and Education (PATH), dan Nikaragua memperkenalkan the Red de Protección Social (RPS). Selanjutnya Program CCT semakin banyak direplikasi di penjuru dunia termasuk Indonesia dengan Program Keluarga Harapan (PKH) yang merupakan satu upaya pemerintah dalam mengembangkan sistem perlindungan sosial di Indonesia. Sasaran PKH di Indonesia adalah Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) yang sesuai kriteria PKH yakni: memiliki ibu hamil, ibu menyusui, memiliki anak balita dan anak usia sekolah setingkat SD-SMP. Di satu sisi, PKH merupakan 45 bantuan sosial yang dimaksudkan demi mempertahankan kehidupan (life survival) dalam kebutuhan dasar terutama pendidikan dan kesehatan. Di sisi lain, PKH bernuansa pemberdayaan yakni menguatkan rumah tangga miskin agar mampu keluar dari kemiskinannya melalui promosi kesehatan dan mendorong anak bersekolah. Dana yang diberikan kepada RTSM secara tunai melalui Kantor Pos dimaksudkan agar penerima dapat mengakses fasilitas pendidikan dan kesehatan yakni anak-anak harus bersekolah hingga sekolah menengah pertama, anak balita harus mendapatkan imunisasi, dan ibu hamil harus memeriksakan kandungan secara rutin (berkala). PKH memang salah satu saja dari upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia dengan mengkampanyekan pembangunan manusia Indonesia untuk meningkatkan pelayanan dasar kepada masyarakat melalui program pemberian subsidi bersyarat, namun program ini dipandang sebagai penggerak perubahan pola pikir, sesuai dengan kondisi persyaratan yang diinginkan, yaitu memberikan kesempatan untuk memperoleh pelayanan pendidikan dan kesehatan untuk anak-anak RTSM. Tujuan utamanya adalah untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia terutama pada kelompok masyarakat miskin. Tujuan tersebut sekaligus sebagai upaya mempercepat pencapaian target Millennium Development Goals (MDGs) tahun 2015 yakni pengentasan kemiskinan, perolehan pendidikan dasar seluruh dunia, mendorong kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan, pengurangan angka kematian anak-anak, meningkatkan kesehatan ibu, pemberantasan penyakit malaria, HIV/AIDS dan penyakit lainnya, memastikan keberlangsungan lingkungan hidup, dan membangun kemitraan global untuk pembangunan). Dari 8 item MDGs, PKH mencakup 5 item yakni: (1) pengurangan penduduk miskin ekstrim dan kelaparan, (2) pencapaian pendidikan dasar, (3) kesetaraan gender, (4) pengurangan angka kematian bayi dan balita, dan (5) pengurangan kematian ibu melahirkan. PKH mulai dilaksanakan pemerintah di Indonesia pada bulan Maret tahun 2007 dengan uji coba di tujuh provinsi (Sumatra Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, NTT, Sulawesi Utara, dan Gorontalo). Program ini akan terus 46 berjalan hingga tahun 2015 sesuai target pencapaian Millennium Development Goals (MDGs) sertamerupakan cikal bakalpengembangan sistem perlindungan sosial, khususnya bagi keluarga sangat miskin. Pertama kali diluncurkan tahun 2007, PKH mencakup ketujuh propinsi yang disebutkan di atas yang didasarkan atas sejumlah kriteria yakni kondisi kemiskinan, gizi buruk, angka putus sekolah dan kesiapan dalam pelayanan kesehatan dan pendidikan. Tahun berikutnya mencakup Aceh, Sumatera Utara, Banten, D.I. Yogyakarta, Kalimantan Selatan, dan Nusa Tenggara Barat. Kementerian Sosial Republik Indonesia menargetkan jumlah Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) yang menjadi sasaran PKH pada 2013 menjadi 2,4 juta dengan perkiraan anggaran sebesar Rp. 3 triliun lebih besar dari saat ini yang sebesar Rp. 1,8 triliun. Sementara, menurut Tim Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) menilai sejumlah program penanggulangan kemiskinan sudah memiliki dampak positif namun harus dilakukan sejumlah perbaikan termasuk PKH. 4.2.4 Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI) BakTI didirikan dengan fungsi sebagai pusat pertukaran pengetahuan dan informasi terkait pembangunan kawasan timur Indonesia yakni di 12 provinsi, antaralain Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua. Dalam melakukan seleksi pengetahuan-pengetahuan yang sekiranya layak untuk dimanfaatkan dalam skema knowledge sharing, BaKTI telah menetapkan 6 kriteria yang disebut sebagai Praktik Cerdas yakni inisatif-inisiatif lokal dari masyarakat baik tingkat pedesaan maupun kabupaten yang dapat mengatasi masalah-masalah pembangunan. Dalam menyeleksi inisiatif-inisiatif berdasar 6 kriteria tersebut tersebut, BaKTI memanfaatkan Forum Kawasan Timur Indonesia sebagai sukarelawan. Adapun 6 kriteria Praktik cerdas tersebut antara lain: i. Inovatif, yakni merupakan inisiatif yang baru maupun replikasi dari daerah lain yang telah disesuaikan dengan kondisi setempat; ii. Partisipatif, yakni insiatif tersebut setidaknya melibatkan dua pemangku kepentingan lokal dan/atau merupakan upaya kolektif; 47 iii. Berlanjut, yakni kegiatan telah dilakukan setidaknya selama dua tahun dan masih berlangsung serta terdapat rencana ke depan untuk dilanjutkan dengan pendanaan mandiri maupun dari masyarakat; iv. Akuntabel, yakni kegiatan dapat dipertanggung jawabkan bagi semua pihak serta masyarakat; v. Berpihak kepada masyarakat miskin serta kesetaraan gender, yakni kegiatan dilaksanakan demi kepentingan masyarakat miskin dan dialksnakan dengan prinsip-prinsip kesetaraan gender; vi. Berdampak nyata, yakni kegiatan terbukti memberikan manfaat serta dampak positif nyata yang dialami oleh masyarakat. Adapun untuk perihal insentif, Praktik Cerdas tersebut kemudian difasilitasi oleh BaKTI dengan cara mengundang media mainstream untuk meliput sehingga pengusung inisiatif tersebut dapat terdorong untuk berbagi pengetahuan karena telah mendapat credit dan apresiasi. Adapun dalam menjalankan fungsinya tersebut BaKTI telah melakukan beberapa upaya, antaralain: a. penyediaan layanan helpdesk bagi para pelaku pembangunan untuk mengajukan pertanyaan tentang hal-hal terkait pembangunan. b. pengumpulan database dari individu-individu maupun organisasiorgansasi pelaku pembangunan di kawasan timur Indonesia yang hingga sekarang telah mencapai lebih dari 6.000 serta 3.000 organisasi. Database tersebut digunakan untuk menghubungkan para pelaku pembangunan sekiranya membutuhkan tindak lanjut lebih jauh dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait pembangunan. c. pembuatan katalog perpustakaan online serta pencetakan tabloid BaKTI News yang berisi informasi-informasi aktual terkait pembangunan kawasan timur Indonesia. Selain daripada itu terdapat pula mailing list dari BakTI News online yang hinnga sekarang telah mencapai 2.000 orang d. pengembangan bursa pengetahuan online tentang kawasan timur Indonesia dengan alamat situs batukarinfo.com yang hingga sekarang telah memiliki membership mencapai 1.941 anggota serta isi/konten 48 sekitar 12.000 dokumen yang bersifat user generated, yakni konten tersebut berasal dari para pengguna itu sendiri. e. pemanfaatan media sosial yang tengah populer seperti Facebook (7.100 members), Twitter (1.163 followers), serta Youtube (50 video dan sekitar 24.500 viewers). f. pelaksanaan diskusi “Inspirasi BaKTI”, yakni diskusi-diskusi seputar kebijakan serta praktik-praktik cerdas bidang pembangunan yang diselenggarakan tiap bulan di sekretarait BaKTI dan tiap 2 bulan di ibukota-ibukota provinsi kawasan timur Indonesia serta pelaksanaan training knowledge sharing yang telah diselenggarakan sebanyak 6 kali serta dihadiri oleh rata-rata 20 orang g. pembentukan Forum Kawasan Timur Indonesia yang beranggotakan pihak-pihak yang melakukan inovasi-inovasi dalam pembangunan baik dari Pemda, LSM, maupun swasta. Selain daripada itu, terdapat pula Forum Kepala Bappeda yang telah diselenggarakan sebanyak 10 kali serta Forum Jaringan Peneliti Kawasan Timur Indonesia (JiKTI) yang telah memiliki lebih dari 700 anggota. 4.2.5 United Cities and Local Governments (UCLG) UCLG merupakan sebuah organiasai asosiasi pemerintah lokal tingkat internasional bertujuan untuk menyatukan antar anggotanya yang terdiri dari berbagai pemerintah lokal dari berbagai negara dan menghubungkannya dengan komunitas internasional demi mendorong efektivitas pembangunan di mana divisi wilayah Asia-Pasifik adalah yang terbesar dengan beranggotakan 144 anggota yang mewakili 3,76 milyar penduduk. Salah satu fungsi utama UCLG sebagai key knowledge management hub serta pembangunan kapasitas dalam bidang tata kelola pemerintahan. Dalam menjalankan fungsinya tersebut, UCLG berupaya untuk mengumpulkan dan menghimpun pengetahuan serta best practices di kalangan local governments dalam suatu data base hub. Dalam menjalankan proses tersebut, insentif utama dalam mendorong keberlanjutan knowledge exchange antar anggota adalah political will serta kepemimpinan pemerintahan lokal dalam upayanya dalam bidang pembangunan 49 guna melayani konstituen masing-masing Adapun salah satu program pembangunan kapasitas unggulan UCLG adalah Decentrelized Local Government (Delgosea) yang merupakan knowledge hub yang betujuan untuk mendorong upaya replikasi serta transfer best practices dalam bidang tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), peer to peer learning, networking, serta kerja sama di antara anggotanya. Dalam program Delgosea tersebut, terdapat empat tema utama dalam memfasilitasi pertukaran dan pengembangan best practices di kawasan Asia-Pasifik: (i) participation of planning and decision making, (ii) institutional governance, (iii) inclusive public-urban services , serta (iv) fiscal management and investment planning. 4.3 Tantangan Kerja Sama Selatan-selatan dan Triangular Peraturan Perundangan yang Menaungi KSST Perubahan arsitektur kerja sama pembangunan menghasilkan berbagai landasan dan regulasi internasional yang dinamis. Diantara landasan legal pelaksanaan KSST berdasarkan berbagai kesepakatan internasional dan menjadi faktor pendorong utama adalah ditandantanganinya Komitmen Jakarta pada awal tahun 2009. Kontras dengan perkembangan tersebut, dalam pelaksanaan KSST, peraturan perundangan yang dapat menjadi rujukan saat ini adalah: a. UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri; b. UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional; c. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; d. UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; e. UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; f. Keputusan Presidium Kabinet No 81/U/KEP/4/1967 tentang koordinasi bantuan teknik luar negeri; g. Keputusan Presiden No. 60 Tahun 1981 tentang susunan keanggotaan panitia koordinasi bantuan teknik luar negeri; Perkembangan peran aktif Indonesia dalam pelaksanaan KSST menuntut adanya kerangka regulasi yang mengatur legitimasi pelaksanaan KSST dan 50 selanjutnya diharapkan mampu meningkatkan kualitas koordinasi, kejelasan visi, tujuan, dan mandat, transparansi, efektivitas dan meningkatnya dukungan pemangku kepentingan domestik. Revisi Undang-undang terkait dan penyusunan peraturan pemerintah yang mengatur secara rinci tentang peran Indonesia sebagai pemberi bantuan pembangunan/hibah ke luar negeri adalah hal mendasar agar legitimasi pelaksanaan KSST menjadi lebih kuat. Agar dapat menjadi pedoman, acuan sekaligus landasan filosofis pelaksanaan KSST, peraturan perundangan yang dimaksud perlu mencantumkan visi dan landasan normatif pelaksanaan KSST. Berbeda dengan pola pemberian bantuan tradisional oleh negara maju, KSST berdasarkan prinsip solidaritas negara berkembang, pengakuan kedaulatan, inklusif dan tidak bersyarat, keungguluan komparatif, berkelanjutan dan dilaksanakan dalam rangka berbagi pengetahuan dan pengalaman.Seharunya nilainilai dalam prinsip tersebut menjadi nilai bersama yang dijadikan landasan pelaksanaan KSST oleh semua pemangku kepentingan. Pemuatan nilai-nilai tersebut pada peraturan perundangan akan mampu menjawab pertanyaan mendasar yang masih mengemuka oleh pemangku kepentingan domestik tentang mengapa melaksanakan KSST. Di sisi lain, kebijakan pemberian bantuan selalu memiliki landasan pragmatis ideologis tentang manfaat dalam sudut pandang kepentingan nasional. Secara normatif terdapat tiga alasan mengapa melaksanakan KKST dari sudut pandang ini. Pertama adalah keterlibatan aktif dalam arus baru kerja sama pembangunan internasional sebagai perangkat diplomasi. Kedua, berbagi pengalaman sekaligus belajar dan menjadikan bantuan ke sesama negara berkembang sebagai sarana evaluatif kebijakan serupa di dalam negeri. Ketiga, mendapatkan manfaat ekonomi secara luas dalam bentuk dampak lanjut terhadap penciptaan perdagangan internasional dan pertumbuhan ekonomi secara luas. Hadirnya norma ini di dalam peraturan perundangan akan memperkuat legitimasi mengapa melakukan dan mengembangkan KKST. 51 Selanjutnya dalam rangka mendukung tercapainya efektivitas, transparansi dan integrasi KSST, peraturan perundangan dimaksud juga mengakomodir kejelasan tugas dan mandat pelaksana KSST. Studi evaluasi tentang pelaksanaan KSST periode 1 menunjukkan tingkat tindak lanjut dari berbagai agenda pengembangan KSST yang rendah. Salah satu faktor yang menyebabkan hal ini adalah belum jelasnya tugas dan mandat pelaksana KSST khususnya sinergi antara Tim Koordinasi dan Kementerian Teknis pelaksana KSST. Kesiapan Menghadapi Periode 2 2015-2019 Pada periode 1 pelaksanaannya (2011-2014), kebijakan pengembangan KSST difokuskan pada pengembangan kelembagaan, penguatan mekanisme pendanaan, penguatan kerangka program kerja sama, pengembangan Knowledge Management dan sistem informasi, penguatan promosi dan publikasi, serta penguatan pemantauan dan evaluasi. Selanjutnya, pada periode 2 kebijakan pengembangan KSST akan difokuskan kepada peningkatan dan perluasan kerja sama, pengembangan program baru, peningkatan keterlibatan lembaga nonpemerintah, dan evaluasi. Terkait dengan capaian pada periode 1, terdapat beberapa isu strategis yang perlu diperhatikan dalam merumuskan arah kebijakan dalam periode 2 berdasarkan rumusan fakta kebijakan pengembangan KSST pada periode 1. Prinsip Demand Driven vs. One Gate Policy Salah satu prinsip pelaksanaan KSST di luar negeri adalah demand driven yang berarti berdasarkan potensi, prioritas kebutuhan, dan permintaan dari negara penerima. Fakta kebijakan penerapan prinsip ini pada periode 1 mengindikasikan bahwa permintaan dari negara penerima langsung ditujukan secara ad hoc dan terfragmentasi pada kementerian teknis pelaksana KSST. Hal ini berimplikasi pada belum terintegrasinya program dan sinergi dengan kebijakan penting dan terkait KSST lain misalnya kebijakan diplomasi luar negeri kementerian luar negeri. Untuk itu diperlukan reorientasi one gate policy dengan Tim Koordinasi sebagai sentral permohonan, penilaian dan penetapan bentuk program KSST atas pemintaan dari negara penerima. Penguatan wewenang Tim Koordinasi melalui 52 arah kebijakan dalam isu strategis pertama (kerangka regulasi) dapat menjadi landasan arah kebijakan terkait isu strategis ini. Integrasi Penggunaan dan Sumber Keuangan Studi tentang evaluasi KSST periode 1 mengindikasikan belum adanya mekanisme utama untuk memvalidasi nilai moneter dari kontribusi Indonesia dalam KSST. Berbagai sumber menyebutkan sejak dimulai sampai akhir periode 1, jumlah tersebut diindikasikan mencapai USD 49,8 juta. Namun demikian tidak dapat dilakukan verifikasi secara formal mengenai kepastian nilai tersebut. Fakta kebijakan berikutnya yang sejalan dengan kondisi ini adalah tidak/belum adanya kewajiban pelaporan keuangan oleh masing-masing kementerian teknis pelaksana KSST dan selanjutnya tidak adanya data yang memadai tentang hal ini. Di sisi sumber pembiayaan, KSST sejauh ini dapat mempergunakan APBN, Kemitraan Pemerintah dan Swasta, Pendanaan Swasta, Kerja Sama Bilateral dan Multilateral dan Dana Perwalian. Untuk itu arah kebijakan menuju pemusatan keuangan menjadi hal penting berdasarkan isu strategis ini. Kepedulian tentang Keberlanjutan Program Salah satu capaian penting dalam periode 1 pelaksanaan KSST adalah dirumuskannya Prosedur Operasional Standar atas 17 program KKST oleh Tim Koordinasi. Di sisi lain, terdapat tuntutan lebih lanjut untuk dapat merumuskan instrumen yang mendukung terlaksananya prinsip berkelanjutan dalam pelaksanaan KSST. Studi evaluasi periode 1 mengindikasikan belum adanya instrumen kebijakan di lingkup Tim Koordinasi untuk memetakan kebutuhan, kesesuaian dengan kapasitas dan keunggulan komparatif Indonesia menuju penyediaan program yang memiliki indikator sukses kuat dan berjamin keberlanjutannya. Isu Kapasitas untuk Menjadi Key Player Mitra multilateral dan triangular dalam pelaksanaan KSST pernah melibatkan Indonesia dalam program-program peningkatan kapasitas/training untuk meningkatkan kapasitas pengelolaan pelaksanaan KSST. Di sisi lain terdapat fakta bahwa dalam struktur Tim Koordinasi, Tim Pelaksana dan Tenaga Pendukung menjalankan tugasnya bersamaan dengan tugas utama mereka di 53 institusi masing-masing. Dalam hal ini upaya peningkatan kapasitas saja tidak cukup. Pada saat yang sama, terkait dengan semakin besarnya dorongan eksternal dan hadirnya momentum bagi Indonesia untuk berperan sebagai Key Player KSST di tingkat kawasan, diperlukan arah kebijakan untuk meningkatkan kapasitas pelaksanaan KSST. Penciptaan Proses Umpan Balik Melalui Monitoring dan Evaluasi yang Kuat Studi evaluasi pelaksanaan KSST menunjukkan bahwa pemangku kepentingan domestik mengakui belum mendapatkan umpan balik yang memadai baik dalam konteks langsung maupun tidak langsung dari negara penerima program KSST, kecuali pemangku kepentingan di bidang pendidikan. Untuk itu, perumusan proses umpan balik melalui monitoring dan evaluasi yang kuat menjadi kebutuhan dalam rangka menuju periode 2 pelaksanaan KSST yang memiliki fokus peningkatan dan perluasan kerja sama, pengembangan program baru, peningkatan keterlibatan lembaga non-pemerintah. 