Bab II Tinjauan Pustaka II.1. Tembaga (Cu) Tembaga merupakan logam yang diperlukan dalam jumlah tertentu dan memainkan peranan fundamental dalam proses biokimia manusia, yang dikenal sebagai trace element. Tembaga esensial pada proses penggunaan besi dalam proses pembentukan hemoglobin dan dalam proses pematangan neutrophil (salah satu jenis sel darah putih). Hal penting dalam metabolisme tembaga adalah sifat kimia dari elemen dan kompleksnya karena sifat ini menentukan interaksi dengan elemen lainnya dalam proses-proses seperti absorpsi, transpor, distribusi dan toksisitas (Dameron dan Howe, 1998). Tembaga dilepaskan ke atmosfer dalam bentuk gabungan dengan partikulat. Zat tersebut dapat berpindah kerena pengendapan oleh gravitasi, deposisi kering, dan pencucian oleh hujan. Laju perpindahan dan jarak tempuh dari sumber tergantung pada karakteristik sumber, ukuran partikel dan kecepatan angin. Tembaga dilepaskan dan masuk ke air sebagai hasil dari proses pelapukan alami dari tanah dan pelepasan dari industri dan limbah. Senyawa-senyawa tembaga dapat juga digunakan di air untuk membunuh alga. Beberapa proses mempengaruhi nasib tembaga di lingkungan air. Proses tersebut meliputi formasi komplek, sorpsi terhadap oksida metal, lumpur dan materi organik, dan bioakumulasi. Informasi mengenai bentuk fisikokimia tembaga (spesifikasi) lebih banyak dibandingkan dengan konsentrasi tembaga total. Sebagian besar tembaga yang dilepaskan ke air berada dalam bentuk partikulat dan cenderung mengendap, precipitate out atau dapat diabsorbsi oleh materi organik, besi hydrous, mangan oksida dan lumpur di sedimen atau kolom air. Dalam lingkungan perairan konsentrasi tembaga dan bioavailabilitas tembaga tergantung pada faktor-faktor seperti kesadahan dan alkalinitas, daya ionik, pH dan potensial redok, kompeksitas ligan, parikulat dan karbon tersuspensi, dan interaksi antara sedimen dan air. 5 Bioakumulasi tembaga dari lingkungan terjadi jika tembaga tersebut tersedia secara biologis. Faktor akumulasi memiliki variasi yang besar antar organisme, tapi cenderung meningkat pada konsentrasi pemaparan yang lebih rendah. Selain itu terdapat juga organisme yang memiliki kemampuan untuk pengaturan konsentrasi tembaga dalam tubuhnya (Dameron dan Howe, 1998). II.2. Seng (Zn) Seng dalam bentuk logam tidak terdapat pada lingkungan alami, hanya hadir dalam bentuk ionik divalent Zn(II). Seng merupakan elemen transisi dan dapat membentuk komplek dengan beragam ligan organik. Senyawa organometalik seng tidak terdapat pada lingkungan (Simon-Hettich et al., 2001). Konsentrasi seng di air tawar secara signifikan tergantung pada pengaruh geologis lokal dan input antropogenik. Sebagai hasil pelapukan kimiawi, senyawa seng yang dapat larut, seperti seng sulfat dapat ditransfer ke air permukaan khususnya pada pH rendah. Aliran permukaan perkotaan, drainase pertambangan, dan efluen industri juga menyumbangkan seng bagi air permukaan (Simon-Hettich et al., 2001). Konsentrasi seng rata-rata pada air laut adalah 0,6-5 ppb. Sungai umumnya mengandung 5 sampai 10 ppb seng. Alga mengandung 20-700 ppm, ikan laut dan kerang mengandung 3-25 ppm, oysters mengandung 100-900 ppm dan lobster mengandung 7-50 ppm (Lenntech, 2007). Kelarutan seng tergantung pada temperatur dan pH air serta anionnya (SimonHettich et al., 2001; Lenntech, 2007). Jika pH air mendekati netral, seng tidak larut dalam air. Kelarutan meningkat dengan kenaikan asiditas. Pada kondisi pH diatas 11, kelarutan juga meningkat. Seng larut dalam air sebagai ZnOH+ (aq) atau Zn+2 (aq). Bentuk nonionik seng, ZnCO3 memiliki kelarutan sekitar 0,21g/L. Kelarutan beberapa persenyawaan seng, yaitu: zinc chloride (ZnCl2) 4320 g/L, dan zinc oxide (ZnO) atau zinc vitriol (ZnSO4 . 