ANALISA PUTUSAN PENGADILAN AGAMA

advertisement
ANALISA PUTUSAN PENGADILAN AGAMA DEPOK TENTANG
AHLI WARIS BEDA AGAMA DAN PERKARA YANG DIPUTUS
SECARA ULTRA PETITA
(Perkara Nomor 318/Pdt.G/2006/Pa.Dpk)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Istiarini Cahyaningsih
NIM : 106044101408
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1431 H/2010 M
ANALISA PUTUSAN PENGADILAN AGAMA DEPOK TENTANG AHLI WARIS
BEDA AGAMA DAN PERKARA YANG DIPUTUS SECARA ULTRA PETITA
(Perkara Nomor 318/Pdt.G/2006/Pa.Dpk)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
ISTIARINI CAHYANINGSIH
NIM : 106044101408
Di bawah Bimbingan
Pembimbing I :
Pembimbing II :
Prof. Dr. Hj. Zaitunah Subhan
Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S. Ag., MA
NIP : 195010011967122001
NIP : 197608072003121001
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1431 H/2010 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar S.1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 1 September 2010
Mohammad Andriansyah
KATA PENGANTAR
­G¡‹+݉ƒo  ¯2Ù{´
¯2lµƒo
Assalamu’alaikum. Wr. wb
Segala puji bagi Allah SWT, Maha Pencipta dan Maha Penguasa alam
semesta yang telah melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada penulis
terutama dalam rangka penyelesaian skripsi ini. Shalawat serta salam kita haturkan
kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW dan keluarga, serta para sahabat yang
telah banyak berkorban dan menyebarkan dakwah Islam.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak sedikit
hambatan dan kesulitan yang penulis hadapi, namun pada akhirnya selalu ada jalan
kemudahan, tentunya tidak terlepas dari beberapa individu yang sepanjang penulisan
skripsi ini banyak membantu dan memberikan bimbingan dan masukan yang
berharga kepada penulis hingga terselesaikannya skripsi ini.
Dengan
demikian
dalam
kesempatan
yang
berharga
ini
penulis
mengugkapkan rasa hormat serta ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesarbesarnya kepada:
1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr.
H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM.
2. Ketua Program Studi Akhwal Al-Syakhsiysah Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA.
3. Sekretaris Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah Kamarusdiana, S.Ag., MH.
i
4. Pembimbing skripsi penulis, Prof. Dr. Hj. Zaitunah Subhan, MA dan Dr. Ahmad
Tholabi Kharlie, MA. Terima Kasih karena telah meluangkan waktu untuk
memberikan
bimbingan
dan
motivasi
kepada
penulis
dalam
rangka
menyelesaiakan skripsi ini.
5. Para Narasumber dan Staff Lembaga Pengadilan Agama Depok, yang telah
memberikan penulis izin dan membantu meluangkan waktunya untuk
melaksanakan observasi dan wawancara selama penulis mengadakan penelitian
khususnya Dra. Taslimah. Yang telah memberikan informasi kepada penulis.
6. Seluruh Staff Pengajar (dosen) Prodi Ahwal Al Syakhshiyah Fakultas Syariah
dan Hukum yang telah banyak menyumbang ilmu dan memberikan motivasi
sepanjang penulis berada di sini. Selain itu, para Pimpinan dan Staff Perpustakaan
baik Perpustakaan Utama maupun Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum
yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi perpustakaan guna
menyelesaikan skripsi ini.
7. Teristimewa untuk Ayahanda Ahmad Jubaidi dan Ibunda Sarmini tercinta. Yang
telah merawat dan mengasuh serta mendidik dengan penuh kasih sayang dan
memberikan pengorbanan yang tak terhitung nilainya baik dari segi moril maupun
materil. Serta Adinda Muhammad Arsyad Syihabudin dan Azma Firzanah
Qurrotu’aini, juga semua saudara-saudara sepupu penulis Irma Mustika Sari,
Agus Widodo, dll. Terimakasih atas segala doanya, kesabaran, jerih payah, serta
nasihat yang senantiasa memberikan semangat tanpa jemu hingga penulis dapat
ii
menyelesaiakan studi. Tiada kata yang pantas selain ucapan doa, sungguh jasa
kalian tiada tara dan tak akan pernah terbalaskan.
8.
Teman-teman senasib dan seperjuangan konsentrasi Peradilan Agama angkatan
2006. Terkhusus untuk Wawad, Ilyas, Joko, Andre, Ibnu, Jamil, Rully, Huda,
Lukman, Aida, Yani, Milky, Pipih dan lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan
satu persatu, serta untuk seseorang yang telah membangkitkan kembali semangat
penulis setelah penulis terpuruk, trimakasih atas bantuannya dalam penulisan
skripsi ini, dan kebersamaan yang tercipta selama penulis belajar di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang selalu memberi warna dan memeriahkan hari-hari
waktu kuliah, semoga persahabatan kita tak kan pernah memudar walau waktu
dan jarak memisahkan kita.
9. Penghuni Kost Alfi, Vina, Wawad, Eva, Wiwin. Canda tawa kalian dalam
mewarnai hari-hari penulis yang selalu membuat penulis tersenyum.
Kepada semua pihak yang telah banyak memotivasi dan memberi inspirasi
kepada penulis untuk mencapai suatu cita-cita, dan yang telah membantu baik
secara langsung maupun tidak langsung, moril maupun materil. Hanya ucapan
terima kasih yang penulis haturkan semoga segala bantuan tersebut diterima
sebagai amal baik disisi Allah SWT. Dan memperoleh pahala yang berlimpat
ganda (amin).
Penulis meyadari bahwa skripsi ini banyak kekurangan, oleh karena itu
kritik dan saran yang membangun perlu kiranya diberikan demi perbaikan dan
iii
penyempurnaan skripsi ini. Maka akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini
bermanfaat bagi penulis khususnya, dan pembaca pada umumnya.
-Amin Ya Rabbal ‘Alamin-
Jakarta, 28 Agustus 2010
Penulis
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………...i
DAFTAR ISI………………………………………………………....................v
BAB I
: PENDAHULUAN……………………………………………….1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ..................................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................. 6
D. Review Studi Terdahulu.......................................................... 7
E. Metode Penelitian ............................................................... 10
F. Sistematika Penulisan .......................................................... 12
BAB II
: TINJAUAN UMUM TENTANG ULTRA PETITA DAN AHLI
WARIS BEDA AGAMA……..……………………...………..14
A. Gugatan Secara Garis Besar .................................................. 14
B. Pengertian Ultra Petita……….. ............................................ 21
C. Pengertian Dan Landasan Hukum Waris .............................. 22
D. Waris Beda Agama Beserta Ruang Lingkupnya ................... 33
v
BAB III
: PROFIL PENGADILAN AGAMA DEPOK DAN PUTUSAN
PERKARA NOMOR 318/Pdt.G/2006/PA.Dpk...…………...38
A. Gambaran Umum PA Depok ................................................. 38
B. Putusan Pengadilan…….. ...................................................... 42
C. Deskripsi Kasus…………….... ............................................ 47
D. Amar Putusan…………………………………………. ....... 55
BAB IV
: TINJAUAN TENTANG PERKARA GUGAT WARIS YANG
DIPUTUS SECARA ULTRA PETITA DAN PENETAPAN
AHLI WARIS BEDA AGAMA……………….......................57
A. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Perkara
Secara Ultra Petita…………....... ........................................... 57
B. Dasar Pertimbangan Hakim Tentang Ditetapkannya Ahli
Waris Beda Agama……………... ........................................... 62
C. Analisa Penulis………………………….. ............................ 65
BAB V
: PENUTUP…………………………………………………………. ..71
A. Kesimpulan ........................................................................... 71
B. Saran ..................................................................................... 72
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….74
LAMPIRAN-LAMPIRAN……………………………………………………76
vi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pengadilan
merupakan
penyelenggara
peradilan
atau
organisasi
yang
menyelenggarakan hukum dan keadilan, sebagai pelaksanaan dari kekuasaan kehakiman.
Sebagai pencerminan dari kekuasaan kehakiman, itu terlihat sejak diundangkan dan
diberlakukan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 sampai berlakunya UndangUndang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004, disebutkan bahwa: “Kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk melenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya
Negara Hukum Republik Indonesia”. 1
Dalam penjelasan pasal tersebut dikemukakan bahwa kekuasaan kehakiman yang
merdeka mengandung pengertian bebas dari campur tangan pihak kekuasaan lainnya.
Walaupun demikian, kebebasan itu sifatnya tidak mutlak karena hakim bertugas
menegakkan hukum dan keadilan dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar
serta asas-asas yang menjadi landasannya melalui perkara-perkara yang diproses di
pengadilan sehingga putusannya mencerminkan perasaan keadilan di masyarakat. 2
Penyelenggara kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan-badan peradilan
yang ditetapkan dengan Udang-Undang. Peradilan adalah kekuasaan negara dalam
1
Abdul Ghofur Anshori, Peradilan Agama di Indonesia Pasca Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
Sejarah Kedudukan dan Kewenangan, (Yogyakarta, UII Press, 2007) h. 147
2
A. Rahmat Rosyadi dan Sri Hatini, Advokat dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif, (Jakarta,
Ghalia Indonesia, 2003), h. 57
1 menerima, memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara untuk
menegakkan hukum dan keadilan. 3
Dalam ketentuan pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004, tugas
dan kewenangan badan peradilan di bidang perdata adalah menerima, memeriksa, dan
mengadili serta menyelesaikan sengketa antara para pihak yang berperkara. Hal ini yang
menjadi tugas pokok peradilan.
Dalam menjalankan tugas peradilan terdapat tiga tahap tindakan. Yaitu tahap
pendahuluan, tahap penentuan dan tahap pelaksanaan. Tahap pendahuluan merupakan
persiapan menuju kepada penentuan atau pelaksanaan. Dalam tahap penentuan diadakan
pemeriksaan peristiwa dan pembuktian sekaligus sampai kepada putusannya. Sedang
dalam tahap pelaksanaan diadakan pelaksanaan dari pada putusan. 4
Benar dan adilnya penyelesaian perkara di pengadilan bukan dilihat pada hasil
akhir putusan, tetapi harus dimulai pada awal proses pemeriksaan perkara, apakah sejak
awal ditangani, pengadilan memberi pelayanan sesuai dengan ketentuan hukum acara
atau tidak.
Pada hakekatnya hakim hanya diminta atau diharapkan untuk mempertimbangkan
benar tidaknya peristiwa yang diajukan kepadanya tanpa perlu tahu akan hukumnya.
Untuk mengetahui hukumnya, ia dapat menanyakan kepada ahlinya. Pada umumnya
hukum perdata materiil membuka kemungkinan untuk penafsiran. Namun tidak demikian
3
4
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 6
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia. (Yogyakarta, Liberty, 1999), h. 5
2 halnya dan tidak demikian seharusnya dengan Hukum Acara Perdata yang pada asasnya
bersifat mengikat. 5
Agar hakim dapat mempertimbangkan dan mengabulkan permohonan Penggugat,
maka Penggugat harus mencantumkan permohonan dalam petitum gugatannya yang
diajukan kepada Pengadilan Agama. Jika Penggugat tidak mencantumkan permohonan
dalam petitumnya hakim tidak diperkenankan untuk mencantumkan amar putusan. 6
Hal tersebut sesuai dengan asas yang diatur dalam Pasal 178 ayat (3) HIR dan
Pasal 189 ayat (3) R.Bg dimana ditegaskan bahwa hakim dilarang mengabulkan lebih
dari yang dituntut, kecuali ada aturan khusus yang memperbolehkan. Jika sekiranya
hakim menjatuhkan suatu putusan yang tidak diminta dalam petitum gugatannya, maka
hakim tersebut telah melampaui batas wewenangnya, dalam istilah peradilan disebut
Ultra Petita Partium.
Ultra Petita Partium artinya Hakim tidak boleh memberi putusan tentang sesuatu
yang tidak dituntut atau tidak diminta dalam petitum atau mengabulkan lebih dari pada
yang ditutuntut oleh penggugat. Tetapi Hakim tidak dilarang memberi putusan yang
mengurangi isi dari tuntutan gugatan. 7
Larangan untuk mengadili dan memutus melebihi apa yang dituntut (petitum)
termuat dalam Pasal 178 Ayat (3) HIR serta padanannya dalam Pasal 189 Ayat (3) RBg,
yang merupakan hukum acara yang berlaku di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama
5
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, h. 5-6
6
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. (Jakarta,
Kencana, 2005), h. 112
7
Miftakhul
Huda,
S.H.
Ultra
Petita
Dalam
Pengujian
Undang-Undang,
http://www.miftakhulhuda.com/2009/06/ultra-petita-dalam-pengujian-undang.html diakses pada tanggal 27
juli 2010 pukul 9.31 PM 3 di Indonesia. Hal demikian dapat dipahami, karena inisiatif untuk mempertahankan atau
tidak adalah satu hak yang bersifat privat yang dimiliki individu atau orang perorangan
yang terletak pada kehendak atau pertimbangan orang perorangan tersebut, yang tidak
dapat dilampaui. 8
Karena ultra petita dilarang, sehingga judec factie yang melanggar dengan alasan
“salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku” dapat mengupayakan kasasi
(Pasal 30 UU MA), dan dasar upaya peninjauan kembali (Pasal 67 dan Pasal 74 ayat (1)
UU MA).
Hal ini bertentangan dengan Putusan Pengadilan Agama Depok Nomor
318/Pdt.G/2006/PA.Dpk yang memberikan putusan melebihi apa yang diminta oleh
Penggugat atau disebut juga dengan Ultra Petita.
Dalam putusan tersebut, Majelis Hakim juga memutuskan salah satu keluarga
yang berbeda agama menjadi ahli waris si pewaris. Hal ini juga sangat bertentangan
dengan ketentuan yang ada dalam KHI pasal 171 (c) yang menyatakan bahwa ahli waris
harus beragama Islam saat pewaris meninggal.
Inilah yang membuat penulis tertarik untuk menganalisis putusan hakim
Pengadilan Agama Depok tersebut. Untuk itu maka penulis memberi judul :
“Analisa Putusan Pengadilan Agama Depok Tentang Ahli Waris Beda Agama Dan
Perkara Yang Diputus Secara Ultra Petita (Perkara Nomor 318/Pdt.G/2006/Pa.Dpk)”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
8
Ibid
4 Agar penelitian ini lebih akurat dan terarah sehingga tidak menimbulkan masalah
baru serta pelebaran secara meluas, maka penulis membatasi pembahasan ini pada
masalah ultra petita dan penetapan ahli waris beda agama pada putusan Pengadilan
Agama Depok nomor 318/Pdt.G/2006/Pa.Dpk.
