INTERAKSI SIMBOLIS DALAM MENDEKATI FENOMENA PENGUNGKAPAN DIRI DI MEDIA BARU Rulli Nasrullah* & Sugiharto* ABSTRAK Pengungkapan diri menjadi salah satu fenomena sosial-budaya yang terus mengalami perkembangan. Apalagi dengan kemajuan teknologi seperti internet memungkinkan individu untuk mengkonstruksi dirinya menjadi jauh lebih terbuka dibandingkan sebelum kemunculan media baru tersebut. Facebook, sebagai salah satu situs jejaring sosial di internet, memberikan fasilitas atau ruang bagi pengguna untuk mengkisntruksi profil dirinya dan di sisi lain informasi inilah yang tidak hanya bisa diakses oleh sipemilik akun, melainkan juga bisa dibaca oleh semua orang yang terkoneksi ke situs jejaring sosial. Media pada dasarnya bukanlah menjadi cermin dari realitas, melainkan sudah menjadi realitas itu sendiri. Konstruksi identitas ini Untuk mengetahui fenomena ini pendekatan melalui teori interaksi simbolik dalam perspektif kajian budaya menjadi salah satu teori yang dapat digunakan. Kata Kunci: identitas, media baru, keterbukaan diri Pendahuluan Relasi merupakan bagian terpenting dari suatu sistem di antara individu. Apabila ada dua atau lebih individu melakukan komunikasi, sebenarnya mereka sedang membangun dan mendefinisikan relasi atau hubungan di antara mereka. Menurut Littlejohn (1996: 250), People in relationship are always creating a set of expectations, reinforcing old ones, * Dosen Komunikasi Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. e-mail: [email protected] * Dosen Manajemen Dakwah Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. e-mail: 127 or changing an existing pattern of interaction. Individu-individu yang berada dalam hubungan selalu menciptakan sekumpulan harapan, memperkuat harapan-harapan lama, atau merubah sebuah pola interaksi yang sudah ada. Tidak dapat dipungkiri bahwa hubungan terjalin karena adanya interaksi. Sebagaimana dicontohkan Littlejohn, jika suatu hubungan kepatuhan yang dominan muncul dalam suatu perkawinan, maka akan ada seseorang yang memegang kendali atas pasangannya. Begitu juga komunikasi yang terjadi antarpekerja di organisasi atau perusahaan sangatlah ditentukan oleh status dalam organisasi yang muncul dalam hubungan tersebut bahwa seseorang atau beberapa orang memiliki status yang lebih tinggi dari pekerja lainnya. Namun, hubungan yang berdasarkan status di perusahaan ini akan menjadi berubah apabila di antara kedua pekerja yang berbeda status tersebut kembali ke rumah dan mereka tinggal bertetangga; bisa jadi hubungan yang pada awalnya dibatasi oleh etika dan atau peraturan perusahaan menjadi sirna dan hubungan keduanya menjadi sejajar dan sopan. Ada banyak sebenarnya aturan-aturan yang implisit di dalam setiap hubungan yang sedang berjalan, baik itu berupa hubungan pertemanan, cinta, keluarga, maupun tipe-tipe hubungan lainnya. Waztlawik, Beavin, dan Jackson (1967) mengemukakan lima aksioma dasar berkaitan dengan komunikasi. Pertama, ―one cannot not communicate” bahwa seseorang tidak mungkin untuk tidak berkomunikasi. Aksioma ini menegaskan dalam secara sadar maupun tidak setiap orang berusaha memengaruhi persepsi-persepsi orang lain. Setiap perilaku seseorang memiliki potensi yang bersifat komunikatif, meski tidak berarti bahwa setiap perilaku adalah komunikatif. 128 Kedua, ―every conversation, no matter how brief, involves two messages—a content message and relationship message”. Setiap percakapan yang dilakukan antarindividu, meski percakapan tersebut berlangsung dengan singkat, pada dasarnya percakapan tersebut mengandung dua pesan, yakni konten atau isi dari pesan dalam percakapan tersebut dan pesan yang berkaitan dengan hubungan di antara keduanya. Berkaitan dengan bagaimana hubungan ini ditransformasikan di antara keduanya, Judee Burgoon dan Jerold L. Hale (1984) melalui serangkaian penelitian untuk menemukan dimensi-dimensi dari tingkat hubungan yang terjadi dalam komunikasi memformulasikan empat dimesi dasar, yakni rangsangan emosional, ketenangan, dan formalitas; keintiman dan kemiripan; kedekatan atau kesukaan; dan dominasi-kepatuhan. Ketiga, “interactions is always organized into meaningful patterns by the communicators. This is called punctuation”. Oleh komunikator interaksi selalunya terorganisasi dalam pola-pola