dampak pemanfaatan iklan di televisi terhadap stereotip

advertisement
LAPORAN STUDI PUSTAKA (KPM 403)
DAMPAK PEMANFAATAN IKLAN DI TELEVISI TERHADAP
STEREOTIP GENDER KAUM MUDA PEDESAAN
Oleh
RANITA SUWANDANI BR. KELIAT
I34110064
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN
MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014
ii
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa Studi Pustaka yang berjudul “Dampak
Pemanfaatan Iklan di Televisi Terhadap Stereotip Gender Kaum Muda Pedesaan”
benar-benar hasil karya saya sendiri yang belum pernah diajukan sebagai karya ilmiah
pada perguruan tinggi atau lembaga manapun dan tidak mengandung bahan-bahan yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh pihak lain kecuali sebagai bahan rujukan yang
dinyatakan dalam naskah. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan
saya bersedia mempertanggungjawabkan pernyataan ini.
Bogor,
Desember 2014
Ranita Suwandani Br. Keliat
NIM. I34110064
iii
ABSTRAK
RANITA SUWANDANI BR. KELIAT. Dampak Pemanfaatan Iklan di Televisi
Terhadap Stereotip Gender Kaum Muda Pedesaan. Dibawah Bimbingan TITIK
SUMARTI dan MAHMUDI SIWI.
Media massa merupakan media yang berfungsi sebagai wadah komunikasi (pertukaran
atau penyampaian informasi), dan hiburan dengan jangkauan komunikasi yang lebih
luas dibandingkan dengan komunikasi interpersonal dan komunikasi kelompok serta
dengan waktu yang relatif lebih singkat. Pemanfaatan media massa berdampak pada
kognitif, peniruan, dan perilaku khalayak. Secara tidak langsung, media massa dapat
membentuk opini publik. Salah satu bentuk media massa yang paling berpengaruh
dalam pembentukan opini publik adalah televisi melalui tayangan iklan di televisi.
Opini publik yang seringkali terbentuk melalui media televisi adalah opini mengenai
gender. Gender merupakan sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang
dibentuk oleh faktor-faktor sosial maupun budaya. Pembentukan opini tersebut
berujung pada pembentukan dan penguatan stereotip gender. Stereotip gender
merupakan pelabelan terhadap laki-laki atau perempuan yang pada umumnya tidak
menguntungkan bagi objeknya. Pemanfaatan media massa melalui iklan di televisi
adalah salah satu penyebab pembentukan dan penguatan stereotip gender tersebut. Oleh
karena itu, stereotip gender golongan muda pedesaan dipengaruhi oleh tingkat
pemanfaatan media massa.
Kata kunci : gender, iklan, kaum muda, stereotip, televisi
ABSTRACT
RANITA SUWANDANI BR. KELIAT. Impact of Mass Media Utilization to Gender
Stereotype of Rural Youth. Supervised by TITIK SUMARTI and MAHMUDI SIWI.
Mass media is a media that has some functions as a place of communication (to transfer
or to deliver information), and entertainment with the wider range of communication
than interpersonal communication and group communication, and also with a shorter
time. Utilization of mass media impacts on the public cognitive, imitation, and behavior.
Indirectly, mass media can form a public opinion. One of the kind of mass media that
the most influential on opinion public forming is television by advertisement display on
television. Opinion public that the most often formed by television is about gender.
Gender is trait that close to men and women that formed by social and cultural factors.
The forming of opinion public can led to forming and strengthening of gender
stereotype. Gender stereotype is the labeling of men or women who are generally not
favorable for its object. Utilization of mass media is one of the cause of forming and
strengthening of that gender stereotype. Therefore, gender stereotype of rural young
community was influanced by utilization of mass media.
Key word : advertisement, gender, stereotype, television, youth
iv
DAMPAK PEMANFAATAN IKLAN DI TELEVISI TERHADAP
STEREOTIP GENDER GOLONGAN MUDA PEDESAAN
Oleh
RANITA SUWANDANI BR. KELIAT
I34110064
Laporan Studi Pustaka
Sebagai syarat kelulusan KPM 403
Pada
Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Fakultas Ekologi Manusia
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN
MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014
v
LEMBAR PENGESAHAN
Dengan ini menyatakan bahwa Studi Pustaka yang disusun oleh:
Nama Mahasiswa
: Ranita Suwandani Br. Keliat
Nomor Pokok
: I34110064
Judul
: Dampak Pemanfaatan Iklan di Televisi terhadap Stereotip
Gender Kaum Muda Pedesaan
dapat diterima sebagai syarat kelulusan mata kuliah Studi Pustaka (KPM 403) pada
Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut
Pertanian Bogor.
Disetujui oleh
Dr Ir Titik Sumarti MC, MS
Dosen Pembimbing 1
Mahmudi Siwi SP, MSi
Dosen Pembimbing 2
Diketahui oleh
Dr Ir Siti Amanah, MSc
Ketua Departemen
Tanggal pengesahan : ______________________
vi
PRAKATA
Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat,
ridho, dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan Studi Pustaka dengan
judul “Dampak Pemanfaatan Iklan di Televisi terhadap Stereotip Gender Kaum Muda
Pedesaan” dengan baik. Laporan Studi Pustaka ini ditujukan untuk untuk memenuhi
syarat kelulusan Mata Kuliah Studi Pustaka (KPM 403) pada Departemen Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut
Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis ingin berterima kasih kepada Ibu Dr Ir Titik
Sumarti MC, MS dan Bapak Mahmudi Siwi, SP, MSi selaku dosen pembimbing yang
sangat peduli dan memperhatikan kinerja penulis dalam menyelesaikan laporan studi
pustaka dan telah memberikan banyak saran, motivasi, dan masukan pada penulis
selama proses penulisan sehingga penulis merasa terbimbing selama penyelesaian
laporan Studi Pustaka ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada kedua orang tua, Bapak Kun Swondo Keliat dan Ibu Susanna Syah
Devi, serta adik tersayang, Windi Riahna Keliat yang selalu memberikan doa, semangat,
dan inspirasi untuk penulis serta menjadi alasan terkuat bagi penulis untuk menjadi
seseorang yang pantang menyerah, berani, dan berhasil. Tidak lupa juga penulis
mengucapkan terimakasih kepada tiga sahabat penulis, yaitu Nurlaila, Dheva Sari
Silaban, dan Surya Kinanti atas semua dukungan, bantuan, dan pendengar setia keluh
kesah penulis. Saya juga berterima kasih kepada semua teman, kerabat, dan dosen yang
telah memberi dukungan baik moril maupun materil kepada penulis selama proses
penulisan laporan ini, khususnya kepada keluarga besar Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat, teman-teman serta sahabat di SKPM 48.
Bogor, Desember 2014
Ranita Suwandani Br. Keliat
NIM. I34110064
vii
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR ..........................................................................................................
DAFTAR TABEL ...............................................................................................................
Latar Belakang ....................................................................................................................
Tujuan Penulisan .................................................................................................................
Metode Penulisan ................................................................................................................
RINGKASAN DAN ANALISIS PUSTAKA .....................................................................
1. Iklan dan Budaya Popular : Pembentukan Identitas Ideologis Kecantikan
Perempuan oleh Iklan di Televisi (Inda Fitriyarini,2009) ...........................................
2. Ketidakadilan Konstruksi Perempuan di Film dan Televisi (Ashadi
Siregar,2004) ...............................................................................................................
3. Metroseksualitas dalam Iklan Sebagai Wacana Gaya Hidup Posmodern (Cons.
Trihandoko,2004) ........................................................................................................
4. Ekonomi Politik Iklan di Indonesia Terhadap Konsep Kecantikan (Felicia
Gunawan,2007) ...........................................................................................................
5. Perspektif Gender dalam Representasi Iklan (Arief Agung Suwasana, 2001) ............
6. Representasi Maskulinitas dalam Iklan (Novi Kurnia, 2004) .....................................
7. Hubungan Maskulinitas Perempuan dalam Iklan dalam Hubungannya dengan
Citra Sosial Perempuan Ditinjau dari Perspektif Gender (Cons. Tri Handoko,
2005)............................................................................................................................
8. Gender dalam Konstruksi Media (Hariyanto,2009) ....................................................
9. Konstruksi Kebebasan Pada Identitas Perempuan dan Laki-Laki dalam Iklan
Operator Seluler 3 dengan Tema “Bebas itu Nyata” (Muhammad Sofyan,2009) .......
10. Hubungan Iklan Produk Kecantikan di Televisi dengan Orientasi Tubuh Wanita
Bekerja (Lidia Astuti, 2009) ........................................................................................
11. Hubungan Gender dalam Representasi Iklan Televisi (Arief Agung
Suwasana,2001)...........................................................................................................
12. Peningkatan Kepekaan Gender dalam Jurnalisme (Iwan Awaluddin, 2004) ..............
13. Pengaruh Iklan, Citra Merek, dan Kepuasan
Konsumen
Terhadap Loyalitas Konsumen dalam Menggunakan Vaselin Hand Body
Lotion di Kota Padang (Nila Kesuma Dewi, SE, Gus Andri , SE., MM, Sepris
Yonaldi, SE., MM, 2012) ............................................................................................
RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN ............................................................................
Media Massa ..................................................................................................................
Komunikasi Massa .........................................................................................................
Iklan ...............................................................................................................................
Gaya Hidup ....................................................................................................................
Gender ............................................................................................................................
Representasi Gender dalam Media Massa .....................................................................
Representasi Gender dalam Iklan ..................................................................................
Gender dalam Pertanian Pedesaan .................................................................................
SIMPULAN ........................................................................................................................
Hasil Rangkuman dan Pembahasan ...............................................................................
Perumusan Masalah dan Penelitian Skripsi ...................................................................
Kerangka Analisis .......................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................................
LAMPIRAN ........................................................................................................................
Riwayat Hidup ...............................................................................................................
viii
viii
1
3
3
5
5
7
10
13
16
18
21
24
27
30
34
37
40
45
45
46
46
48
48
50
52
54
55
55
57
58
59
61
61
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Hubungan Antar Konsep Jurnal 1 ..........................................................
Gambar 2. Hubungan Antar Konsep Jurnal 2 ..........................................................
Gambar 3. Hubungan Antar Konsep Jurnal 3 ..........................................................
Gambar 4. Proses Hagemoni ....................................................................................
Gambar 5. Hubungan Antar Konsep Jurnal 4 ..........................................................
Gambar 6. Hubungan Antar Konsep Jurnal 5 ..........................................................
Gambar 7. Hubungan Antar Konsep Jurnal 6 ..........................................................
Gambar 8. Hubungan Antar Konsep Jurnal 7 ..........................................................
Gambar 9. Hubungan Antar Konsep Jurnal 8 ..........................................................
Gambar 10. Hubungan Antar Konsep Jurnal 9 ........................................................
Gambar 11. Hubungan Antar Konsep Jurnal 10 ......................................................
Gambar 12. Hubungan Antar Konsep Jurnal 11 ......................................................
Gambar 13. Hubungan Antar Konsep Jurnal 12 ......................................................
Gambar 14. Hubungan Antar Konsep Jurnal 13 ......................................................
Gambar 15. Usulan Kerangka Baru .........................................................................
6
9
12
14
15
17
20
23
26
29
33
36
39
43
58
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Variabel jurnal 1 .........................................................................................
Tabel 2. Variabel jurnal 2 .........................................................................................
Tabel 3. Variabel jurnal 3 .........................................................................................
Tabel 4. Variabel junral 4 .........................................................................................
Tabel 5. Variabel jurnal 5 .........................................................................................
Tabel 6. Variabel jurnal 6 .........................................................................................
Tabel 7. Variabel jurnal 7 .........................................................................................
Tabel 8. Variabel jurnal 8 .........................................................................................
Tabel 9. Variabel jurnal 9 .........................................................................................
Tabel 10. Variabel jurnal 10 .....................................................................................
Tabel 11. Variabel jurnal 11 .....................................................................................
Tabel 12. Variabel jurnal 12 .....................................................................................
Tabel 13. Variabel jurnal 13 .....................................................................................
7
10
12
15
18
20
23
26
29
33
36
39
44
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pelabelan atau penandaan (stereotip) yang seringkali bersifat negatif secara
umum selalu melahirkan ketidakadilan (Supiandi 2008). Stereotip ini secara langsung
maupun tidak langsung merupakan suatu bentuk diskriminasi suatu kelompok terhadap
kelompok lainnya termasuk dalam hal gender.Padahal, di Indonesia sudah ada satu
landasan hukum yang mengatur penghapusan segala macam bentuk diskriminasi
khususnya pada perempuan, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang
Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Wanita. Selain itu, ada pula Rancangan Undang-Undang Keadilan dan Kesetaraan
Gender (RUU KKG). Dalam penjelasanya, RUU KKG menegaskan bahwa setiap warga
negara, baik perempuan maupun laki-laki tanpa kecuali mempunyai tangung jawab
yang sama untuk melaksanakan tujuan hidup dalam berbangsa dan bernegara.
Berdasarkan landasan konstitusional, UUD 1945 telah menjamin persaman kedudukan
antara perempuan dan laki-laki (Sodik 2012). Selain itu, ada juga Instruksi Presiden
Nomor 9 Tahun 2000, tentang pelaksanaan pengarusutamaan gender sebagai wujud
komitmen Indonesia untuk melaksanakan kesepakatan-kesepakatan internasional yang
berkaitan dengan The Beijing Plat Form of Action (BEPFA) dan konvensi PBB tentang
Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan (CEDAW) UndangUndang Nomor 7 Tahun 1884 tentang Ratifikasi CEDAW (Supiandi 2008).
Adanya berbagai peraturan tersebut bertujuan untuk menghapus segala bentuk
ketidakadilan pada gender yang terjadi di era globalisasi sekarang ini. Perkembangan
peradaban di dunia Barat dan Timur yang semula tumbuh dalam lingkup budaya dan
ideologi patriarkis telah terkikis dengan meninggalkan dampak negatif diberbagai aspek
kehidupan dan struktur masyarakat serta telah menciptakan ketimpangan gender (Mulia
2011). Secara umum globalisasi adalah suatu perubahan sosial dalam bentuk semakin
bertambahnya keterkaitan antara masyarakat dengan faktor-faktor yang terjadi akibat
transkulturasi dan perkembangan teknologi. Teknologi ini dapat menghilangkan batas
geografis pada tingkat negara maupun dunia.
Salah satu bentuk teknologi sebagai wujud globalisasi ialah media massa.
Berkaitan dengan dampak globalisasi terhadap gender, media massa sebagai wadah
penghubung antara penguasa ideologi dengan masyarakat sebagai sasaran seringkali
juga menjadi penyalur diskrimnasi gender. Media massa yang berfungsi sebagai wadah
komunikasi (pertukaran atau penyampaian informasi), dan hiburan dengan jangkauan
komunikasi yang lebih luas dibandingkan dengan komunikasi interpersonal, komunikasi
kelompok, dan lain-lain serta dengan waktu yang relatif lebih singkat. Pesan atau
informasi yang disajikan oleh media massa pada umumnya bersifat persuasif yang dapat
membentuk opini publik. Koran, majalah, televisi, radio, bahkan internet dan beberapa
bentuk dari media massa. Jika dilihat dari fungsinya, media massa biasanya dianggap
sebagai sumber berita dan hiburan (Vivian 2008).
Pemanfaat media massa kini terdiri dari hampir seluruh lapisan masyarakat
dengan keragaman karakteristiknya (usia, jenis kelamin, status, pendidikan, dan lainlain) dan letak geografis wilayahnya, tidak hanya di perkotaan melainkan juga di
pedesaan Indonesia. Dalam hal ini, ciri khas masyarakat desa dan kota lebih ke arah
perubahan sikap masyarakatnya (Bungin 2008). Perubahan sikap tersebut bisa jadi
terbentuk dari arti penting media massa bagi mereka, dimulai dari sebagai media yang
memperluas jangkauan informasi, sebagai sumber informasi, hiburan, perekat
komunitas, dan forum persuasi (Vivian 2008). Namun, hak publik untuk mendapatkan
informasi yang benar sering kali tidak dijamin karena adanya pertarungan kepentingan
2
dalam hal politik, ekonomi, atau budaya (Haryatmoko 2007). Dalam kata lain, media
massa yang dapat membentuk opini publik juga dapat membentuk pola pikir baru
masyarakat. Pembentukan pola pikir tersebut bisa jadi terbentuk karena berbagai
suguhan media massa termasuk televisi yang banyak menumbuhkan kegairahan
sosiologis dalam interaksi sosial di antara angota masyarakat, sebagaimana beberapa
contoh berbagai parodi yang terdengar di masyarakat (Bungin 2008). Selain itu,
pragmatisme ekonomi memaksa media mengadopsi logika mode yang terpatri pada
yang spektakuler, sensasional, superfisial, dan pesan yang beragam (Haryatmoko 2007).
Kenyataan yang terjadi, parodi-parodi dan logika mode tersebut bukan hanya sebagai
hiburan bagi masyarakat, namun seringkali parodi-parodi tersebut membentuk realitas
baru termasuk realitas sosial yang dikonstruksikan oleh berbagai media massa.
Pembentukan pola pikir serta realitas baru tersebut dapat terjadi di berbagai aspek,
termasuk mengenai identitas perempuan dan laki-laki atau yang biasa disebut gender.
Konsep gender merupakan sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan
perempuan yang dibentuk oleh faktor-faktor sosial maupun budaya (Handayani dan
Sugiarti 2008). Pemaknaan gender mengacu pada perbedaan laki-laki dan perempuan
dalam peran, perilaku, kegiatan, serta atribut yang dikonstruksikan secara sosial.
(pembangunan manusia berbasis gender 2013). Faktor-faktor sosial dan budaya tersebut
mampu mengkonstruksi identitas, kebudayaan dan sikap serta perilaku yang bisa saja
mengarah kepada ketidakadilan dalam gender.Bentuk manifestasi ketidakadilan gender
ini adalah dalam mempersepsi, memberi nilai, serta pembagian tugas antara laki—laki
dan perempuan (Handayani dan Sugiarti 2008). Salah satu bentuk ketidakadilan gender
adalah stereotip.
Stereotip gender yang kini melekat di masyarakat atas bentukan sosial budaya,
beberapa diantaranya ialah perempuan yang seringkali dianggap lemah, anggun, setia,
lembut, mengedepankan perasaan, dan identik dengan pekerjaan rumah tangga sehingga
perempuan dianggap tidak harus memperoleh pendidikan dan mengaktualisasikan diri
karena peluang perempuan untuk bekerja di luar rumah sangat terbatas. Sementara itu,
laki-laki seringkali dianggap sebagai seseorang yang keras, menindas, mengedepankan
logika, dianggap pantas untuk tampil di depan publik, serta dianggap kuat, sehingga
sejak kecil para laki-laki biasanya mulai dilatih untuk kuat. Pelabelan yang sedemikian
rupa jelas tidak menguntungkan bagi laki-laki dan perempuan.Pada aspek kebiasaan,
perempuan terkesan terbiasa dengan kegiatan merawat dan mempercantik diri,
memasak, dan bertindak lebih mengedepankan perasaan dalam menghadapi berbagai
permasalahan. Sementara itu, kebiasaan yang seringkali diidentikkan dengan laki-laki
adalah merokok, berkelahi ketika menemukan seseorang yang tidak sepaham
dengannya, serta bertingkah sejantan mungkin agar dianggap sebagai laki-laki idaman.
Melihat dari fenomena sosial yang terjadi belakangan ini, media cetak, radio,
televisi, film, internet, dan bentuk-bentuk media massa lainnya sering kali terlihat
menampilkan sebuah parodi yang menunjukkan kelas, identitas, dan peran dari masingmasing gender. Jika dilihat dari segi fisik bagi laki-laki dan perempuan, kata cantik dan
tampan sebenarnya telah didefenisikan oleh media massa yang kerap kali menampilkan
perempuan-perempuan dan laki-laki dengan berbagai daya tarik, feminitas, dan
maskulinitasnya. Contoh pada iklan shampo dengan bintang iklan yang berambut hitam,
lurus, tebal, bertubuh kurus, berhidung mancung, dan berkulit putih sehingga para
penonton beranggapan bahwa perempuan yang cantik adalah perempuan yang
sedemikian rupa.Sementara itu, perempuan yang tidak memiliki fisik yang demikian
menganggap dirinya belum sempurna dan rela membeli berbagai produk kecantikan dan
3
melakukan berbagai perawatan kecantikan hanya demi memiliki penampilan fisik
seperti para bintang iklan tersebut. Merujuk pada hasil penelitian yang dilakukan oleh
Lidia Astuti pada tahun 2009, sebanyak 75% wanita bekerja memiliki citra tubuh positif
ketika pengaruh model dan subtansi iklan produk kecantikan rendah, sedangkan
sebanyak 68,75% wanita memiliki citra tubuh yang negatif ketika pengaruh semakin
besar. Hal ini berarti bahwa banyak perempuan yang merasa tubuhnya tidak ideal ketika
melihat berbagai model dan substansi iklan produk kecantikan. Hal ini juga yang
memperkuat stereotip mengenai perempuan. Hasil yang hampir sama juga diperoleh
dari suatu penelitian yang menyatakan telah ditemukan mengkonfirmasi bahwa
mayoritas 70% orang Indonesia memang mempunyai keinginan untuk memiliki kulit
putih dan setengahnya mengakui menggunakan produk pemutih (Rasyid 2005). Begitu
juga dengan laki-laki yang seringkali melatih otot tubuh dan membentuk tubuh dengan
cara mengikuti berbagai kegiatan olahraga dan mengonsumsi berbagai obat hanya demi
dianggap perkasa dan memperoleh bentuk otot lengan dan perut yang sama seperti para
model lelaki di berbagai media massa.
Selain itu, jika dilihat dari segi budaya dan kebiasaan yang melekat pada
masing-masing gender, pada umumnya dalam tayangan televisi perempuan selalu
ditampilkan sebagai sosok yang tidak jauh dari peran domestik seperti masalah dapur,
sumur, mengurus anak, belanja, dan sebagainya. Mereka terkadang pula diposisikan
sebagai subordinat laki-laki, misalnya menjadi bawahan, sekretaris, dan peran-peran
melayani atau menopang kebutuhan laki-laki (Handoko 2005). Sementara itu, laki-laki
seringkali digambarkan sebagai seseorang yang lebih berkuasa, kuat, dan melindungi
perempuan.
Stereotip gender memang tidak hanya berawal dari media massa, melainkan
dapat juga berawal dari budaya dan lingkungan sosial yang sudah terbentuk
sebelumnya. Maka dari itu, penulis ingin meneliti, sejauh mana iklan di televisi
berdampak pada pembentukan stereotip gender kaum muda pedesaan?
Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan studi pustaka berjudul “Dampak Pemanfaatan Iklan di
Televisi terhadap Stereotip Gender Kaum Muda Pedesaan” ini adalah melakukan
penelusuran data sekunder yang akan digunakan dalam penyusunan proposal penelitian.
