BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesadaran akan perkembangan internet di dunia yang semakin meningkat, dapat memancing masyarakat untuk melirik keunggulan internet dibanding media konvesional lainya. Masyarakat sudah semakin sadar akan nilai lebih yang diberikan oleh media internet. Cepat, murah dan praktis, sepertinya itulah yang menjadi trigger bagi masyarakat untuk berbondong-bondong mempelajari dunia internet yang relative baru bagi mereka. Semakin terjangkaunya akses internet telah membuat persentase masyarakat yang menggunakan media internet sebagai pendukung aktifitasnya juga semakin meningkat. Bahkan peran media massa konvensional banyak berganti dengan media online. Media online sudah menjadi media yang tidak asing lagi dalam masyarakat. Media yang menawarkan berbagai kemudahan dalam hal mencari beritta, bergaul dan berbisnis ini, sudah menjadi sahabat terbaik bagi masyarakat. Melalui media online masyarakat dapat dengan mudah mengakses informasi baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Semua itu mudah dapat diakses dengan cepat tanpa membutuhkan biaya yang mahal. Media online menawarkan sebuah kesempatan berkomunikasi yang mampu menembus ruang dan waktu. Berbagai informasi dan berita yang menjadi pembicaraan terhangat dari segala penjuru, dapat diakses dengan daya 1 kerja media online. Begitu banyak manfaaat yang dapat diberikan oleh media online ini terhadap masyarakat. Media massa online memiliki peran dalam memajukan peradaban umat manusia yang kian pesat didorong tak luput dari peran teknologi komunikasi yang serba canggih. Bahkan tak jarang kecanggihan tersebut disalah gunakan, sehingga media massa memiliki dua peranan yakni memperburuk sisi kemanusiaan seseorang (dehumanisasi) atau memperkuat dan menajamkan sence of humanity (humanisasi). Media online telah menjadi kekuatan media di era digital ini. Media online mempunyai banyak kelebihan dalam penyampaian berita, opini serta pembangun konstruksi terhadap persepsi khalayak. Media online tumbuh subur di Indonesia dengan jumlah yang fantastis. Dewan pers mencatat pada awal 2016 jumlah media online ada sekitar 2.000 media online. Tetapi yang sesuai dengan kaidah jurnalistik dan mempunyai kelayakan sebagai perusahaan hanya sekitar 211 media. Selebihnya adalah media-media yang muncul untuk kepentingan komunitas atau kelompok tertentu, atau bahkan kepentingan individual. (http://hariansib.co/view/ Headlines/95574/Dewan-Pers--Ada-2-000-Media-Online-Hanya-211-yang-Sesuai-Kaidah-Jurnalistik.html) Kovach & Tom (2010:7) menjelaskan bagaimana keadaan komunikasi publik pada masa informasi ini; “though we may little understand how, we are all assuming more control over what we know about the world beyond our direct experiences. We are becoming our own editors, our own gatekeepers, 2 our own aggresors.” Meramalkan kemana komunikasi akan beranjak dan nampaknya Bill Kovach benar. Hari ini semua orang bisa menjadi kanal berita dan informasi masing-masing dan information sharing tidak lagi didominasi oleh pemain besar media massa yang hanya memiliki pola komunikasi satu arah.Terlebih Stuart Hall, dengan cultural studies memberikan pendapat bahwa salah satu fungsi mass media adalah maintaining the power mereka yang sudah berdiri di posisi puncak pemerintahan (Griffin, 2011). Seperti juga yang terlihat dari fenomena media massa Indonesia pada periode kampanye 2014 lalu, yang merebut posisi tersebut. Media, baik yang online maupun yang tidak online mempunyai fungsi untuk memberikan informasi sekaligus melakukan konstruksi sosial terhadap masyarakat. Karena pada dasarnya berita adalah konstruksi media, bukan realitas (Eriyanto, 2006). Konstruksi media sendiri berdasarkan kepentingan media, kepentingan ekonomi media serta sesuai dengan ideology media yang dianut. Hal ini seperti yang terjadi pada isu atau tema Gafatar (Gerakan Fajar Nusantara) yang ramai dibicarakan dimedia masa, termasuk di media online. Dari sekian banyak pemberitaan tentang Gafatar di media online pada saat ramai dibicarakan, secara garis besar isu dari pemberitaan media online terkait Gafatar terbagi menjadi 4 isu besar, yaitu tentang ajarannya yang sesat atau menyimpang, tentang isu potensial terorisme, isu mimpi membangun negeri dan isu mencampuradukkan berbagai agama. Isu-isu tersebut banyak ditulis oleh media online berdasarkan sudut pandang media yang ada. Pro- 3 kontra, dialektik serta diskusi tentang isu Gafatar banyak diulas oleh media online sesuai dengan ideology mediannya. Terdapat beberapa portal media online yang ikut meramaikan pemberian informasi tentang isu Gafatar. Pemberitaan tentang isu ini juga tidak lepas dari ideology media yang di anut. Media ingin mengkonstruksi isu Gafatar sesuai dengan ideology dan kepentingan media atas isu Gafatar kepada khalayak. Beberapa media online tersebut diantaranya adalah kompas.com, sindonews.com, islamlib.com, dan hidayatullah.com. Sudut pandang mediamedia online tersebut tidak lepas dari ideology media yang mereka anut, misalkan untuk kompas dan sindonews lebih ke nasionalis, islamlib lebih pada ideology kebebasan dan pembebasan (liberal serta hidayatullah lebih pada ideology relegiusitas (agama). Meskipun demikian, sekuat apa media bermaksud untuk membentuk opini dengan pesan-pesannya, khalayak bukanlah sebuah benda mati yang begitu saja bisa menerima pesan yang disampaikan media. Khalayak adalah audiens yang aktif, yang mampu mempersepsikan isi pesan dari media. Khalayak terdiri dari berbagai individu yang bermacam-macam latarbelakang