Pelapor Khusus PBB tentang perumahan yang layak sebagai suatu komponen hak atas standar hidup yang layak, dan hak atas non-diskriminasi dalam konteks perumahan yang layak, Ms Raquel Rolnik Misi Resmi ke Republik Indonesia Temuan-Temuan Awal Pernyataan Pers Yang terhormat: Bapak Ibu sekalian yang mewakili Media Masa; Para Kolega/Rekan-rekan sekalian Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada anda sekalian yang telah meluangkan waktu untuk berpartisipasi dalam konferensi pers ini, yang bertujuan menyajikan temuantemuan awal dari kunjungan resmi yang telah saya lakukan di Indonesia, dari 30 Mei sampai 11 Juni 2013, atas undangan Pemerintah. Saya ingin memulai pernyataan ini dengan menghaturkan terima kasih kepada Pemerintah Republik Indonesia yang sudah memberi dukungan yang besar, yang dapat dijadikan teladan bagi kunjungan saya. Saya sangat menghargai pertukaran pendapat yang substantif dan penting dengan para pejabat pemerintah dan para pimpinan lembagalembaga tertentu. Semangat keterbukaan dan kerjasama yang ditunjukkan selama saya berada di negeri ini telah memungkinkan saya melakukan kunjungan yang bermanfaat dan independen serta melakukan analisis tentang situasi perumahan di negara ini. Saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada kantor Resident Coordinator PBB dan CountryTeam PBB yang telah menyediakan dukungan logistik yang substantif untuk kunjungan ini. Selama berada di sini, saya bertemu dengan berbagai pejabat pemerintah, termasuk: Ketua Mahkamah Konstitusi, Menteri Perumahan Rakyat, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Sosial, Wakil Menteri Luar Negeri, perwakilan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementrian Hukum dan HAM, Kepala Badan Pertanahan Nasional, perwakilan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (KomnasPerempuan) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia, kantor Ombudsman, dan Perum Perumnas. saya bertemu dengan Gubernur D.I. Yogyakarta dan dengan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Saya juga bertemu dengan Walikota Makassar dan Surabaya. Ijinkan saya menyampaikan penghargaan saya yang mendalam kepada semuanya, juga timnya yang telah meluangkan waktu untuk bertemu saya bahkan terlibat dalam dialog-dialog yang bermanfaat. Saya juga bertemu dengan Komnas HAM,Komnas Perempuan dan Komisi Indonesia untuk perlindungan Anak, perwakilan organisasi-organisasi internasional, lembaga donor, perusahaan pengembang real estat, perwakilan Bank BTN, dan berbagai organisasi masyarakat sipil dalam dan luar negeri serta organisasi-organisasi akar rumput. Saya ingin menggunakan kesempatan ini untuk mengucapkan terima kasih kepada setiap orang yang telah bertukar pendapat secara terbuka. Selama berada di sini, saya mengunjungi masyarakat di Jakarta, Makassar, Surabaya dan Yogyakarta. Saya berterima kasih secara khusus kepada semua yang berbagi pengalaman pribadi yang kadang-kadang tragis, saya juga berterimakasih atas keterlibatan mereka yang aktif dan bersemangat berkaitan dengan isu-isu perumahan. Pada hari ini saya akan membatasi diri dan hanya memberikan beberapa pernyataan profesional awal berkaitan dengan beberapa isu dan bersama yang lainnya, akan dibahas secara lebih rinci dalam laporan akhir saya, yang akan disampaikan kepada Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa pada bulan Maret 2014. Seperti yang Anda ketahui, saya ditunjuk sebagai Ahli Independen oleh Dewan Hak Asasi Manusia PBB untuk memantau dan mempromosikan realisasi progresif hak atas perumahan yang layak di seluruh dunia. Karena itu saya independen dari PBB dan dari Negara lain, dari pemerintah atau lembaga manapun. Karena itu, pandangan yang akan saya bagikan dengan Anda semata-mata didasarkan pada penilaian ahli dan pada hasil pengamatan serta analisis yang sudah saya lakukan berkaitan dengan situasi perumahan di Indonesia melalui lensa atau kacamata hak atas perumahan yang layak, seperti yang didefinisikan oleh hukum atau undang-undang hak asasi manusia internasional. Dalam dekade terakhir ini, Indonesia telah menikmati pertumbuhan ekonomi yang stabil dan menunjukkan keuntungan substansial dalam indikator-indikator sosial dengan penurunan angka kemiskinan secara bertahap, baik di daerah perkotaan maupun pedesaan dan sekarang Indonesia telah masuk dalam klasifikasi negara berpenghasilan menengah rendah. Meskipun ada prestasi mengesankan seperti itu, ada sekitar 28,6 juta orang (11,6%) dari seluruh rumah tangga yang masih hidup di bawah garis kemiskinan nasional yang telah ditetapkan yaitu yang berpenghasilan 1,25 USD per hari (BPS 2012) Selain itu, sebagian besar penduduk (38%) hidup di bawah 1,5 kali garis kemiskinan itu dan sangat rentan untuk jatuh miskin akibat guncangan/shock. Dalam tiga tahun terakhir, seperempat dari seluruh penduduk Indonesia telah berada dalam siatuasi kemiskinan, setidaknya sekali. Pada tahun 2025, menurut proyeksi, penduduk perkotaan di Indonesia akan mencapai 220 juta orang. Jumlah kaum miskin diperkirakan akan meningkat akibat berpindahnya negara ini dari tingkat urbanisasi yang 50% pada saat ini menjadi 70% yang diproyeksikan pada tahun 2030. Kaum miskin kota terkonsentrasi di Jawa yang sangat terurbanisasi dan padat, yang jumlahnya lebih dari dua pertiga (67,6%) dari seluruh penduduk miskin di Indonesia. Migrasi internal dari pedesaan ke perkotaan disebabkan oleh adanya