Bab 1 Pendahuluan

advertisement
Bab 1
Pendahuluan
Sebagaimana diketahui, dalam arahan Gubernur Bank Indonesia yang disampaikan
pada awal Januari 2005 yang terkait dengan kebijakan perbankan ke depan, Bank Indonesia
dipastikan akan menerapkan standar internasional yang direkomendasikan Basel Committee
on Banking Supervision (‘‘Committee’’) dalam dokumen The International Convergence of
Capital Measurement and Capital Standards (yang lebih dikenal dengan ‘‘Basel II’’) terhadap
perbankan Indonesia.
Dokumen Basel II merupakan penyempurnaan lebih lanjut dari dokumen Basel
Accord 1988 yang telah diadopsi oleh Bank Indonesia melalui pengaturan Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum (KPMM) sejak tahun 1991. Dalam penerapannya di lebih dari
100 negara, Basel Accord 1988 banyak mendapat kritikan karena memiliki berbagai
kelemahan, antara lain: (i) kategori pembobotan risiko sangat luas sehingga kurang dapat
mencerminkan gradasi risiko kredit yang sebenarnya dan mengabaikan implikasi
diversifikasi portofolio; (ii) belum merefleksikan keseluruhan jenis risiko yang dihadapi
perbankan, dan (iii) tidak memberikan insentif bagi penerapan manajemen risiko yang lebih
baik. Didasari pertimbangan tersebut, Committee menerbitkan dokumen Basel II yang pada
prinsipnya menyempurnakan metode pengukuran risiko yang lebih akurat dalam mengukur
kecukupan permodalan sehingga dapat menyelaraskan antara modal yang seharusnya
dibentuk bank sesuai profil risiko (economic capital) dan modal yang dipersyaratkan otoritas
(regulatory capital). Selanjutnya, merujuk pada rekomendasi Committe tersebut, perlu
dipertegas bahwa Basel II tidak melakukan perubahan terhadap komponen permodalan
(yang mencakup Tier 1, Tier 2, dan Tier 3) serta tetap menetapkan 8% sebagai batas
minimum pemeliharaan permodalan .
Dokumen Basel II telah disirkulasikan kepada otoritas pengawas di seluruh dunia
agar mereka mempertimbangkan pengadopsian dokumen tersebut dengan tetap
memperhatikan skala prioritas dalam pengembangan dan pelaksanaan fungsi pengawasan di
masing-masing yurisdiksi. Committee menyadari bahwa penerapan dalam waktu dekat
bukanlan merupakan prioritas bagi otoritas pengawas di negara-negara non G-10
sehubungan dengan berbagai kebutuhan yang unik dari setiap negara dalam melakukan
strategi peningkatan efektivitas pengawasan mereka. Dengan demikian, setiap otoritas
pengawas diharapkan mempertimbangkan secara berhati-hati manfaat rekomendasi Basel II
dalam konteks sistem perbankan domestik saat mempertimbangkan dan menetapkan
kerangka waktu dan pendekatan yang akan diimplementasikan.1
1
Prinsip ‘‘adoption at all costs approach’’ harus dihindari, khususnya negara berkembang deng an sistem
perbankan yang belum advanced dan memiliki keterbatasan sumber daya. Prioritas yang harus dilakukan adalah
memastikan kesehatan dan kestablian sektor keuangan melalui penerapan Basel Accord 1988 dan 25 Basel Core
Principles for Effective Banking Supervision (BCP’s). Program Penilaian Sektor Keuangan (Financial Sector
Assessments Program) seyogyanya tidak dilakukan berdasarkan penerapan/ pemenuhan Basel II bagi negara yang
tidak akan menerapkan Basel II, namun lebih didasarkan pada kecukupan standar pengaturan/pengawasan serta
enforcement di masing-masing negara, yang senantiasa mengacu pada 25 BCP’s (IMF & World Bank).
1
Melalui berbagai survei dan pengkajian kesiapan perbankan, telah disepakati
bersama bahwa penerapan Basel II akan di mulai tahun 2008 secara bertahap. Sebagai
langkah konkret selanjutnya untuk mengetahui implikasi penerapan Basel II tersebut,
Direktorat Penelitian dan Pengaturan Bank (DPNP) telah merencanakan melakukan
Quantitative Impact Study (QIS) 2, yaitu untuk posisi April dan Juli 2005 menggunakan format
QIS 4, sementara posisi Oktober 2005 menggunakan format QIS 5.
Disamping untuk mengetahui dampak kuantitatif penerapan Basel II terhadap profil
risiko serta rasio permodalan bank, studi ini dimaksudkan sebagai bahan pertimbangan bagi
Bank Indonesia untuk menetapkan national discretion, khususnya perlakuan dan penetapan
bobot risiko terhadap berbagai eksposur perbankan.
Bank Partisipan
Pada tahap awal, studi ini hanya dilakukan terhadap beberapa bank yang ditetapkan
sebagai sampel. Penetapan bank sampel tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa
bank-bank tersebut dapat mewakili seluruh kelompok bank, yaitu : (i) kelompok bank
Persero, Devisa, Non -Devisa, BPD, ex Campuran dan Asing; maupun (ii) kelompok bank
besar, sedang dan menengah (berdasarkan skala total aset). Dengan demikian, hasil studi ini
diharapkan dapat menggambarkan kondisi pada seluruh kelompok maupun skala bank.
Berdasarkan kriteria tersebut, bank-bank yang terpilih sebagai sampel adalah 40 bank
dengan pangsa aset mencapai 79,95% dari total aset perbankan sebagaimana dapat dilihat
pada Lampiran 1 .