dan pengetahuannya, sehingga melahirkan pemaknaan yang berbeda-beda. Terkadang khalayak dapat menerima dan menyetujui sepenuhnya pesan yang disampaikan oleh media, atau hal ini dikenal dengan dominan audiens, khalayak juga dapat menyetujui sebagian pesan dan sebagian lagi mereka memunculkan pemahaman alternative diluar isi berita atau yang dikenal negosiasi audiens dan terakhir adalah mereka yang menolak atau tidak 4 menerima pesan media berdasarkan konstruksi media atau oposisi audiens. Hal ini juga yang terjadi atas isu Gafatar dalam pemberitaan online yang ada. Isu Gafatar dalam penelitian ini terbagi atas 4 isu besar seperti gafatar ajaran sesat, gafatar potensial terorisme, gafatar ingin membangun negeri dan gafatar mencampuradukkan ajaran banyak agama. Sedangkan khalayak yang diteliti berasal dari khalayak yang mewakili khalayak nasionalis dan khalayak yang religious serta khalayak yang netral sebagai pembanding. Hal ini disebabkan karena isu gafatar merupakan isu nasionalis dan isu religiusitas (agama). Khalayak diambil berdasarkan afiliasinya terhadap organisasi kemasyarakatan yang dia ikuti, seperti HMI dan PMII mewakili afiliasi dengan ormas religiusitas sedangkan GMNI dan MKGR mewakili afiliasi dengan ormas nasionalis. Analisis resepsi dalam penelitian ini termasuk dalam kategori resepsi terhadap teks non-fiksi, bukan fiksi. Penelitian tentang resepsi untuk teks nonfiksi memang jarang dilakukan karena kebanyakan resepsi dilakukan pada halhal fiksi seperti Novel, film, iklan, drama dan lain sebagainnya. Penelitian resepsi non-fiksi saat ini sudah mulai banyak dilakukan baik melalui media berita media massa, media on;line atau berita Televisi. Penelitian yang dilakukan oleh Joan Sabrina (2014) yang melakukan penelitian untuk mengetahui penerimaan pembaca terhadap berita tentang gaya kepemimpinan Ahok di Majalah Detik. Hasil penelitian orang mempunyai penerimaan atau pemaknaan yang berbeda-beda meskipun teks yang dibaca sama. Penelitian yang dilakukan oleh Nyoman Lia Susanthi (2012) yang 5 melakukan penelitian tentang konstruksi pemaknaan oleh mahasiswa asing ISI Denpasar terhadap berita-berita rabies yang terbit pada tabloid International Bali Post (IBP) periode Agustus 2011 hingga Februari 2012, dan pengaruhnya pada citra destinasi Bali. Hasil penelitian menunjukkan adanya pergeseran pencitraan negatif yang dibentuk oleh mahasiswa asing ISI Denpasar terhadap berita rabies pada tabloid IBP. Hasil analisis resepsi menunjukkan bahwa posisi audiens lebih banyak berada dalam posisi negotiated reading atas pencitraan Bali sebagai destinasi wisata dunia. Secara garis besar posisi audiens dipengaruhi oleh jenis kelamin dan pengalaman interaksi dengan lingkungan Bali. Penelitian yang lain dilakukan oleh Dewanti dan Hastjarjo (2014) melakukan penelitian untuk mengetahui isi komentar pemberitaan tentang pro kontra Menteri Susi Pudjiastuti pada portal berita Republika Online periode 27 Oktober 2014 –13 November 2014. Hasil penelitian menunjukkan resepsi negotiated meaning cenderung mendominasi diduga disebabkan oleh karakter audiens new media yang aktif dalam mengkonsumsi maupun memproduksi pesan melalui new media dan kondisi internal masing -masing khalayak. Salah satu standar untuk mengukur khalayak media adalah menggunakan analisis resepsi, di mana analisis ini mencoba memberikan sebuah makna atas pemahaman teks media (cetak, elektronik, internet) dengan memahami bagaimana karakter teks media dibaca oleh khalayak. Individu yang menganalisis media melalui analisis resepsi memfokuskan pada pengalaman 6 dan pemirsaan khalayak serta bagaimana makna diciptakan melalui pengalaman tersebut. Konsep teoritik terpenting dari analisis resepsi adalah bahwa teks media-khalayak bukanlah makna yang melekat pada teks media tersebut tetapi diciptakan dalam interaksinya antara khalayak dan teks. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti bermaksud untuk meneliti bagaimana resepsi khalayak terhadap isu Gafatar yang dimuat oleh beberapa media online yang ada. Dimana khalayak akan secara aktif memiliki pandangan tersendiri mengenai berita Gafatar sesuai dengan latar belakang maupun pengalaman dari masing-masing individu. Dengan adanya penelitian ini, diharapkan dapat diketahui bagaimanakah berita Gafatar dimedia online diterima oleh khalayak serta bagaimana khalayak melakukan pemaknaan atas berita tersebut. B. Rumusan masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah, “Bagaimana resepsi khalayak dengan afiliasi ormas beragam terhadap pemberitaan media online tentang Gafatar?” C. Tujuan penelitian Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk menganalisis resepsi khalayak dengan afiliasi ormas beragam terhadap pemberitaan media online tentang Gafatar. 7 D. Manfaat penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Secara teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas pembahasan mengenai analisis resepsi khalayak terhadap pemberitaan di media online. 