1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

advertisement
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Mekanisme transmisi kebijakan moneter merupakan suatu proses yang
menjelaskan bagaimana kebijakan moneter yang ditetapkan oleh bank sentral
mempengaruhi aktivitas perekonomian, baik di sektor riil maupun di sektor
keuangan, sehingga pada akhirnya dapat mencapai tujuan utama (ultimate goal)
bank sentral (Warjiyo 2004, 3). Mempelajari mekanisme transmisi kebijakan
moneter sangat penting agar dapat mengevaluasi stance kebijakan moneter pada
suatu periode tertentu. Selain itu, agar dapat memutuskan instrumen kebijakan apa
yang digunakan, bank sentral harus memiliki penilaian akurat akan timing dan
efek dari kebijakan tersebut pada perekonomian (Boivin et al. 2011, 370).
Sejak bulan Juli 2005, Bank Indonesia (BI) selaku otoritas moneter di
Indonesia menggunakan tingkat suku bunga BI (BI rate)1 sebagai instrumen
kebijakan moneter utama untuk mencapai dan menjaga kestabilan nilai rupiah—
yang merupakan tujuan BI menurut Undang-undang No. 3 Tahun 20042.
Kestabilan nilai rupiah tercermin pada kestabilan inflasi dan nilai tukar, namun BI
berfokus pada tujuan tunggal (single objective) untuk menjaga kestabilan inflasi,
karena berlakunya sistem tukar mengambang (floating/flexible exchange rate) di
1
2
BI rate didefinisikan sebagai suku bunga kebijakan yang mencerminkan sikap atau
stance kebijakan moneter yang ditetapkan oleh BI dan diumumkan kepada publik (BI
2015).
Undang-undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia adalah revisi dari Undangundang No. 23 Tahun 1999.
1
Indonesia yang berarti nilai tukar ditentukan oleh mekanisme pasar (Goeltom
2007, 256).
Kebijakan moneter berupa penetapan BI rate ditransmisikan ke dalam
perekonomian Indonesia melalui 5 (lima) jalur, yaitu jalur suku bunga, jalur
kredit, jalur harga aset, jalur nilai tukar, dan jalur ekspektasi. Gambar 1.1
menunjukkan
ilustrasi
proses
BI
rate
dalam
mempengaruhi
aktivitas
perekonomian dan pada akhirnya mempengaruhi inflasi.
Suku Bunga
Deposito &
Kredit
BI Rate
Kredit yang
Disalurkan
Konsumsi &
Investasi
Harga Aset
Nilai Tukar
Produk
Domestik
Bruto
Ekspor
Inflasi
Ekspektasi
Feedback
Sumber: Bank Indonesia (2015a)
Gambar 1.1. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Indonesia
Mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur tingkat suku bunga
berawal dari penetapan BI rate yang mengakibatkan perubahan tingkat suku
bunga jangka pendek (indikator umumnya adalah tingkat suku bunga Pasar Uang
Antar Bank—PUAB overnight). Kemudian, perubahan tingkat suku bunga jangka
pendek tersebut juga akan mendorong perubahan tingkat suku bunga jangka
2
panjang (misalnya tingkat suku bunga deposito berjangka dan tingkat suku bunga
kredit). Perubahan tingkat suku bunga jangka pendek maupun jangka panjang
diharapkan dapat menggerakkan variabel-variabel harga baik di sektor finansial
maupun di sektor riil, dan pada akhirnya inflasi (Goeltom 2007, 279).
Lewat jalur kredit, bank memegang peranan penting dalam proses
mekanisme transmisi kebijakan moneter. Perubahan BI rate—misalnya kenaikan
BI rate—akan mengurangi cadangan bank. Karena adanya ketentuan cadangan
minimum, maka bank kemampuan bank untuk menyalurkan kredit akan lebih
terbatas. Goeltom (2007, 283) menyatakan bahwa hal tersebut akan membawa
beberapa dampak (apabila price stickiness berlaku) yaitu jumlah uang beredar
akan turun dan tingkat suku bunga jangka pendek maupun panjang akan naik,
sehingga permintaan kredit, investasi, dan pengeluaran lain yang sensitif terhadap
tingkat suku bunga akan turun.