konsentrasi kegiatan ekonomi di pusat-pusat perkotaan, khususnya di Jakarta serta dengan pembangunan di daerah pedesaan yang bersaing untuk mendapatkan tanah dan sumber daya alam dengan kegiatan ekonomi tradisional. Meskipun desentralisasi ekonomi merupakan bagian dari agenda pembangunan ekonomi umum Indonesia, kelemahan dari konsentrasi historis dari peluang-peluang ekonomi di Jawa, dan khususnya di Jakarta masih memberikan tantangan pada dua tataran utama kebijakan perumahan - perbaikan dan peningkatan kondisi perumahan yang ada pada saat ini yaitu mayoritas rumah tangga di daerah perkotaan dan pedesaan, dan penyediaan peluang mendapatkan perumahan yang layak bagi pertumbuhan di masa depan. Kombinasi dari urbanisasi yang cepat, kepadatan penduduk dan tingkat kemiskinan yang tinggi memberikan tantangan serius bagi terealisasinya hak atas perumahan yang layak bagi seluruh rakyat Indonesia. Tantangantantangan ini diperparah oleh kenyataan bahwa sebagian besar wilayah Indonesia sangat rentan terhadap perubahan iklim dan bencana alam, khususnya banjir, letusan gunung berapi dan gempa bumi. Sebagai pihak/anggota dari Konvensi Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Indonesia memiliki kewajiban untuk memastikan adanya realisasi progresif hak atas perumahan yang layak, sambil memastikan tidak adanyadiskriminasi dengan alasan apapun. Hak atas perumahan yang layak tidak boleh ditafsirkan dalam arti sempit atau terbatas misalnya hanya memiliki atap di atas kepala seseorang, tetapi hak atas perumahan yang layak itu mencakup penjaminan akan: (a) keamanan hukum atau hak milik (b) tersedianya layanan, bahan, sarana dan prasarana; (c) keterjangkauan, (d) kelayakhunian, (e) aksesibilitas; (f) lokasi, dan (g) kesesuaian budaya. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia dan Perundang-undangan Indonesia menjamin hak atas perumahan yang layak dan Pemerintah Indonesia telah menyatakan komitmennya untuk merealisasikan hak itu secara progresif dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional. Ini adalah komitmen terpuji dari Pemerintah Republik Indonesia menuju realisasi progresif hak atas perumahan yang layak di negeri ini. Kondisi perumahan saat ini Pada tahun 2010 diperkirakan bahwa ada 7,9 juta rumah berada dalam kondisi di bawah standar (Kementrian Kesehatan). Menurut data dari Kemenkes hanya 36% dari total populasi urban Indonesia pada saat ini memiliki akses pada air leding, dan hanya tujuh kota memiliki sistem pembuangan kotoran. Selain itu, kurang dari 10% dari keseluruhan penduduk tujuh kota ini terhubung dengan fasilitas pembuangan kotoran. Adapun mengenai limbah padat, hanya sekitar 50% -60% dari jumlah total yang dihasilkan, dikumpulkan oleh jasa pengumpulan sampah kota. Di balik angka-angka tersebut, ada sebuah realitas yang kompleks, yang mencakup berbagai kategori kekurangan atau ketidaklayakan dalam hal perumahan, dari desa-desa di daerah pedesaan sampai kampung-kampung perkotaan- adanya pemukiman legal dan ilegal yang dibangun secara swadaya. Namun demikian, tidak ada data atau tidak tersedianya penilaian resmi yang mencerminkan kompleksitas kondisi perumahan, yang meliputi: keamanan kepemilikan, kelayakan, akses pada layanan dan infrastruktur dan keterjangkauan. Perumahan swadaya dan kampung Menurut perkiraan resmi, 80% dari pembangunan perumahan di Indonesia telah dibangun melalui sistem berbasis rumah tangga informal, termasuk perumahan swadaya dan hanya kurang dari 20% dibangun melalui sistem formal. Perumahan informal ‘yang diatur sendiri” telah membantu negara dalam mengeksternalisasi biaya penyediaan rumah murah. Suatu bagian penting dari permukiman informal ini adalah kampung di perkotaan, sebuah pemukiman perkotaan pribumi yang sebagian besar dihuni oleh kelas menengah bawah dan orang-orang miskin, penggunaan campuran daerah yang sangat padat penduduk, untuk bekerja dan tinggal. Kondisi perumahan di kampung bervariasi, karena dari waktu ke waktu beberapa kampung terhubung ke fasilitas kota seperti air ledeng, jalan dan sistem drainase. Secara umum kampung ditandai dengan perumahan berkualitas rendah, kurangnya jaminan kepemilikan lahan, dan kurangnya akses terhadap air bersih, sanitasi, drainase, dan fasilitas-fasilitas pengendalian banjir, serta dengan adanya penetapan status hukum yang dwimakna atau ambigu. Selama misi saya, saya mengunjungi beberapa kampung di Jakarta, Makassar, Surabaya dan Yogyakarta dan sangat terkesan dengan kekuatan kehidupan masyarakat dalam "kelurahan-kelurahan" atau kampung di daerah perkotaan ini. Kampung dalam kota merupakan bagian yang hakiki dari sejarah perkotaan Indonesia dan merupakan hal yang penting dalam penyediaan perumahan bagi masyarakat berpendapatan rendah, dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi kota dan pasar tenaga kerja. Kampung merupakan hal yang sentral dalam struktur budaya dan sosial masyarakat Indonesia. Meskipun penyisipan/insersi administratif dan hukum dari permukiman-pemukiman ini bervariasi dari kota ke kota, ada beberapa yang diakui dalam rencana kota dan yang lain tidak, satu bagian dari pemukiman ini digambarkan secara ‘consensual’ sebagai ilegal. Saya mengacu pada permukiman di sepanjang pinggiran sungai, kanal, atau jalur kereta api, sering di daerah rawan banjir, tidak sama dengan rencana tata ruang lokal dan nasional, membuat mereka benar-benar "tak terlihat" dalam rencana