2. Secara praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi bagi peneliti selanjutnya yang membahas tema serupa. E. Kerangka Pemikiran 1. Khalayak/ Audience dalam Studi Komunikasi Komunikasi secara etimologis, berasal dari bahasa latin communication yang bersumber pada kata communis yang berarti sama, dalam arti kata sama makna. Secara terminologis komunikasi berarti proses penyampaian suatu penyataan yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberitahu atau mengubah sikap, pendapat atau perilaku, baik langsung secara lisan, maupun tidak langsung melalui media (Effendy, 2003: 3). Komunikasi melibatkan sejumlah orang, dimana seseorang menyatakan sesuatu kepada orang lain. Jadi, yang terlibat dalam komunikasi tersebut adalah manusia. Oleh karena itu komunikasi yang dimaksud disini adalah komunikasi manusia atau sering disebut dengan komunikasi sosial. Komunikasi manusia sebagai singkatan dari komunikasi antar manusia, dinamakan komunikasi sosial karena hanya pada manusia-manusia yang bermasyarakat terjadinya 8 komunikasi. Secara paradigmatis, komunikasi adalah proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberi tahu atau mengubah sikap, pendapat, atau perilaku, baik langsung secara lisan maupun tidak langsung melalui media.( (Effendy, 2003: 4). Khalayak disebut juga dengan audiens. Audiens merupakan kata serapan dari Bahasa Inggris audience yang berarti penonton. Dalam sebuah proses komunikasi, audiens adalah pihak yang menerima pesan atau biasa disebut juga komunikan. Akan tetapi tidak semua komunikan merupakan khalayak, karena khalayak adalah komunikan dalam proses komunikasi massa. Khalayak adalah komunikan yang mengonsumsi media massa seperti surat kabar, televisi, musik, film dan seterusnya. McQuail ( 1997: 1) mengungkapkan bahwa “audience simply refers to the readers of, viewers of, listeners to one or other media channel or of this or that type of content or performance.” Dalam kaitannya dengan proses komunikasi, audiens ataupun khalayak memiliki posisi sebagai sasaran atau target dari berlangsungnya proses komunikasi secara keseluruhan. Khalayak menjadi sasaran atau komunikan, dari berjalannya arus informasi yang bersumber dari komunikator. Khalayak (audiences) menjadi mengemuka ketika diidentikan dengan “receivers” dalam model proses komunikasi massa (source, channel, message, receiver, effect) yang dikemukakan oleh Wilbur Schramm (1955). Khalayak adalah salah satu aktor dari proses komunikasi. Karena itu unsur khalayak tidak boleh diabaikan, sebab berhasil tidaknya proses komunikasi sangat ditentukan oleh khalayak (Cangara, 2010: 157). Jadi kegiatan komunikasi bila diboikot 9 oleh khalayak, maka pasti komunikasi itu akan gagal dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Khalayak memiliki dimensi waktu dan berada dalam keadaan tertempa media tertentu. Dikatakan berdimensi waktu karena khalayak melakukan aktifitas dalam periode waktu dalam mengakses media. Sederhananya khalayak merupakan individu yang “sedang” mengakses media. Dari sini dapat tertangkap kesan bahwa khalayak bersifat aktif. Hal ini sejalan dengan definisi khalayak yang juga dapat didefinisikan sebagai masyarakat yang menggunakan media massa sebagai sumber pemenuhan kebutuhan bermedianya (Sari, 1993: 28). Bila dilihat lebih dalam, media dan khalayak memiliki hubungan yang lebih kompleks. Bukan hanya sebatas bahwa media dapat mempengaruhi khalayak. Para teoritisi media pun masih memperdebatkan konseptualisasi khalayak. Yaitu apakah khalayak merupakan masyarakat massa (mass society) atau komunitas (community) dan gagasan mengenai audiens pasif atau audiens aktif (Littlejohn, 2002: 310). Audiences merupakan istilah yang dipakai oleh para praktisi media dan para ahli komunikasi untuk mengenali para pengguna media agar dapat mengidentifikasi mereka. Walaupun dalam implementasinya terdapat banyak pemahaman dan definisi audiences atau khalayak. Khalayak juga merupakan produk dari konteks sosial (mengarah pada kepentingan kultural yang sama tentang pemahaman akan sebuah informasi) dan tanggapan terhadap informasi yang diberikan oleh media. Ada beberapa karakteristik dari jenis Audience 10 yang muncul seiring dengan berjalannya waktu dan kemajuan media. Menurut Hiebert, et al (1979), audience dalam komunikasi massa mempunyai lima karateristik yaitu: a. Audience cenderung berisi individu-individu yang condong untuk berbagi pengalaman dan dipengaruhi oleh hubungan sosial diantara mereka. Individu tersebut memilih produk media yang mereka gunakan berdasarkan seleksi kesadaran. b. Audience cenderung besar. Artinya tersebar keberbagai wilayah jangkauan sasaran komunikasi massa. Meski demikian, ukuran luas ini sifatnya dapat relatif. Sebab, ada media tertentu yang khalayaknya mencapai ribuan, dan ada juga mencapai jutaan. c. Audience cenderung heterogen. Mereka berasal dari berbagai lapisan dan kategori sosial. d. Audience cenderung anonim, yakni tidak mengenal satu dengan yang lainnya. e. Audience secara fisik dipisahkan dari komunikator. Riset khalayak menurut Hall (2011) mempunyai perhatian langsung terhadap dua hal. Pertama, analisis konteks sosial dan politik di mana isi media diproduksi (encoding). Kedua konsumsi isi media (decoding) dalam konteks kehidupan sehari-hari. Analisis resepsi memfokuskan pada perhatian individu dalam proses komunikasi massa (decoding), yaitu pada proses pemaknaan dan pemahaman yang mendalam atas teks media dan bagaimana individu menginterpretasikan isi media. Hal tersebut dapat diartikan individu secara 11 aktif menginterpretasikan teks media dengan cara memberikan makna atas pemahaman pengalamannya sesuai apa yang dilihatnya dalam kehidupan sehari-hari. 2. Analisis Resepsi Jensen (1997: 130) mengemukakan bahwa analisis resepsi dapat dikatakan sebagai perspektif baru dalam aspek wacana dan sosial dari teori komunikasi. Analisis resepsi sebagai respon terhadap tradisi scientific menandaskan bahwa studi tentang pengalaman dan dampak media, apakah itu kuantitatif atau kualitatif, seharusnya didasarkan pada teori representasi dan wacana serta tidak sekedar menggunakan