menjelaskan bahwa secara umum depresi merup

advertisement
15
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Depresi
1. Pengertian Depresi
Malhi & Bridges (1998) menjelaskan bahwa secara umum depresi
merupakan kesedihan yang terus dirasakan oleh individu. Sebenarnya sedih
merupakan bagian dari emosi yang normal dimiliki oleh individu yang
mungkin terjadi karena perasaan kecewa atau akibat memperoleh suatu
kegagalan. Rogers (MacDougal, 2002) menjelaskan bahwa depresi dalam
pandangan humanistik merupakan rasa tertekan mendalam yang dimiliki
individu karena inkongruensi antara diri sebenarnya dan diri ideal. Rogers
lebih lanjut menyatakan bahwa kongruensi antara bagaimana individu benarbenar melihat diri sendiri dan bagaimana individu tersebut inginkan (diri
ideal) merupakan elemen-elemen penting dari kesehatan mental (Rawlins et
all, 1993). Apabila kedua evaluasi ini kongruen, maka seseorang biasanya
dapat dikatakan sehat dan relatif berhasil dalam menyesuaikan diri. Namun
jika tidak, maka seseorang akan mengalami berbagai bentuk ketidaknyamanan
mental, seperti cemas, depresi dan memiliki harga diri yang rendah.
Beck (1985) mendefinisikan depresi adalah suatu kondisi individu
yang merasa begitu tertekan, hidupnya seakan tidak berarti serta tidak
memiliki harapan. Artinya, depresi juga merupakan kompleks gangguan yang
meliputi gangguan afeksi, kognisi, motivasi dan komponen perilaku.
16
McDowell & Newel (1996) mendefinisikan depresi sebagai keadaan
abnormal organisme yang dimanifestasikan dengan tanda simptom-simptom
seperti mood subjektif yang menurun, rasa pesimis dan sikap nihilistik,
kehilangan kespontanan dan gejala vegetatif (seperti kehilangan berat badan
dan gangguan tidur). Kondisi ini apabila tidak segera diatasi akan membuat
tingkat depresi yang dialami individu semakin meningkat.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa depresi
merupakan suatu kondisi individu yang merasa begitu tertekan, hidupnya
seakan tidak berarti serta tidak memiliki harapan.
2. Ciri-Ciri Depresi
Malhi & Bridges (1998) mengemukakan bahwa depresi secara klinis
ditunjukkan dengan:
a. Penampilan (appearance) dan tingkah laku (behavior).
Umumnya individu yang mengalami depresi nampak dari kontak
mata yang lambat dan redup, duduk dengan tubuh seperti tidur, dengan
kepala tertunduk dan bahu lunglai.
b. Kecepatan dalam berbicara (speech).
Individu yang depresi sering bicara lambat dan cenderung
pendiam serta suaranya monoton. Individu yang depresi juga sering
menggunakan kata-kata yang minim dan lambat dalam memberikan
respon terhadap pertanyaan yang diajukan.
17
c. Mood.
Mood individu yang mengalami depresi cenderung menunjukkan
mood yang berubah-ubah. Individu yang depresi umumnya menunjukkan
kesedihan dan kehilangan harapan. Individu yang depresi juga sering
apatis atau tidak peduli terhadap lingkungan.
d. Kelelahan (fatigue) dan kehilangan energi (lethargy).
Individu yang depresi umumnya mengalami kelelahan yang tibatiba karena semangat yang menurun secara tidak terkendali. Kehilangan
energi (lethargy) juga sering terjadi. Lethargy sindrom adalah keadaan
dimana individu merasa tidak bertenaga, lemas, lesu, merasa ngantuk
serta mudah letih.
Pada Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa atau
PPDGJ III, dinyatakan bahwa seseorang menderita gangguan depresi ditandai
dengan adanya kehilangan minat dan kegembiraan, berkurangnya energi yang
menyebabkan seseorang tersebut mudah merasa lelah meskipun hanya
bekerja ringan. Gejala lain yang sering muncul antara lain :
a. Gejala utama (pada derajat ringan, sedang, berat).
1) Afek depresif.
2) Kehilangan minat dan kegembiraan.
3) Berkurangnya energi yang menuju keadaan mudah lelah (rasa lelah
yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktifitas.
b. Gejala lainnya:
1) Konsentrasi dan perhatian berkurang.
18
2) Harga diri dan kepercayaan berkurang.
3) Gagasan tentang perasaan bersalah dan tidak berguna.
4) Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis.
5) Gagasan atau perbuatan yang membahayakan diri atau bunuh diri.
6) Tidur terganggu (insomnia).
7) Nafsu makan berkurang.
Beck (1985) menjelaskan bahwa terdapat ciri atau aspek depresi
yaitu:
a. Aspek emosional.
1) Perasaan kesal atau patah hati (dejected mood).
Perasaan ini menggambarkan keadaan sedih, bosan dan kesepian
yang dialami individu. Keadaan ini kondisinya bervariasi dari
kesedihan sesaat hingga kesedihan yang terus-menerus.
2) Perasaan negatif terhadap diri sendiri.
Perasaan ini berhubungan dengan
perasaan
sedih
yang
dijelaskan di atas, hanya bedanya perasaan ini khusus
ditujukan kepada diri sendiri.
3) Hilangnya rasa puas.
Maksudnya ialah kehilangan kepuasan atas apa yang dilakukan.
Perasaan ini dapat terjadi pada setiap kegiatan yang
dilakukan termasuk hubungan psikososial, seperti aktivitas
yang menuntut adanya rasa tanggung jawab.
19
4) Hilangnya keterlibatan emosional dalam melakukan pekerjaan atau
hubungan dengan orang lain.
Hal ini dimanifestasikan dalam aktivitas, kurangnya perhatian atau
rasa keterlibatan emosi terhadap orang lain.
5) Kecenderungan untuk menangis diluar kemauan.
Gejala ini banyak dialami oleh penderita depresi. Terdapat rasa ingin
menangis tanpa alasan yang jelas.
6) Hilangnya respon terhadap humor.
Individu yang mengalami depresi tidak kehilangan kemampuan
untuk mempersepsi lelucon, namun kesulitannya terletak
pada
kemampuannya
untuk
merespon
humor
tersebut
dengan cara yang wajar. Orang yang depresi tidak terhibur,
tertawa atau puas apabila mendengar lelucon.
b. Aspek kognitif.
1) Rendahnya evaluasi diri.
Hal ini nampak dari bagaimana individu yang depresi memandang
dirinya. Biasanya ia akan menilai kemampuan dirinya rendah
dalam hal prestasi, intelegensi, kesehatan, kekuatan, daya
tarik, popularitas, dan sumber keuangannya.
2) Citra tubuh yang terdistorsi.
Individu yang mengalami depresi biasanya akan merasa dirinya jelek
dan tidak menarik.
20
3) Harapan yang negatif.
Individu yang depresi akan mengharapkan hal-hal yang buruk terjadi
serta menolak usaha untuk memperbaiki dirinya.
4) Menyalahkan dan mengkritik diri sendiri.
Terdapat anggapan bahwa dirinya sebagai penyebab segala
kesalahan serta cenderung mengkritik dirinya untuk segala
kekurangan.
5) Keragu-raguan dalam mengambil keputusan.
Hal ini merupakan karakteristik yang biasanya menjengkelkan orang
lain atau individu yang mengalami depresi. Orang yang depresi
umumnya sulit mengambil keputusan, memilih alternatif yang ada
dan mengubah keputusan.
c. Aspek motivasional.
Aspek ini meliputi pengalaman yang disadari individu yaitu
tentang usaha, dorongan, dan keinginan. Ciri utamanya adalah sifat
regresif motivasi. Individu yang depresi juga cenderung menarik diri
dari aktivitas yang menuntut adanya suatu tanggung jawab, inisiatif
bertindak atau adanya energi yang kuat.
d. Aspek gangguan fisik
Aspek ini meliputi kehilangan nafsu makan, gangguan tidur, kehilangan
libido, dan kelelahan yang sangat. Individu yang mengalami depresi
biasanya mengalami rasa sedih, pesimis, membenci diri sendiri,
kehilangan energi, kehilangan konsentrasi, dan kehilangan motivasi. Ciri
21
lainnya adalah kehilangan nafsu makan, berat badan menurun, insomnia,
kehilangan libido, dan selalu ingin menghindari orang lain.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat ciri-ciri
dari depresi yaitu adanya gangguan pada aspek emosional, kognitif,
motivasional, serta gangguan fisik. Keempat aspek ini akan digunakan untuk
memahami tingkat depresi pada pasien.
