ANALISA PUTUSAN PENGADILAN AGAMA DEPOK TENTANG AHLI WARIS BEDA AGAMA DAN PERKARA YANG DIPUTUS SECARA ULTRA PETITA (Perkara Nomor 318/Pdt.G/2006/Pa.Dpk) Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh: Istiarini Cahyaningsih NIM : 106044101408 KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1431 H/2010 M ANALISA PUTUSAN PENGADILAN AGAMA DEPOK TENTANG AHLI WARIS BEDA AGAMA DAN PERKARA YANG DIPUTUS SECARA ULTRA PETITA (Perkara Nomor 318/Pdt.G/2006/Pa.Dpk) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh : ISTIARINI CAHYANINGSIH NIM : 106044101408 Di bawah Bimbingan Pembimbing I : Pembimbing II : Prof. Dr. Hj. Zaitunah Subhan Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S. Ag., MA NIP : 195010011967122001 NIP : 197608072003121001 KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1431 H/2010 M LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar S.1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, 1 September 2010 Mohammad Andriansyah KATA PENGANTAR ­G¡+Ýo ¯2Ù{´ ¯2lµo Assalamu’alaikum. Wr. wb Segala puji bagi Allah SWT, Maha Pencipta dan Maha Penguasa alam semesta yang telah melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada penulis terutama dalam rangka penyelesaian skripsi ini. Shalawat serta salam kita haturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW dan keluarga, serta para sahabat yang telah banyak berkorban dan menyebarkan dakwah Islam. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak sedikit hambatan dan kesulitan yang penulis hadapi, namun pada akhirnya selalu ada jalan kemudahan, tentunya tidak terlepas dari beberapa individu yang sepanjang penulisan skripsi ini banyak membantu dan memberikan bimbingan dan masukan yang berharga kepada penulis hingga terselesaikannya skripsi ini. Dengan demikian dalam kesempatan yang berharga ini penulis mengugkapkan rasa hormat serta ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesarbesarnya kepada: 1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. 2. Ketua Program Studi Akhwal Al-Syakhsiysah Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA. 3. Sekretaris Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah Kamarusdiana, S.Ag., MH. i 4. Pembimbing skripsi penulis, Prof. Dr. Hj. Zaitunah Subhan, MA dan Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, MA. Terima Kasih karena telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan motivasi kepada penulis dalam rangka menyelesaiakan skripsi ini. 5. Para Narasumber dan Staff Lembaga Pengadilan Agama Depok, yang telah memberikan penulis izin dan membantu meluangkan waktunya untuk melaksanakan observasi dan wawancara selama penulis mengadakan penelitian khususnya Dra. Taslimah. Yang telah memberikan informasi kepada penulis. 6. Seluruh Staff Pengajar (dosen) Prodi Ahwal Al Syakhshiyah Fakultas Syariah dan Hukum yang telah banyak menyumbang ilmu dan memberikan motivasi sepanjang penulis berada di sini. Selain itu, para Pimpinan dan Staff Perpustakaan baik Perpustakaan Utama maupun Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi perpustakaan guna menyelesaikan skripsi ini. 7. Teristimewa untuk Ayahanda Ahmad Jubaidi dan Ibunda Sarmini tercinta. Yang telah merawat dan mengasuh serta mendidik dengan penuh kasih sayang dan memberikan pengorbanan yang tak terhitung nilainya baik dari segi moril maupun materil. Serta Adinda Muhammad Arsyad Syihabudin dan Azma Firzanah Qurrotu’aini, juga semua saudara-saudara sepupu penulis Irma Mustika Sari, Agus Widodo, dll. Terimakasih atas segala doanya, kesabaran, jerih payah, serta nasihat yang senantiasa memberikan semangat tanpa jemu hingga penulis dapat ii menyelesaiakan studi. Tiada kata yang pantas selain ucapan doa, sungguh jasa kalian tiada tara dan tak akan pernah terbalaskan. 8. Teman-teman senasib dan seperjuangan konsentrasi Peradilan Agama angkatan 2006. Terkhusus untuk Wawad, Ilyas, Joko, Andre, Ibnu, Jamil, Rully, Huda, Lukman, Aida, Yani, Milky, Pipih dan lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, serta untuk seseorang yang telah membangkitkan kembali semangat penulis setelah penulis terpuruk, trimakasih atas bantuannya dalam penulisan skripsi ini, dan kebersamaan yang tercipta selama penulis belajar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang selalu memberi warna dan memeriahkan hari-hari waktu kuliah, semoga persahabatan kita tak kan pernah memudar walau waktu dan jarak memisahkan kita. 9. Penghuni Kost Alfi, Vina, Wawad, Eva, Wiwin. Canda tawa kalian dalam mewarnai hari-hari penulis yang selalu membuat penulis tersenyum. Kepada semua pihak yang telah banyak memotivasi dan memberi inspirasi kepada penulis untuk mencapai suatu cita-cita, dan yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung, moril maupun materil. Hanya ucapan terima kasih yang penulis haturkan semoga segala bantuan tersebut diterima sebagai amal baik disisi Allah SWT. Dan memperoleh pahala yang berlimpat ganda (amin). Penulis meyadari bahwa skripsi ini banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun perlu kiranya diberikan demi perbaikan dan iii penyempurnaan skripsi ini. Maka akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya, dan pembaca pada umumnya. -Amin Ya Rabbal ‘Alamin- Jakarta, 28 Agustus 2010 Penulis iv DAFTAR ISI KATA PENGANTAR…………………………………………………………...i DAFTAR ISI………………………………………………………....................v BAB I : PENDAHULUAN……………………………………………….1 A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ..................................... 5 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................. 6 D. Review Studi Terdahulu.......................................................... 7 E. Metode Penelitian ............................................................... 10 F. Sistematika Penulisan .......................................................... 12 BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG ULTRA PETITA DAN AHLI WARIS BEDA AGAMA……..……………………...………..14 A. Gugatan Secara Garis Besar .................................................. 14 B. Pengertian Ultra Petita……….. ............................................ 21 C. Pengertian Dan Landasan Hukum Waris .............................. 22 D. Waris Beda Agama Beserta Ruang Lingkupnya ................... 33 v BAB III : PROFIL PENGADILAN AGAMA DEPOK DAN PUTUSAN PERKARA NOMOR 318/Pdt.G/2006/PA.Dpk...…………...38 A. Gambaran Umum PA Depok ................................................. 38 B. Putusan Pengadilan…….. ...................................................... 42 C. Deskripsi Kasus…………….... ............................................ 47 D. Amar Putusan…………………………………………. ....... 55 BAB IV : TINJAUAN TENTANG PERKARA GUGAT WARIS YANG DIPUTUS SECARA ULTRA PETITA DAN PENETAPAN AHLI WARIS BEDA AGAMA……………….......................57 A. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Perkara Secara Ultra Petita…………....... ........................................... 57 B. Dasar Pertimbangan Hakim Tentang Ditetapkannya Ahli Waris Beda Agama……………... ........................................... 62 C. Analisa Penulis………………………….. ............................ 65 BAB V : PENUTUP…………………………………………………………. ..71 A. Kesimpulan ........................................................................... 71 B. Saran ..................................................................................... 72 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….74 LAMPIRAN-LAMPIRAN……………………………………………………76 vi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengadilan merupakan penyelenggara peradilan atau organisasi yang menyelenggarakan hukum dan keadilan, sebagai pelaksanaan dari kekuasaan kehakiman. Sebagai pencerminan dari kekuasaan kehakiman, itu terlihat sejak diundangkan dan diberlakukan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 sampai berlakunya UndangUndang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004, disebutkan bahwa: “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk melenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”. 1 Dalam penjelasan pasal tersebut dikemukakan bahwa kekuasaan kehakiman yang merdeka mengandung pengertian bebas dari campur tangan pihak kekuasaan lainnya. Walaupun demikian, kebebasan itu sifatnya tidak mutlak karena hakim bertugas menegakkan hukum dan keadilan dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar serta asas-asas yang menjadi landasannya melalui perkara-perkara yang diproses di pengadilan sehingga putusannya mencerminkan perasaan keadilan di masyarakat. 2 Penyelenggara kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan-badan peradilan yang ditetapkan dengan Udang-Undang. Peradilan adalah kekuasaan negara dalam 1 Abdul Ghofur Anshori, Peradilan Agama di Indonesia Pasca Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Sejarah Kedudukan dan Kewenangan, (Yogyakarta, UII Press, 2007) h. 147 2 A. Rahmat Rosyadi dan Sri Hatini, Advokat dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 2003), h. 57 1 menerima, memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara untuk menegakkan hukum dan keadilan. 3 Dalam ketentuan pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004, tugas dan kewenangan badan peradilan di bidang perdata adalah menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan sengketa antara para pihak yang berperkara. Hal ini yang menjadi tugas pokok peradilan. Dalam menjalankan tugas peradilan terdapat tiga tahap tindakan. Yaitu tahap pendahuluan, tahap penentuan dan tahap pelaksanaan. Tahap pendahuluan merupakan persiapan menuju kepada penentuan atau pelaksanaan. Dalam tahap penentuan diadakan pemeriksaan peristiwa dan pembuktian sekaligus sampai kepada putusannya. Sedang dalam tahap pelaksanaan diadakan pelaksanaan dari pada putusan. 4 Benar dan adilnya penyelesaian perkara di pengadilan bukan dilihat pada hasil akhir putusan, tetapi harus dimulai pada awal proses pemeriksaan perkara, apakah sejak awal ditangani, pengadilan memberi pelayanan sesuai dengan ketentuan hukum acara atau tidak. Pada hakekatnya hakim hanya diminta atau diharapkan untuk mempertimbangkan benar tidaknya peristiwa yang diajukan kepadanya tanpa perlu tahu akan hukumnya. Untuk mengetahui hukumnya, ia dapat menanyakan kepada ahlinya. Pada umumnya hukum perdata materiil membuka kemungkinan untuk penafsiran. Namun tidak demikian 3 4 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 6 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia. (Yogyakarta, Liberty, 1999), h. 5 2 halnya dan tidak demikian seharusnya dengan Hukum Acara Perdata yang pada asasnya bersifat mengikat. 5 Agar hakim dapat mempertimbangkan dan mengabulkan permohonan Penggugat, maka Penggugat harus mencantumkan permohonan dalam petitum gugatannya yang diajukan kepada Pengadilan Agama. Jika Penggugat tidak mencantumkan permohonan dalam petitumnya hakim tidak diperkenankan untuk mencantumkan amar putusan. 6 Hal tersebut sesuai dengan asas yang diatur dalam Pasal 178 ayat (3) HIR dan Pasal 189 ayat (3) R.Bg dimana ditegaskan bahwa hakim dilarang mengabulkan lebih dari yang dituntut, kecuali ada aturan khusus yang memperbolehkan. Jika sekiranya hakim menjatuhkan suatu putusan yang tidak diminta dalam petitum gugatannya, maka hakim tersebut telah melampaui batas wewenangnya, dalam istilah peradilan disebut Ultra Petita Partium. Ultra Petita Partium artinya Hakim tidak boleh memberi putusan tentang sesuatu yang tidak dituntut atau tidak diminta dalam petitum atau mengabulkan lebih dari pada yang ditutuntut oleh penggugat. Tetapi Hakim tidak dilarang memberi putusan yang mengurangi isi dari tuntutan gugatan. 7 Larangan untuk mengadili dan memutus melebihi apa yang dituntut (petitum) termuat dalam Pasal 178 Ayat (3) HIR serta padanannya dalam Pasal 189 Ayat (3) RBg, yang merupakan hukum acara yang berlaku di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama 5 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, h. 5-6 6 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. (Jakarta, Kencana, 2005), h. 112 7 Miftakhul Huda, S.H. Ultra Petita Dalam Pengujian Undang-Undang, http://www.miftakhulhuda.com/2009/06/ultra-petita-dalam-pengujian-undang.html diakses pada tanggal 27 juli 2010 pukul 9.31 PM 3 di Indonesia. Hal demikian dapat dipahami, karena inisiatif untuk mempertahankan atau tidak adalah satu hak yang bersifat privat yang dimiliki individu atau orang perorangan yang terletak pada kehendak atau pertimbangan orang perorangan tersebut, yang tidak dapat dilampaui. 