PELAKSANAAN PENYELESAIAN KREDIT MACET - E

advertisement
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
PELAKSANAAN PENYELESAIAN KREDIT MACET SECARA NON
LITIGASI (STUDI DI PT. BPR HASA MITRA)
HIKMAH1
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor penyebab kredit macet dan
mengetahui pelaksanaan penyelesaian kredit macet pada PT. BPR Hasa Mitra
secara non litigasi. Untuk menjawab permasalah tersebut dilakukan penelitian
normatif empiris dengan meneliti data primer dan data skunder, sehingga metode
ini mencoba memperhatikan, mengkaji dan mengetahui pemberlakuan atau
penerapan hukum dalam praktek di masyarakat. Dapat disimpulkan bahwa
penyebab terjadinya kredit macet dapat disebabkan oleh faktor yang berasal dari
Bank maupun dari Nasabah. Faktor dari perbankan meliputi kelemahan dalam
analisis kredit, bank terlalu yakin dengan kemauan dan kemampuan nasabah,
tidak memiliki informasi yang memadai khususnya karakter nasabah, dan
kebijakan pimpinan. Faktor dari nasabah meliputi kelemahan karakter nasabah,
kemampuan nasabah, persaingan usaha, usaha menurun atau bangkrut, nasabah
memiliki hutang disana-sini. Penyelesaian Kredit bermasalah pada PT. BPR Hasa
Mitra lebih ditekankan pada jalur non litigasi yaitu dengan upaya negosiasi yang
dilakukan dengan cara Reschduling, Restrukturing dan Reconditioning.
Kata Kunci: Kredit Macet, Penyelesaian Melalui Jalur Non Litigasi.
1
Dosen Program Studi Ilmu Ekonomi Universitas Putera Batam
1
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Salah satu tujuan Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah
memajukan kesejahteraan umum. Untuk mencapai tujuan memajukan
kesejahteraan umum tersebut, maka pembangunan disegala bidang harus
dilakukan dengan memperhatikan keserasian, keselarasan dan berkeseimbangan
berbagai unsur pembangunan, diantaranya adalah pembangunan dibidang
ekonomi, termasuk usaha mikro, kecil dan menengah juga memegang peran
penting dalam pembangunan ekonomi karena tingkat penyerapan tenaga
kerjanya yan relatif tinggi dan kebutuhan modal investasinya yang kecil.
Bank sebagai salah satu lembaga keuangan mempunyai peranan penting
dalam kehidupan masyarakat. Bank adalah Badan usaha yang menghimpun
dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada
masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka
peningkatan taraf hidup orang banyak. Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan menyatakan bahwa bank adalah: “Badan usaha yang
menghimpun
dana
dari
masyarakat
dalam
bentuk
simpanan,
dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentukbentuk lainya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak“.
Perbankan dalam melakukan penyaluran kredit harus melakukannya
dengan prinsip kehati-hatian melalui analisis yang akurat dan mendalam.
Penyaluran kredit yang tepat dan pengawasan kredit yang ketat, serta
perjanjian kredit yang sah menurut hukum pengikatan jaminan yang kuat dan
administratif perkreditan yang teratur dan lengkap bertujuan agar kredit yang
disalurkan oleh pihak bank kepada masyarakat dapat kembali tepat waktu dan
sesuai dengan perjanjian kreditnya. Analisis yang dilakukan oleh perbankan untuk
mengetahui dan menentukan apakah seseorang itu layak atau tidak untuk
memperoleh kredit. Pada umumnya pihak perbankan mnggunakan instrumen
2
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
analisis yang dikenal dengan the five of credit atau 5 C. Pengertian 5 C disini
antara lain a. character (kepribadian) yaitu penilaian atas karakter atau watak dari
calon debitornya, b. capacity (kemampuan) yaitu prediksi tentang kemampuan
bisnis dan kinerja bisnis debitor untuk melunasi hutangnya, c. capital (modal)
yaitu penilaian kemampuan keuangn debitor yang mempunyai kolerasi
langsung dengan tingkat kemampuan bayar kreditor, d. condition of economy
(kondisi ekonomi) yaitu analisis trhadap kondisi perekonomian debitor secara
mikro maupun makro dan e. collateral (agunan) yaitu harta kekayaan debitor
sebagai jaminan bagi pelunasan hutangnya jika kredit dalam keadaan macet.2
Kondisi kredit bank yang telah disalurkan kepada masyarakat dalam
jumlah besar, ternyata banyak sekali debitor tidak membayar tepat pada
waktunya sesuai dengan perjanjian. Adapun perjanjian kredit yang
dijalankan oleh bank antara lain, meliputi; pinjaman pokok dan bunga dimana
hal ini menyebabkan kredit dapat digolongkan menjadi non performing loan
(selanjutnya disingkat menjadi NPL) atau kredit bermasalah. Adanya kredit
bermasalah menyebabkan bank tengah menghadapi resiko usaha bank etnis
resiko
kredit
(default
risk).
Resiko
kredit
yaitu
resiko
akibat
ketidakmampuan nasabah debitor mengembalikan pinjaman yang diterimanya
dari bank beserta bunganya sesuai dengan jangka waktu yang telah
ditentukan”.3 Kredit bermasalah selalu ada dalam kegiatan perkreditan bank,
karena bank mungkin menghindari adanya kredit bermasalah, bank hanya
bisa menekan seminimal mungkin besarnya kredit bermasalah agar tidak melebihi
ketentuan Bank Indonesia sebagai pengawas perbanka.4 PT.BPR Hasa Mitra
merupakan salah satu bank yang sedang menghadapi kredit bermasalah yang
terjadi pada tahun 2015 dimana debitur yang mengajukan pinjaman uang kepada
BPR Hasa Mitra mengalami kesulitan dalam hal mengembalikan pinjaman.
2
Munir, Fuady. (2006). Hukum Perkreditan Kontemporer. PT Citra Aditya Bakti. Bandung.
Hal. 21.
3
Muhammad, Abdulkadir dan Murniati, Rilda. (2005). Lembaga Keuangan dan Pembiayaan.
PT Citra Aditya Bakti. Bandung. Hal. 97.
4
Ibid. Hal. 263.
3
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
Pihak bank dalam menyelesaikan kredit bermasalah akan melihat
terlebih dahulu kondisi kredit yag bermasalah tersebut. BPR Hasa Mitra
dalam proses penyelesaian kredit bermasalahnya lebih memilih menggunakan
jalur non litigasi. Tentunya pihak perbankan mempunyai beberapa
pertimbangan atau alasan-alasan tertentu yang membuat mereka memilih
menyelesaikan permasalahan kredit bermasalah melalui jalur non litigasi.
Penyelesaian melalui jalur non litigasi pada umumnya memberikan keuntungan
kepada pihak debitur maupun kreditur.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan di atas, maka penulis dapat
merumuskan masalahnya sebagai berikut:
1. Faktor penyebab terjadinya kredit macet pada PT. BPR Hasa Mitra?
2. Bagaimanakah pelaksanaan penyelesaian kredit macet pada PT. BPR Hasa
Mitra secara non litigasi?
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Kredit yang diberikan oleh bank mempunyai pengaruh yang sangat
penting dalam kehidupan perekonomian suatu negara karena kredit yang
diberikan secara selektif dan terarah oleh bank kepada nasabah dapat menunjang
terlaksananya pembangunan sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat.
Tujuan utama pemberian suatu kredit, antara lain:
1. Mencari keuntungan
Bertujuan untuk memperoleh hasil dari pemberian kredit tersebut.
Hasil tersebut terutama dari bentuk bunga yang diterima oleh bank
sebagai balas jasa dan biaya administrasi kredit yang dibebankan kepada
nasabah. Keuntungan ini penting untuk kelangsungan hidup bank. Jika
bank yang terus menerus menderita kerugian, maka besar kemungkinan
bank tersebut akan dilikuidasi (dibubarkan).
4
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
2. Membantu Usaha Nasabah
Tujuan lainnya adalah membantu usaha nasabah yang memerlukan dana,
baik dana investasi maupun dana untuk modal kerja. Dengan dana tersebut,
maka pihak debitur akan dapat mengembangkan dan memperluas
usahanya.
3. Membantu Pemerintah
Bagi pemerintah semakin banyak kredit yang disalurkan oleh pihak
perbankan, maka semakin baik, mengingat semakin banyak kredit
berarti adanya peningkatan pembangunan diberbagai sektor.5
Bank dalam memberikan kredit, wajib mempunyai keyakinan atas
kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan
yang diperjanjikan, serta harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat
karena kredit yang diberikan oleh bank mengandung resiko. Dalam pemberian
kredit ini bank menghendaki adanya jaminan atau agunan yang dapat digunakan
sebagai pengganti pelunasan hutang apabila nantinya debitur tidak mampu
membayar kreditnya kepada bank atau wanprestasi. Usaha perbankan
sebagaimana diketahui bukanlah badan usaha biasa seperti halnya perusahaan
yang bergerak dibidang perdagangan dan jasa, melainkan suatu badan usaha yang
bergerak dibidang jasa keuangan. Bank mempunyai kegiatan usaha khusus
seperti yang diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(selanjutnya disebut Undang- Undang Perbankan), yaitu :
a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa Giro,
Deposito berjangka, Deposito, Tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu.
b. Memberikan kredit
c. Melakukan kegiatan valuta asing dengan ketentuan yang ditetapkan oleh
5
Kasmir. (2007). Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Hal. 96.
5
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
Bank Indonesia.
Analisa dilakukan perbankan untuk mengetahui dan menentukan apakah
seseorang itu layak atau tidak untuk memperoleh kredit. Pada umumnya pihak
perbankan menggunakan instrumen analisis yang dikenal dengan the five of
credit atau the 5 C, antara lain character (kepribdian) yaitu penilaian atas
karakter atau watak dari calon debitur, capacity (kemampuan) yaitu prediksi
tentang kemampuan bisnis dan kinerja bisnis debitur untuk melunasi hutangnya,
capital (modal) yaitu penilaian kemampuan keuangan debitur yang mempunyai
korelasi langsung dengan tingkat kemampuan bayar kreditur, condition of
economy (kondisi ekonomi) yaitu analisis terhadap kondisi perekonomian debitur
secara mikro maupun makro dan collateral (agunan) yaitu harta kekayaan debitur
sebagai jaminan bagi pelunasan hutangnya jika kredit dalam keadaan macet.
Banyak kredit bank yang bermasalah disebabkan karena berbagai alasan
misalnya: usaha yang dibiayai dengan kredit mengalami kebangkrutan atau
merosot omset penjualannya. Krisis ekonomi, kalah bersaing ataupun kesengajaan
debitur melakukan penyimpangan dalam penggunaan kredit seperti untuk
membiayai usaha yang tidak jelas masa depannya yang mengakibatkan sumber
pendapatan usaha tidak mampu untuk mengembangkan usahanya sehingga mematikan usaha debitur itu sendiri. Adanya kredit bank yang bermasalah
mengakibatkan bank tersebut menghadapi resiko usaha bank jenis resiko
kredit
(default
risk)
yaitu
resiko
akibat
ketidakmampuan
debitur
mengembalikan pinjaman yang diterimanya dari bank beserta bunganya sesuai
dengan jangka waktu yang telah ditentukan.“Kredit bermasalah selalu ada dalam
kegiatan perkreditan bank, karena bank tidak mungkin menghindari adanya kredit
bermasalah, bank harus berusaha menekan seminimal mungkin besarnya kredit
bermasalah agar tidak melebihi ketentuan Bank Indonesia sebagai pengawas
perbankan”.6
6
Sutarno. (2005). Aspek-aspek Hukum Perkreditan pada Bank. Alfabeta. Jakarta. Hal. 263.
6
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
Penyelesaian kredit bermasalah melalui jalur non litigasi adalah
penyelesaian yang saling menguntungkan (win-win solution). Langkahlangkah untuk mencapai penyelesaian kredit bermasalah tersebut dengan cara
yang saling menguntungkan demikian dapat dicapai melalui cara, konsultasi,
negoisasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.7 Penyelesaian kredit bermasalah
melalui jalur non litigasi dilakukan oleh bank dengan harapan debitur dapat
kembali melakukan pembayaran kreditnya sebagaimana mestinya baik melalui
cara rescheduling, reconditioning ataupun restructuring yang dalam istilah
perbankan lebih dikenal dengan sebutan 3 R. Secara administratif, kredit yang
diselesaikan melalui jalur non litigasi adalah kredit yang semula tergolong
kurang lancar, diragukan atau macet yang kemudian diusahakan untuk diperbaiki
sehingga mempunyai kolekbilitas lancar. Tindakan penyelesaian kredit
bermasalah apat ditempuh dengan upaya:
1. Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan syarat kredit yang
hanya menyangkut jadwal pembayaran dan atau jangka waktu termasuk
masa tenggang, baik yang meliputi perubahan besarnya atau tidaknya
angsuran.
Secara khusus rescheduling bertujuan untuk: Debitur dapat menyusun
dana langsung cash flow secara lebih pasti. Memastikan pembayaran
yang lebih tepat. Memungkinkan debitur untuk mengatur pembayaran
kepada pihak lain selain bank.
2. Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau seluruh
syaratsyarat kredit yang tidak terbatas pada perubahan jadwal pembayaran,
jangka waktu dan atau persyaratan lainnya sepanjang tidak menyangkut
perubahan maksimun saldo kredit.
Upaya penyelamatan kredit secara reconditioning bertujuan untuk:
Menyempurnakan legal documentation. Menyesuaikan kemampuan
membayar debitur dengan kondisi yang terjangkau (angsuran pokok, denda,
7
Muhammad, Djumhana. (2006). Hukum Perbankan di Indonesia. Citra Aditya Bakti.
Bandung. Hal. 560.
7
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
bunga, penalti dan biaya-biaya lainnya). Memperkuat posisi bank
3. Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan syarat-syarat kredit
yang menyangkut: Penambahan dana bank, Konversi seluruh atau
sebagian tunggakan bunga menjadi pokok kredit baru, Konversi seluruh
atau sebagian dari kredit menjadi penyertaan dalam perusahaan.
Secara khusus restructuring bertujuan untuk: Memberikan kesempatan
kepada debitur untuk berusaha kembali melalui penambahan dana oleh
bank, jika permasalahan yang dihadapi oleh debitur adalah berkaitan
dengan masalah kesulitan dana. Memperbaiki kolektabilitas pinjaman
debitur melalui tunggakan bunga, denda, penalti ataupun biaya-biaya lainnya.
Memperkecil tindakan penyelamatan atas kredit dengan kolektabilitas
pinjaman kurang lancar, diragukan dan macet. Seluruhnya harus atas
persetujuan komite kredit sub komite kredit
Pemenuhan prestasi merupakan hakekat dari perikatan sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 1234 KUH Perdata yang berbunyi: ”Tiap-tiap perikatan
adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak
berbuat sesuatu.” Debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya untuk berprestasi
kepada kreditur dapat disebabkan dua kemungkinan alasan, yaitu pertama, karena
kesalahan debitur baik dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban maupun karena
kelalaian. Kedua, karena keadaan memaksa di luar kemampuan debitur, debitur
tidak bersalah. Dalam hal debitur tak dapat memenuhi prestasi dan ada unsur salah
pada dirinya, maka dapat dikatakan debitur dalam keadaan wanprestasi. Hak dan
kewajiban masing-masing pihak yang telah disebutkan di atas apabila
dihubungkan dengan Pasal 1234 KUH Perdata, jika para pihak tidak
berprestasi sebagaimana mestinya dan kesemuanya itu dapat dipersalahkan
kepadanya, maka pihak yang tidak melaksanakan kewajiban dikatakan
dalam wanprestasi.
8
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
Wujud wanprestasi dapat berupa empat macam yaitu:8
1.
Tidak melaksanakan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2.
Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana
dijanjikan;
3.
Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat
4.
Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh
dilakukannya.
Menurut Subekti bentuk wanprestasi yang dilakukan oleh debitur salah
satunya: tidak melakukan apa yang disanggupi terhadap apa yang dilakukannya
maksudnya yaitu apabila debitur tidak memenuhi syarat-syarat efektif penarikan
kredit sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Bentuk wanprestasi yang dapat
dilakukan di PT. BPR Hasa Mitra dapat berupa tidak melaksanakan apa yang
dijanjikannya yaitu apabila debitur telah memenuhi syarat-syarat efektif
penarikan kredit yang ditentukan, tetapi PT. BPR Hasa Mitra tidak jadi
merealisasikan kredit. Berkaitan dengan bentuk wanprestasi maka akibat hukum
wanprestasi seorang debitur menurut Subekti ada empat macam:9
1. Membayar kerugian yang diderita kreditur atau dengan singkat
dinamakan ganti rugi;
2. Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian;
3. Peralihan resiko;
4. Pembayaran biaya perkara, kalau sampai diperkarakan didepan
hakim.
Kelalaian debitur dalam memenuhi kewajibannya tersebut sangat
merugikan pihak bank sebagai krediturnya. Keadaan debitur tidak dapat
melunasi kreditnya sesuai dengan yang diperjanjikan dapat disebut kredit
macet. Dalam praktiknya kemacetan suatu kredit disebabkan oleh dua unsur
sebagai berikut:10
8
Subekti. (2007). Hukum Perjanjian, PT. Intermassa. Jakarta. Hal.45.
Ibid, Hal.45.
10
Khairil Anwar S.E, Wawancara, Kepala Bagian Kredit PT. BPR Hasa Mitra
9
9
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
1. Dari Pihak Perbankan
Dari pihak bank dapat disebabkan oleh hal-hal tersebut di bawah ini yaitu:
a. Dalam melakukan analisis, pihak analis kurang teliti, sehingga apa yang
seharusnya terjadi tidak diprediksi sebelumnya atau salah dalam melakukan
perhitungan.
b. Petugas bank terlalu yakin akan kemauan dan kemampuan nasabah
c. Petugas tidak memilik informasi yang memadai tentang track record
nasabah, khususnya karakter nasabah
d. Kebijakan pimpinan yang memberikan kredit kepada nasabah yang
masih ada hubungan teman dekat atau keluarga, dapat besar
kemungkinan terjadi kredit macet.
2. Dari Pihak Nasabah (Debitur)
Kelemahan dari sisi nasabah (debitur) disebabkan oleh hal-hal tersebut di
bawah ini yaitu :
a. Ketidakmampuan nasabah dalam mengelola usahanya
b. Keberadaan nasabah tidak diketahui
(telah pindah alamat
rumah/lokasi usaha)
c. Kredit bank tidak digunakan untuk modal kerja usaha, sesuai
permohonan kredit tetapi untuk membeli sebidang tanah.
d. Pembiayaan yang dicairkan di tujukan untuk usaha yang sudah berjalan,
namun belakangan hal itu digunakan untuk membuka usaha baru.
e. Usaha yang dibiayai dengan kredit relatif baru, belum memberikan
penghasilan yang memadai.
f. Nasabah mengalami kegagalan karena beralih usaha yang belum pernah
dilakukan.
g. Nasabah tidak berdaya terhadap persaingan usaha yang semakin ketat.
h. Usaha menurun atau bangkrut
i. Memiliki hutang disana-sini (BPR, bank umum, koperasi, pegadaian, dsb).
Pelaksanaan Penyelesaian Kredit Macet Pada PT. BPR Hasa Mitra
Secara Non Litigasi
10
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
Kredit bermasalah selalu ada dalam kegiatan perkreditan bank, karena bank
tidak mungkin menghindarkan adanya kredit bermasalah. Bank hanya berusaha
menekan seminimal mungkin besarnya kredit bermasalah. Pada asasnya, kasus
kredit bermasalah ini adalah persoalan perdata menurut terminologi hukum
perdata, hubungan antara debitur (bank) selaku pemberi kredit merupakan
hubungan utang piutang. Hubungan yang bersangkutan lahir dari
perjanjian. Pihak debitur berjanji untuk mengembalikan pinjaman beserta
biaya dan bunga, dan pihak kreditur memberikan kreditnya.
Penyelesaian kredit bermasalah yang dilakukan oleh PT. BPR Hasa
Mitra, tidak dilakukan secara sepihak melainkan dilakukan secara bertahap
dengan memberikan penilaian kualitas kreditnya, hal ini dimaksudkan
agar pihak debitur dapat mengatur kembali kinerja usahanya dan dapat
memperkirakan hal-hal yang akan terjadi di kemudian hari.
Penyelesaian kredit bermasalah yang dilakukan oleh PT. BPR Hasa
Mitra, secara garis besar dapat ditempuh melalui 2 cara yaitu:
1. Melalui Jalur Litigasi
Penyelesaian kredit bermasalah melalui jalur litigasi merupakan
upaya terakhir dari bank untuk melakukan upaya pengembalian kredit
debitur baik dengan melakukan upaya eksekusi agunan kredit,
pengambil-alihan agunan kredit oleh bank, penjualan agunan secara
sukarela, atau dengan upaya pengajuan gugatan secara perdata atas
pelunasan kewajiban hutang debitur. Dalam hal penyelesaian kredit
bermasalah melalui jalur non litigasi sudah tidak dapat lagi digunakan,
maka bank dapat melakukan penyelesaian kredit melalui jalur litigasi.
Hal ini jika bank telah memutuskan diri untuk tidak lagi membina
hubungan usaha dengan debitur, sehingga mata rantai hubungan usaha
antara bank dengan debitur telah terputus.
Upaya penyelesaian kredit oleh bank melalui pengadilan dapat
dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu:
a. Bank mengajukan gugatan kepada debitur dan atau penjamin karena
11
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
telah melakukan wanprestasi atas kredit yang telah diberikan oleh
bank.
b. Bank mengajukan eksekusi terhadap agunan kredit debitur yang
telah diikat secara sempurna.
2. Melalui Jalur Non litigasi
Penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa /
Alternative Dispute Resolution (ADR) atau disebut non litigasi adalah
penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan kesepakatan para
pihak dengan mengesampingkan penyelesaian sengketa melalui proses
litigasi di pengadilan.11
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 penyelesaiaan
sengketa di luar pengadilan ini dapat dilakukan dengan cara :
1. Konsultasi adalah suatu tindakan yang bersifat “personal”antara suatu
pihak tertentu (klien) dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan,
dimana pihak konsultan memberikan pendapatnya kepada klien sesuai
dengan keperluan dan kebutuhan kliennya.
2. Negosiasi adalah suatu proses tawar-menawar atau upaya untuk mencapai
kesepakatan dengan pihak lain melalui proses interaksi, komunikasi yang
dinamis dengan tujuan untuk mendapatkan penyelesaian atau jalan
keluar atas suatu masalaah yang sedang berlangsung.12 Negosiasi menjadi
suatu metode alternatif penyelesaian sengketa yang sangat tepat, sederhana,
dan menguntungkan kedua belah pihak (win-win solution).13 Mediasi
adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk
memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.
3. Konsiliasi adalah penengah akan bertindak menjadi konsiliator dengan
kesepakatan para pihak dengan mengusahakan solusi yang dapat
diterima.
11
Frans, Hendra, Winarta. (2012). Hukum Penyelesaian Sengketa, Edisi. 2, Sinar Grafika,
Jakarta. Hal. 15.
12
Ibid. Hal.. 24
13
Ibid. Hal. 26
12
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
4. Penilaian ahli adalah pendapat para ahli untuk suatu hal yang bersifat
teknis dan sesuai dengan bidang keahliannya.
Penyelesaian kredit bermasalah melalui jalur non litigasi adalah upaya
penanganan kredit bermasalah yang sifatnya sementara karena manakala
upaya ini gagal maka upaya terakhir yang ditempuh adalah upaya
penyelesaian melalui jalur litigasi. Penyelesaian kredit bermasalah melalui jalur
non litigasi dilakukan oleh bank dengan harapan debitur dapat kembali melakukan
pembayaran kreditnya sebagaimana mestinya. Secara administratif, kredit yang
diselesaikan melalui jalur non litigasi adalah kredit yang semula tergolong
kurang lancar, diragukan atau macet yang kemudian diusahakan untuk
diperbaiki sehingga mempunyai kolekbilitas lancar. Tindakan penyelesaian
kredit bermasalah dapat ditempuh dengan upaya melakukan negosiasi.
Negosiasi dapat dilakukan terhadap debitur yang beritikad baik untuk
menyelesaikan kewajibannya dan cara yang di tempuh dalam penyelesaian
ini dianggap lebih baik dibandingkan alternatif penyelesaian melalui jalur
hukum. Ada beberapa macam perwujudan penyelesaian melalui negosiasi,
diantaranya adalah:
1. Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan syarat kredit yang
menyangkut jadwal pembayaran atau jangka waktunya, termasuk masa
tenggang, baik yang meliputi perubahan besarnya atau tidaknya angsuran.
Secara khusus rescheduling bertujuan untuk:
a. Debitur dapat menyusun dana langsung “cash flow” secara lebih
pasti.
b. Memastikan pembayaran yang lebih tepat.
c. Memungkinkan debitur untuk mengatur pembayaran kepada pihak
lain selain bank.
2. Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau
seluruh syarat-syarat kredit yang tidak terbatas pada perubahan jadwal
pembayaran, jangka waktu dan atau persyaratan lainnya sepanjang tidak
menyangkut perubahan maksimum saldo kredit. Upaya penyelamatan
13
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
secara reconditioning bertujuan untuk:
a. Menyempurnakan legal documentation.
b. Menyesuaikan kemampuan membayar debitur dengan kondisi yang
terjangkau oleh debitur (angsuran pokok, denda, penalti dan biayabiaya lainnya).
c. Memperkuat posisi bank.
3. Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan syarat-syarat kredit
menyangkut:
a. Penambahan dana bank.
b. Konversi seluruh atau sebagian tunggakan bunga menjadi pokok kredit
baru.
c. Konversi seluruh atau sebagian dari kredit menjadi penyertaan dalam
perusahaan.
Secara khusus restructuring bertujuan untuk:
a. Memberikan kesempatan kepada debitur untuk berusaha kembali
melalui penambahan dana oleh bank, jika permasalahan yang dihadapi
oleh debitur adalah berkaitan dengan masalah kesulitan dana.
b. Memperbaiki kollekbilitas pinjaman debitur melalui tunggakan bunga,
denda, penalti ataupun biaya-biaya lainnya.
c. Memperkecil tindakan penyelamatan atas kredit dengan kollekbilitas
pinjaman kurang lancar, diragukan dan macet. Seluruhnya harus atas
persetujuan komite kredit/sub komite kredit penanganan kredit
bermasalah sesuai batas wewenang masing-masing.13
Adapun salah satu contoh kredit bermasalah yang telah ditangani oleh
Devisi Kredit PT. BPR Hasa Mitra yaitu sebagai berikut:14 Nasabah A, nasabah
perorangan yang memiliki usaha grosir makanan ringan, dengan nominal pinjaman
kredit Rp. 70.000.000.- (tujuh puluh juta rupiah). Mengalami kegagalan
bayar karena nasabah A memberikan kepercayaan kepada adik ipar A
13
14
Khairil Anwar, Wawancara, Kepala Bagian Kredit PT. BPR Hasa Mitra
Wawancara, Kepala Bagian Kredit PT. BPR Hasa Mitra
14
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
untuk mengelola usaha tersebut, adik ipar A ternyata telah mengambil
omset/pendapatan dari usaha tersebut sebesar Rp. 1.000.000.-/hari. Sehingga
nasabah A mengalami kebangkrutan. Nasabah A juga mempunyai tunggakan
dan pinjaman di bank lain dan nama nasabah A sudah masuk dalam daftar hitam
nasional Bank Indonesia sehingga nasabah A semakin sulit untuk menyelesaikan
tunggakan kredit di beberapa bank. Langkah yang ditempuh oleh pihak bank
adalah dengan memberikan usulan kepada nasabah untuk membuka rekening
baru dan pinjaman di bank umum atas nama orang lain, dengan tetap melakukan
akad perjanjian di bawah tangan bahwa pinjaman tersebut hanya untuk
pelunasan hutang.
Selama ini dalam penyelesaian kredit bermasalah yang dilakukan oleh
PT. BPR Hasa Mitra lebih mengutamakan dengan jalan musyawarah atau
negosiasi (langkah persuasif) dengan pihak debitur karena pihak bank
berpendapat penyelesaian dengan jalan musyawarah atau negosiasi adalah cara
yang paling baik dan aman bagi pihak bank maupun debitur agar tetap terjaga
komunikasi dan hubungan baik antara bank dengan debitur.15 Dengan demikian
penyelesaian melalui jalur non litigasi diharapkan ada jalan keluar yang terbaik
antara debitur dengan kreditur.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan dan pembahasan pada bab sebelumnya, dapat
disimpulkan beberapa hal yang sekiranya dapat menjawab permasalahan dalam
penelitian ini, antara lain faktor penyebab terjadinya kredit macet pada PT. BPR
Hasa Mitra disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor dari pihak bank berupa
analisis yang kurang cermat, petugas tidak memiliki informasi yang memadai
tentang track record nasabah, dan kebijakan pimpinan, kemudian faktor dari
15
Ibid.
15
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
pihak nasabah yaitu nasabah tidak berdaya terhadap persaingan yang ketat, usaha
menurun atau bangkrut, dan memiliki hutang disana-sini. Pelaksanaan penyelesaian
kredit macet secara non litigasi dapat ditempuh dengan upaya negosiasi yang
diwujudkan melalui penjadwalan kembali (rescheduling), persyaratan kembali
(reconditioning), dan penataan kembali (restrukturing).
Kredit bermasalah kebanyakan berhubungan dengan watak atau
kepribadian debitur yang tidak baik. Sebelum memberikan pinjaman pihak bank
perlu mengetahui dan memahami nilai-nilai lokal yang hidup di tengah-tengah
masyarakat dimana debitur tersebut berasal. Selain itu pihak bank harus
melakukan analisis yang lebih mendalam mengenai keadaan debitur yang
mengalami kemunduran agar kredit debitur tidak menjadi macet. Penyelesaian
melalui jalur non litigasi bagi penyelesaian kredit macet merupakan jalan yang
terbaik bagi kedua belah pihak, mengingat kedua belah pihak sama-sama mempunyai
penyelesaian yang terbaik dan apabila ada kerugian yang ada dapat ditekan
sekecil mungkin.
DAFTAR PUSTAKA
Buku, Jurnal Dan Makalah
Abdulkadir, Muhammad. dan Murniati, Rilda. (2005). Lembaga
Keuangan dan Pembiayaan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung
Djumhana, Muhammad. (2006). Hukum Perbankan di Indonesia, Citra
Aditya Bakti, Bandung
Fuady, Munir. (2006). Hukum Perbankn Modern, Bandung, PT. Cita Aditya
Bakti, Bandung
Kasmir, (2007), Bank & Lembaga Keuangan Lainnya, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Sutarno, (2009). Aspek-aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Afabeta,
Bandung
Subekti, (2007), Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta
16
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
Winarta, Frans, Hendra. (2012). Hukum Penyelesaian Sengketa, Edisi .2, Sinar
Grafika, Jakarta
Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan.
Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan.
17
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
ANALISIS KINERJA KARYAWAN DARI DAMPAK PERJANJIAN
KERJA WAKTU TERTENTU (PKWT) TERHADAP KEPUASAN
PERUSAHAAN DI PT OSI ELECTRONICS DI KOTA BATAM
PERIODE TAHUN 2013
Irene Svinarky1
ABSTRAK
Adanya tenaga kerja di Indonesia juga merupakan salah satu faktor untuk
mencapai keberhasilan pembangunan Nasional. Sebuah perusahaan tidak
cukup hanya dilihat dari tingkat kualitas perusahaannya saja tetapi juga
dilihat dengan kualitas tenaga kerja itu sendiri. Menurut penulis masalah
akan timbul apabila tenaga kerja lebih banyak dari pada lapangan kerja itu
sendiri karena nantinya akan banyaknya pengangguran yang akan
menimbulkan efek negatif sehingga memberatkan perekonomian Negara.
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka penulis tertarik
menulis penelitian ini dengan judul: “Analisis Kinerja Karyawan Dari
Dampak Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Terhadap Kepuasan
Perusahaan di PT Osi Electronics Di Kota Batam Periode Tahun 2013.
Adapun rumusan masalah yang penulis angkat dalam penelitian ini adalah
Seberapa besar pengaruh kinerja karyawan dari dampak perjanjian kerja
waktu tertentu terhadap kepuasan perusahaan PT Osi Electronics Di Kota
Batam Periode tahun 2013 terhadap hasil kerja karyawan. Penulis memakai
jenis penelitian verifikatif dengan menggunakan jenis data data primer dan
data sekunder. Penulis juga memfokuskan objek penelitiannya di PT. Osi
Electronics di Kota Batam. Perusahaan ini merupakan perusahaan yang
Fasilitas PMA (Penanaman Modal Asing), berkedudukan di Kepulauan Riau
Batam, beralamat di Kawasan Cammo Industrial Park Blok F no 2b, Batam.
Di dalam penelitian ini ingin menguji pengaruh kinerja karyawan dari
1
Dosen Program Studi Ilmu Hukum Universitas Putera Batam
18
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
dampak perjanjian kerja waktu tertentu terhadap kepuasan perusahaan di
PT.Osi Electronics.
Kata Kunci: Kinerja Karyawan PKWT Dan Kepuasan Perusahaan
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Jumlah penduduk yang meningkat setiap tahun merupakan bagian yang
mempengaruhi masalah ketenagakerjaan di Indonesia. Di Indonesia
ketenagakerjaan juga merupakan salah satu faktor untuk mencapai
keberhasilan pembangunan Nasional, karena sebuah perusahaan tidak cukup
hanya dilihat dari tingkat kualitas perusahaannya saja tetapi juga dilihat
dengan kualitas tenaga kerja itu sendiri. Menurut penulis masalah yang akan
ditimbulkan apabila tenaga kerja lebih banyak dari pada lapangan kerja itu
sendiri yaitu akan banyak pengangguran sehingga akan efek negatif sehingga
memberatkan perekonomian negara. Setiap orang mempunyai tujuan yang
ingin mereka capai dalam mencari pekerjaan dimana hal yang ingin dicapai
tersebut diantaranya untuk memenuhi kebutuhan
dan adanya keinginan
untuk diakui atas hasil kerja mereka atau suatu bentuk kinerja yang mereka
bisa berikan bagi perusahaan.