7H2O) 580 g/L (Lenntech, 2007). 6 II.3. Efek Tembaga (Cu) dan Seng (Zn) bagi Biota Tembaga merupakan elemen esensial akan tetapi dapat bersifat merugikan jika dalam keadaan berlebih atau kekurangan. Sekitar 12 protein mayor memerlukan tembaga sebagai bagian pelengkap bagi struktur protein tersebut. Tembaga diperlukan dalam pemanfaatan besi pada proses pembentukan hemoglobin darah, dan sebagian besar krustasea dan moluska memiliki hemosianin yang mengandung tembaga sebagai pembawa oksigen utama dalam protein darah. Pada tanaman tembaga merupakan komponen beberapa enzim yang dibutuhkan dalam metabolisme karbohidrat, nitrogen dan dinding sel (Dameron dan Howe, 1998). Konsentrasi tembaga sebesar 1 - 2 µg/L telah menunjukkan efek merugikan pada organisme akuatik, hal ini terkait erat dan dipengaruhi pula oleh perbedaan sensitifitas setiap spesies dan bioavailibilitas. Pada komunitas fitoplankton alami, klorofil-a dan fiksasi nitrogen berkurang secara signifikan pada kondisi konsentrasi tembaga ≥ 20 µg/L dan fiksasi karbon berkurang pada konsentrasi ≥ 10 µg/L. Toksisitas akut pada ikan air tawar dan laut sangat bervariasi. Untuk ikan air tawar 96-h LC50 berkisar antara 3 µg Cu/L (artic grayling) dan 7340 µg/L (bluegill). Untuk ikan air laut 96-h LC50 berkisar antara 60 µg/L (chinook salmon) sampai 1400 µg Cu/L (grey mullet) (Dameron dan Howe, 1998). Seng merupakan elemen esensial pada level in vivo (pada organisme hidup), oleh karena itu pada sebagian besar organisme seng mengalami pengaturan. Absorpsi seng oleh hewan akuatik cenderung berasal dari air daripada dari makanan. Hanya seng terlarut yang cenderung menjadi bioavailable, dan bioavailabilitasnya tergantung pada karakteristik fisik dan kimia lingkungan dan proses biologi (Simon-Hettich et al., 2001). Seng penting dalam proses mempertahankan stabilitas membran oleh lebih dari 300 macam enzim dan dalam metabolisme protein dan asam nukleat. Toksisitas seng dapat dipengaruhi oleh oleh faktor biotik dan abiotik, seperti ukuran dan umur organisme, pemaparan, kesadahan air, pH, karbon organik terlarut dan temperatur. Toksisitas akut dari seng terlarut terhadap invertebrata air tawar berkisar antara 0,07 mg/L (pada kutu air) dan 575 mg/L (pada udang). Konsentrasi letal akut untuk ikan air tawar berkisar antara 0,066 – 2,6 mg/L. Seng 7 diketahui dapat mempengaruhi reproduksi, proses biokimis, fisiologi dan tingkah laku pada sejumlah organisme akuatik. Konsentrasi seng lebih dari 20 µg/L memberikan efek merugikan bagi organisme akuatik (Simon-Hettich et al., 2001). II.4. Faktor Lingkungan Ekosistem perairan dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya adalah faktor fisik dan kimia yang juga mempengaruhi organisme yang hidup dalam ekosistem tersebut, termasuk ikan. Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh pada proses metabolisme ikan antara lain suhu, oksigen terlarut, derajat keasaman (pH), asiditas-alkalinitas, dan kesadahan. II.4.1. Suhu Suhu mempengaruhi proses biologis dan kemampuan dalam pengaturan suhu internal tubuh organisme (Campbell et al., 2000), selain itu suhu juga mempengaruhi kelarutan oksigen dalam air (Ismail, 1992). Suhu akan mempengaruhi kelarutan oksigen dalam air. Kelarutan oksigen akan semakin tinggi pada suhu rendah. Sebagai contoh, kelarutan oksigen meningkat lebih dari 40 % pada air tawar yang suhunya diturunkan dari 25 oC ke 0 oC (Ismail, 1992). Walaupun variasi suhu dalam air tidak sebesar di udara hal ini merupakan faktor pembatas utama karena organisme akuatik sering kali mempunyai toleransi yang sempit (stenotermal) (Odum, 1998). Setiap organisme memiliki kisaran toleransi yang bervariasi terhadap suhu. Perubahan suhu pada suatu ekosistem akan mengakibatkan perubahan komposisi komunitas pada ekosistem tersebut. Spesies yang memiliki kisaran toleransi lebih lebar dapat bertahan hidup sedangkan spesies lain dengan kisaran sempit tidak dapat bertahan hidup. Masing-masing spesies memiliki suhu optimum bagi pertumbuhannya dan juga suhu kritis pada setiap siklus hidupnya (Welch, 1980). II.4.2. Oksigen Terlarut (DO) Oksigen merupakan salah satu faktor kimia penting dalam ekosistem perairan. Oksigen diperlukan dalam proses metabolisme organisme akuatik terutama pada proses respirasi. Keberadaan oksigen dalam perairan dapat menjadi faktor 8 pembatas bagi kehidupan organisme-organisme tersebut. Oksigen terlarut dalam air tergantung pada suhu air, tekanan atmosfer, kepekatan garam terlarut dalam air dan juga aktivitas biologis. Sumber utama oksigen bagi perairan akuatik berasal dari udara dan hasil fotosintesis. Pengukuran oksigen terlarut memberikan gambaran tentang tahap pencemaran (Ismail, 1992). Sebagian besar bahan padat tersuspensi pada sungai untuk perikanan berasal dari sisa pakan dan feces ikan (Gowen dan Bradbury, 1987; Harahap, 2001) yang merupakan input organik yang mempengaruhi kimia dan ekologi organisme perairan (Fenchel dan Riedl, 1970). Bahan organik yang terkandung pada padatan tersuspensi antara lain selulosa, protein, dan lemak yang akan mempengaruhi kandungan oksigen terlarut dan akhirnya mempengaruhi kehidupan biota perairan (Siregar, 1996). Jika suatu perairan dicemari dengan bahan organik, maka pemakaian oksigen untuk respirasi akan melampaui kemampuan produksi oksigen perairan tersebut. Hal ini akan menyebabkan kadar oksigen pada perairan tersebut sangat kecil atau bahkan tidak ada oksigen sama sekali (anaerobik). Keadaan ini akan membahayakan kelangsungan hidup biota perairan tersebut (Odum, 1998). Parameter COD (Chemical Oxygen Demand) dapat digunakan untuk menentukan tingkat pencemaran oleh senyawa organik. COD diartikan sebagai banyaknya oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi senyawa organik oleh oksidator kuat pada suasana asam (Sawyer et al., 2003). II.4.3. Derajat Keasaman (pH) Selain oksigen, konsentrasi ion hidrogen (pH) sangat penting di dalam mengatur respirasi dan sistem-sistem enzim dalam tubuh (Odum, 1998). pH menunjukkan konsentrasi ion hidrogen (H+) dalam air atau lebih tepatnya aktivitas ion hidrogen (Sawyer et al., 2003). pH sangat penting karena pH mengontrol tipe dan laju kecepatan reaksi beberapa bahan dalam air. Ikan dan organisme akuatik lainnya memiliki kisaran pH tertentu. Oleh karena itu, tidak semua mahluk bisa bertahan terhadap perubahan nilai pH. Di alam terdapat suatu mekanime yang memungkinkan perubahan tersebut tidak terjadi atau terjadi tetapi perlahan. 