176 KARAKTERISTIK TOKOH UTAMA DALAM NOVEL SUPIYAH

advertisement
176
KARAKTERISTIK TOKOH UTAMA DALAM NOVEL SUPIYAH KARYA KUSAERI
YS (KAJIAN FEMINISME MARXIS)
Oleh:
Siti Aminatu Sholichah
IKIP Widya Darma Surabaya
Abstrak: Penelitian ini bertujuan 1.) mendeskripsikan keterjalinan unsur-unsur struktur
novel Supiyah dalam pembentukan keutuhan cerita, yang meliputi penokohan, alur, latar,
tema, dan sudut pandang; 2.) mendeskripsikan karakteristik tokoh utama dalam novel
Supiyah karya Kusaeri YS (kajian feminisme marxis), yang meliputi kedudukan, tujuan
hidup, perilaku, dan pendirian seorang wanita. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode deskriptif kualitatif, dengan pendekatan feminisme marxis. Sumber data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah novel Supiyah. Sedangkan data berbentuk kata,
frasa, dan kalimat. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik pustaka. Dari hasil
analisis dapat disimpulkan 1.) hasil analisis unsur-unsur struktur novel Supiyah meliputi
penokohan, alur, latar, tema, dan sudut pandang. Unsur-unsur struktur novel Supiyah
dianalisis sesuai dengan kebutuhan, artinya hanya dianalisis pada unsur yang berkaitan
dengan kajian feminisme marxis secara keseluruhan; 2.) karakteristik tokoh utama dalam
novel Supiyah karya Kusaeri YS (kajian feminisme marxis) meliputi kedudukan, tujuan
hidup, perilaku, dan pendirian. Kedudukan tokoh utama meliputi kelas sosial, ekonomi,
dan pendidikan.
Kata Kunci: Novel, Feminisme Marxis, dan Karakteristik Tokoh Utama
PENDAHULUAN
Karya sastra adalah karya seni. Karya sastra adalah penuangan ide-ide yang diimajinasikan
menjadi teks yang memiliki nilai-nilai etika dan estetika. Sehingga, orang yang menikmati
karya sastra akan merasa berada dalam lingkup kehidupan yang diciptakan karya sastra
tersebut. Karya sastra erat kaitannya dengan kehidupan. Berbagai peristiwa merupakan
perjalanan hidup yang seringkali terekam dalam karya sastra. Namun karya sastra bukanlah
sebuah potret kehidupan semata. Karya sastra seringkali merupakan refleksi ungkapan hati
seseorang akan kenyataan hidup yang dialaminya.
Novel adalah salah satu bentuk karya sastra berjenis prosa fiksi yang dapat dijadikan wadah
untuk menuangkan serpihan-serpihan peristiwa, fakta, dan imajinasi pengarangnya. Novel
dibangun berdasarkan dua unsur yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Nurgiyantoro
(2010) mengatakan bahwa kedua unsur inilah yang sering banyak disebut para kritikus dalam
rangka mengaji dan atau membicarakan novel atau karya sastra pada umumnya. Nurgiyantoro
JURNAL WIDYALOKA IKIP WIDYADARMA SURABAYA | Vol. 2 |No.2| Januari 2015
176
177
(2010) juga mengatakan bahwa unsur intrinsik (intrinsic) adalah unsur-unsur yang membangun
karya sastra itu sendiri. Yang termasuk unsur-unsur intrinsik antara lain penokohan, alur, latar,
tema, dan sudut pandang. Sedangkan, unsur ekstrinsik (extrinsic) adalah unsur-unsur yang
berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau
sistem organisme karya sastra (Nurgiyantoro, 2010). Meskipun unsur ekstrinsik dianggap
kurang penting di dalam karya sastra, unsur ekstrinsik terdiri dari beberapa, antara lain biografi
pengarang, keyakinan, psikologi, ekonomi, sosial, dan budaya.
Supiyah adalah salah satu novel yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1985. Pada
tahun tersebut masih banyak sekali fakta-fakta unik antara lain ditemukannya masalah
pendidikan, sosial, dan budaya di sekitar masyarakat terutama masyarakat pedesaan masih erat
dengan tradisi yang ada. Misalnya, hal yang paling sering dijumpai, ketika anak gadisnya lulus
sekolah dan tidak dapat melanjutkan pendidikan karena masalah ekonomi, maka mereka akan
menikahkannya. Bahkan ketika kaum perempuan memiliki cita-cita untuk melanjutkan sekolah
ke jenjang yang lebih tinggi, mereka harus rela mengubur dalam-dalam cita-citanya. Hal
tersebut sudah menjadi tradisi masyarakat pedesaan pada saat itu. Bahkan, ada tradisi yang
lebih unik lagi, perempuan yang akan menikah, maka dia yang harus melamar pihak laki-laki.
Fakta unik lainnya juga ditemukan yaitu ketika terjadi pernikahan orang pribumi dengan
nonpribumi dan perbedaan status sosial yang ada di masyarakat pada saat itu merupakan hal
yang tabu bagi mereka. Mereka menganggap hal tersebut merupakan hal yang sulit untuk
diterima. Jadi, masalah ekonomi dan sosial merupakan masalah utama masyarakat pada saat
itu. Hal tersebut tidak menguntungkan bagi beberapa pihak terutama kaum perempuan, karena
ruang geraknya terbatas.
Perempuan hanya memiliki sedikit pengaruh dalam masyarakat atau bisa dikatakan tidak
memiliki hak pada wilayah-wilayah umum dalam masyarakat. Pada era sebelum gerakan
feminisme muncul, hak-hak wanita dibatasi. Partisipasi wanita dianggap tidak diperlukan.
Kaum laki-laki selalu mendominasi dalam ranah apapun. Kaum wanita tidak diperbolehkan
menempuh pendidikan. Karena kaum wanita dianggap hanya perlu mengurus keluarga jadi
tidak perlu berpendidikan tinggi.
JURNAL WIDYALOKA IKIP WIDYADARMA SURABAYA | Vol. 2 |No.2| Januari 2015
178
Gejala-gejala inilah menyebabkan novel Supiyah dianalisis berdasarkan teori feminisme.
Feminisme secara umum diidentikkan dengan gerakan perempuan yang memperjuangkan
persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan. Berkaitan
dengan gerakan feminisme, terdapat beberapa aliran dalam gerakan feminisme itu sendiri,
antara lain feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme sosialis, feminisme postmodernis,
dan feminisme marxis. Di antara kelima ragam tersebut yang paling sesuai dengan penelitian
novel Supiyah adalah kritik sastra feminisme marxis karena dianggap relevan dengan penelitian
serta sesuai dengan fokus kajian penelitan yang digunakan yaitu kritik sastra feminisme marxis
yang mengungkapkan bahwa kaum perempuan merupakan kelas masyarakat yang tertindas.
Kelas masyarakat yang dimaksud adalah sekelompok orang yang beragam dalam masyarakat,
dari level sosial, ekonomi dan pendidikan yang berbeda. Sehingga kritik sastra feminisme
marxis dapat dipergunakan untuk mengaji permasalahan penelitian. Namun hal ini bukan
berarti peneliti mengabaikan ragam kritik sastra yang lain.
Alasan lain dipilihnya teori feminisme marxis sebagai landasan teori untuk menganalisis
novel ini dapat didasarkan pada bagian prakata yang ditulis oleh penerbit. Terdapat tulisan
penerbit Balai Pustaka mengatakan seorang gadis yang polos bernama Supiyah bertahun-tahun
berjuang melawan ganasnya kehidupan dan kolotnya peradaban. Keberhasilannya memperoleh
gelar doktoranda semakin memudahkan perjuangannya. Dalam kehidupan perkawinan pun
Supiyah harus berjuang, karena kecintaannya terhadap dokter Suprapto alias Ie Ting Hien. Ie
Ting Hien pun mendapat tantangan keras dari seluruh keluarganya. Namun akhirnya Supiyah
dan Ie Ting Hien menang.
