Reception Analysis Remaja Perempuan Tentang Konsep

advertisement
Reception Analysis Remaja Perempuan Tentang Konsep Kecantikan
Dalam Iklan Kosmetika
(Studi Kasus Remaja Perempuan yang berasal dari Indonesia Timur Pada Iklan Pond’s ‘2x
Lebih Putih Merona’ dan Iklan Pantene ‘Tanda Tangan’)
Marlyani Purbayanti ([email protected])
ABSTRAK
Penelitian ini menjabarkan tentang penerimaan remaja permpuan dari Indonesia
Timur pada konsep kecantikan yang ditayangkan pada iklan Pond’s dan Pantene. Penelitian
ini menarik karena masyarakat dari Indonesia Timur jarang digambarkan pada iklan untuk
produk kecantikan. Dengan menggunakan teori Stuart Hall, metode reception analysis,
peneliti berharap untuk menjabarkan penerimaan penerimaan dari konsep kecantikan dalam
iklan produk kosmetika melalui proses encoding dan decoding oleh audien. Kesimpulan dari
penelitian ini menunjukkan bahwa konsep kecantikan yang ditampilkan dalam iklan produk
kecantikan bukanlah kenyataan yang terjadi pada masyarakat Indonesia Timur.
Key words: Penerimaan, Kecantikan, Iklan, Indonesia Timur
PENDAHULUAN
Indonesia sebagai sebuah negara yang luas dengan berbagai macam suku, etnis, ras
dan agama di dalamnya direpresentasikan secara sederhana dalam media utamanya iklan
untuk menampilkan konsep kecantikan bagi perempuan (Bungin, 2008;113). Iklan di
berbagai media di Indonesia wanita cantik ini direpresentasikan sebagai bahasa yang
universal, yakni dengan pergeseran dari kulit langsat atau sawo matang, anggun seperti putri
keraton menjadi kulit putih yang ‘berpesona’ barat dan berpemikiran bebas (dimana ia tidak
perlu memikirkan sebuah tradisi yang kemudian harus dihubungkan dengan apa yang akan
mereka lakukan) seperti dunia barat (Eropa dan Amerika) (Yulianto, 2007:XII). Sehingga apa
yang ditampilkan oleh iklan ini nyatanya hanya mewakili sebagian kecil dari realitas
masyarakat Indonesia yang memang hanya berpusat di Jawa, khususnya Jakarta.
Media-media yang ada di masyarakat menyebarkan informasi tidak hanya
berdasarkan fakta namun juga berdasarkan konstruksi budaya yang historis. Konstruksi
tersebut secara tidak langsung telah merepresentasikan kondisi sosial masyarakat yang hanya
berpatok pada struktur budaya historis dan tidak dibandingkan dengan sebenarnya. Pada
akhirnya konstruksi realitas yang ditampilkan oleh media bersifat tidak adil untuk sebagian
orang yang tidak terwakili dalam media karena media hanya akan mewakili suara mayoritas
1
yang dominan. Pada berbagai konsep kehidupan juga terjadi konstruksi realitas yang ada di
masayrakat, yang salah satunya adalah konsep kecantikan perempuan.
Pada beberapa penelitian tentang konsep kecantikan yang ada di masyarakat pada
beberapa tahun belakangan ini menunjukkan hal berbeda dengan konsep literatur Jawa
tentang kecantikan (Yulianto, 2007:14). Seperti diungkapkan Bungin (2007: 221) bahwa
kecantikan direpresentasikan dalam rupa kulit whiteness (menjadi putih), rambut hitam, tebal
dan lurus, bertubuh slim, memiliki kesegaran tubuh, adanya kebersihan, kemewahan,
keanggunan dan berparas menawan. Sementara itu, Prabasmoro (2003:106) dalam bukunya
mengungkapkan bahwa kecantikan dinaturalisasikan dengan warna kulit putih.
Berbagai konsep kecantikan yang ada inilah yang kemudian di adopsi oleh media
massa dalam menampilkan konsep kecantikan seperti yang ditampilkan dalam iklan. Sebagai
salah satu media komunikasi, iklan menjadi salah satu alat dalam mengkomunikasikan pesan.
Iklan tidak hanya terbatas pada tahap menawarkan produk namun, sampai pada taraf
membujuk untuk membeli produk yang diiklankan (Jeffkins, 1996:11).
Sebuah iklan yang nampak paling sederhana sekalipun, bukan tidak mengandung
unsur makna tunggal saja didalamnya, namun masih terdapat unsur makna berlapis. Iklan
tidak bebas nilai, sebaliknya dipenuhi berbagai kepentingan dan ideologi yang memberikan
keuntungan dan kekuasaan pada pihak-pihak tertentu. Dengan potensi ini, iklan dapat hadir
sebagai sebuah persoalan (Prabasmoro, 2003:80). Iklan bukan lagi hanya sekedar menjadi
cermin bagi masyarakat, akan tetapi, masyarakat merupakan cermin iklan. Iklan merupakan
pengkontruksi realitas yang diciptakan berdasarkan ideologi tertentu. Dengan demikian, iklan
memiliki suatu bentuk “kekuasaan” dalam komunitas dalam masyarakat. Iklan berperan besar
dalam menentukan kecenderungan, tren dan mode, bahkan membentuk kesadaran serta
konstruksi berpikir manusia modern (Channey, 1996:8).