Namun, untuk posisi April 2005, dari 40 bank tersebut hanya informasi dari 35 bank
yang dapat digunakan karena kualitas data dari 4 bank tidak memenuhi syarat dan terdapat
1 bank yang tidak menyampaikan informasi sampai batas akhir yang ditetapkan. Adapun
untuk posisi Juli 2005, hanya data dari 37 bank sampel yang dianalisa karena terdapat 2
bank sampel yang melakukan merger dan 2 bank yang tidak mengembalikan laporan.
Untuk keperluan analisa, bank sampel akan dikelompokkan dalam 3 grup bank,
yaitu (i) Grup 1, bank dengan total aset = Rp 1 trilyun, (ii) Grup 2, bank dengan total aset >
Rp 1 trilyun s.d Rp 10 trilyun, dan (iii) Grup 3, bank dengan total aset > Rp 10 trilyun.
Sementara untuk tujuan agregasi data, baik secara grup maupun keseluruhan, metode yang
digunakan adalah metode simple average.
2
Secara umum, QIS bertujuan untuk melihat sejauhmana dampak kuantitatif penerapan Basel II terhadap profil
risiko serta rasio permodalan perbankan. Adapun format dan template QIS telah disediakan oleh Basel
Committee. Dilihat dari formatnya, dapat dikatakan bahwa QIS merupakan tool yang cukup efektif untuk
membantu perbankan memahami substansi Basel II, khususnya Pillar 1 dengan Pendekatan Standar
(Standardized Approach). Disamping itu, format QIS setidaknya memberikan gambaran mengenai persiapan yang
perlu dilakukan oleh perbankan, khususnya terkait dengan pengumpulan informasi, pengembangan IT dan
database , serta formulasi kebijakan perkreditan (lending policy).
2
Persiapan Survei
Studi dilakukan dengan melakukan survei dan mengumpulkan data-data dalam
format workbook QIS 4 yang telah disediakan Committee. Workbook tersebut telah
dirancang untuk melihat pengaruh perbedaan pengukuran risiko berdasarkan Basel II
dibandingkan regulasi saat ini, khususnya pengaruh Basel II terhadap rasio permodalan
bank.
Untuk mendukung studi tersebut, DPNP telah menyusun pedoman teknis
pelaksanaan QIS (Lampiran ) serta melakukan 2 kali workshop , yaitu workshop secara umum
pada tanggal 12 April 2005 dan workshop secara per kelompok bank tanggal 8 ----12 Agustus
2005. Diharapkan pelaksanaan workshop tersebut akan membantu bank-bank dalam
melakukan pengisian data QIS.
Pendekatan, Definisi, Penetapan National Discretion, dan Skenario
Untuk tahap awal, studi QIS 4 akan mencakup perhitungan seluruh risiko (kredit,
pasar, dan operasional), dengan menggunakan pendekatan perhitungan berikut:
1. Standardised Approach, untuk risiko kredit;
2. Standard Model, untuk risiko pasar; dan
3. Basic Indicator Approach , untuk risiko operasional.
Berdasarkan kerangka Basel II, dalam beberapa area tertentu otoritas pengawas
diberikan keleluasaan untuk menetapkan kebijakan tersendiri (national discretion) sesuai
kondisi di masing-masing negara, sepanjang diskresi tersebut bersifat lebih konservatif
dibandingkan standar yang ditetapkan Committee. Untuk tujuan studi ini, definisi
eksposur/tagihan (claims) dan beberapa diskresi serta asumsi yang digunakan dapat dilihat
pada Lampiran 2.
Dalam pelaksanaan studi ini, terdapat beberapa diskresi yang perlu mendapat
perhatian, yaitu:
1. Perlakuan terhadap eksposur kepada Pemerintah Indonesia dan Bank Indonesia
(sovereign claims)
Sebagaimana dikemukakan diatas, pengukuran risiko kredit dalam studi ini
menggunakan Standardised Approach dimana penetapan bobot risiko kredit terhadap
setiap eksposur/tagihan bank didasarkan pada hasil peringkat yang diterbitkan lembaga
pemeringkat yang diakui, termasuk seluruh eksposur bank kepada Pemerintah Indonesia
dan Bank Indonesia. Melihat kondisi saat ini, dimana sovereign rating yang diterbitkan
lembaga pemeringkat internasional terhadap Indonesia adalah Ba- (Moody’s) dan BB(Standard & Poor), tidak dapat dihindari bahwa seluruh eksposur kepada Pemerintah
Indonesia dan Bank Indonesia harus dikenakan bobot risiko sebesar 100%. Namun,
Basel II memberi peluang bagi bank untuk mengenakan bobot risiko yang lebih rendah
(preferential treatment) yaitu sebesar 50% jika pendanaan atas eksposur sovereign
3
tersebut dilakukan dalam mata uang yang sama sehingga tidak terjadi currency
mismatch.
