1 MAKALAH KOLOKIUM Nama Pemrasaran/NIM : Aulia Rizki Andini

advertisement
1
MAKALAH KOLOKIUM
Nama Pemrasaran/NIM
Departemen
Pembahas
Dosen Pembimbing/NIP
Judul Rencana Penelitian
:
:
:
:
:
Tanggal dan Waktu
:
1.
Aulia Rizki Andini / I34100073
Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Saskia Kencana Murti / I34100055
Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA / 19521225 1986 1 002
Perubahan Lanskap; Struktur Penguasaan Lahan dan
Dampaknya Terhadap Kualitas Hidup Rumah Tangga
Petani
Selasa, 11 Maret 2013, 10.00-11.00 WIB
Pendahuluan
1.1
Latar Belakang
Seiring dengan berkembangnya waktu, kini alam mulai mengalami perubahan. Perubahan
alam atau lanskap merupakan fenomena yang tak terelakkan, baik disebabkan oleh faktor alam
maupun campur tangan manusia. Menurut Nasution (2003) perubahan infrastruktur lanskap yang
disebabkan oleh manusia umumnya dipengaruhi oleh kekuatan politik, ekonomi, sosial, serta
teknologi. Menurut Antrop (2005) perubahan infrastruktur lanskap yang disebabkan oleh alam tidak
lain dipengaruhi oleh karakteristik dari alam itu sendiri, dimana alam itu selalu berubah. Salah satu
fenomena perubahan lanskap yang terjadi di Indonesia yaitu perubahan lanskap di Laguna Segara
Anakan yang memunculkan sumber daya alam baru yaitu tanah timbul yang kian hari kian meluas.
Segara Anakan adalah laguna yang menjadi muara beberapa sungai yang mengalir di wilayah
Jawa Barat dan Jawa Tengah. Akibat sedimentasi yang terus-menerus, terjadi perubahan bentang
alam di Segara Anakan. Wilayah yang tadinya lautan, perlahan berubah menjadi daratan. Tanah
timbul pun terus bermunculan, membentang, dan sebagian di antaranya menempel di sepanjang
Pulau Nusakambangan yang selama ini lebih dikenal dengan “pulau penjara”. Berdasarkan hasil
penelitian Prayitno (2011) diperoleh data perubahan luas Laguna Segara Anakan sebagai berikut:
Tabel 1. Perubahan Luas Laguna Segara Anakan, 1924-2011
Tahun / Years
Luas Laguna/
Tahun / Years
Area (ha)
1924
6,675
1984
1940
6,445
1992
1946
6,049
1994
1961
5,421
2000
1978
4,737
2003
1980
3,852
2005
1982
3,636
2008
1983
3,206
2011
Luas Laguna/
Area (ha)
2,906
1,800
1,575
1,200
600
834
750
637
Sumber: ICLARM, PKSPL-IPB dan SACDP dalam Prayitno (2011) dan KPKSA (2009)
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) 16 Tahun 2004 Tentang Penggunaan Tanah, pada
penjelasan pasal 12, memberikan definisi tanah timbul sebagai daratan yang terbentuk secara
alami dan buatan karena proses sedimentasi sungai, danau, pantai dan atau pulau timbul, serta
penguasaan tanahnya dikuasai negara. Keberadaan tanah timbul sebagai sumber daya alam yang
baru memunculkan aktor-aktor yang akan memanfaatkan dan menguasai tanah timbul. Aktor-aktor
baru yang akan menguasai tanah yaitu seperti masyarakat lokal, masyarakat pendatang,
pemerintah, dan pihak lain yang memiliki kepentingan akan tanah. Dalam hal ini, tanah timbul
menjadi bagian dari sumber daya agraria.
Indonesia memiliki beragam sumber daya agraria yang sangat melimpah dan dimanfaatkan
untuk keberlangsungan hidup masyarakat. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 tahun
1960 mendefinisikan agraria sebagai seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya. Bumi yang disebutkan meliputi permukaan bumi, bagian tubuh
2
bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air. Terkait dengan agraria, tanah timbul yang
merupakan sumber daya alam akibat perubahan lanskap akan menumbuhkan struktur agraria
yang baru. Tanah timbul dapat dikatakan sebagai obyek agraria apabila dimanfaatkan oleh
manusia yang merupakan bagian dari subyek agraria.
Hubungan antara obyek agraria dengan subyek agraria akan terus berlangsung mengikuti
perubahan zaman. Seiring berjalannya waktu, sumber-sumber agraria yang dimanfaatkan tentu
akan mengalami perubahan, baik perubahan ke arah perbaikan maupun ke arah perusakan.
Perubahan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat mengubah struktur agraria.
Menurut Zuber (2007) dalam Adly (2009) mengemukakan bahwa terdapat empat faktor yang dapat
mempengaruhi perubahan struktur agraria, diantaranya: (1) permintaan lahan dari kegiatan nonpertanian seperti pembangunan real estate, pabrik, areal perdagangan dan pelayanan lainnya
yang membutuhkan areal tanah yang luas; (2) faktor sosial budaya, seperti adanya aturan warisan;
(3) kerusakan lingkungan seperti adanya musim kemarau panjang yang mengakibatkan
kekeringan terutama pada usaha pertanian, penggunaan pestisida maupun pupuk yang dapat
mematikan predator dan kerusakan lahan pertanian; (4) kelemahan hukum yang mengatur bidang
pertanian, seperti harga pupuk yang tinggi, harga gabah yang rendah dan masalah pengaturan
harga beras yang sampai sekarang masih sangat pelik.
Dewasa ini banyak terjadi perubahan struktur agraria yang menyangkut tanah sebagai
sumber agraria. Tidak dapat dipungkiri bahwa keterkaitan masyarakat terhadap tanah masih
sangat tinggi. Tidak hanya sebagai alat untuk mencari penghidupan dan mata pencaharian, namun
tanah juga berhubungan erat dengan identitas diri “martabat” atau “dignity” seseorang di dalam
masyarakat dan menaikkan derajat posisi tawar mereka di dalam masyarakat. Aspek ekonomi,
sosio, politik dan kultural dari keterkaitan seseorang dengan tanah ini menjadi latar belakang
banyak kajian penting tentang bagaimana akses terhadap tanah dapat meningkatkan taraf
kehidupan seseorang.
Penelitian ini akan dilakukan di Desa Klaces, Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Jawa
Tengah. Desa ini merupakan salah satu desa di sekitar perairan Segara Anakan, yang terbentuk
dari luasan tanah timbul dari perubahan lanskap Laguna Segara Anakan. Perubahan lanskap yang
terjadi menyebabkan perairan Segara Anakan semakin sempit dan tanah timbul semakin meluas.
Hal ini terjadi disebabkan oleh beberapa faktor baik bersifat alamiah maupun non alamiah. Seiring
dengan semakin menyempitnya Segara Anakan, masyarakat Kampung Laut pun harus kehilangan
sumber nafkahnya. Sebagian dari mereka kemudian mulai beralih profesi, menjadi petani dengan
memanfaatkan tanah timbul sebagai lahan garapannya. Bagi mereka, beralih profesi dipandang
sebagai cara yang paling logis dan paling mungkin untuk dilakukan agar mereka bisa melanjutkan
kelangsungan hidupnya. Keberadaan masyarakat di tanah timbul itu pun bukannya tanpa
sengketa. Ada beberapa pihak yang berkepentingan dalam konteks tanah timbul itu. Selain
masyarakat, paling tidak di sana ada LP Nusakambangan, Perhutani, dan Badan Pengelola
Konservasi Segara Anakan (BPKSA) yang lebih mempunyai perhatian pada hutan mangrove.
