BAB 15 RANCANGAN PENELITIAN ETNOGRAFIK Istilah etnografi secara harfiah bermakna “menulis tentang kelompok-kelompok orang”. Dengan menggunakan rancangan kualitatif ini, anda bisa mengidentifikasi sekelompok orang, meneliti mereka di dalam rumah, tempat kerja mereka, mencatat bagaimana mereka bertingkah laku, berpikir dan berbicara serta mengembangkan gambaran umum tentang kelompok tersebut. Bab ini mendefenisikan penelitian etnografis, mengidentifikasi ketika anda menggunakannya, menilai karakteristik-karakteristik kuncinya, mengajukan langkahlangkah dalam melaksanakan dan mengevaluasinya. Pada akhir bab ini, anda diharapkan akan mampu: Mengdefenisikan penelitian etnografi dan mengidentifikasi ketika ia digunakan; Membedakan antara tiga jenis rancangan penelitian etnografis; Mengidentifikasi tema-tema kultural di dalam sebuah penelitian etnografis; Mengidentifikasi karakteristik dari sebuah kelompok yang memiliki budaya yang sama; Menjelaskan tipe-tipe dari pola-pola kesamaan tingkah laku, keyakinan, dan bahasa yang diteliti dalam sebuah etnografi. Mendeskripsikan beberapa bentuk data etnografis yang dikumpulkan melalui kerja lapangan; Mendeskripsikan tiga komponen dari penelitian etnografi: deskripsi, tema dan interpretasi; Mengilustrasikan aspek-aspek dari konteks yang dilaporkan di dalam etnografi; Mengidentifikasi pendekatan-pendekatan yang digunakan para etnografer untuk mendokumentasikan refleksivitas mereka; Mengidentifikasi langkah-langkah dalam melakukan sebuah penelitian etnografi; Mengidentifikasi kriteria yang bermanfaat untuk mengevaluasi sebuah laporan penelitian etnografis; Maria memilih untuk melakukan penelitian kualitatif etnografi untuk proyek penelitian pada pasca sarjananya. Komite Sekolah telah melakukan pertemuan berkali-kali sepanjang tahun itu dan telah menentukan cara-cara penelitiannya akan dilakukan. Sebagai seorang anggota penguji, Maria, memiliki sudut pandangan alamiah yang menguntungkan untuk mengobservasi bagaimana panitia bekerja. Ia mengamati bagaimana orang-orang bertindak, bagaimana mereka berbicara, dan bagaimana mereka berinteraksi dalam praktek keseharian seperti memulai bekerja tepat pada waktu. Maria 215 melakukan sebuah kajian etnografis. Ia mengajukan pertanyaan ini, “Apa-apa saja keyakinan, nilai, dan sikap yang dimiliki bersama oleh komite sekolah tentang kepemilikan senjata di sekolah?” Melalui jawaban tersebut, Maria akan mendapatan pandangan yang mendalam tentang bagaimana sebuah komite sekolah bergulat dengan masalah-masalah terkait dengan senjata di sekolah. APA YANG DIMAKSUDKAN DENGAN PENELITIAN ETNOGRAFI? Ethnographic design (rancangan etnografis) adalah prosedur penelitian kualitatif untuk mendeskripsikan, menganalisis, dan menginterpretasikan pola-pola bertingkah laku, berkeyakinan, dan berbahasa yang diyakini bersama oleh sebuah kelompok kultural tertentu yang telah bertumbuh- kembang pada jangka waku yang lama. Dalam defenisi ini yang menjadi pusatnya adalah kultur (budaya). A culture (budaya) adalah “ segala sesuatu yang berkaitan dengan tingkah laku dan keyakinan manusia” (LeCompte, Preissle, Tesch, 1993, halaman 5). Ia bisa mencakup bahasa, ritual, stuktur perekonomian dan politik, tahap-tahap kehidupan, interaksi, dan gaya berkomunikasi. Untuk bisa memahami pola-pola kelompok yang memiliki budaya yang sama ini, si etnografer biasanya menghabiskan banyak waktu “di lapangan” mewawancarai, mengobservasi, dan mengumpulkan dokumen-dokumen tentang kelompok orang yang berbudaya yang sama itu guna memahami tingkah laku, keyakinan dan bahasa mereka. Kapan Anda Melakukan Penelitian Etnografi? Anda melakukan penelitian etnografi apabila kajian tentang sesuatu kelompok memberikan pemahaman tentang sebuah isu yang lebih luas cakupannya. Anda juga melakukan penelitian etnografi ketika anda memiliki kelompok yang memiliki budaya yang sama untuk diteliti – kelompok yang sudah hidup dalam kebersamaan dalam waktu yang cukup lama dan telah tertanam dalam diri mereka masing-masing nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan bahasa yang sama. Anda menangkap “aturan-aturan” bertingkah laku, seperti hubungan-hubungan informal antara masing-masing para guru yang berkumpul di tempat-tempat favorit mereka untuk bersosialisasi (Pajak & Blase’, 1984). Kelompok yang berbudaya sama ini boleh jadi terkerangka secara sempit (seperti para guru, siswa , atau staf) atau terkerangka secara lebih luas (seperti keseluruhan sekolah dan prestasinya, inovasi, atau kekerasan). Kelompok yang berbudaya sama itu boleh jadi berbentuk keluarga, seperti pada penelitian etnografis tentang anak berusia duabelas tahun yang menderita down syndrome dan keluarganya Harry et al., 1998). 216 Kelompok yang berbudaya sama itu boleh jadi merupakan reprsentasi atau ilustrasi dari proses-proses, perisitiwa-peristiwa, atau aktivitas-aktivitas yang lebih luas (seperti berpartisipasi dalam program pasca sarjana). Seting-seting kehidupan di asrama merupakan situs di mana pria sering mengeksploitasi dan menjadikan wanita sebagai korban. Dalam etnografi kritis, Rhoads (1995) meneliti budaya sebuah kehidupan berasrama dan praktek-prakteknya yang menyebabkan wanita tidak berdaya dan menjadi marginal. Etnografi juga bisa memberikan gambaran peristiwa keseharian yang detil, seperti pemikiran dan aktivitas-aktivitas dari sebuah komite yang bertugas mencari orang untuk dipekerjakan sebagai kepala sekolah baru (Wolcot, 1974; 1994). Anda melakukan sebuah kajian etnografi ketika anda memiliki akses yang berjangka panjang terhadap kelompok yang berbudaya sama ini sehingga anda bisa membangun rekaman yang detil tentang tingkah laku dan keyakinan mereka untuk jangka waktu tertentu. Anda boleh jadi merupakan partisipan di dalam kelompok atau cuma sebagai pengamat, akan tetapi anda mengumpulkan catatan lapangan secara ekstensif, mewawancarai banyak orang, dan mengmpulkan surat-surat dan dokumen-dokumen untuk membangun rekaman dari kelompok yang berbudaya sama tersebut. Bagaimana Penelitian Etnografis ini Berkembang? Etnografi sebagaimana dipraktekkan di dalam dunia pendidikan telah dibentuk oleh antrolopologi budaya, dengan penekanan pada isu-isu terkait dengan penulisan budaya, dan bagaimana laporan-laporan etnografis perlu dibaca dan difahami saat ini. Faktorfaktor ini merupakan jantung bagi pemahaman praktek-praktek terkini dalam etnografi (misanya Bogdan & Biklen, 1998: Denzin, 1997: LeCompte et al., 1993: Walcott, 1999). Akar dari etnografi pendidikan terletak pada antropologi budaya. Pada penghujung abad 19 dan awal abad 20, para antropolog mengkaji budaya-budaya “primitif” melalui kunjungan-kunjungan ke negara-negara lain dan dengan bergumul dengan masyarakatnya untuk periode waktu yang ekstensif. Mereka menghindarkan diri dari “menjadi natif “ (penduduk asli) dan mengidentifikasikan diri mereka secara dekat sekali dengan orangorang yang mereka teliti sehingga mereka bisa menulis sebuah kisah yang “objektif” tentang apa yang mereka lihat dan dengar. Pada waktu-waktu tertentu, kisah-kisah ini dibandingkan dengan budaya-budaya lain yang jauh di benua lain, terutama dengan caracara hidup orang Amerika. Contoh, Margareth Mead, seoang antropolog terkemuka, 217 mengkaji pengasuhan anak, remaja, dan pengaruh budaya terhadap kepribadian di Samoa (Mead, 1028). Observasi dan wawancara menjadi prosedur standar dalam pengumpulan data “di lapangan”. Juga, dibawah para sosiolog di Universitas Chcago pada tahun 1920-an sampai 1950-an, penelitian difokuskan pada pentingnya penelitian tentang kasus tunggal – apakah kasusnya tentang seseorang individu, kelompok, tetangga, atau unit budaya yang lebih besar. Contoh, para sosiolog Chicago melakukan analisis kualitatif terhadap dokumen-dokumen pribadi dan publik dalam rangka membangun pandangan hidup dari para imigran Polandia (Thomas & Znaniecki, 1927). Dengan penekanan pada kehidupan perkotaan, mereka menggambarkan kehidupan sehari-hari di kota-kota Amerika Serikat: daerah kumuh Yahudi, taxi-dance hall (ruang dansa para sopir taksi), pencuri profesional, para gembel, dan anak-anak nakal (Bogdan & Biklen, 1998). Dengan menggaribawahi kehidupan para indvidu ini, mereka memberikan perspektif “insider” dengan jalan melaporkan kisah-kisah detil dari indvidu-individu yang sering termarginalisasikan di dalam masyarakat. Bidang kajian antropologi pendidikan interdisiplier yang masih bayi ini mulai mengkristal selama tahun 1950-an dan berlanjut sampai tahun 1980-an (LeCompte et al., 1993). Jules Henry menggambarkan kelas-kelas di sekolah dasar dan sekolah menengah sebagai tribes (suku bangsa) dengan ritual-ritual, budaya, struktur sosialnya, dan George dan Louise Spindler mengkaji pembuatan keputusan pendidikan, isi kurikulum, dan pengajaran (LeCompte et al., 1993). Para antropolog pendidikan memfokuskan diri mereka pada sub kelompok budaya, seerti: Kisah perjalanan karir dan kehidupan atau analisis peran para individu; Microetnografis tentang kelompok-kelompok kerja dan kelompok-kelompok hobi dalam skala kecil; Kajian-kajian terhadap kelas-kelas tunggal yang diabstraksikan sebagai masyarakat-mayarakat dalam kelompok kecil; Kajian-kajian terhadap faisilitas-fasilitas sekolah atau fasilitas-fasilitas dinas pendidikan yang mendekati unit-unit ini sebagai sebuah masyarakat yang diskrit (terpisah) (LeCompte et al., 1993, halaman 14). Dalam penelitian seperti ini, para etnografer pendidikan mengembangkan dan memperhalus prosedur-prosedur yang dipinjam dari antropologi dan sosiologi. Dari tahun 1980-an sampai dewasa ini, para antropolog dan antropolog pendidikan telah mengidentifikasi tekhnik-tekhnik guna memberikan fokus terhadap kelompok budaya, 218 melakukan observasi, menganalsis data, dan menuliskan laporan penelitian (misalnya Petterman, 1998; Walcott, 1992. 