BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Dari penelitian yang dilakukan di RSO Prof.Dr. dr. R.Soeharso Surakarta, antara tanggal 1 Januari 2012 sampai 30 Juni 2015 didapatkan hasil penelitian 102 pasien. 4.1.1 Distribusi Umur. Pada penelitia ini didapatkan 34 (33%) pasien berusia 60-64 tahun, 16 pasien (16%) 65-69 tahun, 24 (23 %) pasien berusia 70-74 tahun, 16 (16%) pasien berusia 75-79 tahun, dan 12 (12%) pasien berusia di atas 80 tahun. Mean (rata-rata) umur pasien adalah 69,4 tahun, dan median usia adalah 70 tahun Usia pasien 35 30 Axis Title 25 20 15 10 5 0 Usia pasien 60 - 64 Tahun 34 65 - 69 Tahun 16 70 - 74 Tahun 24 75 - 79 Tahun 16 80 Tahun keatas 12 Grafik 1. Prosentase usia pasien 4.1.2 Distribusi Jenis kelamin. Pada penelitian ini didapatkan 25 pasien (25%) laki-laki dan 77 pasien (75%) wanita. jenis kelamin Laki laki perempuan 75% 25% Grafik 2. Prosentase jenis kelamin 4.1.3 Distribusi pasien berdasarkan status ASA. Pada penelitian ini didapatkan 100 pasien digolongkan dalam ASA II dan 2 pasien pada ASA III status ASA 120 100 80 60 40 20 0 status ASA ASA 1 ASA 2 ASA 3 ASA 4 0 100 2 0 Grafik 3. Prosentase Status ASA 4.1.4 Distribusi pasien berdasarkan status mobilisasi prefraktur. Pada penelitian ini didapatkan 30 (29%) pasien digolongkan pada kelompok mobilitas rendah menurut New Mobility Score, dan 72 (71%) pasien digolongkan kelompok mobilitas tinggi Tingkat mobilitas pasien pre fraktur 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Tingkat mobilitas pasien pre fraktur Mobilitas rendah Mobilitas tinggi 30 72 Grafik 4. Prosentase Tingkat mobilitas pasien prefraktur 4.1.5 Distribusi pasien berdasarkan kadar hemoglobin. Pada penelitian ini didapatkan 18 (18%) pasien memiliki anemia saat dirawat di RS sebelum dilakukan operasi dan 84 (82%) pasien memiliki Hb≥10 g/dl Kadar Hb preoperatif Hb < 10 g/dl Hb≥ 10 g/dl 84 18 Hb < 10 g/dl Hb≥ 10 g/dl Grafik 5. Prosentase pasien berdasar kadar Hb preoperatif 4.1.6 Distribusi pasien berdasarkan jangka waktu antara trauma sampai dilakukan operasi. Pada penelitian ini didapatkan 24 (23%) pasien dilakukan operasi dalam waktu < 2 hari, 35 (34%) pasien dilakukan dalam waktu 2-7 hari, 29 (29%) pasien dilakukan 8-30 hari, 14 (14%) pasien dilakukan > 30 hari. Waktu dari trauma sampai dilakukan operasi > 30 hari 14 8-30 hari 29 2 - 7 hari 35 < 2 hari 24 0 5 10 15 20 25 30 35 40 Grafik 6. Prosentase waktu pelaksanaan operasi 4.1.7 Distribusi pasien berdasarkan tingkat ekonomi. Pada penelitian ini didapatkan 73 (72%) pasien memiliki tingkat ekonomi kurang dan 29 (28 %) pasien memiliki tingkat ekonomi mampu. Tingkat ekonomi 28% 72% ekonomi kurang ekonomi mampu Grafik 7. Prosentase tingkat ekonomi 4.1.8 Distribusi pasien berdasarkan penyakit komorbid. Didapatkan mayoritas pasien sebesar 48 (52%) pasien memiliki penyakit hipertensi, 15 (16%) pasien memiliki penyakit diabetes mellitus, 12 (13%) pasien memiliki penyakit jantung, 7 (8%) pasien memiliki penyakit paru, 2 (2%) pasien memiliki penyakit gangguan gastrointestinal, dan 2 (2%) pasien memiliki penyakit ginjal, 4 (5%) pasien mengalami stroke, 2 (2%) pasien memiliki penyakit hepatitis. Penyakit komorbid 2% 2% 2% Hipertensi 5% Diabetes Mellitus 13% Penyakit Paru 52% 8% 16% Penyakit jantung Gastrointestinal Penyakit ginjal stroke hepatitis Grafik 8. Distribusi penyakit komorbid 4.1.9 Distribusi pasien berdasarkan jumlah komorbid. Pada penelitian ini didapatkan 32 pasien (31%) tidak memiliki komorbid, 48 pasien (47%) memiliki 1 penyakit