Permasalahan baru pun muncul terkait lemahnya kepastian kepemilikan dan distribusi
tanah di tengah kondisi masyarakat yang tergolong miskin. Bappenas (2005) menjelaskan bahwa
masyarakat miskin menghadapi masalah ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah,
serta ketidakpastian dalam penguasaan dan pemilikan lahan pertanian. Kehidupan rumah tangga
petani sangat dipengaruhi oleh aksesnya terhadap tanah dan kemampuan mobilitas anggota
keluarganya untuk bekerja di atas tanah pertanian. Oleh sebab itu, meningkatnya jumlah petani
gurem dan petani tunakisma mencerminkan kemiskinan di pedesaan. Masalah tersebut bertambah
buruk dengan struktur penguasaan lahan yang timpang karena sebagian besar petani gurem tidak
secara formal menguasai lahan sebagai hak milik, dan kalaupun mereka memiliki tanah,
perlindungan terhadap hak mereka atas tanah tersebut tidak cukup kuat karena tanah tersebut
seringkali tidak bersertifikat. Tingkat pendapatan rumah tangga petani ditentukan oleh luas tanah
pertanian yang secara nyata dikuasai. Terbatasnya akses terhadap tanah merupakan salah satu
faktor penyebab kemiskinan dalam kaitan terbatasnya aset dan sumber daya produktif yang dapat
diakses masyarakat miskin. Terbatasnya akses masyarakat miskin terhadap tanah tergambar dari
timpangnya distribusi penguasaan dan pemilikan tanah oleh rumah tangga petani, dimana
mayoritas rumah tangga petani masing-masing hanya memiliki tanah kurang dari satu hektar dan
3
adanya kecenderungan semakin kecilnya rata-rata luas penguasaan tanah per rumah tangga
pertanian.
Ketimpangan penguasaan tanah dari dasawarsa di mana Sensus Pertanian dilaksanakan
memperlihatkan ketimpangan distribusi penguasaan tanah antar kelompok petani di pedesaan
semakin tinggi. Ketimpangan penguasaan tanah ini jelas merupakan permasalahan yang krusial,
apalagi diprediksikan jumlahnya akan terus meningkat jika tidak ada upaya dari pemerintah untuk
menanganinya. Penguasaan tanah ini tentu saja akan berdampak pada pendapatan yang akan
dihasilkan dari pemanfaatan tanah. Pendapatan yang didapatkan digunakan untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari keluarga petani. Dari penjabaran ini dapat dilihat bahwa penguasaan tanah
memiliki dampak terhadap kualitas hidup rumah tangga petani yang menguasai tanah. Oleh
karena itu, penelitian ini akan memaparkan perubahan lanskap yang berimplikasi pada perubahan
struktur agraria, struktur penguasaan lahan dan dampaknya pada kualitas rumah tangga petani
yang menguasai lahan timbul.
1.2
Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang tersebut maka rumusan penelitian ini yaitu:
1. Bagaimana perubahan bentang alam yang berimplikasi pada perubahan struktur agraria di
Desa Klaces, Segara Anakan?
2. Apa corak usaha tani terhadap kualitas hidup rumah tangga petani Desa Klaces?
3. Apa dampak struktur penguasaan tanah timbul yang diterapkan pada masyarakat terhadap
kualitas hidup rumah tangga petani Desa Klaces?
1.3
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji masalah yang telah dipaparkan yaitu menelaah
perubahan lanskap; struktur penguasaan lahan dan dampaknya terhadap kualitas rumah tangga
petani di Desa Klaces, Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Kemudian, tujuan
khususnya ialah menjawab pertanyaan permasalahan, yakni:
1. Menganalisis perubahan bentang alam yang berimplikasi pada perubahan struktur agraria di
Desa Klaces, Segara Anakan.
2. Menganalisis corak usaha tani terhadap kualitas hidup rumah tangga petani di Desa Klaces.
3. Menganalisis dampak struktur penguasaan lahan timbul terhadap kualitas hidup rumah
tangga petani.
1.4
Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi berbagai pihak, diantara lain ialah:
1. Akademisi
Hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu sumber informasi mengenai perubahan
lanskap dan faktor-faktor penyebabnya serta menjadi referensi untuk penelitian-penelitian
selanjutnya. Selain itu diharapkan pula dapat menambah khasanah dalam kajian ilmu
pengetahuan agraria.
2. Pemerintah
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan bahan pertimbangan bagi pemerintah
dalam menyusun dan mengambil kebijakan mengenai peraturan penguasaan dan
pemanfaatan lahan, serta membuat solusi apabila terjadi ketimpangan dan konflik terhadap
lahan yang terjadi antara masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan pemerintah
maupun masyarakat dengan lembaga atau penguasa yang berkepentingan.
3. Masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan mengenai faktor
penyebab perubahan lanskap yang terjadi, struktur penguasaan tanah timbul serta
dampaknya terhadap kualitas hidup rumah tangga petani di Desa Klaces. Selain itu
diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi referensi bagi desa-desa lain yang mengalami
hal serupa mengenai keberadaan tanah timbul serta penguasaan dan pemanfaatannya.
4
2.
Pendekatan Teoritis
2.1
Tinjauan Pustaka
Perubahan Lanskap
Perubahan bentang alam atau perubahan lanskap yang terjadi di permukaan bumi
membuat keadaan bumi kian hari kian berubah. Perubahan ini dipengaruhi oleh faktor-faktor
penyebab. Menurut Nasution (2003) perubahan infrastruktur lanskap yang disebabkan oleh
manusia umumnya dipengaruhi oleh kekuatan politik, ekonomi, sosial, serta teknologi. Manusia
sebagai aktor yang memiliki kemampuan untuk memanfaatkan sumber daya alam berpengaruh
terhadap keberadaan sumber daya alam ini. Berbagai cara yang dilakukan manusia terhadap alam
memiliki resiko tersendiri. Selain disebabkan oleh manusia, perubahan lanskap pun dapat terjadi
secara alamiah. Menurut Antrop (2005) perubahan infrastuktur lanskap yang disebabkan oleh
alam tidak lain dipengaruhi oleh karakteristik dari alam itu sendiri, dimana alam itu selalu berubah.
Berbagai kasus perubahan lanskap yang terjadi telah menghasilkan sumber daya alam
baru yang kelak dapat dimanfaatkan oleh manusia. Beberapa ahli menyebutkan bahwa sumber
daya alam adalah keadaan lingkungan alam (natural environment) yang mempunyai nilai untuk
memenuhi kebutuhan manusia. Adapula yang mengartikan sumber daya alam sebagai keadaan
lingkungan dan bahan-bahan mentah yang digunakan manusia untuk memenuhi kebutuhannya
dan memperbaiki kesejahteraannya. Ramadhan (2012) menjelaskan bahwa telah terjadi
perubahan lingkungan di Segara Anakan yang memunculkan tanah timbul sebagai akibat dari
proses laju sedimentasi yang sangat tinggi. Proses sedimentasi ini terjadi karena beberapa hal
salah satunya karena penggunaan lahan yang tidak berkesinambungan (unsustainabe land use)
yang terjadi pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Citanduy. Lahan timbul ini dimanfaatkan oleh
masyarakat sekitar untuk pemukiman, lahan pertanian, dan lahan tambak perikanan. Hal ini
dilakukan oleh mereka untuk menunjang kehidupannya di tengah perubahan lanskap yang terjadi
di Segara Anakan. Penyusutan perairan Segara Anakan memberikan dampak bagi kehidupan
mereka terutama pada peralihan mata pencaharian.