Berbagai produk shampo dan produk pencerah kulit yang ada di Indonesia tidak
sepenuhnya mewakili kebutuhan masyarakat Indonesia yang beragam dan terdiri dari
berbagai ras dan etnis. Masyarakat Indonesia Timur yang memiliki ciri-ciri fisik berkulit
gelap dan berambut keriting, tidak direpresentasikan dalam berbagai macam produk shampo
ataupun produk pemutih kulit. Produk-produk kecantikan tersebut cenderung menampilkan
model wanita cantik berparas indo dan berambut lurus. (Yulianto, 2007: 36)
Produk pencerah kulit seperti Pond’s dan produk shampoo Pantene yang merupakan
peraih Top Brand 20111 dalam kategorinya masing-masing telah menjadi produk yang
1
http://www.topbrand-award.com/top-brand-survey/survey-result/top-brand-result-2011/
2
diminati oleh banyak penduduk Indonesia. Selain itu, dalam Majalah Swa edisi Juli 2011
memuat artikel bahwa Pond’s sebagai produk pencerah kulit telah mencapai market share
50% di Indonesia dengan teknik mereka yang tidak hanya pada media elektroni namun juga
pada berbagai media print-ad dan juga below the line. Selain itu, Pantene sebagai produk
shampoo dalam Majalah Swa edisi Juli 2011 juga mencantumkan artikel bahwa Pantene juga
sama seperti Pond’s melakukan genjatan pada periklanan mereka sehingga telah mencapai
54,7% brand value di masyarakat.
Teori Stuart Hall (1972) tentang encoding / decoding mendorong terjadinya
interpreaasi-interpretasi beragam dari teks-teks media selama proses produksi dan
penerimaan (resepsi). Dengan kata lain, Hall menyatakan bahwa makna tidak pernah pasti.
Jika kita bisa pasti oleh representasi, maka tidak akan ada pertukaran sehingga tidak ada
strategi-strategi yang mengkonter atau intrepetasi - intrepetasi yang berbeda.
Dengan intrepetasi yang berbeda-beda inilah kemudian mengambil topik penelitian
reception analisis. Dan remaja yang dalam hal pemikirannya masih labil, menjadi subjek
penelitian ini. Sebagai, salah satu kota besar di Indonesia, Surabaya juga memiliki realitas
sosial sendiri yang ada di masyarakatnya. Sehingga dalam fenomena inilah yang kemudian
menarik peneliti untuk melakukan penelitian terhadap penerimaan remaja dari Indonesia
Timur di Surabaya terhadap konsep kecantikan yang ditampilkan dalam berbagai iklan
pemutih dan iklan shampo. Pertanyaan penelitian ini adalah “Bagaimana penerimaan
khalayak remaja perempuan yang berasal dari Indonesia Timur terhadap konsep kecantikan
yang ditampilkan dalam iklan produk pemutih wajah Pond’s ‘2x lebih putih merona’ dan
iklan shampo Pantene ‘tanda tangan’?”
Hegemoni Media dalam Iklan Televisi
Kemudahan untuk mengakses segala informasi ini kemudian akan direspon berbeda
oleh berbagai macam masyarakat. Hal ini tentu saja juga akan mempengaruhi pola konsumsi
manusia. Berbagai aspek dalam media massa seperti dalam industri pertelevisian, perfilman
hingga periklanan tentunya juga akan terpengaruh dengan adanya arus globalisasi.2
Arus globalisasi yang ada kemudian juga akan mempengaruhi budaya yang ada di
masyarakat. Seiring dengan cepatnya arus informasi, maka budaya asli yang ada akan
semakin tersingkir dengan budaya baru yang dibawa lebih cepat ke dalam negeri sendiri
dengan kecanggihan berbagai media komunikasi yang ada. Budaya asli yang bermacammacam akhirnya semakin lama semakin terkikis dengan kehadiran budaya baru yang dibawa
2
http://neetatakky.blogspot.com/2011/07/hegemoni-media-terhadap-dominasi-global.html
3
masuk oleh dominasi budaya luar melalui globalisasi. Sehingga budaya asli yang ada secara
tidak langsung telah terhegemoni oleh budaya asing3.
Hegemoni ini tentu saja tidak hanya terjadi dalam sekup budaya saja, namun juga
akan terlihat dalam sekup yang lebih luas seperti dalam dunia industri. Sehingga pada
akhirnya industri yang ada di masyarakatpun akan terpengaruh dengan hegemoni dari kelas
sosial tertentu yang telah menyebar ke seluruh aspek. Hegemoni yang ada dalam industri baik
perfilman, pertelevisian dan periklanan tidak lain akan terpengaruh dari arus globalisasi,
Sehingga nantinya akan berpengaruh pada proses dan hasil dari industri tersebut. Peran
negara adidaya seperti Inggris, AS, dan Jepang ini turut serta mempengaruhi industri media
tersebut. Pengaruh dalam industri media massa ini tidak hanya dalam rangka kecanggihan
teknologinya saja, namun hegemoni terjadi hingga bagian yang lebih spesifik yakni aktor dan
aktris yang berperan dalam industri media massa. Sehingga yang terjadi dalam masyarakat
adalah konteks sosial yang berbeda dari masyarakat karena konsep kesempurnaan yang
diyakini oleh masyarakat juga berubah dalam media massa tersebut.
Iklan memang tidak dapat mempengaruhi masyarakat untuk merubah sikapnya secara
langsung, namun apa yang ada dalam Iklan mampu mempengaruhi apa yang dipikirkan oleh
masyarakat. Iklan dapat mempengaruhi persepsi masyarakat tentang suatu kejadian atau
fenomena yang dianggap penting. Pengaruh itu kemudian disaring, diseleksi, bahkan
mungkin ditolak sesuai dengan faktor personal yang ada (Jeffkins, 1996:14).