Harga aset yang mampu mentransmisikan kebijakan moneter dapat berupa
aset yang diperjual belikan di sektor finansial (contohnya saham, obligasi)
maupun berupa aset riil (contohnya rumah, emas). Peran harga aset dalam
mentransmisikan kebijakan moneter seperti yang dikemukakan oleh Goeltom
(2007, 273) adalah lewat kemampuannya menggerakkan konsumsi dan investasi.
Konsumsi dan investasi secara bersamaan membentuk permintaan agregat yang
dapat mempengaruhi output gap dan inflasi.
Permintaan agregat (dan penawaran agregat) juga ditentukan oleh nilai
tukar. Pada sistem nilai tukar mengambang seperti yang berlaku di Indonesia,
kebijakan moneter ekspansif akan menyebabkan depresiasi nilai tukar domestik
3
terhadap mata uang asing. Akibatnya, terjadi kenaikan harga komoditas impor
yang diikuti tingkat harga domestik. Menurut Goeltom (2007, 292), jalur nilai
tukar merupakan salah satu jalur terkuat dalam mekanisme transmisi kebijakan
moneter di Indonesia setelah terjadinya krisis tahun 1997/1998, terutama lewat
pengaruhnya terhadap inflasi inti (core inflation).
Selain dapat ditransmisikan melalui jalur-jalur yang memiliki indikator
nominal maupun riil, kebijakan moneter juga dapat ditransmisikan melalui
ekspektasi, khususnya ekspektasi inflasi. Ekspektasi inflasi terutama ditentukan
oleh ketersediaan informasi mengenai dinamika perekonomian yang akan
mempengaruhi perilaku dari agen-agen di dalam perekonomian itu. Perilaku agen
perekonomian secara teori tercermin dalam keputusan investasi dan konsumsi
yang akan berdampak pada permintaan agregat dan inflasi (Goeltom 2007, 287).
Dari kelima jalur transmisi kebijakan moneter yang telah diuraikan di atas,
jalur harga aset merupakan salah satu jalur terkuat dalam proses tersebut lewat
pengaruhnya terhadap inflasi umum (headline CPI) melalui investasi (Goeltom
2007, 292). Salah satu jenis investasi yang cukup berkembang namun masih
memiliki potensi untuk berkembang lebih jauh lagi di Indonesia adalah investasi
di pasar finansial. Investasi di pasar finansial antara lain meliputi investasi di
pasar uang, pasar saham, pasar obligasi, dan pasar valuta asing.
Penelitian ini bertujuan menganalisis peran harga aset finansial dalam
mentransmisikan kebijakan moneter di Indonesia periode 2005:07–2014:12.
Harga aset finansial yang akan dianalisis dalam penelitian ini meliputi tingkat
suku bunga deposito berjangka (time deposit), harga saham, tingkat imbal hasil
4
(yield) obligasi pemerintah, dan harga valuta asing baik di pasar spot maupun
pada kontrak forward.
Penelitian sebelumnya yang membahas pengaruh BI rate terhadap pasar
uang yang diwakili oleh tingkat suku bunga deposito dan tingkat suku bunga
Pasar Uang Antar Bank (PUAB) oleh Prastowo (2007, 30) menunjukkan bahwa
tingkat suku bunga deposito secara signifikan merespon positif kenaikan BI rate,
yang berarti kenaikan BI rate mendorong kenaikan tingkat suku bunga deposito.
Hasil yang sama tidak berlaku untuk tingkat suku bunga PUAB yang tidak
menunjukkan respon signifikan terhadap kenaikan BI rate.
Sumber: diolah dari Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Bank Indonesia (2015d)
Gambar 1.2. Pergerakan BI Rate dan Tingkat Suku Bunga Deposito yang
diberikan oleh Bank Umum, 2005:07–2014:12
5
Apabila kita amati pergerakan BI rate dan tingkat suku bunga deposito
periode 2005:07–2014:12 yang ditunjukkan oleh gambar 1.2, terlihat bahwa BI
rate dan tingkat suku bunga deposito cenderung bergerak ke arah yang sama.
Dengan kata lain, kenaikan BI rate cenderung diikuti oleh kenaikan tingkat suku
bunga deposito.
Penelitian empiris mengenai hubungan kebijakan moneter dengan harga
saham pernah dilakukan oleh Bernanke dan Kuttner (2005) di Amerika Serikat.
