LAPORAN STUDI PUSTAKA (KPM 403) DAMPAK PEMANFAATAN IKLAN DI TELEVISI TERHADAP STEREOTIP GENDER KAUM MUDA PEDESAAN Oleh RANITA SUWANDANI BR. KELIAT I34110064 DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014 ii PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa Studi Pustaka yang berjudul “Dampak Pemanfaatan Iklan di Televisi Terhadap Stereotip Gender Kaum Muda Pedesaan” benar-benar hasil karya saya sendiri yang belum pernah diajukan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun dan tidak mengandung bahan-bahan yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh pihak lain kecuali sebagai bahan rujukan yang dinyatakan dalam naskah. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya bersedia mempertanggungjawabkan pernyataan ini. Bogor, Desember 2014 Ranita Suwandani Br. Keliat NIM. I34110064 iii ABSTRAK RANITA SUWANDANI BR. KELIAT. Dampak Pemanfaatan Iklan di Televisi Terhadap Stereotip Gender Kaum Muda Pedesaan. Dibawah Bimbingan TITIK SUMARTI dan MAHMUDI SIWI. Media massa merupakan media yang berfungsi sebagai wadah komunikasi (pertukaran atau penyampaian informasi), dan hiburan dengan jangkauan komunikasi yang lebih luas dibandingkan dengan komunikasi interpersonal dan komunikasi kelompok serta dengan waktu yang relatif lebih singkat. Pemanfaatan media massa berdampak pada kognitif, peniruan, dan perilaku khalayak. Secara tidak langsung, media massa dapat membentuk opini publik. Salah satu bentuk media massa yang paling berpengaruh dalam pembentukan opini publik adalah televisi melalui tayangan iklan di televisi. Opini publik yang seringkali terbentuk melalui media televisi adalah opini mengenai gender. Gender merupakan sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh faktor-faktor sosial maupun budaya. Pembentukan opini tersebut berujung pada pembentukan dan penguatan stereotip gender. Stereotip gender merupakan pelabelan terhadap laki-laki atau perempuan yang pada umumnya tidak menguntungkan bagi objeknya. Pemanfaatan media massa melalui iklan di televisi adalah salah satu penyebab pembentukan dan penguatan stereotip gender tersebut. Oleh karena itu, stereotip gender golongan muda pedesaan dipengaruhi oleh tingkat pemanfaatan media massa. Kata kunci : gender, iklan, kaum muda, stereotip, televisi ABSTRACT RANITA SUWANDANI BR. KELIAT. Impact of Mass Media Utilization to Gender Stereotype of Rural Youth. Supervised by TITIK SUMARTI and MAHMUDI SIWI. Mass media is a media that has some functions as a place of communication (to transfer or to deliver information), and entertainment with the wider range of communication than interpersonal communication and group communication, and also with a shorter time. Utilization of mass media impacts on the public cognitive, imitation, and behavior. Indirectly, mass media can form a public opinion. One of the kind of mass media that the most influential on opinion public forming is television by advertisement display on television. Opinion public that the most often formed by television is about gender. Gender is trait that close to men and women that formed by social and cultural factors. The forming of opinion public can led to forming and strengthening of gender stereotype. Gender stereotype is the labeling of men or women who are generally not favorable for its object. Utilization of mass media is one of the cause of forming and strengthening of that gender stereotype. Therefore, gender stereotype of rural young community was influanced by utilization of mass media. Key word : advertisement, gender, stereotype, television, youth iv DAMPAK PEMANFAATAN IKLAN DI TELEVISI TERHADAP STEREOTIP GENDER GOLONGAN MUDA PEDESAAN Oleh RANITA SUWANDANI BR. KELIAT I34110064 Laporan Studi Pustaka Sebagai syarat kelulusan KPM 403 Pada Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014 v LEMBAR PENGESAHAN Dengan ini menyatakan bahwa Studi Pustaka yang disusun oleh: Nama Mahasiswa : Ranita Suwandani Br. Keliat Nomor Pokok : I34110064 Judul : Dampak Pemanfaatan Iklan di Televisi terhadap Stereotip Gender Kaum Muda Pedesaan dapat diterima sebagai syarat kelulusan mata kuliah Studi Pustaka (KPM 403) pada Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Disetujui oleh Dr Ir Titik Sumarti MC, MS Dosen Pembimbing 1 Mahmudi Siwi SP, MSi Dosen Pembimbing 2 Diketahui oleh Dr Ir Siti Amanah, MSc Ketua Departemen Tanggal pengesahan : ______________________ vi PRAKATA Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat, ridho, dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan Studi Pustaka dengan judul “Dampak Pemanfaatan Iklan di Televisi terhadap Stereotip Gender Kaum Muda Pedesaan” dengan baik. Laporan Studi Pustaka ini ditujukan untuk untuk memenuhi syarat kelulusan Mata Kuliah Studi Pustaka (KPM 403) pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis ingin berterima kasih kepada Ibu Dr Ir Titik Sumarti MC, MS dan Bapak Mahmudi Siwi, SP, MSi selaku dosen pembimbing yang sangat peduli dan memperhatikan kinerja penulis dalam menyelesaikan laporan studi pustaka dan telah memberikan banyak saran, motivasi, dan masukan pada penulis selama proses penulisan sehingga penulis merasa terbimbing selama penyelesaian laporan Studi Pustaka ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada kedua orang tua, Bapak Kun Swondo Keliat dan Ibu Susanna Syah Devi, serta adik tersayang, Windi Riahna Keliat yang selalu memberikan doa, semangat, dan inspirasi untuk penulis serta menjadi alasan terkuat bagi penulis untuk menjadi seseorang yang pantang menyerah, berani, dan berhasil. Tidak lupa juga penulis mengucapkan terimakasih kepada tiga sahabat penulis, yaitu Nurlaila, Dheva Sari Silaban, dan Surya Kinanti atas semua dukungan, bantuan, dan pendengar setia keluh kesah penulis. Saya juga berterima kasih kepada semua teman, kerabat, dan dosen yang telah memberi dukungan baik moril maupun materil kepada penulis selama proses penulisan laporan ini, khususnya kepada keluarga besar Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, teman-teman serta sahabat di SKPM 48. Bogor, Desember 2014 Ranita Suwandani Br. Keliat NIM. I34110064 vii DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR .......................................................................................................... DAFTAR TABEL ............................................................................................................... Latar Belakang .................................................................................................................... Tujuan Penulisan ................................................................................................................. Metode Penulisan ................................................................................................................ RINGKASAN DAN ANALISIS PUSTAKA ..................................................................... 1. Iklan dan Budaya Popular : Pembentukan Identitas Ideologis Kecantikan Perempuan oleh Iklan di Televisi (Inda Fitriyarini,2009) ........................................... 2. Ketidakadilan Konstruksi Perempuan di Film dan Televisi (Ashadi Siregar,2004) ............................................................................................................... 3. Metroseksualitas dalam Iklan Sebagai Wacana Gaya Hidup Posmodern (Cons. Trihandoko,2004) ........................................................................................................ 4. Ekonomi Politik Iklan di Indonesia Terhadap Konsep Kecantikan (Felicia Gunawan,2007) ........................................................................................................... 5. Perspektif Gender dalam Representasi Iklan (Arief Agung Suwasana, 2001) ............ 6. Representasi Maskulinitas dalam Iklan (Novi Kurnia, 2004) ..................................... 7. Hubungan Maskulinitas Perempuan dalam Iklan dalam Hubungannya dengan Citra Sosial Perempuan Ditinjau dari Perspektif Gender (Cons. Tri Handoko, 2005)............................................................................................................................ 8. Gender dalam Konstruksi Media (Hariyanto,2009) .................................................... 9. Konstruksi Kebebasan Pada Identitas Perempuan dan Laki-Laki dalam Iklan Operator Seluler 3 dengan Tema “Bebas itu Nyata” (Muhammad Sofyan,2009) ....... 10. Hubungan Iklan Produk Kecantikan di Televisi dengan Orientasi Tubuh Wanita Bekerja (Lidia Astuti, 2009) ........................................................................................ 11. Hubungan Gender dalam Representasi Iklan Televisi (Arief Agung Suwasana,2001)........................................................................................................... 12. Peningkatan Kepekaan Gender dalam Jurnalisme (Iwan Awaluddin, 2004) .............. 13. Pengaruh Iklan, Citra Merek, dan Kepuasan Konsumen Terhadap Loyalitas Konsumen dalam Menggunakan Vaselin Hand Body Lotion di Kota Padang (Nila Kesuma Dewi, SE, Gus Andri , SE., MM, Sepris Yonaldi, SE., MM, 2012) ............................................................................................ RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN ............................................................................ Media Massa .................................................................................................................. Komunikasi Massa ......................................................................................................... Iklan ............................................................................................................................... Gaya Hidup .................................................................................................................... Gender ............................................................................................................................ Representasi Gender dalam Media Massa ..................................................................... Representasi Gender dalam Iklan .................................................................................. Gender dalam Pertanian Pedesaan ................................................................................. SIMPULAN ........................................................................................................................ Hasil Rangkuman dan Pembahasan ............................................................................... Perumusan Masalah dan Penelitian Skripsi ................................................................... Kerangka Analisis ....................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... LAMPIRAN ........................................................................................................................ Riwayat Hidup ............................................................................................................... viii viii 1 3 3 5 5 7 10 13 16 18 21 24 27 30 34 37 40 45 45 46 46 48 48 50 52 54 55 55 57 58 59 61 61 viii DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Hubungan Antar Konsep Jurnal 1 .......................................................... Gambar 2. Hubungan Antar Konsep Jurnal 2 .......................................................... Gambar 3. Hubungan Antar Konsep Jurnal 3 .......................................................... Gambar 4. Proses Hagemoni .................................................................................... Gambar 5. Hubungan Antar Konsep Jurnal 4 .......................................................... Gambar 6. Hubungan Antar Konsep Jurnal 5 .......................................................... Gambar 7. Hubungan Antar Konsep Jurnal 6 .......................................................... Gambar 8. Hubungan Antar Konsep Jurnal 7 .......................................................... Gambar 9. Hubungan Antar Konsep Jurnal 8 .......................................................... Gambar 10. Hubungan Antar Konsep Jurnal 9 ........................................................ Gambar 11. Hubungan Antar Konsep Jurnal 10 ...................................................... Gambar 12. Hubungan Antar Konsep Jurnal 11 ...................................................... Gambar 13. Hubungan Antar Konsep Jurnal 12 ...................................................... Gambar 14. Hubungan Antar Konsep Jurnal 13 ...................................................... Gambar 15. Usulan Kerangka Baru ......................................................................... 6 9 12 14 15 17 20 23 26 29 33 36 39 43 58 DAFTAR TABEL Tabel 1. Variabel jurnal 1 ......................................................................................... Tabel 2. Variabel jurnal 2 ......................................................................................... Tabel 3. Variabel jurnal 3 ......................................................................................... Tabel 4. Variabel junral 4 ......................................................................................... Tabel 5. Variabel jurnal 5 ......................................................................................... Tabel 6. Variabel jurnal 6 ......................................................................................... Tabel 7. Variabel jurnal 7 ......................................................................................... Tabel 8. Variabel jurnal 8 ......................................................................................... Tabel 9. Variabel jurnal 9 ......................................................................................... Tabel 10. Variabel jurnal 10 ..................................................................................... Tabel 11. Variabel jurnal 11 ..................................................................................... Tabel 12. Variabel jurnal 12 ..................................................................................... Tabel 13. Variabel jurnal 13 ..................................................................................... 7 10 12 15 18 20 23 26 29 33 36 39 44 PENDAHULUAN Latar Belakang Pelabelan atau penandaan (stereotip) yang seringkali bersifat negatif secara umum selalu melahirkan ketidakadilan (Supiandi 2008). Stereotip ini secara langsung maupun tidak langsung merupakan suatu bentuk diskriminasi suatu kelompok terhadap kelompok lainnya termasuk dalam hal gender.Padahal, di Indonesia sudah ada satu landasan hukum yang mengatur penghapusan segala macam bentuk diskriminasi khususnya pada perempuan, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita. Selain itu, ada pula Rancangan Undang-Undang Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG). Dalam penjelasanya, RUU KKG menegaskan bahwa setiap warga negara, baik perempuan maupun laki-laki tanpa kecuali mempunyai tangung jawab yang sama untuk melaksanakan tujuan hidup dalam berbangsa dan bernegara. Berdasarkan landasan konstitusional, UUD 1945 telah menjamin persaman kedudukan antara perempuan dan laki-laki (Sodik 2012). Selain itu, ada juga Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000, tentang pelaksanaan pengarusutamaan gender sebagai wujud komitmen Indonesia untuk melaksanakan kesepakatan-kesepakatan internasional yang berkaitan dengan The Beijing Plat Form of Action (BEPFA) dan konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan (CEDAW) UndangUndang Nomor 7 Tahun 1884 tentang Ratifikasi CEDAW (Supiandi 2008). Adanya berbagai peraturan tersebut bertujuan untuk menghapus segala bentuk ketidakadilan pada gender yang terjadi di era globalisasi sekarang ini. Perkembangan peradaban di dunia Barat dan Timur yang semula tumbuh dalam lingkup budaya dan ideologi patriarkis telah terkikis dengan meninggalkan dampak negatif diberbagai aspek kehidupan dan struktur masyarakat serta telah menciptakan ketimpangan gender (Mulia 2011). Secara umum globalisasi adalah suatu perubahan sosial dalam bentuk semakin bertambahnya keterkaitan antara masyarakat dengan faktor-faktor yang terjadi akibat transkulturasi dan perkembangan teknologi. Teknologi ini dapat menghilangkan batas geografis pada tingkat negara maupun dunia. Salah satu bentuk teknologi sebagai wujud globalisasi ialah media massa. Berkaitan dengan dampak globalisasi terhadap gender, media massa sebagai wadah penghubung antara penguasa ideologi dengan masyarakat sebagai sasaran seringkali juga menjadi penyalur diskrimnasi gender. Media massa yang berfungsi sebagai wadah komunikasi (pertukaran atau penyampaian informasi), dan hiburan dengan jangkauan komunikasi yang lebih luas dibandingkan dengan komunikasi interpersonal, komunikasi kelompok, dan lain-lain serta dengan waktu yang relatif lebih singkat. Pesan atau informasi yang disajikan oleh media massa pada umumnya bersifat persuasif yang dapat membentuk opini publik. Koran, majalah, televisi, radio, bahkan internet dan beberapa bentuk dari media massa. Jika dilihat dari fungsinya, media massa biasanya dianggap sebagai sumber berita dan hiburan (Vivian 2008). Pemanfaat media massa kini terdiri dari hampir seluruh lapisan masyarakat dengan keragaman karakteristiknya (usia, jenis kelamin, status, pendidikan, dan lainlain) dan letak geografis wilayahnya, tidak hanya di perkotaan melainkan juga di pedesaan Indonesia. Dalam hal ini, ciri khas masyarakat desa dan kota lebih ke arah perubahan sikap masyarakatnya (Bungin 2008). Perubahan sikap tersebut bisa jadi terbentuk dari arti penting media massa bagi mereka, dimulai dari sebagai media yang memperluas jangkauan informasi, sebagai sumber informasi, hiburan, perekat komunitas, dan forum persuasi (Vivian 2008). Namun, hak publik untuk mendapatkan informasi yang benar sering kali tidak dijamin karena adanya pertarungan kepentingan 2 dalam hal politik, ekonomi, atau budaya (Haryatmoko 2007). Dalam kata lain, media massa yang dapat membentuk opini publik juga dapat membentuk pola pikir baru masyarakat. Pembentukan pola pikir tersebut bisa jadi terbentuk karena berbagai suguhan media massa termasuk televisi yang banyak menumbuhkan kegairahan sosiologis dalam interaksi sosial di antara angota masyarakat, sebagaimana beberapa contoh berbagai parodi yang terdengar di masyarakat (Bungin 2008). Selain itu, pragmatisme ekonomi memaksa media mengadopsi logika mode yang terpatri pada yang spektakuler, sensasional, superfisial, dan pesan yang beragam (Haryatmoko 2007). Kenyataan yang terjadi, parodi-parodi dan logika mode tersebut bukan hanya sebagai hiburan bagi masyarakat, namun seringkali parodi-parodi tersebut membentuk realitas baru termasuk realitas sosial yang dikonstruksikan oleh berbagai media massa. Pembentukan pola pikir serta realitas baru tersebut dapat terjadi di berbagai aspek, termasuk mengenai identitas perempuan dan laki-laki atau yang biasa disebut gender. Konsep gender merupakan sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh faktor-faktor sosial maupun budaya (Handayani dan Sugiarti 2008). Pemaknaan gender mengacu pada perbedaan laki-laki dan perempuan dalam peran, perilaku, kegiatan, serta atribut yang dikonstruksikan secara sosial. (pembangunan manusia berbasis gender 2013). Faktor-faktor sosial dan budaya tersebut mampu mengkonstruksi identitas, kebudayaan dan sikap serta perilaku yang bisa saja mengarah kepada ketidakadilan dalam gender.Bentuk manifestasi ketidakadilan gender ini adalah dalam mempersepsi, memberi nilai, serta pembagian tugas antara laki—laki dan perempuan (Handayani dan Sugiarti 2008). Salah satu bentuk ketidakadilan gender adalah stereotip. Stereotip gender yang kini melekat di masyarakat atas bentukan sosial budaya, beberapa diantaranya ialah perempuan yang seringkali dianggap lemah, anggun, setia, lembut, mengedepankan perasaan, dan identik dengan pekerjaan rumah tangga sehingga perempuan dianggap tidak harus memperoleh pendidikan dan mengaktualisasikan diri karena peluang perempuan untuk bekerja di luar rumah sangat terbatas. Sementara itu, laki-laki seringkali dianggap sebagai seseorang yang keras, menindas, mengedepankan logika, dianggap pantas untuk tampil di depan publik, serta dianggap kuat, sehingga sejak kecil para laki-laki biasanya mulai dilatih untuk kuat. Pelabelan yang sedemikian rupa jelas tidak menguntungkan bagi laki-laki dan perempuan.Pada