Tanah Timbul
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) 16 tahun 2004 Tentang Penggunaan Tanah pada
penjelasan pasal 12, memberikan definisi tanah timbul sebagai daratan yang terbentuk secara
alami dan buatan karena proses sedimentasi sungai, danau, pantai dan atau pulau timbul, serta
penguasaan tanahnya dikuasai negara. Menurut Perda Kabupaten Indramayu No. 9 tahun 2003
pasal 1 memberikan definisi Tanah Timbul adalah lahan yang terbentuk karena endapan lumpur
baik di pantai maupun di muara sungai, pada pasal 2 menerangkan tanah timbul merupakan tanah
negara yang dikelola oleh Pemerintah Daerah.
Pengertian tanah timbul adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional
dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat
sesuai dengan Keppres No. 32 pasal 14 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung
(sempadan pantai). Melihat konsep dan definisi di atas, keberadaan tanah timbul di Desa Klaces,
Kampung Laut yang semakin meluas dari tahun ke tahun yang disebabkan oleh tingginya laju
sedimentasi DAS Citanduy. Aliran substrat (sedimentasi) yang berlangsung terus-menerus dengan
laju yang kian bertambah dari tahun ke tahun memuculkan fenomena alam yang mengakibatkan
semakin menyempitnya wilayah perairan Segara Anakan. Material-material sedimentasi yang tidak
bisa mengalir ke laut lepas memunculkan tanah timbul. Tanah timbul ini lambat laun menjadi
sebuah daratan yang akhirnya ditumbuhi hutan mangrove. Tanah timbul yang semakin meluas
dimanfaatkan oleh masyarakat untuk keperluan hidupnya seperti pemukiman, lahan pertanian, dan
lahan tambak perikanan.
Penguasaan Tanah dan Kelembagaannya
Dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan pengertian mengenai tanah yaitu
permukaan bumi atau lapisan yang di atas sekali. Pengertian tanah diatur dalam pasal 4 UUPA
dinyatakan sebagai berikut:
5
“atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2
ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah
yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.”
Menurut Firey dalam Johara (1992) penguasaan tanah menunjukkan pengaruh budaya
yang besar dalam adaptasi ruang, dan berkesimpulan bahwa yang merupakan lambang bagi nilainilai sosial misalnya penduduk sering memberikan nilai sejarah yang besar terhadap sebidang
tanah. Berhubungan dengan pendapat Firey tersebut, Chapin dalam Johara (1992)
menggolongkan tanah dalam tiga kelompok yaitu yang memiliki:
1. nilai keuntungan: yang dihubungkan dengan tujuan ekonomi dan yang dapat dicapai
dengan jual-beli tanah di pasaran bebas
2. nilai kepentingan umum: yang berhubungan dengan pengaturan untuk masyarakat umum
dalam perbaikan kehidupan masyarakat
3. nilai sosial: yang merupakan hal yang mendasar bagi kehidupan (misalnya sebidang tanah
yang dipelihara, peninggalan, pusaka, dan sebagainya), dan yang dinyatakan oleh
penduduk dengan perilaku yang berhubungan dengan pelestarian, tradisi, kepercayaan,
dan sebagainya
Pertimbangan dalam kepentingan tanah diberbagai wilayah mungkin berbeda tergantung
kepada struktur sosial penduduk tertentu akan diberikan prioritas bagi fungsi tertentu kepada
tanah. Jika hal ini tidak dipenuhi, maka kehidupan masyarakat tersebut akan dirugikan. Pemilikan
tanah dari sisi sosial, bukan hanya merupakan harta ekonomi, tetapi mencerminkan status sosial
seseorang. Penguasaan tanah belum tentu dan tidak harus disertai pemilikan. Sihaloho (2004)
menambahkan bahwa penguasaan tanah dapat berupa hubungan “pemilik dengan pemilik”,
“pemilik dengan pembagi-hasil”, “pemilik dengan penyewa”, “pemilik dengan pemakai” dan lainlain. Sedangkan kata “pengusahaan” menunjuk pada pemanfaatan sebidang tanah secara
produktif.
Ketidakmerataan penguasaan atas tanah pertanian menyebakan kemiskinan di desa
khususnya bagi para petani. Hak menguasai atas tanah yang lemah menyebabkan para petani
kecil tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup sehari-harinya. Para petani yang menguasai
sebagian tanah yang kecil berusaha untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dengan cara
menyewakan ataupun menjual tanah yang mereka miliki. Hal ini mereka lakukan karena tanah
yang mereka kuasai pun tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka dan mereka terpaksa menjadi
buruh di tanah sendiri. Terjadinya ketidakmeratan akses penguasaan atas tanah ini menjadikan
bertambahnya petani tidak bertanah dan mengakibatkan posisi umum petani ini termarginalisasi
dari kehidupan sosialnya.
Kelembagaan penguasaan tanah yang umumnya dilakukan masyarakat di desa-desa
Jawa adalah sebagai berikut (Wiradi dan Makali 1984):
1. Sistem gadai, merupakan bentuk kelembagaan penguasaan tanah dimana pemilik
menyerahkan tanah untuk menerima pembayaran sejumlah uang secara tunai atau dengan
bentuk pembayaran berupa sekian kuintal gabah atau sekian gram emas perhiasan atau sekian
ekor kerbau atau sapi, dengan ketentuan pemilik tetap berhak atas pengembalian tanahnya
dengan jalan menebus, maka hak pengusahaan tanahnya ada pada pemegang gadai.
Pengembalian tanah dilakukan setelah selesai dipanen.
2. Sistem sewa adalah penyerahan sementara hak penguasaan tanah kepada orang lain, sesuai
dengan perjanjian yang dibuat bersama oleh pemilik dan penyewa.
3. Sistem bagi hasil adalah penyerahan sementara hak atas tanah kepada orang lain untuk
diusahakan, dengan penggarap akan menanggung beban tenaga kerja seluruhnya dan
menerima sebagian dari hasil tanahnya.
Pola Penguasaan Lahan
Penguasaan lahan menunjukkan istilah yang perlu diberi batasan yaitu penguasaan dan
tanah. Tanah yang dimaksud adalah tanah yang berada dipermukaan bumi atau bidang tanah
yang diukur dalam meter persegi dan dipergunakan di tempat tanah itu berada atau disebut
terplaatse (Sayogyo 1985) yang merupakan sumber hidup dan kehidupan manusia baik tanah
sawah, kebun, tempat berburu maupun tempat pengembala ternak dan sebagainya. Penguasaan
6
tanah berarti suatu hak dan wewenang untuk mengatur, mengelola, menggunakan dan
memberikan hak milik tanah dalam suatu wilayah kekuasaan berdasarkan ketentuan hukum yang
berlaku baik hukum adat maupun peraturan lainnya. Pola pengaturan adalah suatu perangkat
norma yang mengatur praktek ideal kehidupan masyarakat. Aturan-aturan tersebut menentukan
tata cara kerja sama dan koordinasi anggota masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya serta
membantu dalam menentukan hak serta kewajiban masing-masing (Hayami dan Kikuchi 1998
dalam Kasryn 1984 dalam Joula 2002 dalam Ariwijayanti 2011).
