Pemberian kotoran sapi pada pertanaman jagung

advertisement
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Andisol
Andisol terbentuk dari mineral liat alofan, memiliki pH H2O antara 5.0-
7.0, kandungan bahan organik sekitar 10-30%, kejenuhan basa sedang (30-70%),
teksturnya lempung hingga debu, struktur remah, dan konsistensi gembur. Andisol
dapat terbentuk pada topografi yang bergelombang melandai dan berbukit, di
kerucut dan lahar volkan, atau di dataran tinggi volkan, dengan keadaan curah
hujan 2500-7000 mm per tahun. Dengan sifat-sifat seperti ini Andisol sering
digunakan untuk tanaman sayuran, tanaman bunga, teh , kopi, kina, dan hutan
pinus (Soepraptohardjo, 1975).
Andisol adalah tanah yang mempunyai sifat andik 60% atau lebih pada
permukaan tanah mineral atau puncak lapisan organik yang bersifat andik, jika
tidak ada kontak densik, litik, atau paralitik, duripan, atau horizon petrokalsik di
dalam keadaan tersebut (Rachim, 2001).
Andisol adalah tanah berwarna hitam atau coklat tua, remah, kandungan
bahan organik tinggi, licin bila dipirid, teksturnya sedang, bersifat porous,
pemadasan lemah dan sedikit akumulasi liat sering ditemukan di lapisan bawah
(Hardjwigeno, 2003).
2.2.
Bentuk-bentuk Nitrogen dan Mineralisasi Nitrogen
Nitrogen tersedia dalam jumlah sedikit dalam tanah tetapi dibutuhkan
banyak oleh tanaman. Bentuk tersedia dari nitrogen untuk tanaman adalah dalam
bentuk N-NH4+ dan N-NO3-. Cadangan nitrogen utama adalah nitrogen bebas N2,
yang meliputi 78 persen dari volume atmosfer. Nitrogen dalam bentuk N2 tidak
segera tersedia bagi tanaman. Nitrogen merupakan unsur yang mudah
bertransformasi. Nitrogen yang masuk ke dalam biosfer terutama disebabkan oleh
kegiatan jasad mikro penambat nitrogen baik yang hidup bebas atau bersimbiosis
dengan tanaman. Bila tanaman atau jasad mikro penambat nitrogen mati, bakteri
pembusuk melepaskan asam amino dari protein, dan bakteri amonifikasi
kemudian melepaskan ammonium dari group amino, yang selanjutnya dilarutkan
4
dalam tanah. Ammonium kemudian diubah menjadi nitrit kemudian nitrat oleh
bakteri nitrifikasi dan dapat diserap tanaman (Soepardi, 1983).
N-total merupakan kandungan nitrogen tanah baik dalam bentuk anorganik
(N-NH4+, N-NO3-, N-NO2-) dan organik meliputi protein, asam amino, gula
amino, dan N organik yang terimobilisasi dalam organisme tanah. N-total
merupakan keseluruhan dari N-tersedia (N-NH4+, N-NO3-) dan N tak tersedia. NNH4+ yang sangat tersedia bagi tanaman yaitu yang berada pada larutan tanah,
yang cukup tersedia adalah N-NH4+ yang terdapat pada kompleks pertukaran
dengan mineral lempung atau kompleks organik, dan yang belum tersedia adalah
yang terikat dalam bahan organik atau masuk dalam interlayer mineral lempung
tipe 2:1 (Syukur dan Harsono, 2008).
Perubahan bentuk nitrogen dari bahan organik dalam tanah dapat melalui
berbagai macam proses antara lain proses aminisasi, amonifikasi, dan nitrifikasi.
