BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang mengutamakan sektor pertanian dalam mewujudkan pembangunan nasional. Pembangunan merupakan suatu usaha untuk melakukan perubahan menjadi lebih baik, dimana usaha tersebut dilakukan secara terus-menerus. Pengembangan pembangunan nasional membutuhkan sumber daya alam berupa lahan pertanian bagi para petani di Indonesia. Lahan pertanian dialokasikan para petani sebagai tempat mata pencaharian untuk meningkatkan pendapatan mereka. Pendapatan rumah tangga petani dijadikan sebagai indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan ekonomi petani. Kesejahteraan ekonomi petani dipengaruhi oleh total pengeluaran rumah tangga dalam kurun waktu tertentu. Pengeluaran rumah tangga petani dengan tingkat kesejahteraan ekonomi rumah tangga memiliki hubungan negatif. Oleh karena itu, jika total pengeluaran petani semakin menurun maka semakin membaik pula kesejahteraan ekonomi rumah tangga. Kegiatan konsumsi individu biasanya diturunkan dari perilaku individu yang rasional yaitu memaksimumkan kepuasan dengan sejumlah kendala, selanjutnya perilaku secara agregat akan menurunkan fungsi permintaan rumahtangga. Pendapatan rumahtangga sebagai pendapatan penuh (full income) terdiri dari pendapatan usahatani pokok, upah dan pendapatan bukan dari aktivitas kerja (seperti dari transfer, hasil sewa, warisan dan lain-lain Masalah yang kompleks dalam rumahtangga petani dan persoalan yang dihadapinya menjadi hal yang 1 menarik untuk diteliti, dengan kata lain, perilaku rumahtangga petani dapat dibagi tiga kelompok utama, yaitu sebagai petani sawit, alokasi tenaga kerja dan secara khusus dengan mengkaji aktifitas ekonomi anggota keluarga petani kelapa sawit maka dapat diketahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perilaku ekonomi mereka dalam memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki untuk memenuhi semua kebutuhan keluarga. Berdasarkan luasnya potensi tanaman kelapa khusus nya kelapa sawit di Kabupaten Bangka dan peranannya dalam menggerakkan aktivitas ekonomi serta nilai tambah dalam negeri maka tampaknya akan semakin menuntut dukungan pengembangan industri kelapa sawit sebagai prasyarat. Pada kenyataannya, pola pengeluaran penduduk di perkotaan dengan dipedesaan menunjukkan pola terbalik. Di pedesaan, pengeluaran para petani cenderung digunakan untuk pangan sedangkan pengeluaran penduduk diperkotaan ke non-pangan. penduduk di Desa Riau Silip Kecamatan Belinyu Kabupaten Bangka bergantung pada sektor pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan sebagian lagi mempunyai mata pencarian lain di sektor non-pertanian, seperti kuli bangunan, supir dan lain-lain. Sebagian besar penduduk memanfaatkan lahan mereka untuk ditanami kebun sawit karena usaha ini dirasa cukup menjanjikan bagi para petani. Alasanya, usaha kelapa sawit dinilai dapat meningkatkan pendapatan mereka. Desa riau silip Kabupaten Bangka selain kaya akan potensi dari perkebunan kelapa sawit, juga memiliki potensi yang dapat membantu meningkatkan perekonomian. Perkebunan kelapa sawit di Desa Riau Silip Bangka memiliki 2 prospek yang masih cerah di masa yang akan datang untuk di kembangkan mengingat ekspor yang semakin meningkat tiap tahunnya. Kelapa sawit masih tetap menjadi salah satu usaha tani di Desa Riau Silip Bangka, sejak masa kolonial hingga era reformasi dewasa ini. Prospek pasar bagi olahan kelapa sawit cukup menjanjikan, karena permintaan dari tahun-ketahun mengalami peningkatan yang cukup besar. Karena itu, sebagai negara tropis yang masih memiliki lahan yang cukup luas, Desa Riau Silip Bangka berpeluang besar untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit. Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dipaparkan diatas dan selain itu, peneliti juga mewawancara buruh tani dan karyawan PT Gunung Pelawan Lestari, penulis merasa tertarik untuk melihat lebih jauh bagaimana kondisi kehidupan sosial ekonomi keluarga petani yang dirumahkan dan strategi apa yang dilakukan, untuk itu penulis mengangkat judul sebagai berikut “Coping Strategies Buruh Tani Kelapa Sawit PT Gunung Pelawan Lestari Dalam Memenuhi Kebutuhan Rumah Tangga di Desa Riau Silip Kecamatan Belinyu Kabupaten Bangka Induk”. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian di atas, masalah pokok penelitian ini dapat di identifikasikan sebagai berikut : 1. Bagaimana tingkat kebutuhan sosial dan ekonomi buruh tani yang bekerja di PT Gunung Pelawan Lestari desa Riau silip? 2. Bagaimana Coping strategies yang dilakukan buruh tani kelapa sawit dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga di desa Riau silip? 3 C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian strategi buruh tani kelapa sawit dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga sebagai berikut: a. Mendiskripsikan tingkat kebutuhan sosial dan ekonomi dalam buruh tani di PT Gunung Pelawan Lestari desa Riau Silip? b. Mendiskripsikan Coping strategies untuk pemecahan masalah untuk memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga? 2. Kegunaan Penelitian Segala bentuk penelitian ilmiah fenomena sosial, dirancang untuk kesempurnaan suatu deskripsi permasalahan sosial. Penelitian dibutuhkan untuk memberi manfaat yang signifikan dalam suatu kehidupan sosial. Maka dari itu kegunaan atau manfaat dari penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : a. Teoritis Secara teoritis kegunaan penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu pekerjaan sosial terutama di PT Gunung Pelawan Lestari Desa Riau Silip Kec. Belinyu Kab. Bangka Induk b. Praktis Secara praktis kegunaan penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan sebagai pemecahan masalah-masalah dan saran kepada masyarakat, para buruh tani kelapa sawit dan pemerintah yang terkait, 4 sehingga mereka dapat memahami hal yang berkaitan strategi petani sawit dalam mengelola penghasilan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga di Desa Riau Silip Kec. Belinyu Kab. Bangka Induk. D. Kerangka Konseptual Kesejahteraan sosial mencakup semua tindakan dan proses secara langsung yang mencakup tindakan dan pencegahan masalah sosial, pengembangan sumber daya manusia dan peningkatan kualitas hidup. Masalah yang dihadapi oleh anak pengambil koin merupakan salah satu permasalahan kesejahteraan karena meliputi keadaan sosial, ekonomi, dan pemenuhan kebutuhan dasar yang belum dicapai secara maksimal karena keterbatasan sistem sumber yang dituju dan kemampuan terbatas yang dimilikinya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 bahwa “ kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya “. Pekerjaan sosial merupakan suatu profesi pelayanan kepada manusia (individu, kelompok dan masyarakat) dalam memberikan pelayanan profesionalnya, pekerjaan sosial dilandasi oleh pengetahuan-pengetahuan dan keterampilan-keterampilan ilmiah mengenai human relation (relasi antar manusia). Oleh sebab itu, relasi antar manusia merupakan inti dari profesi pekerjaan sosial. Menurut Zastrow (Soeharto, 2009 :1) menyatakan bahwa pekerjaan sosial adalah : Aktivitas profesional untuk menolong individu, kelompok, dan masyarakat dalam meningkatkan atau memperbaiki kapasitas mereka agar berfungsi 5 sosial dan menciptakan kondisi-kondisi masyarakat yang kondusif untuk mencapai tujuan tersebut. Definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan sosial adalah keadaan saat individu merasakan situasi terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan hidupnya secara fisik, psikis, dan sosial untuk melakukan perannya dalam keluarga maupun masyarakat yang sesuai dengan tugas perkembangannya. Sedangkan pekerja sosial adalah sebuah profesi keterampilan-keterampilan yang memberikan untuk pengetahuan-pengetahuan mengembalikan keberfungsian dan individu, kelompok atau masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya. Tujuannya untuk mencapai kehidupan yang sejahtera dalam memenuhi kebutuhan pokoknya seperti sandang, pangan, papan, kesehatan dan juga relasi-relasi sosial maupun lingkungan tempat di mana individu itu tinggal. Masalah sosial tersebut merupakan kondisi – kondisi yang tidak menyenangkan yang berdampak buruk dan mengakibatkan situasi – situasi sosial atau permasalahan – permasalah sosial yang bisa mengganggu dan merugikan banyak orang. Masalah sosial menurut Soetarso (Huraerah, 2011 : 8) dalam buku Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat : Model dan Strategi Pembangunan Berbasis Kerakyatan yaitu: masalah sosial terbentuk oleh kombinasi – kombinasi faktor internal yang yang berasal dari dalam diri orang (ketidakmampuan, kecacatan, gangguan jiwa dan sebagainya) dan faktor – faktor eksternal yang berasal dari lingkungan sosial ( keluarga, sekolah, lingkungan tetangga,lingkungan kerja dan sebagainya. Dari definisi di atas bisa diambil kesimpulan jika masalah buruh tani kelapa sawit merupakan saluh satu fenomena yang bisa dijadikan suatu alat penelitian. 6 Karena persoalan yang dihadapi oleh buruh tani sangatlah kompleks. Ini menyebabkan bagaimana ketahanan mereka dalam menghadapi persoalanpersoalan di dalam kehidupan mereka. Untuk itu, perlu yang namanya coping strategies untuk menjadi alternatif pemecahan masalah yang terjadi pada buruh tani kelapa sawit. Buruh tani adalah istilah bagi orang yang sehari-harinya bekerja mengolah lahan pertanian dengan bercocok tanam, kegiatan bercocok tanam yang dilakukan adalah menanam berbagai jenis tanaman pangan untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. Dalam mengelolah lahan pertanian mereka menggunakan peralatan-peralatan yang sederhana sehingga peralatan yang modern. Mosher (1 969: 100) mengemukakan pendapat bahwa energi matahari menimpa permukaan bumi dimana-mana dengan atau tanpa manusia. Dimana saja terdapat suhu yang tepat serta air yang cukup , maka tumbuhlah tumbuhantumbuhan dan hiduplah hewan , manusialah yang dating mengendalikan keadaan ini , ia mengecap kegunaan dari hasil tanaman dan hewan, ia mengubah tanamantanaman dan hewan serta sifat tanah supaya lebih berguna baginya, dan manusia yang melakukan ini disebut petani. Mosher (1969:101) membagi petani dalam dua golongan, yaitu pertanian primitive dan pertanian modern. Pertanian primitif diartikan sebagai petani yang bekerja mengikuti metode-metode yang berasal dari orang-orang tua dan tidak menerima pemberitahuan (inovasi). Mereka yang mengharapkan bantuan alam untuk mengelola pertaniannya. Sedangkan pertanian modern diartikan sebagai yang menguasai pertumbuhan tanaman dan aktif mencari metode-metode baru serta 7 dapat menerima pembaruan (inovasi) dalam bidang pertanian. Petani macam inilah yang dapat berkembang dalam rangka menunjang ekonomi baik dibidang pertanian. Sedangkan koentrjaraningrat (1980:70-71) memberikan pendapat bahwa : “Petani itu, rakyat pedesaan yang hidup dari pertanian dengan teknologi lama, tetapi merasakan diri bagian bawah dari suatu kebudayaan yang lebih besar, dengan suatu bagian atas yang dianggap lebih halus dan beradab dalam masyarakat kota. Sistem ekonomi dalam masyarakat petani itu berdasarkan pertanian (bercocok tanam, pertenakan, perikanan) yang menghasilkan pangan dengan teknologi yang sederhana dan dengan ketentuan produksi yang tidak berspesialisasi. Sejarah pertanian telah mencatat bahwa pola pertanian masyarakat petani awal adalah pertanian sub sistem. Mereka menanam berbagai jenis tanaman pangan sebatas untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. Perkembangan kultur pertanian berikutnya adalah terbentuknya komunitas-komunitas kecil yang menyerupai desa dalam bentuk dan struktur yang sederhana. Bentuk pertaniannya masih berupa sistem berladang, masyarakatnya tidak bersifat menetap karena berpindah-pindah mengikuti ladang yang baru. Perubahan yang cukup penting adalah berlangsung ketika pergeseran kebutuhan keluarga petani, Satu bentuk interaksi sosial-ekonomi yang lebih berkembang terjalin dengan lahirnya uang. Kelebihan hasil pertanian mulai dijual kepada orang yang membutuhkan. Pertanian pun bergeser dari corak subsisten ke pembentukan petani yang mulai mengenal sistem pasar tetapi sebagai masih menjalankan sistem pengolahan lahan yang bersifat tradisional. Soetomo (1997: 21-22) menyatakan bahwa manusia mengawali