54 BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Kerja sama global, regional dan selatan-selatan merupakan tiga sub-bidang hal yang memiliki interkoneksi yang kuat sehingga pembahasannya merupakan satu bagian yang tidak terpisahkan. Tentu dapat kita pahami bahwa terbentuknya kerja sama kawasan didorong adanya globalisasi begitu juga sebaliknya, kerja sama kawasan dapat mempengaruhi peta kerja sama global. Globalisasi sendiri membuat dunia semakin terintegrasi dan mempersempit jarak dan waktu. Kerja sama yang menjadi trend berkembang luas di Asia Tenggara pun menjadi salah satu contoh kawasan yang mengadakan kerja sama kawasan yang mendorong dan didorong secara global. Globalisasi juga membuat negara-negara saling ketergantungan. Ketika negara-negara maju mencoba untuk mempromosikan perdagangan bebas guna meminimalisasi atau menghapuskan hambatan-hambatan perdagangan yang ada, kerja sama kawasan menjadi salah satu instrumen batu loncatan (stepping stone) untuk perdagangan bebas yang tingkatnya lebih luas atau tidak memandang negara tersebut merupakan anggota negara kawasannya atau bukan. Dengan kerja sama kawasan, negara-negara yang tergabung dalam anggotanya tersebut terdorong untuk meminimalisasi atau menghapuskan hambatan perdagangan dengan anggota kerja sama kawasan tersebut. Dengan demikian, adanya kerja sama kawasan yang pada awalnya implikasinya bersifat hanya dalam kawasan tersebut, implikasi juga dapat dirasakan secara mengglobal. Kemajuan demokrasi dan ekonomi selama 15 tahun terakhir telah menjadikan Indonesia muncul sebagai pemimpin terkemuka di tingkat regional dan menyuarakan kepentingan global. Keinginan ASEAN berperan dalam perundingan G-20 sebagaimana yang telah disepakati pada Konferensi Tingkat Tinggi Ke-15 ASEAN di Thailand merupakan focal point interdependensi pembangunan regional yang terefleksi di ranah global. Terbukanya akses dan peluang kerja sama dengan 20 negara ekonomi terbesar di dunia itu menunjukkan semakin diakuinya peran regional ASEAN dalam penentuan kebijakan ekonomi 55 global. Dalam proses ini, Indonesia memainkan peranan penting karena merupakan satu-satunya negara ASEAN di G-20 dan memiliki posisi strategis sebagai ”penyambung” kepentingan ASEAN dan G-20. Melihat lebih dalam, tantangan pembangunan Indonesia melampaui batasbatas nusantara dan berdampak di tingkat regional dan global, dengan demikian, Indonesia dalam kancah regional, global dan juga antara negara-negara di selatan, kini memiliki peran yang sangat sentral. Dengan pola yang multipolar-led, Kerja Sama Selatan-selatan dan Triangular (KSST) memiliki peran mendukung dan menguatkan kerja sama pembangunan, khususnya antar negara berkembang. Bangunan solid yang terbentuk dalam KSST merupakan dasar bagi pembangunan kawasan, dimana ikatan yang lebih kuat yang dijalin secara triangular dan bilateral antara negara-negara yang berada dalam satu kawasan, akan mampu membawa kawasan tersebut berkembang secara berkesinambungan serta berpotensi untuk mendorong negara-negara yang tergabung dalam kawasan tersebut menjadi lebih sejahtera secara ekonomi dan stabil secara politik. Dalam konteks kerja sama global, Indonesia saat ini sedang berupaya mengatasi tantangan dalam negeri dan kawasan dan pada saat yang sama memainkan peran penting di panggung pembangunan dunia. Saat ini, Indonesia merupakan kekuatan ekonomi yang semakin meningkat, demokrasi yang dinamis, negara terkemuka dalam berbagai organisasi internasional. Meskipun demikian, jumlah kelompok miskin dan paling rentan -mencakup hampir setengah dari jumlah penduduk- masih berpenghasilan kurang dari USD 2 per hari. Desentralisasi pemerintahan, yang secara umum menunjukkan perkembangan demokrasi yang positif, belum meningkatkan pemerataan akses terhadap pelayanan dasar untuk seluruh masyarakat di wilayah nusantara. Indonesia terus berjuang memperkuat lembaga pemerintahan yang masih rapuh, memerangi korupsi endemik, dan rendahnya toleransi dimana semua hal tersebut merupakan prioritas untuk kemitraan kedua negara. Posisi Indonesia semakin diakui di tingkat dunia dan pengaruhnya semakin meningkat, tetapi manfaat demokratisasi dan pertumbuhan ekonomi belum sepenuhnya terwujud di Indonesia. 56 Dengan keterlibatan Indonesia di organisasi-organisasi internasional, Indonesia memiliki kesempatan untuk mendapatkan sharing pengalaman dari negara-negara lain, khususnya negara-negara maju, terkait dengan upaya-upaya efektif mereka dalam menghadapi pelbagai permasalahan mereka sehingga Indonesia dapat mengambil manfaat dari pengalaman tersebut. Keterlibatan ini diharapkan juga mampu membawa pesan-pesan positif bagi pembangunan kawasan dan mampu diberdayakan Indonesia untuk menyuarakan kepentingan regional di ranah global. Dengan demikian interdependensi antara KSST, regional serta global menjadi lebih nyata. 5.2 Rekomendasi: Interaksi kerja sama Global, Kawasan dan KSST terhadap Penguatan Knowledge Sharing Hub Isu Knowledge Sharing telah lama menjadi bahan pembahasan dalam berbagai forum internasional, regional dan juga selatan-selatan namun belum dapat dihasilkan suatu mekanisme yang terstruktur dan dapat digunakan dengan mudah pada tingkat negara (country level) untuk peningkatan kapasitas dalam mengatasi persoalan pembangunan. Diperlukan adanya mekanisme knowledge sharing yang lebih terstruktur dengan baik yang dapat mempertemukan kebutuhan dan penyediaan dari best practices (supply-demand), yang memadai untuk dipakai oleh suatu negara (best fit) sesuai karakteristik yang terdapat pada masing-masing negara. Selain itu, mekanisme terstruktur dapat digunakan untuk membantu perkuatan kapasitas pemerintah daerah yang luas (dalam konteks kebutuhan Indonesia yang mempunyai banyak pemerintah daerah). Salah satu isu krusial dalam pengembangan Country Led Knowledge Hub (CLKH) adalah mekanisme untuk mendorong semua pihak (supplier dan demander) untuk menjalankan creation dan sharing pengetahuan. Beberapa strategi dan mekanisme yang dapat dikembangkan adalah sebagai berikut: a. Insentif berupa pemberian porsi anggaran yang lebih besar bagi Bappeda yang berhasil mendorong knowledge sharing. b. Membuat suatu mekanisme yang mengharuskan pelaku pembangunan untuk membuat laporan eksplisit yang memuat lessons learned sehingga bisa dijadikan best practices. 57 c. Penguatan leadership di daerah sehingga mekanisme tersebut dapat dipastikan berjalan dengan baik. d. Membuat mekanisme yang “mewajibkan” Bappeda di daerah untuk mereplikasi suatu best practices yang sesuai. Disamping itu, dibutuhkan pula adanya sosialisasi ke Bappeda sehingga muncul kesadaran untuk mengembangkan knowledge sharing di daerahnya. Dari uraian di atas, studi ini merumuskan beberapa isu strategis yang dapat menjadi dasar arah kebijakan kerja sama pembangunan internasional: Pertama, kerja sama pembangunan internasional dalam konteks praktisnya penyelenggaraan kerja sama selatan-selatan menjadi keniscayaan kebijakan nasional atas tiga alasan: (1) amanat konstitusi (2) peran hitoris Indonesia yang cukup panjang dan strategis dalam pola kerja sama tersebut (2) dukungan legitimasi ekonomi sebagai negara dengan status baru yaitu Newly Middle Income Country. Kerja sama global dan kawasan adalah complementarity kebijakan ini dalam konteks diplomasi ekonomi. Kedua, secara potensial, pemangku kepentingan KPI memandang bahwa manfaat secara langsung dalam konteks diplomasi ekonomi dan tidak langsung terhadap perekonomian domestik cukup besar. Hal ini yang mendasari dukungan untuk menyelenggarakan KPI secara lebih intesif. Pengalaman negara maju maupun negara termasuk Newly Middle Income Country yang secara efektif memanfaatkan dampak tidak langsung dari adanya KPI menunjukkan efek positif terhadap perekonomian domestik mereka. Untuk itu diperlukan desain nasional yang memuat secara jelas visi dan misi KPI, indikator keberhasilan dan format kelembagaan di tingkat nasional. Ketiga, kesamaan sejarah dan kondisi pembangunan ekonomi (development proximity) sangat memungkinkan Indonesia untuk dapat menjadi mitra yang efektif dengan negara berkembang lain khususnya yang memiliki tingkat kemajuan pembangunan (sektor) yang sama atau lebih rendah dalam kerangka Knowldge sharing hub. 58 Keempat, peraturan perundangan yang mengatur tentang penyelenggaraan KPI masih sangat terbatas. Untuk dapat memberikan ruang gerak yang lebih leluasa termasuk efektivitas koordinasi dan kejelasan visi dan misi KPI diperlukan pengaturan yang lebih lanjut dalam konteks peraturan perundangan atas penyelenggaraan KPI. Kelima, dari kajian ini juga dapat direkomendasikan pentingnya koordinasi yang lebih efektif diantara kementerian dan lembaga yang selama ini mengambil bagian dalam kerja sama global, regional dan KSST baik dalam hal program dan aktivitas, maupun pendanaan. Pelaporan tentang aktivitas dan pendanaan menjadi penting untuk menunjukkan tingkat keseriusan Indonesia dalam memenuhi komitmennya dalam forum-forum internasional. 59 DAFTAR PUSTAKA [Bappenas] (2007), Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005–2025, Jakarta: Kementerian Nasional Tahun Perencanaan Pembangunan Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas. ----------------, (2012), Peraturan Menteri Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 7 tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor PER. 005/M.PPN/10/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. ----------------, (2014) (tidak dipublikasikan), ‘Profil Kerja sama Global’, Direktorat Kerja sama Pembangunan Internasional. Hasan, Iqbal (2002) Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, Jakarta: Ghalia Indonesi. Hastiadi, Fithra Faisal (2012) 'Making East Asian Regionalism Work: From Regionalization to Regionalism'. Lambert Academic Publishing Hastiadi, Fithra dan Rus’an Nasrudin, (2013), Kajian Kebijakan Perencanaan Pembangunan Nasional di Bidang Kerja Sama Pembangunan Internasional, Direktorat Kerja Sama Pembangunan Internasional, Report. Hermawan, Yulius P, Wulani Sriyuliani, Getruida H Hardjowijono, Sylvie Tanaga (2011), Peran Indonesia dalam G-20: Latarbelakang, Peran dan Tujuan Keanggotaan Indonesia, Friedrich Ebert Stiftung. Martinussen, John Degnbol dan Engberg Pedersen (2005), Aid: Understanding International Development Cooperation London: Zed Books 60 Mawdsley, Emma (2012), ‘From Recipients to Donors: Emerging Powers and the Changing Development Landscape’ London: Zed Books. Muhibat, Shafiah M, Rizal Sukma dan Medelina K. Hendytio, (2014) Studi tentang Implementasi Kebijakan dan Strategi Kemitraan Pendanaan Kerja Sama Selatan-Selatan dan Triangular, Center for Strategic And International Studies, Report. [SEADI] (2013). USAID Democracy, Governance, and Human Rights Assessment of Indonesia, Support for Economic Analysis Development in Indonesia (SEADI) Stiglitz, Joseph (2006), ‘Making Globalisation Work’ New York: W.W Norton and Company inc. Umar, Husein (2002), Metode Riset Bisnis, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. [World Bank]. (1992) ‘Effective Implementation: Key to University Press. Development Impact." Report of the World Bank's Management Task Force. Washington, D.C. ---------------. (1998) ‘Assessing Aid: What Works, What Doesn't, and Why.’ A World Bank Policy Research Report. Oxford University PressU.N. document, A/RES/60/1 (2005) World Summit Outcome, adopted September 16, 2005, p. 36. Zulganef, (2008) Metode Penelitian Sosial dan Bisnis. Edisi Pertama. Yogyakarta: Graha Ilmu. 61 62 LAMPIRAN 63 64 Risalah Konsinyering Pembahasan Laporan Pendahuluan Kajian Dit. KPI TA 2014 Hari/tanggal Waktu Tempat Pimpinan Rapat Lampiran : Jumat, 16 Mei 2014 : 09.30 – 12.00 WIB : Hotel Royal Kuningan, Jakarta : Kasubdit KSST : 1. Daftar hadir 2. Laporan Pendahuluan Kajian Dit. KPI Agenda 1. Membahas laporan pendahuluan yang disusun oleh tim konsultan (LPEM UI). 2. Mendapat masukan untuk melakukan analisis kajian. Tanggapan dan Diskusi Rapat dibuka oleh Pak Priyanto selaku Kasubdit KSST yang menjelaskan bahwa kajian yang dilakukan merupakan kelanjutan dari background study TA 2012 dalam rangka merumuskan rancangan kebijakan Kerja Sama Pembangunan Internasional (KPI) sehubungan dengan penyusunan rancangan teknokratik RPJMN 2015-2019. Ibu Teni selaku Kasubdit Global menyampaikan bahwa draft RPJMN bidang politik yang sudah disusun oleh Deputi Bidang Polhukhankam sudah cukup komprehensif dimana sudah terdapat aspek politik dan ekonomi yang diharapkan kedepannya dapat menjadi seimbang. Selanjutnya, penjelasan detail dari kedua aspek tersebut perlu dimasukkan dalam kajian Dit. KPI dan diselaraskan dengan sasaran kerja sama pembangunan internasional. Beberapa isu utama terkait kerja sama pembangunan global dan KSST dari laporan pendahuluan yang dipaparkan oleh tim Konsultan (LPEM UI) adalah sebagai berikut: - Sub Bidang Kerja Sama Global dan Regional: 1 Kondisi Umum Bagaimana Indonesia di satu sisi berupaya mengatasi masalah dalam negeri dan di sisi lain berperan di ranah global, dan bagaimana peran tersebut sejalan dengan kepentingan domestik. 2 Isu Strategis Peningkatan daya saing nasional di pasar global. Keterlibatan spesifik Indonesia dalam organisasi dan forum global dan regional: Busan Partnership, GPEDC, GGGI. 3 4 1 2 Sasaran Arah Kebijakan dan Strategi Menguatkan kerangka regulasi yang diperkuat secara domestik untuk menopang kegiatan kerja sama global dan regional. Menguatkan peran monev untuk mengukur pencapaian Indonesia di ranah global dan regional. Arah Kebijakan: Menuju Indonesia yang lebih kokoh dalam memajukan pembangunan nasional dan global. Strategi: Pemerintah Indonesia harus bekerja sama dengan negara lain yang merupakan stakeholders dalam kerangka kerja sama pembangunan internasional, serta perlu membuat sistem yang terintegrasi dan memiliki keterhubungan dengan negara-negara berpendapatan lainnya dalam memenuhi kebutuhan spesifik negaranegara tersebut tanpa mengorbankan satu dengan lainnya. Sub Bidang Kerja Sama Selatan-Selatan dan Triangular: Kondisi Umum Isu Strategis Peralihan pola kerja sama dari Northleddevelopment kepada multipolargrowth led. Pengakuan internasional atas status ekonomi Indonesia sebagai newlymiddle income country. Perlunya KR untuk memayungi KSST secara lebih jelas dan komprehensif. Kesiapan menghadapi periode ke II (2015-2019) dari KSST: isu one gate policy; penggunaan dan sumber keuangan; keberlanjutan program; kapasitas menjadi key player; dan proses umpan balik melalui monev yang kuat. 3 4 Sasaran Arah Kebijakan Strategi dan Menguatkan Kerangka Regulasi (KR) pelaksanaan KSST. Memantapkan periode II. Arah Kebijakan: melakukan revisi terhadap UU dan adanya PP yang melegitimasi adanya cetak biru dan grand design KSST; memperjelas kapasitas timkornas dalam hal peran dan mandat; memperkuat integrasi program dan keuangan KSST; dan merumuskan indikator keberhasilan dan efektivitas pelaksanaan KSST. Strategi: revisi atas UU cth. UU 17/2003 dan membuat PP yang memayungi KSST; promosi dan internalisasi KSST terhadap pemangku kepentingan domestik; integrasi perencanaan program dan kegiatan KSST dengan perencanaan anggaran; penguatan kelembagaan pelaksana KSST; penguatan peran Indonesia sebgai pusat knowledge sharing. kesiapan menuju Ibu Wiwik dari Dit. Polkom, menyampaikan bahwa rekomendasi pada laporan pendahuluan kajian Dit. KPI untuk sub bidang KSST sudah sangat detail dan komprehensif. Terkait sub bidang kerja sama pembangunan global, sudah sejalan dengan draft RPJM dan RKP yang disusun oleh Dit. Polkom khususnya bagian diplomasi ekonomi yang ditulis berdasarkan in depth interview terutama dengan Dirjen Multilateral (Pak Toferi) dan Direktur Pembangunan Ekonomi dan Lingkungan Hidup (Pak Hasan) di Kemlu. Adapun kendala yang dihadapi pada saat menyusun draft RPJM dan RKP adalah dalam perumusan grand strategy diplomasi ekonomi dan grand strategy peran Indonesia di G-20. Ibu Astri dari Dit. Polkom mengusulkan untuk melibatkan Dirjen Kerja Sama ASEAN dan Dit. Intra Kawasan ASPASAF Kemlu dalam pembahasan kerja sama pembangunan regional. Terkait isu strategis terutama kerangka regulasi baik di KSST maupun global, agar dapat dibuat realistis dan dapat di breakdown target per tahun serta menuliskan focal point. Untuk kajian yang saat ini dilakukan Dit. KPI dapat memasukkan kajian kebutuhan pembentukan regulasi atau kebijakan khususnya untuk KSST yang diperlukan untuk penyusunan KR RKP 2015. Pak Rolly dari Dit. PIKEI menyampaikan bahwa untuk perdagangan luar negeri terdapat 4 fokus utama, yaitu: market maintenance, market creation, product creation, dan import management. Arah kebijakan KSST 5 tahun kedepannya akan lebih baik jika dapat disinergikan dengan 4 fokus utama tersebut dan dapat merumuskan strategi timbal balik yang saling menguntungkan. Disamping itu, KPPU juga dianggap berpotensi untuk dijadikan sebagai pintu masuk untuk KSST. Kesimpulan dan Tindak Lanjut Arahan besar untuk penulisan laporan pendahuluan kajian Dit. KPI tetap mengarah kepada draft RPJMN dan RKP yang sedang disusun oleh Deputi Bidang Polhukhankam. Belum seimbangnya konten sub bidang kerja sama global dan regional dengan konten sub bidang KSST pada laporan pendahuluan yang disusun oleh tim konsultan sehingga perlu adanya brainstorming dengan pihak-pihak di luar Bappenas untuk mendapatkan lebih banyak bahan. Dit. Polkom dan Dit. KPI perlu sering bertemu untuk mendiskusikan substansi terkait sub bidang global dan regional serta KSST. Dit. Polkom akan men-share hasil in depth interview dengan Dirjen Multilateral dan Direktur Pembangunan Ekonomi dan Lingkungan Hidup Kemlu kepada tim konsultan. Minggu depan Ibu Teni akan bertemu dengan tim konsultan. Tim konsultan akan menjelaskan lebih spesifik sub bidang global dan sub bidang regional secara terpisah pada laporan kajian Dit. KPI. Pertemuan dengan tim konsultan berikutnya akan melibatkan Dit. Polkom dan Dit. PIKEI Bappenas serta Dit. Pak Pungki di Kemenko Perekonomian. Risalah Rapat Kajian Background Study Penyusunan RPJMN 2015-2019 Bidang Kerja Sama Pembangunan Internasional Hari /Tanggal Waktu Tempat Pimpinan Rapat : Rabu, 10 September 2014 : 16.00 – 18.40 WIB : Ruang Staf Direktorat KPI, Lt 6 Bappenas : Kasubdit KSST, Direktorat KPI Bappenas A. Umum 1. Rapat dibuka dan dipimpin oleh Kasubdit. KSST, Direktorat KPI Bappenas. Rapat membahas tentang hasil kajian studi latar belakang penyusunan RPJMN 2015-2019 Bidang Kerja Sama Pembangunan Internasional (draf laporan terlampir). 