Terkait pola hubungan agraria, Sihaloho (2004) mengelompokkan penguasan lahan ke dalam tiga
kategori, yaitu:
1. Masyarakat yang memiliki lahan luas dan mempercayakan lahan garapannya untuk digarap
orang lain. Pemilik lahan ini menerapkan sistem sewa ataupun bagi hasil.
2. Pemilikan lahan sempit yang menggunakan tenaga kerja keluarga untuk mengolah lahan yang
dimilikinya. Pemilik lahan ini tidak memanfaatkan tenaga kerja buruh karena luas lahan yang
dimiliki sempit dan dana yang dimiliki untuk biaya pengolahan lahan terbatas.
3. Pemilik lahan mengolah sendiri lahan yang dimiliki dengan memanfaatkan jasa buruh tani.
Petani yang dimaksud dari pernyataan ini adalah petani yang memiliki lahan sempit maupun
luas.
Wiradi (1984) menambahkan bahwa terdapat lima pengelompokkan penduduk desa dalam
penguasaan lahan, diantaranya: (1) Pemilik penggarap murni, yaitu petani yang hanya menggarap
lahan yang dimilikinya; (2) Penyewa dan penyakap murni, yaitu mereka yang tidak memiliki lahan
garapan tetapi mempunyai lahan garapan melalui sewa dan/atau bagi hasil; (3) Pemilik penyewa
dan/atau pemilik penyakap, yaitu mereka yang di samping menggarap lahannya sendiri juga
menggarap lahan milik orang lain; (4) Pemilik bukan penggarap; dan (5) Tunakisma mutlak, yaitu
mereka yang benar-benar tidak memiliki lahan garapan. Sebagian besar dari mereka (tunakisma)
ini adalah buruh tani dan hanya sebagian kecil saja yang memang pekerjaannya bukan tani.
Gambaran Usaha Tani di Indonesia
Menurut Kadarsan (1993) dalam Shinta (2011), usaha tani adalah suatu tempat dimana
seseorang atau sekumpulan orang berusaha mengelola unsur-unsur produksi seperti alam,
tenaga kerja, modal dan keterampilan dengan tujuan berproduksi untuk menghasilkan sesuatu di
lapangan pertanian. Di Indonesia, usaha tani dikategorikan sebagai usaha tani kecil karena
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Berusahatani dalam lingkungan tekanan penduduk lokal yang meningkat
b. Mempunyai sumber daya terbatas sehingga menciptakan tingkat hidup yang rendah
c. Bergantung seluruhnya atau sebagian kepada produksi yang subsisten
d. Kurang memperoleh pelayanan kesehatan, pendidikan dan pelayanan lainnya
Dari segi ekonomi, ciri yang sangat penting pada petani kecil adalah terbatasnya sumber daya
dasar tempat petani tersebut berusaha tani. Pada umumnya mereka hanya menguasai sebidang
lahan kecil, disertai dengan ketidakpastian dalam pengelolaannya. Lahannya sering tidak subur
dan terpencar-pencar dalam beberapa petak. Mereka sering terjerat hutang dan tidak terjangkau
oleh lembaga kredit dan sarana produksi. Bersamaan dengan itu, mereka menghadapi pasar dan
harga yang tidak stabil, mereka tidak cukup informasi dan modal.
Shinta (2011) mengklasifikasi usaha tani menjadi dua yaitu pola usaha tani dan tipe usaha
tani. Terdapat dua macam pola usaha tani, yaitu lahan basah atau sawah lahan kering. Tipe
usaha tani menunjukkan klasifikasi tanaman yang didasarkan pada macam dan cara penyusunan
tanaman yang diusahakan. Pada tipe usaha tani terdapat lima kategori yaitu 1) macam tipe usaha
tani (usaha tani padi atau palawija); 2) pola tanam (usaha tani monokultur, campuran/
tumpangsari, bergilir/tumpang gilir); 3) struktur usaha tani; 4) corak usaha tani; 5) bentuk usaha
tani (perorangan, kooperatif). Pada penelitian ini yang akan dilihat yaitu corak usaha tani yang
dilakukan oleh petani setempat. Corak usaha tani dilihat berdasarkan tingkatan hasil pengelolaan
usaha tani yang ditentukan oleh berbagai ukuran/kriteria. Corak usaha tani yang akan dilihat pada
penelitian ini menggunakan kriteria tingkat adaptasi teknologi dan proporsi penggunaan faktor
produksi yaitu ketenagakerjaan.
7
Kualitas Hidup Rumah Tangga Petani
Yunilisiah (1996) menyatakan pada dasarnya manusia memiliki persamaan (ingin sekali,
egois, sulit berubah) dan perbedaan dalam hal intelegensi, perasaan, cara berbuat, sehingga
tingkat kualitas hidup manusia merupakan salah satu faktor penentu tingkat ketentraman hidup
manusia dalam berinteraksi. Pengembangan kualitas hidup manusia dilihat secara objektif dimulai
dari kebutuhan individu dalam kelompok dan subjektif yaitu dari kepentingan pihak pengambil
kebijakan. Untuk mencapai keseimbangan antara dua kepentingan diperlukan forum interface
(forum sodality-meminjam istilah Tjondronegoro), yaitu berupa kebijakan yang tidak merugikan
kedua belah pihak, seperti kebijakan pembebasan tanah untuk ‘pembangunan’ tetapi tetap
memperhatikan kebutuhan yang dirasakan oleh masyarakat, khususnya petani.
Selama bidang pertanian memegang peranan penting pada masyarakat pedesaan, maka
luas penguasaan tanah adalah jalur essensial dalam menentukan kualitas dan kesejahteraan
hidup petani (gambaran yang menerangkan keadaan baik buruknya suatu rumah tangga petani),
karena keberadaan tanah memberikan kesempatan peluang berusaha dan bekerja yang pada
gilirannya menentukan tingkat pendapatan petani. Luas tanah ternyata terkait erat dengan tingkat
pendapatan total rumah tangga, baik dari pertanian maupun luar pertanian (Sayogyo 1984 dalam
White 1990 dalam Yunilisiah 1990).
Pendapatan rumah tangga petani bersumber dari kegiatan usaha tani dan usaha di luar
pertanian. Pendapatan hasil usaha tani merupakan hasil perkalian harga tiap satuan dengan
jumlah masing-masing produk yang dihasilkan. Pendapatan riil dari usaha tani yang diperoleh
rumah tangga petani umumnya disertai dengan usaha mencari nafkah pada usaha di luar
pertanian (pola nafkah ganda). Motivasi mereka memasuki usaha luar pertanian umumnya
bervariasi; (1) adanya surplus dari usaha tani yang kemudian diakumulasi di sektor non-pertanian;
(2) untuk berjaga-jaga seandainya mengalami kegagalan di sektor pertanian; (3) untuk
mempertahankan agar tetap hidup karena di sektor pertanian tidak mencukupi (White 1990 dalam
Yunilisiah 1990).
