15 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Depresi 1. Pengertian Depresi Malhi & Bridges (1998) menjelaskan bahwa secara umum depresi merupakan kesedihan yang terus dirasakan oleh individu. Sebenarnya sedih merupakan bagian dari emosi yang normal dimiliki oleh individu yang mungkin terjadi karena perasaan kecewa atau akibat memperoleh suatu kegagalan. Rogers (MacDougal, 2002) menjelaskan bahwa depresi dalam pandangan humanistik merupakan rasa tertekan mendalam yang dimiliki individu karena inkongruensi antara diri sebenarnya dan diri ideal. Rogers lebih lanjut menyatakan bahwa kongruensi antara bagaimana individu benarbenar melihat diri sendiri dan bagaimana individu tersebut inginkan (diri ideal) merupakan elemen-elemen penting dari kesehatan mental (Rawlins et all, 1993). Apabila kedua evaluasi ini kongruen, maka seseorang biasanya dapat dikatakan sehat dan relatif berhasil dalam menyesuaikan diri. Namun jika tidak, maka seseorang akan mengalami berbagai bentuk ketidaknyamanan mental, seperti cemas, depresi dan memiliki harga diri yang rendah. Beck (1985) mendefinisikan depresi adalah suatu kondisi individu yang merasa begitu tertekan, hidupnya seakan tidak berarti serta tidak memiliki harapan. Artinya, depresi juga merupakan kompleks gangguan yang meliputi gangguan afeksi, kognisi, motivasi dan komponen perilaku. 16 McDowell & Newel (1996) mendefinisikan depresi sebagai keadaan abnormal organisme yang dimanifestasikan dengan tanda simptom-simptom seperti mood subjektif yang menurun, rasa pesimis dan sikap nihilistik, kehilangan kespontanan dan gejala vegetatif (seperti kehilangan berat badan dan gangguan tidur). Kondisi ini apabila tidak segera diatasi akan membuat tingkat depresi yang dialami individu semakin meningkat. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa depresi merupakan suatu kondisi individu yang merasa begitu tertekan, hidupnya seakan tidak berarti serta tidak memiliki harapan. 2. Ciri-Ciri Depresi Malhi & Bridges (1998) mengemukakan bahwa depresi secara klinis ditunjukkan dengan: a. Penampilan (appearance) dan tingkah laku (behavior). Umumnya individu yang mengalami depresi nampak dari kontak mata yang lambat dan redup, duduk dengan tubuh seperti tidur, dengan kepala tertunduk dan bahu lunglai. b. Kecepatan dalam berbicara (speech). Individu yang depresi sering bicara lambat dan cenderung pendiam serta suaranya monoton. Individu yang depresi juga sering menggunakan kata-kata yang minim dan lambat dalam memberikan respon terhadap pertanyaan yang diajukan. 17 c. Mood. Mood individu yang mengalami depresi cenderung menunjukkan mood yang berubah-ubah. Individu yang depresi umumnya menunjukkan kesedihan dan kehilangan harapan. Individu yang depresi juga sering apatis atau tidak peduli terhadap lingkungan. d. Kelelahan (fatigue) dan kehilangan energi (lethargy). Individu yang depresi umumnya mengalami kelelahan yang tibatiba karena semangat yang menurun secara tidak terkendali. Kehilangan energi (lethargy) juga sering terjadi. Lethargy sindrom adalah keadaan dimana individu merasa tidak bertenaga, lemas, lesu, merasa ngantuk serta mudah letih. Pada Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa atau PPDGJ III, dinyatakan bahwa seseorang menderita gangguan depresi ditandai dengan adanya kehilangan minat dan kegembiraan, berkurangnya energi yang menyebabkan seseorang tersebut mudah merasa lelah meskipun hanya bekerja ringan. Gejala lain yang sering muncul antara lain : a. Gejala utama (pada derajat ringan, sedang, berat). 1) Afek depresif. 2) Kehilangan minat dan kegembiraan. 3) Berkurangnya energi yang menuju keadaan mudah lelah (rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktifitas. b. Gejala lainnya: 1) Konsentrasi dan perhatian berkurang. 18 2) Harga diri dan kepercayaan berkurang. 3) Gagasan tentang perasaan bersalah dan tidak berguna. 4) Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis. 5) Gagasan atau perbuatan yang membahayakan diri atau bunuh diri. 6) Tidur terganggu (insomnia). 7) Nafsu makan berkurang. Beck (1985) menjelaskan bahwa terdapat ciri atau aspek depresi yaitu: a. Aspek emosional. 1) Perasaan kesal atau patah hati (dejected mood). Perasaan ini menggambarkan keadaan sedih, bosan dan kesepian yang dialami individu. Keadaan ini kondisinya bervariasi dari kesedihan sesaat hingga kesedihan yang terus-menerus. 2) Perasaan negatif terhadap diri sendiri. Perasaan ini berhubungan dengan perasaan sedih yang dijelaskan di atas, hanya bedanya perasaan ini khusus ditujukan kepada diri sendiri. 3) Hilangnya rasa puas. Maksudnya ialah kehilangan kepuasan atas apa yang dilakukan. Perasaan ini dapat terjadi pada setiap kegiatan yang dilakukan termasuk hubungan psikososial, seperti aktivitas yang menuntut adanya rasa tanggung jawab. 19 4) Hilangnya keterlibatan emosional dalam melakukan pekerjaan atau hubungan dengan orang lain. Hal ini dimanifestasikan dalam aktivitas, kurangnya perhatian atau rasa keterlibatan emosi terhadap orang lain. 5) Kecenderungan untuk menangis diluar kemauan. Gejala ini banyak dialami oleh penderita depresi. Terdapat rasa ingin menangis tanpa alasan yang jelas. 6) Hilangnya respon terhadap humor. Individu yang mengalami depresi tidak kehilangan kemampuan untuk mempersepsi lelucon, namun kesulitannya terletak pada kemampuannya untuk merespon humor tersebut dengan cara yang wajar. Orang yang depresi tidak terhibur, tertawa atau puas apabila mendengar lelucon. b. Aspek kognitif. 1) Rendahnya evaluasi diri. Hal ini nampak dari bagaimana individu yang depresi memandang dirinya. Biasanya ia akan menilai kemampuan dirinya rendah dalam hal prestasi, intelegensi, kesehatan, kekuatan, daya tarik, popularitas, dan sumber keuangannya. 2) Citra tubuh yang terdistorsi. Individu yang mengalami depresi biasanya akan merasa dirinya jelek dan tidak menarik. 20 3) Harapan yang negatif. Individu yang depresi akan mengharapkan hal-hal yang buruk terjadi serta menolak usaha untuk memperbaiki dirinya. 4) Menyalahkan dan mengkritik diri sendiri. Terdapat anggapan bahwa dirinya sebagai penyebab segala kesalahan serta cenderung mengkritik dirinya untuk segala kekurangan. 5) Keragu-raguan dalam mengambil keputusan. Hal ini merupakan karakteristik yang biasanya menjengkelkan orang lain atau individu yang mengalami depresi. Orang yang depresi umumnya sulit mengambil keputusan, memilih alternatif yang ada dan mengubah keputusan. c. Aspek motivasional. Aspek ini meliputi pengalaman yang disadari individu yaitu tentang usaha, dorongan, dan keinginan. Ciri utamanya adalah sifat regresif motivasi. Individu yang depresi juga cenderung menarik diri dari aktivitas yang menuntut adanya suatu tanggung jawab, inisiatif bertindak atau adanya energi yang kuat. d. Aspek gangguan fisik Aspek ini meliputi kehilangan nafsu makan, gangguan tidur, kehilangan libido, dan kelelahan yang sangat. Individu yang mengalami depresi biasanya mengalami rasa sedih, pesimis, membenci diri sendiri, kehilangan energi, kehilangan konsentrasi, dan kehilangan motivasi. Ciri 21 lainnya adalah kehilangan nafsu makan, berat badan menurun, insomnia, kehilangan libido, dan selalu ingin menghindari orang lain. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat ciri-ciri dari depresi yaitu adanya gangguan pada aspek emosional, kognitif, motivasional, serta gangguan fisik. Keempat aspek ini akan digunakan untuk memahami tingkat depresi pada pasien. 