Adapun rincian tujuan penelitian ini ialah (1) Mengetahui tingkat pemanfaatan iklan di
televisi pada kaum muda pedesaan, (2) Mengidentifikasi pengaruh tingkat pemanfaatan
iklan di televisi pada kaum muda pedesaan terhadap tingkat gaya hidup, dan (3)
Menganalisis dampak pemanfaatan iklan di televisi pada kaum muda pedesaann
terhadap dengan stereotip gender. Sehingga timbul pertanyaan-pertanyaan baru tentang
topik yang serupa sesuai dengan kerangka analisis.
Metode Penulisan
Metode yang digunkan dalam penulisan Studi Pustaka yang berjudul “Dampak
Media Massa Terhadap Stereotip Gender Kaum Muda Pedesaan” ini adalah metode
pengumpulan data dan literatur sekunder dari penelitian sebelumnya. Data dan literatur
ini berasal dari jurnal ilmiah dan skripsi mengenai gender dan media massa sementara
teori yang digunakan diperoleh dari buku mengenai gender dan media massa. Data dan
4
literatur yang diperoleh selanjutnya dibaca dan diringkas mengenai teori, data, dan hasil
penelitiannya. Selanjutnya teori dan hasil penelitian tersebut dianalisis dan dikritik
dengan landasan teori yang diperoleh dari buku yang berkaitan dengan topik kajian
sehingga data dan temuan dari literatur sekunder dapat disintesis menggunakan buku
yang berkaitan dengan topik kajian dan menjadi satu tulisan yang utuh.
RINGKASAN DAN ANALISIS PUSTAKA
1. Judul
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Kota/Nama Penerbit
Nama Jurnal
Volume
(edisi)/Nomor/Halaman
Alamat URL
Tanggal/Waktu diunduh
: Iklan dan Budaya Popular : Pembentukan
Identitas Ideologis Kecantikan Perempuan oleh
Iklan di Televisi
: 2009
: Jurnal
: Elektronik
: Inda Fitriyarini
: Samarinda, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Mulawarman
: Jurnal Ilmu Komunikasi
: 6/2/119-136
: http://ojs.uajy.ac.id/index.php/jik/article/view/199
: 11 September 2014/10/10:24 WIB
Budaya tinggi kini mulai tegeser oleh hadirnya budaya popular atau budaya massa
seiring dengan munculnya kecanggihan berbagai teknologi dan media massa termasuk
televisi. Perubahan budaya tersebut berdampak pada perubahan instansi perilaku
masyarakat. Budaya massa mencampuradukkan segala sesuatu sehingga muncul budaya
homogen.
Televisi berfungsi untuk melayani konsumen atau khalayak yang anonim,
heterogen, dan tersebar namun kini menjadi media pembentuk realitas khalayak. Dalam
berbagai iklan kecantikan di televisi digambarkan bahwa perempuan yang ideal adalah
perempuan yang bertubuh langsing dan ramping serta memiliki rambut hitan dan lurus.
Maka dari itu, tujuan penulis menulis jurnal ilmiah ini adalah untuk mengungkapkan atau
mengetahui bagaimana iklan kecantikan di televisi digunakan sebagai upaya untuk
mengonstruksi pola pikir dan gaya hidup masyarakat.
Iklan yang secara tidak langsung bertujuan untuk mendedahkan nilai-nilai tertentu
merupakan suatu tayangan media yang menyebar kuasa (strategi) tentang normalisasi tubuh
perempuan.Produksi kekuasaan yang terjadi ialah munculnya strategi untuk menyebarkan
wacana langsing dan kulit putih, rambut lurus dan hitam adalah standar ideal tubuh
perempuan. Akibatnya, perempuan yang tidak memiliki tubuh langsing dan berkulit putih,
serta rambut yang panjang dan hitam dapat merasa kehilangan identitas tubuh mereka.
Sebaliknya, bagi laki-laki, mereka disodori kriteria perempuan cantik yang pantas menjadi
pasangan mereka. Hal ini berarti iklan dapat menjadi simbol imaji yang ditampilkannya
membentuk dan merefleksikan nilai hakiki.
Pengiklan dan para pengusaha iklan berpandangan bahwa penggunaan sosok
perempuan dalam ilustrasi iklan merupakan satu tuntutan estetika untuk merebut perhatian
konsumen. Iklan-iklan yang memberi nilai standar ideal tubuh perempuan sebenarnya
menimbulkan stereotip baru bagi perempuan.Stereotip berkaitan dengan seks dan gender,
yaitu konsep sosial yang berhubungan dengan pembedaan karakter psikologi dan fungsi
sosial antara perempuan dan laki-laki yang dikaitkan dengan anatomi jenis kelaminnya.
6
Kebudayaan pada hakekatnya adalah hasil dari pemikiran manusia. Culture atau
budaya menurut McIver adalah ekspresi jiwa yang terwujud dalam ekspresi jiwa dalam
cara-cara hidup dan berpikir, pergaulan hidup, seni kesusastraan, agama, rekreasi dan
hiburan dan yang memenuhi kebutuhan hidup manusia(dikutip dalam Soekanto, 2002:304)
sebagai sebuah panduan bagi sekelompok masyarakat untuk bertindak dan berperilaku.
Semakin kompleks masyarakat, semakin kompleks pula perilaku komunikasi yang
dijalankan.masyarakat. Penulis mengartikan budaya tinggi merupakan salah satu aspek
kebudayaan masyarakat yang keberadaannya berasal dari nilai-nilai mendasar yang dimiliki
kebudayaan tersebut.
Budaya tinggi yang tergeser oleh kemunculan teknologi yang berakibat pada
instanisasi perilaku masyarakat, mendapatkan tandingannya berupa budaya populer.seni.
Produk dari budaya popular tidak pernah mengandung seni murni, tetapi mempunyai
karakteristik tersendiri: terstandarisasi, stereotype, konservatif, manipulasi terhadap barang
konsumsi (Stan Le Roy Wilson, 1995:5).
Analisis :
Melalui penelitian ini, dapat diketahui bahwa budaya popular perlahan telah
menggantikan budaya lama (asli) dengan masuknya nilai-nilai baru di masyarakat. nilainilai tersebut disebarkan atau tersebar ke masyakarat melalui media massa, salah satunya
dalam bentuk iklan. Nilai-nilai tersebut membawa standar kecantikan perempuan melalui
iklan.
Hasil penelitian di atas mengungkapkan bahwa pembentukan identitas ideologi
kecantikan perempuan seolah-olah memang hanya disebabkan oleh media massa, dalam
kasus ini ialah televisi. Padahal, tidak mungkin media massa memiliki kreativitas tanpa
berdasarkan realita yang telah terjadi sebelumnya, sehingga realitas kecantikan sebenarnya
merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu, bukan semata-mata oleh
tayangan-tayangan media massa.
Selain itu, penekanan mengenai perempuan dan stereotip masih terlalu sedikit.
Padahal, stereotip tersebut dikonstruksikan oleh masyarakat sebagai hasil hubungan sosial
tentang perbedaan laki-laki dan perempuan. Penelitian ini cenderung menganggap
perempuan berkarakter homogen, sehingga dapat menyimpulkan bahwa semua perempuan
dapat menerima konstruksi identitas ideologi kecantikan.
Pemanfaatan
teknologi (x)
Perubahan
budaya (y1)
Perubahan nilai
gender (y2)
Gambar 1. Hubungan Antar Konsep Jurnal 1.
Stereotip
gender
7
Tabel 1. Daftar Variabel Jurnal 1
Variabel
Sub Variabel
Pemanfaatan teknologi (x) - Pemanfaatan televisi
- Pemanfaatan Iklan
Perubahan budaya (y1)
- Budaya tinggi
- Budaya popular
Perubahan nilai (y2)
2. Judul
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Kota/Nama Penerbit
Nama Jurnal
Volume
(edisi)/Nomor/Halaman
Alamat URL
Tanggal diunduh
Fakta Pendukung
Budaya tinggi kini mulai
tegeser oleh hadirnya
budaya popular atau budaya
massa seiring dengan
munculnya kecanggihan
berbagai teknologi dan
media massa termasuk
televisi
Budaya tinggi yang tergeser
oleh kemunculan teknologi
yang berakibat pada
instanisasi perilaku
masyarakat, mendapatkan
tandingannya berupa budaya
popular seni
Iklan-iklan yang memberi
nilai standar ideal tubuh
perempuan sebenarnya
menimbulkan stereotip baru
bagi perempuan
: Ketidakadilan Konstruksi Perempuan di Film
dan Televisi
: 2004
: Jurnal
: Elektronik
: Ashadi Siregar
: Yogyakarta/Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Gajah Mada
: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
: 7/3/335-350
:
http://jurnalsospol.fisipol.ugm.ac.id/index.php/js
p/article/view/187
: 13 Septermber 2014
Gender merupakan pemilahan yang dibuat atas dasar sosial dan sering bersifat
absolut karena sering dipaksakan oleh kekuasaan struktural. Perempuan menjalankan
fungsi sebagai perempuan dan menjalankan orientasi yang bersifat feminin sedangkan lakilaki menjalankan fungsinya sebagai laki-laki dan menjalankan orientasi yang bersifat
8
maskulin. Sikap absolut tersebut menjadikan sikap setiap penyimpangan menjadi sesuatu
yang abnormal dan harus dihukum atau disembuhkan.
Perbedaan jenis dan orientasi seksual menimbulkan pola sosial dalam masyarakat
yang memperbedakan kategori sosial sehingga muncul sistem kekerabatan patrilinial (atas
dasar garis ayah) dan matrilinial (garis ibu) yang memiliki dimensi kultural. Ketidakadilan
gender sebenarnya muncul dari konstruksi sosial, mayoritas menindas minoritas.
Perempuan dalam posisinya seringkali dianggap powerless karena nilai-nilai yang
mendasari peran-peran sosial, karenanya berada pada posisi minoritas. Dalam konstruksi
sosial patriarkhi, laki-laki ditempatkan di ruang publik sementara perempuan ditempatkan
di ruang privat.
Pada setiap kehidupan masyarakat, berlangsung interaksi bersifat struktural.
Struktur fisik dapat diliihat kasat mata, sementara struktur sosial hanya dapat dipahami
melalui perspektif sosial. Melalui perspektif sosial, dapat dilihat bahwa kedudukan setiap
orang hanya dapat setara jika kedua pihak berada pada tingkat dataran kekuasaan yang
sama. Perspektif struktural menjadikan setiap wacana berpotensi untuk tidak setara apabila
ada satu pihak yang memiliki kekuasaan pusat sehingga yang lainnya menjadi periferal.
Asumsi dasar pada masyarakat tidak setara adalah hambatan bagi individu untuk
mewujudkan hak-haknya. Hambatan ini memiliki tiga level, pertama fisik, kedua akses, dan
ketiga adalah struktural.
Pada permasalahan gender, masalah ketidakadilan ini dapat dilihat dari nasib
perempuan. Ketidakadilan terhadap perempuan merupakan permasalahan struktural yang
disebabkan oleh kondisi struktural suatu masyarakat yang tidak adil. Sumber kekuasaan
sebagai penyebab ketidakadilan ini mulai dari institusi birokrasi negara atau masyarakat itu
sendiri.Maka dari itu, kepekaan gender bukanlah menjadikan perempuan sebagai fokus
utamanya, melainkan hanya dapat dimulai dari perspektif mengenai ketidakadilan
struktural.
Penampilan perempuan di media massa dapat dilihat cenderung bermakna
merendahkan perempuan dengan menjadikan perempuan sebagai objek dari yang berkuasa,
khususnya ekonomi. Wacana yang merendahkan posisi perempuan ini ada yang bersifat
terbuka (manifes) dan ada yang bersifat tertutup. Dikatakan bersifat terbuka jika media
massa mengeksploitas bagian tubuh dalam konteks seksual dan sensualitas. Sementara itu,
dikatakan tertutup jika dieksploitasi adalah kualitas tubuh perempuan, seperti kecantikan,
kerampingan, kulit putih, dalam konteks komersialisme. Maka dari itu, apakah
komodifikasi yang identik dengan informasi menitik-beraktkan pada bagian atau keadaan
fitur tubuh, bukan pada figur personifikasi dan peran sosialnya.
Media massa dapat menjadi contoh dari ketidakadilan gender dalam masyarakat.
Hal ini seolah dianggap wajar para pekerja media menghadirkan informasi tanpa
menempatkan suatu wacana dalam suatu perspektif struktural. Dalam operasi kerjanya, para
pengeloal media hanya perlu bertolak dari standar manajemen yang bersifat teknis untuk
tujuan pragmatis pasar. Komodifikasi perempuan pada media massa dengan menjadikan
tubuh perempuan sebagai komoditi ini terjadi secara langsung pada bisnis seks dan hiburan.
Proses komodifikasi ini sebenarnya digerakkan oleh kapitalisme dan bersifat patriakrkhi,
namun dapat juga digerakkan oleh perempuan. Hal ini dapat dilihat dari permasalahan
perempuan yang terkadang juga mengeksploitasi perempuan.
Pada tataran interaksi sosial, eksploitasi perempuan dapat terjadi dalam hal
prostitusi. Sementara itu, pada tataran mediasi, eksploitasi perempuan dapat dilihat dalam
9
hal pornografi yang secara negatif berarti cara atau tindakan seksual yang tidak memiliki
makna spiritual dan tidak berdasarkan perasaan halus, tidak memiliki konteks dengan
masalah medis dan keilmuan umumnya, atau lebih jauh merupakan penggambaran
dorongan erotis tidak untuk tujuan estetika.
Film dapat menampilkan wacana yang dapat dijadikan pintu masuk untuk
memahami kondisi sosial masyarakat. Film dipandang sebagai proses ideologi, sehingga
konstruksi sosial yang membentuk masyarakat dapat dilihat melalui film. Dalam konteks
gender, konstruksi sosial muncul dalam penampilan perempuan dan laki-laki dalam peranperan sosial, masalah seksual dan reproduksi, pekerja perempuan, gambaran tentang
feminitas dan stereotip perempuan.
Wacana perempuan dalam film program televisi dapat dikritisi melalui cara
pandang yang digunakan dalam menjadikan perempuan sebagai subyek, untuk kemudian
dilihat interaksinya dalam konteks kekuasaan. Dalam dunia show-biz, perempuan seringkali
dijadikan sumber lawakan.
Analisis :
Melalui penelitian ini, dapat diketahui bahwa bentuk eksploitasi perempuan padea
iklan dan film dapat dikelompokkan dalam dua tataran, yaitu tataran interaksi sosial dan
tataran mediasi. Pada tataran interaksi sosial, eksploitasi tersebut dapat berbentuk prostitusi.
Sedangkan, pada tataran mediasi, eksploitasi tersebut dapat berbentuk pornografi.
Penulis dalam penelitian ini beranggapan bahwa gender merupakan bentukan atas
dasar sosial dan bersifat absolut. Sementara itu, teori nurture memandang bahwa adanya
perbedaan perempuan dan laki-laki di berbagai sektor kehidupan merupakan hasil
konstruksi sosial budaya (Supiandi 2008).
Mengenai media massa, penelitian ini tidak memperhatikan bahwa sebagian besar
media massa di Indonesia adalah milik swasta dengan profit sebagai orientasi utama. Etika
komunikasi perlu juga memperhitungkan mekanisme pasar, aspirasi warga negara, serta
asosiasi pengguna. Etika komunikasi harus memperhitungkan segi politik dan ekonomi
tersebut. Realitas pasar ini menggambarkan betapa media massa berada di bawah tekanan
ekonomi persaingan yang keras dan ketat.
Budaya (x1)
Ketidakadilan
gender di media
massa (y)
Kondisi
struktural
kekuasaan politik
dan ekonomi (x2)
Gambar 2. Hubungan Antar Konsep Jurnal 2
10
Tabel 2. Daftar Variabel Jurnal 2
Variabel
Sub Variabel
Budaya Patriarkhi (x1)
Nilai-nilai gender
Fakta pendukung
Perbedaan jenis dan orientasi
seksual menimbulkan pola sosial
dalam masyarakat yang
memperbedakan kategori sosial
sehingga muncul sistem
kekerabatan patrilinial (atas dasar
garis ayah) dan matrilinial (garis
ibu) yang memiliki dimensi
kultural.
Kondisi kekuasaan
struktural (x2)
- Politk
- Ekonomi
Sumber kekuasaan sebagai
penyebab ketidakadilan ini mulai
dari institusi birokrasi negara atau
masyarakat itu sendiri.
Ketidakadilan gender (y)
Eksploitasi perempuan
Dikatakan bersifat terbuka jika
media massa mengeksploitas
bagian tubuh dalam konteks
seksual dan sensualitas.
Sementara itu, dikatakan tertutup
jika dieksploitasi adalah kualitas
tubuh perempuan, seperti
kecantikan, kerampingan, kulit
putih, dalam konteks
komersialisme
3.
Judul
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Kota/Nama Penerbit
Nama Jurnal
Volume/Nomor/Hala
man
Alamat URL
Tanggal diunduh
: Metroseksualitas dalam Iklan Sebagai Wacana Gaya
Hidup Posmodern
: 2004
: Jurnal
: Elektronik
: Cons. Tri Handoko
: Jakarta/Fakultas Seni dan Desain, Universitas
Kristen Petra
: Nirmana
: 6/2/132-142
: http://cpanel.petra.ac.id/ejournal/index.php/dkv/arti
cle/
viewArticle/16337G
: 3 Oktober 2014
11
Pola kecenderungan merawat tubuh kini mulai tidak hanya identik dengan kaum
perempuan namun telah bergeser pula pada pria. Kesempatan ini mulai dilirik oleh para
produsen mengingat semakin banyaknya para entertainer, eksekutif muda,dan bintang iklan
yang kerap tampil di berbagai acara, seperti presenter, pembicara di televisi, mode/artis,
atau pertemuan-pertemuan dengan klien.
Fenomena kini telah menunjukkan bahwa pria telah melampaui batas-batas gender
dalam melakukan suatu ritual, dalam hal ini perawatan tubuh yang selama ini menjadi
stereotip kaum perempuan dalam konstruksi sosial pada umumnya. Pria menurut
pandangan umum adalah sosok yang jantan, kekar, dan mendominasi kekuasaan dan
kelebihannya dibandingkan dengan perempuan. Kertajaya menyebutkan fenomena ini
sebagai WOMENvolution, dimana urusan pria sekarang ini tidak hanya bekerja dan mencari
uang tetapi juga memperhatikan perempuan dan bersikap emosional.
Metroseksual adalah sosok narcissistic dengan penampilan dandy (pesolek), cinta
pada diri sendiri, metropolis, seperti yang ditampilkan pada media massa masa kini. Ciri
lain dari pria metroseksual adalah mereka yang bersosok berani bereksperimen dengan
fashion.
Gaya hidup adalah pola-pola tindakan yang membedakan antara satu orang dengan
orang yang lainnya. Pola-pola kehidupan ini terkadang diartikan sebagai suatu budaya yang
mengandung kebiasaan, sikap, dan nilai-nilai mereka serta pemahaman yang sama
menyatukan mereka sebagai suatu kelompok masyarakat. Chaney mendefinisikan gaya
hidup dengan menggunakan tema pendekatan sosial, yaitu situs dan strategi. Melalui segi
pandang situs, gaya hidup merupakan metaphor fisik bagi ruang-ruang yang disediakan dan
dikontrol oleh aktor (individu atau kelompok). Dari segi pandang strategi gaya hidup
merupakan cara-cara khas perjanjian sosial atau narasi-narasi dari identitas dimana individu
atau kelompok dapat menyimpan metafor-metafor yang ada. Sementara itu, cara hidup
memiliki ciri-ciri khas seperti norma, ritual, pola-pola tatanan sosial, dialek atau cara
berbicara yang khas.
Savage, et al. dalam Chaney (2004) membuat klasifikasi gaya hidup bagi kelas
menengah menjadi tiga: asketis, posmodern dan awam (undistinctive).Ciri nyata dari gaya
hidup posmodern adalah kecenderungan melakukan perayaan-perayaan gaya hidup tertentu
dan terjadi pengaburan pembedaan gaya konvensional dimana ekstravaganza tingkat tinggi
berlangsung terus bersama budaya tubuh. Budaya tubuh dapat diamati dari sudut pandang
penampakan luar. Dalam hal ini, kekuatan citra yang hadir dalam masyarakat konsumtif
adalah hasil dari produsen ideologi dan pendefinisi kenyataan, yaitu biro iklan, manajer
kampanye, perancang mode, perekayasa peralatan gimnastik, penata rambut, dan bintang
showbiz. Para produsen ideologi tersebut yang membangkitkan kebutuhan publik akan
estetikasi penampilan luar dalam kehidupan sehari-hari.
Media dan iklan yang terus mengekspos gaya dan kehidupan selebritis serta produkproduk metroseksual menjadi umpan yang menarik perhatian publik. Berbagai citraan luar
telah menjadi media dalam menkomunikasikan dan mengangkat makna, menata, dan
memanipulasi identitas sosial sehingga gaya hidup terartikulasi melalui perubahan.Dalam
hal ini, fungsi periklanan telah bergeser dari penekanan rasionalitas terhadap kepuasan
fungsional menjadi penekanan atas keikutsertaan kemampuan audiens dalam menciptakan
tampakan-tampakan luar dari makna melalui manipulasi ikatan dan pemunculan yang pada
12
akhirnya menjadi ciri yang konstan dari modernitas akhir. Sejalan dengan itu,
pengkomunikasian pesan iklan dengan menggunakan penampakan luar menjadi dominan.
Analisis:
Melalui penelitian ini, dapat diketahui bahwa ciri utama pria metroseksual adalah
pria yang berpenampilan lebih berani dalam berpakaian dan menunjukkan fashion atau
mode yang digemarinya. Selain itu, pria metroseksual identik dengan gaya hidup konsumtif
dalam hal perawatann tubuh dan wajah.
Penelitian ini menunjukkan adanya perubahan gaya hidup maskulinitas pada lakilaki yang secara umum dicirikan dengan adanya pola konsumtif laki-laki dengan
melakukan perawatan tubuh dengan berbagai produk yang diiklankan di media. Kenyataan
yang terjadi di Indonesia, fenomena tersebut memang sudah mulai terjadi namun belum
merata, kebanyakan ialah laki-laki yang memiliki penghasilan tinggi karena biaya yang
dibutuhkan untuk membeli sejumlah produk atau tempat tersebut dianggap belum
merakyat, beda halnya dengan harga produk kecantikan perempuan yang lebih variatif.
Penelitian ini cenderung fokus pada iklan yang menayangkan isu-isu metroseksualitas
namun mengabaikan proses dan karakteristik laki-laki dalam menerima tayangan tersebut.
Selain itu, berdasarkan penelitian ini, ideologi maskulinitas dianggap mengalami
manipulasi sehingga terjadi perubahan gaya hidup. Padahal, reproduksi sosial iklan televisi
terjadi ketika iklan televisi merefleksi realitas sosial ke dalam realitas iklan televisi.