3. Proses Terjadinya Depresi
Proses terjadinya dijelaskan secara detail dalam teori humanistik. Salah
satu tokoh humanistik adalah Rogers yang berdasarkan pengalaman
prakteknya menangani klien selama bertahun-tahun menjelaskan bahwa
manusia pada dasarnya baik. Rogers (Alwisol, 2005) melihat kesehatan
mental adalah penting dan butuh perjuangan untuk merealisasikannya. Lebih
lanjut dirinya meyakini bahwa semua manusia berjuang sebaik-baiknya untuk
menunjukkan keberadaannya. Dijelaskan lebih lanjut bahwa depresi terjadi
karena adanya kesenjangan antara konsep diri real (self real) dengan konsep
diri ideal (self ideal).
Konsep struktural dalam teori kepribadian Rogerian (Alwisol, 2005)
adalah self. Menurut Rogers, individu mempersepsikan objek eksternal serta
pengalaman-pengalaman dan melekatkan makna pada hal tersebut. Rogers
mengartikan medan fenomena sebagai keseluruhan pengalaman, baik yang
internal maupun eksternal, baik yang disadari maupun yang tidak disadari.
Medan fenomena merupakan seluruh pengalaman pribadi seseorang
sepanjang hidupnya. Lama kelamaan, sebagian dari medan fenomenal ini
22
menjadi terpisah. Inilah yang disebut sebagai diri atau konsep-diri. Konsep
diri (self concept) mewakili suatu pola persepsi yang konsisten dan
terorganisir. Implikasinya, ada dua poin yang penting mengenai self yaitu self
menampilkan suatu kerangka persepsi yang terorganisir, dan self-concept
merupakan sesuatu yang terjadi pada kesadaran (conscious). Konsep
struktural yang berkaitan juga adalah ideal self. Ideal self adalah self concept
yang paling ingin dimiliki oleh individu, mencakup persepsi dan makna yang
relevan dengan self dan sangat dihargai atau dijunjung oleh individu. Apabila
apa yang menjadi harapan diri tidak sesuai dengan kenyataannya, maka dapat
menimbulkan kegelisahan dalam diri individu tersebut dan menjadi depresi.
Morgado (2014) menjelaskan bahwa condition of worth muncul ketika
positive regard dari orang-orang yang berarti bagi diri individu, memberikan
syarat (condition). Condition of worth tersebut menstimulus inkongruensi
antara self dan pengalaman yang akhirnya mewujudkan kerentanan
(vulnerability). Akibatnya individu mengembangkan kekakuan (rigidity)
persepsi. Ini akan membuat individu mengalami ketegangan saat self real dan
self ideal memiliki jarak.
Stankovice et all (2015) menekankan bahwa individu yang memiliki
inkongruensi antara self dengan pengalaman menyebabkan dirinya akan sulit
menerima kondisi diri secara apa adanya. Individu tersebut umumnya
cenderung perfeksionis artinya dapat membuat kesenjangan antara self ideal
dengan self real menjadi suatu masalah yang berat baginya dan mudah
mengalami depresi. Aditomo dan Retnowati (2004) juga mengemukakan
23
bahwa perfeksionis dan harga diri mampu mempengaruhi depresi. Semakin
individu tersebut memiliki perfeksionis yang tinggi, maka semakin tinggi
juga depresi yang dirasakannya. Dipahami bahwa inkongruensi antara self
dengan pengalaman membuat kesenjangan antara ideal self adalah self
concept semakin jauh. Kesenjangan tersebut karena disebabkan keinginan
individu untuk selalu sempurna atau sulit menerima kekurangan atau
kenyataan yang tidak sesuai harapannya. Proses terbentuknya depresi nampak
pada gambar berikut :
Individu
Self condition of worth
Inkongruensi antara self
dengan pengalaman
Konsep Diri Real
(Self Real)
Konsep Diri Ideal
(Self Ideal)
Depresi
Gambar 3.1. Kerangka Teoritis Terbentuknya Depresi
Nampak dari gambar di atas bahwa proses terjadinya depresi diawali
dengan self condition of worth. Kondisi ini muncul ketika positive regard
dari orang-orang yang berarti bagi diri individu, memberikan syarat
(condition). Condition of worth tersebut menstimulus inkongruensi antara self
24
dan pengalaman yang akhirnya mewujudkan kerentanan (vulnerability).
Inkongruensi tersebut selanjutnya menyebabkan adanya kesenjangan antara
konsep diri real (self real) dengan konsep diri ideal (self ideal). Semakin
senjang konsep diri real (self real) dengan konsep diri ideal (self ideal) akan
semakin tinggi tingkat depresi individu.
4. Alat Tes untuk Mengukur Tingkat Depresi
Terdapat beberapa alat tes yang dapat digunakan untuk mengukur
tingkat depresi yang dialami oleh individu, antara lain :
a. Skala Nilai Depresi dari Hamilton atau Hamilton Depression Rating
Scale (HDRS)
Skala Nilai Depresi dari Hamilton atau Hamilton Depression Rating
Scale (HDRS) adalah rating skala yang pertama dikembangkan untuk
mengukur beratnya gejala depresi. Pertama kali diperkenalkan oleh Max
Hamilton tahun 1960 yang kemudian secara luas digunakan dan diterima
untuk mengevaluasi beratnya depresi. HDRS terdiri dari 21 aitem
pernyataan dengan fokus primer pada gejala somatik. HDRS selanjutnya
dijadikan standar pengukuran evaluasi depresi pada percobaan klinis
perusahaan farmasi untuk persetujuan obat baru oleh FDA (Food and
Drug Administration) juga digunakan sebagai evaluasi utama ‘National
Institute of Mental Health’ untuk membandingkan farmakoterapi dengan
psikoterapi dalam mengobati depresi (Idrus, 2016).
25
b. Skala Depresi Geriatri atau Geriatri Depression Scale (GDS)
Salah satu instrumen yang dapat membantu mengukur tingkat
depresi adalah GDS (Geriatri Depression Scale). GDS adalah suatu
kuesioner, terdiri dari 30 pertanyaan yang harus dijawab. GDS ini dapat
dimampatkan menjadi hanya 15 pertanyaan yang harus dijawab.
Sederhana saja, hanya dengan “Ya atau Tidak”, suatu bentuk
penyederhanaan dari skala yang mempergunakan lima rangkai respon
kategori. Skala ini mendapatkan angka dengan memberi satu pokok untuk
masing-masing jawaban yang cocok dengan apa yang ada dalam sintesa
di belakang pertanyaan tertulis tersebut. Angka akhir antara 10 sampai
11, biasanya dipergunakan sebagai suatu tanda awal untuk memisahkan
pasien tersebut masuk ke dalam kelompok depresi atau kelompok non
depresi.
Menurut Gallo (1998), secara umum terdapat 15 pertanyaan yang
harus diajukan pada lansia dalam instrumen Geriatri Depression Scale
(GDS) adalah sebagai berikut :
1. Apakah anda sebenarnya puas dengan kehidupan anda ?
2. Apakah anda telah banyak menghentikan aktivitas dan minat – minat
anda ?
3. Apakah anda merasa kehidupan anda kosong ?
4. Apakah anda sering merasa hidup anda bosan ?
5. Apakah anda mempunyai semangat yang baik setiap saat ?
26
6. Apakah anda takut bahwa sesuatu yang buruk akan akan terjadi pada
anda ?
7. Apakah anda merasa bahagia untuk sebagian besar hidup anda ?
8. Apakah anda sering merasa tidak berdaya ?
9. Apakah anda lebih senang tinggal di rumah dari pada pergi ke luar
dan mengerjakan sesuatu hal yang baru ?
10. Apakah anda merasa mempunyai banyak masalah dengan daya
ingatan anda dibandingkan kebanyakan orang ?
11. Apakah anda pikir bahwa hidup anda sekarang ini menyenangkan ?
12. Apakah anda merasa tidak berharga seperti perasaan anda saat ini ?
13. Apakah anda merasa penuh semangat ?
14. Apakah anda merasa bahwa keadaan anda tidak ada harapan ?
15. Apakah anda pikir bahwa orang lain lebih baik keadaannya dari
pada anda ?
Menurut Yesavage & Brink (Gallo, 1998), penentuan skornya adalah
skor 20-40 kategori tidak ada depresi, skor 41-60 kategori depresi ringan,
skor 61-80 kategori depresi sedang, dan skor 81-100 kategori depresi
berat.
c. The Beck Depression Inventory (BDI-II)
BDI merupakan alat tes yang digunakan untuk membantu
mengungkapkan tingkat depresi seseorang. Alat ukur tersebut dibuat oleh
Beck pertama kali pada tahun 1976. Pada tahun 1996 BDI direvisi dengan
tujuan untuk menjadi lebih konsisten dengan kriteria DSM-IV. Beck et all
27
(1996) memberi nama hasil revisi tersebut dengan BDI-II. Alat ukur ini
dibuat untuk digunakan pada individu usia 13 tahun ke atas.
