Aquacultura Indonesiana (2007) 8 (2) : 81–88 ISSN 0216–0749 (Terakreditasi SK Nomor : 55/DIKTI/Kep/2005) Pemantauan Penyakit White Spot Syndrome Virus (WSSV) Pada Udang Windu Penaeus monodon Muliani, B. R. Tampangallo dan Muharijadi Atmomarsono Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau (BRPBAP) Jl. Makmur Dg. Sitakka 129, Maros, Sul-Sel 90511 Telp. (04110 371544; Fax (0411) 371545 E-mail: [email protected] Abstract Muliani, B. R. Tampangallo and M. Atmomarsono. 2007. The observation of white spot syndrome virus (WSSV) disease on tiger shrimp Penaeus monodon. Aquacultura Indonesiana, 8 (2): 81–88. The total of 187 samples of tiger shrimp consisting of 40 broodstocks samples from Sentral Java, South Sulawesi, Gorontalo, East Kalimantan, and Timika); 56 samples of postlarvae, 14 juvenile samples and 78 cultured shrimp samples from several locations in South Sulawesi collected from April 2004 to September 2005 have been used in the study. The pleopod, pereiopod, eye stalk, carapax, gill, tail, muscle of broodstock, juveniles, and cultured shrimp, and whole body of 30 pcs of postlarvae were extracted using DNA kit extraction to collect genomic DNA. WSSV DNA amplification was carried out using first and nested PCR technique by specific sequence amplification kit (IQ 2000TM detection and prevention system). The result showed that 15% samples of broodstock (collected from Central Java, Gorontalo, and East Kalimantan), 5.36% samples of postlarvae, 21.43% samples of juveniles and 53.85% samples of cultured shrimp (collected from South Sulawesi) were infected by WSSV with low to severe infection levels. Keywords : The observation disease; Tiger Shrimp (Penaeus monodon); WSSV Abstrak Sebanyak 187 sampel udang windu yang terdiri dari 40 sampel induk dari Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Gorontalo, Kalimantan Timur dan Timika), 56 sampel benur, 14 sampel tokolan dan 78 sampel udang budidaya (dari beberapa lokasi di Sulawesi Selatan) yang dikumpulkan selama periode April 2004 sampai September 2005 digunakan dalam penelitian ini. Sampel udang besar berupa kaki jalan, kaki renang, tangkai mata, karapaks, insang dan ekornya, sedangkan benur diambil secara utuh dari 30 ekor kemudian diekstrak menggunakan kit ekstraksi DNA untuk mendapatkan total DNA. DNA WSSV diamplifikasi dengan teknik first dan nested PCR menggunakan kit amplifikasi spesifik WSSV (IQ 2000TM WSSV Detection and Prevention System). Hasil deteksi menunjukkan bahwa 15% induk udang (berasal dari Jawa Tengah, Gorontalo dan Kalimantan Timur) 5,4% benur, 21,4% tokolan dan 53,85% udang dewasa (berasal dari Sulawsi Selatan) ditemukan terinfeksi WSSV dengan tingkat infeksi ringan sampai berat. Kata kunci: Pemantauan penyakit; Udang Windu (Penaeus monodon); WSSV Pendahuluan Kasus kematian udang windu di tambak akibat serangan penyakit masih terus terjadi dan merupakan penyebab utama kemerosotan budidaya udang windu di Indonesia. Beberapa agen penyakit telah diketahui sebagai penyebab kematian udang, seperti bakteri, jamur, protozoa dan yang paling berbahaya diakibatkan oleh serangan virus. Jenis virus yang telah dilaporkan menginfeksi udang antara lain