Tenaga
kerja
(buruh/pekerja)
merupakan
bagian
utama
yang
memberikan kontribusi terhadap jalannya aktivitas perekonomian yang ada di
Indonesia, terutama dalam proses penciptaan output (produksi) yang dilihat
dari produk dihasilkannya yang didistribusikan ke masyarakat. Dalam proses
produksi maupun disrtibusi hal ini tidak terlepas dari kinerja para
buruh/pekerja. Kinerja yang dilakukan oleh para buruh/pekerja dapat
diketahui dengan cara melihat bagaimana hasil produksi maupun distribusi
itu berlangsung. Kinerja para pekerja dapat dikatakan baik salah satunya
dipengaruhi oleh besarnya motivasi kerja yang dimiliki para buruh/pekerja
19
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
tersebut.
Salah
satu
faktor
yang menyebabkan
rendahnya
kinerja
buruh/pekerja dapat dilihat dari pemberian upah yang diberikan oleh pihak
manajemen perusahaan yang tidak seimbang dengan kebutuhan hidup layak
dan juga atas apa yang telah dikerjakan buruh tersebut. Sesuai dengan asas
keadilan yang artinya adil bagi buruh/pekerja atas apa yang dikerjakannya
serta mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak bagi
pekerja/buruh tersebut. Besarnya upah yang diberikan kepada buruh/pekerja
mencerminkan nilai karya mereka diantara apa yang telah mereka kerjakan.
Perjanjian
kerja
merupakan
awal
lahirnya
perjanjian
antara
pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syaratsyarat kerja, hak, dan kewajiban para pekerja. Perkembangan dalam
perjanjian yang dilakukan antara pekerja dengan pengusaha di dunia usaha
sangat bergantung kepada adanya hubungan industrial yang baik, karena
semakin baik hubungan industrial maka biasanya juga berdampak dengan
semakin baiknya perkembangan dunia usaha. Pertumbuhan ekonomi yang
pesat pada era global dan teknologi berdampak dengan timbulnya persaingan
usaha yang begitu ketat terhadap bidang ketenagakerjaan. Salah satu upaya
yang dapat dilakukan perusahaan untuk mendapatkan tenaga kerja yang
berkualitas dan produktif adalah dengan menggunakan status karyawan
kontrak bagi karyawan perusahaan.
Di Indonesia, pemberian izin mengenai penggunaan karyawan kontrak
telah diatur dalam Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan. Alasan perusahaan menggunakan sistem pekerja
kontrak adalah untuk melakukan efisiensi biaya (cost of production), dimana
dengan sistem ini perusahaan dapat memperkecil pengeluaran dalam
membiayai Sumber Daya Manusia (SDM) yang bekerja di perusahaan yang
bersangkutan. Selain itu, dengan adanya sistem tenaga kerja kontrak,
perusahaan juga akan lebih bisa berkonsentrasi kepada aktivitas-aktivitas
yang berkaitan dengan tujuan inti perusahaan. Untuk tenaga kerja kontrak
keadaan ini tidak terlalu menguntungkan bahkan sering dianggap merugikan.
20
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
Di dalam perusahaan di luar dari karyawan tetap dimana karyawan tersebut
dikontrak
berdasarkan
Perjanjian
Kerja
Waktu
Tertentu
(PKWT)
menyebabkan ketidaknyamanan kerja.
Rumusan Masalah
Adapun permasalah yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah
sebagai berikut: Bagaimanakah keterkaitan kinerja karyawan perjanjian kerja
waktu tertentu terhadap kepuasan perusahaan?
TINJAUAN PUSTAKA
Pada dasarnya pengertian kinerja dapat diartikan berbagai macam
ragam. Ada beberapa pakar menganalisa menurut pandangannya kinerja
tersebut sebagai hasil dari suatu proses penyelesaian pekerjaan, dilain hal
sebagian pakar lain juga memahami kinerja sebagai perilaku yang diperlukan
untuk mencapai hasil yang diinginkan. Untuk mendapatkan kejelasan
mengenai kinerja maka akan diuraikan pengertian mengenai kinerja sebagai
berikut: Menurut Ilgen and Schneider2 : “Performance is what the person or
system does”. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Mohrman et al
3
sebagai berikut: “A performance consists of a performer engaging in
behavior in a situation to achieve results”. Berdasarkan pendapat di atas
dapat dilihat bahwa kinerja sebagai suatu proses sesuatu hal dilakukan, jadi
pengukuran kinerja dilihat dari baik-tidaknya aktivitas tertentu untuk
mendapatkan hasil yang diinginkan.
Pendapat yang lain juga dikemukakan oleh Brumbrach
4
sebagai
berikut:
2
Richard, Williams, R. (2002), Managing Employee Performance: Design and
Implementationin Organizations. Thomson Learning. London. Hal. 94.
3
Loc. Cit. 94
4
M, Armstrong and A, Baron. (1998). Performance Management – The New Realities.
Institute of Personnel and Development. London. Hal. 16.
21
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
"Performance means behaviours and results. Behaviours emanate
from the performer and transform performance from abstraction to action.
Not just the instruments for results, behaviours are also outcomes in their
own right - the product of mental and physical effort applied to tasks - and
can be judged apart from results."
Brumbrach, selain menekankan hasil, juga menambahkan perilaku
sebagai bagian dari kinerja. Menurut Brumbach, perilaku penting karena
akan berpengaruh terhadap hasil kerja seorang pegawai. Beberapa pendapat
ahli di atas memandang tentang kinerja dari segi perspektif hasil, proses, atau
perilaku yang mengarah pada pencapaian tujuan. Oleh karena itu, tugas
dalam konteks penilaian kinerja, tugas pertama pimpinan organisasi adalah
menentukan perspektif kinerja yang mana yang akan digunakan dalam
memaknai kinerja dalam organisasi yang dipimpinnya.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja
Kinerja tidak terjadi dengan sendirinya. Dengan kata lain, terdapat
beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja. Adapun faktor-faktor tersebut
menurut5 adalah sebagai berikut:
1. Faktor individu (personal factors). Faktor individu berkaitan
dengan keahlian, motivasi, komitmen, dll.
2. Faktor kepemimpinan (leadership factors). Faktor kepemimpinan
berkaitan dengan kualitas dukungan dan pengarahan yang
diberikan oleh pimpinan, manajer, atau ketua kelompok kerja.
3. Faktor
kelompok/rekan
kerja
(team
factors).
Faktor
kelompok/rekan kerja berkaitan dengan kualitas dukungan yang
diberikan oleh rekan kerja.
5
Ibid. M, Armstrong. and A, Baron. 17.
22
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
4. Faktor sistem (system factors). Faktor sistem berkaitan dengan
sistem/metode kerja yang ada dan fasilitas yang disediakan oleh
organisasi.
5. Faktor situasi (contextual/situational factors). Faktor situasi
berkaitan dengan tekanan dan perubahan lingkungan, baik
lingkungan internal maupun eksternal.
Di dalam uraian yang disampaikan oleh Armstrong di atas, terdapat
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kinerja seorang pegawai.
Faktor-faktor ini perlu mendapat perhatian serius dari pimpinan
organisasi dimana karyawan diharapkan dapat memberikan kontribusi
yang optimal kepada perusahaan.
Penilaian Kinerja
Setiap organisasi pada dasarnya telah mengidentifikasi bahwa
perencanaan prestasi dan terciptanya suatu prestasi organisasi mempunyai
kaitan yang sangat erat dengan prestasi individual para pegawai. Oleh karena
itu dapat dikatakan bahwa prestasi kerja organisasi merupakan hasil dari
kerjasama antara pegawai yang bersangkutan dengan organisasi dimana
pegawai tersebut bekerja. Untuk mencapai prestasi kerja yang diinginkan,
maka tujuan yang diinginkan, standar kerja yang dinginkan, sumber daya
pendukung, pengarahan, dan dukungan dari manajer lini pegawai yang
bersangkutan menjadi sangat vital. Selain itu sisi motivasi menjadi aspek
yang terlibat dalam peningkatan prestasi kerja.
Mendefinisikan penilaian prestasi kerja sebagai: “Suatu sistem yang
bersifat formal yang dilakukan secara periodik untuk mereview dan
mengevaluasi kinerja karyawan”.6 Sementara itu Levinson seperti dikutip
oleh Marwansyah dan Mukaram mengatakan bahwa “Penilaian unjuk kerja
6
R.W, Mondy. and R.M, Noe. (1990). Human Resource Management 4th Edition. Allynand
Bacon. USA. Hal . 382.
23
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
adalah uraian sistematik tentang kekuatan/kelebihan dan kelemahan yang
berkaitan dengan pekerjaan seseorang atau sebuah kelompok”. Tujuan umum
penilaian kinerja adalah mengevaluasi dan memberikan umpan balik
konstruktif kepada para pegawai yang pada akhirnya mencapai efektivitas
organisasi.
METODOLOGI PENELITIAN
Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang penulis uraikan ini adalah deskriptif kualitatif.
Dalam penyusunan karya ilmiah ini peneliti memerlukan teori dan data.
Teori yang dimaksud dapat digunakan sebagai cara untuk memecahkan suatu
masalah. Selain itu teori digunakan sebagai cara untuk menganalisis masalah
berdasarkan data yang telah dikumpulkan dalam melakukan penelitian.
Berdasarkan teori dan data yang peneliti peroleh untuk menyelesaikan karya
ilmiah ini, maka jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Data primer yaitu data yang diperoleh dengan mengadakan
observasi atau pengukuran yang dinyatakan dalam bentuk angka –
angka.
2. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari perusahaan dan
literatur atau sumber lain yang berhubungan dengan penelitian ini.
Teknik Penarikan Sampel
Menurut
7
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang
dimiliki oleh populasi tersebut. Apabila populasi besar, tetapi peneliti tidak
mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi, misalnya karena
keterbatasan dana, tenaga dan waktu, maka peneliti dapat menggunakan
7
Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan
R&D. Alfabeta. Bandung. Hal. 116.
24
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
sampel yang diambil dari populasi itu. Kesimpulannya akan dapat dilakukan
untuk populasi akan diambil sampel dari populasi harus benar-benar
representatif (mewakili).
Penarikan sampel yang dilakukan dalam penelitian ini, menggunakan
metode probability sampling dengan teknik simple random sampling. Sampel
adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi
tersebut. Sampling adalah suatu proses memilih sebagian dari unsur populasi
yang jumlahnya mencakupi secara statistik sehingga dengan mempelajari
sampel serta memahami karakteristik-karakteristiknya (ciri-cirinya) akan
diketahui informasi tentang keadaan populasi.
Dalam penelitian ini, karena jumlah populasi melebihi 100 orang dari
jumlah populasi 980 karyawan, maka penarikan sampel dilakukan secara
acak (Random Sampling). Dengan teknik pengambilan sampel menggunakan
rumus dari Taro Yamane Tau slovin sebagai berikut:
Rumus 3.1.
Rumus Slovin
Keterangan :
n = Jumlah sampel
N = Jumlah populasi
α = level signifikansi yang diinginkan, yang umumnya 0,05 untuk
non eksakta atau 0,01 untuk eksakta.
Berdasarkan rumus tersebut maka diperoleh jumlah sampel sebagai
berikut:
n=
980
1+980(0,1)2
n = 90, 74
Di penelitian ini, peneliti mengambil sampel sebanyak 100 responden
untuk mempermudah meneliti. Jumlah Keabsahan suatu penelitian sangat
ditentukan oleh alat mengukur data yang mewakili variabel yang diteliti.
Tingkat kualitas data pada penelitian ini diukur dengan melakukan uji
25
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
validitas dan realibilitas data. Dalam skala Likert individu yang bersangkutan
dinilai dengan menambahkan bobot dari jawaban yang dipilih. Skala yang
digunakan adalah skala ordinal yang membedakan kategori berdasarkan jenis
atau macamnya. Kuisioner dapat berupa pertanyaan/ pernyataan tertutup atau
terbuka, dapat diberikan kepada responden secara langsung atau dikirim
melalui Pos, atau Internet8. Pada penelitian ini digunakan kuesioner dengan
skala Likert dimana pernyataan-pernyataan dalam kuesioner dibuat dengan
nilai 1 sampai dengan 5 untuk mewakili pendapat responden seperti sangat
tidak setuju sampai dengan sangat setuju, tidak setuju sampai dengan setuju,
dan sebagainya.
Tabel 3.1
Skala Likert Pada Teknik Pengumpulan Data
Skala Likert
Kode
Nilai
Sangat Tidak Setuju
STS
1
Tidak Setuju
TS
2
Cukup
C
3
Setuju
S
4
Sangat Setuju
SS
5
Untuk pengujian Validitas dan Realibilitas data digunakan program SPSS
versi 20.
Uji Reliabilitas
Reliabilitas secara umum dikatakan adanya konsistensi hasil pengukuran hal
yang sama jika dilakukan dalam konteks waktu yang berbeda. Uji reliabilitas
ini dilakukan dengan uji statistik Cronbach Alpha. Adapun rumus Cronbach
Alpha adalah sebagai berikut:
8
Ibid. Sugiyono. 199.
26
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
Rumus 3.2
Cronbach Alpha
Keterangan :
ri = reliabilitas instrumen (koefisien alpha cronbach)
k = banyaknya butir pertanyaan atau banyaknya soal
i
t
2
= jumlah varians butir
2
= varians total
Penelitian ini menggunakan pengukuran one shot dengan bantuan
SPSS 20 untuk mengukur Cronbach Alpha. Instrumen dapat dikatakan andal
(reliabel) bila memiliki koefisien keandalan reliabilitas sebesar 0,6 atau lebih.
Jika nilai koefisien reliabilitas lebih besar dari 0,6, maka hasil data hasil
angket memiliki tingkat reliabilitas yang baik, atau dengan kata lain data
hasil angket dapat dipercaya.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Keterkaitan Kinerja Karyawan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
Terhadap Kepuasan Perusahaan
Responden Berdasarkan Pendidikan
Berdasarkan tingkat pendidikan dimana 84 responden (84%) dengan
latar belakang pendidikan SMA, 1 responden (1%) dengan latar belakang
pendidikan D1, 10 responden (10%) dengan latar belakang D3 dan 5
responden (5%) dengan latar belakang pendidikan S1.
Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin dimana 76
responden (76%) adalah Perempuan dan 24 responden (24%) adalah Lakilaki. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa
pada penelitian ini dapat dikatakan responden perempuan lebih berperan
dalam penelitian ini.
27
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
Responden Berdasarkan Umur
Karekteristik responden berdasarkan status usia adalah, dimana usia
dari 18-21 tahun sebanyak 61 orang (61%), usia dari 22-25 tahun sebanyak
28 orang (28%) dan usia dari 25-30 tahun sebanyak 11 orang (11%).
Responden Berdasarkan Status
Karekteristik responden berdasarkan status dimana 65 responden
(65%) berstatus lajang dan 35 responden (35%) berstatus menikah.
PEMBAHASAN
Lokasi Penelitian bertempat di PT. Osi Electronics Jalan Cammo
Industrial Park Blok F No B2 No 3A Batam Center, Kepulauan Riau. Ada
hubungan (korelasi) antara Kinerja Karyawan Dari Dampak Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu Terhadap Kepuasan Perusahaan. Korelasi yang dimaksudkan
tersebut dapat dilihat dari hasil penelitian dan pengolahan data yang tidak
dibahas secara detail di tulisan ini dimana Kinerja Karyawan Dari Dampak
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Periode 2013 di PT. Osi Electronics
terdapat indikator bahwa kelompok/rekan kerja selalu memberikan motivasi
dan kualitas dukungan. Motivasi yang diberikan rekan kerja terhadap sesama
rekan dikantor tersebut ditunjukkan dari dukungan sesama pekerja serta
atasan mereka, hal ini merupakan kekuatan bagi mereka dalam melakukan
pekerjaan.
Di dalam melakukan pekerjaan banyak sekali kesulitan yang pekerja
hadapi, terutama bagi Karyawan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Dukungan
dari perusahaan pun sangat dibutuhkan dalam peningkatan mutu pekerja,
agar pekerjaan Karyawan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dapat
memperbaiki kinerjanya. Adanya hubungan (korelasi) antara pengaruh
perjanjian kerja waktu tertentu terhadap kinerja karyawan di PT. OSI
Electronics Batam sangat besar. PT Osi Electronics banyak menggunakan
pekerja Perjanjian Kerja Waktu Tertentu sebagai karyawannya. Perusahaan
28
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
merasa puas atas hasil kerja karyawannya tersebut. Meskipun karyawan itu
masih dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, tetapi mereka juga
mendapatkan fasilitas yang memadai. Walaupun mendapatkan fasilitas yang
memadai, tetapi dapat ditemui juga beberapa perbedaan fasilitas yang
diberikan perusahaan terhadap pekerja PKWT dengan pekerja PKWTT.
Hasil pekerjaan yang dilakukan pekerja PKWT juga memberikan kepuasan
bagi perusahaan hal ini dapat dilihat karena sampai sekarang pekerja PKWT
masih banyak digunakan di PT Osi Electronik. Selain itu pekerja PKWT juga
membantu memperkecil pengeluaran perusahaan, karena perusahaan juga
merasa puas atas hasil kerja mereka yang tidak jauh beda dengan pekerja
PKWTT.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Penelitian ingin menguji pengaruh kinerja karyawan dari dampak
perjanjian kerja waktu tertentu terhadap kepuasan perusahaan di PT. Osi
Electronics. Adapun kesimpulan terhadap penelitian ini adalah: Kinerja
Karyawan Dari Dampak Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Periode 2013 di
PT. Osi Electronics terdapat indikator bahwa kelompok/rekan kerja selalu
memberikan motivasi dan kualitas dukungan dapat dilihat pada kuisioner
butir ke 3 yang belum dapat diperlihatkan di jurnal ini, dimana yang
menjawab sangat setuju adalah sebanyak 60 orang (60%). Dukungan
perusahaan tersebut diberikan agar pekerjaan Karyawan Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu dapat memperbaiki kinerjanya hal ini dilihat dari jawaban
quisioner yang diisi oleh karyawan PKWT. Apabila setiap devisi yang
mempekerjakan pekerja PKWT juga melibatkan mereka seperti pekerja
PKWT, maka pekerja tersebut akan termotivasi melakukan pekerjaannya
dengan baik, karena mereka merasa diandalkan kemampuannya dalam
pekerjaan tersebut. Pada indikator Y2 yang menjadi Faktor besar yang
29
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
mempengaruhi kepuasan perusahaan PT Osi Electronics Di Kota Batam
Periode tahun 2013 terhadap hasil kerja karyawan terdapat pada indikator
adalah semangat kerja karyawan perjanjian kerja waktu tertentu dalam
memberikan kualitas kepada perusahaan. Hal ini dilihat dari hasil jawaban
pekerja yang mengisi quisioner menjawab sangat setuju sebanyak 35 orang.
Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas diberikan saran kepada PT. Osi
Electronics Batam dan kalangan akademisi sebagai berikut:
Untuk meningkatkan Kinerja Karyawan Dari Dampak Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu setelah penulis melakukan penelitian di Periode 2013 di PT.
Osi Electronics, maka tidak hanya sesama kelompok/rekan kerja saja yang
memberikan motivasi dan kualitas dukungan terhadap karyawan tetapi
seharusnya perusahaan juga memberikan dukungan kepada karyawan agar
pekerja Perjanjian Kerja Waktu Tertentu menjadi lebih baik dalam
melakukan pekerjaan. Dukungan dalam melakukan suatu pekerjaan sangatlah
dibutuhkan oleh karyawan sehingga kinerja karyawan terhadap kepuasan
perusahaan dapat maximal dilakukan untuk memajukan perusahaan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Buku, Jurnal Dan Makalah
M, Armstrong and A, Baron. (1998). Performance Management – The New
Realities. Institute of Personnel and Development. London.
Richard, Williams R. (2002), Managing Employee Performance : Design
and Implementationin Organizations. Thomson Learning.London.
R.W, Mondy and R.M, Noe. (1990). Human Resource Management 4th
Edition. Allynand Bacon. USA.
Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif, danR&D. Alfabeta. Bandung.
30
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
Zainal, Asikin. Dkk. (2010). Dasar-dasar Hukum Perburuhan. Penerbit PT.
Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Peraturan Perudang-Undangan
Undang-Undang RI Nomor 13 Tahun 2003, tentang Ketenagakerjaan
31
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
ANALISIS PENERAPAN DELIK ADUAN DALAM UU HAK CIPTA
UNTUK MENANGGULANGI TINDAK PIDANA HAK CIPTA DI
INDONESIA
Padrisan Jamba1
ABSTRAK
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat selalu diikuti
dengan perkembangan kejahatan atau tindak pidana yang semakin maju. Hal
ini ditandai dengan pesatnya perkembangan cara melakukan kejahatan
(modus operandi) maupun alat yang digunakan. Perkembangan ilmu
penggetahun dan teknologi telah merubah zaman sehingga berdampak pada
perilaku setiap manusia dalam dunia bisnis, dimana saat ini banyak sekali
hasil-karya orang lain yang diakui menjadi miliknya sendiri, tentu saja hal ini
sangat bertentangan dengan aturan hukum positif yang berlaku di Indonesia.
Hak cipta sebagai suatu bagian dalam bidang HKI juga terkena imbas dari
harmonisasi hukum ini, dalam praktiknya harmonisasi hak cipta yang telah
dilakukan perubahan sebanyak 4 kali telah merubahparadigma dan pola pikir
dari masalah publik menjadi masalah perdata, dimana sebelum UU Nomor
28 Tahun 2014 diberlakukan hak cipta merupakan delik biasa, akan tetapi
setelah terjadinya perubahan ditandai dengan disahkannya UU Nomor 28
Tahun 2014 hak cipta merupakan delik aduan.
Kata Kunci: Delik Aduan, Menanggulangi, Tindak Pidana, Hak Cipta
1
Dosen Program Studi Ilmu Hukum Universitas Putera Batam
32
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat selalu
diikuti atau diiringi dengan perkembangan kejahatan atau tindak pidana yang
semakin maju. Hal ini ditandai dengan pesatnya perkembangan cara
melakukan kejahatan (modus operandi) maupun alat yang digunakan.
Perkembangan ilmu penggetahun dan teknologi telah merubah zaman
sehingga berdampak pada perilaku setiap manusia dalam dunia bisnis,
dimana saat ini banyak sekali hasil-karya orang lain yang diakui menjadi
miliknya sendiri, tentu saja hal ini sangat bertentangan dengan aturan hukum
positif yang berlaku di Indonesia.
Permasalahan hak cipta yang sangat penting diperhatikan pada saat
sekarang ini adalah hak atas ciptaan seseorang kurang mendapatkan
perlindungan secara hukum. Adapun perubahan yang dapat dilihat seperti
perubahan delik yang semulanya delik biasa menjadi delik aduan sehingga
menimbulkan masalah baru dalam penegakan hukum dibidang hak cipta. Hak
cipta sebagai suatu bagian dalam bidang HKI juga terkena imbas dari
harmonisasi hukum ini. Dalam praktiknya harmonisasi hak cipta yang telah
dilakukan perubahan sebanyak 4 kali telah merubah paradigma dan pola pikir
dari masalah publik menjadi masalah perdata. Sebelum UU Nomor 28 Tahun
2014 diberlakukan hak cipta merupakan delik biasa, akan tetapi setelah
terjadinya perubahan ditandai dengan disahkannya UU Nomor 28 Tahun
2014 hak cipta merupakan delik aduan. Di dalam Hak Milik Intelektual
(Intellectual Property Rights/geistiges eigentum) dikenal beberapa jenis,
yaitu hak cipta dan hak-hak berdampingan, hak milik perindustrian seperti
paten, merek, rahasia dagang, desain industri dan desain tata letak sirkuit
terpadu. Banyaknya jenis hak milik intelektual membuat peneliti ingin
membahas tentang hak cipta. Hak cipta adalah satu-satunya rezim yang
masuk dalam kategori jenis delik biasa sebelum dilakukan revisi terhadap
33
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
UU hak cipta sebelumnya, sedangkan rezim yang lain bersifat delik aduan.
Kemajuan iptek turut memfasilitasi pelanggaran atau tindak pidana hak milik
intelektual itu dengan berbagai cara seperti pembajakan buku, film dan
rekaman lainnya melalui disket, CD, VCD, LD dan lain-lain cara atau yang
dikenal dengan istilah “Multi Media” yang pada kenyataannya sangat sukar
untuk dipantau. Celah-celah pelanggaran inilah yang seringkali dimanfaatkan
oleh pihak-pihak yang hendak merauk keuntungan besar dengan cara yang
mudah dengan sedikit mengeluarkan biaya, tanpa memikirkan kerugian pihak
lain, seperti si pencipta/si penemu dan Negara tentunya juga.
Menurut uraian di atas menurut Penulis, ternyata dalam kenyataan,
masih banyak pelanggaran delik hak cipta, terlebih lagi saat ini
diklasifikasikan sebagai delik aduan seperti Hak Atas Kekayaan Intelektual
yang lainnya yang membuat Penulis tertarik untuk menganalisa dampak yang
ditimbulkan dari perubahan delik biasa menjadi delik aduan dengan
mengangkat topik tentang “Penerapan Delik Aduan Dalam UU Hak Cipta
Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Hak Cipta”.
Rumusan Masalah
Menurut uraian di atas, maka penulis dapat mengambil beberapa
rumusan masalah dalam penulisan ini adalah sebagai berikut : Bagaimanakah
Penerapan Delik Aduan dalam UU Hak Cipta dalam Menanggulangi Tindak
Pidana Hak Cipta di Indonesia?
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Delik Aduan
Istilah delik aduan (klacht delict), ditinjau dari arti kata klacht atau
pengaduan berarti tindak pidana yang hanya dapat dilakukan penuntutan
setelah adanya laporan dengan permintaan untuk dilakukan penuntutan
terhadap orang atau terhadap orang tertentu. Untuk delik aduan, jaksa hanya
34
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
akan melakukan penuntutan apabila telah ada pengaduan dari orang yang
menderita dan dirugikan oleh kejahatan tersebut. Pengaturan delik aduan
tidak terdapat dalam Buku ke I KUHP, tetapi dijumpai secara tersebar di
dalam Buku ke II. Setiap delik yang dibuat oleh pembuat undang-undang
dijadikan delik aduan, menyatakan hal itu secara tersendiri, dan dalam
ketentuan yang dimaksud sekaligus juga ditunjukan siapa-siapa yang berhak
mengajukan pengaduan tersebut.
Pembentuk undang-undang telah menyaratkan tentang adanya suatu
pengaduan bagi delik tertentu. Adapun sebabnya menurut Von Liszt, Berner
dan Von Swinderen adalah bahwa dipandang secara objektif pada bebrapa
delik tertentu itu kerugian material atau ideal dari orang yang secara
langsung telah dirugikan harus lebih diutamakan daripada kerugian-kerugian
lain
pada
umumnya.
Menurut
MvT
(Memori
van
Teolichting),
disyaratkannya suatu pengaduan pada beberapa delik tertentu itu adalah
berdasarkan pertimbangan bahwa ikut campurnya penguasa di dalam suatu
kasus tertentu itu mungkin akan mendatangkan kerugian yang lebih besar
bagi kepentingan-kepentingan tertentu dari orang yang telah dirugikan
daripada kenyataan, yakni jika penguasa telah tidak ikut campur di dalam
kasus tertentu. Sehingga keputusan apakah seseorang yang telah merugikan
itu perlu dituntut atau tidak oleh penguasa, hal tersebut diserahkan kepada
pertimbangan orang yang telah merasa dirugikan.1
Delik aduan dibagi dalam dua jenis :
1. Delik aduan absolut (absolute klacht delict)
Menurut Tresna Delik aduan absolut adalah tiap-tiap kejahatan
yang dilakukan, yang hanya akan dapat diadakan penuntutan oleh
penuntut umum apabila telah diterima aduan dari yang berhak
mengadukannya. Pompe mengemungkakan delik aduan absolut
adalah delik yang pada dasarnya, adanya suatu pengaduan itu
1
Mukhlis. (2015). Hukum Pidana. Syiah Kuala University Press. Aceh. Hal. 15-17.
35
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
merupakan voorwaarde van vervolgbaarheir atau merupakan syarat
agar pelakunya dapat dituntut. Kejahatan-kejahatan yang termasuk
dalamjenis delik aduan absolut seperti :
a. Kejahatan penghinaan (Pasal 310 s/d 319 KUHP), kecuali
penghinaan yang dilakukan oleh seseoarang terhadap seseorang
pejabat pemerintah, yang waktu diadakan penghinaan tersebut
dalam berdinas resmi. Si penghina dapat dituntut oleh jaksa
tanpa menunggu aduan dari pejabat yang dihina.
b. Kejahatan-kejahatan susila (Pasal 284, Pasal 287, Pasal 293
dana Pasal 332 KUHP).
c. Kejahatan membuka rahasia (Paal 322 KUHP)
2. Delik aduan relatif (relatieve klacht delict)
Delik aduan relatif adalah kejahatan-kejahatan yang dilakukan,
yang sebenarnya bukan merupakan kejahatan aduan, tetapi khusus
terhadap hal-hal tertentu, justru diperlukan sebagai delik aduan.
Menurut Pompe, delik aduan relatif adalah delik dimana adanya
suatu pengaduan itu hanyalah merupakan suatu voorwaarde van
vervolgbaarheir atau suatu syarat untuk dapat menuntut pelakunya,
yaitu bilamana antara orang yang bersalah dengan orang yang
dirugikan itu terdapat suatu hubungan yang bersifat khusus.
Umumnya delik aduan retalif ini hanya dapat terjadi dalam
kejahatan-kejahatan seperti :
a. Pencurian dalam keluarga, dan kajahatan terhadap harta
kekayaan yang lain yang sejenis (Pasal 367 KUHP);
b. Pemerasan dan ancaman (Pasal 370 KUHP);
c. Penggelapan (Pasal 376 KUHP);
d. Penipuan (Pasal 394 KUHP).
36
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
Beberapa hal perbedaan antara delik aduan absolut dengan delik
aduan relatif
1. Delik aduan relatif ini penuntutan dapat dipisah-pisahkan,
artinya apabila ada beberapa orang yang melakukan kejahatan,
tetapi penuntutan dapat dilakukan terhadap orang yang diingini
oleh yang berhak mengajukan pengaduan. Lain halnya delik
aduan absolut, apabila yang satu dituntut, maka semua pelaku
dari kejahatan itu harus dituntut juga.
2. Pada delik aduan absolute, cukup apabila pengadu hanya
menyebutkan peristiwanya saja, sedangkan pada delik aduan
relatif, pengadu juga harus menyebutkan orang yang diduganya
telah merugikan dirinya.
3. Pengaduan pada delik aduan absolut tidak dapat dipecahkan
(onsplitbaar), sedangkan Pengaduan pada delik aduan relatif
dapat dipecahkan (splitbaar).
Pihak-pihak yang berhak mengajukan aduan dan jangka waktunya,
dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 72 KUHP seperti :
1. Wakilnya yang sah dalam perkara sipil, atau wali, atau
pengaduan orang tertentu (khusus untuk orang yang belum
dewasa). Misalnya orang tua korban, pengacara, pengampu
(curator) dan wali.
2. Orang yang langsung dikenai kejahatan itu (korban).
Adapun tenggang waktu untuk mengajukan aduan tersebut diatur
dalam Pasal 74 ayat (1) KUHP. Maksud dari Pasal 74 ayat (1) yaitu
kalau seseorang mempunyai hak untuk mengajukan aduan, ia hanya
boleh memasukan aduan tersebut paling lama dalam jangka waktu enam
bulan setelah kejadian itu diketahuinya, tetapi apabila kebetulan ia
37
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
berdiam di luar negeri, maka tenggang waktu itu paling lama sembilan
bulan.2
Strafbaar feit merupakan istilah asli bahasa Belanda yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan berbagai arti diantaranya
yaitu, tindak pidana, delik, perbuatan pidana, peristiwa pidana maupun
perbuatan yang dapat dipidana. Kata Strafbaar feit terdiri dari 3 kata, yakni
straf, baar dan feit. Berbagai istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari
strafbaar feit itu, ternyata straf diterjemahkan sebagai pidana dan hukum.
Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh, sedangkan untuk kata
feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.3
Menurut Pompe, sebagaimana yang dikemukakan oleh Bambang
Poernomo, pengertian strafbaar feit dibedakan menjadi :
1. Defenisi menurut teori memberikan pengertian “strafbaar feit”
adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena
kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk
mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan
umum ;
2. Definisi menurut hukum positif, merumuskan pengertian
“strafbaar feit” adalah suatu kejadiaan (feit) yang oleh peraturan
perundang-undangan dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat
dihukum4
Sejalan dengan definisi atau pengertian menurut teori dan hukum
positif di atas, J.E Jonkers juga telah memberikan defenisi strafbaar feit
menjadi dua pengertiaan, sebagaimana yang dikemukakan Bambang
Pornomo yaitu :
2
Ibid
Adami, Chazawi. (2002). Pengantar Hukum Pidana Bag 1. Raja Grafindo Persada. Jakarta
. Hal. 69.
4
Bambang, Poernomo. (2010). Asas-asas Hukum Pidana. Ghalia Indonesia. Jakarta. Hal. 91.
3
38
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
1. Definisi pendek memberikan pengertian “strafbaar feit” adalah
suatu kejadian (feit) yang dapat diancam pidana oleh UndangUndang.
