BAB II REMAJA AWAL, SELF ESTEEM, DAN TINGKAH LAKU AGRESI A. Konsep Remaja Awal 1. Definisi Remaja Awal Remaja didefinisikan sebagai tahap perkembangan transisi yang membawa individu dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, yang ditandai dengan perubahan fisik karena pubertas serta perubahan kognitif dan sosial. Santrock (2006 :26) mengemukakan masa remaja adalah ‘’masa perkembangan transisi antara masa anak dan dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial’’. Salzman dan Pikunas (Yusuf, 2006:71) mengemukakan, ‘’masa remaja ditandai dengan: (1) berkembangnya sikap dependen kepada orangtua ke arah independen, (2) minat seksualitas, dan (3) kecenderungan untuk merenung atau memperhatikan diri sendiri, nilai-nilai etika, dan isuisu moral’’. Sedangkan Piaget (Hurlock, 1980 :206) mengemukakan definisi adolescence yaitu: Adolescence atau remaja berasal dari kata Latin, adolescence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolescence mempunyai arti yang lebih luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik Dalam kebanyakan budaya, remaja dimulai pada kira-kira usia 10-13 tahun dan berakhir kira-kira usia 18-21 tahun. Para ahli perkembangan semakin banyak yang membedakan antara remaja awal 17 18 dan remaja akhir. Menurut Konopka (Yusuf, 2006:184) ‘’masa remaja dibagi menjadi tiga bagian yaitu: (1) masa remaja awal: 12-15 tahun; (2) masa remaja madya: 15-18 tahun, dan (3) masa remaja akhir: 19-22 tahun’’. Mengenai perkembangan pada masa remaja awal tidak terlepas dari perubahan fisik dan psikis pada setiap individu. Perubahan yang sangat jelas adalah perubahan fisik, dimana tubuhnya berkembang dengan cepat sehingga akan mencapai bentuk tubuh orang dewasa dan disertai dengan berkembangnya kapasitas reproduktif. Setiap perubahan yang terjadi pada fisik akan menuju kematangan dan membuat individu siap melakukan fungsinya sesuai dengan tingkat kematangan tersebut di setiap periodenya. Remaja juga berubah secara kognitif yaitu dari segi pemikirannya, yakni sudah mampu berpikir secara abstrak seperti orang dewasa. Pada periode ini remaja sudah mulai menjalankan peran dalam lingkungan sosialnya sehingga berusaha melepaskan diri secara emosional dengan orangtuanya (Pangestu, 2010:11). Selain itu pada masa ini remaja sering merasa kesepian, ragu-ragu, tidak stabil, tidak puas dan merasa kecewa. Berdasarkan uraian di atas yang dimaksud remaja awal dalam penelitian ini adalah individu yang berada pada usia 12-15 tahun di mana sedang mengalami masa transisi antara anak dan dewasa serta mengalami perubahan biologis, kognitif, psikis, dan sosial. 19 2. Ciri-ciri Remaja Awal Seperti masa perkembangan lainnya, masa remaja awal pun memiliki ciri-ciri khusus. Ciri-ciri masa remaja awal menurut Desmita (2006 :190) adalah sebagai berikut: a. Peningkatan emosional yang terjadi secara cepat pada masa remaja awal yang dikenal dengan sebagai masa storm & stress. Peningkatan emosional ini merupakan hasil dari perubahan fisik terutama hormon yang terjadi pada masa remaja. Dari segi kondisi sosial, peningkatan emosi ini merupakan tanda bahwa remaja berada dalam kondisi baru yang berbeda dari masa sebelumnya. Pada masa ini banyak tuntutan dan tekanan yang ditujukan pada remaja, misalnya mereka diharapkan untuk tidak lagi bertingkah seperti anak-anak, mereka harus lebih mandiri dan bertanggung jawab. Kemandirian dan tanggung jawab ini akan terbentuk seiring berjalannya waktu, dan akan nampak jelas pada remaja akhir yang duduk di awal-awal masa kuliah. b. Perubahan yang cepat secara fisik yang juga disertai kematangan seksual. Terkadang perubahan ini membuat remaja merasa tidak yakin akan diri dan kemampuan mereka sendiri. Perubahan fisik yang terjadi secara cepat, baik perubahan internal seperti sistem sirkulasi, pencernaan, dan sistem respirasi maupun perubahan eksternal seperti tinggi badan, berat badan, dan proporsi tubuh sangat berpengaruh terhadap konsep diri remaja. 20 c. Pada masa remaja terjadi reorganisasi lingkaran saraf prontal lobe (belahan otak bagian depan sampai pada belahan atau celah sentral). Prontal lobe ini berfungsi dalam aktivitas kognitif tingkat tinggi, seperti kemampuan merumuskan perencanaan strategis atau kemampuan mengambil keputusan. Perkembangan prontal lobe tersebut sangat berpengaruh terhadap kemampuan kognitif remaja, sehingga mereka mengembangkan kemampuan penalaran yang memberinya suatu tingkat pertimbangan moral dan kesadaran sosial yang baru. Ketika kemampuan kognitif mereka mencapai kematangan, kebanyakan anak remaja mulai memikirkan tentang apa yang diharapkan dan melakukan kritik terhadap masyarakat mereka, orangtua mereka, dan bahkan kekurangan diri mereka sendiri. d. Sebagai individu yang sedang mengalami proses peralihan dari masa anak-anak mencapai kedewasaan, remaja memiliki tugas-tugas perkembangan yang mengarah pada persiapannya memenuhi tuntutan dan harapan peran sebagai orang dewasa. Remaja mulai memberikan perhatian yang besar terhadap berbagai lapangan kehidupan yang akan dijalaninya sebagai manusia dewasa di masa mendatang. e. Perubahan dalam hal yang menarik bagi dirinya dan hubungan dengan orang lain. Selama masa remaja banyak hal-hal yang menarik bagi dirinya dibawa dari masa kanak-kanak digantikan dengan hal menarik yang baru dan lebih matang. Hal ini juga 21 dikarenakan adanya tanggung jawab yang lebih besar pada masa remaja, maka remaja diharapkan untuk dapat mengarahkan ketertarikan mereka pada hal-hal yang lebih penting. Perubahan juga terjadi dalam hubungan dengan orang lain. Remaja tidak lagi berhubungan hanya dengan individu dari jenis kelamin yang sama, tetapi juga dengan lawan jenis, dan dengan orang dewasa. f. Perubahan nilai, dimana apa yang mereka anggap penting pada masa kanak-kanak menjadi kurang penting karena sudah mendekati dewasa. g. Remaja menyadari bahwa ia berbeda secara psikologis dari orangtuanya. Kesadaran ini sering membuatnya mempertanyakan dan menolak nilai-nilai dan nasehat-nasehat orangtuanya, sekalipun nilai-nilai dan nasehat-nasehat tersebut masuk akal. h. Perkembangan kehidupan sosial remaja juga ditandai dengan gejala meningkatnya pengaruh teman sebaya dalam kehidupan mereka. Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk berhubungan atau dengan teman-teman sebaya mereka. Berbeda halnya dengan masa anak-anak, hubungan teman sebaya remaja lebih didasarkan pada hubungan persahabatan. Pada prinsipnya hubungan teman sebaya mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan remaja. Dua ahli teori yang berpengaruh, yaitu Jean Piaget dan Harry Stack Sulivan, menekankan bahwa melalui hubungan teman sebaya anak dan remaja belajar tentang hubungan timbal balik yang simetris. 22 Remaja mempelajari prinsip-prinsip kejujuran dan keadilan melalui hubungan pertemanan mereka. i. Kebanyakan remaja bersikap ambivalen dalam menghadapi perubahan yang terjadi. Di satu sisi mereka menginginkan kebebasan, tetapi di sisi lain mereka takut akan tanggung jawab yang menyertai kebebasan tersebut, serta meragukan kemampuan mereka sendiri untuk memikul tanggung jawab tersebut. Sementara menurut Chodijah (2010:17), pada masa remaja awal terdapat beberapa karakteristik, yaitu: a) Ketidakstabilan keadaan perasaan dan emosi Pada masa ini, remaja mengalami badai dan topan dalam kehidupan perasaan dan emosinya. Keadaan semacam ini sering disebut storm and stress. Remaja seseklai sangat bergairah dalam bekerja tetapi tiba-tiba berganti lesu, kegembiraan yang meledak bertukar rasa sedih, rasa percaya diri berganti oleh perasaan ragu-ragu yang berlebihan, termasuk ketidaktentuan dalam menentukan cita-cita dan menentukan hal yang lain. b) Status remaja awal yang membingungkan Status mereka tidak hanya sulit ditentukan tetapi juga membingungkan. Perlakuan orangtua terhadap mereka sering berganti-ganti. Orangtua ragu memberikan tanggung jawab dengan alasan mereka masih “kanak-kanak”, tetapi saat mereka bertingkah “kekanak-kanakan” mereka mendapat teguran sebagai “orang 23 dewasa”. Hal ini menyebabkan mereka menjadi bingung akan status mereka. c) Banyak masalah yang dihadapi oleh remaja awal Remaja awal sebagai individu banyak mengalami masalah dalam kehidupannya. Mereka lebih mengutamakan emosionalitas sehingga kurang mampu menerima pendapat orang lain yang bertentangan dengan pendapatnya. Faktor ini disebabkan karena menganggap bahwa dirinya lebih mampu daripada orangtua. 3. Tugas Perkembangan Masa Remaja Awal Tugas-tugas perkembangan remaja berfokus pada upaya meninggalkan sikap dan perilaku kekanak-kanakan dan berusaha untuk mencapai kemampuan bersikap dan berperilaku secara dewasa. Havighurst menyatakan bahwa tugas-tugas dalam perkembangan adalah: Tugas yang muncul pada saat atau sekitar suatu periode tertentu dalam kehidupan individu, yang jika berhasil akan menimbulkan rasa bahagia dan membawa ke arah keberhasilan dalam melaksanakan tugas-tugas berikutnya. Akan tetapi, kalau gagal menimbulkan rasa tidak bahagia dan kesulitan dalam menghadapi tugas-tugas berikutnya (Hurlock, 1980:9). Havighurst (Hurlock,1980:10) mengemukakan bahwa tugas perkembangan pada masa remaja yaitu: (a) mampu menerima keadaan fisiknya, (b) mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa, (c) mampu membina hubungan baik dengan anggota kelompok yang berlainan jenis, (d) mencapai kemandirian emosional,(e) mencapai kemandirian ekonomi, (f) mengembangkan konsep dan ketrampilan 24 intelektual yang sangat diperlukan untuk melakukan peran sebagai anggota masyarakat, (g) memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai orang dewasa dan orangtua, (h) mengembangkan perilaku tanggung jawab sosial yang diperlukan untuk memasuki usia dewasa, (i) mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan, (j) memahami dan mempersiapkan berbagai tanggung jawab kehidupan keluarga. Sementara William Kay (Syamsu Yusuf, 2000:72) mengemukakan tugas-tugas perkembangan remaja, yaitu: (a) menerima fisiknya sendiri berikut keragaman kualitasnya, (b) mencapai kemandirian emosional dari orangtua atau figur- figur yang mempunyai kualitas, (c) mengembangkan ketrampilan komunikasi interpersonal dan belajar bergaul dengan teman sebaya atau orang lain, baik secara individual maupun kelompok, (d) menemukan manusia model yang dijadikan identitasnya, (e) menerima dirinya sendiri dan memiliki keprcayaan terhadap kemampuannya sendiri, (f) memperkuat selfcontrol (kemampuan mengendalikan diri) atas dasar skala nilai, prinsipprinsip atau falsafah hidup (Weltanschauung), dan (g) mampu meninggalkan reaksi dan penyesuaian diri (sikap/perilaku) kekanakkanakan. Berdasarkan uraian di atas yang dimaksud tugas perkembangan dalam penelitian ini adalah tugas-tugas yang harus dilalui individu pada periode tertentu, apabila individu berhasil dalam melaksanakan tugas perkembangannya akan membawa kebahagiaan 25 dalam hidupnya namun jika tidak berhasil akan mengakibatkan ketidakbahagiaan dan kesukaran dalam hidupnya kelak. B. Konsep Self Esteem 1. Definisi Self Esteem Self esteem adalah satu bagian dari konsep diri. Menurut Centi (1995:9) konsep diri merupakan gambaran mental yang terdiri dari bagaimana individu melihat diri sendiri sebagai pribadi, bagaimana individu merasa tentang diri sendiri, dan bagaimana individu menginginkan diri sendiri sebagimana yang individu harapkan. Penglihatan individu atas diri sendiri disebut gambaran diri (self image), perasaan dan penilaian individu atas diri sendiri merupakan harga diri (self esteem), dan harapan individu atas diri sendiri disebut cita-cita diri (self idea) (Calhoun &Acocella dalam Wulansari, 2010). Istilah harga diri digunakan oleh para ahli untuk menandakan bagaimana seorang individu mengevaluasi dirinya. Evaluasi diri ini akan memperlihatkan bagaimana penilaian individu tentang penghargaan dirinya apakah adanya pengakuan/penerimaan atau tidak. Harga diri (self esteem) adalah ‘’komponen evaluatif dari konsep diri, yang terdiri dari evaluasi positif dan negatif tentang diri sendiri yang dimiliki seseorang’’ (Worchel dalam Dayakisni, 2009:84). Sedangkan Baron dan Byrne (2003:173) mendefinisikan self esteem adalah ‘’evaluasi atau penilaian diri yang dibuat oleh setiap 26 individu dan atau merupakan sikap seseorang terhadap dirinya sendiri dalam rentang positif – negatif’’. Hal senada juga dikemukakan oleh Coopersmith (1967:5) yang mendefinisikan: Self esteem adalah evaluasi yang dibuat oleh individu dan berkembang menjadi kebiasaan terutama yang berkaitan dengan harga dirinya sendiri, yang diekspresikan menjadi