Mereka menggunakan Federal Funds Rate (FFR) sebagai variabel kebijakan
moneter dan indeks Center for Research in Security Prices (CRSP) sebagai
variabel harga saham. Dari hasil penelitiannya, Bernanke dan Kuttner (2005, 13)
menemukan bahwa penurunan FFR akan menaikkan indeks CRSP. Penelitian lain
yang mendukung pernyataan bahwa penurunan tingkat suku bunga acuan akan
menaikkan indeks harga saham adalah penelitian yang dilakukan Singh dan
Pattanaik (2012) di India; Belke dan Beckmann (2015) di Korea Selatan,
Thailand, dan Brazil; Rogers et al (2014) di Amerika Serikat, Inggris, Uni Eropa,
dan Jepang; Abouwafia dan Chambers (2015) di Kuwait dan Mesir. Namun,
beberapa peneliti juga menemukan bahwa dampak penetapan suku bunga acuan
terhadap indeks harga saham tidak signifikan di beberapa negara, misalnya di
Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang, Inggris, Australia (Belke dan Beckmann,
2014); Oman, Arab Saudi, Yordania (Abouwafia dan Chambers, 2015).
6
Sumber: diolah dari Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Bank Indonesia (2015d) dan
Bloomberg Database (2015)
Gambar 1.3. Pergerakan BI Rate dan IHSG, 2005:07–2014:12
Di Indonesia, Prastowo (2007, 32) menemukan bahwa Indeks Harga Saham
Gabungan (IHSG) tidak merespon secara signifikan perubahan BI rate. Namun,
Surasmono (2009) menyatakan sebaliknya, yaitu perubahan BI rate akan direspon
secara signifikan oleh IHSG. Menurutnya, kenaikan BI rate akan menyebabkan
penurunan IHSG. Gambar 1.3 di atas menunjukkan grafik pergerakan BI rate dan
harga saham yang diwakili oleh IHSG. Dari grafik tersebut, dapat dilihat bahwa
BI rate dan IHSG cenderung bergerak dengan arah yang berlawanan dan terlihat
jelas sampai menjelang tahun 2010.
Dari sisi nilai kapitalisasi pasar dan nilai perdagangan saham terhadap PDB
(%), terlihat bahwa nilai kapitalisasi pasar dan nilai perdagangan saham di
Indonesia juga bergerak ke arah yang sama. Hal tersebut dapat diartikan bahwa
kapitalisasi pasar match dengan nilai perdagangannya, kenaikan kapitalisasi pasar
7
juga diiringi dengan kenaikan nilai perdagangan. Sementara itu, fluktuasi pada
kedua indikator ini disebabkan oleh fluktuasi harga saham. Gambar 1.4 di bawah
ini menunjukkan perbandingan rasio nilai kapitalisasi pasar terhadap PDB dan
rasio nilai perdagangan saham terhadap PDB periode 1993–2012. Terdapat
anomali hubungan antara kedua rasio pada tahun 1997–1998 dan 2008–2009,
yaitu pada saat terjadi krisis. Pada kondisi tersebut, rasio nilai perdagangan
terhadap PDB naik karena investor besar akan menerapkan strategi membeli saat
harga saham rendah sehingga nilai perdagangan naik karena volume perdagangan
naik meskipun harga saham turun, sedangkan rasio nilai kapitalisasi pasar
terhadap PDB turun karena harga saham turun.
Sumber: diolah dari World Development Indicators, The World Bank (2015a,b)
Gambar 1.4. Perbandingan Nilai Kapitalisasi Pasar dan Perdagangan Saham
terhadap PDB, 1993–2012
8
Duran et al (2012, 30) melalui penelitian empiris yang dilakukan di Turki
menemukan bahwa yield obligasi pemerintah dengan masa jatuh tempo (maturity)
6-36 bulan merespon perubahan suku bunga jangka pendek secara signifikan.
Ketika suku bunga jangka pendek naik, yield obligasi pemerintah naik.
Sebaliknya, jika suku bunga jangka pendek turun, yield obligasi pemerintah juga
turun.
Sumber: diolah dari Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Bank Indonesia (2015d) dan
Bloomberg Database (2015)
Gambar 1.5. Pergerakan BI Rate dan Yield SUN, 2005:07–2014:12
Di Indonesia, studi terpisah yang dilakukan oleh Prastowo (2007, 33) dan
Surasmono (2009) menemukan bahwa kenaikan BI rate diikuti dengan kenaikan
yield obligasi pemerintah (SUN). Sedangkan apabila BI rate turun, yield SUN
juga mengalami penurunan. Gambar 1.5 menunjukkan perbandingan pergerakan
9
BI Rate dan yield obligasi pemerintah, yaitu Surat Utang Negara (SUN) dengan
masa jatuh tempo 1, 5, 10, dan 15 tahun. Dari grafik tersebut, dapat disimpulkan
bahwa BI rate dan yield SUN cenderung bergerak dengan arah yang sama.