2. Pertemuan ini bermaksud untuk meminta masukan dan tanggapan dari Kasubdit. KSST dan Kasubdit. Global, Direktorat KPI sebagai bahan dalam penyempurnaan draf laporan akhir dari kajian yang dilakukan, dan perencanaan timeline finalisasi output kajian. 3. Diundang Peneliti dari LPEM-UI sebagai narasumber, yaitu Bapak Rus’an Nasrudin dan Bapak Fithra Faisal. Rapat dihadiri oleh Staf Direktorat Kerja Sama Pembangunan Internasional. B. Hasil Diskusi Beberapa hal yang disampaikan oleh narasumber (Pak Rus’an dan Pak Fithra - Peneliti LPEM-UI) 1. Pada peyusunan RPJMN 2015-2019, program-program Dit. KPI masih berada di bawah lingkup bidang politik, hukum, pertahanan dan keamanan, dan sebagian di bidang ekonomi. 2. Pengamatan perkembangan KPI ditinjau dari track record dan kegiatankegiatan yang telah dilakukan di tahun-tahun sebelumnya. Kemudian didukung pula dengan beberapa metode lain seperti studi literatur, wawancara dan FGD dengan pihak terkait, khususnya Kementerian. 3. Salah satu arah kebijakan pada RPJMN III (2015-2019) untuk Sub Bidang KSST maupun Sub Bidang Regional dan Global adalah kerangka regulasi dan peraturan perundangan yang menaunginya. 4. Terdapat integrasi yang kuat antara kegiatan KSST dengan kegiatan Regional dan Global, dimana tujuan akhirnya ialah peningkatan daya saing nasional di segala bidang, dan menciptakan well-governed di Indonesia. Beberapa hal yang disampaikan oleh Kasubdit KSST (Pak Priyanto R.) 1 5. Output dari kajian diharapkan tidak terbatas oleh judul yang ada. Perlu pula 6. 7. 8. 9. dimasukan beberapa isu yang menjadi interest dari Dit. KPI kedepan. Studi ini diharapkan pula dapat menjadi guide/reminder untuk kinerja Dit. KPI. Blue print diharapkan dapat menjadi kerangka RPJMN, dan saat ini Dit. KPI masih membuka untuk masukan untuk blue print yang ada. Pola kegiatan KSST di kementerian-kementerian perlu ditinjau kembali. Misalnya di Kementerian Luar Negeri, masih terdapat perbedaan perspektif tentang kegiatan KSST. Sebagian merujuk kegiatan KSST sebagai langkah awal menjalin kemitraan atau bagian dari foot printing, sementara sebagian lainnya mengutamakan aid effectiveness, mengedepankan national interest dan economic benefit dari kegiatan KSST. Pada identifikasi keunggulan Indonesia diperlukan indikator kinerja, penjelasan aplikasi dan pengembangan strategi yang dibuat, sehingga dapat menentukan center of excellent. Dibutuhkan pula strategi untuk melibatkan CSO dan sektor swasta pada kegiatan KSST yang akan datang. Terkait program KSST di tahun 2015, dibutuhkan elaborasi dan rujukan dari program pemerintah yang akan datang. Beberapa hal yang disampaikan oleh Kasubdit Global (Bu Teni W.) 10. Kajian sebagai input untuk bahan review dan policy paper, dapat dibuat 11. 12. 13. 14. 15. 16. dalam bentuk outline report. Diperlukan pengelompokan terpisah sesuai dengan profil masing-masing sub bidang regional dan sub bidang global. Ruang lingkup sub bidang regional adalah hal-hal yang bersangkutan dengan integrasi kawasan dan perdagangan internasional. Untuk sub bidang global, kajian dapat dilakukan dengan melakukan break down berdasarkan forum internasional. Forum-forum internasional yang menjadi lingkup sub bidang global saat ini adalah G20, GGGI, GPEDC, dan ICE-SDF. Terdapat masukan untuk menganalisis positioning Indonesia di forum-forum global yang telah diikuti, seperti analisis benefit yang dapat diperoleh Indonesia. Hal ini diperlukan dikarenakan banyaknya forum-forum global yang telah diikuti oleh Indonesia, dimana posisi dan kekuatan Indonesia pada forum-forum tersebut, cukup bervariasi sehingga dapat dihasilkan sebuah strategi dan prioritas keterlibatan Indonesia di dalam forum-forum Internasional. Dibutuhkan penajaman pembahasan mengenai kebijakan politik luar negeri Indonesia, terkait agenda pembangunan, post-MDGs dan post-SDGs yang tujuan akhirnya adalah keterlibatan Indonesia di forum regional dan global. Perlu adanya analisis konsolidasi kebijakan-kebijakan yang ada di tingkat nasional sehingga dapat sejalan dengan posisi dan hasil dari forum-forum Internasional yang diikuti oleh Indonesia. 2 C. Tindak Lanjut 1. Judul kajian memerlukan perubahan secara substantif. Sesuai masukan, perlu dibuat outline report dengan susunan baru yang telah diarahkan. 2. Pada bagian peraturan perundangan, pembahasan akan dibuat lebih eksplisit dengan pemaparan yang lebih detil. 3. Untuk bahan kajian, terdapat beberapa technical issue yang perlu diperbaharui. Bahan-bahan pendukung seperti arahan pimpinan, dan bahan tambahan lainnya akan diberikan ke Pak Rus’an dan Pak Fithra via email. Dapat pula dimasukan informasi lain yang dapat memperkaya kajian. 4. Penyusunan tentative timeline untuk kajian RPJMN 2015-2014 Bidang Kerja Sama Pembangunan Internasional, sebagai berikut: Tabel Timeline (tentative) Kajian Penyusunan RPJMN 2015-2019 Bidang Kerja Sama Pembangunan Internasional No Kegiatan Time Frame 1 Penyelesaian Outline 24 September 2 Penyampaian Draft Final 15 Oktober 3 FGD (Narasumber: 1. Madarremeng 2. Makmur Keliat ) @All Seasons 22 Oktober 4 Konsinyering Persiapan Seminar Kajian (@Hotel Santika Depok) 31 Oktober-1 November 5 Seminar 12 November 3 Risalah Focus Group Discussion Kajian Kerjasama Pembangunan Internasional “Telaah Isu Strategis Bidang Kerjasama Pembangunan Internasional” HARI, TANGGAL Jumat, 24 Oktober 2014 WAKTU 14.00 – 21.00 WIB TEMPAT Ruang Kirana, Hotel Le Grandeur Mangga Dua, Jakarta PESERTA Direktur Pendanaan Luar Negeri Multilateral, Bappenas; Perwakilan Direktorat Perdagangan, Investasi dan Kerja Sama Ekonomi Internasional, Bappenas; Perwakilan Direktorat Politik dan Komunikasi, Bappenas; Perwakilan Direktorat Pengembangan Kerja Sama Pemerintah dan Swasta, Bappenas; Perwakilan Direktorat Jasa Keuangan dan BUMN, Bappenas; Perwakilan Direktorat Tenaga Kerja dan Pengembangan Kesempatan Kerja, Bappenas; Staf Pejabat Pembuat Komitmen Kedeputian Pendanaan Pembangunan, Bappenas; Staf Direktorat Kerja Sama Pembangunan Internasional, Bappenas; Tim Sekretariat KSST AGENDA Penyampaian: 1. Paparan hasil Kajian Dit. KPI, “Manajemen Kerja Sama Pembangunan Internasional Indonesia: Tantangan dan Rekomendasi”. 2. Paparan narasumber 1 (Makmur Keliat), “Catatan tentang Kerja Sama Pembangunan Internasional”. 3. Paparan narasumber 2 (Kiky Verico), “Masukan terhadap Kinerja Kerja Sama Pembangunan Internasional”. SESI PAPARAN KAJIAN 1. Sesi paparan kajian disampaikan oleh dua peneliti LPEM UI yaitu Bapak Fithra Faisal Hastiadi yang memaparkan kajian kerjasama pembangunan global dan regional; dan Bapak Rus’an Nasrudin yang memaparkan kajian kerjasama pembangunan SelatanSelatan dan Triangular. Pada paparannya, Bapak Fithra Faisal menyampaikan hal-hal terkait perkembangan terkini dari pelaksanaan forum yang diikuti oleh Dit KPI di antaranya: (i) Dalam forum GPEDC, Indonesia secara khusus mengangkat inisiatif Knowledge Sharing sebagai aktualisasi konsep beyond aid. (ii) Dalam G20 DWG, Bappenas menjadi focal point mewakili Pemri untuk pertemuan DWG (iii) Keanggotaan Indonesia pada GGGI, sejalan dengan visi Pemerintah RI yang memandang penting green growth sebagai strategi pengembangan ekonomi yang bertumpu pada pemanfaatan sumber daya alam secara berkesinambungan. (iv) Dalam ICE-SDF, Expert Indonesia telah menyampaikan usulan terkait strategi pendanaan pembangunan berkelanjutan. 2. Pada paparannya, Bapak Rus’an Nasrudin menyampaikan hal-hal sebagai berikut: Selama periode 2010-2014 dan sebelumnya, Indonesia tercatat telah berperan aktif dalam kerja sama pembangunan dalam kerangka KSST dengan kontribusi dana tidak kurang dari 49,8 juta USD. Kontribusi tersebut mencakup 3 sektor: (1) Pembangunan; (2) Tata Kelola Pemerintahan dan Perdamaian; (3) Ekonomi. Beberapa kemajuan berarti telah dicapai dalam periode 2010-2014 adalah: Halaman | 1 (i) Sebagai jawaban atas persoalan desain nasional, pemerintah telah menyusun Rencana Induk KSST 2011-2025 dan Cetak Biru KSST 2011-2014.; (ii) sebagai jawaban atas persoalan belum adanya entitas yang kuat untuk menangani KSST, pemerintah telah membentuk Tim Koordinasi Pengembangan KSST (Tim Koordinasi) sebagai satu-satunya kerangka institusional koordinasi penyelenggaraan KSST oleh pemangku kepentingan terkait; (iii) dalam rencana induk dinyatakan 7 program prioritas dan dalam draf Cetak Biru 11 sektor dengan keunggulan komparatif untuk identifikasi potensi keunggulan yang dimiliki Indonesia. 3. Isu strategis dan tantangan ke depan dalam kerjasama global dan Selatan-Selatan dan Triangular: Menggali kesempatan dalam forum kerjasama global Melihat dampak komitmen yang diambil indonesia dalam forum kerjasama Global Keunggulan komparatif Indonesia Tantangan Kerja Sama Selatan-selatan dan Triangular Peraturan Perundangan yang Menaungi KSST Kesiapan Menghadapi Periode 2 2015-2019 Prinsip Demand Driven vs. One Gate Policy Integrasi Penggunaan dan Sumber Keuangan Kepedulian tentang Keberlanjutan Program Isu Kapasitas untuk Menjadi Key Player Arah kebijakan Kerja Sama Pembangunan Selatan-Selatan dan Triangular: Menguatkan kerangka regulasi pelaksanaan KSST Memperjelas peran dan mandat pelaksana KSST Memperjelas integrasi program dan keuangan KSST Merumuskan indikator keberhasilan dan efektivitas pelaksanaan KSST SESI PAPARAN NARASUMBER 4. Pada sesi ini terdapat paparan berisikan pembahasan dari dua orang narasumber yang merupakan akademisi Universitas Indonesia yaitu Bapak Makmur Keliat dan Bapak Kiky Verico. 5. Dalam paparannya, Bapak Makmur Keliat menyampaikan hal sebagai berikut: Kerjasama pembangunan internasional bila dijelaskan dengan pendekatan teoritik berasal dari paham Internasionalisme Liberal (paham konvensional). Paham ini memiliki visi, prinsip dan efek yang mendorong kerjasama internasional. Adanya pelaksanaan demokrasi, institusi dan aturan negara memudahkan dari kerjasama tersebut. Dalam kerjasama pembangunan di tingkat internasional, penting untuk dapat mengatasi persoalan yang ada di tingkat nasional yaitu keterbatasan fiskal dan tingginya kebutuhan infrastruktur. Terkait dengan keikutsertaan dalam forum G20, hal itu merupakan hal sangat baik, dimana forum tersebut tidak hanya semata membahas isu finance namun juga pembangunan (infrastruktur). Hasil penelitian bersama Infid, dalam forum G20 diketahui hanya ada beberapa negara yang memiliki potensi dapat mendukung pembangunan (infrastruktur) di Indonesia dan perlu untuk didekati yaitu (i) China, dengan dukungan cadangan devisanya yang besar; (ii) Korea Selatan, dengan dukungan indikator makro yang sangat baik, dan (iii) Rusia, dengan kemampuan pendanaan infrastruktur yang sangat baik. Untuk negara Eropa, tidak disarankan karena tidak memiliki indikator makro yang baik. Halaman | 2 Tantangan yang dihadapi saat ini adalah ada pada visi misi pemerintahan baru yaitu menjadikan Indonesia kompetitif tingkat internasional. Hal tersebut menjadi tugas dari Bappenas yang merencanakan program pembangunan. Namun yang perlu diingat adalah perlunya keselarasan antara perencanaan dengan penganggaran (fiskal dan politis). Perlu mempertimbangkan persoalan tingkat domestik, dan tidak menambah persoalan tersebut. Masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan pembangunan terutama pada level birokrasi adalah (i) tidak memiliki sistem informasi/komunikasi yang sama, dan (ii) tidak memiliki pemahaman yang terhadap kriteria berbasis performance. 6. Paparan selanjutnya oleh Bapak Kiky Verico. Bapak Kiky Verico menyampaikan hal sebagai berikut: Dalam kerjasama internasional ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu: Terkait konteks, sebaiknya perlu diketahui empat hingga lima konteks kerjasama Bentuk organsisasi. Sebaiknya fora atau community memiliki sekretariat. Bila tidak ada maka hanya akan sekedar pertemuan dan akan sulit untuk certainity dan sustainability. Framework. Konteks kerjasama harus disesuaikan agenda pembangunan internasional. TINDAK LANJUT Adapun tindak lanjut yang diperlukan dari pembahasan dengan narasumber terhadap draft kajian adalah: Dalam kajian, sebaiknya perlu dibuat indikator outcome yang lebih jelas. Halaman | 3 Risalah Focus Group Discussion Kajian Kerjasama Pembangunan Internasional “Telaah Isu Strategis Bidang Kerjasama Pembangunan Internasional” HARI, TANGGAL Sabtu, 25 Oktober 2014 WAKTU 08.00 – 11.00 WIB TEMPAT Ruang Kirana, Hotel Le Grandeur Mangga Dua, Jakarta PESERTA Direktur Pendanaan Luar Negeri Multilateral, Bappenas; Perwakilan Direktorat Perdagangan, Investasi dan Kerja Sama Ekonomi Internasional, Bappenas; Perwakilan Direktorat Politik dan Komunikasi, Bappenas; Perwakilan Direktorat Pengembangan Kerja Sama Pemerintah dan Swasta, Bappenas; Perwakilan Direktorat Jasa Keuangan dan BUMN, Bappenas; Perwakilan Direktorat Tenaga Kerja dan Pengembangan Kesempatan Kerja, Bappenas; Staf Pejabat Pembuat Komitmen Kedeputian Pendanaan Pembangunan, Bappenas; Staf Direktorat Kerja Sama Pembangunan Internasional, Bappenas; Tim Sekretariat KSST AGENDA FGD Kajian Kerjasama Pembangunan Internasional “Telaah Isu Strategis Bidang Kerjasama Pembangunan Internasional” SESI FOCUS GROUP DISCUSSION 1. Sesi ini merupakan kelanjutan dari sesi hari sebelumnya mengenai Focus Group Discussion Kajian Kerjasama Pembangunan Internasional “Telaah Isu Strategis Bidang Kerjasama Pembangunan Internasional”. Sesi ini merupakan sesi FGD dengan peserta. Terdapat beberapa peserta yang aktif memberikan masukan dan tanggapan. 2. Bapak Dewo Broto Joko, Direktur Pendanaan Pembangunan Luar Negeri Multilateral menyampaikan beberapa hal berikut: Ada baiknya bila di dalam kajian terdapat bagaimana kerjasama pembangunan internasional pada tahun mendatang, tantangan dan kebijakan. Terkait dengan Tupoksi Subdit Kerjasama Global, beberapa hal yang perlu diketahui adalah: Subdit Kerjasama Global dibentuk terutama untuk keterlibatan dalam forum internasional, tidak hanya G20 namun juga untuk forum lainnya. G20 merupakan latar belakang atau dasar pembentukan, dimana Bappenas ditunjuk menjadi focal point pada awal berdirinya forum tersebut. Namun forum lain juga penting, mengingat dinamika kerjasama global yang terbentuk. G20 merupakan forum diskusi, tidak ada sekretariat. Pada keketuaan Prancis, Indonesia sempat mengusulkan untuk membentuk permanen sekretariat, namun usul tersebut tidak mencapai kesepakatan. Mengingat forum tersebut tidak ada konsensus, bilamana satu usul tidak diterima, maka usul tersebut akan dikeluarkan dari pembahasan. Pembahasan G20 saat ini cenderung melemah dalam hal pelaksanaan Halaman | 1 komitmen. Misalnya untuk pembangunan infrastruktur, setiap negara sepakat untuk mendorong pembangunan infrastruktur, namun ketika membicarakan pendanaan, tidak ada satupun yang berkomitmen kuat. Dit. KPI diharapkan dapat banyak memberikan kontribusi dalam forum tersebut. 3. 4. 5. 