BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Wellek dan Warren (1989: 299) menyebutkan bahwa sastra merupakan
karya yang menyajikan kehidupan, dan kehidupan merupakan sebagian kenyataan
sosial. Kenyataan sosial ini berbentuk homologi, atau merupakan kesamaan
struktural antara bangunan nyata dan bangunan imajiner dalam novel. Faruk
(2010: 65) menyatakan struktur karya sastra tidak terutama homolog dengan
struktur masyarakat, melainkan homolog dengan pandangan dunia yang tumbuh
dan berkembang dalam masyarakat itu. Dengan demikian, novel merupakan karya
sastra yang secara langsung maupun tidak memuat ide, pemikiran, dan pesan
terhadap fenomena tertentu sehingga bisa dikatakan bahwa struktur yang ada di
dalam novel mendeskripsikan struktur kehidupan empirik masyarakat, baik yang
berupa pemikiran maupun konteks sosial budayanya. Salah satu fenomena yang
ada adalah fenomena perempuan dalam karya sastra.
Memahami konsep perempuan harus melalui pemahaman terhadap konsep
laki-laki. Pemahaman tersebut bisa dipelajari melalui pemahaman terhadap
anatomi jenis kelamin (seks). Dalam ranah feminis, istilah seks dekat dengan
gender. Kedua istilah ini masih dipahami secara rancu. Gender adalah sifat-sifat
yang melekat pada perempuan dan laki-laki yang dibentuk oleh faktor sosial
maupun budaya, sedangkan seks merupakan sifat-sifat yang melekat pada
perempuan dan laki laki yang terbentuk oleh faktor biologis. Gamble (2004: 308)
menyatakan bahwa feminis Anglo Amerika membedakan antara seks dan gender.
Mereka menyatakan bahwa seks adalah persoalan biologis dan gender merupakan
sosial yang dikonstruksikan. Ann Oackley (dalam Gamble, 2004: 308)
menyatakan bahwa gender tidak bergantung pada aspek biologis. Pada mulanya
seks bersifat anatomis sementara gender diperoleh melalui akulturasi.
Pemahaman yang menyamarkan kedua konsep ini merupakan prasangka
gender yang mengakibatkan ketidakadilan gender. Seks dan gender dipahami
sebagai satu kesatuan. Akibatnya perempuan dianalogikan sebagai makhluk kelas
dua yang mempunyai kemampuan lebih rendah dibandingkan laki-laki. Fakih
(2004: 16) menyatakan bahwa kebanyakan perempuan masih dipandang sebagai
makhluk Tuhan kelas dua, misalnya perempuan tidak perlu menuntut ilmu terlalu
tinggi sebab pada akhirnya pun akan ke dapur juga. Ariavia (2003: 4) menyatakan
bahwa perempuan telah dikonstruksikan oleh masyarakat sebagai liyan atau
memiliki jenis kelamin yang kedua. Jenis ini telah dilabelkan lemah, tidak bisa
dipercaya, perlu dilindungi dan tidak mandiri. Dalam kehidupan ekonomi,
masyarakat patriarki menempatkan perempuan sebagai jenis kelamin nonekonomis. Artinya, perempuan hanya berkutat di ranah domestik, seperti
pekerjaan rumah tangga dan mengurus anak, walaupun pada perkembangannya
perempuan telah menduduki posisi publik yang dapat dinilai secara materi,
konsepsi untuk mengurus pekerjaan domestik masih tetap dibebankan kepada
perempuan, sedangkan laki-laki selalu berada di ranah publik yang berarti lakilaki ditempatkan pada jenis kelamin ekonomis.
2
Fakih (2004: 21) mengatakan bahwa masyarakat menganggap bahwa
semua jenis “pekerjaan perempuan”, seperti pekerjaan domestik, dianggap dan
dinilai lebih rendah dibandingkan dengan jenis pekerjaan yang dianggap sebagai
pekerjaan laki-laki. Selain itu, pekerjaan perempuan dinilai sebagai pekerjaan
tidak produktif dan tidak diperhitungkan dalam statistik negara. Akibatnya, upah
yang diberikan kepada perempuan lebih sedikit daripada laki-laki walaupun tidak
berarti beban kerja perempuan lebih ringan daripada beban kerja laki-laki.
Perbedaan ranah inilah yang sering menstereotipekan perempuan sebagai jenis
kelamin yang dianggap kurang mampu untuk menjalankan fungsi-fungsi
ekonomi. Laki-laki dianggap lebih mampu untuk bertindak dan menjalankan
sumber daya ekonomi seperti memimpin dan memanajemen perusahaan.
