BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia dan Thailand

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Indonesia dan Thailand merupakan dua negara berkembang di kawasan Asia Tenggara yang
sedang berusaha mengembangkan sektor industri otomotif negerinya. Kenyataan bahwa Industri
otomotif kedua negara didominasi oleh investasi luar negeri dari Jepang, sebesar 94% di Thailand
dan 90% di Indonesia menunjukkan bahwa hubungan antara kedua negara erat kaitannya dengan
Jepang. Foreign Direct Investement dari perusahan Jepang ini telah datang dan berkembang sejak
tahun 1960-an. Perusahaan Multinasional yang merepresentasikan Jepang membuat baik Indonesia
maupun Thailand gencar dalam melakukan lobi politik terhadap Jepang. Secara khusus, penelitian ini
akan melihat persaingan antara kedua negara terkait pengembangan industri otomotif dalam konteks
jaringan produksi Toyota. Penulis memilih Toyota karena merepresentasikan perusahaan terbesar
Jepang yang memiliki investasi terbesar baik di Indonesia maupun Thailand. Besarnya investasi itu
membuat keduanya masuk ke dalam jaringan produksi Toyota di kawasan Asia Tenggara. Thailand
menempati posisi pertama dengan kapasitas produksi 2,5 juta unit pada tahun 2014, disusul oleh
Indonesia yaitu 1,3 juta unit.1.
Dalam perkembangannya, Indonesia dan Thailand mengalami dinamika dalam bersaing
menjadi basis produksi utama di Asia Tenggara. Persaingan yang dialami oleh kedua negara ini terjadi
karena, Pertama, perusahaan Toyota di kedua negara yaitu Toyota Motor Manufacturing Indonesia
(TMMIN) dan Toyota Motor Thailand (TMT) menciptakan iklim kompetitif dalam industri otomotif
kedua negara melalui kebijakan perusahaan yang mempromosikan kepentingan ekonomi masingmasing negara. Kedua, melalui lobi yang dilakukan perusahaan dengan pemerintah di masing-masing
negara, memunculkan respon dari kedua negara untuk mendukung pembangunan industri otomotif
masing-masing melalui kebijakan domestik serta internasional. Tindakan yang dilakukan kedua
negara adalah untuk meningkatkan investasi Toyota dalam faktor produksi yang akan berimbas pula
pada peningkatan pendapatan negara serta dukungan terhadap pembagunan negara di sektor industri
otomotif. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan meskipun kedua negara masuk ke dalam
jaringan besar produksi Toyota, akan tetapi keduanya adalah negara yang memiliki kepentingan
ekonomi. Oleh karena itu, sebagai negara keduanya saling bersaing untuk menjadi basis produksi
utama mobil merk Toyota di Asia Tenggara, tidak hanya di bidang ekonomi, tetapi juga politik.
Anonim, ‘Pasar Otomotif Indonesia Lebih “Seksi” Dibanding Thailand’, liputan6 (daring),
http://samarindatoyota.com/pasar-otomotif-indonesia-lebih-seksi-dibanding-thailand/, diakses pada 24 November 2015
1
Pendekatan secara politis gencar dilakukan oleh kedua negara. Persaingan semakin sengit
dikala Indonesia terus mengejar penjualan mobil Toyota pada tahun 2013 mencapai 435.430 unit di
Indonesia dan hanya terpaut selisih 10 ribu unit dengan Thailand dibandingkan pada tahun 2012 yang
selisihnya sebesar 110 ribu unit.2 Dari sisi tenaga kerja, potensi Thailand jauh lebih besar
dibandingkan Indonesia karena upah minimum Thailand lebih rendah yaitu sekitar USD 191/bulan
sedangkan Indonesia USD 225/bulan pada tahun 2014. Selain itu, tingkat produktivitas buruh
Thailand lebih besar dibandingkan Indonesia. Presiden Joko Widodo berkunjung ke Toyota Motor
Corporation Jepang pada tanggal 25 Maret 2015 guna berdiplomasi terkait peningkatan investasi.
Indonesia dijanjikan peningkatan produksi 300% dan juga pembangunan pabrik produksi baru di
Karawang.3 Di sisi yang lain, Thailand tidak tinggal diam dengan berusaha membuktikan tidak
adanya pengaruh antara instabilitas domestik terhadap ekonomi. Perdana Menteri Prayuth Chan-Ocha
mengunjungi Toyota Motor Corporation pada awal tahun 2015 terkait investasi mobil listrik dan
mempertahankan investasi disana saat sedang terjadi kudeta dalam negerinya. 4 Indonesia melalui
pernyataan dari Wakil Presiden Jusuf Kalla pun siap untuk menyaingi produksi otomotif Thailand.
Keduanya terlihat memiliki ambisi yang besar dalam perkembangan industri otomotif.