1994, 1999). Peristiwa yang membatasi etnografi, menurut Denzin (1997), adalah publikasi buku yang berjudul Writing Culture (Clifford & Marcus, 1986). Para etnografer telah “menulis dengan cara mereka sendiri” (Denzin, 1997, halaman xvii) semenjak itu sesuai dengan isi buku tersebut. Clifford an Marcus mengangkat dua buah isu yang sangat menggugah minat banyak orang terhadap etnografi pada umumnya dan dalam bidang penelitian pendidikan. Pertama terkait dengan krisis representasi. Krisis ini terdiri dari penilaian kembali tentang bagaimana para etnografer memberikan interpretasi terhadap kelompok-kelompok yang mereka teliti. Denzin berargumetasi bahwa kita tidak bisa lagi melihat si peneliti sebagai reporter yang objektif yang membuat pernyataan-pernyataan yang bersifat omnipresent (hadir di mana-mana) tentang individu-individu yang dia teliti. Sebaliknya, si peneliti hanyalah merupakan satu suara dari banyak suara – individuindividu seperti si pembaca, para partisipan, dan gate-keeper (para penjaga) – yang perlu didengar. Ini memicu krisis kedua: legitimasi. “Dalih-dalih” validitas, reliabilitas dan objektivitas dari “normal science” tidak lagi bisa mewakili standar. Para peneliti perlu mengevaluasi masing-masing penelitian etnografis dalam batas-batas standar yang fleksibel yang melekat pada kehidupan para partisipan, pengaruh-pengaruh kesejarahan dan budaya; dan kekuatan-kekuatan interaktif bersumber ras, jender, dan kelas. Ditilik dari sisi ini, etnografi perlu memasukkan perspektif yang diramu dari pemikiran-pemikiran feminist, pandangan-pandangan berbasis ras, perspekspektif seks, dan teori kritis, dan ia perlu juga sensitif terhadap ras, kelas, dan jender. Etnografi dewasa ini menjadi “messy” (carut marut) dan akhirnya menampilkan diri dalam berbagai bentuk seperti (seni) pertunjukan, puisi, drama, novel, atau narasi pribadi (Denzin, 1997). APA TIPE-TIPE RANCANGAN ENOGRAFIS? Dengan perkembangan seperti digambarkan di atas, pendekatan eklektif menjadi suatu ciri dari penelitian etnografis pendidikan saat ini. Bagi seorang peneliti yang baru terhadap etnografi, panjangnya daftar tidak menjadi penting ketimbang fokus terhadap bentuk-bentuk utama seperti yang dipublikasikan dalam laporan-laporan penelitian pendidikan. Tanpa diragukan lagi, penelitian etnografis tidak selamanya cocok (pas) untuk kategori-kategori, akan tetapi ada tiga bentuk yang jelas: Etnografi Realis 219 Studi kasus Etnografi Kritis Etnografi Realis Etnografi realis adalah sebuah pendekatan yang populer yang digunakan oleh para antropologi budaya. Dicirikan oleh Van Maanen (1988), ia mencerminkan sebuah pandangan tertentu yang diambil oleh si peneliti terhadap para individu yang sedang diteliti. Etnografi realis adalah sebuah kisah yang ditampilkan secara objektif dari suatu situasi, biasanya ditulis dari sudut padangan orang ketiga, yang melaporkan secara objektif informasi yang dipelajari dari para partisipan di situs (lapangan). Dalam rancangan etnografis ini: Para etnografer realis menarasikan penelitiannya dalam suara orang ketiga yang tidak memihak dan melaporkan observasinya terhadap para partisipan serta pandangan mereka. Si etnografer tidak menawarkan refleksi-refleksi pribadi dalam laporan penelitiannya dan tetap berada di latar belakang sebagai pelapor “fakta” yang “omniscient” (yang serba tahu). Si peneliti melaporkan data-data objektif dalam gaya yang terukur tanpa terkontaminasi oleh bias pribadi, tujuan-tujuan politis, dan pertimbangan. Si peneliti boleh memberikan detil keseharian dari orang-orang yang sedang diteliti. Si etnografer juga menggunakan kategri-kategori standar berkaitan dengan deskpripsi budaya (seperti kehidupan di lingkungan keluarga, kehidupan di lingkungan kerja, jejaring sosial, sistem status). Para etnografer mengungkapkan pandangan-pandangan para partisipan melalui pengeditan secara ketat kutipan-kutipan dan memberikan kata-kata akhir berupa interpretasi dan penyajian budaya (Van Maanen, 1988). Jenis etnografi seperti ini sudah lama menjadi tradisi dalam antropologi budaya dan pendidikan. Contoh, Wolcott (1974, 1994) menggunakan pendekatan realis terhadap etnografi untuk meneliti aktivitas-aktivitas sebuah komite yang ditunjuk untuk menyeleksi seorang kepala sekolah. Penelitian tersebut berkaitan dengan proses yang dialami oleh sebuah komite pemilihan sekolah ketika mereka mewawancarai para calon. Wolcott memulai dengan seorang calon sampai akhirnya individu terakhir diidentifikasi. Dengan mengikuti deskprisi proses wawancara ini, Wolcott memberikan interpretasi terhadap tindakan-tindakan komite dalam batas-batas 220 kurangnya pengetahuan profesional, tingkah laku mereka yang tak kondusif, dan keengganan sekolah untuk beruah. Sebagai seorang etnografer yang realis, Wolcott memberikan sebuah kisah tentang keputusan yang dibuat oleh komite seolah-olah ia sedang milihat ke dalam dari luar, melaporkan prosedur secara objektif, dan juga mencakup pandangan para partisipan. Interpretasi pada akhirnya menampilkan penyajian pandangan Wolcott tentang pola-pola yang dia lihat yang dilakukan oleh komite pemilihan kelompok budaya. Studi Kasus Para penulis sering menggunakan istilah studi kasus sehubungan dengan etnografi (misalnya lihat LeCmpte & Schensul, 1999). Studi kasus merupakan sebuah tipe etnografi yang penting, walaupun ia sebenarnya berbeda dengan etnografi dalam beberapa hal penting. Para peneliti studi kasus boleh jadi memfouskan diri pada program, peristiwa, atau aktivitas yang melibatkan individu-individu ketimbang semata-mata kelompok (Stake, 1995). Juga, ketika para peneliti studi kasus meneliti sebuah kelompok, mereka boleh jadi lebih tertarik pada mendeskripsikan aktivitas-aktivitas kelompok ketimbang mengidentifikasi pola-pola bertingkah laku yang diperlihatkan oleh kelompok tersebut. Para etnografer berusaha menemukan pola-pola kebersamaan yang bekembang sebagai sebuah kelompok yang saling berinteraksi untuk jangka waktu tertentu. Akhirnya, para peneliti studi kasus akan cenderung kurang mengidentifikasi tema-tema budaya untuk dikaji pada awal dari sebuah penelitian, terutama dari sisi antropologi; sebaliknya, mereka akan terfokus pada eksplorasi mendalam tentang “kasus” aktual. Walaupun beberapa orang peneliti mngidentifikasi “kasus” sebagai sebuah objek kajian (Stake, 1995), yang lainnya menganggap ini sebagai prosedur inkuiri (seperti Merriam, 1998). Studi kasus adalah sebuah eksplorasi mendalam tentang bounded system (suatu sistem tertutup) seperti aktivitas, peristiwa, proses, atau individu berbasis pengumpulan data yang ekstensif (Creswell, 2007). Bounded (tertutup) bermakna bahwa kasus itu terpisah (berdiri sendiri) untuk diteliti dalam hal waktu, tempat, atau batas-batas fisik tertentu. Penting kiranya diingat bahwa tipe-tipe kasus yang sering diteliti oleh para peneliti kualitatif adalah: 221 “Kasusnya” bisa jadi seseorang individu, beberapa orang individu secara terpisah atau dalam sebuah kelompok; “Kasusnya” boleh jadi merupakan repsentasi sebuah proses yang terdiri dari serentetan langkah (seperti proses pengembangan kurikulum perguruan tinggi) yang terdiri dari serentetan aktivitas; Seperti diperlihatkan pada Diagram 15.1, sebuah kasus boleh jadi dipilih untuk diteliti karena kasus tersebut luar biasa dan memiliki manfaat di dalam dan untuk dirinya sendiri. Apabila kasus itu sendiri diminati, kasus tersebut disebut intrinsic case (kasus intrinsik). Penelitian tentang sekolah bilingual (dwibahasa) mengilustrasikan bentuk studi kasus seperti ini (Stake, 2000). Alternatif lain adalah fokusnya diberikan pada isu spesifik, dengan sebuah atau lebih kasus yang digunakan untuk mengilustrasikan sebuah isu. Tipe kasus seperti ini disebut instrumental case (kasus instrumental), karena kasus tersebut diarahkan untuk memenuhi tujuan