kota, "ilegal" dan rentan terhadap penggusuran serta berbahaya. Semua tingkat pemerintahan menahan diri dan tidak menerapkan kebijakan dan program perumahan di pemukiman seperti ini dan jarang melakukan nvestasi untuk membangun sarana dan prasarana. Akibatnya, kondisi kehidupan di pemukiman ini jelas lebih buruk dibandingkan dengan jenis-jenis lain yang ada di kampung. Pemukiman ini jelas merupakan rumah yang paling miskin di antara orang miskin perkotaan, termasuk para migran internal yang tidak memiliki KTP. Kebijakan umum terhadap pemukiman seperti ini di seluruh negeri adalah pembersihan, dan dalam beberapa kasus diikuti dengan relokasi ke rumah susun sewa (Rusunuwa). Namun demikian ada beberapa ambiguitas dan toleransi dalam praktek, mengingat terbatasnya kapasitas pemerintah daerah untuk memberikan alternatif. Akibatnya, pemukiman ini cenderung digusur ketika proyek pembangunan membutuhkan lahan dan pemerintah daerah diminta untuk memfasilitasi proyek itu. Saya akan merujuk lagi pada masalah ini nanti. Saya khawatir bahwa pada saat lahan perkotaan mulai langka dan harga tanah perkotaan meroket (khususnya di Jabodetabek), kampung-kampung dalam kota menghadapi ancaman kekuatan ekonomi yang besar. Bangunan ritel dan komersial mengelilingi kampung tapi pemerintah kotamadya jarang menyertakan atau memprioritaskan kampung dalam rencana pembangunan mereka. Pelabelan kampung sebagai "" kumuh "dapat menyebabkan miskonsepsi dan mencerminkan kesalahpahaman atasnya dalam struktur kota Indonesia. Terminologi ini meningkatkan ketidakamanan dan ambiguitas dalam pemukiman-pemukiman tersebut, yang membuka tanah tidak hanya untuk penggusuran berbasis pembangunan tetapi juga meningkatkan keterpaparan mereka pada tekanan pasar. Saya menghimbau pemerintah pusat dan daerah untuk memastikan agar kampungkampung tidak hanya ditingkatkan dan dilayani tapi juga diintgegrasikan ke dalam rencana kota dan dilindungi dari pemindahan-pemindahan akibat tekanan pasar. Selama misi saya, saya telah mendengar beberapa kali bahwa tidak ada ruang bagi masyarakat miskin di kota karena tingginya harga lahan dan perumahan. Hak atas perumahan yang layak merupakan suatu hak universal dan bukan hanya hak orang kaya. Sebaliknya, negara wajib memprioritaskan kelompok rentan dan terpinggirkan. Ketika saya membaca sejarah Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia, dan ketika saya bertemu dengan orang-orang di jalan, jelas bahwa kampung-kampung dan para buruh berpenghasilan rendah, para Pedagang Kaki Lima (PKL) dan pekerja pasar ikan sudah berada di sana selama beberapa dasawarsa bahkan abad, sebelum ada gedung-gedung pencakar langit dan pusat perbelanjaan. Jadi ketika saya mendengar bahwa "orang miskin harus tahu tempat mereka" - saya katakan, ya, mereka harus - dan tempat mereka adalah di pusat kota! Tanah negara harus dialokasikan sebagai suatu prioritas bagi perumahan orang-orang berpenghasilan rendah, termasuk di pusat-pusat kota. Pemerintah harus juga menyediakan pelayanan bagi kampung-kampung ini dengan infrastruktur yang memadai dan layanan publik, termasuk pembangunan kembali bila diperlukan. Di kota-kota seperti Surabaya dan dalam proyek-proyek berbasis masyarakat di seluruh negeri (Tanah Tinggi di Jakarta dan Strenkali Serta Boezem Morokrembagan di Surabaya) Saya mengunjungi pelaksanaan alternatif-alternatif ke arah ini, yang membuktikan bahwa hal ini bukan hanya diinginkan tetapi juga layak. Sebuah aspek penting dalam mengamankan keberadaan kampung adalah memastikan keamanan kepemilikan dengan suatu tingkatan yang kuat. Saya telah bertemu dengan masyarakat yang telah menginvestasikan usaha dan sumber daya dalam meningkatkan kampung mereka tetapi masih belum memiliki sertifikat tanah atau bentuk kepemilian lainnya. Kebijakan perumahan saat ini Perbaikan permukiman kumuh Indonesia memiliki sejarah panjang program perbaikan kawasan kumuh, yang dimulai pada tahun 1960-an. Program Perbaikan Kampung yang dimulai pada tahun 1969 di Jakarta dianggap sebagai salah satu yang paling penting dan paling sukses berkaitan dengan proyek perbaikan permukiman kumuh di dunia. Namun, dalam beberapa tahun terakhir ini secara relatif, hanya ada sedikit program dan sumber daya telah diarahkan pada perbaikan kawasan kumuh, dan jika demikian, program tersebut dari skala yang lebih terbatas. Ada beberapa program upgrading, beberapa di antaranya fokus pada rehabilitasi rumah (seperti BSPS - Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya, Dukungan untuk Stimulus Perumahan Swadaya, dioperasikan oleh Depkes), yang lainnya fokus pada infrastruktur dan perumahan (seperti Proyek Sektor Perbaikan Perumahan dan Lingkunga (NUSSP), yang dilaksanakan pada tahun 20052010 di 32 kota oleh Kementerian Perumahan Rakyat dan Program PNPM-Perkotaan, yang dilaksanakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum). Semua program ini melibatkan kerja sama pemerintah pusat dan daerah, masyarakat itu sendiri dan dalam beberapa kasus - kemitraan swasta-publik. Meskipun program-program tersebut relatif memiliki hasil yang positif dan outcome yang sukses, saya khawatir dengan adanya fragmentasi program-program yang berbeda antara berbagai lembaga dan dengan tidak efisiennya mekanisme koordinasi yang ada. Saya usulkan agar Pemerintah melakukan lagi program perbaikan kawasan kumuh secara komprehensif dan holistik, yang dikoordinasikan secara