tarian paradigma dalam pendidikan sosiologi dan penyuluhan

advertisement
1
TARIAN PARADIGMA DALAM PENDIDIKAN SOSIOLOGI
DAN PENYULUHAN PERTANIAN MASA DEPAN1
Oleh:
Darmawan Salman2
Pendahuluan: Kompleksitas dan Kekacauan sebagai Pertimbangan
Tani dan pertanian tidak bisa lagi sepenuhnya dilihat dalam perspektif simplisitas
(simplicity) dan keteraturan (order) sebagaimana dalam pembangunan pertanian/revolusi
hijau Indonesia di masa lalu. Saat ini, dibalik simplisitas dan keteraturan tani dan pertanian
sebagai realitas terdapat kompleksitas (complexity) dan ketidakteraturan (disorder) yang
menyertainya. Lalu dibaliknya lagi, kekacauan (chaos) telah mendampingi kejelasan arah
(linearity), dalam perspektif perubahannya. Karena itu, paradigma ilmu/pendidikan
sosiologi dan penyuluhan pertanian yang digunakan untuk memahami dan mengubahnya
juga harus multi, di satu sisi menangkap simplisitas dan keteraturan, di sisi lain
menangkap kompleksitas dan ketidakteraturan, lalu pada berbagai sisi mengelola
perubahan dalam kesadaran adanya kekacauan dibalik kejelasan arah.
Tani dan pertanian tidak lagi satu formasi sosial3 yakni subsistensial. Di balik
kekuatan produksi dan hubungan sosial produksi berciri subsistensial tersebut, telah
matang tata produksi komersial, telah berkembang tata produksi kapitalisme, bahkan
telah tumbuh tata produksi hiperkapitalisme. Interaksi diantara beragam tata produksi
tersebut kapan-kapan menyajikan simplisitas dan keterarturan sistem, kapan-kapan pula
menyajikan kompleksitas dan ketidakteraturan sistem. Formasi sosial tani dan pertanian
saat ini telah melibatkan artikulasi dan koeksistensi beragam tata produksi dalam suatu
dialektika antara simplisitas dan keteraturan dengan kompleksitas dan ketidakteraturan.
Tani dan pertanian tidak lagi terkembang dalam dominasi pengetahuan ilmiah saja.
Dibalik tetap signifikannya kekuatan pengetahuan ilmiah yang mengusung generalisasi/
globalisasi, telah terpromosikan pula kekuatan pengetahuan praktikal sehari-hari yang
mengaksentuasi kekhususan/kelokalan, telah semakin berperan pula kekuatan
pengetahuan simbolis yang menawarkan tafsir makna, dan telah semakin berkontribusi
pula pengetahuan ideologis yang memperjuangkan dasar/akar kuasa. Tani dan pertanian
telah menjelma sebagai panggung kontestasi beragam pengetahuan.
Tani dan pertanian tidak lagi terbangun hanya oleh kontribusi aktor negara. Agen
pembangunan pertanian telah muncul dari beragam pihak: pengambil kebijakan negara,
1
Makalah disampaikan dalam “Pertemuan Nasional Pendidikan Sosiologi dan Penyuluhan Pertanian
Indonesia” dengan Tema “Pendidikan Sosiologi dan Penyuluhan Pertanian yang Adaptif dan Inovatif”,
Laboratorium Sosiologi dan Penyuluhan Pertanian Universitas Padjadjaran, Bandung (Jatinangor) 25-26
Januari 2012.
2
Guru Besar Sosiologi Pedesaan dan Kepala Laboratorium Ekologi Manusia pada Program Studi Agribisnis,
Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Universitas Hasanuddin, Makassar; Ketua Komisi Penyuluhan Provinsi
Sulawesi Selatan. Menyelesaikan S1 Sosial Ekonomi Pertanian di Unhas, Makassar, 1986; S2 Sosiologi
Pedesaan IPB, Bogor, 1992 dan S3 Sosiologi-Antropologi Unpad, Bandung, 2002.
