7 BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1
Kajian Pustaka
Kajian pustaka merupakan kerangka acuan yang disusun berdasarkan kajian berbagai
aspek, baik secara teoritis maupun empiris yang menumbuhkan gagasan dan mendasari
usulan penelitian. Dasar-dasar usulan penelitian dapat berasal dari temuan dan hasil penelitian
terdahulu yang terkait dan mendukung pilihan tindakan untuk mengatasi permasalahan
penelitian.
Dalam pembahasan kajian pustaka perlu diungkapkan kerangka acuan komprehensif
mengenai konsep, prinsip, atau teori yang digunakan sebagai landasan dalam memecahkan
masalah yang dihadapi. Uraian dalam kajian pustaka diharapkan menjadi landasan teoritik
mengapa masalah yang dihadapi dalam penelitian perlu dipecahkan dengan strategi yang
dipilih. Berikut adalah kajian pustaka untuk penelitian ini yaitu:
2.1.1. Konsep dan pengertian kualitas pelayanan
Definisi kualitas jasa berpusat pada upaya pemenuhan kebutuhan dan kerugian
pelanggan serta ketetapan penyampaian untuk mengimbangi harapan pelanggan. Pengertian
kualitas jasa menurut Wykof yang dikutip oleh Tjiptono (2006:59), yaitu kualitas jasa adalah
tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut
untuk memenuhi keinginan pelanggan. Dengan kata lain ada dua faktor utama yang
memenuhi keinginan pelanggan. Dengan kata lain ada dua faktor utama yang mempengaruhi
kualitas jasa yaitu dirasakan expected service dan perceived service. Apabila jasa yang
diterima atau disarankan (perceived service) sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas
jasa dipersepsikan baik dan memuaskan. jika jasa yang diterima malampaui harapan
pelanggan, maka kualitas jasa dipersepsikan sebagai kualitas yang ideal, Sebaliknya, jika
jasa yang diterima lebih rendah dari pada yang diharapkan maka kualitas jasa dipersepsikan
buruk. Dengan demikian baik tidaknya kualitas jasa tergantung pada kemampuan penyedia
jasa dalam memenuhi harapan pelanggan nya secara konsisten.
Sedangkan menurut Berry, Parasuraman, dan Zithaml yang dikutip oleh Kotler
(2005:123) mengungkapkan formulasi model kualitas jasa yang diperlukan dalam pelayanan
jasa. Dalam model ini dijelaskan ada lima kesenjangan yang dapat menimbulkan kegagalan
penyampaian jasa seperti terlihat pada gambar 2.3.
7
Sumber :
A.Parasuraman, Valurie A, Zeithamland Leonarrd L. Berry, ‘A Conceptual
Model Of Service Quality and Its Implications For Future Research. “Journal
of Marketing fall (1985:4)
1. Kesenjangan harapan konsumen dan persepsi manajemen. Kesenjangan ini timbul
karena manajemen tidak selalu awas, tidak mengetahui sepenuhnya apa keinginan
konsumen, misalnya orang bengkel tidak saja ingin jangka waktu perbaikan jangka
waktu terlalu lama, dan ia juga ingin mendapatkan petunjuk tentang pemeliharaan
mobil, inti masalahnya disini adalah manajemen tidak mengetahui apa yang diharapkan
oleh konsumen.
2. Kesenjangan antara persepsi manajemen mengenai harapan konsumen dan spesifikasi
kualitas jasa. Kadangkala manajemen mampu memahami secara tepat apa yang
diinginkan oleh pelanggan, tetapi mereka tidak menyusun suatu standar kerja tertentu
yang jelas. Hal ini bisa dikarenakan tiga faktor, yaitu tidak adanya komitmen total
manajemen terhadap kualitas jasa, kekurangan sumber daya, dan adanya kelebihan
permintaan.
3. Kesenjangan kualitas jasa dengan penyampaian jasa. Ada beberapa penyebab terjadinya
gap ini, misalnya karyawan kurang teliti (belum menguasai tugas-tugasnya), beban kerja
melampaui batas, tidak dapat memenuhi standar kinerja yang ditetapkan. Selain itu
mugnkin para karyawan dihadapkan pada standar-standar yang kadangkala saling
bertentangan satu sama lain, misalnya para juru rawat diharuskan meluangkan waktunya
untuk mendengarkan keluahan atau masalah pasien, tetapi di sisi lain mereka juga harus
melayani para pasien dengan cepat.
4. Kesenjangan penyampaian jasa dengan komunikasi eksternal.
Kesenjangan ini terjadi akibat perbedaan antara jasa brosur atau media promosi
lainnya. Temyata jasa yang diterima tidak sesuai dengan kenyataan, misainya
brosur suatu rumah makan mengatakan bahwa rumah rnakannya merupakan
yang terbaik memiliki menu makanan yang beragarn dan enak dengan
pelayanan yang baik. Akan tetapi scat pelanggan datang dan merasakan
ternyata makanan dan pelayanannya biasa-biasa saja.
5. Kesenjangan jasa yang dialami, dipersepsikan dengan jasa. Yang
diharapkan kesenjangan ini terjadi apabila pelanggan mengukur
kinerja, prestasi perusahaan dengan cars yang berlainan atau bisa jugs
keliru mempersepsikan kualitas jasa tersebut misalnya seseorang dokter bisa
saja terus mengunjungi pasiennya untuk rnenunjukan perhatiannya akan tetapi
dapat menginter prestasikan sebagai suatu indikasi bahwa ada yang tidak
beres berkenan dengan penyakitnya.
Untuk menciptakan suatu gaya manajemen dan lingkungannya harus kondusif
bagi perusahaan jasa untuk memperbaiki kualitas, perusahaan harus mampu
memenuhi enam prinsip utama yang berlaku baik bagi perusahaan manufaktur
maupun perusahaan jasa. Keenam prinsip tersebut sangat bermanfaat tepat untuk
melaknsanakan penyempurnaan kualitas secara berkesinambungan dengan
didukung oleh pemasok, karyawan dan pelanggan.
Enam prinsip pokok tersebut menurut Wolkins, yang dikutip oleh
Tjiptono (2006:75), yaitu:
1. Kepemimpinan
Strategi kualitas perusahaan harus merupakan inisiatif dan komitmen dari
manajemen puncak, manajemen puncak harus memimpin perusahaan untuk
meningkatkan
kinerja
kualitasnya.
Tanpa
adanya
kepemimpinan
dari
manajemen puncak maka usaha untuk meningkatkan kualitas hanya
berdampak kecil terhadap perusahaan.
2. Pendidikan
Semua personil perusahaan dari manajer puncak sampai karyawan
operasional harus ra?emperoleh pendidikan mengenai kualitas. Aspek-aspek
yang perlu mendapatkan penekanan dalam pendidikan tersebut meliputi
konsep kualitas sebagai strategi bisnis, alat dan teknik implementasi
kualitas, dan peranan eksekutif dalam implementasi kualitas, dan peranan
eksekutif dalarn implementasi strategi kualitas.
3. Perencanaan
Proses perencanaan strategi harus mencakup pengikurnn dan tujuan
kualitas yang dipergunakan dalam mengarahkan perusahaan mencapai
visinya.
4. Review
Proses review merupakan satu-satunya alat yang paling efektif bagi
manajemen untuk mengubah perilaku operasional. Proses ini merupakan
suatu mekanisme yang menjamin adanya perhatian konstan dan terus
menerus untuk mencapai tujuan kualitas.
5. Komunikasi
Implementasi strategi kualitas dalam organisasi dipengaruh.i oleh proses
komunikasi dalam perusahaan. Komunikasi hares dilakukan dengan
karyawan pelanggan, dart' stakeholder perusahaan lainnya, seperti :
pemasok, pemehang saham, pemerintah, masyarakat umum, dan lain-lain.
Pengharapan dan pengakuan (Total Human Reward) Penghargaan dan pengukuan
merupakan aspek yang penting dalam implementasi serategi kualitas.
Setiap karyawan yang berprestasi balk perlu diberi penghargaan dan
prestasi tersebut diakui dengan demikian setiap orang dalam organisasi yang
pada giliramya dapat memberikan kontribusi besar bagi perusahaan dan bagi
pelanggan yang dilayani. Kualitas telah menjadi harapan dan impian bagi semua orang
baik pelanggan maupun produsen, yang dimaksud dengan kualitas atau mutu suatu produk
atau jasa yaitu:
a. Konsistensi peningkatan atau perbaikan dan penurunan variasi karakteristik dari suatu
produk
(barang
dan
jasa)
yang
dihasilkan,
agar
memenuhi
yang
telah
dispesifikasikan, meningkatkan kepuasan pelanggan internal maupun eksternal
(Gaspersz, 1998, p1).
b. Derajat atau tingkatkan dimana produk atau jasa tersebut mampu memuaskan
keinginan dari customer (Wignjosoebroto, 2003, p251).
c. Menurut (Yamit, 2004, p8) membuat definisi kualitas yang lebih luas cakupannya,
yaitu ”kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan
produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan”.
d. Menurut (Utami, 2006, p245) Keunggulan atau keistimewaan yang dapat
didenifikasikan sebagai penyampaian pelayanan yang relatif istimewa terhadap
harapan pelanggan. Karena pelanggan biasanya terlibat langsung dalam proses
tersebut. Sedangkan perusahaan yang menghasilkan produk menekankan pada
hasil, karena pelanggan umumnya tidak terlibat langsung dalam prosesnya. Untuk
itu diperlukan sistem manajemen kualitas yang dapat memberikan jaminan kepada
pihak pelanggan bahwa produk tersebut dihasilkan oleh proses yang berkualitas
(Yamit, 2004, p9).
