Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008 PENURUNAN KUALITAS DAGING SAPI YANG TERJADI SELAMA PROSES PEMOTONGAN DAN DISTRIBUSI DI KOTA SEMARANG (Reduction of Beef Quality During Slaughtering and Distribution in Semarang City) MUKH ARIFIN, B. DWILOKA dan D.E. PATRIANI Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang ABSTRACT A survey has been conducted to trace reduction of beef quality during the period of slaughtering and distribution in Semarang City. Total Plate Count (TPC), Eber Test Value, and Volatile Reducing Substance (VRS) were measured to beef samples taken from 15 beef carcasses from 10 butschers at Penggaron Abattoir, beef samples of those carcasses were also taken from six traditional beef markets, and its consumers. It was found that TPC, Eber Test, and VRS values were increased during slaughtering and distribution. The average of those values were increased from 1.04x107 to 1.22x108, and 2.77x108 CFU/g for abattoir, distributor, and consumers, respectively. Eber test value decreased from 4.139 to 3.275 and 2.199 minutes for the abattoir, distributors, and consumers, respectively. Whereas VRS value increased from 4.72, 13.43 and 18.47 microequivalent/g, for the abattoir, distributors, and consumers, respectively. Based on the result of the survey, it can be concluded that the beef quality was decreasing during the process of slaughtering and distribution. Key Words: Beef, TPC, Eber Test, VRS ABSTRAK Survey untuk mengetahui perubahan kualitas daging sapi selama proses pemotongan dan distribusi di Kota Semarang telah dilakukan melalui penelusuran terhadap perubahan variabel kandungan total bakteri, kecepatan proses kebusukan dan nilai Volatile Reducing Substance (VRS) yang terjadi sejak dari proses di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) sampai ke tangan konsumen. Sampel daging sapi diambil dari RPH, Pasar Banteng, Pasar Gayam, Pasar Pedurungan, Pasar Mrican, Pasar Wonodri, dan konsumen, semuanya di Kota Semarang. Lokasi pasar dan konsumen tempat pengambilan sampel ditentukan menggunakan metode acak terpilih. Variabel kandungan bakteri total diukur dengan metode Total Plate Count (TPC), kecepatan proses kebusukan dengan Uji Eber, sedangkan nilai VRS dengan metode VRS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan mikroba dalam daging meningkat selama distribusi dari RPH sampai ke pasar dan konsumen. Daging sapi dari RPH Kota Semarang memiliki rata-rata jumlah total bakteri sebanyak 1,04 x 107 CFU/g, di tingkat pedagang sebanyak 1,22x108 CFU/g dan saat sampai di tangan konsumen sebanyak 2,77 x 108 CFU/g. Rata-rata kecepatan waktu kebusukan daging sapi dari RPH selama 4.139 menit, distributor pasar 3.275 menit dan konsumen adalah 2,199 menit. Rata-rata nilai VRS daging sapi dari RPH menunjukkan nilai angka 4,722 mikroekivalen/g, dari distributor menunjukkan angka 13,43 mikroekivalen/g, sedangkan rata-rata angka VRS daging sapi dari konsumen 18,47 mikroekivalen/g. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa selama proses distribusi dari RPH sampai ke konsumen di kota Semarang, daging sapi mengalami penurunan kualitas sehingga tidak layak untuk dikonsumsi. Kata Kunci: Daging Sapi, Total Bakteri, Uji Eber, VRS PENDAHULUAN Daging sapi merupakan bahan pangan asal ternak yang memiliki peran ganda, baik dari segi ketahanan pangan maupun perekonomian. Dari sisi ketahanan pangan, daging sapi mengandung gizi yang dibutuhkan oleh tubuh manusia untuk pertumbuhan dan kesehatan, sehingga ketersediaan daging ini memiliki arti yang sangat penting dalam ketahanan pangan. 