Makalah - Pusham UII

advertisement
Makalah
WORKSHOP
Memperkuat Justisiabilitas
Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya :
Prospek dan Tantangan
Yogyakarta, 13 - 15 November 2007
APAKAH PELANGGARAN HAK EKOSOB DAPAT
DIGOLONGKAN SEBAGAI
KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN?
Studi Kasus:
Penggusuran Scr Paksa Yang Meluas Atau Sistematik
Operasi Murambatsvina di Zimbabwe
Oleh :
Nicola Colbran
Legal Advisor, Norwegian Centre for Human Rights,
University of Oslo, Norway
APAKAH PELANGGARAN HAK EKONOMI SOSIAL DAN BUDAYA
DAPAT DIGOLONGKAN SEBAGAI
KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN?
Studi Kasus
Penggusuran Secara Paksa Yang Meluas Atau Sistematik
Operasi Murambatsvina di Zimbabwe
Nicola Colbran1
Seringkali hak ekonomi sosial dan budaya menimbulkan kebingungan:
¾ Apa yang dimaksud dengan istilah “hak ekosob”?
¾ Apakah hak ini memberdayakan seseorang untuk menuntut bahwa pemerintah
mengeluarkan dana untuk menjamin penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak
ini?
¾ Kalau memang begitu, bukankah berarti orang itu bisa menentukan kebijakan
pemerintah dengan akibat dilanggarnya asas “trias politika”?
¾ Bagaimana penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak ini bisa dipantau?
Seringkali, kebingungan ini mengakibatkan sikap bahwa hak ini sebenarnya bukan hak
melainkan cita-cita saja dan apabila terjadi pelanggaran, tidak bisa menaggulanginya lewat
jalur hukum.
Kita sudah melihat betapa sulitnya menggugat pelanggaran HAM di Indonesia, apa lagi
pelanggaran hak ekosob. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
hanya memungkinkan diajukannya laporan pengaduan lisan atau tertulis pada Komnas HAM
apabila seseorang atau sekelompok orang memiliki alasan kuat bahwa hak asasinya telah
dilanggar.2
Namun, untuk mengadili pelanggaran HAM berat, telah dibentuk Pengadilan HAM di
lingkungan Peradilan Umum lewat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia. Undang-Undang ini diharapkan dapat melindungi hak asasi
manusia, baik perseorangan maupun masyarakat, dan menjadi dasar dalam penegakan,
kepastian hukum, keadilan dan perasaan aman baik bagi perserorangan maupun masyarakat,
terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Kita semua sudah tahu bahwa pelanggaran hak ekonomi sosial dan budaya dapat digugat,
namun belum banyak dibicarakan apakah pelanggaran hak ini dapat dikatakan sebagai
pelanggaran HAM berat. Pertanyaan ini pernah disinggung dalam konteks penggusuran
secara paksa skala besar di Zimbabwe yang disebut “Operasi Murambatsvina”. Makalah ini
akan membahas kemungkinan menggugat pelanggaran hak atas perumahan yang layak (yang
jelas termasuk larangan terhadap penggusuran secara paksa) sebagai pelanggaran HAM berat.
1
Penasehat Hukum, Program Indonesia, Norwegian Centre for Human Rights, Fakultas Hukum, Universitas
Oslo
2
Pasal 90
1
Pelanggaran HAM dan tindak pidana internasional?
Penggusuran secara paksa3
Pemindahan penduduk secara paksa4
1. pemindahan secara permanen atau
sementara
2. yang bertentangan dengan kemauan
individu, keluarga dan/atau komunitas
3. dari rumah dan/atau tanah yang
ditempatinya
4. tanpa penyediaan, dan akses terhadap,
perlindungan hukum atau perlindungan
layak yang lain.
1. pemindahan orang-orang
2. secara paksa dengan cara pengusiran atau
tindakan pemaksaan yang lain
3. dari daerah dimana mereka berada secara
sah
4. tanpa didasari alasan yang diijinkan oleh
hukum internasional.
Sampai titik ini, keduanya mirip sekali,
namun perlu diperhatikan ciri khas tindak
pidana internasional
5. perbuatan tersebut dilakukan sebagai
bagian dari serangan yang meluas atau
sistematik yang ditujukan terhadap
penduduk sipil
6. pelaku mengetahui bahwa perbuatan
tersebut merupakan bagian dari atau
memaksudkan perbuatan itu merupakan
bagian dari serangan yang meluas atau
sistematik yang ditujukan terhadap
penduduk sipil
Dapat disimpulkan dari tabel di atas bahwa tindak pidana internasional....
...merupakan kejahatan serius yang perlu diperhatikan masyarakat internasional secara
keseluruhan
...terjadi dalam konteks kekerasan massal (seperti serangan yang meluas atau sistematik yang
ditujukan terhadap penduduk sipil)
...oleh karena itu tidak bersifat sekali-sekali atau tersendiri
...merupakan kejahatan di mana individu dapat dipertanggungjawabkan (bukan negara)
3
Komentar Umum 7, pasal 3. Komentar Umum merupakan panduan tidak mengikat yang menafsirkan dan
memberikan petunjuk kepada Negara pihak mengenai penerapan Kovenan Ekonomi Sosial dan Budaya di
tingkat nasional. Komentar Umum ditetapkan oleh Komite Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, yaitu Komite yang
secara resmi mengawasi perilaku Negara pihak dalam melaksanakan isi Kovenan baik secara hukum maupun
dalam praktek. Komite ini telah mengeluarkan dua Komentar Umum yang menetapkan rincian petunjuk
pelaksanaan hak atas perumahan yang layak (Komentar Umum Nomor 4 dan Komentar Umum Nomor 7).
4
Statuta Roma, pasal 7(2)(d). Nota bene: definisi Statuta Roma sedikit berbeda dengan UU 26/2000, yaitu
Penjelasan, Pasal 9, huruf d berbunyi “pemindahan secara paksa adalah pemindahan orang-orang secara paksa
dengan cara pengusiran atau tindakan pemaksaan yang lain dari daerah dimana mereka bertempat tinggal secara
sah, tanpa didasari alasan yang diijinkan oleh hukum internasional”
2
PENGGUSURAN SECARA PAKSA
Pengantar
Setiap tahun, sekitar 10 juta orang diusir secara paksa dari rumahnya, tanahnya dan
komunitasnya. Jumlah ini tidak menghitung betapa banyak pengusiran yang terjadi
berhubungan dengan pengungsian internal dan eksternal, penampungan terpaksa dalam
konteks konflik bersenjata dan pelarian massal .5
Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi Sosial dan Budaya,
yang menjamin hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak, termasuk perumahan.6
Negara harus menjamin:
¾ bahwa hak ini dilaksanakan tanpa diskriminasi apa pun,7 dan
¾ hak yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati hak ini.8
Pada dasarnya, penggusuran secara paksa melanggar hak atas perumahan yang layak.
Apa yang dimaksud dengan penggusuran secara paksa?
Penggusuran secara paksa dapat diartikan sebagai pemindahan secara permanen atau
sementara, yang bertentangan dengan kemauan individu, keluarga dan/atau komunitas, dari
rumah dan/atau tanah yang ditempatinya tanpa penyediaan, dan akses terhadap, perlindungan
hukum atau perlindungan layak yang lain.9 Yaitu, penggusuran secara paksa adalah
penggusuran yang terjadi secara sewenang-wenang dan yang tidak dilakukan menurut hukum
HAM internasional atau hukum domestik. Oleh karena itu, penggusuran dapat dilakukan
tanpa kekerasan apabila tanah diambil tanpa alasan yang dapat dibenarkan, atau apabila
perlindungan prosedural para korban tidak dijamin. “Perlindungan prosedural” termasuk
konsultasi sungguh-sungguh dengan penduduk yang terpengaruhi, diberitahukannya secara
layak dan memadai mengenai penggusuran sebelum tanggal dimulainya penggusuran,
diperlakukannya setara perempuan dan laki-laki dalam hal akses terhadap kompensasi,10 dan
ketersediaan upaya hukum bagi orang yang terpengaruhi oleh penggusuran
Hak atas perumahan yang layak (dan larangan terhadap penggusuran secara paksa)
melindungi individu yang menempati rumah dan tanah. Perlindungan ini tidak ditentukan
oleh bentuk kepemilikan atau penguasaan rumah atau tanah, dan juga tidak tergantung pada
sah tidaknya penempatan rumah atau tanah itu.
Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang
melindungi individu dari “dicampurinya secara sewenang-wenang atau secara tidak sah
5
Lembar Fakta Nomor 25 Penggusuran Secara Paksa dan Hak Asasi Manusia, Kantor Komisioner Tinggi Hak
Asasi Manusia
6
“Negara pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak baginya dan
keluarganya, termasuk pangan, sandang dan perumahan, dan atas perbaikan kondisi hidup terus menerus.”
