1 MAKALAH KOLOKIUM Nama Pemrasaran/NIM Departemen Pembahas Dosen Pembimbing/NIP Judul Rencana Penelitian : : : : : Tanggal dan Waktu : 1. Aulia Rizki Andini / I34100073 Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Saskia Kencana Murti / I34100055 Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA / 19521225 1986 1 002 Perubahan Lanskap; Struktur Penguasaan Lahan dan Dampaknya Terhadap Kualitas Hidup Rumah Tangga Petani Selasa, 11 Maret 2013, 10.00-11.00 WIB Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Seiring dengan berkembangnya waktu, kini alam mulai mengalami perubahan. Perubahan alam atau lanskap merupakan fenomena yang tak terelakkan, baik disebabkan oleh faktor alam maupun campur tangan manusia. Menurut Nasution (2003) perubahan infrastruktur lanskap yang disebabkan oleh manusia umumnya dipengaruhi oleh kekuatan politik, ekonomi, sosial, serta teknologi. Menurut Antrop (2005) perubahan infrastruktur lanskap yang disebabkan oleh alam tidak lain dipengaruhi oleh karakteristik dari alam itu sendiri, dimana alam itu selalu berubah. Salah satu fenomena perubahan lanskap yang terjadi di Indonesia yaitu perubahan lanskap di Laguna Segara Anakan yang memunculkan sumber daya alam baru yaitu tanah timbul yang kian hari kian meluas. Segara Anakan adalah laguna yang menjadi muara beberapa sungai yang mengalir di wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah. Akibat sedimentasi yang terus-menerus, terjadi perubahan bentang alam di Segara Anakan. Wilayah yang tadinya lautan, perlahan berubah menjadi daratan. Tanah timbul pun terus bermunculan, membentang, dan sebagian di antaranya menempel di sepanjang Pulau Nusakambangan yang selama ini lebih dikenal dengan “pulau penjara”. Berdasarkan hasil penelitian Prayitno (2011) diperoleh data perubahan luas Laguna Segara Anakan sebagai berikut: Tabel 1. Perubahan Luas Laguna Segara Anakan, 1924-2011 Tahun / Years Luas Laguna/ Tahun / Years Area (ha) 1924 6,675 1984 1940 6,445 1992 1946 6,049 1994 1961 5,421 2000 1978 4,737 2003 1980 3,852 2005 1982 3,636 2008 1983 3,206 2011 Luas Laguna/ Area (ha) 2,906 1,800 1,575 1,200 600 834 750 637 Sumber: ICLARM, PKSPL-IPB dan SACDP dalam Prayitno (2011) dan KPKSA (2009) Dalam Peraturan Pemerintah (PP) 16 Tahun 2004 Tentang Penggunaan Tanah, pada penjelasan pasal 12, memberikan definisi tanah timbul sebagai daratan yang terbentuk secara alami dan buatan karena proses sedimentasi sungai, danau, pantai dan atau pulau timbul, serta penguasaan tanahnya dikuasai negara. Keberadaan tanah timbul sebagai sumber daya alam yang baru memunculkan aktor-aktor yang akan memanfaatkan dan menguasai tanah timbul. Aktor-aktor baru yang akan menguasai tanah yaitu seperti masyarakat lokal, masyarakat pendatang, pemerintah, dan pihak lain yang memiliki kepentingan akan tanah. Dalam hal ini, tanah timbul menjadi bagian dari sumber daya agraria. Indonesia memiliki beragam sumber daya agraria yang sangat melimpah dan dimanfaatkan untuk keberlangsungan hidup masyarakat. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1960 mendefinisikan agraria sebagai seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Bumi yang disebutkan meliputi permukaan bumi, bagian tubuh 2 bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air. Terkait dengan agraria, tanah timbul yang merupakan sumber daya alam akibat perubahan lanskap akan menumbuhkan struktur agraria yang baru. Tanah timbul dapat dikatakan sebagai obyek agraria apabila dimanfaatkan oleh manusia yang merupakan bagian dari subyek agraria. Hubungan antara obyek agraria dengan subyek agraria akan terus berlangsung mengikuti perubahan zaman. Seiring berjalannya waktu, sumber-sumber agraria yang dimanfaatkan tentu akan mengalami perubahan, baik perubahan ke arah perbaikan maupun ke arah perusakan. Perubahan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat mengubah struktur agraria. Menurut Zuber (2007) dalam Adly (2009) mengemukakan bahwa terdapat empat faktor yang dapat mempengaruhi perubahan struktur agraria, diantaranya: (1) permintaan lahan dari kegiatan nonpertanian seperti pembangunan real estate, pabrik, areal perdagangan dan pelayanan lainnya yang membutuhkan areal tanah yang luas; (2) faktor sosial budaya, seperti adanya aturan warisan; (3) kerusakan lingkungan seperti adanya musim kemarau panjang yang mengakibatkan kekeringan terutama pada usaha pertanian, penggunaan pestisida maupun pupuk yang dapat mematikan predator dan kerusakan lahan pertanian; (4) kelemahan hukum yang mengatur bidang pertanian, seperti harga pupuk yang tinggi, harga gabah yang rendah dan masalah pengaturan harga beras yang sampai sekarang masih sangat pelik. Dewasa ini banyak terjadi perubahan struktur agraria yang menyangkut tanah sebagai sumber agraria. Tidak dapat dipungkiri bahwa keterkaitan masyarakat terhadap tanah masih sangat tinggi. Tidak hanya sebagai alat untuk mencari penghidupan dan mata pencaharian, namun tanah juga berhubungan erat dengan identitas diri “martabat” atau “dignity” seseorang di dalam masyarakat dan menaikkan derajat posisi tawar mereka di dalam masyarakat. Aspek ekonomi, sosio, politik dan kultural dari keterkaitan seseorang dengan tanah ini menjadi latar belakang banyak kajian penting tentang bagaimana akses terhadap tanah dapat meningkatkan taraf kehidupan seseorang. Penelitian ini akan dilakukan di Desa Klaces, Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Desa ini merupakan salah satu desa di sekitar perairan Segara Anakan, yang terbentuk dari luasan tanah timbul dari perubahan lanskap Laguna Segara Anakan. Perubahan lanskap yang terjadi menyebabkan perairan Segara Anakan semakin sempit dan tanah timbul semakin meluas. Hal ini terjadi disebabkan oleh beberapa faktor baik bersifat alamiah maupun non alamiah. Seiring dengan semakin menyempitnya Segara Anakan, masyarakat Kampung Laut pun harus kehilangan sumber nafkahnya. Sebagian dari mereka kemudian mulai beralih profesi, menjadi petani dengan memanfaatkan tanah timbul sebagai lahan garapannya. Bagi mereka, beralih profesi dipandang sebagai cara yang paling logis dan paling mungkin untuk dilakukan agar mereka bisa melanjutkan kelangsungan hidupnya. Keberadaan masyarakat