laporan kemajuan penelitian

advertisement
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Indonesia memiliki keunggulan komparatif potensi tumbuhan sagu terluas di
dunia dibandingkan dengan negara-negara penghasil sagu yang lain, seperti Papua
New Guinea (PNG), Malaysia dan Thailand. Flach (1983) dan Budianto (2003)
menyebutkan bahwa luas areal hutan sagu di dunia sekitar 2 juta hektar, yang
tersebar di Indonesia lebih kurang 1,1 juta hektar atau sekitar 51,3 %, bahkan
Suryana (2007) memperkirakan luasan yang lebih besar sekitar 60 % dari luas
areal sagu dunia. Kebanyakan potensi luasan tumbuhan sagu nasional terdapat di
wilayah Indonesia Timur terutama Papua dan Maluku mencapai 96 %, sisanya
tersebar di daerah lain seperti Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Tenggara, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Jambi, dan Riau. Walaupun
potensi sagu nasional sangat besar, namun pemanfaatannya belum optimal. Hal
ini ditandai dengan banyak tumbuhan sagu yang layak panen tetapi tidak dipanen
dan akhirnya rusak. Pemanfaatan potensi sagu masih rendah, diperkirakan hanya
sekitar 15-20 %.
Sagu (Metroxylon spp.) sebagai salah satu tumbuhan palem yang tumbuh
di daerah tropik basah, memiliki multifungsi dalam kehidupan masyarakat.
Bagian empulur dari batang sagu dapat menghasilkan atau diambil pati sebagai
bahan pangan utama bagi sebagian masyarakat Papua dan Maluku serta beberapa
daerah lain di Indonesia Bagian Timur. Pemanfaatan tepung sagu atau aci sagu
sebagai sumber karbohidrat di beberapa daerah terutama di pedesaan Papua dan
Maluku telah berlangsung lama. Namun sekitar 15-20 tahun terakhir terjadi
perubahan pola konsumsi yang beralih ke beras. Perubahan ini berimplikasi pada
pemanfaatan tepung sagu sebagai bahan pangan yang semakin berkurang bahkan
terabaikan, pada sisi lain kebutuhan bahan pangan beras cenderung meningkat.
Peran pati sagu tidak hanya dapat digunakan sebagai bahan pangan, dengan
perkembangan teknologi ternyata pati sagu dapat dijadikan bahan baku berbagai
jenis industri makanan, industri kayu lapis, berpeluang sebagai salah satu sumber
bahan baku bio-etanol. Di PNG, telah dilakukan serangkaian penelitian tentang
studi kelayakan produksi bioetanol dari pati sagu. Hasil studi menunjukkan bahwa
2
produksi bioetanol dari pati sagu adalah layak, diperkirakan dari pengolahan satu
kilogram pati kering menghasilkan bioetanol sebanyak 0,56 liter (Flach 1983).
Ampas sagu kering yang merupakan limbah dalam proses ekstraksi pati sagu
dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan pupuk organik (Bintoro 2000).
Dalam penanganan tumbuhan sagu dijumpai data luas areal dan potensi
produksi yang sangat beragam antar penulis dan lembaga yang terkait dengan
komoditas tersebut (Suryana 2007). Sebagai contoh di Maluku berdasarkan
laporan Darmoyuwono (1984) dan Universitas Pattimura (1992 dalam Mulyanto
dan Suwardi 2000) disebutkan bahwa luas areal tumbuhan sagu di Maluku
masing-masing sekitar 30.100
dan 47.600 hektar.
Sedangkan menurut
Louhenapessy (1993) disebutkan bahwa luas areal sagu di Maluku sekitar 26.410
hektar.
Luas potensi sagu yang variatif ini dapat dikarenakan metode penetapan
yang berbeda, populasi sagu yang sifatnya dinamis sehingga secara temporal bisa
bertambah atau sebaliknya mengalami pengurangan karena kondisi lingkungan
yang tidak mendukung seperti kekeringan atau terjadi kebakaran lahan karena
fenomena alam atau sengaja dibakar.
Selain itu dapat dikarenakan adanya
aktifitas masyarakat yang melakukan pengembangan sagu melalui kegiatan
penanaman
atau
bahkan
sebaliknya
melakukan
perubahan
peruntukkan
penggunaan lahan menjadi non-sagu.
