Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 PELAKSANAAN PENYELESAIAN KREDIT MACET SECARA NON LITIGASI (STUDI DI PT. BPR HASA MITRA) HIKMAH1 ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor penyebab kredit macet dan mengetahui pelaksanaan penyelesaian kredit macet pada PT. BPR Hasa Mitra secara non litigasi. Untuk menjawab permasalah tersebut dilakukan penelitian normatif empiris dengan meneliti data primer dan data skunder, sehingga metode ini mencoba memperhatikan, mengkaji dan mengetahui pemberlakuan atau penerapan hukum dalam praktek di masyarakat. Dapat disimpulkan bahwa penyebab terjadinya kredit macet dapat disebabkan oleh faktor yang berasal dari Bank maupun dari Nasabah. Faktor dari perbankan meliputi kelemahan dalam analisis kredit, bank terlalu yakin dengan kemauan dan kemampuan nasabah, tidak memiliki informasi yang memadai khususnya karakter nasabah, dan kebijakan pimpinan. Faktor dari nasabah meliputi kelemahan karakter nasabah, kemampuan nasabah, persaingan usaha, usaha menurun atau bangkrut, nasabah memiliki hutang disana-sini. Penyelesaian Kredit bermasalah pada PT. BPR Hasa Mitra lebih ditekankan pada jalur non litigasi yaitu dengan upaya negosiasi yang dilakukan dengan cara Reschduling, Restrukturing dan Reconditioning. Kata Kunci: Kredit Macet, Penyelesaian Melalui Jalur Non Litigasi. 1 Dosen Program Studi Ilmu Ekonomi Universitas Putera Batam 1 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Salah satu tujuan Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah memajukan kesejahteraan umum. Untuk mencapai tujuan memajukan kesejahteraan umum tersebut, maka pembangunan disegala bidang harus dilakukan dengan memperhatikan keserasian, keselarasan dan berkeseimbangan berbagai unsur pembangunan, diantaranya adalah pembangunan dibidang ekonomi, termasuk usaha mikro, kecil dan menengah juga memegang peran penting dalam pembangunan ekonomi karena tingkat penyerapan tenaga kerjanya yan relatif tinggi dan kebutuhan modal investasinya yang kecil. Bank sebagai salah satu lembaga keuangan mempunyai peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Bank adalah Badan usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka peningkatan taraf hidup orang banyak. Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menyatakan bahwa bank adalah: “Badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentukbentuk lainya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak“. Perbankan dalam melakukan penyaluran kredit harus melakukannya dengan prinsip kehati-hatian melalui analisis yang akurat dan mendalam. Penyaluran kredit yang tepat dan pengawasan kredit yang ketat, serta perjanjian kredit yang sah menurut hukum pengikatan jaminan yang kuat dan administratif perkreditan yang teratur dan lengkap bertujuan agar kredit yang disalurkan oleh pihak bank kepada masyarakat dapat kembali tepat waktu dan sesuai dengan perjanjian kreditnya. Analisis yang dilakukan oleh perbankan untuk mengetahui dan menentukan apakah seseorang itu layak atau tidak untuk memperoleh kredit. Pada umumnya pihak perbankan mnggunakan instrumen 2 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 analisis yang dikenal dengan the five of credit atau 5 C. Pengertian 5 C disini antara lain a. character (kepribadian) yaitu penilaian atas karakter atau watak dari calon debitornya, b. capacity (kemampuan) yaitu prediksi tentang kemampuan bisnis dan kinerja bisnis debitor untuk melunasi hutangnya, c. capital (modal) yaitu penilaian kemampuan keuangn debitor yang mempunyai kolerasi langsung dengan tingkat kemampuan bayar kreditor, d. condition of economy (kondisi ekonomi) yaitu analisis trhadap kondisi perekonomian debitor secara mikro maupun makro dan e. collateral (agunan) yaitu harta kekayaan debitor sebagai jaminan bagi pelunasan hutangnya jika kredit dalam keadaan macet.2 Kondisi kredit bank yang telah disalurkan kepada masyarakat dalam jumlah besar, ternyata banyak sekali debitor tidak membayar tepat pada waktunya sesuai dengan perjanjian. Adapun perjanjian kredit yang dijalankan oleh bank antara lain, meliputi; pinjaman pokok dan bunga dimana hal ini menyebabkan kredit dapat digolongkan menjadi non performing loan (selanjutnya disingkat menjadi NPL) atau kredit bermasalah. Adanya kredit bermasalah menyebabkan bank tengah menghadapi resiko usaha bank etnis resiko kredit (default risk). Resiko kredit yaitu resiko akibat ketidakmampuan nasabah debitor mengembalikan pinjaman yang diterimanya dari bank beserta bunganya sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan”.3 Kredit bermasalah selalu ada dalam kegiatan perkreditan bank, karena bank mungkin menghindari adanya kredit bermasalah, bank hanya bisa menekan seminimal mungkin besarnya kredit bermasalah agar tidak melebihi ketentuan Bank Indonesia sebagai pengawas perbanka.4 PT.BPR Hasa Mitra merupakan salah satu bank yang sedang menghadapi kredit bermasalah yang terjadi pada tahun 2015 dimana debitur yang mengajukan pinjaman uang kepada BPR Hasa Mitra mengalami kesulitan dalam hal mengembalikan pinjaman. 2 Munir, Fuady. (2006). Hukum Perkreditan Kontemporer. PT Citra Aditya Bakti. Bandung. Hal. 21. 3 Muhammad, Abdulkadir dan Murniati, Rilda. (2005). Lembaga Keuangan dan Pembiayaan. PT Citra Aditya Bakti. Bandung. Hal. 97. 4 Ibid. Hal. 263. 3 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 Pihak bank dalam menyelesaikan kredit bermasalah akan melihat terlebih dahulu kondisi kredit yag bermasalah tersebut. BPR Hasa Mitra dalam proses penyelesaian kredit bermasalahnya lebih memilih menggunakan jalur non litigasi. Tentunya pihak perbankan mempunyai beberapa pertimbangan atau alasan-alasan tertentu yang membuat mereka memilih menyelesaikan permasalahan kredit bermasalah melalui jalur non litigasi. Penyelesaian melalui jalur non litigasi pada umumnya memberikan keuntungan kepada pihak debitur maupun kreditur. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan di atas, maka penulis dapat merumuskan masalahnya sebagai berikut: 1. Faktor penyebab terjadinya kredit macet pada PT. BPR Hasa Mitra? 2. Bagaimanakah pelaksanaan penyelesaian kredit macet pada PT. BPR Hasa Mitra secara non litigasi? HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Kredit yang diberikan oleh bank mempunyai pengaruh yang sangat penting dalam kehidupan perekonomian suatu negara karena kredit yang diberikan secara selektif dan terarah oleh bank kepada nasabah dapat menunjang terlaksananya pembangunan sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat. Tujuan utama pemberian suatu kredit, antara lain: 1. Mencari keuntungan Bertujuan untuk memperoleh hasil dari pemberian kredit tersebut. Hasil tersebut terutama dari bentuk bunga yang diterima oleh bank sebagai balas jasa dan biaya administrasi kredit yang dibebankan kepada nasabah. Keuntungan ini penting untuk kelangsungan hidup bank. Jika bank yang terus menerus menderita kerugian, maka besar kemungkinan bank tersebut akan dilikuidasi (dibubarkan). 4 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 2. Membantu Usaha Nasabah Tujuan lainnya adalah membantu usaha nasabah yang memerlukan dana, baik dana investasi maupun dana untuk modal kerja. Dengan dana tersebut, maka pihak debitur akan dapat mengembangkan dan memperluas usahanya. 3. Membantu Pemerintah Bagi pemerintah semakin banyak kredit yang disalurkan oleh pihak perbankan, maka semakin baik, mengingat semakin banyak kredit berarti adanya peningkatan pembangunan diberbagai sektor.5 Bank dalam memberikan kredit, wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan, serta harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat karena kredit yang diberikan oleh bank mengandung resiko. Dalam pemberian kredit ini bank menghendaki adanya jaminan atau agunan yang dapat digunakan sebagai pengganti pelunasan hutang apabila nantinya debitur tidak mampu membayar kreditnya kepada bank atau wanprestasi. Usaha perbankan sebagaimana diketahui bukanlah badan usaha biasa seperti halnya perusahaan yang bergerak dibidang perdagangan dan jasa, melainkan suatu badan usaha yang bergerak dibidang jasa keuangan. Bank mempunyai kegiatan usaha khusus seperti yang diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (selanjutnya disebut Undang- Undang Perbankan), yaitu : a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa Giro, Deposito berjangka, Deposito, Tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. b. Memberikan kredit c. Melakukan kegiatan valuta asing dengan ketentuan yang ditetapkan oleh 5 Kasmir. (2007). Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Hal. 96. 5 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 Bank Indonesia. Analisa dilakukan perbankan untuk mengetahui dan menentukan apakah seseorang itu layak atau tidak untuk memperoleh kredit. Pada umumnya pihak perbankan menggunakan instrumen analisis yang dikenal dengan the five of credit atau the 5 C, antara lain character (kepribdian) yaitu penilaian atas karakter atau watak dari calon debitur, capacity (kemampuan) yaitu prediksi tentang kemampuan bisnis dan kinerja bisnis debitur untuk melunasi hutangnya, capital (modal) yaitu penilaian kemampuan keuangan debitur yang mempunyai korelasi langsung dengan tingkat kemampuan bayar kreditur, condition of economy (kondisi ekonomi) yaitu analisis terhadap kondisi perekonomian debitur secara mikro maupun makro dan collateral (agunan) yaitu harta kekayaan debitur sebagai jaminan bagi pelunasan hutangnya jika kredit dalam keadaan macet. Banyak kredit bank yang bermasalah disebabkan karena berbagai alasan misalnya: usaha yang dibiayai dengan kredit mengalami kebangkrutan atau merosot omset penjualannya. Krisis ekonomi, kalah bersaing ataupun kesengajaan debitur melakukan penyimpangan dalam penggunaan kredit seperti untuk membiayai usaha yang tidak jelas masa depannya yang mengakibatkan sumber pendapatan usaha tidak mampu untuk mengembangkan usahanya sehingga mematikan usaha debitur itu sendiri. Adanya kredit bank yang bermasalah mengakibatkan bank tersebut menghadapi resiko usaha bank jenis resiko kredit (default risk) yaitu resiko akibat ketidakmampuan debitur mengembalikan pinjaman yang diterimanya dari bank beserta bunganya sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan.“Kredit bermasalah selalu ada dalam kegiatan perkreditan bank, karena bank tidak mungkin menghindari adanya kredit bermasalah, bank harus berusaha menekan seminimal mungkin besarnya kredit bermasalah agar tidak melebihi ketentuan Bank Indonesia sebagai pengawas perbankan”.6 6 Sutarno. (2005). Aspek-aspek Hukum Perkreditan pada Bank. Alfabeta. Jakarta. Hal. 263. 6 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 Penyelesaian kredit bermasalah melalui jalur non litigasi adalah penyelesaian yang saling menguntungkan (win-win solution). Langkahlangkah untuk mencapai penyelesaian kredit bermasalah tersebut dengan cara yang saling menguntungkan demikian dapat dicapai melalui cara, konsultasi, negoisasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.7 Penyelesaian kredit bermasalah melalui jalur non litigasi dilakukan oleh bank dengan harapan debitur dapat kembali melakukan pembayaran kreditnya sebagaimana mestinya baik melalui cara rescheduling, reconditioning ataupun restructuring yang dalam istilah perbankan lebih dikenal dengan sebutan 3 R. Secara administratif, kredit yang diselesaikan melalui jalur non litigasi adalah kredit yang semula tergolong kurang lancar, diragukan atau macet yang kemudian diusahakan untuk diperbaiki sehingga mempunyai kolekbilitas lancar. Tindakan penyelesaian kredit bermasalah apat ditempuh dengan upaya: 1. Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan syarat kredit yang hanya menyangkut jadwal pembayaran dan atau jangka waktu termasuk masa tenggang, baik yang meliputi perubahan besarnya atau tidaknya angsuran. Secara khusus rescheduling bertujuan untuk: Debitur dapat menyusun dana langsung cash flow secara lebih pasti. Memastikan pembayaran yang lebih tepat. Memungkinkan debitur untuk mengatur pembayaran kepada pihak lain selain bank. 2. Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau seluruh syaratsyarat kredit yang tidak terbatas pada perubahan jadwal pembayaran, jangka waktu dan atau persyaratan lainnya sepanjang tidak menyangkut perubahan maksimun saldo kredit. Upaya penyelamatan kredit secara reconditioning bertujuan untuk: Menyempurnakan legal documentation. Menyesuaikan kemampuan membayar debitur dengan kondisi yang terjangkau (angsuran pokok, denda, 7 Muhammad, Djumhana. (2006). Hukum Perbankan di Indonesia. Citra Aditya Bakti. Bandung. Hal. 560. 7 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 bunga, penalti dan biaya-biaya lainnya). Memperkuat posisi bank 3. Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan syarat-syarat kredit yang menyangkut: Penambahan dana bank, Konversi seluruh atau sebagian tunggakan bunga menjadi pokok kredit baru, Konversi seluruh atau sebagian dari kredit menjadi penyertaan dalam perusahaan. Secara khusus restructuring bertujuan untuk: Memberikan kesempatan kepada debitur untuk berusaha kembali melalui penambahan dana oleh bank, jika permasalahan yang dihadapi oleh debitur adalah berkaitan dengan masalah kesulitan dana. Memperbaiki kolektabilitas pinjaman debitur melalui tunggakan bunga, denda, penalti ataupun biaya-biaya lainnya. Memperkecil tindakan penyelamatan atas kredit dengan kolektabilitas pinjaman kurang lancar, diragukan dan macet. Seluruhnya harus atas persetujuan komite kredit sub komite kredit Pemenuhan prestasi merupakan hakekat dari perikatan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1234 KUH Perdata yang berbunyi: ”Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.” Debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya untuk berprestasi kepada kreditur dapat disebabkan dua kemungkinan alasan, yaitu pertama, karena kesalahan debitur baik dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban maupun karena kelalaian. Kedua, karena keadaan memaksa di luar kemampuan debitur, debitur tidak bersalah. Dalam hal debitur tak dapat memenuhi prestasi dan ada unsur salah pada dirinya, maka dapat dikatakan debitur dalam keadaan wanprestasi. Hak dan kewajiban masing-masing pihak yang telah disebutkan di atas apabila dihubungkan dengan Pasal 1234 KUH Perdata, jika para pihak tidak berprestasi sebagaimana mestinya dan kesemuanya itu dapat dipersalahkan kepadanya, maka pihak yang tidak melaksanakan kewajiban dikatakan dalam wanprestasi. 8 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 Wujud wanprestasi dapat berupa empat macam yaitu:8 1. Tidak melaksanakan apa yang disanggupi akan dilakukannya; 2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan; 3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat 4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. Menurut Subekti bentuk wanprestasi yang dilakukan oleh debitur salah satunya: tidak melakukan apa yang disanggupi terhadap apa yang dilakukannya maksudnya yaitu apabila debitur tidak memenuhi syarat-syarat efektif penarikan kredit sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Bentuk wanprestasi yang dapat dilakukan di PT. BPR Hasa Mitra dapat berupa tidak melaksanakan apa yang dijanjikannya yaitu apabila debitur telah memenuhi syarat-syarat efektif penarikan kredit yang ditentukan, tetapi PT. BPR Hasa Mitra tidak jadi merealisasikan kredit. Berkaitan dengan bentuk wanprestasi maka akibat hukum wanprestasi seorang debitur menurut Subekti ada empat macam:9 1. Membayar kerugian yang diderita kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti rugi; 2. Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian; 3. Peralihan resiko; 4. Pembayaran biaya perkara, kalau sampai diperkarakan didepan hakim. Kelalaian debitur dalam memenuhi kewajibannya tersebut sangat merugikan pihak bank sebagai krediturnya. Keadaan debitur tidak dapat melunasi kreditnya sesuai dengan yang diperjanjikan dapat disebut kredit macet. Dalam praktiknya kemacetan suatu kredit disebabkan oleh dua unsur sebagai berikut:10 8 Subekti. (2007). Hukum Perjanjian, PT. Intermassa. Jakarta. Hal.45. Ibid, Hal.45. 10 Khairil Anwar S.E, Wawancara, Kepala Bagian Kredit PT. BPR Hasa Mitra 9 9 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 1. Dari Pihak Perbankan Dari pihak bank dapat disebabkan oleh hal-hal tersebut di bawah ini yaitu: a. Dalam melakukan analisis, pihak analis kurang teliti, sehingga apa yang seharusnya terjadi tidak diprediksi sebelumnya atau salah dalam melakukan perhitungan. b. Petugas bank terlalu yakin akan kemauan dan kemampuan nasabah c. Petugas tidak memilik informasi yang memadai tentang track record nasabah, khususnya karakter nasabah d. Kebijakan pimpinan yang memberikan kredit kepada nasabah yang masih ada hubungan teman dekat atau keluarga, dapat besar kemungkinan terjadi kredit macet. 2. Dari Pihak Nasabah (Debitur) Kelemahan dari sisi nasabah (debitur) disebabkan oleh hal-hal tersebut di bawah ini yaitu : a. Ketidakmampuan nasabah dalam mengelola usahanya b. Keberadaan nasabah tidak diketahui (telah pindah alamat rumah/lokasi usaha) c. Kredit bank tidak digunakan untuk modal kerja usaha, sesuai permohonan kredit tetapi untuk membeli sebidang tanah. d. Pembiayaan yang dicairkan di tujukan untuk usaha yang sudah berjalan, namun belakangan hal itu digunakan untuk membuka usaha baru. e. Usaha yang dibiayai dengan kredit relatif baru, belum memberikan penghasilan yang memadai. f. Nasabah mengalami kegagalan karena beralih usaha yang belum pernah dilakukan. g. Nasabah tidak berdaya terhadap persaingan usaha yang semakin ketat. h. Usaha menurun atau bangkrut i. Memiliki hutang disana-sini (BPR, bank umum, koperasi, pegadaian, dsb). Pelaksanaan Penyelesaian Kredit Macet Pada PT. BPR Hasa Mitra Secara Non Litigasi 10 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 Kredit bermasalah selalu ada dalam kegiatan perkreditan bank, karena bank tidak mungkin menghindarkan adanya kredit bermasalah. Bank hanya berusaha menekan seminimal mungkin besarnya kredit bermasalah. Pada asasnya, kasus kredit bermasalah ini adalah persoalan perdata menurut terminologi hukum perdata, hubungan antara debitur (bank) selaku pemberi kredit merupakan hubungan utang piutang. Hubungan yang bersangkutan lahir dari perjanjian. Pihak debitur berjanji untuk mengembalikan pinjaman beserta biaya dan bunga, dan pihak kreditur memberikan kreditnya. Penyelesaian kredit bermasalah yang dilakukan oleh PT. BPR Hasa Mitra, tidak dilakukan secara sepihak melainkan dilakukan secara bertahap dengan memberikan penilaian kualitas kreditnya, hal ini dimaksudkan agar pihak debitur dapat mengatur kembali kinerja usahanya dan dapat memperkirakan hal-hal yang akan terjadi di kemudian hari. Penyelesaian kredit bermasalah yang dilakukan oleh PT. BPR Hasa Mitra, secara garis besar dapat ditempuh melalui 2 cara yaitu: 1. Melalui Jalur Litigasi Penyelesaian kredit bermasalah melalui jalur litigasi merupakan upaya terakhir dari bank untuk melakukan upaya pengembalian kredit debitur baik dengan melakukan upaya eksekusi agunan kredit, pengambil-alihan agunan kredit oleh bank, penjualan agunan secara sukarela, atau dengan upaya pengajuan gugatan secara perdata atas pelunasan kewajiban hutang debitur. Dalam hal penyelesaian kredit bermasalah melalui jalur non litigasi sudah tidak dapat lagi digunakan, maka bank dapat melakukan penyelesaian kredit melalui jalur litigasi. Hal ini jika bank telah memutuskan diri untuk tidak lagi membina hubungan usaha dengan debitur, sehingga mata rantai hubungan usaha antara bank dengan debitur telah terputus. Upaya penyelesaian kredit oleh bank melalui pengadilan dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu: a. Bank mengajukan gugatan kepada debitur dan atau penjamin karena 11 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 telah melakukan wanprestasi atas kredit yang telah diberikan oleh bank. b. Bank mengajukan eksekusi terhadap agunan kredit debitur yang telah diikat secara sempurna. 2. Melalui Jalur Non litigasi Penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa / Alternative Dispute Resolution (ADR) atau disebut non litigasi adalah penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan kesepakatan para pihak dengan mengesampingkan penyelesaian sengketa melalui proses litigasi di pengadilan.11 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 penyelesaiaan sengketa di luar pengadilan ini dapat dilakukan dengan cara : 1. Konsultasi adalah suatu tindakan yang bersifat “personal”antara suatu pihak tertentu (klien) dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan, dimana pihak konsultan memberikan pendapatnya kepada klien sesuai dengan keperluan dan kebutuhan kliennya. 2. Negosiasi adalah suatu proses tawar-menawar atau upaya untuk mencapai kesepakatan dengan pihak lain melalui proses interaksi, komunikasi yang dinamis dengan tujuan untuk mendapatkan penyelesaian atau jalan keluar atas suatu masalaah yang sedang berlangsung.12 Negosiasi menjadi suatu metode alternatif penyelesaian sengketa yang sangat tepat, sederhana, dan menguntungkan kedua belah pihak (win-win solution).13 Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. 3. Konsiliasi adalah penengah akan bertindak menjadi konsiliator dengan kesepakatan para pihak dengan mengusahakan solusi yang dapat diterima. 11 Frans, Hendra, Winarta. (2012). Hukum Penyelesaian Sengketa, Edisi. 2, Sinar Grafika, Jakarta. Hal. 15. 12 Ibid. Hal.. 24 13 Ibid. Hal. 26 12 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 4. Penilaian ahli adalah pendapat para ahli untuk suatu hal yang bersifat teknis dan sesuai dengan bidang keahliannya. Penyelesaian kredit bermasalah melalui jalur non litigasi adalah upaya penanganan kredit bermasalah yang sifatnya sementara karena manakala upaya ini gagal maka upaya terakhir yang ditempuh adalah upaya penyelesaian melalui jalur litigasi. Penyelesaian kredit bermasalah melalui jalur non litigasi dilakukan oleh bank dengan harapan debitur dapat kembali melakukan pembayaran kreditnya sebagaimana mestinya. Secara administratif, kredit yang diselesaikan melalui jalur non litigasi adalah kredit yang semula tergolong kurang lancar, diragukan atau macet yang kemudian diusahakan untuk diperbaiki sehingga mempunyai kolekbilitas lancar. Tindakan penyelesaian kredit bermasalah dapat ditempuh dengan upaya melakukan negosiasi. Negosiasi dapat dilakukan terhadap debitur yang beritikad baik untuk menyelesaikan kewajibannya dan cara yang di tempuh dalam penyelesaian ini dianggap lebih baik dibandingkan alternatif penyelesaian melalui jalur hukum. Ada beberapa macam perwujudan penyelesaian melalui negosiasi, diantaranya adalah: 1. Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan syarat kredit yang menyangkut jadwal pembayaran atau jangka waktunya, termasuk masa tenggang, baik yang meliputi perubahan besarnya atau tidaknya angsuran. Secara khusus rescheduling bertujuan untuk: a. Debitur dapat menyusun dana langsung “cash flow” secara lebih pasti. b. Memastikan pembayaran yang lebih tepat. c. Memungkinkan debitur untuk mengatur pembayaran kepada pihak lain selain bank. 2. Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau seluruh syarat-syarat kredit yang tidak terbatas pada perubahan jadwal pembayaran, jangka waktu dan atau persyaratan lainnya sepanjang tidak menyangkut perubahan maksimum saldo kredit. Upaya penyelamatan 13 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 secara reconditioning bertujuan untuk: a. Menyempurnakan legal documentation. b. Menyesuaikan kemampuan membayar debitur dengan kondisi yang terjangkau oleh debitur (angsuran pokok, denda, penalti dan biayabiaya lainnya). c. Memperkuat posisi bank. 3. Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan syarat-syarat kredit menyangkut: a. Penambahan dana bank. b. Konversi seluruh atau sebagian tunggakan bunga menjadi pokok kredit baru. c. Konversi seluruh atau sebagian dari kredit menjadi penyertaan dalam perusahaan. Secara khusus restructuring bertujuan untuk: a. Memberikan kesempatan kepada debitur untuk berusaha kembali melalui penambahan dana oleh bank, jika permasalahan yang dihadapi oleh debitur adalah berkaitan dengan masalah kesulitan dana. b. Memperbaiki kollekbilitas pinjaman debitur melalui tunggakan bunga, denda, penalti ataupun biaya-biaya lainnya. c. Memperkecil tindakan penyelamatan atas kredit dengan kollekbilitas pinjaman kurang lancar, diragukan dan macet. Seluruhnya harus atas persetujuan komite kredit/sub komite kredit penanganan kredit bermasalah sesuai batas wewenang masing-masing.13 Adapun salah satu contoh kredit bermasalah yang telah ditangani oleh Devisi Kredit PT. BPR Hasa Mitra yaitu sebagai berikut:14 Nasabah A, nasabah perorangan yang memiliki usaha grosir makanan ringan, dengan nominal pinjaman kredit Rp. 70.000.000.- (tujuh puluh juta rupiah). Mengalami kegagalan bayar karena nasabah A memberikan kepercayaan kepada adik ipar A 13 14 Khairil Anwar, Wawancara, Kepala Bagian Kredit PT. BPR Hasa Mitra Wawancara, Kepala Bagian Kredit PT. BPR Hasa Mitra 14 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 untuk mengelola usaha tersebut, adik ipar A ternyata telah mengambil omset/pendapatan dari usaha tersebut sebesar Rp. 1.000.000.-/hari. Sehingga nasabah A mengalami kebangkrutan. Nasabah A juga mempunyai tunggakan dan pinjaman di bank lain dan nama nasabah A sudah masuk dalam daftar hitam nasional Bank Indonesia sehingga nasabah A semakin sulit untuk menyelesaikan tunggakan kredit di beberapa bank. Langkah yang ditempuh oleh pihak bank adalah dengan memberikan usulan kepada nasabah untuk membuka rekening baru dan pinjaman di bank umum atas nama orang lain, dengan tetap melakukan akad perjanjian di bawah tangan bahwa pinjaman tersebut hanya untuk pelunasan hutang. Selama ini dalam penyelesaian kredit bermasalah yang dilakukan oleh PT. BPR Hasa Mitra lebih mengutamakan dengan jalan musyawarah atau negosiasi (langkah persuasif) dengan pihak debitur karena pihak bank berpendapat penyelesaian dengan jalan musyawarah atau negosiasi adalah cara yang paling baik dan aman bagi pihak bank maupun debitur agar tetap terjaga komunikasi dan hubungan baik antara bank dengan debitur.15 Dengan demikian penyelesaian melalui jalur non litigasi diharapkan ada jalan keluar yang terbaik antara debitur dengan kreditur. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan pemaparan dan pembahasan pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan beberapa hal yang sekiranya dapat menjawab permasalahan dalam penelitian ini, antara lain faktor penyebab terjadinya kredit macet pada PT. BPR Hasa Mitra disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor dari pihak bank berupa analisis yang kurang cermat, petugas tidak memiliki informasi yang memadai tentang track record nasabah, dan kebijakan pimpinan, kemudian faktor dari 15 Ibid. 15 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 pihak nasabah yaitu nasabah tidak berdaya terhadap persaingan yang ketat, usaha menurun atau bangkrut, dan memiliki hutang disana-sini. Pelaksanaan penyelesaian kredit macet secara non litigasi dapat ditempuh dengan upaya negosiasi yang diwujudkan melalui penjadwalan kembali (rescheduling), persyaratan kembali (reconditioning), dan penataan kembali (restrukturing). Kredit bermasalah kebanyakan berhubungan dengan watak atau kepribadian debitur yang tidak baik. Sebelum memberikan pinjaman pihak bank perlu mengetahui dan memahami nilai-nilai lokal yang hidup di tengah-tengah masyarakat dimana debitur tersebut berasal. Selain itu pihak bank harus melakukan analisis yang lebih mendalam mengenai keadaan debitur yang mengalami kemunduran agar kredit debitur tidak menjadi macet. Penyelesaian melalui jalur non litigasi bagi penyelesaian kredit macet merupakan jalan yang terbaik bagi kedua belah pihak, mengingat kedua belah pihak sama-sama mempunyai penyelesaian yang terbaik dan apabila ada kerugian yang ada dapat ditekan sekecil mungkin. DAFTAR PUSTAKA Buku, Jurnal Dan Makalah Abdulkadir, Muhammad. dan Murniati, Rilda. (2005). Lembaga Keuangan dan Pembiayaan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung Djumhana, Muhammad. (2006). Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung Fuady, Munir. (2006). Hukum Perbankn Modern, Bandung, PT. Cita Aditya Bakti, Bandung Kasmir, (2007), Bank & Lembaga Keuangan Lainnya, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Sutarno, (2009). Aspek-aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Afabeta, Bandung Subekti, (2007), Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta 16 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 Winarta, Frans, Hendra. (2012). Hukum Penyelesaian Sengketa, Edisi .2, Sinar Grafika, Jakarta Peraturan Perundang-Undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan. 17 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 ANALISIS KINERJA KARYAWAN DARI DAMPAK PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU (PKWT) TERHADAP KEPUASAN PERUSAHAAN DI PT OSI ELECTRONICS DI KOTA BATAM PERIODE TAHUN 2013 Irene Svinarky1 ABSTRAK Adanya tenaga kerja di Indonesia juga merupakan salah satu faktor untuk mencapai keberhasilan pembangunan Nasional. Sebuah perusahaan tidak cukup hanya dilihat dari tingkat kualitas perusahaannya saja tetapi juga dilihat dengan kualitas tenaga kerja itu sendiri. Menurut penulis masalah akan timbul apabila tenaga kerja lebih banyak dari pada lapangan kerja itu sendiri karena nantinya akan banyaknya pengangguran yang akan menimbulkan efek negatif sehingga memberatkan perekonomian Negara. Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka penulis tertarik menulis penelitian ini dengan judul: “Analisis Kinerja Karyawan Dari Dampak Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Terhadap Kepuasan Perusahaan di PT Osi Electronics Di Kota Batam Periode Tahun 2013. Adapun rumusan masalah yang penulis angkat dalam penelitian ini adalah Seberapa besar pengaruh kinerja karyawan dari dampak perjanjian kerja waktu tertentu terhadap kepuasan perusahaan PT Osi Electronics Di Kota Batam Periode tahun 2013 terhadap hasil kerja karyawan. Penulis memakai jenis penelitian verifikatif dengan menggunakan jenis data data primer dan data sekunder. Penulis juga memfokuskan objek penelitiannya di PT. Osi Electronics di Kota Batam. Perusahaan ini merupakan perusahaan yang Fasilitas PMA (Penanaman Modal Asing), berkedudukan di Kepulauan Riau Batam, beralamat di Kawasan Cammo Industrial Park Blok F no 2b, Batam. Di dalam penelitian ini ingin menguji pengaruh kinerja karyawan dari 1 Dosen Program Studi Ilmu Hukum Universitas Putera Batam 18 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 dampak perjanjian kerja waktu tertentu terhadap kepuasan perusahaan di PT.Osi Electronics. Kata Kunci: Kinerja Karyawan PKWT Dan Kepuasan Perusahaan PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Jumlah penduduk yang meningkat setiap tahun merupakan bagian yang mempengaruhi masalah ketenagakerjaan di Indonesia. Di Indonesia ketenagakerjaan juga merupakan salah satu faktor untuk mencapai keberhasilan pembangunan Nasional, karena sebuah perusahaan tidak cukup hanya dilihat dari tingkat kualitas perusahaannya saja tetapi juga dilihat dengan kualitas tenaga kerja itu sendiri. Menurut penulis masalah yang akan ditimbulkan apabila tenaga kerja lebih banyak dari pada lapangan kerja itu sendiri yaitu akan banyak pengangguran sehingga akan efek negatif sehingga memberatkan perekonomian negara. Setiap orang mempunyai tujuan yang ingin mereka capai dalam mencari pekerjaan dimana hal yang ingin dicapai tersebut diantaranya untuk memenuhi kebutuhan dan adanya keinginan untuk diakui atas hasil kerja mereka atau suatu bentuk kinerja yang mereka bisa berikan bagi perusahaan. Tenaga kerja (buruh/pekerja) merupakan bagian utama yang memberikan kontribusi terhadap jalannya aktivitas perekonomian yang ada di Indonesia, terutama dalam proses penciptaan output (produksi) yang dilihat dari produk dihasilkannya yang didistribusikan ke masyarakat. Dalam proses produksi maupun disrtibusi hal ini tidak terlepas dari kinerja para buruh/pekerja. Kinerja yang dilakukan oleh para buruh/pekerja dapat diketahui dengan cara melihat bagaimana hasil produksi maupun distribusi itu berlangsung. Kinerja para pekerja dapat dikatakan baik salah satunya dipengaruhi oleh besarnya motivasi kerja yang dimiliki para buruh/pekerja 19 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 tersebut. Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya kinerja buruh/pekerja dapat dilihat dari pemberian upah yang diberikan oleh pihak manajemen perusahaan yang tidak seimbang dengan kebutuhan hidup layak dan juga atas apa yang telah dikerjakan buruh tersebut. Sesuai dengan asas keadilan yang artinya adil bagi buruh/pekerja atas apa yang dikerjakannya serta mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak bagi pekerja/buruh tersebut. Besarnya upah yang diberikan kepada buruh/pekerja mencerminkan nilai karya mereka diantara apa yang telah mereka kerjakan. Perjanjian kerja merupakan awal lahirnya perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syaratsyarat kerja, hak, dan kewajiban para pekerja. Perkembangan dalam perjanjian yang dilakukan antara pekerja dengan pengusaha di dunia usaha sangat bergantung kepada adanya hubungan industrial yang baik, karena semakin baik hubungan industrial maka biasanya juga berdampak dengan semakin baiknya perkembangan dunia usaha. Pertumbuhan ekonomi yang pesat pada era global dan teknologi berdampak dengan timbulnya persaingan usaha yang begitu ketat terhadap bidang ketenagakerjaan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan perusahaan untuk mendapatkan tenaga kerja yang berkualitas dan produktif adalah dengan menggunakan status karyawan kontrak bagi karyawan perusahaan. Di Indonesia, pemberian izin mengenai penggunaan karyawan kontrak telah diatur dalam Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Alasan perusahaan menggunakan sistem pekerja kontrak adalah untuk melakukan efisiensi biaya (cost of production), dimana dengan sistem ini perusahaan dapat memperkecil pengeluaran dalam membiayai Sumber Daya Manusia (SDM) yang bekerja di perusahaan yang bersangkutan. Selain itu, dengan adanya sistem tenaga kerja kontrak, perusahaan juga akan lebih bisa berkonsentrasi kepada aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan tujuan inti perusahaan. Untuk tenaga kerja kontrak keadaan ini tidak terlalu menguntungkan bahkan sering dianggap merugikan. 20 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 Di dalam perusahaan di luar dari karyawan tetap dimana karyawan tersebut dikontrak berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) menyebabkan ketidaknyamanan kerja. Rumusan Masalah Adapun permasalah yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah sebagai berikut: Bagaimanakah keterkaitan kinerja karyawan perjanjian kerja waktu tertentu terhadap kepuasan perusahaan? TINJAUAN PUSTAKA Pada dasarnya pengertian kinerja dapat diartikan berbagai macam ragam. Ada beberapa pakar menganalisa menurut pandangannya kinerja tersebut sebagai hasil dari suatu proses penyelesaian pekerjaan, dilain hal sebagian pakar lain juga memahami kinerja sebagai perilaku yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan. Untuk mendapatkan kejelasan mengenai kinerja maka akan diuraikan pengertian mengenai kinerja sebagai berikut: Menurut Ilgen and Schneider2 : “Performance is what the person or system does”. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Mohrman et al 3 sebagai berikut: “A performance consists of a performer engaging in behavior in a situation to achieve results”. Berdasarkan pendapat di atas dapat dilihat bahwa kinerja sebagai suatu proses sesuatu hal dilakukan, jadi pengukuran kinerja dilihat dari baik-tidaknya aktivitas tertentu untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Pendapat yang lain juga dikemukakan oleh Brumbrach 4 sebagai berikut: 2 Richard, Williams, R. (2002), Managing Employee Performance: Design and Implementationin Organizations. Thomson Learning. London. Hal. 94. 3 Loc. Cit. 94 4 M, Armstrong and A, Baron. (1998). Performance Management – The New Realities. Institute of Personnel and Development. London. Hal. 16. 21 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 "Performance means behaviours and results. Behaviours emanate from the performer and transform performance from abstraction to action. Not just the instruments for results, behaviours are also outcomes in their own right - the product of mental and physical effort applied to tasks - and can be judged apart from results." Brumbrach, selain menekankan hasil, juga menambahkan perilaku sebagai bagian dari kinerja. Menurut Brumbach, perilaku penting karena akan berpengaruh terhadap hasil kerja seorang pegawai. Beberapa pendapat ahli di atas memandang tentang kinerja dari segi perspektif hasil, proses, atau perilaku yang mengarah pada pencapaian tujuan. Oleh karena itu, tugas dalam konteks penilaian kinerja, tugas pertama pimpinan organisasi adalah menentukan perspektif kinerja yang mana yang akan digunakan dalam memaknai kinerja dalam organisasi yang dipimpinnya. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Kinerja tidak terjadi dengan sendirinya. Dengan kata lain, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja. Adapun faktor-faktor tersebut menurut5 adalah sebagai berikut: 1. Faktor individu (personal factors). Faktor individu berkaitan dengan keahlian, motivasi, komitmen, dll. 2. Faktor kepemimpinan (leadership factors). Faktor kepemimpinan berkaitan dengan kualitas dukungan dan pengarahan yang diberikan oleh pimpinan, manajer, atau ketua kelompok kerja. 3. Faktor kelompok/rekan kerja (team factors). Faktor kelompok/rekan kerja berkaitan dengan kualitas dukungan yang diberikan oleh rekan kerja. 5 Ibid. M, Armstrong. and A, Baron. 17. 22 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 4. Faktor sistem (system factors). Faktor sistem berkaitan dengan sistem/metode kerja yang ada dan fasilitas yang disediakan oleh organisasi. 5. Faktor situasi (contextual/situational factors). Faktor situasi berkaitan dengan tekanan dan perubahan lingkungan, baik lingkungan internal maupun eksternal. Di dalam uraian yang disampaikan oleh Armstrong di atas, terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kinerja seorang pegawai. Faktor-faktor ini perlu mendapat perhatian serius dari pimpinan organisasi dimana karyawan diharapkan dapat memberikan kontribusi yang optimal kepada perusahaan. Penilaian Kinerja Setiap organisasi pada dasarnya telah mengidentifikasi bahwa perencanaan prestasi dan terciptanya suatu prestasi organisasi mempunyai kaitan yang sangat erat dengan prestasi individual para pegawai. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa prestasi kerja organisasi merupakan hasil dari kerjasama antara pegawai yang bersangkutan dengan organisasi dimana pegawai tersebut bekerja. Untuk mencapai prestasi kerja yang diinginkan, maka tujuan yang diinginkan, standar kerja yang dinginkan, sumber daya pendukung, pengarahan, dan dukungan dari manajer lini pegawai yang bersangkutan menjadi sangat vital. Selain itu sisi motivasi menjadi aspek yang terlibat dalam peningkatan prestasi kerja. Mendefinisikan penilaian prestasi kerja sebagai: “Suatu sistem yang bersifat formal yang dilakukan secara periodik untuk mereview dan mengevaluasi kinerja karyawan”.6 Sementara itu Levinson seperti dikutip oleh Marwansyah dan Mukaram mengatakan bahwa “Penilaian unjuk kerja 6 R.W, Mondy. and R.M, Noe. (1990). Human Resource Management 4th Edition. Allynand Bacon. USA. Hal . 382. 23 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 adalah uraian sistematik tentang kekuatan/kelebihan dan kelemahan yang berkaitan dengan pekerjaan seseorang atau sebuah kelompok”. Tujuan umum penilaian kinerja adalah mengevaluasi dan memberikan umpan balik konstruktif kepada para pegawai yang pada akhirnya mencapai efektivitas organisasi. METODOLOGI PENELITIAN Jenis Penelitian Jenis penelitian yang penulis uraikan ini adalah deskriptif kualitatif. Dalam penyusunan karya ilmiah ini peneliti memerlukan teori dan data. Teori yang dimaksud dapat digunakan sebagai cara untuk memecahkan suatu masalah. Selain itu teori digunakan sebagai cara untuk menganalisis masalah berdasarkan data yang telah dikumpulkan dalam melakukan penelitian. Berdasarkan teori dan data yang peneliti peroleh untuk menyelesaikan karya ilmiah ini, maka jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Data primer yaitu data yang diperoleh dengan mengadakan observasi atau pengukuran yang dinyatakan dalam bentuk angka – angka. 2. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari perusahaan dan literatur atau sumber lain yang berhubungan dengan penelitian ini. Teknik Penarikan Sampel Menurut 7 Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Apabila populasi besar, tetapi peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi, misalnya karena keterbatasan dana, tenaga dan waktu, maka peneliti dapat menggunakan 7 Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Alfabeta. Bandung. Hal. 116. 24 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 sampel yang diambil dari populasi itu. Kesimpulannya akan dapat dilakukan untuk populasi akan diambil sampel dari populasi harus benar-benar representatif (mewakili). Penarikan sampel yang dilakukan dalam penelitian ini, menggunakan metode probability sampling dengan teknik simple random sampling. Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Sampling adalah suatu proses memilih sebagian dari unsur populasi yang jumlahnya mencakupi secara statistik sehingga dengan mempelajari sampel serta memahami karakteristik-karakteristiknya (ciri-cirinya) akan diketahui informasi tentang keadaan populasi. Dalam penelitian ini, karena jumlah populasi melebihi 100 orang dari jumlah populasi 980 karyawan, maka penarikan sampel dilakukan secara acak (Random Sampling). Dengan teknik pengambilan sampel menggunakan rumus dari Taro Yamane Tau slovin sebagai berikut: Rumus 3.1. Rumus Slovin Keterangan : n = Jumlah sampel N = Jumlah populasi α = level signifikansi yang diinginkan, yang umumnya 0,05 untuk non eksakta atau 0,01 untuk eksakta. Berdasarkan rumus tersebut maka diperoleh jumlah sampel sebagai berikut: n= 980 1+980(0,1)2 n = 90, 74 Di penelitian ini, peneliti mengambil sampel sebanyak 100 responden untuk mempermudah meneliti. Jumlah Keabsahan suatu penelitian sangat ditentukan oleh alat mengukur data yang mewakili variabel yang diteliti. Tingkat kualitas data pada penelitian ini diukur dengan melakukan uji 25 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 validitas dan realibilitas data. Dalam skala Likert individu yang bersangkutan dinilai dengan menambahkan bobot dari jawaban yang dipilih. Skala yang digunakan adalah skala ordinal yang membedakan kategori berdasarkan jenis atau macamnya. Kuisioner dapat berupa pertanyaan/ pernyataan tertutup atau terbuka, dapat diberikan kepada responden secara langsung atau dikirim melalui Pos, atau Internet8. Pada penelitian ini digunakan kuesioner dengan skala Likert dimana pernyataan-pernyataan dalam kuesioner dibuat dengan nilai 1 sampai dengan 5 untuk mewakili pendapat responden seperti sangat tidak setuju sampai dengan sangat setuju, tidak setuju sampai dengan setuju, dan sebagainya. Tabel 3.1 Skala Likert Pada Teknik Pengumpulan Data Skala Likert Kode Nilai Sangat Tidak Setuju STS 1 Tidak Setuju TS 2 Cukup C 3 Setuju S 4 Sangat Setuju SS 5 Untuk pengujian Validitas dan Realibilitas data digunakan program SPSS versi 20. Uji Reliabilitas Reliabilitas secara umum dikatakan adanya konsistensi hasil pengukuran hal yang sama jika dilakukan dalam konteks waktu yang berbeda. Uji reliabilitas ini dilakukan dengan uji statistik Cronbach Alpha. Adapun rumus Cronbach Alpha adalah sebagai berikut: 8 Ibid. Sugiyono. 199. 26 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 Rumus 3.2 Cronbach Alpha Keterangan : ri = reliabilitas instrumen (koefisien alpha cronbach) k = banyaknya butir pertanyaan atau banyaknya soal i t 2 = jumlah varians butir 2 = varians total Penelitian ini menggunakan pengukuran one shot dengan bantuan SPSS 20 untuk mengukur Cronbach Alpha. Instrumen dapat dikatakan andal (reliabel) bila memiliki koefisien keandalan reliabilitas sebesar 0,6 atau lebih. Jika nilai koefisien reliabilitas lebih besar dari 0,6, maka hasil data hasil angket memiliki tingkat reliabilitas yang baik, atau dengan kata lain data hasil angket dapat dipercaya. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Keterkaitan Kinerja Karyawan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Terhadap Kepuasan Perusahaan Responden Berdasarkan Pendidikan Berdasarkan tingkat pendidikan dimana 84 responden (84%) dengan latar belakang pendidikan SMA, 1 responden (1%) dengan latar belakang pendidikan D1, 10 responden (10%) dengan latar belakang D3 dan 5 responden (5%) dengan latar belakang pendidikan S1. Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin dimana 76 responden (76%) adalah Perempuan dan 24 responden (24%) adalah Lakilaki. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pada penelitian ini dapat dikatakan responden perempuan lebih berperan dalam penelitian ini. 27 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 Responden Berdasarkan Umur Karekteristik responden berdasarkan status usia adalah, dimana usia dari 18-21 tahun sebanyak 61 orang (61%), usia dari 22-25 tahun sebanyak 28 orang (28%) dan usia dari 25-30 tahun sebanyak 11 orang (11%). Responden Berdasarkan Status Karekteristik responden berdasarkan status dimana 65 responden (65%) berstatus lajang dan 35 responden (35%) berstatus menikah. PEMBAHASAN Lokasi Penelitian bertempat di PT. Osi Electronics Jalan Cammo Industrial Park Blok F No B2 No 3A Batam Center, Kepulauan Riau. Ada hubungan (korelasi) antara Kinerja Karyawan Dari Dampak Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Terhadap Kepuasan Perusahaan. Korelasi yang dimaksudkan tersebut dapat dilihat dari hasil penelitian dan pengolahan data yang tidak dibahas secara detail di tulisan ini dimana Kinerja Karyawan Dari Dampak Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Periode 2013 di PT. Osi Electronics terdapat indikator bahwa kelompok/rekan kerja selalu memberikan motivasi dan kualitas dukungan. Motivasi yang diberikan rekan kerja terhadap sesama rekan dikantor tersebut ditunjukkan dari dukungan sesama pekerja serta atasan mereka, hal ini merupakan kekuatan bagi mereka dalam melakukan pekerjaan. Di dalam melakukan pekerjaan banyak sekali kesulitan yang pekerja hadapi, terutama bagi Karyawan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Dukungan dari perusahaan pun sangat dibutuhkan dalam peningkatan mutu pekerja, agar pekerjaan Karyawan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dapat memperbaiki kinerjanya. Adanya hubungan (korelasi) antara pengaruh perjanjian kerja waktu tertentu terhadap kinerja karyawan di PT. OSI Electronics Batam sangat besar. PT Osi Electronics banyak menggunakan pekerja Perjanjian Kerja Waktu Tertentu sebagai karyawannya. Perusahaan 28 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 merasa puas atas hasil kerja karyawannya tersebut. Meskipun karyawan itu masih dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, tetapi mereka juga mendapatkan fasilitas yang memadai. Walaupun mendapatkan fasilitas yang memadai, tetapi dapat ditemui juga beberapa perbedaan fasilitas yang diberikan perusahaan terhadap pekerja PKWT dengan pekerja PKWTT. Hasil pekerjaan yang dilakukan pekerja PKWT juga memberikan kepuasan bagi perusahaan hal ini dapat dilihat karena sampai sekarang pekerja PKWT masih banyak digunakan di PT Osi Electronik. Selain itu pekerja PKWT juga membantu memperkecil pengeluaran perusahaan, karena perusahaan juga merasa puas atas hasil kerja mereka yang tidak jauh beda dengan pekerja PKWTT. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Penelitian ingin menguji pengaruh kinerja karyawan dari dampak perjanjian kerja waktu tertentu terhadap kepuasan perusahaan di PT. Osi Electronics. Adapun kesimpulan terhadap penelitian ini adalah: Kinerja Karyawan Dari Dampak Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Periode 2013 di PT. Osi Electronics terdapat indikator bahwa kelompok/rekan kerja selalu memberikan motivasi dan kualitas dukungan dapat dilihat pada kuisioner butir ke 3 yang belum dapat diperlihatkan di jurnal ini, dimana yang menjawab sangat setuju adalah sebanyak 60 orang (60%). Dukungan perusahaan tersebut diberikan agar pekerjaan Karyawan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dapat memperbaiki kinerjanya hal ini dilihat dari jawaban quisioner yang diisi oleh karyawan PKWT. Apabila setiap devisi yang mempekerjakan pekerja PKWT juga melibatkan mereka seperti pekerja PKWT, maka pekerja tersebut akan termotivasi melakukan pekerjaannya dengan baik, karena mereka merasa diandalkan kemampuannya dalam pekerjaan tersebut. Pada indikator Y2 yang menjadi Faktor besar yang 29 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 mempengaruhi kepuasan perusahaan PT Osi Electronics Di Kota Batam Periode tahun 2013 terhadap hasil kerja karyawan terdapat pada indikator adalah semangat kerja karyawan perjanjian kerja waktu tertentu dalam memberikan kualitas kepada perusahaan. Hal ini dilihat dari hasil jawaban pekerja yang mengisi quisioner menjawab sangat setuju sebanyak 35 orang. Saran Berdasarkan kesimpulan di atas diberikan saran kepada PT. Osi Electronics Batam dan kalangan akademisi sebagai berikut: Untuk meningkatkan Kinerja Karyawan Dari Dampak Perjanjian Kerja Waktu Tertentu setelah penulis melakukan penelitian di Periode 2013 di PT. Osi Electronics, maka tidak hanya sesama kelompok/rekan kerja saja yang memberikan motivasi dan kualitas dukungan terhadap karyawan tetapi seharusnya perusahaan juga memberikan dukungan kepada karyawan agar pekerja Perjanjian Kerja Waktu Tertentu menjadi lebih baik dalam melakukan pekerjaan. Dukungan dalam melakukan suatu pekerjaan sangatlah dibutuhkan oleh karyawan sehingga kinerja karyawan terhadap kepuasan perusahaan dapat maximal dilakukan untuk memajukan perusahaan tersebut. DAFTAR PUSTAKA Buku, Jurnal Dan Makalah M, Armstrong and A, Baron. (1998). Performance Management – The New Realities. Institute of Personnel and Development. London. Richard, Williams R. (2002), Managing Employee Performance : Design and Implementationin Organizations. Thomson Learning.London. R.W, Mondy and R.M, Noe. (1990). Human Resource Management 4th Edition. Allynand Bacon. USA. Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, danR&D. Alfabeta. Bandung. 30 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 Zainal, Asikin. Dkk. (2010). Dasar-dasar Hukum Perburuhan. Penerbit PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Peraturan Perudang-Undangan Undang-Undang RI Nomor 13 Tahun 2003, tentang Ketenagakerjaan 31 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 ANALISIS PENERAPAN DELIK ADUAN DALAM UU HAK CIPTA UNTUK MENANGGULANGI TINDAK PIDANA HAK CIPTA DI INDONESIA Padrisan Jamba1 ABSTRAK Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat selalu diikuti dengan perkembangan kejahatan atau tindak pidana yang semakin maju. Hal ini ditandai dengan pesatnya perkembangan cara melakukan kejahatan (modus operandi) maupun alat yang digunakan. Perkembangan ilmu penggetahun dan teknologi telah merubah zaman sehingga berdampak pada perilaku setiap manusia dalam dunia bisnis, dimana saat ini banyak sekali hasil-karya orang lain yang diakui menjadi miliknya sendiri, tentu saja hal ini sangat bertentangan dengan aturan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Hak cipta sebagai suatu bagian dalam bidang HKI juga terkena imbas dari harmonisasi hukum ini, dalam praktiknya harmonisasi hak cipta yang telah dilakukan perubahan sebanyak 4 kali telah merubahparadigma dan pola pikir dari masalah publik menjadi masalah perdata, dimana sebelum UU Nomor 28 Tahun 2014 diberlakukan hak cipta merupakan delik biasa, akan tetapi setelah terjadinya perubahan ditandai dengan disahkannya UU Nomor 28 Tahun 2014 hak cipta merupakan delik aduan. Kata Kunci: Delik Aduan, Menanggulangi, Tindak Pidana, Hak Cipta 1 Dosen Program Studi Ilmu Hukum Universitas Putera Batam 32 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat selalu diikuti atau diiringi dengan perkembangan kejahatan atau tindak pidana yang semakin maju. Hal ini ditandai dengan pesatnya perkembangan cara melakukan kejahatan (modus operandi) maupun alat yang digunakan. Perkembangan ilmu penggetahun dan teknologi telah merubah zaman sehingga berdampak pada perilaku setiap manusia dalam dunia bisnis, dimana saat ini banyak sekali hasil-karya orang lain yang diakui menjadi miliknya sendiri, tentu saja hal ini sangat bertentangan dengan aturan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Permasalahan hak cipta yang sangat penting diperhatikan pada saat sekarang ini adalah hak atas ciptaan seseorang kurang mendapatkan perlindungan secara hukum. Adapun perubahan yang dapat dilihat seperti perubahan delik yang semulanya delik biasa menjadi delik aduan sehingga menimbulkan masalah baru dalam penegakan hukum dibidang hak cipta. Hak cipta sebagai suatu bagian dalam bidang HKI juga terkena imbas dari harmonisasi hukum ini. Dalam praktiknya harmonisasi hak cipta yang telah dilakukan perubahan sebanyak 4 kali telah merubah paradigma dan pola pikir dari masalah publik menjadi masalah perdata. Sebelum UU Nomor 28 Tahun 2014 diberlakukan hak cipta merupakan delik biasa, akan tetapi setelah terjadinya perubahan ditandai dengan disahkannya UU Nomor 28 Tahun 2014 hak cipta merupakan delik aduan. Di dalam Hak Milik Intelektual (Intellectual Property Rights/geistiges eigentum) dikenal beberapa jenis, yaitu hak cipta dan hak-hak berdampingan, hak milik perindustrian seperti paten, merek, rahasia dagang, desain industri dan desain tata letak sirkuit terpadu. Banyaknya jenis hak milik intelektual membuat peneliti ingin membahas tentang hak cipta. Hak cipta adalah satu-satunya rezim yang masuk dalam kategori jenis delik biasa sebelum dilakukan revisi terhadap 33 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 UU hak cipta sebelumnya, sedangkan rezim yang lain bersifat delik aduan. Kemajuan iptek turut memfasilitasi pelanggaran atau tindak pidana hak milik intelektual itu dengan berbagai cara seperti pembajakan buku, film dan rekaman lainnya melalui disket, CD, VCD, LD dan lain-lain cara atau yang dikenal dengan istilah “Multi Media” yang pada kenyataannya sangat sukar untuk dipantau. Celah-celah pelanggaran inilah yang seringkali dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang hendak merauk keuntungan besar dengan cara yang mudah dengan sedikit mengeluarkan biaya, tanpa memikirkan kerugian pihak lain, seperti si pencipta/si penemu dan Negara tentunya juga. Menurut uraian di atas menurut Penulis, ternyata dalam kenyataan, masih banyak pelanggaran delik hak cipta, terlebih lagi saat ini diklasifikasikan sebagai delik aduan seperti Hak Atas Kekayaan Intelektual yang lainnya yang membuat Penulis tertarik untuk menganalisa dampak yang ditimbulkan dari perubahan delik biasa menjadi delik aduan dengan mengangkat topik tentang “Penerapan Delik Aduan Dalam UU Hak Cipta Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Hak Cipta”. Rumusan Masalah Menurut uraian di atas, maka penulis dapat mengambil beberapa rumusan masalah dalam penulisan ini adalah sebagai berikut : Bagaimanakah Penerapan Delik Aduan dalam UU Hak Cipta dalam Menanggulangi Tindak Pidana Hak Cipta di Indonesia? TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Delik Aduan Istilah delik aduan (klacht delict), ditinjau dari arti kata klacht atau pengaduan berarti tindak pidana yang hanya dapat dilakukan penuntutan setelah adanya laporan dengan permintaan untuk dilakukan penuntutan terhadap orang atau terhadap orang tertentu. Untuk delik aduan, jaksa hanya 34 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 akan melakukan penuntutan apabila telah ada pengaduan dari orang yang menderita dan dirugikan oleh kejahatan tersebut. Pengaturan delik aduan tidak terdapat dalam Buku ke I KUHP, tetapi dijumpai secara tersebar di dalam Buku ke II. Setiap delik yang dibuat oleh pembuat undang-undang dijadikan delik aduan, menyatakan hal itu secara tersendiri, dan dalam ketentuan yang dimaksud sekaligus juga ditunjukan siapa-siapa yang berhak mengajukan pengaduan tersebut. Pembentuk undang-undang telah menyaratkan tentang adanya suatu pengaduan bagi delik tertentu. Adapun sebabnya menurut Von Liszt, Berner dan Von Swinderen adalah bahwa dipandang secara objektif pada bebrapa delik tertentu itu kerugian material atau ideal dari orang yang secara langsung telah dirugikan harus lebih diutamakan daripada kerugian-kerugian lain pada umumnya. Menurut MvT (Memori van Teolichting), disyaratkannya suatu pengaduan pada beberapa delik tertentu itu adalah berdasarkan pertimbangan bahwa ikut campurnya penguasa di dalam suatu kasus tertentu itu mungkin akan mendatangkan kerugian yang lebih besar bagi kepentingan-kepentingan tertentu dari orang yang telah dirugikan daripada kenyataan, yakni jika penguasa telah tidak ikut campur di dalam kasus tertentu. Sehingga keputusan apakah seseorang yang telah merugikan itu perlu dituntut atau tidak oleh penguasa, hal tersebut diserahkan kepada pertimbangan orang yang telah merasa dirugikan.1 Delik aduan dibagi dalam dua jenis : 1. Delik aduan absolut (absolute klacht delict) Menurut Tresna Delik aduan absolut adalah tiap-tiap kejahatan yang dilakukan, yang hanya akan dapat diadakan penuntutan oleh penuntut umum apabila telah diterima aduan dari yang berhak mengadukannya. Pompe mengemungkakan delik aduan absolut adalah delik yang pada dasarnya, adanya suatu pengaduan itu 1 Mukhlis. (2015). Hukum Pidana. Syiah Kuala University Press. Aceh. Hal. 15-17. 35 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 merupakan voorwaarde van vervolgbaarheir atau merupakan syarat agar pelakunya dapat dituntut. Kejahatan-kejahatan yang termasuk dalamjenis delik aduan absolut seperti : a. Kejahatan penghinaan (Pasal 310 s/d 319 KUHP), kecuali penghinaan yang dilakukan oleh seseoarang terhadap seseorang pejabat pemerintah, yang waktu diadakan penghinaan tersebut dalam berdinas resmi. Si penghina dapat dituntut oleh jaksa tanpa menunggu aduan dari pejabat yang dihina. b. Kejahatan-kejahatan susila (Pasal 284, Pasal 287, Pasal 293 dana Pasal 332 KUHP). c. Kejahatan membuka rahasia (Paal 322 KUHP) 2. Delik aduan relatif (relatieve klacht delict) Delik aduan relatif adalah kejahatan-kejahatan yang dilakukan, yang sebenarnya bukan merupakan kejahatan aduan, tetapi khusus terhadap hal-hal tertentu, justru diperlukan sebagai delik aduan. Menurut Pompe, delik aduan relatif adalah delik dimana adanya suatu pengaduan itu hanyalah merupakan suatu voorwaarde van vervolgbaarheir atau suatu syarat untuk dapat menuntut pelakunya, yaitu bilamana antara orang yang bersalah dengan orang yang dirugikan itu terdapat suatu hubungan yang bersifat khusus. Umumnya delik aduan retalif ini hanya dapat terjadi dalam kejahatan-kejahatan seperti : a. Pencurian dalam keluarga, dan kajahatan terhadap harta kekayaan yang lain yang sejenis (Pasal 367 KUHP); b. Pemerasan dan ancaman (Pasal 370 KUHP); c. Penggelapan (Pasal 376 KUHP); d. Penipuan (Pasal 394 KUHP). 36 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 Beberapa hal perbedaan antara delik aduan absolut dengan delik aduan relatif 1. Delik aduan relatif ini penuntutan dapat dipisah-pisahkan, artinya apabila ada beberapa orang yang melakukan kejahatan, tetapi penuntutan dapat dilakukan terhadap orang yang diingini oleh yang berhak mengajukan pengaduan. Lain halnya delik aduan absolut, apabila yang satu dituntut, maka semua pelaku dari kejahatan itu harus dituntut juga. 2. Pada delik aduan absolute, cukup apabila pengadu hanya menyebutkan peristiwanya saja, sedangkan pada delik aduan relatif, pengadu juga harus menyebutkan orang yang diduganya telah merugikan dirinya. 3. Pengaduan pada delik aduan absolut tidak dapat dipecahkan (onsplitbaar), sedangkan Pengaduan pada delik aduan relatif dapat dipecahkan (splitbaar). Pihak-pihak yang berhak mengajukan aduan dan jangka waktunya, dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 72 KUHP seperti : 1. Wakilnya yang sah dalam perkara sipil, atau wali, atau pengaduan orang tertentu (khusus untuk orang yang belum dewasa). Misalnya orang tua korban, pengacara, pengampu (curator) dan wali. 2. Orang yang langsung dikenai kejahatan itu (korban). Adapun tenggang waktu untuk mengajukan aduan tersebut diatur dalam Pasal 74 ayat (1) KUHP. Maksud dari Pasal 74 ayat (1) yaitu kalau seseorang mempunyai hak untuk mengajukan aduan, ia hanya boleh memasukan aduan tersebut paling lama dalam jangka waktu enam bulan setelah kejadian itu diketahuinya, tetapi apabila kebetulan ia 37 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 berdiam di luar negeri, maka tenggang waktu itu paling lama sembilan bulan.2 Strafbaar feit merupakan istilah asli bahasa Belanda yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan berbagai arti diantaranya yaitu, tindak pidana, delik, perbuatan pidana, peristiwa pidana maupun perbuatan yang dapat dipidana. Kata Strafbaar feit terdiri dari 3 kata, yakni straf, baar dan feit. Berbagai istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari strafbaar feit itu, ternyata straf diterjemahkan sebagai pidana dan hukum. Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh, sedangkan untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.3 Menurut Pompe, sebagaimana yang dikemukakan oleh Bambang Poernomo, pengertian strafbaar feit dibedakan menjadi : 1. Defenisi menurut teori memberikan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum ; 2. Definisi menurut hukum positif, merumuskan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu kejadiaan (feit) yang oleh peraturan perundang-undangan dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum4 Sejalan dengan definisi atau pengertian menurut teori dan hukum positif di atas, J.E Jonkers juga telah memberikan defenisi strafbaar feit menjadi dua pengertiaan, sebagaimana yang dikemukakan Bambang Pornomo yaitu : 2 Ibid Adami, Chazawi. (2002). Pengantar Hukum Pidana Bag 1. Raja Grafindo Persada. Jakarta . Hal. 69. 4 Bambang, Poernomo. (2010). Asas-asas Hukum Pidana. Ghalia Indonesia. Jakarta. Hal. 91. 3 38 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 1. Definisi pendek memberikan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu kejadian (feit) yang dapat diancam pidana oleh UndangUndang. 2. Definisi panjang atau lebih dalam memberikan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu kelakuan yang melawan hukum berhubung dilakukan dengan sengaja atau alfa oleh orang yang dapt dipertanggungjawabkan.5 Menurut definisi pendek pada hakekatnya menyatakan bahwa pastilah untuk setiap delik yang dapat dipidana harus berdasarkan Undang-Undang yang dibuat oleh pembentuk Undang-Undang, dan pendapat umum tidak dapat menentukan lain daripada apa yang telah ditetapkan dalam Undangundang. Definisi yang panjang lebih menitikberatkan kepada sifat melawan hukum dan pertanggung jawaban yang merupakan unsur-unsur yang telah dirumuskan secara tegas didalam setiap delik, atau unsur yang tersembunyi secara diam-diam dianggap ada.6 Simons dalam Roni Wiyanto mendefinisikan tindak pidana sebagai suatu perbuatan (handeling) yang diancam dengan pidana oleh undangundang, bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. Rumusan pengertian tindak pidana oleh simons dipandang sebagai rumusan yang lengkap karena akan meliputi : 1. Diancam dengan pidana oleh hukum 2. Bertentangan dengan hukum 3. Dilakukan oleh seseorang dengan kesalahan (schuld) 4. Seseorang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya.7 Van Hmamel juga sependapat dengan rumusan tindak pidana dari simons, tetapi menambahkan adanya “sifat perbuatan yang mempunyai sifat 5 Ibid. Ibid. 7 Roni, Wiyanto. (2012). Asas-asas Hukum Pidana Indonesia. C.V. Mandar Maju. Bandung. Hal. 160. 6 39 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 dapat dihukum”. Jadi, pengertian tindak pidana menurut Van Hamael meliputi lima unsur, sebagai berikut : 1. Diancam dengan pidana oleh hukum 2. Bertentangan dengan hukum 3. Dilakukan oleh seseorang dengan kesalahan (schuld) 4. Seseorang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya. 5. Sifat perbuatan yang mempunyai sifat dapat dihukum.8 Hak Cipta Hak cipta adalah hak privat atau hak keperdataan yang melekat pada diri si pencipta. Pencipta boleh pribadi, kelompok orang, badan hukum publik atau badan hukum privat. Hak cipta lahir atas kreasi pencipta, kreasi yang muncul dari olah pikir dan olah hati atau dalam terminologi antropologi hak yang lahir dari cipta, rasa dan karsa manusia. Oleh karena itu hak cipta haruslah benar-benar lahir dari kreativitas manusia bukan yang telah ada di luar aktivitas atau di luar hasil kreativitas manusia.9 Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.10 Pencipta dan pemegang hak cipta kadang sama, kadang juga berbeda. Pencipta diartikan sebagai seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, ketrampilan, atau keahlian yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi. 11 8 Ibid. H, OK, Saidin. (2015). Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual. Edisi Revisi, Cetakan . Rajawali Pers. Jakarta. Hal. 191. 10 Adrian, Sutedi. (2009). Hak Atas Kekayaan Intelektual. Sinar Grafika. Jakarta. Hal. 116 11 Sudaryat, dan Sudjana. (2010). Hak Kekayaan Intelektual. Cetakan Pertama. OASE Media. Bandung. Hal. 42. 9 40 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 Apabila ditelusuri lagi secara mendalam hak cipta ini dapat dibedakan menjadi dua jenis hak, yakni hak moral dan hak ekonomi. Hak moral adalah hak-hak yang melindungi kepentingan pribadi si pencipta.12 Selain itu hak ekonomi diartikan sebagai hak yang dipunyai oleh pencipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi.13 METODE PENELITIAN Model Penelitian Dalam melaksanakan suatu kegiatan penelitian, ada langkah-langkah yang perlu diambil untuk mendapatkan data yang valid dan relevan, serta memperoleh informasi yang lengkap sesuai dengan tujuan penelitian. Maka, peneliti harus memahami terlebih dahulu dasar-dasar yang menjadi tumpuan berfikir dalam menggunakan metode penelitian. Jenis penelitian yang dirasa tepat untuk penelitian ini adalah jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif.14 Penggunaan pendekatan kualitatif menurut Vredenberg memiliki beberapa pertimbangan, antara lain: 1) penelitian kualitatif menyajikan bentuk yang menyeluruh (holistik) dalam menganalisa suatu fenomena; 2) penelitian jenis ini lebih peka menangkap informasi kualitatif deskriptif, dengan cara relatif tetap berusaha mempertahankan keutuhan (wholeness) dari obyek yang berarti bahwa data yang dikumpulkan, dipelajari sebagai keseluruhan yang terintegrasi.15 12 Budi, Agus, Riswandi. dan M, Syamsudin. (2005). Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Hal. 3. 13 Ibid. Hal. 4. 14 Muhadjir. (1987). Metodologi Penelitian Kualitatif, Telaah, Positivistik, Rasionalistik, Phenomenologik dan Realisme Methaphisik. Rake Sarasin. Yogyakarta. 15 Alwasilah, A, Chaedar. (2002). Pokoknya Kualitatif: Dasar-dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif. Pustaka Jaya. Jakarta. 41 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 Penelitian dengan paradigma kualitatif berupaya mengembangkan ranah penelitian dengan terus menerus memperluas penelitian, dan bahkan memunculkan pemikiran baru dan isu baru bagi penelitian terkait berikutnya. Analisis Data Dalam penelitian ini digunakan analisis data kualitatif dan mengikuti konsep yang dikenal dengan model interaktif. Analisis data dilakukan dengan prosedur ataupun melalui beberapa tahap yaitu 1) Reduksi Data yaitu data yang diperoleh di lokasi penelitian atau data lapangan dituangkan dalam uraian atau laporan yang lengkap dan terinci. Laporan dilapangan akan direduksi, dirangkum, dipilih hal-hal yang pokok, difokuskan pada hal-hal yang penting melalui proses penelitian langsung. 2) Penyajian Data dimaksudkan agar memudahkan bagi peneliti untuk melihat gambaran secara keseluruhan atau bagian-bagian tertentu dari penelitian. Dengan kata lain merupakan pengorganisasian data ke dalam bentuk tertentu sehingga kelihatan dengan sosok yang lebih utuh, dan 3) Penarikan Kesimpulan/Verifikasi yaitu melakukan verfikasi data secara terus menerus sepanjang penelitian berlangsung. Sejak awal memasuki lapangan dan selama proses pertumbuhan data, peneliti berusaha untuk menganalisis dan mencari makna dari data yang dikumpulkan, yaitu dengan mencari pola, tema, hubungan persamaan, hal-hal lain yang sering timbul dan sebagainya yang dituangkan dalam kesimpulan yang bersifat mendasar. Dengan kata lain setiap kesimpulan senantiasa terus dilakukan verifikasi selama penelitian berlangsung yang melibatkan interpretasi penelitian.16 16 Miles, Mattehew. dan Huberman, A. Michael. (1992). Qualitative Data Analysis (Analisis Data Kualitatif). Terjemahan UI Press. Jakarta. 42 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penerapan Delik Aduan dalam UU Hak Cipta dalam Menanggulangi Tindak Pidana Hak Cipta di Indonesia Dalam UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta diatur tentang ketentuan pidana mengenai delik yang dilanggar yaitu delik aduan, dimana yang dapat mengadu adalah pihak yang merasa dirugikan yaitu pencipta atau penerima ciptaan atas suatu hasil karya yang diakui oleh UU Hak Cipta setelah dilakukan pendaftaran terhadap hak cipta tersebut. Dalam UU Hak Cipta sebelumnya sudah diatur bawah pelanggaran hak cipta merupakan delik aduan (UU Nomor 6 Tahun 1982) 17, kemudian dilakukan perubahan yang menyatakan bahwa pelanggaran hak cipta merupakan delik biasa (UU Nomor 7 Tahun 1987, UU Nomor 12 Tahun 1997, UU Nomor 19 Tahun 2002) 18, akan tetapi dengan lahirnya UU Hak cipta yang baru yaitu UU Nomor 28 Tahun 2014 dinyatakan pelanggaran hak cipta merupakan delik aduan murni artinya setiap orang tidak bisa melaporkan bahwa telah terjadinya pelanggaran terhadap hak cipta orang karena dianggap tidak memiliki kepentingan dalam hak cipta sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 120 UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang menyatakan bahwa “Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini merupakan delik aduan”.19 Penerapan delik aduan dalam UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta ini tidak terlepas dari peran pemerintah dan DPR untuk melindungi hak-hak ekonomi dan hak-hak moral pencipta dan pemilik hak terkait sebagai unsur penting dalam pembangunan kreatifitas nasional. Dengan adanya pergantian UU Nomor 19 Tahun 2002 menjadi UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta memberikan landasan hukum yang kuat untuk 17 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta UU Nomor 7 Tahun 1987, UU Nomor 12 Tahun 1997, UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta 19 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta 18 43 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 perlindungan dan penyelenggaraan hak cipta di Indonesia dengan mengutamakan kepentingan nasional dan keseimbangan antara kepentingan pencipta, pemilik hak cipta atau pemegang milik terkait dengan masyarakat, serta memperhatikan ketentuan dalam perjanjian internasional dibidang hak cipta dan hak terkait Berdasarkan uraian di atas, menurut penulis masih terdapat banyak kelemahan substansi dari Pasal 120 UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Kelemahan tersebut dapat ditinjau dari beberapa aspek, diantaranya adalah: 1. Pasal 120 UU Nomor 28 Tahun 2014 tidak menyebut dengan tegas dan jelas siapakah pihak yang berhak melakukan pengaduan. Hal ini tentunya berbeda apabila dibandingkan dengan ketentuan Pasal 45 UU Nomor 28 Tahun 2014 yang pernah berlaku berdasarkan UU Nomor. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta yang secara tegas dan jelas mengatur ketentuan sebagai berikut: Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 44 tidak dapat dituntut kecuali atas pengaduan dari pemegang hak cipta. 2. Pasal 120 UU Nomor 28 Tahun 2014 sebagai UU yang berlaku saat ini tidak menyebutkan dengan tegas dan jelas mengenai apakah pengaduan masih tetap diproses apabila terhadap para pihak yang berhak melakukan pengaduan, hanya diadukan oleh satu orang saja atau pengaduan tidak dilakukan oleh seluruh pihak yang berhak mengadukan.20 Selanjutnya terkait dengan bagaimana sikap yang seharusnya dari pencipta atau pemegang hak cipta dalam menyikapi delik aduan dibidang hak cipta. Penulis memberikan rekomendasi yang sebaiknya dilakukan sebelum pihak yang berhak melakukan pengaduan mempertimbangkan beberapa hal, yaitu: 20 Duwi, Handoko. (2015). Hukum Positif mengenai Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia (Jilid II. Cetakan Pertama. HAWA dan AHWA. Pekanbaru. Hal. 66-68. 44 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 1. Lakukan kalkulasi atau perhitungan apabila ingin melakukan pengaduan, yaitu apasaja keuntungan atau kerugian dalam hal menuntut pelaku secara pidana yang tidak terbatas kepada perhitungan ekonomis semata. 2. Kalkulasi lainnya adalah terkaitdengan ketentuan hukum yang diatur dalam Pasal 75 KUHP yaitu adanya batas waktu (3 bulan) untuk menarik kembali pengaduan yag diajukan hal ini erat kaitannya dengan penyelesaian perkara pidana secara non litigasi sebagai pola penerapan prinsip ultimum remidium.21 Selain yang penulis telah kemukakan tersebut di atas, terdapat beberapa pendapat dari beberapa pihak yang kemudian menjadi pertimbangan pemerintah dan DPR pada saat itu yang lebih setuju jika diterapkan delik aduan dikarenakan beberapa hal /alasan sebagai berikut : 1. Aparat penegak hukum kurang mampu menentukan apakah telah terjadi tindak pidana hak cipta tanpa membandingkan barang hasil pelanggaran hak cipta dengan ciptaan aslinya. 2. Dalam melakukan proses hukum aparat penegak hukum tidak mungkin langsung mengetahui apakah suatu pihak telah mendapat izin untuk mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan. 3. Dalam prakteknya apabila terjadi pelanggaran hak cipta pihak yang hak ciptanya dilanggar lebih menginginkan adanya ganti rugi dari pihak yang melanggar hak cipta ketimbang pelaku pelanggar hak cipta tersebut dikenakkan sanksi pidana penjara atau denda. Namun karena tindak pidana hak cipta menerapkan delik biasa seringkali aparat penegak hukum yang menangani kasus hak cipta tersebut terus melanjutkan proses hukum meski sudah ada kesepakatan damai antara pihak yang dilanggar dengan pihak yang melanggar. Hal ini 21 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) 45 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 tentu saja akan menyulitkan posisi para pihak yang telah berdamai tersebut. Lain halnya menurut pendapat penulis alasan dari hal di atas tidak tepat. Beberapa alasan sanggahan terkait alasan / hal di atas, yaitu sebagai berikut : 1. Sangat tidak masuk akal jika aparat terkait dengan bidang hak cipta tidak bisa menentukan paling tidak menduga telah terjadi pelanggaran hak cipta. Jika dikaitkan dengan yang tertulis dalam pasal 1 UU Nomor 19 Tahun 2002 yaitu, "Hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu tidak mengurangi pembatasa -pembatasan menurut peraturan perundangundangan yang berlaku", timbul pertanyaan siapa yang menjamin isi dari pasal ini benar-benar terealisasi di lapangan. Sudah pasti aparat terkaitlah yang menetapkan suatu kebijakan atas dasar pasal (peraturan perundang - undangan) di atas untuk mencapai tingkatan penegakan supremasi hukum yang adil dan seimbang, yang nantinya akan menjadi indikator jalannya sistem pemerintahan yang baik dan ideal (good goverment). Dalam hal inilah diperlukan adanya SDM yang kompeten di bidangnya, seiring juga dengan sistem pengembangan SDM dan sistem reward bagi aparat / petugas yang berprestasi. 2. Tidak berbeda jauh dengan sanggahan di atas, bahwa permasalahan yang dihadapi adalah ketidakmampuan SDM terkait pelaksanaan tugasnya. Diterapkannya delik aduan terhadap kasus bidang hak cipta sama saja dengan mengurangi / menghilangkan tugas yang merupakan kewajiban dari aparat / petugas terkait tersebut. 3. Menimbulkan suatu pertanyaan lagi, "Siapakah yang lebih mengerti dan memahami apa yang diperlukan guna penegakkan hukum, aparat penegak hukum kah (pemerintah atau masyarakat? Masyarakat telah 46 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 memilih siapa yang mereka percaya guna menjalankan roda pemerintahan bangsa ini. Para pihak baik yang dirugikan maupun yang melakukan pelanggaran mungkin merasa cukup puas dengan menempuh jalur damai, tetapi tidak akan menyelesaikan masalah secara global/ menyeluruh. Hanya akan menyelesaikan masalah mereka berdua. Biarkan aparat/ petugas hukum yang lebih mengerti menjalankan yang memang merupakan tugasnya. Masyarakat hanya perlu berharap bahwa petugas tersebut tidak lalai/malas dan jujur dalam menjalankan tugasnya. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari pembahasan yang telah dikemukakan tersebut di atas, ada beberapa kesimpulan yang penulis ambil adalah sebagai berikut: Penerapan Delik Aduan dalam UU Hak Cipta dalam Menanggulangi Tindak Pidana Hak Cipta di Indonesia yaitu ditandai dengan disahkannya UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, ini tidak terlepas dari peran pemerintah dan DPR untuk melindungi hak-hak ekonomi dan hak-hak moral pencipta dan pemilik hak terkait sebagai unsur penting dalam pembangunan kreatifitas nasional. Dengan adanya pergantian UU Nomor 19 Tahun 2002 menjadi UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta memberikan landasan hukum yang kuat untuk perlindungan dan penyelenggaraan hak cipta di Indonesia dengan mengutamakan kepentingan nasional dan keseimbangan antara kepentingan pencipta, pemilik hak cipta atau pemegang milik terkait dengan masyarakat, serta memperhatikan ketentuan dalam perjanjian internasional dibidang hak cipta dan hak terkait. 47 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 Saran Menurut kesimpulan yang telah dikemukakan tersebut di atas, terdapat beberapa saran yang penulis sampaikan dalam penulisan ini. Saransaran tersebut adalah sebagai berikut : Sebaiknya dalam tindak pidana hak cipta dimasukan dalam delik biasa agar memudahkan penegakan hukum oleh pihak kepolisian, kejaksaan maupun pengadilan sebagaimana sebelumnya dalam UU hak cipta yang pertama tahun 1982 dimasukan dalam delik biasa. DAFTAR PUSTAKA Buku, Jurnal Dan Makalah Adami, Chazawi (2002). Pengantar Hukum Pidana Bag 1. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Adrian Sutedi. (2009). Hak Atas Kekayaan Intelektual. Sinar Grafika. Jakarta. Alwasilah A. Chaedar. (2002). Pokoknya Kualitatif: Dasar-dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif. Pustaka Jaya. Jakarta. Bambang, Poernomo. (2010). Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta. Ghalia Indonesia. Budi, Agus, Riswandi. dan M. Syamsudin. (2005). Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Duwi, Handoko. (2015). Hukum Positif mengenai Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia (Jilid II). HAWA dan AHWA. Cetakan Pertama. Pekanbaru. H. OK. Saidin. (2015). Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual. Rajawali Pers. Edisi Revisi. Cetakan 9. Jakarta. Miles, Mattehew. dan Huberman, A. Michael. (1992). Qualitative Data Analysis (Analisis Data Kualitatif), Terjemahan UI Press. Jakarta. 48 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 Muhadjir. (1987) Metodologi Penelitian Kualitatif, Telaah, Positivistik, Rasionalistik, Phenomenologik dan Realisme Methaphisik. Rake Sarasin. Yogyakarta. Mukhlis. (2015). Hukum Pidana. Syiah Kuala University Press. Aceh. Roni, Wiyanto. (2012). Asas-asas Hukum Pidana Indonesia. C.V.Mandar Maju. Bandung. Sudaryat dan Sudjana. (2010). Hak Kekayaan Intelektual. OASE Media. Cetakan I. Bandung. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang Hak Cipta Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta 49 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 KUALITAS PELAYANAN PEMERINTAHAN KOTA BUKITTINGGI TERHADAP KEBIJAKAN PERDA 19/2003 TENTANG IMB ( IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN ) Riko Riyanda1 ABSTRAK Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan kualitas pelayanan yang diberikan aparatur Dinas Tata Kota Bukittinggi terhadap pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dalam mengurus izin mendirikan bangunan (IMB). Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan menggunakan metode analisis pendekatan secara deskriptif. Metode pengumpulan datanya digunakan data primer dan data sekunder. Adapun teknik pengumpulan data melalui metode obervasi, wawancara, serta dokumentasi. Analisis yang digunakan menggunakan teknik reduksi data, penyajian data dan verifikasi/menarik kessimpulan. Hasil penelitiannya adalah bahwa kualitas pelayanan yang diberikan oleh apartur dinas tata kota Bukittinggi udah mencakup pelayanan prima dan pelayanan sepenuh hati, hanya saja masih terdapat berbagai kekurangan dalam pelayanan misalnya dalam kurangnya sosialisasi Perda 19/2003 tentang IMB. Namun kelemahan tersebut tidak dapat dijadikan masalah krusial bagi warga Bukittinggi untuk mengurus IMB. Sebab, faktor yang menjadi kendala justru pada keengganan atau kemalasan masyarakat dalam mengurus IMB. Jadi kualitas pelayanan aparatur Dinas Tata Kota Bukittinggi sudah baik namun sayangnya masih ada sebahagain kecil masyarakat yang belum menyadari pentingnya mengurus Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Kata Kunci: Kualitas Pelayanan, Perda 19/2003, Izin Mendirikan Pembangunan 1 Dosen Program Studi Ilmu Hukum Universitas Putera Batam 50 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pada hakekatnya pemerintahan itu adalah orang yang diberikan jabatan dan duduk dipemerintahan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pemerintah tidak diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat dalam mengembangkan kemampuan dan kreativitas masyarakat untuk mencapai tujuan bersama. Birokrasi publik berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan pelayan yang baik dan profesional. 2 Paradigma ini yang baru berkembang saat sekarang ini adalah, Good Governance bertujuan agar memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat serta mendorong untuk peningkatan otonomi manajerial terutama sekali mengurangi campur tangan kontrol yang dilakukan oleh pemerintah pusat, trasparansi, akuntabilitas publik, dan diciptakan pengelolaan manajerial yang bersih dari korupsi. 3 Dalam kondisi masyarakat seperti ini, birokrasi publik harus dapat memberikan layanan publik yang lebih profesional, efektif, efisien, sederhana, transparan, terbuka, tepat waktu, responsif dan adaptif dan sekaligus dapat membangun kualitas manusia dalam arti meningkatkan kapasitas individu dan masyarakat untuk secara aktif menentukan masa depannya sendiri. 4 Dewasa ini, permasalahan-permasalahan dalam kualitas pelayan publik menjadi kendala yang cukup serius yang dirasakan oleh masyarakat, serta kebijakan-kebijakan pemerintah daerah tidak selalu membuat masyarakat mudah dalam malakukan aktivitas dan merasa terbantu dengan peraturan-peratuan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Adapun contoh kasus yang dapat dilihat adalah mempertanyakan kualitas 2 Joko, Widodo. 2001. Good Governance. Insan Cendikia. Surabaya. Hal. 269 Miftah, Thoha. 2004. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Hal. 102 4 Joko, Widodo. Op.Cit. Hal 270 3 51 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 pelayanan kota Bukkittinggi terhadap kebijakan Perda No. 19 Tahun 2003 Tentang IMB (Izin Mendirikan Bangunan). Kebijakan Pemerintah Kota Bukittinggi mengeluarkan perda ini pada hakekatnya bagus, perda ini menurut penulis dinilai sangat esensial sekali karena ini menyangkut hajat hidup orang, dan bertujuan untuk menghindari konflik sesama warga dan pemerintah. Namun dalam menjalankan perda ini apakah nantinya perda ini benar-benar manfaat dirasakan oleh masyarakat Kota Bukittinggi dan sekitarnya, karena percuma saja Perda dibuat jika tidak bermanfaat oleh masyrakat, suksesnya perda ini tentunya dipengaruhi oleh kinerja aparatur Dinas Tata Ruang Kota yang bertindak melayani masyarakat yang akan mendirikan izin bangunan. Ketika, masyarakat tidak ingin untuk mengurus Izin Mendirikan Bangunan maka masyarakat sendirilah yang akan menanggung resikonya. Contohnya apabila pemerintah kota melakukan peringatan, penggusuran, melakukan tuntutan berupa denda dan lain sebagainya, perlakuan semacam ini yang tidak bisa diterima oleh masyarakat. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh aparatur pemerintah kota Bukittinggi terkait dengan kebijakan perda Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Izin Mendirikan Bangunan, tidak dapat disalahkan, itu tugas mereka untuk menertibkan warga agar mematuhi aturan dan sesuai dengan prosedur yang berlaku, akan tetapi permasalahannya bukan terletak pada perdanya, yang jadi masalah apakah kualitas pelayanan yang diberikan oleh Dinas Tata Kota terhadap masyarakat sudah dirsakan langsung apa belum. Rumusan Masalah Diperlakukannya kebijakan Perda Bukittinggi Nomor 19 Tahun 2003 tentang Izin Mendirikan Bagunan. Di dalam masyarakat Izin Mendirikan Bangunan ini sering disingkat dengan IMB. Dalam hal ini penulis ingin melihat dan mendeskripsikan: Bagaimana kualitas pelayanan yang diberikan 52 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 aparatur pemerintah Kota Bukittinggi terhadap masyarakat yang akan mengurus IMB? HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Kualitas Pelayanan Yang Diberikan Aparatur Pemerintah Kota Bukittinggi Terhadap Masyarakat Yang Akan Mengurus IMB 1. Konsep Pelayanan Prima Sebagai Tolak Ukur Kualitas Pelayanan Hampir Terpenuhi Di Dinas Tata Kota Bukittinggi Berdasarkan keterangan yang dikemukakan oleh informaninforman di atas, dapat disimpulkan bahwa mereka sebagai aparatur pemerintah yang bekerja sebagai Dinas Tata Kota Bukittinggi, telah berusaha bekerja sebaik mungkin untuk menciptakan pelayanan prima, kepada masyarakat. Apabila mengacu ke pada variabel pelayanan prima menurut Dr. Lijan Sinambela Reformasi Pelayanan Publik itu yakni adanya: a. Pemerintah yang bertugas melayani Dinas Tata Ruang Kota Bukittinggi yang bertindak Mengurus Izin Mendirikan (IMB), sudah melakukan kerjanya yakni melayani masyarakat sebaik mungkin, dan konteks melayani disini aparatur pemerintah membantu masyarakat dalam mempermudah melakukan IMB. b. Masyarakat yang dilayani pemerintah Hasil temuannya, masyarakat yang dilayani tidak ada pembedan atau diskriminasi yang dilakukan oleh Dinas Tata Ruang Kota Bukitttinggi, tetap sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan oleh dinas tata kota. c. Kebijaksanaan yang dijadikan landasan pelayanan publik Kebijaksanaan yang dilakukan aparatur pemerintah atau dinas tata kota, sudah melakukan arah kebijaksanaan, artinya ada 53 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 semacam peraturan yang dikeluarkan, dan pertauran itu untuk kepentingan masyarakat, dan tidak ada masyarakat yang dirugikan, malah menguntungkan. d. Peralatan atau sarana pelayanan yang canggih Untuk memudahkan pekerjaan mereka sebagai aparatur pemerintah, peralatan dan sarana pelayananpun sudah cukup memadai diterima oleh masyarakat secara keseluruhan. Tanpa peralatan dan sarana pelayanan yang canggih sulit juga untuk mempermudah pelayanan kepada masyarakat. e. Resources yang tersedia untuk diracik dalam bentuk kegiatan pelayanan. Sumber daya yang tersedia, sudah memiliki sumber daya yang bagus, baik itu dari sumber daya manusia yang dimiliki maupun kemampuan dalam hal mengelola kebutuhan masyarakat f. Kualitas pelayanan yang memuaskan masyarakat sesuai dengan standar dan asas pelayanan masyarakat. Berbicara mengenai kualitas pelayanan maka indikatornya adalah: 1) Transparansi Yakni pelayanan yang terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti, untuk kategori ini Dinas Tata Kota Bukittinggi sudah melakukannya, yakni dengan menjelaskan kepada mensyarakat yang akan mendirikan bangunan mengenai transparansi dana kepada yang akan mengurus IMB, serta memberikan penjelasan kepada masyrakat pra-syarat yang harus dipenuhi sebelum IMB dikeluarkan. 54 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 2) Akuntabilitas Yakni pelayanan yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, akuntabilitas tetaplah menjadi hal yang utama yang harus diutamakan, menurut pengakuan dari informan, akuntabilitas sudah mereka usahakan untuk menjalankan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab. 3) Kondisional Yakni pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberian dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektifitas. Mengukur tingkat efesiensi dan efektifitas dapat dilihat dari kesungguhan mereka bekerja, dan itu aplikasinya dapat langsung dirasakan oleh masyarakat. Disini penulis temukan tidak banyak permasalahan yang ditemukan dalam kepengurusan IMB ini, walaupun ada, tetapi itu tidak begitu rumit permasalahannya, karena ini menyangkut resmi (legal), semakin banyak orang yang mengurus izin mendirikan bangunan, dan semaikin sedikit permasalahan yang ditemukan, maka keefektifitasan dan keefesienan dapat dikatakan sudah tercapai. 4) Partisipatif Yaitu pelayanan yang dapat mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat. Dalam melakukan partisipatif aparatur dinas tata ruang Kota sudah melakukannya. Misalnya memproses kebutuhan masyarakat dalam IMB. 55 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 Partispasi itu dalam bentuk sosialisasi dan memberikan keterangan-keterangan kepada masyarakat yang akan mengurus IMB. 5) Kesamaan hak Yaitu pelayanan yang tidak melakukan diskriminasi, dilihat dari aspek apapun khususnya suku, ras, agama, golongan, status sosial, dan lain-lain. Dalam kesamaan hal pelayanan IMB di Kota Bukittinggi sampai saat ini tidak ada yang melakukan tindakan diskriminasi berdasarkan status, pangkat ataupun jabatan, keterangan data ini bisa didapat dari informan yang terlibat langsung dalam mengurus IMB. 6) Keseimbangan hak dan kewajiban Yaitu pelayanan yang mempertimbangkan aspek keadilan antara pemberi dan penerima pelayanan publik, indikator yang terakhir ini walaupun tidak sepenuhnya seimbang antra hak dan kewajiban, tapi kewajiban sebagai aparatur pemerintah yang bertindak sebagai yang melayani sudah dilakukan seoptimal mungkin, mengenai hak yang diterima oleh masyarakat yang mengurus IMB juga telah didapatkan sebagaimana mestinya. g. Manajemen dan kepemimpinan serta organisasi pelayanan masyarakat Di dalam Dinas Tata Kota itu sendiri mempunyai manajemen dan Kepemimpinan organisasi pelayanan dalam masyarakat, Dinas tersebut terdapat Kasi Pengawasan Dan Pengendalian Bangunan, wakil, serta Anggota-Angotanya sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing. h. Perilaku pejabat yang terlibat dalam pelayanan masyarakat, apakah masing-masing telah menjalankan fungsi mereka. 56 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 Dalam item yang ini perilaku pejabat atau aparatur pemerintrah dapat dikatakan sudah menjalankan fungsinya masing-masing, ini terlihat adanya spesifikasi pekerjaan diantara meraka, dan sesuai dengan fungsi dan wewenang yang mereka lakukan. 