Stereotipe-stereotipe
demikian
memunculkan
gerakan
feminisme.
Feminisme adalah gerakan perempuan untuk mencapai kesetaraan dengan lakilaki. Ide-ide tentang feminisme ini telah banyak diaplikasikan dalam karya sastra
di Indonesia. Hal ini terlihat sejak diterbitkannya novel Siti Nurbaya karya Marah
Rusli pada tahun1922. Sejak itulah muncul novel-novel feminisme yang lain
seperti Salah Asuhan karya Abdul Muis (1928), Layar Terkembang karya Sutan
Takdir Alisyahbana (1937), Belenggu karya Armin Pane (1940), Gadis Pantai dan
Bumi Manusia, karya Pramoedya Ananta Toer, Pada Sebuah Kapal, La Barka,
Keberangkatan N.H Dini, Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari,
Jentera Bianglala karya Ahmad Tohari, Saman karya Ayu Utami, dan Kenanga
karya Oka Rusmini. Ide-ide feminisme yang tercermin melalui karya-karya sastra
3
tersebut pada umumnya merupakan protes terhadap sistem patriarkat yang dianut
sebagian besar masyarakat Indonesia.
Salah satu novel yang berbicara feminisme adalah Gadis Kretek karya
Ratih Kumala. Ratih Kumala merupakan penulis kelahiran Jakarta, 4 Juni 1980. Ia
menyelesaikan gelar sarjananya di Fakultas Sastra Inggris, Universitas Sebelas
Maret, Surakarta. Ratih Kumala terjun di dunia kepenulisan sejak tahun 2002.
Karier menulisnya dimulai dengan menulis karya fiksi. Selain menulis fiksi, ia
juga menulis beberapa skenario. Ia pernah bergabung dalam tim penulis program
Jalan Sesama yang merupakan adaptasi dari Sesame Street untuk televisi
Indonesia, serta bekerja sebagai editor naskah drama di Trans Tv.
Beberapa naskah acara televisi yang pernah ia buat antara lain untuk FTV,
sinetron stripping, mini seri, dan cerita mini berdurasi tujuh menit. Di antaranya,
Baju Seragam Anak Pemulung (FTV) yang memenangi Forum Film Bandung
2009 kategori Sinetron Lepas Terpuji. Mini seri yang cukup sukses dan sempat
menjadi Trending Topic di Twitter, diantaranya Cinta Cenat Cenut dan Go Go
Girls.
Ia memenangi beberapa sayembara penulisan, di antaranya adalah
sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta 2003. Hingga sekarang, ia telah
menulis lima buku fiksi. Di antara novel dan cerpen yang pernah ditulis adalah
Tabula Rasa, (novel Pemenang Ketiga Lomba Menulis Novel Dewan Kesenian
Jakarta, Grasindo, 2004), dan Genesis, (novel Insist Press, 2005), Larutan Senja
(kumpulan cerpen) (Gramedia Pustaka Utama, 2006), Kronik Betawi, (novel dari
cerita bersambung harian Republika, Agustus-Desember 2008 dan Gramedia
4
Pustaka Utama, 2009) dan Gadis Kretek, novel (Short-list Khatulistiwa Literary
Award 2012, Gramedia Pustaka Utama).
Dalam novel Gadis Kretek, Ratih Kumala menggambarkan bahwa
perempuan tidak selalu menjadi makhluk inferior. Melalui penggambaran dalam
beberapa tokohnya, Ratih Kumala menyampaikan beberapa konsep yang
mengidentifikasi bahwa perempuan juga mampu untuk menjadi subjek superior.
Ratih juga merepresentasikan perempuan inovatif yang mampu berpikir logis dan
sistematis dalam mengendalikan sebuah perusahaan kretek melalui tokoh Dasiyah
yang merupakan representasi dari judul novel yaitu Gadis Kretek. Tokoh Dasiyah
ini merupakan tokoh kunci atas rangkaian peristiwa novel yang menceritakan
perkembangan industri kretek dari masa pra-kemerdekaan hingga pasca
kemerdekaan. Dengan berbagai intrik dan strategi bisnis yang ada saat itu, Ratih
Kumala menggambarkan sejarah berdirinya perusahaan Kretek Djagad Radja,
yang berkembang disebabkan kekuatan tokoh utama yang berjenis kelamin
perempuan.