Contoh perevisian BDI-II antara lain adalah responden diminta
untuk merespon setiap pernyataan berdasarkan periode waktu dua minggu
bukan satu minggu seperti jangka waktu dalam BDI. Alasan perevisian
ini adalah agar sesuai dengan kriteria depresi pada DSM-IV yang
menyatakan bahwa untuk mendiagnosis depresi, sedikitnya gejala depresi
telah ada selama 2 minggu berturut-turut (American Psychology
Association, 2000). Pada BDI responden diminta untuk merespon
pertanyaan berdasarkan perasaannya selama satu minggu terakhir, maka
pada BDI-II responden diminta untuk merespon pertanyaan berdasarkan
perasaannya selama dua minggu terakhir. BDI-II terdiri dari 21 aitem
untuk menaksir intensitas depresi pada orang yang sehat maupun sakit
secara fisik. Setiap aitem terdiri dari empat pernyataan yang
mengindikasikan gejala depresi tertentu. Gejala-gejala tersebut yaitu
mengenai kesedihan, pesimisme, kegagalan masa lalu, kehilangan
kesenangan, perasaan bersalah, perasaan hukuman, tidak menyukai diri,
kegawatan diri, pikiran atau keinginan untuk bunuh diri, menangis,
agitasi, kehilangan minat, keraguan, tidak berharga, kehilangan energi,
perubahan pola tidur, lekas marah, perubahan nafsu makan, kesulitan
konsentrasi, kelelahan dan kehilangan ketertarikan untuk melakukan
hubungan seks.
28
Aitem yang terdapat dalam BDI-II juga dikembangkan untuk
menaksir gejala depresi individu berdasarkan kriteria dalam DSM-IV,
antara lain aitem pada skala BDI-II yang menggantikan aitem mengenai
gejala kehilangan berat tubuh, perubahan citra tubuh dan keterpakuan
somatis pada BDI. Aitem lainnya dari BDI mengenai kesulitan dalam
bekerja juga digantikan dengan aitem mengenai kehilangan energi pada
BDI-II. Perubahan selanjutnya yaitu aitem mengenai kehilangan waktu
tidur dan selera makan pada BDI juga diubah dengan menambah dua
pilihan pernyataan pada BDI-II yaitu meningkat atau menurunnya pola
tidur dan pola makan. Pada tahun 2013 alat ini diterjemahkan ke dalam
Bahasa Indonesia oleh Dr. Henndy Ginting untuk disertasi S3-nya di
Radboud University dan telah dibuktikan dapat dijadikan alat ukur yang
valid untuk mengukur depresi pada masyarakat Indonesia.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat
beberapa alat tes yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat depresi,
antara lain adalah Skala Nilai Depresi dari Hamilton atau Hamilton
Depression Rating Scale (HDRS), Skala Depresi Geriatri atau Geriatri
Depression Scale (GDS), dan The Beck Depression Inventory
atau BDI-II.
5. Faktor dan Penyebab Depresi
Menurut Ferster (dalam Hall, 2009) depresi dapat timbul karena:
a. Perubahan lingkungan seperti anggota keluarga atau kehilangan
pekerjaan dapat membatasi (reinforcement) yang diterima individu.
29
Individu yang menyandarkan diri pada satu atau dua reinforcement akan
cenderung mudah terserang depresi karena kurangnya reinforcement.
b. Ditinjau dari perilaku menghindar, depresi muncul pada saat usaha
menghindar di lingkungan menjadi kuat.
Menurut
Kaplan
(dalam
Kartono,
2002)
faktor-faktor
yang
menyebabkan depresi adalah:
a. Faktor Biologi.
Faktor biologi berkaitan dengan kondisi biologis individu.
Norepinefrin dan serotonin merupakan dua neurotransmitter yang paling
berperan dalam patofisiologi gangguan mood. Terdapat dalam beberapa
hasil peneliti juga bahwa gangguan mood melibatkan patologik dan
sistem limbiks serta ganglia basalis dan hypothalamus.
b. Faktor Genetik.
Faktor
genetik
juga
merupakan
salah
satu
yang
dapat
menyebabkan permasalahan dalam perkembangan gangguan mood.
Diketahui bahwa pada penelitian anak kembar terhadap gangguan
depresi berat, pada anak kembar monozigot adalah 50 %, sedangkan
dizigot 10-25%.
c. Faktor Psikososial
Faktor psikososial banyak diteliti oleh ahli psikologi. Feist &
Feist (2010) menjelaskan bahwa faktor psikososial yang menyebabkan
terjadinya depresi antara lain:
30
1) Peristiwa kehidupan dan stres lingkungan.
2) Rasa ketidakberdayaan yang dipelajari dari lingkungan.
Bandura (1999) menyatakan bahwa depresi dapat terjadi karena
salah satu dari tiga sub fungsi regulasi diri tidak berfungsi atau mengalami
disfungsi. Ketiga fungsi regulasi diri tersebut adalah (Bandura, 1994):
a. Observasi
Individu saat melakukan observasi dapat salah dalam menilai
performanya sendiri atau mendistorsi ingatan mengenai pencapaian di
masa lalu. Individu yang depresi cenderung untuk membesarbesarkan kesalahan dimasa lalu, dan mengecilkan pencapaian
terdahulu. Kondisi ini apabila berkelanjutan cenderung akan
meningkatkan depresi yang dialaminya.
b. Proses penilaian
Individu yang depresi lebih mungkin melakukan penilaian yang
salah. Dirinya menentukan standar yang tidak realistis dan sangat
tinggi, sehingga pencapaian pribadi apapun akan dinilai sebagai
kegagalan. Apabila telah mencapai kesuksesan dimata orang lain,
individu itu terus mengkritik performanya. Depresi lebih mungkin
terjadi pada orang yang menentukan tujuan dan standar personal yang
jauh lebih tinggi daripada persepsi kemampuan untuk mencapai halhal tersebut.
31
c. Reaksi diri
Reaksi diri individu yang depresi tidak hanya menilai dirinya
negatif, namun juga cenderung memperlakukan diri dengan buruk
karena keterbatasan-keterbatasan yang dimilikinya.
Teori Kognitif Beck menunjukkan perhatian gangguan kognitif
pada depresi, dengan mengidentifikasikan tiga pola kognitif utama pada
depresi atau triad kognitif, yaitu (Kartono, 2002):
a. Pandangan negatif terhadap masa depan.
b. Pandangan negatif terhadap diri sendiri, individu menganggap dirinya
tidak mampu, bodoh, pemalas, dan tidak berharga.
c. Pandangan negatif terhadap pengalaman hidup.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat
beberapa faktor dan penyebab depresi, faktor biologi seperti adanya
perubahan hormon yang menyebabkan mood menjadi terganggu, faktor
genetik yaitu gen yang dimiliki sejak lahir, faktor psikososial, dan faktor
kognitif. Contoh dari faktor psikososial adalah perubahan lingkungan,
kepribadian premorbid, ketidakberdayaan yang dipelajari, observasi
terhadap lingkungan yang salah dan penilaian yang salah terhadap diri,
serta reaksi diri. Contoh dari faktor kognitif adalah pandangan negatif
terhadap masa depan, pandangan negatif terhadap diri sendiri, individu
menganggap dirinya tidak mampu, bodoh, pemalas, dan tidak berharga,
pandangan negatif terhadap pengalaman hidup.
32
6. Treatment untuk Penurunan Depresi
Terdapat beberapa treatment yang dapat digunakan untuk menurunkan
tingkat depresi pada individu. Treatment tersebut antara lain adalah :
a. Terapi Kognitif
Terapi kognitif adalah aplikasi dari berbagai variasi teori belajar
dalam kehidupan, adapun tujuan dari terapi kognitif tersebut adalah
untuk menolong seseorang keluar dari kesulitan dalam berbagai bidang
kehidupan dan pengalaman (Yosep, 2011). Terapi kognitif umumnya
adalah terapi jangka pendek yang dilakukan secara teratur dengan cara
memberikan dasar berfikir bagi klien untuk mengekspresikan perasaan
negatif, memahami masalah serta mampu mengatasi perasaan negatifnya
dan mampu memecahkan masalah tersebut (Prasetyo, 2010).