operasionalisasi seperti penggunaan skala dan kategori semantik. Analisis resepsi sebagai respon terhadap studi teks humanistik menyarankan baik audience maupun konteks komunikasi massa perlu dilihat sebagai suatu spesifik sosial tersendiri dan menjadi objek analisis empiris. Perpaduan dari kedua pendekatan itulah yang melahirkan konsep produksi sosial terhadap makna. Analisis resepsi kemudian menjadi pendekatan tersendiri yang mencoba mengkaji secara mendalam bagaimana proses-proses aktual melalui mana wacana media diasimilasikan dengan berbagai wacana dan praktik kultural audiensnya. Endraswara (Nur, 2015:99) mengemukakan bahwa resepsi berarti penerimaan atau penikmatan sebuah teks oleh pembaca. Resepsi merupakan aliran yang meneliti teks dengan bertitik tolak kepada pembaca yang memberi reaksi atau tanggapan terhadap teks tersebut. Resepsi dalam bahasa Inggris dapat disamakan dengan kata perception yang berarti tanggapan daya 12 memahami atau menanggapi. Resepsi dalam bahasa Latin yaitu recipere yang berarti penerimaan atau penyambutan. Sebagai respon terhadap tradisi keilmuan dalam ilmu sosial analisis resepsi menandaskan bahwa studi tentang pengalaman dan dampak media, apakah itu kuantitatif atau kualitatif, seharusnya didasarkan pada teori representasi dan wacana serta tidak sekedar menggunakan operasinalisasi, seperti penggunaan skala dan kategori semantik. Sebaliknya sebagai respon terhadap studi teks humanistik, analisis resepsi menyarankan baik khalayak maupun konteks dalam komunikasi massa perlu dilihat tersendiri secara sosial, dan menjadi objek analisis empiris. Perpaduan dari kedua pendekatan (persepektif sosial dan diskursif) itulah yang kemudian melahirkan konsep produksi sosial terhadap makna (the social production of meaning) (Jensen, 1993: 137) Secara umum, analisis resepsi memiliki dua premis yaitu teks media mendapatkan makna pada saat penerimaan, dan bahwa khalayak secara aktif memproduksi makna dari media dengan menerima dan menginterpretasikan teks-teks sesuai dengan posisi-posisi sosial dan budaya mereka. Premis kedua, sebagai landasan penelitian, menyiratkan bahwa pesan-pesan media secara subjektif dikontruksikan khalayak secara individual, bahkan ketika media berada dalam posisi paling dominan sekalipun. Premis ini memposisikan khalayak sebagai makhluk bebas yang mempunyai kekuatan besar dalam pemaknaan atau pemberian makna terhadap pesan (Croteau, & Hoynes. 2003: 274). 13 Hal senada diungkapkan oleh McQuail (1997, 18) yang menyatakan bahwa analisis resepsi yang termasuk dalam studi kultural (cultural studies) menekankan pada penggunaan media (media use) sebagai refleksi dari konteks sosiokultural dan sebagai suatu proses pemaknaan pesan pada produk budaya serta pengalaman-pengalaman. Lebih lanjut, McQuail menyatakan bahwa studi resepsi berkembang dan menekankan gagasan kepada khalayak sebagai khalayak penafsiratau interpretive communities. Pada interpretive communities, teks dan pesan-pesan media dimaknai dan diinterpretasikan secara bebas dan berbeda-beda oleh khalayak menurut lingkungan sosial dan budaya dimana aktivitas berbagi pengalaman-pengalaman pemaknaan terjadi. Melalui proses Decoding dan pemaknaan terhadap teks media, maka khalayak memiliki kekuatan untuk bertahan dari dominasi media massa. McQuail kemudian mengklasifikasikan penelitian resepsi sebagai studi kultural modern yang berada dalam ranah pendekatan stukturalis behavoris. Beberapa yang terkait dengan fokus dalam pengertian analisis resepsi, diantaranya: a. Teks media harus dibaca berdasarkan persepsi khalayak. Dimana persepsi tersebut tidak pasti dan tidak dapat diprediksi. Khalayak mengkontruksi makna secara bebas dan sesuai dengan latar belakang masing-masing. b. Fokus dari analisis resepsi adalah proses dalam penggunaan atau pemaknaan media. Inti dari analisis ini adalah proses-proses bagaimana khalayak membaca, memahami, memaknai teks media dan pada akhirnya hasil dari proses tersebut akan memperlihatkan bentukbentuk resepsi khalayak terhadap media yang dihadirkan. 14 c. Media use atau penggunaan media merupakan bagian dari sistem sosial dalam interpretive communities. Pemaknaan akan media digunakan oleh khalayak untuk saling berbagi pemaknaan dengan sesama dan lingkungannya. d. Khalayak sebagai interpretive communities memiliki peran dalam pembentukan wacana dan kerangka dalam pemaknaan media di lingkungannya. e. Khalayak tak dapat dikatakan pasif dan tak dapat juga dikatakan sama atau sederajat (equal). Meskipun akan ada beberapa khalayak yang lebih aktif maupun berpengalaman. Mereka membaca, memahami, dan melakukan pemaknaan secara bebas sesuai dengan latar belakang sosio-kultur masingmasing. f. Penelitian ini dapat dikaji menggunakan metode kualitatif dan mendalam dengan mempertimbangkan konten, perilaku resepsi dan konteks keduanya Stuart Hall (2011: 32) mengatakan bahwa makna yang dimaksudkan dan yang diartikan dalam sebuah pesan bisa terdapat perbedaan. Kode yang digunakan atau disandi (encode) dan yang disandi balik (decode) tidak selamanya berbentuk simetris. Derajat simetri dalam teori ini dimaksudkan sebagai derajat pemahaman serta kesalahpahaman dalam pertukaran pesan dalam proses komunikasi – tergantung pada relasi ekuivalen (simetri atau tidak) yang terbentuk antara encoder ddaan decoder. Stuart Hall (1980: 4) pada awal tulisannya memulai dengan kritikan bahwa dalam komunikasi itu tidak bersifat linear melainkan ada sebuah 15 sirkulasi di dalamnya. Bila selama ini skema alur komunikasi berupa sendermessage-receiver, maka