sikap menerima atau menolak, dan mengidikasikan tingkat dimana individu tersebut meyakini dirinya sebagai seorang yang memiliki kemampuan (capable), keberartian (significance), kesuksesan (successful), dan keberhargaan (worthy). Menurut Branden (1994; dalam Baron, 2003:176) perilaku seseorang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh tingkat self esteem yang dimilikinya, apakah self-esteem orang tersebut tinggi atau rendah. Selain itu self esteem berkaitan dengan cara penting bagaimana orang mendekati kehidupan mereka sehari-hari. Individu yang menilai dirinya positif cenderung untuk bahagia, sehat, merasa berhasil/optimis tentang diri dan masa depannya, dan dapat menyesuaikan diri dengan baik. Sebaliknya individu yang menilai dirinya negatif secara relatif tidak sehat, merasa sedih, cemas, tertekan, dan pesimis tentang masa depannya atau berpikiran bahwa dirinya selalu gagal, serta tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik (Dayaksini & Hudaniah, 2009:84). Secara sederhana dapat disimpulkan self esteem merupakan penilaian yang dilakukan oleh individu untuk memandang dirinya sendiri, terutama mengenai sikap penerimaan atas seberapa besar 27 kepercayaan individu terhadap kemampuan, keberartian, kesuksesan, dan keberhargaan. 2. Sumber-sumber Self Esteem Coopersmith (1967:38) memperkenalkan empat sumber dari self esteem, yaitu sebagai berikut: a. Kekuasaan (Power) Kekuasaan, dalam arti kemampuan untuk bisa mengatur dan mengontrol perilaku orang lain. Kemampuan ini ditandai oleh adanya pengakuan dari rasa hormat yang diterima individu dari orang lain dan besarnya sumbangan dari pikiran atau pendapat dan kebenarannya. Keberhasilan ini diukur oleh kemampuan untuk mempengaruhi aksinya dengan mengontrol perilaku sendiri dan mempengaruhi orang lain. Pada situasi tertentu, power tersebut muncul melalui pengakuan dan penghargaan yang diterima oleh individu dari orang lain dan melalui kualitas penilaian terhadap pendapat-pendapat dan hak-haknya. b. Keberartian (Significance) Keberartian yaitu adanya kepedulian, perhatian dan kasih sayang yang diterima individu dari orang lain. Keberhasilan ini diukur oleh adanya perhatian dan kasih sayang yang ditunjukkan oleh orang lain. Ekspresi dari penghargaan dan minat terhadap individu tersebut dalam pengertian penerimaan dan popularitas, sedangkan lawannya adalah penolakan dan isolasi. Penerimaan ini ditandai 28 dengan kehangatan, responsive, minat dan menyukai individu apa adanya. c. Kebajikan (Virtue) Kebajikan yaitu ketaatan atau kepatuhan dalam arti mengikuti etika moral dan prinsip agama. Ditandai oleh ketaatan untuk menjauhi perilaku yang harus dihindari dan melakukan perilaku yang diperbolehkan atau bahkan diharuskan oleh etika, moral dan prinsip agama. Individu yang mentaati etika moral dan prinsip agama yang kemudian menginternalisasikannya akan menampilkan penilaian diri yang lebih positif. d. Kompetensi (Competence) Kompetensi dalam arti sukses dan mampu memenuhi tuntutan profesi. Ditandai oleh keberhasilan individu dalam mengerjakan bermacam-macam tugas atau pekerjaan dengan baik dan bervariasi untuk tiap level dan kelompok usia tertentu. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Self Esteem Menurut Coopersmith (1967:37), terdapat beberapa faktor utama yang mempengaruhi self esteem pada masing-masing individu, yaitu sebagai berikut: a. Banyaknya jumlah penghargaan, penerimaan, dan perhatian yang diterima seseorang dari significant other dalam kehidupannya. b. Pengalaman kesuksesan dan status atau posisi yang memberi arti bagi pribadinya, kesuksesan yang diperoleh umumnya dapat 29 membawa individu mengenali status di lingkungannya. Individu mengukur kesuksesan dari penerimaan sosial, ukuran pengalaman kesuksesan memiliki makna yang berbeda bagi setiap individu. Terdapat beberapa kriteria untuk mengidentifikasikan pengalaman kesuksesan individu, yaitu: (a) individu mampu mempengaruhi dan mengendalikan orang lain serta perilakunya sesuai dengan hak-hak dan tanggung jawab individu, (b) individu kepada orang lain dalam bentuk mampu menerima dan memberi perhatian dan cinta kepada orang lain dalam bentuk apresiasi dan dukungan, (c) individu mampu mengikuti norma moral dan etika, prinsip-prinsip keagamaan, termasuk di dalamnya pertimbangan terhadap aspekaspek tradisi dan falsafah hidup yang dianut dalam kehidupan sehari-hari, dan (d) individu mampu mendapatkan kesuksesan sesuai dengan tingkat usia dan perkembangan individu. c. Nilai dan aspirasi Individu mempertimbangkan pengalaman kesuksesan dan kegagalan mereka berdasarkan nilai yang disertakan. Jika individu mengalami kegagalan dalam bidang yang dianggap tidak terlalu penting bagi dirinya, maka kegagalan tersebut tidak terlalu berpengaruh terhadap self esteem individu. Sebaliknya, jika individu mendapatkan kesuksesan dalam bidang yang dianggapnya penting maka individu akan menganggap kesuksesan dalam bidang lainnya tidak terlalu penting. 30 Penilaian ini didasarkan pada kemampuan individu dalam bidang tersebut atau adanya kepentingan pribadi. Penilaian diri mengandung perbandingan antara penampilan nyata dan kapasitas dengan standar dan aspirasi diri. Apabila standar telah dicapai, khususnya pada bidang yang dianggap penting, maka individu akan berkesimpulan dirinya berharga. Sebaliknya, apabila apa yang diperolehnya di bawah standar maka individu akan merasa kecewa. d. Kemampuan bertahan Bertahan adalah kemampuan individu untuk menghadapi kegagalan dan ketidakpastian yang dihadapinya. Cara yang dilakukan oleh individu ini bertujuan untuk mengurangi kecemasan, yang menyebabkan munculnya perasaan tidak berdaya, tidak mampu melakukan sesuatu, dan kurang mampu menerima kenyataan. Sedangkan menurut Santrock (2003:339) mengemukakan empat cara untuk mengembangkan self esteem pada remaja, yaitu: a. Mengidentifikasi penyebab dari rendahnya self esteem dan domaindomain kompetensi diri yang penting Menurut Santrock (2003) mengidentifikasi sumber self esteem adalah cara yang penting untuk memperbaiki tingkat self esteem. Harter (Santrock, 2003) berpendapat bahwa progrsm peningkatan self esteem pada tahun 1960-an, yang menjadikan tingkat self esteem sebagai fokus utama dan individu didorong untuk merasa bahagia dengan dirinya sendiri adalah dianggap sebagai program 31 yang tidak efektif. Menurut Harter (Santrock, 2003) lebih baik menggunakan intervensi terhadap penyebab dari rendahnya self esteem. Individu memiliki tingkat self esteem yang paling tinggi ketika mereka berhasil dalam domain-domain dirinya yang penting. b. Dukungan emosional dan penerimaan sosial Santrock (2003) menyatakan dukungan emosional dan penerimaan sosial merupakan bentuk konfirmasi dari orang lain yang memiliki pengaruh bagi self esteem. Beberapa individu dengan self esteem yang bermasalah atau kondisi dimana mereka mengalami penganiayaan atau tidak dipedulikan, situasi-situasi dimana mereka tidak mendapatkan dukungan. Dalam beberapa kasus sumber dukungan alternative dapat diperoleh dari guru, pelatih, mentor atau orang-orang dewasa lain yang berpengaruh (Santrock, 2003). c. Prestasi individu Menurut Santrock (2003) prestasi juga dapat memberikan kontribusi bagi perbaikan tingkat self esteem. Self esteem akan meningkat menjadi lebih tinggi ketika individu mengetahui tugastugas yang penting untuk mencapai tujuan dank arena mereka mampu melaksanakan tugas-tugas tersebut. Penekanan dari pentingnya prestasi dalam meningkatkan self esteem memiliki banyak kesamaan dengan konsep belajar sosial kognitif Bandura mengenai kualitas diri yang merupakan keyakinan bahwa individu mampu menguasai situasi dan menghasilkan sesuatu yang positif. 32 Menurut Santrock (2003) hasil yang positif inilah yang disebut sebagai prestasi. d. Mengatasi masalah (coping) Santrock (2003) menjelaskan ketika remaja mampu menghadapi masalah dan berusaha untuk mengatasinya bukan menghindarinya, maka self esteem dapat meningkat. Kondisi ini membuat remaja mampu untuk mengatasi masalah secara jujur dan nyata, sehingga memunculkan suatu evaluasi diri yang menyenangkan yang dapat mendorong adanya penerimaan diri, kemudian dapat memunculkan rasa percaya diri. Apabila muncul evaluasi diri yang tidak menyenangkan maka dapat mengakibatkan adanya penolakan, kebohongan, dan penghindaran sebagai usaha untuk tidak mengakui adanya sesuatu yang kenyataannya benar. Proses ini membuat adanya ketidaksetujuan terhadap diri sendiri sebagai suatu umpan balik terhadap ketidakmampuan diri (Santrock, 2003). Jadi, dapat disimpulkan bahwa perkembangan self esteem remaja akan dipengaruhi oleh pengalaman yang dialami oleh remaja itu sendiri. Seperti yang dikemukakan oleh Branden (Puspitasari, 2008) pengalaman individu dalam menghadapi dan mengatasi tantangan berpengaruh terhadap keyakinan individu akan kemampuan dan keberhargaan dirinya. 33 4. Tingkatan Self Esteem Tingkatan self esteem antara satu individu dengan individu lainnya berbeda, tergantung sejauh mana individu menganggap dan menilai dirinya berharga serta berpikir tentang orang lain dan lingkungan (Coopermith, 1967 :237). Menurut Coopersmith (1967 :48), individu dengan self esteem yang berbeda hidup dalam dunia yang berbeda. Menurutnya, individu yang memiliki penilaian yang rentan terhadap dirinya terhambat oleh tingkat kecemasannya tinggi, rendah dalam pengungkapan perasaan, serta lebih sering terhambat oleh gejala psikosomatis dan perasaan depresi. Coopersmith (1967 :238) mengulas karakteristik umum yang tampak pada individu dengan berbagai tingkat self esteem, yaitu sebagai berikut: a. Tingkat Self Esteem Tinggi Individu yang memiliki self esteem tinggi akan puas dengan karakter dan kemampuan dirinya yang ditandai dengan self evaluation yang positif sehingga memiliki self image yang positif, mampu menerima masukan dari lingkungannya, dapat melakukan evaluasi secara positif, serta memiliki self worth yang positif dan mampu mengoptimalkan dan mengendalikan self worth yang dimilikinya (Coopersmith, 1967 :10). 34 Individu dengan self esteem tinggi lebih independen dalam mempengaruhi situasi, memiliki karakter yang konsisten dalam merespon sesuatu. Gambaran dirinya akan menjelaskan bahwa dia adalah seorang yang bernilai dan penting, mempunyai kemampuan yang sebaik individu lain seusianya. Individu tersebut merasa bahwa dirinya dinilai sebagai seseorang yang berharga dan dipertimbangkan oleh orang-orang terdekatnya (Coopersmith, 1967 : 47). Mereka memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang lain dikarenakan adanya pengakuan orang-orang terhadap cara pandang dan pendapat yang ia miliki (Coopersmith, 1967:47). Selain itu, mereka juga percaya diri dengan pandangan dan keputusan yang mereka buat. Sikap-sikap positif yang dimiliki oleh individu dengan harga diri tinggi akan membimbing mereka pada penerimaan pribadi dan kepercayaan terhadap reaksi dan konklusi yang mereka buat, serta membuat mereka menimbulkan ide-ide baru (Coopersmith, 1967:71). Ketika terlibat dalam sebuah diskusi mereka akan lebih senang untuk berpartisipasi daripada hanya sekedar menjadi penyimak (Coopersmith, 1967:71). Mereka memiliki kejujuran dalam berpendapat dan memiliki kemampuan dalam mempertimbangkan 1967:71). isu-isu eksternal (Coopersmith, 35 Mereka juga bisa mengelola tindakan sesuai dengan tuntutan lingkungan, memiliki pemahaman yang baik tentang dirinya, dan sangat menyukai tantangan dan tugas-tugas baru dan biasanya tidak merasa kecewa meskipun belum berhasil (Coopersmith, 1967:47). Selain itu sikap-sikap positif mengenai diri mereka sendiri juga akan menyebabkan mereka memiliki kemandirian sosial yang lebih baik (Coopersmith, 1967:71). b. Tingkat Self Esteem Sedang Pada dasarnya individu memiliki kesamaan dengan individu yang memiliki self esteem yang tinggi dalam hal penerimaan diri. Mereka memiliki penerimaan yang relatif baik, pertahanan yang baik, serta pemahaman dan penghargaan yang sangat baik (Coopersmith, 1967:250). Namun, kurang mampu mengendalikan self worth yang mereka miliki dari pandangan sosial sehingga kurang konsisten dalam mempertahankan pandangannya, selain itu mereka ragu-ragu dengan penghargaan yang mereka miliki dan cenderung tidak yakin terhadap kemampuan mereka dibanding yang lain (Coopersmith, 1967:250). Mereka memiliki sejumlah pernyataan positif tentang diri mereka, tetapi penilaian mereka mengenai kemampuan, keberartian, dan harapan lebih moderat dibanding yang lain. Mereka tidak menilai diri mereka sebagai yang paling baik, melainkan lebih baik. 36 c. Tingkat Self Esteem Rendah Individu dengan self esteem rendah adalah individu yang hilang kepercayaan dirinya dan tidak mampu menilai kemampuan dan atribut-atribut dalam dirinya (Coopersmith, 1967:71). Individu yang memiliki self esteem yang rendah dalam menilai atribut-atribut dalam dirinya secara negatif. Mereka mempunyai sikap yang negatif terhadap diri mereka sendiri. Gambaran yang mereka buat cenderung memberi kesan depresi dan pesimis. Mereka merasa bahwa mereka bukan orang yang penting dan pantas disukai. Menurut mereka, mereka tidak bisa melakukan apapun yang mereka ingin lakukan. Mereka tidak yakin dengan ide, kemampuan, dan pandangan mereka sendiri. Mereka merasa lingkungan tidak memberikan perhatian kepada apapun yang mereka lakukan (Coopersmith, 1967:47). Berkebalikan dengan individu yang memiliki tingkat harga diri tinggi, individu ini memiliki self-consciouness yang tinggi dan terlalu sibuk dengan masalah internal. Kesadaran mengenai diri mereka sendiri yang tinggi, mengganggu mereka untuk bisa terlibat dengan orang lain dan isu-isu yang ada dan menyebabkan mereka menjadi keasyikan secara tidak wajar dengan kesulitan mereka sendiri (Coopersmith, 1967:71). Menurut Coopersmith (1967:250), mereka merasa terisolasi, tidak pantas dicintai, tidak mampu mengekspresikan diri, dan tidak 37 mampu mempertahankan diri sendiri. Mereka merasa terlalu lemah untuk melakukan konfrontasi dan melawan kelemahan mereka sendiri (Coopersmith, 1967:250). Individu dengan harga diri yang rendah memiliki perasaan ditolak, ragu-ragu, dan tidak berharga. Mereka merasa tidak memiliki kekuatan (Coopersmith, 1967:250). Hal ini menyebabkan ekspektasi mereka akan masa depan sangat rendah (Coopersmith. 1967:47). 5. Perkembangan Self Esteem pada Remaja Awal Memasuki usia remaja, perkembangan self esteem menjadi semakin menarik. Remaja mulai memiliki gambaran self esteem secara menyeluruh sebagai individu. Namun, di sisi lain self esteem mereka mengalami penurunan drastis, terutama ketika memasuki masa-masa peralihan ke Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas. Hal tersebut juga dikaitkan dengan masa transisi memasuki sekolah yang baru yang diharapkan mendapat guru dan teman baru yang menyenangkan. Pada masa remaja awal terdapat sebuah transisi, dimana transisi ini dianggap dapat menimbulkan masalah bagi seseorang karena transisi yang terjadi tidak hanya mengenai peralihan tingkat pendidikan dari SD (kelas enam) ke SMP (kelas tujuh), tetapi juga mengenai peralihan masa anak-anak ke remaja (Santrock, 2003:16). Robert. J Sternberg (dalam Puspitasari, 2009) menjelaskan perasaan remaja mengenai diri mungkin mengalami fluktuasi dari hari 38 ke hari, khususnya di masa awal remaja (Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama). Pada saat kelas delapan, remaja relatif memiliki self esteem tinggi yang stabil, dengan kata lain individu dengan self esteem yang tinggi saat kanak-kanak kemungkinan memiliki self esteem yang tinggi pula ketika remaja. Umumnya self esteem cenderung meningkat stabil bersama dengan usia (Sternberg dalam Puspitasari, 2009). Perkembangan self esteem pada remaja awal dipengaruhi oleh gambaran diri dan cita-cita diri. Menurut Malhi dan Reasoner (Dariyo, 2007:205), aspek-aspek dari gambaran diri dan cita-cita diri terdiri dari : a) Aspek fisik Keadaan fisik merupakan salah satu aspek dari gambaran diri. Kondisi fisik membawa pengaruh pada self esteem. Individu yang berpenampilan menarik cenderung menghargai diri lebih tinggi daripada individu yang berpenampilan kurang menarik. Untuk dapat diterima dalam lingkungan pergaulannya, seorang individu akan berusaha menampilkan fisiknya semenarik mungkin, karena penampilan fisik akan mempengaruhi penerimaan dan pengakuan dari masyarakat. Penampilan fisik merupakan bagian yang paling tampak dari kepribadian seseorang dan akan menciptakan kesan awal bagi orang lain. 39 Pada masa remaja, baik laki-laki maupun perempuan sangat peka terhadap tubuh, karena pertumbuhan fisik remaja satu sama lain tidak sama. Hal ini dapat mengganggu self esteem pada remaja. Menjadi berbeda di mata remaja yang merupakan kendala sosial dan penghambat pergaulan, pada masa remaja, khususnya remaja awal, ada dorongan kuat untuk menjadi milik kelompok dan disenangi oleh orang lain. Kondisi tersebut menjadikan remaja sering mengkhayalkan diri menjadi popular dengan memiliki rambut yang indah, wajah yang cantik atau tampan, dan proporsi tubuh yang ideal. Khayalan tersebut menjadi cita-cita tubuh ideal remaja. b) Aspek kemampuan Pembentukan self esteem individu dipengaruhi oleh pengalaman emosional seperti keberhasilan atau kegagalannya dalam berbagai usaha. Seorang individu yang memiliki prestasi dalam suatu bidang tertentu seperti pelajaran, olahraga, dan pekerjaan dapat mendorong tumbuhnya self esteem. Keberhasilan yang diraih individu membawa kesadaran akan keberartian diri dan berhubungan dengan status individu dalam masyarakat (Paul J. Centi dalam Chodijah, 2010:24). Keberhasilan individu merupakan dasar yang nyata dalam pembentukan self esteem. Keberhasilan individu yang satu akan berbeda dengan 40 individu yang lainnya. Perbedaan ini tergantung dari nilai-nilai yang dipegang oleh individu. Nilai merupakan kepercayaan yang dimiliki individu mengenai keadaan, keberadaan gaya hidup, dan cara berperilaku yang diinginkan atau yang tidak diinginkan, benar atau salah. Berbagai nilai yang dihargai dan dipegang oleh seorang individu membentuk suatu kesatuan yang berkaitan yang disebut dengan sistem nilai. Dalam sistem nilai ini tercakup pandangan individu tentang keberhasilan dan kegagalan. Pandangan individu tentang keberhasilan dan kegagalan itu tidak selalu sesuai dengan kenyataan. Meskipun menurut kenyataan seseorang berhasil namun ia dapat menilai diri tidak berhasil. Sebaliknya, meskipun menurut kenyataan seseorang gagal, dapat saja individu memandang dirinya berhasil. Sistem nilai dipengaruhi oleh orangtua, saudara kandung, orang lain, dan kebudayaan di mana individu tersebut hidup. c) Aspek sosial Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendiri, karena sesama manusia akan saling membutuhkan. Dengan orang lainlah kebutuhan individu untuk bergaul, berteman, bersahabat, dan bekerja sama dapat terpenuhi. Dari orang lainlah penerimaan, pengakuan, dan penghargaan akan diperoleh. Dalam pergaulan dengan orang lain dapat memberikan dampak yang positif atau negatif. Hubungan dan pergaulan dengan orang 41 lain akan baik apabila seseorang berhasil menjadi orang dewasa yang baik dan sehat kepribadiannya. Dari berbagai hubungan dengan orang lain ada hubungan yang akrab dan berlangsung lama. Dari hubungan erat dan mendalam maka tercipta keterlibatan hidup dan rasa keterkaitan batin. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa hubungan dengan orang lain merupakan kebutuhan manusia, apabila tidak terpenuhi dapat membawa akibat-akibat buruk. Dalam memenuhi kebutuhan bergaul dengan orang lain dapat muncul beberapa hambatan, diantaranya adalah rasa tidak aman diri. Rasa tidak aman diri bersumber pada self esteem, gambaran diri, dan konsep diri yang rendah. Salah satu gejalanya yaitu rasa malu yang berlebihan yang membuat individu merasa gagal dalam hubungan dan pergaulan dengan orang lain. Rasa gagal dalam pergaulan tidak selalu dikarenakan situasi atau ketidaktahuan tentang cara bergaul, namun sering ditimbulkan oleh rasa takut ditolak orang lain. Individu yang sulit bergaul memiliki pandangan yang sama sehingga merasa tidak diterima dalam pergaulan. Menurut Paul J. Centi (Chodijah, 2010 :27) dampak-dampak dari rasa ditolak atau tidak aman diri diantaranya yaitu : tidak pernah puas dalam pergaulan karena selalu merasa tidak diterima, tidak diakui, dan tidak dicintai oleh orang lain. Dengan perasaanperasaan tersebut seseorang akan menjauhi orang lain karena 42 membayangkan kegagalan dalam pergaulan. Dampak lain dari individu yang memiliki rasa tidak aman diri yaitu terlalu memandang unsur-unsur negatif yang dipandang ada pada dirinya. Merasa diri tidak layak dan tidak mampu bergaul dan melupakan segi-segi positif yang ada pada dirinya. Kesenjangan antara gambaran diri, kemampuan, dan gambaran sosial dengan cita-cita diri individu tentang fisik, kemampuan, dan sosial akan menunjukkan tingkat self esteem. Semakin besar kesenjangan antara gambaran diri dengan cita-cita diri maka semakin rendah self esteem, sebaliknya semakin kecil kesenjangannya maka semakin besar self esteemnya. C. Tingkah Laku Agresi 1. Definisi Tingkah Laku Agresi Secara umum agresi dapat diartikan sebagai suatu serangan yang dilakukan oleh suatu organisme terhadap organisme lain, obyek lain atau bahkan pada dirinya sendiri. Baron (2003:137) mengemukakan ‘’agresi adalah tingkah laku yang diarahkan kepada tujuan menyakiti makhluk hidup lain yang ingin menghindari perlakuan semacam itu’’. Definisi dari Baron ini mencakup empat faktor tingkah laku, yaitu: tujuan untuk melukai atau mencelakakan, individu yang menjadi pelaku, individu yang menjadi korban, dan ketidakinginan si korban menerima tingkah laku si pelaku. Sedangkan Shneiders (1964:331) mengemukakan agresi adalah “sebuah bentuk 43 respon yang mencari pengurangan ketegangan melalui media perilaku yang menuntut, menguasai, atau cemburu”. Penjelasan mengenai agresi banyak dikemukakan oleh banyak ahli psikologi. Namun pada dasarnya mereka memiliki kesamaan pendapat bahwa agresif adalah tingkah laku seseorang untuk menyerang, menyakiti, dan melukai orang lain/objek secara fisik maupun psikis. Suatu unsur penting dari agresi yang harus ada yaitu adanya tujuan atau kesengajaan dalam melakukannya. 2. Tujuan Agresivitas Menurut Pangestu (2010:24) tujuan agresivitas ada tiga, yaitu: a. Agresi tanpa tujuan untuk menyakiti Sebagian besar ahli sosial percaya bahwa sebagian besar serangan didorong oleh lebih sekadar keinginan untuk menyakiti korban. Adanya anggapan mempunyai tujuan lain dalam pikirannya, suatu tujuan yang lebih penting daripada keinginan untuk menyakiti sasaran. Keinginan untuk memiliki pengaruh atau kekuasaan atas orang lain atau untuk mendapatkan citra diri yang baik. Para agresor berusaha menegaskan kekuasaan untuk menaikkan harga dirinya. b. Paksaan Gerald Patterson dan James Tedeschi berpendapat bahwa agresi hanya merupakan usaha kasar dan paksaan. Menurut Patterson dan Tedeschi, tindakan mereka sebenarnya 44 merupakan usaha untuk mempengaruhi orang lain. Mereka berusaha menghentikan kegiatan orang lain yang mengganggu mereka. c. Kekuatan dan dominasi Menurut teoritikus lain bahwa perilaku agresi sering bertujuan menjaga atau mempertinggi kekuatan dan dominasi si penyerang. Mereka ingin menyerang agar dapat menjamin posisi dominannya dalam hubungannya dengan korban. Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka tidak berada di bawah si korban. Pandangan mengenai dominasi dalam masalah umumnya berkembang menjadi tiga bagian, yaitu: (1) perbedaan kekuasaan dapat menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan, yang kuat memukul yang lemah, (2) awal tindak kekerasan bukan dari perbedaan kekuasaan tetapi dari perebutan kekuatan dan dominasi, dan (3) mempertahankan citra diri. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Tingkah Laku Agresi Menurut Davidoff dalam Nadhirin (2009) perilaku agresi remaja dipengaruhi oleh beberapa faktor: 45 a. Faktor Biologis Beberapa faktor biologis yang mempengaruhi perilaku agresi yaitu: 1) Gen Tampaknya berpengaruh pada pembentukan sistem neural otak yang mengatur perilaku agresi. Dari penelitian yang dilakukan terhadap binatang, mulai dari yang sulit sampai yang paling mudah dipancing amarahnya, faktor keturunan tampaknya membuat hewan jantan yang berasal dari berbagai jenis lebih mudah marah dibandingkan betinanya. 2) Sistem otak Yang tidak terlibat dalam agresi ternyata dapat memperkuat atau menghambat sirkuit neural yang mengendalikan agresi. Pada hewan sederhana marah dapat dihambat atau ditingkatkan dengan merangsang sistem limbik (daerah yang menimbulkan kenikmatan pada manusia) sehingga muncul hubungan timbal balik antara kenikmatan dan kekejaman. Prescott (Mu’tadin, 2002) menyatakan orang yang berorientasi pada kenikmatan akan sedikit melakukan agresi sedangkan orang yang tidak pernah mengalami kesenangan, kegembiraan atau santai cenderung untuk melakukan kekejaman dan penghancuran (agresi). 46 3) Kimia darah Kimia darah (khususnya hormon seks yang sebagian ditentukan faktor keturunan) juga dapat mempengaruhi perilaku agresi. Dalam suatu eksperimen ilmuwan menyuntikan hormon testosteron pada tikus dan beberapa hewan lain (testosteron merupakan hormon androgen utama yang memberikan ciri kelamin jantan) maka tikus-tikus tersebut berkelahi semakin sering dan lebih kuat. Sewaktu testosteron dikurangi hewan tersebut menjadi lembut. Kenyataan menunjukkan bahwa anak banteng jantan yang sudah dikebiri (dipotong alat kelaminnya) akan menjadi jinak. Sedangkan pada wanita yang sedang mengalami masa haid, kadar hormon kewanitaan yaitu estrogendan progresteron menurun jumlahnya akibatnya banyak wanita melaporkan bahwa perasaan mereka mudah tersinggung, gelisah, tegang dan bermusuhan. Selain itu banyak wanita yang melakukan pelanggaran hukum (melakukan tindakan agresi) pada saat berlangsungnya siklus haid ini. b. Faktor lingkungan Yang mempengaruhi perilaku agresi remaja yaitu: 1) Kemiskinan Remaja yang besar dalam lingkungan kemiskinan, maka perilaku agresi mereka secara alami mengalami penguatan. Hal yang sangat menyedihkan adalah dengan berlarut-larut 47 terjadinya krisis ekonomi dan moneter menyebabkan pembengkakan kemiskinan yang semakin tidak terkendali. Hal ini berarti potensi meledaknya tingkat agresi semakin besar. Walau harus kita akui bahwa faktor kemiskinan ini tidak selalu menjadikan seseorang berperilaku agresif, dengan bukti banyak orang di pedesaan yang walau hidup dalam keadaan kemiskinan tapi tidak membuatnya berperilaku agresif, karena dia telah menerima keadaan dirinya apa adanya. 2) Anoniomitas Terlalu banyak rangsangan indra dan kognitif membuat dunia menjadi sangat impersonal, artinya antara satu orang dengan orang lain tidak lagi saling mengenal. Lebih jauh lagi, setiap individu cenderung menjadi anonim (tidak mempunyai identiras diri). Jika seseorang merasa anonim ia cenderung berperilaku semaunya sendiri, karena ia merasa tidak terikat dengan norma masyarakat dan kurang bersimpati dengan orang lain. 3) Suhu udara yang panas Bila diperhatikan dengan seksama tawuran yang terjadi di Jakarta seringkali terjadi pada siang hari di terik panas matahari, tapi bila musim hujan relatif tidak ada peristiwa tersebut. Begitu juga dengan aksi-aksi demonstrasi yang berujung pada bentrokan dengan petugas keamanan yang biasa terjadi pada cuaca yang terik dan panas tapi bila hari diguyur hujan aksi 48 tersebut juga menjadi sepi. Hal ini sesuai dengan pandangan bahwa suhu suatu lingkungan yang tinggi memiliki dampak terhadap tingkah laku sosial berupa peningkatan agresivitas. 4) Kesenjangan generasi Adanya perbedaan atau jurang pemisah (gap) antara generasi anak dengan orang tuanya dapat terlihat dalam bentuk hubungan komunikasi yang semakin minimal dan seringkali tidak nyambung. Kegagalan komunikasi antara orang tua dan anak diyakini sebagai salah satu penyebab timbulnya perilaku agresi pada anak. 5) Amarah Marah merupakan emosi yang memiliki ciri-ciri aktifitas sistem saraf parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang sangat kuat yang biasanya disebabkan karena adanya kesalahan yang mungkin nyata-nyata salah atau mungkin tidak. Pada saat marah ada perasaan ingin menyerang, meninju, menghancurkan atau melempar sesuatu dan biasanya timbul pikiran yang kejam. Bila hal tersebut disalurkan maka terjadilah perilaku agresif. 6) Peran belajar model kekerasan Model pahlawan-pahlawan di film-film seringkali mendapat imbalan setelah mereka melakukan tindak kekerasan. Hal ini bisa menjadikan penonton akan semakin mendapat penguatan 49 bahwa hal tersebut merupakan hal yang menyenangkan dan dapat dijadikan suatu sistem nilai bagi dirinya. Dengan menyaksikan adegan kekerasan tersebut terjadi proses belajar peran model kekerasan dan hal ini menjadi sangat efektif untuk terciptanya perilaku agresif. 7) Frustrasi Frustrasi terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu. Agresi merupakan salah satu cara merespon terhadap frustrasi. Remaja miskin yang nakal adalah akibat dari frustrasi yang behubungan dengan banyaknya waktu menganggur, keuangan yang pas-pasan, dan adanya kebutuhan yang harus segera tepenuhi tetapi sulit sekali tercapai. Akibatnya mereka menjadi mudah marah dan berperilaku agresi. 8) Proses pendisiplinan yang keliru Pendidikan disiplin yang otoriter dengan penerapan yang keras terutama dilakukan dengan memberikan hukuman fisik, dapat menimbulkan berbagai pengaruh yang buruk bagi remaja. Pendidikan disiplin seperti akan membuat remaja menjadi seorang penakut, tidak ramah dengan orang lain, membenci orang yang memberi hukuman, kehilangan spontanitas serta kehilangan inisiatif, dan pada akhirnya melampiaskan kemarahannya dalam bentuk agresi kepada orang lain. 50 4. Bentuk-bentuk Tingkah Laku Agresi Menurut Buss dan Perry (Diamon & Magaletta:2006) agresi dikelompokkan menjadi empat kategori, yaitu: a) Physical Aggression (agresi fisik) merupakan perilaku agresi yang dapat diobservasi (terlihat/overt). Physical aggression adalah kecenderungan individu untuk melakukan serangan secara fisik untuk mengekspresikan kemarahan atau agresi. Bentuk serangan fisik tersebut seperti memukul, mendorong, menendang, mencubit, dan lain sebagainya b) Verbal Aggression (agresi verbal) merupakan perilaku agresi yang dapat diobservasi (terlihat/overt). Verbal aggression adalah kecenderungan untuk menyerang orang lain atau memberikan stimulus yang merugikan dan menyakitkan kepada organism lain secara verbal, yaitu melalui kata-kata atau penolakan. Bentuk serangan verbal tersebut seperti cacian, ancaman, mengumpat, atau penolakan c) Anger (kemarahan), beberapa bentuk anger adalah perasaan marah, kesal, sebal, dan bagaimana cara mengontrol hal tersebut. Termasuk di dalamnya adalah irritability, yaitu mengenai temperamental, kecenderungan untuk cepat marah, dan kesulitan untuk mengendalikan amarah d) Hostility (permusuhan) merupakan perilaku agresi yang covert (tidak terlihat). Hostility terdiri dari dua bagian, yaitu resentment 51 seperti cemburu dan iri terhadap orang lain, dan suspicion seperti ketidakpercayaan, kekhawatiran, dan proyeksi dari rasa permusuhan orang lain Berdasarkan perilaku agresi anti sosial, Mark A. Stewart (Desniwaty, 2008:29) menyatakan bahwa bentuk-bentuk perilaku agresi terdiri ke dalam empat kelompok, yaitu: a. Aggressiveness (keagresifan), yaitu tingkah laku individu yang