Martin (2010) lebih lanjut mengemukakan bahwa terapi perilaku
kognitif adalah suatu terapi psikososial yang mengintegrasikan
modifikasi perilaku. Terapi kognitif menggunakan beberapa strategi
untuk memodifikasi keyakinan dan sikap yang mempengaruhi perasaan
dan perilaku klien. Ketika seseorang mempunyai pandangan negatif
terhadap diri sendiri, dunia dan masa depan mereka cenderung mengolah
keyakinan yang tidak masuk akal tentang kemampuannya dan hubungan
dengan orang lain. Hasil dari persepsi dan distorsi yang salah satu ini
ditandai oleh harapan yang tidak realistis terhadap diri dan orang lain,
metode koping yang tidak efektif dan pandangan tentang diri sendiri
sebagai orang yang tidak mampu. Tujuan utama dari terapi kognitif
33
adalah membantu klien utuk mengembangkan pola pikir yang rasional,
terlibat dalam uji realitas dan membentuk kembali perilaku dengan
mengubah pesan-pesan internal. Intervensi dasar meliputi pengajaran
subsitusi atau penggantian pikiran, penyelesaian masalah dan cara
memodifikasi percakapan diri sendiri yang negatif, mulai bermain peran
dan mencontohkan strategi koping (Copel, 2007). Beberapa teknik terapi
kognitif :
1) Cognitive Therapy (CT)
Cognitive Therapy dikembangkan oleh Aaron T. Beck pada
tahun 1960 seorang psikiatris Amerika di University of Pennsylvania.
Pada awalnya Beck dan Ellis adalah psikoanalis. Beck (1985)
menemukan bahwa kognisi pasien memilik dampak yang luar biasa
terhadap perasaan dan perilaku pasien tersebut. Kesulitan emosional
dan perilaku yang dialami seseorang dalam hidup disebabkan oleh
cara individu tersebut menginterpretasikan dan memahami berbagai
peristiwa. Beck (1985) mengemukakan apa yang disebut model
distorsi kognitif. Pengalaman berupa ancaman akan berakibat
hilangnya kemampuan memproses informasi secara efektif (distorsi
kognitif) atau situasi yang mengancam dapat menyebabkan tekanan
psikologis. Pemrosesan kognitif normal tidak berjalan sempurna.
Persepsi dan interpretasi terhadap suatu situasi menjadi sangat
selektif, egosentris, dan rigid. Fungsi korektif (mengetes realitas dan
penyaringan
konseptualisasi
global)
melemah.
Penurunan
34
kemampuan untuk “mematikan” pemikiran menyimpang. Penurunan
kemampuan untuk berkonsentrasi terhadap pemikirannya. Penurunan
kemampuan untuk mengingat pemikirannya. Penurunan kemampuan
untuk menjelaskan pemikirannya.
2) Cognitive Behavioral Therapy (CBT)
Tujuan terapi kognitif perilaku membantu seseorang memutus
lingkaran pikiran negatif, perasaan, dan perilaku. Membantu
seseorang mengubah bagaimana cara dia berpikir (kognitif) dan apa
yang dia lakukan (perilaku). Pada terapi ini terapis membantu
mengatasi kesulitan dalam menghentikan ketidak-produktifan, pikiran
atau kepercayaan yang mengganggu dan memperoleh pikiran yang
lebih konstruktif. Terapi ini efektif apabila terapis mengajarkan
individu untuk melatih rule yang menunjukkan perilaku spesifik yang
bisa dijaga dalam lingkungan alamiahnya. Terapi ini tidak efektif
apabila rule tidak menunjukkan perilaku spesifik yang mengarah pada
akibat yang dapat langsung dirasakan yang berasal dari lingkungan
alamiahnya, serta individu mempunyai kekurangan dalam perilaku
yang dispesifkasikan oleh rule.
3) Rational Emotive Behaviour Theraphy atau REBT
Rasional Emotive Behavior Therapy (REBT) sebelumnya
disebut rational therapy dan rational emotive therapy, merupakan
terapi yang komprehensif, aktif-direktif, filosofis dan empiris
berdasarkan psikoterapi yang berfokus pada penyelesaian masalah-
35
masalah gangguan emosional dan perilaku, serta menghantarkan
individu untuk lebih bahagia dan hidup yang lebih bermakna
(fulfilling lives) (Palos et all, 2015). REBT diciptakan dan
dikembangkan oleh Albert Ellis (1950an), seorang psikoterapis yang
terinspirasi oleh ajaran-ajaran filsuf Asia, Yunani, Romawi dan
modern yang lebih mengarah pada teori belajar kognitif. Asal-usul
terapi rasional-emotif dapat ditelusuri dengan filosofi dari Stoicisme
di Yunani kuno yang membedakan tindakan dari interpretasinya.
Epictetus dan Marcus Aurelius dalam bukunya “The Enchiridion”,
menyatakan bahwa manusia tidak begitu banyak dipengaruhi oleh apa
yang
terjadi
pada
dirinya,
melainkan
bagaimana
manusia
memandang/menafsirkan apa yang terjadi pada dirinya (People are
not disturbed by things, but by the view they take of them). Pada
mulanya Ellis menggunakan psikoanalisis dan person-centered
therapy dalam proses terapi, namun dirinya merasa kurang puas
dengan pendekatan dan hipotesis tingkah laku klien yang dipengaruhi
oleh sikap dan persepsi mereka. Hal inilah yang memotiviasi Ellis
mengembangkan pendekatan rational emotive dalam psikoterapi yang
ia percaya dapat lebih efektif dan efisien dalam memberikan efek
terapeutik. Ellis mengembangkan teori A-B-C, dan kemudian
dimodifikasi menjadi pendekatan A-B-C-D-E-F yang digunakan
untuk memahami kepribadian dan untuk mengubah kepribadian
secara efektif. Pada tahun 1990-an, Ellis mengganti nama pendekatan
36
tersebut dengan Rasional Emotive Behavior Therapy atau yang biasa
kita singkat menjadi REBT.
REBT menunjukkan bahwa manusia mengalahkan diri atau
'mengganggu' dengan dua cara yaitu memegang keyakinan irasional
tentang 'diri sendiri (self) disebut “ego disturbance” (gangguan ego)
serta memegang keyakinan irasional tentang kenyamanan emosional
atau
fisik
disebut
“discomfort
disturbance”
(gangguan
ketidaknyamanan).
4) Dekatastropik Teknik
Dekatastropik di kenal juga dengan teknik ‘bila dan apa’. Hal ini
meliputi upaya menolong klien untuk melakukan evaluasi terhadap
situasi dimana klien mencoba memandang masalahnya secara
berlebihan dari situasi alamiah untuk melaih beradaptasi dengan hal
terburuk dengan apa-apa yang mungkin terjadi. Pertanyaan-pertanyaan
yang dapat diajukan terapis adalah: apa hal terburuk yang terjadi
bila...?, dan apakah akan gawat sekali bila hal tersebut memang betulbetul terjadi.... ?, serta tindakan pemecahan masalah apa bila hal
tersebut benar-benar terjadi ?. Tujuan dari tehnik dekatastropik adalah
untuk menolong klien melihat konsekuensi dari kehidupan.
5) Reframing
Reframing adalah strategi dalam merubah persepsi klien terhadap
situasi atau perilaku. Hal ini meliputi memfokuskan terhadap sesuatu
atau aspek lain dari masalah atau mendukung klien untuk melihat
37
masalahnya dari sudut pandang yang lain. Klien seringkali melihat
masalah hanya dari satu sudut pandang saja. Tehnik ini memberi
kesempatan pada klien untuk merubah dan menemukan makna baru
dan merubah perilaku klien.
b. Pelatihan Penerimaan Diri
Terdapat empat jurnal yang mengemukakan bahwa hal yang dapat
dilakukan untuk menurunkan depresi adalah penerimaan diri. Hal ini
dijelaskan dalam jurnal yang dikemukakan oleh Stankovice et all (2015),
Flett et all (2003), Vasile (2013) maupun Angelia (2015). Hasil
penelitian Stankovice et all (2015) menjelaskan bahwa terdapat korelasi
antara keinginan untuk sempurna dan depresi yang dimoderatori oleh
toleransi terhadap frustasi dan penerimaan diri. Hasil penelitian Flett et
all (2003) menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara
dimensi perfeksionis berupa orientasi diri, orientasi terhadap lingkungan,
dan tekanan sosial dengan unconditional self-acceptance. Uconditional
self-acceptance juga berkorelasi dengan depresi. Vasile (2013) dalam
penelitiannya yang berjudul “An Evaluation of Self-Acceptance in
Adults” menjelaskan bahwa setiap individu memiliki penerimaan diri
yang
berbeda-beda.
Kesehatan
mental
termasuk
depresi
akan
dipengaruhi oleh penerimaan diri yang dimilikinya. Hasil penelitian ini
juga menyimpulkan bahwa implikasi dari penerimaan diri lainnya adalah
dampak sosial. Hasil penelitian Angelia (2015) menunjukkan bahwa
38
adanya pelatihan penerimaan diri mampu menurunkan tingkat depresi
pada pasien depresi.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa
treatment yang dapat digunakan untuk menurunkan depresi. Treatment
tersebut antara lain adalah terapi kognitif serta pelatihan penerimaan diri.