Hall menawarkan sebuah konsep baru dari alur komunikasi yang berupa “Circulation Circuit”. Hall dalam tulisan ini juga menekankan bahwa arti yang ada pada sistem suatu media akan sangat tergantung dengan kode-kode operasi dalam rantai suntagmatic sebuah discourse/wacana. Dengan kata lain, media komunikasi itu terhubung dengan kesamaan suatu sistem yang menyatukan tanda dan parole. Produksi dan sirkulasi dari suatu pesan disebabkan oleh atuurraann dari sebuah bahasa serta wacana yang sebenarnya (parole) di seluruh sistem bagian yang saling berhubungan. Encoding dan decoding menjadi proses yang sangat fundamental dalam pertukaran komunikatif ini. Encoding dan decoding inilah yang menurut Hall harus dipunyai setiap peneliti saat melakukan penelitian. Menurut Hall, encoding juga bisa diartikan sebagai proses analisa dari konteks social politik dimana konten di produksi dan decoding adalah proses konsumsi dari suatu konten media. Pesan yang dalam bentuk aslinya harus di encode oleh sumber, dan di decode oleh penerima sehingga disinilah proses pertukaran simbolik di produksi. Di dalam tahapan ini, bahasa sangat dominan di setiap prosesnya. Namun Hall memiliki pandangan lain bahwa terkadang khalayak itu memiliki paradoks dalam menangkap pesan. Hall juga mengatakan bahwa struktur arti pesan yang dibuat oleh pembuat pesan tidak selamanya sama dengan struktur arti pesan dari khalayak. Kesepahaman arti pesan akan sangat tergantung dengan perluasan sejauh mana pesan decode itu setara dengan 16 pesan encodednya, tetapi karena pengirim pesan dan penerima pesan berada di posisi berbeda dalam proses komunikatif, maka hasilnya biasanya terdistorsi dalam suatu komunikasi.(Hall, 1984: 5). Analisis resepsi menurut mempunyai perangkat analisis berupa pemaknaan teks media. Bahwa program (teks) adalah wacana yang penuh dengan makna. Encoding dilakukan oleh komunikator dan Decoding dilakukan oleh penerima pesan. Proses-proses tersebut melibatkan berbagai macam faktor seperti kerangka pengetahuan, relasi produksi dan infrastruktur teknis. Dalam posisi yang ekuivalen atau sejajar, misalnya si pengirim pesan memiliki faktor yang sama atau sejalan dengan enerima pesan, maka penerima pesan akan menerima pesan seperti yang dimaksud oleh pengirim pesan. Dengan kata lain, pemahaman terjadi apabila pesan yang di-decode ekuivalen dengan pesan yang di-encode.. Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual di mana wacana dalam media diasimilasikan ke dalam wacana dan praktik-praktik budaya khalayak.. Dalam proses Decoding, Hall (1984) menyebutkan ada tiga posisi pemaknaan yang akan ditangkap khalayak saat meresepsi suatu hal yakni posisi dominant hegemonic, negotiated, opposition. Berikut ini adalah penjelasannya: a. Dominant reading, pembaca sejalan dengan kode-kode program (yang di dalamnya terkandung nilai-nilai, sikap, keyakinan, dan asumsi) dan secara penuh menerima makna yang disodorkan dan dikehendaki oleh pembuat program. 17 b. Negotiated reading, pembaca dalam batas-batas tertentu sejalan dengan kode-kode program dan pada dasarnya menerima makna yang disodorkan oleh pembuat program namun memodifikasinya sedemikian rupa sehingga mencerminkan posisi dan minat-minat pribadinya. c. Oppositional reading, pembaca tidak sejalan dengan kode-kode program dan menolak makna atau pembacaan yang disodorkan, dan kemudian menentukan frame alternatif sendiri di dalam menginterpretasikan pesan. Hall (1984) berargumen bahwa preferred reading merupakan ideologi dominan dalam media teks, tetapi tidak secara otomatis diadopsi oleh khalayak. Situasi sosial khalayak akan mengarahkan mereka untuk mengadopsi pendirian lain. Sebelum melakukan analisis terhadap pembacaan khalayak terhadap teks, tentunya peneliti harus mengidentifikasi preferred reading terlebih dahulu. Sejumlah ahli saat ini masih mempertanyakan cara paling tepat untuk menemukan preferred reading. Oleh karena itu dalam penelitian ini, untuk melihat resepsi khalayak, preferred reading dibedakan oleh afiliasi khalayak dengan ormas yang diikutinya. Ragam afiliasi dapat membedakan persepsi masing-masing informan. Dalam proses decoding yang dilakukan akan menimbulkan pilihanpilihan posisi audience, baik itu dominant, negosiated atau oppositional. 18 3. Media Baru, Jurnalistik Online dan Media Online Istilah „media baru‟ telah digunakan sejak tahun 1960-an dan telah mencakup perluasan dan diversifikasi teknologi yang diterapkan. Editor dari Handbook of New Media, menunjukkan kesulitan mengenai cakupan dari „media baru‟ tersebut. Media baru didefinisikan secara komposit, menghubungkan teknologi komunikasi dan infomrasi dengan konteks sosial terkait, menyatukan tiga unsur yaitu: artefak dan perangkat teknologi; kegiatan, praktek, dan kegunaan; serta pengaturan sosial dan organisasi yang terbentuk di sekitar perangkat dan praktek (McQuail, 2010:39). Media baru membuat bentuk komunikasi massa mengalami perubahan. Terdapat enam perubahan utama yang berkaitan dengan munculnya media baru, yaitu (McQuail dalam Gumelar, 2013:9): a. Digitalisasi dan konvergensi atas segala aspek media. b. Interaktivitas dan konektivitas jaringan semakin meningkat. c. Mobilitas dan delokasi yang semakin meningkat. d. Adaptasi terhadap peranan publikasi dan khalayak. e. Munculnya beragam bentuk baru pintu (gateway) media. f. Pemisahan dan pengaburan dari lembaga media. Ishwara (2011:28) mengemukakan bahwa jurnalisme merupakan panggilan masyarakat yang tinggi. Semua yang terlibat mempunyai kewajiban yang lebih besar kepada audiences daripada kepada