3. Proses Terjadinya Depresi Proses terjadinya dijelaskan secara detail dalam teori humanistik. Salah satu tokoh humanistik adalah Rogers yang berdasarkan pengalaman prakteknya menangani klien selama bertahun-tahun menjelaskan bahwa manusia pada dasarnya baik. Rogers (Alwisol, 2005) melihat kesehatan mental adalah penting dan butuh perjuangan untuk merealisasikannya. Lebih lanjut dirinya meyakini bahwa semua manusia berjuang sebaik-baiknya untuk menunjukkan keberadaannya. Dijelaskan lebih lanjut bahwa depresi terjadi karena adanya kesenjangan antara konsep diri real (self real) dengan konsep diri ideal (self ideal). Konsep struktural dalam teori kepribadian Rogerian (Alwisol, 2005) adalah self. Menurut Rogers, individu mempersepsikan objek eksternal serta pengalaman-pengalaman dan melekatkan makna pada hal tersebut. Rogers mengartikan medan fenomena sebagai keseluruhan pengalaman, baik yang internal maupun eksternal, baik yang disadari maupun yang tidak disadari. Medan fenomena merupakan seluruh pengalaman pribadi seseorang sepanjang hidupnya. Lama kelamaan, sebagian dari medan fenomenal ini 22 menjadi terpisah. Inilah yang disebut sebagai diri atau konsep-diri. Konsep diri (self concept) mewakili suatu pola persepsi yang konsisten dan terorganisir. Implikasinya, ada dua poin yang penting mengenai self yaitu self menampilkan suatu kerangka persepsi yang terorganisir, dan self-concept merupakan sesuatu yang terjadi pada kesadaran (conscious). Konsep struktural yang berkaitan juga adalah ideal self. Ideal self adalah self concept yang paling ingin dimiliki oleh individu, mencakup persepsi dan makna yang relevan dengan self dan sangat dihargai atau dijunjung oleh individu. Apabila apa yang menjadi harapan diri tidak sesuai dengan kenyataannya, maka dapat menimbulkan kegelisahan dalam diri individu tersebut dan menjadi depresi. Morgado (2014) menjelaskan bahwa condition of worth muncul ketika positive regard dari orang-orang yang berarti bagi diri individu, memberikan syarat (condition). Condition of worth tersebut menstimulus inkongruensi antara self dan pengalaman yang akhirnya mewujudkan kerentanan (vulnerability). Akibatnya individu mengembangkan kekakuan (rigidity) persepsi. Ini akan membuat individu mengalami ketegangan saat self real dan self ideal memiliki jarak. Stankovice et all (2015) menekankan bahwa individu yang memiliki inkongruensi antara self dengan pengalaman menyebabkan dirinya akan sulit menerima kondisi diri secara apa adanya. Individu tersebut umumnya cenderung perfeksionis artinya dapat membuat kesenjangan antara self ideal dengan self real menjadi suatu masalah yang berat baginya dan mudah mengalami depresi. Aditomo dan Retnowati (2004) juga mengemukakan 23 bahwa perfeksionis dan harga diri mampu mempengaruhi depresi. Semakin individu tersebut memiliki perfeksionis yang tinggi, maka semakin tinggi juga depresi yang dirasakannya. Dipahami bahwa inkongruensi antara self dengan pengalaman membuat kesenjangan antara ideal self adalah self concept semakin jauh. Kesenjangan tersebut karena disebabkan keinginan individu untuk selalu sempurna atau sulit menerima kekurangan atau kenyataan yang tidak sesuai harapannya. Proses terbentuknya depresi nampak pada gambar berikut : Individu Self condition of worth Inkongruensi antara self dengan pengalaman Konsep Diri Real (Self Real) Konsep Diri Ideal (Self Ideal) Depresi Gambar 3.1. Kerangka Teoritis Terbentuknya Depresi Nampak dari gambar di atas bahwa proses terjadinya depresi diawali dengan self condition of worth. Kondisi ini muncul ketika positive regard dari orang-orang yang berarti bagi diri individu, memberikan syarat (condition). Condition of worth tersebut menstimulus inkongruensi antara self 24 dan pengalaman yang akhirnya mewujudkan kerentanan (vulnerability). Inkongruensi tersebut selanjutnya menyebabkan adanya kesenjangan antara konsep diri real (self real) dengan konsep diri ideal (self ideal). Semakin senjang konsep diri real (self real) dengan konsep diri ideal (self ideal) akan semakin tinggi tingkat depresi individu. 4. Alat Tes untuk Mengukur Tingkat Depresi Terdapat beberapa alat tes yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat depresi yang dialami oleh individu, antara lain : a. Skala Nilai Depresi dari Hamilton atau Hamilton Depression Rating Scale (HDRS) Skala Nilai Depresi dari Hamilton atau Hamilton Depression Rating Scale (HDRS) adalah rating skala yang pertama dikembangkan untuk mengukur beratnya gejala depresi. Pertama kali diperkenalkan oleh Max Hamilton tahun 1960 yang kemudian secara luas digunakan dan diterima untuk mengevaluasi beratnya depresi. HDRS terdiri dari 21 aitem pernyataan dengan fokus primer pada gejala somatik. HDRS selanjutnya dijadikan standar pengukuran evaluasi depresi pada percobaan klinis perusahaan farmasi untuk persetujuan obat baru oleh FDA (Food and Drug Administration) juga digunakan sebagai evaluasi utama ‘National Institute of Mental Health’ untuk membandingkan farmakoterapi dengan psikoterapi dalam mengobati depresi (Idrus, 2016). 25 b. Skala Depresi Geriatri atau Geriatri Depression Scale (GDS) Salah satu instrumen yang dapat membantu mengukur tingkat depresi adalah GDS (Geriatri Depression Scale). GDS adalah suatu kuesioner, terdiri dari 30 pertanyaan yang harus dijawab. GDS ini dapat dimampatkan menjadi hanya 15 pertanyaan yang harus dijawab. Sederhana saja, hanya dengan “Ya atau Tidak”, suatu bentuk penyederhanaan dari skala yang mempergunakan lima rangkai respon kategori. Skala ini mendapatkan angka dengan memberi satu pokok untuk masing-masing jawaban yang cocok dengan apa yang ada dalam sintesa di belakang pertanyaan tertulis tersebut. Angka akhir antara 10 sampai 11, biasanya dipergunakan sebagai suatu tanda awal untuk memisahkan pasien tersebut masuk ke dalam kelompok depresi atau kelompok non depresi. Menurut Gallo (1998), secara umum terdapat 15 pertanyaan yang harus diajukan pada lansia dalam instrumen Geriatri Depression Scale (GDS) adalah sebagai berikut : 1. Apakah anda sebenarnya puas dengan kehidupan anda ? 2. Apakah anda telah banyak menghentikan aktivitas dan minat – minat anda ? 3. Apakah anda merasa kehidupan anda kosong ? 4. Apakah anda sering merasa hidup anda bosan ? 5. Apakah anda mempunyai semangat yang baik setiap saat ? 26 6. Apakah anda takut bahwa sesuatu yang buruk akan akan terjadi pada anda ? 7. Apakah anda merasa bahagia untuk sebagian besar hidup anda ? 8. Apakah anda sering merasa tidak berdaya ? 9. Apakah anda lebih senang tinggal di rumah dari pada pergi ke luar dan mengerjakan sesuatu hal yang baru ? 10. Apakah anda merasa mempunyai banyak masalah dengan daya ingatan anda dibandingkan kebanyakan orang ? 11. Apakah anda pikir bahwa hidup anda sekarang ini menyenangkan ? 12. Apakah anda merasa tidak berharga seperti perasaan anda saat ini ? 13. Apakah anda merasa penuh semangat ? 14. Apakah anda merasa bahwa keadaan anda tidak ada harapan ? 