6. Saat ini program kerja Subdit Kerjasama Regional belum terlihat. Kerjasama regional sangat diperlukan, dan penting untuk dikembangkan dan dimaksimalkan. Seperti BIMP EAGA, IMTGT ASEAN+3 dan ASEAN+6. Terkait dengan tupoksi Subdit Kerjasama Selatan-Selatan dan Triangular (KSST) beberapa hal yang perlu diketahui adalah: KSST merupakan kendaraan Indonesia dalam kerjasama pembangunan, tidak hanya charity, tapi untuk meningkatkan economic deviden, penetrasi pasar, dan meningkatkan kerjasama serta investasi. Tim KSST tidak hanya pemerintah, namun juga terdiri dari KADIN, dan swasta. Bentuknya adalam Tim Kornas. Saat ini pelaksanaan Tim Kornas tidak efektif, dikarenakan fungsinya terbatas pada koordinasi, tidak dapat membuat keputusan, sedangkan tupoksi ada di masing-masing kementerian. Kemungkinn bentuk yang paling efektif adalah membentuk lembaga baru. Perlu dibuat indikator yang lebih jelas untuk menentukan arah kerjasama pembangunan internasional. Perlu dipisahkan antara pembahasan kerjasama ekonomi dengan kerjasama pembangunan. Sebaiknya fokus pada pembahasan kerjasama pembangunan. Bapak Otho Hernowo Hadi, Kasubdit Politik Luar Negeri menyampaikan perihal pelaksanaan KSST yang masih jalan di tempat dan perlu untuk dibenahi. Dalam kajian diharapkan untuk diketahui kerangka regulasi seperti apa yang dapat dijalankan. Bapak Florentinus Kristiartono, Kasubdit Kerjasama Politik Luar Negeri menyampaikan hal sebagai berikut: Dalam kajian tidak terdapat pembahasan mengenai isu kawasan. Dalam kajian belum terlihat jelas isu strategis dan tantangan yang dihadapi . Terkait pembahasan isu perdagangan (FTA, hambatan non tarif, dsb) bukan merupakan pembahasan dari kerjasama pembangunan namun lebih kepada kerjasama ekonomi. Bapak Rachmat Mardiana, kasubdit Analisis Tarif dan Risiko, menyampaikan beberApa hal sebagai berikut: perlunya mengkaitkan pembahasan kajian dengan RPJMN dengan mencantumkan pencapaian yang telah dan harus diperoleh perlunya mengidentifikasi Keunggulan komparatif, absolute, pengalaman dan modal dasar dari kerjasama pembangunan internasional Ibu Mahatmi Saronto, Perwakilan dari Dit. Tenaga Kerja dan Pengembangan Kesempatan Kerja menyampaikan bahwa diperlukan kerja sama pembangunan di bidang ketenagakerjaan, yang dilakukan dalam bentuk kerja sama bilateral dengan negara-negara yang mau diajak bekerja sama. Selain itu, diperlukan pula upaya kerja sama dalam rangka perlindungan tenaga kerja di luar negeri, dan knowledge sharing dengan negara-negara berkembang. PENUTUP 7. FGD ditutup dengan tanggapan dan kesimpulan yang diberikan oleh Pak Priyanto, Halaman | 2 Kasubdit KKST yang menyampaikan beberapa hal, di antaranya: Tantangan yang dipaparkan dalam kajian belum dapat terlihat dengan jelas, sebaiknya dilakukan penajaman kembali. Knowledge Sharing di bidang tenaga kerja perlu dikembangkan, hal tersebut sesuai dengan arahan dari Pak deputi yang sangat ingin mengembangkan CLKH . Kedepannya dapat dikoordinasikan rencana kerja sama dengan Direktorat Ketenagakerjaan. Terkait dengan Global: Keketuaan Indonesia pada GPEDC sudah berakhir, diganti dengan Philipina. Diperlukan roadmap kedepan mengenai keberlanjutan forum tersebut. Untuk GGGI: SBY sudah akan menjadi president of council. GGGI memiliki sekretariat. tantangannya adalah agar GGGi tidak hanya labeling negara maju namun juga agar negara berkembang dapat bertumbuh Untuk ICE-SDF, keterlibatan KPI, sangat personal. Penunjukan Bapak Wakil Menteri tidak 100 persen mewakili institusi. Namun ada beberapa isu yang mewakili seperti DRM Terkait KSST, saat ini belum ada arahan alam lingkup Polugri untuk mengedepankan ekonimi deviden. Di dalam draft yang disusun Bapak Otho sudah dicantumkan. Sehingga dimanapun pencantumannya sudah mewakili economic deviden. Di dalam kajian perlu dijabarkan visi misi Presiden yang terdapat di dalam nawacita terkait kerjasama pembangunan global, regional dan Selatan-selatan dan Triangular. Di kajian perlu ada pengayaan pengalaman (kasus) seperti contoh di Brazil, Kolombia, dan Meksiko (international best practices). TINDAK LANJUT Dari pembahasan FGD dengan peserta, diperoleh tindak lanjut yang diperlukan untuk penyempurnaan kajian yaitu: perlunya pembahasan isu kawasan. pemisahan isu kerjsama pembangunan ekonomi dengan kerjasama pembangunan. diperlukan indikator outcome kebijakan yang lebih jelas. Halaman | 3 19.01.2015 "Institutional frameworks of development cooperation in emerging powers" Synthesis of findings by think tanks from ten countries (based on a forthcoming edited volume) Dr. Guido Ashoff German Development Institute (DIE), Bonn Global Dialogue of Agencies and Ministries for International Cooperation and Development, Jakarta, 4 – 5 December 2013 Structure of the presentation 1. The book project 2. Institutional frameworks of emerging powers' development cooperation: Overview 3. Driving forces for emerging powers to create special institutional frameworks of development cooperation or reform previous ones 4. Main features of emerging powers' current institutional frameworks of development cooperation 5. Challenges and areas for reform in emerging powers' institutional frameworks of development cooperation 6. Background information: Institutional frameworks of OECD donors (DAC members): Types and lessons learned © German Development Institute / Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (DIE) 2 1 19.01.2015 1. The book project (1) Working title: "Development cooperation agencies in emerging powers" Editors: Jorge Pérez (Instituto Mora, Mexico City) Elizabeth Sidiropoulos (South African Institute of International Affairs, SAIIA, Johannesburg) Sachin Chaturvedi (Research and Information System for Developing Countries, RIS, New Delhi) Thomas Fues (German Development Institute, DIE, Bonn) Publication date: Summer 2014 © German Development Institute / Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (DIE) 3 1. The book project (2) Contributions Authors Institutional affiliations 1. The context of Southern development cooperation agencies New dynamics in international development cooperation Elizabeth Sidiropoulos South African Institute of International Affairs (SAIIA), Johannesburg Institutional frameworks Guido Ashoff German Development Institute of OECD donors: Types (DIE), Bonn and lessons learned © German Development Institute / Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (DIE) 4 2 19.01.2015 1. The book project (3) Contributions Authors Institutional affiliations 2. Case studies Brazil André de Mello e Souza Institute for Applied Economic Research (IPEA), Brasilia / Rio de Janeiro China Meibo Huang China Institute for International Development, Xiamen University Xiaohui Wei Department of International Economics, Xiamen University Colombia Carlo Tassara Cooperation and Development Studies Dept., University of Rome Sapienza India Sachin Chaturvedi Research and Information System for Developing Countries (RIS), New Delhi © German Development Institute / Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (DIE) 5 1. The book project (4) Contributions Authors Institutional affiliations 2. Case studies (cont.) Indonesia Shafiah F. Muhibat Center for Strategic and International Studies, Jakarta Mexico Jorge Pérez Instituto Mora, Mexico City Gerardo Bracho AMEXCID, Mexico City South Africa Neissan Alessandro University of Witwatersrand, JohannesBesharati burg Thailand Siriporn Wajjwalku Thamassat University, Bangkok Turkey Mehmet Arda / Julide Oğuz Center for Economics and Foreign Policy Studies, Istanbul © German Development Institute / Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (DIE) 6 3 19.01.2015 1. The book project (5) Contributions Authors Institutional affiliations 3. Concluding contributions Converging practices and Thomas Fues institutional diversity among Southern and traditional providers Synthesis of country studies, conclusions and policy recommendations German Development Institute (DIE), Bonn Sachin Chaturvedi Research and Information System for Developing Countries (RIS), New Delhi Elizabeth Sidiropoulos South African Institute of International Affairs (SAIIA), Johannesburg © German Development Institute / Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (DIE) 7 2. Institutional frameworks of emerging powers' development cooperation: Overview (1) Country Lead ministries Managing entity or agency (year of creation) Status of managing entity Brazil Foreign Affairs (MFA) Agência Brasileira de Cooperação Affiliated to MFA (ABC; 1987) China Commerce (MOFCOM) Department of Aid to Foreign Countries (DAFC; 2003) Part of MOFCOM Executive agencies under DAFC Supervised by DAFC Aid units of line ministries Part of line ministries CEXIM Bank Colombia Presidency Agencia Presidencial de Coopera- Assigned to the ción Internacional (APC ColomPresidency bia; 2011) India Foreign Affairs (MFA) Development Partnership Administration (DPA; 2012) Division under MFA EXIM Bank © German Development Institute / Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (DIE) 8 4 19.01.2015 2. Institutional frameworks of emerging powers development cooperation: Overview (2) Country Lead ministries Managing entity or agency (year of creation) Indonesia National Coordination Team on SSTC Technical Committee + Secretariat (2010) Steering Committee (chaired by Planning, co-chaired by MFA) Status of managing entity Under the National Coordination Team Mexico Foreign Affairs (MFA) Agencia Mexicana de Coo- Decentralized peración Internacional para body of MFA el Desarrollo (AMEXCID; 2012) South Africa Planned: International Planned: South African De- Planned: SemiRelations and Coope- velopment Partnership autonomous govration (DIRCO) Agency (SADPA) ernment entity © German Development Institute / Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (DIE) 9 2. Institutional frameworks of emerging powers' development cooperation: Overview (3) Country Lead ministries Managing entity or agency (year of creation) Thailand Foreign Affairs (MFA) Thailand International Cooperation Agency (TICA; 2004) Focal agency under the MFA Finance Neighbouring Countries Economic Development Cooperation Agency (NEDA; 2005) Public organisation under supervision by the Ministry of Finance Prime Ministry (since 1999; before: Foreign Affairs) Turkish Cooperation and CoLegal entity of its ordination Agency (TIKA; 1992; own until 2011: Turkish Cooperation and Development Agency) Turkey © German Development Institute / Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (DIE) Status of managing entity 10 5 19.01.2015 3. Driving forces for emerging powers to create special institutional frameworks of development cooperation or reform previous ones Driving forces Countries 1. Increasing provision of development cooperation All countries (South-South cooperation, triangular cooperation) 2. Transformation of agencies managing incoming aid into agencies (also) managing outgoing aid Brazil, Colombia, Mexico 3. Reforms of the institutional frameworks due to - changes in the political motives of cooperation - changes in the cooperation provided - inadequate performance of former frameworks Brazil, China, Colombia, India, Mexico, South Africa, Thailand, Turkey 4. Need to professionalise development cooperation Brazil, India, Indoneprovided and improve its efficiency/effectiveness sia, South Africa, Thailand 5. Coordination of the multitude of government insti- China, Colombia, Intutions involved in South-South cooperation dia, Indonesia, Thailand, S. Africa, Turkey © German Development Institute / Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (DIE) 11 4. Main features of emerging powers' current institutional frameworks of development cooperation (1) Feature Type Countries 1. Lead ministry Foreign Affairs Brazil, India, Mexico, South Africa (planned), Thailand Presidency/Prime Ministry Colombia, Turkey Planning + Foreign Affairs Indonesia Commerce China Entities within or under the lead ministry Brazil, China, Colombia, India, Indonesia Decentralised, semi-autonomous, autonomous entities Mexico, South Africa (planned), Thailand, Turkey 2. Managing entities © German Development Institute / Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (DIE) 12 6 19.01.2015 4. Characteristics of emerging powers' current institutional frameworks of development cooperation (2) Feature Type Countries 3. Focus Beyond dev. cooperation Mexico Incoming + outgoing aid Brazil, Colombia, Mexico Outgoing aid only China, India, Indonesia, South Africa (planned), Thailand, Turkey Separated between lead ministry and managing entity Brazil, Colombia, India, Turkey Policy form. + management integrated into lead ministry China, Indonesia Managing entity with some policy formulation competence Mexico, South Africa (planned), Thailand (TICA) 4. Relationship between policy formulation and management © German Development Institute / Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (DIE) 13 4. Characteristics of emerging powers' current institutional frameworks of development cooperation (3) Feature Type Countries 5. Mandate of managing entity (Co-)formulation of dev. coop. strategy China, Indonesia, Mexico, South Africa (planned), Thailand (TICA) Management of dev. coop. projects + programmes Brazil, China, Colombia, India, Mexico, South Africa (planned), Thailand, Turkey Coordination of other Brazil, China, Colombia, India, government institu- Indonesia, Mexico, South Africa tions providing aid (planned) 6. Own budget / financial authority of managing entity Yes Colombia, India, Mexico (planned), South Africa (planned), Thailand, Turkey No Brazil, China, Indonesia © German Development Institute / Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (DIE) 14 7 19.01.2015 4. Characteristics of emerging powers' current institutional frameworks of development cooperation (4) Feature Type Countries 7. Current system created Recently (since 2010) Colombia, India, Indonesia, Mexico, South Africa (planned), Before 2010 Brazil, China, Thailand, Turkey 8. Legal basis Special law Other (e.g. decree) 9. Overseas Yes offices of the managNo ing entity Mexico, South Africa (planned) Brazil, China, Colombia, India, Indonesia, Thailand, Turkey Thailand (TICA; from 2013), Turkey Brazil, Colombia, Colombia, India, Indonesia, Mexico, South Africa © German Development Institute / Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (DIE) 15 4. Characteristics of emerging powers' current institutional frameworks of development cooperation (5) Feature Type Countries 10. Major reforms announced or under way Extending the mandate beyond aid + new lead ministry (Development, Industry and Commerce) Brazil: ABC → ABCD Agency still to be created South Africa (SADPA) Consolidation of agency Mexico (AMEXCID) Agency in transition Thailand (TICA) © German Development Institute / Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (DIE) 16 8 19.01.2015 5. Challenges and areas for reform in emerging powers' institutional frameworks of development cooperation (1) Challenge / area for reform Countries Systemic level (aid system as a whole) 1. Fragmentation of the aid system (many govern- Brazil, Indonesia, ment entities involved in development coopeSouth Africa, Thailand, ration without sufficient coordination Turkey 2. Need to reconsider the appropriateness of the current (planned) institutional framework of policy formulation and management of development cooperation (different options discussed) China, Indonesia, South Africa 3. Need to clarify which ministry takes the lead Indonesia, South Africa 4. Need to clarify the relationship between the agency and the lead ministry; call for greater autonomy of the agency (e.g. budget) Brazil, Mexico © German Development Institute / Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (DIE) 17 5. Challenges and areas for reform in emerging powers' institutional frameworks of development cooperation (2) Challenge / area for reform Countries 5. Need for an integrated dev. assistance strategy to be complemented by country assistance strategies Thailand, Turkey 6. Need for general guidelines for development coopera- Brazil tion of all government institutions Management (agency) level 7. Mandate of agency too broad (going beyond dev. coop.); need to keep focus on dev. coop. Brazil (ABCD), Mexico 8. Need to better coordinate incoming and outgoing aid South Africa 9. Need to better coordinate different agencies operating Thailand in development cooperation © German Development Institute / Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (DIE) 18 9 19.01.2015 5. Challenges and areas for reform in emerging powers' institutional frameworks of development cooperation (3) Challenge / area for reform Countries Management (agency) level 10. More and better qualified staff required (agency and lead ministry); align human resources with mandate Brazil, South Africa, Thailand 11. Inadequate internal organisation (geographic rather than sectoral focus) Brazil 12. Need for strengthened and sound monitoring and evaluation systems (for the sake of efficiency, effectiveness and transparency) Brazil, Colombia, India, South Africa, Turkey 13. Need to improve aid effectiveness India, South Africa, Turkey © German Development Institute / Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (DIE) 19 5. Challenges and areas for reform in emerging powers' institutional frameworks of development cooperation (4) Challenge / area for reform Countries Relationship with partner countries 14. Need for better alignment with partner countries' strategies and plans Thailand 15. Need for better assessment of demand for South-South and triangular cooperation Indonesia 16. No institutional presence of agency at partner country level (with very few exceptions) Brazil © German Development Institute / Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (DIE) 20 10 19.01.2015 6. Background information: Institutional frameworks of OECD donors (DAC members): Types and lessons learned (1) Institutional frameworks Countries 1. Legal basis of ODA a) Special legislation (16) Austria, Belgium, Canada, Denmark, Greece, Iceland, Italy, Korea, Luxembourg, Poland, Portugal Slovak Republic, Spain, Switzerland, United Kingdom, United States b) No special legislation (11) Australia, Czech Republic, Finland, France, Germany, Ireland, Japan, Netherlands, New Zealand, Norway, Sweden 2. Overall policy statements Virtually all DAC members in different forms such as: Overarching documents, White Papers, multi-year or medium-term plans, strategic guidelines, statements on core issues (e.g. poverty reduction, aid effectiveness, global development) © German Development Institute / Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (DIE) 21 6. Background information: Institutional frameworks of OECD donors (DAC members): Types and lessons learned (2) Institutional frameworks Countries 3. Lead ministry (ministries) for ODA a) Ministry of Foreign Affairs (21) Australia, Austria, Belgium, Canada, Czech Republic, Denmark, Finland, Greece, Iceland, Ireland, Italy, Japan, Luxembourg, Netherlands, New Zealand, Norway, Poland, Slovak Republic, Spain, Sweden, United States b) Foreign Affairs + Treasury (2) France, Portugal c) Prime Minister + Foreign Affairs + Treasury (1) Korea d) Foreign Affairs + Economic Affairs (1) Switzerland e) Separate development cooperation ministries (2) Germany, United