Tokoh Dasiyah dihadirkan sebagai subjek yang berhubungan dengan
setiap peristiwa dalam cerita dan peristiwa-peristiwa tersebut membuat perubahan.
Oleh karena itu, kritik sastra feminis dapat diterapkan untuk menganalisisnya. Hal
itu mengacu pada Djajanegara (2000: 51) bahwa kritik sastra feminis dapat
dilakukan dengan menganalisis tokoh perempuan dan laki-laki, kemudian mencari
kedudukannya dalam masyarakat. Analisis terhadap tokoh akan mengungkapkan
ketertindasan tokoh perempuan dan laki-laki.
5
Setidaknya ada tiga alasan novel Gadis Kretek ini dikaji menggunakan
kritik sastra feminis. Pertama, ada dugaan bahwa novel Gadis Kretek memuat ideide feminis sehingga perlu pendekatan feminisme untuk mengkritisinya. Kedua,
tokoh-tokoh dalam novel Gadis Kretek ini secara implisit merepresentasikan
perempuan dalam kaitannya dengan ruang publik yang menandakan adanya
perjuangan perempuan dalam upaya untuk mewujudkan kesetaraan gender.
Ketiga, novel Gadis Kretek ini ditulis oleh perempuan sehingga isu-isu yang ada
di dalamnya memang diangkat dari sudut pandang perempuan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah mengungkapkan ideologi feminis dalam
novel. Terutama ide-ide dalam bentuk kesetaraan di bidang publik (ekonomi). Hal
ini dapat diketahui melalui analisis terhadap tokoh profeminis dan kontrafeminis,
serta analisis citra publik yang diwakili oleh tokoh Dasiyah sebagai tokoh dengan
citra publik dominan.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini mempunyai dua tujuan pokok, tujuan teoretis dan tujuan
praktis. Tujuan teoretis penelitian ini adalah menerapkan kritik sastra feminis pada
objek kajian untuk mengungkap ideologi yang ada di dalamnya dalam bentuk
penjabaran posisi feminisme yang dioposisikan sebagai tokoh profeminis dengan
kontrafeminis dan penjabaran citra perempuan yang tercermin dalam tokoh utama
6
novel sehingga diharapkan dapat memberi interpretasi dan pertimbangan pembaca
dalam memaknai persolan gender dan perempuan.
Tujuan praktis penelitian ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan
pembaca novel Gadis Kretek dari sudut pandang kritik sastra feminis sekaligus
membuka wacana pembaca mengenai citra perempuan sebagai objek yang dapat
berkutat di ranah publik, serta memberikan pemikiran mengenai studi perempuan
dan gender dalam ilmu sastra.
1.4 Tinjauan Pustaka
Penelitian yang menggunakan kritik sastra feminis pada novel Gadis
Kretek sejauh pengamatan penulis belum ditemukan. Namun, sesuai rumusan
masalah, ada beberapa penelitian dalam bentuk skripsi yang menggunakan pokok
rumusan masalah penelitian ini dalam pendekatan penelitiannya. Salah satunya
adalah skripsi karya Itsna Hadi Saptiawan (2007) yang mengangkat citra
perempuan sebagai tema skripsinya. Skripsi yang berjudul “Citra Inferioritas
Perempuan dalam Novel Nyai Dasima ini mengungkap inferioritas perempuan
yang merupakan manifestasi gender yang salah satunya terbentuk akibat perilaku
dominasi, subordinasi, dan marginalisasi terhadap kaum perempuan. Inferioritas
perempuan disebabkan oleh kuatnya prasangka gender yang dilembagakan dan
dihegemoni oleh budaya patriarki yang memunculkan pihak laki-laki sebagai
pihak subordinat dalam hubungannya dengan perempuan. Skala hubungan yang
lebih menguntungkan pihak laki-laki membuat posisi perempuan berada dalam
strata yang lebih rendah. Hal tersebut kemudian memunculkan perlakuan yang
7
tidak adil terhadap perempuan, misalnya kekerasan terhadap perempuan, dan
bentuk peremehan terhadap eksistensi perempuan dalam pergaulan sosial. Skripsi
ini mengungkap prasangka gender yang menimbulkan tindakan dominasi,
subordinasi, dan marginalisasi terhadap tokoh perempuan. Penelitian bersandar
pada pemikiran feminisme sosial mengemukakan bahwa ketidakadilan terhadap
perempuan tidak semata-mata disebabkan oleh perbedaan biologis, tetapi
cenderung bersumber pada penilaian dan anggapan masyarakat akibat konstruksi
sosial terhadap perbedaan gender.