3
Konsep formasi sosial (social formation) disini konsisten dengan yang dikembangkan oleh sosiologiantropologi neo-marxis, diantaranya Philip Rey dan Jean Meillassoux, dengan penekanan pada keniscayaan
terjadinya artikulasi dan koeksistensi berbagai tata produksi dalam suatu formasi sosial. Konsep tata
produksi disini terkait dengan unsur kekuatan produksi (teknologi produksi dan motif produksi) serta
hubungan sosial produksi (relasi pekerja- pemodal, relasi pemodal-pemodal dan relasi pekerja-pekerja).
2
perencana sektoral pemerintah, peneliti pertanian negara, penyuluh pertanian PNS;
perencana ekspansi pasar perusahaan, peneliti dan penyuluh perusahaan; LSM
pemberdayaan masyarakat/petani, relawan pendamping petani; konsultan pembangunan
pertanian/pemberdayaan masyarakat/petani; pengabdian masyarakat oleh perguruan
tinggi; berbagai agenda donor; dan prakarsa/swadaya petani sendiri. Mereka ini
berkontribusi dengan pendekatan/metode/tekniknya masing-masing: ada yang rekayasa
sosial/top-down; ada yang pembelajaran sosial/bottom-up; ada yang penyadaranpengorganisasian sosial/partisipatoris; ada yang konstruksi sosial/multi-pihak. Mereka ini
berkontribusi pada berbagai level: mulai dari level global/internasional; level negarabangsa/nasional; level daerah provinsi/kabupaten-kota; level desa/kelurahan/kecamatan;
level kelompok/ komunitas; hingga level individu/rumah tangga. Tani dan pertanian telah
menjelma sebagai panggung kontestasi multi pelaku, multi metode dan multi level
pembangunan.
Interaksi berbagai inilah yang melahirkan kompleksitas dibalik simplisitas tani dan
pertanian. Interaksi berbagai inilah yang melahirkan ketidakteraturan dibalik keteraturan
tani dan pertanian. Interaksi berbagai inilah yang melahirkan kekacauan dibalik linearitas
perubahan tani dan pertanian. Dan, kalau Bapak Wakil Presiden Boediono mengatakan
bahwa tani dan pertanian kita saat ini mengalami stagnasi, mirip dengan konsep involusi
pertanian yang dulu disampaikan Geertz, jangan-jangan ini terkait dengan kegagalan kita
memahami dialektika kompleksitas dan simplisitas tersebut, dialektika ketidakteraturan
dibalik keteraturan tersebut? Jangan-jangan karena itulah maka meskipun APBN, APBD
Provinsi, APBD Kabupaten, serta dana dari donor telah demikian banyak habis atas nama
pembangunan pertanian, tetapi tani dan pertanian kita malah stagnan? Jangan-jangan itu
terkait dengan kekacauan yang telah melanda tani dan pertanian, lalu Ilmu dan
Pendidikan Sosiologi Pertanian serta Ilmu dan Pendidikan Penyuluhan Pertanian
memang perlu menempatkannya sebagai isu yang serius?
Refleksi Paradigma Ilmu Sosiologi dan Penyuluhan Pertanian
Sadar atau tidak, pendidikan/ilmu sosiologi dan penyuluhan pertanian di kampuskampus Indonesia selama ini lebih berbasis pada paradigma positivisme dan
pospositivisme. Tani dan petani dikaji dengan tujuan menemukan hukum kausalitas yang
bekerja atas realitas, mendeskripsikan proses dan menafsir makna dibalik realitas, dengan
itu prediksi dan kontrol disimpulkan, lalu intervensi pembangunan dijalankan.