Lima pendekatan kualitas yang dapat digunakan oleh para praktisi bisnis, menurut
David Garvin yang dikutip oleh (Yamit, 2004, pp9-10) yaitu :
a. Transcendental Approach
Kualitas dalam pendekatan ini adalah sesuatu yang dapat dirasakan, tetapi sulit
didefinisikan dan dioprasionalkan maupun diukur. Perspektif ini umumnya
diterapkan dalam seni musik, seni tari, seni drama dan seni rupa. Untuk produk dan
jasa pelayanan, perusahaan dapat mempromosikan dengan menggunakan pernyataanpernyataan seperti kelembutan dan kehalusan kulit (sabun mandi), kecantikan wajah
(kosmetik), pelayanan prima (bank), tempat belanja yang nyaman (mall atau gerai).
Definisi seperti ini sulit untuk dijadikan sebagai dasar perencanaan dalam manejemen
kualitas.
b. Product-based Approach
Kualitas dalam pendekatan ini adalah suatu karakteristik atau atribut yang dapat diukur.
Perbedaan kualitas mencerminkan adanya perbedaan atribut yang dimiliki produk
secara objektif, tetapi pendekatan ini tidak menjelaskan perbedaan dalam preferensi
individual.
c. User-based Approach
Kualitas dalam pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa kualitas
tergantung pada orang yang memadangnya dan produk yang paling memuaskan
prefensi seseorang atau cocok dengan selera (fitnes for used) merupakan produk yang
berkualitas paling tinggi. Pandangan yang subjektif ini mengakibatkan pelanggan
yang berbeda memiliki kebutuhan dan keinginan yang berbeda pula, sehinnga
kualitas bagi seseorang adalah kepuasan maksimum yang dapat dirasakan.
d. Manufacturing-based Approach
Kualitas dalam pendekatan ini adalah bersifat supply-based atau dari sudut pandang
produsen yang mendefinikasikan kualitas sebagai yang sesuai dengan persyaratannya
(conformance quality) dan prosedur. Pendekatan ini berfokus pada kesesuaian
spesifikasi yang ditetapkan perusahaan secara internal. Oleh karena itu, yang
menentukan kualitas adalah standar-standar yang ditetapkan perusahaan, dan bukan
pelanggan yang menggunakannya.
e. Value-based Approach
Kualitas dalam pendekatan ini adalah memandang kualitas dari segi nilai dan harga.
Kualitas didefinikasikan sebagai ”affrodable excellence”. Oleh karena itu kualitas dalam
pandangan ini bersifat relatif, sehingga produk yang memiliki kualitas paling tinggi
belum tentu produk yang paling bernilai. Produk yang paling bernilai adalah produk
yang paling tepat beli.
Meskipun sulit mendefiniskan kualitas dengan tepat dan tidak ada definisi
kualitas yang dapat diterima secara universal, dari persepktif David Garvin tersebut
dapat bermanfaat dalam mnegatasi konflik-konflik yang sering timbul di antara para
manajer dalam departemen fungsional yang berbeda. Misalnya, departemen pemasaran
lebih menekankan pada aspek keistimewaan, pelayanan, dan fokus pada pelanggan.
Menghadapi konflik seperti ini sebaiknya pihak perusahaan menggunakan perpaduan
antara beberapa perspektif kualitas dan secara aktif selalu melakukan perbaikan yang
berkelanjutan atau melakukan secara terus-menerus.
Bagian yang paling rumit dari pelayanan adalah kualitasnya yang sangat dipengaruhi
oleh harapan pelanggan. Harapan pelanggan yang dapat bervariasi dari pelanggan yang
satu dengan pelanggan yang lain walaupun pelayanan yang diberikan konsisten.
Menurut Olsen dan Wycktoff (1978) yang dikutip oleh (Yamit, 2004, p22)
melakukan pengamatan atas jasa pelayanan dan mendefinikasikan jasa pelayanan adalah
sekelompok manfaat yang berdaya guna secara eksplisit mauput inplisit atas kemudahan
untuk mendapatkan barang maupun jasa pelayanan. Dan definisi secara umum dari
kualitas jasa pelayanan ini adalah dapat dilihat dari perbandingan antara harapan
konsumen dengan kinerja kualitas jasa pelayanan. Coller (1987) memilih pandangan
lain dari kualitas jasa pelayanan ini yaitu, lebih menggunakan pada kata pelanggan,
pelayanan, kualitas dan level atau tingkat.
Menurut
Kotler
yang
dikutip
oleh
Alma
(2007:284)
mengungkapkan ada terdapat lima faktor dominan atau penentu kualitas jasa,
kelima faktor dominan tersebut diantarnya yaitu:
1. Tangible (bukti fisik), yaitu berupa penampilan fisik, peralatan dan
berbagai materi komunikasi yang baik.berkenaan dengan penampilan
fisik fasilitas layanan,peralatani perlengkapan, somber daya manusia,
dan materi komunikasi perusahaan.
2. Emphaty,
yaitu
kesediaan
karyawan
untuk
lebih
peduli
memberikan perhatian secara pribadi kepada pelanggan. Misalnya
karyawan harus mencoba menempatkan dirinya sebagai pelanggan. Jika
pelanggan mengeluh maka harus dicari solusi segera, agar selalu
terjaga hubungan harmonis, dengan menunjukan rasa peduli yang
talus. Dengan cars perhatian yang diberikan Para pegawai dalam melayani
dan memberikan tanggapan atas Wuhan Para konsumen.
3. Responsiveness (daya tanggap), yaitu kemauan dari karyawan untuk
membantu pelanggan dan memberikan jasa dengan cepat serta mendengar
dan mengatasi keluhan kansumen. Dengan cara keinginan Para pegawai
dalam membantu dan memberikan pelayanan dengan tanggap, kemampuan
memberikan pelayanan dengan cepat dan benar, kesigapan para pegawai untuk
ramah pada setiap konsumen, kesigapan para pegawai untuk bekerja sama
dengan konsumen.
4. Reliability (keandalan), yaitu kemampuan untuk memberikan jasa sesuai
dengan yang dijanjikan, terpercaya dan akurat, serta konsisten. Contoh dalam
hal
ini
antara
lain,
kemampuan
pegawai
dalam
memberikan
pelayanan yang terbaik, kemampuan pegawai dalam menangani kebutuhan
konsumen dengan cepat dan benar, kemampuan perusahaan dalam
memberikan pelayanan yang baik sesuai dengan harapan konsumen.
5. Assurance (kepastian), yaitu berupa kemampuan karyawan untuk
menimbulkan keyakinan dan kepercayaan terhadap janji yang telah
dikemukakan kepada konsumen. Contoh dalam hal ini antara lain,
pengetahuan dan keterampilan pegawai dalam menjalankan tugasnya,
pegawai dapat diandalkan, pegawai dapat memberikan kepercayaan
kepada konsumen, pegawai memilki keahlian teknis yang baik.
Selain kelima faktor tersebut ada pula yang dapat penetu kualitas, yaitu :
6. Value, yaitu evaluasi menyeluruh dari kegunaan suatu produk yang didasari oleh
persepsi konsumen terhadap sejumlah manfaat yang akan diterima dibandingkan dengan
pengorbanan yang dilakukan atau secara umum dipikirkan konsumen value dikenal
dengan istilah “value for money”, “Best value”, dan “you get what you pay for”, (Morris
& Morris, 1990).
7. Prestige (Gengsi) menurut kamus Encarta, definisi kata gengsi (prestige) ranking posisi
yang tinggi, terutama dalam suatu komunitas, lapangan kerja, atau organisasi. Sikap
manusia yang senatiasa membandingkan sesuatu terhadap orang lain dan selalu ingin
disanjung.
Garvis yang dikutip oleh Tjiptono (2006:68) terdapat delapan dimensi kualitas
jasa dan dapat digunakan sebagai kerangka dan perencanaan strategis dan analisis.
Dimensi tersebut adalah :
1. Kinerja (performance) karakteristik operasi pokok dari produk inti, misalnya kecepatan,
konsumsi listrik, jumlah kapasitas yang dapat dipakai konsumen, kemudahan dan
kenyamanan dalam menggunakan jasa tersebut, dan sebagainya.
2. Ciri-ciri keistimewaan tambahan (features), yaitu karakteristik sekunder atau pelengkap,
misalnya kelengkapan interior dan eksterior seperti AC, sound system, kursi, meja, dan
sebegainya.
3. Kehandalan (reliability), yaitu kemungkinan akan mengalami kerusakan atau gagal
dipakai, misalnya computer yang tidak sering mengalami kendala dalam proses
penggunaan.
4. Kesesuaian dengan spesifikasi (conformance to specification), yaitu sejauh mana
karakteristik desain dan operasi memenuhi standar-standar yang telah ditetapkan
sebelumnya. Misalnya standar keamanan ruangan penyedia jasa, apakah tersedia
pralatan keamanan apabila terjadi suatu kejadian yang tidak diinginkan seperti
kebakaran atau gempa bumi.
5. Daya tahan (durability), yaitu berkaitan dengan berapa lama suatu produk dapat terus
digunakan. Dimensi ini mencakup unsure teknis maupun ekonomis penggunaan
computer.
6. Serviceability, meliputi kecepatan, kompetensi, kenyamanan, mudah diperbaiki, serta
penanganan keluhan yang memuaskan.
7. Estetika, yaitu daya tarik produk terhadap panca indera, misalnya bentuk fisik yang
menarik, model desain yang artistic, warna, dan sebagainya.
8. Kualitas yang dipersepsikan (perceived quality), yaitu citra dan reputasi produk serta
tanggung jawab perusahaan terhadapnya. Biasanya karena kurangnya pengetahuan
pembeli akan atribut produk yang dibeli, maka pembeli akan mempersepsikan
kualitasnya dari segi harga, iklan, reputasi perusahaan, maupun Negara pembuatnya.