untuk mengiluminasikan isu tertentu. Studi kasus “gunman incident” (Asmussen & Creswell, 1995) menggambarkan sebuah kasus instrumental dari sebuah kampus dalam rangka memperlihatkan reaksi kampus terhadap tindakan kekerasan di kampus. Studi-studi kasus boleh jadi juga mencakup kasus-kasus jamak, yang disebut collective case studies (Stake, 1995), di mana kasus-kasus jamak dideskripsikan dan dibandingkan dalam rangka memberikan pemahaman terhadap sesuatu isu. Seorang peneliti studi kasus boleh jadi meneliti beberapa sekolah guna mengilustrasikan pendekatan-pendekatan alternatif terhadap pilihan sekolah bagi para siswa. Para peneliti berupaya mengembangkan sebuah pemahaman mendalam tentang kasus dengan jalan mengumpulkan bermacam ragam bentuk data (seperti gambar, klipingan, videotape, dan e-mail). Memberikan pemahaman yang mendalam memerlukan hanya beberapa kasus saja yang diteliti, karena untuk setiap kasus yang diteliti, si peneliti akan memerlukan waktu yang cukup panjang untuk menelusuri secara mendalam setiap kasus tersebut. Si peneliti juga menempatkan “kasus” atau “kasus-kasus” itu di dalam konteks yang lebih luas, seperti seting-seting geografis, politik, sosial, atau ekonomi (seperti konstelasi keluarga yang terdiri dari kakek nenek, saudara kandung, dan anggota-anggota keluarga yang “diadopsi”). Sebuah contoh dari studi kasus adalah penelitian oleh Kos (1991) tentang empat orang siswa sekolah menengah yang memiliki ketidakmampuan membaca. 222 Penelitian ini mengkaji faktor-faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya kesulitan membaca pada para remaja. Peneliti memberikan tutorial kepada keempat siswa tersebut, mengamati kegiatan membacanya sendiri dan kegiatan membacanya di kelas, melakukan wawancara, dan mengumpulkan catatan-catatan sekolah untuk masing-masing siswa dimaksud. Keempat anak tersebut, yang umurnya berada antara 13 dan 15 tahun, tidak bisa membaca bahan-bahan bacaan lebih tiggi dari bahanbahan bacaan untuk anak-anak kelas 3. Setelah mendeskripsikan masing-masing anak, peneliti mengidentifikasi empat tema yang mencuat tentang maing-masing anak tersebut: tingkah lau membaca, pengalaman-pengalaman negatif dan mengesalkan (frustrated), rasa khawatir (anxiety) terhadap bacaan, dan riwayat membacanya di taman kanak-kanak dan kelas satu. Dari analisis tentang kasus-kasus individual ini, peneliti kemudian membandingkan keempat anak tersebut dan menemukan bahwa keempat siswa tersebut menyadari kelemahan-kelemahan (kekurangan-kekurangan) mereka, memperlihatkan koneksi antara ketidakmampuan membaca dan stress (tekanan), dan ketidakmampuan mengintegrasikan berbagai ragam strategi membaca. Studi kasus ini memperlihatan sebuah penelitian berkenaan dengan empat buah bounded system (sistem terpisah) – individu-individunya spesifik—dan penilaian terhadap pola-pola tingah laku masing-masing individu dan keempat mereka. Si peneliti memfokuskan diri pada isu tentang ketidakmampuan membaca dan melakukan pengkajian mendalam tentang keempat kasus ini dalam rangka mengilustrasikan isu tentang ketidakmampuan membaca ini. Berbagai bentuk data dikumpulkan, dan analisisnya terdiri dari pengembangan deskripsi dan tema-tema. Contoh lain adalah studi kasus oleh Padula dan Miller (1999) tentang empat orang wanita yang kembali kuliah sebagai mahasiswa program doktor. Dalam studi kasus ini, para peneliti mengajukan pertanyaan tentang keputusan mereka untuk kembali ke bangku kuliah, bagaimana mereka mendeskripsikan pengalamapengalaman mereka berkuliah, dan bagaimana pengalaman-pengalaman mereka selama mengikuti program pasca sarjana tersebut mengubah kehidupan mereka. Melalui wawancara dan observasi terhadap para wanita ini, para peneliti menemukan beberapa tema yang mencuat tentang keyakinan-keyakinan yang mereka pegang. Contoh, para wanita tersebut meyakini bahwa pengalaman-pengalaman di pasca sarjana tidak akan memenuhi kebutuhan mereka, mereka membandingkan diri mereka sendiri dengan mahasiswa-mahasiswa yang masih muda belia, dan mereka 223 merasakan adanya kebutuhan umum untuk menyelesaikan perkuliahan mereka secepat mungkin. Etnografi Kritis Ketika Denzin (1997) berbicara tentang krisis kembar antara reprsentasi dan legitimasi, ia sebenarnya memberikan respon terhadap perubahan yang menyolok di dalam masyarakat, seperti masyarakat menjadi lebih multi-nasional, bergabung dengan perekonomian dunia, dan mengubah aspek-aspek demografis menjadi kelompokkelompok yang lebih multi ras. Faktor-faktor ini telah mnciptakan sistem kekuasaan, prestise, keistimewaan, dan otoritas yang berperan memarjinalkan individu-individu dari berbagai kelas, ras, dan jender dalam masyarakat. Dengan berakar pada pemikiran Jerman tahun 1920-an, masalah historis yang ditimbulkan oleh dominasi, elienasi, dan perjuangan sosial sekarang memainkan peranan dalam penelitian pendidikan dan dan ilmu-ilmu sosial. Bibliografi sekarang memadukan pendekatan “kritis” (Carspecken, 1995; Carspecken & Apple, 1992; Thomas, 1993) untuk menampung perspektif advokasi di dalam etnografi. Critical ethnographies (etnografi kritis) adalah sejenis penelitian etnografis di mana para peneliti tertarik pada pemberian advokasi dalam rangka emansipasi kelompok-kelompok yang terminalkan di dalam masyarakat (Thomas, 1993). Para peneliti kritis biasanya adalah individu-individu yang berpikiran politis yang mencoba mencari, melalui penelitian mereka, advokasi terhadap ketidaksederajatan dan dominasi (Carspecken & Apple, 1992). Contoh, para etnografer kritis boleh jadi meneliti sekolah-sekolah yang memberikan keistimewaan-keistimewaan kepada kelompokkelompok siswa tertentu, menciptakan situasi-situasi ketidaksederajatan diantara masing-masing anggota dari berbagai kelas sosial, dan memperbesar “suara” cowok dan para cewek menjadi partisipan yang bisu di daam kelas. Komponen utama etonografi kritis disarikan dalam Diagram 15.2. Faktor-faktor ini, seperti orientasi bernilai sama (tanpa membedakan), pemberdayaan orang dengan jalan memberikan mereka lebih banyak otoritas, menantang status quo, dan perhatian terhadap kekuasaan dan kontrol, memainkan peranan dalam sebuah etnografi dalam karakterisk proseduralnya, seperti berikut: Peneliti-peneliti etnografi kritis mengkaji isu-isu sosial terkait dengan kekuasaan, pemberdayaan, ketidaksederajatan, ketidakadilan, dominasi, 224 represi (penindasan), hegemoni, dan victimization (membuat orang lain jadi korban); Para peneliti melakukan penelitian etnogafi kritis untuk menjaga agar penelitian mereka itu tdak selanjutnya malah memarjinalkan individuindividu yang sedang diteliti. Dengan demikian, para peneliti berkerjasama, secara aktif berpartisipasi, bernegosiasi dengan para partisipan dalam menuliskan laporan akhir mereka, menggunakan kecermatan dan kehatihatian dalam memasuki dan meninggalkan situs, dan secara timbal balik melakukan pengecekan terhadap para partisipan. Etnografer kritis harus memiliki kesadaran diri tentag interpretasinya, mengetahui bahwa interpretasi-interpretasinya itu memberikan refleksi kesejarahan dan kebudayaan. Interpretasi hanya bisa tentatif dan mempertanyakan dan menjadi bahan bagaimana para pembaca dan partisipan akan memandanganya. Para peneliti kritis memposisikan diri mereka, di dalam teks, agar refleksif dan sadar akan peranan mereka, dan berada di depan dalam menulis laporan penelitian mereka. Ini bermakna mereka harus mengidentifikasi adanya bias dan nilai; mengakui pandangan-pandangan orang lain, dan membedakan antara penyajian tetkstual oleh si peneliti, para partisipan,, dan para pembaca. Seorang etnografer bukan lagi seorang pengamat yang “objektf”, seperti pada pendekatan realis. Posisi yang netral ini juga bermakna bahwa si etnografer akan merupakan advokat bagi perubahan guna membantu menstransformasikan masyarakat sehingga orangorang menjadi merasa kurang tertekan dan termanijalkan. Pada akhirnya, laporan enografi kritis akan menjadi sebuah pendekatan penelitian yang “messy, multimethod” (berantakan; multi metoda), penuh dengan kontradiksi, faktor-faktor yang tidak dapat diperhitungkan, dan penuh ketegangan) (Denzin, 1997). Penelitian etnografis kritis tentang sebuah sekolah dasar “inklusif” (Keyes, Haney-Maxwell, & Capper, 1999) mengilustrasikan banyak diantara aspek ini. Tujuannya secara menyeluruh adalah untuk mendeskripsikan dan mendefenisikan peranan kepemimpinan adminsitratif pada sebuah sekolah inklusif dengan para siswa yang banyak mengalami peristiwa disablity classification (kegagalan mengklasifikasi), seperti kognitif, emosional, pembelajaran, berbicara, dana bahasa. Dengan tujuan untuk menghasilkan teori baru yang akan memberdayakan para 225 individu di sekolah, para peneliti memulai dengan sebuah kerangka pemberdayaan kepemimpinan: pemberian dukungan, fasilitasi, dan