DESAIN KURIKULUM I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kurikulum memiliki kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam dunia pendidikan khususnya pendidikan formal, karena kurikulum berhubungan dengan penentuan arah, isi dan proses pendidikan, yang pada akhirnya akan menentukan macam dan kualifikasi lulusan suatu institusi pendidikan. Kurikulum menyangkut rencana dan pelaksanakan pendidikan baik dalam lingkup yang sempit seperti di kelas, sekolah, daerah, wilayah maupun nasional. Semua orang berkepentingan terhadap kurikulum, orang tua, masyarakat, pemimpin formal maupun informal selalu mengharapkan tumbuh dan berkembangnya anak anak mereka, generasi yang lebih maju, pintar dan cerdas serta memiliki kompetensi yang handal untuk diri dan kehidupannya. Dalam konteks ini kurikulum memiliki andil yang cukup besar dalam memlahirkan harapan tersebut. Disisi lain harapan-harapan ( out put ) dari implementasi sebuah kurikulum dirasa masih jauh dari harapan-harapan ideal. Kurikulum yang ada seringkali dipandang belum sesuai dengan tuntutan, kebutuhan dan perkembangan masyarakat; Kurikulum belum seiring dengan tuntutan dan perkembangan iptek; belum sesuai dengan nilai-nilai sosio cultur masyarakat; belum sesuai dengan potensi-potensi yang ada di setiap daerah, dan lain-lain argumen. Itulah sebabnya seringkali terjadi perubahan atau pengembangan kurikulum. Di Indonesia misal perkembangan kurikulum dimulai dari tahun 1947 Rencana Pendidikan Terurai, Kurikulum 1964, Kurikulum 1968, Kurikulum 1973, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994, Kurikulum 2004, Kurikulum 2006, dan terakhir adalah Kurikulum 2013. Sejatinya kurikulum memang harus terus dinamis tidak boleh statis sesuai dengan perubahan dan perkembangan masyarakat yang terus mengalami perubahan. Untuk memenuhi harapan masyarakat dalam setiap desain kurikulum hendaknya perancang kurikulum lebih memperhatikan berbagai aspek, misal dalam merumuskan tujuan kurikulum, konten/ isi kurikulum, proses atau sistem penyampaian, dan evaluasi. Ada banyak aspek yang harus menjadi perhatian dalam setiap desain kurikulum seperti : Kurikulum lebih berorientasi pada kepentingan peserta didik sesuai dengan tingkatan dan perkembangannya; hendaknya ada kesesuaian antara muatan kurikulum dengan tuntutan, kebutuhan, kondisi dan perkembangan masyarakat; pengembangan kurikulum disesuaikan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, kurikulum harus mampu mengantisipasi perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat dan perkembangan jaman; kurikulum harus memuat nilai-nilai luhur sosio kultur budaya bangsa Indonesia dan nilainilai budaya daerah; kurikulum harus memuat nilai-nilai keyakinan ( agama) dan kekpercayaan yang menjadi karakteristik bangsa Indonesia, dan tentu masih banyak aspek-aspek ideal lainnya yang harus menjadi perhatian dalam setiap desain kurikulum. Kurikulum yang ideal yang sesuai dengan corak kehidupan bangsa Indonesia diharapkan mampu memberi andil yang besar dalam pembentukan generasi bangsa menjadi generasi yang cerdas, memiliki kompetensi yang handal, dan berkarakter. B. Perumusan Masalah 1. Apa saja yang menjadi komponen-komponen kurikulum ? 2. Bagaimanakah prinsip-prinsip desain kurikulum ? 3. Bagaimanakah pola desain kurikulum ? C. Maksud dan Tujuan 1. Untuk mengetahui apa saja yang menjadi komponen-komponen kurikulum 2. Untuk mengetahui dan memahami prinsip-prinsip yang harus diterapkan dalam desain kurikulum 3. Untuk mengetahui dan memahami pola-pola desain kurikulum 1 II. PEMBAHASAN Konsep kurikulum berkembang sejalan dengan perkembangan teori dan praktik pendidikan, juga bervariasi sesuai dengan aliran atau teori pendidikan yang dianutnya. Ada variasi dalam mendepinisikan kurikulum. Ada yang memandangnya secara sempit, yaitu kurikulum sebagai kumpulan mata pelajaran atau bahan ajar. Menurut pandangan lama, kurikulum merupakan kumpulan mata pelajaran yang harus disampaikan guru atau dipelajari siswa. Anggapan ini telah ada sejak jaman Yunani kuno, dalam lingkungan atau hubungan tertentu pandangan ini masih dipakai sampai sekarang, yaitu kurikulum sebagai “ ... a racecourse of subject matters to be mastered” “ Robert S. Zais, 1976:7) dalam Sukmadinata ( 2012: 4). Ada yang mengartikannya lebih luas, meliputi semua pengalaman yang diperoleh siswa karena pengarahan-bimbingan dan tanggungjawab sekolah. Pendapat lain telah beralih dari menekankan pada isi menjadi lebih memberikan tekanan pada pengalaman belajar. Menurut Caswell dan Campbell dalam bukunya yang terkenal curriculum develpment ( 1935), kurikulum ... to be composed of all the experiences children have under the guidance of teachers. Kurikulum juga diartikan sebagai dokumen tertulis dari suatu rencana atau program pendidikan (written curriculum), dan juga sebagai pelaksanaan dari rencana di atas (actual curriculum ). Tidak semua yang ada dalam kurikulu tertulis, kemungkinan dilaksanakan di kelas. Untuk mengetahui lebih jauh tentang apa dan bagaimana desain kurikulum ada baiknya kita pahami terlebih dahulu komponen-komponen kurikulum. A. Komponen Komponen Kurikulum Kurikulum dapat diumpamakan sebagai suatu