Penelitian mengenai dampak perubahan suku bunga acuan terhadap harga
valuta asing yang dapat dilihat dari nilai tukar mata uang domestik terhadap mata
uang asing telah dilakukan oleh Zettelmeyer (2004) di Selandia Baru, Australia
dan Kanada pada tahun 1990-1999. Zettelmeyer (2004, 648) menemukan bahwa
kebijakan moneter kontraktif di ketiga negara tersebut membuat nilai tukar
terapresiasi terhadap USD.
Sumber: diolah dari Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Bank Indonesia (2015d) dan
Special Data Dissemination Standard, Bank Indonesia (2015c)
Gambar 1.6. Pergerakan BI Rate dan Nilai Tukar Rupiah terhadap USD,
2005:07–2014:12
10
Surasmono (2009) menemukan hal yang sama di Indonesia, yaitu apabila BI
rate dinaikkan, nilai tukar rupiah terhadap USD akan terapresiasi. Pergerakan BI
rate dan nilai tukar rupiah terhadap USD ditunjukkan oleh gambar 1.6. Dari
gambar tersebut terlihat bahwa BI rate dan nilai tukar rupiah terhadap USD
bergerak ke arah yang berlawanan, yang berarti nilai tukar rupiah terhadap USD
terapresiasi ketika BI rate dinaikkan dan terdepresiasi ketika BI rate diturunkan.
Namun, terdapat fenomena exchange rate puzzle pada tahun 2008-2014, yaitu
nilai tukar Rupiah terhadap USD terdepresiasi ketika tingkat suku bunga acuan
naik.
Perubahan suku bunga kebijakan dapat mempengaruhi harga aset finansial
karena perubahan suku bunga kebijakan merupakan sinyal akan adanya ekspektasi
perubahan perekonomian di masa mendatang. Adanya ekspektasi perubahan
perekonomian di masa mendatang tersebut akan mendorong pelaku pasar untuk
bereaksi dengan menjual atau membeli aset finansial. Aksi pelaku pasar dengan
menjual atau membeli aset finansial akan berdampak pada naik atau turunnya
harga aset finansial.
Sebaliknya, perubahan harga aset finansial juga menjadi pertimbangan
pembuat kebijakan untuk menaikkan atau menurunkan suku bunga kebijakan.
Misalnya, ketika harga aset finansial sudah terlampau tinggi karena adanya
herding behavior atau pelaku pasar terlalu berani untuk mengambil risiko,
probabilitas terjadinya asset price bubble sangat tinggi. Asset price bubble sangat
berisiko bagi perekonomian dan telah terbukti dapat menyebabkan terjadinya
krisis perekonomian di Amerika Serikat pada tahun 2008. Oleh karena itu,
11
pembuat kebijakan harus mencegah terjadinya asset price bubble dengan
menaikkan suku bunga kebijakan. Namun, ketika pasar keuangan sedang tidak
bergerak aktif, pembuat kebijakan dapat menstimulasi pelaku pasar agar transaksi
di pasar keuangan kembali berjalan aktif dengan menurunkan suku bunga acuan.
Turunnya tingkat suku bunga acuan akan mendorong investasi di pasar keuangan,
sehingga harga aset finansial akan naik karena permintaan yang bertambah.
Hal yang juga menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah peran
pergerakan harga berbagai jenis aset finansial dalam upaya pengendalian inflasi.
Beberapa penelitian sebelumnya telah berusaha membuktikan hal tersebut, salah
satunya, penelitian yang dilakukan Hui (2013) di Tiongkok. Dari hasil
penelitiaannya, Hui membuktikan bahwa tidak semua jenis obligasi mampu
menggerakkan output dan inflasi. Hanya obligasi dengan masa jatuh tempo
panjang (long-term maturity) saja yang dapat mempengaruhi pergerakan output
dan inflasi di Tiongkok, sedangkan obligasi dengan masa jatuh tempo pendek
(short-term maturity) tidak dapat.