Perlawanan akan ganasnya kehidupan dan kolotnya peradaban yang dilakukan tokoh
Supiyah telah menunjukkan bahwa ia memiliki karakter yang luar biasa sebagai seorang
wanita. Ia mampu menunjukkan bahwa wanita juga mampu menggapai cita-citanya, meski
penuh dengan rintangan yang menghadang dan perbedaan status sosial bukan penghalang citacita. Karakter-karakter atau segala sesuatu yang berhubungan dengan karakter kewanitaan
inilah yang disebut karakteristik feminis. Karakteristik feminis dapat dilihat melalui
kedudukan, tujuan hidup, perilaku, dan pendirian seorang wanita.
JURNAL WIDYALOKA IKIP WIDYADARMA SURABAYA | Vol. 2 |No.2| Januari 2015
179
Pengertian Novel
Secara harfiah novel, menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2010) novella berarti „sebuah
barang baru yang kecil‟, dan kemudian diartikan sebagai „cerita pendek dalam bentuk prosa‟.
Sedangkan, menurut Nurgiyantoro (2010) novella dan novella mengandung pengertian yang
sama dengan istilah Indonesia novelette (Inggris: novelette), yang berarti sebuah karya prosa
fiksi yang panjangnya cukup, tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek.
Hill (dalam Sugihastuti & Suharto, 2013) mengatakan bahwa novel sebagai salah satu
bentuk cerita rekaan, merupakan sebuah struktur yang kompleks. Sugihastuti & Suharto (2013)
juga menyatakan bahwa karya sastra (novel) merupakan struktur yang bermakna. Novel tidak
sekadar merupakan serangkaian tulisan yang menggairahkan ketika dibaca, tetapi merupakan
struktur pikiran yang tersusun dari unsur-unsur yang padu.
Jika dibandingkan dengan cerpen, novel lebih panjang daripada cerpen. Novel
mengungkapkan konflik kehidupan para tokohnya secara lebih mendalam dan halus. Selain itu
tokoh-tokoh, serangkaian peristiwa dan latar ditampilkan secara tersusun hingga bentuknya
lebih panjang dibandingkan dengan prosa rekaan yang lain.
Berdasarkan pemahaman di atas dapat disimpulkan bahwa novel pada hakikatnya adalah
karya sastra yang berbentuk prosa fiksi yang rangkaian ceritanya lebih panjang dibandingkan
cerpen, yang mana di dalamnya terdapat tokoh-tokoh cerita yang memiliki perwatakan
berbeda-beda sesuai karakter masing-masing dan terdapat konflik yang muncul dalam cerita
tersebut.
Pendekatan Struktural
Pembahasan dalam penelitian ini menitikberatkan pada kajian feminisme marxis khususnya
karakteristik feminisme. Namun penelitian ini masih melibatkan struktur sebagai langkah awal.
Nurgiyantoro (2010) menyebutkan bahwa analisis struktural karya sastra, yang dalam hal ini
fiksi, dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengaji, dan mendeskripsikan fungsi dan
hubungan antarunsur intrinsik fiksi yang bersangkutan. Mula-mula diidentifikasi dan
dideskripsikan, misalnya, bagaimana keadaan peristiwa-peristiwa, plot, tokoh, dan penokohan,
latar sudut pandang, dan lain-lain. Setelah dicoba jelaskan bagaimana fungsi-fungsi masingJURNAL WIDYALOKA IKIP WIDYADARMA SURABAYA | Vol. 2 |No.2| Januari 2015
180
masing unsur itu dalam menunjang makna keseluruhannya, dan bagaimana hubungan
antarunsur itu sehingga secara bersama membentuk sebuah totalitas kemaknaan yang padu.
Menurut Stanton (dalam Sayuti, 2000) analisis terhadap karya sastra dibedakan menjadi
analisis fiksi dan analisis puisi. Analisis fiksi meliputi analisis terhadap semua elemen
pembangunan fiksi, yang mencakup fakta cerita, sarana cerita, dan tema. Fakta cerita meliputi
plot, tokoh, dan latar. Sarana cerita meliputi hal-hal yang dimanfaatkan oleh pengarang dalam
memilih dan menata detail-detail cerita sehingga tercipta pola yang bermakna, seperti judul,
sudut pandang, gaya, dan nada, dan sebagainya (Sayuti, 2000).
Nurgiyantoro (2010) mengemukakan bahwa sebuah novel merupakan sebuah totalitas,
suatu kemenyeluruhan yang bersifat artistik. Sebagai sebuah totalitas, novel mempunyai
bagian-bagian, unsur-unsur, yang saling berkaitan satu dengan yang lain secara erat dan saling
menggantungkan. Dengan demikian semakin jelaslah bahwa analisis struktur karya sastra, yang
dalam hal ini fiksi, dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengaji, dan memberikan fungsi
serta keterjalinan antar unsur intrinsik fiksi yang bersangkutan. Adapun unsur-unsur intrinsik
yang terdapat dalam sebuah novel diantaranya penokohan, alur, latar, tema, dan sudut pandang.
Teori Feminisme
Feminisme selalu identik dengan kaum perempuan, baik berupa pergerakan perempuan
maupun perjuangannya. Pergerakan perempuan dan perjuangannya diakibatkan pemenuhan
hak-hak perempuan yang tidak seimbang sebagaimana laki-laki. Perempuan dianggap sebagai
makhluk nomor dua selalu mendapat perlakuan yang minoritas dibanding makhluk superior
yaitu laki-laki. Hal tersebut membuat kaum perempuan selalu diremehkan dan dianggap tidak
pantas untuk disejajarkan dengan kaum laki-laki. Di antaranya kaum perempuan banyak
menerima perlakuan yang dianggap tidak mengenakkan bahkan cenderung melekat akibat
konstruksi yang telah mengakar dalam pandangan masyarakat selama ini. Kaum perempuan
melakukan upaya dalam menyetarakan hak dengan kaum laki-laki dengan melakukan
perlawanan-perlawanan yang disebut dengan gerakan feminis.
Syuropati & Soebachman (2012) mengemukakan bahwa feminis berasal dari kata
“Femme” (woman), berarti perempuan (tunggal) yang berjuang untuk memperjuangkan hak-
JURNAL WIDYALOKA IKIP WIDYADARMA SURABAYA | Vol. 2 |No.2| Januari 2015
181
hak kaum perempuan (jamak) sebagai kelas sosial. Tujuan feminis adalah keseimbangan
interelasi gender. Feminis merupakan gerakan yang dilakukan oleh kaum perempuan untuk
menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh
kebudayaan yang dominan. Baik dalam tataran politik, ekonomi, maupun kehidupan sosial
lainnya. Paham feminis ini lahir dan mulai berkobar pada sekitar akhir 1960-an di Barat,
dengan beberapa faktor penting yang mempengaruhinya. Gerakan ini mempengaruhi banyak
segi kehidupan dan mempengaruhi pula setiap aspek kehidupan perempuan (Sugihastuti &
Suharto, 2013).
Menurut Moeliono dkk (dalam Sugihastuti & Suharto, 2013) feminisme adalah gerakan
kaum perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum perempuan dan lakilaki. Geofe (dalam Sugihastuti & Suharto, 2013) juga menyatakan bahwa feminisme
merupakan kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak dan kepentingan perempuan.
Sejalan dengan pemikiran Geofe, Fakih (dalam Sugihastuti & Suharto, 2013) juga berpendapat
bahwa gerakan feminisme merupakan perjuangan dalam rangka mentransformasikan sistem
dan struktur sosial yang tidak adil menuju keadilan bagi kaum laki-laki dan perempuan. Pada
dasarnya tujuan dari feminisme adalah untuk menyamakan kedudukan perempuan dengan lakilaki.
Feminisme
memperjuangkan
kemanusiaan
kaum
perempuan,
memperjuangkan
perempuan sebagai manusia merdeka seutuhnya.
Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa feminisme adalah suatu paham
yang memperjuangkan hak kaum perempuan agar kedudukan seorang perempuan disejajarkan
dengan kaum laki-laki. Baik dari aspek kelas sosial maupun gender. Gerakan feminis muncul
karena adanya kesadaran bahwa selama ini perempuan hidup di bawah dominasi laki-laki.