2. Perumusan masalah
Di dalam Pasal 178 ayat (3) HIR serta padanannya Pasal 189 ayat (3) R.Bg telah
dijelaskan bahwa hakim dilarang memutus perkara melebihi apa yang dituntut (petitum).
Ketentuan HIR merupakan hukum acara yang berlaku di pengadilan perdata di Indonesia.
Namun kenyataan yang terjadi di lapangan, ultra petita ini dilakukan oleh hakim di
Pengadilan Agama Depok.
Begitu pula dengan ahli waris beda agama, dalam KHI pasal 171 (c) disebutkan
bahwa ahli waris adalah yang pada saat pewaris meninggal dunia beragama Islam, namun
Majelis Hakim mengabulkan gugatan Penggugat untuk menjadi ahli waris, padahal
Penggugat berbeda agama dengan pewaris. Kedua hal inilah yang membuat penulis
terdorong untuk menelusuri dan melakukan penelitian terkait dengan permasalahan
tersebut.
Rumusan tersebut penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1. Apa pertimbangan hukum hakim Pengadilan Agama Depok dalam memutus perkara
Nomor : 318/Pdt.G/2006/PA.Dpk tentang perkara gugat waris yang diputus secara
ultra petita?
2. Apa pertimbangan hukum hakim Pengadilan Agama Depok dalam memutus perkara
Nomor : 318/Pdt.G/2006/PA.Dpk tentang ditetapkannya ahli waris beda agama?
5 3. Bagaimana analisis Hukum Syara’ terhadap ahli waris yang berbeda agama atau
murtad?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin penulis capai melalui penelitian tersebut adalah sebagai
berikut :
a. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim Pengadilan Agama Depok
dalam memutus perkara Nomor : 318/Pdt.G/2006/PA.Dpk tentang perkara
gugat waris yang diputus secara ultra petita.
b. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim Pengadilan Agama Depok
dalam
memutus
perkara
Nomor
:
318/Pdt.G/2006/PA.Dpk
tentang
ditetapkannya ahli waris beda agama.
c. Untuk mengetahui analisis hukum syara’ terhadap penetapan ahli waris yang
berbeda agama atau murtad.
2. Manfaat Penelitian
Dari hasil studi ini diharapkan dapat bermanfaat sekurang-kurangnya
untuk :
1. Kegunaan teoritis, sebagai sumbangsih ilmu pengetahuan yang diharapkan
memberikan kontribusi pemikiran pada dunia akademia dan penyandaran
hukum pada masyarakat.
2. Kegunaan praktis, diharapkan berguna untuk menjadi acuan/pertimbangan
bagi penerapan suatu ilmu dilapangan atau masyarakat.
6 D. Review Studi Terdahulu
Sejauh penelusuran yang sudah penulis lakukan belum ada yang membahas
tentang Ultra Petita ini, namun ada yang berkaitan dengan Hukum Acara Perdata
Peradilan Agama, diantaranya adalah:
1. Skripsi oleh Nur Alim, Tahun 2004; yang berjudul “Peranan Pengacara Dalam
Hukum Acara Peradilan Agama”.
Dalam skripsi ini membahas tentang perbandingan antara Peradilan Agama
dan Peradilan Umum. Kenyataan bahwa perkara-perkara yang menjadi kompetensi
absolut Peradilan Agama sering cukup diselesaikan dengan jalan perdamaian
(abitrase), sehingga jumlah kasus yang masuk ke Peradilan Agama tidak sebanding
dengan jumlah kasus yang sebenarnya terjadi. Berbeda dengan Peradilan Umum
sedikit kemungkinan kasus yang diselesaikan dengan jalan perdamaian. Sehingga
kasus yang masuk ke Peradilan Umum sebanding dengan kasus yang sebenarnya
terjadi. Juga membahas tentang pemanfaatan bantuan hukum di Pengadilan Agama
dan Pengadilan Negeri.
Oleh karena itu, adanya pengacara adalah untuk mengatur dan mengawasi
menjadikan tugas memberikan pelayanan kepada masyarakat awam terhadap keadilan
dan kebenaran mencakup pembentukan penyusunan surat gugatan, memorandum
hukum dalam tingkat upaya hukum perdata, eksepsi dan prodeo.
Dalam skripsi tersebut hanya membahas tentang kewenangan Peradilan
Agama dan Peradilan Umum, tidak membicarakan kewenangan hakim, karena
memang fokusnya adalah peranan pengacara untuk mengatur dan mengawasi serta
memberikan pelayanan kepada masyarakat awam terhadap keadilan dan kebenaran.
7 Dari sekian judul skripsi yang berkaitan dengan Hukum Acara Peradilan
Agama, penulis tidak menemukan satupun masalah yang berkaitan dengan Ultra
Petita. Maka penulis mencantumkan review yang berkaitan dengan bagian Acara
Perdatanya saja yang juga akan penulis bahas.
Oleh karena itu penulis ingin mengetahui hukum melakukan Ultra Petita yang
telah dilakukan oleh hakim di Pengadilan Agama Depok.
2. Skripsi oleh Yatmi Wulansari, tahun 2009, yang berjudul Penolakan Ahli Waris
Menurut Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Dalam skripsi ini membahas tentang takharuj atau mengeluarkan diri menjadi
ahli waris. Takharuj dapat terjadi karena beberapa hal, pertama karena keridhoan diri
sendiri dan tanpa turut campur dari pihak lain, kedua mengundurkan diri karena
mendapatkan imbalan atau jabatan yang diberikan dari pihak lain (ada suap
menyuap). Biasanya orang yang mengundurkan diri dengan sebab-sebab tesebut
adalah orang yang kaya raya, ketiga tidak ingin ikut terbebani dengan hutang si
pewaris, dll. Sebenarnya walapun ahli waris mengundurkan diri karena tidak mau
menanggung hutang pewaris, ahli waris yang mengundurkan diri tersebut tetap harus
memenuhi hutang tersebut dengan maksimum seberat harat yang ditinggalkan (Lihat
KHI).
Namun yang demikian itu harus ada kesepakatan dari ahli waris yang lain.
Jika sudah diputuskan, maka harta waris tersebut dapat diambil dan di gantikan oleh
ahli waris lainnya.
8 Menurut hukum perdata, penolakan ini harus terjadi dengan tegas, dan
dilakukan dengan suatu pernyataan yang dibuat di kepaniteraan Pengadilan Negeri
yang di dalam daerahnya telah terbuka warisan itu.
Persamaan skripsi ini dengan skripsi penulis adalah masih sama persoalannya
dalam lingkup waris. Dan pebedaannya adalah, pada skripsi ini yang dibahas adalah
penolakan ahli waris, padahal mungkin ahli waris tersebut tidak ada halangan untuk
saling mewarisi. Sedangkan pada skripsi penulis Penggugat menggugat harta waris
namun Penggugat beragama Kristen, yang sudah jelas sekali bahwa perbedaan agama
adalah penghalang kewarisan.
Oleh karena itu, penulis juga tergugah untuk membahas masalah tersebut,
yakni ahli waris beda agama.
E. Metode Penelitian
Dalam menyusun penulisan skripsi ini, penulis akan menggunakan beberapa
metode, yaitu :
1. Pendekatan Masalah
Pendekatan
masalah
disini
adalah
pendekatan
kualitatif
yaitu
dengan
menggunakan analisa isi, dengan cara menguraikan dan mendeskripsikan isi dari putusan
yang penulis dapatkan, kemudian menghubungkan dengan masalah yang diajukan
sehingga dapat menemukan kesimpulan yang objektif, logis, konsisten dan sistematis
sesuai dengan tujuan yang dikehendaki dalam penulisan skripsi ini.
2. Jenis Data
9 Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder, yaitu :
a. Data Primer, yaitu data yang bersifat utama dan penting yang memungkinkan
untuk mendapatkan sejumlah informasi berkaitan dengan penelitian, yaitu:
1) Salinan Putusan atau berkas perkara gugat waris Nomor Pengadilan Agama
Depok Nomor Perkara 318/Pdt.G/2006/PA.Dpk.
2) Informasi dari hakim dan atau panitera yang menangani perkara gugat waris
perkara
Nomor
Pengadilan
Agama
Depok
Nomor
Perkara
318/Pdt.G/2006/PA.Dpk. di Pengadilan Agama Depok.
Kemudian data tersebut dianalisis dengan cara menguraikan dan menghubungkan
dengan masalah yang dikaji.
b. Data Sekunder
Data sekunder ini adalah data yang diperoleh dengan cara mengadakan studi
kepustakaan atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diajukan.
Dokumen yang dimaksud adalah Al-Qur’an, Al-Hadits, Undang-undang, Kompilasi
Hukum Islam dan Peraturan-peraturan lainnya, buku-buku karangan ilmiah serta bukubuku lainnya yang berkaitan dengan masalah ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan cara sebagai
berikut :
a. Menganalisis
putusan
Pengadilan
318/Pdt.G/2006/PA.Dpk.
10 Agama
Depok
Nomor
b. Interview atau wawancara dengan mengumpulkan data dari responden yang
dipilih yaitu Hakim Pengadilan Agama Depok yang menangani masalah ini.
4. Teknik Analisa Data
Setelah melalui beberapa proses pengumpulan data yang dilakukan dengan
macam-macam metode yang dipilih, maka data yang sudah ada akan diolah dan dianalisa
agar mendapatkan hasil yang bermanfaat dari penelitian ini. Pengolahan data dilakukan
dengan mengadakan studi dengan teori kenyataan yang ada ditempat penelitian,
sedangkan teknik penulisan mengikuti pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan oleh
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2007.
F. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun berdasarkan buku “petujuk penulisan skripsi, tesis, dan
disertasi” Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun sistematika
penulisan dalam skripsi ini terdiri dari Lima Bab, antara lain sebagai berikut :
Bab pertama mengenai pendahuluan, yang menjelaskan tentang latar belakang
masalah yang akan dibahas, pembatasan dan perumusan masalah, serta tujuan dan
manfaat penelitian, kemudian metode penelitian, dan terakhir sistematika penulisan atau
isi dari ringkasan bab dalam penulisan skripsi ini.
Bab kedua menjelaskan tentang kerangka teori yang memuat deskripsi tentang
gugatan yang meliputi pengertian gugatan, dalil gugat atau posita dan petitum atau
tuntutan baik primer maupun subsider; putusan pengadilan, meliputi arti putusan
pengadilan, asas putusan; serta tinjauan umum mengenai penentuan ahli waris, serta
pengghalang seseorang menjadi ahli waris.
11 Bab ketiga menjelaskan tentang uraian terhadap hasil penelitian yang memuat
deskripsi data berkenaan dengan gambaran umum PA Depok, deskipsi kasus tentang
perkara gugat waris yang diputus secara ultra petita serta putusan dan dasar hukum yang
dipakai oleh hakim Pengadilan Agama Depok dalam memutus perkara penetapan ahli
waris beda agama.
Bab keempat menjelaskan tentang analisis putusan Majelis Hakim tentang ultra
petita dan penetapan ahli waris beda agama, juga membahas tentang analisis penulis
tentang dasar hukum hakim tentang perkara gugat waris yang diputus secara ultra petita
dan penetapan ahli waris beda agama.
Bab kelima penutup, yang membahas dua hal yaitu tentang kesimpulan dari hasil
penelitian dan saran-saran.
12 BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG ULTRA PETITA
DAN
AHLI WARIS BEDA AGAMA
A. Gugatan Secara Garis Besar
1. Pengertian Gugatan
Perkara yang diperiksa di Pengadilan dalam lingkungan peradilan agama
ada dua macam, yaitu permohonan (voluntair) dan gugatan (kontentieus). Dalam
perkara permohonan, sifat persidangannya tidak mempertentangkan pihak-pihak
yang bersengketa antara Pemohon dan Termohon. Oleh karena itu disebut dengan
peradilan yang tidak sesungguhnya. Yang diperiksa dalam persidangan adalah
pihak Pemohon, yaitu orang yang mengajukan permohonan kepada Pengadilan,
misalnya untuk disahkan sebagai ahli waris, untuk mengadopsi anak dan lain-lain.
Adapun gugatan merupakan suatu perkara yang mengandung sengketa
atau konflik antara pihak-pihak yang menuntut pemutusan dan penyelesaian
Pengadilan. 1 Dalam perkara gugatan, Hakim berfungsi sebagai hakim yang
mengadili dan memutus pihak yang benar dan pihak yang tidak benar. Hal yang
demikian disebut peradilan yang sesungguhnya (jurisdictio contentieus). 2
1
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1999) h. 229
2
Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama di Indonesia, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000), h.
127
14 Menurut Yahya Harahap, kedua bentuk perkara itu dapat disebut gugatan
yang dalam bahasa sehari-hari lazim disebut gugatan permohonan dan gugatan
biasa. Dalam perundang-undangan, istilah yang dipergunakan adalah gugatan
perdata atau gugatan saja. Sudikno Mertokusumo juga mempergunakan istilah
gugatan berupa tuntutan perdata (burgerlijke vordering) tentang hak yang
mengandung sengketa dengan pihak lain. Begitu juga dengan R. Subekti yang
mempergunakan sebutan gugatan yang dituangkan dalam surat gugatan. 3
Cara mengajukan gugatan ini diatur dalam pasal 118 HIR ayat 1 yang
bunyinya:
Gugatan perdata yang dalam tingkat pertama masuk wewenang
Pengadilan Negeri, harus diajukan dengan surat gugatan, yang ditandatangani
oleh Penggugat atau oleh orang yang dikuasakan menurut pasal 147 R.Bg/123
HIR, kepada Ketua Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya terletak
tempat tinggal Tergugat atau jika tidak diketahui tempat tinggalnya tempat
Tergugat sebenarnya berdiam. 4
Pasal 118 HIR mengemukakan bahwa gugatan harus diajukan dengan
surat gugat kepada Pengadilan Negeri. Dari pasal tersebut dan pasal-pasal
berikutnya dapat dibaca bahwa surat gugatan dapat ditandatangani oleh
Penggugat; kuasa Penggugat; dan Hakim apabila Penggugat buta huruf.