organisme manusia ataupun binatang, yang memiliki susunan anatomi tertentu. Unsur atau komponen-komponen dari anatomi kurikulum yang utama adalah: Tujuan, isi atau materi, proses atau sistem penyampaian dan media, serta evaluasi. Keempat komponen tersebut berkaitan erat satu sama lain. Suatu kurikulum harus memiliki kesesuauian atau relevansi. Kesesuaian ini meliputi dua hal. Pertama kesesuaian antara kurikulum dengan tuntutan, kebutuhan, kondisi, dan perkembangan masyarakat. Kedua Kesesuaian antar komponen-komponen kurikulum, yaitu isi sesuai dengan tujuan, proses sesuai dengan isi dan tujuan, demikian juga evaluasi sesuai dengan proses, isi dan tujuan kurikulum ( Sukmadinata,2012:102) 1. Tujuan Dalam kurikulum atau kegiatan pembelajaran , tujuan memiliki peranan yang sangat penting, karena tujuan akan mengarahkan semua kegiatan pembelajaran dan mewarnai komponenkomponen kurikulum lainnya. Tujuan kurikulum dirumuskan berdasarkan dua hal. Pertama,perkembangan tuntutan, kebutuhan dan kondisi masyarakat. Kedua, didasi oleh pemikiran-pemikiran dan terarah pada pencapaian nilai-nilai filosofis, terutama falsafah negara. Kita mengenal berbagai rumusan tujuan pendidikan, misalanya tujuan pendidikan nasional, tujuna institusional, tujuan mata pelajaran, tujuan pembelajaran, dll. Berikut ini beberapa contoh tujuan Pendidikan: a. Berdasarkan pasal 3 Undang-undang Sisdiknas No.20 tahun 2003, adalah : Penidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa keapada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis serta bertanggungjawab. b. Tujuan Institusional, Tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah dirumuskan mengacu pada tujuan umum pendidikan. Tujuan pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. 2 c. Tujuan mata pelajaran, misal PKn SMA. Dalam Permendiknas no. 47 tahun 2008 tentang standar isi, mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut. 1) Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan 2) Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti-korupsi 3) Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakterkarakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya 4) Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. d. Tujuan Instruksional, misal dalam kurikulum 1975 dikenal dengan istilah TIU dan TIK. Dalam KTSP dikenal istilah SK, KD, Indikator dan tujuan pembelajaran. Tujuan –tujuan pembelajaran dibedakan berdasarkan atas beberapa kategori, sesuai dengan perilaku yang menjadi sasarannya. Gagne dan Briggs mengemukakan lima kategori tujuan, yaitu intelectual skills, cognitive strategies, verbal information, mottor skills and attitudes ( 1974.hlm.23-24) dalam Sukmadinata ( 2012: 103). Bloom mengemukakan tiga kategoroi tujuan pembelajaran sesuai domein-domein perilaku, domein kognitif, afektif, dan psikomotorik. 2. Bahan Ajar a. Sekuens Bahan Ajar Untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan, diperlukan bahan ajar. Bahan ajar tersusun atas topik-topik dan sub-subtopik tertentu. Tiap topik atau subtopik mengandung ide-ide pokok yang relevan dengan tujuan yang telah ditetapkan. Topik-topik atau subtopik tersebut tersusun dalam sekuens tertentu yang membentuk suatu sekuens bahan ajar. Ada beberapa cara untuk menyusun sekuens bahan ajar, yaitu: 1) Sekuens kronologis. Untuk bahan ajar yang mengandung urutan waktu, dapat digunakan sekuens kronologis. Peristiwa-peristiwa sejarah, perkembangan historis suatu institusi, penemuan-penemuan ilmiah dan sebagainya dapat disusun berdasarkan sekuens kronologis. 2) Sekuens kausal. Masih berhubungan erat dengan sekuens kronologis adalah sekuens kausal. Siswa dihadapkan pada peristiwa-peristiwa atau situasi yang menjadi sebab pendahulu dari sesuatu peristiwa atau situasi lain. Dengen mempelajari sesuatu yang menjadi sebab terdahulu dari sesuatu atau peristiwa, maka akan ditemukan akibat dari sebab itu. 3) Sekuens Struktural. Bagian-bagian bahan ajar sutu bidang studi atau mata pelajaran telah mempunyai struktur tentu. Misal dalam mapel Fisika tidak mungkin mengajarkan alat-alat optik, tanpa terlebih dahulu mengajarkan pemantulan dan pembiasan cahaya, dan pemantulan dan pembiasan cahaya tidak mungkin diberikan sebelum diberikan materi tentang cahaya. Masalah cahaya, pemantulan pembiasaan, dan alat-lat optik tersusun secara struktural. 4) Sekuens logis dan Psikologis. Bahan ajar disusun berdasarkan urutan logis dari bagian menuju pada keseluruhan, dari yang sederhana kepada yang kompleks, tetapi menurut sekuens psikologis sebaliknya dari keseluruhan menuju pada bagian, dari yang komplek kepada yang nyata. Menurut sekuens logis bahan ajar disusun dari dari yang nyata kepada yang abstrak, dari benda-benda kepada teori, dari fungsi kepada struktur, dari masalah bagaimana kemasalah mengapa. 5) Sekuens spiral. Dikembangkan oleh Bruner (1960). Bahan ajar dipusatkan pada topik atau pokok bahan tertentu. Dari topik atau pokok tersebut bahan diperluas dan diperdalam. Topik tersebut adalah sesuatu yang populer dan sederhana, tetapi kemudian diperluas dan diperdalam dengan bahan yang lebih kompleks. 