makna tertentu. Ini yang disebut dengan pengelompokan. Bahwa tahapan-tahapan interaksi, seperti halnya kalimat, tidak dapat dipahami sebagai rangkaian elemen yang terpisah, melainkan berada dalam suatu kelompok atau terorganisir. Interaksi di permukaan mungkin terlihat seperti sekelompok perilaku verbal dan nonverbal, misalnya rangkaian bunyi dalam suatu kalimat, sehingga komunikasi yang terjadi tidak sekadar rangkaian yang sederhana. Oleh sebab itu, Waztlawik, Beavin, dan Jackson mengumpulkan perilaku ke dalam unit-unit yang lebih besar yang membantu pendefenisian pengertian daru keseluruhan rangkaian tindakan. Pengelompokkan ini pada dasarnya sebagian besar berdasarkan persepsi pribadi dan tidak ada sebuah jaminan tentang adanya keseragaman bahwa semua partisipan dalam komunikasi akan 129 membuat pengelompokan yang sama dari unit-unit tersebut (Littlejohn, 1996:252). Asumsi keempat, ―people use both digital and analogic codes”. Bahwa setiap individu dalam proses komunikasi menggunakan kode-kode baik yang digital maupun analog. Pengkodean digital sifatnya pilihan dikarenakan meski tanda (sign) dan petunjuk (referent) saling berkaitan, namun keduanya tidak memiliki hubungan intrinsik di antaranya. Sementara kode analog tidak bersifat pilihan dan kode-kode atau tanda analog dapat benar-benar menyerupai objeknya dan bisa juga merupakan bagian dari objek atau kondisi yang sedang digambarkan. Kaitannya dengan interaksi dan perilaku, antara kode digital dan analog saling berbaur serta saling memainkan fungsi yang berbeda. Kode digital mengkomunikasikan dimensi isi sementara kode analog merupakan media dalam penyampaian isi tersebut. Kelima, “communicators may respond similarly to or differently from one another”. Bahwa dalam hubungannya dengan kesamaan dan perbedaan pesan dalam interaksi, aksioma ini menekankan adanya kemungkinan besar bahwa para komunikator akan merespon secara berbeda, baik itu isi pesan dipersepsikan sama oleh para komunikator maupun sebaliknya. Apabila interaksi komunikasi ini terjalin dengan banyaknya persamaan dan minimnya perbedaan antarpihak komunikator, maka hubungan tersebut merupakan hubungan yang simetris (a symmetrical relationship). Sebaliknya, apabila banyaknya perbedaan antarpihak komunikator, maka hubungan yang terjadi adalah hubungan yang bersifat komplementer relationship). Teknologi Komunikasi Termediasi Komputer 130 (a complementary Perkembangan teknologi telah membuat pergeseran model transmisi pesan komunikasi dari satu sumber terorganisir ke massa yang memosisikanwargasebagai pihak yang pasif.wargakini tidak sekadar anggota massa semata; ia menjadiwargayang aktif dan secara sadar telah memiliki kemampuan untuk menentukan sendiri informasi apa yang akan diperoleh (McQuail, 2005). Bahkan tidak hanya melakukan seleksi informasi – sekaligus media yang dipilih untuk mendapatkan informasi tersebut— melainkan jugawargakini secara aktif dan ―berkuasa‖ telah menggunakan media untuk mentransformasikan pesan yang berasal dari mereka (McNamus, 1994). Situs jejaring sosial seperti Facebook merupakan salah satu medium yang bisa digunakan oleh warga yang sedang mencari pasangan hidup untuk melakukan self-discosure. Artinya,warga kini dapat mengungkapkan informasi personalnya kepada publik sekaligus bisa menetapkan beragam kriteria yang diinginkan bagi mereka yang ingin menjalin hubungan dengannya. Menurut Pearson et.al. (2003:188) ―self-discosure is important for two reasons: Disclosure allows you to develop more positive attitude about yourself and others and disclosure allows you to establish more meaningful relationship with others”. Ada dua alasan mengapa Self- discosure atau pengungkapan diri dipandang penting, yaitu (1) munculnya perilaku positif mengenai diri sendiri maupun terhadap orang lain dan (2) pengungkapan diri menegaskan arti penting dari hubungan yang sedang terjalin dengan orang lain. Karakteristik selanjutnya dari media baru adalah simulasi atau hyperreality; sebuah term yang beranjak dari teori Jean Baudrillard dalam karyanya Symbolic Exchange and Death (1993) serta Simulations and Simulacra (1994). Jean Baudrillard adalah salah satu pemikir kunci yang 131 terkait dengan postmodernitas di tahun 1970-an dengan gagasan gagasan simulasi - suatu efek dimana masyarakat semakin berkurang tingkat kesadaran mereka terhadap apa yang ‗real‘ karena imaji yang disajikan oleh media. Bahwa setiap individu pada akhirnya akan termediasi, disebut Baudrillard sebagai ‗ecstasy of communication, karena ‗hidup‘ di dalam layar komputer dan atau bahkan menjadi bagian daripadanya. Menjalani hidup dalam kunkungan ‗hyperreality‘ yang menempatkan individu antara yang nyata dan virtual, realitas dan ilusi. Menggunakan pendekatan semiotika tentang hubungan antara tanda dan apa yang diwakili oleh tanda tersebut, Baudrillard menyatakan bahwa tanda-tanda telah terputus dari realitas; tidak sekadar merepresentasi, melainkan mensimulasi. Term yang digunakan adalah ‗simulacra‘ yang diartikan sebagai „a copy of a copy with no original‟ (Bell, 1999:76) yang dicontohkan dengan taman bermain Disneyland. Term ini terjadi melalui empat tahap proses: pertama, tanda (sign) merupakan presentasi realitas; kedua, tanda mendistorsi realitas; ketiga, bahwa realitas semakin kabur bahkan hilang, malah tanda merupakan representasi dari representasi itu sendiri; dan keempat, bahwa tanda bukan lagi berhubungan dengan realitas—imaji telah menjadi pengganti dari realitas itu sendiri. Inilah yang menurut Bell terjadi dalam cyberspace dimana proses simulasi itu terjadi dan perkembangan teknologi komunikasi serta kemunculan media baru menyebabkan individu semakin menjauhkan realitas, menciptakan sebuah dunia baru yaitu dunia virtual. Bahwa media, dalam konsepsi Baudrillard, pada dasarnya bukanlah cerminan dari realitas, melainkan ia sudah menjadi realitas tersendiri. Inilah yang disebut Baudrillard sebagai hiperrealitas dimana media tidak lagi menampilkan realitas tetapi sudah mejadi realitas tersendiri bahkan apa yang ada di media lebih nyata (real) dari realitas itu sendiri (Ritzer and Goodman, 132 2004: 678). Realitas media merupakan hasil proses simulasi, dimana representasi yang ada di media telah diproduksi dan reproduksi oleh media itu sendiri menjadi realitas tersendiri; yang terkadang apa yang direpresentasikan berbeda atau malah bertolak belakang dari signs atau objects itu sendiri. Realitas yang ada di televisi, sebagai misal, adalah realitas baru yang disebut Baudrillard sebagai ‗simulacra‟ yang tidak hanya menjelaskan bagaimana tanda itu direpresentasikan, melainkan juga melibatkan relasi sosial dan kekuatan/pengaruh sosial (Baudrillard, 1993:52 dalam Gane and Beer, 2008:104). Bagaimana simulasi itu terjadi dijelaskan oleh Baudrillard bahwa dalam masyarakat industri saat ini, produksi tidak lagi menghasilkan penggandaan dari realitas, tetapi sudah menjadi produksi massal terhadap realitas yang identik yang terkadang sudah tdak memiliki kesamaan dengan apa yang direpresentasikan. Selanjutnya, era industri tidak lagi mereproduksi dan melakukan produksi masal terhadap objek asal, tetapi telah menghasilkan objek yang identik yang pada dasarnya objek asal sudah tidak lagi eksis atau tidak ditemukan ciri-cirinya dari objek yang diproduksi. Tahap ketiga dari simulacra Baudrillard adalah objkek yang diproduksi massal sudah tidak identik dengan objek awal. Tidak ada tanda, ciri, karakteristik, bahkan persamaan apapun dari objek yang diproduksi dan hal ini bagi Baudrillard dikarenakan teknologi dan juga media memiliki kekuatan tidak hanya untuk melakukan produksi melainkan mereproduksi tanda (signs) dan objek (objects) „there is no more counterfeiting of an original, as there was in the first order, and no more pure series as there were in the second; there are only models from which all forms proceed according to modulated differences. Only affiliation to the model has any meaning . . .