di tanah timbul itu pun bukannya tanpa sengketa. Ada beberapa pihak yang berkepentingan dalam konteks tanah timbul itu. Selain masyarakat, paling tidak di sana ada LP Nusakambangan, Perhutani, dan Badan Pengelola Konservasi Segara Anakan (BPKSA) yang lebih mempunyai perhatian pada hutan mangrove. Permasalahan baru pun muncul terkait lemahnya kepastian kepemilikan dan distribusi tanah di tengah kondisi masyarakat yang tergolong miskin. Bappenas (2005) menjelaskan bahwa masyarakat miskin menghadapi masalah ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah, serta ketidakpastian dalam penguasaan dan pemilikan lahan pertanian. Kehidupan rumah tangga petani sangat dipengaruhi oleh aksesnya terhadap tanah dan kemampuan mobilitas anggota keluarganya untuk bekerja di atas tanah pertanian. Oleh sebab itu, meningkatnya jumlah petani gurem dan petani tunakisma mencerminkan kemiskinan di pedesaan. Masalah tersebut bertambah buruk dengan struktur penguasaan lahan yang timpang karena sebagian besar petani gurem tidak secara formal menguasai lahan sebagai hak milik, dan kalaupun mereka memiliki tanah, perlindungan terhadap hak mereka atas tanah tersebut tidak cukup kuat karena tanah tersebut seringkali tidak bersertifikat. Tingkat pendapatan rumah tangga petani ditentukan oleh luas tanah pertanian yang secara nyata dikuasai. Terbatasnya akses terhadap tanah merupakan salah satu faktor penyebab kemiskinan dalam kaitan terbatasnya aset dan sumber daya produktif yang dapat diakses masyarakat miskin. Terbatasnya akses masyarakat miskin terhadap tanah tergambar dari timpangnya distribusi penguasaan dan pemilikan tanah oleh rumah tangga petani, dimana mayoritas rumah tangga petani masing-masing hanya memiliki tanah kurang dari satu hektar dan 3 adanya kecenderungan semakin kecilnya rata-rata luas penguasaan tanah per rumah tangga pertanian. Ketimpangan penguasaan tanah dari dasawarsa di mana Sensus Pertanian dilaksanakan memperlihatkan ketimpangan distribusi penguasaan tanah antar kelompok petani di pedesaan semakin tinggi. Ketimpangan penguasaan tanah ini jelas merupakan permasalahan yang krusial, apalagi diprediksikan jumlahnya akan terus meningkat jika tidak ada upaya dari pemerintah untuk menanganinya. Penguasaan tanah ini tentu saja akan berdampak pada pendapatan yang akan dihasilkan dari pemanfaatan tanah. Pendapatan yang didapatkan digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga petani. Dari penjabaran ini dapat dilihat bahwa penguasaan tanah memiliki dampak terhadap kualitas hidup rumah tangga petani yang menguasai tanah. Oleh karena itu, penelitian ini akan memaparkan perubahan lanskap yang berimplikasi pada perubahan struktur agraria, struktur penguasaan lahan dan dampaknya pada kualitas rumah tangga petani yang menguasai lahan timbul. 1.2 Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang tersebut maka rumusan penelitian ini yaitu: 1. Bagaimana perubahan bentang alam yang berimplikasi pada perubahan struktur agraria di Desa Klaces, Segara Anakan? 2. Apa corak usaha tani terhadap kualitas hidup rumah tangga petani Desa Klaces? 3. Apa dampak struktur penguasaan tanah timbul yang diterapkan pada masyarakat terhadap kualitas hidup rumah tangga petani Desa Klaces? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji masalah yang telah dipaparkan yaitu menelaah perubahan lanskap; struktur penguasaan lahan dan dampaknya terhadap kualitas rumah tangga petani di Desa Klaces, Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Kemudian, tujuan khususnya ialah menjawab pertanyaan permasalahan, yakni: 1. Menganalisis perubahan bentang alam yang berimplikasi pada perubahan struktur agraria di Desa Klaces, Segara Anakan. 2. Menganalisis corak usaha tani terhadap kualitas hidup rumah tangga petani di Desa Klaces. 3. Menganalisis dampak struktur penguasaan lahan timbul terhadap kualitas hidup rumah tangga petani. 1.4 Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi berbagai pihak, diantara lain ialah: 1. Akademisi Hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu sumber informasi mengenai perubahan lanskap dan faktor-faktor penyebabnya serta menjadi referensi untuk penelitian-penelitian selanjutnya. Selain itu diharapkan pula dapat menambah khasanah dalam kajian ilmu pengetahuan agraria. 2. Pemerintah Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam menyusun dan mengambil kebijakan mengenai peraturan penguasaan dan pemanfaatan lahan, serta membuat solusi apabila terjadi ketimpangan dan konflik terhadap lahan yang terjadi antara masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan pemerintah maupun masyarakat dengan lembaga atau penguasa yang berkepentingan. 3. Masyarakat Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan mengenai faktor penyebab perubahan lanskap yang terjadi, struktur penguasaan tanah timbul serta dampaknya terhadap kualitas hidup rumah tangga petani di Desa Klaces. Selain itu diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi referensi bagi desa-desa lain yang mengalami hal serupa mengenai keberadaan tanah timbul serta penguasaan dan pemanfaatannya. 4 2. Pendekatan Teoritis 2.1 Tinjauan Pustaka Perubahan Lanskap Perubahan bentang alam atau perubahan lanskap yang terjadi di permukaan bumi membuat keadaan bumi kian hari kian berubah. Perubahan ini dipengaruhi oleh faktor-faktor penyebab. Menurut Nasution (2003) perubahan infrastruktur lanskap yang disebabkan oleh manusia umumnya dipengaruhi oleh kekuatan politik, ekonomi, sosial, serta teknologi. Manusia sebagai aktor yang memiliki kemampuan untuk memanfaatkan sumber daya alam berpengaruh terhadap keberadaan sumber daya alam ini. Berbagai cara yang dilakukan manusia terhadap alam memiliki resiko tersendiri. Selain disebabkan oleh manusia, perubahan lanskap pun dapat terjadi secara alamiah. Menurut Antrop (2005) perubahan infrastuktur lanskap yang disebabkan oleh alam tidak lain dipengaruhi oleh karakteristik dari alam itu sendiri, dimana alam itu selalu berubah. Berbagai kasus perubahan lanskap yang terjadi telah menghasilkan sumber daya alam baru yang kelak dapat dimanfaatkan oleh manusia. Beberapa ahli menyebutkan bahwa sumber daya alam adalah keadaan lingkungan