7
Negara pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menjamin bahwa hak-hak yang diatur dalam Kovenan ini akan
dilaksanakan tanpa diskriminasi apa pun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau
pendapat lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lainnya (pasal 2, paragraf 2).
8
Negara pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menjamin hak yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk
menikmati semua hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang tercantum dalam Kovenan ini (pasal 3).
9
Komentar Umum 7, pasal 3
10
Pelapor Khusus mengenai Perumahan yang Layak, “Prinsip dan Pedoman Dasar mengenai Penggusuran dan
Pengusiran Berdasarkan Alasan Pembangunan”, E/CN.4/2006/41, Maret 14, 2006, paragraf 61. Pelapor Khusus
adalah orang yang indepen, tidak dibayar, tidak dipekerjakan oleh PBB dan mengabdi dalam kapasitas sendiri.
Orang ini biasanya ditunjuk oleh Dewan HAM PBB (formerly the Human Rights Commission) atau Sub-Komisi
Pemajuan dan Perlindungan HAM (Sub-Commission for the Protection and Promotion of Human Rights).
3
masalah-masalah rumahnya” dan menjamin hak setiap orang atas perlindungan hukum
terhadap campur tangan tersebut.11
Penggusuran secara paksa sering berdampak pada perwujudan hak lain yang dilindungi oleh
hukum internasional dan hukum Indonesia. Misalnya, pemindahan yang disebabkan
penggusuran dapat berdampak pada hak kebebasan untuk bergerak dan kebebasan untuk
memilih tempat tinggalnya.12 Kekerasan dan pembongkaran sembarangan mengancam hak
atas keamanan pribadi.13 Diintimidasinya dan ditangkapnya orang yang melawan
penggusuran secara paksa dapat melanggar kebebasan untuk menyatakan pendapat,14 hak
untuk berkumpul15 dan hak untuk berserikat dengan orang lain.16 Gangguan terhadap
pendidikan sekolah para anak yang diusir dari rumahnya dapat merupakan pelanggaran hak
atas pendidikan.17
KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN
Statuta Roma18 mendirikan pengadilan pidana internasional tetap yang ruang lingkupnya
meliputi “tindak pidana yang paling memprihatinkan untuk komunitas internasional secara
keseluruhan”. Statuta Roma menyebut genosida (pasal 6), kejahatan terhadap kemasnusiaan
(pasal 7) dan kejahatan perang (pasal 8) sebagai tindak pidana tersebut.
Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma, namun menurut Rencana Aksi Nasional Hak
Asasi Manusia Indonesia, pemerintah Indonesia akan menjadi Negara Pihak pada tahun
2008.19
Walaupun Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma, sejak tahun 2000, pemerintah telah
mengakui pentingnya untuk ikut serta memelihara perdamaian dunia dan menjamin
pelaksanaan hak asasi manusia dengan pembentukan pengadilan khusus untuk menyelesaikan
pelanggaran HAM berat. Dalam rangka ini pada tahun 2000, Indonesia memberlakukan
Undang-Undang 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Menurut penjelasan
undang-undang ini, kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam pasal 7
sesuai dengan Rome Statute of The International Criminal Court.
11
Pasal 17. Komite HAM pernah mencatat bahwa istilah “dicampurinya sewenang-wenang” termasuk
dicampurinya menurut hukum karena konsep “sewenang-wenang” dalam ICCPR “dimaksudkan untuk
dijaminnya bahkan campuran yang diperbolehkan oleh undang-undang harus sesuai dengan pasal dan tujuan
Kovenan dan, paling tidak, seharusnya layak dengan keadaan yang bersangkutan”. Komite HAM PBB
“Komentar Umum Nomor 16: Hak atas dihormatinya masalah pribadinya, keluarganya, rumah dan suratmenyuratnya, dan perlindungan kehormatan dan nama baiknya (Pasal 17)”, April 8, 1988, paragraf 4. Komite
HAM adalah sebuah badan pemantauan hak sipil dan politik yang didirikan oleh ICCPR (pasal 28)
12
ICCPR, pasal 12
13
ICCPR, pasal 9
14
ICCPR, pasal 19
15
ICCPR, pasal 21
16
ICCPR, pasal 22
17
ICESCR, pasal 13
18
Statuta Roma mulai berlaku bagi Negara Pihak pada tanggal 1 Juli 2002
19
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 tentang Rencana Nasional Hak Asasi Manusia
Indonesia Tahun 2004-2009, III Rencana Kegiatan RANHAM Indonesia Tahun 2004-2009, B Persiapan
Ratifikasi Instrumen Hak Asasi Manusia Internasional, Statuta Roma Tahun 2008
4
Apa yang dimaksud dengan Kejahatan terhadap Kemanusiaan
Elemennya
Chapeau dari pasal 7 Statuta Roma menetapkan definisi umum untuk “kejahatan terhadap
kemanusiaan”. Definisi ini mencakup beberapa elemen inti dari kejahatan itu, yaitu bahwa
perbuatan terjadi:
¾ sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik
¾ yang ditujukan terhadap penduduk sipil
¾ dengan diketahuinya pelaku akan serangan tersebut20
Bentuknya
Salah satu bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan adalah “deportasi atau pemindahan
penduduk secara paksa”. Yang dimaksud dengan “deportasi atau pemindahan penduduk
secara paksa” adalah:
¾ pemindahan orang-orang secara paksa dengan cara pengusiran atau tindakan
pemaksaan yang lain
¾ dari daerah dimana mereka berada secara sah
¾ tanpa didasari alasan yang diijinkan oleh hukum internasional.21
Deportasi berarti “memaksa berpindah satu orang dari suatu negara ke negara lain”,
sedangkan “pemindahan penduduk secara paksa” meliputi pemindahan secara paksa
seseorang dari suatu daerah ke daerah lain di dalam satu negara.
OPERASI MURAMBATSVINA: KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN?
Tanpa diberitahukan terlebih dahulu, Pemerintah Zimbabwe melaksanakan kampanye
penggusuran secara paksa di berbagai kota Zimbabwe. Kampanye ini dinamakan “Operasi
Murambatsvina” dan dimulai akhir Mei 2005 dan diakhiri awal Juli 2005. Operasi
Murambatsvina dilaksanakan secara cepat dan brutal. Pihak yang melaksanakannya adalah
pemerintah pusat, termasuk militer (walaupun ada penduduk yang dipaksakan
menghancurkan bangunan sendiri di bawah pengawasan polisi). Kampanye ini
mengakibatkan pemindahan beratus-ribu orang secara paksa, penghancuran rumah dan
kediaman, tempat berbisnis dan harta milik, kehilangan sumber kehidupan orang, dan
dilukainya serta dibunuhnya penduduk.22
20
Notabene: definisi Statuta Roma sedikit berbeda dengan kata-kata yang dipakai dalam UU 26/2000, yaitu
Pasal 7 berbunyi ”Kejahatan terhadap kemanusiaan... adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian
dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung
terhadap penduduk sipil.” Namun, UU 26/2000 sendiri berbunyi “Kejahatan genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan” dalam ketentuan ini sesuai dengan Rome Statute of The Intemational Criminal Court”
(Penjelasan, pasal 7).
21
Statuta Roma, pasal 7(2)(d). Nota bene: definisi Statuta Roma sedikit berbeda dengan kata-kata yang dipakai
dalam UU 26/2000, yaitu Penjelasan, Pasal 9, huruf d berbunyi “Deportasi atau pemindahan secara paksa
adalah pemindahan orang-orang secara paksa dengan cara pengusiran atau tindakan pemaksaan yang lain dari
daerah dimana mereka bertempat tinggal secara sah, tanpa didasari alasan yang diijinkan oleh hukum
internasional”
22
Menurut pemerintah Zimbabwe, 92,460 tempat kediaman digusur (133,535 keluarga terpengaruhi secara
langsung) dan 32,538 bangunan yang didirikan pemilik dari usaha (bisnis) kecil, mikro dan menengah digusur.
Namun, kalau angka sensus dari tahun 2002 dipergunakan, dapat diperkirakan sebanyak 569,685 orang yang
jatuh korban penggusuran secara paksa dan 97,614 orang kehilangan nafkahnya dalam waktu 2 bulan – antara
tanggal 17 Mei 2005 dan 9 Juli 2005.
5
Pemerintah Zimbabwe:
¾ membela tindakannya dengan alasan Operasi Murambatsvina merupakan tahap
pertama dari rencana jangka panjang untuk membangun kompleks-kompleks
perumahan baru dan menciptakan suasana yang mendukung bisnis.
¾ menegaskan bahwa bangunan yang digusur tidak sah menurut hukum Zimbabwe dan
para penghuninya pada kenyataan sudah diberi kesempatan untuk membongkarnya.