peluang. Didasarkan pada kerja lapangan yang ekstenif yang terdiri dari membuntuti kepala sekolah (Marta), mengobservasi ruang-ruang kelas, melakukan wawancara secara individual dan wawancara kelompok terfokus, dan meganalisis pengumumanpengumuman mingguan, para peneliti mengkompilasi sebuah gambaran tentang kepemiminan Maria yang mencakup sistem keyakinan sprititual pribadi. Spiritualitas Maria memungkinkannya menilai perjuangan pribadi, mendukung martabat para individu, memadukan masalah pribadi dan masalah profesi, meyakini bahwa bekerja keras, dan memberi penekanan pada pentingnya mendengarkan dan berkhayal. Pada akhirnya, Keyes et al., (1999) memberikan sebuah “visi keadilan yang ditopang oleh “keyakinan-keyakinan” spirtual (halaman 233) dan kmudian mengajukan pertanyaanpertanyaan konklusif ”Reformasi sekolah untuk apa?” dan “Pemberdayaan kepemimpinan untuk siapa” (halaman 234). Sebagai sebuah kajian etnografis tentang sebuah sekolah yang menerapkan perspektif kritis, proyek kegiatan ini memfokuskan diri pada isu pemberdayaan yang dirasakan oleh para siswa dan para guru yang termarjinalkan di sekolah. Kepala sekolah secara aktif berupaya mencari partisipasi kolaboratif melalui dialog-dialog bersama dengan para guru dan para siswa. Para peneliti mengadvokasi demi wujudnya sebuah prubahan dan menggarisbawahi ketegangan yang memungkinankan terbukanya pertanyaan-pertanyaan baru ketimbang menutup pembicaraan. Walaupun pandangan para peneliti tidak dibuat secara eksplisit di dalam teks, perhatian dan minat mereka terhadap perubahan dan terhadap visi baru dalam kepemimpian sekolah bagi para individu dengan berbagai kegagagalan/ketidakmpuan seperti dinyatakan terdahlu jelas adanya. APA KARAKTERISTIK KUNCI DARI RANCANGAN ETNOGRAFIS Dengan keanekaragaman pendekatan terhadap etnografi seperti diidentifikasi pada pendekatan realis, studi kasus, dan pendekatan krits, tidak mudah mengidentifikasi karakteristik umum yang dimiliki bersama. Walaupun demikian, bagi mereka-mereka yang mempelajari etnografi, karakteristik berikut biasanya merupakan tanda bagi sebuah kajian etnografis: Tema-tema budaya Kelopmok yang berbuda sama 226 Pola-pola bertingkah laku, berkeyakinan, dn berbahasa yang sama Kerja lapangan Deskripsi, tema, dan interpretasi Konteks atau seting Refleksibilitas si peneliti Tema-tema kultural Para etnografer biasanya meneliti tema-tema kultural yang diramu dari antropologi budaya. Para etnografer tidak memasuki lapangan mengambil secara serampangan segala sesuatu yang mungkin ditemukan. Sebaliknya, mereka tertarik untuk menambah/mengembangkan pengetahuan tentang budaya dan mengkaji tema-tema spesifik tentang budaya. Sebuah cultural theme (tema budaya) dalam etnografi adalah posisi umum, tersurat atau tersirat diakui atau diharapkan keberadaannya di dalam masyarakat atau kelompok (lihat Spradley, 1980b, untuk pembicaraan tentang tema-tema budaya). Sama seperti dalam semua penelitian kualitatif, tema ini tidak berperan mempersempit lingkup penelitian; sebaliknya ia menjadi sebuah lensa yang lebih luas yang digunakan oleh para peneliti ketika mereka pada awalnya memasuki lapangan guna meneliti sebuah kelompok, dan mencari manifestasinya. Seperti dikatakan oleh Wolcott, kita bisa melihat “culture at work” (halaman 25). Apa-apa saja tema-tema budaya ini? Tema-tema budaya tersebut dapat ditemukan dalam buku-buku teks pengantar antropologi budaya. Wolcott (1999) menyatakan buku-buku teks pengantar yang berbicara tentang tema-tema dalam antropologi budaya, seperti oleh Kessing (1958), Haviland (1993), atau Howard (1996). Tema-tema tersebut juga bisa ditemukan di dalam kamus-kamus tentang konsep-konsep antropologi budaya, seperti oleh Winthrop (1991). Pendekatan lain adalah mencari tematea budaya dalam kajian-kajian antropologis tentang pendidikan. Para penulis mengenalkannya berupa judul-judul atau pada awal penelitian. Anda bisa lihat tematema tersebut dalam rumusan tujuan penelitian (purpose statement) di dalam etnografi atau di dalam rumusan pertanyaan penelitian berupa “fenomena sentral” (lihat bab 5). Contoh, berikut adalah beberapa tema kultural yang ditelusuri oleh penulis: Persistence (ketekunan) dalam penyelenggaraan pendidikan jarak jauh (Graland, 1993) “Munculnya” tahap-tahap pengembangan identitas gay (Rhoads, 1997) Pengembangan ketrampilan-ketramplian sosial para siswa di Jepang 227 (LeTendre, 1999). Enkulturasi pada program pendidikan anak usia dini di lingkungan Maori di Selandia Baru (Bauermeister, 1998) Kelompok Berbudaya Sama Para etnografer belajar dari penelitian tentang kelompok yang berbudaya sama pada sebuah situs tunggal. Jarang terjadi para peneliti meneliti indvidu-individu secara perorangan, seperti dalam penelitian Wolcott (1974, 1994) studi kasus tunggal tentang seorang kepala sekolah. Dalam penelitiaan tentang sebuah kelompok, para etnografer mengidentifikasi situs tunggal (misalnya ruang kelas di sekolah dasar), mengidentifikasi sebuah kelompok di sana (misalnya kelompok membaca), dan mengumpulkan data tentang kelompok (misalnya mengobservai waktu membaca). Ini membedakan etnografi dari bentuk-bentuk lain penelitian kualitatif (misalnya penelitian naratif) yang memfokuskan diri pada individu-individu ketimbang pada kelompok-kelompok orang. Sebuah culture-sharing group (kelompok yang berbudaya sama) dalam etnografi adalah dua atau lebih individu yang memiliki kesamaan tingkah laku, keyakinan, dan bahasa . Contoh, kelompok-kelompok yang diteliti dalam etnografi ini adalah: 47 orang siswa dalam pendidikan jarak jauh tentang mata-mata kuliah terkait dengan pengelolaan sumberdaya dan lingkungan (Garland, 1993) 16 orang calon guru sekolah dasar (Goodman & Adler, 1985) 40 orang mahasiswa dalam sebuah organisasi yang mengidentifikasikan diri mereka sebagai gay atau bisexual (Rhoads, 1997) Kelompok-kelompok seperti ini biasanya memiliki karakteristik tertentu, seperti terlihat pada Tabel 15.2. Kelompok-kelompok bisa bervariasi atas dasat besar kecilnya kelompok, akan tetapi individu-individu di dalam kelompok perlu memenuhi basis reguler dan berinteraksi pada jangka waktu tertentu (misalnya lebih dar dua minggu sampai empat bulan) dalam rangka terbentuknya pola-pola bertingkah laku, berpikir, atau berbicara. Kelompok ini sering merupakan representasi dari kelompok yang lebih besar, seperti kelompok membaca dalam lingkup kelas tiga. Sering, para etnografer meneliti kelompok-kelompok yang belum mereka kenal sehingga bisa melihat mereka dengan cara-cara “baru dan berbeda seolah-olah mereka itu luar biasa dan unik” (LeCompte et al., 1993), halaman 3). Individu-individu kadangkadang simpang siur tentang makna kelompok budaya dan kelompok etnik. Kelompokkelompok etnik (suku bangsa) adalah individu-individu yang mengidentifikasi diri 228 mereka sendiri sebagai indvidu-individu dalam pengelompokan sosiopolitik yang mengakui identititas publik, seperti di Amerika Serikat misalnya, Hispanik, para pendatang dari Asia Pasific, dan orang-orang Amerika yang berasal dari Arab (LeCompte & Schensul, 1999). Penggunaan label-label etnik seperti ini bisa menimbulkan masalah dalam sebuah kajian etnografi karena label-label tersebut boleh jadi bukan merupakan istilah yang digunakan oleh para indvidu tersebut. Pola-pola Tingkah Laku, Keyakinan dan Bahasa yang Sama Para peneliti etnografis berupaya mencari pola-pola tingkah laku, keyakinan dan bahasa yang sama yang diadopsi bersama oleh kelompok yang berbudaya sama dalam jangka waktu tertentu. Karakteristik ini memiliki beberapa elemen . Pertama, kelompok yang berbudaya sama itu perlu mengadopsi pola-pola yang sama yang dapat di bedakan oleh seorang etnografer. Sebuah shared pattern (kesamaan pola) dalam etnografi merupakan interaksi sosial yang umum yang menstabilkan sebagai suatu kesepakatan dan ekspektasi dari keklompok (Spidler & Spindler, 1992). Kedua, kelompok memiliki kebersamaan dalam satu atau kombinasi tingkah laku, keyakinan, dan bahasa. Tingkah laku dalam etonografi adalah sebuah tindakan yang diambil oleh seorang indidividu dalam sebuah seting budaya. Contoh, Wolcott (1974, 1994) meneliti bagaimana komite penseleksian kepala sekalah bertidak ketika melakukan penseleksian seorang kandidat. Keyakinan dalam etnografi adalah bagaimana seseorang individu berpikir tentang atau mempersepsikan tentang sesuatu dalam sebuah seting budaya. Contoh, Padula dan Miller (1999) menemukan bahwa mahasiswa wanita calon doktor dalam psikologi memiliki kesamaan perhatian dan keprihatinan bahwa mereka tidak mampu menginvestasikan terlalu banyak energi unyuk keluarga mereka. Bahasa dalam etnografi adalah bagaimana seseorang individu berbicara dengan orang-orang lain dalam sebuah seting budaya. Dalam sebuah penelitian naratif tentang kisah hidup dua orang wanita Afrika Amerika, Nelson (1990) menganalisis code-swiching (alih bahasa), beralih dari Bahasa Inggeris baku ke Bahasa Inggeris non baku (Black English). Sara, contohnya, menggunakan struktur klausa paralel yang repetitif yang ditemukan dalam tradisi-tradisi gereja orang hitam ketika ia berkata “It is pain, suffering, determination, 229 preseverance” (rasanya menyakitkan, menderita, determinasi, perseverance) (halaman 147). Pola-poa yang dimiliki secara besama ini menimbulkan beberapa pertanyaan praktis yang oleh etnografer perlu dklarifikasi dalam sebuah penelitian. Berapa lamakah kelompok itu perlu tinggal bersama-sama untuk bisa “share” (membangun kebersamaan) tersebut? Untuk menjawab pertanyaan ini, kajian khusus harus dilakukan. Tanpa diragukan lagi, makin lama kelompok itu hidup bersama, akan makin banyak individu yang akan mengadopsi kesamaan tingkah laku dan cara-cara berpikir dan semakin mudah bagi si etnografer untuk memilih pola-pola tersebut. Walaupun demikian, tekhnik-tekhnik penilaian tersedia dalam rangka pengumpulan data secara cepat dari sebuah kolompok yang boleh jadi telah membentuk keyakinan bersama dalam waktu yang singkat (LeCompte & Schensul, 1999). Anggota-anggota yang hidup di asrama (fraternity) boleh jadi telah membentuk keyakinan-keyakinan bersama dengan sumpah baru secara cepat atau komite-komite sekolah boleh jadi telah mengembangkan pemahaman bersama melalui “pengunduran diri bersama dari komite” yang memungkinkan seorang etnografer untuk bisa melakukan penilaian pola-pola secara cepat. Isu lain adalah apakah pola-pola itu ideal (apa yang seharusnya terjadi), aktual (apa yang sebenarnya terrjadi), atau proyektif (apa yang mungkin telah terjadi). Ketika seorang etnografer melakukan observasi atau wawancara, contohcontoh dari ketiga pola ini boleh jadi mencuat dari data. Seorang etnografer yang mengunjungi ruang kelas kelas tiga sekolah dasar boleh jadi ketemu dengan kelompok membaca dan melihat apa yang sudah terjadi, mewawancarai gurunya untuk mengidentifikasi apa yang mungkin telah terjadi, dan berkonsultasi dengan koordinator kurikulum tentang apa yang yang diharapkan oleh dinas pendidikan telah terjadi. Kerja Lapangan Etnografer mengumpulkan data melalui kebersamaan dengan para partisipan di lapangan dalam periode waktu tertent di mana mereka hidup, bekerja dan bermain. Untuk bisa memahami dengan baik pola-pola dari sebuah kelompok budaya, seorang etnografer perlu menghabiskan waktu cukup lama dengan kelompok tesebut. Pola-pola tersebut tidak bisa secara mudah dikenali/dibedakan melalui angket atau perjumpaan-perjumpaan singkat. Sebaliknya, si etnografer harus “pergi masuk ke lapangan”, hidup dengan atau 230 berkunjung berkali-kali menemui orang-orang yang diteliti, dan secara berangsur-angsur menemukan caa-cara budaya di mana kelompok tersebut bertingkah laku, atau berpikir. Field work (kerja lapangan) di dalam etnografi bermakna bahwa si peneliti mengumpulkan data-data di dalam seting di mana para partisipan berlokasi dan di mana pola-pola kebersamaan dapat diteliti. Pengumpulan data ini mencakup: Data-data emic adalah informasi yang diberikan oleh para partisipan di dalam penelitian. Emic sering mengacu pada konsep-konsep tataran pertama, seperti bahasa lokal, konsep-konsep, dan cara-cara berekspresi yang diperlihatkan oleh anggota-anggota kelompok berbudaya sama (Schwandt, 2001). Di dalam penelitian etnografis tentang sup ayam bagi para tuna wisma, Miller, et al., (1998) mewawancarai dan merekam “kisah-kisah” yang diceritakan oleh Michael, Dan, Sarah, dan Robert dan menggunakan kutipan-kutipan dari individu-individu ini untuk membangun perspektif mereka. Data-data etic adalah informasi yang merupakan reprsentasi dari interpretasi si etnografer terhadap perspektif para partisipan. Etic biasanya mengacu pada konsepkonsep tataran kedua, seperti bahasa yang digunakan oleh para ilmuwan soisal atau pendidik ketika mereka mengacu pada fenomena yang sama seperti diungkapkan oleh para partisipan (Schwandt, 2001). Dalam penelitian tentang sup ayam (Miller, et aj., 1990), para pengarang membentuk tema-tema sebagai interpretasi mereka terhadap data-data partisipan yang memperlihatkan bagaimana sup ayam itu berfungsi. Data-data negosiasi terdiri dari informasi yang disepakati oleh para partisipan dan peneliti untuk digunakan dalam sesuatu penelitian. Negosiasi terjadi pada tahapantahapan yang berbdea dari peneitan, seperti persetujuan untuk memasuki situs peneitian, sama menghormati individu-individu pada situs penelitian, dan mengembangkan perencanaan untuk feed bacak dan saling memberi dan menerima dengan para ndividu. Lagi-lagi dalam penelitian sup ayam untuk para tuna wisma (Miller, et al., (1998), para pengarang berupaya melalui gate keeper (penjaga) untuk bisa mendapatkan izin memasuki situs penelitian, membantu mengadvokasi para tuna wisma melalui lembaga-lembaga untuk medapatkan pendanaan dan berpartisipasi untuk memberikan makan siang secara teratur. Selama kerja lapangan, si etnografer menggunakan berbagai tekhnik penelitia untuk mengumpulkan data. Tabel 15.3, yang merupakan daftar kompsit dari LeCompte dan terutama seklai data-data kualitatif dan sedikit data-dta kuantitatif. Dari kemungkinn231 kemungikinan ini, observasi dan wawancara tak terstruktur merupakan tehnik yang paling populer di antara para etnografer. Untuk melihat keanekaragaman pengumpulan data yang digunakan oleh etngrafer pada sebuah penelitian, perhatikan bentuk-bentuk berikut yang digunakan oleh Rhoads (1995) dalam penelitian etnografisnya tentang kehidupan fraternity (asrama): 12 kali wawancara ormal, terstruktur yang memakan waktu sekitar 1 samapi 2 jam 18 kali wawancara yang kurang formal dicatat dngan tulisan tangan Partisipasi dalam pesta-pesta asrama secara terbuka dan ritual-ritual tertutup yang terbuka hanya pada beberapa orang outsider Diskusi yang berketerusan dengan para partisipan kunci yang menjelaskan sifnifikansi dari berbagai praktek fraternity Mengkaji berbagai dokumen, termasuk buku petunjuk universitas Greek, minutes (catatan-catatan) rapat pada chapter, makalah-makalah chapter, dan kebijakan pertanggung jawaban asrama. Deskripsi, Tema, dan Interpretasi Para peneliti etnografis mendeskripsikan an menganalisis kelompok berbudaya sama dan membuat sebuah interpretasi tentang pola-pola yang terlihat dan terdengar. Selama pengumpuan data, si etnografer memulai menempa penelitian. Ini terdiri dari menganalisis data untuk keperluan deskripsi tentang para individu dan situs-situs dari kelompok yang berbudaya sama itu; menganalisis pola-pola tingkah laku, keyakinan, dan bahasa, menarik beberapa kesimpulan tentang makna yang dipelajari dari penelitiin tentang orang=orang dan situs (Wolcott, 1994). Sebuah descrption in ethnography (deskripsi di dalam etnografi) adalah sebuah uraian rinci tentang individu-individu dan pemandangan untuk menggambarkan apa yang sedang terjadi di dalam kelompok berbudaya sama. Deskripsi ini perlu dirinci dan kaya, dan ia perlu diidentifikasi secara khusus. Ia berfungsi menempatkan pembaca secara figuratif dalam seting, membawa pembaca kepada pemandangan yang sesungguhnya dalam rangka membuatnya ril. Ini mencakup membangunkan kesadaran pembaca melalui penggunaan kata sifat, kata benda, dan kata kerja yang memancing bunyibunyian, pemandangan, perasaan, dan penciuman. Untuk bisa melakukan ini semua, si peneliti harus memilih beberapa rincian (detil) untuk dimasukkan sementara mengeluarkan yang lain-lainnya. Ini berari bahwa mendeskripsikan peristiwa, aktivitas, 232 dan tempat tanpa elenceng terlalu jauh dari pemandangan yang menjadi pusat perhatian dan orang-orang yang pola-pola kebersamaannya perlu diidentifikasi (ditangkap).Gambaran-gambaran dari etnografi yang “mendeskripsikan” biasanya panjang dan rinci. Kadang-kadang, para etnografer atau peneliti studi kasus memberikan sebuah deskripsi yang bersumber dari gaambaran umum tentang seting tkhusus ternetntu di mana sebuah peristiwa terjadi. Contoh, perhatikan Diagram 15.3, yaang memetakan gambaran deskrpitif yang terdapat dalam studi kasus “gunman incident” (Asmussen & Creswell, 1995). Para peneeliti memulai dengan medeskripsikan kota, kemudian menyempit ke deskripsi tentang kampus, dan akhirnya terfokterhadap kandidat. us pada ruang kelas di mana insiden terjadi. Dalam contoh yang lain, misalnya, Wolcott (1994) mendeskripsikan seorang kandidat untuk posisi kepala sekolah yang berakhir pada “Tuan Fifth” dalam kompetisi: Para anggota komite bersahabat dalam sambutan dan pendahuluanm pada wawancara. Ia diminta untuk memilih satu dari beberapa buah kursi yang nyaman di dalam ruangan pertemuan tersebut, sekonyong-konyong direktur personalia berguyon, “ Tidak akan ada kenyamanan seperti ini lagi”. Setelah pendahuluan yang merakyat , direktur pendidikan dasar