ETNOSENTRIS DALAM PROSES PEMEKARAN DESA (Studi Dinamika Politik Lokal Di Desa Wowonga Jaya, Kecamatan Kulisusu Utara Kabupaten Buton Utara) *Harino **La Tarifu ***Joko Jurusan Ilmu Komunikasi Program Sarjana Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Halu Oleo Kendari. E-Mail : harino GM [email protected] ABSTRACT The purpose of this study are: (1). To determine the ethnocentric impacts in the process of expanding Wowonga Jaya Village North Kulisusu District of North Buton Regency; and (2) to find out the ethnocentric impacts in the local political dynamics in Wowonga Jaya Village, North Kulisusu District, North Buton Regency. The analytical technique used in this study is descriptive qualitative, with the aim of describing the things of research which further analyze the data by way of interpretative understanding. That is the authors do interpretation of data and facts that have something to do with research problems. The results showed that the impact of ethnocentry in the process of pemekaran Wowonga Jaya Village looks at the view that belongs to the local community Kulisusu ethnic, which became one of the factors that encourage the expansion of Wowonga Jaya Village. The process of interaction between local community groups and migrants that triggered the potential for social conflict in Lakansai village, underlies the formation of Wowonga Jaya Village. Another thing that can be seen from this research is the emergence of local people's perception of Kulisusu ethnic who have the view that they are local people who have historically been inhabited the area since ancient times, but objectively ethnocentric dynamics can only enter the intellectual space in a culture or culture . The ethnocentric impact on the dynamics of local politics shows that ethnocentris can influence the dynamics of local politics. The result of the research shows that people's perception in Wowonga Jaya Village assumes that in the political issue in the village, the community becomes tersandra based on certain groups. This is due to the poor social interaction that occurs within these community groups. Keywords: Ethnocentris, Village Expansion, Local Political Dynamics ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah: (1). untuk mengetahui dampak etnosentris dalam proses pemekaran Desa Wowonga Jaya Kecamatan Kulisusu Utara Kabupaten Buton Utara, dan (2) untuk mengetahui dampak etnosentris dalam dinamika politik lokal di Desa Wowonga Jaya Kecamatan Kulisusu Utara Kabupaten Buton Utara. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini ialah deskriptif kualitatif, dengan tujuan mendeskripsikan hal-hal penelitian yang selanjutnya menganalisis data dengan cara interpretative understanding. Maksudnya penulis melakukan penafsiran data dan fakta yang ada kaitannya dengan permasalahan penelitian. Hasil penelitian menunjukan bahwa dampak etnosentri dalam proses pemekaran Desa Wowonga Jaya terlihat pada pandangan yang dimiliki oleh masyarakat lokal etnis Kulisusu, yang menjadi salah satu faktor yang mendorong terjadinya pemekaran Desa Wowonga Jaya. Proses interaksi antar kelompok masyarakat lokal dan pendatang yang memicu potensi konflik sosial di desa Lakansai, mendasari terbentuknya Desa Wowonga Jaya. Hal lain yang terlihat dari penelitian ini ialah munculnya persepsi masyarakat lokal etnis Kulisusu yang memiliki pandangan bahwa mereka merupakan penduduk lokal yang secara historis telah mendiami daerah tersebut sejak zaman dahulu, namun secara objektif dinamika etnosentris hanya dapat memasuki ruang-ruang intelnal dalam sebuah kultur atau budaya. Dampak etnosentris terhadap