15. Apakah anda pikir bahwa orang lain lebih baik keadaannya dari pada anda ? Menurut Yesavage & Brink (Gallo, 1998), penentuan skornya adalah skor 20-40 kategori tidak ada depresi, skor 41-60 kategori depresi ringan, skor 61-80 kategori depresi sedang, dan skor 81-100 kategori depresi berat. c. The Beck Depression Inventory (BDI-II) BDI merupakan alat tes yang digunakan untuk membantu mengungkapkan tingkat depresi seseorang. Alat ukur tersebut dibuat oleh Beck pertama kali pada tahun 1976. Pada tahun 1996 BDI direvisi dengan tujuan untuk menjadi lebih konsisten dengan kriteria DSM-IV. Beck et all 27 (1996) memberi nama hasil revisi tersebut dengan BDI-II. Alat ukur ini dibuat untuk digunakan pada individu usia 13 tahun ke atas. Contoh perevisian BDI-II antara lain adalah responden diminta untuk merespon setiap pernyataan berdasarkan periode waktu dua minggu bukan satu minggu seperti jangka waktu dalam BDI. Alasan perevisian ini adalah agar sesuai dengan kriteria depresi pada DSM-IV yang menyatakan bahwa untuk mendiagnosis depresi, sedikitnya gejala depresi telah ada selama 2 minggu berturut-turut (American Psychology Association, 2000). Pada BDI responden diminta untuk merespon pertanyaan berdasarkan perasaannya selama satu minggu terakhir, maka pada BDI-II responden diminta untuk merespon pertanyaan berdasarkan perasaannya selama dua minggu terakhir. BDI-II terdiri dari 21 aitem untuk menaksir intensitas depresi pada orang yang sehat maupun sakit secara fisik. Setiap aitem terdiri dari empat pernyataan yang mengindikasikan gejala depresi tertentu. Gejala-gejala tersebut yaitu mengenai kesedihan, pesimisme, kegagalan masa lalu, kehilangan kesenangan, perasaan bersalah, perasaan hukuman, tidak menyukai diri, kegawatan diri, pikiran atau keinginan untuk bunuh diri, menangis, agitasi, kehilangan minat, keraguan, tidak berharga, kehilangan energi, perubahan pola tidur, lekas marah, perubahan nafsu makan, kesulitan konsentrasi, kelelahan dan kehilangan ketertarikan untuk melakukan hubungan seks. 28 Aitem yang terdapat dalam BDI-II juga dikembangkan untuk menaksir gejala depresi individu berdasarkan kriteria dalam DSM-IV, antara lain aitem pada skala BDI-II yang menggantikan aitem mengenai gejala kehilangan berat tubuh, perubahan citra tubuh dan keterpakuan somatis pada BDI. Aitem lainnya dari BDI mengenai kesulitan dalam bekerja juga digantikan dengan aitem mengenai kehilangan energi pada BDI-II. Perubahan selanjutnya yaitu aitem mengenai kehilangan waktu tidur dan selera makan pada BDI juga diubah dengan menambah dua pilihan pernyataan pada BDI-II yaitu meningkat atau menurunnya pola tidur dan pola makan. Pada tahun 2013 alat ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Dr. Henndy Ginting untuk disertasi S3-nya di Radboud University dan telah dibuktikan dapat dijadikan alat ukur yang valid untuk mengukur depresi pada masyarakat Indonesia. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa alat tes yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat depresi, antara lain adalah Skala Nilai Depresi dari Hamilton atau Hamilton Depression Rating Scale (HDRS), Skala Depresi Geriatri atau Geriatri Depression Scale (GDS), dan The Beck Depression Inventory atau BDI-II. 5. Faktor dan Penyebab Depresi Menurut Ferster (dalam Hall, 2009) depresi dapat timbul karena: a. Perubahan lingkungan seperti anggota keluarga atau kehilangan pekerjaan dapat membatasi (reinforcement) yang diterima individu. 29 Individu yang menyandarkan diri pada satu atau dua reinforcement akan cenderung mudah terserang depresi karena kurangnya reinforcement. b. Ditinjau dari perilaku menghindar, depresi muncul pada saat usaha menghindar di lingkungan menjadi kuat. Menurut Kaplan (dalam Kartono, 2002) faktor-faktor yang menyebabkan depresi adalah: a. Faktor Biologi. Faktor biologi berkaitan dengan kondisi biologis individu. Norepinefrin dan serotonin merupakan dua neurotransmitter yang paling berperan dalam patofisiologi gangguan mood. Terdapat dalam beberapa hasil peneliti juga bahwa gangguan mood melibatkan patologik dan sistem limbiks serta ganglia basalis dan hypothalamus. b. Faktor Genetik. Faktor genetik juga merupakan salah satu yang dapat menyebabkan permasalahan dalam perkembangan gangguan mood. Diketahui bahwa pada penelitian anak kembar terhadap gangguan depresi berat, pada anak kembar monozigot adalah 50 %, sedangkan dizigot 10-25%. c. Faktor Psikososial Faktor psikososial banyak diteliti oleh ahli psikologi. Feist & Feist (2010) menjelaskan bahwa faktor psikososial yang menyebabkan terjadinya depresi antara lain: 30 1) Peristiwa kehidupan dan stres lingkungan. 2) Rasa ketidakberdayaan yang dipelajari dari lingkungan. Bandura (1999) menyatakan bahwa depresi dapat terjadi karena salah satu dari tiga sub fungsi regulasi diri tidak berfungsi atau mengalami disfungsi. Ketiga fungsi regulasi diri tersebut adalah (Bandura, 1994): a. Observasi Individu saat melakukan observasi dapat salah dalam menilai performanya sendiri atau mendistorsi ingatan mengenai pencapaian di masa lalu. Individu yang depresi cenderung untuk membesarbesarkan kesalahan dimasa lalu, dan mengecilkan pencapaian terdahulu. Kondisi ini apabila berkelanjutan cenderung akan meningkatkan depresi yang dialaminya. b. Proses penilaian Individu yang depresi lebih mungkin melakukan penilaian yang salah. Dirinya menentukan standar yang tidak realistis dan sangat tinggi, sehingga pencapaian pribadi apapun akan dinilai sebagai kegagalan. Apabila telah mencapai kesuksesan dimata orang lain, individu itu terus mengkritik performanya. Depresi lebih mungkin terjadi pada orang yang menentukan tujuan dan standar personal yang jauh lebih tinggi daripada persepsi kemampuan untuk mencapai halhal tersebut. 31 c. Reaksi diri Reaksi diri individu yang depresi tidak hanya menilai dirinya negatif, namun juga cenderung memperlakukan diri dengan buruk karena keterbatasan-keterbatasan yang dimilikinya. Teori Kognitif Beck menunjukkan perhatian gangguan kognitif pada depresi, dengan mengidentifikasikan tiga pola kognitif utama pada depresi atau triad kognitif, yaitu (Kartono, 2002): a. Pandangan negatif terhadap masa depan. b. Pandangan negatif terhadap diri sendiri, individu menganggap dirinya tidak mampu, bodoh, pemalas, dan tidak berharga. c. Pandangan negatif terhadap pengalaman hidup. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa faktor dan penyebab depresi, faktor biologi seperti adanya perubahan hormon yang menyebabkan mood menjadi terganggu, faktor genetik yaitu gen yang dimiliki sejak lahir, faktor psikososial, dan faktor kognitif. Contoh dari faktor psikososial adalah perubahan lingkungan, kepribadian premorbid, ketidakberdayaan yang dipelajari, observasi terhadap lingkungan yang salah dan penilaian yang salah terhadap diri, serta reaksi diri. Contoh dari faktor kognitif adalah pandangan negatif terhadap masa depan, pandangan negatif terhadap diri sendiri, individu menganggap dirinya tidak mampu, bodoh, pemalas, dan tidak berharga, pandangan negatif terhadap pengalaman hidup. 32 6. Treatment untuk Penurunan Depresi Terdapat beberapa treatment yang dapat digunakan untuk menurunkan tingkat depresi pada individu. Treatment tersebut antara lain adalah : a. Terapi Kognitif Terapi kognitif adalah aplikasi dari berbagai variasi teori belajar dalam kehidupan, adapun tujuan dari terapi kognitif tersebut adalah untuk menolong seseorang keluar dari kesulitan dalam berbagai bidang kehidupan dan pengalaman (Yosep, 2011). Terapi kognitif umumnya adalah terapi jangka pendek yang dilakukan secara teratur dengan cara memberikan dasar berfikir bagi klien untuk mengekspresikan perasaan negatif, memahami masalah serta mampu mengatasi perasaan negatifnya dan mampu memecahkan masalah tersebut (Prasetyo, 2010). Martin (2010) lebih lanjut mengemukakan bahwa terapi perilaku kognitif adalah suatu terapi psikososial yang mengintegrasikan modifikasi perilaku. Terapi kognitif menggunakan beberapa strategi untuk memodifikasi keyakinan dan sikap yang mempengaruhi perasaan dan perilaku klien. Ketika seseorang mempunyai pandangan negatif terhadap diri sendiri, dunia dan masa depan mereka cenderung mengolah keyakinan yang tidak masuk akal tentang kemampuannya dan hubungan dengan orang lain. Hasil dari persepsi dan distorsi yang salah satu ini