Alasan peneliti menggunakan pelatihan penerimaan diri untuk menurunkan
depresi adalah karena subjek penelitian adalah pasien gangguan depresi
dengan status remisi. Vasile (2013) menjelaskan bahwa treatment kognitif
sesuai untuk digunakan bagi subjek yang secara kognitif baik dan tingkat
depresinya rendah. Namun jika subjek sudah mengalami depresi tinggi atau
masuk dalam rawat inap di rumah sakit, maka sebaiknya menggunakan
pelatihan penerimaan diri.
B. Pelatihan Penerimaan Diri (Self-Acceptance)
1. Definisi Penerimaan Diri
Menurut
Supratiknya
(2005)
menerima
diri
adalah
memiliki
penghargaan yang tinggi terhadap diri sendiri, atau tidak bersikap
merendahkan terhadap diri sendiri. Ini berarti seseorang yang mampu
menerima dirinya mampu melihat kebaikan sekaligus kekurangan yang ada di
dirinya. Penghargaan yang tinggi bukan berarti memiliki sikap tinggi hati,
melainkan
dapat
menghargai
diri
sendiri
beserta
kekurangan
dan
kelebihannya. Individu yang menghargai dirinya tidak akan mencela diri atas
kekurangan yang dimiliki.
39
Morgado (2014) menjelaskan bahwa penerimaan diri merupakan
kemauan yang ada dalam diri untuk mengakui dan menerima diri apa
adanya diawali proses mengetahui kelebihan, kekurangan, dan atribut pribadi
lainnya, sehingga individu mampu membandingkan antara dirinya yang ideal
dengan yang nyata atau riil. Adanya pemahaman tentang kelebihan dan
kekurangan diri membuat individu menerima dirinya secara utuh karena
menyadari bahwa tidak ada individu yang sempurna.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penerimaan diri
adalah kemauan individu agar dapat mengakui dan menerima diri apa
adanya. Hal ini diawali proses mengetahui kelebihan, kekurangan, dan atribut
pribadi lainnya, sehingga individu mampu menerima kondisi dirinya secara
apa adanya.
2. Aspek-aspek Penerimaan Diri
Aspek-aspek yang terkandung dalam penerimaan diri, menurut Jersild
(Agoes, 2007) adalah :
a. Persepsi mengenai diri dan sikap terhadap penampilan.
Individu yang memiliki penerimaan diri berpikir lebih realistik
tentang penampilan dan bagaimana dirinya terlihat dalam pandangan
orang lain. Ini bukan berarti individu tersebut mempunyai gambaran
sempurna tentang dirinya, melainkan individu tersebut dapat melakukan
sesuatu dan berbicara dengan baik mengenai dirinya yang sebenarnya.
40
b. Sikap terhadap kelemahan dan kekutan diri sendiri dan orang lain.
Individu yang memiliki penerimaan diri memandang kelemahan
dan kekuatan dalam dirinya lebih baik daripada individu yang tidak
memiliki penerimaan diri. Individu tersebut kurang menyukai jika harus
menyia-nyiakan energinya untuk menjadi hal yang tidak mungkin, atau
berusaha menyembunyikan kelemahan dari dirinya sendiri maupun
orang lain. Individu tersebut juga terus memanfaatkan kemampuan yang
dimilikinya. Dirinya menggunakan bakat yang dimilikinya dengan lebih
leluasa. Individu yang bersikap baik pula dalam menilai kelemahan dan
kekuatan dirinya akan bersikap baik pula dalam menilai kelemahan dan
kekuatan orang lain.
c. Perasaan inferioritas sebagai gejala penolakan diri.
Seseorang individu yang terkadang merasakan infeoritas atau
disebut dengan inferiority complex adalah seseorang individu yang tidak
memiliki sikap penerimaan diri yang baik yang ditunjukkan dengan
kurang mampu menerima realita yang ada.
d. Respon atas penolakan dan kritikan.
Individu yang memiliki penerimaan diri positif tidak menyukai
kritikan, namun demikian ia mempunyai kemampuan untuk menerima
kritikan bahkan dapat mengambil hikmah dari kritikan tersebut. Dirinya
berusaha untuk melakukan koreksi atas dirinya sendiri, ini merupakan
hal yang penting dalam perkembangannya menjadi seorang individu
dewasa dan dalam mempersiapkan diri untuk menghadapi masa depan
41
individu yang tidak memiliki penerimaan diri justru menganggap
kritikan sebagai wujud penolakan terhadapnya. Hal terpenting dalam
penerimaan diri yang baik adalah mampu belajar dari pengalaman dan
meninjau kembali sikapnya yang terdahulu untuk memperbaiki diri.
Dirinya merasa mampu melakukan perbaikan diri dan yakin akan
kemampuannya.
e. Keseimbangan antara “real self” dan “ideal self”.
Individu
yang
memiliki
penerimaan
diri
adalah
yang
mempertahankan harapan dan tuntutan dari dalam dirinya dengan baik
dalam batas-batas kemungkinan individu ini mungkin memiliki ambisi
yang besar, namun tidak mungkin untuk mencapainya walaupun dalam
jangka waktu yang lama dan menghabiskan energinya. Hal ini untuk
memastikan agar tidak akan kecewa saat nantinya.
f. Penerimaan diri dan penerimaan orang lain.
Apabila seorang individu menyanyangi dirinya, maka akan lebih
memungkinkan baginya untuk menyayangi orang lain, dan apabila
seorang individu merasa benci pada dirinya, maka akan lebih
memungkinkan untuk merasa benci pada orang lain. Terciptanya
hubungan timbal balik antara penerimaan diri dan penerimaan orang
lain adalah individu yang memiliki penerimaan diri merasa percaya
diri dalam memasuki lingkungan sosial.
42
Aspek penerimaan diri menurut Morgado (2014) ada tiga yaitu:
a. Penerimaan terhadap kondisi tubuh (body acceptance).
Setiap individu memiliki kondisi tubuh yang berbeda-beda. Individu
yang mampu menerima dirinya dapat dilihat dari indikator
tanggapannya terhadap kondisi fisik yang dimilikinya. Bentuk tubuh,
tinggi badan dan kelengkapan tubuh bagi individu yang penerimaan
dirinya tinggi akan diterimanya dengan suka cita.
b. Proteksi diri dari stigma sosial (self protection from social stigmas).
Setiap individu bebas memiliki penilaian terhadap individu lain.
Individu yang penerimaan dirinya tinggi akan menanggapi stigma
sosial yang ada secara bijaksana. Artinya dirinya tidak mudah
terpengaruh dengan pandangan buruk masyarakat terhadapnya.
c. Rasa percaya pada kemampuan yang dimiliki (feeling and believing in
one’s capacities).
Rasa percaya pada kemampuan yang dimiliki merupakan keyakinan
individu pada kemampuan yang dimiliki untuk melakukan suatu usaha
menuju masa depan yang lebih baik.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat
beberapa aspek penerimaan diri yaitu persepsi mengenai diri dan sikap
terhadap penampilan, sikap terhadap kelemahan dan kekuatan diri sendiri
dan orang lain, perasaan infeoritas sebagai gejala penolakan diri, respon
atas penolakan dan kritikan, keseimbangan antara “real self” dan “ideal
self”, penerimaan diri dan penerimaan orang lain, penerimaan terhadap
43
kondisi tubuh (body acceptance), proteksi diri dari stigma sosial (self
protection from social stigmas), serta rasa percaya pada kemampuan yang
dimiliki (feeling and believing in one’s capacities). Aspek yang digunakan
untuk penerimaan diri adalah aspek milik Morgado (2014) yaitu
penerimaan terhadap kondisi tubuh (body acceptance), proteksi diri dari
stigma sosial (self protection from social stigmas), serta rasa percaya pada
kemampuan yang dimiliki (feeling and believing in one’s capacities).
Alasan dipilihnya aspek tersebut karena sebagaimana yang dikemukakan
Angelia (2015) aspek tersebut sesuai untuk subjek yang mengalami
gangguan mental.
3. Pelatihan Penerimaan Diri
Kata pelatihan digunakan karena pada individu akan diajarkan suatu
perilaku baru yang bersifat praktis, yaitu keterampilan yang digunakan dalam
kehidupan sehari-hari dan dipelajari dalam waktu singkat. Prinsip belajar yang
dipakai dalam pelatihan adalah prinsip belajar orang dewasa. Pada kegiatan
pelatihan, tanggung jawab akan proses belajar sepenuhnya berada di tangan
peserta. Hal ini sebagaimana proses belajar, aspek yang dituju bukan hanya
aspek kognitif, namun juga aspek afektif dan psikomotor. Perubahan yang
meliputi ketiga aspek tersebut akan tercapai apabila peserta pelatihan
dilibatkan dalam proses, melalui bermain peran, dan bukan hanya dengan
mendemontrasikan beberapa keterampilan saja. Disamping itu, demontrasi
atas contoh-contoh yang diberikan akan lebih efektif apabila contoh itu berupa
persoalan-persoalan yang nyata serta berhubungan dengan peserta dan
44
langsung dalam diri peserta. Hal tersebut menyebabkan dalam pelatihan,
peserta tidak sekedar diajari tetapi diberi motivasi untuk mencari pengetahuan,
keterampilan, perilaku yang lebih baru dengan menggali sumber daya dalam
dirinya (Larasati, 2009).