9 Mekanisme pertahanan tersebut dikenal sebagai kapasitas pem-buffer-an (Purwakusuma, 2007). Fluktuasi pH air sangat ditentukan oleh alkalinitas air tersebut. Apabila alkalinitasnya tinggi maka air tersebut akan mudah mengembalikan pH-nya ke keadaan semula. II.4.4. Asiditas dan Alkalinitas Asiditas adalah kemampuan air untuk menetralisir ion OH-. Seperti halnya larutan buffer, asiditas merupakan pertahanan air terhadap pembasaan. Asiditas terjadi sebagai akibat hadirnya asam lemah. Kontributor utama asiditas adalah CO2 dan H2S yang sangat volatil. Oleh karena itu, pengukuran asiditas dilakukan sesegera mungkin dan bila memungkinkan dilakukan di tempat pengambilan sampel. Gas CO2 yang berasal dari atmosfer atau yang berasal dari aktivitas penguraian zat organik oleh mikroorganisme akan menyebabkan asiditas dalam air, karena gas tersebut akan berdifusi dan bereaksi dengan air membentuk asam karbonat yang bersifat asam (Sawyer et al., 2003). Alkalinitas air merupakan pengukuran terhadap kemampuan air untuk menetralisir asam (Sawyer et al., 2003; Purwakusuma, 2007). Alkalinitas pada perairan alami sebagian besar disebabkan oleh hidroksida dalam air, ion karbonat dan bikarbonat (Sawyer et al., 2003). Ketiga ion tersebut di dalam air akan bereaksi ion hidrogen sehingga menurunkan keasaman dan menaikkan pH. Pada umumnya lingkungan yang baik bagi kehidupan ikan adalah nilai alkalinitas di atas 20 ppm (Purwakusuma, 2007). II.4.5. Kesadahan Kesadahan merupakan penunjuk kemampuan air untuk membentuk busa apabila apabila dicampur dengan sabun (APHA, 1998; Sawyer et al., 2003; Purwakusuma, 2007). Kesadahan dalam air disebabkan oleh adanya kation logam bervalensi dua, seperti kalsium, magnesium, stronsium, ferro, dan ion magnesium (Sawyer et al., 2003). Kesadahan penting bagi organisme akuatik karena setiap 10 jenis organisme memiliki nilai kesadahan pada selang tertentu untuk hidupnya (Purwakusuma, 2007). II.5. Ikan Mas (Cyprinus carpio L.) II.5.1. Klasifikasi dan Sejarah Perkembangan Ikan Mas Klasifikasi ikan mas, yaitu (Rochdianto, 2005; Kuznetsov et al., 2007): Kingdom: Animalia Phylum: Chordata Group: Pisces Class: Osteichthyes Order: Cypriniformes (Berg, 1940) Family: Cyprinidae (Bonaparte, 1832) Genus: Cyprinus (Linnaeus, 1758) Species: Cyprinus carpio Linnaeus Ikan mas atau yang juga dikenal sebagai ikan karper (Cyprinus carpio) adalah ikan air tawar yang bernilai ekonomis penting dan sudah tersebar luas di Indonesia. Di Indonesia, ikan mas memiliki beberapa nama sebutan yakni ikan karper, kancera, tikeu, tombro, raja, rayo, ameh atau nama lain sesuai dengan daerah penyebarannya (Rochdianto, 2005). Ahli perikanan Dr. A.L Buschkiel menggolongkan jenis ikan mas menjadi dua golongan, yakni pertama, jenis-jenis karper yang bersisik normal dan yang kedua yaitu jenis kumpai yang memiliki ukuran sirip memanjang. Golongan pertama yakni yang bersisik normal dikelompokkan lagi menjadi dua yakni pertama kelompok ikan mas yang bersisik biasa dan kedua, bersisik kecil (Rochdianto, 2005). Berdasarkan fungsinya, ras-ras ikan mas yang ada di Indonesia dapat digolongkan menjadi dua kelompok. Kelompok pertama merupakan ras-ras ikan konsumsi dan kelompok kedua adalah ras-ras ikan hias (Rochdianto, 2005). 