ditandai oleh harapan yang tidak realistis terhadap diri dan orang lain, metode koping yang tidak efektif dan pandangan tentang diri sendiri sebagai orang yang tidak mampu. Tujuan utama dari terapi kognitif 33 adalah membantu klien utuk mengembangkan pola pikir yang rasional, terlibat dalam uji realitas dan membentuk kembali perilaku dengan mengubah pesan-pesan internal. Intervensi dasar meliputi pengajaran subsitusi atau penggantian pikiran, penyelesaian masalah dan cara memodifikasi percakapan diri sendiri yang negatif, mulai bermain peran dan mencontohkan strategi koping (Copel, 2007). Beberapa teknik terapi kognitif : 1) Cognitive Therapy (CT) Cognitive Therapy dikembangkan oleh Aaron T. Beck pada tahun 1960 seorang psikiatris Amerika di University of Pennsylvania. Pada awalnya Beck dan Ellis adalah psikoanalis. Beck (1985) menemukan bahwa kognisi pasien memilik dampak yang luar biasa terhadap perasaan dan perilaku pasien tersebut. Kesulitan emosional dan perilaku yang dialami seseorang dalam hidup disebabkan oleh cara individu tersebut menginterpretasikan dan memahami berbagai peristiwa. Beck (1985) mengemukakan apa yang disebut model distorsi kognitif. Pengalaman berupa ancaman akan berakibat hilangnya kemampuan memproses informasi secara efektif (distorsi kognitif) atau situasi yang mengancam dapat menyebabkan tekanan psikologis. Pemrosesan kognitif normal tidak berjalan sempurna. Persepsi dan interpretasi terhadap suatu situasi menjadi sangat selektif, egosentris, dan rigid. Fungsi korektif (mengetes realitas dan penyaringan konseptualisasi global) melemah. Penurunan 34 kemampuan untuk “mematikan” pemikiran menyimpang. Penurunan kemampuan untuk berkonsentrasi terhadap pemikirannya. Penurunan kemampuan untuk mengingat pemikirannya. Penurunan kemampuan untuk menjelaskan pemikirannya. 2) Cognitive Behavioral Therapy (CBT) Tujuan terapi kognitif perilaku membantu seseorang memutus lingkaran pikiran negatif, perasaan, dan perilaku. Membantu seseorang mengubah bagaimana cara dia berpikir (kognitif) dan apa yang dia lakukan (perilaku). Pada terapi ini terapis membantu mengatasi kesulitan dalam menghentikan ketidak-produktifan, pikiran atau kepercayaan yang mengganggu dan memperoleh pikiran yang lebih konstruktif. Terapi ini efektif apabila terapis mengajarkan individu untuk melatih rule yang menunjukkan perilaku spesifik yang bisa dijaga dalam lingkungan alamiahnya. Terapi ini tidak efektif apabila rule tidak menunjukkan perilaku spesifik yang mengarah pada akibat yang dapat langsung dirasakan yang berasal dari lingkungan alamiahnya, serta individu mempunyai kekurangan dalam perilaku yang dispesifkasikan oleh rule. 3) Rational Emotive Behaviour Theraphy atau REBT Rasional Emotive Behavior Therapy (REBT) sebelumnya disebut rational therapy dan rational emotive therapy, merupakan terapi yang komprehensif, aktif-direktif, filosofis dan empiris berdasarkan psikoterapi yang berfokus pada penyelesaian masalah- 35 masalah gangguan emosional dan perilaku, serta menghantarkan individu untuk lebih bahagia dan hidup yang lebih bermakna (fulfilling lives) (Palos et all, 2015). REBT diciptakan dan dikembangkan oleh Albert Ellis (1950an), seorang psikoterapis yang terinspirasi oleh ajaran-ajaran filsuf Asia, Yunani, Romawi dan modern yang lebih mengarah pada teori belajar kognitif. Asal-usul terapi rasional-emotif dapat ditelusuri dengan filosofi dari Stoicisme di Yunani kuno yang membedakan tindakan dari interpretasinya. Epictetus dan Marcus Aurelius dalam bukunya “The Enchiridion”, menyatakan bahwa manusia tidak begitu banyak dipengaruhi oleh apa yang terjadi pada dirinya, melainkan bagaimana manusia memandang/menafsirkan apa yang terjadi pada dirinya (People are not disturbed by things, but by the view they take of them). Pada mulanya Ellis menggunakan psikoanalisis dan person-centered therapy dalam proses terapi, namun dirinya merasa kurang puas dengan pendekatan dan hipotesis tingkah laku klien yang dipengaruhi oleh sikap dan persepsi mereka. Hal inilah yang memotiviasi Ellis mengembangkan pendekatan rational emotive dalam psikoterapi yang ia percaya dapat lebih efektif dan efisien dalam memberikan efek terapeutik. Ellis mengembangkan teori A-B-C, dan kemudian dimodifikasi menjadi pendekatan A-B-C-D-E-F yang digunakan untuk memahami kepribadian dan untuk mengubah kepribadian secara efektif. Pada tahun 1990-an, Ellis mengganti nama pendekatan 36 tersebut dengan Rasional Emotive Behavior Therapy atau yang biasa kita singkat menjadi REBT. REBT menunjukkan bahwa manusia mengalahkan diri atau 'mengganggu' dengan dua cara yaitu memegang keyakinan irasional tentang 'diri sendiri (self) disebut “ego disturbance” (gangguan ego) serta memegang keyakinan irasional tentang kenyamanan emosional atau fisik disebut “discomfort disturbance” (gangguan ketidaknyamanan). 4) Dekatastropik Teknik Dekatastropik di kenal juga dengan teknik ‘bila dan apa’. Hal ini meliputi upaya menolong klien untuk melakukan evaluasi terhadap situasi dimana klien mencoba memandang masalahnya secara berlebihan dari situasi alamiah untuk melaih beradaptasi dengan hal terburuk dengan apa-apa yang mungkin terjadi. Pertanyaan-pertanyaan yang dapat diajukan terapis adalah: apa hal terburuk yang terjadi bila...?, dan apakah akan gawat sekali bila hal tersebut memang betulbetul terjadi.... ?, serta tindakan pemecahan masalah apa bila hal tersebut benar-benar terjadi ?. Tujuan dari tehnik dekatastropik adalah untuk menolong klien melihat konsekuensi dari kehidupan. 5) Reframing Reframing adalah strategi dalam merubah persepsi klien terhadap situasi atau perilaku. Hal ini meliputi memfokuskan terhadap sesuatu atau aspek lain dari masalah atau mendukung klien untuk melihat 37 masalahnya dari sudut pandang yang lain. Klien seringkali melihat masalah hanya dari satu sudut pandang saja. Tehnik ini memberi kesempatan pada klien untuk merubah dan menemukan makna baru dan merubah perilaku klien. b. Pelatihan Penerimaan Diri Terdapat empat jurnal yang mengemukakan bahwa hal yang dapat dilakukan untuk menurunkan depresi adalah penerimaan diri. Hal ini dijelaskan dalam jurnal yang dikemukakan oleh Stankovice et all (2015), Flett et all (2003), Vasile (2013) maupun Angelia (2015). Hasil penelitian Stankovice et all (2015) menjelaskan bahwa terdapat korelasi antara keinginan untuk sempurna dan depresi yang dimoderatori oleh toleransi terhadap frustasi dan penerimaan diri. Hasil penelitian Flett et all (2003) menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara dimensi perfeksionis berupa orientasi diri, orientasi terhadap lingkungan, dan tekanan sosial dengan unconditional self-acceptance. Uconditional self-acceptance juga berkorelasi dengan depresi. Vasile (2013) dalam penelitiannya yang berjudul “An Evaluation of Self-Acceptance in Adults” menjelaskan bahwa setiap individu memiliki penerimaan diri yang berbeda-beda. Kesehatan mental termasuk depresi akan dipengaruhi oleh penerimaan diri yang dimilikinya. Hasil penelitian ini juga menyimpulkan bahwa implikasi dari penerimaan diri lainnya adalah dampak sosial. Hasil penelitian Angelia (2015) menunjukkan bahwa 38 adanya pelatihan penerimaan diri mampu menurunkan tingkat depresi pada pasien depresi. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa treatment yang dapat digunakan untuk menurunkan depresi. Treatment tersebut antara lain adalah terapi kognitif serta pelatihan penerimaan diri. Alasan peneliti menggunakan pelatihan penerimaan diri untuk menurunkan depresi adalah karena subjek penelitian adalah pasien gangguan depresi dengan status remisi. Vasile (2013) menjelaskan bahwa treatment kognitif sesuai untuk digunakan bagi subjek yang secara kognitif baik dan tingkat depresinya rendah. Namun jika subjek sudah mengalami depresi tinggi atau masuk dalam rawat inap di rumah sakit, maka sebaiknya menggunakan pelatihan penerimaan diri. B. Pelatihan Penerimaan Diri (Self-Acceptance) 1. Definisi Penerimaan Diri Menurut Supratiknya (2005) menerima diri adalah memiliki penghargaan yang tinggi terhadap diri sendiri, atau tidak bersikap merendahkan terhadap diri sendiri. Ini berarti seseorang yang mampu menerima dirinya mampu melihat kebaikan sekaligus kekurangan yang ada di dirinya. Penghargaan yang tinggi bukan berarti memiliki sikap tinggi hati, melainkan dapat menghargai diri sendiri beserta kekurangan dan kelebihannya. Individu yang menghargai dirinya tidak akan mencela diri atas kekurangan yang dimiliki. 39 Morgado (2014) menjelaskan bahwa penerimaan diri merupakan kemauan yang ada dalam diri untuk mengakui dan menerima diri apa adanya diawali proses mengetahui kelebihan, kekurangan, dan atribut pribadi lainnya, sehingga individu mampu membandingkan antara dirinya yang ideal dengan yang nyata atau riil. Adanya pemahaman tentang kelebihan dan kekurangan diri membuat individu menerima dirinya secara utuh karena menyadari bahwa tidak ada individu yang sempurna. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penerimaan diri adalah kemauan individu agar dapat mengakui dan menerima diri apa adanya. Hal ini diawali proses mengetahui kelebihan, kekurangan, dan atribut pribadi lainnya, sehingga individu mampu menerima kondisi dirinya secara apa adanya. 2. Aspek-aspek Penerimaan Diri Aspek-aspek yang terkandung dalam penerimaan diri, menurut Jersild (Agoes, 2007) adalah : a. Persepsi mengenai diri dan sikap terhadap penampilan. Individu yang memiliki penerimaan diri berpikir lebih realistik tentang penampilan dan bagaimana dirinya terlihat dalam pandangan orang lain. Ini bukan berarti individu tersebut mempunyai gambaran sempurna tentang dirinya, melainkan individu tersebut dapat melakukan sesuatu dan berbicara dengan baik mengenai dirinya yang sebenarnya. 40 b. Sikap terhadap kelemahan dan kekutan diri sendiri dan orang lain. Individu yang memiliki penerimaan diri memandang kelemahan dan kekuatan dalam dirinya lebih baik daripada individu yang tidak memiliki penerimaan diri. Individu tersebut kurang menyukai jika harus menyia-nyiakan energinya untuk menjadi hal yang tidak mungkin, atau berusaha menyembunyikan kelemahan dari dirinya sendiri maupun orang lain. Individu tersebut juga terus memanfaatkan kemampuan yang dimilikinya. Dirinya menggunakan bakat yang dimilikinya dengan lebih leluasa. Individu yang bersikap baik pula dalam menilai kelemahan dan kekuatan dirinya akan bersikap baik pula dalam menilai kelemahan dan kekuatan orang lain. c. Perasaan inferioritas sebagai gejala penolakan diri. Seseorang individu yang terkadang merasakan infeoritas atau disebut dengan inferiority complex adalah seseorang individu yang tidak memiliki sikap penerimaan diri yang baik yang ditunjukkan dengan kurang mampu menerima realita yang ada. d. Respon atas penolakan dan kritikan. Individu yang memiliki penerimaan diri positif tidak menyukai kritikan, namun demikian ia mempunyai kemampuan untuk menerima kritikan bahkan dapat mengambil hikmah dari kritikan tersebut. Dirinya berusaha untuk melakukan koreksi atas dirinya sendiri, ini merupakan hal yang penting dalam perkembangannya menjadi seorang individu dewasa dan dalam mempersiapkan diri untuk menghadapi masa depan 41 individu yang tidak memiliki penerimaan diri justru menganggap kritikan sebagai wujud penolakan terhadapnya. Hal terpenting dalam penerimaan diri yang baik adalah mampu belajar dari pengalaman dan meninjau kembali sikapnya yang terdahulu untuk memperbaiki diri. Dirinya merasa mampu melakukan perbaikan diri dan yakin akan kemampuannya. e. Keseimbangan antara “real self” dan “ideal self”. Individu yang memiliki penerimaan diri adalah yang mempertahankan harapan dan tuntutan dari dalam dirinya dengan baik dalam batas-batas kemungkinan individu ini mungkin memiliki ambisi yang besar, namun tidak mungkin untuk mencapainya walaupun dalam jangka waktu yang lama dan menghabiskan energinya. Hal ini untuk memastikan agar tidak akan kecewa saat nantinya. f. Penerimaan diri dan penerimaan orang lain. Apabila seorang individu menyanyangi dirinya, maka akan lebih memungkinkan baginya untuk menyayangi orang lain, dan apabila seorang individu merasa benci pada dirinya, maka akan lebih memungkinkan untuk merasa benci pada orang lain. Terciptanya hubungan timbal balik antara penerimaan diri dan penerimaan orang lain adalah individu yang memiliki penerimaan diri merasa percaya diri dalam memasuki lingkungan sosial. 42 Aspek penerimaan diri menurut Morgado (2014) ada tiga yaitu: a. Penerimaan terhadap kondisi tubuh (body acceptance). Setiap individu memiliki kondisi tubuh yang berbeda-beda. Individu yang mampu menerima dirinya dapat dilihat dari indikator tanggapannya terhadap kondisi fisik yang dimilikinya. Bentuk tubuh, tinggi badan dan kelengkapan tubuh bagi individu yang penerimaan dirinya tinggi akan diterimanya dengan suka cita. b. Proteksi diri dari stigma sosial (self protection from social stigmas). Setiap individu bebas memiliki penilaian terhadap individu lain. Individu yang penerimaan dirinya tinggi akan menanggapi stigma sosial yang ada secara bijaksana. Artinya dirinya tidak mudah terpengaruh dengan pandangan buruk masyarakat terhadapnya. c. Rasa percaya pada kemampuan yang dimiliki (feeling and believing in one’s capacities). Rasa percaya pada kemampuan yang dimiliki merupakan keyakinan individu pada kemampuan yang dimiliki untuk melakukan suatu usaha menuju masa depan yang lebih baik. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa aspek penerimaan diri yaitu persepsi mengenai diri dan sikap terhadap penampilan, sikap terhadap kelemahan dan kekuatan diri sendiri dan orang lain, perasaan infeoritas sebagai gejala penolakan diri, respon atas penolakan dan kritikan, keseimbangan antara “real self” dan “ideal self”, penerimaan diri dan penerimaan orang lain, penerimaan terhadap 43 kondisi tubuh (body acceptance), proteksi diri dari stigma sosial (self protection from social stigmas), serta rasa percaya pada kemampuan yang dimiliki (feeling and believing in one’s capacities). Aspek yang digunakan untuk penerimaan diri adalah aspek milik Morgado (2014) yaitu penerimaan terhadap kondisi tubuh (body acceptance), proteksi diri dari stigma sosial (self protection from social stigmas), serta rasa percaya pada kemampuan yang dimiliki (feeling and believing in one’s capacities). Alasan dipilihnya aspek tersebut karena sebagaimana yang dikemukakan Angelia (2015) aspek tersebut sesuai untuk subjek yang mengalami gangguan mental. 