¾ membenarkan tindakannya dengan alasan penggusuran secara paksa diperlukan:
antara lain untuk menghentikan urbanisasi yang tidak terencana, untuk mengurangi
ancaman penyakit menular, untuk mencegah tindak pidana ekonomi, untuk
menghapus pasar sejajar dan membendung sabotase ekonomik, untuk mengurangi
tingkat tindak pidana, dan untuk menghentikan tindakan yang melanggar nilai moral,
seperti prostitusi.
Sampai sekarang Pemerintah Zimbabwe menolak menyelidiki, menyidik dan mengadili
petugas dan oknum yang bertanggungjawab atas pelaksanaan Operasi Murambatsvina.
(foto: http://hrw.org/photos/2005/zimbabwe1105/)
Pantas ditanya apakah penggusuran paksa yang dilaksanakan dengan skala yang sebesar ini,
dapat digolongkan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan: yaitu deportasi/pengusiran atau
pemindahan secara paksa?
Pembahasan elemen kejahatan terhadap kemanusiaan dalam konteks Operasi
Murambatsvina
Serangan yang meluas atau sistematik
Elemen pertama dari definisi “kejahatan terhadap kemanusiaan” adalah “serangan yang
meluas atau sistematik”.
Perlu dicatat bahwa serangan tidak harus melibatkan kekuatan militer atau konflik/pertikaian
bersenjata, atau jenis kekerasan apapun.23
Persyaratan “meluas atau sistematik” adalah syarat mendasar dalam membedakan kejahatan
terhadap kemanusiaan dengan kejahatan umum, yang tidak dikategorikan sebagai suatu
kejahatan dalam tingkat hukum internasional. Istilah “meluas” merujuk pada “skala
besarnya” serangan dan “banyaknya jumlah korban”. Istilah “sistematik” mengindikasikan
“suatu rencana yang terpola atau metodis” berdasarkan kebijakan bersama yang melibatkan
sumber daya publik atau swasta yang cukup banyak.
Kedua istilah tersebut merujuk pada sifat serangan dan bukan perbuatan tersangka. Misalnya
perbuatan yang terjadi satu kali saja dapat merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan
apabila dilakukan dalam konteks rangkaian perbuatan yang terjadi secara meluas.
Operasi Murambatsvina memenuhi syarat bahwa perbuatan terjadi sebagai bagian dari
serangan yang meluas atau sistematik. Operasi bersifat skala besar dan dilakukan pada waktu
yang sama kepada korban yang berlipat ganda. Bahkan jumlah korban yang diakui
23
Prosecutor v Akayesu International Criminal Tribunal for Rwanda
6
pemerintah (yaitu 92,460 tempat kediaman digusur dan 133,535 keluarga terpengaruhi secara
langsung, dan 32,538 bangunan yang didirikan pemilik usaha (bisnis) kecil, mikro dan
menengah digusur) dapat dikatakan “secara meluas”. Operasi ini diatur dan dilaksanakan
berdasarkan kebijakan bersama Negara (kebijakan diumumkan oleh pejabat pemerintah) dan
memerlukan sumber daya publik yang cukup banyak (Operasi ini dilakukan oleh polisi dan
militer).24
Serangan yang ditujukan terhadap penduduk sipil
Elemen kedua dari definisi “kejahatan terhadap kemanusiaan” adalah “serangan yang
ditujukan terhadap penduduk sipil”.
Yang dimaksud dengan frase ini adalah:
a) suatu rangkaian perbuatan yang disebutkan dalam ayat 1 yang dilakukan berlipat
ganda
b) yang dilakukan terhadap penduduk sipil
c) sebagai kelanjutan kebijakan Negara atau kebijakan organisasi untuk melakukan
serangan itu25.
a) Suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan berlipat ganda
Dalam kasus Operasi Murambatsvina, terdapat suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan
berlipat ganda: berkali-kali orang diusir dari tempat mereka berada; rumahnya dan
bangunan lainnya digusur.
b) Yang dilakukan terhadap penduduk sipil
“Sipil” berarti bukan militer atau pasukan bertempur, dan “penduduk” berarti jumlah
orang yang cukup besar yang mempunyai ciri-ciri tertentu yang mengidentifikasikannya
sebagai sasaran serangan. Istilah “penduduk” tidak mengharuskan diserangnya penduduk
secara keseluruhan dari wilayah geografis di mana serangan itu terjadi.
Dalam konteks Operasi Murambatsvina, penduduk sipil mengalami penggusuran,
pengusiran dan pemindahan secara paksa.
c) Sebagai kelanjutan kebijakan negara atau kebijakan organisasi untuk melakukan
serangan itu
Serangan yang terjadi di kasus ini dilakukan sebagai kelanjutan dari kebijakan Negara.
Operasi Murambatsvina diumumkan oleh pejabat pemerintah dan dilakukan oleh polisi
dan tentara Zimbabwe. Pemerintah bahkan mencoba membenarkan tindakannya
(misalnya, karena bangunan yang digusur tidak sah menurut hukum Zimbabwe maka
wajar dibongkar).
24
Sebuah kebijakan atau rencana dapat membuktikan elemen “meluas atau sistematik” tetapi tidak dibutuhkan
untuk membuktikan sifat serangan itu.
25
Pasal 7(2)(a) Statuta Roma. Nota bene: definisi Statuta Roma sedikit berbeda dengan definisi dalam UU
26/2000, yaitu Penjelasan, Pasal 9 berbunyi “Yang di maksud dengan "serangan yang ditujukan secara langsung
terhadap penduduk sipil adalah suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil sebagai
kelanjutan kebijakan penguasa atau kebijakan yang berhubungan dengan organisasi.” Definisi ini tidak termasuk
kata “berlipat ganda” (walaupun perbuatan yang dmaksud harus merupakan rangkaian perbuatan) dan tidak
menyebut secara jelas bahwa perbuatan harus merupakan kebijakan untuk melakukan serangan itu”.
7
Dengan diketahuinya pelaku akan serangan
Elemen terakhir dari definisi “kejahatan terhadap kemanusiaan” adalah “dengan diketahuinya
pelaku akan serangan”.
Pengamatan ini tidak menamakan individu yang bertanggungjawab atas penggusuran, maka
tidak perlu untuk mengupas elemen mental yang harus dibuktikan apabila kasus ini digugat.
Untuk keperluan pengamatan ini, cukup untuk mencatat bahwa:
¾ pelaku harus tahu, paling tidak secara umum, bahwa tindakannya merupakan bagian
dari serangan meluas atau sistematik terhadap penduduk sipil, dan
¾ tindakannya dilakukan menurut kebijakan atau rencana.
Tidak perlu bahwa tersangkalah merupakan orang yang melakukan tindak pidana
(pemindahan secara paksa). Pasal 25 Statuta Roma menjelaskan bahwa:
¾ orang yang memerintahkan, menyuruh atau membujuk dilakukannya kejahatan yang
pada kenyataannya terjadi atau diupayakan, dan
¾ orang yang membantu melakukan tindak pidana dapat bertanggungjawab dan
menanggung secara pidana hukuman-hukuman untuk kejahatan dalam yurisdiksi
Pengadilan.26
Selain itu, Pasal 28 mengutarakan prinsip “tanggungjawab atasan”, di mana komandan militer
atau pejabat tinggi yang lain dapat dipertanggungjawabkan atas tindakan atau pembiaran yang
dilakukan pasukan yang berada di bawah komando dan pengendalian yang efektif apabila
orang tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup
kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan pelanggaran.27
Pembahasan bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan (pemindahan secara paksa) dalam
konteks Operasi Murambatsvina
Pemindahan orang-orang secara paksa dengan cara pengusiran atau tindakan
pemaksaan yang lain
Elemen pertama dari definisi “pemindahan penduduk secara paksa” adalah pemindahan orang
secara paksa dengan cara pengusiran atau tindakan pemaksaan yang lain.
Mengingat sejarah modern di mana terjadinya pemindahan orang-orang secara paksa,
“pengusiran atau tindakan pemaksaan yang lain” termasuk segala bentuk tekanan terhadap
penduduk yang memaksakannya lari dari rumahnya, termasuk ancaman mati, pembongkaran
rumah, dan tindakan penganiayaan yang lain seperti menghalangi kesempatan kerja anggota
kelompok, meniadakan akses terhadap sekolah dan memaksakannya untuk memakai tanda
agama.28
26
Menurut pasal 41 UU 26/2000, percobaan, permufakatan jahat atau pembantuan untuk melakukan pelanggaran
dipidana dengan pidana yang sama dengan kententuan bagi orang yang melakukan perbuatan genosida atau
kejahatan terhadap kemanusiaan
27
Lihat pasal 42 UU 26/2000
28
CK Hall in R Dixon ‘Crimes Against Humanity’ in O Triffterer (ed) Commentary on the Rome Statute of the
International Criminal Court, Observers; Notes, Article by Article (Nomos Verlagsgesellschaft Baden-Baden
1999), p.162.
8
Seringkali pemindahan secara paksa dilakukan:
¾ dengan kekerasan, misalnya pemindahan yang merupakan akibat konflik bersenjata
internasional, kekacauan internal, dan kekerasan etnis.29
¾ demi pembangunan ekonomi.