lymphoid organ virus (LOV) (Spann et al., 1995), yellow-head virus (YHV) (Wongteerasupaya et al., 1995), white spot syndrome virus (WSSV), monodon baculo virus (MBV), baculoviral midgut necrosis virus (BMNV), infectious hypodermal and haemotopoeitic necrosis virus (IHHNV), spawner mortality virus (SMV) dan hepatopancreatic parvo-like virus (HPV) (Walker dan Cowley, 2003; Munn, 2004). © Hak cipta oleh Masyarakat Akuakultur Indonesia 2007 81 Aquacultura Indonesiana, Vol. 8, No. 2, Agustus 2007 : 81–88 Di antara jenis-jenis virus yang diketahui menginfeksi udang, WSSV merupakan jenis virus yang paling banyak menimbulkan kematian pada udang terutama di tambak pembesaran (Hulten et al., 2000; Dhar et al., 2001; Peng et al., 2001; Li et al., 2003; Vaseeharan et al., 2003; Kono et al., 2004; Maeda et. al., 2004; Munn, 2004; Muliani et al., 2004). Virus ini dapat menyebabkan kematian 80% selama 2–3 hari pada juvenil dan 7–10 hari pada udang dewasa (Munn, 2004). Laporan lain menyatakan bahwa WSSV dapat menyebabkan kematian pada udang windu sebesar 100% dalam waktu 2–7 hari (Lo et al., 1998) dengan tanda-tanda morfologi terdapat bintik putih di seluruh karapaks. Penyakit WSSV dalam bahasa Indonesia dikenal juga dengan penyakit bintik putih. Jenis virus ini telah diidentifikasi menyerang baik udang windu, maupun organisme liar seperti udang api-api, jembret, ikan liar, kepiting dan beberapa jenis moluska yang hidup di tambak (Muliani et al., 2004), maupun plankton dan larva insekta (Corsin et al., 2005) Serangan WSSV pada budidaya udang windu sangat erat kaitannya dengan benur atau tokolan udang yang digunakan, apakah benur atau tokolan tersebut sudah membawa WSSV atau tidak. Hal ini sangat erat kaitannya dengan induk yang memproduksi benur tersebut. Menurut Peng et al. (2001) induk udang yang terinfeksi WSSV sebelum memijah, 75% nauplii yang dihasilkannya akan terinfeksi WSSV. Dengan demikian kualitas induk yang digunakan sangat mempengaruhi kualitas nauplii dan tentunya akan berlanjut ke postlarva yang diproduksi, dan juga hasil pentokolan di tambak. Tentunya ini akan berdampak pada keberhasilan budidaya udang di tambak. Berdasarkan hal tersebut, dilakukan pemantauan untuk mengetahui infeksi WSSV pada budidaya udang windu mulai dari induk hingga pada udang yang dibudidayakan di tambak. Penelitian bertujuan untuk mengetahui infeksi WSSV pada setiap jenjang budidaya udang windu. Materi dan Metode Pengumpulan Sampel Sampel induk udang windu dikumpulkan dari Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Gorontalo, Kalimantan Timur, dan Timika, sedangkan benur, tokolan, dan udang yang dibudidayakan dikumpulkan dari beberapa lokasi di Sulwesi Selatan (Barru, Bone, 82 Bulukumba, Luwu, Maros, Pangkep, Polmas, Siwa, dan Takalar) mulai April 2004 sampai September 2005. Sampel diawetkan dalam alkohol 70% kemudian dibawa ke Laboratorium Biologi Molekuler Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros untuk proses selanjutnya. Ekstraksi DNA Sampel induk udang, udang budidaya, dan tokolon yang telah dikoleksi diambil kaki renang, kaki jalan, tangkai mata, karapaks, insang dan ekor, sedangkan benur diambil secara utuh. Organ-organ tersebut dicampur dan dimasukkan dalam tabung mikro yang masih baru dan steril sebanyak 150 mg. Selanjutnya dihancurkan dengan “pounder” yang telah disterilkan. Setelah hancur ditambahkan larutan lysis buffer sebanyak 500 µL. Selanjutnya diinkubasi pada suhu 95 oC selama 10 menit kemudian disentrifuge pada kecepatan 12.000 rpm selama 10 menit. Cairan bening yang terbentuk pada bagian atas diambil sebanyak 300 µL menggunakan pipet mikro, kemudian dimasukkan ke dalam tabung mikro yang telah diisi etanol 95% dingin sebanyak 600 mL. Campuran ini divorteks hingga tercampur dan homogen, selanjutnya disentrifuse kembali pada kecepatan 12.000 rpm selama 5 menit. Cairan bening pada bagian atas dibuang dan pellet DNA yang terbentuk pada dasar tabung dikeringanginkan 3 –4 jam Setelah pellet DNA kering, ditambahkan larutan TE (Tris-HCL dan EDTA) atau ddH 2O sebanyak 100µL. Larutan DNA tersebut bisa langsung digunakan atau disimpan pada suhu -20oC. Amplifikasi DNA WSSV DNA WSSV diamplifikasi dengan menggunakan kit spesifik untuk WSSV, “IQ 2000TM WSSV detection and prevention system”. Untuk setiap sampel, disiapkan first PCR premix sebanyak 7,5 µL dicampur dengan iqzyme DNA polimerase 0,5 µL dan DNA genom 2 µL. Untuk mengetahui proses amplifikasi berjalan baik atau tidak maka selain DNA genom, juga diamplifikasi DNA kontrol positif (DNA WSSV yang telah diketahui) dan kontrol negatif (yeast tRNA atau ddH2O) yang telah tersedia. Selanjutnya dilarikan dalam mesin thermocycler dengan kondisi reaksi “first PCR” 94oC selama 30 detik; 62oC selama 30 detik; 72oC selama 30 detik sebanyak 5 siklus, kemudian 94 oC selama 15 detik; 62oC selama © Hak cipta oleh Masyarakat Akuakultur Indonesia 2007 Pemantauan penyakit white spot syndrome virus (WSSV) pada udang windu (Muliani et al.) 15 detik; 72oC selama 20 detik, sebanyak 15 siklus, selanjutnya siklus terakhir adalah 72 oC selama 30 detik; 20oC selama 30 detik. Sedangkan pada tahap “nested PCR” adalah 94oC selama 20 detik; 62 oC selama 20 detik; 72 oC selama 30 detik; sebanyak 25 siklus, dan siklus terakhir adalah 72oC selama 30 detik; 20oC selama 30 detik (Nirnama, 2002). Proses Elektroforesis 1. Persiapan gel agarose, dilakukan dengan konsentrasi agarose yang digunakan adalah 2%. Agarose ditimbang sebanyak 0,6 g dan dilarutkan dalam 30 mL larutan TBE1x. Dengan menggunakan pemanas agarose dilarutkan sampai mendidih, setelah itu dibiarkan selama kurang lebih 25 menit sampai suhunya sekitar sekitar 50ºC, kemudian dicetak dalam pinggan agarose yang telah dilengkapi dengan sisir untuk membentuk sumur-sumur gel. Dengan sangat hati-hati sisir diangkat kemudian gel dimasukkan dalam perangkat elektroforesis, kemudian ditambahkan dengan TBE1x sebagai buffer elektroforesis. 2. Proses Elektroforesis, dilakukan untuk mengetahui apakah suatu sampel terinfeksi dengan WSSV atau tidak, maka hasil PCR sebanyak 10 mL dalam 3 mL “loading dye” dilarikan dalam gel elektroforesis mini bersamasama dengan DNA marker, kontrol positif, dan kontrol negatif (IQ 2000TM WSSV detection and prevention system). Setelah semua hasil PCR diinjeksikan ke dalam sumur-sumur gel elektroforesis, selanjutnya elektroforesis dijalankan dengan kondisi 50 volt, selama 150 menit. terinfeksi WSSV, sebaliknya jika tidak ada pita-pita DNA yang sama dengan kontrol positif, maka sampel tidak terinfeksi WSSV. Hasil dan Pembahasan WSSV pada Induk Udang Windu Sebanyak 40 sampel (setiap sampel terdiri atas 3-5 ekor) induk udang telah dikoleksi dan dianalisis secara visual kemungkinan adanya tanda-tanda infeksi WSSV. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tidak tanda-tanda morfologi infeksi WSSV pada semua induk udang windu (Gambar 1) yang biasanya ditandai adanya bintik putih di permukaan karapaks. Menurut Rodriguez et al. (2003) bintik putih pada permukaan tubuh udang merupakan salah satu tanda morfologi adanya infeksi WSSV pada udang. Hal ini sering dijumpai pada udang windu di tambak yang terserang penyakit. Meskipun secara morfologi tidak ditemukan adanya tandatanda infeksi WSSV pada semua induk udang windu yang diamati namun setelah dicek dengan PCR beberapa diantaranya positif terinfeksi WSSV (Tabel 1). Visualisasi DNA Setelah elektroforesis selesai gel direndam dalam larutan ethidium bromida (konsentrasi 1 mg/mL) selama 10 menit. Gel kemudian dicuci dengan merendam dalam akuades selama 5 sampai 10 menit. Untuk mengetahui ada tidaknya infeksi WSSV terhadap sampel-sampel yang dideteksi maka gel hasil elektroforesis diamati menggunakan gel documentation dan sekaligus dilakukan pengambilan foto (Suwanto et al., 2000; Nirnama, 2002; Sulandari dan Zei, 2003). Jika pada lajur DNA genom muncul pita-pita DNA yang sama pada kontrol positif maka dapat dikatakan bahwa sampel Gambar 1. Induk udang windu yang dikoleksi dari Kalimantan Timur Pada Tabel 1 terlihat bahwa dari 40 sampel induk udang windu yang diperiksa 15% diantaranya positif terinfeksi WSSV dengan tingkat prevalensi tertinggi pada induk udang windu yang berasal dari Gorontalo yang dikoleksi pada tahun 2004 yaitu mencapai 100%. Muliani et al. (2004) melaporkan bahwa di antara 22 sampel induk udang windu yang dideteksi, 2 sampel diantaranya (9,1%) positif terinfeksi WSSV. © Hak cipta oleh Masyarakat Akuakultur Indonesia 2007 83 Aquacultura Indonesiana, Vol. 8, No. 2, Agustus 2007 : 81–88 Tabel 1. Prevalensi serangan WSSV (%) pada induk udang windu dari berbagai sumber Sumber Kalimantan Timur* Gorontalo* Timika Gorontalo* Pinrang* Siwa* Pare-Pare* Cilacap Luwu Cilacap Tanggal sampling 30-05-2004 20-07-2004 28-04-2005 21-04-2005 13-04-2005 31-05-2005 09-06-2005 30-07-2005 04-08-2005 18-09-2005 Total Jumlah sampel Jumlah sampel yang positif WSSV Prevalensi (%) 9 2 4 2 3 5 6 3 2 4 2 2 0 0 0 0 0 1 0 1 22 100 0 0 0 0 0 33 0 25 40 6 15 * Sumber: Muliani et al. (2005) Tingkat serangan WSSV pada induk Gorontalo termasuk dalam kategori ringan sampai sedang (Gambar 2). Meskipun prevalensi serangan WSSV pada induk Gorontalo tergolong tinggi, namun ini tidak dapat dijadikan indikator bahwa induk-induk yang ditangkap dari perairan Gorontalo mutunya jelek, karena jumlah sampel yang diteksi sangat sedikit yaitu hanya 2 ekor. Hal ini juga dapat dibuktikan oleh data pada tahun 2005 diantara dua ekor induk udang yang dideteksi tidak ditemukan adanya infeksi WSSV pada induk udang yang berasal dari daerah tersebut. Tingkat