‟ (Baudrillard, 1993 dalam Gane and Beer, 2008:101) Terakhir, dalam proses simulacra, bahwa tanda yang dihasilkan sudah menjadi realitas tersendiri. Tanda tidak bisa dipilah untuk menemukan 133 kesamaan dengan realitas atau tanda yang pada awalnya diproduksi. Substansi realitas awal sudah hilang, realitas yang diproduksi oleh teknologi bagi Baudrillard sudah menjadi realitas yang sama sekali baru. Berkaitan dengan media baru, bahwa teknologi telah membawa sebuah kultur yang membedakan antara yang real dan yang virtual. Manusia, sebagai user atau pengguna, telah diwakilkan oleh perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software) dalams ebuah jaringan komputer dan proses lalulintas informasi. Untuk memahami bagaimana teknologi telah memisahkan suatu realitas menjadi realitas tersendiri secara virtual, produksi identitas di internet bisa menjadi gambaran bagaimana tahapan simulacra Baudrillard itu terjadi. Menurut Tim Jordan (1999:60) ada dua kondisi yang bisa menggambarkan bagaimana keberadaan individu dan konsekuensinya dalam berinteraksi di internet, yaitu (1) untuk melakukan koneksitas di cyberspace setiap orang harus melakukan logging in atau melakukan prosedur tertentu-seperti menulis username dan password--untuk membuka akses ke e-mail, situs jaringan sosial, atau laman web lainnya. Ketika prosedur tersebut dilalui, maka individu akan mendapatkan semacam their own individualised place di mana setiap individu mendapatkan laman khusus yang hanya bisa diakses oleh individu tersebut saja atau yang biasa disebut dengan istilah akun(account); (2) memasuki dunia virtual kadangkala juga melibatkan keterbukaan dalam identitas diri sekaligus juga mengarahkan bagaimana individu tersebut mengidentifikasikan atau mengkonstruk dirinya di dunia virtual. Pengguna Facebook, sebagai misal, harus memasukkan informasi dirinya seperti nama, tempat tanggal lahir, pendidikan, hobi, dan sebagainya. Informasi inilah yang tidak hanya bisa diakses oleh sipemilik akun, 134 melainkan juga bisa dibaca oleh semua orang yang terkoneksi ke situs jejaring sosial. Penggambaran lain dari kondisi di atas adalah dunia MUD. Menurut istilah MUD berasal dari Multi-User Dungeons atau bisa juga Multi-Usser Dimensions (Stone,1995:68-70; Turkle, 1995:11-14). Secara terminologi MUD diartikan sebagai sebuah program komputer yang diatur sedemikian rupa sehingga dapat diakses oleh beragam user dalam satu waktu secara bersamaan. Program seperti ini memberikan setiap user yang terkoneksi, disebut dengan player (pemain), akses untuk sebuah laman, objek, dan landscape. Akses inilah yang bisa digunakan pemain untuk membangun interaksi komunikasi dengan pemain lain; membangun rumah, memakai peralatan, menjadi musuh atau kawan, atau menjalankan (program) permainan yang sudah diatur. Ada dua model program MUDs, model pertama adalah petualangan atau pertarungan (adventure MUDs) dimana setiap pemain harus menyelesaikan tugas/misi tertentu dan model sosial (social MUDs) yang hanya menjalankan interaksi sosial semata. Setidaknya ada tiga hal yang membedakan antara social MUDs dengan adventure MUDs, yakni tidak adanya target akhir yang harus dicapai, aktivitas yang dijalankan bukanlah aktivitas yang bisa menentukan aktivitas selanjutnya, dan karakter (Curtis, 1992:26; Reid,1995:165; Quitter, 1994a). Namun, karakteristik MUD terpenting berdasarkan kepada teks; semua dekripsi tentang lokasi, apa yang harus dilakukan, dan bahkan berkomunikasi dengan pemain lainnya dilakukan dengan teks yang ada di layar komputer. Saat melakukan aktivitas inilah pemain membangun jaringan, membuat pertemanan, dan pada akhirnya mengkespresikan perasaannya secara virtual dalam proses komunikasi. Individu didalam MUD dapat bertemu dengan individu lain, melakukan aktivitas virtual secara bersamaan, mengungkapkan 135 perasaan terhadap individu lain, bahkan dalam kondisi tertentu melakukan pernikahan virtual. Keberadaan tubuh menjadi sesuatu yang bisa dikreasikan oleh siapapun di dalam MUD, berbeda dengan dunia nyata dimana kita tidak bisa memilih dilahirkan sebagai wanita atau pria, berkulit putih atau hitam, dan sebagainya. The commands provided by the MUD systems enable users to weave a web of communication that ties each person into a sociocultural context. This web of verbal and textual significances that are substitutes for and yet distinct from the networks of meaning of the wider community binds users into a common culture whose specialised meanings allow the sharing of imagined realities. (Reid, 1995:183 dalam Tim Jordan, 1999:62) Interaksi virtual inilah yang pada akhirnya akan melahirkan selfdefinition dan menawarkan self-invention. Setiap individu memilki kemampuan tanpa batas untuk mengkreasikan siapa dirinya di dunia siber dan hasil kreasi itulah yang nantinya akan mewakili individu dalam memainkan perannya