3
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, pembuktian dan
Putusan Pengadilan, (Jakarta, Sinar Grafika, 2006) h. 47
4
M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Acara Peradilan Agama dan Mahkamah Syari’ah di Indonesia,
(Jakarta, Kencana, 2005) h. 11
15 Bertitik tolak dari penjelasan di atas yang dimaksud dengan gugatan
adalah pengaduan yang dapat diterima oleh hakim, yang dimaksudkan untuk
menuntut suatu hak pada pihak yang lain. 5
Adapun surat gugatan ialah surat yang diajukan oleh Penggugat kepada
Ketua Pengadilan yang berwenang, yang memuat tuntutan hak yang di dalamnya
mengandung suatu sengketa dan sekaligus merupakan dasar landasan
pemeriksaan perkara dan pembuktian kebenaran suatu hak. Sedangkan surat
permohonan ialah suatu permohonan yang di dalamnya berisi tuntutan hak
perdata oleh satu pihak yang berkepentingan terhadap suatu hal yang tidak
mengandung sengketa. 6
Dalam arti luas dan abstrak, suatu surat gugatan mempuyai satu tujuan,
yaitu menjamin terlaksananya tertib hukum dalam bidang perdata; sedangkan
dalam arti sempit adalah suatu tata cara untuk memperoleh perlindungan hukum
dengan bantuan penguasa, suatu tata cara yang mengandung suatu tuntutan oleh
seseorang tertentu melaksanakan saluran-saluran yang sah, dan dengan suatu
putusan hakim ia memperoleh apa yang menjadi haknya atau kepentingan yang
diperkirakan sebagai haknya. 7
5
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang, PT
Pustaka Rizki Putra, 2001) h. 105
6
H. A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 1996) h. 39
7
John Z. Loude, Beberapa Aspek Hukum Materiil dan Hukum Acara dalam Praktek, (Jakarta, PT
Bina Aksara, 1981), h. 163
16 Di Pengadilan Agama ada perkara permohonan yang mengandung
sengketa, sehingga ada dua pihak yang disebut Pemohon dan Termohon, yaitu
perkara permohonan ikrar talak dan permohonan beristeri lebih dari satu orang.
Perkara gugatan atau permohonan yang di dalamnya mengandung sengketa antara
pihak-pihak ini disebut dengan perkara kontentius. Dan perkara yang sifatnya
permohonan tanpa adanya sengketa disebut perkara voluntair.
1. Pokok-pokok isi gugatan
Isi gugatan secara garis besar memuat hal-hal sebagai berikut: 8
a. Identitas Para Pihak
Identitas para pihak meliputi nama/gelar/alias, umur, agama,
pekerjaan, domisili terakhir, status: Penggugat/Tergugat.
b. Positum/posita (fakta/hubungan hukum)
Berisi uraian kejadian atau fakta-fakta yang menjadi dasar adanya
sengketa yang terjadi (recht feitum) dan hubungan hukum yang menjadi
dasar gugatan (recht gronden).
c. Petitum/petita (isi tuntutan)
Berisi apa yang diminta atau diharapkan oleh Penggugat agar
diputuskan oleh Hakim dalam persidangan. Tuntutan hak di dalam
gugatan harus merupakan tuntutan hak yang ada kepentingan hukumnya,
8
Ibid, h. 163
17 yang dapat dikabulkan apabila kebenarannya dapat dibuktikan dalam
persidangan.
2. Fundamentum petendi (dasar-dasar dan alasan tuntutan)
Fundamentum petendi berarti dasar gugatan atau tuntutan. Dalam
praktek peradilan terdapat beberapa istilah yang akrab digunakan, antara lain:
Posita atau dalil gugatan merupakan penjelasan dan penegasan materi perkara
yang lazim disebut pokok perkara. Pada prinsipnya dalil gugatan supaya jelas
harus memuat rangkaian dari beberapa hubungan hukum dan peristiwa. 9
Antara posita satu dengan posita lainnya harus sinkron dan tidak boleh saling
bertentangan. Posita yang satu sama lainnya saling bertentangan akan
mengakibatkan gugatan menjadi kabur atau obscuur libel. Posita ini
merupakan landasan pemeriksaan dan penyelesaian perkara yang tidak boleh
menyimpang dari dalil gugatan.
Bagian posita ini bisa dikutip dari gugatan Penggugat, jawaban
Tergugat, keterangan saksi dan hasil dari berita acara sidang selengkapnya
tetapi singkat, jelas dan tepat serta kronologis. Juga dicantumkan alat-alat
bukti lainnya yang diajukan oleh pihak-pihak. 10
9
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta, Sinar Grafika,
2006), h. 195
10
Sulaikan Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta, Kencana, 2005)
h. 162-163
18 Fundamentum petendi terdiri dari dua bagian: 11
a. Bagian yang menguraikan tentang kejadian atau peristiwanya;
b. Bagian yang menguraikan tentang dasar hukumnya.
Uraian tentang kejadian merupakan penjelasan duduknya perkara
tentang adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis dari
pada tuntutan. Mengenai uraian yuridis tersebut tidak berarti harus
menyebutkan peaturan hukum yang dijadikan dasar tuntutan, melainkan
cukup hak atau peristiwa yang harus dibuktikan di dalam persidangan sebagai
dasar dari tuntutan, yang member gambaran tentang kejadian meteriil yang
merupakan dasar tuntutan itu.
Uraian tentang dasar hukum memuat penegasan atau penjelasan mengenai
hubungan hukum antara Penggugat dengan materi dan atau objek yang
disengketakan; dan antara Penggugat dengan Tergugat berkaitan dengan materi
atau objek sengketa.
3. Petitum Gugatan
Tuntutan atau petitum merupakan perumusan secara tegas dan jelas
tentang apa yang menjadi tuntutan Penggugat terhadap Tergugat. Petitum atau
isi tuntutan pada dasarnya harus menyebutkan dengan jelas apa dan
bagaimana keputusan yang diharapkan dapat dipenuhi hakim. Tuntutan itu
akan terjawab di dalam amar atau diktum putusan. Supaya gugatan sah, dalam
11
R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata: Tata Cara dan Proses Persidangan, (Jakarta, Sinar
Grafika, 2006), h. 27
19 arti tidak mengandung cacat formil, harus mencantumkan petitum gugatan
yang berisi pokok tuntutan Penggugat berupa deskripsi yang jelas menyebut
satu persatu dalam akhir gugatan tentang hal-hal apa saja yang menjadi pokok
tuntutan Penggugat yang harus dinyatakan dan dibebankan kepada Tergugat. 12
Dalam praktik Peradilan, petitum atau tuntutan dapat dibagi ke dalam
tiga bagian, yaitu:
a. Tuntutan pokok atau tuntutan primer
Tuntutan
ini
merupakan
tuntutan
pokok
yang
langsung
berhubungan dengan pokok perkara. Hakim tidak boleh mengabulkan
lebih dari yang diminta atau dituntut.
b. Tuntutan tambahan
Tuntutan tambahan bukan tuntutan pokok tetapi masih ada
hubungannya dengan pokok perkara. Tuntutan tambahan merupakan
tuntutan pelengkap daripada tuntutan pokok.
c. Tuntutan subsider atau pengganti
Tuntutan subsider adalah tuntutan yang merupakan tuntutan
alternatif atau pengganti yang biasanya tuntutan subsider dirumuskan
dengan “Mohon putusan seadil-adilnya”. 13
12
Harahap, Hukum Acara, h. 63
13
Wahyudi, Peradilan Agama, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004), h. 134
20 B. Pengertian Ultra Petita
Ultra petita dalam hukum formil mengandung pengertian penjatuhan
putusan atas perkara yang tidak dituntut atau meluluskan lebih dari pada yang
diminta. Ultra petita menurut I.P.M.Ranuhandoko adalah melebihi yang
diminta. 14 Ultra petita sendiri banyak dipelajari di bidang hukum perdata dengan
keberadaan peradilan perdata yang lebih tua berdiri sejak ditetapkan kekuasaan
kehakiman di Indonesia. Di dalam perkara pengujian Undang-Undang (UU) oleh
Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi polemik dengan digunakan ultra petita
dalam beberapa putusannya.
Ini digariskan pada Pasal 178 HIR ayat (3), Pasal 189 R.Bg ayat (3),
bahwa: “Ia tidak diizinkan menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak
digugat, atau memberikan lebih daripada yang digugat”. 15 Larangan ini disebut
ultra petita partium. Hakim yang mengabulkan melebihi posita dan petitum
gugat, dianggap telah melampaui batas wewenang atau ultra vries yakni bertindak
melampaui wewenangnya. Apabila putusan mengandung ultra petitum, harus
dinyatakan cacat meskipun hal itu dilakukan hakim dengan iktikad baik maupun
sesuai dengan kepentingan umum.
Tindakan ultra petitum yang dilakukan hakim tetap tidak dibenarkan
sekalipun dilakukan dengan iktikad baik, karena melanggar prinsip rule of law.
14
Miftakhul
Huda, S.H.,
Ultra
Petita
Dalam
Pengujian
Undang-Undang,
http://www.miftakhulhuda.com/2009/06/ultra-petita-dalam-pengujian-undang.html diakses pada tgl 16
agustus 2010
15
R. Soesilo, RIB/HIR dengan Penjelasan, (Bogor, Politeia, 1995), h. 131
21 Hal ini ditegaskan dalam putusan MA No. 1001 K/Sip/1973 yang melarang hakim
mengabulkan hal-hal yang tidak diminta atau melebihi yang diminta. Yang dapat
dibenarkan paling tidak putusan yang dijatuhkan masih dalam kerangka yang
serasi dengan inti gugatan (Putusan MA No. 140 K/Sip/1971).
C. Pengertian dan Landasan Hukum Waris
1. Pengertian Waris
Kata waris berasal dari bahasa Arab miras. Bentuk jamaknya adalah
mawaris, yang berarti harta peninggalan orang meninggal yang akan
dibagikan kepada ahli warisnya. 16
Menurut istilah, mawaris dikhususkan untuk suatu bagian ahli waris
yang telah ditetapkan dan ditentukan besar-kecilnya oleh syara’.
Sedangkan ilmu yang mempelajarinya disebut juga dengan fiqih
mawaris atau ilmu faraid. Sebagian ulama faradiyun, mendefinisikan ilmu
faraid sebagai berikut:
‫اﻟﻔﻘﻪاﻟﻤﺘﻌﻠﻖ ﺑﺎﻻرثوﻣﻌﺮﻓﺔاﻟﺤﺴﺎباﻟﻤﻮﺻﻞاﻟﻰ‬
‫ﻣﻌﺮﻓﺔذﻟﻚوﻣﻌﺮﻓﺔﻗﺪراﻟﻮاﺟﺐ ﻣﻦاﻟﺘﺮآﺔﻟﻜﻞذيﺣﻖ‬
Artinya:
“Ilmu fiqih yang bertautkan dengan penbagian harta pusaka, pengetahuan
tentang cara penghitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian
16
Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, (Pustaka Setia, Bandung, 2006), h. 11
22 pusaka dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta
peninggalan untuk setiap pemilik hak pusaka.” 17
Dalam rumusan Kompilasi Hukum Islam (pasal 171 huruf a) tentang hukum
kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak kepemilikan harta
peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris
dan berapa bagiannya masing-masing. Dan tentang ahli waris (pasal 171 huruf c)
adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau
hubungan perkawinan dengan pewaris beragama Islam dan tidak terhalang karena
hokum menjadi ahli waris. 18
2. Sumber hukum mawaris
Hukum-hukum pembagian waris bersumber pada:
a. Al-Qur’an, merupakan sebagian besar sumber hukum waris yang banyak
menjelaskan ketentuan-ketentuan fard tiap-tiap ahli waris, seperti
tercantum dalam surat An-Nisa’ ayat 7, 11, 12, 176 dan surat-surat yang
lain.
b. Al-Hadits, yang diantara :
‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﻮﺳﻰ ﺑﻦ إﺳﻤﺎﻋﻴﻞ ﺣﺪﺛﻨﺎ وهﻴﺐ ﺣﺪﺛﻨﺎ اﺑﻦ‬
: ‫ﻃﺎوس ﻋﻦ أﺑﻴﻪ ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎس رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻬﻤﺎ‬
17
Dikutip dari Muhammad Asy-Syarbiny Al-Khatib, Mughnil Mukhtah, (Musthofa Al-Babil
Halby, Juz III, Kairo, 1958), h.3 dalam tulisan Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, (Pustaka Setia,
Bandung, 2006), h. 11
18
Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta:
Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, 2002), h 81
23 Artinya:
“Memberitahu kami Musa bin Ismail memberitahu kami dan menyuruh
kami Ibn Thowas dari bapaknya dari ibnu Abbas ra: Dari Nabi SAW
bersabda: (Wajib bagi orang-orang yang terdaftar dari apa yang tersisa
adalah untuk laki-laki terdekat). (H.R. Bukhari Muslim)
c. Sebagian kecil dari ijma’ para ahli, dan beberapa masalah diambil dari
ijtihad para sahabat.
Ijma’ dan ijtuhad sahabat, imam madzhab, dan para mutahid dapat
digunakan dalam pemecahan-pemecahan masalah mawaris yang belum
dijelaskan oleh nash yang sharih.
3. Hubungannya dengan hukum waris nasional
Di Indonesia belum ada suatu kesatuan hukum tentang waris yang apat
diterapkan untuk seluruh warga negaranya. Oleh karena itu, hukum waris
yang diterapkan bagi seluruh warga Negara Indonesia masih berbeda-beda
mengingat adanya penggolongan warga Negara.
a. Bagi warga Negara golongan Indonesia asli, pada prinsipnya berlaku
hukum adat, yang sesuai dengan hukum adat yang berlaku di masingmasing daerah.
19
Bukhari, shahih bukhari juz 6 hal 2476, Muslim, shohih muslim hadis no 4226 juz 5, h. 59
24 b. Bagi warga Negara golongan Indonesia asli yang beragama Islam di
berbagai daerah, berlaku hukum Islam yang sangat berpengaruh padanya.
c. Bagi orang Arab umumnya, berlaku hukum Islam secara keseluruhan.
d. Bagi orang-orang Tionghoa dan Eropa, berlaku hukum waris dari
Burgerlijk Wetboek. 20
4. Sebab-sebab kewarisan
Hal-hal yang menyebabkan seseorang dapat mewarisi terbagi atas tiga
macam, yaitu sebagai berikut:
a. Karena hubungan kekerabatan atau hubungan nasab
Seperti kedua orang tua (ibu-bapak), anak, cucu, dan saudara, serta paman
dan bibi. Singkatnya adalah kedua orang tua , anak, dan orang yang
bernasab dengan mereka. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
...
⌫
⌧
“…Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya
lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di
dalam Kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala
sesuatu.” (QS. Al-Anfal : 75)
b. Karena hubungan pernikahan
20
Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, h. 16
25 Hubungan pernikahan ini terjadi setelah dilakukannya akad nikah
yang sah dan terjadi antara suami-istri sekalipun belum terjadi
persetubuhan.
c. Karena wala’
Wala’ adalah pewarisan karena jasa seseorang yang telah
memerdekakan seorang hamba kemudian budak itu menjadi kaya. Jika
orang
yang
dimerdekakan
itu
meninggal
dunia,
orang
yang
memerdekakannya berhak mendapat warisan.
