BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sapi Bali sampai saat

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Sapi Bali sampai saat ini masih merupakan komoditi unggulan bidang
peternakan di Bali (Mahaputra et al., 2009). Bali merupakan wilayah penghasil
ternak sapi yang sangat potensial, berdasarkan Badan Pusat Statistik (2013),
populasi sapi Bali dan kerbau di provinsi Bali tercatat sebanyak 478.706 ekor.
Sapi Bali merupakan salah satu jenis sapi potong yang mempunyai beberapa
keunggulan, antara lain memiliki daya adaptasi yang baik terhadap lingkungan
yang buruk dan terhadap mutu pakan yang rendah. Namun, sapi Bali juga
diketahui rentan terhadap beberapa penyakit. Salah satunya adalah penyakit pada
saluran pernafasan yang diakibatkan oleh bakteri, seperti Septicemia epizootica
(SE) yang dikenal juga dengan penyakit ngorok, Bovine tuberculosis (BTB),
Klebsiellosis dan bisa juga akibat dari bakteri saluran pencernaan seperti golongan
bakteri Enterobacteriaceae sp., (Retnowati dan Nugroho, 2015). Diantara
penyakit pada saluran pernafasan tersebut di atas, Bovine tuberculosis (BTB)
merupakan penyakit yang bersifat zoonosis yang sangat mengancam kesehatan
masyarakat. Selain BTB, Klebsiellosis yang memiliki gejala klinis hampir mirip
dengan BTB, juga diketahui sebagai penyakit zoonosis sehingga menjadi ancaman
bagi kesehatan masyarakat (Allen et al., 2013). Menurut Tarmudji dan Supar
(2008) serta Chander et al., (2011), menyatakan bahwa, disamping bersifat
1
2
zoonosis, penyakit BTB dan Klebsiellosis juga menyebabkan kerugian ekonomi
pada ternak sapi. Hingga saat ini, laporan kasus BTB dan Klebsiellosis pada sapi
Bali juga masih sangat jarang dilaporkan.
Tuberkulosis merupakan infeksi oportunistik utama pada manusia yang
terinfeksi human immunodeficiency virus (HIV). Epidemi infeksi HIV di negaranegara berkembang, khususnya negara-negara di mana infeksi tuberkulosis
diidentifikasi pada hewan sehingga kondisi tersebut mendukung terjadinya
transmisi zoonosis (Cosivi et al., 1998). Tuberkulosis juga merupakan ancaman
global dengan 1,4 juta kematian per tahun akibat dari infeksi pernafasan. Sebagian
besar pasien yang terinfeksi tuberkulosis mengalami infeksi pernapasan yang laten
(Allen et al., 2013). Bovine tuberculosis (BTB) merupakan penyakit yang
disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium bovis. Penyakit ini dikatakan
sebagai penyakit menahun (kronik) pada sapi, sehingga gejala klinisnya baru
muncul jika sudah parah, tetapi adakalanya penyakit ini berjalan akut dan
progresif, terutama pada hewan muda (Poeloengan et al., 2014).
Klebsiellosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri dari genus
Klebsiella (Cherviakova, 2010). Salah satu spesiesnya ialah Klebsiella
pneumoniae yang pertama kali ditemukan oleh Carl Friedlander pada tahun 1882
(Rahmawati, 2009). Klebsiella pneumoniae merupakan patogen oportunistik pada
manusia serta hewan (Younan et al., 2013). Pada manusia, Klebsiella sp.
mengakibatkan infeksi nosokomial serta mampu mengakibatkan pneumonia parah
yang ditandai dengan peradangan paru-paru yang luas, perdarahan dan
pembentukan lesi nekrotik di paru-paru, yang dapat berkembang menjadi
3
bakteremia dan sepsis. Pada hewan, Klebsiella sp. mengakibatkan sepsis, infeksi
saluran kemih, infeksi saluran pernafasan dan mastitis (Chander et al., 2011).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Putra et al., (2013) tentang
seroprevalensi BTB di kabupaten Bangli provinsi Bali dengan metode enzymelinked immunosorbent assay (ELISA), menunjukkan bahwa seroprevalensi BTB
sebesar 2,22%. Deteksi awal adanya titer antibodi terhadap tuberkulosis
merupakan suatu indikator terhadap ancaman tuberkulosis baik pada manusia
maupun hewan khususnya sapi (Allan, 2008). penelitian lain menyebutkan bahwa,
kejadian Klebsiellosis ditemukan pada sampel paru-paru sapi yang mengalami
pneumoni yang berasal dari tempat pemotongan hewan di kota Gorontalo
(Retnowati dan Nugroho, 2015). Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa
kedua jenis penyakit tersebut ditemukan juga di Bali.
Pemotongan sapi dominan dilakukan di RPH Pesanggaran Denpasar dan
RPH Mambal yang berasal dari berbagai Kabupaten/Kota di Bali. Kondisi
tersebut tentunya
meningkatkan peluang terlacaknya infeksi BTB
dan
Klebsiellosis di RPH Pesanggaran, Denpasar dan RPH Mambal, Badung.
Berdasarkan kenyataan di atas maka perlu dilakukan suatu penelitian terhadap
prevalensi dari bakteri Mycobacterium bovis dan Klebsiella pneumoniae pada sapi
Bali yang dipotong di RPH Pesanggaran, Denpasar dan RPH Mambal, Badung.
4
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat dibuat suatu rumusan
masalah yaitu :
1.
Berapakah prevalensi bakteri Mycobacterium bovis dan Klebsiella
pneumoniae pada sapi Bali yang dipotong di RPH Pesanggaran,
Denpasar dan RPH Mambal, Badung provinsi Bali?
2.
Bagaimanakah cara mendeteksi bakteri Mycobacterium bovis dan
Klebsiella pneumoniae pada sapi Bali yang dipotong di RPH
Pesanggaran, Denpasar dan RPH Mambal, Badung provinsi Bali?
1.3
Tujuan Penelitian
Penelitan ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi dari bakteri
Mycobacterium bovis penyebab Bovine tuberculosis dan Klebsiella pneumoniae
penyebab Klebsiellosis pada sapi Bali yang dipotong di RPH Pesanggaran,
Denpasar dan RPH Mambal, Badung provinsi Bali.
5
1.4
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai informasi ilmiah
tentang kejadian Bovine tuberculosis yang disebabkan oleh Mycobacterium bovis
dan Klebsiellosis yang disebabkan Klebsiella pneumoniae pada sapi Bali yang
dipotong di RPH Pesanggaran, Denpasar dan RPH Mambal, Badung provinsi
Bali, sehingga pada akhirnya dapat membantu pemerintah dalam menerapkan
sistem kewaspadaan dini penyakit hewan menular dalam bidang keamanan
pangan asal hewan, yakni : pendeteksian yang lebih awal, pelaporan yang cepat
dan tindakan yang tepat.
6
Download