Substansi media
massa (y1)
Perubahan gaya
hidup laki-laki
kelas atas (x)
Perubahan nilai
gender laki-laki
Gaya hidup (y2)
Gambar 3. Hubungan Antar Konsep Jurnal 3
Tabel 3. Daftara Variabel Jurnal 3
Variabel
Sub Variabel
Perubahan gaya hidup
laki-laki kelas atas (x)
Substansi media
massa (y1)
Perubahan gaya hidup
laki-laki (y2)
Substansi iklan
-
Asketis
Posmodern
Awam
Fakta Pendukung
Pola kecenderungan merawat tubuh kini
mulai tidak hanya identik dengan kaum
perempuan namun telah bergeser pula
pada pria
Media dan iklan yang terus mengekspos
gaya dan kehidupan selebritis serta
produk-produk metroseksual menjadi
umpan yang menarik perhatian publik.
Fenomena kini telah menunjukkan
bahwa pria telah melampaui batas-batas
gender dalam melakukan suatu ritual,
dalam hal ini perawatan tubuh yang
selama ini menjadi stereotip kaum
13
perempuan dalam konstruksi sosial pada
umumnya
4.
Judul
: Ekonomi Politik Iklan di Indonesia Terhadap
Konsep
Kecantikan
Tahun
: 2007
Jenis Pustaka
: Jurnal
Bentuk Pustaka
: Elektronik
Nama Penulis
: Felicia Gunawan
Kota/Nama Penerbit
:
Nama Jurnal
: Jurnal Ilmiah Scriptura
Volume/Nomor/Halaman : 1/1/Alamat URL
: http://cpanel.petra.ac.id/ejournal/index.php/iko/ar
ticle/
viewArticle/16671
Tanggal diunduh
: 4 Oktober 2014
Makna dari kata cantik sebenarnya dibentuk oleh media. Sebagian perempuan yang
tampil di iklan adalah perempuan dengan tubuh yang langsingdan tinggi, berkulit putih,
hidung mancung, paras manis, dan berambut panjang dan lurus. Tampilan demikian
menyebabkan adanya stereotip dan pemisah antara perempuan cantik dan tidak cantik.
Maka dari itu, tujuan penulisan ini adalah untuk mengidentifikasi apa sebenarnya yang
membuat perempuan atau bahkan pria mulai mempertimbangkan penampilan mereka
dengan sangat? bagaimana peran media dalam membentuk ideologi cantik dalam benak
konsumen?
Sejak lahir, pikiran masyarakat mengenai perempuan dan laki-laki telah dibentuk
oleh budaya yang ada. Salah satu sarana pembentukan citra perempuan adalah melalui
media.Pencitraan yang salah mengenai perempuan baru akan terasa pengaruhnya dalam
jangka panjang. Pencitraan perempuan di dalam media massa dapat dikategorikan dalam 4
macam, yaitu :
1. Citra Pigura : citra yang ditonjolkan dari sisi biologis, seperti rambut lurus dan
panjang para model iklan
2. Citra Pilar : citra yang ditonjolkan ialah perempuan sebagai tulang punggung
keluarga dan bertanggung jawab pada pekerjaan domestik rumah tangga.
3. Citra Pinggan : citra yang menonjolkan perempuan pada aktivitas di dapur
4. Citra Pergaulan : adanya pergulatan perempuan untuk masuk ke dalam kelaskelas tertentu yang lebih tinggi di dalam masyarakat
Definisi Ekonomi Politik sendiri adalah: “the study of social relations, particularly
the power relations, that mutually constitute the production, distribution, and consumption
of resources” (Mosco, 1996: 25). Dari definsi ini dapat dilihat bahwa pendekatan ekonomi
politik ini berusaha menjelaskan dari gambar besar seperti pengaruh umum dari ekonomi
politik di masyarakat atau pengaruh pemegang kekuasaan terhadap definisi peristiwa yang
menjadi berita.
14
Hal ini menyebabkan adanya penguasaan atas isi berita maupun berita yang
dianggap penting maupun tidak. Siapa yang memiliki kekuatan ekonomi yang lebih maka
dia adalah pihak yang bisa menguasai media. Tidak mengherankan apabila saat ini peran
media di sini justru menjadi alat legistimasi kepentingan kelas yang memiliki dan
mengontrol media melalui produksi kesadaran dan laporan palsu tentang realitas objektif
yang sudah bias karena dibuntuti oleh kepentingan baik secara politik maupun ekonomis.
Media menjadi alat yang sempurna untuk menyebarkan hegemoni sang penguasa
kepada masyarakat. Dari situ akan terbentuk ideologi baru pada benak masyarakat sesuai
dengan keinginan para penguasa. Konstruksi ideologi baru tersebut berawal dari ideologi
kelas dominan yang direpresentasikan oleh iklan pada media massa hingga proses
hegemoni terwujud. Dalam hal ini, laki-laki juga menjadi sasaran media. Bukan hanya pada
iklan, tetapi pada sinetron yang ditayangkan juga menjadikan perubahan peran laki-laki dan
perempuan.
Tidak hanya dalam hal pekerjaan dan pendidikan, laki-laki menganut paham
feminisme, tetapi yang paling mencolok adalah dalam hal kesetaraan tubuh dan gender.
Saat ini laki-laki penganut paham feminisme radikal kultural tampak berani menunjukkan
identitasnya di depan umum, termasuk di iklan dalam televisi. Begitu pula dengan paham
feminisme radikal libertarian. Beberapa laki-laki biologis akan memanifestasikan gender
feminine, dan beberapa perempuan biologis akan memanifestasikan sifat-sifat gender
maskulin (Putman Tong, 1998:p.51). Dalam hal ini, media membantu laki-laki
metroseksual tampak lebih kentara dan media menyebarluaskan tips maupun informasi
bagaimana seharusnya laki-laki yang seharusnya.
Iklan merupakan sumber pendapatan utama bagi media. Ada 3 fungsi iklan dalam
media massa, yang pertama sebagai fungsi informasi yang mengkomunikasikan informasi
produk, ciri-ciri, dan lokasi penjualan. Kedua, ialah sebagai fungsi persuasif, yaitu
membujuk para konsumen untuk membeli produk atau mengubah sikap konsumen atas
suatu produk. Ketiga, ialah sebagai fungsi pengingat, yaitu terus mengingatkan konsumen
mengenai suatu produk. Mencakup Iklan yang bersifat persuasif ini dapat membentuk
kesadaran palsu masyarakat. Masyarakat menganggap semua yang ditampilkan media
massa merupakan cerminan realitas sosial. Padahal, apa yang ada di iklan belum tentu
merupakan cerminan dari realitas sosial yang ada.
Ideologi kelas
dominan
Iklan di media massa
Proses hegemoni
Masyarakat/audience
Gambar 4. Proses Hagemoni
15
Analisis :
Melalui penelitian ini, dapat diketahui bahwa citra suatu kelompok kerap kali
ditunjukkan melalui media massa. Media massa yang ada saat ini identik dengan penguasa
ekonomi dan politik yang membawa nilai atau ideologi tertentu. Nilai atau ideologi tersebut
disebarluaskan salah satunya melalui iklan di media massa hingga berujung pada proses
hegemoni suatu kelompok.
Penelitian ini belum menjawab rumusan permasalahan pertama dan hasil penelitian
ini terlalu spesifik seperti hanya media massa yang menyebabkan fenomena tersebut,
padahal mungkin masih ada faktor-faktor lain selain media massa.
Pada penelitian ini terdapat hasil dan opini penulis yang kontradiktif. Pada
penelitian ini dijelaskan bahwa menurut media apa yang ada di iklan adalah cerminan
masyarakat yang ada saat itu. Namun, penulis juga menjelaskan bahwa apa yang ada di
iklan belum tentu merupakan cerminan dari realitas yang ada karena adanya pencitraan
realitas yang bersifat semu. Pada penelitian ini juga dituliskan bahwa ada kecenderungan
perubahan peran gender antara laki-laki dan perempuan yang dipengaruhi media massa.
Kekuasaan (x1)
Substansi media
massa (y)
Hegemoni ideologi
gender
Ideologi kelas
dominan (x2)
Gambar 5. Hubungan Antar Konsep Jurnal 4
Tabel 4. Daftar Variabel Jurnal 4.
Variabel
SubVariabel
- Ekonomi
Kekuasaan (x1)
- Poilitik
Ideologi
(x2)
kelas
dominan
Fakta Pendukung
Melalui perspektif ekonomi politik,
pendekatan
ekonomi
politik
berusaha menjelaskan dari gambar
besar seperti pengaruh umum dari
ekonomi politik di masyarakat atau
pengaruh pemegang kekuasaan
terhadap definisi peristiwa yang
menjadi berita
Media menjadi alat yang sempurna
untuk menyebarkan hegemoni sang
penguasa kepada masyarakat. Dari
situ akan terbentuk ideologi baru
pada benak masyarakat sesuai
16
Variabel
Substansi media massa (y)
-
SubVariabel
Fakta Pendukung
dengan keinginan para penguasa.
Iklan
Berita
Konstruksi ideologi baru tersebut
berawal dari ideologi kelas dominan
yang direpresentasikan oleh iklan
pada media massa hingga proses
hegemoni terwujud.
Media menjadi alat yang sempurna
untuk menyebarkan hegemoni sang
penguasa kepada masyarakat.
Hegemoni ideologi gender
5.
Judul
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Kota/Nama
Penerbit
Nama Jurnal
Volume/Nomor/H
alaman
Alamat URL
Tanggal diunduh
:
:
:
:
:
:
Perspektif Gender dalam Representasi Iklan
2001
Jurnal
Elektronik
Arief Agung Suwasana
Jakarta/Universitas Kristen Petra
: Nirmana
: 3/2/83-96
: http://cpanel.petra.ac.id/ejournal/index.php/dkv/article/vi
ewArticle/16068
: 4 Oktober 2014
Terdapat beberapa faktor diskursus gender, yaitu politik, ekonomi, dan kelompok
dominan yang ada pada struktur masyarakat, periklanan, media massa, pendidikan, dan cara
pandang dari sudut agama terhadap gender. Ideologi patriarkhi masih kuat dalam pranata
sosial.
Periklanan merupakan salah satu contoh subordinasi perempuan. Hal ini
dikarenakan periklanan merupakan bentuk komunikasi yang sering memunculkan kodekode sosial yang tidak jarang mengadopsi stereotip, asosiasi-asosiasi, refleksi kultural,
ideologi serta poloa gender yang ada di masyarakat. Maka dari itu, penulis ingin
mengidentifikasi akankah periklanan telah menjadi simbol subordinasi perempuan? atau
kah para desainer iklan yang dituding sebagai penyebab munculnya fenomena representasi
sosial yang menyiratkan perempuan diposisikan pada peran yang subordinat?
Komunikasi iklan adalah komunikasi persuasif yang berisi informasi mengenai
produk atau jasa yang ditawarkan agar pesan dapat dipahami, diterima, dan disimpandiingat dengan tujuan menarik minat konsumen dan membujuk konsumen untuk
melakukan hal sesuai dengan keinginan komunikator. Namun kecenderungan yang tampak
ialah iklan tidak hanya mengiklankan fungsi atau kegunaan dari suatu produk, melainkan
17
juga memberikan nilai pada suatu produk sehingga membuka peluang bias penafsiran. Citra
tersebut kemudian diinterpretasikan menyentuh bias-bias gender.
Perempuan sering menjadi obyek yang dapat menjadi sumber daya tarik serta
merefleksikan citra. Secara general, perempuan memang belum bisa dilepaskan dari
wilayah domestik. Hal ini dapat dilihat dari berbagai iklan produk yang menampilkan
perempuan yang seksi dan sensual. Iklan shampoo, sabun, dan peralatan rumah tangga
sering ditampilkan berkaitan dengan perempuan, sementara iklan supplemen, jamu, rokok,
seringkali dikaitkan dengan laki-laki.Meskipun sudah berpeluang berpartisipasi di wilayah
publik, namun kualitas posisi strategis yang diterima perempuan belum tergolong baik.
Sedikitnya peluang perempuan untuk berkontribusi di wilayah publik menyebabkan
perempuan menjadi terkucilkan.
Iklan sebenarnya merupakan cerminan dari ciri budaya yang ada di masyarakat.
Kebudayaan merupakan proses pemerdekaan diri serta suatu bentuk ekspresiyang
bercirikan fungsional. Jika dilihat dari segi berkesenian, iklan berkaitan dengan dimensi
budaya dan dimensi fungsional. Dari segi dimensi fungsional, pola komunikasi
iklansebenarnya merujuk pada pemahaman fungsional namun sering tertutupi oleh konsep
produk. Dari segi budaya, iklan merupakan wujud implementasi dari pandangan-pandangan
tentang realitas sosial yang ada di masyarakat. Maka dari itu, ketika sebuah iklan diarahkan
untuk citra tertentu, terkadang dapat diinterpretasikan sebagai sesuatu yang bias gender.
Analisis :
Melalui penelitian ini, dapat diketahui bahwa beberapa faktor penyebab
ketidakadilan gender ialah ekonomi, politik, dan kelompok dominan yang menguasai
beberapa sektor. Selain itu, belakangan ini iklan bukan hanya berfungsi untuk menyebarkan
informasi mengenai produk yang diiklan-kan, melainkan juga menyebarluaskan nilai-nilai
baru yang ada pada konsep iklan tersebut.
Penelitian ini kurang meneliti mengenai proses pembuatan iklan dan siapa yang
berperan (desainer) pada iklan. Padahal, salah satu rumusan masalah pada penelitian ini
adalah atau kah para desainer iklan yang dituding sebagai penyebab munculnya fenomena
representasi sosial yang menyiratkan perempuan diposisikan pada peran yang subordinat.
Maka dari itu, jawaban dari rumusan masalah tersebut menjadi belum terjawab.
Ideologi kelas
dominan (x1)
Kekuasaan (x2)
Substansi
media massa
(y)
Ketidakadilan
gender
Budaya (x3)
Gambar 6. Hubungan Antar Konsep Jurnal 5
18
Tabel 5. Daftar Variabel Jurnal 5
Variabel
Sub Variabel
Ideologi kelas
dominan (x1)
Kekuasaan (x2)
Budaya Patriarkhi
(x3)
Substansi media
massa (y)
-
Ideologi gender
Iklan
Ketidakadilan gender
6.
Judul
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk
Pustaka
Nama Penulis
Kota/Nama
Penerbit
Nama Jurnal
Volume/Nomor
/ Halaman
Alamat URL
Ekonomi
Politik
-
:
:
:
:
Subordinasi
Stereotip
Fakta Pendukung
beberapa faktor, yaitu politik, ekonomi,
dan kelompok dominan yang ada pada
struktur masyarakat, periklanan, media
massa, pendidikan, dan cara pandang
dari sudut agama terhadap gender
beeberapa faktor, yaitu politik, ekonomi,
dan kelompok dominan yang ada pada
struktur masyarakat, periklanan, media
massa, pendidikan, dan cara pandang
dari sudut agama terhadap gender
Ideologi patriarkhi masih kuat dalam
pranata sosial
Namun kecenderungan yang tampak
ialah iklan tidak hanya mengiklankan
fungsi atau kegunaan dari suatu produk,
melainkan juga memberikan nilai pada
suatu produk sehingga membuka
peluang bias penafsiran.
Hal ini dikarenakan periklanan
merupakan bentuk komunikasi yang
sering memunculkan kode-kode sosial
yang tidak jarang mengadopsi stereotip,
asosiasi-asosiasi, refleksi kultural,
ideologi serta poloa gender yang ada di
masyarakat
Representasi Maskulinitas dalam Iklan
2004
Jurnal
Elektronik
: Novi Kurnia
: Jakarta/Universitas Indonesia
: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
: 8/1/17-36
: http://jurnalsospol.fisipol.ugm.ac.id/index.php/jsp/article/vi
19
ew/193
Tanggal diunduh : 4 Oktober 2014
Konstruksi inferioritas perempuan dianggap mencerminkan kehidupan sehari-hari
masyarakat. Media massa memiliki peran yang sangat besar dalam pembentukan stereotip
seperti itu. Media adalah arena perebutan posisi, antara posisi memandang (aktif) dengan
posisi dipandang (pasif). Pada citra yang disuguhkan oleh media, nilai maskulin berada
pada posisi yang dominan sementara nilai feminin berapa pada posisi marjinal. Maka dari
itu, penulisan ini bertujuan untuk mengidentifikasi apakah pada media massa berlangsung
juga peneguhan stereotip atas laki-laki? apakah iklan di media massa membeberkan
maskulinitas?
Gender adalah konstruksi sosial budaya yang dibentuk melalui proses panjang
dalam kehidupan berbudaya. Karakterkstik maskulin yang identik dengan laki-laki
dikatikan dengan tiga sifat khusus, yaitu kuat, keras, beraroma keringat. Sementara itu,
karakteristik perempuan dikaitkan dengan sifat yang lemah lembut, dan beraroma wangi.
Perbedaan maskulinitas dan feminitas dalam wacana gender tidak berhubungan
dengan perbedaan biologis namun lebih kepada perbedaan orientasi budaya. Dalam hal
tersebut, masih ada isu ketidakadilan gender berupa stereotip yang merupakan pelabelan
attau penandaan terhadap kelompok tertentu. Posisi maskulinitas dikonstruksikan lebih
dominan dari pada feminitas.Isu ini dipengaruhi juge oleh budaya patriarkhi yang
membenarkan dominasi laki-laki.
Maskulinitas adalah imaji kejantanan, ketangkasan, keperkasaan, keberanian untuk
menentang bahaya, keuletan, keteguhan hati, hingga keringat yang menetes, otot laki-laki
yang menyembul atau bagian tubuh tertentu dari kekuatan daya tarik laki-laki yang terlihat
secara ekstrinsik. Secara seksual, ada lima tipe maskulinitas, yaitu tipe gladiator-retro man :
pria yang secara seksual aktif dan memegang kontrol. Kedua, tipe protector : pria pelindung
dan penjaga. Ketiga, tipe clown of boffoon : pria yang mengutamakan persamaan dalam
menjalin hubungan dan menghormati wanita serta bersikap gentleman. Keempat, tipe gay
man : pria yang mempunyai orientasi seksual, homoseksual. Kelima, tipe : jenis pria lain,
yang lemah dan pasif.
Dalam kajian media, maskulinitas dipahami sebagai produk dan proses dari
representasi. Konsep maskulinitas hegemoni terus diperbaiki, diberdayakan kembali,
dinegosiasikan ulang, dan dikonstruksikan ulang dari masa ke masa, salah satunya melalui
iklan.
Iklan merupakan sebuah media yang tidak hanya menawarkan produk, melainkan
juga menawarkan ideologi, gaya hidup, dan imaji. Melalui ideologi kapitalisme, iklan
tumbuh dan berkembang serta menyebabkan kemunculan stereotip imaji maskulinitas lakilaki yang direpresentasikan sebagai makhluk berotot, jantan, dan berkuasa. Representasi
maskulinitas laki-laki pada iklan ini tidak hanya berkaitan dengan gender, melainkan juga
dengan sistem ekonomi global kapitalisme.
Media Awareness NetWork mengidentifikasi adanya lima karakterisitk maskulinitas.
Pertama, sikap yang berprilaku baik atau sportif. Kedua, mentalitas cave man, yaitu simbolsimbol pahlawan. Ketiga, pejuang baru seperti kemiliteran dan olahraga. Keempat, otot
yang mencitrakan tubuh laki-laki ideal. Kelima, maskulinitas pahlawan yang dipengaruhi
oleh aksi film Hollywood.
20
Konsep maskulinitas baru ini merupakan upaya untuk meninggalkan budaya
patriarkhi yang dominan sekaligus beranjak ke kerangka kerja sosial yang lebih inklusif.
Iklan sekarang menciptakan standar baru masyarakat untuk laki-laki, yakni sebagai sosok
yang agresif sekaligus sensitif, memadukan unsur kekuatan dan kepekaan. Kemunculan
konsep maskulinitas baru ini mendobrak konsep maskulinitas lama namun masih menjadi
wacana alternatif dari dominannya wacana representasi maskulinitas budaya patriarkhi
yang ada dalam industri periklanan.
Analisis :
Melalui penelitian ini, dapat ditelaah bahwa ada beberapa karakteristik maskulinitas.
Karakteristik maskulinitas yang ada pada suatu kelompok laki-laki dapat berubah seiring
dengan berubahnya budaya. Seperti sekarang ini, konsep maskulinitas mulai mengalami
perubahan karakteristik sebagai suatu upaya pendobrakan budaya patriakhi yang selama ini
berlangsung di tengah masyarakat Indonesia. Upaya tersebut disiarkan dan disebarluaskan
melalui media massa, salah satunya dalam bentuk iklan. Bagi media massa, maskulinitas
bukan hanya sebagai proses melainkan juga dianggap sebagai produk representasi.
Penelitian ini memaparkan bahwa media merupakan arena perebutan posisi aktif
dan pasif bagi masyakarakat. Hal ini sejalan dengan fakta yang menunjukkan bahwa
informasi yang diberikan melalui media seringkali menunjukkan perendahan martabat,
diskriminasi, ataupun limitasi fungsi sosial di masyarakat. Namun demikian, penelitian ini
belum menjawab apakah media massa telah meneguhkan stereotip atas laki-laki.
Realitas/konstruksi
gender (x1)
Substansi media
massa (y)
Perubahan
budaya/ideologi
Kekuasaan (x2)
Gambar 7. Hubungan Antar Konsep Jurnal 6
Tabel 6. Daftar Variabel Jurnal 6
Variabel
Sub Variabel
Realitas/konstruksi Perilaku laki-laki dan
gender (x1)
perempuan
Kekuasaan (x2)
Ekonomi
Fakta Pendukung
Konstruksi inferioritas perempuan
dianggap mencerminkan kehidupan
sehari-hari masyarakat
Representasi maskulinitas laki-laki pada
iklan ini tidak hanya berkaitan dengan
gender, melainkan juga dengan sistem
ekonomi global kapitalisme
21
Variabel
Substansi media
massa (y)
Perubahan
budaya/ideologi
gender
7.
Judul
Sub Variabel
Iklan
-
Patriarkhi
Maskulinitas
Fakta Pendukung
Iklan merupakan sebuah media yang
tidak hanya menawarkan produk,
melainkan juga menawarkan ideologi,
gaya hidup, dan imaji.
Konsep maskulinitas baru ini merupakan
upaya untuk meninggalkan budaya
: Hubungan Maskulinitas Perempuan dalam Iklan dalam
Hubungannya dengan Citra Sosial Perempuan Ditinjau
dari Perspektif Gender
: 2005
: Jurnal
: Elektronik
: Cons. Tri Handoko
: Jakarta/Fakultas Seni dan Desain, Universitas Petra
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Kota/Nama
Penerbit
Nama Jurnal
: Nirmana
Volume/Nomor/Ha : 7/1/85-98
laman
Alamat URL
: http://cpanel.petra.ac.id/ejournal/index.php/dkv/article/view
Article/16444
Tanggal diunduh
: 4 Oktober 2014
Pada umumnya, perempuan dalam iklan ditampilkan sebagai sosok yang tidak jauh
dari peran domestik rumah tangga, sama halnya dengan posisi mereka dalam kehidupan
bermasyarakat, menjadi semakin berkembang karena stereotip tersebut.