3 6) Rangkaian ke belakang, ( backward chaining ), dikembangkan oleh Thomas Gilbert ( 1962). Dalam sekuens ini mengajar dimulai dengan langkah terakhir dan mundur kebelakang. Contoh pemecahan masalah yang bersifat ilmiah, meliputi lima langkah, yaitu: (a) Pembatasan maslah, (b) Penyusunan hipotesis, (c) pengumpulan data, (d) Pengetesan hipotesis, (e) Interpretasi hasil tes. Dalam pembelajarannya dimulai delangan langkah (e), kemudian guru menyajikan data tentangsesuatu maslah dari langkah ( a) sampai (d), dan siswa diminta untuk membuat interpretasi hasilnya (e). 7) Sekuens berdasarkan hirarki belajar.Model ini dikembangkan oleh Gagne ( 1965 ), dengan prosedur sebagai berikut: Tujuan-tujuan khusus utama pembelajaran dianalisis, kemudian dicari suatu hirarki urutan bahan ajar untuk mencapai tujuan-tujuan tersebuat. Hirarki tersebut menggambarkan urutan perilaku apa yang mula-mula harus dikuasai siswa, berturut-turut sampai dengan perilaku akhi. ( Gagne mengemukakn 8 tipe belajar yang tersusun secara hirarkis dari mulai yang paling sederhana: signal learning, stimulus-respons learning, motor-chain learning,verbal association, multiple discrimination, concept learning, prinsiple learning, dan problem –solving learning. ( Gane, 1970:63-64) dalam Sukmadinata (2012:107). 3. Strategi Pembelajaran Pada saat menyusun sekuens suatu bahan ajar, maka juga harus dipikirkan strategi dan metode yang sesuai untuk menyampaikan bahan ajar yang sesuai dengan sekuens materi seperti itu. Ada beberap strategi yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran. Rowntree (1974:93-97)membagi strategi mengajar itu atas Exposition-Discovery learning dan GroupIndividual Learning. Ausebel dan Robinson ( 1969:43-45) dalam Sukmadinata (2012:107) membaginya atas strategi Reciption learning – Discovery learning dan Rote learningMeaningfu learning. a) Reception/Exposition Learning – Discovery Learning Reciption dan exposition sesungguhnya mempunyai makna yang sama, hanya beda dlam pelakunya. Reciption Learning dilihat dari sisi siswa sedangkan exposition dilihat dari sisi guru. Dalam exposition atau reciption learning keseluruhan bahan ajar disampaikan kepada siswa dalam bentuk akhir atau bentuk jadi, baik secra lisan amuoun secara tertulis. Siswa tidak dituntut untuk mengolah, atau melakukan aktivitas lain keculai menguasainya. Dalam discovery learning bahan ajar tidak disajikan dalam bentuk akhir atau jadi, siswa dituntut untuk melakukan berbagai kegiatan menghimpun informasi, membandingkan, mengkategorikan, menganalisis, mengintegrasikan, mengorganisasikan bahan serta membuat kesimpulan. b) Rote Learning – Meaningful Learning Dalam rote learning bahan ajar disampaikan kepada siswa tanpa memperhatikan arti atau aknanya bagi siswa. Siswa menguasai bahan ajar dengan menghafalnya. Dalam meaningful learning penyampaiana bahan mengutamakan maknanya bagi siswa. Menurut Ausebel and Robinson (1970:52-53) sesuatu bahan ajar bermakna bila dihubungkan dengan struktur kognitif yang ada pada siswa. Struktur kognitif terdiri dari fakta-fakta, data, konsep, proposisi, dalil, hukum dan teori-teori yang telah dikuasai siswa sebelumnya, yang tersusun membentuk sustu struktur dalam pikiran anak. c) Group Learning – Individual Learning 4 Pelaksanaan discovery learning menuntut aktivitas belajar secara individual atau dalam kelompok-kelompok kecil. Discovery learning dalam bentuk kelas pelaksanaannya agar sukar dan mempunyai masalah. Pertama kemampun dan kecepatan belajar siswa tidak sama, maka discovery hanya akan dilakukan oleh siswa yang pandai dan cepat saja, sementara siswa yang kurang pandai atau lambat hanya akan mengikuti atau menerima temuan-temuan anak yang cepat. Dipihak lain anak-anak yang lambat akan menderitra kurang motif belajar, acuh tak acuh, dan kemungkinan menjadi pengganggu kelas. Kedua Kemungkinan untuk bekerjasama dalam kelas besar antar siswa kemungkinan sulit untuk bisa bekerjasama. Kerjasama hanya akan dilakukan oleh siswa-siswa yang aktif, yang lain mungkin hanya akan menaati atau menonton. Denagan demikian akan terjadi perbedaan yang semakin jauh antara siswa yang cepat dengan siswa yang lambat. 4. Media Pembelajaran Media pembelajaran merupakan segala macam bentuk perangsang dan alat yang disediakan guru untuk mendorong siswa belajar. Rowntree ( 1974:104-113) dalam Sukmadinata ( 2012:108) mengelompokan media pembelajaran menjadi lima macam dan disebut Modes, yaitu interaksi insani, realita, pictorial, simbol tertulis dan rekaman suara. Interaksi insani, yaitu komunikasi langsung antara dua orang atau lebih Realita, yaitu bentuk perangsang nyata seperti orang-orang, binatang, benda, peristiwa,dll Pictorial, penyajian berbagai bentuk variasi gambar, diagram, simbol bergerak ataupun tidak, dibuat diatas kertas, film, kaset, dll. Simbol tertrulis, seperti buku teks, modul, buku paket, paket program belajar, majalah,dll. Rekaman suara, yaitu media dalam bentuk rekaman suara misal kaset. Edgar Dale dalam Rahadi ( 2003: 12) mengemukakan 11 pengalaman belajar dari yang paling konkrit sampai yang paling abstrak ( audio visual aid ) yang disebutnya Cone of experience, atau kerucut pengalaman. Kerucut Pengalaman dari Edgar Dale Verbal Simbol Visual Radio Film Tv Wisata Demontrasi Partisipasi Observasi Pengalaman langsung 5. Evaluasi Pembelajaran Komponen utama selanjutnya setelah rumusan tujuan, bahan ajar, strategi, dan media pembelajaran, adalah evaluasi dan penyempurnaan. 