2. Permasalahan Yang Ditemukan Di Dinas Tata Kota Bukittinggi Terkait Dengan IMB a. Ketidakmengertian Masyarakat Dalam Mengrurus IMB Berdampak Pada Sangsi Yang Diberikan Ketidakmengertian masyarakat akan mengurus IMB, berdampak pada kemalasan masyarakat untuk mengurus IMB. Akibatnya adalah sering kali kepala dinas pekerjaan umum, ka subdin kota mengeluarkan teguran-teguran. Tindakan pertama yang dilakukan adalah: penyegelan. Bunyi dari penyegelan itu adalah sebagai berikut: Bangunan ini dikerjakan tanpa memiliki IMB / tidak sesuai dengan IMB yang dimiliki sehingga harus dilakukan penyegekan berdasarkan pelanggaran Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2000 jo. Perda Nomor 19 Tahun 2003 Tentang bangunan. Sebagaimana yang tercantum dalam: Pasal 74 (3) point a: peringatan 1 (Pertama): b. Memerintahkan untuk menghentikan pekerjaan mendirikan bangunan yang belum memiliki IMB dan kepadanya diwajibkan mengajukan permohonan IMB. c. Memerintahkan untuk menghentikan/menangguhkan sementara pekerjaan mendirikan bangunan yang tidak sesuai dengan IMB yang dimiliki. Untuk mencegah berlanjutnya pekerjaan mendirikan bangunan, penertiban Surat Peringatan 1 dapat ditindak lanjuti 57 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 dengan penyegelan atau tanda-tanda resmi tertentu dalam bentuk pelarangan melanjutkan pekerjaan mendirikan bangunan pada bagian-bagian tertentu terhadap bangunan yang didirikan. Dalam penyegelan ini diberikan teguran surat peringatan 1 dan melanjutkan kepada peringatan 2, dan surat peringatan 3, dilanjutkan dengan rapat tim pengawasan dan pengendali bangunan dengan SK Walikota. Di dalam surat peringatan 1 (pertama) dinyatakan di dalamnya, mendirikan bangunan tanpa izin mendirikan bangunan (IMB), yang melanggar Perda Nomor 7 Tahun 2000 Tentang bangunan sebagai mana yang telah diubah dengan Perda Nomor 19 Tahun 2003, untuk itu diminta agar : 1. Menghentikan kegiatan pekerjaan pembangunan dan segera melapor ke dinas pekerjaan umum. Cq. seksi pengawan dan pengendalian Subdin Tata Kota. 2. Mengurus IMB ke kantor Dinas pekerjaan umum. Cq. Subdin Tata Kota. Surat pernyataan pertama ini sesunguhnya memberikan peringatan kepada masyarakat akan pentingnya mengurus IMB ini sebagai pra-syarat mendirikan bangunan. Menurut Bapak Yosef Anwar yang bertugas selaku Kasi Pengawasan Dan Pengendalian Subdin Tata Kota DPU Kota Bukittinggi mengungkapkan: “terkadang masih juga ada di antara masyarakat yang tidak mengindahkan terhadap surat teguran pertama, kemudian akan dikirimkan lagi surat pernyatan yang ke dua. Di dalam surat peringatan ke dua ini, mengeluarkan perintah pembongkaran yang isinya mengenai perintah untuk membongkar sendiri bangunan yang didirikan tanpa izin (IMB) atau tidak sesuai dengan ketentuan IMB, selambat-lambatnya tiga hari setelah surat ini diterima sesuai Pasal 74 ayat 3 perda kota Bukittinggi Nomor 19 58 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 Tahun 2003 dan diketahui oleh An. Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Kasubdin Tata Kota Bapak Drs. Supadria, Msi. Apabila surat peringatan kedua tidak juga dituruti, maka dari itu, terpaksa dikeluarkan surat peringatan ketiga, surat peringatan ketiga ini wajib dilayangkan kepada masyrakat yang tidak memiliki izin mendirikan bangunan, isinya adalah: “Apabila tidak diindahkan surat peringatan kedua sampai batas waktu yang telah ditentukan, maka bersama ini diperingatkan bahwa tim terpadu penertiban bangunan akan melaporkan pembongkaran paksa sesuai pasal 74 ayat 3 (tiga) Perda Kota Bukittinggi Nomor 19 Tahun 2003 terhadap bangunan yang tidak memiliki IMB, diketahui oleh Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kota Bukuttinggi Ir. Adlir Adnan. 1 Tidak Ada Waktu Untuk Mengurus Tidak ada waktu untuk mengurus, inilah kendala yang dirasakan oleh aparatur dinas tata kota itu sendiri, sebagian kecil masyarakat Kota Bukittinggi ada juga yang mengatakan tidak ada waktu untuk mengurus IMB, hal ini disebabkan karena menganggap sepele atau seakan tidak mau tahu dengan mengurus izin mendirikan bangunan ini. Hanya saja, alasan ini dianggap dalih bagi masyarakat jika ditanya kenapa tidak mengurus IMB. 2 Tanah Mengontrak Sebelum mengurus IMB harus ada pra syarat (kontrak rumah), harus ada perjanjian kontrak antara yang mengontrakkan dan yang dikontrakkan, pengontrak harus punya surat kuasa kepada yang mengontrak untuk IMB. Terkadang ada juga pengontrak yang tidak memiliki surat kuasa, akhirnya sulit untuk mengurus IMB. Contoh kasus misalnya: 59 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 a. Kadang ada mamak yang tidak adil dalam pembagian tanah, boleh dikatakan mamak yang tidak bertanggung jawab terhadap kemenakan. b. Status tanah yang tidak lengkap, tidak cukup syarat yang akan mengurus IMB ( Izin Mendirikan Bangunan). 3. Pandangan Masyarakat Terhadap Pelayanan Yang diberikan DinasTata Kota Bukittinggi Terhadap Pelayanan IMB Mengacu pada pendapat Loveloce, 5 prinsip yang harus diperhatikan bagi pelayanan publik, agar kualitas pelayanan publik dapat di capai, antara lain melipiti : a. Tangible (terjamah), seperti kemampuan fisik, peralatan, personil, dan komunikasi material. b. Realible (handal), kemampuan membentuk pelayanan yang dijanjikan dengan tepat dan memiliki keajekan. c. Respossivenes (pertangung jawaban), yakni rasa tanggung jawab terhadap mutu pelayanan. d. Asurance (jaminan), pengetahuan, prilaku dan kemampuan pegawai. e. Empathy (empati), perhatian perorangan badan pada pelanggan. Dari ke lima prinsip yang diajukan oleh Lovelove, Dinas Tata Kota Bukittinggi, sudah melakukan lima prinsip tersebut, meskipun dalam perjalannya pasti terdapat kekurangan- kekurangan. Walaupun demikian aparatur Dinas Tata Kota Bukittinggi khususnya Aparature IMB sudah bekeja semaksimal mungkin agar kualitas pelayanan publik dapat tercapai sesuai dengan harapan masyarakat. 60 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 Adapun prinsip pelayanan publik menurut keputusan menteri pendayagunaan aparatur negara (kepmenpen) No. 63/Kep/M PAN/2003 tentang pedoman umum penyelenggaraan pelayanan diantaranya adalah: 1. Kesederhanaan Kesederhanaan disini maksudnya sahaja, luwes, tidak mewah-mewah dalam bekerja, aspek ini menurut penulis sudah terpenuhi oleh apartur Dinas Tata Kota Bukittitingi. 2. Kejelasan Dari awal Apartur Dinas Tata Kota sudah memberikan kejelasan mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi dan dilengkapi, dan juga sudah mensosialisaikan kegunaan IMB ini kepada masyrakat, serta sudah memperingatkan dari awal sangsi yang akan diberikan kepada masyarakat yang tidak mau mematuhi mengurus IMB ini, jangan salahkan aparatur Dinas Tata Kota Bukittingggi terkait dengan Perda Nomor 19 Tahun 2003, jika terjadi pembongkran paksa, masalah ini terjadi disebabkan karena keengganan masyarakat juga yang tidak mau mengindahkakn teguran atau peringantan yang telah Dikeluarakan oleh Dinas Tata Kota. 3. Kepastian Waktu Persoalan Kepastian waktu, dari tahun ke tahun aparatur Dinas Tata Kota Bukittinggi berusaha memperbaiki. Permasalahan ini memang ditemukan dalam hal keterlambatan, seiring dengan adanya paradigma pelayanan prima, kritikan yang diajukan kepada aparatur pemerintah memperlihatkan perbaikan dan perubahan-perubahan langsung yang dirasakan. 4. Akurasi Persoalan akurasi, penulis rasa tepat sasaran, tidak ada masalah dalam hal pembiayaan IMB, sesuai tepat dengan akurasi yang telah ditentukan dan sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan. 61 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 5. Keamanan Demi terciptanya lingkungan Bukittinggi yang bersih dengan status yang jelas, dan demi keamanan untuk warga Bukittinggi maka apartur Dinas Kota Bukittinggi sendiri melakukan patroli setiap hari, dan ini dilakukan untuk menjaga-jaga agar masyarakat patuh terhadap peraturan. 6. Kelengkapan Sarana dan Pra sarana Mengenai kelengkapan sarana dan prasana sudah cukup memadai, baik dalam hal kendaraan maupun peralatan lain yang cukup membantu dalam proses pelayanan untuk keperluan masyarakat. 7. Kemudahan akses Kemudahan akses ini dapat mempertanyakan langsung kepada Dinas Tata Kotanya, atau mungkin lewat brosur-brosur yang sudah disebarkan, informasi lain juga sudah ada di internet mengenai prasyarat mengurus IMB lengkap dengan bagaimana cara mengurusnya. 8. Kedisiplinan, kesopanan, keramahan Ke tiga kata ini berbeda maknanya, namun ke tiga kata ini seiring dan sejalan dalam prakteknya, pelayanan tidak bisa dikatakan berkualitas jika kedisiplinan, kesopanan, keramahan, tidak dimiliki oleh apartur pemerintah. Dalam konteks aparatur IMB, ketiga kata ini sudah mereka lakukan, artinya tidak hanya paradigma pelyanan prima saja sebagai syarat kualitas pelayanan, namun konsep layanan sepenuh hati juga dijadikan sebgai konsep untuk kepuasanan pelanggan. Layanan dimaksudkan sepenuh layananyang hati digagas berasal dari oleh diri Patricia sendiri Patton yang mencerminkan emosi, watak, keyakinan, nilai, sudut pandang dan perasaan. 5 5 Oleh karena itu, aparatur pelayanan dituntut untuk Patricia, Patton. (1998). Pelayanan Sepenuh Hati. Pustaka Delapatra. Hal. 1 62 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 memberikan layanan kepada pelanggan dengan sepenuh hati. Kesungguhan yang dimaksudkan, aparatur pelayanan menjadikan kepuasan pelanggan sebagai tujuan utamanya. Untuk menciptakan layanan sepenuh hati itu, maka diperlukan kedisiplinan, kesopanan, dan keramahan, agar kualitas itu selalu dirasakan oleh masyarakat. 9. Kenyamanan Kenyamanan menyangkut persoalan tempat lokasi kepengurusan IMB, penulis lihat kenyamanan yang ada di tempat lokasi Dinas Tata Kota Bukittinggi lokasinya nyaman, lingkungannya bersih, dan di sana terliahat “No Smoking Area” di ruangan kepengurusannya. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Fenomena Persolaan kualitas pelayanan Publik di berbagai daerah tidak selalu identik dengan tidak berkualitasnya pelayanan tersebut. Misalnya dari hasil penelitian dapat disimpulkan kualitas pelayanan publik Di Dinas Tata Kota Bukittinggi terkait dengan Perda Nomor 19 Tahun 2003 Tentang IMB (Izin Mendirikan Bangunan) hampir diktakan mendekati pelayanan prima. Terciptanya pelayanan prima tidak terlepas dari variabel-variabel pelayan prima itu sendiri, diantaranya pemerintah yang bertugas untuk melayani, masyarakat yang dilayani, kebijaksanaan yang dijadikan landasan pelayaan publik, peralatan dan sarana pelayanan yang canggih, recorces yang tersedia, kualitas pelayanan yang memuaskan masyarakat, manajemen dan kepemimpinan serta perikalu pejabat yang terlibat dalam pelayanan masyarakat. Kesemua syarat-syarat itu, aparatur Dinas Tata Kota Bukitiinggi berusaha bersunguh-sunguh untuk menciptakan pelayanan prima itu kepada masayarakat. 63 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 Dalam memujudkan pelayanan prima ini, tentu dalam perjalanannya juga banyak terdapat permasalahan-permasalahan yang ditemukan, baik dari masyarakatnya sendiri maupun dari aparatur pemerintahnya, namun seiring dalam perjalanananya permaslahan-permaslahan yang timbul itu dapat diperbaiki dan diadakan suatu perubahan aturan, dan itu juga untuk memudahkan masyarakat dalam mengurus IMB (Izin Mendirikan Banguanan). Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa dinas tata kota Bukittinggi sudah melakukan kualitas pelayanan yang prima. Baik pemerintah maupun masyarakat saling berkerja sama dan menyadari pentingnya mengurus IMB supaya memiliki kejelasan hukum mendirikan pembangunan. Jadi kebijakan perda 19/2003 tentang IMB (Izin Mendirikan Bangunan) disambut baik oleh warga Bukittinggi dan sekitarnya. Saran Sarannya bagi aparatur yang bekerja di Dinas Tata Kota, yang sudah baik dan bagus (prima) pelayanannya agar tetap dipertahankan, dan selalu menjaga citra di mata masyarakat bahwa pelayanannya sudah bagus, jika ada kesalahan-kesalahan itu ada harus dikoreksi, dievaluasi dan diperbaiki untuk menjaga konsistensi kualitas pelayanan publik. Dan untuk masyarakatnya yang masih malas atau enggan untuk mengurus IMB terkait dengan Perda Nomor 19 Tahun 2003, agar secepatnya sadar dan mau mambuka diri untuk mengurus IMB. Terkait ketidaktahuan dalam mengurus IMB rajin-rajinlah bertanya dan cari tahu tentang informasi IMB ini. Akses informasi begitu banyak diemukan, baik itu dari dinasnya, teman, brosur, dan dari website internet. 64 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 DAFTAR PUSTAKA Buku, Jurnal Dan Makalah Joko, Widodo.( 2001). Good Governance. Insan Cendikia. Surabaya. Miftah, Thoha. (2004). Birokrasi dan Politik di Indonesia. Raja Grafindo Persada. Surabaya. Lijan, Poltak Sinambela. (2007). Reformasi Pelayanan Publik, Teori, kebijakan dan Implemetasi. Bumi Aksara. Jakarta. Sampara Lukman. (2000). Manajemen Kualitas Pelayanan. STIA LAN Press. Jakarta. Hessel Nogi, Tangkilisan. (2005). Manjemen Publik. Grasindo Gramedia Widia Sarana Indonesia. Jakarta. Putra, Fadilah. (2005). Kebijakan Tidak Untuk Publik. CV. Langit Aksara. Yogyakarta. Keban, Yeremias T. (2005), Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik, Konsep, Teori, dan Isu. Penerbit Gaya Media. Yogyakarta. Patricia, Patton. (1998). Pelayanan Sepenuh Hati, Jakarta: Pustaka Delapatra Sugiono. (2008). Metode Penelitian Pendidikan, (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D). Alfabeta. Bandung. Peraturan Perundang-undangan Keputusan Mentri Penerapan Apatatur Negara No. 81/1993 Perda Kota Bukittinggi Nomor. 19/2003 Tentang IMB (Izin Mendirikan Bangunan) 65 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 KEDUDUKAN PIHAK YANG LEMAH PADA PERUSAHAAN YANG MELAKUKAN MERGER DENGAN MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAPNYA Rizki Tri Anugrah Bhakti1 ABSTRAK Akibat dari persaingan usaha menyebabkan setiap perusahaan dituntut untuk bisa menghadapi tantangan dan hambatan yang timbul dari adanya persaingan tersebut. Perusahaan berlomba-lomba menggunakan strategi yang tepat untuk mempertahankan kelangsungan bisnisnya. Untuk itulah merger atau penggabungan dianggap merupakan strategi yang dapat dilakukan perusahaan untuk mengembangkan perusahaan, sehingga pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan nilai perusahaan. Meningkatnya keuntungan yang didapat perusahaan, juga mengandung unsur kerugian didalamnya. Unsur kerugian akibat tindakan Merger ini lebih dirasakan oleh pihak-pihak yang tergolong lemah/kecil yang kedudukannya menjadi riskan, misalnya saja pihak yang lemah karena struktural, pihak yang lemah karena financial, pihak yang lemah karena lokalisasi, dan juga karena adanya penerapan Appraisal Rights. Oleh karena itulah perlu adanya perlindungan hukum untuk menjaga keadilan dengan melindungi pihak yang lemah tersebut. Kata Kunci: Persaingan Usaha, Merger, Perlindungan Hukum PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi yang semakin berkembang saat ini membuat perusahaan semakin terpacu untuk mengembangkan bisnisnya. Adanya persaingan yang 1 Dosen Program Studi Ilmu Hukum Universitas Putera Batam 66 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 begitu ketat, setiap perusahaan akan dituntut untuk dapat menghadapi tantangan dan hambatan yang timbul dari adanya persaingan tersebut. Sehingga perusahaan diharapkan dapat menggunakan strategi yang tepat untuk mempertahankan kelangsungan bisnisnya, serta penggunaan strategi bisnis yang tepat oleh perusahaan dapat dijadikan sebagai alat untuk meningkatkan nilai (value) bagi perusahaan, terutama dalam hal peningkatan laba perusahaan. Salah satu upaya yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan guna mencari jalan untuk meningkatkan efisiensinya adalah melakukan pengurangan biaya yang tidak sampai mengakibatkan penurunan pendapatan. Namun cara tersebut masih dianggap belum cukup meningkatkan keuntungan perusahaan. Sehingga upaya lain yang dapat dilakukan adalah melakukan merger atau penggabungan perusahaan.2 Merger atau penggabungan dianggap merupakan strategi yang handal yang dapat dilakukan perusahaan untuk lebih mengembangkan bisnis perusahaan, yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan nilai perusahaan. Dalam hal ini meningkatnya laba atau keuntungan yang didapat perusahaan. Merger merupakan bentuk penggabungan usaha antara perusahaan yang satu, dengan perusahaan yang lain yang bertujuan meningkatkan nilai perusahaan, sehingga akan memperoleh hak kendali (control) atas perusahaan tersebut. Di Indonesia perkembangan merger mengalami peningkatan, hal ini dapat dilihat dari semakin banyaknya perusahaan yang melakukan Merger. Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas merupakan tonggak sejarah tentang Merger. Sebab didalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas pengaturan tentang merger lumayan komprehensif di tingkat undang-undang. Sungguhpun sebelumnya 2 Adrian, Sutedi. (2010). Hukum Perbankan: Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi dan Kepailitan. Sinar Grafika. Jakarta. Hal. 83. 67 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 ada pengaturan merger, tetapi hal tersebut baru bersifat sektoral dan level pengaturannya pun masih ditingkat dibawah undang-undang.3 Sebagaimana diketahui bahwa salah satu kelebihan dari UndangUndang Nomor 1 Tahun 1995 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang tidak dimiliki oleh pasal-pasal tentang Perseroan Terbatas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang adalah diaturnya mengenai Merger, Akuisisi, dan Konsolidasi. Istilah Merger dimaksudkan sebagai satu “fusi” atau “absorpsi” dari suatu benda atau hak kepada benda atau hak lainnya. Di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menggunakan istilah “penggabungan” untuk pengertian Merger ini. 4 Alasan utama perusahaan lebih memilih melakukan Merger sebagai strategi utama perusahaan dalam pengembangan perusahaannya adalah karena dengan strategi Merger perusahaan tidak perlu memulai awal bisnis yang baru karena bisnis perusahaan telah terbentuk sebelumnya, sehingga tujuan perusahaan akan dapat dengan cepat terwujud. Selain itu Merger memberikan banyak keuntungan lain yaitu peningkatan Sumber Daya Manusia perusahaan, peningkatan kemampuan dalam hal pemasaran, skill manajerial, riset, perpindahan atau transfer teknologi, dan akan adanya efisiensi biaya produksi perusahaan. Dari sekian banyak keutungan yang didapat atas dilakukannya tindakan Merger tersebut, terkandung juga unsur kerugian didalamnya. Unsur kerugian akibat tindakan Merger ini lebih dirasakan oleh pihak-pihak yang tergolong lemah/kecil yang kedudukannya menjadi riskan, misalnya saja pihak yang lemah karena struktural, pihak yang lemah karena financial, pihak yang lemah karena lokalisasi, dan juga karena adanya penerapan Appraisal Rights. Untuk itulah penulis tertarik untuk mengkaji kedudukan pihak yang lemah pada perusahaan yang melakukan merger dengan memberikan 3 4 Munir, Fuady. (1999). Hukum Tentang Merger. Citra Aditya Bakti. Bandung. Hal. 20. Ibid, Hal. 2. 68 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 perlindungan hukum terhadapnya, dengan rumusan masalah yaitu bagaimanakah bentuk perlindungan hukum terhadap kepentingan pihak yang lemah akibat dilakukannya tindakan Merger. TINJAUAN PUSTAKA Merger Merger adalah salah strategi perusahaan dalam mengembangkan dan menumbuhkan perusahaan. Merger didefinisikan penggabungan usaha dari dua atau lebih perusahaan yang pada akhirnya bergabung ke dalam salah satu perusahaan yang telah ada sebelumnya, sehingga menghilangkan salah satu nama perusahaan yang melakukan merger. Berdasarkan aktivitas ekonomi maka merger dapat diklasifikasikan dalam lima bentuk, yaitu: 1. Merger Horizontal Merger horisontal adalah merger antara dua atau lebih perusahaan yang bergerak dalam industri yang sama. Sebelum terjadi merger perusahaan-perusahaan ini bersaing satu sama lain dalam pasar/industri yang sama. Salah satu tujuan utama merger dan akuisisi horisontal adalah untuk mengurangi persaingan atau untuk meningkatkan efisiensi melalui penggabungan aktivitas produksi, pemasaran dan distribusi, riset dan pengembangan serta fasilitas administrasi. 2. Merger Vertikal Merger vertikal adalah integrasi yang melibatkan perusahaanperusahaan yang bergerak dalam tahapan-tahapan proses produksi atau operasi. Merger dan akuisisi vertikal dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang bermaksud untuk mengintegrasikan usahanya terhadap pemasok dan/atau pengguna produk dalam rangka stabilisasi pasokan dan pengguna. 69 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 3. Merger Konglomerat Merger konglomerasi adalah merger dua atau lebih perusahaan yang masing-masing bergerak dalam industri yang tidak terkait. konglomerasi terjadi apabila sebuah perusahaan berusaha mendiversifikasi bidang bisnisnya dengan memasuki bidang bisnis yang berbeda sama sekali dengan bisnis semula. 4. Merger Ekstensi Pasar Merger ekstensi pasar adalah merger yang dilakukan oleh dua atau lebih perusahaan untuk secara bersama-sama memperluas area pasar. Tujuan merger ini terutama untuk memperkuat jaringan pemasaran bagi produk masing-masing perusahaan. Merger ekstensi pasar sering dilakukan oleh perusahan-perusahan lintas negara dalam rangka ekspansi dan penetrasi pasar. 5. Merger Ekstensi Produk Merger ekstensi produk adalah merger yang dilakukan oleh dua atau lebih perusahaan untuk memperluas lini produk masingmasingperusahaan. Setelah merger perusahaan akan menawarkan lebih banyak jenis dan lini produk sehingga akan menjangkau konsumen yang lebih luas. Merger ini dilakukan dengan memanfaatkan kekuatan departemen riset dan pengembangan masing-masing untuk mendapatkan sinergi melalui efektivitas riset sehingga lebih produktif dalam inovasi. Perlindungan Hukum Menurut Pjillipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat adalah sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan represif. Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah besikap hati-hati dalam pengambilan keputusan berdasarkan diskresi, dan perlindungan yang represif 70 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk penangananya di lembaga peradilan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa yang dimaksud perlindungan hukum adalah segala upaya yang dilakukan untuk melindungi subyek itu melalui pengaturan-pengaturan dalam bentuk hukum, baik berupa peraturan perundang-undangan atau peraturan lain, maupun putusan-putusan dari pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Putusanputusan pengadilan yang mempunyai tiga macam kekuatan eksekutorial atau kekuatan untuk dilaksanakan. Suatu putusan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan/ sengketa dan menetapkan hak/hukumnya. Ini tidak berarti semata-mata hanya menetapkan hak dan hukumnya saja, melainkan juga realisasi/pelaksanaannya (eksekusinya) secara paksa.5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Merger dapat diartikan sebagai penyatuan atau penggabungan dua perusahaan atau lebih dengan cara mendirikan perusahaan baru dan membubarkan perusahaan lainnya. Dalam hal ini salah satu perusahaan atau lebih dapat menggabungkan diri menjadi satu dengan perusahaan yang telah ada dan salah satu dari perusahaan yang akan digabungkan itu tetap dipertahankan keberadaannya, sehingga segala hak dan kewajiban yang ada dialihkan kepada perusahaan penerima penggabungan perusahaan tadi.6 Keputusan untuk melakukan Merger bagi suatu perusahaan bukanlah hal yang mudah. Perlu adanya pertimbangan dalam berbagai hal sehingga pelaksanaan merger tersebut dapat berhasil dan menguntungkan baik perusahaan yang menggabungkan diri, maupun perusahaan tujuan Merger itu sendiri. Dalam istilah hukum perusahaan, Merger adalah an amalgamation of 5 Poerwadarminto, W.J.S. (1989). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. Hal. 68. 6 Rachmadi, Usman. (2004). Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Hal. 88. 71 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 two corporations pursuant to statutory provision on which one of the corporations survives and the other disappears, yang berarti tindakan penggabungan dua perusahaan sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang, dimana satu dari beberapa perusahaan tetap bertahan dan yang lainnya hilang.7 Didalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Merger disebutkan sebagai Penggabungan, yaitu perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum. Menurut rumusan di atas dapat diketahui bahwa Merger merupakan suatu bentuk penggabungan dua badan usaha, badan usaha yang satu tetap ada, dan yang satunya atau lainnya bubar secara hukum, dan nama perusahaan yang digunakan adalah perusahaan yang eksis/ada. Di dalam kegiatan usaha perusahaan, merger merupakan suatu cara pengembangan dan pertumbuhan perusahaan. Melalui Merger perusahaanperusahaan menggabungkan dan membagi sumber daya yang mereka miliki untuk mencapai tujuan bersama. Para pemegang saham dari perusahaanperusahaan yang bergabung tersebut seringkali tetap dalam posisi sebagai pemilik bersama entitas yang digabungkan. Dalam pelaksanaan Merger, seluruh aset, hak dan kewajiban dari badan hukum yang bubar tersebut tidaklah menjadi hilang sama sekali, melainkan diambil alih oleh perusahaan yang masih tetap ada.8 7 8 Adrian Sutedi. Op. Cit. Hal. 84 Ibid, Hal. 85. 72 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 Adapun tujuan dilakukannya Merger oleh perusahaanperusahaan besar antara lain:9 a. Meningkatkan barriens of market entry bagi calon pesaing yang akan muncul b. Menyingkirkan perusahaan pesaing dengan menjadikan perusahaan pesaing sebagai target company atau obyek Merger, konsolidasi atau akuisisi c. Membeli product line atau lines untuk melengkapi product lines dari perseroan yang akan menerima penggabungan atau menghilangkan ketergantungan perusahaan tersebut pada product lines atau service lines yang telah ada d. Untuk memperoleh akses pada teknologi baru atau teknologi yang lebih baik yang dimiliki oleh target company atau obyek Merger (penggabungan) perseroan terbatas, konsolidasi (peleburan) atau akuisisi (pengambilalihan perseroan) e. Memperoleh pasar dan atau pelanggan-pelanggan baru yang dimiliki oleh target company atau obyek Merger f. Membeli kantor-kantor (manufacturing, distribution sales administrative affice) dan membeli fasilitas-fasilitas dan perlengkapan lain yang dimiliki target company atau obyek Merger g. Memperoleh hak-hak pemasaran dan hak-hak prosuksi yang dimiliki target company h. Memperoleh bisnis line yang tidak dimiliki perusahaan yang menerima penggabungan, tetapi dimiliki oleh target company, agar business portfolionya semakin beragam 9 Sutan Remy Sjahdeini. Aspek Hukum Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Dalam Upaya Penyehatan Perusahaan. Makalah Seminar tentang Aspek Hukum Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Dalam era Globalisasi. Diselenggarakan oleh Badan Hukum Pembinaan NasionalDepartemen Kehakiman RI. Jakarta. Tgl. 10-11 Sepetember 1997 73 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 i. Memperoleh kepastian atas pasokan bahan-bahan baku yang kualitasnya baik selama ini dipasarkan oleh target company j. Melakukan investasi atas keuangan perusahaan yang berlebih dan tidak terpakai. Merger yang baik adalah Merger yang berakhir dengan deal yang win-win. Artinya baik bagi pihak perusahaan penggabung, maupun perusahaan target sama-sama dapat meraih manfaat dari adanya Merger tersebut. Ada beberapa informasi tentang perusahaan yang akan Merger yang penting diketahui oleh mereka yang akan melakukan Merger. Di negeri Belanda misalnya, informasi-informasi penting seperti ini bahkan dimintakan oleh Trade Union untuk perusahaan-perusahaan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Jika sebuah perusahaan ingin melakukan Merger dengan perusahaan lain maka terdapat faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dan diinvestigasikan terlebih dahulu, yaitu: faktor produksi, faktor financial, faktor pajak, faktor hukum, faktor pemasaran, faktor sumber daya manusia.10 Pertimbangan yang lain adalah Apabila perusahaan sedang menyimpan masalah serius di bidang perburuhan, seperti ada tenagatenaga kunci yang segera akan berhenti yang mungkin akan membawa banyak pelanggan perusahaan, atau serikat pekerja yang sedang merencanakan demonstrasi menuntut kenaikan upah, apakah ada banyak karyawan yang sudah di usia lanjut yang segera akan memasuki masa pensiun, dengan kewajiban perusahaan untuk membayar uang pensiun yang besar kepada pihak buruh, dan lain-lain. Merger selain dapat menciptakan efisiensi sehingga mampu mengurangi biaya produksi perusahaan, maka dapat juga menjadi 10 Bengston, Ann, McDonagh. (1994) Management of Mergers and Acquisitions. Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo. Hal. 240-244. Terjemahan Fauzi Bustami dalam Adrian Sutedi, Op. Cit.Hal. 103. 74 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 alasan bagi pelaku usaha kecil yang menganggap bahwa tidak ada lagi yang dapat dilakukan untuk meneruskan usahanya, sehingga merger dapat juga menjadi salah satu jalan keluar jika pelaku usaha mengalami kesulitan likuiditas. Ada beberapa alasan perusahaan melakukan penggabungan (merger), yaitu: a. Pertumbuhan atau diversifikasi. Yaitu perusahaan yang menginginkan pertumbuhan yang cepat, baik ukuran, pasar saham, maupun diversifikasi usaha dapat melakukan merger. Perusahaan tidak memiliki resiko adanya produk baru. Selain itu, jika melakukan ekspansi dengan merger, maka perusahaan dapat mengurangi perusahaan pesaing atau mengurangi persaingan. b. Sinergi Sinergi dapat tercapai ketika merger menghasilkan tingkat skala ekonomi (economies of scale). Tingkat skala ekonomi terjadi karena perpaduan biaya overhead meningkatkan pendapatan yang lebih besar dari pada jumlah pendapatan perusahaan ketika tidak merger. Sinergi tampak jelas ketika perusahaan yang melakukan merger berada dalam bisnis yang sama karena fungsi dan tenaga kerja yang berlebihan dapat dihilangkan. c. Meningkatkan dana Banyak perusahaan tidak dapat memperoleh dana untuk melakukan ekspansi internal, tetapi dapat memperoleh dana untuk melakukan ekspansi eksternal. Perusahaan tersebut menggabungkan diri dengan perusahaan yang memiliki likuiditas tinggi sehingga menyebabkan peningkatan daya pinjam perusahaan dan penurunan kewajiban keuangan. Hal ini memungkinkan meningkatnya dana dengan biaya rendah. 75 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 d. Menambah ketrampilan manajemen atau teknologi Beberapa perusahaan tidak dapat berkembang dengan baik karena tidak adanya efisiensi pada manajemennya atau kurangnya teknologi. Perusahaan yang tidak dapat mengefisiensikan manajemennya dan tidak dapat membayar untuk mengembangkan teknologinya, dapat menggabungkan diri dengan perusahaan yang memiliki manajemen atau teknologi yang ahli. e. Meningkatkan likuiditas pemilik Merger antar perusahaan memungkinkan perusahaan memiliki likuiditas yang lebih besar. Apabila sebuah perusahaan lebih besar, maka pasar saham akan lebih luas dan saham lebih mudah diperoleh sehingga lebih likuid dibandingkan dengan perusahaan yang lebih kecil. Adanya tindakan Merger, maka ada pihak-pihak tertentu yang tergolong lemah/kecil yang kedudukannya menjadi riskan. Adapun pihak yang lemah yang kedudukannya krusial jika terjadi Merger tersebut antara lain mereka yang lemah secara structural, financial, lokalisasi, dan akibat adanya penerapan appraisal right.11 a. Perlindungan pihak yang lemah secara structural Yang dimaksudkan dengan pihak yang lemah dalam struktur adalah bahwa kedudukan pihak tersebut dalam struktur pembagian wewenag dari suatu perusahaan sangat lemah dibandingkan dengan kedudukan pihak lainnya. Sebagai contoh menurut sistem hukum positif Indonesia, dari segi corporate law, kedudukan para pekerja di perusahaan lebih lemah dari kedudukan pihak lain seperti pemegang saham, direktur, komisaris. Para pekerja sama sekali tidak dilibatkan 11 Munir, Fuady. Op. Cit. Hal. 127. 