Hampir sebagian besar iklan di media massa selain menempatkan perempuan dalam
perannya sebagai ‘orang kedua’ atau ‘disubordinasikan’ pada peran laki-laki. Selanjutnya,
berbagai stereotip perempuan yang lemah dan selalu menjadi subordinat pria dalam
penampilannya di berbagai iklan mulai menunjukkan perubahan di mana posisi perempuan
terkadang terlihat lebih ‘berkuasa’ dan ‘perkasa’ dari laki-laki, kuat, gesit, dan lincah.
Tulisan ini bertujuan untuk mengidentifikasi sejauh mana citra sosial perempuan dalam
iklan sebagai sosok yang maskulin ditinjau dari perspektif gender dan sejauh mana
kemungkinan penggunaan model perempuan maskulin tersebut berimplikasi pada wacana
tentang gender dalam konteks budaya patriarkhi?
Karya-karya iklan pada kenyataannya banyak yang menggunakan stereotip baku
mengenai gender, seperti perempuan yang ditampilkan berperan melayani, marginal,
subordinatif, dan berkaitan dengan kepentingan laki-laki. Perempuan yang hanya berperan
memuaskan laki-laki disebut sebagai citra pigura, yaitu perempuan kelas menengah dan
22
atas perlu tampil memikat untuk mempertegas kemampuannya secara biologis seperti
rambut halus dan panjang, tubuh tinggi dan ramping, dan lain sebagainya. Meski terkadang
perempuan digambarkan berperan di wilayah publik, namun bukan sebagai pengambil
keputusan. Dalam konteks visual, kehadiran perempuan terkesan hanyalah sebagai daya
tarik dan terkadang tidak ada hubungannya dengan pesan iklan yang ingin disampaikan.
Ada dua bentuk dominan maskulinitas, yaitu maskulinitas hegemonik dan
maskulinitas yang tersubordinasi. Hegemonik yang dimaksud ialah perubahan sosial yang
dicapai bukan karena kekuatan melainkan karena pengaturan kehidupan pribadi dan prosesproses budaya.
Kemajuan teknologi merupakan aspek dominan yang berpengaruh terhadap
konstruksi sosial, termasuk dalam hal gender dan isu ketidakadilannya. Stereotip laki-laki
lebih dekat dengan logika dan rasio sedangkan perempuan cenderung ke arah emosional,
daya analisisnya kurang, dan lebih lemah dari laki-laki. Peran perempuan pada tayangan
media massa terkadang hanya menjadi pemanis atau disubordinasikan, terbatas hanya pada
wilayah domestik, kecantikan atau perawatan diri.
Maskulinitas dalam hubungannya dengan kosntruksi sosial laki-laki dan perempuan
secara tersirat erat berkaitan dengan permasalahan gender. Seseorang melaksanakan peran
jenis kelamin karena situasi memungkinkan seseorang berperilaku sebagai laki-laki dan
perempuan dan sejauh mana orang mengakui perilakunya. Hal yang menjadikan kita
kemudian disebut maskulin dan feminin adalah gabungan blok-blok biologis dasar dan
interpretasi biologis oleh kultur yang memaksa kita mempraktekkan cara-cara khusus yang
telah ditentukan oleh masyarakat bagi kita untuk menjadi laki-laki dan perempuan. Maka
dari itu, gender sebenarnya dapat dipertukarkan dan berubah berdasarkan kepentingan
situasional. Namun salahnya, perempuan yang demikian seringkali dianggap tomboy.
Anggapan tersebut karena adanya konsepsi patriarki dalam budaya.
Perubahan sosial yang diakibatkan oleh globalisasi ekonomi, teknologi, dan
informasi berimbas pada pola pikir dan stereotip yang dibentuk oleh pola pemikiran
modern tentang maskulinitas. Peran ibu dalam masa kini jauh lebih komplek lagi, tidak
sekedar urusan domestik melainkan juga mencari nafkah dan bekerja di sektor publik.
Ideologi maskulin berwawasan gender kini sudah mulai terlihat pada tayangan iklan
dan media massa. Dalam iklan masa kini, terkadang perempuan digambarkan dengan sifatsifat maskulin, gesit, kuat, bahkan mampu melumpuhkan laki-laki. Ada juga iklan yang
menggambarkan istri yang mendominasi pria.
Semakin sering iklan-iklan ditayangkan dengan pendekatan gender, iklan tersebut
akan semakin menancap di benak khalayak dan sedikit demi sedikit akan membuka saluran
wacana masyarakat akan nilai-nilai kesetaraan tersebut. Namun, bila dihubungkan dengan
pendekatan tema perempuan maskulin dalam iklan, kemungkinan akan berefek ganda.
Pertama, akan membawa pengaruh positif pada proses pembelajaran masyarakat tentang
arti kesetaraan bahwa perempuan tidak boleh dilecehkan dan direndahkan. Kedua, akan
berimplikasi buruk pada pandangan sosialnya, dia dicap ‘nyeleneh’, tomboy, serta juga
kemungkinan mempunyai orientasi seksual yang berbeda jika berperan maskulin.
Analisis :
Melalui penelitian ini, dapat diketahui bahwa perilaku perempuan dan laki-laki
selama ini dibatasi oleh definisi-definisi yang dibentuk oleh budaya sesuai dengan
23
biologisnya. Sehingga, ada kemungkinan bagi perempuan dan laki-laki untuk mengubah
perilaku diluar dari ketentuan atau definisi-definisi yang telah ditentukan oleh budaya
namun perilaku tersebut seringkali dianggap tidak normal oleh budaya.
Namun demikian, penelitian ini belum mengungkapkan dampak atau perubahan
peran dan perilaku gender yang terjadi di masyarakat karena pengaruh maskulinitas
perempuan dalam iklan. Padahal, melalui analisis perubahan tersebut wacana tentang
gender dalam konteks budaya patriarki dapat ditelaah lebih dalam.
Ideologi gender
Substansi media
massa (y)
Globalisasi (x)
Ketidakadilan
gender
Gambar 8. Hubungan Antar Konsep Jurnal 7
Tabel 7. Daftar Variabel Jurnal 7
Variabel
Sub Variabel
- Teknologi
Globalisasi (x)
- Ekonomi
Faktor Pendukung
Perubahan sosial yang diakibatkan oleh
globalisasi ekonomi, teknologi, dan
informasi berimbas pada pola pikir dan
stereotip yang dibentuk oleh pola
pemikiran modern tentang maskulinitas
Substansi media
massa (y)
Iklan
Karya-karya iklan pada kenyataannya
banyak yang menggunakan stereotip baku
mengenai gender,
Ideologi gender
Maskulinitas
Ideologi maskulin berwawasan gender kini
sudah mulai terlihat pada tayangan iklan
dan media massa
Ketidakadilan
gender
Stereotip
Stereotip laki-laki lebih dekat dengan
logika dan rasio sedangkan perempuan
cenderung ke arah emosional, daya
analisisnya kurang, dan lebih lemah dari
laki-laki
24
8.
Judul
:
Tahun
:
Jenis Pustaka
:
Bentuk Pustaka
:
Nama Penulis
:
Kota/Nama Penerbit :
Nama Jurnal
:
Volume/Nomor/Hala :
man
Alamat URL
:
Tanggal diunduh
Gender dalam Konstruksi Media
2009
Jurnal
Elektronik
Hariyanto
Purwokerto/STAIN
Komunika, Jurnal dan Komunikasi
3/2/167-183
http://ejournal.stainpurwokerto.ac.id/index.php/komu
nika/article/view/27
: 5 Oktober 2014
Media massa telah menyediakan berbagai definisi untuk menjadi perempuan dan
laki-laki, membedakan status-status seseorang berdasarkan kelas, ras, maupun seks.
Perempuan harus tampil dengan menonjolkan daya tarik seksual, harus bersedia mengalami
pelecehan seksual, dan harus memaklumi perilaku seksual agresif laki-laki. Pertanyaannya,
apakah selama ini kekerasa seksual terhadap perempuan terjadi karena media massa atau
media massa yang dipengaruhi oleh fakta yang terjadi dalam masyarakat sekitarnya?
Ketimpangan gender seringkali terjadi karena adanya nilai-nilai kapitalis dan
budaya patrarkhi yang saling menguntungkan sehingga tidak menghilangkan fakta tentang
adanya kecenderungan stereotip, diskriminatif, bahkan dominasi laki-laki atas perempuan
dalam struktur organisasi kerja media.
Media merupakan salah satu alat pembentukan konstruksi gender pada masyarakat
dan konstruksi tersebut dapat tersebar luas karena jangakauan media yang luas. Sementara
itu, gender merupakan pembagian serta tanggung jawab, baik laki-laki maupun perempuan
yang ditetapkan masyarakat maupun budaya dan merupakan hasil sosialisasi sejarah yang
panjang. Pembagian peran, sifat, maupun watak perempuan dan lelaki dapat dipertukarkan,
berubah dari masa ke masa, dari satu tempat adat ke tempat adat yang lain, dan dari satu
tingkat kelas ke tingkat kelas yang lain.
Ada beberapa prinsip dasar yang harus diperhatikan para pelaku media massa.
Pertama, kemampuan profesional, etika, dan perspektif pelaku media massa terhadap
permasalahan gender yang masih rendah. Kedua, media massa belum mampu melepaskan
dari dari perannya sebagai medium ekonomi kekuasaan, baik yang datang dari penguasa,
otoritas intelektual, ideologi politik, ataupun pemilik modal. Ketiga, kurangnya peran aktif
dan representasi perempuan dalam media massa menjadikan perempuan sulit untuk keluar
dari posisi keterpurukannya saat ini. Keempat, perlu pengubahan paradigma pada media
massa berkaitan dengan pencitraan perempuan yang selama ini dipakai yang selama ini
cenderung seksis, objek iklan, objek pelecehan, dan ratu dalam ruang publik. Peran media
massa menjadi sangat strategis untuk membantu perempuan lepas dari ketertindasannya
selama ini.
Realitas dapat berwujud ganda. Setiap orang mempunyai konstruksi yang berbedabeda atas suatu realitas, berdasarkan pengalaman, prefensi, pendidikan, dan lingkungan
sosial yang dimiliki masing-masing individu. Kecenderungan saat ini adalah pemaknaan
25
yang dilakukan media melalui produk media telah menempatkan produk media sebagai
bagian dari realitas sosial itu sendiri. Konstruksi realitas terbentuk bukan hanya dari cara
wartawan memandang realitas, tetapi kehidupan politik tempat media itu berada. Kontruksi
realitas pada media massa sangat dipengaruhi oleh hubungan kekuatan-kekuatan sosial
yang melingkupi media dan berbagai tekanannya.
Jika stereotip perempuan muncul hanya sekali-sekali dan masyarakatnya terdiri dari
orang yang berpendidikan tinggi, mungkin efeknya tidak akan terlalu signifikan. Namun
masalahnya adalah masyarakat Indonesia yang sangat plural, berlatar belakang pendidikan,
ras, agama, kedudukan, usia, dan kelas yang berbeda serta menerima suguhan stereotip
perempuan secara konsisten.Perempuan yang ditampilkan memperkokoh stereotip yang
sudah terbangun di tengah masyarakat.
Para perempuan yang hadir itu tidak selalu hadir dalam tampilan tertekan,
terintimidasi, dan tertindas. Contohnya Inul Daratista. Para pendukungnya menganggap
bahwa Inul tidak merasa tereksploitasi karena ia memiliki kendali atas segala gerakannya.
Dalam hal ini, tampilan seksi Inul akan dimaknai khalayak dalam skema gender yang sudah
terbangun sebelumnya. Dengan kata lain, yang dilihat laki-laki bukanlah kemandirian artis
tersebut, melainkan kesediaan artis tersebut untuk menonjolkan daya tarik seksualnya yang
mengonfirmasi persepsi mereka bahwa nilai lebih perempuan adalah keseksian, keindahan,
kecantikan, dan kualitas-kualitas fisik lainnya. Akibatnya, perempuan seharusnya bersedia
diperlakukan bukan sebagai makhluk yang berpikir dan bermartabat, melainkan sebagai
makhluk yang harus senantiasa menonjolkan kemolekan tubuh. Tindakan demikian justru
memperkokoh eksplotasi mereka, hanya seolah-olah independen tanpa mengubah stereotip
perempuan.
Walaupun kebijakan keredaksian melarang membuat produk yang memunculkan
kekerasan terhadap perempuan, tetapi ketika kebijakan berdasarkan kebiasaan
memperbolehkannya. Oleh karena itu akan muncul kebiasaan-kebiasaan yang berulang.
Analisis :
Melalui penelitian ini, dapat dijelaskan bahwa ketimpangan gender seringkali
terjadi karena adanya nilai-nilai kapitalis dan budaya patrarkhi yang menutupi fakta tentang
adanya ketimpangan tersebut. Dalam hal ini media massa sangat berperan penting.
Konstruksi realita yang dibentuk oleh media seringkali dipengaruhi oleh hubungan
kekuatan-kekuatan sosial yang melingkupi media dan berbagai tekanannya.
Jika dikaitkan dengan penampilan perempuan yang cenderung seksi dan sensual
namun dilakukan tanpa tampilan tertekan, terintimidasi, dan tertindas, sebenarnya ini
berawal dari perbedaan-perbedaan yang ada pada setiap perempuan. Setiap perempuan
tidak dapat disamakan. Kesadaran akan perbedaan ini merupakan ciri lahirnya teori
feminisme yang baru, yakni feminisme gelombang ketiga. Apa yang terjadi sebelum
adanya teori feminisme gelombang ketiga adalah perempuan eksis dalam dunia yang telah
didefinisikan oleh laki-laki dalam aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh laki-laki
(Cixous dalam Arivia 2008). Bahkan selama ini, pemahaman mengenai apa yang baik dan
tidak baik bagi masyarakat pada umumnya didasarkan pada nilai-nilai patriarkis. Dengan
kata lain, seorang perempuan tidak dapat disamakan dengan perempuan lainnya, termasuk
dalam hal ekspresi seksual dan sensualitas yang ia lakukan tanpa ada rasa tertekan,
terintimidasi, atau bahkan tertindas.
26
Kekuasaan (x1)
Substansi media
massa (x2)
Dampak media
massa (y)
Ketimpangan
gender
Budaya (x3)
Karakteristik
khalayak
Gambar 9. Hubungan Antar Konsep Jurnal 8
Tabel 8. Daftar Variabel Jurnal 8
Variabel
Sub Variabel
Kekuasaan (x1)
- Ekonomi kapitalis
- Politik
Substansi media
massa (x2)
Fakta Pendukung
Ketimpangan gender seringkali terjadi
karena adanya nilai-nilai kapitalis dan
budaya patrarkhi yang saling
menguntungkan
Media merupakan salah satu alat
pembentukan konstruksi gender pada
masyarakat dan konstruksi tersebut dapat
tersebar luas karena jangakauan media
yang luas.
Ketimpangan gender seringkali terjadi
karena adanya nilai-nilai kapitalis dan
budaya patrarkhi yang saling
menguntungkan
Budaya Patriarkhi
(x3)
Nilai-nilai gender
Dampak media massa
(y)
Perubahan sikap
orang menjadi menyangka bahwa pilihan
yang paling logis adalah mengikuti apa
yang tampak sebagai kecenderungan
umum yang sering ditampilkan di media
massa.
Ketimpangan gender
Stereotip
Ketimpangan gender seringkali terjadi
karena adanya nilai-nilai kapitalis dan
budaya patrarkhi yang saling
menguntungkan sehingga tidak
27
Variabel
Karakteristik
khalayak
Sub Variabel
-
Pendidikan
Ras
Agama
Kedudukan
Usia
Kelas
Fakta Pendukung
menghilangkan fakta tentang adanya
kecenderungan stereotip, diskriminatif,
bahkan dominasi laki-laki atas
perempuan dalam struktur organisasi
kerja media.
Namun masalahnya adalah masyarakat
Indonesia yang sangat plural, berlatar
belakang pendidikan, ras, agama,
kedudukan, usia, dan kelas yang berbeda.
9. Judul
: Konstruksi Kebebasan Pada Identitas Perempuan
dan Laki-Laki dalam Iklan Operator Seluler 3
dengan Tema “Bebas itu Nyata”
Tahun
: 2009
Jenis Pustaka
: Jurnal
Bentuk Pustaka
: Elektronik
Nama Penulis
: Muhammad Safyan
Kota dan Nama Penerbit : Universitas Airlangga
Nama Jurnal
:
Volume/Nomor/Halaman :
Alamat URL
: http://www.journal.unair.ac.id/filerPDF/commb8a
34101f1full.pdf
Tanggal diunduh
: 5 Oktober 2014
Kebebasan yang dimaksud pada judul penelitian ini adalah sebuah gerakan baru
untuk membongkar pembagian identitas peran perempuan dan laki-laki yang masih
tradisional dengan stereotip yang masih melekat.
Media massa (iklan) merupakan alat persuasif dalam menjual berbagai komoditas
(Abdullah, 2003, p. 20). Iklan juga merupakan salah satu media yang digunakan oleh
operator 3 dalam menyebarkan dan menegosisasikan bahwa identitas perempuan dan lakilaki di masyarakat masih pakem dengan aturan-aturan budaya atau mitos yang maih
tradisional. Sebagai industri, media massa hanya bertujuan untuk meraup keuntungan.
Asumsi penelitian ini adalah iklan pada televisi selalu menampilkan identias
perempuan dan laki-laki.Dalam berbagai tayangannya, perempuan sering digambarkan di
ranah domestik, mengurus rumah tangga, dan lebih emosional. Berbeda dengan identitas
laki-laki yang berada di ruang publik, pencari nafkah, dan rasional.
Penggambaran inferioritas perempuan sudah bukan hal yang baru lagi dalam
budaya patriarkhi. Patriarkhi merupakan suatu bentuk pelaksanaan kekuasaan dan dominasi
28
dalam kelompok keluarga besar atau klan yang terorganisasi dalam konteks ekonomi dan
kekeluargaan (Hidayat, 2004, p. 113).
Penelitian ini mengeksplorisasi identitas perempuan dan laki-laki Indonesia
digambarkan melalui iklan televisi. Penelitian ini juga akan mengidentifikasi kondisi atau
situasi sosiokultur Indonesia yang ada, dibentuk, dan berlaku di masyarakat. Serta meilhat
bentuk kebebasan yang digambarkan pada identitas perempuan dan laki-laki sebagai
perlawanan mitos yang hidup di masyarakat Indonesia. Peneliti akan menggunakan metode
analisis semiotika. Unit analisisnya ialah gambar dan bahasa narator dalam iklan 3.
Iklan kebebasan pada identitas yang bertujuan merepresentasikan tentang identias
perempuan dan laki-laki di Indonesia, dengan menawarkan nilai-nilai baru kepada
khalayak tentang apa yang disebut dengan identias sosial baru. Konsep tampilan
perempuan Indonesia modern dikonstruksi dalam iklan 3. Bahwa perempuan Indoneisa
melakukan inovasi dalam cara berpakaian dari zaman ke zaman dalam penampilannya.
Peneliti melihat inovasi cara berpakaian ini menghancurkan cara berpakaian tradisional, di
mana budaya Barat telah masuk sebagai bentuk modernitas dalam berpakaian, sehingga
perubahan ini juga melibatkan logika kapitalisme.
Media ikut serta dalam menyampaikan konsep gender melalui persoalan
domestikasi dan marjinalnya perempuan. Perempuan Indonesia masih dilekatkan dengan
simbol-simbol stereotip gender tradisional serta mendiskripsikan bahwa kepribadian
perempuan Indonesia itu lemah dan tidak berdaya. Hal ini melanggengkan ideologi
kapitalisme.
Identitas perempuan Indonesia yang ingin sebuah kebebasan dibentuk melalui figur
yang menentang seluruh isu domestikasi terhadap dirinya. Kebebasan tersebut
menghasilkan sebuah gerakan feminisme. Sehingga muncul sebuah gerakan kaum wanita
yang sering disebut feminisme liberal. Asumsi feminisime liberal adalah kebebasan dan
kesamaan berakar dari rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik.
Iklan 3 tidak sekedar melabeli perempuan sebagai pemberontak, namun juga
mengonstruksi perlawanan tersebut sebagai suatu kewajaran. Laki-laki pada umumnya
identik dengan warna-warna konservatif, yaitu hitam dan putih pada pakaian yang
digunakan. Konstruksi seperti ini merupakan bentuk pengukuhan mitos dan ideologi
kepada audiens, bahwa laki-laki yang sebenarnya ialah yang seperti ini. Lelaki kuat, macho,
cool, dan pelindung merupakan hasil konstruk media massa. laki-laki itu harus berotot,
pahlawan, dekat dengan olahraga, dan pemimpin atas perempuan.
Peran laki-laki masih begitu dominan sehingga peneliti beranggapan bahwa di
media massa masih terjadi perebutan wacana gender. Asosiasi seperti ini menimbulkan
ketimpangan gender terus menerus, karena dalam proses sosialisasi, perempuan
disosialisasikan ke dalam suatu nilai dan ukuran sosial budaya yang pilihannya ditentukan
laki-laki dalam kerangka struktural patriakal. Langgengnya ide-ide patriarkhi yang
memberikan peluang pada laki-laki dan segala maskulinitasnya ini pada akhirnya
memposisikan perempuan di media semakin termarjinalkan hingga berujung pada
maskulinitas kapitalistik. Analisis ini menunjukkan keaktifan laki-laki di ruang publik,
selaras dengan keterkaitan fisik.
Peneliti menyimpulkan bahwa konstruksi kebebasan yang dimaksud oleh kedua
identitas yaitu dengan menggunakan produk operator seluler 3 kedua identitas dapat bebas
mengakses internet.
29
Analisis :
Melalui penelitian ini, dapat diketahui bahwa perempuan Indonesia yang
tergambarkan melalui iklan 3 ini secara cara dan gaya berpakaian telah mengalami
perubahan. Namun demikian, perempuan dalam iklan ini masih tetap memiliki nilai
domestikasi dan marjinalisasi, hal ini terlihatt dari adegan dan pengambilan gambar
perempuan di iklan tersebut. Tetapi di sisi lain, dalam iklan ini terdapat juga perilaku
perempuan yang terlihat seperti memberontak namun dianggap sebagai suatu kewajaran
untuk menembus budaya patriarki. Kenyataan yang demikian sangat menguntungkan para
kapitalis
Pada analisis ini, terbukti bahwa keaktifan laki-laki dalam ruang publik masih lebih
tinggi daripada perempuan. Laki-laki tetap digambarkan sebagai identitas yang
mendominasi di segala sektor kehidupan dan publik. Hal ini sesuai dengan naturalisasi
peran gender dalam televisi. Para tokoh cerita bergerak mengikuti ritme cerita bagaimana
dijalankan oleh para tokoh utamanya. Bahwa sebagian besar kisah mengikuti tokoh utama
berjenis kelamin pria yang melakukan aktivitas di luar rumah menunjukkan bagaimana
posisi penulis skenario dalam menunjukkan aktivitas apa saja yang bisa dilakukan para
tokoh pria di ruang publik.