8 Karena ultra petita dilarang, sehingga judec factie yang melanggar dengan alasan “salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku” dapat mengupayakan kasasi (Pasal 30 UU MA), dan dasar upaya peninjauan kembali (Pasal 67 dan Pasal 74 ayat (1) UU MA). Hal ini bertentangan dengan Putusan Pengadilan Agama Depok Nomor 318/Pdt.G/2006/PA.Dpk yang memberikan putusan melebihi apa yang diminta oleh Penggugat atau disebut juga dengan Ultra Petita. Dalam putusan tersebut, Majelis Hakim juga memutuskan salah satu keluarga yang berbeda agama menjadi ahli waris si pewaris. Hal ini juga sangat bertentangan dengan ketentuan yang ada dalam KHI pasal 171 (c) yang menyatakan bahwa ahli waris harus beragama Islam saat pewaris meninggal. Inilah yang membuat penulis tertarik untuk menganalisis putusan hakim Pengadilan Agama Depok tersebut. Untuk itu maka penulis memberi judul : “Analisa Putusan Pengadilan Agama Depok Tentang Ahli Waris Beda Agama Dan Perkara Yang Diputus Secara Ultra Petita (Perkara Nomor 318/Pdt.G/2006/Pa.Dpk)” B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah 8 Ibid 4 Agar penelitian ini lebih akurat dan terarah sehingga tidak menimbulkan masalah baru serta pelebaran secara meluas, maka penulis membatasi pembahasan ini pada masalah ultra petita dan penetapan ahli waris beda agama pada putusan Pengadilan Agama Depok nomor 318/Pdt.G/2006/Pa.Dpk. 2. Perumusan masalah Di dalam Pasal 178 ayat (3) HIR serta padanannya Pasal 189 ayat (3) R.Bg telah dijelaskan bahwa hakim dilarang memutus perkara melebihi apa yang dituntut (petitum). Ketentuan HIR merupakan hukum acara yang berlaku di pengadilan perdata di Indonesia. Namun kenyataan yang terjadi di lapangan, ultra petita ini dilakukan oleh hakim di Pengadilan Agama Depok. Begitu pula dengan ahli waris beda agama, dalam KHI pasal 171 (c) disebutkan bahwa ahli waris adalah yang pada saat pewaris meninggal dunia beragama Islam, namun Majelis Hakim mengabulkan gugatan Penggugat untuk menjadi ahli waris, padahal Penggugat berbeda agama dengan pewaris. Kedua hal inilah yang membuat penulis terdorong untuk menelusuri dan melakukan penelitian terkait dengan permasalahan tersebut. Rumusan tersebut penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: 1. Apa pertimbangan hukum hakim Pengadilan Agama Depok dalam memutus perkara Nomor : 318/Pdt.G/2006/PA.Dpk tentang perkara gugat waris yang diputus secara ultra petita? 2. Apa pertimbangan hukum hakim Pengadilan Agama Depok dalam memutus perkara Nomor : 318/Pdt.G/2006/PA.Dpk tentang ditetapkannya ahli waris beda agama? 5 3. Bagaimana analisis Hukum Syara’ terhadap ahli waris yang berbeda agama atau murtad? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin penulis capai melalui penelitian tersebut adalah sebagai berikut : a. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim Pengadilan Agama Depok dalam memutus perkara Nomor : 318/Pdt.G/2006/PA.Dpk tentang perkara gugat waris yang diputus secara ultra petita. b. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim Pengadilan Agama Depok dalam memutus perkara Nomor : 318/Pdt.G/2006/PA.Dpk tentang ditetapkannya ahli waris beda agama. c. Untuk mengetahui analisis hukum syara’ terhadap penetapan ahli waris yang berbeda agama atau murtad. 2. Manfaat Penelitian Dari hasil studi ini diharapkan dapat bermanfaat sekurang-kurangnya untuk : 1. Kegunaan teoritis, sebagai sumbangsih ilmu pengetahuan yang diharapkan memberikan kontribusi pemikiran pada dunia akademia dan penyandaran hukum pada masyarakat. 2. Kegunaan praktis, diharapkan berguna untuk menjadi acuan/pertimbangan bagi penerapan suatu ilmu dilapangan atau masyarakat. 6 D. Review Studi Terdahulu Sejauh penelusuran yang sudah penulis lakukan belum ada yang membahas tentang Ultra Petita ini, namun ada yang berkaitan dengan Hukum Acara Perdata Peradilan Agama, diantaranya adalah: 1. Skripsi oleh Nur Alim, Tahun 2004; yang berjudul “Peranan Pengacara Dalam Hukum Acara Peradilan Agama”. Dalam skripsi ini membahas tentang perbandingan antara Peradilan Agama dan Peradilan Umum. Kenyataan bahwa perkara-perkara yang menjadi kompetensi absolut Peradilan Agama sering cukup diselesaikan dengan jalan perdamaian (abitrase), sehingga jumlah kasus yang masuk ke Peradilan Agama tidak sebanding dengan jumlah kasus yang sebenarnya terjadi. Berbeda dengan Peradilan Umum sedikit kemungkinan kasus yang diselesaikan dengan jalan perdamaian. Sehingga kasus yang masuk ke Peradilan Umum sebanding dengan kasus yang sebenarnya terjadi. Juga membahas tentang pemanfaatan bantuan hukum di Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri. Oleh karena itu, adanya pengacara adalah untuk mengatur dan mengawasi menjadikan tugas memberikan pelayanan kepada masyarakat awam terhadap keadilan dan kebenaran mencakup pembentukan penyusunan surat gugatan, memorandum hukum dalam tingkat upaya hukum perdata, eksepsi dan prodeo. Dalam skripsi tersebut hanya membahas tentang kewenangan Peradilan Agama dan Peradilan Umum, tidak membicarakan kewenangan hakim, karena memang fokusnya adalah peranan pengacara untuk mengatur dan mengawasi serta memberikan pelayanan kepada masyarakat awam terhadap keadilan dan kebenaran. 7 Dari sekian judul skripsi yang berkaitan dengan Hukum Acara Peradilan Agama, penulis tidak menemukan satupun masalah yang berkaitan dengan Ultra Petita. Maka penulis mencantumkan review yang berkaitan dengan bagian Acara Perdatanya saja yang juga akan penulis bahas. Oleh karena itu penulis ingin mengetahui hukum melakukan Ultra Petita yang telah dilakukan oleh hakim di Pengadilan Agama Depok. 2. Skripsi oleh Yatmi Wulansari, tahun 2009, yang berjudul Penolakan Ahli Waris Menurut Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam skripsi ini membahas tentang takharuj atau mengeluarkan diri menjadi ahli waris. Takharuj dapat terjadi karena beberapa hal, pertama karena keridhoan diri sendiri dan tanpa turut campur dari pihak lain, kedua mengundurkan diri karena mendapatkan imbalan atau jabatan yang diberikan dari pihak lain (ada suap menyuap). Biasanya orang yang mengundurkan diri dengan sebab-sebab tesebut adalah orang yang kaya raya, ketiga tidak ingin ikut terbebani dengan hutang si pewaris, dll. Sebenarnya walapun ahli waris mengundurkan diri karena tidak mau menanggung hutang pewaris, ahli waris yang mengundurkan diri tersebut tetap harus memenuhi hutang tersebut dengan maksimum seberat harat yang ditinggalkan (Lihat KHI). Namun yang demikian itu harus ada kesepakatan dari ahli waris yang lain. Jika sudah diputuskan, maka harta waris tersebut dapat diambil dan di gantikan oleh ahli waris lainnya. 8 Menurut hukum perdata, penolakan ini harus terjadi dengan tegas, dan dilakukan dengan suatu pernyataan yang dibuat di kepaniteraan Pengadilan Negeri yang di dalam daerahnya telah terbuka warisan itu. Persamaan skripsi ini dengan skripsi penulis adalah masih sama persoalannya dalam lingkup waris. Dan pebedaannya adalah, pada skripsi ini yang dibahas adalah penolakan ahli waris, padahal mungkin ahli waris tersebut tidak ada halangan untuk saling mewarisi. Sedangkan pada skripsi penulis Penggugat menggugat harta waris namun Penggugat beragama Kristen, yang sudah jelas sekali bahwa perbedaan agama adalah penghalang kewarisan. Oleh karena itu, penulis juga tergugah untuk membahas masalah tersebut, yakni ahli waris beda agama. E. Metode Penelitian Dalam menyusun penulisan skripsi ini, penulis akan menggunakan beberapa metode, yaitu : 1. Pendekatan Masalah Pendekatan masalah disini adalah pendekatan kualitatif yaitu dengan menggunakan analisa isi, dengan cara menguraikan dan mendeskripsikan isi dari putusan yang penulis dapatkan, kemudian menghubungkan dengan masalah yang diajukan sehingga dapat menemukan kesimpulan yang objektif, logis, konsisten dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dikehendaki dalam penulisan skripsi ini. 2. Jenis Data 9 Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder, yaitu : a. Data Primer, yaitu data yang bersifat utama dan penting yang memungkinkan untuk mendapatkan sejumlah informasi berkaitan dengan penelitian, yaitu: 1) Salinan Putusan atau berkas perkara gugat waris Nomor Pengadilan Agama Depok Nomor Perkara 318/Pdt.G/2006/PA.Dpk. 2) Informasi dari hakim dan atau panitera yang menangani perkara gugat waris perkara Nomor Pengadilan Agama Depok Nomor Perkara 318/Pdt.G/2006/PA.Dpk. di Pengadilan Agama Depok. Kemudian data tersebut dianalisis dengan cara menguraikan dan menghubungkan dengan masalah yang dikaji. b. Data Sekunder Data sekunder ini adalah data yang diperoleh dengan cara mengadakan studi kepustakaan atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diajukan. Dokumen yang dimaksud adalah Al-Qur’an, Al-Hadits, Undang-undang, Kompilasi Hukum Islam dan Peraturan-peraturan lainnya, buku-buku karangan ilmiah serta bukubuku lainnya yang berkaitan dengan masalah ini. 3. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan cara sebagai berikut : a. Menganalisis putusan Pengadilan 318/Pdt.G/2006/PA.Dpk. 10 Agama Depok Nomor b. Interview atau wawancara dengan mengumpulkan data dari responden yang dipilih yaitu Hakim Pengadilan Agama Depok yang menangani masalah ini. 4. Teknik Analisa Data Setelah melalui beberapa proses pengumpulan data yang dilakukan dengan macam-macam metode yang dipilih, maka data yang sudah ada akan diolah dan dianalisa agar mendapatkan hasil yang bermanfaat dari penelitian ini. Pengolahan data dilakukan dengan mengadakan studi dengan teori kenyataan yang ada ditempat penelitian, sedangkan teknik penulisan mengikuti pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2007. F. Sistematika Penulisan Skripsi ini disusun berdasarkan buku “petujuk penulisan skripsi, tesis, dan disertasi” Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun sistematika penulisan dalam skripsi ini terdiri dari Lima Bab, antara lain sebagai berikut : Bab pertama mengenai pendahuluan, yang menjelaskan tentang latar belakang masalah yang akan dibahas, pembatasan dan perumusan masalah, serta tujuan dan manfaat penelitian, kemudian metode penelitian, dan terakhir sistematika penulisan atau isi dari ringkasan bab dalam penulisan skripsi ini. Bab kedua menjelaskan tentang kerangka teori yang memuat deskripsi tentang gugatan yang meliputi pengertian gugatan, dalil gugat atau posita dan petitum atau tuntutan baik primer maupun subsider; putusan pengadilan, meliputi arti putusan pengadilan, asas putusan; serta tinjauan umum mengenai penentuan ahli waris, serta pengghalang seseorang menjadi ahli waris. 11 Bab ketiga menjelaskan tentang uraian terhadap hasil penelitian yang memuat deskripsi data berkenaan dengan gambaran umum PA Depok, deskipsi kasus tentang perkara gugat waris yang diputus secara ultra petita serta putusan dan dasar hukum yang dipakai oleh hakim Pengadilan Agama Depok dalam memutus perkara penetapan ahli waris beda agama. Bab keempat menjelaskan tentang analisis putusan Majelis Hakim tentang ultra petita dan penetapan ahli waris beda agama, juga membahas tentang analisis penulis tentang dasar hukum hakim tentang perkara gugat waris yang diputus secara ultra petita dan penetapan ahli waris beda agama. Bab kelima penutup, yang membahas dua hal yaitu tentang kesimpulan dari hasil penelitian dan saran-saran. 12 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ULTRA PETITA DAN AHLI WARIS BEDA AGAMA A. Gugatan Secara Garis Besar 1. Pengertian Gugatan Perkara yang diperiksa di Pengadilan dalam lingkungan peradilan agama ada dua macam, yaitu permohonan (voluntair) dan gugatan (kontentieus). Dalam perkara permohonan, sifat persidangannya tidak mempertentangkan pihak-pihak yang bersengketa antara Pemohon dan Termohon. Oleh karena itu disebut dengan peradilan yang tidak sesungguhnya. Yang diperiksa dalam persidangan adalah pihak Pemohon, yaitu orang yang mengajukan permohonan kepada Pengadilan, misalnya untuk disahkan sebagai ahli waris, untuk mengadopsi anak dan lain-lain. Adapun gugatan merupakan suatu perkara yang mengandung sengketa atau konflik antara pihak-pihak yang menuntut pemutusan dan penyelesaian Pengadilan. 