aspek kebiasaan, perempuan terkesan terbiasa dengan kegiatan merawat dan mempercantik diri, memasak, dan bertindak lebih mengedepankan perasaan dalam menghadapi berbagai permasalahan. Sementara itu, kebiasaan yang seringkali diidentikkan dengan laki-laki adalah merokok, berkelahi ketika menemukan seseorang yang tidak sepaham dengannya, serta bertingkah sejantan mungkin agar dianggap sebagai laki-laki idaman. Melihat dari fenomena sosial yang terjadi belakangan ini, media cetak, radio, televisi, film, internet, dan bentuk-bentuk media massa lainnya sering kali terlihat menampilkan sebuah parodi yang menunjukkan kelas, identitas, dan peran dari masingmasing gender. Jika dilihat dari segi fisik bagi laki-laki dan perempuan, kata cantik dan tampan sebenarnya telah didefenisikan oleh media massa yang kerap kali menampilkan perempuan-perempuan dan laki-laki dengan berbagai daya tarik, feminitas, dan maskulinitasnya. Contoh pada iklan shampo dengan bintang iklan yang berambut hitam, lurus, tebal, bertubuh kurus, berhidung mancung, dan berkulit putih sehingga para penonton beranggapan bahwa perempuan yang cantik adalah perempuan yang sedemikian rupa.Sementara itu, perempuan yang tidak memiliki fisik yang demikian menganggap dirinya belum sempurna dan rela membeli berbagai produk kecantikan dan 3 melakukan berbagai perawatan kecantikan hanya demi memiliki penampilan fisik seperti para bintang iklan tersebut. Merujuk pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Lidia Astuti pada tahun 2009, sebanyak 75% wanita bekerja memiliki citra tubuh positif ketika pengaruh model dan subtansi iklan produk kecantikan rendah, sedangkan sebanyak 68,75% wanita memiliki citra tubuh yang negatif ketika pengaruh semakin besar. Hal ini berarti bahwa banyak perempuan yang merasa tubuhnya tidak ideal ketika melihat berbagai model dan substansi iklan produk kecantikan. Hal ini juga yang memperkuat stereotip mengenai perempuan. Hasil yang hampir sama juga diperoleh dari suatu penelitian yang menyatakan telah ditemukan mengkonfirmasi bahwa mayoritas 70% orang Indonesia memang mempunyai keinginan untuk memiliki kulit putih dan setengahnya mengakui menggunakan produk pemutih (Rasyid 2005). Begitu juga dengan laki-laki yang seringkali melatih otot tubuh dan membentuk tubuh dengan cara mengikuti berbagai kegiatan olahraga dan mengonsumsi berbagai obat hanya demi dianggap perkasa dan memperoleh bentuk otot lengan dan perut yang sama seperti para model lelaki di berbagai media massa. Selain itu, jika dilihat dari segi budaya dan kebiasaan yang melekat pada masing-masing gender, pada umumnya dalam tayangan televisi perempuan selalu ditampilkan sebagai sosok yang tidak jauh dari peran domestik seperti masalah dapur, sumur, mengurus anak, belanja, dan sebagainya. Mereka terkadang pula diposisikan sebagai subordinat laki-laki, misalnya menjadi bawahan, sekretaris, dan peran-peran melayani atau menopang kebutuhan laki-laki (Handoko 2005). Sementara itu, laki-laki seringkali digambarkan sebagai seseorang yang lebih berkuasa, kuat, dan melindungi perempuan. Stereotip gender memang tidak hanya berawal dari media massa, melainkan dapat juga berawal dari budaya dan lingkungan sosial yang sudah terbentuk sebelumnya. Maka dari itu, penulis ingin meneliti, sejauh mana iklan di televisi berdampak pada pembentukan stereotip gender kaum muda pedesaan? Tujuan Penulisan Tujuan dari penulisan studi pustaka berjudul “Dampak Pemanfaatan Iklan di Televisi terhadap Stereotip Gender Kaum Muda Pedesaan” ini adalah melakukan penelusuran data sekunder yang akan digunakan dalam penyusunan proposal penelitian. Adapun rincian tujuan penelitian ini ialah (1) Mengetahui tingkat pemanfaatan iklan di televisi pada kaum muda pedesaan, (2) Mengidentifikasi pengaruh tingkat pemanfaatan iklan di televisi pada kaum muda pedesaan terhadap tingkat gaya hidup, dan (3) Menganalisis dampak pemanfaatan iklan di televisi pada kaum muda pedesaann terhadap dengan stereotip gender. Sehingga timbul pertanyaan-pertanyaan baru tentang topik yang serupa sesuai dengan kerangka analisis. Metode Penulisan Metode yang digunkan dalam penulisan Studi Pustaka yang berjudul “Dampak Media Massa Terhadap Stereotip Gender Kaum Muda Pedesaan” ini adalah metode pengumpulan data dan literatur sekunder dari penelitian sebelumnya. Data dan literatur ini berasal dari jurnal ilmiah dan skripsi mengenai gender dan media massa sementara teori yang digunakan diperoleh dari buku mengenai gender dan media massa. Data dan 4 literatur yang diperoleh selanjutnya dibaca dan diringkas mengenai teori, data, dan hasil penelitiannya. Selanjutnya teori dan hasil penelitian tersebut dianalisis dan dikritik dengan landasan teori yang diperoleh dari buku yang berkaitan dengan topik kajian sehingga data dan temuan dari literatur sekunder dapat disintesis menggunakan buku yang berkaitan dengan topik kajian dan menjadi satu tulisan yang utuh. RINGKASAN DAN ANALISIS PUSTAKA 1. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Kota/Nama Penerbit Nama Jurnal Volume (edisi)/Nomor/Halaman Alamat URL Tanggal/Waktu diunduh : Iklan dan Budaya Popular : Pembentukan Identitas Ideologis Kecantikan Perempuan oleh Iklan di Televisi : 2009 : Jurnal : Elektronik : Inda Fitriyarini : Samarinda, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman : Jurnal Ilmu Komunikasi : 6/2/119-136 : http://ojs.uajy.ac.id/index.php/jik/article/view/199 : 11 September 2014/10/10:24 WIB Budaya tinggi kini mulai tegeser oleh hadirnya budaya popular atau budaya massa seiring dengan munculnya kecanggihan berbagai teknologi dan media massa termasuk televisi. Perubahan budaya tersebut berdampak pada perubahan instansi perilaku masyarakat. Budaya massa mencampuradukkan segala sesuatu sehingga muncul budaya homogen. Televisi berfungsi untuk melayani konsumen atau khalayak yang anonim, heterogen, dan tersebar namun kini menjadi media pembentuk realitas khalayak. Dalam berbagai iklan kecantikan di televisi digambarkan bahwa perempuan yang ideal adalah perempuan yang bertubuh langsing dan ramping serta memiliki rambut hitan dan lurus. Maka dari itu, tujuan penulis menulis jurnal ilmiah ini adalah untuk mengungkapkan atau mengetahui bagaimana iklan kecantikan di televisi digunakan sebagai upaya untuk mengonstruksi pola pikir dan gaya hidup masyarakat. Iklan yang secara tidak langsung bertujuan untuk mendedahkan nilai-nilai tertentu merupakan suatu tayangan media yang menyebar kuasa (strategi) tentang normalisasi tubuh perempuan.Produksi kekuasaan yang terjadi ialah munculnya strategi untuk menyebarkan wacana langsing dan kulit putih, rambut lurus dan hitam adalah standar ideal tubuh perempuan. Akibatnya, perempuan yang tidak memiliki tubuh langsing dan berkulit putih, serta rambut yang panjang dan hitam dapat merasa kehilangan identitas tubuh mereka. Sebaliknya, bagi laki-laki, mereka disodori kriteria perempuan cantik yang pantas menjadi pasangan mereka. Hal ini berarti iklan dapat menjadi simbol imaji yang ditampilkannya membentuk dan merefleksikan nilai hakiki. Pengiklan dan para pengusaha iklan berpandangan bahwa penggunaan sosok perempuan dalam ilustrasi iklan merupakan satu tuntutan estetika untuk merebut perhatian konsumen. Iklan-iklan yang memberi nilai standar ideal tubuh perempuan sebenarnya menimbulkan stereotip baru bagi perempuan.Stereotip berkaitan dengan seks dan gender, yaitu konsep sosial yang berhubungan dengan pembedaan karakter psikologi dan fungsi sosial antara perempuan dan laki-laki yang dikaitkan dengan anatomi jenis kelaminnya. 6 Kebudayaan pada hakekatnya adalah hasil dari pemikiran manusia. Culture atau budaya menurut McIver adalah ekspresi jiwa yang terwujud dalam ekspresi jiwa dalam cara-cara hidup dan berpikir, pergaulan hidup, seni kesusastraan, agama, rekreasi dan hiburan dan yang memenuhi kebutuhan hidup manusia(dikutip dalam Soekanto, 2002:304) sebagai sebuah panduan bagi sekelompok masyarakat untuk bertindak dan berperilaku. Semakin kompleks masyarakat, semakin kompleks pula perilaku komunikasi yang dijalankan.masyarakat. Penulis mengartikan budaya tinggi merupakan salah satu aspek kebudayaan masyarakat yang keberadaannya berasal dari nilai-nilai mendasar yang dimiliki kebudayaan tersebut. Budaya tinggi yang tergeser oleh kemunculan teknologi yang berakibat pada instanisasi perilaku masyarakat, mendapatkan tandingannya berupa budaya populer.seni. Produk dari budaya popular tidak pernah mengandung seni murni, tetapi mempunyai karakteristik tersendiri: terstandarisasi, stereotype, konservatif, manipulasi terhadap barang konsumsi (Stan Le Roy Wilson, 1995:5). Analisis : Melalui penelitian ini, dapat diketahui bahwa budaya popular perlahan telah menggantikan budaya lama (asli) dengan masuknya nilai-nilai baru di masyarakat. nilainilai tersebut disebarkan atau tersebar ke masyakarat melalui media massa, salah satunya dalam bentuk iklan. Nilai-nilai tersebut membawa standar kecantikan perempuan melalui iklan. Hasil penelitian di atas mengungkapkan bahwa pembentukan identitas ideologi kecantikan perempuan seolah-olah memang hanya disebabkan oleh media massa, dalam kasus ini ialah televisi. Padahal, tidak mungkin media massa memiliki kreativitas tanpa berdasarkan realita yang telah terjadi sebelumnya, sehingga realitas kecantikan sebenarnya merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu, bukan semata-mata oleh tayangan-tayangan media massa. Selain itu, penekanan mengenai perempuan dan stereotip masih terlalu sedikit. Padahal, stereotip tersebut dikonstruksikan oleh masyarakat sebagai hasil hubungan sosial tentang perbedaan laki-laki dan perempuan. Penelitian ini cenderung menganggap perempuan berkarakter homogen, sehingga dapat menyimpulkan bahwa semua perempuan dapat menerima konstruksi identitas ideologi kecantikan. Pemanfaatan teknologi (x) Perubahan budaya (y1) Perubahan nilai gender (y2) Gambar 1. Hubungan Antar Konsep Jurnal 1. Stereotip gender 7 Tabel 1. Daftar Variabel Jurnal 1 Variabel Sub Variabel Pemanfaatan teknologi (x) - Pemanfaatan televisi - Pemanfaatan Iklan Perubahan budaya (y1) - Budaya tinggi - Budaya popular Perubahan nilai (y2) 2. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Kota/Nama Penerbit Nama Jurnal Volume (edisi)/Nomor/Halaman Alamat URL Tanggal diunduh Fakta Pendukung Budaya tinggi kini mulai tegeser oleh hadirnya budaya popular atau budaya massa seiring dengan munculnya kecanggihan berbagai teknologi dan media massa termasuk televisi Budaya tinggi yang tergeser oleh kemunculan teknologi yang berakibat pada instanisasi perilaku masyarakat, mendapatkan tandingannya berupa budaya popular seni Iklan-iklan yang memberi nilai standar ideal tubuh perempuan sebenarnya menimbulkan stereotip baru bagi perempuan : Ketidakadilan Konstruksi Perempuan di Film dan Televisi : 2004 : Jurnal : Elektronik : Ashadi Siregar : Yogyakarta/Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gajah Mada : Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik : 7/3/335-350 : http://jurnalsospol.fisipol.ugm.ac.id/index.php/js p/article/view/187 : 13 Septermber 2014 Gender merupakan pemilahan yang dibuat atas dasar sosial dan sering bersifat absolut karena sering dipaksakan oleh kekuasaan struktural. Perempuan menjalankan fungsi sebagai perempuan dan menjalankan orientasi yang bersifat feminin sedangkan lakilaki menjalankan fungsinya sebagai laki-laki dan menjalankan orientasi yang bersifat 8 maskulin. Sikap absolut tersebut menjadikan sikap setiap penyimpangan menjadi sesuatu yang abnormal dan harus dihukum atau disembuhkan. Perbedaan jenis dan orientasi seksual menimbulkan pola sosial dalam masyarakat yang memperbedakan kategori sosial sehingga muncul sistem kekerabatan patrilinial (atas dasar garis ayah) dan matrilinial (garis ibu) yang memiliki dimensi kultural. Ketidakadilan gender sebenarnya muncul dari konstruksi sosial, mayoritas menindas minoritas. Perempuan dalam posisinya seringkali dianggap powerless karena nilai-nilai yang mendasari peran-peran sosial, karenanya berada pada posisi minoritas. Dalam konstruksi sosial patriarkhi, laki-laki ditempatkan di ruang publik sementara perempuan ditempatkan di ruang privat. Pada setiap kehidupan masyarakat, berlangsung interaksi bersifat struktural. Struktur fisik dapat diliihat kasat mata, sementara struktur sosial hanya dapat dipahami melalui perspektif sosial. Melalui perspektif sosial, dapat dilihat bahwa kedudukan setiap orang hanya dapat setara jika kedua pihak berada pada tingkat dataran kekuasaan yang sama. Perspektif struktural menjadikan setiap wacana berpotensi untuk tidak setara apabila ada satu pihak yang memiliki kekuasaan pusat sehingga yang lainnya menjadi periferal. Asumsi dasar pada masyarakat tidak setara adalah hambatan bagi individu untuk mewujudkan hak-haknya. Hambatan ini memiliki tiga level, pertama fisik, kedua akses, dan ketiga adalah struktural. Pada permasalahan gender, masalah ketidakadilan ini dapat dilihat dari nasib perempuan. Ketidakadilan terhadap perempuan merupakan permasalahan struktural yang disebabkan oleh kondisi struktural suatu masyarakat yang tidak adil. Sumber kekuasaan sebagai penyebab ketidakadilan ini mulai dari institusi birokrasi negara atau masyarakat itu sendiri.Maka dari itu, kepekaan gender bukanlah menjadikan perempuan sebagai fokus utamanya, melainkan hanya dapat dimulai dari perspektif mengenai ketidakadilan struktural. Penampilan perempuan di media massa dapat dilihat cenderung bermakna merendahkan perempuan dengan menjadikan perempuan sebagai objek dari yang berkuasa, khususnya ekonomi. Wacana yang merendahkan posisi perempuan ini ada yang bersifat terbuka (manifes) dan ada yang bersifat tertutup. Dikatakan bersifat terbuka jika media massa mengeksploitas bagian tubuh dalam konteks seksual dan sensualitas. Sementara itu, dikatakan tertutup jika dieksploitasi adalah kualitas tubuh perempuan, seperti kecantikan, kerampingan, kulit putih, dalam konteks komersialisme. Maka dari itu, apakah komodifikasi yang identik dengan informasi menitik-beraktkan pada bagian atau keadaan fitur tubuh, bukan pada figur personifikasi dan peran sosialnya. Media massa dapat menjadi contoh dari ketidakadilan gender dalam masyarakat. Hal ini seolah dianggap wajar para pekerja media menghadirkan informasi tanpa menempatkan suatu wacana dalam suatu perspektif struktural. Dalam operasi kerjanya, para pengeloal media hanya perlu bertolak dari standar manajemen yang bersifat teknis untuk tujuan pragmatis pasar. Komodifikasi perempuan pada media massa dengan menjadikan tubuh perempuan sebagai komoditi ini terjadi secara langsung pada bisnis seks dan hiburan. Proses komodifikasi ini sebenarnya digerakkan oleh kapitalisme dan bersifat patriakrkhi, namun dapat juga digerakkan oleh perempuan. Hal ini dapat dilihat dari permasalahan perempuan yang terkadang juga mengeksploitasi perempuan. Pada tataran interaksi sosial, eksploitasi perempuan dapat terjadi dalam hal prostitusi. Sementara itu, pada tataran mediasi, eksploitasi perempuan dapat dilihat dalam 9 hal pornografi yang secara negatif berarti cara atau tindakan seksual yang tidak memiliki makna spiritual dan tidak berdasarkan perasaan halus, tidak memiliki konteks dengan masalah medis dan keilmuan umumnya, atau lebih jauh merupakan penggambaran dorongan erotis tidak untuk tujuan estetika. Film dapat menampilkan wacana yang dapat dijadikan pintu masuk untuk memahami kondisi sosial masyarakat. Film dipandang sebagai proses ideologi, sehingga konstruksi sosial yang membentuk masyarakat dapat dilihat melalui film. Dalam konteks gender, konstruksi sosial muncul dalam penampilan perempuan dan laki-laki dalam peranperan sosial, masalah seksual dan reproduksi, pekerja perempuan, gambaran tentang feminitas dan stereotip perempuan. Wacana perempuan dalam film program televisi dapat dikritisi melalui cara pandang yang digunakan dalam menjadikan perempuan sebagai subyek, untuk kemudian dilihat interaksinya dalam konteks kekuasaan. Dalam dunia show-biz, perempuan seringkali dijadikan sumber lawakan. Analisis : Melalui penelitian ini, dapat diketahui bahwa bentuk eksploitasi perempuan padea iklan dan film dapat dikelompokkan dalam dua tataran, yaitu tataran interaksi sosial dan tataran mediasi. Pada tataran interaksi sosial, eksploitasi tersebut dapat berbentuk prostitusi. Sedangkan, pada tataran mediasi, eksploitasi tersebut dapat berbentuk pornografi. Penulis dalam penelitian ini beranggapan bahwa gender merupakan bentukan atas dasar sosial dan bersifat absolut. Sementara itu, teori nurture memandang bahwa adanya perbedaan perempuan dan laki-laki di berbagai sektor kehidupan merupakan hasil konstruksi sosial budaya (Supiandi 2008). Mengenai media massa, penelitian ini tidak memperhatikan bahwa sebagian besar media massa di Indonesia adalah milik swasta dengan profit sebagai orientasi utama. Etika komunikasi perlu juga memperhitungkan mekanisme pasar, aspirasi warga negara, serta asosiasi pengguna. Etika komunikasi harus memperhitungkan segi politik dan ekonomi tersebut. Realitas pasar ini menggambarkan betapa media massa berada di bawah tekanan ekonomi persaingan yang keras dan ketat. Budaya (x1) Ketidakadilan gender di media massa (y) Kondisi struktural kekuasaan politik dan ekonomi (x2) Gambar 2. Hubungan Antar Konsep Jurnal 2 10 Tabel 2. Daftar Variabel Jurnal 2 Variabel Sub Variabel Budaya Patriarkhi (x1) Nilai-nilai gender Fakta pendukung Perbedaan jenis dan orientasi seksual menimbulkan pola sosial dalam masyarakat yang memperbedakan kategori sosial sehingga muncul sistem kekerabatan patrilinial (atas dasar garis ayah) dan matrilinial (garis ibu) yang memiliki dimensi kultural. Kondisi kekuasaan struktural (x2) - Politk - Ekonomi Sumber kekuasaan sebagai penyebab ketidakadilan ini mulai dari institusi birokrasi negara atau masyarakat itu sendiri. Ketidakadilan gender (y) Eksploitasi perempuan Dikatakan bersifat terbuka jika media massa mengeksploitas bagian tubuh dalam konteks seksual dan sensualitas. Sementara itu, dikatakan tertutup jika dieksploitasi adalah kualitas tubuh perempuan, seperti kecantikan, kerampingan, kulit putih, dalam konteks komersialisme 3. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Kota/Nama Penerbit Nama Jurnal Volume/Nomor/Hala man Alamat URL Tanggal diunduh : Metroseksualitas dalam Iklan Sebagai Wacana Gaya Hidup Posmodern : 2004 : Jurnal : Elektronik : Cons. Tri Handoko : Jakarta/Fakultas Seni dan Desain, Universitas Kristen Petra : Nirmana : 6/2/132-142 : http://cpanel.petra.ac.id/ejournal/index.php/dkv/arti cle/ viewArticle/16337G : 3 Oktober 2014 11 Pola kecenderungan merawat tubuh kini mulai tidak hanya identik dengan kaum perempuan namun telah bergeser pula pada pria. Kesempatan ini mulai dilirik oleh para produsen mengingat semakin banyaknya para entertainer, eksekutif muda,dan bintang iklan yang kerap tampil di berbagai acara, seperti presenter, pembicara di televisi, mode/artis, atau pertemuan-pertemuan dengan klien. Fenomena kini telah menunjukkan bahwa pria telah melampaui batas-batas gender dalam melakukan suatu ritual, dalam hal ini perawatan tubuh yang selama ini menjadi stereotip kaum perempuan dalam konstruksi sosial pada umumnya. Pria menurut pandangan umum adalah sosok yang jantan, kekar, dan mendominasi kekuasaan dan kelebihannya dibandingkan dengan perempuan. Kertajaya menyebutkan fenomena ini sebagai WOMENvolution, dimana urusan pria sekarang ini tidak hanya bekerja dan mencari uang tetapi juga memperhatikan perempuan dan bersikap emosional. Metroseksual adalah sosok narcissistic dengan penampilan dandy (pesolek), cinta pada diri sendiri, metropolis, seperti yang ditampilkan pada media massa masa kini. Ciri lain dari pria metroseksual adalah mereka yang bersosok berani bereksperimen dengan fashion. Gaya hidup adalah pola-pola tindakan yang membedakan antara satu orang dengan orang yang lainnya. Pola-pola kehidupan ini terkadang diartikan sebagai suatu budaya yang mengandung kebiasaan, sikap, dan nilai-nilai mereka serta pemahaman yang sama menyatukan mereka sebagai suatu kelompok masyarakat. Chaney mendefinisikan gaya hidup dengan menggunakan tema pendekatan sosial, yaitu situs dan strategi. Melalui segi pandang situs, gaya hidup merupakan metaphor fisik bagi ruang-ruang yang disediakan dan dikontrol oleh aktor (individu atau kelompok). Dari segi pandang strategi gaya hidup merupakan cara-cara khas perjanjian sosial atau narasi-narasi dari identitas dimana individu atau kelompok dapat menyimpan metafor-metafor yang ada. Sementara itu, cara hidup memiliki ciri-ciri khas seperti norma, ritual, pola-pola tatanan sosial, dialek atau cara berbicara yang khas. Savage, et al. dalam Chaney (2004) membuat klasifikasi gaya hidup bagi kelas menengah menjadi tiga: asketis, posmodern dan awam (undistinctive).Ciri nyata dari gaya hidup posmodern adalah kecenderungan melakukan perayaan-perayaan gaya hidup tertentu dan terjadi pengaburan pembedaan gaya konvensional dimana ekstravaganza tingkat tinggi berlangsung terus bersama budaya tubuh. Budaya tubuh dapat diamati dari sudut pandang penampakan luar. Dalam hal ini, kekuatan citra yang hadir dalam masyarakat konsumtif adalah hasil dari produsen ideologi dan pendefinisi kenyataan, yaitu biro iklan, manajer kampanye, perancang mode, perekayasa peralatan gimnastik, penata rambut, dan bintang showbiz. Para produsen ideologi tersebut yang membangkitkan kebutuhan publik akan estetikasi penampilan luar dalam kehidupan sehari-hari. Media dan iklan yang terus mengekspos gaya dan kehidupan selebritis serta produkproduk metroseksual menjadi umpan yang menarik perhatian publik. Berbagai citraan luar telah menjadi media dalam menkomunikasikan dan mengangkat makna, menata, dan memanipulasi identitas sosial sehingga gaya hidup terartikulasi melalui perubahan.Dalam hal ini, fungsi periklanan telah bergeser dari penekanan rasionalitas terhadap kepuasan fungsional menjadi penekanan atas keikutsertaan kemampuan audiens dalam menciptakan tampakan-tampakan luar dari makna melalui manipulasi ikatan dan pemunculan yang pada 12 akhirnya menjadi ciri yang konstan dari modernitas akhir. Sejalan dengan itu, pengkomunikasian pesan iklan dengan menggunakan penampakan luar menjadi dominan. Analisis: Melalui penelitian ini, dapat diketahui bahwa ciri utama pria metroseksual adalah pria yang berpenampilan lebih berani dalam berpakaian dan menunjukkan fashion atau mode yang digemarinya. Selain itu, pria metroseksual identik dengan gaya hidup konsumtif dalam hal perawatann tubuh dan wajah. Penelitian ini menunjukkan adanya perubahan gaya hidup maskulinitas pada lakilaki yang secara umum dicirikan dengan adanya pola konsumtif laki-laki dengan melakukan perawatan tubuh dengan berbagai produk yang diiklankan di media. Kenyataan yang terjadi di Indonesia, fenomena tersebut memang sudah mulai terjadi namun belum merata, kebanyakan ialah laki-laki yang memiliki penghasilan tinggi karena biaya yang dibutuhkan untuk membeli sejumlah produk atau tempat tersebut dianggap belum merakyat, beda halnya dengan harga produk kecantikan perempuan yang lebih variatif. Penelitian ini cenderung fokus pada iklan yang menayangkan isu-isu metroseksualitas namun mengabaikan proses dan karakteristik laki-laki dalam menerima tayangan tersebut. Selain itu, berdasarkan penelitian ini, ideologi maskulinitas dianggap mengalami manipulasi sehingga terjadi perubahan gaya hidup. Padahal, reproduksi sosial iklan televisi terjadi ketika iklan televisi merefleksi realitas sosial ke dalam realitas iklan televisi. Substansi media massa (y1) Perubahan gaya hidup laki-laki kelas atas (x) Perubahan nilai gender laki-laki Gaya hidup (y2) Gambar 3. Hubungan Antar Konsep Jurnal 3 Tabel 3. Daftara Variabel Jurnal 3 Variabel Sub Variabel Perubahan gaya hidup laki-laki kelas atas (x) Substansi media massa (y1) Perubahan gaya hidup laki-laki (y2) Substansi iklan - Asketis Posmodern Awam Fakta Pendukung Pola kecenderungan merawat tubuh kini mulai tidak hanya identik dengan kaum perempuan namun telah bergeser pula pada pria Media dan iklan yang terus mengekspos gaya dan kehidupan selebritis serta produk-produk metroseksual menjadi umpan yang menarik perhatian publik. Fenomena kini telah menunjukkan bahwa pria telah melampaui batas-batas gender dalam melakukan suatu ritual, dalam hal ini perawatan tubuh yang selama ini menjadi stereotip kaum 13 perempuan dalam konstruksi sosial pada umumnya 4. Judul : Ekonomi Politik Iklan di Indonesia Terhadap Konsep Kecantikan Tahun : 2007 Jenis Pustaka : Jurnal Bentuk Pustaka : Elektronik Nama Penulis : Felicia Gunawan Kota/Nama Penerbit : Nama Jurnal : Jurnal Ilmiah Scriptura Volume/Nomor/Halaman : 1/1/Alamat URL : http://cpanel.petra.ac.id/ejournal/index.php/iko/ar ticle/ viewArticle/16671 Tanggal diunduh : 4 Oktober 2014 Makna dari kata cantik sebenarnya dibentuk oleh media. Sebagian perempuan yang tampil di iklan adalah perempuan dengan tubuh yang langsingdan tinggi, berkulit putih, hidung mancung, paras manis, dan berambut panjang dan lurus. Tampilan demikian menyebabkan adanya stereotip dan pemisah antara perempuan cantik dan tidak cantik. Maka dari itu, tujuan penulisan ini adalah untuk mengidentifikasi apa sebenarnya yang membuat perempuan atau bahkan pria mulai mempertimbangkan penampilan mereka dengan sangat? bagaimana peran media dalam membentuk ideologi cantik dalam benak konsumen? Sejak lahir, pikiran masyarakat mengenai perempuan dan laki-laki telah dibentuk oleh budaya yang ada. Salah satu sarana pembentukan citra perempuan adalah melalui media.Pencitraan yang salah mengenai perempuan baru akan terasa pengaruhnya dalam jangka panjang. Pencitraan perempuan di dalam media massa dapat dikategorikan dalam 4 macam, yaitu : 1. Citra Pigura : citra yang ditonjolkan dari sisi biologis, seperti rambut lurus dan panjang para model iklan 2. Citra Pilar : citra yang ditonjolkan ialah perempuan sebagai tulang punggung keluarga dan bertanggung jawab pada pekerjaan domestik rumah tangga. 3. Citra Pinggan : citra yang menonjolkan perempuan pada aktivitas di dapur 4. Citra Pergaulan : adanya pergulatan perempuan untuk masuk ke dalam kelaskelas tertentu yang lebih tinggi di dalam masyarakat Definisi Ekonomi Politik sendiri adalah: “the study of social relations, particularly the power relations, that mutually constitute the production, distribution, and consumption of resources” (Mosco, 1996: 25). Dari definsi ini dapat dilihat bahwa pendekatan ekonomi politik ini berusaha menjelaskan dari gambar besar seperti pengaruh umum dari ekonomi politik di masyarakat atau pengaruh pemegang kekuasaan terhadap definisi peristiwa yang menjadi berita. 14 Hal ini menyebabkan adanya penguasaan atas isi berita maupun berita yang dianggap penting maupun tidak. Siapa yang memiliki kekuatan ekonomi yang lebih maka dia adalah pihak yang bisa menguasai media. Tidak mengherankan apabila saat ini peran media di sini justru menjadi alat legistimasi kepentingan kelas yang memiliki dan mengontrol media melalui produksi kesadaran dan laporan palsu tentang realitas objektif yang sudah bias karena dibuntuti oleh kepentingan baik secara politik maupun ekonomis. Media menjadi alat yang sempurna untuk menyebarkan hegemoni sang penguasa kepada masyarakat. Dari situ akan terbentuk ideologi baru pada benak masyarakat sesuai dengan keinginan para penguasa. Konstruksi ideologi baru tersebut berawal dari ideologi kelas dominan yang direpresentasikan oleh iklan pada media massa hingga proses hegemoni terwujud. Dalam hal ini, laki-laki juga menjadi sasaran media. Bukan hanya pada iklan, tetapi pada sinetron yang ditayangkan juga menjadikan perubahan peran laki-laki dan perempuan. Tidak hanya dalam hal pekerjaan dan pendidikan, laki-laki menganut paham feminisme, tetapi yang paling mencolok adalah dalam hal kesetaraan tubuh dan gender. Saat ini laki-laki penganut paham feminisme radikal kultural tampak berani menunjukkan identitasnya di depan umum, termasuk di iklan dalam televisi. Begitu pula dengan paham feminisme radikal libertarian. Beberapa laki-laki biologis akan memanifestasikan gender feminine, dan beberapa perempuan biologis akan memanifestasikan sifat-sifat gender maskulin (Putman Tong, 1998:p.51). Dalam hal ini, media membantu laki-laki metroseksual tampak lebih kentara dan media menyebarluaskan tips maupun informasi bagaimana seharusnya laki-laki yang seharusnya. Iklan merupakan sumber pendapatan utama bagi media. Ada 3 fungsi iklan dalam media massa, yang pertama sebagai fungsi informasi yang mengkomunikasikan informasi produk, ciri-ciri, dan lokasi penjualan. Kedua, ialah sebagai fungsi persuasif, yaitu membujuk para konsumen untuk membeli produk atau mengubah sikap konsumen atas suatu produk. Ketiga, ialah sebagai fungsi pengingat, yaitu terus mengingatkan konsumen mengenai suatu produk. Mencakup Iklan yang bersifat persuasif ini dapat membentuk kesadaran palsu masyarakat. Masyarakat menganggap semua yang ditampilkan media massa merupakan cerminan realitas sosial. Padahal, apa yang ada di iklan belum tentu merupakan cerminan dari realitas sosial yang ada. Ideologi kelas dominan Iklan di media massa Proses hegemoni Masyarakat/audience Gambar 4. Proses Hagemoni 15 Analisis : Melalui penelitian ini, dapat diketahui bahwa citra suatu kelompok kerap kali ditunjukkan melalui media massa. Media massa yang ada saat ini identik dengan penguasa ekonomi dan politik yang membawa nilai atau ideologi tertentu. Nilai atau ideologi tersebut disebarluaskan salah satunya melalui iklan di media massa hingga berujung pada proses hegemoni suatu kelompok. Penelitian ini belum menjawab rumusan permasalahan pertama dan hasil penelitian ini terlalu spesifik seperti hanya media massa yang menyebabkan fenomena tersebut, padahal mungkin masih ada faktor-faktor lain selain media massa. Pada penelitian ini terdapat hasil dan opini penulis yang kontradiktif. Pada penelitian ini dijelaskan bahwa menurut media apa yang ada di iklan adalah cerminan masyarakat yang ada saat itu. Namun, penulis juga menjelaskan bahwa apa yang ada di iklan belum tentu merupakan cerminan dari realitas yang ada karena adanya pencitraan realitas yang bersifat semu. Pada penelitian ini juga dituliskan bahwa ada kecenderungan perubahan peran gender antara laki-laki dan perempuan yang dipengaruhi media massa. Kekuasaan (x1) Substansi media massa (y) Hegemoni ideologi gender Ideologi kelas dominan (x2) Gambar 5. Hubungan Antar Konsep Jurnal 4 Tabel 4. Daftar Variabel Jurnal 4. Variabel SubVariabel - Ekonomi Kekuasaan (x1) - Poilitik Ideologi (x2) kelas dominan Fakta Pendukung Melalui perspektif ekonomi politik, pendekatan ekonomi politik berusaha menjelaskan dari gambar besar seperti pengaruh umum dari ekonomi politik di masyarakat atau pengaruh pemegang kekuasaan terhadap definisi peristiwa yang menjadi berita Media menjadi alat yang sempurna untuk menyebarkan hegemoni sang penguasa kepada masyarakat. Dari situ akan terbentuk ideologi baru pada benak masyarakat sesuai 16 Variabel Substansi media massa (y) - SubVariabel Fakta Pendukung dengan keinginan para penguasa. Iklan Berita Konstruksi ideologi baru tersebut berawal dari ideologi kelas dominan yang direpresentasikan oleh iklan pada media massa hingga proses hegemoni terwujud. Media menjadi alat yang sempurna untuk menyebarkan hegemoni sang penguasa kepada masyarakat. Hegemoni ideologi gender 5. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Kota/Nama Penerbit Nama Jurnal Volume/Nomor/H alaman Alamat URL Tanggal diunduh : : : : : : Perspektif Gender dalam Representasi Iklan 2001 Jurnal Elektronik Arief Agung Suwasana Jakarta/Universitas Kristen Petra : Nirmana : 3/2/83-96 : http://cpanel.petra.ac.id/ejournal/index.php/dkv/article/vi ewArticle/16068 : 4 Oktober 2014 Terdapat beberapa faktor diskursus gender, yaitu politik, ekonomi, dan kelompok dominan yang ada pada struktur masyarakat, periklanan, media massa, pendidikan, dan cara pandang dari sudut agama terhadap gender. Ideologi patriarkhi masih kuat dalam pranata sosial. Periklanan merupakan salah satu contoh subordinasi perempuan. Hal ini dikarenakan periklanan merupakan bentuk komunikasi yang sering memunculkan kodekode sosial yang tidak jarang mengadopsi stereotip, asosiasi-asosiasi, refleksi kultural, ideologi serta poloa gender yang ada di masyarakat. Maka dari itu, penulis ingin mengidentifikasi akankah periklanan telah menjadi simbol subordinasi perempuan? atau kah para desainer iklan yang dituding sebagai penyebab munculnya fenomena representasi sosial yang menyiratkan perempuan diposisikan pada peran yang subordinat? Komunikasi iklan adalah komunikasi persuasif yang berisi informasi mengenai produk atau jasa yang ditawarkan agar pesan dapat dipahami, diterima, dan disimpandiingat dengan tujuan menarik minat konsumen dan membujuk konsumen untuk melakukan hal sesuai dengan keinginan komunikator. Namun kecenderungan yang tampak ialah iklan tidak hanya mengiklankan fungsi atau kegunaan dari suatu produk, melainkan 17 juga memberikan nilai pada suatu produk sehingga membuka peluang bias penafsiran. Citra tersebut kemudian diinterpretasikan menyentuh bias-bias gender. Perempuan sering menjadi obyek yang dapat menjadi sumber daya tarik serta merefleksikan citra. Secara general, perempuan memang belum bisa dilepaskan dari wilayah domestik. Hal ini dapat dilihat dari berbagai iklan produk yang menampilkan perempuan yang seksi dan sensual. Iklan shampoo, sabun, dan peralatan rumah tangga sering ditampilkan berkaitan dengan perempuan, sementara iklan supplemen, jamu, rokok, seringkali dikaitkan dengan laki-laki.Meskipun sudah berpeluang berpartisipasi di wilayah publik, namun kualitas posisi strategis yang diterima perempuan belum tergolong baik. Sedikitnya peluang perempuan untuk berkontribusi di wilayah publik menyebabkan perempuan menjadi terkucilkan. Iklan sebenarnya merupakan cerminan dari ciri budaya yang ada di masyarakat. Kebudayaan merupakan proses pemerdekaan diri serta suatu bentuk ekspresiyang bercirikan fungsional. Jika dilihat dari segi berkesenian, iklan berkaitan dengan dimensi budaya dan dimensi fungsional. Dari segi dimensi fungsional, pola komunikasi iklansebenarnya merujuk pada pemahaman fungsional namun sering tertutupi oleh konsep produk. Dari segi budaya, iklan merupakan wujud implementasi dari pandangan-pandangan tentang realitas sosial yang ada di masyarakat. Maka dari itu, ketika sebuah iklan diarahkan untuk citra tertentu, terkadang dapat diinterpretasikan sebagai sesuatu yang bias gender. Analisis : Melalui penelitian ini, dapat diketahui bahwa beberapa faktor penyebab ketidakadilan gender ialah ekonomi, politik, dan kelompok dominan yang menguasai beberapa sektor. Selain itu, belakangan ini iklan bukan hanya berfungsi untuk menyebarkan informasi mengenai produk yang diiklan-kan, melainkan juga menyebarluaskan nilai-nilai baru yang ada pada konsep iklan tersebut. Penelitian ini kurang meneliti mengenai proses pembuatan iklan dan siapa yang berperan (desainer) pada iklan. Padahal, salah satu rumusan masalah pada penelitian ini adalah atau kah para desainer iklan yang dituding sebagai penyebab munculnya fenomena representasi sosial yang menyiratkan perempuan diposisikan pada peran yang subordinat. Maka dari itu, jawaban dari rumusan masalah tersebut menjadi belum terjawab. Ideologi kelas dominan (x1) Kekuasaan (x2) Substansi media massa (y) Ketidakadilan gender Budaya (x3) Gambar 6. Hubungan Antar Konsep Jurnal 5 18 Tabel 5. Daftar Variabel Jurnal 5 Variabel Sub Variabel Ideologi kelas dominan (x1) Kekuasaan (x2) Budaya Patriarkhi (x3) Substansi media massa (y) - Ideologi gender Iklan Ketidakadilan gender 6. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Kota/Nama Penerbit Nama Jurnal Volume/Nomor / Halaman Alamat URL Ekonomi Politik - : : : : Subordinasi Stereotip Fakta Pendukung beberapa faktor, yaitu politik, ekonomi, dan kelompok dominan yang ada pada struktur masyarakat, periklanan, media massa, pendidikan, dan cara pandang dari sudut agama terhadap gender beeberapa faktor, yaitu politik, ekonomi, dan kelompok dominan yang ada pada struktur masyarakat, periklanan, media massa, pendidikan, dan cara pandang dari sudut agama terhadap gender Ideologi patriarkhi masih kuat dalam pranata sosial Namun kecenderungan yang tampak ialah iklan tidak hanya mengiklankan fungsi atau kegunaan dari suatu produk, melainkan juga memberikan nilai pada suatu produk sehingga membuka peluang bias penafsiran. Hal ini dikarenakan periklanan merupakan bentuk komunikasi yang sering memunculkan kode-kode sosial yang tidak jarang mengadopsi stereotip, asosiasi-asosiasi, refleksi kultural, ideologi serta poloa gender yang ada di masyarakat Representasi Maskulinitas dalam Iklan 2004 Jurnal Elektronik : Novi Kurnia : Jakarta/Universitas Indonesia : Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik : 8/1/17-36 : http://jurnalsospol.fisipol.ugm.ac.id/index.php/jsp/article/vi 19 ew/193 Tanggal diunduh : 4 Oktober 2014 Konstruksi inferioritas perempuan dianggap mencerminkan kehidupan sehari-hari masyarakat. Media massa memiliki peran yang sangat besar dalam pembentukan stereotip seperti itu. Media adalah arena perebutan posisi, antara posisi memandang (aktif) dengan posisi dipandang (pasif). Pada citra yang disuguhkan oleh media, nilai maskulin berada pada posisi yang dominan sementara nilai feminin berapa pada posisi marjinal. Maka dari itu, penulisan ini bertujuan untuk mengidentifikasi apakah pada media massa berlangsung juga peneguhan stereotip atas laki-laki? apakah iklan di media massa membeberkan maskulinitas? Gender adalah konstruksi sosial budaya yang dibentuk melalui proses panjang dalam kehidupan berbudaya. Karakterkstik maskulin yang identik dengan laki-laki dikatikan dengan tiga sifat khusus, yaitu kuat, keras, beraroma keringat. Sementara itu, karakteristik perempuan dikaitkan dengan sifat yang lemah lembut, dan beraroma wangi. Perbedaan maskulinitas dan feminitas dalam wacana gender tidak berhubungan dengan perbedaan biologis namun lebih kepada perbedaan orientasi budaya. Dalam hal tersebut, masih ada isu ketidakadilan gender berupa stereotip yang merupakan pelabelan attau penandaan terhadap kelompok tertentu. Posisi maskulinitas dikonstruksikan lebih dominan dari pada feminitas.Isu ini dipengaruhi juge oleh budaya patriarkhi yang membenarkan dominasi laki-laki. Maskulinitas adalah imaji kejantanan, ketangkasan, keperkasaan, keberanian untuk menentang bahaya, keuletan, keteguhan hati, hingga keringat yang menetes, otot laki-laki yang menyembul atau bagian tubuh tertentu dari kekuatan daya tarik laki-laki yang terlihat secara ekstrinsik. Secara seksual, ada lima tipe maskulinitas, yaitu tipe gladiator-retro man : pria yang secara seksual aktif dan memegang kontrol. Kedua, tipe protector : pria pelindung dan penjaga. Ketiga, tipe clown of boffoon : pria yang mengutamakan persamaan dalam menjalin hubungan dan menghormati wanita serta bersikap gentleman. Keempat, tipe gay man : pria yang mempunyai orientasi seksual, homoseksual. Kelima, tipe : jenis pria lain, yang lemah dan pasif. Dalam kajian media, maskulinitas dipahami sebagai produk dan proses dari representasi. Konsep maskulinitas hegemoni terus diperbaiki, diberdayakan kembali, dinegosiasikan ulang, dan dikonstruksikan ulang dari masa ke masa, salah satunya melalui iklan. Iklan merupakan sebuah media yang tidak hanya menawarkan produk, melainkan juga menawarkan ideologi, gaya hidup, dan imaji. Melalui ideologi kapitalisme, iklan tumbuh dan berkembang serta menyebabkan kemunculan stereotip imaji maskulinitas lakilaki yang direpresentasikan sebagai makhluk berotot, jantan, dan berkuasa. Representasi maskulinitas laki-laki pada iklan ini tidak hanya berkaitan dengan gender, melainkan juga dengan sistem ekonomi global kapitalisme. Media Awareness NetWork mengidentifikasi adanya lima karakterisitk maskulinitas. Pertama, sikap yang berprilaku baik atau sportif. Kedua, mentalitas cave man, yaitu simbolsimbol pahlawan. Ketiga, pejuang baru seperti kemiliteran dan olahraga. Keempat, otot yang mencitrakan tubuh laki-laki ideal. Kelima, maskulinitas pahlawan yang dipengaruhi oleh aksi film Hollywood. 