Pelatihan berkaitan erat dengan masalah belajar, artinya belajar adalah
suatu proses atau adanya usaha dimana suatu organisme berubah perilakunya
sebagai akibat dari pengalaman karena adanya interaksi dengan lingkungan.
Perubahan perilaku sebagai hasil dari pengalaman merupakan hasil belajar.
Penggunaan pelatihan sebagai salah satu bentuk kegiatan belajar diharapkan
dapat merubah perilaku, yang disebabkan adanya penghayatan pengalaman
dalam mengikuti pelatihan (Angelia, 2015).
Anastasi (2002) mendefinisikan pelatihan dalam arti sempit merupakan
keterampilan atau informasi tertentu, sedangkan dalam arti luas latihan
merupakan upaya pengembangan seperti usaha yang dilakukan dalam dunia
pendidikan. Pelatihan harus dikembangkan melalui tiga langkah yaitu:
1) analisa tugas, yaitu menetapkan materi yang harus dipelajari; 2)
penyusunan tahapan latihan, yaitu pemilihan teknik dan media instruksi; 3)
evaluasi latihan, yaitu untuk mengetahui pencapaian tujuan yang ditetapkan.
Pelatihan merupakan kumpulan rencana yang teratur dari pengalaman
pendidikan untuk melakukan modifikasi. Setiap pelatihan terdapat beberapa
komponen yang perlu dipenuhi yaitu sasaran pelatihan, pelatih, bahan
pelatihan, metode pelatihan, media pelatihan, dan peserta yang masing-masing
saling mempengaruhi dan menunjang keberhasilan pelatihan.
45
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pelatihan adalah
pengajaran pada individu tentang suatu perilaku baru yang bersifat praktis,
yaitu keterampilan yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari dan dipelajari
dalam waktu singkat. Kegiatan pelatihan membutuhkan tanggung jawab dari
peserta akan proses belajar. Kondisi ini menunjukkan bahwa dalam pelatihan
aspek yang dituju bukan hanya aspek kognitif, namun juga aspek afektif dan
psikomotor.
Salah satu pelatihan yang dapat dilakukan adalah pelatihan penerimaan
diri. Flett et all (2003) menjelaskan bahwa penerimaan diri diartikan sebagai
sikap seseorang yang merasa puas dengan diri sendiri, kualitas-kualitas, dan
bakat-bakatnya sendiri, serta pengakuan akan keterbatasan diri. Ada dua hal
penting dalam arti penerimaan diri tersebut, pertama adanya perasaan puas
terhadap apa yang telah dimiliki sedangkan kedua adalah adanya pengakuan
akan keterbatasan yang dimilikinya.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pelatihan
penerimaan diri adalah mengajarkan suatu perilaku baru yang bersifat praktis
dan dipelajari dalam waktu singkat yang ditujukan untuk menumbuhkan
kemauan individu agar dapat mengakui dan menerima diri apa adanya. Hal
ini diawali proses mengetahui kelebihan, kekurangan, dan atribut pribadi
lainnya, sehingga individu mampu menerima kondisi dirinya secara apa
adanya.
46
4. Langkah-langkah Pelatihan Penerimaan Diri
Sharon (2015) menjelaskan bahwa terdapat langkah-langkah untuk
melakukan pelatihan penerimaan diri. Langkah-langkah tersebut sebagai
berikut:
a. Persiapan
1) Mempersiapkan ruangan yang representatif untuk melakukan pelatihan.
Pada saat pelaksanaan pelatihan sebaiknya ruangan cukup luas untuk
peserta melakukan gerakan. Diharapkan juga tidak ada gangguan suara
pada ruangan.
2) Kursi untuk duduk pasien dibentuk huruf U sehingga psikolog dapat
berhadapan secara langsung dengan semua peserta. Jumlah peserta
maksimal delapan orang untuk pasien depresi agar hasilnya lebih efektif.
3) Mempersiapkan skala penerimaan diri serta form evaluasi.
4) Mempersiapkan peralatan pelatihan sebagaimana yang tercantum pada
modul pelatihan penerimaan diri.
b. Pelaksanaan
1) Sesi I “Ice Breaking” terdiri dari beberapa sub yaitu sesi pembukaan, ice
breaking, serta penetapan kontrak belajar. Ice breaking dilakukan dalam
pelatihan untuk mengakrabkan diri (rapport) dengan peserta dan
memberikan gambaran secara umum tentang kondisi trainer kepada
peserta maupun kondisi peserta kepada trainer. Adanya ice breaking juga
diharapkan dapat membuat para peserta pelatihan merasa terhibur
sehingga lebih bersemangat dalam mengikuti pelatihan. Kondisi ini tentu
47
saja dapat berdampak positif, artinya peserta yang mengikuti pelatihan
dengan bersemangat akan lebih mudah dalam memahami materi yang
diberikan selama pelatihan.
2) Sesi II “Penerimaan Diri dan Penilaian terhadap Kondisi Tubuh”. Pada
sesi ini akan dijelaskan tentang penerimaan diri, proses terbentuknya
penerimaan diri serta penilaian terhadap kondisi tubuh (body acceptance).
Pada sesi ini selain terdapat penyampaian materi juga dilengkapi sesi
tanya jawab. Tidak semua peserta memiliki tingkat pengetahuan yang
sama tentang materi yang akan disampaikan dalam pelatihan. Hal ini
menyebabkan
pentingnya
memberikan
pemahaman
awal
tentang
penerimaan diri dan penerimaan diri terhadap kondisi tubuh kepada
peserta.
3) Sesi III “Rasa Percaya Diri dan Stigma Sosial”. Pada sesi ini diawali
tanya jawab materi hari pertama. Tujuan dari kegiatan ini mengingatkan
kembali materi yang telah diberikan sebelumnya. Selanjutnya akan
diberikan Game “It’s me” dan “Percaya Diri serta Proteksi Diri dari
Stigma Sosial (Self Protection from Social Stigmas). Penting bagi
individu untuk merasa tidak khawatir dengan stigma sosial yang ada.
Adanya kekhawatiran tersebut dapat menghambat individu untuk
melakukan interaksi dengan individu lain.
c. Evaluasi
Pada tahap evaluasi, melaksanakan sesi ke 4 yaitu pengisian form evaluasi,
meminta saran, kesan dan masukan dari peserta. Selanjutnya dilakukan
48
penutupan acara. Tujuan kegiatan ini yaitu melakukan evaluasi terhadap
pelaksanaan pelatihan serta menutup kegiatan pelatihan.
Disimpulkan bahwa terdapat langkah-langkah pelatihan penerimaan diri
yaitu persiapan, pelaksanaan dan evaluasi. Pada pelaksanaan pelatihan
penerimaan diri dibagi menjadi tiga sesi serta dilakukan selama dua hari dan
dalam sehari pelaksanaannya 2 jam.
C. Pelatihan Penerimaan Diri untuk Penurunan Depresi
Hasil penelitian Vasile (2013) menunjukkan bahwa setiap individu memiliki
penerimaan diri yang berbeda-beda. Kesehatan mental termasuk depresi akan
dipengaruhi oleh penerimaan diri yang dimilikinya. Hasil penelitian tersebut
menyimpulkan bahwa implikasi dari penerimaan diri lainnya adalah dampak
sosial. Pelatihan penerimaan diri menurut penelitian tersebut sangat sesuai
digunakan untuk subjek yang sudah tuna daksa atau memiliki gangguan mental
termasuk depresi.
Vasile (2013) menjelaskan bahwa ketika pasien depresi dilatih penerimaan
dirinya, maka yang pertama dirinya akan menjadi lebih mampu menerima kondisi
diri yang secara apa adanya. Hal ini akan meminimalisir rasa tertekan yang
dimiliki dan saat self ideal tidak tercapai, maka tidak akan mengalami
kekecewaan secara berkesinambungan.
Adanya pelatihan penerimaan diri menurut Adam (2014) dapat menurunkan
depresi. Pasien yang mengalami depresi setelah mendapatkan pelatihan
penerimaan diri akan melihat atau fokus pada kelebihan yang dimiliki dan
49
menyadari bahwa setiap individu terlahir dengan kelebihan masing-masing. Hal
ini akan semakin membuat individu merasa berharga dan lebih percaya pada
kemampuan yang dimiliki. Adanya rasa berharga akan dirinya membuat individu
merasa nyaman dan akhirnya meminimalisir depresi yang ada.