dan mempertahankan hidupnya dengan cara berburu dan meramu. Sejak lahirnya, kira- 8 kira satu juta tahun yang lalu, manusia memburu binatang sekaligus mengumpulkan tumbuh-tumbuhan atau akar-akaran sebagai kemungkinan untuk melanjutkan hidup mereka. Pergeseran mata pencaharian hidup manusia hingga pada aktivitas bercocok tanam yang terjadi kira-kira sepuluh ribu tahun yang lalu menjadi satu tahap revolusi kebudayaan yang pesat dalam sejarah hidup manusia. Secara sederhana, Malinowski (Sjairin, 2002 :1-2) Menyatakan bahwa kebutuhan hidup manusia itu dapat di bagi pada tiga kategori besar yaitu: a. Kebutuhan alamiah-biologi (manusia harus makan dan minum untuk menjaga kestabilan temperatur tubuhnya agar tetap berfungsi dalam hubungan harmonis secara menyeluruh dengan organ-organ tubuh lainnya). b. Kebutuhan kejiwaan (manusa membutuhkan perasaan tenang yang jauh dari perasaan takut, keterpencilan, gelisah, dan lain-lain). c. Kebutuhan sosial (manusia membutuhkan hubungan untuk dapat melangsungkan keturunan untuk tidak merasa dikucilkan, dapat melangsungkan keturunan, untuk tidak merasa dikucilkan, dapat belajar mengenai kebudayaannya, untuk dapat mempertahakan diri dari serangan musuh dan lain-lain). Sedangkan Steward (Hardesty, 1977: 42). menjelaskan kajiannya mengenai hubungan timbal balik atau hubungan resiprokal antara kebudayaan dan lingkungan. Steward percaya bahwa beberapa unsur dari kebudayaan lebih perkatian erat dengan lingkungan dibandingkan dengan unsur kebudayaan yang lain. Analisis ekologi bisa digunakan untuk menjelaskan hubungan lintas budaya 9 yang sama yang disebut kebudayaan inti (core culture). Kebudayaan inti dari terdiri dari sektor ekonomi masyarakat yang mempengaruhi segala aktivitas masyarakat sebagai hasil dari: 1. Hubungan timbal balik antara lingkungan dan eksploitasi produksi ekonomi. 2. Hubungan antara pola prilaku dan eksploitasi teknlogi. 3. Pola prilaku yang mempengaruhi sektor kebudayaan lain. Maksud dari analisis Steward tersebut adalah bahwa ketika lingkungan mengalami perubahan, maka unsur kebudayaan yang paling mudah berubah adalah sektor ekonomi dan teknologi karena berkaitan erat dengan lingkungan. Pandangan ini di pertegas oleh Ralp Linton (Koentjaraningrat, 1990:88) yang membagi unsur kebudayaan yang mudah berubah dan sukar berubah ke dalam dua istilah yaitu: covert culture (bagian inti kebudayaan atau kebudayaan yang sukar berubah) dan overt culture (bagian kulit kebudayaan atau kebudayaan yang mudah berubah). Adapun yang masuk ke dalam covert culture adalah: sistem nilai budaya, keyakinan keagamaan yang dianggap keramat, beberapa adat yang sudah dipelajari sangat dini dalam proses sosialisasi individu warga masyarakat. Sedangkan yang termasuk dalam overt culture adalah kebudayaan fisik, seperti ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, tata cara, gaya hidup, serta alat-alat atau benda yang berguna. Hardesty (1977: 45-46) melihat bahwa manusia selalu berupaya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan alam sekitarnya yang bersifat dinamik tersebut, baik secara biologis/genetik dan varian budaya yang dianggap sebagai jalan terbaik untuk menyelesaikan permasalah lingkungan. Adaptasi juga 10 merupakan suatu proses yang dinamik karena baik organisme maupun lingkungan sendiri tidak ada yang bersifat konstan/tetap. Daya tahap hidup populasi tidak bekerja secara pasif dalam menghadapi kondisi lingkungan tertentu, melainkan memberikan ruang bagi individu dan populasi untuk bekerja secara aktif memodifikasi perilaku mereka dalam rangka memelihara kondisi tertentu, menanggulangi resiko tertentu pada suatu kondisi yang baru, atau mengimprovisiasi kondisi yang ada. Soetomo (2006:20) Dalam rangka mewujudkan proses pemanfaatan sumber daya, maka yang dibutuhkan adalah kemampuan untuk melakukan identifikasi sumber daya, kemuddian memanfaatan dan mengelolanya dengan baik. Dengan demikian, berdasarkan pandangan tersebut, identifikasi sumber daya merupakan salah satu langkah yang strategis dalam proses pembangungan masyarakat. Oleh sebab itu, identifikasi sumber daya juga dapat berfungsi untuk mengangkat sumber daya yang masih terpendam ke atas permukaan realitas sosial, sehingga dapata segera dimanfaatkan dalam rangka pengkatan taraf hidup Berdasarkan konsepsi ini, Moser (Suharto, 2002: 13) membuat kerangka analisis yang disebut “The Asset Vulnerability Framework”. Kerangka ini meliputi berbagai pengelolaan aset yang dapat digunakan untuk melakukan penyusuian atau pengembangan strategi tertentu dalam mempertahankan kelangsungan hidup seperti: 1. Aset tenaga kerja (labour asset), misalnya meningkatkan keterlibatan wanita dan anak dalam keluarga untuk bekerja membantu ekonomi rumah tangga. 11 2. Aset modal manusia (human capital asset), misalnya manfaat status kesehatan yang dapat menentukan kapasitas orang atau bekerja atau keterampilan dan pendidikan yang menentukan umpan balik atau hasil kerja (return) terhadap tenaga yang di keluarkannya. 3. Aset produktif (productive asset), misalnya menggunakan rumah, sawah, ternak, tanaman untuk keperluan hidupnya. 4. Aset relasi rumah tangga atau keluarga (Household relation asset), misalnya memanfaatkan jaringan dan dukungan dari sistem keluarga besar, kelompok etnis, migrasi tenaga kerja dan mekanisme “uang kiriman” (remittances). 5. Aset modal sosial (sosial capital aset), misalnya memanfaatkan lembagalembaga sosial lokal, arisan dan memberi kredit dalam proses dan sistem perekonomian keluarga. Kesadaran akan pentingnya penanganan kemiskinan lokal yang berkelanjutan yang menekankan pada penguatan solusi-solusi yang ditemukan oleh orang yang bersangkutan semakin mengemukakan. Pendekatan ini lebih memfokuskan pada pengidentifikasian “ apa yang dimiliki orang miskin” ketimbang “apa yang tidak dimiliki orang miskin” yang menjadi sasaran pengkajian. Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukan bahwa orang miskin adalah manajer seperangkat aset yang ada diseputar diri dan lingkungannya. Sebagaimana ditunjukan oleh studi Suharto (2002a:69): 12 “There is growing body of literature documenting that people who live in conditons which put their principal soure of livelihood at recurrent theat will adopt strategic adaptation to minimize risk. The ways in which people plan strategically such coping berhaviour critically determine their chances of survival as well as future economic wel-being”. Keadaan diatas terutama terjadi pada orang miskin yang hidup di Negara yang tidak menerapkan sistem Negara kesejahteraan (welfare state) yang dapat melindungi dan menjamin kehidupan dasar warganya terhadap kondisi-kondisi yang memburuk yang tidak mampu ditangani oleh dirinya sendiri. Kelangsungan hidup individu dalam situasi ini seringkali tergantung pada keluarga yang secara bersama-sama dengan jaringan sosial membantu para anggotanya dengan pemberian bantuan keuangan, tempat tinggal dan bantuan-bantuan mendesak lainnya. Dalam konteks ini, maka orang miskin bukan saja dilihat sebagai orang yang memiliki “kondisi miskin”, melainkan pula memiliki seperangkat pengetahuan dan keterampilan yang sering digunakannya dalam mengatasi berbagai permasalahan sosial ekonomi seputar kemiskinannya. Dalam literatur, kemampuan atau cara-cara seperti itu disebut sebagai strategi penanganan (coping strategies). Usaha yang dilakukan individu untuk mencari jalan keluar dari suatu permasalahan agar dapat menyesuaikan diri dengan perubahan – perubahan yang terjadi dapat dikatakan sebagai coping strategies. Coping atau upaya mengatasi masalah yang dilakukan seseorang dalam menghadapi permasalahan yang dapat diwujudkan dalam berbagai cara, tergantung dari kemampuan dan aksesibilitas 13 seseorang tersebut terhadap sumber dukungan lainnya. Coping dapat diartikan sebagai hal yang paling mendasar dan fundamental yang digunakan individu, kelompok dan masyarakat untuk mengatasi tantangan . Menurut Kartini Kartono & Gulo (2003:97), menggambarkan cope dan strategy sebagai : Copea adalah menangani suatu masalah menurut suatu cara, sering kali dengan cara menghindari, melarikan diri, mengurangi kesulitan dan bahaya yang timbul. Sedangkan strategy adalah prosedur yang diterima dan dipakai dalam suatu upaya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, seperti pemecahan suatu masalah atau suat metode umum untuk memecahkan permasalahan-permasalahan. Definisi di atas menjelaskan bahwa arti dasar dari kata coping strategy adalah upaya-upaya yang cenderung berupa tindakan negatif untuk lepas dari permasalahan yang tengah dihadapi oleh seorang dengan mencari cara-cara yang dianggap baik dan benar. Pengertian coping menurut lazarus & folkman (1984:141) mengungkapkan: “copyng as consultantly changing cognitive and behavioral efforts to manage specific external and/or internal demands that are appraised as taxing or exceeding the Resources of the person”. Coping adalah proses mengelola tuntutan internal dan eksternal yang ditafsir sebagai beban karena di luar kemampuan individu. Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa coping merupakan suatu proses dimana individu mencoba untuk mengelola jarak yang ada antara tuntutan-tuntutan ( baik itu tuntutan yang berasal dari dalam diri maupun tuntutan yang berasal dari lingkungan) dengan sumber-sumber daya yang mereka gunakan dalam menghadapi situasi atau masalah. 14 Sudrajat (2006) mengemukakan bahwa coping strategi adalah upaya penanggulangan masalah yang dilakukan oleh perorangan, kelompok, atau komunitas melalui mekanisme tertentu agar dapat mencapai kenyataan yang menyenangkan atau lebih baik. Pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa seseorang dapat melakukan upaya dalam menyelesaikan masalahnya dengan menggunakan suatu mekanisme yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh individu tersebut untuk mencapai keadaan yang lebih baik lagi dalam kehidupannya. Selanjutnya Suharto (2003: 23-24) menyatakan strategi bertahan hidup (coping strategies) dalam mengatasi goncangan dan tekanan ekonomi dapat dilakukan dengan berbagai cara. Cara-cara tersebut dapat dikelompokan menjadi tiga katagori yaitu: 1. Strategi aktif, yaitu strategi yang mengoptimalkan segala potensi keluarga untuk misalnya melakukan aktivitasnya sendiri, memperpanjang jam kerja, memanfaatkan sumber atau tanaman liar dilingkugan sekitarnya dan sebagainya 2. Strategi pasif, yaitu mengurangi pengeluaran keluarga misalnya pengeluaran sandang, pangan, pendidikan, dan sebagainya. 3. Strategi jaringan, misalnya menjalin relasi, baik formal maupun informal dengan lingkungan sosialnya, dan lingkungan kelembagaan misalnya : meminjam uang tetangga mengutang diwarung, memanfaatkan program kemiskinan, meminjam uang ke rentenir, atau bank dan sebagainya. 15 Hal itu telah terjadi dalam masyarakat Petani Rakyat yang terdapat pada Desa Riau Silip Kec. Belinyu, yang melakukan berbagai cara maupun strategi untuk mengatasi fluktuasi harga Kelapa Sawit yang mempengarui kegiatan-kegiatan ekonomis keluarga, sosial dan budaya mereka. Untuk itu, perlulah kiranya untu mengkaji lebih dalam lagi bagaimana sebenarnya bentuk strategi yang mereka lakukan dalam mencukupi kebutuhan-kebutuhan dan menjaga kelangsungan hidupnya, akan diintrepetasikan dalam penelitian ini. Dalam mendeskripsikan permasalah ini, Studi Antropologi Sosial Budaya, sangat berperan penting dalam mengintrepetasikan penelitian ini, karena kedua bidang ilmu pengetahuan ini berusaha melihat permasalahan manusia dalam hubungannya dengan aspek sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat. E. Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan peneliti adalah jenis metode studi kasus yaitu “studi kasus, yang digali adalah entitas tunggal atau fenomena (kasus) dari suatu masa tertentu dan aktifitas (bisa berupa program, kejadian, proses institusi, atau kelompok sosial) serta mengumpulkan detail informasi berbagai prosedur pengumpulan data selama kasus itu terjadi” (Afifudin 2012:86). Dalam penelitian studi kasus terdapat dua pendapat yang dapat dipergunakan untuk memahami kasus sebagai masalah yang penting untuk diteliti.Pertama sebagai kejadian tunggal yang berpisah atau berbeda secara diskriminatif dengan tingkah laku dan tradisi pada umumnya, sehingga kasus tersebut dipandang sebagai penyimpanganan atau deviasi sosial.Kedua, kasus yang merupakan tradisi normatif 16 yang bukan sekadar gejala, melainkan trade mark dari keadaan masyarakat tertentu, yang dikategorikan sebagai kebudayaan. Dalam penelitian studi kasus terdapat pendapat yang dapat dipergunakan untuk memahami kasus sebagai masalah yang penting untuk diteliti.Pertama, kasus sebagai kejadian tunggal yang berpisah atau berbeda secara diskriminatif dengan tingkah laku dan tradisi pada umumnya, sehingga kasus tersebut dipandang sebagai penyimpangan atau devisi sosial. Kedua, kasus yang merupakan tradisi normatif yng bukan sekedar gejala, melainkan sebagai trade mark dari keadaan masyarakat tertentu, yang dikategorikan sebagai kebudayaan (Afifudin, 2012:86). 1. Subjek Penelitian Subjek yang akan diteliti disebut informan. Menurut Alwasilah (2012:102) Informan adalah “Pemilihan sample bukan saja diterapkan pada manusia sebagai informan, melainkan juga pada latar (setting), kejadian dan proses”. Peneliti menggunakan teknik purposive sampling dalam penelitian ini. Menurut Patton (1990) yang dikutip oleh Alwasilah, (2012:103) bahwa: purposive sampling, yakni jurus agar manusia, latar, dan kejadian tertentu (unik, khusus, tersendiri, aneh, nyeleneh) betul-betul diupayakan terpilih (tersertakan) untuk memberikan informasi penting yang tidak mungkin diperbolehkan melalui jurus lain. Menurut Maxwell (1996) yang dikutip oleh Alwasilah, (2012 : 103) menyebutkan bahwa terdapat empat tujuan dari pemilihan sample secara purposif sebagai berikut : 1) Karena kekhasan atau kerepresentatifan dari latar, individu, atau kegiatan. 2) Demi heterogenitas dalam populasi. 17 3) Mengkaji kasus-kasus yang kritis terhadap (mementahkan) teori-teori yang ada. 4) Mencari perbandingan-perbandingan untuk mencerahkan alasan-alasan perbedaan antara latar, kejadian, atau individu. Demikian penarikan informan dengan menggunakan purposive sampling peneliti mencari informan yang sesuai dengan kriteria proses penelitian yaitu buruh tani kelapa sawit di PT. Gunung Pelawan Lestari Desa Riau Silip Kecamatan Belinyu Kabupaten Bangka Induk. F. Sumber dan Jenis Data 1. Sumber Data Bahan penunjang suatu penelitian, dibutuhkan data agar hasil penelitian lebih akurat sesuai dengan fenomena sosial yang nyata. Menurut Alwasilah (2012:105), sumber data tidak ada persamaan atau hubungan deduktif antara pertanyaan penelitian dan metode pengumpulan data. Sumber data berupa survei, eksperimen, dokumen, arsip dan lainnya. Sumber data yang dikumpulkan dalam penelitian ini, terdiri dari : 1. Data primer, yaitu sumber data yang terdiri dari kata-kata dan tindakan yang diamati atau diwawancarai, diperoleh secara langsung dari para informan penelitian menggunakan pedoman wawancara mendalam (indepth interview). Buruh tani kelapa sawit adalah orang yang dimintai keterangan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian. 2. Data sekunder, yaitu sumber data tambahan, diantaranya : 18 a) Sumber tertulis dibagi atas buku dan majalah ilmiah, sumber dari arsip, dan dokumen resmi. b) Pengamatan keadaan fisik lokasi penelitian (Di Desa Riau Silip). 2. Jenis Data Berdasarkan sumber data yang telah diuraikan di atas, maka dapat diidentifikasikan jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ilmiah ini. Jenis data akan diuraikan berdasarkan identifikasi masalah dan konsep penelitian agar mampu mendeskripsikan permasalahan yang diteliti, yaitu sebagai berikut : Tabel 1.1 Informasi Yang Dibutuhkan No Informasi Yang Dibutuhkan 1 Tingkat kebutuhan sosial dan ekonomi 2 Coping strategi yang dilakukan buruh tani Informan Buruh Tani Jumlah Informan 6 orang G. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data 1. Teknik Pengumpulan Data Instrumen buruh tani dalam situasi yang tidak ditentukan, dimana peneliti memasuki lingkungan buruh tani sehingga tidak mengetahui apa yang tidak diketahui, peneliti harus mengandalkan teknik-teknik penelitian, seperti : a. Wawancara mendalam, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara mengajukan pertanyaan secara langsung dan mendalam kepada informan. Pewawancara tidak perlu memberikan pertanyaan secara urut dan 19 menggunakan kata-kata yang tidak akademis, yang dapat dimengerti atau disesuaikan dengan kemampuan informan. b. Observasi non partisipan, adalah teknik pengumpulan data dengan tidak melakukan pengamatan langsung kepada objek yang akan diteliti dengan melibatkan diri ke dalam kegiatan yang dilaksanakan. c. Studi dokumen yaitu sumber tertulis atau tercetak yang mempunyai keterangan-keterangan dipilih, disusun, atau untuk disebarkan seperti peraturan perundang-undangan, sumber dari arsip, dan dokumen resmi. Teknik-teknik di atas merupakan teknik yang akan digunakan peneliti untuk mempelajari dan mendeskripsikan secara mendalam tentang coping strategies buruh tani kelapa sawit dengan beberapa permasalahan yang dihadapinya. 3. Analisis Data Penelitian ini dapat diolah dengan menganalisis data-data di lapangan secara istiqomah (konsisten dan berulang). Menurut Alwasilah (2012 : 113), bahwa “analisis data kualitatif merupakan tahapan pengumpulan data terpadu oleh fokus yang jelas, sehingga observasi dan interview selanjutnya terfokus, menyempit dan menukik dalam”. Tahapan analisis data yang digunakan sebagai berikut : A. Menulis memo, berupa catatan lapangan dan hasil interview dalam penelitian. B. Koding, berupa pemberian kode secara konsisten untuk fenomena yang sama. 20 C. Kategorisasi, temuan-temuan yang dikategorikan berdasarkan teori yang telah ada. D. Kontekstualisasi, berupa studi kasus, profil, beberapa jenis analisis wawancara, analisis naratif, dan analisis makna etnografis. E. Pajangan (Display), berupa matriks atau tabel, jejaring (network) atau peta konsep, flowcart, diagram, dan berbagi untuk representasi visual lainnya. F. Arsip analitis (Analytic Files), berupa arsip pertanyaan interview, arsip informan, dan arsip tempat atau latar. Analisis data peneliti laksanakan selama penelitian dan dilakukan secara terus menerus dari awal sampai akhir penelitian agar dapat menyusun hasil penelitian tentang perempuan rawan sosial ekonomi di pemukiman kumuh Kelurahan Jamika Kota Bandung. B. Keabsahan Data Memeriksa keabsahan data dalam suatu penelitian yang akan digunakan dalam karya ilmiah ini, maka yang perlu dilakukan oleh peneliti adalah dengan teknik triangulasi. Menurut Alwasilah (2012:106): “Triangulasi ini menguntungkan peneliti dalam dua hal, yaitu (1) mengurangi resiko terbatasnya kesimpulan pada metode dan sumber data tertentu, dan (2) meningkatkan vadilitas kesimpulan sehingga lebih merambah pada ranah yang lebih luas”. Penelitian ini, pengumpulan data menggunakan berbagai metode sehingga dapat diperoleh data-data tentang perempuan rawan sosial ekonomi yang pasti, atau peneliti melakukan penyilangan informasi yang diperoleh dari sumber (keluarga, teman, dan lingkungan sekitar) sehingga pada akhirnya hanya data yang absah yang digunakan untuk mencapai hasil penelitian ini. Menurut Cohen & Manion (1994) yang dikutip oleh Alwasilah (2012 : 106 ) ada enam macam cara triangulasi dalam penelitian ini, yaitu : 21 a. Time triangulation, yaitu peneliti melalukan observasi mendalam dengan melihat langsung kondisi perempuan rawan sosial ekonomi sehari-hari dalam aktivitasnya untuk pengumpulan data yang kongkrit. b. Space triangulation, yaitu lingkungan di Kelurahan Jamika menjadi lokasi yang peneliti ambil dalam proses pengumpulan data tentang perempuan rawan sosial ekonomi. c. Combined levels of triangulation, yaitu menambah atau memperkaya data-data penelitian tentang perempuan rawan sosial ekonomi sampai mantap sekali. d. Theoretical triangulation, yaitu mencocokkan dengan teori coping pada perempuan rawan sosial ekonomi terdahulu. e. Investigator triangulation, yaitu melakukan wawancara mendalam dengan perempuan rawan sosial ekonomi. Methodological triangulation, yaitu mengumpulkan data tentang perempuan rawan sosial ekonomi dengan metode interview, observasi dan wawancara mendalam serta metode yang lain pada teknik dasar studi lapangan I. Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian akan dilakukan di PT Gunung Pelawan Lestari Desa riau Silip Kecamatan Belinyu Kabupaten Bangka Induk.Peneliti memilih lokasi tersebut sebagai wadah melakukan proses penelitian. 22 2. Waktu Penelitian Tabel 1.2 Waktu Penelitian No Jenis Kegiatan Waktu Pelaksanaan 2015 Sptmb Okt Tahap Pra Lapangan 1 Penjajakan 2 Studi Literatur 3 Penyusunan Proposal 4 Seminar Proposal 23 2016 nov dsmb jan Feb Mar 5 Penyusunan Pedoman Wawancara Tahap Pekerjaan Lapangan 6 Pengumpulan Data 7 Pengolahan & Analisis Data Tahap Penyusunan Laporan Akhir 8 Bimbingan Penulisan 9 Pengesahan Hasil Penelitian Akhir 10 Sidang Laporan Akhir Sumber Tabel : Hasil Penelitian 2015-2016 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Kesejahteraan Sosial Kesejahteraan sosial merupakan suatu konsep yang mempunyai arti yang sangat luas. Kesejahteraan sosial dapat diartikan sebagai suatu kondisi atau keadaan terpenuhinya segala bentuk kebutuhan hidup,kesejahteraan sosial dalam arti yang sangat luas mencakup berbagai tindakan yang dilakukan oleh manusia untuk mencapai tingkat kehidupan yang lebih baik. 1. Pengertian Kesejahteraan Sosial Kehidupan yang didambakan oleh semua manusia di dunia ini adalah kesejahteraan. Baik yang tinggal di kota maupun yang di desa, semua 24 mendambakan kehidupan yang sejahtera. Sejahtera lahir dan bathin. Namun, dalam perjalanannya, kehidupan yang dijalani oleh manusia tak selamanya dalam kondisi sejahtera. Pasang surut kehidupan ini membuat manusia selalu berusaha untuk mencari cara agar tetap sejahtera. Mulai dari pekerjaan kasar seperti buruh atau sejenisnya, sampai pekerjaan kantoran yang bisa sampai ratusan juta gajinya dilakoni oleh manusia. Jangankan yang halal, yang harampun rela dilakukan demi kesejahteraan hidup. Secara umum, istilah kesejahteran sosial sering diartikan sebagai kondisi sejahtera (konsepsi pertama), yaitu suatu keadaan terpenuhinya segala bentuk kebutuhan hidup, khususnya yang bersifat mendasar seperti makanan, pakaian, perumahan, pendidikan dan perwatan kesehatan. Pengertian kesejahteraan sosial juga menunjuk pada segenap aktifitas pengorganisasian dan pendistribusian pelayanan sosial bagi kelompok masyarakat, terutama kelompok yang kurang beruntung (disadvantage groups). Penyelenggaraan berbagai skema perlindungan sosial (social protection) baik yang bersifat formal maupun informal adalah contoh aktivitas kesejahteraan sosial (Suharto, 2009). Kesejahteraan sosial dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, aman sentosa, terhindar dari suatu bahaya serta sehat wal’afiat. Salah satu konsep dari kesejahteraan sosial tersebut adalah pemenuhan terhadap kebutuhan dasar manusia, dimana kebutuhan dasar tersebut tidak hanya terdiri dari kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan, tetapi pendidikan dan kesehatan juga merupakan kebutuhan dasar manusia yang harus di penuhi sehingga manusia dapat berada dalam keadaan sejahtera di dalam 25 kehidupannya. Seperti yang telah diungkapkan oleh Walter A. Friedlander (Fahrudin, 2012:9) mengenai konsep kesejahteraan sosial yaitu: Kesejahteraan sosial adalah sistem yang terorganisasi dari usaha-usaha sosial dan lembaga-lembaga yang ditujukan untuk membantu individu maupun kelompok dalam mencapaik standar hidup dan kesehatan yang memuaskan, serta untuk mencapai relasi perseorangan dan sosial dengan relasi-relasi pribadi dan sosial yang dapat memungkinkan mereka mengembangkan kemampuan-kemampuan mereka secara penuh, serta untuk mempertinggi kesejahteraan mereka selaras dengan kebutuhan-kebutuhan keluarga dan masyarakat. Definisi di atas menunjukkan bahwa kesejahteraan sosial merupakan suatu sistem yang terorganisir dalam suatu lembaga dan pelayanan sosial sebagai suatu usaha yang bertujuan untuk mencapai kehidupan yang sejahtera dengan cara meningkatkan kemampuan individu dan kelompok baik dalam memecahkan masalahnya maupun dalam memenuhi kebutuhannya. Sedangkan definisi Kesejahteraan Sosial menurut Huraerah (2003:153) yaitu: “Kesejahteraan Sosial adalah suatu kegiatan atau sekumpulan kegiatan yang ditujukan untuk membantu orang – orang yang bermasalah”. Definisi Kesejahteraan sosial menurut Huraerah di atas bahwa Kesejahteraan Sosial merupakan suatu kegiatan atau sekumpulan kegiatan yang bertujuan untuk membantu mengatasi masalah sosial serta dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Konsep kesejahteraan sosial di Indonesia juga telah lama dikenal dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Undang – undang RI nomor 6 tahun 1974 (Suharto, 2010:2) tentang ketentuan - ketentuan pokok kesejahteraan sosial yaitu: Kesejahteraan sosial adalah Suatu kehidupan dan penghidupan sosial, material maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir batin, yang memungkinkan bagi setiap warga Negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan - kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial yang sebaik - baiknya bagi diri sendiri, keluarga, serta 26 masyarakat dengan menjujung tinggi hak - hak atau kewajiban manusia sesuai dengan pancasila. Definisi kesejahteraan sosial menurut undang – undang di atas dapat diartikan bahwa kesejahteraan sosial adalah suatu keadaan individu, keluarga maupun masyarakat (warga Negara) yang aman, tentram, damai dimana terpenuhinya kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, papan serta kebutuhan kesehatan, sosial dan pendidikan. 