99 Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008 Dari sisi perekonomian, pemenuhan kebutuhan daging sapi secara nasional berhubungan dengan indikator-indikator penting dalam perekonomian, karena daging sapi termasuk dalam 9 komoditas penyumbang utama laju inflasi di Indonesia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa daging sapi merupakan komoditas penting yang ketersediaannya patut mendapatkan perhatian oleh semua pihak. Walaupun daging sapi termasuk dalam komoditas penting, di Kota Semarang permasalahan keamanan pangan asal komoditas ini belum mendapatkan perhatian yang memadai, baik oleh pemerintah kota, produsen, pedagang, maupun konsumen. Kondisi ini ditandai oleh sering munculnya kasus-kasus keamanan daging sapi, seperti: keracunan, ancaman penyakit menular, pemalsuan daging sapi dengan babi, dan penggunaan bahan pengawet berbahaya. Rendahnya kesadaran para pihak terhadap pentingnya memperhatikan keamanan daging yang beredar pada masyarakat, diantaranya disebabkan oleh masih minimnya informasi mengenai rendahnya tingkat keamanan daging yang dikonsumsi oleh masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, maka dilakukan penelitian untuk mengungkap fakta terjadinya penurunan kualitas daging selama proses pemotongan hingga distribusi yang disebabkan oleh rendahnya tingkat kebersihan dan kesehatan selama proses dan distribusi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan kualitas secara mikrobiologi dari daging sapi yang beredar di Kota Semarang dari Rumah Potong Hewan (RPH), pasar-pasar tradisional hingga ke konsumen. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan informasi yang dapat menggugah para pihak untuk melakukan perbaikan tata distribusi daging dalam memenuhi kebutuhan masyarakat secara sehat dan aman. MATERI DAN METODE Penelitian ini telah dilaksanakan di Kota Semarang pada bulan Mei – Juli 2007, lokasi penelitian ini difokuskan di RPH Kota Semarang, pasar-pasar tradisional di Kota Semarang yaitu di Jalan Banteng, Pasar 100 Gayam, Pasar Pedurungan, Pasar Mrican, dan Pasar Wonodri. Penelitian dilakukan dengan metode survey dengan obyek penelitian berupa daging sapi yang berasal dari RPH Penggaron, baik yang masih baru maupun yang sudah beredar di pasar-pasar tradisional tersebut. Penelusuran kualitas daging dalam penelitian ini dilakukan dengan mengikuti jalur distribusi daging yang ada di Kota Semarang, sesuai dengan hasil wawancara dengan para pedagang besar di RPH. Konsumen daging dilacak dari para pedagang daging di pasarpasar tradisional tersebut. Sampel daging diambil secara bertingkat dari jagal di RPH, pedagang di pasar tradisional, dan konsumen. Di tingkat RPH sampel daging diambil dari 10 jagal yang dipilih secara acak dari 15 jagal yang ada di RPH, kemudian 15 sampel dari 15 orang pedagang pasar tradisional yang menyebar masing-masing 3 orang dari 5 pasar tradisional, sedangkan 15 sampel dari konsumen diambil 1 orang pembeli untuk masing-masing pedagang pasar tradisional. Semua sampel yang diambil, baik dari jagal di RPH, pedagang pasar maupun konsumen diambil dari potongan paha yang berasal dari karkas yang sama. Selang waktu pengambilan sampel dari tingkat RPH, pedagang pasar dan konsumen diusahakan sama, yaitu 2 jam. Variabel penelitian ini meliputi: total bakteri (TPC), kecepatan proses kebusukan (Uji Eber), dan volatile reduction substance (VRS). Total bakteri dianalisis menggunakan metode TPC (FARDIAZ, 1993), kecepatan proses kebusukan diuji menggunakan metode uji Eber (BINTORO, 2006), sedangkan variabel VRS dianalisis mengikuti metode SPI-KAN PPK (1981). Data diperoleh dari hasil penelitian dianalisis menggunakan metode deskriptif analitik (SUGIYONO, 2005). HASIL DAN PEMBAHASAN Selama proses distribusi daging sapi asal RPH Kota Semarang mengalami penurunan kualitas yang cepat, hal ini dicerminkan oleh peningkatan total bakteri, kecepatan waktu proses kebusukan dan peningkatan kadar VRS (Tabel 1). Bahkan kualitas daging saat sampai di tangan konsumen secara mikrobiologis sudah tidak layak lagi untuk dikonsumsi. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008 Tabel 1. Rata-rata total bakteri, waktu kebusukan dan kadar VRS daging sapi yang beredar di Kota Semarang Lokasi pengambilan sampel Variabel penelitian RPH Pedagang Pasar 7 TPC (CFU/g) 6 8 Konsumen 7 2,77x108 ± 1,37 x 108 1,04 x 10 ± 8,19 x 10 1,22x10 ± 9,25 x 10 Uji Eber (menit) 4,139 ± 0,588 3,275 ± 0,423 2,119 ± 0,629 VRS (µeq/g) 4,72 ± 1,437 13,43 ± 3,464 18,47 ± 5,359 SNI 01-3932-1995 TPC = 5x105 CFU/g CFU/g Dilihat dari nilai TPC, sejak dari RPH daging sapi yang dihasilkan sudah dalam kondisi terkontaminasi bakteri dan selama proses distribusi kondisinya semakin memburuk (Gambar 1). Kontaminasi bakteri dalam proses pemotongan ternak sangat mungkin terjadi, sebab proses pemotongan, khususnya pengulitan dan pengeluaran jerohan merupakan titik paling rentan terhadap terjadinya kontaminasi dari bagian luar kulit dan isi saluran pencernaan (BUCKLE et al., 1987). Apalagi tingkat kebersihan fasilitas dan operator pemotongan RPH Kota Semarang yang rendah, maka dugaan terjadinya kontaminasi bakteri selama proses pemotongan menjadi semakin meyakinkan. Sebagai gambaran di USA dengan tingkat kebersihan RPH yang tinggi saja CONSUMER REPORT (2002) melaporkan bahwa, kontaminasi 3.00E+08 2.50E+08 2.00E+08 1.50E+08 1.00E+08 5.00E+07 0.00E+00 Enchericia coli 0157:H7 dari permukaan kulit ke daging masih ditemukan di pasar daging sapi. Kontaminan bakteri, di samping berasal dari bagian tubuh ternak sewaktu masih hidup, juga dapat berasal dari lingkungan sekitar tempat pemotongan. Salmonellosis merupakan salah satu kontaminan karkas dan daging yang berasal dari lingkungan proses pemotongan (SOEPARNO, 1998), E. coli juga sering ditemukan, melalui kontaminan air baku yang tidak bersih (KOOHMARAIE, 2005). BUCKLE et al. (1987) menyatakan bahwa sumber pencemaran mikroorganisme diantaranya lalat yang berasal dari tempat penyembelihan daging, tanah pada ruang penyembelihan. Sumber kontaminan juga dapat bersumber dari para pekerja RPH yang kurang higienis. 2,77E+08 1.22E+08 1.04E+07 RPH DIST KONS Tempat penelitian Gambar 1. Peningkatan total bakteri daging sapi selama proses distribusi 101 Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008 Temuan peningkatan jumlah kontaminan bakteri di dalam daging sapi selama pasca pemotongan dimungkinkan terjadi karena proses pengangkutan dan cara menjajakan daging yang tidak memenuhi aspek higiene dan sanitasi. Kontaminasi bakteri pada daging sapi pada tingkat pedagang pasar ternyata bukan hanya terjadi di Indonesia. Di USA, Center for Disease Control and Prevention (1997) mengidentifikasi adanya kontaminan E. Coli O157 : H7 pada daging sapi beku yang beredar di pasar, semantara RADU et al. (1998) melaporkan adanya kontaminan E. Coli O157 : H7 pada daging sapi yang dijajakan pedagang pasar di Malaysia. Walaupun kejadian kontaminasi bakteri pada daging sapi tidak hanya ditemukan di Indonesia, namun kontaminasi bakteri pada daging sapi yang ditemukan di Kota Semarang tersebut sangat memprihatinkan, karena konsentrasinya sudah di atas SNI No. 01-3932-1995 (DIREKTORAT STANDARISASI KOMODITI PERTANIAN, 2000). Penanganan distribusi daging dari RPH ke pasar yang kurang bersih juga dapat meningkatkan kontaminasi mikroorganisme pada daging. Pada kasus distribusi daging di Kota Semarang, daging dibawa ke pasar sudah dalam keadaan dipisahkan dengan tulang dan lemak, kemudian dikemas dengan menggunakan karung plsatik, dan langsung dibawa ke pasar menggunakan alat angkut yang tidak higienis. Pengangkutan daging dalam bentuk irisan kecil dan memisahkan antara lemah dan daging dapat meningkatkan kotaminasi bakteri. MILLER et al. (1995) melaporkan insiden kontaminasi bakteri aerobik, asam laktat dan koliform serta E. coli patogen pada karkas sapi yang dihilangkang lemaknya pada penyimpanan konvensional selama 24 jam. Kemasan berupa karung plastik jua memberikan kontribusi