¾ karena kurang jelas siapa yang berhak atas tanah, karena tanah dibutuhkan untuk
proyek infrastruktur seperti pembangunan bendungan, untuk pembangunan kompleks
perumahan, untuk program pengindahan kota, untuk perluasan tanah pertanian, atau
untuk diadakannya ajang olah raga internasional seperti Olimpiade.30
Di kasus Operasi Murambatsvina, penggusuran secara paksa yang dilakukan pemerintah
mengakibatkan orang meninggalkan tempat mereka berada, yaitu yang terjadi adalah
pemindahan orang secara paksa.
Dari daerah di mana mereka berada secara sah
Elemen kedua dari definisi “pemindahan penduduk secara paksa” adalah pemindahan orang
secara paksa dari daerah di mana mereka berada secara sah. Menurut Pemerintah Zimbabwe
(dan sesuai dengan alasan yang diberikannya untuk membenarkan tindakannya), frase ini
harus ditafsirkan secara sempit. Yaitu, penduduk berada di tempat secara sah apabila sah
menurut hukum domestik (sah atau tidaknya ditentukan oleh hak kepemilikan/penguasaan
tanah dan/atau sah atau tidaknya bangunan yang didirikannya).
Dalam kasus ini, Pemerintah Zimbabwe menegaskan bahwa korban penggusuran secara paksa
tidak berada di daerah secara sah karena korban menempati kediaman yang dibangun secara
tidak sah atau karena berdagang tanpa izin dari pihak yang berwenang.31
Namun demikan, frase ini sebaiknya ditafsirkan secara luas. Yaitu, istilah “berada secara
sah” mengacu pada hak setiap Negara untuk mengontrol izin masuk ke wilayahnya.
Alasannya sebagai berikut:
¾ keberadaan orang di sebuah daerah menggambarkan keberadaan orang secara fisik di
suatu tempat, bukan apakah orang tinggal di tempat itu atau memilikinya,
¾ keberadaan orang berhubungan dengan daerah dari mana korban dipindahkan secara
paksa,
¾ istilah “daerah” menandakan kesatuan geografis yang cukup besar, bukan masingmasing bagian tanah yang ditempati orang.
¾ hukum domestik yang mengatur hak menempati dan memakai tanah biasanya sangat
rumit. Luar biasa apabila penerapan hukum pidana internasional yang mendasar
ditentukan oleh hukum domestik.
29
Komentar Umum Nomor 7, paragraf 6
Komentar Umum Nomor 7, paragraf 7
31
Namun, pada kenyataan, dalam kasus Operasi Murambatsvina itu, pemerintah sendiri tidak memenuhi syarat
yang terkandung dalam peraturannya sendiri (misalnya: Undang-Undang Tata Ruang Lingkup tidak mengatur
keberadaan orang di daerah, melainkan undang-undang tersebut mengatur sah atau tidaknya digunakannya
tanah). Apabila pembangunan itu dianggap tidak sah, pemerintah dapat mengeluarkan perintah yang menuntut
orang yang membangun bangunan yang tidak sah untuk membongkor bangungan itu (perintah tersebut tidak
ditujukan terhadap keberadaan orang di tempat). Dalam kasus ini pihak pemerintah sendiri gagal mentaati syarat
peraturan karena tidak mengeluarkan perintah tersebut. Oleh karena itu korban berada secara sah, karena tidak
ada peraturan yang membuat keberadannya tidak sah. Kalaupun ternyata korban tidak berada secara sah, yang
berhak bertindak adalah pemerintah setempat yang menurut undang-undang bertanggungjawab atas pelaksanaan
undang-undang tersebut. Apabila pemerintah setempat tidak mau bertindak, tentu saja aparat militer tidak
berhak mengusir korban.
30
9
¾ standar yang terkandung dalam Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi Sosial
dan Budaya melindungi orang yang menempati rumah/tanah secara tidak sah. Apabila
“berada secara sah” ditafsirkan secara sempit, berarti sah tidaknya kepemilikan/
penguasaan tanah menurut hukum domestik dapat menentukan hak orang dalam
hukum pidana internasional, sedangkan hukum domestik tidak menentukan apa apa
dalam hukum HAM internasional, dan
¾ latar belakang disusunnya Pasal 7 ayat d Statuta Roma menunjukkan bahwa masalah
yang dijadikan fokus pasal ini adalah wilayah negara; tidak ada pembahasan sama
sekali mengenai sah atau tidaknya keberadaan penduduk menurut hukum domestik.
Penafsiran yang lebih luas didukung pula oleh M Cherif Bassiouni, penulis terkemuka di
bidang kejahatan terhadap kemanusiaan. Menurut beliau, “berada secara sah” memungkinkan
Negara untuk mendeportasi seseorang yang, menurut hukum domestiknya, tidak boleh
tetap/berada di wilayah Negara itu.32
Tanpa didasari alasan yang diijinkan oleh hukum internasional
Elemen terakhir dari definisi “pemindahan penduduk secara paksa” adalah terjadinya
pemindahan itu tanpa didasari alasan yang diijinkan oleh hukum internasional. Menurut
syarat ini, penuntut umum harus membuktikan sebagai salah satu elemen dari tindak pidana
kejahatan terhadap kemanusiaan bahwa penggusuran itu terjadi tanpa didasari alasan yang
diijinkan oleh hukum internasional.
Menurut Komite Hak Ekonomi Sosial dan Budaya:
a. Penggusuran secara paksa pada dasarnya merupakan pelanggaran Kovenan
Internasional Ekonomi Sosial dan Budaya.33
b. Penggusuran secara paksa hanya diperbolehkan dalam keadaan luar biasa di mana
penggusuran atau pemindahan secara paksa perlu untuk memenuhi tujuan yang sah
c. Penggusuran secara paksa harus dilakukan sesuai dengan:
¾ prinsip hukum internasional34 dan
¾ sesuai dengan prinsip kelayakan (reasonableness) dan keseimbangan
(proportionality).35
d. Penggusuran harus diiringi dengan perlindungan prosedural yang cocok (keharusan ini
merupakan bagian mutlak dari terjadinya penggusuran sesuai dengan prinsip hukum
internasional)
Komentar Umum 7 menjelaskan lebih lanjut perlindungan prosedural mana yang harus
dijamin Negara, yaitu termasuk:
i. disediakannya kesempatan untuk berkonsultasi secara sungguh-sungguh dengan
penduduk yang terpengaruhi,
ii. orang yang terpengaruhi harus diberitahukan secara layak dan memadai mengenai
penggusuran sebelum tanggal dimulainya penggusuran,
iii. informasi mengenai penggusuran yang direncanakan dan cara pemakaian alternatif
tanah atau rumah itu harus diberikan dalam kurun waktu yang layak sebelum
penggusuran terjadi,
32
M.C. Bassiouni Crimes Against Humanity in International Criminal Law (2nd edition, The Hague: Kluwer
1999), p.326
33
Komentar Umum Nomor 4, paragraf 18
34
Komentar Umum Nomor 4, paragraf 18
35
Komentar Umum Nomor 7, paragraf 14
10
iv. terutama apabila pihak yang terpengaruhi merupakan komunitas atau kelompok,
pejabat pemerintah atau wakilnya harus ada pada waktu penggusuran terjadi,
v. setiap orang yang melakukan penggusuran harus diidentifikasikan secara layak,
vi. penggusuran tidak boleh dilaksanakan apabila cuaca sedang buruk atau pada malam
hari kecuali orang yang terpengaruhi mengizinkannya,
vii. disediakannya upaya hukum bagi orang yang terpengaruhi,
viii. apabila mungkin, bantuan hukum harus disediakan kepada orang yang
membutuhkannya.36
Selain itu, penggusuran seharusnya tidak mengakibatkan:
ix. orang mengalami keadaan tunawisma, atau
x. orang rentan terhadap pelanggaran HAM yang lain”.37
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik melengkapi hak untuk tidak diusir secara
paksa tanpa perlindungan yang layak. Pasal 17(1) antara lain, menegaskan hak setiap orang
untuk tidak dicampurinya secara sewenang-wenang atau secara tidak sah rumahnya. Rumah
termasuk rumah yang dibangun secara tidak sah.38 Istilah “sewenang-wenang” mengartikan
bahwa walaupun “dicampurinya masalah rumah” dilakukan secara sah menurut hukum
domestik, perbuatan itu tetap melanggar pasal 17 apabila tidak dilakukan secara layak.
Apakah Operasi Murambatsvina dilakukan tanpa didasari alasan yang diijinkan oleh hukum
internasional?
Pemerintah Zimbabwe sudah memberikan berbagai alasan untuk membenarkan perbuatan
penggusuran secara paksa. Untuk keperluan makalah ini, disimpulkan saja bahwa Operasi
Murambatsvina diperbolehkan karena kondisi di Zimbabwe pada tahun 2005 merupakan
keadaan luar biasa dan penggusuran itu dilakukan untuk memenuhi tujuan yang sah.