serta berinteraksi di internet. Pilihan untuk membuka identitasnya secara jujur dengan pilihan untuk membuat identitas palsu merupakan pilihan yang bisa diambil. Yang diperlukan dalam MUD, misalnya, hanyalah melakukan koneksi ke situs, memilih nama, memilih gender, dan menuliskan deskripsi pribadi. MUD tidak menysaratkan siapapun untuk menaruh nama aslinya agar ia bisa memiliki sebuah akun. Ketika individu telah melakukan identifikasi diri di dalam MUD, seperti memilih username dan password, maka identitas itulah pada akhirnya melahirkan individu virtual bersamaan dengan atribut-atribut yang melekat dengannya dan berlaku ‗kekal‘. Artinya, setiap individu baru bisa mengakses individu virtualnya apabila ia menggunakan identifikasi username dan password yang sama. Ketika seseorang mengungkapkan informasi dirinya dan (informasi) kriteria siapa-siapa saja yang bisa menjalin hubungan dengannya, maka hal 136 ini dimaksudkan untuk mengurangi adanya ketidakpastian dan keraguan dari hubungan yang sebenarnya ingin dijalin. Mengurangi ketidakpastian dalam hubungan interpersonal ini telah dikembangkan oleh Charles R. Berger dan Richard J. Calabrese pada tahun 1975 dalam artikel yang berjudul Some Exploration in Initial Interaction and Beyond: Toward a Developmental Theory of Interpersonal Communication yang menjelaskan bagaimana pengembangan relasi antara dua individu yang belum atau baru bertemu. Bahwa setiap individu ketika berkomunikasi dengan individu lain yang belum pernah bertemu atau baru bertemu pada awalnya mereka menempatkan diri dalam kondisi atau situasi tidak pasti (reduction) atau baru sehingga komunikasi yang terjadi pun terjadi secara biasa. Namun, seiring berjalannya waktu dan kekerapan dalam berinteraksi situasi yang tidak pasti ini akan berubah menjadi situasi yang akrab dan hubungan yang lebih dekat. Berger selanjutnya memberikan pola yang biasa dilakukan individu untuk mengurangi rasa ketidakpastian tersebut, yaitu (1) strategi pasif, setiap individu selalunya mememerhatikan kondisi dan situasi termasuk keberadaan individu lainnya; (2) strategi aktif, membuat situasi di mana kita dapat melakukan pengamatan atau membuka kemungkinan hubungan terhadap individu lain, entah itu dalam situasi yang natural atau telah direkayasa; (3) strategi interaktif yakni situasi di mana individu akan langsung menjalin komunikasi langsung dengan individu lainnya. Tahapan dalam hubungan baru yang terjalin dan informasi apa yang diungkapkan juga telah dikembangkan oleh Irwin Altman dan Dalmas Taylor (1973) dalam bukunya berjudul Social Penetration: The Development of Interpersonal Relationships yang memunculkan Teori Penetrasi Sosial. Teori ini menekankan pada bagaimana interaksi antarindividu itu terjadi; mulai dari hubungan yang asing, pendekatan yang berjarak, dan kekerabatan. 137 ―Communication moves from relatively shallow, nonintimate levels to deeper, more personal ones.‖ Bahwa setiap individu akan menempatkan dirinya beradasarkan pada posisi relasi dengan individu lain, begitu juga sebaliknya. Self Disclosure dalam Relasi Interpersonal Self-Disclosure atau pengungkapan diri merupakan salah satu konteks komunikasi relasi interpersonal. Dalam catatan Littlejohn (1996: 260) pengungkapan dan pemahaman atas pengungkapan diri tersebut merupakan tema-tema penting dalam kajian konteks komunikasi relasi interpersonal di rentang waktu antara tahun 1960 hingga 1970. Pada umumnya tema-tema self-disclosure ini merupakan konsekuensi dari aliran humanistik dalam psikologi yang memandang bahwa ideologi dari ―honest communication‖ atau komunikasi yang berlandaskan (pengungkapan diri) yang jujur merupakan cara terbaik dalam melakukan relasi interpersonal. Tema-tema tentang self-disclosure berkembang dengan pesat karena terus diperkuat dengan banyaknya penelitian maupun publikasi ilmiah tentang pengungkapan diri, salah satunya adalah Carl Rogers yang menyatakan apa yang disebut dengan ―kekuatan pihak ketiga‖ dalam psikologi mengajarkan bahwa sasaran komunikasi adalah pemahaman yang akurat tentang diri dan (diri) orang lain dan pemahaman barulah bisa terbentuk apabila komunikasi berlangsung dengan sesungguhnya. According to humanistic psychology, interpersonal understanding ocurs through