5 Evaluasi ditujukan untuk menilai pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditentukan serta menilai proses pelaksanaan pembelajaran secara keseluruhan. Tiap kegiatan akan memberikan umpan balik dalam proses pelaksanaan pembelajaran. Umpan balik tersebut digunakan untuk usaha penyempurnaan bagi perumusan tujuan pembelajaran, penentuan bahan ajar, strategi, dan media pembelajaran. Evaluasi meliputi, a) evaluasi hasil proses pembelajaran, b) Evaluasi pelaksanaan pembelajaran 6. Penyempurnaan Pembelajaran Hasil-hasil evaluasi, baik evaluasi hasil belajar, maupun evaluasi pelaksanaan pembelajaran secara keseluruhan, merupakan umpan balik bagi penyempurnaan-penyempurnaan lebih lanjut. Komponen apa yang disempurnakan, dan bagaimana penyempurnaan tersebut dilakukan ? Sesuai dengan komponen-komponen yang dievaluasi pada dasarnya semua komponen mempunyai kemungkinan untuk diadakan perbaiakan atau penyempurnaan. Penyempurnaan mungkin dilakukan secara langsung begitu didapatkan suatu informasi umpan balik, atau ditangguhkan sampai jangka waktu tertentu bergantung pada urgensinya dan kemungkinannya mengadakan penyempurnaan. B. Desain Kurikulum 1. Pengertian Desain Kurikulum Desain kurikulum merupakan suatu proses pengembangan kurikulum yang diawali dari perencanaan, yang dilanjutkan dengan validasi, implementasi dan evaluasi. Proses pengembangan tersebut bersifat menyeluruh dan dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan. Fred Percival dan Henry Ellington (1984) dalam Hamalik (2011:193) mengemukakan bahwa desain kurikulum adalah pengembangan proses perencanaan, validasi, implementasi, dan evaluasi kurikulum. Menurut Nana S.Sukmadinata (2012:113) Desain kurikulum menyangkut pola pengorganisasian unsur-unsur atau komponen kurikulum. Penyusunan desain kurikulum dapat dilihat dadri dua dimensi, yaitu dimensi horisontal dan dimensi vertikal. Dimensi horisontal berkenaan dengan penyusunan dari lingkup isi kurikulum. Susunan lingkup ini sering diintegrasikan dengan proses pembelajaran. Dimensi vertikal menyangkut penyusunan sekuens bahan berdasarkan urutan tingkat kesukaran. Bahan tersusun mulai dari yang mudah, kemudian menuju pada yang lebih sulit, atau mulai dari yang dasar diteruskan dengan yang lanjutan. 2. Prinsip-Prinsip Desain Kurikulum Saylor (Hamalik:2011:193) mengajukan delapan prinsip ketika akan mendesain kurikulum, prinsipprinsip tersebut adalah sebagai berikut: 1) Desain kurikulum harus memudahkan dan mendorong seleksi serta pengembangan semua jenis pengalaman belajar yang esensial bagi pencapaian prestasi belajar, sesuai dengan hasil yang diharapkan. 2) Desain memuat berbagai pengalaman belajar yang bermakna dalam rangka merealisasikan tujuan–tujuan pendidikan, khususnya bagi kelompok siswa yang belajar dengan bimbingan guru; 3) Desain harus memungkinkan dan menyediakan peluang bagi guru untuk menggunakan prinsipprinsip belajar dalam memilih, membimbing, dan mengembangkan berbagai kegiatan belajar di sekolah; 4) Desain harus memungkinkan guru untuk menyesuaikan pengalaman dengan kebutuhan, kapasitas, dan tingkat kematangan siswa; 6 5) Desain harus mendorong guru mempertimbangkan berbagai pengalaman belajar anak yang diperoleh diluar sekolah dan mengaitkannya dengan kegiatan belajar di sekolah; 6) Desain harus menyediakan pengalaman belajar yang berkesinambungan, agar kegiatan belajar siswa berkembang sejalan dengan pengalaman terdahulu dan terus berlanjut pada pengalaman berikutnya; 7) Kurikulum harus di desain agar dapat membantu siswa mengembangkan watak, kepribadian, pengalaman, dan nilai-nilai demokrasi yang menjiwai kultur; dan 8) Desain kurikulum harus realistis, layak, dan dapat diterima. 3. Bentuk-Bentuk Desain Kurikulum Para pengembang kurikulum telah mengontruksi kurikulum menurut dasar-dasar pengkategorian berikiut: 1) Subject centered design, 2) Learner centered design, 3) Problems centered design.(Hamalik,2011:195) 1. Subject Centered Design Subject centered design curriculum merupakan bentuk desain yang paling popular, paling tua dan paling banyak digunakan. Dalam subject centered design, kurikulum di pusatkan pada isi atau materi yang akan diajarkan. Kurikulum tersusun atas sejumlah mata-mata pelajaran, dan mata-mata pelajaran tersebut diajarkan secara terpisah-pisah. Karena terpisah-pisahnya itu maka kurikulum ini disebut juga separated subject curriculum. Subject centered design berkembang dari konsep pendidikan klasik yang menekankan pengetahuan, nilai-nilai dan warisan budaya masa lalu, dan berupaya untuk mewariskannya kepada generasi berikutnya. Karena mengutamakan isi atau bahan ajar atau subject matter tersebut, maka desain kurikulum ini disebut juga subject academic curriculum. Model design curriculum ini mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan. Beberapa kelebihan dari model desain kurikulum ini adalah: 1) Mudah disusun, dilaksanakan, dievaluasi, dan disempurnakan, 2) Para pengajarnya tidak perlu dipersiapkan