Skripsi yang mengangkat citra perempuan juga terdapat pada skripsi karya
Dewi Nopianingsih yang berjudul “Citra Perempuan dan Bias Gender dalam
Novel Larasati: Analisis Kritik Sastra Feminis”. Dalam skripsi ini, Dewi
Nopianingsih menganalisis novel dengan menggunakan aliran feminis liberal
yang menekankan kesetaraan berintikan kesejahteraan. Konsep Reading As a
Woman menjadi pijakan dalam analisis kritik sastra feminis. Penelitiannya
menggunakan tahap-tahap identifikasi tokoh dan aspek kebahasaan pengarang,
citra perempuan, dan yang terakhir identifikasi bias gender dan ide ide feminis.
Dalam ranah ekonomi, skripsi karya Giri Wijayanto (2008) yang berjudul
“Novelet Dorodasih Karya Iman Budhi Santosa: Analisis Kritik Sastra Feminis”
berkosentrasi pada prasangka gender sistem pembagian kerja melalui perjuangan
tokoh seorang perempuan buruh petik teh di perkebunan teh Kembangsari.
Analisis ini dilakukan melalui aspek kebahasaan, dengan menggunakan landasan
teori feminisme sosialis dan metode Reading As a Woman. Keseluruhan analisis
menunjukkan Dorodasih menjadi salah satu karya sastra yang mengandung
8
perspektif. Perspektif tersebut di dalam cerita tidak hanya sebatas wacana tetapi
sudah menunjukkan adanya gerakan feminisme.
1.5 Landasan Teori
Aliran feminisme dapat dibagi menjadi dua aliran besar. Yakni aliran Quo
atau Fungsionalisme dan aliran Konflik (Fakih, 2006: 80-90). Aliran Quo dapat
ditemukan di feminisme liberal, sedangkan aliran Konflik merupakan pemikiran
Feminisme Radikal, feminisme Marxis, dan Feminisme Sosialis.
Menurut Sadar dan Loong (dalam Ratna, 2010: 222) dari perspektif studi
kultural ada lima politik budaya feminis, yaitu: a) Feminis Liberal, memberikan
intensitas pada persamaan hak, baik dalam pekerjaan maupun pendidikan; b)
Feminis Radikal, berpusat pada akar permasalahan yang menyebabkan kaum
perempuan tertindas, yaitu seks dan gender; c) Feminis Sosialis dan Marxis; yang
pertama memberikan intensitas pada gender, sedangkan yang kedua pada kelas; d)
Feminis Postmodern, gender dan ras tidak memiliki makna tetap sehingga seolaholah secara alamiah tidak ada laki-laki dan perempuan; e) Feminis Kulit Hitam
dan Non-Barat dengan intensitas pada ras dan kolonialisme.
Dikaitkan dengan subjek “perempuan”, embrio teori feminis telah ada
sejak adanya pembagian kerja dalam keluarga (inti). Perempuan berfungsi sebagai
ibu rumah tangga, melahirkan dan memelihara anak. Fungsi-fungsi ini
mengkondisikan perempuan harus tinggal di rumah, sebaliknya laki-laki bekerja
di luar rumah. Hubungan ini mengindikasikan perbedaan derajat manusia. Lakilaki memiliki nilai yang lebih tinggi sebab berhasil untuk mencari identitas di luar
9
rumah. (Ratna, 2010:224). Hal ini merupakan konsep ketertindasan perempuan
dikarenakan adanya pembagian ranah yang bersifat gender. Laki-laki sebagai
pihak yang bekerja di luar rumah sedangkan perempuan menempati posisi-posisi
yang berhubungan dengan reproduksi merupakan konsep yang menjadi dasar
feminisme sosialis. Yaitu perempuan teralienasi dikarenakan adanya kepemilikan
pribadi (Private Property) dan sistem patriarki yang telah berkembang.
Feminisme Sosialis merupakan sebuah kritik dari feminisme Marxis dan
Psikoanalitik yang cenderung mengabaikan gender sebagai pusat penindasan.
Seperti halnya yang dikemukakan oleh Gamble (2010: 413), Feminis Sosialis
(Sosialist Feminism) tumbuh dari bentuk-bentuk Marxis, Radikal, dan
Psikoanalitik.