tuntutan pasar. Jurnalis seolah-olah ditarik oleh suatu kekuatan dari luar untuk menjadi khusus serta sekaligus mengemban kewajiban yang khusus pula. Pekerjaan jurnalis disebut 19 juga sebagai pekerjaan spiritual dengan tugas memerangi kejahatan yang mengancam spirit demokrasi. Internet memungkinkan siapa saja bisa mempublikasikan informasi dengan cepat dan instan dengan biaya kecil. Internet bersifat dinamis, interaktif, dan memungkinkan pertukaran pikiran dan gagasan. Di ranah jurnalisme, internet melahirkan jurnalisme online dan menawarkan saluran informasi baru berupa media online (Widodo, 2010:42). Fenomena jurnalisme online saat ini menjadi contoh menarik. Khalayak pengakses media hanya meng-click informasi yang diinginkan di komputer yang sudah dilengkapi dengan aplikasi internet untuk mengetahui informasi yang dikehendaki dan sejenak kemudian informasi itupun muncul. Aplikasi teknologi komunikasi terbukti mampu mem-bypass jalur transportasi pengiriman informasi media kepada khalayaknya. Di sisi lain, jurnalisme online juga memampukan wartawan untuk terus menerus meng-update informasi yang ditampilkan seoring dengan temuan-temuan baru di lapangan (Gumelar, 2013:10). Santana (Wiranata, 2014:173-174) menyatakan bahwa bentuk paling baru dari jurnalisme adalah jurnalisme online, jurnalisme online memiliki kelebihan-kelebiuhan yang menawarkan peluang untuk menyampaikan berita jauh lebih besar daripada bentuk jurnalisme konvensional seperti surat kabar. Online Journalism harus membuat keputusan-keputusan mengenai format media yang paling tepat mengungkapkan sebuha kisah tertentu dan harus mempertimbangkan cara-cara untuk menghubungkan kisah tersebut dengan kisah lainnya, arsip-arsip, sumber-sumber dan lain-lain melalui hyperlinks. 20 Jurnalisme online adalah proses pengumpulan, penulisan, penyuntingan, dan penyebarluasan berita secara online di internet. Jurnalistik online merupakan jurnalisme generasi ketiga setelah jurnalistik cetak (surat kabar, tabloid, majalah) dan jurnalistik elektronik (radio dan televisi). Jurnalisme online adalah jurnalisme masa depan yang terus berkembang seiring perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (Manurung, 2015:446). Kehadiran jurnalisme online telah merevoluasi pemberitaan di mana kecepatan menjadi faktor utama. Jurnalisme online yang disiarkan melalui internet menyajikan berita yang memungkinkan pengguna untuk meng-update berita dan informasi secara cepat dan saling berhubungan. Foust (Widodo, 2010:42) mencatat beberapa potensi jurnalisme online sebagai sumber informasi utama bagi masyarakat yaitu: a. Audience control. Audience bisa lebih leluasa dalam memilih berita yang ingin didapatkannya. b. Nonlienarity, setiap berita yang disampaikan dapat berdiri sendiri. c. Storage and retrieval, berita tersimpan dan bisa diakses kembali dengan mudah oleh masyarakat. d. Unlimited space, jumlah berita yang disampaikan menjadi jauh lebih lengkap. e. Immediacy, informasi dapat disampaikan secara cepat dan langsung kepada masyarakat. 21 Multimedia capability, redaksi bisa menyertakan teks, suara, gambar, f. animasi, foto, video, dan komponen lainnya di dalam berita yang akan diterima masyarakat. g. Interactivity, memungkinkan adanya interaksi. Dalam dunia jurnalistik, terdapat beberapa formula dalam pemberitaan jurnalisme online yang berbeda dengan media konvensional yaitu (Gumelar, 2013:11): a. Berita cepat tayang dan bahkan real time karena internet mampu memperpendek jarak antara peristiwa dan berita. Pada saat peristiwa berlangsung, berita bisa dipublikasikan secara luas. b. Berita ditayangkan kapan saja, dari mana saja, tanpa memperhitungkan luas halaman dan durasi. Hal ini dikarenakan internet memang tidak memiliki masalah ruang dan waktu dalam mempublikasikan informasi. c. Berita diformat dalam bentuk singkat dan padar karena informasi terus mengalir dan berubah sewaktu-waktu. Namun kelengkapan informasi tetap terjaga karena antara berita yang satu dengan berita yang lain dapat dikaitkan. d. Untuk menjaga kepercayaan pembaca, ralat, update, dan koreksi dilakukan secara periodik dan konsisten. Hal ini sekaligus memanfaatkan kekuatan interaktif internet. Media online merupakan sebutan umum untuk sebuah bentuk media yang berbasis telekomunikasi dan multimedia yang berbasis komputer dan 22 internet. Di dalamnya terdapat portal, website, radio online, tv online, pers online, mail online, dan lain sebagainya (Hamdan, 2014:175). Media online merupakan media massa generasi ketiga setelah media cetak seperti koran, tabloid, majalah, buku dan media elektronik, yang memiliki keunggulan dibanding media konvensional. Salah satunya karena kemampuan media massa konvensional mulai dibentuk untuk dapat diakses dalam bentuk online. Khalayak yang mengkonsumsi berita melalui surat kabar kini dapat menikmati berita dalam bentuk digital atau versi online. Media online memiliki beberapa karakteristik umum, yaitu (Hamdan, 2014:176): a. Kecepatan (aktualisasi) informasi. Kecepatan atau peristiwa yang terjadi di lapangan di-upload ke dalam situs atau web online, tanpa harus menunggu hitungan menit, jam atau hari, seperti yang terjadi pada media elektronik atau media cetak yang harus menunggu hitungan menit, jam, bahkan hari. Dengan demikian, mempercepat distribusi informasi ke pasar, dengan jangkauan global lewat jaringan internet, dan dalam waktu bersamaan, dan umumnya informasi yang ada tertuang dalam bentuk data dan fakta bukan cerita. b. Adanya pembaruan informasi. Informasi disampaikan secara terus menerus, karena adanya pembaruan informasi. Penyajian yang bersifat real time ini menyebabkan tidak adanya waktu yang diistimewakan karena penyediaan informasi berlangsung tanpa putus, hanya tergantung kapan pengguna mau mengaksesnya. 