Penelitian lain di Indonesia oleh Afandi (2005, 223) dengan membuktikan
bahwa harga aset, meskipun bukan yang paling dominan, juga memegang peran
penting dalam proses mekanisme transmisi kebijakan moneter, terutama lewat
investasi untuk periode 1984–2003. Penelitian berikutnya dilakukan oleh
Surasmono (2009) dengan menganalisis peran aset finansial yang diwakili oleh
IHSG, yield SUN, dan nilai tukar rupiah terhadap USD dalam mentransmisikan
kebijakan moneter di Indonesia periode 2000–2008. Menurut hasil penelitian
tersebut, kebijakan moneter melalui penetapan suku bunga SBI (kemudian BI
12
rate) dapat ditransmisikan melalui jalur harga aset finansial yang berbentuk
saham, obligasi dan valuta asing. Dari ketiga jenis aset finansial tersebut, obligasi
adalah yang terkuat dalam mentransmisikan kebijakan moneter di Indonesia.
1.2. Rumusan Masalah
Kebijakan moneter dengan penetapan suku bunga acuan, khususnya
penetapan BI rate di Indonesia, secara empiris terbukti dapat menggerakkan harga
aset finansial (telah dibuktikan oleh Prastowo, 2007; dan Surasmono, 2009).
Namun, masih belum banyak penelitian yang membuktikan bahwa harga aset
finansial dapat menggerakkan inflasi. Selain itu, penelitian yang mengkaji secara
khusus peran harga aset finansial dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter
Indonesia masih terbatas pada penggunaan variabel IHSG untuk harga saham,
yield obligasi 5 tahun untuk harga obligasi, dan nilai tukar rupiah terhadap USD di
pasar spot untuk harga valuta asing. Sedangkan, aset finansial sangat banyak
jenisnya dan masih banyak variabel lain yang dapat digunakan sebagai proksi
harga aset finansial, misalnya saja tingkat suku bunga deposito dengan berbagai
waktu jatuh tempo, indeks harga saham sektoral, yield obligasi dengan berbagai
waktu jatuh tempo, serta harga kontrak forward mata uang asing.
1.3. Pertanyaan Penelitian
Penelitian ini akan menganalisis peran jalur harga aset finansial dalam
mekanisme transmisi kebijakan moneter di Indonesia. Terdapat paling tidak empat
jenis investasi di pasar finansial yang dapat dipilih oleh masyarakat (investor)
13
untuk menempatkan dana yang dimilikinya—yaitu pasar uang, pasar saham, pasar
obligasi, dan pasar valuta asing. Oleh karena itu, pertanyaan yang ingin dijawab
melalui penelitian ini adalah:
1.
Bagaimana pengaruh shock BI rate dan aset-aset finansial di pasar uang,
pasar saham, pasar obligasi, dan pasar valuta asing terhadap inflasi di
Indonesia selama periode 2005:07–2014:12?
2.
Aset finansial mana pada masing-masing jenis pasar finansial yang memiliki
peran terbesar dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter Indonesia
selama periode 2005:07–2014:12?
1.4. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menganalisis peran jalur harga aset finansial dalam
mekanisme transmisi kebijakan moneter di Indonesia. Berdasarkan kedua
pertanyaan penelitian yang telah dikemukakan, tujuan penelitian ini adalah:
1.
Menganalisis pengaruh shock BI rate dan aset-aset finansial di pasar uang,
pasar saham, pasar obligasi, dan pasar valuta asing terhadap inflasi di
Indonesia selama periode 2005:07–2014:12.
2.
Mengidentifikasi aset finansial mana pada masing-masing jenis pasar
finansial yang memiliki peran terbesar dalam mekanisme transmisi
kebijakan moneter Indonesia selama periode 2005:07–2014:12.
14
1.5. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang
terkait, yaitu:
1.
Bagi otoritas kebijakan moneter, sebagai bahan pertimbangan terkait
penetapan suku bunga kebijakan (BI rate). Dengan tersedianya informasi
yang diperoleh dari penelitian ini, diharapkan otoritas kebijakan moneter
dapat lebih menaruh perhatian pada pasar finansial serta aset finansial yang
memiliki peran terbesar dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter
sehingga upaya menjaga target tingkat inflasi menjadi lebih efisien dan tepat
sasaran.
2.
Bagi peneliti, sebagai referensi dalam penulisan karya ilmiah. Selain itu,
peneliti yang akan datang diharapkan dapat memperbaiki apabila terdapat
kekurangan maupun kesalahan dalam penelitian ini sehingga literatur
mengenai topik mekanisme transmisi kebijakan moneter dapat berkembang
lebih baik lagi.