mengajukan pertanyaan, “Apa-apa saja yang telah anda lakukan dan bagaimana anda terlibat?” (halaman 129) Dalam gambaran deskriptif singkat ini, Wolcott menggambarkan perasaan kekurangsopanan dan kegelisahan, melihat bersama-sama penampilan ruangan, mengaitkan bahasa yang digunakan oleh komite, dan memberikan perasaan yang dirasakan oleh komite terhadap para kandidat. Perbedaan antara deskripsi dan analisis tema tidak selalu jelas. Analisis tema bergerak dari melaporkan “fakta” menuju pada pemberian interpretasi tentang orang dan aktivitas. Sebagai bagian dari memaknai informasi, thematic data analysis in etnography terdiri dari penyaringan bagaimana segala sesuatu berfungsi dan kemudian menamai aspek-aspek esensial yang terdapat di dalam tema pada seting kultural. Sejalan dengan proses yang diidentifikasi pada bab 9 tentang pendeskripsian dan pengembangan tema dari data, si etnografer memilah-milah teks (atau gambar/imej), melakukan pengkodean terhadapnya, dan merumuskan seperangkat kecil tema-tema yang tidak tumpang tindih. Walaupun demikian, dalam sebuah etnografi, tema-tema ini memiiki kesamaan dengan pola-pola bertingkah laku, berpikir, dan berbicara. Kesulitannya terletak pada mengurangi tema-tema menjadi seperangkat kecil saja dan memberikan bukti yang cukup bagi masing-maasing tema tersebut. Tema-tema tersebut jelas kentara di dalam kajian etnografi seperti diperlihatkan berikut: 233 Dalam sebuah penelitian etnografi tentang penanggulangan konflik antara anakanak yang “ berkembang secara khusus” dan anak-anak dengan ketidakmapuan berintegrasi di sekolah, Malloy dan McMurray (1996) menemukan beberapa konflik terkait dengan tujuan, oppposisi, strategi, hasil (outcome), dan peranan guru. Sebuah studi kasus yang mengkaji perspektif calom guru ilmu-ilmu sosial (IPS) di sekolah dasar (Goodman & Adler, 1985). Para calon guru melihat studi-studi sosial sebagai non mata pelajaran, hubungan kemanusiaan, indoktrinasi kewarganegaraan, pengetahuan sekolah, inti yang terpadu dari kurikulum sekolah dasar, dan pendidikan untuk aksi sosial. Setelah deskripsi dan anlisis menyusul interpretasi. Dalam interpretation in ethnography, si etnografer membuat inferensi dan menarik konklusi tentang apa yang sudah dipelajari. Fase dari analisis ini merupakan yang paling subjektif. Si peneliti mengaitkan dua-duanya deskripsi dan tema dan kembali lagi pada potret yang lebih besar dari apa yang sudah dipelajari tersebut, yang sering mencerminkan kombinasi antara pembuatan penilaian pribadi oleh si peneliti, kembali ke bahan kepustakaan tentang tema kultural, dan pengajuan pertanyaan-pertanyaan selanjutnya yang didasarkan pada data. Ini boleh jadi juga mencakup pengungkapan masalah-masalah yang muncul selama kerja lapangan yang membuat penanganannya menjadi tentatif dan hipotetis. Dalam kajian etnografi tentang Raul, anak berusia 12 tahun dengan ketidakmampuan, dan saudara-saudaranya, keluaganya, dan teman-temannya (Harry, et al., 1998), interpretasi terdiri dari refleksi oleh si pengarang tentang perbedaan-perbedaan antara ekslusif dalam seting-seting non keluarga dan penerimanaan tanpa syarat di dalam kelauarga. Konteks atau Seting Para etnografer menyajikan deskripsi, tema dan interpretasi dalam konteks atau seting kelompok yang berbudaya sama. The context bagi seorang etnografer adalah seting, situasi, lingkungan yang berada di sekitar kelompok budaya yang sedang dipelajari. Ini bermakna bahwa konteks itu bertataran jamak dan berkait-kelindan satu sama lain, memiliki unsur-unsur kesejarahan, keagamaan, politik, ekonomi, dan lingkugan (Fetterman, 1998). Konteks ini boleh jadi lokasi fisik seperti deskripsi sekolah, kondisi bangunan, warna dinding ruang kelas, atau suara yang terdengar dari aula. Ia boleh jadi juga berupa konteks kesejarahan dari inidividu-individu di dalam kelompok, apakah 234 mereka sama-sama mengalami penindasan, didominasi, atau orang-orang yang muncul dan tampil di dalam kelompok yang merasa bangga dengan tempat tinggal baru mereka. Ia boleh jadi juga berupa kondisi sosial dari individu-individu, kebersamaan yang cukup lama dalam membina kekerabatan, status mereka seperti profesi, atau pendapatan dan mobilitas geografis. Kondisi ekonomis yang boleh juga tercakup di dalamnya tingkat penghasilan, kelas pekerja atau blue-collar background (latar belakang sebagai pegawai berkrah-putih), atau sistem keuangan yang membuat individu-individu berada di bawah garis kemiskinan. Refleksibilitas Peneliti Para peneliti etnografis membuat interpetasi dan menulis laporan penelitian mereka secara refleksif. Reflexivity in ethnograpgy mengacu pada peneliti yang sadar akan dan secara terbuka membicarakan peranannya di dalam penelitian sedemikian rupa sehingga para partisipan dan situs penelitian mendapat penghormatan dan penghargaan. Karena penelitian etnografis mengharuskan si peneliti untuk tinggal dalam waktu yang cukup lama di situs penelitian, maka ia menaruh perhatian cukup bear terhadap dampak penelitian terhadap situs dan individu-individu. Si peneliti melakukan negosiasi untuk bisa memasuki situs penelitian dengan individu-individu kunci dan merencanakan untuk meninggalkan situs nantinya tanpa terganggu sama seperti pada saat ia masuk. Sebagai individu-individu yang memiliki riwayat dan latar belakang budaya sendiri-sendiri, para peneliti menyadari bahwa interpretasi mereka hanyalah salah satu kemungkinan, dan laporan mereka tidak memiliki otoritas istimewa dibandingkan dengan interpretasi yang mungkin juga dimiliki oleh para pembaca, partisipan, dan peneliti lainnya. Justru tu, penting diingat agar para etnografer menempatkan diri mereka dalam laporan mereka saja dan mengidentifikasi titik tolak atau titik pandang mereka (Denzin, 1997). Mereka lakukan ini melalui pembicaraan dengan diri mereka sendiri, mencari kesamaan pengalaman, dan menyebutkan bagaimana interpretasi mereka membentuk dan membangun pembicaraan mereka tentang situs dan kelompok-kelompok berbudaya sama tersebut. Seorang peneliti, yang meneliti pengembangan identitas remaja puteri melalui bacaan-bacaan majalah untuk anak belasn tahun (Finders, 1996), mendokumntasikan peranannya sebagai berikut: Saya tidak mau terlihat sebagai seorang guru atau seseorang yang memiliki otoritas (halaman 73) Saya mendapatkan kepercayaan mereka secara berangsur-angsur dan menegosiasikan hubungan yang tidak sesuai dengan pola-pola yang sudah ada dengan orang-orang dewasa lain yang signifkan (halaman 73). 235 Pada beberapa kesempatan, seorang gadis tidak mengizinkan melihat sebuah catatan yang dia perkirakan “terlampau cabul”. Saya tidak melaporkan insiden seperti ini sebagai tulisan di dinding kamar mandi atau pura-pura sakit untuk menghindar dari ujian (halaman 74) Menjadi refleksif juga bermakna bahwa kesimpulan-kesimpulan yang dibuat penulis sering tentatif atau inkonklusif, yang selanjutnya menjurus pada pertanyaan-pertanyaan baru untuk dijawab. Penelitian boleh jadi berakhir dengan pertanyaan-pertanyaan yang memerlukan jawaban atau perspektif jamak atau sudut pandangan yang harus dipertimbangkan oleh i pembaca. APA LANGKAH-LANGKAH PENELITIAN ETNOGRAFIS? Barangkali jumlah prosedur dalam melaksanakan penelitian etnografis sama banyaknya dengan jumlah para etnografer itu sendiri. Semenjak masa-masa awal antropologi budaya ketika para peneliti ‘dikirim” ke pulau-pulau terpencil tanpa panduan untuk melakukan penelitian etnografis, sampai saat ini kita telah memiliki prosedur, sekalipun telah memiliki prosedur umum, untuk memandu sebuah kajian antropologi. Pendekatan yang sangat terstruktur dapat ditemukan pada karya Spradley (1980b), yang telah mengajukan 12 tahap “urutan penelitian pengembangan” untuk melaksanakan sebuah kajian etnografi. Seperti diperlihatkan oleh Diagram 15.4, urutan ini mulai dengan peneliti mengidentifikasi informan (sekarang orang seperti itu disebut “partisipan”; lihat bab 10 tentang menulis secara sensitif). Kemudian si etnografer berputar-putar antara pengumpulan data dan membuat analisis data dari berbagai jenis, seperti sebuah taksonomi, atau sebuah tabel perbandingan untuk menelusuri hubungan-hubungan antara gagasan-gagasan (lihat komponensial analisis Spradley). Pengrang-pengarang lain disamping Spradley juga telah mengajukan petunjuk-petunjuk, seperti Fetterman (1998), LeCompte & Schensul (1999), dan Wolcott (1999). Disebalik pendekatan Spradley yang sangat terstruktur, kami mengajukan serentetan langkah yang menyajikan sebuah template umum ketimbang prosedur tetap untuk melaksanakan etnografi. Disaming itu, pertimbangan-pertimbangan dari para etnografer sendiri dan para peneliti studi kasus berbeda secara prosedural, dan akan dibandingkan untuk mencari kesamaan dan perbedaan diantara ketiga bentuk etnografi: realis, studi kasus, dan kritis. Sebuah tinjauan umum terhadap langah-langkah yang digunakan pada masing-masing tipe rancangan diperlihatkan oleh Diagram 15.4. 