2. Definisi panjang atau lebih dalam memberikan pengertian
“strafbaar feit” adalah suatu kelakuan yang melawan hukum
berhubung dilakukan dengan sengaja atau alfa oleh orang yang
dapt dipertanggungjawabkan.5
Menurut definisi pendek pada hakekatnya menyatakan bahwa pastilah
untuk setiap delik yang dapat dipidana harus berdasarkan Undang-Undang
yang dibuat oleh pembentuk Undang-Undang, dan pendapat umum tidak
dapat menentukan lain daripada apa yang telah ditetapkan dalam Undangundang. Definisi yang panjang lebih menitikberatkan kepada sifat melawan
hukum dan pertanggung jawaban yang merupakan unsur-unsur yang telah
dirumuskan secara tegas didalam setiap delik, atau unsur yang tersembunyi
secara diam-diam dianggap ada.6
Simons dalam Roni Wiyanto mendefinisikan tindak pidana sebagai
suatu perbuatan (handeling) yang diancam dengan pidana oleh undangundang, bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan
kesalahan (schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab.
Rumusan pengertian tindak pidana oleh simons dipandang sebagai rumusan
yang lengkap karena akan meliputi :
1. Diancam dengan pidana oleh hukum
2.
Bertentangan dengan hukum
3.
Dilakukan oleh seseorang dengan kesalahan (schuld)
4. Seseorang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya.7
Van Hmamel juga sependapat dengan rumusan tindak pidana dari
simons, tetapi menambahkan adanya “sifat perbuatan yang mempunyai sifat
5
Ibid.
Ibid.
7
Roni, Wiyanto. (2012). Asas-asas Hukum Pidana Indonesia. C.V. Mandar Maju. Bandung.
Hal. 160.
6
39
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
dapat dihukum”. Jadi, pengertian tindak pidana menurut Van Hamael
meliputi lima unsur, sebagai berikut :
1. Diancam dengan pidana oleh hukum
2. Bertentangan dengan hukum
3. Dilakukan oleh seseorang dengan kesalahan (schuld)
4. Seseorang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya.
5. Sifat perbuatan yang mempunyai sifat dapat dihukum.8
Hak Cipta
Hak cipta adalah hak privat atau hak keperdataan yang melekat pada
diri si pencipta. Pencipta boleh pribadi, kelompok orang, badan hukum
publik atau badan hukum privat. Hak cipta lahir atas kreasi pencipta, kreasi
yang muncul dari olah pikir dan olah hati atau dalam terminologi antropologi
hak yang lahir dari cipta, rasa dan karsa manusia. Oleh karena itu hak cipta
haruslah benar-benar lahir dari kreativitas manusia bukan yang telah ada di
luar aktivitas atau di luar hasil kreativitas manusia.9
Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak
untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin
untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.10
Pencipta dan pemegang hak cipta kadang sama, kadang juga berbeda.
Pencipta diartikan sebagai seorang atau beberapa orang secara bersama-sama
yang atas inspirasinya melahirkan suatu ciptaan berdasarkan kemampuan
pikiran, imajinasi, kecekatan, ketrampilan, atau keahlian yang dituangkan
dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi. 11
8
Ibid.
H, OK, Saidin. (2015). Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual. Edisi Revisi, Cetakan .
Rajawali Pers. Jakarta. Hal. 191.
10
Adrian, Sutedi. (2009). Hak Atas Kekayaan Intelektual. Sinar Grafika. Jakarta. Hal. 116
11
Sudaryat, dan Sudjana. (2010). Hak Kekayaan Intelektual. Cetakan Pertama. OASE
Media. Bandung. Hal. 42.
9
40
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
Apabila ditelusuri lagi secara mendalam hak cipta ini dapat dibedakan
menjadi dua jenis hak, yakni hak moral dan hak ekonomi. Hak moral adalah
hak-hak yang melindungi kepentingan pribadi si pencipta.12 Selain itu hak
ekonomi diartikan sebagai hak yang dipunyai oleh pencipta untuk
mendapatkan manfaat ekonomi.13
METODE PENELITIAN
Model Penelitian
Dalam melaksanakan suatu kegiatan penelitian, ada langkah-langkah
yang perlu diambil untuk mendapatkan data yang valid dan relevan, serta
memperoleh informasi yang lengkap sesuai dengan tujuan penelitian. Maka,
peneliti harus memahami terlebih dahulu dasar-dasar yang menjadi tumpuan
berfikir dalam menggunakan metode penelitian. Jenis penelitian yang dirasa
tepat untuk penelitian ini adalah jenis penelitian deskriptif dengan
pendekatan kualitatif.14
Penggunaan pendekatan kualitatif menurut Vredenberg memiliki
beberapa pertimbangan, antara lain: 1) penelitian kualitatif menyajikan
bentuk yang menyeluruh (holistik) dalam menganalisa suatu fenomena; 2)
penelitian jenis ini lebih peka menangkap informasi kualitatif deskriptif,
dengan cara relatif tetap berusaha mempertahankan keutuhan (wholeness)
dari obyek yang berarti bahwa data yang dikumpulkan, dipelajari sebagai
keseluruhan yang terintegrasi.15
12
Budi, Agus, Riswandi. dan M, Syamsudin. (2005). Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya
Hukum. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Hal. 3.
13
Ibid. Hal. 4.
14
Muhadjir. (1987). Metodologi Penelitian Kualitatif, Telaah, Positivistik, Rasionalistik,
Phenomenologik dan Realisme Methaphisik. Rake Sarasin. Yogyakarta.
15
Alwasilah, A, Chaedar. (2002). Pokoknya Kualitatif: Dasar-dasar Merancang dan
Melakukan Penelitian Kualitatif. Pustaka Jaya. Jakarta.
41
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
Penelitian dengan paradigma kualitatif berupaya mengembangkan ranah
penelitian dengan terus menerus memperluas penelitian, dan
bahkan memunculkan pemikiran baru dan isu baru bagi penelitian terkait
berikutnya.
Analisis Data
Dalam penelitian ini digunakan analisis data kualitatif dan mengikuti
konsep yang dikenal dengan model interaktif. Analisis data dilakukan dengan
prosedur ataupun melalui beberapa tahap yaitu 1) Reduksi Data yaitu data
yang diperoleh di lokasi penelitian atau data lapangan dituangkan dalam
uraian atau laporan yang lengkap dan terinci. Laporan dilapangan akan
direduksi, dirangkum, dipilih hal-hal yang pokok, difokuskan pada hal-hal
yang penting melalui proses penelitian langsung. 2) Penyajian Data
dimaksudkan agar memudahkan bagi peneliti untuk melihat gambaran secara
keseluruhan atau bagian-bagian tertentu dari penelitian. Dengan kata lain
merupakan pengorganisasian data ke dalam bentuk tertentu sehingga
kelihatan
dengan
sosok
yang
lebih
utuh,
dan
3)
Penarikan
Kesimpulan/Verifikasi yaitu melakukan verfikasi data secara terus menerus
sepanjang penelitian berlangsung. Sejak awal memasuki lapangan dan
selama proses pertumbuhan data, peneliti berusaha untuk menganalisis dan
mencari makna dari data yang dikumpulkan, yaitu dengan mencari pola,
tema, hubungan persamaan, hal-hal lain yang sering timbul dan sebagainya
yang dituangkan dalam kesimpulan yang bersifat mendasar. Dengan kata lain
setiap kesimpulan senantiasa terus dilakukan verifikasi selama penelitian
berlangsung yang melibatkan interpretasi penelitian.16
16
Miles, Mattehew. dan Huberman, A. Michael. (1992). Qualitative Data Analysis (Analisis
Data Kualitatif). Terjemahan UI Press. Jakarta.
42
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penerapan Delik Aduan dalam UU Hak Cipta dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Hak Cipta di Indonesia
Dalam UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta diatur tentang
ketentuan pidana mengenai delik yang dilanggar yaitu delik aduan, dimana
yang dapat mengadu adalah pihak yang merasa dirugikan yaitu pencipta atau
penerima ciptaan atas suatu hasil karya yang diakui oleh UU Hak Cipta
setelah dilakukan pendaftaran terhadap hak cipta tersebut.
Dalam UU Hak Cipta sebelumnya sudah diatur bawah pelanggaran
hak cipta merupakan delik aduan (UU Nomor 6 Tahun 1982) 17, kemudian
dilakukan perubahan yang menyatakan bahwa pelanggaran hak cipta
merupakan delik biasa (UU Nomor 7 Tahun 1987, UU Nomor 12 Tahun
1997, UU Nomor 19 Tahun 2002) 18, akan tetapi dengan lahirnya UU Hak
cipta yang baru yaitu UU Nomor 28 Tahun 2014 dinyatakan pelanggaran hak
cipta merupakan delik aduan murni artinya setiap orang tidak bisa
melaporkan bahwa telah terjadinya pelanggaran terhadap hak cipta orang
karena dianggap tidak memiliki kepentingan dalam hak cipta sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 120 UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
yang menyatakan bahwa “Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang ini merupakan delik aduan”.19
Penerapan delik aduan dalam UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak
Cipta ini tidak terlepas dari peran pemerintah dan DPR untuk melindungi
hak-hak ekonomi dan hak-hak moral pencipta dan pemilik hak terkait sebagai
unsur penting dalam pembangunan kreatifitas nasional. Dengan adanya
pergantian UU Nomor 19 Tahun 2002 menjadi UU Nomor 28 Tahun 2014
tentang Hak Cipta memberikan landasan hukum yang kuat untuk
17
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta
UU Nomor 7 Tahun 1987, UU Nomor 12 Tahun 1997, UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang
Hak Cipta
19
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
18
43
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
perlindungan dan penyelenggaraan hak cipta di Indonesia dengan
mengutamakan kepentingan nasional dan keseimbangan antara kepentingan
pencipta, pemilik hak cipta atau pemegang milik terkait dengan masyarakat,
serta memperhatikan ketentuan dalam perjanjian internasional dibidang hak
cipta dan hak terkait
Berdasarkan uraian di atas, menurut penulis masih terdapat banyak
kelemahan substansi dari Pasal 120 UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak
Cipta. Kelemahan tersebut dapat ditinjau dari beberapa aspek, diantaranya
adalah:
1. Pasal 120 UU Nomor 28 Tahun 2014 tidak menyebut dengan tegas
dan jelas siapakah pihak yang berhak melakukan pengaduan. Hal
ini tentunya berbeda apabila dibandingkan dengan ketentuan Pasal
45 UU Nomor 28 Tahun 2014 yang pernah berlaku berdasarkan
UU Nomor. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta yang secara tegas
dan jelas mengatur ketentuan sebagai berikut: Tindak Pidana
sebagaimana dimaksud pada Pasal 44 tidak dapat dituntut kecuali
atas pengaduan dari pemegang hak cipta.
2. Pasal 120 UU Nomor 28 Tahun 2014 sebagai UU yang berlaku
saat ini tidak menyebutkan dengan tegas dan jelas mengenai
apakah pengaduan masih tetap diproses apabila terhadap para
pihak yang berhak melakukan pengaduan, hanya diadukan oleh
satu orang saja atau pengaduan tidak dilakukan oleh seluruh pihak
yang berhak mengadukan.20
Selanjutnya terkait dengan bagaimana sikap yang seharusnya dari
pencipta atau pemegang hak cipta dalam menyikapi delik aduan dibidang hak
cipta. Penulis memberikan rekomendasi yang sebaiknya dilakukan sebelum
pihak yang berhak melakukan pengaduan mempertimbangkan beberapa hal,
yaitu:
20
Duwi, Handoko. (2015). Hukum Positif mengenai Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia
(Jilid II. Cetakan Pertama. HAWA dan AHWA. Pekanbaru. Hal. 66-68.
44
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
1. Lakukan kalkulasi atau perhitungan apabila ingin melakukan
pengaduan, yaitu apasaja keuntungan atau kerugian dalam hal
menuntut pelaku secara pidana yang tidak terbatas kepada perhitungan
ekonomis semata.
2. Kalkulasi lainnya adalah terkaitdengan ketentuan hukum yang diatur
dalam Pasal 75 KUHP yaitu adanya batas waktu (3 bulan) untuk
menarik kembali pengaduan yag diajukan hal ini erat kaitannya
dengan penyelesaian perkara pidana secara non litigasi sebagai pola
penerapan prinsip ultimum remidium.21
Selain yang penulis telah kemukakan tersebut di atas, terdapat
beberapa
pendapat
dari
beberapa
pihak
yang
kemudian
menjadi
pertimbangan pemerintah dan DPR pada saat itu yang lebih setuju jika
diterapkan delik aduan dikarenakan beberapa hal /alasan sebagai berikut :
1. Aparat penegak hukum kurang mampu menentukan apakah telah
terjadi tindak pidana hak cipta tanpa membandingkan barang hasil
pelanggaran hak cipta dengan ciptaan aslinya.
2. Dalam melakukan proses hukum aparat penegak hukum tidak
mungkin langsung mengetahui apakah suatu pihak telah mendapat
izin untuk mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan.
3. Dalam prakteknya apabila terjadi pelanggaran hak cipta pihak yang
hak ciptanya dilanggar lebih menginginkan adanya ganti rugi dari
pihak yang melanggar hak cipta ketimbang pelaku pelanggar hak
cipta tersebut dikenakkan sanksi pidana penjara atau denda. Namun
karena tindak pidana hak cipta menerapkan delik biasa seringkali
aparat penegak hukum yang menangani kasus hak cipta tersebut terus
melanjutkan proses hukum meski sudah ada kesepakatan damai
antara pihak yang dilanggar dengan pihak yang melanggar. Hal ini
21
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP)
45
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
tentu saja akan menyulitkan posisi para pihak yang telah berdamai
tersebut.
Lain halnya menurut pendapat penulis alasan dari hal di atas tidak
tepat. Beberapa alasan sanggahan terkait alasan / hal di atas, yaitu sebagai
berikut :
1. Sangat tidak masuk akal jika aparat terkait dengan bidang hak cipta
tidak bisa menentukan paling tidak menduga telah terjadi pelanggaran
hak cipta. Jika dikaitkan dengan yang tertulis dalam pasal 1 UU
Nomor 19 Tahun 2002 yaitu, "Hak cipta adalah hak eksklusif bagi
pencipta
atau
penerima
hak
untuk
mengumumkan
atau
memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu tidak
mengurangi pembatasa -pembatasan menurut peraturan perundangundangan yang berlaku", timbul pertanyaan siapa yang menjamin isi
dari pasal ini benar-benar terealisasi di lapangan. Sudah pasti aparat
terkaitlah yang menetapkan suatu kebijakan atas dasar pasal
(peraturan perundang - undangan) di atas untuk mencapai tingkatan
penegakan supremasi hukum yang adil dan seimbang, yang nantinya
akan menjadi indikator jalannya sistem pemerintahan yang baik dan
ideal (good goverment). Dalam hal inilah diperlukan adanya SDM
yang
kompeten
di
bidangnya,
seiring
juga
dengan
sistem
pengembangan SDM dan sistem reward bagi aparat / petugas yang
berprestasi.
2. Tidak berbeda jauh dengan sanggahan di atas, bahwa permasalahan
yang dihadapi adalah ketidakmampuan SDM terkait pelaksanaan
tugasnya. Diterapkannya delik aduan terhadap kasus bidang hak cipta
sama saja dengan mengurangi / menghilangkan tugas yang
merupakan kewajiban dari aparat / petugas terkait tersebut.
3. Menimbulkan suatu pertanyaan lagi, "Siapakah yang lebih mengerti
dan memahami apa yang diperlukan guna penegakkan hukum, aparat
penegak hukum kah (pemerintah atau masyarakat? Masyarakat telah
46
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
memilih siapa yang mereka percaya guna menjalankan roda
pemerintahan bangsa ini. Para pihak baik yang dirugikan maupun
yang melakukan pelanggaran mungkin merasa cukup puas dengan
menempuh jalur damai, tetapi tidak akan menyelesaikan masalah
secara global/ menyeluruh. Hanya akan menyelesaikan masalah
mereka berdua. Biarkan aparat/ petugas hukum yang lebih mengerti
menjalankan yang memang merupakan tugasnya. Masyarakat hanya
perlu berharap bahwa petugas tersebut tidak lalai/malas dan jujur
dalam menjalankan tugasnya.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah dikemukakan tersebut di atas, ada
beberapa kesimpulan yang penulis ambil adalah sebagai berikut:
Penerapan Delik Aduan dalam UU Hak Cipta dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Hak Cipta di Indonesia yaitu ditandai dengan disahkannya UU
Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, ini tidak terlepas dari peran
pemerintah dan DPR untuk melindungi hak-hak ekonomi dan hak-hak moral
pencipta dan pemilik hak terkait sebagai unsur penting dalam pembangunan
kreatifitas nasional. Dengan adanya pergantian UU Nomor 19 Tahun 2002
menjadi UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta memberikan landasan
hukum yang kuat untuk perlindungan dan penyelenggaraan hak cipta di
Indonesia dengan mengutamakan kepentingan nasional dan keseimbangan
antara kepentingan pencipta, pemilik hak cipta atau pemegang milik terkait
dengan masyarakat, serta memperhatikan ketentuan dalam perjanjian
internasional dibidang hak cipta dan hak terkait.
47
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
Saran
Menurut kesimpulan yang telah dikemukakan tersebut di atas,
terdapat beberapa saran yang penulis sampaikan dalam penulisan ini. Saransaran tersebut adalah sebagai berikut :
Sebaiknya dalam tindak pidana hak cipta dimasukan dalam delik
biasa agar memudahkan penegakan hukum oleh pihak kepolisian, kejaksaan
maupun pengadilan sebagaimana sebelumnya dalam UU hak cipta yang
pertama tahun 1982 dimasukan dalam delik biasa.
DAFTAR PUSTAKA
Buku, Jurnal Dan Makalah
Adami, Chazawi (2002). Pengantar Hukum Pidana Bag 1. Raja Grafindo
Persada. Jakarta.
Adrian Sutedi. (2009). Hak Atas Kekayaan Intelektual. Sinar Grafika.
Jakarta.
Alwasilah A. Chaedar. (2002). Pokoknya Kualitatif: Dasar-dasar Merancang
dan Melakukan Penelitian Kualitatif. Pustaka Jaya. Jakarta.
Bambang, Poernomo. (2010). Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta. Ghalia
Indonesia.
Budi, Agus, Riswandi. dan M. Syamsudin. (2005). Hak Kekayaan Intelektual
dan Budaya Hukum. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Duwi, Handoko. (2015). Hukum Positif mengenai Hak Kekayaan Intelektual
di Indonesia (Jilid II). HAWA dan AHWA. Cetakan Pertama.
Pekanbaru.
H. OK. Saidin. (2015). Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual. Rajawali
Pers. Edisi Revisi. Cetakan 9. Jakarta.
Miles, Mattehew. dan Huberman, A. Michael. (1992). Qualitative Data
Analysis (Analisis Data Kualitatif), Terjemahan UI Press. Jakarta.
48
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
Muhadjir. (1987) Metodologi Penelitian Kualitatif, Telaah, Positivistik,
Rasionalistik, Phenomenologik dan Realisme Methaphisik. Rake
Sarasin. Yogyakarta.
Mukhlis. (2015). Hukum Pidana. Syiah Kuala University Press. Aceh.
Roni, Wiyanto. (2012). Asas-asas Hukum Pidana Indonesia. C.V.Mandar
Maju. Bandung.
Sudaryat dan Sudjana. (2010). Hak Kekayaan Intelektual. OASE Media.
Cetakan I. Bandung.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP)
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang Hak Cipta
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
49
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
KUALITAS PELAYANAN PEMERINTAHAN KOTA BUKITTINGGI
TERHADAP KEBIJAKAN PERDA 19/2003 TENTANG IMB
( IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN )
Riko Riyanda1
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan kualitas pelayanan
yang diberikan aparatur Dinas Tata Kota Bukittinggi terhadap pelayanan
yang diberikan kepada masyarakat dalam mengurus izin mendirikan
bangunan (IMB). Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif
dengan menggunakan metode analisis pendekatan secara deskriptif. Metode
pengumpulan datanya digunakan data primer dan data sekunder. Adapun
teknik pengumpulan data melalui metode obervasi, wawancara, serta
dokumentasi. Analisis yang digunakan menggunakan teknik reduksi data,
penyajian data dan verifikasi/menarik kessimpulan. Hasil penelitiannya
adalah bahwa kualitas pelayanan yang diberikan oleh apartur dinas tata kota
Bukittinggi udah mencakup pelayanan prima dan pelayanan sepenuh hati,
hanya saja masih terdapat berbagai kekurangan dalam pelayanan misalnya
dalam kurangnya sosialisasi Perda 19/2003 tentang IMB. Namun kelemahan
tersebut tidak dapat dijadikan masalah krusial bagi warga Bukittinggi untuk
mengurus IMB. Sebab, faktor yang menjadi kendala justru pada keengganan
atau kemalasan masyarakat dalam mengurus IMB. Jadi kualitas pelayanan
aparatur Dinas Tata Kota Bukittinggi sudah baik namun sayangnya masih
ada sebahagain kecil masyarakat yang belum menyadari pentingnya
mengurus Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
Kata Kunci: Kualitas Pelayanan, Perda 19/2003, Izin Mendirikan
Pembangunan
1
Dosen Program Studi Ilmu Hukum Universitas Putera Batam
50
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Pada hakekatnya pemerintahan itu adalah orang yang diberikan
jabatan dan duduk dipemerintahan untuk memberikan pelayanan kepada
masyarakat. Pemerintah tidak diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi
untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan
setiap anggota masyarakat dalam mengembangkan kemampuan dan
kreativitas masyarakat untuk mencapai tujuan bersama. Birokrasi publik
berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan pelayan yang baik
dan profesional. 2 Paradigma ini yang baru berkembang saat sekarang ini
adalah, Good Governance bertujuan agar memberikan pelayanan yang
berkualitas kepada masyarakat serta mendorong untuk peningkatan otonomi
manajerial terutama sekali mengurangi campur tangan kontrol yang
dilakukan oleh pemerintah pusat, trasparansi, akuntabilitas publik, dan
diciptakan pengelolaan manajerial yang bersih dari korupsi. 3
Dalam kondisi masyarakat seperti ini, birokrasi publik harus dapat
memberikan layanan publik yang lebih profesional, efektif, efisien,
sederhana, transparan, terbuka, tepat waktu, responsif dan adaptif dan
sekaligus dapat membangun kualitas manusia dalam arti meningkatkan
kapasitas individu dan masyarakat untuk secara aktif menentukan masa
depannya sendiri. 4 Dewasa ini, permasalahan-permasalahan dalam kualitas
pelayan publik menjadi kendala yang cukup serius yang dirasakan oleh
masyarakat, serta kebijakan-kebijakan pemerintah daerah tidak selalu
membuat masyarakat mudah dalam malakukan aktivitas dan merasa terbantu
dengan peraturan-peratuan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah.
Adapun contoh kasus yang dapat dilihat adalah mempertanyakan kualitas
2
Joko, Widodo. 2001. Good Governance. Insan Cendikia. Surabaya. Hal. 269
Miftah, Thoha. 2004. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Hal. 102
4
Joko, Widodo. Op.Cit. Hal 270
3
51
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
pelayanan kota Bukkittinggi terhadap kebijakan Perda No. 19 Tahun 2003
Tentang IMB (Izin Mendirikan Bangunan). Kebijakan Pemerintah Kota
Bukittinggi mengeluarkan perda ini pada hakekatnya bagus, perda ini
menurut penulis dinilai sangat esensial sekali karena ini menyangkut hajat
hidup orang, dan bertujuan untuk menghindari konflik sesama warga dan
pemerintah.
Namun dalam menjalankan perda ini apakah nantinya perda ini
benar-benar manfaat dirasakan oleh masyarakat Kota Bukittinggi dan
sekitarnya, karena percuma saja Perda dibuat jika tidak bermanfaat oleh
masyrakat, suksesnya perda ini tentunya dipengaruhi oleh kinerja aparatur
Dinas Tata Ruang Kota yang bertindak melayani masyarakat yang akan
mendirikan izin bangunan. Ketika, masyarakat tidak ingin untuk mengurus
Izin Mendirikan Bangunan
maka masyarakat sendirilah yang akan
menanggung resikonya. Contohnya apabila pemerintah kota melakukan
peringatan, penggusuran, melakukan tuntutan berupa denda dan lain
sebagainya, perlakuan semacam ini yang tidak bisa diterima oleh masyarakat.
Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh aparatur pemerintah kota Bukittinggi
terkait dengan kebijakan perda Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Izin
Mendirikan Bangunan, tidak dapat disalahkan, itu tugas mereka untuk
menertibkan warga agar mematuhi aturan dan sesuai dengan prosedur yang
berlaku, akan tetapi permasalahannya bukan terletak pada perdanya, yang
jadi masalah apakah kualitas pelayanan yang diberikan oleh Dinas Tata Kota
terhadap masyarakat sudah dirsakan langsung apa belum.
Rumusan Masalah
Diperlakukannya kebijakan Perda Bukittinggi Nomor 19 Tahun 2003
tentang Izin Mendirikan Bagunan. Di dalam masyarakat Izin Mendirikan
Bangunan ini sering disingkat dengan IMB. Dalam hal ini penulis ingin
melihat dan mendeskripsikan: Bagaimana kualitas pelayanan yang diberikan
52
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
aparatur pemerintah Kota Bukittinggi terhadap masyarakat yang akan
mengurus IMB?
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Kualitas Pelayanan Yang Diberikan Aparatur Pemerintah Kota
Bukittinggi Terhadap Masyarakat Yang Akan Mengurus IMB
1. Konsep Pelayanan Prima Sebagai Tolak Ukur Kualitas
Pelayanan Hampir Terpenuhi Di Dinas Tata Kota Bukittinggi
Berdasarkan keterangan yang dikemukakan oleh informaninforman di atas, dapat disimpulkan bahwa mereka sebagai
aparatur pemerintah yang bekerja sebagai Dinas Tata Kota
Bukittinggi, telah berusaha bekerja sebaik mungkin untuk
menciptakan pelayanan prima, kepada masyarakat. Apabila
mengacu ke pada variabel pelayanan prima menurut Dr. Lijan
Sinambela Reformasi Pelayanan Publik itu yakni adanya:
a. Pemerintah yang bertugas melayani
Dinas Tata Ruang Kota Bukittinggi yang bertindak Mengurus
Izin Mendirikan (IMB), sudah melakukan kerjanya yakni
melayani masyarakat sebaik mungkin, dan konteks melayani
disini aparatur pemerintah membantu masyarakat dalam
mempermudah melakukan IMB.
b. Masyarakat yang dilayani pemerintah
Hasil temuannya, masyarakat yang dilayani tidak ada
pembedan atau diskriminasi yang dilakukan oleh Dinas Tata
Ruang Kota Bukitttinggi, tetap sesuai dengan peraturan yang
telah ditetapkan oleh dinas tata kota.
c. Kebijaksanaan yang dijadikan landasan pelayanan publik
Kebijaksanaan yang dilakukan aparatur pemerintah atau dinas
tata kota, sudah melakukan arah kebijaksanaan, artinya ada
53
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
semacam peraturan yang dikeluarkan, dan pertauran itu untuk
kepentingan masyarakat, dan tidak ada masyarakat yang
dirugikan, malah menguntungkan.
d. Peralatan atau sarana pelayanan yang canggih
Untuk memudahkan pekerjaan mereka sebagai aparatur
pemerintah, peralatan dan sarana pelayananpun sudah cukup
memadai diterima oleh masyarakat secara keseluruhan. Tanpa
peralatan dan sarana pelayanan yang canggih sulit juga untuk
mempermudah pelayanan kepada masyarakat.
e. Resources yang tersedia untuk diracik dalam bentuk kegiatan
pelayanan.
Sumber daya yang tersedia, sudah memiliki sumber daya yang
bagus, baik itu dari sumber daya manusia yang dimiliki
maupun kemampuan
dalam hal
mengelola
kebutuhan
masyarakat
f. Kualitas pelayanan yang memuaskan masyarakat sesuai
dengan standar dan asas pelayanan masyarakat.
Berbicara mengenai kualitas pelayanan maka indikatornya
adalah:
1) Transparansi
Yakni pelayanan yang terbuka, mudah dan dapat diakses
oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan
secara memadai serta mudah dimengerti, untuk kategori
ini Dinas Tata Kota Bukittinggi sudah melakukannya,
yakni dengan menjelaskan kepada mensyarakat yang akan
mendirikan bangunan mengenai transparansi dana kepada
yang akan mengurus IMB, serta memberikan penjelasan
kepada masyrakat pra-syarat yang harus dipenuhi sebelum
IMB dikeluarkan.
54
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
2) Akuntabilitas
Yakni pelayanan yang dapat dipertanggungjawabkan
sesuai
dengan
ketentuan
perundang-undangan,
akuntabilitas tetaplah menjadi hal yang utama yang harus
diutamakan,
menurut
pengakuan
dari
informan,
akuntabilitas sudah mereka usahakan untuk menjalankan
tugas dengan penuh rasa tanggung jawab.
3) Kondisional
Yakni pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan
kemampuan pemberian dan penerima pelayanan dengan
tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektifitas.
Mengukur tingkat efesiensi dan efektifitas dapat dilihat
dari kesungguhan mereka bekerja, dan itu aplikasinya
dapat langsung dirasakan oleh masyarakat. Disini penulis
temukan tidak banyak permasalahan yang ditemukan
dalam kepengurusan IMB ini, walaupun ada, tetapi itu
tidak
begitu
rumit
permasalahannya,
karena
ini
menyangkut resmi (legal), semakin banyak orang yang
mengurus izin mendirikan bangunan, dan semaikin sedikit
permasalahan yang ditemukan, maka keefektifitasan dan
keefesienan dapat dikatakan sudah tercapai.
4) Partisipatif
Yaitu pelayanan yang dapat mendorong peran serta
masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik
dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan
masyarakat. Dalam melakukan partisipatif aparatur dinas
tata
ruang
Kota
sudah
melakukannya.
Misalnya
memproses kebutuhan masyarakat dalam IMB.
55
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
Partispasi itu dalam bentuk sosialisasi dan memberikan
keterangan-keterangan kepada masyarakat yang akan
mengurus IMB.
5) Kesamaan hak
Yaitu pelayanan yang tidak melakukan diskriminasi,
dilihat dari aspek apapun khususnya suku, ras, agama,
golongan, status sosial, dan lain-lain. Dalam kesamaan
hal pelayanan IMB di Kota Bukittinggi sampai saat ini
tidak
ada
yang
melakukan
tindakan
diskriminasi
berdasarkan status, pangkat ataupun jabatan, keterangan
data ini bisa didapat dari informan yang terlibat langsung
dalam mengurus IMB.
6) Keseimbangan hak dan kewajiban
Yaitu pelayanan yang mempertimbangkan aspek keadilan
antara pemberi dan penerima pelayanan publik, indikator
yang terakhir ini walaupun tidak sepenuhnya seimbang
antra hak dan kewajiban, tapi kewajiban sebagai aparatur
pemerintah yang bertindak sebagai yang melayani sudah
dilakukan seoptimal mungkin, mengenai hak yang
diterima oleh masyarakat yang mengurus IMB juga telah
didapatkan sebagaimana mestinya.
g. Manajemen dan kepemimpinan serta organisasi pelayanan
masyarakat
Di dalam Dinas Tata Kota itu sendiri mempunyai manajemen
dan Kepemimpinan organisasi pelayanan dalam masyarakat,
Dinas tersebut terdapat Kasi Pengawasan Dan Pengendalian
Bangunan, wakil, serta Anggota-Angotanya sesuai dengan
tugas dan fungsinya masing-masing.
h. Perilaku pejabat yang terlibat dalam pelayanan masyarakat,
apakah masing-masing telah menjalankan fungsi mereka.
56
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
Dalam item yang ini perilaku pejabat atau aparatur
pemerintrah dapat dikatakan sudah menjalankan fungsinya
masing-masing, ini terlihat adanya spesifikasi pekerjaan
diantara meraka, dan sesuai dengan fungsi dan wewenang
yang mereka lakukan.
2. Permasalahan Yang Ditemukan Di Dinas Tata Kota
Bukittinggi Terkait Dengan IMB
a. Ketidakmengertian Masyarakat Dalam Mengrurus IMB
Berdampak Pada Sangsi Yang Diberikan
Ketidakmengertian masyarakat akan mengurus IMB,
berdampak pada kemalasan
masyarakat untuk mengurus
IMB. Akibatnya adalah sering kali kepala dinas pekerjaan
umum, ka subdin kota mengeluarkan teguran-teguran.
Tindakan pertama yang dilakukan adalah: penyegelan. Bunyi
dari penyegelan itu adalah sebagai berikut: Bangunan ini
dikerjakan tanpa memiliki IMB / tidak sesuai dengan IMB
yang
dimiliki
sehingga
harus
dilakukan
penyegekan
berdasarkan pelanggaran Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2000
jo. Perda Nomor 19 Tahun 2003 Tentang bangunan.
Sebagaimana yang tercantum dalam: Pasal 74 (3) point a:
peringatan 1 (Pertama):
b. Memerintahkan untuk menghentikan pekerjaan mendirikan
bangunan yang belum memiliki IMB dan kepadanya
diwajibkan mengajukan permohonan IMB.
c. Memerintahkan
untuk
menghentikan/menangguhkan
sementara pekerjaan mendirikan bangunan yang tidak sesuai
dengan IMB yang dimiliki.
Untuk
mencegah
berlanjutnya
pekerjaan
mendirikan
bangunan, penertiban Surat Peringatan 1 dapat ditindak lanjuti
57
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
dengan penyegelan atau tanda-tanda resmi tertentu dalam bentuk
pelarangan melanjutkan pekerjaan mendirikan bangunan pada
bagian-bagian tertentu terhadap bangunan yang didirikan. Dalam
penyegelan ini diberikan teguran surat peringatan 1 dan
melanjutkan kepada peringatan 2, dan surat peringatan 3,
dilanjutkan dengan rapat tim pengawasan dan pengendali
bangunan dengan SK Walikota. Di dalam surat peringatan 1
(pertama) dinyatakan di dalamnya, mendirikan bangunan tanpa
izin mendirikan bangunan (IMB), yang melanggar Perda Nomor 7
Tahun 2000 Tentang bangunan sebagai mana yang telah diubah
dengan Perda Nomor 19 Tahun 2003, untuk itu diminta agar :
1. Menghentikan kegiatan pekerjaan pembangunan dan segera
melapor ke dinas pekerjaan umum. Cq. seksi pengawan dan
pengendalian Subdin Tata Kota.