Kingdom © German Development Institute / Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (DIE) 22 11 19.01.2015 6. Background information: Institutional frameworks of OECD donors (DAC members): Types and lessons learned (3) Institutional frameworks Countries 4. Organisational structure a) Lead ministry + separated implementing agencies (15) Austria, Belgium, Czech Republic, France, Germany, Iceland, Japan, Korea, Luxembourg, Norway, Portugal, Slovak Republic, Spain, Sweden, USA b) Management integrated into lead ministry (12) Australia, Canada, Denmark, Finland, Ireland, Greece, Italy, Netherlands, New Zealand, Poland, Switzerland, United Kingdom 5. Other government institutions involved in ODA All DAC members (except Denmark, Finland) 6. Permanent interministerial cordination committees on ODA Yes (18): Australia, Austria, Belgium, Czech Republic, Greece, France, Germany, Ireland, Italy, Iceland, Japan, Korea, Luxembourg, Portugal, Slovak Republic, Spain, Switzerland, USA No (9): Canada, Denmark, Finland, Norway, Netherlands, New Zealand, Poland, Sweden, UK © German Development Institute / Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (DIE) 23 6. Background information: Institutional frameworks of OECD donors (DAC members): Types and lessons learned (4) DAC recommendations to emerging OECD donors (before DAC accession) Special DAC Peer Reviews: Czech Republic (2007), Korea (2008), Poland (2010), Slovak Republic (2010/11), Slovenia (2011) Main recommendations (based on lessons learned) stressing the need for: • Sound political backing of ODA (by legislation and/or an overall government statement and by creating public support) • An explicit strategy (outlining the objectives to be achieved and the comparative advantage to be used) • Clearly defined responsibilities of the government entities involved in ODA with a strong lead function and appropriate coordination mechanisms • A more focused approach in terms of fewer countries, sectors and activities to achieve better results and increase both the impact and visibility of ODA • Results-based management including monitoring and independent evaluation • Consistent human resource development in the ministries and managing agencies involved in ODA to professionalise policy formulation and implementation © German Development Institute / Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (DIE) 24 12 19.01.2015 Thank you for your attention! German Development Institute / Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (DIE) Tulpenfeld 6 D-53113 Bonn Telephone: +49 (0)228-949 27-0 E-Mail: [email protected] www.die-gdi.de www.facebook.com/DIE.Bonn © German Development Institute / Deutsches Institut für Entwicklungspolitik (DIE) 25 13 1/19/2015 Finalisasi Background Study Penyusunan RPJMN 2015-2019 – POLUGRI 23 Oktober 2014 Polugri 1 1/19/2015 1. Polugri Polugri Bebas Aktif Demokrasi & Tata Kelola 5. Infokom 1 NAWA CITA 2 Revolusi Karakter Bangsa BERDAULAT POLITIK Kebhinekaan & Restorasi Sosial 10. Pemberdayaan Perempuani TRISAKTI 8 BERDAULAT EKONOMI 9 BERKEPRIBADIAN DALAM BIDANG KEBUDAYAAN Mengedepankan identitas Indonesia sebagai Negara kepulauan dalam pelaksanaan diplomasi dan membangun kerjasama internasional Melindungi segenap bangsa & memberikan rasa aman pada seluruh warga negara : • pelaks polugri bebas aktif; • bangun wibawa polugri; • mereposisi peran Indonesia dalam isu global Penataan Infrastruktur Diplomasi 6. Kelembagaan Demokrasii 1. Pendidikan pembentuk Karakter Bangsa 2. Memperteguh Kebhinekaan & Restorasi Sosial Meningkatkan peran Indonesia di keterlibatan global melalui diplomasi Middle Power Memperluas mandala keterlibatan regional di kawasan indo pasifik 2 1/19/2015 Perundingan perbatasan darat (3 negara)) Pengiriman 4000 pasukan perdamaian dunia Akses info Perundingan perbatasan maritim (7 negara) Perundingan perbatasan efektif Diplomasi Maritim penyelesaian permasalahan perbatasan Intensifkan diplomasi pertahanan Mengedepankan identitas Indonesia sebagai Negara kepulauan dalam pelaksanaan diplomasi dan membangun kerjasama internasional Mendorong penerapan South East Asia Nuclear Weapon Free Zone Keamanan dan kesejahteraan pulau –pulau terdepan Meredam rivalitas maritim di antara negara besar dan mendorong penyelesaian sengketa territorial di kawasan penerapan CoC oleh negara-negara bersengketa di LCS Mengamankan SDA dan ZEE Meningkatkan peran Indonesia dalam menjaga stabilitas kawasan ASEAN kerjasama kesetaraan negara anggota ASEAN dengan negara-negara mitra wicara terbentuknya traktat persahabatan di kawasan Asia Pasifik Kerjasama Bilateral - MCN Mendorong Comprehensive Nuclear Test Ban Treaty Peran Indonesia dalam pemeliharaan perdamaian dunia diplomasi penanganan konflik di Timur Tengah Shelter Bantuan Hukum Diplomasi penanganan people smuggling/ irregular migration Akses info Meningkatkan kualitas perlindungan WNI di LN Peran Indonesia dalam pemeliharaan perdamaian dunia Aktif dalam OKI Dialog HAM dan interfaith Meningkatkan peran Indonesia di keterlibatan global melalui diplomasi Middle Power Pelaksanaan Indonesian Chair Mendorong penempatan putra putri terbaik Indonesia di dalam organisasi internasional dan regional khususnya di PBB, OKI, dan Setnas ASEAN Penyiapan dan promosi putra putri Indonesia untuk mampu menempati posisi strategis di organisasi internasional dan regional Penguatan BDF & knowledge hub demok & resolusi konflik Mendorong reformasi PBB Aktif mendorong kerjasama multilateralisme Melindungi hak dan keselamatan WNI di luar negeri Repatriasi Penanganan TOC Pemajuan HAM & Demokrasi Kerjasama global & regional membangun demokrasi & toleransi antar kelompok Peningkatan KSST Penyusunan dan penyampaian model komunikasi untuk penegakan HAM dan demokrasi Kkoordinasi kebijakan lebih erat antara negara anggota G-20 menuju pemulihan ekonomi global Memperjuangkan kerjasama berimbang dan relevan di G-20 Memajukan kepentingan negara berkembang dan menjaga terciptanya sistem perekonomian global yang inklusif dan berkelanjutan Sharing success story Indonesia mengatasi krisis ekonomi Pembentukan global expenditur e support fund konsensus selaku bridge builder 3 1/19/2015 Diplomasi perbasis intellectual resources Penguatan kapasitas domestik Penanganan konflik kawasan melalui mekanisme ASEAN termasuk sengketa LCS Penguatan kelembagaan Kesiapan publik domestik dan kepemimpinan Indonesia di ASEAN kemitraan dgn pemangku kepentingan Konsolidasi kepemimpinan di ASEAN ; Memperkuat arsitektur regional; Mengelola dampak integrasi ekonomi reg dan perdagangan bebas terhadap kepentingan ek nasional Memperluas mandala keterlibatan regional di kawasan indo pasifik Mendorong kerjasama maritim komprehensif Memperkuat dan mengembangkan kemitraan strategis bilateral Pemantapan Kerjasama IORA Perdagangan Diklat tematik dan fokus isu Reorganisasi Kemenlu diplomasi politik seiring target diplomasi ekonomi Indeks Diplomasi Penguatan peran representasi, perlindungan, komunikasi , informasi dan kerja asma Penguatan instrumen diplomasi ekonomi Pengembangan keahlian khusus (asset recovery, hukum laut internasional, dan riset strategis dan teknologi peran di APEC dan G-20 kontribusi terbentuknya norma/rezim internasional yang mengatur energy & food security sbg public goods Perhubungan laut Anggaran Menguatkan diplomasi ekonomi Indonesia Peran aktif RCEP Pariwisata Perindustrian Penguatan diplomasi perluasan pasar prospektif Penataan Infrastruktur Diplomasi Kerja sama Media Kerja sama Univ dan pusat riset Perluasan partisipasi publik dalam proses kebijakan dan diplomasi Epistemic Community Koordinasi strategis antarK/L maupun dengan dalam politik Luar negeri Kementerian DPR Pemda 4 1/19/2015 Kerangka Regulasi Penguatan Pelaksanaan Kerja Sama Selatan Selatan dan Triagular (KSST) Indonesia • Latar Belakang : – Indonesia sebagai Middle Income Country – peran aktif dalam kerja sama pembangunan (KSST) – Koordinasi lebih terstruktur dan efektif efisien antar K/L. • Tujuan : – Mempercepat kesiapan – Menjamin efektivitas pelaksanaan KSST Indonesia • Kebutuhan Regulasi : – Revisi Undang Undang 17/2013 tentang Keuangan Negara, dan pembuatan Peraturan Pemerintah tentang Kerja Sama Selatan-Selatan dan Triangular Indonesia (sebagai basis legal) 5 1/19/2015 6 1/19/2015 Kiki Verico, Ph.D 1 LPEM FEUI 2 1 1/19/2015 % of Export sum by row North America Latin America Western Europe Africa Middle East Asia North America 39.5 16.5 19 1.3 2.1 20.9 Latin America 60.8 17 12.1 1.2 1.2 6.3 Western Europe 10.3 2.3 67.5 2.5 2.6 7.8 Africa 17.7 3.5 51.8 7.8 2.1 14.9 Middle East 16.5 1.3 16.5 3.8 7.6 47.3 Asia 25.1 2.7 16.8 1.6 3 48.2 3 118, 721 BFTA MTA Global i 1 (MFN) Jagdish Bhagwati,1995 (RTAs are not effective while BFTAs are Stumbling Block) Pascal Lamy, 2007 (The ‘pepper in the multilateral ‘curry’) 2 5 ADB Sub-Regional ECSC; IMT, BIMP, SIJORI; ITRO Regional Richard E Baldwin,1997 (BFTAs are Building Block) 1 Close (CU/EC) Anne Krueger, 1970 Open regionalism Ensuring WTO accession success Bilateral 4 6 ADBI ASEAN+ (AFTA+) (First mover advantage & Snowballing effect & Triggered action) 3 • Unilateral • Multilateral Variance Sumber: Verico, Kiki, 2012 4 2 1/19/2015 REGIONAL ECONOMIC INTEGRATION THEORY FTA CU Free Trade Area (1957-1967) Free flows of goods (output market), Treaty of Rome Treaty of Paris, 1951: ECSC,EURATOM, EPU CM Custom Union (1967-1987) Trade Diversion to Investment Creation (transition output & input market) Economic Community SMU SC Common Market (1987-1993) Free flows of capital people (input market) Single Monetary Union Single Currency (1999-2002) (1993-1999) Single Currency Monetary policy union preparation and exist until now) Single Market (Real Sector Convergence) Treaty of Maastricht,1992 Monetary, Single Currency (OCA, ERM) (SGP, EMS to ECB) 5 CONCLUSION AND RECOMMENDATION FOR THE ASEAN ECONOMIC COMMUNITY FTA ASEAN Free Trade Area (1986:CU failed;1992:AFTA agreed,1999:full commitment,CEPT10/5/ 0: 2002,2010,2015) FTA+ AJFTA, ACFTA, AKFTA, RCEP, Others (2008-……) Regional Trade Arrangement (1976) Treaty of Amity & Cooperation/TAC EC ASEAN Economic Community without CU (2015) CM If follows EU’s time line then achieve ASEAN Single Market (ASM) in 2035 until 2040 SMU If follows EU’s time line then achieve SM in 2045. 2035-2040:ASM 2040-2045: SMU Preparation SC If follows EU’s time line then achieve SC in 2050. 2045-2050: ASC preparation Source: http://asiapacific.anu.edu.au/blogs/indonesiaproject/2013/05/03/asean-economic-integration-challenges-and-strategies/ 6 3 1/19/2015 Proporsi Sektor 60% 53.0% 50.0% 49% 50% 49.0% 47.0% 46.0% 42.0% 40% 33.0% 30% 27.0% 25% 20% [VALUE] 23.0% 16.0% 15% 11% 10% 30.0% 29.0% 14.0% 12.0% 12.0% 10.0% 10.0% 2005-2010 2010-2015 14.0% 13.0% 11.0% 10.0% 15.0% 10.0% 0% 2005 PERTANIAN 2015-2020 PERTAMBANGAN 2020-2025 2025-2030 INDUSTRI 2030 JASA Sumber: BPS, diolah LPEM, 2007 7 GDP/KAPITA (US$) 20,000 Lower Income Country <US$ 756 16,000 14,000 18,000 Upper Middle Income Country US$ 2996-US$ 9,266 Lower Middle Income Country US$ 756-US$ 2,996 12,000 SUSTAIN (>2023) BUILD (2016-2023) FIX (2005-2015) 18,000 High Income Country > US$ 9,266 9,903 10,000 8,000 6,715 6,000 4,132 4,000 2,000 1,660 638 1,025 2,448 1,191 802 1990 1992 2000 2004 2006 2010 2015 2020 2023 2030 GDP/KAPITA (US$) Sumber: BPS, diolah LPEM, 2007 8 4 1/19/2015 Pertumbuhan Ekonomi Menurut Sektor 14.0% 11.6% 12.0% 10.2% 10.0% 8.6% 8.8% 9.2% 9.0% 7.5% 8.0% 8.6% 8.4% 7.6% 7.3% 6.0% 11.9% 10.6% 6.1% 6.2% 4.0% 5.7% 5.2% 4.5% 6.3% 5.8% 2.0% 0.0% 2005-2010 2010-2015 PERTANIAN 2015-2020 INDUSTRI 2020-2025 JASA 2025-2030 PDB 9 Sumber: Diolah LPEM FEUI, 2007 Dilemma EC Open Regionalism (FTA, FTA+) Close Regionalism (CU, EC) Trade Creation > Trade Diversion C: LessCompetitive Local Firms of Member B: Intra Investment Creation Trade Diversion > Trade Creation Indonesia o o Model Graph Paradox Sumber: Verico, Kiki, 2013 C: MostCompetitive Firms of Non-Member B: Extra Investment Creation EU History of Anti-AFTA, ACFTA, spirit of Trade Law Success story of CU or EC No Paradox Changing strategy from non-members 10 5 1/19/2015 HIGHLIGHTS: CRITICAL CHALLENGE IN RI Bab XII Kerjasama Perdagangan Internasional Pasal 83: Pemerintah dapat berkoordinasi dengan DPR untuk melakukan perjanjian perdagangan. Pasal 84 ayat 1: Setiap perjanjian perdagangan internasional disampaikan kepada DPR paling lama 90 hari kerja setelah penandatanganan perjanjian. Pasal 84 ayat 5: Dalam hal perjanjian internasional yang dapat membahayakan kepentingan nasional, DPR bisa menolak penjanjian perdagangan internasional. Note: Sebelumnya, Pemerintah dapat melakukan perjanjian perdagangan internasional tanpa perlu ‘melapor dan izin’ dari DPR. # Principle - Agent risk: principle (DPR) & agent (government) asymmetric in nature # Different Interest risk: government vs DPR potentially distorts the market # Time-Frame risk: long-run negotiation vs short-run elected DPR members back to the case of ACFTA 11 12 6 19/01/2015 Kerjasama Pembangunan Internasional Makmur Keliat Struktur Paparan • I Pendekatan Teoritik • II. Realitas • III. Tantangan 1 19/01/2015 I. Pendekatan Teoritik Kerjasama Internasional • Pendekatan Konvensional (Mainstream) • Produk dari Liberal Institutionalism • Apakah Institusionalisme Liberal itu? Liberal Internationalism: Visi, Prinsip dan Mekanisme Vision: Open, Rules Based System Trade, cooperate for mutual gain Common interest establishment of cooperative world order Principles: restraint, reciprocity and sovereign equality Solving security dilemma, pursuing collective action Powerful states act with restraint Trade and exchange have civilizing and modernizing effect on states Undercutting Illiberal tendencies Strengthening fabric of international community 2 19/01/2015 Liberal Internationalist Institutions and rules between states facilitate and reinforce cooperation Democracy operates within rules-based international system Tipe-Tipe liberal order Liberal Internationalism 1.0 Liberal Internationalism 2.0 Liberal internationalism 3.0 3 19/01/2015 Versi 1.0 1. Scope → the size of liberal order Universal membership 2. Sovereign-independence → degree of legal-political restrictions on state sovereignty within liberal order; Westphalian sovereignty 3. Sovereign-equality→ degree of hierarchy within liberal order. Flat political hierarchy 4. Rule of law→ nature of operational rules of liberal order. International law through moral suassion and global public opinion 5. Policy domain→ focus/concern Restricted to open trade and collective security. Version 2.0 1. Scope → the size of liberal order Western-oriented security and economic system 2. Sovereign-independence → degree of legal-political restrictions on state sovereignty within liberal order; Compromise legal independence to gain greater state capacity 3. Sovereign-equality→ degree of hierarchy within liberal order. Hierarchical order, US hegemonic 4. Rule of law→ nature of operational rules of liberal order. Rules and institutions through reciprocity and bargaining 5. Policy domain→ focus/concern Expanded policy domains, including economic regulations and human rights 4 19/01/2015 Version 3.0 1. Scope → the size of liberal order Universal scope, expanding membership , not limited to western world 2. Sovereign-independence → degree of legal-political restrictions on state sovereignty within liberal order; Post-westphalian, intrusive, interdependent economic and security regimes 3. Sovereign-equality→ degree of hierarchy within liberal order. post-hegemonic hierarchy, various groupings of leading states occupy governing institutions 4. Rule of law→ nature of operational rules of liberal order. Expanded rules based system, with network based cooperation 5. Policy domain→ focus/concern Further expansion of policy domains Sebab-Sebab Versi 3,0? • 1.New geo-economic realities (munculnya kekuatan baru misalnya BRICs) • 2. New strategic concerns (misalnya energy security) 5 19/01/2015 New Economic Realities BRICS Jejaring Keamanan Energi Petro American South American Energy Council Petro Andina PetroSur Petro Caribe 6 19/01/2015 Persoalan Pembangunan Infrastuktur di Indonesia • Kondisi makroekonomi Indonesia : – Tingkat pertumbuhan ekonomi dalam lima tahun terakhir rata-rata sebesar 6%. – Cadangan devisa lebih dari US$ 100 miliar. – Defisit anggaran tidak pernah melebihi angka 3 persen. • Namun, pembangunan infrastruktur di Indonesia cukup memprihatinkan. II. Realitas • A. Persoalan Pembangunan Infrastruktur (jangka menengah dan panjang) • B. Persoalan Konsolidasi Fiskal (jangka pendek) • Catatan: Kerjasama Internasional harus mengatasi dua realitas ini 7 19/01/2015 A. Kondisi Pembangunan Infrastuktur Indonesia • Laporan Standard Chartered Bank (2011) : – Daratan (land infrastructure) Indonesia memiliki rasio jarak jalan per km dengan luas wilayah yang paling rendah di kawasan. – Pelabuhan udara (airports) Permasalahan : sarat beban, hambatan pendanaan, pembebasan tanah. – Pelabuhan laut (seaports) Pelabuhan laut di Indonesia tertinggal dibandingkan dengan pelabuhan laut di Asia Tenggara. – Listrik (electricity) rumah tangga yang memiliki fasilitas listrik di Indonesia hanyalah sekitar 63% dari seluruh rumah tangga yang ada. Ketidakseimbangan Pembangunan Infrastuktur • Adanya kecenderungan ketidakseimbanganketidakseimbangan (imbalances) dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia. – Ketidakseimbangan dalam pengertian dimensi geografis. – Ketidakseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dengan pertumbuhan pembangunan infastruktur. – Ketidakseimbangan dalam pengertian makna infrastruktur. – Ketidakseimbangan dalam pengertian dimensi anggaran. – Ketidakseimbangan antara tataran kebijakan dengan 8 19/01/2015 B. Masalah Konsolidasi Fiskal Nota Keuangan RAPBN 2015 BELANJA NEGARA : 2.019.868,3 PENDAPATAN NEGARA : 1.762.296,0 DEFISIT : 257.572,3 1 . Pengeluaran: Subsidi Enerji yang terlalu besar 2. Pendapatan; Rasio Pajak Yang Rendah Untuk pertama kali APBN menembus angka 2000 triliun rupiah. 