2. Tujuan Kesejahteraan Sosial Kesejahteraan Sosial bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup individu, keluarga maupun masyarakat. Menurut Fahrudin (2010 : 10) tujuan dari kesejahteraan sosial sebagai berikut: a. Untuk mencapai kehidupan yang sejahtera dalam arti tercapainya standar kehidupan pokok seperti sandang, perumahan, pangan, kesehatan dan relasi - relasi sosial yang harmonis dengan lingkungannya. b. Untuk mencapai penyesuaian diri yang baik khususnya dengan masyarakat di lingkungannya, misalnya dengan menggali sumber – sumber, meningkatkan, dan mengembangkan taraf hidup yang memuaskan. Tujuan kesejahteraan sosial menurut Fahrudin di atas yaitu upaya – upaya yang dilakukan oleh individu, kelompok atau masyarakat dalam memenuhi suatu kebutuhan – kebutuhan pokok seperti sandang, perumahan, pangan, kesehatan dan relasi sosial serta upaya untuk meningkatakan dan mengembangkan taraf hidup individu, keluarga maupun masyarakat agar kehidupannya dapat memuaskan. Menurut Schneiderman (Fahrudin,2012:10) mengemukakan tiga tujuan utama dari sistem kesejahteraan sosial yaitu: “Pemeliharaan sistem, pengawasan sistem, dan perubahan sistem”. Dari ketiga tujuan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Pemeliharaan Sistem 27 Pemeliharaan dan menjaga keseimbangan atau kelangsungan keberadaan nilai-nilai dan norma sosial serta aturan-aturan kemasyarakatan dalam masyarakat. termasuk hal-hal yang bertalian dengan definisi makna dan tujuan hidup: motivasi bagi kelangsungan hidup seseorang dalam perorangan, kelompok ataupun di masyarakat. Kegiatan sistem kesejahteraan sosial untuk mencapai tujuan semacam itu meliputi kegiatan yang diadakan untuk sosialisasi terhadap norma-noma yang dapat diterima, peningkatan pengetahuan dan kemampuan untuk mempergunakan sumber-sumber dan kesempatan yang tersedia dalam masyarakat melalui pemberian informasi, nasihat dan bimbingan, seperti penggunaan sistem rujukan, fasilitas pendidikan, kesehatan dan bantuan sosial lainnya. b. Pengawasan Sistem Melakukan pengawasan secara efektif terhadap perilaku yang tidak sesuai atau menyimpang dari nilai-nilai sosial. Kegiatan-kegiatan kesejahteraan sosial untuk mencapai tujuan semacam itu meliputi fungsi-fungsi pemeliharaan berupa kompensasi, sosialisasi, peningkatan kemampuan menjangkau fasilitas-fasilitas yang ada bagi golongan masyarakat yang memperlihatkan penyimpangan tingkah laku. c. Perubahan Sistem Mengadakan perubahan ke arah berkembangnya suatu sistem yang lebih efektif bagi anggota masyarakat (Effendi, 1982; Zastrow, 1982). Dalam mengadakan perubahan itu sistem kesejahteraan sosial merupakan instrument untuk menyisihkan hambatan terhadap partisipasi sepenuhnya dan adil bagi anggota masyarakat dalam pengambilan keputusan pembagian sumber - sumber secara 28 lebih pantas dan adil; dan terhadap penggunaan struktur kesempatan yang tersedia sacara adil pula. 3. Fungsi Kesejahteraan Sosial Kesejahteraan sosial memiliki fungsi yang bertujuan untuk menghilangkan dan mengurangi tekanan - tekanan yang diakibatkan terjadinya perubahan perubahan sosio-ekonomi, menghindarkan terjadinya konsekuensi - konsekuensi sosial yang negatif akibat pembangunan serta mampu menciptakan kondisi yang mampu mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat. Menurut Friedlander dan Apte (Fahrudin, 2012:2) fungsi kesejahteraan sosial adalah sebagai barikut: a. Fungsi Pencegahan (Preventive). Kesejahteraan sosial ditujukan untuk memperkuat individu, keluarga, dan masyarakat suapaya terhindar dari masalah-masalah sosial baru. Dalam masyarakat transisi, upaya pencegahan ditekankan pada kegiatan-kegiatan untuk membantu menciptakan pola-pola baru dalam hubungan sosial serta lembaga-lembaga sosial baru. b. Fungsi Penyembuhan (Curative). Kesejahteraan sosial ditujukan untuk menghilangkan kondisikondisi ketidakmampuan fisik, emosional, dan sosial agar orang yang mengalami masalah tersebut dapat berfungsi kembali secara wajar dalam masyarakat. Dalam fungsi ini juga tercakup dengan fungsi pemulihan atau rehabilitasi c. Fungsi Pengembangan (Development). Kesejahteraan sosial berfungsi untuk memberikan sumbangan langsung ataupun tidak langsung dalam proses pembangunan atau pengembangan tatanan dan sumber-sumber daya sosial dalam masyarakat. d. Fungsi Penunjang (Supportive). Fungsi ini mencakup kegiatan-kegiatan untuk membantu mencapai tujuan sektor atau bidang pelayanan sosial yang lain. Pekerjaan sosial sebagai proses pertolongan manusia bukan sesuatu yang mudah, sebab konotasi istilah pekerjaan sosial beraneka macam dan bersifat dinamis, artinya definisi pekerjaan sosial bersifat relatif, baik tempat, waktu 29 maupun sudut pandang/tinjauannya dan mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan masyarakat. B. Tinjauan Tentang Usaha Kesejahteraan Sosial Kesejahteraan sosial sebagai suatu aktivitas disebut sebagai usaha kesejahteraan sosial. Usaha kesejahteraan sosial pada umumnya hanya disebut sebagai pelayanan sosial, karena terdapat kegiatan seperti upaya – upaya untuk memberikan pertolongan atau pelayanan – pelayanan guna memenuhi kebutuhan seseorang. Akan lebih jelasnya definisi usaha kesejahteraan sosial di jelaskan di bawah ini. Membahas teori konstruksi sosial (social construction), tentu tidak bisa terlepaskan dari bangunan teoretik yang telah dikemukakan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Peter L. Berger merupakan sosiolog dari New School forSocial Reserach, New York, Sementara Thomas Luckman adalah sosiolog dari University of Frankfurt. Teori konstruksi sosial, sejatinya dirumuskan kedua akademisi ini sebagai suatu kajian teoretis dan sistematis mengenai sosiologi pengetahuan. Istilah konstruksi atas realitas sosial (social construction of reality) menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman melalui bukunya yang berjudul The Social Construction of Reality: A Treatise inthe Sociological of Knowledge (1966). Ia menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, dimana individu menciptakan secara terus menerussuatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subyektif. 30 Asal usul konstruksi sosial dari filsafat konstruktivisme yang dimulai dari gagasan-gagasan konstruktif kognitif. Menurut Von Glaserfeld, pengertian konstruktif kognitif muncul pada abad ini dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun, apabila ditelusuri, sebenarnya gagasan-gagasan pokok konstruktivisme sebenarnya telah dimulai oleh Giambatissta Vico, seorang epistemolog dari italia, ia adalah cikal bakal konstruktivisme (Suparno dalam Bungin, 2008:13) Dalam aliran filsafat, gagasan konstruktivisme telah muncul sejak sokrates menemukan jiwa dalam tubuh manusia, sejak Plato menemukan akal budi dan ide. Gagasan tersebut semakin lebih konkret lagi setelah Aristoteles mengenalkan istilah, informasi, relasi, individu, substansi, materi, esensi dan sebagainya. Ia mengatakan bahwa, manusia adalah makhluk sosial, setiap pernyataan harus dibuktikan kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan adalah logika dan dasar pengetahuan adalah fakta (Bertens dalam Bungin, 2008:13). Aristoteles pulalah yang telah memperkenalkan ucapannya ‘Cogoto, ergo sum’ atau ‘saya berfikir karena itu saya ada’ (Tom Sorell dalam Bungin, 2008:13). Kata-kata Aristoteles yang terkenal itu menjadi dasar yang kuat bagi perkembangan gagasan-gagasan konstruktivisme sampai saat ini. Berger dan Luckman (Bungin, 2008:14) mulai menjelaskan realitas sosial dengan memisahkan pemahaman ‘kenyataan dan pengetahuan’. Realitas diartikan sebagai kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas yang diakui sebagai memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak kita sendiri. 31 Pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik. Berger dan Luckman (Bungin, 2008:15) mengatakan terjadi dialektika antara indivdu menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan individu. Proses dialektika ini terjadi melalui eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Proses dialektis tersebut mempunyai tiga tahapan; Berger menyebutnya sebagai momen. Ada tiga tahap peristiwa. Pertama, eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Ini sudah menjadi sifat dasar dari manusia, ia akan selalu mencurahkan diri ke tempat dimana ia berada. Manusia tidak dapat kita mengerti sebagai ketertutupan yang lepas dari dunia luarnya. Manusia berusaha menangkap dirinya, dalam proses inilah dihasilkan suatu dunia dengan kata lain, manusia menemukan dirinya sendiri dalam suatu dunia. Kedua, objektivasi, yaitu hasil yang telah dicapai baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. Hasil itu menghasilkan realitas objektif yang bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatu faktisitas yang berada di luar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya. Lewat proses objektivasi ini, masyarakat menjadi suatu realitas suigeneris. Hasil dari eksternalisasi kebudayaan itu misalnya, manusia menciptakan alat demi kemudahan hidupnya atau kebudayaan non-materiil dalam bentuk bahasa. Baik alat tadi maupun bahasa adalah kegiatan ekternalisasi manusia ketika berhadapan dengan dunia, ia adalah hasil dari kegiatan manusia. Setelah dihasilkan, baik benda atau bahasa sebagai produk eksternalisasi tersebut menjadi realitas yang objektif. Bahkan ia dapat menghadapi manusia 32 sebagai penghasil dari produk kebudayaan. Kebudayaan yang telah berstatus sebagai realitas objektif, ada diluar kesadaran manusia, ada “di sana” bagi setiap orang. Realitas objektif itu berbeda dengan kenyataan subjektif perorangan. Ia menjadi kenyataan empiris yang bisa dialami oleh setiap orang. Ketiga, internalisasi. Proses internalisasi lebih merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia yang telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebagai gejala realitas diluar kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran. Melalui internalisasi, manusia menjadi hasil dari masyarakat. Bagi Berger, realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan. Tetapi sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksi. Dengan pemahaman semacam ini, realitas berwajah ganda/plural. Setiap orang bisa mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas. Setiap orang yang mempunyai pengalaman, preferensi, pendidikan tertentu, dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu akan menafsirkan realitas sosial itu dengan konstruksinya masing-masing. 1. Pengertian Usaha Kesejahteraan Sosial Perhatian pemerintah dan masyarakat secara umum terhadap perlunya standar kehidupan yang lebih baik, telah mendorong terbentuknya berbagai usaha kesejahteraan sosial. Isbandi (2005 : 86) mendefinisikan usaha kesejahteraan sosial adalah "Suatu program ataupun kegiatan yang didesain secara konkrit untuk menjawab masalah, kebutuhan masyarakat ataupun meningkatkan taraf hidup masyarakat”. 