memadai, didanai dan dipantau. Program-program lain - perumahan sewa terjangkau dan pembiayaan perumahan Salah satu program utama yang dilaksanakan pemerintah pada saat ini bagi keluarga berpenghasilan rendahh adalah Rumah Susun Sewa terjangkau yang memasok rumah susun sewa (rusunawa) yang disubsidi. Program ini dilaksanakan oleh beberapa instansi pemerintah (termasuk pemerintah daerah, Kementerian Perumahan Rakyat dan Perumnas) yang memiliki dua kelompok sasaran - permukiman informal yang direlokasi dan pegawai negeri atau mahasiswa. Konsep yang menggunakan strategi-strategi perumahan yang berbeda- perbaikan permukiman kumuh, program-program pembiayaan untuk kepemilikan dan sewa - sangat positif, yang mencerminkan kebutuhan yang berbeda dan kemungkinan keuangan dari berbagai segmen masyarakat. Saya menyambut baik pendekatan ini. Namun demikian, sampai saat ini program ini baru diimplementasikan pada skala yang tidak memadai (antara tahun 2010 dan 2013-3800 unit (380 bangunan) dibangun oleh Kementerian Perumahan Rakyat, dan yang dibangun oleh badan nasional atau provinsi lainnya yang juga sangat sederhana). Hal ini terutama kalau kita menganggap bahwa hanya di Jakarta, salah satu dari kelompok sasaran untuk rumah susun ini (keluarga yang akan direlokasi dari tepi sungai) berjumlah puluhan ribu orang (menurut informasi yang diberikan kepada saya selama misi ini, sepanjang sungai Ciliwung terdapat 40.000 orang), semntra hanya ada 5,600 unit rusunawa (sebagiannya sudah dihuni). Beberapa tantangan berkaitan dengan Rusunawa layak mendapat perhatian kita. Salah satunya berkaitan dengan kesulitan menyediakan perawatan untuk blok-blok rusunawa tersebut. Skema sewa Bersubsidi hanya bisa berhasil dalam jangka panjang ketika anggaran pemerintah tersedia untuk juga mensubsidi agen-agen pengelola. Walalupun ada beberapa Pemda (Surabaya) memberi subsidi untuk pemeliharaan, ini bukannya kebijakan nasional. Kekhawatiran kedua mengacu pada kasus-kasus pemilihan penerima manfaat yang tidak transparan yang dilaporkan. Suatu isu penting lain berkaitan dengan program Rusunawa) adalah lokasinya. Keberlanjutan dari proyek-proyek tersebut tergantung pada lokasinya – dekat dengan peluang kerja dan pelayanan publik, dan dalam hal masyarakat yang direlokasi – dekat dengan tapak habitat asli mereka. Sesuai dengan informasi yang saya terima dan kesan saya sendiri selama kunjungan saya, saat ini ada suatu daftar tunggu yang panjang untuk menara apartemen yang terletak di lokasi yang baik (dekat kesempatan memperoleh pekerjaan dan layanan publik dan dalamkasus komunitas yang dipindahkan, dekatdengan tapakhabitatnya) bersama dengan tingkat hunian yang rendah untuk gedunggedung yang terletak di daerah terpencil. Namundemikian, keprihatin saya ialah bahwa peningkatan daerah kumuh dan skema perumahan yang terjangkau seperti Rusunawa saat ini berada di “kursi belakang” dalam hal alokasi anggaran yang bertujuan untuk meningkatkan akses pada keuangan bagi kelas pemilik rumah berpenghasilan menengah. Menurut Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, investasi terbesar saat ini untuk perumahan adalah subsidi pajak bagi para pengembang serta subsidi uang muka dan bunga bagi para pembeli (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan – FLPP tahun 2010). Namun, FLPP hanya mentargetkan mereka dengan penghasilan yang relatif stabil, bekerja di pasar formal dan tidak memasukkan para wiraswasta di sector informal (yang mewakili 60% dari angkatan kerja) dan para pekerja dengan penghasilan tidak stabil yang tidak dapat merupakan jaminan yang didukung hipotek yang dapat dipasarkan. Walaupun rumah tangga dengan penghasilan rendah dan para pekerja informal tidak termasuk dalam FLPP, mereka tidak bisa terhindar dari pengaruhnya – peningkatan permintaan tanah dan rumah serta harga tanah dan rumah yang meningkat. Keprihatinan yang lain adalah bahwa fungsi perumahan Pemerintah tersebar di berbagai kementerian, instansi dan BUMN, dan hal ini mengganggu adanya rancangan dan implementasi kebijakan yang koheren. Disamping itu, proses desentralisasi telah mentransfer sebagian tanggung jawab penyediaan perumahan kepada pemerintah daerah. Namun, hal ini tidak didukung oleh suatu peningkatan kapasitas kelembagaan dan finansial di propinsi dan kabupaten. Saya telah diperingatkan tentang banyak masalah pada koordinasi antar-lembaga di tingkat pusat dan daerah. Land Ketersediaan tanah perkotaan yang terbatas merupakan salah satu dari hambatan utama pada sektor perumahan di Indonesia, yang mempengaruhi ketersediaan dan keterjangkauan dari segmen masyarakat yang paling miskin. Situasi ini telah menjadi semakin parah dalam 15 tahun terakhir karena para pengembang swasta mendominasi pembangunan perkotaan di Indonesia. Baru-baru ini real estate menjadi salah satu komoditas paling penting yang diperdagangkan di bursa saham (informasi diberikan oleh Bank BTN). Komersialisasi tanah perkotaan tersebar luas diikuti oleh spekulasi tanah dan monopoli tanah yang tidak terkontrol yang memberikan kontribusi kepada harga-harga yang meroket tinggi, khususnya di pusat perkotaan utama, sehingga mengurangi keterjangkauan tanah bagi rumah tangga dengan penghasilan rendah. Hanya kurang dari 7% produk perumahan untuk pasar perumahan adalah kurang dari 700 juta Rupiah (US$ 70.000). Dengan rata-rata penghasilan per kapita sebesar sekitar US$ 4.000-6.000 per