Pemikiran
Marxis dan Psikoanalitik
keduanya
cenderung
mengabaikan isu tentang gender. Feminisme Marxis menekankan pada analisis
kelas untuk memahami ketertindasan perempuan, sedangkan Feminisme Radikal
merupakan kebalikan dari Feminisme Marxis, yaitu lebih menonjolkan gender
tanpa melihat kelas. Ratna dan Holzner (1997:52) menyatakan bahwa Feminis
Sosialis mengaitkan dominasi laki-laki dengan proses kapitalisme. Pengertian
yang baik tentang sistem kapitalisme membutuhkan pemahaman tentang
bagaimana sistem tersebut membentuk dominasi laki laki. Suatu pengertian yang
baik tentang dominasi laki-Laki masa kini membutuhkan pemahaman bagaimana
dominasi tersebut dibentuk oleh proses kapitalisme. Aliran ini mengkritik kaum
Feminis Radikal karena tidak dapat mengaitkan patriarki dengan proses
kapitalisme dan dengan sistem produksi masyarakat yang sedang diteliti. Dengan
demikian aliran ini lebih memperhatikan keanekaragaman bentuk patriarki dan
10
pembagian kerja seksual karena menurut mereka kedua hal ini tak bisa dilepaskan
dari modus produksi masyarakat tersebut.
Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa Feminisme Sosialis memandang
bahwa penindasan perempuan disebabkan oleh konstruksi sosial yang di dalamnya
berupa stereotipe-stereotipe yang dilekatkan pada perempuan. Feminis Sosialis
bergerak melalui pengawinan analisis patriarki dan kelas guna melawan
penindasan perempuan melalui konstruksi sosial. Dengan demikian kehancuran
kapitalisme harus diiringi dengan kehancuran patriarki untuk menghilangkan bias
gender yang terjadi dalam masyarakat.
Dengan konsep-konsep tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan
feminis sosialis untuk menganalisis data-data yang ada. perempuan dalam ruang
publik (dalam hal ini menguasai pabrik kretek) merupakan bentuk dari perjuangan
perempuan untuk dapat menguasai alat-alat produksi. Penguasaan alat produksi
tersebut merupakan bentuk dari sistem kapitalisme yang akhirnya menciptakan
kelas-kelas dalam masyarakat. Penguasaan terhadap alat-alat produksi yang lebih
dominan kepada pihak laki-laki membuat perempuan teraliniasi ke ranah
domestik. Hal ini merupakan konsep dasar dari Feminisme Marxis.
Karena objek material penelitian ini mengusung kebudayaan Jawa yang
menjunjung tinggi patriarki, maka penguasaan alat-alat produksi oleh tokoh
perempuan tidak secara langsung mengubah stereotipe-stereotipe yang dilekatkan
masyarakat kepadanya. Maka dari itu konsep-konsep yang ada dalam Feminisme
Sosialis merupakan pendekatan yang cukup relevan untuk menganalisis data-data
yang ada.
11
Pada dasarnya, feminisme apapun alirannya dan di mana pun tempatnya,
muncul sebagai akibat dari adanya (prasangka gender yang cenderung
menomorduakan kaum perempuan. Perempuan dinomorduakan karena adanya
anggapan bahwa secara universal laki-laki berbeda dengan perempuan. Perbedaan
itu tidak hanya sebatas pada kriteria biologis, melainkan juga sampai pada kriteria
sosial budaya (Susilastuti dalam Sugihastuti dan Suharto, 2002: 63). Bentuk
konstruksi gender yang dilembagakan dalam berbagai pranata sosial dapat dilihat
dari pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan. Dalam rumah tangga
perempuan biasanya mengerjakan tugas yang berhubungan dengan ketelitian dan
kesabaran, misalnya memasak, mencuci, mengasuh anak, dan membersihkan
rumah. Laki-laki cenderung pada jenis pekerjaan yang mengutamakan fisik,
seperti memperbaiki rumah, mencari kayu bakar, memelihara ternak, mengerjakan
sawah (Yuarsi dalam Abdullah, ed., 1997: 245)
Djajanegara (2003: 51-54) mengemukakan hal-hal penting yang layak
diteliti dengan pendekatan feminis. Pertama, mengidentifikasi tokoh-tokoh
perempuan kemudian mencari kedudukannya dalam masyarakat objek penelitian,
yaitu karya sastra. Bagian ini berusaha mengungkap tujuan hidup tokoh
perempuan serta mencari tahu perilaku serta watak tokoh perempuan dari
gambaran yang langsung diberikan penulis. Kedua, meneliti tokoh lain terutama
tokoh laki-laki yang memiliki keterkaitan dengan tokoh perempuan yang diamati.