khusus, asal menguasai ilmu atau bahan yang diajarkan sering dipandang sudah dapat menyampaikannya. Beberapa kritik yang juga merupakan kekurangan model desain ini, adalah: 1) Karena pengetahuan diberikan secara terpisahpisah, hal itu bertentangan dengan kenyataan, sebab dalam kenyataan pengetahuan itu merupakan satu kesatuan, 2) karena mengutamakan bahan ajar maka peran peserta didik sangat pasif, 3) pengajaran lebih menekankan pengetahuan dan kehidupan masa lalu, dengan demikian pengajaran lebih bersifat verbalistis dan kurang praktis. Atas dasar tersebut, para pengkritik menyarankan perbaikan ke arah yang lebih terintegrasi, praktis, dan bermakna serta memberikan peran yang lebih aktif kepada siswa. Ada tiga bentuk Subject centered design yaitu: 1.1 The Subject Design The subject design curriculum merupakan bentuk desain yang paling murni dari subject centered design. Materi pelajaran disajikan secara terpisah-pisah dalam bentuk mata-mata pelajaran. Model desain ini telah ada sejak lama. Orang-orang Yunani dan kemudian Romawi mengembangkan Trivium dan Quadrivium. Trivium meliputi gramatika, logika, dan retorika, sedangkan Quadrivium meliputi matematika, geometri, astronomi, dan musik. Pada saat itu pendidikan tidak diarahkan pada mencari nafkah, tetapi pada pembentukan pribadi dan status social (Liberal Art). Pendidikan hanya diperuntukkan bagi anak-anak golongan bangsawan yang tidak usah berkerja mencari nafkah. Pada abad 19 pendidikan tidak lagi diarahkan pada pendidikan umum (Liberal Art), tetapi pada pendidikan yang lebih yang bersifst praktis. Berkenaan dengan mata pencaharian (pendidikan 7 vokasional). Pada saat itu mulai berkembang mata-mata pelajaran fisika, kimia, biologi, bahasa yang masih bersifat teoretis, juga berkembang mata-mata pelajaran praktis seperti pertanian ,ekonomi, tata buku, kesejahteraan keluarga, keterampilan dan lain-lain. Isi pelajaran diambil dari pengetahuan, dan nilai-nilai yang telah ditemukan oleh ahli-ahli sebelumnya. Para siswa dituntut untuk mengetahui semua pengetahuan yang diberikan, apakah mereka menyenangi atau tidak, membutuhkannya atau tidak. Karena pelajaran-pelajaran tersebut diberikannya secara terpisah-pisah, maka siswa mengetahuinya pun terpisah-pisah pula. Tidak jarang siswa menguasai bahan hanya pada tahap hafalan, bahan dikuasai secara verbalistis. Lebih rinci kelemahan-kelemahan bentuk kurikulum ini adalah: 1) Kurikulum memberikan pengetahuan terpisah-pisah, satu terlepas dari yang lainnya. 2) Isi kurikulum diambil dari masa lalu, terlepas dari kejadian-kejadian yang hangat, yang sedang berlangsung saat sekarang. 3) Kurikulum ini kurang memperhatikan minat, kebutuhan dan pengalaman para perserta didik. 4) Isi kurikulum disusun berdasarkan sistematika ilmu sering menimbulkan kesukaran di dalam mempelajari dan menggunakannya. 5) Kurikulum lebih mengutamakan isi dan kurang memperhatikan cara penyampain. Cara penyampaian utama adalah ekspositori yang meyebabkan peranan siswa pasif. Meskipun ada kelemahan-kelemahan di atas, bentuk desain kurikulum ini mempunyai beberapa kelebihan. Karena kelebihan-kelebihan tersebut bentuk kurikulum ini lebih banyak dipakai. 1) Karena materi pelajaran diambil dari ilmu yang sudah tersusun secara sitematis logis, maka penyusunannya cukup mudah. 2) Bentuk ini sudah dikenal lama, baik oleh guru-guru maupun orang tua, sehingga lebih mudah untuk dilaksanakan. 3) Bentuk ini memudahkan para perserta didik untuk mengikuti pendidikan di perguruan tinggi, sebab pada perguruan tinggi umumnya digunakan bentuk ini. 4) Bentuk ini dapat dilaksanakan secara efisien, karena metode utamanya adalah metode ekspositori yang dikenal tingkat efisiennya cukup tinggi. 5) Bentuk ini sangat ampuh sebagai alat untuk melestarikan dan mewariskan warisan budaya masa lalu. 1.2 The Disciplines Design Bentuk ini merupakan pengembangan dari subject design, keduanya masih menekankan kepada isi atau materi kurikulum. Walaupun bertolak dari hal yang sama tetapi antara keduanya terdapat perbedaan. Pada Subject design belum ada kriteria yang tegas tentang apa yang disebut subject (ilmu). Belum ada perbedaan antara matematika, psikologi dengan teknik atau cara mengemudi, semuanya disebut subject. Pada disciplines design criteria tersebut telah tegas, yang membedakan apakah suatu pengetahuan itu ilmu atau subject dan bukan adalah batang tubuh keilmuannya. Batang tubuh keilmuan menentukan apakah suatu bahan pelajaran itu disiplin ilmu atau bukan. Untuk menegaskan hal itu mereka menggunakan istilah disiplin. Isi kurikulum yang diberikan di sekolah adalah disiplin-disiplin ilmu. Menurut pandangan ini sekolah adalah mikrokosmos dari dunia intelek, batu pertama dari hal itu adalah isi dari kurikulum. Para pengembang kurikulum dari aliran ini berpegang teguh pada disiplin-disiplin ilmu seperti: fisika, biologi, psikologi, sosiologi, dan sebagainya. Perbedaan lain adalah dalam tingkat penguasaan, disciplines design tidak seperti subject design yang menekankan penguasaan fakta-fakta dan informasi tetapi pada pemahaman (understanding). Para peserta didik didorong untuk memahami logika atau struktur dasar suatu disiplin, memahami