Data potensi yang tersebar di Maluku, belum ditunjukkan secara pasti
sebarannya pada setiap wilayah, padahal dapat dilakukan dengan menggunakan
data citra satelit. Disisi lain penentuan distribusi spasial luas areal tumbuhan sagu
dengan menggunakan citra satelit masih sangat terbatas. Oleh karena itu untuk
mendapatkan data distribusi sagu yang akurat perlu dilakukan dengan
memanfaatkan data citra satelit sehingga dapat dipetakan penyebaran spasialnya.
Salah satu citra satelit yang tersedia dan memiliki resolusi cukup tinggi adalah
citra Landsat-5 TM multispektral dengan resolusi spasial 30 m x 30 m. Dengan
menggunakan citra satelit ini dapat dilakukan pemetaan distribusi spasial
tumbuhan sagu.
Secara ekologi tumbuhan sagu tumbuh baik pada daerah rawa-rawa air tawar
atau daerah rawa bergambut, daerah sepanjang aliran sungai, sekitar sumber air,
3
atau hutan-hutan rawa. Suryana (2007) menyebutkan bahwa tumbuhan sagu
mempunyai daya adaptasi yang tinggi pada daerah rawa-rawa dan lahan marginal
yang tidak memungkinkan pertumbuhan optimal bagi tanaman pangan dan
tanaman perkebunan, sehingga sagu dapat berperan sebagai tanaman konservasi.
Tumbuhan sagu yang tumbuh disekitar mata air dapat berperan dalam melindungi
dan melestarikan kelangsungan sumber mata air.
Tumbuhan sagu memiliki kisaran kondisi pertumbuhan yang relatif luas,
mulai dari lahan tergenang sampai dengan lahan kering, yang penting kandungan
lengas tanah terjamin cukup tinggi (Notohadiprawiro dan Louhenapessy 1993).
Pada kondisi habitat tersebut tumbuh dan berkembang berbagai jenis sagu.
Louhenapessy (2006) mengemukakan bahwa di kepulauan Provinsi Maluku
terdapat lima spesies sagu yaitu : 1) Metroxylon rumphii Mart. (sagu tuni), 2) M.
sagu Rottb. (molat), 3) M. sylvestre Mart. (ihur), 4) M. longispinum
Mart.
(makanaru), dan 5) M. microcanthum Mart. (duri rotan). Hal ini memberikan
gambaran bahwa terdapat keanekaragaman (biodiversitas) spesies
sagu di
Provinsi Maluku yang berinteraksi dengan kondisi habitatnya.
1.2. Perumusan masalah
Kisaran habitat tumbuh sagu cukup lebar, mulai dari lahan tergenang
sampai dengan lahan kering, dari dataran rendah di pinggir pantai sampai dataran
tinggi. Pada kisaran tersebut tumbuh berbagai spesies sagu. Secara umum semua
spesies memiliki kesamaan habitat tumbuh, tetapi dapat pula setiap spesies,
menghendaki habitat yang spesifik. Oleh karena itu diperlukan penelitian untuk
memahami autekologi tumbuhan sagu yang menyangkut pola interaksi antara
tumbuhan sagu dengan parameter kualitas lingkungan, penilaian kondisi populasi
yang meliputi struktur populasi, kerapatan, coverage, asosiasi, pertumbuhan dan
perkembangbiakan, penentuan preferensi ekologi seperti karakteristik habitat, tipe
habitat, interaksi spesies dengan tipe habitat, dan mekanisme adaptasi sagu.
Selain itu yang penting untuk dipelajari juga adalah pengaruh kualitas tanah, air,
dan iklim terhadap pertumbuhan dan produksi sagu sebagai wujud interaksi
tumbuhan sagu dengan parameter lingkungannya.
4
Habitat tumbuh sagu dicirikan oleh sifat tanah, air, iklim mikro, dan
spesies vegetasi dalam habitat itu.
Ciri spesies dan genetik
masing-masing
tumbuhan sagu ditunjukkan oleh sifat genetik setiap spesies. Oleh karena itu
perlu dilakukan analisis genetik untuk dapat membedakan
secara tegas
biodiversitas pada tingkat spesies dan genetik terhadap tumbuhan sagu yang
tumbuh dan berkembang dalam wilayah P. Seram Provinsi Maluku. Dalam kaitan
tersebut, maka permasalahan yang
menjadi kajian penelitian adalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana pola distribusi spasial tumbuhan sagu dalam wilayah P. Seram,
Maluku?
2. Bagaimana sifat populasi berbagai spesies sagu di P. Seram?
3. Bagaimana karakteristik habitat tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku?
4. Apakah semua spesies sagu dapat tumbuh dan berkembang pada berbagai tipe
habitat, ataukah setiap spesies lebih mendominasi tipe habitat tertentu?
5. Bagaimana interaksi antara tumbuhan sagu dengan tipe habitatnya, dan
bagaimana
pengaruh faktor lingkungan terhadap pertumbuhan dan
produksinya?
1.3. Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1.
Melakukan analisis untuk mengetahui penyebaran spasial tumbuhan sagu
dalam wilayah P. Seram Provinsi Maluku.
2.
Mengungkapkan struktur populasi, melakukan analisis vegetasi, dan asosiasi
spesies dalam komunitas sagu alami di P. Seram.
3.
Mengungkapkan karakteristik habitat, serta adaptasi tumbuhan sagu pada
berbagai kondisi habitat.
4.
Melakukan analisis untuk menjelaskan interaksi faktor lingkungan dengan
pertumbuhan dan produksi pati sagu.
5. Melakukan klarifikasi spesies sagu yang tumbuh dan berkembang di P. Seram,
Maluku.
5
1.4. Manfaat penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dihasilkan suatu peta penyebaran
spasial dan luas potensi areal sagu di P. Seram sehingga dapat dijadikan sebagai
informasi penting dalam upaya pemanfaatan dan pengembangan sagu dimasa
yang akan datang. Dalam kaitan dengan eksploitasi dan pengembangan sagu,
selain dapat memanfaatkan potensi sagu yang tumbuh secara alami, maka
informasi ini dapat dijadikan sebagai acuan di dalam usaha pengembangan sagu
melalui kegiatan budidaya. Dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan, hasil
penelitian ini dapat memberikan informasi secara tegas terhadap konsistensi
biodiversitas spesies sagu.
1.5. Kerangka pemikiran
Dalam beberapa tahun terakhir, kajian tentang tumbuhan sagu cukup
banyak dilakukan. Kebanyakan kajian yang dilakukan berkaitan dengan aspek
budidaya (Jong 2005, Novarianto 2003, Bintoro 2008, dan Rostiwati et al. 2008),
identifikasi jenis berdasarkan penampakan fenotipe (Miftahorrachman dan
Novarianto 2003, Barahima 2005), dan fungsi atau pemanfaatan pati untuk
berbagai keperluan (Gumbira Sa’id 1993, Barlina dan Karouw 2003, Ishizaki
2007).
Kajian
mengenai
aspek
ekologi
sagu
masih
sangat
terbatas.
Notohadiprawiro dan Louhenapessy (1993) melakukan kajian tentang persyaratan
lahan bagi tumbuhan sagu. Dalam uraiannya substansi ekologi tumbuhan sagu
belum tersentuh secara menyeluruh.
Pada sisi lain hasil penelitian tentang
distribusi spasial tumbuhan sagu belum pernah dilakukan oleh peneliti
sebelumnya. Dalam kaitan itu, maka dapat dilakukan koreksi data spasial sagu
menggunakan teknologi yang lebih maju dan memiliki akurasi tinggi yakni
dengan memanfaatkan data citra satelit melalui Sistem Informasi Geografis (GIS).
Melalui proses analisis dapat menghasilkan informasi baru berupa data spasial
dalam bentuk patch (cluster) tumbuhan sagu.
Secara umum sagu tumbuh pada habitat yang berair atau tergenang air,
pada pinggir-pinggir sungai, sekitar sumber-sumber air, tetapi dapat pula setiap
spesies lebih menyukai kondisi habitat tertentu, dapat berupa lahan kering, lahan
6
tergenang secara temporer, atau tergenang permanen. Louhenapessy (1993) telah
melakukan studi tentang potensi produksi tumbuhan sagu pada berbagai jenis
tanah. Kajian ini masih bersifat makro, artinya setiap spesies sagu dipersepsikan
tumbuh pada berbagai tipe habitat, padahal perbedaan spesies senantiasa
menghendaki kondisi habitat tumbuh yang lebih spesifik. Dalam kaitan itu, maka
perlu dilakukan suatu studi autekologi, sehingga dapat diungkapkan secara
spesifik preferensi ekologi masing-masing spesies sagu seperti karakterisitk
habitat, struktur populasi, kepadatan, coverage, pertumbuhan, perkembangbiakan,
mekanisme adaptasi, dan sifat-sifat lahan seperti tanah, air, dan iklim mikro.