prevalensi serangan WSSV tertinggi setelah Gorontalo terlihat pada sampel induk yang dikoleksi dari Cilacap yaitu 33% pada sampel yang dikoleksi pada Juli 2005 dan 25% pada sampel yang dikoleksi pada September 2005 dengan tingkat serangan ringan sampai sedang. Gambar 2. Foto gel hasil elektroforesis yang menampilkan hasil deteksi WSSV pada sampel induk udang yang dikoleksi dari Gorontalo, M = Marker, 12 sampel induk udang, KP= kontrol positif, dan KN= kontrol negatif. Sampel 1-2 positif terinfeksi WSSV 84 Pada Tabel 1 juga terlihat bahwa induk udang windu yang dikoleksi dari beberapa lokasi di wilayah Sulawesi Selatan dan Timika tidak terdeteksi adanya infeksi WSSV. Hal ini menunjukkan bahwa daerah tersebut masih relatif aman dijadikan sumber induk. Namun demikian faktor genetik juga harus di perhatikan, karena meskipun induk tersebut tidak ditemukan terinfeksi WSSV, namun jika secara genetika mutunya jelek maka perlu dipertimbangkan penggunaannya, karena nantinya akan berpengaruh pada larva yang dihasilkan dan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap pertumbuhan di tambak. WSSV pada Benur Sebanyak 56 sampel (setiap sampel terdiri atas 50-100 ekor) benur telah dikumpulkan dari beberapa panti pembenihan baik skala rumah tangga maupun komersil yang berlokasi di Kabupaten Barru dan Takalar Sulawesi Selatan. Delapan belas dari 56 sampel berasal dari panti pembenihan skala rumah tangga (Tabel 2). Hasil deteksi PCR menunjukkan bahwa 5,36% dari 56 sampel positif terinfeksi WSSV, dan semuanya berasal dari panti pembenihan skala industri di daerah Barru. Sedangkan benur yang dikumpulkan dari panti pembenihan skala rumah tangga tidak ditemukan adanya infeksi WSSV (Gambar 3). Sebenarnya WSSV dapat menginfeksi benur baik pada skala rumah tangga maupun skala komersil. Dengan demikian anggapan selama ini bahwa mutu benur yang berasal dari panti pembenihan skala rumah tangga itu jelek, tidak selalu benar jika dilihat dari keberadaan infeksi WSSV. © Hak cipta oleh Masyarakat Akuakultur Indonesia 2007 Pemantauan penyakit white spot syndrome virus (WSSV) pada udang windu (Muliani et al.) Tabel 2. Prevalensi serangan WSSV (%) pada benur dari sumber yang berbeda Sumber Tanggal sampling Kabupaten Barru: - Panti pembenihan skala komersil 14-07-04 01-10-04 21-10-04 26-08-05 28-09-05 - Panti pembenihan skala rumah tangga 01-05-05 15-06-05 01-09-05 KabupatenTakalar : - Panti Pembenihan skala komersil 25-05-04 02-09-04 08-03-05 Total Pada Tabel 2 juga terlihat bahwa prevalensi serangan WSSV pada benur tertinggi pada sampel yang dikoleksi dari panti pembenihan skala komersil di daerah Barru pada tanggal 10 Juli 2004 dan disusul oleh sampel benur yang dikoleksi dari daerah yang sama pada 21 Juli 2004. Sedangkan pada sampel yang dikoleksi dari daerah Takalar tidak ditemukan adanya infeksi WSSV. Muliani et al.