11 Ikan mas sebagai ikan konsumsi dibagi menjadi dua kelompok yakni ras ikan mas bersisik penuh dan ras ikan mas bersisik sedikit. Kelompok ras ikan mas yang bersisik penuh adalah ras-ras ikan mas yang memiliki sisik normal, tersusun teratur dan menyelimuti seluruh tubuh. Ras ikan mas yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah ikan mas Majalaya, ikan mas Punten, ikan mas Si Nyonya dan ikan Karper merah atau mas. Sedangkan yang tergolong dalam ras karper bersisik sedikit adalah ikan karper kaca yang oleh petani di Tabanan biasa disebut dengan nama karper gajah. Untuk kelompok ras ikan mas hias, beberapa di antaranya adalah karper kumpay, kaca, mas merah dan koi (Rochdianto, 2005). Ikan mas yang berkembang di Indonesia diduga awalnya berasal dari daratan Eropa dan Tiongkok Selatan. Disebutkan, budi daya ikan mas diketahui sudah berkembang di daerah Galuh (Ciamis) Jawa Barat pada pertengahan abad ke-19. Masyarakat setempat disebutkan sudah menggunakan kakaban - subtrat untuk pelekatan telur ikan mas yang terbuat dari ijuk – pada tahun 1860, sehingga budi daya ikan mas di kolam di Galuh disimpulkan sudah berkembang berpuluh-puluh tahun sebelumnya (Rochdianto, 2005). Sedangkan penyebaran ikan mas di daerah Jawa lainnya, dikemukakan terjadi pada permulaan abad ke-20, terutama sesudah terbentuk Jawatan Perikanan Darat dari “Kementrian Pertanian” (Kemakmuran) saat itu. Dari Jawa, ikan mas kemudian dikembangkan ke Bukittinggi (Sumatera Barat) tahun 1892. Berikutnya dikembangkan di Tondano (Minahasa, Sulawesi Utara) tahun 1895, daerah Bali Selatan (Tabanan) tahun 1903, Ende (Flores, NTT) tahun 1932 dan Sulawesi Selatan tahun 1935. Selain itu, pada tahun 1927 atas permintaan Jawatan Perikanan Darat saat itu juga mendatangkan jenis-jenis ikan mas dari Negeri Belanda, yakni jenis Galisia (karper gajah) dan kemudian tahun 1930 didatangkan lagi karper jenis Frankisia (karper kaca). Kedua jenis mas tersebut sangat digemari oleh petani karena rasa dagingnya lebih sedap, padat, durinya sedikit dan pertumbuhannya lebih cepat dibandingkan ras-ras lokal yang sudah berkembang di Indonesia sebelumnya (Rochdianto, 2005). 12 Pada tahun 1974, Indonesia mengimpor ikan karper ras Taiwan, ras Jerman dan ras fancy carp masing-masing dari Taiwan, Jerman dan Jepang. Sekitar tahun 1977 Indonesia mengimpor ikan mas ras yamato dan ras koi dari Jepang. Ras-ras ikan mas yang diimpor tersebut dalam perkembangannya ternyata sulit dijaga kemurniannya karena berbaur dengan ras-ras ikan mas yang sudah ada di Indonesia sebelumnya sehingga terjadi persilangan dan membentuk ras-ras baru. II.5.2. Morfologi Ikan Mas Secara morfologis, ikan mas mempunyai bentuk tubuh agak memanjang dan memipih tegak (compressed). Mulut terletak di ujung tengah (terminal), dapat disembulkan dan lunak (elastis). Bagian anterior mulut terdapat dua pasang sungut/ kumis (barbel) berukuran pendek, jumlahnya 2 pasang (empat buah), ada juga yang mempunyai sungut 1 pasang (rudimentir). Kumis ini merupakan pembeda antara ikan mas koki (Carasius auratus) yang biasanya digunakan sebagai ikan hias dengan ikan mas (Cyprinus carpio) (Santoso, 1993; Rochdianto, 2005). Secara umum, hampir seluruh tubuh ikan mas ditutupi sisik dan hanya sebagian