Dengan kata lain, gerakan feminis ingin mengubah tentang pemahaman yang menyatakan
bahwa kaum perempuan dianggap lemah dibandingkan kaum laki-laki. Orang yang menganut
paham feminisme disebut feminis. Berkaitan dengan gerakan feminisme, terdapat beberapa
aliran dalam gerakan feminisme itu sendiri, antara lain feminisme liberal, feminisme radikal,
feminisme sosialis dan marxis, feminisme postmodernis, dan feminis kulit hitam dan non-barat
(Syuropati & Soebachman, 2012).
JURNAL WIDYALOKA IKIP WIDYADARMA SURABAYA | Vol. 2 |No.2| Januari 2015
182
Feminisme Marxis
Feminisme marxis adalah gerakan feminis yang cenderung mengidentifikasi kelasisme
bukan seksisme sebagai penyebab utama. Menurut Syuropati dan Soebachman (2012) kritik
sastra feminis sosial atau kritik marxis merupakan kritik sastra feminis yang meneliti tokohtokoh perempuan dari sudut pandang sosialis, yaitu kelas-kelas masyarakat. Kelas masyarakat
yang dimaksud adalah sekelompok orang yang beragam dalam masyarakat, dari level sosial,
ekonomi, dan pendidikan yang berbeda. Argumentasi kaum marxis didasarkan kepada
persoalan ketidakadilan dalam pembagian kerja dan status kepemilikan.
Sejalan dengan ini, Marx mengatakan bahwa sastra dan semua gejala kebudayaan lainnya
mencerminkan pola hubungan ekonomi karena sastra terkait dengan kelas-kelas yang ada di
dalam masyarakatnya (Syuropati dan Soebachman, 2012). Dalam masyarakat masih ada suatu
kesatuan manusia yang dapat disebut golongan sosial, yaitu lapisan, atau kelas sosial. Dalam
masyarakat kuno misalnya ada lapisan-lapisan seperti lapisan bangsawan, lapisan orang biasa,
lapisan budak, dan sebagainya (Koentjaraningrat, 2009).
Kelas sosial atau golongan sosial mempunyai arti yang relatif banyak dipakai untuk
menunjukkan lapisan sosial yang didasarkan atas kriteria ekonomi. Menurut Faruk (2013) kelas
sosial adalah pengelompokan sosial dan sekaligus pembagian kerja yang didasarkan pada
pemilikan atau penguasaan atas alat-alat produksi. Atas dasar pengertian yang demikian, di
dalam lingkungan dan proses produksi dapat dibedakan dua kelas sosial, yaitu kelas sosial yang
menguasai sebagian besar alat-alat produksi dan kelas sosial yang tidak menguasai alat-alat
tersebut, yang hanya memiliki sebagian kecil alat produksi yang fungsinya tidak begitu
signifikan dalam kegiatan dan hasil produksi yang bersangkutan.
Sependapat dengan Faruk, Soeseno (dalam Wiyatmi, 2013) juga mengemukakan bahwa
kelas sosial dalam pandangan marxis mengacu pada golongan sosial dalam sebuah tatanan
masyarakat yang ditentukan oleh posisi tertentu dalam proses produksi. Marx (dalam Wiyatmi,
2013) membagi kelas masyarakat kapitalis dalam tiga kelas, yaitu kaum buruh (mereka yang
hidup dari upah), kaum pemilik modal (hidup dari laba), dan para tuan tanah (hidup dari rente
tanah). Namun, karena dalam analisisnya tuan tanah tidak dibicarakan dan sering disamakan
dengan pemilik modal, maka hanya dibicarakan dua kelas: kelas buruh dan kelas majikan.
JURNAL WIDYALOKA IKIP WIDYADARMA SURABAYA | Vol. 2 |No.2| Januari 2015
183
Kelas para majikan memiliki alat-alat kerja, yaitu pabrik, mesin, dan tanah (kalau mereka tuan
tanah); kelas buruh melakukan pekerjaan, tetapi tidak memiliki tempat dan sarana kerja,
mereka terpaksa menjual tenaga kerja mereka kepada kelas pemilik itu. Kelas majikan disebut
sebagai kelas atas, sementara kelas buruh disebut sebagai kelas bawah. Keduanya berada dalam
hubungan kekuasaan, yang satu berkuasa atas yang lain. Kelas atas secara hakiki adalah kelas
penindas, sementara kaum pekerja yang menjual tenaganya demi memperoleh upah merupakan
kelas tertindas (Soeseno dalam Wiyatmi, 2013).
Berdasarkan status sosial, kelas sosial timbul karena adanya perbedaan dalam
penghormatan dan status sosialnya. Misalnya, seorang anggota masyarakat dipandang
terhormat karena memiliki status sosial yang tinggi dan seorang anggota masyarakat dipandang
rendah karena memiliki status sosial yang rendah. Menurut Faruk (2013) pembagian
masyarakat menjadi tuan dan budak, bangsawan dan hamba, pengusaha dan buruh, tidak hanya
pada tatanan produksi, melainkan menjalar ke wilayah-wilayah kehidupan yang lain. Bentuk
kelas sosial yang ada di masyarakat dapat menimbulkan kesenjangan sosial, diskriminasi dan
eksploitasi.
Setiap posisi sosial memiliki perspektif dan kepentingan sendiri-sendiri. Pemahaman orang
mengenai apa yang benar dan pantas dan mengenai apa yang baik bagi mereka, sekeliling
mereka, dan dunia seluruhnya berbeda satu sama lain (Sugihastuti & Saptiawan, 2007). Hal ini
membuat kepercayaan dan pandangan dunia orang-orang tergantung pada posisi mereka di
masyarakat; seorang perempuan yang dilahirkan dari kelas pekerja berkulit hitam memiliki
kehidupan yang berbeda dengan seorang laki-laki yang berasal dari kelas menengah ke atas
berkulit putih. Perbedaan pengalaman ini melahirkan perbedaan pengetahuan, perbedaan
kesempatan, dan perbedaan pandangan dunia (Sugihastuti & Saptiawan, 2007). Kelas sosial
secara tidak langsung menjadi batas antara individu satu dengan individu lainnya di
masyarakat. Secara tidak langsung pula menunjukkan yang berkuasa dan yang dikuasai.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori kemasyarakatan,
marxis menganalisis bahwa kapitalis menciptakan jurang yang dalam (kelas) antara dua
kelompok yaitu pekerja dan majikan. Kelas muncul secara perlahan-lahan dibentuk oleh orangorang yang berbagi kebutuhan dan keinginan yang sama. Oleh karena itu muncullah gerakan
JURNAL WIDYALOKA IKIP WIDYADARMA SURABAYA | Vol. 2 |No.2| Januari 2015
184
feminisme marxis sebagai bentuk perlawanan kaum perempuan dalam menyetarakan hakhaknya terhadap pengelompokkan kelas-kelas di masyarakat dari level sosial, ekonomi, dan
pendidikan yang telah menjadikan kaum perempuan kelas yang berbeda.
Pendekatan Feminisme Marxis dalam Analisis Karya Sastra
Pandangan dan sikap seorang kritikus terhadap sastra serta kritik sastra merupakan
pendekatan. Sedangkan pendekatan itu sendiri merupakan kerangka berpikir dalam melakukan
kritik, yang akhirnya akan membentuk langkah kerja selanjutnya (teknik atau metode) (Semi,
1985). Ada beberapa kritik sastra, yaitu kritik perskriptif, kritik sastra gynocritics, kritik sastra
feminis sosial atau marxis, kritik sastra gynesis, dan kritik sastra feminis psikoanalisis.
Kritisme dengan perskriptif (prescriptive criticism) menawarkan sebuah cara untuk
menentukan peran pembebasan yang dapat dimainkan kesusastraan dan kritik feminis.