Pendidikan/ilmu sosiologi dan penyuluhan pertanian masih kurang/terbatas/tidak sama
sekali menggunakan paradigma kritisisme dan paradigma konstruktivisme dalam
mengembangkan dan menerapkan ilmunya. (Tentang perbandingan paradigma
positivisme, pospositivisme, kritisisme dan konstruktivisme secara ontologis, epistemologis
dan aksiologis dalam konteks/substansi tani dan petani dapat dilihat pada Tabel-1).
Penyuluhan pertanian sebagai terapan sosiologi hanya berporos pada dua
pendekatan: rekayasa sosial (social engineering) ala revolusi hijau dan pembelajaran
sosial (social learning) ala penyuluhan partisipatif, pemberdayaan usaha agribisnis
pedesaan ataupun pengembangan desa mandiri pangan. Terapan sosiologi untuk
kerangka pembongkaran sejarah sosial, politik, budaya, ekonomi, gender dan etnis dibalik
hegemoni dan eksploitasi di dunia agraria belum mendapatkan porsi pada diskusi/seminar
kampus. Terapan sosiologi untuk kerangka dekonstruksi dan rekonstruksi terhadap
pengetahuan/narasi/wacana dominan pada dunia pertanian/agraria belum mendapatkan
ruang pada silabus/GBRP mata kuliah kampus.
3
Tabel-1: Kompleksitas paradigma ilmu yang perlu diparhatikan dalam
pengembangan pendidikan dan ilmu sosiologi dan penyuluhan pertanian.
Paradigma
Aspek
Positivisme
Postpositivisme
Kritisisme
Konstruksivisme
OntoLogi
Masyarakat
tani
sebagai panggung
kerja sama dan
konflik
berbasis
fakta di luar diri
petani dimana tindakan dan perilaku
petani tunduk atas
struktur dan aturan
panggung tersebut
Masyarakat tani sebagai lautan simbol
yang didalamnya petani saling menafsir
makna dan berdasarkan tafsir itu
interaksi sosial menjalinkan antar diri
petani dan aktor
lainnya
Masyarakat tani sebagai kristalisasi sejarah sosial, ekonomi, politik, budaya,
etnik dan gender
yang meniscyakan
transformasi intelektual bagi pembongkaran tembok hegemoni dibalik sejarah
tersebut
Masyarakat
tani
sebagai panggung
representasi petani
dibalik kontestasi
pengetahuan dan
wacana/bahasa
dalam
dialektika
struktur-aktor dan
ruang-waktu yang
melingkupinya
Eksplanasi/penjelasan hukum-hukum
kausalitas dibalik
realitas tani dan
petani berdasarkan
signikansi kuantitas
Daya eksplanasi,
prediksi dan kontrol
digunakan oleh pengambil kebijakan
dan agen perubahan dalam intervensi
perubahan
melalui rekayasa
sosial
Interpretasi/pemahaman makna dibalik
proses dan interaksi
sosial petani berdasarkan
tafsir
makna
Deskripsi mendalam
dan tafsir makna
digunakan oleh pengambil
kebijakan
dan agen perubahan
dalam
intervensi
perubahan melalui
pembelajaran sosial
Transaksional subyektif secara dialogis
dan dialektik antara
peneliti dengan tani
dan petani
Transaksional subyektif secara hermeneutik dan dialektik diantara peneliti dan petani
Kesadaran kritis dan
kontekstualisasi historis digunakan sebagai wahana transformasi dalam advokasi kebijakan dan
perencanaan radikal tani dan petani
Kontribusi wacana
dan pengetahuan
digunakan sebagai
saluran tani dan
petani dalam menentukan dan menyuarakan pilihan
dalam dekonstruksi
dan
rekonstruksi
sosial
Epistemologi
AxioLogi
Sumber: Disubstansikan dari Guba, 1994.