Menurut Garth Jowett, lebih gampang disepakati bahwa media massa “merefleksikan”
masyarakat karena ia didesak oleh hakikat komersialnya untuk menyajikan isi yang
tingkatannya akan menjamin kemungkinan audiens yang lebih luas (Irawanto, 1999:13).
Karakteristik iklan sebagai media massa juga mampu membentuk semacam
konsensus publik secara visual karena selalu bertautan dengan nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat dan selera publik. Artinya pluralitas nilai yang ada dalam masyarakat terangkum
di dalamnya.
Namun, Graeme Turner mengatakan bahwa iklan tidak mencerminkan atau bahkan
merekam realitas seperti medium representasi yang lain. Iklan mengkontruksi dan
“menghadirkan kembali” gambaran dari realitas melalui kode-kode, konvensi-konvensi,
mitos dan ideologi-ideologi dari kebudayaannya sebagaimana cara praktik signifikansi yang
khusus dari medium. Makna iklan sebagai representasi dari realitas masyarakat, bagi Turner,
berbeda dengan film sekedar refleksi dari realitas. Sebagai refleksi dari realitas itu, iklan
3
http://newsprabuwanayasa.blogspot.com/2011/04/hegemoni-budaya.html
4
membentuk dan “menghadirkan kembali” realitas berdasarkan kode-kode, konvensi-konvensi
ideologi dari kebudayaannya (Irawanto, 1999:14)
Wacana Kecantikan Perempuan pada Masyarakat Kontemporer
Beauty dimaknai sebagai kecantikan; keindahan; wanita cantik dan bagian yang
menyenangkan (Salim, 1996:183). Kecantikan bagi perempuan dikaitkan dengan kelembutan
dan demikian dengan feminitas yang dimiliki perempuan; sementara kecantikan pada lakilaki mengacu pada zaman Romawi dan Yunani, dimana tubuh yang kekar, kuat, dan besar
menjadi citra laki-laki ideal, hal tersebut masih berlaku hingga saat ini di budaya barat,
meskipun kemunculan fenomena metroseksual memberikan citra baru laki-laki ideal. (Titi,
2006:17).
Mengacu pada Foucault, tubuh manusia diperlakukan sebagai alat (tools). Tubuh
secara umum, menjadi objek dari kontrol intelektual dan praktis. Tubuh diinstrumentalisasi
untuk diri sendiri dan dinstrumentalisasi oleh individu lain. Pemahaman yang pertama dianut
oleh kaum Puritan yang mengutamakan pengendalian kebutuhan dan keinginan diri sendiri;
yang kedua adalah kontrol tubuh sebagai pekerja gratis, dimana kaum pemilik modal
mengendalikan mereka, Hal ini dianut kaum marxist. Kemudian Foucault juga melihat tubuh
sebagai media ekspresi, tubuh adalah sesuatu yang memiliki tanda-tanda yang bisa dibaca
(means of signs). Tubuh menjadi ekspresi status sosial dan identitas pribadi seseorang (Pasi,
1994:46-55).
“Citra tubuh (diri) adalah pengalaman individual tentang tubuhnya, suatu gambaran mental seseorang
yang mencakup pikiran, persepsi, perasaan, emosi, imajinasi, penilaian, sensasi fisik, dan kesadaran
perilaku mengenai penampilan dan bentuk tubuhnya dipengaruhi oleh idealisasi pencitraan tubuh di
masyarakat ...” (Rice dalam Melliana S, 2006: 83-84)
Perempuan memiliki bagian tubuh yang dijadikan objek kecantikan dan mempunyai
makna sosial bagi masyarakat. Penelitian ini mengacu pada Anthony Synnot (1993: 22-282),
menyimpulkan beberapa bagian tubuh tersebut, salah satunya adalah wajah, bagian fisik
manusia yang unik, lunak dan bersifat publik. Wajah juga menjadi penentu dasar persepsi
tentang makna kecantikan dan kejelekan individu. Bagian tubuh selanjutnya adalah rambut,
yang merupakan simbol identitas individu sekaligus simbol kelompok yang kuat, yang
memberikan simbolisasi kebebasan karena rambut dapat dibentuk tergantung individu
maupun kelompok. Kulit juga merupakan bagian yang diekspos oleh media. Dalam berbagai
media massa, seperti cetak dan audiovisual (iklan, film, sinetron, dll) kulit indah juga sering
dimunculkan.
Praktik kecantikan yang ada dan diterima oleh masyarakat selama ini adalah bentuk
kecantikan eropa dimana menampilkan kecantikan kulit putih. Lala Young berpendapat,
5
‘Citra perempuan Eropa kulit putih sebagai standar kecantikan merajalela; pelbagai citra
tersebut adalah kutub yang berlawanan sekaligus juga bergantung pada citra femininitas dan
seksualitas perempuan kulit hitam’ (Hollows, 2010:181). Pendapat yang diungkapkan Lala
Young ini kemudian menciptakan sebuah perdebatan dimana perempuan berkulit hitam atau
perempuan berkulit berwarna bukan dianggap sebagai citra perempuan feminin. Karena apa
yang ditampilkan oleh mereka (kulit hitam) dianggap memiliki sesuatu yang berbeda atau
diluar ke’alamiahan’ yang ada pada perempuan Eropa (Hollows, 2010:181-186).