Sedangkan kritik sastra gynocritics adalah mengkontruksi suatu bingkai kerja yang akan
menganalisis perempuan dalam karya sastra atau teks berdasarkan pengalaman perempuan, dan
bukan mengadaptasi model serta teori laki-laki. Kemudian kritik sastra feminis sosial atau
kritik sastra marxis merupakan kritik sastra feminis yang meneliti tokoh-tokoh perempuan dari
sudut pandang sosialis, yaitu kelas-kelas masyarakat. Selain itu ada pula kritik sastra gynesis,
teori ini dilandaskan pada pemikiran bahwa perempuan bisa sangat patriarkal dan laki-laki pun
bisa memberikan efek feminis dan seksis; atau menunjukkan bahwa pengalaman perempuan
adalah milik perempuan namun seorang laki-laki sebenarnya dapat menginternalisasikan suara
perempuan dan bersimpati terhadap perempuan. Kemudian yang terakhir adalah kritik sastra
feminis psikoanalisis merupakan kritik sastra yang cenderung diterapkan pada tulisan-tulisan
perempuan yang menampilkan tokoh-tokoh perempuan, karena para feminis percaya bahwa
pembaca perempuan biasanya mengidentifikasi dirinya dengan tokoh-tokoh perempuan yang
dibacanya (Syuropati & Soebachman, 2012).
Pada umumnya karya sastra yang menampilkan tokoh perempuan bisa dikaji dari segi
feminisme. Baik cerita rekaan, lakon, maupun sajak untuk diteliti dengan pendekatan feminis,
asal saja ada tokoh wanitanya. Dengan menggunakan pendekatan feminis akan lebih mudah
jika tokoh wanita dikaitkan dengan tokoh laki-laki. Feminisme dalam penelitian sastra
dianggap sebagai gerakan kesadaran terhadap pengabaian dan eksploitasi perempuan dalam
JURNAL WIDYALOKA IKIP WIDYADARMA SURABAYA | Vol. 2 |No.2| Januari 2015
185
masyarakat seperti tercermin dalam karya sastra (Sugihastuti & Suharto, 2013). Dalam
menganalisis karya sastra dalam kajian feminisme, yang difokuskan adalah kedudukan dan
peran tokoh perempuan dalam sastra, ketertinggalan kaum perempuan dalam segala aspek
kehidupan, termasuk pendidikan dan aktivitas kemasyarakatan, dan memperhatikan faktor
pembaca sastra, bagaimana tanggapan pembaca terhadap emansipasi wanita dalam sastra
(Syuropati & Soebachman, 2012).
Adapun hal-hal penting lainnya yang layak diteliti dengan pendekatan feminis. Pertama,
mengidentifikasi tokoh-tokoh perempuan kemudian mencari kedudukannya dalam masyarakat.
Bagian ini berusaha mengungkap tujuan hidup tokoh perempuan serta mencari tahu perilaku
serta watak tokoh perempuan dari gambaran yang langsung diberikan penulis. Kedua, meneliti
tokoh lain terutama tokoh laki-laki yang memiliki keterkaitan dengan tokoh perempuan yang
diamati. Terakhir, mengamati sikap pengarang terutama nada atau suasana cerita yang
dihadirkan dalam novel. Hal ini terkait dengan penggunaan bahasa oleh pengarang yang
menulis cerita (Soenarjati & Djajanegara, dalam Sugihastuti & Saptiawan, 2007)
Syuropati & Soebachman (2012) juga mengatakan bahwa menjadi kritisi feminis berarti
mampu membaca dengan kesadaran atas dominasi ideologi patriarki dan wacana laki-laki, dan
dengan kesadaran serta keinginan untuk mendobrak dominasi tersebut. Seorang feminis dalam
karya sastranya dapat saja merupakan seseorang yang pluralistik dalam pilihan metode serta
teori sastra yang dipergunakannya, karena pada dasarnya pendekatan apa pun yang
dimanfaatkan, selama itu sesuai dengan tujuan politisnya. Kritik sastra feminis adalah alas yang
kuat untuk menyatukan pendirian bahwa seorang perempuan dapat membaca sebagai
perempuan, mengarang sebagai perempuan, dan menafsirkan karya sastra sebagai perempuan
(Sugihastuti & Suharto, 2013).
Stanton (2012) mengemukakan bahwa anda dapat mengamati ciri-ciri seorang karakter,
perkembangannya, sikap-sikapnya terhadap karakter-karakter lain, atau efek sikap-sikap
tersebut pada mereka (begitupun sebaliknya). Istilah karakteristik diambil dari bahasa Inggris
yaitu characteristic, yang artinya mengandung sifat khas. Karakteristik adalah suatu sifat yang
khas, yang melekat pada seseorang atau suatu objek. Menurut Stanton (2012) terma „karakter‟
biasanya dipakai dalam dua konteks. Konteks pertama, karakter merujuk pada individuJURNAL WIDYALOKA IKIP WIDYADARMA SURABAYA | Vol. 2 |No.2| Januari 2015
186
individu yang muncul dalam cerita seperti ketika ada orang yang bertanya; “Berapa karakter
yang ada dalam cerita itu?”. Konteks kedua, karakter merujuk pada percampuran dari berbagai
kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip moral dari individu-individu tersebut. Penggunaan
istilah “karakter (character) sendiri dalam berbagai literatur Bahasa Inggris menyaran pada dua
pengertian yang berbeda, yaitu sebagai tokoh-tokoh cerita yang ditampilkan, dan sebagai sikap,
ketertarikan, keinginan, emosi, dan prinsip moral yang dimiliki tokoh-tokoh tersebut Stanton
(dalam Nurgiyantoro, 2010).
Adapun hal-hal yang dilakukan di dalam menganalisis karya sastra melalui kritik sastra
feminisme marxis yaitu karakteristik feminis. Karakteristik feminis adalah segala sesuatu yang
berhubungan dengan karakter kewanitaan yang meliputi kedudukan, tujuan hidup, perilaku,
dan pendirian tokoh wanita. Pertama, mengidentifikasi tokoh-tokoh perempuan kemudian
mencari kedudukannya dalam masyarakat. Kedudukan adalah tempat atau posisi yang diduduki
oleh seseorang. Menurut KBBI (1995) kedudukan adalah status. Dalam hal ini status atau
kedudukan perempuan meliputi peran sosial yang di dalamnya terdapat pendidikan, status
sosial, dan karier. Kedudukan perempuan sering dianggap lebih rendah daripada kedudukan
laki-laki dan hanya mampu mengerjakan pekerjaan domestik, perempuan tidak dibolehkan
menuntut ilmu tinggi-tinggi dan bekerja di luar rumah sebagaimana laki-laki. Kedudukan lakilaki dianggap lebih utama. Menurut Hasni (2015) perjuangan perempuan yang berat untuk
mencapai suatu kedudukan, disebabkan karena masih banyak masyarakat Indonesia yang masih
menganut paham patriarki, sehingga mengahasilkan keputusan dan sikap bias gender.
Menurut Veblen (dalam Sugihastuti & Saptiawan, 2007) kehidupan perempuan ditinjau
dari segi kewargaan, ekonomi, dan sosial pada hakikatnya dan biasanya merupakan kehidupan
bagi orang lain, yang keuntungan atau kerugiannya harus dikaitkan dengan orang lain yang
bertindak sebagai pemilik atau wali perempuan tersebut. Peran perempuan yang banyak
berhubungan dengan masalah pengurusan keluarga dan rumah tangga membuat kedudukan
perempuan dalam masyarakat sedikit banyak tergantung pada kedudukan suami (Friedan,
dalam Sugihastuti & Saptiawan, 2007).
Setelah menentukan kedudukan tokoh-tokoh perempuan kemudian mencari tujuan
hidupnya. Berdasarkan KBBI (1995) tujuan adalah yang dituju. Setiap manusia pasti memiliki
JURNAL WIDYALOKA IKIP WIDYADARMA SURABAYA | Vol. 2 |No.2| Januari 2015
187
tujuan hidup. Tujuan hidup setiap orang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Orang
yang memiliki tujuan hidup maka hidupnya akan terarah sesuai dengan tujuan dan hasil yang
ingin dicapai. Namun demikian, masih banyak orang yang salah dalam menentukan tujuan
hidupnya. Hal ini tentu akan membingungkan dan berakibat kurang maksimalnya hasil yang
bisa dicapai. Seorang perempuan lahir ke dunia ini dengan tujuan yang mulia. Sejatinya
perempuan harus meraih cita-citanya setinggi langit dan terbebas dari semangat kultur yang
menempatkan perempuan di kelas kedua. Akan tetapi, semua itu tidak dapat dicapai dengan
mudah. Tujuan hidup perempuan tidak akan tercapai jika mengalami diskriminasi dan
eksploitasi maka sebagai perempuan harus mampu melawan demi tercapainya tujuannya.