236 Langah 1: Mengidentifikasi Tujuan dan Tipe rancangan, dan Mengaitkan Tujuan dengan Masalah Penelitian Langkah-langkah pertama dan yang paling penting dalam melakukan penelitian adalah mengidentifikasi kenapa anda melakukan penelitian, rancangan bentuk apa yang anda akan gunakan, dan bagaimana tujuan anda terkait dengan masalah penelitian anda. Faktor-faktor ini perlu diidentifikasi dalam ketiga bentuk etnografi dan studi kasus. Tujuan penelitian anda dan tipe masalah yang anda ingin teliti akan secara signifikan berbeda tergantung pada apakah anda akan melakukan penelitian etnografi realis, studi kasus atau kritis. Dalam etnografi realis, fokusnya diletakkan pada pemahaman tentang kelompok berbudaya sama dan dengan menggunakan kelompok tersebut, pemahaman yang lebih mendalam terhadap tema budaya akan dapat dikembangkan. Kelompok berbudaya sama boleh jadi keseluruhan sekolah atau sebuah ruang kelas. Tema-temanya boleh jadi mencakup topik-topik seperti enkulturasi, akulturasi, sosialisasi, pendidikan terlembagakan, pembelajaran dan kognisi, dan perkembangan anak dan orang dewasa (LeCompte et al., 1993). Untuk studi kasus, fokusnya diletakkan pada pengembangan pemahaman yang mendalam tentang suatu kasus, seperti peristiwa, aktivitas, atau proses. Dalam dunia pendidikan, ini sering mencakup kajian tentang seorang individu atau beberapa orang individu, seperti para siswa atau para guru. Pertimbangan penting yang tak boleh dilupakan adalah bagaimana anda mengunakan kasus tersebut, seperti menilai secara instrinsik manfaat memhami sebuah isu, atau memberikan informasi atau membandingkan beberapa kasus. Dalam etnografi kritis, tujuannya berubah secara dramatis dari tujuan-tujuan yang digunakan di dalam etnografis realis atau proyek studi kasus. Seorang etnografer kritis berupaya menjawab masalah-masalah terkait dengan ketidaksederajatan di dalam masayarakat atau sekolah, merancang untuk menggunakan penelitian guna memberikan advokasi dan mengupayakan adanya perubahan, secara khusus mengidentifikasi isu-isu spesifik (seperti ketidaksederajatan, dominasi, penindasan, atau pemberdayaan) untuk ditlit. Langkah 2: Membicarakan Masalah-masalah terkait dengan Persetujuan dan Akses Dalam langkah ini, ketiga jenis rancangan mengikuti prosedur yang sama. Anda perlu mendapatkan persetujuan dari badan pemberi izin (lihat bab 6). Anda juga perlu 237 mengidentifikasi jenis sampling bertujuan yang ada dan yang paling relevan untuk menjawab pertanyaan penelitian. Dalam proses ini, identifikasi situs penelitian anda dan kemudian identifikasi pula penjaga (gate keeper) yang bisa memberikan akses pada anda ke situs dan para partisipan. Dalam semua penelitian, anda perlu menjamin dihormati dan dihargainya situs, secara aktif merancang penelitian untuk terus melakukan kerja sama timbal balik dengan para indvidu di lokasi situs. Ini bermakna bahwa anda menjmin dan menjaga agar situs tidak terganggu secara berlebihan dan mengikuti praktek-praktek etika yang baik seperti menjamin privasi dan anonimitas, tidak menipu para individu, dan memberitahukan kepada semua partisipan tentang tujuan penelitian anda. Langkah 3: Gunakan Prosedur Pengumulan Data yang Tepat Pada Tabel 15.4 dapat dilihat bahwa ketiga rancangan ini memiliki ciri yang sama, dengan penekanan pada pengumupulan data yang ekstensif sekali, menggunakan prosedur majemuk dalam pengumpuan data, keterlibatan secara aktif semua partisipan dalam proses penelitian. Dalam etnografi realis, karena anda akan meghabiskan banyak waktu dengan para individu di lapangan, (misalnya sampai 4 bulan atau lebih), anda perlu memasuki situs secara berangsur-angsur dan sedapat mungkin secara tidak kentara (unobtrusive) . Membangun hubungan (rapport) dengan penjaga dan partisipan-partisipan kunci penting sekali untuk kontak yang berjangka panjang. Dalam laporan-laporan etnografi realis, penekanan diberikan pada pembuatan catatan-catatan lapangan dan pengamatan terhadap “cultural scence” (pemandangan budaya). Wawancara dan artifak seperti gambar, reliks, dan simbol-simbol juga merupakan bentuk-bentuk data yang penting. Data apa saja yang bisa membantu mengembangkan pemahaman yang mendalam tentang pola-pola yang diayomi bersama oleh kelompok budaya tertentu akan sangat bermanfaat. Dalam studi kasus, tujuan penelitia adalah untuk mengembangkan pemhaman yang mendalam tentang sebuah kasus atau sebah isu, dan para peneliti mengumplkan sebanyakbanyaknya jenis data demi mengembangkan pemahaman ini. Contoh, dalam “gunman incident” (Asmussen &Creswell, 1995), yang dibicarakan pada bab 1, para penulis menyuguhkan sebuah tabel dalam paragraf 11 yang memperlihatkan 13 sumber informasi, mencakup wawancara, observasi, dokumen, dan bahan-bahan audividual. Tebel tersebut secara khusus memfokuskan pada sumber-sumber pengumpulan data dengan memberi penekanan pada jangkauan pengumpulan data. 238 Dalam etnografi kritis, pengumpulan data kurang terfokus pada waktu di lapangan atau pada jangkauan data dan lebih pada kolaborasi aktif antara para peneliliti dan partisipan selama penelitian. Karena tujuan dari etnografi kritis adalah untuk membantu membawa perubahan yang berpengaruh terhadap kehidupan para partisipan, para partisipan perlu terlibat dalam memahami diri mereka sendiri dan langkah-langkah apa yang harus diambil untuk meningkatkan kesederajatan mereka, untuk memberikan pemberdayaan, atau untuk mengurangi ketertindasan yang mereka alami. Kolaborasi tersebut boleh jadi melibatkan para partisipan dalam merancang penelitian, merumuskan masalah penelitan, mengumpulkan data, atau menganalisis data yang sudah terkumpu. Ia boleh jadi juga mencakup pelibatan partisipan secara aktif menulis laporan akhir penelitian bersama-sama dengan anda. Langkah: 4 Menganalisis dan Menginterpretasi Data dalam sebuah Rancangan Dalam semua rancangan etnografi, anda akanterlibat dalam proses pengembangan deskripsi, analisis data dalam rangka menemukan tema-tema, dan memberikan interpretasi dalam rangka memaknai informasi. Ini merupakan prosedur yang biasa dilalui dalam analisis dan interpretasi pada semua penelitian kualitatif. Walaupun demikian, perbedaan tie rancangan penelitian etnografi bervariasi dalam pendekatannya terhadap prosedur tersebut. Dalam etnografi kritis, anda perlu mempertimbangkan keseimbangan antara deskripsi, analisis, dan interpretasi sehingga masing-masingnya menjadi unsur yang penting dalam analisis anda. Selanjutnya, anda bisa mendisukusikan di dalam interpretasi anda tersebut bagaimana anda memahami tema-tema kultural, secara aktif melakukan refleksi tentang informasi yang ditemui di dalam bahan kepustakaan, dan mengajukan gagasan bagaimana penelitian anda memberikan kontribusi terhadap pemahaman tema kulural dimaksud. Dalam studi kasus, sekali lagi analisis mengikuti deskripsi, analisis, dan interpretasi, akan tetapi prosedur analisis bervarasi tergantung pada apakah anda meneliti kasus tunggal atau kasus jamak. Prosedur studi kasus untuk kasus jamak adalah menganalisis masing-masing kasus secara terpisah dan kemudian melakukan analisis antar studi kasus (lihat Stake, 1995) untuk mengidentifikasi tema-tema umum dan tema-tema yang berbeda di antara kasus-kasus tersebut masing-masing. Langkah 5: Menyusun Laporan Sesuai dengan Rancangan 239 Etnografi realis ditulis sebagai sebuah laporan informasi yang objektif tentang kelompok berbudaya sama. Pandangan pribadi dan bias anda akan tetap berada di latar belakang, pembicaraan pada akhir laporan akan menandakan bagaimana penelitian itu memberikan kontribusi terhadap pengetahuan berkenaan dengan tema kultural yang didasarkan pada pemahaman terhadap pola-pola yang sama dalam bertingkah laku, berpikir dan bebahasa dari kelompok berbudaya sama itu. Walaupun demikian, studi kasus boleh jadi memberi penekanan pada deskripsi yang rinci tentang suatu kasus. Anda menuliskan sebuah studi kasus secara keseluruhan dalam rangka memberikan fokus terhadap deskripsi ketimbang pengembangan tema, seperti studi kasus deskriptif yang dilakukan oleh Stake (1995) tentang “Harper School”. Studi kasus yang lain menyeimbangkan antara deskripsi dan tema, seperi studi kasus “gunman incident” oleh Asmussen dan Crewell (1995). Salah satu faktor tambahan yang membedakan antara studi kasus dari rancangan etnografi yang lain adalah penulis boleh berdiskusi dalam rangka membuat generalisasi temuan-temuan terhadap kasus-kasus yang lain, terutama apabila si peneliti mengkaji stud-studi kasus jamak. Walaupun para peneliti kualitatif merasa enggan membuat generalisasi terhadap temuan-temuan penelitian mereka, penggunaan studi-studi kasus jamak memberikan beberapa kemampuan untuk mengidentifikasi temuan-tmuan yang bersifat umum bagi semua kasus dengan menggunakan analisis antar kasus. Apabila ini terjadi, para peneliti sudi kasus bisa menyarankan bahwa temuan-tmuan mereka bisa digeneralisasikan, akan tetapi klaim mereka dibaut secara ebih moderat. Dalam etnografis kritis, para peneliti mengakhiri laporan penelitian mereka dengan isu “kritis” yang tadinya teah mengawali penelitian tersebut, dan kemudian mendiskusikan bagaimana mereka dan para partisipan berubah atau mengambil manfaat dari penelitian tersebut. Termasuk ke dalam “call for action” (ajakan untuk berbuat) oleh para etnografer kritis boleh jadi merupakan refleksi tentang perubahan-perubahan yang mereka dan para partisipan telah alami. Tanpa diragukan lagi, dalam semua bentuk penelitian, para peneliti berubah, akan tetapi para etnografer kritis , sebagai para peneliti yang mawas diri, memberi penekanan pada bagaimana mereka dan para partisipan berubah. BAGAIMANA ANDA MENGEVALUASI PENELITIAN ETNOGRAFIS? Kriteria untuk menilai sebuah penelitian etnografi mulai dengan menerapkan standar yang digunakan di dalam penelitian kualitatif seperti diungkapkan pada bab 10. Kemudian, faktor-aktor spesifik perlu dipertimbangkan dalam bidang etnografi. 