Menurut Sadiwak (1985) dalam Massardy (2009), kesejahteraan merupakan sejumlah
kepuasan yang diperoleh seseorang dari hasil mengkonsumsi pendapatan yang diterima, namun
tingkat kesejahteraan itu sendiri merupakan sesuatu yang bersifat relatif karena tergantung dari
kepuasan yang diperoleh dari hasil mengkonsumsi pendapatan tersebut. Konsumsi itu sendiri
pada hakekatnya bukan hanya sesuatu yang mengeluarkan biaya, karena dalam beberapa hal
konsumsi pun dapat dilakukan tanpa menimbulkan biaya konsumennya. Indikator kesejahteraan
rakyat menyajikan gambaran mengenai taraf kesejahteraan rakyat Indonesia antar kurun waktu,
perkembangannya antar waktu serta perbandingannya antar populasi dan daerah tempat tinggal
(perkotaan dan pedesaan). Dimensi kesejahteraan rakyat disadari sangat luas dan kompleks,
sehingga suatu taraf kesejahteraan rakyat hanya dapat dilihat dari suatu aspek tertentu. Berbagai
aspek mengenai indikator kesejahteraan oleh BPS melalui SUSENAS (2002), antara lain: a)
tentang individu seperti kependudukan, kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, fertilitas, dan KB
serta b) tentang rumah tangga seperti perumahan dan pengeluaran.
2.2
Kerangka Pemikiran
Perubahan lanskap atau bentang alam yang terjadi dapat disebabkan oleh beberapa faktor
yaitu faktor alamiah dan non-alamiah. Faktor yang terjadi secara alamiah berasal dari karakteristik
alam itu sendiri dan bencana alam. Faktor non alamiah dapat berasal dari aktivitas manusia baik di
bidang politik, ekonomi, sosial, dan teknologi. Salah satu perubahan lanskap yang terjadi yaitu
munculnya luasan tanah timbul di Segara Anakan. Munculnya tanah timbul sebagai sumber daya
alam baru memberikan peluang kepada manusia untuk menguasai dan memanfaatkannya.
Hubungan antara tanah timbul dengan manusia ini menumbuhkan perubahan struktur agraria.
Perubahan struktur agraria ini menimbulkan dampak yang menyebabkan lahirnya struktur
penguasaan lahan dan corak usaha tani pada masyarakat yang mengalami peralihan
matapencaharian dari nelayan ke petani. Struktur penguasaan lahan dapat dilihat dari luas lahan
yang dikuasai, kelembagaan penguasaan lahan dan tingkat ketergantungan pada lahan.
Selanjutnya, corak usaha tani dapat dilihat dari tingkat adaptasi teknologi dan ketenagakerjaan.
Berdasarkan struktur penguasaan lahan dan corak usaha tani, akan dilihat seberapa besar
dampaknya terhadap kualitas hidup rumah tangga petani. Kualitas hidup rumah tangga petani
8
yang akan dillihat yaitu tingkat pendapatan, tingkat kesehatan, tingkat konsumsi pangan, dan
hubungan sosial. Alur kerangka pemikiran dijelaskan dalam Gambar 2 berikut.
Faktor alamiah:
- Karakteristik alam
- Bencana alam
Faktor non-alamiah:
- Aktivitas manusia :
politik,
ekonomi,
sosial, dan teknologi
Perubahan
lanskap
Tanah
timbul
Perubahan struktur
agraria dan
dampaknya
Struktur Penguasaan
Lahan
- Luas lahan yang dikuasai
- Tingkat Ketergantungan
pada lahan
- Kelembagaan
Penguasaan Tanah
-
Corak Usaha Tani
- Tingkat adaptasi
teknologi
- Ketenagakerjaan
Kualitas Hidup Rumah
Tangga Petani
Tingkat Pendapatan
Tingkat Kesehatan
Tingkat Konsumsi Pangan
Hubungan sosial
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Perubahan Lanskap; Struktur Penguasaan Lahan dan Dampaknya
Terhadap Kualitas Hidup Rumah Tangga Petani Desa Klaces
Keterangan :
: Diteliti secara deskriptif
: Mempengaruhi
: Memunculkan
2.3
Hipotesis Penelitian
A. Hipotesis Pengarah
1) Terdapat perubahan lanskap yang berimplikasi pada perubahan struktur agraria
B. Hipotesis Uji
1) Semakin baik struktur penguasaan lahan maka semakin tinggi kualitas hidup rumah tangga
petani
2) Semakin baik corak usaha tani maka semakin tinggi kualitas hidup rumah tangga petani
9
2.4
Definisi Operasional
1. Struktur penguasaan lahan adalah distribusi luas penguasaan tanah rumah tangga petani untuk
mengusahakan tanah seperti sewa, bagi hasil, gadai. Indikator struktur penguasaan lahan dapat
dilihat dari:
a) Luas penguasaan lahan adalah ukuran lahan yang dikuasai responden dalam satuan meter
persegi (m2). Untuk penentuan kategori pengukuran dilakukan berdasarkan hasil rataan luas
lahan menurut kondisi lapang.
i.
Sempit ( < 1000 m2)
ii.
Sedang ( 1000-5000 m2)
iii.
Luas ( > 5000 m2)
b) Tingkat ketergantungan pada lahan adalah sejauh mana lahan dianggap penting dalam
memenuhi kebutuhan responden yang diukur berdasarkan persentase pendapatan pertanian
dari seluruh total pendapatan rumah tangga responden. Pengukurannya yaitu:
i.
Rendah (0-35%)
ii.
Sedang (35-70%)
iii.
Tinggi (70-100%)
c) Kelembagaan penguasaan lahan adalah sejauh mana petani memiliki kesadaran akan
kepatuhan pada kelembagaan yang ada dalam penguasaan lahan untuk menjaga hubungan
sosial di antara petani. (skor 1 jika tidak melakukan, skor 2 jika melakukan)
i.
Rendah (jika total skor antara 5-6)
ii.
Sedang (jika total skor antara 7-8)
iii.
Tinggi (jika total skor antara 9-10)
2. Corak usaha tani adalah tingkatan hasil pengelolaan usaha tani yang ditentukan oleh berbagai
ukuran/kriteria, antara lain
a) Tingkat adaptasi teknologi adalah perilaku petani dalam menyesuaikan penggunaan
teknologi dengan kondisi sekitar. Penggunaan teknologi pertanian meliputi penggunaan
teknologi kimiawi-biologi (bibit unggul, pupuk, pestisida) (skor 1 jika tidak melakukan, skor 2
jika melakukan)
i.
Rendah (jika total skor antara 5-6)
ii.
Sedang (jika total skor antara 7-8)
iii.
Tinggi (jika total skor antara 9-10)
b) Ketenagakerjaan adalah perilaku petani dalam mengatur strategi pola kerja dan tenaga kerja
(skor 1 jika tidak melakukan, skor 2 jika melakukan)
i.
Rendah (jika total skor antara 5-6)
ii.
Sedang (jika total skor antata 7-8)
iii.