Mengingat saat ini penempatan dana industri perbankan masih banyak didominasi
eksposur sovereign, maka studi ini akan menggunakan 2 skenario untuk melihat sejauh
mana penerapan Basel II akan berdampak pada tingkat permodalan bank, yaitu:
a. Skenario 1 - bobot risiko 100% (berdasarkan sovereign rating); dan
b. Skenario 2 - bobot risiko 50% (berdasarkan preferential treatment dengan asumsi
tidak terjadi currency mismatch )
2. Perlakuan terhadap eksposur yang dijamin dengan properti rumah tinggal (claims
secured by residential property) atau tagihan KPR serta portofolio ritel
Dalam dokumen Basel II, Committee merekomendasikan pengenaan bobot risiko yang
lebih rendah untuk eksposur KPR dan portofolio ritel. Hal ini dilatarbelakangi
pengkajian terhadap historical data yang meyakini bahwa :
a. eksposur KPR umumnya memiliki recovery rate yang cukup tinggi sehingga dianggap
layak untuk mendapatkan bobot risiko 35% dibandingkan bobot risiko sebelumnya
sebesar 50%; dan
b. risiko portofolio ritel cukup menyebar karena terdiversifikasi pada sejumlah besar
debitur dengan nilai eksposur individual relatif kecil, sehingga dianggap layak untuk
mendapatkan bobot risiko 75% dibandingkan bobot risiko sebelumnya sebesar
100%.
Meskipun demikian, Committee menekankan bahwa setiap otoritas pengawas harus
menetapkan bobot risiko yang lebih tinggi apabila pengalaman historis di masing-masing
negara memberikan indikasi relatif tingginya tingkat default (default experience) atas
eksposur KPR dan portofolio ritel3. Untuk tujuan studi ini, DPNP mengenakan bobot
risiko minimal yang telah ditetapkan committee, yaitu 35% untuk eksposur KPR dan
75% untuk portofolio ritel. Namun, diskresi yang akan ditetapkan Bank Indonesia pada
saat penerapan ke depan akan didasarkan pada pengkajian yang lebih komprehensif
terhadap default experien ce dari eksposur KPR dan portofolio ritel yang saat ini sedang
dalam tahap penyelesaian.
3
National supervisory authorities should evaluate whether the risk weight at 35% are considered to be too low
based on the default experience for these types of exposures in their jurisdiction. Supervisors, therefore, may
require banks to increase these risk weights as appropriate (paragraph 73).
4
Bab 2
Analisa Hasil QIS 4
Dampak Terhadap Aktiva Tertimbang Menurut R isiko (ATMR)
Hasil studi memperlihatkan bahwa penerapan Basel II dapat memberikan gambaran
profil risiko perbankan yang lebih tinggi (higher risk profile) yang tercermin dari peningkatan
total ATMR, hal mana sejalan dengan semangat Basel II yang bertujuan merumuskan suatu
standar pengukuran risiko yang lebih sensitif (more risk sensitive).
Secara umum,
meningkatnya profil risiko perbankan dapat dikaitkan dengan hal-hal berikut:
1. Penggunaan hasil peringkat oleh lembaga pemeringkat belum merupakan suatu
budaya/kultur dalam pengambilan keputusan pemberian kredit oleh perbankan nasional.
Fakta ini didasarkan pada hasil survei terhadap beberapa bank besar yang pernah
dilakukan beberapa tahun lalu diperoleh gambaran bahwa rata-rata hanya 20% dari
seluruh debitur bank yang memiliki peringkat dari lembaga pemeringkat (misalnya
Standard & Poors, Moodys, Fitch, PT Pefindo, ataupun PT. Kasnic). Disamping itu, data
yang diperoleh dari rating announcement yang dipublikasikan lembaga pemeringkat
domestik menunjukkan masi h sedikitnya data pemeringkatan yang dapat digunakan
sebagai benchmark dalam perhitungan risiko kredit, khususnya peringkat terhadap
perusahaan. (lihat Tabel 1).
Tabel 1
Jumlah Perusahaan yang Memperoleh Peringkat
Posisi September 2005
PT. Pefindo
PT. Kas nic
Issuance Rating
Corporate Rating
Issuance Rating
Corporate Rating
84
8
28
-
Issuance Rating
Corporate Rating
: Peringkat yang diberikan terhadap penerbitan suatu surat berharga
: Peringkat yang diterbitkan terhadap suatu perusahaan
Siituasi demikian menyebabkan bank belum dapat menikmati insentif penggunaan hasil
peringkat yang dapat memperkecil angka perhitungan ATMR, khususnya terhadap
eksposur kepada BUMN/BUMD. Dalam rezim pengaturan saat ini, BUMN/BUMD
diperlakukan sebagai public sector entities (PSE) yang dikenakan bobot risiko 50%.
Namun, merujuk pada kriteria PSE dalam Basel II, hanya sebagian kecil BUMN/BUMD
yang dapat dikenakan bobot risiko 50%, sementara mayoritas harus diperlakukan
sebagai eksposur corporate dengan besarnya bobot risiko bergantung pada hasil
5
peringkat. Dengan demikian, BUMN/BUMD yang tidak memiliki peringkat (unrated)
harus dikenakan bobot risiko sebesar 100%4.
2. Pengenaan bobot risiko yang lebih tinggi terhadap eksposur kepada Pemerintah
Indonesia dan Bank Indonesia, yaitu sebesar 100% (skenario 1) dan 50% (skenario 2),
sementara saat ini seluruh sovereign claims dianggap bebas risiko (risk free) dengan
bobot risiko 0%.
3. Bobot risiko untuk eksposur kepada bank ditetapkan satu level dibawah bobot risiko
untuk ekposur pemerintah dimana bank tersebut berdomisili (opsi 1) atau berdasarkan
hasil peringkat eksternal (opsi 2). Dengan kondisi peringkat sovereign maupun peringkat
bank saat ini, maka dapat dipastikan besarnya bobot risiko yang harus dikenakan
terhadap ekposur kepada bank melebihi ketentuan yang berlaku saat ini sebesar 20%.