Menurut Parasuraman, Zeithaml, dan Berry yang dikutip oleh Tjiptono (2006:69)
mengidentifikasi ada sepuluh faktor utama yang menentukan kualitas jasa. Kesepuluh faktor
tersebut adalah :
1. Reliability, mencakup dua hal pokok, yaitu konsistensi kerja (performance) dan
kemampuan untuk dipercaya (dependability), Hal ini berarti perusahaan yang
bersangkutan memenuhi janjinya, misalnya menyampaikan jasanya sesuai jadwal yang
disepakati.
2. Responsiveness, yaitu kemauan atau kesiapan para karyawan untuk memberikan jasa
yang dibutuhkan pelanggan.
3. Competence, artinya setiap orang dalam suatu perusahaan memiliki keterampilan dan
pengetahuan yang dibutuhkan agar dapat memberikan jasa tertentu.
4. Access, meliputi kemudahan untuk dihubungi dan ditemui. Hal ini berarti lokasi fasilitas
jasa yang mudah dijangkau, waktu yang menunggu yang tidak terlalu lama, saluran
komunikasi perusahaan mudah dihubungi, dan lain-lain.
5. Courtesy, meliputi sikap sopan santun, respek, perhatian, dan kermahan yang dimiliki
para contact personnel (seperti receptionist, teller, operator telepon, dan lain-lain).
6. Communication, artinya memberikan informasi kepada pelanggan dalam bahasa yang
dapat mereka pahami, serta selalu mendengar saran dan keluhan pelanggan.
7. Credibility, yaitu sifat jujur dan dapat dipercaya. Kredibilitas mencakup nama
perusahaan, reputasi perusahaan, karakteristik personnel, dan interaksi dengan
pelanggan.
8. Security, yaitu aman dari bahaya, resiko, atau keraguan. Aspek ini meliputi keamanan
secara fisik, keamanan financial, dan kerahasiaan.
9. Understanding, yaitu usaha untuk memahami kebutuhan pelanggan.
10. Tangibles, yaitu bukti fisik dari jasa, bisa berupa fasilitas fisik, peralatan yang
digunakan, representasi fisik dari jasa misalnya unit computer yang digunakan.
2.1.1.1. Karakteristik Pelayanan
Beberapa perbedaan terhadap pengertian pelayanan secara terus menerus
perbedaan akan mengganggu, beberapa karakteristik pelayanan berikut ini akan
memberikan jawaban yang lebih mantap terhadap pengertian pelayanan. Karakteristik
pelayanan tersebut menurut (Yamit, 2004, p21), adalah :
a. Tidak dapat diraba (intangibility). Jasa adalah sesuatu yang sering kali tidak dapat
disentuh atau tidak dapat diraba. Jasa mungkin berhubungan dengan sesuatu secara
fisik, seperti pesawat udara, kursi dan meja. Bagaimanapun juga pada kenyataannya
konsumen membeli dan memerlukan sesuatu yang tidak dapat diraba. Oleh karena itu
jasa atau pelayanan yang terbaik menjadi penyebab khusus yang secara alami
disediakan.
b. Tidak dapat disimpan (innability to inventory). Salah satu ciri khusus dari jasa
adalah tidak dapat disimpan. Misalnya, ketika meniginkan jasa tukang potong
rambut, maka apabila pemotong rambut telah dilakukan tidak dapat sebagaiannya
disimpan untuk besok. Ketika kita menginap di hotel tidak dapat dilakukan setengah
malam dan setengahnya dilanjutkan lagi besok, jika hal ini dilakukan konsumen
tetap dihitung menginap dua hari.
c. Produksi dan konsumsi secara bersama. Jasa adalah sesuatu yang dilakukan secara
bersama dengan produksi. Misalnya, tempat praktek dokter, salon, restoran,
pengurusan asuransi dan lain sebagainya.
d. Memasukinya lebih mudah, mendirikannya usaha dibanding jasa membutuhkan
investasi yang lebih sedikit, mencari lokasi lebih mudah dan banyak tersedia, tidak
membutuhkan teknologi tinggi. Kebanyakan usaha jasa hambatannya untuk
memasukinya lebih rendah.
e. Sangat dipengaruhi faktor dari luar. Jasa sangat dipengaruhi faktor dari luar seperti:
teknologi, peraturan pemerintah dan kenaikan harga energi. Sektor jasa keuangan
contoh yang paling banyak dipengaruhi oleh peraturan dan perundang-undangan
pemerintah, dan teknologi komputer dengan kasus melinium bug pada abad dua satu.
2.1.1.2. Indikator Kualitas Pelayanan
Zeithaml, Berry, dan Parasuraman dalam (Tjiptono 2008, p95) meneliti sejumlah
industri jasa dan berhasil mengindentifikasikan lima indikator pokok kualitas jasa,
yaitu: ralibilitas, responsive atau daya tanggap, kompetensi, akses, kesopanan,
komunikasi, kredibilitas, keamanan, kemampuan memahami pelanggan, dan bukti fisik
(tangibels). Menemukan adanya overlapping diantara beberapa dimensi diatas.
Sehingga menyederhanakan sepuluh indikator tersebut menjadi lima indikator pokok
kualitas jasa, yaitu:
a. Tangibles (bukti langsung), yaitu meliputi fasilitas fisik, peralatan/ pelengkapan,
pegawai, dan sarana komunikasi.
b. Realiability (kehandalan), yaitu kemampuan dalam memberikan pelayanan dengan
segera dan memuaskan serta sesuai dengan yang telah dijanjikan.
c. Responsivenes (daya tangkap), yaitu kesediaan dan kemampuan penyedia layanan
untuk membantu para pelanggan dan merespon permintaan dengan segera, meliputi:
1.Ketanggapan karyawan dalam menangani masalah.
d. Ketersediaan karyawan menjawab pertanyaan konsumen.
e. Assurance (jaminan), yaitu pengetahuan dan kesopanan karyawan serta kemampuan
mereka dalam menumbuhkan rasa percaya dan keyakinan pelanggan, meliputi:
1. Keramahan dan sopan santun karyawan dalam melayani pelanggan.
2. Pengetahuan karyawan tentang produk/jasa yang ditawarkan.
3. Keterampilan karyawan dalam melayani pelanggan.
f.
Empaty (empati), yaitu meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan,
komunikasi yang baik, dan perhatian dengan tulus terhadap kebutuhan pelanggan.
2.1.1.3. Mengukur Kulaitas Layanan
Pengukuran kualitas jasa tentu lebih rumit dibanding kualitas barang. Pengukuran
kualitas layanan sesungguhnya bukan saja dapat dilakukan berdasarkan perspektif
pelanggan saja dan untuk mengukur kualitas layanan bagi pelanggan, namun kualitas
layanan juga dapat diukur untuk layanan internal (internal services) berdasarkan
perspektif para karyawan secara internal di perusahaan bersangkutan (Kang, 2002:280).
Model SERVPERF adalah model pengukuran kualitas layanan yang didasarkan pada
performance pasca pembelian atau setelah pengkonsumsian. Dalam model ini diyakini,
bahwa pengukuran kualitas layanan ini dapat diungkap melalui service performance. Itu
sebabnya model ini disebut SERVPERF, pada SERVPERF peneliti tidak perlu
membandingkan ekspektasi dengan kinerja, namun cukup mengukur sikap (attitude)
pembeli setelah mengkonsumsi layanan bersangkutan. Dengan menggunakan model
SERVPERF, maka proses pengukuran lebih sederhana dan menggunakan item atau butir
pertanyaan lebih sedikit (Prayag, 2007:497).
2.1.2. Konsep dan pengertian bukti fisik
Secara kontekstual, ada beberapa pendapat tentang definisi bukti fisik (tangibles)
yaitu : Menurut Parasuraman et al., (1998) dalam Lupiyoadi dan Hamdani (2006) bukti
fisik (tangibles) adalah kemampuan suatu perusahaan dalam menunjukkan eksistensinya
kepada pihak eksternal. Penampilan dan kemampuan sarana dan prasarana fisik
perusahaan dan keadaan lingkungan sekitarnya adalah bukti nyata dari pelayanan yang
diberikan perusahaan pemberi jasa. Bukti fisik tersebut meliputi penampilan fisik,
peralatan, karyawan, mekanik, media komunikasi dan teknologi yang dipergunakan
dalam memberikan pelayanan. Bukti fisik dari perusahaan penyedia jasa dapat
mempengaruhi keyakinan dan persepsi pelanggan. Harapan pelanggan dapat meningkat
dengan melihat bukti fisik dari perusahaan penyedia jasa. Dimensi tangibles dalam suatu
penyewaan mobil dapat diukur dengan penampilan fisik kendaraan , karyawan yang rapi
dan bersih, serta kelengkapan peralatan.
 Menurut Nasution (2004:47) mendefinisikan bukti fisik (tangibles) merupakan
berkenaan dengan daya tarik fasilitas, perlengkapan, dan material yang digunakan
perusahaan, serta penampilan karyawan.
 Menurut Tjiptono (2006:70), bukti fisik (tangibles) merupakan meliputi fasilitas fisik,
perlengkapan, pegawai, dan sarana komunikasi. Hal ini bias berarti penampilan
fasilitas fisik, seperti gedung dan ruangan front office, tersedianya tempat parkir,
keberhasilan, kerapian dan kenyamanan ruangan, kelengkapan peralatan komunikasi,
dan penampilan karyawan.
Meskipun terlihat berbeda satu sama lain, semua definisi memiliki kesamaan yaitu
bukti fisik berawal dari pelayanan, atau kemapuan perusahaan dalam menunjukan
eksistensinya kepada pihak eksternal, yang pada akhirnya dapat memberikan manfaat.
Pengertian bukti fisik harus dapat dilihat dari dengan penampilan fisik kendaraan ,
karyawan yang rapi dan bersih, serta kelengkapan peralatan.