Tinggi (jika total skor antara 9-10)
3. Kualitas hidup rumah tangga petani adalah gambaran yang menerangkan baik buruknya
keadaan rumah tangga petani. Indikator kualitas hidup RT berdasarkan tingkat pendapatan
rumah tangga, tingkat kesehatan (sanitasi dan penyakit), tingkat konsumsi pangan dan
hubungan sosial.
a) Tingkat pendapatan rumah tangga adalah jumlah seluruh pendapatan nyata berupa uang,
barang/kiriman ataupun jasa yang dinyatakan dalam bentuk rupiah oleh anggota rumah
tangga yang menghasilkan pendapatan dalam satuan hari/ minggu/ bulanan dari kegiatan
pertanian maupun non pertanian. Pendapatan usaha tani dihitung dari penerimaan dari
usaha tani baik berupa dari hasil sawah, tegalan, kebun, pekarangan yang merupakan hasil
perkalian harga satuan dengan jumlah masing-masing produksi. Pengukuran tingkat
pendapatan ini disesuaikan dengan kondisi lapang yang dibagi berdsarkan:
i. Rendah (jika pendapatan responden kurang dari sama dengan Rp 1.500.000 )
ii. Sedang (jika pendapatan responden antara Rp 1.600.000 - Rp 2.500.000 )
iii. Tinggi (jika pendapatan responden lebih dari sama dengan Rp 2.600.000 )
b) Tingkat kesehatan adalah kualitas kesehatan anggota rumah tangga yang dilihat baik
buruknya kondisi fisik anggota rumah tangga dan pola kebersihan lingkungan rumah tangga
responden (skor 1 jika tidak melakukan, skor 2 jika melakukan)
10
i.
Rendah (jika total skor antara 9-12)
ii.
Sedang (jika total skor antara 13-15)
iii.
Tinggi (jika total skor antara 16-18)
c) Tingkat konsumsi pangan adalah seberapa besar kemampuan petani untuk dapat
mengkonsumsi dan membeli beras, sayuran, telur, susu, ikan, daging, kacang-kacangan,
buah-buahan, dan minyak goreng. Pengukuran ini ditentukan secara partisipatif dengan
perspektif lokal (skor 1 jika tidak mampu melakukan, skor 2 jika mampu melakukan)
i.
Rendah (jika total skor antara 9-12)
ii.
Sedang (jika total skor antara 13-15)
iii.
Tinggi (jika total skor antara 16-18)
d) Hubungan sosial adalah perilaku anggota rumah tangga dalam berinteraksi dengan
lingkungan sekitarnya (skor 1 jika tidak melakukan, skor 2 jika melakukan)
i.
Rendah (jika total skor antara 9-12)
ii.
Sedang (jika total skor antara 13-15)
iii.
Tinggi (jika total skor antara 16-18)
3.
Pendekatan Lapang
3.1
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di RW 02, Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten
Cilacap, Jawa Tengah. Pemilihan lokasi tersebut dilakukan secara sengaja (purposive) dengan
beberapa alasan, yaitu:
a. Desa Klaces merupakan salah satu desa yang terbentuk karena perubahan lanskap
Laguna Segara Anakan dan memiliki luasan tanah timbul yang cukup luas.
b. Sebagian besar penduduk Desa Klaces mengalami perubahan matapencaharian dari
nelayan menjadi petani yang memanfaatkan tanah timbul sebagai lahan persawahan
tadah hujan.
c. RW 02 merupakan desa yang terdekat dengan Laguna Segara Anakan dan mayoritas
warganya beralih matapencaharian menjadi petani
Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai April 2013. Selama pengambilan
data berlangsung, peneliti tinggal bersama obyek penelitian di lapangan dalam jangka waktu yang
telah ditetapkan. Hal ini dilakukan agar peneliti dapat mengetahui lokasi penelitian dengan baik,
menciptakan hubungan sosial yang dekat dengan obyek penelitian, dan mendapat data yang lebih
dalam dan valid.
Tabel 2. Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2014.
Jan
Feb
Maret
Kegiatan
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3
Penyusunan
Proposal Skripsi
Kolokium
Perbaikan
Proposal Skripsi
Pengambilan
Data Lapang
Pengolahan dan
Analisis Data
April
4
1
2
3
Mei
4
1
2
3
4
11
Penulisan Draft
Skripsi
Uji Petik
Sidang Skripsi
Perbaikan
Laporan Skripsi
3.2
Teknik Pengambilan Responden dan Informan
Sumber data dalam penelitian ini adalah responden dan informan. Unit analisa dalam
penelitian ini adalah rumah tangga petani Desa Klaces yang diwakili oleh kepala keluarga.
Responden akan diwawancarai sesuai dengan kuesioner (lampiran 2) yang telah dibuat karena
jawabannya dianggap dapat mewakili kondisi rumah tangganya sebagai rumah tangga petani
Desa Klaces. Responden hanya memberikan informasi terkait dengan dirinya.
Berdasarkan data monografi Kecamatan Kampung Laut tahun 2010, jumlah rumah tangga
petani di desa ini adalah 275 KK. Penentuan jumlah sampel minimal dilakukan dengan
menggunakan Rumus Slovin sebagai berikut:
Keterangan:
n : Jumlah sampel
N : Jumlah populasi
e : Nilai kritis (batas ketelitian)
Nilai kritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah 15 persen sehinga diperoleh
responden sebanyak 38 orang dari jumlah populasi sampling 275 orang. Jumlah informan dalam
penelitian ini tidak dibatasi dengan tujuan untuk memperkaya informasi mengenai fenomena
perubahan lanskap yang terjadi sehingga memunculkan tanah timbul dan dimanfaatkan oleh
masyarakat disana. Penelitian akan dilakukan pada rumah tangga petani yang memiliki dan
menguasai lahan dengan menggunakan teknik bola salju (snowball sampling) yang
memungkinkan perolehan data dari satu informan ke informan lainnya. Pencarian informasi ini
akan berhenti apabila tambahan informan tidak lagi menghasilkan pengetahuan baru atau sudah
berada pada titik jenuh.
3.3
Teknik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer adalah data
yang pengumpulannya dilakukan sendiri oleh peneliti. Artinya, data tersebut diperoleh dari
pengamatan langsung peneliti sendiri, yakni hasil wawancara dengan responden/informan dan
hasil pengukuran peneliti sendiri.
Data primer yang diperoleh dari responden dilakukan melalui teknik wawancara dengan
alat bantu kuesioner yang telah dipersiapkan (Lampiran 2). Sedangkan pengumpulan data dari
informan dilakukan dengan wawancara mendalam menggunakan pedoman wawancara. Data
primer yang dikumpulkan adalah:
1) Struktur penguasaan lahan, yang meliputi luasan lahan yang dikuasai, status
kepemilikan lahan dan kelembagaan penguasaan lahan
2) Corak usaha tani, yang meliputi tingkat adaptasi teknologi dan ketenagakerjaan
3) Kualitas hidup rumah tangga petani, yang meliputi tingkat pendapatan, tingkat
kesehatan, tingkat konsumsi, dan hubungan sosial
Selain data primer, pengumpulan data dalam penelitian ini juga menggunakan data
sekunder. Data dekunder adalah data yang dikumpulkan oleh pihak lain dan sudah diolah oleh
pihak lain tersebut. Sumber data sekunder diperoleh dari Kantor Desa Klaces, Kantor Kecamatan
Kampung Laut, Badan Pertanahan Nasional Cilacap, BPS Kabupaten Cilacap, Badan Pengelola
Kawasan Segara Anakan (BPKSA), BAPPEDA, serta buku, internet, jurnal-jurnal penelitian,
skripsi, tesis, disertasi dan laporan penelitian yang ada kaitannya dengan penelitian ini.
12
3.4
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Data kuantitatif diperoleh melalui kuesioner yang dibagikan kepada responden.