4. Seluruh eksposur yang telah jatuh tempo lebih dari 90 hari (past due loan) dikenakan
bobot risiko 150% karena dianggap sebagai eksposur dengan risiko tinggi (higher risk
category).
5. Sebagian besar jenis agunan yang dijaminkan oleh debitur adalah agunan fisik (misalnya
tanah dan bangunan perumahan atau industri). Disamping itu, transaksi credit derivative
dan sekuritisasi yang dapat dikategorikan sebagai bentuk mitigasi risiko belum
berkembang luas dan menjadi produk pilihan perbankan maupun pelaku pasar lainnya.
Dengan demikian, perbankan Indonesia belum memiliki banyak pilihan strategi/teknik
memitigasi risiko kredit sehingga aspek yang merupakan insentif (sweetener) dari
kerangka Basel II belum sepenuhnya dapat dinikmati perbankan.
6. Adanya tambahan komponen risiko operasional dalam perhitungan ATMR, yang dalam
studi ini menggunakan Basic Indicator Approach , yaitu sebesar 15% dari total gross
income.
Dengan latar belakang struktur neraca perbankan Indonesia serta kultur aktivitas
pembiayaan kegiatan yang belum menggunakan hasil peringkat eksternal sebagaimana
uraian diatas, maka implementasi Basel II dengan menggunakan skenario 1 menyebabkan
peningkatan total ATMR rata-rata mencapai 92,10% untuk posisi April 2005 dan 86,88%
untuk posisi Juli 2005 , sedangkan dengan skenario 2 rata-rata mencapai 63.6% untuk posisi
April 2005 dan 59.58% untuk posisi Juli 2005 (Lihat Tabel 2). Tabel tersebut
memperlihatkan besarnya persentase peningkatan total ATMR dengan penerapan framework
Basel II dibandingkan perhitungan total ATMR berdasarkan ketentuan yang berlaku saat ini.
Dari hasil perhitungan posisi April dan Juli 2005, baik menggunakan skenario 1
maupun skenario 2, terlihat bahwa secara umum rata-rata peningkatan total ATMR tertinggi
dialami bank-bank besar dalam grup 3, dan sebaliknya peningkatan total ATMR terkecil
dialami bank-bank dalam grup 2. Peningkatan total ATMR bank-bank tersebut tidak hanya
bersumber dari pengenaan bobot risiko kredit yang lebih tinggi, khususnya bobot risiko atas
eksposur kepada sovereign serta kepada bank, namun juga adanya tambahan beban modal
4
Untuk menghindari moral hazard, Committee memberikan keleluasaan bagi otoritas pengawas untuk
mengenakan bobot risiko yang lebih tinggi (> 100%), khususnya jika terdapat indikasi tingginya probabilitas
default rate dari eksposur yang tidak berperingkat.
6
yang dialokasikan untuk mengantisipasi risiko operasional. Namun, tidak dapat dipungkiri
bahwa lebih dari 50% peningkatan total ATMR dikontribusikan oleh eksposur yang
mengandung risiko kredit.
Tabel 2
Persentase Peningkatan Total ATMR berdasarkan Basel II
POSISI APRIL 2005
Grup
Grup 1
Grup 2
Grup 3
Seluruh Sampel
Jumlah Bank
8
12
15
35
Skenario 1
Rata-rata (simple average)
56,83%
46,64%
96,35%
92,10%
Maksimum
Minimum
201,50%
18,02%
112,95%
13,82%
190,93%
35,74%
201,50%
13,82%
Skenario 2
Rata-rata (simple average)
Maksimum
Minimum
35,83%
104,27%
10,26%
38,70%
63,54%
11,02%
65,98%
111,10%
30,38%
63,60%
111,10%
10,26%
POSISI JULI 2005
Grup
Grup 1
Grup 2
Grup 3
Seluruh Sampel
Jumlah Bank
10
13
14
37
43,77%
300,84%
14,85%
28,47%
124,14%
0,82%
92,42%
163,93%
29,94%
86,88%
300,84%
0,82%
26,05%
202,21%
7,99%
18,70%
97,00%
(2,28%)
63,49%
101,33%
10,09%
59,58%
202,21%
(2,28%)
Skenario 1
Rata-rata (simple average)
Maksimum
Minimum
Skenario 2
Rata-rata (simple average)
Maksimum
Minimum
Grup 1 : bank dengan total aset = Rp 1 trilyun
Grup 2 : bank dengan total aset > Rp 1 trilyun s.d Rp 10 trilyun
Grup 3 : bank dengan total aset > Rp 10 trilyun
Sebagaimana telah dikemukakan diatas, Basel II tidak hanya merekomendasikan
penggunaan hasil p eringkat eksternal dalam pengukuran risiko kredit yang dapat berdampak
pada pengenaan bobot risiko yang lebih tinggi, namun juga mengusulkan pengenaan bobot
risiko yang lebih rendah atas eksposur KPR (claims secured by residential property) serta
portofolio ritel, dengan pertimbangan bahwa berdasarkan data historis ke dua jenis
portofolio tersebut terekspos pada risiko yang relatif lebih rendah. Namun, rekomendasi
Basel II yang bersifat relaksasi tersebut tampaknya tidak banyak memberikan dampak pada
penurunan total ATMR bank disebabkan volume eksposur KPR dan portofolio ritel tidak
terlalu signifikan dibandingkan jumlah eksposur kepad a sovereign dan eksposur kepada
bank lainnya. Tabel 2 diatas memperlihatkan bahwa hanya 1 bank yang mengalami
penurunan total ATMR sebesar 2,28% yaitu bank dalam Grup 2 yang memiliki eksposur
sovereign yang relatif rendah . Penurunan ATMR hanya dapat dinikmati bank tersebut jika
perhitungan ATMR dilakukan dengan skenario 2.