komorbid, dan 22 pasien (22%) memiliki ≥ 2 penyakit komorbid. Axis Title Jumlah Komorbid 50 40 30 20 10 0 komorbid (-) Jumlah Komorbid komorbid 1 komorbid (-) 32 komorbid ≥2 komorbid 1 48 komorbid ≥2 22 Grafik 9. Distribusi pasien berdasar jumlah penyakit komorbid 4.1.10 Distribusi pasien berdasarkan outcome pasien pasca operasi. Pada penelitian ini didapatkan 11 (11%) pasien mengalami morbiditas, 3 (3%) pasien meninggal dunia, dan 88 (86%) pasien tidak didapatkan morbiditas dalam kurun waktu 1 bulan pasca operasi. Outcome pasien pasca hip hemiarthroplasty Morbiditas (-) Morbiditas (+) Mortalitas 3% 11% 86% Grafik 10. Outcome pasien pasca hip hemiarthroplasty 4.1.11 Distribusi pasien berdasarkan morbiditas pasca operasi. Pada penelitian ini didapatkan morbiditas terbanyak berupa komplikasi gastrointestinal pada 4 pasien. Periprosthetic fracture didapatkan pada 1 orang pasien. Komplikasi pulmoner dan ulcus decubitus pada 2 pasien. Deep vein thrombosis didapatkan pada 1 pasien, dan infeksi luka operasi pada 1 orang pasien. No Jenis morbiditas Jumlah pasien 1 Komplikasi gastrointestinal 4 2 Periprosthetic fracture 1 3 Komplikasi pulmoner 2 4 Ulcus decubitus 2 5 DVT 1 6 Infeksi luka operasi 1 Tabel 2. Jenis morbiditas 4.1.12 Distribusi pasien berdasarkan outcome status mobilitas pasien pascaoperasi. Pada penelitian ini didapatkan 34 (34%) pasien memiliki status mobilitas tergantung orang lain dengan Cumulated Ambulation Score <6 dan 65 (66%) pasien memiliki status mobilisasi mandiri, dengan Cumulated Ambulation Score =6 Outcome pasien pasca hip hemiarthroplasty Mobilitas mandiri, CAS=6 66% Mobilitas tergantung, CAS <6 34% Grafik 11. Outcome mobilitas pasien pasca hip hemiarthroplasty 1.2 Pembahasan Pasien yang memenuhi kriteria inklusi di RSO Prof. dr. R. Soeharso Surakarta dari tanggal 1 Januari 2012 sampai 30 Juni 2015 sebesar 102 pasien. 4.2.1 Demografi. Pada penelitian ini didapatkan 25 pasien (25%) laki-laki dan 77 pasien (75%) wanita. Dari 102 pasien tersebut , rata rata usia pasien adalah 69,4 tahun dan median usianya adalah 70 tahun. Angka tersebut sesuai dengan penelitian Hu,F. et al (2012) dimana pada 5 penelitian besar mengenai fraktur collum femur sebagian besar pasien adalah wanita yang mencapai jumlah 61% - 87,7% dari total sampel. 7 Status mobilisasi prefraktur pasien sebagian besar adalah pada kelompok mobilitas tinggi (71%). Angka tersebut sesuai dengan yang didapatkan pada penelitian Kristensen et al (2012) dimana pada penelitian mengenai mobilisasi pasien dengan fraktur sendi panggul didapatkan populasi pasien yang terbanyak adalah kelompok dengan mobilisasi tinggi. 11 Tingkat ekonomi pasien yang dirawat karena fraktur collum femur di RS Orthopaedi Prof.Dr.R Soeharso sebagian besar pada kelompok tingkat ekonomi kurang. Angka tersebut sesuai dengan yang didapatkan pada penelitian oleh Zingmond e al (2006) mengenai faktor sosioekonomi pada fraktur sendi panggul dimana disebutkan pendapatan yang tinggi mempengaruhi insidensi fraktur sendi panggul. Pendapatan tinggi dapat mengurangi insidensi fraktur sendi panggul melalui kondisi tulang yang lebih sehat, faktor nutrisi dan gaya hidup sehat yang berpengaruh terhadap osteoporosis. Populasi dengan pendapatan rendah mempunyai risiko osteoporosis yang lebih tinggi. 