yang cukup besar dalam meningkatkan kontaminasi bakteri pada daging, karena masih terdapat celah yang memungkinkan mikroorganisme dapat mengkontaminasi yang menyebabkan daging cepat busuk. Pada kasus ini kaidah pengemasan daging segar (BAHAR, 2003) untuk mencegah dehidrasi, masuknya bau rasa asing dari luar kemasan dan dapat melewatkan oksigen seperlunya ke dalam kemasan sehingga warna cerah dapat dipertahankan, paling tidak selama dijajakan tidak dipenuhi. Pengemasan daging segar bukan bertujuan 102 untuk mengeliminasi kerusakan yang disebabkan oleh aktifitas mikrobial. Sentuhan tangan maupun alat-alat yang digunakan tidak dapat dihindari (FRAZIER dan WESTHOFF, 1981). Pengangkutan daging yang dilakukan oleh pedagang pasar di Kota Semarang tidak sesuai dengan SNI 01-6159-1999 boks pada kendaraan untuk mengangkut daging harusnya tertutup, boks dilengkapi dengan alat pendingin yang dapat mempertahankan suhu bagian dalam daging 7°C. Potongan-potongan subprimal yang berasal dari potongan primal dikemas dalam plastik dan kotak, ditempatkan dan disimpan, dilengkapi dengan alat pendingin dan didistribusikan dalam keadaan dingin. Peningkatan jumlah bakteri pada daging saat sampai di tangan konsumen diperparah oleh kurang bersihnya kondisi pasar-pasar tradisional sebagai tempat distribusi daging dari RPH. Pedagang pasar pada umumnya tidak melakukan praktek higienes, kebiasaan cuci tangannya masih buruk, tidak menggunakan celemek khusus yang bersih selama berjualan. Bakteri yang berasal dari tangan penjual dan pembeli di pasar yang bergantian memegang daging sapi, menambah kontaminasi bakteri makin tinggi (WINARNO,1993) Lingkungan sekitar tempat penjualan daging seperti tempat air buangan, lantai, dinding, pembuangan sampah, serta blok penjualan daging sapi di pasar Gayam, Pedurungan, MRICAN dan WONODRI yang berada di sekitar tempat penjualan ikan yang tingkat kelembabannya tinggi menjadi sumber pencemaran bakteri. Kondisi lantai pasar yang kotor dengan tanah juga merupakan kontaminan terhadap daging yang berada dalam pasar. Bakteri anaerobik pembentuk spora dan gas misalnya Clostridium botulium, dapat ditemukan di dalam tanah, air dan ikan (SOEPARNO,1998). Tanah mengandung bakteri sebanyak 1,6x105 CFU/g, lantai, dinding, langit-langit pasar yang berkonstruksi buruk dapat membawa bakteri Streptococcus aureus (LAWRIE, 1995). Hasil uji Eber dan VRS pada penelitian ini juga mengindikasikan kehadiran bakteri pembusuk pada daging sapi saat sampai ke tangan konsumen sudah berkembang lebih cepat dibandingkan dengan waktu dari RPH maupun pedagang pasar. Seperti diketahui kebusukan daging sapi dapat terjadi karena: (1) aktivitas mikroorganisme; (2) ketersediaan Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008 Lama reaksi (menit) oksigen dari lingkungan tempat menyimpan daging; dan (3) kandungan nutrisi dalam daging (ROMANS et al., 1985). Kebusukan ini identik dengan adanya aktivitas bakteri pembusuk yang sudah berkembang relatif besar pada daging saat sampai ke tangan konsumen (Gambar 2 dan 3), mengakibatkan kerusakan daging di tandai oleh terbentuknya senyawa berbau busuk seperti amonia H2S, indol dan amin, yang merupakan hasil pemecahan protein dari mikroorganisme (SIAGIAN, 2002). Pembusukan daging juga berarti penguraian bakterial terhadap bahanbahan organis secara intensif, yang antara lain membentuk gas-gas berbau, sehingga sangat 5 4 3 2 1 0 berpengaruh terhadap turunn0ya nilai gizi dari daging Dengan demikian, maka nilai gizi daging sapi pada saat sampai ke tangan konsumen sudah mulai berkurang, akibat dari proses pembusukan. Penurunan nilai gizi pada daging akibat proses pembusukan pada penelitian ini juga memungkinkan diikuti oleh ancaman keracunan bagi konsumen. Penurunan nilai gizi pada daging saat sampai di tangan konsumen telah dikonfirmasi oleh peningkatan nilai VRS yang