7
Risiko Kredit
1. Analisa Portofolio
Penggunaan Standardized Approach dalam studi ini secara nyata menghasilkan angka
perhitungan ATMR risiko kredit yang umumnya meningkat cukup signifikan, baik
dengan skenario 1 maupun skenario 2. Grafik 1 dan 2 menggambarkan besarnya
peningkatan ATMR risiko kredit untuk masing-masing bank berdasarkan skenario 1 dan
2 yang dikelompokkan berdasarkan grup bank, masing-masing untuk posisi April dan Juli
2005.
G
Grafik 1
Dampak terhadap Peningkatan ATMR
Posisi April 2005
200%
175%
150%
Grup 1
125%
Grup 3
Grup 2
100%
75%
50%
25%
0%
-25%
Skenario 1
Skenario 2
Grafik 2
Dampak terhadap Peningkatan ATMR
Posisi Juli 2005
250%
225%
200%
175%
150%
125%
Grup 3
Grup 1
Grup 2
100%
75%
50%
25%
0%
-25%
Skenario 1
Skenario 2
8
Grafik 1 dan 2 menunjukkan bahwa secara rata-rata bank-bank dalam grup 3 (total aset
> Rp 10 trilyun) mengalami penin gkatan ATMR risiko kredit yang relatif lebih tinggi.
Lebih rinci, Tabel 3 dibawah ini menggambarkan jumlah bank yang mengalami
peningkatan maupun penurunan jumlah ATMR risiko kredit.
Tabel 3
Jumlah Bank dengan Peningkatan dan Penurunan ATMR Risiko Kredit
Posisi April 2005
ATMR meningkat
ATMR menurun
Jumlah
Skenario 1
34
Skenario 2
32
Posisi Juli 2005
Skenario 1
32
Skenario 2
26
1
3
5
11
35
35
37
37
Analisa lebih jauh mengenai kontribusi masing-masing jenis eksposur/portofolio
terhadap peningkatan angka ATMR risiko kredit mengemukakan fakta bahwa
berdasarkan kerangka Basel II, eksposur kepada sovereign secara umum merupakan
kontributor terbesar bagi peningkatan profil risiko perbankan di Indonesia, yaitu
mencapai lebih dari 50% untuk skenario 1 dan berkisar 28% untuk skenario 2. Besarnya
kontribusi eksposur kepada sovereign tersebut merupakan implikasi langsung dari
dominasi penempatan dana pada surat utang pemerintah dan SBI yang mencapai lebih
dari 25% dari total portofolio bank sampel.
Disamping itu, eksposur kepada korporasi (termasuk kepada BUMN/BUMD) juga
memberikan kontribusi terhadap peningkatan ATMR . Hal ini disebabkan mayoritas
ekposur tersebut tidak memiliki peringkat (unrated) sehingga dikenakan bobot risiko
100%, dimana sebelumnya eksposur kepada BUMN/BUMD hanya dikenakan bobot
risiko 50%. Pada posisi April 2005 dan Juli 2005, eksposur kepada korporasi yang tidak
memiliki peringkat masing-masing mencapai 64,44% dan 67,06%.
Gambaran lebih
rinci dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4
Pangsa Eksposur dan Konstribusi Terhadap Peningkatan ATMR
April 2005
Eksposur/Portofolio
% Eksposur
Juli 2005
% Kontribusi
terhadap
Peningkatan
% Eksposur
ATMR
% Kontribusi
terhadap
Peningkatan
ATMR
Sovereign
Skenario 1
Skenario 2
26.80%
Korporasi
28.78%
0.79%
29.63%
Bank
4.70%
0.67%
5.93%
1.27%
Ritel
13.29%
(5.33%)
12.12%
(4.40%)
3.04%
10.25%
(0.93%)
(4.39%)
2.97%
9.15%
(0.86%)
(3.54%)
10.37%
(0.97%)
10.84%
(1.98%)
KPR
Non KPR
SME
26.22%
56.85%
28.35%
54.60%
27.30%
1.14%
9
April 2005
Eksposur/Portofolio
Juli 2005
% Kontribusi
% Eksposur
Diperlakukan sbg Korporasi
Diperlakukan sbg Ritel
terhadap
Peningkatan
ATMR
% Kontribusi
% Eksposur
terhadap
Peningkatan
ATMR
6.82%
3.55%
0.40%
(1.38%)
7.19%
3.64%
(0.26%)
(1.72%)
Equity
0.02%
0.00%
0.03%
0.00%
Anjak Piutang
Sekuritisasi Aset
0.75%
0.17%
0.00%
(0.21%)
0.93%
0.00%
0.00%
(0.17%)
Trading book
9.22%
17.07%
8.57%
14.51%
Risiko Operasional
23.25%
21.91%
Total Skenario 1
92.10%
86.88%
Total Skenario 2
63.60%
59.58%
2. Analisa Mitigasi Risiko Kredit
Sesuai kerangka Basel II, pengukuran risiko kredit dapat memperhitungkan faktor agunan
(collateral) dan proteksi kredit tertentu yang memenuhi persyaratan sebagai faktor
mitigasi risiko. Bentuk agunan yang memenuhi persyaratan tersebut antara lain uang
tunai (cash) dan instrumen keuangan seperti surat berharga, reksadana, dan saham yang
memiliki peringkat tertentu dan diperdagangkan di pasar keuangan terkemuka. Hasil
studi (khusus posisi Juli 2005) menunjukkan bahwa perhitungan agunan dan proteksi
kredit sebagai faktor mitigasi risiko tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap
penurunan ATMR risiko kredit sebagaimana terlihat pada Tabel 5 berikut.