Terakhir, mengamati sikap pengarang, terutama nada atau suasana cerita yang
dihadirkan dalam novel. Hal ini terkait erat dengan penggunaan bahasa oleh
pengarang.
12
1.6 Metode Penelitian
Sugihastuti dan Suharto (2002: 10) menyatakan bahwa kritik sastra
feminis tidak mencari metodologi atau konsepsi tunggal, tetapi sebaliknya
menjadi pluralis dalam teori dan prakteknya dengan kebebasan, dan pendekatan
yang digunakan dalam pelaksanaan kritiknya. Dengan demikian, kritik sastra
feminis selalu membutuhkan disiplin ilmu lain sebagai alat bantu, seperti
antropologi, sosiologi, sejarah, etnologi, dan sebagainya.
Untuk memperkuat metode, digunakan metode kualitatif sebagai metode
dasar. Moleong (2006: 6) mengatakan bahwa metode kualitatif adalah penelitian
yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami subjek
penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara
holistik dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu
konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode
alamiah.
Selain itu, penelitian ini menggunakan metode Reading as a Woman yang
dikenalkan oleh Jonathan Culler (1983: 44-51). Metode ini menempatkan
pembaca sebagai perempuan sehingga memperlihatkan dirinya dari sudut pandang
perempuan. metode ini memiliki konsep sebagai berikut.
1.
Ketika memosisikan sebagai pembaca perempuan, yang perlu diperhatikan
secara substansial adalah dengan melihat pengalaman yang sedang
dilihatnya sebagai “seorang perempuan” yang dibatasi dan dimarginalkan.
13
2.
Konsep pembaca perempuan adalah kontinuitas pengalaman perempuan
pada sosial dan struktur familiar serta pengalaman sebagai pembaca. Dalil
kontinuitas diperlukan dengan memperhatikan keadaan dan situasi
psikologi pada karakter perempuan untuk mengungkap sikap dan imaji
tentang perempuan dalam kerangka seorang pengarang.
3.
Mengidentifikasikan karakter perempuan, kemudian laki-laki yang telah
melawan kepentingan mereka sebagai perempuan.
4.
Melakukan proses pembacaan untuk mengungkap ideologi dan asumsi
politis yang berkamuflase dalam karya sastra.
Berdasarkan dari pemahaman di atas, penelitian ini menggunakan langkahlangkah sebagai berikut.
1.
Mengidentifikasi tokoh-tokoh perempuan dalam novel, kemudian mencari
kedudukannya
dalam
keluarga
dan
masyarakat
dengan
cara
mengidentifikasi tujuan hidup tokoh perempuan tersebut. Hal ini dapat
diketahui dari perilaku dan watak tokoh perempuan yang tercermin dari
gaya penceritaan pengarang. Peneliti juga harus memperhatikan konsistensi
ucapan, pikiran, dan apa yang dilakukan tokoh.
2.
Mengidentifikasi tokoh lain, terutama tokoh laki-laki yang mempunyai
keterikatan terhadap tokoh perempuan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui
pandangan tokoh laki-laki terhadap tokoh perempuan.
14
3.
Mengkritisi gaya bahasa pengarang yang tercermin dari kata maupun frasa
yang mencerminkan ide-ide feminisme, baik kontrafeminis maupun
profeminis.
4.
Mengindentifikasi data-data di luar karya sastra yang sesuai dengan objek
kajian, sehingga akan diketahui korelasi ideologi perempuan dalam karya
yang telah diidentifikasi dibandingkan dengan data-data penunjang di luar
karya sastra.
1.7 Sistematika Laporan Penelitian
Penelitian ini dibagi menjadi empat Bab.
Bab I berisi Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian,
Tinjauan Pustaka, Landasan Teori, Metode Penelitian, dan Sistematika Laporan
Penelitian.
Bab II berisi Analisis Tokoh Profeminis dan Kontrafeminis.
Bab III Identifikasi Citra Perempuan Publik yang terdiri dari, Pengertian
Perempuan Publik, Pengertian Citra Publik, Peran Publik Perempuan Indonesia,
dan Citra Tokoh Dasiyah sebagai Perempuan Publik yang terdiri dari (1) Citra
dalam Lingkup Pemikiran, (2) Citra dalam Lingkup Prilaku, dan (3) Hubungan
Kausal
Bab IV kesimpulan
15
Download