kecil saja yang tubuhnya tidak ditutupi sisik. Sisik ikan mas berukuran relatif besar dan digolongkan dalam tipe sisik sikloid berwarna hijau, biru, merah, kuning keemasan atau kombinasi dari warna-warna tersebut sesuai dengan rasnya (Rochdianto, 2005). Sumber: ThinkQuestICTeam, 2001 Gambar II.1. Morfologi ikan mas (Cyprinus carpio L.) 13 Jari-jari sirip punggung (dorsal) yang kedua mengeras seperti gergaji. Sedangkan letak antara kedua sirip, punggung dan perut bersebrangan. Sirip dada (pectoral) terletak di belakang tutup insang (operculum) (Santoso, 1993). Sumber: ThinkQuestICTeam, 2001 Gambar II.2. Anatomi internal ikan mas Usus ikan mas umumnya tidak begitu panjang jika dibandingkan dengan hewan pemakan tumbuhan asli. Ikan mas tidak mempunyai lambung, juga tidak mempunyai gigi, mempunyai pharing yang mengeras untuk menggerus makanan sebagai pengganti gigi (Santoso, 1993). II.5.3. Kebiasaan Hidup Ikan Mas Ikan mas yang hidup di lingkungan akuatik alami seperti sungai atau waduk memijah pada awal atau sepanjang musim penghujan. Biasanya memijah pada perairan dangkal yang merupakan daerah yang baru terisi air setelah mengalami kekeringan pada musim kemarau. Ikan mas akan menempelkan seluruh telurnya pada tanaman atau rerumputan di tepian perairan karena sifat telurnya dapat menempel (adhesif). Sedangkan ikan mas yang dibudidayakan tidak mengalami siklus musiman karena dapat dipijahkan sepanjang tahun (Santoso, 1993). Ikan mas dapat tumbuh dengan normal dengan lokasi pemeliharaan berada pada ketinggian antara 150 - 1000 meter di atas permukaan laut, suhu perairan berkisar antara 20º - 25ºC dengan pH air antara 7 – 8. Pertumbuhan panjang badan maksimal tercapai setelah berumur 24 bulan, sedangkan pertumbuhan berat badan maksimal tercapai pada umur 36 bulan (Santoso, 1993). 14 Ikan mas termasuk pemakan segala (omnivora). Ikan mas muda yang berukuran sekitar 10 cm senang memakan jasad hewan atau tumbuhan yang hidup di dasar perairan/ kolam, misalnya chironomidae, oligochaeta, tubificidae, tricopthera, molusca, dan sebagainya. Selain itu ikan mas muda juga memakan protozoa dan zooplankton seperti copepoda dan cladocera. Hewan-hewan kecil tersebut disedot bersama lumpur, kemudian diambil yang dapat dimanfaatkan dan sisanya dikeluarkan melalui mulut. Ikan mas sering mencari sumber makanan yang berupa jasad-jasad renik di sekeliling pematang, oleh sebab itu pematang sering rusak dan longsor karenanya. Ikan mas juga suka mengaduk-aduk dasar kolam untuk mencari makanan yang bisa dimanfaatkan seperti larva-larva insecta, cacing-cacingan dan lain sebagainya (Santoso, 1993). II.6. Mekanisme Bioakumulasi dan Depurasi Bioakumulasi diartikan sebagai terdapatnya pencemar dalam organisme dengan konsentrasi yang jauh lebih besar daripada konsentrasi di dalam lingkungannya. Biokonsentrasi atau bioakumulasi dalam organisme merupakan sifat yang sangat penting dalam evaluasi bahaya atau tidaknya suatu zat dan uji toksisitas. Bioakumulasi menjadi berbahaya apabila rasio organik/lingkungan = 100-1000. Biokonsentrasi adalah kasus spesifik dari bioakumulasi, dimana suatu zat yang terlarut secara selektif masuk ke dalam jaringan organisme dan terkonsentrasi melalui rute bukan makanan (Soemirat, 2005). Menurut Lloyd (1992) ikan dapat mengambil logam melalui beberapa cara, yaitu: 1. Pernafasan melalui