Pengolahan data tersebut melalui beberapa langkah yaitu editing kuesioner, pengkodean data,
pemindahan data ke lembar penyimpanan data (Microsoft Excel), dan mengubah data dari excel
ke SPSS untuk memudahkan pembersihan dan pengolahan data. Proses editing dilakukan untuk
membaca dan memberi koreksi pada setiap kuesioner yang telah diisi oleh peneliti. Proses editing
ini berguna untuk mencek kelengkapan data, logika urutan jawaban atas setiap pertanyaan dalam
kuesioner, kelogisan jawaban dan ketelitian (dalam hal pencatatan angka-angka). Setelah editing
kemudian dilakukan pengkodean data yang merupakan suatu proses penyusunan secara
sistematis data mentah yang terdapat dalam kuesioner ke dalam bentuk yang mudah dibaca oleh
komputer.
Pemberian kode ini yaitu memberikan simbol-simbol angka kepada jawaban-jawaban
tertentu. Setelah pengkodean data, dilakukan pemindahan data ke lembar penyimpanan data
menggunakan Microsoft Excel dan SPSS (statistical package for social) dan selanjutnya dilakukan
pembersihan data yang bertujuan untuk menghilangkan kesalahan pemberian kode atau
meringkas kembali kategori-kategori jawaban. Setelah itu dalam menganalisis data dilakukan uji
analisis data menggunakan koefisien korelasi rank spearman untuk mengukur korelasi antara dua
variabel yang memiliki tingkat ordinal. Metode analisis berikutnya yang digunakan dalam penelitian
ini adalah analisis non inferensia untuk menguji hipotesis penelitian dengan menggunakan tabulasi
silang.
Data kualitatif dengan mengutip hasil pembicaraan dengan responden dan informan akan
dijelaskan dan disampaikan secara deskriptif untuk mempertajam hasil penelitian. Teknik analisis
data kualitatif dilakukan sejak awal pengumpulan data. Hasil wawancara mendalam dan
pengamatan disajikan dalam bentuk catatan harian yang dianalisis sejak pertama kali datang ke
lapangan dan berlangsung terus menerus. Analisis data kualitatif dilakukan secara terus menerus
yang terdiri dari pengumpulan data, analisis data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan
kesimpulan.
13
DAFTAR PUSTAKA
Adly WS. 2009. Perubahan Struktur Agraria dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS).
[skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor.
Antrop M. 2005. Sustainable Landscape: Contradiction, Fiction, or Utopia. Landscape and Urban
Planning. [Internet]. [Dikutip 5 Desember 2013]. 75: 187-197. Dapat diunduh dari:
http://elsevier.com/locate/landurbplan
Ariwijayanti E. 2011. Pengaruh Penguasaan Lahan Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat.
[skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 107 hal.
[BAPPENAS] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2005. Bab 16 : Penanggulangan
Kemiskinan.
[Internet].
[Dikutip
20
Februari
2013].
Dapat
diunduh
dari:
http://www.bappenas.go.id/files/5413/6082/9497/bab-16-penanggulangan-kemiskinan.pdf
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2002. SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional) 2002. Jakarta [ID]
: Badan Pusat Statistik.
Johara JT. 1992. Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan Perkotaan dan Wilayah.
Bandung [ID]: Penerbit ITB Bandung. 306 hal.
Massardy E. 2009. Pengaruh Perubahan Struktur Agraria Akibat Konversi Lahan terhadap
Kesejahteraan Masyarakat (Studi Kasus: Desa Tambak, Kecamatan Kibin, Kabupaten Serang,
Propinsi Banten). [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor.
Nasution A. 2003. Perkembangan Kebutuhan Masyarakat pada Ruang Terbuka Publik di Pusat
Kota. [Internet]. [Dikutip 5 Desember 2013]. Dapat diunduh dari: http://personal.umich.edu
[Perda] Peraturan Daerah Kabupaten Indramayu No. 9 Tahun 2003 pasal 1 Tentang Tanah Timbul
[PP] Peraturan Pemerintah Nomor 16 Pasal 12 Tahun 2004 Tentang Penggunaan Tanah
Prayitno. 2001. Perubahan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Pantai Akibat Perubahan Ekosistem
Pantai: Studi Kasus Di Kawasan Segara Anakan Cilacap. [tesis]. Yogyakarta [ID]: Universitas
Gadjah Mada.
Ramadhan A, Hafsaridewi R. 2012. Dampak Perubahan Lingkungan terhadap Perkembangan
Aktivitas Ekonomi dan Kesejahteraan Masyarakat Pesisir di Kawasan Segara Anakan. [Internet]. [
9 Oktober 2013]. 7(1):33-53. Dapat diunduh dari: http://www.bbrse.kkp.go.id/publikasi/jurnal
2012_v7_no1_ %283%29_full.pdf
Shinta A. 2011. Ilmu Usaha Tani. Malang [ID]: Universitas Brawijaya Press (UB Press). 164 hal.
Sihaloho M. 2004. Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Struktur Agraria. [tesis]. Bogor [ID]:
Institut Pertanian Bogor. 171 hal.
[UUPA] Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria
Wiradi G dan Makali. 1984. Penguasaan Tanah dan Kelembagaan. Faisal Kasryono, editor.
Prospek Pembangunan Ekonomi Pedesaan Indonesia. Jakarta [ID] : Yayasan Obor Indonesia.
14
Wiradi G. 1984. Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria. Soediono M.P Tjondronegoro dan
Gunawan Wiradi, editor. Seri Pembangunan Pedesaan: Dua Abad Penguasaan Tanah (Pola
Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa). Jakarta [ID]: PT. Gramedia.
Yunilisiah. 1996. Pola Penguasaan Tanah dan Kualitas Rumah Tangga Petani di Desa
Transmigran. [tesis]. Bogor [ID] : Institut Pertanian Bogor. 128 hal.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta Administratif Kampung Laut
15
Lampiran 2. Kuesioner
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
PERUBAHAN LANSKAP; STRUKTUR PENGUASAAN LAHAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP
KUALITAS HIDUP RUMAH TANGGA PETANI DESA KLACES
No. Kuesioner
:
Tanggal Wawancara
:
Jam
:
I. Karakteristik Responden
1.
Nama
2.
Alamat
3.
Usia
4.
Jenis Kelamin
5.
Pendidikan Terakhir
:
:
:
:
:
6.
Status Kependudukan
:
7.
:
8.
Pengalaman sebagai Petani
(tahun)
Jumlah Tanggungan
9.
Jumlah Pendapatan
:
:
II. Struktur Penguasaan Lahan
No.
Pertanyaan
2.1 Penguasaan Lahan
11. Luas lahan yang Anda miliki
12. Luas lahan yang Anda kuasai
2.2 Kelembagaan Penguasaan Lahan
13. Apa status lahan yang bapak kuasai?
RT _______/RW _______
(
(
(
(
(
(
(
(
) Laki-laki
( ) Perempuan
) Tidak Sekolah
) SD/Sederajat
) SMP/Sederajat
) SMA/Sederajat
) Perguruan Tinggi
) Warga Asli
) Warga Pendatang
………………tahun
a. Isteri
__________
b. Anak kandung __________
c. Anak angkat
__________
d. Lainnya
__________
m2
(
(
(
(
) Gadai
) Sewa
) Bagi hasil
) Milik sendiri
16
14.