Selain itu, kesadaran akan perubahan praktik kecantikan yang telah dikomodifikasi
oleh berbagai pihak ini tentunya juga menimbulkan perdebatan. Antara lain seperti yang
tertulis dalam buku Yulianto, 2007 dan Prabasmoro 2003 yang menyatakan bahwa keharusan
untuk mengikuti kulit warna putih adalah karena kulit putih melambangkan identitas kelas
yang lebih tinggi (bukan kelas pekerja), bersih, cantik, suci. Sedangkan mereka yang berkulit
hitam adalah simbol kotor, jorok, derajat randah, jelak dan dosa. Anggapan ini kemudian
menuai berbagai kritik dari kaum feminis kulit hitam yang dengan jelas menyuarakan hakhak mereka sebagai kelompok yang dijajah oleh kaum kulit putih dengan keterlibatan mereka
dalam berbagai tindakan sosial dan politik (Jackson & Jones, 2009:140-167).
Yulianto 2007, juga mengungkapkan bahwa adanya iklan produk kecantikan yang
menampilkan berbagai ‘realitas semu’ didalamnya juga memperparah kondisi masyarakat
Indonesia yang terjerumus dalam ‘keajaiban’ yang diciptakan oleh iklan. Ia menjumpai
seorang pelanggan dari etnis Indonesia Timur ketika sedang berwawancara dengan salah satu
sumbernya untuk meminta agar kulitnya diubah menjadi putih seperti iklan produk tersebut di
televisi. Ternyata sihir yang ditampilkan oleh media utamanya iklan mampu ‘menghipnotis’
sesuatu yang nampak tak mungkin menjadi mungkin. Kemudian dalam bukunya juga
diungkapkan bahwa sebenarnya masyarakat ada yang secara sadar tidak setuju dengan iklan
di televisi tentang produk kecantikan yang menampilkan realitas semu, namun mereka tidak
mampu berbuat apa-apa karena itu ternyata sudah menjadi komoditas yang diterima secara
global dan universal oleh masyarakat Indonesia.
Teori Interpretasi dan Negosiasi Makna
Pada umumnya, banyak orang berasumsi bahwa mengonsumsi media adalah aktivitas
pasif. Karena audiens hanya duduk di depan televisi dan mengonsumsi tanpa benar-benar
‘terjalin’ atau beraktivitas. Hall berpendapat bahwa konsumsi bukanlah aktivitas pasif. Ini
disebabkan menurutnya konsumsi media membutuhkan generasi pemahaman. Tanpa
pemahaman, tidak akan ada konsumsi. Pemahaman, sebaliknya tidak dapat digenerasikan
secara pasif. Karena tidak ada cara pasif untuk menerima suatu pesan – kita harus
6
menciptakannya sendiri (Helen, 2004: 62). Khalayak aktif tidak lagi dianggap sebagai jarum
hipodermik yang langsung begitu saja menerima pesan dari media. Khalayak disini
menggunakan field of experience dan frame of reference mereka. Sehingga Ideology dominan
dari media tidak lagi sekedar diterima oleh khalayak aktif.
Istilah decoding encoding (Helen, 2004) digunakan Hall untuk mengungkapkan
bahwa makna dari teks terletak antara si pembuat teks (encoder dalam hal ini komunikator
atau professional media) dengan pembacanya (decoder atau komunikan, dalam hal ini
audiens media).
Walaupun si pembuat teks sudah meng-encode teks dalam cara tertentu, namun si
pembaca akan men-decode-nya dalam cara yang sedikit berbeda. Ideologi dominan secara
khusus dikesankan sebagai preferred readings (bacaan terpilih) dalam teks media, namun
bukan berarti hal ini diadopsi secara otomatis oleh pembaca (McQuail, 2002).
Teori Stuart Hall tersebut, tentang encoding dan decoding, mendorong terjadinya
intepretasi-intepretasi beragam dari teks-teks media selama proses produksi dan resepsi
(penerimaan). Dengan kata lain, makna tidak pernah pasti (Ida, 2010: 148).
Hall menurunkan 3 intepretasi (Ida, 2010) yang digunakan individu untuk
menafsirkan atau memberi respons terhadap persepsinya mengenai kondisi dalam
masyarakat, yaitu dominan/hegemonic code adalah disini posisi audiens yang menyetujui dan
menerima langsung apa saja yang disajikan oleh televisi, menerima penuh ideology yang dari
program tayangan tanpa ada penolakan atau ketidaksetujuan terhadapnya. Negotiated code,
penonton yang mencampurkan intepretasinya dengan pengalaman-pengalaman sosial tertentu
mereka. Penonton yang masuk kategori negosiasi ini bertindak antara adaptif dan oposisi
terhadap intepretasi pesan atau ideology dalam televisi. Oppositional code adalah ketika
penonton melawan atau berlawanan dengan representasi yang ditawarkan dalam tayangan
dengan cara yang berbeda dengan pembacaan yang telah ditawarkan (Hall: 138). Tipe ini
tidak merasakan kesenangan pada saat menonton televisi. Ia menolak sajian atau ideology
dominan dari televisi.
Studi khalayak ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode reception
analysis. Penelitian ini dilakukan untuk memfokuskan peneliti pada produksi tentang
pemaknaan teks dan proses negosiasi makna khalayak terhadap studi kasus penelitian pada
penerimaan khalayak terhadap konsep kecantikan dalam iklan Pond’s dan Pantene. Dengan
menggunakan tipe penelitian eksploratif dan teknik indepth interview, peneliti akan dapat
menggali lebih dalam tentang penerimaan yang dilakukan oleh informan. Pada penelitian ini
transkrip wawancara yang dari informan yang berjumlah 5 orang remaja yang berasal dari
7
wilayah Indonesia Timur menjadi unit yang dianalisis kemudian di tambahkan dengan
interpretasi dari informan untuk memperkuat data pada pembahasan.