23 c. Interaktivitas. Salah satu karakteristik media online ini adalah yang paling membedakan dengan media lain yaitu interaktif. Model komunikasi yang digunakan media konvensional biasanya bersifat searah dan bertolak dari kecenderungan sepihak dari atas. d. Personalisasi. Pembaca atau pengguna semakin otonom dalam menentukan informasi mana yang dibutuhkan. Media online memberikan peluang kepada setiap pembaca hanya mengambil informasi yang relevan baginya, dan mengabaikan informasi yang tidak dibutuhkannya. Dengan demikian, selektivitas informasi dan sensor berada di tangan pengguna itu sendiri. Eriyanto (2002:24-25) mengemukakan bahwa berita bukan refleksi dari realitas, melainkan hanya konstruksi dari realitas. Dalam pandangan positivis, berita adalah informasi. Berita dihadirkan kepada khalayak sebagai representasi dari kenyataan. Kenyataan tersebut ditulis kembali dan ditransformasikan melalui berita. Berita dalam pandangan konstruksionis, diibaratkan sebagai drama. Ishwara (2005:51-52) mengemukakan bahwa terdapat dua jenis berita, yaitu: a. Event centered news, merupakan berita yang terpusat pada peristiwa yang khas menyajikan peristiwa hangat yang baru terjadi, dan umumnya tidak diinterpretasikan, dengan konteks minimal, tidak dihubungkan dengan situasi dan peristiwa yang lain. Gagasan utama pada berita jenis ini yaitu sebuah topik belum layak untuk menjadi sebuah berita asmpai „terjadi‟ sesuatu. 24 b. Process centered news, merupakan berita yang berdasarkan pada proses yang disajikan dengan interpretasi tentang kondisi dan situasi dalam masyarakat yang dihubungkan dalam konteks yang luas dan melampaui waktu. Berita jenis ini muncul di halaman opini berupa editorial, artikel dan surat pembaca, sedangkan halaman lain berupa komentar, laporan khusus, atau tulisan feature lainnya. Palvik (Hadi, 2009[b]:74) mengemukakan bahwa tahapan perkembagnan isi berita dalam edisi online internet telah melewati tiga tahap. Pertama, surat kabar online hanya memindahkan ulang versi cetak ke online. Kedua, surat kabar sudah membuat isi inovatif-kreatif dalam website-nya dengan fitur interaktif seperti hyperlinks dan search engines, yang dapat memudahkan pengguna mencari materi dengan topik-topik khusus yang sesuai kebutuhannya. Ketiga, isi berita telah didesain secara khusus untuk media web sebagai sebuah medium komunikasi. Seiring dengan berkembang dengan pesatnya penggunaan internet secara menyeluruh, mengakibatkan timbulnya pengaruh secara luas, tidak hanya pada bidang teknologi, namun juga pada aspek sosial, politik, ekonomibudaya, dan pengaruh termasuk dalam bidang media massa. Dengan perkembangan internet, terjadi perluasan atau konvergensi dari jenis-jenis media yang sudah ada sebelumnya (Gumelar, 2013:6). Perkembangan teknologi dan informasi, mengakibatkan adanya tuntutan perubahan bentuk berita, dari pers cetak dan broadcast menjadi bentuk berita online. Berita dalam media online berkembang pesat, tidak saja dalam bentuk teks tetapi juga dalam 25 bentuk multimedia, yaitu menggabungkan teks, audio, dan video yang bisa diakses kapan dan dimana saja (Hadi, 2009[b]:75). F. Metode penelitian 1. Jenis penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Menurut Kirk dan Miller (Moleong, 2011:4) mengemukakan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung dari pengamatan pada manusia baik dalam kawasannya maupun dalam peristilahannya. Penelitian ini menggunakan analisis resepsi khalayak untuk melihat resepsi khalayak terhadap pemberitaan Gafatar di media online. Analisis resepsi sendiri merupakan tradisi baru dalam kajian khalayak di samping studi tentang efek, uses and gratifications, dan cultural studies. Secara garis besar, dalam analisis resepsi, makna teks bukan terletak pada teks itu sendiri. Khalayak tidak menemukan makna dalam teks tetapi dalam interaksinya dengan teks. Analisis resepsi juga melibatkan faktor kontekstual yang mempengaruhi pemaknaan khalayak terhadap teks media, seperti identitas, latar belakang sosial, dan persepsi. Karena merupakan analisis resepsi yang berfokus pada penerimaan pesan dan pemaknaan, di sini khalayak dipandang memiliki kekuatan dalam memahami pesan media. Media tidak lagi dianggap berada dalam posisi yang lebih kuat daripada khalayak. Hal ini berbeda dengan studi etnografi komunikasi, meskipun berasal dari rumpun penelitian yang sama yaitu konstruktivis. Etnografi komunikasi 26 lebih mempelajari pola komunikasi yang terjadi antar kelompok-kelompok budaya tertentu. Sementara itu analisis resepsi lebih kepada penerimaan makna decoder yang diterima dari encoder. Donal Carbough (Littlejohn, 2002:195 ) mengemukakan bahwa etnografi komunikasi mengarah sekurangnya pada tiga jenis masalah. Pertama, masalah pengungkapan jenis identitas yang digunakan bersama oleh anggota komunitas budaya. Identitas itu diciptakan oleh komunikasi dalam komunitas budaya,sementara identitas sendiri pada hakikatnya merupakan perasaan anggota tentang diri mereka sebagai kelompok. Dengan kata lain, identitas merupakan seperangkat kualitas bersama yang digunakan sebagian besar anggota komunitas untuk mengidentifikasikan diri. Kedua, masalah pengunmgkapan makna kinerja publik yang digunakan bersama dalam kelompok. Ketiga, masalah eksplorasi kontradiksi atau paradoks-paradoks kelompok. 