20 Konsep maskulinitas baru ini merupakan upaya untuk meninggalkan budaya patriarkhi yang dominan sekaligus beranjak ke kerangka kerja sosial yang lebih inklusif. Iklan sekarang menciptakan standar baru masyarakat untuk laki-laki, yakni sebagai sosok yang agresif sekaligus sensitif, memadukan unsur kekuatan dan kepekaan. Kemunculan konsep maskulinitas baru ini mendobrak konsep maskulinitas lama namun masih menjadi wacana alternatif dari dominannya wacana representasi maskulinitas budaya patriarkhi yang ada dalam industri periklanan. Analisis : Melalui penelitian ini, dapat ditelaah bahwa ada beberapa karakteristik maskulinitas. Karakteristik maskulinitas yang ada pada suatu kelompok laki-laki dapat berubah seiring dengan berubahnya budaya. Seperti sekarang ini, konsep maskulinitas mulai mengalami perubahan karakteristik sebagai suatu upaya pendobrakan budaya patriakhi yang selama ini berlangsung di tengah masyarakat Indonesia. Upaya tersebut disiarkan dan disebarluaskan melalui media massa, salah satunya dalam bentuk iklan. Bagi media massa, maskulinitas bukan hanya sebagai proses melainkan juga dianggap sebagai produk representasi. Penelitian ini memaparkan bahwa media merupakan arena perebutan posisi aktif dan pasif bagi masyakarakat. Hal ini sejalan dengan fakta yang menunjukkan bahwa informasi yang diberikan melalui media seringkali menunjukkan perendahan martabat, diskriminasi, ataupun limitasi fungsi sosial di masyarakat. Namun demikian, penelitian ini belum menjawab apakah media massa telah meneguhkan stereotip atas laki-laki. Realitas/konstruksi gender (x1) Substansi media massa (y) Perubahan budaya/ideologi Kekuasaan (x2) Gambar 7. Hubungan Antar Konsep Jurnal 6 Tabel 6. Daftar Variabel Jurnal 6 Variabel Sub Variabel Realitas/konstruksi Perilaku laki-laki dan gender (x1) perempuan Kekuasaan (x2) Ekonomi Fakta Pendukung Konstruksi inferioritas perempuan dianggap mencerminkan kehidupan sehari-hari masyarakat Representasi maskulinitas laki-laki pada iklan ini tidak hanya berkaitan dengan gender, melainkan juga dengan sistem ekonomi global kapitalisme 21 Variabel Substansi media massa (y) Perubahan budaya/ideologi gender 7. Judul Sub Variabel Iklan - Patriarkhi Maskulinitas Fakta Pendukung Iklan merupakan sebuah media yang tidak hanya menawarkan produk, melainkan juga menawarkan ideologi, gaya hidup, dan imaji. Konsep maskulinitas baru ini merupakan upaya untuk meninggalkan budaya : Hubungan Maskulinitas Perempuan dalam Iklan dalam Hubungannya dengan Citra Sosial Perempuan Ditinjau dari Perspektif Gender : 2005 : Jurnal : Elektronik : Cons. Tri Handoko : Jakarta/Fakultas Seni dan Desain, Universitas Petra Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Kota/Nama Penerbit Nama Jurnal : Nirmana Volume/Nomor/Ha : 7/1/85-98 laman Alamat URL : http://cpanel.petra.ac.id/ejournal/index.php/dkv/article/view Article/16444 Tanggal diunduh : 4 Oktober 2014 Pada umumnya, perempuan dalam iklan ditampilkan sebagai sosok yang tidak jauh dari peran domestik rumah tangga, sama halnya dengan posisi mereka dalam kehidupan bermasyarakat, menjadi semakin berkembang karena stereotip tersebut. Hampir sebagian besar iklan di media massa selain menempatkan perempuan dalam perannya sebagai ‘orang kedua’ atau ‘disubordinasikan’ pada peran laki-laki. Selanjutnya, berbagai stereotip perempuan yang lemah dan selalu menjadi subordinat pria dalam penampilannya di berbagai iklan mulai menunjukkan perubahan di mana posisi perempuan terkadang terlihat lebih ‘berkuasa’ dan ‘perkasa’ dari laki-laki, kuat, gesit, dan lincah. Tulisan ini bertujuan untuk mengidentifikasi sejauh mana citra sosial perempuan dalam iklan sebagai sosok yang maskulin ditinjau dari perspektif gender dan sejauh mana kemungkinan penggunaan model perempuan maskulin tersebut berimplikasi pada wacana tentang gender dalam konteks budaya patriarkhi? Karya-karya iklan pada kenyataannya banyak yang menggunakan stereotip baku mengenai gender, seperti perempuan yang ditampilkan berperan melayani, marginal, subordinatif, dan berkaitan dengan kepentingan laki-laki. Perempuan yang hanya berperan memuaskan laki-laki disebut sebagai citra pigura, yaitu perempuan kelas menengah dan 22 atas perlu tampil memikat untuk mempertegas kemampuannya secara biologis seperti rambut halus dan panjang, tubuh tinggi dan ramping, dan lain sebagainya. Meski terkadang perempuan digambarkan berperan di wilayah publik, namun bukan sebagai pengambil keputusan. Dalam konteks visual, kehadiran perempuan terkesan hanyalah sebagai daya tarik dan terkadang tidak ada hubungannya dengan pesan iklan yang ingin disampaikan. Ada dua bentuk dominan maskulinitas, yaitu maskulinitas hegemonik dan maskulinitas yang tersubordinasi. Hegemonik yang dimaksud ialah perubahan sosial yang dicapai bukan karena kekuatan melainkan karena pengaturan kehidupan pribadi dan prosesproses budaya. Kemajuan teknologi merupakan aspek dominan yang berpengaruh terhadap konstruksi sosial, termasuk dalam hal gender dan isu ketidakadilannya. Stereotip laki-laki lebih dekat dengan logika dan rasio sedangkan perempuan cenderung ke arah emosional, daya analisisnya kurang, dan lebih lemah dari laki-laki. Peran perempuan pada tayangan media massa terkadang hanya menjadi pemanis atau disubordinasikan, terbatas hanya pada wilayah domestik, kecantikan atau perawatan diri. Maskulinitas dalam hubungannya dengan kosntruksi sosial laki-laki dan perempuan secara tersirat erat berkaitan dengan permasalahan gender. Seseorang melaksanakan peran jenis kelamin karena situasi memungkinkan seseorang berperilaku sebagai laki-laki dan perempuan dan sejauh mana orang mengakui perilakunya. Hal yang menjadikan kita kemudian disebut maskulin dan feminin adalah gabungan blok-blok biologis dasar dan interpretasi biologis oleh kultur yang memaksa kita mempraktekkan cara-cara khusus yang telah ditentukan oleh masyarakat bagi kita untuk menjadi laki-laki dan perempuan. Maka dari itu, gender sebenarnya dapat dipertukarkan dan berubah berdasarkan kepentingan situasional. Namun salahnya, perempuan yang demikian seringkali dianggap tomboy. Anggapan tersebut karena adanya konsepsi patriarki dalam budaya. Perubahan sosial yang diakibatkan oleh globalisasi ekonomi, teknologi, dan informasi berimbas pada pola pikir dan stereotip yang dibentuk oleh pola pemikiran modern tentang maskulinitas. Peran ibu dalam masa kini jauh lebih komplek lagi, tidak sekedar urusan domestik melainkan juga mencari nafkah dan bekerja di sektor publik. Ideologi maskulin berwawasan gender kini sudah mulai terlihat pada tayangan iklan dan media massa. Dalam iklan masa kini, terkadang perempuan digambarkan dengan sifatsifat maskulin, gesit, kuat, bahkan mampu melumpuhkan laki-laki. Ada juga iklan yang menggambarkan istri yang mendominasi pria. Semakin sering iklan-iklan ditayangkan dengan pendekatan gender, iklan tersebut akan semakin menancap di benak khalayak dan sedikit demi sedikit akan membuka saluran wacana masyarakat akan nilai-nilai kesetaraan tersebut. Namun, bila dihubungkan dengan pendekatan tema perempuan maskulin dalam iklan, kemungkinan akan berefek ganda. Pertama, akan membawa pengaruh positif pada proses pembelajaran masyarakat tentang arti kesetaraan bahwa perempuan tidak boleh dilecehkan dan direndahkan. Kedua, akan berimplikasi buruk pada pandangan sosialnya, dia dicap ‘nyeleneh’, tomboy, serta juga kemungkinan mempunyai orientasi seksual yang berbeda jika berperan maskulin. Analisis : Melalui penelitian ini, dapat diketahui bahwa perilaku perempuan dan laki-laki selama ini dibatasi oleh definisi-definisi yang dibentuk oleh budaya sesuai dengan 23 biologisnya. Sehingga, ada kemungkinan bagi perempuan dan laki-laki untuk mengubah perilaku diluar dari ketentuan atau definisi-definisi yang telah ditentukan oleh budaya namun perilaku tersebut seringkali dianggap tidak normal oleh budaya. Namun demikian, penelitian ini belum mengungkapkan dampak atau perubahan peran dan perilaku gender yang terjadi di masyarakat karena pengaruh maskulinitas perempuan dalam iklan. Padahal, melalui analisis perubahan tersebut wacana tentang gender dalam konteks budaya patriarki dapat ditelaah lebih dalam. Ideologi gender Substansi media massa (y) Globalisasi (x) Ketidakadilan gender Gambar 8. Hubungan Antar Konsep Jurnal 7 Tabel 7. Daftar Variabel Jurnal 7 Variabel Sub Variabel - Teknologi Globalisasi (x) - Ekonomi Faktor Pendukung Perubahan sosial yang diakibatkan oleh globalisasi ekonomi, teknologi, dan informasi berimbas pada pola pikir dan stereotip yang dibentuk oleh pola pemikiran modern tentang maskulinitas Substansi media massa (y) Iklan Karya-karya iklan pada kenyataannya banyak yang menggunakan stereotip baku mengenai gender, Ideologi gender Maskulinitas Ideologi maskulin berwawasan gender kini sudah mulai terlihat pada tayangan iklan dan media massa Ketidakadilan gender Stereotip Stereotip laki-laki lebih dekat dengan logika dan rasio sedangkan perempuan cenderung ke arah emosional, daya analisisnya kurang, dan lebih lemah dari laki-laki 24 8. Judul : Tahun : Jenis Pustaka : Bentuk Pustaka : Nama Penulis : Kota/Nama Penerbit : Nama Jurnal : Volume/Nomor/Hala : man Alamat URL : Tanggal diunduh Gender dalam Konstruksi Media 2009 Jurnal Elektronik Hariyanto Purwokerto/STAIN Komunika, Jurnal dan Komunikasi 3/2/167-183 http://ejournal.stainpurwokerto.ac.id/index.php/komu nika/article/view/27 : 5 Oktober 2014 Media massa telah menyediakan berbagai definisi untuk menjadi perempuan dan laki-laki, membedakan status-status seseorang berdasarkan kelas, ras, maupun seks. Perempuan harus tampil dengan menonjolkan daya tarik seksual, harus bersedia mengalami pelecehan seksual, dan harus memaklumi perilaku seksual agresif laki-laki. Pertanyaannya, apakah selama ini kekerasa seksual terhadap perempuan terjadi karena media massa atau media massa yang dipengaruhi oleh fakta yang terjadi dalam masyarakat sekitarnya? Ketimpangan gender seringkali terjadi karena adanya nilai-nilai kapitalis dan budaya patrarkhi yang saling menguntungkan sehingga tidak menghilangkan fakta tentang adanya kecenderungan stereotip, diskriminatif, bahkan dominasi laki-laki atas perempuan dalam struktur organisasi kerja media. Media merupakan salah satu alat pembentukan konstruksi gender pada masyarakat dan konstruksi tersebut dapat tersebar luas karena jangakauan media yang luas. Sementara itu, gender merupakan pembagian serta tanggung jawab, baik laki-laki maupun perempuan yang ditetapkan masyarakat maupun budaya dan merupakan hasil sosialisasi sejarah yang panjang. Pembagian peran, sifat, maupun watak perempuan dan lelaki dapat dipertukarkan, berubah dari masa ke masa, dari satu tempat adat ke tempat adat yang lain, dan dari satu tingkat kelas ke tingkat kelas yang lain. Ada beberapa prinsip dasar yang harus diperhatikan para pelaku media massa. Pertama, kemampuan profesional, etika, dan perspektif pelaku media massa terhadap permasalahan gender yang masih rendah. Kedua, media massa belum mampu melepaskan dari dari perannya sebagai medium ekonomi kekuasaan, baik yang datang dari penguasa, otoritas intelektual, ideologi politik, ataupun pemilik modal. Ketiga, kurangnya peran aktif dan representasi perempuan dalam media massa menjadikan perempuan sulit untuk keluar dari posisi keterpurukannya saat ini. Keempat, perlu pengubahan paradigma pada media massa berkaitan dengan pencitraan perempuan yang selama ini dipakai yang selama ini cenderung seksis, objek iklan, objek pelecehan, dan ratu dalam ruang publik. Peran media massa menjadi sangat strategis untuk membantu perempuan lepas dari ketertindasannya selama ini. Realitas dapat berwujud ganda. Setiap orang mempunyai konstruksi yang berbedabeda atas suatu realitas, berdasarkan pengalaman, prefensi, pendidikan, dan lingkungan sosial yang dimiliki masing-masing individu. Kecenderungan saat ini adalah pemaknaan 25 yang dilakukan media melalui produk media telah menempatkan produk media sebagai bagian dari realitas sosial itu sendiri. Konstruksi realitas terbentuk bukan hanya dari cara wartawan memandang realitas, tetapi kehidupan politik tempat media itu berada. Kontruksi realitas pada media massa sangat dipengaruhi oleh hubungan kekuatan-kekuatan sosial yang melingkupi media dan berbagai tekanannya. Jika stereotip perempuan muncul hanya sekali-sekali dan masyarakatnya terdiri dari orang yang berpendidikan tinggi, mungkin efeknya tidak akan terlalu signifikan. Namun masalahnya adalah masyarakat Indonesia yang sangat plural, berlatar belakang pendidikan, ras, agama, kedudukan, usia, dan kelas yang berbeda serta menerima suguhan stereotip perempuan secara konsisten.Perempuan yang ditampilkan memperkokoh stereotip yang sudah terbangun di tengah masyarakat. Para perempuan yang hadir itu tidak selalu hadir dalam tampilan tertekan, terintimidasi, dan tertindas. Contohnya Inul Daratista. Para pendukungnya menganggap bahwa Inul tidak merasa tereksploitasi karena ia memiliki kendali atas segala gerakannya. Dalam hal ini, tampilan seksi Inul akan dimaknai khalayak dalam skema gender yang sudah terbangun sebelumnya. Dengan kata lain, yang dilihat laki-laki bukanlah kemandirian artis tersebut, melainkan kesediaan artis tersebut untuk menonjolkan daya tarik seksualnya yang mengonfirmasi persepsi mereka bahwa nilai lebih perempuan adalah keseksian, keindahan, kecantikan, dan kualitas-kualitas fisik lainnya. Akibatnya, perempuan seharusnya bersedia diperlakukan bukan sebagai makhluk yang berpikir dan bermartabat, melainkan sebagai makhluk yang harus senantiasa menonjolkan kemolekan tubuh. Tindakan demikian justru memperkokoh eksplotasi mereka, hanya seolah-olah independen tanpa mengubah stereotip perempuan. Walaupun kebijakan keredaksian melarang membuat produk yang memunculkan kekerasan terhadap perempuan, tetapi ketika kebijakan berdasarkan kebiasaan memperbolehkannya. Oleh karena itu akan muncul kebiasaan-kebiasaan yang berulang. Analisis : Melalui penelitian ini, dapat dijelaskan bahwa ketimpangan gender seringkali terjadi karena adanya nilai-nilai kapitalis dan budaya patrarkhi yang menutupi fakta tentang adanya ketimpangan tersebut. Dalam hal ini media massa sangat berperan penting. Konstruksi realita yang dibentuk oleh media seringkali dipengaruhi oleh hubungan kekuatan-kekuatan sosial yang melingkupi media dan berbagai tekanannya. Jika dikaitkan dengan penampilan perempuan yang cenderung seksi dan sensual namun dilakukan tanpa tampilan tertekan, terintimidasi, dan tertindas, sebenarnya ini berawal dari perbedaan-perbedaan yang ada pada setiap perempuan. Setiap perempuan tidak dapat disamakan. Kesadaran akan perbedaan ini merupakan ciri lahirnya teori feminisme yang baru, yakni feminisme gelombang ketiga. Apa yang terjadi sebelum adanya teori feminisme gelombang ketiga adalah perempuan eksis dalam dunia yang telah didefinisikan oleh laki-laki dalam aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh laki-laki (Cixous dalam Arivia 2008). Bahkan selama ini, pemahaman mengenai apa yang baik dan tidak baik bagi masyarakat pada umumnya didasarkan pada nilai-nilai patriarkis. Dengan kata lain, seorang perempuan tidak dapat disamakan dengan perempuan lainnya, termasuk dalam hal ekspresi seksual dan sensualitas yang ia lakukan tanpa ada rasa tertekan, terintimidasi, atau bahkan tertindas. 26 Kekuasaan (x1) Substansi media massa (x2) Dampak media massa (y) Ketimpangan gender Budaya (x3) Karakteristik khalayak Gambar 9. Hubungan Antar Konsep Jurnal 8 Tabel 8. Daftar Variabel Jurnal 8 Variabel Sub Variabel Kekuasaan (x1) - Ekonomi kapitalis - Politik Substansi media massa (x2) Fakta Pendukung Ketimpangan gender seringkali terjadi karena adanya nilai-nilai kapitalis dan budaya patrarkhi yang saling menguntungkan Media merupakan salah satu alat pembentukan konstruksi gender pada masyarakat dan konstruksi tersebut dapat tersebar luas karena jangakauan media yang luas. Ketimpangan gender seringkali terjadi karena adanya nilai-nilai kapitalis dan budaya patrarkhi yang saling menguntungkan Budaya Patriarkhi (x3) Nilai-nilai gender Dampak media massa (y) Perubahan sikap orang menjadi menyangka bahwa pilihan yang paling logis adalah mengikuti apa yang tampak sebagai kecenderungan umum yang sering ditampilkan di media massa. Ketimpangan gender Stereotip Ketimpangan gender seringkali terjadi karena adanya nilai-nilai kapitalis dan budaya patrarkhi yang saling menguntungkan sehingga tidak 27 Variabel Karakteristik khalayak Sub Variabel - Pendidikan Ras Agama Kedudukan Usia Kelas Fakta Pendukung menghilangkan fakta tentang adanya kecenderungan stereotip, diskriminatif, bahkan dominasi laki-laki atas perempuan dalam struktur organisasi kerja media. Namun masalahnya adalah masyarakat Indonesia yang sangat plural, berlatar belakang pendidikan, ras, agama, kedudukan, usia, dan kelas yang berbeda. 9. Judul : Konstruksi Kebebasan Pada Identitas Perempuan dan Laki-Laki dalam Iklan Operator Seluler 3 dengan Tema “Bebas itu Nyata” Tahun : 2009 Jenis Pustaka : Jurnal Bentuk Pustaka : Elektronik Nama Penulis : Muhammad Safyan Kota dan Nama Penerbit : Universitas Airlangga Nama Jurnal : Volume/Nomor/Halaman : Alamat URL : http://www.journal.unair.ac.id/filerPDF/commb8a 34101f1full.pdf Tanggal diunduh : 5 Oktober 2014 Kebebasan yang dimaksud pada judul penelitian ini adalah sebuah gerakan baru untuk membongkar pembagian identitas peran perempuan dan laki-laki yang masih tradisional dengan stereotip yang masih melekat. Media massa (iklan) merupakan alat persuasif dalam menjual berbagai komoditas (Abdullah, 2003, p. 20). Iklan juga merupakan salah satu media yang digunakan oleh operator 3 dalam menyebarkan dan menegosisasikan bahwa identitas perempuan dan lakilaki di masyarakat masih pakem dengan aturan-aturan budaya atau mitos yang maih tradisional. Sebagai industri, media massa hanya bertujuan untuk meraup keuntungan. Asumsi penelitian ini adalah iklan pada televisi selalu menampilkan identias perempuan dan laki-laki.Dalam berbagai tayangannya, perempuan sering digambarkan di ranah domestik, mengurus rumah tangga, dan lebih emosional. Berbeda dengan identitas laki-laki yang berada di ruang publik, pencari nafkah, dan rasional. Penggambaran inferioritas perempuan sudah bukan hal yang baru lagi dalam budaya patriarkhi. Patriarkhi merupakan suatu bentuk pelaksanaan kekuasaan dan dominasi 28 dalam kelompok keluarga besar atau klan yang terorganisasi dalam konteks ekonomi dan kekeluargaan (Hidayat, 2004, p. 113). Penelitian ini mengeksplorisasi identitas perempuan dan laki-laki Indonesia digambarkan melalui iklan televisi. Penelitian ini juga akan mengidentifikasi kondisi atau situasi sosiokultur Indonesia yang ada, dibentuk, dan berlaku di masyarakat. Serta meilhat bentuk kebebasan yang digambarkan pada identitas perempuan dan laki-laki sebagai perlawanan mitos yang hidup di masyarakat Indonesia. Peneliti akan menggunakan metode analisis semiotika. Unit analisisnya ialah gambar dan bahasa narator dalam iklan 3. Iklan kebebasan pada identitas yang bertujuan merepresentasikan tentang identias perempuan dan laki-laki di Indonesia, dengan menawarkan nilai-nilai baru kepada khalayak tentang apa yang disebut dengan identias sosial baru. Konsep tampilan perempuan Indonesia modern dikonstruksi dalam iklan 3. Bahwa perempuan Indoneisa melakukan inovasi dalam cara berpakaian dari zaman ke zaman dalam penampilannya. Peneliti melihat inovasi cara berpakaian ini menghancurkan cara berpakaian tradisional, di mana budaya Barat telah masuk sebagai bentuk modernitas dalam berpakaian, sehingga perubahan ini juga melibatkan logika kapitalisme. Media ikut serta dalam menyampaikan konsep gender melalui persoalan domestikasi dan marjinalnya perempuan. Perempuan Indonesia masih dilekatkan dengan simbol-simbol stereotip gender tradisional serta mendiskripsikan bahwa kepribadian perempuan Indonesia itu lemah dan tidak berdaya. Hal ini melanggengkan ideologi kapitalisme. Identitas perempuan Indonesia yang ingin sebuah kebebasan dibentuk melalui figur yang menentang seluruh isu domestikasi terhadap dirinya. Kebebasan tersebut menghasilkan sebuah gerakan feminisme. Sehingga muncul sebuah gerakan kaum wanita yang sering disebut feminisme liberal. Asumsi feminisime liberal adalah kebebasan dan kesamaan berakar dari rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Iklan 3 tidak sekedar melabeli perempuan sebagai pemberontak, namun juga mengonstruksi perlawanan tersebut sebagai suatu kewajaran. Laki-laki pada umumnya identik dengan warna-warna konservatif, yaitu hitam dan putih pada pakaian yang digunakan. Konstruksi seperti ini merupakan bentuk pengukuhan mitos dan ideologi kepada audiens, bahwa laki-laki yang sebenarnya ialah yang seperti ini. Lelaki kuat, macho, cool, dan pelindung merupakan hasil konstruk media massa. laki-laki itu harus berotot, pahlawan, dekat dengan olahraga, dan pemimpin atas perempuan. Peran laki-laki masih begitu dominan sehingga peneliti beranggapan bahwa di media massa masih terjadi perebutan wacana gender. Asosiasi seperti ini menimbulkan ketimpangan gender terus menerus, karena dalam proses sosialisasi, perempuan disosialisasikan ke dalam suatu nilai dan ukuran sosial budaya yang pilihannya ditentukan laki-laki dalam kerangka struktural patriakal. Langgengnya ide-ide patriarkhi yang memberikan peluang pada laki-laki dan segala maskulinitasnya ini pada akhirnya memposisikan perempuan di media semakin termarjinalkan hingga berujung pada maskulinitas kapitalistik. Analisis ini menunjukkan keaktifan laki-laki di ruang publik, selaras dengan keterkaitan fisik. Peneliti menyimpulkan bahwa konstruksi kebebasan yang dimaksud oleh kedua identitas yaitu dengan menggunakan produk operator seluler 3 kedua identitas dapat bebas mengakses internet. 