240 Perhatikan pertanyaan-pertanyaan berikut ketika anda membaca sebuah penelitian etnografis atau mengkaji sebuah penelitian yang telah anda lakukan: Apakah kelompok berbudaya sama atau kasus yang diteliti teridentifikasi secara jelas dan spesifk? Apakah ada pola-pola yang diidentifikasi untuk kelompok atau kasus tersebut? Apakah kelompok atau kasus itu dideskripsikan secara rinci? Apakah jelas kelihatan konteks yang ada di seputar kelompok atau kasus itu? Apakah si penulis melakukan refleksi tentang peranannya dalam penelitian? Apakah peneliti membuat interpretasi dengan lingkup yang lebih luas tentang makna dari pola-pola atau kasus tersebut? Apakah interpretasi itu muncul secara wajar (tidak dibuat-buat) dari deskripsi dan tema? Dari membaca sebuah etnografi, apakah pembaca memiliki pemahaman tentang bagaimana sebuah budaya berfungsi ditilik dari sudut pandang partisipan dan peneliti? Apakah si penelti mengecek akurasi penelitian dengan jalan menggunakan prosedur, seperti triangulasi antar sumber data atau membawa laporan penelitian kembali pada para partisipan untuk ditinjau ulang? MENERAPKAN APA YANG TELAH ANDA PELAJARI: SEBUAH PENELITIAN ETNOGRAFIS Untuk menerapkan gagasan dalam bab ini, mula-mula baca penelitian etnografis pada halaman 469 oleh Flinders (1996), perhatikan anotasi pada garis pinggir yang mengidentifikasi karakteristik kunci dari sebuah penelitian etnografis sebagaimana diperlihatkan dalam bab ini, dan karakteristik penelitian kualitatif. Penelitian ini dipilih karena ia mengikuti prosedur penelitian etnografis (yaitu adanya kelompok yang diidentifikasi secara jelas, pemahaman terhadap pola-pola tingkah laku, dan pengumpulan data-data observasi, dan mengilustrasikan sebuah contoh dari etnografi kritis dengan fokus kajian tentang isu jender dan mengadvokasi perubahan-perubahan tertentu dalam kelas bahasa dan sastra. Ketika anda meakukan tinjauan terhadap laporan penenlitian ini, cari unsur-unsur dari proses penelitian: Masalah penelitian dan penggunaan penelitian kualitatif 241 Penggunaan bahan kepustkaan Tujuan penelitian dan pertanyaan penelitian Tipe-tipe prosedur pengumpulan data etnografis Tipe-tipe prosedur analisis dan intepretasi data etnografis Struktur penulsian laporan secara menyeluruh Masalah Penelitin dan Penggunaan Penelitian Kualitatif Lihat paragraf 02 – 03 Masalah penelitian atau isu yang dikaji dinyatakan di dalam paragraf 02 ketika peneliti mengacu pada topik-topik yang sempit dan peranan dengan lingkup terbatas bagi wanita yang disajikan di dalam majalah anak-anak belasan tahun. Tambahan dari itu, adalah masalah terkait dengan rasa diri (sense of self) yang dibangun oleh para remaja putri melalui bacaan terhadap majalah ini. Peneitian ini memperlihatkan tanda-tanda kunci bagi sebiah penlitian kualitatif: Sebuah eksplorasi terhadap sebuah masalah tentang bagaimana anakanak wanita belaasan tahun membangun sense of self (paragraf 02) Penggunaan secara minimal bahan kepustakaan dan penerapannya dalam mendiskusikan masalah pada awal penelitian (paragraf 03) Pertanyaan-pertanyan terbuka dan luas tentang kegiatan membaca remaja putri terhadap majalah-majalah belasan tahun (paragraf 03) Pengumpuan data dari sejumah kecil partisipan – empat orang remaja putri muda (paragraf 04) Pengumpulan kata-kata (teks) dari para remaja dan penggunaan bentuk-bentuk pengumpulan data oleh sipeneliti sendiri (paragraf 06) Analisis teks melalui pelaporan kata-kata dari para remaja (misalnya lihat paragraf 10) Deskripsi dan analisis tema tentang pengembangan isu, the queens reading “Zines”, dan reading “fluff” (paragraf 10 – 14) Interpretasi terhadap temuan-temuan dalam konteks dan makna yang lebih luas berkenaan dengan pengajaran sub bahagian sastra (parafgraf 42 – 50) Selanjutnya, peneitianjuga memperlihatkan karakteristik dari sebuah etnografi kritis: Penelitian mengkaji konsep teoritis berkenaan dengan peran sosial (paragraf 03) dan isu tentang rentannya (vulnerability) pembaca remaja (paragraf 47) 242 Para peneliti membahas kepercayaan dan hubungan yang dineggosiaisikan dengan para remaja yang tidak akan memarjinalkan mereka selanjutnya. Dengan cara ini, si peneliti secara terbuka membahas posisinya (paragraf 07) Peneliti menjadi sensitif terhadap peran wanita di dalam konteks-koneks sosial, politi, dan pembangunan sekolah dan membaca (lihat paragraf 03) Si penelti juga menjadi advokat bagi kebutuhan para remaja dengan merekomendasikan perubahan-perubahan dalam pengajaran sub-sastra (lihat paragraf 42 – 50) Peneliti membiarkan penelitian dengan beberapa pertanyaan tambahan, seperti apakah yang akan terjadi terrhadap sakah satu dari remaja tersebut, Cleo, karena “tidak ada tempat baginya” (paragraf 50) Penggunaan Bahan Kepustakaan Lihat paragraf 03 Seperti ayaknya dalam penelitian-penelitian kualitatif, bahan kepustakaan dalam laporan penelitian ini memainkan peranan kecil. Ia mencatat bacaan bahan keustakaan oleh remaja putri dan ia memerlihatkan “percakapan” (Paragraf 03) Rumusan Tujuan Penelitian dan Pertanyaan Penelitian Lihat paragraf 03 Pada akhir paragraf 03 kita menemukan rumusan umum tujuan penelitian oleh si penulis yang akan ditambahkan oleh penelitian pada pembahasan yang sedang berlangsung tentang perspektif para remaja putri membaca majalah-majalah anak belasan tahun dan berbicara bagaimana melek huruf membentuk (dan menghambat) peran-peran sosial. Penulis mengajukan pertanyaan, “Bagaimana para remaja (muda) putri membaca bahan-bahan kepustakaan di luar fiksi (paragraf 03). Tipe-tipe Prosedur Pengumpulan Data Etnografi Lihat paragraf 04, 06 – 08 Observasi partisipan, wawancara, dan pengumpulan artifak-artifak tertulis menjadi bentuk-bentuk data utama yang dikumpukan. Proses ini mencakup pengumpulan data selama satu tahun dan terdiri dari observasi partisipan, wawancara, dan pengumpulan artifak-artifak tertulis dari para partisipan baik di dalam maupun di luar sekolah. 243 Tipe-tipe Prosedur Analisis dan Interpretasi Data Etnografi Analisis Data ----- lihat paragraf 10 – 41 Interpretasi ------- lihat paragraf 42 – 50 Penulis mengaitkan dekripsi dan pengembangan tema. Ini dapat dilihat dalam paragraf 16, contohnya, di mana si penulis mula-mula mendeskripsikan pola-pola bertingkah laku yang sama dari para remaja, mendokumentasikan deskripi rinci tentang bacaan yang dilakukan oleh para gadis tersebut dalam batas-batas tema “Menyeberangi Batas-batas Perkembangan: Membaca Zine sebagai upacara membaca. Dalam tema ini, kita mendengar tentang inklusi dan eksklusi para anggota dari queens (ratu) dan bagaimana para gadis tersebut berupaya mencari jawaban terhadap pertanyaanpertanyaan mereka dari majalah. Kita bertemu dengan Lauren, Angie, Tiffany, dan Cleo. Interprepratsi mengakhiri penelitian dengan si penulis melakukan refleksi tentang makna yang lebh luas dari majalah-majalah anak belasan tahun dalam pengajaran membaca. Penulis yakin bahwa majalah-majalah ini perlu ada di dalam kelas dan dilihat sebagai tulisan-tulisan sosial yang membentuk kehidupan para remaja putri. Struktur Penulisan Secara Menyeluruh Dalam banyak hal, penelitian ini terstruktur secara tradisional dengan memberikan penekanan pada sebuah masalah, pengumpulan data, analisis data, dan interpretasi data serta rekomendasi. Apa yang membuatnya tidak biasa adalah konsep kultural – peran sosial – yang digarisbawahi pada awal penelitian dan advokasi oleh si peneliti demi sebuah perubahan yang diberi penekanan pada akhir laporan. Unsur-unsur in secara jelas menjadi bahagian dari sebuah pendekatan kritis dalam etnografi. 244