1.6. Sistematika Penulisan
Penelitian ini terdiri dari lima bagian. Bab pertama yaitu pendahuluan berisi
uraian latar belakang yang menjelaskan mengapa mekanisme transmisi kebijakan
moneter merupakan topik yang penting untuk kembali diteliti. Lalu, permasalahan
yang terdapat dalam uraian tersebut akan dirumuskan. Dalam Bab 1 dikemukakan
juga pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian bagi pihak-pihak
terkait, serta sistematika penulisan.
15
Bab 2 dari penelitian ini memuat tinjauan pustaka yang diawali dengan
penjabaran teori umum terkait kebijakan moneter dan mekanisme transmisi
kebijakan moneter, dilanjutkan dengan pembahasan hasil penelitian-penelitian
terdahulu yang pernah dilakukan di Indonesia maupun luar negeri. Dari
pembahasan tersebut juga akan dijelaskan perbedaan penelitian ini dengan
penelitian-penelitian terdahulu, baik dari variabel-variabel maupun metode
analisis yang digunakan.
Pada Bab 3 akan diuraikan lebih detail variabel apa saja yang digunakan
dalam penelitian ini, bagaimana cara memperoleh data dan dari mana sumbernya.
Dalam Bab 3, terdapat juga penjabaran metode analisis data serta prosedur apa
saja yang dilakukan dalam mengolah data.
Setelah diuraikan bagaimana data diperoleh dan diolah, selanjutnya pada
Bab 4 akan dijabarkan hasil analisis data, dimulai dengan analisis statistik
deskriptif, uji akar unit, uji kointegrasi, estimasi VECM, serta analisis struktural
yang menyertainya. Setelah hasil penelitian dikemukakan, akan didiskusikan halhal penting yang dapat diambil dari hasil penelitian.
Akhirnya, pada Bab 5 akan dimuat kesimpulan yang diperoleh dari analisis
data dan pembahasan, serta saran bagi pihak terkait. Selain itu, pada Bab 5 akan
dikemukakan implikasi kebijakan yang dapat diambil dari hasil penelitian.
Berdasarkan sistematika penulisan yang telah diuraikan, keseluruhan penelitian
ini dapat digambarkan ke dalam bagan alur berikut ini.
16
Latar Belakang
• MTKM merupakan suatu proses yang penting agar ultimate goal bank
sentral dapat tercapai
• MTKM penting dipelajari → evaluasi stance kebijakan moneter serta
mengukur timing dan efek instrumen kebijakan moneter bagi
perekonomian
Rumusan Masalah
Kebijakan moneter dengan penetapan BI rate di Indonesia secara empiris terbukti dapat
menggerakkan harga aset finansial tetapi:
• belum banyak penelitian yang membuktikan bahwa harga aset finansial dapat
menggerakkan inflasi
• penggunaan variabel dalam penelitian mengenai MKTM jalur harga aset kurang beragam.
Tujuan Penelitian
1. Menganalisis pengaruh shock BI rate dan aset-aset finansial di pasar uang, pasar saham, pasar
obligasi, dan pasar valuta asing terhadap inflasi di Indonesia selama periode 2005:07–2014:12.
2. Mengidentifikasi aset finansial mana pada masing-masing jenis pasar finansial yang memiliki
peran terbesar dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter Indonesia selama periode
2005:07–2014:12.
Landasan Teori
•
•
•
•
Kebijakan Moneter
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter
MTKM Jalur Harga Aset
Aset Finansial
Landasan Empiris
• Respon harga aset finansial atas kebijakan moneter → Durham (2003), Rigobon & Sack (2004),
Zettelmeyer (2004), Prastowo (2007), …, Belke & Beckmann (2015), Pennings, et al. (2015)
• MTKM jalur harga aset finansial → Pétursson (2001), Afandi (2005), Surasmono (2009),
Bjørnland & Jacobsen (2012), Hui (2013)
Alat Analisis
Analisis structural dari estimasi Vector Error Correction Model (VECM) yang meliputi:
1. Analisis Impulse Response Function (IRF)
2. Analisis Forecast Error Variance Decomposition (FEVD)
Kesimpulan
Rekomendasi Kebijakan
Gambar 1.7. Bagan Alur Penelitian
17
Download