Pada hal, dalam realitas di luar kampus, apakah itu di pinggir hutan, di tengah
sawah, di ladang dan perkebunan, di pantai dan pesisir, pergolakan besar dan resistensi
sehari-hari tani/petani tengah berlangsung hebat. Pada hal, dalam realitas di luar kampus,
apakah itu di musrenbang desa/kelurahan, forum SKPD Kabupaten/Kota, persidangan
wakil rakyat, demonstrasi mahasiswa, advokasi LSM, gosip/isu sehari-hari, berbagai
pihak terkait tani dan petani tengah menentukan pilihan (choices) dan menyuarakan
pilihan (voices) dibalik kontestasi pengetahuan dan perjuangan wacana yang sedang
bergulir seru.
4
Mata kuliah sosiologi dan penyuluhan pertanian tertawarkan dan terajarkan serta
penelitian terlaksana dan terlaporkan dibawah payung sains modern ala Newtonian dan
Cartesian4: reduksionistik, deterministik, dan obyektivistik. Penerimaan dan penerapan
sains baru ala Capra dan Sadra5: holistik, posibilistik dan subyektivistik masih sangat
terbatas. Pada hal, realitas kompleks dan tidak teratur atas tani dan pertanian; realitas
kekacauan dan non linearitas perubahan atas tani dan pertanian; telah menuntut tarian
paradigma dan ramuan teori yang mestinya mengkomplementasikan dua payung sains
tersebut.
Inilah gambaran dari keterlambatan kampus/perguruan tinggi pertanian
menyesuaikan ontologi/epistemologi/aksiologi ramuan pengetahuannya dengan
kompleksitas realitas lingkungan tani/petani/pertanian/agrarianya. Inilah potret dari
stagnasi kampus/perguruan tinggi pertanian sebagai pelayan pengetahuan (knowledge
server) bagi lingkungan komunitasnya (communiversity) yang mestinya melayani seluruh
pemangku kepentingan dengan layanan pengetahuan yang holistik-komprehensif. Inilah
ironi akademia taman pengetahuan di tengah MacDonaldisasi (bandingkan dengan Ritzer,
2001) yang menari-nari di dalamnya.
Arah Pengembangan Paradigma Ilmu
Sosiologi dan Pembangunan Pertanian
Kompleksitas realitas dan kekacauan perubahan tani dan petani perlu direspons
dengan pemahaman atas kompleksitas paradigma pembangunan. Terdapat realitas tani
dan petani yang dominan memerlukan kehadiran terapan sosiologi untuk rekayasa sosial;
terdapat realitas tani dan petani yang dominan memerlukan peranan sosiologi bagi
pembelajaran sosial; terdapat realitas tani dan petani yang dominan memerlukan fungsi
sosiologi dalam advokasi sosial; terdapat pula realitas tani dan petani yang dominan
memerlukan berkah sosiologi untuk rekonstruksi sosial. Artinya, pemikiran intervensionist
untuk perubahan sosial juga merupakan sebuah kompleksitas yang didalamnya
berlangsung tarian paradigma, dan karena itu memerlukan tarian pula dalam aransemen
interkoneksi beragam paradigma tersebut, agar arah dan kecepatan perubahan dapat
dipelihara pada batas antara kekacauan dengan linearitas.
4
Isaac Newton dan Rene Descartes adalah peletak pilar pokok paradigma sains modern (modern science)
yang menekankan bahwa realitas tersusun atas unsur-unsur sehingga realitas dapat direduksi atas unsurnya
dan memahami unsur berarti memahami realitas itu sendiri; bahwa realitas memiliki hukum kualitas
sehingga memahami determinisme yang bekerja dalam hukum kausalitas itu berarti memahami realitas itu
sendiri; bahwa realitas terkaji dalam keberadaan yang terpisah tak terpengaruh dari/oleh pengkajinya dan
karena itu seorang pengkaji harus obyektif. (Lihat lebih jauh Amien, 2006).