Aminisasi adalah pembentukan senyawa amino dari bahan organik (protein) oleh
mikroorganisme. Amonifikasi adalah pembentukkan ammonium dari senyawa
amino oleh mikroorganisme. Nitrifikasi adalah perubahan dari ammonium (NNH4+) menjadi nitrit (N-NO2-) yang dibantu oleh mikroorganisme Nitrosomonas
kemudian N-NO2- kemudian menjadi nitrat (N-NO3-) dengan dibantu oleh
mikroorganisme Nitrobacter. Berikut ini adalah reaksi-reaksi kimia dari prosesproese perubahan bentuk nitrogen dalam tanah :
Aminisasi
: Bahan organik (N-organik) + enzim (mikroorganisme)
senyawa amino (R-NH2) + CO2 + Energi.
Amonifikasi
: R-NH2 +HOH
NH3 + HOH
Nitrifikasi
: N-NH4+ + 3O2
2NO2- + O2
R-OH +NH3 + Energi
NH4+ + OH2NO2- + 2H2O + 4H+ + E
2NO3- + E (Hardjowigeno,2007).
Komposisi biokimia (kandungan N , Nisbah C/N, lignin, dan sebagainya)
merupakan faktor penting yang mengatur mineralisasi N. Peneliti banyak yang
melihat hubungan statis antara sisi biokimia dan jumlah mineralisasi N pada akhir
masa inkubasi. Namun perbedaan waktu inkubasi menyebabkan perbedaan dalam
jumlah bersih N mineralisasi sehingga panjang inkubasi juga mempengaruhi
hubungan dengan komposisi biokimia mineralisasi N (Chaves et al., 2004).
5
2.3.
Bahan Organik dan Pupuk organik
Bahan organik tanah merupakan hasil pelapukan sisa tanaman atau hewan
yang bercampur dengan bahan mineral tanah. pembentukkannya dalam tanah
umumnya terjadi secara alami. Kadar bahan organik dalam tanah dengan mudah
dapat berkurang karena proses-proses perombakan oleh jasad mikro tanah
(Suhardjo, et al., 1993).
Kandungan bahan organik berbeda-beda pada tanah yang berbeda. Tanahtanah di daerah pegunungan seperti Andisol dapat memiliki bahan organik lebih
dari 5%. Tanah yang bertekstur kasar dan sering digunakan untuk pertanian
intensif tanpa pengembalian cukup bahan organik dapat mengandung bahan
organik kurang dari 1% sedangkan pada tanah gambut bahan organik yang ada
bisa sampai 100% (Anwar dan Sudadi, 2007).
Penambahan pupuk organik seperti pupuk kandang atau kompos dapat
meningkatkan unsur tersedia bagi tanaman salah satunya unsur N. Penambahan
pupuk organik dalam pengaruhnya untuk meningkatkan ketersediaan unsur hara
memang lebih sedikit dibandingkan dengan penambahan pupuk anorganik, tetapi
dapat lebih cepat terdekomposisi (Widowati, 2007).
Kotoran sapi merupakan salah satu bentuk pupuk organik. Kotoran sapi
yang diberikan ke dalam tanah mengalami dekomposisi yang berakhir dengan
mineralisasi dan terbentuknya bahan yang relatif resisten yaitu humus. Humus
yang tersusun dari selulosa, lignin, dan protein mempunyai kandungan C-organik
umumnya sebesar 58% sehingga dapat dipahami bahwa pemberian kotoran sapi
akan meningkatkan jumlah humus dalam tanah yang juga berarti meningkatkan Corganik tanah (Syukur dan Harsono, 2008). Peningkatan C-organik dalam tanah
juga akan meningkatkan bahan organik tanah (Brady, 1990).
Menurut Inoko (1982), beberapa komponen nitrogen dalam limbah hewan
atau lumpur terurai dengan mudah. Simanjuntak (2005) menyatakan bahwa
kotoran sapi dapat memberikan energi bagi kehidupan mikroorganisme tanah,
menambah inokulum ke dalam tanah, serta memperbaiki kondisi lingkungan
terutama aerasi dan kelembaban tanah. Kotoran sapi yang diberikan ke dalam
tanah dengan nisbah C/N>30 segera diubah secara cepat oleh mikroorganisme
heterotropik seperti bakteri, fungi, dan aktinomycetes.