PEMBAHASAN
Penerimaan Informan Terhadap Aspek Teknis Dalam Iklan Pond’s dan Pantene
Berbagai macam iklan produk kecantikan di televisi
nyatanya dianggap oleh
informan B hanya merupakan bentuk persuasif saja. Iklan dan merupakan hasil realitas semu
yang coba disajikan oleh produsen agar produknya dapat terjual (Pilliang dalam Bungin,
2008:120). Serupa dengan yang dipaparkan oleh Bungin, 2008: 41, bahwa iklan dibuat untuk
membangkitkan citra produk, dimana makna dan kesadaran terhadap realitas sosial
dimunculkan dalam iklan. Latar belakang pendidikan ekonomi di perguruan tinggi, membuat
informan A menyatakan pendapatnya bahwa iklan sengaja dibuat untuk mempersuasif
audien.
“B: menurut saya iklan-iklan di televisi itu hanya persuasif saja, tapi terkadang terlalu dilebihlebihkan, karena sebenarnya itu hasilnya tidak selalu langsung terbukti seperti yang ada dalam
iklan tv. Mereka itu hanya membual saja” (Transkrip Wawancara)
Namun, hal yang berbeda disampaikan oleh informan C dan D, dimana mereka
menganggap bahwa iklan – iklan dalam produk kecantikan sudah bagus dan sesuai karena
model-model yang digunakan dalam iklan tersebut dianggap sudah sesuai dengan produk
yang seharusnya dijual kepada konsumen. Berbeda dengan informan A, informan C dan D
dari segi usia tingkat kematangan berpikir mereka masih sederhana. Pengalaman pendidikan
di tingkat yang lebih tinggi seperti universitas bagi informan C belum dicapai sementara
informan D baru menginjak semester pertama dan bukan dari jurusan ekonomi membuat
kedua informan ini hanya melihat iklan dari segi tampilan visualisasinya saja.
“C: Kalo aku lihat iklan gitu sih suka lihat modelnya, modelnya ganteng ato cantik-cantik gitu
sih, soalnya kan iklan ya, jadi ya modelnya harus cantik-cantik gitu, masa buat iklan
modelnya jelek, nanti kan gak laku produknya”
“D: ya bagus, sih, uda pas sih, soalnya ya modelnya uda cantik-cantik sih, soalnya kalo nggak
cantik sih nanti nggak laku donk produknya,,” (Transkrip wawancara)
Penciptaan realitas bahasa dengan menggunakan barang, maka bahasa dapat
digunakan untuk ‘penggambaran’ realitas tersebut. Namun, ketika menciptakan suatu realitas
barang, maka bahasa saja tidak cukup untuk tujuan tersebut, sehingga digunakan pula tanda
bahasa sebagai alat penggambaran citra tersebut.
“C: kalo bahasanya ya uda pas sih ya mbak, kan biar menarik orang buat beli, jadi yooo,, pas
aja sih kalo aku,, lagian kalo aku yang nyoba sih juga uda pas sih menurut aku, uda sesuai,
uda tak buktiin sih, hhe..”
8
“D: ya kalo aku sih uda pas ya,, ya, soalnya kan produsen itu ngiklan ya biar bisa menarik
orang buat beli dan pake produk itu.” (transkrip wawancara)
Informan C dan D mengatakan bahwa tata bahasa dalam iklan produk kecantikan
yang ada sudah pas, dan sesuai. Bagi mereka, citra produk dari tata bahasa yang digunakan
dapat mempengaruhi apakah produk itu dapat menarik perhatian atau tidak sehingga dapat
membuat konsumen tertarik untuk menggunakannya. Dengan demikian, pentingnya bahasa
sebagai alat iklan, maka di dalam iklan bahasa digunakan untuk semua kepentingan iklan
(Bungin, 2008: 130). Pada aspek tata bahasa dalam iklan pun, informan C dan D hanya
mengatakan tata bahasa sudah sesuai jika digunakan dalam iklan, hal ini karena latar
belakang mereka tentang aspek-aspek dalam iklan belum diketahui oleh mereka.
Penerimaan Informan terhadap Konsep Kecantikan dalam Iklan Pond’s dan Pantene
Graeme Turner mengatakan bahwa iklan tidak mencerminkan atau bahkan merekam
realitas seperti medium representasi yang lain. Iklan mengkontruksi dan “menghadirkan
kembali” gambaran dari realitas melalui kode-kode, konvensi-konvensi, mitos dan ideologiideologi dari kebudayaannya sebagaimana cara praktik signifikansi yang khusus dari medium
(Irawanto, 1999: 14).
“A: aku sih gak setujuuuuu ya mbakk,, gak setujuu bangett, soalnya apa ya mbak,, kayaknya
mereka itu Cuma bener-bener milihh,, apa yaa, ya emang bener kalo buat iklan itu harus yang
baik sih,, yang bisa bikin orang tertarik, tapi ya gak usah yang oh kamu harus putih dulu,
rambut kamu harus panjang dan lurus dulu, jadi ya gak perlu gitu,, ORANG KAN juga bedabeda , nanti persepsinya orang kan malah, aduh brarti aku harus merubah aku dulu, aku harus
putih dulu, aku harus cantik dulu, rambutku harus lurus dulu biar aku bisa masuk tv ato biar
bisa masuk iklan, jadi kayak yang sekarang-sekarang ini banyak ditampilin di iklan kalo yang
kayak gitu itu bisa bikin minder gitu kan mbak,,” (transkrip wawancara)
Informan A menyatakan bahwa apa yang ditampilkan bukanlah merupakan sebuah
realitas yang sebenarnya. Hal ini mendukung pula pernyataan yang dikeluarkan oleh Turner
dalam Irianto bahwa iklan hanya mengkontruksi dan “menghadirkan kembali” gambaran dari
realitas. Selain itu, kode-kode yang dinilai ada dalam masyarakat dan diakui oleh publik yang
merupakan hasil dari konsensus juga tidak disetujui oleh informan A.