Selanjutnya, mengidentifikasi perilaku tokoh-tokoh perempuan dalam cerita. Perilaku
adalah tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan (KBBI, 1995).
Perilaku seseorang seringkali diidentikkan dengan kepribadian seseorang. Perilaku adalah
perangai yang dimiliki oleh seseorang baik itu perangai baik maupun buruk. Begitu halnya
perilaku-perilaku seorang wanita. Tidak semua wanita memiliki perilaku yang baik dan tidak
sedikit pula wanita memiliki perilaku yang baik. Wanita seringkali diidentikkan dengan
perilaku yang lembut karena memiliki naluri keibuan sehingga wanita dianggap lemah atau
rendah.
Menurut Rahayu (Hasni, 2015) perempuan selalu dikonotasikan sebagai manusia pekerja
domestik (home maker) yang dinilai tidak dapat berkontribusi secara aktif di luar rumah tangga
sehingga perannya tidak lebih dari sekadar aktivitas dalam rumah. Perempuan masih saja
terbelenggu dengan budaya, mitos, dan jauh dari kata kompetensi yang sehat di ranah
produktif. Akan tetapi perilaku wanita juga bisa berubah layaknya perilaku laki-laki yang
disebabkan keinginan untuk memperjuangkan hak-haknya sebagai seorang wanita.
Namun seiiring berjalannya waktu, ada kebijakan-kebijakan yang membantu kaum
perempuan. Menurut Rahayu (dalam Hasni, 2015) pada dasarnya kebijakan politik, budaya,
adat-istiadat telah menggeser sedikit cara pandang upaya perempuan menyejajarkan diri
dengan laki-laki. Walaupun berbagai tantangan, hambatan, terus menjadi bagian dalam upaya
pemenuhan hak-hak dasar perempuan.
JURNAL WIDYALOKA IKIP WIDYADARMA SURABAYA | Vol. 2 |No.2| Januari 2015
188
Terakhir, mengidentifikasi pendirian tokoh-tokoh perempuan dalam cerita. Adapun
pengertian pendirian menurut KBBI (1995) adalah pendapat (keyakinan) yang dipakai tumpuan
untuk memandang atau mempertimbangkan sesuatu. Pendirian adalah bentuk keyakinan atau
keteguhan yang dimiliki oleh seseorang. Pendirian bisa berbeda-beda bahkan bertentangan
antara satu orang dengan orang lainnya. Tidak jarang perbedaan tersebut memicu terjadinya
konflik, mulai dari yang kecil hingga yang besar. Di sisi lain, ada pula orang yang tidak
mempunyai pendirian sama sekali, sehingga kehidupannya berjalan tanpa arah, bahkan
seringkali hanya diperalat oleh orang lain. Akan tetapi pendirian diperlukan sebagai pijakan
dalam mengatasi berbagai masalah dalam kehidupan manusia. Terkadang pendirian seseorang
juga dapat berubah sewaktu-waktu. Hal ini disebabkan adanya pengaruh dari luar maupun
pengaruh dalam. Sama halnya dengan seorang perempuan harus memiliki pendirian yang kuat
agar tidak mudah dipengaruhi oleh orang lain karena perempuan diidentikkan dengan kaum
yang lemah atau rendah.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian kualitatif deskriptif. Sukmadinata (2010)
mengatakan bahwa penelitian deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang paling dasar.
Ditujukan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena-fenomena yang ada, baik
fenomena yang bersifat alamiah ataupun rekayasa manusia. Penelitian ini mengaji bentuk,
aktivitas, karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan dan perbedaannya dengan fenomena
lain. Penyebutan “deskriptif” merupakan salah satu ciri dalam penelitian kualitatif. Deskriptif
berarti data yang dikumpulkan adalah berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka
(Moleong, 2013). Menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2013) metodologi kualitatif
sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.
Objek penelitian ini adalah unsur-unsur struktur novel Supiyah karya Kusaeri YS dan
karakteristik tokoh utama dalam novel Supiyah karya Kusaeri YS (kajian feminisme marxis).
Sumber data dalam penelitian ini adalah novel Supiyah karya Kusaeri YS yang diterbitkan oleh
Balai Pustaka, Jakarta, cetakan ketiga tahun 2007, dengan tebal 90 halaman.
JURNAL WIDYALOKA IKIP WIDYADARMA SURABAYA | Vol. 2 |No.2| Januari 2015
189
Pegumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik pustaka
(library research). Jenis atau metode ini disebut analisis isi (content analysis). Adapun
langkah-langkah yang ditempuh sebagai berikut 1.) Membaca berulang-ulang secara
keseluruhan novel tersebut untuk memahami isinya secara utuh; 2.) Mencatat kata, kalimat,
atau data-data yang penting yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti; 3.) Mencatat
serta mengumpulkan teori-teori yang relevan yang berhubungan dengan penelitian; 4.)
Melakukan penelitian berdasarkan teori yang sudah ada; dan 5.) Menarik simpulan.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang bersifat
deskriptif. Teknik analisis data yang digunakan untuk menganalisis novel Supiyah karya
Kusaeri YS adalah teknik deskriptif kualitatif. Prosedur penelitian ditempuh dalam tiga tahap
antara lain tahap prapenelitian, tahap penelitian, dan tahap pascapenelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Unsur-Unsur Struktur Novel Supiyah Karya Kusaeri YS
Nurgiyantoro (2010) menyebutkan bahwa analisis struktural karya sastra, yang dalam hal
ini fiksi, dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengaji, dan mendeskripsikan fungsi dan
hubungan antarunsur intrinsik fiksi yang bersangkutan. Unsur-unsur struktur yang telah
digunakan dalam meneliti novel Supiyah karya Kusaeri YS antara lain penokohan, alur, latar,
tema, dan sudut pandang.
Penokohan
Penokohan atau karakterisasi adalah proses yang dipergunakan oleh seorang pengarang
untuk menciptakan tokoh-tokoh fiksinya (Tarigan, 2008). Kusaeri YS menampilkan tokohtokohnya sebagai berikut.
Supiyah
Supiyah adalah tokoh utama, pengarang menggambarkan tokoh Supiyah sebagai tokoh
yang gigih dalam menggapai cita-cita meskipun ibu dan kakaknya tidak merestui.
JURNAL WIDYALOKA IKIP WIDYADARMA SURABAYA | Vol. 2 |No.2| Januari 2015
190
Supardi
Supardi adalah salah satu tokoh tambahan, Supardi merupakan kakak Supiyah. Pengarang
menggambarkan tokoh Supardi sebagai orang yang menentang cita-cita Supiyah karena
pemikirannya yang kolot.
Ibu (Bu Karto)
Ibu atau Bu Karto adalah salah satu tokoh tambahan. Bu Karto merupakan ibu Supiyah dan
Supardi. Pengarang menggambarkan tokoh Ibu sebagai orang yang menentang cita-cita
Supiyah karena berbagai alasan.
Paman Abdullah
Paman Abdullah adalah tokoh tambahan. Abdullah merupakan paman Supiyah. Selain
Supardi dan Bu Karto, Paman Abdullah juga tokoh yang menentang cita-cita Supiyah tetapi
pada akhirnya menyerah akan keputusan Supiyah meskipun kecewa. Tokoh Abdullah adalah
orang yang ambisius akan perjodohan Supiyah.
Purwati
Purwati adalah tokoh tambahan sekaligus penengah. Purwati merupakan teman baik
Supiyah, pengarang menghadirkan tokoh Purwati di tengah-tengah keluarga Supiyah untuk
mendukung cita-cita Supiyah.
Orang Tua Purwati
Orang tua Purwati adalah tokoh tambahan. Pengarang menggambarkan kedua orang tua
sebagai orang yang mendukung cita-cita Purwati dan Supiyah.