konsepkonsep, ide-ide dan prinsip-prinsip penting, juga didorong untuk memahami cara mencari dan 8 menemukannya (modes of inquiry and discovery). Hanya dengan menguasai hal-hal itu, kata mereka, peserta didik akan memahami masalah dan mampu melihat hubungan berbagai fenomena baru. Proses belajarnya tidak lagi menggunakan pendekatan ekspositori yang menyebabkan peserta didik lebih banyak pasif, tetapi mengunakan pendekatan inkuiri dan diskaveri. Disciplines design sudah mengintegrasikan unsure-unsur progresifisme dari Dewey. Bentuk ini memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan subject design. Pertama, kurikulum ini bukan hanya memiliki organisasi yang sistematik dan efektif tetapi juga dapat memelihara integritas intelektual pengetahuan manusia. Kedua, peserta didik tidak hanya menguasai serentetan fakta, prinsip hasil hafalan tetapi menguasai konsep, hubungan dan proses-proses intelektual yang berkembang pada siswa. Meskipun telah menunjukkan beberapa kelebihan bentuk, desain ini masih memiliki beberapa kelemahan. Pertama, belum dapat memberikan pengetahuan yang terintegrasi. Kedua, belum mampu mengintegrasikan sekolah dengan masyarakat atau kehidupan. Ketiga, belum bertolak dari minat dan kebutuhan atau pengalaman peserta didik. Keempat, susunan kurikulum belum efesien baik untuk kegiatan belajar maupun untuk penggunaannya. Kelima, meskipun sudah lebih luas dibndingkan dengan subject design tetapi secara akademis dan intelektual masih cukup sempit. 1.3 The Broad Fields Design Baik subject design maupun disciplines design masih menunjukkan adanya pemisahan antara mata pelajaran. Salah satu usaha untuk menghilangkan pemisahan tersebut adalah mengembangkan the board fields design. Dalam model ini mereka menyatukan beberapa mata pelajaran yang berdekatan atau berhubungan menjadi satu bidang studi seperti sejarah, geografi, dan ekonomi digabung menjadi ilmu pengetahuan social, aljabar, ilmu ukur, dan berhitung menjadi matematika, dan sebagainya. Tujuan pengembangan kurikulum broad field adalah menyiapkan para siswa yang dewasa ini hidup dalam dunia informasi yang sifatnya spesialitis, dengan pemahaman yang bersifat menyeluruh. Bentuk kurikulum ini banyak digunakan di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, di sekolah menengah atas penggunaannya agak terbatas apalagi diperguruan tinggi sedikit sekali. Ada dua kelebihan penggunaan kurikulum ini. Pertama, karena dasarnya bahan yang terpisah-pisah, walaupun sudah terjadi penyatuan beberapa mata kuliah masih memungkinkan penyusunan warisanwarisan budaya secara sistematis dan teratur. Kedua, karena mengintegrasikan beberapa mata kuliah memungkinkan peserta didik melihat hubungan antara berbagai hal. Di samping kelebihan tersebut, ada beberapa kelemahan model kurikulum ini. Pertama kemampuan guru, untuk tingkat sekolah dasar guru mampu menguasi bidang yang luas, tetapi untuk tingkat yang lebih tinggi, apalagi diperguruan tinggi sukar sekali. Kedua, karena bidang yang dipelajari itu luas, maka tidak dapat diberikan secara mendetil, yang diajarkan hanya permukaannya saja. Ketiga, pengintegrasian bahan ajar terbatas sekali, tidak menggambarkan kenyataan, tidak memberikan pengalaman yang sesungguhnya bagi siswa, dengan demikian kurang membangkitkan minat belajar. Keempat, meskipun kadarnya lebih rendah dibandingkan dengan subject design, tetapi model ini tetap menekankan tujuan penguasaan bahan dan informasi. Kurang menekankan proses pencapaian tujuan yang sifatnya afektif dan kognitif tingkat tinggi. 2. Learner-Centered Design Sebagai reaksi sekalus penyempurnaan terhadap beberapa kelemahan subject centered design berkembang learner centered design. Desain ini berbeda dengan subject centered, yang bertolak dari cita-cita untuk melestarikan dan mewariskan budaya, dan karena itu mereka mengutamakan peranan isi dari kurikulum. 9 Learner centered, memberi tempat utama kepada peserta didik. Di dalam pendidikan atau pengajaran yang belajar dan berkembang adalah perserta didik sendiri. Guru atau pendidik hanya berperan menciptakan situasi belajar-mengajar, mendorong dan memberikan bimbingan sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Peserta didik bukanlah tiada daya, dia adalah suatu organisme yang punya potensi untuk berbuat, berprilaku, belajar dan juga berkembang sendiri. Learned centered design bersumber dari konsep Rousseau tentang pendidikan alam, menekankan perkembangan peserta didik. Pengorganisasian kurikulum didasarkan atas minat, kebutuhan dan tujuan peserta didik. Ada dua ciri utama yang membedakan desain model learner centered dengan subject centered.Pertama Learner centered design mengembangkan kurikulum dengan bertolak dari peserta didik dan bukan dari isi. Kedua, learner centered bersifat not-preplanned (kurikulum tidak diorganisasikan sebelumnya) tetapi dikembangkan bersama antara guru dengan siswa dalam menyelesaikan tugas-tugas pendidikan. Organisasi kurikulum didasarkan atas masalah-masalah atau topik-topik yang menarik perhatian dan dibutuhkan peserta didik dan sekuensnya disesuaikan tingkat perkembangan mereka. Ada beberapa variasi model ini yaitu the activity atau experience design, humanistic design, the open, free design, dll. Dalam makalah ini bagian-bagian tersebut tidak diuraikan lebih lanjut. 