Apa kedudukan bapak terhadap lahan yang dikuasai?
(
(
(
(
15.
16.
17.
18.
19.
) Pemilik penggarap
murni
) Penyewa &
penyakap murni
) Pemilik penyewa &/
pemilik penyakap
) Pemilik bukan
penggarap
Saya berusaha patuh pada perjanjian sistem penguasaan
lahan yang diterapkan
Saya berusaha saling membantu dengan petani lain jika
ada kesulitan
Saya tidak pernah berkonflik dengan petani lainnya
dalam sebulan terakhir
Saya berusaha mengembalikan uang pinjaman tepat
waktu
Saya membangun kepercayaan kepada petani lain
dengan menjalin silahturahmi
2.3 Tingkat Ketergantungan Lahan
No.
Perhitungan Persentase
20. Pendapatan pertanian
x 100%
Pendapatan total rumah tangga
III. Corak Usaha Tani
No.
Pertanyaan
3.1 Adaptasi Teknologi
21. Saya menggunakan alat penggilingan padi untuk
memisahkan padi dengan gabah
22. Saya menggunakan traktor untuk membajak sawah
23. Saya menggunakan bibit unggul untuk meningkatkan
kualitas dan produktivitas hasil pertanian
24. Saya menggunakan pupuk untuk meningkatkan
kualitas dan produktivitas hasil pertanian
25. Saya menggunakan pestisida untuk membasmi hama
3.2 Ketenagakerjaan
26. Saya mempunyai alternatif pekerjaan lain saat musim
paceklik tiba
27. Saya menerapkan ilmu pertanian agar produktivitas
usaha tani semakin baik
28. Saya tetap mengolah sawah secara rutin, walaupun
hasil uang dari lahan pertanian tidak pasti
29. Saya melibatkan anggota keluarga ketika penanaman
dan musim panen
30. Saya mengikuti penyuluhan yang diadakan oleh
pemerintah
Ya
Tidak
17
IV. KUALITAS HIDUP RUMAH TANGGA PETANI
4.1 Tingkat Pendapatan
No Jenis Penerimaan Perminggu
Perbulan
A.
Pertanian
1. Sawah
2. Kebun
3. Ternak (unggas,
ternak besar)
Total
B.
Non Pertanian
1. Pegawai Negeri
2. Pedagang
3.Pengemudi
Compreng
4. Buruh
5. Wirausaha
6. Lainnya
……………………
Pertahun
Keterangan
Total
4.2 Tingkat Kesehatan
No.
Pertanyaan
32. Apakah anggota keluarga Anda jarang sakit?
33. Jika ada anggota keluarga yang sakit, apakah dilakukan
pengobatan ke puskesmas/rumah sakit?
34. Apakah anggota keluarga rajin berolahraga?
35. Apakah terdapat tempat sampah di rumah Anda?
36. Apakah jarak septik tank ke sumur air bersih di rumah
Anda sejauh > 10 meter?
37. Apakah Anda membersihkan rumah secara rutin?
38. Apakah Anda memiliki MCK di rumah?
39. Apakah Anda selalu membersihkan peralatan makan?
40
Apakah Anda selalu mencuci tangan sebelum makan?
4.3 Tingkat Konsumsi Pangan
No.
Pertanyaan
41. Apakah anggota keluarga Anda mengkonsumsi
kacang-kacangan (tahu, tempe, kacang
lahan/kedelai/hijau/merah) setiap hari?
42. Apakah anggota keluarga Anda mengkonsumsi sayur
setiap hari?
43. Apakah anggota keluarga Anda mengkonsumsi daging
(ayam, sapi, kambing, ikan) dan atau telur setiap hari?
Ya
Tidak
Ya
Tidak
18
44
45.
46.
47
48.
49.
Apakah anggota keluarga Anda mengkonsumsi susu
setiap hari?
Apakah anggota keluarga Anda mengkonsumsi buahbuahan setiap hari?
Apakah anggota keluarga Anda mengkonsumsi
makanan ringan (gorengan, biskuit, dsb)?
Apakah ada anggota keluarga Anda yang
mengkonsumsi rokok setiap hari?
Apakah ada anggota keluarga Anda yang
mengkonsumsi kopi dan atau teh setiap hari?
Apakah anggota keluarga Anda menggunakan minyak
berkualitas baik (bukan curah)?
4.4 Hubungan Sosial
No.
Pertanyaan
50. Apakah Anda merasa nyaman hidup di desa ini?
51
Apakah Anda memiliki hubungan yang baik dengan
masyarakat?
52. Apakah Anda mengikuti perkumpulan dalam
masyarakat?
53. Apakah Anda pernah berkonflik dengan warga?
54. Apakah Anda berpartisipasi dalam acara kerja bakti?
55. Apakah Anda memiliki hubungan yang baik dengan
pemerintah desa?
56. Apakah Anda berpartisipasi dalam acara besar
keagamaan di desa?
57. Apakah Anda mengikuti pengajian rutin di desa?
58. Apakah Anda berusaha patuh pada peraturan di desa?
Ya
Tidak
19
Lampiran 3. Rancangan Skripsi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Perumusan Masalah
1.3 Tujuan Penelitian
1.4 Kegunaan Penelitian
BAB II
PENDEKATAN TEORITIS
2.1 Tinjauan Pustaka
2.2 Kerangka Pemikiran
2.3 Definisi Konseptual
2.4 Definisi Operasional
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
3.3 Teknik Pemilihan Responden dan Informan
3.4 Teknik Pengumpulan Data
3.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Data
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI
4.1 Letak Geografis dan Kondisi Alam
4.2 Sejarah Desa dan Sistem Pemerintahan
4.3 Kondisi Sosial dan Ekonomi Petani
4.4 Karakteristik Responden
4.4.1 Usia
4.4.2 Pendidikan
4.4.3 Pengalaman Sebagai Petani
4.4.4 Jumlah Anggota Keluarga
4.4.5 Pendapatan
BAB V
PERUBAHAN LANSKAP SERTA IMPLIKASI TERHADAP PERGESERAN
STRUKTUR AGRARIA
5.1 Faktor Perubahan Lanskap
5.2 Reaksi Berbagai Pihak Atas Perubahan Lanskap
5.3 Sejarah Keberadaan Tanah Timbul
5.3 Kondisi Nyata di Tanah Timbul
BAB VI
ANALISIS STRUKTUR PENGUASAAN LAHAN TERHADAP KUALITAS HIDUP
RUMAH TANGGA PETANI
6.1 Pengaruh Tingkat Penguasaan Lahan Terhadap Kualitas Hidup Rumah Tangga
Petani
6.2 Pengaruh Tingkat Ketergantungan Lahan Terhadap Kualitas Hidup Rumah
Tangga Petani
BAB VII
ANALISIS CORAK USAHA TANI TERHADAP KUALITAS HIDUP RUMAH
TANGGA PETANI
7.1 Pengaruh Tingkat Adaptasi Teknologi Terhadap Kualitas Hidup Rumah Tangga
Petani
7.2 Pengaruh Ketenagakerjaan Terhadap Kualitas Hidup Rumah Tangga Petani
7.3 Pengaruh Kelembagaan Hubungan Kerja Terhadap Kualitas Hidup Rumah
Tangga
BAB VIII
PENUTUP
20
8.1 Kesimpulan
8.2 Penutup
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
Download