tahun, mayoritas dari populasi perkotaan tidak dapat membeli rumah dari pasar properti. Sebagian besar rumah yang dibangun oleh perusahaan real estate ditargetkan untuk investasi spekulatif oleh lebih dari 10% populasi perkotaan. Suatu studi yang dilakukan oleh Pusat Metropolitan Universitas Tarumanagra melaporkan bahwa di Jabodetabek pada dekade terakhir lebih dari 30 proyek real estate berskala besar, yang menempati lebih dari 30.000 hektar tanah telah mengakomodasikan hanya 7% dari total pertumbuhan penduduk selama periode tersebut (10 juta). Pemerintah telah membuat beberapa peraturan pembangunan untuk mempromosikan distribusi pembangunan tanah yang cukup kepada kelompok-kelompok berpenghasilan rendah, seperti kebijakan 1:2:3 (memandatkan bahwa setiap proyek pembangunan harus menjaga suatu proporsi dari: 1 unit berpenghasilan tinggi, 2 unit berpenghasilan menengah dan 3 unit berpenghasilan rendah). Suatu kebijakan yang sama memandatkan bahwa 20% dari tanah di setiap proyek pembangunan perumahan horisontal harus dialokasikan untuk unit berpenghasilan rendah. Namun, saya telah diberitahu oleh para pejabat Pemerintah maupun masyarakat sipil bahwa peraturan-peraturan tersebut tidak dilaksanakan oleh para pengembang dan tidak ada monitoring dan penegakan yang efektif. Sayasenang mendengar bahwa KemetrianPerumahan Rakyatdan Gubernur DKI Jakarta sedang mempetimnagkan usaha-usaha baru untuk menguatkan penegakan regulasi-regulasi tersebut Walaupun terdapat hambatan ini, suatu porsi tanah Negara yang sangat terbatas, yang masih tersedia di kota-kota di Indonesia, dialokasikan untuk perumahan berpenghasilan rendah, baik untuk mendukung alternatif perumahan yang baru bagi kaum miskin atau untuk mengetahui dan atau mengakui pemukiman yang ada dan dengan demikian memberikan kepada mereka jaminan kepemilikan dan meningkatkan kondisi hidup. Di Indonesia terdapat suatu sistem kepemilikan tanah yang kompleks, tidak terselesaikan dan eksklusioner. Menurut BPN (Badan Pertanahan Nasional), tanah non hutan terdiri atas sekitar 89 juta bidang tanah dan hanya 30% tanah tersebut memiliki hak tanah secara formal. UndangUndang Agraria Dasar tahun 1960 merupakan perundang-undangan utama yang mengatur pengelolaan dan registrasi tanah. Walaupun Pasal 56 dari Undang-Undang Agraria Dasar mengakui keberlanjutan keabsahan hak yang berasal dari adat1, atau hukum adat, pemegang hak tidak dapat mendaftarkan haknya atau membuatnya sepenuhnya diakui oleh Negara sampai yang bersangkutan membeli suatu sertifikat dari Badan Pertanahan Nasional (BPN), yang mengkonfirmasikan bahwa tanah tersebut bukan tanah Negara. Perangkat parallel dari hukum adat dan hukum Negara di Indonesia telah menyebabkan kebingungan, konflik tanah, masalah bagi masyarakat adat, penggusuran dan kerusakan hutan. Tambahan lagi, hak ulayat (yang dapat diterjemahkan sebagai suatu “alokasi hak komunal”) tidak dapat diregistrasi. Hal ini menghalangi masyarakat untuk secara kolektif memohon sertifikat tanah. Biaya registrasi tanah yang sangat tinggi juga menghindarkan bagian terbesar dari populasi Indonesia dari sistem registrasi resmi. Disebabkan oleh proses desentralisasi, maka saat ini pemerintah kabupaten dan kotamadya diberi kuasa untuk mengelola tanah dan menentukan penggunaan sumberdaya dan perencanaan tataruang maupun untuk mengelola penerimaan dan anggaran. Saya telah diberitahu bahwa dalam banyak hal para pengembang memperoleh izin untuk perkebunan, pertambangan atau kegiatan pembangunan dari Pemerintah Daerah, tanpa diketahui oleh mereka yang sebenarnya bertempat tinggal di atas tanah tersebut dan kadang-kadang bertentangan dengan rencana tataruang atau peraturan zona. Bentrokan antara masyarakat di satu sisi serta pemerintah daerah, Kementerian Kehutanan Kementerian Pertambangan dan perusahaan perkebunan swasta di sisi lain, merupakan suatu fenomena yang umum dan bermasalah. Dalam konteks ini, saya menyambut keputusan-keputusan akhir-akhir ini dari Mahkamah Konstitusi yang 1 Adat merupakan suatu pendekatan komunal dalam mengatur hak tanah, termasuk hak tanah yang digunakan oleh perorangan dengan persetujuan masyarakat. memberikan pengakuan terhadap hak adat atas tanah hutan dan daerah pesisir kepada masyarakat yang secara tradisional hidup disana. Konflik atas tanah tersebar luas di Indonesia dan mencegah jaminan registrasi dan kepemilikan. Menurut suatu studi, 65 persen dari kasus pengadilan tata usaha negara melibatkan perselisihan tanah. Kementerian Undang-Undang dan Hak Asasi Manusia (2/3 komplain) dan Ombudsman (satu dari 5 teratas) juga menginformasikan kepada saya bahwa komplain tentang isu yang terkait tanah ada di urutan teratas dari daftar mereka. Tidak ada suatu otoritas tunggal yang berwenang untuk menyelesaikan perselisihan tanah serta pengaturan formal dan informal untuk mengatasi konflik terkait tanah. Empat lembaga yang berbeda memiliki kompetensi yang parallel dan bertumpang tindih: pengadilan sipil; pengadilan pidana, pengadilan tata usaha negara; dan suatu forum perselisihan yag dibentuk oleh BPN untuk menangani perselisihan yang berkaitan dengan kesalahan administrasi tanah dan kesalahan dalam registrasi dan pemberian hak tanah. Proses litigasi untuk perselisihan tanah menghabiskan waktu dan kadang-kadang sangat mahal bagi golongan miskin, terutama bilamana tidak ada bantuan hukum cuma-cuma yang berkualitas bagi rumah tangga