alam (natural environment) yang mempunyai nilai untuk memenuhi kebutuhan manusia. Adapula yang mengartikan sumber daya alam sebagai keadaan lingkungan dan bahan-bahan mentah yang digunakan manusia untuk memenuhi kebutuhannya dan memperbaiki kesejahteraannya. Ramadhan (2012) menjelaskan bahwa telah terjadi perubahan lingkungan di Segara Anakan yang memunculkan tanah timbul sebagai akibat dari proses laju sedimentasi yang sangat tinggi. Proses sedimentasi ini terjadi karena beberapa hal salah satunya karena penggunaan lahan yang tidak berkesinambungan (unsustainabe land use) yang terjadi pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Citanduy. Lahan timbul ini dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk pemukiman, lahan pertanian, dan lahan tambak perikanan. Hal ini dilakukan oleh mereka untuk menunjang kehidupannya di tengah perubahan lanskap yang terjadi di Segara Anakan. Penyusutan perairan Segara Anakan memberikan dampak bagi kehidupan mereka terutama pada peralihan mata pencaharian. Tanah Timbul Dalam Peraturan Pemerintah (PP) 16 tahun 2004 Tentang Penggunaan Tanah pada penjelasan pasal 12, memberikan definisi tanah timbul sebagai daratan yang terbentuk secara alami dan buatan karena proses sedimentasi sungai, danau, pantai dan atau pulau timbul, serta penguasaan tanahnya dikuasai negara. Menurut Perda Kabupaten Indramayu No. 9 tahun 2003 pasal 1 memberikan definisi Tanah Timbul adalah lahan yang terbentuk karena endapan lumpur baik di pantai maupun di muara sungai, pada pasal 2 menerangkan tanah timbul merupakan tanah negara yang dikelola oleh Pemerintah Daerah. Pengertian tanah timbul adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat sesuai dengan Keppres No. 32 pasal 14 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung (sempadan pantai). Melihat konsep dan definisi di atas, keberadaan tanah timbul di Desa Klaces, Kampung Laut yang semakin meluas dari tahun ke tahun yang disebabkan oleh tingginya laju sedimentasi DAS Citanduy. Aliran substrat (sedimentasi) yang berlangsung terus-menerus dengan laju yang kian bertambah dari tahun ke tahun memuculkan fenomena alam yang mengakibatkan semakin menyempitnya wilayah perairan Segara Anakan. Material-material sedimentasi yang tidak bisa mengalir ke laut lepas memunculkan tanah timbul. Tanah timbul ini lambat laun menjadi sebuah daratan yang akhirnya ditumbuhi hutan mangrove. Tanah timbul yang semakin meluas dimanfaatkan oleh masyarakat untuk keperluan hidupnya seperti pemukiman, lahan pertanian, dan lahan tambak perikanan. Penguasaan Tanah dan Kelembagaannya Dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan pengertian mengenai tanah yaitu permukaan bumi atau lapisan yang di atas sekali. Pengertian tanah diatur dalam pasal 4 UUPA dinyatakan sebagai berikut: 5 “atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.” Menurut Firey dalam Johara (1992) penguasaan tanah menunjukkan pengaruh budaya yang besar dalam adaptasi ruang, dan berkesimpulan bahwa yang merupakan lambang bagi nilainilai sosial misalnya penduduk sering memberikan nilai sejarah yang besar terhadap sebidang tanah. Berhubungan dengan pendapat Firey tersebut, Chapin dalam Johara (1992) menggolongkan tanah dalam tiga kelompok yaitu yang memiliki: 1. nilai keuntungan: yang dihubungkan dengan tujuan ekonomi dan yang dapat dicapai dengan jual-beli tanah di pasaran bebas 2. nilai kepentingan umum: yang berhubungan dengan pengaturan untuk masyarakat umum dalam perbaikan kehidupan masyarakat 3. nilai sosial: yang merupakan hal yang mendasar bagi kehidupan (misalnya sebidang tanah yang dipelihara, peninggalan, pusaka, dan sebagainya), dan yang dinyatakan oleh penduduk dengan perilaku yang berhubungan dengan pelestarian, tradisi, kepercayaan, dan sebagainya Pertimbangan dalam kepentingan tanah diberbagai wilayah mungkin berbeda tergantung kepada struktur sosial penduduk tertentu akan diberikan prioritas bagi fungsi tertentu kepada tanah. Jika hal ini tidak dipenuhi, maka kehidupan masyarakat tersebut akan dirugikan. Pemilikan tanah dari sisi sosial, bukan hanya merupakan harta ekonomi, tetapi mencerminkan status sosial seseorang. Penguasaan tanah belum tentu dan tidak harus disertai pemilikan. Sihaloho (2004) menambahkan bahwa penguasaan tanah dapat berupa hubungan “pemilik dengan pemilik”, “pemilik dengan pembagi-hasil”, “pemilik dengan penyewa”, “pemilik dengan pemakai” dan lainlain. Sedangkan kata “pengusahaan” menunjuk pada pemanfaatan sebidang tanah secara produktif. Ketidakmerataan penguasaan atas tanah pertanian menyebakan kemiskinan di desa khususnya bagi para petani. Hak menguasai atas tanah yang lemah menyebabkan para petani kecil tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup sehari-harinya. Para petani yang menguasai sebagian tanah yang kecil berusaha untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dengan cara menyewakan ataupun menjual tanah yang mereka miliki. Hal ini mereka lakukan karena tanah yang mereka kuasai pun tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka dan mereka terpaksa menjadi buruh di tanah sendiri. Terjadinya ketidakmeratan akses penguasaan atas tanah ini menjadikan bertambahnya petani tidak bertanah dan mengakibatkan posisi umum petani ini termarginalisasi dari kehidupan sosialnya. Kelembagaan penguasaan tanah yang umumnya dilakukan masyarakat di desa-desa Jawa adalah sebagai berikut (Wiradi dan Makali 1984): 1. Sistem gadai, merupakan bentuk kelembagaan penguasaan tanah dimana pemilik menyerahkan tanah untuk menerima pembayaran sejumlah uang secara tunai atau dengan bentuk pembayaran berupa sekian kuintal gabah atau sekian gram emas perhiasan atau sekian ekor kerbau atau sapi, dengan ketentuan pemilik tetap berhak atas pengembalian tanahnya dengan jalan menebus, maka hak pengusahaan tanahnya ada pada pemegang gadai. Pengembalian tanah dilakukan setelah selesai dipanen. 2. Sistem sewa adalah penyerahan sementara hak penguasaan tanah kepada orang lain, sesuai dengan perjanjian yang dibuat bersama oleh pemilik dan penyewa. 