3. Problem Centered Design Problem centered design berpangkal pada filsafat yang mengutamakan peranan manusia (man centered). Berbeda dengan learner centered yang mengutamakan manusia atau peserta didik secara individual, problem centered design menekankan manusia dalam kesatuan kelompok yaitu kesejahteraan masyarakat. Konsep pendidikan para pengembang model kurikulum ini berangkat dari asumsi bahwa manusia sebagai makhluk social selalu hidup bersama. Dalam kehidupan bersama ini manusia menghadapi masalah-masalah bersama yang harus dipecahkan bersama pula. Mereka berinteraksi, berkooperasi dalam memecahkan masalah-masalh social yang mereka hadapi untuk meneingkatkan kehidupan mereka. Konsep-konsep ini menjadi landasan pula dalam pendidikan dan pengembangan kurikulum. Berbeda dengan learner centered, kurikulum mereka disusun sebelumnya (preplanned). Isi kurikulum berupa masalah-masalah social yang dihadapi peserta didik sekarang dan yang akan datang. Sekuens bahan disusun berdasarkan kebutuhan, kepentingan dan kemampuan peserta didik. Problem centered design menekankan pada isi maupun perkembangan peserta didik. Minimal ada dua variasi model desain kurikulum ini, yaitu The Areas Of Living Design, dan The Core Design. 3.1 The Areas Of Living Design Perhatian terhadap bidang-bidang kehidupan sebagai dasar penyusunan kurikulum telah dimulai oleh Hebert Spencer pada abad 19, dalam tulisan yang berjudul What Knowledge is of most worth? Areas of living design seperti learner centered design menekankan prosedur belajar melalui pemecahan masalah. Dalam prosedur belajar ini tujuan yang bersifat proses (process objectives) dan yang bersifat isi (content objectives) diintegrasikan. Penguasaan informasi-informasi yang lebih bersifat pasif tetap dirangsang. Ciri lain dari model desain ini adalah menggunakan pengalaman dan situasi-situasi nyata dari perserta didik sebagai pembuka jalan dalam mempelajari bidang-bidang kehidupan. Strategi yang sama juga digunakan dalam subject centered design, tetapi pelaksanaannya mengalami kesulitan, sebab dalam desain tersebut hubungan mata pelajaran dengan bidang dan pengalaman hidup peserta didik sangat kecil. Sebaliknya dalam the areas of living hubungannya besar sekali. Tiap pengalaman peserta didik sangat erat hubungannya dengan bidang-bidang kehidupan sehingga dapat dikatakan suatu desain merangkumkan pengalaman-pengalaman social peserta didik. Dengan 10 demikian, desain ini sekaligus menarik minat peserta didik dan mendekatkannya pada pemenuhan kebutuhan hidupnya dalam masyarakat. Desain ini mempunyai beberapa kebaikan dibandingkan dengan bentuk desain-desain lainnya. Pertama, the areas of living design merupakan the subject matter design tetapi dalam bentuk yang terintegrasi. Pemisahan antara subject dihilangkan oleh problem-problem kehidupan social. Kedua, karena kurikulum diorganisasikan disekitar problem-problem peserta didik dalam kehidupan social, maka desain ini mendorong penggunaan prosedur belajar pemecahan masalah. Prinsip-prinsip belajar aktif dapat diterapkan dalam model desain ini. Ketiga, menyajikan bahan ajar dalam bentuk yang relevan, yaitu untuk memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan. Melalui kurikulum ini para peserta didik akan memperoleh pengetahuan, dan dapat menginternalisasi artinya, keempat desain tersebut menyajikan bahan ajar dalam bentuk yang fungsional, sebab diarahkan pada pemecahan masalah peserta didik, secara langsung dipraktikkan dalam kehidupan. Lebih dari itu kurikulum ini membawa peserta didik dalam hubungan yang lebih dekat dengan masyarakat. Kelima, motivasi belajar datang dari dalam diri peserta didik, tidak perlu dirangsang dari luar. Beberapa kritik dilontarkan dan menunjukkan kelemahan model desain ini diantaranya: 1) Penentuan lingkup dan sekuens dari bidang-bidang kehidupan yang sangat esensial (penting) sangat sukar, timbul organisasi isi kurikulum yang berbeda-beda. 2) Sebagai akibat dari kesulitan pertama, maka lemahnya atau kurangnya integritas dan kontinuitas organisasi isi kurikulum. 3) Desain tersebut sama sekali mengabaikan warisan budaya, padahal apa yang telah ditemukan pada masa lalu penting untuk memahami dan memecahkan masalah-masalah masa kini. 4) Karena kurikulum hanya memusatkan perhatian pada pemecahan masalah social pada saat sekarang, ada kecenderungan untuk mengindroktrinasi peserta didik dengan kondisi yang ada, peserta didik tidak melihat alternatif lain, baik yang mengenai masa lau maupun masa yang akan datang, desain tersebut akan mempertahankan status quo. 5) Sama halnya dengan kritik terhadap learner centered design, baik guru maupun buku dan media lain tidak banyak yang disiapkan untuk model tersebut sehingga dalam pelaksanaannya akan mengalami beberapa kesulitan. 