33 Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No.6 Tahun 1974, UsahaUsaha Kesejahteraan sosial adalah semua upaya, program, dan kegiatan yang ditujukan untuk mewujudkan, membina, memelihara, memulihkan dan mengembangkan kesejahteraan sosial (Sumarnonugroho, 1987:39). Usaha kesejahteraan sosial itu sendiri dapat ditujukan pada individu, keluarga, kelompok kelompok dalam komunitas, ataupun komunitas secara keseluruhan. Dari hal di atas, dapat dilihat bahwa kesejahteraan sosial sebagai suatu kondisi kehidupan yang diharapkan masyarakat tidak dapat terwujud bila tidak dikembangkan usaha kesejahteraan sosial baik oleh pihak pemerintah, organisasi non pemerintah, maupun dunia usaha. Karena itu berjalan atau tidaknya suatu usaha kesejahteraan sosial sangat dipengaruhi oleh organisasi yang menyediakan usaha kesejahteraan sosial tersebut. Organisasi yang menyediakan layanan sosial(usaha kesejahteraan sosial) dalam perspektif yang lebih luas seringkali disebut dengan nama organisasi pelayanan masyarakat. Dalam kaitannya dengan apa yang menjadi motivasi dari suatu organisasi pelayanan masyarakat mengadakan usaha kesejahteraan sosial Schneiderman (lsbandi, 2005 : 87) menyatakan tiga tujuan dari suatu organisasi pelayanan masyarakat menyediakan UKS : 1. Tujuan kemanusiaan dan keadilan Tujuan ini bersumber dari gagasan ideal demokratis tentang keadilan sosial, dan hal ini berasal dari keyakinan bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk mengembangkan potensi diri yang mereka miliki. Meskipun kadangkala potensi tersebut oleh adanya hambatan fisik, sosial, ekonomi, kejiwaan ataupun berbagai 34 faktor lainnya. Usaha kesejahteraan sosial menjadikan mereka sebagai kelompok sasaran dalam upaya menjembatani kelangkaan sumber daya yang mereka miliki. 2. Tujuan yang terkait dengar pengendalian sosial Tujuan ini berkembang berdasarkan pemahaman bahwa kelompok yang tidak diuntungkan, kekurangan, atupun tidak terpenuhi kebutuhan hidupnya akan dapat melakukan serangan atau menjadi ancaman bagi kelompok masyarakat yang sudah mapan. Karena itu kelompok masyarakat yang sudah mapan berupaya mengamankan diri mereka dari sesuatu yang dapat mengancam kehidupan. pemilikan maupun stabilitas yang sudah berjalan. 3. Tujuan yang terkait dengan pembangunan ekonomi Tujuan pembangunan ekonomi memprioritaskan pada program-program yang direncanakan untuk meningkatkan produksi barang dan jasa, serta berbagai sumber daya yang dapat menunjang serta memberikan sumbangan pada pembangunan ekonomi. Usaha kesejahteraan sosial mengacu pada program, pelayanan, dan berbagai kegiatan yang secara konkret berusaha menjawab kebutuhan ataupun masalahmasalah yang dihadapi anggota masyarakat. Usaha kesejahteraan sosial dapat diarahkan pada individu, keluarga, kelompok atau komunitas. Beberapa contoh dari Usaha kesehjateraan sosial yang searah dengan tujuan pembangunan ekonomi adalah: a. Beberapa tipe unit usaha kesejahteraan sosial yang secara langsung memberikan sumbangan terhadap peningkatan produktifitas individu, kelompok ataupun 35 masyarakat contohnya adalah pelayanan konseling pada generasi muda dan lainlain. b. Jenis usaha kesejahteraan sosial yang berupaya untuk mencegah atau meminimalisir hambatan (beban) yang dapat dihadapi oleh para pekerja ( yang masih produktif). c. Jenis usaha kesejahteraan sosial yang memfokuskan pada pencegahan dampak negatif urbanisasi dan industrialisasi pada kehidupan keluarga dan masyarakat atau membantu mereka agar dapat mengidentifikasi dan mengembangkan “pemimpin” dari suatu komunitas lokal. Beberapa karakteristik usaha kesejahteraan sosial 1. Menanggapi kebutuhan manusia. 2. Usaha kesejahteraan sosial diorganisir guna menanggapi kompleksitas masyarakat perkotaan yang modern. 3. Kesejahteraan sosial mengarah ke spesialisasi, sehingga lembaga kesejahteraan sosialnya juga menjadi tersepesialisasi. 4. Usaha kesejahteraan sosial menjadi sangat luas (Adi,1994:6-10). C. Tinjauan tentang Masalah Sosial Kehidupan manusia pada dasarnya tidak bisa dipisahkan dari permasalahan sosial. Hal ini dikarenakan masalah sosial terwujud sebagai hasil dari kebudayaan manusia itu sendiri dan akibat dari hubungan dengan manusia lainnya. Masalah – masalah sosial yang dihadapi masyarakat tidaklah sama antara yang satu dengan yang lainnya, karena setiap individu memiliki porsinya masing – masing. 1. Pengertian Masalah Sosial 36 Masalah sosial dipandang sebagai situasi tertentu yang tidak sesuai dengan nilai - nilai yang dianut sebagian besar orang yang setuju bahwa tindakan harus dilakukan untuk mengubah situasi itu. Masalah sosial bisa juga diartikan sebagai Kondisi yang dipandang oleh sejumlah orang dalam masyarakat sebagai sesuatu yang tidak diharapkan. Definisi masalah sosial menurut Kartini Kartono (Huraerah, 2011:4) yaitu: a. Semua bentuk tingkah laku yang melanggar atau memperkosa adat – istiadat masyarakat ( dan adat isitadat tersebut diperlukan untuk menjamin kesejahteraan hidup bersama). b. Situasi sosial yang dianggap oleh sebagaian besar dari warga masyarakat sebagai mengganggu, tidak dikehendaki, berbahaya dan merugikan orang banyak. Definisi diatas menjelaskan bahwa masalah sosial merupakan kondisi – kondisi yang tidak menyenangkan dan pembangunan yang berdampak buruk bisa mengakibatkan situasi – situasi sosial atau permasalahan – permasalah sosial yang bisa mengganggu dan merugikan banyak orang. Menurut Parillo yang dikutip Soetomo (Huraerah, 2011 : 5) untuk dapat memahami pengertian masalah sosial perlu memperhatikan 4 komponen, yaitu: a. Masalah itu bertahan untuk suatu periode tertentu. b. Dirasakan dapat meryebabkan berbagai kerugian fisik atau mental, baik pada individu maupun masyarakat. c. Merupakan pelanggaran terhadap nilai-nilai atau standar sosial dari satu atas beberapa sendi kehidupan masyarakat. d. Menimbulkan kebutuhan akan pemecahan. Komponen – komponen tersebut saling keterkaitan diantara satu dengan yang lainnya, yang pertama masalah sosial bertahan diwaktu tertentu, dirasakan banyak orang, menimbulkan kerugian, dan barulah membutuhkan solusi untuk 37 memecahkan masalah sosial tersebut. menurut Soetarso penyebab timbulnya masalah sosial (Huraerah, 2011:8) yaitu: Masalah sosial terbentuk oleh kombinasi – kombinasi faktor internal yang yang berasal dari dalam diri orang (ketidakmampuan, kecacatan, gangguan jiwa dan sebagainya) dan faktor – faktor eksternal yang berasal dari lingkungan sosial ( keluarga, sekolah, lingkungan tetangga,lingkungan kerja dan sebagainya. Definisi diatas menjelaskan bahwa masalah sosial terjadi akibat faktor – faktor dari dalam (internal) dan luar (eksternal). Faktor dari dalam ini kondisi – kondisi yang terjadi pada diri sendiri seperti ketidakmampuaan, gangguan dan sebagainya. Sedangkan, Faktor dari luar salah satu contohnya seperti pembangunan yang berdampak besar pada masyarakat. 2. Karakteristik Masalah Sosial Masalah sosial timbul dari kekurangan - kekurangan dalam diri manusia atau kelompok sosial yang bersumber pada faktor - faktor ekonomis, biologis biopsikologis dan kebudayaan. Horton dan Leslie (Suharto,2007:57) mendefinisikan bahwa: “masalah sosial adalah Sebagai suatu kondisi yang dirasakan banyak tidak menyenangkan serta menuntut pemecahan melalui aksi sosial secara kolektit". Definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa masalah sosial merupakan keadaan yang tidak diinginkan oleh siapapun dan keadaan tersebut banyak tidak menyenangkannya serta perlu tindakan – tindakan untukpemecahan suatu permasalahan tersebut. Masalah sosial memiliki karakteristik sebagai berikut: a. Kondisi yang dirasakan banyak orang. Suatu masalah baru dapat dikatakan sebagai masalah sosial apabila kondisinya dirasakan oleh banyak orang. Namun demikian, tidak ada batasan 38 mengenai berapa jumlah orang yang harus merasakan masalah tersebut. Jika suatu masalah mendapat perhatian dan menjadi perbincangan lebih dari satu orang, masalah tersebut adalah masalah sosial. b. Kondisi yang dinilai tidak menyenangkan. Seseorang cenderung mengulangi sesuatu yang menyenangkan dan menghindari sesuatu yang tidak menyenangkan. Orang senantiasa menghindari masalah, karena masalah selalu tidak menyenangkan. Penilaian masyarakat sangat penting dalam menentukan suatu kondisi sebagai masalah sosial. Ukuran baik atau buruk sangat bergantung pada nilai dan norma yang dianut masyarakat. c. Kondisi yang menuntut pemecahan masalah. Suatu kondisi yang tidak menyenangkan senantiasa menuntut pemecahan. Bila seseorang merasa lapar, akan segera dicarinya rumah makan, bila sakit , ia akan segera pergi ke dokter atau membeli obat. Pada umumnya suatu kondisi dianggap perlu dipecahkan jika masyarakat merasa bahwa kondisi tersebut memang dapat dipecahkan. d. Pemecahan tersebut harus dilakukan melalui aksi secara kolektif Masalah sosial berbeda dengan masalah individual. Masalah individual dapat diatasi secara perorangan atau satu per satu, tetapi masalah sosial hanya dapat diatasi melakui rekayasa sosial, seperti aksi sosial, kebijakan sosial atau perencanaan sosial, karena penyebab dan akibatnya bersifat multidimensional dan menyangkut banyak orang. D. Tinjauan Tentang Pekerjaan Sosial 39 Pekerjaan sosial dapat dikatakan suatu perbuatan baik untuk orang lain atau tindakan – tindakan untuk membantu orang lain. Sebagai contoh,misalnya memberi sumbangan kepada korban bencana,memberi uang kepada pengemis, menolong orang yang sedang sakit, dan kegiatan – kegiatan seperti itu sudah dikatakan pekerjaan sosial,akan tetapi pekerjaan sosial yang awam. Pekerjaan sosial awam beda dengan pekerjaan sosial profesi. 1. Pengertian Pekerjaan Sosial Pekerjaan sosial sebagai proses pertolongan manusia bersifat dinamis, artinya pekerjaan sosial itu relatif, baik waktu, tempat ataupun situasi - situasi maupun sudut pandang dan dapat mengalami perubahan sesuai dengan sudut perkembangan masyarakat. Pekerjaan sosial menurut studi kurikulum yang diseponsori oleh the Council on Social Work Education (Fahrudi,2012:59) yaitu : Pekerjaan sosial berusaha untuk meningkatkan keberfungsian sosial individu, secara sendiri-sendiri atau dengan kelompok dengan kegiatankegiatan yang dipusatkan pada hubungan-hubungan sosial mereka yang merupakan interaksi antara orang dan lingkungannya. Kegiatan – kegiatan ini dapat dikelompokan menjadi tiga fungsi: pemulihan kemampuan yang terganggu, penyediaan sumber – sumber individu dan sosial, dan pencegahan disfungsi sosial. Definisi pekerjaan sosial diatas dapat disimpulkan bahwa pekerjaan sosial merupakan usaha untuk meningkatkan keberfungsian sosial individu maupun kelompok dengan memusatkan hubungan sosial yang merupakan interaksi antara orang dengan lingkungan sosialnya. Pekerjaan sosial pada prinsipnya membantu individu maupun kelompok yang mengalami masalah dalam menjalankan tugas – tugas kehidupan maupun pelaksanaan fungsi sosialnya. Pekerjaan sosial menurut Soetarso (Huraerah, 2011:39) yaitu: 40 Pekerjaan sosial sebagai suatu profesi pemberian bantuan yang dilaksanakan melalui pengembangan interaksi timbal balik yang saling menguntungkan antara orang dan lingkungan sosialnya untuk memperbaiki kualitas kehidupan dan penghidupan orang tersebut sebagai suatu kesatuan harmonis yang berlandaskan hak asasi manusia dan keadilan sosial. Soetarso menyatakan bahwa pekerjaan sosial merupakan suatu profesi untuk memberikan bantuan dengan memberikan pengembangan - pengembangan interaksi timbal balik antara individu maupun kelompok dengan lingkungan sosialnya, yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas kehidupan dan penghidupan individu atau kelompok dan dapat mengembalikan keberfungsian sosial individu maupun kelompok tersebut. Definisi pekerjaan sosial yang telah dijelaskan di atas dengan jelas mengemukakan bahwa fokus pekerjaan sosial yaitu mengembalikan keberfungsian sosial. Pekerjaan sosial berusaha untuk memperbaiki, mempertahkan atau meningkatkan keberfungsian sosial orang, kelompok atau masyarakat. 