3. Sistem bagi hasil adalah penyerahan sementara hak atas tanah kepada orang lain untuk diusahakan, dengan penggarap akan menanggung beban tenaga kerja seluruhnya dan menerima sebagian dari hasil tanahnya. Pola Penguasaan Lahan Penguasaan lahan menunjukkan istilah yang perlu diberi batasan yaitu penguasaan dan tanah. Tanah yang dimaksud adalah tanah yang berada dipermukaan bumi atau bidang tanah yang diukur dalam meter persegi dan dipergunakan di tempat tanah itu berada atau disebut terplaatse (Sayogyo 1985) yang merupakan sumber hidup dan kehidupan manusia baik tanah sawah, kebun, tempat berburu maupun tempat pengembala ternak dan sebagainya. Penguasaan 6 tanah berarti suatu hak dan wewenang untuk mengatur, mengelola, menggunakan dan memberikan hak milik tanah dalam suatu wilayah kekuasaan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku baik hukum adat maupun peraturan lainnya. Pola pengaturan adalah suatu perangkat norma yang mengatur praktek ideal kehidupan masyarakat. Aturan-aturan tersebut menentukan tata cara kerja sama dan koordinasi anggota masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya serta membantu dalam menentukan hak serta kewajiban masing-masing (Hayami dan Kikuchi 1998 dalam Kasryn 1984 dalam Joula 2002 dalam Ariwijayanti 2011). Terkait pola hubungan agraria, Sihaloho (2004) mengelompokkan penguasan lahan ke dalam tiga kategori, yaitu: 1. Masyarakat yang memiliki lahan luas dan mempercayakan lahan garapannya untuk digarap orang lain. Pemilik lahan ini menerapkan sistem sewa ataupun bagi hasil. 2. Pemilikan lahan sempit yang menggunakan tenaga kerja keluarga untuk mengolah lahan yang dimilikinya. Pemilik lahan ini tidak memanfaatkan tenaga kerja buruh karena luas lahan yang dimiliki sempit dan dana yang dimiliki untuk biaya pengolahan lahan terbatas. 3. Pemilik lahan mengolah sendiri lahan yang dimiliki dengan memanfaatkan jasa buruh tani. Petani yang dimaksud dari pernyataan ini adalah petani yang memiliki lahan sempit maupun luas. Wiradi (1984) menambahkan bahwa terdapat lima pengelompokkan penduduk desa dalam penguasaan lahan, diantaranya: (1) Pemilik penggarap murni, yaitu petani yang hanya menggarap lahan yang dimilikinya; (2) Penyewa dan penyakap murni, yaitu mereka yang tidak memiliki lahan garapan tetapi mempunyai lahan garapan melalui sewa dan/atau bagi hasil; (3) Pemilik penyewa dan/atau pemilik penyakap, yaitu mereka yang di samping menggarap lahannya sendiri juga menggarap lahan milik orang lain; (4) Pemilik bukan penggarap; dan (5) Tunakisma mutlak, yaitu mereka yang benar-benar tidak memiliki lahan garapan. Sebagian besar dari mereka (tunakisma) ini adalah buruh tani dan hanya sebagian kecil saja yang memang pekerjaannya bukan tani. Gambaran Usaha Tani di Indonesia Menurut Kadarsan (1993) dalam Shinta (2011), usaha tani adalah suatu tempat dimana seseorang atau sekumpulan orang berusaha mengelola unsur-unsur produksi seperti alam, tenaga kerja, modal dan keterampilan dengan tujuan berproduksi untuk menghasilkan sesuatu di lapangan pertanian. Di Indonesia, usaha tani dikategorikan sebagai usaha tani kecil karena mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: a. Berusahatani dalam lingkungan tekanan penduduk lokal yang meningkat b. Mempunyai sumber daya terbatas sehingga menciptakan tingkat hidup yang rendah c. Bergantung seluruhnya atau sebagian kepada produksi yang subsisten d. Kurang memperoleh pelayanan kesehatan, pendidikan dan pelayanan lainnya Dari segi ekonomi, ciri yang sangat penting pada petani kecil adalah terbatasnya sumber daya dasar tempat petani tersebut berusaha tani. Pada umumnya mereka hanya menguasai sebidang lahan kecil, disertai dengan ketidakpastian dalam pengelolaannya. Lahannya sering tidak subur dan terpencar-pencar dalam beberapa petak. Mereka sering terjerat hutang dan tidak terjangkau oleh lembaga kredit dan sarana produksi. Bersamaan dengan itu, mereka menghadapi pasar dan harga yang tidak stabil, mereka tidak cukup informasi dan modal. Shinta (2011) mengklasifikasi usaha tani menjadi dua yaitu pola usaha tani dan tipe usaha tani. Terdapat dua macam pola usaha tani, yaitu lahan basah atau sawah lahan kering. Tipe usaha tani menunjukkan klasifikasi tanaman yang didasarkan pada macam dan cara penyusunan tanaman yang diusahakan. Pada tipe usaha tani terdapat lima kategori yaitu 1) macam tipe usaha tani (usaha tani padi atau palawija); 2) pola tanam (usaha tani monokultur, campuran/ tumpangsari, bergilir/tumpang gilir); 3) struktur usaha tani; 4) corak usaha tani; 5) bentuk usaha tani (perorangan, kooperatif). Pada penelitian ini yang akan dilihat yaitu corak usaha tani yang dilakukan oleh petani setempat. Corak usaha tani dilihat berdasarkan tingkatan hasil pengelolaan usaha tani yang ditentukan oleh berbagai ukuran/kriteria. Corak usaha tani yang akan dilihat pada penelitian ini menggunakan kriteria tingkat adaptasi teknologi dan proporsi penggunaan faktor produksi yaitu ketenagakerjaan. 7 Kualitas Hidup Rumah Tangga Petani Yunilisiah (1996) menyatakan pada dasarnya manusia memiliki persamaan (ingin sekali, egois, sulit berubah) dan perbedaan dalam hal intelegensi, perasaan, cara berbuat, sehingga tingkat kualitas hidup manusia merupakan salah satu faktor penentu tingkat ketentraman hidup manusia dalam berinteraksi. Pengembangan kualitas hidup manusia dilihat secara objektif dimulai dari kebutuhan individu dalam kelompok dan subjektif yaitu dari kepentingan pihak pengambil kebijakan. Untuk mencapai keseimbangan antara dua kepentingan diperlukan forum interface (forum sodality-meminjam istilah Tjondronegoro), yaitu berupa kebijakan yang tidak merugikan kedua belah pihak, seperti kebijakan pembebasan tanah untuk ‘pembangunan’ tetapi tetap memperhatikan kebutuhan yang dirasakan oleh masyarakat, khususnya petani. Selama bidang pertanian memegang peranan penting pada masyarakat pedesaan, maka luas penguasaan tanah adalah jalur essensial dalam menentukan kualitas dan kesejahteraan hidup petani (gambaran yang menerangkan keadaan baik buruknya suatu rumah tangga petani), karena keberadaan tanah memberikan kesempatan peluang berusaha dan bekerja yang pada gilirannya menentukan tingkat pendapatan petani. Luas tanah ternyata terkait erat dengan tingkat pendapatan total rumah tangga, baik dari pertanian maupun luar pertanian (Sayogyo 1984 dalam