9 19/01/2015 “Ketidaknormalan” Fiskal • Besaran subsidi energi dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2015, dinilai fantastis, yakni mencapai Rp 363,5 triliun. ( Ini berarti 3,27 persen dari GDP atau sama dengan 18 persen dari APBN) • Jika pemerintah baru bisa menghemat subsidi energi sebesar Rp 100 triliun saja, anggaran tersebut bisa dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur. • PDB Indonesia sebesar 11.102,156 triliun rupiah. Sementara Penerimaan Negara dari Pajak sebesar 1.370.827,2 triliun. Maka, rasio pajak terhadap PDB hanya berkisar 12,34% (rendah). • Penambahan 1% dari PDB akan menambah sekitar 110ribu triliun. • Penerimaan Negara bukan pajak sebesar 388,037 triliun yang paling besar berasal dari Pendapatan SDA (3,5% dari PDB). Tantangan • 1. Bagaimana menyikapi BRICS? • 2. Bagaimana menyikapi G20? • 3. Bagaimana menyikapi dan menerjemahkan visi misi Jokowi-JK khususnya mewujudkan bangsa yang berdaya saing? 10 Risalah Rapat Pembahasan Draft Final Kajian RPJMN 2015-2016 Bidang Kerja Sama Pembangunan Internasional TANGGAL: 18 NOVEMBER 2014 PIMPINAN RAPAT WAKTU: 16.00 – 20.00 WIB TEMPAT: RUANG SS-4, LT.2 GEDUNG BAPPENAS Ibu Teni Widuriyanti, Kasubdit Global Direktorat Kerja Sama Pembangunan Internasional Bappenas DISKUSI Agenda pada pertemuan ini adalah pembahasan perkembangan draft final kajian sebagai tindak lanjut dari FGD yang telah dilaksanakan sebelumnya pada tanggal 24 Oktober 2014, dan untuk persiapan seminar yang direncanakan akan dilaksanakan pada bulan Desember 2014 mendatang. I. Pembahasan Draft Final Kajian A. Sub-Bidang Global 1. Saat ini laporan masih berbentuk review sehingga pada beberapa bagian masih harus dielaborasi lebih lanjut. 2. Mempertimbangkan ketersediaan waktu maka penyempurnaan laporan akan difokuskan pada perusumusan tantangan dan rekomendasi (guidance) keterlibatan Indonesia dalam kerjasama pembangunan internasional. 3. Rekomendasi yang dirumuskan dalam laporan meliputi B. Sub-Bidang KSST 4. Baian legal base sebaiknya diletakkan pada awal pembahasan. 5. Pembahasan kerja sama diarahkan agar dapat menunjukkan potensi benefit yang dapat diperoleh Indonesia dan bagaimana cara mendapatkannya. Sementara ini, benefit yang maksud meliputi tiga bidang yakni ekonomi, politik, serta sosaial dan budaya. 6. Pada bagian tinjauan pustaka, terdapat usulan untuk memasukan case study KSST yang telah dilakukan oleh Indonesia. Project quick wins dengan Myanmar yang saat ini sedang berlangsung dapat dijadikan salah satu case study. 7. Perlu tinjauan ulang untuk topik prioritas KSST dan keunggulan komparatif yang dimiliki oleh Indonesia terkait dengan realitas. Pembahasan dapat berupa kritik dari bluebook yang ada. C. Sub-Bidang Regional 8. Diarahkan agar pembahasan di sub bidang regional lebih menuju pada development, bukan ekonomi atau perdagangannya. 9. Untuk saat ini, referensi sumber sub bidang regional dapat merujuk pada website yang tersedia www.***** 10. Untuk penggalian lebih dalam substansi sub bidang regional, akan dilaksanakan pertemuan sekaligus indepth interview dengan beberapa pihak terkait yaitu: Dit. PIKEI Bappenas; Dit. Transportasi Bappenas; Dit. Pengembangan Wilayah Bappenas; dan Ditjen ASEAN Kemenlu + menko perekonomian, Pak Raldi Kustur. II. Persiapan Seminar o Pematangan bahan seminar secara substansi. o Perlu diputuskan format yang akan digunakan dalam seminar. Halaman | 1 o o o o Disepakati bersama bahwa seminar akan diselenggarakan pada hari Kamis tanggal 18 Desember 2014 di Gedung Bappenas (Tentatif). Narasumber yang diundang sebaiknya memiliki perspektif yang luas sehingga dapat memberikan banyak masukan untuk kajian, terutama dalam fokus pendalaman tantangan dan strategi kerja sama pembangunan internasional Indonesia di masa yang akan datang. Kandidat-kandidat narasumber seminar kajian: − Yulius Hermawan - Dosen Universitas Parahyangan − Maddaremmeng A Panennungi – Dosen Universitas Indonesia − Noer Azam Achsani - Dosen Institut Pertanian Bogor − Enny Sri Hartati – Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Akan dipersiapkan seminar kit untuk peserta seminar. RENCANA TINDAK LANJUT o o o o Dit. KPI akan mengirimkan template laporan, dan akan dikirimkan pula bahan-bahan terutama untuk memperkaya dan mempercepat pengerjaan laporan bagian kerjasama global. − GPEDC: Dion − GGGI: Muti − G20: Fitra dan Vincent Pertemuan untuk membahas sub bidang regional sekaligus indepth interview dijadwalkan akan dilaksanakan pada hari Selasa, 25 November 2014. Akan dihubungi pihak-pihak yang akan diajak berdiskusi untuk pendalaman sub bidang regional. Narasumber akan dikonfirmasi kesediannya. Halaman | 2 Risalah Rapat Koordinasi Persiapan Pertemuan Tim Pengarah Tim Kornas KSST Hari/tanggal Waktu Tempat Agenda : : : : Kamis, 4 Desember 2014 13.00-16.30 WIB Ruang SG 5, Bappenas 1) Melihat perkembangan Laporan Kajian Penyusunan Draft RPJMN 2015-2019 Bidang Kerjasama Pembangunan Internasional. 2) Memasukkan pembahasan Knowledge Sharing/Country Level Knowledge Hub ke dalam laporan kajian sebagai input pengembangan 3) Membahas persiapan Seminar Kajian Dit. KPI TA 2014 Pimpinan Rapat Peserta : Direktur Kerjasama Pembangunan Internasional : Tim Arkadia Solusi, LPEM UI, dan Direktorat Kerjasama Pembangunan Internasional Umum 1. Rapat dibuka oleh Direktur Kerja Sama Pembangunan Internasional dan dihadiri oleh Tim Arkadia Solusi sebagai narasumber, LPEM UI, dan jajaran staf Dit. KPI. Pimpinan rapat menyampaikan bahwa rapat ini dilaksanakan untuk membahas peran Knowledge Sharing/Country Led Knowledge Hub (CLKH) sebagai pendekatan Kerjasama Pembangunan Internasional di masa yang akan datang. Sesuai arahan dari Deputi Pendanaan Pembangunan, maka isu knowledge sharing perlu dimasukan ke dalam pembahasan kajian bidang kerja sama internasional yang sedang disusun. Disamping itu, isu ini diangkat karena mendukung visi pemerintahan baru untuk meningkatkan kapasitas Bappeda dan koordinasinya dengan pemerintah pusat. Pembahasan mengenai knowledge sharing dan CLKH ini diharapkan dapat memberikan masukan positif terhadap upaya pengembangan CLKH oleh Bappenas yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas Bappeda di daerah. Capacity building ke arah knowledge sharing untuk mewujudkan evidence based policy, merupakan pendekatan berbeda selain melihat capacity building dari segi efektivitasnya. 2. Saat ini Bappenas sedang mengumpulkan informasi tentang knowledge hubs yang dapat dijadikan best practices dalam rangka pengembangan CLKH. Hal yang perlu digarisbawahi dalam diseminasi best practices pembangunan untuk direplikasi adalah perlu disadari bahwa setiap daerah memiliki resources, permasalahan, tantangan dan hambatan yang berbeda (unik) sehingga diperlukan pendekatan-pendekatan yang sesuai (prinsip adopt and adapt). 3. Terkait hal tersebut maka dalam proses pengumpulan informasi mengenai knowledge hub, fokus utamanya adalah minimum/standard informations apa saja yang harus ada pada penyebaran informasi best practices sehingga dapat di replikasi walaupun daerah lain memiliki situasi dan kondisi yang berbeda. 4. Dalam paparannya, Tim Arkadia menyampaikan beberapa hal sebagai berikut (paparan terlampir): a. Terdapat dua jenis Knowledge Hubs, yaitu: - National Knowledge Hubs: menjalankan fungsi koordinasi pusat yang meliputi keseluruhan atau beberapa sektor dan tema-tema pembangunan - Thematic Knowledge Hubs: berfokus pada tema-tema atau area tertentu seperti pertanian, perubahan iklim, kesehatan masyarakat dan perlindungan sosial b. Beberapa contoh knowledge hubs yang bisa dilihat sebagai referensi pengembangan CLKH: - Knowledge for Development (World Bank) - Collaboration for Development (World Bank) - UNESCO Knowledge Hubs - Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI) c. Materi mengenai manajemen pengetahuan yang meliputi: - Mekanisme dalam mengidentifikasi, menangkap dan proses validasi pembelajaran (lessons learned) - Pengkoleksian dan pengorganisasian secara sistematis pembelajaran (lessons learned) - Mekanisme dalam mendistribusikan knowledge products d. Faktor-faktor yang menjadi penopang kesuskesan implementasi manajemen pengetahuan: - Kultur organisasi/pelaku pengetahuan - Struktur Organisasi - Infrastruktur Teknologi Informasi - Lingkungan Hasil Diskusi 1. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan BaKTI sebagai knowledge hubs yang menjadi model best practices dalam pengembangan CLKH oleh Bappenas didasari oleh beberapa pertimbangan sebagai berikut: a. BaKTI merupakan satu-satunya organisasi di kawasan timur Indonesia yang berfokus pada pertukaran pengetahuan dan memiliki pengalaman lebih dari sembilan tahun. Bappenas ingin mempelajari operasionalisasi BaKTI sebagai 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. sebuah knowledge hubs agar dapat memberi masukan bagi pengembangan CLKH. b. BNPB mempunyai mekanisme yang mapan sebagai knowledge hubs dari segi koordinasi organisasi ke daerah dimana terdapat BPBD yang menjadi focal point untuk menjalankan fungsi creation dan sharing. Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI) sebagai salah satu contoh knowledge hubs sampai saat ini hanya menjalankan fungsi sebagai broker. Domain kerja BaKTI sebagai knowledge hubs meliputi: - Distribusi best practices yang dinamakan Praktik Cerdas - Memfasilitasi supply dan demand best practices untuk Kawasan Timur Indonesia Apa yang saat ini dikerjakan oleh BaKTI memiliki perbedaan dengan pengembangan CLKH yang sedang dikerjakan Bappenas. Bappenas ingin memastikan bahwa best practices tersebut dapat direplikasi atau dilokalisasi di daerah yang berbeda. Kunjungan Dit. KPI ke BaKTI adalah untuk melihat minimum requirements (sistem, alat, SDM dan pendanaan) yang dibutuhkan untuk mengembangkan sebuah Knowledge Hubs. Salah satu keunggulan BaKTI adalah dalam proses penyajian (packaging) best practices yang melibatkan proses-proses kreatif sebagai bentuk promosi dan publikasi. Substansi terkait knowledge sharing yang akan dimuat dalam laporan kajian paling tidak meliputi: a. Prinsip-prinsip urgensi CLKH bagi Indonesia b. Proses pembentukan CLKH hingga saat ini oleh Bappenas c. Arah pengembangan CLKH di masa yang akan datang Gambaran sistematika proses knowledge sharing dapat dijelaskan sebagai berikut. Bappeda bertugas menyusun dan merencanakan program, lalu mengevaluasinya. Hasil evaluasi dikemas dalam bentuk laporan yang kemudian disampaikan ke Bappenas sebagai prasyarat untuk kegiatan selanjutnya. Bappenas bertugas merangkum informasi dan menyebarluaskannya sehingga dapat direplikasi oleh daerah lain. Untuk mendukung tugas tersebut, dibutuhkan mekanisme informasi yang transparan. Salah satu isu krusial dalam pengembangan CLKH adalah mekanisme untuk mendorong semua pihak (supplier dan demander)untuk menjalankan creation dan sharing pengetahuan. Beberapa strategi dan mekanisme yang dapat dikembangkan adalah sebagai berikut: a. Insentif berupa pemberian porsi anggaran yang lebih besar bagi Bappeda yang berhasil mendorong knowledge sharing. 8. b. Membuat suatu mekanisme yang mengharuskan pelaku pembangunan untuk membuat laporan eksplisit yang memuat lessons learned sehingga bisa dijadikan best practices. c. Penguatan leadership di daerah sehingga mekanisme tersebut dapat dipastikan berjalan dengan baik. d. Membuat mekanisme yang “mewajibkan” Bappeda di daerah untuk mereplikasi suatu best practices yang sesuai. Disamping itu, dibutuhkan pula adanya sosialisasi ke Bappeda sehingga muncul kesadaran untuk mengembangkan knowledge sharing di daerahnya. Fungsi knowledge hubs yang diharapkan yaitu dapat membawa informasi yang bersifat tacit (personal dan spesifik) menjadi eksplisit melalui media-media yang dikelola oleh knowledge hubs. Tindak Lanjut 1. Seminar kajian akan dilaksanakan pada tanggal 23 Desember 2014 di Wisma Bakrie. Terkait hal tersebut maka akan dilakukan pengaturan ruang untuk menyesuaikan jumlah peserta dan kapasitas ruang rapat. 1/19/2015 Manajemen Pengetahuan Country Led Knowledge Hubs - Indonesia Jakarta 4 Desember 2014 Outline • • • • • • Knowledge Hubs Contoh Knowledge Hubs Country Led Knowledge Hubs di Indonesia Manajemen Pengetahuan Pondasi Manajemen Pengetahuan Solusi Manajemen Pengetahuan • Infrastruktur Manajemen Pengetahuan • Mekanisme Manajemen Pengetahuan • Sistem Manajemen Pengetahuan • Strategi Manajemen Pengetahuan • Strategi Implementasi • Manajemen Perubahan 1/19/2015 2 1 1/19/2015 Knowledge Hubs Definisi Knowledge Hubs Contoh Knowledge Hubs 3 1/19/2015 Knowledge Hubs “Knowledge Hubs are institutions or networks that enable countries to learn systematically by sharing and exchanging development experiences with domestic and international partners in order to accelerate development (World Bank)” Dua jenis Knowledge Hubs: 1. National Knowledge Hubs • Act as central coordination agencies • Cover a certain range of, if not all, sectors and themes on which solutions can be exchanged and involve mostly governmental institutions of a country, such as line ministries, sector institutions or thematic centers of excellence 2. Thematic Knowledge Hubs • Focus on specific solutions in distinct sectors and areas, such as agriculture, climate change, public health or social protection 1/19/2015 4 2 1/19/2015 Contoh Knowledge Hubs Knowledge for Development (World Bank) Collaboration for Development (World Bank) UNESCO Knowledge Hubs Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia 5 1/19/2015 Knowledge for Development (World Bank) 1/19/2015 6 3 1/19/2015 Collaboration for Development (World Bank) 1/19/2015 7 UNESCO Knowledge Hubs 1/19/2015 8 4 1/19/2015 Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia 1/19/2015 9 Manajemen Pengetahuan Teori Manajemen Pengetahuan Proses Manajemen Pengetahuan 1/19/2015 10 5 1/19/2015 Manajemen Pengetahuan “Proses melakukan aktivitas yang berkaitan dengan menemukan (discovering), menangkap (capturing), membagikan (sharing), dan mengaplikasikan (applying) pengetahuan (knowledge) untuk meningkatkan implikasi dari knowledge bagi suatu pencapaian tujuan dari suatu organisasi” 1. Menemukan 2. Menangkap 3. Membagikan Manajemen Pengetahuan 4. Mengaplikasikan 1/19/2015 11 Proses Manajemen Pengetahuan 1/19/2015 12 6 1/19/2015 Implementasi Manajemen Pengetahuan 1/19/2015 Implementasi Manajemen Pengetahuan • Discovery: Proses pengembangan tacit/explicit knowledge yang baru dengan memanfaatkan kumpulan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya • Capture: Mengambil explicit/tacit knowledge yang tersimpan dalam suatu lokasi penyimpanan pengetahuan • Sharing: Proses untuk mengkomunikasikan tacit /explicit knowledge dari suatu entitas kepada entitas lainnya • Application: Memanfaatkan pengetahuan yang didapat dari discovery maupun capture yang kemudian telah dibagikan kepada entitas yang membutuhkan 1/19/2015 14 7 1/19/2015 CLKH di Indonesia Analisis Kesenjangan Solusi Mengatasi Kesenjangan 1/19/2015 15 Kondisi Saat Ini – Kondisi yang Diharapkan 1/19/2015 16 8 1/19/2015 Kondisi Saat Ini – Kondisi yang Diharapkan 1/19/2015 17 Solusi Manajemen Pengetahuan Pondasi Manajemen Pengetahuan Infrastruktur Manajemen Pengetahuan Mekanisme Manajemen Pengetahuan Sistem Manajemen Pengetahuan 1/19/2015 18 9 1/19/2015 Pondasi Manajemen Pengetahuan 1/19/2015 19 Infrastruktur Manajemen Pengetahuan Faktor-faktor yang menjadi penopang kesuskesan implementasi manajemen pengetahuan: • Kultur organisasi/pelaku pengetahuan • Struktur Organisasi • Infrastruktur Teknologi Informasi • Lingkungan 1/19/2015 20 10 1/19/2015 Kultur Organisasi • Apakah semua pihak mengerti bahwa KM memberikan nilai bagi instansi mereka pada khususnya dan Indonesia pada umumnya? • Seberapa kuat dukungan dari manajemen (Baik di level BAPPENAS, KH lain, K/L/D/I, BAPPEDA, dll)? • Bagaimana mekanisme insentif yang akan dilakukan? • Bagaimana strategi agar semua pihak mau melakukan creation dan sharing pengetahuan? 1/19/2015 21 Struktur Organisasi • Struktur organisasi CLKH nantinya akan seperti apa? desentralisasi? lebih fokus pada leadership atau management? • Bagaimana cara membangun komunitas yang mau melakukan praktik Manajemen Pengetahuan? • Apakah nanti akan ada Chief Knowledge Officer (CKO)? Knowledge Management Departement? • Seberapa luas cakupan pengguna CLKH? Indonesia? Internasional? 1/19/2015 22 11 1/19/2015 Infrastruktur Teknologi • Seberapa besar jumlah data/informasi yang akan ditampung oleh sistem? • Seberapa detail dan beragam informasi yang ada? • Teknologi apa yang digunakan untuk mengumpulkan data saat ini? 1/19/2015 23 Common Knowledge • Apakah ada kesepakatan bahasa yang akan digunakan? • Apakah ada klasifikasi domain pengetahuan? • Apakah ada norma umum yang berlaku dalam proses berbagi pengetahuan? 1/19/2015 24 12 1/19/2015 Mekanisme Manajemen Pengetahuan • Bagaimana strategi mempromosikan manajemen pengetahuan di Indonesia? • Teknologi apa yang digunakan untuk mempromosikan pengetahuan? Majalah? Video? 