2. Pekerjaan Sosial sebagai Profesi Pekerja sosial didefinisikan sebagai orang yang memiliki kewenangan keahlian dalam menyelenggarakan berbagai pelayanan sosial. (Budhi Wibhawa, 2010: 52). Pekerja sosial adalah seseorang yang mempunyai kompetensi profesional dalam pekerjaan sosial yang diperolehnya melalui pendidikan formal atau pengalaman praktek di bidang pekerjaan sosial/kesejahteraan sosial yang diakui secara resmi oleh pemerintah dan melaksanakan tugas profesional pekerjaan sosial (Kepmensos No. 10/HUK/2007). Konsep relawan dan pekerjaan sosial di dunia Pekerjaan Sosial dan Ilmu Kesejahteraan Sosial bukanlah hal yang baru. Konsep relawan di Indonesia sering 41 digunakan untuk menggambarkan seseorang yang bergelut di bidang pekerjaan sosial padahal mereka bukan berasal dari pendidikan pekerjaan sosial dan ilmu kesejahteraan sosial. Sedangkan konsep pekerjaan sosial digunakan untuk menggambarkan seseorang yang bergelut di bidang pekerjaan sosial yang berasal dari pendidikan pekerjaan sosial dan ilmu kesejahteraan sosial. Dari pemaparan tersebut kita harus mengetahui apa itu profesi dan profesi pekerjaan sosial. Kata profesi dalam kehidupan sehari – hari sering disalah gunakan,tidak setiap pekerjaan yang menghasilkan uang disebut profesi. Kesalahan penggunaan kata profesi dalam kehidupan sehari – hari yaitu misalnya digunakan untuk sopir angkutan, pedang, bahkan pekerja seks komersial. Dari pernyataan tersebut jelas bahwa seseorang yang bergelut di bidang kesejahteraan sosial tetapi mereka bukan berasal dari pendidikan pekerjaan sosial dan ilmu kesejahteraan sosial bukan lah sebagai profesi, karena profesi menurut Oxford Advanced Learner’s Dictionari (Fahrudin,2012:63) profesi adalah “Pekerjaan pekerjaan yang dibayar, khususnya yang memiliki pendidikan dan pelatihan lanjut”. Konsep diatas menjelaskan bahwa profesi itu merupakan pekerjaan yang memerlukan pelatihan lanjut dan berlandaskan pendidikan dibidangnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa seorang profesi pekerjaan sosial merupakan orang yang memiliki pendidikan pekerjaan sosial dan ilmu kesejahteraan sosial. Undangundang RI No. 11 tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial bab 1 pasal 1 ayat 4 bahwa definisi pekerjaan sosial adalah: Pekerja sosial profesional adalah seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun swasta yang memiliki kompetensi dan profesi pekerjaan sosial, dan kepedulian dalam pekerjaan sosial yang diperoleh 42 melalui pendidikan, pelatihan, dan pengalaman praktek praktek pekerjaan sosial untuk menjalankan tugas – tugas pelayanan dan penganan sosial. Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pekeerjaan sosial sebagai profesi yaitu suatu profesi yang di dapatkan melalui pendidikan di bidang pekerjaan sosial dan ilmu kesejahteraan sosial yang bertujuan untuk membantu mengembalikan keberfungsian sosial individu,kelompok, maupun masyarakat. 3. Fokus Intervensi Pekerjaan Sosial Pekerjaan sosial bertujuan untuk membantu individu,kelompok,maupun masyarakat dalam mencegah dan memecahkan maslah-masalah sosial yang mereka hadapi guna memulihkan dan mengkatkan kemampuan untuk menjalankan fungsi sosial mereka. Menurut Jusman iskandar (1993) dalam buku Beberapa Keahlian Penting dalam Pekerjaan Sosial, intervensi pekerjaan sosial adalah: Fokus intervensi pekerjaan sosial berhubungan dengan kemampuan pekerjaan sosial untuk memusatkan perhatiannya baik terhadap usaha klien melihat aspek penting dari situasi tersebut, maupun memegang teguh beberapa kesimpulan dari fokus tersebut atau kemajuan yang telah dicapai. Hal ini berarti pula sewaktu-waktu tertentu, pekerjaan sosial harus dapat memahami satu aspek masalah yang harus diteliti dan satu alternatif untuk pemecahannya. Pernyataan di atas menyatakan bahwa fokus intervensi pekerjaan sosial yaitu mengembalikan keberfungsian sosial individu,kelompok, maupun masyarakat dengan pekerja sosial harus dapat memahami dari aspek masalah yang akan diteliti sehingga dapat memudahkan didalam menentukan alternatif pemecahan secara relafan. Berkaitan dengan fokus intervensi pekerjaan sosial tersebut, Siporin (Iskandar, 1993:65) tahap – tahap intervensi pekerjaan sosial sebagai berikut: a. Tahap Engagemen, Intake dan Kontark 43 Bertemu dengan klien untuk bertukar informasi yang dibutuhkan, jenis pelayanan apa yang bisa diberikan untuk klien dalam pemecahan masalah, lalu akan terjadi saling mengenal dan kemudian terciptalah kontrak. b. Tahap Assesmant Merupakan proses penggalian dan pemahaman masalah yang dihadapi klien. Dengan demikian akan terlihat bentuk masalah, faktor penyebab dan akibat serta pengaruh masalah. c. Tahap Planing Rencana proses penyusunan pemecahan masalah yang dihadapi klien. Rencanan tersebut meliputi tujuan pemecahan masalah, sasaran serta cara memecahkan masalah. d. Tahap Intervention Tahap pelaksanaan pemecahan masalah, dalam pelaksanaan kegiatan ini klien diharapkan mengikuti proses pemecahan masalah secara aktif. e. Tahap Evaluasi Merupakan tahap pengevaluasian terhadap kegiatan intervensi yang telah dilakukan, hal ini dimaksudkan untuk melihat tingkat keberhasilan, hambatan yang dialami oleh klien. f. Tahap terminasi Merupakan tahap pengakhiran atau pemmutusan kegiatan intervensi, hal ini dilakukan bila tujuan intervensi telah tercapai atau permintaan klien sendiri atau karena faktor-faktor tertentu. 44 Berdasarkan uraian metode-metode sekerja sosial di atas, dapat disimpulkan bahwa metode pekerjaan sosial menggunakan ilmu pengetahuan ilmiah untuk mencapai tujuannya yaitu : penyesuaian yang lebih baik antara klien dan lingkungannya. Tujuan tersebut dapat dicapai melalui cara-cara memobilisasi kemampuan individu, kelompok dan sumber-sumber dalam masyarakat yang memiliki tujuan meningkatkan kesejahteraan sosial. E. Tinjauan Tentang Copyng Strategies Suatu tingkah laku dimana individu melakukan interaksi dengan lingkungan sekitarnya dengan tujuan menyelesaikan tugas atau masalah dan mengatasi tuntutan-tuntutan dalam situasi yang menekan dan menegangkan. Permasalahan di atas disebut dengan coping. 1. Pengertian Copyng Strategies Strategi pengatasan masalah atau dikenal dengan istilah coping berasal dari kata to cope yang dalam bahasa inggris indonesia ( Echols & Shadily, 1990 ) berarti : “Menangulangi, mengatasi dan menguasai”. Strategi pengatasan masalah juga digambarkan sebagai cara seseorang mengatasi tuntutan-tuntutan yang dirasa menekan, sehingga dia harus melakukan penyeimbangan dalam usaha untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan (Safarino, 1990). Pendapat ini dikuatkan oleh Pearlin & Schooler (dalam Taylor, 1995) yang menyatakan bahwa startegi pengatasan masalah atau koping adalah “bentuk perilaku individu untuk melindungi diri dari tekanan-tekanan psikologis yang ditimbulkan oleh problematika pengalaman hidup”. 45 Selanjutnya, strategi ‘coping’ menunjukkan pada berbagai upaya baik mental maupun perilaku untuk mengatasi, mentoleransi, mengurangi, atau meminimalisasikan suatu situasi atau kejadian yang penuh tekanan. Dengan perkatan lain strategi ‘coping’ merupakan suatu proses dimana individu berusaha untuk menangani dan mengatasi situasi stres yang menekan akibat dari masalah yang sedang dihadapinya dengan cara melakukan perubahan kognitif maupun perilaku guna memperoleh rasa aman dalam dirinya. Pada umumnya pelaksanaan tugas dalam lingkungan kerja selalu mengandung permasalahan dan tantangan. Masalah dan tantangan ini sering kali menimbulkan stres yang bisa mengganggu individu didalam mencapai tujuan. Menurut Smet (1994) reaksi individu dalam menghadapi kondisi lingkungan yang penuh masalah berupaya untuk menyeimbangkan dirinya dengan lingkungannya. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu agar tercipta keseimbangan ini disebut coping. Upaya - upaya yang dapat dilakukan individu untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau meminimalkan dampak kejadian yang menimbulkan stres khususnya didalam lingkungan kerja dapat diistilahkan sebagai strategi coping. Menurut Skinner (dalam Sarafino, 2006) strategi problem focused coping meliputi planfull problem solving, direct action, assistance seeking dan information seeking, sedangkan strategi emotional focused coping meliputi avoidance, denial, selfcriticism dan positive reappraisal. Taylor (2009) mengatakan bahwa selama melakukan proses strategi coping, individu melakukan penilaian terhadap usaha 46 yang dilakukan, apakah usaha yang dilakukan mengurangi tekanan emosional yang dialami atau usaha tersebut mengatasi masalah yang dihadapi. Strategi coping yang dilakukan oleh individu didalam menghadapi masalah yang timbul di lingkungan kerja membuat individu merasa lebih nyaman, senang, puas dalam bekerja dan dapat mengembangkan rasa memiliki terhadap perusahaan (Kondalkar, 2009). Vein Heskett, Sasser & Schlesinger (1997) menyatakan bahwa perasaan yang baik terhadap pekerjaannya berarti individu merasa senang melakukan pekerjaan yang akan mengarah pada lingkungan pekerjaan yang produktif. Perasaan karyawan terhadap pekerjaan, kerabat, dan organisasi yang mengarah pada pertumbuhan dan keuntungan organisasi didefinisikan sebagai kualitas kehidupan bekerja. Islam & Siengthai (2009) menambahkan bahwa kondisi kerja yang menyenangkan, keadaan yang menguntungkan bagi karyawan dan kesejahteraan karyawan dapat meningkatkan kualitas kehidupan bekerja. Menurut Suharto (2003:25), coping strategies adalah “seperangkat kemampuan atau cara-cara yang sering digunakan dalam mengatasi berbagai masalah sosial ekonomi”. Dari pengertian-pengertian di atas, dapat dirumuskan bahwa seseorang yang mempunyai masalah dalam pemecahannya mereka harus memiliki kemampuan atau suatu cara yang dapat memecahkan masalah yang dialaminya, sehingga mereka mampu mengatasi permasalahan sosial ekonomi yang mereka hadapi. Kemampuan yang dimaksudkan disini adalah kemampuan yang dimiliki oleh individu tersebut walaupun terbatas, misalnya keterampilan yang mereka miliki sehingga dapat menghasilkan sesuatu yang berguna untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam penelitian ini bahwa yang dimaksud dengan strategi ‘coping’ 47 adalah upaya wanita rawan sosial ekonomi untuk mempertahankan kehidupan keluarga dengan memanfaatkan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki walaupun terbatas. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Sudrajat (2006) bahwa ‘coping’ strategi adalah “upaya penanggulangan masalah yang dilakukan oleh perorangan, kelompok, atau komunitas melalui mekanisme tertentu agar dapat mencapai kenyataan yang menyenangkan atau lebih baik”. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa seseorang dapat melakukan upaya dalam menyelesaikan masalahnya dengan menggunakan suatu mekanisme yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh individu tersebut untuk mencapai keadaan yang lebih baik lagi dalam kehidupannya. Mekanisme yang dimaksud adalah suatu cara yang terencana dan tersusun dengan baik sehingga dalam melakukan suatu proses pemecahan masalahnya dapat berjalan lancar dan berhasil. Suharto (2003) menyatakan bahwa istilah lain yang juga memiliki pengertian yang sama dengan strategi penanganan adalah coping mechanism, survival strategies, household strategies, dan livehold diversification (mekanisme pertahaan diri, strategi untuk bertahan hidup, strategi keluarga dan kanekaragaman mata pencaharian). Selanjutnya Moser (dalam Suharto, 2003) menambahkan bahwa strategi penanganan ini pada dasarnya merupakan manajemen portofolio asset yang ia istilahkan dengan nama asset portofolio management. Berdasarkan konsepsi ini, Moser merumuskan suatu kerangka analisis yang disebut “The Asset Vulnerability Frame Work”. Kerangka ini meliputi berbagai asset sebagai berikut: 48 a. Asset tenaga kerja (labor asset),misalnya meningkatkan keterlibatan wanita dan anak-anak dalam keluarga untuk bekerja membangun ekonomi rumah tangga b. Asset modal manusia (human capital asset), misalnya status kesehatan yang dapat menentukan kapasitas orang untuk bekerja atau keterampilan dan pendidikan yang menentukan kembalian atau hasil kerja (return) terhadap tenaga yang dikeluarkan. c. Asset produktif (productive asset)misalnya rumah, swah, termasuk ternak dan tanaman. d. Asset relasi rumah tangga atau keluarga (household relation asset), misalnya jaringan dan dukungan dari keluarga besar, kelompok etnis, migrasi jarigan, dan mekanisme “uang kiriman” (remittances) e. Asset modal usaha (social capital asset), misalnya lembaga-lembaga sosial lokal, arisan, dan pinjaman kredit informal. Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa strategi ‘coping’ adalah suatu pertahanan diri dari wanita rawan sosial ekonomi untuk bisa tetap bertahan hidup dengan asset-asset yang mereka miliki walaupun terbatas. Dari semua asset yang telah dikemukakan di atas bahwa wanita rawan sosial ekonomi memiliki kesemua asset tersebut, akan tetapi asset yang mereka miliki tersebut belum maksimal dipergunakan. Dalam menjaga kesehatan tubuh yang merupakan asset modal utama manusia, mereka berusaha maksimal agar kesehatannya terjaga. Dukungan serta keterlibatan keluarga yang merupakan asset tenaga kerja dan asset rumah tangga digunakan agar semua keluarga terlibat dalam menigkatkan dan 49 membangun sosial ekonomi keluarga, sehingga tidak tergantung pada satu orang saja. Sedangkan asset produktif yaitu perumahan dan asset modal usaha yaitu lembaga-lembaga sosial, dapat mereka gunakan secara maksimal untuk membantu setiap kebutuhan yang diperlukan. 2. Jenis Copyng Strategies Menurut Lazarus dan Folkman dalam Edi Suharto (2002) ada dua coping strategies yang bisa digunakan oleh individu yaitu: a) Problem solving focused coping, yaitu dimana individu secara aktif mencari menyelesaikan masalah untuk menghilangkan kondisi atau situasi yang menimbulkan stress. b) Emotion focused coping, yaitu dimana individu melibatkan usaha-usaha untuk mengatur emosinya dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi atau yang penuh dengan tekanan. Penggolongan jenis coping seperti dikemukakan di atas dalam literatur tentang coping juga dikenal dua copyng strategies yaitu active & avoidant copyng strategies. Active coping merupakan strategies yang dirancang untuk mengubah cara pandang individu terhadap sumber stres, sementara avoidant coping merupakan strategi yang dilakukan individu untuk menjauhkan diri dari sumber stres dengan cara melakukan suatu aktivitas atau menarik diri dari suatu kegiatan atau situasi yang berpotensi menimbulkan stres. Apa yang dilakukan individu pada avoidant coping strategies sebenarnya merupakan suatu bentuk mekanisme pertahanan diri yang sebenarnya dapat menimbulkan dampak negatif bagi individu karena cepat atau lambat permasalahan yang ada harus diselesaikan oleh yang bersangkutan. Permasalahan akan semakin menjadi lebih rumit jika mekanisme pertahanan diri tersebut justru menuntut kebutuhan energi dan menambah kepekaan terhadap ancaman. 50 3. Faktor yang mempengaruhi Copyng Strategies Cara individu menangani situasi yang mengandung tekanan ditentukan oleh sumber daya individu yang meliputi kesehatan fisik / energi, keterampilan memecahkan masalah, keterampilan sosial dan dukungan sosial dan materi. Faktorfaktor tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: a) Kesehatan Fisik Kesehatan merupakan hal yang penting karena selama dalam usaha mengatasi stres individu dituntut untuk mengerahkan tenaga yang cukup besar. b) Keyakinan atau pandangan positif Keyakinan menjadi sumber daya psikologis yang sangat penting seperti keyakinan akan nasib yang mengerahkan individu pada penilaian ketidakberdayaan yang akan menurunkan kemampuan coping strategi. c) Keterampilan memecahkan masalah Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk mencari informasi, menganalisa situasi, mengidentifikasi masalah dengan tujuan untuk menghasilkan alternatif tindakan, kemudian mempertimbangkan alternatif tersebut sehubung dengan hasil yang ingin dicapai dan pada akhirnya melaksanakan rencana dengan melakukan suatu tindakan yang tepat. d) Keterampilan sosial 51 Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk berkomunikasi dan bertingkah laku dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai sosial yang berlaku dimasyarakat. e) Dukungan sosial Dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan emosional pada diri individu yang diberikan oleh orang tua, anggota keluarga lain, saudara, teman, dan lingkungan masyarakat sekitar. f) Materi Dukungan ini meliputi sember daya berupa uang, barang-barang atau layanan yang biasanya dapat dibeli. Tinjauan di atas dapat diasumsikan bahwa setiap orang sering menggunakannya untuk mengatasi berbagai masalah yang menekan dalam berbagai ruang lingkup kehidupan sehari-hari. Faktor yang menentukan strategi mana yang paling banyak dan sering digunakan sangat tergantung pada kepribadian seseorang dan sejauh mana tingkat stress dari suatu kondisi atau masalah yang dialami. F. Tinjauan Tentang kebutuhan Dasar Setiap makhluk hidup mempunyai kebutuhan, tidak terkecuali manusia. Manusia mempunyai kebutuhan yang beragam. Namun, pada hakikatnya setiap manusia mempunyai kebutuhan dasar yang sama. Kebutuhan tersebut bersifat manusiawi dan menjadi syarat untuk keberlangsungan hidup manusia. Siapapun orangnya pasti memerlukan pemenuhan kebutuhan dasar (Asmadi, 2008). Kegagalan pemenuhan kebutuhan dasar menimbulkan kondisi yang tidak seimbang, sehingga diperlukan bantuan terhadap pemenuhannya kebutuhan dasar 52 tersebut. Disinilah pentingnya peranan perawat sebagai profesi kesehatan dimana salah satu tujuan pelayananan keperawatan adalah membantu klien dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Jenis-jenis kebutuhan dasar manusia yang menjadi lingkup pelayanan keperawatan bersifat holistik yang mencakup kebutuhan biologis, psikologis, sosial, dan spiritual (Asmadi , 2008). Manusia memiliki kebutuhan dasar yang bersifat heterogen. Setiap orang pada dasarnya memiliki kebutuhan yang sama, akan tetapi karena terdapat perbedaan budaya, maka kebutuhan tersebutpun ikut berbeda. Dalam memenuhi kebutuhannya, manusia menyesuaikan diri dengan prioritas yang ada. Lalu jika gagal memenuhi kebutuhannya, manusia akan berpikir lebih keras dan bergerak untuk berusaha mendapatkannya (Hidayat, 2000). Manusia mempunyai kebutuhan dasar (kebutuhan pokok) untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Walaupun setiap individu mempunyai karakteristik yang unik, kebutuhan dasarnya sama. Perbedaannya hanya dalam pemenuhan kebutuhan dasar tersebut. Menurut Abraham Maslow, manusia memiliki 5 tingkat kebutuhan hidup yang akan selalu berusaha untuk dipenuhi sepanjang masa hidupnya. 5 tingkatan yang dapat membedakan setiap manusia dari sisi kesejahteraan hidupnya, teori yang telah resmi diakui dalam dunia psikologi. Kebutuhan tersebut berjenjang dari yang paling mendesak hingga yang akan muncul dengan sendirinya saat kebutuhan sebelumnya telah dipenuhi. 5 tingkat kebutuhan dasar menurut teori maseow adalah sebagi berikut : 1. Kebutuhan fisiologis 53 Contohnya adalah, sandang pangan, papan dan kebutuhan biologis seperti buang air besar, makan, minum, tidur dan seksual. 2. Kebutuhan keamanan dan keselamatan Contohnya seperti : bebas dari penjajahan, bebas dari ancaman, bebas dari sakit dan bebas teror 3. Kebutuhan sosial Misalnya adalah : memiliki teman, memiliki keluarga, kebutuhan cinta dari lawan jenis dan lain-lain 4. Kebutuhan penghargaan Dalam kategori ini menjadi 2 jenis eksternal dan internal, pada sub eksternal meliputi :pujian, piagam, tanda jasa dan hadiah. Sedangkan pada sub internal pribadi tingkatan ini tidak memerlukan pujian atau penghargaan dari orang lain untuk merasakan kepuasan dalam hidupnya. 5. Kebutuhan aktualisasi diri Merupakan kebutuhan tingkatan tertinggi pada diri manusia. Dalam hidup ini setiap orang pastilah memilki tujuan – tujuan yang hendak dicapai. Mereka yang sekolah memiliki target agar dapat nilai baik dan lulus dengan baik, mereka yang berusaha juga memiliki target agar usahanya lancar dan menghasilkan keuntungan, dan mereka yang bekerja berharap dapat menempati posisi yang strategis dan mendapatkan gaji yang memadai. Namun tidak semua keinginan itu dapat terwujud sesuai dengan apa yang diharapkan. G. Tinjauan tentang Buruh Tani 54 Buruh dapat diartikan sebagai semua orang yang bekerja dan terdaftar namanya di perusahaan serta menerima gaji atau upah secara langsung dari perusahaan tempat dia bekerja, baik yang aktif bekerja maupun yang sedang cuti izin dengan perusahaan, sedang mengikuti training, berstatus buruh tetap, kontrak, harian lepas maupun borongan. Pengertian lainnya, buruh adalah orang yang senang hati melakukan usaha, kerja-keras, berjerih payah untuk menghasilkan produk atau barang. Buruh adalah pemilik jasa dan orang yang melahirkan karya.Buruh bukanlah orang yang tergelincir pada lilitan ekonomi dan tunduk dalam suatu pekerjaan, tetapi orang yang mengaktifkan diri, berjalan terus dan aktif memenuhi kegiatan produksi. Buruh memiliki sifat yang memberikan dan berunsur membangun, mencipta dan menghidupkan Dalam penelitian ini buruh harian lepas yang dimaksud adalah pekerja lepas di bidang pertanian karena mereka hanya bekerja disektor pertanian. Sehingga mereka lebih tepat dikatakan buruh tani. Buruh tani dalam pengertian yang sesungguhnya memperoleh penghasilan terutama dari bekerja yang mengambil upah untuk para pemilik tanah atau para petani penyewa tanah. Sebagian besar dari mereka atas dasar jangka pendek, dipekerjakan dan dilepas dari hari ke hari. Disamping itu melakukan pekerjaan yang diupah, buruh harian itu juga melakukan perdagangan kecil kecilan, menjual pisang, rokok dan hasil pertanian secara kecilkecilan, menjualnya berdasarkan komisi dan kadang-kadang ada juga dari mereka yang menanami sebidang tanah kehutanan dengan perjanjian (Sajogyo, 1995: 112) 55 Dalam tingkah lakunya terhadap orang-orang yang diluar dari kelompoknya, buruh tani biasa menyerah saja pada nasibnya, ia ingin memperbaiki keadaannya, tetapi ia tidak tahu caranya, karena itu ia menyerah saja. Kelompok ini biasanya curiga terhadap segala sesuatu yang datang dari luar lingkungannya. Akan tetapi sekalipun kedengarannya bertentangan, pada akhirnya buruh tani itu paling percaya kepada pertimbangan para majikan mereka. Tentu saja kepercayaan itu ada batasnya, tetapi dalam berhubungan dengan mereka, sekurang-kurangnya buruh itu tahu di mana mereka berdiri. Dalam beberapa keadaan pendapat para majikan itu sangat menentukan, sedangkan pendapat orang-orang yang berusaha menjadi pemimpin buruh tani dalam perjuangan mereka untuk memperbaiki kondisi hidup, tidak diterima. Terbukti bahwa pendapat mereka kurang diperhatikan dibandingkan dengan pendapat majikan. Tidak ada jawaban atau badan pemerintahan yang benarbenar memberikan perhatiannya, baik langsung maupun tidak langsung, kepada buruh tani dan nasibnya. Buruh tani hidup dari hari ke hari saja dan tidak memperhatikan rencana masa depan misalnya dengan menabung. Mengenai definisi formal dari istilah “petani” tampaknya tak bisa dibantah lagi bahwa ada perbedaan tertentu tidak saja antara pengarang-pengarang terkemuka, tetapi juga berbagai variasi yang penting dari seorang penulis dalam jangka waktu yang relatif singkat. Dengan perkataan lain, situasinya demikian membingungkan hingga pertama-tama kita tak akan lebih buruk kalaupun kita salah dalam mencoba memberikan sumbangan, dan kedua, kekisruhan itu sendiri merupakan pertanda tak langsung bahwa suatu yang drastis maupun fundamental mungkin saja salah. 56 Koentjaraningrat(1980:193-194). Hubungan manusia dengan lingkungannya selalu dijembatani oleh pola-pola kehidupan. Manusia di dalam kelompok ataupun masyarakat selalu mempunyai kebudayaan. Dengan kebudayaan yang dimilikinya, mereka tidak hanya mampu beradaptasi dengan lingkungannya, tetapi juga mampu mengubah arah lingkungan menjadi sesuatu yang berarti dengan kehidupan seharihari. Kebudayaan itu sendiri dapat berupa keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar Sementara itu Tylor (Fedyani, 2005;82) mengartikan kebudayaan sebagai penjumlahan total apa yang dicapai oleh individu dari masyarakatnya berupa keyakinan-keyakinan, adat-istiadat, norma-norma artistik sebagai warisan dari masa lampau. Artinya, kebudayaan itu mencakup totalitas dari pengalaman manusia. Soetomo (2006:20) Dalam rangka mewujudkan proses pemanfaatan sumber daya, maka yang dibutuhkan adalah kemampuan untuk melakukan identifikasi sumber daya, kemudian memanfaatkan dan mengelolanya dengan baik. Dengan demikian, berdasarkan pandangan tersebut, identifikasi sumber daya merupakan salah satu langkah yang strategis dalam proses pembangunan masyarakat. Oleh sebab itu, identifikasi sumber daya juga dapat berfungsi untuk mengangkat sumber daya yang masih terpendam ke atas permukaan realitas sosial, sehingga dapat segera dimanfaatkan dalam rangka peningkatan taraf hidup . Berdasarkan konsepsi ini, Moser (Suharto, 2002: 13) membuat kerangka analisis yang disebut “The Asset Vulnerability Framework”. Kerangka ini meliputi berbagai pengelolaan aset yang dapat digunakan untuk melakukan penyusuian atau 57 pengembangan strategi tertentu dalam mempertahankan kelangsungan hidup seperti: 6. Aset tenaga kerja (labour asset), misalnya meningkatkan keterlibatan wanita dan anak dalam keluarga untuk bekerja membantu ekonomi rumah tangga. 