dinamika politik lokal terlihat bahwa etnosentris mampu memberikan pengaruh terhadap dinamika politik lokal. Hasil penelitian menunjukan bahwa persepsi masyarakat di Desa Wowonga Jaya beranggapan bahwa dalam persoalan politik di desa tersebut, masyarakat menjadi tersandra berdasarkan kelompok-kelompok tertentu. Hal ini diakibatkan karena buruknya interaksi sosial yang terjadi di dalam kelompok masyarakat tersebut. Kata Kunci: Etnosentris, Pemekaran Desa, Dinamika Politik Lokal PENDAHULUAN Desa Wowonga Jaya sebagai desa baru merupakan pemekaran Desa Lanosangia yang terbentuk pada tanggal 23 Januari 2013 berdasarkan Peraturan Bupati Buton Utara Nomor 21 Tahun 2013 dengan status sebagai desa pemekaran. Berdasarkan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah telah memberikan keluasaan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri dalam penyelenggaraan pemerintahan. Tidak terlepas dengan sistem pemerintahan desa yang mengalami perubahan mendasar sebagai implikasi dari implementasi undang undang tersebut. Berkenaan dengan itu pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa sebagai pedoman dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Mencermati kondisi itu, pada hakikatnya forum komunikasi desa yang dipelopori oleh kelompok masyarakat yang terdiri dari berbagai etnis yaitu etnis Kulisusu sebagai etnis mayoritas dan etnis Buton, Muna, Wawoni’i dan Bajo sebagai etnis pendantang, sepertinya memang tidak mampu sebagai benteng untuk mencegah pemekaran, parahnya sekat antara kelompok local dan pendatang di Desa Lakansai sebagai desa induk, disinyalir sebagai salah satu faktor utama yang mendorong pembentukan Desa Wowonga Jaya sebagai desa pemekaran. Potensi konflik ini menjadi dorongan besar yang mendorong masyarakat lokal untuk membentuk desa baru. Etnosentrime merupakan kecenderungan untuk berfikir bahwa budaya etniknya lebih unggul dibandingkan dengan budaya etnik lain. Segala sesuatu dilihat dari sudut pandang etniknya sendiri yang semakin kentara, gap dalam interaksi antar budaya yang semakin melebar, hal ini adalah fakta emperik yang semakin menampakkan adanya persoalan dalam kehidupan sosial masyarakat. Dengan demikian, komunikasi antar etnis, dianalisa bahwa sebagian besar orang, suatu daerah cenderung menggunakan bahasa daerah ketika berkomunikasi dengan sesama etnis. Hal ini akan kita kenal sebagai Etnosentrisme. Etnosentrisme kian menguat justru ditopang dengan kebijakan negara yang mengembangkan otonomi daerah dan pemekaran daerah. Semangat otonomi daerah dan pemekaran daerah menjadi berjalan seiring dengan menguatnya etnosentrisme. Dikaitkan dengan substansi etnosentrisme, maka keikutsertaan forum komunikasi desa atau kelurahan dalam pemekaran wilayah, justru sangat mungkin dipakai para elit untuk menumbuhkan semangat etnisitas maupun subetnisitas, yang menuntut pembentukan daerah otonomi baru, Tentu saja, dengan mengusung isu persamaan nasib dan mengeksplorasi politik teraniaya. Sebab secara kelembagaan, lembaga-lembaga di tingkat desa/kelurahan, misalnya Badan Permusyawaratan Desa (BPD), sejalan dengan reformasi politik, tidak lagi didominasi oleh penguasa, yang diasumsikan “menyukai pemekaran” dan lebih memilih statusquo. Dengan demikian, sangat mungkin forum komunikasi desa justru dipakai sebagai ajang konsolidasi politik pemekaran, dengan membawa prasangka kelompok. Oleh karena itu, untuk membatasi pemekaran wilayah, bukan semata-mata mengandalkan peraturan yang memposisikan forum komunikasi desa sebagai entitas penghalang pemekaran, tetapi yang diperlukan adalah menjalankan yang berkesejahteraan dan peduli terhadap kepentingan