3. Pelatihan Penerimaan Diri Kata pelatihan digunakan karena pada individu akan diajarkan suatu perilaku baru yang bersifat praktis, yaitu keterampilan yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari dan dipelajari dalam waktu singkat. Prinsip belajar yang dipakai dalam pelatihan adalah prinsip belajar orang dewasa. Pada kegiatan pelatihan, tanggung jawab akan proses belajar sepenuhnya berada di tangan peserta. Hal ini sebagaimana proses belajar, aspek yang dituju bukan hanya aspek kognitif, namun juga aspek afektif dan psikomotor. Perubahan yang meliputi ketiga aspek tersebut akan tercapai apabila peserta pelatihan dilibatkan dalam proses, melalui bermain peran, dan bukan hanya dengan mendemontrasikan beberapa keterampilan saja. Disamping itu, demontrasi atas contoh-contoh yang diberikan akan lebih efektif apabila contoh itu berupa persoalan-persoalan yang nyata serta berhubungan dengan peserta dan 44 langsung dalam diri peserta. Hal tersebut menyebabkan dalam pelatihan, peserta tidak sekedar diajari tetapi diberi motivasi untuk mencari pengetahuan, keterampilan, perilaku yang lebih baru dengan menggali sumber daya dalam dirinya (Larasati, 2009). Pelatihan berkaitan erat dengan masalah belajar, artinya belajar adalah suatu proses atau adanya usaha dimana suatu organisme berubah perilakunya sebagai akibat dari pengalaman karena adanya interaksi dengan lingkungan. Perubahan perilaku sebagai hasil dari pengalaman merupakan hasil belajar. Penggunaan pelatihan sebagai salah satu bentuk kegiatan belajar diharapkan dapat merubah perilaku, yang disebabkan adanya penghayatan pengalaman dalam mengikuti pelatihan (Angelia, 2015). Anastasi (2002) mendefinisikan pelatihan dalam arti sempit merupakan keterampilan atau informasi tertentu, sedangkan dalam arti luas latihan merupakan upaya pengembangan seperti usaha yang dilakukan dalam dunia pendidikan. Pelatihan harus dikembangkan melalui tiga langkah yaitu: 1) analisa tugas, yaitu menetapkan materi yang harus dipelajari; 2) penyusunan tahapan latihan, yaitu pemilihan teknik dan media instruksi; 3) evaluasi latihan, yaitu untuk mengetahui pencapaian tujuan yang ditetapkan. Pelatihan merupakan kumpulan rencana yang teratur dari pengalaman pendidikan untuk melakukan modifikasi. Setiap pelatihan terdapat beberapa komponen yang perlu dipenuhi yaitu sasaran pelatihan, pelatih, bahan pelatihan, metode pelatihan, media pelatihan, dan peserta yang masing-masing saling mempengaruhi dan menunjang keberhasilan pelatihan. 45 Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pelatihan adalah pengajaran pada individu tentang suatu perilaku baru yang bersifat praktis, yaitu keterampilan yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari dan dipelajari dalam waktu singkat. Kegiatan pelatihan membutuhkan tanggung jawab dari peserta akan proses belajar. Kondisi ini menunjukkan bahwa dalam pelatihan aspek yang dituju bukan hanya aspek kognitif, namun juga aspek afektif dan psikomotor. Salah satu pelatihan yang dapat dilakukan adalah pelatihan penerimaan diri. Flett et all (2003) menjelaskan bahwa penerimaan diri diartikan sebagai sikap seseorang yang merasa puas dengan diri sendiri, kualitas-kualitas, dan bakat-bakatnya sendiri, serta pengakuan akan keterbatasan diri. Ada dua hal penting dalam arti penerimaan diri tersebut, pertama adanya perasaan puas terhadap apa yang telah dimiliki sedangkan kedua adalah adanya pengakuan akan keterbatasan yang dimilikinya. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pelatihan penerimaan diri adalah mengajarkan suatu perilaku baru yang bersifat praktis dan dipelajari dalam waktu singkat yang ditujukan untuk menumbuhkan kemauan individu agar dapat mengakui dan menerima diri apa adanya. Hal ini diawali proses mengetahui kelebihan, kekurangan, dan atribut pribadi lainnya, sehingga individu mampu menerima kondisi dirinya secara apa adanya. 46 4. Langkah-langkah Pelatihan Penerimaan Diri Sharon (2015) menjelaskan bahwa terdapat langkah-langkah untuk melakukan pelatihan penerimaan diri. Langkah-langkah tersebut sebagai berikut: a. Persiapan 1) Mempersiapkan ruangan yang representatif untuk melakukan pelatihan. Pada saat pelaksanaan pelatihan sebaiknya ruangan cukup luas untuk peserta melakukan gerakan. Diharapkan juga tidak ada gangguan suara pada ruangan. 2) Kursi untuk duduk pasien dibentuk huruf U sehingga psikolog dapat berhadapan secara langsung dengan semua peserta. Jumlah peserta maksimal delapan orang untuk pasien depresi agar hasilnya lebih efektif. 3) Mempersiapkan skala penerimaan diri serta form evaluasi. 4) Mempersiapkan peralatan pelatihan sebagaimana yang tercantum pada modul pelatihan penerimaan diri. b. Pelaksanaan 1) Sesi I “Ice Breaking” terdiri dari beberapa sub yaitu sesi pembukaan, ice breaking, serta penetapan kontrak belajar. Ice breaking dilakukan dalam pelatihan untuk mengakrabkan diri (rapport) dengan peserta dan memberikan gambaran secara umum tentang kondisi trainer kepada peserta maupun kondisi peserta kepada trainer. Adanya ice breaking juga diharapkan dapat membuat para peserta pelatihan merasa terhibur sehingga lebih bersemangat dalam mengikuti pelatihan. Kondisi ini tentu 47 saja dapat berdampak positif, artinya peserta yang mengikuti pelatihan dengan bersemangat akan lebih mudah dalam memahami materi yang diberikan selama pelatihan. 2) Sesi II “Penerimaan Diri dan Penilaian terhadap Kondisi Tubuh”. Pada sesi ini akan dijelaskan tentang penerimaan diri, proses terbentuknya penerimaan diri serta penilaian terhadap kondisi tubuh (body acceptance). Pada sesi ini selain terdapat penyampaian materi juga dilengkapi sesi tanya jawab. Tidak semua peserta memiliki tingkat pengetahuan yang sama tentang materi yang akan disampaikan dalam pelatihan. Hal ini menyebabkan pentingnya memberikan pemahaman awal tentang penerimaan diri dan penerimaan diri terhadap kondisi tubuh kepada peserta. 3) Sesi III “Rasa Percaya Diri dan Stigma Sosial”. Pada sesi ini diawali tanya jawab materi hari pertama. Tujuan dari kegiatan ini mengingatkan kembali materi yang telah diberikan sebelumnya. Selanjutnya akan diberikan Game “It’s me” dan “Percaya Diri serta Proteksi Diri dari Stigma Sosial (Self Protection from Social Stigmas). Penting bagi individu untuk merasa tidak khawatir dengan stigma sosial yang ada. Adanya kekhawatiran tersebut dapat menghambat individu untuk melakukan interaksi dengan individu lain. c. Evaluasi Pada tahap evaluasi, melaksanakan sesi ke 4 yaitu pengisian form evaluasi, meminta saran, kesan dan masukan dari peserta. Selanjutnya dilakukan 48 penutupan acara. Tujuan kegiatan ini yaitu melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan pelatihan serta menutup kegiatan pelatihan. Disimpulkan bahwa terdapat langkah-langkah pelatihan penerimaan diri yaitu persiapan, pelaksanaan dan evaluasi. Pada pelaksanaan pelatihan penerimaan diri dibagi menjadi tiga sesi serta dilakukan selama dua hari dan dalam sehari pelaksanaannya 2 jam. C. Pelatihan Penerimaan Diri untuk Penurunan Depresi Hasil penelitian Vasile (2013) menunjukkan bahwa setiap individu memiliki penerimaan diri yang berbeda-beda. Kesehatan mental termasuk depresi akan dipengaruhi oleh penerimaan diri yang dimilikinya. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa implikasi dari penerimaan diri lainnya adalah dampak sosial. Pelatihan penerimaan diri menurut penelitian tersebut sangat sesuai digunakan untuk subjek yang sudah tuna daksa atau memiliki gangguan mental termasuk depresi. Vasile (2013) menjelaskan bahwa ketika pasien depresi dilatih penerimaan dirinya, maka yang pertama dirinya akan menjadi lebih mampu menerima kondisi diri yang secara apa adanya. Hal ini akan meminimalisir rasa tertekan yang dimiliki dan saat self ideal tidak tercapai, maka tidak akan mengalami kekecewaan secara berkesinambungan. Adanya pelatihan penerimaan diri menurut Adam (2014) dapat menurunkan depresi. Pasien yang mengalami depresi setelah mendapatkan pelatihan penerimaan diri akan melihat atau fokus pada kelebihan yang dimiliki dan 49 menyadari bahwa setiap individu terlahir dengan kelebihan masing-masing. Hal ini akan semakin membuat individu merasa berharga dan lebih percaya pada kemampuan yang dimiliki. Adanya rasa berharga akan dirinya membuat individu merasa nyaman dan akhirnya meminimalisir depresi yang ada. Keliat & Akemat (2005) mengemukakan bahwa terapi aktivitas kelompok ataupun pelatihan yang dilakukan dalam suatu kelompok memiliki kelebihan yaitu memberikan kesempatan individu untuk belajar dari pengalaman orang lain. Rosenbaum & Snawdowsky (1976) juga mengemukakan hal yang serupa. Angelia (2015) lebih lanjut mengemukakan bahwa adanya pelatihan penerimaan diri dapat membuat individu menyadari bahwa tidak ada seorangpun yang sempurna. Umumnya individu yang memiliki keinginan untuk selalu sempurna, akan memiliki harapan yang tinggi. Pada kenyataannya tidak semua yang diharapkan oleh individu menjadi kenyataan. Tidak terpenuhinya harapan pada individu yang perfeksionis, akan membuat individu tersebut menjadi tertekan dan akhirnya mengalami depresi. Adanya pelatihan penerimaan diri akan membuat individu menyadari kelebihan serta kelemahannya. Kelemahan yang ada selanjutnya disadari oleh individu sebagai hal yang wajar dimiliki oleh manusia. Apabila individu tersebut menyadari bahwa kelemahan diri adalah sesuatu yang wajar dimiliki oleh semua orang, maka saat ada kesalahan yang dilakukan, individu akan mudah memaafkan diri sendiri dan akhirnya terhindar dari depresi yang berkelanjutan. Hal ini menunjukkan pentingnya bagi individu tersebut untuk mendapatkan pelatihan penerimaan diri. Diharapkan dengan adanya pelatihan 50 tersebut, maka individu tidak akan menjadi perfeksionis. Apabila individu telah mampu menyadari keterbatasannya, maka depresi dapat diminimalisir. Modul pelatihan yang digunakan dalam penelitian ini mengadopsi dari Angelia (2015) yang juga telah melakukan penelitian eksperimen dengan judul “Pelatihan Penerimaan Diri pada Pasien Depresi di RSJ Cisarua Jawa Barat“. Penelitian tersebut mengambil enam orang subjek dengan gangguan depresi. Pelatihan ini menunjukkan bahwa adanya pelatihan penerimaan diri dapat menurunkan tingkat depresi pada pasien di RSJ Cisarua Jawa Barat. Apabila individu mampu menerima dirinya maka kondisi emosinya akan lebih stabil. Ia akan senang menerima kenyataan yang berhubungan dengan tubuhnya, merawat tubuhnya dengan baik dan tidak mau menyakiti tubuhnya sendiri. Rasa sedih dan marah menerima kenyataan tubuhnya terhindar karena menganggap tubuh yang dimiliki merupakan anugerah dan memiliki kelebihan tertentu. Hal ini tentu saja akan meminimalisir simtom depresi berupa aspek emosional. Gangguan emosi menurun yang ditunjukkan adanya rasa nyaman dengan tubuhnya serta tidak mau menyakiti tubuh (Feist, 2010). Agustiani (2006) juga mengemukakan apabila individu mau menerima kondisi tubuhnya secara apa adanya, maka gangguan fisik yang dialami akan menurun. Hal ini ditunjukkan dengan berkurangnya rasa mudah lelah pada anggota tubuh serta tidur menjadi lebih nyenyak. Orang yang tidak mau menerima tubuh secara apa adanya cenderung akan terus memikirkan kekurangannya sehingga pada akhirnya membuat ia sulit tidur dan merasa tubuhnya mudah lelah saat melakukan aktivitas. Adanya pelatihan penerimaan diri membuat individu 51 menyadari bahwa fisiknya tidak terganggua sehingga tidak akan memunculkan psikosomatis. Apabila individu tidak peduli dengan stigma sosial atau memiliki proteksi diri dari stigma sosial serta percaya pada kemampuannya maka gangguan kognitif yang dialami akan menurun. Hal ini ditunjukkan dengan semakin fokus pada kelebihan atau citra tubuh tidak terdistorsi, memiliki harapan, serta tidak menyalahkan diri sendiri. Adanya gangguan motivasional juga akan menurun yang ditunjukkan dengan lebih bersemangat untuk menjalani kehidupan serta merasa lebih berenerji (Malhi & Bridges, 1998). Adanya pelatihan penerimaan diri membuat proses penilaian diri lebih baik dari sebelumnya yang akhirnya menurunkan tingkat depresi pada individu. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan Bandura (1994) bahwa individu yang depresi lebih mungkin melakukan penilaian yang salah. Dirinya menentukan standar yang tidak realistis dan sangat tinggi, sehingga pencapaian pribadi apapun akan dinilai sebagai kegagalan. Apabila telah mencapai kesuksesan dimata orang lain, individu itu terus mengkritik performanya. Depresi lebih mungkin terjadi pada orang yang menentukan tujuan dan standar personal yang jauh lebih tinggi daripada persepsi kemampuan untuk mencapai hal-hal tersebut. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pelatihan penerimaan diri dapat menurunkan depresi individu. Adanya pelatihan tersebut membuat individu akan menjadi lebih mampu menerima kondisi diri yang secara apa adanya, fokus pada kelebihan yang dimiliki dan menyadari bahwa setiap individu 52 terlahir dengan kelebihan masing-masing serta individu tidak akan menjadi perfeksionis. D. Landasan Teori Individu yang mengalami depresi menurut Beck (1985) dapat dilihat dari simtom berupa gangguan emosi, kognitif, fisik ataupun motivasional. Gangguan emosi dapat ditunjukkan dengan merasa tidak nyaman akan kondisi dirinya, serta ingin menyakiti diri sendiri. Gangguan kognitif berupa citra tubuh terdistorsi, tidak memiliki harapan, serta sering menyalahkan diri sendiri. Gangguan fisik meliputi mudah lelah pada anggota tubuh, serta sulit tidur. Gangguan motivasional berkaitan dengan kurang bersemangat dan kurang berenerji. Damacela et all (2000) mengemukakan bahwa teori self-discrepancy menghubungkan jarak antara persepsi tentang diri dengan standar pribadi individu tersebut. Kesenjangan diri terfokus pada kecenderungan individu untuk membandingkan penampilan yang mereka persepsi (aktual) dengan penampilan ideal yang mereka bayangkan atau orang lain yang ideal. Ideal self adalah representasi mental dari harapan, mimpi dan aspirasi seseorang dan self seringkali berupa image diri abstrak di masa datang, sehingga dapat berubah-ubah sebagai suatu standar dalam perbandingan dengan self real. Jika terdapat diskrepansi antara real dan ideal self, individu akan merasa kecewa, frustasi, sedih atau merasa ada kebutuhan yang tak terpenuhi. Apabila berkelanjutan hal ini menyebabkan depresi. 53 Vasile (2013) menjelaskan bahwa semakin menyatunya konsep diri real dengan konsep diri ideal akan menurunkan tingkat depresi individu. Artinya apabila pasien depresi dilatih penerimaan dirinya, ia menjadi lebih mampu menerima kondisi diri yang secara apa adanya. Apabila mengalami ketidaksesuaian antara konsep diri real dengan konsep diri ideal, maka dirinya dapat menerima kondisi tersebut sebagai hal yang wajar. Hal tersebut sesuai dengan penjelasan Morgado (2014) individu yang memiliki penerimaan diri positif akan ditunjukkan dengan adanya kemauan yang ada dalam diri untuk mengakui dan menerima diri. Ini diawali proses mengetahui kelebihan, kekurangan, dan atribut pribadi lainnya, sehingga individu mampu membandingkan antara dirinya yang ideal dengan yang nyata atau riil. Adanya pemahaman tentang kelebihan dan kekurangan diri membuat individu menerima dirinya secara utuh karena menyadari bahwa tidak ada individu yang sempurna. Kesenjangan antara diri ideal dengan real menjadi terminimalisir. Morgado (2014) lebih lanjut menjelaskan bahwa pelatihan penerimaan diri memiliki tiga aspek yaitu penerimaan terhadap kondisi tubuh (body acceptance), proteksi diri dari stigma sosial (self protection from social stigmas), serta rasa percaya pada kemampuan yang dimiliki (feeling and believing in one’s capacities). Individu yang mengalami depresi cenderung merasa tidak nyaman dengan kondisi tubuhnya. Salah satu aspek yang diajarkan dalam pelatihan