Dalam melakukan kajian tentang habitat tumbuhan sagu, maka diperlukan
informasi tentang berbagai parameter lingkungan. Parameter lingkungan yang
dimaksud meliputi faktor iklim, tanah, air, dan vegetasi lain yang tumbuh dalam
komunitas sagu. Faktor iklim yang berperanan dalam pertumbuhan dan
perkembangan sagu berupa curah hujan, temperatur, kelembaban, dan sinaran
surya. Faktor tanah meliputi sifat fisik, kimia, dan biologi, sedangkan faktor air
yaitu berupa pH, salinitas, unsur hara terlarut, dan sebagainya. Secara alami
tumbuhan sagu dalam habitatnya, tumbuh bersama-sama atau berasosiasi dengan
jenis vegetasi yang lain. Oleh karena itu, perlu dipelajari interaksi antara berbagai
faktor pertumbuhan dengan tumbuhan sagu itu sendiri
Beberapa ahli, antara lain Louhenapessy (2006), Bintoro (2008), dan
Rostiwati et al. (2008) menyebutkan bahwa di Provinsi Maluku tumbuh dan
berkembang lima spesies sagu. Sedangkan berdasarkan klasifikasi sagu yang
dilakukan oleh Beccari (1918 dalam Flach 1997) di Maluku hanya terdapat dua
spesies. Oleh karena itu diperlukan suatu studi agar dapat dilakukan klarifikasi
mengenai jumlah spesies sagu. Sketsa kerangka pemikiran penelitian tersaji dalam
Gambar 1.
1.6. Hipotesis
Dalam penelitian ini dikemukakan hipotesis sebagai berikut :
1. Penyebaran spasial tumbuhan sagu di P. Seram berupa klaster-klaster sagu,
banyak terdapat pada lahan datar di dataran rendah yang tergenang secara
temporer atau permanen.
7
2. Terdapat asosiasi di antara spesies vegetasi dalam komunitas sagu alami di P.
Seram.
3. Setiap spesies sagu memiliki daya adaptasi yang berbeda pada setiap tipe
habitat.
4. Dalam pertumbuhan dan perkembangan sagu di dalam habitatnya terdapat
interaksi antara sagu dengan parameter lingkungan.
Studi Distribusi Spasial
Data citra
Landsat-5TM
Peta distribusi
sagu
Studi
Autekologi
Sagu
Habitat
Struktur populasi
Tipe
Adaptasi
Pembentukan rumpun
TTG
T2AT
T2AP
TPN
Spesies
Karakteristik
Vegetasi
Kelimpahan
Iklim
Asosiasi
Genetik
Studi Biodiversitas
Tanah
Air
Komunitas
Spesies
Keterangan : TTG = lahan kering; T2AT = tergenang temporer air tawar; T2AP = tergenang
temporer air payau; TPN = tergenang permanen
Gambar 1. Sketsa kerangka pemikiran
8
1.7. Kebaruan (Novelty)
Berdasarkan hasil penelitian, terdapat beberapa aspek sebagai kebaruan
(Novelty) dari penelitian ini yaitu :
1. Membuat peta distribusi spasial tumbuhan sagu di P. Seram Maluku,
menggunakan citra Landsat-5TM.
2. Mengungkapkan pola pertumbuhan sagu dalam komunitas sagu alami yang
mengikuti pola pertumbuhan muda.
3. Mengungkapkan mekanisme adaptasi sagu pada kondisi tergenang (tereduksi)
melalui perubahan arah pertumbuhan akar sebagai gerakan dalam mencari
oksigen (oxytropisme).
4. Mengungkapkan mekanisme pembentukan rumpun sagu dalam komunitas sagu
alami.
5. Ditemukan terdapat spesies sagu yang memiliki daya adaptasi luas (eury
tolerance), sedang (meso tolerance), dan sempit (steno tolerance).
6. Menggunakan metode analisis regresi komponen utama untuk menjelaskan
pengaruh faktor abiotis terhadap populasi rumpun dan produksi pati sagu.
7. Melakukan klarifikasi jumlah spesies sagu yang terdapat di P. Seram Maluku,
menjadi dua spesies yaitu Metroxylon rumphii Mart. dan M. sagu Rottb.
Download