pemerintahan semua kelompok masyarakat, tanpa diferensiasi sosial, ekonomi maupun politik. Sedangkan faktor yang tidak kalah penting adalah bagaimana melalui dinamika politik lokal, dapat meminimalisir semangat elit yang seringkali mempolitisir rakyat, dalam perangkap kesukuan untuk menuntut pemekaran wilayah, dan hal ini nampak terjadi dalam proses pemekaran Desa Wowonga Jaya. Dalam proses pemekaran desa ini, faktor etnosentrisme menjadi pemicu mekarnnya Desa Wowonga Jaya dengan terpenuhinya syarat administrasi dan aturan pemekaran suatu desa. Hal yang menarik untuk dikaji dalam penelitian ini ialah, bahwa perbedaan pandangan dalam kelompok sosial sebagai dampak dari sifat etnosentris yang dimiliki oleh kelompok masyarakat lokal diikutsertakan dalam proses pemekaran desa, bahkan berdampak pada dinamika politik masyarakat di desa tersebut. . Etnosentris yang diterjemahkan dalam bentuk prasangka sosial telah berhasil membuat sekat dalam kelompok masyarakat, menjadi faktor penting dalam proses pembentukan desa Wowonga Jaya, dan bahkan menjadi ukuran dalam dinamika politik lokal dalam kelompok-kelompok masyarakat. Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana dampak etnosentris dalam proses pemekaran Desa Wowonga Jaya Kecamatan Kulisusu Utara Kabupaten Buton Utara. Bagaimana dampak etnosentris dalam dinamika politik lokal di Desa Wowonga Jaya Kecamatan Kulisusu Utara Kabupaten Buton Utara. METODE PENELITIAN Penelitian ini akan dilakukan di Desa Wowonga Jaya Kecamatan Kulisusu Utara. Dengan pertimbangan bahwa pada lokasi tersebut akan memperoleh informasi yang berkaitan dengan penelitian ini. Waktu yang dibutuhkan dalam pelaksanaan penelitian ini yakni selama 1 bulan. Subyek dalam penelitian ini yaitu seluruh masyarakat yang bermukim di Desa Wowonga Jaya Kecamatan Kulisusu Utara Kabupaten Buton Utara yang berjumlah 368 jiwa. Pemilihan informan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara dipilih secara sengaja (purposive sampling) yaitu orang yang dianggap dapat memberikan informasi yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Adapun informan dalam penelitian ini sebanyak 8 orang informan yang berasal dari masyarakat Desa Wowonga Jaya, yang terdiri dari 4 orang informan beretnis Kulisusu sebagai representatif masyarakat lokal dan 4 orang lainnya adalah informan yang beretnis pendatang yakni etnis Buton, Muna, Wawonii dan Bajo. Data kualitatif adalah data yang diperoleh berdasarkan bahan informasi atau temuan dri objek yang diteliti. 1. Data kuantitatif adala data yang peroleh pada lokasi penelitian yang telah tersedia dalam bentuk angka atau jumlah, misalnya data tentang jumlah penduduk dan sebagainya. Sumber data dalam penelitian ini adalah: 1. Sumber Primer, yakni sumber dari para informan berdasarkan hasil wawancara dengan informan yang ditentukan sebelumnya. 2. Sumber Sekunder, yakni sumber ditetapkan dilapangan melalui literature seperti buku, internet, dan jurnal yang dapat mendukung dari penelitian ini. Teknik pengumpulan yang data dilakukan yaitu; 1. Observasi (pengamatan) yaitu, dimana peneliti melakukan pengumpulan data dengan pengamatan secara langsung atau langsung pada lapangan khususnya obyek penelitian dalam hal ini Etnosentris Dalam Proses Pemekaran Desa Wowonga Jaya. 2. Wawancara (interview) yaitu, dimana peneliti melakukan wawancara langsung dengan menggunakan pedoman wawancara yang ditujukan kepada informan yang telah ditentukan untuk mengumpulkan informasi yang berhubungan dengan Etnosentris dalam Pemekaran Desa Wowonga Jaya (studi dinamika politik lokal di Desa Wowonga Jaya) 3. Dokumentasi yaitu, dimana peneliti