5
Fritjop Capra adalah peletak pilar pokok paradigma sains baru (new science) yang menekankan bahwa
realitas bukanlah wujud obyek/unsur melainkan interkoneksitas antar obyek/unsur itulah sebagai wujud
realitas, sehingga realitas harus dilihat secara holistik sebagai interkoneksitas dan bukan direduksi atas
obyek/unsur; bahwa realitas terkembang dalam berbagai kemungkinan dan tidak sepenuhnya karena
hukum kausalitas (posibilisme); dan bahwa antara pengkaji dengan realitas yang dikaji terdapat saling
pengaruh mempengaruhi secara subyektif dan karena itu pengkajian tidak bisa sepenuhnya obyektif. Mullah
Sadra berkontribusi dalam pengembangan sains baru melalui falsafah wujud yang menekankan pada proses
sebagai realitas (Lihat lebih jauh, Amien, 2006).
5
Menurut Escobar (2010), saat ini pandangan mendasar tentang substansi dan
metode pembangunan dapat diklasifikasikan atas paradigma Liberal, paradigma Marxis
dan paradigma Postruktural. Karakteristik tiga paradigma tersebut dalam berbagai issu
dapat dilihat pada Tabel-2. Tiga paradigma ini perlu disubstansikan kedalam intervensi
perubahan sosial pada realitas tani dan petani di Indonesia sesuai relevansi realitasnya,
setelah itu perlu juga dilihat bagaimana interkoneksitas ketiganya dalam penerapan agar
perubahan dapat berlangsung lebih efektif-efisien, lebih mencerahkan dan
memberdayakan, serta lebih membuka panggung bagi choices dan voices bagi multipihak.
Sosiologi pertanian idealnya mengkaji tani dan petani tidak hanya sebagai
masyarakat dan kaitannya dengan mekanisme pasar serta hak individual atas berbagai
sumberdaya/modal agraria (Liberal); tetapi juga tentang struktur kelas dan relasi kelas
serta ideologi pada tani dan petani tersebut (Marxis); bahkan juga tentang representasi
tani dan petani dalam panggung wacana serta kekuatan pengetahuannya dalam
keberlangsungan kontestasi pengetahuan berbagai pihak (Postrukturalis). Karena itu,
konsep kunci Sosiologi Pertanian yang perlu dipertajam bukan hanya terkait dengan
“pemujaan” atas pasar dan individualitas (Liberal); tetapi juga pada artikulasi dan
koeksistensi berbagai tata produksi (khususnya relasi modal dengan pekerja) dan ragam
formasi sosial tani (subsistensial, komersial/hiperkomersial, kapitalis/hiperkapitalis) yang
terbentuk (Marxis); bahkan juga pada makna bahasa dan kekuatan wacana tani dan
petani diantara berbagai pihak (Postrukturalis). Arah pengembangan ontologi Sosiologi
Pertanian terletak disini khususnya dalam posisinya untuk terapan bagi pembangunan
pertanian.
Pembangunan pertanian seyogianya dijalankan tidak hanya untuk menjawab
bagaimana tani dan petani berkembang melalui kombinasi modal dan teknologi dalam
peranan negara dan kebebasan pasar (Liberalisme); tetapi juga pada bagaimana tani dan
petani berkembang dalam swakarsa/swadaya ala Marxisme dan tidak bergantung pada
kapitalisme (Marxisme); bahkan juga pada bagaimana tani dan petani merepresentasikan
dirinya ditengah kontestasi pengetahun/wacana yang berjalan (Postrukturalisme).
Pembangunan pertanian idealnya digerakkan dengan metode yang tidak hanya
mengandalkan keakuratan data dan teori dalam keterkaitan output, outcomes, benefit
dan impact suatu intervensi, dengan kriteria pada pertumbuhan dan distribusinya serta
bagaimana tani dan pertanian bersesuai dengan mekanisme pasar (Liberalisme); tetapi
juga dengan metode yang mengandalkan perjuangan kelas melalui advokasi kebijakan
dan perencanaan radikal, dengan kriteria pada berlangsungnya transformasi dalam relasi
sosial tani dan petani, bersaingnya kekuatan produksi tani dan petani dan lahirnya
kesadaran kelas di dunia tani dan petani (Marxisme); bahkan juga dengan metode yang
mendorong perubahan dalam praksis pengetahuan terkait tani dan petani, dengan kriteria
pada representasi/signifikasi tani dan petani sebagai produsen pengetahuan ditengah
pluralitas wacana yang terkembang (Postrukturalisme).