1 Dalam perkara gugatan, Hakim berfungsi sebagai hakim yang mengadili dan memutus pihak yang benar dan pihak yang tidak benar. Hal yang demikian disebut peradilan yang sesungguhnya (jurisdictio contentieus). 2 1 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1999) h. 229 2 Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama di Indonesia, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000), h. 127 14 Menurut Yahya Harahap, kedua bentuk perkara itu dapat disebut gugatan yang dalam bahasa sehari-hari lazim disebut gugatan permohonan dan gugatan biasa. Dalam perundang-undangan, istilah yang dipergunakan adalah gugatan perdata atau gugatan saja. Sudikno Mertokusumo juga mempergunakan istilah gugatan berupa tuntutan perdata (burgerlijke vordering) tentang hak yang mengandung sengketa dengan pihak lain. Begitu juga dengan R. Subekti yang mempergunakan sebutan gugatan yang dituangkan dalam surat gugatan. 3 Cara mengajukan gugatan ini diatur dalam pasal 118 HIR ayat 1 yang bunyinya: Gugatan perdata yang dalam tingkat pertama masuk wewenang Pengadilan Negeri, harus diajukan dengan surat gugatan, yang ditandatangani oleh Penggugat atau oleh orang yang dikuasakan menurut pasal 147 R.Bg/123 HIR, kepada Ketua Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya terletak tempat tinggal Tergugat atau jika tidak diketahui tempat tinggalnya tempat Tergugat sebenarnya berdiam. 4 Pasal 118 HIR mengemukakan bahwa gugatan harus diajukan dengan surat gugat kepada Pengadilan Negeri. Dari pasal tersebut dan pasal-pasal berikutnya dapat dibaca bahwa surat gugatan dapat ditandatangani oleh Penggugat; kuasa Penggugat; dan Hakim apabila Penggugat buta huruf. 3 Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, pembuktian dan Putusan Pengadilan, (Jakarta, Sinar Grafika, 2006) h. 47 4 M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Acara Peradilan Agama dan Mahkamah Syari’ah di Indonesia, (Jakarta, Kencana, 2005) h. 11 15 Bertitik tolak dari penjelasan di atas yang dimaksud dengan gugatan adalah pengaduan yang dapat diterima oleh hakim, yang dimaksudkan untuk menuntut suatu hak pada pihak yang lain. 5 Adapun surat gugatan ialah surat yang diajukan oleh Penggugat kepada Ketua Pengadilan yang berwenang, yang memuat tuntutan hak yang di dalamnya mengandung suatu sengketa dan sekaligus merupakan dasar landasan pemeriksaan perkara dan pembuktian kebenaran suatu hak. Sedangkan surat permohonan ialah suatu permohonan yang di dalamnya berisi tuntutan hak perdata oleh satu pihak yang berkepentingan terhadap suatu hal yang tidak mengandung sengketa. 6 Dalam arti luas dan abstrak, suatu surat gugatan mempuyai satu tujuan, yaitu menjamin terlaksananya tertib hukum dalam bidang perdata; sedangkan dalam arti sempit adalah suatu tata cara untuk memperoleh perlindungan hukum dengan bantuan penguasa, suatu tata cara yang mengandung suatu tuntutan oleh seseorang tertentu melaksanakan saluran-saluran yang sah, dan dengan suatu putusan hakim ia memperoleh apa yang menjadi haknya atau kepentingan yang diperkirakan sebagai haknya. 7 5 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang, PT Pustaka Rizki Putra, 2001) h. 105 6 H. A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996) h. 39 7 John Z. Loude, Beberapa Aspek Hukum Materiil dan Hukum Acara dalam Praktek, (Jakarta, PT Bina Aksara, 1981), h. 163 16 Di Pengadilan Agama ada perkara permohonan yang mengandung sengketa, sehingga ada dua pihak yang disebut Pemohon dan Termohon, yaitu perkara permohonan ikrar talak dan permohonan beristeri lebih dari satu orang. Perkara gugatan atau permohonan yang di dalamnya mengandung sengketa antara pihak-pihak ini disebut dengan perkara kontentius. Dan perkara yang sifatnya permohonan tanpa adanya sengketa disebut perkara voluntair. 1. Pokok-pokok isi gugatan Isi gugatan secara garis besar memuat hal-hal sebagai berikut: 8 a. Identitas Para Pihak Identitas para pihak meliputi nama/gelar/alias, umur, agama, pekerjaan, domisili terakhir, status: Penggugat/Tergugat. b. Positum/posita (fakta/hubungan hukum) Berisi uraian kejadian atau fakta-fakta yang menjadi dasar adanya sengketa yang terjadi (recht feitum) dan hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan (recht gronden). c. Petitum/petita (isi tuntutan) Berisi apa yang diminta atau diharapkan oleh Penggugat agar diputuskan oleh Hakim dalam persidangan. Tuntutan hak di dalam gugatan harus merupakan tuntutan hak yang ada kepentingan hukumnya, 8 Ibid, h. 163 17 yang dapat dikabulkan apabila kebenarannya dapat dibuktikan dalam persidangan. 2. Fundamentum petendi (dasar-dasar dan alasan tuntutan) Fundamentum petendi berarti dasar gugatan atau tuntutan. Dalam praktek peradilan terdapat beberapa istilah yang akrab digunakan, antara lain: Posita atau dalil gugatan merupakan penjelasan dan penegasan materi perkara yang lazim disebut pokok perkara. Pada prinsipnya dalil gugatan supaya jelas harus memuat rangkaian dari beberapa hubungan hukum dan peristiwa. 9 Antara posita satu dengan posita lainnya harus sinkron dan tidak boleh saling bertentangan. Posita yang satu sama lainnya saling bertentangan akan mengakibatkan gugatan menjadi kabur atau obscuur libel. Posita ini merupakan landasan pemeriksaan dan penyelesaian perkara yang tidak boleh menyimpang dari dalil gugatan. Bagian posita ini bisa dikutip dari gugatan Penggugat, jawaban Tergugat, keterangan saksi dan hasil dari berita acara sidang selengkapnya tetapi singkat, jelas dan tepat serta kronologis. Juga dicantumkan alat-alat bukti lainnya yang diajukan oleh pihak-pihak. 10 9 Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta, Sinar Grafika, 2006), h. 195 10 Sulaikan Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta, Kencana, 2005) h. 162-163 18 Fundamentum petendi terdiri dari dua bagian: 11 a. Bagian yang menguraikan tentang kejadian atau peristiwanya; b. Bagian yang menguraikan tentang dasar hukumnya. Uraian tentang kejadian merupakan penjelasan duduknya perkara tentang adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis dari pada tuntutan. Mengenai uraian yuridis tersebut tidak berarti harus menyebutkan peaturan hukum yang dijadikan dasar tuntutan, melainkan cukup hak atau peristiwa yang harus dibuktikan di dalam persidangan sebagai dasar dari tuntutan, yang member gambaran tentang kejadian meteriil yang merupakan dasar tuntutan itu. Uraian tentang dasar hukum memuat penegasan atau penjelasan mengenai hubungan hukum antara Penggugat dengan materi dan atau objek yang disengketakan; dan antara Penggugat dengan Tergugat berkaitan dengan materi atau objek sengketa. 3. Petitum Gugatan Tuntutan atau petitum merupakan perumusan secara tegas dan jelas tentang apa yang menjadi tuntutan Penggugat terhadap Tergugat. Petitum atau isi tuntutan pada dasarnya harus menyebutkan dengan jelas apa dan bagaimana keputusan yang diharapkan dapat dipenuhi hakim. Tuntutan itu akan terjawab di dalam amar atau diktum putusan. Supaya gugatan sah, dalam 11 R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata: Tata Cara dan Proses Persidangan, (Jakarta, Sinar Grafika, 2006), h. 27 19 arti tidak mengandung cacat formil, harus mencantumkan petitum gugatan yang berisi pokok tuntutan Penggugat berupa deskripsi yang jelas menyebut satu persatu dalam akhir gugatan tentang hal-hal apa saja yang menjadi pokok tuntutan Penggugat yang harus dinyatakan dan dibebankan kepada Tergugat. 12 Dalam praktik Peradilan, petitum atau tuntutan dapat dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu: a. Tuntutan pokok atau tuntutan primer Tuntutan ini merupakan tuntutan pokok yang langsung berhubungan dengan pokok perkara. Hakim tidak boleh mengabulkan lebih dari yang diminta atau dituntut. b. Tuntutan tambahan Tuntutan tambahan bukan tuntutan pokok tetapi masih ada hubungannya dengan pokok perkara. Tuntutan tambahan merupakan tuntutan pelengkap daripada tuntutan pokok. c. Tuntutan subsider atau pengganti Tuntutan subsider adalah tuntutan yang merupakan tuntutan alternatif atau pengganti yang biasanya tuntutan subsider dirumuskan dengan “Mohon putusan seadil-adilnya”. 13 12 Harahap, Hukum Acara, h. 63 13 Wahyudi, Peradilan Agama, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004), h. 134 20 B. Pengertian Ultra Petita Ultra petita dalam hukum formil mengandung pengertian penjatuhan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau meluluskan lebih dari pada yang diminta. Ultra petita menurut I.P.M.Ranuhandoko adalah melebihi yang diminta. 14 Ultra petita sendiri banyak dipelajari di bidang hukum perdata dengan keberadaan peradilan perdata yang lebih tua berdiri sejak ditetapkan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Di dalam perkara pengujian Undang-Undang (UU) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi polemik dengan digunakan ultra petita dalam beberapa putusannya. Ini digariskan pada Pasal 178 HIR ayat (3), Pasal 189 R.Bg ayat (3), bahwa: “Ia tidak diizinkan menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat, atau memberikan lebih daripada yang digugat”. 15 Larangan ini disebut ultra petita partium. Hakim yang mengabulkan melebihi posita dan petitum gugat, dianggap telah melampaui batas wewenang atau ultra vries yakni bertindak melampaui wewenangnya. Apabila putusan mengandung ultra petitum, harus dinyatakan cacat meskipun hal itu dilakukan hakim dengan iktikad baik maupun sesuai dengan kepentingan umum. Tindakan ultra petitum yang dilakukan hakim tetap tidak dibenarkan sekalipun dilakukan dengan iktikad baik, karena melanggar prinsip rule of law. 14 Miftakhul Huda, S.H., Ultra Petita Dalam Pengujian Undang-Undang, http://www.miftakhulhuda.com/2009/06/ultra-petita-dalam-pengujian-undang.html diakses pada tgl 16 agustus 2010 15 R. Soesilo, RIB/HIR dengan Penjelasan, (Bogor, Politeia, 1995), h. 131 21 Hal ini ditegaskan dalam putusan MA No. 1001 K/Sip/1973 yang melarang hakim mengabulkan hal-hal yang tidak diminta atau melebihi yang diminta. Yang dapat dibenarkan paling tidak putusan yang dijatuhkan masih dalam kerangka yang serasi dengan inti gugatan (Putusan MA No. 140 K/Sip/1971). C. Pengertian dan Landasan Hukum Waris 1. Pengertian Waris Kata waris berasal dari bahasa Arab miras. Bentuk jamaknya adalah mawaris, yang berarti harta peninggalan orang meninggal yang akan dibagikan kepada ahli warisnya. 16 Menurut istilah, mawaris dikhususkan untuk suatu bagian ahli waris yang telah ditetapkan dan ditentukan besar-kecilnya oleh syara’. Sedangkan ilmu yang mempelajarinya disebut juga dengan fiqih mawaris atau ilmu faraid. Sebagian ulama faradiyun, mendefinisikan ilmu faraid sebagai berikut: اﻟﻔﻘﻪاﻟﻤﺘﻌﻠﻖ ﺑﺎﻻرثوﻣﻌﺮﻓﺔاﻟﺤﺴﺎباﻟﻤﻮﺻﻞاﻟﻰ ﻣﻌﺮﻓﺔذﻟﻚوﻣﻌﺮﻓﺔﻗﺪراﻟﻮاﺟﺐ ﻣﻦاﻟﺘﺮآﺔﻟﻜﻞذيﺣﻖ Artinya: “Ilmu fiqih yang bertautkan dengan penbagian harta pusaka, pengetahuan tentang cara penghitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian 16 Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, (Pustaka Setia, Bandung, 2006), h. 11 22 pusaka dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peninggalan untuk setiap pemilik hak pusaka.” 17 Dalam rumusan Kompilasi Hukum Islam (pasal 171 huruf a) tentang hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. Dan tentang ahli waris (pasal 171 huruf c) adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris beragama Islam dan tidak terhalang karena hokum menjadi ahli waris. 18 2. Sumber hukum mawaris Hukum-hukum pembagian waris bersumber pada: a. Al-Qur’an, merupakan sebagian besar sumber hukum waris yang banyak menjelaskan ketentuan-ketentuan fard tiap-tiap ahli waris, seperti tercantum dalam surat An-Nisa’ ayat 7, 11, 12, 176 dan surat-surat yang lain. b. Al-Hadits, yang diantara : ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﻮﺳﻰ ﺑﻦ إﺳﻤﺎﻋﻴﻞ ﺣﺪﺛﻨﺎ وهﻴﺐ ﺣﺪﺛﻨﺎ اﺑﻦ : ﻃﺎوس ﻋﻦ أﺑﻴﻪ ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎس رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻬﻤﺎ 17 Dikutip dari Muhammad Asy-Syarbiny Al-Khatib, Mughnil Mukhtah, (Musthofa Al-Babil Halby, Juz III, Kairo, 1958), h.3 dalam tulisan Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, (Pustaka Setia, Bandung, 2006), h. 11 18 Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, 2002), h 81 23 Artinya: “Memberitahu kami Musa bin Ismail memberitahu kami dan menyuruh kami Ibn Thowas dari bapaknya dari ibnu Abbas ra: Dari Nabi SAW bersabda: (Wajib bagi orang-orang yang terdaftar dari apa yang tersisa adalah untuk laki-laki terdekat). (H.R. Bukhari Muslim) c. Sebagian kecil dari ijma’ para ahli, dan beberapa masalah diambil dari ijtihad para sahabat. Ijma’ dan ijtuhad sahabat, imam madzhab, dan para mutahid dapat digunakan dalam pemecahan-pemecahan masalah mawaris yang belum dijelaskan oleh nash yang sharih. 