29 Analisis : Melalui penelitian ini, dapat diketahui bahwa perempuan Indonesia yang tergambarkan melalui iklan 3 ini secara cara dan gaya berpakaian telah mengalami perubahan. Namun demikian, perempuan dalam iklan ini masih tetap memiliki nilai domestikasi dan marjinalisasi, hal ini terlihatt dari adegan dan pengambilan gambar perempuan di iklan tersebut. Tetapi di sisi lain, dalam iklan ini terdapat juga perilaku perempuan yang terlihat seperti memberontak namun dianggap sebagai suatu kewajaran untuk menembus budaya patriarki. Kenyataan yang demikian sangat menguntungkan para kapitalis Pada analisis ini, terbukti bahwa keaktifan laki-laki dalam ruang publik masih lebih tinggi daripada perempuan. Laki-laki tetap digambarkan sebagai identitas yang mendominasi di segala sektor kehidupan dan publik. Hal ini sesuai dengan naturalisasi peran gender dalam televisi. Para tokoh cerita bergerak mengikuti ritme cerita bagaimana dijalankan oleh para tokoh utamanya. Bahwa sebagian besar kisah mengikuti tokoh utama berjenis kelamin pria yang melakukan aktivitas di luar rumah menunjukkan bagaimana posisi penulis skenario dalam menunjukkan aktivitas apa saja yang bisa dilakukan para tokoh pria di ruang publik. Substansi media massa (y) Budaya (x) Ketimpangan gender Perubahan gaya hidup Gambar 10. Hubungan Antar Konsep Jurnal 9 Tabel 9. Daftar Variabel Jurnal 9 Variabel Sub Variabel Budaya Patriarkhi Nilai-nilai gender (x) Substansi media massa (y) Iklan Fakta Pendukung Patriarkhi merupakan suatu bentuk pelaksanaan kekuasaan dan dominasi dalam kelompok keluarga besar atau klan yang terorganisasi dalam konteks ekonomi dan kekeluargaan Iklan kebebasan pada identitas yang bertujuan merepresentasikan tentang identias perempuan dan laki-laki di Indonesia, dengan menawarkan nilai-nilai baru kepada khalayak tentang apa yang 30 Variabel Sub Variabel Ketimpangan gender Stereotip Perubahan gaya hidup 10. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Kota/Nama Penerbit Alamat URL Tanggal diunduh Fakta Pendukung disebut dengan identias sosial baru. Media ikut serta dalam menyampaikan konsep gender melalui persoalan domestikasi dan marjinalnya perempuan. Perempuan Indonesia masih dilekatkan dengan simbol-simbol stereotip gender tradisional Konsep tampilan perempuan Indonesia modern dikonstruksi dalam iklan 3. Bahwa perempuan Indoneisa melakukan inovasi dalam cara berpakaian dari zaman ke zaman dalam penampilannya. : Hubungan Iklan Produk Kecantikan di Televisi dengan Orientasi Tubuh Wanita Bekerja : 2009 : Skripsi : Cetak : Lidia Astuti : Bogor/Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor : : Pesatnya teknologi dan informasi, salah satunya iklan belakangan ini, media menjadi salah satu faktor dengan pengaruh terbesar dalam pembentukan pencitraan di masyarakat. Salah satu yang paling gencar diusung oleh iklan-iklan media adalah mengenai gambaran keindahan dan kecantikan wanita melalui iklan produk-produk kecantikan.Dengan menggunakan role model seperti ini, para produsen produk kecantikan secara sadar telah mengafirmasikan gambaran wanita ideal yang disebut cantik dan mengharapkan setiap wanita mencontoh atau setidaknya meng-iyakan seperti itu lah sosok yang dianggap cantik. Hal ini berdampak kepada para wanita yang mulai memandang amat penting aspek-aspek penampilan luar. Ketidakpuasan terhadap tubuh yang besar menyebabkan makin kuatnya keinginan para perempuan untuk melakukan segala cara demi memperbaiki penampilan fisiknya (Munfarida, 2007). Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penelitian ini difokuskan untuk mengkaji sejauhmana hubungan antara iklan produk kecantikan dengan orientasi tubuh wanita bekerja perkotaan dan pedesaan ? Variabel-variabel yang diteliti pada penelitian ini ialah orientasi tubuh wanita bekerja sebagai variable terpengaruh. Sementara itu, karaktersitik wanita pekerja, 31 karakteristik lingkungan sosial, dan iklan kecantikan di televisi sebagai variabel yang mempengaruhi. Penelitian ini dilakukan dengan metode kuantitatif dengan didukung data kualitatif. Sementara itu, tayangan yang dijadikan objek penelitian ialah tayangan iklan WRP Stay Slim. Komunikasi massa menurut Tan dan Wright (1991) dalam (Primianty, 2008) merupakan salah satu bentuk yang menggunakan saluran (media) dalam menghubungkan komunikator dan komunikan secara massal, berjumlah banyak, bertempat tinggal yang jauh (terpencar), sangat heterogen dan menimbulkan efek tertentu. Komunikasi massa juga mempunyai beberapa ciri-ciri khusus yang disebabkan oleh komponen-komponennya, ciri-ciri tersebut adalah : 1) sifat pesan terbuka, 2) memiliki khalayak yang variatif baik dari segi usia, agama, suku, pekerjaan maupun kebutuhan, 3) sumber dan penerima dihubungkan oleh saluran yang diproses secara mekanik, 4) sumber merupakan suatu lembaga atau institusi, 5) komunikasi berlangsung satu arah, 6) cenderung memiliki umpan balik yang lambat (tertunda) dan sangat terbatas, 7) sifat penyebaran pesan berlangsung cepat, serempak, luas, mampu mengatasi jarak dan waktu, serta dapat bertahan lama bila didokumentasikan, dan 8) membutuhkan biaya produksi yang cukup mahal serta memerlukan tenaga kerja professional yang 31ndonesi banyak untuk mengelolanya. Schraam dalam Astuti (2009) mencetuskan teori Jarum Hipodermik (hypodermic needle theory) dalam istilah indonesia teori ini di kenal dengan teori peluru atau teori tolak peluru. Teori ini mengasumsikan bahwa media memiliki kekuatan yang sangat perkasa dan komunikan di anggap pasif atau tidak tahu apa-apa. Pesan-pesan komunikasi massa yang di sampaikan kepada khalayak yang heterogen dapat di terima secara langsung tanpa memiliki filter sama sekali. Menurut Kuswandi (1993) dalam (Primianty, 2008) ada tiga dampak yang dapat ditimbulkan dari acara televisi yang ditayangkan terhadap pemirsanya, yaitu: 1. Dampak kognitif, yaitu kemampuan seseorang atau pemirsa untuk menyerap dan memahami acara yang ditayangkan televisi sehingga dapat melahirkan pengetahuan bagi pemirsa. 2. Dampak peniruan, yaitu pemirsa dihadapkan pada trend-trend aktual yang ditayangkan televisi. 3. Dampak perilaku, yaitu proses tertanamnya nilai-nilai sosial budaya yang telah ditayangkan oleh acara televisi yang kemudian diterapkan dalam kehidupan pemirsa sehari-hari. Andika (2008) menyatakan bahwa salah satu cara untuk melihat pengaruh media massa terhadap persepsi mereka adalah dengan melihat intensitas mereka dalam menggunakan media massa, yang dalam penelitian ini disebut frekuensi dan durasi dalam menonton iklan produk kecantikan. Selain itu, Goenawan (2007) menyatakan isi atau subtansi iklan juga berhubungan dalam membentuk persepsi bagi seseorang yang menggunakan media massa. Citra perempuan kebanyakan dapat dilihat dalam penayangan peran perempuan dalam iklan, khususnya iklan ditelevisi.Citra-citra tersebut adalah citra pigura, citra pilar, citra peraduan, citra pinggan, dan citra pergaulan. Citra yang terdapat dalam iklan kosmetik di televisi adalah citra pigura dan citra pergaulan. Citra pigura adalah citra yang menekankan betapa pentingnya para wanita kelas menengah dan atas untuk selalu tampil memikat. Ciri kewanitaan yang dibentuk oleh 32 budaya, seperti memiliki rambut panjang yang hitam pekat, mempunyai alis mata yang tebal, kulit yang putih dan halus, dan pinggul dan perut yang ramping. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh data bahwa pada umumnya, wanita memiliki citra negatif terhadap tubuhnya. Semakin tinggi usia wanita bekerja maka akan semakin tinggi pula orientasi tubuhnya. Semakin tinggi kadar ketakutan seorang wanita, semakin tinggi pula rasa ketidakpuasan wanita terhadap tubuhnya. Namun, wanita perkotaan lebih mempedulikan penampilan fisiknya daripada wanita pedesaan karena wanita perkotaan lebih banyak bekerja di sektor industri yang mempertimbangan kecantikan dalam merekrut pekerja. Semakin tinggi tuntutan pekerjaan, maka akan semakin rendah orientasi tubuh wanita bekerja. Jika dikaitkan dengan tingkat pendidikan, semakin tinggi tingkat pendidikan formal seseorang, maka semakin tinggi orientasi tubuh pada wanita yang bekerja. Wanita yang memiliki pendidikan formal tinggi, sedang, dan rendah tetap memiliki citra negatif terhadap tubuhnya. Semakin tinggi gaya hidup wanita, maka semakin tinggi pula orientasi tubuh pada wanita. Bentuk fisik adalah hal pertama kali dinilai dari seseorang perempuan ketika ia melakukan interaksi sosial. Semakin tinggi kelompok sosial seseorang maka semkain tinggi orientasi tubuh pada wanita yang bekerja. Hal ini didukung oleh budaya patrarkhi yang mendorong wanita untuk mengedepankan penampilan fisikinya. Tampilan yang baik sering diasosiasikan dengan status yang lebih tinggi, kesempatan yang lebih luas untuk dapat menarik pasangan, dan kualitas positif lainnya. Jika dikaitkan dengan pendapatan, semakin tinggi pendapatan wanita bekerja, maka akan semakin tinggi orientasi tubuh wanita bekerja tersebut. Selain itu, semakin tinggi penilaian sosial lingkungan keluarga terhadap penampilan wanita bekerja, maka akan semakin rendah orientasi wanita bekerja tersebut terhadap penampilan tubuhnya. Begitu juga dengan penilaian rekan kerja. Semakin tinggi penilaian rekan kerja seseorang semakin rendah orientasi tubuh wanita yang bekerja. Hasil yang diperoleh juga dikaitkan dengan substansi iklan produk kecantikan di televisi. Semakin tinggi model wanita dan substansi iklan produk kecantikan di televisi, maka semakin tinggi orientasi tubuh pada wanita bekerja. Semakin tinggi frekuensi menyaksikan iklan produk kecantikan maka semakin tinggi orientasi tubuh pada wanita yang bekerja. Semakin tinggi durasi menyaksikan tayangkan iklan produk kecantikan maka semakin tinggi orientasi tubuh pada wanita yang bekerja. Analisis : Melalui penelitian ini, dapat diketahui bahwa karakterisitik individu, karakteristik sosiologis, dan substansi iklan produk kecantikan berhubungan dengan orientasi tubuh wanita serta dengan citra yang dimiliki wanita terhadap tubuhnya. Namun demikian, hasil yang cukup menarik perhatian dalam penelitian ini adalah hasil dari hubungan antara pendidikan formal (yang tergolong dalam karakteristik individu) terhadap orientasi tubuh wanita. Pada penelitian ini, ditunjukkan hasil bahwa semakin tinggi pendidikan formal wanita, semakin tinggi orientasi tubuh wanita serta semakin negatif citra yang dimiliki wanita terhadap tubuhnya. Padahal semestinya pendidikan formal yang dimiliki perempuan dapat lebih menyaring informasi yang mereka peroleh dari media massa mengenai iklan produk yang mereka sadari bahwa iklan tersebut hanya berorientasi profit dengan menjual 33 komodifikasi tubuh perempuan serta menyebarkan nilai-nilai dan standar baru bagi perempuan. Selain itu, pada setiap rincian hasil penelitian selalu ada perbandingan antara wanita perkotaan dan pedesaan tanpa ada tujuan yang jelas dari perbandingan tersebut. Jika hanya ingin melihat keragaman hasil dari karakterisitik responden yang berbeda-beda, hal itu juga dapat diperoleh dengan hanya meneliti dari responden perkotaan. Karakteristik wanita pekerja (x1) Orientasi wanita bekerja (y) Karakteristik lingkungan sosial (x2) Iklan kecantikan di televisi (x3) Gambar 11. Hubungan Antar Konsep Jurnal 10 Tabel 10. Daftar Variabel Jurnal 10 Variabel Sub Variabel Karakteristik - Pendidikan wanita - Usia pekerja (x1) - Pekerjaan - Pendapatan Karakteristik lingkungan sosial (x2) - Gaya hidup Kelompok sosial Penilaian sosial Fakta Pendukung Semakin tinggi usia wanita bekerja maka akan semakin tinggi pula orientasi tubuhnya. Semakin tinggi tuntutan pekerjaan, maka akan semakin rendah orientasi tubuh wanita bekerja. Jika dikaitkan dengan tingkat pendidikan, semakin tinggi tingkat pendidikan formal seseorang, maka semakin tinggi orientasi tubuh pada wanita yang bekerja. Jika dikaitkan dengan pendapatan, semakin tinggi pendapatan wanita bekerja, maka akan semakin tinggi orientasi tubuh wanita bekerja tersebut. Semakin tinggi gaya hidup wanita, maka semakin tinggi pula orientasi tubuh pada wanita.Semakin tinggi kelompok sosial seseorang maka semkain tinggi orientasi tubuh pada wanita yang bekerja. Selain itu, semakin tinggi penilaian sosial lingkungan keluarga terhadap penampilan 34 wanita bekerja, maka akan semakin rendah orientasi wanita bekerja tersebut terhadap penampilan tubuhnya. Begitu juga dengan penilaian rekan kerja. Semakin tinggi penilaian rekan kerja seseorang semakin rendah orientasi tubuh wanita yang bekerja. Iklan Substansi iklan kecantikan di televisi (x3) Semakin tinggi model wanita dan substansi iklan produk kecantikan di televisi, maka semakin tinggi orientasi tubuh pada wanita bekerja. Semakin tinggi frekuensi menyaksikan iklan produk kecantikan maka semakin tinggi orientasi tubuh pada wanita yang bekerja. Semakin tinggi durasi menyaksikan tayangkan iklan produk kecantikan maka semakin tinggi orientasi tubuh pada wanita yang bekerja. Orientasi wanita bekerja (y) Wanita perkotaan lebih mempedulikan penampilan fisiknya daripada wanita pedesaan karena wanita perkotaan lebih banyak bekerja di sektor industri yang mempertimbangan kecantikan dalam merekrut pekerja 11. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Kota/Nama Penerbit : : : : : : Nama Jurnal : Volume/Nomor/Halaman : Alamat URL : Tanggal diunduh : Hubungan Gender dalam Representasi Iklan Televisi 2001 Jurnal Elektronik Arief Agung Suwasana Jakarta/Fakultas Seni dan Desain, Universitas Kristen Petra Nirmana 3/1/1-16 http://cpanel.petra.ac.id/ejournal/index.php/dkv/article /viewArticle/16061 5 Oktober 2014 Visualisasi representasi iklan menunjukkan adanya pemanfaatan fenomena kodekode sosial yang mengambil perspektif gender dalam interaksi anggota komunitas keluarga. Perempuan dalam hal ini dijadikan sarana untuk mengidentifikasi produk untuk menciptakan visibilitas ataupun citra produk. Sesungguhnya, dalam representasi iklan ini terdapat pemahaman ideologi yang mempunyai perspektif gender. Dalam proses pembuatan 35 iklan di televisi, tak jarang proses kreatif dalam dimensi berkesenian ini upaya berkesenian yang menyentuh bias gender di dalamnya. Pemahaman gender perlu dikatikan dengan budaya masyarakat dalam menata hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai peran dan kegiatannya. Gender harus juga diartikan sebagai pembedaan jenis kelamin beserta tafsiran sifat-sifat yang melekat pada dua jenis kelamin yang dikonstruksi secara sosial dan kultural. Misalnya, perempuan dianggap lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Secara ideal, masih terdapat anggapan bahwa peran utama perempuan ada di sekitar rumah tangga dan tugas-tugas domestik. Sementara itu, posisi laki-laki lebih diidentikkan dengan peran-peran publik, lebih memiliki kekuasaan dalam lingkup dan peran arena luar rumah. Fenomena sosial yang sering mendengungkan adanya ketidakadilan gender dalam ranah domestik dan publik telah menyiratkan bahwa memang perempuan masih didudukkan dalam posisi subordinat. Kerelaan atau kesadaran para perempuan untuk dieksploitasi ataupun diposisikan sebagai objek komoditi telah memantapkan determinasi antara dominasi dan subordinat. Citra atau image merupakan gambaran mental yang muncul kala manusia menginterpretasikan suatu objek yang tidak lagi melihat realita dan kualitas formal dari objek, tapi ada sesuatu yang lain yang bisa bersifat pengalaman semantik, simbolik, maknamakna, ataupun pengalaman psikologis. Di dalam citra tersebut akan banyak mengandung nilai dari estetis maupun moralitas. Permasalahan yang menjadi wacana gender ini mulai timbul ketika estetisasi untuk merefleksikan sebuah citra komoditas menyinggung bias gender di dalamnya.Penggunaan jenis kelamin tertentu sebagai objek yang melegitimasi pemanfaatan produk maupun untuk mencerminkan sebuah citra ada kalanya menjadi kontroversi sendiri dalam memperdebatkan keadilan gender. Terlebih lagi jika rekonstruksi gender yang dikemas dalam representasi iklan ditayangkan lewat media televisi yang kapasitas khalayaknya sangat luas, tentu mempunyai dampak atau efek yang siginifikan. Tak jarang representasi iklan di televisi dikemas dengan gaya slice of life, berdasarkan potret kehidupan manusia yang menunjukkan aktivitas maupun rutinitas yang bisa dijumpai di masyarakat. Eksistensi ideologi feminisme sering digaungkan untuk merekonstruksi, meredefinisi, ataupun mengeliminasi dominasi laki-laki (ideologi patriarkhi) sekaligus mengangkat atau mereaktualisasikan peran kaum perempuan dalam konstruksi sosial. Namun usaha ini masih memiliki beberapa hambatan. Secara ‘naturalis’, hal ini masih diperteguh melalui berbagai aspek seperti kebijaksanaan dalam sistem politik, ekonomi, industrialisasi, pendidikan, dan nilai-nilai budaya yang diinternalisasi.Salah satu sarana yang ikut melestarikan ideologi gender ini adalah media massa sendiri yang kerap menampilkan kode-kode sosial sebagai referensi konstruksi sosial terhadap perilaku dan kehidupan sosial manusia. Perempuan ditempatkan sebagai unsur estetisasi yang diharapkan mengangkat kualitas produk/komoditi sekaligus upaya ‘refleksi fetis’ terhadap produk/komoditi itu sendiri. Tubuh perempuan cenderung menjadi alat persuasif yang digunakan untuk menjual 36 berbagai produk.Dalam hal ini, pasar menjadi institusi patriarkhi yang telah mereproduksi nilai seorang perempuan dengan sifat-sifat yang diturunkan dari ideologi yang patriarkhis. Bentuk subordinasi ada kalanya juga timbul dari stereotipikasi yang ada dalam interaksi sosial. Stereotip yang menyatakan perempuan yang baik adalah perempuan yang harus bisa menjadi istri dan ibu rumah tangga, pada dasarnya merupakan pernyataan yang diturunkan dari ideologi patriarkhis yang telah menjadi hegemoni ideologi yang dilegitimasi dalam norma kultural. Analisis : Melalui penelitian ini, dapat ditemukan adanya kode-kode sosial yang disebarkan melalui iklan berbagai produk di media massa. Kode-kode sosial tersebut dikonstruksi berdasarkan realitas sosial yang sudah terjadi di masyarakat, termasuk dalam hal gender. Peneliti berpendapat bahwa tidak jarang kreativitas dalam membuat iklan dilakukan dengan seni yang menyentuh bias gender. Citra atas suatu produk dinilai telah menyentuh permasalahan bias gender. Selain tubuh, perempuan juga kerap kali dijadikan subjek gender yang menampilkan idealisasi peran perempuan terhadap pemanfaatan produk dari iklan tersebut. Kedual hal ini membuktikan bahwa tubuh perempuan dijadikan sesuatu yang bersifat persuasif untuk menjual produk. Namun demikian, penelitian ini tidak berfokus pada suatu hasil penelitian karena tidak memiliki rumusan masalah atau tujuan penelitian sehingga tidak ditemukan variabel apa yang dijadikan fokus penelitian. Selain itu, penelitian ini juga tidak mempertimbangkan karakteristik perempuan yang diteliti atau yang menjadi objek komodifikasi oleh media massa sehingga bisa saja penelitian ini dianggap tidak relevan bagi suatu kelompok perempuan. Budaya (x1) Konstruksi realitas gender di media massa (y) Konstruksi realitas ketimpangan gender Kebijakan (x2) Gambar 12. Hubungan Antar Konsep Jurnal 11 Tabel 11. Daftar Variabel Jurnal 11 Variabel Sub Variabel Budaya patriarkhi Nilai-nilai gender (x1) Fakta Pendukung Stereotip yang menyatakan perempuan yang baik adalah perempuan yang harus bisa menjadi istri dan ibu rumah tangga, pada dasarnya merupakan pernyataan yang 37 Kebijakan (x2) Konstruksi gender di massa (y) - Politik Ekonomi Industrialisasi Pendidikan realitas Iklan media Konstruksi realitas ketimpangan gender 12 Judul . Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Kota/Nama Penerbit Nama Jurnal Volume/Nomor/Hala man Alamat URL Tanggal diunduh - Subordinasi Stereotip diturunkan dari ideologi patriarkhis Eksistensi ideologi feminisme sering digaungkan untuk merekonstruksi, meredefinisi, ataupun mengeliminasi dominasi laki-laki (ideologi patriarkhi) sekaligus mengangkat atau mereaktualisasikan peran kaum perempuan dalam konstruksi sosial. Namun usaha ini masih memiliki beberapa hambatan. Secara ‘naturalis’, hal ini masih diperteguh melalui berbagai aspek seperti kebijaksanaan dalam sistem politik, ekonomi, industrialisasi, pendidikan, dan nilai-nilai budaya yang diinternalisasi Dalam proses pembuatan iklan di televisi, tak jarang proses kreatif dalam dimensi berkesenian ini upaya berkesenian yang menyentuh bias gender di dalamnya. Bentuk subordinasi ada kalanya juga timbul dari stereotipikasi yang ada dalam interaksi sosial. : Peningkatan Kepekaan Gender dalam Jurnalisme : : : : : 2004 Jurnal Elektronik Iwan Awaluddin Yogyakarta/Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik : Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik : 7/3/351-376 : http://jurnalsospol.fisipol.ugm.ac.id/index.php/jsp/artic le/view/188 : 7 Oktober 2014 Perbedaan gender lahir dari suatu proses pergumulan sosial, kultural, dan psikologis. Proses tersebut dapat disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksikan melalui indoktrinasi agama, pendidikan, tradisi, adat istiadat, maupun ideologi negara. Dalam hal ini, media massa berperan sebagai sarana sosialisasi dan penyampaian pesan. 38 Secara psikologis, khalayak dipaksa menerima berita yang disodorkan kepadanya. Hal ini berarti media yang mengontrol berita, bukan khalayak. Dalam jangka panjang, yang dikonstruksikan oleh media dianggap suatu konstruksi yang benar tentang realitas sehingga apa yang ditampilkan oleh media, diterima sesuatu yang alamiah. Pemilahan informasi oleh redaktur media dihubungkan dengan agenda publik sehingga muncul apa yang disebut agenda setting. Agenda setting ini yang menunjukkan makna bahwa media memiliki kekuatan untuk menggerakkan perhatian orang-orang terhadap isu tertentu. Dalam ranah industrial, media massa cenderung memperalat perempuan dengan seluruh karakter yang bisa diperjualbelikan : kecantikan, kemolekan tubuh, dan seks - dada, pinggul, bibir, dan paha – sebagai wujud patriarkhi laki-laki dan sistem kapitalisme untuk menawarkan produk. Tulisan ini mencoba mengelaborasi faktor-faktor penting yang ikut mendorong domestikasi jurnalisme sensitif gender dalam pemberitaan media di Indonesia melalui berbagai strategi yang merupakan langkah taktis, solutif, dan aplikatif. Posisi simbol atau tanda sangat ditentukan oleh kontruksi budaya tempat perempuan dan media berada. Media umum yang hidup dalam dunia patriarkhi lebih menonjolkan simbol maskulinitas. Tubuh perempuan dieksploitasi laki-laki sebagai pekerja semiotik dengan mengendalikan tatanan simbolik dan bahasa semiotiknya, sehingga di dalam dunia tersebut laki-laki dapat berada dalam kekuasaan fantasi dan obsesinya. Laki-laki menjadi pencipta makna sedangkan perempuan hanya menjadi pembawa makna. Penempatan perempuan sebagai objek dibangun berdasarkan ideologi patriarkhi yang mengakar sehingga seringkali perempuan menjadi bahan eksploitasi media massa yang dikelola oleh laki-laki (yang tidak sensitif gender). Hal ini dibangun oleh proses pengalamiahan, ketimpangan, subordinasi, marjinalisasi di dalam hal gender. Ini lah yang disebut common sense. Pemberitaan kriminal yang melibatkan perempuan seringkali ditayangkan dengan menggunakan kata-kata seksis dan bias gender memposisikan seolah-olah perempuan turut andil dalam kasus tersebut padahal sebenarnya perempuan tersebut yang menjadi korban, seperti kasus pemerkosaan. Selain itu, berita mengenai perempuan juga masih dianggap sangat fenomenal –monumental, yaitu hanya pada momen-momen tertentu. Sementara itu, media yang membidik perempuan sebagai audiensnya, seringkali terjebak pada pemberdayaan perempuan di sektor domestik. Tayangan tersebut seringkali menampillkan cara-cara perempuan untuk memasak, mengasuh dan merawat anak, serta membahagian suami. Jarang sekali ada tayangan yang menganjurkan perempuan untuk berani duduk dan bersuara di pemerintahan. Kepentingan ekonomi politik menuntut para pemilik media tunduk kepada industri atau pasar yang memang lebih permisif terhadap jurnalisme yang tidak sensitif gender. Kehadiran perempuan sebagai komoditas media massa, telah mengangkat tiga persoalan. Pertama, persoalan ekonomi politik tubuh, yaitu bagaimana tubuh perempuan digunakan dalam berbagai aktivitas ekonomi berdasarkan pada konstruksi sosial atau ideologi tertentu. Kedua, persoalan ekonomi politik tanda, yaitu bagaimana perempuan ‘diproduksi’ sebagai tanda-tanda di dalam sistem pertandaan yang membentuk citra, makna, dan identitas diri mereka di dalamya. Ketiga, persoalan ekonomi politik hasrat, yaitu bagaimana hasrat perempuan disalurkan atau direpresi di dalam berbagai bentuk komoditas, khususnya komoditas hiburan. 39 Analisis : Melalui penelitian ini, dapat diketahui bahwa perempuan seringkali menjadi objek eksploitasi oleh media massa yang pada umumnya dikelola oleh laki-laki. Pemberitaan mengenai kriminalitas yang berkaitan dengan perempuan seringkali dibahasakan dengan bahasa yang menjatuhkan perempuan. Selain itu, berbagai tayangan di televisi justru memperkuat domesikasi peran perempuan. Melalui penelitian ini juga diperoleh faktorfaktor yang melanggengkan domestikasi jurnalisme, yaitu kepentingan ekonomi politik yang mengharuskan media tunduk kepada industri atau pasar yang memang lebih tertarik dengan jurnalisme yang tidak sensitif gender. Tayangan yang demikian ditayangkan dalam jangka panjang hingga mengkonstruksi suatu realitas sosial mengenai gender hingga dianggap sebagai suatu realita yang mutlak dan alamiah. Menurut penelitian ini, konstruksi realitas sosial yang demikian terwujud karena media memaksa khalayak untuk menonton berita yang disodorkan oleh media tersebut atau dalam kata lain, media yang mengontrol berita sehingga khalayak tidak mampu mengontrol berita yang ingin diterimanya. Padahal, khalayak sebagai pemirsa dapat mengendalikan remote control untuk menghindari tayangan yang tidak disukainya. Iklan televisi bisa saja tidak memengaruhi di masyarakat, karena kebiasaan pemirsa menonton televisi yang tidak selalu konsisten dengan salah satu stasiun televisi. Budaya patriarkhi (x1) Substansi media massa (y1) Kekerasan seksual (y2) Kekuasaan (x2) Gambar 13. Hubungan Antar Konsep Jurnal 12 Tabel 12. Variabel jurnal 12 Variabel Sub Variabel Budaya Nilai-nilai gender patriarkhi (x1) Kekuasaan (x2) - Ekonomi Politik Substansi media massa (y1) - Berita Iklan Fakta Pendukung Media umum yang hidup dalam dunia patriarkhi lebih menonjolkan simbol maskulinitas Kepentingan ekonomi politik menuntut para pemilik media tunduk kepada industri atau pasar yang memang lebih permisif terhadap jurnalisme yang tidak sensitif gender. Pemberitaan kriminal yang melibatkan perempuan seringkali ditayangkan dengan menggunakan kata-kata seksis 40 dan bias gender memposisikan seolaholah perempuan turut andil dalam kasus tersebut padahal sebenarnya perempuan tersebut yang menjadi korban. Kekerasan seksual - Ekspolitasi Subordinasi Marjinalisasi 13. Judul Penempatan perempuan sebagai objek dibangun berdasarkan ideologi patriarkhi yang mengakar sehingga seringkali perempuan menjadi bahan eksploitasi media massa yang dikelola oleh laki-laki (yang tidak sensitif gender). Hal ini dibangun oleh proses pengalamiahan, ketimpangan, subordinasi, marjinalisasi di dalam hal gender. Ini lah yang disebut common sense. : Pengaruh Iklan, Citra Merek, dan Kepuasan Konsumen Terhadap Loyalitas Konsumen dalam Menggunakan Vaselin Hand Body Lotion di Kota Padang Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis : : : : Kota/Nama Penerbit Nama Jurnal Nomor/Volume/Halaman Alamat URL : : : : Tanggal Diunduh : 2012 Jurnal Elektronik Nila Kesuma Dewi, SE, Gus Andri , SE., MM, Sepris Yonaldi, SE., MM Padang Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan 2/3 http://blog.ub.ac.id/dinaandri/files/2013/03/JurnalManajemen-dan-Kewirausahaan.pdf 5 November 2014 Salah satu produk yang mengiklankan produknya adalah Vaseline Hand and Body Lotion. Vaseline diakui oleh U.S. Food and Drug Administration sebagai protektan kulit yang diterima dan secara luas digunakan untuk perawatan kosmetik ( www.unilever.com , diakses tanggal 09 Januari 2012). Menurut Kertajaya (2004) Vaseline Hand and Body Lotion adalah sebuah produk inovatif yang sangat berpotensi untuk terus berkembang dimasa yang akan datang. Untuk meraih pangsa pasar yang lebih besar Vaseline Hand and Body Lotion melakukan berbagai strategi untuk menciptakan keunggulan dalam bersaing. Salah satu 41 strategi yang dikembangkan perusahaan adalah menjaga konsistensi mutu dan kualitas produk. Strategi tersebut dilakukan untuk menjaga citra merek dalam persepsi konsumen. Untuk mempertahankan citra positif dalam diri konsumen Vaseline Hand and Body Lotion terus mempertahankan standar mutu dan kualitas yang mereka miliki, serta melakukan proses inovasi dan pengembangan produk untuk penyempurnaan produk. Berdasarkan uraian ringkas tersebut penulis merasa tertarik untuk mengangkat permasalahan Iklan, Citra Merek dan Kepuasan Konsumen dalam menggunakan Vaseline Hand and Body Lotion sebagai indikator utama yang mempengaruhi terbentuknya Loyalitas dalam diri konsumen. Tujuan yan ingin dicapai dalam Penelitian ini adalah: a). Untuk menguji dan menganalisa pengaruh Iklan terhadap Loyalitas Konsumen dalam mengunakan Vaseline Hand and Body Lotion di Kota Padang, b). Untuk menguji dan menganalisa pengaruh Citra Merek terhadap Loyalitas Konsumen dalam mengunakan Vaseline Hand and Body Lotion di Kota Padang, c). Untuk menguji dan menganalisa pengaruh Kepuasan Konsumen terhadap Loyalitas Konsumen dalam mengunakan Vaseline Hand and Body Lotion di Kota Padang, d). Untuk menguji dan menganalisa pengaruh Iklan, Citra Merek, Kepuasan Konsumen terhadap Loyalitas Konsumen dalam mengunakan Vaseline Hand and Body Lotion di Kota Padang. Kotler dan Armstrong (1997) mendefinisikan periklanan adalah segala bentuk penyajian non personal dan promosi ide, barang dan jasa dari suatu sponsor tertentu yang memerlukan pembayaran. Sedangkan pengertian Iklan menurut Rhenald Kasali (2000) ialah pesan dari produk, jasa atau ide yang disampaikan kepada masyarakat melalui suatu media yang di arahkan untuk menarik konsumen. Iklan pada dasarnya bertujuan untuk memperkenalkan, mengingatkan, mengajak dan menjaga hubungan dengan konsumen akan tertarik pada produk yang ditawarkan. Menurut Kotler (2002:658) Tujuan periklanan adalah salah satu tugas komunikasi spesifik dan level keberhasilan yang harus dicapai atas audiens spesifik pada periode waktu yang spesifik. Menurut Kotler (2002:659) tujuan iklan berdasarkan sasarannya untuk menginformasikan, membujuk, atau mengingat yaitu: 1) Periklanan informative, 2) Periklanan persuasif, 3) Iklan pengingat Kotler (2002:659) membagi iklan kepada empat golongan: 1. Informative Advertising, digunakan oleh perusahaan disaat terjadi peluncuran produk baru, berguna untuk memberitahukan pada masyarakat atau pasar tentang keberadaan produk baru, menginformasikan kegunaan baru, perubahan harga, cara kerja, pelayanan, memperbaiki kesalahan persepsi, membangun citra merek perusahaan. 2. Persuasive Advertising, menjadi sangat vital disaat persaingan di pasar meningkat, perusahaan bertujuan membentuk permintaan sehingga konsumen memilih produk yang dihasilkan perusahaan dibandingkan produk lain. 3. Comparison Advertising, adalah variasi dari iklan persuasif yang bentuknya membandingkan langsung suatu merek dengan merek lain. 4. Reminder Advertising, adalah tipe iklan yang sangat vital bagi produk yang berada pada tahap dewasa, iklan membuat konsumen selalu mengingat keberadaan produk. 42 Untuk mengukur efektifitas iklan ada tiga kriteria yang dapat digunakan menurut Durianto (2003:15), yaitu penjualan, pengingatan dan persuasi. Efektifitas periklanan yang berkaitan dengan penjualan dapat diketahui melalui riset tentang dampak penjualan. Ada tiga pertimbangan untuk meningkatkan efektivitas periklanan : a) Melakukan positioning, b) Gagasan atau ide-ide, c) Pendekatan kepada khalayak mesti tepat. Menurut David dkk (dalam Kasali, 1995) secara umum bahwa iklan mempunyai dampak sebagi berikut: a) Menarik calon konsumen menjadi konsumen loyal dalam jangka waktu tertentu. b) Mengembangkan sikap positif calon konsumen yang diharapkan dapat menjadi pembeli yang potensial masa datang. Menurut Kotler (2001 : 225) citra merek adalah serangkaian keyakinan atau kepercayaan yang dipegang konsumen terhadap produk tertentu. Menurut Shimp (2003 : 12) citra dari suatu merek merupakan dimensi kedua dari pengetahuan tentang merek yang berdasarkan konsumen. Beberapa manfaat memiliki merek yang kuat menurut Susanto dan Wijanarko (2004 : 2) sebagai berikut : 1. Merek yang kuat akan membangun loyalitas dan loyalitas akan mendorong binis terulang kembali. Studi dari Bob Psokoff menunjukkan bahwa peningkatan loyalitas konsumen sebesar 5% dapat menaikkan keuntungan lifetime dari konsumen hingga 100%. Selain itu peningkatanloyalitas konsumen sebesar 2 % setara dengan penurunan biaya sebesar 10 % 2. Merek yang kuat memungkinkan tercapainya harga premium dan akhirnya memberikan harga yang lebih tinggi 3. Merek yang kuat merupakan suatu pembeda yang jelas, bernilai dan berkesinambungan menjadi ujung tombak bagi daya saing perusahaan serta sangat membantu dalam strategi pemasaran 4. Merek yang kuat memberikan jaminan fokus internal dan eksekusi merek 5. Merek yang kuat umumnya memberikan pemahaman bagi karyawan tentang posisi merek tersebut dan apa yang dibutuhkan untuk menopang reputasi atau janji yang diberikan merek itu 6. Merek yang kuat juga akan memberikan kejelasan atau strategi karena setiap anggota organisasi mengetahui posisinya dan bagaimana cara menghidupkannya dimata pelanggan 7. Dengan basis merek yang kuat, pelanggan yang loyal mungkin akan mengabaikan jika suatu saat perusahaan membuat kesalahan. Citra merek yang efektif memiliki dua hal : 1. Menetapkan karakter produk dan usulan nilai 2. Menyampaikan karakter itu dengan cara yang berbeda sehingga tidakdikacaukan oleh karakter pesaing. Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian deskriptif kuantitatif yang menggambarkan atau lukisan secara sistematis, faktual dan aktual mengenai fakta, sifatsifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Pada penelitian ini, variabel yang diteliti adalah iklan, citra merek, kepuasan konsumen, dan loyalitas konsumen. 1. Pengaruh Iklan terhadap Loyalitas Konsumen 43 Dari uji hipotesis yang dilakukan ditemukan bahwa iklan berpengaruh signifikan terhadap loyalitas konsumen dalam menggunakan produk Vaseline Hand and Body Lotion di kota Padang. 2. Pengaruh citra merek terhadap loyalitas konsumen Dari uji hipotesis yang dilakukan ditemukan bahwa citra merek berpengaruh signifikan terhadap loyalitas konsumen dalam menggunakan produk Vaseline Hand and Body Lotion di kota Padang. 3. Pengaruh kepuasan konsumen terhadap loyalitas konsumen Dari uji hipotesis yang dilakukan ditemukan bahwa kepuasan konsumen memiliki pengaruh yang signifikan terhadap loyalitas konsumen di kota Padang. Hal ini mengidenifikasikan bahwa kepuasan konsumen menentukan loyalitas konsumen Vaseline Hand and Body Lotion. 4. Pengaruh Iklan, Citra Merek, Kepuasan Konsumen secara bersama-samaterhadap Loyalitas Konsumen Vaseline Hand and Body Lotion dikota Padang. Dari pengujian hipotesis yang dilakukan, terlihat bahwa Iklan, Citra Merek, dan Kepuasan Konsumen secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap Loyalitas Konsumen di kota Padang. Ini berarti bahwa konsumen telah menaruh perhatian terhadap produk Vaseline Hand and Body Lotion. Analisis : Berdasarkan penelitian tersebut, dapat dilihat bahwa variabel yang diteliti adalah iklan, citra merk, kepuasan konsumen, dan loyalitas konsumen. Menurut saya, penelitian ini mengabaikan karakteristik konsumen yang heterogen di mana tidak semua khalayak yang menyaksikan iklan memiliki latar belakang yang sama dan memiliki keputusan yang sama setelah menyaksikan iklan dan citra merek dari produk yang diiklankan. Selain itu, terdapat kejanggalan pada perumusahan masalah yang keempat. Perumusan masalah tersebut sebenarnya sudah perumusan masalah sebelumnya sehingga perumusan masalah keempat terkesan seperti rangkuman dari keseluruhan jawaban dari perumusan masalah Iklan (x1) Loyalitas konsumen (y) Citra merek (x2) Kepuasan konsumen (x3) Gambar 14. Hubungan Antar Konsep Jurnal 13 44 Tabel 13. Daftar Variabel Jurnal 13 Variabel Sub Variabel - Golongan iklan Iklan (x1) - Dampak iklan Citra merek (x2) Kepuasan konsumen (x3) Loyalitas konsumen (y)\ - Manfaat merek Fakta Pendukung Iklan pada dasarnya bertujuan untuk memperkenalkan, mengingatkan, mengajak dan menjaga hubungan dengan konsumen akan tertarik pada produk yang ditawarkan. Citra merek berpengaruh signifikan terhadap loyalitas konsumen dalam menggunakan produk Vaseline Hand and Body Lotion di kota Padang. Dari uji hipotesis yang dilakukan ditemukan bahwa Kepuasan konsumen memiliki pengaruh yang signifikan terhadap loyalitas konsumen di kota Padang Dari pengujian hipotesis yang dilakukan, terlihat bahwa Iklan, Citra Merek, dan Kepuasan Konsumen secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap Loyalitas Konsumen di kota Padang. Ini berarti bahwa konsumen telah menaruh perhatian terhadap produk Vaseline Hand and Body Lotion. RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN Media Massa a) Pengertian, Fungsi, dan Dampak Media Massa Media massa merupakan media berfungsi sebagai wadah komunikasi (pertukaran atau penyampaian informasi), dan hiburan dengan jangkauan komunikasi yang lebih luas dibandingkan dengan komunikasi interpersonal, komunikasi kelompok, dan lain-lain serta dengan waktu yang relatif lebih singkat. Media massa berperan sebagai sarana sosialisasi dan penyampaian pesan. Pesan atau informasi yang disajikan oleh media massa pada umumnya bersifat persuasif yang dapat membentuk opini publik. Koran, majalah, televisi, radio, bahkan internet dan beberapa bentuk dari media massa. Jika dilihat dari fungsinya, media massa biasanya dianggap sebagai sumber berita dan hiburan. Dampak terbesar yang dapat dirasakan oleh khalayak bisa jadi disalurkan melalui media televisi mengingat televisi adalah suatu bentuk media massa yang paling sempurnya dibandingkian dengan media massa lainnya. Televisi berfungsi untuk melayani konsumen atau khalayak yang anonim, heterogen, dan tersebar namun kini menjadi media pembentuk realitas khalayak. Televisi memiliki unsur visual dan audiovisual sehingga jangkauan dan khalayak yang dituju dapat lebih luas dan heterogen. Menurut Kuswandi (1993) dalam (Primianty, 2008) ada tiga dampak yang dapat ditimbulkan dari acara televisi yang ditayangkan terhadap pemirsanya, yaitu: 1. Dampak kognitif, yaitu kemampuan seseorang atau pemirsa untuk menyerap dan memahami acara yang ditayangkan televisi sehingga dapat melahirkan pengetahuan bagi pemirsa. 2. Dampak peniruan, yaitu pemirsa dihadapkan pada trend-trend aktual yang ditayangkan televisi. 