25 1/19/2015 Sistem Manajemen Pengetahuan • Sistem Manajemen Pengetahuan terdiri dari: • Knowledge Management Discovery System Sistem untuk menemukan Pengetahuan • Knowledge Management Capture System Sistem untuk menangkap pengetahuan • Knowledge Management Sharing System Modular Pengembangan Sistem untuk berbagi pengetahuan • Knowledge Application System Sistem untuk mengaplikasikan pengetahuan (Termasuk Monitoring dan Evaluasi) 1/19/2015 26 13 1/19/2015 Strategi Manajemen Pengetahuan Strategi Implementasi Strategi Manajemen Perubahan 1/19/2015 27 Strategi Implementasi • Strategi Implementasi diwujudkan dalam bentuk Program dan Aktivitas • Menjadi landasan pelaksanaan proses Majamen Pengetahuan CLKH Indonesia • SOP 1/19/2015 28 14 1/19/2015 Strategi Manajemen Perubahan • Implementasi Manajemen Pengetahuan dapat mempengaruhi cara pelaku pengetahuan dalam berinteraksi • Dibutuhkan manajemen perubahan agar proses adaptasi dan adobsi manajemen pengetahuan dapat berjalan dengan baik • Perlu adanya mekanisme insentif agar semua pihak mau untuk berbagi pengetahuan 1/19/2015 29 Terima Kasih 1/19/2015 30 15 RISALAH SEMINAR KAJIAN MENGENAI “KERJASAMA PEMBANGUNAN INTERNASIONAL” Hari/Tanggal Ruang Seminar Waktu Peserta : : : : Rabu, 23 Desember 2014 Ruang Rapat R.2, Wisma Bakrie 2 Lt. 6, Jakarta 08.30 – selesai WIB (Terlampir) Pembukaan Seminar Kajian a) Acara Dibuka oleh MC, dilanjutkan dengan pembacaan rundown dan perkenalan para pembicara dan pembahas seminar. Kemudian disambung sambutan sekaligus pembukaan acara oleh Direktur Kerja Sama Pembangunan Internasional, Bappenas. Selanjutnya acara diserahkan ke moderator. b) Pada sambutannya, Dir. KPI menyampaikan bahwa seminar ini diharapkan dapat membantu dalam melaksanakan pekerjaan, dan dapat akan menghasilkan pemikiran yang baru untuk pemerintahan. Kajian ini dilaksanakan bekerja sama dengan tenaga ahli yang merupakan staf pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia sekaligus peneliti dari LPEM UI, Bapak Rus’an Nasrudin dan Bapak Fithra Faisal Hastiadi. Hadir sebagai pembahas, Prof. Noer Azzam Achsani, IPB dan Dr. Enny Sri Hartati, INDEF. Hal yang akan dibahas dalam seminar ini adalah Kerjasama Pembangunan Internasional Indonesia yang sudah berjalan dari tahun 20092014. c) Dir KPI menambahkan salah satu pokok bahasan pada kajian ini adalah knowledge sharing. Knowledge sharing dapat meningkatkan kerjasama tanpa membutuhkan dana yang besar. Karena tujuan utama pemerintah pusat adalah meningkatkan kapasitas pemerintah daerah, khususnya Bappenas melalui Bappeda. Sehingga bisa diadakan kebijakan-kebijakan yang dapat direplikasi tanpa mengeluarkan pembiayaan besar. Beberapa hal yang disampaikan dalam paparan oleh tenaga ahli d) Topik kerjasama pembangunan internasional merupakan topik baru, bahkan bagi akademisi. Pada pertemuan dengan World Bank (WB) terkait KSST, perwakilan WB juga mengakui bahwa topik ini merupakan topik baru. e) Indonesia berada dalam masa transisi kerja sama pembangunan internasional, tergambar dari kondisi di satu sisi berperan sebagai traditional recipient, tapi di sisi lain adalah development partner. Pemberian donor dari negara maju ke negara berkembang berisiko tidak efektif dikarenakan development gap. Sehingga tidak hanya aid kapasitas yang dibutuhkan Page 1 of 7 f) g) h) i) j) namun juga kualitas pembangunan. Latar belakang tersebut diharapkan dapat memberikan kontribusi dengan menelaah KPI, identifikasi isu strategis dan merumuskan arah kebijakan. Posisi negara berkembang menjadi semakin diperhitungkan, termasuk negara berkembang yg berperan mewakili negara-negara berkembang yg lain. Berdasarkan hasil analisis, perubahan paradigma dalam KPI mengerucut pada dua isu utama yang melibatkan interaksi antar bangsa: 1. Munculnya concern reorientasi development. 2. Menajamnya isu pembangunan ke dalam agenda spesifik sustainable development Knowledge menjadi hal yang vital. Beberapa kosakata kunci yang mucul adalah: o Kepemilikian oleh negara berkembang Development bukan hanya hubungan, tetapi juga outcome. 2015 adalah fase puncak pembangunan, dan kemitraan yang inklusif perubahan skema yang dahulu donor-resipient, sekarang menjadi development partner. o Transparansi dan akuntabilitas Pada level subregional sudah terlibat walaupun belum seaktif regional. Peran konstruktif dan kepemimpinan Indonesia semakin diakui pada periode 2009-2014. Hal tersebut ditopang oleh posisi strategis Indonesia. Status keanggotaan Indonesia di G20, transfer of knowledge demokrasi, peran di ASEAN yang cukup intens. Isu-isu strategis Global dan regional: 1. Pertanyaan ekonomi dengan motif untuk apa terlibat dalam KPI harus kembali pada logika insentif. Pada common goal konteks KPI, isu utama adalah optimalisasi untuk wadah kepentingan-kepentingan nasional. 2. Perlu pengelolaan dalam optimalisasi, dari sisi tanggung jawab. Khususnya apabila kepemimpinan Indonesia menjadi poin. 3. Time frame adalah memontum critical point evaluasi kembali capaian pembangunan, tahun 2015 sebagai agenda pembangunan dunia. Dengan cara diantaranya mendefinisikan kepentingan domestik secara lebih lugas. Pada periode 2010-2014, ditemukan permasalahan kunci yang terkait KSST yakni Progress National Coordination Team (NCT), blueprint, dan identifikasi keunggulan komparatif indonesia dalam KSST. Kesimpulannya, secara umum arah kebijakan KPI akan meliputi: 1. Dalam lingkup global dan kawasan, momentum Indonesia dalam capaian kepentingan pembangunan nasional. Page 2 of 7 2. Sebagai derived , arah kebijakan ini perlu monitoring dan evaluasi capaian untuk kepentingan nasional. Kembali kepada tujuan akhir pembangunan KPI. 3. Dalam KSST ada beberapa agenda teknis yang bisa dilaksanakan (i) penguatan kerangka regulasi, sehingga regulasi menjadi agenda utama penyempurnaan (ii) integrasi program dan penyelenggaraan termasuk indikator keberhasilan, PPP juga sangat mungkin dilaksanakan dalam KSST. k) (untuk penjelasan lebih lanjut, dapat dilihat pada bahan paparan terlampir) Sesi Pembahasan dan Diskusi Dr. Yulius Puwardi Hermawan (Universitas Parahiyangan) l) Terkait legitimasi dan efektivitas kerjasama pembangunan internasional dalam tata kelola ekonomi global, legitimasi bukan sekedar ada atau tidak adanya hukum, TIDAK. Kalau berbicara forum KPI adalah sisi yang normatif, dan lebih banyak kepada kesepakatan masyarakat internasional. Perlu diperhatikan benefit bagi seluruh multi-stakeholders dalam sistm ekonomi gobal. m) Semua kegiatan memiliki legitimasinya masing-masing, termasuk G20. Pemimpin-pemimpin G20 mengetahui ada mekanisme outreach, yang melibatkan negara-negara anggota. Anggota hanya 20 tetapi partisipasi juga dibuka untuk non-anggota. n) Hal lain yang menjadi pusat perhatian dalam pelaksanaan kerja sama pembangunan global adalah efektivitas. Kemampuan forum kerjasama untuk mencapai tujuan organisasi dapat dinilai melalui indikator berikut: 1. Dihasilkannya kesepakatan kesepakatan 2. Implementasi kesepakatan - compliance 3. Monitoring dan evaluasi o) Pembelajaran penting yang dapat diambil diantaranya adalah tanggung jawab dalam melaksanakan implementasi, karena dapat mendukung efektivitas yang sekaligus memberikan dukungan atas legitimasi. p) Indonesia sebagai new emerging donor, memiliki kewajiban untuk membantu LICs. Tujuan dari memberikan bantuan luar negeri kepada negara berkembang, utamanya adalah tujuan politik. Misalnya Indonesia membantu negara-negara di pasifik selatan yang masuk ke kategori upper middle income, karena agar Papua tetap diakui sebagai wilayah NKRI. Pertanyaannya adalah dengan sumber dana yang terbatas, apakah harus membantu sebanyak-banyaknya negara, atau harus selektif dan fokus pada pemberian bantuan di beberapa negara saja. Hal ini bersangkutan dengan permasalahan dalam sustainabilitas. Page 3 of 7 Prof. Dr. Noer Azzam Achsani (Institut Pertanian Bogor) q) Menurut laporan Bank Dunia pada Mei 2014, Indonesia sudah menduduki peringkat ke-10 ekonomi terbesar dunia. Posisi strategis Indonesia, salah satunya tercermin dari sisi negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia tetapi damai, tidak seperti di timur tengah di mana Islam mendapatkan citra yang bertentangan dengan demokrasi. Dengan demikian secara politis harusnya dapat diangkat. r) Beberapa Koreksi terhadap draft laporan akhir kajian: Isi kajian sudah memenuhi tujuan No. 1, namun untuk tujuan No. 2 dan 3 perlu dielaborasi lebih lanjut. Aspek tinjauan pustaka perlu ditambahkan–perhatikan kutipan-kutipan yang diambil, untuk mencegah plagiarism. Hasil-hasil kajian negara maju juga dapat dijadikan referensi. Harus diperhatikan aspek memberi dan apa yang bisa diambil dari kerja sama yang dilakukan. Rumusan data dan metodologi sebaiknya dijabarkan dengan jelas, sesuai dengan standar penelitian. Terkait dengan tema KPI, saat ini isu Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) menjadi yang paling besar dan perlu mendapat perhatian. Integrasi ekonomi atau kerjasama pembangunan antar asean tidak terlalui banyak disentuh. Pada Hal. 20 terdapat statement yang terlalu berani, “pandangan Indonesia adalah Indonesia dalam ASEAN tidak akan berhasil adalah tidak berdasar”. Indonesia harus berhati-hati dalam penyatuan, meski Indonesia bukan yang negara yang berada di paling bawah, namun memiliki potensi terkena dampak krisis yang lebih besar, contohnya yaitu Spanyol dan Itali (kelompok negara-negara bawah di Uni Eropa). Pada Hal. 27 statement di bagian paragraf akhir mengingatkan bahwa menurut Prof Azzam, muara hubungan antar bangsa terbagi menjadi dua: 1. Penjajahan (penjajahan fisik sudah tidak ada ya semenjak adanya piagam Chata) 2. Penguasaan aset- change management in globalize world yang merupakan bentuk lain penjajahan terhadap suatu negara. Dengan kemajuan ICT, teknologi merupakan sarana paling cepat untuk menyebarkan informasi. Dr. Enny Sri Hartati (INDEF) s) What Next belum terjawab, bagaimana proyeksi positioning Indonesia. Page 4 of 7 t) Isu Utama negara berkembang adalah Ketimpangan dan kemiskinan. Disarankan memasukkan post-2015, dan agenda-agenda sebagai bahan proyeksi. Perlu diambil pembelajaran dari pergeseran pertumbuhan ekonomi global, negara maju membutuhkan bantuan/aid for disaster relief, perubahan negara-negara pemberi bantuan. u) Perlu diperhatikan format kebijakan BI terkait dengan kebijakan internasional. Indonesia tidak lagi membutuhkan bantuan, apabila donor tidak mempunyai skema yang lebih cerdas dalam bidang kerjasama pembangunan, makan tidak perlu digunakan kembali. v) Knowledge sharing adalah terobosan yang luar biasa saat membicarakan persoalan dasar sebagai pencegahan asimetric information. Agenda pembangunan inklusif inilah yang menjadi agenda utama. Pembangunan yang inklusif diperlukan dalam agenda kerjasama internasional. Contoh yang sudah dilakukan adalah Layanan Keuangan Digital (LKD) dengan pendampingan dan pelatihan. Perencanaan aktivitas hal seperti ini yang harus dibawa kepada forum-forum internasional. Harapannya sudah ada pemetaan dimana posisi dan peluang Indonesia untuk mendapatkan kemanfaatan bersama. w) Secara institusi ada dampak positif dan dampak negatif. Apa yang diinginkan dan apa yang harus dilakukan untuk melaksanakan programprogram pengentasan kemiskinan. Keuangan inklusif menjadi terobosan, yaitu dengan meningkatkan akselerasi aktifitas ekonomi UMKM, melalui pinjaman-pinjaman dan penambahan modal melalui pendampingan atau pelatihan. x) Agenda setting untuk kerjasama pembangunan internasional: kemiskinan dan ketimpangan. Indeks Pembangunan Manusia profuktivitas penyerapan tenaga kerja. Pak Kris Dit. PIKEI, Bappenas o Beberapa persiapan Indonesia menyambut MEA: pembentukan Sekretariat Nasional, Pusat Studi ASEAN, ASC Senter (Kemendag); o Ketika Indonesia menjadi tuan rumah, sosialisasi yang cukup gencar terkait dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN. MEA seharusnya sudah ada pada tahap implementasi. Ibu Agi, Biro KTLN Kemensetneg o Dalam isu strategis terdapat penguatan aspek legal dan penajaman one gate policy, tetapi di rekomendasi tidak ada terkait dengan isu strategis tersebut. Bagaimana pendapat dari pembahas untuk Indonesian Aid? Seberapa siap untuk kelembagaan terhadap pembentukan Indonesian Aid, terutama dari sisi akademis? Page 5 of 7 Pak Tor Tobing, Dit-PH DJPU Kemenkeu o Akademis mempunyai poin tetapi tidak memiliki power/kekuasaan untuk melakukan implementasi. o Kondisi utang dipertimbangkan dalam kerjasama yang pastinya memiliki konsekuensi pengeluaran uang, saat ini sedang ada pembahasan hibah Indonesia keluar. Apakah kita harus lunas dulu utangnya baru memberikan hibah kepada negara lain? Ada regulasi yang belum akomodatif terhadap kerjasama ini, di UU Keuangan Negara, sudah ada konsep awalnya, kendalanya adalah regulasi dibawahnya. Tanggapan Pak Noer Azzam Pendataan Indonesia sudah lumayan bagus, kendalanya adalah sinkronisasi data dengan policy makers. Indonesian Aid: untuk kebutuhan dalam jangka panjang harus dilakukan. Tujuan utamanya adalah national interest, tidak ada salahnya memberi sekarang kalau in return kedepan lebih besar. Apa yang terjadi didunai (international best practices), Amerika dan Jepang utang yang cukup besar tetapi memberikan hibah yang cukup besar, jadi harus ada strategi take and give. National production system harus dikembangkan terlebih dahulu, lalu kemudian pengaturan proses pengelolahan dan supply chain management. Tanggapan Pak Yulius Pada Inisiasi ASEAN-G20, hubungan informal antara ASEAN dan G20 lebih kepada outreach, namun sampai saat ini belum diformalkan. Kajian KSST tahun ini fokus kepada apa yang sudah dilakukan Indonesia. Harus ada satu pintu, tiga kementerian dalam pilar KSST, untuk mengusulkan Indonesian Aid Agency. Dari mitra pembangunan/donor, sepertinya Indonesia perlu dan koordinasi tim nasional yang ada masih belum optimal. Menimbang perspektif Presiden Joko Widodo atas Middle Income Power, inilah saatnya untuk pembentukan KSST. Apabila bisa diselesaikan dengan mekanisme koordinasi strategis tidak perlu membuat single agency. Namun apabila didirikan single agency, pejabat yang mengelola tidak rangkap jabatan. Page 6 of 7 Tanggapan Pak Fithra Faisal dan Pak Rus’an Apabila ingin mendirikan entitas, sebaiknya dilihat aspek ekonomi secara luar. Menurut UU Keuangan Negara pasal 23, yang harus dipersiapkan adalah peraturan dibawah undang-undang. Ada yang belum dicantumkan di daftar pustaka, segera setelah ini akan dicantumkan. Referensi dari internasional masih belum banyak, akan ditelaah lebih lanjut terutama yang terkait dengan political economy. Untuk ASEAN Economic Community tidak dibahas dikarenakan ada di tugas pokok dan fungsi dari Direktorat PIKEI. Wrap Up Oleh Pak Choesni, Direktur KPI Bappenas 1. Capital flow dari luar negeri kurang dari APBN, yang besar adalah domestic debt. 2. What benefits for us, what we needs for us, dan hal apa yang kita harapkan yang merupakan keuntungan tidak hanya dari aid, yang diperlukaan saat ini adalah koordinasi. 3. Pada manajemen database, monitoring serta evaluasi, incentive system perlu dibuat dalam penataan database. ========== Page 7 of 7 19/01/2015 Legitimasi dan Efektivitas Kerjasama Pembangunan Internasional dalam Tata Kelola Ekonomi Global Yulius P. Hermawan Bappenas, 23 Desember 2014 Struktur Presentasi Komentar Umum Hasil Kajian Legitimasi dan Efektivitas Catatan 1 19/01/2015 Legitimasi • Dari Bahasa Latin legitimare = “lawful”. • Legitimacy “something that is legal because it meets the specific requirements of the law” • “Conformity to the law or to rules” http://www.vocabulary.com/dictionary/legitimacy http://www.oxforddictionaries.com/definition/english/legitimacy Legitimasi dalam Tata Kelola Ekonomi Global • Nilai dan norma masyarakat internasional • Legitimasi = DUKUNGAN = Keanggotaan dalam organisasi int’l = Partisipasi dalam proses tata kelola ekonomi global = benefit bagi seluruh multi-stakeholders dalam sistem ekonomi global 2 19/01/2015 Legitimasi dalam Tata Kelola Ekonomi Global • Apakah semua bangsa harus terlibat dalam pembentukan tata kelola ekonomi global? • Atau cukup segelintir bangsa terlibat dalam proses pembentukannya? • All economies get involved • All interests Universalisme are granted Teori Klub • Major systemic Economies • Deliver benefits for all nations Tingkat Legitimasi Forum Kerjasama Internasional Keanggotaan (jumlah anggota di wilayah sistemik) Partisipasi (tingkat keterlibatan seluruh anggota dan pembagian tanggung jawab) Struktur (Tingkat egalitarianisme) Benefit (asas kemanfaatan dan penerimanya) Inklusif/ Eksklusivitas (pemangku kepentingan – negara dan private) Global: GPEDC V (159) G20 - ICE-SDF* (20) Inklusif + Eksklusif - inklusif V (30 ekspert) - V V Inklusif V V V V Inklusif V (10) V V V Semi inklusif GGGI + Regional: ASEAN BIMP-EAGA IMT-GT - (Indonesia, Malaysia Thailand) 3 19/01/2015 Efektivitas Kemampuan organisasi (forum kerjasama) mencapai tujuan organisasi Dihasilkannya kesepakatan-kesepakatan Implementasi kesepakatan -- Compliance Monitoring dan Evaluasi Tingkat efektivitas Forum Kerjasama Internasional Global: Hasilkan kesepakatan (prinsip, agenda, dll) V GPEDC G20 ICE-SDF V V V GGGI V Regional: ASEAN BIMP-EAGA IMT-GT Efektivitias Implementasi Monitoring dan evaluasi V V V 4 19/01/2015 Posisi Indonesia dalam forum kerjasama internasional Forum Kerjasama Internasional Global: GPEDC G20 ICE-SDF GGGI Regional: ASEAN Posisi Indonesia Supporting country Co-facilitator – Accountability Steering Committee (2014) Satu dari 7 anggota dari Asia Pacific Group (Maret 2014); total anggota kelompok ekspert 30. Anggota Council – Vice Chair participating member (2012) (executive organ responsible for approving strategy, budget, admission of new members and criteria for green growth planning and implementation program) Initial works as partner countries (2010- 2011) Founding member, Inisiator Asean