3. Hubungannya dengan hukum waris nasional Di Indonesia belum ada suatu kesatuan hukum tentang waris yang apat diterapkan untuk seluruh warga negaranya. Oleh karena itu, hukum waris yang diterapkan bagi seluruh warga Negara Indonesia masih berbeda-beda mengingat adanya penggolongan warga Negara. a. Bagi warga Negara golongan Indonesia asli, pada prinsipnya berlaku hukum adat, yang sesuai dengan hukum adat yang berlaku di masingmasing daerah. 19 Bukhari, shahih bukhari juz 6 hal 2476, Muslim, shohih muslim hadis no 4226 juz 5, h. 59 24 b. Bagi warga Negara golongan Indonesia asli yang beragama Islam di berbagai daerah, berlaku hukum Islam yang sangat berpengaruh padanya. c. Bagi orang Arab umumnya, berlaku hukum Islam secara keseluruhan. d. Bagi orang-orang Tionghoa dan Eropa, berlaku hukum waris dari Burgerlijk Wetboek. 20 4. Sebab-sebab kewarisan Hal-hal yang menyebabkan seseorang dapat mewarisi terbagi atas tiga macam, yaitu sebagai berikut: a. Karena hubungan kekerabatan atau hubungan nasab Seperti kedua orang tua (ibu-bapak), anak, cucu, dan saudara, serta paman dan bibi. Singkatnya adalah kedua orang tua , anak, dan orang yang bernasab dengan mereka. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an: ... ⌫ ⌧ “…Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Anfal : 75) b. Karena hubungan pernikahan 20 Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, h. 16 25 Hubungan pernikahan ini terjadi setelah dilakukannya akad nikah yang sah dan terjadi antara suami-istri sekalipun belum terjadi persetubuhan. c. Karena wala’ Wala’ adalah pewarisan karena jasa seseorang yang telah memerdekakan seorang hamba kemudian budak itu menjadi kaya. Jika orang yang dimerdekakan itu meninggal dunia, orang yang memerdekakannya berhak mendapat warisan. 5. Ahli Waris Menurut hukum Islam, ahli waris dibagi menjadi dua macam, yaitu: a. Keluarga dekat yang kemudian mereka akan mendapatkan bagian “furudhul muqaddarah” atau “furudul ashabah”. b. Keluarga yang jauh, yang bagiannya masih diperselisihkan. Keluarga yang jauh ini disebut dengan “dzawil arham”. Para ahli waris yang berhak menjadi pewaris harta benda muwarris berjumlah 25 orang, 15 orang laki-laki dan 10 perempuan. Sebagai sumber hukum dari penentuan ahli waris dan pembagiannya masing-masing ialah Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 7, 8, 11, 12, 13, 14, 33, 176, surat Al-Anfal ayat 75, surat Al-Ahzab ayat 6, disamping itu banyak hadits-hadits Rasulullah SAW, Ijma’, dan Ijtihad para ulama yang menjelaskan dan merinci ketentuan-ketentuan dari Al-Qur’an dan hadits. 26 Para ahli waris dari laki-laki, jika diperingkas ada 10 orang dan jika diperluas akan menjadi 15 orang, yaitu sebagai berikut: 1. Anak laki-laki 2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki 3. Ayah 4. Kakek (ayah dari ayah) 5. Saudara sekandung 6. Saudara seayah 7. Saudara seibu 8. Anak laki-laki saudara sekandung 9. Anak laki-laki saudara seayah 10. Paman sekandung 11. Paman seayah 12. Anak laki-laki paman sekandung 13. Anak laki-laki paman seayah 14. Suami 15. Tuan yang memerdekakan budak Ahli waris perempuan, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam syara’ jika diperingkas ada 7 orang. Sedangkan jika diperluas, maka ahli waris dari perempuan tersebut yang mendapat warisan ada 10 orang, yaitu: 1. Anak perempuan 2. Cucu perempuan dari anak laki-laki 27 3. Ibu 4. Nenek dari ibu 5. Nenek dari ayah 6. Saudari sekandung 7. Saudari seayah 8. Saudari seibu 9. Istri 10. Tuan puteri yang memerdekakan (Mu’tiqah) Adapun kelompok-kelompok ahli waris yang mendapat warisan sebagaimana diatur dalam Bab II, pasal 174 meliputi: 1. Golongan laki-laki : anak laki-laki, ayah, saudara laki-laki, paman dan kakek, serta suami. 2. Golongan perempuan : ibu, anak perempuan, saudara perempuan, nenek dan isteri. 21 6. Rukun dan Syarat Kewarisan 1. Rukun Waris Waris mengharuskan tiga hal berikut: a. Pewaris (al-waarits) ialah orang yang mempunyai hubungan kewarisan dengan mayat sehingga dia mendapatkan warisan. 21 Asyhari Abta, Ilmu Wari Al-Faraidl (Deskripsi Hukum Islam, Praktis dan Terapan), h. 45 28 b. Pemberi waris (al-muwarrits) ialah mayat itu sendiri, baik nyata maupun dinyatakan mati secara hukum, seperti orang hilang dan dinyatakan mati. c. Harta yang diwariskan (al-mauruuts) disebut juga peninggalan dan warisan, yaitu harta ata hak yang dipindahkan dari orang yang mewariskan kepada pewaris. 2. Syarat-syarat Kewarisan Pewarisan harta baru dapat dilakukan setelah tepenuhinya tiga syarat berikut: a. Kematian orang yang mewariskan, baik kematian secara nyata maupun secara hukum, misalnya seorang hakim memutuskan kematian seseorang yang hilang. Keputusan itu menjadikan orang hilang sama statusnya seperti orang mati secara hakiki, atau mati menurut dugaan seperti orang memukul seorang perempuan yang hamil sehingga janinnya lahir dalam keadaan mati, maka janin itu dianggap pernah hidup sekalipun hidupnya itu belum nyata. 22 b. Pewaris hidup setelah orang yang mewariskan mati, meskipun hidupnya itu secara hukum, seperti janin di dalam kandungan. Janin itu secara hukum dianggap hidup karena mungkin rohnya belum ditiupkan. Apabila tidak diketahui bahwa pewaris masih hidup sesudah orang yang mewariskan mati, seperti karena tenggelam atau 22 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, jilid 4, (Pena Pundi Aksara cet. 3, 2006), h. 485 29 terbakar atau tertimbun, maka di antara mereka tidak ada waris mewarisi jika mereka termasuk orang-orang yang saling mewarisi. Dan harta masing-masing dari mereka itu dibagikan kepada ahli waris yang masih hidup. c. Tidak ada penghalang yang menghalangi kewarisan. 7. Penghalang Kewarisan Penghalang kewarisan artinya suatu keadaan yang menjadikan tertutupnya peluang seseorang untuk mendapatkan warisan. Adapun orang yang terhalang untuk mendapatkan warisan ini adalah orang yang memenuhi sebab-sebab memperoleh warisan. Ada tiga hal yang menyebabkan seseorang tidak berhak mewarisi harta peninggalan si pewaris, yaitu: a. Perbudakan (hamba sahaya) Hamba sahaya tidak dapat mewarisi harta peninggalan kerabatnya, sebab kalau ia mewarisi berarti harta warisan itu akan diminta oleh majikannya. Padahal majikan adalah orang lain dari kerabat hamba sahaya yang menerima warisan tersebut. Para ulama sepakat bahwa perbudakan merupakan suatu hal yang menjadi penghalang mewarisi berdasarkan petunjuk umum dari nash sharih yang menafikan kecakapan bertindak seorang hamba dalam segala bidang, yaitu firman Allah SWT. 30 ⌧ ⌧ ☺ ⌧ .... Artinya: “Dan Allah membuat (pula) perumpamaan: dua orang lelaki yang seorang bisu, tidak dapat berbuat sesuatupun dan dia menjadi beban atas penanggungnya, ke mana saja dia disuruh oleh penanggungnya itu.” (QS. An-Nahl : 76) b. Pembunuhan Jumhur fuqaha’ telah berpendapat, bahwa pembunuhan dapat menghalangi seseorang menjadi ahli waris. Begitu juga dengan penganiayaan yang mengakibatkan terbunuhnya seseorang. Dasar hukum terhadap yang menghalangi si pembunuh adalah : أﺧﺒﺮﻧﺎ أﺑﻮ ﻧﻌﻴﻢ ﺛﻨﺎ ﺳﻔﻴﺎن ﻋﻦ ﻟﻴﺚ ﻋﻦ ﻣﺠﺎهﺪ ﻋﻦ ﻻ ﻳﺮث اﻟﻘﺎﺗﻞ ﻣﻦ اﻟﻤﻘﺘﻮل ﺷﻴﺌﺎ ﻗﺎل:ﺑﻦ ﻋﺒﺎس ﻗﺎل إﺳﻨﺎدﻩ ﺿﻌﻴﻒ ﻟﻀﻌﻒ ﻟﻴﺚ ﺑﻦ أﺑﻲ:ﺣﺴﻴﻦ ﺳﻠﻴﻢ أﺳﺪ ﺳﻠﻴﻢ 23 Artinya: “Abu Na’im memberitahu kami meriwayatkan Sufyan dari Laits dai Mujahid dari Abbas berkata: Tidak mewarisi pembunuh dari sesuatu yang dibunuh. Berkata Husain Sulaim Asad: Sanadnya Dhoif, dhoif kepada Laits bin Abi Sulaim.” 23 Sunan addarimi, hadis no 3080 juz 2 h. 478 31 Adapun pembunuhan yang tidak disengaja maka parra ulama berbeda pendapat mengenainya. Imam Syafi’i berkata bahwa setiap pembunuhan menghalangi kewarisan, sekalipun pembunuhan itu dilakukan oleh orang gila atau anak kecil, juga sekalipun dengan cara benar seperti had atau qisash. Kalangan pengikut maliki berkata bahwa sesungguhnya pembunuhan yang menghalangi kewarisan itu adalah pembunuhan yang disengaja dan dilakukan dengan motif permusuhan, baik langsung maupun melalui perantara. 24 A. Perbedaan Agama Yang dimaksud dengan perbedaan agama adalah perbedaan agama yang menjadi kepercayaan orang yang mewarisi dengan orang yang diwarisi. Misalnya, agama orang yang mewarisi itu kafir, sedang yang diwarisi itu beragama Islam, maka orang kafir tidak boleh mewarisi harta peninggalan orang Islam. ﺣﺪﺛﻨﺎ أﺑﻮ ﻋﺎﺻﻢ ﻋﻦ اﺑﻦ ﺟﺮﻳﺞ ﻋﻦ اﺑﻦ ﺷﻬﺎب ﻋﻦ ﻋﻠﻲ ﺑﻦ ﺣﺴﻴﻦ ﻋﻦ ﻋﻤﺮو ﺑﻦ ﻋﺜﻤﺎن ﻋﻦ أﺳﺎﻣﺔ ﺑﻦ أن اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ:زﻳﺪ رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻬﻤﺎ ( ﻗﺎل ) ﻻ ﻳﺮث اﻟﻤﺴﻠﻢ اﻟﻜﺎﻓﺮ وﻻ اﻟﻜﺎﻓﺮ اﻟﻤﺴﻠﻢ 25 Artinya: “Abu Ashim dari ibn Juraij dari ibn Syihab dari Ali bin Husain dari Amru bin Utsman dari Usamah bin Zaid ra memberitahu kami: Sesungguhnya 24 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, h. 486 25 Bukhari hadis no 6383 juz 6 h. 2484, muslim hadis no 4225 juz 5 h. 59 32 Nabi SAW bersabda (Tidak mewarisi antara muslim dengan kafir dan tidak pula kafir dengan muslim). (H.R. Bukhari Muslim) Sebagian ulama mengemukakan bahwa murtad (keluar dari Islam), termasuk dalam kategori berbeda agama. Oleh karena itu, murtad merupakan penghalang untuk mewaris. Bahkan, menurut ijma’ ulama, orang murtad tidak boleh mewarisi orang Islam. 26 Ada riwayat lain dari Mu’adz, Mu’awiyah, Ibnu Musayyab, Masruq, dan Nakha’i bahwa sesungguhnya seorang muslimitu mewarisi dari seorang kafir namun tidak sebaliknya. Sama seperti seorang muslim laki-laki boleh menikah dengan kafir perempuan dan seorang muslim perempuan tidak boleh menikah dengan kafir laki-laki. Orang-orang nonmuslim boleh saling mewarisi satu sama lain karena dianggap memeluk satu agama. 27 D. Waris Beda Agama Beserta Ruang Lingkupnya Waris beda agama adalah praktek waris yang amat pelik, di zaman modern, lebih-lebih ketika terjadi yang berhak menerima warisan adalah Muslim dari orang tua atau kerabat yang masih kafir, seperti banyak kasus di beberapa tempat di dunia, termasuk di Indonesia. Keterangan yang menapikan kewarisan itu, dengan menggunakan huruf La nafyiyah yang diartikan tidak, bukan la nahyi, 26 Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, h. 34 27 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, h. 486 33 larangan. Huruf La nafyiyah ini mengandung faidah “tidak” dan dengan kata tidak ini, tidak dilakukan suatu tindakan hukum. Sabda Nabi yang berkaitan dengan menapikan waris mewarisi antar agama ialah: 1. Hadis yang diterima dari Usamah bin Zaid dari Nabi saw. “La yaritsu alMuslim al-kafira wala alk-kafir al-muslima,” yang artinya “Tidak mewarisi orang kafir kepada muslim, demikian orang Muslim kepada kafir” (Hr. Bukhari dan Muslim). 2. Hadis lain dari Amr ni Syaib dari kakeknya Abdullah bin Amr dari Nabi saw,“La yatawaratsu ahlu millatain syatta,” yang artinya “Tidak waris mewarisi penganut dua agama yang berbeda”, (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibn Majah). 28 Dua hadis inilah yang menjadi standar kewarisan di kalangan umat Islam yang dianut oleh para ulama, sejak sahabat, ulama salaf dan khalaf. Namun demikian, tidak menjadi ijma, karena ada beberapa sahabat tidak menyepakatinya kafir di dalam hadis itu masih umum dan memerlukan khas (pengkhususnya) atau mungkin taqyid-nya, bila dianggap mutlaq. Maka kafir di situ kafir harbi, bukan kafir dzimmi. Umar dari kalangan al-Khulafa al-Rasyidin, Muadz, Muawiyah, tidak menerapkan praktek hadis yang diriwayatkan di atas, bahkan sebaliknya dalam kasus tertentu, sebagaimana diriwayatkan, “Mereka mengambil 28 Pwkpersis, kedudukan waris beda agama, Pasingpanjang, Kawali – Ciamis http://pwkpersis.wordpress.com/2008/05/16/kedudukan-waris-beda-agama/ diakses pada tanggal 23 Agustus 2010 pukul 7.22 PM 34 waris dari orang kafir, tetapi tidak sebaliknya, yaitu orang kafir dari orang Islam (al-Mughni IX: 154), sebagai dikutip al-Qardhawi (2003: III, 675). 