5. Ahli Waris
Menurut hukum Islam, ahli waris dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a. Keluarga dekat yang kemudian mereka akan mendapatkan bagian
“furudhul muqaddarah” atau “furudul ashabah”.
b. Keluarga yang jauh, yang bagiannya masih diperselisihkan. Keluarga yang
jauh ini disebut dengan “dzawil arham”.
Para ahli waris yang berhak menjadi pewaris harta benda muwarris
berjumlah 25 orang, 15 orang laki-laki dan 10 perempuan.
Sebagai sumber hukum dari penentuan ahli waris dan pembagiannya
masing-masing ialah Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 7, 8, 11, 12, 13, 14, 33,
176, surat Al-Anfal ayat 75, surat Al-Ahzab ayat 6, disamping itu banyak
hadits-hadits Rasulullah SAW, Ijma’, dan Ijtihad para ulama yang
menjelaskan dan merinci ketentuan-ketentuan dari Al-Qur’an dan hadits.
26 Para ahli waris dari laki-laki, jika diperingkas ada 10 orang dan jika
diperluas akan menjadi 15 orang, yaitu sebagai berikut:
1. Anak laki-laki
2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki
3. Ayah
4. Kakek (ayah dari ayah)
5. Saudara sekandung
6. Saudara seayah
7. Saudara seibu
8. Anak laki-laki saudara sekandung
9. Anak laki-laki saudara seayah
10. Paman sekandung
11. Paman seayah
12. Anak laki-laki paman sekandung
13. Anak laki-laki paman seayah
14. Suami
15. Tuan yang memerdekakan budak
Ahli waris perempuan, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam
syara’ jika diperingkas ada 7 orang. Sedangkan jika diperluas, maka ahli waris
dari perempuan tersebut yang mendapat warisan ada 10 orang, yaitu:
1. Anak perempuan
2. Cucu perempuan dari anak laki-laki
27 3. Ibu
4. Nenek dari ibu
5. Nenek dari ayah
6. Saudari sekandung
7. Saudari seayah
8. Saudari seibu
9. Istri
10. Tuan puteri yang memerdekakan (Mu’tiqah)
Adapun kelompok-kelompok ahli waris yang mendapat warisan sebagaimana
diatur dalam Bab II, pasal 174 meliputi:
1. Golongan laki-laki : anak laki-laki, ayah, saudara laki-laki, paman dan
kakek, serta suami.
2. Golongan perempuan : ibu, anak perempuan, saudara perempuan, nenek
dan isteri. 21
6. Rukun dan Syarat Kewarisan
1. Rukun Waris
Waris mengharuskan tiga hal berikut:
a. Pewaris (al-waarits) ialah orang yang mempunyai hubungan
kewarisan dengan mayat sehingga dia mendapatkan warisan.
21
Asyhari Abta, Ilmu Wari Al-Faraidl (Deskripsi Hukum Islam, Praktis dan Terapan), h. 45
28 b. Pemberi waris (al-muwarrits) ialah mayat itu sendiri, baik nyata
maupun dinyatakan mati secara hukum, seperti orang hilang dan
dinyatakan mati.
c. Harta yang diwariskan (al-mauruuts) disebut juga peninggalan dan
warisan, yaitu harta ata hak yang dipindahkan dari orang yang
mewariskan kepada pewaris.
2. Syarat-syarat Kewarisan
Pewarisan harta baru dapat dilakukan setelah tepenuhinya tiga
syarat berikut:
a. Kematian orang yang mewariskan, baik kematian secara nyata maupun
secara hukum, misalnya seorang hakim memutuskan kematian
seseorang yang hilang. Keputusan itu menjadikan orang hilang sama
statusnya seperti orang mati secara hakiki, atau mati menurut dugaan
seperti orang memukul seorang perempuan yang hamil sehingga
janinnya lahir dalam keadaan mati, maka janin itu dianggap pernah
hidup sekalipun hidupnya itu belum nyata. 22
b. Pewaris hidup setelah orang yang mewariskan mati, meskipun
hidupnya itu secara hukum, seperti janin di dalam kandungan. Janin
itu secara hukum dianggap hidup karena mungkin rohnya belum
ditiupkan. Apabila tidak diketahui bahwa pewaris masih hidup
sesudah orang yang mewariskan mati, seperti karena tenggelam atau
22
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, jilid 4, (Pena Pundi Aksara cet. 3, 2006), h. 485 29 terbakar atau tertimbun, maka di antara mereka tidak ada waris
mewarisi jika mereka termasuk orang-orang yang saling mewarisi.
Dan harta masing-masing dari mereka itu dibagikan kepada ahli waris
yang masih hidup.
c. Tidak ada penghalang yang menghalangi kewarisan.
7. Penghalang Kewarisan
Penghalang kewarisan artinya suatu keadaan yang menjadikan
tertutupnya peluang seseorang untuk mendapatkan warisan. Adapun orang
yang terhalang untuk mendapatkan warisan ini adalah orang yang memenuhi
sebab-sebab memperoleh warisan.
Ada tiga hal yang menyebabkan seseorang tidak berhak mewarisi harta
peninggalan si pewaris, yaitu:
a. Perbudakan (hamba sahaya)
Hamba sahaya tidak dapat mewarisi harta peninggalan kerabatnya,
sebab kalau ia mewarisi berarti harta warisan itu akan diminta oleh
majikannya. Padahal majikan adalah orang lain dari kerabat hamba sahaya
yang menerima warisan tersebut.
Para ulama sepakat bahwa perbudakan merupakan suatu hal yang
menjadi penghalang mewarisi berdasarkan petunjuk umum dari nash
sharih yang menafikan kecakapan bertindak seorang hamba dalam segala
bidang, yaitu firman Allah SWT.
30 ⌧
⌧
☺
⌧
....
Artinya:
“Dan Allah membuat (pula) perumpamaan: dua orang lelaki yang
seorang bisu, tidak dapat berbuat sesuatupun dan dia menjadi beban atas
penanggungnya, ke mana saja dia disuruh oleh penanggungnya itu.”
(QS. An-Nahl : 76)
b. Pembunuhan
Jumhur fuqaha’ telah berpendapat, bahwa pembunuhan dapat
menghalangi seseorang menjadi ahli waris. Begitu juga dengan
penganiayaan yang mengakibatkan terbunuhnya seseorang. Dasar hukum
terhadap yang menghalangi si pembunuh adalah :
‫أﺧﺒﺮﻧﺎ أﺑﻮ ﻧﻌﻴﻢ ﺛﻨﺎ ﺳﻔﻴﺎن ﻋﻦ ﻟﻴﺚ ﻋﻦ ﻣﺠﺎهﺪ ﻋﻦ‬
‫ ﻻ ﻳﺮث اﻟﻘﺎﺗﻞ ﻣﻦ اﻟﻤﻘﺘﻮل ﺷﻴﺌﺎ ﻗﺎل‬:‫ﺑﻦ ﻋﺒﺎس ﻗﺎل‬
‫ إﺳﻨﺎدﻩ ﺿﻌﻴﻒ ﻟﻀﻌﻒ ﻟﻴﺚ ﺑﻦ أﺑﻲ‬:‫ﺣﺴﻴﻦ ﺳﻠﻴﻢ أﺳﺪ‬
‫ﺳﻠﻴﻢ‬
23
Artinya:
“Abu Na’im memberitahu kami meriwayatkan Sufyan dari Laits dai
Mujahid dari Abbas berkata: Tidak mewarisi pembunuh dari sesuatu yang
dibunuh. Berkata Husain Sulaim Asad: Sanadnya Dhoif, dhoif kepada
Laits bin Abi Sulaim.”
23
Sunan addarimi, hadis no 3080 juz 2 h. 478
31 Adapun pembunuhan yang tidak disengaja maka parra ulama
berbeda pendapat mengenainya. Imam Syafi’i berkata bahwa setiap
pembunuhan
menghalangi
kewarisan,
sekalipun
pembunuhan
itu
dilakukan oleh orang gila atau anak kecil, juga sekalipun dengan cara
benar seperti had atau qisash. Kalangan pengikut maliki berkata bahwa
sesungguhnya pembunuhan yang menghalangi kewarisan itu adalah
pembunuhan yang disengaja dan dilakukan dengan motif permusuhan,
baik langsung maupun melalui perantara. 24
A. Perbedaan Agama
Yang dimaksud dengan perbedaan agama adalah perbedaan agama
yang menjadi kepercayaan orang yang mewarisi dengan orang yang
diwarisi. Misalnya, agama orang yang mewarisi itu kafir, sedang yang
diwarisi itu beragama Islam, maka orang kafir tidak boleh mewarisi harta
peninggalan orang Islam.
‫ﺣﺪﺛﻨﺎ أﺑﻮ ﻋﺎﺻﻢ ﻋﻦ اﺑﻦ ﺟﺮﻳﺞ ﻋﻦ اﺑﻦ ﺷﻬﺎب ﻋﻦ‬
‫ﻋﻠﻲ ﺑﻦ ﺣﺴﻴﻦ ﻋﻦ ﻋﻤﺮو ﺑﻦ ﻋﺜﻤﺎن ﻋﻦ أﺳﺎﻣﺔ ﺑﻦ‬
‫ أن اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ‬:‫زﻳﺪ رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻬﻤﺎ‬
( ‫ﻗﺎل ) ﻻ ﻳﺮث اﻟﻤﺴﻠﻢ اﻟﻜﺎﻓﺮ وﻻ اﻟﻜﺎﻓﺮ اﻟﻤﺴﻠﻢ‬
25
Artinya:
“Abu Ashim dari ibn Juraij dari ibn Syihab dari Ali bin Husain dari Amru
bin Utsman dari Usamah bin Zaid ra memberitahu kami: Sesungguhnya
24
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, h. 486
25
Bukhari hadis no 6383 juz 6 h. 2484, muslim hadis no 4225 juz 5 h. 59
32 Nabi SAW bersabda (Tidak mewarisi antara muslim dengan kafir dan
tidak pula kafir dengan muslim). (H.R. Bukhari Muslim)
Sebagian ulama mengemukakan bahwa murtad (keluar dari Islam),
termasuk dalam kategori berbeda agama. Oleh karena itu, murtad
merupakan penghalang untuk mewaris. Bahkan, menurut ijma’ ulama,
orang murtad tidak boleh mewarisi orang Islam. 26
Ada riwayat lain dari Mu’adz, Mu’awiyah, Ibnu Musayyab,
Masruq, dan Nakha’i bahwa sesungguhnya seorang muslimitu mewarisi
dari seorang kafir namun tidak sebaliknya. Sama seperti seorang muslim
laki-laki boleh menikah dengan kafir perempuan dan seorang muslim
perempuan tidak boleh menikah dengan kafir laki-laki. Orang-orang
nonmuslim boleh saling mewarisi satu sama lain karena dianggap
memeluk satu agama. 27
D. Waris Beda Agama Beserta Ruang Lingkupnya
Waris beda agama adalah praktek waris yang amat pelik, di zaman
modern, lebih-lebih ketika terjadi yang berhak menerima warisan adalah Muslim
dari orang tua atau kerabat yang masih kafir, seperti banyak kasus di beberapa
tempat di dunia, termasuk di Indonesia. Keterangan yang menapikan kewarisan
itu, dengan menggunakan huruf La nafyiyah yang diartikan tidak, bukan la nahyi,
26
Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, h. 34
27
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, h. 486
33 larangan. Huruf La nafyiyah ini mengandung faidah “tidak” dan dengan
kata tidak ini, tidak dilakukan suatu tindakan hukum. Sabda Nabi yang berkaitan
dengan menapikan waris mewarisi antar agama ialah:
1. Hadis yang diterima dari Usamah bin Zaid dari Nabi saw. “La yaritsu alMuslim al-kafira wala alk-kafir al-muslima,” yang artinya “Tidak mewarisi
orang kafir kepada muslim, demikian orang Muslim kepada kafir” (Hr.
Bukhari dan Muslim).
2. Hadis lain dari Amr ni Syaib dari kakeknya Abdullah bin Amr dari Nabi
saw,“La yatawaratsu ahlu millatain syatta,” yang artinya “Tidak waris
mewarisi penganut dua agama yang berbeda”, (HR. Ahmad, Abu Dawud,
dan Ibn Majah). 28
Dua hadis inilah yang menjadi standar kewarisan di kalangan umat Islam
yang dianut oleh para ulama, sejak sahabat, ulama salaf dan khalaf. Namun
demikian, tidak menjadi ijma, karena ada beberapa sahabat tidak menyepakatinya
kafir di dalam hadis itu masih umum dan memerlukan khas (pengkhususnya) atau
mungkin taqyid-nya, bila dianggap mutlaq. Maka kafir di situ kafir harbi,
bukan kafir
dzimmi. Umar
dari
kalangan al-Khulafa
al-Rasyidin,
Muadz,
Muawiyah, tidak menerapkan praktek hadis yang diriwayatkan di atas, bahkan
sebaliknya dalam kasus tertentu, sebagaimana diriwayatkan, “Mereka mengambil
28
Pwkpersis, kedudukan waris beda agama, Pasingpanjang, Kawali – Ciamis
http://pwkpersis.wordpress.com/2008/05/16/kedudukan-waris-beda-agama/ diakses pada tanggal 23
Agustus 2010 pukul 7.22 PM
34 waris dari orang kafir, tetapi tidak sebaliknya, yaitu orang kafir dari orang Islam
(al-Mughni IX: 154), sebagai dikutip al-Qardhawi (2003: III, 675). 29
Dari kalangan ulama muta’akhirin ternyata sepakat dengan pendapat
ulama di atas tersebut, seperti dikutip Ibn Qayyim dari Ibn Taimiyah dan dikutip
lagi oleh al-Qardhawi (2003, III: 676), sebagai berikut: “Adapun kewarisan
Muslim dari kafir berbeda pendapat di kalangan salaf. Kebanyakan dari kalangan
mereka mengambil pendapat yang menyatakan bahwa ia tidak memperoleh waris,
sebagaimana orang kafir tidak memperoleh waris dari Muslim. Pendapat ini
dikenal di kalangan ulama yang empat dan para pengikutnya.” Sebagian
kelompok mengatakan, “Bahkan orang Muslim menerima waris dari kafir, tidak
sebaliknya.” Ini adalah pendapat Muadz bin Jabal, Muawiyah bin Abi Sufyan.