(2004) menyatakan bahwa diantara 10 sampel benur yang dikoleksi dari panti pembenihan skala komersil tidak ditemukan adanya infeksi WSSV. WSSV pada Tokolan Udang Windu Sebanyak 14 sampel (setiap sampel terdiri atas 10-20 ekor) tokolon udang windu dikumpulkan dari tambak pentokolan di daerah Pangkep dan Maros Sulawesi Selatan dan 3 (21,43%) diataranya positif terinfeksi WSSV yaitu 2 dari Maros dan 1 dari Pangkep (Tabel 3.). Hal ini menunjukkan bahwa WSSV telah menyebar ke seluruh pertambakan dan Jumlah sampel Jumlah sampel yang positif Prevalensi (%) 4 3 2 4 3 12 9 7 0 2 1 0 0 0 0 0 0 66,67 50 0 0 0 0 0 8 2 2 0 0 0 0 0 0 56 3 5,36 setiap proses budidaya. Pentokolan merupakan satu tahap budidaya udang dimana benur dari panti benih dipelihara pada tambak yang berukuran lebih kecil dengan kepadatan yang cukup tinggi. Biasanya udang ditokolkan 30-45 hari sebelum ditebar pada tambak pembesaran. Terkadang pada benur belum terdeteksi adanya infeksi WSSV tetapi setelah di pentokolan menjadi terdeteksi. Hal ini menunjukkan bahwa WSSV selain bisa terbawa dari benur juga bisa berasal dari lingkungan. WSSV pada Udang Budidaya Sebanyak 78 sampel (setiap sampel terdiri atas 5-10 ekor) udang budidaya yang dikumpulkan dari beberapa lokasi pertambakan di Sulawesi Selatan, 42 sampel (53,85%) diantaranya terinfeksi WSSV (Tabel 4). Hasil pemeriksaan secara morfologi dan deteksi dengan PCR menunjukkan bahwa infeksi WSSV pada udang windu yang dibudidayakan di tambak berada pada taraf infeksi ringan sampai Tabel 3. Prevalensi WSSV (%) pada tokolan udang windu Sumber Tanggal sampling Kabupaten Pangkep 23-08-04 24-09-05 Kabupaten Maros 01-06-04 26-08-04 04-10-04 03-05-05 18-05-05 Total Jumlah sampel 5 2 1 2 1 1 2 14 Jumlah sampel yang positif WSSV 1 0 0 2 0 0 0 3 © Hak cipta oleh Masyarakat Akuakultur Indonesia 2007 Prevalensi (%) 20 0 0 100 0 0 0 21,43 85 Aquacultura Indonesiana, Vol. 8, No. 2, Agustus 2007 : 81–88 Tabel 4. Prevalensi WSSV (%) pada udang windu yang dibudidayakan dari berbagai sumber Sumber Tanggal sampling Bulukumba Bone Luwu Maros 19-05-04 30-11-04 04-10-04 16-04-04 15-07-04 14-08-04 03-12-04 13-04-05 09-0805 08-08-05 25-08-05 24-06-04 15-07004 13-04-05 14-06-05 14-06-04 30-03-05 14-04-05 Pangkep Pinrang Polmas Takalar Total Jumlah sampel Jumlah sampel yang Positif WSSV Prevalensi (%) 6 4 2 2 3 5 16 4 4 2 10 2 2 3 3 2 5 3 0 4 1 1 3 5 4 4 4 2 1 1 0 3 1 0 5 3 0 100 50 50 100 100 25 100 100 100 10 50 0 100 33,33 0 100 100 78 42 53,85 berat (Gambar 4), bahkan beberapa sampel diantaranya secara morfologi terdapat bintik putih di seluruh permukaan tubuh (Gambar 5). Pada saat itu terjadi kematian secara massal. Hal ini terjadi hampir di seluruh daerah pertambakan di Sulawesi Selatan dan terjadi pada setiap musim tanam. Hal yang serupa terjadi di Jawa Timur dan Bali, dimana dilaporkan bahwa infeksi WSSV pada udang windu terjadi hampir setiap bulan, bahkan kedua daerah tersebut lebih dulu dilaporkan terinfeksi WSSV (Mahardika et al., 2004). Akibat semakin Gambar 4. Foto gel hasil elektroforesis yang menampilkan hasil deteksi WSSV pada beberapa sampel udang budidaya. M = Marker, 1-4 sampel udang, KP= kontrol positif, dan KN= kontrol negatif. Line 1, 2 dan 4 negatif WSSV, dan line 3, 5, dan 6 positif WSSV 86 mengganasnya serangan WSSV, maka pembudidaya udang windu khususnya di Sulawesi Selatan mengalihkan kegiatannya dari budidaya udang windu ke budidaya bandeng atau rumput laut, dan pada dua tahun terakhir ini pembudidaya udang windu mulai melirik udang