Keliat & Akemat (2005) mengemukakan bahwa terapi aktivitas kelompok
ataupun pelatihan yang dilakukan dalam suatu kelompok memiliki kelebihan yaitu
memberikan kesempatan individu untuk belajar dari pengalaman orang lain.
Rosenbaum & Snawdowsky (1976) juga mengemukakan hal yang serupa. Angelia
(2015) lebih lanjut mengemukakan bahwa adanya pelatihan penerimaan diri dapat
membuat individu menyadari bahwa tidak ada seorangpun yang sempurna.
Umumnya individu yang memiliki keinginan untuk selalu sempurna, akan
memiliki harapan yang tinggi. Pada kenyataannya tidak semua yang diharapkan
oleh individu menjadi kenyataan. Tidak terpenuhinya harapan pada individu yang
perfeksionis, akan membuat individu tersebut menjadi tertekan dan akhirnya
mengalami depresi. Adanya pelatihan penerimaan diri akan membuat individu
menyadari kelebihan serta kelemahannya. Kelemahan yang ada selanjutnya
disadari oleh individu sebagai hal yang wajar dimiliki oleh manusia. Apabila
individu tersebut menyadari bahwa kelemahan diri adalah sesuatu yang wajar
dimiliki oleh semua orang, maka saat ada kesalahan yang dilakukan, individu
akan mudah memaafkan diri sendiri dan akhirnya terhindar dari depresi yang
berkelanjutan. Hal ini menunjukkan pentingnya bagi individu tersebut untuk
mendapatkan pelatihan penerimaan diri. Diharapkan dengan adanya pelatihan
50
tersebut, maka individu tidak akan menjadi perfeksionis. Apabila individu telah
mampu menyadari keterbatasannya, maka depresi dapat diminimalisir.
Modul pelatihan yang digunakan dalam penelitian ini mengadopsi dari
Angelia (2015) yang juga telah melakukan penelitian eksperimen dengan judul
“Pelatihan Penerimaan Diri pada Pasien Depresi di RSJ Cisarua Jawa Barat“.
Penelitian tersebut mengambil enam orang subjek dengan gangguan depresi.
Pelatihan ini menunjukkan bahwa adanya pelatihan penerimaan diri dapat
menurunkan tingkat depresi pada pasien di RSJ Cisarua Jawa Barat.
Apabila individu mampu menerima dirinya maka kondisi emosinya akan
lebih stabil. Ia akan senang menerima kenyataan yang berhubungan dengan
tubuhnya, merawat tubuhnya dengan baik dan tidak mau menyakiti tubuhnya
sendiri. Rasa sedih dan marah menerima kenyataan tubuhnya terhindar karena
menganggap tubuh yang dimiliki merupakan anugerah dan memiliki kelebihan
tertentu. Hal ini tentu saja akan meminimalisir simtom depresi berupa aspek
emosional. Gangguan emosi menurun yang ditunjukkan adanya rasa nyaman
dengan tubuhnya serta tidak mau menyakiti tubuh (Feist, 2010).
Agustiani (2006) juga mengemukakan apabila individu mau menerima
kondisi tubuhnya secara apa adanya, maka gangguan fisik yang dialami akan
menurun. Hal ini ditunjukkan dengan berkurangnya rasa mudah lelah pada
anggota tubuh serta tidur menjadi lebih nyenyak. Orang yang tidak mau menerima
tubuh secara apa adanya cenderung akan terus memikirkan kekurangannya
sehingga pada akhirnya membuat ia sulit tidur dan merasa tubuhnya mudah lelah
saat melakukan aktivitas. Adanya pelatihan penerimaan diri membuat individu
51
menyadari bahwa fisiknya tidak terganggua sehingga tidak akan memunculkan
psikosomatis.
Apabila individu tidak peduli dengan stigma sosial atau memiliki proteksi
diri dari stigma sosial serta percaya pada kemampuannya maka gangguan kognitif
yang dialami akan menurun. Hal ini ditunjukkan dengan semakin fokus pada
kelebihan atau citra tubuh tidak terdistorsi, memiliki harapan, serta tidak
menyalahkan diri sendiri. Adanya gangguan motivasional juga akan menurun
yang ditunjukkan dengan lebih bersemangat untuk menjalani kehidupan serta
merasa lebih berenerji (Malhi & Bridges, 1998).
Adanya pelatihan penerimaan diri membuat proses penilaian diri lebih baik
dari sebelumnya yang akhirnya menurunkan tingkat depresi pada individu. Hal ini
sebagaimana yang dikemukakan Bandura (1994) bahwa individu yang depresi
lebih mungkin melakukan penilaian yang salah. Dirinya menentukan standar yang
tidak realistis dan sangat tinggi, sehingga pencapaian pribadi apapun akan dinilai
sebagai kegagalan. Apabila telah mencapai kesuksesan dimata orang lain,
individu itu terus mengkritik performanya. Depresi lebih mungkin terjadi pada
orang yang menentukan tujuan dan standar personal yang jauh lebih tinggi
daripada persepsi kemampuan untuk mencapai hal-hal tersebut.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pelatihan penerimaan
diri dapat menurunkan depresi individu. Adanya pelatihan tersebut membuat
individu akan menjadi lebih mampu menerima kondisi diri yang secara apa
adanya, fokus pada kelebihan yang dimiliki dan menyadari bahwa setiap individu
52
terlahir dengan kelebihan masing-masing serta individu tidak akan menjadi
perfeksionis.
D. Landasan Teori
Individu yang mengalami depresi menurut Beck (1985) dapat dilihat dari
simtom berupa gangguan emosi, kognitif, fisik ataupun motivasional. Gangguan
emosi dapat ditunjukkan dengan merasa tidak nyaman akan kondisi dirinya, serta
ingin menyakiti diri sendiri. Gangguan kognitif berupa citra tubuh terdistorsi,
tidak memiliki harapan, serta sering menyalahkan diri sendiri. Gangguan fisik
meliputi mudah lelah pada anggota tubuh, serta sulit tidur. Gangguan
motivasional berkaitan dengan kurang bersemangat dan kurang berenerji.
Damacela et all (2000) mengemukakan bahwa teori self-discrepancy
menghubungkan jarak antara persepsi tentang diri dengan standar pribadi individu
tersebut. Kesenjangan diri terfokus pada kecenderungan individu untuk
membandingkan penampilan yang mereka persepsi (aktual) dengan penampilan
ideal yang mereka bayangkan atau orang lain yang ideal. Ideal self adalah
representasi mental dari harapan, mimpi dan aspirasi seseorang dan self seringkali
berupa image diri abstrak di masa datang, sehingga dapat berubah-ubah sebagai
suatu standar dalam perbandingan dengan self real. Jika terdapat diskrepansi
antara real dan ideal self, individu akan merasa kecewa, frustasi, sedih atau
merasa ada kebutuhan yang tak terpenuhi. Apabila berkelanjutan hal ini
menyebabkan depresi.
53
Vasile (2013) menjelaskan bahwa semakin menyatunya konsep diri real
dengan konsep diri ideal akan menurunkan tingkat depresi individu. Artinya
apabila pasien depresi dilatih penerimaan dirinya, ia menjadi lebih mampu
menerima
kondisi
diri
yang
secara
apa
adanya.
Apabila
mengalami
ketidaksesuaian antara konsep diri real dengan konsep diri ideal, maka dirinya
dapat menerima kondisi tersebut sebagai hal yang wajar. Hal tersebut sesuai
dengan penjelasan Morgado (2014) individu yang memiliki penerimaan diri
positif akan ditunjukkan dengan adanya kemauan yang ada dalam diri untuk
mengakui dan menerima diri. Ini diawali proses mengetahui kelebihan,
kekurangan,
dan
atribut
pribadi
lainnya,
sehingga
individu
mampu
membandingkan antara dirinya yang ideal dengan yang nyata atau riil. Adanya
pemahaman tentang kelebihan dan kekurangan diri membuat individu menerima
dirinya secara utuh karena menyadari bahwa tidak ada individu yang sempurna.
Kesenjangan antara diri ideal dengan real menjadi terminimalisir.
Morgado (2014) lebih lanjut menjelaskan bahwa pelatihan penerimaan diri
memiliki tiga aspek yaitu penerimaan terhadap kondisi tubuh (body acceptance),
proteksi diri dari stigma sosial (self protection from social stigmas), serta rasa
percaya pada kemampuan yang dimiliki (feeling and believing in one’s
capacities). Individu yang mengalami depresi cenderung merasa tidak nyaman
dengan kondisi tubuhnya. Salah satu aspek yang diajarkan dalam pelatihan
penerimaan diri adalah penerimaan terhadap kondisi tubuh. Adanya pemahaman
tentang penerimaan kondisi tubuh dapat membuat individu merasa nyaman
dengan dirinya. Hal ini sesuai dengan penjelasan Agoes (2007) yang
54
mengemukakan bahwa salah satu aspek dari penerimaan diri yaitu adanya
persepsi mengenai diri dan sikap terhadap penampilan. Individu yang memiliki
penerimaan diri positif, berpikir lebih realistik tentang penampilan dan bagaimana
dirinya terlihat dalam pandangan orang lain. Kondisi ini bukan berarti individu itu
mempunyai gambaran sempurna tentang dirinya, melainkan individu tersebut
dapat melakukan sesuatu dan berbicara dengan baik mengenai dirinya yang
sebenarnya. Individu pada akhirnya merasa nyaman dengan kondisi tubuh yang
dimiliki.