76 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 dalam hal penentuan policy maupun operasional perusahaan. Sebagai contoh, kurang diperhatikannya setiap keluhan pekerja yang berkaitan dengan pekerjaannya kepada atasan langsung, sesuai dengan uraian tugas atau kebijakan perusahaan.12 Dalam kasus-kasus Merger, seringkali dengan alasan peningkatan efisiensi dan perampingan usaha, setelah Merger sebagian pekerja diputuskan untuk di PHK. Adanya perlindungan terhadap para pekerja tersebut dikarenakan belum adanya peraturan yang mensyaratkan beralihnya setiap kontrak kerja atas atau kesepakatan kerja bersama dari perusahaan yang dilebur kepada perusahaan yang melakukan Merger by the operation of law (demi hukum). Yang ada hanyalah bahwa pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja diperbolehkan asal dilakukan dengan prosedur dan syarat-syarat yang sesuai hukum yang berlaku. b. Perlindungan pihak yang lemah secara financial Secara yuridis ada pohak yang kuat dalam struktur kedudukannya, misalnya pemegang saham, namun karena ikatan financial yang lemah antara yang bersangkutan dengan perusahaan, misalnya karena sahamnya minoritas, maka konsekuensinya posisi yang bersangkutan juga akhirnya menjadi lemah. Perlindungan terhadap pemegang saham terutama pemegang saham minoritas sangat penting dalam hukum Merger, disamping perlindungan pihak-pihak lain seperti pihak karyawan perusahaan. c. Perlindungan pihak yang lemah secara lokalisasi Dalam hal ini pihak tersebut adalah pihak yang tersangkut dengan perusahaan tetapi memiliki kedudukan yang lemah secara 12 Adrian, Sutedi. (2009). Hukum Perburuhan. Sinar Grafika. Jakarta. Hal. 43 77 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 lokalisasi. Artinya pihak tersebut berada jauh dari perusahaan atau bahkan orang luar perusahaan itu sendiri, tetapi mempunyai hubungan dengan perusahaan. Hubungan tersebut dapat berupa: 1) Hubungan kontraktual, misalnya antara kreditur dengan perusahaan yang bersangkutan 2) Hubungan non kontraktual, misalnya dengan si tersaing secara fair Dalam hal ini kreditur harus lebih waspada jika suatu perusahaan melakukan Merger. Hal yang menyebabkan kreditur perlu waspada atas terjadinya Merger dikarenakan dengan adanya Merger maka akan terjadi dua hal antara lain: a. Peralihan asset Jika terjadi peralihan asset perusahaan yang melakukan Merger, dimana kedudukannya sebagi debitur, maka utang tersebut dapat menjadi utang tanpa dukungan asset yang merupakan jaminan pelunasan utang. b. Non Eksistensi Legal Entity Terhadap utang yang dimiliki oleh debitur namun justru eksistensi debitur bubar setelah emlakukan Merger, maka tindakan yang dapat dilakukan: c. Actio pauliana Jika debitur melakuakan pengalihan asset untuk mengelak pembayaran utang-utangnya, maka jika terpenuhi syarat-syarat tertentu seperti tersebut dalam Pasal 1341 KUHPerdata, maka pengalihan asset tersebut dapat dibatalkan dengan action pauliana, yaitu upaya hukum untuk membatalkan transaksi yang dilakukan oleh debitur untuk kepentingan debitur tersebut yang dapat merugikan kepentingan para krediturnya. 78 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 d. Negative covenant Jika ada Negative covenant dalam perjanjian kredit yang melarang atau harus minta izin kreditur jika asset ingin dialihkan. Dalam hal ini jika dilanggar oleh debitur hanya menyebabkan debitur gagal terhadap perjanjian kredit yang bersangkutan. Jadi tidak sampai batalnya transaksi pengalihan asset, yang kemungkinan telah sah dilakukan oleh debitur dengan pihak ketiga, kecuali pihak ketiga beritikad tidak baik untuk itu. e. Penerapan Appraisal Rights Apabila ada pihak pemegang saham yang tidak setuju dengan Merger, padahal Rapat Umum Pemegang Saham dengan suara mayoritas tertentu telah memutuskan untuk Merger, maka kepada pihak yang kalah suara ini oleh hukum diberikan suatu hak khusus yang disebut dengan Appraisal Rights. Maksud dari appraisal rights atau yang sering disebut dengan istilah dissenters right atau right of dissent, yang merupakan hak untuk keluar dari perusahaan dengan kewajiban dari pihak perusahaan atau pemegang saham lain untuk membeli saham pemegang saham yang keluar tersebut dengan saham yang dinilai (appraise) pada harga yang pantas.12 Sebagaimana yang disebutkan didalam Pasal 62 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang berbunyi: (1) Setiap pemegang saham berhak meminta kepada perseroan agar sahamnya dibeli dengan harga yang wajar apabila yang bersangkutan tidak menyetujui tindakan perseroan yang merugikan pemegang saham atau Perseroan, berupa: 12 Munir Fuady. (2005). Perlindungan Pemegang Saham Minoritas. CV Utomo. Bandung. Hal. 178. 79 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 a. perubahan Anggaran Dasar; b. pengalihan atau penjaminan kekayaan perseroan yang mempunyai nilai lebih dari 50% (lima puluh persen) kekayaan bersih perseroan; atau c. Penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan atau pemisahan. (2) Dalam hal saham yang diminta untuk dibeli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melebihi batas ketentuan pembelian kembali saham oleh perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf b, perseroan wajib mengusahakan agar sisa saham dibeli oleh pihak ketiga. Menurut uraian-uraian di atas dapat diketahui bahwa pilihan untuk melakukan Merger bagi suatu perusahaan harus didahului dengan pertimbangan-pertimbangan yang mengarah pada didapatkan keuntungan bagi semua pihak yang terkait di dalam perusahaan itu sendiri, sehingga justru tidak merugikan pihak-pihak tersebut terlebih bagi pihak yang lemah. Perlindungan bagi pihak yang lemah baik secara structural, financial, maupun lokalisasi serta mengenai penerapan appraisal rights perlu dilakukan oleh sektor hukum demi terwujudnya keadilan dan kesejahteraan masyarakat secara umum, dan dunia usaha khususnya. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Jika sebuah perusahaan ingin melakukan Merger dengan perusahaan lain maka terdapat faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dan diinvestigasikan terlebih dahulu, antara lain: faktor produksi, faktor financial, faktor pajak, faktor hukum, faktor pemasaran, faktor sumber daya manusia, dan faktor lain-lain. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor tersebut maka 80 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 akan dapat diperhitungkan bahwa merger yang dilakukan dapat memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak: artinya baik perusahaan penggabung maupun perusahaan target dapat sama-sama meraih manfaat dari adanya merger tersebut. Bentuk perlindungan hukum bagi pihak yang lemah dalam merger telah ditetapkan melalui peraturan perundang-undangan, yaitu UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, sehingga perusahaan yang akan melakukan tindakan Merger wajib mematuhi ketentuan tersebut, sehingga baik pihak yang lemah secara structural, financial, lokalisasi, maupun karena penerapan appraisal rights akan memdapatkan perlindungan hukum yang jelas. Saran Agar tindakan Merger yang akan dilakukan oleh perusahaan dapat diprediksi manfaatnya, maka para pihak yang terlibat didalamnya, baik perusahaan penggabung maupun perusahaan target harus sama-sama memberikan informasi yang benar. Untuk mendapatkan pertimbangan dan keakuratan data maka sebaiknya dilakukan oleh para ahli dibidangnya, misalnya konsultan hukum, ekonomi, perpajakan, dan lain-lain. Pihak yang lemah dalam suatu tindakan Merger juga harus mendapatkan perlindungan hukum yang maksimal, agar tidak satupun pihak yang merasa dirugikan atas dilakukannya tindakan merger. Saran untuk penegak hukum agar dengan tegas memberikan sanksi terhadap kelalaian hak-hak yang seharusnya diterima oleh para pihak yang lemah tersebut. DAFTAR PUSTAKA Buku, Jurnal Dan Makalah Adrian, Sutedi. (2010). Hukum Perbankan: Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi dan Kepailitan. Sinar Grafika. Jakarta. 81 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 Adrian, Sutedi. (2009). Hukum Perburuhan. Sinar Grafika. Jakarta. Bengston, Ann, McDonagh. (1994). Management of Mergers and Acquisitions. Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta. Munir, Fuady. (1999). Hukum Tentang Merger. Citra Aditya Bakti. Bandung. Munir Fuady. (2005). Perlindungan Pemegang Saham Minoritas. CV Utomo. Bandung. Rachmadi, Usman. (2004). Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Sutan Remy Sjahdeini. Aspek Hukum Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Dalam Upaya Penyehatan Perusahaan. Makalah Seminar tentang Aspek Hukum Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Dalam era Globalisasi. Diselenggarakan oleh Badan Hukum Pembinaan Nasional-Departemen Kehakiman RI. Jakarta. Tgl. 10-11 Sepetember 1997 82 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 KAJIAN PERBANDINGAN TENTANG PENGATURAN PENGARUH HAM SIPIL DAN POLITIK MASA ORDE BARU DAN MASA REFORMASI Rabu1 ABSTRAK Memahami politik hukum suatu perundang-undangan merupakan hal yang penting, mengingat pembuatan hukum atau perundang-undangan tidak terlepas dari system politik yang ada pada waktu itu. Hukum merupakan produk politik, dimana hokum dipandang sebagai kristalisasi dari proses interaksi atau pergulatan dari kehendak-kehendak kekuatan politik yang ada. Pengaturan tata pemerintahan daerah di Indonesia, ada seiring dengan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia Bahkan jika ditarik ke belakang, sejak pemerintahan Hindia Belandapun sudah ada. Dalam rentang waktu demikian, telah terjadi beberapa kali perubahan seiring dengan perubahan UUD dan/atau perubahan sistem politik. Pada masa Orde Baru pula pemerintahan menekankan stabilitas nasional dalam program politiknya dan untuk mencapai stabilitas nasional terlebih dahulu diawali dengan apa yang disebut dengan konsensus nasional, Materi penting yang lain dalam perubahan UUD 1945 adalah bahwa Presiden R.I. dipilih langsung oleh rakyat, dengan masa jabatan yang dibatasi untuk dua kali lima tahun. Kata Kunci: Pengaruh HAM Reformasi 1 Sipil, Politik Masa Orde Baru, Masa Dosen Program Studi Ilmu Hukum Universitas Putera Batam 83 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pengaruh politik hukum, pada penegakan hukumnya, karakteristik produk-produk hukum, serta proses pembuatannya. Hal di atas dapat dilihat dalam fakta berhukum sepanjang sejarah Indonesia, pelaksanaan fungsi dan penegakkan hukum tidak selalu berjalan seiring dengan perkembangan strukturnya. Hal ini akan tampak jelas jika ukuran pembangunan hukum di Indonesia adalah unifikasi dan kodifikasi hukum, maka pembangunan struktur hukum telah berjalan dengan baik dan stabil. Karena dari waktu ke waktu produktifitas perundang-undangan mengalami peningkatan. Namun dari sisi yang lain, dari segi fungsi hukum telah terjadi kemerosotan.2 Struktur hukum dapat berkembang dalam kondisi konfigurasi politik apapun dengan ditandai keberhasilan pembuatan kodifikasi dan unifikasi hukumsebagaimana tampak dalam Program Legislasi Nasional. Tetapi pelaksanaan fungsi atau penegakan fungsi hukum cenderung menjadi lemah. Sekalipun produk hukum yang dihasilkan jumlahnya secara kuantitatif meningkat, tetapi substansi dan fungsi hukumnyapun tidak selalu meningkat atau sesuai dengan aspirasi masyarakat. Hal ini terjadi ketidak sinkronan antara struktur hukum dengan fungsi.3 Hukum sebagaimana disebut di atas disebabkan oleh karena intervensi atau gangguan dari tindakan-tindakan politik. Hukum kadang tidak (dapat) ditegakkan karena adanya intervensi kekuasaan politik. Pengaturan tata pemerintahan daerah di Indonesia, ada seiring dengan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia bahkan jika ditarik ke belakang, sejak pemerintahan Hindia Belandapun sudah ada. Dalam rentang waktu demikian, 2 Satjipto, Rahardjo. (1985). Beberapa Pemikiran tentang Ancangan antar Disiplin dalam Pembinaan Hukum Nasional. Sinar Baru. Bandung. Hal.71 3 Soerjono, Soekanto. (1985). Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat, Rajawali, Jakarta. Hal. 9 84 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 telah terjadi beberapa kali perubahan seiring dengan perubahan UUD dan/atau perubahan sistem politik. Tulisan ini bermaksud untuk mengidentifikasi korelasi causalitas antara subsistem politik dan subsistem hukum. Yaitu bagaimana konfigurasi politik mempengaruhi karakter produk hukum pemerintahan di Indonesia. Manusia tidak hidup diruang hampa, tetapi manusia hidup ada faktor yang mempengaruhi, baik sosial, politik dan kultural yang menyelimuti kehidupan manusia dasar inilah yang menyadarkan manusia sebagai makhluk sosial, yang sederetan upaya manusia dalam menterjemahkan fungsi sosial manusia berimplikasi pada hadirnya suatu kesadaran bahwa manusia adalah bagian dari kehidupan manusia lainnya dengan kata lain, secara universalitas bahwa kehidupan dan jati diri manusia adalah bagian dari totalitas dalam pembangunan manusia itu sendiri. Setiap masyarakat yang teratur yang bisa menentukan pola-pola hubungan dalam masyarakat dalam struktur politik yang menaruh perhatian pada pengorganisasian kegiatan kolektif untuk mencapai tujuan. Mempunyai tujuan, didahului oleh proses pemilihan tujuan diantara berbagai tujuan karena itu, politik adalah aktivitas memilih suatu tujuan social tertentu, maka cara-cara yang hendak dicapai memerlukan sebuah proses politik hukum.4 Pengertian Politik Hukum Istilah politik hokum dapat diartikan sebagai act of choice in determining ius constiituendum (tindakan memilih dalam menentukan hokum yang dicita-citakan). Menurut Sudarto, politik hukum adalah usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada saat itu, dan beliau juga mengemukakan pengertian dari politik hukum yaitu kebijakan dari Negara melalui badan-badan yang berwenang 4 Satjipto, Rahardjo. (2006). Ilmu Hukum Citra Aditiya Bakti. Bandung. Hal. 358 85 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dihendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.5 Politik hukum menurut Abdul Hakim sebagaimana dikutip oleh Moh. Mahfud adalah kebijaksanaan hukum (legal policy) yang hendak atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia yang dalam implementasinya meliputi: 1. Pembangunan hukum yang berintikan pembuatan hukum dan pembaharuan hukum terhadap bahan-bahan hukum yang dianggap asing atau tidak sesuai dengan kebutuhan dengan penciptaan hukum yang diperlukan. 2. Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan anggota penegak hukum Memahami politik hukum suatu perundang-undangan merupakan hal yang penting, mengingat pembuatan hukum atau perundang-undangan tidak terlepas dari sistem politik yang ada pada waktu itu. Hukum merupakan produk politik, dimana hukum dipandang sebagai kristalisasi dari proses interaksi atau pergulatan dari kehendak-kehendak kekuatan politik yang ada. Maka secara “das sollen” politiklah yang harus tunduk pada ketentuan hokum, tetapi secara “das sein” (empiris) hukumlah yang sebenarnya diintervensi oleh politik, sehingga karakter produk hukum dan penegakannya akan sangat ditentukan oleh konfigurasi politik yang melatarbelakanginya.6 Cita-cita hukum yang tetap actual dan aspiratif adalah adanya implemaentasi nyata makna Negara hukum dengan terus menerus mengembangkan prinsip- 5 Bambang, Sutiyoso, dkk. (2005). Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia. UII Press. Yogyakarta. Hal. 95 6 Moh. Mahfud. (1993). Perkembangan Politik Hukum Studi Pengaruh Konfigurasi Politik Terhadap Produk Hokum Di Indonesia, UGM, Yogyakarta. Hal. 74 86 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 prinsip demokratisasi, keterbukaan, keadilan, persamaan hak dan kedudukan secara hukum serta adanya jaminan yang pasti terhadap hak asasi manusia.7 Politik hukum Indonesia sesungguhnya harus berorientasi pada citacita Negara hukum yang didasarkan atas prinsip-prinsip demokrasi dan berkeadilan sosial dalam suatu masyarakat bangsa Indonesia yang bersatu sebagaimana yang tertuang dalam pembukaan (undang-undang dasar 1945)8 Pengaruh Konfigurasi Politik Terhadap Produk Hukum Lahirnya suatu konfigurasi politik tidaklah mutlak tergantung pada konstitusi atau UUD yang berlaku. Berlakunya suatu UUD dapat memperlihatkan konfigurasi politik yang berbeda pada periode yang berbeda, UUD 1945 yang berlaku sejak tahun 1945 telah melahirkan konfigurasi politik yang berbeda termasuk karakter produk hukumnya yang berbeda pula yang terdapat dikelompokkan menjadi empat bagian: a. Konfigurasi politik periode 1945-1958 (demokrasi-liberal) termasuk dalam konfigurasi politik demokratis dan karakter produk hukumnya adalah responsif atau populistis, pada masa ini di samping berlaku UUD 1945 dari tahun ke tahun 1945-1949, berlaku pula konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950. b. Konfigurasi politik periode 1959-1966 (demokrasi terpimpim/orde lama) dikelompokkan dalam konfigurasi politik yang otoriter dengan karakter produk hukum yang cenderung konservatif atau ortodoks. c. Konfigurasi politik periode 1966-1998 (demokrasi orde baru) termasuk dalam konfigurasi politik yang otoriter dengan produk hokum yang konservatif atau ortodoks 7 Asri Muhammad saleh, menegakkan hokum atau mendirikan hokum, Bina mandiri pres pekanbaru, 2003.hal.66 8 Abdul, Hakim. (1988). Politik Hukum Indonesia. YLBHI. Jakarta. Hal. 20 87 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 d. Konfigurasi politik periode 1998-sekarang (orde-reformasi) orde reformasi muncul mengantikan orde baru yang tumbang pada tanggal 21 mei 1998, karena gerakan kekuatan rakyat (people power) yang dipelopori mahasiswa. Orde ini menginginkan semangat reformasi dalam segala bidang kehidupan, terutama ekonomi, politik, dan hukum. Konfigurasi politik yang hendak dibangun adalah konfigurasi politik yang demokratis, dengan berupaya membuat produk yang responsif. Untuk dapat menilai bagaimana konfigurasi politik pada periode ini harus melihat perkembangan dan implementasinya lebih jauh di kemudian hari, maka terlalu dini untuk dapat memberikan penilaian sekarang ini, mengingat orde reformasi baru berjalan beberapa tahun sehingga perlau diberikan waktu untuk membuktikan kinerjanya.9 Ciri-ciri Konfigurasi Politik Otoriter Pada Masa Orde Baru Peristiwa yang lazim disebut Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) menandai pergantian orde dari Orde Lama ke Orde Baru. Pada tanggal 1 Maret 1966 Presiden Soekarno dituntut untuk menandatangani sebuah surat yang memerintahkan pada Jenderal Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang perlu untuk keselamatan negara dan melindungi Soekarno sebagai Presiden. Surat yang kemudian dikenal dengan sebutan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) itu diartikan sebagai media pemberian wewenang kepada Soeharto secara penuh. Orde Baru dikukuhkan dalam sebuah sidang MPRS yang berlangsung pada Juni-Juli 1966. diantara ketetapan yang dihasilkan sidang tersebut adalah mengukuhkan Supersemar dan melarang PKI berikut ideologinya tubuh dan berkembang di Indonesia. Menyusul PKI sebagai partai terlarang, setiap 9 ibid, hal 97-98 88 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 orang yang pernah terlibat dalam aktivitas PKI ditahan. Sebagian diadili dan dieksekusi, sebagian besar lainnya diasingkan ke pulau Buru.10 Pada masa Orde Baru pula pemerintahan menekankan stabilitas nasional dalam program politiknya dan untuk mencapai stabilitas nasional terlebih dahulu diawali dengan apa yang disebut dengan konsensus nasional. Ada dua macam konsensus nasional, yaitu : 1. Pertama berwujud kebulatan tekad pemerintah dan masyarakat untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Konsensus pertama ini disebut juga dengan konsensus utama. 2. Sedangkan konsensus kedua adalah konsensus mengenai cara-cara melaksanakan konsensus utama. Artinya, konsensus kedua lahir sebagai lanjutan dari konsensus utama dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Konsensus kedua lahir antara pemerintah dan partai-partai politik dan masyarakat. Secara umum, elemen-elemen penting yang terlibat dalam perumusan konsensus nasional antara lain pemerintah, TNI dan beberapa organisasi massa. Konsensus ini kemudian dituangkan kedalam TAP MPRS No. XX/1966, sejak itu konsensus nasional memiliki kekuatan hukum yang mengikat bagi seluruh rakyat Indonesia. Beberapa hasil konsensus tersebut antara lain penyederhanaan partai politik dan keikutsertaan TNI/Polri dalam keanggotaan MPR/DPR. Berdasarkan semangat konsensus nasional itu pemerintah Orde Baru dapat melakukan tekanan-tekanan politik terhadap partai politik yang memiliki basis massa luas. Terlebih kepada PNI yang nota bene partai besar dan dinilai memiliki kedekatan dengan rezim terdahulu. Pemerintah orde baru juga melakukan tekanan terhadap partai-partai dengan basis massa Islam. Satu contoh ketika para tokoh Masyumi ingin menghidupkan kembali partainya yang telah dibekukan pemerintah Orde Lama, pemerintah memberi izin dengan dua syarat Pertama, tokoh-tokoh 10 BJ Boland, Pergumulan Islam di Indonesia, (Jakarta: Grafiti Press, 1985), hal. 148-150. 89 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 lama tidak boleh duduk dalam kepengurusan partai. Kedua, masyumi harus mengganti nama sehingga terkesan sebagai partai baru.11 Pada Pemilu 1971 partai-partai politik disaring melalui verifikasi hingga tinggal sepuluh partai politik yang dinilai memenuhi syarat untuk menjadi peserta pemilu. Dalam pemilu kali ini didapati Golongan Karya (Golkar) menjadi peserta pemilu. Pada mulanya Golkar merupakan gabungan dari berbagai macam organisasi fungsional dan kekaryaan, yang kemudian pula pada 20 Oktober 1984 mendirikan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Tujuannya antara lain memberikan perlindungan kepada kelompok-kelompok fungsional dan mengkoordinir mereka dalam front nasional. Sekber Golkar ini merupakan organisasi besar yang dikonsolidasikan dalam kelompok-kelompok induk organisasi seperti SOKSI, KOSGORO, MKGR dan lainnya sebagai “Political Battle Unit “ rezim orde baru. Pasca pemilu 1971 muncul kembali ide-ide penyederhanaan partai yang dilandasi penilaian hal tersebut harus dilakukan karena partai politik selalu menjadi sumber yang mengganggu stabilitas, gagasan ini menimbulkan sikap Pro dan Kontra karena dianggap membatasi atau mengekang aspirasi politik dan membentuk partai-partai hanya kedalam golongan nasional, spiritual dan karya.12 Pada tahun 1973 konsep penyederhanaan partai (Konsep Fusi) sudah dapat diterima oleh partai-partai yang ada dan dikukuhkan melalui UndangUndang No. 3/1975 tentang Partai Politik dan Golongan, sistem fusi ini berlangsung hingga lima kali Pemilu selama pemerintahan orde baru (1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997). 11 Jimly, Asshiddiqie. (2005) Kemerdekaan Berserikat Pembubaran Partai Politik dan Mahkamah Konstitusi. Konpress. Jakarta. Hal. 190 12 Nur, Syam. (1999). Kegagalan Mendekatkan Jarak Ideologi Partai Politik, Pengalaman Indonesia Orde Baru. Edisi XVII. 90 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 Ciri-ciri Konfigurasi Politik Demokratris Pada Masa Reformasi Karakter Politik Momentum peruhan politik tahun 1998, yang dikenal dengan reformasi, ditandai dengan turunnya Soeharto dari tampuk kursi kepresidenan Indonesia yang telah dikuasainya selama lebih dari tigapuluh tahun. Jatuhnya rejim otoritarian Orde Baru diikuti dengan perubahan konstitusi negara, yaitu amandemen UUD 1945 hingga empat tahapan. Hasil dari perubahan konstitusi tersebut adalah perubahan secara signifikan sistem ketatanegaraan R.I. Struktur lembaga negara yang tidak diperlukan dibubarkan, kemudian atas tuntutan perkembangan politik dan masyarakat dibentuk lembaga negara baru. DPA dibubarkan, dibentuk MK dan DPD sebagai lembaga tinggi negara. Lembaga perwakilan rakyat direformasi dengan berbagai cara menghilangkan unsur-unsur keterwakilan yang pada masa lalu digunakan sebagai alat kekuasaan eksekutif. Unsur ABRI, Utusan Golongan dan Utusan Daerah yang selama Orde Baru digunakan untuk membangun legitimasi formal dihilangkan dari DPR. Semua anggota DPR dipilih oleh rakyat melalui partai politik. Untuk memenuhi dan mewadahi aspirasi dan kepentingan daerah, maka dibentuklah DPD, yang susunannya dipilih langsung oleh rakyat dari daerah yang diwakilinya (Propinsi). MPR berjalan seolah joint session antara DPR dan DPD, dengan tugas dan wewenang yang lebih terbatas (bukan lagi menjadi lembaga tertinggi negara). Reformasi juga menjangkau hingga pada pengaturan tentang sistem kepartaian di Indonesia. Masyarakat diberikan kebebasan yang sangat luas untuk membentuk partai politik, dan bagaikan jamur di musim hujan sejak itu lebih dari seratus partai politik yang terdaftar di Departemen Hukum dan HAM. Sekalipun demikian untuk mengikuti pemilu partai politik harus memenuhi persyaratan tertentu yang tidak mudah. 91 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 Apabila ditelusuri kembali pasca reformasi partisipan pemilu selalu diikuti oleh lebih dari 20 partai politik. Bahkan pada pemilu legislatif 2009 yang baru lalu diikuti oleh 40 partai politik. Pemilu menjadi sarana yang sangat penting dalam system politik demokrasi untuk menyalurkan aspirasi dan agregasi sekaligus rekruitmen politik rakyat. Pemilu sekaligus menjadi ajang untuk melakukan seleksi kebijakan nasional bagi penyusunan program negara R.I. Oleh karena itu pemilu harus dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum sebagai lembaga yang independen namun dengan kedudukan yang kuat. Materi penting yang lain dalam perubahan UUD 1945 adalah bahwa Presiden R.I. dipilih langsung oleh rakyat, dengan masa jabatan yang dibatasi untuk dua kali lima tahun. Selebihnya tidak dapat dipilih lagi. Dengan pemilihan presiden secara langsung, maka aspirasi rakyat akan menjadi lebih terjamin. Rakyat sendirilah yang memilih presidennya, sehingga setiap suara rakyat menjadi semakin berarti. Pers sebagai pilar keempat demokrasi berperan semakin maksimal ketika ruang ekspresi dan informasi dibuka lebar. Media massa tidak takut lagi dengan ancaman breidel oleh pemerintah. Bahkan independensi media dilindungi dengan UU Pers dan Negara telah memasukkan pers sebagai rejim HAM, sehingga urgensi pemeruhannya menjadi semakin pokok. Pada periode ini kekuatan pers untuk menjadi pilar keempat demokrasi benar-benar mendapatkan ruang yang sangat besar. Gerakan reformasi yang menyebabkan jatuhnya Presiden Suharto dan rezim Orde Barunya, juga memberikan semangat kebangkitan kepada pers di Indonesia. Ungkapan salah satu wartawan Malang: “Reformasi dan kebebasan pers digambarkan seperti “sebuah pesta” ”. Era reformasi ditandai dengan terbukanya kran kebebasan informasi. Di dunia pers, kebebasan itu ditunjukkan dengan dipermudahnya pengurusan SIUPP33. Sebelum tahun 1998 proses perolehan SIUPP melibatkan 16 tahap, tetapi dengan instalasi 92 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 Kabinet BJ Habibie, dikurangi menjadi tiga tahap. Di samping itu pada bulan September 1999, pemerintahan BJ Habibie mensahkan Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, menggantikan UU RI No. 11 Tahun 1966, UU RI No. 4 Tahun 1967 dan UU No. 21 Tahun 1982, yang diakui “sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Pengakuan ketidaksesuaian dalam perundang-undangan Republik Indonesia tersebut, merupakan sejenis kemenangan untuk pers Indonesia. UU RI No. 40 Tahun 1999, antara lain, menjamin kebebasan pers serta mengakui dan menjamin hak memperoleh informasi dan kemerdekaan mengungkapkan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani sebagai hak manusia yang paling hakiki. Pasal 2 menyebutkan “kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum”. UU RI No. 40 Tahun 1999 tersebut juga memberikan kebebasan kepada wartawan untuk memilih organisasi wartawan sekaligus menjamin keberadaan Dewan Pers. Longgarnya proses mendapatkan SIUP, hampir 1000 SIUPP yang baru telah disetejui oleh Menteri Informasi dalam jangka waktu dari bulan Juni 1998 sampai Desember 200035. Lagi pula, angka tersebut tidak termasuk sekitar 250 SIUPP yang telah diterbitkan sebelum reformasi. Sebagian besar dari meledaknya terbitan itu merupakan tabloid mingguan yang berorientasi politik yang dimiliki dan didukung oleh konglomerat media, misalnya Bangkit (Kompas–Gramedia Grup) dan Oposisi (Jawa Pos Grup). Dengan menjamurnya terbitan tersebut, tidak perlu lagi mengartikan ungkapan yang tersembunyi atau „read between the lines’ seperti ketika Orde Baru. Namun, sekarang yang diperlukan adalah sikap skeptis dalam memperoleh informasi berita sehingga media dapat menghasilkan berita yang dipercaya, bukan hanya sekedar bersifat sensasional saja. Tahun ketiga yang sejak jatuhnya Suharto dan pergantian rezimnya, muncul kencendrungan baru dalam pers di Indonesia. 93 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 Proses itu melibatkan banyak terbitan yang muncul di daerah-daerah untuk melayani informasi warga di daerah itu. Fenomena lokalisasi pers dan permunculan pers daerah akan dibahas lebih terinci dalam bab berikutnya. Konfigurasi politik pasca reformasi menunjukkan pola keterbukaan yang membuka peluang bagi berperannya seluruh potensi rakyat secara maksimal untuk turut aktif menentukan kebijakan negara. Di dalam konfigurasi politik yang demikian maka pemerintah lebih berperan sebagai pelayan yang harus melaksanakan kehendakkehendak masyarakatnya, yang dirumuskan secara demokratis oleh badan perwakilan rakyat dan partai politik berfungsi secara proporsional. Karakter Produk Hukum Salah satu buah manis reformasi adalah pelaksanaan otonomidaerah yang memberikan kewenangan yang sangat besar kepada daerah dalam pengambilan keputusan publik dan penyelenggaraan pemerintahan. Konsep pengaturan otonomi daerah sebagaimana diatur dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah, memberikan otonomi yang seluasluasnya kepada daerah dengan menyerahkan sebagian besar urusan penyelenggaraan pemerintahan kepada daerah, kecuali hanya untuk urusan yang secara materiil memang tidak mungkin diserahkan kepada daerah, yaitu kewenangan moneter, hubungan luar negeri, pertahan, keamanan, pengadilan, dan agama. UU No. 22 Tahun 1999 ternyata dirasakan terlalu terbuka. Oleh karena itu untuk menata agar pelaksanaan otonomi daerah tidak menyimpang dan membahayakan Negara kesatuan R.I. maka dibuat UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Menurut UU No. 32 Tahun 2004, pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip 94 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat melalui pilkada langsung. Daerah (kepala daerah dan DPRD) memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan daerah untuk memberikan pelayanan, peningkatan peran serta masyarakat, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Ada beberapa alasan perlunya pemerintah pusat mendesentralisasikan kekuasaan kepada pemerintah daerah, yaitu: 1. Segi politik, desentralisasi dimaksudkan untuk mengikutsertakan warga dalam proses kebijakan, baik untuk kepentingan daerah sendiri maupun untuk mendukung politik dan kebijakan nasional melalui pembangunan proses demokrasi di lapisan bawah. 