Kemudian harus ditanyakan apakah Operasi ini dilakukan tanpa didasari alasan yang diijinkan
oleh hukum internasional?
Dari bukti yang diketahui secara umum, nampak sekali bahwa Pemerintah Zimbabwe
melakuan penggusuran tanpa didasari alasan yang iijinkan hukum internasional:
¾ Pertama, Operasi Murambatsvina tidak diikuti dengan perlindungan prosedural yang
cocok:
o Tidak ada bukti bahwa sebelum bertindak pemerintah membicarakan keadaan
dengan penduduk sempat yang akhirnya jatuh korban Operasi Murambatsiva.
o Operasi dimulai tanpa peringatan/pemberitahuan terlebih dahulu
o Pemerintah tidak menyediakan penginapan alternatif atau membantu orang
yang diusir, bahkan kelompok yang rentan tidak dibantu. Dampak yang dapat
diperkirakan adalah penderitaan secara skala besar.
o Perlindungan hukum tidak memadai, baik karena kurangnya bantuan hukum,
maupun karena badan peradilan Zimbabwe tidak bebas.
¾ Kedua, Operasi Murambatsvina tidak sebanding/seimbang dengan tujuan yang mau
tercapai.
o Tidak dilakukannya usaha sistematik oleh pemerintah untuk menilai
penderitaan/ kerugian yang akan dialami korban penggusuran
36
Komentar Umum Nomor 7, parargraf 15
Komentar Umum Nomor 7, paragraf 16
38
UN ECOSOC Res 2004/28, UN Doc E/C.4/RES/2004728 (2004) 1
37
11
o Tujuannya (mis: karena bangunan tidak sah menurut hukum Zimbabwe, untuk
menghentikan urbanisasi yang tidak terencana, untuk mengurangi ancaman
penyakit menular) tidak cukup serius untuk membenarkan penderitaan/
kerugian yang dialami korban.
Penderitaan yang dialami korban luar biasa, dan sampai sekarang masih susah
untuk mengidentifaskikan manfaatnya Operasi Murambatsvina
o Banyak rumah atau bangunan yang digusur sudah ditempati korban bertahuntahun. Pemerintah Zimbabwe tidak menilai secara patut jalan alternatif selain
penggusuran seperti kemungkinan mensahkan rumah atau bangunan yang tidak
legal
o Pemerintah Zimbabwe tidak mengambil langkah yang memadai untuk
mengurangi penderitaan/kerugian yang diderita.
o Ekonomi informal yang dihancurkan Operasi ini merupakan sumber utama
pangan bagi banyak korban (dan pada waktu itu sudah ada kekurangan pangan
yang kritis).
¾ Ketiga, pemaksaan harus sebanding dengan tujuannya. Negara tidak boleh menyiksa
atau melakukan kekerasan atau perlakuan yang keji, tidak manusiawi atau
merendahkan martabat.
o Pihak militer terlibat
o Operasi Murambatsvina direncanakan untuk dimulai pada bulan pertama
musim dingin, dan pemerintah sadar betul bahwa hal ini akan memperparah
dampak dari penggusuran karena korban tidak mempunyai tempat kediaman
o Cara dilakukannya penggusuran dimaksudkan untuk merendahkan bahkan
untuk menghilangkan martabat korban
o Ada bukti bahwa anak dipisahkan dari keluarganya dan tidak ada usaha untuk
menyatukan kembali keluarga
o Oleh karena penggusuran, korban tidak bisa mengakses layanan kesehatan
yang layak dan mendasar
o Harta milik dan barang jualan pedagang disita atau dihancurkan
¾ Keempat, penggusuran tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang atau secara
diskriminatif.
o Operasi itu dilakukan secara umum tanpa membedakan antara individu.
Dampak dari operasi tersebut sangat mempengaruhi kelompok rentan
Penutup
Menurut Prinsip Limburg pelanggaran hak ekonomi, sosial dan budaya secara sistematis
meruntuhkan keamanan nasional dan mungkin dapat mengancam kedamaian dan keamanan
internasional.39
39
Prinsip Limburg tentang Penerapan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, paragraf
65. Prinsip Limburg disusun pada tahun 1986 oleh kelompok ahli hukum internasional yang terkemuka. Para
ahli ini berasal dari berbagai negara, dan merupakan anggota lembaga internasional seperti Organisasi Buruh
Internasional (ILO), Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) dan
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dan 4 di antaranya merupakan anggota Komite Hak Ekonomi Sosial dan
Budaya. Para ahli ini bersepakat tanpa pengecualian bahwa prinisp Limburg mencerminkan prinsip hukum
internasional yang lazimnya disetujui.
12
Perlu diakui bahwa jalur hukum yang dapat dipakai korban pelanggaran hak ekonomi sosial
dan budaya terbatas di Indonesia.
Hukum pidana internasional, yang termasuk genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan,
merupakan kejahatan serius yang terjadi dalam konteks massal. Di Indonesia ada undangundang yang memungkinkan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perbuatan individu
yang disangka memenuhi syarat genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Dari uraian di atas, patut dipertimbangkan apakah pelanggaran hak ekosob dapat dikatakan
sebagai kejahatan serius yang perlu diperhatikan dan yang mungkin pula dapat digolongkan
sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
13
LAMPIRAN
Undang-Undang Dasar 1945
Pasal 28H
(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh
diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.
Undang-Undang tentang Perumahan dan Permukiman
Pasal 5
PERUMAHAN
Pasal 5
(1) Setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati dan/atau menikmati dan/atau
memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur.
Penjelasan
Rumah yang layak adalah bangunan memenuhi persyaratan keselamatan bangunan dan
kecukupan minimum luas bangunan serta kesehatan penghuninya.
Lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur adalah lingkungan yang memenuhi
persyaratan penataan ruang, persyaratan penggunaan tanah, pemilikan hak atas tanah, dan
kelayakan prasarana serta sarana lingkungan.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Pasal 7, ayat 2
Ketentuan hukum internasional yang telah diterima negara Republik Indonesia yang
menyangkut hak asasi manusia menjadi hukum nasional.
Pasal 27, ayat 1
Setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah dan bertempat
tinggal dalam wilayah negara Republik Indonesia.
Pasal 31
Tempat kediaman siapapun tidak boleh diganggu
Penjelasan
Yang dimaksud dengan “tidak boleh diganggu” adalah hak yang berkaitan dengan kehidupan
pribadi (privacy) di dalam tempat kediamannya.
Pasal 36, ayat 2
Tidak seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang san secara melawan
hukum
Pasal 37
1) Pencabutan hak milik atas suatu benda demi kepentingan umum hanya diperbolehkn
dengan mengganti kerugian yang wajar dan segera serta pelaksanaannya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
2) Apabila sesuatu benda berdasarkan ketentuan hukum demi kepentingan umum harus
dimusnahkan atau tidak diberdayakan baik untuk selamanya maupun untuk sementara
waktu maka hal itu dilakukan dengan mengganti kerugian sesuai dengan ketentuan
perauran perundang-undangan kecuali ditentukan lain.
14
Pasal 40
Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak.
Pasal 71
Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan dan
memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam...hukum internasional tentang hak asasi
manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia.
Pasal 74
Tidak satu ketentuan pun dalam Undang-Undang ini oleh diartikan bahwa Pemerintah, partai,
golongan atau pihak manapun dibenarkan mengurangi, merusak, atau menghapuskan hak
asasi manusia atau kebebasan dasar yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Penjelasan
Ketentuan dalam Pasal ini menegaskan bahwa siapapun tidak dibenarkan mengambil
keuntungan sepihak dan atau mendatangkan kerugian pihak lain dalam mengartikan ketentuan
dan Undang-Undang ini, sehingga mengakibatkan berkurangnya dan atau hapusnya hak asasi
manusia yang dijamin oleh Undang-Undang ini.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights
Mengesahkan International Covenant on Economic Social and Cultural Rights (Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Ekonomi Sosial dan Budaya) dengan Declaration (Pernyataan)
terhadap Pasal 1 (pasal 1, ayat 1). Dengan pengesahan Kovenan ini, maka Kovenan ini
mengikat Indonesia secara hukum.
Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi Sosial dan Budaya
Pasal 11(1) Kovenan Ekosob mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak,
termasuk perumahan.40 Negara harus menjamin:
• bahwa hak ini dilaksanakan tanpa diskriminasi apa pun,41 dan
• hak yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati hak ini.42
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
Pasal 7
Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi :
a. kejahatan terhadap kemanusian;
Penjelasan
Pasal 7
“Kejahatan terhadap kemanusiaan” dalam ketentuan ini sesuai dengan Rome Statute of The
Intemational Criminal Court” (Pasal 6 dan Pasal 7).