2. Mengurus IMB ke kantor Dinas pekerjaan umum. Cq. Subdin
Tata Kota.
Surat pernyataan pertama ini sesunguhnya memberikan
peringatan kepada masyarakat akan pentingnya mengurus IMB ini
sebagai pra-syarat mendirikan bangunan. Menurut Bapak Yosef
Anwar yang bertugas selaku Kasi Pengawasan Dan Pengendalian
Subdin Tata Kota DPU Kota Bukittinggi mengungkapkan:
“terkadang masih juga ada di antara masyarakat yang tidak
mengindahkan terhadap surat teguran pertama, kemudian akan
dikirimkan lagi surat pernyatan yang ke dua. Di dalam surat
peringatan ke dua ini, mengeluarkan perintah pembongkaran yang
isinya mengenai perintah untuk membongkar sendiri bangunan
yang didirikan tanpa izin (IMB) atau tidak sesuai dengan
ketentuan IMB, selambat-lambatnya tiga hari setelah surat ini
diterima sesuai Pasal 74 ayat 3 perda kota Bukittinggi Nomor 19
58
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
Tahun 2003 dan diketahui oleh An. Kepala Dinas Pekerjaan
Umum, Kasubdin Tata Kota Bapak Drs. Supadria, Msi.
Apabila surat peringatan kedua tidak juga dituruti, maka dari
itu, terpaksa dikeluarkan surat peringatan ketiga, surat peringatan
ketiga ini wajib dilayangkan kepada masyrakat yang tidak
memiliki izin mendirikan bangunan, isinya adalah: “Apabila tidak
diindahkan surat peringatan kedua sampai batas waktu yang telah
ditentukan, maka bersama ini diperingatkan bahwa tim terpadu
penertiban bangunan akan melaporkan pembongkaran paksa
sesuai pasal 74 ayat 3 (tiga) Perda Kota Bukittinggi Nomor 19
Tahun 2003 terhadap bangunan yang tidak memiliki IMB,
diketahui oleh Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kota Bukuttinggi
Ir. Adlir Adnan.
1
Tidak Ada Waktu Untuk Mengurus
Tidak ada waktu untuk mengurus, inilah kendala yang
dirasakan oleh aparatur dinas tata kota itu sendiri, sebagian
kecil masyarakat Kota Bukittinggi ada juga yang mengatakan
tidak ada waktu untuk mengurus IMB, hal ini disebabkan
karena menganggap sepele atau seakan tidak mau tahu dengan
mengurus izin mendirikan bangunan ini. Hanya saja, alasan
ini dianggap dalih bagi masyarakat jika ditanya kenapa tidak
mengurus IMB.
2
Tanah Mengontrak
Sebelum mengurus IMB harus ada pra syarat (kontrak rumah),
harus ada perjanjian kontrak antara yang mengontrakkan dan
yang dikontrakkan, pengontrak harus punya surat kuasa
kepada yang mengontrak untuk IMB. Terkadang ada juga
pengontrak yang tidak memiliki surat kuasa, akhirnya sulit
untuk mengurus IMB. Contoh kasus misalnya:
59
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
a. Kadang ada mamak yang tidak adil dalam pembagian
tanah, boleh dikatakan mamak yang tidak bertanggung
jawab terhadap kemenakan.
b. Status tanah yang tidak lengkap, tidak cukup syarat yang
akan mengurus IMB ( Izin Mendirikan Bangunan).
3. Pandangan Masyarakat Terhadap Pelayanan Yang diberikan
DinasTata Kota Bukittinggi Terhadap Pelayanan IMB
Mengacu pada pendapat Loveloce, 5 prinsip yang harus
diperhatikan bagi pelayanan publik, agar kualitas pelayanan
publik dapat di capai, antara lain melipiti :
a. Tangible (terjamah), seperti kemampuan fisik, peralatan,
personil, dan komunikasi material.
b. Realible (handal), kemampuan membentuk pelayanan yang
dijanjikan dengan tepat dan memiliki keajekan.
c. Respossivenes (pertangung jawaban), yakni rasa tanggung
jawab terhadap mutu pelayanan.
d. Asurance (jaminan), pengetahuan, prilaku dan kemampuan
pegawai.
e. Empathy
(empati),
perhatian
perorangan
badan
pada
pelanggan.
Dari ke lima prinsip yang diajukan oleh Lovelove, Dinas Tata
Kota Bukittinggi, sudah melakukan lima prinsip tersebut,
meskipun
dalam
perjalannya
pasti
terdapat
kekurangan-
kekurangan. Walaupun demikian aparatur Dinas Tata Kota
Bukittinggi khususnya Aparature IMB sudah bekeja semaksimal
mungkin agar kualitas pelayanan publik dapat tercapai sesuai
dengan harapan masyarakat.
60
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
Adapun prinsip pelayanan publik menurut keputusan menteri
pendayagunaan aparatur negara (kepmenpen) No. 63/Kep/M PAN/2003
tentang pedoman umum penyelenggaraan pelayanan diantaranya adalah:
1. Kesederhanaan
Kesederhanaan disini maksudnya sahaja, luwes, tidak mewah-mewah
dalam bekerja, aspek ini menurut penulis sudah terpenuhi oleh apartur
Dinas Tata Kota Bukittitingi.
2. Kejelasan
Dari awal Apartur Dinas Tata Kota sudah memberikan kejelasan
mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi dan dilengkapi, dan juga
sudah mensosialisaikan kegunaan IMB ini kepada masyrakat, serta
sudah memperingatkan dari awal sangsi yang akan diberikan kepada
masyarakat yang tidak mau mematuhi mengurus IMB ini, jangan
salahkan aparatur Dinas Tata Kota Bukittingggi terkait dengan Perda
Nomor 19 Tahun 2003, jika terjadi pembongkran paksa, masalah ini
terjadi disebabkan karena keengganan masyarakat juga yang tidak
mau
mengindahkakn
teguran
atau
peringantan
yang
telah
Dikeluarakan oleh Dinas Tata Kota.
3. Kepastian Waktu
Persoalan Kepastian waktu, dari tahun ke tahun aparatur Dinas Tata
Kota Bukittinggi berusaha memperbaiki. Permasalahan ini memang
ditemukan dalam hal keterlambatan, seiring dengan adanya
paradigma pelayanan prima, kritikan yang diajukan kepada aparatur
pemerintah memperlihatkan perbaikan dan perubahan-perubahan
langsung yang dirasakan.
4. Akurasi
Persoalan akurasi, penulis rasa tepat sasaran, tidak ada masalah dalam
hal pembiayaan IMB, sesuai tepat dengan akurasi yang telah
ditentukan dan sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan.
61
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
5. Keamanan
Demi terciptanya lingkungan Bukittinggi yang bersih dengan status
yang jelas, dan demi keamanan untuk warga Bukittinggi maka apartur
Dinas Kota Bukittinggi sendiri melakukan patroli setiap hari, dan ini
dilakukan untuk menjaga-jaga agar masyarakat patuh terhadap
peraturan.
6. Kelengkapan Sarana dan Pra sarana
Mengenai kelengkapan sarana dan prasana sudah cukup memadai,
baik dalam hal kendaraan maupun peralatan lain yang cukup
membantu dalam proses pelayanan untuk keperluan masyarakat.
7. Kemudahan akses
Kemudahan akses ini dapat mempertanyakan langsung kepada Dinas
Tata Kotanya, atau mungkin lewat brosur-brosur yang sudah
disebarkan, informasi lain juga sudah ada di internet mengenai prasyarat mengurus IMB lengkap dengan bagaimana cara mengurusnya.
8. Kedisiplinan, kesopanan, keramahan
Ke tiga kata ini berbeda maknanya, namun ke tiga kata ini seiring dan
sejalan dalam prakteknya, pelayanan tidak bisa dikatakan berkualitas
jika kedisiplinan, kesopanan, keramahan, tidak dimiliki oleh apartur
pemerintah. Dalam konteks aparatur IMB, ketiga kata ini sudah
mereka lakukan, artinya tidak hanya paradigma pelyanan prima saja
sebagai syarat kualitas pelayanan, namun konsep layanan sepenuh
hati juga dijadikan sebgai konsep untuk kepuasanan pelanggan.
Layanan
dimaksudkan
sepenuh
layananyang
hati
digagas
berasal
dari
oleh
diri
Patricia
sendiri
Patton
yang
mencerminkan emosi, watak, keyakinan, nilai, sudut pandang dan
perasaan. 5
5
Oleh karena itu, aparatur pelayanan dituntut untuk
Patricia, Patton. (1998). Pelayanan Sepenuh Hati. Pustaka Delapatra. Hal. 1
62
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
memberikan layanan kepada pelanggan dengan sepenuh hati.
Kesungguhan yang dimaksudkan, aparatur pelayanan menjadikan
kepuasan pelanggan sebagai tujuan utamanya. Untuk menciptakan
layanan sepenuh hati itu, maka diperlukan kedisiplinan, kesopanan,
dan keramahan, agar kualitas itu selalu dirasakan oleh masyarakat.
9. Kenyamanan
Kenyamanan menyangkut persoalan tempat lokasi kepengurusan
IMB, penulis lihat kenyamanan yang ada di tempat lokasi Dinas Tata
Kota Bukittinggi lokasinya nyaman, lingkungannya bersih, dan di
sana terliahat “No Smoking Area” di ruangan kepengurusannya.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Fenomena Persolaan kualitas pelayanan Publik di berbagai daerah
tidak selalu identik dengan tidak berkualitasnya pelayanan tersebut. Misalnya
dari hasil penelitian dapat disimpulkan kualitas pelayanan publik Di Dinas
Tata Kota Bukittinggi terkait dengan Perda Nomor 19 Tahun 2003 Tentang
IMB (Izin Mendirikan Bangunan) hampir diktakan mendekati pelayanan
prima.
Terciptanya pelayanan prima tidak terlepas dari variabel-variabel
pelayan prima itu sendiri, diantaranya pemerintah yang bertugas untuk
melayani, masyarakat yang dilayani, kebijaksanaan yang dijadikan landasan
pelayaan publik, peralatan dan sarana pelayanan yang canggih, recorces yang
tersedia, kualitas pelayanan yang memuaskan masyarakat, manajemen dan
kepemimpinan serta perikalu pejabat yang terlibat dalam pelayanan
masyarakat. Kesemua syarat-syarat itu, aparatur Dinas Tata Kota Bukitiinggi
berusaha bersunguh-sunguh untuk menciptakan pelayanan prima itu kepada
masayarakat.
63
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
Dalam memujudkan pelayanan prima ini, tentu dalam perjalanannya
juga banyak terdapat permasalahan-permasalahan yang ditemukan, baik dari
masyarakatnya sendiri maupun dari aparatur pemerintahnya, namun seiring
dalam perjalanananya permaslahan-permaslahan yang timbul itu dapat
diperbaiki dan diadakan suatu perubahan aturan, dan itu juga untuk
memudahkan
masyarakat
dalam
mengurus
IMB
(Izin
Mendirikan
Banguanan).
Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa dinas tata kota
Bukittinggi sudah melakukan kualitas pelayanan yang prima. Baik
pemerintah maupun masyarakat saling berkerja sama dan menyadari
pentingnya mengurus IMB supaya memiliki kejelasan hukum mendirikan
pembangunan. Jadi kebijakan perda 19/2003 tentang IMB (Izin Mendirikan
Bangunan) disambut baik oleh warga Bukittinggi dan sekitarnya.
Saran
Sarannya bagi aparatur yang bekerja di Dinas Tata Kota, yang sudah
baik dan bagus (prima) pelayanannya agar tetap dipertahankan, dan selalu
menjaga citra di mata masyarakat bahwa pelayanannya sudah bagus, jika ada
kesalahan-kesalahan itu ada harus dikoreksi, dievaluasi dan diperbaiki untuk
menjaga konsistensi kualitas pelayanan publik.
Dan untuk masyarakatnya yang masih malas atau enggan untuk
mengurus IMB terkait dengan Perda Nomor 19 Tahun 2003, agar secepatnya
sadar dan mau mambuka diri untuk mengurus IMB. Terkait ketidaktahuan
dalam mengurus IMB rajin-rajinlah bertanya dan cari tahu tentang informasi
IMB ini. Akses informasi begitu banyak diemukan, baik itu dari dinasnya,
teman, brosur, dan dari website internet.
64
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
DAFTAR PUSTAKA
Buku, Jurnal Dan Makalah
Joko, Widodo.( 2001). Good Governance. Insan Cendikia. Surabaya.
Miftah, Thoha. (2004). Birokrasi dan Politik di Indonesia. Raja Grafindo
Persada. Surabaya.
Lijan, Poltak Sinambela. (2007). Reformasi Pelayanan Publik, Teori,
kebijakan dan Implemetasi. Bumi Aksara. Jakarta.
Sampara Lukman. (2000). Manajemen Kualitas Pelayanan. STIA LAN
Press. Jakarta.
Hessel Nogi, Tangkilisan. (2005). Manjemen Publik. Grasindo Gramedia
Widia Sarana Indonesia. Jakarta.
Putra, Fadilah. (2005). Kebijakan Tidak Untuk Publik. CV. Langit Aksara.
Yogyakarta.
Keban, Yeremias T. (2005), Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik,
Konsep, Teori, dan Isu. Penerbit Gaya Media. Yogyakarta.
Patricia, Patton. (1998). Pelayanan Sepenuh Hati, Jakarta: Pustaka Delapatra
Sugiono. (2008). Metode Penelitian Pendidikan, (Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif, dan R & D). Alfabeta. Bandung.
Peraturan Perundang-undangan
Keputusan Mentri Penerapan Apatatur Negara No. 81/1993 Perda Kota
Bukittinggi Nomor. 19/2003 Tentang IMB
(Izin Mendirikan
Bangunan)
65
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
KEDUDUKAN PIHAK YANG LEMAH PADA PERUSAHAAN YANG
MELAKUKAN MERGER DENGAN MEMBERIKAN
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAPNYA
Rizki Tri Anugrah Bhakti1
ABSTRAK
Akibat dari persaingan usaha menyebabkan setiap perusahaan dituntut untuk
bisa menghadapi tantangan dan hambatan yang timbul dari adanya
persaingan tersebut. Perusahaan berlomba-lomba menggunakan strategi yang
tepat untuk mempertahankan kelangsungan bisnisnya. Untuk itulah merger
atau penggabungan dianggap merupakan strategi yang dapat dilakukan
perusahaan untuk mengembangkan perusahaan, sehingga pada akhirnya
diharapkan dapat meningkatkan nilai perusahaan. Meningkatnya keuntungan
yang didapat perusahaan, juga mengandung unsur kerugian didalamnya.
Unsur kerugian akibat tindakan Merger ini lebih dirasakan oleh pihak-pihak
yang tergolong lemah/kecil yang kedudukannya menjadi riskan, misalnya
saja pihak yang lemah karena struktural, pihak yang lemah karena financial,
pihak yang lemah karena lokalisasi, dan juga karena adanya penerapan
Appraisal Rights. Oleh karena itulah perlu adanya perlindungan hukum untuk
menjaga keadilan dengan melindungi pihak yang lemah tersebut.
Kata Kunci: Persaingan Usaha, Merger, Perlindungan Hukum
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Globalisasi yang semakin berkembang saat ini membuat perusahaan
semakin terpacu untuk mengembangkan bisnisnya. Adanya persaingan yang
1
Dosen Program Studi Ilmu Hukum Universitas Putera Batam
66
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
begitu ketat, setiap perusahaan akan dituntut untuk dapat menghadapi
tantangan dan hambatan yang timbul dari adanya persaingan tersebut.
Sehingga perusahaan diharapkan dapat menggunakan strategi yang tepat
untuk mempertahankan kelangsungan bisnisnya, serta penggunaan strategi
bisnis yang tepat oleh perusahaan dapat dijadikan sebagai alat untuk
meningkatkan nilai (value) bagi perusahaan, terutama dalam hal peningkatan
laba perusahaan.
Salah satu upaya yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan guna
mencari
jalan
untuk
meningkatkan
efisiensinya
adalah
melakukan
pengurangan biaya yang tidak sampai mengakibatkan penurunan pendapatan.
Namun cara tersebut masih dianggap belum cukup meningkatkan keuntungan
perusahaan. Sehingga upaya lain yang dapat dilakukan adalah melakukan
merger atau penggabungan perusahaan.2
Merger atau penggabungan dianggap merupakan strategi yang
handal yang dapat dilakukan perusahaan untuk lebih mengembangkan bisnis
perusahaan, yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan nilai
perusahaan. Dalam hal ini meningkatnya laba atau keuntungan yang didapat
perusahaan. Merger merupakan bentuk penggabungan usaha antara
perusahaan yang satu, dengan perusahaan yang lain yang bertujuan
meningkatkan nilai perusahaan, sehingga akan memperoleh hak kendali
(control) atas perusahaan tersebut.
Di Indonesia perkembangan merger mengalami peningkatan, hal ini
dapat dilihat dari semakin banyaknya perusahaan yang melakukan Merger.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
merupakan tonggak sejarah tentang Merger. Sebab didalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas pengaturan tentang merger
lumayan komprehensif di tingkat undang-undang. Sungguhpun sebelumnya
2
Adrian, Sutedi. (2010). Hukum Perbankan: Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger,
Likuidasi dan Kepailitan. Sinar Grafika. Jakarta. Hal. 83.
67
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
ada pengaturan merger, tetapi hal tersebut baru bersifat sektoral dan level
pengaturannya pun masih ditingkat dibawah undang-undang.3
Sebagaimana diketahui bahwa salah satu kelebihan dari UndangUndang Nomor 1 Tahun 1995 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang tidak dimiliki oleh
pasal-pasal tentang Perseroan Terbatas dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang adalah diaturnya mengenai Merger, Akuisisi, dan Konsolidasi.
Istilah Merger dimaksudkan sebagai satu “fusi” atau “absorpsi” dari suatu
benda atau hak kepada benda atau hak lainnya. Di dalam Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menggunakan istilah
“penggabungan” untuk pengertian Merger ini. 4
Alasan utama perusahaan lebih memilih melakukan Merger sebagai
strategi utama perusahaan dalam pengembangan perusahaannya adalah
karena dengan strategi Merger perusahaan tidak perlu memulai awal bisnis
yang baru karena bisnis perusahaan telah terbentuk sebelumnya, sehingga
tujuan perusahaan akan dapat dengan cepat terwujud. Selain itu Merger
memberikan banyak keuntungan lain yaitu peningkatan Sumber Daya
Manusia perusahaan, peningkatan kemampuan dalam hal pemasaran, skill
manajerial, riset, perpindahan atau transfer teknologi, dan akan adanya
efisiensi biaya produksi perusahaan.
Dari sekian banyak keutungan yang didapat atas dilakukannya
tindakan Merger tersebut, terkandung juga unsur kerugian didalamnya. Unsur
kerugian akibat tindakan Merger ini lebih dirasakan oleh pihak-pihak yang
tergolong lemah/kecil yang kedudukannya menjadi riskan, misalnya saja
pihak yang lemah karena struktural, pihak yang lemah karena financial, pihak
yang lemah karena lokalisasi, dan juga karena adanya penerapan Appraisal
Rights. Untuk itulah penulis tertarik untuk mengkaji kedudukan pihak yang
lemah pada perusahaan yang melakukan merger dengan memberikan
3
4
Munir, Fuady. (1999). Hukum Tentang Merger. Citra Aditya Bakti. Bandung. Hal. 20.
Ibid, Hal. 2.
68
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
perlindungan
hukum
terhadapnya,
dengan
rumusan
masalah
yaitu
bagaimanakah bentuk perlindungan hukum terhadap kepentingan pihak yang
lemah akibat dilakukannya tindakan Merger.
TINJAUAN PUSTAKA
Merger
Merger adalah salah strategi perusahaan dalam mengembangkan dan
menumbuhkan perusahaan. Merger didefinisikan penggabungan usaha dari
dua atau lebih perusahaan yang pada akhirnya bergabung ke dalam salah satu
perusahaan yang telah ada sebelumnya, sehingga menghilangkan salah satu
nama perusahaan yang melakukan merger. Berdasarkan aktivitas ekonomi
maka merger dapat diklasifikasikan dalam lima bentuk, yaitu:
1. Merger Horizontal
Merger horisontal adalah merger antara dua atau lebih perusahaan
yang bergerak dalam industri yang sama. Sebelum terjadi merger
perusahaan-perusahaan ini bersaing satu sama lain dalam
pasar/industri yang sama. Salah satu tujuan utama merger dan
akuisisi horisontal adalah untuk mengurangi persaingan atau
untuk meningkatkan efisiensi melalui penggabungan aktivitas
produksi, pemasaran dan distribusi, riset dan pengembangan serta
fasilitas administrasi.
2. Merger Vertikal
Merger vertikal adalah integrasi yang melibatkan perusahaanperusahaan yang bergerak dalam tahapan-tahapan proses produksi
atau operasi. Merger dan akuisisi vertikal dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan yang bermaksud untuk mengintegrasikan
usahanya terhadap pemasok dan/atau pengguna produk dalam
rangka stabilisasi pasokan dan pengguna.
69
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
3. Merger Konglomerat
Merger konglomerasi adalah merger dua atau lebih perusahaan
yang masing-masing bergerak dalam industri yang tidak terkait.
konglomerasi terjadi apabila sebuah perusahaan berusaha
mendiversifikasi bidang bisnisnya dengan memasuki bidang
bisnis yang berbeda sama sekali dengan bisnis semula.
4. Merger Ekstensi Pasar
Merger ekstensi pasar adalah merger yang dilakukan oleh dua
atau lebih perusahaan untuk secara bersama-sama memperluas
area pasar. Tujuan merger ini terutama untuk memperkuat
jaringan pemasaran bagi produk masing-masing perusahaan.
Merger ekstensi pasar sering dilakukan oleh perusahan-perusahan
lintas negara dalam rangka ekspansi dan penetrasi pasar.
5. Merger Ekstensi Produk
Merger ekstensi produk adalah merger yang dilakukan oleh dua
atau lebih perusahaan untuk memperluas lini produk masingmasingperusahaan. Setelah merger perusahaan akan menawarkan
lebih banyak jenis dan lini produk sehingga akan menjangkau
konsumen yang lebih luas. Merger ini dilakukan dengan
memanfaatkan kekuatan departemen riset dan pengembangan
masing-masing untuk mendapatkan sinergi melalui efektivitas
riset sehingga lebih produktif dalam inovasi.
Perlindungan Hukum
Menurut Pjillipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat
adalah sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan represif.
Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya
sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah besikap hati-hati dalam
pengambilan keputusan berdasarkan diskresi, dan perlindungan yang represif
70
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk penangananya
di lembaga peradilan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa yang dimaksud
perlindungan hukum adalah segala upaya yang dilakukan untuk melindungi
subyek itu melalui pengaturan-pengaturan dalam bentuk hukum, baik berupa
peraturan perundang-undangan atau peraturan lain, maupun putusan-putusan
dari pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Putusanputusan pengadilan yang mempunyai tiga macam kekuatan eksekutorial atau
kekuatan
untuk
dilaksanakan.
Suatu
putusan
dimaksudkan
untuk
menyelesaikan suatu persoalan/ sengketa dan menetapkan hak/hukumnya. Ini
tidak berarti semata-mata hanya menetapkan hak dan hukumnya saja,
melainkan juga realisasi/pelaksanaannya (eksekusinya) secara paksa.5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Merger dapat diartikan sebagai penyatuan atau penggabungan dua
perusahaan atau lebih dengan cara mendirikan perusahaan baru dan
membubarkan perusahaan lainnya. Dalam hal ini salah satu perusahaan atau
lebih dapat menggabungkan diri menjadi satu dengan perusahaan yang telah
ada dan salah satu dari perusahaan yang akan digabungkan itu tetap
dipertahankan keberadaannya, sehingga segala hak dan kewajiban yang ada
dialihkan kepada perusahaan penerima penggabungan perusahaan tadi.6
Keputusan untuk melakukan Merger bagi suatu perusahaan bukanlah
hal yang mudah. Perlu adanya pertimbangan dalam berbagai hal sehingga
pelaksanaan merger tersebut dapat berhasil dan menguntungkan baik
perusahaan yang menggabungkan diri, maupun perusahaan tujuan Merger itu
sendiri. Dalam istilah hukum perusahaan, Merger adalah an amalgamation of
5
Poerwadarminto, W.J.S. (1989). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta.
Hal. 68.
6
Rachmadi, Usman. (2004). Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. PT Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta. Hal. 88.
71
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
two corporations pursuant to statutory provision on which one of the
corporations survives and the other disappears, yang berarti tindakan
penggabungan dua perusahaan sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan
oleh undang-undang, dimana satu dari beberapa perusahaan tetap bertahan
dan yang lainnya hilang.7
Didalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas, Merger disebutkan sebagai Penggabungan, yaitu
perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan atau lebih untuk
menggabungkan diri dengan Perseroan lain yang telah ada yang
mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri
beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan dan
selanjutnya status badan hukum Perseroan yang menggabungkan diri
berakhir karena hukum. Menurut rumusan di atas dapat diketahui bahwa
Merger merupakan suatu bentuk penggabungan dua badan usaha, badan
usaha yang satu tetap ada, dan yang satunya atau lainnya bubar secara
hukum, dan nama perusahaan yang digunakan adalah perusahaan yang
eksis/ada.
Di dalam kegiatan usaha perusahaan, merger merupakan suatu cara
pengembangan dan pertumbuhan perusahaan. Melalui Merger perusahaanperusahaan menggabungkan dan membagi sumber daya yang mereka miliki
untuk mencapai tujuan bersama. Para pemegang saham dari perusahaanperusahaan yang bergabung tersebut seringkali tetap dalam posisi sebagai
pemilik bersama entitas yang digabungkan. Dalam pelaksanaan Merger,
seluruh aset, hak dan kewajiban dari badan hukum yang bubar tersebut
tidaklah menjadi hilang sama sekali, melainkan diambil alih oleh perusahaan
yang masih tetap ada.8
7
8
Adrian Sutedi. Op. Cit. Hal. 84
Ibid, Hal. 85.
72
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
Adapun tujuan dilakukannya Merger oleh perusahaanperusahaan besar antara lain:9
a. Meningkatkan barriens of market entry bagi calon pesaing
yang akan muncul
b. Menyingkirkan perusahaan pesaing dengan menjadikan
perusahaan pesaing sebagai target company atau obyek
Merger, konsolidasi atau akuisisi
c. Membeli product line atau lines untuk melengkapi product
lines dari perseroan yang akan menerima penggabungan
atau menghilangkan ketergantungan perusahaan tersebut
pada product lines atau service lines yang telah ada
d. Untuk memperoleh akses pada teknologi baru atau
teknologi yang lebih baik yang dimiliki oleh target
company atau obyek Merger (penggabungan) perseroan
terbatas,
konsolidasi
(peleburan)
atau
akuisisi
(pengambilalihan perseroan)
e. Memperoleh pasar dan atau pelanggan-pelanggan baru
yang dimiliki oleh target company atau obyek Merger
f. Membeli kantor-kantor (manufacturing, distribution sales
administrative affice) dan membeli fasilitas-fasilitas dan
perlengkapan lain yang dimiliki target company atau
obyek Merger
g. Memperoleh hak-hak pemasaran dan hak-hak prosuksi
yang dimiliki target company
h. Memperoleh bisnis line yang tidak dimiliki perusahaan
yang menerima penggabungan, tetapi dimiliki oleh target
company, agar business portfolionya semakin beragam
9
Sutan Remy Sjahdeini. Aspek Hukum Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Dalam Upaya
Penyehatan Perusahaan. Makalah Seminar tentang Aspek Hukum Merger, Konsolidasi dan
Akuisisi Dalam era Globalisasi. Diselenggarakan oleh Badan Hukum Pembinaan NasionalDepartemen Kehakiman RI. Jakarta. Tgl. 10-11 Sepetember 1997
73
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
i. Memperoleh kepastian atas pasokan bahan-bahan baku yang
kualitasnya baik selama ini dipasarkan oleh target company
j. Melakukan investasi atas keuangan perusahaan yang berlebih dan
tidak terpakai.
Merger yang baik adalah Merger yang berakhir dengan deal yang
win-win. Artinya baik bagi pihak perusahaan penggabung, maupun
perusahaan target sama-sama dapat meraih manfaat dari adanya Merger
tersebut. Ada beberapa informasi tentang perusahaan yang akan Merger
yang penting diketahui oleh mereka yang akan melakukan Merger. Di
negeri Belanda misalnya, informasi-informasi penting seperti ini
bahkan dimintakan oleh Trade Union untuk perusahaan-perusahaan
yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
Jika sebuah perusahaan ingin melakukan Merger dengan
perusahaan
lain
maka
terdapat
faktor-faktor
yang
perlu
dipertimbangkan dan diinvestigasikan terlebih dahulu, yaitu: faktor
produksi, faktor financial, faktor pajak, faktor hukum, faktor
pemasaran, faktor sumber daya manusia.10
Pertimbangan yang lain adalah Apabila perusahaan sedang
menyimpan masalah serius di bidang perburuhan, seperti ada tenagatenaga kunci yang segera akan berhenti yang mungkin akan membawa
banyak pelanggan perusahaan, atau serikat pekerja yang sedang
merencanakan demonstrasi menuntut kenaikan upah, apakah ada
banyak karyawan yang sudah di usia lanjut yang segera akan memasuki
masa pensiun, dengan kewajiban perusahaan untuk membayar uang
pensiun yang besar kepada pihak buruh, dan lain-lain.
Merger selain dapat menciptakan efisiensi sehingga mampu
mengurangi biaya produksi perusahaan, maka dapat juga menjadi
10
Bengston, Ann, McDonagh. (1994) Management of Mergers and Acquisitions. Jakarta:
Pustaka Binaman Pressindo. Hal. 240-244. Terjemahan Fauzi Bustami dalam Adrian Sutedi,
Op. Cit.Hal. 103.
74
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
alasan bagi pelaku usaha kecil yang menganggap bahwa tidak ada lagi
yang dapat dilakukan untuk meneruskan usahanya, sehingga merger
dapat juga menjadi salah satu jalan keluar jika pelaku usaha mengalami
kesulitan likuiditas.
Ada beberapa alasan perusahaan melakukan penggabungan
(merger), yaitu:
a. Pertumbuhan atau diversifikasi.
Yaitu perusahaan yang menginginkan pertumbuhan yang
cepat, baik ukuran, pasar saham, maupun diversifikasi usaha
dapat melakukan merger. Perusahaan tidak memiliki resiko
adanya produk baru. Selain itu, jika melakukan ekspansi
dengan
merger,
maka
perusahaan
dapat
mengurangi
perusahaan pesaing atau mengurangi persaingan.
b. Sinergi
Sinergi dapat tercapai ketika merger menghasilkan tingkat
skala ekonomi (economies of scale). Tingkat skala ekonomi
terjadi karena perpaduan biaya overhead meningkatkan
pendapatan yang lebih besar dari pada jumlah pendapatan
perusahaan ketika tidak merger. Sinergi tampak jelas ketika
perusahaan yang melakukan merger berada dalam bisnis
yang sama karena fungsi dan tenaga kerja yang berlebihan
dapat dihilangkan.
c. Meningkatkan dana
Banyak perusahaan tidak dapat memperoleh dana untuk
melakukan ekspansi internal, tetapi dapat memperoleh dana
untuk melakukan ekspansi eksternal. Perusahaan tersebut
menggabungkan diri dengan perusahaan yang memiliki
likuiditas tinggi sehingga menyebabkan peningkatan daya
pinjam perusahaan dan penurunan kewajiban keuangan. Hal
ini memungkinkan meningkatnya dana dengan biaya rendah.
75
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
d. Menambah ketrampilan manajemen atau teknologi
Beberapa perusahaan tidak dapat berkembang dengan baik
karena tidak adanya efisiensi pada manajemennya atau
kurangnya
teknologi.
Perusahaan
yang
tidak
dapat
mengefisiensikan manajemennya dan tidak dapat membayar
untuk mengembangkan teknologinya, dapat menggabungkan
diri dengan perusahaan yang memiliki manajemen atau
teknologi yang ahli.
e. Meningkatkan likuiditas pemilik
Merger antar perusahaan memungkinkan perusahaan memiliki
likuiditas yang lebih besar. Apabila sebuah perusahaan lebih
besar, maka pasar saham akan lebih luas dan saham lebih
mudah diperoleh sehingga lebih likuid dibandingkan dengan
perusahaan yang lebih kecil.
Adanya tindakan Merger, maka ada pihak-pihak tertentu yang
tergolong lemah/kecil yang kedudukannya menjadi riskan. Adapun
pihak yang lemah yang kedudukannya krusial jika terjadi Merger
tersebut antara lain mereka yang lemah secara structural, financial,
lokalisasi, dan akibat adanya penerapan appraisal right.11
a. Perlindungan pihak yang lemah secara structural
Yang dimaksudkan dengan pihak yang lemah dalam struktur
adalah bahwa kedudukan pihak tersebut dalam struktur
pembagian wewenag dari suatu perusahaan sangat lemah
dibandingkan dengan kedudukan pihak lainnya. Sebagai
contoh menurut sistem hukum positif Indonesia, dari segi
corporate law, kedudukan para pekerja di perusahaan lebih
lemah dari kedudukan pihak lain seperti pemegang saham,
direktur, komisaris. Para pekerja sama sekali tidak dilibatkan
11
Munir, Fuady. Op. Cit. Hal. 127.
76
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
dalam hal penentuan policy maupun operasional perusahaan.
Sebagai contoh, kurang diperhatikannya setiap keluhan
pekerja yang berkaitan dengan pekerjaannya kepada atasan
langsung, sesuai dengan uraian tugas atau kebijakan
perusahaan.12
Dalam
kasus-kasus
Merger,
seringkali
dengan
alasan
peningkatan efisiensi dan perampingan usaha, setelah Merger
sebagian pekerja diputuskan untuk di PHK.