self-disclosure, feedback, and sensitivy to the disclosure of others. Misunderstanding and disatisfaction in relationship are promoted by dishonesty, lack of congruence between one‟s actions and feeling, poor feedback, and inhibited self-disclosure. (Litlle John, 1996: 260) 138 Berdasarkan psikologi humanistik, menurut Rogers, pemahaman interpersonal terjadi melalui pengungkapan diri, umpan balik, dan kepekaan terhadap pengungkapan diri dari orang lain. Kesalahpahaman dan ketidakpuasan yang muncul dari jalinan hubungan tersebut merupakan akibat dari adanya ketidak jujuran salah satu pihak atau kedua pihak, kurangnya keselarasan antara tindakan-tindakan maupun perasaan yang sebenarnya, tidak terjalinnya umpan balik dari proses komunikasi sesuai dengan yang diharapkan, maupun akibat sedikitnya informasi yang didapat dari pengungkapan diri para pihak. Semakin banyak informasi yang ditampakkan, maka semakin dekat pula relasi yang terjalin antarpihak tersebut. Pengungkapan diri yang semakin besar dalam relasi interpersonal inilah yang memainkan peranan penting dalam menentukan arah bagaimana relasi yang akan dibangun. Person, Nelson, Titsworth, dan Harter dalam buku Human Communication (2003, 187-188) menegaskan kembali bahwa ―SelfDisclosure is the process of making intentional revelations about oneself that others would be unlikely to know and that generally constitute private, sensitive,or confidential information”. Proses hubungan interpersonal akan semakin dalam dan dekat tergantung dari seberapa intensitasnya para pihak melakukan pengungkapan diri --meski dalam kenyataannya pihak lain akan melakukan reisistensi terhadap informasi yang semakin dibuka-- dan informasi yang ditampakkan akan semakin pribadi, sensitif, hingga informasi-informasi penting yang hanya pihak-pihak tertentu saja bisa mengetahuinya. Altman dan Taylor (1973) dalam Social Penetration Theory menjelaskan bagaimana interaksi antarindividu itu terjadi; mulai dari hubungan yang asing, pendekatan yang berjarak, dan kekerabatan. ―Communication moves from relatively shallow, nonintimate levels to 139 deeper, more personal ones.‖ Hubungan antarindividu tergantung tidak hanya dari seberapa sering interaksi yang terjadi antara keduanya, melainkan juga karena adanya kesamaan, keselarasan tujuan dari hubungan yang terjalin, maupun lingkungan tepat di mana relasi itu terjadi. Self disclosure perlahan-lahan akan terjadi dengan semakin dekat dan seberapa dalam informasi yang ditampakkan antara keduanya. Ini yang disebut Altman dan Taylor sebagai a multilayered onion. Opini, kepercayaan, prasangka, bahkan obsesi merupakan lapisan yang mengililingi sekaligus berada bersama individu. Ketika individu mulai mengenal individu lainnya, maka setiap lapisan itu akan membuka. Bahwa setiap lapisan memiliki keluasan (breadth) dan kedalaman (depth) informasi itu sendiri. sementara Breadth bermakna banyaknya topik yang bisa dibicarakan Depth seberapa besar nilai yang terkandung di dalam topik tersebut. On the outermost shell are highly visible levels of information such dress and speech. Inside are increasingly private details about the lives, feelings, and thoughts of the participants. As the relationship develops, the partners share more aspects of the self, providing breadth as well as depth, through an exchange of information, feelings and activities. (Altman dan Taylor dalam Littlejohn, 1996:264-265) Self-disclosure dalam proses terjalinnya sebuah hubungan baru dan upaya untuk mengurangi adanya ketidak pastian sebagaimana yang diulas dalam teori Urcetainty Reduction, Berger dan Calabrese (1975) beberapa faktor yang terjadi dalam komunikasi interpersonal, yaitu verbal communication, nonverbal expressiveness, information-seeking behavior, intimacy, reciprocity, similarity, dan liking. Komunik verbal (verbal communication) merupakan tahap dimana meningkatnya jumlah komunikasi verbal yang dilakukan ketika tengah berkomunikasi dengan individu (asing) lain dapat mengurangi ketidakpastian; Ekspresi-ekspresi nonverbal atau 140 nonverbal expressiveness yang semakin beragam, bervariasi, dan secara kuantitas semakin intens akan mengurangi situasi ketidakpastian; information-seeking behavior, bahwa setiap informasi yang diungkapkan atau dipertukarkan antarindividu