Pasal 9
Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah
salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau
40
“Negara pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak baginya dan
keluarganya, termasuk pangan, sandang dan perumahan, dan atas perbaikan kondisi hidup terus menerus.”
41
Negara pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menjamin bahwa hak-hak yang diatur dalam Kovenan ini akan
dilaksanakan tanpa diskriminasi apa pun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau
pendapat lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lainnya (pasal 2, paragraf 2).
42
Negara pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menjamin hak yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk
menikmati semua hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang tercantum dalam Kovenan ini (pasal 3).
15
sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung
terhadap penduduk sipil, berupa:
d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
Penjelasan
Pasal 9
Yang di maksud dengan “serangan yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil”
adalah suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil sebagai kelanjutan
kebijakan penguasa atau kebijakan yang berhubungan dengan organisasi.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa” adalah
pemindahan orang-orang secara paksa dengan cara pengusiran atau tindakan pemaksaan yang
lain dari daerah dimana mereka bertempat tinggal secara sah, tanpa didasari alasan yang
diijinkan oleh hukum internasional.
16
Penggusuran di Jakarta
Menurut laporan yang disusun Human Rights Watch yang berjudul “Masyarakat yang
Tergusur: Pengusiran Paksa di Jakarta” Volume 18 No.10(C), September 2006, sepanjang
sembilan tahun masa pemerintahan Gubernur Jakarta Sutiyoso, puluhan ribu orang mengalami
pembongkaran rumahnya dan penghancuran harta miliknya. Perbuatan ini biasannya
diorganisir oleh pemerintah setempat, dan dilaksanakan oleh polisi setempat, petugas
ketertiban umum dan militer. Kadang-kadang kelompok swasata membantu petugas
pemerintah melaksanakan penggusuran/pembongkaran. Korban tidak diberitahukan terlebih
dahulu secara layak, tidak diikutinya prosedur sebagaimana mestinya, dan korban tidak
diberikan kompensasi.
Pemerintah Jakarta berupaya membenarkan beberapa penggusuran yang dilakukannya
dengan alasan bahwa lahan tersebut dibutuhkan untuk proyek infrastruktur. Sementara
itu, pemukiman lain dihancurkan dengan maksud membersihkan wilayah kumuh demi
ketertiban umum, atau memindahkan mereka yang menggunakan lahan pribadi maupun
milik negara secara tidak sah.
Photos: http://www.hrw.org/photos/2006/indonesia0906/photo1.htm
Penggunaan kekuatan yang berlebihan dalam menghadapi warga
Waktu itu seperti perang. Saya masih ingat dengan sangat jelas karena airmata
saya belum kering ….Polisi datang dengan membawa perisai dan mereka berteriakteriak
‘Serang! Serang!’….Mulanya mereka menyerang dengan meriam air,
kemudian mereka melepaskan gas airmata. Masyarakat lalu mundur, dan saat
itulah polisi mulai memasuki lokasi. Mereka mulai menembak dan memukuli
masyarakat ….Ketika kami masih melawan, mereka menembak ke udara. Tetapi
setelah barikade terbuka, mereka kemudian menembaki ke arah masyarakat.
—RR, diusir dari rumahnya di Cengkareng Timur, 17 September 2003.
Kehancuran dan kerugian harta benda pribadi
Cuma barang-barang yang sempat kami keluarkan dari rumahlah yang selamat.
Semua barang kami yang lainnya hilang: kulkas, TV, juga lemari kami. Kami
juga kehilangan uang. Waktu itu tidak ada kesempatan untuk berbuat apa-apa.
Kami sedang panik.
—KS, diusir dari rumahnya di Cakung, Jalan Cilincing, 8 Januari 2006
Penggunaan kelompok urban oleh pemerintah
Salah satu petugas militer bertanya kepada saya: ‘Apa premannya sudah datang?’
Saat itu saya berpikir bahwa para petugas militer itu ada di sana untuk melindungi
kami. Tak lama kemudian, dua buah bis datang, beserta dua jeep, sekitar dua
ratus preman. Kelompok preman tersebut datang dan berjabat tangan dengan polisi
dan militer… sesaat kemudian, polisi dan militer pergi. Kemudian para preman
tersebut langsung mendatangi kami, masuk ke dalam komplek perumahan. Tidak
ada seorangpun yang menolong kami. Saya takut, saya tidak tahu negara macam
apa ini yang polisi dan militernya membiarkan saja hal semacam itu terjadi.
—EH, diusir dari rumahnya di Pasar Baru, 21 Desember 2005.
Kegagalan bermusyawarah
Kami cemas karena tidak ada pertemuan sama sekali.
17
—SW, diusir dari rumahnya di Cakung, Jalan Cilincing, 15 September 2005
Kurangnya pemberitahuan
Pada saat itu saya sedang mencuci pakaian dan memasak, dan saya mendengar
suara ketukan, jadi saya lari keluar rumah untuk melihat ada apa. Tak lama
kemudian, buldoser datang, saya tidak tahu apa yang sedang terjadi.
—AR, diusir dari rumahnya di Cakung, Jalan Cilincing, 15 September 2005.
Kompensasi yang tidak memadai
Penggusuran yang terjadi telah membuat kami bertambah miskin dan kami menjadi
gelandangan.
—BS, diusir dari rumahnya di Pisangan Timur, 2 Januari 2006.
Paksaan dalam proses kompensasi
Karena warga tinggal dalam tenda [setelah pembongkaran] dan tidak memiliki
makanan sama sekali, hal itu memaksa mereka untuk menerima uang tersebut
meskipun jumlahnya [tidak mencukupi].
—SW, diusir dari rumahnya di Cakung, Jalan Cilincing, 15 September 2005
Korupsi dalam proses kompensasi
Saya menandatangani tanda terima senilai Rp. 27.000.000 tetapi saya hanya
menerima Rp. 15.200.000. Tetapi kemudian petugas kampung setempat meminta
Rp. 1.600.000 dari saya. Saya tidak tahu kenapa.
—LA, diusir dari rumahnya di Jatinegara, 11 Januari 2006.
Penyediaan lahan alternatif yang tidak memadai
Mereka menawarkan sebuah tempat …tetapi mereka hanya menyediakan tempat
penampungan, bukan rumah…[Dan] jauh dari laut…Daerah sebelumnya [di
mana kami tinggal sebelum penggusuran], sangat dekat dengan laut; kami tinggal
buka pintu ….Kami tergantung pada kapal untuk penghidupan kami, jadi kalau
kami tinggal jauh dari laut tak ada gunanya.
—SM, nelayan, diusir dari rumahnya di Ancol Timur, 4 Oktober 2001.
Tempat penampungan yang tidak memadai setelah penggusuran
Kami dipaksa pergi tapi malam itu kami kembali. Kami tidur di tanah dan kami
tidur di sini. Waktu itu hujan dan semuanya basah. Kami kembali kemari karena
kami tidak tahu lagi harus pergi ke mana… Sekitar tiga bulan kami baru bisa
membangun lagi. Petugas ketertiban umum terus-menerus mengawasi daerah ini.
Kami tidak bisa membangun tenda atau pagar yang bisa terlihat dari jalan raya.
Petugas ketertiban umum bilang “Nanti. Nanti, kamu bisa membangun, tapi
sekarang harus kosong dulu”…Kami masih belum punya atap, cuma terpal.
—AS, diusir dari rumahnya di Cikini, 12 Maret 2005
Penggusuran bersiklus
Saya sudah tinggal di sini selama tiga puluh lima tahun, dan kami sudah diusir
berkali-kali. Tapi kami selalu kembali karena kami tidak punya tempat tinggal
lain lagi.
—ID, diusir dari rumahnya di Cikini, 12 Maret 2005.
18
APAKAH PELANGGARAN HAK EKOSOB
DAPAT DIGOLONGKAN SEBAGAI
KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN?
Studi Kasus:
Penggusuran Scr Paksa Yang Meluas Atau Sistematik
Operasi Murambatsvina di Zimbabwe
Nicola Colbran
Norwegian Centre for Human Rights
Pelanggaran HAM dan
tindak pidana internasional?
Penggusuran secara paksa
•
pemindahan secara
permanen atau sementara,
•
yang bertentangan dengan
kemauan individu, keluarga
dan/atau komunitas,
•
dari rumah dan/atau tanah
yang ditempatinya
•
tanpa penyediaan, dan
akses terhadap,
perlindungan hukum atau
perlindungan layak yang
lain.
Pemindahan penduduk scr paksa
•
pemindahan orang-orang
•
•
•
secara paksa dengan cara
pengusiran atau tindakan
pemaksaan yang lain
dari daerah dimana mereka
berada secara sah
tanpa didasari alasan yang
diijinkan oleh hukum
internasional.
Sampai titik ini, keduanya mirip sekali,
namun perlu diperhatikan ciri khas
tindak pidana internasional
Pelanggaran HAM dan
tindak pidana internasional?