Di dalam lobi politik yang dilakukan kedua negara terkait perkembangan industri tidak
terlepas dari latar belakang sejarah hubungan kedua negara dengan Jepang. Thailand telah menjalin
hubungan diplomatik dengan Jepang dalam kurun waktu 600 tahun terakhir sejak masa kekaisaran,
sehingga terbentuk hubungan sosial budaya yang intensif. Berbeda halnya dengan Indonesia, yang
dalam sejarahnya pernah diinvasi oleh Jepang dan mengalami pergolakan dalam perbaikan hubungan
bilateral sehingga hubungan diplomatik baru dimulai pada 1958. Hal ini menunjukkan bahwa
meskipun kedua negara bersaing menjadi basis produksi utama Toyota di Asia Tenggara, faktor
politik tidak dapat dilepaskan. Justru, Faktor politik menjadi hal yang mempengaruhi kebijakan
pemerintah Jepang terkait ekonomi terlepas dari kedudukan kedua negara yang masuk dalam Jaringan
Produksi Toyota. Hal ini juga tercermin dari representasi kebijakan politik luar negeri Jepang yang
sangat menekankan hubungan kedekatan.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa Indonesia dan Thailand mengalami
persaingan dalam perkembangan industri otomotif. Kedua negara merupakan basis produksi
Ilyas Istianur Praditya, ‘Buruh RI Klaim Lebih Produktif Dibanding Buruh Thailand’, 20 April 2015, <
http://otomotif.antaranews.com/berita/422878/indonesia-pasar-toyota-kelima-terbesar-di-dunia>, diakses pada 24
November 2015
3
Katadata, ‘Tmabha Investasi Toyota Janji Naikkan Ekspor Tiga Kali Lipat’,Katadata.co.id (daring), 25 Maret
2015, ’< http://katadata.co.id/berita/2015/03/25/tambah-investasi-toyota-janji-naikkan-ekspor-tiga-kalilipat#sthash.0NWPHpFF.dpbs>, diakses pada 17 November 2015
4
Santo Evren Sirait,’Toyota Siap Berinvestasi Untuk Produksi Kendaraan Listrik’,NewsOkezone (daring), 8
Oktober 2015, < http://news.okezone.com/read/2015/10/07/15/1227977/toyota-siap-berinvestasi-untuk-produksikendaraan-listrik>, diakses pada 24 November 2015
2
sekaligus pasar terbesar di Asia Tenggara. Persaingan tersebut didukung oleh pernyataan dan
tindakan para pemimpin negara yang dilihat sebagai bentuk persaingan kedua negara. Thailand
berusaha mempertahankan kedudukannya menjadi produsen Toyota terbesar di Asia Tenggara
sedangkan Indonesia terus berupaya mengejar Thailand. Pada faktanya tidak dapat dielakkan bahwa
Indonesia dan Thailand merupakan bagian dari sebuah sistem besar, yaitu sistem jaringan produksi
Toyota. Akan tetapi diluar dari jaringan produksi Toyota, Indonesia dan Thailand merupakan sebuah
negara dalam sistem internasional. Dalam hal ini, negara memiliki kedaulatan dalam mengambil
kebijakan terkait bidang industri otomotif. Faktor politik tidak dapat dielakkan dalam melihat
persaingan Indonesia dan Thailand. Berdasarkan dualisme sistem yang ada, kemudian penelitian ini
akan mengkaji lebih lanjut mengenai persaingan kedua negara dalam perkembangan industri
otomotif, serta upaya politik apa saja yang dilakukan kedua negara dalam mendukung kepentingan
ekonomi tersebut.
1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, kemudian penelitian ini akan mengangkat pertanyaan
mengenai “Mengapa dan bagaimana Indonesia dan Thailand bersaing dalam mengembangkan
industri otomotif dalam konteks Jaringan Produksi Toyota, Jepang di Asia Tenggara?”
1.3 Landasan konseptual
a. Aliasi Jepang di Asia dalam Jaringan Produksi Perusahaan Multinasional Jepang oleh
Walter Hatch dan Kozo Yamamura
Dalam buku Asia in Japan’s Embrace, Hatch dan Yamamura memperkenalkan konsep
jaringan produksi yang diterapkan oleh perusahaan multinasional Jepang di Asia.