memiliki sifat keagresifan, dapat terlihat seperti dalam bentuk menyerang secara fisik orang dewasa, perkelahian dengan orang lain, berlaku kasar pada orang lain, dan sebagainya. b. Noncompliance (melawan perintah), yaitu tingkah laku yang menunjukkan adanya keinginan untuk menantang atau tidak mengikuti aturan yang tampak dalam bentuk suka melawan orang tua, guru, dan orang dewasa lainnya, membantah ucapan orangtua dan orang dewasa lainnya, tidak disiplin, dan suka keluar malam. c. Destructiveness (merusak), yaitu tingkah laku yang bertujuan untuk merusak. Misalnya membuat keonaran, merusak barang-barang milik sendiri dan orang lain. d. Hostility (permusuhan), yaitu tingkah laku yang menunjukkan permusuhan. Misalnya suka bertengkar, baik dengan teman sebaya maupun orang lain, berlaku kejam, dan menaruh rasa dendam dengan orang lain. 52 Berdasarkan pada pembagian tingkah laku agresi yang dikemukakan oleh beberapa tokoh, pada penelitian ini akan lebih terfokus pada pembagian tingkah laku agresi yang dikemukakan oleh Buss dan Perry (Diamond & Magaletta:2006) mengelompokkan agresi menjadi empat kategori, yaitu: (1) Physical Aggression (agresi fisik) merupakan perilaku agresi yang dapat diobservasi (terlihat/overt). Physical aggression adalah kecenderungan individu untuk melakukan serangan secara fisik untuk mengekspresikan kemarahan atau agresi. Bentuk serangan fisik tersebut seperti memukul, mendorong, menendang, mencubit, dan lain sebagainya, (2) Verbal Aggression (agresi verbal) merupakan perilaku agresi yang dapat diobservasi (terlihat/overt). Verbal aggression adalah kecenderungan untuk menyerang orang lain atau memberikan stimulus yang merugikan dan menyakitkan kepada organisme lain secara verbal, yaitu melalui katakata atau penolakan. Bentuk serangan verbal tersebut seperti cacian, ancaman, mengumpat, atau penolakan, (3) Anger (kemarahan), beberapa bentuk anger adalah perasaan marah, kesal, sebal, dan bagaimana cara mengontrol hal tersebut. Termasuk di dalamnya adalah irritability, yaitu mengenai temperamental, kecenderungan untuk cepat marah, dan kesulitan untuk mengendalikan amarah, dan (4) Hostility (permusuhan) merupakan perilaku agresi yang covert (tidak terlihat). Hostility terdiri dari dua bagian, yaitu resentment seperti cemburu dan iri terhadap orang lain, dan suspicion seperti 53 ketidakpercayaan, kekhawatiran, dan proyeksi dari rasa permusuhan orang lain. D. Kerangka Berpikir Masa remaja merupakan masa di mana individu masih dalam keadaan labil dan berada dalam titik rawan. Menurut Konopka (Yusuf, 2006:184) ‘’masa remaja dibagi menjadi tiga bagian yaitu: (1) masa remaja awal: 12-15 tahun; (2) masa remaja madya: 15-18 tahun, dan (3) masa remaja akhir: 19-22 tahun’’. Siswa SMP merupakan usia remaja awal dimana pada masa ini terdapat sebuah transisi yang dapat menimbulkan masalah karena transisi yang terjadi tidak hanya mengenai peralihan tingkat pendidikan dari SD (kelas enam) ke SMP (kelas tujuh), tetapi juga mengenai peralihan masa anak-anak ke remaja. Tahun pertama di Sekolah Menengah Pertama dirasakan tahun yang sulit bagi remaja karena adanya persepsi dari remaja tentang kualitas kehidupan sekolah mereka menurun di kelas tujuh. Di kelas tujuh murid-murid kurang puas terhadap sekolah, kurang bertanggungjawab terhadap sekolah, dan kurang menyukai guru-guru mereka. Menurunnya kepuasan bersekolah terjadi tanpa memandang seberapa berhasil murid-murid secara akademis (Hirsch & Raikin, 1987 dalam Santrock, 2003:16). Keadaan seperti itu tentunya tidak menguntungkan bagi remaja itu sendiri, dan akhirnya mereka mencari cara agar mendapat 54 pengakuan dari teman-temannya, seperti berkelahi dengan sesama temannya, melanggar aturan sekolah, dan bahkan tawuran dengan sekolah lain. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh remaja tersebut adalah bentuk dari ekspresi negatif dan termasuk ke dalam tingkah laku agresi. Menurut Baron (2006:137) agresi adalah segala perilaku individu yang bersifat menyakiti, mencelakai, dan melukai seseorang. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Musen & Kogan dalam Riadi (2006), anak pada usia 6–10 tahun tingkah laku agresif akan tampak sebagai kemarahan dan hal ini pada masa remaja akan tampak sebagai tingkah laku agresif. Berdasarkan hasil wawancara tidak terstruktur dengan guru Bimbingan Konseling (BK) di SMPN 3 Lembang Bandung yang dilakukan pada 17 Pebruari 2011, didapatkan informasi bahwa ada tingkah laku agresi pada siswa seperti, permusuhan, pertengkaran dengan siswa antar kelas, dan adanya tawuran yang terjadi kurang dari lima kali dalam sebulan. Banyak faktor yang melatarbelakangi tingkah laku agresi, salah satunya adalah self esteem. Self esteem merupakan penilaian yang dilakukan oleh individu untuk memandang dirinya sendiri, terutama mengenai sikap penerimaan atas seberapa besar kepercayaan individu terhadap kemampuan, keberartian, kesuksesan, dan keberhargaan (Coopersmith 1967:5) 55 Menurut Branden dalam Baron (2003:176) perilaku seseorang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh tingkat self esteem yang dimilikinya, apakah self-esteem orang tersebut tinggi atau rendah. Fenomena di atas mengindikasikan adanya self esteem yang rendah pada siswa-siswi kelas VIII SMPN 3 Lembang Bandung karena mereka kurang mengontrol perilakunya sendiri dan orang lain serta tidak adanya rasa hormat yang diterimanya dari orang lain, merasa tidak berarti yang ditunjukkan dengan tidak adanya penerimaan diri, penerimaan dari orangtua dan temannya, menampilkan perilaku yang tidak sesuai dengan etika moral dan prinsip agama serta kurang berkompeten dalam menjalankan kewajiban sesuai dengan peran dan statusnya. Pada remaja yang memiliki self esteem rendah inilah sering muncul perilaku rendah. Berawal dari perasa tidak mampu dan tidak berharga, mereka mengkompensasikannya dengan tindakan lain yang seolah-olah membuat dia lebih berharga. Self esteem yang rendah disinyalir lebih berkemungkinan menimbulkan kekerasan atau yang sering disebut perilaku agresi (Utami, 2009). Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka dapat dibuat dalam bagan (gambar) seperti di halaman 56: 56 Gambar 2.1 Kerangka Berpikir Self Esteem Remaja SMP Masa Transisi yang Menyulitkan Tingkah Laku Agresi