Mbok Minah dan Pak Dirun
Mbok Minah dan Pak Dirun merupakan tokoh tambahan. Pengarang menggambarkan tokoh
Mbok Minah dan Pak Dirun sebagai orang yang membantu Purwati dan Supiyah selama
tinggal di rumah paman Purwati, terutama ketika Supiyah berjualan di warung.
Paman Purwati
Paman Purwati merupakan tokoh tambahan. Pengarang menggambarkan tokoh paman
Purwati sebagai orang yang baik. Keberadaan tokoh Paman Purwati tidak diketahui secara
langsung melainkan melalui percakapan Purwati terhadap tokoh-tokoh lain.
JURNAL WIDYALOKA IKIP WIDYADARMA SURABAYA | Vol. 2 |No.2| Januari 2015
191
Dokter Suprapto (Ie Hook Siu)
Tokoh Dokter Suprapto dihadirkan oleh pengarang sebagai tokoh tambahan. Pengarang
menggambarkannya sebagai orang yang baik dan peduli terhadap sesama. Kebaikan dan
kepedulian dokter Suprapto terhadap Supiyah telah meluluhkan hatinya.
Ayah Dokter Suprapto (Ie Ting Hien atau Bah Hien)
Ie
Ting Hien
atau
Bah Hien
merupakan ayah dokter Suprapto.
Pengarang
menggambarkannya sebagai orang yang menentang hubungan antara dokter Suprapto dengan
Supiyah karena perbedaan status sosial. Kelas sosial tetap menjadi hal pokok atau paling utama
yang dipertahankan masyarakat Sumbermulyo, apalagi ketika anaknya akan menikah. Tokoh
Supiyah terlahir dari kelas bawah sehingga tidak mudah diterima oleh keluarga calon
suaminya.
Oom Siong
Oom Siong adalah tokoh tambahan. Oom Siong merupakan teman sekaligus besan ayah
dokter Suprapto. Pengarang menggambarkannya sebagai orang yang baik, bijak, dan penengah
antara dokter Suprapto dengan ayahnya.
Kakak Dokter Suprapto (I Hook Lan)
I Hook Lan adalah tokoh tambahan. I Hook Lan merupakan kakak dokter Suprapto. I Hook
Lan sebagai orang yang baik dan mendukung hubungan adiknya.
Alur atau Plot
Menurut Stanton (2012) alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita.
Alur yang dipakai dalam penulisan novel Supiyah adalah alur maju.
Bagian Awal
Bagian awal dalam novel Supiyah terbagi atas dua bagian, yaitu bagian eksposisi dan
ketidakstabilan. Eksposisi cerita novel Supiyah berupa penjelasan tentang keberadaan tokoh
Supiyah, seorang perempuan yang bertempat tinggal di desa dengan masyarakat yang masih
memegang adat dan tradisi yang kolot. Dan yang kedua adalah sebagai ketidakstabilan yaitu
bagian yang didalamnya terdapat keterbukaan. Cerita mulai bergerak dan terbuka karena
informasi kutipan di bawah ini belum tuntas, bahkan menimbulkan pertanyaan, mengapa
JURNAL WIDYALOKA IKIP WIDYADARMA SURABAYA | Vol. 2 |No.2| Januari 2015
192
Supiyah gigih dalam menggapai cita-citanya? sehingga ketidakstabilan memunculkan suatu
pengembangan suatu cerita.
Bagian Tengah
Bagian tengah dimulai dengan jawaban atas pertanyaan yang muncul, seperti yang
disebutkan pada bagian awal. Jawaban itu sedikitnya menggambarkan suatu konflik, bahwa
Supiyah gigih dalam menggapai cita-citanya karena ingin membuktikan bahwa perempuan
bukanlah makhluk yang berfisik lemah yang hanya memiliki tugas mengandung, melahirkan,
dan membesarkan anak tetapi wanita juga bisa menggapai cita-citanya.
Bagian Akhir
Bagian akhir ternyata menarik karena adanya kejutan yang terletak pada pemecahan
masalahnya, yaitu ketika cita-cita Supiyah telah tercapai, meskipun harus melalui berbagai
rintangan dan hambatan.
Latar atau Setting
Sayuti (2000) menyebutkan secara garis besar deskripsi latar fiksi dapat dikategorikan
dalam tiga bagian, yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosial.
Latar Tempat
Dalam novel Supiyah sangat jelas terlihat bahwa cerita di dalamnya terjadi di beberapa
tempat. Analisis latar tempat dimulai dari rumah tokoh Supiyah dan bagian-bagiannya. Kota
Rembang juga merupakan latar tempat yang menggambarkan tempat tokoh Supiyah dan
Purwati selama menempuh pendidikan SMA. Terminal tempat menuju perjalanan selanjutnya,
yang dituju Supiyah dan Purwati yaitu Sekolah Pendidikan Guru Negeri Rembang. Selama
beresekolah di Kota Rembang, Supiyah dan Purwati tinggal di rumah Paman Purwati. Rumah
Paman Purwati antara lain memiliki halaman luas, dan kebun. Purwati selalu menyempatkan
diri untuk pulang ke kampung halamannya. Supiyah menjajakan makanan atau dagangannya ke
warung-warung yang berada di pinggir jalan. Seiring berjalannya waktu, tokoh Supiyah sudah
tidak lagi menjajakan makanan ke warung-warung. Supiyah telah membuka warung di sudut
pasar.
JURNAL WIDYALOKA IKIP WIDYADARMA SURABAYA | Vol. 2 |No.2| Januari 2015
193
Supiyah mendaftarkan diri di perguruan tinggi negeri yang terletak di Kota Semarang dan
pada akhirnya diterima. Selama menempuh pendidikan di perguruan tinggi Supiyah tingal
bersama Yeni di tempat kos. Supiyah juga mengalami kecelakaan ketika menuju tempat
kerjanya. Trotoar menjadi saksi peristiwa kecelakaan Supiyah. Ketika mengalami kecelakaan
Supiyah segera di bawa ke rumah sakit untuk mendapat perawatan. Selain mengajak Supiyah
ke tempat praktik dr. Johan, dokter Suprapto juga membawanya ke rumah Oom Siong yaitu
teman sekaligus besan ayahnya untuk dimintai pendapat dan memecahkan masalahnya.
Latar Waktu
Penggambaran latar waktu yang paling dominan di dalam novel Supiyah adalah latar waktu
siang, sore, dan malam. Dalam novel Supiyah selain terdapat latar waktu sore hari, terdapat
latar waktu siang hari yang digambarkan dengan suasana yang berbeda-beda. Latar waktu
malam hari juga digambarkan pengarang dengan suasana yang berbeda-beda. Keesokan
harinya, merupakan latar waktu yang menunjukkan tindakan yang dilakukan Purwati pulang
kampung untuk menemui orang tuanya di kampung. Latar waktu seminggu mewakili waktu
tujuh hari yang telah dilalui tokoh Purwati.
Latar Sosial
Latar sosial bisa mencakup kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan
hidup, cara berpikir dan bersikap, serta status sosial. Masyarakat Sumbermulyo sebagian besar
bermata pencaharian sebagai petani garam. Dilihat dari pengelompokkan kelas sosial,
masyarakat Sumbermulyo tergolong kelas bawah. Masyarakat Sumbermulyo tergolong kelas
bawah yaitu rumah masyarakat yang dibangun dari bambu dan beratap ijuk. Sebagai
dampaknya, masyarakat Sumbermulyo tidak mampu membiayai sekolah anak-anaknya.
Pernikahan di bawah umur telah menjadi tradisi masyarakat Sumbermulyo.
Latar sosial mengenai adat masyarakat Supiyah yang matrilineal, kolot, dan merendahkan
derajat perempuan. Ketika perempuan ingin menikah, ia harus melamar calon suaminya.
Seringkali pernikahan terjadi karena paksaan, anak perempuan dipaksa menikah karena
perempuan yang tidak kawin muda merupakan aib dan sistem perkawinan pada masyarakat
Sumbermulyo berdasarkan kelas sosial.
JURNAL WIDYALOKA IKIP WIDYADARMA SURABAYA | Vol. 2 |No.2| Januari 2015
194
Tema
Tema adalah makna cerita, gagasan sentral, atau dasar cerita (Sayuti, 2000). Kusaeri YS
dalam novel Supiyah lebih menonjolkan sosok perempuan yang memperjuangkan hak-haknya
meskipun harus menentang adat dan budaya dalam masyarakatnya.