White 1990 dalam Yunilisiah 1990). Pendapatan rumah tangga petani bersumber dari kegiatan usaha tani dan usaha di luar pertanian. Pendapatan hasil usaha tani merupakan hasil perkalian harga tiap satuan dengan jumlah masing-masing produk yang dihasilkan. Pendapatan riil dari usaha tani yang diperoleh rumah tangga petani umumnya disertai dengan usaha mencari nafkah pada usaha di luar pertanian (pola nafkah ganda). Motivasi mereka memasuki usaha luar pertanian umumnya bervariasi; (1) adanya surplus dari usaha tani yang kemudian diakumulasi di sektor non-pertanian; (2) untuk berjaga-jaga seandainya mengalami kegagalan di sektor pertanian; (3) untuk mempertahankan agar tetap hidup karena di sektor pertanian tidak mencukupi (White 1990 dalam Yunilisiah 1990). Menurut Sadiwak (1985) dalam Massardy (2009), kesejahteraan merupakan sejumlah kepuasan yang diperoleh seseorang dari hasil mengkonsumsi pendapatan yang diterima, namun tingkat kesejahteraan itu sendiri merupakan sesuatu yang bersifat relatif karena tergantung dari kepuasan yang diperoleh dari hasil mengkonsumsi pendapatan tersebut. Konsumsi itu sendiri pada hakekatnya bukan hanya sesuatu yang mengeluarkan biaya, karena dalam beberapa hal konsumsi pun dapat dilakukan tanpa menimbulkan biaya konsumennya. Indikator kesejahteraan rakyat menyajikan gambaran mengenai taraf kesejahteraan rakyat Indonesia antar kurun waktu, perkembangannya antar waktu serta perbandingannya antar populasi dan daerah tempat tinggal (perkotaan dan pedesaan). Dimensi kesejahteraan rakyat disadari sangat luas dan kompleks, sehingga suatu taraf kesejahteraan rakyat hanya dapat dilihat dari suatu aspek tertentu. Berbagai aspek mengenai indikator kesejahteraan oleh BPS melalui SUSENAS (2002), antara lain: a) tentang individu seperti kependudukan, kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, fertilitas, dan KB serta b) tentang rumah tangga seperti perumahan dan pengeluaran. 2.2 Kerangka Pemikiran Perubahan lanskap atau bentang alam yang terjadi dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor alamiah dan non-alamiah. Faktor yang terjadi secara alamiah berasal dari karakteristik alam itu sendiri dan bencana alam. Faktor non alamiah dapat berasal dari aktivitas manusia baik di bidang politik, ekonomi, sosial, dan teknologi. Salah satu perubahan lanskap yang terjadi yaitu munculnya luasan tanah timbul di Segara Anakan. Munculnya tanah timbul sebagai sumber daya alam baru memberikan peluang kepada manusia untuk menguasai dan memanfaatkannya. Hubungan antara tanah timbul dengan manusia ini menumbuhkan perubahan struktur agraria. Perubahan struktur agraria ini menimbulkan dampak yang menyebabkan lahirnya struktur penguasaan lahan dan corak usaha tani pada masyarakat yang mengalami peralihan matapencaharian dari nelayan ke petani. Struktur penguasaan lahan dapat dilihat dari luas lahan yang dikuasai, kelembagaan penguasaan lahan dan tingkat ketergantungan pada lahan. Selanjutnya, corak usaha tani dapat dilihat dari tingkat adaptasi teknologi dan ketenagakerjaan. Berdasarkan struktur penguasaan lahan dan corak usaha tani, akan dilihat seberapa besar dampaknya terhadap kualitas hidup rumah tangga petani. Kualitas hidup rumah tangga petani 8 yang akan dillihat yaitu tingkat pendapatan, tingkat kesehatan, tingkat konsumsi pangan, dan hubungan sosial. Alur kerangka pemikiran dijelaskan dalam Gambar 2 berikut. Faktor alamiah: - Karakteristik alam - Bencana alam Faktor non-alamiah: - Aktivitas manusia : politik, ekonomi, sosial, dan teknologi Perubahan lanskap Tanah timbul Perubahan struktur agraria dan dampaknya Struktur Penguasaan Lahan - Luas lahan yang dikuasai - Tingkat Ketergantungan pada lahan - Kelembagaan Penguasaan Tanah - Corak Usaha Tani - Tingkat adaptasi teknologi - Ketenagakerjaan Kualitas Hidup Rumah Tangga Petani Tingkat Pendapatan Tingkat Kesehatan Tingkat Konsumsi Pangan Hubungan sosial Gambar 1. Kerangka Pemikiran Perubahan Lanskap; Struktur Penguasaan Lahan dan Dampaknya Terhadap Kualitas Hidup Rumah Tangga Petani Desa Klaces Keterangan : : Diteliti secara deskriptif : Mempengaruhi : Memunculkan 2.3 Hipotesis Penelitian A. Hipotesis Pengarah 1) Terdapat perubahan lanskap yang berimplikasi pada perubahan struktur agraria B. Hipotesis Uji 1) Semakin baik struktur penguasaan lahan maka semakin tinggi kualitas hidup rumah tangga petani 2) Semakin baik corak usaha tani maka semakin tinggi kualitas hidup rumah tangga petani 9 2.4 Definisi Operasional 1. Struktur penguasaan lahan adalah distribusi luas penguasaan tanah rumah tangga petani untuk mengusahakan tanah seperti sewa, bagi hasil, gadai. Indikator struktur penguasaan lahan dapat dilihat dari: a) Luas penguasaan lahan adalah ukuran lahan yang dikuasai responden dalam satuan meter persegi (m2). Untuk penentuan kategori pengukuran dilakukan berdasarkan hasil rataan luas lahan menurut kondisi lapang. i. Sempit ( < 1000 m2) ii. Sedang ( 1000-5000 m2) iii. Luas ( > 5000 m2) b) Tingkat ketergantungan pada lahan adalah sejauh mana lahan dianggap penting dalam memenuhi kebutuhan responden yang diukur berdasarkan persentase pendapatan pertanian dari seluruh total pendapatan rumah tangga responden. Pengukurannya yaitu: i. Rendah (0-35%) ii. Sedang (35-70%) iii. Tinggi (70-100%) c) Kelembagaan penguasaan lahan adalah sejauh mana petani memiliki kesadaran akan kepatuhan pada kelembagaan yang ada dalam penguasaan lahan untuk menjaga hubungan sosial di antara petani. (skor 1 jika tidak melakukan, skor 2 jika melakukan) i. Rendah (jika total skor antara 5-6) ii. Sedang (jika total skor antara 7-8) iii. Tinggi (jika total skor antara 9-10) 2. Corak usaha tani adalah tingkatan hasil pengelolaan usaha tani yang ditentukan oleh berbagai ukuran/kriteria, antara lain a) Tingkat adaptasi teknologi adalah perilaku petani dalam menyesuaikan penggunaan teknologi dengan kondisi sekitar. Penggunaan teknologi pertanian meliputi penggunaan teknologi kimiawi-biologi (bibit unggul, pupuk, pestisida) (skor 1 jika tidak melakukan, skor 2 jika melakukan) i. Rendah (jika total skor antara 5-6) ii. Sedang (jika total skor antara 7-8) iii. Tinggi (jika total skor antara 9-10) b) Ketenagakerjaan adalah perilaku