secara visualisasi dengan menggunakan kamera dalam memperoleh data sehingga diperoleh gambar-gambar hasil liputan terhadap objek yang diteliti. Data yang akan diperoleh di lapangan, dianalisis dalam bentuk deskriptif kualitatif, dengan tujuan mendeskripsikan hal-hal penelitian yang selanjutnya menganalisis data dengan cara interpretative understanding. Maksudnya penulis melakukan penafsiran data dan fakta yang ada kaitannya dengan permasalahan penelitian. Dalam penelitian ini analisis data menggunakan komponen analisis data. Analisis data yang bertujuan mengatur urutan data, mengorganisasikannya, dan mengkategorikannya. Cara analisis data yang digunakan peneliti adalah model interaktif Miles dan Huberman, (Moleong, 2010:13) didasarkan empat proses yang berlangsung secara interaktif. 1. Pengumpulan dan pengambilan data dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu wawancara, pengamatan yang sudah ditulis dalam catatan lapangan, dokumentasi pribadi, gambar, foto, dan sebagainya; 2. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulan- kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi. 3. Sajian data (Data Display) merupakan suatu rakitan organisasi informasi yang memungkinkan kesimpulan riset dilakukan. Dengan melihat sajian data, peneliti akan lebih memahami berbagai hal yang terjadi dan memungkinkan untuk mengerjakan sesuatu pada analisis ataupun tindakan lain berdasarkan pemahaman tersebut. Semuanya ini disusun guna merakit informasi secara teratur supaya mudah dimengerti; 4. Penarikan Kesimpulan (Conclusion Drawing) merupakan pola proses yang dapat dilakukan dari sajian data dan apabila kesimpulan kurang jelas dan kurang memiliki landasan yang kuat maka dapat menambahkan kembali pada reduksi data dan sajian data. Kesimpulan yang perlu diverifikasi, yang berupa suatu pengulangan dengan gerak cepat, sebagai pemikiran kedua yang melintas pada peneliti, pada waktu menulis dengan melihat kembali pada fieldnote. Untuk menghindari kesalahan penafsiran dalam penelitian ini, maka definisi konseptual dalam penelitian ini ialah: 1. Etnosentris yang dimaksud dalam penelitian ini ialah kecenderungan masyarakat di Desa Wowonga Jaya untuk melihat kondisi realita hanya melalui sudut pandang budaya atau etnis mereka sendiri dalam menyikapi proses pemekaran desanya. 2. Dinamika Politik Lokal yang dimaksud dalam penelitian ini ialah terbentuknya kelas-kelas sosial antara kelompok masyarakat moyoritas dan minoritas yang berbeda kebudayaannya atau etnis masyarakat di Desa Wowonga Jaya dalam hal pandangan dan pilihan politik. 3. Proses pemekaran wilayah yang dimaksud dalam penelitian ini ialah proses terbentuknya desa Wowonga Jaya secara administrasi yang disebabkan oleh faktor sosial dengan persyaratan secara administrasi, teknis dan kewilayahan. HASIL DAN PEMBAHASAN Etnosentris dalam Proses Pemekaran Desa Wowonga Jaya Dalam kajian pustaka atau tinjauan teori tentang proses pemekaran, maka terlebih dahulu harus dipahami pengertian pemekaran itu sendiri. Pemekaran wilayah menurut Effendy (2008: 2) merupakan suatu proses pembagian wilayah menjadi lebih dari satu wilayah, dengan tujuan meningkatkan pelayanan dan mempercepat pembangunan. Pemekaran wilayah juga diharapkan dapat menciptakan kemandirian daerah sebagai salah satu kunci dari keberhasilan otonomi daerah. Menurut Arkanudin (2010: 95) mengungkapkan bahwa “jumlah penduduk yang terdapat dalam satu kampung atau desa relatif kecil, rata-rata terdiri 380 Kepala Keluarga”. Secara sosial faktor yang mempengaruhi proses pemekaran suatu desa adalah jumlah penduduk, apabila mengacu pada pendapat ahli tersebut diatas, maka dalam suatu lingkungan sosial dimana jumlah penduduknya sudah diatas 300 Kepala Keluarga maka komunitas tersebut dapat dikategorikan sebagai sebuah kampung/dusun atau bahkan sudah selayaknya membentuk desa. Budaya dan etnik selalu membentuk bagian sosial dari suatu daerah yang khusus berdasarkan sejarah yang dibentuk dari elemen-elemen yang saling berbeda dari suatu kelompok etnik ke kelompok etnik yang lain (Mustamin, 2003: 26). Aspek sosial budaya mengasumsikan, jika suatu masyarakat terikat dengan suatu sistem budaya tersendiri yang memberi perbedaan identitas budaya dengan masyarakat lain, maka secara politis ikatan kesatuan masyarakat tersebut akan lebih kuat. Aspek ini secara langsung terkait dengan persoalan etnisitas dan mungkin saja keagamaan. Faktor ini sebetulnya terkait pula dengan faktor geografi, karena faktor etnisitas tidak mungkin muncul dengan sendirinya. Pembentukan sebuah identitas etnis merupakan proses yang sangat panjang terkait dengan faktor-faktor geografis dan demografis secara langsung. Desa atau kampung adalah kominitas sosial yang terdiri dari beberapa rukun tetangga (RT) yang struktur kehidupan biasanya masih dalam satu ikatan keluarga besar. Terbentuknya komunitas kampung selain karena garis keturunan (sosial) biasanya didasarkan pada kesamaan kultur budaya, suku dan faktor geografis. Secara geografis misalnya tempat bercocok tanam yang saling berdekatan atau sumber daya alam lainnya. Aspek Sosial Salah faktor pendorong terjadinya pemekaran wilayah ialah aspek sosial kemasyarakatan. Aspek sosial menjadi salah satu faktor pendorong pemekaran wilayah disebabkan karna rasa kesamaan antara kelompok-kelompok sosial di dalam masyarakat. Perbedaan pandangan, bahkan perbedaan kultur dan etnis mampu memicu lahirnya konflik horisontal antar kelompok masyarakat, sehingga memicu pembentukan satu wilayah administrasi baru atau lebih akrab disebut sebagai pemekaran wilayah Dalam pembentukan Desa Wowonga Jaya, dominasi etnosentris pada etnis Kulisusu masih terasa, walaupun tidak sebesar nilai etnosentris ketika masih berdomisili di Desa Lakansai. Dalam proses pemekaran desa Wowonga Jaya, nilai etnosentris terlihat baik dari etnis Kulisusu sebagai masyrakat lokal ataupun dari beberapa etnis masyarakat non lokal atau pendatang. Aspek Budaya Selain karna kesamaan ataupun perbedaan kelompok sosial kemasyarakatan, peranan budaya pun menjadi salah satu faktor yang mampu mendorong terbentuk satu wilayah administrasi baru. Kesamaan latar belakang kebudayaan ataupun etnik dan kultur dalam kelompok masyarakat, menjadi alasan yang rasional dalam pemekaran sebuah wilayah. Dampak Etnosentris dalam Prasangka Sosial Allport (1958) mengemukakan bahwa pengertian perasangka telah mangalami transformasi sejak dahulu sampai kini. Pada mulanya perasangka merupakan pernyataan yang hanya didasarkan pada pengalaman dan keputusan yang tak diuji terlebih dahulu. Pernyataan itu bergerak pada suatu skala suka dengan tidak suka, mendukung dengan tidak mendukung terhadap sifat-sifat tertentu. Namun pengertian perasangka kini lebih diarahkan pada pandangan yang emosional dan bersifat negatif terhadap seseorang atau sekelompok orang tertentu. Effendy (1981) mengemukakan pengertian perasangka dalam hubungannya dengan komunikasi bahwa perasangka merupakan salah satu rintangan atau hambatan berat bagi suatu kegiatan komunikasi oleh karena orang-orang yang mempunyai perasangka belum apa-apa sudah bersikap curiga dan menentang komunikator yang melancarkan komunikasi. Dalam perasangka emosi memaksa kita untuk menarik kesimpulan atas dasar perasangka tanpa menggunakan pikiran dan pandangan kita terhadap fakta yang nyata. Etnosentris dalam Dinamika Politik Lokal Dinamika politik lokal merupakan salah satu unsur yang seringkali menjadi perbincangan pada setiap negara. Kehadiran negara sebagai ‘payung’ masyarakat tak dapat dipisahkan dari praktek politik didalamnya. Praktek politik dalam sebuah negara biasanya dilakukan untuk mencapai tujuan negara, baik yang sifatnya nasional maupun internasional. Disamping itu, praktek politik juga dimainkan oleh masyarakat yang ada dalam suatu negara, baik untuk tujuan pribadi maupun kelompok. Dalam masyarakat tak lepas dari unsur perpolitikan didalamnya pada tingatan nasiona maupun loka denagn mulai dari per-bedaan suku, adat istiadat, ras hingga agama adalah ‘warna warni identitas’ yang menyatukan dirinya dalam NKRI. Jakarta: Kencana, 2012, hlm 10. Pandangan Politik Dalam dinamika politik lokal di masyarakat pedesaan, memiliki perbedaan dengan dinamika politik yang terjadi di wilayah perkotaan. Perbedaan latar belakang dan informasi serta masih dijunjung tingginya nilai-nilai kultur dan budaya menjadi penyebab perbedaan pandangan politik masyarakat di wilayah pedesaan dan perkotaan. Pandangan politik ialah kesatuan sikap yang mendasari seseorang dalam melihat dinamika politik yang terjadi, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Dampak etnosentris terhadap pandangan politik masyarakat terlihat bahwa, secara subjektif dinamika yang terjadi baik secara politik atau pun aspek kebudayaan lainnya pada prinsipnya tetap baik, walaupun tidak dipungkiri bahwa telah ada kelompok-kelompok dalam masyarakat sebagai efek logis dalam dinamika sosial. sudut pandang masyarakat dalam dinamika politik yang terjadi di Desa Wowonga Jaya, berikut ini ialah penjelasan mengenai pilihan politik masyarakat yang menjadi salah satu hak dalam berpolitik, terkhusus untuk momentum politik di tingkat desa. Pilihan Politik Dalam dinamika politik, aspek yang tidak kalah penting ialah pilihan politik seseorang dalam proses berdemokrasi. Pilihan politik seseorang sangat dipengaruh oleh aspek phisikologis yang dibentuk dari latar belakang pendidikan, pengalaman, bahkan lingkungan sosial. Untuk melihat sejauh mana dampak etnosentris dalam dinamika politik lokal di Desa Wowonga Jaya, penulis melakukan kajian pada pilihan politik masyarakat sebagai bentuk nyata dari partisipasi masyarakat dalam berpolitik. Pembahasan Etnosentris dalam Proses Pemekaran Desa Desa Wowonga Jaya secara historis dan kultur merupakan desa yang dihuni oleh etnis Kulisusu sebagai etnis lokal dan sebagiannya merupakan masyarakat non lokal yakni etnis Muna, etnis Wawoni’i, etnis Bajo dan etnis Buton secara umum. Dalam proses komunikasi dan interaksi sehari-hari nilai etnosentris mulai terlihat baik dari etnis Kulisusu sebagai masyrakat lokal ataupun dari beberapa etnis masyarakat non lokal, bahkan berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa pandangan etnosentris yang dimiliki oleh masyarakat lokal etnis Kulisusu, menjadi salah satu faktor yang mendorong terjadinya pemekaran Desa Wowonga Jaya. Zatrow (1989) menyebutkan bahwa setiap kelompok etnik memiliki keterikatan etnik yang tinggi melalui sikap etnosentris. Etnosentris merupakan suatu kecenderungan untuk memandang norma-norma dan nilai dalam kelompok budayanya sebagai yang absolute dan digunakan sebagai standar untuk mengukur dan bertindak terhadap semua kebudayaan yang lain. Sehingga etnosentris memunculkan komunikasi antar budaya dapat dijelaskan dengan teori etnosentris seperti diungkapkan oleh Samovar dan Porter (1976). Katanya ada variabel yang mempengaruhi efektivitas komunikasi antarbudaya, misalnya terlihat dalam etnosentrisme, pandangan hidup, nilai-nilai yang absolute, dan prasangka. Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa dalam sisi yang subjektif, etnis Kulisusu memiliki pandangan bahwa mereka merupakan penduduk lokal yang secara historis telah mendiami daerah tersebut sejak zaman dahulu. Proses komunikasi sehari-hari yang terjadi di Desa Wowonga Jaya lebih terlihat interaktif sesama etnis Kulisusu diakibatkan persamaan bahasa yang digunakan, meskipun terkadang mereka (etnis Kulisusu) cukup sering berkomunikasi dengan etnis lainnya. Temuan lain dalam penelitian ini menunjukan bahwa dinamika etnosentris hanya dapat memasuki ruang-ruang intelnal dalam sebuah kultur atau budaya, namun tidak dapat mempengaruhi indepensi sistem pelayanan masyarakat di Desa Wowonga Jaya, selain itu tentang nilai kebaikan yang melekat pada masing-masing kultur di Desa Wowonga Jaya terlihat bahwa perbedaan etnis tidak menjadi penyebab ada atau tidaknya nilai kebaikan pada seseorang dalam beradaptasi dan berkomunikasi, namun lebih didominasi pada karakter pribadi masing-masing elemen masyarakat. Etnosentris dalam Dinamika Politik Lokal Pada era reformasi, desentralisasi merupakan gejala yang wajar dari sebuah Negara yang merupakan system demokrasi. Proses dinamika politik semacama ini merupakan kecenderungan yang tak terhindarkan dari demokrasi politik yang menghendaki adanya perluasanpartisipasi dan pemeberian otonomi bagi massyarakt lokal. Dalam konteks desentralisasi tidak hanya menjadi kata kunci dalam perumusan kata publik tetapi juga menjadi fakta dalam dunia publik yang memerlukan pembukaaan ruang yang lebih luas bagi masyarakat lokaluntuk berpatisipsi dalam proses pemekaran. Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa persepsi masyarakat di Desa Wowonga Jaya beranggapan bahwa dalam persoalan politik di desa tersebut, masyarakat menjadi tersandra berdasarkan kelompok-kelompok tertentu. Hal ini diakibatkan karena buruknya komunikasi yang terjadi di dalam kelompok masyarakat. Politik lokal adalah salah satu unsur yang seringkali menjadi perbincangan hangat disetiap negara. Kehadiran negara sebagai ‘payung’ masyarakat tak dapat dipisahkan dari praktek politik didalamnya. Praktek politik dalam sebuah negara biasanya dilakukan untuk mencapai tujuan negara, baik yang sifatnya nasional maupun internasional. Disamping itu, praktek politik juga dimainkan oleh masya- rakat yang ada dalam suatu negara, baik untuk tujuan pribadi maupun kelompok. Indonesia sebagai negara berdaulat tak lepas dari unsur perpolitikan didalamnya pada tingatan nasiona maupun lokal Etnosentrisme pada dasarnya merupakan wujud etnonasionalisme, yakni perasaan senasib yang timbul dalam satu komunitas etnik atau paham kebangsaan yang berbasis pada sentimen etnik. Semangat etnosentrisme ingin diwujudkan menjadi suatu entitas politik yang bernama “suku”. Ada upaya homogenisasi pengertian suku dalam hal ini, yaitu pengertian suku yang lebih diperkecil pada ikatan perasaan kultural yang ditandai dengan kesamaan budaya,bahasa atau kesetiaan pada suatu teritorialitas tertentu. Menguatnya etnosentrisme membawa sejumlah akibat. Pertama, menarik garis pemisah atau menjauhkan diri atau bahkan keluar dari tatanan wilayah tertentu.Kedua,berusaha mendudukkan orang sesuku dalam pemerintahan (kekuasaan politik). Ini sering kita temui dalam berbagai jenjang pemerintahan, bahkan untuk skala politik ditingkat desa dengan selalu menjadikan ukuran kesukuan sebagai parameter dalam memilih pejabat atau kepala desa. PENUTUP Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis tentang Etnosentris dalam Proses Pemekaran Desa, Studi Dinamika Politik Lokal di Desa Wowonga Jaya, Kecamatan Kulisusu Utara Kabupaten Buton Utara, maka ada beberapa hal yang perlu disimpulkan antara lain sebagai berikut:Dampak etnosentri dalam proses pemekaran Desa Wowonga Jaya terlihat pada pandangan yang dimiliki oleh masyarakat lokal etnis Kulisusu, yang menjadi salah satu faktor yang mendorong terjadinya pemekaran Desa Wowonga Jaya. Proses interaksi antar kelompok masyarakat lokal dan pendatang yang memicu potensi konflik sosial di desa Lakansai, mendasari terbentuknya Desa Wowonga Jaya. Hal lain yang terlihat dari penelitian ini ialah munculnya persepsi masyarakat lokal etnis Kulisusu yang memiliki pandangan bahwa mereka merupakan penduduk lokal yang secara historis telah mendiami daerah tersebut sejak zaman dahulu, namun secara objektif dinamika etnosentris hanya dapat memasuki ruang-ruang intelnal dalam sebuah kultur atau budaya. Dampak etnosentris terhadap dinamika politik lokal terlihat bahwa etnosentris mampu memberikan pengaruh terhadap dinamika politik lokal. Hasil penelitian menunjukan bahwa persepsi masyarakat di Desa Wowonga Jaya beranggapan bahwa dalam persoalan politik di desa tersebut, masyarakat menjadi tersandra berdasarkan kelompok-kelompok tertentu. Hal ini diakibatkan karena buruknya interaksi sosial yang terjadi di dalam kelompok masyarakat tersebut. Penulis berharap bahwa nilai etnosentris yang masih melekat di kalangan masyarakat seharusnya bukan menjadi penghalang untuk melakukan interaksi yang baik antara sesama elemen masyarakat, baik sesama kultur atau budaya, maupun dengan kultur dan budaya yang berbeda. Pemekaran seharusnya mampu memberikan dampak positif bagi interaksi antar budaya di Desa Wowonga Jaya karena pada prinsipnya pemekaran bertujuan untuk mengurangi kesenjangan sosial dalam dinamika masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Allport, G.W. (1954): The Nature of Prejudice. Gorden City. NY; Doubleday Co. Arkanudin (2010;95) Masyarakat ladang berpindah . Pontianak; STAIN Prontianak Pres. Aria Saputra, (2012). Culture Shock dalam Interaksi Komunikasi Antar Budaya pada Mahasiswa Asal Papua di Universitas Sumatra (Usu) Badudu (2001:1233). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta ; Pustaka Sinar Harapan Chadwick, dkk 2001. Dampak PemekaranWilayah.Yogyakarta Deaux (1984), Sosial Psychologi in the 90’s. New York; Brooks dan Cole Publishing. Effendy, Onong Uchana. (1981). Dimensi-Dimensi Komunikasi. Bandung; PT Rosdakarya Gerungan, A W. (1988). Psikologi Sosial. PT Eresco. Bandung Feith, Herbert, dan Lance Castle (eds). Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965 Judul Asli; Indonesia Political Thinking 1945-1965. Jakarta; LP3ES, 1988. Johnson, Doyle Paul (1986), Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta; Gramedia. Levine dkk (1972) Texbook of Veterinary Parasitologi. Penterjemah G. Ashadi. 1990. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Liliwer, Alo. (2001). Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta; Pustaka Pelajar Yogyakarta. Moleong, Lexy J. 2010. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung; Remaja Rosdakarya. Mulyana,Deddy. 2000. Ilmu Suatu Pengantar. Bandung; PT Remaja Rosdakarya. Komunikasi Sartono Kartodirjo.1999. Demokrasi dan Kehidupan Masyarakat Dipedasaan Aditya Media. Yogyakarta. Sumner, William Graham. 1906. Folkways; The Sociological Importance of Usages, Manners, Customs, Mores, end Moralas. Ginn dan Co. New York Widjaja, 2005, Penyelenggraan Otonomi di Indonesia. Dalam Rangka Sosialisasi UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada.