BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Etiologi Mycobacterium bovis Mycobacterium bovis penyebab BTB adalah anggota dari Mycobacterium tuberculosis kompleks. Kelompok yang juga termasuk didalamnya ialah : Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium africanum dan Mycobacterium microti. Mycobacterium bovis merupakan agen penyebab tuberkulosis pada sapi sedangkan Mycobacterium tuberculosis pada manusia (Qamar dan Azhar, 2013). Secara morfologik, Mycobacterium sp. berbentuk batang (Poeloengan et al., 2014) dan memiliki panjang 2-4 µm dan lebar 0,2-0,5 µm serta bersifat aerob obligat, parasit intraselular fakultatif, terutama pada makrofag dan memiliki waktu regenerasi yang lambat yakni 15-20 jam (Todar, 2012). Peneliti sebelumnya membuktikan bahwa bakteri Mycobacterium sp. merupakan bakteri Gram positif dan bersifat tahan asam. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA) sehingga dengan pewarnaan Ziechl Nielsen berwarna merah (Poeloengan et al., 2014). Bakteri ini kadang-kadang berbentuk filamen atau menyerupai miselium, tidak bergerak aktif (non motil), tidak membentuk spora, pertumbuhan in vitro sangat lambat yaitu 2 – 10 minggu (Tarmudji dan Supar, 2008), serta hanya dapat hidup beberapa minggu di luar tubuh induk semangnya, karena tidak tahan terhadap panas, sinar matahari langsung atau kondisi kekeringan (Tarmudji dan Supar, 2008). Struktur dinding sel Mycobacterium sp. bersifat unik dan 6 7 berbeda diantara prokariot lainnya dan merupakan faktor penentu virulensinya. Dinding selnya memiliki peptidoglikan, tetapi lebih dari 60% komponen dinding selnya adalah lipid. Fraksi lipid dinding sel Mycobacterium sp. terdiri dari 3 komponen yaitu asam mikolat, cord factor dan wax-D (Todar, 2012). Asam mikolat merupakan molekul hidrofob kuat yang membentuk lapisan lipid mengelilingi organisme dan berperan dalam permeabilitas permukaan sel. Asam ini juga berfungsi mempertahankan mikobakterium dari serangan lisozim, serta melindungi mikobakterium ekstrasel (Todar, 2012). Cord factor bersifat toksik terhadap sel mamalia dan merupakan inhibitor migrasi leukosit polimorfonuklear ( Polymorphonuclear Leukocyte, PMNL). Cord factor umumnya dihasilkan oleh galur Mycobacterium tuberculosis yang virulen. Konsentrasi lipid yang tinggi pada dinding sel ini menyebabkan Mycobacterium tuberculosis bersifat impermeabel terhadap pewarnaan, resisten terhadap kebanyakan antibiotik, tidak bisa dibunuh menggunakan senyawa asam atau basa dan dapat bertahan dari serangan makrofag. Wax-D dalam amplop sel merupakan komponen utama dari bahan Freund's Complete Adjuvant (CFA) (Todar, 2012). 8 2.2. Prevalensi Global Mycobacterium bovis Kejadian Mycobacterium bovis penyebab tuberkulosis sapi di Indonesia dilaporkan pertama kali menyerang sapi perah di Semarang (Jawa Tengah) oleh Penning pada tahun 1906, yang pada saat itu dilakukan uji tuberkulinasi terhadap 303 ekor sapi perah dan hasilnya ditemukan 3 sapi (0,9%) yang bereaksi positif (reaktor) terhadap tuberkulosis (Tarmudji dan Supar, 2008). Selain di Indonesia, tuberkulosis pada sapi telah dilaporkan di beberapa negara di dunia yakni sebanyak 69% terjadi di negara-negara Asia dan 80% diantaranya berada di negara-negara Afrika (Cousins, 2001). Dari 55 negara di Afrika, 25 negara diantaranya dilaporkan tertular BTB dengan insiden yang rendah dan bersifat sporadis. Sementara yang memiliki kejadian tinggi berada di Malawi dan Mali (Cosivi et al., 1998). Dari semua negara di Afrika, hanya tujuh negara menerapkan langkah-langkah pengendalian penyakit dengan kebijakan test and slaughter (Cosivi et al., 1998). Sementara 36 negara di Asia, 16 diantaranya melaporkan kejadian BTB dengan tingkat yang rendah dan bersifat sporadis. Sedangkan Bahrain dikategorikan sebagai wilayah yang enzootik. Dalam kawasan Asia, tujuh negara menerapkan langkah-langkah pengawasan penyakit sebagai bagian dari kebijakan test and slaughter serta menerapkan kebijakan bahwa BTB wajib dilaporkan. Lebih lanjut dilaporkan pula bahwa 29 negara yang ada di Asia tidak menerapkan kebijakan tersebut di atas (Cosivi et al., 1998). 9 2.3. Hewan Rentan Mycobacterium bovis Sapi merupakan inang sejati Mycobacterium bovis. Selain sapi, ternak kambing dan babi juga rentan terhadap serangan tuberkulosis. Sedangkan sejumlah hewan lain seperti kerbau, onta, rusa, kuda, bison dan berbagai satwa liar baik yang hidup di alam bebas maupun yang hidup terkurung di kebun binatang maupun hewan peliharaan seperti anjing dan kucing, semuanya dapat terserang tuberkulosis. Possum (trichosurus vulpecula) di Selandia Baru dan badgers (meles meles) di Inggris merupakan satwa liar setempat yang diketahui berpotensi besar dalam penyebaran tuberkulosis baik bagi kawanan sapi di Inggris maupun bagi kawanan sapi dan domba di Selandia Baru. Diperkirakan bahwa kerugian ekonomi akibat tuberkulosis adalah kehilangan 10-25% dari efisiensi produksi di luar kematian hewan (OIE, 2009). Adapun kerentanan spesies hewan terhadap tipe bakteri Tuberkulosis adalah sebagai berikut : Tabel 2.1. Kerentanan spesies hewan terhadap tipe bakteri tuberkulosis. Sumber: Poeloengan et al., 2014. Spesies hewan Marmot Kelinci Mencit (galur tertentu) Hamster Kera Kuda Anjing Sapi Babi Bangsa Kakak tua Unggas Bovine tuberculosis ++++ ++++ ++++ ++ ++ ++ ++++ +++ +++ 0 0 Human tuberculosis ++++ + ++++ +++ 0 + + + ++ 0 0 10 2.4. Patogenesis Mycobacterium bovis Patogenesis BTB terdiri dari dua tahapan yaitu : masa infeksi primer dan masa reinfeksi. Pada masa infeksi primer terjadi perubahan yang ditimbulkan oleh Mycobacterium sp. pada organ tubuh dan kelenjarnya, yang disebut “komplek primer”. Infeksi yang terjadi pada organ-organ yang termasuk dalam komplek primer ini dapat sembuh. Namun, jika tidak sembuh, hal ini kemungkinan disebabkan karena bakteri bersifat sangat virulen, dan resistensi individu hospes yang rendah. Komplek primer dapat menimbulkan metastasis yang secara cepat dapat membunuh hewan (Tarmudji dan Supar, 2008). Masa reinfeksi tuberkulosis yang terjadi pada sapi akan menyebabkan kejadian penyakit menjadi kronis atau menahun. Bila sapi penderita tuberkulosis dapat mengalahkan infeksi primer tersebut, secara klinis individu tersebut dapat sembuh. Sementara bila terjadi reinfeksi, maka menyebabkan infeksi menahun pada alat tubuh (organ) paru-paru dan hati (fase ini disebut tuberkulosis menahun) yang mengakibatkan terjadinya pembentukan tuberkel-tuberkel. Proses yang terjadi adalah sel-sel neutrofil menyerang dan mengelilingi bakteri yang ada pada jaringan. Sel-sel neutrofil ini secara cepat diganti dengan sel-sel epiteloid. Pada pertengahan tuberkel terlihat struktur fibrinoid yang diikuti perkejuan dan pengapuran. Di sekitar lapisan sel-sel terdapat selapis sel-sel spesifik yakni sel-sel bundar (limfosit, monosit, sel-sel plasma), histiosit dan fibroblast. Pada TB biasanya ditemukan sel-sel epiteloid dan sel-sel Langerhans (Tarmudji dan Supar, 2008). Saat Mycobacterium sp. berhasil menginfeksi paru-paru, maka dengan segera akan tumbuh koloni bakteri yang berbentuk globular (bulat). Reaksi 11 immunologis menunjukkan bahwa bakteri tersebut akan berusaha dihambat melalui pembentukan dinding disekeliling bakteri itu oleh sel paru-paru. Mekanisme pembentukan dinding tersebut membuat jaringan disekitarnya menjadi jaringan parut, dan bakteri Mycobacterium sp. akan menjadi dormant (istirahat). Bentuk-bentuk dormant inilah yang sebenarnya terlihat sebagai tuberkel (Megawati, 2013). Perkembangan infeksi Mycobacterium sp. menjadi tuberkulosis aktif dalam inang dapat dibagi dalam 5 tahap, yaitu dimulai dengan inhalasi droplet. Paru merupakan jalan utama masuknya Mycobacterium sp. melalui udara, yaitu dengan inhalasi droplet sehingga dapat mencapai dan bersarang di bronkiolus serta alveoli (Todar, 2012) Tahap kedua dimulai 7-21 hari setelah terinfeksi, Mycobacterium sp. memperbanyak diri dalam makrofag yang tidak aktif, sampai makrofag tersebut pecah. Kemudian makrofag lain yang aktif mulai muncul dari sistem darah tepi dan memfagositosis Mycobacterium sp., tetapi akhirnya makrofag ini juga kembali tidak aktif sehingga tidak dapat memusnahkan Mycobacterium sp. (Todar, 2012) Pada tahap ketiga terbentuk respon imun selular. Limfosit khususnya sel T, mengenali antigen dengan bantuan molekul Major Histocompability Complex (MHC) selanjutnya akan terjadi aktivasi sel T dan pembebasan sitokin yaitu interferon gamma (IFN γ). Pembebasan IFN γ akan mengaktifasi makrofag dan makrofag yang teraktivasi inilah yang mampu memusnahkan Mycobacterium sp.. Pada tahap ketiga ini juga terbentuk tuberkuli dan Mycobacterium sp. tidak dapat 12 memperbanyak diri dalam keadaan tuberkuli, karena pH sangat rendah dan jumlah oksigen terbatas. Mycobacterium sp. dapat tahan dalam keadaan tuberkuli selama periode waktu tertentu (Todar, 2012). Pada tahap keempat terjadi pertumbuhan tuberkuli. Walaupun banyak terdapat makrofag aktif disekitar tuberkuli, juga banyak terdapat makrofag yang tidak atau kurang aktif. Mycobacterium sp. menggunakan makrofag tidak atau kurang aktif ini untuk bereplikasi sehingga tuberkuli dapat tumbuh dan menyerang bronkhus menyebabkan infeksi Mycobacterium sp. dapat menyebar ke bagian lain paru-paru. Tuberkuli juga dapat menyerang arteri atau pembuluh darah lainnya dan menyebabkan tuberkulosis ekstra-paru (Todar, 2012). Lesi juga ditemukan pada hati, granuloma paru-paru, limpa dan limfonodus (mandibular, parotid, retro-pharyngeal, mediastinal, tracheobronchial dan tonsil) (Tarmudji dan Supar, 2008). Pada tahap kelima, caseous centers tuberkuli mencair, namun mekanisme terjadinya hal tersebut belum diketahui. Cairan ini sangat mendukung pertumbuhan Mycobacterium sp. dan mulai memperbanyak diri secara ekstrasel dengan cepat. Jumlah Mycobacterium sp. yang banyak akan menyebabkan lapisan jaringan terdekat dengan bronkhi mengalami nekrosis dan rusak, menimbulkan rongga dan menyebabkan Mycobacterium sp. dapat menyebar ke udara dan bagian lain dari paru-paru (Todar, 2012). 13 2.5. Gejala Klinis Mycobacterium bovis Menurut Tarmudji dan Supar (2008), gejala klinik Mycobacterium bovis dapat dibedakan menjadi gejala umum dan gejala khusus yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gejala klinik tidak selalu spesifik, terutama pada kasus baru, sehingga menyulitkan diagnosisnya. Penyakit tuberkulosis berkembang secara lambat, mulai bulanan sampai tahunan. Sapi yang sudah terinfeksi mikobakterial pada stadium awal tidak menunjukkan gejala klinis. Namun pada stadium lanjut, sapi menunjukkan gejala umum yakni : temperatur tubuh fluktuatif, anoreksia dan kehilangan bobot hidup, pembengkakan limfonodus, batuk-batuk sampai sesak nafas dan frekuensi respirasi bertambah (bila tuberkulosis paru-paru) dan indurasi atau pengerasan puting susu. Pada sapi penderita tuberkulosis, bila bakteri Mycobacterium bovis sudah menyerang otak, akan mengalami gejala syaraf (inkoordinasi, terhuyung-huyung) dan tingkah lakunya abnormal sebagai akibat adanya meningo ensefalitis tuberkulosa pada sapi Holstein yang berumur 4 tahun (Tarmudji dan Supar, 2008). 2.6. Perubahan patologi anatomi Mycobacterium bovis Tarmudji dan Supar (2008), melaporkan bahwa lesi Mycobacterium bovis dapat terjadi pada semua organ pada tubuh, tetapi lokasi yang paling umum terdapat pada paru-paru dan limfonodus. Ukuran lesi dapat bervariasi dari beberapa milimeter sampai ke seluruh nodul dan lobus paru-paru. Terbentuknya lesi awal di deteksi sebagai nodul-nodul kecil berwarna putih dengan diameter beberapa milimeter. Sedangkan lesi besar khususnya yang terjadi pada paru-paru 14 ditandai dengan nekrosis yang meluas. Pada pemeriksaan post mortem dari sapi penderita tuberkulosis, terlihat lesi granuloma (di mana bakteri dilokalisir) yang berbentuk bulat, berdiameter 1 – 3 sentimeter, berwarna kuning atau abu-abu dan konsistensinya keras. Pada bidang sayatan granuloma mengandung masa kering kekuningan, perkejuan atau masa nekrotik mengandung reruntuhan sel-sel mati. Diperkirakan 90% lesi tuberkulosis pada sapi melibatkan limfonodus pada sistem pernafasan (Gambar 2.1.). Namun lesi dapat juga ditemukan pada rongga thorax, kepala, mesenterika dan sekitar separuh lesi paru-paru terdapat dalam bagian lobus distal diafragma (Tarmudji dan Supar, 2008). Pada paru-paru, seringkali terjadi abses miliari karena bronkho pneumonia supurativa dan terdapat nanah yang berwarna krem sampai oranye, konsistensinya bervariasi dari cairan kental menjadi perkejuan, yang biasanya diselaputi oleh jaringan kapsular yang tebal (Gambar 2.2.). Nodul-nodul kecil nampak pada pleura dan peritoneum (Tarmudji dan Supar, 2008). Pada penyebaran kasus, terdapat granuloma kecil-kecil lebih dari satu ditemukan pada sejumlah organ misalnya pada paru-paru, limpa, hati dan rongga tubuh (CFSPH, 2005). Gambar 2.1. Limfonodus sapi yang terinfeksi tuberkulosis (kiri), Limfonodus sapi normal (kanan). Sumber : (Tarmudji dan Supar, 2008) 15 Gambar 2.2. Lesi tuberkulosis pada paru sapi dara umur 2 tahun. Sumber : (Tarmudji dan Supar, 2008) 2.7. Metode diagnostik untuk memeriksa adanya Mycobacterium bovis Mendeteksi Mycobacterium bovis diperlukan beberapa metode diagnostik untuk medeteksi keberadaan bakteri tersebut. Salah satu metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah Polymerase Chain Reaction (PCR). 2.7.1. Polymerase Chain Reaction (PCR) Reaksi berantai polimerase (Polymerase Chain Reaction, PCR) adalah suatu metode enzimatis untuk amplifikasi DNA dengan cara in vitro. PCR ini pertama kali dikembangkan pada tahun 1985 oleh Kary B. Mullis. Amplifikas DNA pada PCR dapat dicapai bila menggunakan primer oligonukleotida yang disebut amplimers. Primer DNA suatu sekuens oligonukleotida pendek yang berfungsi mengawali sintesis rantai DNA. PCR memungkinkan dilakukannya pelipatgandaan suatu fragmen DNA. Umumnya primer yang digunakan pada PCR terdiri dari 20 -30 nukleotida (Yusuf, 2010). 16 DNA template (cetakan) yaitu fragmen DNA yang akan dilipatgandakan dan berasal dari patogen yang terdapat dalam spesimen klinik. Enzim DNA polimerase merupakan enzim termostabil Taq dari bakteri termofilik Thermus aquaticus. Deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP) menempel pada ujung 3’ primer ketika proses pemanjangan dan ion magnesium menstimulasi aktivasi polimerase (Yusuf, 2010). Proses PCR melibatkan beberapa tahap yaitu: denaturasi awal, denaturasi, annealing, ekstensi dan ekstensi akhir. Tahap (2) sampai dengan (4) merupakan tahapan berulang (siklus), di mana pada setiap siklus terjadi duplikasi jumlah DNA (Handoyo dan Rudiretna, 2001). 2.7.1.1. Denaturasi Pada tahap ini molekul DNA dipanaskan sampai suhu 950C yang menyebabkan terjadinya pemisahan untai ganda DNA menjadi untai DNA tunggal. Untai DNA tunggal inilah yang menjadi cetakan bagi untai DNA baru yang akan dibuat (Kusuma, 2010). Gambar 2.3. Untai DNA mengalami denaturasi. Sumber : Kusuma (2010) 17 2.7.1.2. Penempelan (Annealing) Enzim Taq polimerase dapat memulai pembentukan suatu untai DNA baru jika ada seuntai DNA berukuran pendek (DNA yang mempunyai panjang sekitar 10 sampai 30 pasang basa) yang menempel pada untai DNA target yang telah terpisah. DNA yang pendek ini disebut primer. Agar suatu primer dapat menempel dengan tepat pada target, diperlukan suhu yang rendah sekitar 550C selama 30-60 detik (Kusuma, 2010). Gambar 2.4. Penempelan primer dengan untai DNA yang telah terdenaturasi. Sumber : Kusuma (2010). 2.7.1.3. Pemanjangan (Ektension) Pemanjangan (Ektension) merupakan langkah setelah primer menempel pada untai DNA target, enzim DNA polimerase akan memanjangkan sekaligus membentuk DNA yang baru dari komponen primer, DNA cetakan dan nukleotida (Kusuma, 2010). Gambar 2.5. Perpanjangan DNA. Sumber : Kusuma (2010). 18 Deteksi kuman BTB dengan teknik PCR mempunyai sensitivitas yang amat tinggi. PCR merupakan cara amplifikasi DNA, dalam hal ini DNA Mycobacterium sp., secara in vitro. Proses ini memerlukan DNA cetakan (template) untai ganda yang mengandung DNA target, enzim DNA polymerase, nukleotida trifosfat, dan sepasang primer. Pemeriksaan Mycobacterium sp. dengan teknik PCR cukup baik bila dibandingkan dengan kultur bakteri BTB. Pemeriksaan Mycobacterium sp. dengan teknik PCR mempunyai keunggulan, yaitu waktu pemeriksaannya relative singkat, yaitu hanya 24 jam saja, sedangkan pemeriksaan kultur bakteri Mycobacterium sp. membutuhkan waktu 8 – 12 minggu (Jasaputra et al., 2005). Teknik tes amplifikasi molekul PCR telah terbukti menjadi alternatif peneguhan diagnose yang menjanjikan bahkan untuk negara-negara berkembang. Dengan PCR, diagnosis dapat ditegakkan lebih cepat dan proses diagnostik menjadi tidak rumit, PCR dapat mengurangi keterlambatan baik dalam diagnosis dan awal pengobatan. Bergantung pada "standar emas" dan faktor metodologis lainnya, studi menunjukkan sensitivitas PCR mulai dari 77% sampai dengan 95% (Lydia et al., 2004). 2.8 Etiologi Klebsiella pneumoniae Bakteri Klebsiella pneumoniae penyebab Klebsiellosis tumbuh di bawah kondisi aerob pada suhu 12-43ºC dengan pertumbuhan optimum pada suhu 3537ºC dan minimum di bawah kondisi anaerob. Ph optimum untuk pertumbuhan adalah 7,2. Umumnya, bakteri ini dapat menggunakan sitrat dan glukosa sebagai 19 sumber karbon satu-satunya dan ammonia sebagai sumber nitrogen. Klebsiella pneumoniae adalah bakteri Gram negatif berukuran 0,3-1,5 μm × 0,6-6,0 μm yang berbentuk batang (basil). Klebsiella pneumoniae tergolong bakteri yang tidak dapat melakukan pergerakan (non motil). Berdasarkan kebutuhannya akan oksigen, Klebsiella pneumoniae merupakan bakteri fakultatif anaerob. Klebsiella pneumoniae dapat memfermentasikan laktosa. Pada uji dengan indol, Klebsiella pneumoniae akan menunjukkan hasil negatif. Klebsiella pneumoniae dapat mereduksi nitrat. Klebsiella pneumoniae banyak ditemukan di mulut, kulit, dan saluran usus, namun habitat alami dari Klebsiella pneumoniae adalah di tanah (Rahmawati, 2009). Klebsiella pneumoniae memiliki kapsul polisakarida yang penting. Kapsul ini menyelubungi permukaan seluruh sel serta menyumbang besar kemunculan organisme pada pewarnaan gram dan memberikan perlawanan terhadap berbagai mekanisme pertahanan inang. Anggota dari genus Klebsiella sp. biasanya mengekspresikan 2 jenis antigen pada permukaan sel. Yang pertama adalah lipopolisakarida (O antigen), sementara yang lain adalah polisakarida kapsuler (K antigen). Kedua antigen ini berkontribusi dalam patogenisitas. Keragaman struktural antigen ini membentuk dasar untuk klasifikasi dalam berbagai serotipe. Virulensi semua serotipe tampaknya serupa. Kapsul memainkan peran yang sangat penting dalam virulensi (Mansour et al., 2014). 20 2.9 Prevalensi Global Klebsiella pneumoniae Klebsiellosis pada sapi yang disebabkan oleh Klebsiella pneumonia telah dilaporkan di beberapa negara di dunia. Studi yang dilakukan terhadap 68 sampel paru-paru dari kerbau dan sapi berumur 1-3 tahun yang disembelih di rumah potong hewan Assiut Governorat, Mesir menunjukkan bahwa 66 (97,06%) sampel paru-paru yang diperiksa, dapat terisolasi Klebsiella pneumoniae (3.27%) (Sayed dan Zaitoun, 2009). Di indonesia, kejadian Klebsiellosis ditemukan pada sampel paru-paru sapi yang mengalami pneumoni yang berasal dari tempat pemotongan hewan di kota Gorontalo (Retnowati dan Nugroho, 2015). Klebsiella pneumonia juga telah diisolasi dari genus burung layanglayang merah (Milvus milvus), burung bangkai Mesir, dan skua Antartika (Catharacta spp) dengan menunjukkan prevalensi masing-masing 7,96% (jumlah sampel = 113), 8.82% (jumlah sampel = 68) dan 4,54% (jumlah sampel = 22). Prevalensi Klebsiella pneumoniae telah diisolasi dari tinja Red-billed chough (Pyrrhocorax pyrrhocorax) sebesar 15,0%, 12,8% dan 15,6% pada tiga lokasi yang berbeda di Spanyol. Klebsiella pneumonia juga telah diisolasi dari burung nasar kalkun liar (Cathartes aura) dan peregrine falcon (Falco peregrinus) di Amerika Serikat yang menunjukkan prevalensi masing-masing sebesar 5% (jumlah sampel = 20) dan 42,85% (jumlah sampel = 14) (Sharma et al., 2014). 21 2.10 Hewan Rentan Klebsiella pneumoniae Penyakit klebsiellosis yang disebabkan oleh bakteri Klebsiella pneumoniae adalah gram negatif patogen oportunistik yang berhubungan dengan banyak infeksi pada usus hewan, mastitis dan pneumonia pada sapi, bakteremia di anak sapi, metritis di kuda, pneumonia dan infeksi saluran kemih pada anjing, dan pneumonia septicemia di anak kuda. Infeksi nosokomial yang disebabkan oleh Klebsiella pneumoniae juga merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada manusia (Sharma et al., 2014). Klebsiella pneumoniae telah diisolasi dari beberapa jenis burung terutama pada fesesnya yaitu genus burung layang-layang merah (Milvus milvus), burung bangkai Mesir, skua Antartika (Catharacta spp.), Red-billed chough (Pyrrhocorax pyrrhocorax), burung nasar kalkun liar (Cathartes aura) dan peregrine falcon (Falco peregrinus) (Sharma et al., 2014). 2.11 Pathogenesis Klebsiella pneumoniae Bakteri Klebsiella sp., memiliki komponen yang terlibat dalam mekanisme patogenik infeksi. Pada penelitian patogenisitas Klebsiella sp., ditemukan 5 faktor utama yang berperan penting, diantaranya : kapsul, fimbriae (pili), resistensi serum, lipopolisakarida, dan siderophores (Podschun dan Ullman, 1998). Kapsul sangat penting untuk virulensi Klebsiella sp. Kapsul terdiri dari kumpulan tebal struktur fibrillar yang menutupi permukaan bakteri. Komponen tersebut melindungi bakteri dari fagositosis oleh granulosit polimorfonuklear dan mencegah pembunuhan bakteri (Podschun dan Ullman, 1998). 22 Sifat perekat di Enterobacteriaceae umumnya dimediasi oleh pili. Pili akan membantu proses infeksi. Mikroorganisme datang sedekat mungkin pada host di permukaan mukosa dan mempertahankan kedekatan ini dengan melekat ke sel inang. Terdapat dua jenis pili yang dominan di Klebsiella sp., yaitu pili tipe 1 dan tipe 3. Pili tipe 1 : berkaitan dengan virulensi bakteri yang diduga berasal dari kemampuan bakteri untuk mengikat sel-sel epitel urogenital, pernapasan, dan saluran usus. Hal ini membuat pili tipe 1 dapat memediasi bakteri berkolonisasi pada urinogenital dan saluran pernapasan yang menyebabkan perkembang biakan bakteri akan menjadi patogen fakultatif sehingga dapat mengakibatkan penyakit disaat keadaan host melemah. Pili tipe 3, pada awalnya digambarkan sebagai organel adhesi Klebsiella sp., menghuni akar tanaman, namun pili ini kemudian ditemukan mampu mengikat berbagai sel manusia terutama pada sel endotel, epitel saluran pernapasan, dan sel-sel uroepithelial. Sejauh ini, tidak ada model hewan percobaan yang digunakan untuk mengkaji peran pili dalam infeksi. Selain itu, struktur reseptor inang yang sesuai pun tidak diketahui (Podschun dan Ullman, 1998). Pertahanan pertama inang melawan serangan mikroorganisme selain fagositosis ialah oleh granulosit polimorfonuklear dan efek bakterisidal. Kegiatan bakterisidal dimediasi terutama oleh protein komplemen. Setelah aktivasi kaskade, protein ini akan terakumulasi sebagai serangan membran kompleks di permukaan mikroorganisme. Komplemen kaskade dapat diaktifkan dengan dua mekanisme yang berbeda: jalur komplemen klasik, yang biasanya membutuhkan antibodi spesifik yang akan diaktifkan, dan komplemen jalur alternatif, yang dapat 23 diaktifkan bahkan tanpa adanya antibodi. Alternatif jalur ini juga dianggap sebagai sistem pertahanan awal kekebalan bawaan, yang memungkinkan inang untuk bereaksi terhadap serangan mikroorganisme bahkan sebelum antibodi spesifik yang terbentuk. (Podschun dan Ullman, 1998). Molekul lipopolisakarida (LPS) terdiri dari lipid A, polisakarida inti dan rantai sisi yang disebut "O-antigen”. terdapat sembilan jenis O-antigen yang membedakan Klebsiella pneumoniae. Peran penting dari O-antigen adalah untuk melindungi Klebsiella pneumoniae dari pembunuhan dari komplemen yang dimediasi, baik yang berkapsul atau non-berkapsul. Galur O-antigen sangat sensitif terhadap aksi bakterisida dari kedua jalur yaitu komplemen alternatif dan klasik. Untuk perlindungan ini, panjang rantai O-antigen tampaknya menjadi penting. Namun demikian, O-antigen sangat efisien dalam mengaktifkan komponen awal komplemen, dan opsonisasi membuat bakteri rentan terhadap fagositosis (Brisse et al., 2006). Siderophore merupakan molekul kecil yang berfungsi sebagai sistem penyerapan zat besi utama enterobacteria dan disintesis oleh hampir semua isolat, sehingga terjadi kompetisi dalam penyerapan zat besi dengan hostnya. Pertumbuhan bakteri dalam jaringan host dibatasi tidak hanya oleh mekanisme pertahanan inang tetapi juga oleh pasokan zat besi yang tersedia. Zat besi merupakan faktor penting dalam pertumbuhan bakteri, berfungsi terutama sebagai katalis reduksi protein berpartisipasi dalam proses transportasi oksigen dan elektron. Pasokan zat besi bebas yang tersedia untuk bakteri dalam lingkungan inang sangat rendah, karena unsur ini terikat dengan protein intraseluler seperti 24 hemoglobin, feritin, hemosiderin, dan mioglobin dan ekstrasel untuk afinitas tinggi zat besi mengikat protein seperti laktoferin dan transferin. (Podschun dan Ullman, 1998). 