community (khususnya pilar politik keamanan dan pilar sosial budaya) BIMP-EAGA IMT-GT Program KSST 5 19/01/2015 Bentuk-bentuk bantuan Pertanian Indonesia BEASISWA KNB - 2014 6 19/01/2015 Rekapitulasi Beasiswa KNB Penerima bantuan pertanian Indonesia 7 19/01/2015 Klasifikasi negara asal penerima beasiswa KNB 8 19/01/2015 9 19/01/2015 Kondisi pendidikan 10 19/01/2015 Komparasi Komparasi 11 19/01/2015 Simpulan • Implementasi sangat penting bagi efektivitas kerjasama internasional; implementasi yang berhasil dapat memperkuat legitimasi • Indonesia telah terbukti aktif dalam kerjasama internasional. Komitmen untuk implementasi menjadi keharusan normatif. • Dalam kondisi terbatas anggaran, apakah Indonesia akan membantu sebanyak mungkin negara? Atau selektif dalam membantu sejumlah negeri supaya capaiannya maksimal. Nuhun 12 1/19/2015 KERJASAMA PEMBANGUNAN INTERNASIONAL DALAM PERSPEKTIF NON-GOVERNMENT Enny Sri Hartati INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF) Tanggapan Singkat (1) • Secara umum, kajian Bidang Kerjasama Pembangunan Internasional menunjukkan langkah optimisme peran Indonesia di kancah global. • Beberapa catatan, kurang mendalamnya kajian ini dalam memaparkan secara jelas mengenai bagaimana kondisi paling riil posisi Indonesia dalam KSST (Berdasarkan draft pertama) • Selain itu, kajian ini juga kurang menampakkan kondisi riil Indonesia dimana banyak aspek-aspek pembangunan yang masih menunjukkan perkembangan yang kurang terlalu bagus (misal: gini ratio, dll). Hal ini seharusnya menjadi evaluasi dan pijakan bagaimana seharusnya Indonesia mengambil langkah baik kedalam maupun keluar. INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF) 1 1/19/2015 Tanggapan... (2) • Tujuan pertama sudah tercapai dimana sudah dijelaskan secara detail perkembangan kerjasama pembangunan tahun 2009-2014. • Literature review mengenai peran Indonesia bisa dipindahkan ke bagian pembahasan • Studi pustaka bisa fokus kepada perdebatan akademis mengenai perkembangan kerjasama internasional di dunia sehingga studi ini memiliki relevansi secara akademik maupun praktis • Tujuan kedua masih perlu dielaborasi dengan fokus pada isu yang menjadi concern masyarakat internasional seperti ketimpangan dan pembangunan yang berkelanjutan • Tujuan ketiga belum terlihat. Seharusnya dokumen ini memberikan rekomendasi arah kebijakan pembangunan ke depan seperti isu yang akan lebih difokuskan maupun bentuk dan model kerjasama yang akan digalang • Rekomendasi berdasarkan evaluasi kerjasama selama ini, isu yang lebih dibahas di forum internasional, maupun kebutuhan Indonesia INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF) Kerangka Kerja Pembangunan Internasional • Marshall Plan (1948-1951) • Bretton Wood (Washington Consensus, World Bank, International Monetary Fund (IMF) • Millennium Declaration + Millennium Development Goals (MDGs) (2000) • Post MDGs (2015) INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF) 2 1/19/2015 Pergeseran Global 8 4 Middle income 2 0 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Persen 6 High income -2 -4 • Negara-negara “kaya” yang dulunya menjadi sumber pertumbuhan ekonomi mengalami stagnasi • Negara-negara pendapatan menengah justru menjadi penyelamat ekonomi global INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF) Pergeseran Global Negara-negara miskin yang dulunya diragukan memiliki masa depan, sekarang mampu mencatat pertumbuhan ekonomi tinggi INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF) 3 1/19/2015 Pergeseran Global Amerika Serikat dan Jepang yang menjadi motor bantuan (aid) luar negeri, kini juga memerlukan bantuan luar negeri INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF) Non DAC Countries INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF) 4 1/19/2015 Potensi Skema Kerjasama Baru • Kerjasama Selatan-Selatan Tringular • Model kerjasama baru yang bersifat horizontal partnership antar negara berkembang berdasarkan: ‘mewujudkan kesetaraan, saling menghormati kedaulatan nasional dalam konteks tanggung jawab bersama, berbagi pengalaman dan empati, serta berorientasi untuk peningkatan kemandirian negara berkembang • Kerjasama KSST mendorong munculnya reformasi pada aktor pembangunan internasional • Meningkatnya suara negara berkembang dalam Bank Dunia dan IMF • Integrasi pandangan negara berkembang dalam OECD Strategy on Development Strategy • Reformasi sistem bantuaan Internasional di PBB INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF) Potensi Skema Kerjasama Baru • Studi di Nikaragua dimana semakin beragamnya donor di Nicaragua membuat adanya kompetisi diantara para donor sehingga memunculkan ide-ide baru yang justru cocok dengan kondisi di Nicaragua (Roussel, 2013) • Keunggulan dari Kerjasama Selatan-Selatan dan Triangular (KSST) adalah knowledge negara-negara berkembang bukan pada modal keuangan yang dimiliki • Oleh sebab itu, sharing knowledge adalah kunci dari KSST INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF) 5 1/19/2015 Tantangan Dalam Kolaborasi Pembangunan Internasional • Setiap aktor memiliki tujuan yang berbeda-beda sehingga sulit untuk mencapai satu tujuan bersama • Terutama dalam south-south cooperation karena belum terdapat standar baku kerjasama meski memiliki spirit yang sama. Berbeda dengan DAC yang memiliki standar yang sama. satu sisi hambatan namun sisi lain ada peluang besar yang dapat diambil oleh Indonesia INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF) Peran Indonesia Dalam Pembangunan Internasional • Seperti halnya negara-negara berkembang lainnya, peran Indonesia dalam pembangunan internasional bukan terletak pada nilai bantuan yang diberikan tetapi dalam hal memberikan ide dan pengetahuan langsung dari negara berkembang • Salah satu peran yang dapat dimainkan oleh Indonesia adalah agenda setting dalam kerjasama pembangunan internasional • Peran Indonesia krusial dalam agenda setting karena Indonesia adalah negara G20 dan sejarahnya Indonesia merupakan pelopor kerjasama negara-negara berkembang • Pertanyaannya, agenda apa yang mau dibawa oleh Indonesia? INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF) 6 1/19/2015 Contoh Agenda Setting Korea Selatan • Gerakan pembangunan pedeasaan di Korea yang dikenal sebagai Saemaul Undong adalah program yang sukses membangun pedesaan di Korea Selatan sekaligus mengurangi kemiskinan • Sejak tahun 1970an, program ini sudah direplikasi oleh PBB untuk diterapkan di negara berkembang dalam pembangunan pedesaan INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF) Peran Indonesia dalam KSST Pendanaan Kegiatan KSS Indonesia Periode 2000 2010 Sumber: Bappenas dalam Studi PKPPIM BKF oleh Hermawan dan Kasim (diakses, 2014) INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF) 7 1/19/2015 Peran Indonesia dalam KSST Rekapitulasi Anggaran Kegiatan KSST (dalam Rupiah kecuali diindikasikan dalam US$) Sumber: Bappenas dalam Studi PKPPIM BKF oleh Hermawan dan Kasim (diakses, 2014) INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF) Tanggapan Kerjasama SouthSouth Triangular (KSST) • Belum adanya payung hukum teknis yang secara rinci mengatur ketentuan pemberian hibah oleh pemerintah Indonesia kepada pihak asing maupun sebaliknya • Transparansi dan akuntabilitas program kerjasama dan anggaran yang digunakan dalam skema KSST harus ditingkatkan mengingat publikasi data yang presisi terkait dana hibah belum banyak dapat diakses publik • Penguatan kelembagaan Tim Koordinasi Nasional KSST khususnya dalam pembentukan SOP dan penataan tata kerja, peningkatan peran pemerintah daerah dan swasta, serta penguatan kapasitas SDM INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF) 8 1/19/2015 AGENDA PEMBANGUNAN INKLUSIF DUNIA (POSISI INDONESIA) INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF) AGENDA SETTING PEMBANGUNAN INTERNASIONAL • Masalah yang dihadapi oleh Indonesia tidak jauh berbeda dengan masalah yang dihadapi oleh negara-negara berkembang yaitu: • Kemiskinan • Ketimpangan INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF) 9 1/19/2015 Garis Kemiskinan Indonesia Vs Standar Garis Kemiskinan Internasional Sumber: Badan Pusat Statistik, dan Bank Indonesia, 2014, diolah Penurunan jumlah dan angka kemiskinan di Indonesia memunculkan berbagai perdebatan utamanya mengenai ukuran kemiskinan. Pada standar Internasional, garis kemiskinan ditetapkan USD2 per hari. Jika perhitungan tersebut diaplikasikan pada garis kemiskinan nasional, maka tidak satu tahun pun sepanjang 2004-2013 yang memenuhi garis kemiskinan USD2 INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF) 1919 Komparasi Anggaran Kemiskinan dan Penurunan Persentase Kemiskinan Indonesia 2004-2014 Sumber: Nota Keuangan, BAPPENAS, dan BPS berbagai tahun, diolah Selama 2005-2014, angka anggaran kemiskinan semakin tinggi. Namun, peningkatan anggaran tersebut tidak berpengaruh signifikan terhadap penurunan persentase penduduk miskin Indonesia. Fakta ini menjelaskan program-program pengentasan kemiskinan belum berjalan efektif, seperti PNPM, BSM, dan PKH INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF) 2020 10 1/19/2015 Perkembangan Tenaga Kerja dan Pengangguran Indikator Tenaga Kerja dan 2005 Pengangguran ILOR -16,91 TPT 11,24 Penyerapan Tenaga Kerja Sektoral a. Tradeable 58,16 b. Nontradeable 41,84 Jenis Usaha a. Formal 29,78 c. Informal 70,22 Pendidikan a. SD ke Bawah 56,23 b. SMP 19,55 c. SMA ke Atas 24,22 Pengangguran Berdasarkan Ketrampilan a. Memiliki Ketrampilan n.a b. Tidak Memilki Ketrampilan n.a 2006 2008 2009 2011 2012 2013 27,64 10,28 23,61 8,39 25,18 7,87 -9,49 6,56 31,39 6,14 -1,65 6,25 55,59 44,41 53,88 46,12 53,47 46,53 50,98 49,02 50,57 49,43 49,31 50,69 30,20 69,80 29,92 70,08 30,04 69,96 37,77 62,23 39,68 60,32 39,90 60,10 54,48 19,25 26,28 53,96 32,60 13,44 52,64 32,40 14,96 49,40 34,47 16,13 48,62 33,82 17,56 47,23 18,05 34,72 n.a n.a n.a n.a n.a n.a 87,69 12,31 97,54 2,46 99,70 0,30 Sumber: BPS dan Kemenakertrans, 2004-2013, diolah Tidak dapat dipungkiri bahwa angka pengangguran dalam sepuluh tahun terakhir mengalami penurunan. Meski begitu, pasar tenaga kerja rentan karena masih didominasi SDM dengan tingkat pendidikan SD dan SMP., serta pergeseran struktural ekonomi tradable ke non tradable INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF) 2121 Indeks Pembangunan Manusia Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah Meski dapat dikatakan berhasil dalam membangun kualitas manusia, namun tren peningkatan IPM mengalami perlambatan. Perlambatan ini lebih disebabkan faktor bencana, konflik, krisis, maupun cuaca yang dapat menyebabkan infrastruktur dalam peningkatan kualitas manusia menjadi kurang optimal. INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF) 2222 11 1/19/2015 Ketimpangan Penduduk Kian Melebar Indikator Ketimpangan 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Gini Ratio (%) Pertumbuhan Ekonomi (%,yoy) 0,36 0,33 0,36 0,35 0,37 0,38 0,39 0,41 0,41 5,7 5,5 6,3 6,0 4,6 6,2 6,5 6,2 5,8 Distribusi pendapatan penduduk - 40 % terendah 18,81 19,75 19,10 19,56 21,22 18,05 17,67 16,8 17,25 - 40 % menengah 36,40 38,10 36,11 35,67 37,54 36,48 35,89 34,18 34,25 - 20 % tertinggi 44,78 42,15 44,79 44,77 41,24 45,47 46,45 48,94 48,50 Percepatan pertumbuhan ekonomi yang dialami Indonesia selama satu dekade ternyata tidak serta merta memperbaiki ketimpangan antar penduduk. Pada saat pertumbuhan ekonomi mampu tumbuh dengan cepat, ketimpangan justru kian melebar. INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF) 2323 Komparasi Indikator Daya Saing 2014 Brazil China Thailand Malaysia Indonesia 0.00 Education Health Quality of Infrastructure 1.00 2.00 3.00 4.00 Indonesia Malaysia Thailand 4.65 5.25 4.01 6.11 6.61 6.49 4.17 5.63 4.07 5.00 China 4.39 6.57 4.36 6.00 7.00 Brazil 3.38 6.53 3.11 Sumber: World Economic Forum,2014 INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF) 12 1/19/2015 Indonesia masih menjadi negara resipien terbesar 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Top Ten Recipients ODA 2013 Afghanistan Myanmar Viet Nam India Indonesia Kenya Tanzania Côte d'Ivoire Ethiopia Pakistan (US Million) 5,030 3,417 3,005 2,846 2,063 2,059 1,959 1,920 1,874 1,750 Indonesia Top Ten Donors ODA (2011-12 average) 1 Japan 2 Australia 3 United States 4 Germany 5 EU Institutions 6 AsDB Special Funds 7 Global Fund 8 Netherlands 9 Korea 10 United Kingdom (USD m) 918 527 229 170 133 83 70 62 38 33 Indonesia Bilateral ODA by Sector (2011-12) 0% 10% 20% 30% Education Economic Infrastructure & Services Programme Assistance 40% 50% Health and population Production Action relating to Debt 60% 70% 80% Other social sectors Multisector Humanitarian Aid 90% 100% Sumber: OECD (2014) INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF) Kemiskinan dan ODA 160000 140000 120000 100000 80000 60000 40000 20000 0 1996 1999 2002 2005 2008 2010 2011 ODA 56399.7 53002.1 62035.8 108652 127919 131670 141052 Poverty Line 30.4 29.1 26.1 21.1 18.6 16.3 14.5 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Meningkatnya bantuan ODA yang begitu pesat belum mampu mereduksi tingkat kemiskinan secara signifikan dalam 15 tahun terakhit. Situasi ini mirip dengan kondisi APBN vs tingka kemiskinan di Indonesia 13 1/19/2015 Ketimpangan Ekonomi Dunia Jurang ketimpangan dunia semakin kecil namun lebih banyak diakibatkan oleh faktor China INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF) Ketimpangan Ekonomi Dunia • Hanya 9 negara (4% dari populasi dunia) yang mampu menurunkan ketimpangan ekonomi, sedangkan 80% sisanya justru mengalami peningkatan jurang antara yang kaya dan miskin. • Lebih dari itu, 40% populasi dunia hanya mendapatkan 5% dari pendapatan global, sedangkan 54% pendaptan global menjadi milik segelintir orang (10% dari total populasi dunia). INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF) 14 1/19/2015 Agenda Pembangunan Inklusif • Pembangunan inklusif menjadi agenda utama dunia • Pada 2005, terdapat dua laporan dari World Bank dan UNDP yang menghasilkan kesimpulan bahwa penanggulangan ketimpangan merupakan masalah penting yang menjadi perhatian utama Dunia (Green, 2012: 5). • UN Secretary-General’s High-Level Panel of Eminent Persons on the Post-2015 Development Agenda menyebutkan bahwa pembangunan inclusive harus menyentuh seluruh lapisan masyarakat dunia tanpa melihat etnik, gender, geografis,disabilitas, rasis dan hal lainnya, untuk mendapatkan hak kemanusian dan kesempatan ekonomi (United Nations, 2013: executive summary). INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF) Institusi dan Pembangunan Inklusif • Institusi merupakan aturan/norma formal dan informal yang mengorganisir hubungan sosial, politik, dan ekonomi (North, 1990) • Beberapa fitur penting dari institusi: • Institusi dapat formal maupun informal • Berasal dari masyarakat dan organisasi (North, 1990; Leftwich & Sen, 2010). • Institusi akan membentuk insentif masyarakat serta kalkulasi atas apa yang akan mereka dapatkan (Leftwich & Sen, 2010: 9). • Institusi terus direformasi mengikuti perkembangan tindakan masyarakat Institutions are constantly being reformed through people’s actions (Giddens, 1984). • Institusi dapat berdampak positif atau negatif terhadap pembangunan. (Leftwich & Sen, 2010). INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF) 15 1/19/2015 Peran Institusi • Struktur dari institusi formal dan informal menentukan distribusi dari kesempatan, aset, dan sumber daya dalam masyarakat • Tiga aspek dalam institusi • Institusi Masyarakat: peraturan dan norma mengatur distribusi kekuasaan, aset, dan hubungan kerja dalam sebuah komunitas dan keluarga • Institusi Ekonomi: peraturan dan norma yang menentukan sejauh mana keberadaan perburuan rente dan korupsi dalam hubungan ekonomi sehingga menentukan akses masyarakat terhadap aset, properti, properti, dan kredit • Institusi Politik: peraturan dan norma yang membentuk akses dan partisipasi masyarakat dalam proses politik INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF) Institusi dan Pembangunan Inklusif • Institusi yang inklusif: • Menghargai persamaan hak dan kesempatan setiap masyarakat dalam mengakses segala sumber daya • Institusi yang eksklusif • Tidak diakuinya hak dan kesempatan bagi seluruh masyarakat dalam mengakses sumber daya INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF) 16 1/19/2015 Institusi dan Pembangunan Inklusif • Dampak Institusi yang Inklusif • Studi dari Rodrik et al. (2004) menemukan bahwa kualitas institusi menentukan level pendapatan • Acemoglu and Johnson (2005) menemukan property right yang inklusif memberikan dampak terhadap pertumbuhan ekonomi dan investasi • Institusi politik yang demokratis dan inklusif memberikan dampak terhadap pertumbuhan ekonomi • Pemerintahan yang inklusif, memberikan dampak terhadap pengentasan kemiskinan serta meningkatkan kualitas manusia seperti pendidikan dan kesehatan (Halperin et al., 2010; Kaufmann et al., 1999; evidence identified by Evans & Ferguson, 2013). INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF) Institusi dan Pembangunan Inklusif • Dampak Institusi yang Eksklusif: • Kemiskinan: institusi yang eksklusif membuat masyakat tidak mampu mengakses berbagai modal seperti kredit, pendidikan, dan kesehatan (Sen, 1992; Jolly et al., 2012: 36). • Memperkaya sekelompok masyarakat: institusi yang eksklusif membuat kelompok berkuasa memiliki akses terhadap berbagai modal yang memperkaya kelompoknya sendiri dan membuat masyarakat secara umum tetap miskin (World Bank, 2013a: 4) INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE (INDEF) 17 \