Iklan memang tidak dapat mempengaruhi masyarakat untuk merubah sikapnya secara
langsung, namun apa yang ada dalam Iklan mampu mempengaruhi apa yang dipikirkan oleh
masyarakat. Iklan dapat mempengaruhi persepsi masyarakat tentang suatu kejadian atau
fenomena yang dianggap penting. Pengaruh itu kemudian disaring, diseleksi, bahkan
mungkin ditolak sesuai dengan faktor personal yang ada (Jeffkins, 1996:14).
“B: Kalo buat aku, modelnya kan banyak itu ya biasnya pake yang putih – putih, rambutnya
panjang dan lurus, sebenernya itu sih bukan cantik apa ya, bukan Indonesia lah, kalo di
9
Indonesia sendiri kan memang luas, dari ujung barat sampai ujung timur, nah mungkin yang
bagian barat memang putih, tapi yang diujung timur seperti kami ini tidak mungkin menjadi
putih, itu mustahil, dari segi geografis saja memang tidak mungkin kami bisa menjadi putih
karena air di daerah timur lebih banyak mengandung garam jadi untuk kami tidak mungkin
bisa menjadi lebih putih, lagipula itu juga genetik, jadi rambut ya semua sama seperti ini
keriting, kalau mau lurus ya direbonding, tidak hanya pakai shampo. Mending kalo memang
iklannya itu untuk tertentu saja yang cocok lebih diperjelas lagi, kalo misalnya juga untuk
orang timur, setidaknya ada model yang mungkin berasal dari timur yang digunakan,
............... setidaknya buatlah variasi produk yang memang ada untuk kami yang berasal dari
timur yang disesuaikan dengan cuaca di sana atau kadar air disana, supaya kami tau juga
bahwa me-mang ada produk untuk kami, lebih baik lagi jika modelnya memang berasal dari
Ambon atau dari timur supaya memang lebih jelas lagi,” (transkrip wawancara)
Senada dengan apa yang dinyatakan Jeffkins, diutarakan pula oleh Informan B bahwa
pengaruh yang dibawa dalam iklan akan ditolak sesuai dengan faktor personal yang ada.
Dalam hal ini Informan B menyatakan penolakan dengan realita yang diciptakan dalam iklan
televisi karena faktor asal geografis tempat tinggalnya. Selain itu, dianggapnya Indonesia
sebagai negara yang luas dengan berbagai macam karakter dan kelompok yang berbeda oleh
informan juga membuatnya untuk mengakui penolakan atas realitas yang diciptakan oleh
iklan. Jeffkins, 1996 menempatakan perspektif yang dinyatakan oleh informan B kedalam
perpektif kedua yang dalam kerangka teoritis antara iklan dan masyarakat.
Pengalaman yang dimiliki oleh informan B selama ia tinggal di Surabaya yakni mulai
dari tingkat perguruan tinggi hingga bekerja, membuat informan B merespon konsep
kecantikan seperti yang diutarakan di atas. Selain itu, keaktifannya dalam organisasi seperti
paduan suara gereja dan perkumpulan pemuda-pemudi Ambon membuatnya berpikir tentang
keanekaragaman yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia. Selain itu, pengalaman selama
menempuh pendidikan di universitas dengan memiliki teman-teman keturunan cina membuat
informan B memiliki pandangan yang berbeda dari aktifitas sosialisasi yang dimilikinya.
“... Yang kedua, perpektif kategori sosial yang berasumsi bahwa dalam masyarakat terdapat
kelompok-kelompok sosial yang reaksinya pada iklan tertentu dapat sama. Hanya saja,
golongan sosial berdasarkan usia, jenis kelamin, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan,
tempat tinggal dan keyakinan beragama memberikan perbedaaan dalam memahami sebuah
iklan. ...” (Jeffkins, 1996: 15-17)
Yulianto 2007, juga mengungkapkan bahwa adanya iklan produk kecantikan yang
menampilkan berbagai ‘realitas semu’ didalamnya juga memperparah kondisi masyarakat
Indonesia yang terjerumus dalam ‘keajaiban’ yang diciptakan oleh iklan. Informan A dan
Informan C, memperjelas apa yang dikatakan oleh Yulianto bahwa realitas semu
memperparah kondisi masyarakat dengan pendapat yang dinyatakan oleh mereka bahwa
10
keluarga dan teman-teman mereka dari Indonesia Timur terperangkap dengan realitas yang
ditampilkan oleh iklan.
“A: kalo menurut aku,, cewek itu,,, ngakk harusss,,,, ehmmm,, merawat diri sh iya sihh,,, tapi
nggak harus yang, sampai yang,, apa itu kann, kayak aku kan kalo pulang ke kupang sering
digangguin sama temenku,, kan kamu uda di jawa masa nggak putih – putih,, ya IYALAH,,
kulitku nggak cocok, makanya luluran kata temenku gituu,, Ngaapain luluran, ya apa adanya
aja ya, aku luluran aja nggak putih- putih, ...”