Sudut Pandang
Sudut pandang atau point of view, menyaran pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ia
merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk
menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah
karya fiksi kepada pembaca (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2010). Dalam novel Supiyah
pengarang menggunakan sudut pandang orang ketiga serba tahu. Dalam sudut pandang orang
ketiga serba tahu.
Karakteristik Tokoh Utama dalam Novel Supiyah Karya Kusaeri YS (Kajian Feminisme
Marxis)
Stanton (2012) mengemukakan bahwa anda dapat mengamati ciri-ciri seorang karakter,
perkembangannya, sikap-sikapnya terhadap karakter-karakter lain, atau efek sikap-sikap
tersebut pada mereka (begitupun sebaliknya). Istilah karakteristik diambil dari bahasa Inggris
yaitu characteristic, yang artinya mengandung sifat khas. Karakteristik adalah suatu sifat yang
khas, yang melekat pada seseorang atau suatu objek. Karakteristik feminis adalah segala
sesuatu yang berhubungan dengan karakter kewanitaan. Karakteristik feminisme marxis dalam
novel Supiyah dapat dilihat melalui kedudukan, tujuan hidup, perilaku, dan pendirian seorang
wanita.
Kedudukan Tokoh Utama
Menurut KBBI (1995) kedudukan adalah status. Kedudukan tokoh Supiyah dalam novel
Supiyah dapat dilihat dari beberapa segi atau aspek. Kedudukan tokoh Supiyah dilihat dari segi
sosial dan ekonomi. Kedudukan tokoh Supiyah dilihat dari segi sosial dan ekonomi. Menurut
Faruk (2013) kelas sosial adalah pengelompokan sosial dan sekaligus pembagian kerja yang
didasarkan pada pemilikan atau penguasaan atas alat-alat produksi. Atas dasar pengertian yang
demikian, di dalam lingkungan dan proses produksi dapat dibedakan dua kelas sosial, yaitu
kelas sosial yang menguasai sebagian besar alat-alat produksi dan kelas sosial yang tidak
JURNAL WIDYALOKA IKIP WIDYADARMA SURABAYA | Vol. 2 |No.2| Januari 2015
195
menguasai alat-alat tersebut, yang hanya memiliki sebagian kecil alat produksi yang fungsinya
tidak begitu signifikan dalam kegiatan dan hasil produksi yang bersangkutan. Sedangkan, Marx
(dalam Wiyatmi, 2013) membagi kelas masyarakat kapitalis dalam tiga kelas, yaitu kaum
buruh (mereka yang hidup dari upah), kaum pemilik modal (hidup dari laba), dan para tuan
tanah (hidup dari rente tanah).
Keluarga Supiyah jika dilihat dari pengelompokan sosial dan sekaligus pembagian kerja
yang didasarkan pada pemilikan atau penguasaan atas alat-alat produksi, maka digolongkan
kelas bawah atau kelas buruh. Supiyah sebagai perempuan yang kedudukannya selalu di bawah
laki-laki. Ibunya setuju jika Supiyah segera menikah agar terhindar dari cemoohan dan kutukan
para tetangganya. Akan tetapi, Supiyah tidak pernah sependapat dengan ibunya sehingga
menimbulkan pertentangan. Selanjutnya, kedudukan tokoh Supiyah dilihat dari segi
pendidikan. Perjuangan yang dilalui Supiyah dalam menggapai cita-citanya telah dicapai
dengan melalui berbagai rintangan dan hambatan yang harus dihadapi. Pendidikan merupakan
sarana untuk meningkatkan kedudukan kaum perempuan.
Tujuan Hidup Tokoh Utama
Berdasarkan KBBI (1995) tujuan adalah yang dituju. Tokoh Supiyah yang memiliki citacita untuk memajukan pembangunan bangsa terutama daerah atau desanya dan mendobrak
tradisi kolot di desanya. Pemikiran Supiyah sudah lebih maju daripada pemikiran
masyarakatnya. Keberhasilan Supiyah telah dibuktikan kepada masyarakat bahwa kemampuan
perempuan bukan hanya sebagai manusia pekerja domestik, perempuan juga dapat
berkontribusi secara aktif di luar rumah sehingga perannya tidak lebih dari sekadar aktivitas
dalam rumah.
Perilaku Tokoh Utama
Perilaku adalah tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan
(KBBI, 1995). Dalam novel Supiyah tokoh Supiyah menunjukkan perilaku-perilaku feminis
yang memperjuangkan hak-hak perempuan. Supiyah melawan pendapat ibunya yang masih
mengikuti tradisi masyarakat. Supiyah juga melawan pendapat Supardi dan Paman Abdullah
yang masih memiliki pemikiran kolot. Supiyah melakukan usaha sebagai perempuan agar
memperoleh hak yang sama dengan kaum laki-laki. Karena perempuan diposisikan sebagai
JURNAL WIDYALOKA IKIP WIDYADARMA SURABAYA | Vol. 2 |No.2| Januari 2015
196
orang yang mengurus rumah tangga dan menjaga anak, sejak kecil kehidupannya sudah diatur
oleh orang tua agar tidak menyalahi peran tersebut setelah dewasa kelak. Jadi, salah kaprah itu
menyebabkan perlakuan yang berbeda terhadap laki-laki dan perempuan dalam bidang
pendidikan, pekerjaan, pergaulan, perkawinan (dipaksa menerima jodoh pemberian orang tua
dan dipaksa tunduk kepada suami) dan kebebasan individu (dikekang oleh anggota keluarga
yang lain).
Pendirian Tokoh Utama
Adapun pengertian pendirian menurut KBBI (1995) adalah pendapat (keyakinan) yang
dipakai tumpuan untuk memandang atau mempertimbangkan sesuatu. Tokoh Supiyah memiliki
pendirian yang kuat meskipun di tengah perjalanannya ada beberapa rintangan sehingga
membuatnya putus asa dan pada akhirnya pendirian kuat mampu membuktikan cita-citanya.
Supiyah berpendirian teguh dalam menggapai cita-citanya meskipun berbagai rintangan dan
hambatan yang harus dihadapinya. Rintangan yang datang tidak jauh darinya karena rintangan
itu sendiri berasal dari lingkungan keluarga dan masyarakatnya.
KESIMPULAN
Berdasarkan pada analisis novel Supiyah karya Kusaeri YS, maka dapat disimpulkan halhal sebagai berikut.
Unsur-Unsur Struktur Novel Supiyah Karya Kusaeri YS
Penokohan dalam novel Supiyah antara lain tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh
utama dalam novel Supiyah yaitu Supiyah. Pengarang menggambarkan tokoh Supiyah sebagai
tokoh yang gigih dalam menggapai cita-cita meskipun ibu dan kakaknya tidak merestui. Selain
tokoh utama, pengarang juga menghadirkan tokoh tambahan yang menentang maupun tokoh
yang mendukung tokoh utama. Tokoh tambahan yang menentang tokoh utama antara lain
Supardi, Bu Karto, Paman Abdullah, dan Ayah Dokter Suprapto (Ie Ting Hien atau Bah Hien).
Tokoh Supardi, Bu Karto, dan Paman Abdullah menentang perjalanan cita-cita tokoh Supiyah.
Sedangkan, Ayah Dokter Suprapto (Ie Ting Hien atau B ah Hien) menentang tokoh Supiyah
dalam perbedaan kelas sosial.
Tokoh tambahan yang mendukung tokoh utama antara lain Bu Karto, Purwati, Orang tua
Purwati, Mbok Minah, Pak Dirun, Paman Purwati, Dokter Suprapto (Ie Hook Siu), Oom Siong,
JURNAL WIDYALOKA IKIP WIDYADARMA SURABAYA | Vol. 2 |No.2| Januari 2015
197
dan Kakak Dokter Suprapto (I Hook Lan). Keberadaan Bu Karto dalam novel Supiyah selain
menentang tokoh utama juga mendukung tokoh utama. Hal tersebut dikarenakan kedudukan Bu
Karto dalam novel Supiyah sebagai seorang ibu. Orang tua Purwati, Mbok Minah, Pak Dirun,
dan Paman Purwati mendukung perjalanan cita-cita tokoh Supiyah. Sedangkan, Dokter
Suprapto atau Ie Hook Siu, Oom Siong, dan Kakak Dokter Suprapto (I Hook Lan) mendukung
tokoh Supiyah meskipun memiliki perbedaan kelas sosial.