vannamei, yang dianggap masih tahan terhadap infeksi WSSV. Pada Tabel 4 tersebut terlihat bahwa meskipun prevalensi WSSV secara keseluruhan hanya mencapai 53,85%, namun pada beberapa daerah ditemukan prevalensi WSSV pada udang windu mencapai 100%. Hal ini terjadi pada beberapa daerah seperti Bone, Maros Pinrang dan Takalar. Prevalensi WSSV pada udang windu yang dibudidayakan di tambak yang dikoleksi dari beberapa daerah di Sulawesi Selatan pada tahun 2003 sebesar 47,62% dari 42 sampel yang diperiksa (Muliani et al., 2004). Dari hasil pemantauan Gambar 5. Udang windu dari tambak yang yang terinfeksi WSSV © Hak cipta oleh Masyarakat Akuakultur Indonesia 2007 Pemantauan penyakit white spot syndrome virus (WSSV) pada udang windu (Muliani et al.) beberapa tahun terakhir ini dapat diketahui bahwa pertambakan Sulawesi Selatan sudah sedemikian terinfeksi dengan WSSV. Pada tahun 2003 ditemukan adanya infeksi WSSV pada beberapa organisme liar yang hidup di tambak, seperti udang liar, kepiting, trisipan, jembret, ikan-ikan liar, dan molluska (Muliani et al., 2004). Hal ini menunjukkan bahwa infeksi WSSV, selain bisa terbawa oleh induk, juga dapat berasal dari organisme liar yang hidup di tambak, sehingga semakin sulit untuk mencegah terjadi wabah serangan WSSV. Kesimpulan Hasil pemantauan keberadaan WSSV dari April 2004 sampai September 2005 menunjukkan bahwa : 1. WSSV ditemukan menyerang pada semua tahap budidaya udang windu mulai dari induk yang ditangkap di alam, benur, tokolan, dan udang yang dibudidayakan di tambak. 2. Prevalensi serangan WSSV tertinggi ditemukan pada udang windu yang dibudidayakan di tambak (53,85%) dan terendah pada benur (5,36%). Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan peneliti dan teknisi, baik yang terlibat langsung maupun tidak, diucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya atas terlaksananya penelitian ini. Penelitian ini dibiayai oleh APBN T/A 2005. dengan judul kegiatan “riset managemen kesehatan ikan dan lingkungan” Daftar Pustaka Corsin, F., J. F. Turnbull, C. V. Mohan and K. L. Morgan. 2005. Use of epidemiological methods to limit the impact of white spot disease in Penaeus monodon farms of Vietnam and India. Aquaculture, 2: 21–30. Dhar, A.K., M. M. Roux and K. R. Klimpel. 2001. Detection and quantification of infectious hypodermal and hematopoietic necrosis virus and white spot syndrome virus in shrimp using realtime quantitative PCR and SYBR green chemistry. Journal of Clinical Microbiology, 39: 2835–2845. Hulten, M.C.W.V., W. Goldbach and J.M. Vlak. 2000. Three fungtion diverged major structurar proteins of white spot syndrome virus eveloved by gene duplication. J. Gen. Virol., 81: 2525–2529. Kono, T., R. Savana and T. Itami. 2004. Detection of white spot syndrome virus in shrimp by loop-mediated isolthermal amplification. J. Virol. Methods., 115: 59–65 Li, Q., F. Yang, J. Zhang and Y. Chen. 2003. Proteomic analysis of protein that bands specifically to the homologous repeat regions of white spot syndrome virus. Biol. Pharm. Bull., 26: 1517– 1522. Lo, C.F., Y.S. Chang, C.T. Cheng and G.H. Kou. 1998. PCR monitoring of cultured shrimp for white spot syndrom virus (WSSV) infection in growth ponds. In: Flegel, TW. (Ed.), Advances in shrimp biotechnology, BIOTEC, The National Center for Genetic Engineering and Biotechnology, Thailand, pp. 281–286. Maeda, M., H. Saitoh, E. Mizuki, T. Itami and M. Ohba. 2004. Replication of white spot syndrome virus in ovarian primary cultures from the kuruma shrimp, Marsupenaeus japonicus. J. Virol Methods, 116: 89–94 Mahardika, K., Zafran dan I. Koesharyani. 