Inilah sebagian arah baru yang perlu dijalani dalam pengembangan paradigma
ilmu/pendidikan sosiologi dan penyuluhan pertanian. Kita perlu: (1) menajamkan
pemahaman sosiologis tani dan petani serta kerangka pembangunan pertanian dalam
ranah paradigma Liberal guna merespons kebebasan globalisasi dan loncatan kapitalisme
bidang pertanian; (2) menajamkan pemahaman sosiologis tani dan petani serta kerangka
pembangunan pertanian dalam ranah paradigma Marxis guna menantang hegemoni
kelas pemodal dan ekspansi pasar bidang pertanian; (3) menajamkan pemahaman
sosiologis tani dan petani serta kerangka pembangunan pertanian dalam ranah
Postrukturalis guna merepresentasikan petani sebagai produsen pengetahuan dan
mengimbangi wacana dominan bidang pertanian; (4) menatakelola interkoneksitas aktor
6
Tabel-2: Karakteristik
paradigma
pembangunan
Liberal, Marxis dan Postruktural dalam
Paradigma
Issu
Epistemologi
Konsep Kunci
Subyek Kajian
Aktor Relevan
-
Teori Liberal
Teori Marxis
Teori Postruktural
Positivistik/
Pospositivistik
Pasar/Individualitas
Realistik/Dialektik
Interpretivistik/
Konstruksivistik
Makna bahasa/signifikasi
Masyarakat
Pasar
Hak individual
Individu
Lembaga
Negara
Pertanyaan
Pembangunan
Bagaimana masyarakat
dapat berkembang melalui kombinasi modal dan
teknologi serta tindakan
individu dan negara
Kriteria
Perubahan
-
Mekanisme
Perubahan
Peranan Kajian
Etnografi
Perilaku
kritis
terkait perkembangan
dan
modernitas
Kemajuan dan pertumbuhan
- Pertumbuhan
plus
distribusi
- Penyesuaian dengan
mekanisme pasar
- Penggunaan teori dan
data yang akurat
- Intervensi yang penuh
perhitungan
- Bagaimana kebudayaan memediasi perkembangan dan perubahan
- Menyesuaikan proyek
dengan budaya lokal
Mendorong
perkembangan yang lebih egalitarian (kedalaman dan
kekomplitan Proyek Pencerahan atas modernitas)
Sumber: Escobar, 2010.
Tata produksi
-
Struktur/relasi sosial
Ideologi
-
Representasi/wacana
Kekuatan pengetahuan
-
Kelas sosial
Gerakan sosial
Negara (demokratik)
-
Bagaimana Marxisme
dapat berfungsi sebagai
ideologi dominan
- Bagaimana pembangunan
terputus
dari
kapitalisme
- Transformasi
dalam
relasi-relasi sosial
- Pengembangan kekuatan-kekuatan produksi
- Pengembangan
kesadaran kelas
Perjuangan kelas sosial
secara advokatif dan
radikal
-
Komunitas lokal
Organisasi non pemerintah
Seluruh produsen pengetahuan
Bagaimana Asia, Afrika
dan Amerika Latin terpresentasikan
sebagai
bangsa
“belum
berkembang”
-
-
Transformasi politik ekonomi atas kebenaran
Diskursus baru atas representasi (pluralitas diskursus)
Perubahan dalam praktek
pengetahuan dan tindakan
Bagaimana
aktor-aktor
lokal melawan intervensi
pembangunan
Bagaimana produsen pengetahuan melawan, menyesuaikan dan mensubversi pengetahuan dominan dan mengkreasi pengetahuannya sendiri
Reorientasi perkembangan
kearah pemenuhan kepuasan atas keadilan dan
keberlanjutan sosial (modernisasi kritis: pemutusan
terhadap kapitalisme dan
modernitas)
Artikulasi
etis
terhadap
pengetahuan keahlian sebagai
praktek politik (Modernitas dan
modernisasi alternatif; proyek
dekolonialisasi)
7
yang bergerak pada ragam paradigma ini agar perubahan yang digerakkannya dapat
menari pada batas kekacauan dengan linearitas.