berpenghasilan rendah dan tidak adanya suatu sistem informasi tanah yang transparan dan dapat diakses. Penggusuran Kombinasi dari pembangunan yang cepat, system kepemilikan yang kompleks dan eksklusioner serta kehadiran yang ambigius dari pemukiman informal di pusat-pusat perkotaan, telah mencetuskan praktek-praktek penggusuran paksa dan pemukiman kembali secara paksa yang tersebar luas di seluruh negara, sebagai kontradiksi terhadap kewajiban dan standar hak asasi manusia internasional. Selama kunjungan ini, saya telah mendengar banyak kesaksian dari masyarakat yang telah digusur secara paksa dari daerah-daerah pedesaan dan perkotaan oleh para pelaku swasta dan berbagai otoritas pemerintah. Ini merupakan salah satu isu kekuatiran utama yang telah saya temui selama misi saya. Biarlah saya jelas secara mutlak – penggusuran paksa merupakan suatu pelanggaran besar terhadap suatu lingkup luas hak asasi manusia yang diakui secara internasional. Istilah penggusuran paksa mengacu kepada suatu penggusuran yang tidak dilakukan sesuai dengan undang-undang dan standard internasional, terlepas dari apakah mereka yang digusur memegang hak yang sah atas tanah dan terlepas dari apakah penggusuran terjadi dengan menggunakan kekerasan. Ini terjadi sekalipun penggusurandilakukan untuk melayani sebuah kepentingan umum yang syah, misalnya dengan alasan menghindari/menjauhkanorang dari suatu risiko tertentu Penggusuran paksa secara masal hanya boleh dilakukan di bawah keadaan eksepsional dan sepenuhnya sesuai dengan undang-undang hak asasi manusia internasional, yang termasuk kewajiban untuk memberikan informasi sepenuhnya atas tujuan penggusuran tersebut; pemulihan hukum dan bantuan hukum kepada orang-orang yang memerlukannya untuk mencari ganti rugi melalui pengadilan. Penggusuran tidak boleh melibatkan penggunaan kekerasan dan tidak boleh mengakibatkan orang menjadi kehilangan rumah. Pihak Negara harus mengambil semua langkah yang layak untuk memastikan kompensasi yang cukup dan/atau perumahan atau pemukiman alternatif yang cukup. Solusinya harus dicapai dengan konsultasi yang berarti dengan masyarakat yang terkena pengaruh untuk memastikan bahwa relokasi menghasilkan perbaikan terhadap standar hidup mereka atau minimum tidak mengakibatkan kemundurannya. Banyak sekali undang-undang dan peraturan nasional, propinsi dan kotamadya memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk melakukan penggusuran terhadap pemukiman dari tanah yang dimiliki secara pribadi atau dari daerah-daerah yang tidak ditujukan untuk tempat tinggal sesuai dengan rencana induk regional. Mayoritas dari masyarakat yang saya temui telah bertempat tinggal di atas tanah yang telah ditunjuk untuk penggunaan public (ruang hijau, pinggir sungai, sepanjang rel kereta api) dan telah menempati tanah tersebut selama bertahun-tahun (dalam beberapa hal lebih dari 30 tahun). Dalam banyak hal (seperti kasus pemukiman di waduk Pluit di Jakarta), masyarakat telah tinggal disana dengan persetujuan secara diam-diam dari kotamadya atau otorisasi dari BUMN (seperti halnya kasus masyarakat Duri Tambora dan perusahaan kereta api PT. KAI). Saya telah diperingatkan tentang rencana yang ada untuk dalam waktu 5 tahun mendatang merelokasi 200.000 penduduk yang bertempat tinggal di pinggir sungai dan daerah kumuh di Jakarta, terutama karena saat ini tidak tersedia solusi relokasi atau kompensasi alternatif yang cukup dan tahan lama. Walaupun pemukiman-pemukiman tersebut saat ini dicap sebagai “tempat pendudukan illegal”, istilah ini menyesatkan, karena istilah yang merugikan ini mengaburkan fakta bahwa penempatan terjadi dengan izin dan/atau toleransi dari negara. Sebagian besar korban penggusuran yang saya temui dan berbicara menganggap bahwa mereka telah mendapatkan semacam bentuk kepemilikan atas tanah dari mana mereka digusur, setelah menempatinya selama beberapa dekade tanpa adanya bantahan (atau dorongan) dari entitas swasta atau publik dan pada akhirnya menerima berbagai pelayanan pemerintah yang disediakan, dengan membayar pajak tanah pemerintah. Selama kunjungan saya, saya telah mendengar kesaksian bahwa dalam beberapa kejadian mereka yang digusur sama sekali tidak menerima kompensasi. Hal ini terutama bagi warga tanpa KTP atau orang yang tinggal di tanah yang tidak ditujukan untuk tempat tinggal – yang dianggap ilegal. Pada kejadian lain, warga mengeluh bahwa kompensasi yang ditawarkan kepada mereka tidak cukup untuk memperoleh perumahan alternatif yang mencukupi atau sebanding dan untuk memperbaiki mata pencaharian mereka. Sebagai suatu alternatif dari kompensasi keuangan, maka Negara dapat menyediakan akomodasi atau tanah yang layak dan cukup, sesuai dengan keinginan dan kebutuhan dari masyarakat yang terkena dampak. Sementara kebijakan Pemerintah sehubungan dengan pemukiman yang telah “diregularisasi” dan mempunyai sertifikat tanah, adalah untuk menawarkan alternatif kompensasi, alternatif tanah atau perumahan atau in-situ perbaikan, dalam hal daerah kumuh “ilegal”, pemerintah menolak untuk mempertimbangkan kompensasi atau in-situ perbaikan dan hanya memberikan opsi relokasi kepada apartemen dengan sewa rendah di gedung-gedung bertingkat tinggi (Rusunawa). Kesan saya adalah bahwa solusi ini tidak berkelanjutan karena beberapa alasan. Pertama, sebagaimana telah saya sebutkan, pasokan dari apartemen dengan sewa rendah sangat terbatas. Disamping itu, dalam