29 Dari kalangan ulama muta’akhirin ternyata sepakat dengan pendapat ulama di atas tersebut, seperti dikutip Ibn Qayyim dari Ibn Taimiyah dan dikutip lagi oleh al-Qardhawi (2003, III: 676), sebagai berikut: “Adapun kewarisan Muslim dari kafir berbeda pendapat di kalangan salaf. Kebanyakan dari kalangan mereka mengambil pendapat yang menyatakan bahwa ia tidak memperoleh waris, sebagaimana orang kafir tidak memperoleh waris dari Muslim. Pendapat ini dikenal di kalangan ulama yang empat dan para pengikutnya.” Sebagian kelompok mengatakan, “Bahkan orang Muslim menerima waris dari kafir, tidak sebaliknya.” Ini adalah pendapat Muadz bin Jabal, Muawiyah bin Abi Sufyan. Muhammad bin al-Hanafiyah (putra Ali ra dari istri selain Fatimah), dan Muhammad bin Ali bin al-Husein (Abu Ja’far al-Baqir), Said bin al-Musayyab, Masruq bin Ajda, Abdullah bin Mughaffal, al-Syu’bi, al-Nakha’i, Yahya bin Ya’mur, dan Ishaq ibn Rahawaih. Mereka katakan, “Kita memperoleh warisan dari mereka dan mereka tidak memperolehnya dari kita, sebagaimana kita bisa menikahi perempuan-perempuan mereka, tetapi tidak sebaliknya”. Namun, kesahihan riwayat ini diragukan keabsahannya oleh Ibn Qudamah (VI: 294). Artinya, di kalangan ulama hanbaliyah pun ada perbedaan tetang ketentuan waris ini. 30 29 30 Ibid, pukul 7.30 PM Ibid, diakses pada tgl 23-Agustus-2010 pukul 8.10 PM 35 Problem yang dirasakan dengan dua hadis di atas ialah sebagai berikut: 1. Kerugian harta yang mestinya diambil umat Islam bisa jatuh kepada yang lain, bahkan kepada lembaga-lembaga keagamaan non-Muslim yang selanjutnya digunakan untuk memurtadkan umat Islam. 2. Banyak muallaf yang sengsara atau hidup pas-pasan, padahal keluarganya berada. 3. Dimungkinkan seseorang yang tidak masuk Islam karena takut tidak kebagian warisan orang tuanya yang kaya itu. 4. Penguasaan harta dari non-Muslim, dibenarkan oleh perundang-undangan negara sudah diatur di negara-negara modern sekarang. Mungkin hibah, wasiat, hadiah, dari mereka atau malah jual beli. Adalah kerugian bila harta itu dibiarkan tak ada “pemiliknya”. Namun tidak serta-merta orang yang berbeda agama tidak dapat saling waris mewarisi, mereka masih bisa mendapatkan harta waris dengan ketentuan wasiat wajibah, tetapi bagiannya tidaklah sama seperti ahli waris yang lainnya, bagian orang yang mendapat wasiat wajibah adalah tidak lebih dari 1/3 dari harta pewaris. Pemberian wasiat wajibah kepada ahli waris yang kehilangan haknya karena perbedaan agama dalam pembagian warisan adalah sebagai bentuk penerobosan gugurnya hak waris. Dalam perspektif Hukum Islam keberadaan wasiat wajibah adalah sejalan dengan pandangan Islam sebagai Agama yang bertujuan untuk merealisasikan suatu perwujudan dari prinsip keadilan serta kasih sayang yang 36 terdapat dalam ajaran Islam itu sendiri seperti yang disebutkan dalam Al-Quran dan banyak hadist. Perasaan kasih yang terjalin dalam satu keluarga dapat diwujudkan dengan pemberian bagian melalui wasiat sebagai bentuk kasih sayang antar umat manusia kepada manusia lainnya. Semuanya dimaksudkan untuk kebaikan, menghindari konflik di dunia yang berdampak besar bagi terciptanya kedamaian dunia akibat perasaan ketidakadilan akibat dominasi penganut agama lainnya. 37 BAB III PROFIL PENGADILAN AGAMA DEPOK DAN PUTUSAN PERKARA NOMOR 318/Pdt.G/2006/PA.Dpk A. Gambaran Umum PA Depok 1. Gambaran kondisi wilayah hukum Pengadilan Agama Depok Kelas IB beralamat di Jalan Boulevard Sektor Aggrek Komplek Perkantoran Kota Kembang Grand Depok City Depok dan beroperasi pada alamat tersebut setelah diresmikannya gedung Pengadilan Agama Depok bersamaan dengan diresmikannya gedung Pengadilan Tinggi Agama Bandung pada tanggal 20 Februari tahun 2007 oleh Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH, M.CL., di Jalan Soekarno Hatta 714 Bandung. Pengadilan Agama Depok dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2002 tanggal 28 Agustus 2002 yang peresmian operasioanalnya dilakukan oleh Wali Kota Depok di Gedung Balai Kota Depok pada tanggal 25 Juni 2003 dan mulai menjalankan fungsi peradilan sejak tanggal 01 Juli 2003 di Jalan Bahagia Raya No.11 Depok dengan menyewa rumah penduduk sebagai gedung operasionalnya. Pengadilan Agama Depok yang daerah hukumnya meliputi Wilayah Pemerintahan Kota Depok yang terdiri dari ( sebelum pemekaran adalah 6 Kecamatan dengan 60 Kelurahan) 11 Kecamatan dengan 64 Kelurahan 38 dengan mayoritas penduduk beragama Islam, dengan beban kerja rata-rata tiap bulan 162 perkara. Dalam melaksanakan tugasnya Pengadilan Agama Depok didukung dengan kekuatan pegawai sebanyak 38 Orang dan secara formal pelaksanaan tugas Pengadilan Agama Depok harus dipertanggung jawabkan dalam bentuk laporan ke Pengadilan Tinggi Agama Bandung selaku atasan. 2. Gambaran kondisi kompetensi Pengadilan Agama Depok sesuai dengan tugas dan kewenangannya yaitu bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam dibidang perkawinan, warisan dan wasiat, wakaf, zakat, infak, hibah, shadaqoh dan ekonomi syari’ah dan tugas dan kewenangan lain yang diberikan oleh atau berdasarkan Undang-undang. Kompentensi Pengadilan Agama Depok ini diatur dalam pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 menyebutkan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: (a) perkawinan, (b) kewarisan, (c) wasiat, (d) hibah, (e) wakaf, (f) zakat, (g) infaq, (h) shadaqah dan (i) ekonomi syari’ah. 39 Penjelasan Pasal 49 huruf (i) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dikatakan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syari’ah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah antara lain meliputi: 1. Bank syari’ah; 2. Lembaga keuangan mikro syari’ah; 3. Asuransi syari’ah; 4. Reasuransi syari’ah; 5. Reksa dana syari’ah; 6. Obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah; 7. Sekuritas syari’ah; 8. Pembiyaan syari’ah; 9. Penggadaian syari’ah; 10. Dana pensiun lembaga keuangan syari’ah dan 11. Bisnis syari’ah Penambahan kewenangan tersebut merupakan suatu kekuatan untuk memberikan pelayanan hukum secara optimal kepada masyarakat pencari keadilan yang berada diwilayah hukum Pengadilan Agama Depok yang mayoritas beragama Islam. Disamping itu, Pengadilan Agama Depok dengan kekuatan yang dimiliki tersebut dapat mewujudkan masyarakat yang taat akan hukum yang bermuara pada cita-cita negara yakni negara hukum (rechtstaats). 40 3. Peta Yuridiksi Pengadilan Agama Depok Daerah hukum PA Depok adalah meliputi wilayah Pemerintahan Kota Depok, sesuai dengan pasal 4 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 yang dalam Keputusan Presiden RI Nomor 62 tahun 2002 pasal 2 ayat (5) disebutkan bahwa “Daerah hukum Pengadilan agama Depok meliputi wilayah pemerintahan Kota Depok Propinsi Jawa Barat.” Yang pada saat ini wilayah yurisdiksinya sebagaimana disebutkan dibawah ini. Wilayah Hukum Pengadilan Agama Depok meliputi Wilayah Kota Depok. Secara geografis Kota Depok terletak pada koordinat 6°19’00” – 6°28’00” Lintang Selatan dan 106°43’00” – 106°55’30” Bujur Timur. Secara geografis, Kota Depok berbatasan langsung dengan Kota Jakarta atau berada dalam lingkungan wilayah Jabotabek. Bentang alam Kota Depok dari Selatan ke Utara merupakan daerah dataran rendah perbukitan bergelombang lemah, dengan elevasi antara 50 – 140 meter diatas permukaan laut dan kemiringan lerengnya kurang dari 15%. Kota Depok sebagai wilayah termuda di Jawa Barat, mempunyai luas wilayah sekitar 200,29 km2. Kondisi geografisnya dialiri oleh sungai-sungai besar yaitu Sungai Ciliwung dan Cisadane serta 13 sub Satuan Wilayah Aliran Sungai. Disamping itu terdapat pula 25 situ. Data luas situ pada tahun 2005 sebesar 169,68 Ha, dengan kualitas air rata-rata buruk akibat tercemar. 41 Kondisi topografi berupa dataran rendah bergelombang dengan kemiringan lereng yang landai menyebabkan masalah banjir di beberapa wilayah, terutama kawasan cekungan antara beberapa sungai yang mengalir dari selatan menuju utara: Kali Angke, Sungai Ciliwung, Sungai Pesanggrahan dan Kali Cikeas. 4. Berkas Perkara PA Depok yang dibentuk sejak tanggal 28 Agustus 2002 berdasarkan Kepres No. 62 Tahun 2002 dan beroperasi sejak tanggal 1 Juli 2003 termasuk PA kelas II yang tinggi jumlah perkaranya. Hal ini terlihat bahwa untuk 6 (enam) bulan pertama saja yaitu Juli s/d Desember 2003 menerima sejumlah 410 perkara, dan tahun 2004 sejumlah 926 perkara. Sedangkan untuk tahun 2005 yaitu bulan Januari dan Februari atau 2 (dua) bulan berjumlah 176 perkara. Jika kurun waktu 20 bulan berjumlah 1512 perkara, bila diambil angka rata-rata, maka PA Depok menerima 75 buah perkara lebih tiap bulannya. Dari jumlah perkara sebanyak itu yang diterima hanya 2 (dua) perkara saja yang merupakan pekara waris, sedangkan 1510 perkara lainnya adalah perkara pekawinan. 5. Struktur Organisasi (terlampir) B. Putusan Pengadilan 1. Arti putusan pengadilan 42 Tujuan suatu proses di persidangan adalah untuk memperoleh putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. Sesuai dengan ketentuan pasal 178 HIR, apabila pemeriksaan perkara selesai, majelis hakim karena jabatannya melakukan musyawarah untuk mengambil putusan yang akan dijatuhkan. Yang dimaksud dengan proses pengambilan keputusan ialah proses sejak dilimpahkannya perkara ke Pengadilan, pemeriksaan dalam sidang pengadilan sampai diputusnya suatu perkara. Dengan kata lain suatu proses yang dilalui suatu perkara sejak pelimpahannya sampai diperolehnya putusan pengadilan atas perkara teresebut. 1 Setelah semua tahap pemeriksaan persidangan terselesaikan, majelis hakim menyatakan pemeriksaan ditutup dan proses selanjutnya adalah menjatuhkan atau pengucapan putusan. Yang dimaksud putusan adalah hasil kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk tertulis maupun lisan. Putusan (vonis) ini merupakan hasil akhir dari pemeriksaan di sidang pengadilan. 2 Berdasar penjelasan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 memberikan definisi putusan sebagai berikut: “Putusan adalah keputusan Pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan adanya suatu sengketa.” Secara lebih terperinci, putusan ialah suatu keputusan hakim, sebagai pejabat yang berwenang menjalankan 1 Harun M. Husein, Kasasi sebagai Upaya Hukum, (Jakarta, Sinar Grafika, 1992) h.16 2 Leden Marpaung, Putusan Bebas: Masalah dan Pemecahannya, (Jakarta, Sinar Grafika, 1995) h. 36 43 kekuasaan kehakiman yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan secara lisan dalam persidangan terbuka untuk umum, sebagai suatu produk Pengadilan Agama sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan berdasarkan adanya suatu sengketa, serta bertujuan untuk mengakhiri suatu gugatan. Putusan (vonnis) memuat perintah pengadilan kepada pihak yang kalah untuk melakukan sesuatu, atau untuk melepaskan sesuatu, dan untuk menghukum sesuatu. Amar putusan bersifat menghukum (condemnatoir) seperti menghukum tergugat untuk membayar nafkah iddah, atau bersifat menciptakan (constitutoire) menceraikan antar Penggugat dengan Tergugat. Perintah pengadilan ini memiliki daya paksa untuk dilaksanakan atau dieksekusi. 3 2. Asas putusan Asas yang mesti ditegakkan agar putusan yang dijatuhkan tidak mengandung cacat, yaitu: 4 a. Memuat dasar alasan yang jelas dan rinci Suatu putusan yang dijatuhkan harus berdasarkan pertimbangan yang jelas dan cukup. Alasan-alasan yang menjadi dasar pertimbangan bertitik tolak dari ketentuan: pasal-pasal tertentu peraturan perundang 3 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 238 4 Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, pembuktian dan Putusan Pengadilan, (Jakarta, Sinar Grafika, 2006), h. 797-803 44 undangan; hukum kebisaan; yurisprudensi, atau doktrin hukum. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, bahwa: Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dan peraturan perundangundangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. 5 b. Wajib mengadili seluruh bagian gugatan Digariskan dalam Pasal 178 ayat (2) putusan harus secara total menyeluruh memeriksa dan mengadili setiap segi gugatan yang diajukan, tidak boleh memeriksa dan memutus sebagian saja. Cara demikian bertentangan dengan asas yang digariskan Undang-Undang. c. Tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan Ini digariskan pada Pasal 178 HIR ayat (3), Pasal 189 R.Bg ayat (3), bahwa: “Ia tidak diizinkan menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat, atau memberikan lebih daripada yang digugat”. 6 Larangan ini disebut ultra petitum partium. Hakim yang mengabulkan melebihi posita dan petitum gugat, dianggap telah melampaui batas wewenang atau ultra vries yakni bertindak melampaui wewenangnya. Apabila putusan 5 Abdul Ghofur Anshori, Peradilan Agama di Indonesia Pasca Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 (Sejarah, Kedudukan, dan Kewenangan), h. 151 6 R. Soesilo, RIB/HIR dengan Penjelasan, (Yogyakarta, UII Press, 2007), h. 131 45 mengandung ultra petitum, harus dinyatakan cacat meskipun hal itu dilakukan hakim dengan iktikad baik maupun sesuai dengan kepentingan umum. Tindakan ultra petitum yang dilakukan hakim tetap tidak dibenarkan sekalipun dilakukan dengan iktikad baik, karena melanggar prinsip rule of law. Hal ini ditegaskan dalam putusan MA No. 1001 K/Sip/1973 yang melarang hakim mengabulkan hal-hal yang tidak diminta atau melebihi yang diminta. Yang dapat dibenarkan paling tidak putusan yang dijatuhkan masih dalam kerangka yang serasi dengan inti gugatan (Putusan MA No. 140 K/Sip/1971). d. Di ucapkan di muka umum Menurut asas fair trial, pemeriksaan persidangan harus berdasarkan proses yang jujur sejak awal sampai akhir. Dengan demikian, prinsip peradilan terbuka untuk umum mulai dari awal sampai putusan dijatuhkan, merupakan bagian dari asas fair trial. Tujuan utamanya adalah untuk menjamin proses peradilan terhindar dari perbuatan tercela dari pejabat peradilan. Prinsip pemeriksaan dan putusaan terbuka, ditegaskan dalam Pasal 20 UU No. 4 Tahun 2004, yang berbunyi: “Semua putusan Pengadilan 46 hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.” 7 Dalam hal pemeriksaan secara tertutup, putusan tetap diucapkan dalam sidang terbuka. Akan tetapi pengecualian ini sangat terbatas. Yang paling utama dalam bidang hukum kekeluargaan, khususnya mengenai perkara perceraian. Selain persidangan harus terbuka untuk umum, pemeriksaan dan pengucapan putusan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila dilakukan dalam sidang pengadilan. C. Deskripsi Kasus Pada tanggal 27 April 2006 HERAWATY CH. binti DJAINUN, umur 48 tahun, agama Islam, pekerjaan Pegawai Negeri Sipil, bertempat tinggal di Jalan Tiva 5 no. 27 Rt 03/08, Kelurahan Mekarjaya, Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok, yang selanjutnya disebut “Penggugat I”, dan SYAMWIL CH. binti DJAINUN, umur 63 tahun, agama Islam, pekerjaan tidak bekerja, bertempat tinggal di Jalan Tifa 5, nomor 27, Rt 03/08, Kelurahan Mekarjaya, Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok, selanjutnya disebut “Penggugat II”, serta YETTY CH. Binti DJAINUN, umur 44 tahun, agama Islam, pekerjaan Ibu Rumah Tangga bertempat di Jalan Tifa 5, nomor 27, Rt 03/08, Kelurahan Mekarjaya, Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok, selanjutnya disebut “Penggugat III” dengan surat 7 Anshori, Peradilan Agama di Indonesia, h. 150 47 permohonannya yang terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Depok di bawah register perkara Nomor: 318/Pdt.G/2006/PA.Dpk., bermaksud hendak menggugat empat saudaranya dalam gugatan harta peninggalan berupa Tabungan Pensiun (TASPEN) a.n. ENTISNAWATI, No/NIP. 130541039, yang dikeluarkan oleh PT. Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (PT. TASPEN-Persero). Empat saudaranya itu antara lain SUKMAWATI binti DJAINUN, umur 58 tahun, agama Islam, pekerjaan Ibu Rumah Tangga, betempat tinggal di Jl. Hayam Wuruk Gg. Melati No. 181 lingkungan IV Kelurahan Kampung Sawah Lama, Kecamatan Tanjung Karang Timur, Bandar Lampung, selanjutnya disebut “Tergugat I”, MURNI binti DJAINUN, umur 56 tahun, agama Islam, pekerjaan PNS/Guru, bertempat tinggal di Jalan Kebon Nenas Utara No. 19 Rt. 13/7 Kelurahan Cipinang Cempedak Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur, selanjutnya disebut “Tergugat II”, HAFLIL CH. bin DJAINUN, umur 51 tahun, agama Islam, pekerjaan pengamen, bertempat tinggal di Jalan Petamburan No. 5 Rt. 08/03 Petamburan Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, selanjutnya disebut “Tergugat III”, dan RINALDI CH. bin DJAINUN, umur 46 tahun, agama Kristen, pekerjaan swasta, bertempat tinggal di Blok Dukuh Gg. Jengkol No. 458 C Rt. 02/10 Kelurahan Cibubur Kecamatan Ciracas, Jakarta Timur, selanjutnya disebut “Tergugat IV”, dan SYAHRIAL, umur 66 tahun, dahulu bertempat tinggal di Jalan Tifa 5, nomor 27, Rt 03/08, Kelurahan Mekarjaya, Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok, selanjutnya disebut “Tergugat V”. 8 8 Salinan putusan Pengadilan Agama Depok Perkara Nomor 318/Pdt.G/2006/Pa.Dpk. 48 Penggugat I, II, dan penggugat III adalah (saudara kandung) dari almarhumah Entis Nawati binti Djainun yang telah meninggal dunia pada hari Jum’at, tanggal 24 September 2004, kedua orang tua almarhumah Entis Nawati binti Djainun telah meninggal dunia, ayahnya bernama Djainun bin Aman wafat pada tahun 1984 dan ibunya bernama Noerdjani wafat pada tahun 1996, almarhumah Entis Nawati binti Djainun mempunyai 7 (tujuh) saudara kandung yang terdiri dari 3 (tiga) saudara laki-laki dan 4 (empat) saudara perempuan, masing-masing bernama: A. Syamwil CH. bin Djainun; B. Sukma CH. bin Djainun; C. Murni CH. binti Djainun; D. Herawati CH. binti Djainun; E. Haflil CH. bin Djainun; F. Yetty CH. binti Djainun; G. Rinaldi bin Djainun. Semasa hidup almarhumah Entis Nawati bin Djainun telah menikah dengan Syahrial pada tanggal 05 Juni 1983. Namun dari pernikahan tersebut mereka tidak dikaruniai anak. Dan sejak tahun 1983 suami alm Entis Nawati yang bernama Syahrial (Tergugat V) pergi meninggalkan rumah kediaman bersama, dan rumah tangganya hanya 1 bulan, sampai sekarang tidak diketahui lagi keberadaannya. Almahumah semasa hidup bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (Guru SMP Negeri 38 Jakarta) dengan meninggalkan harta peninggalan berupa 49 Tabungan Pensiun (TASPEN) a.n. Entis Nawati, No/NIP. 130541039, yang dikeluarkan oleh PT. Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (PT. TASPEN-Persero), namun sampai sekarang tabungan tersebut belum diambil. Dan sekarang ahli waris yang ada adalah : Syamwil CH. bin Djainun, Sukma CH. bin Djainun, Murni CH. binti Djainun, Herawati CH. binti Djainun, Haflil CH. bin Djainun, Yetty CH. binti Djainun, Rinaldi bin Djainun. Sebenarnya disamping itu masih ada saudara kandung alm. Entis Nawati yaitu Syahril meninggal 7 hari setelah lahir, dan Syafrizal meninggal 40 hari setelah lahir, sedangkan saudara kandung yang bernama Jamaludin alias Uda Boy ada meninggalkan dua orang anak yang bernama Oke dan Yuche. 9 Oleh sebab itu, untuk kepentingan pengurusan Taspen atas nama Almarhumah Entis Nawati, penggugat memohon agar ditetapkan sebagai ahli waris alm. Entis Nawati. Penggugat I, II, dan III juga menyatakan tidak mampu untuk membayar biaya perkara dalam mengajukan gugat waris ini, hal ini didukung dengan Surat Keterangan nomor 470/380-Pemohon.Um, tanggal 25-042006, yang dikeluarkan Lurah Mekarjaya dan diketahui oleh Camat Sukmajaya, Kota Depok, untuk itu para Penggugat mohon untuk dibebaskan biaya perkara. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka Penggugat mengajukan gugatan kepada Ketua Pengadilan Agama Depok beserta Majelis Hakim Pengadilan Agama Pasuruan untuk memanggil para pihak, memeriksa, mengadili dan menjatuhkan putusan sebagai berikut: 9 Ibid 50 Primer: 1. Mengabulkan gugatan Penggugat I, II, dan III; 2. Menyatakan menurut hukum bahwa: 2.1. Syamwil CH. bin Djainun; 2.2.Sukma CH. bin Djainun; 2.3.Murni CH. binti Djainun; 2.4.Herawati CH. binti Djainun; 2.5.Haflil CH. bin Djainun; 2.6.Yetty CH. binti Djainun; 2.7.Rinaldi bin Djainun Adalah ahli waris dari alm. Entis Nawati binti Djainun; 3. Menyatakan, tergugat V ahl waris mafqud; 4. Menyatakan, harta peninggalan berupa Tabungan Pensiun (TASPEN) a.n. Entis Nawati NIP. 130541039, yang dikeluarkan oleh PT. Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (PT. TASPEN-Persero) adalah harta peninggalan alm. Entis Nawati binti Djainun; 5. Menyatakan, bahwa para ahli waris tersebut berhak mendapatkan bagian atas peninggalan alm. Entis Nawati binti Djainun; 6. Menetapkan, pembagian atas harta peninggalan alm. Entis Nawati binti Djainun tersebut berdasarkan hukum Islam; 51 7. Membebaskan biaya perkara menurut hukum; 10 Subsider: Mohon putusan seadil-adilnya; Pada hari persidangan yang telah ditetapkan, Penggugat dan Tegugat datang menghadap sendiri dalam persidangan, namun Tergugat V tidak datang dalam persidangan meskipun telah dipanggil secara resmi dan patut melalui Wali Kota Depok. Upaya damai yang dilakukan Majelis Hakim, namun para pihak telah menyatakan pada dasarnya tidak keberatan atas maksud dan tujuan gugatan Penggugat tersebut. Dan untuk menguatkan dalil gugatannya, Penggugat telah mengajukan bukti-bukti sebagai berikut: I. Bukti Surat - Foto copy KTP an. Penggugat 1, bukti P.1 - Foto copy KTP an. Penggugat 1, bukti P.2 - Foto copy KTP an. Penggugat 1, bukti P.3 - Foto copy KTP an. Penggugat 1, bukti P.4 - Foto copy KTP an. Penggugat 1, bukti P.5 - Foto copy KTP an. Penggugat 1, bukti P.6 - Foto copy KTP an. Penggugat 1, bukti P.7 - Foto copy Kartu Keluarga an. Herawati, bukti P.8 - Foto copy Surat Keterangan dari SMP 38 Jakarta Pusat, bukti P.9 10 Ibid 52 - Foto copy Surat Keterangan Kematian an. Alm. Entis Nawati CH., No. 474.3/194. Tanggal 28 September 2004, bukti P.10 - Foto copy Kartu Peserta Taspen an. Entis Nawati, bukti P.11 - Foto copy Surat Pernyataan an. Herawaty CH, bukti P.12 - Foto copy Surat Keterangan dari Kelurahan Abadi Jaya, bukti P.13 Bukti-bukti tersebut telah disesuaikan dengan aslinya dan bermaterai cukup, serta terhadap bukti tersebut para Tergugat tidak membantahnya. II. Bukti Saksi 1. Rouwke Dandel, SH., umur 34 tahun, pekerjaan swasta, bertempat tinggal di Blok Dukuh Rt. 02/10 No. 48 C Kelurahan Cibubur Kecamatan Ciracas Jakarta Timur, menerangkan sumpah sebagai berikut: - Bahwa saksi kenal dengan para Penggugat dan juga para Tergugat; - Bahwa setahu saksi para Penggugat dengan para Tergugat seluruhnya adalah saudara kandung dari alm. Entis Nawati; - Bahwa setahu saksi saudara alm. Entis Nawati itu adalah: Sukmawati, Syamwil, Murni, Herawati, Haflil, Yetty dan Rinaldi; - Bahwa setahu saksi di samping para Penggugat an para Tergugat tidak ada lagi ahli waris lain dan orang tuanya telah meninggal dunia terlebih dahulu, demikian juga suaminya; - Bahwa setahu saksi alm. Entis Nawati telah meninggal dunia pada tanggal 24 September 2004 dan saksi hadir dalam pemakamannya; 53 - Bahwa setahu saksi alm. Entis Nawati memiliki suami bernama Syahrial tetapi yang bersangkutan telah pergi meninggalkan alm dan tidak pernah kembali lagi hingga sekarang sekalipun penah dicari serta tidak mempunyai anak; - Bahwa setahu saksi penetapan ahli waris ini untuk kepentingan pengurusan Taspen an. Entis Nawati; 2. Benny Chabero, menerangkandi bawah suumpah sebagai berikut: - Bahwa saksi kenal dengan para Penggugat dan Tegugat; - Bahwa setahu saksi saudara kandung alm. Entis Nawati itu adalah: Sukmawati, Syamwil, Murni, Herawati, Haflil, Yetty dan Rinaldi; - Bahwa setahu saksi di samping para Penggugat dan para Tergugat tidak ada lagi ahli waris lain dan orang tuanya telah meninggal dunia terlebih dahulu, demikian juga suaminya telah meninggalkannya sejak tahun 1983 dan tidak mempunyai anak keturunan; - Bahwa setahu saksi alm. Entis Nawati telah meninggal dunia pada tanggal 24 September 2004 an saksi hadir saat pemakamannya; - Bahwa setahu saksi alm. Entis Nawati memiliki suami bernama Syahrial tetapi tetapi yang bersangkutan telah pergi meninggalkan alm tanpa alasan yang jelas dan tidak pernah kembali hingga sekarang. Dan saksi pernah mendengar alm. Entis Nawati pernah mencarinya, tetapi tidak behasil; 54 - Bahwa setahu saksi penetapan ahli waris ini untuk kepentingan pengurusan Taspen an. Entis Nawati; D. Amar Putusan Memperhatikan ketentuan-ketentuan hukum yang bersangkutan dengan perkara ini, maka Majelis Hakim Pengadilan Agama Depok mengadili: Dalam gugatan primer: 1. Mengabulkan gugatan para Penggugat seluruhnya; 2. Menetapkan bahwa: Syamwil CH. bin Djainun, saudara kandung; Sukma CH. binti Djainun, saudara kandung; Murni CH. binti Djainun, saudara kandung; Herawaty CH. binti Djainun, saudara kandung; Haflil CH. binti Djainun, saudara kandung; Yetty CH. binti Djainun, saudara kandung; Rinaldi bin Djainun, saudara kandung; Adalah ahli waris dari almarhumah Entis Nawati binti Djainun yang telah meninggal dunia pada tanggal 24 September 2004; 3. Menetapkan, bahwa Oke dan Yuche adalah ahli waris pengganti dari Jamaludin bin Djainun; 4. Menyatakan bahwa Tergugat V (Syahrial) ahli waris mafqud; 55 5. Menetapkan, harta peninggalan berupa Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri Sipil pada PT. TASPEN Persero atas nama Entis Nawati, NIP. 130541039, adalah harta peninggalan almarhumah Entis Nawati binti Djainun; 6. Menyatakan tentang tatacara pembagian harta peninggalan berupa Taspen an. Entis Nawati binti Djainun telah berakhir perdamaian tanggal 21 Juni 2006; Dalam gugatan subsider: 1. Memerintahkan piha-pihak untuk mematuhi dan melaksanakan isi perdamaian tesebut; 2. Menghukum para Penggugat dan para Tergugat secara bersama-sama untuk membayar biaya perkara yang hingga kini dihitung sebesar Rp 226.000,- (dua ratus dua puluh enam ribu rupiah) 56 BAB IV TINJAUAN TENTANG PERKARA GUGAT WARIS YANG DIPUTUS SECARA ULTRA PETITA DAN PENETAPAN AHLI WARIS BEDA AGAMA A. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Perkara Secara Ultra Petita Pekara ini merupakan sengketa waris yang berdasarkan ketentuan pasal 49 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 adalah merupakan kewenangan absolute Pengadilan Agama. Dan yang menjadi dalil gugatan Penggugat dalam perkara ini adalah: bahwa untuk kepentingan pengurusan TASPEN atas nama Entis Nawati para Penggugat dan Tergugat mohon ditetapkan sebagai ahli waris alm. Entis Nawati yang telah meninggal pada tanggal 24 September 2004, dan mohon dinyatakan berhak atas perolehan Taspen tesebut. Adapun berdasarkan keterangan saksi-saksi dibawah sumpahnya ternyata dalam bukti surat kutipan Kartu Keluarga an. Herawati, dan surat kutipan Surat Keterangan Kematian an. Alm. Entis Nawati CH., No. 474.3/194. tanggal 28 September 2004, serta bukti surat kutipan Kartu Peserta Taspen an. Entis Nawati yang telah memenuhi syarat sebagai alat bukti yang sah, maka harus dinyatakan bahwa Penggugat dan Tergugat adalah benar saudara kandung dari alm. Entis Nawati yang telah meninggal pada tanggal 28 September 2004, dan alm. Entis Nawati adalah benar mempunyai tabungan Taspen. 1 1 Salinan Putusan Pengadilan Agama Perkara Nomor 318/Pdt.G/2006/Pa.Dpk. 57 Oleh karena Tergugat V tidak datang menghadap meskipun telah dipanggil dengan resmi dan patut melalui Wali Kota Depok, maka Tergugat V harus dinyatakan tidak hadir. Selain itu, pihak Majelis telah berusaha mendamaikan, dan kemudian para pihak telah menyatakan pada dasarnya tidak keberatan atas maksud dan tujuan gugatan Penggugat. Bukti-bukti yang diajukan Penggugat dalam persidangan, baik berupa surat maupun saksi-saksi dari keluarga/orang terdekat dengan Penggugat dan Tergugat memperkuat dalil-dalil gugatannya. Atas dasar keterangan saksi, terbukti adanya fakta bahwa Penggugat dan Tergugat adalah benar saudara kandung dari alm. Entis Nawati yang telah meninggal pada tanggal 28 September 2004, dan selain itu ada saudara kandung alm. Entis Nawati yang lain yaitu Syahril meninggal 7 hari setelah lahir, dan Syafrizal meninggal 40 hari setelah lahir, sedangkan saudara kandung yang bernama Jamaludin alias Uda Boy ada meninggalkan dua orang anak yang bernama Oke dan Yuche. Sedangkan Tegugat V tidak diketahui di mana keberadaannya sejak 1 bulan menikah dengan alm. Entis Nawati sampai sekarang. Dari uraian Penggugat dapat disimpulkan bahwa pada pokoknya gugatan Penggugat didasarkan atas penetapan ahli waris untuk pengurusan peninggalan Taspen an. Entis Nawati. Menurut saksi-saksi yang diajukan Penggugat bila dihubungkan dengan keterangan Penggugat maka dapat ditemukan adanya fakta-fakta sebagai berikut: 58 - Bahwa benar Penggugat dan Tergugat adalah saudara kandung dari alm. Entis Nawati; - Bahwa benar alm. Entis Nawati tidak mempunyai keturunan; - Bahwa benar alm ditinggal pergi oleh suaminya (Tergugat V) pada masa 1 bulan setelah pekawinan; - Bahwa benar saudara kandung alm yang bernama Syahril meninggal setelah 7 hari setelah lahir dan Syafrizal meninggal 40 hari setelah lahir, sedangkan saudara kandung yang benama Jamaludin alias Uda Boy ada meninggalkan dua orang anak yang bernama Oke dan yuche; - Bahwa benar orang tua alm telah meninggal; - Bahwa benar alm mempunyai tabungan berupa Taspen yang sampai sekarang belum diurus; - Bahwa benar kegunaan penetapan ahli waris ini adalah untuk pengurusan Taspen an. Alm. Entis Nawati binti Djainun yang hingga sekarang belum diurus; Melihat dalam tuntutan primer Penggugat mengajukan gugatan berupa: 1. Mengabulkan gugatan Penggugat I, II, dan III; 2. Menyatakan menurut hukum bahwa: 2.1.Syamwil CH. bin Djainun; 2.2.Sukma CH. bin Djainun; 2.3.Murni CH. binti Djainun; 59 2.4.Herawati CH. binti Djainun; 2.5.Haflil CH. bin Djainun; 2.6.Yetty CH. binti Djainun; 2.7.Rinaldi bin Djainun Adalah ahli waris dari alm. Entis Nawati binti Djainun; 3. Menyatakan, tergugat V ahl waris mafqud; 4. Menyatakan, harta peninggalan berupa Tabungan Pensiun (TASPEN) a.n. Entis Nawati NIP. 130541039, yang dikeluarkan oleh PT. Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (PT. TASPEN-Persero) adalah harta peninggalan alm. Entis Nawati binti Djainun; 5. Menyatakan, bahwa para ahli waris tersebut berhak mendapatkan bagian atas peninggalan alm. Entis Nawati binti Djainun; 6. Menetapkan, pembagian atas harta peninggalan alm. Entis Nawati binti Djainun tersebut berdasarkan hukum Islam; 7. Membebaskan biaya perkara menurut hukum; Penggugat juga mengajukan prodeo. Dalam gugatan subsider Penggugat mohon agar diberikan putusan seadiladilnya. Berdasarkan pada pertimbangan tersebut diatas, Majelis Hakim setelah bermusyawarah berpendapat, bahwa gugatan Penggugat dalam tuntutan primer dikabulkan seluruhnya, sedangkan gugatan supaya berperkara secara prodeo, 60 Majelis Hakim telah melakukan pemeriksaan dan menjatuhkan putusan sela tanggal 13 Juni 2006, sebaga berikut: 1. Menolak pemohonan para Penggugat untuk beperkara secara prodeo; 2. Memerintahkan para Penggugat untuk membayar biaya perkara ini; Disamping itu, para Penggugat dan Tergugat juga telah menandatangani kesepakatan tanggal 21 Juni 2006, pada pokoknya bermaksud sebagai berikut: 1. Bahwa seluruh ahli waris sepakat menyelesaikan sengketa ini dengan secara damai; 2. Bahwa para ahli waris memerlukan penetapan ini guna pengurusan Taspen an. Alm. Entis Nawati binti Djainun; 3. Bahwa para ahli waris sepakat agar seluruh ahli waris ditetapkan oleh Pengadilan sebagai ahli waris; 4. Bahwa para ahli waris sepakat pembagian dari hasil pengurusan Taspen dimaksud akan dibagi secara kekeluargaan di antara para ahli waris; 5. Bahwa di samping ahli waris sebagaimana tersebut di atas, tidak ada lagi ahli waris lain; 6. Bahwa para ahli waris mohon agar kesepakatan ini dimasukkan ke dalam putusan Pengadilan; Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut di atas, gugatan Penggugat dapat dikabulkan. Dalam hal ini majelis hakim mempertimbangkan adanya tuntutan subsider yang pada intinya mohon untuk diputus seadil-adilnya. Dan keputusan ini oleh 61 majelis hakim dianggap paling adil, sehingga mengabulkan tuntutan subsider tersebut. 2 Karena para Penggugat dan Tergugat telah mencapai kesepakatan, maka dengan demikian tidak ada pihak yang kalah dan menang, oleh karena itu segala biaya yang timbul dalam perkara ini dibebankan secara bersama diantara para ahli waris. B. Dasar Pertimbangan Hakim Tentang Ditetapkannya Waris Beda Agama Di dalam memutuskan perkara, hakim perlu memperhatikan pertimbangan hukumnya, sehingga siapapun dapat menilai apakah putusan yang dijatuhkan cukup mempunyai alasan yang objektif atau tidak. Dapat dikatakan pertimbangan hukum merupakan jiwa dan intisari putusan. Pada perkara gugat waris ini hakim mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya, namun hakim juga memutuskan satu perkara yang menurut penulis bahwa ini adalah suatu keputusan yang tidak beralasan, karena dalam salinan putusan yang penulis dapat, di dalamnya tidak terdapat dasar hukum atau alasan yang jelas mengapa hakim memutuskan demikian. Hakim sebagai pelaku fungsional kekuasaan kehakiman harus berupaya secara profesional dalam menjalankan dan menyelesaikan pekerjaannya. Hakim dianggap sebagai orang yang mengetahui semua hukum, oleh karena itu hakim haruslah orang yang berpengetahuan dan berwawasan luas. 2 Berdasarkan wawancara salah satu Majelis Hakim yang menangani perkara tersebut 62 Karena sifatnya peraturan perundang-undangan itu tidak lengkap dalam mengatur seluruh kegiatan manusia secara tuntas, lengkap dan jelas, maka hukumnya harus diketemukan dengan menjelaskan, menafsirkan atau melengkapi peraturan perundang-undangannya. Dengan kata lain ketidak-lengkapan dan ketidak-jelasan hukum ini dapat diatasi dengan jalan penemuan hukum. Dalam hal ini hakim harus secara aktif menggali hukum untuk dijadikan dasar dalam memutus suatu perkara. Prinsip lain yang harus ditegakkan hakim dalam menjatuhkan putusan, yakni upaya mencari dan menemukan hukum obyektif yang hendak diterapkan harus dari sumber hukum yang dibenarkan ketentuan perundang-undangan. Pada alasan memutus, yang diutarakan adalah bagian duduk perkara, yaitu keterangan pihak-pihak berikut dalilnya, alat-alat bukti yang diajukan harus ditimbang secara seksama, diterima atau ditolak. Pihak mana yang akan dibebani untuk memikul biaya perkara, juga menjadi pertimbangan hakim. Dan sebagai dasar memutus, hakim menggunakan perundang-undangan negara dan hukum syara’. Dalam perkara ini, hakim memutuskan bahwa Rinaldi CH. bin Djainun yang beragama Kristen adalah ahli waris alm. Entis Nawati binti Djainun. Padahal dalam KHI pasal 171 huruf (c) yang menyatakan bahwa “Ahli waris adalah orang yang pada saat pewaris meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.” Kemudian pada pasal 172 yang juga 63 berkaitan dengan pasal sebelumnya, berbunyi “Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari Kartu Identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.” Dalam fatwa MUI Nomor: 5/MUNAS VII/MUI/9/2005 tentang waris beda agama menetapkan bahwa: 1. Hukum waris Islam tidak memberikan hak saling mewarisi antar orang-orang yang berbeda agama (antara muslim dengan nonmuslim); 2. Pemberian harta antar orang yang berbeda agama hanya dapat dilakukan dalam bentuk hibah, wasiat dan hadiah. 3 Berbeda agama adalah salah satu penghalang kewarisan, sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim sebagai berikut: ﺣﺪﺛﻨﺎ أﺑﻮ ﻋﺎﺻﻢ ﻋﻦ اﺑﻦ ﺟﺮﻳﺞ ﻋﻦ اﺑﻦ ﺷﻬﺎب ﻋﻦ ﻋﻠﻲ ﺑﻦ ﺣﺴﻴﻦ ﻋﻦ ﻋﻤﺮو ﺑﻦ ﻋﺜﻤﺎن ﻋﻦ أﺳﺎﻣﺔ ﺑﻦ زﻳﺪ رﺿﻲ أن اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ ﻗﺎل ) ﻻ ﻳﺮث:اﷲ ﻋﻨﻬﻤﺎ ( اﻟﻤﺴﻠﻢ اﻟﻜﺎﻓﺮ وﻻ اﻟﻜﺎﻓﺮ اﻟﻤﺴﻠﻢ 4 Artinya: “Abu Ashim dari ibn Juraij dari ibn Syihab dari Ali bin Husain dari Amru bin Utsman dari Usamah bin Zaid ra memberitahu kami: Sesungguhnya Nabi SAW bersabda (Tidak mewarisi antara muslim dengan kafir dan tidak pula kafir dengan muslim). (H.R. Bukhari Muslim) 3 Musyawarah Nasional VII Majelis Ulama Indonesia Tahun 2005, Keputusan Fatwa MUI Nomor: 5/MUNAS VII/9/2005 tentang Kewarisan Beda Agama 4 Bukhari hadis no 6383 juz 6 h. 2484, muslim hadis no 4225 juz 5 h. 59 64 Sebagian ulama mengemukakan bahwa murtad (keluar dari Islam), termasuk dalam kategori berbeda agama. Oleh karena itu, murtad merupakan penghalang untuk mewaris. Bahkan, menurut ijma’ ulama, orang murtad tidak boleh mewarisi orang Islam. Dan sebagaimana yang sudau penulis terangkan dalam bab 3. C. Analisa Penulis Sebagaimana diketahui bahwa Pengadilan Agama adalah peradilan perdata, jadi ia harus mengindahkan peraturan-peraturan negara dan syari'at Islam sekaligus. Oleh karena itu dalam menyelesaikan perkara melalui proses perdata, hakim dalam melaksanakan fungsi peradilan yang diberikan Undang-Undang kepadanya, berperan dan bertugas untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Untuk itu, hakim bertugas mempertahankan tata hukum perdata sesuai dengan kasus yang disengketakan. Hakim harus menguasai hukum acara (hukum formal) di samping hukum materiil. Menerapkan hukum materiil secara benar belum tentu menghasilkan putusan yang baik dan benar. Dalam posita perkara gugat waris ini, tidak terdapat adanya dalil-dalil yang mengarah kepada hal-hal yang sifatnya meminta agar Oke dan Yuche di cantumkan sebagai ahli waris. Posita yang ada hanya mengarah kepada gugatan agar Syamwil CH. bin Djainun, Sukma CH. bin Djainun, Murni CH. binti Djainun, Herawati CH. binti Djainun, Haflil CH. bin Djainun, Yetty CH. binti Djainun, Rinaldi bin Djainun diputuskan sebagai ahli waris alm. Entis Nawati. 