Substansi media
massa (y)
Budaya (x)
Ketimpangan
gender
Perubahan gaya
hidup
Gambar 10. Hubungan Antar Konsep Jurnal 9
Tabel 9. Daftar Variabel Jurnal 9
Variabel
Sub Variabel
Budaya Patriarkhi
Nilai-nilai gender
(x)
Substansi media
massa (y)
Iklan
Fakta Pendukung
Patriarkhi merupakan suatu bentuk
pelaksanaan kekuasaan dan dominasi
dalam kelompok keluarga besar atau klan
yang terorganisasi dalam konteks ekonomi
dan kekeluargaan
Iklan kebebasan pada identitas yang
bertujuan merepresentasikan tentang
identias perempuan dan laki-laki di
Indonesia, dengan menawarkan nilai-nilai
baru kepada khalayak tentang apa yang
30
Variabel
Sub Variabel
Ketimpangan gender Stereotip
Perubahan gaya
hidup
10. Judul
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Kota/Nama Penerbit
Alamat URL
Tanggal diunduh
Fakta Pendukung
disebut dengan identias sosial baru.
Media ikut serta dalam menyampaikan
konsep gender melalui persoalan
domestikasi dan marjinalnya perempuan.
Perempuan Indonesia masih dilekatkan
dengan simbol-simbol stereotip gender
tradisional
Konsep tampilan perempuan Indonesia
modern dikonstruksi dalam iklan 3. Bahwa
perempuan Indoneisa melakukan inovasi
dalam cara berpakaian dari zaman ke
zaman dalam penampilannya.
: Hubungan Iklan Produk Kecantikan di Televisi
dengan Orientasi Tubuh Wanita Bekerja
: 2009
: Skripsi
: Cetak
: Lidia Astuti
: Bogor/Departemen Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat, Institut Pertanian
Bogor
:
:
Pesatnya teknologi dan informasi, salah satunya iklan belakangan ini, media
menjadi salah satu faktor dengan pengaruh terbesar dalam pembentukan pencitraan di
masyarakat. Salah satu yang paling gencar diusung oleh iklan-iklan media adalah mengenai
gambaran keindahan dan kecantikan wanita melalui iklan produk-produk
kecantikan.Dengan menggunakan role model seperti ini, para produsen produk kecantikan
secara sadar telah mengafirmasikan gambaran wanita ideal yang disebut cantik dan
mengharapkan setiap wanita mencontoh atau setidaknya meng-iyakan seperti itu lah sosok
yang dianggap cantik. Hal ini berdampak kepada para wanita yang mulai memandang amat
penting aspek-aspek penampilan luar.
Ketidakpuasan terhadap tubuh yang besar menyebabkan makin kuatnya keinginan
para perempuan untuk melakukan segala cara demi memperbaiki penampilan fisiknya
(Munfarida, 2007). Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penelitian ini difokuskan
untuk mengkaji sejauhmana hubungan antara iklan produk kecantikan dengan orientasi
tubuh wanita bekerja perkotaan dan pedesaan ?
Variabel-variabel yang diteliti pada penelitian ini ialah orientasi tubuh wanita
bekerja sebagai variable terpengaruh. Sementara itu, karaktersitik wanita pekerja,
31
karakteristik lingkungan sosial, dan iklan kecantikan di televisi sebagai variabel yang
mempengaruhi. Penelitian ini dilakukan dengan metode kuantitatif dengan didukung data
kualitatif. Sementara itu, tayangan yang dijadikan objek penelitian ialah tayangan iklan
WRP Stay Slim.
Komunikasi massa menurut Tan dan Wright (1991) dalam (Primianty, 2008)
merupakan salah satu bentuk yang menggunakan saluran (media) dalam menghubungkan
komunikator dan komunikan secara massal, berjumlah banyak, bertempat tinggal yang jauh
(terpencar), sangat heterogen dan menimbulkan efek tertentu.
Komunikasi massa juga mempunyai beberapa ciri-ciri khusus yang disebabkan oleh
komponen-komponennya, ciri-ciri tersebut adalah : 1) sifat pesan terbuka, 2) memiliki
khalayak yang variatif baik dari segi usia, agama, suku, pekerjaan maupun kebutuhan, 3)
sumber dan penerima dihubungkan oleh saluran yang diproses secara mekanik, 4) sumber
merupakan suatu lembaga atau institusi, 5) komunikasi berlangsung satu arah, 6) cenderung
memiliki umpan balik yang lambat (tertunda) dan sangat terbatas, 7) sifat penyebaran pesan
berlangsung cepat, serempak, luas, mampu mengatasi jarak dan waktu, serta dapat bertahan
lama bila didokumentasikan, dan 8) membutuhkan biaya produksi yang cukup mahal serta
memerlukan tenaga kerja professional yang 31ndonesi banyak untuk mengelolanya.
Schraam dalam Astuti (2009) mencetuskan teori Jarum Hipodermik (hypodermic
needle theory) dalam istilah indonesia teori ini di kenal dengan teori peluru atau teori tolak
peluru. Teori ini mengasumsikan bahwa media memiliki kekuatan yang sangat perkasa dan
komunikan di anggap pasif atau tidak tahu apa-apa. Pesan-pesan komunikasi massa yang di
sampaikan kepada khalayak yang heterogen dapat di terima secara langsung tanpa memiliki
filter sama sekali.
Menurut Kuswandi (1993) dalam (Primianty, 2008) ada tiga dampak yang dapat
ditimbulkan dari acara televisi yang ditayangkan terhadap pemirsanya, yaitu:
1. Dampak kognitif, yaitu kemampuan seseorang atau pemirsa untuk menyerap dan
memahami acara yang ditayangkan televisi sehingga dapat melahirkan pengetahuan
bagi pemirsa.
2. Dampak peniruan, yaitu pemirsa dihadapkan pada trend-trend aktual yang
ditayangkan televisi.
3. Dampak perilaku, yaitu proses tertanamnya nilai-nilai sosial budaya yang telah
ditayangkan oleh acara televisi yang kemudian diterapkan dalam kehidupan pemirsa
sehari-hari.
Andika (2008) menyatakan bahwa salah satu cara untuk melihat pengaruh media
massa terhadap persepsi mereka adalah dengan melihat intensitas mereka dalam
menggunakan media massa, yang dalam penelitian ini disebut frekuensi dan durasi dalam
menonton iklan produk kecantikan. Selain itu, Goenawan (2007) menyatakan isi atau
subtansi iklan juga berhubungan dalam membentuk persepsi bagi seseorang yang
menggunakan media massa.
Citra perempuan kebanyakan dapat dilihat dalam penayangan peran perempuan
dalam iklan, khususnya iklan ditelevisi.Citra-citra tersebut adalah citra pigura, citra pilar,
citra peraduan, citra pinggan, dan citra pergaulan. Citra yang terdapat dalam iklan kosmetik
di televisi adalah citra pigura dan citra pergaulan.
Citra pigura adalah citra yang menekankan betapa pentingnya para wanita kelas
menengah dan atas untuk selalu tampil memikat. Ciri kewanitaan yang dibentuk oleh
32
budaya, seperti memiliki rambut panjang yang hitam pekat, mempunyai alis mata yang
tebal, kulit yang putih dan halus, dan pinggul dan perut yang ramping.
Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh data bahwa pada umumnya, wanita memiliki
citra negatif terhadap tubuhnya. Semakin tinggi usia wanita bekerja maka akan semakin
tinggi pula orientasi tubuhnya. Semakin tinggi kadar ketakutan seorang wanita, semakin
tinggi pula rasa ketidakpuasan wanita terhadap tubuhnya. Namun, wanita perkotaan lebih
mempedulikan penampilan fisiknya daripada wanita pedesaan karena wanita perkotaan
lebih banyak bekerja di sektor industri yang mempertimbangan kecantikan dalam merekrut
pekerja. Semakin tinggi tuntutan pekerjaan, maka akan semakin rendah orientasi tubuh
wanita bekerja.
Jika dikaitkan dengan tingkat pendidikan, semakin tinggi tingkat pendidikan formal
seseorang, maka semakin tinggi orientasi tubuh pada wanita yang bekerja. Wanita yang
memiliki pendidikan formal tinggi, sedang, dan rendah tetap memiliki citra negatif terhadap
tubuhnya.
Semakin tinggi gaya hidup wanita, maka semakin tinggi pula orientasi tubuh pada
wanita. Bentuk fisik adalah hal pertama kali dinilai dari seseorang perempuan ketika ia
melakukan interaksi sosial. Semakin tinggi kelompok sosial seseorang maka semkain
tinggi orientasi tubuh pada wanita yang bekerja. Hal ini didukung oleh budaya patrarkhi
yang mendorong wanita untuk mengedepankan penampilan fisikinya. Tampilan yang baik
sering diasosiasikan dengan status yang lebih tinggi, kesempatan yang lebih luas untuk
dapat menarik pasangan, dan kualitas positif lainnya.
Jika dikaitkan dengan pendapatan, semakin tinggi pendapatan wanita bekerja, maka
akan semakin tinggi orientasi tubuh wanita bekerja tersebut. Selain itu, semakin tinggi
penilaian sosial lingkungan keluarga terhadap penampilan wanita bekerja, maka akan
semakin rendah orientasi wanita bekerja tersebut terhadap penampilan tubuhnya. Begitu
juga dengan penilaian rekan kerja. Semakin tinggi penilaian rekan kerja seseorang semakin
rendah orientasi tubuh wanita yang bekerja.
Hasil yang diperoleh juga dikaitkan dengan substansi iklan produk kecantikan di
televisi. Semakin tinggi model wanita dan substansi iklan produk kecantikan di televisi,
maka semakin tinggi orientasi tubuh pada wanita bekerja. Semakin tinggi frekuensi
menyaksikan iklan produk kecantikan maka semakin tinggi orientasi tubuh pada wanita
yang bekerja. Semakin tinggi durasi menyaksikan tayangkan iklan produk kecantikan maka
semakin tinggi orientasi tubuh pada wanita yang bekerja.
Analisis :
Melalui penelitian ini, dapat diketahui bahwa karakterisitik individu, karakteristik
sosiologis, dan substansi iklan produk kecantikan berhubungan dengan orientasi tubuh
wanita serta dengan citra yang dimiliki wanita terhadap tubuhnya. Namun demikian, hasil
yang cukup menarik perhatian dalam penelitian ini adalah hasil dari hubungan antara
pendidikan formal (yang tergolong dalam karakteristik individu) terhadap orientasi tubuh
wanita. Pada penelitian ini, ditunjukkan hasil bahwa semakin tinggi pendidikan formal
wanita, semakin tinggi orientasi tubuh wanita serta semakin negatif citra yang dimiliki
wanita terhadap tubuhnya. Padahal semestinya pendidikan formal yang dimiliki perempuan
dapat lebih menyaring informasi yang mereka peroleh dari media massa mengenai iklan
produk yang mereka sadari bahwa iklan tersebut hanya berorientasi profit dengan menjual
33
komodifikasi tubuh perempuan serta menyebarkan nilai-nilai dan standar baru bagi
perempuan.
Selain itu, pada setiap rincian hasil penelitian selalu ada perbandingan antara wanita
perkotaan dan pedesaan tanpa ada tujuan yang jelas dari perbandingan tersebut. Jika hanya
ingin melihat keragaman hasil dari karakterisitik responden yang berbeda-beda, hal itu juga
dapat diperoleh dengan hanya meneliti dari responden perkotaan.
Karakteristik
wanita pekerja
(x1)
Orientasi wanita
bekerja (y)
Karakteristik
lingkungan sosial
(x2)
Iklan kecantikan
di televisi (x3)
Gambar 11. Hubungan Antar Konsep Jurnal 10
Tabel 10. Daftar Variabel Jurnal 10
Variabel
Sub Variabel
Karakteristik
- Pendidikan
wanita
- Usia
pekerja (x1)
- Pekerjaan
- Pendapatan
Karakteristik
lingkungan
sosial (x2)
-
Gaya hidup
Kelompok sosial
Penilaian sosial
Fakta Pendukung
Semakin tinggi usia wanita bekerja maka akan
semakin tinggi pula orientasi tubuhnya.
Semakin tinggi tuntutan pekerjaan, maka akan
semakin rendah orientasi tubuh wanita bekerja.
Jika dikaitkan dengan tingkat pendidikan,
semakin tinggi tingkat pendidikan formal
seseorang, maka semakin tinggi orientasi tubuh
pada wanita yang bekerja. Jika dikaitkan
dengan pendapatan, semakin tinggi pendapatan
wanita bekerja, maka akan semakin tinggi
orientasi tubuh wanita bekerja tersebut.
Semakin tinggi gaya hidup wanita, maka
semakin tinggi pula orientasi tubuh pada
wanita.Semakin tinggi kelompok sosial
seseorang maka semkain tinggi orientasi tubuh
pada wanita yang bekerja.
Selain itu, semakin tinggi penilaian sosial
lingkungan keluarga terhadap penampilan
34
wanita bekerja, maka akan semakin rendah
orientasi wanita bekerja tersebut terhadap
penampilan tubuhnya. Begitu juga dengan
penilaian rekan kerja. Semakin tinggi penilaian
rekan kerja seseorang semakin rendah orientasi
tubuh wanita yang bekerja.
Iklan
Substansi iklan
kecantikan di
televisi (x3)
Semakin tinggi model wanita dan substansi
iklan produk kecantikan di televisi, maka
semakin tinggi orientasi tubuh pada wanita
bekerja. Semakin tinggi frekuensi menyaksikan
iklan produk kecantikan maka semakin tinggi
orientasi tubuh pada wanita yang bekerja.
Semakin tinggi durasi menyaksikan tayangkan
iklan produk kecantikan maka semakin tinggi
orientasi tubuh pada wanita yang bekerja.
Orientasi
wanita
bekerja (y)
Wanita perkotaan lebih mempedulikan
penampilan fisiknya daripada wanita pedesaan
karena wanita perkotaan lebih banyak bekerja
di sektor industri yang mempertimbangan
kecantikan dalam merekrut pekerja
11. Judul
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Kota/Nama Penerbit
:
:
:
:
:
:
Nama Jurnal
:
Volume/Nomor/Halaman :
Alamat URL
:
Tanggal diunduh
:
Hubungan Gender dalam Representasi Iklan Televisi
2001
Jurnal
Elektronik
Arief Agung Suwasana
Jakarta/Fakultas Seni dan Desain, Universitas Kristen
Petra
Nirmana
3/1/1-16
http://cpanel.petra.ac.id/ejournal/index.php/dkv/article
/viewArticle/16061
5 Oktober 2014
Visualisasi representasi iklan menunjukkan adanya pemanfaatan fenomena kodekode sosial yang mengambil perspektif gender dalam interaksi anggota komunitas keluarga.
Perempuan dalam hal ini dijadikan sarana untuk mengidentifikasi produk untuk
menciptakan visibilitas ataupun citra produk. Sesungguhnya, dalam representasi iklan ini
terdapat pemahaman ideologi yang mempunyai perspektif gender. Dalam proses pembuatan
35
iklan di televisi, tak jarang proses kreatif dalam dimensi berkesenian ini upaya berkesenian
yang menyentuh bias gender di dalamnya.
Pemahaman gender perlu dikatikan dengan budaya masyarakat dalam menata
hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai peran dan kegiatannya. Gender
harus juga diartikan sebagai pembedaan jenis kelamin beserta tafsiran sifat-sifat yang
melekat pada dua jenis kelamin yang dikonstruksi secara sosial dan kultural. Misalnya,
perempuan dianggap lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki
dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa.
Secara ideal, masih terdapat anggapan bahwa peran utama perempuan ada di sekitar
rumah tangga dan tugas-tugas domestik. Sementara itu, posisi laki-laki lebih diidentikkan
dengan peran-peran publik, lebih memiliki kekuasaan dalam lingkup dan peran arena luar
rumah.
Fenomena sosial yang sering mendengungkan adanya ketidakadilan gender dalam
ranah domestik dan publik telah menyiratkan bahwa memang perempuan masih
didudukkan dalam posisi subordinat. Kerelaan atau kesadaran para perempuan untuk
dieksploitasi ataupun diposisikan sebagai objek komoditi telah memantapkan determinasi
antara dominasi dan subordinat.
Citra atau image merupakan gambaran mental yang muncul kala manusia
menginterpretasikan suatu objek yang tidak lagi melihat realita dan kualitas formal dari
objek, tapi ada sesuatu yang lain yang bisa bersifat pengalaman semantik, simbolik, maknamakna, ataupun pengalaman psikologis. Di dalam citra tersebut akan banyak mengandung
nilai dari estetis maupun moralitas.
Permasalahan yang menjadi wacana gender ini mulai timbul ketika estetisasi untuk
merefleksikan sebuah citra komoditas menyinggung bias gender di dalamnya.Penggunaan
jenis kelamin tertentu sebagai objek yang melegitimasi pemanfaatan produk maupun untuk
mencerminkan sebuah citra ada kalanya menjadi kontroversi sendiri dalam
memperdebatkan keadilan gender. Terlebih lagi jika rekonstruksi gender yang dikemas
dalam representasi iklan ditayangkan lewat media televisi yang kapasitas khalayaknya
sangat luas, tentu mempunyai dampak atau efek yang siginifikan.
Tak jarang representasi iklan di televisi dikemas dengan gaya slice of life,
berdasarkan potret kehidupan manusia yang menunjukkan aktivitas maupun rutinitas yang
bisa dijumpai di masyarakat.
Eksistensi ideologi feminisme sering digaungkan untuk merekonstruksi,
meredefinisi, ataupun mengeliminasi dominasi laki-laki (ideologi patriarkhi) sekaligus
mengangkat atau mereaktualisasikan peran kaum perempuan dalam konstruksi sosial.
Namun usaha ini masih memiliki beberapa hambatan. Secara ‘naturalis’, hal ini masih
diperteguh melalui berbagai aspek seperti kebijaksanaan dalam sistem politik, ekonomi,
industrialisasi, pendidikan, dan nilai-nilai budaya yang diinternalisasi.Salah satu sarana
yang ikut melestarikan ideologi gender ini adalah media massa sendiri yang kerap
menampilkan kode-kode sosial sebagai referensi konstruksi sosial terhadap perilaku dan
kehidupan sosial manusia.
Perempuan ditempatkan sebagai unsur estetisasi yang diharapkan mengangkat
kualitas produk/komoditi sekaligus upaya ‘refleksi fetis’ terhadap produk/komoditi itu
sendiri. Tubuh perempuan cenderung menjadi alat persuasif yang digunakan untuk menjual
36
berbagai produk.Dalam hal ini, pasar menjadi institusi patriarkhi yang telah mereproduksi
nilai seorang perempuan dengan sifat-sifat yang diturunkan dari ideologi yang patriarkhis.
Bentuk subordinasi ada kalanya juga timbul dari stereotipikasi yang ada dalam
interaksi sosial. Stereotip yang menyatakan perempuan yang baik adalah perempuan yang
harus bisa menjadi istri dan ibu rumah tangga, pada dasarnya merupakan pernyataan yang
diturunkan dari ideologi patriarkhis yang telah menjadi hegemoni ideologi yang
dilegitimasi dalam norma kultural.
Analisis :
Melalui penelitian ini, dapat ditemukan adanya kode-kode sosial yang disebarkan
melalui iklan berbagai produk di media massa. Kode-kode sosial tersebut dikonstruksi
berdasarkan realitas sosial yang sudah terjadi di masyarakat, termasuk dalam hal gender.
Peneliti berpendapat bahwa tidak jarang kreativitas dalam membuat iklan dilakukan dengan
seni yang menyentuh bias gender.
Citra atas suatu produk dinilai telah menyentuh permasalahan bias gender. Selain
tubuh, perempuan juga kerap kali dijadikan subjek gender yang menampilkan idealisasi
peran perempuan terhadap pemanfaatan produk dari iklan tersebut. Kedual hal ini
membuktikan bahwa tubuh perempuan dijadikan sesuatu yang bersifat persuasif untuk
menjual produk.
Namun demikian, penelitian ini tidak berfokus pada suatu hasil penelitian karena
tidak memiliki rumusan masalah atau tujuan penelitian sehingga tidak ditemukan variabel
apa yang dijadikan fokus penelitian. Selain itu, penelitian ini juga tidak mempertimbangkan
karakteristik perempuan yang diteliti atau yang menjadi objek komodifikasi oleh media
massa sehingga bisa saja penelitian ini dianggap tidak relevan bagi suatu kelompok
perempuan.
Budaya (x1)
Konstruksi realitas
gender di media
massa (y)
Konstruksi realitas
ketimpangan gender
Kebijakan (x2)
Gambar 12. Hubungan Antar Konsep Jurnal 11
Tabel 11. Daftar Variabel Jurnal 11
Variabel
Sub Variabel
Budaya patriarkhi
Nilai-nilai gender
(x1)
Fakta Pendukung
Stereotip yang menyatakan perempuan
yang baik adalah perempuan yang harus
bisa menjadi istri dan ibu rumah tangga,
pada dasarnya merupakan pernyataan yang
37
Kebijakan (x2)
Konstruksi
gender
di
massa (y)
-
Politik
Ekonomi
Industrialisasi
Pendidikan
realitas Iklan
media
Konstruksi
realitas
ketimpangan gender
12 Judul
.
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Kota/Nama Penerbit
Nama Jurnal
Volume/Nomor/Hala
man
Alamat URL
Tanggal diunduh
-
Subordinasi
Stereotip
diturunkan dari ideologi patriarkhis
Eksistensi ideologi feminisme sering
digaungkan
untuk
merekonstruksi,
meredefinisi,
ataupun
mengeliminasi
dominasi laki-laki (ideologi patriarkhi)
sekaligus
mengangkat
atau
mereaktualisasikan peran kaum perempuan
dalam konstruksi sosial. Namun usaha ini
masih memiliki beberapa hambatan. Secara
‘naturalis’, hal ini masih diperteguh
melalui
berbagai
aspek
seperti
kebijaksanaan dalam sistem politik,
ekonomi, industrialisasi, pendidikan, dan
nilai-nilai budaya yang diinternalisasi
Dalam proses pembuatan iklan di televisi,
tak jarang proses kreatif dalam dimensi
berkesenian ini upaya berkesenian yang
menyentuh bias gender di dalamnya.
Bentuk subordinasi ada kalanya juga
timbul dari stereotipikasi yang ada dalam
interaksi sosial.
: Peningkatan Kepekaan Gender dalam Jurnalisme
:
:
:
:
:
2004
Jurnal
Elektronik
Iwan Awaluddin
Yogyakarta/Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
: 7/3/351-376
: http://jurnalsospol.fisipol.ugm.ac.id/index.php/jsp/artic
le/view/188
: 7 Oktober 2014
Perbedaan gender lahir dari suatu proses pergumulan sosial, kultural, dan
psikologis. Proses tersebut dapat disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksikan
melalui indoktrinasi agama, pendidikan, tradisi, adat istiadat, maupun ideologi negara.