5
Seiring
berkembangnya kawasan Asia sebagai alternatif produksi berorientasi ekspor, Perusahaan
multinasional Jepang pada tahun 1990-an membangun tipe jaringan yang lebih kompleks dan
komprehensif, yang disebut tipe web. Tipe ini menitikberatkan pada terciptanya hubungan
intraregional dan intragrup di dalam sebuah jaringan. Perusahaan multinasional Jepang sebagai patron
mengintegrasikan negara produksi sebagai klien secara vertikal di dalam jaringan produksi. Afiliasi
yang dibangun oleh perusahaan multinasional Jepang ini menekankan pada transfer tekhnologi
terhadap wilayah yang tepat, sehingga tercipta pembagian kerja dalam sistem produksi. Jaringan
produksi ini menciptakan aliansi produksi di antara aktor yang terlibat. Perusahaan multinasional
Jepang tidak hanya menamkan investasi, tetapi turut mendukung peningkatan lingkungan investasi
di negara berkembang. 6Kebijakan industri yang dilakukan oleh perushaan multinasional tidak
5
W. Hatch and K. Yamamura, ‘Asia in Japan’s Embrace’, New York :Cambridge University Press, 1996, p.27-
6
Ibid. p. 120-121
28
terlepas dari dukungan kebijakan pemerintah Jepang, METI (Ministry of Economy, Trade and
Industry). Aliansi produksi ini kemudian berpengaruh pada sektor lain diantara aktor yang terlibat
dalam satu jaringan produksi tersebut. Konsep jaringan produksi ini akan digunakan dalam melihat
persaingan Indonesia dan Thailand dalam membuat kebijakan baik dalam maupun luar negeri untuk
meningkatkan iklim investasi dari Toyota.
Dalam buku yang sama, Hatch dan Yamamura dalam bagian “The Embracer and the
Embraced” melihat bahwa situasi politik di negara Asia Tenggara dalam jaringan produksi berlaku
sistem unequal cooperation. Jepang melalui Foreign Direct Investment perusahaannya membuat
negara di Asia Tenggara menjadi Tecnologyless Industrialization. dimana perusahaan multinasional
Jepang memiliki kemampuan mengintegrasikan negara basis produksinya karena memiliki kapital
dan tekhnologi untuk membangun kerajaan industri.7 Melalui konsep ini terciptalah ketergantungan
dari negara-negara basis produksi terhadap perusahaan multinasional Jepang. Ketergantungan yang
ada menciptakan hubungan patrimonialisme dimana Jepang berperan sebagai patron, sedangkan
negara tujuan Foreign Direct Investment dan Official Development Assistance sebagai klien -oleh
budaya jawa disebut hubungan antara bapak dan anak-.8 Ketergantungan tercipta karena negaranegara berkembang pendidikan masyarakatnya relatif rendah kemudian sangat bergantung pada
transfer teknologi dari perusahaan Jepang. Tidak hanya itu, ketersediaan lapangan kerja yang terbatas
namun permintaan terhadap pekerjaan yang tinggi dan pengetahuan terkait industri yang rendah juga
menjadi alasan.
Sebagaimana definisi dari Patron-klien sendiri, hubungan kedekatan sangat diutamakan,
sehingga rasionalitas menjadi bias. Pada akhirnya, keputusan Jepang sangat bergantung pada faktor
lain seperti kedekatan politis, sejarah maupun budaya, barulah merujuk pada permasalahan ekonomi.
Hal ini yang kemudian dilakukan kedua negara baik Indonesia maupun Thailand untuk gencar
melakukan pendekatan kepada Jepang, tidak hanya di bidang ekonomi. Kedudukan Jepang dimata
negara Asia Tenggara yang memiliki kendali atas penguasaan teknologi dan kapital membuat
Indonesia dan Thailand gencar melakukan pendekatan politik. Hal ini tidak lain bertujuan untuk
menigkatkan investasi luar negeri sehingga mendorong pembangunan perekonomian sebuah negara.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan konsep ini untuk menjelaskan hubungan politik Indonesia
dan Thailand dalam usahanya melakukan lobi kepada pemerintah Jepang. Persaingan kedua negara
yang didukung dengan upaya pendekatan diri secara politik dengan Jepang menjadi salah satu
pembahasan untuk melihat bagaimana persaingan di industri otomotif Indonesia dan Thailand
7
8
81
Ibid. p. 79-81
W. Hatch and K. Yamamura, ‘Asia in Japan’s Embrace’, New York :Cambridge University Press, 1996, p.79-
berjalan, bahwasannya faktor ekonomi bukanlah yang terpenting, melainkan ada faktor lain yaitu di
bidang politik.
1.4 Argumentasi utama
Indonesia dan Thailand meskipun masuk dalam Sistem Jaringan Produksi Toyota, justru
membuat keduanya bersaing karena masing-masing negara berusaha mencapai kepentingan ekonomi
yaitu mengembangkan industri otomotif negerinya. Persaingan tersebut terjadi karena dalam Sistem
Jaringan Produksi, Toyota menerapkan kebijakan yang berbeda kepada Thailand maupun Indonesia.
Sebagai konsekuensinya, sub-perusahaan Toyota melalui filososi “promote national interest”
melakukan lobi kepada pemerintah, sehingga pemerintah merespon dengan pembuatan kebijakan
yang bersifat kompetitif untuk menyaingi negara lain meskipun berada dalam satu Jaringan Produksi.