Tabel 5
Dampak Perhitungan Agunan dan Proteksi Kredit sebagai Mitigasi Risiko Kredit
POSISI JULI 2005
Grup
Grup 1
Grup 2
Grup 3
Seluruh Sampel
21,96%
(24,31%)
5,23%
3,43%
(9,16% )
2,04%
0,72%
(3,86%)
2,64%
1,17%
(4,79%)
Eksposur SME Korporasi
% eksposur yang beragunan
% eksposur yang berproteksi kredit
% penurunan ATMR karena CRM
7,12%
(8,23%)
3,90%
(4,26% )
3,18%
0,01%
(3,82%)
3,36%
0,01%
(3,97%)
Total Eksposur
% eksposur yang beragunan
% eksposur yang berproteksi kredit
% penurunan ATMR karena CRM
6,75%
(8,17%)
3,35%
3,69%
(6,54% )
1,23%
0,24%
(1,87%)
1,50%
0,62%
(2,40%)
Eksposur Korporasi
% eksposur yang beragunan 1)
% eksposur yang berproteksi kredit
% penurunan ATMR karena CRM
2)
1)
Agunan dalam bentuk uang tunai dan instrumen keuangan
2)
CRM : Credit Risk Mitigation
Hal ini terkait dengan kelaziman di perbankan Indonesia dimana secara umum jenis
agunan yang dijaminkan oleh debitur adalah agunan fisik seperti tanah dan bangunan
10
yang tidak memenuhi kriteria seb agai bentuk mitigasi risiko dalam penerapan
Standardized Approach. Hanya sejumlah kecil debitur yang menyerahkan agunan yang
memenuhi kriteria. Sebagai gambaran, eksposur yang memiliki agunan yang ‘‘eligible’’
tidak lebih dari 1,50% total eksposur bank sampel. Dari nilai tersebut, sebesar 60,62%
dan 18,99% merupakan agunan yang diserahkan debitur korporasi dan SME korporasi.
Sementara itu, kondisi yang sama juga berlaku atas eksposur dengan proteksi kredit
dalam bentuk garansi yang hanya tercatat sebesar 0,62% dari total eksposur bank
sampel. Dari seluruh proteksi kredit tersebut, sebesar 64,94% merupakan garansi yang
umumnya diberikan bank sebagai jaminan atas eksposur kepada korporasi. Secara
keseluruhan, faktor mitigasi risiko kredit (baik agunan maupun proteksi kredit)
diperhitungkan dapat menurunkan ATMR sebesar -2,40%, dimana sebesar 70,40% dari
penurunan tersebut bersumber dari eksposur kepada korporasi
Risiko Pasar
Kewajiban memperhitungkan risiko pasar (dengan menerapkan Standard Model)
telah berlaku efektif sejak awal tahun 2005 5. Sesuai Peraturan Bank Indonesia mengenai
perhitungan risiko pasar, bank-bank yang memenuhi kiriteria yang telah ditetapkan wajib
mengalokasikan modalnya untuk risiko pasar. Dari total seluruh bank sampel, terdapat 25
bank yang terkena kewajiban tersebut.
Tabel 6
Persentase Kenaikan ATMR untuk Risiko Pasar
POSISI APRIL 2005
Grup
Grup 1
Grup 2
Grup 3
Jumlah Bank
1
9
15
Seluruh Sampel
25
Rata-rata (simple average)
Maksimum
Minimum
5,63%
-
23,64%
54,61%
0,007%
18,32%
54,22%
2,93%
18,71%
54,61%
0,07%
Grup 3
Seluruh Sampel
POSISI JULI 2005
Grup
Grup 1
Grup 2
Jumlah Bank
2
9
14
25
Rata-rata (simple average)
Maksimum
Minimum
2,12%
4,23%
3,37%
6,70%
43,22%
0,00%
15,40%
54,99%
0,93%
14,76%
54,99%
0,00%
Secara umum dap at dikatakan bahwa perhitungan eksposur risiko pasar 25 bank
tersebut tidak berdampak terlalu signifikan terhadap peningkatan ATMR risiko pasar, yaitu
rata-rata 18,71% pada posisi April 2005 dan 14,76% pada posisi Juli 2005 (lihat Tabel 6).
Peningkatan ATMR risiko pasar tersebut sangat dipengaruhi oleh besarnya pangsa portofolio
Berdasarkan pendekatan Standard Model, beban modal dihitung atas eksposur risiko suku bunga dan nlai tukar
sesuai standar pembobotan (weighting) yang ditetapkan. Selanjutnya, perhitungan ATMR risiko pasar diperoleh
dari 12,5% x beban modal risiko pasar.
5
11
trading book (baik eksposur surat berharga dan derivatif) terhadap total seluruh eksposur
bank, yang rata-rata tercatat sebesar 9,22% pada posisi April 2005 dan 8,57% pada posisi
Juli 2005 (lihat Tabel 4). Penelitian lebih lanjut memperlihatkan bahwa diantara bank-bank
sampel terdapat + 9 bank yang mengalami peningkatan ATMR yang mayoritas
dikontribusikan oleh risiko pasar, yaitu khususnya bank yang memiliki eksposur sovereign
yang lebih besar tercatat dalam trading book dibandingkan dalam banking book. Eksposur
sovereign dalam trading book tersebut umumnya berbentuk surat utang pemerintah yang
dimiliki bank untuk diperdagangkan.