membawa pengaruh pada situasi ketidappastian, apabila informasi yang diungkapkan semakin banyak maka dalam tahap ini komunikasi atau hubungan akan semakin dekat dan pencarian akan informasi antarindividu pun semakin berkurang; Intimacy atau keintimanan merupakan faktor yang menjelaskan seberapa dekat antarindividu itu berhubungan, semakin dekat kualitas dan kuantitas komunikasi maka situasi ketidakpastian itu semakin berkurang; Reciprocity menjelaskan tentang adanya pertukaran informasi antarindividu yang sedang menjalin hubungan. Semakin tinggi ketidakpastian di antara keduanya, maka semakin intens pula pertukaran informasi; Semakin banyak kesamaan atau similarity secara sadar atau tidak akan mengurangi tingkat ketidakpastian dari hubungan; dan kesukaan atau kegemaran (liking) yang sama merupakan faktor yang bisa mengurangi situasi ketidakpastian dalam hubungan. Berkaitan dengan Urcetainty Reduction Theory yang dikembangkan oleh Berger dan Calabrese, Heath dan Bryant (1999) menawarkan model dari jalinan hubungan dalam rangka pengurangan ketidakpastian menjadi tiga fase dalam relasi interpersonal, yaitu entry phase-personal phase-exit phase. Bagan 1 Tahapan pengembangan hubungan dalam model Urcetainty Reduction Theory (Heath dan Bryant, 1999) 141 Interaksionisme Simbolik dalam Studi Budaya Interaksionis simbolis George Hebert Mead (1962) menekankan pada bahasa yang merupakan sistem simbol dan kata-kata merupakan simbol karena digunakan untuk memaknai berbagai hal. Bahwa bahasa merupakan sistem simbol dan kata-kata merupakan simbol karena digunakan untuk memaknai berbagai hal. Dengan kata lain, simbol merupakan representasi dari pesan yang dikomunikasikan kepada publik. Sebagai misal, telepon genggam tidak hanya sekadar bermakna alat untuk berkomunikasi, melainkan sudah menjadi representasi dari gaya hidup bahka status sosial tertentu. Menurut Mead, makna tidak tumbuh dari proses mental soliter namun merupakan hasil dari interaksi sosial atau signifikansi kausal interaksi sosial. Individu secara mental tidak hanya menciptakan makna dan simbol semata, melainkan juga ada proses pembelajaran atas makna dan simbol tersebut selama berlangsungnya interaksi sosial. Bahkan ditegaskan oleh Charon (1998:40) bahwa simbol adalah objek sosial yang digunakan untuk merepresentasikan apa-apa yang memang disepakati bisa direpresentasikan oleh simbol tersebut. Individu sebagai produsen sekaligus konsumen atas simbol tidak hanya merespon simbol secara pasif, tetapi juga secara aktif menciptakan dan menciptakan kembali dunia tempat dia bertindak berdasarkan realitas yang datang. Sementara D Miller, sebagaimana dikutip Ritzer dan Goodman (2008: 395), menjelaskan lima fungsi dari simbol; pertama, simbol memungkinkan orang berhubungan dengan dunia materi dan dunia sosial karena dengan simbol mereka bisa memberi nama, membuat kategori, dan mengingat objek yang ditemui; Kedua, simbol meningkatan kemampuan orang memersepsikan lingkungan; Ketiga, simbol meningkatkan 142 kemampuan berpikir; Keempat, simbol meningkatkan kemampuan orang untuk memecahkan masalah; dan Kelima, penggunaan simbol memungkinkan aktor melampui waktu, ruang, dan bahkan pribadi mereka sendiri. Dengan kata lain, simbol merupakan representasi dari pesan yang dikomunikasikan kepada publik. Ritzer dan Goodman (2008:392-397) mengemukakan prinsip-prinsip dasar teori interaksionis simbolik, yakni: 1. Tidak seperti binatang yang lebih rendah, manusia ditopang oleh kemampuan berpikir. 2. Kemampuan berpikir dibentuk oleh interaksi sosial. 3. Dalam interaksi sosial individu mempelajari makna dan simbol yang memungkinkan mereka menggunakan kemampuan berpikir tersebut. 4. Makna dan simbol memungkinkan orang melakukan tindakan dan interaksi khas manusia. 5. Individu mampu memodifikasi atau mengubah makna dan simbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan tafsir mereka terhadap situasi tersebut. 6. Orang mampu melakukan modifikasi dan perubahan ini, sebagian karena kemampuan mereka berinteraksi dengan diri mereka sendiri, yang memungkinkan mereka memikirkan tindakan yang mungkin dilakukan, menjajaki keunggulan dan kelemahan relatif mereka, dan selanjutnya memilih. 7. Jalinan pola tindakan dengan interaksi ini kemudian menciptakan kelompok dan masyarakat. 