Adanya
perlindungan
terhadap
para
pekerja
tersebut
dikarenakan belum adanya peraturan yang mensyaratkan beralihnya
setiap kontrak kerja atas atau kesepakatan kerja bersama dari
perusahaan yang dilebur kepada perusahaan yang melakukan
Merger by the operation of law (demi hukum). Yang ada hanyalah
bahwa pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja diperbolehkan
asal dilakukan dengan prosedur dan syarat-syarat yang sesuai
hukum yang berlaku.
b. Perlindungan pihak yang lemah secara financial
Secara yuridis ada pohak yang kuat dalam struktur kedudukannya,
misalnya pemegang saham, namun karena ikatan financial yang
lemah antara yang bersangkutan dengan perusahaan, misalnya
karena sahamnya minoritas, maka konsekuensinya posisi yang
bersangkutan juga akhirnya menjadi lemah. Perlindungan terhadap
pemegang saham terutama pemegang saham minoritas sangat
penting dalam hukum Merger, disamping perlindungan pihak-pihak
lain seperti pihak karyawan perusahaan.
c. Perlindungan pihak yang lemah secara lokalisasi
Dalam hal ini pihak tersebut adalah pihak yang tersangkut dengan
perusahaan tetapi memiliki kedudukan yang lemah secara
12
Adrian, Sutedi. (2009). Hukum Perburuhan. Sinar Grafika. Jakarta. Hal. 43
77
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
lokalisasi. Artinya pihak tersebut berada jauh dari perusahaan atau
bahkan orang luar perusahaan itu sendiri, tetapi mempunyai
hubungan dengan perusahaan. Hubungan tersebut dapat berupa:
1) Hubungan
kontraktual,
misalnya
antara
kreditur
dengan
perusahaan yang bersangkutan
2) Hubungan non kontraktual, misalnya dengan si tersaing secara
fair
Dalam hal ini kreditur harus lebih waspada jika suatu perusahaan
melakukan Merger. Hal yang menyebabkan kreditur perlu waspada
atas terjadinya Merger dikarenakan dengan adanya Merger maka akan
terjadi dua hal antara lain:
a. Peralihan asset
Jika terjadi peralihan asset perusahaan yang melakukan Merger,
dimana kedudukannya sebagi debitur, maka utang tersebut dapat
menjadi utang tanpa dukungan asset yang merupakan jaminan
pelunasan utang.
b. Non Eksistensi Legal Entity
Terhadap utang yang dimiliki oleh debitur namun justru eksistensi
debitur bubar setelah emlakukan Merger, maka tindakan yang
dapat dilakukan:
c. Actio pauliana
Jika debitur melakuakan pengalihan asset untuk mengelak
pembayaran utang-utangnya, maka jika terpenuhi syarat-syarat
tertentu seperti tersebut dalam Pasal 1341 KUHPerdata, maka
pengalihan asset tersebut dapat dibatalkan dengan action pauliana,
yaitu upaya hukum untuk membatalkan transaksi yang dilakukan
oleh debitur untuk kepentingan debitur tersebut yang dapat
merugikan kepentingan para krediturnya.
78
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
d. Negative covenant
Jika ada Negative covenant dalam perjanjian kredit yang
melarang atau harus minta izin kreditur jika asset ingin dialihkan.
Dalam hal ini jika dilanggar oleh debitur hanya menyebabkan
debitur gagal terhadap perjanjian kredit yang bersangkutan. Jadi
tidak
sampai
batalnya
transaksi
pengalihan
asset,
yang
kemungkinan telah sah dilakukan oleh debitur dengan pihak
ketiga, kecuali pihak ketiga beritikad tidak baik untuk itu.
e. Penerapan Appraisal Rights
Apabila ada pihak pemegang saham yang tidak setuju dengan
Merger, padahal Rapat Umum Pemegang Saham dengan suara
mayoritas tertentu telah memutuskan untuk Merger, maka kepada
pihak yang kalah suara ini oleh hukum diberikan suatu hak khusus
yang disebut dengan Appraisal Rights. Maksud dari appraisal
rights atau yang sering disebut dengan istilah dissenters right atau
right of dissent, yang merupakan hak untuk keluar dari
perusahaan dengan kewajiban dari pihak perusahaan atau
pemegang saham lain untuk membeli saham pemegang saham
yang keluar tersebut dengan saham yang dinilai (appraise) pada
harga yang pantas.12
Sebagaimana yang disebutkan didalam Pasal 62 Undang-Undang
Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang berbunyi:
(1) Setiap pemegang saham berhak meminta kepada perseroan
agar sahamnya dibeli dengan harga yang wajar apabila yang
bersangkutan
tidak
menyetujui
tindakan
perseroan
yang
merugikan pemegang saham atau Perseroan, berupa:
12
Munir Fuady. (2005). Perlindungan Pemegang Saham Minoritas. CV Utomo. Bandung.
Hal. 178.
79
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
a. perubahan Anggaran Dasar;
b. pengalihan atau penjaminan kekayaan perseroan yang
mempunyai nilai lebih dari 50% (lima puluh persen)
kekayaan bersih perseroan; atau
c. Penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan atau
pemisahan.
(2) Dalam hal saham yang diminta untuk dibeli sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) melebihi batas ketentuan pembelian
kembali saham oleh perseroan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 37 ayat (1) huruf b, perseroan wajib mengusahakan agar
sisa saham dibeli oleh pihak ketiga.
Menurut uraian-uraian di atas dapat diketahui bahwa pilihan
untuk melakukan Merger bagi suatu perusahaan harus didahului
dengan pertimbangan-pertimbangan yang mengarah pada didapatkan
keuntungan bagi semua pihak yang terkait di dalam perusahaan itu
sendiri, sehingga justru tidak merugikan pihak-pihak tersebut terlebih
bagi pihak yang lemah. Perlindungan bagi pihak yang lemah baik
secara structural, financial, maupun lokalisasi serta mengenai
penerapan appraisal rights perlu dilakukan oleh sektor hukum demi
terwujudnya keadilan dan kesejahteraan masyarakat secara umum,
dan dunia usaha khususnya.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Jika sebuah perusahaan ingin melakukan Merger dengan perusahaan
lain maka terdapat faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dan
diinvestigasikan terlebih dahulu, antara lain: faktor produksi, faktor financial,
faktor pajak, faktor hukum, faktor pemasaran, faktor sumber daya manusia,
dan faktor lain-lain. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor tersebut maka
80
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
akan dapat diperhitungkan bahwa merger yang dilakukan dapat memberikan
keuntungan bagi kedua belah pihak: artinya baik perusahaan penggabung
maupun perusahaan target dapat sama-sama meraih manfaat dari adanya
merger tersebut.
Bentuk perlindungan hukum bagi pihak yang lemah dalam merger
telah ditetapkan melalui peraturan perundang-undangan, yaitu UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, sehingga
perusahaan yang akan melakukan tindakan Merger wajib mematuhi
ketentuan tersebut, sehingga baik pihak yang lemah secara structural,
financial, lokalisasi, maupun karena penerapan appraisal rights akan
memdapatkan perlindungan hukum yang jelas.
Saran
Agar tindakan Merger yang akan dilakukan oleh perusahaan dapat
diprediksi manfaatnya, maka para pihak yang terlibat didalamnya, baik
perusahaan penggabung maupun perusahaan target harus sama-sama
memberikan informasi yang benar. Untuk mendapatkan pertimbangan dan
keakuratan data maka sebaiknya dilakukan oleh para ahli dibidangnya,
misalnya konsultan hukum, ekonomi, perpajakan, dan lain-lain.
Pihak yang lemah dalam suatu tindakan Merger juga harus
mendapatkan perlindungan hukum yang maksimal, agar tidak satupun pihak
yang merasa dirugikan atas dilakukannya tindakan merger. Saran untuk
penegak hukum agar dengan tegas memberikan sanksi terhadap kelalaian
hak-hak yang seharusnya diterima oleh para pihak yang lemah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Buku, Jurnal Dan Makalah
Adrian, Sutedi. (2010). Hukum Perbankan: Suatu Tinjauan Pencucian Uang,
Merger, Likuidasi dan Kepailitan. Sinar Grafika. Jakarta.
81
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
Adrian, Sutedi. (2009). Hukum Perburuhan. Sinar Grafika. Jakarta.
Bengston, Ann, McDonagh. (1994). Management of Mergers and
Acquisitions. Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta.
Munir, Fuady. (1999). Hukum Tentang Merger. Citra Aditya Bakti.
Bandung.
Munir Fuady. (2005). Perlindungan Pemegang Saham Minoritas. CV Utomo.
Bandung.
Rachmadi, Usman. (2004). Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. PT
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Sutan Remy Sjahdeini. Aspek Hukum Merger, Konsolidasi dan Akuisisi
Dalam Upaya Penyehatan Perusahaan. Makalah Seminar tentang Aspek
Hukum Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Dalam era Globalisasi.
Diselenggarakan oleh Badan Hukum Pembinaan Nasional-Departemen
Kehakiman RI. Jakarta. Tgl. 10-11 Sepetember 1997
82
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
KAJIAN PERBANDINGAN TENTANG PENGATURAN PENGARUH
HAM SIPIL DAN POLITIK MASA ORDE BARU
DAN MASA REFORMASI
Rabu1
ABSTRAK
Memahami politik hukum suatu perundang-undangan merupakan hal yang
penting, mengingat pembuatan hukum atau perundang-undangan tidak
terlepas dari system politik yang ada pada waktu itu. Hukum merupakan
produk politik, dimana hokum dipandang sebagai kristalisasi dari proses
interaksi atau pergulatan dari kehendak-kehendak kekuatan politik yang ada.
Pengaturan tata pemerintahan daerah di Indonesia, ada seiring dengan
berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia Bahkan jika ditarik ke
belakang, sejak pemerintahan Hindia Belandapun sudah ada. Dalam rentang
waktu demikian, telah terjadi beberapa kali perubahan seiring dengan
perubahan UUD dan/atau perubahan sistem politik. Pada masa Orde Baru
pula pemerintahan menekankan stabilitas nasional dalam program politiknya
dan untuk mencapai stabilitas nasional terlebih dahulu diawali dengan apa
yang disebut dengan konsensus nasional, Materi penting yang lain dalam
perubahan UUD 1945 adalah bahwa Presiden R.I. dipilih langsung oleh
rakyat, dengan masa jabatan yang dibatasi untuk dua kali lima tahun.
Kata Kunci: Pengaruh HAM
Reformasi
1
Sipil, Politik Masa Orde Baru, Masa
Dosen Program Studi Ilmu Hukum Universitas Putera Batam
83
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Pengaruh politik hukum, pada penegakan hukumnya, karakteristik
produk-produk hukum, serta proses pembuatannya. Hal di atas dapat dilihat
dalam fakta berhukum sepanjang sejarah Indonesia, pelaksanaan fungsi dan
penegakkan hukum tidak selalu berjalan seiring dengan perkembangan
strukturnya. Hal ini akan tampak jelas jika ukuran pembangunan hukum di
Indonesia adalah unifikasi dan kodifikasi hukum, maka pembangunan
struktur hukum telah berjalan dengan baik dan stabil. Karena dari waktu ke
waktu produktifitas perundang-undangan mengalami peningkatan. Namun
dari sisi yang lain, dari segi fungsi hukum telah terjadi kemerosotan.2
Struktur hukum dapat berkembang dalam kondisi konfigurasi politik
apapun dengan ditandai keberhasilan pembuatan kodifikasi dan unifikasi
hukumsebagaimana tampak dalam Program Legislasi Nasional. Tetapi
pelaksanaan fungsi atau penegakan fungsi hukum cenderung menjadi lemah.
Sekalipun produk hukum yang dihasilkan jumlahnya secara kuantitatif
meningkat, tetapi substansi dan fungsi hukumnyapun tidak selalu meningkat
atau sesuai dengan aspirasi masyarakat. Hal ini terjadi ketidak sinkronan
antara struktur hukum dengan fungsi.3
Hukum sebagaimana disebut di atas disebabkan oleh karena
intervensi atau gangguan dari tindakan-tindakan politik. Hukum kadang tidak
(dapat) ditegakkan karena adanya intervensi kekuasaan politik. Pengaturan
tata pemerintahan daerah di Indonesia, ada seiring dengan berdirinya Negara
Kesatuan Republik Indonesia bahkan jika ditarik ke belakang, sejak
pemerintahan Hindia Belandapun sudah ada. Dalam rentang waktu demikian,
2
Satjipto, Rahardjo. (1985). Beberapa Pemikiran tentang Ancangan antar Disiplin
dalam Pembinaan Hukum Nasional. Sinar Baru. Bandung. Hal.71
3
Soerjono, Soekanto. (1985). Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat,
Rajawali, Jakarta. Hal. 9
84
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
telah terjadi beberapa kali perubahan seiring dengan perubahan UUD
dan/atau
perubahan
sistem
politik.
Tulisan
ini
bermaksud
untuk
mengidentifikasi korelasi causalitas antara subsistem politik dan subsistem
hukum. Yaitu bagaimana konfigurasi politik mempengaruhi karakter produk
hukum pemerintahan di Indonesia.
Manusia tidak hidup diruang hampa, tetapi manusia hidup ada faktor
yang mempengaruhi, baik sosial, politik dan kultural yang menyelimuti
kehidupan manusia dasar inilah yang menyadarkan manusia sebagai makhluk
sosial, yang sederetan upaya manusia dalam menterjemahkan fungsi sosial
manusia berimplikasi pada hadirnya suatu kesadaran bahwa manusia adalah
bagian dari kehidupan manusia lainnya dengan kata lain, secara universalitas
bahwa kehidupan dan jati diri manusia adalah bagian dari totalitas dalam
pembangunan manusia itu sendiri.
Setiap masyarakat yang teratur yang bisa menentukan pola-pola
hubungan dalam masyarakat dalam struktur politik yang menaruh perhatian
pada pengorganisasian kegiatan kolektif untuk mencapai tujuan. Mempunyai
tujuan, didahului oleh proses pemilihan tujuan diantara berbagai tujuan
karena itu, politik adalah aktivitas memilih suatu tujuan social tertentu, maka
cara-cara yang hendak dicapai memerlukan sebuah proses politik hukum.4
Pengertian Politik Hukum
Istilah politik hokum dapat diartikan sebagai act of choice in
determining ius constiituendum (tindakan memilih dalam menentukan hokum
yang dicita-citakan). Menurut Sudarto, politik hukum adalah usaha untuk
mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan
situasi pada saat itu, dan beliau juga mengemukakan pengertian dari politik
hukum yaitu kebijakan dari Negara melalui badan-badan yang berwenang
4
Satjipto, Rahardjo. (2006). Ilmu Hukum Citra Aditiya Bakti. Bandung. Hal. 358
85
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dihendaki yang diperkirakan
bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam
masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.5
Politik hukum menurut Abdul Hakim sebagaimana dikutip oleh Moh.
Mahfud adalah kebijaksanaan hukum (legal policy) yang hendak atau telah
dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia yang dalam
implementasinya meliputi:
1. Pembangunan hukum yang berintikan pembuatan hukum dan
pembaharuan hukum terhadap bahan-bahan hukum yang dianggap
asing atau tidak sesuai dengan kebutuhan dengan penciptaan
hukum yang diperlukan.
2. Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan
fungsi lembaga dan pembinaan anggota penegak hukum
Memahami politik hukum suatu perundang-undangan merupakan hal
yang penting, mengingat pembuatan hukum atau perundang-undangan tidak
terlepas dari sistem politik yang ada pada waktu itu. Hukum merupakan
produk politik, dimana hukum dipandang sebagai kristalisasi dari proses
interaksi atau pergulatan dari kehendak-kehendak kekuatan politik yang ada.
Maka secara “das sollen” politiklah yang harus tunduk pada ketentuan
hokum, tetapi secara “das sein” (empiris) hukumlah yang sebenarnya
diintervensi oleh politik, sehingga karakter produk hukum dan penegakannya
akan sangat ditentukan oleh konfigurasi politik yang melatarbelakanginya.6
Cita-cita hukum yang tetap actual dan aspiratif adalah adanya implemaentasi
nyata makna Negara hukum dengan terus menerus mengembangkan prinsip-
5
Bambang, Sutiyoso, dkk. (2005). Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman Di
Indonesia. UII Press. Yogyakarta. Hal. 95
6
Moh. Mahfud. (1993). Perkembangan Politik Hukum Studi Pengaruh Konfigurasi Politik
Terhadap Produk Hokum Di Indonesia, UGM, Yogyakarta. Hal. 74
86
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
prinsip demokratisasi, keterbukaan, keadilan, persamaan hak dan kedudukan
secara hukum serta adanya jaminan yang pasti terhadap hak asasi manusia.7
Politik hukum Indonesia sesungguhnya harus berorientasi pada citacita Negara hukum yang didasarkan atas prinsip-prinsip demokrasi dan
berkeadilan sosial dalam suatu masyarakat bangsa Indonesia yang bersatu
sebagaimana yang tertuang dalam pembukaan (undang-undang dasar 1945)8
Pengaruh Konfigurasi Politik Terhadap Produk Hukum
Lahirnya suatu konfigurasi politik tidaklah mutlak tergantung pada
konstitusi atau UUD yang berlaku. Berlakunya suatu UUD dapat
memperlihatkan konfigurasi politik
yang berbeda pada periode yang
berbeda, UUD 1945 yang berlaku sejak tahun 1945 telah melahirkan
konfigurasi politik yang berbeda termasuk karakter produk hukumnya yang
berbeda pula yang terdapat dikelompokkan menjadi empat bagian:
a. Konfigurasi politik periode 1945-1958 (demokrasi-liberal) termasuk
dalam konfigurasi politik demokratis dan karakter produk hukumnya
adalah responsif atau populistis, pada masa ini di samping berlaku
UUD 1945 dari tahun ke tahun 1945-1949, berlaku pula konstitusi
RIS 1949 dan UUDS 1950.
b. Konfigurasi politik periode 1959-1966 (demokrasi terpimpim/orde
lama) dikelompokkan dalam konfigurasi politik yang otoriter dengan
karakter produk hukum yang cenderung konservatif atau ortodoks.
c. Konfigurasi politik periode 1966-1998 (demokrasi orde baru)
termasuk dalam konfigurasi politik yang otoriter dengan produk
hokum yang konservatif atau ortodoks
7
Asri Muhammad saleh, menegakkan hokum atau mendirikan hokum, Bina mandiri pres
pekanbaru, 2003.hal.66
8
Abdul, Hakim. (1988). Politik Hukum Indonesia. YLBHI. Jakarta. Hal. 20
87
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
d. Konfigurasi politik periode 1998-sekarang (orde-reformasi) orde
reformasi muncul mengantikan orde baru yang tumbang pada tanggal
21 mei 1998, karena gerakan kekuatan rakyat (people power) yang
dipelopori mahasiswa. Orde ini menginginkan semangat reformasi
dalam segala bidang kehidupan, terutama ekonomi, politik, dan
hukum. Konfigurasi politik yang hendak dibangun adalah konfigurasi
politik yang demokratis, dengan berupaya membuat produk yang
responsif. Untuk dapat menilai bagaimana konfigurasi politik pada
periode ini harus melihat perkembangan dan implementasinya lebih
jauh di kemudian hari, maka terlalu dini untuk dapat memberikan
penilaian sekarang ini, mengingat orde reformasi baru berjalan
beberapa tahun sehingga perlau diberikan waktu untuk membuktikan
kinerjanya.9
Ciri-ciri Konfigurasi Politik Otoriter Pada Masa Orde Baru
Peristiwa yang lazim disebut Gerakan 30 September/Partai Komunis
Indonesia (G30S/PKI) menandai pergantian orde dari Orde Lama ke Orde
Baru. Pada tanggal 1 Maret 1966 Presiden Soekarno dituntut untuk
menandatangani sebuah surat yang memerintahkan pada Jenderal Soeharto
untuk mengambil segala tindakan yang perlu untuk keselamatan negara dan
melindungi Soekarno sebagai Presiden. Surat yang kemudian dikenal dengan
sebutan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) itu diartikan sebagai
media pemberian wewenang kepada Soeharto secara penuh. Orde Baru
dikukuhkan dalam sebuah sidang MPRS yang berlangsung pada Juni-Juli
1966.
diantara
ketetapan
yang
dihasilkan
sidang
tersebut
adalah
mengukuhkan Supersemar dan melarang PKI berikut ideologinya tubuh dan
berkembang di Indonesia. Menyusul PKI sebagai partai terlarang, setiap
9
ibid, hal 97-98
88
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
orang yang pernah terlibat dalam aktivitas PKI ditahan. Sebagian diadili dan
dieksekusi, sebagian besar lainnya diasingkan ke pulau Buru.10
Pada masa Orde Baru pula pemerintahan menekankan stabilitas
nasional dalam program politiknya dan untuk mencapai stabilitas nasional
terlebih dahulu diawali dengan apa yang disebut dengan konsensus nasional.
Ada dua macam konsensus nasional, yaitu :
1. Pertama berwujud kebulatan tekad pemerintah dan masyarakat untuk
melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Konsensus pertama ini disebut juga dengan konsensus utama.
2. Sedangkan konsensus kedua adalah konsensus mengenai cara-cara
melaksanakan konsensus utama. Artinya, konsensus kedua lahir sebagai
lanjutan dari konsensus utama dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan.
Konsensus kedua lahir antara pemerintah dan partai-partai politik dan
masyarakat.
Secara umum, elemen-elemen penting yang terlibat dalam perumusan
konsensus nasional antara lain pemerintah, TNI dan beberapa organisasi
massa. Konsensus ini kemudian dituangkan kedalam TAP MPRS No.
XX/1966, sejak itu konsensus nasional memiliki kekuatan hukum yang
mengikat bagi seluruh rakyat Indonesia. Beberapa hasil konsensus tersebut
antara lain penyederhanaan partai politik dan keikutsertaan TNI/Polri dalam
keanggotaan MPR/DPR. Berdasarkan semangat konsensus nasional itu
pemerintah Orde Baru dapat melakukan tekanan-tekanan politik terhadap
partai politik yang memiliki basis massa luas. Terlebih kepada PNI yang nota
bene partai besar dan dinilai memiliki kedekatan dengan rezim terdahulu.
Pemerintah orde baru juga melakukan tekanan terhadap partai-partai
dengan basis massa Islam. Satu contoh ketika para tokoh Masyumi ingin
menghidupkan kembali partainya yang telah dibekukan pemerintah Orde
Lama, pemerintah memberi izin dengan dua syarat Pertama, tokoh-tokoh
10
BJ Boland, Pergumulan Islam di Indonesia, (Jakarta: Grafiti Press, 1985), hal. 148-150.
89
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
lama tidak boleh duduk dalam kepengurusan partai. Kedua, masyumi harus
mengganti nama sehingga terkesan sebagai partai baru.11
Pada Pemilu 1971 partai-partai politik disaring melalui verifikasi
hingga tinggal sepuluh partai politik yang dinilai memenuhi syarat untuk
menjadi peserta pemilu. Dalam pemilu kali ini didapati Golongan Karya
(Golkar) menjadi peserta pemilu. Pada mulanya Golkar merupakan gabungan
dari berbagai macam organisasi fungsional dan kekaryaan, yang kemudian
pula pada 20 Oktober 1984 mendirikan Sekretariat Bersama Golongan Karya
(Sekber Golkar). Tujuannya antara lain memberikan perlindungan kepada
kelompok-kelompok fungsional dan mengkoordinir mereka dalam front
nasional.
Sekber
Golkar
ini
merupakan
organisasi
besar
yang
dikonsolidasikan dalam kelompok-kelompok induk organisasi seperti
SOKSI, KOSGORO, MKGR dan lainnya sebagai “Political Battle Unit “
rezim orde baru.
Pasca pemilu 1971 muncul kembali ide-ide penyederhanaan partai
yang dilandasi penilaian hal tersebut harus dilakukan karena partai politik
selalu
menjadi
sumber
yang
mengganggu
stabilitas,
gagasan
ini
menimbulkan sikap Pro dan Kontra karena dianggap membatasi atau
mengekang aspirasi politik dan membentuk partai-partai hanya kedalam
golongan nasional, spiritual dan karya.12
Pada tahun 1973 konsep penyederhanaan partai (Konsep Fusi) sudah
dapat diterima oleh partai-partai yang ada dan dikukuhkan melalui UndangUndang No. 3/1975 tentang Partai Politik dan Golongan, sistem fusi ini
berlangsung hingga lima kali Pemilu selama pemerintahan orde baru (1977,
1982, 1987, 1992 dan 1997).
11
Jimly, Asshiddiqie. (2005) Kemerdekaan Berserikat Pembubaran Partai Politik
dan Mahkamah Konstitusi. Konpress. Jakarta. Hal. 190
12
Nur, Syam. (1999). Kegagalan Mendekatkan Jarak Ideologi Partai Politik, Pengalaman
Indonesia Orde Baru. Edisi XVII.
90
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
Ciri-ciri Konfigurasi Politik Demokratris Pada Masa Reformasi
Karakter Politik
Momentum peruhan politik tahun 1998, yang dikenal dengan
reformasi, ditandai dengan turunnya Soeharto dari tampuk kursi kepresidenan Indonesia yang telah dikuasainya selama lebih dari tigapuluh tahun.
Jatuhnya rejim otoritarian Orde Baru diikuti dengan perubahan konstitusi
negara, yaitu amandemen UUD 1945 hingga empat tahapan. Hasil dari
perubahan konstitusi tersebut adalah perubahan secara signifikan sistem
ketatanegaraan R.I. Struktur lembaga negara yang tidak diperlukan
dibubarkan, kemudian atas tuntutan perkembangan politik dan masyarakat
dibentuk lembaga negara baru. DPA dibubarkan, dibentuk MK dan DPD
sebagai lembaga tinggi negara.
Lembaga perwakilan rakyat direformasi dengan berbagai cara
menghilangkan unsur-unsur keterwakilan yang pada masa lalu digunakan
sebagai alat kekuasaan eksekutif. Unsur ABRI, Utusan Golongan dan Utusan
Daerah yang selama Orde Baru digunakan untuk membangun legitimasi
formal dihilangkan dari DPR. Semua anggota DPR dipilih oleh rakyat
melalui partai politik. Untuk memenuhi dan mewadahi aspirasi dan
kepentingan daerah, maka dibentuklah DPD, yang susunannya dipilih
langsung oleh rakyat dari daerah yang diwakilinya (Propinsi).
MPR berjalan seolah joint session antara DPR dan DPD, dengan
tugas dan wewenang yang lebih terbatas (bukan lagi menjadi lembaga
tertinggi negara). Reformasi juga menjangkau hingga pada pengaturan
tentang sistem kepartaian di Indonesia. Masyarakat diberikan kebebasan
yang sangat luas untuk membentuk partai politik, dan bagaikan jamur di
musim hujan sejak itu lebih dari seratus partai politik yang terdaftar di
Departemen Hukum dan HAM. Sekalipun demikian untuk mengikuti pemilu
partai politik harus memenuhi persyaratan tertentu yang tidak mudah.
91
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
Apabila ditelusuri kembali pasca reformasi partisipan pemilu selalu
diikuti oleh lebih dari 20 partai politik. Bahkan pada pemilu legislatif 2009
yang baru lalu diikuti oleh 40 partai politik. Pemilu menjadi sarana yang
sangat penting dalam system politik demokrasi untuk menyalurkan aspirasi
dan agregasi sekaligus rekruitmen politik rakyat. Pemilu sekaligus menjadi
ajang untuk melakukan seleksi kebijakan nasional bagi penyusunan program
negara R.I. Oleh karena itu pemilu harus dilaksanakan oleh Komisi
Pemilihan Umum sebagai lembaga yang independen namun dengan
kedudukan yang kuat.
Materi penting yang lain dalam perubahan UUD 1945 adalah bahwa
Presiden R.I. dipilih langsung oleh rakyat, dengan masa jabatan yang dibatasi
untuk dua kali lima tahun. Selebihnya tidak dapat dipilih lagi. Dengan
pemilihan presiden secara langsung, maka aspirasi rakyat akan menjadi lebih
terjamin. Rakyat sendirilah yang memilih presidennya, sehingga setiap suara
rakyat menjadi semakin berarti. Pers sebagai pilar keempat demokrasi
berperan semakin maksimal ketika ruang ekspresi dan informasi dibuka
lebar. Media massa tidak takut lagi dengan ancaman breidel oleh pemerintah.
Bahkan independensi media dilindungi dengan UU Pers dan Negara telah
memasukkan pers sebagai rejim HAM, sehingga urgensi pemeruhannya
menjadi semakin pokok. Pada periode ini kekuatan pers untuk menjadi pilar
keempat demokrasi benar-benar mendapatkan ruang yang sangat besar.
Gerakan reformasi yang menyebabkan jatuhnya Presiden Suharto dan rezim
Orde Barunya, juga memberikan semangat kebangkitan kepada pers di
Indonesia.
Ungkapan salah satu wartawan Malang: “Reformasi dan kebebasan
pers digambarkan seperti “sebuah pesta” ”. Era reformasi ditandai dengan
terbukanya kran kebebasan informasi. Di dunia pers, kebebasan itu
ditunjukkan dengan dipermudahnya pengurusan SIUPP33. Sebelum tahun
1998 proses perolehan SIUPP melibatkan 16 tahap, tetapi dengan instalasi
92
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
Kabinet BJ Habibie, dikurangi menjadi tiga tahap. Di samping itu pada bulan
September 1999, pemerintahan BJ Habibie mensahkan Undang- Undang
Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, menggantikan UU
RI No. 11 Tahun 1966, UU RI No. 4 Tahun 1967 dan UU No. 21 Tahun
1982, yang diakui “sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman.
Pengakuan ketidaksesuaian dalam perundang-undangan Republik
Indonesia tersebut, merupakan sejenis kemenangan untuk pers Indonesia. UU
RI No. 40 Tahun 1999, antara lain, menjamin kebebasan pers serta mengakui
dan menjamin hak memperoleh informasi dan kemerdekaan mengungkapkan
pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani sebagai hak manusia yang
paling hakiki. Pasal 2 menyebutkan “kemerdekaan pers adalah salah satu
wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan
dan supremasi hukum”. UU RI No. 40 Tahun 1999 tersebut juga memberikan
kebebasan kepada wartawan untuk memilih organisasi wartawan sekaligus
menjamin keberadaan Dewan Pers.
Longgarnya proses mendapatkan SIUP, hampir 1000 SIUPP yang
baru telah disetejui oleh Menteri Informasi dalam jangka waktu dari bulan
Juni 1998 sampai Desember 200035. Lagi pula, angka tersebut tidak
termasuk sekitar 250 SIUPP yang telah diterbitkan sebelum reformasi.
Sebagian besar dari meledaknya terbitan itu merupakan tabloid mingguan
yang berorientasi politik yang dimiliki dan didukung oleh konglomerat
media, misalnya Bangkit (Kompas–Gramedia Grup) dan Oposisi (Jawa Pos
Grup). Dengan menjamurnya terbitan tersebut, tidak perlu lagi mengartikan
ungkapan yang tersembunyi atau „read between the lines’ seperti ketika Orde
Baru. Namun, sekarang yang diperlukan adalah sikap skeptis dalam
memperoleh informasi berita sehingga media dapat menghasilkan berita yang
dipercaya, bukan hanya sekedar bersifat sensasional saja. Tahun ketiga yang
sejak jatuhnya Suharto dan pergantian rezimnya, muncul kencendrungan
baru dalam pers di Indonesia.
93
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
Proses itu melibatkan banyak terbitan yang muncul di daerah-daerah
untuk melayani informasi warga di daerah itu. Fenomena lokalisasi pers dan
permunculan pers daerah akan dibahas lebih terinci dalam bab berikutnya.
Konfigurasi politik pasca reformasi menunjukkan pola keterbukaan yang
membuka peluang bagi berperannya seluruh potensi rakyat secara maksimal
untuk turut aktif menentukan kebijakan negara. Di dalam konfigurasi politik
yang demikian maka pemerintah lebih berperan sebagai pelayan yang harus
melaksanakan kehendakkehendak masyarakatnya, yang dirumuskan secara
demokratis oleh badan perwakilan rakyat dan partai politik berfungsi secara
proporsional.
Karakter Produk Hukum
Salah satu buah manis reformasi adalah pelaksanaan otonomidaerah
yang memberikan kewenangan yang sangat besar kepada daerah dalam
pengambilan keputusan publik dan penyelenggaraan pemerintahan. Konsep
pengaturan otonomi daerah sebagaimana diatur dalam UU No. 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan daerah, memberikan otonomi yang seluasluasnya kepada daerah dengan menyerahkan sebagian besar urusan
penyelenggaraan pemerintahan kepada daerah, kecuali hanya untuk urusan
yang secara materiil memang tidak
mungkin diserahkan kepada daerah, yaitu kewenangan moneter, hubungan
luar negeri, pertahan, keamanan, pengadilan, dan agama. UU No. 22 Tahun
1999 ternyata dirasakan terlalu terbuka.
Oleh karena itu untuk menata agar pelaksanaan otonomi daerah tidak
menyimpang dan membahayakan Negara kesatuan R.I. maka dibuat UU No.
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Menurut UU No. 32 Tahun
2004, pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan
oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip
94
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan
perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Kepala
daerah dipilih langsung oleh rakyat melalui pilkada langsung. Daerah (kepala
daerah dan DPRD) memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan daerah
untuk memberikan pelayanan, peningkatan peran serta masyarakat, prakarsa,
dan pemberdayaan masyarakat yang pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Ada beberapa alasan perlunya pemerintah pusat
mendesentralisasikan kekuasaan kepada pemerintah daerah, yaitu:
1. Segi politik, desentralisasi dimaksudkan untuk mengikutsertakan
warga dalam proses kebijakan, baik untuk kepentingan daerah
sendiri maupun untuk mendukung politik dan kebijakan nasional
melalui pembangunan proses demokrasi di lapisan bawah.
2. Segi manajemen pemerintahan, desentralisasi dapat meningkatkan
efektivitas efisiensi, dan akuntabilitas publik terutama dalam
penyediaan pelayanan publik.
3. Segi kultural, desentralisasi untuk memperhatikan kekhususan,
keistime-waan suatu daerah, seperti geografis, kondisi penduduk,
perekonomian, kebudayaan, atau latar belakang sejarahnya.