Risiko Operasional
Dalam uraian diatas telah dikemukakan bahwa perhitungan risiko operasional untuk
tujuan studi ini menggunakan pendekatan yang paling sederhana, yaitu Basic Indicator
Approach dimana beban modal yang harus dialokasikan untuk risiko operasional adalah
sebesar 15% dari rata-rata gross income bank selama 3 tahun terakhir, yaitu 2002, 2003,
dan 2004 6. Melihat pada metode perhitungan tersebut, besarnya beban modal untuk risiko
operasional terkait langsung dengan kinerja rentabilitas bank yang dalam hal ini
dicerminkan oleh besarnya gross income bank. Definisi Gross Income yang digunakan
dalam studi ini (yang mengacu pada dokumen Basel II ---- lihat Lampiran 2) pada dasarnya
mencerminkan besarnya net interest income (NII) yaitu spread antara borrowing rate dan
lending rate. Dengan demikian, semakin besar spread yang dinikmati bank, semakin besar
pula beban modal yang dialokasikan sehingga ATMR untuk risiko operasional akan semakin
kecil, demikian sebaliknya.
Tabel 7
Persentase Kenaikan ATMR untuk Risiko Operasional
POSISI APRIL 2005
Grup
Grup 1
Grup 2
Grup 3
Seluruh Sampel
Rata -rata (simple average)
Maksimum
15,08%
33,65%
10,94%
21,40%
24,39%
33,09%
23,25%
33,65%
Minimum
4,47%
4,47%
11,62%
4,47%
POSISI JULI 2005
Grup
Rata -rata (simple average)
Maksimum
Minimum
Grup 1
Grup 2
Grup 3
Seluruh Sampel
16,27%
86,76%
10,45%
10,50%
23,22%
0,86%
22,98%
29,09%
10,34%
21,91%
86,76%
0,86%
Tabel 7 memperlihatkan bahwa persentase peningkatan total ATMR yang
diatribusikan oleh risiko operasional cukup besar, yaitu rata-rata 23,25% dan 21,91% pada
2 periode tersebut, namun komposisi ATMR risiko operasional dalam total ATMR relatif
kecil dibandingkan ATMR risiko kredit, yaitu berkisar antara 3,01% - 19,40% (skenario 1,
Perhitungan ATMR risiko operasional diperoleh dari 12,5% x beban modal risiko operasional (yaitu 15% x
gross inc ome)
6
12
April 2005) atau 3,12% - 21,38% (skenario 2, April 2005), dan 0,68% - 21,65% (skenario 1,
Juli 2005) atau 0,74% - 28,71% (skenario 2, Juli 2005).
Hasil studi menunjukkan bahwa penerapan Basel II membawa implikasi pada
tambahan ATMR dari risiko operasional. Namun, secara keseluruhan pangsa risiko
operasional hanya mencapai kisaran 10% - 12 % dibandingkan risiko kredit yang mencapai
80% ----82%. Dengan kata lain, hanya + 12% saja dari modal bank yang dialokasikan untuk
risiko operasional.
Dampak Terhadap Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
(KPMM)
Berdasarkan hasil studi terhadap 35 bank sampel pada posisi April 2005, terlihat
bahwa penurunan rasio KPMM tersebut cukup bervariasi yaitu berkisar -1,71% s.d -58,12%
(skenario 1) atau -1,26% s.d -45,25% (skenario 2). Penurunan tersebut utamanya disebabkan
peningkatan ATMR untuk risiko kredit. Berdasarkan skenario 1, penurunan KPMM
menyebabkan rasio KPMM 5 dari 35 bank sampel turun menjadi dibawah 8%. Sedangkan
berdasarkan skenario 2, hanya 4 bank yang rasio KPMM-nya turun dibawah 8%. (lihat
Grafik 3).
Sementara itu, hasil studi pada posisi Juli 2005 menggambarkan kondisi yang serupa
dimana penurunan rasio KPMM bervariasi yaitu berkisar -0,15% s.d -95,24% (skenario 1)
atau 0,42% s.d -84,91% (skenario 2). Penggunaan skenario 1 menyebabkan 7 bank
memiliki rasio KPMM dibawah 8%. Sedangkan dengan skenario 2, hanya 4 bank saja yang
rasio KPMM-nya turun dibawah 8%. (lihat Grafik 4).
Gambaran demikian tidak dapat diartikan bahwa penerapan Basel II tidak akan
membebani bahkan membahayakan eksistensi perbankan Indonesia. Dalam jangka
panjang, khususnya jika perbankan melakukan ekspansi usaha, maka perbankan akan
dihadapkan pada peningkatan profil risiko yang lebih besar dibandingkan dengan Basel
Accord 1988 . Apabila kebutuhan tambahan modal tidak dapat dipenuhi, maka
dimungkinkan perbankan akan memiliki rasio permodalan dibawah batas minimum.
13
G
Grafik 3
Dampak terhadap Penurunan Rasio KPMM
Posisi April 2005
96%
Current Accord
Skenario 1
Skenario 2
88%
80%
Grup 1
72%
64%
56%
48%
40%
Grup 2
32%
Grup 3
24%
16%
8%
0%
G
Grafik 4
Dampak terhadap Penurunan Rasio KPMM
Posisi Juli 2005
96%
Current Accord
Skenario 1
Skenario 2
88%
80%
72%
Grup 1
64%
56%
48%
40%
Grup 2
Grup 3
32%
24%
16%
8%
0%
14
Bab 3
Persepsi Terhadap Pelaksanaan Studi
Dalam pelaksanaan survei, bank-bank sampel diminta untuk menyampaikan
berbagai manfaat dan kendala yang ditemui pada saat melakukan pengumpulan data untuk
QIS tersebut. Secara umum bank merasakan manfaat dari pelaksaan studi ini, yaitu antara
lain :
1. memberikan kesempatan untuk mulai mempelajari perhitungan kebutuhan permodalan
sesuai kerangka Basel II (learning process)
2. mengetahui dampak penerapan Basel II terhadap kecukupan modal (impact analysis)
3. memberikan pemahaman dalam rangka mempersiapkan diri menghadapai implementasi
Basel II, sehingga pada waktunya bank siap dengan seluruh infrastruktur yang
dibutuhkan seperti SDM, database, sistem informasi, dan faktor pendukung lainnya.
Sementara itu, bank juga menemui berbagai kendala dalam menyelesaikan survei,
antara lain :
1. Petunjuk dalam pengisian untuk setiap panel yang harus diisi bank dalam workbook QIS
kurang terinci.
2. Struktur (penggolongan) data yang dibutuhkan untuk pengisian berbeda dengan struktur
data laporan yang telah ada di bank.
3. Segmen tasi eksposur yang digunakan pada QIS 4 berbeda dengan segmentasi dalam pos
akunting bank, sehingga mengharuskan bank meredefinisikan dan memilah segmentasi
yang ada di pos-pos akunting agar sesuai dengan Basel II.
4. Sistem informasi bank belum menunjang untuk studi kuantitatif ini dalam hal
kelengkapan data (data completeness) maupun pengolahan data (data extraction),
sehingga untuk QIS ini banyak data yang diolah secara manual.
15
Bab 4
Kesimpulan dan Rekomendasi
Kesimpulan
Penerapan perhitungan risiko berdasarkan kerangka Basel II berpotensi
meningkatkan hasil perhitungan ATMR sehingga mendorong penurunan rasio KPMM
perbankan. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari semangat Basel II yang mendorong
penerapan manajemen risiko yang lebih baik melalui perhitungan risiko yang lebih akurat
(risk sensitive) serta perhitungan risiko lainnya yang belum tercakup, misalnya risiko
operasional.
Melihat pada kondisi perbankan yang tercermin pada laporan keuangan dan struktur
neraca, maka konsentrasi pada eksposur sovereign merupakan salah satu faktor utama
peningkatan ATMR. Bank-bank yang tercatat memiliki loan to deposit ratio (LDR) yang
rendah dan menempatkan dana dalam bentuk surat utang negara (SUN) dan SBI dapat
dipastikan mengalami lonjakan penurunan ATMR yang cukup signifikan. Hal ini
mengindikasikan bahwa secara tidak langsung penerapan Basel II dapat mendorong
perbankan meningkatkan fungsi intermediasi karena kerangka Basel II tidak lagi memberikan
preferential treatment atas eksposur sovereign berupa bobot risiko 0% (risk free)
sebagaimana kondisi saat ini. Disamping eksposur sovereign, penempatan dana kepada
BUMN/BUMD tidak lagi memperoleh perlakuan khusus (preferential treatment) berupa
bobot risiko sebesar 50% melainkan diperlakukan sebagai eksposur kepada korporasi
sehingga bobot risiko ditentukan berdasarkan hasil peringkat.
Rekomendasi
Melihat pada hasil analisis QIS tersebut diatas, dapat kami kemukakan beberapa
rekomendasi sebagai langkah persiapan menuju penerapan Basel II mulai tahun 2008
mendatang, yaitu :
1. Memperluas jumlah bank sampel yang berpartisipasi dalam pelaksanaan studi QIS
sebagai ‘‘tool’’ yang cukup efektif untuk membantu perbankan memahami kerangka
Basel II serta membuka wawasan mengenai langkah persiapan yang diperlukan, misanya
pengembangan maupun penyempurnaan sistem informasi yang akomodatif terhadap
penerapan Basel II.
2. Melakukan berbagai kajian yang terkait dengan penerapan ‘‘national discretion’’, seperti
perlakukan terhadap eksposur kepada sovereign, eksposur kepada BUMN/BUMD, dsb.
Kebijakan yang diambil hendaknya menyeimbangkan antara dampak terhadap industri
perbankan dan perekonomian dengan penerapan praktek manajemen risiko dan
corporate governance yang merupakan esensi dari Basel II. Misalnya, penetapan bobot
16
risiko sesuai hasil peringkat hendaknya diberlakukan secara bertahap untuk memberikan
waktu bagi perbankan dalam melakukan penyesuaian terhadap penempatan dana,
khususnya dalam bentuk eksposur kepada sovereign.
3. Melakukan kajian yang terkait dengan faktor-faktor mitigasi risiko (misalnya agunan dan
proteksi kredit), serta aspek hukum di Indonesia yang belum mendukung dan
memberikan jaminan/kepastian hukum sehingga dapat diperlakukan sebagai faktor
mitigasi risiko.
4. Melengkapi studi kuantitatif ini dengan evaluasi kesiapan perbankan secara kualitatif,
yaitu melalui gap analysis sehingga diperoleh kesimpulan yang komprehensif mengenai
kesiapan perbankan.
17
Download