Penggusuran secara paksa
Pemindahan penduduk scr paksa
•
perbuatan tersebut dilakukan
sebagai bagian dari serangan
yang meluas atau sistematik
yang ditujukan terhadap
penduduk sipil
•
pelaku mengetahui bahwa
perbuatan tersebut merupakan
bagian dari atau memaksudkan
perbuatan itu merupakan bagian
dari serangan yang meluas atau
sistematik yang ditujukan
terhadap penduduk sipil
Pelanggaran HAM dan
tindak pidana internasional?
Dapat disimpulkan dari tabel di atas bahwa tindak pidana
internasional....
...merupakan kejahatan serius yang perlu diperhatikan masyarakat
internasional secara keseluruhan
...terjadi dalam konteks kekerasan massal (seperti serangan yang
meluas atau sistematik yang ditujukan terhadap penduduk sipil)
...oleh karena itu tidak bersifat sekali-sekali atau tersendiri
...merupakan kejahatan di mana individu dapat dipertanggungjawabkan
(bukan negara)
Hak atas perumahan yg layak
• Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional ttg
Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, yang menjamin hak
setiap orang atas standar kehidupan yang layak,
termasuk perumahan. Negara harus menjamin:
– bahwa hak ini dilaksanakan tanpa diskriminasi apa
pun,dan
– hak yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk
menikmati hak ini.
• Penggusuran secara paksa pada dasarnya melanggar
hak atas perumahan yang layak.
Apa yg dimaksud dgn
”penggusuran scr paksa”
• Penggusuran/ pengusiran secara paksa dapat diartikan
sebagai pemindahan secara permanen atau sementara,
yang bertentangan dengan kemauan individu, keluarga
dan/atau komunitas, dari rumah dan/atau tanah yang
ditempatinya tanpa penyediaan, dan akses terhadap,
perlindungan hukum atau perlindungan layak yang lain.
Apa yg dimaksud dgn
”penggusuran scr paksa”
• Yaitu, penggusuran secara paksa:
– terjadi secara sewenang-wenang dan tidak dilakukan
menurut hukum HAM internasional atau hukum domestik.
– dapat dilakukan tanpa kekerasan apabila tahan diambil
tanpa alasan yg dapat dibenarkan, atau apabila
perlindungan prosedural para korban tidak dijamin.
Perlindungan prosedural korban termasuk:
• konsultasi sungguh-sungguh dengan penduduk yang
terpengaruhi,
• diberitahukannya secara layak dan memadai mengenai
penggusuran sebelum tanggal dimulainya penggusuran,
• diperlakukannya setara perempuan dan laki-laki dalam hal
akses terhadap kompensasi, dan
• disediakannya upaya hukum bagi orang yang terpengaruhi
Apa yg dimaksud dgn
”penggusuran scr paksa”
• Hak atas perumahan yang layak (dan larangan terhadap
penggusuran secara paksa) melindungi individu yang
menempati rumah dan tanah. Perlindungan ini tidak
tergantung pada bentuk kepemilikan atau penguasaan
rumah atau tanah, dan juga tidak tergantung pada sah
tidaknya ditempatinya rumah atau tanah itu.
Hukum pidana internasional
• Statuta Roma mendirikan pengadilan pidana
internasional tetap yang ruang lingkupnya meliputi
“tindak pidana yang paling memprihatinkan untuk
komunitas internasional secara keseluruhan”.
• Statuta Roma menyebut genosida (pasal 6), kejahatan
terhadap kemasnusiaan (pasal 7) dan kejahatan perang
(pasal 8) sebagai tindak pidana tersebut.
• Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma, namun
menurut Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia
Indonesia, pemerintah Indonesia akan menjadi Negara
Pihak pada tahun 2008.
Hukum pidana internasional
• Walaupun Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma,
sejak tahun 2000, pemerintah telah mengakui
pentingnya untuk ikut serta memelihara perdamaian
dunia dan menjamin pelaksanaan HAM dgn
pembentukan pengadilan khusus untuk menyelesaikan
pelanggaran HAM berat.
• Pada tahun 2000, Indonesia memberlakukan UU
26/2000 ttg Pengadilan Hak Asasi Manusia.
• Menurut penjelasan UU ini, kejahatan genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan dalam pasal 7 sesuai
dengan Rome Statute of The International Criminal
Court.
Apa yg dimaksud dgn
”kejahatan thd kemanusiaan”
•
Elemennya
– Perbuatan yg terjadi:
• sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik
• yang ditujukan terhadap penduduk sipil
• dengan diketahuinya pelaku akan serangan tersebut (ps.7
Statuta Roma)
•
Bentuknya
– Salah satu bentuk kejahatan thd kemanusiaan adalah “deportasi
atau pemindahan penduduk secara paksa”, yaitu:
• pemindahan orang-orang secara paksa dengan cara
pengusiran atau tindakan pemaksaan yang lain
• dari daerah dimana mereka berada secara sah
• tanpa didasari alasan yang diijinkan oleh hukum
internasional.
Operasi Murambatsvina
•
Tanpa diberitahukan terlebih dahulu, Pemerintah Zimbabwe
melaksanakan kampanye penggusuran secara paksa di berbagai
kota Zimbabwe. Kampanye ini dinamakan “Operasi
Murambatsvina” dan dimulai akhir Mei 2005 dan berakhir awal Juli
2005. Kampanye ini mengakibatkan pemindahan beratus-ribu
orang secara paksa, penghancuran rumah dan kediaman, tempat
berbisnis dan harta milik, kehilangan sumber kehidupan orang, dan
dilukainya serta dibunuhnya penduduk.
•
Pemerintah Zimbabwe:
– membenarkan tindakannya/kebijakannya atas dasar pemberantasan
“kegiatan liar”
– tidak menyediakan perlindungan prosedural yang layak, dan
– sampai sekarang menolak menyelidiki, menyidik dan mengadili petugas
dan oknum yang bertanggungjawab atas pelaksanaan OM.
Operasi Murambatsvina
Pantas ditanya apakah penggusuran paksa yang
dilaksanakan dengan skala yang sebesar ini, dapat
digolongkan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan:
yaitu deportasi/pengusiran atau pemindahan secara
paksa?
Elemen kejahatan thd kemanusiaan
dalam konteks Operasi Murambatsvina
Serangan yang meluas atau sistematik
•
•
•
•
•
Serangan tidak harus melibatkan kekuatan militer atau
konflik/pertikaian bersenjata, atau jenis kekerasan apapun
“meluas atau sistematik” adalah syarat mendasar dalam
membedakan kejahatan terhadap kemanusiaan dengan kejahatan
umum
Istilah “meluas” merujuk pada “skala besarnya” serangan dan
“banyaknya jumlah korban”.
Istilah “sistematik” mengindikasikan “suatu rencana yang terpola
atau metodis” berdasarkan kebijakan bersama yang melibatkan
sumber daya publik atau swasta yang cukup banyak.
Kedua istilah tersebut merujuk pula pada sifat serangan dan bukan
perbuatan tersangka.
Elemen kejahatan thd kemanusiaan
dalam konteks Operasi Murambatsvina
Serangan yang meluas atau sistematik
• OM bersifat skala besar dan dilakukan pada waktu yang
sama kepada korban yang berlipat ganda.
• Bahkan jumlah korban yang diakui pemerintah (yaitu
92,460 tempat kediaman digusur dan 133,535 keluarga
terpengaruhi secara langsung, dan 32,538 bangunan
yang didirikan pemilik usaha (bisnis) kecil, mikro dan
menengah digusur) dapat dikatakan “secara meluas”.
• OM diatur dan dilaksanakan berdasarkan kebijakan
bersama Negara (kebijakan diumumkan oleh pejabat
pemerintah) dan memerlukan sumber daya publik yang
cukup banyak (OM dilakukan oleh polisi dan militer).
Elemen kejahatan thd kemanusiaan
dalam konteks Operasi Murambatsvina
Serangan yang ditujukan terhadap penduduk sipil:
• suatu rangkaian perbuatan yang disebutkan dalam ayat
1 yang dilakukan berlipat ganda
• yang dilakukan terhadap penduduk sipil
• sebagai kelanjutan kebijakan Negara atau kebijakan
organisasi untuk melakukan serangan itu
Elemen kejahatan thd kemanusiaan
dalam konteks Operasi Murambatsvina
a) Suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan berlipat ganda
• Di OM, berkali-kali orang diusir dari tempat mereka berada;
rumahnya dan bangunan lainnya digusur.
b) Yg dilakukan thd penduduk sipil
• “Sipil” berarti bukan militer atau pasukan bertempur,
• “penduduk” berarti jumlah orang yang cukup besar yang
mempunyai ciri-ciri tertentu yang mengidentifikasikannya
sebagai sasaran serangan. Tdk mengharuskan diserangnya
penduduk scr keseluruhan dari wilayah geografis di mana
serangan itu terjadi.