Persaingan yang terjadi antara Indonesia dan Thailand dalam memperebutkan posisi terbaik
dalam basis produksi Toyota dilakukan dengan beberapa cara, yaitu Pertama, pemerintah merespon
kehadiran Toyota dengan cara membuat kebijakan yang mendukung iklim investasi dan sektor terkait
pengembangan industri otomotif. Hal ini bertujuan untuk menarik peningkatan investasi yang
berujung pada pengembangan industri otomotif negara. Kedua, dalam upayanya di level
internasional, kedua negara melakukan lobi politik kepada Jepang yang pada akhirnya bertujuan
untuk kepentingan ekonomi kedua negara.
Indonesia dan Thailand merupakan negara di Asia Tenggara yang telah menjalin kerjasama
erat baik di bidang ekonomi hingga politik. Kedekatan yang dilakukan kedua negara kepada Jepang
tidak terlepas dari adanya Technologyles Industrialization yang menciptakan hubungan patron-clien.
Foreign Direct Investment yang diberikan oleh Toyota kepada kedua negara menciptakan
ketergantungan pada dua negara terhadap Jepang. Ketergantungan hadir dari adanya masalah tenaga
kerja, keterbatasan teknologi serta kapital. Oleh karenanya kedua negara saling bersaing dengan
menjalin hubungan internasional dengan pemerintah Jepang secara politik karena Toyota merupakan
perusahaan Jepang yang terikat pada kebijakan pemerintah Jepang.
1.5 Metode penelitian
Penelitian ini akan menggunakan metode kualitatif dimana sumber data akan dianlisis dengan
membandingkan kebijakan domestik dan internasional antara Indonesia dan Thailand selama
persaingan kedua negara berlangsung, dari proses hingga hasil. Metode ini digunakan dengan
mendapatkan beberapa sumber. Sumber tersebut terdiri dari, Pertama, data dari annual report Toyota
Global mengenai sistem jaringan produksi Toyota di Asia Pasifik, untuk memahami bagaimana
mekanisme jaringan produksi diterapkan serta perkembangan industri otomotif di kedua negara.
Kedua, publikasi resmi pemerintah Indonesia dan Thailand terkait kebijakan kedua negara yang
mendukung hidupnya industri otomotif dalam persaingan yang terjadi, seperti kebijakan investasi dan
kebijakan eco-green car di kedua negara. Ketiga, data mengenai perkembangan dan implementasi
kerjasama bilateral antara Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA) dan JapanThailand Economic Partnership Agreement (JTEPA) dalam bidang politik-ekonomi. Keempat, data
berasal jurnal, berita elektronik maupun literatur terkait perkembangan hubungan pendekatan politis
antara Indonesia-Jepang maupun Thailand-Jepang.
1.6 Jangkauan penelitian
Penilitian ini akan terbatas pada jaringan produksi Toyota di wilayah Asia Tenggara yang
difokuskan pada persaingan antara Indonesia dan Thailand. Kedua negara ini diambil karena investasi
Toyota di kedua negara di bidang industri otomotif adalah yang terbesar, dan produksi mobil Toyota
di kedua negara terbesar di Asia Tenggara serta menyumbang devisa terbesar negara. Selanjutnya,
jangkauan waktu pembahasan akan dimulai pada tahun 2010 hingga kini disaat industri otomotif
keduanya tengah berkembang pesat di Asia tenggara dan mulai menerapkan kebijakan yang
menunjukkan adanya persaingan menjadi basis produksi utama Toyota di Asia Tenggara.
1.7 Sistematika penelitian
Penelitian ini akan dibagi menjadi empat bagian. Setelah bagian pertama ini, bagian kedua
akan memperdalam bahasan terkait sistem jaringan produksi Toyota di Asia Tenggara, serta
menekankan mengapa kedua negara bersaing dalam bidang industri. Pada bagian ini pula, penulis
menentukan terminologi yang akan digunakan selama penulisan agar tidak memunculkan ambiguitas.
Tidak lupa, penulis akan menjelaskan kebijakan maupun strategi kedua negara dalam bersaing
melalui analisis kebijakan terkait industri otomotif di kedua negara. Selanjutnya, pada bagian ketiga,
penulis akan berfokus membahas hubungan politik internasional yang terjadi antara Indonesia,
Thailand dan Jepang yang erat kaitannya dengan persaingan Indonesia dan Thailand menggunakan
konsep Patron-Client Dependent oleh Walter Hatch dan Kozo Yamamura. Penelitian ini diakhiri pada
bagian keempat yang berisi kesimpulan dan inferensi yang dapat ditarik selama penelitian
berlangsung.
Download