“C: ya, kalo buat disana sih ya gak sesuai sih benere mbak, tapi yaaaa,, mau gimana lagi,
sekarang ae kalo aku pulang ke Ambon ya mbak, mereka itu ya pada make kayak produkproduk perawatan gitu mbak, yo kayak pond’s, olay, ato apa gitu mbak yang lain, aslinya yo
gak bagus sih mbak, tapi mereka sodara-sodaraku bilang ya pengen putih juga kayak yang
ditv biar dibilang cantik. aslinya yo gimana yo, mau maksain kayak gimana juga kan kalo wes
gitu dari lahir ya mau gimana, kan emang bukan yang asli putih tapi mau maksain putih, ya
haruse sih bersih sama terawat ae itu cukup sih mbak, gak harus yang putih kayak di tv gitu.”
(tranrskrip wawancara)
Namun, kesadaran akan apa yang ditampilkan oleh iklan merupakan relalitas semu
dan mereka tidak mampu melakukan apa-apa karena sudah menjadi komoditas dan diterima
secara global dan universal oleh masyarakat Indonesia Bahkan ejekan itu diterima oleh
masyarakat karena memang apa yang ditampilkan dalam iklan merupakan hasil konsesus
akan pesona kecantikan yang ada. (Yulianto, 2007: 6-11).
Informan A, mengalami hal yang sama apa yang dikatakan oleh Yulianto bahwa
teman-temannya mengganggu dengan mengatakan bahwa dirinya tidak menjadi putih setelah
pindah ke Jawa. Hal ini tentu saja menguatkan bahwa konstruksi konsep cantik yang
ditampilkan telah membuat kesenjangan yang besar bagi mereka yang tidak memiliki bentuk
tubuh dan warna kulit yang sama dengan apa yang ada dalam iklan. Bahkan perubahan yang
dilakukan oleh informan A untuk membuat rambutnya menjadi lebih lurus telah mengikuti
konsensus yang diciptakan oleh iklan tentang konsep kecantikan yang ada.
Sementara itu, Informan C, mengatakan bahwa konsensus tentang kecantikan dalam
produk iklan adalah sebagaimana mestinya dengan yang diiklan sehingga mereka memaknai
bahwa mereka berada dalam realitas semu namun mereka harus mampu menerimanya
meskipun hal itu berbeda dengan kondisi mereka. Hal ini dapat dikarenakan informan C
masih merupakan keturunan Portugis, sehingga secara fisik tidak menyerupai masyarakat dari
Indonesia Timur.
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis yang telah diuraikan sebelumnya, dapat diketahui bagaimana
penerimaan remaja perempuan terhadap konsep kecantikan yang ditampilkan dalam iklan
11
produk kecantikan Pond’s dan Pantene. Melalui analisis yang dilakukan dengan
menggunakan metode reception analysis, peneliti menarik beberapa kesimpulan berdasarkan
rumusan masalah yang telah diajukan sebelumnya. Kesimpulan tersebut dapat menunjukkan
terdapat variasi penerimaan yang disampaikan informan.
Penerimaan informan C, D dan E menyatakan bahwa visualisasi yang ditampilkan dalam
iklan Pond’s cukup menarik dan sesuai. Namun informan A yang menyatakan tidak setuju
karena visualisasi dari iklan Pond’s dianggap hanya membual saja. Dari segi tata bahasa bagi
informan A dan B, iklan Pond’s dinilai terlalu mengada-ada atau membual, namun infoman
C, D dan E yang mengatakan bahwa tata bahasa yang digunakan dalam iklan Pond’s cukup
persuasif jika digunakan dalam iklan. Sementara itu untuk iklan Pantene, Informan A dan C
menyatakan dari visualisasi sudah bagus dan informan E sampai menggunakan produk
Pantene karena sudah membuktikan apa yang seperti divisualisasikan dalam iklan. Namun
informan D yang menganggap visualisasi dari iklan tersebut bohong atau menipu, ia tetap
menggunakannya. Sedangkan informan B mengatakan bahwa visualisasi dari iklan Pantene
tersebut adalah bohong dan menipu. Dari segit tata bahasa yag digunakan, iklan Pantene
menggunakan bahasa persuasif yang sesuai dan mudah diingat oleh informan. Namun
informan B tidak setuju dengan penggunaan tata bahasa karena dianggap menipu dan tidak
sesuai dengan kebutuhannya.
Penerimaan informan terhadap konsep kecantikan yang ditampilkan dalam iklan produk
kecantikan di televisi beragam pendapatnya. Informan B yang dengan tegas menolak dengan
konsep kecantikan yang ditampilkan dalam iklan produk kecantikan tersebut karena berbagai
faktor sebagai perbedaan faktor geografis daerah asal mereka dengan model iklan tersebut
seperti yang diungkapkan oleh informan yang berusia 23 tahun. Namun ada juga informan
seperti informan A, D dan E yang menganggap bahwa konsep kecantikan seperti itu
merupakan yang layak dan sesuai untuk ditampilkan dalam iklan produk kecantikan
meskipun secara konsep infroman tersebut sependapar dengan konsep kecantikan seperti
yang ditampilkan. Pada iklan Pond’s dan Pantene informan C menerima dengan konsep
cantik yang ditampilkan dalam iklan Pond’s sebagai kulit putih dan bertubuh langsing serta
berambut lurus panjang yang hanya dilihat dari fisiknya. Namun informan A, B, C dan E
yang tidak berpendapat sama dengan konsep cantik yang ada dalam iklan Pond’s, yang
menyatakan bahwa cantik bukan seperti apa yang ditampilkan dalam iklan tersebut dan
dengan latar belakang asal daerah dan faktor psikologis informan tersebut menyatakan bahwa
tidak harus sampai menjadi seperti cantik seperti dalam iklan. Sementara itu untuk konsep
12
kecantikan yang ditampilkan dalam iklan Pantene ada yang menerima dengan konsepnya
yang menggunakan beberapa model dengan karakter yang berbeda.