2. Segi manajemen pemerintahan, desentralisasi dapat meningkatkan efektivitas efisiensi, dan akuntabilitas publik terutama dalam penyediaan pelayanan publik. 3. Segi kultural, desentralisasi untuk memperhatikan kekhususan, keistime-waan suatu daerah, seperti geografis, kondisi penduduk, perekonomian, kebudayaan, atau latar belakang sejarahnya. 4. Segi kepentingan pemerintah pusat, desentralisasi dapat mengatasi kelemahan pemerintah pusat dalam mengawasi programprogramnya. 5. Segi percepatan pembangunan, desentralisasi dapat meningkatkan persaingan positif antar daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat sehingga mendorong pemerintah daerah untuk melakukan inovasi dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat, 37 Kebijakan pembangunan nasional sebagaimana diungkap oleh UU Nomor 32 tahun 2004 telah 95 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 memberikan petunjuk yang jelas bahwa sebagian besar urusan dan tanggung jawab pengelolaan dan pelaksanaan pembangunan diserahkan kepada pemerintah daerah. Penyelenggaraan pemerintahan didasarkan pada prinsip-prinsip otonomi daerah, dimana daerah diberikan kewenangan untuk mengantur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Pelaksanaan dengan menyerahkan semua kewenangan pemerintahan kepada daerah selain kewenangan pusat sebagaimana diatur pada Pasal 10 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004, yaitu : bidang politik luar negeri; pertahan; keamanan; yustisi; moneter dan fiskal nasional; dan agama. Pada hakekatnya kebijakan otonomi daerah didasarkan pada keyakinan bahwa pemerintah daerah masing-masing memiliki kemampuan dan kapasitas untuk merencanakan dan mengelola pembangunan secara mandiri. Daerah dianggap lebih tahu dan mengenal daerahnya, dengan segala potensi dan keunggulannya. Dalam pelaksanaannya UU No. 32 Tahun 2004 yang dikaitkan dengan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat Dan Daerah, memberikan ruang yang cukup luas bagi pemerintah daerah dalam penanganan urusan pemerintah di tingkat lokal, penyelesaian permasalahan daerah dan dapat lebih kreatif menggali dan mengembangkan potensi daerah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Kajian Perbandingan Tentang Pengaturan Pengaruh Ham Sipil Dan Politik Masa Orde Baru Dan Masa Reformasi Latar Belakang Dan Tujuan Pada Masa Orde Baru Politik hukum adalah aspek-aspek politis yang melatarbelakangi proses pembentukan hukum dan kebijakan suatu bidang tertentu, sekaligus 96 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 juga akan sangat mempengaruhi kinerja lembaga-lembaga pemerintahan yang terkait dalam bidang tersebut dalam mengaplikasikan ketentuanketentuan produk hukum dan kebijakan, dan juga dalam menentukan kebijakankebijakan lembaga-lembaga tersebut dalam tataran praktis dan operasional. Sedemikian pentingnya peranan politik hukum ini, sehingga ia dapat menentukan keberpihakan suatu produk hukum dan kebijakan. Pada saat suatu rezim penguasa yang otoriter jatuh, maka terjadilah transisi kekuasaan kepada rezim penguasa yang baru, seiring dengan itu terjadi pulalah pewarisan sejumlah persoalan, salah satu diantaranya adalah persoalan pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) dalam segala bentuk dan tingkatannya, yang terjadi dan berlangsung pada pemerintahan yang lampau. Sehingga penguasa yang baru mau tidak mau berkewajiban untuk menyelesaikan atau setidaknya mencarikan jalan keluar dari persoalan pelanggaran HAM tersebut. Oleh karenanya dibutuhkan adanya perubahan atau reformasi konstitusi dari semula berkarakter represif menjadi berkarakter responsive, sehingga peraturan perundang-undangan yang dibuat pada masa otoritarian, yang menghambat proses demokratisasi dimasa transisi dicabut dan dan diganti dengan peraturan perundang-undangan yang lebih responsive . Terhadap keadaan masa lalu yang otoritarian yang di dalamnya sarat dengan pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM), refleksi dari transisi politik di berbagai negara cenderung menyelesaikannya dengan membentuk komisi kebenaran dan rekonsiliasi (the truth and reconciliation commission) guna mencapai keadilan trasisional (transitional justice) dimana antara pelaku pelanggar HAM berat dan korban penggaran HAM berat difasilitasi oleh komisi kebenaran dan rekonsiliasi, dengan komitmen duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi, untuk menguak masa lalu guna menata dan menatap serta merajut masa depan yang lebih baik, baik dengan disertai syarat reparasi (reparation) dan atau tanpa kewajiban bagi pelaku untuk 97 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 memberikan kepada korban dan hak korban untuk menuntut atau menerima restitusi, kompensasi, dan rehabilitasi. Sejarah perjalanan dan perkembangan praktik ketatanegaraan Indonesia selama kurun waktu 62 tahun tidak pernah terlepas dari proses trial and error. Hal ini dilakukan semata-mata demi terciptanya kehidupan berbangsa yang lebih demokratis dengan menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. Latar Belakang Dan Tujuan Pada Masa Reformasi HAM Pasca Amandemen UUD 1945 Bagaimanapun, amandemen UUD 1945 masih jauh dari kata sempurna. Masih banyak problem kebangsaan yang mustinya diatur langsung dalam UUD, namun tidak/belum dicantumkan di dalamnya. Sebaliknya, barangkali terdapat beberapa poin yang mustinya tidak dimasukkan, tetapi dimasukkan dalam UUD. Namun bukankah konstitusi harus tetap dan senantiasa hidup (living constitution) sesuai dengan semangat zaman (zeitgeist), realitas dan tantangan masanya? UUD 1945 bukanlah sekedar cita-cita atau dokumen bernegara, akan tetapi ia harus diwujudnyatakan dalam berbagai persoalan bangsa akhir-akhir ini. Misalnya, kenyataan masih seringnya pelanggaran HAM terjadi di negeri ini. Taruhlah misalnya; kasus pembunuhan aktivis Munir, kasus penggusuran warga, jual-beli bayi, aborsi, dan seterusnya. Di bidang HAM masih banyak terjadi perlakuan diskriminasi antara si kaya dan si miskin, hukum memihak kekuasaan, korupsi dan kolusi di pengadilan, dan lain-lain. Demikian pula masalah kesenjangan sosial, busung lapar, pengangguran dan kemiskinan. Realitas kehidupan di atas hendaknya menjadi bahan refleksi bagi seluruh komponen bangsa Indonesia. Pada posisi ini, amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dinilai belum transformatif. Konstitusi ini masih bersifat parsial, lebih terfokus pada aspek restriktif negara dan aspek protektif individu dalam hak asasi manusia. Tiga hal yang belum disentuh amandemen UUD 1945 adalah bagaimana cara rakyat 98 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 menarik kedaulatannya, penegasan mengenai supremasi otoritas sipil atas militer, serta penegasan dan penjaminan otonomi khusus dalam konstitusi. Hal itu pernah juga diungkapkan Sosiolog Iwan Gardono Sujatmiko. Meski demikian, amandemen UUD 1945 sesungguhnya telah memuat begitu banyak pasal-pasal tentang pengakuan hak asasi manusia. Memang UUD 1945 sebelum amandemen, boleh dikatakan sangat sedikit memuat ketentuan-ketentuan tentang hal itu, sehingga menjadi bahan kritik, baik para pakar konstitusi, maupun politisi dan aktivis HAM. Dimasukkannya pasalpasal HAM memang menandai era baru Indonesia, yang kita harapkan akan lebih memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan hak asasi manusia. Pemerintah dan DPR, juga telah mensahkan berbagai instrument HAM internasional, di samping juga mensahkan undang-undang tentang HAM pada masa pemerintahan Presiden Habibie. Terdapat 10 Pasal HAM pada perubahan UUD 1945. Pencantuman HAM dalam perubahan UUD 1945 dari Pasal 28A s/d Pasal 28J UUD 1945, tidak lepas dari situasi serta tuntutan perubahan yang terjadi pada masa akhir pemerintahan Orde Baru, yaitu tuntutan untuk mewujudkan kehidupan demokrasi, penegakkan supremasi hukum, pembatasan kekuasaan negara serta jaminan dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia sebagai antitesa dari berbagai kebijakan pemerintahan Orde Baru yang mengabaikan aspek-aspek tersebut. Memang, sebelum perubahan UUD 1945, pada tahun 1988-1990 yaitu pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie, telah dikeluarkan Ketetapan MPR RI No. XVII/1998 mengenai Hak Asasi Manusia yang didalamnya tercantum Piagam HAM Bangsa Indonesia dalam Sidang Istimewa MPR RI 1998, dan dilanjutkan dengan UU No. 39 Tahun 1999. Kedua peraturan perundang-undangan tersebut telah mengakomodir Universal Declaration of Human Right. Apa yang termuat dalam perubahan UUD 1945 (Pasal 28A s/d Pasal 28J) adalah merujuk pada kedua peraturan perundang-undangan tersebut, dengan perumusan kembali secara sistematis. 99 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 Kecurigaan bahwa konsep HAM yang diadaptasi oleh bangsa Indonesia selama ini dari Barat diantisipasi oleh amandemen pada pasal Pasal 28J UUD 1945 yang mengatur adanya pembatasan HAM. Karena itu, pemahaman terhadap Pasal 28J pada saat itu adalah pasal mengenai pembatasan HAM yang bersifat sangat bebas dan indvidualistis itu dan sekaligus pasal mengenai kewajiban asasi. Jadi tidak saja hak asasi tetapi juga kewajiban asasi. Ketentuan HAM dalam UUD 1945 yang menjadi basic law adalah norma tertinggi yang harus dipatuhi oleh negara. Karena letaknya dalam konstitusi, maka ketentuan-ketentuan mengenai HAM harus dihormati dan dijamin pelaksanaanya oleh negara. Karena itulah Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 menegaskan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah. Terdapat dua aspek yang harus diperhatikan dalam pembentukan perundang-undangan terkait dengan implementai HAM yaitu: berkaitan dengan proses dan berkaitan dengan substansi yang diatur peraturan perundang-undangan. Proses pembentukan peraturan perundang-undangan harus dilakukan dengan transparan dan melibatkan rakyat untuk memenuhi hak asasi warga negara untuk memperoleh informasi dan hak warga negara berpatisipasi dalam pemerintahan. Sehubungan dengan substansi peraturan perundang-undangan, maka ada dua hal yang harus diperhatikan oleh pembentuk peraturan perundang-undangan. Pertama; pengaturan yang membatasi HAM hanya dapat dilakukan dengan undang-undang dan terbatas yang diperkenankan sesuai ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Karena itu Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan seterusnya pada tingkat bawah tidak dapat membatasi HAM. Kedua; substansi peraturan perundang-undangan harus selalu sesuai atau sejalan dengan ketentuan-ketentuan HAM yang ada dalam UUD 1945. Pelanggaran terhadap salah satu saja dari kedua aspek tersebut dapat menjadi 100 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 alasan bagi seseorang, badan hukum atau masyarakat hukum adat untuk menyampaikan permohonan pengujian terhadap undang-undang tersebut kepada Mahkamah Konstitusi dan jika bertentangan dengan UUD dapat saja undang-undang tersebut sebahagian atau seluruh dinyatakan tidak berkekuatan mengikat. Jadi mekanisme kontrol terhadap kekuasaan negara pembentuk undang-undang dilakukan oleh rakyat melalui Mahkamah Konstitusi. Dengan proses yang demikian menjadikan UUD kita menjadi UUD yang hidup, dinamis dan memiliki nilai praktikal yang mengawal perjalanan bangsa yang demokratis dan menghormati HAM. Namun, penegakan HAM tidak akan terwujud hanya dengan mencantumkannya dalam konstitusi. Semua pihak berkewajiban mengimplementasikannya dalam seluruh aspek kehidupan. Kita menyadari penegakan HAM tidak seperti membalik telapak tangan. Ia harus diawali dari level paling mikro, yaitu diri sendiri. Tabel Hal-hal yang diatur pada masa orde baru dan reformasi Pada masa orde baru UUD 1945 1. Partai politik hidup lemah Masa Reformasi Perubahan 1-4 UUD 1945 1. Partai politik sangat berpengaruh terhadap perpolitikan nasional dan 2. dikontrol secara ketat oleh eksekutif kuat 2. Eksekutif dan lembaga negara lain 3. lembaga perwakilan penuh dengan saling tangan eksekutif kerja sama dalam hal penegakan ham 3. Lembaga perwakilan rakyat tidak ada 4. eksekutif sangat kuat dan internvensi campur tangan eksekutif serta ikut menentukan arah politik4. Keberadaan nasional lembaga legislative sangat kuat dalam mementukan arah 101 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 politik bangsa indonesia 5. kebebasan pers relative tidak bisa bebas terkekang5. Kebebasan pers sangat luas dalam memberikan informasi pada masyarakat dengan memperhatikan 6. Banyak terjadi pelangaran HAM peraturan undang-undang per situ yang memyebabkan kerugian pada sendiri rakyat indonesia 6. Dengan adanya amandemen sekarang pengaturan tentang ham jelas pada uud 1945 bab xa mulai dari pasal 28a-28j6 Hak Asasi Manusia atau sering kita sebut sebagai HAM adalah terjemahan dari istilah human rights atau the right of human. Secara terminologi istilah ini artinya adalah Hak-Hak Manusia. Namun dalam beberapa literatur pemakaian istilah Hak Asasi Manusia (HAM) lebih sering digunakan dari pada pemakaian Hak-hak Manusia. Indonesia hak-hak manusia pada umumnya lebih dikenal dengan istilah “hak asasi” sebagai terjemahan dari basic rights (Inggris) dan grondrechten (Belanda), atau bisa juga disebut hak-hak fundamental (civil rights). Istilah hak-hak asasi secara monomental lahir sejak keberhasilan Revolusi Perancis tahun 1789 dalam “Declaration des Droits de L’homme et du Citoyen” (hak-hak asasi manusia dan warga negara Perancis), dengan semboyan Liberte, Egalite, Fraternite. Istilah HAM berkembang sesual dengan perkembangan zaman. Perkembangan zaman dalam arti perubahan peradaban manusia dari masa ke masa. Pada mulanya dikenal dengan sebutan natural rights (hak-hak alam), yang berpedoman kepada teori hukum alam bahwa; segala sesuatu berasal dari alam termasuk HAM. Istilah ini kemudian diganti dengan the rights of man, tetapi akhirnya tidak diterima, karena tidaak mewakili hak-hak wanita. 6 Juanda. (2004). Hukum Pemerintahan Daerah. Alumni Bandung. Hal. 75 102 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 Setelah PD II dan terbentuknya PBB, maka muncul istilah baru yang lebih populer sekarang yaitu human rights Di Amerika Serikat dikenal dengan sebutan Civil Rights. Perancis menyebutnya: Droit de L’ Homme; Belanda: Menselijke Rechten7 Hari Hak Asasi Manusia dirayakan tiap tahun oleh banyak negara di seluruh dunia setiap tanggal 10 Desember. Ini dinyatakan oleh International Humanist and Ethical Union (IHEU) sebagai hari resmi perayaan kaum humanisme. Tanggal ini dipilih untuk menghormati Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengadopsi dan memproklamasikan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), sebuah pernyataan global tentang hak asasi manusia, pada 10 Desember 1948. Peringatan dimulai sejak 1950 ketika Majelis Umum mengundang semua negara dan organisasi yang peduli untuk merayakan. Salah satu pasal yang terkenal dari deklari tersebut adalah : “Semua manusia dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak yang sama. Mereka dikaruniai akal budi dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu dengan yang lain dalam semangat persaudaraan. -Pasal 1, Deklarasi Universal HAM. Perlindungan Hak Asasi Manusia sudah menjadi asas pokok dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Hal ini terbukti dari pernyataan UndangUndang Dasar Republik Indonesia 1945 dalam pembukaannya di Alinea pertama yang menyatakan bahwa “ kemerdekaan ialah hak segala bangsa, maka penjajahan harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan”. Hal ini berarti adanya “freedom to be free”, yaitu kebebasan untuk merdeka, dan pengakuan atas perikemanusiaan telah menjelaskan bahwa Bangsa Indonesia mengakui akan adanya hak asasi manusia. 7 Majda el Muhtaj. (2007). Hak asasi manusia dalam konstitusi Indonesia, dari UUD 1945 sampai dengan amandemen UUD 1945 tahun 2002. Kencana Prenada Media Grouf. Jakarta. 103 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 Prinsip-prinsip HAM secara keseluruhannya sudah tercakup didalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945. Prinsip universalitas yang merupakan bentuk menyeluruh, artinya setiap orang/tiada seorangpun tanpa memandang ras, agama, bahasa, kedudukan maupun status lainnya, dimana setiap orang memiliki hak yang sama dimata hukum, namun prinsip universalitas tidak keseluruhannya terkandung dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, hal ini dibuktikan dari pernyataan di dalam pembukaannya yaitu: “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia ”Hal ini berarti Negara hanya bertanggung jawab kepada hak dari seluruh warga Indonesia saja. Begitu juga dengan beberapa pasal yang mengistilahkan “setiap warga Negara / tiap-tiap warga Negara”, seperti pada Pasal 27 ayat 1, ayat 2, Pasal 30 ayat 1, Pasal 31 ayat 1. Padahal yang dimaksudkan sebagai prinsip universal adalah ketentuan hak yang berlaku bagi semua orang, bukan terbatas pada wilayah tertentu. Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang seharusnya diakui secara universal sebagai hak-hak yang melekat pada manusia karena hakekat dan kodratnya sebagai manusia.Hak asasi ini adalah milik semua orang karena kodratnya sebagai manusia. Undang-undang yang melindungi Hak Asasi Manusia sebagai dasar hukum perlindungan akan Hak setiap warga di negara mereka, termasuk juga Indonesia yang melahirkan produk hukum yaitu Undang-undang No 39 Tahun 1999. Lahirnya undang undang tentang HAM tersebut membuktikan bahwa Hak Asasi Manusia merupakan sesuatu yang dihormati dan harus dilindungi. Kemudian untuk memperkuat lahirnya undang undang tersebut, maka pada Tahun 2000 pemerintah mengeluarkan UU No 26 Tahun 2000 UU ini lahir dengan tujuan untuk mewujudkan ketentuan pada salah satu pasal pada UU No 39 Tahun 1999. Penerapan prinsip-prinsip HAM dalam UU No 39 Tahun 1999, juga telah termuat didalamnya. Prinsip universalitas disini terbukti dengan adanya penggunaan istilah “setiap orang/tiada seorangpun“ disetiap pasalnya. Hal ini berarti Undang-undang HAM di Indonesia sudah mencakup prinsip 104 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 universal, dimana semua orang yang karena sebagai manusia berhak mendapatkan perlindungan atas HAM, tidak terkecuali bagi anak yang memiliki kecacatan fisik/mental (Pasal 54). KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari uraian di atas jelas bagaimana beragamnya usaha-usaha kekuatan orba untuk menyelamatkan Suharto dkk dari jeratan tanggung jawab hukum. Tapi "kesuksesan" mereka di satu pihak, di pihak lain menimbulkan reaksi di tingkat nasional dan internasional, yang menuding Indonesia sebagai negara yang tidak menghiraukan keadilan, sebagai negara yang masih mempertahankan impunity bagi rejim otoriter orba, sebagai negara yang penuh dengan pelanggaran HAM. Meskipun jalan menuju kebenaran dan keadilan masih diliputi kegelapan, dengan secercah sinar harapan semoga 3 perjuangan berikut bisa menembus kegelapan: Pertama: Pasal 28 (i) UUD 1945 harus di amati kembali dengan menambahkan kata-kata: "kecuali mengenai pelanggaran HAM berat, yang diatur dalam UU". Kedua: Pasal 27 dan Pasal 29 ayat 3 UU KKR perlu diajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk dilakukan judicial review karena bertentangan dengan asas keadilan yang dijunjung tinggi di dalam UUD 1945. Ketiga: Mencabut semua perundang-undangan diskriminatif terhadap korban pelanggaran HAM dan membersihkan praktek penyelewengan pelaksanaannya. I ) Pasal 28 (i) ayat 1 UUD 1945: "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun 105 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 Saran Dengan adanya reformasi dalam amandemen 1-4 terhadap UUD 1945 akan membawa pemerintahan Indonesia kearah yang lebih baik baik dalam politik, ekonomi, budaya dan Ham, maka bangsa Indonesia menjadi Negara yang kuat dan sejahtera khususnya dalam penegakan Ham. Tanpa memandang siapapun dia, jika melanggar maka harus dihukum sesuai dengan Undang-undang yang berlaku. DAFTAR PUSTAKA Buku, Jurnal Dan Makalah Asri, Muhammad, Saleh. (2003). Menegakkan Hukum Atau Mendirikan Hukum, Bina mandiri pres Pekanbaru Abdul, Hakim. (1988). Politik Hukum Indonesia. YLBHI. Jakarta. BJ Boland. (1985). Pergumulan Islam di Indonesia. Grafiti Press. Jakarta Bambang, Sutiyoso, dkk. (2005). Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia. UII Press. Yogyakarta Jimly, Asshiddiqie. (2005). Kemerdekaan Berserikat Pembubaran Partai Politik dan Mahkamah Konstitusi. Konpress. Jakarta Juanda. (2004). Hukum Pemerintahan Daerah. Alumni Bandung. Majda, el Muhtaj. (2000). Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia, Dari UUD 1945 Sampai Dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002. Kencana prenada media grouf. Jakarta Moh. Mahfud. (1993). Perkembangan Politik Hukum Studi Pengaruh Konfigurasi Politik Terhadap Produk Hokum Di Indonesia. UGM. Yogyakarta. 106 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 Nur, Syam. (1999). Kegagalan Mendekatkan Jarak Ideologi Partai Politik, Pengalaman Indonesia Orde Baru. (Jurnal IAIN Sunan Sampel Edisi XVII Satjipto, Rahardjo. (2006). Ilmu Hukum Citra Aditiya Bakti. Bandung ---------. (1985). Beberapa Pemikiran tentang Ancangan antar Disiplin dalam Pembinaan Hukum Nasional. Sinar Baru. Bandung Soerjono, Soekanto. (1985). Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat. Rajawali. Jakarta 107 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK-HAK PEKERJA/BURUH DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN YANG BERLARUT-LARUT AKIBAT ENUTUPAN PERUSAHAAN (LOCK OUT) BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DI BATAM Suryo Budi Pranoto1 ABSTRAK Penelitian ini bertujuan, yaitu: untuk mengetahui hak-hak normatif sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh dalam penyelesaian perselisihan yang berlarut-larut akibat penutupan perusahaan (lock-out). Adapun metode penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif yaitu dilakukan dengan pengumpulan bahan hukum berdasarkan studi kepustakaan. Dari hasil penelitian bahwa perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh akibat penyelesaian perselisihan yang berlarut-larut harus tetap diberikan khususnya perlindungan yang berkenaan dengan aspek ekonomi, seperti: upah akibat timbulnya perselisihan hubungan industrial yang mengakibatkan penutupan perusahaan (Lock Out). Penyelesaian perselisihan hubungan industrial dapat dilakukan sesuai dengan kehendak para pihak baik melalui jalur Pengadilan (Litigasi) yang dilakukan oleh Majelis Hakim Ad Hoc, dan Di Luar Pengadilan (Non Litigasi), seperti Bipartite/Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, dan Arbitrase. Kata Kunci: Perlindungan, Hak-Hak Pekerja/Buruh, Penyelesaian Perselisihan. 108 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Manusia dalam kehidupannya memiliki kebutuhan yang beraneka ragam dan bervariasi sehingga menuntutnya untuk berusaha dan bekerja, baik bekerja yang diusahakan sendiri maupun bekerja pada orang lain. Pekerjaan yang diusahakan sendiri adalah bekerja atas usaha modal dan tanggungjawab sendiri. Sedang bekerja pada orang lain adalah bekerja dengan bergantung pada orang lain yang memberikan perintah dan mengaturnya, karena itu ia harus tunduk dan patuh pada orang lain yang memberikan pekerjaan tersebut. Pekerja/buruh adalah seseorang yang bekerja kepada orang lain dengan mendapatkan upah atau imbalan. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Dalam hubungan antara pekerja/buruh dengan pemberi kerja atau pengusaha secara yuridis pekerja adalah bebas karena prinsip di negara Indonesia tidak seorangpun boleh diperbudak maupun diperhamba, namun secara sosiologis pekerja ini tidak bebas karena pekerja sebagai orang yang tidak mempunyai bekal hidup yang lain selain tenaganya. Dalam hal mengeluarkan berbagai Peraturan ini pemerintah Perundang-undangan telah untuk melindungi pihak yang lemah yaitu pekerja/buruh dari kekuasaan pengusaha guna menempatkan pekerja/buruh pada kedudukan yang layak sesuai dengan harkat dan martabat manusia. Dengan perkataan lain pemerintah telah ikut campur tangan dalam memberikan perlindungan hukum. Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah menegaskan bahwa setiap orang berhak 109 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, kemudian pada ayat (2) juga dinyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Perlindungan yang seimbang diharapkan dapat menarik penanam modal untuk mengembangkan usaha di Indonesia, tetapi sehubungan dengan krisis ekonomi yang berkepanjangan akibatnya rencana jangka pendek maupun jangka panjang pada lingkungan perusahaan mengalami perubahan yang cukup mendasar, menyusul adanya sikap melakukan pemutusan hubungan kerja bahkan sampai dengan penutupan perusahaan (lock out). Rumusan Msalah Adapun pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimana perlindungan hukum terhadap hak-hak pekerja/buruh dalam penyelesaian perselisihan yang berlarut-larut akibat penutupan perusahaan (lock out) berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.? dan 2) Apa yang menjadi alternatif penyelesaian jika terjadi perselisihan antara pekerja/buruh akibat dari penutupan perusahaan (lock out) berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.? METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang mengkaji peraturan perundang-undangan yang mempunyai keterkaitan dengan obyek kajian penelitian khususnya mengenai asas-asas dan norma hukum yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan. Metode pendekatan perundang-undangan (statute 110 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach), serta melakukan penafsiran preskriftif, yaitu untuk memberikan argumentasi sebagai bentuk penilaian mengenai benar atau salah, atau apa yang seyogianya menurut hukum terhadap fakta-fakta atau peristiwa hukum dari hasil penelitian yang telah dilakukan. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Perlindungan Hukum Terhadap Hak-hak Pekerja/Buruh Dalam Penyelesaian Perselisihan Yang Berlarut-larut Akibat Penutupan Perusahaan (Lock Out). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Perlindungan untuk memberikan kepastian pekerja dimaksudkan hak pekerja/buruh yang berkaitan dengan norma kerja yang meliputi waktu kerja, mengaso, istirahat (cuti).21 Perlindungan pekerja/buruh dapat dilakukan, baik dengan jalan memberikan tuntunan, maupun dengan jalan meningkatkan pengakuan hak-hak asasi manusia, perlindungan fisik dan teknis serta sosial dan ekonomi melalui norma yang berlaku dalam Perlindungan berkaitan ekonomis, dengan yaitu usaha-usaha suatu untuk lingkungan kerja jenis perlindungan memberikan itu. yang kepada pekerja/buruh suatu penghasilan yang cukup memenuhi keperluan seharihari baginya. beserta keluarganya, termasuk dalam hal pekerja/buruh tersebut tidak mampu bekerja karena sesuatu di luar kehendaknya. Salah satu yang menjadi desakan publik terkait dengan perlunya instrumentasi perlindungan, penghormatan dan pemenuhan HAM di Indonesia. Dengan kondisi seperti itu, pasca reformasi dibuatlah beberapa instrumen hukum yang secara spesifik mengatur tentang HAM yang di 2 Lalu, Husni. (2006). Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia,. Ed. Revisi. 6. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Hal. 113. 111 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 dalamnya mengatur pemenuhan HAM kaum buruh. “Secara umum instrumen hukum HAM terkait dengan hak-hak kaum buruh, antara lain meliputi dua hal, pertama, hak-hak yang berdimensi sipil dan politik, kedua, hak-hak yang berdimensi ekonomi, sosial dan budaya. Pemenuhan hak-hak tersebut menjadi tanggungjawab negara sebagai pemangku kewajiban. Hak-hak yang berdimensi sipil dan politik, negara mempunyai tanggungjawab untuk tidak aktif mengatur keberadaan kaum buruh tetapi tetap mempunyai tangungjawab untuk melindungi mereka dari segala potensi pelanggaran HAM. Hak-hak yang berdimensi ekonomi, sosial dan budaya, negara mempunyai tanggungjawab pemenuhannya secara segera dan bertahap, walaupun kedua hak tersebut tidak dapat dibagi (indivisibility), saling bergantung dan berkaitan (interdependence and interrelation)”. 3 Pengertian Perselisihan Perburuhan menurut Undang-Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 adalah pertentangan antara pengusaha atau perserikatan pengusaha dengan perserikatan pekerja/buruh atau sejumlah persesuaian pekerja/buruh paham antara berhubungan hubungan dengan kerja tidak dan/atau adanya keadaan perburuhan. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1957 yang dimaksud dengan Perselisihan Perburuhan adalah pertentangan antara pengusaha atau perkumpulan pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh atau gabungan serikat pekerja/serikat buruh berhubungan dengan tidak adanya persesuaian paham, mengenai hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan/atau keadaan perburuhan (Pasal1 (1) huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1957). Yang perlu mendapat perhatian dari kedua perumusan diatas adalah pihak yang berselisih. Dalam bukunya Gunawi Kartasapoetra dikatakan bahwa yang menjadi pokok pangkal kekurangan itu, umumnya berkisar pada masalah3 Kartasapoetra, G. dan Rience, Indraningsih. (1982) Pokok-pokok Hukum Perburuhan, Cet. I, Armico Bandung. Hal. 246-247. 112 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 masalah:4 a) Pengupahan; b) Jaminan Sosial; c) Perilaku penugasan yang kadang-kadang dirasakan kurang sesuai kepribadian; d) Daya kerja dan kemampuan kerja yang dirasakan kurang sesuai dengan pekerjaan yang harus diemban; e) Adanya masalah pribadi. Penutupan perusahaan (lock out) adalah tindakan pengusaha untuk menolak pekerja/buruh untuk sebagian atau seluruhnya untuk menjalankan pekerjaan (Pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan). Penutupan perusahaan (lock out) dilarang dilakukan kepentingan pada umum perusahaan-perusahaan dan/atau yang melayani jenis kegiatan yang membahayakan keselamatan jiwa manusia, meliputi rumah sakit, pelayanan jaringan air bersih, pusat pengendali telekomunikasi, pusat penyedia tenaga listrik, pengolahan minyak dan gas bumi serta kereta api. Pemberitahuan penutupan perusahaan (lock out) tidak perlu dilakukan oleh pengusaha pekerja/serikat buruh apabila: a)Pekerja/buruh atau serikat melanggar prosedur mogok kerja sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan; b)Pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar ketentuan normatif yang ditentukan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Alternatif Penyelesaian Jika Terjadi Perselisihan Antara Pekerja/Buruh Akibat Dari Penutupan Perusahaan (Lock Out) Berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Selama ini kita menggunakan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang PHK dan UU No. 12 Tahun 1964 tentang Perselisihan, hampir 40 tahun lebih. Tentunya sulit mengakomodasi berbagai perubahan 4 Muhammad Syafari Firdaus, dkk. (2007). Pembangunan Berbasis Hak Asasi Manusia: Sebuah Panduan. Komnas HAM, Jakarta. Hal 7-16 113 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 yang terjadi. Penyelesaian kasus perburuhan selama ini, cenderung berlarut-larut, karena terlalu banyaknya tahapan yang harus dilalui. Malah, berdasarkan catatan Depnakertrans, ada kasus yang memerlukan waktu penyelesaian hingga lima tahun. Undang-Undang PPHI merupakan upaya untuk mengakomodasikan berbagai perubahan permasalahan perburuhan yang terjadi. Dalam PPHI tahapan penyelesaian kasus tak lagi menggunakan mekanisme P4D dan P4P. Jika kasus tak selesai melalui perundingan Bipartit dan Tripatit, akan dibawa ke pengadilan khusus yang dinamakan PHI (Pengadilan Hubungan Industrial). Penyelesaian perselisihan yang terbaik adalah penyelesaian oleh para pihak yang berselisih sehingga dapat diperoleh hasil yang menguntungkan kedua belah pihak. Penyelesaian biparti ini dilakukan melalui musyawarah mufakat oleh para pihak tanpa dicampuri oleh pihak manapun. Namun demikian Pemerintah dalam upayanya untuk memberikan pelayanan masyarakat khususnya kepada masyarakat pekerja/buruh dan pengusaha, berkewajiban memfasilitasi penyelesaian perselisihan hubungan industrial tersebut. Upaya fasilitasi dilakukan dengan menyediakan tenaga mediator yang bertugas untuk mempertemukan kepentingan kedua belah pihak yang berselisih. Perbedaan pendapat atau kepentingan mengenai keadaan ketenagakerjaan yang belum diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan; 1) Kelalaian atau ke tidak patuhan salah satu atau para pihak dalam melaksanakan ketentuan normatif yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan; 2) Pengakhiran hubungan kerja; Perbedaan pendapat antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan mengenai pelaksanaan hak dan kewajiban keserikat pekerjaan. 114 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 Perselisihan industrian dapat digolongkan menjadi beberapa jenis, yaitu: Berdasarkan materi yang di perselisihkan: a) Perselisihan Hak, yaitu: perselisihan yang timbul karena perbedaan pendapat tentang pelaksanaan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja maupun kebiasaan di tempat kerja. b) Perselisihan Kepentingan, yaitu: perselisihan yang timbul karena tidak adanya kata sepakat mengenai keinginan untuk mengadakan perubahan perjanjian dan kebiasaan yang berlangsung dan/atau peraturan atau perjanjian yang belum diatur. Kemudian berdasarkan pihak yang berselisih: a) Perselisihan Perorangan, yaitu perselisihan yang timbul antara Pekerja dengan Pengusaha. b) Perselisihan Kolektif, yaitu perselisihan yang timbul antara Serikat Pekerja dengan Pengusaha. c) Perselisihan antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh, yaitu perselisihan yang timbul antar Serikat Pekerja/serikat Buruh dalam satu perusahaan karena tidak adanya persesuaian faham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak dan kewajiban serikat pekerja. Sengketa ketenagakerjaan tergolong sengketa publik dapat mengganggu ketertiban umum dan stabilitas Nasional, maka peluang pengaduan pelanggaran Hak-hak pekerja/buruh tersebut dapat disalurkan ke Komisi Nasional Hak Azasi Manusia sesuai dengan isi Pasal 90 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 yang berbunyi pada “Setiap orang atau kelompok orang yang memiliki alasan kuat bahwa Hak Azasinya telah dilanggar dapat memajukan laporan dan pengaduan lisan atau tertulis pada Komisi Nasional Hak Azasi Manusia”. Penyelesaian sengketa pekerja/buruh di luar pengadilan dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:a) Melalui Bipartie, Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 memberi jalan penyelesaian sengketa pekerja/buruh dan Tenaga Kerja berdasarkan musyawarah mufakat dengan mengadakan azas kekeluargaan antara pekerja/buruh dan pengusaha. Apabila terdapat kesepakatan antara 115 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 pekerja/buruh dan pengusaha atau antara serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha, maka dapat dituangkan kesepakatan kedua belah pihak dalam yang perjanjian disebut dengan perjanjian bersama. b) Secara Mediasi, Penyelesaian melalui mediasi (mediation) ini dilakukan melalui seorang penengah yang disebut mediator. Pengangkatan dan akomodasi mediator ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja. Apabila telah tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan melalui Mediator tersebut dibuatkan perjanjian bersama yang ditandatangani para pihak dan mediator tersebut, kemudian perjanjian tersebut didaftarkan di Pengadilan Negeri Pengadilan setempat. c) Hubungan Industrial pada Melalui Konsiliasi, Penyelesaian melalui konsiliasi (conciliation) ini dilakukan melalui seorang atau beberapa orang atau badan sebagai penengah yang disebut konsiliator dengan mempertemukan atau member fasilitas kepada pihak-pihak yang berselisih Konsiliator untuk menyelesaikan perselisihannya secara damai. yaitu pejabat Konsiliasi yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Tenaga Kerja berdasarkan saran organisasi serikat pekerja/serikat buruh. Segala persyaratan menjadi pejabat Konsiliator tersebut di dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004. Dimana tugas terpenting dari Konsiliator adalah memangil para saksi atau para pihak terkait dalam tempo selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak menerima penyelesaian Konsiliator tersebut. d) Melalui Arbitrase, Penyelesaian perselisihan melalui arbitrase dilaksanakan oleh arbiter, yakni seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar yang ditetapkan oleh menteri untuk memberikan putusan mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final (Pasal 1 angka 16 UU PPHI). e) Putusan 116 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 Arbitrase, salah satu atau kedua belah pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan putusan Arbitrase. Pengajuan permohonan pembatalan putusan Arbitrase antara lain dalam hal: (1) Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui atau dinyatakan palsu; (2) Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; (3) Putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan perselisihan; (4) Putusan melampaui kekuasaan arbiter hubungan industrial; atau (5) Putusan bertentangan dengan peraturan perundangundangan. Penyelesaian Perselisihan Melalui Pengadilan, yaitu: Untuk mengantisipasi penyelesaian dan penyaluran sengketa pekerja/buruh sejalan dengan tuntutan kemajuan zaman dibuat dan diundangkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 sebagai wadah Peradilan Hubungan Industrial disamping Peradilan Umum. Hakim pada Pengadilan Hubungan Industrial terdiri dari Hakim karier pada Pengadilan Negeri yang ditugasi pada Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad Hoc (sementara), yakni hakim yang pengangkatannya atas usulan serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha. Hakim Ad Hoc Pengadilan Hubungan Industrial diangkat dengan Keputusan Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung. Calon Hakim Ad Hoc diajukan oleh Ketua Mahkamah Agung dan nama yang disetujui oleh Menteri atas usul serikat pekerja/serikat buruh atau organisasi pengusaha. Ketentuan Beracara dalam PHI tidak berbeda seperti Hukum Acara Perdata; Kecuali hal-hal yang diatur secara khusus dalam UU No. 2 Tahun 2004 (Pasal 81Pasal 115). Putusan PHI mengenai Perselisihan Hak dan PHK dapat diajukan ke MA melalui Upaya Hukum Permohonan Kasasi paling lama 14 hari setelah putusan dibacakan, atau menerima pemberitahuan putusan. 117 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari uraian yang telah dipaparkan pada bab-bab di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1) Perlindungan pekerja dimaksudkan untuk memberikan kepastian hak pekerja/buruh yang berkaitan dengan norma kerja. Adapun perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh akibat penyelesaian perselisihan yang berlarut-larut harus tetap diberikan khususnya perlindungan yang berkenaan dengan aspek ekonomi, seperti: upah akibat timbulnya perselisihan hubungan industrial yang mengakibatkan penutupan perusahaan (Lock Out). 2) Penyelesaian perselisihan hubungan industrial dapat dilakukan sesuai dengan kehendak para pihak baik melalui jalur di luar pengadilan (non litigasi), seperti; (a) bipartite/negosiasi; (b) mediasi; (c) konsiliasi; dan (d) arbitrase. Dapat pula dilakukan melalui jalur Pengadilan (litigasi) dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, yang berada pada lingkungan peradilan umum dan dilakukan oleh Majelis Hakim Ad Hoc yang diangkat dengan Keputusan Presiden atas usul dan diajukan oleh Ketua Mahkamah Agung serta nama yang disetujui oleh Menteri atas usul serikat pekerja/serikat buruh atau organisasi pengusaha. Saran Beranjak dari hasil pembahasan dan kesimpulan di atas, maka saran yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut: (1) Dalam memberikan perlindungan terhadap hak-hak pekerja/buruh yang berkaitan dengan norma kerja perlu adanya proses demokratisasi di tempat kerja. Hal ini disebabkan demokratisasi di tempat kerja merupakan suatu proses pengambilan keputusan yang obyektif, sehingga kebijakan yang diambil secara demokratis, diharapkan dapat dilaksanakan dengan sebaikbaiknya oleh para pengambil keputusan, dan terhadap lembaga-lembaga 118 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 yang berwenang Industrial di dalam hendaknya lebih menyelesaikan Perselisihan respektif lagi terhadap Hubungan berbagai permasalahan perburuhan yang terjadi sehingga kesejahteraan bagi pekerja/buruh dapat terlaksana dengan sebaik-baiknya. (2) Pemerintah yang berwenang dalam menyelesaian perselisihan hubungan industrial sebaiknya lebih cermat lagi dalam menangani sengketa yang terjadi antara pekerja/buruh dengan pengusaha dan diharapkan dapat memberikan tawaran penyelesaian yang lebih baik lagi sebagai alternatif penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang lebih menjamin rasa keadilan bagi pekerja/buruh maupun pengusaha, sehingga tidak ada lagi diskriminasi yang terjadi dalam hubungan ketenagakerjaan. DAFTAR PUSTAKA Buku, Jurnal Dan Makalah Asikin, Zainal. (2008). Dasar-dasar Hukum Perburuhan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Asyhadi, Zaini. (1994). Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)dalam Dasar-dasar Hukum Perburuhan. Jakarta: Raja Grafindo Persada Firdaus, Syafari Muhammad. (2007). Pembangunan Berbasis Hak Asasi Manusia Sebuah Panduan. Jakarta: Komnas HAM Husni, Lalu. (2006). Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia,---Ed. Revisi,--6,---Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Husni, Lalu. (2007). Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan dan Di Luar Pengadilan. Jakarta: Raja Grafindo Persada Kartasapoetra, Gunawi. (1986). Hukum Perburuhan di Indonesia Berdasarkan Pancasila. Jakarta: Bina Aksara. ND Fajar, Mukti; dan Achmad, Yulianto. (2013). Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Soepomo, Iman. (2003). Pengantar Hukum Perburuhan. Jakarta: Djambatan 119 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, Undang-Undang Tentang Ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003, TLN No. 4279, Pasal 146 Indonesia, Undang-Undang Tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 39 Tahun 1999, TLN No. 3886, Pasal 38 Indonesia, Undang-Undang Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, UU No. 21 Tahun 2000, LN. No. 131 Tahun 2000, Pasal 28 Indonesia, Undang-Undang Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, UU No. 2 Tahun 2004, TLN No. 4356, Pasal 6 120 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 PELAKSANAAN SITA EKSEKUSI TERHADAP KAPAL SEBAGAI JAMINAN BERDASARKAN HUKUM INDONESIA Siti Nur Janah1 ABSTRAK Kapal adalah angkutan utama untuk dunia bahari. Hal ini di maksud apapun jenis pekerjaan tambangnya baik di laut, perikanan, pariwisata maupun alat utama sistem dari pertahanan bahari dimana barang yang dijualnya yang sangat penting sehingga kapal digolongkan seperti bagian dari infrastruktur dari pembangunan nasional, industri perkapalan dan bahkan galangan kapal dipertimbangkan sesuatu pembangunan dengan kepentingan strategis untuk Indonesia. Tahapan yang telah dibawa dari status alur sah Indonesia, memberikan satu dorongan besar ke institusi bank untuk menyediakan pembiayaan ke perusahaan angkutan niaga domestik. Pada tiap-tiap langkah yang dimiliki Indonesia, salah satunya perusahaan angkutan niaga menyediakan sejumlah besar pinjaman dari institusi bank, perusahaan angkutan niaga perlu menyediakan jaminan kepada bank pada pinjaman telah diijinkan. Jaminan tetap yang telah diberikan ke bank oleh debitur biasanya pada bentuk dari objek dan punya nilai cukup ke penyelesaian pembayaran hutang dari debitur. Dalam hal ini pinjaman oleh perusahaan angkutan niaga, satu jaminan bank memberikan assetnya ke perusahaan angkutan niaga yaitu berupa "kapal". Jaminan kemudian adalah dikenal sebagai satu hipotek dan di Indonesia kapal masa menggadaikan terpakai seperti sejalan untuk pembayaran hutang hipotek dikenal sebagai kapal, kapal akan maka keluarkan satu bentuk baru dari kapal perbuatan menggadaikan grosse. PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Kapal yang merupakan alat transportasi utama bagi dunia maritim di setiap sarana kerja pertambangan di laut, perikanan, pariwisata dan juga alat utama sistem pertahanan maritim, sebagai komoditas penting sehingga kapal 1 Dosen Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Internasional Batam 121 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 yang dikategorikan sebagai bagian dari infrastruktur pembangunan nasional, industri pelayaran dan bahkan galangan kapal dianggap salah satu perkembangan penting dan strategis bagi Negara Indonesia. Mengingat langkah yang telah NegaraIndonesia ambil dalam jalur hukum, memberikan sebuah dorongan besar terhadap lembaga perbankan untuk memberikan pembiayaan kepada perusahaan pelayaran domestik.Dalam setiap langkah yang telah Negara Indonesia ambil, perusahaan pelayaran yang telah disediakan sejumlah besar pinjaman dari lembaga perbankan, perusahaan pelayaran perlu memberikan jaminan bagi bank atas pinjaman yang diberikan. Jaminan biasa yang telah diberikan kepada bank dengan debitur biasanya dalam bentuk benda dan memiliki nilai yang cukup untuk melunasi utang dari debitur, dalam hal ini kredit pinjaman oleh Perusahaan pengiriman, jaminan yang diberikan kepada bank pengiriman perusahaan aset "kapal". Jaminan yang kemudian disebut sebagai hipotek dan di Indonesia istilah kapal yang digunakan sebagai jaminan hipotek untuk pembayaran utang disebut sebagai hipotek kapal, kapal kemudian akan mengeluarkan bentuk baru dari grosse akta hipotek kapal. Dalam aspek hukum, keberadaan beberapa regulasi seperti peraturan pendaftaran kapal yaitu Stbl (Staatsblad) 1933 Nomor 48 untuk registrasi kapal kapal yang kemudian dapat diregistrasi sebagai hipotek dan kemudian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang mengatur seluruh peraturan hukum pelayaran, pembebanan hipotek dan piutang maritim lainnya, keberadaan ini hukum yang mengatur tentang kapal ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan pembiayaan perbankan di sektor pelayaran untuk membangun dan memiliki kapal dalam negeri. Pada dasarnya hukum Indonesia memberikan beberapa cara untuk pemenuhan pembayaran utang yang dapat diambil oleh kreditur jika debitur gagal memenuhi kewajibannya atau disebut dengan wanprestasi. Salah satu cara yang dapat diambil oleh kreditur adalah melalui proses litigasi. Melalui proses litigasi, kreditur akan mengajukan klaim melalui pengadilan. 122 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 Mengenai lamanya proses penyelesaian sengketa melalui proses litigasi, itu akan menjadi cara yang tidak cukup tepat untuk kreditur sebagai pemegang hak untuk menyelesaikan sengketa, yang dikarenakan proses litigasi tersebut tidak efektif dan tidak efisien bersama dengan biaya mahal. Dan juga berdasarkan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1992 yang memerlukan penyelesaian penyelesaian kasus di pengadilan negeri dan pengadilan tinggi masing-masing dalam waktu 6 bulan, yang berarti penyelesaian sengketa di tingkat pertama dan banding kasus sudah diambil 1 tahun. Untuk penyelesaian banding dan peninjauan kembali yang sangat sulit untuk memprediksi, dapat 3 sampai 5 tahun untuk penyelesaian kasus selesai. Jadi, cara ini kurang tepat dan efisien untuk kreditur untuk mengambil. Cara lainnya adalah untuk meminta penyitaan kapal dan perintah eksekusi penyitaan melalui Grosse akta hipotek kapal yang memiliki judul "Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa" dan sehingga Grosse akta hipotek kapal memberikan hak kepada kreditur untuk melakukan proses eksekutorial atas jaminan kapal terseubt yang dikarenakan undang-undang sendiri menyamakannya dengan putusan hakim yang bersifattetap dan mengikat. Dibandingkan dengan prosedur dan usaha penyelesaian melalui perintah eksekusi dari Grosse akta hipotek kapal dengan proses litigasi, perintah eksekusi yang lebih dianggap cara yang efektif dan efisien. METODE PENELITIAN Dalam penelitian hukum ini, jenis penelitian yang akan digunakan adalah jenis penelitian normatif. Penelitian normatif adalah penelitian yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan atau bahan-bahan hukum yang tertulis, disebut penelitian kepustakaan atau studi dokumen karena lebih menitikberatkan penelitian pada data sekunder. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu jenis data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan kepustakaan dengan 123 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 cara menelusuri literatur yang berhubungan dengan objek penelitian. Data sekunder diperoleh dengan penelitian kepustakaan guna mendapatkan landasan teoritis berupa pendapat-pendapat atau tulisan para ahli atau pihakpihak lain yang berwenang dan juga untuk memperoleh informasi baik dalam bentuk ketentuan-ketentuan formal maupun data melalui naskah resmi yang ada.Data sekunder mencakup bahan hukum primer, sekunder dan tersier. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Prosedur Hukum Dalam Pelaksanaan Sita EksekusiTerhadap Kapal Sebagai Jaminan Kredit Hukum di Negara Indonesia memberikan beberapa cara pemenuhan pembayaran utang yang ditempuh kreditor apabila debitur melakukan cedera janji atau wanprestasi. Upaya pemenuhan ini berlaku juga pada perjanjian yang menimbulkan hak preferen yang berupa Hak Tanggungan, Gadai, Jaminan Fidusia dan Hipotek. Upaya pemenuhan pembayaran utang yang diberikan hukum Negara Indonesia yakni melalui proses litigasi dengan mengajukan gugatan perdata kepada Pengadilan Negeri yang kemudiannya akan dilalui banyak tahap persidangan sampai pada suatu keputusan dan dengan ditambahkan upaya hukum seperti banding, kasasi dan bahkan peninjauan kembali yang dapat memakan waktu yang sangat lama. Dengan memperhatikan panjangnya proses penyelesaian perkara yang timbul dari proses litigasi, akan menjadi suatu pilihan yang kurang tepat jika kreditur sebagai pemegang Hipotek kapal laut untuk menempuh cara penyelesaian ini. Oleh karena upaya penyelesaian melalui proses litigasi tidaklah efektif dan efisien serta memakan waktu yang panjang dan memerlukan biaya yang mahal, maka upaya penyelesaian yang paling tepat untuk ditempuh oleh kreditur yang merupakan pemegang Hipotek kapal laut adalah mengajukan permohonan sita eksekusi berdasarkan Pasal 224 juncto Pasal 195 HIR dan Pasal 440 Rv. 124 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 Seperti yang telah diatur dalam beberapa pasal tersebut, Hipotek kapal laut dalam bentuk grosse akta, dengan dicantumkan titel eksekutorial berupa irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” maka pada hipotek itu melekat kekuatan eksekutorial (executoriale kracht) atau entitles the holder to enforce, dikarenakan oleh Undang-Undang sendiri mempersamakannya dengan putusan hakim pengadilan yang berkekuatan hukum yang tetap.2 Prosedur hukum atas penyitaan kapal laut yang merupakan jaminan atas pinjaman kredit bermasalah didasarkan pada Pasal 224 jo Pasal 195 HIR dan Pasal 440 Rv, dengan tahap-tahap sebagai berikut :3 1. Apabila debitur (pemberi hipotek) melakukan cedera janji, kreditor (penerima hipotek) dapat langsung meminta eksekusi baik secara lisan maupun secara tertulis kepada Ketua Pengadilan berdasarkan Pasal 224 juncto Pasal 195 dan Pasal 196 HIR. 2. Dengan setelah meminta fiat eksekusi baik secara lisan maupun secara tertulis, Kepala Pengadilan Negeri akan mengambil tindakan hukum sebagai berikut : a. Memberikan peringatan (aanmaning) kepada debitur supaya debitur memenuhi pembayaran utang secara sukarela; b. Pemberian peringatan (aanmaning) kepada debitur menurut Pasal 196 HIR berlaku paling lama 8 hari. Apabila batas waktu peringatan sudah lewat, namun debitur tidak mengindahkan dan melaksanakan pemenuhan pembayaran secara sukarela, maka Ketua Pengadilan Negeri selanjutnya yang berpedoman pada Pasal 197 HIR, akan melakukan tindakan sebagai berikut : 2 3 Harahap M. Yahya. Op Cit., Hlm. 234. Ibid. Hlm. 234. 125 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 a) Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan Penetapan Sita Eksekusi (executorial beslag) atas kapal laut yang dijadikan objek jaminan / objek Hipotek (Pasal 197 ayat {1} HIR); b) Penyitaan yang akan dilakukan oleh panitera atau juru sita sesuai dengan ketentuan Pasal 559-579 Rv. 3. Penyitaan yang dilakukan oleh panitera maupun oleh jurusita yang didasari Pasal 559-579 Rv, akan diuraikan sebagai berikut4 : a. Penyitaan dilakukan diatas kapal laut tersebut. Ditegaskan pada Pasal 560 Rv yang menyebutkan “Sita atas kapal harus dilakukan di atas kapal itu sendiri”. Ketentuan ini pada dasarnya tidak berbeda dengan Pasal 197 ayat (9) HIR, yakni pelaksanaan penyitaan dilakukan di tempat barang sitaan berada; b. Pelaksanaan penyitaan kapal laut dilakukan oleh juru sita dengan didampingi oleh dua orang saksi. Pada pasal 560 ayat (2) yang berbunyi “Juru sita dalam pada itu didampingi dua saksi, yang nama-nama mereka, pekerjaan dan tempat tinggal dia sebutkan dalam berita acara. Mereka semua menandatangani surat yang asli dan salinan-salinannya.”. Pada pasal ini menegaskan bahwa kedua orang saksi tersebut dihadirkan pada saat pelaksaan penyitaan diatas kapal laut dan juga ikut menandatangani berita acara sita. Dalam prakteknya, untuk mempermudah pemilihan orang saksi, jurusita memilih pegawai dari pengadilan tempat penyitaan dilakukan. Ketentuan pasal ini berlaku sama dengan Pasal 197 ayat (6) HIR; c. Pemberitahuan penyitaan kapal laut dilaksanakan sesuai urutan alternatif tersebut : 1) Kepada pemilik kapal, ditempat tinggalnya, atau; 2) Kepada agennya, atau; 4 Harahap M. Yahya. Op Cit., Hlm. 240. 126 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 3) Kepada pemegang buku kepemilikan kapalnya, atau; 4) Dengan cara lain yang digariskan pada Pasal 3 dan 6 Rv yang mengenai pemberitahuan gugatan dan pemberitahuan lainnya. Apabila sita dilakukan berdasarkan utang dengan hak preferen atau untuk pembayaran utang yang menurut Pasal 314 KUHD (Hipotek kapal laut) atau utang dengan hak privilege berdasarkan Pasal 316 KUHD atau tagihan mengenai kapal yang diatur dalam Pasal 318 KUHD. Pemberitahuan penyitaan kapal dapat disampaikan kepada nahkoda kapal ataupun juragan kapal (Pasal 560 ayat (4) Rv); d. Juru sita sebelum melakukan penyitaan atas kapal laut membuat berita acara penyitaan. Pasal 561 memerintahkan kepada juru sita untuk membuat berita sita. Dalam berita acara penyitaan, juru sita harus menyatakan : 1) Nama depan, nama, pekerjaan dan tempat tinggal kreditur; 2) Alas hak sebagai dasar dia mengeksekusi; 3) Jumlah-jumlah yang dia tuntut pembayarannya; 4) Pemilihan tempat tinggal oleh kreditur di ibu kota administrasi tempat kapal itu berlabuh, dan pada seorang pengacara pada daerah hukumnya dituntut penjualannya; 5) Nama dari pemilik, dari agennya atau pemegang bukunya, bila mereka diketahui, dan dari juragan kapal; 6) Nama, macam dan sedapat mungkin dalam ruang kapal; 7) Uraian secara umum tentang sekoci-sekoci, perahu-perahu, tali-temali, alat-alat perlengkapan, senjata-senjata, alat-alat perang dan kebutuhan hidup. e. Setelah membuat berita acara penyitaan dan pelaksanaanmya, pada kalimat selanjutnya pada Pasal 560 Rv memerintahkan juru sita untuk mengangkat seorang penjaga atau penyimpan 127 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 diatas kapal. Akan tetapi, terlepas dari kebolehan melakukan sita eksekusi di atas kapal laut, penyitaan tidak boleh menghalangi dan mengurangi hak penguasaan debitur (pemilik) atas kapal laut dan juga tidak boleh mengurangi dan membatasi hak pengusahaan debitur atas kapal; f. Juru sita mengumumkan penyitaan dengan jalan mendaftarkannya pada kantor pejabat yang berwenang. Dalam hal Hipotek kapal laut, dimana bukti kepemilikan kapal laut tersebut didaftarkan di Kantor Syahbandar / Kantor Administrasi Pelabuhan dimana kapal tersebut diregisterkan, maka sita eksekusi juga didaftarkan di Kantor Syahbandar yang bersangkutan (Pasal 562-563 Rv) dan apabila pemilik kapal, agennya ataupun pemegang buku bertempat tinggal ditempat dilakukan sita, maka orang yang ditunjuk oleh juru sita sebagai penyimpan atau penjaga kapal tersebut dalam waktu 8 hari harus memberitahukan salinan berita acara penyitaan kepadanya (pasal 563 HIR). Apabila pemilik kapal tidak bertempat tinggal dalam tempat penyitaan dilakukan, maka pemberitahuan dengan cara lainnya atau pun pada yang bersangkutan berlaku Pasal 10 Rv; g. Pemberitahuan pertama sebelum penjualan dilakukan dengan waktu paling sedikit 20 hari dan selambat-lambatnya 60 hari setelah pengumuman berita penyitaan dilakukan dalam suatu surat kabar tempat penjualan akan dilakukan (Pasal 516 Rv); h. Pemberitahuan kedua dilakukan oleh orang yang menuntut penyitaan dengan memberikan salinan-salinan bilyet kepada para kreditur, dalam waktu empat belas hari setelah pengumuman pertama dengan dibukukan pada register pokok dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan (Pasal 566 Rv dan Pasal 198 HIR) 128 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 i. Selanjutnya Ketua Pengadilan Negeri menerbitkan Penetapan Penjualan Lelang (executoriale verkoop) berdasarkan Pasal 200 ayat (1) HIR : 1) Bersamaan dengan ini Ketua Pengadilan Negeri meminta bantuan Kantor Lelang; 2) Dengan demikian, penjualan lelang dilakukan dengan perantaraan Kantor Lelang. Dengan membandingkan tata cara dan upaya penyelesaian pemenuhan pembayaran utang melalui sita eksekusi atas kapal laut yang dijadikan jaminan atas kredit bermasalah dengan berdasarkan Pasal 224 HIR dengan proses litigasi melalui pengajuan gugatan perdata biasa, upaya ini jauh lebih efektif dan efisien. Tidak membutuhkan proses persidangan yang lama dan berbelit, langsung dilaksanakan eksekusinya dan apabila Ketua Pengadilan Negeri melaksanakan fungsinya dengan baik sesuai dengan ketentuan Pasal 195, 196,197 dan 200 HIR, peminatnya ada, maka sampai dengan proses penjualan lelangpun dapat dilakukan dengan waktu yang singkat. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Ketentuan hukum Indonesia yang dijadikan dasar pelaksanaan sita eksekusi atas kapal yang dijadikan jaminan kredit bermasalah diatur dalam beberapa hukum fundamental, yaitu: Pasal 1162-1232 KUHPerdata Buku II dan Pasal 60-66 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran sebagai dasar Hipotek, kemudiannya hukum pelaksanaannya diatur pada HIR dan Rv. Prosedur hukum pelaksanaan sita eksekusi kapal laut di Negara Indonesia memberikan beberapa prosedur penting, yaitu: pengajuan sita eksekusi ke Pengadilan Negeri, pemberian surat peringatan, penerbitan Penetapan Sita Eksekusi, penyitaan dilakukan atas kapal oleh juru sita didampingi 2 orang saksi, pemberitahuan penyitaan, mendaftarkan penyitaan 129 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 di Syahbandar, pemberitahuan penyitaan yang telah dilaksanakan, penerbitan Penetapan Penjualan Lelang dan penjualan dilaksanakan di Kantor Lelang. Selain dari prosedur hukum tersebut, Negara Indonesia menganut beberapa asas saat melaksanakan penyitaan kapal, yaitu : Asas Rijdende Beslag dan Asas larangan menyita atas kapal yang berlayar. DAFTAR PUSTAKA Buku, Jurnal Dan Makalah Fuady, Munir. (2013). Hukum Jaminan Utang. PT. Gelora Aksara Pratama. Jakarta H.Salim. (2004). Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta Hermansyah. (2005). Hukum Perbankan Nasional Indonesia. Fajar Interpratama Mandiri. Jakarta Maryati, Kun danJuju Suryawati. (2007). Sosiologi. Erlangga. Jakarta Mertokusuma, Sudikno. (2008). Hukum Acara Perdata Indonesia. Ed. 7. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta. Pramadya. (2008).Kamus Hukum Edisi lengkap Belanda-Indonesia-Inggris. CV. Aneka Ilmu. Semarang Samadani, H.U. Adil. (2013) Dasar-Dasar Hukum Bisnis. Jakarta: Penerbit Mitra Wacana Media. Supramono, Gatot. (2013). Perjanjian Utang-Piutang. Jakarta: Prenada Media Group. Peraturan Perundang-Undangan Indonesia. Undang-Undang Jabatan Notaris. UU No. 30 tahun 2004, LN No. 117 Tahun 2004, TLN No. 4432. 130 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 Indonesia. Perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. UU No. 2 tahun 2014, LN No. 3 Tahun 2014, TLN No. 5491. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata[Burgerlijk Wetboek]. (2005). Diterjemahkanoleh Prof. R. Subekti, S.H. dan R. Tjitrosuibio. Pradnya Paramita. Jakarta Kitab Undang-Undang Hukum Dagang [Wetboek van Koophandel]. (2005). Diterjemahkanoleh Prof. R. Subekti, S.H. dan R. Tjitrosuibio. Pradnya Paramita. Jakarta Indonesia. Undang-Undang Pelayaran. UU No. 17 Tahun 2008, LN No. 64 Tahun 2008, TLN No.4849. Indonesia. Presiden Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan. LN No. 95 Tahun 2002, TLN No. 4227. 