Sebuah perusahaan jasa harus dapat meningkatkan harapan pelanggan dengan
melihat bukti fisik nya. Dengan menerapkan definisi ini sebuah perusahaan jasa harus
dapat menganalisis harapan pelanggan dari setiap sudut kemungkinan : Apa harapan nya?
Apakah penampilan fisik kendaraan nya sesuai? Dapatkah penampilan karyawan yang
rapih dan bersih meningkatkan harapan pelanggan? Apakah kelengkapan peralatan juga
sesuai harapan pelanggan? inilah jenis analisis yang menerapkan definisi diatas yang
sistematis.
2.1.2.1. Tipe-tipe sarana fisik
Menurut Adrian Palmer (2004:p10) secara fisik merupakan lingkungan fisik tempat
produk atu jasa diciptakan dan langsung berinteraksi dengan konsumen.
Ada dua tipe sarana fisik
1. Essential evidence : merupakan keputusan-keputusan yang dibuat oleh pemberi
produk atau jasa mengenai desain dan layout gedung, ruang, dan lain-lain.
2.
Peripheral evidence : merupakan nilai tambah yang bila berdiri sendiri tidak akan
berarti apa-apa. Jadi hanya berfungsi sebagai pelengkap saja, sekalipun demikian
peran nya sangat penting dalam produk jasa.
2.1.2.2. Pengukuran Bukti Fisik (tangibles)
Pengukuran kualitas jasa tentu lebih rumit dibanding kualitas barang. Pengukuran
kualitas layanan sesungguhnya bukan saja dapat dilakukan berdasarkan perspektif
pelanggan saja dan untuk mengukur bukti fisik (tangibles) bagi pelanggan, namun bukti
fisik (tangibles) juga dapat diukur untuk layanan internal (internal services) berdasarkan
perspektif para karyawan secara internal di perusahaan bersangkutan (Kang, 2002:280).
Model SERVPERF adalah model pengukuran bukti fisik (tangibles) yang didasarkan
pada performance pasca pembelian atau setelah pengkonsumsian. Dalam model ini
diyakini, bahwa pengukuran bukti fisik (tangibles) ini dapat diungkap melalui service
performance. Itu sebabnya model ini disebut SERVPERF, pada SERVPERF peneliti
tidak perlu membandingkan ekspektasi dengan kinerja, namun cukup mengukur sikap
(attitude) pembeli setelah mengkonsumsi layanan bersangkutan. Dengan menggunakan
model SERVPERF, maka proses pengukuran lebih sederhana dan menggunakan item
atau butir pertanyaan lebih sedikit (Prayag, 2007:497).
2.1.3. Konsep dan pengertian jaminan layanan
Secara kontekstual, ada beberapa pendapat tentang definisi jaminan layanan
(assurance) yaitu :
 Menurut Parasuraman et al., dalam Zeithaml and Bitner, (2003:93) Assurance,
yakni pengetahuan, kemampuan, kesopanan dan sifat dapat dipercaya yang
dimiliki karyawan.
 Menurut Nasution (2004:47) Jaminan (assurance), yakni perilaku para karyawan
mampu menumbuhkan kepercayaan pelanggan terhadap perusahaan, dan perusahaan
bisa menciptakan rasa aman bagi para pelanggannya. Jaminan juga berarti bahwa
karyawan selalu bersikap sopan dan menguasai pengetahuan dan ketrampilan yang
dibutuhkan untuk menangani setiap pertanyaan atau masalah pelanggan.
2.1.3.1 Pengukuran Jaminan Layanan
Pengukuran kualitas jasa tentu lebih rumit dibanding kualitas barang. Pengukuran
kualitas layanan sesungguhnya bukan saja dapat dilakukan berdasarkan perspektif
pelanggan saja dan untuk mengukur jaminan (assurance) bagi pelanggan, namun jaminan
(assurance) juga dapat diukur untuk layanan internal (internal services) berdasarkan
perspektif para karyawan secara internal di perusahaan bersangkutan (Kang, 2002:280).
Model SERVPERF adalah model pengukuran jaminan (assurance) yang didasarkan pada
performance pasca pembelian atau setelah pengkonsumsian. Dalam model ini diyakini,
bahwa pengukuran jaminan (assurance) ini dapat diungkap melalui service performance.
Itu sebabnya model ini disebut SERVPERF, pada SERVPERF peneliti tidak perlu
membandingkan ekspektasi dengan kinerja, namun cukup mengukur sikap (attitude)
pembeli setelah mengkonsumsi layanan bersangkutan. Dengan menggunakan model
SERVPERF, maka proses pengukuran lebih sederhana dan menggunakan item atau butir
pertanyaan lebih sedikit (Prayag, 2007:497).
2.1.4 Kepuasan Pelanggan
Konsep kepuasan masih bersifat abstrak. Pencapaian kepuasan dapat merupakan
proses yang sederhana maupun kompleks dan rumit. Peranan setiap individu dalam
pemberian service sangat penting dan berpengaruh terhdap kepuasan yang dibentuk (Arief,
2007, p.166). Konsep kepuasan pelanggan menurut beberapa ahli :
1. Menurut (Kotler, 2000) kepuasan pelanggan adalah tingkat persaan seseorang setelah
membandingkan antara kinerja yang dia rasakan atau alami terhdap harapannya.
2. Menurut Richard F. Gerson (Arief, 2005, p167) kepuasan pelanggan adalah jika
harapannya telah terpenuhi atau terlampaui.
3. Menurut Hoffman dan Beteson (Arief, 2005, p167) kepuasan atau ketidakpuasan adalah
perbandingan dari ekspektasi konsumen kepada persepsi mengenai interaksi jasa
(service encounter) yang sebenarnya.
4. Wikkie (Tjiptono, 2007, p349) mendefinisikan kepuasan pelanggan sebagai tanggapan
emosional pada evaluasi terhadap pengalaman konsumsi suatu produk atau jasa.
5. Munurut Wahyuddin dan Muryati (2001, p191) Ada dua pihak yang terlibat
dalam proses jasa atau pelayanan, yaitu penyedia layanan (pelayan) dan pelanggan
(yang dilayani). Dalam pelayanan yang disebut pelanggan (customer) adalah
masyarakat yang mendapat manfaat dari aktivitas yang dilakukan oleh organisasi atau
petugas dari organisasi pemberi layanan tersebut.
Kepuasan pelanggan terjadi setelah mengkonsumsi produk atau jasa yang
dibelinya.Pelanggan umumnya mengevaluasi pengalaman penggunaan suatu produk
untuk memutuskan apakah mereka akan menggunakan kembali produk atau jasa tersebut.
Satisfaction (kepuasan) berasal dari bahasa latin “satis” (artinya cukup baik,memadai)
dan “factio” (artinya melakukan atau membuat). Secara sederhana, kepuasan dapat
diartikan sebagai upaya pemenuhan sesuatu atau membuat sesuatu memadai (Tjiptono,
2005,p349).
Menurut Kotler (2005,p70) kepuasan pelanggan sebagai perasaan senang atau
kecewa seseorang terhadap suatu produk setelah ia membandingkan hasil/prestasi produk
yang dipikirkan terhadap kinerja atau hasil produk yang di harapkan. Jika kinerja
memenuhi harapan, maka itu artinya pelanggan puas. Tetapi jika kinerja melebihi harapan
pelanggan, maka hal ini berarti pelanggan puas atau amat puas. Menurut Simamora
(2003,p18) kepuasan pelanggan adalah hasil pengalaman terhadap produk. Ini adalah
sebuah perasaan pelanggan setelah membandingkan antara harapan (prepurchase
expectation) dengan kinerja aktual (actual performance).
Berdasarkan kedua definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kepuasan merupakan
fungsi dari kesan kinerja dan harapan. Jika kinerja berada di bawah harapan, maka
pelanggan tidak puas. Jika kinerja sesuai dengan harapan, maka pelanggan puas. Definisi
ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
Kepuasan Pelanggan = f (harapan,kinerja)
Dalam rangka mengembangkan suatu mekanisme pemberian layanan yang
memuaskan bagi pelanggan, maka perusahaan perlu mengetahui hal-hal berikut :
1. Mengetahui apa yang pelanggan pikirkan tentang perusahaan, pelayanan yang
diberikan perusahaan dan pesaing.
2. Mengukur dan meningkatkan kinerja perusahaan.
3. Mempergunakan kelebihan perusahaan dalam pemilihan pasar.
4. Memanfaatkan kelemahan perusahaan dalam peluang pengembangan, sebelum
pesaing memulainya.
5. Membangun wahana komunikasi internal sehingga setiap personil mengetahui
apa yang mereka kerjakan.
6. Menunjukan komitmen perusahaan terhadap kualitas dan pelanggan.
2.1.4.1. Elemen Program Kepuasan Pelanggan
Menurut (Tjiptono, 2007, p.354) ada beberapa elemen program kepuasan
pelanggan, yaitu:
1. Kualitas produk dan jasa, perusahaan yang ingin menerapkan program kepuasan
pelanggan harus memiliki produk berkualitas baik dan layanan prima. Biasanya
perusahaan yang tingkat kepuasan pelanggannya tinggi menyediakan tingkat layanan
pelanggan yang tinggi pula.
2. Program promosi loyalitas, program promosi loyalitas banyak diterapkan untuk
menjalin relasi antara perusahaan dari pelanggan. Biasanya, program ini memberikan
semacam ”penghargaan” (rewards) khusus (seperti bonus, diskon, voucher dan
hadiah yang dikaitkan dengan frekuensi pembelian atau pemakaian produk atau jasa
perusahaan) kepada pelanggan rutin agar tetap loyal pada produk dari perusahaan.
