AMNESTY INTERNATIONAL PERNYATAAN PUBLIK Index: ASA 21/3351/2016 28 Januari 2016 Indonesia: Anggota-anggota kelompok minoritas keyakinan diusir paksa dari Kalimantan Barat Pihak berwenang Indonesia harus menjamin bahwa para anggota minoritas keyakinan – Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) yang diusir paksa minggu lalu di Kalimantan Barat – memiliki akses atas reparasi terhadap situasi mereka. Reparasi ini tidak hanya akses terhadap keadilan tetapi juga pemulihan hak lain mereka. Reparasi ini harus mencakup jaminan pemulangan mereka secara aman, suka rela, dan bermartabat baik ke rumah mereka maupun tempat lain menurut pilihan mereka berdasarkan konsultasi yang bermakna, kompensasi yang memadai terhadap kerugian yang mereka derita, termasuk hancur dan rusaknya rumah-rumah mereka, dan jaminan bahwa hal serupa tidak terulang kembali. Pada 19 Januari, sekelompok massa menyerang kampung Motong Panjang di Kabupaten Menpawah dan membakar sembilan rumah milik para anggota komunitas Gafatar. Setelah penyerangan tersebut, para anggota Gafatar dibawa oleh anggota kepolisian Menpawah ke tempat penampungan sementara di kompleks militer di Kabupaten Kuburaya, Kalimantan Barat dan sebuah gedung olah raga di Pontianak, ibukota Kalimantan Barat. Paling tidak 1.500 anggota of Gafatar, termasuk perempuan dan anak-anak, diusir paksa dari rumahrumah mereka di Kabupaten Sintang dan Ketapang, juga di Kalimantan Barat, oleh sekelompok massa dari daerah setempat hanya karena afiliasi mereka kepada Gafatar yang dianggap “sesat” oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pada 21 Januari, pihak berwenang Kalimantan Barat mulai memindahkan ratusan anggota Gafatar dengan kapal laut ke beberapa lokasi di Pulau Jawa, yang diklaim oleh pihak berwenang tersebut sebagai tempat asal mereka. Relokasi oleh pihak berwenang di Kalimantan Barat mencegah serangan lanjutan terhadap kelompok tersebut, tetapi para anggota yang tinggal di tempat penampungan sementara di Pulau Jawa menyatakan bahwa relokasi tersebut dilakukan tanpa konsultasi dengan mereka. Tidak ada investigasi kriminal dilakukan oleh polisi terhadap pengusiran paksa dan tindak kiminal lainnya yang dilakukan oleh kumpulan massa tersebut. Kelompok Gafatar juga mengutarakan kekhawatiran mereka akan diskriminasi oleh pihak berwenang setempat dan resiko gangguan, intimidasi, dan serangan berulang lebih lanjut karena afiliasi keyakinan mereka. Menurut Sekretaris Kabinet kebebasan gerak mereka akan dibatasi dan mereka akan menjalani program-program “re-edukasi” keyakinan. Hak atas kebebasan berkeyakinan dijamin oleh Konstitusi Indonesia. Tambahan lagi, Pasal 18 dari Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang mana Indonesia merupakan negara pihak, menyatakan bahwa “hak ini harus mencakup kebebasan untuk memiliki atau mengadopsi suatu agama atau keyakinan menurut pilihannya” dan bahwa “tidak ada seorangpun bisa menjadi subjek pemaksaan yang bisa mengurangi kebebasan untuk memiliki atau mengadopsi suatu agama atau keyakinan menurut pilihannya”. Negara sendiri harus mencegah dirinya untuk melakukan pengusiran paksa dan memastikan bahwa hukum ditegakkan terhadap aparatusnya atau pihak ketiga yang melakukan pengusiran paksa. Pendekatan ini diperkuat oleh Pasal 17(1) dari ICCPR yang melengkapi hak untuk diusir paksa tanpa perlindungan yang memadai. Ketentuan ini mengakui, satu di antaranya, hak untuk dilindungi dari “intervensi yang semena-mena atau tidak sah” atas tempat tinggalnya. Kejadian ini menyoroti masalah yang terus berlangsung terhadap intoleransi beragama dan gangguan terhadap para minoritas agama atau keyakinan di Indonesia. Pada 5 Januari, pemerintahan Kabupaten Bangka di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mengeluarkan sebuah surat mengancam kelompok Ahmadiyah yang berjumlah 100 orang dengan pengusiran dari rumah-rumah mereka jika mereka tidak pindah keyakinan ke Islam Suni. Di Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur ada paling sedikit 150 anggota jemaat Syiah yang diusir paksa tinggal di tempat penampungan sementara sejak Agustus 2012 dan masih menunggu untuk pulang ke rumah mereka di Sampang, Pulau Madura. Di Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat terdapat sekitar 130 orang, termasuk perempuan dan anakanak, anggota jemaat Ahmadiyah telah tinggal di tempat penampungan sementara sejak Februari 2006. Latar Belakang Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) didirikan pada Januari 2012 dengan cabang di 14 provinsi. Beberapa minggu sebelum serangan, MUI, sebuah asosiasi ulama Islam nasional menganggap Gafatar sebagai transformasi al-Qiyadah yang mereka nyatakan sebagai organisasi “sesat” pada November 2007. Pada April 2008, pemimpin al-Qiyadah, Ahmed Moshadeq, dinyatakan bersalah di bawah Pasal 156(a) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan dihukum empat tahun penjara oleh PN Jakarta Selatan karena memimpin sebuah “aliran sesat” dan menyatakan dirinya sebagai nabi. Pada Juni 2015, enam anggota komunitas Gafatar di Provinsi Aceh divonis karena menghina agama di bawah Pasal 156 KUHP dan dijatuhi hukuman empat tahun penjara oleh PN Banda Aceh. Mereka dipidana semata-mata karena menjalani hak mereka atas kebebasan berkeyakinan secara damai dan harus dibebaskan segera dan tanpa syarat.