Arah Pengembangan Diri Petani dan Penyuluhan Pertanian
Mengacu pada tarian tiga paradigma pembangunan pertanian yang seyogianya
dimainkan di masa depan, arah pengembangan diri petani dapat dikerangkakan dalam
pergerakan bolak-balik lima bentuk eksistensi petani sebagai individu maupun kolektivitas
yakni: (1) sebagai juru tani; (2) sebagai manajer usahatani; (3) sebagai wiratani; (4)
sebagai pengurus tata produksi; (5) sebagai produsen pengetahuan. Lima eksistensi ini
dapat dirumuskan kompetensi yang menjadi prasyaratnya, hasil dari aplikasi
kompetensinya dan kriteria keberhasilan aplikasi kompetensinya sebagai mana terpetakan
pada Tabel-3.
Tabel-3:
Arah pengembangan diri petani dalam tarian paradigma pembangunan
pertanian di masa depan.
Aspek/
Entitas
Kompetensi
Hasil
Juru Tani
Teknis
produksi
Hasil panen
Kriteria
Hasil
Subsistensi
ke Surplus
Manajer
Usahatani
Teknis
manajerial
Pendapatan/
Keuntungan
Efisiensi
Usaha
Wiratani
Wawasan
wirausaha
Produk
berdaya saing
Pemasaran
efektif
Pengurus Tata
Produksi
Kesadaran
kelas
Alternatif atas
kapitalisme
Keadilan
sosial
Produsen
Pengetahuan
Produksi
wacana
Representasi
diri
Ketersuaraan
pilihan
Pengembangan diri petani sebagai juru tani, manajer usahatani dan wiratani
relevan dengan paradigma Liberal; pengembangan diri petani sebagai pengurus tata
produksi relevan dengan paradigma Marxis; dan pengembangan diri petani sebagai
produsen pengetahuan relevan dengan paradigma Postruktural. Lima eksistensi ini
memiliki relevansinya masing-masing dalam keragaman tahapan perkembangan
peradaban tani dan petani di seluruh wilayah Indonesia. Ada petani yang memerlukan
pengembangan diri sebagai juru tani dan dengan itu ia memberi output bagi lokalitasnya;
ada petani yang memerlukan pengembangan diri sebagai manajer usahatani dan dengan
itu ia memberi hasil bagi lokalitasnya; ada petani yang memerlukan pengembangan diri
sebagai wiratani dan dengan itu ia memberi manfaat bagi lokalitasnya; ada petani yang
memerlukan pengembangan diri sebagai pengurus tata produksi dan dengan itu ia
membawa pengaruh bagi lokalitasnya; dan ada pula petani yang memerlukan
pengembangan diri sebagai produsen pengetahuan yang dengan itu ia memberi makna
bagi lokalitasnya. Atau diperlukan pula pengembangan diri petani untuk bergeser dari
entitas sebagai juru tani menjadi manajer usahatani; menjadi wiratani; menjadi pengurus
tata produksi; dan
menjadi produsen pengetahuan. Inilah tarian kompleksitas
pengembangan diri petani yang perlu dimainkan di tengah kompleksitas eksistensi petani
dalam kompleksitas ruang dan waktu Indonesia.