65 Hal ini sesuai dengan asas konsistensi antara posita dan petitum, bahwa antara posita dan petitum harus benar-benar merupakan rangkaian yang konsisten. Artinya petitum yang ada tidak boleh berubah arahnya dari makna dan jiwa posita agar gugatan tidak menjadi kacau sehingga petitum yang bersangkutan dapat diterima. Adapun amar atau dictum pada hakikatnya merupakan jawaban terhadap petitum daripada gugatan. Apabila gugatan mengandung petitum subsider dengan bentuk ex aequo et bono, hanya dapat diperiksa dan dikabulkan jika masih dalam ruang lingkup yang serasi dengan petitum primer dan tidak menyimpang dari posita yang tersebut dalam surat gugatan. Jadi tidak boleh menyimpang dari ruang lingkup tuntutan pokok semula. Sebab bagaimanapun juga hakim dilarang memutus melebihi apa yang dituntut oleh Penggugat sebagaimana tersebut dalam tuntutan pokok dan posita serta Tergugat tidak dirugikan haknya untuk melakukan pembelaan kepentingannya. Dalam mengadili suatu perkara hakim dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan melebihi daripada yang dituntut (Pasal 178 ayat 3 HIR). Hakim yang mengabulkan melebihi posita maupun petitum gugat dianggap telah melampaui batas wewenang, yakni bertindak melampaui wewenangnya. Sehubungan dengan itu, sekiranya tindakan ultra petita hakim dilakukan dengan iktikad baik, tetap tidak dapat dibenarkan karena melanggar prinsip rule of law, siapapun tidak boleh melakukan tindakan yang melampaui batas 66 wewenangnya. Yang dapat dibenarkan paling tidak putusan hakim yang dijatuhkan masih dalam kerangka yang serasi dengan inti gugatan. Menurut hukum pembuktian dalam acara perdata, pembuktiannya bersifat mencari kebenaran formil. Jadi kebenaran yang dicari adalah kebenaran yang bersifat formil. Mencari kebenaran formil berarti hakim tidak boleh melampaui batas-batas yang diajukan oleh pihak-pihak yang berperkara. Sehingga karenanya, hakim dilarang untuk menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut, atau meluluskan lebih dari yang dituntut. Dari hasil wawancara dan pengamatan penulis mengenai perkara gugat waris ini, yang menurut penulis hakim memutuskan perkara secara ultra petita, yakni hakim mengabulkan gugatan penggugat secara keseluruhan kecuali gugatan untuk beperkara secara prodeo yang ditolak oleh hakim pada putusan sela pada tanggal 13 Juni 2006, kemudian hakim juga memutuskan dalam perkara subsider bahwa Oke dan Yuche adalah ahli waris pengganti dari Jamaludin bin Djainun, putusan tersebut bukan termasuk kategori ultra petita atau termasuk kategori ultra petita namun dapat dibenarkan karena masih serasi dengan inti gugatan. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan dalam Putusan MA No. 140 K/Sip/1971 yang berbunyi: “Keputusan judex facti yang didasarkan kepada petitum subsidair untuk diadili menurut kebijaksanaan Pengadilan, dapat dibenarkan asal masih dalam kerangka yang serasi dengan inti gugatan primair.” 67 Sama seperti putusan membayar nafkah iddah pada istri yang dibebankan kepada suami yang telah menalaknya, walaupun hal tersebut jarang sekali dimasukkan ke dalam petitum tetapi hakim mencantumkan putusan tesebut pada putusan akhir, karena itu dianggap adil oleh hakim. Namun, pada putusan Majelis Hakim yang memutuskan bahwa Rinaldi CH. bin Djainun adalah juga ahli waris alm. Entis Nawati binti Djainun sudah melanggar undang-undang dalam KHI pasal 171 (c), bahwa ahli waris pada saat pewaris meninggal harus beragama Islam. Dalam fiqih sunnah bab waris dikatakan bahwa beda agama adalah salah satu penghalang kewarisan. Berdasarkan hadits yang telah disebut dalam skripsi penulis halaman 60 pada Bab IV, semua imam madzhab (yang empat) berpendapat sama. Namun, sebagian ulama berpendapat bahwa orang Islam boleh mewarisi harta orang kafir, tetapi sebaliknya tidak boleh. Pendapat semacam ini dikemukakan dengan argumentasi bahwa kedudukan orang Islam itu lebih tinggi daripada siapapun, tidak ada satu pun yang dapat mengunggulinya. Dari semua pendapat tersebut, pendapat pertamalah yang benar yang merupakan pendapat jumhur, yang secara jelas telah mengamalkan nash nabawi dalam hadits di atas. Lagi pula masalah waris mewarisi adalah saling menolong dan membantu sesamanya. Hal ini tidak terdapat di antara orang muslim dengan orang kafir karena dilarang syara’. Mengenai semua agama dan kepercayaan diluar Islam, ulama Hanafiyyah, Syafi’iyyah, Imam Abu Dawud mengatakan bahwa semuanya merupakan satu 68 agama, sebab pada hakikatnya mereka mempunyai prinsip yang sama, yaitu menyerikatkan atau menyekutukan Allah SWT. Sebagian ulama mengemukakan bahwa murtad (keluar dari Islam), termasuk kategori bebeda agama. Oleh karena itu, murtad merupakan penghalang untuk mewaris. Bahkan, menurut ijma’ ulama, orang murtad tidak boleh mewarisi orang Islam. Adapun mengenai kerabatnya yang muslim, apakah ia boleh mewarisi dari kerabatnya yang murtad atau tidak? Dalam hal ini ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Menurut jumhur fuqaha, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah, ia tidak mewarisi dari kerabatnya yang murtad. Menurut golongan ini, mereka tidak boleh waris mewarisi antara orang Islam dengan orang kafir. Orang murtad berarti keluar dari Islam, yang berarti ia menjadi kafir, maka hartanya menjadi rampasan bagi orang Islam. Begitu pula dalam fatwa MUI Nomor: 5/MUNAS VII/MUI/9/2005 tentang waris beda agama, yang pada intinya antara muslim dan nonmuslim tidak saling mewarisi, namun pemberian harta warisan masih dapat dilakukan dalam bentuk hibah, wasiat dan hadiah. Dari sekian dasar hukum yang menyatakan bahwa antara muslim dan nonmuslim tidak saling mewarisi, namun Majelis Hakim memutuskan bahwa Rinaldi CH adalah ahli waris pewaris. Alasannya karena para penggugat dan 69 tergugat telah sepakat untuk hal tersebut. 5 Jadi, hakim memutuskan hanya berdasarkan kesepakatan para pihak, bukan merujuk pada dasar hukum syara’ yang ada, padahal Pengadilan Agama adalah pengadilan yang mengedepankan hukum syara’. Dalam hal ini penulis tidak setuju dengan keputusan hakim. Karena penulis menganggap bahwa “kesepakatan” bukanlah dasar yang dapat dijadikan acuan, apalagi dasar hukum yang mengaturnya sudah tak dapat diragukan lagi. 5 Berdasarkan wawancara Majelis Hakim, pada tanggal 27 Agustus 2010. 70 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari pembahasan dan uraian yang penulis kemukakan pada bab sebelumnya, maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Dasar pertimbangan hakim Pengadilan Agama Depok dalam memutus perkara Nomor : 318/Pdt.G/2006/PA.Dpk tentang perkara gugat waris yang diputus secara ultra petita adalah Pasal 178 HIR ayat (3) dan Putusan MA No. 140 K/Sip/1971 yaitu selama perkara masih dalam jika masih dalam ruang lingkup yang serasi dengan tuntutan primer dan tidak menyimpang dari dalil gugatan yang ada dalam surat gugatan. Dengan kata lain, hakim diperbolehkan mengabulkan putusan yang dianggap tepat dan adil dalam batas-batas yang masih serasi dengan petitum primer dan tidak menyimpang dari posita yang ada. Putusan tersebut bukan termasuk kategori ultra petita atau dalam hukum acara perdata termasuk kategori ultra petita namun dapat dibenarkan karena masih serasi dengan inti gugatan. 2. Pada putusan Majelis Hakim, yang memutuskan bahwa Rinaldi CH. bin Djainun adalah juga ahli waris alm. Entis Nawati binti Djainun sudah mengabaikan undang-undang dalam KHI pasal 171 (c), bahwa ahli waris pada saat pewaris meninggal harus beragama Islam. Dalam fiqih sunnah bab waris dikatakan bahwa beda agama adalah salah satu penghalang kewarisan. MUI juga mengeluarkan fatwa bahwa muslim dan nonmuslim tidak saling mewarisi. Namun di sini hakim memutuskan hanya berdasarkan “kesepakatan” para pihak. 66 3. Dalam KHI pasal 171 huruf (c) yang menyatakan bahwa “Ahli waris adalah orang yang pada saat pewaris meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.” Kemudian pada pasal 172 yang juga berkaitan dengan pasal sebelumnya, berbunyi “Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari Kartu Identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.” Sudah jelas sekali bahwa antara muslim dan kafir tidak saling mewarisi. Sedangkan murtad sudah dianggap kafir, karena mereka sudah termasuk ke dalam golongan yang mensyarikatkan Allah. B. Saran-Saran 1. Kepada Pengadilan Agama khususnya di PA Depok, dalam menerima, memeriksa dan memutus perkara permohonan gugat waris yang diajukan oleh Penggugat, diharapkan lebih cermat dan tetap mempertimbangkan peraturan perundangan yang berlaku baik secara materiil maupun formil. 2. Dalam memberikan putusan, hakim perlu memperhatikan faktor yang seharusnya diterapkan secara proporsional yaitu: keadilan, kepastian hukumnya dan kemanfaatannya. 3. Bahwasanya hakim perlu lebih aktif dalam menggali dan menemukan hukum objektif atau materiil karena bisa jadi perkara yang diajukan dalil hukumnya tidak ada atau kurang jelas. Kebebasan bagi hakim janganlah ditafsirkan tanpa batas 67 agar tidak terjadi pelanggaran batas kewenangan atau penyalahgunaan kewenangan. 68 74 DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an Al-Karim dan terjemahnya, Departemen RI Abdul Ghofur Anshori, Peradilan Agama di Indonesia Pasca Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Sejarah Kedudukan dan Kewenangan, Yogyakarta, UII Press, 2007 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta, Kencana, 2005 Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama di Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000 A. Rahmat Rosyadi dan Sri Hatini, Advokat dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif, Jakarta, Ghalia Indonesia, 2003 Bisri, Cik Hasan, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1999 ______, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 1998 Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, Pustaka Setia, Bandung, 2006 John Z. Loude, Beberapa Aspek Hukum Materiil dan Hukum Acara dalam Praktek, Jakarta, PT Bina Aksara, 1981 Harun M. Husein, Kasasi sebagai Upaya Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 1992 H. A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996 Leden Marpaung, Putusan Bebas: Masalah dan Pemecahannya, Jakarta, Sinar Grafika, 1995 M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Acara Peradilan Agama dan Mahkamah Syari’ah di Indonesia, Jakarta, Kencana, 2005 R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata: Tata Cara dan Proses Persidangan, Jakarta, Sinar Grafika, 2006 R. Soesilo, RIB/HIR dengan Penjelasan, Bogor, Politeia, 1995 75 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, jilid 4, Pena Pundi Aksara cet. 3, 2006 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta, Liberty, 1999 Sulaikan Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta, Kencana, 2005 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Semarang, PT Pustaka Rizki Putra, 2001 Wahyudi, Peradilan Agama, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004 Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, pembuktian dan Putusan Pengadilan, Jakarta, Sinar Grafika, 2006 Salinan putusan Pengadilan Agama Depok Perkara Nomor 318/Pdt.G/2006/Pa.Dpk. Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Jakarta: Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, 2002 Musyawarah Nasional VII Majelis Ulama Indonesia Tahun 2005, Keputusan Fatwa MUI Nomor: 5/MUNAS VII/9/2005 tentang Kewarisan Beda Agama Pwkpersis, kedudukan waris beda agama, Pasingpanjang, Kawali – Ciamis http://pwkpersis.wordpress.com/2008/05/16/kedudukan-waris-beda-agama/ Miftakhul Huda, S.H. Ultra Petita Dalam Pengujian Undang-Undang, http://www.miftakhulhuda.com/2009/06/ultra-petita-dalam-pengujianundang.html