Aspek yang kedua diajarkan dalam pelatihan penerimaan diri menurut
Morgado (2014) adalah proteksi diri dari stigma sosial. Adanya materi tentang
pelatihan tersebut mampu membuat individu memahami tentang kelebihan dan
kekurangan yang dimiliki. Dirinya juga tidak akan terbebani atau merasa terancam
dengan stigma dari individu lain karena menyadari bahwa tidak ada manusia yang
sempurna. Kondisi ini membuat individu tidak merasa tertekan dengan stigma
yang ada. Hal ini sesuai dengan penjelasan Agoes (2007) yang mengemukakan
bahwa individu yang memiliki penerimaan diri positif memandang kelemahan dan
kekuatan dalam dirinya lebih baik. Dirinya tidak mau menyia-nyiakan energinya
untuk hal yang tidak mungkin. Individu itu tidak berusaha menyembunyikan
kelemahan dari dirinya sendiri maupun orang lain. Individu tersebut juga terus
mengembangkan kemampuan yang dimiliki. Artinya, ia bersikap lebih bijaksana
dalam menilai kelemahan dan kekuatan dirinya serta menilai kelemahan dan
kekuatan orang lain. Ini karena adanya kesadaran bahwa setiap manusia memiliki
kelebihan dan kekurangan.
55
Materi yang ketiga dalam pelatihan penerimaan diri menurut Morgado
(2014) adalah rasa percaya pada kemampuan yang dimiliki. Apabila individu
percaya pada kemampuannya maka hal ini akan memberikan motivasi intrinsik
pada individu untuk melakukan segala sesuatu secara maksimal sesuai dengan
kemampuannya. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Agoes (2007)
bahwa individu yang memiliki penerimaan diri menyadari bahwa setiap manusia
memiliki kemampuan yang berbeda dan ia akan meyakini bahwa dirinya mampu
memaksimalkan potensi yang dimilikinya. Hal ini didukung adanya kesadaran
bahwa setiap orang mampu belajar dari pengalaman dan memperbaiki diri.
Agoes (2007) lebih lanjut mengemukakan bahwa salah satu aspek dari
individu yang memiliki penerimaan diri adalah mempunyai keseimbangan antara
real self dengan ideal self. Dirinya mampu mempertahankan harapan dan tuntutan
dengan baik. Individu tersebut menjadi realistis. Artinya memiliki harapan namun
juga menyadari batasan yang dimiliki. Tujuan atau keinginannya dalam
mewujudkan sesuatu bukan lagi berdasarkan angan namun mempertimbangkan
kemampuan yang dimiliki sehingga cenderung tujuan tersebut realistis dan dapat
dicapai.
Damacela et all (2000) mengemukakan bahwa teori self-discrepancy
menjelaskan apabila standar yang dimiliki oleh individu diturunkan dengan
mempertimbangkan kesadaran akan batasan yang dimiliki maka membuat dirinya
memiliki tujuan yang realistis. Feist (2010) lebih lanjut menjelaskan bahwa jika
individu mampu menerima dirinya maka kondisi emosinya akan lebih stabil. Ia
akan senang menerima kenyataan yang berhubungan dengan tubuhnya, merawat
56
tubuhnya dengan baik dan tidak mau menyakiti tubuhnya sendiri. Rasa sedih dan
marah menerima kenyataan tubuhnya terhindar karena menganggap tubuh yang
dimiliki merupakan anugerah dan memiliki kelebihan tertentu. Hal ini tentu saja
akan meminimalisir simtom depresi berupa aspek emosional. Gangguan emosi
menurun yang ditunjukkan adanya rasa nyaman dengan tubuhnya serta tidak mau
menyakiti tubuh.
Agustiani (2006) juga mengemukakan apabila individu mau menerima
kondisi tubuhnya secara apa adanya, maka gangguan fisik yang dialami akan
menurun. Hal ini ditunjukkan dengan berkurangnya rasa mudah lelah pada
anggota tubuh serta tidur menjadi lebih nyenyak. Orang yang tidak mau menerima
tubuh secara apa adanya cenderung akan terus memikirkan kekurangannya
sehingga pada akhirnya membuat ia sulit tidur dan merasa tubuhnya mudah lelah
saat melakukan aktivitas. Adanya pelatihan penerimaan diri membuat individu
menyadari bahwa fisiknya tidak terganggua sehingga tidak akan memunculkan
psikosomatis.
Malhi & Bridges (1998) lebih lanjut mengemukakan bahwa jika individu
tidak peduli dengan stigma sosial atau memiliki proteksi diri dari stigma sosial
serta percaya pada kemampuannya maka gangguan kognitif yang dialami akan
menurun. Hal ini ditunjukkan dengan semakin fokus pada kelebihan atau citra
tubuh tidak terdistorsi, memiliki harapan, serta tidak menyalahkan diri sendiri.
Adanya gangguan motivasional juga akan menurun yang ditunjukkan dengan
lebih bersemangat untuk menjalani kehidupan serta merasa lebih berenerji.
57
Kondisi Depresi
Gangguan emosi :
Gangguan fisik :
* Tidak nyaman dengan dirinya
* Mudah lelah pada anggota tubuh
* Ingin menyakiti diri sendiri
* Sulit tidur
Gangguan kognitif :
Gangguan motivasional :
* Citra tubuh terdistorsi
* Kurang bersemangat
* Tidak memiliki harapan
* Kurang berenerji
* Sering menyalahkan diri sendiri
Konsep
Diri Real
Konsep
Diri Ideal
Pelatihan Penerimaan Diri
Proses penilaian diri lebih realistis
Individu menjadi :
 Lebih mampu menerima kondisi diri yang secara apa adanya
 Mampu belajar dari pengalaman dan meninjau kembali
sikapnya yang terdahulu untuk memperbaiki diri.
 Seseorang yang tidak perfeksionis.
Congruensi antara diri real dengan ideal
Konsep Diri Real
Konsep
Konsep&Diri
Real
Diri Ideal
Aspek:
 Penerimaan terhadap kondisi
tubuh
Gangguan emosi menurun:
 Merasa nyaman dengan
tubuhnya
 Tidak mau menyakiti tubuh
Gangguan fisik menurun:
 Berkurangnya rasa mudah lelah
pada anggota tubuh
 Tidur menjadi lebih nyenyak
Aspek:
 Proteksi diri dari stigma sosial
 Rasa percaya pada kemampuan
Gangguan kognitif menurun:
 Fokus pada kelebihan atau citra
tubuh tidak terdistorsi
 Memiliki harapan
 Tidak menyalahkan diri sendiri
Gangguan motivasional menurun:
 Lebih bersemangat untuk
menjalani kehidupan
 Merasa lebih berenerji
Penurunan Tingkat Depresi
Gambar 3.2. Kerangka Teoritis
58
Nampak dari gambar di atas sesuai dengan penjelasan Vasile (2013) bahwa
depresi dapat diminimalisir dengan adanya penerimaan diri yang dimiliki
individu. Apabila penerimaan diri yang ada pada individu tinggi, maka dirinya
akan mampu menerima kesenjangan antara self ideal dengan self real. Kondisi ini
dianggap
oleh
individu
tersebut
sebagai
sesuatu
yang memang
akan
diperjuangkannya untuk diubah namun tetap mempertimbangkan kemampuan
diri. Individu yang mampu menerima dirinya meminimalisir gangguan emosi,
fisik, kognitif dan motivasional sehingga depresi akan menurun.
A. Hipotesis
Terdapat dua hipotesis dalam penelitian ini:
1. Ada perbedaan tingkat depresi pada pasien yang mendapatkan pelatihan
penerimaan diri (kelompok eksperimen) dengan pasien yang tidak
mendapatkan pelatihan penerimaan diri (kelompok kontrol). Depresi pada
pasien yang mendapat pelatihan penerimaan diri lebih rendah daripada pasien
yang tidak mendapat pelatihan penerimaan diri.
2. Ada perbedaan tingkat depresi pada kelompok eksperimen antara sebelum
pelatihan (pretest) dengan setelah pelatihan (posttest). Tingkat depresi pada
kelompok eksperimen sebelum pelatihan lebih tinggi dibandingkan setelah
pelatihan.
Download