banyak kejadian yang telah saya lihat, gedung-gedung dengan sewa rendah terletak jauh dari lokasi asli masyarakat yang tergusur dan peluang kerja. Diskriminasi Kewajiban dari non-diskriminasi adalah suatu prinsip mendasar dari undang-undang hak asasi manusia internasional. Kewajiban Negara untuk menjamin realisasi hak atas perumahan yang cukup dilanjutkan dengan kewajiban untuk melindungi individu dan masyarakat dari tindakan atau kelalaian pihak ketiga. Selama kunjungan saya, saya telah mendengar kesaksian bahwa beberapa kelompok (seperti LGBT) menghadapi diskriminasi dalam mengakses perumahan yang cukup dari para pelaku negara maupun non-negara. Migran internal Walaupun ada fakta bahwa hampir satu dari setiap empat orang warga perkotaan telah bermigrasi dari daerah pedesaan selama hidupnya, banyak di antara mereka masih belum mempunyai KTP untuk lokasi tempat tinggal mereka saat ini dan tidak menerima pelayanan publik (seperti pendidikan dan kesehatan). Para migran terutama rentan terhadap konsekuensi dari penggusuran paksa. Karena tidak memiliki KTP, maka mereka ditolak kompensasi atau relokasi dan dalam banyak hal saya telah mendengar kesaksian bahwa satu-satunya solusi yang ditawarkan kepada mereka adalah relokasi mereka kembali ke tempat asalnya. Namun solusi ini tidak berkesinambungan disebabkan oleh konsentrasi peluang ekonomi dan kesempatan kerja berada di pusat-pusat perkotaan, terutama di pulau Jawa. Walaupun adalah layak untuk mengadakan persyaratan tempat tinggal minimum untuk bentuk bantuan tertentu, hal tersebut harus secara eksklusif dilakukan dengan cara memperlihatkan suatu KTP berbasis lokasi tetapi warga harus diizinkan untuk membuat tempat tinggal melalui bentuk bukti yang lain, dan diizinkan untuk mengakses kompensasi dan bantuan dimana mereka telah menderita kerugian atau kehilangan melalui penggusuran. Minoritas agama Saya juga prihatin dengan adanya beberapa laporan yang diterima selama kunjungan saya tentang relokasi paksa dari minoritas agama (masyarakat Shi’a dan Ahmadiya) yang telah dihasut oleh masa, kadang-kadang disertai atau dihasut oleh kelompok Islam radikal. Rumah, sekolah dan tempat ibadah telah dibakar atau dihancurkan dalam penyerangan tersebut yang memaksa ratusan keluarga di berbagai masyarakat keluar dari rumah mereka ke tempat perlindungan dan akomodasi sementara tanpa akses ke fasilitas dasar, pelayanan dan keamanan. Saya prihatin bahwa pihak berwenang telah gagal unutk secara cukup melindungi masyarakat tersebut dari pengusiran paksa serta tindakan kekerasan. Saya menghimbau Pemerintah untuk memastikan agar masyarakat yang mengungsi mempunyai akses segera ke pelayanan esensial seperti makanan, air minum bersih dan pelayanan kesehatan dan untuk menjamin mereka kembali dengan aman ke rumah mereka, serta memberikan kepada mereka bantuan yang diperlukan untuk membangun kembali rumah mereka yang telah dirusak atau dihancurkan. Perempuan Walaupun Undang-Undang Perkawinan 1974 menetapkan bahwa barang hak milik yang dibeli selama perkawinan dimiliki bersama oleh pasangan hidup, perempuan di Indonesia masih menghadapi praktek-praktek diskriminasi sehubungan dengan hak properti dan warisan berdasarkan praktek-praktek adat dan kebiasaan di berbagai wilayah. Sementara perempuan di pulau Jawa kadang-kadang tercatat sebagai pemilik bersama, di wilayah-wilayah lain, seperti Sulawesi Tenggara dan pulau-pulau Nusa Tenggara Timur, pada umumnya perempuan tidak memiliki hak individu ataupun hak bersama atas tanah, yang berasal dari hak mereka melalui seorang keluarga suami atau laki-laki. Selama kunjungan saya, saya bertemu dengan beberapa perempuan dari wilayah Sumba yang membagi kepada saya kesulitan mereka dalam memperoleh sertifikat tanah, walaupun adanya fakta bahwa mereka telah menempati tanah tersebut selama bertahun-tahun dan secara teratur telah membayar pajak tanah kepada otoritas setempat. saya juga ingin menggarisbawahi adanya keprihatinan lain yang disuarakan kepada saya berkaitan dengan tidak memadainya solusi pemondokan bagi korban KDRT. Isu ini akan saya angkat dengan lenih detil dalam laporan saya. Rekonstruksi Pasca Bencana Dalam dekade terakhir ini, Indonesia telah mengalami beberapa bencana alam yang menyebabkan hilangnya banyak nyawa, tetapi juga kerusakan perumahan dan infrastruktur yang parah dari seluruh komunitas di berbagai daerah di seluruh nusantara. Dari tahun 2001 sampai 2010 ada 9.473 bencana alam, termasuk gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung api, dan bencana non-alam yang disebabkan oleh aktivitas manusia seperti banjir, tanah longsor dan kebakaran di kota dan hutan, beberapa daerah yang terkena dua atau lebih bencana alam dalam kurang dari 5 tahun. Tak perlu dikatakan lagi bahwa dalam konteks ini, rekonstruksi dan rehabilitasi masyarakat yang terkena dampak bencana memberikan tantangan maha besar bagi Pemerintah Indonesia, baik dari segi teknis maupun anggaran. Selama berada di negara ini, saya mengunjungi masyarakat di Bantul dan Sleman di provinsi Yogyakarta, yang telah terkena dampak gempa bumi dan letusan gunung berapi, saya daapt melakukan assessment pada Proyek Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pemukikan Berbasis Komunitas yang sedang dilaksanakan di daerah-daerah tersbut (REKOMPAK). Walaupun saya akan lebih lanjut berbicara tentang kebijakan rekonstruksi pasca bencana dalam laporan