petani dalam mengatur strategi pola kerja dan tenaga kerja (skor 1 jika tidak melakukan, skor 2 jika melakukan) i. Rendah (jika total skor antara 5-6) ii. Sedang (jika total skor antata 7-8) iii. Tinggi (jika total skor antara 9-10) 3. Kualitas hidup rumah tangga petani adalah gambaran yang menerangkan baik buruknya keadaan rumah tangga petani. Indikator kualitas hidup RT berdasarkan tingkat pendapatan rumah tangga, tingkat kesehatan (sanitasi dan penyakit), tingkat konsumsi pangan dan hubungan sosial. a) Tingkat pendapatan rumah tangga adalah jumlah seluruh pendapatan nyata berupa uang, barang/kiriman ataupun jasa yang dinyatakan dalam bentuk rupiah oleh anggota rumah tangga yang menghasilkan pendapatan dalam satuan hari/ minggu/ bulanan dari kegiatan pertanian maupun non pertanian. Pendapatan usaha tani dihitung dari penerimaan dari usaha tani baik berupa dari hasil sawah, tegalan, kebun, pekarangan yang merupakan hasil perkalian harga satuan dengan jumlah masing-masing produksi. Pengukuran tingkat pendapatan ini disesuaikan dengan kondisi lapang yang dibagi berdsarkan: i. Rendah (jika pendapatan responden kurang dari sama dengan Rp 1.500.000 ) ii. Sedang (jika pendapatan responden antara Rp 1.600.000 - Rp 2.500.000 ) iii. Tinggi (jika pendapatan responden lebih dari sama dengan Rp 2.600.000 ) b) Tingkat kesehatan adalah kualitas kesehatan anggota rumah tangga yang dilihat baik buruknya kondisi fisik anggota rumah tangga dan pola kebersihan lingkungan rumah tangga responden (skor 1 jika tidak melakukan, skor 2 jika melakukan) 10 i. Rendah (jika total skor antara 9-12) ii. Sedang (jika total skor antara 13-15) iii. Tinggi (jika total skor antara 16-18) c) Tingkat konsumsi pangan adalah seberapa besar kemampuan petani untuk dapat mengkonsumsi dan membeli beras, sayuran, telur, susu, ikan, daging, kacang-kacangan, buah-buahan, dan minyak goreng. Pengukuran ini ditentukan secara partisipatif dengan perspektif lokal (skor 1 jika tidak mampu melakukan, skor 2 jika mampu melakukan) i. Rendah (jika total skor antara 9-12) ii. Sedang (jika total skor antara 13-15) iii. Tinggi (jika total skor antara 16-18) d) Hubungan sosial adalah perilaku anggota rumah tangga dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya (skor 1 jika tidak melakukan, skor 2 jika melakukan) i. Rendah (jika total skor antara 9-12) ii. Sedang (jika total skor antara 13-15) iii. Tinggi (jika total skor antara 16-18) 3. Pendekatan Lapang 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di RW 02, Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Pemilihan lokasi tersebut dilakukan secara sengaja (purposive) dengan beberapa alasan, yaitu: a. Desa Klaces merupakan salah satu desa yang terbentuk karena perubahan lanskap Laguna Segara Anakan dan memiliki luasan tanah timbul yang cukup luas. b. Sebagian besar penduduk Desa Klaces mengalami perubahan matapencaharian dari nelayan menjadi petani yang memanfaatkan tanah timbul sebagai lahan persawahan tadah hujan. c. RW 02 merupakan desa yang terdekat dengan Laguna Segara Anakan dan mayoritas warganya beralih matapencaharian menjadi petani Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai April 2013. Selama pengambilan data berlangsung, peneliti tinggal bersama obyek penelitian di lapangan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan. Hal ini dilakukan agar peneliti dapat mengetahui lokasi penelitian dengan baik, menciptakan hubungan sosial yang dekat dengan obyek penelitian, dan mendapat data yang lebih dalam dan valid. Tabel 2. Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2014. Jan Feb Maret Kegiatan 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 Penyusunan Proposal Skripsi Kolokium Perbaikan Proposal Skripsi Pengambilan Data Lapang Pengolahan dan Analisis Data April 4 1 2 3 Mei 4 1 2 3 4 11 Penulisan Draft Skripsi Uji Petik Sidang Skripsi Perbaikan Laporan Skripsi 3.2 Teknik Pengambilan Responden dan Informan Sumber data dalam penelitian ini adalah responden dan informan. Unit analisa dalam penelitian ini adalah rumah tangga petani Desa Klaces yang diwakili oleh kepala keluarga. Responden akan diwawancarai sesuai dengan kuesioner (lampiran 2) yang telah dibuat karena jawabannya dianggap dapat mewakili kondisi rumah tangganya sebagai rumah tangga petani Desa Klaces. Responden hanya memberikan informasi terkait dengan dirinya. Berdasarkan data monografi Kecamatan Kampung Laut tahun 2010, jumlah rumah tangga petani di desa ini adalah 275 KK. Penentuan jumlah sampel minimal dilakukan dengan menggunakan Rumus Slovin sebagai berikut: Keterangan: n : Jumlah sampel N : Jumlah populasi e : Nilai kritis (batas ketelitian) Nilai kritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah 15 persen sehinga diperoleh responden sebanyak 38 orang dari jumlah populasi sampling 275 orang. Jumlah informan dalam penelitian ini tidak dibatasi dengan tujuan untuk memperkaya informasi mengenai fenomena perubahan lanskap yang terjadi sehingga memunculkan tanah timbul dan dimanfaatkan oleh masyarakat disana. Penelitian akan dilakukan pada rumah tangga petani yang memiliki dan menguasai lahan dengan menggunakan teknik bola salju (snowball sampling) yang memungkinkan perolehan data dari satu informan ke informan lainnya. Pencarian informasi ini akan berhenti apabila tambahan informan tidak lagi menghasilkan pengetahuan baru atau sudah berada pada titik jenuh. 