3. Sistem penanganan keluhan, menurut Schnaars, 1991 (Tjiptono, p355) penanganan
komplain terkait erat dengan kualitas produk jasa yang dihasilkan benar-benar
berfungsi sebagaimana mestinya sejak awal. Setelah itu, jika ada masalah perusahaan
segera berusaha memperbaikinya lewat sistem penanganan komplain. Fakta
menunjukkan bahwa kebanyakan pelanggan mengalami berbagai macam masalah,
setidaknya berkaitan dengan konsumsi beberapa produk, waktu penyampaian, atau
layanan pelanggan. Oleh sebab itu, setiap perusahaan harus memiliki sistem
penanganan komplain yang efektif. Sistem penanganan komplain yang efektif
membutuhkan beberapa aspek menurut (Tjiptono, 2000, p35) seperti :
a. Permohonan maaf kepada pelanggan atas ketidak nyamanan.
b. Empati terhadap pelanggan yang ramah.
c. Kecepatan dalam penanganan keluhan.
d. Kewajaran atau keadilan dalam memecahkan masalah atau keluhan.
e. Kemudahan bagi konsumen untuk menghubungi perusahaan (via saluran
telepon bebas pulsa, surat, email, fax , maupun tatap muka langsung) dalam
rangka menyampaikan komentar, kritik, saran pertanyaan dan komplain.
4. Garansi, strategi unconditional guarantes menurut Hart, 1988 (Tjiptono, 2007, p356)
mengungkapkan bahwa garansi dibutuhkan untuk mendukung keberhasilan
program kepuasan pelanggan. Garansi merupakan janji eksplisit yang disampaikan
kepada para pelanggan mengenai tingkat kinerja yang dapat diharapkan akan mereka
terima. Garansi yang baik harus memiliki beberapa karakteristik pokok, seperti :
a. Tidak bersyarat, berarti tidak dibebebani dengan berbagai macam peraturan,
ketentuan, atau pengecualian yang membatasi atau menghambat kebujakan
pengembalian atau kompensesi.
b. Spesifik, yaitu perusahaan menjanjikan pengiriman sesuai dengan kesepakatan
perusahaan dan pelanggan.
c. Realistis, seperti pemberian garansi yang realistis dan nyata.
d. Meaningful, mencakup aspek-aspek penyampaian jasa yang penting bagi
pelanggan.
e. Dinyatakan dalam bahasa yang sederhana dan mudah dipahami, maksudnya tidak
dalam bahasa hukum yang berbelit-belit.
5. Harga, untuk pelanggan yang sensitif biasanya harga yang murah adalah sumber
kepuasan, yang penting karena mereka akan mendapatkan value for money yang
tinggi. Namun bagi pelanggan yang tidak sensitif terhdap harga, akan melihat hasil jasa
yang disampaikan perusahaan tersebut sesuai harga yang mereka bayar.
Menurut Hannah and karp, 1991 (Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, 2004,
p126-127) menyatakan bahwa untuk menciptakan kepuasan pelanggan, suatu perusahaan
harus dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen secara umum dibagi
menjadi tiga kategori sebagai berikut:
1. Faktor-faktor yang berhungan dengan produk
a. Kualitas produk, yaitu merupakan mutu dari semua komponen-komponen yang
membentuk produk, sehingga produk tersebut mempunyai nilai tambah.
b. Hubungan antara nilai sampai pada harga, merupakan hubungan antara harga dan
nilai produk yang ditentukan oleh perbedaan antara nilai yang diterima oleh
pelanggan dengan harga yang dibayar oleh pelanggan terhadap suatu produk yang
dihasilkan oleh badan usaha.
c. Bentuk produk atau jasa, merupakan komponen-komponen fisik dari suatu
produk atau jasa yang menghasilkan suatu manfaat.
d. Keandalan, merupakan kemampuan dari suatu perusahaan untuk menghasilkan
produk yang sesuia sengan apa yang dijanjikan oleh perusahaan.
2. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pelayanan
a. Jaminan, merupakan suatu jaminan yang ditawarkan perusahaan untuk haraga
pembelian atau mengadakan perbaikan terhadap produk atau jasa yang rusak
setlah pembelian.
b. Respon dari cara pemecahan masalah, merupakan sikap dari karyawan dalam
menggapi keluhan serta masalah yang dihadapi pelanggan.
3. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pembelian
a. Pengalaman karyawan, merupakan semua hubungan antara pelanggan dengan
karyawan khususnya dalam komunikasi yang berhubungan dengan pembelian.
b. Kemudahan dan kenyamanaan, yaaitu segala kemudahan dan kenyamanan
yang diberikan oleh perusahaan terhadap produk atau jasa yang dihasilkannya.
2.1.4.2. Pengukuran Kepuasan Pelanggan
Menurut (Tjiptono, 2000, p366) ada beberapa konsep inti mengenai objek
pengukuran sebagai berikut :
1. Kepuasan pelanggan keseluruhan
Cara yang paling sederhana dalam mengukur kepuasan pelanggan adalah langsung
menanyakan kepada pelanggan seberapa puas mereka dengan produk atau jasa
tertentu. Ada dua proses dalam pengukurannya, yaitu mengukur tingkat kepuasan
pelanggan terhadap produk atau jasa perusahaan bersangkutan dan menilai serta
membandingkannya dengan tingkat kepuasan pelanggan keseluruhan terhadap produk
atau jasa pesaing.
2. Harapan
Dalam konsep ini kepauasan pelanggan diukur berdasarkan kesesuaian atau
ketidaksesuaian antara harapan pelanggan dengan kinerja perusahaan.
3. Minat pembelian ulang
Kepuasan pelanggan diukur dengan menanyakan apakah pelanggan akan berbelanja
atau menggunakan jasa perusahaan tersebut.
4. Kemudahan
Faktor kemudahan yang dimaksudkan adalah kemudahan pelanggan dalam
mendapatkan peroduk atau jasa tersebut. Pelanggan akan semakin puas apabila
relative mudah dijangkau, nyaman, dan efisien dalam mendapatkan produk
maupun pelayanan.
Pengukuran kualitas jasa tentu lebih rumit dibanding kualitas barang. Pengukuran
kualitas layanan sesungguhnya bukan saja dapat dilakukan berdasarkan perspektif
pelanggan saja dan untuk mengukur kepuasan pelanggan bagi pelanggan, namun
kepuasan pelanggan juga dapat diukur untuk layanan internal (internal services)
berdasarkan perspektif para karyawan secara internal di perusahaan bersangkutan (Kang,
2002:280). Model SERVPERF adalah model pengukuran kepuasan pelanggan yang
didasarkan pada performance pasca pembelian atau setelah pengkonsumsian. Dalam
model ini diyakini, bahwa pengukuran kepuasan pelanggan ini dapat diungkap melalui
service performance. Itu sebabnya model ini disebut SERVPERF, pada SERVPERF
peneliti tidak perlu membandingkan ekspektasi dengan kinerja, namun cukup mengukur
sikap (attitude) pembeli setelah mengkonsumsi layanan bersangkutan. Dengan
menggunakan model SERVPERF, maka proses pengukuran lebih sederhana dan
menggunakan item atau butir pertanyaan lebih sedikit (Prayag, 2007:497).
2.1.5 Loyalitas Pelanggan
Menurut Griffin (2005), loyalitas adalah :
"Loyalty is defined as non random purchase expressed by some decision
making unit."
Sedangkan menurut Lovelock dalam Service Marketing (2 ; 352), loyalitas
adalah :
"Loyalty is describe a customer's willingness to continue patronizing
a firm over the long term, purchasing and using its goods and
services on a repeated and preferably exclusive basis, and
recommending the ire's product to friends and associates'
Artinya, loyalitas menggarnbarkan keinginan konsumen untuk terus
berlangganan dalam jangka waktu yang panjang, melakukan pembelian dan
menggunakan barang dan jasa secara berulang, dan merekonnendasikan produk
perusahaan kepada teman atau koleganya.
Dari, definisi di atas, loyalitas merupakan perilaku yang cenderung tetap
dalarn
melaksanakan
keputusan
pembelian
dirnana
keputusan
tersebut
mengesampingkan faktor-faktor lain yang berpengaruh. Dengan kata lain
pelanggan yang loyal merupakan pelanggan yang dalam keputusan
pembelinya tidak mempertimbangkan faktor-faktor seperti harga, kualitas,
jarak dan atribut lainnya yang berpengaruh dalam menentukan pilihannya,
karena dalam benaknya telah tertanam bahwa produk perusahaan yang akan
dibeli telah memenuhi kriterianya.
2.1.5.1. Karakteristik Loyalitas Pelanggan
Pelanggan yang loyal merupakan asset bagi perusahaan, hal ini dapat dilihat
dart karakteristik yang dimilikinya, sebagaimana yang diungkapkan Griffin
(2005;31) pelanggan yang loyal rnemiliki karakteristik sebagai berikut :
1. Melakukan pembelian ulang secara teratur (repeat purchase).
2. Melakukan pembelian terhadap produk dan jasa lainnya (purchase
across product and service litres).
3. Mempengaruhi orang lain (refers other).
4. Menunjukkan Jaya tahan terhadap pesaing (demonstrates community to
the pull competition)
2.1.5.2. Keuntungan Memilki Pelanggan yang Loyal
Manfaat dari loyalitas dan dampaknya pada profitabilitas jauh dari
sekedar penghematan biaya. Menurut Griffin (2005;13), lima alasan untuk
menjadikan pelanggan pertama kali sebagai pembeli seurnur hidup:
1. Penjualan naik karena pelanggan membeli lebih banyak dari perusahaan
2. Perusahaan dapat memperkuat posisinya bila pelanggan membeli
dari perusahaan bukan dari pesaing.
3. Biaya pemasaran menurun karena perusahaan tidak perlu mengeluarkan
biaya untuk promosi.
4. Perusahaan lebih terlindungi dari persaingan harga.
5. Pelanggan yang puas cenderung mencoba lini produk perusahaan,
dengan demikian akan membentu perusahaan mendapatkan pangsa
pasar yang Iebih besar.
2.1.5.3. Tipe-tipe Loyalitas Pelanggan
Dalam cakupan yang lebih Was, loyalitas pelanggan (customer loyalty)
dapat didefinisikan sebagai komitmen pelanggan terhadap suatu merek, toko, atau
pemasok, berdasarkan sikap yang sangat positif dan tercermin dalam pembelian
ulang yang konsisten. Definisi tersebut mencakup data komponen penting, yaitu
loyalitas sebagai perilaku darn loyalitas sebagai sikap. Kombinasi kedua
komponen itu menghasilkan empat situasi kemungkinan loyalitas atau disebut
juga dengan tipe loyalitas pelanggan.
Tipe-tipe loyalitas pelanggan menurut Dick dan Hasa dalam Tjiptono
(2007;393) diantaranya adalah :
1. No Loyalty
Bila sikap dan perilaku pembelian ulang pelanggan sama-sama lemah, maka
loyalitas tidak terbentuk. Ada dua penyebabnya, yang pertama sikap yang
lemah (mendekati netral) dapat terjadi bila suatu produk / jasa baru
diperkenalkan
atau
perusahaan
tidak
mampu
mengkomunikasikan
keunggulan unik produknya. Penyebab kedua berkaitan dengan dinamika
pasar, dimana merek-merek yang berkompetisi dipersepsikan serupa atau
sama.
2. Spurious Loyalty
Bila sikap yang relatif lemah disertai pola pembelian ulang yang kuat, maka
yang terjadi adalah spurious loyalty. Situasi semacam in; ditandai
dengan pengaruh faktor non sikap terhadap perilaku, misalnya faktor
situasional. Situasi ini dapat dikatakan pula inertia, dimana konsumen sulit
rnembedakan berbagai merek dalam kategori produk dengan tingkat
keterlibatan
rendah,
sehingga
pembelian
clang
dilakukan
atas
dasar
pertimbangan situasional, seperti familiarity (penempatan produk yang strategis
pada rak pajangan, atau lokasi outlet di persimpanganjalan yang ramai, atau
faktor diskon.
3. Latent Loyalty
Situasi latent loyalty tercermin bila sikap yang kuat disertai pola pembelian ulang
yang lemah. Situasi yang menjadi perhatian besar para pemasar ini
disebabkan pengaruh faktor-faktor non sikap yang sama kuat atau
bahkan cenderung lebih kuat daripada faktor sikap dalam menentukan
pembelian ulang. Contohnya, seseorang yang bersikap positif terhadap
restoran tertentu, namun tetap Baja berusaha mencari variasi karena
pertimbangan harga atau preferensi terhadap berbagai vartasi makanan.
4. Loyalty
Situasi ini merupakan situasi ideal yang paling diharapkan pars pemasar,
dimana konsumen bersikap positif terhadap produk atau produsen (penyedia
jasa) dan disertai pola pembelian ulang yang konsisten.
Sedangkan menurut Griffin (2005;22), jenis-jenis loyalitas adalah:
1. Tanpa Loyalitas
Perusahaan hares menghindari membidik para pembeli jenis ini karena mereka
tidak akan pernah menjadi pelanggan yang loyal,mereka hanya berkontribusi
sedikit pada kekuatan dan kekurangan perusahaan. Tantangannya adalah
menghindari membidik sebanyak rnungkrn orang prang seperti ini dan lebih
memilih pelanggan yang loyalotasnya dapat dikembangakan.
2. Loyalitas yang Lemah
Keterkaitan yang rendah digabung dengan pembelian berulang yang tinggi
rnenghasilkan loyalitas yang lemah. Pelanggan ini meinbeli karena kebiasaan.
Paktor nonsikap dan faktor situasi merupakan alasan utama membeli. Pembeli
ini merasakan tingkat kepuasan tertentu dengan perusahaan, atau minimal
tiada ketidakpuasan yang nyata. Loyalitas jenis ini paling umum terjadi
pada produk yang sering dibeli.
3. Loyalitas Tersembunyi
Tingkat preferensi yang relative tinggi digabung dengan tingkat pembelian
berulang yang rendah menunjukkan loyalitas tersembunyi (latent loyalty).
Bila pelanggan memiliki loyalitas yang tersembunyi, pengaruh situasi dan
bukan pengaruh sikap yang menentukan pembelian berulang.
4. Loyalitas Premium
Jenis loyalitas yang paling dapat ditingkatkan, terjadi bila ada tingkat
keterikatan yang tinggi dan tingkat pembelian berulang
yang juga tinggi.
2.1.5.4. Proses Pengembangan Pelanggan
Harus disadari bahwa pelanggan akan menjadi pergi, karena sebabsebab tertentu seperti perusahaan mengalami kebangkrutan, berpindah
lokasi, konsumen merasa tidak puas, dan lain sebagainya. Tantangan
perusahaan adalah mengaktifkan kembali pada pelanggan yang tidak puas
meialui strategi mendapatkan kembali pelanggan. Sering kali tidak mudah untuk
menarik bekas pelanggan dari pada mendapatkan pelanggan yang baru.
Proses seorang calon pelanggan menjadi pelanggan yang loyal terhadap
perusahaan terbentuk melalui beberapa tahapan. Tahapan loyalitas yang
diungkapkan oleh Griffin dikenal dengan dengan istilah Profit Generator System
seperti terlihat pada Gambar dibawah ini.
LOYALTY
Suspect
Prospek
First
Time
Disqualified
Prospect
Repeat
Customer
Client
Advokat
In Active Client or Cutomer
Sumber : Griffin (2005 ; 36)
Gambar 2.5
Proses Pengembangan Pelanggan
Pertama, seluruh suspect masuk ke dalam system pemasaran,
kemudian akan tersaring menjadi qualified prospect dan disqualified prospect,
dalam hal ini disqualified prospect tidak menguntungkan bagi perusahaan,
maka disqualified prospect keluar dari sistem, sementara qualified prospect
masuk ke proses selanjutnya. Semakin cepat menentukan disqualified
prospect, semakin menguntungkan bagi perusahaan karena proses ini
manghabiskan uang dan waktu yang dimiliki. Kemudian seluruh disqualified
prospect di fokuskan menjadi first time buyers, setelah itu didorong menjadi repeat
costumer, loyal client dan yang paling akhir menjadikan mereka sebagai
advocates bagi perusahaan dimana para advocates ini akan mempengaruhi
orang lain agar membeli produk dari perusahaan.
Bagi perusahaan yang telah memiliki first time buyers, repeat customers
atau client tidak selamanya menguntunglan bagi perusahaan, karena setiap saat
sebagian dari mereka dapat menghilang dari perusahaan atau tidak
kembali lagi pada perusahaan, mereka dinamakan inactive customers/clients.
Hal ini harus diperhitungkan karena kehilangan mereka berarti kerugian bagi
perusahaan.
2.1.5.5. Agar Pelanggan Tetap Loyal
Loyalitas
pelanggan
memiliki
peranan
penting
dalam
sebuah
perusahaan, memperhatikan mereka berarti meningkatkan kinerja keuangan
dan mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan, hat ini menjadi
alasan utara bagi perusahaan untuk menarik dan mempertahankan mereka.
Menurut Griffin (2005;183), agar pelanggan tetap loyal adalah:

Permudahlah pelanggan untuk memberi umpan batik. Salah satu kegiatan
yang paling menguntungkan bagi perusahaan adalah mencari keluhan
pelanggan, memudahkan pelanggan untuk memberi umpan batik.

Bila pelanggan membutuhkan bantuan, berikanlah dengan segera. Setelah
mendapatkan umpan batik dari pelanggan, langkah selanjutnya harus
bertindak cepat untuk member respon dengan segera j ika ada yang member
keluhan.

Kurangi kejengkelan atas reparasi, pembayaran kembali, dan pemberian
jarninan. Reparasi, pembayaran kembali, dan pemberian jaminan sering menjadi
sumber
kekecewaan
para
pelanggan.
Perhatikan
bagaimana
sebuah
perusahaan bekerja untuk mencegah ketidakpuasan yang timbul selama
penanganan masalah semacam itu.

Belajar cara menghibur pelanggan yang marsh. Dengan system umpan
batik dan keluhan pelanggan yang meningkat mutunya, terjadi lebih
banyak interaksi dengan pelanggan.
2.1.5.6. Dasar-dasar Program Loyalitas
Menurut Griffin (2005;200), dasar-dasar program loyalitas adalah:
1. Ukur dan telusuri loyalitas dengan menggunakan variable pengukuran loyalitas.
2. Perkenalkan terhadap semua pegawai perusahaan arti dan pentingnya
loyalitas klien.
3. Masukkan sasaran loyalitas pelanggan dan Mien kedalam pengukuran kinerja
pegawai dan rencana kompensasi
4. Evaluasi dan tinjau kembali tingkat loyalitas setiap bulannya.
5. Libatkan para pegawai dalarn mengembangkan dan mempertahankan
program loyalitas.
6. Susunlah gabungan alat-alat pemasaran, penjualan, dan customer care yang
ditujukan untuk memupuk loyalitas pads masing-masing tahapan pelanggan.
7. Identifikasikan lima penyebab utama hancurnya loyalitas pelanggan di
perusahaan.
8. Lanjutkan dengan memodifikasi, fine-tune, dan course-correct system
loyalitas.
2.1.5.7 Pengukuran Loyalitas Pelanggan
Pengukuran kualitas jasa tentu lebih rumit dibanding kualitas barang. Pengukuran
kualitas layanan sesungguhnya bukan saja dapat dilakukan berdasarkan perspektif
pelanggan saja dan untuk mengukur loyalitas pelanggan bagi pelanggan, namun loyalitas
pelanggan juga dapat diukur untuk layanan internal (internal services) berdasarkan
perspektif para karyawan secara internal di perusahaan bersangkutan (Kang, 2002:280).