insang 2. Penyerapan melalui permukaan tubuh 3. Pencernaan melalui makanan dalam bentuk partikel atau cairan yang dikonsumsi Akumulasi logam pada jaringan ikan bervariasi tergantung pada kecepatan uptake, penyimpanan, dan akumulasi. Hal ini berarti bahwa logam yang memiliki kecepatan uptake yang tinggi dan kecepatan eleminasi yang rendah pada jaringan akan terakumulasi lebih banyak. Uptake logam tergantung pada konsentrasi pemaparan dan periode pemaparan selain itu juga dipengaruhi oleh faktor lain 15 seperti salinitas, temperatur, interaksi dengan logam yang lain, agen pembentuk senyawa komplek (seperti EDTA) dan aktivitas metabolisme (Kalay dan Canli, 2000). Konsentrasi larutan tembaga pada lingkungan air mempengaruhi akumulasi pada organ target, makin tinggi konsentrasi paparan maka makin besar akumulasinya (Kristijarti, 2006). Rahmawati (2006) mendapatkan bahwa pemaparan tembaga pada ikan nila dengan konsentrasi di air sebesar 0,04 mg/L maka pada ikan terjadi pertambahan konsentrasi tembaga sebesar 4,503 mg/kg berat kering. Seiring dengan hal tersebut, penelitian oleh Kristijarti (2006) menunjukkan bahwa kerusakan jaringan karena paparan tembaga terutama ditemukan pada organ hati dan insang, tetapi tidak terjadi pada otot. Kerusakan organ hati terjadi dengan terbentuknya fatty change, vakuaola, dan nekrosis. Sedangkan pada insang kerusakan ditandai dengan adanya hiperplasia pada lamela primer dan sekunder, sel mukus yang berlebih, pembengkakan sel kapiler, epitel yang lifting dan epitel yang terkikis. Mahluk hidup selain mampu menyerap unsur logam dan mengumpulkannya sampai batas konsentrasi tertentu dapat pula mengeluarkan kembali unsur logam. Pengeluaran dari dalam tubuh ini dapat melalui beberapa organ dan dengan mekanisme tertentu. Apabila melalui mekanisme sekresi biasanya melalui organ tubuh misalnya insang, ginjal, dan usus. Melalui proses depurasi konsentrasi suatu bahan pencemar akan menurun pada saat mahluk hidup tersebut berada di lingkungan yang tidak tercemar. Bahan pencemar akan keluar dari tubuh dan kembali ke alam. mekanisme dari proses depurasi adalah desorpsi atau difusi pasif (Soemirat, 2005). Seperti halnya akumulasi, beberapa faktor juga mempengaruhi eliminasi logam dari jaringan, seperti durasi, temperatur, interaksi dengan logam berat yang lain dan aktivitas metabolik hewan, khususnya pada jaringan. Rute eliminasi logam dari ikan secara umum, yaitu kantung empedu, urin, eleminasi dari insang dan mukus (Kalay dan Canli, 2000). 16 Penelitian mengenai hewan-hewan akuatik menunjukkan perbedaan tingkat eleminasi logam berat. Vierengo et al. dalam Kalay dan Canli (2000) menemukan bahwa Mytilus galloprovicialis yang terpapar Cu dan Cd menunjukkan perbedaan tingkat eleminasi logam dari jaringannya. Cu secara cepat tereleminasi dari insang dan sel kelenjar pencernaan, menunjukkan waktu paruh biologis 10 hari, dimana Cd dilepaskan dari jaringan lebih lambat dari waktu tersebut. Vierengo et al. juga menyatakan bahwa protein pengikat logam mengikuti pola yang serupa. Percobaan depurasi terhadap akumulasi tembaga di ikan nila yang dilakukan oleh Rahmawati (2006) tidak dapat menurunkan tembaga selama 3 hari dengan cukup baik. Akan tetapi penurunan konsentrasi tembaga di ikan terjadi pada kondisi air yang basa pada pH 8,5 dan dengan kesadahan moderate. 17