3. Dampak perilaku, yaitu proses tertanamnya nilai-nilai sosial budaya yang telah ditayangkan oleh acara televisi yang kemudian diterapkan dalam kehidupan pemirsa sehari-hari. Andika (2008) menyatakan bahwa salah satu cara untuk melihat pengaruh media massa terhadap persepsi mereka adalah dengan melihat intensitas mereka dalam menggunakan media massa, yang dalam penelitian ini disebut frekuensi dan durasi dalam menonton iklan produk kecantikan. b) Penguasaan Media Massa Dalam kenyataannya, selain berfungsi sebagai wadah komunikasi dan penyebar informasi, media juga menjadi alat legistimasi kepentingan kelas yang memiliki dan mengontrol media melalui produksi kesadaran dan laporan palsu tentang realitas objektif yang sudah bias karena dibuntuti oleh kepentingan baik secara politik maupun ekonomis. Selain itu, , media menjadi salah satu faktor dengan pengaruh terbesar dalam pembentukan pencitraan di masyarakat. Media menjadi alat yang sempurna untuk menyebarkan hegemoni sang penguasa kepada masyarakat. Dari situ akan terbentuk ideologi baru pada benak masyarakat sesuai dengan keinginan para penguasa. Konstruksi ideologi baru tersebut berawal dari ideologi 46 kelas dominan yang direpresentasikan oleh iklan pada media massa hingga proses hegemoni terwujud. Schraam dalam Astuti (2009) mencetuskan teori Jarum Hipodermik (hypodermic needle theory) dalam istilah indonesia teori ini di kenal dengan teori peluru atau teori tolak peluru. Teori ini mengasumsikan bahwa media memiliki kekuatan yang sangat perkasa dan komunikan di anggap pasif atau tidak tahu apa-apa. Secara psikologis, khalayak dipaksa menerima berita yang disodorkan kepadanya. Hal ini berarti media yang mengontrol berita, bukan khalayak. Dalam jangka panjang, yang dikonstruksikan oleh media dianggap suatu konstruksi yang benar tentang realitas sehingga apa yang ditampilkan oleh media, diterima sesuatu yang alamiah. Pemilahan informasi oleh redaktur media dihubungkan dengan agenda publik sehingga muncul apa yang disebut agenda setting. Agenda setting ini yang menunjukkan makna bahwa media memiliki kekuatan untuk menggerakkan perhatian orang-orang terhadap isu tertentu. Komunikasi Massa a) Pengertian dan Ciri-Ciri Komunikasi massa menurut Tan dan Wright (1991) dalam (Primianty, 2008) merupakan salah satu bentuk yang menggunakan saluran (media) dalam menghubungkan komunikator dan komunikan secara massal, berjumlah banyak, bertempat tinggal yang jauh (terpencar), sangat heterogen dan menimbulkan efek tertentu. Komunikasi massa juga mempunyai beberapa ciri-ciri khusus yang disebabkan oleh komponen-komponennya, ciri-ciri tersebut adalah : 1) sifat pesan terbuka, 2) memiliki khalayak yang variatif baik dari segi usia, agama, suku, pekerjaan maupun kebutuhan, 3) sumber dan penerima dihubungkan oleh saluran yang diproses secara mekanik, 4) sumber merupakan suatu lembaga atau institusi, 5) komunikasi berlangsung satu arah, 6) cenderung memiliki umpan balik yang lambat (tertunda) dan sangat terbatas, 7) sifat penyebaran pesan berlangsung cepat, serempak, luas, mampu mengatasi jarak dan waktu, serta dapat bertahan lama bila didokumentasikan, dan 8) membutuhkan biaya produksi yang cukup mahal serta memerlukan tenaga kerja professional yang relatif banyak untuk mengelolanya. Iklan a) Pengertian Televisi menjadikan iklan sebagai sumber pemasukan utama. Iklan tersebut pada dasarnya bertujuan untuk memperkenalkan berbagi produk kepada khalayak dan membujuk khalayak untuk membeli produk tersebut. Dalam hal ini, dapat dikatakan media massa (iklan) merupakan alat persuasif dalam menjual berbagai komoditas. Kotler dan Armstrong (1997) mendefinisikan periklanan adalah segala bentuk penyajian non personal dan promosi ide, barang dan jasa dari suatu sponsor tertentu yang memerlukan pembayaran. Sedangkan pengertian Iklan menurut Kasali (2000) ialah pesan dari produk, jasa atau ide yang disampaikan kepada masyarakat melalui suatu media yang di arahkan untuk menarik konsumen. b) Fungsi dan Tujuan Ada 3 fungsi iklan dalam media massa, yang pertama sebagai fungsi informasi yang mengkomunikasikan informasi produk, ciri-ciri, dan lokasi penjualan. Kedua ialah sebagai fungsi persuasif, yaitu membujuk para konsumen untuk membeli produk atau mengubah 47 sikap konsumen atas suatu produk. Ketiga, ialah sebagai fungsi pengingat, yaitu terus mengingatkan konsumen mengenai suatu produk. Mencakup Iklan yang bersifat persuasif ini dapat membentuk kesadaran palsu masyarakat. Iklan pada dasarnya bertujuan untuk memperkenalkan, mengingatkan, mengajak dan menjaga hubungan dengan konsumen akan tertarik pada produk yang ditawarkan. Menurut Kotler (2002:658) Tujuan periklanan adalah salah satu tugas komunikasi spesifik dan level keberhasilan yang harus dicapai atas audiens spesifik pada periode waktu yang spesifik. Menurut Kotler (2002:659) tujuan iklan berdasarkan sasarannya untuk menginformasikan, membujuk, atau mengingat yaitu: 1) Periklanan informative, 2) Periklanan persuasif, 3) Iklan pengingat c) Golongan Iklan Kotler (2002:659) membagi iklan kepada empat golongan: 1. Informative Advertising, digunakan oleh perusahaan disaat terjadi peluncuran produk baru, berguna untuk memberitahukan pada masyarakat atau pasar tentang keberadaan produk baru, menginformasikan kegunaan baru, perubahan harga, cara kerja, pelayanan, memperbaiki kesalahan persepsi, membangun citra merek perusahaan. 2. Persuasive Advertising, menjadi sangat vital disaat persaingan di pasar meningkat, perusahaan bertujuan membentuk permintaan sehingga konsumen memilih produk yang dihasilkan perusahaan dibandingkan produk lain. 3. Comparison Advertising, adalah variasi dari iklan persuasif yang bentuknya membandingkan langsung suatu merek dengan merek lain. 4. Reminder Advertising, adalah tipe iklan yang sangat vital bagi produk yang berada pada tahap dewasa, iklan membuat konsumen selalu mengingat keberadaan produk. d) Komunikasi Iklan Komunikasi iklan adalah komunikasi persuasif yang berisi informasi mengenai produk atau jasa yang ditawarkan agar pesan dapat dipahami, diterima, dan disimpandiingat dengan tujuan menarik minat konsumen dan membujuk konsumen untuk melakukan hal sesuai dengan keinginan komunikator. Komunikasi yang berlangsung pada iklan adalah komunikasi persuasif yang berisi informasi mengenai produk atau jasa yang ditawarkan agar pesan dapat dipahami, diterima, dan disimpan-diingat dengan tujuan menarik minat konsumen dan membujuk konsumen untuk melakukan hal sesuai dengan keinginan komunikator. Namun kecenderungan yang tampak ialah iklan tidak hanya mengiklankan fungsi atau kegunaan dari suatu produk, melainkan juga memberikan nilai pada suatu produk sehingga membuka peluang bias penafsiran melalui citra yang ditampilkan pada iklan tersebut. e) Citra dan Ideologi Iklan Iklan merupakan sebuah media yang tidak hanya menawarkan produk, melainkan juga menawarkan ideologi, gaya hidup, dan imaji. Iklan sebenarnya merupakan cerminan dari ciri budaya yang ada di masyarakat. Kebudayaan merupakan proses pemerdekaan diri serta suatu bentuk ekspresi yang bercirikan fungsional. Dari segi 48 budaya, iklan merupakan wujud implementasi dari pandangan-pandangan tentang realitas sosial yang ada di masyarakat. Citra atau image tersebut merupakan gambaran mental yang muncul kala manusia menginterpretasikan suatu objek yang tidak lagi melihat realita dan kualitas formal dari objek, tapi ada sesuatu yang lain yang bisa bersifat pengalaman semantik, simbolik, maknamakna, ataupun pengalaman psikologis. Melalui citra yang disebarkan melalui iklan, media menjadi alat yang sempurna untuk menyebarkan hegemoni sang penguasa kepada masyarakat. Konstruksi ideologi baru tersebut berawal dari ideologi kelas dominan yang direpresentasikan oleh iklan pada media massa hingga proses hegemoni terwujud. Para penguasa yang dimaksud termasuk penguasa ekonomi dan politik yang mempengaruhi peristiwa yang menjadi berita. Media dan iklan yang terus mengekspos gaya dan kehidupan selebritis serta produkproduk metroseksual menjadi umpan yang menarik perhatian publik. Berbagai citraan luar telah menjadi media dalam menkomunikasikan dan mengangkat makna, menata, dan memanipulasi identitas sosial sehingga terjadi perubahan nilai, budaya, dan gaya hidup. Dalam hal ini, fungsi periklanan telah bergeser dari penekanan rasionalitas terhadap kepuasan fungsional menjadi penekanan atas keikutsertaan kemampuan audiens dalam menciptakan tampakan-tampakan luar dari makna melalui manipulasi ikatan dan pemunculan yang pada akhirnya menjadi ciri yang konstan dari modernitas akhir. Gaya Hidup a) Pengertian Gaya hidup adalah pola-pola tindakan yang membedakan antara satu orang dengan orang yang lainnya. Pola-pola kehidupan ini terkadang diartikan sebagai suatu budaya yang mengandung kebiasaan, sikap, dan nilai-nilai mereka serta pemahaman yang sama menyatukan mereka sebagai suatu kelompok masyarakat. Chaney mendefinisikan gaya hidup dengan menggunakan tema pendekatan sosial, yaitu situs dan strategi. Melalui segi pandang situs, gaya hidup merupakan metaphor fisik bagi ruang-ruang yang disediakan dan dikontrol oleh aktor (individu atau kelompok). Dari segi pandang strategi gaya hidup merupakan cara-cara khas perjanjian sosial atau narasi-narasi dari identitas dimana individu atau kelompok dapat menyimpan metafor-metafor yang ada. Sementara itu, cara hidup memiliki ciri-ciri khas seperti norma, ritual, pola-pola tatanan sosial, dialek atau cara berbicara yang khas. b) Klasifikasi Gaya Hidup Savage, et al. dalam Chaney (2004) membuat klasifikasi gaya hidup bagi kelas menengah menjadi tiga: asketis, posmodern dan awam (undistinctive).Ciri nyata dari gaya hidup posmodern adalah kecenderungan melakukan perayaan-perayaan gaya hidup tertentu dan terjadi pengaburan pembedaan gaya konvensional dimana ekstravaganza tingkat tinggi berlangsung terus bersama budaya tubuh. Gender a) Pengertian Gender merupakan pemilahan yang dibuat atas dasar sosial dan sering bersifat absolut karena sering dipaksakan oleh kekuasaan struktural. Perempuan menjalankan 49 fungsi sebagai perempuan dan menjalankan orientasi yang bersifat feminin sedangkan lakilaki menjalankan fungsinya sebagai laki-laki dan menjalankan orientasi yang bersifat maskulin. Gender adalah konstruksi sosial budaya yang dibentuk melalui proses panjang dalam kehidupan berbudaya. Karakterkstik maskulin yang identik dengan laki-laki dikatikan dengan tiga sifat khusus, yaitu kuat, keras, beraroma keringat. Sementara itu, karakteristik perempuan dikaitkan dengan sifat yang lemah lembut, dan beraroma wangi. Seseorang melaksanakan peran jenis kelamin karena situasi memungkinkan seseorang berperilaku sebagai laki-laki dan perempuan dan sejauh mana orang mengakui perilakunya. Peran ibu dalam masa kini jauh lebih komplek lagi, tidak sekedar urusan domestik melainkan juga mencari nafkah dan bekerja di sektor publik. Pemahaman gender perlu dikatikan dengan budaya masyarakat dalam menata hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai peran dan kegiatannya. Gender harus juga diartikan sebagai pembedaan jenis kelamin beserta tafsiran sifat-sifat yang melekat pada dua jenis kelamin yang dikonstruksi secara sosial dan kultural. Misalnya, perempuan dianggap lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa. b) Ketimpangan Gender Sejak lahir, pikiran masyarakat mengenai perempuan dan laki-laki telah dibentuk oleh budaya yang ada. Perbedaan gender lahir dari suatu proses pergumulan sosial, kultural, dan psikologis. Proses tersebut dapat disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksikan melalui indoktrinasi agama, pendidikan, tradisi, adat istiadat, maupun ideologi negara. Stereotip berkaitan dengan seks dan gender, yaitu konsep sosial yang berhubungan dengan pembedaan karakter psikologi dan fungsi sosial antara perempuan dan laki-laki yang dikaitkan dengan anatomi jenis kelaminnya. Secara ideal, masih terdapat anggapan bahwa peran utama perempuan ada di sekitar rumah tangga dan tugas-tugas domestik. Sementara itu, posisi laki-laki lebih diidentikkan dengan peran-peran publik, lebih memiliki kekuasaan dalam lingkup dan peran arena luar rumah. Fenomena sosial yang sering mendengungkan adanya ketidakadilan gender dalam ranah domestik dan publik telah menyiratkan bahwa memang perempuan masih didudukkan dalam posisi subordinat. Kerelaan atau kesadaran para perempuan untuk dieksploitasi ataupun diposisikan sebagai objek komoditi telah memantapkan determinasi antara dominasi dan subordinat. Stereotip gender merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi posisi perempuan dan laki-laki dalam konstruksi sosial masyarakat. Ideologi gender juga tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai kultural masyarakat dan berkaitan erat dengan budaya dan sejarahnya. Masih adanya kecenderungan ketidakadilan gender dapat disebabkan oleh beeberapa faktor, yaitu politik, ekonomi, dan kelompok dominan yang ada pada struktur masyarakat, periklanan, media massa, pendidikan, dan cara pandang dari sudut agama terhadap gender. Selain itu, ketimpangan gender seringkali terjadi karena adanya nilai-nilai kapitalis dan budaya patrarkhi yang saling menguntungkan sehingga tidak menghilangkan fakta tentang adanya kecenderungan stereotip, diskriminatif, bahkan dominasi laki-laki atas perempuan dalam struktur organisasi kerja media. 50 Perbedaan jenis dan orientasi seksual menimbulkan pola sosial dalam masyarakat yang memperbedakan kategori sosial sehingga muncul sistem kekerabatan patrilinial (atas dasar garis ayah) dan matrilinial (garis ibu) yang memiliki dimensi kultural. Ketidakadilan gender sebenarnya muncul dari konstruksi sosial, mayoritas menindas minoritas. Perempuan dalam posisinya seringkali dianggap powerless karena nilai-nilai yang mendasari peran-peran sosial, karenanya berada pada posisi minoritas. Dalam konstruksi sosial patriarkhi, laki-laki ditempatkan di ruang publik sementara perempuan ditempatkan di ruang privat. Sumber kekuasaan sebagai penyebab ketidakadilan ini mulai dari institusi birokrasi negara atau masyarakat itu sendiri. Perbedaan maskulinitas dan feminitas dalam wacana gender tidak berhubungan dengan perbedaan biologis namun lebih kepada perbedaan orientasi budaya. Dalam hal tersebut, masih ada isu ketidakadilan gender berupa stereotip yang merupakan pelabelan attau penandaan terhadap kelompok tertentu. Posisi maskulinitas dikonstruksikan lebih dominan dari pada feminitas. Isu ini dipengaruhi juge oleh budaya patriarkhi yang membenarkan dominasi laki-laki. Stereotip laki-laki lebih dekat dengan logika dan rasio sedangkan perempuan cenderung ke arah emosional, daya analisisnya kurang, dan lebih lemah dari laki-laki. Peran perempuan pada tayangan media massa terkadang hanya menjadi pemanis atau disubordinasikan, terbatas hanya pada wilayah domestik, kecantikan atau perawatan diri. Perempuan harus tampil dengan menonjolkan daya tarik seksual, harus bersedia mengalami pelecehan seksual, dan harus memaklumi perilaku seksual agresif laki-laki. Perempuan sering menjadi obyek yang dapat menjadi sumber daya tarik serta merefleksikan citra. Secara general, perempuan memang belum bisa dilepaskan dari wilayah domestik. Meskipun sudah berpeluang berpartisipasi di wilayah publik, namun kualitas posisi strategis yang diterima perempuan belum tergolong baik. Pria menurut pandangan umum adalah sosok yang jantan, kekar, dan mendominasi kekuasaan dan kelebihannya dibandingkan dengan perempuan. Eksistensi ideologi feminisme sering digaungkan untuk merekonstruksi, meredefinisi, ataupun mengeliminasi dominasi laki-laki (ideologi patriarkhi) sekaligus mengangkat atau mereaktualisasikan peran kaum perempuan dalam konstruksi sosial. Namun usaha ini masih memiliki beberapa hambatan. Secara ‘naturalis’, hal ini masih diperteguh melalui berbagai aspek seperti kebijaksanaan dalam sistem politik, ekonomi, industrialisasi, pendidikan, dan nilai-nilai budaya yang diinternalisasi. Salah satu sarana yang ikut melestarikan ideologi gender ini adalah media massa sendiri yang kerap menampilkan kode-kode sosial sebagai referensi konstruksi sosial terhadap perilaku dan kehidupan sosial manusia. Representasi Gender dalam Media Massa Media ikut serta dalam menyampaikan konsep gender melalui persoalan domestikasi dan marjinalnya perempuan. Perempuan Indonesia masih dilekatkan dengan simbol-simbol stereotip gender tradisional serta mendiskripsikan bahwa kepribadian perempuan Indonesia itu lemah dan tidak berdaya. Media merupakan salah satu alat pembentukan konstruksi gender pada masyarakat dan konstruksi tersebut dapat tersebar luas karena jangakauan media yang luas. Sementara itu, gender merupakan pembagian serta tanggung jawab, baik laki-laki maupun perempuan yang ditetapkan masyarakat maupun budaya dan merupakan hasil sosialisasi sejarah yang 51 panjang. Pembagian peran, sifat, maupun watak perempuan dan lelaki dapat dipertukarkan, berubah dari masa ke masa, dari satu tempat adat ke tempat adat yang lain, dan dari satu tingkat kelas ke tingkat kelas yang lain. Media massa dapat menjadi contoh dari ketidakadilan gender dalam masyarakat Media massa memiliki peran yang sangat besar dalam pembentukan stereotip seperti itu. Media adalah arena perebutan posisi, antara posisi memandang (aktif) dengan posisi dipandang (pasif). Pada citra yang disuguhkan oleh media, nilai maskulin berada pada posisi yang dominan sementara nilai feminin berapa pada posisi marjinal. Media massa telah menyediakan berbagai definisi untuk menjadi perempuan dan laki-laki, membedakan status-status seseorang berdasarkan kelas, ras, maupun seks. Makna dari kata cantik sebenarnya dibentuk oleh media. Media massa cenderung memperalat perempuan dengan seluruh karakter yang bisa diperjualbelikan : kecantikan, kemolekan tubuh, dan seks - dada, pinggul, bibir, dan paha – sebagai wujud patriarkhi laki-laki dan sistem kapitalisme untuk menawarkan produk. Media umum yang hidup dalam dunia patriarkhi lebih menonjolkan simbol maskulinitas. Tubuh perempuan dieksploitasi laki-laki sebagai pekerja semiotik dengan mengendalikan tatanan simbolik dan bahasa semiotiknya, sehingga di dalam dunia tersebut laki-laki dapat berada dalam kekuasaan fantasi dan obsesinya. Salah satu sarana pembentukan citra perempuan adalah melalui media. Pencitraan perempuan di dalam media massa dapat dikategorikan dalam 4 macam, yaitu : 1. Citra Pigura : citra yang ditonjolkan dari sisi biologis, seperti rambut lurus dan panjang para model iklan 2. Citra Pilar : citra yang ditonjolkan ialah perempuan sebagai tulang punggung keluarga dan bertanggung jawab pada pekerjaan domestik rumah tangga. 3. Citra Pinggan : citra yang menonjolkan perempuan pada aktivitas di dapur 4. Citra Pergaulan : adanya pergulatan perempuan untuk masuk ke dalam kelas-kelas tertentu yang lebih tinggi di dalam masyarakat Kepentingan ekonomi politik menuntut para pemilik media tunduk kepada industri atau pasar yang memang lebih permisif terhadap jurnalisme yang tidak sensitif gender. Kehadiran perempuan sebagai komoditas media massa, telah mengangkat tiga persoalan. Pertama, persoalan ekonomi politik tubuh, yaitu bagaimana tubuh perempuan digunakan dalam berbagai aktivitas ekonomi berdasarkan pada konstruksi sosial atau ideologi tertentu. Kedua, persoalan ekonomi politik tanda, yaitu bagaimana perempuan ‘diproduksi’ sebagai tanda-tanda di dalam sistem pertandaan yang membentuk citra, makna, dan identitas diri mereka di dalamya. Ketiga, persoalan ekonomi politik hasrat, yaitu bagaimana hasrat perempuan disalurkan atau direpresi di dalam berbagai bentuk komoditas, khususnya komoditas hiburan. Produksi kekuasaan yang terjadi ialah munculnya strategi untuk menyebarkan wacana langsing dan kulit putih, rambut lurus dan hitam adalah standar ideal tubuh perempuan. Akibatnya, perempuan yang tidak memiliki tubuh langsing dan berkulit putih, serta rambut yang panjang dan hitam dapat merasa kehilangan identitas tubuh mereka. Penampilan perempuan di media massa dapat dilihat cenderung bermakna merendahkan perempuan dengan menjadikan perempuan sebagai objek dari yang berkuasa, khususnya ekonomi. Kebanyakan pengelola media menganggap tidak perlu mempersoalkan kedudukan perempuan dalam fakta interaksi sosial. Dalam operasi kerjanya, para pengeloal 52 media hanya perlu bertolak dari standar manajemen yang bersifat teknis untuk tujuan pragmatis pasar. Komodifikasi perempuan pada media massa dengan menjadikan tubuh perempuan sebagai komoditi ini terjadi secara langsung pada bisnis seks dan hiburan. Proses komodifikasi ini sebenarnya digerakkan oleh kapitalisme dan bersifat patriakrkhi, namun dapat juga digerakkan oleh perempuan. Jika stereotip perempuan muncul hanya sekali-sekali dan masyarakatnya terdiri dari orang yang berpendidikan tinggi, mungkin efeknya tidak akan terlalu signifikan. Namun masalahnya adalah masyarakat Indonesia yang sangat plural, berlatar belakang pendidikan, ras, agama, kedudukan, usia, dan kelas yang berbeda serta menerima suguhan stereotip perempuan secara konsisten. Perempuan yang ditampilkan memperkokoh stereotip yang sudah terbangun di tengah masyarakat. Ada beberapa prinsip dasar yang harus diperhatikan para pelaku media massa. Pertama, kemampuan profesional, etika, dan perspektif pelaku media massa terhadap permasalahan gender yang masih rendah. Kedua, media massa belum mampu melepaskan dari dari perannya sebagai medium ekonomi kekuasaan, baik yang datang dari penguasa, otoritas intelektual, ideologi politik, ataupun pemilik modal. Ketiga, kurangnya peran aktif dan representasi perempuan dalam media massa menjadikan perempuan sulit untuk keluar dari posisi keterpurukannya saat ini. Keempat, perlu pengubahan paradigma pada media massa berkaitan dengan