17 Penyakit komorbid yang paling banyak didapakan adalah penyakit hipertensi sebesar 52 %, dengan diabetes mellitus didapatkan pada 16 % pasien. Angka tersebut sama dengan penelitian Kang, W. et al (2013) dimana di Asia hipertensi merupakan penyakit komorbid yang paling sering dijumpai, diikuti dengan penyakit diabetes mellitus pada populasi pasien fraktur sendi panggul.20 Morbiditas terjadi pada. 11 (11%) pasien. Morbiditas yang paling banyak terjadi adalah komplikasi pada gastrointestinal pada 4 pasien dan komplikasi pulmoner pada 2 pasien. Angka tersebut lebih rendah dengan yang didapatkan pada penelitian lain oleh Egol, K. et al (2009) dimana pada jurnalnya dikatakan pada evaluasi retrospektif 8930 pasien dengan fraktur sendi panggul, 1737 (19%) pasien mengalami komplikasi pasca operasi. Komplikasi yang tersering adalah komplikasi pada jantung dan pulmoner sebesar 8% dan 4%. Perdarahan gastrointestinal didapatkan pada 2 %, venous thromboembolism pada 1% pasien. Hal ini mungkin disebabkan karena penelitian ini hanya meneliti komplikasi pada 1 bulan pasca operasi untuk menggambarkan short term outcome saja. 6 Mortalitas terjadi pada 3 (3%) pasien. Angka tersebut lebih rendah dibanding yang didapatkan pada penelitian Hu. F, et al (2012) dimana disebutkan pada penelitian dengan total sampel 20.988 pasien, angka kematian 1 bulan pasca operasi adalah 13,3%.7 Status mobilisasi pasien pasca operasi sebagian besar memiliki Cummulated Ambulation Score = 6. Hal ini menunjukkan 66 % pasien mencapai mobilisasi mandiri pasca operasi. Angka tersebut lebih rendah dengan yang didapatkan pada penelitian oleh Kristensen et al (2012) dimana pada penelitiannya didapatkan 78 % pasien memiliki mobilitas mandiri dan 22 % memiliki mobilitas tergantung orang lain. Hal ini kemungkinan disebabkan karena banyak pasien yang baru memulai latihan mobilisasi setelah kontrol pertama di poliklinik (≥14 hari pasca operasi), sedangkan penelitian ini menggunakan penilaian outcome 30 hari pasca operasi.11 4.2.2 Hasil analisa pengaruh umur saat operasi, jenis kelamin, tingkat ASA, mobilisasi prefraktur, kadar hemoglobin, waktu antara terjadi trauma sampai operasi, komorbid, dan tingkat ekonomi terhadap terjadinya morbiditas dan mortalitas pasca operasi hemiarthroplasty Dengan tingkat kepercayaan 95% atau alfa = 5% (0,05) pengambilan kesimpulan adalah sebagai berikut: 1. Jika nilai Sig. (Signifikansi) lebih besar (>) dari 0,05 maka umur saat operasi, jenis kelamin, tingkat ASA, mobilisasi prefraktur, kadar hemoglobin, waktu antara terjadi trauma sampai operasi, komorbid, dan tingkat ekonomi tidak berpengaruh nyata (signifikan) terhadap outcome. 2. Jika nilai Sig. (Signifikansi) lebih kecil sama dengan () dari 0,05 maka umur saat operasi, jenis kelamin, tingkat ASA, mobilisasi prefraktur, kadar hemoglobin, waktu antara terjadi trauma sampai operasi, komorbid, dan tingkat ekonomi berpengaruh nyata (signifikan) terhadap outcome. Tabel 3. Hasil analisa data pengaruh predictive factor secara simultan terhadap terjadinya morbiditas dan mortalitas b ANOVA Model Sum of df Mean Square F Sig. 3.254 .003 Squares 1 Regression 2.641 8 .330 Residual 9.437 93 .101 Total 12.078 101 a a. Predictors: (Constant), Jumlah Komorbid, ekonomi, umur, waktu , anemia, sex, ASA, NMS b. Dependent Variable: Morbiditas+Mortalitas Dari tabel nomer 3 diatas menunjukkan bahwa secara simultan (bersama-sama) pengaruh umur saat operasi, jenis kelamin, tingkat ASA, mobilisasi prefraktur, kadar hemoglobin, waktu antara terjadi trauma sampai operasi, komorbid, dan tingkat ekonomi terhadap terjadinya morbiditas dan mortalitas pasca operasi menggunakan analisis regresi linear berganda didapatkan hasil signifikansi 0,003 ( lebih kecil dari 