Alur dalam novel Supiyah karya Kusaeri YS menggunakan alur maju. Selanjutnya, dalam
novel Supiyah karya Kusaeri YS, unsur latar dibedakan menjadi tiga antara lain latar tempat,
waktu, dan sosial. Latar tempat dalam novel Supiyah secara umum terjadi di rumah tokoh
Supiyah antara lain serambi depan, ruang tamu, ambang pintu, dan rumah Bu Karto. Pengarang
juga menggambarkan latar tempat lainnya, antara lain Kota Rembang, terminal, Sekolah
Pendidikan Guru Negeri Rembang, halaman rumah Paman Purwati, kampung halaman
Purwati, pinggir jalan, sudut pasar, sekolah, kios atau warung, kompleks kampus, warung dekat
kampus, rumah kos, trotoar, ke luar rumah, dan rumah Oom Siong.
Latar waktu dalam novel Supiyah antara lain sore hari, Sabtu siang dan Minggu sore,
keesokan harinya, dini hari, seminggu telah berlalu, siang hari, seperempat jam kemudian,
malam hari, dan empat bulan kemudian. Sedangkan untuk latar sosial yang terdapat dalam
novel Supiyah adalah mengenai masyarakat Sumbermulyo sebagian besar bermata pencaharian
sebagai petani garam. Selain itu, mengenai adat masyarakat Sumbermulyo yang matrilineal,
kolot, dan merendahkan derajat perempuan. Ketika perempuan ingin menikah, ia harus
melamar calon suaminya. Seringkali pernikahan terjadi karena paksaan, anak perempuan
dipaksa menikah karena perempuan yang tidak kawin muda merupakan aib dan sistem
perkawinan pada masyarakat Sumbermulyo berdasarkan kelas sosial.
Novel Supiyah bertemakan potret pemberontakan perempuan terhadap praktik budaya yang
menindas dengan caranya sendiri, serta perjuangan perempuan dalam menggapai cita-citanya.
Dalam novel Supiyah karya Kusaeri YS, pengarang menggunakan sudut pandang orang ketiga
serba tahu.
JURNAL WIDYALOKA IKIP WIDYADARMA SURABAYA | Vol. 2 |No.2| Januari 2015
198
Karakteristik Tokoh Utama dalam Novel Supiyah Karya Kusaeri YS (Kajian Feminisme
Marxis)
Karakteristik feminisme marxis dalam novel Supiyah dapat dilihat melalui kedudukan,
tujuan hidup, perilaku, dan pendirian seorang wanita. Kedudukan tokoh utama dapat dilihat
dari segi sosial ekonomi dan pendidikan. Keluarga Supiyah jika dilihat dari pengelompokan
sosial dan sekaligus pembagian kerja yang didasarkan pada pemilikan atau penguasaan atas
alat-alat produksi, maka digolongkan kelas bawah atau kelas buruh. Kedudukan tokoh Supiyah
dilihat dari segi pendidikan. Supiyah berkeinginan untuk melanjutkan sekolah ke jenjang SMA
hingga perguruan tinggi, akan tetapi untuk mewujudkannya Supiyah harus menghadapi
rintangan yaitu perdebatan dengan anggota keluarganya. Pendidikan merupakan sarana untuk
meningkatkan kedudukan kaum perempuan.
Tokoh Supiyah merupakan perempuan yang lemah memiliki tujuan mulia yaitu ingin
mengubah pola pikir masyarakat yang kolot agar menyadari pentingnya pendidikan untuk
memajukan pembangunan terutama pembangunan desa yang tertinggal, seperti desa tempat
tinggal Supiyah. Dalam novel Supiyah tokoh Supiyah menunjukkan perilaku-perilaku feminis
yang memperjuangkan hak-hak perempuan. Supiyah melawan pendapat Bu Karto, Supardi, dan
Paman Abdullah yang masih mengikuti tradisi masyarakat. Sebagai perempuan yang
menginginkan persamaan kedudukan dengan laki-laki, Supiyah tidak segan-segan bersikap
keras terhadap ibunya yang masih memegang tradisi masyarakat Sumbermulyo. Tokoh
Supiyah memiliki pendirian yang kuat, Supiyah berpendirian teguh dalam menggapai citacitanya meskipun berbagai rintangan dan hambatan yang harus dihadapinya.
Beberapa saran berikut dapat menjadi masukan yang bermanfaat bagi pihak-pihak terkait
antara lain 1.) Penelitian novel dalam kajian feminisme marxis dalam penelitian ini hanya
mencakup unsur-unsur struktur novel dan karakteristik tokoh utama. Oleh karena itu,
diperlukan penelitian lanjutan yang lebih detail mengenai kajian feminisme marxis dalam
novel; 2.) Penelitian novel dalam kajian feminisme marxis belum banyak dilakukan. Oleh
karena itu, perlu dilakukan penelitian novel dalam kajian feminisme marxis dengan objek
penelitian lain; 3.) Novel Supiyah karya Kusaeri YS diharapkan menjadi objek kajian
menggunakan teori lain seperti psikologi atau sosiologi sastra, sehingga dapat diperoleh
perbandingan untuk dijadikan masukan bagi dunia kesusastraan Indonesia dan penelitian
JURNAL WIDYALOKA IKIP WIDYADARMA SURABAYA | Vol. 2 |No.2| Januari 2015
199
terhadap novel Supiyah menjadi beragam; 4.) Diharapkan setelah membaca penelitian ini,
pembaca dapat memahami makna yang disampaikan oleh Kusaeri YS dalam novel Supiyah,
sehingga hal-hal yang positif dapat dipahami dan dijadikan pelajaran serta pengalaman dalam
kehidupan sehari-hari. Perbedaan kedudukan perempuan dengan laki-laki sudah saatnya
ditiadakan dengan cara mengeluarkan peraturan dan undang-undang yang menyangkut hak
perempuan di muka bumi ini. Tidak sampai disitu saja, perbedaan kelas sosial di masyarakat
harus dihapuskan sehingga tidak lagi merugikan salah satu pihak terutama perempuan; 5.)
Penulis juga menyarankan kepada pembaca untuk membaca novel Supiyah agar dapat
dijadikan motivator serta inspirator dalam menulis karya sastra.
DAFTAR PUSTAKA
Faruk. 2013. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hasni, Khairul. 2015. Perempuan dan Belenggu Peran Kultural. Jurnal Perempuan.
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Kusaeri YS. 2007. Supiyah. Jakarta: Balai Pustaka.
Moleong, Lexy J. 2013. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Sayuti, Suminto A. 2000. Berkenalan dengan Prosa Fiksi. Yogyakarta: Gama Media.
Semi, Atar. 1985. Kritik Satra. Bandung: Angkasa Bandung.
Stanton, Robert. 2012. Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan. 2007. Gender dan Inferioritas Perempuan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Sugihastuti dan Suharto. 2013. Kritik Sastra Feminis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Syuropati, Muhammad A. dan Agustina Soebachman. 2012. 7 Teori Sastra Kontemporer & 17
Tokohnya. Yogyakarta: IN AzNa Books.
Tarigan, Henry Guntur. 2008. Menulis. Bandung: Angkasa Bandung.
JURNAL WIDYALOKA IKIP WIDYADARMA SURABAYA | Vol. 2 |No.2| Januari 2015
200
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1995. Kamus Besar
Bahasa Indonesia (Edisi Kedua). Jakarta: Balai Pustaka.
Wiyatmi. 2013. Sosiologi Sastra: Teori dan Kajian terhadap Sastra Indonesia.Yogyakarta:
Kanwa Publisher.
JURNAL WIDYALOKA IKIP WIDYADARMA SURABAYA | Vol. 2 |No.2| Januari 2015
Download