pencitraan perempuan yang selama ini dipakai yang selama ini cenderung seksis, objek iklan, objek pelecehan, dan ratu dalam ruang publik. Representasi Gender dalam Iklan Dalam proses pembuatan iklan di televisi, tak jarang proses kreatif dalam dimensi berkesenian ini upaya berkesenian yang menyentuh bias gender di dalamnya. Periklanan merupakan salah satu contoh subordinasi perempuan. Hal ini dikarenakan periklanan merupakan bentuk komunikasi yang sering memunculkan kode-kode sosial yang tidak jarang mengadopsi stereotip, asosiasi-asosiasi, refleksi kultural, ideologi serta poloa gender yang ada di masyarakat. Iklan juga memberikan nilai pada suatu produk sehingga membuka peluang bias penafsiran. Citra tersebut kemudian diinterpretasikan menyentuh bias-bias gender. Melalui ideologi kapitalisme, iklan tumbuh dan berkembang serta menyebabkan kemunculan stereotip imaji maskulinitas laki-laki yang direpresentasikan sebagai makhluk berotot, jantan, dan berkuasa Sementara itu, dalam berbagai iklan kecantikan di televisi digambarkan bahwa perempuan yang ideal adalah perempuan yang bertubuh langsing dan ramping serta memiliki rambut hitan dan lurus. Dengan menggunakan role model seperti ini, para produsen produk kecantikan secara sadar telah mengafirmasikan gambaran wanita ideal yang disebut cantik dan mengharapkan setiap wanita mencontoh atau setidaknya mengiyakan seperti itulah sosok yang dianggap cantik. Iklan yang secara tidak langsung bertujuan untuk mendedahkan nilai-nilai tertentu merupakan suatu tayangan media yang menyebar kuasa (strategi) tentang normalisasi tubuh perempuan. Karya-karya iklan pada kenyataannya banyak yang menggunakan stereotip baku mengenai gender, seperti perempuan yang ditampilkan berperan melayani, marginal, subordinatif, dan berkaitan dengan kepentingan laki-laki. Perempuan yang hanya berperan memuaskan laki-laki disebut sebagai citra pigura, yaitu perempuan kelas menengah dan atas perlu tampil memikat untuk mempertegas kemampuannya secara biologis seperti 53 rambut halus dan panjang, tubuh tinggi dan ramping, dan lain sebagainya. Meski terkadang perempuan digambarkan berperan di wilayah publik, namun bukan sebagai pengambil keputusan. Visualisasi representasi iklan menunjukkan adanya pemanfaatan fenomena kodekode sosial yang mengambil perspektif gender dalam interaksi anggota komunitas keluarga. Perempuan dalam hal ini dijadikan sarana untuk mengidentifikasi produk untuk menciptakan visibilitas ataupun citra produk. Pengiklan dan para pengusaha iklan berpandangan bahwa penggunaan sosok perempuan dalam ilustrasi iklan merupakan satu tuntutan estetika untuk merebut perhatian konsumen. Iklan-iklan yang memberi nilai standar ideal tubuh perempuan sebenarnya menimbulkan stereotip baru bagi perempuan. Melalui tayangan yang sedemikian rupa, iklan yang secara tidak langsung bertujuan untuk mendedahkan nilai-nilai tertentu dan menawarkan ideologi, gaya hidup, budaya, serta imaji baru. Hal ini berarti iklan dapat menjadi simbol imaji yang ditampilkannya membentuk dan merefleksikan nilai hakiki. Permasalahan yang menjadi wacana gender ini mulai timbul ketika estetisasi untuk merefleksikan sebuah citra komoditas menyinggung bias gender di dalamnya. Penggunaan jenis kelamin tertentu sebagai objek yang melegitimasi pemanfaatan produk maupun untuk mencerminkan sebuah citra ada kalanya menjadi kontroversi sendiri dalam memperdebatkan keadilan gender. Terlebih lagi jika rekonstruksi gender yang dikemas dalam representasi iklan ditayangkan lewat media televisi yang kapasitas khalayaknya sangat luas, tentu mempunyai dampak atau efek yang siginifikan. Dalam segi peran dalam iklan, pada umumnya perempuan dalam iklan ditampilkan sebagai sosok yang tidak jauh dari peran domestik rumah tangga. Dalam berbagai tayangannya, perempuan sering digambarkan di ranah domestik, mengurus rumah tangga, dan lebih emosional. Berbeda dengan identitas laki-laki yang berada di ruang publik, pencari nafkah, dan rasional. Hampir sebagian besar iklan di media massa selain menempatkan perempuan dalam perannya sebagai ‘orang kedua’ atau ‘disubordinasikan’ pada peran laki-laki. Tubuh perempuan cenderung menjadi alat persuasif yang digunakan untuk menjual berbagai produk. Dalam hal ini, pasar menjadi institusi patriarkhi yang telah mereproduksi nilai seorang perempuan dengan sifat-sifat yang diturunkan dari ideologi yang patriarkhis Kini, dalam iklan terkadang perempuan digambarkan dengan sifat-sifat maskulin, gesit, kuat, bahkan mampu melumpuhkan laki-laki. Ada juga iklan yang menggambarkan istri yang mendominasi pria. Semakin sering iklan-iklan ditayangkan dengan pendekatan gender, iklan tersebut akan semakin menancap di benak khalayak dan sedikit demi sedikit akan membuka saluran wacana masyarakat akan nilai-nilai kesetaraan tersebut. Namun, bila dihubungkan dengan pendekatan tema perempuan `maskulin dalam iklan, kemungkinan akan berefek ganda. Pertama, akan membawa pengaruh positif pada proses pembelajaran masyarakat tentang arti kesetaraan bahwa perempuan tidak boleh dilecehkan dan direndahkan. Kedua, akan berimplikasi buruk pada pandangan sosialnya, dia dicap ‘nyeleneh’, tomboy, serta juga kemungkinan mempunyai orientasi seksual yang berbeda jika berperan maskulin. Kepentingan ekonomi politik menuntut para pemilik media tunduk kepada industri atau pasar yang memang lebih permisif terhadap jurnalisme yang tidak sensitif gender. Kehadiran perempuan sebagai komoditas media masssa, telah mengangkat tiga persoalan. 54 Pertama, persoalan ekonomi politik tubuh, yaitu bagaimana tubuh perempuan digunakan dalam berbagai aktivitas ekonomi berdasarkan pada konstruksi sosial atau ideologi tertentu. Kedua, persoalan ekonomi politik tanda, yaitu bagaimana perempuan ‘diproduksi’ sebagai tanda-tanda di dalam sistem pertandaan yang membentuk citra, makna, dan identitas diri mereka di dalamya. Ketiga, persoalan ekonomi politik hasrat, yaitu bagaimana hasrat perempuan disalurkan atau direpresi di dalam berbagai bentuk komoditas, khususnya komoditas hiburan. Gender dalam Pertanian Pedesaan Komunitas desa dapat dibagi ke dalam beberapa golongan berdasarkan teknologi usaha taninya, yaitu : (1) desa-desa yang berdasarkan cocok tanam di ladang, dan (2) desadesa yang berdasarkan cocok tanam di sawah (Koentjoroningrat 1984). Lahan pedesaan yang sangat berpotensi untuk ditanami berbagai macam jenis tanaman menjadikan lahan tersebut menjadi sumber mata pencaharian utama bagi masyarakat desa, termasuk petani. Dalam wilayah pedesaan yang dominan dengan sektor pertanian, perempuan dan laki-laki memiliki perannya masing-masing dalam menjalankan kegiatan pertanian yang dijadikan sebagai sumber perekonomian mereka. Pertanian kini telah mengalami perubahan aktivitas yang disebabkan oleh peningkatan teknologi pertanian. Namun, bagi Boserup dalam Raharjo (1999) peningkatan teknologi pertanian justru telah merendahkan status perempuan, karena menyingkirkan akses perempuan terhadap kerja produktif. Ia membagi sistem pertanian ke dalam sistem ‘pertanian perempuan’ yang menggunakan teknik potong dan bakar serta pertanian komunal, sistem ‘pertanian laki-laki’ yang merupakan sistem kerja dengan pendekatan bisnis swasta, petak yang jelas, dan penggunaan buruh tani (Rahardjo 1999). Dalam bidang pertanian, perubahan dari produksi subsisten ke produksi komersial telah mendorong terjadinya dominasi laki-laki terhadap hasil pertanian. Program pertanian yang bias gender juga menyebabkan perempuan semakin tersingkirkan. Misalnya dalam program Revolusi Hijau yang hanya memfokuskan pada petani laki-laki. Hal ini karena asumsinya bahwa petani itu identik dengan petani laki-laki. Selain itu juga karena peran gender perempuan adalah mengelola rumah tangga, maka banyak perempuan menanggung beban kerja domesti lebih banyak dan lebih lama (burden). Dengan kata lain, peran gender perempuan mengelola, menjaga dan memelihara kerapian tersebut, telah mengakibatkan tumbuhnya tradisi dan keyakinan masyarakat bahwa mereka harus bertanggung jawab atas terlaksananya keseluruhan pekerjaan domestik. 55 SIMPULAN Hasil Rangkuman dan Pembahasan Era globalisasi ditandai dengan masuknya teknologi baru yang mempermudah masyarakat dalam memperoleh informasi. Kemudahan mengakses informasi tersebut difasilitasi oleh berbagai macam bentuk media massa. Media massa meruapakan suatu wadah komunikasi yang bertujuan untuk menyebarkan informasi dan hiburan kepada khalayak secara luas. Ada banya jenis media massa, diantaranya ialah koran, radio, maupun televisi. Jika dibandingkan dengan bentuk media massa lainnya, televisi merupakan bentuk media massa yang paling efektif karena dapat lebih luas dalam menjangkau khalayak serta dilengkapi dengan fasilitas visual dan audiovisual sehingga dapat mempermudah khalayak untuk memahami konten atau substansi dari pesan atau informasi yang ditayangkan pada televisi tersebut. Stasiun televisi swasta yang banyak ditayangkan televisi pada umumnya menjadikan iklan menjadi sumber pendapatan utama agar serangkaian program yang ditayangkan di stasiun televisi tersebut dapat ditayangkan secara optimal. Berbagai strategi dilakukan oleh tim kreatif iklan dalam menyajikan iklan yang dapat menarik perhatian khalayak, salah satunya dengan cara mengilustrasikan atau bahkan menawarkan nilai, budaya, maupun ideologi baru yang identik dengan budaya populer. Terlebih lagi, para penguasa ekonomi maupun politik (kelas dominan) juga seringkali menjadikan iklan sebagai media penyebar nilai, budaya, dan ideologi baru agar khalayak dapat berperilaku sesuai dengan yang diharapkan para penguasa tersebut dan sesuai dengan permintaan pasar yang sedang laris. Secara umum, iklan merupakan suatu media untuk menawarkan sesuatu termasuk produk secara persuasif yang bertujuan untuk membujuk khalayak serta mengubah keputusan khalayak untuk bertindak sesuai dengan keinginan pelaku iklan, dalam hal ini membeli produk yang ditawarkan. Namun, kenyataannya iklan juga telah menyebarkan dan memperkuat nila dan ideologi, termasuk nilai dan ideologi gender yang berkembang di masyarakat secara dominan. Gender merupakan atribut yang melekat pada perempuan dan laki-laki yang berkaitan dengan peran dan tanggung jawab. Gender biasanya disosialisasikan dan diberlakukan sesuai dengan budaya yang melekat pada masyarakat. Namun, budaya patriarki yang masih dianut oleh sebagian besar masyarakat telah memperlakukan gender perempuan dan laki-laki secara berbeda sehingga menimbulkan ketimpangan yang tercermin dalam iklan yang ditayangkan di media massa dalam bentuk televisi. Salah satu bentuk ketimpangan atau ketidakadilan gender yang sering kali tercermin pada tayangan iklan di televisi ialah stereotip. Nilai dan ideologi gender yang ditayangkan pada iklan di televisi merupakan cerminan dari realita sosial masyarakat mengenai nilai dan ideologi gender yang berlaku pada masyarakat tersebut. Perempuan dalam berbagai tayangan iklan di televisi seringkali terlihat sebagai sosok yang lemah lembut, sensual, anggun, dan rapih. Sementara itu, lakilaki seringkali terlihat sebagai sosok yang kuat, kekar, jantan, dan perkasa. Perempuan seringkali diilustasikan sebagai sosok yang lemah yang harus dilindungi oleh laki-laki. Dari segi fisik, perempuan pada tayangan iklan di televisi seringkali terlihat langsing, berkulit bersih dan putih, berambut panjang dan hitam, dan seksi. Sementara itu, 56 laki-laki seringkali terlihat berkeringat, gagah, berotot, dan bertuguh tegap. Tayangan seperti ini memperkuat stereotip bahwa perempuan itu identik dengan lingkungan dan aktivitas di dalam ruangan yang tidak merusak kecantikan tubuh mereka. Sementara itu, laki-laki identik dengan aktivitas lapang yang dapat menunjukkan keperkasaan mereka. Jika ditinjau dari segi pembagian kerja, perempuan di tayangan berbagai iklan di televisi seringkali terlihat berperan dalam pekerjaan domestik, sepeti mencuci, memasak, merawat dan menjaga anak, serta membersihkan rumah. Jarang sekali terlihat tayangan iklan yang menayangkan adanya perempuan yang bekerja di ruang publik seperti di perkantoran. Sementara itu, laki-laki yang ada dalam tayangan iklan di televisi seringkali menunjukkan adanya peran publik yang mereka lakukan, seperti bekerja di perkantoran, sementara istri bertugas sebagai pelayan suami ketika suami pulang kerja. Berbagai tayangan iklan di televisi tersebut memperkuat stereotip gender dalam hal penampilan dan peran kerja sehingga menentukan akses masyarakat terhadap ruang kerja mereka sesuai dengan gender yang melekat pada diri mereka. Fenomena ini juga berpengaruh dalam bidang pertanian pedesaan. Teknologi yang juga dalam bentuk teknologi pertanian telah menggeser peran perempuan dalam pertanian pedesaan menjadi semakin terpinggirkan. Stereotip yang meyakini bahwa perempuan selayaknya bekerja di dalam rumah (domestik) menyebabkan berbagai program pertanian dan pedesaan lebih fokus kepada laki-laki sehingga akses dan partisipasi perempuan terhadap kemajuan pertanian dan pedesaan sangat terbatas. 57 Rumusan Pertanyaan Penelitian Skripsi Berdasarkan kerangka analisis yang telah dibentuk dan hasil studi pustaka yang dilakukan, penulis akan meninjau dan menganalisis dampak pemanfaatan iklan di televisi terhadap stereotip gender kaum muda melalui pertanyaan spesifik dari topik tersebut. Rumusan pertanyaan spesifik yang dapat dibangun adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana tingkat pemanfaatan iklan di televisi pada kaum muda pedesaan? 2. Bagaimana pengaruh tingkat pemanfaatan iklan di televisi pada kaum muda pedesaan terhadap tingkat gaya hidup? 3. Bagaimana dampak pemanfaatan iklan di televisi pada kaum muda pedesaan terhadap pembentukan stereotip gender? 58 Kerangka Analisis Dampak Iklan pada Khalayak - Kekuasaan dan kelas - Ekonomi - Politik Kebijakan gender pada media Kategori Substansi Iklan di Televisi 1. Formative advertising 2. Persuasive advertising 3Comparison advertising 4. Reminder advertising Faktor Sosial Budaya - Budaya patriarkhi - 1. Dampak Kognitif 2. Dampak Peniruan 3. Dampak Perilaku Karakteristik khalayak 1. Usia 2. Pendidikan 3. Jenis kelamin 4. Pekerjaan Globalisasi - Teknologi Realitas gender Ketimpangan 1. Faktor Budayaatau ketidakadilan Gender Patriarki dalam pembagian kerja (publik dan domestik). 1. Stereotip Gambar 15. Usulan Kerangka Analisis Bar Tingkat Gaya Hidup 1. Asketis 2. Posmodern 3. Awam Tingkat Pemanfaatan Media Massa (Televisi) 1. Durasi 2. Frekuensi 3. Substansi 59 DAFTAR PUSTAKA Arivia G. 2006. Feminisme : Sebuah Kata Hati. Jakarta (ID) : Buku Kompas Astuti L. 2009. Hubungan iklan produk kecantikan di televisi dengan orientasi tubuh wanita bekerja [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Awaluddin A. 2004. Peningkatan kepekaan gender dalam jurnalisme. Jurnal ilmu sosial dan ilmu politik [internet]. [diunduh pada 2014 Okt 7]; 7(3):351-376. Tersedia pada : http://jurnalsospol.fisipol.ugm.ac.id/index.php/jsp/article/view/188 Bungin B. 2008. Konstruski Sosial Media Massa. Jakarta (ID) : Kencana Dewi NK, Andri G, Yonaldi S. 2012. Pengaruh iklan, citra merek, dan kepuasan konsumen terhadap loyalitas konsumen dalam menggunakan vaselin hand and body lotion di kota Padang. Jurnal manajemen dan kewirausahaan [internet]. [diunduh pada 2014 Nov 5]; 2(3). Tersedia pada : http://blog.ub.ac.id/dinaandri/files/2013/03/JurnalManajemen-dan-Kewirausahaan.pdf Fakih M. 1999. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta (ID) : Pustaka Pelajar. Fitriyarini. 2009. Iklan dan budaya popular : pembentukan identitas ideologis kecantikan perempuan oleh iklan di televisi. Jurnal ilmu komunikasi [internet]. [diunduh 2014 Sep 11]; 6(2):119-136. Tersedia pada : http://ojjs.uajy.ac.id/index.php/jik/article/view/199 Gunawan F. 2007. Ekonomi politik di Indonesia terhadap konsep kecantikan. Jurnal ilmiah scriptura [internet]. [diunduh pada 2014 Okt 4]; 1(1). Tersedia pada : http://cpanel.petra.ac.id/ejournal/index.php/iko/article/viewArticle/16671 Handayani T. 2008. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Dharma S, editor. Malang (ID) : Universitas Muhammadiyah Malang. Handoko CT. 2004. Metroseksualitas dalam iklan sebagai wacana gaya hidup posmodern. Nirmana [internet]. [diunduh pada 2014 Okt 3]; 6(2):132-142. Tersedia pada : http://cpanel.petra.ac.id/ejournal/index.php/dkv/article/viewArticle/16337 Handoko CT. 2005. Hubungan maskulinitas perempuan dalam iklan dalam hubungannya dengan citra sosial perempuan ditinjau dari perspektif gender. Nirmana [internet]. [diunduh pada 2014 Okt 4]; 7(1):85-89. Tersedia pada : http://cpanel.petra.ac.id/ejournal/index.php/dkv/article/viewArticle/16444 Hariyanto. 2009. Gender dalam konstruksi media. Komunika, jurnal dan komunikasi [internet]. [diunduh pada 2014 Okt 5]; 3(2):167-183. Tersedia pada : http://ejournal.stainpurwokerto.ac.id/index.php/komunika/article/view/27 Haryatmoko. 2007. Etika Komunikasi. Yogyakarta(ID) : Kanisius Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Badan Pusat Statistik. 2013. Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2013. Jakarta (ID) : Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Koentjaraningrat. 1984. Masyarakat Desa di Indonesia. Koentjaraningrat, editor. Jakarta (ID) : Fakultas Ekonomu Universitas Indonesia. Kurnia N. 2004. Representasi maskulinitas dalam iklan. Jurnal ilmu sosial dan politik [internet]. [diunduh pada 2014 Okt 4]; 8(1):17-36. Tersedia pada : http://jurnalsospol.fisipol.ugm.ac.id/index.php/jsp/article/view/193 Mulia R. 2011. Kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan dalam globalisasi [internet]. [diunduh 2014 Nov 27]. Tersedia pada : http://rindumulia.wordpress.com/2011/09/13/kesetaraan-gender-dan-pemberdayaanperempuan-dalam-globalisasi/ Safyan M. 2009. Konstruksi kebebasan pada identitas perempuan dan laki-laki dalam iklan operator seluler 3 dengan tema “Bebas itu nyata”. [internet]. [diunduh pada 2014 Okt 5]. Tersedia pada : http://www.journal.unair.ac.id/filerPDF/commb8a34101f1full.pdf Siregar A. 2004. Ketidakadilan konstruksi perempuan di film dan televisi. Jurnal ilmu sosial dan ilmu politik [internet]. [diunduh pada 2014 Sep 13]; 7(3):335-350. Tersedia pada : http://jurnalsospol.fisipol.ugm.ac.id/index.php/jsp/article/view/187 Sodik M. 2012. Kesetaraan gender sebagai pemenuhan konstitusi. Musawa [internet]. [diunduh pada 2014 Sep 21]; 11(2). Tersedia pada : http://journal.uinsuka.ac.id/media/artikel/MSW121102KESETARAAN%20GENDER%20SEBAGAI%20PEMENUHAN%20KONSTITU SI.pdf Supiandi Y. 2008. Bunga Rampai Pengarusutamaan Gender. Susanto dan tim kreatif elKahfi, editor. Jakarta (ID). Suwasana AA. 2001. Hubungan gender dalam representasi iklan televisi. Nirmana [internet]. [diunduh pada 2014 Okt 5]; 3(1):1-16. Tersedia pada : http://cpanel.petra.ac.id/ejournal/index.php/dkv/article/viewArticle/16061 Suwasana AA. 2001. Perspektif gender dalam representasi iklan. Nirmana [internet]. [diunduh pada 2014 Okt 4]; 3(2):83-96. Tersedia pada : http://cpanel.petra.ac.id/ejournal/index.php/dkv/article/viewArticle/16068 Vivian J. 2008. Teori Komunikasi Massa. Jakarta (ID) : Kencana 61 LAMPIRAN Riwayat Hidup Penulis dilahirkan di Medan, Sumatera Utara pada tanggal 21 Agustus 1993 sebagai anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Kun Swondo Keliat dan Susanna Syah Devi. Penulis menempuh pendidikan formal di TK Perguruan Al-Azhar Medan pada tahun 1997-1999, SD Perguruan Al-Azhar Medan pada tahun 1999-2005, SMP Negeri 1 Medan pada tahun 2005-2008, SMA Negeri 1 Medan pada tahun 2008-2011. Dari TK hingga SMA penulis aktif di berbagai kegiatan kesenian tari dan vokal di Kota Medan. Pada tahun 2011, penulis melanjutkan pendidikannya di Institut Pertanian Bogor, Fakultas Ekologi Manusia, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Selama penulis menjadi mahasiswa di Institut Pertanian Bogor, penulis pernah menjadi anggota Tutor Sebaya sebagai pengajar ekonomi umum di asrama puteri TPB IPB. Pada tahun 2012, penulis pernah menjadi tim pengajar ekonomi umum di salah satu tempat kursus informal MAFIA yang berlokasi di sekitar kampus. Hingga saat ini, penulis juga tercatat sebagai pengurus Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-Ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (Himasiera) sebagai anggota divisi broadcasting. Selain itu, penulis juga pernah mengikuti kepanitiaan Masa Perkenalan Departemen (MPD), dan Himasiera goes to Trans 7 untuk divisi acara pada tahun 2013.