4. Segi kepentingan pemerintah pusat, desentralisasi dapat mengatasi
kelemahan
pemerintah
pusat
dalam
mengawasi
programprogramnya.
5. Segi percepatan pembangunan, desentralisasi dapat meningkatkan
persaingan positif antar daerah dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat sehingga mendorong pemerintah daerah untuk
melakukan inovasi dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan
kepada
masyarakat,
37
Kebijakan
pembangunan
nasional
sebagaimana diungkap oleh UU Nomor 32 tahun 2004 telah
95
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
memberikan petunjuk yang jelas bahwa sebagian besar urusan dan
tanggung jawab pengelolaan dan pelaksanaan pembangunan
diserahkan kepada pemerintah daerah.
Penyelenggaraan pemerintahan didasarkan pada prinsip-prinsip
otonomi daerah, dimana daerah diberikan kewenangan untuk mengantur dan
mengurus rumah tangganya sendiri. Pelaksanaan dengan menyerahkan semua
kewenangan pemerintahan kepada daerah selain kewenangan pusat
sebagaimana diatur pada Pasal 10 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004, yaitu :
bidang politik luar negeri; pertahan; keamanan; yustisi; moneter dan fiskal
nasional; dan agama. Pada hakekatnya kebijakan otonomi daerah didasarkan
pada keyakinan bahwa pemerintah daerah masing-masing memiliki
kemampuan dan kapasitas untuk merencanakan dan mengelola pembangunan
secara mandiri.
Daerah dianggap lebih tahu dan mengenal daerahnya, dengan segala
potensi dan keunggulannya. Dalam pelaksanaannya UU No. 32 Tahun 2004
yang dikaitkan dengan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Pusat Dan Daerah, memberikan ruang yang cukup luas bagi
pemerintah daerah dalam penanganan urusan pemerintah di tingkat lokal,
penyelesaian permasalahan daerah dan dapat lebih kreatif menggali dan
mengembangkan
potensi
daerah
untuk
mewujudkan
kesejahteraan
masyarakatnya.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Kajian Perbandingan Tentang Pengaturan Pengaruh Ham Sipil Dan
Politik Masa Orde Baru Dan Masa Reformasi
Latar Belakang Dan Tujuan Pada Masa Orde Baru
Politik hukum adalah aspek-aspek politis yang melatarbelakangi
proses pembentukan hukum dan kebijakan suatu bidang tertentu, sekaligus
96
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
juga akan sangat mempengaruhi kinerja lembaga-lembaga pemerintahan
yang terkait dalam bidang tersebut dalam mengaplikasikan ketentuanketentuan produk hukum dan kebijakan, dan juga dalam menentukan
kebijakankebijakan lembaga-lembaga tersebut dalam tataran praktis dan
operasional. Sedemikian pentingnya peranan politik hukum ini, sehingga ia
dapat menentukan keberpihakan suatu produk hukum dan kebijakan.
Pada saat suatu rezim penguasa yang otoriter jatuh, maka terjadilah
transisi kekuasaan kepada rezim penguasa yang baru, seiring dengan itu
terjadi pulalah pewarisan sejumlah persoalan, salah satu diantaranya adalah
persoalan pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) dalam segala bentuk dan
tingkatannya, yang terjadi dan berlangsung pada pemerintahan yang lampau.
Sehingga penguasa yang baru mau tidak mau berkewajiban untuk
menyelesaikan atau setidaknya mencarikan jalan keluar dari persoalan
pelanggaran HAM tersebut. Oleh karenanya dibutuhkan adanya perubahan
atau reformasi konstitusi dari semula berkarakter represif menjadi
berkarakter responsive, sehingga peraturan perundang-undangan yang dibuat
pada masa otoritarian, yang menghambat proses demokratisasi dimasa
transisi dicabut dan dan diganti dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih responsive .
Terhadap keadaan masa lalu yang otoritarian yang di dalamnya sarat
dengan pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM), refleksi dari transisi
politik di berbagai negara cenderung menyelesaikannya dengan membentuk
komisi kebenaran dan rekonsiliasi (the truth and reconciliation commission)
guna mencapai keadilan trasisional (transitional justice) dimana antara
pelaku pelanggar HAM berat dan korban penggaran HAM berat difasilitasi
oleh komisi kebenaran dan rekonsiliasi, dengan komitmen duduk sama
rendah dan berdiri sama tinggi, untuk menguak masa lalu guna menata dan
menatap serta merajut masa depan yang lebih baik, baik dengan disertai
syarat reparasi (reparation) dan atau tanpa kewajiban bagi pelaku untuk
97
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
memberikan kepada korban dan hak korban untuk menuntut atau menerima
restitusi, kompensasi, dan rehabilitasi. Sejarah perjalanan dan perkembangan
praktik ketatanegaraan Indonesia selama kurun waktu 62 tahun tidak pernah
terlepas dari proses trial and error. Hal ini dilakukan semata-mata demi
terciptanya kehidupan berbangsa yang lebih demokratis dengan menjunjung
tinggi nilai-nilai hak asasi manusia.
Latar Belakang Dan Tujuan Pada Masa Reformasi
HAM Pasca Amandemen UUD 1945 Bagaimanapun, amandemen
UUD 1945 masih jauh dari kata sempurna. Masih banyak problem
kebangsaan yang mustinya diatur langsung dalam UUD, namun tidak/belum
dicantumkan di dalamnya. Sebaliknya, barangkali terdapat beberapa poin
yang mustinya tidak dimasukkan, tetapi dimasukkan dalam UUD. Namun
bukankah konstitusi harus tetap dan senantiasa hidup (living constitution)
sesuai dengan semangat zaman (zeitgeist), realitas dan tantangan masanya?
UUD 1945 bukanlah sekedar cita-cita atau dokumen bernegara, akan
tetapi ia harus diwujudnyatakan dalam berbagai persoalan bangsa akhir-akhir
ini. Misalnya, kenyataan masih seringnya pelanggaran HAM terjadi di negeri
ini. Taruhlah misalnya; kasus pembunuhan aktivis Munir, kasus penggusuran
warga, jual-beli bayi, aborsi, dan seterusnya. Di bidang HAM masih banyak
terjadi perlakuan diskriminasi antara si kaya dan si miskin, hukum memihak
kekuasaan, korupsi dan kolusi di pengadilan, dan lain-lain.
Demikian
pula
masalah
kesenjangan
sosial,
busung
lapar,
pengangguran dan kemiskinan. Realitas kehidupan di atas hendaknya
menjadi bahan refleksi bagi seluruh komponen bangsa Indonesia. Pada posisi
ini, amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dinilai belum transformatif.
Konstitusi ini masih bersifat parsial, lebih terfokus pada aspek restriktif
negara dan aspek protektif individu dalam hak asasi manusia. Tiga hal yang
belum disentuh amandemen UUD 1945 adalah bagaimana cara rakyat
98
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
menarik kedaulatannya, penegasan mengenai supremasi otoritas sipil atas
militer, serta penegasan dan penjaminan otonomi khusus dalam konstitusi.
Hal itu pernah juga diungkapkan Sosiolog Iwan Gardono Sujatmiko. Meski
demikian, amandemen UUD 1945 sesungguhnya telah memuat begitu
banyak pasal-pasal tentang pengakuan hak asasi manusia. Memang UUD
1945 sebelum amandemen, boleh dikatakan sangat sedikit memuat
ketentuan-ketentuan tentang hal itu, sehingga menjadi bahan kritik, baik para
pakar konstitusi, maupun politisi dan aktivis HAM. Dimasukkannya pasalpasal HAM memang menandai era baru Indonesia, yang kita harapkan akan
lebih memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan hak asasi manusia.
Pemerintah dan DPR, juga telah mensahkan berbagai instrument
HAM internasional, di samping juga mensahkan undang-undang tentang
HAM pada masa pemerintahan Presiden Habibie. Terdapat 10 Pasal HAM
pada perubahan UUD 1945. Pencantuman HAM dalam perubahan UUD
1945 dari Pasal 28A s/d Pasal 28J UUD 1945, tidak lepas dari situasi serta
tuntutan perubahan yang terjadi pada masa akhir pemerintahan Orde Baru,
yaitu tuntutan untuk mewujudkan kehidupan demokrasi, penegakkan
supremasi hukum, pembatasan kekuasaan negara serta jaminan dan
penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia sebagai antitesa dari berbagai
kebijakan pemerintahan Orde Baru yang mengabaikan aspek-aspek tersebut.
Memang, sebelum perubahan UUD 1945, pada tahun 1988-1990 yaitu
pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie, telah dikeluarkan Ketetapan
MPR RI No. XVII/1998 mengenai Hak Asasi Manusia yang didalamnya
tercantum Piagam HAM Bangsa Indonesia dalam Sidang Istimewa MPR RI
1998, dan dilanjutkan dengan UU No. 39 Tahun 1999. Kedua peraturan
perundang-undangan tersebut telah mengakomodir Universal Declaration of
Human Right. Apa yang termuat dalam perubahan UUD 1945 (Pasal 28A s/d
Pasal 28J) adalah merujuk pada kedua peraturan perundang-undangan
tersebut, dengan perumusan kembali secara sistematis.
99
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
Kecurigaan bahwa konsep HAM yang diadaptasi oleh bangsa
Indonesia selama ini dari Barat diantisipasi oleh amandemen pada pasal Pasal
28J UUD 1945 yang mengatur adanya pembatasan HAM. Karena itu,
pemahaman terhadap Pasal 28J pada saat itu adalah pasal mengenai
pembatasan HAM yang bersifat sangat bebas dan indvidualistis itu dan
sekaligus pasal mengenai kewajiban asasi. Jadi tidak saja hak asasi tetapi
juga kewajiban asasi. Ketentuan HAM dalam UUD 1945 yang menjadi basic
law adalah norma tertinggi yang harus dipatuhi oleh negara. Karena letaknya
dalam konstitusi, maka ketentuan-ketentuan mengenai HAM harus dihormati
dan dijamin pelaksanaanya oleh negara. Karena itulah Pasal 28I ayat (4)
UUD 1945 menegaskan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan
pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah.
Terdapat dua aspek yang harus diperhatikan dalam pembentukan
perundang-undangan terkait dengan implementai HAM yaitu: berkaitan
dengan proses dan berkaitan dengan substansi yang diatur peraturan
perundang-undangan. Proses pembentukan peraturan perundang-undangan
harus dilakukan dengan transparan dan melibatkan rakyat untuk memenuhi
hak asasi warga negara untuk memperoleh informasi dan hak warga negara
berpatisipasi dalam pemerintahan. Sehubungan dengan substansi peraturan
perundang-undangan, maka ada dua hal yang harus diperhatikan oleh
pembentuk peraturan perundang-undangan.
Pertama; pengaturan yang membatasi HAM hanya dapat dilakukan
dengan undang-undang dan terbatas yang diperkenankan sesuai ketentuan
Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Karena itu Peraturan Pemerintah, Peraturan
Presiden dan seterusnya pada tingkat bawah tidak dapat membatasi HAM.
Kedua; substansi peraturan perundang-undangan harus selalu sesuai
atau sejalan dengan ketentuan-ketentuan HAM yang ada dalam UUD 1945.
Pelanggaran terhadap salah satu saja dari kedua aspek tersebut dapat menjadi
100
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
alasan bagi seseorang, badan hukum atau masyarakat hukum adat untuk
menyampaikan permohonan pengujian terhadap undang-undang tersebut
kepada Mahkamah Konstitusi dan jika bertentangan dengan UUD dapat saja
undang-undang
tersebut
sebahagian
atau
seluruh
dinyatakan
tidak
berkekuatan mengikat.
Jadi mekanisme kontrol terhadap kekuasaan negara pembentuk
undang-undang dilakukan oleh rakyat melalui Mahkamah Konstitusi. Dengan
proses yang demikian menjadikan UUD kita menjadi UUD yang hidup,
dinamis dan memiliki nilai praktikal yang mengawal perjalanan bangsa yang
demokratis dan menghormati HAM. Namun, penegakan HAM tidak akan
terwujud hanya dengan mencantumkannya dalam konstitusi. Semua pihak
berkewajiban mengimplementasikannya dalam seluruh aspek kehidupan.
Kita menyadari penegakan HAM tidak seperti membalik telapak tangan. Ia
harus diawali dari level paling mikro, yaitu diri sendiri.
Tabel
Hal-hal yang diatur pada masa orde baru dan reformasi
Pada masa orde baru UUD 1945
1. Partai politik hidup lemah
Masa Reformasi Perubahan 1-4
UUD 1945
1. Partai politik sangat berpengaruh
terhadap perpolitikan nasional dan
2. dikontrol secara ketat oleh eksekutif
kuat
2. Eksekutif dan lembaga negara lain
3. lembaga perwakilan penuh dengan saling
tangan eksekutif
kerja
sama
dalam
hal
penegakan ham
3. Lembaga perwakilan rakyat tidak ada
4. eksekutif sangat kuat dan internvensi campur tangan eksekutif
serta ikut menentukan arah politik4. Keberadaan
nasional
lembaga
legislative
sangat kuat dalam mementukan arah
101
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
politik bangsa indonesia
5. kebebasan pers relative
tidak bisa bebas
terkekang5. Kebebasan pers sangat luas dalam
memberikan
informasi
pada
masyarakat dengan memperhatikan
6. Banyak terjadi pelangaran HAM peraturan undang-undang per situ
yang memyebabkan kerugian pada sendiri
rakyat indonesia
6. Dengan adanya amandemen sekarang
pengaturan tentang ham jelas pada
uud 1945 bab xa mulai dari pasal
28a-28j6
Hak Asasi Manusia atau sering kita sebut sebagai HAM adalah
terjemahan dari istilah human rights atau the right of human. Secara
terminologi istilah ini artinya adalah Hak-Hak Manusia. Namun dalam
beberapa literatur pemakaian istilah Hak Asasi Manusia (HAM) lebih sering
digunakan dari pada pemakaian Hak-hak Manusia. Indonesia hak-hak
manusia pada umumnya lebih dikenal dengan istilah “hak asasi” sebagai
terjemahan dari basic rights (Inggris) dan grondrechten (Belanda), atau bisa
juga disebut hak-hak fundamental (civil rights). Istilah hak-hak asasi secara
monomental lahir sejak keberhasilan Revolusi Perancis tahun 1789 dalam
“Declaration des Droits de L’homme et du Citoyen” (hak-hak asasi manusia
dan warga negara Perancis), dengan semboyan Liberte, Egalite, Fraternite.
Istilah HAM berkembang sesual dengan perkembangan zaman.
Perkembangan zaman dalam arti perubahan peradaban manusia dari masa ke
masa. Pada mulanya dikenal dengan sebutan natural rights (hak-hak alam),
yang berpedoman kepada teori hukum alam bahwa; segala sesuatu berasal
dari alam termasuk HAM. Istilah ini kemudian diganti dengan the rights of
man, tetapi akhirnya tidak diterima, karena tidaak mewakili hak-hak wanita.
6
Juanda. (2004). Hukum Pemerintahan Daerah. Alumni Bandung. Hal. 75
102
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
Setelah PD II dan terbentuknya PBB, maka muncul istilah baru yang lebih
populer sekarang yaitu human rights Di Amerika Serikat dikenal dengan
sebutan Civil Rights. Perancis menyebutnya: Droit de L’ Homme; Belanda:
Menselijke Rechten7
Hari Hak Asasi Manusia dirayakan tiap tahun oleh banyak negara di
seluruh dunia setiap tanggal 10 Desember. Ini dinyatakan oleh International
Humanist and Ethical Union (IHEU) sebagai hari resmi perayaan kaum
humanisme. Tanggal ini dipilih untuk menghormati Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengadopsi dan memproklamasikan
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), sebuah pernyataan
global tentang hak asasi manusia, pada 10 Desember 1948. Peringatan
dimulai sejak 1950 ketika Majelis Umum mengundang semua negara dan
organisasi yang peduli untuk merayakan. Salah satu pasal yang terkenal dari
deklari tersebut adalah :
“Semua manusia dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak yang
sama. Mereka dikaruniai akal budi dan hati nurani dan hendaknya bergaul
satu dengan yang lain dalam semangat persaudaraan. -Pasal 1, Deklarasi
Universal HAM.
Perlindungan Hak Asasi Manusia sudah menjadi asas pokok dalam
kehidupan bernegara di Indonesia. Hal ini terbukti dari pernyataan UndangUndang Dasar Republik Indonesia 1945 dalam pembukaannya di Alinea
pertama yang menyatakan bahwa “ kemerdekaan ialah hak segala bangsa,
maka penjajahan harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri
kemanusiaan”. Hal ini berarti adanya “freedom to be free”, yaitu kebebasan
untuk merdeka, dan pengakuan atas perikemanusiaan telah menjelaskan
bahwa Bangsa Indonesia mengakui akan adanya hak asasi manusia.
7
Majda el Muhtaj. (2007). Hak asasi manusia dalam konstitusi Indonesia, dari UUD 1945
sampai dengan amandemen UUD 1945 tahun 2002. Kencana Prenada Media Grouf. Jakarta.
103
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
Prinsip-prinsip HAM secara keseluruhannya sudah tercakup didalam
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945. Prinsip universalitas yang
merupakan bentuk menyeluruh, artinya setiap orang/tiada seorangpun tanpa
memandang ras, agama, bahasa, kedudukan maupun status lainnya, dimana
setiap orang memiliki hak yang sama dimata hukum, namun prinsip
universalitas tidak keseluruhannya terkandung dalam Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia 1945, hal ini dibuktikan dari pernyataan di dalam
pembukaannya yaitu: “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia ”Hal ini berarti Negara hanya bertanggung jawab
kepada hak dari seluruh warga Indonesia saja. Begitu juga dengan beberapa
pasal yang mengistilahkan “setiap warga Negara / tiap-tiap warga Negara”,
seperti pada Pasal 27 ayat 1, ayat 2, Pasal 30 ayat 1, Pasal 31 ayat 1. Padahal
yang dimaksudkan sebagai prinsip universal adalah ketentuan hak yang
berlaku bagi semua orang, bukan terbatas pada wilayah tertentu.
Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang seharusnya diakui secara
universal sebagai hak-hak yang melekat pada manusia karena hakekat dan
kodratnya sebagai manusia.Hak asasi ini adalah milik semua orang karena
kodratnya sebagai manusia. Undang-undang yang melindungi Hak Asasi
Manusia sebagai dasar hukum perlindungan akan Hak setiap warga di negara
mereka, termasuk juga Indonesia yang melahirkan produk hukum yaitu
Undang-undang No 39 Tahun 1999. Lahirnya undang undang tentang HAM
tersebut membuktikan bahwa Hak Asasi Manusia merupakan sesuatu yang
dihormati dan harus dilindungi. Kemudian untuk memperkuat lahirnya
undang undang tersebut, maka pada Tahun 2000 pemerintah mengeluarkan
UU No 26 Tahun 2000 UU ini lahir dengan tujuan untuk mewujudkan
ketentuan pada salah satu pasal pada UU No 39 Tahun 1999.
Penerapan prinsip-prinsip HAM dalam UU No 39 Tahun 1999, juga
telah termuat didalamnya. Prinsip universalitas disini terbukti dengan adanya
penggunaan istilah “setiap orang/tiada seorangpun“ disetiap pasalnya. Hal ini
berarti Undang-undang HAM di Indonesia sudah mencakup prinsip
104
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
universal, dimana semua orang yang karena sebagai manusia berhak
mendapatkan perlindungan atas HAM, tidak terkecuali bagi anak yang
memiliki kecacatan fisik/mental (Pasal 54).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari uraian di atas jelas bagaimana beragamnya usaha-usaha kekuatan
orba untuk menyelamatkan Suharto dkk dari jeratan tanggung jawab hukum.
Tapi "kesuksesan" mereka di satu pihak, di pihak lain menimbulkan reaksi di
tingkat nasional dan internasional, yang menuding Indonesia sebagai negara
yang
tidak
menghiraukan
keadilan,
sebagai
negara
yang
masih
mempertahankan impunity bagi rejim otoriter orba, sebagai negara yang
penuh dengan pelanggaran HAM.
Meskipun jalan menuju kebenaran dan keadilan masih diliputi
kegelapan, dengan secercah sinar harapan semoga 3 perjuangan berikut bisa
menembus kegelapan: Pertama: Pasal 28 (i) UUD 1945 harus di amati
kembali dengan menambahkan kata-kata: "kecuali mengenai pelanggaran
HAM berat, yang diatur
dalam UU".
Kedua: Pasal 27 dan Pasal 29 ayat 3 UU KKR perlu diajukan ke Mahkamah
Konstitusi untuk dilakukan judicial review karena bertentangan dengan asas
keadilan yang dijunjung tinggi di dalam UUD 1945.
Ketiga: Mencabut semua perundang-undangan diskriminatif terhadap
korban pelanggaran HAM dan membersihkan praktek penyelewengan
pelaksanaannya. I ) Pasal 28 (i) ayat 1 UUD 1945: "Hak untuk hidup, hak
untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama,
hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan
hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun
105
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
Saran
Dengan adanya reformasi dalam amandemen 1-4 terhadap UUD 1945
akan membawa pemerintahan Indonesia kearah yang lebih baik baik dalam
politik, ekonomi, budaya dan Ham, maka bangsa Indonesia menjadi Negara
yang kuat dan sejahtera khususnya dalam penegakan Ham. Tanpa
memandang siapapun dia, jika melanggar maka harus dihukum sesuai dengan
Undang-undang yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA
Buku, Jurnal Dan Makalah
Asri, Muhammad, Saleh. (2003). Menegakkan Hukum Atau Mendirikan
Hukum, Bina mandiri pres Pekanbaru
Abdul, Hakim. (1988). Politik Hukum Indonesia. YLBHI. Jakarta.
BJ Boland. (1985). Pergumulan Islam di Indonesia. Grafiti Press. Jakarta
Bambang, Sutiyoso, dkk. (2005). Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan
Kehakiman Di Indonesia. UII Press. Yogyakarta
Jimly, Asshiddiqie. (2005). Kemerdekaan Berserikat Pembubaran Partai
Politik dan Mahkamah Konstitusi. Konpress. Jakarta
Juanda. (2004). Hukum Pemerintahan Daerah. Alumni Bandung.
Majda, el Muhtaj. (2000). Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia,
Dari UUD 1945 Sampai Dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002.
Kencana prenada media grouf. Jakarta
Moh. Mahfud. (1993). Perkembangan Politik Hukum Studi Pengaruh
Konfigurasi Politik Terhadap Produk Hokum Di Indonesia. UGM.
Yogyakarta.
106
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
Nur, Syam. (1999). Kegagalan Mendekatkan Jarak Ideologi Partai Politik,
Pengalaman Indonesia Orde Baru. (Jurnal IAIN Sunan Sampel Edisi
XVII
Satjipto, Rahardjo. (2006). Ilmu Hukum Citra Aditiya Bakti. Bandung
---------. (1985). Beberapa Pemikiran tentang Ancangan antar Disiplin dalam
Pembinaan Hukum Nasional. Sinar Baru. Bandung
Soerjono, Soekanto. (1985). Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam
Masyarakat. Rajawali. Jakarta
107
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK-HAK
PEKERJA/BURUH DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN
YANG BERLARUT-LARUT AKIBAT ENUTUPAN PERUSAHAAN
(LOCK OUT) BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13
TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DI BATAM
Suryo Budi Pranoto1
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan, yaitu: untuk mengetahui hak-hak normatif sebagai
bentuk perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh dalam penyelesaian
perselisihan yang berlarut-larut akibat penutupan perusahaan (lock-out).
Adapun metode penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif
yaitu dilakukan dengan pengumpulan bahan hukum berdasarkan studi
kepustakaan. Dari hasil penelitian bahwa perlindungan hukum terhadap
pekerja/buruh akibat penyelesaian perselisihan yang berlarut-larut harus
tetap diberikan khususnya perlindungan yang berkenaan dengan aspek
ekonomi, seperti: upah akibat timbulnya perselisihan hubungan industrial
yang mengakibatkan penutupan perusahaan (Lock Out). Penyelesaian
perselisihan hubungan industrial dapat dilakukan sesuai dengan kehendak
para pihak baik melalui jalur Pengadilan (Litigasi) yang dilakukan oleh
Majelis Hakim Ad Hoc, dan Di Luar Pengadilan (Non Litigasi), seperti
Bipartite/Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, dan Arbitrase.
Kata
Kunci:
Perlindungan,
Hak-Hak
Pekerja/Buruh,
Penyelesaian
Perselisihan.
108
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Manusia
dalam
kehidupannya
memiliki
kebutuhan
yang
beraneka ragam dan bervariasi sehingga menuntutnya untuk berusaha
dan bekerja, baik bekerja yang diusahakan sendiri maupun bekerja pada
orang lain. Pekerjaan yang diusahakan sendiri adalah bekerja atas usaha
modal dan tanggungjawab sendiri. Sedang bekerja pada orang lain adalah
bekerja dengan bergantung pada orang lain yang memberikan perintah dan
mengaturnya, karena itu ia harus tunduk dan patuh pada orang lain yang
memberikan pekerjaan tersebut. Pekerja/buruh adalah seseorang yang
bekerja kepada orang lain dengan mendapatkan upah atau imbalan.
Menurut
Undang-Undang
Nomor 13
Tahun 2003
tentang
Ketenagakerjaan, pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan
menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum
atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan
membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Dalam hubungan antara
pekerja/buruh dengan pemberi kerja atau pengusaha secara yuridis
pekerja adalah bebas karena prinsip di negara Indonesia tidak seorangpun
boleh diperbudak maupun diperhamba, namun secara sosiologis pekerja
ini tidak bebas karena pekerja sebagai orang yang tidak mempunyai bekal
hidup yang lain selain tenaganya. Dalam hal
mengeluarkan
berbagai
Peraturan
ini
pemerintah
Perundang-undangan
telah
untuk
melindungi pihak yang lemah yaitu pekerja/buruh dari kekuasaan
pengusaha guna menempatkan pekerja/buruh pada kedudukan yang layak
sesuai dengan harkat dan martabat manusia. Dengan perkataan lain
pemerintah telah ikut campur tangan dalam memberikan perlindungan
hukum. Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 telah menegaskan bahwa setiap orang berhak
109
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum, kemudian pada ayat
(2) juga dinyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta
mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan
kerja.
Perlindungan yang seimbang diharapkan dapat menarik penanam
modal untuk mengembangkan usaha di Indonesia, tetapi sehubungan
dengan krisis ekonomi yang berkepanjangan akibatnya rencana jangka
pendek maupun jangka panjang pada lingkungan perusahaan mengalami
perubahan yang cukup mendasar, menyusul adanya sikap melakukan
pemutusan hubungan kerja bahkan sampai dengan penutupan perusahaan
(lock out).
Rumusan Msalah
Adapun pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1)
Bagaimana perlindungan hukum terhadap hak-hak pekerja/buruh dalam
penyelesaian perselisihan yang berlarut-larut akibat penutupan perusahaan
(lock
out)
berdasarkan
UU
No. 13
Tahun 2003
tentang
Ketenagakerjaan.? dan 2) Apa yang menjadi alternatif penyelesaian jika
terjadi
perselisihan
antara
pekerja/buruh
akibat
dari
penutupan
perusahaan (lock out) berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.?
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif
yaitu penelitian yang mengkaji peraturan perundang-undangan yang
mempunyai keterkaitan dengan obyek kajian penelitian khususnya
mengenai asas-asas dan norma hukum yang tertuang dalam peraturan
perundang-undangan. Metode pendekatan perundang-undangan (statute
110
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach), serta
melakukan penafsiran preskriftif, yaitu untuk memberikan argumentasi
sebagai bentuk penilaian mengenai benar atau salah, atau apa yang
seyogianya menurut hukum terhadap fakta-fakta atau peristiwa hukum
dari hasil penelitian yang telah dilakukan.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Perlindungan Hukum Terhadap Hak-hak Pekerja/Buruh Dalam
Penyelesaian Perselisihan Yang Berlarut-larut Akibat Penutupan
Perusahaan (Lock Out). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan. Perlindungan
untuk
memberikan
kepastian
pekerja
dimaksudkan
hak pekerja/buruh yang berkaitan
dengan norma kerja yang meliputi waktu kerja, mengaso, istirahat (cuti).21
Perlindungan pekerja/buruh
dapat
dilakukan, baik
dengan
jalan
memberikan tuntunan, maupun dengan jalan meningkatkan pengakuan
hak-hak asasi manusia, perlindungan fisik dan teknis serta sosial dan
ekonomi melalui norma yang berlaku dalam
Perlindungan
berkaitan
ekonomis,
dengan
yaitu
usaha-usaha
suatu
untuk
lingkungan
kerja
jenis perlindungan
memberikan
itu.
yang
kepada
pekerja/buruh suatu penghasilan yang cukup memenuhi keperluan seharihari
baginya. beserta keluarganya, termasuk dalam hal pekerja/buruh
tersebut tidak mampu bekerja karena sesuatu di luar kehendaknya.
Salah satu yang menjadi desakan publik terkait dengan perlunya
instrumentasi perlindungan, penghormatan dan pemenuhan HAM di
Indonesia. Dengan kondisi seperti itu, pasca reformasi dibuatlah beberapa
instrumen hukum yang secara spesifik mengatur tentang HAM yang di
2
Lalu, Husni. (2006). Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia,. Ed. Revisi. 6.
PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Hal. 113.
111
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
dalamnya mengatur pemenuhan HAM kaum buruh.
“Secara umum instrumen hukum HAM terkait dengan hak-hak kaum
buruh, antara lain meliputi dua hal, pertama, hak-hak yang berdimensi sipil
dan politik, kedua, hak-hak yang berdimensi ekonomi, sosial dan budaya.
Pemenuhan hak-hak tersebut menjadi tanggungjawab negara sebagai
pemangku kewajiban. Hak-hak yang berdimensi sipil dan politik, negara
mempunyai tanggungjawab untuk tidak aktif mengatur keberadaan kaum
buruh tetapi tetap mempunyai tangungjawab untuk melindungi mereka dari
segala potensi pelanggaran HAM. Hak-hak yang berdimensi ekonomi,
sosial dan budaya, negara mempunyai tanggungjawab pemenuhannya
secara segera dan bertahap, walaupun kedua hak tersebut tidak dapat dibagi
(indivisibility), saling bergantung dan berkaitan (interdependence and
interrelation)”. 3
Pengertian Perselisihan Perburuhan menurut Undang-Undang
Darurat
Nomor 16 Tahun 1951
adalah pertentangan antara
pengusaha atau perserikatan pengusaha dengan perserikatan pekerja/buruh
atau
sejumlah
persesuaian
pekerja/buruh
paham
antara
berhubungan
hubungan
dengan
kerja
tidak
dan/atau
adanya
keadaan
perburuhan. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun
1957
yang
dimaksud
dengan
Perselisihan
Perburuhan
adalah
pertentangan antara pengusaha atau perkumpulan pengusaha dengan
serikat pekerja/serikat buruh atau gabungan serikat pekerja/serikat buruh
berhubungan dengan tidak adanya persesuaian paham, mengenai
hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan/atau keadaan perburuhan (Pasal1
(1) huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1957). Yang perlu
mendapat perhatian dari kedua perumusan diatas adalah pihak yang
berselisih. Dalam bukunya Gunawi Kartasapoetra dikatakan bahwa yang
menjadi pokok pangkal kekurangan itu, umumnya berkisar pada masalah3
Kartasapoetra, G. dan Rience, Indraningsih. (1982) Pokok-pokok Hukum Perburuhan,
Cet. I, Armico Bandung. Hal. 246-247.
112
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
masalah:4
a)
Pengupahan;
b)
Jaminan
Sosial;
c)
Perilaku
penugasan yang kadang-kadang dirasakan kurang sesuai kepribadian; d)
Daya kerja dan kemampuan kerja yang dirasakan kurang sesuai dengan
pekerjaan yang harus diemban; e) Adanya masalah pribadi.
Penutupan perusahaan (lock out) adalah tindakan pengusaha
untuk menolak pekerja/buruh untuk sebagian atau seluruhnya untuk
menjalankan pekerjaan (Pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan). Penutupan perusahaan (lock out)
dilarang
dilakukan
kepentingan
pada
umum
perusahaan-perusahaan
dan/atau
yang
melayani
jenis kegiatan yang membahayakan
keselamatan jiwa manusia, meliputi rumah sakit, pelayanan jaringan
air bersih, pusat pengendali telekomunikasi, pusat penyedia tenaga
listrik, pengolahan
minyak
dan
gas
bumi serta kereta api.
Pemberitahuan penutupan perusahaan (lock out) tidak perlu
dilakukan oleh pengusaha
pekerja/serikat
buruh
apabila: a)Pekerja/buruh
atau
serikat
melanggar prosedur mogok kerja sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan; b)Pekerja/buruh atau
serikat pekerja/serikat buruh melanggar ketentuan normatif yang
ditentukan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja
bersama, atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Alternatif
Penyelesaian
Jika
Terjadi
Perselisihan
Antara
Pekerja/Buruh Akibat Dari Penutupan Perusahaan (Lock Out)
Berdasarkan
Undang-Undang
No.
13
Tahun
2003
tentang
Ketenagakerjaan
Selama ini kita menggunakan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
1964 tentang PHK dan UU No. 12 Tahun 1964 tentang Perselisihan,
hampir 40 tahun lebih. Tentunya sulit mengakomodasi berbagai perubahan
4
Muhammad Syafari Firdaus, dkk. (2007). Pembangunan Berbasis Hak Asasi Manusia:
Sebuah Panduan. Komnas HAM, Jakarta. Hal 7-16
113
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
yang terjadi. Penyelesaian kasus perburuhan selama ini, cenderung
berlarut-larut, karena terlalu banyaknya tahapan yang harus dilalui.
Malah,
berdasarkan
catatan
Depnakertrans,
ada
kasus
yang
memerlukan waktu penyelesaian hingga lima tahun. Undang-Undang
PPHI merupakan upaya untuk mengakomodasikan berbagai perubahan
permasalahan perburuhan yang terjadi. Dalam PPHI tahapan penyelesaian
kasus
tak
lagi
menggunakan
mekanisme
P4D
dan
P4P.