akhir saya, saya ingin menggunakan kesempatan ini untuk mengungkapkan kesan saya yang sangat positif pada desain dan pelaksanaan program REKOMPAK. Model ini adalah model terbaik untuk program rekonstruksi dan rehabilitasi pasca bencana, yang harus saya nilai lagi di seluruh dunia. Dari perspektif hak asasi manusia, program ini responsif, efektif dari segi biaya, diprakarsai masyarakat, dan menyediakan solusi tahan lama dan berkelanjutan. Alternatif-alternatif rehabilitasi disesuaikan dengan partisipasi penuh dari masyarakat yang terkena dampak, sesuai dengan karakteristik daerah dan sosial budaya. Tentu saja kesulitan dalam pelaksanaan dan keberlanjutan program masih tetap ada, misalnya hak masyarakat untuk menerima dukungan negara (baik dari segi manajemen risiko maupun rehabilitasi in situ) bahkan dalam kasus-kasus di mana mereka menolak untuk pindah ke sebuah tempat yang berbeda atau penyewa yang terkena bencana. Fleksibilitas program ini dapat digunakan untuk mengatasi kompleksitas ini. Yang saya temukan sangat mencolok dan memberi inspirasi adalah bahwa kebijakan ini memanfaatkan salah satu aset utama negara ini - kekuatan masyarakat dan tradisi kohesi sosial dan pengorganisasian sendiri oleh masyarakat. Aset ini bisa dan harus dimobilisasi dalam kebijakan Perumahan Nasional lainnya dan dalam proses perencanaan di semua tingkat. Rekomendasi: Walalupun laporan akhir saya (yang akan disampaikan kepada Dewan Hak Asasi Manusia pada bulan Maret 2014) akan mencakup rekomendasi terperinci tentang masalah-masalah tersebut di atas, saya ingin menggunakan kesempatan ini untuk memberikan beberapa rekomendasi awal untuk secara langsung dipertimbangkan oleh Pemerintah Indonesia dan pemangku kepentingan terkait lainnya. Tahun-tahun mendatang menyajikan jendela kesempatan bagi Pemerintah Indonesia untuk secara proaktif mengelola proses urbanisasi dan proses-proses pembangunan untuk memastikan pertumbuhan yang inklusif dan pengurangan kemiskinan. Kebijakan dan program harus mendorong adanya struktur tata ruang kota UNTUK SEMUA, perencanaan penggunaan lahan berkelanjutan, investasi dalam infrastruktur kritis, dan penyediaan layanan dasar termasuk bagi mereka yang ada di permukiman informal. Untuk tujuan tersebut, saya sarankan agar Pemerintah mengadopsi Strategi Pembangunan Perumahan Nasional yang akan dirancang dengan partisipasi publik yang efektif dan yang didasarkan pada data yang crosscutting/saling silang, terpilah dan terkini tentang situasi dan kebutuhan perumahan. Salah satu tugas utama dalam Strategi tersebut adalah lebih lanjut mengklarifikasi dan memfasilitasi tanggung jawab dan koordinasi antara berbagai Kementrian, pemerintah provinsi dan daerah dan para pemangku kepentingan lain yang terlibat dalam sektor perumahan dan lahan sambil menyelesaikan pelaksanaan proses desentralisasi, dan menyediakan sumber daya yang diperlukan kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan tanggung jawab mereka. Warisan Indonesia yang kuat menyangkut organisasi dan partisipasi masyarakat tidak harus dibatasi pada tingkat Tetangga atau Warga. Pemerintah harus memastikan adanya partisipasi penting dan terus-menerus dari masyarakat dalam merancang, mengimplementasi dan memantau kebijakan perumahan dan lahan dan program-program, baik di tingkat nasional maupun lokal, termasuk alokasi anggaran dan perencanaan tata ruang .. Tidak mungkin untuk memiliki kebijakan perumahan tanpa kebijakan pertanahan dan kebijakan pertanahan harus melindungi kepentingan masyarakat miskin yang tidak memiliki daya beli di pasar. Rencana tata ruang perkotaan dan peraturan penggunaan lahan harus dirancang untuk menjamin adanya sebuah lingkungan perkotaan yang inklusif dan beragam. Kebijakan pengelolaan lahan harus mengatur pasar untuk menahan adanya spekulasi dan monopoli. Tanah negara dan tanah perusahaan milik negara tanah mempunyai peran penting dalam menjamin fungsi sosial kota dan desa. Oleh karena itu saya sarankan agar Pemerintah mereview kepemilikan tanah Negara pada saat ini dan membandingkannya dengan kebutuhan yang ada dan proyeksi kebutuhan akan tanah. Negara harus mempertimbangkan untuk mengalokasikan lahan untuk perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah serta mengakui hak pemilikan permukiman yang ada. Pemerintah Indonesia harus membawa undang-undang nasional dan kotanya serta peraturan mengenai penggusuran dan pembebasan lahan sejalan dengan Hukum dan Standar Hak Asasi Manusia Internasional. Pertimbangkan untuk mereformasi peraturan yang ada tentang hak atas tanah dan pendaftaran untuk: menyederhanakan proses, mengurangi biaya bagi perorangan, ijin kolektif dan hak-hak ulayat, berikan persyaratan yang fleksibel untuk bentuk-bentuk bukti kepemilikan yang diperlukan, tingkatkan efisiensi, dan kurangi penundaan. Ijinkan saya mengakhiri pernytaan ini dengan menekankan kesan saya bahwa Pemerintah Republik Indonesia sudah mempunyai komitmen untuk mempromosikan akses atas perumahan yang layak dan saya berharap bahwa kunjungan saya dan laporan berikutnya akan dapat membantu Pemerintah dalam mengarahkan upaya ini kepada segmen masyarakat yang miskin dan rentan lainnya. Dengan penuh antisipasi Saya inginkan adanya dialog konstruktif terus menerus yangsudah mulai terbangun selama kunjungan saya. Terimakasih banyak atas perhatiannya dan saya berharap untuk mendengarkan pertanyaan Anda. Jakarta, 11 Juni 2013