2004. Deteksi White Spot Syndrome Virus (WSSV) pada udang windu (Penaeus monodon) di Bali dan Jawa Timur dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR). JPPI, 10: 55–59. Muliani, A. Parenrengi, Sulaeman dan M. Atmomarsono. 2004. Prevalensi, intesitas, dan transmisi white spot syndrome virus (WSSV) pada budidaya udang windu Penaeus monodon. JPPI, 10: 103–110. Muliani, Nurhidayah dan M.I. Madeali. 2005. Deteksi white spot syndrome virus (WSSV) pada induk udang windu P. monodon dengan teknik polymerase chain reaction (PCR). Dalam: Subagja, J., E. Samiarti, R.S. Kasiamdari, R. Pratiwi, dan T.R. Nuringtyas (Eds.), Prosiding Seminar Nasional dan Kongres Bilogi XIII, Fakultas Biologi Universitas Gajah Mada, Yokyakarta, Hlm. 151–157. Munn, C. B. 2004. Marine Microbiology: Ecology and applications. BIOS Scientific Publisher, London and New York, 282 pp. Nirnama. 2002. Instruction Manual: Detection and Prevention System for White Spot Syndrom Virus (WSSV), Taiwan, 18 pp. Peng, S. E., C.F. Lo, S.C. Lin, L.L. Chen, Y.S. Chang, K.F. Liu, M.S. Su and G.H. Kou. 2001. Performance of WSSV-infected and WSSV-negative P. monodon postlarvae in culture ponds. Dis. Aquat. Org., 46: 165–172. © Hak cipta oleh Masyarakat Akuakultur Indonesia 2007 87 Aquacultura Indonesiana, Vol. 8, No. 2, Agustus 2007 : 81–88 Rodriguez, J., B. Bayot, Y. Amano, F. Panchana, I. de Blas, V. Alday and J. Calderon. 2003. White spot syndrome virus infection in culture Penaeus vannamei (Boone) in Ecuador with emphasis on histopathology and ultrastructure. J Fish Dis., 26: 439–450. Spann. K.M., J.E. Vickers and R.J.G. Lester. 1995. Lymphoid organ virus of P. monodon from Australia. Dis. Aquatic Organism, 23: 127– 134. Sulandari, S. dan M.S. Zei. 2003. Panduan Praktis Laboratorium DNA. Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 125 hlm. Suwanto, A., Yogiara, D. Suryanto, I. Tan dan E. Puspitasari. 2000. Selected Protocols. Training Course on Advances in Molecular Biology 88 Techniques to Assess Microbial Diversity, Bogor, 28 pp. Vaseeharan, B., R. Jayakumar and P. Ramasamy. 2003 PCR-base detection of white spot syndrome virus in cultured and captured crustaceans in India. Lett. Appl. Microbiol., 37: 443–447. Walker, P. J. and J.A. Cowley. 2003. Viral genetic variation: Implications for disease diagnosis and detection of shrimp pathogens. Co-operative Research Centre for Aquaculture, CSIRO Tropical Aquaculture, PMB3 Indooroopily, Q 4068, Australia, 5 pp. Wongteerasupaya, C., S. Sriurairatana, J.E. Vickers, A. Akrajamorn, V. Boonsaeng, S. Panyim, A. Tassanakajon, B. Withyachumnarnkul and T.W. Flegel. 1995. Yellow-head virus of P. monodon is an RNA virus. Diseases of Aquat. Org., 22: 45–50. © Hak cipta oleh Masyarakat Akuakultur Indonesia 2007