Jika
kasus tak selesai melalui perundingan Bipartit dan Tripatit, akan dibawa
ke pengadilan khusus yang dinamakan PHI (Pengadilan Hubungan
Industrial).
Penyelesaian perselisihan yang terbaik adalah penyelesaian oleh
para pihak yang berselisih
sehingga
dapat diperoleh
hasil
yang
menguntungkan kedua belah pihak. Penyelesaian biparti ini dilakukan
melalui musyawarah mufakat oleh para pihak tanpa dicampuri oleh pihak
manapun. Namun demikian Pemerintah dalam
upayanya
untuk
memberikan pelayanan masyarakat khususnya kepada masyarakat
pekerja/buruh dan pengusaha, berkewajiban memfasilitasi penyelesaian
perselisihan hubungan industrial tersebut. Upaya fasilitasi dilakukan
dengan menyediakan tenaga mediator yang bertugas untuk mempertemukan
kepentingan kedua belah pihak yang berselisih. Perbedaan pendapat atau
kepentingan mengenai keadaan ketenagakerjaan yang belum diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau
peraturan perundang-undangan; 1) Kelalaian atau ke tidak patuhan salah
satu atau para pihak dalam melaksanakan ketentuan normatif yang telah
diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja
bersama, atau peraturan perundang-undangan; 2) Pengakhiran hubungan
kerja;
Perbedaan
pendapat
antar
serikat
pekerja/serikat
buruh
dalam satu perusahaan mengenai pelaksanaan hak dan kewajiban keserikat
pekerjaan.
114
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
Perselisihan industrian dapat digolongkan menjadi beberapa
jenis, yaitu: Berdasarkan materi yang di perselisihkan: a) Perselisihan
Hak, yaitu: perselisihan yang timbul karena perbedaan pendapat tentang
pelaksanaan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja maupun
kebiasaan
di
tempat
kerja.
b)
Perselisihan
Kepentingan,
yaitu:
perselisihan yang timbul karena tidak adanya kata sepakat mengenai
keinginan untuk mengadakan perubahan perjanjian dan kebiasaan yang
berlangsung dan/atau peraturan atau perjanjian yang belum diatur.
Kemudian
berdasarkan
pihak
yang
berselisih:
a)
Perselisihan
Perorangan, yaitu perselisihan yang timbul antara Pekerja dengan
Pengusaha. b) Perselisihan Kolektif, yaitu perselisihan yang timbul antara
Serikat Pekerja dengan Pengusaha. c) Perselisihan antar Serikat
Pekerja/Serikat
Buruh, yaitu perselisihan yang timbul antar Serikat
Pekerja/serikat Buruh dalam satu perusahaan karena tidak adanya
persesuaian
faham
mengenai
keanggotaan,
pelaksanaan hak
dan
kewajiban serikat pekerja.
Sengketa
ketenagakerjaan
tergolong
sengketa
publik
dapat
mengganggu ketertiban umum dan stabilitas Nasional, maka peluang
pengaduan pelanggaran Hak-hak pekerja/buruh tersebut dapat disalurkan
ke Komisi Nasional Hak Azasi Manusia sesuai dengan isi Pasal 90 ayat (1)
Undang-Undang
Nomor
39
Tahun
1999
yang
berbunyi
pada
“Setiap orang atau kelompok orang yang memiliki alasan kuat bahwa Hak
Azasinya telah dilanggar dapat memajukan laporan dan pengaduan
lisan atau tertulis pada Komisi Nasional Hak Azasi Manusia”.
Penyelesaian sengketa pekerja/buruh di luar pengadilan dapat
dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:a) Melalui Bipartie, Pasal 6 dan
Pasal 7 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 memberi jalan penyelesaian
sengketa pekerja/buruh dan Tenaga Kerja berdasarkan musyawarah
mufakat
dengan
mengadakan
azas
kekeluargaan
antara
pekerja/buruh dan pengusaha. Apabila terdapat kesepakatan antara
115
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
pekerja/buruh dan pengusaha atau antara serikat pekerja/serikat buruh
dengan pengusaha, maka dapat dituangkan
kesepakatan
kedua
belah
pihak
dalam
yang
perjanjian
disebut
dengan
perjanjian bersama. b) Secara Mediasi, Penyelesaian melalui mediasi
(mediation) ini dilakukan melalui seorang penengah yang disebut mediator.
Pengangkatan dan akomodasi mediator ditetapkan oleh Menteri Tenaga
Kerja.
Apabila telah tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan
melalui
Mediator
tersebut
dibuatkan
perjanjian
bersama
yang
ditandatangani para pihak dan mediator tersebut, kemudian perjanjian
tersebut didaftarkan di
Pengadilan
Negeri
Pengadilan
setempat.
c)
Hubungan
Industrial
pada
Melalui Konsiliasi, Penyelesaian
melalui konsiliasi (conciliation) ini dilakukan melalui seorang atau
beberapa orang atau badan sebagai penengah yang disebut konsiliator
dengan mempertemukan atau member fasilitas kepada pihak-pihak
yang
berselisih
Konsiliator
untuk menyelesaikan perselisihannya secara damai.
yaitu pejabat
Konsiliasi
yang
diangkat
dan
diberhentikan oleh Menteri Tenaga Kerja berdasarkan saran organisasi
serikat pekerja/serikat buruh. Segala persyaratan menjadi pejabat
Konsiliator tersebut di dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2004. Dimana tugas terpenting dari Konsiliator adalah memangil para
saksi atau para pihak terkait dalam tempo selambat-lambatnya 7 (tujuh)
hari sejak menerima penyelesaian Konsiliator tersebut. d) Melalui
Arbitrase, Penyelesaian perselisihan melalui arbitrase dilaksanakan oleh
arbiter, yakni seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang
berselisih dari daftar yang ditetapkan oleh menteri untuk memberikan
putusan mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan yang
diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase yang putusannya mengikat
para pihak dan bersifat final (Pasal 1 angka 16 UU PPHI). e) Putusan
116
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
Arbitrase, salah satu atau kedua belah pihak dapat mengajukan
permohonan pembatalan putusan Arbitrase.
Pengajuan permohonan pembatalan putusan Arbitrase antara lain
dalam hal: (1) Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan,
setelah putusan dijatuhkan, diakui atau dinyatakan palsu; (2) Setelah
putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang
disembunyikan oleh pihak lawan; (3) Putusan diambil dari tipu
muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan
perselisihan; (4) Putusan melampaui kekuasaan arbiter hubungan
industrial; atau (5) Putusan bertentangan dengan peraturan perundangundangan. Penyelesaian Perselisihan Melalui Pengadilan, yaitu: Untuk
mengantisipasi penyelesaian dan penyaluran sengketa pekerja/buruh
sejalan dengan tuntutan kemajuan zaman dibuat dan diundangkan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 sebagai wadah Peradilan
Hubungan Industrial disamping Peradilan Umum. Hakim pada
Pengadilan Hubungan Industrial terdiri dari Hakim karier pada Pengadilan
Negeri yang ditugasi pada Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad
Hoc (sementara), yakni hakim yang pengangkatannya atas usulan serikat
pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha. Hakim Ad Hoc
Pengadilan Hubungan Industrial diangkat dengan Keputusan Presiden
atas usul Ketua Mahkamah Agung. Calon Hakim Ad Hoc diajukan oleh
Ketua Mahkamah Agung dan nama yang disetujui oleh Menteri atas usul
serikat pekerja/serikat buruh atau organisasi pengusaha. Ketentuan
Beracara dalam PHI tidak berbeda seperti Hukum Acara Perdata; Kecuali
hal-hal yang diatur secara khusus dalam UU No. 2 Tahun 2004 (Pasal 81Pasal 115). Putusan PHI mengenai Perselisihan Hak dan PHK dapat
diajukan ke MA melalui Upaya Hukum Permohonan Kasasi paling lama
14 hari setelah putusan dibacakan, atau menerima pemberitahuan putusan.
117
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari uraian yang telah dipaparkan pada bab-bab di atas, maka
dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1) Perlindungan pekerja
dimaksudkan untuk memberikan kepastian hak pekerja/buruh yang
berkaitan dengan norma kerja. Adapun perlindungan hukum terhadap
pekerja/buruh akibat penyelesaian perselisihan yang berlarut-larut harus
tetap diberikan khususnya perlindungan yang berkenaan dengan aspek
ekonomi, seperti: upah akibat timbulnya perselisihan hubungan industrial
yang mengakibatkan penutupan perusahaan (Lock Out). 2) Penyelesaian
perselisihan hubungan industrial dapat dilakukan sesuai dengan kehendak
para pihak baik melalui jalur di luar pengadilan (non litigasi), seperti; (a)
bipartite/negosiasi; (b) mediasi; (c) konsiliasi; dan (d) arbitrase. Dapat
pula dilakukan melalui jalur Pengadilan (litigasi) dalam Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial, yang berada pada lingkungan peradilan
umum dan dilakukan oleh Majelis Hakim Ad Hoc yang diangkat dengan
Keputusan Presiden atas usul dan diajukan oleh Ketua Mahkamah
Agung serta nama yang disetujui oleh Menteri atas usul serikat
pekerja/serikat buruh atau organisasi pengusaha.
Saran
Beranjak dari hasil pembahasan dan kesimpulan di atas, maka saran
yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut: (1) Dalam memberikan
perlindungan terhadap hak-hak pekerja/buruh yang berkaitan dengan
norma kerja perlu adanya proses demokratisasi di tempat kerja. Hal ini
disebabkan demokratisasi di tempat kerja merupakan suatu proses
pengambilan
keputusan
yang obyektif,
sehingga
kebijakan yang
diambil secara demokratis, diharapkan dapat dilaksanakan dengan sebaikbaiknya oleh para pengambil keputusan, dan terhadap lembaga-lembaga
118
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
yang
berwenang
Industrial
di dalam
hendaknya
lebih
menyelesaikan Perselisihan
respektif
lagi
terhadap
Hubungan
berbagai
permasalahan perburuhan yang terjadi sehingga kesejahteraan bagi
pekerja/buruh dapat terlaksana dengan sebaik-baiknya. (2) Pemerintah
yang berwenang dalam menyelesaian perselisihan hubungan industrial
sebaiknya lebih cermat lagi dalam menangani sengketa yang terjadi antara
pekerja/buruh dengan pengusaha dan diharapkan dapat memberikan
tawaran penyelesaian yang lebih baik lagi sebagai alternatif penyelesaian
perselisihan hubungan industrial yang lebih menjamin rasa keadilan
bagi pekerja/buruh maupun pengusaha,
sehingga
tidak
ada
lagi
diskriminasi yang terjadi dalam hubungan ketenagakerjaan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku, Jurnal Dan Makalah
Asikin, Zainal. (2008). Dasar-dasar Hukum Perburuhan. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada
Asyhadi, Zaini. (1994). Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)dalam Dasar-dasar
Hukum Perburuhan. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Firdaus, Syafari Muhammad. (2007). Pembangunan Berbasis Hak Asasi Manusia
Sebuah Panduan. Jakarta: Komnas HAM
Husni, Lalu. (2006). Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia,---Ed.
Revisi,--6,---Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Husni, Lalu. (2007). Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui
Pengadilan dan Di Luar Pengadilan. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Kartasapoetra, Gunawi. (1986). Hukum Perburuhan di Indonesia Berdasarkan
Pancasila. Jakarta: Bina Aksara.
ND Fajar, Mukti; dan Achmad, Yulianto. (2013). Dualisme Penelitian Hukum
Normatif dan Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Soepomo, Iman. (2003). Pengantar Hukum Perburuhan. Jakarta: Djambatan
119
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia, Undang-Undang Tentang Ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003,
TLN No. 4279, Pasal 146
Indonesia, Undang-Undang Tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 39 Tahun 1999,
TLN No. 3886, Pasal 38
Indonesia, Undang-Undang Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, UU No. 21
Tahun 2000, LN. No. 131 Tahun 2000, Pasal 28
Indonesia, Undang-Undang Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial, UU No. 2 Tahun 2004, TLN No. 4356, Pasal 6
120
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
PELAKSANAAN SITA EKSEKUSI TERHADAP KAPAL
SEBAGAI JAMINAN BERDASARKAN HUKUM INDONESIA
Siti Nur Janah1
ABSTRAK
Kapal adalah angkutan utama untuk dunia bahari. Hal ini di maksud apapun
jenis pekerjaan tambangnya baik di laut, perikanan, pariwisata maupun alat
utama sistem dari pertahanan bahari dimana barang yang dijualnya yang
sangat penting sehingga kapal digolongkan seperti bagian dari infrastruktur
dari pembangunan nasional, industri perkapalan dan bahkan galangan kapal
dipertimbangkan sesuatu pembangunan dengan kepentingan strategis untuk
Indonesia. Tahapan yang telah dibawa dari status alur sah Indonesia,
memberikan satu dorongan besar ke institusi bank untuk menyediakan
pembiayaan ke perusahaan angkutan niaga domestik. Pada tiap-tiap langkah
yang dimiliki Indonesia, salah satunya perusahaan angkutan niaga
menyediakan sejumlah besar pinjaman dari institusi bank, perusahaan
angkutan niaga perlu menyediakan jaminan kepada bank pada pinjaman telah
diijinkan. Jaminan tetap yang telah diberikan ke bank oleh debitur biasanya
pada bentuk dari objek dan punya nilai cukup ke penyelesaian pembayaran
hutang dari debitur. Dalam hal ini pinjaman oleh perusahaan angkutan niaga,
satu jaminan bank memberikan assetnya ke perusahaan angkutan niaga yaitu
berupa "kapal". Jaminan kemudian adalah dikenal sebagai satu hipotek dan di
Indonesia kapal masa menggadaikan terpakai seperti sejalan untuk
pembayaran hutang hipotek dikenal sebagai kapal, kapal akan maka
keluarkan satu bentuk baru dari kapal perbuatan menggadaikan grosse.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Kapal yang merupakan alat transportasi utama bagi dunia maritim di
setiap sarana kerja pertambangan di laut, perikanan, pariwisata dan juga alat
utama sistem pertahanan maritim, sebagai komoditas penting sehingga kapal
1
Dosen Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Internasional Batam
121
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
yang dikategorikan sebagai bagian dari infrastruktur pembangunan nasional,
industri pelayaran dan bahkan galangan kapal dianggap salah satu
perkembangan penting dan strategis bagi Negara Indonesia.
Mengingat langkah yang telah NegaraIndonesia ambil dalam jalur
hukum, memberikan sebuah dorongan besar terhadap lembaga perbankan
untuk
memberikan
pembiayaan
kepada
perusahaan
pelayaran
domestik.Dalam setiap langkah yang telah Negara Indonesia ambil,
perusahaan pelayaran yang telah disediakan sejumlah besar pinjaman dari
lembaga perbankan, perusahaan pelayaran perlu memberikan jaminan bagi
bank atas pinjaman yang diberikan. Jaminan biasa yang telah diberikan
kepada bank dengan debitur biasanya dalam bentuk benda dan memiliki nilai
yang cukup untuk melunasi utang dari debitur, dalam hal ini kredit pinjaman
oleh Perusahaan pengiriman, jaminan yang diberikan kepada bank
pengiriman perusahaan aset "kapal". Jaminan yang kemudian disebut sebagai
hipotek dan di Indonesia istilah kapal yang digunakan sebagai jaminan
hipotek untuk pembayaran utang disebut sebagai hipotek kapal, kapal
kemudian akan mengeluarkan bentuk baru dari grosse akta hipotek kapal.
Dalam aspek hukum, keberadaan beberapa regulasi seperti peraturan
pendaftaran kapal yaitu Stbl (Staatsblad) 1933 Nomor 48 untuk registrasi
kapal kapal yang kemudian dapat diregistrasi sebagai hipotek dan kemudian
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang mengatur
seluruh peraturan hukum pelayaran, pembebanan hipotek dan piutang
maritim lainnya, keberadaan ini hukum yang mengatur tentang kapal ini
diharapkan dapat mendorong pertumbuhan pembiayaan perbankan di sektor
pelayaran untuk membangun dan memiliki kapal dalam negeri.
Pada dasarnya hukum Indonesia memberikan beberapa cara untuk
pemenuhan pembayaran utang yang dapat diambil oleh kreditur jika debitur
gagal memenuhi kewajibannya atau disebut dengan wanprestasi. Salah satu
cara yang dapat diambil oleh kreditur adalah melalui proses litigasi. Melalui
proses litigasi, kreditur akan mengajukan klaim melalui pengadilan.
122
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
Mengenai lamanya proses penyelesaian sengketa melalui proses litigasi, itu
akan menjadi cara yang tidak cukup tepat untuk kreditur sebagai pemegang
hak untuk menyelesaikan sengketa, yang dikarenakan proses litigasi tersebut
tidak efektif dan tidak efisien bersama dengan biaya mahal. Dan juga
berdasarkan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1992
yang memerlukan penyelesaian penyelesaian kasus di pengadilan negeri dan
pengadilan tinggi masing-masing dalam waktu 6 bulan, yang berarti
penyelesaian sengketa di tingkat pertama dan banding kasus sudah diambil 1
tahun. Untuk penyelesaian banding dan peninjauan kembali yang sangat sulit
untuk memprediksi, dapat 3 sampai 5 tahun untuk penyelesaian kasus selesai.
Jadi, cara ini kurang tepat dan efisien untuk kreditur untuk mengambil. Cara
lainnya adalah untuk meminta penyitaan kapal dan perintah eksekusi
penyitaan melalui Grosse akta hipotek kapal yang memiliki judul "Demi
keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa" dan sehingga Grosse akta
hipotek kapal memberikan hak kepada kreditur untuk melakukan proses
eksekutorial atas jaminan kapal terseubt yang dikarenakan undang-undang
sendiri menyamakannya dengan putusan hakim yang bersifattetap dan
mengikat. Dibandingkan dengan prosedur dan usaha penyelesaian melalui
perintah eksekusi dari Grosse akta hipotek kapal dengan proses litigasi,
perintah eksekusi yang lebih dianggap cara yang efektif dan efisien.
METODE PENELITIAN
Dalam penelitian hukum ini, jenis penelitian yang akan digunakan adalah
jenis penelitian normatif. Penelitian normatif adalah penelitian yang
dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan atau bahan-bahan
hukum yang tertulis, disebut penelitian kepustakaan atau studi dokumen
karena lebih menitikberatkan penelitian pada data sekunder.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu jenis data sekunder.
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan kepustakaan dengan
123
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
cara menelusuri literatur yang berhubungan dengan objek penelitian. Data
sekunder diperoleh dengan penelitian kepustakaan guna mendapatkan
landasan teoritis berupa pendapat-pendapat atau tulisan para ahli atau pihakpihak lain yang berwenang dan juga untuk memperoleh informasi baik dalam
bentuk ketentuan-ketentuan formal maupun data melalui naskah resmi yang
ada.Data sekunder mencakup bahan hukum primer, sekunder dan tersier.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Prosedur Hukum Dalam Pelaksanaan Sita EksekusiTerhadap Kapal
Sebagai Jaminan Kredit
Hukum di Negara Indonesia memberikan beberapa cara pemenuhan
pembayaran utang yang ditempuh kreditor apabila debitur melakukan cedera
janji atau wanprestasi. Upaya pemenuhan ini berlaku juga pada perjanjian
yang menimbulkan hak preferen yang berupa Hak Tanggungan, Gadai,
Jaminan Fidusia dan Hipotek. Upaya pemenuhan pembayaran utang yang
diberikan hukum Negara Indonesia yakni melalui proses litigasi dengan
mengajukan gugatan perdata kepada Pengadilan Negeri yang kemudiannya
akan dilalui banyak tahap persidangan sampai pada suatu keputusan dan
dengan ditambahkan upaya hukum seperti banding, kasasi dan bahkan
peninjauan kembali yang dapat memakan waktu yang sangat lama. Dengan
memperhatikan panjangnya proses penyelesaian perkara yang timbul dari
proses litigasi, akan menjadi suatu pilihan yang kurang tepat jika kreditur
sebagai pemegang Hipotek kapal laut untuk menempuh cara penyelesaian ini.
Oleh karena upaya penyelesaian melalui proses litigasi tidaklah efektif
dan efisien serta memakan waktu yang panjang dan memerlukan biaya yang
mahal, maka upaya penyelesaian yang paling tepat untuk ditempuh oleh
kreditur yang merupakan pemegang Hipotek kapal laut adalah mengajukan
permohonan sita eksekusi berdasarkan Pasal 224 juncto Pasal 195 HIR dan
Pasal 440 Rv.
124
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
Seperti yang telah diatur dalam beberapa pasal tersebut, Hipotek kapal
laut dalam bentuk grosse akta, dengan dicantumkan titel eksekutorial berupa
irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” maka
pada hipotek itu melekat kekuatan eksekutorial (executoriale kracht) atau
entitles the holder to enforce, dikarenakan oleh Undang-Undang sendiri
mempersamakannya dengan putusan hakim pengadilan yang berkekuatan
hukum yang tetap.2
Prosedur hukum atas penyitaan kapal laut yang merupakan jaminan
atas pinjaman kredit bermasalah didasarkan pada Pasal 224 jo Pasal 195 HIR
dan Pasal 440 Rv, dengan tahap-tahap sebagai berikut :3
1. Apabila debitur (pemberi hipotek) melakukan cedera janji, kreditor
(penerima hipotek) dapat langsung meminta eksekusi baik secara
lisan maupun secara tertulis kepada Ketua Pengadilan berdasarkan
Pasal 224 juncto Pasal 195 dan Pasal 196 HIR.
2. Dengan setelah meminta fiat eksekusi baik secara lisan maupun
secara tertulis, Kepala Pengadilan Negeri akan mengambil tindakan
hukum sebagai berikut :
a. Memberikan peringatan (aanmaning) kepada debitur supaya
debitur memenuhi pembayaran utang secara sukarela;
b. Pemberian peringatan (aanmaning) kepada debitur menurut
Pasal 196 HIR berlaku paling lama 8 hari.
Apabila batas waktu peringatan sudah lewat, namun
debitur tidak mengindahkan dan melaksanakan pemenuhan
pembayaran secara sukarela, maka Ketua Pengadilan Negeri
selanjutnya yang berpedoman pada Pasal 197 HIR, akan
melakukan tindakan sebagai berikut :
2
3
Harahap M. Yahya. Op Cit., Hlm. 234.
Ibid. Hlm. 234.
125
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
a) Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan Penetapan Sita
Eksekusi (executorial beslag) atas kapal laut yang dijadikan
objek jaminan / objek Hipotek (Pasal 197 ayat {1} HIR);
b) Penyitaan yang akan dilakukan oleh panitera atau juru sita
sesuai dengan ketentuan Pasal 559-579 Rv.
3. Penyitaan yang dilakukan oleh panitera maupun oleh jurusita yang
didasari Pasal 559-579 Rv, akan diuraikan sebagai berikut4 :
a. Penyitaan dilakukan diatas kapal laut tersebut. Ditegaskan pada
Pasal 560 Rv yang menyebutkan “Sita atas kapal harus
dilakukan di atas kapal itu sendiri”. Ketentuan ini pada dasarnya
tidak berbeda dengan Pasal 197 ayat (9) HIR, yakni pelaksanaan
penyitaan dilakukan di tempat barang sitaan berada;
b. Pelaksanaan penyitaan kapal laut dilakukan oleh juru sita
dengan didampingi oleh dua orang saksi. Pada pasal 560 ayat
(2) yang berbunyi “Juru sita dalam pada itu didampingi dua
saksi, yang nama-nama mereka, pekerjaan dan tempat tinggal
dia sebutkan dalam berita acara. Mereka semua menandatangani
surat yang asli dan salinan-salinannya.”. Pada pasal ini
menegaskan bahwa kedua orang saksi tersebut dihadirkan pada
saat pelaksaan penyitaan diatas kapal laut dan juga ikut
menandatangani berita acara sita. Dalam prakteknya, untuk
mempermudah pemilihan orang saksi, jurusita memilih pegawai
dari pengadilan tempat penyitaan dilakukan. Ketentuan pasal ini
berlaku sama dengan Pasal 197 ayat (6) HIR;
c. Pemberitahuan penyitaan kapal laut dilaksanakan sesuai urutan
alternatif tersebut :
1) Kepada pemilik kapal, ditempat tinggalnya, atau;
2) Kepada agennya, atau;
4
Harahap M. Yahya. Op Cit., Hlm. 240.
126
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
3) Kepada pemegang buku kepemilikan kapalnya, atau;
4) Dengan cara lain yang digariskan pada Pasal 3 dan 6 Rv
yang mengenai pemberitahuan gugatan dan pemberitahuan
lainnya.
Apabila sita dilakukan berdasarkan utang dengan hak
preferen atau untuk pembayaran utang yang menurut Pasal 314
KUHD (Hipotek kapal laut) atau utang dengan hak privilege
berdasarkan Pasal 316 KUHD atau tagihan mengenai kapal
yang diatur dalam Pasal 318 KUHD. Pemberitahuan penyitaan
kapal dapat disampaikan kepada nahkoda kapal ataupun juragan
kapal (Pasal 560 ayat (4) Rv);
d. Juru sita sebelum melakukan penyitaan atas kapal laut membuat
berita acara penyitaan. Pasal 561 memerintahkan kepada juru
sita untuk membuat berita sita. Dalam berita acara penyitaan,
juru sita harus menyatakan :
1) Nama depan, nama, pekerjaan dan tempat tinggal kreditur;
2) Alas hak sebagai dasar dia mengeksekusi;
3) Jumlah-jumlah yang dia tuntut pembayarannya;
4) Pemilihan tempat tinggal oleh kreditur di ibu kota
administrasi tempat kapal itu berlabuh, dan pada seorang
pengacara pada daerah hukumnya dituntut penjualannya;
5) Nama dari pemilik, dari agennya atau pemegang bukunya,
bila mereka diketahui, dan dari juragan kapal;
6) Nama, macam dan sedapat mungkin dalam ruang kapal;
7) Uraian secara umum tentang sekoci-sekoci, perahu-perahu,
tali-temali, alat-alat perlengkapan, senjata-senjata, alat-alat
perang dan kebutuhan hidup.
e. Setelah membuat berita acara penyitaan dan pelaksanaanmya,
pada kalimat selanjutnya pada Pasal 560 Rv memerintahkan
juru sita untuk mengangkat seorang penjaga atau penyimpan
127
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
diatas kapal. Akan tetapi, terlepas dari kebolehan melakukan
sita eksekusi di atas kapal laut, penyitaan tidak boleh
menghalangi dan mengurangi hak penguasaan debitur (pemilik)
atas kapal laut dan juga tidak boleh mengurangi dan membatasi
hak pengusahaan debitur atas kapal;
f. Juru
sita
mengumumkan
penyitaan
dengan
jalan
mendaftarkannya pada kantor pejabat yang berwenang. Dalam
hal Hipotek kapal laut, dimana bukti kepemilikan kapal laut
tersebut
didaftarkan
di
Kantor
Syahbandar
/
Kantor
Administrasi Pelabuhan dimana kapal tersebut diregisterkan,
maka sita eksekusi juga didaftarkan di Kantor Syahbandar yang
bersangkutan (Pasal 562-563 Rv) dan apabila pemilik kapal,
agennya ataupun pemegang buku bertempat tinggal ditempat
dilakukan sita, maka orang yang ditunjuk oleh juru sita sebagai
penyimpan atau penjaga kapal tersebut dalam waktu 8 hari
harus memberitahukan salinan berita acara penyitaan kepadanya
(pasal 563 HIR). Apabila pemilik kapal tidak bertempat tinggal
dalam tempat penyitaan dilakukan, maka pemberitahuan dengan
cara lainnya atau pun pada yang bersangkutan berlaku Pasal 10
Rv;
g. Pemberitahuan pertama sebelum penjualan dilakukan dengan
waktu paling sedikit 20 hari dan selambat-lambatnya 60 hari
setelah pengumuman berita penyitaan dilakukan dalam suatu
surat kabar tempat penjualan akan dilakukan (Pasal 516 Rv);
h. Pemberitahuan kedua dilakukan oleh orang yang menuntut
penyitaan dengan memberikan salinan-salinan bilyet kepada
para kreditur, dalam
waktu
empat belas
hari setelah
pengumuman pertama dengan dibukukan pada register pokok
dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002
tentang Perkapalan (Pasal 566 Rv dan Pasal 198 HIR)
128
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
i. Selanjutnya Ketua Pengadilan Negeri menerbitkan Penetapan
Penjualan Lelang (executoriale verkoop) berdasarkan Pasal 200
ayat (1) HIR :
1) Bersamaan dengan ini Ketua Pengadilan Negeri meminta
bantuan Kantor Lelang;
2) Dengan demikian, penjualan lelang dilakukan dengan
perantaraan Kantor Lelang.
Dengan membandingkan tata cara dan upaya penyelesaian pemenuhan
pembayaran utang melalui sita eksekusi atas kapal laut yang dijadikan
jaminan atas kredit bermasalah dengan berdasarkan Pasal 224 HIR dengan
proses litigasi melalui pengajuan gugatan perdata biasa, upaya ini jauh lebih
efektif dan efisien. Tidak membutuhkan proses persidangan yang lama dan
berbelit, langsung dilaksanakan eksekusinya dan apabila Ketua Pengadilan
Negeri melaksanakan fungsinya dengan baik sesuai dengan ketentuan Pasal
195, 196,197 dan 200 HIR, peminatnya ada, maka sampai dengan proses
penjualan lelangpun dapat dilakukan dengan waktu yang singkat.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Ketentuan hukum Indonesia yang dijadikan dasar pelaksanaan sita
eksekusi atas kapal yang dijadikan jaminan kredit bermasalah diatur dalam
beberapa hukum fundamental, yaitu: Pasal 1162-1232 KUHPerdata Buku II
dan Pasal 60-66 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
sebagai dasar Hipotek, kemudiannya hukum pelaksanaannya diatur pada HIR
dan Rv. Prosedur hukum pelaksanaan sita eksekusi kapal laut di Negara
Indonesia memberikan beberapa prosedur penting, yaitu: pengajuan sita
eksekusi ke Pengadilan Negeri, pemberian surat peringatan, penerbitan
Penetapan Sita Eksekusi, penyitaan dilakukan atas kapal oleh juru sita
didampingi 2 orang saksi, pemberitahuan penyitaan, mendaftarkan penyitaan
129
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
di Syahbandar, pemberitahuan penyitaan yang telah dilaksanakan, penerbitan
Penetapan Penjualan Lelang dan penjualan dilaksanakan di Kantor Lelang.
Selain dari prosedur hukum tersebut, Negara Indonesia menganut beberapa
asas saat melaksanakan penyitaan kapal, yaitu : Asas Rijdende Beslag dan
Asas larangan menyita atas kapal yang berlayar.
DAFTAR PUSTAKA
Buku, Jurnal Dan Makalah
Fuady, Munir. (2013). Hukum Jaminan Utang. PT. Gelora Aksara Pratama.
Jakarta
H.Salim. (2004). Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia. PT. Raja
Grafindo Persada. Jakarta
Hermansyah. (2005). Hukum Perbankan Nasional Indonesia. Fajar
Interpratama Mandiri. Jakarta
Maryati, Kun danJuju Suryawati. (2007). Sosiologi. Erlangga. Jakarta
Mertokusuma, Sudikno. (2008). Hukum Acara Perdata Indonesia. Ed. 7.
Cetakan Pertama. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta.
Pramadya. (2008).Kamus Hukum Edisi lengkap Belanda-Indonesia-Inggris.
CV. Aneka Ilmu. Semarang
Samadani, H.U. Adil. (2013) Dasar-Dasar Hukum Bisnis. Jakarta: Penerbit
Mitra Wacana Media.
Supramono, Gatot. (2013). Perjanjian Utang-Piutang. Jakarta: Prenada
Media Group.
Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia. Undang-Undang Jabatan Notaris. UU No. 30 tahun 2004, LN No.
117 Tahun 2004, TLN No. 4432.
130
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
Indonesia. Perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris. UU No. 2 tahun 2014, LN No. 3 Tahun 2014, TLN
No. 5491.
Kitab
Undang-Undang
Hukum
Perdata[Burgerlijk
Wetboek].
(2005). Diterjemahkanoleh Prof. R. Subekti, S.H. dan R.
Tjitrosuibio. Pradnya Paramita. Jakarta
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang [Wetboek van Koophandel]. (2005).
Diterjemahkanoleh Prof. R. Subekti, S.H. dan R. Tjitrosuibio.
Pradnya Paramita. Jakarta
Indonesia. Undang-Undang Pelayaran. UU No. 17 Tahun 2008, LN No. 64
Tahun 2008, TLN No.4849.
Indonesia. Presiden Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2002
tentang Perkapalan. LN No. 95 Tahun 2002, TLN No. 4227.
131
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA PRODUSEN DENGAN
KONSUMEN MELALUI BADAN PENYELESAIAN SENGKETA
KONSUMEN (BPSK) DI KOTA BATAM
Ukas1
ABSTRAK
Proses dan atau penyelesaian antara konsumen dengan produsen sebagai
pelaku usaha melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) kota
Batam
adalah
ketika
perjanjian/kesepakatan
para
pihak
sebelumnya
yang
maka
bersengketa
BPSK
tetap
sudah
ada
menghormati
perjanjian para pihak sebagai dasar dan pertimbangan pengambilan
keputusan Majelis, dan untuk Proses penyelesaian sengketa di BPSK Kota
Batam Batam. Penyelesaian sengketa yang terbaik sesungguhnya adalah
penyelesaian oleh para pihak (konsumen sebagai pemakai akhir suatu produk
dengan produsen sebagai pelaku usaha), sehingga dapat diperoleh hasil
yang menguntungkan kedua belah pihak. Penyelesaian melalui musyawarah
mufakat oleh para pihak seperti tersebut di atas tanpa campur tangan oleh
pihak mana pun.