7. Aset modal manusia (human capital asset), misalnya manfaat status kesehatan yang dapat menentukan kapasitas orang atau bekerja atau keterampilan dan pendidikan yang menentukan umpan balik atau hasil kerja (return) terhadap tenaga yang di keluarkannya. 8. Aset produktif (productive asset), misalnya menggunakan rumah, sawah, ternak, tanaman untuk keperluan hidupnya. 9. Aset relasi rumah tangga atau keluarga (Household relation asset), misalnya memanfaatkan jaringan dan dukungan dari sistem keluarga besar, kelompok etnis, migrasi tenaga kerja dan mekanisme “uang kiriman” (remittances). 10. Aset modal sosial (sosial capital aset), misalnya memanfaatkan lembagalembaga sosial lokal, arisan dan memberi kredit dalam proses dan sistem perekonomian keluarga. Suharto (2002a:68) Dewasa ini dalam mengkaji dan menangani kemiskinan, perspektif kemiskinan yang bersifat multidimensional dan dinamis muncul sebagai salah satu isu sentral dalam prioritas pembangunan. Munculnya isu ini tidak saja telah melahirkan perubahan pada fokus pengkajian kemiskinan, terutama yang menyangkut kerangka konseptual dan metodologi pengukuran kemiskinan, melainkan pula telah melahirkan tantangan bagi para pembuat kebijakan untuk merekonstruksi keefektifan program-program pengentasan kemiskinan. 58 Kebutuhan adalah salah satu aspek psikologis yang menggerakkan mahluk hidup dalam aktivitas-aktivitasnya dan menjadi dasar (alasan) bagi setiap individu untuk berusaha. Pada dasarnya, manusia bekerja mempunyai tujuan tertentu, yaitu memenuhi kebutuhan. Kebutuhan tidak terlepas dari kehidupan sehari-hari. Selama hidup manusia membutuhkan bermacam-macam kebutuhan. Seperti: makanan, pakaian, perumahan, pendidikan, keamanan, dan kesehatan. G. Gaya Hidup Gaya hidup adalah pola hidup seseorang di dunia yang diekspresikan dalam aktivitas, minat, dan opininya Sedangkan menurut Assael (1984), gaya hidup menggambarkan “keseluruhan diri seseorang” dalam berinteraksi denganlingkungannya (Kotler, 2002). Sedangkan menurut Assael (1984), gaya hidup adalah“A mode of living that is identified by how people spend their time (activities), whatthey consider important in their environment (interest), and what they think ofthemselves and the world around them (opinions)”. Menurut Minor dan Mowen(2002), gaya hidup adalah menunjukkan bagaimana orang hidup, bagaimana membelanjakan uangnya, dan bagaimana mengalokasikan waktu. Selain itu, gaya hidup menurut Suratno dan Rismiati (2001) adalah pola hidup seseorang dalam dunia kehidupan sehari-hari yang dinyatakan dalam kegiatan, minat dan pendapat yang bersangkutan. Gaya hidup mencerminkan keseluruhan pribadi yang berinteraksi dengan lingkungan. Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa gaya hidup adalah pola hidup seseorang yang dinyatakan dalam kegiatan, minat dan pendapatnya dalam membelanjakan uangnya dan bagaimana mengalokasikan waktu. 59 Gaya hidup diartikan dalam WHO 1998 yaitu life style is a way of livingbased on identifiable patterns of behaviour which are determined by the interplaybetween an individual’s personal characteristics, social interactions, andsocioeconomicand environmental living condition.Pola pola perilaku (behavioral patterns) akan selalu berbeda dalam situasi ataulingkungan sosial yang berbeda, dan senantiasa berubah, tidak ada yang menetap(fixed). Gaya hidup individu, yang dicirikan dengan pola perilaku individu, akanmemberi dampak pada kesehatan individu dan selanjutnya pada kesehatan orang lain. Dalam “kesehatan” gaya hidup seseorang dapat diubah dengan cara memberdayakanindividu agar merubah gaya hidupnya, tetapi merubahnya bukan pada si individu saja,tetapi juga merubah lingkungan sosial dan kondisi kehidupan yang mempengaruhipola perilakunya. Harus disadari bahwa tidak ada aturan ketentuan baku tentang gayahidup yang “sama dan cocok” yang berlaku untuk semua orang. Budaya, pendapatan,struktur keluarga, umur, kemampuan fisik, lingkungan rumah dan lingkungan tempatkerja, menciptakan berbagai “gaya” dan kondisi kehidupan lebih menarik, dapatditerapkan dan diterima (Ari, 2010). Gaya hidup merupakan gambaran bagi setiap orang yang mengenakannya danmenggambarkan seberapa besar nilai moral orang tersebut dalam masyarakat disekitarnya. Atau juga, gaya hidup adalah suatu seni yang dibudayakan oleh setiap orang. Gaya hidup juga sangat berkaitan erat dengan perkembangan zaman dan teknologi. Semakin bertambahnya zaman dan semakin canggihnya teknologi, maka semakin berkembang luas pula penerapan gaya hidup oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dalam arti lain, gaya hidup dapat memberikan pengaruh 60 positif atau negatif bagi yang menjalankannya, tergantung pada bagaimana orang tersebut menjalaninya. Dewasa ini, gaya hidup sering disalahgunakan oleh sebagian besar remaja. Apalagi para remaja yang berada dalam kota Metropolitan. Mereka cenderung bergaya hidup dengan mengikuti mode masa kini. Tentu saja, mode yang mereka tiru adalah mode dari orang barat. Jika mereka dapat memfilter dengan baik dan tepat, maka pengaruhnya juga akan positif. Namun sebaliknya, jika tidak pintar dalam memfilter mode dari orang barat tersebut, maka akan berpengaruh negatif bagi mereka sendiri (Siti Nurhasanah, 2009). Gaya hidup menurut Kotler (2002:192)adalah pola hidup seseorang di dunia yang iekspresikan dalam aktivitas, minat, dan opininya. Gaya hidup menggambarkan “keseluruhan diri seseorang” dalam berinteraksi dengan lingkungannya.Gaya hidup menggambarkan seluruh pola seseorang dalam beraksi dan berinteraksi di dunia. Menurut Assael (1984,252), gaya hidup adalah “A mode of living that is identified by how people spend their time (activities), what they consider important in their environment (interest), and what they think of themselves and the world around them (opinions)”. Secara umum dapat diartikan sebagai suatu gaya hidup yang dikenali dengan bagaimana orang menghabiskan waktunya (aktivitas), apa yang penting orang pertimbangkan pada lingkungan (minat), dan apa yang orang pikirkan tentang diri sendiri dan dunia di sekitar (opini). Sedangkan menurut Minor dan Mowen (2002:282), gaya hidup adalah menunjukkan bagaimana orang hidup, bagaimana membelanjakan uangnya, dan bagaimana mengalokasikan waktu. Selain itu, gaya hidup menurut Suratno dan Rismiati (2001:174) adalah pola hidup seseorang dalam 61 dunia kehidupan sehari-hari yang dinyatakan dalam kegiatan, minat dan pendapat yang bersangkutan. Gaya hidup mencerminkan keseluruhan pribadi yang berinteraksi dengan lingkungan. Dari berbagai di atas dapat disimpulkan bahwa gaya hidup adalah pola hidup seseorang yang dinyatakan dalam kegiatan, minat dan pendapatnya dalam membelanjakan uangnya dan bagaimana mengalokasikan waktu. Faktor-faktor utama pembentuk gaya hidup dapat dibagi menjadi dua yaitu secara demografis dan psikografis. Faktor demografis misalnya berdasarkan tingkat pendidikan, usia, tingkat penghasilan dan jenis kelamin, sedangkan faktor psikografis lebih kompleks karena indikator penyusunnya dari karakteristik konsumen. Psikografik (Psychographic) adalah ilmu tentang pengukuran dan pengelompokkan gaya hidup konsumen (Kotler, 2002:193). Sedangkan psikografik menurut Sumarwan (2003:58), adalah suatu instrumen untuk mengukur gaya hidup, yang memberikan pengukuran kuantitatif dan bisa dipakai untuk menganalisis data yang sangat besar. Analisis psikografik biasanya dipakai untuk melihat segmen pasar. Analisis psikografik sering juga diartikan sebagai suatu riset konsumen yang menggambarkan segmen konsumen dalam hal kehidupan, pekerjaan dan aktivitas lainnya. Psikografik berarti menggambarkan (graph) psikologis konsumen (psyco). Psikografik adalah pengukuran kuantitatifgaya hidup, kepribadian dan demografik konsumen. Psikografik sering diartikansebagai pengukuran AIO (activity, interest, opinions), yaitu pengukuran kegiatan, minat dan pendapat konsumen. Psikografik memuat beberapa pernyataan yang menggambarkan kegiatan, minat dan pendapat konsumen. Pendekatan psikografik sering dipakai 62 produsen dalam mempromosikan produknya, seperti yang dinyatakan oleh Kotler bahwa psikografik senantiasa menjadi metodologi yang valid dan bernilai bagi banyak pemasar (2002:193). Solomon dalam Sumarwan (2003:59) menjelaskan studi psikografik dalam beberapa bentuk seperti diuraikan berikut. 1. Profil gaya hidup (a lifestyle profile), yang menganalisis beberapa karakteristik yang membedakan antara pemakai dan bukan pemakai suatu produk. 2. Profil produk spesifik (a product-specific profile) yang mengidentifikasi kelompok sasaran kemudian membuat profil konsumen tersebut berdasarkan dimensi produk yang relevan. 3. Studi yang menggunakan kepribadian ciri sebagai faktor yang menjelaskan, menganalisis kaitan beberapa variabel dengan kepribadian ciri, misalnya kepribadian ciri yang mana yang sangat terkait dengan konsumen yang sangat memperhatikan masalah lingkungan. 4. Segmentasi gaya hidup (a general lifestyle segmentation), membuat pengelompokkan responden berdasarkan kesamaan preferensinya. 5. Segmentasi produk spesifik, adalah studi yang mengelompokkan konsumen berdasarkan kesamaan produk yang dikonsumsinya. Orang-orang yang berasal dari sub-budaya, kelas sosial, dan pekerjaan yang sama dapat memiliki gaya hidup yang berbeda. Gaya hidup adalah pola hidup seseorang di dunia yang diekspresikan dalam aktivitas, minat, dan opininya. Gaya hidup menggambarkan “keseluruhan diri seseorang” yang berinteraksi dengan lingkungannya. Pemasar mencari hubungan antara produknya dengan kelompok 63 gaya hidup konsumen. Contohnya, perusahaan penghasil komputer mungkin menemukan bahwa sebagian besar pembeli komputer berorientasi pada pencapaian prestasi. Dengan demikian, pemasar dapat dengan lebih jelas mengarahkan mereknya ke gaya hidup orang yang berprestasi Lifestyle atau gaya hidup ini awalnya diciptakan oleh psikolog Austria Alfred Adler tahun 1929. Lebih luas saat ini arti kata tanggal dari 1961. Dalam sosiologi, gaya hidup adalah cara seseorang hidup. Sebuah gaya hidup bundel merupakan karakteristik perilaku yang masuk akal untuk kedua orang lain dan diri sendiri dalam suatu waktu dan tempat, termasuk hubungan sosial, konsumsi, hiburan, dan berpakaian. Perilaku dan praktek dalam "gaya hidup" adalah campuran kebiasaan, cara-cara konvensional dalam melakukan sesuatu, dan beralasan tindakan. Sebuah gaya hidup biasanya juga mencerminkan sikap individu, nilainilai atau pandangan dunia. Oleh karena itu, gaya hidup adalah sarana untuk menempa suatu kesadaran diri untuk menciptakan budaya dan simbol-simbol yang beresonansi dengan identitas pribadi. Tidak semua aspek dari gaya hidup sepenuhnya voluntaristik. Sekitarnya sosial dan sistem teknis dapat membatasi pilihan gaya hidup yang tersedia bagi individu dan simbol-simbol ia / dia dapat proyek untuk orang lain dan diri sendiri. Garis antara identitas pribadi dan perbuatan-perbuatan sehari-hari sinyal bahwa gaya hidup tertentu menjadi buram dalam masyarakat modern. Sebagai contoh, "gaya hidup hijau" berarti memegang keyakinan dan terlibat dalam aktivitas yang mengkonsumsi sumber daya yang lebih sedikit dan kurang menghasilkan limbah berbahaya (yaitu yang lebih kecil karbon), dan menurunkan suatu kesadaran 64 diri dari memegang kepercayaan ini dan terlibat dalam kegiatan ini. Beberapa komentator berpendapat bahwa, dalam modernitas, landasan dari konstruksi gaya hidup adalah perilaku konsumsi, yang menawarkan kemungkinan untuk menciptakan dan diri individualize lebih lanjut dengan produk atau layanan berbeda sinyal bahwa cara hidup yang berbeda. 65