Muhammad bin al-Hanafiyah (putra Ali ra dari istri selain Fatimah), dan
Muhammad bin Ali bin al-Husein (Abu Ja’far al-Baqir), Said bin al-Musayyab,
Masruq bin Ajda, Abdullah bin Mughaffal, al-Syu’bi, al-Nakha’i, Yahya bin
Ya’mur, dan Ishaq ibn Rahawaih. Mereka katakan, “Kita memperoleh warisan
dari mereka dan mereka tidak memperolehnya dari kita, sebagaimana kita bisa
menikahi perempuan-perempuan mereka, tetapi tidak sebaliknya”. Namun,
kesahihan riwayat ini diragukan keabsahannya oleh Ibn Qudamah (VI: 294).
Artinya, di kalangan ulama hanbaliyah pun ada perbedaan tetang ketentuan waris
ini. 30
29
30
Ibid, pukul 7.30 PM
Ibid, diakses pada tgl 23-Agustus-2010 pukul 8.10 PM
35 Problem yang dirasakan dengan dua hadis di atas ialah sebagai berikut:
1. Kerugian harta yang mestinya diambil umat Islam bisa jatuh kepada yang lain,
bahkan kepada lembaga-lembaga keagamaan non-Muslim yang selanjutnya
digunakan untuk memurtadkan umat Islam.
2. Banyak muallaf yang sengsara atau hidup pas-pasan, padahal keluarganya
berada.
3. Dimungkinkan seseorang yang tidak masuk Islam karena takut tidak kebagian
warisan orang tuanya yang kaya itu.
4. Penguasaan harta dari non-Muslim, dibenarkan oleh perundang-undangan
negara sudah diatur di negara-negara modern sekarang. Mungkin hibah,
wasiat, hadiah, dari mereka atau malah jual beli. Adalah kerugian bila harta
itu dibiarkan tak ada “pemiliknya”.
Namun tidak serta-merta orang yang berbeda agama tidak dapat saling waris
mewarisi, mereka masih bisa mendapatkan harta waris dengan ketentuan wasiat
wajibah, tetapi bagiannya tidaklah sama seperti ahli waris yang lainnya, bagian orang
yang mendapat wasiat wajibah adalah tidak lebih dari 1/3 dari harta pewaris.
Pemberian wasiat wajibah kepada ahli waris yang kehilangan haknya karena
perbedaan agama dalam pembagian warisan adalah sebagai bentuk penerobosan
gugurnya hak waris. Dalam perspektif Hukum Islam keberadaan wasiat wajibah
adalah sejalan dengan pandangan Islam sebagai Agama yang bertujuan untuk
merealisasikan suatu perwujudan dari prinsip keadilan serta kasih sayang yang
36 terdapat dalam ajaran Islam itu sendiri seperti yang disebutkan dalam Al-Quran dan
banyak hadist. Perasaan kasih yang terjalin dalam satu keluarga dapat diwujudkan
dengan pemberian bagian melalui wasiat sebagai bentuk kasih sayang antar umat
manusia kepada manusia lainnya. Semuanya dimaksudkan untuk kebaikan,
menghindari konflik di dunia yang berdampak besar bagi terciptanya kedamaian
dunia akibat perasaan ketidakadilan akibat dominasi penganut agama lainnya.
37 BAB III
PROFIL PENGADILAN AGAMA DEPOK DAN PUTUSAN PERKARA
NOMOR 318/Pdt.G/2006/PA.Dpk
A. Gambaran Umum PA Depok
1. Gambaran kondisi wilayah hukum
Pengadilan Agama Depok Kelas IB beralamat di Jalan Boulevard
Sektor Aggrek Komplek Perkantoran Kota Kembang Grand Depok City
Depok dan beroperasi pada alamat tersebut setelah diresmikannya gedung
Pengadilan Agama Depok bersamaan dengan diresmikannya gedung
Pengadilan Tinggi Agama Bandung pada tanggal 20 Februari tahun 2007 oleh
Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH, M.CL., di Jalan Soekarno Hatta 714 Bandung.
Pengadilan Agama Depok dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2002 tanggal 28 Agustus 2002 yang
peresmian operasioanalnya dilakukan oleh Wali Kota Depok di Gedung Balai
Kota Depok pada tanggal 25 Juni 2003 dan mulai menjalankan fungsi
peradilan sejak tanggal 01 Juli 2003 di Jalan Bahagia Raya No.11 Depok
dengan menyewa rumah penduduk sebagai gedung operasionalnya.
Pengadilan Agama Depok yang daerah hukumnya meliputi Wilayah
Pemerintahan Kota Depok yang terdiri dari ( sebelum pemekaran adalah 6
Kecamatan dengan 60 Kelurahan) 11 Kecamatan dengan 64 Kelurahan
38 dengan mayoritas penduduk beragama Islam, dengan beban kerja rata-rata
tiap bulan 162 perkara. Dalam melaksanakan tugasnya Pengadilan Agama
Depok didukung dengan kekuatan pegawai sebanyak 38 Orang dan secara
formal pelaksanaan tugas Pengadilan Agama Depok harus dipertanggung
jawabkan dalam bentuk laporan ke Pengadilan Tinggi Agama Bandung selaku
atasan.
2. Gambaran kondisi kompetensi
Pengadilan Agama Depok sesuai dengan tugas dan kewenangannya
yaitu bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan
perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam dibidang
perkawinan, warisan dan wasiat, wakaf, zakat, infak, hibah, shadaqoh dan
ekonomi syari’ah dan tugas dan kewenangan lain yang diberikan oleh atau
berdasarkan Undang-undang.
Kompentensi Pengadilan Agama Depok ini diatur dalam pasal 49
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 menyebutkan bahwa
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: (a)
perkawinan, (b) kewarisan, (c) wasiat, (d) hibah, (e) wakaf, (f) zakat, (g)
infaq, (h) shadaqah dan (i) ekonomi syari’ah.
39 Penjelasan Pasal 49 huruf (i) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
dikatakan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syari’ah adalah perbuatan
atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah antara lain
meliputi:
1. Bank syari’ah;
2. Lembaga keuangan mikro syari’ah;
3. Asuransi syari’ah;
4. Reasuransi syari’ah;
5. Reksa dana syari’ah;
6. Obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah;
7. Sekuritas syari’ah;
8. Pembiyaan syari’ah;
9. Penggadaian syari’ah;
10. Dana pensiun lembaga keuangan syari’ah dan
11. Bisnis syari’ah
Penambahan kewenangan tersebut merupakan suatu kekuatan untuk
memberikan pelayanan hukum secara optimal kepada masyarakat pencari
keadilan yang berada diwilayah hukum Pengadilan Agama Depok yang
mayoritas beragama Islam.
Disamping itu, Pengadilan Agama Depok dengan kekuatan yang
dimiliki tersebut dapat mewujudkan masyarakat yang taat akan hukum yang
bermuara pada cita-cita negara yakni negara hukum (rechtstaats).
40 3. Peta Yuridiksi Pengadilan Agama Depok
Daerah hukum PA Depok adalah meliputi wilayah Pemerintahan Kota
Depok, sesuai dengan pasal 4 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 yang dalam
Keputusan Presiden RI Nomor 62 tahun 2002 pasal 2 ayat (5) disebutkan
bahwa “Daerah hukum Pengadilan agama Depok meliputi wilayah
pemerintahan Kota Depok Propinsi Jawa Barat.” Yang pada saat ini wilayah
yurisdiksinya sebagaimana disebutkan dibawah ini.
Wilayah Hukum Pengadilan Agama Depok meliputi Wilayah Kota
Depok. Secara geografis Kota Depok terletak pada koordinat 6°19’00” –
6°28’00” Lintang Selatan dan 106°43’00” – 106°55’30” Bujur Timur. Secara
geografis, Kota Depok berbatasan langsung dengan Kota Jakarta atau berada
dalam lingkungan wilayah Jabotabek.
Bentang alam Kota Depok dari Selatan ke Utara merupakan daerah
dataran rendah perbukitan bergelombang lemah, dengan elevasi antara 50 –
140 meter diatas permukaan laut dan kemiringan lerengnya kurang dari 15%.
Kota Depok sebagai wilayah termuda di Jawa Barat, mempunyai luas wilayah
sekitar 200,29 km2.
Kondisi geografisnya dialiri oleh sungai-sungai besar yaitu Sungai
Ciliwung dan Cisadane serta 13 sub Satuan Wilayah Aliran Sungai.
Disamping itu terdapat pula 25 situ. Data luas situ pada tahun 2005 sebesar
169,68 Ha, dengan kualitas air rata-rata buruk akibat tercemar.
41 Kondisi topografi berupa dataran rendah bergelombang dengan
kemiringan lereng yang landai menyebabkan masalah banjir di beberapa
wilayah, terutama kawasan cekungan antara beberapa sungai yang mengalir
dari selatan menuju utara: Kali Angke, Sungai Ciliwung, Sungai
Pesanggrahan dan Kali Cikeas.
4. Berkas Perkara
PA Depok yang dibentuk sejak tanggal 28 Agustus 2002 berdasarkan
Kepres No. 62 Tahun 2002 dan beroperasi sejak tanggal 1 Juli 2003 termasuk
PA kelas II yang tinggi jumlah perkaranya. Hal ini terlihat bahwa untuk 6
(enam) bulan pertama saja yaitu Juli s/d Desember 2003 menerima sejumlah
410 perkara, dan tahun 2004 sejumlah 926 perkara. Sedangkan untuk tahun
2005 yaitu bulan Januari dan Februari atau 2 (dua) bulan berjumlah 176
perkara. Jika kurun waktu 20 bulan berjumlah 1512 perkara, bila diambil
angka rata-rata, maka PA Depok menerima 75 buah perkara lebih tiap
bulannya. Dari jumlah perkara sebanyak itu yang diterima hanya 2 (dua)
perkara saja yang merupakan pekara waris, sedangkan 1510 perkara lainnya
adalah perkara pekawinan.
5. Struktur Organisasi (terlampir)
B. Putusan Pengadilan
1. Arti putusan pengadilan
42 Tujuan suatu proses di persidangan adalah untuk memperoleh putusan
hakim yang berkekuatan hukum tetap. Sesuai dengan ketentuan pasal 178
HIR, apabila pemeriksaan perkara selesai, majelis hakim karena jabatannya
melakukan musyawarah untuk mengambil putusan yang akan dijatuhkan.
Yang dimaksud dengan proses pengambilan keputusan ialah proses sejak
dilimpahkannya perkara ke Pengadilan, pemeriksaan dalam sidang pengadilan
sampai diputusnya suatu perkara. Dengan kata lain suatu proses yang dilalui
suatu perkara sejak pelimpahannya sampai diperolehnya putusan pengadilan
atas perkara teresebut. 1 Setelah semua tahap pemeriksaan persidangan
terselesaikan, majelis hakim menyatakan pemeriksaan ditutup dan proses
selanjutnya adalah menjatuhkan atau pengucapan putusan.
Yang dimaksud putusan adalah hasil kesimpulan dari sesuatu yang
telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat
berbentuk tertulis maupun lisan. Putusan (vonis) ini merupakan hasil akhir
dari pemeriksaan di sidang pengadilan. 2 Berdasar penjelasan Pasal 60
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 memberikan definisi putusan sebagai
berikut: “Putusan adalah keputusan Pengadilan atas perkara gugatan
berdasarkan adanya suatu sengketa.” Secara lebih terperinci, putusan ialah
suatu keputusan hakim, sebagai pejabat yang berwenang menjalankan
1
Harun M. Husein, Kasasi sebagai Upaya Hukum, (Jakarta, Sinar Grafika, 1992) h.16
2
Leden Marpaung, Putusan Bebas: Masalah dan Pemecahannya, (Jakarta, Sinar Grafika, 1995) h.
36
43 kekuasaan kehakiman yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian
diucapkan secara lisan dalam persidangan terbuka untuk umum, sebagai suatu
produk Pengadilan Agama sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan
berdasarkan adanya suatu sengketa, serta bertujuan untuk mengakhiri suatu
gugatan.
Putusan (vonnis) memuat perintah pengadilan kepada pihak yang
kalah untuk melakukan sesuatu, atau untuk melepaskan sesuatu, dan untuk
menghukum sesuatu. Amar putusan bersifat menghukum (condemnatoir)
seperti menghukum tergugat untuk membayar nafkah iddah, atau bersifat
menciptakan (constitutoire) menceraikan antar Penggugat dengan Tergugat.
Perintah pengadilan ini memiliki daya paksa untuk dilaksanakan atau
dieksekusi. 3
2. Asas putusan
Asas yang mesti ditegakkan agar putusan yang dijatuhkan tidak
mengandung cacat, yaitu: 4
a. Memuat dasar alasan yang jelas dan rinci
Suatu putusan yang dijatuhkan harus berdasarkan pertimbangan
yang jelas dan cukup. Alasan-alasan yang menjadi dasar pertimbangan
bertitik tolak dari ketentuan: pasal-pasal tertentu peraturan perundang 3
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 238
4
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, pembuktian dan
Putusan Pengadilan, (Jakarta, Sinar Grafika, 2006), h. 797-803
44 undangan; hukum kebisaan; yurisprudensi, atau doktrin hukum. Hal ini
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2004, bahwa:
Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar
putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dan peraturan perundangundangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang
dijadikan dasar untuk mengadili. 5
b. Wajib mengadili seluruh bagian gugatan
Digariskan dalam Pasal 178 ayat (2) putusan harus secara total
menyeluruh memeriksa dan mengadili setiap segi gugatan yang diajukan,
tidak boleh memeriksa dan memutus sebagian saja. Cara demikian
bertentangan dengan asas yang digariskan Undang-Undang.
c. Tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan
Ini digariskan pada Pasal 178 HIR ayat (3), Pasal 189 R.Bg ayat
(3), bahwa: “Ia tidak diizinkan menjatuhkan keputusan atas perkara yang
tidak digugat, atau memberikan lebih daripada yang digugat”. 6 Larangan
ini disebut ultra petitum partium. Hakim yang mengabulkan melebihi
posita dan petitum gugat, dianggap telah melampaui batas wewenang atau
ultra vries yakni bertindak melampaui wewenangnya. Apabila putusan
5
Abdul Ghofur Anshori, Peradilan Agama di Indonesia Pasca Undang-undang Nomor 3 Tahun
2006 (Sejarah, Kedudukan, dan Kewenangan), h. 151
6
R. Soesilo, RIB/HIR dengan Penjelasan, (Yogyakarta, UII Press, 2007), h. 131
45 mengandung ultra petitum, harus dinyatakan cacat meskipun hal itu
dilakukan hakim dengan iktikad baik maupun sesuai dengan kepentingan
umum.