143 Interaksi simbolis merupakan salah satu pendekatan yang bisa dilakukan dengan kajian budaya (cultural studies). Menurut Norman Denzin dalam bukunya Symbolic Interactionism and Cultual Studies (1992:34) menekankan bahwa semestinya kajian terhadap interaksi simbolis memainkan peranan penting dalam cultural studies yang memusatkan perhatian pada tiga masalah yang terkait satu dengan lainnya, yakni produksi makna kultural, analisis tekstual makna-makna ini, dan studi kebudayaan yang dijalani dan pengalaman yang dijalani. Namun, dalam tataran praktis Denzin melihat adanya kecenderungan dari interaksionisme simbolik untuk mengabaikan gagasan yang menghubungkan ―simbol‖ dan ―interaksi‖. Sebagaimana dikutip Ritzer dan Goodman (2008:413), Denzin menegaskan bahwa ―dalam upaya menggiring kalangan interaksionis simbolis kepada perspektif cultural studies, saya memilih memusatka perhatian pada istilah yang hilang dan tidak terteorikan dalam perspektif mereka. Komunikasi adalah interaksi dan agar interaksi dapat berjalan, pihak-pihak yang berinteraksi harus berkomunikasi‖. Hal ini memberikan penegasan bahwa para peneliti interaksionisme simbolik menurut Denzin semestinyalah memfokuskan diri pada masalah kebudayaan, khususnya kebudayaan populer; dengan memainkan pendekatan kritis terhadap kebudayaan yang memerhatikan dalam istilah Denzin ―pihak yang lemah‖ maupun hubungan pihak yang lemah terhadap ―pihak yang berkuasa‖. Tradisi interaksionis harus menentang, menyerap, memperdebatkan, dan mengkonflik dengan bidang teori baru yang terus muncul pada era postmodern (misalnya heurmeneutika, fenomenologi, strukturalisme, post strukturalisme, teori postmodern, psikoanalisis, semiotika, post-Marxis, cultural studies, teori feminis, teori film, dan lain sebaginya (Denzin, 1992:169) 144 DAFTAR PUSTAKA Altheide, David L. Ethnographic Content Analysis, Jurnal Qualitative Sociology, 10(1), Arizona: Human Science Press, 1987 Bennet, W. Lance. (1996). News: The Politics of Illusion. United State: Longman Publishers Berger, Peter L., and Luckman, Thomas. (1967). The Social Construction of Reality, A Treatise in the Sociology of Knowlede. New York: Anchor Books DeGeorge, William F., ―Conceptualization and Measurement of Audience Agenda‖ dalam Mass Communication Review Yearbook, California: Sage Publication, 1991 Denzin, Norman K., dan Lincoln, Yvonna S. (1994) Handbook of Qualitative Research, California: Sage Publication Inc. Denzin, Norman K. (1992). Symbolic Interactionism and Cultural Studies. Oxford: Blackwell Fagen, Richard R. (1966). Politics and Communication, Boston: Little, Brown, and Company Guba, Egon G., dan Lincoln, Yvonna S. (1994). ―Competing Paradigms in Qualitative Research‖, dalam Denzin, Norman K., dan Lincoln, Yvonna S., Handbook of Qualitative Research, California: Sage Publication Inc. Kinder, D.R., dan Sanders, L.M., Mimicking Political Debate with Survey Question: The Case of White Opinion on Affirmative Action for Black, dalam jurnal Social Cognition, edisi 8, 1990 Litllejohn, Stephen W. (1996). Theories of Human Communication. Belmont: Wadsworth Publishing Company Mansfield, Michael M., dan Weaver, Ruth Ann, Political Communication Theory and Research, dalam Burgoon, Michael (Ed.). (1982). Communication Yearbook 5, New Brunswick: Transaction Book McLeod, J.M., et.al., Audience Perspective on the News: Assessing Their Complexcity and Conceptual Frames, makalah dalam konferensi 145 Association for Education in Journalism and Mass Communication, San Antonio, TX, Agustus, 1987 McQuail, Denis, (1987). Teori Komunikasi Massa, Jakarta: Penerbit Erlangga Pearson, Judy et.al. (2003). Human Communication. New York: McGrawHill Sceufele, Dietram A., Framing as a Theory of Media Effects, makalah dalam konvensi Association for Education in Journalism an Mass Communication, California, Agustus 1996 Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. (2008). Teori Sosiologi, Dari Teori sosiologi Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana Straubhaar, Joseph. dan Robert LaRose. (2002). Media Now, Communication Media in the Information Age, Belmont: Wadsworth Wright, Charles. (1959). Mass Communication: A Sociological Perspective, New York: Random House 146