2. Sumber data dan Informan Sumber data dalam penelitian ini adalah khalayak umum. Teknik pemilihan informan dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sample, atau sampel bertujuan. Teknik ini biasanya dilakukan karena beberapa pertimbangan misalnya keterbatasan waktu, tenaga, dan dana sehingga tidak dapat mengambil sampel yang besar dan jauh (Arikunto, 2010:183). Pemilihan informan dilakukan dengan cara mengambil subjek bukan didasarkan atas strata, random, atau daerah tetapi didasarkan atas tujuan tertentu. Dalam penelitian ini, pengambilan responden ditujukan untuk mewakili atau merepresentasikan khalayak, terutama dalam pandangannya 27 terhadap Gafatar. Karena Gafatar adalah isu yang terkait dengan masalah nasionalis dan agama, maka berdasarkan tujuan penelitian, pengambilan informan dilakukan dengan cara memilih informan dengan latar belakang yang berbeda, sehingga diharapkan persepsi atas berita juga berbeda. Informan dipilih berdasarkan afiliasinya terhadap organisasi sosial yang diikutinya. Informan terdiri dari 3 kategori, yaitu yang berafiliasi dengan organisasi sosial berlatar nasionalis 2 orang, 2 netral (tidak berafiliasi) dan 2 yang berafiliasi dengan organisasi dengan latar relegiusitas. Informan sudah melewati seleksi tentang pemahamannya dengan isu Gafatar, dari 10 orang, diambil 6 orang dengan pemahaman terbaik tentang Gafatar. Informan secara umum telah mempunyai resepsi tersendiri tenntang Gafatar, namun terkait pemahamannya dengan isu-isu (sub isu Gafatar), mereka diberikan judul artikel berita dan berasal dari media online mana. Dengan demikian mereka dapat memahami platform media yang menulis berita tentang Gafatar. Untuk membuat mereka focus, wawancara dilakukan berdua ditempat yang nyaman dan waktu yang cukup longgar. 3. Metode pengambilan data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu: a. Wawancara yang dilakukan dengan berdasarkan pertanyaan yang telah dirumuskan dalam daftar pertanyaan (interview guide) serta dapat pula ditambahkan pertanyaan yang muncul secara spontan. Sebelum dilakukan wawancara, responden terlebih dahulu diberikan 4 buah artikel dari 4 media online yang kontennya berkaitan dengan isu Gafatar. Pertanyaan 28 kemudian diberikan berpusat pada bagaimana resepsi responden terhadap artikel-artikel tersebut. Hal ini dilakukan untuk mengingatkan kembali bagaimana persepsi responden sebelumnya terhadap isu Gafatar, serta memberikan perspektif terhadap isu tersebut dari berbagai sisi. Pemilihan berita atau artikel didasarkan atas keragaman sudut pandang/ideology media online yang ada. Pemilihan 4 media beserta isi artikelnya berdasarkan ideology media sebagai berikut: kompas dan sindonews mewakili ideology nasionalis, islamlib mewakili ideology arternatif yaitu liberal dalam arti kebebasan dan pembebasan serta hidayatullah.com mewakili sudut pandang agamis. b. Obeservasi, observasi dilakukan dengan mengamati informan pada saat wawancara. Sikap dan perilaku mereka pada saat wawancara menjadi pendukung atas persepsinya dalam memaknai berita. c. Studi Pustaka. Studi ini dilakukan peneliti untuk melacak data-data sekunder yang bisa mendukung penelitian ini. Studi pustaka dapat diperoleh dari media yang ada termasuk media online, buku, catatan, arsip serta sumber tertulis yang lain. 4. Teknik analisis data Miles dan Huberman (2009:16-19) mengemukakan bahwa terdapat langkah-langkah dalam analisis data adalah reduksi data, display data, dan penarikan kesimpulan. Adapun penjabaran dari masing-masing langkah adalah sebagai berikut: 29 a. Reduksi data. Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data „kasar‟ yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Selama pengumpulan data berlangsung terjadi tahapan reduksi sebelumnya seperti membuat ringkasan, mengkode, menelusur tema, membuat gugus-gugus, membuat partisi, membuat partisi, dan menulis memo. Reduksi data atau proses transformasi data ini berlanjut terus sesudah penelitian di lapangan, sampai laporan akhir lengkap tersusun. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa sehingga kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi (Miles dan Huberman, 2009:16). b. Penyajian data. Penyajian data dibatasi sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Dengan melihat penyajian-penyajian data akan dapat dipahami apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan berdasarkan atas pemahaman yang didapat dari penyajian-penyajian tersebut. Penyajian data merupakan suatu cara yang utama bagi analisis kualitatif yang valid. Penyajian dapat dilakukan dalam berbagai jenis seperti matriks, grafik, jaringan, dan bagan. Semuanya dirancang guna menggabungkan informasi yang tersusun dalam suatu bentuk yang padu dengan demikian seorang penganalisis dapat melihat apa yang sedang terjadi dan menentukan apakah menarik kesimpulan yang benar ataukah 30 terus melangkah melakukan analisis yang menurut saran yang dikiaskan oleh penyajian sebagai sesuatu yang mungkin berguna (Miles dan Huberman, 2009:17-18). c. Menarik kesimpulan dan verifikasi. Kegiatan analisis selanjutnya adalah menarik kesimpulan. Dari permulaan pengumpulan data, seseorang penganalisis kualitatif mulai mencari „arti‟ benda-benda mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat, dan proposisi. Penelitian yang kompeten akan menangani kesimpulan-kesimpulan itu dengan longgar, tetap terbuka dan skeptis, tetapi kesimpulan sudah disediakan, mula-mula belum jelas, namun kemudian meningkat menjadi lebih rinci dan mengakar dengan kokoh (Miles dan Huberman, 2009:19). 31