Tindakan ultra petitum yang dilakukan hakim tetap tidak
dibenarkan sekalipun dilakukan dengan iktikad baik, karena melanggar
prinsip rule of law. Hal ini ditegaskan dalam putusan MA No. 1001
K/Sip/1973 yang melarang hakim mengabulkan hal-hal yang tidak diminta
atau melebihi yang diminta. Yang dapat dibenarkan paling tidak putusan
yang dijatuhkan masih dalam kerangka yang serasi dengan inti gugatan
(Putusan MA No. 140 K/Sip/1971).
d. Di ucapkan di muka umum
Menurut
asas
fair
trial,
pemeriksaan
persidangan
harus
berdasarkan proses yang jujur sejak awal sampai akhir. Dengan demikian,
prinsip peradilan terbuka untuk umum mulai dari awal sampai putusan
dijatuhkan, merupakan bagian dari asas fair trial. Tujuan utamanya adalah
untuk menjamin proses peradilan terhindar dari perbuatan tercela dari
pejabat peradilan.
Prinsip pemeriksaan dan putusaan terbuka, ditegaskan dalam Pasal
20 UU No. 4 Tahun 2004, yang berbunyi: “Semua putusan Pengadilan
46 hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum.” 7
Dalam hal pemeriksaan secara tertutup, putusan tetap diucapkan
dalam sidang terbuka. Akan tetapi pengecualian ini sangat terbatas. Yang
paling utama dalam bidang hukum kekeluargaan, khususnya mengenai
perkara perceraian.
Selain persidangan harus terbuka untuk umum, pemeriksaan dan
pengucapan putusan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila
dilakukan dalam sidang pengadilan.
C. Deskripsi Kasus
Pada tanggal 27 April 2006 HERAWATY CH. binti DJAINUN, umur 48
tahun, agama Islam, pekerjaan Pegawai Negeri Sipil, bertempat tinggal di Jalan
Tiva 5 no. 27 Rt 03/08, Kelurahan Mekarjaya, Kecamatan Sukmajaya, Kota
Depok, yang selanjutnya disebut “Penggugat I”, dan SYAMWIL CH. binti
DJAINUN, umur 63 tahun, agama Islam, pekerjaan tidak bekerja, bertempat
tinggal di Jalan Tifa 5, nomor 27, Rt 03/08, Kelurahan Mekarjaya, Kecamatan
Sukmajaya, Kota Depok, selanjutnya disebut “Penggugat II”, serta YETTY CH.
Binti DJAINUN, umur 44 tahun, agama Islam, pekerjaan Ibu Rumah Tangga
bertempat di Jalan Tifa 5, nomor 27, Rt 03/08, Kelurahan Mekarjaya, Kecamatan
Sukmajaya, Kota Depok, selanjutnya disebut “Penggugat III” dengan surat
7
Anshori, Peradilan Agama di Indonesia, h. 150
47 permohonannya yang terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Depok di
bawah register perkara Nomor: 318/Pdt.G/2006/PA.Dpk., bermaksud hendak
menggugat empat saudaranya dalam gugatan harta peninggalan berupa Tabungan
Pensiun (TASPEN) a.n. ENTISNAWATI, No/NIP. 130541039, yang dikeluarkan
oleh PT. Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (PT. TASPEN-Persero).
Empat saudaranya itu antara lain SUKMAWATI binti DJAINUN, umur 58 tahun,
agama Islam, pekerjaan Ibu Rumah Tangga, betempat tinggal di Jl. Hayam
Wuruk Gg. Melati No. 181 lingkungan IV Kelurahan Kampung Sawah Lama,
Kecamatan Tanjung Karang Timur, Bandar Lampung, selanjutnya disebut
“Tergugat I”, MURNI binti DJAINUN, umur 56 tahun, agama Islam, pekerjaan
PNS/Guru, bertempat tinggal di Jalan Kebon Nenas Utara No. 19 Rt. 13/7
Kelurahan Cipinang Cempedak Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur, selanjutnya
disebut “Tergugat II”, HAFLIL CH. bin DJAINUN, umur 51 tahun, agama
Islam, pekerjaan pengamen, bertempat tinggal di Jalan Petamburan No. 5 Rt.
08/03 Petamburan Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, selanjutnya disebut
“Tergugat III”, dan RINALDI CH. bin DJAINUN, umur 46 tahun, agama
Kristen, pekerjaan swasta, bertempat tinggal di Blok Dukuh Gg. Jengkol No. 458
C Rt. 02/10 Kelurahan Cibubur Kecamatan Ciracas, Jakarta Timur, selanjutnya
disebut “Tergugat IV”, dan SYAHRIAL, umur 66 tahun, dahulu bertempat
tinggal di Jalan Tifa 5, nomor 27, Rt 03/08, Kelurahan Mekarjaya, Kecamatan
Sukmajaya, Kota Depok, selanjutnya disebut “Tergugat V”. 8
8
Salinan putusan Pengadilan Agama Depok Perkara Nomor 318/Pdt.G/2006/Pa.Dpk.
48 Penggugat I, II, dan penggugat III adalah (saudara kandung) dari
almarhumah Entis Nawati binti Djainun yang telah meninggal dunia pada hari
Jum’at, tanggal 24 September 2004, kedua orang tua almarhumah Entis Nawati
binti Djainun telah meninggal dunia, ayahnya bernama Djainun bin Aman wafat
pada tahun 1984 dan ibunya bernama Noerdjani wafat pada tahun 1996,
almarhumah Entis Nawati binti Djainun mempunyai 7 (tujuh) saudara kandung
yang terdiri dari 3 (tiga) saudara laki-laki dan 4 (empat) saudara perempuan,
masing-masing bernama:
A. Syamwil CH. bin Djainun;
B. Sukma CH. bin Djainun;
C. Murni CH. binti Djainun;
D. Herawati CH. binti Djainun;
E. Haflil CH. bin Djainun;
F. Yetty CH. binti Djainun;
G. Rinaldi bin Djainun.
Semasa hidup almarhumah Entis Nawati bin Djainun telah menikah
dengan Syahrial pada tanggal 05 Juni 1983. Namun dari pernikahan tersebut
mereka tidak dikaruniai anak. Dan sejak tahun 1983 suami alm Entis Nawati yang
bernama Syahrial (Tergugat V) pergi meninggalkan rumah kediaman bersama,
dan rumah tangganya hanya 1 bulan, sampai sekarang tidak diketahui lagi
keberadaannya. Almahumah semasa hidup bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil
(Guru SMP Negeri 38 Jakarta) dengan meninggalkan harta peninggalan berupa
49 Tabungan Pensiun (TASPEN) a.n. Entis Nawati, No/NIP. 130541039, yang
dikeluarkan oleh PT. Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (PT.
TASPEN-Persero), namun sampai sekarang tabungan tersebut belum diambil.
Dan sekarang ahli waris yang ada adalah : Syamwil CH. bin Djainun, Sukma CH.
bin Djainun, Murni CH. binti Djainun, Herawati CH. binti Djainun, Haflil CH.
bin Djainun, Yetty CH. binti Djainun, Rinaldi bin Djainun. Sebenarnya disamping
itu masih ada saudara kandung alm. Entis Nawati yaitu Syahril meninggal 7 hari
setelah lahir, dan Syafrizal meninggal 40 hari setelah lahir, sedangkan saudara
kandung yang bernama Jamaludin alias Uda Boy ada meninggalkan dua orang
anak yang bernama Oke dan Yuche. 9
Oleh sebab itu, untuk kepentingan pengurusan Taspen atas nama
Almarhumah Entis Nawati, penggugat memohon agar ditetapkan sebagai ahli
waris alm. Entis Nawati. Penggugat I, II, dan III juga menyatakan tidak mampu
untuk membayar biaya perkara dalam mengajukan gugat waris ini, hal ini
didukung dengan Surat Keterangan nomor 470/380-Pemohon.Um, tanggal 25-042006, yang dikeluarkan Lurah Mekarjaya dan diketahui oleh Camat Sukmajaya,
Kota Depok, untuk itu para Penggugat mohon untuk dibebaskan biaya perkara.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka Penggugat mengajukan gugatan
kepada Ketua Pengadilan Agama Depok beserta Majelis Hakim Pengadilan
Agama Pasuruan untuk memanggil para pihak, memeriksa, mengadili dan
menjatuhkan putusan sebagai berikut:
9
Ibid
50 Primer:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat I, II, dan III;
2. Menyatakan menurut hukum bahwa:
2.1. Syamwil CH. bin Djainun;
2.2.Sukma CH. bin Djainun;
2.3.Murni CH. binti Djainun;
2.4.Herawati CH. binti Djainun;
2.5.Haflil CH. bin Djainun;
2.6.Yetty CH. binti Djainun;
2.7.Rinaldi bin Djainun
Adalah ahli waris dari alm. Entis Nawati binti Djainun;
3. Menyatakan, tergugat V ahl waris mafqud;
4. Menyatakan, harta peninggalan berupa Tabungan Pensiun (TASPEN) a.n.
Entis Nawati NIP. 130541039, yang dikeluarkan oleh PT. Dana Tabungan dan
Asuransi Pegawai Negeri (PT. TASPEN-Persero) adalah harta peninggalan
alm. Entis Nawati binti Djainun;
5. Menyatakan, bahwa para ahli waris tersebut berhak mendapatkan bagian atas
peninggalan alm. Entis Nawati binti Djainun;
6. Menetapkan, pembagian atas harta peninggalan alm. Entis Nawati binti
Djainun tersebut berdasarkan hukum Islam;
51 7. Membebaskan biaya perkara menurut hukum; 10
Subsider:
Mohon putusan seadil-adilnya;
Pada hari persidangan yang telah ditetapkan, Penggugat dan Tegugat
datang menghadap sendiri dalam persidangan, namun Tergugat V tidak datang
dalam persidangan meskipun telah dipanggil secara resmi dan patut melalui Wali
Kota Depok. Upaya damai yang dilakukan Majelis Hakim, namun para pihak
telah menyatakan pada dasarnya tidak keberatan atas maksud dan tujuan gugatan
Penggugat tersebut.
Dan untuk menguatkan dalil gugatannya, Penggugat telah mengajukan
bukti-bukti sebagai berikut:
I.
Bukti Surat
-
Foto copy KTP an. Penggugat 1, bukti P.1
-
Foto copy KTP an. Penggugat 1, bukti P.2
-
Foto copy KTP an. Penggugat 1, bukti P.3
-
Foto copy KTP an. Penggugat 1, bukti P.4
-
Foto copy KTP an. Penggugat 1, bukti P.5
-
Foto copy KTP an. Penggugat 1, bukti P.6
-
Foto copy KTP an. Penggugat 1, bukti P.7
-
Foto copy Kartu Keluarga an. Herawati, bukti P.8
-
Foto copy Surat Keterangan dari SMP 38 Jakarta Pusat, bukti P.9
10
Ibid
52 -
Foto copy Surat Keterangan Kematian an. Alm. Entis Nawati CH., No.
474.3/194. Tanggal 28 September 2004, bukti P.10
-
Foto copy Kartu Peserta Taspen an. Entis Nawati, bukti P.11
-
Foto copy Surat Pernyataan an. Herawaty CH, bukti P.12
-
Foto copy Surat Keterangan dari Kelurahan Abadi Jaya, bukti P.13
Bukti-bukti tersebut telah disesuaikan dengan aslinya dan bermaterai cukup,
serta terhadap bukti tersebut para Tergugat tidak membantahnya.
II.
Bukti Saksi
1. Rouwke Dandel, SH., umur 34 tahun, pekerjaan swasta, bertempat
tinggal di Blok Dukuh Rt. 02/10 No. 48 C Kelurahan Cibubur
Kecamatan Ciracas Jakarta Timur, menerangkan sumpah sebagai
berikut:
-
Bahwa saksi kenal dengan para Penggugat dan juga para Tergugat;
-
Bahwa setahu saksi para Penggugat dengan para Tergugat
seluruhnya adalah saudara kandung dari alm. Entis Nawati;
-
Bahwa setahu saksi saudara alm. Entis Nawati itu adalah:
Sukmawati, Syamwil, Murni, Herawati, Haflil, Yetty dan Rinaldi;
-
Bahwa setahu saksi di samping para Penggugat an para Tergugat
tidak ada lagi ahli waris lain dan orang tuanya telah meninggal dunia
terlebih dahulu, demikian juga suaminya;
-
Bahwa setahu saksi alm. Entis Nawati telah meninggal dunia pada
tanggal 24 September 2004 dan saksi hadir dalam pemakamannya;
53 -
Bahwa setahu saksi alm. Entis Nawati memiliki suami bernama
Syahrial tetapi yang bersangkutan telah pergi meninggalkan alm dan
tidak pernah kembali lagi hingga sekarang sekalipun penah dicari
serta tidak mempunyai anak;
-
Bahwa setahu saksi penetapan ahli waris ini untuk kepentingan
pengurusan Taspen an. Entis Nawati;
2. Benny Chabero, menerangkandi bawah suumpah sebagai berikut:
-
Bahwa saksi kenal dengan para Penggugat dan Tegugat;
-
Bahwa setahu saksi saudara kandung alm. Entis Nawati itu adalah:
Sukmawati, Syamwil, Murni, Herawati, Haflil, Yetty dan Rinaldi;
-
Bahwa setahu saksi di samping para Penggugat dan para Tergugat
tidak ada lagi ahli waris lain dan orang tuanya telah meninggal dunia
terlebih dahulu, demikian juga suaminya telah meninggalkannya
sejak tahun 1983 dan tidak mempunyai anak keturunan;
-
Bahwa setahu saksi alm. Entis Nawati telah meninggal dunia pada
tanggal 24 September 2004 an saksi hadir saat pemakamannya;
-
Bahwa setahu saksi alm. Entis Nawati memiliki suami bernama
Syahrial tetapi tetapi yang bersangkutan telah pergi meninggalkan
alm tanpa alasan yang jelas dan tidak pernah kembali hingga
sekarang. Dan saksi pernah mendengar alm. Entis Nawati pernah
mencarinya, tetapi tidak behasil;
54 -
Bahwa setahu saksi penetapan ahli waris ini untuk kepentingan
pengurusan Taspen an. Entis Nawati;
D. Amar Putusan
Memperhatikan ketentuan-ketentuan hukum yang bersangkutan dengan
perkara ini, maka Majelis Hakim Pengadilan Agama Depok mengadili:
Dalam gugatan primer:
1. Mengabulkan gugatan para Penggugat seluruhnya;
2. Menetapkan bahwa:
Syamwil CH. bin Djainun, saudara kandung;
Sukma CH. binti Djainun, saudara kandung;
Murni CH. binti Djainun, saudara kandung;
Herawaty CH. binti Djainun, saudara kandung;
Haflil CH. binti Djainun, saudara kandung;
Yetty CH. binti Djainun, saudara kandung;
Rinaldi bin Djainun, saudara kandung;
Adalah ahli waris dari almarhumah Entis Nawati binti Djainun yang telah
meninggal dunia pada tanggal 24 September 2004;
3. Menetapkan, bahwa Oke dan Yuche adalah ahli waris pengganti dari
Jamaludin bin Djainun;
4. Menyatakan bahwa Tergugat V (Syahrial) ahli waris mafqud;
55 5. Menetapkan, harta peninggalan berupa Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai
Negeri Sipil pada PT. TASPEN Persero atas nama Entis Nawati, NIP.