Model SERVPERF adalah model pengukuran loyalitas pelanggan yang didasarkan pada
performance pasca pembelian atau setelah pengkonsumsian. Dalam model ini diyakini,
bahwa pengukuran loyalitas pelanggan ini dapat diungkap melalui service performance.
Itu sebabnya model ini disebut SERVPERF, pada SERVPERF peneliti tidak perlu
membandingkan ekspektasi dengan kinerja, namun cukup mengukur sikap (attitude)
pembeli setelah mengkonsumsi layanan bersangkutan. Dengan menggunakan model
SERVPERF, maka proses pengukuran lebih sederhana dan menggunakan item atau butir
pertanyaan lebih sedikit (Prayag, 2007:497)
2.1.6 Hubungan Bukti Fisik dan Jaminan Pelayanan Dengan Kepuasan
dan Loyalitas Pelanggan
Banyak studi yang mengelaborasi kausalitas (sebab-akibat) antara kualitas layanan
dengan kepuasan dan pengaruhnya terhadap loyalitas pelanggan. Berkenaan dengan studi
kualitas layanan dan hubungan nya dengan kepuasan serta loyalitas pelanggan, di bawah
ini disajikan kajian pustaka mengenai hal dimaksud.
Saat ini, iklim kompetisi dalam dunia perdagangan semakin terasa. Di sisi lain
perubahan lingkungan yang demikian pesat semakin mendukung kompetisi yang sedang
terjadi saat ini. Menurut Dick dan Basu (1994), salah satu tujuan utama aktivitas
pemasaran seringkali dilihat dari pencapaian loyalitas pelanggan melalui strategi
pemasaran (Siregar, 2004). Loyalitas pelanggan merupakan bagian terpenting pada
pengulangan pembelian pada pelanggan (Caruana, 2002).
Menurut Reichheld dan Sasser (1990), loyalitas pelanggan memiliki korelasi yang
positif dengan performa bisnis (Beerli dkk., 2004). Menurut Castro dan Armario (1999),
loyalitas pelang-gan tidak hanya meningkatkan nilai dalam bisnis, tetapi juga dapat
menarik pelanggan baru (Beerli dkk., 2004). Pada jangka pendek, memperbaiki loyalitas
pelanggan akan membawa profit pada penjualan. Profit merupakan motif utama
konsistensi bisnis, karena dengan keuntungan maka roda perputaran bisnis dari variasi
produk dan jasa yang ditawarkan maupun perluasan pasar yang dilayani (Soeling, 2007).
Dalam jangka panjang, memperbaiki loyalitas umumnya akan lebih _ystem_tiv, yakni
pelanggan bersedia membayar harga lebih tinggi, penyediaan layanan yang lebih murah
dan bersedia merekomendasikan ke pelanggan yang baru (“Managing Customer”, 1995).
Kepuasan pelanggan merupakan kunci dalam menciptakan loyalitas pelanggan.
Banyak manfaat yang diterima oleh perusahaan dengan tercapainya tingkat kepuasan
pelanggan yang tinggi, yakni selain dapat meningkatkan loyalitas pelanggan tapi juga
dapat mencegah terjadinya perputaran pelanggan, mengurangi sensitivitas pelanggan
terhadap harga, mengurangi biaya kegagalan pemasaran, mengurangi biaya operasi yang
diakibatkan oleh meningkatnya jumlah pelanggan, meningkatkan efektivitas iklan, dan
meningkatkan reputasi bisnis (Fornell, 1992).
Keputusan perusahaan melakukan tindakan perbaikan pelayanan yang sistematis
merupakan _ystem yang menentukan dalam menindaklanjuti ystem konsumen dari suatu
kegagalan sehingga pada akhirnya mampu mengikat loyalitasi konsumen (Elu, 2005).
Kepuasan pelanggan menjadi parameter penting sehingga bisnis dapat terus
berkelanjutan. Sebuah riset tahun 2004 yang dilakukan oleh J.D. Power, perusahaan
spesialis pengukur kepuasan pelanggan dalam _ystem_t otomotif, membuktikan bahwa
perusahaan yang berhasil meningkatkan kepuasan pelanggan dalam jangka waktu lima
tahun (1999-2004) mengalami kenaikan nilai bagi pemegang sahamnya sebesar +52%.
Sebaliknya, perusahaan yang mengalami penurunan nilai kepuasan pelanggan, pemegang
sahamnya juga mengalami penurunan nilai sebesar -28%. Riset Claes Fornell juga
membuktikan, di masa krisis 2008, saham perusahaan dengan Indeks Kepuasan
Pelanggan Amerika (American Customer Satisfaction Index/ACSI) yang baik, hanya
menurun -33%, sedangkan perusahaan dengan indeks yang buruk menurun -55%. Jadi,
kepuasan konsumen bukan saja berharga di masa ekonomi baik, tetapi juga di saat
ekonomi buruk (Lestari, 2009).
Menurut para akademisi, kepuasan pelanggan merupakan konstruk yang berdiri
sendiri dan dipengaruhi oleh kualitas layanan (Oliver, 1980). Kualitas layanan juga dapat
mempengaruhi loyalitas pelanggan secara langsung (Zeithaml dkk., 1996) dan
mempengaruhi loyalitas pelanggan secara tidak langsung melalui kepuasan (Caruana,
2002). Kualitas layanan mendorong pelanggan untuk komitmen kepada produk dan
layanan suatu perusahaan sehingga berdampak kepada peningkatan market share suatu
produk. Kualitas layanan sangat krusial dalam mempertahankan pelanggan dalam waktu
yang lama. Perusahaan yang memiliki layanan yang superior akan dapat memaksimalkan
performa keuangan perusahaan (Gilbert dkk., 2004).
Semakin tingginya tingkat persaingan, akan menyebabkan pelanggan
menghadapi lebih banyak alternatif produk, harga dan kualitas yang bervariasi,
sehingga pelanggan akan selalu mencari nilai yang dianggap paling tinggi dari
beberapa produk (Kotler, 2005). Kualitas yang rendah akan menimbulkan
ketidakpuasan pada pelanggan, tidak hanya pelanggan yang makan di restoran
tersebut tapi juga berdampak pada orang lain. Karena pelanggan yang kecewa
akan bercerita paling sedikit kepada 15 orang lainnya. Dampaknya, calon
pelanggan akan menjatuhkan pilihannya kepada pesaing (Lupiyoadi dan
Hamdani, 2006). Upaya perbaikan _ystem kualitas pelayanan, akan jauh lebih
efektif bagi keberlangsungan bisnis. Menurut hasil riset Wharton Business
School, upaya perbaikan ini akan menjadikan konsumen makin loyal kepada
perusahaan (Lupiyoadi dan Hamdani, 2006). Konsep dari kualitas layanan,
kepuasan dan loyalitas saling berhubungan satu dengan yang lain. Secara teoritis,
dalam prosesnya dapat memberikan acuan pada penelitian ini, dimana kualitas
layanan mempengaruhi loyalitas baik secara langsung maupun mempengaruhi
loyalitas secara tidak langsung melalui kepuasan pelanggan.
Tabel 2.1
Tabel Penelitian Terdahulu
Peneliti
Zeithaml,
Penelitian Tentang
Kualitas Pelayanan
Variabel
 Tangible
Variabel yang dievaluasi dalam penelitian ini
 Tangible,yaitu meliputi fasilitas fisik,
Berry&Parasuraman
 Empathy
peralatan/pelengkapan, pegawai, dan sarana
(1983)
 Reliable
komunikasi
 Responsiveness
 Assurance
 Assurance, yaitu pengetahuan dan
kesopanan karyawan serta kemampuan
mereka dalam menumbuhkan rasa percaya
dan keyakinan pelanggan, meliputi:
Keramahan dan sopan santun karyawan dalam
melayani pelanggan. , Pengetahuan karyawan
tentang produk/jasa yang ditawarkan,
Keterampilan karyawan dalam melayani
pelanggan.
Tjiptono
(2007)
Kepuasan Pelanggan
 Kualitas produk dan jasa.
 Kualitas produk dan jasa, perusahaan,
 Program promosi loyalitas,
program kepuasan pelanggan harus memiliki
 Sistem penanganan keluhan;
produk berkualitas baik dan layanan prima.
 Garansi,
 Harga,
 Program promosi loyalitas, program ini
memberikan semacam ”penghargaan”
(rewards) khusus (seperti bonus, diskon,
voucher dan hadiah yang dikaitkan dengan
frekuensi pembelian atau pemakaian produk
atau jasa perusahaan) kepada pelanggan rutin
agar tetap loyal pada produk dari perusahaan.
 Sistem penanganan keluhan; Permohonan
maaf kepada pelanggan atas ketidak
nyamanan, Empati terhadap pelanggan yang
ramah. , Kecepatan dalam penanganan
keluhan, Kewajaran atau keadilan dalam
memecahkan masalah atau keluhan,
Kemudahan bagi konsumen untuk
menghubungi perusahaan (via saluran
telepon bebas pulsa, surat, email, fax ,
maupun tatap muka langsung) dalam rangka
menyampaikan komentar, kritik, saran
pertanyaan dan komplain.
 Garansi, dibutuhkan untuk mendukung
keberhasilan program kepuasan pelanggan.
 Harga,
untuk
pelanggan
yang
sensitif
biasanya harga yang murah adalah sumber
kepuasan, Namun bagi pelanggan yang tidak
sensitif terhdap harga, akan melihat hasil jasa
yang disampaikan perusahaan tersebut sesuai
harga yang mereka bayar.
Menurut Griffin (2005)
Lovelock dalam
Service Marketing (2 ;
352)
Loyalitas Pelanggan
 Loyalty is defined as non random
purchase expressed by some decision
making unit.