3.2 The Core Design The core design kurikulum timbul sebagai reaksi utama kepada separate subject design, yang sifatnya terpisah-pisah. Dalam mengintegrasikan bahan ajar, mereka memilih mata-mata pelajaran/bahan ajar tertentu sebagai inti (core). Pelajaran lainnya dikembangkan di sekitar core tersebut. Karena pengaruh pendidikan progresif, berkembang teori tentang core design yang didasarkan atas pandangan progresif. Menurut konsep ini inti-inti bahan ajar dipusatkan pada kebutuhan individual dan social. Terdapat banyak variasi pandangan tentang the core design. Mayoritas memandang core curriculum sebagai suatu model pendidikan atau program pendidikan yang memberikan pendidikan umum. Pada beberapa kurikulum yang berlaku di Indonesia dewasa ini, core curriculum disebut kelompok mata kuliah atau pelajaran dasar umum, dan diarahkan pada pengembangan kemampuan-kemampuan pribadi dan social. Kalau kelompok mata kuliah/pelajaran spesialisasi diarahkan pada penguasaan keahlian/kejuruan tertentu, maka kelompok mata pelajaran ini ditujukan pada pembentukan pribadi yang sehat, baik, matang, dan warga masyarakat yang mampu membina kerja sama yang baik pula. The core curriculum diberikan guru-guru yang memiliki penguasaan dan berwawasan luas, bukan spesialis. Di samping memberikan pengetahuan, niali-nlai dan keterampilan social, guru-guru tersebut juga memberikan bimbingan terhadap perkembangan social pribadi peserta didik. Ada beberapa variasi desain core curriculum yaitu: 11 1) The separate subject core. Salah satu usaha untuk mengatasi keterpisahan antar-mata pelajaran, beberapa mata pelajaran yang dipandang mendasari atau menjadi inti mata pelajaran lainnya dijadikan core. 2) The correlated core. Model desain ini pun berkembang dari the separate subjects design, dengan jalan mengintegrasikan beberapa mata pelajaran yang erat hubungannya. 3) The fused core. Kurikulum ini juga berpangkal dari separate subject, pengintegrasiannya bukan hanya antara dua atau tiga pelajaran tetapi lebih banyak. Sejarah, geografi, antropologi, sosiologi, ekonomi dipadukan menjadi studi kemasyarakatan. Dalam studi ini dikembangkan tema-tema masalah umum yang dapat diinjau dari berbagai sudut pandang. 4) The activity/experience core. Model desain ini berkembang dari pendidikan progresif dengan learner centerd design-nya. Seperti halnya pada learner centered, the activity/experience core dipusatkan pada minat-minat dan kebutuhan peserta didik. 5) The areas of living core. Desain model ini berpangkal juga pada pendidikan progresif, tetapi organisasinya berstruktur dan dirancang sebelumnya. Berbentuk pendidikan umum yang isinya diambil dari masalah-masalah yang muncul di masyarakat. Bentuk desain ini dipandang sebagai core design yang paling murni dan paling cocok untuk program pendidikan umum. 6) The social problems core. Model desain ini pun merupakan produk dari pendidikan progresif. Dalam beberapa hal model ini sama dengan the areas of living core. Perbedaannya terletak pada the areas of licing core didasarkan atas kegiatan-kegiatan manusia yang universal tetapi tidak berisi hal yang controversial, sedangkan the social problems core di dasarkan atas problemaproblema yang mendasar dan bersifat controversial. Beberapa contoh masalah social yang menjadi tema model core design ini adalah kemiskinan, kelaparan, inflasi, rasialisme, perang senjata nuklir, dan sebagainya. Hal-hal di atas adalah sesuatu yang mendesak untuk dipecahkan dan berisi suatu controversial bersifat pro dan kontra. The areas of living core cenderung memelihara dan mempertahankan kondisi yang ada, sedang the social problems core mencoba memberikan penilaian yang sifatnya kritis dari sudut sistem nilai social dan pribadi yang berbeda . III. SIMPULAN Unsur atau komponen-komponen dari anatomi kurikulum yang utama adalah: Tujuan, isi atau materi, proses atau sistem penyampaian dan media, serta evaluasi. Keempat komponen tersebut berkaitan erat satu sama lain. Suatu kurikulum harus memiliki kesesuauian atau relevansi. Kesesuaian ini meliputi dua hal. Pertama kesesuaian antara kurikulum dengan tuntutan, kebutuhan, kondisi, dan perkembangan masyarakat. Kedua Kesesuaian antar komponen-komponen kurikulum, yaitu isi sesuai dengan tujuan, proses sesuai dengan isi dan tujuan, demikian juga evaluasi sesuai dengan proses, isi dan tujuan kurikulum Desain kurikulum dapat dilihat dari dua dimensi, yaitu dimensi horizontal dan vertikal. Dimensi horizontal berkenaan dengan penyusunan dari lingkup isi kurikulum. Sedangkan dimensi vertikal menyangkut penyusunan sekuens bahan berdasarkan urutan tingkat kesukaran. Saylor, menyebutkan ada 8 prinsip yang harus diperhatikan dalam melakukan desain kurikulum. Berdasarkan dengan apa yang menjadi fokus pembelajaran, sekurang-kurangnya dikenal tiga pola desain kurikulum, yaitu: 1) Subject contered design, suatu desain kurikulum yang berpusat pada bahan ajar. 2) Learner centered design, suatu desain kurikulum yang mengutamakan peranan siswa. 3) Problems centered design, desain kurikulum yang berpusat pada masalah-masalah yang dihadapi dalam masyarakat. 12 DAFTAR PUSTAKA Hamalik, Oemar,H ( 2011). Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya Permendiknas No. 47 Tahun 2008, Tentang Standar Isi Rahadi, Aristo, ( 2003 ). Media Pembelajaran, Depdiknas Dirjen dikdasmen Deroktorat Tenaga Kependidikan Sukmadinata, Syaodih,Nana ( 2012 ). Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional 13