penerimaan diri adalah penerimaan terhadap kondisi tubuh. Adanya pemahaman tentang penerimaan kondisi tubuh dapat membuat individu merasa nyaman dengan dirinya. Hal ini sesuai dengan penjelasan Agoes (2007) yang 54 mengemukakan bahwa salah satu aspek dari penerimaan diri yaitu adanya persepsi mengenai diri dan sikap terhadap penampilan. Individu yang memiliki penerimaan diri positif, berpikir lebih realistik tentang penampilan dan bagaimana dirinya terlihat dalam pandangan orang lain. Kondisi ini bukan berarti individu itu mempunyai gambaran sempurna tentang dirinya, melainkan individu tersebut dapat melakukan sesuatu dan berbicara dengan baik mengenai dirinya yang sebenarnya. Individu pada akhirnya merasa nyaman dengan kondisi tubuh yang dimiliki. Aspek yang kedua diajarkan dalam pelatihan penerimaan diri menurut Morgado (2014) adalah proteksi diri dari stigma sosial. Adanya materi tentang pelatihan tersebut mampu membuat individu memahami tentang kelebihan dan kekurangan yang dimiliki. Dirinya juga tidak akan terbebani atau merasa terancam dengan stigma dari individu lain karena menyadari bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Kondisi ini membuat individu tidak merasa tertekan dengan stigma yang ada. Hal ini sesuai dengan penjelasan Agoes (2007) yang mengemukakan bahwa individu yang memiliki penerimaan diri positif memandang kelemahan dan kekuatan dalam dirinya lebih baik. Dirinya tidak mau menyia-nyiakan energinya untuk hal yang tidak mungkin. Individu itu tidak berusaha menyembunyikan kelemahan dari dirinya sendiri maupun orang lain. Individu tersebut juga terus mengembangkan kemampuan yang dimiliki. Artinya, ia bersikap lebih bijaksana dalam menilai kelemahan dan kekuatan dirinya serta menilai kelemahan dan kekuatan orang lain. Ini karena adanya kesadaran bahwa setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan. 55 Materi yang ketiga dalam pelatihan penerimaan diri menurut Morgado (2014) adalah rasa percaya pada kemampuan yang dimiliki. Apabila individu percaya pada kemampuannya maka hal ini akan memberikan motivasi intrinsik pada individu untuk melakukan segala sesuatu secara maksimal sesuai dengan kemampuannya. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Agoes (2007) bahwa individu yang memiliki penerimaan diri menyadari bahwa setiap manusia memiliki kemampuan yang berbeda dan ia akan meyakini bahwa dirinya mampu memaksimalkan potensi yang dimilikinya. Hal ini didukung adanya kesadaran bahwa setiap orang mampu belajar dari pengalaman dan memperbaiki diri. Agoes (2007) lebih lanjut mengemukakan bahwa salah satu aspek dari individu yang memiliki penerimaan diri adalah mempunyai keseimbangan antara real self dengan ideal self. Dirinya mampu mempertahankan harapan dan tuntutan dengan baik. Individu tersebut menjadi realistis. Artinya memiliki harapan namun juga menyadari batasan yang dimiliki. Tujuan atau keinginannya dalam mewujudkan sesuatu bukan lagi berdasarkan angan namun mempertimbangkan kemampuan yang dimiliki sehingga cenderung tujuan tersebut realistis dan dapat dicapai. Damacela et all (2000) mengemukakan bahwa teori self-discrepancy menjelaskan apabila standar yang dimiliki oleh individu diturunkan dengan mempertimbangkan kesadaran akan batasan yang dimiliki maka membuat dirinya memiliki tujuan yang realistis. Feist (2010) lebih lanjut menjelaskan bahwa jika individu mampu menerima dirinya maka kondisi emosinya akan lebih stabil. Ia akan senang menerima kenyataan yang berhubungan dengan tubuhnya, merawat 56 tubuhnya dengan baik dan tidak mau menyakiti tubuhnya sendiri. Rasa sedih dan marah menerima kenyataan tubuhnya terhindar karena menganggap tubuh yang dimiliki merupakan anugerah dan memiliki kelebihan tertentu. Hal ini tentu saja akan meminimalisir simtom depresi berupa aspek emosional. Gangguan emosi menurun yang ditunjukkan adanya rasa nyaman dengan tubuhnya serta tidak mau menyakiti tubuh. Agustiani (2006) juga mengemukakan apabila individu mau menerima kondisi tubuhnya secara apa adanya, maka gangguan fisik yang dialami akan menurun. Hal ini ditunjukkan dengan berkurangnya rasa mudah lelah pada anggota tubuh serta tidur menjadi lebih nyenyak. Orang yang tidak mau menerima tubuh secara apa adanya cenderung akan terus memikirkan kekurangannya sehingga pada akhirnya membuat ia sulit tidur dan merasa tubuhnya mudah lelah saat melakukan aktivitas. Adanya pelatihan penerimaan diri membuat individu menyadari bahwa fisiknya tidak terganggua sehingga tidak akan memunculkan psikosomatis. Malhi & Bridges (1998) lebih lanjut mengemukakan bahwa jika individu tidak peduli dengan stigma sosial atau memiliki proteksi diri dari stigma sosial serta percaya pada kemampuannya maka gangguan kognitif yang dialami akan menurun. Hal ini ditunjukkan dengan semakin fokus pada kelebihan atau citra tubuh tidak terdistorsi, memiliki harapan, serta tidak menyalahkan diri sendiri. Adanya gangguan motivasional juga akan menurun yang ditunjukkan dengan lebih bersemangat untuk menjalani kehidupan serta merasa lebih berenerji. 57 Kondisi Depresi Gangguan emosi : Gangguan fisik : * Tidak nyaman dengan dirinya * Mudah lelah pada anggota tubuh * Ingin menyakiti diri sendiri * Sulit tidur Gangguan kognitif : Gangguan motivasional : * Citra tubuh terdistorsi * Kurang bersemangat * Tidak memiliki harapan * Kurang berenerji * Sering menyalahkan diri sendiri Konsep Diri Real Konsep Diri Ideal Pelatihan Penerimaan Diri Proses penilaian diri lebih realistis Individu menjadi : Lebih mampu menerima kondisi diri yang secara apa adanya Mampu belajar dari pengalaman dan meninjau kembali sikapnya yang terdahulu untuk memperbaiki diri. Seseorang yang tidak perfeksionis. Congruensi antara diri real dengan ideal Konsep Diri Real Konsep Konsep&Diri Real Diri Ideal Aspek: Penerimaan terhadap kondisi tubuh Gangguan emosi menurun: Merasa nyaman dengan tubuhnya Tidak mau menyakiti tubuh Gangguan fisik menurun: Berkurangnya rasa mudah lelah pada anggota tubuh Tidur menjadi lebih nyenyak Aspek: Proteksi diri dari stigma sosial Rasa percaya pada kemampuan Gangguan kognitif menurun: Fokus pada kelebihan atau citra tubuh tidak terdistorsi Memiliki harapan Tidak menyalahkan diri sendiri Gangguan motivasional menurun: Lebih bersemangat untuk menjalani kehidupan Merasa lebih berenerji Penurunan Tingkat Depresi Gambar 3.2. Kerangka Teoritis 58 Nampak dari gambar di atas sesuai dengan penjelasan Vasile (2013) bahwa depresi dapat diminimalisir dengan adanya penerimaan diri yang dimiliki individu. Apabila penerimaan diri yang ada pada individu tinggi, maka dirinya akan mampu menerima kesenjangan antara self ideal dengan self real. Kondisi ini dianggap oleh individu tersebut sebagai sesuatu yang memang akan diperjuangkannya untuk diubah namun tetap mempertimbangkan kemampuan diri. Individu yang mampu menerima dirinya meminimalisir gangguan emosi, fisik, kognitif dan motivasional sehingga depresi akan menurun. A. Hipotesis Terdapat dua hipotesis dalam penelitian ini: 1. Ada perbedaan tingkat depresi pada pasien yang mendapatkan pelatihan penerimaan diri (kelompok eksperimen) dengan pasien yang tidak mendapatkan pelatihan penerimaan diri (kelompok kontrol). Depresi pada pasien yang mendapat pelatihan penerimaan diri lebih rendah daripada pasien yang tidak mendapat pelatihan penerimaan diri. 2. Ada perbedaan tingkat depresi pada kelompok eksperimen antara sebelum pelatihan (pretest) dengan setelah pelatihan (posttest). Tingkat depresi pada kelompok eksperimen sebelum pelatihan lebih tinggi dibandingkan setelah pelatihan.