131 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA PRODUSEN DENGAN KONSUMEN MELALUI BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) DI KOTA BATAM Ukas1 ABSTRAK Proses dan atau penyelesaian antara konsumen dengan produsen sebagai pelaku usaha melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) kota Batam adalah ketika perjanjian/kesepakatan para pihak sebelumnya yang maka bersengketa BPSK tetap sudah ada menghormati perjanjian para pihak sebagai dasar dan pertimbangan pengambilan keputusan Majelis, dan untuk Proses penyelesaian sengketa di BPSK Kota Batam Batam. Penyelesaian sengketa yang terbaik sesungguhnya adalah penyelesaian oleh para pihak (konsumen sebagai pemakai akhir suatu produk dengan produsen sebagai pelaku usaha), sehingga dapat diperoleh hasil yang menguntungkan kedua belah pihak. Penyelesaian melalui musyawarah mufakat oleh para pihak seperti tersebut di atas tanpa campur tangan oleh pihak mana pun. PENDAHU LUAN Latar Belakang Masalah Pembangunan Nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materil dan sprituil, terutama dalam era demokratis ekonomi yang berlandaskan Pancasila dan UndangUndang Dasar RI 1945. Hal tersebut merupakan salah satu dasar lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, di dalam konsideran undang-undang tersebut disebutkan bahwa pembangunan 1 Dosen Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Putera Batam 132 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 ekonomi Nasional pada era globalisiasi harus dapat mendukung tumbahnya dunia usaha, sehingga mampu menghasilkan beraneka barang dan atau jasa yang memiliki kandungan teknologi yang dapat menghasilkan peningkatan kesejahteraan masyakat banyak dan sekaligus untuk mendapatkan kepastian atas barang dan atau jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengabaikan kerugian konsumen. Di dalam konsideran undang-undang tersebut juga dikemukakan perlunya keterbukaan pasar nasional sebagai akibat dari proses globalisaisi ekonomi dan harus tetap menjamin mutu, jumlah dan keamanan barang dan atau jasa yang diperolehnya di pasar, serta meningkatkan harkat dan martabat kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuh kembangkan sikap prilaku usaha yang bertangung jawab. Perkembangan dunia usaha pada saat ini begitu cepat hal tersebut tidak lepas dari adanya peran dan kegiatan-kegiatan usaha yang berkaitan dengan perdagangan baik itu perdagangan barang danmaupunjasa yang pada kenyataannya sangat mempengaruhi perekonomian baik secara nasional maupun secara internasional. Hal yang sangat menarik dari kegiatan-kegiatan usaha yang terjadi di dalam kehidupan masyarakatsaat ini adalah banyaknya permasalahan yang kemudian dalam perkembangannya dapat menimbulkan suatu kasus atau sengketa yangharus diselesaikan oleh para pihak yang bermasalah. Kenyataan dalam proses penyelesaiannya saat ini, dapat diselesaikan dengan melalui jalur peradilan maupun jalur di luar peradilan. Permasalahan yang sering timbul berkaitan kegiatan dunia usaha seperti perdagangan barang dana atau jasa senantiasa menarik untuk lebih diperhatikan, dicermati dan diteliti, hal ini disebabkan karena perdagangan akan selalu berkaitan dengan apa yang disebut dengan konsumen (dengan pengertian umum pihak yang menggunakan atau membeli dan/ atau memanfaatkan barang dan/ atau jasa) dan pelaku usaha (pihak yang menyediakan dan/ atau memberikan atau menjual barang dan / atau jasa). 133 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 Begitu juga dengan permasalahan yang dapat ditimbulkan dari adanya kegiatan perdagangan, di lapangan tidak jarang ditemukan adanya perdebatan atau keributan bahkan pertikaian antara konsumen dan pelaku usaha. Tidak sedikit juga sengketa yang kemudian diselesaikan di pengadilan. Eksistensi pelaku bisnis untuk menjadi yang terbaik dikalangan dunia usaha telah meningkatkan persaingan antara pelaku usaha dalam menjalankan usahanya dalam jangka waktu tertentu. Persaingan yang sehat antara pelaku usaha sesungguhnya tidak salah asalkan dengan diimbangi peningkatan kualitas dan mutu barang dan/ atau jasa serta didukung pelayanan yang jujur, serta pemberian informasi yang benar dari pelaku usaha kepada konsumen tentu akan sangat bermanfaat dan menguntungkan konsumen. Berbeda jika persaingan usaha hanya didasarkan pada pencarian keuntungan belaka dari pelaku usaha dengan cara yang tidak sehat, maka sudah tentu dapat berakibat buruk bagi konsumen. Lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang disahkan dan diundangkan pada tanggal 20 April 1999, dan berlaku secara efektif tanggal 20 April 2000 mengatur antara lain keberadaanlembaga penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan yang disebut dengan BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) Pembentukan BPSK ini dilatar belakangi adanya globalisasi dan perdagangan bebas, yang didukung kemajuan teknologidan informasidan dapat memperluas ruang gerak transportasi barangdan/ atau jasa melintasi batasbatas wilyah suatu Negara. Untuk mengatur kelembagaan BPSK tersebut telah dikeluarkan sejumlah Peraturan perundang-undangan tentang adanya BPSK sebagai berikut: a. Keputusan Presiden No.90/2001 tentang Pembentukan BPSK. b. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No.301MPP/ Kep./10/2001 tanggal 24 Oktober 2001 tentang Pengangkatan dan 134 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 Pemberhentian Anggota dan Sekretariat BPSK.(Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) c. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No.302 MPP/Kep./10/2001 tanggal 24 Oktober 2001 tentang Pendaftaran LPKSM (Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat). d. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.350/MPP/Kep./12/2001 tanggal 10 Desember 2001 tentang Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. e. Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No 605/MPP/Kep./8/2002 tanggal 29 Agustus 2002 tentang Pengangkatan Anggota Badan Penyelesaian SengketaKonsumen. Perlindungan Konsumen, ditentukan bahwa setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada dilingkungan peradilan umum. Berdasarkan Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, bahwa penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Menurut ketentuan tersebut di atas dapat diketahui bahwa para pihakyang bersengketa diberi hak untuk memilih lembaga atau badan manayang akan mereka pilih untuk menyelesaikan permasalahan yangmereka hadapi baik melalui jalur pengadilan maupun jalur luar pengadilan, untuk jalur pengadilan pengertiannya adalah pengadilan umum, sedangkan sesuai Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, Penyelesaian sengketa konsumen, jalur luar pengadilan dilaksanakan di dalam suatu lembaga yang dibentuk berdasarkan Pasal 49 Ayat (1) UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999, yaitu bahwa pemerintah membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di daerah untuk menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan. 135 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 Dengan demikian, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen-lah yang ditunjuk pemerintah sebagai lembaga yang dapat menyelesaikan sengketa konsumen diluar pengadilan Tidak dapat dipungkiri, bahwa dalam praktekpraktek perdagangan (baik ketika proses perdagangan maupun setelah proses perdagangan terjadi) banyak ditemui akan adanya suatu pelanggaranpelanggaran terhadap apa yang menjadi hak konsumen (sebagai pengguna barang dan/atau jasa) ataupun pelanggaran pelaku usaha ketika menawarkan dan menjualkan produk kepada konsumen,sehingga akhirnya konsumen berminat sampai pada akhirnya mengkonsumsi produk yang ditawarkan tersebut. Rumusan Masalah. Dari uraian latar belakang penelitian masalah tersebut di atas, maka dapat dirumuskan beberapa pokok permasalahan antara lain adalah: 1. Bagaimana proses dan atau cara penyelesaian sengketa konsumen antara konsumsen dengan produsen sebagai pelaku usaha melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Batam, terutama penyelesaian sengketa ketika sengketa terjadi telah ada dasar perjanjian yang menjadi kesepakatan oleh para pihak yang bersengketa sebelumnya? TIJNJAUAN PUSTAKA Cara Penyelesaian Sengketa Konsusmen Melalui BPSK. Penyelesaian sengketa antara produsen dengan konsumen dengan cara antara lain yaitu dengan melalui sebagai berikut: 1. Penyelesaian Sengketa Melalui Mediasi. Penyelesaian sengketa yang terbaik sesungguhnya adalah penyelesaian oleh para pihak (konsumen sebagai pemakai akhir suat-produk dengan produsen sebagai pelaku usaha), sehingga 136 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 dapat diperoleh hasil yang menguntungkan kedua belah pihak. Penyelesaian melalui musyawarah mufakat oleh para pihak seperti tersebut di atas tanpa campur tangan oleh pihak mana pun. Namun demikian, apabila para pihak gagal/tidak tercapai kesepakatan dalam perundingan, maka para pihak dapat menempuh penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang telah disediakan oleh pemerintah dalam upaya untuk memberikan pelayanan masyarakat (konsumen dan produsen). Penyelesaian sengketa harus memperhatikan kewenangan dari lembaga tersebut (BPSK) sesuai Undang-Undang Nomor. 8 ahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pengaturan mengenai mediasi dapat di temukan dalam ketentuan Pasal 6 ayat 3, ayat 4 dan ayat 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 . Ketentuan mediasi yang diatur dalam UndangUndang Nomor 30 ini merupak suatu proses kegiatan sebagai kelanjutan dari gagalnya negosiasi yang diatur dalam Undang– Undang Nomor 30 Tahun 1999. Mediasi adalah intervensi terhadap suatu sengketa atau negosiasi oleh pihak ketiga yang dapat diterima, tidak berpihak dan netral yang tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan dalam membantu para pihak yng berseliisih dalam upaya mencapai kesepakatan secara sukarela dalam penyelesaian permasalahan yang disengketakan. Mediasi dari pengertian di atas berfungsi sebagai mediator sebagai pihak kertiga yang neteral, independen, tidak memihak dan ditunjuk oleh para pihak secara lansgsung melalui lembabga mediasi, mediator para pihak berdasarkan pada kehendak dan kemauan para pihak. Walaupun fungsinya berkewajiban untuk melaksanakan tugas walaupun para pihak demikian ada suatu pola 137 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 umum yang dapat diikuti dan pada umumnya dijalankan oleh mediator dalam rangka penyelesaian sengketa. 2. Penyelesaian Melalui Konsiliasi. Penyelesaian sengketa melalui cara konsiliasi juga melibatkan pihak ketiga (konsiliator) yang tidak berpihak atau netral dan keterlibatannya karena diminta oleh para pihak. Menurut Bindshchedler, bahwa unsur ketidakberpihakan dan kenetralan merupakan kata kunci untuk keberhasilan fungsi konsiliasi. Hanya dengan tepenuhinya dua unsur ini, objektivitas dapat terjamin. Pengertian konsiliasi di atas diambil dari batasan yang diberikan oleh Institut Hukum Internasional yang dituangkan dalam Pasal 1 the regulations on the procedure of international conciliation tahun 1961. Badan konsiliasi bisa yang sudah terlembaga atau Ad Hoc (sementara) proses seperti ini berupaya mendamaikan pandamgan-pandangan para pihak yang bersengketa meskipun usulan-usulan penyelesaian yang dibuat oleh konsiliator sifatnya tidak mempunyai kekuatan hukum. Konsiliator adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat sebagai konsikliator yang ditetapkan oleh menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketa dan kepentingannya. Syarat-syarat untuk menjadi konsiliator antara lain: a. Beriman dan bertaskwa kepada Yang Maha Esa b. Warga negara Indonesia c. Berumur sekurang-kurangnya 45 ahun d. Pendidikan minilam lulusan strata satu e. Berbadan sehat menurut surat keterangan dokter f. Berwibawah, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela g. Menguasai peraturan perundangan yang terkait. h. Syarat lain yang di tetapkan oleh menteri, 138 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 Jika kita kembali pada asal kata konsliliasi, conciliation berarti perdamauan Kemudian. Jadi pada prinsipnya konsiliasi merupakan perdamaian, juga sebagaimana diatur dalam 1851-1864 Bab Kedelapan belas Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Berarti segala sesuatu yang dimaksudkan untuk diselesaikan melalui konsiliasi tunduk pada ketentuan Kitab Undang-undan Hukum Perdata, dan secara khusus Pasal 1851-1864. hasil kesepakatan para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa konsiliasi inipun harus dibuat secara tertulis dan ditandatangani secara bersama-sama oleh para pihak uang bersengketa. Sesuai Undang-Undang- Nomor 30 tahun 1999, kesepakatan tertulis tersebut harus didaftarkan di Penagdilan Negeri dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal penandatnagan, dan dilaksanakan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh hari) terhitung sejak tanggal pendaftaran di Pengadilan negeri. Kesepakatan Kesepakatan tertulis hassil konsiliasi bersigat final dan mengikat para pihak. (Huala Adolf & A. Chandra Wulan, Masalah-masalah Hukum Perdagangan Intenasional). Dari apa yang penulis uraikan di atas dapat simpulkan bahwa konsiliasi adalah a. Merupan suatu bentuk perdamaian b. Kehadiran pihak ketiga dituntut srecara aktif dalam memberikan usulan dan solusi dari sengketa para pihak. c. Berupaya untuk mempertemukan para pihak d. Keputusan diambil harus dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis dan di tanda angani para pihak. e. Kesepakatan tersebut harus didaftarkan di Pengadilan f. Arbitrse adalah Hasil kesepakatan yang diambil bersifat final dan mmengikat. 3. Penyelesaian kekusaan sengketa untuk Melalui menyelesaikan kebijaksanaan. Apabila Arbitrase. sesuatu Arbitsase perkara adalah menurut kita memperhatikan rumusan arbitrase 139 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 yang dikemukakan oleh Frank berdasarkan dalil, pilihan arbitrase adalah prose yang mudah dipilih oleh para pihak secara sukarela karena ingin agar perkaranya diputus oleh juru pisah yang netral sesuai dengan pilihan dimana keputusan mereka berdasarkan dalil dalil dalam perkara tersebut, dan para pihak setuju sejak semula untuk menerima putusan tersebut sevcarta puinal dan mengikat. Dalam arbitrase, para pihak menyetujui untuk menyelesaikan sengketanya kepada pihak netral yang mereka pilih untuk membuat keputusan. Arbitrase adalah suatu adjudikasi provat. Dalam beberapa hal arbitrase mirip dengamn adjudikasi publik dan sama-sama memiliki beberrapa keunntungan dan kelemahan. METODE PENELITIAN Desain Penelitian. Penelitian ini akan mempunyai nilai ilmiah jika berpatokan pada syarat-syarat metode ilmiah, karena penelitian merupakan alat dan atau suatu sarana utama dalam mengembangkan ilmu pengetahui teknologi yang bertujuan untuk mengungkap kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten. Melalui proses penelitian tersebut, sangat perlu diadakan analisis dan konstruksi terhadap data yang peneliti dipergunakan (desain penelitian) dengan metode kualitatif. Dalam penelitian ini data yang ada dikumpulkan dan diolah, dan atau dalam melaksanakan suatu penelitian membutuhkan sebuah metode (desain penelitian)2. Desain penelitian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah menggunakan metode penelitian kuantitaf dan atau kualitatif, tentunya peneliti akan menyesuaikan kebutuhan suatu penelitian. Sehubungan hal di atas, dimana dalam penelitian ini, peneliti mempergunakan desain penelitian 2 Soerjono, Soekanto. dan Sri, Mamuji. (1985). Penelitian Hukum Normatif. Hal.1-2. 140 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 dengan metode kualitatif. Dalam Penelitian Kualitatif yang bertolak dari data dan memanfaatkan teori yang ada sebagai bahan penjelasan dan akhirnya berakhir pada suatu teori. Lokasi Penelitian. Lokasi Penelitian dilaksanakan di Kantor Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) kota Batam, Tepatnya di gedung bersama pelayan publik Pemerintah Daerah Kota Batam (lanati 5). Sumber dan Jenis Data Sumber data adalah tempat dimana dapat diketemukannya data-data penelitian. Sumber-sumber tersebut dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu: Sumber Data primer, yaitu data yang diperoleh seorang peneliti langsung dari obyeknya, misalnya, dengan cara wawancara, observasi, pengamatan, angket, dll, sumber data primer adalah wawancara dengan informan kunci (key informan) dengan menggunakan pedoman wawancara anggota BPSK dari unsur pemerintah, selaku ketua BPSK . Sumber bahan hukum yang diperoleh seorang peneliti secara tidak langsung dari obyeknya, tetapi melalui sumber lain baik lisan maupun tulisan. misalnya bahan hukum primer yang meliputi: 1. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 2. Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa atau yang disingkat dengan (APS). 3. Kitab Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). 4. Keputusan Menteri DAG/KEP/11/2008 Perdagangan tentang RI Pengangkatan Nomor Anggota 817/MBadan Penyelesaian Sengketa Konsumen PadaPemerintah Kota Batam. 141 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 5. Keputusan Menteri Perdagangan RI Nomor 48/M-DAG/KEP/2/2009 tentang Pengangkatan Kepala Sekertariat dan Anggota Sekertariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) pada Pemerintah Kota Batam. 6. Dan beberpa peraturan lainnya yang terkait. Sumber data sekunder. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang penulis peroleh dengan mempelajari literatur atau referensi yang terkait dengan penelitian termasuk berkas sengketa . Pendekatan Yang Digunakan Apabila seseorang peneliti akan melakukan kegiatan-kegiatan penelitian, maka sebelumnya peneliti harus terlebih dahulu memahami metode dan sistematika penulisan. Sudah tentu hal ini harus memahami ungkapan kebenaran melalui suatu kegiatan ilmiah. Kebenaran memperoleh kegiatan upaya-upaya untungan, spekulasi dan kewibawaan seseorang, yang dikualifikasikan sebagai upaya ilmiah. Menurut 3sumber tersebut adalah observasi, generalisasi dan teorisasi, penjelasan meengenai fakta-fakta yang terjadi, yang sekal;igus merupakan sumber-sumber primer, atau utama dari pada ilmu peengetahuan untuk memperoleh deskripsi-deskripsi umum atau khusus termasuk teori-teori yang ada. Teknik Pengumpulan Data. Dokumen suatu data dapat diperoleh dari sumber data dengan adanya metode pengumpulan data yang sesuai dengan tujuan, karena melalui metode pengumpulan data ini akan diperoleh data yang diperlukan kemudian dianalisis supaya cocok dengan apa yang diharapkan. Dengan permasalahan tersebut di atas, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data yang diperoleh dari hasil penelitian kemudian dianalisis dengan pengolahan dan 3 SM, Steinmann. & G, Willem. (1967). Hal.15. 142 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 analisa kualitatif lebih menekankan pada proses penyimpulan deduktif dan induktif serta pada dinamika hubungan antar fenomena yang diamati, dengan menggunakan logika ilmiah, dengan penekanan pada usaha menjawab pertanyaan penelitiian melalui cara-cara berfikir formal dan argumentatif. Data yang diperoleh baik dari studi lapangan maupun studi dokumen pada dasarnya merupakan data yang dianalisis secara deskriptif kualitatif, yaitu setelah data terkumpulkemudian dituangkan dalam bentuk uraian logis dan sistematis, selanjutnya dianalisis, untuk memperoleh kejelasan penyelesaian masalah. Kemudian ditarik kesimpulan secara deduktif, yaitu dari hal yang bersifat umum menuju hal yang bersifat khusus. Wawancara.Wawancara adalah eknik pengumpulan data yang dilakukan terhadap data primer yang diajukan terhadap informan dan respon dengan mengajikan pertanyan-pertanyaan sebagai alat pengumpulan data untuk mendapatlkan keterangan lisan mengenai masalah yang dditeliti. Adapun infformasi yang peneliti wawancarai antara lain Hari Murti, SH, (bahagian /bidang Kepaniteraan Sekertariat BPSK, Ibu Yuniarti, SH.(anggota sekertiat Tata Usaha BPSK Kota Batam). Analisa Data. Berdasarkan data-dengan tidak menggunakan yang bersifat angka dan rumus. penelitian kualitatif adaslah penelitian yang bersifat deskriptif yang cata yang telah dikumpulkan, baik data primer maupun data sekunder, ditarik simpulan yang kemudian dianaliisis secara kualitatif yaitusuatu metode dengan tidak menggunakan yang bersifat angka dan rumus, penlitian kualitatif adalah penelitian yang bersifat deskriptif yang cenderung menggunakan mengunakan pendekatan perhitungan menyuusun asumsi dasar induktif, penelitian matematika, kuantitatif penelitian ini dilakukan tidak dengan yang nantinya dengan digunakan untuk mengumpulkan dan mengelola data dengan ara sistematis, namun tetap saja 143 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 dalam penelitian kualitatif ini data yang dikumpulkan haruslah objektif (tidak terpengaruh dalam pendapat peneliiti sendiri. Penafsiran dan Pengambilan Simpulan. Penelitian hukum yang merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang di dasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari suatu atau beberapa gejalah hukum tertentu. Seorang peneliti seyogyanya, menafsirkan suatu penelitian itu dalam arti yang diatur dalam Undang-undang,kaitannya dengan judul adalah penyelesaian sengketa antara produsen dengan konsumen melalui Badan Penyelesain Sengketa Konsumen (BPSK) di kota Batam. Penafsiran tersebut merupakan pemahaman-pemahaman yang diberikan pemerintah dalam menyelesaikan sengkera di luar Pengadilan. Dalam penarikan simpulan sementara, peneliti menyimpulkan bahwa penyelesaian senghketa antara produsen dengan konsumen melalui BPSK kota Batam telah berjalkaan dengan baik, dan masyarakat telah memahami fungsi BPSK itu sendiri yang merupalan salah satu wadah penyelesaian sengketa di luar Pengadilan, dan sengketa tersebut melibatkanunsur pemerintah, pengusaha dan konsumen itu sendiri. Sehingga apa yang diputuskan sudah terwadahi secara umum, oleh para pihak (pihak produsen dengan konsumen). HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Tahun 2013 (Pengaduan 1 tahun terakhir/2013). Pengaduan/kasus yang masuk dari konsumen untuk menggugat produsen dan atau pelaku usaha sejak tanggal 9 Januari 2013 – 15 Desember 2013 sebanyak 46 Pengaduan/kasus. Kasus-kasus tersebut telah diterima dan diproses oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Batam, denganperinciannya sebagai berikut : 1. Yang telah di proses dan telah diputus sebanyak = 25 Pengaduan/kasus 144 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 2. Yang masih dalam proses penyelesaian sebanyak = 10 = 7 = 1 = 1 = 1 = 1 Pengaduan/kasus 3. Yang selesai pra sidang sebanyak pengaduan/kasus 4. Yang selesai tidak sepakat sebanyak Pengaduan/kasus 5. Yang tidak dapat diselesaikan BPSK sebanyak Pengaduan/kasus 6. Yang pelaku usaa tidak bersedia diselesaikan sbyk Pengaduan/kasus 7. dan lain-lain sebanyak Pengaduan/kasus Jenis - Jenis Pengaduan/Kasus Sejak tanggal masuknya pengaduan di tahun 2013 ini, jenis-jenis pengaduan /kasus meliputi 5 (lima) jenis kasus yaitu : 1. Pengaduan/Kasus Properti sebanyak = 20 = 4 = 4 = 3 = 1 dan lain-lain (tdk jelas) sebanyak = 14 Total = 46 kasus 2. Pengaduan/Kasus masalah Jasa sebanyak kasus 3. Pengaduan/kasus masalah leasing sebanyak kasus 4. Pengaduan/kasus klaim Asuransi sebanyak kasus 5. Pengaduan/kasus sertifikat sebanyak kasus 6. Kasus 145 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 Yang tergugat (Badan Hukum / Perusahaan). Yang tergugat (BadanHukum, pengaduan) ke BPSK tahun 2013 ini sejumlah 46 Badan Hukum / Usaha yang meliputi: a. Dari Pelaku Usaha yang berbadan hukum = 32 Badan Hukum b. Dari Lembaga Bank/BPR sebanyak = 8 Badan Hukum c. Dari Pembiayaan lainnya sebanyak = 1 Usaha d. Dari Pelayanan Publik sebanyak = 2 Usaha e. dan lain-lain, sebanayak f. Jumlah / sebanyak . = 3 Usaha = 46 Badan Hukum / Badan Usaha Cara Penyelesaiannya. Cara Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) kota Batam menyelesaikan sengketa konsumen dengan produsen menempuh/dan ataumenyelesaikannya dengan cara sbb: a. Penyelesaian melalui Konsiliasi sebanyak 18 pengaduan/kasus b. Penyelesaian melalui negosiasi sebanyak 7 pengaduan/kasus c. Penyelesaian melalui Arbitrase sebanyak 3 pengaduan/kasus. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pembahasan Penyelesaian Sengketa melalaui BPSK Kota Batam, dalan sebuah perkara atau sengketa dalamkehidupan masyarakat saat ini dalam prakteknya tidak hanya dapat diselesaikan melalui jalur pengadilan tetapi juga dapat diselesaikan melalui jalur luar pengadilan, salah satu penyelesaian sengketa yang dapat diselesaikan diluar pengadilan adalah sengketa konsumen. Penyelesaian sengketa konsumen dalam perkembangan kehidupan masyarakat dapat diselesaikan oleh suatu badan atau lembaga yang secara hukum telah dibentuk oleh pemerintah berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa 146 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 Konsumen, selanjutnya disebut dengan BPSK yang merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Badan penyelesaian sengketa konsumen (BPSK) adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Pasal 1 (11) Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) merupakan suatu lembaga khusus yang dibentuk diatur dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen, yang tugas utamanya adalah menyelesaikan sengketa atau perselisihan antara konsumen dan pelaku usaha. 4 Kota Batam, pengaduan yang masuk melalui BPSK Kota Batam untuk 1(satu) tahun terkhir ini (2013) berjumlah 46 kasus, 25 pengaduan/kasus yang ada telah diputus oleh BPSK dan hasilnya final, artinya para pihak menerima keputusan tersebut, karena mereka menggap keputusan itu sudah terwadahi dan wajar, serta sadar kekurangan dan kelebihan mereka miliki. Kasus yang lainnya yang belum diputus masih dalam proses pembuktian dan keterangan dari para pihak, dan mudahan di awal tahun 2014 yang akan datang semuanya sudah selesai dan mendapat putusan yang bersifat final. Melalui BPSK Kota Batam. Berdasarkan data dan wawancara yang penulis laksanakan pada sekertariat BPSK Kota Batam. Tepatnya BPSK di Batam Centere, bahwa pengaduan/kasus property menduduki jumlah yang terbanyak, yaitu 20 (dua puluh) kasus, hal disebabkan adanya ketidak sesuaian informasi awal melalui liflet atau bentuk lainnya tentang imformasi dan atau data dan kelengkapan suatu rumah yang menjadi milik konsumen, ini berkali-kali konsumen menyampaikan kepada pihak perumahan (deploper) namun hasilnya tidak maksimal dan masyarakat merasah dirugikan, setelah berkordinasi para pihak yang memahami kasus-kasus 4 (Yusuf, Shofie. (2002). Penyelesaian Sengketa Konsumen. 39). 147 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 seperti tersebut di atas akhiirnya disampaikan kepada BPSK untuk mendapatkan keputusan dan kepastian secara legal yang tidak merugikan para pihak baik konsumen maupun produsen. Pengaduan/kasus lainnya antara lain kasus jasa, leasing, klain asuransi, sertifikat, yang jumlahnya tergolong sedikit di banding kasus properti. Jika di lihat gugatan yang masuk ke BPSK tahun 2013 ini gugatan yang terbanyak ditujukan tergugatnya kepada pelaku usaha (yang ber Badan Hukum, menyusul lembaga Pembiaayaan lainnya, dari sekian banyak gugatan yang ditujukan pada pelaku usaha penyelesaiannya 75 % dilakukan melalui konsiliasi, sedangakan putusan melalui mediasi dan arbitrase menempati pada posisi kedua dan ketiga. Upaya dan atau Solusi Penyelesaian Sengketa. Dari awal pendaftaran sampai permohonan penerimaan berkas pengaduan/kasus yang di alamatkan pada BPSK Kota Batam untuk permohonan diselesaikan, BPSK terlebih dahulu menyampaikan atau memanggil para pihak yang bersengketa untuk memahami hak dan kewajibanya seperti yang diatur dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999 dan fungsi, kewenangan termasuk hak dan kewajiban BPSK. Hal ini dimaksudkan agar proses penyelesaian sengketa berjalan lancar, cepat dan penuh akurasi danyuridis. Namun kenyataannya hal tersebut sebahagian penggugat dan tergugat tidak mematuhi sepenuhnya akibatnya belum bisa diproses dan atau diputuskan. Upaya dan atau solusinya adalah memberi kesempatan ulang untuk menepati dan melengkapi dokumen dan atau keterangan yang diperlukan dalam proses penyelesainnya melalui BPSK, dan akan diputus diawal tahun 2014 yang akan datang. 148 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Proses dan atau penyelesaian sengketa konsumen antara konsumen dengan produsen sebagai pelaku usaha melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) kota Batam adalah ketika para pihak yang bersengketa sudah ada perjanjian/ kesepakatan sebelumnya maka BPSK tetap menghormati perjanjian para pihak sebagai dasar dan pertimbangan pengambilan keputusan Majelis, dan untuk proses penyelesaian sengketa di BPSK Kota Batam sudah sesuai dengan kaidah atau Peraturan perundang-undangan yang ada, lebihkhususlagimasalahwaktusesuai aturan dengan kenyataan, yaitu dalam penyelesaian sengketa konsumen dalam waktu 21 (duapuluh satu) hari kerja sejak permohonan sudah mendapatkan keputusan Majelis. Faktor yang pendukung dilihat dari peran majelis yang bersifat aktif ketika menjadi konsiliator atau aktif ketika menjadi mediator atau arbitor dalam proses penyelesaian sengketa konsumen adalah sesuai dengan aturan pelaksanaan BPSK dalam keputusan menteri yaitumajelis sebagai konsiliator harus bersifat atif dan menjawa dan menyikapi pertanyaan dan masalah yang ia hadapi agar para pihak puas atas jawaban tersebut. Saran Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Batam, diharapkan / disarankandapat memiliki anggota dengan pendidikan terakhir Strata dua (S2) yang jauh lebih memiliki wawasan. Aanalisis serta pemahaman teori secara akurasi dan analisis tentang proses Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) sehingga berguna dalam pelaksanaan proses penyelesaian sengketa, dan masyarakat di Kota Batam. 149 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 DAFTAR PUSTAKA Buku, Jurnal dan Makalah Ade, Maman, Suherman. (2002). Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global. Ghalia Indonesia. Ahmadi, Miru. & Sutarman, Yodo. (2004). Hukum Perlindungan Konsumen. Devisi Buku Perguruan Tinggi PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Bambang, Dwiloka. & Ratiriyana. (2005). Tehnik Menulis KaryaIlmiah, Rineke Cipta. Jakarta Bambang, Waluya. (2002). Penelitian Hukum Dalam Prakte. Sinar Grafika, Jakarta. Gunawan, Widjaja. & Ahmad, Yani. (2001). Seri hukum Bisnis. Hukum arbitrase manajemen. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta Gunawan, Wijaya. (2005). Seri Bisnis Alternatif Penyelesaian Sengketa. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta Kartini, Muljadi. & Gunawan, Widjaja. (2008). Seri Hukum PerikatanPerikatan Yang Lahir Dari Perjanjian. PT Raja Grafindo. Jakarta Kuntjaraningrat. (1999). Kebudayaan, Metalitet & Pembangunan, Gramedia, Jakarta Priyatna, Abdurrasiyid. (2002). Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa Suatu Penghantar. PT Fikahati Aneska. Sentosa, Sembiring. (2006) Himpunan Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen Dan Peraturan Perundang-undangan Yang Terkait. Nuansa Aulia. Bandung. Shidarta. (2004). Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Grasindo. PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Sudaryatmo. (2004). Memahami Hak Anda Sebagai Konsumen. LKJ (Lembaga Konsumen). Pustaka Pelajar. Jogjakarta. 150 Jurnal Cahaya Keadilan . Vol 3. No. 1 ISSN: 2339-1693 Suyud, Margono. (2002). Cetakan Kedua. ADR & Arbitrase, Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum. Ghalia Indonesia Yusuf, Shofie. (2002) Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Pidana Korporasi. Ghalia Indonesia Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase.dan Alternatif Penyelesaian Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.301/MPP/Kep./10/2001 tentang Pengangkatan, Pemberhentian Anggota dan Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Media Massa http://www.bonddisputeresolutionnews.com. 151