Dalam kerangka seperti itu pula penyuluh dan penyuluhan pertanian perlu
dikembangkan. Diperlukan penyuluhan dan penyuluh pertanian yang berkapasitas untuk
tidak hanya meningkatkan kompetensi petani sebagai juru tani, manajer usahatani dan
wiratani; tetapi juga meningkatkan kompetensi petani sebagai pengurus tata produksi dan
8
produsen pengetahuan; sekaligus bisa menggeser eksistensi petani dari sebagai juru tani
menjadi manajer usahatani, menjadi wiratani, menjadi manajer tata produksi dan
seterusnya menjadi produsen pengetahuan. Pendidikan dan ilmu penyuluhan pertanian
seyogianya memberi layanan pengetahuan yang mencakupi rentang kebutuhan lima
eksistensi petani tersebut. Pendidikan dan ilmu penyuluhan pertanian seyogianya
melahirkan penyuluh sebagai fasilitator teknis-agronomis petani; sebagai fasilitator
manajerial-ekonomis petani; sebagai fasilitator kewirausahaan dan jejaring bisnis petani;
sebagai fasilitator kesadaran kritis dan perjuangan kelas petani; serta sebagai fasilitator
dekonstruksi dan rekonstruksi sosial petani.
Penutup: Menari dalam Kompleksitas dan Kekacauan
Selama ini, kurikulum pengajaran sosiologi dan penyuluhan pertanian secara
ontologis lebih berfokus pada paradigma positivisme dan pospositivisme, masih kurang
yang mengapresiasi paradigma kritisisme dan kontruksivisme. Begitu pula bila
dihubungkan dengan paradigma pembangunan, penyuluhan pertanian dan pemberdayaan
petani lebih diorientasikan kepada paradigma liberal dan masih amat kurang
mengapresiasi paradigma Marxis dan Postruktural.
Kedepan, dengan kesadaran bahwa realitas tani dan pertanian bersifat sederhana
sekaligus kompleks, perubahan tani dan pertanian bersifat linear sekaligus kacau; maka
diperlukan pendidikan/ilmu Sosiologi dan Penyuluhan Pertanian yang mengapresiasi
kompleksitas realitas tersebut melalui paradigma pembangunan, penyuluhan pertanian
dan arah pengembangan diri petani yang kompleks pula. Penyuluhan pertanian sebagai
terapan sosiologi pertanian perlu menari dalam kompleksitas dan kekacauan. Quo Vadis?
DAFTAR PUSTAKA
Amien,
Mappadjantji, 2006. Kemandirian Lokal: Pembangunan,
Pendidikan dalam Konsepsi Sains Baru. Jakarta: Gramedia.
Organisasi
dan
Escobar, Arturo, 2010. “Histories of development, predicaments of modernity: thinking
about globalization from some critical development studies perspective”, dalam N.
Long, Y. Jingzhong dan W. Yihuan (Eds.), Rural Transformations and
Development-China in Context: The Everyday Lives of Policies and People.
Edward Elgar Publishing Limited: USA dan UK.
Guba, Egon G., 1994. “Competing Paradigm in Qualitative Research”, dalam N.K. Denzin
dan Y.S. Lincoln (Eds.), Handbook of Qualitative Research. London: Sage
Publication.
Ivanko, John, 2004. Rural Renaissance: Renewing the Quest for Good Life. Canada: New
Society Publisher.
Long, Norman, Y. Jingzhong dan W. Yihuan, 2010. Rural Transformations and
Development-China in Context: The Everyday Lives of Policies and People.
Edward Elgar Publishing Limited: USA dan UK.
9
Ritzer, George, 2001. Ketika Kapitalisme Berjingkrang (Terjemahan dari McDonaldization
of Society). Yogyakarta: Tiara Wacana.
Schwandt, T.A., 1994. “Constructivist, Interpretivist Approach to Human Inquiry”, dalam
dalam N.K. Denzin dan Y.S. Lincoln (Eds.), Handbook of Qualitative Research.
London: Sage Publication.
Download