Penerimaan informan terhadap konsep kecantikan yang ada dalam media massa adalah
kesemua informan berpendapat bahwa realita yang ada dalam iklan bukanlah realita yang
nyata, karena konsep cantik sebagai putih seperti yang selama ini ditampilkan berbeda
dengan realita yang dialami oleh informan. Informan-informan tersebut beranggapan bahwa
kecantikan merupakan nilai yang ada dalam satu paket dimana tidak hanya dari fisik namun
cara berpikir dan bertindak akan membuat seseorang menjadi lebih cantik. Selain itu,
informan A juga menganggap bahwa cantik sebagai putih merupakan salah satu tindakan
rasisme yang seharusnya dapat dihindari karena luasnya negara Indonesia dan keberagaman
etnis yang terdapat di dalamnya, sehingga rasisme dan stereotip terhadap kelompok atau etnis
tertentu haruslah dihilangkan. Informan A, C dan D juga menambahkan bahwa wanita yang
cantik bukan hanya dari tampilan fisiknya saja, namun akan dianggap cantik apabila mereka
mampu merawat diri.
Dengan pemaparan tersebut peneliti menyimpulkan bahwa interpretasi penerimaan dan
pemaknaan informan dalam penelitian ini sangat beragam. Pemahaman yang berbeda dalam
memahami teks yang ada dalam media tersebut berkaitan dengan latar belakang dari
informan tersebut. Latar belakang tersebut meliputi seperti usia, pekerjaan, asal daerah, SES
dan agama selain itu juga faktor lain yang mempengaruhi seperti psikologi, sosial dan
lingkungan juga membuat penerimaan akan makna dan intrepretasi terhadap konsep
kecantikan yang ada dalam iklan Pond’s dan Pantene bahkan media massa berbeda-beda.
Keterbatasan waktu yang dimiliki oleh peneliti dan informan menggunakan teknik
wawancara mendalam hanya dengan 5 orang informan yang semuanya berjenis kelamin
perempuan dengan latar belakang yang sama yakni dari Indonesia timur. Padahal tidak
menutup kemungkinan bahwa yang menyaksikan iklan ini adalah laki-laki karena terpaan
iklan bisa ditujukan kepada siapa saja. Selain itu, untuk penelitian selanjutnya dapat pula
menggunakan informan dari kawasan Indonesia barat agar hasil akan lebih beragam karena
iklan pada umumnya ditayangkan di stasiun televisi nasional dimana terpaannya sampai pada
seluruh daerah di Indonesia tidak hanya Indonesia timur saja. Selain dari perbedaan daerah,
perbedaan latar belakang etnis dan asal daerah juga akan menciptakan variasi jawaban yang
berbeda-beda dari informan.
13
DAFTAR PUSTAKA
Burhan, M Bungin. (2008). Konstruksi Sosial Media Massa: Kekuatan Pengaruh Media
Massa dan Keputusan Konsumen serta Kritik Terhadap Peter L. Berger & Thomas
Luckmann. Jakarta: Kencana
Channey, David. (1996). Lifestyles. London: Routledge
Hollow, Joanne. (2010). Feminisme, Feminitas & Budaya Populer. Yogyakarta: Jalasutra
Ida, Rachmah. (2010). Metode Penelitian Studi Media dan Budaya. Surabaya.
Jackson, Stevi & Jones, Jackie (ed). (2009). Pengantar Teori-Teori Feminis Kontemporer.
Yogyakarta: Jalasutra
Jeffkins, Frank. (1996). Advertising (Periklanan). Jakarta: Airlangga
McQuail, Denis. (2000). Teori Komunikasi Massa. London : Sage Publications.
Moriarty, Sandra E (1991). Creative Advertising : Theory and Practice. New Jersey: Prentice
Hall
Prabasmoro, Aquarini Priyatna.(2003). Becoming White: Representasi Ras, Kelas, Feminitas,
dan Globalisasi dalam Iklan Sabun. Yogyakarta: Jalasutra
Storey, John. (2006). Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop: Pengantar Komprehensif,
Teori dan Metode. Yogyakarta: Jalasutra
Yulianto, Vissia Ita. (2007). Pesona Barat. Analisa Kritis Historis tentang Kesadaran Warna
kulit di Indonesia. Yogyakarta : Jalasutra
Jurnal Penelitian:
Bungin, M Burhan. (2007). Konstruksi Sosial Media Massa: Makna Realitas Sosial Iklan
Televisi dalam Masyarakat Kapitalistik.
Kasiyan,. (2008). Manipulasi dan Dehumanisasi Perempuan dalam Iklan. Yogya: Ombak
Noor, Irfan. Identitas Etnik dan Multikulturalisme
Majalah:
SWA sembada, “Pantene Genjot Program ACBP”, 18 Juli 2011
SWA sembada, “Merek-merek Terbaik dan Istimewa”, 18 Juli 2011
SWA sembada, “Pond’s Klaim Kuasai Market Share Lebih dari 50%”, 19 Juli 2011
Website:
http://neetatakky.blogspot.com/2011/07/hegemoni-media-terhadap-dominasi-global.html
http://newsprabuwanayasa.blogspot.com/2011/04/hegemoni-budaya.html
http://www.topbrand-award.com/top-brand-survey/survey-result/top-brand-teens-result2011/
14
Download