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa kedelapan variabel tersebut diatas berpengaruh secara signifikan terhadap terjadinya morbiditas dan mortalitas pasca operasi. Tabel 4. Hasil analisa data pengaruh predictive factor secara parsial (individu) terjadinya morbiditas dan mortalitas a Coefficients Model 1 Unstandardized Standardized Coefficients Coefficients B Std. Error (Constant) -.163 .219 Umur .042 .026 Sex .081 ASA Beta T Sig. -.747 .457 .172 1.616 .109 .078 .101 1.035 .303 .729 .243 .294 3.001 .003 NMS .087 .084 .116 1.042 .300 Anemia .250 .089 .277 2.801 .006 waktu .009 .034 .025 .260 .795 Ekonomi -.067 .074 -.087 -.904 .368 .047 .084 .858 .393 Jumlah Komorbid .040 a. Dependent Variable: Morbiditas+Mortalitas Dari tabel nomer 4 diatas menunjukkan bahwa secara parsial (individu) pengaruh tingkat ASA dan kadar hemoglobin preoperatif didapatkan hasil signifikansi 0,003 dan 0,006 ( lebih kecil dari 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa kedua variabel tersebut diatas berpengaruh secara signifikan terhadap terjadinya morbiditas dan mortalitas pasca operasi. 4.2.3 Hasil analisa pengaruh umur saat operasi, jenis kelamin, tingkat ASA, mobilisasi prefraktur, kadar hemoglobin, waktu antara terjadi trauma sampai operasi, komorbid, dan tingkat ekonomi terhadap status mobilisasi pasien pasca operasi hemiarthroplasty Tabel 5. Hasil analisa data pengaruh predictive factor secara simultan terhadap status mobilisasi pasien b ANOVA Sum Model 1 of Squares df Mean Square F Sig. Regression 13.133 8 1.642 8.887 .000 Residual 17.180 93 .185 Total 30.314 101 a a. Predictors: (Constant), Jumlah Komorbid, ekonomi, umur, waktu , anemia, sex, ASA, NMS b. Dependent Variable: mobilitas Dari tabel nomer 5 diatas menunjukkan bahwa secara simultan (bersama-sama) pengaruh umur saat operasi, jenis kelamin, tingkat ASA, mobilisasi prefraktur, kadar hemoglobin, waktu antara terjadi trauma sampai operasi, komorbid, dan tingkat ekonomi terhadap terjadinya morbiditas dan mortalitas pasca operasi menggunakan analisis regresi linear berganda didapatkan hasil signifikansi 0,0001 ( lebih kecil dari 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa kedelapan variabel tersebut diatas berpengaruh secara signifikan terhadap status mobilisasi pasien pasca operasi. Tabel 6. Hasil analisa data pengaruh predictive factor secara parsial (individu) terhadap status mobilisai pasien pasca operasi Model 1 Unstandardized Standardized Coefficients Coefficients B Std. Error (Constant) 2.202 .295 Umur -.141 .035 Sex -.176 ASA t Sig. 7.468 .000 -.359 -3.977 .000 .105 -.139 -1.678 .097 -1.410 .328 -.359 -4.300 .000 NMS .177 .113 .148 1.562 .122 Anemia -.090 .121 -.063 -.749 .456 waktu -.103 .046 -.185 -2.242 .027 Ekonomi .142 .100 .118 1.428 .157 .063 -.055 -.663 .509 Jumlah Komorbid -.042 Beta a. Dependent Variable: mobilitas Dari tabel nomer 6 diatas menunjukkan bahwa secara parsial (individu) pengaruh umur, tingkat ASA dan waktu antara trauma sampai dilakukan operasi didapatkan hasil signifikansi 0,000, 0,000 dan 0,027 ( lebih kecil dari 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa ketiga variabel tersebut diatas berpengaruh secara signifikan terhadap status mobilisasi pasien pasca operasi. 4.2.4 Pengaruh umur saat operasi terhadap morbiditas, mortalitas dan mobilitas. Berdasarkan tabel nomer 4 menunjukkan bahwa pengaruh umur saat operasi terhadap morbiditas dan mortalitas menggunakan analisis regresi linear berganda didapatkan hasil signifikansi 0,109 (lebih besar dari 0,05) hasil ini menunjukkan bahwa umur pasien tidak berpengaruh secara signifikan terhadap morbiditas dan mortalitas pasien. Pada tabel 6 menunjukkan bahwa pengaruh umur saat operasi terhadap mobilitas didapatkan hasil signifikansi 0,000 (lebih kecil dari 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa umur pasien berpengaruh secara signifikan terhadap mobilitas pasien Nilai konstanta Beta adalah -0,359. Tanda negatif menunjukkan bahwa semakin muda kelompok umur saat operasi, maka mobilitas pasca operasi akan semakin baik. Hasil ini sesuai dengan penelitian oleh Kristensen et al (2012) yang menyebutkan variabel usia merupakan salah satu prediktor independen untuk outcome pasien di rumah sakit yang menjalani program rehabilitasi intensif setelah menyingkirkan variabel jenis kelamin, status kesehatan dan status mental.11 4.2.5 Pengaruh jenis kelamin terhadap morbiditas, mortalitas dan mobilitas. Berdasarkan tabel 4 menunjukkan bahwa pengaruh jenis kelamin saat operasi terhadap morbiditas dan mortalitas menggunakan analisis regresi linear berganda didapatkan hasil signifikansi 0,303 (lebih besar dari 0,05). Pada tabel 6 menunjukkan bahwa pengaruh umur saat operasi terhadap mobilitas didapatkan hasil signifikansi 0,097 (lebih besar dari 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa jenis kelamin pasien tidak berpengaruh secara signifikan terhadap morbiditas, mortalitas, dan mobilitas pasien Tabel 7. Hasil Analisa data pengaruh jenis kelamin terhadap mortalitas a Coefficients Model 1 Unstandardized Standardized Coefficients Coefficients B Std. Error (Constant) 1.110 .066 Sex -.051 .024 Beta -.129 t Sig. 16.710 .000 -2.139 .035 Pada tabel 7 menunjukkan bahwa pengaruh jenis kelamin terhadap mortalitas saja didapatkan hasil signifikansi 0,035 (lebih kecil dari 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa jenis kelamin pasien berpengaruh secara signifikan terhadap mortalitas pasien dengan jenis kelamin laki laki berpeluang lebih besar terhadap terjadinya mortalitas pasca operasi. Faktor jenis kelamin laki laki berpengaruh sebesar 12,9 % terhadap kejadian mortalitas pasca operasi. Penelitian ini menunjukkan bahwa jenis kelamin laki laki berpengaruh terhadap tingkat mortalitas, tetapi tidak pada morbiditas maupun mobilitas pasca operasi. Hasil ini sesuai dengan penelitian oleh Fahyl et al (2014) yang menyebutkan bahwa insiden kasus patah tulang sendi panggul paling banyak terjadi pada wanita, namun outcome yang didapatkan lebih jelek pada sepertiga kasus fraktur sendi panggul pada laki laki bahkan ketika variabel usia, lokasi fraktur, jumlah prosedur dan penyakit kronis dikendalikan. Laki laki berisiko tinggi untuk mengalami komplikasi pasca operasi dan juga mortalitas. Penelitian yang lain oleh Hu, F et al (2012) menyebutkan bahwa jenis kelamin laki-laki merupakan prediktor mortalitas pada 12 penelitian yang mencakup total 15.582 pasien. 7.8 4.2.6 Pengaruh status ASA terhadap morbiditas, mortalitas dan mobilitas. Berdasarkan tabel nomer 4 menunjukkan bahwa pengaruh status ASA saat operasi terhadap morbiditas dan mortalitas menggunakan analisis regresi linear berganda didapatkan hasil signifikansi 0,003 (lebih kecil dari 0,05) hasil ini menunjukkan bahwa status ASA pasien berpengaruh secara signifikan terhadap morbiditas dan mortalitas pasien. Sedangkan pada tabel 6 menunjukkan bahwa pengaruh status ASA terhadap mobilitas didapatkan hasil signifikansi 0,000 (lebih kecil dari 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa status ASA pasien berpengaruh secara signifikan terhadap baik morbiditas, mortalitas maupun mobilitas pasien Nilai konstanta Beta terhadap morbiditas dan mortalitas adalah 0,294 dan terhadap mobilitas sebesar -4,300. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi status ASA pasien , maka kemungkinan terjadinya morbiditas maupun mortalitas pasca operasi akan semakin tinggi. Konstanta Beta yang negatif menunjukkan semakin tinggi status ASA pasien , maka memberikan kemungkinan status mobilisasi yang rendah pasca operasi (nilai CAS < 6). Hasil ini sesuai dengan penelitian oleh Egol, K. et al (2009) yang menyebutkan bahwa risiko mortalitas meningkat bersama dengan peningkatan nilai ASA. Penelitian pada 114 pasien usia lanjut menyimpulkan angka mortalitas pasien 9 kali lebih tinggi pada kelompok pasien ASA III-IV dibandingkan kelompok pasien ASA I-II. 6 4.2.7 Pengaruh faktor mobilisasi prefraktur terhadap morbiditas, mortalitas dan mobilitas. Berdasarkan tabel nomer 4 menunjukkan bahwa pengaruh faktor mobilisasi prefraktur terhadap morbiditas dan mortalitas menggunakan analisis regresi linear berganda didapatkan hasil signifikansi 0,300 (lebih besar dari 0,05). Pada tabel 6 menunjukkan bahwa pengaruh mobilitas prefraktur terhadap mobilitas pasca operasi didapatkan hasil signifikansi 0,122 (lebih besar dari 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa kemampuan mobilisasi prefraktur pasien tidak berpengaruh secara signifikan terhadap baik morbiditas, mortalitas maupun mobilitas pasien. Pada penelitian Kristensen et al (2012) dikatakan bahwa status mobilitas prefraktur merupakan salah satu faktor terkuat untuk menilai outcome fungsional pasca operasi, terutama pada saat pasien masih berada di rumah sakit. Sesuai dengan tabel 3 dan 5, pada penelitian ini status mobilisasi prefraktur merupakan faktor risiko untuk morbiditas dan mobilitas secara simultan, namun bukan merupakan faktor risiko independen untuk morbiditas, mortalitas dan mobilitas. Penilaian pada penelitian ini juga dilakukan di poliklinik dan hanya dilakukan pada waktu 1 bulan pasca operasi.11 4.2.8 Pengaruh faktor anemia terhadap morbiditas, mortalitas dan mobilitas. Berdasarkan tabel nomer 4 menunjukkan bahwa pengaruh faktor anemia terhadap morbiditas dan mortalitas menggunakan analisis regresi linear berganda didapatkan hasil signifikansi 0,006 (lebih kecil dari 0,05) hasil ini menunjukkan bahwa faktor anemia pasien berpengaruh secara signifikan terhadap morbiditas dan mortalitas pasien. Sedangkan pada tabel 6 menunjukkan bahwa pengaruh mobilitas prefraktur terhadap mobilitas pasca operasi didapatkan hasil signifikansi 0,456 (lebih besar dari 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa anemia berpengaruh secara signifikan pada morbiditas dan mortalitas, namun tidak berpengaruh terhadap mobilitas pasien pasca operasi. Hasil ini sesuai dengan penelitian oleh Hu. F. et al (2012) yang menyebutkan bahwa nilai hemoglobin yang rendah merupakan salah satu dari tujuh prediktor mortalitas pada penelitian level sedang dengan total sampel 1073 pasien. Faktor yang lain antaranya fraktur intertrochanter, Body Mass Index yang rendah, albumin serum yang rendah atau malnutrisi, kreatinin serum yang tinggi, penyakit ginjal kronis, dan penyakit paru kronis. Pada penelitian oleh Vochteloo, et al (2011) anemia saat pertama masuk rumah sakit dan anemia pasca operasi yang memerlukan transfusi darah adalah faktor risiko independen untuk outcome yang buruk pada pasien fraktur sendi panggul.7.18 Transfusi darah lebih dari 1000 ml sel darah merah meningkatkan risiko delirium pada hari pertama pasca operasi pada pasien usia tua yang menjalani operasi selain bedah jantung. Insidensi berkisar antara 9% sampai 87%, tergantung pada usia dan tipe operasi. Delirium pasca operasi mengakibatkan lama rawat inap bertambah dan outcome pasca operasi lebih jelek dan meningkatkan risiko mortalitas jangka pendek maupun jangka panjang. Transfusi darah adalah pemicu respon inflamasi yang ditunjukkan dengan peningkatan konsentrasi mediator inflamasi pada plasma darah dan meningkatkan respon inflamasi yang ditimbulkan dari efek pembedahan. Transfusi darah adalah faktor risiko independen untuk terjadinya delirium pasca operasi pada orang usia lanjut karena adanya efek pro inflamasi tersebut . Hasil penelitian terbaru menyebutkan bahwa menghindari transfusi darah perioperatif pada operasi yang diperkirakan terjadi kehilangan sedikit darah dan pada pasien pasca operasi dengan kadar hemoglobin rendah dapat mengurangi risiko delirium pasca operasi, walaupun tidak dapat dihilangkan kesimpulan penelitian yang lain bahwa konsentrasi hemoglobin < 8 g/dL juga dapat menimbulkan delirium pasca operasi.19 Penjelasan paling mungkin mengenai efek buruk transfusi darah adalah kemampuannya untyuk memicu respon inflamasi. Unit eritrosit yang disimpan mengandung sel aktif inflamasi dan mediator seperti TNF α dan IL-6, IL-8 serta IL-18. Hubungan antara delirium pasca operasi dan reaksi inflamasi cukup jelas, namun dengan mekanisme yang mana inflamasi memicu delirium belum banyak dipahami. Sitokin proinflamasi dapat meningkatkan risiko delirium melalui banyak mekanisme. Penglepasan sitokin sistemik di otak dapat melalui jalur saraf langsung, jalur menembus sawar darah otak dan melalui daerah circumventricular. Hasilnya adalah aktivasi mikroglia dan penglepasan sitokin yang lain pada jaringan otak, menyebabkan kerusakan langsung pada fungsi saraf. Sitokin juga merupakan penyebab defisit kolinergik pusat yang merupakan penyebab utama delirium.19 4.2.9 Pengaruh waktu dari trauma sampai pelaksanaan operasi terhadap morbiditas, mortalitas dan mobilitas. Berdasarkan tabel nomer tiga 4 menunjukkan bahwa pengaruh waktu dari trauma sampai pelaksanaan operasi terhadap morbiditas dan mortalitas menggunakan analisis regresi linear berganda didapatkan hasil signifikansi 0,795 (lebih besar dari 0,05) hasil ini menunjukkan bahwa waktu pelaksanaan operasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap morbiditas dan mortalitas pasien. Sedangkan pada tabel 6 menunjukkan bahwa pengaruh waktu dari trauma sampai pelaksanaan operasi terhadap mobilitas pasca operasi didapatkan hasil signifikansi 0,027 (lebih kecil dari 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa pengaruh waktu dari trauma sampai pelaksanaan operasi berpengaruh secara signifikan pada mobilitas pasien. Nilai konstanta Beta -0,185 menunjukkan bahwa semakin lama penundaan operasi dilakukan, mobilisasi pasca operasi akan semakin buruk (nilai Cummulated Ambulation Score <6) Hubungan antara penundaan operasi dan tingkat mortalitas masih merupakan suatu kontroversi. Penelitian oleh Dolk et al menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan pada tingkat mortalitas antara kelompok pasien yang dilakukan operasi segera dan yang dilakukan lebih dari 48 jam setelah masuk rumah sakit. Orosz et al membandingkan tingkat mortalitas dan komplikasi pada pasien yang dilakukan operasi < 24 jam dan setelah 24 jam. Tidak ditemukan perbedaan pada tingkat mortalitas atau outcome fungsional, tetapi pasien yang dilakukan operasi lebih awal merasakan nyeri lebih sedikit dan angka komplikasi yang lebih rendah.2 Pada penelitian prospektif observasional pada 2660 pasien dengan fraktur sendi panggul, Moran et al menyebutkan tingkat mortalitas pasien pada 30 hari adalah 9%, 19% pada 90 hari dan 30% pada 1 tahun. Pasien dengan penyakit komorbid yang memerlukan penundaan operasi memiliki risiko kematian 2,5 kali dalam 30 hari dibanding pasien yang dinyatakan sehat untuk dilakukan operasi segera. Mortalitas tidak meningkat pada pasien dengan kondisi sehat bila operasi ditunda sampai batasan 4 hari. Bagaimanapun, penundaan operasi lebih dari 4 hari meningkatkan risiko mortalitas secara signifikan pada 90 hari dan 1 tahun pasca trauma. 6 Pada penelitian ini didapatkan penundaan operasi berpengaruh secara signifikan pada mobilitas pasien pasca operasi, tapi tidak pada tingkat mortalitasnya. Hal ini mungkin disebabkan pada penelitian ini penundaan operasi sebagian besar disebabkan karena keterlambatan penanganan, dan bukan karena perbaikan kondisi umum, sehingga sebagian besar pasien yang dilakukan operasi sebenarnya adalah sampel dengan kondisi relatif sehat. Mobilitas yang buruk pasca operasi disebabkan karena sebagian besar pasien sudah lama dalam kondisi tirah baring ataupun posisi duduk dengan bantuan orang lain, sehingga pasien memerlukan latihan mobilisasi yang lebih lama untuk mencapai mobilisasi mandiri. 4.2.10 Pengaruh faktor tingkat ekonomi pasien terhadap morbiditas, mortalitas dan mobilitas. Berdasarkan tabel nomer tiga 4 menunjukkan bahwa pengaruh faktor tingkat ekonomi terhadap morbiditas dan mortalitas menggunakan analisis regresi linear berganda didapatkan hasil signifikansi 0,368 (lebih besar dari 0,05). Pada tabel 6 menunjukkan bahwa pengaruh tingkat ekonomi terhadap mobilitas pasca operasi didapatkan hasil signifikansi 0,157 (lebih besar dari 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa faktor ekonomi pasien tidak berpengaruh secara signifikan terhadap baik morbiditas, mortalitas maupun mobilitas pasien Dalam penelitian ini didapatkan bahwa tingkat ekonomi tidak berhubungan dengan morbiditas, mortalitas dan mobilitas pasca operasi, kemungkinan karena pasien dengan tingkat ekonomi keluarga yang tidak mampu mendapatkan fasilitas BPJS dan Jamkesmas dimana semua biaya pengobatan dan rehabilitasi ditanggung oleh negara. 4.2.11 Pengaruh faktor jumlah komorbid pasien terhadap morbiditas, mortalitas dan mobilitas. Berdasarkan tabel nomer 4 menunjukkan bahwa pengaruh faktor jumlah komorbid terhadap morbiditas dan mortalitas menggunakan analisis regresi linear berganda didapatkan hasil signifikansi 0,393 (lebih besar dari 0,05). Pada tabel 6 menunjukkan bahwa pengaruh jumlah komorbid terhadap mobilitas pasca operasi didapatkan hasil signifikansi 0,509 (lebih besar dari 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa faktor jumlah komorbid pasien tidak berpengaruh secara signifikan terhadap baik morbiditas, mortalitas maupun mobilitas pasien . Penelitian oleh Hu F., et al (2012) menyebutkan bahwa penyakit komorbid multipel merupakan salah satu prediktor kuat terjadinya mortalitas yang didukung 8 penelitian berskala besar mencakup 5333 pasien. Pada penelitian ini penyakit komorbid multipel merupakan prediktor morbiditas, mortalitas dan mobilitas secara simultan dengan faktor risiko yang lain, tetapi bukan merupakan faktor risiko independen.7