PENDAHU LUAN
Latar Belakang Masalah
Pembangunan
Nasional
bertujuan
untuk
mewujudkan
suatu
masyarakat adil dan makmur yang merata materil dan sprituil, terutama
dalam era demokratis ekonomi yang berlandaskan Pancasila dan UndangUndang Dasar RI 1945. Hal tersebut merupakan salah satu dasar lahirnya
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, di
dalam konsideran undang-undang tersebut disebutkan bahwa pembangunan
1
Dosen Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Putera Batam
132
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
ekonomi Nasional pada era globalisiasi harus dapat mendukung tumbahnya
dunia usaha, sehingga mampu menghasilkan beraneka barang dan atau jasa
yang memiliki kandungan teknologi yang dapat menghasilkan peningkatan
kesejahteraan masyakat banyak dan sekaligus untuk mendapatkan kepastian
atas barang dan atau jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa
mengabaikan kerugian konsumen. Di dalam konsideran undang-undang
tersebut juga dikemukakan perlunya keterbukaan pasar nasional sebagai
akibat dari proses globalisaisi ekonomi dan harus tetap menjamin mutu,
jumlah dan keamanan barang dan atau jasa yang diperolehnya di pasar, serta
meningkatkan harkat dan martabat kepedulian, kemampuan dan kemandirian
konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuh kembangkan sikap
prilaku usaha yang bertangung jawab.
Perkembangan dunia usaha pada saat ini begitu cepat hal tersebut
tidak lepas dari adanya peran dan kegiatan-kegiatan usaha yang berkaitan
dengan perdagangan baik itu perdagangan barang danmaupunjasa yang pada
kenyataannya sangat mempengaruhi perekonomian baik secara nasional
maupun secara internasional. Hal yang sangat menarik dari kegiatan-kegiatan
usaha yang terjadi di dalam kehidupan masyarakatsaat ini adalah banyaknya
permasalahan yang kemudian dalam perkembangannya dapat menimbulkan
suatu kasus atau sengketa yangharus diselesaikan oleh para pihak yang
bermasalah.
Kenyataan dalam proses penyelesaiannya saat ini, dapat diselesaikan
dengan melalui jalur peradilan maupun jalur di luar peradilan. Permasalahan
yang sering timbul berkaitan kegiatan dunia usaha seperti perdagangan
barang dana atau jasa senantiasa menarik untuk lebih diperhatikan, dicermati
dan diteliti, hal ini disebabkan karena perdagangan akan selalu berkaitan
dengan apa yang disebut dengan konsumen (dengan pengertian umum pihak
yang menggunakan atau membeli dan/ atau memanfaatkan barang dan/ atau
jasa) dan pelaku usaha (pihak yang menyediakan dan/ atau memberikan atau
menjual barang dan / atau jasa).
133
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
Begitu juga dengan permasalahan yang dapat ditimbulkan dari adanya
kegiatan perdagangan, di lapangan tidak jarang ditemukan adanya perdebatan
atau keributan bahkan pertikaian antara konsumen dan pelaku usaha. Tidak
sedikit juga sengketa yang kemudian diselesaikan di pengadilan. Eksistensi
pelaku bisnis untuk menjadi yang terbaik dikalangan dunia usaha telah
meningkatkan persaingan antara pelaku usaha dalam menjalankan usahanya
dalam jangka waktu tertentu. Persaingan yang sehat antara pelaku usaha
sesungguhnya tidak salah asalkan dengan diimbangi peningkatan kualitas dan
mutu barang dan/ atau jasa serta didukung pelayanan yang jujur, serta
pemberian informasi yang benar dari pelaku usaha kepada konsumen tentu
akan sangat bermanfaat dan menguntungkan konsumen. Berbeda jika
persaingan usaha hanya didasarkan pada pencarian keuntungan belaka dari
pelaku usaha dengan cara yang tidak sehat, maka sudah tentu dapat berakibat
buruk bagi konsumen.
Lahirnya
Undang-Undang
Nomor
8
Tahun
1999
tentang
Perlindungan Konsumen yang disahkan dan diundangkan pada tanggal 20
April 1999, dan berlaku secara efektif tanggal 20 April 2000 mengatur antara
lain keberadaanlembaga penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan
yang disebut dengan BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen)
Pembentukan BPSK ini dilatar belakangi adanya globalisasi dan perdagangan
bebas,
yang
didukung
kemajuan
teknologidan
informasidan
dapat
memperluas ruang gerak transportasi barangdan/ atau jasa melintasi batasbatas wilyah suatu Negara.
Untuk mengatur kelembagaan BPSK tersebut telah dikeluarkan
sejumlah Peraturan perundang-undangan tentang adanya BPSK sebagai
berikut:
a. Keputusan Presiden No.90/2001 tentang Pembentukan BPSK.
b. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No.301MPP/
Kep./10/2001 tanggal 24 Oktober 2001 tentang Pengangkatan dan
134
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
Pemberhentian Anggota dan Sekretariat BPSK.(Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen)
c. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No.302
MPP/Kep./10/2001 tanggal 24 Oktober 2001 tentang Pendaftaran
LPKSM (Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat).
d. Keputusan
Menteri
Perindustrian
dan
Perdagangan
No.350/MPP/Kep./12/2001 tanggal 10 Desember 2001 tentang Tugas
dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
e. Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No
605/MPP/Kep./8/2002
tanggal
29
Agustus
2002
tentang
Pengangkatan Anggota Badan Penyelesaian SengketaKonsumen.
Perlindungan Konsumen, ditentukan bahwa setiap konsumen yang
dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas
menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui
peradilan yang berada dilingkungan peradilan umum. Berdasarkan Pasal 45
ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, bahwa penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui
pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak
yang bersengketa.
Menurut ketentuan tersebut di atas dapat diketahui bahwa para
pihakyang bersengketa diberi hak untuk memilih lembaga atau badan
manayang
akan
mereka
pilih
untuk
menyelesaikan
permasalahan
yangmereka hadapi baik melalui jalur pengadilan maupun jalur luar
pengadilan, untuk jalur pengadilan pengertiannya adalah pengadilan umum,
sedangkan sesuai Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999,
Penyelesaian sengketa konsumen, jalur luar pengadilan dilaksanakan di
dalam suatu lembaga yang dibentuk berdasarkan Pasal 49 Ayat (1) UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999, yaitu bahwa pemerintah membentuk badan
penyelesaian sengketa konsumen di daerah untuk menyelesaikan sengketa
konsumen di luar pengadilan.
135
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
Dengan demikian, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen-lah yang
ditunjuk pemerintah sebagai lembaga yang dapat menyelesaikan sengketa
konsumen diluar pengadilan Tidak dapat dipungkiri, bahwa dalam praktekpraktek perdagangan (baik ketika proses perdagangan maupun setelah proses
perdagangan terjadi) banyak ditemui akan adanya suatu pelanggaranpelanggaran terhadap apa yang menjadi hak konsumen (sebagai pengguna
barang dan/atau jasa) ataupun pelanggaran pelaku usaha ketika menawarkan
dan menjualkan produk kepada konsumen,sehingga akhirnya konsumen
berminat sampai pada akhirnya mengkonsumsi produk yang ditawarkan
tersebut.
Rumusan Masalah.
Dari uraian latar belakang penelitian masalah tersebut di atas, maka
dapat dirumuskan beberapa pokok permasalahan antara lain adalah:
1. Bagaimana proses dan atau cara penyelesaian sengketa konsumen
antara konsumsen dengan produsen sebagai pelaku usaha melalui
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Batam,
terutama penyelesaian sengketa ketika sengketa terjadi telah ada
dasar perjanjian yang menjadi kesepakatan oleh para pihak yang
bersengketa sebelumnya?
TIJNJAUAN PUSTAKA
Cara Penyelesaian Sengketa Konsusmen Melalui BPSK.
Penyelesaian sengketa antara produsen dengan konsumen dengan cara
antara lain yaitu dengan melalui sebagai berikut:
1. Penyelesaian Sengketa Melalui Mediasi.
Penyelesaian
sengketa
yang
terbaik
sesungguhnya
adalah
penyelesaian oleh para pihak (konsumen sebagai pemakai akhir
suat-produk dengan produsen sebagai pelaku usaha), sehingga
136
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
dapat diperoleh hasil yang
menguntungkan kedua belah pihak.
Penyelesaian melalui musyawarah mufakat oleh para pihak seperti
tersebut di atas tanpa campur tangan oleh pihak mana pun. Namun
demikian, apabila para pihak gagal/tidak tercapai kesepakatan
dalam perundingan, maka
para pihak dapat menempuh
penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang telah disediakan oleh
pemerintah dalam upaya untuk memberikan pelayanan masyarakat
(konsumen
dan
produsen).
Penyelesaian
sengketa
harus
memperhatikan kewenangan dari lembaga tersebut (BPSK) sesuai
Undang-Undang Nomor. 8 ahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
Pengaturan mengenai mediasi dapat di temukan dalam
ketentuan Pasal 6 ayat 3, ayat 4 dan ayat 6 Undang-Undang Nomor
30 Tahun 1999 . Ketentuan mediasi yang diatur dalam UndangUndang
Nomor 30 ini merupak suatu proses kegiatan sebagai
kelanjutan dari gagalnya negosiasi yang diatur dalam Undang–
Undang Nomor 30 Tahun 1999.
Mediasi adalah intervensi terhadap suatu sengketa atau
negosiasi oleh pihak ketiga yang dapat diterima, tidak berpihak dan
netral yang tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil
keputusan dalam membantu para pihak yng berseliisih dalam upaya
mencapai
kesepakatan
secara
sukarela
dalam
penyelesaian
permasalahan yang disengketakan.
Mediasi dari pengertian di atas berfungsi sebagai mediator
sebagai pihak kertiga yang neteral, independen, tidak memihak dan
ditunjuk oleh para pihak secara lansgsung melalui lembabga
mediasi, mediator
para pihak berdasarkan pada kehendak dan
kemauan para pihak. Walaupun fungsinya berkewajiban untuk
melaksanakan tugas walaupun para pihak demikian ada suatu pola
137
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
umum yang dapat diikuti dan pada umumnya dijalankan oleh
mediator dalam rangka penyelesaian sengketa.
2. Penyelesaian Melalui Konsiliasi. Penyelesaian sengketa melalui
cara konsiliasi juga melibatkan pihak ketiga (konsiliator) yang tidak
berpihak atau netral dan keterlibatannya karena diminta oleh para
pihak. Menurut Bindshchedler, bahwa unsur ketidakberpihakan dan
kenetralan merupakan kata kunci untuk keberhasilan fungsi
konsiliasi. Hanya dengan tepenuhinya dua unsur ini, objektivitas
dapat terjamin. Pengertian konsiliasi di atas diambil dari batasan
yang diberikan oleh Institut Hukum Internasional yang dituangkan
dalam Pasal 1 the regulations
on the procedure of international
conciliation tahun 1961. Badan konsiliasi bisa yang sudah
terlembaga atau Ad Hoc (sementara) proses seperti ini berupaya
mendamaikan pandamgan-pandangan para pihak yang bersengketa
meskipun usulan-usulan penyelesaian yang dibuat oleh konsiliator
sifatnya tidak mempunyai kekuatan hukum. Konsiliator adalah
seorang atau lebih yang memenuhi syarat sebagai konsikliator yang
ditetapkan oleh menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi dan
wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang
bersengketa untuk menyelesaikan sengketa dan kepentingannya.
Syarat-syarat untuk menjadi konsiliator antara lain:
a. Beriman dan bertaskwa kepada Yang Maha Esa
b. Warga negara Indonesia
c. Berumur sekurang-kurangnya 45 ahun
d. Pendidikan minilam lulusan strata satu
e. Berbadan sehat menurut surat keterangan dokter
f. Berwibawah, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela
g. Menguasai peraturan perundangan yang terkait.
h. Syarat lain yang di tetapkan oleh menteri,
138
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
Jika kita kembali pada asal kata konsliliasi, conciliation berarti
perdamauan Kemudian. Jadi pada prinsipnya konsiliasi merupakan
perdamaian, juga sebagaimana diatur dalam
1851-1864 Bab Kedelapan
belas Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Berarti segala sesuatu
yang dimaksudkan untuk diselesaikan melalui konsiliasi tunduk pada
ketentuan Kitab Undang-undan Hukum Perdata, dan secara khusus Pasal
1851-1864. hasil kesepakatan para pihak melalui alternatif penyelesaian
sengketa konsiliasi inipun harus dibuat secara tertulis dan ditandatangani
secara bersama-sama oleh para pihak uang bersengketa.
Sesuai Undang-Undang- Nomor 30 tahun 1999, kesepakatan tertulis
tersebut harus didaftarkan di Penagdilan Negeri dalam jangka waktu 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak tanggal penandatnagan, dan dilaksanakan dalam
jangka waktu 30 (tiga puluh hari) terhitung sejak tanggal pendaftaran di
Pengadilan negeri. Kesepakatan
Kesepakatan tertulis hassil konsiliasi
bersigat final dan mengikat para pihak. (Huala Adolf & A. Chandra Wulan,
Masalah-masalah Hukum Perdagangan Intenasional).
Dari apa yang penulis uraikan di atas dapat simpulkan bahwa
konsiliasi adalah
a. Merupan suatu bentuk perdamaian
b. Kehadiran pihak ketiga dituntut srecara aktif dalam memberikan
usulan dan solusi dari sengketa para pihak.
c. Berupaya untuk mempertemukan para pihak
d. Keputusan diambil harus dituangkan dalam bentuk perjanjian
tertulis dan di tanda angani para pihak.
e. Kesepakatan tersebut harus didaftarkan di Pengadilan
f. Arbitrse adalah Hasil kesepakatan yang diambil bersifat final dan
mmengikat.
3. Penyelesaian
kekusaan
sengketa
untuk
Melalui
menyelesaikan
kebijaksanaan. Apabila
Arbitrase.
sesuatu
Arbitsase
perkara
adalah
menurut
kita memperhatikan rumusan arbitrase
139
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
yang dikemukakan oleh Frank berdasarkan dalil, pilihan arbitrase
adalah prose yang mudah dipilih oleh para pihak secara sukarela
karena ingin agar perkaranya diputus oleh juru pisah yang netral
sesuai dengan pilihan dimana keputusan mereka berdasarkan dalil
dalil dalam perkara tersebut, dan para pihak setuju sejak semula
untuk menerima putusan tersebut sevcarta puinal dan mengikat.
Dalam arbitrase, para pihak menyetujui untuk menyelesaikan
sengketanya kepada pihak netral yang mereka pilih untuk membuat
keputusan. Arbitrase adalah suatu adjudikasi provat. Dalam beberapa hal
arbitrase mirip dengamn adjudikasi publik
dan sama-sama memiliki
beberrapa keunntungan dan kelemahan.
METODE PENELITIAN
Desain Penelitian.
Penelitian ini akan mempunyai nilai ilmiah jika berpatokan pada
syarat-syarat metode ilmiah, karena penelitian merupakan alat dan atau suatu
sarana utama dalam mengembangkan ilmu pengetahui teknologi yang
bertujuan untuk mengungkap kebenaran secara sistematis, metodologis dan
konsisten. Melalui proses penelitian tersebut, sangat perlu diadakan analisis
dan konstruksi terhadap data yang peneliti dipergunakan (desain penelitian)
dengan metode kualitatif. Dalam penelitian ini data yang ada dikumpulkan
dan diolah, dan atau dalam melaksanakan suatu penelitian membutuhkan
sebuah metode (desain penelitian)2.
Desain penelitian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
menggunakan metode penelitian kuantitaf dan atau kualitatif, tentunya
peneliti akan menyesuaikan kebutuhan suatu penelitian. Sehubungan hal di
atas, dimana dalam penelitian ini, peneliti mempergunakan desain penelitian
2
Soerjono, Soekanto. dan Sri, Mamuji. (1985). Penelitian Hukum Normatif.
Hal.1-2.
140
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
dengan metode kualitatif. Dalam Penelitian Kualitatif yang bertolak dari data
dan memanfaatkan teori yang ada sebagai bahan penjelasan dan akhirnya
berakhir pada suatu teori.
Lokasi Penelitian.
Lokasi Penelitian dilaksanakan di Kantor Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK) kota Batam, Tepatnya di gedung
bersama
pelayan publik Pemerintah Daerah Kota Batam (lanati 5).
Sumber dan Jenis Data
Sumber data adalah tempat dimana dapat diketemukannya data-data
penelitian. Sumber-sumber tersebut dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu:
Sumber Data primer, yaitu data yang diperoleh seorang peneliti
langsung dari obyeknya, misalnya, dengan cara wawancara, observasi,
pengamatan, angket, dll, sumber data primer adalah wawancara dengan
informan kunci (key informan) dengan menggunakan pedoman wawancara
anggota BPSK dari unsur pemerintah, selaku ketua BPSK .
Sumber bahan hukum yang diperoleh seorang peneliti secara tidak
langsung dari obyeknya, tetapi melalui sumber lain baik lisan maupun
tulisan. misalnya bahan hukum primer yang meliputi:
1. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
2. Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa atau yang disingkat dengan (APS).
3. Kitab Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
4. Keputusan
Menteri
DAG/KEP/11/2008
Perdagangan
tentang
RI
Pengangkatan
Nomor
Anggota
817/MBadan
Penyelesaian Sengketa Konsumen PadaPemerintah Kota Batam.
141
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
5. Keputusan Menteri Perdagangan RI Nomor 48/M-DAG/KEP/2/2009
tentang Pengangkatan Kepala Sekertariat dan Anggota Sekertariat
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) pada Pemerintah
Kota Batam.
6. Dan beberpa peraturan lainnya yang terkait.
Sumber data sekunder. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum
yang penulis peroleh dengan mempelajari literatur atau referensi yang terkait
dengan penelitian termasuk berkas sengketa .
Pendekatan Yang Digunakan
Apabila seseorang peneliti akan melakukan kegiatan-kegiatan
penelitian, maka sebelumnya peneliti harus terlebih dahulu memahami
metode dan sistematika penulisan. Sudah tentu hal ini harus memahami
ungkapan kebenaran melalui suatu kegiatan ilmiah. Kebenaran memperoleh
kegiatan upaya-upaya untungan, spekulasi dan kewibawaan seseorang, yang
dikualifikasikan sebagai upaya ilmiah. Menurut 3sumber tersebut adalah
observasi, generalisasi dan teorisasi, penjelasan meengenai fakta-fakta yang
terjadi, yang sekal;igus merupakan sumber-sumber primer, atau utama dari
pada ilmu peengetahuan untuk memperoleh deskripsi-deskripsi umum atau
khusus termasuk teori-teori yang ada.
Teknik Pengumpulan Data.
Dokumen suatu data dapat diperoleh dari sumber data dengan adanya
metode pengumpulan data yang sesuai dengan tujuan, karena melalui metode
pengumpulan data ini akan diperoleh data yang diperlukan kemudian
dianalisis supaya cocok dengan apa yang diharapkan. Dengan permasalahan
tersebut di atas, peneliti
menggunakan teknik pengumpulan data
yang
diperoleh dari hasil penelitian kemudian dianalisis dengan pengolahan dan
3
SM, Steinmann. & G, Willem. (1967). Hal.15.
142
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
analisa kualitatif lebih menekankan pada proses penyimpulan deduktif dan
induktif serta pada dinamika hubungan antar fenomena yang diamati, dengan
menggunakan logika ilmiah, dengan penekanan pada usaha menjawab
pertanyaan penelitiian melalui cara-cara berfikir formal dan argumentatif.
Data yang diperoleh baik dari studi lapangan maupun studi dokumen
pada dasarnya merupakan data yang dianalisis secara deskriptif kualitatif,
yaitu setelah data terkumpulkemudian dituangkan dalam bentuk uraian logis
dan sistematis, selanjutnya dianalisis, untuk memperoleh kejelasan
penyelesaian masalah. Kemudian ditarik kesimpulan secara deduktif, yaitu
dari hal yang bersifat umum menuju hal yang bersifat khusus.
Wawancara.Wawancara adalah eknik pengumpulan data yang
dilakukan terhadap data primer yang diajukan terhadap informan dan respon
dengan mengajikan pertanyan-pertanyaan sebagai alat pengumpulan data
untuk mendapatlkan keterangan lisan mengenai masalah yang dditeliti.
Adapun infformasi yang peneliti wawancarai antara lain Hari Murti, SH,
(bahagian /bidang Kepaniteraan Sekertariat BPSK, Ibu Yuniarti, SH.(anggota
sekertiat Tata Usaha BPSK Kota Batam).
Analisa Data.
Berdasarkan data-dengan tidak menggunakan yang bersifat angka dan
rumus. penelitian kualitatif adaslah penelitian yang bersifat deskriptif yang
cata yang telah dikumpulkan, baik data primer maupun data sekunder, ditarik
simpulan yang kemudian dianaliisis secara kualitatif yaitusuatu metode
dengan tidak menggunakan yang bersifat angka dan rumus, penlitian
kualitatif adalah penelitian yang bersifat deskriptif yang cenderung
menggunakan
mengunakan
pendekatan
perhitungan
menyuusun asumsi dasar
induktif,
penelitian
matematika,
kuantitatif
penelitian
ini
dilakukan
tidak
dengan
yang nantinya dengan digunakan untuk
mengumpulkan dan mengelola data dengan ara sistematis, namun tetap saja
143
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
dalam penelitian kualitatif ini data yang dikumpulkan haruslah objektif (tidak
terpengaruh dalam pendapat peneliiti sendiri.
Penafsiran dan Pengambilan Simpulan. Penelitian hukum yang
merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang di dasarkan pada metode, sistematika
dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari suatu atau
beberapa gejalah hukum tertentu. Seorang peneliti seyogyanya, menafsirkan
suatu penelitian itu dalam arti yang diatur dalam Undang-undang,kaitannya
dengan judul adalah penyelesaian sengketa antara produsen dengan
konsumen melalui Badan Penyelesain Sengketa Konsumen (BPSK) di kota
Batam. Penafsiran tersebut merupakan pemahaman-pemahaman yang
diberikan pemerintah dalam menyelesaikan sengkera di luar Pengadilan.
Dalam penarikan simpulan sementara, peneliti menyimpulkan bahwa
penyelesaian senghketa antara produsen dengan konsumen melalui BPSK
kota Batam telah berjalkaan dengan baik, dan masyarakat telah memahami
fungsi BPSK itu sendiri yang merupalan salah satu wadah penyelesaian
sengketa di luar Pengadilan, dan sengketa tersebut melibatkanunsur
pemerintah, pengusaha dan konsumen itu sendiri. Sehingga apa yang
diputuskan sudah terwadahi secara umum, oleh para pihak (pihak produsen
dengan konsumen).
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian Tahun 2013 (Pengaduan 1 tahun terakhir/2013).
Pengaduan/kasus yang masuk dari konsumen untuk menggugat
produsen
dan atau pelaku usaha sejak tanggal 9 Januari
2013 – 15
Desember 2013 sebanyak 46 Pengaduan/kasus. Kasus-kasus tersebut telah
diterima dan diproses oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
Kota Batam, denganperinciannya sebagai berikut :
1. Yang telah di proses dan telah diputus sebanyak
=
25
Pengaduan/kasus
144
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
2. Yang masih dalam proses penyelesaian sebanyak
=
10
=
7
=
1
=
1
=
1
=
1
Pengaduan/kasus
3. Yang selesai pra sidang sebanyak
pengaduan/kasus
4. Yang selesai tidak sepakat sebanyak
Pengaduan/kasus
5. Yang tidak dapat diselesaikan BPSK sebanyak
Pengaduan/kasus
6.
Yang pelaku usaa tidak bersedia diselesaikan sbyk
Pengaduan/kasus
7. dan lain-lain sebanyak
Pengaduan/kasus
Jenis - Jenis Pengaduan/Kasus
Sejak tanggal masuknya pengaduan di tahun 2013 ini, jenis-jenis
pengaduan /kasus meliputi 5 (lima) jenis kasus yaitu :
1. Pengaduan/Kasus Properti sebanyak
=
20
=
4
=
4
=
3
=
1
dan lain-lain (tdk jelas) sebanyak
=
14
Total
=
46
kasus
2. Pengaduan/Kasus masalah Jasa sebanyak
kasus
3. Pengaduan/kasus masalah leasing sebanyak
kasus
4. Pengaduan/kasus klaim Asuransi sebanyak
kasus
5. Pengaduan/kasus sertifikat sebanyak
kasus
6.
Kasus
145
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
Yang tergugat (Badan Hukum / Perusahaan).
Yang tergugat
(BadanHukum, pengaduan) ke BPSK tahun 2013 ini sejumlah 46 Badan
Hukum / Usaha yang meliputi:
a. Dari Pelaku Usaha yang berbadan hukum = 32 Badan Hukum
b. Dari Lembaga Bank/BPR sebanyak
= 8 Badan Hukum
c. Dari Pembiayaan lainnya sebanyak
= 1 Usaha
d. Dari Pelayanan Publik sebanyak
= 2 Usaha
e. dan lain-lain,
sebanayak
f. Jumlah / sebanyak
.
= 3 Usaha
= 46 Badan Hukum / Badan Usaha
Cara Penyelesaiannya. Cara Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK) kota Batam menyelesaikan sengketa konsumen dengan produsen
menempuh/dan ataumenyelesaikannya dengan cara sbb:
a. Penyelesaian melalui Konsiliasi sebanyak 18 pengaduan/kasus
b. Penyelesaian melalui negosiasi sebanyak 7 pengaduan/kasus
c. Penyelesaian melalui Arbitrase sebanyak 3 pengaduan/kasus.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pembahasan
Penyelesaian Sengketa melalaui BPSK Kota Batam, dalan sebuah
perkara atau sengketa dalamkehidupan masyarakat saat ini dalam prakteknya
tidak hanya dapat diselesaikan melalui jalur pengadilan tetapi juga dapat
diselesaikan melalui jalur luar pengadilan, salah satu penyelesaian sengketa
yang dapat diselesaikan diluar pengadilan adalah sengketa konsumen.
Penyelesaian
sengketa
konsumen
dalam
perkembangan
kehidupan
masyarakat dapat diselesaikan oleh suatu badan atau lembaga yang secara
hukum telah dibentuk oleh pemerintah berdasarkan Keputusan Presiden
Nomor 90 Tahun 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa
146
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
Konsumen, selanjutnya disebut dengan BPSK yang merupakan amanat dari
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Badan penyelesaian sengketa konsumen (BPSK) adalah badan yang
bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan
konsumen. (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Pasal 1 (11) Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) merupakan suatu lembaga khusus
yang dibentuk diatur dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen, yang
tugas utamanya adalah menyelesaikan sengketa atau perselisihan antara
konsumen dan pelaku usaha. 4
Kota Batam, pengaduan yang masuk melalui BPSK Kota Batam
untuk 1(satu) tahun terkhir ini (2013) berjumlah 46 kasus, 25
pengaduan/kasus yang ada telah diputus oleh BPSK dan hasilnya final,
artinya para pihak menerima keputusan tersebut, karena mereka menggap
keputusan itu sudah terwadahi dan wajar, serta sadar kekurangan dan
kelebihan mereka miliki. Kasus yang lainnya yang belum diputus masih
dalam proses pembuktian dan keterangan dari para pihak, dan mudahan di
awal tahun 2014 yang akan datang semuanya sudah selesai dan mendapat
putusan yang bersifat final.
Melalui BPSK Kota Batam. Berdasarkan data dan wawancara yang
penulis laksanakan pada sekertariat BPSK Kota Batam. Tepatnya BPSK di
Batam Centere,
bahwa pengaduan/kasus property menduduki jumlah yang
terbanyak, yaitu 20 (dua puluh) kasus, hal disebabkan adanya ketidak
sesuaian informasi awal melalui liflet atau bentuk lainnya tentang imformasi
dan atau data dan kelengkapan suatu rumah yang menjadi milik konsumen,
ini berkali-kali konsumen menyampaikan kepada pihak perumahan
(deploper) namun hasilnya tidak maksimal dan masyarakat merasah
dirugikan, setelah berkordinasi para pihak yang memahami kasus-kasus
4
(Yusuf, Shofie. (2002). Penyelesaian Sengketa Konsumen. 39).
147
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
seperti tersebut di atas akhiirnya disampaikan kepada BPSK untuk
mendapatkan keputusan dan kepastian secara legal yang tidak merugikan
para pihak baik konsumen maupun produsen.
Pengaduan/kasus lainnya antara lain kasus jasa, leasing, klain
asuransi, sertifikat, yang jumlahnya tergolong sedikit di banding kasus
properti. Jika di lihat gugatan yang masuk ke BPSK tahun 2013 ini gugatan
yang terbanyak ditujukan tergugatnya kepada pelaku usaha (yang ber Badan
Hukum, menyusul lembaga Pembiaayaan lainnya, dari sekian banyak
gugatan yang ditujukan pada pelaku usaha penyelesaiannya 75 % dilakukan
melalui konsiliasi, sedangakan
putusan melalui mediasi dan arbitrase
menempati pada posisi kedua dan ketiga.
Upaya dan atau Solusi Penyelesaian Sengketa.
Dari awal pendaftaran sampai permohonan penerimaan berkas
pengaduan/kasus yang di alamatkan pada BPSK Kota Batam untuk
permohonan diselesaikan, BPSK terlebih dahulu menyampaikan atau
memanggil para pihak yang bersengketa untuk memahami hak dan
kewajibanya seperti yang diatur dalam Undang-undang Perlindungan
Konsumen No. 8 tahun 1999 dan fungsi, kewenangan termasuk hak dan
kewajiban BPSK. Hal ini dimaksudkan agar proses penyelesaian sengketa
berjalan lancar, cepat dan penuh akurasi danyuridis. Namun kenyataannya
hal tersebut sebahagian penggugat dan tergugat tidak mematuhi sepenuhnya
akibatnya belum bisa diproses dan atau diputuskan. Upaya dan atau solusinya
adalah memberi kesempatan
ulang untuk menepati dan melengkapi
dokumen dan atau keterangan yang diperlukan dalam proses penyelesainnya
melalui BPSK, dan akan diputus diawal tahun 2014 yang akan datang.
148
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Proses dan atau penyelesaian sengketa konsumen antara konsumen
dengan produsen
sebagai pelaku usaha melalui Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK) kota Batam adalah ketika para pihak yang
bersengketa sudah ada perjanjian/ kesepakatan sebelumnya maka BPSK
tetap menghormati perjanjian para pihak sebagai dasar dan pertimbangan
pengambilan keputusan Majelis, dan untuk proses penyelesaian sengketa
di BPSK Kota Batam sudah sesuai dengan kaidah atau Peraturan
perundang-undangan
yang
ada,
lebihkhususlagimasalahwaktusesuai
aturan dengan kenyataan, yaitu dalam penyelesaian sengketa konsumen
dalam waktu 21 (duapuluh satu) hari kerja sejak permohonan sudah
mendapatkan keputusan Majelis. Faktor yang pendukung dilihat dari
peran majelis yang bersifat aktif ketika menjadi konsiliator atau aktif
ketika menjadi mediator atau arbitor dalam proses penyelesaian sengketa
konsumen adalah sesuai dengan aturan pelaksanaan BPSK dalam
keputusan menteri yaitumajelis sebagai konsiliator harus bersifat atif dan
menjawa dan menyikapi pertanyaan dan masalah yang ia hadapi agar
para pihak puas atas jawaban tersebut.
Saran
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Batam, diharapkan /
disarankandapat memiliki anggota dengan pendidikan terakhir Strata dua
(S2) yang jauh lebih memiliki wawasan. Aanalisis serta pemahaman teori
secara akurasi dan analisis tentang proses Alternatif Penyelesaian Sengketa
(APS) sehingga berguna dalam pelaksanaan proses penyelesaian sengketa,
dan masyarakat di Kota Batam.
149
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
DAFTAR PUSTAKA
Buku, Jurnal dan Makalah
Ade, Maman, Suherman. (2002). Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global.
Ghalia Indonesia.
Ahmadi, Miru. & Sutarman, Yodo. (2004). Hukum Perlindungan Konsumen.
Devisi Buku Perguruan Tinggi PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Bambang, Dwiloka. & Ratiriyana. (2005). Tehnik Menulis KaryaIlmiah,
Rineke Cipta. Jakarta
Bambang, Waluya. (2002). Penelitian Hukum Dalam Prakte. Sinar Grafika,
Jakarta.
Gunawan, Widjaja. & Ahmad, Yani. (2001). Seri hukum Bisnis. Hukum
arbitrase manajemen. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta
Gunawan, Wijaya. (2005). Seri Bisnis Alternatif Penyelesaian Sengketa. PT
Raja Grafindo Persada. Jakarta
Kartini,
Muljadi.
&
Gunawan,
Widjaja.
(2008).
Seri
Hukum
PerikatanPerikatan Yang Lahir Dari Perjanjian. PT Raja Grafindo.
Jakarta
Kuntjaraningrat. (1999). Kebudayaan, Metalitet & Pembangunan, Gramedia,
Jakarta
Priyatna, Abdurrasiyid. (2002). Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa
Suatu Penghantar. PT Fikahati Aneska.
Sentosa,
Sembiring.
(2006)
Himpunan
Undang-Undang
Tentang
Perlindungan Konsumen Dan Peraturan Perundang-undangan
Yang Terkait. Nuansa Aulia. Bandung.
Shidarta. (2004). Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Grasindo. PT
Gramedia Widiasarana Indonesia.
Sudaryatmo. (2004). Memahami Hak Anda Sebagai Konsumen. LKJ
(Lembaga Konsumen). Pustaka Pelajar. Jogjakarta.
150
Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693
Suyud, Margono. (2002). Cetakan Kedua. ADR & Arbitrase, Proses
Pelembagaan dan Aspek Hukum. Ghalia Indonesia
Yusuf, Shofie. (2002) Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Pidana
Korporasi. Ghalia Indonesia
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase.dan Alternatif
Penyelesaian
Keputusan
Menteri
Perindustrian
dan
Perdagangan
No.301/MPP/Kep./10/2001 tentang Pengangkatan, Pemberhentian
Anggota dan Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Media Massa
http://www.bonddisputeresolutionnews.com.
151
Download