130541039, adalah harta peninggalan almarhumah Entis Nawati binti
Djainun;
6. Menyatakan tentang tatacara pembagian harta peninggalan berupa Taspen an.
Entis Nawati binti Djainun telah berakhir perdamaian tanggal 21 Juni 2006;
Dalam gugatan subsider:
1. Memerintahkan piha-pihak untuk mematuhi dan melaksanakan isi perdamaian
tesebut;
2. Menghukum para Penggugat dan para Tergugat secara bersama-sama untuk
membayar biaya perkara yang hingga kini dihitung sebesar Rp 226.000,- (dua
ratus dua puluh enam ribu rupiah)
56 BAB IV
TINJAUAN TENTANG PERKARA GUGAT WARIS YANG DIPUTUS
SECARA ULTRA PETITA DAN PENETAPAN AHLI WARIS BEDA AGAMA
A. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Perkara Secara Ultra Petita
Pekara ini merupakan sengketa waris yang berdasarkan ketentuan pasal 49
ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 adalah merupakan
kewenangan absolute Pengadilan Agama. Dan yang menjadi dalil gugatan
Penggugat dalam perkara ini adalah: bahwa untuk kepentingan pengurusan
TASPEN atas nama Entis Nawati para Penggugat dan Tergugat mohon ditetapkan
sebagai ahli waris alm. Entis Nawati yang telah meninggal pada tanggal 24
September 2004, dan mohon dinyatakan berhak atas perolehan Taspen tesebut.
Adapun berdasarkan keterangan saksi-saksi dibawah sumpahnya ternyata
dalam bukti surat kutipan Kartu Keluarga an. Herawati, dan surat kutipan Surat
Keterangan Kematian an. Alm. Entis Nawati CH., No. 474.3/194. tanggal 28
September 2004, serta bukti surat kutipan Kartu Peserta Taspen an. Entis Nawati
yang telah memenuhi syarat sebagai alat bukti yang sah, maka harus dinyatakan
bahwa Penggugat dan Tergugat adalah benar saudara kandung dari alm. Entis
Nawati yang telah meninggal pada tanggal 28 September 2004, dan alm. Entis
Nawati adalah benar mempunyai tabungan Taspen. 1
1
Salinan Putusan Pengadilan Agama Perkara Nomor 318/Pdt.G/2006/Pa.Dpk.
57 Oleh karena Tergugat V tidak datang menghadap meskipun telah
dipanggil dengan resmi dan patut melalui Wali Kota Depok, maka Tergugat V
harus dinyatakan tidak hadir.
Selain itu, pihak Majelis telah berusaha mendamaikan, dan kemudian para
pihak telah menyatakan pada dasarnya tidak keberatan atas maksud dan tujuan
gugatan Penggugat.
Bukti-bukti yang diajukan Penggugat dalam persidangan, baik berupa
surat maupun saksi-saksi dari keluarga/orang terdekat dengan Penggugat dan
Tergugat memperkuat dalil-dalil gugatannya.
Atas dasar keterangan saksi, terbukti adanya fakta bahwa Penggugat dan
Tergugat adalah benar saudara kandung dari alm. Entis Nawati yang telah
meninggal pada tanggal 28 September 2004, dan selain itu ada saudara kandung
alm. Entis Nawati yang lain yaitu Syahril meninggal 7 hari setelah lahir, dan
Syafrizal meninggal 40 hari setelah lahir, sedangkan saudara kandung yang
bernama Jamaludin alias Uda Boy ada meninggalkan dua orang anak yang
bernama Oke dan Yuche. Sedangkan Tegugat V tidak diketahui di mana
keberadaannya sejak 1 bulan menikah dengan alm. Entis Nawati sampai sekarang.
Dari uraian Penggugat dapat disimpulkan bahwa pada pokoknya gugatan
Penggugat didasarkan atas penetapan ahli waris untuk pengurusan peninggalan
Taspen an. Entis Nawati.
Menurut saksi-saksi yang diajukan Penggugat bila dihubungkan dengan
keterangan Penggugat maka dapat ditemukan adanya fakta-fakta sebagai berikut:
58 -
Bahwa benar Penggugat dan Tergugat adalah saudara kandung dari alm. Entis
Nawati;
-
Bahwa benar alm. Entis Nawati tidak mempunyai keturunan;
-
Bahwa benar alm ditinggal pergi oleh suaminya (Tergugat V) pada masa 1
bulan setelah pekawinan;
-
Bahwa benar saudara kandung alm yang bernama Syahril meninggal setelah 7
hari setelah lahir dan Syafrizal meninggal 40 hari setelah lahir, sedangkan
saudara kandung yang benama Jamaludin alias Uda Boy ada meninggalkan
dua orang anak yang bernama Oke dan yuche;
-
Bahwa benar orang tua alm telah meninggal;
-
Bahwa benar alm mempunyai tabungan berupa Taspen yang sampai sekarang
belum diurus;
-
Bahwa benar kegunaan penetapan ahli waris ini adalah untuk pengurusan
Taspen an. Alm. Entis Nawati binti Djainun yang hingga sekarang belum
diurus;
Melihat dalam tuntutan primer Penggugat mengajukan gugatan
berupa:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat I, II, dan III;
2. Menyatakan menurut hukum bahwa:
2.1.Syamwil CH. bin Djainun;
2.2.Sukma CH. bin Djainun;
2.3.Murni CH. binti Djainun;
59 2.4.Herawati CH. binti Djainun;
2.5.Haflil CH. bin Djainun;
2.6.Yetty CH. binti Djainun;
2.7.Rinaldi bin Djainun
Adalah ahli waris dari alm. Entis Nawati binti Djainun;
3. Menyatakan, tergugat V ahl waris mafqud;
4. Menyatakan, harta peninggalan berupa Tabungan Pensiun (TASPEN) a.n.
Entis Nawati NIP. 130541039, yang dikeluarkan oleh PT. Dana Tabungan dan
Asuransi Pegawai Negeri (PT. TASPEN-Persero) adalah harta peninggalan
alm. Entis Nawati binti Djainun;
5. Menyatakan, bahwa para ahli waris tersebut berhak mendapatkan bagian atas
peninggalan alm. Entis Nawati binti Djainun;
6. Menetapkan, pembagian atas harta peninggalan alm. Entis Nawati binti
Djainun tersebut berdasarkan hukum Islam;
7. Membebaskan biaya perkara menurut hukum;
Penggugat juga mengajukan prodeo.
Dalam gugatan subsider Penggugat mohon agar diberikan putusan seadiladilnya.
Berdasarkan pada pertimbangan tersebut diatas, Majelis Hakim setelah
bermusyawarah berpendapat, bahwa gugatan Penggugat dalam tuntutan primer
dikabulkan seluruhnya, sedangkan gugatan supaya berperkara secara prodeo,
60 Majelis Hakim telah melakukan pemeriksaan dan menjatuhkan putusan sela
tanggal 13 Juni 2006, sebaga berikut:
1. Menolak pemohonan para Penggugat untuk beperkara secara prodeo;
2. Memerintahkan para Penggugat untuk membayar biaya perkara ini;
Disamping itu, para Penggugat dan Tergugat juga telah menandatangani
kesepakatan tanggal 21 Juni 2006, pada pokoknya bermaksud sebagai berikut:
1. Bahwa seluruh ahli waris sepakat menyelesaikan sengketa ini dengan secara
damai;
2. Bahwa para ahli waris memerlukan penetapan ini guna pengurusan Taspen an.
Alm. Entis Nawati binti Djainun;
3. Bahwa para ahli waris sepakat agar seluruh ahli waris ditetapkan oleh
Pengadilan sebagai ahli waris;
4. Bahwa para ahli waris sepakat pembagian dari hasil pengurusan Taspen
dimaksud akan dibagi secara kekeluargaan di antara para ahli waris;
5. Bahwa di samping ahli waris sebagaimana tersebut di atas, tidak ada lagi ahli
waris lain;
6. Bahwa para ahli waris mohon agar kesepakatan ini dimasukkan ke dalam
putusan Pengadilan;
Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut di atas, gugatan Penggugat
dapat dikabulkan.
Dalam hal ini majelis hakim mempertimbangkan adanya tuntutan subsider
yang pada intinya mohon untuk diputus seadil-adilnya. Dan keputusan ini oleh
61 majelis hakim dianggap paling adil, sehingga mengabulkan tuntutan subsider
tersebut. 2
Karena para Penggugat dan Tergugat telah mencapai kesepakatan, maka
dengan demikian tidak ada pihak yang kalah dan menang, oleh karena itu segala
biaya yang timbul dalam perkara ini dibebankan secara bersama diantara para ahli
waris.
B. Dasar Pertimbangan Hakim Tentang Ditetapkannya Waris Beda Agama
Di dalam memutuskan perkara, hakim perlu memperhatikan pertimbangan
hukumnya, sehingga siapapun dapat menilai apakah putusan yang dijatuhkan
cukup mempunyai alasan yang objektif atau tidak. Dapat dikatakan pertimbangan
hukum merupakan jiwa dan intisari putusan.
Pada perkara gugat waris ini hakim mengabulkan gugatan Penggugat
seluruhnya, namun hakim juga memutuskan satu perkara yang menurut penulis
bahwa ini adalah suatu keputusan yang tidak beralasan, karena dalam salinan
putusan yang penulis dapat, di dalamnya tidak terdapat dasar hukum atau alasan
yang jelas mengapa hakim memutuskan demikian.
Hakim sebagai pelaku fungsional kekuasaan kehakiman harus berupaya
secara profesional dalam menjalankan dan menyelesaikan pekerjaannya. Hakim
dianggap sebagai orang yang mengetahui semua hukum, oleh karena itu hakim
haruslah orang yang berpengetahuan dan berwawasan luas.
2
Berdasarkan wawancara salah satu Majelis Hakim yang menangani perkara tersebut
62 Karena sifatnya peraturan perundang-undangan itu tidak lengkap dalam
mengatur seluruh kegiatan manusia secara tuntas, lengkap dan jelas, maka
hukumnya harus diketemukan dengan menjelaskan, menafsirkan atau melengkapi
peraturan perundang-undangannya. Dengan kata lain ketidak-lengkapan dan
ketidak-jelasan hukum ini dapat diatasi dengan jalan penemuan hukum. Dalam
hal ini hakim harus secara aktif menggali hukum untuk dijadikan dasar dalam
memutus suatu perkara.
Prinsip lain yang harus ditegakkan hakim dalam menjatuhkan putusan,
yakni upaya mencari dan menemukan hukum obyektif yang hendak diterapkan
harus dari sumber hukum yang dibenarkan ketentuan perundang-undangan.
Pada alasan memutus, yang diutarakan adalah bagian duduk perkara, yaitu
keterangan pihak-pihak berikut dalilnya, alat-alat bukti yang diajukan harus
ditimbang secara seksama, diterima atau ditolak. Pihak mana yang akan dibebani
untuk memikul biaya perkara, juga menjadi pertimbangan hakim. Dan sebagai
dasar memutus, hakim menggunakan perundang-undangan negara dan hukum
syara’.
Dalam perkara ini, hakim memutuskan bahwa Rinaldi CH. bin Djainun
yang beragama Kristen adalah ahli waris alm. Entis Nawati binti Djainun. Padahal
dalam KHI pasal 171 huruf (c) yang menyatakan bahwa “Ahli waris adalah orang
yang pada saat pewaris meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau
hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang
karena hukum untuk menjadi ahli waris.” Kemudian pada pasal 172 yang juga
63 berkaitan dengan pasal sebelumnya, berbunyi “Ahli waris dipandang beragama
Islam apabila diketahui dari Kartu Identitas atau pengakuan atau amalan atau
kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa,
beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.”
Dalam fatwa MUI Nomor: 5/MUNAS VII/MUI/9/2005 tentang waris
beda agama menetapkan bahwa:
1. Hukum waris Islam tidak memberikan hak saling mewarisi antar
orang-orang yang berbeda agama (antara muslim dengan nonmuslim);
2. Pemberian harta antar orang yang berbeda agama hanya dapat
dilakukan dalam bentuk hibah, wasiat dan hadiah. 3
Berbeda agama adalah salah satu penghalang kewarisan, sesuai dengan
hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim sebagai berikut:
‫ﺣﺪﺛﻨﺎ أﺑﻮ ﻋﺎﺻﻢ ﻋﻦ اﺑﻦ ﺟﺮﻳﺞ ﻋﻦ اﺑﻦ ﺷﻬﺎب ﻋﻦ ﻋﻠﻲ‬
‫ﺑﻦ ﺣﺴﻴﻦ ﻋﻦ ﻋﻤﺮو ﺑﻦ ﻋﺜﻤﺎن ﻋﻦ أﺳﺎﻣﺔ ﺑﻦ زﻳﺪ رﺿﻲ‬
‫ أن اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ ﻗﺎل ) ﻻ ﻳﺮث‬:‫اﷲ ﻋﻨﻬﻤﺎ‬
( ‫اﻟﻤﺴﻠﻢ اﻟﻜﺎﻓﺮ وﻻ اﻟﻜﺎﻓﺮ اﻟﻤﺴﻠﻢ‬
4
Artinya:
“Abu Ashim dari ibn Juraij dari ibn Syihab dari Ali bin Husain dari Amru bin
Utsman dari Usamah bin Zaid ra memberitahu kami: Sesungguhnya Nabi SAW
bersabda (Tidak mewarisi antara muslim dengan kafir dan tidak pula kafir
dengan muslim). (H.R. Bukhari Muslim)
3
Musyawarah Nasional VII Majelis Ulama Indonesia Tahun 2005, Keputusan Fatwa MUI
Nomor: 5/MUNAS VII/9/2005 tentang Kewarisan Beda Agama
4
Bukhari hadis no 6383 juz 6 h. 2484, muslim hadis no 4225 juz 5 h. 59
64 Sebagian ulama mengemukakan bahwa murtad (keluar dari Islam),
termasuk dalam kategori berbeda agama. Oleh karena itu, murtad merupakan
penghalang untuk mewaris. Bahkan, menurut ijma’ ulama, orang murtad tidak
boleh mewarisi orang Islam. Dan sebagaimana yang sudau penulis terangkan
dalam bab 3.