• Dalam konteks OM, penduduk sipil mengalami penggusuran,
pengusiran dan pemindahan secara paksa.
Elemen kejahatan thd kemanusiaan
dalam konteks Operasi Murambatsvina
c) Sebagai kelanjutan kebijakan negara atau kebijakan
organisasi untuk melakukan serangan itu
• Serangan yang terjadi di kasus ini dilakukan sebagai
kelanjutan dari kebijakan Negara. OM diumumkan oleh
pejabat pemerintah dan dilakukan oleh polisi dan tentara
Zimbabwe.
Pemerintah bahkan mencoba membenarkan tindakannya
(misalnya, karena bangunan yang digusur tidak sah menurut
hukum Zimbabwe maka wajar dibongkar).
Elemen kejahatan thd kemanusiaan
dalam konteks Operasi Murambatsvina
Dengan diketahuinya pelaku akan serangan
• Pengamatan ini tidak menamakan individu yang
bertanggungjawab atas penggusuran, maka tidak perlu
untuk mengupas elemen mental yang harus dibuktikan
apabila kasus ini digugat.
Bentuk kejahatan thd kemanusiaan
(pemindahan secara paksa) dalam
konteks Operasi Murambatsvina
Pemindahan orang-orang secara paksa dengan cara
pengusiran atau tindakan pemaksaan yang lain
• termasuk segala bentuk tekanan terhadap penduduk
yang memaksakannya lari dari rumahnya
• seringkali dilakukan dgn kekerasan, misalnya sbg akibat
konflik bersenjata internasional, kekacauan internal, dan
kekerasan etnis
• Juga dapat dilakukan demi pembangunan ekonomi.
• Di kasus Operasi Murambatsvina, penggusuran secara
paksa yang dilakukan pemerintah mengakibatkan orang
meninggalkan tempat mereka berada, yaitu yang terjadi
adalah pemindahan orang secara paksa.
Bentuk kejahatan thd kemanusiaan
(pemindahan secara paksa) dalam
konteks Operasi Murambatsvina
Dari daerah di mana mereka berada secara sah
• Pemerintah Zimbabwe mengartikan frase ini dengan
cara yang sempit, yaitu, penduduk akan berada di
tempat secara sah apabila sah menurut hukum domestik
(sah atau tidaknya ditentukan oleh hak kepemilikan/
penguasaan tanah dan/atau sah atau tidaknya
bangunan yang didirikannya).
• Namun demikan, frase ini sebaiknya ditafsirkan secara
luas, yaitu berada secara sah mengacu pada hak setiap
Negara untuk mengontrol izin masuk ke wilayahnya.
Bentuk kejahatan thd kemanusiaan
(pemindahan secara paksa) dalam
konteks Operasi Murambatsvina
Alasannya sebagai berikut:
• keberadaan orang di sebuah daerah menggambarkan keberadaan
orang secara fisik di suatu tempat, bukan apakah orang tinggal di
tempat itu atau memilikinya,
• keberadaan orang berhubungan dengan daerah dari mana korban
dipindahkan secara paksa,
• istilah “daerah” menandakan kesatuan geografis yang cukup besar,
bukan masing-masing bagian tanah yang ditempati orang.
• hukum domestik yang mengatur hak menempati dan memakai
tanah biasanya sangat rumit. Luar biasa apabila penerapan hukum
pidana internasional yang mendasar ditentukan oleh hukum
domestik.
Bentuk kejahatan thd kemanusiaan
(pemindahan secara paksa) dalam
konteks Operasi Murambatsvina
•
standar yang terkandung dalam Kovenan Internasional tentang Hak
Ekosob melindungi orang yang menempati rumah/tanah secara
tidak sah. Apabila “berada secara sah” ditafsirkan secara sempit,
berarti sah tidaknya kepemilikan/ penguasaan tanah menurut hukum
domestik dapat menentukan hak orang dalam hukum pidana
internasional, sedangkan hukum domestik tidak menentukan apa
apa dlm hukum HAM internasional, dan
•
latar belakang disusunnya Pasal 7 ayat d Statuta Roma
menunjukkan bahwa masalah yang dijadikan fokus pasal ini adalah
wilayah negara; tidak ada pembahasan sama sekali mengenai sah
atau tidaknya keberadaan penduduk menurut hukum domestik.
Bentuk kejahatan thd kemanusiaan
(pemindahan secara paksa) dalam
konteks Operasi Murambatsvina
Tanpa didasari alasan yg diijinkan hukum internasional
Menurut Komite Hak Ekonomi Sosial dan Budaya:
–
Penggusuran secara paksa pada dasarnya merupakan
pelanggaran Kovenan Internasional Hak Ekosob.
–
Penggusuran secara paksa hanya diperbolehkan dalam
keadaan luar biasa di mana penggusuran atau pemindahan
secara paksa perlu untuk memenuhi tujuan yang sah
–
Penggusuran secara paksa harus dilakukan sesuai dengan:
• prinsip hukum internasional, dan
• sesuai dengan prinsip kelayakan (reasonableness) dan
keseimbangan (proportionality).
Bentuk kejahatan thd kemanusiaan
(pemindahan secara paksa) dalam
konteks Operasi Murambatsvina
– Penggusuran harus diiringi dengan perlindungan prosedural
yang cocok (keharusan ini merupakan bagian mutlak dari
terjadinya penggusuran sesuai dengan prinsip hukum
internasional
Bentuk kejahatan thd kemanusiaan
(pemindahan secara paksa) dalam
konteks Operasi Murambatsvina
Apakah OM dilakukan tanpa didasari alasan yang diijinkan oleh hukum
internasional?
• Pemerintah Zimbabwe sudah memberikan berbagai alasan untuk
membenarkan perbuatan penggusuran scr paksa. Untuk keperluan
makalah ini, disimpulkan saja bahwa OM diperbolehkan karena kondisi
di Zimbabwe pada tahun 2005 merupakan keadaan luar biasa dan
penggusuran itu dilakukan untuk memenuhi tujuan yang sah.
• Walaupun begitu, nampak sekali bahwa Pemerintah Zimbabwe
melakuan penggusuran tanpa didasari alasan yang iijinkan hukum
internasional:
– Pertama, OM tdk diikuti dengan perlindungan prosedural yang
cocok mis: Tidak ada bukti bahwa sebelum bertindak pemerintah
membicarakan keadaan dgn penduduk sempat yang akhirnya jatuh
korban OM, Operasi dimulai tanpa peringatan/pemberitahuan terlebih
dahulu, Perlindungan hukum tdk memadai, krn kurangnya bantuan
hukum, maupun krn badan peradilan Zimbabwe yg tdk bebas.
Bentuk kejahatan thd kemanusiaan
(pemindahan secara paksa) dalam
konteks Operasi Murambatsvina
• Kedua, OM tidak sebanding/seimbang dengan
tujuan yang mau tercapai.
– Tujuannya (mis: karena bangunan tidak sah menurut
hukum Zimbabwe, untuk menghentikan urbanisasi
yang tidak terencana, untuk mengurangi ancaman
penyakit menular) tidak cukup serius untuk
membenarkan penderitaan/ kerugian yang dialami
korban.
– Tidak dilakukannya usaha sistematik oleh pemerintah
untuk menilai penderitaan/ kerugian yang akan
dialami korban penggusuran
Bentuk kejahatan thd kemanusiaan
(pemindahan secara paksa) dalam
konteks Operasi Murambatsvina
• Ketiga, pemaksaan harus sebanding dengan tujuannya.
Negara tidak boleh menyiksa atau melakukan kekerasan
atau perlakuan yang keji, tidak manusiawi atau
merendahkan martabat: mis:
– Pihak militer terlibat
– Cara dilakukannya penggusuran dimaksudkan untuk
merendahkan bahkan untuk menghilangkan martabat korban
• Keempat, penggusuran tidak boleh dilakukan secara
sewenang-wenang atau secara diskriminatif.
– Operasi itu dilakukan secara umum tanpa membedakan antara
individu. Dampak dari operasi tersebut sangat mempengaruhi
kelompok rentan
Penutup
• Menurut Prinsip Limburg pelanggaran hak ekosob
secara sistematis meruntuhkan keamanan nasional
dan mungkin dapat mengancam kedamaian dan
keamanan internasional.
• Perlu diakui bahwa jalur hukum yang dapat dipakai
korban pelanggaran hak ekosob terbatas di
Indonesia.
• Hukum pidana internasional, yang termasuk
kejahatan terhadap kemanusiaan, merupakan
kejahatan serius yan terjadi dalam konteks massal.
Penutup
• Di Indonesia ada undang-undang yang memungkinkan
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perbuatan
individu yang disangka memenuhi syarat genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan.
• Dari uraian di atas, patut dipertimbangkan apakah
pelanggaran hak ekosob dapat dikatakan sebagai
kejahatan serius yang perlu diperhatikan dan yang
mungkin dapat digolongkan sebagai kejahatan terhadap
kemanusiaan.
Download