 Loyalty is describe a customer's
willingness to continue patronizing a
firm over the long term, purchasing
and using its goods and services on a
repeated and preferably exclusive
basis, and recommending the ire's
product to friends and associates
2.2 Kerangka Pemikiran
Menurut teori kognitif disonansi (Schifman&Kanuk, 2000) ketidak nyamanan
atau disonansi terjadi ketika konsumen memiliki pemikiran yang bertentangan tentang
suatu keyakinan atau suatu obyek sikap. Misalnya, ketika konsumen telah membuat
komitmen melakukan pembayaran dimuka atau menaruh pesanan untuk suatu produk,
khususnya yang mahal seperti mobil atau komputer pribadi mereka sering mulai
merasakan disonansi kognitif ketika mereka berpikir yang unik, positif kualitas merek
tidak dipilih (tertinggal). Ketika disonansi kognitif terjadi setelah pembelian, hal itu
disebut
disonansi
setelah
pembelian.
Karena
keputusan
pembelian
sering
membutuhkan beberapa jumlah kompromi, disonansi setelah pembelian cukup normal.
Namun demikian, kemungkinan untuk meninggalkan konsumen dengan perasaan tidak
enak tentang keyakinan mereka sebelumnya atau tindakan perasaan bahwa mereka
akan berusaha menyelesaikan dengan mengubah sikap mereka agar sesuai dengan
perilaku mereka.
Demikian. dalam kasus disonansi setalah pembelian, perubahan sikap yang sering
merupakan hasil dari suatu tindakan atau pikiran yang saling bertentangan dengan behavior.
Teori kognitif disonansi informasi menyusul pembelian adalah faktor utama yang mendorong
konsumen untuk mengubah attitudes mereka sehingga mereka akan sejalan dengan perilaku
mereka pada pembelian aktual.
Apa yang membuat disonansi setelah pembelian relevan dengan strategi pemasaran
adalah premis bahwa disonansi
mendorong konsumen untuk mengurangi perasaan tidak
menyenangkan yang diciptakan oleh pikiran saingan. Berbagai taktik terbuka kepada
konsumen untuk mengurangi disonansi setelah pembelian. Konsumen dapat merasionalisasi
keputusan yang bijaksana, mencari iklan yang mendukung pilihan (sambil menghindari
disonansi menciptakan iklan kompetitif ), mencoba untuk menjual teman-teman pada fitur
positif dari merek, atau melihat ke dikenal pemilik puas untuk meyakinkan . Sebagai contoh,
perhatikan respon dari sebuah pemuda yang baru saja membeli sebuah cincin pertunangan
untuk pacarnya: Bagaimana Anda bisa membuat gaji dua bulan terakhir selamanya. Pikiran ini
dan sisanya dari pesan cenderung untuk menangkap perhatiannya. Ia mengatakan untuk bahwa
meskipun sebuah cincin pertunangan biaya banyak uang, itu berlangsung selamanya karena
pengantin masa depan akan menghargai itu selama sisa hidupnya. Pesan seperti ini terikat
untuk membantu dia mengurangi setiap disonansi tersisa bahwa ia mungkin memiliki tentang
bagaimana banyak dia hanya menghabiskan pada cincin.
Selain taktik konsumen yang diprakarsai tersebut untuk mengurangi ketidakpastian
setelah pembelian, pemasar dapat meredakan disonansi konsumen dengan menyertakan pesan
dalam nya iklan khusus ditujukan untuk memperkuat keputusan konsumen dengan memuji
kebijaksanaan mereka, menawarkan jaminan kuat atau jaminan, meningkatkan jumlah dan
efektivitas layanan, atau memberikan brosur rinci tentang cara menggunakan nya produk
dengan benar.
Komponen Kognitif
Bagian pertama dari model sikap trikomponen terdiri dari seseorang, kognisi yaitu
pengetahuan dan persepsi yang diperoleh dengan kombinasi pengalaman langsung dengan
obyek sikap dan informasi terkait dari berbagai sumber. pengetahuan ini dan menghasilkan
persepsi umumnya mengambil bentuk keyakinan yaitu, konsumen percaya bahwa obyek sikap
memiliki berbagai atribut dan bahwa perilaku tertentu akan menyebabkan hasil yang
spesifikasi jasa rental kendaraan. Meskipun hanya menangkap bagian dari sistem kepercayaan
namun dijelaskan tentang dua jenis variabel (bukti fisik dan jaminan layanan),
menggambarkan komposisi sistem kepercayaan konsumen tentang dua variabel. Sistem
kepercayaan untuk kedua jenis variabel terdiri dari dasar yang sama empat atribute: kecepatan,
ketersediaan, keandalan, dan fitur lainnya. Sehubungan dengan ini. bukti fisik (tangibles)
Misalnya, adalah kemampuan suatu perusahaan dalam menunjukan eksistensinya kepada
pihak eksternal. Penampilan dan kemampuan saran dan prasaranan fisik serta keadaan
lingkunan sekitarnya adalah bukti nyata dari palayanan yang diberikan oleh pemberi jasa. yang
meliputi fasilitas fisik (gedung, gudang dan lain sebagainya), perlengkapan dan peralatan yang
dipergunakan (teknologi) serta penampilan pegawainya dan jaminan layanan (assurance) yaitu
pengetahuan,
kesopananan,
dan
kemampuan
para
pegawai
perusahaan
untuk
menumbuhkan rasa percaya para pelanggan pada perusahaan trmasuk kedalam komponen
kognitf.
Komponen yang Efektif
Kepuasan pelanggan merupakan komponen afektif dari sikap. emosi dan perasaan
sering dipergunakan oleh para peneliti konsumen terutama evaluasi di alam, yaitu mereka
menangkap penilaian langsung maupun global individu dari objek sikap (yaitu, sejauh mana
tingkat individu objek sikap yang menguntungkan atau tidak menguntungkan (baik atau
buruk).
Pengalaman Mempengaruhi sarat juga bermanifestasi sebagai mereka sendiri secara
emosional (misalnya, kebahagiaan, kesedihan, malu, jijik, marah, tertekan, bersalah, atau
kejutan). Penelitian menunjukkan bahwa keadaan emosional tersebut dapat meningkatkan atau
memperkuat pengalaman positif atau negatif dan bahwa ingatan kemudian pengalaman
tersebut dapat mempengaruhi apa yang terlintas dalam pikiran dan bagaimana individu
tersebut. Misalnya, seseorang yang mengunjungi outlet mall kemungkinan akan dipengaruhi
oleh nya atau emosional nya pada saat itu. Jika pelanggan merasa sangat gembira saat ini,
respon positif terhadap keluar mall dapat diperkuat. Para emosional ditingkatkan respon
terhadap outlet mall dapat menyebabkan pembelanja untuk mengingat dengan senang waktu
yang dihabiskan di outlet mall. Hal ini juga dapat mempengaruhi individu untuk membujuk
teman-teman dan kenalan untuk mengunjungi outlet mall yang sama dan membuat keputusan
pribadi untuk meninjau mal.
Selain menggunakan langkah-langkah evaluatif langsung maupun global obyek sikap,
peneliti konsumen juga dapat menggunakan baterai skala respon afektif (misalnya, yang
mengukur perasaan dan emosi) untuk membangun sebuah gambaran perasaan keseluruhan
konsumen tentang produk, layanan, atau iklan.
Komponen Konatif
Konatif, adalah komponen akhir dari model sikap trikomponen, berkaitan dengan
kemungkinan atau kecenderungan bahwa seorang individu akan melakukan tindakan khusus
atau berperilaku dengan cara tertentu berkaitan dengan objek sikap. Menurut beberapa
interpretasi, komponen konatif mungkin mencakup perilaku sesungguhnya itu sendiri.
Dalam pemasaran dan riset konsumen, komponen konatif sering diperlakukan sebagai
ekspresi konsumen niat untuk membeli. Skala niat Pembeli yang digunakan untuk menilai
kemungkinan dari pembelian konsumen produk atau berperilaku dengan cara tertentu.
Menariknya, konsumen yang diminta untuk merespon niat-untuk-membeli pertanyaan
tampaknya lebih mungkin untuk benar-benar melakukan pembelian merek untuk merek
dievaluasi secara positif (misalnya, loyalitas), sebagai kontras dengan konsumen yang makan
tidak diminta untuk menanggapi niat ini menunjukkan bahwa komitmen merek yang positif
dalam bentuk jawaban positif terhadap sikap niat dampak pertanyaan dengan cara yang positif
pada pembelian merek yang sebenarnya.
Gambar 2.6
Model Hipotesis Kerangka Pemikiran
Bukti Fisik
(X1)
Kepuasan Pelanggan
(Y)
Jaminan
Layanan
(X2)
Loyalitas
Pelanggan
(Z)
2.3
Hipotesis
Berdasarkan
pengertian
dan
kerangka
penelitian,
maka
untuk
mengetahui
operasionalisasinya penulis menetapkan hipotesis. Hipotesis merupakan jawaban sementara yang
masih dibuktikan kebenarannya.
Sugiyono (2008:51) mengemukakan bahwa:
“Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian. Oleh karena
itu, rumusan masalah penelitian biasanya disusun dalam bentuk pertanyaan. Dikatakan
sementara, karena jawaban yang diberikan baru didasarkan factor-faktor empiris yang
diperoleh melalui pengumpulan data. Jadi hipotesis juga dapat dinyatakan sebagai jawaban
teoritis terhadap rumusan masalah penelitian, belum jawaban empiris.”
Berdasarkan pengertian hipotesis di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah:
1. Hipotesis I yaitu Tangible (bukti fisik) efektif dalam mempengaruhi kepuasan pelanggan
dalam menggunakan jasa penyewaan mobil
2. Hipotesis II yaitu Assurance (kepatian) efektif dalam mempengaruhi kepuasan pelanggan
dalam menggunakan jasa penyewaan mobil
3. Hipotesis III yaitu terdapat hubungan yang signifikan antara pengaruh kepuasaan
pelanggan terhadap loyalitas pelanggan dalam menggunakan jasa penyewaan mobil
Download