C. Analisa Penulis
Sebagaimana diketahui bahwa Pengadilan Agama adalah peradilan
perdata, jadi ia harus mengindahkan peraturan-peraturan negara dan syari'at Islam
sekaligus. Oleh karena itu dalam menyelesaikan perkara melalui proses perdata,
hakim dalam melaksanakan fungsi peradilan yang diberikan Undang-Undang
kepadanya, berperan dan bertugas untuk menegakkan kebenaran dan keadilan.
Untuk itu, hakim bertugas mempertahankan tata hukum perdata sesuai dengan
kasus yang disengketakan. Hakim harus menguasai hukum acara (hukum formal)
di samping hukum materiil. Menerapkan hukum materiil secara benar belum tentu
menghasilkan putusan yang baik dan benar.
Dalam posita perkara gugat waris ini, tidak terdapat adanya dalil-dalil
yang mengarah kepada hal-hal yang sifatnya meminta agar Oke dan Yuche di
cantumkan sebagai ahli waris. Posita yang ada hanya mengarah kepada gugatan
agar Syamwil CH. bin Djainun, Sukma CH. bin Djainun, Murni CH. binti
Djainun, Herawati CH. binti Djainun, Haflil CH. bin Djainun, Yetty CH. binti
Djainun, Rinaldi bin Djainun diputuskan sebagai ahli waris alm. Entis Nawati.
65 Hal ini sesuai dengan asas konsistensi antara posita dan petitum, bahwa antara
posita dan petitum harus benar-benar merupakan rangkaian yang konsisten.
Artinya petitum yang ada tidak boleh berubah arahnya dari makna dan jiwa posita
agar gugatan tidak menjadi kacau sehingga petitum yang bersangkutan dapat
diterima. Adapun amar atau dictum pada hakikatnya merupakan jawaban terhadap
petitum daripada gugatan.
Apabila gugatan mengandung petitum subsider dengan bentuk ex aequo et
bono, hanya dapat diperiksa dan dikabulkan jika masih dalam ruang lingkup yang
serasi dengan petitum primer dan tidak menyimpang dari posita yang tersebut
dalam surat gugatan. Jadi tidak boleh menyimpang dari ruang lingkup tuntutan
pokok semula. Sebab bagaimanapun juga hakim dilarang memutus melebihi apa
yang dituntut oleh Penggugat sebagaimana tersebut dalam tuntutan pokok dan
posita serta Tergugat tidak dirugikan haknya untuk melakukan pembelaan
kepentingannya.
Dalam mengadili suatu perkara hakim dilarang menjatuhkan putusan atas
perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan melebihi daripada yang dituntut
(Pasal 178 ayat 3 HIR). Hakim yang mengabulkan melebihi posita maupun
petitum gugat dianggap telah melampaui batas wewenang, yakni bertindak
melampaui wewenangnya.
Sehubungan dengan itu, sekiranya tindakan ultra petita hakim dilakukan
dengan iktikad baik, tetap tidak dapat dibenarkan karena melanggar prinsip rule
of law, siapapun tidak boleh melakukan tindakan yang melampaui batas
66 wewenangnya. Yang dapat dibenarkan paling tidak putusan hakim yang
dijatuhkan masih dalam kerangka yang serasi dengan inti gugatan.
Menurut hukum pembuktian dalam acara perdata, pembuktiannya bersifat
mencari kebenaran formil. Jadi kebenaran yang dicari adalah kebenaran yang
bersifat formil. Mencari kebenaran formil berarti hakim tidak boleh melampaui
batas-batas yang diajukan oleh pihak-pihak yang berperkara. Sehingga karenanya,
hakim dilarang untuk menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut, atau
meluluskan lebih dari yang dituntut.
Dari hasil wawancara dan pengamatan penulis mengenai perkara gugat
waris ini, yang menurut penulis hakim memutuskan perkara secara ultra petita,
yakni hakim mengabulkan gugatan penggugat secara keseluruhan kecuali gugatan
untuk beperkara secara prodeo yang ditolak oleh hakim pada putusan sela pada
tanggal 13 Juni 2006, kemudian hakim juga memutuskan dalam perkara subsider
bahwa Oke dan Yuche adalah ahli waris pengganti dari Jamaludin bin Djainun,
putusan tersebut bukan termasuk kategori ultra petita atau termasuk kategori ultra
petita namun dapat dibenarkan karena masih serasi dengan inti gugatan. Hal ini
sebagaimana yang ditegaskan dalam Putusan MA No. 140 K/Sip/1971 yang
berbunyi:
“Keputusan judex facti yang didasarkan kepada petitum subsidair untuk diadili
menurut kebijaksanaan Pengadilan, dapat dibenarkan asal masih dalam
kerangka yang serasi dengan inti gugatan primair.”
67 Sama seperti putusan membayar nafkah iddah pada istri yang dibebankan kepada
suami yang telah menalaknya, walaupun hal tersebut jarang sekali dimasukkan ke
dalam petitum tetapi hakim mencantumkan putusan tesebut pada putusan akhir,
karena itu dianggap adil oleh hakim.
Namun, pada putusan Majelis Hakim yang memutuskan bahwa Rinaldi
CH. bin Djainun adalah juga ahli waris alm. Entis Nawati binti Djainun sudah
melanggar undang-undang dalam KHI pasal 171 (c), bahwa ahli waris pada saat
pewaris meninggal harus beragama Islam. Dalam fiqih sunnah bab waris
dikatakan bahwa beda agama adalah salah satu penghalang kewarisan.
Berdasarkan hadits yang telah disebut dalam skripsi penulis halaman 60
pada Bab IV, semua imam madzhab (yang empat) berpendapat sama. Namun,
sebagian ulama berpendapat bahwa orang Islam boleh mewarisi harta orang kafir,
tetapi sebaliknya tidak boleh. Pendapat semacam ini dikemukakan dengan
argumentasi bahwa kedudukan orang Islam itu lebih tinggi daripada siapapun,
tidak ada satu pun yang dapat mengunggulinya. Dari semua pendapat tersebut,
pendapat pertamalah yang benar yang merupakan pendapat jumhur, yang secara
jelas telah mengamalkan nash nabawi dalam hadits di atas. Lagi pula masalah
waris mewarisi adalah saling menolong dan membantu sesamanya. Hal ini tidak
terdapat di antara orang muslim dengan orang kafir karena dilarang syara’.
Mengenai semua agama dan kepercayaan diluar Islam, ulama Hanafiyyah,
Syafi’iyyah, Imam Abu Dawud mengatakan bahwa semuanya merupakan satu
68 agama, sebab pada hakikatnya mereka mempunyai prinsip yang sama, yaitu
menyerikatkan atau menyekutukan Allah SWT.
Sebagian ulama mengemukakan bahwa murtad (keluar dari Islam),
termasuk kategori bebeda agama. Oleh karena itu, murtad merupakan penghalang
untuk mewaris. Bahkan, menurut ijma’ ulama, orang murtad tidak boleh mewarisi
orang Islam. Adapun mengenai kerabatnya yang muslim, apakah ia boleh
mewarisi dari kerabatnya yang murtad atau tidak? Dalam hal ini ada perbedaan
pendapat di kalangan ulama.
Menurut jumhur fuqaha, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah, ia tidak
mewarisi dari kerabatnya yang murtad. Menurut golongan ini, mereka tidak boleh
waris mewarisi antara orang Islam dengan orang kafir. Orang murtad berarti
keluar dari Islam, yang berarti ia menjadi kafir, maka hartanya menjadi rampasan
bagi orang Islam.
Begitu pula dalam fatwa MUI Nomor: 5/MUNAS VII/MUI/9/2005
tentang waris beda agama, yang pada intinya antara muslim dan nonmuslim tidak
saling mewarisi, namun pemberian harta warisan masih dapat dilakukan dalam
bentuk hibah, wasiat dan hadiah.
Dari sekian dasar hukum yang menyatakan bahwa antara muslim dan
nonmuslim tidak saling mewarisi, namun Majelis Hakim memutuskan bahwa
Rinaldi CH adalah ahli waris pewaris. Alasannya karena para penggugat dan
69 tergugat telah sepakat untuk hal tersebut. 5 Jadi, hakim memutuskan hanya
berdasarkan kesepakatan para pihak, bukan merujuk pada dasar hukum syara’
yang ada, padahal Pengadilan Agama adalah pengadilan yang mengedepankan
hukum syara’.
Dalam hal ini penulis tidak setuju dengan keputusan hakim. Karena
penulis menganggap bahwa “kesepakatan” bukanlah dasar yang dapat dijadikan
acuan, apalagi dasar hukum yang mengaturnya sudah tak dapat diragukan lagi.
5
Berdasarkan wawancara Majelis Hakim, pada tanggal 27 Agustus 2010.
70 BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan dan uraian yang penulis kemukakan pada bab sebelumnya,
maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Dasar pertimbangan hakim Pengadilan Agama Depok dalam memutus perkara
Nomor : 318/Pdt.G/2006/PA.Dpk tentang perkara gugat waris yang diputus secara
ultra petita adalah Pasal 178 HIR ayat (3) dan Putusan MA No. 140 K/Sip/1971
yaitu selama perkara masih dalam jika masih dalam ruang lingkup yang serasi
dengan tuntutan primer dan tidak menyimpang dari dalil gugatan yang ada dalam
surat gugatan. Dengan kata lain, hakim diperbolehkan mengabulkan putusan yang
dianggap tepat dan adil dalam batas-batas yang masih serasi dengan petitum
primer dan tidak menyimpang dari posita yang ada. Putusan tersebut bukan
termasuk kategori ultra petita atau dalam hukum acara perdata termasuk kategori
ultra petita namun dapat dibenarkan karena masih serasi dengan inti gugatan.
2. Pada putusan Majelis Hakim, yang memutuskan bahwa Rinaldi CH. bin Djainun
adalah juga ahli waris alm. Entis Nawati binti Djainun sudah mengabaikan
undang-undang dalam KHI pasal 171 (c), bahwa ahli waris pada saat pewaris
meninggal harus beragama Islam. Dalam fiqih sunnah bab waris dikatakan bahwa
beda agama adalah salah satu penghalang kewarisan. MUI juga mengeluarkan
fatwa bahwa muslim dan nonmuslim tidak saling mewarisi. Namun di sini hakim
memutuskan hanya berdasarkan “kesepakatan” para pihak.
66 3. Dalam KHI pasal 171 huruf (c) yang menyatakan bahwa “Ahli waris adalah orang
yang pada saat pewaris meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau
hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang
karena hukum untuk menjadi ahli waris.” Kemudian pada pasal 172 yang juga
berkaitan dengan pasal sebelumnya, berbunyi “Ahli waris dipandang beragama
Islam apabila diketahui dari Kartu Identitas atau pengakuan atau amalan atau
kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa,
beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.”
Sudah jelas sekali bahwa antara muslim dan kafir tidak saling mewarisi.
Sedangkan murtad sudah dianggap kafir, karena mereka sudah termasuk ke dalam
golongan yang mensyarikatkan Allah.
B. Saran-Saran
1. Kepada Pengadilan Agama khususnya di PA Depok, dalam menerima, memeriksa
dan memutus perkara permohonan gugat waris yang diajukan oleh Penggugat,
diharapkan lebih cermat dan tetap mempertimbangkan peraturan perundangan
yang berlaku baik secara materiil maupun formil.
2. Dalam memberikan putusan, hakim perlu memperhatikan faktor yang seharusnya
diterapkan secara proporsional yaitu: keadilan, kepastian hukumnya dan
kemanfaatannya.
3. Bahwasanya hakim perlu lebih aktif dalam menggali dan menemukan hukum
objektif atau materiil karena bisa jadi perkara yang diajukan dalil hukumnya tidak
ada atau kurang jelas. Kebebasan bagi hakim janganlah ditafsirkan tanpa batas
67 agar tidak terjadi pelanggaran batas kewenangan atau penyalahgunaan
kewenangan.
68 74 DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al-Karim dan terjemahnya, Departemen RI
Abdul Ghofur Anshori, Peradilan Agama di Indonesia Pasca Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 Sejarah Kedudukan dan Kewenangan, Yogyakarta, UII
Press, 2007
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama.
Jakarta, Kencana, 2005
Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama di Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
2000
A. Rahmat Rosyadi dan Sri Hatini, Advokat dalam Perspektif Islam dan Hukum
Positif, Jakarta, Ghalia Indonesia, 2003
Bisri, Cik Hasan, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1999
______, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 1998
Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, Pustaka Setia, Bandung, 2006
John Z. Loude, Beberapa Aspek Hukum Materiil dan Hukum Acara dalam Praktek,
Jakarta, PT Bina Aksara, 1981
Harun M. Husein, Kasasi sebagai Upaya Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 1992
H. A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, 1996
Leden Marpaung, Putusan Bebas: Masalah dan Pemecahannya, Jakarta, Sinar
Grafika, 1995
M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Acara Peradilan Agama dan Mahkamah Syari’ah
di Indonesia, Jakarta, Kencana, 2005
R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata: Tata Cara dan Proses Persidangan,
Jakarta, Sinar Grafika, 2006
R. Soesilo, RIB/HIR dengan Penjelasan, Bogor, Politeia, 1995
75 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, jilid 4, Pena Pundi Aksara cet. 3, 2006
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta, Liberty, 1999
Sulaikan Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta,
Kencana, 2005
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam,
Semarang, PT Pustaka Rizki Putra, 2001
Wahyudi, Peradilan Agama, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
pembuktian dan Putusan Pengadilan, Jakarta, Sinar Grafika, 2006
Salinan putusan Pengadilan Agama Depok Perkara Nomor 318/Pdt.G/2006/Pa.Dpk.
Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Jakarta: Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, 2002
Musyawarah Nasional VII Majelis Ulama Indonesia Tahun 2005, Keputusan Fatwa
MUI Nomor: 5/MUNAS VII/9/2005 tentang Kewarisan Beda Agama
Pwkpersis, kedudukan waris beda agama, Pasingpanjang, Kawali – Ciamis
http://pwkpersis.wordpress.com/2008/05/16/kedudukan-waris-beda-agama/
Miftakhul Huda, S.H. Ultra Petita Dalam Pengujian Undang-Undang,
http://www.miftakhulhuda.com/2009/06/ultra-petita-dalam-pengujianundang.html
Download