Dalam hal ini, media massa berperan sebagai sarana sosialisasi dan penyampaian pesan.
38
Secara psikologis, khalayak dipaksa menerima berita yang disodorkan kepadanya.
Hal ini berarti media yang mengontrol berita, bukan khalayak. Dalam jangka panjang, yang
dikonstruksikan oleh media dianggap suatu konstruksi yang benar tentang realitas sehingga
apa yang ditampilkan oleh media, diterima sesuatu yang alamiah. Pemilahan informasi oleh
redaktur media dihubungkan dengan agenda publik sehingga muncul apa yang disebut
agenda setting. Agenda setting ini yang menunjukkan makna bahwa media memiliki
kekuatan untuk menggerakkan perhatian orang-orang terhadap isu tertentu.
Dalam ranah industrial, media massa cenderung memperalat perempuan dengan
seluruh karakter yang bisa diperjualbelikan : kecantikan, kemolekan tubuh, dan seks - dada,
pinggul, bibir, dan paha – sebagai wujud patriarkhi laki-laki dan sistem kapitalisme untuk
menawarkan produk. Tulisan ini mencoba mengelaborasi faktor-faktor penting yang ikut
mendorong domestikasi jurnalisme sensitif gender dalam pemberitaan media di Indonesia
melalui berbagai strategi yang merupakan langkah taktis, solutif, dan aplikatif.
Posisi simbol atau tanda sangat ditentukan oleh kontruksi budaya tempat perempuan
dan media berada. Media umum yang hidup dalam dunia patriarkhi lebih menonjolkan
simbol maskulinitas. Tubuh perempuan dieksploitasi laki-laki sebagai pekerja semiotik
dengan mengendalikan tatanan simbolik dan bahasa semiotiknya, sehingga di dalam dunia
tersebut laki-laki dapat berada dalam kekuasaan fantasi dan obsesinya. Laki-laki menjadi
pencipta makna sedangkan perempuan hanya menjadi pembawa makna.
Penempatan perempuan sebagai objek dibangun berdasarkan ideologi patriarkhi
yang mengakar sehingga seringkali perempuan menjadi bahan eksploitasi media massa
yang dikelola oleh laki-laki (yang tidak sensitif gender). Hal ini dibangun oleh proses
pengalamiahan, ketimpangan, subordinasi, marjinalisasi di dalam hal gender. Ini lah yang
disebut common sense.
Pemberitaan kriminal yang melibatkan perempuan seringkali ditayangkan dengan
menggunakan kata-kata seksis dan bias gender memposisikan seolah-olah perempuan turut
andil dalam kasus tersebut padahal sebenarnya perempuan tersebut yang menjadi korban,
seperti kasus pemerkosaan. Selain itu, berita mengenai perempuan juga masih dianggap
sangat fenomenal –monumental, yaitu hanya pada momen-momen tertentu. Sementara itu,
media yang membidik perempuan sebagai audiensnya, seringkali terjebak pada
pemberdayaan perempuan di sektor domestik. Tayangan tersebut seringkali menampillkan
cara-cara perempuan untuk memasak, mengasuh dan merawat anak, serta membahagian
suami. Jarang sekali ada tayangan yang menganjurkan perempuan untuk berani duduk dan
bersuara di pemerintahan.
Kepentingan ekonomi politik menuntut para pemilik media tunduk kepada industri
atau pasar yang memang lebih permisif terhadap jurnalisme yang tidak sensitif gender.
Kehadiran perempuan sebagai komoditas media massa, telah mengangkat tiga persoalan.
Pertama, persoalan ekonomi politik tubuh, yaitu bagaimana tubuh perempuan digunakan
dalam berbagai aktivitas ekonomi berdasarkan pada konstruksi sosial atau ideologi tertentu.
Kedua, persoalan ekonomi politik tanda, yaitu bagaimana perempuan ‘diproduksi’ sebagai
tanda-tanda di dalam sistem pertandaan yang membentuk citra, makna, dan identitas diri
mereka di dalamya. Ketiga, persoalan ekonomi politik hasrat, yaitu bagaimana hasrat
perempuan disalurkan atau direpresi di dalam berbagai bentuk komoditas, khususnya
komoditas hiburan.
39
Analisis :
Melalui penelitian ini, dapat diketahui bahwa perempuan seringkali menjadi objek
eksploitasi oleh media massa yang pada umumnya dikelola oleh laki-laki. Pemberitaan
mengenai kriminalitas yang berkaitan dengan perempuan seringkali dibahasakan dengan
bahasa yang menjatuhkan perempuan. Selain itu, berbagai tayangan di televisi justru
memperkuat domesikasi peran perempuan. Melalui penelitian ini juga diperoleh faktorfaktor yang melanggengkan domestikasi jurnalisme, yaitu kepentingan ekonomi politik
yang mengharuskan media tunduk kepada industri atau pasar yang memang lebih tertarik
dengan jurnalisme yang tidak sensitif gender.
Tayangan yang demikian ditayangkan dalam jangka panjang hingga
mengkonstruksi suatu realitas sosial mengenai gender hingga dianggap sebagai suatu realita
yang mutlak dan alamiah. Menurut penelitian ini, konstruksi realitas sosial yang demikian
terwujud karena media memaksa khalayak untuk menonton berita yang disodorkan oleh
media tersebut atau dalam kata lain, media yang mengontrol berita sehingga khalayak tidak
mampu mengontrol berita yang ingin diterimanya. Padahal, khalayak sebagai pemirsa dapat
mengendalikan remote control untuk menghindari tayangan yang tidak disukainya. Iklan
televisi bisa saja tidak memengaruhi di masyarakat, karena kebiasaan pemirsa menonton
televisi yang tidak selalu konsisten dengan salah satu stasiun televisi.
Budaya patriarkhi
(x1)
Substansi media
massa (y1)
Kekerasan seksual
(y2)
Kekuasaan (x2)
Gambar 13. Hubungan Antar Konsep Jurnal 12
Tabel 12. Variabel jurnal 12
Variabel
Sub Variabel
Budaya
Nilai-nilai gender
patriarkhi (x1)
Kekuasaan (x2)
-
Ekonomi
Politik
Substansi media
massa (y1)
-
Berita
Iklan
Fakta Pendukung
Media umum yang hidup dalam dunia
patriarkhi lebih menonjolkan simbol
maskulinitas
Kepentingan
ekonomi
politik
menuntut para pemilik media tunduk
kepada industri atau pasar yang
memang lebih permisif terhadap
jurnalisme yang tidak sensitif gender.
Pemberitaan kriminal yang melibatkan
perempuan seringkali ditayangkan
dengan menggunakan kata-kata seksis
40
dan bias gender memposisikan seolaholah perempuan turut andil dalam
kasus tersebut padahal sebenarnya
perempuan tersebut yang menjadi
korban.
Kekerasan
seksual
-
Ekspolitasi
Subordinasi
Marjinalisasi
13. Judul
Penempatan perempuan sebagai objek
dibangun
berdasarkan
ideologi
patriarkhi yang mengakar sehingga
seringkali perempuan menjadi bahan
eksploitasi media massa yang dikelola
oleh laki-laki (yang tidak sensitif
gender). Hal ini dibangun oleh proses
pengalamiahan,
ketimpangan,
subordinasi, marjinalisasi di dalam hal
gender. Ini lah yang disebut common
sense.
: Pengaruh Iklan, Citra Merek, dan Kepuasan
Konsumen Terhadap Loyalitas Konsumen dalam
Menggunakan Vaselin Hand Body Lotion di Kota
Padang
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
:
:
:
:
Kota/Nama Penerbit
Nama Jurnal
Nomor/Volume/Halaman
Alamat URL
:
:
:
:
Tanggal Diunduh
:
2012
Jurnal
Elektronik
Nila Kesuma Dewi, SE, Gus Andri , SE., MM,
Sepris Yonaldi, SE., MM
Padang
Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan
2/3
http://blog.ub.ac.id/dinaandri/files/2013/03/JurnalManajemen-dan-Kewirausahaan.pdf
5 November 2014
Salah satu produk yang mengiklankan produknya adalah Vaseline Hand and Body
Lotion. Vaseline diakui oleh U.S. Food and Drug Administration sebagai protektan kulit
yang diterima dan secara luas digunakan untuk perawatan kosmetik ( www.unilever.com ,
diakses tanggal 09 Januari 2012). Menurut Kertajaya (2004) Vaseline Hand and Body
Lotion adalah sebuah produk inovatif yang sangat berpotensi untuk terus berkembang
dimasa yang akan datang.
Untuk meraih pangsa pasar yang lebih besar Vaseline Hand and Body Lotion
melakukan berbagai strategi untuk menciptakan keunggulan dalam bersaing. Salah satu
41
strategi yang dikembangkan perusahaan adalah menjaga konsistensi mutu dan kualitas
produk. Strategi tersebut dilakukan untuk menjaga citra merek dalam persepsi konsumen.
Untuk mempertahankan citra positif dalam diri konsumen Vaseline Hand and Body Lotion
terus mempertahankan standar mutu dan kualitas yang mereka miliki, serta melakukan
proses inovasi dan pengembangan produk untuk penyempurnaan produk.
Berdasarkan uraian ringkas tersebut penulis merasa tertarik untuk mengangkat
permasalahan Iklan, Citra Merek dan Kepuasan Konsumen dalam menggunakan Vaseline
Hand and Body Lotion sebagai indikator utama yang mempengaruhi terbentuknya
Loyalitas dalam diri konsumen. Tujuan yan ingin dicapai dalam Penelitian ini adalah: a).
Untuk menguji dan menganalisa pengaruh Iklan terhadap Loyalitas Konsumen dalam
mengunakan Vaseline Hand and Body Lotion di Kota Padang, b). Untuk menguji dan
menganalisa pengaruh Citra Merek terhadap Loyalitas Konsumen dalam mengunakan
Vaseline Hand and Body Lotion di Kota Padang, c). Untuk menguji dan menganalisa
pengaruh Kepuasan Konsumen terhadap Loyalitas Konsumen dalam mengunakan Vaseline
Hand and Body Lotion di Kota Padang, d). Untuk menguji dan menganalisa pengaruh
Iklan, Citra Merek, Kepuasan Konsumen terhadap Loyalitas Konsumen dalam mengunakan
Vaseline Hand and Body Lotion di Kota Padang.
Kotler dan Armstrong (1997) mendefinisikan periklanan adalah segala bentuk
penyajian non personal dan promosi ide, barang dan jasa dari suatu sponsor tertentu yang
memerlukan pembayaran. Sedangkan pengertian Iklan menurut Rhenald Kasali (2000)
ialah pesan dari produk, jasa atau ide yang disampaikan kepada masyarakat melalui suatu
media yang di arahkan untuk menarik konsumen.
Iklan pada dasarnya bertujuan untuk memperkenalkan, mengingatkan, mengajak
dan menjaga hubungan dengan konsumen akan tertarik pada produk yang ditawarkan.
Menurut Kotler (2002:658) Tujuan periklanan adalah salah satu tugas komunikasi spesifik
dan level keberhasilan yang harus dicapai atas audiens spesifik pada periode waktu yang
spesifik. Menurut Kotler (2002:659) tujuan iklan berdasarkan sasarannya untuk
menginformasikan, membujuk, atau mengingat yaitu: 1) Periklanan informative, 2)
Periklanan persuasif, 3) Iklan pengingat
Kotler (2002:659) membagi iklan kepada empat golongan:
1. Informative Advertising, digunakan oleh perusahaan disaat terjadi peluncuran
produk baru, berguna untuk memberitahukan pada masyarakat atau pasar tentang
keberadaan produk baru, menginformasikan kegunaan baru, perubahan harga, cara
kerja, pelayanan, memperbaiki kesalahan persepsi, membangun citra merek
perusahaan.
2. Persuasive Advertising, menjadi sangat vital disaat persaingan di pasar meningkat,
perusahaan bertujuan membentuk permintaan sehingga konsumen memilih produk
yang dihasilkan perusahaan dibandingkan produk lain.
3. Comparison Advertising, adalah variasi dari iklan persuasif yang bentuknya
membandingkan langsung suatu merek dengan merek lain.
4. Reminder Advertising, adalah tipe iklan yang sangat vital bagi produk yang berada
pada tahap dewasa, iklan membuat konsumen selalu mengingat keberadaan produk.
42
Untuk mengukur efektifitas iklan ada tiga kriteria yang dapat digunakan menurut
Durianto (2003:15), yaitu penjualan, pengingatan dan persuasi. Efektifitas periklanan yang
berkaitan dengan penjualan dapat diketahui melalui riset tentang dampak penjualan. Ada
tiga pertimbangan untuk meningkatkan efektivitas periklanan : a) Melakukan positioning,
b) Gagasan atau ide-ide, c) Pendekatan kepada khalayak mesti tepat.
Menurut David dkk (dalam Kasali, 1995) secara umum bahwa iklan mempunyai
dampak sebagi berikut:
a) Menarik calon konsumen menjadi konsumen loyal dalam jangka waktu tertentu.
b) Mengembangkan sikap positif calon konsumen yang diharapkan dapat menjadi
pembeli yang potensial masa datang.
Menurut Kotler (2001 : 225) citra merek adalah serangkaian keyakinan atau
kepercayaan yang dipegang konsumen terhadap produk tertentu. Menurut Shimp (2003 :
12) citra dari suatu merek merupakan dimensi kedua dari pengetahuan tentang merek yang
berdasarkan konsumen.
Beberapa manfaat memiliki merek yang kuat menurut Susanto dan Wijanarko (2004
: 2) sebagai berikut :
1. Merek yang kuat akan membangun loyalitas dan loyalitas akan mendorong binis
terulang kembali. Studi dari Bob Psokoff menunjukkan bahwa peningkatan loyalitas
konsumen sebesar 5% dapat menaikkan keuntungan lifetime dari konsumen hingga
100%. Selain itu peningkatanloyalitas konsumen sebesar 2 % setara dengan
penurunan biaya sebesar 10 %
2. Merek yang kuat memungkinkan tercapainya harga premium dan akhirnya
memberikan harga yang lebih tinggi
3. Merek yang kuat merupakan suatu pembeda yang jelas, bernilai dan
berkesinambungan menjadi ujung tombak bagi daya saing perusahaan serta sangat
membantu dalam strategi pemasaran
4. Merek yang kuat memberikan jaminan fokus internal dan eksekusi merek
5. Merek yang kuat umumnya memberikan pemahaman bagi karyawan tentang posisi
merek tersebut dan apa yang dibutuhkan untuk menopang reputasi atau janji yang
diberikan merek itu
6. Merek yang kuat juga akan memberikan kejelasan atau strategi karena setiap
anggota organisasi mengetahui posisinya dan bagaimana cara menghidupkannya
dimata pelanggan
7. Dengan basis merek yang kuat, pelanggan yang loyal mungkin akan mengabaikan
jika suatu saat perusahaan membuat kesalahan.
Citra merek yang efektif memiliki dua hal :
1. Menetapkan karakter produk dan usulan nilai
2. Menyampaikan karakter itu dengan cara yang berbeda sehingga tidakdikacaukan
oleh karakter pesaing.
Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian deskriptif kuantitatif yang
menggambarkan atau lukisan secara sistematis, faktual dan aktual mengenai fakta, sifatsifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Pada penelitian ini, variabel yang
diteliti adalah iklan, citra merek, kepuasan konsumen, dan loyalitas konsumen.
1. Pengaruh Iklan terhadap Loyalitas Konsumen
43
Dari uji hipotesis yang dilakukan ditemukan bahwa iklan berpengaruh signifikan
terhadap loyalitas konsumen dalam menggunakan produk Vaseline Hand and Body
Lotion di kota Padang.
2. Pengaruh citra merek terhadap loyalitas konsumen
Dari uji hipotesis yang dilakukan ditemukan bahwa citra merek berpengaruh
signifikan terhadap loyalitas konsumen dalam menggunakan produk Vaseline Hand
and Body Lotion di kota Padang.
3. Pengaruh kepuasan konsumen terhadap loyalitas konsumen
Dari uji hipotesis yang dilakukan ditemukan bahwa kepuasan konsumen memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap loyalitas konsumen di kota Padang. Hal ini
mengidenifikasikan bahwa kepuasan konsumen menentukan loyalitas konsumen
Vaseline Hand and Body Lotion.
4. Pengaruh Iklan, Citra Merek, Kepuasan Konsumen secara bersama-samaterhadap
Loyalitas Konsumen Vaseline Hand and Body Lotion dikota Padang.
Dari pengujian hipotesis yang dilakukan, terlihat bahwa Iklan, Citra Merek, dan
Kepuasan Konsumen secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap
Loyalitas Konsumen di kota Padang. Ini berarti bahwa konsumen telah menaruh
perhatian terhadap produk Vaseline Hand and Body Lotion.
Analisis :
Berdasarkan penelitian tersebut, dapat dilihat bahwa variabel yang diteliti adalah
iklan, citra merk, kepuasan konsumen, dan loyalitas konsumen. Menurut saya, penelitian
ini mengabaikan karakteristik konsumen yang heterogen di mana tidak semua khalayak
yang menyaksikan iklan memiliki latar belakang yang sama dan memiliki keputusan yang
sama setelah menyaksikan iklan dan citra merek dari produk yang diiklankan.
Selain itu, terdapat kejanggalan pada perumusahan masalah yang keempat.
Perumusan masalah tersebut sebenarnya sudah perumusan masalah sebelumnya sehingga
perumusan masalah keempat terkesan seperti rangkuman dari keseluruhan jawaban dari
perumusan masalah
Iklan (x1)
Loyalitas
konsumen (y)
Citra merek (x2)
Kepuasan konsumen (x3)
Gambar 14. Hubungan Antar Konsep Jurnal 13
44
Tabel 13. Daftar Variabel Jurnal 13
Variabel
Sub Variabel
- Golongan iklan
Iklan (x1)
- Dampak iklan
Citra merek
(x2)
Kepuasan
konsumen (x3)
Loyalitas
konsumen (y)\
-
Manfaat merek
Fakta Pendukung
Iklan pada dasarnya bertujuan untuk
memperkenalkan, mengingatkan, mengajak
dan menjaga hubungan dengan konsumen
akan tertarik pada produk yang ditawarkan.
Citra merek berpengaruh signifikan terhadap
loyalitas konsumen dalam menggunakan
produk Vaseline Hand and Body Lotion di
kota Padang.
Dari uji hipotesis yang dilakukan ditemukan
bahwa Kepuasan konsumen memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap loyalitas
konsumen di kota Padang
Dari pengujian hipotesis yang dilakukan,
terlihat bahwa Iklan, Citra Merek, dan
Kepuasan Konsumen secara bersama-sama
berpengaruh signifikan terhadap Loyalitas
Konsumen di kota Padang. Ini berarti bahwa
konsumen telah menaruh perhatian terhadap
produk Vaseline Hand and Body Lotion.
RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN
Media Massa
a) Pengertian, Fungsi, dan Dampak Media Massa
Media massa merupakan media berfungsi sebagai wadah komunikasi (pertukaran
atau penyampaian informasi), dan hiburan dengan jangkauan komunikasi yang lebih luas
dibandingkan dengan komunikasi interpersonal, komunikasi kelompok, dan lain-lain serta
dengan waktu yang relatif lebih singkat. Media massa berperan sebagai sarana sosialisasi
dan penyampaian pesan. Pesan atau informasi yang disajikan oleh media massa pada
umumnya bersifat persuasif yang dapat membentuk opini publik. Koran, majalah, televisi,
radio, bahkan internet dan beberapa bentuk dari media massa. Jika dilihat dari fungsinya,
media massa biasanya dianggap sebagai sumber berita dan hiburan.
Dampak terbesar yang dapat dirasakan oleh khalayak bisa jadi disalurkan melalui
media televisi mengingat televisi adalah suatu bentuk media massa yang paling sempurnya
dibandingkian dengan media massa lainnya. Televisi berfungsi untuk melayani konsumen
atau khalayak yang anonim, heterogen, dan tersebar namun kini menjadi media pembentuk
realitas khalayak.
Televisi memiliki unsur visual dan audiovisual sehingga jangkauan dan khalayak
yang dituju dapat lebih luas dan heterogen. Menurut Kuswandi (1993) dalam (Primianty,
2008) ada tiga dampak yang dapat ditimbulkan dari acara televisi yang ditayangkan
terhadap pemirsanya, yaitu:
1. Dampak kognitif, yaitu kemampuan seseorang atau pemirsa untuk menyerap dan
memahami acara yang ditayangkan televisi sehingga dapat melahirkan pengetahuan
bagi pemirsa.
2. Dampak peniruan, yaitu pemirsa dihadapkan pada trend-trend aktual yang
ditayangkan televisi.
3. Dampak perilaku, yaitu proses tertanamnya nilai-nilai sosial budaya yang telah
ditayangkan oleh acara televisi yang kemudian diterapkan dalam kehidupan pemirsa
sehari-hari.
Andika (2008) menyatakan bahwa salah satu cara untuk melihat pengaruh media
massa terhadap persepsi mereka adalah dengan melihat intensitas mereka dalam
menggunakan media massa, yang dalam penelitian ini disebut frekuensi dan durasi dalam
menonton iklan produk kecantikan.
b) Penguasaan Media Massa
Dalam kenyataannya, selain berfungsi sebagai wadah komunikasi dan penyebar
informasi, media juga menjadi alat legistimasi kepentingan kelas yang memiliki dan
mengontrol media melalui produksi kesadaran dan laporan palsu tentang realitas objektif
yang sudah bias karena dibuntuti oleh kepentingan baik secara politik maupun ekonomis.
Selain itu, , media menjadi salah satu faktor dengan pengaruh terbesar dalam pembentukan
pencitraan di masyarakat.
Media menjadi alat yang sempurna untuk menyebarkan hegemoni sang penguasa
kepada masyarakat. Dari situ akan terbentuk ideologi baru pada benak masyarakat sesuai
dengan keinginan para penguasa. Konstruksi ideologi baru tersebut berawal dari ideologi
46
kelas dominan yang direpresentasikan oleh iklan pada media massa hingga proses
hegemoni terwujud.
Schraam dalam Astuti (2009) mencetuskan teori Jarum Hipodermik (hypodermic
needle theory) dalam istilah indonesia teori ini di kenal dengan teori peluru atau teori tolak
peluru. Teori ini mengasumsikan bahwa media memiliki kekuatan yang sangat perkasa dan
komunikan di anggap pasif atau tidak tahu apa-apa.
Secara psikologis, khalayak dipaksa menerima berita yang disodorkan kepadanya.
Hal ini berarti media yang mengontrol berita, bukan khalayak. Dalam jangka panjang, yang
dikonstruksikan oleh media dianggap suatu konstruksi yang benar tentang realitas sehingga
apa yang ditampilkan oleh media, diterima sesuatu yang alamiah. Pemilahan informasi oleh
redaktur media dihubungkan dengan agenda publik sehingga muncul apa yang disebut
agenda setting. Agenda setting ini yang menunjukkan makna bahwa media memiliki
kekuatan untuk menggerakkan perhatian orang-orang terhadap isu tertentu.
Komunikasi Massa
a) Pengertian dan Ciri-Ciri
Komunikasi massa menurut Tan dan Wright (1991) dalam (Primianty, 2008)
merupakan salah satu bentuk yang menggunakan saluran (media) dalam menghubungkan
komunikator dan komunikan secara massal, berjumlah banyak, bertempat tinggal yang jauh
(terpencar), sangat heterogen dan menimbulkan efek tertentu.
Komunikasi massa juga mempunyai beberapa ciri-ciri khusus yang disebabkan oleh
komponen-komponennya, ciri-ciri tersebut adalah : 1) sifat pesan terbuka, 2) memiliki
khalayak yang variatif baik dari segi usia, agama, suku, pekerjaan maupun kebutuhan, 3)
sumber dan penerima dihubungkan oleh saluran yang diproses secara mekanik, 4) sumber
merupakan suatu lembaga atau institusi, 5) komunikasi berlangsung satu arah, 6) cenderung
memiliki umpan balik yang lambat (tertunda) dan sangat terbatas, 7) sifat penyebaran pesan
berlangsung cepat, serempak, luas, mampu mengatasi jarak dan waktu, serta dapat bertahan
lama bila didokumentasikan, dan 8) membutuhkan biaya produksi yang cukup mahal serta
memerlukan tenaga kerja professional yang relatif banyak untuk mengelolanya.
Iklan
a) Pengertian
Televisi menjadikan iklan sebagai sumber pemasukan utama. Iklan tersebut pada
dasarnya bertujuan untuk memperkenalkan berbagi produk kepada khalayak dan membujuk
khalayak untuk membeli produk tersebut. Dalam hal ini, dapat dikatakan media massa
(iklan) merupakan alat persuasif dalam menjual berbagai komoditas.
Kotler dan Armstrong (1997) mendefinisikan periklanan adalah segala bentuk
penyajian non personal dan promosi ide, barang dan jasa dari suatu sponsor tertentu yang
memerlukan pembayaran. Sedangkan pengertian Iklan menurut Kasali (2000) ialah pesan
dari produk, jasa atau ide yang disampaikan kepada masyarakat melalui suatu media yang
di arahkan untuk menarik konsumen.
b) Fungsi dan Tujuan
Ada 3 fungsi iklan dalam media massa, yang pertama sebagai fungsi informasi yang
mengkomunikasikan informasi produk, ciri-ciri, dan lokasi penjualan. Kedua ialah sebagai
fungsi persuasif, yaitu membujuk para konsumen untuk membeli produk atau mengubah
47
sikap konsumen atas suatu produk. Ketiga, ialah sebagai fungsi pengingat, yaitu terus
mengingatkan konsumen mengenai suatu produk. Mencakup Iklan yang bersifat persuasif
ini dapat membentuk kesadaran palsu masyarakat.
Iklan pada dasarnya bertujuan untuk memperkenalkan, mengingatkan, mengajak
dan menjaga hubungan dengan konsumen akan tertarik pada produk yang ditawarkan.
Menurut Kotler (2002:658) Tujuan periklanan adalah salah satu tugas komunikasi spesifik
dan level keberhasilan yang harus dicapai atas audiens spesifik pada periode waktu yang
spesifik. Menurut Kotler (2002:659) tujuan iklan berdasarkan sasarannya untuk
menginformasikan, membujuk, atau mengingat yaitu: 1) Periklanan informative, 2)
Periklanan persuasif, 3) Iklan pengingat
c) Golongan Iklan
Kotler (2002:659) membagi iklan kepada empat golongan:
1. Informative Advertising, digunakan oleh perusahaan disaat terjadi peluncuran
produk baru, berguna untuk memberitahukan pada masyarakat atau pasar tentang
keberadaan produk baru, menginformasikan kegunaan baru, perubahan harga, cara
kerja, pelayanan, memperbaiki kesalahan persepsi, membangun citra merek
perusahaan.
2. Persuasive Advertising, menjadi sangat vital disaat persaingan di pasar meningkat,
perusahaan bertujuan membentuk permintaan sehingga konsumen memilih produk
yang dihasilkan perusahaan dibandingkan produk lain.
3. Comparison Advertising, adalah variasi dari iklan persuasif yang bentuknya
membandingkan langsung suatu merek dengan merek lain.
4. Reminder Advertising, adalah tipe iklan yang sangat vital bagi produk yang berada
pada tahap dewasa, iklan membuat konsumen selalu mengingat keberadaan produk.
d) Komunikasi Iklan
Komunikasi iklan adalah komunikasi persuasif yang berisi informasi mengenai
produk atau jasa yang ditawarkan agar pesan dapat dipahami, diterima, dan disimpandiingat dengan tujuan menarik minat konsumen dan membujuk konsumen untuk
melakukan hal sesuai dengan keinginan komunikator.
Komunikasi yang berlangsung pada iklan adalah komunikasi persuasif yang berisi
informasi mengenai produk atau jasa yang ditawarkan agar pesan dapat dipahami, diterima,
dan disimpan-diingat dengan tujuan menarik minat konsumen dan membujuk konsumen
untuk melakukan hal sesuai dengan keinginan komunikator. Namun kecenderungan yang
tampak ialah iklan tidak hanya mengiklankan fungsi atau kegunaan dari suatu produk,
melainkan juga memberikan nilai pada suatu produk sehingga membuka peluang bias
penafsiran melalui citra yang ditampilkan pada iklan tersebut.
e) Citra dan Ideologi Iklan
Iklan merupakan sebuah media yang tidak hanya menawarkan produk, melainkan
juga menawarkan ideologi, gaya hidup, dan imaji. Iklan sebenarnya merupakan
cerminan dari ciri budaya yang ada di masyarakat. Kebudayaan merupakan proses
pemerdekaan diri serta suatu bentuk ekspresi yang bercirikan fungsional. Dari segi
48
budaya, iklan merupakan wujud implementasi dari pandangan-pandangan tentang
realitas sosial yang ada di masyarakat.
Citra atau image tersebut merupakan gambaran mental yang muncul kala manusia
menginterpretasikan suatu objek yang tidak lagi melihat realita dan kualitas formal dari
objek, tapi ada sesuatu yang lain yang bisa bersifat pengalaman semantik, simbolik, maknamakna, ataupun pengalaman psikologis.
Melalui citra yang disebarkan melalui iklan, media menjadi alat yang sempurna
untuk menyebarkan hegemoni sang penguasa kepada masyarakat. Konstruksi ideologi baru
tersebut berawal dari ideologi kelas dominan yang direpresentasikan oleh iklan pada media
massa hingga proses hegemoni terwujud. Para penguasa yang dimaksud termasuk penguasa
ekonomi dan politik yang mempengaruhi peristiwa yang menjadi berita.
Media dan iklan yang terus mengekspos gaya dan kehidupan selebritis serta produkproduk metroseksual menjadi umpan yang menarik perhatian publik. Berbagai citraan luar
telah menjadi media dalam menkomunikasikan dan mengangkat makna, menata, dan
memanipulasi identitas sosial sehingga terjadi perubahan nilai, budaya, dan gaya hidup.
Dalam hal ini, fungsi periklanan telah bergeser dari penekanan rasionalitas terhadap
kepuasan fungsional menjadi penekanan atas keikutsertaan kemampuan audiens dalam
menciptakan tampakan-tampakan luar dari makna melalui manipulasi ikatan dan
pemunculan yang pada akhirnya menjadi ciri yang konstan dari modernitas akhir.
Gaya Hidup
a) Pengertian
Gaya hidup adalah pola-pola tindakan yang membedakan antara satu orang dengan
orang yang lainnya. Pola-pola kehidupan ini terkadang diartikan sebagai suatu budaya yang
mengandung kebiasaan, sikap, dan nilai-nilai mereka serta pemahaman yang sama
menyatukan mereka sebagai suatu kelompok masyarakat. Chaney mendefinisikan gaya
hidup dengan menggunakan tema pendekatan sosial, yaitu situs dan strategi. Melalui segi
pandang situs, gaya hidup merupakan metaphor fisik bagi ruang-ruang yang disediakan dan
dikontrol oleh aktor (individu atau kelompok). Dari segi pandang strategi gaya hidup
merupakan cara-cara khas perjanjian sosial atau narasi-narasi dari identitas dimana individu
atau kelompok dapat menyimpan metafor-metafor yang ada. Sementara itu, cara hidup
memiliki ciri-ciri khas seperti norma, ritual, pola-pola tatanan sosial, dialek atau cara
berbicara yang khas.
b) Klasifikasi Gaya Hidup
Savage, et al. dalam Chaney (2004) membuat klasifikasi gaya hidup bagi kelas
menengah menjadi tiga: asketis, posmodern dan awam (undistinctive).Ciri nyata dari gaya
hidup posmodern adalah kecenderungan melakukan perayaan-perayaan gaya hidup tertentu
dan terjadi pengaburan pembedaan gaya konvensional dimana ekstravaganza tingkat tinggi
berlangsung terus bersama budaya tubuh.
Gender
a) Pengertian
Gender merupakan pemilahan yang dibuat atas dasar sosial dan sering bersifat
absolut karena sering dipaksakan oleh kekuasaan struktural. Perempuan menjalankan
49
fungsi sebagai perempuan dan menjalankan orientasi yang bersifat feminin sedangkan lakilaki menjalankan fungsinya sebagai laki-laki dan menjalankan orientasi yang bersifat
maskulin.
Gender adalah konstruksi sosial budaya yang dibentuk melalui proses panjang
dalam kehidupan berbudaya. Karakterkstik maskulin yang identik dengan laki-laki
dikatikan dengan tiga sifat khusus, yaitu kuat, keras, beraroma keringat. Sementara itu,
karakteristik perempuan dikaitkan dengan sifat yang lemah lembut, dan beraroma wangi.
Seseorang melaksanakan peran jenis kelamin karena situasi memungkinkan
seseorang berperilaku sebagai laki-laki dan perempuan dan sejauh mana orang mengakui
perilakunya. Peran ibu dalam masa kini jauh lebih komplek lagi, tidak sekedar urusan
domestik melainkan juga mencari nafkah dan bekerja di sektor publik.
Pemahaman gender perlu dikatikan dengan budaya masyarakat dalam menata
hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai peran dan kegiatannya. Gender
harus juga diartikan sebagai pembedaan jenis kelamin beserta tafsiran sifat-sifat yang
melekat pada dua jenis kelamin yang dikonstruksi secara sosial dan kultural. Misalnya,
perempuan dianggap lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki
dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa.
b) Ketimpangan Gender
Sejak lahir, pikiran masyarakat mengenai perempuan dan laki-laki telah dibentuk
oleh budaya yang ada. Perbedaan gender lahir dari suatu proses pergumulan sosial, kultural,
dan psikologis. Proses tersebut dapat disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksikan
melalui indoktrinasi agama, pendidikan, tradisi, adat istiadat, maupun ideologi negara.
Stereotip berkaitan dengan seks dan gender, yaitu konsep sosial yang berhubungan
dengan pembedaan karakter psikologi dan fungsi sosial antara perempuan dan laki-laki
yang dikaitkan dengan anatomi jenis kelaminnya.
Secara ideal, masih terdapat anggapan bahwa peran utama perempuan ada di sekitar
rumah tangga dan tugas-tugas domestik. Sementara itu, posisi laki-laki lebih diidentikkan
dengan peran-peran publik, lebih memiliki kekuasaan dalam lingkup dan peran arena luar
rumah.
Fenomena sosial yang sering mendengungkan adanya ketidakadilan gender dalam
ranah domestik dan publik telah menyiratkan bahwa memang perempuan masih
didudukkan dalam posisi subordinat. Kerelaan atau kesadaran para perempuan untuk
dieksploitasi ataupun diposisikan sebagai objek komoditi telah memantapkan determinasi
antara dominasi dan subordinat.
Stereotip gender merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi posisi perempuan
dan laki-laki dalam konstruksi sosial masyarakat. Ideologi gender juga tidak dapat
dilepaskan dari nilai-nilai kultural masyarakat dan berkaitan erat dengan budaya dan
sejarahnya. Masih adanya kecenderungan ketidakadilan gender dapat disebabkan oleh
beeberapa faktor, yaitu politik, ekonomi, dan kelompok dominan yang ada pada struktur
masyarakat, periklanan, media massa, pendidikan, dan cara pandang dari sudut agama
terhadap gender. Selain itu, ketimpangan gender seringkali terjadi karena adanya nilai-nilai
kapitalis dan budaya patrarkhi yang saling menguntungkan sehingga tidak menghilangkan
fakta tentang adanya kecenderungan stereotip, diskriminatif, bahkan dominasi laki-laki atas
perempuan dalam struktur organisasi kerja media.
50
Perbedaan jenis dan orientasi seksual menimbulkan pola sosial dalam masyarakat
yang memperbedakan kategori sosial sehingga muncul sistem kekerabatan patrilinial (atas
dasar garis ayah) dan matrilinial (garis ibu) yang memiliki dimensi kultural. Ketidakadilan
gender sebenarnya muncul dari konstruksi sosial, mayoritas menindas minoritas.
Perempuan dalam posisinya seringkali dianggap powerless karena nilai-nilai yang
mendasari peran-peran sosial, karenanya berada pada posisi minoritas. Dalam konstruksi
sosial patriarkhi, laki-laki ditempatkan di ruang publik sementara perempuan ditempatkan
di ruang privat. Sumber kekuasaan sebagai penyebab ketidakadilan ini mulai dari institusi
birokrasi negara atau masyarakat itu sendiri.
Perbedaan maskulinitas dan feminitas dalam wacana gender tidak berhubungan
dengan perbedaan biologis namun lebih kepada perbedaan orientasi budaya. Dalam hal
tersebut, masih ada isu ketidakadilan gender berupa stereotip yang merupakan pelabelan
attau penandaan terhadap kelompok tertentu. Posisi maskulinitas dikonstruksikan lebih
dominan dari pada feminitas. Isu ini dipengaruhi juge oleh budaya patriarkhi yang
membenarkan dominasi laki-laki.
Stereotip laki-laki lebih dekat dengan logika dan rasio sedangkan perempuan
cenderung ke arah emosional, daya analisisnya kurang, dan lebih lemah dari laki-laki.
Peran perempuan pada tayangan media massa terkadang hanya menjadi pemanis atau
disubordinasikan, terbatas hanya pada wilayah domestik, kecantikan atau perawatan diri.
Perempuan harus tampil dengan menonjolkan daya tarik seksual, harus bersedia
mengalami pelecehan seksual, dan harus memaklumi perilaku seksual agresif laki-laki.
Perempuan sering menjadi obyek yang dapat menjadi sumber daya tarik serta
merefleksikan citra. Secara general, perempuan memang belum bisa dilepaskan dari
wilayah domestik. Meskipun sudah berpeluang berpartisipasi di wilayah publik, namun
kualitas posisi strategis yang diterima perempuan belum tergolong baik.
Pria menurut pandangan umum adalah sosok yang jantan, kekar, dan mendominasi
kekuasaan dan kelebihannya dibandingkan dengan perempuan. Eksistensi ideologi
feminisme sering digaungkan untuk merekonstruksi, meredefinisi, ataupun mengeliminasi
dominasi laki-laki (ideologi patriarkhi) sekaligus mengangkat atau mereaktualisasikan
peran kaum perempuan dalam konstruksi sosial. Namun usaha ini masih memiliki beberapa
hambatan. Secara ‘naturalis’, hal ini masih diperteguh melalui berbagai aspek seperti
kebijaksanaan dalam sistem politik, ekonomi, industrialisasi, pendidikan, dan nilai-nilai
budaya yang diinternalisasi. Salah satu sarana yang ikut melestarikan ideologi gender ini
adalah media massa sendiri yang kerap menampilkan kode-kode sosial sebagai referensi
konstruksi sosial terhadap perilaku dan kehidupan sosial manusia.
Representasi Gender dalam Media Massa
Media ikut serta dalam menyampaikan konsep gender melalui persoalan
domestikasi dan marjinalnya perempuan. Perempuan Indonesia masih dilekatkan dengan
simbol-simbol stereotip gender tradisional serta mendiskripsikan bahwa kepribadian
perempuan Indonesia itu lemah dan tidak berdaya.
Media merupakan salah satu alat pembentukan konstruksi gender pada masyarakat
dan konstruksi tersebut dapat tersebar luas karena jangakauan media yang luas. Sementara
itu, gender merupakan pembagian serta tanggung jawab, baik laki-laki maupun perempuan
yang ditetapkan masyarakat maupun budaya dan merupakan hasil sosialisasi sejarah yang
51
panjang. Pembagian peran, sifat, maupun watak perempuan dan lelaki dapat dipertukarkan,
berubah dari masa ke masa, dari satu tempat adat ke tempat adat yang lain, dan dari satu
tingkat kelas ke tingkat kelas yang lain.
Media massa dapat menjadi contoh dari ketidakadilan gender dalam masyarakat
Media massa memiliki peran yang sangat besar dalam pembentukan stereotip seperti itu.
Media adalah arena perebutan posisi, antara posisi memandang (aktif) dengan posisi
dipandang (pasif). Pada citra yang disuguhkan oleh media, nilai maskulin berada pada
posisi yang dominan sementara nilai feminin berapa pada posisi marjinal.
Media massa telah menyediakan berbagai definisi untuk menjadi perempuan dan
laki-laki, membedakan status-status seseorang berdasarkan kelas, ras, maupun seks. Makna
dari kata cantik sebenarnya dibentuk oleh media. Media massa cenderung memperalat
perempuan dengan seluruh karakter yang bisa diperjualbelikan : kecantikan, kemolekan
tubuh, dan seks - dada, pinggul, bibir, dan paha – sebagai wujud patriarkhi laki-laki dan
sistem kapitalisme untuk menawarkan produk. Media umum yang hidup dalam dunia
patriarkhi lebih menonjolkan simbol maskulinitas. Tubuh perempuan dieksploitasi laki-laki
sebagai pekerja semiotik dengan mengendalikan tatanan simbolik dan bahasa semiotiknya,
sehingga di dalam dunia tersebut laki-laki dapat berada dalam kekuasaan fantasi dan
obsesinya.
Salah satu sarana pembentukan citra perempuan adalah melalui media. Pencitraan
perempuan di dalam media massa dapat dikategorikan dalam 4 macam, yaitu :
1. Citra Pigura : citra yang ditonjolkan dari sisi biologis, seperti rambut lurus dan
panjang para model iklan
2. Citra Pilar : citra yang ditonjolkan ialah perempuan sebagai tulang punggung
keluarga dan bertanggung jawab pada pekerjaan domestik rumah tangga.
3. Citra Pinggan : citra yang menonjolkan perempuan pada aktivitas di dapur
4. Citra Pergaulan : adanya pergulatan perempuan untuk masuk ke dalam kelas-kelas
tertentu yang lebih tinggi di dalam masyarakat
Kepentingan ekonomi politik menuntut para pemilik media tunduk kepada industri
atau pasar yang memang lebih permisif terhadap jurnalisme yang tidak sensitif gender.
Kehadiran perempuan sebagai komoditas media massa, telah mengangkat tiga persoalan.
Pertama, persoalan ekonomi politik tubuh, yaitu bagaimana tubuh perempuan digunakan
dalam berbagai aktivitas ekonomi berdasarkan pada konstruksi sosial atau ideologi tertentu.
Kedua, persoalan ekonomi politik tanda, yaitu bagaimana perempuan ‘diproduksi’ sebagai
tanda-tanda di dalam sistem pertandaan yang membentuk citra, makna, dan identitas diri
mereka di dalamya. Ketiga, persoalan ekonomi politik hasrat, yaitu bagaimana hasrat
perempuan disalurkan atau direpresi di dalam berbagai bentuk komoditas, khususnya
komoditas hiburan.
Produksi kekuasaan yang terjadi ialah munculnya strategi untuk menyebarkan
wacana langsing dan kulit putih, rambut lurus dan hitam adalah standar ideal tubuh
perempuan. Akibatnya, perempuan yang tidak memiliki tubuh langsing dan berkulit putih,
serta rambut yang panjang dan hitam dapat merasa kehilangan identitas tubuh mereka.
Penampilan perempuan di media massa dapat dilihat cenderung bermakna
merendahkan perempuan dengan menjadikan perempuan sebagai objek dari yang berkuasa,
khususnya ekonomi. Kebanyakan pengelola media menganggap tidak perlu mempersoalkan
kedudukan perempuan dalam fakta interaksi sosial. Dalam operasi kerjanya, para pengeloal
52
media hanya perlu bertolak dari standar manajemen yang bersifat teknis untuk tujuan
pragmatis pasar. Komodifikasi perempuan pada media massa dengan menjadikan tubuh
perempuan sebagai komoditi ini terjadi secara langsung pada bisnis seks dan hiburan.
Proses komodifikasi ini sebenarnya digerakkan oleh kapitalisme dan bersifat patriakrkhi,
namun dapat juga digerakkan oleh perempuan.
Jika stereotip perempuan muncul hanya sekali-sekali dan masyarakatnya terdiri dari
orang yang berpendidikan tinggi, mungkin efeknya tidak akan terlalu signifikan. Namun
masalahnya adalah masyarakat Indonesia yang sangat plural, berlatar belakang pendidikan,
ras, agama, kedudukan, usia, dan kelas yang berbeda serta menerima suguhan stereotip
perempuan secara konsisten. Perempuan yang ditampilkan memperkokoh stereotip yang
sudah terbangun di tengah masyarakat.
Ada beberapa prinsip dasar yang harus diperhatikan para pelaku media massa.
Pertama, kemampuan profesional, etika, dan perspektif pelaku media massa terhadap
permasalahan gender yang masih rendah. Kedua, media massa belum mampu melepaskan
dari dari perannya sebagai medium ekonomi kekuasaan, baik yang datang dari penguasa,
otoritas intelektual, ideologi politik, ataupun pemilik modal. Ketiga, kurangnya peran aktif
dan representasi perempuan dalam media massa menjadikan perempuan sulit untuk keluar
dari posisi keterpurukannya saat ini. Keempat, perlu pengubahan paradigma pada media
massa berkaitan dengan pencitraan perempuan yang selama ini dipakai yang selama ini
cenderung seksis, objek iklan, objek pelecehan, dan ratu dalam ruang publik.
Representasi Gender dalam Iklan
Dalam proses pembuatan iklan di televisi, tak jarang proses kreatif dalam dimensi
berkesenian ini upaya berkesenian yang menyentuh bias gender di dalamnya. Periklanan
merupakan salah satu contoh subordinasi perempuan. Hal ini dikarenakan periklanan
merupakan bentuk komunikasi yang sering memunculkan kode-kode sosial yang tidak
jarang mengadopsi stereotip, asosiasi-asosiasi, refleksi kultural, ideologi serta poloa gender
yang ada di masyarakat. Iklan juga memberikan nilai pada suatu produk sehingga membuka
peluang bias penafsiran. Citra tersebut kemudian diinterpretasikan menyentuh bias-bias
gender.
Melalui ideologi kapitalisme, iklan tumbuh dan berkembang serta menyebabkan
kemunculan stereotip imaji maskulinitas laki-laki yang direpresentasikan sebagai makhluk
berotot, jantan, dan berkuasa Sementara itu, dalam berbagai iklan kecantikan di televisi
digambarkan bahwa perempuan yang ideal adalah perempuan yang bertubuh langsing dan
ramping serta memiliki rambut hitan dan lurus. Dengan menggunakan role model seperti
ini, para produsen produk kecantikan secara sadar telah mengafirmasikan gambaran wanita
ideal yang disebut cantik dan mengharapkan setiap wanita mencontoh atau setidaknya
mengiyakan seperti itulah sosok yang dianggap cantik. Iklan yang secara tidak langsung
bertujuan untuk mendedahkan nilai-nilai tertentu merupakan suatu tayangan media yang
menyebar kuasa (strategi) tentang normalisasi tubuh perempuan.
Karya-karya iklan pada kenyataannya banyak yang menggunakan stereotip baku
mengenai gender, seperti perempuan yang ditampilkan berperan melayani, marginal,
subordinatif, dan berkaitan dengan kepentingan laki-laki. Perempuan yang hanya berperan
memuaskan laki-laki disebut sebagai citra pigura, yaitu perempuan kelas menengah dan
atas perlu tampil memikat untuk mempertegas kemampuannya secara biologis seperti
53
rambut halus dan panjang, tubuh tinggi dan ramping, dan lain sebagainya. Meski terkadang
perempuan digambarkan berperan di wilayah publik, namun bukan sebagai pengambil
keputusan.
Visualisasi representasi iklan menunjukkan adanya pemanfaatan fenomena kodekode sosial yang mengambil perspektif gender dalam interaksi anggota komunitas keluarga.
Perempuan dalam hal ini dijadikan sarana untuk mengidentifikasi produk untuk
menciptakan visibilitas ataupun citra produk.
Pengiklan dan para pengusaha iklan berpandangan bahwa penggunaan sosok
perempuan dalam ilustrasi iklan merupakan satu tuntutan estetika untuk merebut perhatian
konsumen. Iklan-iklan yang memberi nilai standar ideal tubuh perempuan sebenarnya
menimbulkan stereotip baru bagi perempuan. Melalui tayangan yang sedemikian rupa,
iklan yang secara tidak langsung bertujuan untuk mendedahkan nilai-nilai tertentu dan
menawarkan ideologi, gaya hidup, budaya, serta imaji baru. Hal ini berarti iklan dapat
menjadi simbol imaji yang ditampilkannya membentuk dan merefleksikan nilai hakiki.
Permasalahan yang menjadi wacana gender ini mulai timbul ketika estetisasi untuk
merefleksikan sebuah citra komoditas menyinggung bias gender di dalamnya. Penggunaan
jenis kelamin tertentu sebagai objek yang melegitimasi pemanfaatan produk maupun untuk
mencerminkan sebuah citra ada kalanya menjadi kontroversi sendiri dalam
memperdebatkan keadilan gender. Terlebih lagi jika rekonstruksi gender yang dikemas
dalam representasi iklan ditayangkan lewat media televisi yang kapasitas khalayaknya
sangat luas, tentu mempunyai dampak atau efek yang siginifikan.
Dalam segi peran dalam iklan, pada umumnya perempuan dalam iklan ditampilkan
sebagai sosok yang tidak jauh dari peran domestik rumah tangga. Dalam berbagai
tayangannya, perempuan sering digambarkan di ranah domestik, mengurus rumah tangga,
dan lebih emosional. Berbeda dengan identitas laki-laki yang berada di ruang publik,
pencari nafkah, dan rasional. Hampir sebagian besar iklan di media massa selain
menempatkan perempuan dalam perannya sebagai ‘orang kedua’ atau ‘disubordinasikan’
pada peran laki-laki. Tubuh perempuan cenderung menjadi alat persuasif yang digunakan
untuk menjual berbagai produk. Dalam hal ini, pasar menjadi institusi patriarkhi yang telah
mereproduksi nilai seorang perempuan dengan sifat-sifat yang diturunkan dari ideologi
yang patriarkhis
Kini, dalam iklan terkadang perempuan digambarkan dengan sifat-sifat maskulin,
gesit, kuat, bahkan mampu melumpuhkan laki-laki. Ada juga iklan yang menggambarkan
istri yang mendominasi pria. Semakin sering iklan-iklan ditayangkan dengan pendekatan
gender, iklan tersebut akan semakin menancap di benak khalayak dan sedikit demi sedikit
akan membuka saluran wacana masyarakat akan nilai-nilai kesetaraan tersebut. Namun,
bila dihubungkan dengan pendekatan tema perempuan `maskulin dalam iklan,
kemungkinan akan berefek ganda. Pertama, akan membawa pengaruh positif pada proses
pembelajaran masyarakat tentang arti kesetaraan bahwa perempuan tidak boleh dilecehkan
dan direndahkan. Kedua, akan berimplikasi buruk pada pandangan sosialnya, dia dicap
‘nyeleneh’, tomboy, serta juga kemungkinan mempunyai orientasi seksual yang berbeda
jika berperan maskulin.
Kepentingan ekonomi politik menuntut para pemilik media tunduk kepada industri
atau pasar yang memang lebih permisif terhadap jurnalisme yang tidak sensitif gender.
Kehadiran perempuan sebagai komoditas media masssa, telah mengangkat tiga persoalan.
54
Pertama, persoalan ekonomi politik tubuh, yaitu bagaimana tubuh perempuan digunakan
dalam berbagai aktivitas ekonomi berdasarkan pada konstruksi sosial atau ideologi tertentu.
Kedua, persoalan ekonomi politik tanda, yaitu bagaimana perempuan ‘diproduksi’ sebagai
tanda-tanda di dalam sistem pertandaan yang membentuk citra, makna, dan identitas diri
mereka di dalamya. Ketiga, persoalan ekonomi politik hasrat, yaitu bagaimana hasrat
perempuan disalurkan atau direpresi di dalam berbagai bentuk komoditas, khususnya
komoditas hiburan.
Gender dalam Pertanian Pedesaan
Komunitas desa dapat dibagi ke dalam beberapa golongan berdasarkan teknologi
usaha taninya, yaitu : (1) desa-desa yang berdasarkan cocok tanam di ladang, dan (2) desadesa yang berdasarkan cocok tanam di sawah (Koentjoroningrat 1984). Lahan pedesaan
yang sangat berpotensi untuk ditanami berbagai macam jenis tanaman menjadikan lahan
tersebut menjadi sumber mata pencaharian utama bagi masyarakat desa, termasuk petani.
Dalam wilayah pedesaan yang dominan dengan sektor pertanian, perempuan dan
laki-laki memiliki perannya masing-masing dalam menjalankan kegiatan pertanian yang
dijadikan sebagai sumber perekonomian mereka. Pertanian kini telah mengalami perubahan
aktivitas yang disebabkan oleh peningkatan teknologi pertanian. Namun, bagi Boserup
dalam Raharjo (1999) peningkatan teknologi pertanian justru telah merendahkan status
perempuan, karena menyingkirkan akses perempuan terhadap kerja produktif. Ia membagi
sistem pertanian ke dalam sistem ‘pertanian perempuan’ yang menggunakan teknik potong
dan bakar serta pertanian komunal, sistem ‘pertanian laki-laki’ yang merupakan sistem
kerja dengan pendekatan bisnis swasta, petak yang jelas, dan penggunaan buruh tani
(Rahardjo 1999).
Dalam bidang pertanian, perubahan dari produksi subsisten ke produksi komersial
telah mendorong terjadinya dominasi laki-laki terhadap hasil pertanian. Program pertanian
yang bias gender juga menyebabkan perempuan semakin tersingkirkan. Misalnya dalam
program Revolusi Hijau yang hanya memfokuskan pada petani laki-laki. Hal ini karena
asumsinya bahwa petani itu identik dengan petani laki-laki. Selain itu juga karena peran
gender perempuan adalah mengelola rumah tangga, maka banyak perempuan menanggung
beban kerja domesti lebih banyak dan lebih lama (burden). Dengan kata lain, peran gender
perempuan mengelola, menjaga dan memelihara kerapian tersebut, telah mengakibatkan
tumbuhnya tradisi dan keyakinan masyarakat bahwa mereka harus bertanggung jawab atas
terlaksananya keseluruhan pekerjaan domestik.
55
SIMPULAN
Hasil Rangkuman dan Pembahasan
Era globalisasi ditandai dengan masuknya teknologi baru yang mempermudah
masyarakat dalam memperoleh informasi. Kemudahan mengakses informasi tersebut
difasilitasi oleh berbagai macam bentuk media massa. Media massa meruapakan suatu
wadah komunikasi yang bertujuan untuk menyebarkan informasi dan hiburan kepada
khalayak secara luas. Ada banya jenis media massa, diantaranya ialah koran, radio,
maupun televisi. Jika dibandingkan dengan bentuk media massa lainnya, televisi
merupakan bentuk media massa yang paling efektif karena dapat lebih luas dalam
menjangkau khalayak serta dilengkapi dengan fasilitas visual dan audiovisual sehingga
dapat mempermudah khalayak untuk memahami konten atau substansi dari pesan atau
informasi yang ditayangkan pada televisi tersebut.
Stasiun televisi swasta yang banyak ditayangkan televisi pada umumnya
menjadikan iklan menjadi sumber pendapatan utama agar serangkaian program yang
ditayangkan di stasiun televisi tersebut dapat ditayangkan secara optimal. Berbagai strategi
dilakukan oleh tim kreatif iklan dalam menyajikan iklan yang dapat menarik perhatian
khalayak, salah satunya dengan cara mengilustrasikan atau bahkan menawarkan nilai,
budaya, maupun ideologi baru yang identik dengan budaya populer. Terlebih lagi, para
penguasa ekonomi maupun politik (kelas dominan) juga seringkali menjadikan iklan
sebagai media penyebar nilai, budaya, dan ideologi baru agar khalayak dapat berperilaku
sesuai dengan yang diharapkan para penguasa tersebut dan sesuai dengan permintaan pasar
yang sedang laris.
Secara umum, iklan merupakan suatu media untuk menawarkan sesuatu termasuk
produk secara persuasif yang bertujuan untuk membujuk khalayak serta mengubah
keputusan khalayak untuk bertindak sesuai dengan keinginan pelaku iklan, dalam hal ini
membeli produk yang ditawarkan. Namun, kenyataannya iklan juga telah menyebarkan
dan memperkuat nila dan ideologi, termasuk nilai dan ideologi gender yang berkembang di
masyarakat secara dominan. Gender merupakan atribut yang melekat pada perempuan dan
laki-laki yang berkaitan dengan peran dan tanggung jawab. Gender biasanya
disosialisasikan dan diberlakukan sesuai dengan budaya yang melekat pada masyarakat.
Namun, budaya patriarki yang masih dianut oleh sebagian besar masyarakat telah
memperlakukan gender perempuan dan laki-laki secara berbeda sehingga menimbulkan
ketimpangan yang tercermin dalam iklan yang ditayangkan di media massa dalam bentuk
televisi. Salah satu bentuk ketimpangan atau ketidakadilan gender yang sering kali
tercermin pada tayangan iklan di televisi ialah stereotip.
Nilai dan ideologi gender yang ditayangkan pada iklan di televisi merupakan
cerminan dari realita sosial masyarakat mengenai nilai dan ideologi gender yang berlaku
pada masyarakat tersebut. Perempuan dalam berbagai tayangan iklan di televisi seringkali
terlihat sebagai sosok yang lemah lembut, sensual, anggun, dan rapih. Sementara itu, lakilaki seringkali terlihat sebagai sosok yang kuat, kekar, jantan, dan perkasa. Perempuan
seringkali diilustasikan sebagai sosok yang lemah yang harus dilindungi oleh laki-laki.
Dari segi fisik, perempuan pada tayangan iklan di televisi seringkali terlihat
langsing, berkulit bersih dan putih, berambut panjang dan hitam, dan seksi. Sementara itu,
56
laki-laki seringkali terlihat berkeringat, gagah, berotot, dan bertuguh tegap. Tayangan
seperti ini memperkuat stereotip bahwa perempuan itu identik dengan lingkungan dan
aktivitas di dalam ruangan yang tidak merusak kecantikan tubuh mereka. Sementara itu,
laki-laki identik dengan aktivitas lapang yang dapat menunjukkan keperkasaan mereka.
Jika ditinjau dari segi pembagian kerja, perempuan di tayangan berbagai iklan di
televisi seringkali terlihat berperan dalam pekerjaan domestik, sepeti mencuci, memasak,
merawat dan menjaga anak, serta membersihkan rumah. Jarang sekali terlihat tayangan
iklan yang menayangkan adanya perempuan yang bekerja di ruang publik seperti di
perkantoran. Sementara itu, laki-laki yang ada dalam tayangan iklan di televisi seringkali
menunjukkan adanya peran publik yang mereka lakukan, seperti bekerja di perkantoran,
sementara istri bertugas sebagai pelayan suami ketika suami pulang kerja.
Berbagai tayangan iklan di televisi tersebut memperkuat stereotip gender dalam hal
penampilan dan peran kerja sehingga menentukan akses masyarakat terhadap ruang kerja
mereka sesuai dengan gender yang melekat pada diri mereka. Fenomena ini juga
berpengaruh dalam bidang pertanian pedesaan. Teknologi yang juga dalam bentuk
teknologi pertanian telah menggeser peran perempuan dalam pertanian pedesaan menjadi
semakin terpinggirkan. Stereotip yang meyakini bahwa perempuan selayaknya bekerja di
dalam rumah (domestik) menyebabkan berbagai program pertanian dan pedesaan lebih
fokus kepada laki-laki sehingga akses dan partisipasi perempuan terhadap kemajuan
pertanian dan pedesaan sangat terbatas.
57
Rumusan Pertanyaan Penelitian Skripsi
Berdasarkan kerangka analisis yang telah dibentuk dan hasil studi pustaka yang
dilakukan, penulis akan meninjau dan menganalisis dampak pemanfaatan iklan di televisi
terhadap stereotip gender kaum muda melalui pertanyaan spesifik dari topik tersebut.
Rumusan pertanyaan spesifik yang dapat dibangun adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana tingkat pemanfaatan iklan di televisi pada kaum muda pedesaan?
2. Bagaimana pengaruh tingkat pemanfaatan iklan di televisi pada kaum muda
pedesaan terhadap tingkat gaya hidup?
3. Bagaimana dampak pemanfaatan iklan di televisi pada kaum muda pedesaan
terhadap pembentukan stereotip gender?
58
Kerangka Analisis
Dampak Iklan pada
Khalayak
-
Kekuasaan dan kelas
- Ekonomi
- Politik
Kebijakan gender
pada media
Kategori Substansi Iklan
di Televisi
1. Formative advertising
2. Persuasive advertising
3Comparison
advertising
4. Reminder advertising
Faktor Sosial Budaya
- Budaya patriarkhi
-
1. Dampak Kognitif
2. Dampak Peniruan
3. Dampak Perilaku
Karakteristik
khalayak
1. Usia
2. Pendidikan
3. Jenis kelamin
4. Pekerjaan
Globalisasi
- Teknologi
Realitas gender
Ketimpangan
1. Faktor
Budayaatau
ketidakadilan Gender
Patriarki
dalam pembagian
kerja (publik dan
domestik).
1. Stereotip
Gambar 15. Usulan Kerangka Analisis Bar
Tingkat Gaya
Hidup
1. Asketis
2. Posmodern
3. Awam
Tingkat
Pemanfaatan Media
Massa (Televisi)
1. Durasi
2. Frekuensi
3. Substansi
59
DAFTAR PUSTAKA
Arivia G. 2006. Feminisme : Sebuah Kata Hati. Jakarta (ID) : Buku Kompas
Astuti L. 2009. Hubungan iklan produk kecantikan di televisi dengan orientasi tubuh
wanita bekerja [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Awaluddin A. 2004. Peningkatan kepekaan gender dalam jurnalisme. Jurnal ilmu sosial dan
ilmu politik [internet]. [diunduh pada 2014 Okt 7]; 7(3):351-376. Tersedia pada :
http://jurnalsospol.fisipol.ugm.ac.id/index.php/jsp/article/view/188
Bungin B. 2008. Konstruski Sosial Media Massa. Jakarta (ID) : Kencana
Dewi NK, Andri G, Yonaldi S. 2012. Pengaruh iklan, citra merek, dan kepuasan konsumen
terhadap loyalitas konsumen dalam menggunakan vaselin hand and body lotion di
kota Padang. Jurnal manajemen dan kewirausahaan [internet]. [diunduh pada 2014
Nov 5]; 2(3). Tersedia pada : http://blog.ub.ac.id/dinaandri/files/2013/03/JurnalManajemen-dan-Kewirausahaan.pdf
Fakih M. 1999. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta (ID) : Pustaka Pelajar.
Fitriyarini. 2009. Iklan dan budaya popular : pembentukan identitas ideologis kecantikan
perempuan oleh iklan di televisi. Jurnal ilmu komunikasi [internet]. [diunduh 2014
Sep
11];
6(2):119-136.
Tersedia
pada
:
http://ojjs.uajy.ac.id/index.php/jik/article/view/199
Gunawan F. 2007. Ekonomi politik di Indonesia terhadap konsep kecantikan. Jurnal ilmiah
scriptura [internet]. [diunduh pada 2014 Okt 4]; 1(1). Tersedia pada :
http://cpanel.petra.ac.id/ejournal/index.php/iko/article/viewArticle/16671
Handayani T. 2008. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Dharma S, editor. Malang (ID)
: Universitas Muhammadiyah Malang.
Handoko CT. 2004. Metroseksualitas dalam iklan sebagai wacana gaya hidup posmodern.
Nirmana [internet]. [diunduh pada 2014 Okt 3]; 6(2):132-142. Tersedia pada :
http://cpanel.petra.ac.id/ejournal/index.php/dkv/article/viewArticle/16337
Handoko CT. 2005. Hubungan maskulinitas perempuan dalam iklan dalam hubungannya
dengan citra sosial perempuan ditinjau dari perspektif gender. Nirmana [internet].
[diunduh
pada
2014
Okt
4];
7(1):85-89.
Tersedia
pada
:
http://cpanel.petra.ac.id/ejournal/index.php/dkv/article/viewArticle/16444
Hariyanto. 2009. Gender dalam konstruksi media. Komunika, jurnal dan komunikasi
[internet]. [diunduh pada 2014 Okt 5]; 3(2):167-183. Tersedia pada :
http://ejournal.stainpurwokerto.ac.id/index.php/komunika/article/view/27
Haryatmoko. 2007. Etika Komunikasi. Yogyakarta(ID) : Kanisius
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Badan Pusat Statistik.
2013. Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2013. Jakarta (ID) : Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Koentjaraningrat. 1984. Masyarakat Desa di Indonesia. Koentjaraningrat, editor. Jakarta
(ID) : Fakultas Ekonomu Universitas Indonesia.
Kurnia N. 2004. Representasi maskulinitas dalam iklan. Jurnal ilmu sosial dan politik
[internet]. [diunduh pada 2014 Okt 4]; 8(1):17-36. Tersedia pada :
http://jurnalsospol.fisipol.ugm.ac.id/index.php/jsp/article/view/193
Mulia R. 2011. Kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan dalam globalisasi
[internet].
[diunduh
2014
Nov
27].
Tersedia
pada
:
http://rindumulia.wordpress.com/2011/09/13/kesetaraan-gender-dan-pemberdayaanperempuan-dalam-globalisasi/
Safyan M. 2009. Konstruksi kebebasan pada identitas perempuan dan laki-laki dalam iklan
operator seluler 3 dengan tema “Bebas itu nyata”. [internet]. [diunduh pada 2014
Okt
5].
Tersedia
pada
:
http://www.journal.unair.ac.id/filerPDF/commb8a34101f1full.pdf
Siregar A. 2004. Ketidakadilan konstruksi perempuan di film dan televisi. Jurnal ilmu
sosial dan ilmu politik [internet]. [diunduh pada 2014 Sep 13]; 7(3):335-350.
Tersedia pada : http://jurnalsospol.fisipol.ugm.ac.id/index.php/jsp/article/view/187
Sodik M. 2012. Kesetaraan gender sebagai pemenuhan konstitusi. Musawa [internet].
[diunduh pada 2014 Sep 21]; 11(2). Tersedia pada : http://journal.uinsuka.ac.id/media/artikel/MSW121102KESETARAAN%20GENDER%20SEBAGAI%20PEMENUHAN%20KONSTITU
SI.pdf
Supiandi Y. 2008. Bunga Rampai Pengarusutamaan Gender. Susanto dan tim kreatif elKahfi, editor. Jakarta (ID).
Suwasana AA. 2001. Hubungan gender dalam representasi iklan televisi. Nirmana
[internet]. [diunduh pada 2014 Okt 5]; 3(1):1-16. Tersedia pada :
http://cpanel.petra.ac.id/ejournal/index.php/dkv/article/viewArticle/16061
Suwasana AA. 2001. Perspektif gender dalam representasi iklan. Nirmana [internet].
[diunduh
pada
2014
Okt
4];
3(2):83-96.
Tersedia
pada
:
http://cpanel.petra.ac.id/ejournal/index.php/dkv/article/viewArticle/16068
Vivian J. 2008. Teori Komunikasi Massa. Jakarta (ID) : Kencana
61
LAMPIRAN
Riwayat Hidup
Penulis dilahirkan di Medan, Sumatera Utara pada tanggal 21 Agustus 1993 sebagai
anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Kun Swondo Keliat dan Susanna Syah
Devi. Penulis menempuh pendidikan formal di TK Perguruan Al-Azhar Medan pada tahun
1997-1999, SD Perguruan Al-Azhar Medan pada tahun 1999-2005, SMP Negeri 1 Medan
pada tahun 2005-2008, SMA Negeri 1 Medan pada tahun 2008-2011. Dari TK hingga SMA
penulis aktif di berbagai kegiatan kesenian tari dan vokal di Kota Medan. Pada tahun 2011,
penulis melanjutkan pendidikannya di Institut Pertanian Bogor, Fakultas Ekologi Manusia,
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat.
Selama penulis menjadi mahasiswa di Institut Pertanian Bogor, penulis pernah
menjadi anggota Tutor Sebaya sebagai pengajar ekonomi umum di asrama puteri TPB IPB.
Pada tahun 2012, penulis pernah menjadi tim pengajar ekonomi umum di salah satu tempat
kursus informal MAFIA yang berlokasi di sekitar kampus. Hingga saat ini, penulis juga
tercatat sebagai pengurus Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-Ilmu Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat (Himasiera) sebagai anggota divisi broadcasting. Selain itu,
penulis juga pernah mengikuti kepanitiaan Masa Perkenalan Departemen (MPD), dan
Himasiera goes to Trans 7 untuk divisi acara pada tahun 2013.
Download