BAB IV. EKONOMI DAN PENGELUARAN RUMAHTANGGA Pertumbuhan ekonomi yang semakin baik dan terukur akan mampu menyerap minat masyarakat untuk berinvestasi. Investasi dapat menjadi titik tolak bagi keberhasilan dan keberlanjutan pembangunan di masa depan, yang gilirannya akan berdampak pula terhadap keberlanjutan pembangunan sumber daya manusia. Di bidang kesehatan misalnya, pembangunan sarana dan prasarana penunjang pelayanan kesehatan, seperti rumahsakit, poliklinik, dan puskesmas memerlukan invertasi yang sangat besar agar dapat tersebar dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan yang memadai tentunya akan mampu meningkatkan derajat kesehatan masyarakat sehingga pada gilirannya dapat mendongkrak pencapaian indeks pembangunan manusia di masa mendatang. Disamping pertumbuhan ekonomi yang cukup baik, indikator ekonomi lainnya yang dapat mempengaruhi pembangunan manusia diantaranya adalah: pendapatan per kapita, dan pola distribusi pendapatan antar kelompok masyarakat. Apabila distribusi pendapatan timpang, maka banyak penduduk yang tidak memiliki cukup uang untuk memenuhi kebutuhannya untuk membeli makanan, membiayai pendidikan dan kesehatan sehingga memperlambat pembangunan manusia. Menurut UNDP (1996) hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia dapat dikategorikan ke dalam 2 (dua) kriteria, yaitu seimbang (balanced) dan tidak seimbang (unbalanced). Untuk yang seimbang dibedakan lagi antara kuat dan lemah. Kategori seimbang yang pertama, terjadi hubungan kuat (strong link) antara pembangunan ekonomi dan pembangunan manusia. Sementara kategori seimbang yang kedua, berlangsung hubungan lemah (weak link) antar pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia. Kategori tidak seimbang” (unbalanced link) memiliki ciri pertumbuhan ekonomi relatif lambat tetapi pembangunan manusia relatif cepat atau sebaliknya. Masih ditemui kesenjangan pendapatan antar kelompok masyarakat di masingmasing wilayah. Kesenjangan pendapatan dapat diukur dengan menggunakan Gini Rasio dan persentase pendapatan yang diterima oleh 40 persen penduduk yang berpenghasilan rendah. Menurut data Susenas 2003, angka indeks gini Propinsi Jawa 46 Barat mencapai 0,189 turun sekitar 0,012 poin dibandingkan tahun 2002, sedangkan pada tahun 2004 gini rationya mencapai sebesar 0.185 poin. Persentase dari 40 persen penduduk yang berpenghasilan rendah sesuai kriteria bank dunia pada tahun 2003 mencapai sebesar 23.60 persen turun menjadi sebesar 17,25 persen pada tahun 2004. Dari angka yang ada tersebut terlihat kesenjangan kesejahteraan di Jawa Barat makin menyempit. Namun angka yang ada tersebut belumlah menjamin bahwa kesejahteraan penduduk makin baik, karena faktor ekonomi bangsa yang sedang terpuruk memperbesar pula tingkat pengeluaran masyarakat khususnya untuk memenuhi kebutuhan akan pangan, dan cukup sulit bagi penduduk memenuhi kebutuhankebutuhan hidup lainnya. Indikator lain yang dapat menunjukkan tingkat kesejahteraan masyarakat semakin membaik jika laju pertumbuhan angkatan kerja yang terserap/terakomodasi oleh lapangan kerja dapat mengimbangi pengangguran yang terjadi. Karena akibat dari jumlah pengangguran yang tidak terserap oleh lapangan pekerjaan dapat berimplikasi terhadap perubahan berbagai dimensi sosial masyarakat seperti meningkatnya kemiskinan dan kriminalitas. Berkaitan dengan visi pemerintah lima tahun ke depan, peningkatan kualitas dan produktivitas sumber daya manusia Jawa Barat dan pengembangan struktur perekonomian regional yang tangguh merupakan dua dari lima misi pemerintah yang bersinggungan dengan masalah ketenagakerjaan. Sasaran misi pertama salah satunya adalah meningkatnya serapan tenaga kerja per sektor sebesar 18.680.019 pada tahun 2008. Dari sini dapat diartikan di tahun 2008 diupayakan terdapat 18.680.019 kesempatan kerja di Jawa Barat. Di tahun 2004 sendiri baru terdapat 14.333.679 buah kesempatan kerja, dengan hampir tiga perempat bagian diantaranya (73 persen) dipegang tenaga kerja laki-laki. Sedangkan tenaga kerja perempuan hanya 27 persen saja yang terserap dalam dunia kerja. Jika dilihat per kabupaten/kota, persentase penduduk 10 tahun ke atas yang bekerja cenderung sama di tiap kabupaten/kota. Kabupaten Ciamis dan Sumedang adalah dua kabupaten yang memiliki kesempatan kerja terbesar yaitu masing-masing sebesar 90,38 persen dan 90,36 persen. Daerah dengan kesempatan kerja terendah adalah Kota Sukabumi dengan persentase sebesar 79,72 persen. Baik tenaga kerja laki-laki maupun tenaga kerja perempuan sebagian besar terserap di tiga sektor usaha. Tiga sektor usaha tersebut adalah pertanian (29,58 47 persen), perdagangan (22,80 persen), dan industri (17,81 persen). Sisanya terserap di berbagai sektor usaha lain seperti pertambangan, penggalian, listrik, gas, air, konstruksi, angkutan, komunikasi, keuangan, jasa, maupun sektor usaha lain. Grafik berikut merupakan gambaran ketenagakerjaan Jawa Barat menurut sektor usaha tahun 2005 Gambar 4.1. Persentase Penduduk 10 Tahun Ke atas yang Bekerja Menurut Kabupaten/Kota dan Lapangan Usaha Tahun 2005. 35 30 29.58 22.8 25 17.81 20 15 12.62 8.82 10 5.78 5 0.43 1.86 0.28 0.02 0 i s n n n ks i ian ga s tr ga ga tan ga an an du an i k, ku tr u an t r g u s n b g r t i n a m an ke pe lis ko rd rt a pe pe a jas a ny n lai Dari seluruh pekerja di Jawa Barat, 33,53 persen merupakan tenaga produksi; 29,21 persen tenaga usaha pertanian, dan 21,88 persen tenaga usaha penjualan. Sisanya terdiri dari tenaga kerja profesional, kepemimpinan dan ketatalaksanaan, pejabat pelaksana dan tenaga TU, tenaga usaha jasa, dan anggota TNI dan lainnya. Status pekerjaan terbesar tenaga kerja di Jawa Barat adalah buruh atau karyawan sebanyak 45,26 persen, dan 29,93 persennya berusaha sendiri. Sedangkan 24,81 persen sisanya adalah pengusaha dan pekerja tidak dibayar. 48