2.12 Gejala Klinis Klebsiella pneumoniae Bakteri Klebsiella pneumonia ini menginfeksi saluran pernapasan terutama paru-paru serta dapat mengakibatkan pneumonia, nasal mucosa atrophy dan rhinoscleroma. Selain itu dapat pula menginfeksi saluran kemih pada manusia usia lanjut dan kelenjar susu pada hewan. Gejala umum yang terlihat biasanya demam dan batuk dengan sputum berwarna merah (Janda dan Abbott, 2006). Gejala klinis pneumonia sangat bervariasi, dari yang ringan sampai paling berat. Stadium awal radang paru-paru berupa hiperemia pulmonum, yang selanjutnya diikuti gejala dispnoe atau sesak nafas, dan pemafasan frekuen dengan tipe abdominal. Respirasi cepat dan dangkal merupakan gejala utama dari pneumonia stadium awal. Gejala klinis lain yang sering timbul adalah anoreksia, lesu, mukosa sianosis, adanya peningkatan suhu pulsus, dan perubahan auskultasi dan perkusi paru-paru. Selanjutnya dikatakan bahwa pneumonia dalam beberapa hari akan menimbulkan gejala berupa batuk, keluar leleran dari hidung, pada keadaan akut suhu tubuh meningkat, kadang-kadang mencapai 42°C. Hewan berdiri dengan kaki diabduksikan dan kepala merunduk (Yuriadi dan Tjahajati, 2002). 25 2.13 Perubahan patologi anatomi Klebsiella pneumoniae Bakteri Klebsiella pneumonia ini menginfeksi saluran pernapasan terutama paru-paru serta dapat mengakibatkan pneumonia (Janda dan Abbott, 2006). Retnowati dan Nugroho (2015), menjelaskan bahwa gangguan pada paru-paru salah satunya dapat disebabkan oleh infeksi penyakit dan akan menimbulkan manifestasi peradangan pada tiap lobusnya. Peradangan yang terjadi pada paruparu sering disebut dengan pneumonia. Manifestasi pneumonia pada sapi dapat diakibatkan oleh virus, bakteri atau kombinasi keduanya, parasit metazoa dan agen-agen fisik/kimia lainnya. Beberapa penyakit bakteri diketahui dapat mengakibatkan perubahan patologi pada paru-paru sapi misalnya seperti penyakit ngorok sapi atau sering dikenal juga dengan Septicemia epizootica (SE), Tuberkulosis dan Klebsiellosis. Serta bisa juga akibat dari bakteri saluran pencernaan seperti golongan bakteri Enterobacteriaceae sp. Terdapat beberapa bentuk pneumonia yang pernah dilakukan penelitian oleh Retnowati dan Nugroho (2015), yaitu : atelektasis, pneumoni intersisial, pneumoni aspirasi, edema pada lobarpneumoni dan lobarpneumoni disertai adanya pus (nanah). 2.14 Metode diagnostik untuk memeriksa adanya Klebsiella pneumoniae Diagnosis infeksi Klebsiella dibuat atas dasar pemeriksaan klinis, isolasi dan identifikasi organisme. Identifikasi laboratorium biasanya dilakukan pada kultur jaringan, pewarnaan gram dan serangkaian tes biokimia. Isolasi bakteri 26 membutuhkan waktu sampai 24 jam dan tes biokimia membutuhkan waktu sampai 48 jam (Mansour et al., 2014). Isolasi Klebsiella pneumoniae dapat dilakukan dengan mengkultur sampel pada beberapa media agar yaitu : SCAI agar (koloni Kuning berbentuk kubah dan berlendir), EMB agar (koloni gelap tidak metalik dan Berlendir), BCP agar (koloni kuning berlendir) dan MacConkey (Sharma et al., 2014). Media agar MacConkey dengan koloni yang ditanam terlihat koloni berwarna merah muda dengan latar belakang agak kekuningan. Koloni yang terlihat kurang lebih berbentuk kubah, berukuran 3-4 milimeter dengan aspek berlendir dan kadangkadang lengket (Brisse et al., 2006). Pewarnaan gram menggunakan pewarnaan diferensial karena membedakan bakteri dalam dua kelompok (Gram positif dan Gram negatif). Hans Christian Gram memperkenalkan teknik ini pada tahun 1884. Pewarnaan gram sangat berguna untuk identifikasi mikroorganisme sebagai pembeda bakteri karena adanya perbedaan zat kimia dan fisik pada dinding sel mereka. Kristal violetiodine kompleks (CVI) terbentuk karena violet kristal dan yodium menembus sel bakteri tidak larut pada penggunaan alkohol karena lapisan peptidoglikan yang tebal pada bakteri Gram-positif. Alkohol melarutkan lapisan lipopolisakarida luar. Akibatnya, kompleks CVI larut melalui lapisan tipis peptidoglikan pada bakteri gram negatif. Pewarnaan Gram bakteri Klebsiella pneumonia menghasilkan sel merah muda hal ini dikarenakan bakteri gram negatif mengandung lapisan lipopolisakarida sebagai bagian dari dinding sel mereka. Dalam proses pewarnaan, langkah decolorizing mengganggu lapisan lipopolisakarida luar, dan CVI dicuci 27 melalui lapisan tipis peptidoglikan. Akibatnya, sel-sel muncul berwarna sampai pewarnaan counter dengan safranin, setelah itu bakteri muncul berwarna merah muda (Tiwari et al., 2009). Menurut Cowan (1974) dan Sharma et al., (2014), untuk mengidentifikasi isolat yang dikultur maka dilakukan uji biokimia dan gula-gula disajikan seperti Tabel 2.2. Tabel 2.2. Klebsiella pneumonia dengan tes biokimia dan gula-gula Uji Biokimia dan Gula-gula Motilitas Sitrat Gas dari Glukosa Laktosa Sukrosa Methyl Red Voges Proskauer Indol Urea Triple Sugar Iron Agar Oksidase Katalase 2.15 Hasil Pada Genus Klebsiella Pneumonia + + + + + + Acid/Acid ; H2S - ; Gas + + Faktor penyebaran Mycobacterium bovis dan Klebsiella pneumoniae Penyebaran Mycobacterium bovis penyebab BTB dan Klebsiella pneumoniae penyebab Klebsiellosis memiliki beberapa faktor yang dapat mempengaruhi infeksi dan penularan, yaitu: umur hewan, lingkungan, cuaca dan manajemen peternakan (Tarmudji dan Supar, 2008). Penyebaran hewan terinfeksi di negara maju dan berkembang yang paling mungkin adalah terjadi ketika binatang liar dan peliharaan berbagi padang rumput atau wilayah (Cosivi et al., 28 1998). Sumber utama penyebaran bakteri Klebsiella pneumonia baik terhadap manusia dan hewan adalah feses yang diikuti dengan kontak melalui bahan yang terkontaminasi (Sugoro et al., 2008). Sedangkan dari hasil kajian yang lain menunjukkan bahwa infeksi dan penularan tuberkulosis pada hewan rentan dapat melalui saluran pernafasan (Tarmudji dan Supar, 2008). Infeksi tuberkulosis dari hewan liar ke sapi dapat terjadi secara horizontal dengan perantaraan cemaran Mycobacterium bovis pada rumput, air dan udara. Infeksi diantara sapi penderita tuberkulosis ke sapi lain yang rentan dapat terjadi melalui saluran pencernaan. Infeksi secara vertikal dapat terjadi, tetapi kasusnya sangat sedikit. (Tarmudji dan Supar, 2008). Tuberkulosis pulmonal atau exstrapulmonal akan tetap tinggi apabila prevalensi infeksi pada sapi amat tinggi, karena terjadinya penularan dari susu atau produknya yang tidak mengalami pemanasan terlebih dahulu dan terjadi penularan secara aerosol pada pemeliharaan sapi atau pekerja kandang (Poeloengan et al., 2014). Selain faktor tersebut, lalulintas ternak juga menjadi faktor pemicu dalam penyebaran penyakit. Dalam perdagangan bebas saat ini, diwajibkan menyertakan perjanjian Free Trade Agreements (FTA) yang bertujuan untuk mengurangi halangan dalam melakukan perdagangan antara dua negara atau lebih, dan tidak menutup kemungkinan akan memudahkan terjadinya penyebaran penyakit antar negara. 29 2.16 Konsep Epidemiologi Epidemiologi adalah kajian penyakit dalam populasi dan faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian suatu penyakit. Menurut Sumiarto (1998), penyidikan penyakit hewan di dalam populasi berupaya menjawab empat pertanyaan dasar yaitu keberadaan penyakit dan arasnya, penyebab, strategi pengendalian, dan biaya pengendalian penyakit. Kajian epidemiologi pada dasarnya menggunakan pendekatan holistik untuk mencari, mengumpulkan, dan menganalisis data kejadian penyakit serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Prevalensi adalah bagian dari studi epidemiologi untuk menganalisa penyakit yang memiliki pengertian jumlah orang/hewan dalam populasi yang mengalami gangguan penyakit, atau dalam kondisi tertentu pada suatu waktu yang dihubungkan dengan besar populasi darimana kasus itu berasal. Prevalensi pada intinya memberikan informasi tentang derajat penyakit yang berlangsung dalam populasi pada satu titik waktu. Adapun faktor-faktor yang disidik untuk melihat kemungkinan yang bertindak sebagai penyebab penyakit ialah, faktor lingkungan, hospes, dan agen (Martin et al., 1987). Kajian epidemiologi dapat memberikan informasi secara komprehensif yang diperlukan untuk mencegah terjadinya penyakit pada populasi melalui pengendalian faktor–faktor yang berpengaruh (Sumiarto, 1997). 30