3.3 Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang pengumpulannya dilakukan sendiri oleh peneliti. Artinya, data tersebut diperoleh dari pengamatan langsung peneliti sendiri, yakni hasil wawancara dengan responden/informan dan hasil pengukuran peneliti sendiri. Data primer yang diperoleh dari responden dilakukan melalui teknik wawancara dengan alat bantu kuesioner yang telah dipersiapkan (Lampiran 2). Sedangkan pengumpulan data dari informan dilakukan dengan wawancara mendalam menggunakan pedoman wawancara. Data primer yang dikumpulkan adalah: 1) Struktur penguasaan lahan, yang meliputi luasan lahan yang dikuasai, status kepemilikan lahan dan kelembagaan penguasaan lahan 2) Corak usaha tani, yang meliputi tingkat adaptasi teknologi dan ketenagakerjaan 3) Kualitas hidup rumah tangga petani, yang meliputi tingkat pendapatan, tingkat kesehatan, tingkat konsumsi, dan hubungan sosial Selain data primer, pengumpulan data dalam penelitian ini juga menggunakan data sekunder. Data dekunder adalah data yang dikumpulkan oleh pihak lain dan sudah diolah oleh pihak lain tersebut. Sumber data sekunder diperoleh dari Kantor Desa Klaces, Kantor Kecamatan Kampung Laut, Badan Pertanahan Nasional Cilacap, BPS Kabupaten Cilacap, Badan Pengelola Kawasan Segara Anakan (BPKSA), BAPPEDA, serta buku, internet, jurnal-jurnal penelitian, skripsi, tesis, disertasi dan laporan penelitian yang ada kaitannya dengan penelitian ini. 12 3.4 Teknik Pengolahan dan Analisis Data Data kuantitatif diperoleh melalui kuesioner yang dibagikan kepada responden. Pengolahan data tersebut melalui beberapa langkah yaitu editing kuesioner, pengkodean data, pemindahan data ke lembar penyimpanan data (Microsoft Excel), dan mengubah data dari excel ke SPSS untuk memudahkan pembersihan dan pengolahan data. Proses editing dilakukan untuk membaca dan memberi koreksi pada setiap kuesioner yang telah diisi oleh peneliti. Proses editing ini berguna untuk mencek kelengkapan data, logika urutan jawaban atas setiap pertanyaan dalam kuesioner, kelogisan jawaban dan ketelitian (dalam hal pencatatan angka-angka). Setelah editing kemudian dilakukan pengkodean data yang merupakan suatu proses penyusunan secara sistematis data mentah yang terdapat dalam kuesioner ke dalam bentuk yang mudah dibaca oleh komputer. Pemberian kode ini yaitu memberikan simbol-simbol angka kepada jawaban-jawaban tertentu. Setelah pengkodean data, dilakukan pemindahan data ke lembar penyimpanan data menggunakan Microsoft Excel dan SPSS (statistical package for social) dan selanjutnya dilakukan pembersihan data yang bertujuan untuk menghilangkan kesalahan pemberian kode atau meringkas kembali kategori-kategori jawaban. Setelah itu dalam menganalisis data dilakukan uji analisis data menggunakan koefisien korelasi rank spearman untuk mengukur korelasi antara dua variabel yang memiliki tingkat ordinal. Metode analisis berikutnya yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis non inferensia untuk menguji hipotesis penelitian dengan menggunakan tabulasi silang. Data kualitatif dengan mengutip hasil pembicaraan dengan responden dan informan akan dijelaskan dan disampaikan secara deskriptif untuk mempertajam hasil penelitian. Teknik analisis data kualitatif dilakukan sejak awal pengumpulan data. Hasil wawancara mendalam dan pengamatan disajikan dalam bentuk catatan harian yang dianalisis sejak pertama kali datang ke lapangan dan berlangsung terus menerus. Analisis data kualitatif dilakukan secara terus menerus yang terdiri dari pengumpulan data, analisis data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. 13 DAFTAR PUSTAKA Adly WS. 2009. Perubahan Struktur Agraria dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Antrop M. 2005. Sustainable Landscape: Contradiction, Fiction, or Utopia. Landscape and Urban Planning. [Internet]. [Dikutip 5 Desember 2013]. 75: 187-197. Dapat diunduh dari: http://elsevier.com/locate/landurbplan Ariwijayanti E. 2011. Pengaruh Penguasaan Lahan Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat. [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 107 hal. [BAPPENAS] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2005. Bab 16 : Penanggulangan Kemiskinan. [Internet]. [Dikutip 20 Februari 2013]. Dapat diunduh dari: http://www.bappenas.go.id/files/5413/6082/9497/bab-16-penanggulangan-kemiskinan.pdf [BPS] Badan Pusat Statistik. 2002. SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional) 2002. Jakarta [ID] : Badan Pusat Statistik. Johara JT. 1992. Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan Perkotaan dan Wilayah. Bandung [ID]: Penerbit ITB Bandung. 306 hal. Massardy E. 2009. Pengaruh Perubahan Struktur Agraria Akibat Konversi Lahan terhadap Kesejahteraan Masyarakat (Studi Kasus: Desa Tambak, Kecamatan Kibin, Kabupaten Serang, Propinsi Banten). [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Nasution A. 2003. Perkembangan Kebutuhan Masyarakat pada Ruang Terbuka Publik di Pusat Kota. [Internet]. [Dikutip 5 Desember 2013]. Dapat diunduh dari: http://personal.umich.edu [Perda] Peraturan Daerah Kabupaten Indramayu No. 9 Tahun 2003 pasal 1 Tentang Tanah Timbul [PP] Peraturan Pemerintah Nomor 16 Pasal 12 Tahun 2004 Tentang Penggunaan Tanah Prayitno. 2001. Perubahan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Pantai Akibat Perubahan Ekosistem Pantai: Studi Kasus Di Kawasan Segara Anakan Cilacap. [tesis]. Yogyakarta [ID]: Universitas Gadjah Mada. Ramadhan A, Hafsaridewi R. 2012. Dampak Perubahan Lingkungan terhadap Perkembangan Aktivitas Ekonomi dan Kesejahteraan Masyarakat Pesisir di Kawasan Segara Anakan. [Internet]. [ 9 Oktober 2013]. 7(1):33-53. Dapat diunduh dari: http://www.bbrse.kkp.go.id/publikasi/jurnal 2012_v7_no1_ %283%29_full.pdf Shinta A. 2011. Ilmu Usaha Tani. Malang [ID]: Universitas Brawijaya Press (UB Press). 164 hal. Sihaloho M. 2004. Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Struktur Agraria. [tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 171 hal. [UUPA] Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria Wiradi G dan Makali. 1984. Penguasaan Tanah dan Kelembagaan. Faisal Kasryono, editor. Prospek Pembangunan Ekonomi Pedesaan Indonesia. Jakarta [ID] : Yayasan Obor Indonesia. 14 Wiradi G. 1984. Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria. Soediono M.P Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, editor. Seri Pembangunan Pedesaan: Dua Abad Penguasaan Tanah (Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa). Jakarta [ID]: PT. Gramedia. Yunilisiah. 1996. Pola Penguasaan Tanah dan Kualitas Rumah Tangga Petani di Desa Transmigran. [tesis]. Bogor [ID] : Institut Pertanian Bogor. 