menggambarkan terjadinya degradasi komponen lemak yang disebabkan oleh aktifitas mikroorganisme. Nilai VRS menunjukkan komponen volatil yang dapat 4,139 3.275 2.199 RPH DIST KONS Tempat penelitian Gambar 2. Kecepatan waktu pembusukan daging sapi selama proses distribusi Mikroekivalen/g 25 20 18.47 15 13.43 10 5 4.722 0 RPH Distributor Konsumen Tempat penelitian Gambar 3. Peningkatan kadar VRS daging sapi selama proses distribusi 103 Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008 mereduksi pecahan dari lemak menjadi komponen-komponen yang lebih sederhana dan bersifat mereduksi serta mudah menguap. Dengan semakin lamanya distribusi daging maka akan semakin meningkat nilai VRS. PHILLIPS et al. (2006) menyebutkan bahwa penurunan mutu daging dapat menimbulkan senyawa toksik sehingga produk menjadi kurang aman untuk dikonsumsi, kehilangan zat-zat gizi dan perubahan warna, tekstur, bau dan rasa ke arah yang tidak disukai dan diterima oleh konsumen. (PHILLIPS et al., 2006). KESIMPULAN Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kualitas daging sapi yang dihasilkan dari proses pemotongan di RPH dan didistribusikan kepada konsumen di Kota Semarang tidak memenuhi SNI 01-3932-1995. Hal ini disebabkan oleh buruknya fasilitas dan proses penanganan daging mulai dari pemotongan ternak sampai dengan pengangkutan dan penjualan. Oleh karena itu dapat disarankan perlunya perbaikan pada pemotongan dan sistem distribusi daging sapi di Kota Semarang. DAFTAR PUSTAKA BAHAR, B, 2003. Memilih Produksi Daging Sapi. PT. Gramedia Pustaka Utama IKAPI, Jakarta. BINTORO, V.P, 2006. Teknologi Pengolahan Daging dan Analisa Produk. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. BUCKLE, K.A., R.A. EDWARD, G.H. FLEET dan M. WOOTTON, 1987. Ilmu Pangan. Universitas Indonesia Press, Jakarta (diterjemahkan oleh H. Purnomo dan Adiono). CENTER FOR DESEASE CONTROL AND PREVENTION. 1997. Escherichia coli O157:7 infections asociated with eating a nationally distributed commercial brand of frozen ground beef patties and burgers. Jama-Chicago. 278(11): 891. CONSUMER REPORT. 2002. Seeing red spoiled meat may look fresh. Consumer Report. Yonkers 71(7): 51. 104 DIREKTORAT STANDARISASI KOMODITI PERTANIAN. 2000. SNI 01-3932-1995 Karkas Sapi, Jakarta. FARDIAZ, S, 1993. Analisis Mikrobiologi Pangan. Raja Grafindo Persada, Jakarta. FRAZIER, W.C. and D.C. WESTHOFF, 1981. Food Microbiology, 3rd Ed. McGraw Hill Company, London. KOOHMARAIE, M, 2005. Post harvest Interventions to Reduce/Eliminate Pathogens in Beef. Meat Animal Research Center, New York. LAWRIE, R.A, 1995. Ilmu Daging. Edisi Kelima. UIPress, Jakarta (Diterjemahkan oleh Parakkasi). MILLER, M.F., D.B. BAWCOM, C.K. WU, M.K. MEADE, dan C.B. RAMSEY, 1995. Microbiology of hot-fat-trimmed beef. J. Anim. Sci. Savoy. 73(5);1368. PHILLIPS, D. J, S. J MORIS, AND S. J. IAN, 2006. A National Survey of The Microbiological Quality of Beef Carcasses and Frozen Boneless Beef. International Association for Food Protection, Sidney. RADU, SON, MUTALIB, S. ABDUL, RUSUL, GULAM, AHMAD, dan Zainori. 1998. Detection of Escherichia coli O157:H7 in beef marketed in Malaysia. Applied and Environmental Microbiology 64(3): 1153 – 1156. ROMANS, J.R, W.J, COSTELLO, C.W, CARLSON, M.L, GEASER, and K.W JONES, 1985. The Meat We Eat. 13th Ed. The Interstate Publishers, Inc, Illinois. SIAGIAN, A, 2002. Mikroba Patogen Pada Makanan dan Sumber Pencemarannya. Universitas Sumatera Utara (USU-press), Medan. SPI-KAN (Standar Pertanian Indonesia Subsektor Perikanan), 1981. Metode Analisis SPI-KAN. Direktorat Jendral Perikanan, Departemen Pertanian, Jakarta. SOEPARNO, 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. SUGIYONO, 2005. Statistika untuk Penelitian. CV Alfabeta, Bandung WINARNO, F. G, 1993. Pangan, Gizi, Teknologi dan Konsumen. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.