6
Kemampuan dekomposisi bahan organik tanah cukup mirip dengan tingkat
mineralisasi N per unit dari total organik N yang ada pada tanah. bahan organik
tanah cukup stabil pada kurun waktu beberapa tahun (Miranda et al., 2008).
Proses pengomposan dan penyimpanan dari material organik dengan
nisbah C/N yang rendah, akan mengurangi proses kemampuan dekomposisi.
Tetapi hal itu sering tidak terlalu berpengaruh terhadap perubahan C/N karena
kehilangan C dan N biasanya bersamaan dengan proses dekomposisi (Gale et al.,
2006).
2.4.
Jagung (Zea mays)
Jagung termasuk dalam divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae,
kelas Monocotyledone, ordo Graminae, famili Graminaceae, genus Zea dan
spesies Zea mays (Purwono dan Hartono, 2008).
Tanaman jagung berasal dari daerah tropis dan dapat menyesuaikan diri
dengan lingkungan di luar daerah tersebut. Daerah yang baik untuk sebagian besar
tanaman jagung yaitu daerah beriklim sedang hingga daerah beriklim subtropis
atau tropis basah. Jagung dapat tumbuh di daerah yang terletak antara 50˚ LU-40˚
LS. Pada lahan yang tidak beririgasi, pertumbuhan tanaman memerlukan curah
hujan ideal sekitar 85-200 mm/bulan selama masa pertumbuhan. Suhu yang
dikehendaki tanaman jagung untuk pertumbuhan terbaiknya adalah antara 27-32˚
C (Purwono dan Hartono, 2008).
Tanaman Jagung dapat tumbuh mulai dari dataran rendah sampai
pegunungan dengan ketinggian 1000- 1800 m di atas permukaan laut (dpl).
Namun daerah dengan ketinggian optimum 0-600 m dpl paling baik bagi
pertumbuhan tanaman jagung dengan curah hujan 85-200 mm/bulan. Penanaman
jagung baik dilakukan pada awal musim hujan atau menjelang musim kemarau
(Badan Litbang Pertanian, 2009).
Menurut Djaenudin (2000), persyaratan tanah untuk pertumbuhan tanaman
jagung yang optimal adalah tanah yang dalam solumnya, konsistensi gembur,
permeabilitas sedang, drainase cepat dan baik, dan pada pH sekitar 5.8-7.8.
Jagung hibrida memberikan hasil sekitar 0.5 hingga 1 ton ha-1 lebih tinggi
dibandingkan dengan jagung bersari beras. Jagung sebagian besar ditanam di
7
lahan kering (79%) dan sebagian lagi (25%) di lahan sawah irigasi (Puslitbangtan,
1992 dalam Puslittanak, 1997).
2.5.
Persamaan First Order Kinetic
Penggambaran untuk kinetika mineralisasi N tanah berfokus pada
penggunaan
model-model persamaan first order (Stanford dan Smith, 1972;
Lerch et al, 1992). Model-model first order ini didasarkan pada asumsi bahwa
tingkat mineralisasi N sebanding dengan jumlah N tersedia, dengan persamaan
dN/dt = -kNm dimana N adalah konsentrasi N tersedia, Nm adalah jumlah N yang
berpotensi termineralisasi, k adalah konstanta kecepatan mineralisasi, dan t adalah
waktu. Model persamaan first order kinetic merupakan integral dari persamaan
tersebut sehingga didapatkan persamaan untuk first order kinetic adalah N =
Nm(1-exp(-kt)) (Lerch et al., 1992).
Model persamaan first order kinetic digunakan untuk mengestimasi hasil
analisis N-tersedia. Neve dan Hofman (1996) menjelaskan bahwa bentuk dari
kurva mineralisasi N dapat disimulasikan dengan kurva persamaan first order
kinetic yaitu dengan persamaan N = Nm (1-exp(-kt)) dimana Nm merupakan
potensial N yang dapat dimineralisasi, k adalah konstanta kecepatan mineralisasi,
dan t adalah waktu inkubasi.
Download