128 hal. LAMPIRAN Lampiran 1. Peta Administratif Kampung Laut 15 Lampiran 2. Kuesioner INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT PERUBAHAN LANSKAP; STRUKTUR PENGUASAAN LAHAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KUALITAS HIDUP RUMAH TANGGA PETANI DESA KLACES No. Kuesioner : Tanggal Wawancara : Jam : I. Karakteristik Responden 1. Nama 2. Alamat 3. Usia 4. Jenis Kelamin 5. Pendidikan Terakhir : : : : : 6. Status Kependudukan : 7. : 8. Pengalaman sebagai Petani (tahun) Jumlah Tanggungan 9. Jumlah Pendapatan : : II. Struktur Penguasaan Lahan No. Pertanyaan 2.1 Penguasaan Lahan 11. Luas lahan yang Anda miliki 12. Luas lahan yang Anda kuasai 2.2 Kelembagaan Penguasaan Lahan 13. Apa status lahan yang bapak kuasai? RT _______/RW _______ ( ( ( ( ( ( ( ( ) Laki-laki ( ) Perempuan ) Tidak Sekolah ) SD/Sederajat ) SMP/Sederajat ) SMA/Sederajat ) Perguruan Tinggi ) Warga Asli ) Warga Pendatang ………………tahun a. Isteri __________ b. Anak kandung __________ c. Anak angkat __________ d. Lainnya __________ m2 ( ( ( ( ) Gadai ) Sewa ) Bagi hasil ) Milik sendiri 16 14. Apa kedudukan bapak terhadap lahan yang dikuasai? ( ( ( ( 15. 16. 17. 18. 19. ) Pemilik penggarap murni ) Penyewa & penyakap murni ) Pemilik penyewa &/ pemilik penyakap ) Pemilik bukan penggarap Saya berusaha patuh pada perjanjian sistem penguasaan lahan yang diterapkan Saya berusaha saling membantu dengan petani lain jika ada kesulitan Saya tidak pernah berkonflik dengan petani lainnya dalam sebulan terakhir Saya berusaha mengembalikan uang pinjaman tepat waktu Saya membangun kepercayaan kepada petani lain dengan menjalin silahturahmi 2.3 Tingkat Ketergantungan Lahan No. Perhitungan Persentase 20. Pendapatan pertanian x 100% Pendapatan total rumah tangga III. Corak Usaha Tani No. Pertanyaan 3.1 Adaptasi Teknologi 21. Saya menggunakan alat penggilingan padi untuk memisahkan padi dengan gabah 22. Saya menggunakan traktor untuk membajak sawah 23. Saya menggunakan bibit unggul untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas hasil pertanian 24. Saya menggunakan pupuk untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas hasil pertanian 25. Saya menggunakan pestisida untuk membasmi hama 3.2 Ketenagakerjaan 26. Saya mempunyai alternatif pekerjaan lain saat musim paceklik tiba 27. Saya menerapkan ilmu pertanian agar produktivitas usaha tani semakin baik 28. Saya tetap mengolah sawah secara rutin, walaupun hasil uang dari lahan pertanian tidak pasti 29. Saya melibatkan anggota keluarga ketika penanaman dan musim panen 30. Saya mengikuti penyuluhan yang diadakan oleh pemerintah Ya Tidak 17 IV. KUALITAS HIDUP RUMAH TANGGA PETANI 4.1 Tingkat Pendapatan No Jenis Penerimaan Perminggu Perbulan A. Pertanian 1. Sawah 2. Kebun 3. Ternak (unggas, ternak besar) Total B. Non Pertanian 1. Pegawai Negeri 2. Pedagang 3.Pengemudi Compreng 4. Buruh 5. Wirausaha 6. Lainnya …………………… Pertahun Keterangan Total 4.2 Tingkat Kesehatan No. Pertanyaan 32. Apakah anggota keluarga Anda jarang sakit? 33. Jika ada anggota keluarga yang sakit, apakah dilakukan pengobatan ke puskesmas/rumah sakit? 34. Apakah anggota keluarga rajin berolahraga? 35. Apakah terdapat tempat sampah di rumah Anda? 36. Apakah jarak septik tank ke sumur air bersih di rumah Anda sejauh > 10 meter? 37. Apakah Anda membersihkan rumah secara rutin? 38. Apakah Anda memiliki MCK di rumah? 39. Apakah Anda selalu membersihkan peralatan makan? 40 Apakah Anda selalu mencuci tangan sebelum makan? 4.3 Tingkat Konsumsi Pangan No. Pertanyaan 41. Apakah anggota keluarga Anda mengkonsumsi kacang-kacangan (tahu, tempe, kacang lahan/kedelai/hijau/merah) setiap hari? 42. Apakah anggota keluarga Anda mengkonsumsi sayur setiap hari? 43. Apakah anggota keluarga Anda mengkonsumsi daging (ayam, sapi, kambing, ikan) dan atau telur setiap hari? Ya Tidak Ya Tidak 18 44 45. 46. 47 48. 49. Apakah anggota keluarga Anda mengkonsumsi susu setiap hari? Apakah anggota keluarga Anda mengkonsumsi buahbuahan setiap hari? Apakah anggota keluarga Anda mengkonsumsi makanan ringan (gorengan, biskuit, dsb)? Apakah ada anggota keluarga Anda yang mengkonsumsi rokok setiap hari? Apakah ada anggota keluarga Anda yang mengkonsumsi kopi dan atau teh setiap hari? Apakah anggota keluarga Anda menggunakan minyak berkualitas baik (bukan curah)? 4.4 Hubungan Sosial No. Pertanyaan 50. Apakah Anda merasa nyaman hidup di desa ini? 51 Apakah Anda memiliki hubungan yang baik dengan masyarakat? 52. Apakah Anda mengikuti perkumpulan dalam masyarakat? 53. Apakah Anda pernah berkonflik dengan warga? 54. Apakah Anda berpartisipasi dalam acara kerja bakti? 55. Apakah Anda memiliki hubungan yang baik dengan pemerintah desa? 56. Apakah Anda berpartisipasi dalam acara besar keagamaan di desa? 57. Apakah Anda mengikuti pengajian rutin di desa? 58. Apakah Anda berusaha patuh pada peraturan di desa? Ya Tidak 19 Lampiran 3. Rancangan Skripsi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Perumusan Masalah 1.3 Tujuan Penelitian 1.4 Kegunaan Penelitian BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.2 Kerangka Pemikiran 2.3 Definisi Konseptual 2.4 Definisi Operasional BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.3 Teknik Pemilihan Responden dan Informan 3.4 Teknik Pengumpulan Data 3.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Data BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI 4.1 Letak Geografis dan Kondisi Alam 4.2 Sejarah Desa dan Sistem Pemerintahan 4.3 Kondisi Sosial dan Ekonomi Petani 4.4 Karakteristik Responden 4.4.1 Usia 4.4.2 Pendidikan 4.4.3 Pengalaman Sebagai Petani 4.4.4 Jumlah Anggota Keluarga 4.4.5 Pendapatan BAB V PERUBAHAN LANSKAP SERTA IMPLIKASI TERHADAP PERGESERAN STRUKTUR AGRARIA 5.1 Faktor Perubahan Lanskap 5.2 Reaksi Berbagai Pihak Atas Perubahan Lanskap 5.3 Sejarah Keberadaan Tanah Timbul 5.3 Kondisi Nyata di Tanah Timbul BAB VI ANALISIS STRUKTUR PENGUASAAN LAHAN TERHADAP KUALITAS HIDUP RUMAH TANGGA PETANI 6.1 Pengaruh Tingkat Penguasaan Lahan Terhadap Kualitas Hidup Rumah Tangga Petani 6.2 Pengaruh Tingkat Ketergantungan Lahan Terhadap Kualitas Hidup Rumah Tangga Petani BAB VII ANALISIS CORAK USAHA TANI TERHADAP KUALITAS HIDUP RUMAH TANGGA PETANI 7.1 Pengaruh Tingkat Adaptasi Teknologi Terhadap Kualitas Hidup Rumah Tangga Petani 7.2 Pengaruh Ketenagakerjaan Terhadap Kualitas Hidup Rumah Tangga Petani 7.3 Pengaruh Kelembagaan Hubungan Kerja Terhadap Kualitas Hidup Rumah Tangga BAB VIII PENUTUP 20 8.1 Kesimpulan 8.2 Penutup DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN